45
BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar 1.1.1 Embriologi hepar Hati, duktus bilier dan pankreas mempunyai hubungan yang erat. Secara embriologi, struktur-struktur ini berasal dari struktur embriologi yang sama. Kelainan pada struktur embriologi ini bisa menyebabkan gangguan pada kehidupan di kemudian hari.(3) Gambar: Embriologi hepar (3) 1.1.2 Anatomi Hati 1

sirhosis hati

Embed Size (px)

Citation preview

BAB ITINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar1.1.1 Embriologi heparHati, duktus bilier dan pankreas mempunyai hubungan yang erat. Secara embriologi, struktur-struktur ini berasal dari struktur embriologi yang sama. Kelainan pada struktur embriologi ini bisa menyebabkan gangguan pada kehidupan di kemudian hari.(3)

Gambar: Embriologi hepar (3)

1.1.2 Anatomi HatiHati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks (Gambar 2). Batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke igaVIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari sistem porta yang mengandung arteri hepatika, vena porta dan duktus koledokus. Sistem porta terletak di depan vena kava dan di balik kandung empedu. Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Pada daerah antara ligamentum falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan kadang-kadang dapat ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang disebut sebagai lobus kaudatus yang biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan ligamentum venosum pada permukaan posterior. Hati terbagi dalam 8 segmen dengan fungsi yang berbeda. Pada dasamya, garis Cantlie yang terdapat mulai dari vena kava sampai kandung empedu telah membagi hati menjadi 2 lobus fungsional, dan dengan adanya daerah dengan vaskularisasi relatif sedikit, kadang-kadang dijadikan batas reseksi. Pembagian lebih lanjut menjadi 8 segmen didasarkan pada aliran cabang pembuluh darah dan saluran empedu yang dimiliki oleh masing-masing segmen. (3)

Gambar: segmen fungsional hati (3)

Vena porta HepatisVena yang penting ini mengalirkan darah dari bagian abdomen tractus gastrointestinalis mulai dari sepertiga bagian bawah esophagus sampai setengah bagian atas canalis analis. Vena pota hepatis juga mengalirkan darah dari lien, pancreas, dan vesica biliaris. Vena porta hepatis masuk ke hepar dan bercabang-cabang membentuk sinusoid, tempat darah kemudian masuk ke vena hepatica propia, yang akan bermuara ke vena cava inferior. Panjang vena porta hepatis sekitar 5cm (2 inci) dan dibentuk dibelakang collum pankreatis oleh gabungan vena mesentrika superior dan vena lienalis. Pembuluh ini berjalan ke atas dan kanan, di belakang pars superior duodenum dan masuk ke dalam omentum minus. Kemudin vena porta berjalan ke atas di depn foramen epiploikum menuju ke porta hepatis tempat vena ini bercabang dua menjadi ramus dextra dan sinistra. Sirkulasi porta mulai sebagai pleksus kapiler di dalam organ-organ yang darahnya dialirkan keluar dan berakhir dengan bermuara ke dalam sinusoid hepatis. (1)Anastomosis porta-sistemikDalam keadaan normal, darah di dalam vena porta hepatis melewati hati dan masuk ke dalam vena cava inferior, yang merupakan vena sistemik melalui vena hepatica. Rute ini merupakan jalan langsung. Akan tetapi, selain itu terdapat hubungan yang lebih kecil diantara system port dan system sistemik, dan hubungan ini menjadi penting bila hubungan langsung terhambat.(1)Hubungan-hubungan tersebut sebagai berikut:1. Pda sepertiga bawah esophagus, rami esofagea vena gastrica sinistra (cabang porta) beranastomosis dengan vena esofageales yang mengalirkan darah dari sepertiga tengah esophagus ke vena asygos (cabang sistemik).2. Pada pertengahan atas canalis analis, vena rectalis superior (cabang porta) yang mengalirkan darah dari setengah bagian atas canalis analis dan beranastomosis dengan vena rectalis media dan vena rectalis inferior (cabang sistemik), yang masing-masing merupakan cabang vena iliaca interna dan vena pudenda interna.3. Vena paraumbilicalis menghubungkan ramus sinistra vena porta hepatis dengan vena superficial dinding anterior abdomen (cabang sistemik) venae paraumbilicalis berjalan di dalam ligamentum falciforme dan ligamentum teres hepatis.4. Vena-vena colon ascendens, colon descendens, duodenum, pancreas, dan hepar (cabang portal) beranastomosis dengan vena renalis, vena lumbalis, dan vena phrenicae (cabang sistemik). (1)

