Upload
juarni-sudarsono
View
88
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
SKIZOFRENIA
I. PENDAHULUAN
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk di
dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada
usia remaja akhir atau dewasa muda. Awitan pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan
pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila
dibandingkan dengan perempuan. Awitan setelah umur 40 tahun jarang terjadi.
Diagnosis skizofrenia, menurut sejarahnya, mengalami perubahan-perubahan. Ada
beberapa cara untuk menegakkan diagnostik adalah DSM-IV (Diagnostic and statistical
manual) dan PPDG2-III/ICD-X. dalam DSM-IV terdapat kriteria objektif dan spesifik untuk
mendefinisikan skizofrenia. Belum ada penemuan yang patognomonik untuk skizofrenia.
Diagnosis berdasarkan gejala atau deskripsi klinis dan merupakan suatu sindrom.
Etiologi skizofrenia belum pasti. Berdasarkan penelitian biologik, generatik,
fenomenologik dinyatakan bahwa skizofrenia merupakan suatu gangguan atau penyakit. Ada
beberapa subtipe skizofrenia yang diidentifikasi berdasarkan variable klinik:
F 20.0. Skizofrenia paranoid
F20.1. Skizofrenia disorganisasi (hebefrenik)
F 20.2. Skizofrenia katatonik
F 20.3. Skizofrenia tak terinci
F 20.4. Depresi pasca skizofrenia
F 20.5. Skizofrenia residual
F 20.6. Skizofrenia simpleks
F 20.7. Skizofrenia lainnya
F 20.8. Skizofrenia yang tak tergolongkan
II. MANIFESTASI KLINIK
Skizofrenia merupakan penyakit kronik. Sebagian kecil dari kehidupan mereka berada
dalam kondisi akut dan sebagian besar penderita berada lebih lama (bertahun-tahun) dalam fase
residual yaitu fase yang memperlihatkan gambaran penyakit yang “ringan”. Selama periode
residual, pasien lebih menarik diri atau mengisolasi diri, dan “aneh”. Gejala-gejala penyakit
baisanya terlihat jelas oleh orang lain.
1
Pasien dapat kehilangan pekerjaan dan teman karena ia tidak berminta dan tidak mampu
berbuat sesuatu atau karena sikapnya yang aneh. Pemikiran dan pembicaraan mereka samar-
samar sehingga kadang-kadang tidak dapat di mengerti. Mereka mungkin mempunyai
keyakinan yang salah yang tidak dapat dikoreksi. Misalnya, mereka meyakini bahwa mereka
mempunyai suatu kekuatan dan sensitivitas khusus dan mempunyai pengalaman “mistik”.
Penampilan dan kebiasaan-kebiasaan mereka mengalami kemunduran serta afek mereka
terlihat tumpul. Meskipun mereka dapat mempertahankan intelegensia yang mendekati normal,
sebagian besar performa uji kognitifnya buruk.
Pasien dapat mengalami anhedonia yaitu ketidakmampuan merasakan rasa senang.
Pasien juga mengalami deteriorasi yaitu perburukan yang terjadi secara berangsur-angsur.
Episode pertama psikotik sering didahului oleh suatu periode misalnya perilaku dan pikiran
ekstrensik (fase prodromal).
Kepribadian prepsikotik, dapat ditemui pada beberapa pasien skizofrenia yang ditandai
dengan penarikan diri dan terlalu kaku secara sosial, sangat pemalu, dan sering mengalami
kesulitan di sekolah meskipun I.Q-nya normal. Suatu pola yang sering ditemui yaitu
keterlibatan dalam aktivitas antisosial ringan dalam satu atau dua tahun sebelum episode
psikotik. Beberapa pasien, sebelum didiagnosis skizofrenia, mempunyai gangguan kepribadian
skizoid, ambang, antisosial, atau skizotipal. Skizofrenia sering memperlihatkan berbagai
campuran gejala-gejala di bawah ini:
1. Gangguan Pikiran
a. Gangguan proses pikir
Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir. Pikiran mereka sering tidak
dapat dimengerti oleh orang lain dan terlihat tidak logis. Tanda-tandanya adalah:
Asosiasi longgar
Ide pasien sering tidak menyambung (terjadi keseimbangan penyampaian dari
satu ide ke ide yang lain). Ide tersebut seolah dapat melompat dari satu topik ke
topik lain yang tak berhubungan sehingga membingungkan pendengar.
Gangguan ini sering terjadi misalnya di pertengahan kalimat sehingga
pembicaraan sering tidak koheren.
Pemasukan berlebihan
Arus pikiran pasien secara terus-menerus mengalami gangguan karena
pikirannya sering dimasuki informasi yang tidak relevan.
1
Neologisme
Pasien menciptakan kata-kata baru (yang bagi mereka mungkin mengandung
arti simbolik).
Terhambat
Pembicaraan tiba-tiba berhenti (sering pada pertengahan kalimat) dan
disambung kembali beberapa saat (atau beberapa menit) kemudian, biasanya
dengan topik yang lain. Ini dapat menunjukkan bahwa ada interupsi. Biasanya
pikiran-pikiran lain masuk ke dalam ide pasien. Perhatian pasien sering sangat
mudah teralih dan jangka waktu atensinya singkat.
Klang asosiasi
Pasien memilih kata-kata berikut mereka berdasarkan bunyi kata-kata yang baru
saja diucapkan dan bukan isi pikirannya.
Konkritisasi
Pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat buruk kemampuan
berpikir abstraknya.
Alogia
Pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disebabkan oleh resistensi yang
disengaja (miskin pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi
sangat sedikit ide yang disampaikan (miskin isi pembicaraan).
b. Gangguan Isi Pikir
- Waham
Waham adalah suatu kepercayaan palsu yang menetap yang tak sesuai dengan
fakta dan kepercayaan tersebut mungkin “aneh” (misalnya; mata saya adalah
komputer yang dapat mengontrol dunia) atau bisa pula “tidak aneh” (hanya sangat
tidak mungkin, misalnya, “FBI mengikuti saya”) dan tetap dipertahankan meskipun
telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya. Waham sering
ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering
ditemukan pada skizofrenia. Semakin akut skizofenia semakin sering ditemui
waham disorganisasi atau waham tidak sistematis:
Waham kejar
Waham kebesaran
1
Waham rujukan
Yaitu pasien meyakini ada “arti” di balik peristiwa-peristiwa dan meyakini
bahwa peristiwa-peristiwa atau perbuatan orang lain tersebut seolah-olah
diarahkan kepada mereka.
Waham penyiaran pikiran
Yaitu kepercayaan bahwa orang lain dapat membaca pikiran mereka.
Waham penyisipan pikiran
Yaitu kepercayaan bahwa pikiran orang lain dimasukkan ke dalam benak pasien.
- Tilikan
Kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurungan tilikan yaitu pasien
tidak menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhadap pengobatan, meskipun
gangguan yang ada pada dirinya dapat dilihat oleh orang lain.
2. Gangguan Persepsi
a. Halusinasi
Halusinasi paling sering ditemui, biasanya berbentuk pendengaran tetapi bisa juga
berbentuk penglihatan, penciuman, dan perabaan. Halusinasi pendengaran (paling
sering suara, satu atau beberapa orang) dapat pula berupa komentar tentang pasien atau
peristiwa-peristiwa sekitar pasien. Komentar-komentar tersebut dapat berbentuk
ancaman atau perintah-perintah yang langsung ditujukan kepada pasien (halusinasi
komando). Suara-suara sering (tetapi tidak selalu) diterima pasien sebagai sesuatu yang
berasal dari luar kepala pasien dan kadang-kadang pasien dapat mendengar pikiran-
pikiran mereka sendiri berbicara keras (sering memalukannya atau suara yang
memalukan). Suara-suara cukup nyata menurut pasien kecuali pada fase awal
skizofrenia.
b. Ilusi dan depersonalisasi
Pasien juga dapat mengalami ilusi atau depersonalisasi. Ilusi yaitu adanya
misinterpretasi pasca indra terhadap objek. Depersonalisasi yaitu adanya perasaan asing
terhadap diri sendiri. Derealisasi yaitu adanya perasaan asing terhadap lingkungan
sekitarnya, misalnya dunia terlihat tidak nyata.
1
3. Gangguan Emosi
Pasien skizofrenia dapat memperlihatkan berbagai emosi dan dapat berpindah dari
satu emosi ke emosi lain dalam jangka waktu singkat. Ada tiga afek dasar yang sering
(tetapi tidak patognomonik):
1. Afek tumpul atau datar
Ekspresi emosi pasien sangat sedikit bahkan ketika afek tersebut seharusnya
diekspresikan. Pasien tidak menunjukkan kehangatan.
2. Afek tak serasi
Afeknya mungkin bersemangat atau kuat tetapi tidak sesuai dengan pikiran dan
pembicaraan pasien.
3. Afek labil
Dalam jangka pendek terjadi perubahan afek yang jelas.
4. Gangguan Perilaku
Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat seperti gerakan tubuh yang aneh,
wajah dan menyeringai, perilaku ritual, sangat ketolol-tololan, agresif, dan perilaku seksual
yang tidak pantas. Skizofrenia dapat berlangsung beberapa bulan atau bertahun-tahun (lebih
sering). Kebanyakan pasien mengalami kekambuhan dalam bentuk episode aktif, secara
periodik, dalam kehidupannya, secara khas dengan jarak beberapa bulan atau tahun. Selama
masa pengobatan, pasien biasanya memperlihatkan gejala residual (sering dengan derajat
keparahan yang mneingkat setelah beberapa tahun). Walaupun demikian, ada sebagian
kecil pasien yang mengalami remisi.
Sebagian besar pasien-pasien skizofrenia yang dalam keadaan remisi dapat
memperlihatkan tanda-tanda awal kekambuhan. Tana-tanda awal tersebut meliputi
peningkatan kegelisahan dan ketegangan, penurunan nafsu makan, depresi ringan dan
anhedonia, tidak bisa tidur, dan konsentrasi terganggu.
