17
Kertas Kebijakan SISTEM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN HIDUP Sesuai Mandat Pasal 48 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Jasa Lingkungan Hidup Disiapkan oleh: Beria Leimona Sacha Amaruzaman Lisa Tanika Didukung oleh: USAID -Bangun Indonesia untuk Jaga Alam Demi Keberlanjutan (BIJAK) AIA Central, level 41, Jl. Jend. Sudirman Kav 48-A Karet Semanggi Jakarta Selatan 12930, DKI Jakarta – Indonesia. Telp (021) 2253 5830 Jakarta, Mei 2019 Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah pendapat para penulis dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

SISTEM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN HIDUP › files › pages › FajhQ-217-kertas-kebijakan... · Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • Kertas Kebijakan

    SISTEM PEMBAYARAN JASA

    LINGKUNGAN HIDUP

    Sesuai Mandat Pasal 48 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun

    2017 tentang Instrumen Jasa Lingkungan Hidup

    Disiapkan oleh:

    Beria Leimona

    Sacha Amaruzaman

    Lisa Tanika

    Didukung oleh:

    USAID -Bangun Indonesia untuk Jaga Alam Demi Keberlanjutan (BIJAK)

    AIA Central, level 41, Jl. Jend. Sudirman Kav 48-A Karet Semanggi

    Jakarta Selatan 12930, DKI Jakarta – Indonesia.

    Telp (021) 2253 5830

    Jakarta, Mei 2019

    Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan

    Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah pendapat para penulis dan

    tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

  • 2

    Daftar Isi

    I. Pengantar ................................................................................................................................................................... 3

    II. Kebijakan Penyelenggaraan .................................................................................................................................. 4

    II.1. Identifikasi Jasa Lingkungan Hidup yang Harus Dibayar ........................................................................ 4

    II.2. Ketentuan Penghitungan Besaran Jasa Lingkungan Hidup ..................................................................... 5

    II.3. Verifikasi dan Validasi Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup dan Penyedia Jasa Lingkungan Hidup .. 6

    II.4. Sistem Informasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup ..................... 7

    II.5. Peningkatan Kapasitas .................................................................................................................................... 8

    III. Fasilitasi Pengembangan Kelembagaan.............................................................................................................. 8

    III.1. Pengembangan Standarisasi Kompetensi Fasilitator .............................................................................. 8

    III.2. Pengembangan Mekanisme dan Bentuk Kelembagaan .......................................................................... 9

    III.3. Peningkatan Kapasitas .................................................................................................................................. 9

    IV. Fasilitasi Resolusi Konflik .................................................................................................................................... 9

    V. Hal-Hal Lain yang Perlu Diperhatikan ............................................................................................................... 9

    V.1. Pengembangan Sistem PJL dalam Kaitannya dengan Instrumen Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup ................................................................................................................................................... 9

    V.2. Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam PJL ............................................................. 10

    V.3. Jasa Lingkungan yang Sudah Ada atau Berpotensi Ada di Indonesia ................................................ 11

    V.4. Analisis PJL Melalui Analisis Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup ...................... 14

    V.5. Kriteria dan Bukti Pendukung Penyedia dan Pemanfaat ..................................................................... 15

    V.6. Muatan Perjanjian Kerjasama PJL ............................................................................................................. 16

    V.7. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan PJL ................................................................................................... 17

    V.8. Penyelesaian Sengketa ................................................................................................................................. 17

    V.9. Posisi PJL (Akan Datang) Terhadap PJL yang Sedang Berjalan dan Praktek PJL Kedepan ........... 17

  • 3

    I. Pengantar

    Pembayaran jasa lingkungan telah lama dikenal oleh para pegiat konservasi dan lingkungan hidup.

    Menurut Wunder (2015), pembayaran jasa lingkungan didefinisikan sebagai transaksi sukarela antara

    pemanfaat jasa lingkungan dengan penyedia jasa lingkungan yang bersifat kondisional (berbasis kinerja yang disyaratkan) dalam pengelolaan sumber daya alam guna menjamin ketersediaan jasa lingkungan. Secara umum, pembayaran jasa lingkungan dimaksudkan untuk mengubah perilaku penyedia dan

    pemanfaat jasa lingkungan agar mereka bersedia mempertahankan atau meningkatkan jasa lingkungan

    secara berkelanjutan.

    Di Indonesia, pembayaran jasa lingkungan diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang

    Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009) dan Peraturan Pemerintah No. 46

    Tahun 2017 tentang Instrumen Jasa Lingkungan Hidup (PP 46/2017). Berdasarkan UU 32/2009 dan PP

    46/2017 tersebut, pembayaran jasa lingkungan dilakukan dalam tiga skema, yaitu: kompensasi, imbal,

    dan pembayaran jasa lingkungan itu sendiri. Perbedaan tiga skema tersebut terletak pada aktor yang

    terlibat sebagai penyedia dan pemanfaatnya, sebagaimana digambarkan dalam diagram berikut ini:

    Kemudian secara spesifik, PP 46/2017, dalam Pasal 48 ayat (5) memandatkan kepada menteri yang

    menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup –

    saat ini adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men-LHK), untuk menyusun peraturan

    menteri mengenai pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup. Sedangkan untuk

    kompensasi dan imbal jasa lingkungan hidup tidak ada mandat untuk mengatur lebih lanjut lagi.

    Secara lengkap, pembayaran jasa lingkungan hidup diatur dalam Pasal 47 dan Pasal 48 PP 46/2017,

    yang secara lengkap mengatur sebagai berikut:

    Pasal 47 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengembangkan sistem Pembayaran Jasa

    Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (1) huruf g untuk dilaksanakan Setiap Orang.

    (2) Pengembangan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi mekanisme pengalihan sejumlah uang dari Penyedia Jasa Lingkungan Hidup kepada Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup dalam perjanjian terikat berbasis kinerja.

    (3) Pengembangan sistem Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk: a. mendorong masyarakat untuk melaksanakan upaya Konservasi Sumber Daya Alam dan

    Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup; dan b. mendukung kinerja pelaksanaan Kompensasi/Imbal Jasa Lingkungan Hidup Antar

    Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.

  • 4

    Pasal 48 (1) Pengembangan sistem Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup mencakup:

    a. kebijakan penyelenggaraan; b. fasilitasi pengembangan kelembagaan; dan c. fasilitasi resolusi konflik.

    (2) Kebijakan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup: a. identifikasi Jasa Lingkungan Hidup yang harus dibayar; b. ketentuan penghitungan besaran Jasa Lingkungan Hidup; c. verifikasi dan validasi Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup dan Penyedia Jasa Lingkungan

    Hidup; d. sistem Informasi dan pemanfaatan pelaksanaan; dan e. peningkatan kapasitas.