Gambar: hubungan vena Porta dengan vena-vena sekitarnya

1.1.3 Fisiologi HatiHati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Sirkulasi vena porta yang menyuplai 7 5% dari suplai asinus memegang peranan penting dalam fisisiologi hati, terutama dalam hal metabolisme karbohidrat, protein dan asam lemak. Telah dibuktikan bahwa pada zona-zona hepatosit yang memperoleh oksigenasi yang lebih baik (zona l) mempunyai kemampuan glukoneogenesis dan sintesis glutation yang lebih baik. (3)Fungsi utama hati adalah pembentukan dan ekresi empedu. Hati mengekskresikan empedu sebanyak satu liter perhari ke dalam usus halus. Unsur utama empeduadalah air (97%), elektrolit, garam empedu. Walaupun bilirubin (pigmen empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisisiologis tidak mempunyai peran aktif, tapi penting sebagai indikator penyakit hati dan saluran empedu, karena bilirubin dapat memberi warna pada jaringan dan cairan yang berhubungan dengannya. (3,4)Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan disimpan di hati (glikogenesis). Dari depot glikogen ini disuplai glulosa secara konstan ke darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan untuk menghasilkan tenaga dan sisanya diubah menjadi glikogen (yang disimpan dalam otot) atau lemak (yang disimpandalam jaringan subkutan).(2,3,4)Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah menghasilkan protein plasma berupa albumin (yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotic koloid), protrombin, fibrinogen, dan fakfor pembekuan lainnya.(2,3,4)Fungsi hati dalam metabolisme-lemak adalah menghasilkan lipoprotein. Kolesterol, fosfolioid dan asam-asetoasetat.(2,3,4)Fungsi lmunologiHati merupakan komponen sentral sistem imun. Sel Kupfer, yang meliputi l5% dari massa hati serta 80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit. (2,3)

Table: Fungsi Hati (3)1.2 SirhosisSirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati. (3)Sirosis adalah entitas patologis yangbberkaitan dengan suatu spectrum manifestasi klinis yang khas. Gambaran patologik utama mencerminkan cedera parenkim hati yang kronik dan irreversible yaitu fibrosis disertai pembentukan nodulus-nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoseluler, kolapsnya jaringan penunjang retikulin disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vascular, dan regenerasi nodularis parenkim hati sisanya. Gammbaran klinis sirosis timbul akibat perubahan morfologik hati dan sering lebih mencerminkan keparahan kerusakan hati daripada etiologi penyakit hati yang mendasari. Hilangnya massa hepatoseluler yang masih berfungsi dapat menyebabkan icterus, edema, koagulopati, dan berbagai kelainan metabolic; fibrosis dan gangguan vaskuler menimbulkan hipertensi portal dan sekuelnya, termasuk varises gastroesophagus dan splenomegali. Asites dan ensefalopati heptik terjadi akibat insufisiensi hepatoseluler dan hipertensi portal.(4) Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.(3)

1.2.1 Klasifikasi Dan EtiologiSirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul lebih dari 3 mm) atau mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm) atau campuran mikro dan makronodular. Selain itu juga diklasifikasikan berdasarkan etiologi, fungsional namun hal ini juga kurang memuaskan. (3)Klasifikasi berbagai jenis sirosis berdasarkan etiologi dan morfologi tidaklah memuaskan. Suatu pola patologik dapat disebabkan berbagai cedera., sedangkan cedera yang sama dapat menyebabkan beberapa pol morfologik. Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi: l). alkoholik, 2) kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrosis), 3) biliaris, 4) kardiak, dan 5) metabolik, keturunan, dan terkait obat. (3,4)Etiologi dari sirosis hati disajikan dalam Tabel 1. Di negara barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan l0-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (non B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.(3)

1.2.2 EpidemiologiLebih dari 40 % pasien sirosis asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi. Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis nonalkoholik (NASH, prevalensi 4%) dan berakhir dengan sirosis hati dengan prevalensi 0,3 %. (3)Prevalensi sirosis hati akibat steatohepatitis alkoholik dilaporkan 0,3 % juga. Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1 % dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004) ( tidak dipublikasi). Di Medan dalam kurun wakhr 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4 %) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.(3)

1.2.3 Patologi Dan PatogenesisSirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh pernbentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis miklonodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi hati utama akibat induksi alkohol adalah 1). Perlemakan hati alkoholik, 2). Hepatitis alkoholik, dan 3). Sirosis alkoholik.(3,4)

Table: sebab sirosis dan/atau penyakit hati kronik (3)

Perlemakan Hati Alkoholik Pada perlemakan hati alkoholik tampak hati membesar, berwarna kuning, berlemak, dan padat. Hepatosit teregang oleh vakuola lemak berbentuk makrovesikel dalam sitoplasma yang mendorong inti hepatosit ke membrane sel. Penumpukan lemak dalam hati seorang alkoholik terjadi akibat gangguan oksidasi lemak, peningkatan dan esterifikasi asam lemak untuk membentuk trigliserida, dan menurunnya biosintesis dan sekresi lipoprotein. (4)Kebiasaan minum alcohol akan menyebabkan steatosis atau perlemakan hati, hepatosit teregang oleh vakuola lunak dalam sitoplasma berbentuk makrovesikel yang mendorong inti hepatosit ke membran sel. (3)

