21
SISTEM BIKAMERAL DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 (Pengembangan Materi Amandemen UUD 1945) Oleh: Muhellis, SH, MH Abstrak All legislative powers herein granted shall be vested in a Congress of the United, which shall consist of a Senat and House of Representative. Kekuasaan legislative dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), merupakan salah satu agenda reformasi, gagasan awal pembentukan lembaga DPD adalah sebagai alat representatif dan artikulasi aspirasi dan kepentingan rakyat di daerah secara structural yang sekaligus sebagai alat guna memberikan peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan kebijakan nasional untuk permasalahan yang terkait langsung dengan daerah. Kata kunci: Bikameral, Hak Veto, Checks and balances Pendahuluan Desain ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan mendasar setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat Repulik Indonesia (MPR RI) melakukan empat kali perubahan pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Salah satu perubahan penting tersebut adalah dibentuknyalembaga baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Sejak perubahan itu, maka system perwakilan di Indonesia dan parlemen di Indonesia berubah dari system unuikameral ke system bicameral. Perubahan tersebut diatur pad perubahan Ketiga UUD 1945 ditentukan bahwa “ Kekuasaan legislative dilakukan

SISTEM BIKAMERAL DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN …bdksurabaya-kemenag.com/p3/data/uploaded/dokumen/AMANDEMEN.pdf · SISTEM BIKAMERAL DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 (Pengembangan

  • Upload
    vanhanh

  • View
    234

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

SISTEM BIKAMERAL DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945

(Pengembangan Materi Amandemen UUD 1945)

Oleh:

Muhellis, SH, MH

Abstrak

All legislative powers herein granted shall be vested in a

Congress of the United, which shall consist of a Senat and House of

Representative. Kekuasaan legislative dilakukan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat

dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan Daerah (DPD),

merupakan salah satu agenda reformasi, gagasan awal pembentukan

lembaga DPD adalah sebagai alat representatif dan artikulasi aspirasi

dan kepentingan rakyat di daerah secara structural yang sekaligus

sebagai alat guna memberikan peran yang lebih besar kepada daerah

dalam proses pengambilan kebijakan nasional untuk permasalahan

yang terkait langsung dengan daerah.

Kata kunci: Bikameral, Hak Veto, Checks and balances

Pendahuluan

Desain ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan mendasar setelah

Majelis Permusyawaratan Rakyat Repulik Indonesia (MPR RI) melakukan empat

kali perubahan pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Salah satu

perubahan penting tersebut adalah dibentuknyalembaga baru yang bernama

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Sejak perubahan itu,

maka system perwakilan di Indonesia dan parlemen di Indonesia berubah dari

system unuikameral ke system bicameral. Perubahan tersebut diatur pad

perubahan Ketiga UUD 1945 ditentukan bahwa “ Kekuasaan legislative dilakukan

oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yangterdiri atas Dean Perwakilan Rakyat

dan Dewan Perwakilan Daerah”.

Parlemen bikameral biasanya dihubungkan dengan bentuk Negara federal

yang memerlukan dua kamar untuk melindungi formula federsasi itu sendiri.

Tetapi dalam perkembangannya bersamaan dengan terjadinya kecenderungan

tuntutan kea rah disentralisasi kekuasaan dalam bentuk Negara kesatuan sistem

bikameral juga banyak dipraktekkan di banyak Negara kesatuan. Oleh karena itu

pembentukan atas DPD merupakan salah satu agenda reformasi, karena dalam

sistem pemerintahan parlementer, ada dua alasan utama yang sering digunakan

untuk menerapkan sistem parlemen bikameral, yaitu

a. Adanya kebutuhan untuk menjamin keseimbangan yang lebih stabil antara

eksekutif dan legislatif.

b. Keinginan untuk membuat sistem pemerintahan benar-benar berjalan lebih

efisien dan setidaknya lebih lancer melalui “revising chamber” untuk

memelihara “a chareful check on the something hasty decisions of the first

chamber”

Alasan yang kedua itulah yang disebut oleh para ahli denagn sistem

‘double check’ yang memungkinkan setiap produk legislatif diperiksa dua kali,

sehingga terjamin kualitasnya sesuai dengan aspirasi rakyat. Akan tetapi,

syaratnya jelas bahwa keanggotaan kedua kamar parlemen itu benar-benar yang

mewakili aspirasi yang berbeda satu sama lain, sehingga keduanya benar-benar

mencerminkan gabungan kepentingan seluruh rakyat. DPD mewakili rakyat dalam

kontek kedaerahan dan orientasi kepentingan nasional. Untuk menjamin hal itu,

maka prosedur pemilihan untuk anggota DPR berbeda dari prosedur untuk

pemilihan untuk angota DPD. Karena DPR merupakan cermin representasi politik

(political reprecentation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip repreentatif

territorial atau regional (regional reprecentation).

DPD dibentuk sebagai alat representatif dan artikulasi aspirasi dan

kepentingan rakyat di daerah struktural yang sekaligus sebagia alat guna

memberikan peran yang besar kepada daerah dalam proses pengambilan kebijakan

nasional untuk permasalahan yang terkait alngsung dengan daerah. Akan tetapi

sesuai dengan pasal 22 UUD 1945 DPD tidak mempunyai fungsi legislasi, karena

hanya dapat mengajukan dan ikut membahas RUU tentang otonomi daerah;

hubungan pusat – daerah; pembentukan, pekaran dan penggabungan daerah;

pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lain; serta perimbangan keuangan

pusat – daerah. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata dengan

adanya penegasan pasal 20 ayat 1 UUD 1945 bahwa kekuasaan membentuk

Undang-Undang berad di tangan DPR. Kemudian ditambah lagi dengan pasal 20

A ayat 1 UUD 1945 secara eksplisit hanya menyebutkan DPR sebagai pemilik

kekuasaan legislasi.

