13
Drh. Ardilasunu Wicaksono Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor SISTISERKOSIS DI INDONESIA Latar belakang Taeniasis/ sistiserkosis merupakan salah satu penyakit zoonotik yang menurut cara penularan/ transmisinya diklasifikasikan pada golongan siklozoonosis. Siklozoonosis merupakan zoonosis dengan siklus penularan yang membutuhkan lebih dari satu jenis vertebrata, tetapi tidak melibatkan invertebrata untuk menyempurnakan siklus hidup agen penyebab penyakit. Taeniasis merupakan siklozoonosis obligat dimana manusia harus menjadi salah satu induk semang dalam siklus hidupnya. Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium yaitu cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae. Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara. Penyakit ini disebut juga sebagai penyakit pork measles, beberasan di daerah Bali, manis-manisan di daerah Tapanuli, dan banasom di daerah Toraja. Kepentingan kesehatan masyarakat dari T. solium adalah bahwa manusia dapat terinfeksi oleh telur cacing dan mendapatkan sistiserkus pada jaringan tubuhnya, sedangkan kepentingan T. saginata adalah manusia dapat terinfeksi larva dan cacing dewasa dapat berkembang di usus manusia. Taeniasis/ sistiserkosis merupakan masalah yang penting di Indonesia yang disebabkan oleh tiga spesies cacing pita yaitu T. solium, T. saginata, and T. asiatica. Ketiga cacing pita ini pernah dilaporkan dari provinsi di Indonesia yang merupakan

Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Drh. Ardilasunu Wicaksono

Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

SISTISERKOSIS DI INDONESIA

Latar belakang

Taeniasis/ sistiserkosis merupakan salah satu penyakit zoonotik yang

menurut cara penularan/ transmisinya diklasifikasikan pada golongan

siklozoonosis. Siklozoonosis merupakan zoonosis dengan siklus penularan yang

membutuhkan lebih dari satu jenis vertebrata, tetapi tidak melibatkan invertebrata

untuk menyempurnakan siklus hidup agen penyebab penyakit. Taeniasis

merupakan siklozoonosis obligat dimana manusia harus menjadi salah satu

induk semang dalam siklus hidupnya.

Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium

yaitu cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing

gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae. Sampai saat ini, sistiserkosis

masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara sedang

berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Di

Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga

propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara. Penyakit ini disebut

juga sebagai penyakit pork measles, beberasan di daerah Bali, manis-manisan di

daerah Tapanuli, dan banasom di daerah Toraja.

Kepentingan kesehatan masyarakat dari T. solium adalah bahwa manusia

dapat terinfeksi oleh telur cacing dan mendapatkan sistiserkus pada jaringan

tubuhnya, sedangkan kepentingan T. saginata adalah manusia dapat terinfeksi

larva dan cacing dewasa dapat berkembang di usus manusia. Taeniasis/

sistiserkosis merupakan masalah yang penting di Indonesia yang disebabkan

oleh tiga spesies cacing pita yaitu T. solium, T. saginata, and T. asiatica. Ketiga

cacing pita ini pernah dilaporkan dari provinsi di Indonesia yang merupakan

Page 2: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Ardilasunu Wicaksono 2010

daerah endemic taeniasis/ sistiserkosis yaitu Bali (T. solium dan T.saginata),

Papua (T. solium), dan Sumatera utara (T. asiatica). Ketiga cacing ini memiliki

iang definitif yaitu manusia dan inang perantara antara lain : untuk T. solium

adalah babi, domba, kera, kucing, anjing dan unta; T. saginata adalah sapi dan

kerbau; dan T. Asiatica pada hewan liar seperti anjing dan babi liar..

Taenia saginata atau Taenia asiatica merupakan parasit cacing pita yang

dapat menyebabkan Taeniasis dimana cacing dewasa berada pada usus halus

manusia. Taenia solium dapat menyebabkan dua gejala penyakit yaitu taeniasis

dan sistiserkosis yang berupa tahap larva dari cacing ini dan berada pada

jaringan tubuh. Manusia dapat terinfeksi oleh metacestoda (sistiserkus) dari T.

saginata, T. asiatica, atau T. solium dengan memakan sapi atau babi yang

dimasak dengan tidak matang. Sistiserkus yang termakan dapat berubah

menjadi cacing dewasa dalam waktu beberapa bulan.