Hepatitis AlkoholikFibrosis perivenular berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat masukan alkohol dan destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat berkontraksi di tempat cedera dan merangsang pembentukan kolagen. Di daerah periportal dan perisentral timbul septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat halus ini mengelilingi massa kecil sel hati yang masih ada yang kemudian mengalami regenerasi dan membentuk nodulus. Namun demikian kerusakan sel yang terjadi melebihi perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil, berbenjol-benjol (nodular) menjadi keras, terbentuk sirosis alkoholik.(3)Pada hepatitis alkoholik ditemukan gambaran morfologik seperti degenerasi dan nekrosis hepatosit, sering ditemukan pembentukan sel balon, dan sebukan limfosit dan leukosit polimorfonukleus. Sel polimirfonukleus mengelilingi hepatosit yang rusak yang mengandung badan Mallory, atau Hialin alkoholik. Badan ini adalah kimpilan bahan yang sangat oesinofilik di perinukleus dan dianggap merupakan agreggat filament intermedia. Adanya badan Mallory sangat brarti diagnostic tetapi tidak spesifik untuk hepatitis alkohollik. Penumpukan kolagen di sekitar vena sentralis dan perisinusoid, yang sering disebut sebagai sclerosis hialin sentralis, dpat meninngkatkan perkembangan menjadi sirosis. (4)Mekanisme cedera hati alkoholik masih belum pasti. Diperkirakan mekanismenya sebagai berikut: 1). Hipoksia sentrilobular, metabolisme asetaldehid etanol meningkatkan konsumsi oksigen lobular, terjadi hipoksemia relative dan cedera sel di daerah yang jauh dari aliran darah yang teroksigenasi (misal daerah perisentral); 2). Infiltrasi/aktivitas neutrofil, terjadi pelepasan chemoattractants neutrofil oleh hepatosit yang memetabolisme etanol. Cedera jaringan dapat terjadi dari neutrofil dan hepatosit yang melepaskan intermediet oksigen reaktif, proteasa, dan sitokin; 3). Formasi acetal-dehyde-protein adducts berperan sebagai neoantigen, dan menghasilkan limfosit yang tersensitisasi serta antibody spesifik yang menyerang hepatosit pembawa antigen ini; 4). Pembentukan radikal bebas oleh jalur alternatif dari metabolisme etanol, disebut sistem yang mengoksidasi enzim mikrosomal.(3)Patogenesis fibrosis alkoholik meliputi banyak sitokin, antara lain faktor nekrosis tumor, interleukin-I, PDGF, dan TGF-beta. Asetaldehid kemungkinan mengaktifasi sel stelata tetapi bukan suatu faktor patogenik utama pada fibrosis alkoholik.(3)

Sirosis Hati Pasca NekrosisGambaran patologi hati biasanya mengkerut, berbentuk tidak teratur, dan terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan lebar. Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran makroskopik. Ukuran nodulus sangat bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkim regenerasi yang susunannya tidak teratur. (3,4)Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya peranan sel stelata (stellate cell). Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan proses degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar factor tertentu yang berlangsung secara terus menerus (misal:hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal akan diganti oleh jaringan ikat.(3)