Konteks membangun mekanisme checks and balances antara DPD dan

DPR dalam penggunaan fungsi legislasi, keinginan memperoleh hak veto tersebut

amat masuk akl dan menjadi sebuah keniscayaan. oleh karena itu DPD meminta

hak veto atas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; pengelolaan

sumberdaya alam dan ekonomi lain; serta perimbangan keuangan pusat – daerah.

DPD juga meminta diberi kewenangan dapat menyetujui atau menolak RUU yang

disetujui DPR.

Persoalan mendasar dalam amandemen UUD 1945 dan perubahan UU

SusDuk adalah perubahan struktural lembaga negara di Indonesia. Dalam

keduanya dikatakan bahwa MPR memiliki anggota DPR dan anggota DPD, dan

ada konfirmasi terhadap konsepsi yang salah mengenai MPR sebagai lembaga

permanen.

Sifat permanen ini menjadi suatu hal yang unik bila dikaitkan dengan

gagasan untuk menjadi MPR sebagai parlemen bikameral. Seharusnya, MPR yang

menjadi lembaga tersendiri. Sidang-sidang gabungan ini hanya terjadi bila ada

kesepakatan yang berdasarkan konstitusi, harus di ambil secara bersama-sama

oleh DPR dan DPD.

Akan tetapi dalam UUD 1945 maupun undang terkait yang ada, tidak

pernah menyebut istilah bikameral atau unikameral. Tetapi tidak bisa dipungkiri

bahwa DPD merupakan lembaga perwakilan rakyat yang sesuai dengan konstitusi

atau UUD 1945, memiliki kedudukan yang sama dengan DPR, kendati harus

diakui DPD memiliki kewenangan yang terbatas dan lemah, sebagai bagian dari

kekhasan sistem parlemen Indonesia.

Oleh karena itu, DPD berkeinginan untuk meminta hak veto sebagai

konsekuensi dari kedudukannya sebagai wakil rakyat di parlemen. Keinginan

DPD untuk meminta hak veto menjadi agenda kontroversi di kalangan legislatif

pada tahun 2006. Keinginan DPD tersebut dicetuskan melalui surat usul

amandemen DPD bernomor DPD\HM.310\295\2006 yang diteken oleh seluruh

anggota DPD. Surat tersebut dilayangkan pada tanggal 8 juni 2006 yang ditujukan

kepada pimpinan MPR.

Keinginan DPD tersebut mendapat respon dari MPR RI. Bahkan ketua

MPR Hidayat Nur Wahid akan menindaklanjuti surat usul amandemen UUD yang

diajukan oleh anggota DPD tersebut. Akan tetapi, usul DPD tersebut masih

terjanggal oleh pesyaratan formal yang harus ditaati. Karena berdasarkan pasal 37

ayat 1 UUD 1945, untuk bisa menggelar sidang paripurna amandemen UUD

1945, minimal harus diusulkan oleh 1/3 jumlah anggota MPR.

Menurut Refly Harun, pilihan terhadap DPD hanya dua, yaitu: dibubarkan

atau diperkuat. Saya sendiri kata Harun akan memilih yang kedua dengan dua

alasan. Pertama, keberadaan DPD buah dari reformasi untuk lebih

menyeimbangkan aspirasi pusat dengan aspirasi lokal agar keputusan dan

kebijakan parlemen bias lagi. Kedua, Keberadaan DPD yang lemah ini buah dari

reformasi konstitusi. Karena itu, sangat wajar jika DPD lalu mengusulkan

amandemen kembali atas konstitusi dan perubahan atau revisi atas UU SusDuk.

Karena kedudukan DPD harus diperkuat, maka salah satu jalan bagi DPD

untuk meraih dukungan atas usulan amandemen UUD 1945 adalah mempengaruhi

eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) yang notabene juga adalah pimpinan

sebagian partai politik yang ada di DPR.

Atas uraian singkat di atas, maka rumusan masalah yang dipandang cukup

relevan untuk diangkat adalah:

1. Mengapa harus menggunakan sistem dua kamar dalam legislatif?

2. Apa fungsi dan tugas DPD dalam legislatif?

3. Bagaimana cara menormalkan bikameralisme di Indonesia?

Parlemen Dua Kamar

DPD adalah lembaga baru yang tidak secara otomatis mengisi lanskap

ketatanegaraan kita. Juga tidak datang dari ruang hampa politik dan sejarah. DPD

lahir melalui proses pergulatan politik yang melelahkan, saat kita tengah mencari

format ketatanegaraan yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman,

responsif terhadap kepentinagn publik dan daerah serta mempersempit ruang

disparitas antar wilayah dan antar kelompok. Hal yang absah dan wajar. Kelahiran

DPD tertuang dalam amandemen UUD 1945.