    (3) Fasilitas pengembangan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mencakup: a. pengembangan standarisasi kompetensi fasilitator; b. pengembangan mekanisme dan bentuk kelembagaan; dan c. peningkatan kapasitas.

    (4) Fasilitas resolusi konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sistem Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup diatur dengan Peraturan Menteri.

    Berdasarkan Pasal 47 dan 48 tersebut, Men-LHK menyusun peraturan menteri tentang sistem

    pembayaran jasa lingkungan hidup, yang memuat pengaturan mengenai:

    Ruang Lingkup

    Pengaturan

    Sub-Ruang Lingkup Pengaturan

    Kebijakan penyelenggaraan 1. Identifikasi jasa lingkungan hidup yang harus dibayar

    2. Ketentuan penghitungan besaran jasa lingkungan hidup

    3. Verifikasi dan validasi pemanfaat jasa lingkungan hidup dan penyedia jasa lingkungan hidup

    4. Sistem informasi dan pemantauan pelaksanaan

    5. Peningkatan kapasitas

    Fasilitasi pengembangan

    kelembagaan

    1. Pengembangan standarisasi kompetensi fasilitator

    2. Pengembangan mekanisme dan bentuk kelembagaan

    3. Peningkatan kapasitas

    Fasilitasi resolusi konflik Fasilitasi resolusi konflik dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

    II. Kebijakan Penyelenggaraan

    II.1. Identifikasi Jasa Lingkungan Hidup yang Harus Dibayar

    Penyediaan jasa lingkungan sangat bergantung pada tempat/lanskap dan waktu dimana jasa lingkungan

    diproduksi. Oleh karena itu, untuk menentukan jasa lingkungan yang akan ditransaksikan, maka

    dilakukan melalui identifikasi skala spasial penyediaan jasa lingkungan tersebut. Identifikasi skala spasial

    ini juga sangat penting untuk memastikan kegiatan konservasi jasa lingkungan dilakukan secara efektif

    pada area penyediaan jasa lingkungan yang tepat.

  • 5

    Terdapat tiga skala penyediaan jasa lingkungan, yaitu makro, meso, dan mikro, sebagaimana

    ditunjukkan dalam tabel berikut:

    Jasa Lingkungan

    Makro Meso Mikro

    Global

    Regional -

    Lintas Batas

    Negara

    Nasional

    Inter-

    komunitas

    (Provinsi,

    Kabupaten)

    Intra-

    komunitas

    (Desa, Kota)

    Penyerapan karbon +++ ++ + - - - -

    Keanekaragaman

    hayati +++ + + - - -

    Tata air dan

    perlindungan DAS - - - - - ++ +++

    Keindahan lanskap ++ ++ +++ - - -

    Identifikasi skala penyediaan lingkungan yang akan ditransaksikan dapat dilakukan oleh pemerintah,

    perguruan tinggi, pemrakarsa/penyedia jasa lingkungan, atau lembaga swadaya masyarakat.

    Berikut ini beberapa contoh jasa lingkungan yang sudah ditransaksikan:

    No Jasa Lingkungan Praktik

    1 Jasa penyedia air bersih Lombok

    2 Jasa penyedia pangan Madu Sialang yang dijual di Singapura. (Harga SGD 4,8,

    dan SGD 0,5 dikembalikan untuk penanaman pohon

    Sialang.

    3 Jasa penyedia sumber daya

    genetik

    Softcoral/sponge di Sulawesi yang berada di dalam laut, diambil kemudian diekstrak menjadi obat kanker di

    Jepang.

    4 Jasa pengatur iklim Kerjasama antara WWF, Garuda Indonesia (GA), TN

    Sebangau dan TN Leuser. Caranya adalah: GA

    mengenakan biaya tambahan ke penumpang yang mana

    biaya tambahan tersebut akan dialokasikan untuk

    penanaman pohon di taman nasional dalam rangka

    mengurangi efek pemanasan global.

    5 Jasa penyerbukan alami Starbucks Coffee dalam rangka mendukung konservasi,

    lebih memilih kopi premiun di Aceh yang ditanam dilahan

    konservasi di Aceh.

    6 Jasa sosial budaya dan jasa

    estetika

    Subak, Bali.

    7 Jasa warisan budaya, identitas

    lokal, bentang alam, dan

    spesies budaya dan adat

    1. Peneluran penyu di Jamursba Medi, Papua. Dilakukan dengan mengkonservasi lokasi peneluran

    penyu. Pendokumentasian dalam sebuah film

    dokumenter peneluran penyu untuk kemudian dijual

    dan hasilnya untuk memberikan beasiswa kepada

    anak-anak sekitar.

    2. Whale watching di Alor.

    II.2. Ketentuan Penghitungan Besaran Jasa Lingkungan Hidup

    Penghitungan besaran jasa lingkungan dilakukan melalui penilaian/valuasi ekonomi jasa lingkungan itu

    sendiri. Penilaian jasa lingkungan merupakan upaya meng-estimasi nilai jasa lingkungan dalam satuan

    moneter dengan menggunakan pendekatan ekonomi.

  • 6

    Penilaian jasa lingkungan dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu: ekonomi, sosial-

    budaya, dan ekologi. Metode penilaian untuk masing-masing pendekatan dilakukan sebagaimana

    digambarkan dalam tabel berikut ini:

    Penilaian Ekonomi Penilaian Sosial-Budaya Penilaian Ekologi

    – Pendekatan harga pasar; – Biaya penggantian/

    pemulihan kerugian;

    – Nilai ekonomi aset (hedonic price);

    – Kesediaan untuk membayar/menerima

    pembayaran (willingness to pay/willingness to accept);

    – Potensi pendapatan yang hilang (opportunity cost).

    – Diskusi kelompok; – Observasi/pengamatan; – Wawancara; – Transek-walk.

    – Pengukuran keanekaragaman

    hayati (flora-fauna);

    – Analisa tutupan guna lahan;

    – Pengukuran kualitas air;

    – Pengukuran debit air;

    – Modeling hidrology.

    Selain itu, ditentukan pula nilai pembayaran jasa lingkungan dengan memperhitungkan beberapa biaya

    berikut ini:

    – Biaya peluang (opportunity cost) bagi pihak penyedia jasa lingkungan apabila mereka harus mempertahankan atau merubah guna lahan mereka. Apabila peluang penerimaan yang

    diperoleh penyedia dari mengganti suatu guna lahan yang menyediakan jasa lingkungan lebih

    besar daripada penerimaan saat mempertahankan guna lahan, maka insentif atau kompensasi

    idealnya ditetapkan minimal sebesar selisih antara biaya peluang dengan penerimaan dari guna

    lahan yang dipertahankan;

    – Biaya pelaksanaan kegiatan konservasi, misalnya biaya membangun perangkap sedimen, biaya pengadaaan bibit, biaya penanaman, biaya perawatan, biaya patroli, dan lain sebagainya;

    – Biaya untuk melakukan kegiatan pendukung dalam pelaksanaan kontrak jasa lingkungan, misalnya biaya untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat serta biaya pelatihan bagi

    masyarakat untuk menanam atau membuat perangkap sedimentasi;

    – Biaya operasional pelaksanaan Program PJL, antara lain digunakan untuk membiayai pertemuan antara penyedia dan pemanfaat, kunjungan lapangan, estimasi kuantitas dan kualitas jasa

    lingkungan, biaya monitoring, verifikasi, dan evaluasi, dan biaya lain yang dibutuhkan dalam

    pelaksanaan program PJL.

