Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

Citation preview

  • Health Technology Assessment Indonesia

    Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan

    Penyebaran HIV

    [Hasil kajian HTA tahun 2009]

    Dipresentasikan pada Konvensi HTA 16 Juni 2010

    Dirjen Bina Pelayanan Medik KEMENTRIAN KESEHATAN

    REPUBLIK INDONESIA

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    2

    PANEL AHLI

    1. Prof.DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAn, KIC Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Indonesia (IDSAI)

    RS Dr. Soetomo, Surabaya

    2. Dr. Setyo Widi Nugroho, SpBS (K) Ikatan Dokter Spesialis Bedah Indonesia (IKABI) Divisi Bedah Saraf, Departemen Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Jakarta

    3. Dr. Kiki MK Samsi, SpA RSIA kemang Medical Care, Jakarta

    4. Dr. Bagus Rahmat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Jakarta

    5. Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Subbagian Alergi dan Imunologi, Departemen IKA FKUI/RSCM, Jakarta

    6. Dr. Sukamto Koesnoe, SpPD (K) Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta

    7. Dr. Yuyun Soedarmono, MSc. Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia, Jakarta

    8. Dr. Ahmad Riviq Said, SpAn Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia, Jakarta

    9. Dr. Omo Abdul Madjid, SpOG (K) Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Divisi Obstetri Ginekologi Sosial, Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM Jakarta

    UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI KESEHATAN 1. Prof. DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAn, KIC Ketua I

    2. Dr. Santoso Soeroso, SpA, MARS Ketua II

    3. Dr. K Mohammad Akib, SpRad, MARS Anggota

    4. Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn Anggota

    5. Drg. Anwarul Amin, MARS Anggota

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    3

    6. Dr. Diar Wahyu Indriarti, MARS Anggota

    7. Dr. Ady Thomas Anggota

    8. Dr. Ririn Fristikasari, M.Kes Anggota

    9. Dr. Titiek Resmisari Anggota

    10. Dr. Dimas Seto Prasetyo Anggota

    11. Dr. Muthia Sari Anggota

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    4

    Kajian HTA

    SKRINING HIV DI RUMAH SAKIT DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYEBARAN HIV

    1. Latar Belakang

    Pada tahun 2008, di seluruh dunia, diperkirakan 33 juta orang hidup

    dengan HIV. Sejak awal epidemi HIV pada tahun 1981, 25 juta orang meninggal

    akibat AIDS. Setiap harinya terdapat 7.400 infeksi baru HIV, 96% dari jumlah

    tersebut berada di negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Daerah

    subsahara di Afrika merupakan daerah dengan prevalens HIV terbesar,

    mencakup 67% dari jumlah keseluruhan orang yang hidup dengan HIV dan 75%

    dari jumlah total kematian akibat AIDS. Daerah Asia Tenggara, termasuk di

    dalamnya Asia Selatan, merupakan daerah nomor dua terbanyak kasus HIV

    dengan jumlah penderita 3,6 juta orang, 37% dari jumlah tersebut merupakan

    wanita. Indonesia merupakan satu dari lima negara dengan jumlah penderita HIV

    yang besar selain Thailand, Myanmar, Nepal, dan India. Di negara-negara ini,

    prevalens HIV tinggi di kelompok pekerja seks dan pasangannya, laki-laki yang

    berhubungan seksual dengan sesama laki-laki, dan pengguna obat suntik. Angka

    epidemi HIV di Indonesia cenderung meningkat dengan cepat sementara di

    negara lain justru stabil atau menurun.1

    Gambar 1 Distribusi HIV di dunia2

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    5

    Secara global, jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2008, distribusi kasus

    HIV/AIDS pada orang dewasa dan anak, serta angka kematian akibat AIDS pada

    orang dewasa dan anak hingga tahun 2008 disajikan dalam gambar 2,3,4, dan 5.

    Gambar 2 Perkiraan jumlah kasus HIV anak dan dewasa hingga tahun 20083

    Gambar 3 Perkiraan jumlah anak dan orang dewasa hidup dengan HIV3

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    6

    Gambar 4 Perkiraan jumlah infeksi baru HIV pada orang dewasa dan anak3

    Gambar 5 Perkiraan kematian akibat AIDS3

    Di Indonesia, terdapat kecenderungan kenaikan jumlah kasus HIV dari

    tahun ke tahun. Pada tahun 2008, sebanyak 4.969 kasus baru HIV dilaporkan dan

    dari tahun 2000 hingga Maret 2009, tercatat secara kumulatif 16.949 kasus baru

    HIV. Dilihat dari proporsi berdasarkan jenis kelamin, kasus AIDS banyak

    dilaporkan pada laki-laki yaitu 74,5%, sementara 25% pada wanita.4

    Sejak tahun 2000, prevalensi HIV di Indonesia ditemukan mulai konstan di

    atas 5% pada populasi kunci, seperti pengguna napza suntik, pekerja seks, waria,

    LSL, sehingga dikatakan Indonesia telah memasuki epidemi terkonsentrasi. Hasil

    Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) tahun 2007, prevalensi rata-rata

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    7

    HIV pada berbagai populasi kunci tersebut adalah sebagai berikut: WPS langsung

    10,4%; WPS tidak langsung 4,6%; waria 24,4%; pelanggan WPS 0,8% (hasil

    survey dari 6 kota pada populasi pelanggan WPS yang terdiri dari supir truk, anak

    buah kapal, pekerja pelabuhan dan tukang ojek, dengan prevalens berkisar

    antara 0,2%-1,8%); lelaki seks dengan lelaki (LSL) 5,2%; pengguna napza suntik

    52,4%. Di Provinsi Papua dan Papua Barat terdapat pergerakan ke arah

    generalized epidemic yang dipicu oleh seks tidak aman dengan prevalensi HIV

    sebesar 2,4% pada penduduk usia 15-49 tahun.5

    Penyebaran HIV saat ini masih terkonsentrasi pada populasi kunci di mana

    penularan terjadi melalui perilaku yang berisiko seperti penggunaan jarum suntik

    yang tidak steril pada kelompok pengguna narkoba suntik (penasun) dan perilaku

    seks yang tidak aman baik pada hubungan heteroseksual maupun homoseksual.

    Namun, jika tidak ditangani dengan cepat maka tidak mustahil penularan HIV

    akan menyebar secara luas kepada masyarakat seperti yang telah terjadi di

    Papua.4

    Kurva Indonesia pada gambar 6 menggambarkan kenaikan prevalens

    kasus HIV pada orang dewasa. Jika jumlah penduduk Indonesia 220 juta, maka

    jumlah orang dewasa diperkirakan 110 juta (berdasarkan piramida penduduk).

    Berdasarkan kurva di atas, jumlah kasus HIV 0,2 % x 110 juta = 220.000 kasus

    pada tahun 2007. Angka ini tidak terlalu besar dibandingkan kasus di negara

    lainnya, namun sejak tahun 2000 kurva prevalensi Indonesia cenderung terus

    meningkat dari tahun ke tahun sementara kurva negara lain cenderung stabil atau

    menurun. Kenaikan ini merisaukan.

    Gambar 6 Pertumbuhan kasus HIV di negara Asia Tenggara1

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    8

    Gambar 7 Peta Epidemi HIV di Indonesia 6

    Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa peta penyebaran AIDS di Indonesia

    telah meliputi semua provinsi karena kemudahan transportasi sekarang ini.

    Kenyataan bahwa perpindahan orang dengan memanfaatkan sarana transportasi

    tidak dapat dicegah. Selain itu peta di atas juga memperlihatkan bahwa epidemi

    HIV di Indonesia bervariasi antar wilayah. Kecuali di Papua, epidemi HIV pada

    sebagian besar provinsi di Indonesia masih terkonsentrasi pada populasi kunci,

    dengan prevalensi >5%. Di Provinsi Papua dan Papua Barat, epidemi sudah

    memasuki masyarakat dengan prevalensi berkisar 1,36%-2,41%.6

    Dilihat dari cara penularan, proporsi penularan HIV melalui hubungan

    seksual (baik heteroseksual maupun homoseksual) sangat mendominasi yaitu

    mencapai 60%. Sedangkan penularan melalui jarum suntik sebesar 30%, dan

    sebagian lainnya tertular melalui ibu dan anak (kehamilan), transfusi darah serta

    melalui pajanan saat bekerja. Kecenderungan penularan infeksi HIV di seluruh

    propinsi prioritas hampir sama, kecuali di Papua dimana mayoritas di akibatkan

    karena hubungan seksual beresiko tanpa kondom yang dilakukan kepada

    pasangan tetap maupun tidak tetap.4

    Berdasarkan studi modeling dampak yang dilakukan Kaldor dkk,7

    diramalkan Indonesia pada tahun 2025 akan memasuki fase generalised

    epidemic dengan 1,95 juta orang dengan HIV/AIDS, prevalensi HIV pada orang

    dewasa di Indonesia akan lebih dari 1%, dengan 1,5 juta kematian. Papua akan

    menjadi wilayah yang paling berat derajat epideminya yaitu prevalensi HIV pada

    populasi orang dewasa akan mencapai 7%, dengan 166.000 yatim piatu,

    peningkatan biaya pelayanan kesehatan karena 27% tempat tidur RS akan dihuni

    pasien HIV sedangkan di Papua angka tersebut pada tahun 2025 adalah 80%.

    Pada posisi tersebut pengendalian epidemi akan semakin rumit, sulit dan

    menghabiskan biaya dan tenaga yang amat besar.