III. KLASIFIKASI SKIZOFRENIA
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi kriteria DSM-IV atau
ICD X. berdasarkan DSM-IV :
1. Berlangsung paling sedikit enam bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna yaitu dalam bidang pekerjaan, hubungan
interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi.
1
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode tersebut.
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor,
autisme, atau gangguan organik. 2
Semua pasien skizofrenia sebaliknya digolongkan ke dalam salah satu dari subtipe yang
telah disebutkan diatas. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas manifestasi perilaku yang
paling menonjol.
1. Tipe Paranoid
Tipe ini paling stabil dan paling sering. Awitan subtipe ini biasanya terjadi lebih
belakangan bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk skizofrenia lain. Gejala terlihat sangat
konsisten, sering paranoid, pasien dapat atau tidak bertindak sesuai dengan wahamnya.
Pasien sering tak kooperatif dan sulit untuk mengadakan kerjasama, dan mungkin agresif,
marah, atau ketakutan, tetapi pasien jarang sekali memperlihatkan perilaku inkoheren atau
disorganisasi 1,3. Waham dan halusinasi menonjol sedangkan afek dan pembicaraan hampir
tidak terpengaruh. Beberapa contoh gejala paranoid yang sering ditemui:
a. Waham kejar, rujukan, kebesaran, waham dikendalikan, dipengaruhi, dan cemburu.
b. Halusinasi akustik berupa ancaman, perintah, atau menghina.
2. Tipe Disorganisasi
Gejala-gejalanya adalah:
a. Afek tumpul, ketolo-tololan atau tak serasi
b. Sering inkoheren
c. Waham tak sistematis
d. Perilaku disorganisasi seperti menyeringai dan menerisme (sering ditemui).
3. Tipe Katatonik
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari (atau kombinasi) beberapa bentuk katatonia:
1. Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap lingkungan atau
orang. Pasien menyadari hal-hal yang sedang berlangsung di sekitarnya.
2. Negativisme katatonik yaitu pasien melawan semua perintah-perintah atau usaha-usaha
untuk menggerakkan fisiknya.
3. Regiditas katatonik yaitu pasien secara fisik sangat kaku atau rijit.
4. Postur katatonik yaitu pasien mempertahankan posisi yang tak biasa atau aneh.
1
5. Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin dapat mengancam
jiwanya (misalnya karena kelelahan).
4. Tipe Tak Terinci
Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikosis aktif yang menonjol
(misalnya kebingungan, inkoheren) atau memenuhi criteria skizofrenia tetapi tidak dapat
digolongkan pada tipe paranoid, katatonik, hebefrenik, residual, dan depresi pasca
skizofrenia.
5. Tipe Residual
Pasien dalam keadaan remisi dari keadaan akut tetapi masih memperlihatkan gejala-
gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar atau tak serasi, perilaku eksentrik,
asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis).
6. Depresi Pasca Skizofrenia
Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah suatu
serangan penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada tetapi tidak
mendominasi gambaran klinisnya. Gejala-gejala yang menetap tersebut dapat berupa gejala
positif atau negatif (biasanya lebih sering gejala negatif). Sebagai pedoman diagnostik yaitu:
a. Pasien telah menderita skizofrenia (memenuhi criteria umum skizofrenia) selama 12 bulan
terakhir.
b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada.
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi sedikitnya criteria untuk
suatu episode depresif dan telah ada paling sedikit dua minggu.
7. Skizofrenia Simpleks
Skizofrenia simpleks adalah suatu diagnosis yang sulit dibuat secara menyakinkan
karena bergantung pada pemastian perkembangan yang berlangsung perlahan, progresif dari
gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa adanya riwayat halusinasi, waham,
atau manifestasi lain tentang adanya suatu episode psikotik sebelumnya, dan disertai dengan
perubahan-perubahan yang bermakna pada perilaku perorangan, yang bermanifestasi sebagai
kehilangan minat yang mencolok, kemalasan, dan penarikan diri secara sosial.
8. Skizofrenia Lainnya
Termasuk : skizofrenia senestopatik dan gangguan skizofreniform YTT.
Termasuk : Skizofrenia siklik, skizofrenia laten dan gangguan lir-skizofrenia akut.
1
9. Skizofrenia YTT 1,2,4
IV. PERJALANAN PENYAKIT
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat diklasifikasikan sebagai penyakit berlangsung
terus-menerus, episodik dengan atau tanpa gejala residual di antara episode, atau episode
tunggal dengan remisi sempurna atau parsial. Gejala-gejala cenderung tumpang tindih, dan
diagnosis dapat berpindah dari satu subtipe ke subtipe lain sesuai dengan perjalanan waktu
(baik dalam satu episode atau dalam episode berikutnya). Akhirnya, setelah bertahun-tahun,
gejala klinik, pada beberapa pasien, cenderung berubah menjadi gambaran umum seperti
penarikan diri dari hubungan sosial, afek datar, pikiran idiosinkrasi, dan adanya impermen
fungsi sosial dan personal (pada waktu yang sama, perjalanan penyakit menjadi lebih stabil,
dengan gejala-gejala akut lebih sedikit dan episode kekambuhan lebih jarang).
V. ETIOLOGI
Belum ditemukan etiologi yang pasti mengenai skizofrenia. Ada beberapa hasil
penelitian yang dilaporkan saat ini:
1. Biologi
Tidak ada gangguan fungsional dan struktur yang patognomonik ditemukan pada
penderita skizofrenia. Meskipun demikian beberapa gangguan organik dapat terlihat (telah
direplika dan dibandingkan) pada subpopulasi pasien. Gangguan yang paling banyak
dijumpai yaitu pelebaran ventrikel tiga dan lateral 1,5 yang stabil yang kadang-kadang sudah
terlihat sebelum awitan penyakit, atropi bilateral lobus temporal medial 6 dan lebih spesifik
yaitu girus parahipokampus, hipokampus, dan amigdala, disorientasi spasial sel piramid
hipokampus 7 dan penurunan volume korteks prefrontal dorsolateral. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa semua perubahan ini tampaknya statis dan telah dibawa sejak lahir
(tidak ada gliosis) dan pada beberapa kasus perjalanannya progresif 8. Lokasinya
menunjukkan gangguan perilaku yang ditemui pada skizofrenia, misalnya gangguan
hipokampus dikaitkan dengan impermen memori dan atropi lobus frontalis dihubungkan
dengan simptom negatif skizofrenia. Penemuan lain yaitu adanya antibody sitomegalovirus
dalam cairan cerebrospinal (CSS), limfosit atipikal tipe P (terstimulasi), gangguan fungsi
hemisfer kiri, gangguan transmisi dan pengurangan ukuran corpus colosum, pengecilan
vermis serebri, penurunan aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus frontal (dilihat
1
dengan PET), kelainan EEG, EP P300 auditorik (dengan QEEG), sulit memusatkan
perhatian dan perlambatan waktu reaksi, serta berkurangnya kemampuan menamakan
benda.
Pada individu yang berkembang menjadi skizofrenia terdapat peningkatan insiden
komplikasi persalinan (premature, berat badan lahir rendah (BBRL), lahir pada masa
epidemi influenza), lebih besar kecenderungan lahir pada akhir musim dingin atau awal
musim panas, dan terdapat gangguan neurologi minor. Kemaknaan penemuan-penemuan
ini belum diketahui. Bagaimanapun, ini menunjukkan adanya dasar biologik dan
heterogenitas skizofrenia.
2. Biokimia
Etiologi biokimia skizofrenia belum diketahui. Hipotesis yang paling banyak yaitu
adanya gangguan neurotransmitter sentral yaitu terjadinya peningkatan aktivitas dopamin
sentral (hipotesis dopamin). Hipotesis ini dibuat berdasarkan tiga penemuan utama:
1. Efektivitas obat-obat neuroleptik (misalnya fenotiazin) pada skizofrenia, ia bekerja
memblok reseptor dopamin pasca sinaps.
2. Terjadinya psikosis akibat penggunaan amfetamin. Psikosis yang terjadi sukar
dibedakan, secara klinis, dengan psikosis skizofrenia paranoid akut. Amfetamin
melepaskan dopamin sentral. Selain itu, amfetamin juga memperburuk skizofrenia.
3. Adanya peningkatan jumlah reseptor di nukleus kaudatus, nukleus akumben, dan
putamen pada skizofrenia.
Penelitian reseptor saat ini tidak banyak memberikan hasil 9 . Teori lain yaitu
peningkatan serotonin di susunaan saraf pusat. Setelah pemberian obat yang bersifat
antagonis terhadap neurotranmiter tersebut terjadi perbaikan klinis skizofrenia.
3. Genetika
Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara bermakna, kompleks dan
poligen 10 . Sesuai dengan penelitian hubungan darah, skizofrenia adalah gangguan yang
bersifat keluarga (misalnya terdapat dalam keluarga). Semakin dekat hubungan kekerabatan
semakin tinggi risiko. Pada penelitian anak kembar 11 , kembar monozigot mempunayi
resiko 4-6 kali lebih sering menjadi sakit bila dibandingkan dengan kembar dizigot. Pada
penelitian adopsi, anak yang mempunyai orang tua skizofrenia diadopsi, waktu lahir, oleh
kelurga normal, peningkatan angka sakitnya sama dengan bila anak-anak tersebut diasuh
sendiri oleh orangtuanya yang skizofrenia. (lihat tabel)
1
Tabel. Risiko terjadinya skizofrenia selama kehidupan
Populasi umum 1%
Kembar monozigot * 40-50%
Kembar dizigot 10%
Saudara kandung skizofrenia 10%
Orang tua 5%
Anak dari salah satu orang tua skizofrenia 10-15%
Anak dari kedua orang tua skizofrenia 30-40%
*catatan bahwa 50% kembar monozigot tidak keduanya menderita skizofrenia, sehingga jelaslah
bahwa faktor lingkungan juga memegang peranan. Terjadinya penyakit merefleksikan adanya faktor
bawaan dan pengasuhan.