1.2.4 Manifestasi Klinis1.2.4.1 Gejala-gejala SirosisStadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala- gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwama seperti the pekat, muntah darah dan/ atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.(3)Gejala klinis sirhosis kadang juga bias tenang atau asimptomatis.; pada kenyataannya, 10% kasus ditemukan secara tidak sengaja pada saat laparatomi atao otopsi. Anoreksia dan malnutrisi menimbulkan penurunan berat badan dan berkurangnya masssa otot rangka. Pasien mungkin mudah mengalami memar, merasa makin lemah, sering merasa lelah. Akhirnya timbul manifestasi disfungsi hepatoseluler dan hipertensi portal, yaitu icterus progresif, perdarahan akibat perdarahan varises gastroesovagus, asites dan ensefalopati.(4)1.2.4.2 Temuan KlinisTemuan klinis sirosis meliputi, spider angio maspiderangiomata (atau spider telangiektasi), suatu lesi vascular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang sehat, walau umumnya ukuran lesi kecil.(3)Eritema palmaris, wama merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.(3,4,5)Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horisontal dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik. Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier. Osteoartropati hipertrofi suatu periostitis proliferative kronik, menimbulkan nyeri. (3,4)Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes melitus, distrofi refleks simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.(3,4)Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira fase menopause.(3,4,5)Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.(3,4,5)Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular. (3,4)Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.(3,4,5)Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. (3,4)Fetor hepatikum, bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfidakibat pintasan porto sistemik yang berat.(3)Ikterus pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentoasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.(3)Asterixis-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari taflgan, dorsofleksi tangan.(3)Tanda-tanda lain yang menyertai di antaranya: Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar. Batu pada vesika felea akibat hemolysis Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pancreas.(3)1.2.4.3 Gambaran LaboratorisAdanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin, dan waktu protrombin. (3)Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT) dan alanin aminotransferase (AIT) atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis. (3)Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer.(3)Gamma-glutarnil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT microsomal hepatik, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit. (3)Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hatkompensata, tapi bisa meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis.(3)Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan, antigen bakteri dari system porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi imunoglobulin.(3)Waktu protrombin mencerminkan derajat tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis memanjang. Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.(3,4)Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bias bermacam-macam, anemia normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia dengan trombositopenia, lekopenia, dan netropenia akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.(3,4)Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi adanya hipertensi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan, namun sensitivitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang bisa dinilai dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan irregular, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga bisa untuk melihat asites, splenomegali, trombosis vena porta dan pelebaran vena porta, serta skrining adanya karsinoma hati pada paslen sirosis.(3)Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG tidak rutin digunakan karena biayanya relatif mahal.(3)Magnetic resonance imaging, peranannya tidak jelas dalam mendiagnosis sirosis selain mahal biayanya.(3)1.2.4.4 DiagnosisPada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bias ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisis, laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini.(3)Pada stadium dekompensata diagnosis kadang kala tidak sulit karena gejala dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.(3)1.2.4.5 KomplikasiMorbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya. Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nveri abdomen. (3)Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan pemrrunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus.(3)Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. 20- 40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan beberapa cara.(3)Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal. (3)1.2.4.6 Penatalaksanaan UmumEtiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang mengandung protein lg/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari. (3,4,5)Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bias menghambat kolagenik.(3)Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif. Pada hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.(3)Pada penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis.(3)Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamifudin (analog Nukleosi) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun temyata juga banyak yang kambuh.(3)Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.(3)Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifrbrotik pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai anti fibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam penelitian.(3)Pada pasien sirosis, semua obat harus diberikan secara hati-hati, terutama obat-obat yang dikeluarkan atau dimodifikasi melalui metabolism hati atau jalur empedu.. harus dihindari pemakaian obat berlebihan yang dapat secara lagsung atau tidak langsung mencetuskan komplikasi sirosis. Misalnya, pengobtan asites yang berlebihan dengan diuretic dapat menimbulkan gangguan elektrolit atau hipovolemi, yang dapat menimbulkan koma. Demikian juga sedtiva dosis rendah dapat memperparah ensefalopati. (4)1.2.4.7 Pengobatan Sirosis Dekompensataa) Asites tirah baring dan diawali diet rendah gararn, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian fiuosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.(3,4)b) Ensefalopati hepatik; laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.(3,4)c) Varises esophagus; sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta (propranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.(3,4)d) Peritonitis bakterial spontan; diberikan antibiotika seperti sefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida. (3,4)e) Sindrom hepatorenal; mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan elerolit. Terapi biasanya kurang memberikan hasil yang memuaskan. walaupun sebagian pasien yang mengalami hipotensi dan penurunan volume plasma mungkin berespon terhadap infus albumin rendah garam, penambahan volume harus dilakukan hati-hati untuk mencegah timbulnya perdarahan varises. (3,4)f) Transplantasi hati; terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata" Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.(3,4)1.2.4.8 PrognosisPrognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.(3,5)Klasifikasi Child-Pugh (Tabet 2), juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari Child A, B, dan C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C berturut-turut 100, 80,dan 45 %.(3,5)Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease (MELD) digunakan untuk pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati. (3)

Table: klasifikasi Child pasien sirosisi

1.2.5. Perdarahan Varises 1.2.5.1 PatogenesisWalaupun dapat terjadi dari semua vena portal sistemik, perdarahan paling sering berasal dari taut gastroesofagus. Factor yang membantu perdarahan dari tautan gsatroesofagus tidak seluruhnya dipahami tetapi antara lain mencakup derajat hipertensi portal ukuran varises. Esophagitis disertai erosi varises di bwahnya tampak tidak berperan penting.(3)1.2.5.2 Gambaran Klinis Dan DiagnosisPerdarahan varises sering terjadi tanpa factor presipitasi yang jelas dan biasanya muncul sebagai hematenesis masif yang tidak nyeri dengan atau tanpa melena. Tanda yang menyertai bervariasi dari takikardi postural ringan sampai syok berat, bergantng pada jumlah darah yang keluar dan derajat hipovolemi. Karena pasien dengan varises dapat berdarah dari lesi gastrointestinal lain (misalnya ulkus peptikun, gastritis), sumber perdarahan lain perlu disinngkirkan bahkan pada pasien yang pernah mengaalami perdarahan varises. Endoskopi serat optik merupakan tindakan pilihan untuk mengevaluasi perdarahan gastrointestinalis bagian atas pada pasien yang diketahui atau yang dicurigai menderita hipertensi porta.(4)