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    9

    Tanpa upaya yang serius, pada tahun 2025 di Indonesia akan ada 1,95

    juta orang dengan HIV/AIDS (ODHA), di mana 145.000 orang akan terdapat di

    Papua dan sisanya tersebar di propinsi lain yang disebabkan terbatasnya

    penggunaan obat antiretroviral baik untuk pengobatan maupun pencegahan

    transmisi dari ibu ke janin.7

    Jika epidemi ini terus meluas tanpa peningkatan usaha pencegahan, biaya

    perawatan pasien HIV dengan infeksi oportunistik dan pengadaan obat

    antiretroviral akan meningkat. Pada tahun 2025, biaya pengobatan pasien

    HIV/AIDS di Indonesia mencapai lebih dari 3.210 milyar rupiah.7

    Gambar 8 Prediksi pertumbuhan kasus HIV/AIDS di propinsi selain Papua7

    Gambar 9 Prediksi pertumbuhan kasus HIV/AIDS di Papua7

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    10

    Salah satu upaya dalam strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS di

    Indonesia tahun 2010-2014 adalah program pelayanan konseling dan testing HIV

    sukarela (Voluntary Counselling and Testing-VCT). Diharapkan seluruh populasi

    kunci mendapat pemeriksaan HIV melalui pelayanan ini. Sejak tahun 1994 hingga

    tahun 2008, jumlah layanan VCT terdapat sebanyak 547 unit, baik yang

    dilaksanakan oleh pemerintah (383) maupun swasta dan masyarakat (164). Di

    daerah yang terjangkau kegiatan pencegahan layanan VCT mengalami

    peningkatan. Dalam kurun waktu 2004-2007 terjadi peningkatan layanan VCT

    terhadap populasi kunci: Pada wanita penjaja seks (WPS) dari 27% menjadi 41%;

    pelanggan WPS dari 6% menjadi 10%; Waria dari 47% menjadi 64%; LSL (laki-

    laki berhubungan seksual dengan laki-laki) dari 19% menjadi 37% dan penasun

    dari 18% menjadi 41%.8

    Tabel 1 Positif rate di beberapa VCT di Indonesia (hingga 30 Juni 2009)9

    Provinsi Klinik

    VCT

    Kunjungan Tes Pascates Positif HIV Tingkat positif

    di klinik VCT

    Sumatera Utara 7 28.084 23.323 21.830 2.389 10,9

    Sumatera

    Selatan

    7 20.491 20.242 20.219 402 2,0

    Banten 7 11.106 6.670 5.693 1.653 29,0

    DKI Jakarta 7 27.975 16.576 15.769 6.356 40,3

    Jawa Barat 12 22.020 15.118 13.726 2.639 19,2

    Jawa Tengah 12 29.447 22.119 18.680 1.348 7,2

    DI Yogyakarta 6 7.736 6.648 5.995 663 11,1

    Jawa Timur 17 35.724 31.219 29.293 3.868 13,2

    Kalimantan

    Barat

    13 28.686 27.987 26.995 1.709 6,3

    Kalimantan

    Timur

    4 17.486 14.906 13.087 449 3,4

    Sulawesi Utara 8 28.458 17.471 17.180 1.362 7,9

    Sulawesi

    Selatan

    5 16.008 14.222 13.891 907 6,5

    Nusa Tenggara

    Timur

    3 10.827 10.193 9.993 318 3,2

    Nusa Tenggara

    Barat

    4 13.818 12.742 12.201 202 1,7

    Papua Barat 1 3.569 2.899 2.345 462 19,7

    Papua 4 19.200 12.811 12.160 1.437 11,8

    Bali 13 7.765 6.210 6.151 1.243 20,2

    Kepulauan Riau 3 5.177 3.066 2.882 659 22,9

    Riau 2 3.119 1.812 1.673 194 11,6

    Total 135 336.696 266.234 249.763 28.260 11,3

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    11

    Sejak tahun 2007, upaya pencegahan penularan HIV melalui ibu ke bayi

    telah dilaksanakan dalam skala yang masih terbatas, khususnya di daerah

    dengan tingkat epidemi HIV tinggi. Hingga tahun 2008 telah tersedia layanan

    PMTCT (prevention of mother to child transmission) sebanyak 30 layanan yang

    terintegrasi dalam layanan KIA (Antenatal Care). Jumlah ibu hamil yang mengikuti

    test HIV sebanyak 5.167 orang, sebagian melalui VCT dan sebagian lainnya

    melalui PITC, di mana 1.306 (25%) diantaranya positif HIV. Namun baru 165

    orang atau 12,6% yang memperoleh profilaksis antiretroviral (ARV) yang

    dilaksanakan di 30 unit layanan. Program PMTCT juga telah dilaksanakan oleh

    beberapa lembaga masyarakat khususnya untuk penjangkauan dan memperluas

    akses layanan ke PMTCT.8

    Untuk mencegah transmisi HIV lewat transfusi darah, maka semua darah

    donor harus dilakukan skrining HIV. Dan sejak tahun 1992, Unit Pelayanan Darah

    Transfusi telah melakukan skrining HIV terhadap setiap kantong darah yang

    diperoleh dari donor.10

    Pada tahun 2006, Centre for Disease Control and Prevention (CDC)

    mengeluarkan rekomendasi untuk melakukan skrining HIV rutin di sarana

    pelayanan kesehatan tanpa melalui konseling. Cara ini dianggap lebih efektif

    dalam menjangkau pasien baru karena dengan menjadikan tes HIV sebagai

    prosedur rutin di sarana pelayanan kesehatan maka persentase pasien dengan

    hasil tes HIV positif yang dapat dideteksi secara dini lebih tinggi dibandingkan

    metode konseling terhadap orang dengan faktor risiko, terjadi destigmatisasi

    terhadap orang yang diperiksa, dapat memberikan akses yang lebih cepat dan

    lebih dini terhadap terapi bagi pasien baru serta menurunkan perilaku risiko tinggi

    ketika pasien tahu status HIV-nya.11

    Metode skrining di Indonesia belum memberikan hasil yang memuaskan.

    Masih ada metode skrining selain VCT yang sudah diterapkan di luar negeri yang

    mungkin dapat diaplikasikan di Indonesia. Tetapi dengan fasilitas dan sumber

    daya yang terbatas, program yang dirancang belum dapat dipastikan

    keberlangsungannya. Untuk itu perlu ditetapkan prioritas sasaran populasi mana

    saja yang akan dilakukan skrining. Dalam hal penyediaan darah di PMI, misalnya,

    tidak ada jaminan kesinambungan pelaksanaan Permenkes tentang kewajiban

    skrining HIV terhadap darah donor, dalam hal pemenuhan kebutuhan tenaga,

    peralatan maupun reagensia untuk skrining darah terhadap HIV oleh pemerintah.

    Dengan adanya keterbatasan tenaga terlatih, peralatan serta reagensia, maka di

    Indonesia skrining darah donor sebagian besar masih ditujukan pada deteksi

    antibodi HIV dengan metoda cepat, dan sebagian lainnya ditujukan baik pada

    antibodi maupun antigen HIV dengan metoda ELISA.

    Untuk itu, Health Technology Assessment melakukan pengkajian terhadap

    model, metode, sasaran dan cara skrining HIV guna memberikan rekomendasi

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    12

    kepada pemerintah dan pihak rumah sakit dalam mengambil kebijakan yang

    efektif dan efisien dalam rangka menurunkan progresivitas penyakit dan epidemi

    di Indonesia dengan tetap mempertimbangkan aspek etikolegal dan sosiokultural.

    2. Tujuan

    Tujuan dari dilakukannya pengkajian ini adalah:

    1. Tersusunnya rekomendasi mengenai skrining HIV di rumah sakit yang

    meliputi:

    Target populasi

    Tatalaksana testing

    Metode dan reagens

    Tindak lanjut jika hasil positif

    o Test konfirmasi

    o Konseling

    2. Diketahuinya biaya skrining, dilengkapi proyeksi biaya yang dibutuhkan di

    Indonesia.

    3. Metode Pengkajian

    a. Metode pencarian literatur

    Penelusuran artikel dilakukan melalui Medline, New England Journal of

    Medicine, British Medical Journal, Annals of Internal Medicine, Cochrane library.

    Informasi juga didapatkan dari beberapa guidelines antara lain yang disusun oleh

    World Health Organization (WHO), Badan Pusat Statistik, Komisi

    Penanggulangan AIDS, Centers for Disease Control and Prevention (CDC).

    Kata kunci yang digunakan adalah informed consent for HIV testing,

    counseling for HIV, HIV screening, HIV among healthcare worker, stigmatization

    on HIV patient, mandatory HIV testing .

    b. Penggolongan literatur

    Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence-based

    medicine, ditentukan level of evidence dan tingkat rekomendasi. Level of evidence

    dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish

    Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh

    US Agency for Health Care Policy and Research.

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    13

    Tingkat pembuktian (Level of evidence):

    Ia. Meta-analysis of randomized clinical controlled trials.

    Ib. Minimal satu randomized clinical controlled trials.

    IIa. Minimal satu non-randomized clinical controlled trials.

    IIb. Cohort dan Case control studies

    IIIa. Cross-sectional studies

    IIIb. Case series dan case report

    IV. Konsensus dan pendapat ahli

    Tingkat rekomendasi :

    A. Evidence yang termasuk dalam level Ia atau Ib

    B. Evidence yang termasuk dalam level IIa atau IIb

    C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb atau IV

    4. Tinjauan Pustaka Skrining HIV

    a. Patogenesis infeksi HIV

    Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus

    mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi

    mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi

    tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif.12

    b. Perjalanan penyakit HIV

    Infeksi HIV tidak akan langsung menunjukkan tanda atau gejala tertentu.

    Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu

    setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,

    pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi

    akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik. Masa tanpa gejala ini umumnya

    berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang

    perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar dua tahun, dan ada pula

    yang perjalanannya lambat (non-progressor).12

    Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai

    menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan

    menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare,

    tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain.12

    Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak

    menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang

    terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik

    yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut laten secara klinik

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    14

    (tanpa gejala) sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV.

    Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan

    mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan

    limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar

    replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.12

    Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak

    menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel

    setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,

    muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran

    limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan

    memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari.12

    Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari

    80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung

    juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan

    biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya

    penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan

    tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.

    Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan

    lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat

    menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan

    penyakitnya biasanya lebih progresif.12

    Transmisi HIV dari satu orang ke orang lain dapat melalui berbagai jalur,

    antara lain:

    1. Transmisi melalui jalur hubungan seksual

    Infeksi HIV dapat menular melalui hubungan seksual, baik

    heteroseksual maupun homoseksual. Namun pada tahun 2005, ketika

    dilakukan survei di Amerika Serikat, 49% kasus infeksi HIV ditemukan pada

    pasangan homoseksual. Virus HIV dapat ditemukan di cairan semen, sediaan

    apus serviks, dan cairan vagina. Selain itu, ditemukan kaitan yang erat antara

    infeksi HIV dengan hubungan seks anogenital. Berbagai macam infeksi

    menular seksual yang menimbulkan ulserasi di daerah genital juga

    meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Oleh karena itu,

    penatalaksanaan infeksi menular seksual dapat mencegah penularan HIV.

    Selain itu, pada beberapa penelitian, ditemukan bahwa pria yang disunat

    memiliki risiko penularan HIV yang lebih rendah dibandingkan pria yang tidak

    disunat.13

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    15

    2. Transmisi melalui darah, produk darah, dan organ donor

    Infeksi HIV dapat menular kepada seseorang yang menerima darah

    atau produk darah yang terkontaminasi HIV.14 Lima sampai sepuluh persen

    dari infeksi HIV di dunia ditularkan melalui transfusi dari darah dan produk

    darah terkontaminasi HIV.15 Selain itu, HIV juga bisa menular melalui

    pemakaian alat medis (suntikan dan jarum, mesin dialisis) bersama dengan

    pasien HIV.13 Melalui skrining serologis rutin terhadap darah, penurunan

    resiko diterimanya darah yang terinfeksi menjadi 1/660.000 unit untuk HIV-

    1.16

    Diperkirakan di Amerika Serikat, risiko penularan HIV melalui jalur

    transfusi darah sekitar 1 per 1,5 juta darah donor. Risiko penularan melalui

    jalur transfusi darah tidak dapat dihilangkan sepenuhnya oleh karena

    teknologi saat ini belum mampu mendeteksi RNA HIV dalam kurun waktu 1 -

    2 minggu setelah terinfeksi karena rendahnya jumlah virus dalam darah.