    II.3. Verifikasi dan Validasi Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup dan Penyedia Jasa Lingkungan Hidup

    Verifikasi dan validasi pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan merupakan hal yang penting dilakukan

    untuk menentukan para pihak dalam perjanjian pembayaran jasa lingkungan. Verifikasi dan validasi ini

    akan mencakup dua hal besar pengaturan, yaitu: bukti atau hal-hal yang akan diverifikasi, dan yang

    akan melakukan verifikasi dan validasi.

    – Verifikasi terhadap penyedia jasa lingkungan dilakukan melalui: a) bukti kepemilikian atau penguasaan lahan, yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat pemilikan lahan, perjanjian

    penguasaan lahan (dalam hal sewa), atau surat keputusan penguasaan lahan negara (izin,

    perhutanan sosial, dll); dan b) membuat surat pernyataan kesediaan untuk menjaga jasa

    lingkungan yang akan ditransaksikan.

    – Verifikasi terhadap pemanfaat jasa lingkungan tidak diperlukan, karena yang terpenting adalah pemanfaat jasa lingkungan bersedia untuk bekerjasama dan membayar kepada penyedia jasa

    lingkungan.

    Verifikasi penyedia dilakukan oleh pemanfaat atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh pemanfaat.

    Sedangkan validasi dilakukan oleh lembaga yang mengeluarkan sertifikat pemilikan lahan atau SK/izin

    penguasaan lahan.

  • 7

    II.4. Sistem Informasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup

    Jika mengutip pada pengaturan Sistem Informasi Lingkungan Hidup (SILH) sebagaimana diatur dalam

    Pasal 62 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH:

    1. Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

    2. Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.

    3. Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.

    4. Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri.

    Jika mengadopsi dari pengaturan SILH tersebut, maka sistem informasi PJL ini seharusnya juga akan

    mengatur mengenai:

    a. Kelembagaan/institusi yang akan mengembangkan dan mengelola sistem informasi PJL. Opsinya: pemerintah akan mengembangkan sistem informasi PJL ini, dimana nanti lembaga

    perantara, penyedia dan pemanfaat akan memiliki akun untuk updating konten dari sistem informasi PJL ini.

    b. Mekanisme pengelolaan sistem informasi PJL: updating, koordinasi antar institusi/instansi terkait dengan PJL, publikasi informasi kepada masyarakat, dll. Ini bisa

    dibuatkan semacam SOP atau prosedur sederhana mengenai informasi apa saja yang harus

    dimasukkan ke dalam sistem, kapan, siapa, dan bagaimana memasukkannya ke dalam sistem,

    dan bagaimana mekanisme koordinasi antar pengelola sistem PJL.

    c. Konten atau informasi yang akan ada di sistem PJL, antara lain misalnya:

    - jenis dan ruang lingkup jasa lingkungan yang di-PJL-kan atau berpotensi di-PJL-kan; - lokasi PJLH; - kegiatan konservasi (mencakup rencana pelaksanaan, indikator kinerja dan evaluasi); - daftar penyedia; - daftar pemanfaat; - daftar lembaga multipihak (termasuk tugas dan tanggungjawabnya); - laporan pelaksanaan PJL; - laporan monev PJL, dll.

    d. Sarana dan prasarana, serta anggaran untuk mengelola sistem informasi PJL, antara lain: pengembangan sistem PJL, anggaran untuk maintenance.

    Pengembangan Sistem Informasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup ini

    ditujukan untuk:

    a. Pelayanan bagi pihak yang akan menerapkan PJL; b. Memberikan informasi PJL yang sudah berjalan untuk pembelajaran; c. Harmonisasi dengan berbagai jenis jasa lingkungan yang menjadi indikator D3TLH dan

    pengelolaan kawasan;

    d. Sebagai sarana pemantauan pelaksanaan PJL.

    Pengelolaan Sistem Informasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup ini

    dilakukan oleh:

    a. Pemerintah pusat, dalam hal ini adalah kementerian yang membidangi lingkungan hidup dan kehutanan. Beberapa tugasnya antara lain: mengembangkan sistem untuk keseluruhan PJL,

    meng-update informasi PJL lintas provinsi, dan menjadi admin-system.

  • 8

    b. Pemerintah provinsi, dalam hal ini adalah dinas yang membidangi lingkungan hidup dan kehutanan. Beberapa tugasnya antara lain: meng-update informasi PJL lintas kabupaten/kota, dan menjadi admin-system.

    c. Pemerintah kabupaten/kota, dalam hal ini adalah dinas yang membidangi lingkungan hidup dan kehutanan. Beberapa tugasnya antara lain: meng-update informasi PJL lingkup kabupaten/kota, dan menjadi admin-system.

    II.5. Peningkatan Kapasitas

    Substansinya antara lain standarisasi kompetensi yang diinginkan, mencakup standar kompetensi

    minimal dan program kegiatan peningkatan kapasitas. Kegiatan peningkatan kapasitas ini bisa

    mencakup: pelatihan yang terencana (pemerintah menyusun modul dan program pelatihan), seminar,

    sosialisasi, publikasi hasil penelitian, dan termasuk asistensi.

    III. Fasilitasi Pengembangan Kelembagaan

    III.1. Pengembangan Standarisasi Kompetensi Fasilitator

    Huber-Stearns, et al (2013) dalam artikelnya yang berjudul roles and payments for ecosystem services: a typology and program feasibility application in Panama, menguraikan peran-peran

    fasilitator dalam pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan, antara lain: pertukaran informasi

    (information exchange), desain program (program design), jejaring kerja (networking), perwakilan dan mediasi (representatives and mediation), dan administrasi dan koordinator program (administration and project coordination). Dengan demikian, standar kompetensi fasilitator harus diturunkan dari peran-peran fasilitator tersebut, yaitu antara lain:

    a. Memiliki pemahaman luas terkait dengan jasa lingkungan dan program pembayaran jasa lingkungan hidup. Sehingga dalam konteks pelaksanaan fungsi information exchange, fasilitator dapat memberikan informasi mengenai program PJL secara utuh dan dalam format atau

    bahasa yang mudah dimengerti oleh calon penyedia dan pemanfaat, dan bahkan kepada

    pemerintah selaku pengambil kebijakan.