1.2.5.3 PenatalaksanaanPerdarahan varises merupakan kegawatan yang mengancam nyawa. Perlu dilakukan perkiraan yang cepat dan pergantian atas darah yang keluar untuk mempertahankan volume intra vascular, mendahului pemeriksaan diagnostic dan atau tindakan yang lebih spesisfik lainnya. Penggantian factor pembekuan dengan plasma beku segar penting bagi pasien yang mengaalami koagulopati. Pasien sebaiknya dirawat di unit perawatan intensif dan sering memerlukan pemantauan cermat atas tekanan vena sentralis atau tekanan wedge kapiler paru, curah urin, dan status mental. Baru setelah hemodinamika pasien stabil perhatian diarahkan kepada kajian diagnostic spesifik (terutama endoskopi) dn modalitas terapeutik lain untuk mencegah perdarahan lebih lanjut atau rekuren.(4)Sekitar separuh dari semua pedarahan varises berhenti tanpa intervensi, walaupun resiko perdarahan ulang sangat tinggi. Penatalaksanaan medis perdarahan varises akut mencakup pemberiana vasokonstriktor (vasopressin atau somatostatin), temponade balon, dan sclerosis endoskopik varises (skleroterapi) atau ligasi endoskopi varises dan penghambat beta adrenergik. Infu intravena vasopressin dengan kecepatan 0,1-0,5 unit permenit menyebabkan vasokonstriksi generalisata yang memperkecil aliran darah di system vena porta. Infus intravena vasopressin diperlihatkan sama efektifnya dengan pemberian intra arteri selektif. Perdarahan dapat dikontrol pada sekitar 80% kasus, tetapi perdarahan dapat kembali terjadi pada lebih dari separuh kasus setelah vasopressin diturunkan atau dihentikan. Selain itu, jumlah efek samping serius lain, termasuk iskemia jantung saluran intestinal, gagal jantung akut, dan hiponatremia, mungkin berkaitan dengan terapi vasopressin. Tampaknya terapi venadilator yang diberikan bersamaan sebagai nitrogliserin sebagai infus intravena atau isosorbid dinitrat sublingual dapat meningkatkan efektivitas vasopressin dan mengurangi komplikasi. (4) Somatostatin juga merupakan vasokonstriktor splanknik langsung. Pada beberapa penelitian mengenai peptide ini, pemberian dosis bolus awal 250miogram diikuti dengan infus konstan (250 mikrogram/jam) memperlihatkan hasil yang sama efektifnya dengan vasopressin. Bila perdarahan terlalu hebat dan tidk tersedia endoskopi, dapat dilakukan temponade balon atas perdarahan varises dengan selang tiga lumen (sengstaken Blakemore) atau empat-lumen (Minnesota) dengan balon esophagus dan lambung. Karena tingginya resiko aspirasi, harus dilakukan intubasin endotrakeal sebelum dilakukan usaha pemasangan salah satu selang tersebut. Setelanh selang dimasukan ke dalam lambung, balon lambung dikembangkan ddan ditarik menuju kardiak lambung. Bila perdarahan tidak berhenti, balon esophagus dikembangkan sebagai temponade tambahan. Kompliksi sering ditemukan pada 15% atau lebih pasien, dan mencakup pneumonitis aspirasi serta rupture esophagus.(4)Bila tersedia, harus dilakukan intervensi endoskopik sebagai terapi pilihan untuk mengontrol perdarahan akut. Pada tindakan ini, varises disuntik dengan satu atau beberapa obat klerosan (mis, natrium moruat) melalui keteter berujung jarum yang dilewatkan melalui endoskopi. Setelah identifikasi endoskopik bahwa varises sebagai penyebab perdarahan, skleroterapi ini mengontrol perdarahan akut pada sampai sekitar 90% kasus. Selain itu, skleroterapi berulang dapat dilakukan sampai tercapai obliterasi semua varises untuk mencegah perdarahan berulang. Kadang-kadang terjadi ulkus mukosa akibat penyuntikan sklerosan kaustik dan hal ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut atau stenosis. Teknik yang lebih baru, ligase endoskopik varises, telah terbikti sama efektif dalam menghentikan perdarahan dengan lebih sedikit komplikasi. Pada teknik ini, varises diikat dengan cincin elastic kecil berbentuk O yang ditaruh secar endoskopik. Sklerosis profilaksis atas varises esophagus tanpa perdarahan tidak diindikasikan.(4)Efektifitas obat penghambat beta_adrenergik (mis, Propanolol) dalam penatalaksanaan perdarahan varises akut terbatas karena adanya hipotensi akibat hipovolemia. Namun, sejumlah penelitian meengisyaratkan bahwa obat ini mungkin dapat mengurangi resiko prdarahan saluran pencernaan makanan bagian atas berulang pada pasien hipertensi portal. Selain itu, terapi profilaksis dengan propnolol atau nadolol pada passien dengan varises yang besar yang belum pernah berdarah mungkin menurunkan insiden perdarahan dan memperpanjang kesintasan. Pasien hipertensi portal tanpa kontraindikasi spesifik harus diberikan propranolol dengan dosis yang dapat menurunkan kecepatan denyut jantung istirahat sebesar 25%. Propanolol juga dapat mencegah perdarahan berulang dari gastropati hipertensi portal yang parah pada pasien sirhosis.(4)Terapi bedah untuk hipertensi portal dan perdarahan varises mencakup pembuatan pintas portal-sistemik untuk memungkinkan dekompensasi system portal. Telah digunakan dua jenis pintasan sistemik: pintasan nonselektif untuk menimbulkan dekompresi seluruh system portl dsn pintsd selektif yang ditujukn untuk menimbulkan dekompresi hanya pada varises sambil mempertahankan aliran darah ke hati itu sendiri. Pintas ninselektif terdiri dari anastomosi splenorenal proksimal dan porta cava ujung-ke-sisi atau sisi-ke-sisi; pintas selektif terdiri dari pintas splenorenal distal. Pintas nonselektif lebih cenderung menimbulkan komplikasi encefalopati daripada pintas selektif. Bedah pintas profilaktif jangan dilakukan pada pasien varises yang tidak mengalami perdarahan.(4)Baru-baru ini ditemukan teknik untuk membuat pinta porta-sistemik melalui kulit. Dalam teknik ini, yng disebut transjungular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS), stent logam dimasukan menuju vena hepatica dengan bimbingan angiografi lalu melintasi substansi hati untuk membentuk saluran portocava langsung. Walaupun masih diperlukan uji terkontrol, teknik ini mungkin terbukti sebagai alternative bagi pembedahan untuk perdarahan refrakter akibat hipertensi portal.(4)