Frekuensi kejadian gangguan nonpsikotik meningkat pada keluarga skizofrenia dan
secara genetik dikaitkan dengan gangguan kepribadian ambang dan skizotipal (gangguan
spektrum skizofrenia), gangguan obsesif-kompulsif, dan kemungkinan dihubungkan dengan
gangguan kepribadian paranoid dan antisosial.
4. Faktor Keluarga
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan
kekambuhan dan mempertahnkan remisi. Pasien yang pulang ke rumah sering relaps pada
tahun berikutnya bila dibandingkan dengan pasien yang ditempatkan dipanti penitipan.
Pasien yang beresiko adalah pasien yang tinggal bersama keluarga yang hostil,
memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, sangat protektif terhadap pasien, terlalu ikut
campur, sangat pengeritik (disebut ekspresi emosi tinggi)12 . Pasien skizofrenia sering tidak
“dibebaskan” oleh keluarganya.
Beberapa peneliti mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologis dan aneh
pada keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering samar-samar atau tidak jelas dan
sedikit tidak logis. Pada tahun 1956, Betson menggambarkan suatu karakteristik “ikatan
ganda” yaitu pasien sering diminta oleh anggota keluarga untuk merespons pesan yang
bentuknya kontradiktif sehingga membingungkan. Penelitian terbaru menyatakan bahwa
pola komunikasi keluarga tersebut mungkin disebabkan oleh dampak memiliki anak
skizofrenia. 13
1
VI. DIAGNOSIS BANDING
Skizofrenia harus dibedakan dengan semua kondisi yang menimbulkan psikosis aktif.
Semua kemungkinan-kemungkinan harus dengan hati-hati disisihkan misalnya gangguan
skizoafektif, gangguan afektif berat, dan semua kondisi organik yang sangat mirip dengan
skizofrenia, misalnya stadium awal Khorea Huntington, stadium awal penyakit Wilson, epilepsi
lobus temporalis atau frontalis, stadium awal multiple sklerosis dan sindrom lupus
eritomatosus, porfiria, paresis umum, penyalahgunaan zat yang kronik, dan halusinasi
alkoholik kronik. Hati-hati menilai katatonia untuk kondisi medik/neurologik.
VII. PENGOBATAN
1. Terapi biologik
Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Obat ini dibagi dalam dua kelompok,
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu dopamin receptor antagonis (DRA) atau
antipsikotika generasi I (APG-I) dan serotonin dopamin antagonis (SDA) atau antipsikotika
konvensional atau tipikal sedangkan APG-II disebut juga antipsikotika baru atau atipikal.
Sebaiknya skizofrenia diobati dengan APG-II dengan kisaran dosis ekuivalen
klorpromazin 300-600 mg per hari atau kadang-kadang mungkin lebih. Pemeliharaan
dengan dosis rendah antipsikotika diperlukan, setelah kekambuhan pertama. Dosis
pemeliharaan sebaiknya diteruskan untuk beberapa tahun.
Obat APG-I berguna terutama untuk mengontrol gejala-gejala positif sedangkan
untuk gejala negatif hampir tidak bermanfaat. Obat APG-II bermanfaat baik untuk gejala
positif maupun negatif. 16
Standar emas baru adalah APG-II. Meskipun harganya mahal tetapi manfaatnya
sangat besar. Pilihlah APG-II yang efektif dan efek samping yang lebih ringan dan dapat
digunakan secara aman tanpa memerlukan pemantauan jumlah sel darah putih setiap
minggu. Gunakanlah APG-II yang aman yang anda tidak harus memantaunya secara ketat.
Di bawah ini akan dibahas mengenai APG-I dan APG-II.
a. Antipsikotika Generasi Pertama
1
Obat golongan APG-I disubklasifikasikan lagi sesuai dengan struktur kimia dan
efek klinis. Cara lain untuk mengklasifikasikannya yaitu sesuai potensinya. Sesuai
dengan potensinya, APG-I diklasifikasikan sebagai berpotensi rendah, sedang dan
tinggi. Pembagian ini berguna bagi klinikus karena ia dapat memberikan informasi
tentang banyak obat yang dibutuhkan untuk mendapatkan efek klinik dan perkiraan efek
samping yang akan terjadi.
Kimiawi APG-I
- Fenotiazine
Semua fenotiazine mempunyai struktur yang sama yaitu tiga cincin.
Perbedaannya terletak pada rantai samping atom nitrogen cincin tengah. Fenotiazine
terdiri tiga jenis, berdasarkan subsitusi pada posisi sepuluh. Subsitusi ini
memberikan pengaruh penting terhadap karakteristik farmakologi fenotiazine.
Subsitusi pada rantai alifatik, seperti khlopromazin menyebabkan turunnya
potensi antipsikotik. Obat ini cenderung menyebabkan sedasi, hipotensi, dan efek
antikolinergik, pada dosis terapeutiknya. Khlorpromazin mempunyai atom chlorine
pada posisi dua. Apabila atom chlorine dibuang, akan dihasilkan promazine yaitu
suatu antipsikotik lemah. Mensubstitusi piperidine pada posisi sepuluh dapat
menghasilkan kelompok antipsikotik seperti tioridazine. Obat ini mempunyai
potensi dan profil efek samping yang sama dengan fenotiazine alifatik. Flufenazin
dan trifluoperazine merupakan antipsikotik dengan kelompok piperazin yang
disubstitusi.
Piperazin memiliki efek otonom dan antikolinergik lebih rendah tetapi
memiliki afinitas yang tinggi sehingga efek samping ekstrapiramidalnya (EPS) lebih
tinggi. Beberapa fenotiazine piperazin diesterifikasi pada kelompok hidroksil bebas
dengan etanoat dan asam dekanoat sehingga terbentuk AP depo APG-I jangka
panjang.
- Tioxantine
Tioxantine mempunyai persamaan struktur cincin tiga dengan fenotiazin tetapi
nitrogen pada posisi sepuluh disubstitusi dengan atom karbon. Klorprotixine
merupakan tioxantine alifatik potensi rendah dengan perofil efek samping sama
dengan khlopromazin.
- Butirofenon
Butirofenon mempunyai cincin piperidine yang melekat pada kelompok amino
tertier. Haloperidol merupakan antipsikotik yang termasuk kelompok ini.
1
Haloperidol dan butirofenon lain bersifat antagonis yang sangat poten. Efek
terhadap sistem otonom dan efek antikolinergiknya sangat minimal. Haloperidol
merupakan piperidine yang paling sering digunakan.
- Dibenzoxazepine
Obat antipsikotika ini mempunyai struktur cincin tiga dengan tujuh cincin
pusat. Loxapine adalah satu-satunya obat dari kelompok ini yang tersedia saat ini di
Amerika Serikat. Clozapine, dibenzodizepine, berbeda dengan loxapine yaitu
adanya nitrogen sebagai pengganti atom oksigen di cincin tengah dan juga berbeda
dalam rantai samping.
- Dihidronidol
Dihidronidol secara struktur dikaitkan dengan serotonin, melatonin, dan
halusinogen indol seperti dimetiltriptamin. Molindone satu-satunya dihidronidol
yang tersedia di Amerika Serikat.
- Difenilbutil Piperidine
Difenilbutil piperidine sama strukturnya dengan butirofenon. Pimozide, satu-
satunya difenilbutil piperidine yang tersedia.
Farmakokinetik
Obat-obat antipsikotika berbeda-beda farmakologinya. Fenotiazin dan
tioxantine mempunyai persamaan struktur dan juga mempunyai cara metabolisme
yang sama. Begitu pula butirofenon dan difenilbutil piperidine, juga mempunyai
persamaan dalam struktur dan cara metabolismenya. Konsentrasi obat-obat yang
kerjanya pendek meningkat dengan cepat selama fase absorbsi dan menurun selama
fase distribusi, metabolisme, dan eliminasi. Fase distribusi, metabolisme, dan
eliminasi dipengaruhi oleh faktor yang berbeda bergantung dari struktur kimia
antipsikotiknya.
- Absorbsi
Pada umumnya, obat-obat antipsikotik diabsorbsi bila ia diberikan peroral atau
perentral. Absorbsi pemberian oral kurang dapat diprediksi jumlahnya bila
dibandingkan dengan pemberian perentral. Obat dalam bentuk cairan diabsorbsi
lebih cepat daripada tablet. Puncak konsentrasi plasma obat-obat antipsikotika
dicapai 1-4 jam setelah pemberian oral dan 30-60 menit setelah pemberian intra
1
musculus (IM). Obat-obat IM mencapai konsentrasi puncak lebih cepat daripada
obat-obat oral. Awitan kerjanya juga lebih cepat. Konsentrasi puncak sebagian besar
antipsikotika IM dicapai dalam waktu ± 30 menit dan efek klinik terlihat dalam 15-
30 menit. Konsentrasi puncak plasma pada pemberian oral dicapai dalam 1-4 jam
setelah pemberian. Obat-obat antasid, kopi, rokok, dan makanan dapat
mempengaruhi absorbsi.
Variable-variabel yang mempengaruhi farmakokinetik antipsikotika:
a. Umur
Kemampuan klirens obat pada orangtua sangat bervariasi. Pada orang
yang sangat tua (>80 tahun), kemampuan klirens selalu berkurang.
b. Genetik
Polimorfisme pada enzim CYP 2D6 dan CYP 2C19 berpengaruh
terhadap farmakokinetik. Faktor etnik juga berpengaruh terhadap
farmakokinetik. Terdapat variasi yang luas pada masing-masing pasien bila
dikaitkan dengan CYP 3A.
c. Penyalahgunaan Zat
Pada perokok terdapat peningkatan metabolisme obat karena terjadinya
peningkatan enzim CYP 1A2. Pada ketergantungan etanol dapat terjadi
peningkatan atau penurunan kemampuan metabolisme obat. Keadaan ini
bergantung dari beratnya perilaku penggunaan alkohol, keadaan fungsi hepar
dan nutrisi.
d. Kondisi Medik
Penurunan aliran darah hepar dapat menurunkan klirens.
e. Penghambat Klirens
Selective serotonin teuptake inhibitors (SSRRI), TCA, cimetidine,
beta-bloker, isoniazid, metilfenidat, erythromycin, triazolobezo diazepine,
khloramfenikol, ciprofloxacin, ketoconazole, dan lain-lain dapat menghambat
klirens.
f. Penginduksi Enzim
Karbamazepine, fenotoin, etambutol, dan barbiturate dapat
menginduksi enzim sehingga meningkatkan metabolisme antipsikotik.
g. Perubahan Protein Pengikat
Perubahan dalam ikatan protein dapat terjadi akibat stress (fase akut
dapat meningkatkan ikatan dnegan protein) dan hipoalbumin yang sering
terjadi pada malnutrisi, kegagalan hepar dan ginjal.
