Upload
ngobao
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Pasar Modal Secara Umum
II.1.1 Pengertian Pasar Modal
Darmadji dan Fakhruddin (2001) mendefinisikan, “Pasar modal
merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang
bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang ataupun modal sendiri.” (h.
1).
II.1.2 Instrumen Pasar Modal
Darmadji dan Fakhruddin (2001) menyatakan “Pada dasarnya,
surat berharga di pasar modal dapat diklasifikasikan ke dalam 4 bentuk,
yaitu:
1. Equity
Merupakan Efek yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk
menjadi pemegang saham perusahaan yang menerbitkan Efek tersebut.
Contoh: Saham.
2. Fixed Income
Merupakan Efek dimana penerbitnya (issuer) mengeluarkan atau
menjual surat utang, dengan kewajiban menebus kembali suatu masa
nanti sesuai kesepakatan di antara para pihak.
Contoh: Obligasi.
8
3. Semi-Equity
Merupakan Efek utang yang dapat ditukarkan atau dikonversikan
sebagai Efek penyertaan pada saat yang telah ditentukan.
Contoh: Obligasi Konversi (Convertible Bond)
4. Derivative
Merupakan Efek turunan dari Efek utama baik yang bersifat penyertaan
maupun utang.
Contoh: right, waran, opsi, dan lain-lain.” (h. 3−5).
II.2 Saham
II.2.1 Pengertian Saham
Menurut Rahardjo (2006), “Saham adalah surat berharga yang
merupakan instrumen bukti kepemilikan atau penyertaan dari individu atau
institusi dalam suatu perusahaan.” (h. 31).
II.2.2 Jenis-jenis Saham
Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2001) “Ditinjau dari segi
kemampuan dalam hak tagih atau klaim, maka saham terbagi atas:
1. Saham Biasa (common stocks)
Merupakan saham yang menempatkan pemiliknya paling yunior
terhadap pembagian dividen, dan hak atas harta kekayaan perusahaan
apabila perusahaan tersebut dilikuidasi.
9
2. Saham Preferen (preferred stocks)
Merupakan saham yang memiliki karakteristik gabungan antara
obligasi dan saham biasa, karena bisa menghasilkan pendapatan tetap
(seperti bunga obligasi), tetapi juga bisa tidak mendatangkan hasil
seperti yang dikehendaki investor.” (h. 6).
Selanjutnya, Darmadji dan Fakhruddin (2001) mengemukakan,
“Ditinjau dari kinerja perdagangan maka saham dapat dikategorikan atas:
1. Blue-Chip Stocks
Merupakan saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki reputasi
tinggi, sebagai leader di industri sejenis, memiliki pendapatan yang
stabil dan konsisten dalam membayar dividen.
2. Income Stocks
Merupakan saham dari suatu emiten yang memiliki kemampuan
membayar dividen lebih tinggi dari rata-rata dividen yang dibayarkan
pada tahun sebelumnya.
3. Growth Stocks
Merupakan saham-saham dari emiten yang memiliki pertumbuhan
pendapatan yang tinggi, sebagai leader di industri sejenis yang
mempunyai reputasi tinggi.
4. Speculative Stocks
Merupakan saham suatu perusahaan yang tidak bisa secara konsisten
memperoleh penghasilan dari tahun ke tahun, akan tetapi mempunyai
kemungkinan penghasilan yang tinggi di masa mendatang, meskipun
belum pasti.
10
5. Counter Cyclical Stocks
Merupakan saham yang tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi makro
maupun situasi bisnis secara umum.” (h. 7).
Rahardjo (2006) menjelaskan, “Nilai kapitalisasi pasar suatu
saham terdiri atas beberapa kelompok, yaitu:
1. Kapitalisasi Besar (Big Capitalization)
Kelompok saham ini mempunyai nilai kapitalisasi pasar di atas Rp5
triliun. Jenis saham yang masuk dalam kelompok ini banyak diminati
oleh para fund manager dan investor institusional besar.
2. Kapitalisasi Menengah (Mid Capitalization)
Kelompok saham ini mempunyai nilai kapitalisasi pasar antara Rp1−5
triliun; disebut juga saham lapisan kedua atau second liner.
3. Kapitalisasi Kecil (Small Capitalization)
Kelompok saham ini mempunyai nilai kapitalisasi pasar di bawah Rp1
triliun. Kelompok saham ini disebut juga saham lapis ketiga; harga
sahamnya relatif murah.” (h. 41−42).