    b. Memiliki kemampuan dan keahlian dalam merancang program PJL. Kompetensi dalam merancang program PJL ini mencakup: melakukan analisis kelayakan jasa lingkungan

    (termasuk valuasinya), mendukung proses kerjasama para pihak, mengembangkan standar dan

    protokol program PJL, memberikan saran atau rekomendasi, baik terhadap program PJL,

    regulasi terkait PJL, dan pembagian peran para pihak.

    c. Memiliki kemamampuan dan keahlian dalam membangun dan menjaga jejaring kerja yang luas. Secara spesifik, keahlian yang dibutuhkan antara lain mempertemukan para pihak atau

    menginisiasi pertemuan berbagai pihak, melakukan identifikasi pelaku PJL yang potensial, dan

    bahkan melakukan identifikasi investasi atau peluang pendanaan program PJL.

    d. Memiliki keahlian dalam bernegosiasi. Karena fasilitator juga akan berperan dalam proses negosiasi, mewakili kepentingan dari berbagai pihak, memfasilitasi proses kontrak, dll.

    e. Memiliki keahlian dalam manajemen/administrasi program PJL, mulai dari promosi, administrasi, keuangan, supervisi, dan lain-lain tugas admnistrasi program PJL.

    Standar kompetensi fasilitator tersebut juga perlu didukung dengan adanya program-program

    pengembangan kompetensi fasilitator. Terdapat dua usulan skema pengembangan kapasitas fasilitator,

    yaitu:

    a. Pemerintah mengembangkan pelatihan bagi fasilitator dan pelaku PJL. Pengembangan pelatihan ini mencakup mengenai standar kurikulum baku untuk pelatihan, dan program

    pelatihannya.

    b. Lembaga lain non pemerintah yang melaksanakan pelatihan bagi fasilitator. Dalam melaksanakan pelatihan tersebut, minimal harus menggunakan standar kurikulum baku yang

    dikembangkan oleh pemerintah.

  • 9

    III.2. Pengembangan Mekanisme dan Bentuk Kelembagaan

    Pengembangan mekanisme dan bentuk kelembagaan akan mencakup dua pengaturan, yaitu desain

    kelembagaan PJL dan tata cara pengembangan kelembagaan PJL. Untuk desain kelembagaan,

    setidaknya ada beberapa opsi yang bisa dijadikan acuan, yaitu forum, yayasan/perkumpulan, dan BLU

    (jika nantinya program PJL ini semakin besar sehingga membutuhkan peran pemerintah dalam

    kelembagaannya).

    III.3. Peningkatan Kapasitas

    Substansinya kurang lebih sama dengan pengembangan standarisasi kompetensi fasilitator, mencakup

    standar kompetensi minimal dan program kegiatan peningkatan kapasitas. Kegiatan peningkatan

    kapasitas ini bisa mencakup: pelatihan yang terencana (pemerintah menyusun modul dan program

    pelatihan), seminar, sosialisasi, publikasi hasil penelitian, dan termasuk asistensi.

    IV. Fasilitasi Resolusi Konflik

    Belajar dari pengalaman Pemkab Kuningan dengan Pemkot Cirebon terkait dengan kerjasama

    pengelolaan sumber mata air Desa Paniis, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, muatan

    perjanjian kerjasama PJL, pilihan penyelesaian sengketanya adalah:

    a. Diselesaikan secara musyawarah mufakat antara para pihak; b. Jika penyelesaian melalui musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka meminta bantuan

    kepada pemerintah untuk membantu penyelesaiannya.

    Pilihan lain untuk penyelesaian sengketa adalah: (1) Menggunakan jasa mediator atau arbiter; dan/atau

    (2) Melakukan penyelesaian melalui pengadilan.

    V. Hal-Hal Lain yang Perlu Diperhatikan

    V.1. Pengembangan Sistem PJL dalam Kaitannya dengan Instrumen Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup

    Menurut Pasal 16 UU PPLH, jasa ekosistem/jasa lingkungan merupakan salah satu lingkup kajian dari

    KLHS. Selain itu, Pasal 9 ayat (2) huruf c PP No. 46 Tahun 2016 menyatakan bahwa jasa lingkungan

    juga merupakan bagian dari hasil identifikasi isu pembangunan berkelanjutan. Kemudian Pasal 13 ayat

    (1) juga menyatakan bahwa jasa lingkungan merupakan salah satu hasil analisis pengaruh KRP terhadap

    kondisi lingkungan hidup pada pelaksanaan KLHS.

    Pengembangan sistem PJL juga akan berkontribusi pada:

    a. Mendukung kinerja KIJL. Pasal 47 ayat (3) huruf b disebutkan bahwa pengembangan sistem PJL akan mendukung kinerja pelaksanaan KIJL antar daerah yang dilakukan oleh

    pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Sebagai contoh:

    Dalam sebuah bentang alam suatu DAS dimana pengelolaan kawasan terdiri dari berbagai

    pihak, dan telah diterapkan kerjasama KIJL, maka untuk meningkatkan jasa lingkungan hidup

    yang disediakan dapat diterapkan juga PJL dengan pihak yang berbeda untuk lokasi lain dalam

    kawasan tersebut.

    b. Kebutuhan keberlanjutan usaha. Misalnya:

  • 10

    (1) PJL Cidanau. Krakatau Tirta Industri (KTI) bekerjasama dengan masyarakat hulu rawa danau untuk memenuhi kebutuhan ketersediaan air oleh KTI sebagai pemasok air

    berbagai industri di wilayah Banten.

    (2) Jika di dalam kebun sawit yang tidak memiliki tutupan hutan, namun dia butuh air untuk keberlangsungan usahanya, kemudian di samping perkebunan tersebut merupakan hutan

    rakyat/hutan lindung, dimana lahan dimiliki sendiri melalui High Conservation Value (HCV), maka dapat dilakukan kerjasama antara perusahaan dengan pemilik hutan

    tersebut.

    c. Kebutuhan pemenuhan kewajiban kelola pantau. Misalnya, DAS Bakaru Sulsel, dengan isu besar terkait keberlanjutan DAS agar umur bendungan tersebut bisa bertahan hingga

    mencapai lifetime bendungan, karena adanya erosi. Dalam dokumen Amdal, pada skala tapak untuk mengatasi erosi maka akan dilakukan kerjasama dengan masyarakat di daerah hulu.