1
Konstentrasi obat stabil dalam darah (steady state) biasanya dicapai
dalam waktu 3-5 kali waktu paruhnya. Apabila waktu paruhnya sekitar 24
jam, tingkat kestabilan dalam darah obat-obat seperti khlopromazine,
haloperidol, dan APG-I lainnya dapat dicapai 3-5 hari. Bioavailabilitas
(jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik) meningkat secara nyata (± 10
kali) bila APG-I diberikan perentral. Perbedaan ini dapat mereflesikan
absorbsi yang tak sempurna dalam sistem pencernaan.
- Distribusi
Penurunan konsentrasi plasma terjadi karena pendistribusian obat ke berbagai
bagian tubuh. Karena obat antipsikotik bersifat lipofilik, ia cenderung terakumulasi
dalam jaringan lemak, paru dan otak. Karena konsentrasi dalam otak cenderung
seimbang dengan konsentrasi dalam plasma, pengukuran konsentrasi plasma dapat
memperkirakan konsentrasi dalam otak.
Sebagian besar APG-I terikat dengan protein. Lebih dari 90% flufenazine dan
haloperidol terikat dalam protein plasma. Sisanya atau yang terikat akan melewati
sawar otak. Kondisi yang mengganggu jumlah protein plasma (misalnya malnutrisi)
mempengaruhi jumlah bioavaibilitas antipsikotik.
- Metabolisme dan Eliminasi
Sebagian besar metabolisme APG-I dilakukan oleh hepar dan terjadi malalui
konyugasi (dengan asam glukorinat), hidroksilasi, oksidasi, demetilasi, dan
pembentukan sulfoksida.
Metabolisme fenotiazin dan tioxantine lebih kompleks. Misalnya,
khlorpromazine mempunyai metabolit penting lebih dari 100. Beberapa metabolit
memiliki aktivitas farmakologis yang bermakna. Tioridazine memiliki metabolit
yang lebih aktif dari tioridazin induknya. Sebaliknya, haloperidol hanya mempunyai
satu metabolit utama yang mempunyai aktifitas dopaminergik yang kurang bila
dibandingkan dengan haloperidol induknya. Haloperidol yang dalam bentuk
metabolit ini diubah kembali ke dalam bentuk aslinya dan ia berkontribusi dalam
aktivitas antipsikotik tersebut.
Sebagian besar APG-I dimetabolisme oleh isoenzim P450 (CYP) 2D6 dan
CYP 3A. karena isoenzim yang sama juga memetabolisme sejumlah obat yang sering
digunakan dalam kombinasi dengan antipsikotika, sejumlah interaksi obat dapat
terjadi. Pada masing-masing pasien terdapat perbedaan yang substansial dalam
1
kemampuan absorbsi, distribusi, dan memetabolisme obat dan kondisi ini dapat
memengaruhi dosis obat. Obat-obat yang tidak mengalami perubahan dieksresikan
melalui ginjal.
Farmakokinetik obat-obat depo
Obat AP depo jangka panjang berbeda dengan obat-obat oral jangka pendek.
Flufenazine dan haloperidol depo disediakan dalam bentuk ester dan dilarutkan dalam
minyak. Obat diberikan melalui IM dan secara perlahan-lahan akan berdifusi dari
pelarut minyak ke jaringan sekitarnya. Obat diabsorbsi secara terus-menerus selama
interval injeksi. Obat depo jangka panjang akan mencapai kadar stabil dalam darah
lebih lama waktunya dan ia juga akan dieliminasi lebih lambat. Haloperidol dan
flufenazine depo mencapai kadar stabil lebih kurang tiga bulan sehingga kadar plasma
masih dapat dideteksi beberapa bulan setelah obat dihentikan.
Saat ini tersedia APG-II long acting yaitu risperidone long acting. Ia
merupakan suspense encer dengan pelarut air. Hampir tidak ada nyeri dan efek
samping ditempat penyuntikan. Ada tiga dosis yang tersedia saat ini yaitu 25 mg, 50
mg, dan 75 mg. obat ini efektif untuk pemberian akut atau jangka panjang dan
diberikan setiap dua minggu.
Penggunaan APG-I pada usia lanjut
Pasien usia lanjut membutuhkan dosis lebih rendah karena beberapa alasan:
1. Penurunan klirens ginjal
2. Penurunan cardiac ouput
3. Penurunan fungsi hepar
4. Penurunan aktivitas P450
5. Pasien lebih sensitive untuk EPS
Farmakodinamik
Obat APG-I bekerja pada reseptor-reseptor neurotransmitter. Aktivitas
reseptor akan diteruskan ke dalam peristiwa-peristiwa intraseluler.
Mekanisme Kerja APG-I
-Efek APG-I Terhadap Sistem Dopamin
Obat APG-I memberikan efek antipsikotik dengan jalan menurunkan aktivitas
dopamin. Haloperidol dan khlorpromazine dapat meningkatkan metabolisme
1
dopamin pada daerah yang kaya dopamine. Hal ini menunjukkan bahwa kedua zat
ini bekerja sebagai dopamin antagonis. Obat APG-I dapat menghambat aktivitas
dopamin yang diinduksi oleh amfetamin. Perilaku streotipi yang dimediasi oleh
penggunaan dopamin dapat berkurang dengan pemberian APG-I.
Zat-zat seperti amfetamin, methylphenidate, cocain, dapat meningkatkan
aktivitas dopamin. Efek APG-I sebagai antipsikotika dikaitkan dengan
kemampuannya menurunkan aktivitas dopamin. Obat APG-I dikaitkan dengan
afinitasnya yang kuat terhadap D2. Ia bekerja efektif, bila 80% D2 di otak dapat
dihambat. Bila hambatan terhadap reseptor D2 lebih besar, extrapyramidal
simptoms (EPS) dapat terjadi tanpa adanya penambahan efektivitas APG-I sebagai
antipsikotika.
Semua bentuk atau tipe skizofrenia dapat mengalami perbaikan dengan APG-
I. tidak ada bukti bahwa subtipe skizofrenia tertentu berespons lebih baik terhadap
jenis antipsikotika tertentu. Obat APG-I yang berpotensi rendah lebih bersifat sedasi
sehingga ia lebih efektif untuk pasien yang lebih agitatif. Sedangkan obat berpotensi
tinggi, nonsedasi, lebih efektif untuk pasien yang menarik diri. Wanita lebih
berespons dan membutuhkan dosis antipsikotika lebih rendah bila dibandingkan
dengan pria.
-Efek Terhadap Organ dan Sistem Tertentu
Efek Terhadap Sistem Motorik
Dosis tinggi APG-I dapat menimbulkan sindrom immobilitas yaitu tonus otot
meningkat dan postur abnormal disebut katalepsi. Zat ini dapat menurunkan aktifitas
motorik karena ia menginaktifkan neuron dopamin pada substansia nigra. Semua
obat APG-I dapat menimbulkan efek samping EPS. Efek samping ini dibagi menjadi
efek akut yaitu efek yang terjadi pada hari-hari atau minggu-minggu pertama
pemberian obat. Sedangkan efek kronik yaitu efek yang terjadi setelah berbulan-
bulan atau bertahun-tahun menggunakan obat. Di bawah ini beberapa efek samping
EPS akut:
a. Parkinsonisme
Parkinsonisme dikaitkan dengan blockade dopamin di ganglia basal. Pasien
dapat mengalami semua gejala yang sama dengan gejala penyakit Parkinson
idiopatik sebagai regiditas, bradikinesia, tremor, muka topeng, berjalan dengan
menyeret kaki, lenggang lengan berkurang atau seperti robot. Selain itu, refleks
1
glabella positif dapat pula ditemukan. Gejala ini sering terjadi antara lima hari
sampai dengan 30 hari pertama pengobatan. Faktor risiko terjadinya
parkinsonisme yaitu besarnya dosis, tuanya umur, riwayat parkinsonisme, dan
kerusakan ganglia basal.
Parkinsonisme dalam bentuk ringan dapat terlihat seperti penurunan gerakan
spontan, ekspresi wajah topeng, pembicaraan tidak spontan, dan kesulitan dalam
memulai aktivitas atau disebut juga akinesia. Keadaan ini sulit untuk dibedakan
dengan gejala negatif skizofrenia. Pasien akinesia terlihat seperti depresi.
Kecenderungan pasien dengan akinetis sulit untuk menyilangkan kaki mereka
dapat membantu untuk menilai akinetis.
b. Distonia Akut
Distonia akut yaitu spasme otot yang menetap atau sementara. Otot-otot
yang sering mangalami spasme yaitu otot badan, leher, dan kepala, serta
menyebabkan gerakan involunter. Keadan ini merupakan efek samping yang
paling menakutkan. Awitannya biasanya tiba-tiba. Sekitar 10% distonia terjadi
pada jam-jam pertama terapi obat dan 90% terjadi dalam tiga hari pertama
pengunaan obat. Gejala yang paling sering muncul yaitu opistotonus, rigiditas
otot-otot belakang, retrokolis, tortikolis leher, krisis okulogirik, spasme pada
sebelah atau kedua mata sehingga mata mendelik ke atas, makroglosia, protrusi
lidah sehingga bisa tercekik, dan distonia laring. Distonia laring dan otot faring
dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Akatisia
Akatisia merupakan EPS akut yang paling membuat penderitaan. Sekitar
41% pasien yang diobati dengan APG-I mengalami akatisia ringan dan 21%
mengalami akatisia sedang dan berat. Manifestasi klinis yang paling sering yaitu
ketidakmampuan pasien untuk duduk diam, sering mengubah-ubah posisi ketika
sedang duduk, jalan di tempat, kaki tidak bisa diam, dan pasien merasa gelisah
secara subjektif. Pasien akatisia selalu ingin bergerak atau berjalan. Pada kasus
yang ringan, pasien merasa gelisah tetapi tidak memperlihatkan peningkatan
aktifitas motorik.
