Upload
hoangnhi
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SIPENDIKUM 2018
421
PERLINDUNGAN HAK CIPTATERHADAP EKSPRESI BUDAYA
TRADISIONALDI INDONESIAMENURUTHUKUM INTERNASIONAL
Fithriatus Shalihah1
e-mail :[email protected]
Abstraks
Perlindungan khusus terhadap ekspresi budaya tradisional diatur Bern
Convention 1886 maupun dalam revisinya (Konvensi Paris) di tahun
1971,yaitu terdapat dalam pasal 15 ayat (4).Indonesia telah mensinkronkan
pengaturan tersebut dalam hukum nasionalnya yang terdapat dalam pasal
38 dan 39 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak
Cipta.Kendala dalam perlindungan ekspresi budaya tradisional di
Indonesia lebih banyak disebabkan karena pemahaman kepemilikan
ekspresi budaya tradisional tradisional di Indonesia lebih kepada
kepemilikan secara komunal. Maka dalam rangka menerjang hambatan
yang bersifat kultural tersebut diperlukan sosialisasi dan pembudayaan Hak
Cipta kepada masyarakat. Pergesekan antar bangsa atas pengakuan
kepemilikan ekspresi budaya tradisional banyak disebabkan oleh faktor
pengenyampingan hak moral dan prinsip first to use yang melekat pada
ekspresi budaya tradisional.
Keywords : International law, Copy Right, Folklore.
Pendahuluan
Bern Convention mengalami beberapa kali revisi, revisi yang pertama dilakukan
di Paris pada tanggal 4 mei 1896, kemudia dilakukan revisi kembali di Berlin pada
tanggal 13 November 1908. Penyempurnaan terus dilakukan tepatnya pada tanggal 24
Maret 1914 di Bern, kemudian direvisi di Roma tanggal 2 Juni 1928, di Brussels pada
tanggal 26 Juni 1948, di Stockhlom pada tanggal 14 Juni 1967 dan yang paling terakhir di
Paris pada tanggal 24 Juni 1971.
Dan revisi Bern Convention 1971 menghasilkan pengaturan yang berpotensi
mengatur folklore yaitu terdapat dalam pasal 15 ayat (4), yang selengkapnya berbunyi:
“Right toEnforce Protected Rights: (a) In the case of unpublished works where
there the identity of the author is unknown, but where there is every ground to presume
that he is national of a country to designate the competent authority which shall
represent the author and shall be entitled to protect and enforce his rightsin the
countries of the union. (b) Countries Of The Union which make such disignation under
the terms of his provision shall notify the Director General by means of a written
declartion giving full information concerning the authority thus designated. The Director
General shall at once communicate this declaration to all other countries of the union
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau
SIPENDIKUM 2018
422
Pasal ini mengatur perlindungan atas ciptaan-ciptaan yang tidak diketahui
penciptanya. Seperti diketahui Folklore di Indonesia banyak yang tidak jelas penciptanya,
jadi aturan inilah yang paling mendekati tentang perlindungan Folklore di dalam Bern
Convention.
Folklore merupakan bagian dalam lingkup Hak Cipta yang mana Hak
Cipta adalah satu dari dua bidang yang tercakup dalam hak milik intelektual
selain hak milik industri.Keberadaan hak milik dalam hukum adalah hak yang
paling kuat dan absolute sifatnya.Dan hak milik intelektual berbeda dengan hak
milik pada umumnya apabila dilihat dari obyeknya, terutama untuk benda -benda
yang merupakan ciptaan Tuhan seperti tanah.Sebab hak milik intelektual lahir
dari kreasi dan intelektual manusia. Kreasi dari olah pikir itu hanya dimiliki oleh
orang-orang yang kreatif dalam memanfaatkan intelektualnya, sehingga sangat
dimungkinkan juga akan dapat membawa kejayaan dalam hal perekonomiannya
(Intellectual Property is the machine of money maker). Jadi hak milik intelektual
adalah sesuatu yang dapat dibanggakan dalam pembangunan ekonomi sebab
eksistensinya lebih dahsyat daripada sumber daya alam. Sementara isu mengenai
perlindungan terhadap Folklore sendiri mulai mengemuka dalam Persetujuan
Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement) tahun
1994 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1995.
Folklore adalah sebuah karya cipta bangsa yang memiliki hak eksklusif bagi
pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan
atau informasi tertentu.Pada dasarnya, Hak Cipta merupakan hak untuk menyalin suatu
ciptaan.Hak Cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi
penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan.Hak Cipta memiliki masa berlaku tertentu yang
terbatas.
Hak Cipta merupakan salah satu jenis hak milik intelektual, namun Hak Cipta
berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya seperti, paten, yang
memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi. Karena Hak Cipta bukan merupakan
hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang
melakukannya.
Hak Cipta mengenal konsep hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah
hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak
yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat
dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau hak terkait telah dialihkan.
Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan,
walaupun misalnya Hak Cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan
pihak lain.