    Belum pernah dilaporkan adanya penularan HIV-2 melalui transfusi darah

    atau transplantasi organ di Amerika Serikat. Saat ini, terhadap seluruh darah

    donor dilakukan skrining terhadap antibody HIV-1 dan HIV-2. Penularan HIV

    melalui darah atau produk darah masih merupakan ancaman di negara

    berkembang, khususnya di negara-negara di sub-Sahara Afrika, yang tidak

    rutin melakukan skrining terhadap darah donor.13

    Penularan HIV di pusat dialisis pernah diteliti di Columbia, Amerika

    Serikat. Dalam suatu penelitian di beberapa pusat dialisis di Columbia,

    Amerika Serikat, pada tahun 1993, dari 59 sampel darah yang diperiksa,

    didapatkan 13 sampel darah yang positif HIV dan memiliki kemiripan susunan

    virus DNA. Hal ini mengindikasikan terjadinya penularan infeksi HIV di pusat

    hemodialisis.17

    Pada tahun 2008, PMI melakukan pemeriksaan skrining darah donor

    dan hasilnya disajikan pada tabel 2.

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    16

    Tabel 2 Skrining Darah Tahun 2008

    Selain darah dan produk darah, HIV dapat menular melalui jalur

    transplantasi organ. Simonds18 tahun 1993 melaporkan bahwa terjadi

    transmisi HIV melalui transmisi ginjal (50 kasus), hati (13 kasus) jantung (6

    kasus) pankeras (1 kasus), tulang (4 kasus), dan kulit (1 kasus). Kecuali 14

    kasus, seluruh kasus transmisi HIV lainnya terjadi pada saat belum

    diberlakukannya aturan skrining antibody HIV rutin terhadap organ donor.

    Selain itu, juga dilaporkan transplantasi organ terhadap resipien yang HIV

    positif sebanyak 24 kasus. Transplantasi yang tidak menularkan HIV yang

    dilakukan dari donor yang HIV positif dilaporkan terjadi pada resipien kornea

    (9 kasus), tulang (26 kasus), jaringan musculoskeletal lainnya (3 kasus),

    duramater (3 kasus), dan ginjal (2 kasus). Dari 40 resipien dengan infeksi

    yang terkait transplantasi yang dilakukan tes HIV dalam waktu 6 bulan setelah

    transplantasi, 34 (85%) didapati positif; hanya 1 resipien yang hasilnya tetap

    negatif setelah 6 bulan pascatransplantasi. Dari situ, Simonds berkesimpulan

    bahwa dengan skrining yang saat itu dilakukan, transmisi HIV melalui jalur

    transmisi jarang terjadi. Risiko transmisi tampaknya lebih rendah pada

    resipien jaringan avaskuler. Respons antibody terhadap infeksi HIV pada

    resipien organ yang menerima terapi imunosupresif sama seperti yang

    dilaporkan pada orang lain yang terinfeksi.

    Yang diperiksa Jumlah Pemeriksaan Positif %

    HBsAg 1.311.419 27.976 2.13

    Sifilis 1.299.410 5.863 0.45

    HCV 1.277.701 7.206 0.56

    HIV 1.261.439 736

    (Pos +

    Indeterminate)

    0.06 (RR)

    1.310

    (yang dirujuk

    ke UTDP)

    0.10 (IR)

    2.739

    (Laporan UTDC)

    0.22 (IR)

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    17

    3. Transmisi karena faktor pekerjaan

    Faktor pekerjaan juga dapat menjadi faktor yang dapat

    mentransmisikan infeksi HIV. Pekerjaan yang berhubungan dengan materi

    biologis yang mengandung HIV berisiko menjadi media transmisi HIV.

    Pekerjaan tersebut antara lain pekerja di laboratorium, tenaga kesehatan

    seperti perawat, atau bahkan pekarya. Mereka pada umumnya tertular HIV

    secara tidak sengaja akibat tertusuk jarum atau alat tajam bekas digunakan

    pada pasien HIV atau terkena cairan tubuh yang infeksius. Risiko tertular HIV

    melalui tusukan jarum mencapai 0,3% sementara risiko tertular HIV bila kulit

    atau mukosa yang tidak intak terkena darah mencapai 0,09%. Penularan HIV

    melalui kulit yang intak belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan lebih

    rendah dibandingkan risiko penularan melalui paparan terhadap membran

    mukosa. Cairan tubuh yang dianggap infeksius seperti cairan serebrospinal,

    sinovial, pleura, peritoneal, dan amnion. Risiko tertular HIV melalui cairan ini

    belum pernah didokumentasikan namun diperkirakan lebih rendah bila

    dibandingkan tertular melalui darah. Bahan biologis lainnya seperti feses,

    sekret nasal, saliva, sputum, keringat, air mata, urin, dan muntahan dianggap

    tidak menjadi sumber infeksius kecuali bila jelas terlihat adanya darah. Kasus

    penularan HIV dari pasien ke pasien serta dari tenaga kesehatan ke pasien

    diperkirakan disebabkan kurang optimalnya pengendalian infeksi di rumah

    sakit serta penggunaan kembali alat-alat medis yang terkontaminasi oleh

    HIV.13

    Mayoritas kasus di mana terjadi paparan terhadap infeksi HIV dan

    serokonversi di tempat pelayanan kesehatan adalah melalui needle-stick

    injury.13,19 Oleh sebab itu, penanganan yang tepat terhadap benda-benda

    medis yang tajam dapat mengurangi penularan HIV melalui jalur ini secara

    signifikan.13 Di negara maju, angka kejadian needle-stick injury berkisar

    antara 13 - 15,4%. Angka kejadian needle-stick injury di negara berkembang

    sangat sedikit diketahui dan mungkin terdapat bentuk transmisi HIV yang lain

    di lingkungan tempat pelayanan kesehatan. Oleh karena pelatihan terhadap

    tenaga kesehatan di negara berkembang lebih kurang dibandingkan dengan

    di negara maju serta penyediaan perlengkapan pelindung diri yang kurang,

    kemungkinan terjadinya paparan infeksi HIV lebih tinggi.20

    4. Transmisi maternal-fetal

    Infeksi HIV bisa ditransmisikan dari ibu yang terinfeksi ke fetus ketika

    dalam kandungan, proses persalinan, dan menyusui. Suatu penelitian

    memberikan proporsi kemungkinan penularan HIV dari ibu ke anaknya saat

    dalam kandungan sebesar 23-30%, ketika proses persalinan 50-65%, dan

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    18

    saat menyusui 12-20%. Di negara industri, transmisi HIV dari ibu ke fetus

    sebesar 15-25% sementara di negara berkembang sebesar 25-35%.

    Tingginya angka transmisi ini berkaitan dengan tingginya kadar virus dalam

    plasma ibu. Hasil suatu penelitian di Amerika Serikat menunjukkan dengan

    kadar virus dalam plasma sebesar 100.000 kopi/mL. Namun belum pernah ditentukan

    nilai ambang terendah dimana tidak terjadi infeksi.13

    5. Transmisi dari cairan tubuh lain

    Meski HIV dapat diisolasi dalam titer yang rendah dari saliva seorang

    pengidap HIV, tidak ditemukan bukti yang meyakinkan bahwa saliva dapat

    menularkan infeksi HIV. Saliva sendiri mengandung faktor antivirus endogen

    seperti IgA, IgG, dan IgM yang spesifik terhadap HIV yang dapat dideteksi

    pada pengidap HIV. Diduga glikoprotein besar seperti musin dan

    thrombospondin-1 dapat menggumpalkan HIV untuk dikeluarkan. Selain itu,

    terdapat suatu senyawa bernama secretory leukocyte protease inhibitor

    (SLPI) yang menghambat infeksi HIV pada suatu percobaan in vitro, dan

    substansi tersebut terdapat dalam saliva dalam kadar yang dibutuhkan untuk

    menghambat HIV secara in vitro. Oleh karena itu, tingginya kadar SLPI pada

    bayi yang menyusu dikaitkan dengan penurunan risiko transmisi HIV lewat

    ASI. Selain itu, diperkirakan saliva submandibula mampu mengurangi tingkat

    infektifitas HIV serta mampu melisiskan sel yang terinfeksi HIV. Transmisi HIV

    melalui gigitan manusia dapat terjadi namun hal ini jarang terjadi. 13

    Meskipun virus dapat diidentifikasi dari cairan tubuh manapun, tidak

    terdapat bukti bahwa transmisi HIV dapat terjadi akibat paparan terhadap air

    mata, keringat, dan urin. Namun pernah dilaporkan terjadinya transmisi HIV

    akibat terkena cairan tubuh yang mungkin telah terkontaminasi dengan darah.

    Mayoritas kondisi ini terjadi pada hubungan yang sangat erat, seperti pada

    perawatan intensif terhadap pasien yang terinfeksi HIV tanpa memperhatikan

    kewaspadaan universal dalam menangani cairan tubuh atau kotoran pasien

    dengan HIV.13

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    19

    c. Pemeriksaan laboratorium HIV

    Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah

    seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karena infeksi pada HIV gejala

    klinisnya dapat baru terlihat setelah bertahun-tahun lamanya.12

    Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan

    diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan

    serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk

    mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat

    dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi

    genetik dalam darah pasien.12

    Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan

    terhadap antibodi HIV. Sebagai penyaring, biasanya digunakan teknik ELISA

    (enzyme-linked immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding

    assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA.12

    Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini

    yaitu adanya masa jendela (window period). Masa jendela adalah waktu sejak

    tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan

    pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi pada

    periode ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya telah terinfeksi HIV

    dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko

    terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan tiga bulan

    kemudian.12

    World Health Organization (WHO) menganjurkan pemakaian salah satu

    dari tiga strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV seperti disajikan pada tabel 3

    dan gambar 10.12

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    20

    Tabel 3 Strategi pemeriksaan HIV menurut WHO

    Tujuan Pemeriksaan Prevalensi infeksi

    HIV

    Strategi pemeriksaan

    Keamanan transfusi dan

    transplantasi

    Semua prevalensi I

    Surveillance >10% I

    10% II

    Diagnosis Bergejala infeksi

    HIV/AIDS

    >30% I

    30% II

    Tanpa gejala >10% II

    10% III

    Gambar 10 Strategi pemeriksaan HIV21

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    21

    Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya strategi I, hanya dilakukan

    satu kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai

    kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan nonreaktif dianggap tidak

    terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus

    memiliki sensitivitas yang tinggi (>99%).12

    Strategi II menggunakan dua kali pemeriksaan jika serum pada

    pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama

    hasilnya nonreaktif, maka dilaporkan hasilnya negatif. Pemeriksaan pertama

    menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan

    kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau

    tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil pemeriksaan

    kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil

    pemeriksaan yang kedua adalah nonreaktif, maka pemeriksaan harus diulang

    dengan kedua metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai

    indeterminate.12

    Strategi III menggunakan tiga kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan

    pertama, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien

    tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya

    hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan tes ketiga nonreaktif, atau tes

    pertama reaktif, sementara tes kedua dan ketiga nonreaktif, maka keadaan ini

    disebut sebagai equivokal atau indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki

    riwayat pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV. Sedangkan bila

    hasil seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada orang tanpa riwayat

    pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko tertular HIV, maka hasil pemeriksaan

    dilaporkan sebagai nonreaktif. Perlu diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan

    ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal antigen atau tekniknya, serta memiliki

    spesifisitas yang lebih tinggi.12

    Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan

    dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya

    infeksi oleh HIV, yang paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot

    (WB).12

    Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus

    mendapatkan konseling pra tes. Hal ini dilakukan agar ia bisa mendapat informasi

    yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil

    keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil

    tesnya nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling pra tes karena

    orang yang dites tidak akan diberi tahu hasil tesnya.12

    Untuk memberi tahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik

    hasil tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    22

    mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara

    pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan

    untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak

    berisiko. Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan

    laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi

    atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh.12

    5. Skrining HIV

    Skrining HIV mempunyai makna melakukan pemeriksaan HIV pada suatu

    populasi tertentu, sementara uji diagnostik HIV berarti melakukan pemeriksaan

    HIV pada orang-orang dengan gejala dan tanda yang konsisten dengan infeksi

    HIV. CDC menyatakan bahwa infeksi HIV memenuhi seluruh kriteria untuk

    dilakukan skrining, karena: 11

    1. Infeksi HIV merupakan penyakit serius yang dapat didiagnosis sebelum

    timbulnya gejala.