1.3 Perdarahan Saluran Cerna Bagian AtasPerdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk keperluan klinik dibedakan perdarahan varises esofagus dan non-varises, karena antara keduanya terdapat ketidaksamaan dalam pengelolaan dan prognosisnya. Manifestasi klinik perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) bisa beragam tergantung lama, kecepatan, banyak sedikitnya darah yang hilang, dan apakah perdarahan berlangsung terus menerus atau tidak. Kemungkinan pasien datang dengan' l). anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang berlangsung lama,2). hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa gangguan hemodinamik; derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan pasien.(3)Penyebab perdarahan SCBA yang sering dilaporkan adalah pecahnya varises esofagus, gashitis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindroma Mallory-Weiss, dan keganasan. Perbedaan di antara laporan-laporan penyebab perdarahan SCBA terletak pada urutan penyebab tersebut.(3)Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang. Konsensus Nasional PGI-PEGI-PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan awal dan resusitasi.(3)Pada kasus perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada setiap lini pelayanan kesehatan masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi. Adapun langkah-langkah praktis pengelolaan perdarahan SCBA adalah sebagai berikut: l). pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik; 2). resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik; 3). melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang diperlukan; 4). Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau "bagian bawah; 5). menegakkan diagnosis pasti penyebab pedarahan; 6). terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab perdarahan, mencegah perdarahan ulang.(3)Tegaknya diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan langkah terapi yang diambil.(3)

1.3.1 Pemeriksaan AwalLangkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Pemeriksaannya meliputi : 1). tekanan darah dan nadi posisi baring, 2). perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi, 3). Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin), 4). Kelayakan napas, 5). tingkat kesadaran, 6). produksi urin.(3)Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi2Dohvol-ume intravaskular akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda-tanda sebagai berikut : 1). hipotensi (< 90/60 mm Hg atau MAP < 70mmHg) dengan frekuensi nadi > 1OO/menit; 2). Tekanan diastolik ortostatik turun > l0 mm Hg atau sistolik turun > 20 mm Hg; 3). frekuensi nadi ortostatik meningkat > l5l menit; 4). akral dingin; 5). kesadaran memrun; 6). Anuria atau oliguria (produksi urin < 30 ml/jam).(3)Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan : 1). hematemesis, 2). hematokesia (berak darah segar); 3). darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik dandengan lavase tidak segerajernih, 4). hipotensi persisten, 5). dalan24 jammenghabiskan tranfusi darah melebihi 800-1000ml.(3)