Pemegang Hak Cipta bisa jadi adalah orang yang memperkerjakan pencipta dan
bukan pencipta itu sendiri bila ciptaan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan hubungan
dinas. Prinsip ini umum berlaku; misalnya dalam hukum Inggris (Copyright Designs and
Patents Act 1988) dan Indonesia Pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta.Dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan
penerapan prinsip tersebut antara lembaga pemerintah dan lembaga swasta.
SIPENDIKUM 2018
423
Ekspresi budaya tradisional merupakan identitas dan ciri dari suatu bangsa yanag
dapat membedakannya dengan bangsa lain. Oleh karenanya Negara perlu memberikan
perlindungan terhadapnya, karena juga menunjukkan kewibawaan sebuah bangsa.
Apalagi pengaturan tentang perlindungan hukum atas ekspresi budaya tradisional telah
dengan tegas diatur dalam Bern Convention 1886 maupun dalam revisinya (Konvensi
Paris) di tahun 1971.
Karenanya dibutuhkan pemahaman yang merata bagi masyarakat Indonesia
tentang keberadaan Folklore dalam lingkup Hak Cipta yang di dalam hukum nasional
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2016 tentang Hak Cipta.
Pemerintah Indonesia harus lebih tegas dalam mensikapi berbagai pelanggaran Hak Cipta
khususnya terhadap ekspresi budaya tradisional (Folklore) .Tidak ada alasan bahwa
Folklore atau ekspresi budaya tradisional tersebut sulit dicari siapa penciptanya karena
sudah berabad-abad yang lampau, sehingga pemerintah kesulitan menentukan sikap.
Sebab apabila Folklore tidak diketahui penciptanya, maka seharusnya negaralah yang
bertindak sebagai penciptanya.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas maka penulis
meembuat sebuah telaah dengan judul : Perlindungan Hak CiptaTerhadap Ekspresi
Budaya Tradisional Di IndonesiaMenurut Hukum Internasional.
Perlindungan Hak Cipta Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Di Indonesia
Menurut Hukum Internasional
Berkaitan dengan perlindungan Hak Cipta ada dua perjanjian internasional yang
sangat penting dalam sejarah perkembangan hukum tentang perlindungan hak milik
intelektual di dunia, yaitu :
a) Konvensi Bern, adalah perjanjian internasional tentang perlindungan terhadap
karya sastra dan seni. Konvensi Bern ini adalah perjanjian yang tertua tentang
Hak Cipta yang tertua di dunia yaitu disetujui tanggal 9 September 1886, dan
terbuka bagi semua Negara untuk meratifikasinya. Ada 133 negara telah turut
dalam menandatangani konvensi ini, dan Indonesia telah meratifikasinya pada
tanggal 5 september 1997.
b) Perjanjian Umum di Bidang Tarif dan Perdagangan (GATT) yang mencakup
juga TRIPs Agreement(Perjanjian tentang Aspek-Aspek perdagangan
Kekayaan Intelektual).
Konvensi Bern dalam memberikan perlindungan terhadap Hak Cipta memiliki
tiga prinsip utama yaitu :
a) Perlakuan nasional tentang karya-karya yang berasal dari salah satu Negara
Berne Convention harus diberikan proteksi yang sama pada setiap Negara
anggota lainnya.
b) Perlakuan nasional tidak tergantung dari formalitas, yang berarti perlindungan
diberikan secara otomatis dantidak memerlukan pendaftaran, deposit atau
pemberitahuan formal dalam kaitan dengan publikasi.
SIPENDIKUM 2018
424
c) Perlindungan karya cipta tersebut adalah independen dari persyaratan proteksi
di Negara asal dari karya tersebut dihasilkan.
Hak-hak eksklusif yang diatur dalam Konvensi Bern adalah :
1) hak terjemahan
2) hak mempertunujukkan drama di depan public
3) karya drama musikal dan karya musik
4) hak untuk menyiarkan
5) hak untuk reproduksi dalam bentuk apapun
6) hak untuk membuat gambar hidup dari karya
7) hak untuk adaptasi
WIPO atau singkatan dari World Intelectuall Property Organization adalah badan
khusus PBB yang menangani masalah Hak Milik Intelektual.WIPO terbentuk tahun 1967
yang bertujuan untuk mendorong kreatifitas dan memperkenalkan perlindungan Hak
Milik intelektual ke seluruh dunia. Hal ini seiring dengan tujuan pembentukan WIPO
yang merupakan rekomendasi dari TRIPs Aggreement yang menyebutkan bahwa,
“ The WIPO has been established to promote the protection of intellectual Property
throughout the world through co-operation among states and, where appropriate, in
collaboration wih other international organization. “
WIPO secara resmi dibentuk oleh Konvensi Pembentukan Organisasi atas
kekayaan intelektual dunia yang ditandatangani di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967
dan di perbaiki pada tanggal 28 September 1979. Dalam salah satu Pasalnya, WIPO
berupaya melakukan promosi atas perlindungan dari hak atas kekayaan intelektual ke
seluruh dunia. Untuk saat ini, WIPO beranggotakan kurang lebih 184 negara dengan
kantor pusatnya di Genewa Swiss. Dan hampir semua Negara anggota PBB menjadi
anggota WIPO.