    Sehingga dalam hal ini konteks PES bisa dilakukan dalam rangka kelola pantau.

    d. Pemenuhan komitmen penurunan gas rumah kaca yang dilaksanakan oleh perusahaan. Misalnya, Perusahaan yang akan melakukan komitmen penurunan gas rumah

    kaca dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat pengelola kawasan tertentu dalam

    menjaga kelestarian hutan.

    e. Dukungan mekanisme terhadap program pelepasan hutan kepada masyarakat untuk dikelola tanpa merubah fungsi. Misalnya, Masyarakat yang mendapatkan hak

    pengelolaan hutan dengan persyaratan tidak merubah fungsi, dapat melakukan kerjasama

    dengan pihak lain yang membutuhkan jasa lingkungan yang dapat disediakan oleh masyarakat

    tersebut.

    f. Dukungan pemberian dana insentif kepada daerah yang dapat menjaga tutupan lahan dan kelestarian hutan. Misalnya, dalam hal pemerintah akan mengembangkan

    mekansime insentif kepada pemerintah daerah dengan indikator antara lain tutupan lahan dan

    kelestarian hutan, maka mekansime PJL yang bersifat sukarela dan terukur dan telah

    dikembangkan sistem informasinya secara terpadu, dapat berkontribusi menggambarkan

    capaian kinerja daerah.

    V.2. Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam PJL

    Dalam pelaksanaan PJL, pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki peran masing-masing

    dalam rangka optimalisasi pelaksanaan PJL. Berikut ini dirinci masing-masing peran pemerintah pusat

    dan pemerintah daerah:

    Kewenangan Pemerintah (Umum) Kewenangan Pemerintah (Spesifik)

    1. Pembinaan a. Pusat: Training of Trainer (ToT)

    untuk pemerintah provinsi.

    b. Provinsi: ToT untuk pemerintah kabupaten/kota, pelaku PJL

    (penyedia dan pemanfaat), calon

    fasilitator/fasilitator, dan lembaga

    perantara.

    c. Kab/Kota: training pelaku PJL (penyedia dan pemanfaat), calon

    fasilitator/fasilitator, dan lembaga

    perantara.

    2. Kebijakan untuk penerapan PJL a. Pusat: PerMen PJL ini dan kebijakan

    terkait lainnya.

    b. Provinsi: Perda/Pergub PJL (opsional dan jika dibuat, maka

    1. Pusat a. Menetapkan kebijakan tatacara

    penerapan PJL (Permen);

    b. Memfasilitasi para pihak yang mengajukan permohonan fasilitasi

    penerapan PJL skala lintas provinsi;

    c. Menyediakan Sistem Informasi Nasional database informasi jenis

    jasa LH, serta penyedia (pengelola

    kawasan) skala makro, atau bersifat

    lintas provinsi.

    2. Provinsi a. Memfasilitasi para pihak yang

    mengajukan permohonan fasilitasi

    penerapan PJL skala lintas

    kabupaten/kota;

    b. Menyediakan Sistem Informasi Nasional database informasi jenis

  • 11

    substansinya harus lebih

    operasional).

    c. Kab/Kota: Perda/Perbup/Perwali PJL (opsional dan jika dibuat, maka

    substansinya harus lebih

    operasional).

    3. Mengesahkan lembaga multipihak a. Pusat: mengesahkan lembaga

    multipihak yang wilayah kerjanya di

    tingkat nasional atau lintas provinsi.

    b. Provinsi: mengesahkan lembaga multipihak yang wilayah kerjanya di

    tingkat provinsi atau lintas kab/kota.

    c. Kab/Kota: mengesahkan lembaga multipihak yang wilayah kerjanya di

    tingkat kab/kota.

    4. Mengembangkan lembaga sertifikasi kompetensi (fasilitator, dll).

    Kewenangan ini menjadi lingkup

    kewenangan pemerintah pusat.

    5. Mengembangkan sistem informasi PJL a. Pusat: mengembangkan sistem

    untuk keseluruhan PJL dan meng-

    update informasi PJL lintas provinsi,

    dan menjadi admin system.

    b. Provinsi: meng-update informasi PJL lingkup provinsi dan menjadi admin

    system.

    c. Kab/Kota: meng-update informasi PJL lingkup kab/kota dan menjadi

    admin system.

    6. Pengawasan a. Pusat: melakukan pengawasan

    terhadap PJL lintas provinsi.

    b. Provinsi: melakukan pengawasan terhadap PJL lingkup provinsi dan

    lintas kab/kota.

    c. Kab/Kota: melakukan pengawasan terhadap PJL lingkup kab/kota.

    7. Penanganan konflik a. Pusat: melakukan penanganan

    konflik PJL lintas provinsi.

    b. Provinsi: melakukan penanganan konflik PJL lingkup provinsi atau

    lintas kab/kota

    c. Kab/Kota: melakukan penanganan konflik PJL lingkup kab/kota.

    jasa LH, serta penyedia (pengelola

    kawasan) skala makro, atau bersifat

    lintas kabupaten/kota.

    3. Kab/Kota a. Memfasilitasi para pihak yang

    mengajukan permohonan fasilitasi

    penerapan PJL skala dalam 1 (satu)

    kabupaten/kota;

    b. Menyediakan Sistem Informasi Nasional database informasi jenis

    jasa LH, serta penyedia (pengelola

    kawasan) skala makro, atau bersifat

    dalam 1 (satu) kabupaten/kota.

    V.3. Jasa Lingkungan yang Sudah Ada atau Berpotensi Ada di Indonesia

    Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman

    Umum Perencanaan Pengelolaan Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan

    antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi.

  • 12

    Di dalam wilayah pesisir terdapat tiga ekosistem, yaitu: ekosistem mangrove, ekosistem lamun,

    dan ekosistem terumbu karang. Ketiga ekosistem ini saling berinteraksi dan memiliki konektivitas

    secara fisik maupun biologis.

    Dalam konteks jasa lingkungan, maka jasa lingkungan pesisir diartikan sebagai manfaat yang diperoleh

    manusia dari ekosistem pesisir (mangrove, lamun, dan terumbu karang). Jasa lingkungan pesisir

    menyediakan jasa lingkungan berupa: jasa pendukung, jasa pengaturan, jasa penyediaan, dan jasa

    budaya.

    Ekosistem mangrove berfungsi sebagai: (1) Penahan laju sedimentasi dari daratan, sehingga

    menjaga kejernihan air yang masuk ke ekosistem lamun dan terumbu karang; (2) Tempat pemijahan

    ikan; (3) Pelindung daratan dari abrasi dan tiupan angin; (4) Penyaring intrusi air laut ke daratan; (5)

    Tempat singgah migrasi burung; (6) Habitat satwa liar; (7) Memperkecil efek tsunami. Istiyanto et al (2003) menemukan bahwa rumpun bakau dapat memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi

    gelombang tsunami.