    2. HIV dapat dideteksi dengan uji skrining yang mudah, murah, dan noninvasif.

    3. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki harapan untuk lebih lama hidup bila

    pengobatan dilakukan sedini mungkin, sebelum timbulnya gejala.

    4. Biaya yang dikeluarkan untuk skrining sebanding dengan manfaat yang akan

    diperoleh serta dampak negatif yang dapat diantisipasi. Di antara wanita

    hamil, skrining secara substansial telah terbukti lebih efektif dibandingkan

    pemeriksaan berdasarkan risiko untuk mendeteksi infeksi HIV dan mencegah

    penularan perinatal.

    Saat ini terdapat kontroversi mengenai kapan harus memulai terapi ARV.

    Ada pendapat yang mengatakan bahwa menunda terapi, lebih baik dibandingkan

    bila memulai terapi ARV sesegera mungkin.22 Penundaan terapi ARV

    dimaksudkan untuk menghindari efek toksik obat, menyiapkan cadangan obat bila

    terjadi resistensi kelak, dan menghindari ketidaknyamanan pasien yang menerima

    banyak obat untuk jangka panjang.23 Di sisi lain, pengobatan ARV lebih awal

    diperkirakan dapat menjaga fungsi sistem imun dan mengurangi risiko transmisi

    virus.24

    Suatu studi kohort mengenai pelaksanaan program PMTCT di Ukraina oleh

    Thorne dkk25 (2000 - 2006) pada 3.356 wanita hamil, yang 21% di antaranya

    pernah atau sedang memakai narkoba suntik. Kebanyakan dari mereka

    didiagnosis HIV saat kunjungan antenatal dan perbandingan antara klien yang

    didiagnosis saat trimester pertama dan trimester kedua meningkat, dari 47% pada

    tahun 2000/2001 menjadi 73% di tahun 2006/2007 (p < 0,001). Persentase wanita

    yang tidak menerima profilaksis antiretroviral sama sekali menjadi berkurang, dari

    18% di tahun 2001 menjadi 7% di tahun 2007 (p < 0,001). Angka bedah sesar

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    23

    (sectio caesarean-SC) elektif relatif stabil, sekitar 34%. Angka transmisi HIV dari

    ibu ke anak berkurang dari 15,2% di tahun 2001 (interval kepercayaan 95%;

    10.221.4) menjadi 7,0% di tahun 2006 (interval kepercayaan 95%; 2.614.6).

    Sesudah dilakukan penyesuaian terhadap berbagai macam faktor perancu

    disimpulkan bahwa penularan HIV dari ibu ke anak berkurang 43% dengan SC

    elektif dibandingkan persalinan pervaginam dan 75% dengan profilaksis zidovudin

    dibandingkan tanpa profilaksis.

    Penelitian oleh Kitahata dkk26 (2005) membandingkan antara pengidap HIV

    asimtomatik yang mendapat terapi ARV lebih awal (dalam waktu 6 bulan) dengan

    pengidap HIV yang menunda terapi ARV pada subkelompok yang dibagi

    berdasarkan kadar CD4 351-500 sel/mm3 dan CD4 > 500 sel/mm3. Di masing-

    masing subkelompok tersebut, diperbandingkan lagi antara pemberian ARV pada

    saat kadar CD4 masih di atas nilai tersebut (kelompok yang memulai terapi ARV

    lebih awal) dengan pemberian ARV pada saat kadar CD4 di bawah nilai tersebut

    (kelompok yang menunda terapi ARV). Hasilnya, pada tiap subkelompok, risiko

    meninggal pada pengidap HIV yang menunda pemberian ARV meningkat sebesar

    69% dan 94%. Pada anak, diagnosis HIV dan pemberian ARV lebih awal

    mengurangi mortalitas sebesar 75% dan progresivitas HIV sebesar 75%.27

    Manfaat yang didapat dari memulai terapi ARV lebih awal harus diimbangi

    dengan antisipasi terhadap efek samping obat yang mungkin terjadi. ARV yang

    baru yang lebih poten memiliki efek samping yang lebih sedikit, dan tidak perlu

    diminum sesering mungkin dapat meningkatkan kepatuhan berobat sehingga

    dapat menekan perkembangan virus pada tingkat yang rendah. Selain itu,

    memulai terapi pada kadar CD4 tinggi dapat menurunkan risiko terjadinya efek

    toksik terkait ARV, seperti neuropati, anemia, dan insufisiensi ginjal.26

    a. Model Skrining

    Menurut UNAIDS/WHO terdapat empat jenis model skrining HIV, antara

    lain:28

    1. Pemeriksaan dan konseling HIV (voluntary counselling and testing)

    Pemeriksaan HIV yang didorong oleh kemauan klien untuk mengetahui

    status HIV-nya ini masih dianggap penting bagi keberhasilan program

    pencegahan HIV. Konseling pra tes dapat dilakukan secara individu maupun

    berkelompok. UNAIDS/WHO mendukung penggunaan uji cepat sehingga hasilnya

    dapat diketahui segera dan dapat ditindaklanjuti langsung dengan konseling

    pasca tes baik untuk yang HIV positif maupun HIV negatif.28

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    24

    2. Pemeriksaan HIV diagnostik, diindikasikan pada pasien dengan tanda dan

    gejala yang sejalan dengan penyakit-penyakit yang terkait HIV atau AIDS,

    termasuk pemeriksaan terhadap tuberkulosis sebagai pemeriksaan rutin.28 Pada

    pemeriksaan ini, pasien sebaiknya diberikan informasi yang cukup sehingga

    pasien dapat memutuskan apakah setuju untuk dilakukan pemeriksaan HIV atau

    tidak. Untuk keadaan di mana pasien tidak dalam posisi memberikan persetujuan,

    seperti pasien psikiatrik atau pasien yang tidak sadar, pemeriksaan dapat

    dilakukan bila hasilnya bermanfaat bagi pasien. Jika ini terjadi, harus ada usaha

    untuk mengkomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pasien dan

    memberitahukan hasil tersebut dengan konseling.29

    3. Pemeriksaan HIV dengan inisiatif dari tenaga kesehatan (Provider-Initiated

    Testing and Counseling -PITC) dilakukan pada pasien yang:

    - Sedang menjalani pemeriksaan terhadap penyakit menular seksual (PMS)

    di klinik umum atau khusus infeksi menular seksual (IMS).28, 70

    - Sedang hamil, untuk mengatur pemberian antiretroviral untuk mencegah

    transmisi dari ibu ke bayi.28

    - Dijumpai di klinik umum atau puskesmas di daerah dengan prevalens HIV

    yang tinggi dan tersedia obat antiretroviral, namun tidak memiliki gejala.28

    Dalam model ini, dibutuhkan mekanisme rujukan yang jelas untuk

    mendukung sistem perujukan ke pelayanan konseling pascates HIV bagi semua

    pasien yang diperiksa, yang menekankan pada pencegahan dan pemberian

    dukungan medis serta psikososial bagi pasien yang hasil tesnya positif HIV. Pada

    pemeriksaan jenis ini, juga dilakukan konseling sebelum pemeriksaan, hanya saja

    tidak penuh seperti pada pemeriksaan jenis VCT di atas. Informasi minimal yang

    harus diketahui pasien pada saat melakukan informed consent adalah:

    - Manfaat pemeriksaan tersebut secara klinis dan untuk pencegahan.

    - Hak untuk menolak.

    - Pelayanan tindak lanjut yang ditawarkan.

    - Bila hasilnya positif, diberikan pemahaman untuk mengantisipasi

    keharusan untuk menginformasikan kepada siapa saja yang berisiko

    yang mungkin tidak sadar bahwa mereka terpajan dengan HIV.

    Pada pemeriksaan yang sifatnya ditawarkan oleh tenaga medis, misalnya

    untuk tujuan diagnosis, atau untuk mengetahui status HIV-nya. Selain itu tenaga

    medis juga dapat menawarkan pemeriksaan HIV kepada wanita hamil untuk

    memberikan profilaksis antiretroviral untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke

    bayi. Konseling pada situasi ini harus diperbanyak agar bisa sedikit memaksa

    ibu untuk mengikuti program PMTCM. Meski demikian, dalam semua kondisi

    tersebut, pasien tetap memiliki hak untuk menolak.28

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    25

    4. Skrining HIV wajib

    UNAIDS/WHO mendukung diberlakukannya skrining wajib bagi HIV dan

    penyakit yang dapat ditransmisikan lewat darah bagi semua darah yang ditujukan

    untuk transfusi atau pengolahan produk darah lainnya. Skrining wajib dibutuhkan

    sebelum dilakukannya prosedur-prosedur yang berkaitan dengan pemindahan

    cairan atau jaringan tubuh, seperti inseminasi buatan, graft kornea, dan

    transplantasi organ.28,29

    UNAIDS/WHO tidak mendukung pemberlakuan skrining wajib pada tingkat

    pelayanan kesehatan individu atau umum. Pemeriksaan sukarela sepertinya

    dapat mengubah perilaku untuk menghindari penularan HIV ke orang lain.