Selain beranggotakan 184 negara, WIPO telah menghasilkan 23 buah perjanjian
internasional.Vatikan dan hampir seluruh Negara anggota PBB merupakan anggota
WIPO. Sedangkan Negara-negara yang tidak menjadi anggota WIPO adalah Kiribati,
Kepulauan Marshall, Federasi Mikronesia,Nauru, Palau, Palestina, Republik Demokrasi
Arab Sahrawi, Kepulauan Solomon, Taiwan, Timor Leste, Tuvalu, dan Vanuatu.
Pendahulu WIPO bernama BIRPI (Perancis Bureaux Internasionaux Reunis pour
la Protection de la Propiete Intelectuelle), yang didirikan tahun 1893 untuk mengawasi
Konvensi Bern tentangPerlindungan Karya seni dan Sastra dan Konvensi Paris tentang
Perlindungan Hakatas Kekayaan Industri.
WIPO secara resmi dibentuk oleh Konvensi Pembentukan Organisasi Hak Atas
Kekayaan Intelektual Dunia (ditandatangani di Stockhlom pada tanggal 14 Juli 1967 dan
diperbaiki pada tanggal 28 Sepetember 1979).Berdasarkan Pasal 3 ayat (3) dari konvensi
ini WIPO berupaya untuk melakukan promosi atas perlindungan dari milik intelektual ke
seluruh penjuru dunia.Dan pada tahun 1974 WIPO menjadi perwakilan khusus PBB
untuk keperluan tersebut.
SIPENDIKUM 2018
425
Hak Cipta dan Hak-Hak Berdampingan.
WIPO memberikan pengertian tentang Hak Cipta sebagai berikut :“Copyright is a
legal form describing right given to creator for their literary and artistic works” atau
Hak Cipta adalah terminology hukum yang menggambarkanhak-hak yang diberikan
kepada pencipta untuk karya-karya mereka dalam bidang seni dan sastra. Pengertian Hak
Cipta juga disebutkan dalam Copyright, Designs and Patens Act 1988 yang
menyatakan,”Copyright is a property right that subsists in certain specified types of
works.” Pada pengertian lain David Vaver dalam tulisannya berjudul Some Agnostic
Observations on Intellecrual property mendevinisikan bahwa,”Copyright is if one creates
a literary, musical, dramatic or artistic work, one automatically has a copyright on it.”
Dari devinisi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Literary works.
The expression literary work is expressed is print or writing, irrespective of question
wether the quality or styleis high.The word literary seems to be used in a sense
somewhat similar to the use of word literature in political or electioneering literature,
and refers to written or printed matter. As well as works embodying the fruits of
considerable creative or intellectual endeavour, copyright has been allowed in such
mundane compilation of information as a timetable index, trade catalogues,
examination service and the listing of programmes to the broadcast. The principle that
there must be sufficient”skill, judgment and labour” accordingly cases where the
degree of literary compotition is slight.
The requirement that a literary work be “original” was only added to statory
copyright law in the Act of 1911. The adjective has been read in a limited sense. It is
treated as bringing out one caracteristic of the recuirement of scill, labour and
judgment- that the work must originate from the author and not be copied by him from
another source.
b) Dramatic works.
These are divined as including a work of danceor mime. They include the scenario or
script for film, the copyright in the film itself being separate. The general principles
concerning literary works apply to this closelyanalogous category. Nice questions can
arise over the copyright entitlement of those who provide secondary contributions to
scripts written by other playwrights.
c) Musical works : type and quality
The term musical worksis defined in the act only as a work consisting of music,
exclusive of any words or action intended to be sung, spoken or performed with i.
d) Artistic works.
1) General. Here the tension between different conception of copyright
becomesmarket. Some types of work are treated as artistic only if they bear a
distinctive element of aesthetic creatifity others gain protection simply because
labour ang capital ought not to be freely appropriable.
2) Architectural works and models. An architect’s plans fall within category above.
It is actual structure or a model of it which is separately treated in the second
SIPENDIKUM 2018
426
category. By implication, some consideration must be given to artistic quality. It
may well be enough to show something apart from the common stock of ideas.
3) Works of artistic craftsmanship. A considerable miscellany of artefacts jewellary,
furniture, cutlery, toys, educational aids and so on.”
Sedangkan menurut Hukum Nasional terbaru Indonesia tentang Hak Cipta
memberikan devinisi bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima
hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangan yang
berlaku.
Undang-undang Hak Cipta memberikan pengertian bahwa Hak Cipta sebagai hak
khusus, hal ini berarti pemahaman undang-undang berpangkal pada melekatnya sifat
khusus kepada pencipta atau pemilik hak tersebut dikaitkan dengan pemikiran tentang
perlunya pengakuan dan penghormatan terhadap jerih payah pencipta atas segala daya
upaya dan pengorbanan sehingga dapat terlahir sebuah karya intelektual.
Yang dimaksud dengan hak eksklusif sebagaimana disebut dalam Pasal adalah
hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pilihan lain
yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa ijin pemegangnya.