Dengan perubahan UUD 1945, Indonesia memasuki barisan Negara-

negara demokrasi yang menerapkan sistem bikameral dalam lembaga

perwakilannya. Penerapan sistem bikameral tersebut bervariasi antar Negara yang

satu dengan negara yang lainnya, namun semua berpijak di atas landasan

kepentingan bersama, yaitu memaksimalkan keterwakilan dan membangun sistem

checks and balances dalam lembaga perwakilan, serta membuka peluang

pembahasan yang berlapis untuk memperluas dan memperdalam proses

pengambilan keputusan-keputusan politik yang berdampak besar bagi

rakyat.sistem bikameral yang diterapkan di Indonesia termasuk dalam kategori

lemah, berdasarkan kewenangan legislasi yang dimilikinya. Oleh karena itu

pengusulan amandemen kembali atas konstitusi dan perubahan atau revisi atas UU

SusDuk oleh DPD, urgensi amandemen kembali konstitusi tak hanya terkait

kebutuhan penguatan DPD, tetapi juga dalam rangka penyempurnaan sistem

perwakilan.

Parlemen bicameral mengandung konsepsi dasar mengenai parlemen, ia

seharusnya mempunyai tiga fungsi utama parlemen, yaitu legislative, pengawasan,

dan anggaran. Adanya dua kamr dalam satu parlemen diciptaka untuk

mengkomodasi semangat checks and balances di dalam parlemen itu sendiri.

Apabila semangat presidensialisme menjadi pilihan kita, maka sebagai

konsekuensi logisnya, pertama, mekanisme checks and balance antara presiden

dan parlemen (DPD & DPR) harus lebih diperkuat, antara lain, melaui hak veto

yang dimiliki presiden dan hak veto yang serupa yang dimliki secara bersama-

sama oleh DPR dan DPD. Karena sesui dengan konstitusi pasal 20 ayat 5, dewasa

ini yang memiliki “hak veto” dalam proses legislasi hanya DPR.

Kedua, harus dibangun sitim parlemen dua kamar, DPR dan DPD, yang

kekuasaannya bukan saja hamper setara, tetapi juga bisa saling control satu sama

lain. Itu artinya, DPD harus menjadi semacam “senat” dengan fungsi legislasi,

jika kita hendak konsisten dengan pilihan atas pemerintahan presidensial.

Ketiga, MPR tidak perlu bersifat permanen seperti sekarang, tetapi harus

terjalin joint session antara DPR dan DPD. MPR juga tidak memerlukan pimpinan

secara permanen karena bisa dijabat secara bergantian oleh pimpinan DPR dan

pimpinan DPD. Karena jika MPR dengan DPD dan DPR tidak terjalin joint

session, maka parlemen yang ada saat ini bukanlah parlemen bikameral akan

tetapi parlemen trikameral.

Akan tetapi berdasarkan legitimasinya, Indonesia harus termasuk dalam

kategori system bicameral yang kuat. System bicameral yang kuat akan membuat

kepentingan dan aspirasi daerah dapat mejembatani secara efektif oleh DPD dan

mitranya dalam mempengaruhi kebijakan di tingkat pusat. Selain itu, keberadan

DPD akan dapat memperkuat pelaksanaan demokrasi di Idonesia.

Posisi yang berjalan sejak amandemen UUD 1945 yang lalu, sebenarnya

agak berbeda dengan sistem dua kamarnya parlemen Inggris. Namun, upaya untuk

mengubah kewenangan DPD saat ini akan membawa kesan menuju pada sistem

dua kamar murni yang sebenarnya.

Mengapa sistem dua kamar dipilih? Sejak awal, munculnya ide mengubah

keanggotaan MPR melalui amandemen UUD 1945 yang mulanya terdiri dari

anggota DPR dan ditambah dengan anggota dari utusan daerah dan golongan.

Adanya tuntutan bikameral didasarkan pada tiga tujuan, yaitu:

1. Kebutuhan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan yang berkaitan dengan

supremasi MPR dan adanya anggota-anggota yang tidak dipilih dan tidak

efektif (utusan golongan dan daerah)

2. Kebutuhan untuk mengakomodasikan masyarakat daerah secara struktural.

3. Kebutuhan Indonesia saat ini untuk menerapkan checks and balance dan

mendorong demokrasi.

Akan tetapi ketiga tujuan ini tidak semuanya terpenuhi karena wewenang

DPD yang terbatas. Oleh karena itu, wewenang DPD harus segera ada perubahan,

karena perubahan posisi DPD dalam susunan parlemen akan menyebabkab

berubahnya kedudukan dan pola hubungan dengan lembaga Negara lainnya.

Perubahan terutama dialami oleh DPR dan juga eksekutif. Ada beberapa

konsekuensi yang muncul dari perubahan pola hubungan tersebut.

Pertama, tercipta keseimbangan baru. Sistem checks and balances dalam

pembentukan sebuah UU akan lebih bisa dijamin, akibat kewengan DPD yang

sejajar dengan DPR. Karena, munculnya DPD sebagai penyeimbang (control)

baru dalam proses legislasi- di samping koreksi dari Mahkamah Konstitusi (MK)

–akan memperkecil peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh DPR.

Kedua, proses pembahasan produk periundangan dan hasilnya akan lebih

optimal. Dilibatkannya DPD baik dalam pengajuan RUU maupun dalamm

persetujuan maupun dalam penolakan akan memberikan proses yang lebih matang

untuk menelurkan sebuah kebijakan.

Ketiga, aspirasi dari daerah bisa lebih mewarnai kebijakan nasional.

Anggota DPD merupakan representasi perwakilan dari daerah-daerah.