    Inoue et al (1999) mempublikasikan manfaat mangrove dalam kehidupan sehari-hari, antara lain: a. Kayu mangrove yang bisa dimanfaatkan untuk berbagi keperluan, seperti kayu bakar dan

    bahan konstruksi rumah (rhizophora apiculata, rhizophora mucronata, dan bruguiera gymnorrhiza).

    b. Tanin yang merupakan ekstrak kulit dari jenis rhizophora apiculata, rhizophora mucronata, dan xylocarpus granatum digunakan untuk industri berbahan kulit, seperti sepatu, tas, dll.

    c. Daun nipah yang dimanfaatkan untuk pembuatan tikar atau atap rumah. d. Obat tradisional. Rhizophora apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Rhizophora

    mucronata dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. Air rebusan ceriops tagal dapat digunakan sebagai antiseptik luka. Air rebusan acanthus illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes.

    Selain itu, hutan mangrove juga telah dikembangkan menjadi objek wisata alam. Antara lain: Hutan

    Mangrove di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (Jakarta), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan

    Cilacap.

    Ekosistem lamun berfungsi sebagai pemerangkap sedimen, sehingga menjaga kejernihan air yang

    masuk ke ekosistem terumbu karang. Pada ekosistem lamun ini merupakan tempat bagi habitat dari

    ikan pada stadia juvenil. Beberapa ikan misalnya, ikan lencam, ikan caji (lutjanus apodus) –ikan yang menjadi target nelayan karena merupakan ikan yang dikonsumsi. Penelitian Cullen-Unsworth &

    Unsworth, 2013 menyebutkan bahwa setiap hektar padang lamun memiliki nilai ekonomi

  • 13

    $20.500/tahun. Satu hektar padang lamun yang sehat dapat mendukung 40.000 juvenil ikal dan 50 juta

    juvenil kerang (habitat, menyediakan makanan, dan daerah asuhan bagi ikan), serta 70-90% ikan

    komersial hidupnya di padang lamun.

    Ekosistem lamun selain mendukung ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang, juga

    menyediakan jasa lingkungan bagi manusia berupa daerah penangkapan ikan, tempat meletakkan

    perangkap ikan, sumber biota bagi usaha budidaya rumput laut.

    Berikut ini beberapa fungsi ekosistem lamun lainnya:

    a. Merupakan nursery dan feeding ground bagi biota yang hidup di dalammnya. b. Sebagai tempat pemijahan biota, tempat berlindung biota, pemasok nutrisi, tempang hidup

    hewan langka (dugong, trochus, kima, kuda laut). Dugong merupakan hewan yang terancam

    punah dan hanya memakan lamun.

    c. Ekosistem lamun juga menyerap karbon, penstabil pH air laut, dan penahan arus, serta pelindung pantai dari erosi.

    Ekosistem terumbu karang merupakan tempat bagi habitat ikan dewasa. Selain itu, ekosistem

    terumbu karang juga dapat bermanfaat untuk: (1) Tempat pemijahan, daerah asuhan, dan tempat

    mencari makan kebanyakan ikan; (2) Sebagai sumber bibit budidaya (ikan kerapu, teripang, kerang,

    rumput laut); (3) Sumber bahan dasar konstruksi/bangunan; (4) Objek kegiatan wisata bahari; (5)

    Sebagai pelindung pantai; dan (6) Sumber pangan dan obat-obatan.

    Tabel Jasa Lingkungan Pesisir

    Jasa Ekosistem Mangrove Lamun Terumbu Karang

    Nursery & feeding ground v v v

    Spawning & rearing ground v v v

    Tempat berlindung biota v v v

    Pemasok nutrisi v v v

    Tempat hidup hewan langka v v

    Kaya keanekaragaman jenis biota v v v

    Pelindung pantai v v v

    Pemerangkap sedimen v

    Mempertahankan pH air laut v

    Peredam arus v v v

    Menjaga kejernihan air v

    Penstabil substrat v

    Melihat arah arus v

    Menahan laju sedimentasi v

    Menjaga erosi pantai v

    Sumber ikan v v

    Sumber kepiting v v

    Sumber invertebrata v v

    Sumber ikan hias v v

    Sumber benih v v v

    Obat v v v

    Pupuk v

    Atap rumah/konstruksi v v

    Arang dan kayu bakar v v

    Sumber tannin v v

    Bioprospecting v v

    Tempat meletakkan perangkap v v

    Tempat berlabuh kapal v v

  • 14

    Tempat dermaga v v

    Alur kapal v v

    Rekreasi wisata v v v

    Nilai intrinsik dan biodiversity v v

    V.4. Analisis PJL Melalui Analisis Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup

    Terdapat banyak konsep dan metode pengukuran daya dukung dan daya tampung lingkungan yang

    digunakan di dunia. Namun demikian, semua konsep dan metode tersebut memiiliki kesamaan yaitu

    bahwa status daya dukung selalu akan selalu memperbandingkan antara aspek ketersediaan (supply) dan kebutuhan (demand). Status daya dukung dikatakan terlampaui jika aspek kebutuhan (demand) melebihi aspek ketersediaan (supply). Demikian juga sebaliknya. Hal ini juga dinyatakan oleh Hart, 2006 yang menyatakan bahwa dalam konteks ekologi, carrying capacity (daya dukung lingkungan)

    suatu ekosistem adalah ukuran/ jumlah populasi atau komunitas yang dapat didukung oleh

    ketersediaan sumberdaya dan jasa pada ekosistem tersebut. Kehidupan dalam batas daya dukung

    adalah apabila:

    Jumlah SDA atau Jasa yang tersedia ≥ (jumlah populasi x jumlah konsumsi SDA/jiwa)

    Di Indonesia, sebagaimana didefinisikan dalam UU PPLH, daya dukung lingkungan hidup adalah

    kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan

    keseimbangan antar keduanya. Sedangkan, daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan

    lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan

    ke dalamnya. Jika dilihat dari definisinya, daya dukung maupun daya tampung dapat diartikan sebagai

    kemampuan dari suatu lingkungan dalam menyediakan jasa atau layanan untuk menopang kehidupan

    manusia. Dengan kata lain, definisi tersebut melihat daya dukung dan daya tampung dari aspek

    ketersediaan (supply) atau dari sisi ekosistem atau lingkungan hidup.

    Metode pengukuran daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup telah banyak dikembangkan di

    dunia antara lain metode ecological footprint (EF), ecological footprint- biocapacity Account (EF-BC Account), metode barometer keberlanjutan (Barometer of Sustainability), kualitas hidup (Quality of Life), kesehatan ekosistem (Ecosystem Health) dan ketersediaan sumberdaya alam (Natural Resources Availability) dan lain sebagainya.

    Berdasarkan pada definisi daya dukung dan daya tampung sebagaimana termuat dalam UU PPLH,

    penghitungan daya dukung daya tampung dalam pedoman ini dilakukan melalui pendekatan jasa

    ekosistem. Jasa ekosistem maupun fungsi ekosistem akan terbentuk sesuai dengan karakteristik

    wilayah yang dipengaruhi oleh karakteristik bentang alam, vegetasi alami serta penggunaan lahannya.