Inang perantara mendapatkan infeksi dengan memakan telur atau

segmen gravid dari cacing ini. Pada manusia, telur T. solium dimungkinkan

termakan melalui makanan, sayuran, air yang sudah terkontaminasi.

Sistiserkosis memiliki efek pada beberapa area tubuh, namun yang paling

menonjol adalah pada bagian system saraf pusat yang dapat menyebabkan

neurosistiserkosis dengan gejala epilepsy.

Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk membahas penyakit parasit

zoonotik taeniasis dan sistiserkosis yang meliputi antara lain agen penyebab,

cara penularan, gejala klinis, penyebaran di Indonesia, pengobatan, dan akan

dibahas mengenai pencegahannya dan pengendaliannya.

Agen Penyebab

Taenia Saginata (Cacing Pita Daging Sapi)

Cacing dewasa dapat ditemukan dalam usus manusia penderita

taeniasis, berbentuk pipih panjang seperti pita dan tubuhnya beruas-ruas

(segmen). Panjangnya rata-rata 5m bahkan bisa mencapai 25m yang terdiri atas

lebih dari 1000 segmen. Cacing ini memiliki kepala yang disebut scolex,

Page 3: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Ardilasunu Wicaksono 2010

berdiameter 2mm menempel pada permukaan selaput lendir usus manusia.

Ketika mencapai stadium dewasa, lebih dari separuh segmennya telah

mengandung telur, namun hanya beberapa puluh segmen yang mengandung

telur matang disebut segmen gravid. Segmen gravid kurang lebih mengandung

800.000 telur pada setiap segmen.

Berbeda dengan T. solium, segmen gravid T. saginata spontan keluar

dari anus penderita secara aktif, kadang-kadang keluar bersama tinja ketika

defekasi. Telur masih infektif selama delapan minggu dan dapat bertahan hidup

di lapangan rumput yang baik selama enam bulan. Apabila telur yang bebas dari

segmen gravid tersebut mencemari lingkungan pakan ternak sapi/kerbau, telur

yang tertelan ternak menetas dalam ususnya. embrio (oncosphere) cacing

menembus dinding usus kemudian bermigrasi ke seluruh bagian tubuh melalui

pembuluh darah atau kelenjar getah bening.

Selama migrasi oncosphere mengalami perkembangan sampai tiba pada

habitat yang cocok tumbuh menjadi larva setelah 2-3 bulan. Larva ini juga

disebut metacestoda atau lebih dikenal sebagai cacing gelembung yang

berukuran (4-5)mm x (7.5-10)mm. Larva yang menyerupai balon kecil yang berisi

cairan ini disebut Cysticercus bovis dapat ditemukan dalam jaringan otot/organ

tubuh sapi/kerbau.

Habitat utamanya adalah otot lidah, otot pengunyah, diafragma, jantung,

namun penelitian dengan infeksi percobaan (T. saginata strain Bali) cysticercus

tersebar ke seluruh otot sapi coba. Di dalam tubuh sapi cysticercus dapat

bertahan hidup selama beberapa tahun. Manusia yang mengonsumsi daging

sapi yang mengandung cysticercus hidup selanjutnya berkembang menjadi T.

saginata dalam ususnya.

Taenia solium (Cacing Pita Daging Babi)

Cacing ini disebut juga cacing pita daging babi karena hewan babi

bertindak sebagai inang antaranya yang mengandung larvanya. Ukuran cacing

dewasa relatif lebih pendek dibandingkan dengan T. saginata yaitu antara 2-8m.

Setiap individu cacing dewasa terdiri atas 800-900 segmen hingga 1000 segmen.

Berbeda dengan scolex T. saginata, selain diameternya lebih kecil yaitu 1 mm

dilengkapi dengan 2 baris kait di sekeliling rostellumnya. Mungkin karena

Page 4: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Ardilasunu Wicaksono 2010

ukurannya lebih kecil, setiap segmen gravidnya mengandung 4000 telur.

Segmen gravid T. solium dikeluarkan bersama-sama tinja penderita taeniasis

solium.

Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola yang sama dengan

Taenia yang lain, yang membedakan adalah inang antaranya yaitu babi. Namun

menurut beberapa penulis pernah dilaporkan bahwa mamalia piaraan lainnya

dapat juga sebagai inang antaranya. Babi adalah hewan omnivora termasuk

makan tinja manusia, oleh karena itu sering ditemui beberapa ekor babi

menderita cysticercosis berat, sehingga sekali menyayat sepotong daging

tampak ratusan Cysticercus cellulosae. Larva ini mudah ditemukan dalam

jaringan otot melintang tubuh babi. Bahayanya telur T. solium juga menetas

dalam usus manusia sehingga manusia dapat bertindak sebagai inang antara

walaupun secara kebetulan.

Larva sistiserkus, semitransparan, berwarna keputih-putihan berbentuk

gelembung, lonjong, dengan diameter 0,6 sampai dengan 1,8 cm, berisi cairan

dan satu skoleks. Dalam potongan lintang terlihat skoleks yang masuk ke dalam

(invaginated) dengan 4 batil dan dilengkapi barisan kait-kait. Manusia berperan

sebagai hospes definitif yaitu mengandung cacing dewasa dan sekaligus sebagai

hospes perantara yaitu tempat hidupnya larvae T. solium. Seseorang akan

menderita sistiserkosis bila telur yang mencemari makanan tertelan. Di dalam

lambung telur akan dicerna, dinding telur hancur, embrio heksakan/onkosfer

keluar, menembus dinding lambung dan masuk ke dalam saluran getah bening

serta peredaran darah. Embrio heksakan kemudian tersangkut antara lain di

jaringan subkutan, otot, otak, mata dan berbagai organ lain.

Pada tubuh manusia penderita cysticercosis, larva cacing (Cysticercus

cellulosae) dapat ditemukan dalam jaringan otak besar maupun kecil, selaput

otak, jantung, mata, dan di bawah kulit. Penularan dapat terjadi secara langsung

karena menelan telur cacing yang mengontaminasi makanan atau minuman.

Tetapi yang sering terjadi adalah autoinfeksi melalui tangan yang kurang

bersih/setelah menggaruk-garuk bagian. tubuh yang terkontaminasi telur cacing

atau secara internal yang diakibatkan oleh refleks muntah (regurgitasi) pada

penderita taeniasis.

Page 5: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Ardilasunu Wicaksono 2010

Gejala Klinis

Sistiserkosis pada hewan tidak selalu meunjukkan gejala klinis yang

nyata. Pada beberapa kasus,pada babi yang terinfeksi menunjukkan gejala

hipersensitivitas pada hidung, paralisis pada lidah, dan konvulsi layaknya

epilepsy, namun gejala saraf jarang sekali muncul karena masa hidup babi yang

tidak panjang.

Penderita taeniasis pada manusia jarang menunjukkan gejala yang khas

walaupun di dalam ususnya terdapat cacing taenia selama bertahun-tahun, tetapi

biasanya hanya terdapat satu ekor. Justru keluhan yang sangat mengganggu

adalah dalam bentuk kejiwaan adalah keluarnya segmen gravid dari anus

penderita yang menimbulkan kegelisahan. Gejala umum yang biasanya

menyertai taeniasis adalah mual, sakit di ulu hati, perut mulas, diare bahkan

Gambar 1 Siklus hidup taenia manusia (cacing pita sapi dan cacing pita babi)

(Sumber : CDC 2010)

Page 6: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Ardilasunu Wicaksono 2010

kadang-kadang sembelit, nafsu makan berkurang hingga menurunkan berat

badan, pening, muntah, nyeri otot, serta kejang-kejang) Pasien taeniasis tetap

mengeluarkan segmen gravid selama 1-30 tahun.

Gejala klinis sistiserkosis pada manusia sangat bergantung pada organ

serta jumlah cysticercus yang tinggal. Infeksi berat pada otot menyebabkan

peradangan (myocitis) yang bisanya menimbulkan demam. Jika menyerang

organ mata (Ocular- Cysticercosis) gejala yang paling berat adalah kebutaan.

Gejala-gejala syaraf seperti kelumpuhan, kejang, hingga epilepsi, dapat

dipastikan bahwa larva tersebut menempati organ-organ yang sarat dengan

jaringan syaraf seperti otak/selaput otak atau sumsum tulang belakang (Retnani

2004).