II.2.3 Karakteristik Saham Biasa
Rahardjo (2006) mengemukakan bahwa, “Setiap saham biasa
mempunyai sifat spesifik, yaitu:
1. Voting Rights
Setiap pemegang saham mempunyai hak mengeluarkan suara dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Jadi, dalam setiap proses
11
keputusan pengambilan suara, satu pemegang saham mempunyai satu
hak suara saat melakukan voting.
2. Claims on Income
Pemegang saham berhak mendapatkan bagian keuntungan yang
dibagikan; biasanya dalam bentuk dividen tunai atau saham bonus.
3. Claims on Assets
Pemegang saham berhak mendapatkan aset perusahaan apabila
perusahaan dilikuidasi. Ini tentu dapat dilakukan setelah aset
perusahaan tersebut dikurangi dengan berbagai pembayaran kewajiban
perusahaan.
4. Limited Liability
Pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas nilai saham yang
dipunyainya. Jadi, setiap pemegang saham tidak bertanggung jawab
atas risiko kerugian perusahaan secara pribadi, tetapi hanya berdasarkan
porsi kepemilikan saham yang dimilikinya.” (h. 33−34).
II.2.4 Keuntungan Membeli Saham
Berdasarkan pendapat Widoatmodjo (2006), “Keuntungan
membeli saham adalah:
1. Capital Gain, yaitu keuntungan dari hasil jual/beli saham, berupa
selisih antara nilai jual yang lebih tinggi daripada nilai beli saham;
2. Dividen, yaitu bagian keuntungan perusahaan yang akan dibagikan
kepada pemegang saham;
12
3. Saham juga dapat dijaminkan ke Bank sebagai agunan untuk
memperoleh kredit.” (h. 42).
II.2.5 Risiko Investasi Saham
Menurut Widoatmodjo (2006) menyatakan, “Risiko yang harus
dihadapi dalam investasi saham adalah:
1. Capital Loss, yaitu kerugian dari hasil jual/beli saham, berupa selisih
antara nilai jual yang lebih rendah daripada nilai beli saham;
2. Opportunity Loss, kerugian berupa selisih suku bunga deposito
dikurangi total hasil yang diperoleh dari investasi, seandainya terjadi
penurunan harga dan tidak dibaginya dividen;
3. Kerugian karena perusahaan dilikuidasi, namun nilai likuidasi yang
dibagikan lebih rendah dari harga beli saham.” (h. 42).
II.3 Indeks Harga Saham
II.3.1 Pengertian Indeks Harga Saham
Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2001), “ Indeks harga saham
merupakan indikator utama yang menggambarkan pergerakan harga saham.
Di pasar modal sebuah indeks diharapkan memiliki lima fungsi yaitu:
1. Sebagai indikator tren pasar;
2. Sebagai indikator tingkat keuntungan;
3. Sebagai tolak ukur (benchmark) kinerja suatu portfolio;
4. Memfasilitasi pembentukan portfolio dengan strategi pasif;
5. Memfasilitasi berkembangnya produk derivatif.” (h. 95).
13
II.3.2 Jenis-jenis Indeks
Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2001), “Di Bursa Efek
Jakarta terdapat 5 (lima) jenis indeks, antara lain:
1. Indeks Individual
Merupakan indeks harga masing-masing saham terhadap harga
dasarnya. Perhitungan indeks ini menggunakan prinsip yang sama
dengan IHSG, yaitu: Harga Pasar/Harga Dasar x 100.
2. Indeks Harga Saham Sektoral
Menggunakan semua saham yang termasuk dalam masing-masing
sektor. Di Bursa Efek Jakarta terbagi menjadi 9 sektor, yaitu:
a. Pertanian
b. Pertambangan
c. Industri Dasar dan Kimia
d. Aneka Industri
e. Industri Barang Konsumsi
f. Properti dan Real Estate
g. Transportasi dan Infrastruktur
h. Keuangan
i. Perdagangan, Jasa, dan Investasi
3. Indeks LQ 45
Menggunakan 45 saham yang terpilih berdasarkan likuditas
perdagangan saham dan disesuaikan setiap enam bulan (setiap awal
bulan Februari dan Agustus). Dengan demikian saham yang terdapat
dalam indeks tersebut akan selalu berubah.
14
4. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Menggunakan semua saham yang tercatat sebagai komponen
penghitungan indeks. Rumus perhitungan:
IHSG = Perdana Harga Tercatat x SahamJumlah Dasar NilaiTerakhir Harga Tercatat x SahamJumlah Pasar Nilai
== x 100
5. Indeks Syariah atau JII (Jakarta Islamic Index)
Merupakan indeks terakhir yang dikembangkan oleh BEJ bekerja sama
dengan Danareksa Investment Management. Indeks ini merupakan
indeks yang mengakomodasi syariat investasi dalam Islam atau indeks
yang berdasarkan syariah Islam.” (h. 95−97).