Keempat, perubahan posisi ini bisa melahirkan instabilitas politik di tubuh

parlemen.

Mengapa eksistensi DPD harus diperkuat? Karena jika eksistensinya

diperkuat, maka akan mempertegas fungsi, wewenang, dan tugass DPD. Ada

empat alasan mengapa eksistensi DPD harus diperkuat, yaitu:

1. Keanggotaan DPD memiliki legitimasi yang kuat sebagai perwakilan langsung

dari kewilayahan, karena telah menggunakan pola pencalonan personal.

2. Proses pemilihan anggota DPD melengkapi hasrat politik masyarakat perihal

alternatif pilihan bagi wakil-wakilnya di parlemen.

3. Ada kecenderungan anggota parlemen yang mewakili populasi dan lewat partai

politik, kurang memiliki kepekaan terhadap aspirasi dan kondisi daerah dan

masyarakat.

4. Upaya untuk menyeimbangkan kekuasaan dan mengontrol kinerja DPR.

Dalam kontras politik antara dua kekuatan, yakni DPR dan DPD, paling

tidak ada tiga poin politik yang mesti diperhitungkan oleh DPD, yakni: jumlah

anggotanya, fungsi yang dijalankannya dan cakupan permasalahan yang

ditanganinya.

Fungsi dan Tugas DPD

Berdasarkan UUD 1945, DPD jauh lebih layak mewakili aspirasi

masyarakat daerah dibandingkan parpol. Hal ini disebabkan pemilihan DPD

secara langsung. Persoalannya hal ini tidak legitimasi, UUD 1945 juga

mengamputasi tugas dan wewenang DPD. Oleh karena itu, tidak terlalu tepat

kalau ada yang menyatakan bahwa amandemen ketiga UUD 1945 menganut

sistem bikameral. Sistem bikameral jenis apa? Memang sistem bikameral sendiri

bervariasi dalam Negara federal dan Unitarian, tetapi prinsip-prinsipnya yang

dianut relatif sama, yaitu DPR bekerja untuk konstituante nasional atau federal,

sedangkan DPD untuk konstituante daerah atau Negara bagian.

Dalam sistem strong bicameralism atau pure bicameralism, the upper

house bisa memveto atau menolak setiap UU yang dihasilkan the lower house,

tetapi veto atau penolakan itu bisa gugur apabila the upper house bisa mencapai

mayoritas minimum untuk diajukan kembali (konsep pada Slovania, Rusia dan

Afrika Selatan).

Uniknya di Indonesia, DPD tidak jelas disebut sebagai lembaga apa. DPD

bukan lembaga yudikatif, legislatif, apalagi eksekutif. DPD lebih mirip sebagai

perluasan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), karena hanya

mengajukan dan membahas RUU, pertimbangan atas RUU dan pengaawasan

pelaksanaan UU itu, tanpa ikut memutuskan RUU menjadi UU, juga memberikan

kontrol rutin atas kinerja pemerintahan daerah. Sistem ini dikenal sebagai week

bicameralism, seperti diterapkan di Inggris, Bostwana dan Burkina Faso.

Secara legal, keberadaan DPD tercantum dalam UU Nomor 22 Tahun

2003 tentang Susunan dan Kedudukan (SusDuk) MPR, DPD dan DPR. Namun

jarang disebutkan bahwa tugas, fungsi, dan wewenang DPD. Padahal munculnya

ide kamar kedua atau majelis tinggi bertumpu pada keinginan member ruang

checks and balances serta saling mengisi secara kreatif antara dua lembaga

parlemen.

Adapun wewenang atas DPD, yang diatur pada UU SusDuk adalah :

1. DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan Undang-undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan

dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan

sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan perimbangan keuangan

pusat dan daerah.

2. DPD ikut membahas bersama DPR atas rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan

dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, dan

sumber daya ekonomi lainnya,yang diajukan oleh pemerintah atau hak inisiatif.

3. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang

anggaran pendapatan dan belanja Negara, dan rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

4. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan

Pemeriksaan Keuangan.

5. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang yang

berkaitan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaraan, dan penggabungan daerah, dan pengelolaan sumber daya alam,

dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan

belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama.

Sedangkan menurut Undang-Undang Dasar 1945, pasal 22D, adalah;

1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-

undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaraan, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas bersama DPR atas rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan

daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah, serta memberikan perimbangan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat atas rancangan unang-undang anggaran pendapatan dan

belanja Negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,

pendidikan, dan agama.

3. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan

undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran, dan

penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi

lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,

pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada

Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjut.

4. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang

syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.

Mengkaji peranan dan kewenangan DPD di atas, terjadi beberapa kontras

politik antara dua kekuatan, yakni DPR dan DPD, paling tidak ada tiga poin

politik yang mesti diperhitungkan oleh DPD, yakni:

1. Jumlah anggotanya

2. Fungsi yang dijalankannya

3. Cakupan permasalahan yang ditanganinya

Mungkin kontras politik ini yang bisa dikaji kembali sebagai landasan

srategi politik DPD guna meraih dukungan penuh. Karena pada poin yang

pertama, seperti yang telah ditetapkan dalam pasal 22C UUD 1945 bahwa jumlah

anggpta DPD tidak melebihi jumlah anggota DPR. Jika jumlah anggota DPR

sekarang 550 orang, maka maksimal anggota DPD 183 orang. Realitasnya,

dengan 128 anggota DPD, kekuatan suara DPD kurang dari seperempat anggota

DPR.