Akatisia dapat terlihat pada hari kedua atau ketiga penggunaan antipsikotik
tetapi yang paling sering terjadi yaitu pada hari kelima. Membedakan akatisia
dengan kegelisahan yang dikaitkan dengan gejala psikotik sangat sulit.
1
Kegelisahan pada psikotik biasanya disebabkan oleh iritabilitas dan ansietas.
Pasien psikotik dengan akatisia kadang-kadang terlihat lebih hostil. Klinikus
sering salah menilai keadaan ini yaitu pasien dianggap gelisah akibat gejala
psikotiknya tidak berespons terhadap antipsikotik sehingga dosis obat dinaikkan.
Akibatnya gejala akatisia semakin memburuk.
Penatalaksanaan EPS Akut
Obat asetil-kolin efektif untuk menghilangkan EPS. Distonia akut dapat
dihilangkan dengan injeksi IM/IV diphenhydramine (Benadryl), benztropine
(Congentin) IM/IV atau asetil-kolin lainnya dalam beberapa menit obat memasuki
aliran darah. Obat asetil-kolin oral biasanya diberikan untuk parkinsonisme dan
akatisia. Penurunan dosis antipsikotika sering efektif. Walaupun demikian, EPS dapat
terjadi pada penatalaksanaan psikosis dengan dosis minimum. Amantadine,
memengaruhi rilis dopamine, juga efektif untuk mengurang gejala EPS. Agonis
dopamin langsung (bromocriptine) dan agonis dopamin yang tidak langsung
(levodopa) dapat diberikan tetapi harus hati-hati karena ia dapat memperburuk gejala
psikotik.
Antikolinergik efektif untuk mengatasi akatasia. Antagonis reseptor
adrenergik seperti propanolol (inderal 10-80 mg/hari) juga efektif untuk mengobati
akatisia. Karena akatisia merupakan gangguan dalam keseimbangan antara dopamine
dan norepinefrin, pemberian propanolol dapat bermanfaat.
Pemberian antikolinergik harus hati-hati pada pasien hipertermia dan delirium
karena ia dapat memperberat penurunan kesadaran. Juga harus hati-hati pada pasien
glaucoma, ileus, retensi urine, dan hipertopi prostat.
Pada tahun 1990, WHO mempublikasi konsesus tentang penggunaan
antikolinergik pada pasien yang menerima antipsikotika jangka panjang. Konsensus
itu menentang penggunaan antikolinergik sebagai profilaktik efek samping
antipsikotika. Hal ini karena sekitar 30%-50% pasien yang menerima antipsikotika
tidak memerlukan antikolinergik. Selain itu, penggunaan antikolinergik juga dapat
memberikan efek samping seperti memburuknya TD, risiko toksisitas antikolinergik,
dan gangguan memori, serta kemungkinan timbulnya interaksi farmakokinetik dengan
obat yang sedang digunakan. Konsensus menyatakan bahwa penggunaan
antikolinergik sudah sangat berlebihan oleh karena itu ia harus diresepkan bila
dibutuhkan. Efek samping yang muncul seharusnya diatasi dengan mengurangi dosis
antipsikotika yang digunakan atau mengganti dengan antipsikotika jenis lain.
1
Akatisia ringan dapat terlihat seperti anksietas atau iritabilitas dan diskinesia
ringan dapat terlihat seperti simptom negatif (motifasi kurang dan efek tumpul). Pada
kondisi ini antikolinergik jangka panjang dapat bermanfaat. Profilaksis antikolinergik
dapat diberikan bila pasien beresiko untuk terjadinya efek samping seperti pasien usia
muda yang diobati dengan APG-I potensi tinggi. Beberapa pasien, kadang-kadang
menginterpretasikan distonia sebagai alergi obat sehingga ia menolak obat. Oleh
karena itu, pada pasien yang ada resiko dapat digunakan antikolinergik profilaksis
tetapi dosis secara barangsur-angsur diturunkan. Adanya EPS harus dievaluasi secara
teratur.
Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS)
Efek samping ini sangat jarang terjadi, walaupun demikian kejadian ini sering
fatal. Gambaran klinis NMS yaitu:
1. Hipertermia
2. Rigiditas otot yang sangat berat
3. Sistem otonom yang tak labil (hipertermia, takikardi, tekanan darah meningkat,
takipneu, dan diaforesis)
4. Penurunan kesadaran
5. Peningkatan keratin fosfokinase
6. Peningkatan transaminase hati, leukositosis, dan mioglobinuria
7. Dapat terjadi kegagalan ginjal akut
Kematian berkisar antara 20%-30% dan angka ini lebih tinggi bila yang
digunakan adalah obat depo. Efek samping NMS sering terjadi pada penggunaan
APG-I potensi tinggi, dosis tinggi, atau bila kenaikan dosis terlalu cepat. Sering
terjadi pada usia muda dan pria dua kali lebih sering daripada wanita. Klinikus
harus hati-hati bila pasien memperlihatkan gejala regiditas otot yang berat dan
disertai dengan peningkatan temperature tubuh. Diagnosis dan terapi dini sangat
menolong keslamatan jiwa pasien.
- Penatalaksanaan
Bila ada dugaan NMS, antipsikotika yang sedang digunakan harus dihentikan.
Pasien diberikan terapi suportif dan simptomatis yaitu diberikan anti Parkinson
untuk gejala EPS, mengoreksi keseimbangan elektrolit, mengobati demamnya dan
mengoreksi gejala kardiovaskuler. Dantrolene (dantrium) efektif untuk mengobati
NMS berat. Terapi dimulai dengan memberikan 0,8-2,5 mg/kg BB, setiap 6 jam,
1
secara IV. Dosis maksimum 10 mg/kg BB per hari. Apabila gejala berkurang,
dantrolene diberikan secara oral dengan dosis 100-200 mg/hari. Bromokiptine
dapat ditambahkan dnegan dosis 20-30 mg/hari dalam empat kali pemberian.
Terapi berlangsung 5-10 hari kecuali bila yang digunakan depo. Penyebab dan
resiko biologik tidak diketahui. Apabila pasien sembuh dari NMS-nya, biasanya
APG-I yang sama dapat digunakan kembali.
Tardive Diskinesia (TD)
Efek samping TD sering terjadi setelah terapi jangka panjang dengan APG-I.
pasien dengan TD sering memperlihatkan berbagai gerakan motorik abnormal.
Misalnya, gerakan lidah, mulut, mengecap-ngecapkan bibir, menghisap, dan
mengerutkan wajah atau meringis. Gerakan lain yaitu gerakan anggota gerak yang
tidak terkoordinasi seperti gerakan koreoatetoid (jari tangan dan kaki), dan gerakan
menggeliatkan badan. Pasien dengan usia lebih muda cenderung memperlihatkan
gerakan atetoid badan, anggota gerak dan leher.
Apabila dosis antipsikotik diturunkan atau dihentikan, mula-mula akan terlihat
perburukan diskinesia (diskinesia muncul karena obat dihentikan) tetapi secara
berangsur-angsur diskinesia akan berkurang. Obat antiparkinsonisme sering
memperburuk TD tetapi apabila TD muncul bersamaan dengan gejala EPS lain,
pemberian obat antiparkinsonisme kadang-kadang tidak dapat dihindari.
Meskipun mekanisme biologik yang mendasari TD masih kontroversi,
beberapa peneliti menemukan bahwa TD dikaitkan dengan peningkatan sensitifitas
reseptor dopamin di ganglia basal. Ini didukung oleh observasi bahwa obat yang
menghambat dopamin menekan TD sedangkan obat yang bersifat agonis dopamin
memperburuk TD. Hambatan terhadap reseptor dopamin dapat meningkatkan
regulasi.
Sekitar 10%-20% pasien skizofrenia yang diobati dengan APG-I, setelah satu
tahun dapat mengalami TD. Dari suatu penelitian prospektif didapatkan bahwa sekitar
4%-5% pasien yang sedang menggunakan antipsikotika akan menderita TD setiap
tahun. Pada populasi tertentu resikonya lebih tinggi. resiko TD meningkat dengan
bertambahnya umur, terutama pada wanita. Angka kumulatif TD pada orang tua
adalah 25%, 34%, dan 53% setelah 1,2, dan 3 tahun diterapi dengan antipsikotika.
Walaupun terapi antipsikotika dihentikan, perbaikan TD jarang didapat terutama pada
orangtua.
Pasien dengan gangguan mood juga mempunyai resiko yang lebih besar untuk
terjadinya TD. Faktor resiko lain yaitu tingginya dosis obat dan lamanya jangka
1
pemberian antipsikotika. Pada mulanya ada dugaan bahwa perjalanan TD progresif
dan irreversible. Tidak semua pasien TD mengalami hal seperti ini. Beberapa pasien
mengalami perkembangan TD yang progresif pada awalnya tetapi kemudian menjadi
stabil atau tidak semakin buruk. Akhir-akhir ini ada bukti bahwa beberapa pasien TD
dapat mengalami remisi meskipun APG-I terus dikonsumsinya. Pasien yang sering
mendapatkan remisi yaitu pasien dengan awitan baru dan usia di bawah 40 tahun.