Larva yang menginfeksi sistim saraf pusat menyebabkan

neurosistiserkosis, sedangkan bila ditemukan di jaringan atau organ lain penyakit

secara umum disebut disini sistiserkosis. Larva T. solium yang terdapat di dalam

jaringan subkutan dan otot di bawahnya membentuk suatu benjolan yang disebut

benjolan di bawah kulit atau subcutaneous nodule. Setelah beberapa tahun

terjadi kalsifikasi (pengapuran) pada sistiserkus. Cysticercus cellulosae di dalam

sistim saraf pusat seperti otak atau medulla spinalis jarang mengalami kalsifikasi.

Larva di dalam sistim saraf pusat dapat menyebabkan serangan kejang seperti

ayan (epilepsi), meningo-ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan

intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang-kadang ada gejala

kelainan jiwa.

Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila

ditemukan di dalam otak, sedangkan taeniasis menyebabkan gejala-gejala

saluran pencernaan yang lebih ringan.

Gejala klinis oleh kista tergantung dari letak, jumlah, umur dan lokasi dari

kista, namun kadang-kadang tidak menyebabkan gejala meskipun terdapat

sejumlah besar kista pada organ tubuh penderita. Bila kista ditemukan pada

jaringan subkutan nodul-nodul kista akan teraba pada palpasi. Tidak selalu

mudah menemukan benjolan kista di dalam jaringan subkutan. Kista teraba

sebagai jaringan lunak yang menonjol dengan batas-batas tidak tegas, karena

letaknya agak dalam di dalam jaringan subkutan. Dapat pula kista ditemukan

pada jaringan mata dan menyebabkan ocular cysticercosis.

Page 7: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Ardilasunu Wicaksono 2010

Kista yang tetap hidup dan umumnya ditemukan pada cairan vitreus

menyebabkan uveitis, palpebral conjunctivitis dan gangguan visus. Kista di dalam

jaringan otak menyebabkan brain cysticercosis (neurocysticercosis) yang

kadang-kadang menimbulkan kejang epilepsi yang di Papua disebut mati-mati

ayam dengan keluhan sakit kepala dan muntah. Munculnya epilepsi berlangsung

secara mendadak baik siang maupun malam hari, kemudian hilang dengan

sendirinya.

Sejarah Penyebaran Penyakit dan Data Epidemiologis di Indonesia

Penyakit taeniasis/ sistiserkosis telah dikenal manusia sejak zaman

prasejarah dan sejak tahun 1602 telah dikenal pembedaan antara Taenia

saginata dan Taenia solium. Tetapi meskipun begitu, daur hidup kedua cacing ini

baru diketahui pada abad ke-19.

Penyakit ini telah menyerang manusia sejak ribuan tahun yang lalu ketika

antelope atau hewan ruminansia lainnya merupakan hewan buruan. Pada

awalnya hyena dan kucing besar sebagai inang definifnya, sedangkan inang

antaranya adalah ruminansia liar. Tentunya hal ini terjadi jauh sebelum

domestikasi babi maupun babi yang disertai dengan perkembangan pertanian

dan kehidupan manusia moderen.

Distribusi T. saginata dan T. solium hampir ke seluruh penjuru dunia dan

diperkirakan terjadi seratus juta kasus penyakit setiap tahunnya. Kejadiannya

pada umumnya berkaitan dengan masalah sosial-budaya-keagamaan

masyarakat tertentu dalam hal mengonsumsi daging babi. Selain itu sanitasi

lingkungan dan yang berhubungan dengan manajemen ternak dan cara

pembuangan tinja manusia. Dari berbagai faktor tersebut terbukti bahwa

penyebaran taeniasis/cysticercosis di Indonesia terdapat di daerah-daerah

tertentu yang berhubungan dengan adat- istiadat penduduk setempat.

Kasus sistiserkosis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh LeCoultre di

Bali pada tahun 1920 yang agennya adalah Cysticercus cellulosae. Secara

historis, taeniasis karena T. saginata di Indonesia pernah dilaporkan di Jawa

Timur pada tahun 1867 dan taeniasis karena T. solium pernah dilaporkan di

Kalimantan Timur pada tahun 1940. Kasus taeniasis dan/atau sistiserkosis juga

pernah dilaporkan di beberapa propinsi lainnya di Indonesia.