    Karakteristik bentang alam dan vegetasi alami merupakan cerminan dari karakteristik masing-masing

    ekoregion yang terbentuk dari geomorfologi dan morfogenesa serta ciri lainnya.

    Dengan pendekatan jasa ekosistem, daya dukung daya tampung dari aspek ketersediaan adalah sama

    dengan besaran jasa lingkungan atau besaran kontribusi yang mampu diberikan ekosistem untuk

    dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Fungsi penyedia (provisioning), jasa social budaya (cultural services) dan sebagian fungsi pengatur (regulating) dari suatu ekosistem dapat mewakili dari daya dukung lingkungan hidup, sementara sebagian besar fungsi pengatur (regulating) dari suatu ekosistem dapat mewakili daya tampung lingkungan hidup. Jasa pendukung bisa bermakna dua yaitu daya dukung

    dan daya tampung karena proses alami secara internal dapat mendukung perbaikan kualitas, stabilitas

    dan produktifitas jasa ekosistem lainnya.

    Secara operasional, dalam pedoman ini penghitungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup

    dengan pendekatan konsep jasa ekosistem, dengan pengembangan asumsi dasar sebagai berikut:

  • 15

    a. Semakin tinggi jasa ekosistem suatu wilayah, maka semakin tinggi kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar

    keduanya; dan

    b. Semakin tinggi jasa ekosistem suatu wilayah, maka semakin tinggi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke

    dalamnya.

    Esensi dasar dari identifikasi daya dukung dan daya tampung adalah bahwa kemampuan ekosistem

    menyediakan jasa ekosistem (supply side) adalah terbatas, sementara kebutuhan jasa ekosistem (demand side) bisa tidak terbatas. Agar tidak menggangu struktur, proses maupun fungsi ekosistem, maka pemanfaatan jasa ekosistem seharusnya tidak melebihi kemampuan tersebut. Jika aspek

    ketersediaan (supply) dipertemukan/diperbandingkan dengan aspek kebutuhan (demand) akan dihasilkan apa yang disebut status daya dukung daya tampung lingkungan hidup. Status daya dukung

    daya tampung dikatakan terlampaui apabila supply lebih kecil dari demand. Demikian pula sebaliknya.

    Konsep daya dukung daya tampung berdasarkan konsep jasa ekosistem memiliki kelebihan karena

    secara operasional dapat dihitung dengan pendekatan keruangan (spatial), sehingga daya dukung daya tampung dapat disajikan secara informatif dengan menggunakan peta yang mampu menunjukkan

    sebaran, luasan serta mudah untuk diintegrasikan pada rencana pembangunan wilayah baik di tingkat

    nasional, provinsi dan kota/kabupaten.

    Oleh karena status daya dukung daya tampung hanya dapat diketahui jika supply side dan demand side dari jasa lingkungan dapat dihitung, maka tidak semua jasa lingkungan sejauh ini dapat ditentukan statusnya. Hasil dari studi pustaka menunjukkan bahwa hingga saat ini metode penghitungan masih

    dalam pengembangan dan belum diperoleh suatu kesepakatan.

    Di Indonesia, penentuan status daya dukung daya tampung nasional baru dilakukan untuk status daya

    dukung daya tampung penyedia air dan penyedia pangan. Sementara untuk jasa lingkungan yang

    lainnya baru dapat dihitung kinerja (supply side) jasanya. Akan tetapi, dalam skala lokal (provinsi dan atau kabupaten) tidak tertutup kemungkinan diperoleh metode ataupun rumus yang bersumber dari

    pustaka lain dan atau hasil kajian akademis yang dapat digunakan untuk menghitung demand side dari jasa lingkungan yang lainnya.

    Hasil penghitungan kinerja jasa lingkungan sebenarnya sudah dapat digunakan untuk pertimbangan

    dalam menyusun kebijakan, rencana dan atau program berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Hal

    tersebut dapat dilakukan dengan menghitung kinerja jasa lingkungan secara time series ataupun

    minimal 2 (dua) periode waktu. Dengan memperbandingkan 2 (dua) atau lebih hasil hitungan kinerja

    dapat memberikan indikasi kondisi penurunan ataupun peningkatan kinerja jasa lingkungan untuk

    suatu wilayah. Penurunan kinerja jasa ekosistem dapat diartikan bahwa kemampuan ekosistem dan

    lingkungan menyediakan jasa pada rentang periode tersebut mengalami penurunan. Oleh karena itu,

    agar ekosistem tidak mengalami kerusakan, pemanfaatan jasa lingkungan perlu dikendalikan bahkan

    dikurangi.

    V.5. Kriteria dan Bukti Pendukung Penyedia dan Pemanfaat

    Verifikasi dan validasi ini akan mencakup dua hal besar pengaturan, yaitu: bukti atau hal-hal yang akan

    diverifikasi, dan yang akan melakukan verifikasi dan validasi. Bukti/hal-hal yang akan diverifikasi:

    a. Penyedia: memiliki atau menguasai lahan yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat pemilikan lahan/perjanjian penguasaan lahan/SK penguasaan lahan dalam hal lahannya

    merupakan lahan negara.

    b. Pemanfaat: memiliki/membuat surat pernyataan kesanggupan membayar PJL/Willingness and able to pay.

  • 16

    V.6. Muatan Perjanjian Kerjasama PJL

    Belajar dari pengalaman Pemkab Kuningan dengan Pemkot Cirebon terkait dengan kerjasama

    pengelolaan sumber mata air Desa Paniis, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, muatan

    perjanjian kerjasama PJL, antara lain:

    1. Irah-irah perjanjian kerjasama PJL. Berisi informasi mengenai perjanjian antara pihak penyedia dan pemanfaat jasa lingkungan, nomor perjanjian, dan perihal perjanjian.

    2. Hari, tanggal, bulan, dan tahun penandatanganan perjanjian kerjasama PJL. 3. Identitas Penyedia dan Pemanfaat Jasa Lingkungan. Berisi nama (bisa perseorangan

    atau kelompok), domisili para pihak, dan tempat penandatanganan perjanjian.

    4. Dasar perjanjian. Berisi tentang dasar hukum atau kebijakan daerah yang dijadikan dasar pembuatan perjanjian kerjasama.

    5. Maksud dan tujuan. Maksud akan berisi mengenai pelestarian jasa lingkungan hidup yang akan diperjanjikan melalui kegiatan konservasi yang disepakati bersama para pihak.

    Sedangkan, tujuan akan berisi mengenai kerjasama antara penyedia dan pemanfaat dalam

    rangka pelestarian jasa lingkungan hidup dan perolehan manfaat dari jasa lingkungan hidup

    yang disepakati dalam perjanjian kerjasama.