Persoalan kedua, menurut pasal 20A UUD 1945, DPR memiliki fungsi

legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan. Dalam melaksanakan fungsi-

fungsinya itu, DPR juga mempunyai hak interpretasi, hak angket, dan

hakmenyatakan pendapat yang masih ditambah dengan hak mengajukan

pertanyaan, menyampaikan usulan dan pendapat, serta hak imunitas. Hak imunitas

adalah hak kekebalan atas hokum. Kalau kita bandingkan dengan pasal 22D UUD

1945, DPD hanya bisa mengajukan kepada DPR soal RUU terkait masalah

daerah, dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU terkait.

Sedangkan pada parlemen bikameral mengandung konsepsi dasar mengenai

parlemen, ia seharusnya mempunyai tiga fungsi utama parlemen, yaitu legislatif,

pengawasan, dan anggaran. Adanya dua kamar dalam satu parlemen diciptakan

untuk mengakomodasi semangat checks and balances di dalam parlemen itu

sendiri.

Akan tetapi, konsep bicameral dalam parlemen tersebut belum terpenuhui

dalam tugas dan wewenang dari DPD itu sendiri. Oleh karena itu, DPD meminta

hak veto atas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat

daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lain; serta perimbangan keuangan pusat-

daerah.

DPD juga minta diberi kewenangan untuk dapat menyetujui atau menolak

RUU yang disetujui DPR. Dan semua permintaan ini termuat dalam rumusan usul

perubahan UUD 1945 pasal 22D yang disampaikan kepada pimpinan MPR.

Hak veto yang diusulkan anggota DPD kepada MPR jelas tidak diatur

dalam UUD 1945. Agar terwujud, harus dilakukan perubahan atas sejumlah pasal

salam UUD 1945. Menurut pasal 37 UUD 1945, soal itu dapat diagendakan dalam

sidang MPR bila diajukan sekurang-kurangnya oleh sepertiga anggota MPR.

Selanjutnya, untuk mengubah pasal-pasal itu baru terwujud bila memperoleh

persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu anggota MPR.

Ketiga, masalah-masalah yang hanya bisa dijamah oleh DPD hanya dapat

mengajukan dan ikut membahas RUU tentang ekonomi daerah; hubungan pusat-

daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber

daya alam dan ekonomi lain; serta perimbangan keuangan pusat daerah.

Akan tetapi, melihat prosedur yang diatur dalam pasal 37, perjuangan

anggota DPD untuk memperoleh masih panjang. Apalagi melihat konstelasi

politik sekarang ini, tampaknya permerintah sudah cukup mampu “bekerja

bersama” dengan DPR. Akibatnya sulit bagi DPD untuk menggolkan hak veto

yang sekarang mereka gulirkan.

Meskipun Konstitusi sendiri sedang mengatur mengenai wewenang MPR

yang specific, yaitu:

1. Mengubah dan menetapkan UUD

2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum.

3. Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan putusan Mahkamah

Konstitusi.

4. Mendengarkan Presiden dan Wakil Presiden pada saat akan diberhentikan

berdasarkan usul DPR dan berdasarkan usulnya Mahkamah Konstitusi.

5. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,

diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa

jabatannya.

6. Memilih Presiden dan wakil Presiden apabila keduanya berhenti paad saat

bersmaan dari dua paket yang diajukan oleh dua partai politik peraih suara

terbanyak dalam pemilu sebelumnya.

Usulan hak veto sendiri memang kurang tepak sebagai strategi penguatan

DPD. Pertama, istilah hak veto tidak terlalau familiar denngan sejarah politik

Indonesia. Kedua, penguatan yang lebih sistematik bagi DPD adlah menyamankan

atau menyetarakan fungsi dan hak politiknya.

Kontras antara kekuatan DPR dan DPD tercermmin dari tiga hal. Pertama,

jumlah anggotanya. Kedua, fungsi yang dijalankannya. Ketiga, cakupan masalah

yang ditanganinya.

Pada soal yang pertama, sesuai dengan isi pasal 20C UUD 1945, bahwa

jumlah anggota DPD tidak melebihi sepertiga anggota DPR.

Kedua, menurut pasal 20A UUD 1945, DPR mempunyai fungsi legislasi,

fungsi anggaran, da fungsi pengawasan,. Dalam melaksanakan fungsi-fungsi itu,

DPR juga mempunyai hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat yang

masih ditambah dneganhak mengajukan pertanyaan,menyampaikan usul dan

pendapat, serta hak imunitas. Sedangkan tugas DPD menurut pasal 22D UUD

1945 “hanya” bisa mengajukan kepad DPR soal RUU terkait masalah daerah, ikut

membahas RUU terkait masalah daerah, dan dapat melakukan pengawasan atas

pelaksanaan UU terkait daerah.

Ketiga, masih menurut pasl 22D UUD 1945, masalah-maslah yang bisa

“dijamah” oleh DPD hanya terbatas daerah seperti otonomi daerah, hubungan

pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumberdaya alam dan sumber ekonomi lain, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah, cukupannya diperluas kemasalah pelaksanaan APBN,

pajak, pendidikan, dan agami meski hasil pengawasannya itu harus disampaikan

lewat DPD sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dari ketiga aspek

perbandingan diatas tampak betapa terbatasnya kekuatan DPD dibanding kekutan

DPR.