Page 8: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Ardilasunu Wicaksono 2010

Propinsi Papua adalah salah satu propinsi di Indonesia yang terletak

paling timur. Penyakit sistiserkosis di propinsi Papua ditemukan pertama kali di

Kabupaten Paniai dan kemudian menyebar ke wilayah timur pegunungan

Jayawijaya sampai ke Lembah Baliem dan kabupaten lain, termasuk Kabupaten

Jayawijaya.

Berdasarkan penelitian di Indonesia, propinsi Papua (Irian Jaya) adalah

daerah yang hiperendemis sistiserkosis. Prevalensi sistiserkosis pada manusia

yang tinggal di daerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya sebesar 41,3%-66,7%.

Prevalensi sistiserkosis pada babi (porcine cysticercosis) berkisar antara 62,5%

sampai 77,8%, sedangkan prevalensi taeniasis solium sebesar 15%

Studi epidemiologis taeniasis/ sistiserkosis juga pernah dilakukan pada

lima wilayah di Papua (Jayawijaya, Merauke, Manokwari, Paniai, and Nabire)

selama sepuluh tahun (1996-2005). Tingkat prevalensi taeniasis yang ditemukan

sebesar 13,0% (19 dari 146 orang) di wilayah Jayawijaya, termasuk 15,9%

(14/88) pada tahun 1999 dan 8,6% (5/58) pada tahun 2001. Diperkirakan pada

penduduk berusia 18 tahun atau kurang, tingkat pendidikan yang rendah dan

kebiasaan tidak pernah mencuci tangan sebelum makan merupakan faktor

penting yang berhubungan dengan kejadian sistiserkosis di Jayawijaya, Papua.

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2000 – 2001 di wilayah Jayawijaya,

Papua menunjukkan lima dari 58 penduduk lokal (8,6%) terinfeksi cacing dewasa

T. solium. Sementara itu 44 dari 96 orang (45,8%), 50 dari 71 ekor babi (70,4%),

dan 7 dari 64 ekor anjing (10,9%) menunjukkan positif sistiserkosis T. solium

secara serologis.

Prevalensi taeniasis/sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia

berada pada rentang 1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi

Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Jumlah wilayah yang terkontaminasi di

Papua telah meningkat dari dari satu wilayah (Paniai) pada tahun 1970 ke empat

wilayah (Paniai, Jayawijaya, Manokwari dan Nabire) dalam kurun waktu 10 tahun

terakhir. Hal ini disebabkan karena penduduk lokal di Papua yang berpindah dari

satu wilayah ke wilayah yang lain dengan membawa serta ternak babi mereka,

sehingga penyakit ini muncul dan menyebar dari wilayah endemis ke wilayah

lain.

Page 9: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Ardilasunu Wicaksono 2010

Kabupaten Flores Timur merupakan salah satu daerah endemis bagi

taeniasis/sistiserkosis di Propinsi Nusa Tenggara Timur terkait dengan cukup

tingginya tingkat konsumsi daging khususnya daging babi di Kabupaten Flores

Timur serta peranan babi dalam transmisi taeniasis/sistiserkosis.

Survei pernah dilakukan untuk melihat sebaran taeniasis dan sistiserkosis

manusia di empat desa pada empat kecamatan di Bali (Gianyar, Badung,

Denpasar, Karang Asem) tahun 2002 – 2005 dan survei tersebut dilakukan pada

540 orang penduduk lokal daerah tersebut. Tingkat prevalensi ditemukan pada

kisaran 1,1% di Badung tahun 2004 dan Karang Asem tahun 2006 sampai 27.5%

di Gianyar tahun 2004.

Tingkat prevalensi taeniasis T. saginata meningkat tajam di Gianyar,

termasuk data prevalensi tahun 2002 (25,6%) dan 2005 (23,8%) dibandingkan

dengan survei yang pernah dilakukan sebelumnya pada tahun 1977 (2,1%) dan

1999 (1,3%). Keadaan ini dapat disebabkan oleh banyak penduduk lokal yang

mengonsumsi daging mentah (daging lawar) dengan sangat minimnya kontrol

kesehatan dan kelayakan daging dan makanan lawar tersebut. Faktor resiko dari

taeniasis T. saginata antara lain umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

konsumsi daging lawar, dan asal dari daging lawar.