    Menyadari bahwa beberapa negara membutuhkan pemeriksaan wajib HIV untuk

    tujuan imigrasi dan beberapa negara lainnya melakukan pemeriksaan wajib untuk

    perekrutan dan pemantauan kesehatan tentaranya, UNAIDS/WHO

    merekomendasikan agar pemeriksaan tersebut dilakukan hanya bila diiringi

    dengan konseling baik bagi yang hasilnya positif maupun negatif dan sistem

    perujukan ke pelayanan medis dan psikososial bagi mereka yang mendapat hasil

    positif.28,29

    Menyadari pentingnya menghubungkan orang yang positif HIV ke pusat

    layanan pencegahan, pengobatan, dan perawatan, UNAIDS dan WHO pada

    bulan Mei 2007 merilis panduan operasional PITC di tempat pelayanan

    kesehatan. Panduan ini sejalan dengan keputusan UNAIDS/WHO mengenai

    pemeriksaan HIV dan merekomendasikan agar seluruh VCT dilengkapi dengan

    PITC di seluruh tempat pelayanan kesehatan di tingkat epidemi meluas, dan

    fasilitas kesehatan spesialistik (seperti klinik TB, klinik antenatal, dan klinik infeksi

    menular seksual) di daerah dengan tingkat epidemi rendah atau terkonsentrasi.30

    Tahun 2006, CDC merekomendasikan pemeriksaan diagnostik dan

    skrining HIV menjadi suatu pemeriksaan rutin di seluruh sarana pelayanan

    kesehatan dengan tetap menjaga hak pasien untuk menolak serta menjamin

    hubungan tenaga kesehatan dan pasien yang kondusif. Rekomendasi ini

    ditujukan untuk seluruh sarana pelayanan kesehatan, termasuk ruang gawat

    darurat rumah sakit, ruang rawat inap, klinik infeksi menular seksual, tuberkulosis,

    klinik bagi penyalahgunaan zat, klinik umum, serta pelayanan kesehatan tingkat

    primer. Tujuan dari rekomendasi CDC ini adalah untuk meningkatkan jumlah

    skrining HIV pada pasien di seluruh tempat layanan kesehatan, termasuk ibu

    hamil; mengembangkan program deteksi dini terhadap HIV; mengidentifikasi dan

    melakukan konseling terhadap orang yang belum diketahui status HIV-nya serta

    merujuknya ke tempat pelayanan kesehatan; dan lebih jauh lagi untuk

    mengurangi transmisi HIV perinatal di Amerika Serikat.11

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    26

    Latar belakang rekomendasi CDC adalah sebagai berikut:

    Diperkirakan 1/4 dari satu juta orang dengan HIV/AIDS di Amerika

    Serikat tidak menyadari bahwa mereka telah terinfeksi. Hal ini berarti

    terdapat 250.000 orang yang dapat menularkan HIV kepada

    pasangannya secara tidak sadar. Dengan adanya skrining HIV sebagai

    pemeriksaan rutin dalam pelayanan medis, akan lebih banyak orang

    mengetahui status HIV-nya.31

    Orang-orang dengan HIV dapat menerima pengobatan untuk HIV,

    sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup mereka sekaligus

    memperpanjang umur mereka, jika HIV didiagnosis lebih dini. Saat ini,

    kebanyakan orang mengetahui infeksi HIV setelah munculnya gejala

    (dalam suatu studi terhadap orang yang terinfeksi HIV, 65% orang

    melaporkan bahwa mereka pertama kali diperiksa HIV karena penyakit

    yang mereka derita).31

    Banyak orang yang setelah mengetahui status HIV-nya mengubah

    perilaku berisiko mereka untuk mengurangi penularan HIV.

    Pemeriksaan HIV rutin dapat melindungi pasangan dari orang yang

    sebenarnya mengidap HIV namun tidak mengetahui status HIV-nya.

    Teorinya, infeksi baru HIV dapat dikurangi 30% setiap tahunnya jika

    seluruh orang dengan HIV mengetahui status HIV mereka dan mulai

    mengadopsi perilaku untuk mengurangi penularan HIV.31

    Pemeriksaan HIV rutin dapat mengurangi stigma terkait pemeriksaan

    HIV yang didasarkan pada pengetahuan atau persepsi dari para

    tenaga kesehatan mengenai risiko terkait HIV/AIDS.31

    Persyaratan mengenai perlunya konseling pra-tes dan informed-

    consent tertulis tidak cocok untuk diberlakukan di instalasi gawat

    darurat atau tempat pelayanan kesehatan yang sibuk lainnya.31 Oleh

    karena itu, CDC merekomendasikan bahwa konseling pencegahan

    tidak perlu dimasukkan ke dalam program skrining HIV di sarana

    pelayanan kesehatan. Konseling pencegahan sangat disarankan bagi

    orang-orang yang berisiko tinggi terinfeksi HIV pada keadaan di mana

    perilaku berisiko tersebut dinilai secara rutin (misalnya di klinik IMS)

    namun tidak perlu dihubungkan dengan pemeriksaan HIV.11

    Selain itu, CDC berpendapat bahwa pertama, pemeriksaan HIV

    berdasarkan penilaian risiko tidak efektif, khususnya dalam usaha pencegahan

    HIV melalui transmisi seksual. Kedua, strategi universal, seperti yang sudah

    diterapkan terhadap wanita hamil dan darah donor, terbukti efektif. Ketiga,

    kebanyakan orang yang sudah mengetahui bahwa mereka terinfeksi HIV akan

    mengurangi perilaku berisiko mereka.32 Isi rekomendasi CDC adalah sebagai

    berikut:

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    27

    Skrining infeksi HIV11

    o Di seluruh tempat pelayanan kesehatan, skrining terhadap infeksi

    HIV dilakukan secara rutin terhadap seluruh pasien yang berusia 13-

    64 tahun. Para petugas kesehatan harus mulai menginisiasi

    dilakukannya skrining kecuali prevalens infeksi HIV yang tidak

    diketahui < 0,1%. Bila tidak terdapat data mengenai prevalens HIV,

    petugas kesehatan harus memulai menginisiasi skrining HIV secara

    sukarela sampai didapatkan hasil prevalens < 1 per 1000 pasien

    yang diskrining.

    o Seluruh pasien yang akan memulai terapi TB diskrining terhadap

    HIV secara rutin.

    o Seluruh pasien yang mencari pengobatan PMS, termasuk seluruh

    pasien yang mengunjungi klinik PMS, diskrining secara rutin setiap

    kali kunjungan untuk keluhan baru, tanpa memperhatikan apakah

    pasien diketahui atau dicurigai memiliki perilaku berisiko tertular HIV.

    Skrining Ulangan11

    o Petugas kesehatan harus memeriksa orang-orang yang berisiko

    terinfeksi HIV minimal setiap tahun. Orang-orang berisiko terinfeksi

    HIV di antaranya adalah pengguna narkoba suntik dan pasangan

    seksualnya, pekerja seks, pasangan dari orang yang terinfeksi HIV,

    laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki serta pasangan

    heteroseksual yang pasangan seksualnya pernah berhubungan

    seksual dengan satu atau lebih pasangan seksual lain sejak

    pemeriksaan HIV terakhir.

    o Petugas kesehatan harus mendorong pasien dan calon pasangan

    seksualnya untuk melakukan pemeriksaan HIV sebelum memulai

    hubungan yang baru.

    o Skrining ulangan terhadap orang yang tidak memiliki perilaku

    berisiko tertular HIV harus didasarkan pada penilaian klinis.

    o Bila belum terdapat hasil tes HIV terbaru, setiap orang yang darah

    atau cairan tubuhnya menjadi sumber penularan HIV terhadap

    petugas kesehatan harus diinformasikan dan diperiksa HIV pada

    saat terjadi paparan.

    Persetujuan dan Informasi Pre-tes11

    o Skrining harus dilakukan secara sukarela dan sepengetahuan

    pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan HIV.

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    28

    o Pasien harus diberi informasi secara lisan atau tulisan bahwa dia

    akan diperiksa status HIV-nya kecuali bila pasien menolak (opt-out

    testing). Informasi tersebut harus mencakup penjelasan mengenai

    infeksi HIV dan arti dari hasil tes nantinya, serta pasien juga harus

    diberi kesempatan untuk bertanya dan menolak dilakukannya

    pemeriksaan. Dengan pemberitahuan seperti itu, persetujuan

    dilakukannya skrining HIV harus diikutsertakan pada waktu

    dilakukannya informed-consent secara umum untuk tindakan medis

    atau pemeriksaan skrining lainnya Tidak direkomendasikan adanya

    lembar persetujuan terpisah untuk pemeriksaan HIV.

    o Materi informasi yang diberikan harus mudah dimengerti dan

    tersedia dalam bahasa yang digunakan setempat.

    o Bila pasien menolak dilakukannya pemeriksaan HIV, catat di dalam

    rekam medik.

    Uji Diagnostik untuk Infeksi HIV11

    o Setiap pasien dengan tanda dan gejala yang konsisten dengan

    infeksi HIV atau infeksi oportunistik AIDS harus diperiksa HIV.

    o Para klinis harus selalu mewaspadai adanya infeksi HIV akut pada

    setiap pasien dengan sindrom klinis yang sesuai dan memiliki

    perilaku berisiko tinggi. Bila dicurigai terdapat sindrom retroviral akut,

    pemeriksaan RNA plasma harus dilakukan bersama dengan

    pemeriksaan antibodi HIV untuk mendiagnosis infeksi akut HIV.

    o Pasien atau orang yang merawat pasien harus diberitahukan secara

    lisan bahwa akan direncanakan pemeriksaan HIV dan implikasi dari

    hasil positif atau negatif tes tersebut, serta tetap memberikan

    kesempatan untuk bertanya dan menolak tes tersebut. Dengan

    informasi semacam itu, persetujuan pasien pada saat menyetujui

    tindakan perawatan medis secara umum dianggap sudah cukup

    untuk menyetujui dilakukannya pemeriksaan HIV.

    Menurut CDC, semua wanita hamil harus menjalani skrining HIV sejalan

    dengan rekomendasi terhadap remaja dan dewasa. Skrining HIV dianjurkan untuk

    dimasukkan sebagai bagian dari pemeriksaan rutin prakonsepsi, untuk memberi

    peluang bagi semua wanita untuk mengetahui status HIV sebelum konsepsi.