Dan di dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
mengatakan bahwa Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic right) dan hak moral
(moral right). Hak ekonomi adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang
tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alas an apapun, walaupun Hak Cipta atau hak
terkait (neighboring right) telah dialihkan.
Hak ekonomi merupakan hak eksklusif dari pencipta untuk memperoleh
keuntungan-keuntungan ekonomi.Hak ekonomis meliputi hak memperbanyak, hak
distribusi, hak pertunjukan dan hak peragaan.Seadangkan hak moral adalah hak yang
melekat pada diri pencipta yang tidak dapat dihilanghan atau dihapus tanpa alasan apapun
walaupun Hak Cipta atau hak terkait telah dialihkan.Adapun ketentuan mengenai hak
moral ini dapat dilihat dalam The Copyright, Designs and Patents Act 1988, yang
menyatakan bahwa,
“ There are four rights within the moral right designation, being :
(a) the right to be identified as the author or director of work, the paternity right
(section 77-79);
(b) the right of an author or director of a work to object to derogatory treatment
of that work, the integrity (section 80-83);
(c) a general right that every person has not to have a workfalsely attributed to
him(section 84)
(d) the commissioner’s right of privacy in respect of a photograph or film made
for private and domestic purposes (section 85).”
Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa kepemilikan Hak Cipta oleh Negara,
apabila karya cipta tersebut dianggap sebagai milik bersama (public domain) atau milik
rakyat. Fungsi kepemilikan Hak Cipta oleh Negara ini sangat berfungsi terhadap masalah
SIPENDIKUM 2018
427
yang menyangkut kebutuhan ciptaan-ciptaan terhadap kemungkinan pelanggaran ciptaan
di luar negri, karena itu Negara bertindak sebagai pemegang Hak Cipta. Karya-karya
cipta yang dianggap sebagai milik bersama tersebut misalnya : dongeng, hikayat, lagu-
lagu rakyat, kaligrafi, tari-tarian tradisional, dan sebagainya.
Undang-undang Hak Cipta memberikan pengertian bahwa Hak Cipta sebagai hak
khusus, hal ini berarti pemahaman undang-undang berpangkal pada melekatnya sifat
khusus kepada pencipta atau pemilik hak tersebut dikaitkan dengan pemikiran tentang
perlunya pengakuan dan penghormatan terhadap jerih payah pencipta atas segala daya
upaya dan pengorbanan sehingga dapat terlahir sebuah karya intelektual.
Dan di dalam Bab II pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
Ekspresi budaya tradisional dan Ciptaan yang tidak diketahui penciptanya diatur
dalam ketentuan baru Pasal 38 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, yaitu :
(1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.
(2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya
tradisional sebagaimana dimaksud pada pasal (1).
(3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
pengembannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas
ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 disebutkan
bahwa :
1. Dalam hal Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan tersebut belum
dilakukan Pengumuman, Hak Cipta atas Ciptaan tersebut dipegang oleh
Negara unutk kepentingan Pencipta.
2. Dalam hal Ciptaan telah dilakukan Pengumuman tetapi tidak diketahui
Penciptanya, atau hanya tertera nama aliasnya atau samaran Penciptannya,
Hak Cipta atas Ciptaan tersebut dipegang oleh pihak yang melakukan
Pengumuman untuk kepentingan Peencipta.
3. Dalam hal Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan
pihak yang melakukan Pengumannya, Hak Cipta atas Ciptaan tersebut
dipegang oleh Negara unutk kepentingan Pencipta.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) tidak
berlaku jika Pencipta dan/atau pihak yang melakukan Pengumuman dapat
membuktikan kepemilikan atas Ciptaan tersebut.
5. Kepentingan Pencipta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
dilaksankan oleh Menteri.
Potensi kultural bangsa Indonesia yang memiliki tidak kurang dari 350 kelompok
etnis memiliki kekhasan sekaligus keragaman dalam cita, rasa, dan ekspresi budaya
tradisional (Folklore) masing-masing. Menyadari potensi ini, sesungguhnya
Indonesiamemiliki kekuatan yang sangat besar dalam meningkatkan pertumbuhan
SIPENDIKUM 2018
428
sekaligus pemerataan ekonomi melalui pengembangan sumber daya kultural. Namun dari
350 etnis sebagaimana sumber yang dikutip di atas, jumlah ekspresi budaya yang telah
terdaftar hak ciptanya jauh relatif sangat sedikit, karena tidak semua folklore dengan
berbagai klasifikasinya telah didaftarkan hak ciptanya oleh pemerintah daerah dalam hal
ini merupakan kepanjangan tangan dari negara yang berkepentingan memberikan
perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional.
Masih sulitnya perlindungan hukum terhadap semua produk kultural atau
Folklore sebagaimana penyebutan dalam Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta Nomor
2014, di sebabkan oleh ketidakmampuan hukum nasional tentang Hak Cipta di Indonesia
dalam mengakomodasi semua Folklore yang ada. Sebab Undang-Undang Hak Cipta yang
saat ini berlaku mengadopsi rezim Hak Cipta konvensional yaitu berdasarkan TRIPs
Aggreement tanpa memberikan ruang yang cukup bagi pengakomodasian dan
perlindungan Folklore bangsa.