Survei pada tahun 2003 – 2006 telah dilakukan di Pulau Samosir Danau

Toba, Sumatera Utara, untuk menilai tingkat prevalensi yang diambil dari 240

penduduk lokal. Sebanyak enam orang (2,5%) terinfeksi oleh T. saginata, dan

data dari survei tahun 2003 memperlihatkan tingkat prevalensi 3.4% (2/58) dan

2.2% (4/182) di tahun 2005. Hal ini terjadi karena kebiasaan penduduk lokal yang

mengonsumsi jeroan babi yang dimasak tidak matang.

Pengobatan

Sediaan yang sering digunakan untuk pengobatan taeniasis dengan hasil

yang memuaskan adalah niklosamid dan diklorofen. Kedua obat ini merupakan

obat pilihan karena dosis yang diperlukan kecil dan sedikitnya efek samping yang

ditimbulkan. Sementara untuk sistiserkosis, penderita diberikan zat-zat anti

konvulsan untuk mengurangi epilepsi. Tindakan pembedahan jika dapat

dilakukan untuk menghilangkan sistiserkosis pada jaringan badan, terutama di

daerah yang dapat teraba di luar/ di bawah kulit. Pengobatan sistiserkosis pada

Page 10: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Ardilasunu Wicaksono 2010

ternak jarang dilakukan karena dinilai kurang ekonomis, disamping itu

sebelumnya perlu diagnosis terlebih dahulu dengan biaya yang cukup mahal.

Pencegahan dan Pengendalian

Sebagai siklozoonosis T. saginata dan T. solium akan terus berputar di

alam bila hubungan antara inang definitif yaitu manusia dan inang antara yaitu

hewan terus berlangsung. Pengendalian penyakit ini akan berhasil bila

penularan diantara keduanya dapat dicegah.

Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit merupakan titik

kritis dalam menentukan strategi pencegahan maupun pengendalian. Titik kritis

tersebut adalah sumber infeksi, inang yang rentan, serta transmisi penyakit yang

sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Manusia maupun hewan

penderita taeniasis/sistiserkosis menghasilkan telur/segmen gravid atau larva

infektif serta segala sesuatu yang tercemar telur cacing merupakan sumber

penularan potensial. Pemberian anticestoda bagi penderita adalah upaya

pengendalian yang penting terutama pada manusia.

Peningkatan pemeriksaan kesehatan daging di rumah pemotongan

hewan (RPH) oleh dokter hewan sangat diperlukan untuk pencegahan taeniasis

manusia. Perlu dilakukan pemeriksaan kelenjar pertahanan seperti Ln. axillaris

dan Ln. mandibularis serta tonsil dengan jalan menekan lidah ke bawah dan

mengiris kedua sisi M. masseter untuk melihat kemungkinann adanya

Cysticercus bovis. Pada kejadian sistiserkosis maka seluruh karkas ditolak untuk

diedarkan karena karkas yang basah akibat kista. Selain itu penyuluhan tentang

sanitasi lingkungan dan konsumsi daging masak kepada masyarakat terutama

yang berisiko tinggi. Pemasakan daging yang dapat membunuh sistiserkus

adalah pemanasan dengan suhu 50-600C atau pembekuan pada suhu -100C

selama 10-14 hari.

Perbaikan tata laksana peternakan sapi maupun babi adalah satu hal

yang harus dilakukan untuk pencegahan sistiserkosis pada ternak. Pada

prinsipnya adalah mencegah kontak antara ternak/pakan ternak dengan tinja

manusia penderita taeniasis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengolahan pakan paling

berpengaruh terhadap kejadian sistiserkosis dimana babi yang diberi pakan

Page 11: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Ardilasunu Wicaksono 2010

tanpa diolah (dimasak) terlebih dahulu mempunyai risiko 14 kali lebih besar

terkena sistiserkosis bila dibandingkan dengan yang diberikan pakan yang telah

diolah/ dimasak. Pada babi dengan kondisi kandang dan tempat pakan yang

jarang dibersihkan memiliki risiko 5,8 kali lebih besar terkena sistiserkosis bila

dibandingkan dengan kandang dan tempat pakan yang rutin dibersihkan. Faktor

sanitasi dan higiene personal juga mempengaruhi kejadian penyakit dimana

peternakan yang memiliki sanitasi dan higiene personal buruk erat hubungannya

dengan kebersihan lingkungan, sistem pembuangan sampah dan kebiasaan

mencuci tangan maka babi yang dipeliharanya memiliki risiko 5,5 kali lebih besar

untuk terkena sistiserkosis.