Agar DPD tidak menjadi ajng keluh kesahs, amandemen menjadai

konstiusi adalah kelayakan yang patut dipikirkan dan dipertimbangkan. Karena

jika dibiarkan, maka akan terjadi deficit demokrasi di Indonesia, dimana tidak

seimbangnya antara “asset” DPD.

Pembentukan DPD tidak hanya agar daerah yang mewakili serta ikut

mengelola kepentingan daerah di tingkat pusat, tetapi juga untuk meningkatkan

peran daerah dalam penyelenggaraan Negara. Karena, kiprah DPD diarahkan

untuk mengikut sertakan daerah dalam menentukan politik Negara dan

pengelolaan Negara, tentunya sesuai ruang lingkup sebagai lembaga legislative,

yakni membentuk undang-undang dan penyelenggaraan pemerintahan, dan

mengambil keputusan mengenai besar dan penggunaan anggaran Negara

(termasuk untuk kebutuhan daerah-daderah).

Karena gambaran ideal dari DPD tersebut bahwa DPD mempunyai

kedudukan dan kewenangan yang sama dengan DPR sebagai sesama anggota

legislatif.

Selain itu, perlu juga ditingkatkan fungsi dan kewenangan pengawasan

DPD agar setara dengan DPR sebagai seasma lembaga perwakilan. Karena,

sekarang ini peran pengawasan DPD hanyalah sebagi pelengkap pengawasan

DPR. DPD juga harus memili hak seperti yang dimili oleh DPR, yaitu hak

memanggil dan meminta keterangan yang wajib dipenuhi oleh yang dipanggil

atau dimintai keterangan. Hak tentang Contempt of parlianment ini harus berlaku

baik di DPR maupun di DPD. Penting pula mengubah pengaturan konstitusi

mengenai jumlah anggota DPD uang dikaitkan dengan jumlah anggota DPR. Ada

baiknya jumlah anggota DPD ditentukan oleh konstitusi.

Atas pemikiran itu semua, penting segera dilakukan pemberdayaan

terhadap DPD agar terjadi peningkatan peran serta daerah dalm penyelenggaraan

Negara. Dan jalan terbaik untuk adalah melakukan amandemen terhadap

konstitusi mengenai DPR dan DPD. Sehingga bisa terjadi checks and balance

dalam tatanan politik Indonesia.

Menormalkan Sistem Bikameral di Indonesia

DPD yang dilahirkan melalu pergulatan politik di MPR RI di era reformasi

ini, ternyata masih memerlukan upaya-upaya keras ke depan agar setara dengan

DPR dlam koteks bikameralisme yang kita cita-citakan. Seperti yang sudah

dipaparkan di atas bahwa untuk menyamakan fungsi DPD dengan MPR harus

melalui amandemen UUD 1945. Sedangkan syarat untuk mengajukan amandemen

harus disetujui lebih tigaperempat dari anggota MPR, seperti yang tercantum pada

pasal 37 UUD 1945. Kalau kita melihat dari segi banyaknya anggota DPD saat

iini, kemungkinan untuk mengadakan amandemen ini sangat tidak mengkin dapat

terlaksana.

Jika memang amandemen merupakan salah cara penguatan atas fungsi

DPD. Maka penting untuk dicatat, bahwa perubahan konstitusi tidak hanya harus

melalui amandemen formal (formal amandement) seperti yang dituangkan dalam

pasl 37 UUD 1945.

Menurut Wheare, dalam buku menormalkan bikameralisme di Indonesia

ada tiga kemungkinan tiga proses perubahan konstitusi, yaitu:

1. Melalui some primary forcs;

2. Meelalui judicial interpretation;

3. Melalui usages and convention.

Judicial interpretation, bia dilakukan oleh mahkamah konstitusi sebagai

lembaga yang diberi kewenaangan untuk menafsirkan konstitusi. Salah satu

putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian Undang-Undang dalam

putusan perkara Nomor 065/PUU-II/2004 tentang pengujian Undang-Undang

Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dan putusan dari

mahkamah Kontitusi terseut merupakan suatu perubahan teks UUD 1945 melalui

proses Judicial interpretation.

Convention, juga pernah terjadi dalam sejarah ketatanegaraan kita yaitu

ketika wakil Presiden Mohammad Hatta pada 16 oktober 1945 mengeluarkan

maklumat Nomor X yang menyebabkan Indonesia menerapkan system

parlementer. Padahal UUD 1945 secra tegas menyatakan, “Presiden memegang

kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.

Dan kontras politik antara dua kekuatan, yakni DPR dan DPD, paling

tidak ada tiga point politik yang mesti diperhitungkan oleh DPD, yakni: jumlah

anggotanya, fungsi yang dijalankannya dan cakupan permasalahan yang

ditanganinya. Bisa dijadikan salah satu alaan atas amandemen UUD 1945.

Jika fungsi atas DPD yang tidak jelas dalam legislasi akan menimbulkan

deficit demokrasi di Indonesia, mengapa kita tidak segera melakukan suatu

amandemen terhadap UUD 1945 secara judicial interpretation dan convention?

Mengapa ketimpangan atas fungsi DPD dilegislasi akan menimbulkan deficit

dmokrasi? Jawabnya: karena secara garis besar Managemen Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) dewasa ini tidak bisa lepasdari perjuangan dan

perlindungan kepentingan darerah. Berbagai permasalahan bangsa yang ada

didaerah harus mulai secara serius diperhatikan dan dijadikan agenda dalam

berbagai proses pengambilan kebijakan ditingkat nasional.