Akibatnya terjadi ketidaktepatan penempatan konsep antara hasil karya tradisional
yang dapat dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta dan Folklore yang memang tidak
termasuk dalam kategori karya cipta yang dilindungi Undang-Undang Hak Cipta.
Beberapa ketidaktepatan konsep yang merupakan karakter mendasar yang dipersyaratkan
dalam perlindunga hak cipta adalah :
i. Persyaratan keaslian
ii. Penciptanya yang harus diketahui
iii. Ide atau gagasan yang harus ditransformasikan ke dalam bentuk materiil
atau fisik
iv. Jangka waktu perlindungannya yang terbatas yaitu seumur hidup ditambah
50 tahun setelah penciptanya meninggal dunia
Akibatnya, secara normatif, karakter mendasar yang dipersyaratkan dalam
perlindungan Hak Cipta ini menjadi tidak tepat dengan karakter mendasar yang melekat
pada hasil karya tradisional bangsa.Sebab, dapat menjadi pembenaran bahwa Folklore ini
tidak dapat dikatakan asli karena ekspresi budaya tradisional ini dibuat oleh penciptanya
(yang dalam hal ini telah tidak ada), kemudian diwariskan dan berkembang (direproduksi
dan digunakan) selama ribuan tahun, bahkan dari generasi ke generasi.
Perbedaan konseptual antara ciptaan dalam konsep Hak Cipta dan hak kultural ini
menjadi hambatan normatif dalam memberikan perlindungan terhadap Folklore yang
dimiliki oleh bangsa ini.Oleh karena itu pemerintah harus lebih kreatif mengoptimalkan
sumber daya hukum dan nonhukum dalam mengatur sekaligus melindungi Folklore.
Seharusnya pemerintah mempunyai keberanian menyelesaikan klaim Malaysia
dengan memanfaatkan jalur diplomasi internasional, hal ini akan lebih memberi efek jera
terhadap Malaysia. Yaitu dengan menempuh langkah penyampaian nota diplomatik
maupun pembicaraan tingkat menteri berkenaan dengan keberatan atas klaim-klaim
Folklore asli Indonesia oleh Pemerintah Malaysia. Sehingga dampaknya akan membawa
kerugian kepada Malaysia jika isu ini digulirkan dalam forum TRIPs-WTO maupun
melalui Badan PBB yang berwenang disektor Hak Milik Intelektual, yaitu WIPO.
Keberadaan forum-forum tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan fenomena
SIPENDIKUM 2018
429
meningkatnya perhatian masyarakat internasional terhadap perlindungan di bidang Hak
Milik Intelektual.
Indonesia dapat melakukan gugatan kepada saluran-saluran internasional yang
terkait dengan penegakan hak milik intelektual dengan menggunakan Stocholm Revision
of Berne Convention, yang ditandatangani pada tahun 1967. Sebab dalam Pasal 15 (4)
dinyatakan bahwa :
“Dalam kasus karya-karya cipta yang identitas penciptanya tidak dikenal, tetapi ia
adalah warga dari Negara anggota penandatangan konvensi, maka Negara tersebut
dapat membuat Undang-Undang atau aturan yang menunjuk otoritas yang
berkompeten untuk mewakili pencipta dan berhak untuk mewakili pencipta dan
berhak untuk menegakkan haknya diwilayah negara-negara penandatangan
Konvensi.”
Dengan demikian dalam konteks ini sebenarnya pemerintah Indonesia dapat
menggunakan Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta nomor 28 tahun 2014 untuk
melindungi ekspresi budaya tradisional terkait pencipta yang tidak dikenal. Sebab dalam
penjelasannya Undang-Undang Hak Cipta menyatakan bahwa pemerintahlah yang akan
mencegah adanya monopoli ataupun komersialisasi serta tindakan merusak atau
pemanfaatan komersial tanpa seijin negara RI sebagai pemegang Hak Cipta. Ketentuan
ini dimaksudkan untuk menghindari pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan
tersebut.
Dalam kasus klaim Malaysia terhadap terhadap ekspresi budaya tradisional
beberapa waktu yang lalu, langkah yang dilakukan pemerintah hanya menyikapi klaim
tersebut dengan membentuk pakar yang bertugas mengkaji kesenian tradisional.Langkah
ini selain diambil untuk menyikapi klaim atas Reyog Ponorogo, tari Tor-tor dan Pendet,
juga dalam kasus klaim lagu rasa sayange oleh Pemerintah Malaysia. Menurut Menteri
kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia saat itu, Jero Wacik, bahwa pemerintah
akan membentuk tim pakar untuk mengkaji dan memilah kesenian tradisional Indonesia
dan Malaysia sehingga tidak terjadi saling klaim terutama yang termasuk kategori area
seperti lagu-lagu yang sudah ada sejak jaman dulu dan berkembang dikedua Negara serta
tidak jelas siapa yang menggubahnya. Kemiripan budaya dan kesenian ini menurutnya
sangat wajar karena banyak penduduk Malaysia yang bersal dari Indonesia yang
bermukin sudah sangat lama. Namun demikian, Pemerintah berjanji tetap akan
meningkatkan perlindungan terhadap seni dan budaya tradisional itu sehingga tidak lagi
di klaim oleh Negara lain.