- Tremor Perioral
Pasien skizofrenia yang menerima APG-I secara teratur lebih dari enam bulan
harus dievaluasi kemungkinan adanya TD. Untuk mengevaluasi TD dapat
digunakan instrument Abnormal involuntary Movement Scale (AIMS). Apabila
ditemukan adanya TD, keputusan untuk melanjutkan APG-I harus dipertimbangkan.
Pertimbangan akibat penghentian antipsikotika terhadap penyakitnya dan efek
antipsikotika terhadap TD harus dibuat. Pada pasien yang sudah kronis, pilihan yang
sering diambil adalah melanjutkan antipsikotika. Hal ini harus setelah berdiskusi
dengan keluargadan pasien. Oenggunaan dosis efektif antipsikotika yang paling
kecil sering dapat mengurangi TD.
Pasien dengan TD yang berat dapat diberikan clozapine karena clozapine
dapat menekan TD. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang terbukti
bahwa clozapine tidak meningkatkan sensitifitas reseptor D2.
American Psychiatric Association Task Force on Tardive merekomendasikan
sejumlah langkah untuk mencegah dan mengatasi TD:
1. Menetapkan bukti objektif bahwa antipsikotika efektif
2. Menggunakan dosis efektif minimum untuk terapi jangka panjang
3. Perhatian ditingkatkan bila pasien anak-anak, dewasa tua dan pasien dengan
gangguan mood
4. Periksa pasien secara teratur tentang kemungkinan adanya TD dan dicatat di
rekam medik
5. Bila pasien didiagnosis menderita TD, pertimbangkan penurunan dosis,
menghentikan antipsikotika atau menggunakan obat APG-II
1
Jenis-jenis obat APG-I
Nama Generik Nama Dagang Dosis Akut Dosis Pemeliharaan
mg/hari mg/hari
Phenothiazine
Chlorpromazine Promactil 200-1000 50-400Thioridazine Melleril 200-800 50-400Perphenazine Trilafon 12-64 8-24Trifluoperazine Stelazine 10-60 4-30
Butyrophenones
Haloperidol Haldol 5-20 1-15
Diphenylbutylpiperidines
Pimozide Orap 2-10 2-10
Long-acting injectable preparation
Fluphenazine decanoate *Modecate injHaloperidole decanoate **Haldol decanoate
*dosis 12,5 mg setiap 1-4 minggu
**dosis 25-200 setiap 2-4 minggu
b. Jenis-jenis Obat APG-IIObat-obat antipsikotik yang baru dengan efikasi uang lebih baik dan efek samping
minimal. Ada beberapa jenis APG-II.
1. Clozapine
Clozapine merupakan antipsikotika pertama yang efek samping
ekstrapiramidalnya dapat diabaikan. Dibandingkan dengan obat-obat generasi
pertama, semua APG-II mempunyai rasio blockade serotonin (5 hidroksitriptamin)
(5-HT) tipe 2 (5-HT2) terhadap reseptor dopamin tipe 2 (D2) lebih tinggi. Ia lebih 1
banyak bekerja pada sistem dopamin mesolimbik daripada striatum. Antipsikotika
tradisional memengaruhi neuron dopamin di striatum dan limbik. Semua obat-obat
baru ini, kecuali clozapin, karena efek samping dan butuh pemeriksaan darah tiap
minggu, adalah obat-obat pilihan pertama (first line-drug). Sebaliknya, clozapine
efektivitasnya sudah tercapai meskipun hanya 40%-60% D2 yang dihambat. Ada
dugaan bahwa efektifitas clozapine sebagai antipsikotika didapat karena ia juga
bekerja pada reseptor lain terutama 5-HT2A. dengan positrone emission
tomography (PET) didapatkan bahwa tidak ada perbedaan dalam hambatan reseptor
D2 pada striatum antara individu yang berespons terhadap antipsikotika dengan
yang tidak berespons. Akibatnya timbul dugaan bahwa ada proses di luar dopamin
yang memengaruhi respons antipsikotika.
Farmakokinetik
- Absorbsi
Clozapine hanya tersedia dalam bentuk preparat oral konsentrasi
plasma puncak dicapai setelah 2 jam pemberian oral.waktu paruh eliminasi
adalah 12 jam (antara 10-16 jam). Pemberian bersama-sama dengan obat
yang terikat dengan protein dapat meningkatkan konsentrasi clozapine
bebas.
- Distribusi
Volume distribusi clozapine lebih rendah.
- Metabolisme dan Eliminasi
Metabolisme utama di liver dan GIT. Bioavailabilitas absolute
(presentase clozapin yang mencapai sirkulasi sistemik yang tak mengalami
perubahan) setelah pemberian oral berkisar antara 27%-47%. Ada dua
bentuk metabolit (setelah demetilasi dan oksidasi) yaitu N-demethyl dan N-
Oxide. Kedua metabolit ini dikeluarkan dengan cepat. Sekitar 80% clozapine
yang diberikan ditemukan dalam urine dan feses dalam bentuk metabolitnya.
Sekitar 5% ditemukan dalam urine dalam bentuk aktif.
- Farmakodinamik
Konsentrasi plasma clozapine bervariasi pada pasien-pasien yang
menggunakan clozapine. Hal ini disebabkan adanya variasi absorbs. Wanita
memperlihatkan konsentrasi plasma lebih tinggi dan perokok lebih rendah
(20%-30%). Konsentrasi plasma pada lanjut usia (lansia) dua kali lebih
tinggi bila dibandingkan dengan orang muda. Terdapat kaitan antara
1
konsentrasi plasma clozapine dengan respons klinik. Pemantauan
konsentrasi plasma clozapine mungkin berguna pada kondisi-kondisi
tertentu. Konsentrasi plasma clozapine berkisar antara 100-80 ᵑg/mL per mg
obat yang diberikan per kilogram berat badan (BB). Dosis 300-400 mg
(5mg/kg BB) dikaitkan dengan konsentrasi plasma yangberkisar antara 200-
400 ᵑg/mL. respons klinik baru didapat bila konsentrasi plasma lebih dari
350 ᵑg/mL. Bila dengan konsentrasi plasma 250 ᵑg/mL, tidak berespons
setelah 6 minggu, dosis obat harus dinaikkan sampai konsentrasi 350 ᵑg/mL
tercapai.
Clozapine Clozaril 150-600 150-400
- Mekanisme Kerja
Afinitasnya terhadap D2 rendah sedangkan terhadap 5-HT2 tinggi. hal
ini yang menyebabkan rendahnya efek samping ekstra piramidal. Obat-
obatan antipsikotik konvensional memblok reseptor D2 di forebrain lebih
banyak sehingga terdapat efek samping ekstrapiramidal. Dengan PET
terlihat bahwa pemberian clozapine, dosis efektif, D2 reseptor yang
ditempati hanya sekitar 40%-50%, sedangkan 10 mg haloperidol menempati
D2 reseptor lebih dari 80%.
2. Risperidone
Risperidone merupakan antipsikotika pertama, setelah clozapin, yang
mendapat persetujuan FDA. Risperidone termasuk ke dalam kelompok
benzisoxazole. Risperidone dengan nama dagang Risperdal tersedia dalam bentuk
tablet yaitu 1 mg, 2 mg, dan 3 mg. dosis berkisar antara 4-16 mg tetapi dosis yang
biasa digunakan berkisar antara 4-8 mg. selain dalam bentuk tablet, risperidone juga
tersedia dalam bentuk depo (long acting) yang dapat digunakan setiap dua minggu.
Obat ini disuntikkan secara IM dan tidak menimbulkan rasa sakit di tempat
penyuntikan karena ia merupakan suspense dengan pelarut air.
Farmakokinetik
- Absorbsi
Risperidone di metabolisme di liver menjadi 9-hydroxyrisperidone,
yang profil farmakologiknya sama dengan komponen induknya. Puncak
plasma level, komponen induk, dicapai setelah satu jam pemberian
sedangkan untuk hasil metabolitnya setelah tiga jam.
1
- Metabolisme dan Eliminasi
Bioavailabilitas risperidone adalah 70%. Enzim hepar yang
metabolismenya adalah CYP 2D6. Enzim ini tidak aktif pada sekitar 7% orang
kulit putih (genetik poliomorfisme). Oleh karena metabolitnya mempunyai
aktifitas yang hampir sama dengan komponen induknya, variasi ini tidak
begitu berpengaruh.
- Farmakodinamik
Tidak terdapat hubungan yang jelas antara konsentrasi risperidone
dalam darah dengan efikasi klinik.
- Mekanisme Kerja
Risperidone merupakan antagonis kuat baik terhadap serotonin
(terutama 5-HT2A) dan reseptor D2. Risperidone juga mempunyai afinitas
kuat terhadap α1 dan α2 tetapi afinitas terhadap β-reseptor dan muskarinik
rendah. Walaupun dikatakan ia merupakan antagonis D2 kuat, kekuatannya
jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan haloperidol. Akibatnya efek
samping ekstrapiramidalnya lebih rendah bila dibandingkan dengan
haloperidol. Aktivitasnya melawan simpton negatif dikaitkan dengan
aktivitasnya terhadap %HT2 yang juga tinggi.
3. Olanzapine
Olanzapine merupakan obat yang aman dan efektif untuk mengobati
skizofrenia baik simpton positif maupun negative. Efek sampingnya sangat ringan.
Farmakokinetik
- Absorbsi
Tidak dipengaruhi oleh makanan.
- Distribusi
Kadar puncak plasma dicapai setelah 5 jam pemberian. Waktu paruh
31 jam (rata-rata 21-54 jam) dengan satu kali dosis. Obat terikat dalam protein
plasma sekitar 93%. Pengaruh umur, gender, dan etnik terhadap konsentrasi
olanzapine sangat rendah.
- Metabolisme dan Eliminasi
Afinitas olanzapine terhadap enzim cytochrome P450 (CYP 2D6, CYP
1A2, CYP 3A4, CYP 2C19) sangat rendah, sehingga pengaruh terhadap
1
metabolisme obat lain sangat kecil, atau konsentrasi obat-obat lain dalam
darah sangat sedikit sekali terpengaruh.