Apalagi Indonesia merupakan Negara yang luas, yang dihuni oleh

penduduk heterogenitas tinggi, baik dari segi kultur, agama, maupun kondisi

soosial ekonominya. Oleh karena itu, DPD hadir untuk mewakili daerah untuk

berjuang dalam proses-proses pengambilan kebijakan ditingkat nasional sebagai

upaya menjaga keberlanjutan NKRI.

Kelahiran DPD sebagai aalah astu produk reformasi sistem politik di

Indonesia yang diilhami oleh sistem parlmeen bikameralisme. Terdapat tuntutan

serius bahwa demokrasi haruslah mengacu pada system yang telah teruji di

Negara-negara demokrasi maju. DPD, dalam konteks ini, berupaya memberikan

pertimbangan berdasarkan kepentingan daerah. Sementara DPR berbicara

kepentingan rakyat (penduduk) berdasarkan platform parpolnya masing-masing.

Digantungnya, keberadaan DPD di legislasi dengan system bekameral,

terdiri atas dua alasan, yaitu; pertama, praktek bikameralisme hanya cocok untuk

negara federal. Kedua, ditakutkan menghambat proses pembuatan atas Undang-

Undang jika melibatkan dua kamar.

Padahal, argument di atas tidak memiliki dasar yamh kuat. Karena,

pertama, praktik bikameralisme nyatanya juga dilakukan di Negara-negara

kesatuan yang demokrasi, dengan kecenderungan semua Negara berpenduduk

besar, wilayah luas dan demokratis. Kedua, praktik pemgambilan keputusan

dalam dua kamar memang meniscayakan keterlibatan keduanya, berlangsung

melalu proses checks and balances di majelis tinggi (upper house). Prinsip checks

and balances, dalam konteks ini bukan hanya antar cabang kekuasaan Negara

(legislative, eksekutif, dan yudikatif) tetapi juga di dalam cabang legislative itu

sendiri. Tentu saja satu sama lainnya tak menghambat karena sudah terbangun

dalam suatu system yang disepakati bersama.

Menurut Samuel C Patterson dan Anthony Mughan dalam buku

menormalkan bikameralisme di Indonesia menyatakan bahwa system bicameral

dapat mencegah lahirnya kekuasaan tiranik, mayoritas maupun minoritas, di mana

sejarah kelahirannya didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, berkaitan

dengan masalah keterwakilan (representation), di mana lembaga keterwakilan

harus mewujudkan dua kepentingan utama, yakni penduduk wilayah.

Kedua, pertumbangan redundancy, yakni perlu adanya system yang

menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting di bahas secara

berlapi ssehingga berbagai kepentingan dipertimbangkan secara mendalam.

Bagaimana cara menormalkan system bicameral?, yng pertama tentang

pemberdayaan DPD. Ada beberapa proses, yaitu :

1. Dalam bidang legislasi kedudukan DPD tidak perlu sepenuhnya setara atau

sama luasnya dengan DPR.

2. Kewenangan legislasi DPD cukup terbatas pada bidang-bidang yang

sekarang sudah tercantum dalam UUD.

3. Kewenangan legislasi DPD dirumuskan dengan berbagai cara, mulai dari

hak menolak (veto), mengembalikan ke DPR dan menerima atau hanya

menunda.

4. Kewenangan pengawasan DPD memiliki kekuatan hokum sama dengan

DPR agar fungsi pengawasannya efektif.

Dan untuk menghindari duplikasi dengan DPR, dapat diatur pembagian

kewenangan dan tanggung jawab pengawasan antar keduanya.

Misalnya,pengawasan DPD terfokus di daerah dan DPR di pusat.

Bagaimana idealnya DPD? Seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa

parlemen bikameral mengandung konsep dasar mengenai parlemen, yang

mempunyai tiga fungsi, yaitu legislasi, pengawasan dan anggaran.

Dan idealnya DPD dalam parlemen bicameral ini, harus sesuai konsep

bicameral itu sendiri, DPD di masa yang akan dating ahrus mempunya fungsi

legislasi, dan peran utuh sebagai lembaga perwakilan rakyat, dengan mekanisme

yang diatur sedemikian rupa sesuai karakteristik masing-masing dewan dan untuk

mengatasike butuhan politik yang mungkin terjadi.

Sebagai lembaga, DPD diharapkan muncul dengan semangat dan kualitas

perwakilan yang baru. Maka dari itu, komunikasi intens antara konstituante dan

para wakilnya di DPD merupakan suatu awal niscaya terbentuknya persepsi dan

harapan yang proposional.adapun hal-hal yang harus diperhatikan adalah :

Pertama, setiap anggota DPD perlu mengubah tradisi komunikasi dan

hubungan pertanggung jawaban yang ada selami ini, yakni komunikasi (instruksi)

satu arah dari atasn kebawahandan pertanggung jawaban dari bawahan keatasan

menuju arah komunikasi dialogis pertanggungjawaban para wakil (agency) ke

para pemilih (principal).

Kedua, disisi masyarakat, perlu ada kemauan untuk turut berpartisipasi

dalam menyampaikan aspirasi, ikut membahas (consultan public), dan turut

mengecek/mengawasi sejauh mana tuntutannya terpenuhi oleh para wakilnya.

Ketiga, perlunya sarana komunikasi dan staf pendukung yang

menjembatani masyarakatdan anggota DPD. Denagn sejumlah langkah di atas,

urgensi komunikasi guna “menyambung” kiprah DPD dengan harapan masyarakat

bisa terwujud.