Sudah seharusnya Pemerintah mengambil peran yang besar.Akan lebih bagus lagi
apabila tidak perlu menunggu dari daerah bersangkutan dalam mengurus Hak Cipta
kekayaan budaya daerahnya, tetapi Pemerintah melalui berbagai instansi terkait dapat
memfasilitasi atau jemput bola.Ada pemahaman bahwa mengurus Hak Cipta begitu rumit
dan persepsi kekayaan budaya daerah seharusnya sudah langsung menjadi kekayaan
budaya Indonesia.Namun sekarang penulis juga belum mengetahui apakah Pemerintah
telah menyadari mempunyai kekayaan budaya yang besar dan berharga, apakah data-
SIPENDIKUM 2018
430
datanya sudah ada atau hanya sekedar mendengar bahwa sebenarnya punya. Oleh sebab
itu, database tentang kekayaan budaya masing-masing daerah sangat dibutuhkan
sekaligus melihat status Hak Cipta budaya tersebut. Penulis menyadari bahwa saat ini
budaya asli Indonesia mulai terkikis oleh arus globalisasi yang disebabkan banyak
budaya asing yang mampu menggeser budaya lokal.Dan sampai dengan detik ini
kondisinya demikian.Akhirnya budaya daerah termasuk Folklore menjadi menghilang
dari pemahaman dan pengetahuan generasi muda.Siapa sebenarnya yang bertugas
melestarikan budaya daerah.Tentu saja sangat tidak bijaksama apabila kita semata-mata
menyalahkan generasi muda atau pihak daerah setempat, tetapi Pemerintah juga harus
mengetahui kesalahannya. Tayangan televisi, media massa atau yang lain sudah banyak
yang melupakan atau bahkan hampir tidak pernah menyinggung tentang kekayaan
budaya daerah. Oleh sebab itu, sekali lagi Pemerintah dengan perpanjangantangannya
harus mulai melindungi kekayan budaya daerah dan selalu mengenalkan budaya tersebut
kepada generasi muda, salah satu nya adalah dengan memanfaatkan jalur pendidikan
formal sebagaimana penulis bahas di atas.
Peranan hukum internasional, baik perjanjian bilateral maupun multilateral, dalam
perkembangan hukum tentang perlindungan hak kekayaan intelektual tidak dapat
dipungkiri.Penegakan hukum tentang HAKI dirasakan semakin penting mengingat
perdagangan barang dan jasa tidak lepas dari aspek industrial property yang melekat
padanya.
Permasalahan HAKI erat hubungannya dengan dunia bisnis, pelaku bisnis dituntut
untuk melahirkan hasil karya dan kreasi yang memiliki nilai jual.Sehingga peningkatan
pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual di negara-negara sedang berkembang,
merupakan kendala perdagangan dan investasi bagi negara industri maju.
Indonesia telah berhasil merumuskan pengaturan-pengaturan hukum HAKI dalam
waktu yang singkat.Memberikan perlindungan atau mempertahankan kekayaan
tersebut.Baik diukur dari segi nilai moral maupun nilai komersial atau nilai ekonomis.
Indonesia telah menandatangani sejumlah konvensi atau persetujuan internasional
mengenai kekayaan intelektual.Konvensi-konvensi ini mengikat Indonesia.Hal ini berarti
Indonesia telah memberlakukan dan harus menyinkronkan hukum nasional tentang Hak
Cipta agar sesuai dengan konvensi-konvensi tersebut.
Terlebih lagi, Indonesia terlibat dalam ekonomi global di mana kekayaan
intelektual merupakan hal yang penting, di mana transaksi-transaksi yang menyangkut
kekayaan intelektual diatur oleh konvensi-konvensi internasional ini.
Ketika di satu pihak masalah Hak Cipta muncul berkaitan dengan masalah liberalisasi
ekonomi, sementara di pihak lain masalah kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia
masih dalam masa transisi industrial yang belum semuanya mengerti dan memahami
masalah Hak Cipta yang sebelumnya tidak dikenal. Masyarakat transisi industrial
digambarkan sebagai masyarakat yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat
agraris yang bercorak komunal-tradisional ke masyarakat industri yang bercorak
individu-modern. Perubahan itu berkaitan dengan struktur hubungan masyarakat yang
belum tuntas ke corak yang lebih rasional dan komersial sebagai akibat dari proses
pembangunan yang dilakukan.