- Farmakodinamik
Konsentrasi olanzapine cenderung lebih tinggi pada wanita daripada
pria.
- Mekanisme Kerja
Olanzapine secara spesifik memblok 5-HT2A dan reseptor D2. Selain
itu ia memblok muskarinik (M1), H, 5-HT2E, 5-HT3, 5-HT6, α1, D1, dan D4
reseptor. Kemampuan memblok 5-HT adalah delapan kali lebih kuat
dibandingkan dengan kemampuannya memblok reseptor dopamin.
Kemampuan memblok D2 di mesolimbik lebih besar dibandingkan dengan
kemampuan memblok D2 di striatum, sehingga efek samping hanya terasa
pada pasien yang sangat rentan.
Bila disbandingkan dengan clozapine, olanzapine memblok D2 lebih
besar, sehingga dosis tinggi dapat meningkatkan kadar prolaktin dan efek
samping ekstrapiramidal. Olanzapine juga bersifat agonis terhadap 5-HT1A,
efek ini dikaitkan dengan efek antiansietas serta antidepresannya. Olanzapine
juga memblok phencyclidine (PCP). PCP merupakan antagonis reseptor N-
methyl-D-Aspartate (NMDA) yang menginduksi sindroma mirip simpton
positif, negatif, dan berkaitan dengan kognitif.
4. Quetiapine
Quetiapine merupakan dibenzothiazepine dengan potensi memblok 5-HT2
lebih kuat daripada D2.
Farmakokinetik
Waktu untuk konsentrasi maksimum (Tmax), setelah pemberian oral, sekitar
2 jam. Waktu paruh berkisar antara 3-5 jam. Konsentrasi steady-state dicapai
dalam waktu 48 jam. Quetiapine menempati reseptor D2, dengan dosis tunggal,
sebanyak 42% dan reseptor 5-HT2 sebanyak 72%. Setelah 8-12 jam, reseptor
masih tetap diduduki, tetapi konsentrasi dalam darah sudah turun, sehingga
dianjurkan dosis dua kali per hari. Quetiapine mempunyai banyak metabolit.
Sekitar 95% metabolit quetiapine adalah (3H) quetiapine. Ia ditemukan dalam
1
urine dan feses. Hanya satu paersen yang ditemukan dalam bentuk quetiapine
utuh.
Farmakodinamik
Dosis untuk lansia harus lebih rendah, terutama dosis awal. Pasien dengan
gangguan ginjal dan hepar membutuhkan dosis 30%-50% lebih rendah. Tidak
ditemukan adanya perbedaan jender dan etnik yang berhubungan dengan
aktivitas klinik dan konsentrasi dalam darah.
Mekanisme Kerja
Afinitas quetiapine terhadap 5-HT2, H1, 5HT6, α1, α2 tinggi. ia
berafinitas sedang terhadap D2 dan sigma reseptor, serta rendah terhadap
reseptor D1. Afinitas terhadap M1 dan reseptor D4 sangat rendah. Quetiapine
merupakan antipsikotika potensial dan efektif untuk gejala negatif tanpa efek
ekstra piramidal. Dapat terjadi peningkatan sementara konsentrasi prolaktin
(sangat jarang).
5. Ziprasidone
Merupakan kombinasi antagonis 5-HT2A dan reseptor D2, tanpa gejala
ekstrapiramidal, anti muskarinik, anti α1 atau antihistaminergik.
Farmakokinetik
- Absorbsi
Konsentrasi puncak, setelah perberian dosis tunggal dan beberapa
dosis, adalah sama. Kadar puncak dicapai 2-6 jam setelah pemberian obat.
Kisaran Tmax antara 4-5 jam. Absorbs tidak berubah dari hari ke 1 s.d. 18.
Bioavailabilitas obat menjadi dua kali lipat, bila ziprasidone diberikan
bersama makanan.
- Metabolisme dan Eliminasi
1
Steady state didapat setelah 1-3 hari dosis. Rata-rata waktu paruh
ziprasidone berkisar anatar 5-10 jam. Gangguan hepar dan renal, taraf
ringan-sedang, tidak berpengaruh terhadap farmakokinetik, sehingga
penyesuaian dosis tak diperlukan. Ziprasidone dimetabolisme secara
ekstensif dan kurang dari 1% diekskresikan dalam bentuk tak berubah
melalui urin dan feses.
- Mekanisme Kerja
Ziprasidone merupakan antagonis kuat terhadap 5-HT2. Rasio 5-HT2
terhadap D2 adalah 11. Ziprasidone mempunyai afinitas tinggi terhadap D3,
bertaraf sedang terhadap D4, dan rendah terhadap D1 (100 kali lebih rendah
dibandingkan reseptor dopamine lain). Ia bersifat agonis terhadap 5-HT1A,
dan antagonis kuat terhadap 5 –HT2E (5 kali lebih kuat daripada clozapin
dan 19 kali daripada risperidone), juga antagonis terhadap 5-HT1E. ia juga
mempengaruhi uptake norefinefrin dan serotonin. Afinitas terhadap reseptor
α1 sedang, dan terhadap reseptor H1 rendah. Ziprasidone adalah satu-
satunya zat yang menghambat uptake inhibisi norefinefrin dan serotonin.
2. Terapi Kejang Listrik (TKL)
Dapat juga bermanfaat untuk mengontrol dengan cepat beberapa psikosis akut.
Beberapa pasien skizofrenia yang tidak berspons dengan obat-obatan dapat membaik
dengan TKL 14,15,16.
3. Metode Psikososial
Terapi utama skizofrenia adalah farmakologi. Psikoterapi jangka panjang yang
berorientasi tilikan, tempatnya sangat terbatas. Di sisi lain, metode terapi psikososial
berorientasi suportif sangat bermanfaat terutama pada terapi jangka panjang skizofrenia.
Pasien skizofrenia harus didekati secara baik dengan penuh empati. Bangunlah
hubungan yang nyaman dengan pasien. Komunikasi yang baik dengan pasien sangat
diperlukan.
1. Katakan kepada pasien Anda, agar ia santai. Berikan kesan kepada pasien Anda
bahwa Anda percaya ia dapat berespons baik terhadap Anda.
1
2. Lebih spesifik misalnya ajukan pertanyaan-pertanyaan faktual yang penting. Coba
identifikasi ketakutan pasien saat ini dan perhatikan tetapi jangan terlibat dengan
diskusi panjang tentang waham dan halusinasi yang kompleks.
3. Lakukan observasi khusus tentang perilaku pasien (misalnya, “anda terlihat takut”,
“anda tampak marah” tetapi janagn terlibat dalam “interpretasi” yang berlebihan.
Jangan membuat kesimpulan yang salah tentang keadaan emosi dari afek yang tak
serasi.
4. Jelaskan kepada pasien apa yang dilakukan terhadapnya dan mengapa Anda
melakukannya.
5. Bila percakapan berlangsung (misalnya, pasien menolak bicara), hentikan wawancara
dengan member harapan positif (misalnya, kita akan kembali berbicara setelah
perasaan Anda lebih baik atau setelah Anda mau berbicara).
Bila pasien skizofrenia berada dalam keadaan delirium, ancaman bunuh diri, atau
membunuh, dan atau tidak mempunyai dukungan dari masyarakat, hendaklah dirawat. Bila
memungkinkan berobat jalan lebih baik guna menghindari hospitalisasi jangka lama. Efek
buruk hospitalisasi kronis sangat jelas (regresi dan sangat menarik diri, kehilangan
ketrampilan, dll). Kecenderungan saat ini adalah perawatan singkat selama episode akut
dan untuk pemeliharaan diantara episode akut dilakukan dengan berobat jalan.
Selama dirawat, biarkan pasien sebebas mungkin tetapi dibatasi pada lingkungan yang
aman. Lingkungan terapeutik (misalnya komunitas terapeutik, token ekonomi, dll) semua
bergantung dari lingkungan masyarakat (staf dan pasien), harus hati-hati dengan perilaku
pasien dan berikan bantuan “umpan balik koreksi”. Lingkungan adalah tempat bagi pasien
untuk mengembangkan ketrampilan mempertahankan hubungan interpersonal dan
mempelajari metode coping yang baru. Modifikasi perilaku sangat efektif untuk
menghilangkan perilaku tertentu yang tidak dapat diterima dan mengajarkan ketrampilan
personal sederhana kepada pasien rawat inap dengan fungsi yang sangta buruk dan regresi.
Sebagian pasien skizofrenia dapat diobati sebagai pasien rawat jalan. Beberapa
prinsip yang harus diingat:
- Kunjungi pasien sesering mungkin untuk memantau keamanan pasien dan untuk
mendeteksi deteriosasi awal (misalnya setiap minggu, bulan, atau bahkan setiap
beberapa bulan) bergantung dari reliabilitas pasien.
- Komunikasikan kepada pasien dengan jelas dan tidak ragu-ragu. Berorientasi tujuan
dan faktual. Hindari diskusi berlebihan tentang halusinasi dan waham (meskipun
penelitian terbaru menyatakan bahwa penggunaan terapi kognitif untuk merubah yang
dipikirkan pasien tentang suara-suara dapat mengurangi frekuensi suara-suara
1
tersebut). Bantu pasien dengan hal-hal realita (misalnya; mengatur kehidupan dan
pekerjaan). Bantu pasien menghindari stress yang berlebihan. Kenalilah bahwa
semakin produktif dan trampil pasien semakin besar kemungkinannya untuk
mempertahankan kesembuhan. Doronglah pasien untuk mendapatkan pekerjaan yang
sesuai. Berikan latihan ketrampilan sosial 17.
- Bicaralah tentang obat (misalnya; kebutuhan terhadap obat, perasaan pasien tentang
pemakaian obat, dll).
- Kembangkanlah hubungan penuh kepercayaan yang konsisten (sering sulit). Terus-
meneruslah bersikap empati, bahkan ketika pasien dalam keadaan sangat kacau, tetapi
juga mempertahankan jarak profesional.