    Selain itu, skrining pada awal kehamilan berguna bagi wanita yang terinfeksi HIV

    serta anaknya untuk dilakukan intervensi yang sesuai (misalnya pemberian

    antiretroviral, penentuan jadwal persalinan bedah sesar, dan penghindaran

    menyusui). Rekomendasi ini ditujukan bagi klinisi yang merawat wanita hamil dan

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    29

    neonatus serta pembuat kebijakan kesehatan yang bertanggung jawab pada

    populasi ini.11

    b. Metode, Cara, dan Target Skrining

    CDC merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HIV secara rutin

    untuk setiap orang berusia 13-64 tahun yang datang ke sarana pelayanan

    kesehatan meskipun tanpa gejala. Selain itu, CDC juga merekomendasikan agar

    pemeriksaan HIV dimasukkan dalam pemeriksaan rutin antenatal bagi wanita

    hamil.11 Sementara pemeriksaan wajib HIV lebih ditekankan untuk dilakukan pada

    donor darah dan organ. Pemeriksaan wajib HIV juga dapat dilakukan pada bidang

    perekrutan tentara atau tenaga kerja imigran.28,29

    Panduan WHO mengenai PITC tahun 2007 menyebutkan bahwa metode

    ini dapat diterapkan pada wilayah dengan tingkat epidemiologi HIV yang berbeda-

    beda, yaitu daerah dengan epidemi HIV yang rendah, daerah dengan tingkat

    epidemi HIV yang terkonsentrasi, dan daerah dengan tingkat epidemi yang

    meluas. Yang dimaksud dengan epidemi yang rendah adalah infeksi HIV hanya

    ditemukan pada beberapa individu dengan perilaku berisiko (WPS, pengguna

    narkoba suntik, laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki); angka prevalensinya

    tidak melebih 5% pada subpopulasi tertentu. Sementara itu, yang dimaksud

    dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi adalah infeksi HIV telah menyebar di

    subpopulasi tertentu, namun tidak ditemukan di populasi umum. Hal ini

    menunjukkan aktifnya hubungan antara risiko dengan subpopulasi; angka

    prevalensi pada subpopulasi melebihi 5%, namun tidak sampai 1% pada wanita

    hamil. Kemudian, yang dimaksud tingkat epidemi yang meluas adalah infeksi HIV

    telah ditemukan pada populasi umum, dengan prevalensi pada wanita hamil

    melebihi 1%.33

    Pada semua tingkat epidemi, PITC direkomendasikan untuk dilakukan

    kepada orang dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan tanda klinis yang

    sesuai dengan infeksi HIV; anak yang terpapar HIV atau anak yang lahir dari ibu

    yang HIV positif; anak dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi, di daerah

    dengan epidemi yang meluas, yang tidak membaik dengan terapi yang optimal;

    serta pria yang menginginkan untuk dilakukan sirkumsisi sebagai pencegahan

    penularan HIV.33

    Pada daerah dengan epidemi yang meluas, PITC direkomendasikan untuk

    diterapkan kepada pasien rawat inap dan rawat jalan, termasuk pasien TB;

    pelayanan kesehatan antenatal, persalinan dan post partum; pelayanan infeksi

    menular seksual; pelayanan kesehatan untuk populasi yang berisiko; pelayanan

    kesehatan untuk anak usia dibawah 10 tahun; pelayanan kesehatan untuk

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    30

    remaja; pelayanan pembedahan; dan layanan kesehatan reproduksi, termasuk

    keluarga berencana.33

    Untuk daerah dengan tingkat epidemi yang rendah atau terkonsentrasi,

    PITC dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada tempat pelayanan infeksi

    menular seksual; pelayanan kesehatan untuk populasi paling berisiko; pelayanan

    antenatal, persalinan, dan pascamelahirkan; serta pelayanan untuk TB.33

    Panduan nasional Inggris tahun 2008 tentang pemeriksaan HIV

    merekomendasikan pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang berikut:34

    1. Semua pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan di mana

    HIV, termasuk infeksi primer HIV, menjadi salah satu diagnosis

    banding.

    2. Semua pasien yang didiagnosis dengan infeksi menular seksual.

    3. Semua partner seksual dari laki-laki atau wanita yang diketahui HIV

    positif.

    4. Semua laki-laki dengan riwayat berhubungan seksual dengan laki-laki

    5. Semua wanita partner seksual dari laki-laki yang berhubungan seks

    dengan laki-laki.

    6. Semua pasien dengan riwayat penggunaan narkoba suntik.

    7. Semua laki-laki dan wanita yang diketahui berasal dari negara/daerah

    dengan prevalensi HIV yang tinggi (>1%).

    8. Semua laki-laki dan wanita yang berhubungan seksual di luar atau di

    dalam Inggris dengan pasangan yang diketahui berasal dari

    negara/daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi.

    Mengenai skrining HIV pada wanita hamil, Society of Obstetricians and

    Gynecologists of Canada (SOGC) pada tahun 2006 mengeluarkan panduan

    skrining sebagai berikut:35

    1. Semua wanita hamil harus ditawarkan untuk mengikuti skrining HIV

    dengan konseling yang memadai. Pemeriksaan harus bersifat sukarela.

    Skrining harus dipertimbangkan sebagai salah satu bagian dari standar

    pelayanan antenatal, meskipun klien tetap wajib diinformasikan

    mengenai manfaat dan risiko pemeriksaan ini serta hak mereka untuk

    menolak. Mereka tidak boleh diperiksa tanpa sepengetahuannya.

    2. Konseling pre-tes dan keputusan pasien mengenai pemeriksaan ini

    harus didokumentasikan di dalam rekam medik pasien.

    3. Pasien yang menolak untuk dilakukan skrining tetap berhak

    mendapatkan pelayanan antenatal yang optimal.

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    31

    4. Pasien sebaiknya ditawarkan untuk skrining HIV pada kunjungan

    pertama ke pelayanan antenatal.

    5. Pasien yang hasil tesnya negatif dan berperilaku risiko tinggi harus dites

    ulang setiap trimester.

    6. Wanita hamil yang tidak pernah menerima pelayanan antenatal dan

    tidak diketahui status HIV-nya harus ditawarkan untuk mengikuti

    pemeriksaan HIV ketika masuk RS untuk melahirkan. Wanita yang

    berisiko tinggi mengidap HIV dan tidak diketahui status HIV-nya harus

    diberikan profilaksis saat persalinan. Profilaksis HIV harus diberikan

    pada bayi baru lahir.

    7. Wanita hamil yang hasil tesnya positif selanjutnya ditangani oleh dokter

    yang berpengalaman dalam menatalaksana wanita hamil yang positif

    HIV.

    Review oleh Volmink dkk36 (2009) menyebutkan bahwa pemberian

    antiretroviral (ARV) dapat menurunkan transmisi HIV dari ibu ke anak melalui tiga

    cara yaitu, (1) menurunkan tingkat replikasi virus sekaligus menurunkan viral load

    pada wanita hamil, (2) melalui pemberian ARV pra-paparan kepada bayi melalui

    plasenta, (3) pemberian ARV pasca paparan pada bayi yang telah lahir. Dengan

    demikian, pemberian ARV pada masa perinatal menurunkan risiko transmisi HIV

    dari ibu ke bayi. Pada populasi yang tidak mendapatkan ASI, pemberian

    zidovudin jangka panjang pada masa antenatal dan intrapartum serta kepada bayi

    setelah lahir menurunkan 66% risiko infeksi HIV pada bayi saat berusia 18 bulan.

    Lalu bagaimana dengan pemeriksaan HIV di gawat darurat (GD)?

    Systematic review yang dilakukan oleh Rothman dkk37 (2003) mendukung

    implementasi skrining HIV di GD. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa

    infeksi yang tidak terdeteksi mencerminkan hilangnya peluang untuk memberikan

    pengobatan yang memadai bagi pengidap HIV serta mencegah penularan kepada

    orang lain. Dan GD dapat menjadi suatu tempat untuk mendeteksi HIV oleh

    karena banyak pengidap HIV yang tanpa gejala dan berperilaku risiko tinggi yang

    mendatangi GD. Penelitian oleh Kelen dkk38 (1995) menyimpulkan bahwa

    program pemeriksaan HIV berbasis GD terhadap populasi berisiko tinggi dapat

    mendeteksi orang-orang yang belum terdiagnosis HIV dalam jumlah yang

    signifikan. Rekomendasi CDC juga menyarankan untuk dilakukannya

    pemeriksaan HIV di GD.11 Memperluas skrining HIV ke tempat pelayanan

    kesehatan seperti gawat darurat akan memberikan manfaat yang besar.

    Penularan HIV dapat berkurang sebagai akibat pengurangan perilaku berisiko

    bagi orang yang menyadari bahwa mereka terinfeksi HIV serta berkurangnya viral

    load pada pasien yang mendapat terapi ARV.39

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    32

    Suatu survei dilakukan pada tahun 1995 di Inggris terhadap para dokter

    bedah mengenai pemeriksaan antibodi HIV terhadap pasien bedah. Hasilnya

    beragam. Dari 50 (62,5%) dokter yang mengembalikan kuesioner, 66%

    berpendapat bahwa mereka menghendaki agar hal tersebut dijadikan

    pemeriksaan wajib terhadap pasien bedah, meskipun banyak dari mereka juga

    berpandangan bahwa hal tersebut hanya penting dilakukan terhadap pasien yang

    dianggap berisiko tinggi. Delapan puluh empat persen responden percaya bahwa

    cara tersebut dapat melindungi mereka selama mengerjakan operasi. Empat

    puluh delapan persen responden setuju untuk dilakukan pemeriksaan meski

    tanpa persetujuan pasien. Hasil tersebut mengungkapkan bahwa dokter bedah

    setuju diberlakukannya pemeriksaan antibodi HIV terhadap pasien yang akan

    menjalani operasi dengan keyakinan bahwa hal tersebut dapat melindungi

    mereka dari terpapar infeksi sewaktu melakukan pembedahan.40 Tampaknya

    kebijakan skrining HIV rutin terhadap pasien yang akan menjalani pembedahan

    sangat didukung oleh para tenaga kesehatan itu sendiri.41

    Fournier dan Zeppa42 (1989) mengungkapkan bahwa alasan untuk

    melakukan skrining HIV rutin pada pasien pembedahan antara lain: (1)

    mengetahui status HIV memungkinkan dokter bedah bekerja sehati-hati mungkin

    untuk menghindari terjadinya infeksi; (2) manfaat pada pasien, yaitu infeksi HIV

    dapat mempengaruhi rasio risk-benefit dari suatu prosedur; dan (3) diketahuinya

    status HIV pasien tidak akan berpengaruh terhadap bagaimana pasien ditangani.

    Namun, mereka juga mengungkapkan alasan keberatan untuk menerapkan

    skrining HIV rutin, antara lain: (1) oleh karena risiko pada prosedur yang sifatnya

    individual rendah, diketahuinya status HIV tidak berarti mengurangi risiko

    penularan; (2) pelayanan terhadap pasien bisa dipengaruhi secara negatif; (3)

    ada kemungkinan hasil positif palsu dan; (4) standar etika dari otonomi, privasi,

    dan informed-consent tidak selalu diterapkan dalam pemeriksaan HIV.

    Mengenai cara pemeriksaan, panduan Eropa tahun 2008 mengenai

    pemeriksaan HIV/AIDS merekomendasikan pemeriksaan antibodi HIV-1, HIV-2,

    dan antigen HIV-1 p24. Sampel untuk pemeriksaan lebih disukai bila diambil dari

    darah vena, namun bila pungsi vena tidak memungkinkan, sampel dapat di ambil

    dari tempat lain, seperti darah hasil cukit kulit, cairan mulut atau urin. Hati-hati jika

    menggunakan uji cepat karena uji cepat tidak memeriksa antigen p24 sehingga

    dapat memberikan hasil negatif palsu. Pemeriksaan viral load juga tidak

    direkomendasikan sebab dapat memberikan hasil positif palsu.43

    Untuk donor darah dan organ, WHO mewajibkan untuk skrining terhadap

    HIV.28 Indonesia sendiri sejak tahun 1992 telah melakukan skrining terhadap HIV

    pada setiap kantong darah yang diperoleh dari donor.10 Metode skrining yang

    dapat dilakukan terbagi menjadi tiga, tergantung jumlah spesimen donor darah

    yang terkumpul. Bila spesimen yang terkumpul mencapai 30 perminggu, metode

    yang digunakan adalah uji rapid; bila spesimen yang terkumpul mencapai 30-60

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    33

    perminggu, metode yang digunakan adalah aglutinasi; sedangkan bila spesimen

    yang terkumpul lebih dari 60 sampel perminggu, metode yang digunakan adalah

    ELISA.44 Saat ini PMI hanya melaksanakan 2 metode skrining, yakni uji rapid bila

    spesimen yang terkumpul di bawah 60 perminggu dan ELISA dengan bila

    spesimen yang terkumpul di atas 60 perminggu.