SIPENDIKUM 2018
431
Dalam masyarakat semacam itu hukum yang mengatur juga mencerminkan masa
peralihan yang digambarkan sebagai wajah hukum yang berpijak pada dua kaki sedang
melangkah pada corak hukum moderen sementara kaki yang lain masih menapak pada
hukum tradisional. Demikian halnya dengan hukum yang mengatur masalah Hak Cipta,
meskipun secara normatif tidak banyak mengandung masalah untuk diberlakukan di
Indonesia, akan tetapi secara kultural akan banyak mengalami problem dalam
pelaksanaannya. Hal ini disebabkan oleh dasar filosofi yang melatarbelakangi masyarakat
hukum itu berbeda.Hak Cipta muncul di Negara-negara barat bersamaan dengan
munculnya masyarakat yang lebih mengedepankan kepentingan atau hak-hak individu
(private rights) dengan watak kapitalistik, sementara masyarakat Indonesia dengan corak
ketimuran lebih mengedepankan nilai-nilai kebersamaan (komunal). Hal ini berakibat
pada pemikiran bahwa jika mereka berkarya dan hasilnya bermanfaat bagi orang banyak,
mereka akan merasa bangga dan tidak begitu mempermasalahkan apabila ternyata orang
lain menirunya, bahkan merasa telah diuntungkan karena hasil karyanya telah
disebarluaskan dan dikenal oleh orang banyak.
Banyaknya jumlah ekspresi budaya tradisional yang tidak didaftarkan apabila
merujuk pada pendapat di atas menunjukkan masih terdapat sebagian masyarakat pemilik
karya budaya tradisional yang merasa senang apabila ciptaan warisannya itu ditiru,
diperbanyak atau dipertunjukkan oleh pihak lain kepada umum. Perbuatan seperti itu
tidak merugikan kepentingan mereka, akan tetapi anggapan lebih kepada sesuatu yang
menguntungkan, yaitu semakin memasyarakatkan ekspresi budaya tradisional mereka di
kalangan masyarakat. Mereka memandang bahwa Folklore tidak hanya semata-mata
bernilai materi belaka, akan tetapi mempunyai nilai sosial dan religius. Mereka meyakini
adanya nilai pahala yang dapat dipetik dari karya ciptanya. Ilmu yang dimiliki seseorang
apabila dipelajari, diamalkan seseorang kepada orang lain, maka yang memiliki ilmu
tersebut akan mendapatkan pahala dari sang Pencipta.
Budaya masyarakat tradisional di Indonesia pada umumnya tidak mengenal Hak
Cipta.Nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia tidak mengenal pemilikan individu
terhadap suatu Folklore dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni.Satu-satunya
sistem pemilikan yang melembaga dalam kehidupan masyarakat tradisional adalah
kepemilikan tanah.Namun kepemilikan itu sifatnya komunal, artinya dimiliki oleh
keluarga atau masyarakat hukum adatnya.Keadaan ini terlihat dari penghargaan atas
kreatifitas dan karya seni dalam masyarakat tradisional.
Sehingga dalam masyarakat tradisional suatu ekspresi budaya tradisional yang
telah diumumkan kepada masyarakat langsung menjadi milik umum (public
domain).Siapa saja boleh meniru dan mencontoh ciptaan tersebut dengan tidak
mempermasalahkan siapa penciptanya.Ciri khas masyarakat tradisional adalah kolektif
atau kebersamaan.Hak Cipta tidak memiliki akar budaya dalam masyarakat tradisional.
Nilai falsafah yang mendasari pemilikan individu terhadap suatu karya cipta manusia,
baik dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni adalah nilai budaya barat yang
menjelma dalam sistem hukumnya.
Atas dasar inilah maka perlindungan Hak Cipta terhadap ekspresi budaya
tradisional (Folklore)akan banyak mengalami hambatan, terutama hambatan yang
SIPENDIKUM 2018
432
bersifat kultural. Maka dalam rangka menerjang hambatan yang bersifat kultural tersebut
diperlukan sosialisasi dan pembudayaan Hak Cipta kepada masyarakat, dengan tujuan
pada akhirnya masyarakat dapat mengetahui, bersifat positif dan menghormati Hak Cipta.
Kesimpulan
Sebagai bagian dari Hak Cipta, perlindungan atas ekspresi budaya tradisional
diperoleh secara otomatis, maksudnya adalah ekspresi budaya tradisional dilindungi
secara langsung oleh hukum sejak pertama kali diumumkan. Tanpa harus melalui
pendaftaran, pada prinsipnya hak milik intelektual telah melekat pada
masyarakatnya.Perlindungan hak cipta terhadap ekspresi budaya tradisional di Indonesia
menurut hukum Internasional yang termaktub dalam Bern Convention maupun revisiya
adalah kebudayaan yang diturunkan secara turun temurun. Oleh karena itu telah menjadi
milik bersama bangsa Indonesia. Dan Indonesia telah mensinkronkan pengaturan tersebut
dalam hukum nasionalnya yang terdapat dalam pasal 38 dan 39 Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2014 tentang hak Cipta.
Kendala dalam perlindungan ekspresi budaya tradisional di Indonesia lebih
banyak disebabkan karena pemahaman kepemilikan ekspresi budaya tradisional
tradisional di Indonesia lebih kepada kepemilikan secara komunal. Maka dalam rangka
menerjang hambatan yang bersifat kultural tersebut diperlukan sosialisasi dan
pembudayaan Hak Cipta kepada masyarakat. Pergesekan antar bangsa atas pengakuan
kepemilikan ekspresi budaya tradisional banyak disebabkan oleh faktor
pengenyampingan hak moral dan prinsip first to use yang melekat pada ekspresi budaya
tradisional.