Kesimpulan

1. Sistem bikameral yang kuat akan membuat kepentingan dan aspirasi daerah

dapat terjembatani secara efektif oleh DPD dan mitranya dalam mempengaruhi

kebijakan di tingkat pusat;

2. DPD yang merupakan hasil dari UUD 1945 dan merupakan agenda reformasi,

diharapkan bisa menjadi checks balances di parlemen. Dan keberadaannya

diharapkan menjadi lembaga penyeimbangan dan mampu menjadi mitra yang

setara dengan DPR. Munculnya ide mengubah kenggotaan MPR melalui

amandemen UUD 1945 yang mulanya terdiri dari anggota DPR dan ditambah

dengan anggota dari utusan daerah dan golongan (DPD), dikarenakan adanya

tuntutan bicameral yang berdasarkan tiga tujuan, yaitu;

-) Kebutuhan dalam pembenahan system ketatanegaraan yang berkaitan dengan

supremasi MPR dan adanya anggota-anggota yang tidak dipilih dan efektif

(utusan golongan dan daerah).

-) kebutuhan untuk mengakomodasikan masyarakat daerah secara structural.

-) kebutuhan Indonesia saat ini untuk menerapkansistem checks and balances

dan mendorong demokrasi.

2. Sistem bikameral yang dipilih sebagai tatanan pemerintahan yang baru untuk

menciptakan double check, tidak dapat dipenuhi karena DPD yang tidak

mempunyai sifat legislasi, dengan wewenang hanya terbatas pada “DPD dapat

mengajukan kepada DPR rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan

penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, dan sumber daya

ekonomi lainnya,serta yang berkaitan perimbangan keuangan pusat dan

daerah”. Dengan kewenangan dan fungsi DPD seperti saat ini, sangatlah jelas

bahwa konsep parlemen bicameral tidak dapat berjalan dengan sempurna.

Padahal kalau kita melihat keberadaan Indonesia saat ini, sangatlah mungkin

untuk menerapkan system “bicameral strong” dapat mencegah lahirnnya

kekuasaan tiranik, mayoritas maupun minoritas. Sehingga keutuhan NKRI

akan tetap selalu terjamin;

3. Peran DPD yang tidak mempunyai fungsi legislasi tersebut bisa menimbulkan

deficit terhadap demokrasi di Indonsia, karena secara garis besar manajemen

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dewasa ini tidak bisa lepas dari

perjuangan dan perlindungan kepentingan daerah. Berbagai permasalahan

bangsa yang ada di daerah harus mulai secara secara serius diperhatikan dan

dijadikan agenda dalam berbagai proses pengambilan kebijakan di tingkat

nasional. Maka untuk menghindari deficit demokrasi di Indonesia, harus segera

menerapkan system bicameral di parlemen. Jika memang amndemen UUD

1945, merupakan langkah satu-satunya untuk menormalkan sistem bekameral

dalam parlemen, maka amandemen tersebut harus segera dilaksanakan.

Sehingga DPD dapat menjalankan fungsinya sebagai anggota legislasi. Proses

peng-amandemen-an, tidak hanya sesuai dengan pasal 37 UUD 1945. Seperti

yang diungkapkan Wheare, untuk menormalkan bikameralisme di Indonesia

ada tiga kemungkinan proses perubahan konstitusi, yaitu; melalui some

primary fores, melalui judicial interpretation, melalui usages and convention.

Saran

1. Dengan dibentuknya DPD, yang dihasilkan dari proses amandemen UUD

1945, diharapkan bisa membrikan suatu perubhan terhadap tatanan

pemerintahan pada era reformasi ini. Dengan system bicameral semoga bisa

tercipta double check di kalangan parlemen.

2. dimSasa yang akan dating diharapkan DPD sudah bisa mempunyai

kewenangan dan fungsi yang sudah diamantkan melalui system bicameral.

Sehingga tercipta checks and balances diantara legislasi yang lain. Dengan

wewenanga dan fungsi yang sesuai dengan system bicameral, diharapkan DPD

tetap konsisten terhadap tugas-tugas utamanya, yaitu; mengakomodir semua

masalah-masalah yang berkaitan dengan daerah.

3. Jika memang amandemen bisa menyelamatkan system demokrasi di Indonesia,

diharapkan amandemen tersebut segera dilaksanakan untuk menjaga keutuhan

dan memepertahankan keutuhan NKRI. Karena dengan menormalkan system

dapat menyelesaikan semua masalah yang terjadi di daerah.

Referensi Bacaan

Lijpart, Arend. 1984. Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus

Government

in Twenty-One Countries. New Haven: Yale University Press.

---------. 1992. Parliamentary versus Presidential Government. New York: Oxford

University Press.

Mastias, Jean, and Jean Grange. 1987. Les secondes chambers du Parlement en

Europe

occidentale. Paris: Economika. www.ginandjar.com 11

Patterson, Samuel C, & Anthony Mughan. 1999. Senates: Bicameralism in the

Contemporary World. Ohio: Ohio State University Press, Columbus.

Riker, William H. 1992a. “The Justification of Bicameralism.” International

Political

Science Review 13:101-16.

---------. 1992b. “The Merits of Bicameralism.” International Review of Law and

Economics 12:166-68.

Tsebelis, George, and Jeannette Money. 1997. Bicameralism. New York:

Cambridge

University Press.