    Penelitian mengenai dampak dari pemberlakukan skrining HIV terhadap

    darah donor pernah dilaporkan di Mozambik. Mozambik merupakan sebagai salah

    satu negara dengan prevalens HIV tertinggi di wilayah subsahara Benua Afrika,

    mencapai 16,7% pada tahun 2007. Pada tahun 2005, 121 bank darah di

    Mozambik telah memberlakukan skrining HIV terhadap darah donor sejumlah

    76.663 kantong darah. Dari jumlah tersebut, 47.823 (62,4%) kantong darah

    diperiksa dengan uji cepat sementara sisanya diperiksa dengan ELISA, namun

    hasilnya tidak diketahui. Dari jumlah yang diperiksa dengan uji cepat tersebut,

    sebanyak 4.304 kantong darah (9%) berpotensi terinfeksi HIV. Dengan asumsi

    bahwa 50% transfusi dilakukan pada anak-anak oleh karena infeksi malaria,

    pemberlakukan skrining HIV terhadap darah donor dapat menghindari infeksi

    sebanyak 6.521 kasus pada anak dan 2.152 pada dewasa.45

    Pan American Health Organization pada tahun 2008 mengeluarkan

    panduan pemeriksaan HIV menggunakan kombinasi antara uji cepat dengan

    ELISA. Panduan tersebut berisi tiga macam algoritme pemeriksaan HIV, dengan

    penggunaannya pada kondisi yang spesifik. Algoritme pertama yaitu dengan

    pemeriksaan HIV secara serial untuk diterapkan pada daerah dengan prevalens

    HIV < 5%. Algoritme kedua juga melakukan pemeriksaan HIV secara serial,

    hanya saja pemeriksaan ini untuk diterapkan di daerah dengan prevalens HIV >

    5% atau terhadap sasaran pemeriksaan yang memiliki perilaku berisiko tinggi.

    Pemeriksaan serial yaitu memeriksakan sampel dengan satu reagen yang sangat

    sensitif, kemudian sampel yang reaktif pada pemeriksaan awal diperiksa kembali

    dengan reagen kedua yang sangat spesifik. Algoritme ketiga merupakan

    pemeriksaan HIV secara paralel, yaitu memeriksakan sampel dengan dua reagen

    yang berbeda secara bersamaan. Algoritme ketiga ini diusulkan untuk diterapkan

    pada keadaan semisal kunjungan pertama wanita hamil ke klinik layanan

    antenatal, yang membutuhkan keputusan cepat apakah akan melakukan

    intervensi untuk mencegah penularan HIV ke anaknya. Kondisi lain yang

    memungkinkan diterapkannya strategi pemeriksaan secara paralel yaitu pada

    keadaan gawat darurat, kecelakaan kerja, dan kekerasan seksual. Ketiga

    algoritme tersebut dijabarkan sebagai berikut:46

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    34

    Gambar 11 Algoritme 1 pemeriksaan HIV berkelanjutan46

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    35

    Gambar 12 Algoritme 2 pemeriksaan HIV berkelanjutan46

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    36

    Gambar 13 Algoritme 3 pemeriksaan HIV secara paralel46

    c. Perbandingan Model dan Metode Skrining Antarnegara

    Negara-negara yang akan dibandingkan berikut ini dianggap berhasil

    menggunakan skrining HIV untuk menekan atau menurunkan angka prevalens

    HIV. Negara tersebut antara lain Malaysia dan Thailand.

    1. Malaysia

    HIV/AIDS tidak ditemukan di Malaysia hingga tahun 1986. Antara tahun

    1986 hingga Desember 2000, populasi negara ini mencapai hampir 25 juta

    penduduk, dengan 38.044 kasus HIV/AIDS. Angka tersebut terus tumbuh, hingga

    mencapai 51.256 kasus (tahun 2002) dan 58.012 (tahun 2003). Sampai

    September 2004, secara kumulatif terdapat 61.486 orang yang terinfeksi HIV

    yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan setempat, 8.955 orang di antaranya

    mengidap AIDS dan 7.083 orang meninggal.47

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    37

    Mayoritas kasus dideteksi dengan proses skrining yang dilakukan di pusat

    rehabilitasi ketergantungan obat, penjara, klinik antenatal, atau tes yang dilakukan

    pada orang yang pasangannya positif mengidap HIV. Meskipun pemerintah telah

    meluncurkan program skrining gratis pada bulan Juni 2003, hanya sebagian kecil

    dari orang-orang yang dikategorikan berisiko tinggi yang sukarela untuk

    diperiksa.47

    Pria menempati proporsi terbesar pengidap HIV dan AIDS, masing-masing

    93,4% dan 91,6%. Namun, laju infeksi pada wanita meningkat, dari 1,4% pada

    tahun 1990 menjadi 9,9% di tahun 2003 dan lebih banyak mengenai wanita

    berstatus ibu rumah tangga dan wanita karir dibandingkan pekerja seksual atau

    pecandu obat. Mayoritas (79,4%) laki-laki dan wanita yang terinfeksi berusia

    antara 20-an hingga 30-an tahun. Penularan HIV di Malaysia terutama melalui

    pemakaian jarum suntik bersama di antara pemakai narkoba (75,6%), diikuti

    kontak heteroseksual (12,9%) dan homo/biseksual (1,0%); 0.7% infeksi terjadi

    melalui transmisi vertikal dan 0,05% melalui transfusi darah.47

    Malaysia kemudian meluncurkan program skrining darah dan pemeriksaan

    HIV. Skrining dilakukan mulai tahun 1986 dan hingga tahun 2005, Malaysia telah

    memiliki 76 pusat skrining tersebar di seluruh tempat. Efisiensi skrining darah ini

    tercermin dari rendahnya tingkat infeksi melalui darah, yaitu hanya 19 kasus

    dalam 14 tahun. Pada tahun 2003, dari sekitar 11.905 darah donor yang

    diskrining, 14 di antaranya (0,118%) didapati HIV positif, sementara pada tahun

    2004, hanya 9 sampel darah (0,077%) yang didapati HIV positif dari 11.693 darah

    donor. Uji skrining di Malaysia dilakukan dalam beberapa langkah. Langkah

    pertama dan paling sederhana adalah dengan uji cepat (rapid test). Hasilnya bisa

    didapat dalam waktu kurang dari 15 menit. Uji ini harus melalui pemeriksaan oleh

    Malaysian Institute of Medical Research sebelum diterima untuk digunakan di

    klinik. Uji cepat memiliki sensitivitas dan spesifisitas antara 99,8-99,9%. Orang-

    orang yang mendapatkan hasil reaktif pada uji cepat ini akan melakukan

    pemeriksaan lanjutan berupa uji konfirmasi. Hasil uji konfirmasi bisa diperoleh

    dalam satu minggu hingga satu bulan, tergantung tes yang dilakukan, namun

    selama menunggu hasilnya klien diingatkan untuk selalu melakukan tindakan

    preventif supaya terhindar dari penularan HIV.47

    Selain itu, sejak awal tahun 1989, dilakukan surveilans dan skrining rutin

    pada kelompok pengguna narkoba suntik dan pekerja seksual di lembaga

    rehabilitasi. Hal ini kemudian diperluas ke kelompok penghuni penjara dengan

    perilaku berisiko tinggi, pekerja asing, dan pasien tuberkulosis dan infeksi menular

    seksual. Dengan program surveilans ini, beban dan kecenderungan pertumbuhan

    HIV/AIDS dapat dipantau.47

    Kementerian Kesehatan Malaysia meluncurkan program PMTCT yang

    ditujukan untuk mengobati seluruh wanita hamil yang HIV positif. Program ini

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    38

    dimulai tahun 1997 dan hingga saat ini telah diimplementasikan secara luas.

    Hingga bulan Desember 2003, didapatkan 619 wanita hamil yang positif

    mengidap HIV dari sekitar 1,8 juta wanita hamil yang diskrining (0,035%); sekitar

    4,55% dari bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi yang menjalani pemeriksaan

    ditemukan positif mengidap HIV.47

    Di Malaysia, juga diberlakukan tes HIV wajib terhadap pasangan yang mau

    menikah, antara lain untuk melindungi calon istri/suami dan bayi yang akan

    dilahirkan kemudian.48

    Perkembangan kasus HIV/AIDS di Malaysia disajikan dalam gambar 14.

    Gambar 14 Jumlah orang dengan HIV, tahun 1990-200749

    2. Thailand

    Respons pemerintah Thailand terhadap HIV/AIDS merupakan suatu

    pencapaian yang sangat mengagumkan. Sejak tahun 1991, infeksi baru setiap

    tahunnya turun secara dramatis dan jutaan nyawa dapat diselamatkan. Thailand

    merupakan salah satu negara yang lebih dulu mewujudkan Tujuan Pembangunan

    Milenium (Millenium Development Goals-MDGs) yang keenam, yaitu mulai untuk

    membalikkan perluasan HIV/AIDS pada tahun 2015, sebelum waktunya.50

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    39

    Thailand menunjukkan bahwa kebijakan yang didukung secara politik,

    disokong dengan pendanaan yang memadai, serta dilakukan dengan cerdas

    dapat mengubah perjalanan epidemi HIV/AIDS. Setelah mencapai puncak pada

    tahun 1991 dengan jumlah 143.000 kasus, jumlah infeksi HIV baru setiap

    tahunnya merosot hingga sekitar 19.000 pada tahun 2003. Prevalens HIV pada

    orang dewasa secara nasional juga terus menurun, dan diperkirakan pada akhir

    tahun 2003 mencapai 1,5%. Secara kumulatif, jumlah infeksi HIV/AIDS mencapai

    lebih dari 1 juta orang dan kematian karena AIDS mencapai 460 ribu kasus.

    Jumlah orang dengan HIV/AIDS pada tahun 2003 mencapai 604 ribu.50

    Thailand merupakan satu dari beberapa negara berkembang di Asia yang

    pertama kali secara sistematis melakukan pencegahan penularan melalui

    transfusi darah. Hal ini dilakukan setelah seorang pekerja pabrik tertular HIV

    setelah menjalani pembedahan dan sejak tahun 1986, program skrining darah

    diubah dengan mengikutsertakan skrining terhadap HIV. Hingga tahun 1989,

    seluruh rumah sakit umum memiliki kemampuan untuk melakukan pemeriksaan

    ini. Hal ini juga didukung pemerintah dengan menjamin keamanan persediaan

    darah, termasuk ketersediaan unit pelayanan darah di tiap provinsi di Thailand.

    Sampai pertengahan tahun 1990, seluruh spesimen darah diskrining terhadap

    HIV, menggunakan uji antibodi HIVdan antigen p24. Pada akhir tahun 1990,

    mayoritas bank darah di Thailand memiliki data elektronik terkait data pendonor.