Hukum internasional termasuk di dalamnya hukum yang mengatur ketentuan
tentang hak cipta pada dasarnya adalah ajakan moral yang baik, sebagaimana yang
dikatakan oleh John Austin bahwa : The International law is not a real law, but just
positive morality. Dengan demikian sanksi bagi pelanggarnya dalam tataran penegakan
juga sulit, mengingat ini terkait dengan kesadaran moral suatu bangsa, misalnya
kesadaran untuk tidak melakukan klaim folklore Negara lain menjadi identitas folklore
Negara tersebut. Seharusnya badan internasional yang membidangi itu seperti WIPO
lebih teliti lagi dalam melakukan penelusuran sejarah dalam memberikan penilaian terkait
keaslian folklore.
Undang-Undang Nomor 28tahun 2014 adalah hukum nasional tentang hak cipta
yang durujuk dari ketentuan hukum internasional tentang hak cipta. Di dalam UUHC
tersebut telah diatur perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional (folklore). Upaya
pelestarian Folklore agar tidak punah ditelan waktu bisa dengan memanfaatkan jalur
pendidikan formal dengan memasukkan ekspresi budaya tradisional di masing-masing
daerah dalam kurikulum lokal, dengan demikian generasi muda sekarang dan yang akan
datang tidak hanya mendengar namanya namun juga mengenal dan mencintai budaya
warisan nenek moyang ini. Menyelamatlan budaya bangsa adalah benar tanggung jawab
Pemerintah, namun sangat tidak salah apabila masyarakat turut berperan dalam
melaksanakan program tersebut.
SIPENDIKUM 2018
433
Daftar Pustaka
Abdul R. Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori
dan Contoh Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006.
Ashok Kumar, Intellectual PropertyRights, Allied Publisher Limited, New Delhi, 1994
David I Bainbridge, Intellectual Property, Pitman Publishing, London, 1992
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Paten, dan Merek, Yrama Widya, Bandung, 2002
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT.Grasindo, Jakarta, 2000.
Suyud Margono dan amir Angkasa, Komersialisasi Asset Intelektual, Aspek Hukum
Bisnis, PT.Gramedia, Jakarta, 2002.
-------------------, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, CV.Novindo Pustaka Mandiri,
Jakarta, 2003.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT. RajaGrafindo
Persada,2001.
Moh. Natsir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta,1999.
Maryadi, Transformasi Budaya, Cetakan Pertama, MuhammadiyahUniversity Press, Surakarta, 2002.
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003.
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia, PT. Alumni Bandung, 2003.
Sentosa Sembiring, Prosedur dan Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual di
Bidang Hak Cipta, CV. Yrama widya, Bandung, 2002.
Syafrinaldi, Hukum, Hak Milik Intelektual dan Pembangunan, UIR Press, Pekanbaru,
2002.
------------, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era
Globalisasi, UIR Press, Pekanbaru, 2003.
Tamotsu Hozumi, Asian Copyright Handbook (Buku Panduan Hak Cipta), Asia Pasific
Kultural Center for UNESCO & IKAPI, Jakarta, 2006.
W.r. Cornish, Intellectual Property : Patents,Copyright, Trade Marks, and Allied Rights,
Sweet & Maxwell, London, 1989.
Jurnal
Ade Maman suherman, Pengakuan Hukum Atas Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia,
Jurnal Hukum Bisnis, Vol.23., Nomor 1, 2004
M..syamsuddin, Nilai-Nilai karya Cipta dan Problematikanya, Jurnal Hukum UII ,
Nomor 16, Vol.8, 2001.
Syafrinaldi, Hak Milik Intelektual, Sejarah dan Pelaksanaannya di Indonesia Mahkamah
UIR, edisi Oktober, Vol.15, Nomor 2, 2003.
SIPENDIKUM 2018
434
Peraturan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Revisi Bern Convention 1971
Internet
http://www.kompas.com/Budaya-Folklore Alat Pemersatu Bangsa
http: //groups.google co.id/Perlindungan Hak Cipta atas karya tradisional
http://www.republika.com/Krisis Percaya Diri Landa Malaysia
http://id.wikipedia.org/wiki/Reyog
http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Hak_Kekayaan _Intelektual_Dunia
http://www.ramelan.com/Ekspresi Kebudayaan dalam Globalisasi
http://haki.depperin.gi.id/advokasi-hukum/Perlindungan HAKI Tradisional Indonesia
Dalam Perdagangan Dunia
http://dansur.blogster.com/ Sejarah danPerkembangan Hak kekayaan Intelektual
Indonesia
http://www.korantempo.com/Melindungi Kekayaan Kultural bangsa
http://yusranandpartner.wordpress.com/Hak Cipta, Korupsi, dan Martabat Bangsa
http://haki.depperin.go.id/advokasi-Hukum Perlindungan HAKI Tradisional Indonesia
Dalam Perdagangan Dunia