Dapat disarankan pula untuk melakukan penyuluhan kesehatan yang

bersinambungan yang antara lain membahas mengenai kebersihan diri seperti

mencuci tangan sebelum makan dan mandi tiap hari dengan air bersih serta

penggunaan kamar mandi. Penyuluhan tersebut selain dapat memutus mata

rantai penularan sistiserkosis, juga akan mencegah penularan terhadap oral-

transmitted diseases lain seperti cacingan, disentri, tifus, kolera dan hepatitis.

Penyuluhan tentang penyakit zoonotik khusus kepada masyarakat luas

perlu dilakukan tanpa memandang strata latar belakang pendidikan, kebudayaan,

maupun keyakinan beragama. Walaupun dalam berbagai perbedaan,

masyarakat tidak akan lepas dari saling berinteraksi / bersosialisasi satu sama

lain. Peningkatan kualitas dan kuantitas kerjasama dan koordinasi yang optimal

diantara berbagai lembaga / instansi pemerintah yang berwenang dengan

masyarakat terutama yang berisiko tinggi sangat membantu dalam keberhasilan

pengendalian penyakit.

Kesimpulan

Taeniasis/ sistiserkosis merupakan penyakit siklozoonosis yang memiliki

kepentingan kesehatan masyarakat dimana manusia dapat tertular penyakit ini.

T. solium menyebabkan penyakit taeniasis dan sistiserkosis sementara T

saginata menyebabkan penyakit taeniasis pada manusia. Di Indonesia, penyakit

ini memiliki penyebaran di daerah Sumatera Utara, Bali, NTT, dan Papua terkait

dengan kebudayaan dan kebersihan masyarakat setempat. Pengendalian dapat

Page 12: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Ardilasunu Wicaksono 2010

dilakukan dengan cara pemberian anticestoda pada manusia, peningkatan

pengawasan daging di RPH, memasak daging dengan matang, peningkatan

higiene lingkungan dan personal, dan beternak secara intensif, serta melakukan

pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat.

Daftar Pustaka

Acha NP dan Szyfres B .2003. Zoonoses and Communicable Deseases

Common to Man and Animals. Volume ke-3, Parasitoses, USA :

Washington DC

[CDC] Centers for Disease Control .2010.

http://www.dpd.gov/dpdx/HTML/Taeniasis.htm [24 Oktober 2010]

Purba W et al. 2003. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

Sistiserkosis pada Penduduk Kecamatan Wamena, Kabupaten

Jayawijaya, Propinsi Papua Tahun 2002. Makara Kesehatan 7 no 2 : 56-

65

Retnani EB .2004. Taeniasis dan Cysticercosis : Penyakit Zoonosis yang Kurang

Dikenal oleh Masyarakat di Indonesia. Makalah Pribadi Falsafah Sains.

Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Saleh USA .2010. Faktor Risiko Kejadian Sistiserkosis Pada Babi di Kabupaten

Flores Timur Nusa Tenggara Timur. [Tesis]. Bogor: Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sanjaya AW, Sudarwanto M, Soejoedono RR, Purnawarman T, Lukman DW,

Latif H .2007. Higiene Pangan . Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner,

Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Bogor : Fakultas

Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Soejoedono RR .2004. Zoonosis. Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner,

Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Bogor : Fakultas

Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Page 13: Sistiserkosis ( Cysticercosis ) di Indonesia - Drh. Sunu

Ardilasunu Wicaksono 2010

Subahar R, Hamid A, Purba W, Widarso, Ito A, Margono SS .2005.

Taeniasis/Sistiserkosis di antara Anggota Keluarga di Beberapa Desa,

Kabupaten Jayawijaya, Papua. Makara Kesehatan 9 no 1 : 9-14

Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A .2005. Challenges for control of

taeniasis/cysticercosis in Indonesia. J Parasitol Int 55 supl 1 : 161-165

Wandra et al. 2007. Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia, 1996-2006. J Trop Med

Public Health 38 supl 1 : 140 -143.