    6. Ruang lingkup perjanjian. Berisi hal-hal yang diperjanjikan. Misalnya, (a) kesediaan penyedia jasa lingkungan untuk menyediakan jasa lingkungan kepada pemanfaat; (b) pemanfaat

    bersedia memanfaatkan jasa lingkungan yang disediakan penyedia dalam jumlah yang

    disepakati; (c) kesediaan pemanfaat untuk membayar jasa lingkungan kepada penyedia; (d)

    kesediaan para pihak untuk melakukan pertemuan reguler dalam rangka membahas hal-hal

    yang dianggap perlu dalam pelaksanaan perjanjian.

    7. Hak dan kewajiban para pihak. Antara lain, misalnya: menyediakan dan menggunakan jasa lingkungan, melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan sebagaimana

    disepakati dalam perjanjian kerjasama, membayar jasa lingkungan, turut serta memelihara dan

    melestarikan jasa lingkungan, dll.

    8. Kesepakatan mengenai pelaksanaan perjanjian. Antara lain, misalnya: memanfaatkan jasa lingkungan, tidak melakukan hal-hal yang tidak disepakati dalam perjanjian, waktu

    pembayaran jasa lingkungan, peninjauan ulang besaran pembayaran jasa lingkungan, dll.

    9. Jangka waktu perjanjian. Berisi misalnya, jangka waktu perjanjian (berapa lama atau berapa tahun), perpanjangan jangka waktu perjanjian, dan jangka waktu pemberitahuan

    perihal keinginan memperpanjang jangka waktu perjanjian (misalnya, 6 bulan sebelum

    perjanjian berakhir).

    10. Pemutusan atau pembatalan perjanjian. Berisi ketentuan yang memungkinkan pemutusan atau pembatalan perjanjian. Misalnya, kesepakatan bersama, wanprestasi, atau hal

    lain yang membuat tidak dapat diteruskan/dilaksanakannya perjanjian kerjasama. Juga berisi

    mengenai tata cara pemutusan atau pemabatalan perjanjian.

    11. Force majeur atau keadaan yang memaksa. Berisi ketentuan mengenai situasi yang memaksa yang membuat perjanjian tidak bisa dilaksanakan. Misalnya, perubahan kebijakan

    pemerintah, bencana alam, huru hara, dll. Selain itu, dalam bagian ini juga akan berisi

    mengenai hal-hal yang harus dilakukan para pihak dalam hal terjadi force majeur. 12. Penyelesaian konflik. Berisi beberapa pilihan penyelesaian konflik dalam hal terjadi konflik.

    Misalnya, diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat, diselesaikan dengan menggunakan

    jasa mediator atau arbiter, penyelesaian melalui keputusan pemerintah, atau penyelesaian

    melalui pengadilan.

    13. Pengawasan dan pengendalian operasional. Berisi mengenai hal-hal yang diperlukan untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan perjanjian.

    14. Ketentuan lain. Berisi mengenai ketentuan yang membuka ruang bagi adanya tambahan kesepakatan/hal-hal yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan perjanjian, namun belum

    tertuang dalam perjanjian yang sudah ditanda tangani.

    15. Ketentuan penutup. Berisi, antara lain: perjanjian dibuat dalam dua rangkap untuk masing-masing pihak, dan pernyataan bahwa perjanjian dibuat tanpa unsur paksaan atau penipuan.

    16. Tanda tangan para pihak yang dibubuhi dengan materai.

  • 17

    Point 1-16 adalah substansi kontrak.

    Selain pembelajaran dari perjanjian antara Pemkab Kuningan dengan Pemkot Cirebon terkait dengan

    kerjasama pengelolaan sumber mata air Desa Paniis, naskah perjanjian, secara umum juga dapat berisi

    mengenai: (1) Identitas penyedia dan pemanfaat; (2) Ruang lingkup perjanjian; (3) Tujuan; (4) Jasa

    Lingkungan Hidup yang dikerjasamakan melalui PJL; (5) Bentuk dan nilai PJL; (6) Sumber dana PJL; (7)

    Kegiatan yang akan dilaksanakan penyedia dan pemanfaat dalam rangka melaksanakan PJL; (8) Target

    dan indikator kinerja penyedia dan pemanfaat; (9) Mekanisme penyaluran dana; (10) Jangka waktu dan

    persentase penyaluran dana; (11) Monitoring dan evaluasi; (12) Fasilitator atau lembaga perantara

    yang ditunjuk dan disepakati oleh penyedia dan pemanfaat; (13) Hak dan kewajiban para pihak; (14)

    Penyelesaian sengketa.

    V.7. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan PJL

    Secara umum, terdapat dua jenis laporan pelaksanaan PJL, yaitu:

    1. Laporan kegiatan sesuai kontrak ditujukan kepada pemanfaat oleh pengelola PJL (Fasilitator/Lembaga multi pihak); dan

    2. Laporan PJL ditujukan kepada pemerintah (Dinas LH, PEMDA) oleh pengelola PJL (Fasilitator/Lembaga multi pihak).

    V.8. Penyelesaian Sengketa

    Belajar dari pengalaman Pemkab Kuningan dengan Pemkot Cirebon terkait dengan kerjasama

    pengelolaan sumber mata air Desa Paniis, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, muatan

    perjanjian kerjasama PJL, pilihan penyelesaian sengketanya adalah:

    1. Diselesaikan secara musyawarah mufakat antara para pihak; 2. Jika penyelesaian melalui musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka meminta bantuan

    kepada pemerintah untuk membantu penyelesaiannya.

    Pilihan lain untuk penyelesaian sengketa adalah:

    1. Menggunakan jasa mediator atau arbiter; 2. Melakukan penyelesaian melalui pengadilan.

    V.9. Posisi PJL (Akan Datang) Terhadap PJL yang Sedang Berjalan dan Praktek PJL Kedepan

    Tidak dapat dipungkiri bahwa ketentuan PJL yang akan diatur dalam Peraturan Menteri terkait dengan

    Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan yang tengah dikembangkan saat ini akan berdampak pada PJL yang

    saat ini tengah berjalan dan praktek PJL kedepannya. Oleh karena itu, terhadap situasi tersebut harus

    diberikan opsi-opsi yang bisa mengakomodir kondisi-kondisi tersebut, antara lain:

    1. Untuk kerjasama PJL yang sudah berjalan, maka tetap berjalan sesuai dengan perjanjian kerjasama yang telah ditandatangani. Namun demikian, jika akan diperpanjang, maka proses

    kontrak dan kontrak baru wajib mengikuti PerMen PJL ini.

    2. Untuk proses PJL yang masih dalam proses, baik yang baru akan diinisiasi atau sudah berproses, tetapi belum tanda tangan kontrak, maka prosesnya harus mengikuti PerMen PJL

    ini.