    Sebuah kuesioner yang dapat diisi sendiri untuk menskrining pendonor juga

    diberlakukan. Hal ini menurunkan risiko transmisi HIV melalui darah hingga

    sekitar 1 dari 80.000 transfusi, angka terendah di antara negara berkembang. 50

    Di Thailand, VCT yang efektif merupakan hal yang vital dalam

    mengidentifikasikan orang-orang yang dapat memperoleh manfaat dari

    penanganan lebih dini, mempromosikan kepatuhan dalam menjalani terapi, serta

    meningkatkan langkah preventif. Layanan VCT sudah tersedia di sekitar 1.000

    rumah sakit dan klinik di seluruh Thailand. Namun cakupannya tidak merata.

    Menurut survei yang dilakukan pada akhir tahun 2003, orang-orang yang tinggal

    di Bangkok dapat dengan mudah mengakses klinik VCT secara gratis atau

    terjangkau, namun di daerah rural cakupannya kurang dari 50%. Survei tersebut

    tidak dapat menentukan jumlah pengguna layanan VCT yang sebenarnya,

    meskipun pada tahun sebelumnya diketahui bahwa terdapat sekitar 12.500 orang

    yang menggunakan layanan VCT yang diselenggarakan oleh Palang Merah

    Thailand. Pengeluaran untuk layanan VCT meningkat pada tahun 2003 namun

    proporsinya hanya sekitar 2% dari pengeluaran total untuk HIV/AIDS.50

    Usaha dini untuk membatasi transmisi dari ibu ke anak dipusatkan pada

    penyediaan pendidikan keluarga dan konseling pranikah. Pasangan muda

    ditekankan untuk mengikuti tes HIV sebelum memiliki anak. Pada tahun 1990-

    1991, sejumlah rumah sakit umum mengintegrasikan skrining HIV ke dalam

    layanan antenatal. Setelah itu, skrining HIV mulai diperkenalkan di beberapa

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    40

    rumah sakit komunitas lainnya. Salah satu programnya adalah program

    pemberian susu untuk anak, di mana susu formula diberikan kepada ibu

    menyusui yang positif mengidap HIV. Namun, pemberian susu melalui botol

    secara tidak langsung menandakan status HIV ibu sehingga hal ini memberatkan

    untuk beberapa ibu.50

    Selama satu dekade berjalan, diketahui bahwa proporsi terbesar dari

    infeksi baru HIV mulai muncul di antara wanita. Akibatnya, transmisi dari ibu ke

    anak juga meningkat. Kebijakan publik mengenai penggunaan AZT (zidovudin)

    belum ada, terutama disebabkan tingginya biaya produksi obat. Namun, setelah

    dilakukan penelitian mengenai efektivitas AZT jangka pendek untuk mencegah

    penularan dari ibu ke anak memberikan hasil penurunan peluang penularan HIV

    dari ibu ke anak sebesar 50%, maka pemberian AZT mulai dimasukkan ke dalam

    program PMTCT.50

    Meski begitu, pelaksanaan PMTCT tidak selalu mulus. Adanya

    ketimpangan dalam praktik di lapangan masih harus dibenahi sebelum

    memperluas program ini ke seluruh daerah. Misalnya, di beberapa rumah sakit,

    hak kerahasiaan pasien dihadapkan dengan kurangnya ruang privat untuk

    konseling dan penggunaan simbol yang dicantumkan pada kartu berobat (yang

    menandakan status HIV ibu tersebut). Selain itu, tidak semua wanita hamil

    mampu mengakses fasilitas layanan antenatal. Pada suatu review tahun 2000-

    2001, ditemukan bahwa 12% dari wanita dengan HIV positif tidak mengikuti

    perawatan antenatal.50

    Pada tahun 2000, Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand

    mengeluarkan panduan klinis mengenai pelayanan standar dalam program

    PMTCT, mengembangkan kebijakan nasional dan meluncurkan program nasional

    berdasarkan kebijakan tersebut. Hingga saat ini, AZT telah digunakan di banyak

    rumah sakit di Thailand. Pada evaluasi tahun pertama, diketahui pemanfaatannya

    sangat tinggi dan jumlah bayi baru lahir yang mendapatkan profilaksis

    antiretroviral meningkat. Tanpa usaha semacam itu, diperkirakan bahwa hampir

    5.000 anak dengan HIV positif akan lahir setiap tahunnya. Dengan program

    nasional ini, angka tersebut dapat dipangkas hingga setengahnya.50

    PMTCT di Thailand dijadikan contoh untuk ditiru di beberapa negara

    berkembang. Usaha tersebut dilakukan dalam keadaan mendesak namun

    sistematis, sehingga hasil dari penelitian dan program percontohan dapat

    ditransformasikan dengan cepat menjadi suatu program nasional. Seiring dengan

    program pengentasan HIV/AIDS lainnya, Thailand juga menikmati manfaat

    lainnya, termasuk infrastruktur layanan antenatal yang kuat dan antiretrovirus

    generik produksi dalam negeri yang mungkin tidak dinikmati oleh negara lain.50

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    41

    Gambar 15 Prevalens HIV pada wanita hamil50

    Pertumbuhan kasus HIV/AIDS dapat dilihat pada gambar 16.

    Gambar 16 Jumlah orang dengan HIV, tahun 1990-200751

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    42

    d. Alat Pemeriksaan dan Besaran Biaya Skrining

    Untuk melakukan pemeriksaan HIV, spesimen yang disukai adalah darah

    vena. Pengambilan sampel selain darah vena harus dihindari kecuali pungsi vena

    sulit atau tidak mungkin dilakukan. Bila sampel diambil dari sumber selain darah

    vena, misalnya darah dari ujung jari, cairan mulut, atau urin, harus dilakukan

    pengambilan sampel darah bila hasilnya reaktif atau indeterminat.43

    Alat skrining ELISA generasi keempat yang secara bersamaan mampu

    memeriksa antibodi HIV-1, antigen p24 HIV-1, dan antibodi HIV-2

    direkomendasikan untuk digunakan sebagai alat skrining HIV di klinik infeksi

    menular seksual di Eropa. Sensitivitasnya mencapai 99,78-100% sementara

    spesifisitasnya mencapai 99,5-99,93%.43

    Pemeriksaan amplifikasi asam nukleat (HIV-1 viral load) tidak

    direkomendasikan sebagai metode skrining diagnostik oleh karena hanya sedikit

    manfaat yang bisa diperoleh dengan mendeteksi infeksi primer HIV serta adanya

    kemungkinan hasil positif palsu. Pemakaian uji cepat HIV harus hati-hati

    mengingat uji ini tidak memeriksa antigen p24 HIV-1 dan dapat memberikan hasil

    negatif palsu pada masa infeksi primer HIV atau AIDS lanjut.34,43

    Ilustrasi pembiayaan skrining antibodi dan antigen HIV pada darah donor di

    Indonesia di tahun 2008 adalah sebagai berikut. Bila terdapat sekitar 1,7 juta

    kantong darah yang dites dan masing-masing kantong darah membutuhkan biaya

    US$ 3, sehingga biaya total yang diperlukan adalah sekitar US$ 5,1 juta (sekitar

    Rp 48,45 miliar).

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    43

    Rincian pemeriksaan HIV untuk poliklinik dan GD untuk satu orang pasien

    disajikan dalam tabel 4:

    Tabel 4 Estimasi biaya pemeriksaan HIV di RSCM

    Komponen biaya Poliklinik

    umum

    dewasa

    /Pokdisus

    (Rp)

    Poliklinik

    layanan

    antenatal

    (Rp)

    GD

    (Rp)

    Poliklinik kulit

    kelamin

    (Rp)

    Bangsal

    rawat inap

    (Rp)

    Konsultasi/konseling

    pra tes

    Gratis 60.000

    Tes HIV ELISA:

    110.000-

    115.000

    ELISA:

    110.000-

    115.000

    ELISA:

    120.000

    ELISA:

    110.000-

    115.000

    ELISA:

    110.000-

    115.000

    Konseling pasca tes Gratis 60.000

    Tindak lanjut: care

    and support treatment

    ARV gratis

    Di Indonesia, digunakan metode ELISA dengan reagen untuk HIV-1 dan

    HIV-2 generasi IV dari Abbot yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-

    masing 100% dan 99,43%.52 Saat ini terdapat dua metoda tes HIV yang dapat

    digunakan yaitu tes Rapid dan ELISA dengan kelebihan dan kelemahan masing-

    masing. Kelebihan dan kelemahan metoda Rapid dan ELISA dapat dilihat pada

    tabel 5.

    Meskipun biaya per-tes metoda ELISA tidak begitu jauh dibandingkan

    dengan biaya per-tes metoda rapid, namun pada metoda ELISA perlu

    diperhitungkan pembiayaan peralatan dan infrastruktur. Namun demikian,

    walaupun dari perhitungan di atas biaya total metoda ELISA mungkin lebih tinggi

    dari biaya total metoda Rapid, perlu diingat bahwa tes ELISA lebih akurat karena

    pembacaan hasil menggunakan peralatan, sehingga hasil positif palsu dan negatif

    palsu lebih dapat dihindarkan.

  • HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

    44

    Tabel 5 Perbandingan antara metode rapid dan ELISA

    Item perbedaan Tes Rapid Tes ELISA

    1. Parameter yang

    dapat dideteksi

    Anti-HIV atau kombinasi anti-

    HIV dan P24 HIV

    Anti-HIV, atau Ag HIV (P24), atau

    kombinasi anti-HIV dan P24 HIV

    2. Peralatan Tanpa alat Alat ELISA yang terdiri dari:

    incubator, washer dan reader

    (spectrophotometer)

    3. Petugas Hanya memerlukan pelatihan

    singkat

    Petugas perlu pelatihan lebih

    khusus

    4. Infrastruktur Hampir tidak memerlukan

    infrastruktur khusus sehingga

    dapat digunakan di lapangan

    Perlu listrik dengan voltage stabil

    dan air yang memenuhi

    persyaratan

    5. Efisiensi biaya Biaya per-tes relatif lebih

    murah (perkiraan Rp. 18.000

    22.000,- per-tes)

    Untuk unit pemeriksa dimana

    spesimen datang satu per

    satu lebih efisien

    Bila digunakan Rapid

    kombinasi dapat menangkap

    individu yang berada dalam

    masa jendela infeksi

    Biaya per-tes relatif tidak jauh

    berbeda dengan tes rapid

    (perkiraan Rp. 14.000 22.000,-

    per-tes).

    Ada biaya investasi dan

    pemeliharaan peralatan serta

    biaya infrasturktur seperti listrik

    dan air

    Untuk unit pemeriksa dimana

    jumlah spesimen banyak lebih

    efisien

    Bila digunakan ELISA kombinasi

    dapat menangkap individu yang

    berada dalam masa jendela

    infeksi

    Di lain pihak, walaupun biaya total metoda Rapid relatif lebih murah,

    disertai dengan pengerjaan yang lebih sederhana dan