- Pelajarilah kekuatan dan kelemahan pasien. Ajarkan pasien untuk mengidentifikasi
dekompensasi yang mengancam. Bila ada, ketahuilah faktor presipitatnya. Bila pasien
tidak datang untuk memenuhi janji, selidikilah (mungkin sedang kambuh). Bila pasien
sedang dekompensasi, desaklah untuk dirawat. Kenalilah bahwa ketergantungan dan
stimulasi yang berlebihan dapat mempresipitasi terjadinya dekompensasi. Pasien ini
beresiko untuk melakukan bunuh diri ketika ia sakit (terutama bila pasien mempunyai
halusinasi komando yang memerintahkan untuk merusak diri sendiri).
- Hendaknya kita selalu mengevaluasi keluarga. Apakah mereka berkontribusi dalam
terjadinya dekompensasi pada pasien? Apakah anggota keluarga dapat menerima baik
gangguan yang dialami pasien? Apakah mereka bermusuhan? Curiga? Beserta terlalu
melindungi? Pertimbangkan terapi keluarga, intervensi pasien/keluarga sangat
berguna. Anggota keluarga sering membutuhkan dukungan dan pengertian terhadap
diri mereka. Bila bekerja dengan baik, ia dapat menjadi pembantu utama pasien.
- Pertimbangkan terapi berkelompok. Orientasi biasanya terhadap dukungan dan
penilaian realita. Terapi kelompok membantu resosialisasi, mendorong interaksi
interpersonal, dan memberikan dukungan. Beberapa penelitian memperlihatkan
bahwa terapi kelompok efektif (kombinasi dengan obat) dalam mencegah
kekambuhan pada pasien rawat jalan.
- Ketahui dan gunakan sumber-sumber dalam masyarakat. Hendaklah disadari efek
yang merugikan terhadap pasien dari kualitas hidup yang buruk (misalnya; apakah
pasien hidup dalam “kampong (ghetto) psikiatrik” atau “menggelandang di jalanan”.
- Jangan berharap terlalu banyak. Kebanyakan pasien mempunyai disabilitas kronis.
VIII. PROGNOSIS
1
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis. Pasien secara berangsur-
angsur menjadi semakin menarik diri, dan tidak berfungsi setelah bertahun-tahun. Pasien dapat
mempunyai waham dengan taraf ringan dan halusinasi yang tidak begitu jelas (samar-samar).
Sebagian gejala akut dan gejala yang lebih dramatik hilang dengan berjalannya waktu, tetapi
pasien secara kronik mebutuhkan perlindungan atau menghabiskan waktunya bertahun-tahun
didalam rumah sakit jiwa.
Keterlibatan dengan hukum untuk pelanggaran ringan kadang-kadang terjadi
(misalnya, menggelandang, mengganggu keamanan) dan sering dikaitkan dengan
penyalahgunaan zat. Sebagian kecil pasien menjadi demensia. Secara keseluruhan harapan
hidupnya pendek, terutama akibat kecelakaan, bunuh diri, dan ketidakmampuannya merawat
diri.
Sebelumnya, skizofrenia dibedakan antara skizofrenia proses (terjadinya berangsur-
angsur, perjalanannya kronis deteriosasi) dan skizofrenia reaktif (awitan cepat, prognosis lebih
baik). Selain itu, skizofrenia juga dibedakan antara gejala positif (halusinasi, waham, perilaku
aneh, dll) yang biasanya berespons terhadap antipsikotika konvensional, dan gejala negatif
(afek datar, miskin pembicaraan, anhedonia, penarikan diri dari sosial, dll) yang tidak
berespons terhadap antipsikotika konvensional (berespons lebih baik terhadap obat-obat
antipsikotika baru).
Gambaran klinis yang dikaitkan dengan prognosis baik yaitu:
1. Awitan gejala-gejala psikotik aktif terjadi secara mendadak.
2. Awitan terjadi setelah umur 30 tahun, terutama pada perempuan.
3. Fungsi pekerjaan dan sosial premorbid (sebelum sakit) baik. Performa sebelumnya
tetap merupakan predikator terbaik untuk meramalkan performa di masa datang.
4. Kebingungan sangat jelas dan gambaran emosi menonjol, selama episode akut (gejala
positif); beberapa hal yang perlu ditanyakan yaitu:
a. Kemungkinan adanya suatu stressor yang mempresipitasi psikosis akut dan tidak
ada bukti gangguan susunan saraf pusat (SSP).
b. Tidak ada riwayat keluarga menderita skizofrenia1.
Bentuk skizofrenia reaktif dan skizofrenia proses mungkin secara etiologi berbeda.
Meskipun ada variabilitas yang besar, tipe disorganisasi secara umum mempunyai prognosis
yang buruk, tetapi tipe paranoid (dan beberapa katatonik) mempunyai prognosis baik.
Prognosis menjadi lebih buruk bila pasien menyalahgunakan zat atau hidup dalam keluarga
yang tak harmonis 18.
1
IX. KESIMPULAN
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang sifatnya merusak, melibatkan gangguan
berfikir, persepsi, pembicaraan, emosional, dan gangguan perilaku. Gangguan psikotik adalah
gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi.
Faktor-faktor penyebab skizofrenia meliputi faktor biologis, psikologis, lingkungan dan
organis. Sedangkan gangguan psikotik disebabkan oleh faktor organobiologik, psikologik,
sosio agama. Secara umum cirri-ciri skizofrenia yaitu gangguan delusi, halusinasi,
disorganisasi, pendataran afek, alogia, avolisi, anhedonia. Cirri-ciri gangguan psikotik
diantaranya memiliki labilitas emosional, menarik diri dari interaksi sosial, mengabaikan
penampilan dan kebersihan diri, mengalami penurunan daya ingat dan kognitif parah,
mengalami kesulitan mengorientasikan waktu, orang, tempat, memiliki keengganan melakukan
segala hal serta memiliki perilaku yang aneh. Tipe skizofrenia dikelompokkan menjadi tipe
paranoid, katatonik, tak terperinci atau tak terbedakan, residual. Untuk gangguan psikotik
sendiri dikelompokkan menjadi tipe psikotik akut dan kronik. Cara mengatasi skizofrenia
antara lain menciptakan kontak sosial yang baik, terapi ECT (electrocompulsive therapy),
menghindarkan dari frustasi dan kesulitan psikis lainnya, membiasakan pasien memiliki sikap
hidup positif dan mau melihat hari depan dengan rasa berani, member obat neuroleptik.
1
DAFTAR PUSTAKA
1. Cancro R, Lehmann H. Schizophrenia: Clinical features. Dalam: Comprehensive Textbook
of Psychiatry, Sadock BJ, Sadock VA, edit, Seventh Ed, Lippncott Williams & Wilkins, A
Wolters Kluwer Company, Philadelphia, 2000: hal. 1169-1189.
2. American Psychiatric Assosiation. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
Fourth Ed, Text revision, 1400 K Street, N.W, Washington, DC 2005, 2000: hal. 298-306.
3. Wieselgren IM, Lindstrom LH. A prospective 1-5 year outcome study ini first-admit-ted
and readmitted schizophrenic patients. Acta Psychiatr Scand 1996;93:9-19.
4. Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia III. Departemen
Kesehatan RI, hal 103-118.
5. Gur RE, Cowell P, Turetsky BI, et al. A follow-up magnetic resonance imaging study of
schizophrenia. Arch Gen Psychiatry 1998;55:145-152.
6. Nelson MD, Saykin AJ, Flashman LA, et al. hippocampal volume reduction in
schizophrenia as assessed by magnetic resonance imaging. Arch Gen Psychiatry
1998;55:433-440.
7. Conrad AJ, Abebe T, Austin R, et al. hippocampal pyramidal cell disarray in
schizophrenia as a bilateral phenomenon. Arch Gen Psychiatry 1991;48:413-417.
8. Buka SI, Goldtein JM, Seidman DJ, et al. Prenatal complications, genetic vulnerability,
and schizophrenia. Psychiatric Ann 1999;29:151-156.
9. Kerwin RW, Collier D. The dopamine D4 receptor in schizophrenia an update. Psychol
Med 1996;26:221-227.
10. Tsuang MT, Gilberston MW, Faraone SV. The genetics of schizophrenia: current
knowledge and future research. Schizophrenia Res 1991;4:158-171.
11. Cannon TD, Kaprio J, Lonnqvist J, et al. The genetic epidemiology of schizophrenia in
finnish twin cohort. Arch Gen Psychiatry 1998;55:67-74.
12. Butzlaff RL, Hooley JM. Expressed emotion and psychiatric relapse. Arch Gen Psychiatry
1998;55:547-552.
1
13. Bateson G, Jackson DD, Haley J, Weakland JH, Towards a theory of schizophrenia.
Behave Sci 1956;1:251-256.
14. Grebb JA. General Principles of Psychopharmacology: Dalam: Comprehensive Textbook
of Psychiatry Seventh Ed, Sadock BJ. Sadock VA edit. Lippincott Williams & Wilkins, A
Wolters Kluwer Company, 1999; hal. 2235-2316.
15. Hyman SE, Nestler EJ. Site of Actions of Psychotropic Drugs. Dalam: the Molecular
Foundations of Psychiatry. American Psychiatry Press Inc, Washington. DC, London,
England, 1993; hal 58-93.
16. Cole JO, Schatzberg AF. Antipsychotic Drugs. Dalam: Manual of Clinical
Psychopharmacology. Second Ed. American Psyhiatric Press, Inc, 1991;hal. 85-110.
17. Schooler NR. Negative symptoms in schizophrenia: assessment of the effect of
risperidone. J Clin Psychiatry 1994;55(suppl 5): 22-28.
18. Gupta S, Hendricks S, Kenkel AM, et al. Relapse in schizophrenia: is there a relationship
to substance abuse? Schizophr Res 1996;20:153-156.
19. Amir N. Skizofrenia In: Buku Ajar Psikiatri Bab 12. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2010;
Hal 170-97
1