1.3.2 Pemeriksaan Lanjutan.Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilitas hemodinamik lengkapi anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang diperlukan.Dalam anamnesis yang perlu ditekankan : l). Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar, 2). Riwayat perdarahan sebelumnya, 3). Riwayat perdarahan dalam keluarga, 4).Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain, 5). Penggunaan obat-obatan terutama anti inflammasi non-steroid dan antkoagulan, 6). Kebiasaan minum alkohol, 7). Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi, alergi ob at-obatart, 8). Riwayat transfuse sebelumnya.(3)Pemeriksaan fisis yang perlu diperhatikan : l).Stigmata penyakit hati kronik, 2). Suhu badan dan perdarahan di tempat lain, 3). Tanda-tanda kulit dan mukosa penyakit sistematik yang bisa disertai perdarahan saluran makanan, misalnya pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jegher.(3)Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan :1). Elektro kardiogram; terutama pasien berusia > 40 tahun, 2).BUN, kreatinin serum; pada perdarahan SCBA pemecahan darah oleh kuman usus akan mengakibatkan kenaikan BUN, sedangkan kreatinin serum tetap normal atau sedikit meningkat, 3). Elektrolit (Na, K Cl); perubahan elektrolit bisa terjadi karena perdarahan, transfusi, atau kumbah lambung, 4). Pemeriksaan lainnya tergantung macam kasus yang dihadapi.(3)

Table perbedaan perdarahan SCBA dan SCBB. (3)

1.3.3 Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas1.3.3.1 Non EndoskopiSalah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah kumbah lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Kumbah lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskoopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan. Berdasar percobaan hewan, kumbah lambung dengan air es kurang menguntungkan, waktu perdarahan jadi memanjang, perfusi dinding lambung menurun, dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.(3)Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian tersebut tidak merugikan dan relatif murah.(3)Vasopressin dapat menghentikan perdarahan SCBA lewat efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises esofagus sejak tahun 1953. Pemah dicobakan pada perdarahan nonvarises, namun berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yalrg mengandung vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang mengandung vasopressin dan oxcytocir. Pemberian vasopressindilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50unit dalam 100 ml dekstrose 5o%, diberikan 0.5 - 1 mg/menit/iv selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3-6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0,1-0.5 U/menit. Vasopressin dapat menimbulkan efek samping serius berupa insufiensi koroner mendadak, oleh karena itu pemberiannya disarankan bersamaan preparat nitrat,misalnya nitrogliserin intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanansistolik di atas 90 mmHg.(3)Somatostatin dan analognya (octreotide) diketahui dapat menurunkan aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif diban ding v asopressin. Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises esofagus dirnulai sekitar tahun 1978. Somastostatin dapat menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 70-80% kasus, dan dapat pula digunakan pada pada perdarahan nonvarises Dosis pemberian somastatin, diawali dengan bolus 250 mcgliv, dilanjutkan per infus 250 mcgljam selama 12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti; oktreotide dosis bolus 100mcg/iv dilanjutkan per infus 25 mcgljam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti.(3)Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik ialah inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazol hanya 4,2%o. Suntikan omeprazole yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus ialah persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis sama seperti omeprazol. Pada perdarahan SCBA ini antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan unflrk tujuan penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik kurang bermanfaat.(3)Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esofagus dimulai sekitar tahun 1950, paling populer adalah Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube) yang mempunyai tiga pipa serta dua balon masing-masing untuk esofagus dan lambung. Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah pnemoni aspirasi, laserasi sampai perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang berpengalaman dan ditindaklanjuti dengan observasi yang ketat.(3)1.3.3.2 Penatalaksanaan EndoskopiTerapi endoskopi ditujukan padaperdarahan tukak yang masih aktif atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi: l). Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe) 2). Noncontact thermal (laser) 3). Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol, cy ano acrylat e, atau pemakaian klip).(3,6)Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila dilakukan ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan SCBA, sedangkan 10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan arterial yang bias berhenti spontan hany a 3l%.Terapi endoskopi yang relative mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1 : 10000 sebanyak 0,5-l mltiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi I ml. Penyuntikan bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau polidokanol umumnya tidak dianjurkan karena bahayatimbulnya tukak dan perforasi akibat nekrosis jaringan di lokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa mencapai di atas 95%o dan tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-20%.(3,6)Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena varises esofagus. Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan varises esofagus. Dengan ligasi varises dapat dihindari efek samping akibat pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi teradinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 1 - 2cm. Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau bila ditemukat tandabaru mengalami perdarahan seperti bekuan darah yang melekat, bilur-bilur merah, noda hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi endoskopik sebagai alternatif bila ligasi endoskopik sulit dilalalkan karena perdarahan yang masif, terus berlangsung, atau teknik tidak memungkinkan. Sklerosan yang bias digunakan antara lain campuran sama banyak polidokanol 3%, NaCl O,9o/o, dan alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati kardia dilanjutkan ke proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5cm. Pada perdarahan varises lambung dilirkukan penytrntikan cyanoacrylate, skleroterapi untuk varises lambung hasilnya kurang baik.(3,4,6)1.3.3.3 Terapi RadiologiTerapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt).(3,6)1.3.3.4 Terapi PembedahanPembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan.(3,6)

Gambar : algoritma penanganan perdarahan saluran cerna atas di RS tipe D. (6)

BAB IILAPORAN KASUS

IDENTITASNama: Tn. BambangUmur: 52 TahunAlamat: jln. Nogosari, Nampes- Pandaan- PasuruanStatus: MenikahAgama: IslamPekerjaan: swasta Pendidikan : SLTASuku: JawaMRS: 28/2/2013KRS: 6/3/2013No. Reg: 17-75-27

AnamnesaKU: Nyeri PerutRPS : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sekitar 2 bulan ini, nyeri hilang muncul, semakin memberat 2 hari terakhir. Nyeri terasa seperti diremas-remas. Nyeri juga dirasakan di seluruh pinggang sekitar 2 bulan. Nyeri semakin terasa saat pasien batuk, bersin, atau tertawa. Saat nyeri muncul, pasien merasa sesak dan mual. BAB terakhir kemarin, satu hari ini pasien belum BAB. 7 hari sebelum masuk RS pasien mengeluh BAB cair sekitar 2-3 kali/hari, kadang berwarna hitam. BAK lancar, warna seperti teh. Pasien mengeluh batuk sekitar 2 minggu, munculnya kadang-kadang, dan tidak berdahak. Pesien mengeluh ada penurunan berat badan 2 bulan terakhir sekitar 4-5 kg, nafsu makan agak menurun. RPD: Tidak ada riwayat minum jamu-jamuan. Riwayat HT dan DM disangkal. Riwayat merokok sejak SD, sekitar satu pak sehari, baru berhenti sekitar 2 bulan terakhir. Pasien memiliki riwayat sering meminum minuman beralkohol sejak masa muda. Pasien sempat dirawat d Rumah Sakit 1 bulan lalu karena sakit seperti ini. Pasien pernah menderita sakit kuning sekitar 20 tahun laluRiwayat keluarga: tidak ada anggota keluarga lain yang menderita sakit seperti ini.Riwayat pekerjaan: pasien berkerja sebagai penyalur tabung elpigi, sering keluar kota

Pemeriksaan FisikGCS:456, KU: tampak sakit sedangTensi :110/80N: 80x/menitRR: 26x/mntSax: 36,5oCKepala/LeherAnemis (+), Icterus (+), cyanosis(-), Dyspneu(-)JVP R+0 cmH2OPembesaran KGB (-)ThoraxJantung : terdapat tato bentuk bunga ictus invisible, palpable at ICS V MCL (S), S1S2 tunggal Murmur (-), Galop (-), RHM= LS (D), LHV=IctusParu : ves/ves, Rh: -/-, Wh -/-AbdomenSoefel, BU (+) normal, Liver spain 10cm, trapspace Timpani, nyeri tekan epigastrium dan kanan atas. Hepatomegaly: hepar teraba 3 jari di bawah arcus costa, spidernevi(-), kaput medusa (-), ascites (-).EkstremitasAkral hangat, odeme(-), eritema (-), jari tabu (+)

Planning diagnoseLaboratorium: DL, UL, LFT,RFT, GDA, HBsAg, anti HCV albumin, Globulin AFP, biopsi hatiRadiologis: USG AbdomenKonsul VCT: hasil negative

Diagnosis1.liver sirosis2. dyspepsia sindrom3. anemia N-N

PenatalaksanaanBed restDiet TKTPInfus NS 0,9% 20 tpmInj. Cefotaxim 3x1Inj. Ranitidin 2x50mgInj. Antrain 2x1amp.Curcuma 3x1 POOmeprazole 3x1 PO Hasil pemeriksaan Laboratorium:WBC: 10,2RBC: 3,62HGB: 10,5HCT: 33,3MCV: 92MCH: 29,0PLT: 339GDA: 127BUN:10,2SK: 0,6Bil D: 0,6Bil tot: 0,9SGOT: 20,3SGPT: 38,1As. Urat: 4,42Alb: 3,5

Hasil USG hepar

Setelah perawatan selama enam hari, kondisi pasien membaik. Nyeri perut berkurang, icterus berkurang, BAB dan BAK lancer normal. Pasien akhirnya dibolehkan pulang dengan anjuran kontrol poli penyakit dalam.31