II.4 Market Timing
II.4.1 Pengertian Market Timing
Menurut Manurung (2006), ”Market timing merupakan waktu
untuk membuat keputusan membeli atau menjual instrumen investasi
dengan menggunakan strategi perdagangan mekanis dimana keputusan
tersebut menggunakan satu atau dua indikator yang strategis atau tepat.” (h.
23).
II.4.2 Tujuan Market Timing
Menurut Manurung (2006), ”Market timing bertujuan untuk :
• Menjaga modal sehingga selalu medapatkan keuntungan ketika
bertransaksi (menjual dan membeli)
15
• Membuat tingkat pengembailan investasi investor lebih tinggi dari
strategi buy and hold.” (h. 24).
II.5 Analisis Teknikal Secara Umum
II.5.1 Pengertian Analisis Teknikal
Rahardjo (2006) mendefinisikan, “Analisis teknikal adalah suatu
metodologi peramalan fluktuasi harga saham yang datanya diambil dari
data perdagangan saham yang terjadi di pasar saham (bursa efek). Jenis
data bisa berbentuk informasi harga saham, jumlah volume dan nilai
transaksi perdagangan, harga tertinggi dan terendah pada perdagangan
setiap hari, atau berbagai informasi lain yang terkait dengan transaksi
saham yang terwujud dalam bentuk tren harga saham; bisa dalam bentuk
grafik atau sejenisnya.” (h. 147).
II.5.2 Faktor-faktor Analisis Teknikal
Menurut Rahardjo (2006), ”Secara umum, analisis teknikal
meliputi faktor-faktor:
1. Sumber data analisis teknikal berasal dari data pasar dan fokus pada
faktor internal pergerakan harga saham atau di pasar saham itu sendiri.
Ini berbeda dengan analisis fundamental yang mengaitkan pada faktor
ekonomi dan politik yang merupakan variabel terpisah dari aktivitas
transaksi saham. Jadi, dapat dikatakan bahwa analisis teknikal langsung
berdasarkan pada tren aktivitas transaksi saham yang datanya
cenderung sangat mudah dipahami oleh setiap orang karena tidak
16
serumit data atau informasi analisis fundamental, seperti pemahaman
tren ekonomi dan industri suatu bisnis.
2. Dalam melakukan analisis teknikal, seorang analis teknikal yang
canggih akan selalu fokus pada faktor ”timing” karena pergerakan
harga saham pada dasarnya merupakan perubahan harga saham itu
sendiri, yang disebabkan oleh perbedaan jumlah permintaan dan
penawaran saham. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prediksi
harga saham cenderung bergerak pada ”tren” yang merupakan
pembentukan ekuilibrium atau keseimbangan harga yang baru. Analis
teknikal yang canggih mampu mengetahui kapan terjadinya perubahan
harga saham dan pada level berapa perubahan harga terbentuk.
3. Dalam melakukan analisis teknikal, yang diutamakan adalah analisis
jangka pendek, bukan jangka panjang. Dengan demikian, investor yang
memakai analisis teknikal cenderung memfokuskan strategi
perdagangan saham pada ”short run strategy”. Konsep ini sangat
berbeda dengan analisis fundamental yang mengutamakan pada strategi
investasi jangka menengah atau jangka panjang. Jadi, investor yang
hanya mempunyai taktik perdagangan harian atau mingguan sebaiknya
menggunakan informasi analsis teknikal sebagai prioritas utama karena
lebih praktis.” (h. 148−149).
II.5.3 Dasar Pemikiran Analisis Teknikal
Menurut Rahardjo (2006) , ”Salah satu dasar pemikiran analisis
teknikal di seluruh dunia adalah pola pemikiran Charles Hendry Dow, yang
17
terkenal dengan konsep Dow Jones Industrial Average. Enam konsep dasar
Dow Theory:
1. Average Prices Discount Everything
Setiap harga penutupan saham merupakan dasar tren harga saham rata-
rata di masa mendatang.
2. The Market Moves In Trends
Pergerakan pasar ditentukan oleh indikasi kecenderungan pergerakan
harga saham. Tren harga saham dibagi menjadi Primary Trend,
Secondary Trend, dan Minor Trend.
3. Major Trend Have Three Phases
Setiap trend pasar yang utama selalu terdiri atas tiga fase, yaitu Fase 1
(Accumulation), Fase 2 (Up Trend), dan Fase 3 (Down Trend).
4. Average Must Confirm Each Other
Rata-rata pergerakan harga saham akan memberikan indikasi arah harga
saham secara pola tertentu; apakah akan naik atau turun.
5. Volume Must Confirm The Trend
Sinyal harga saham akan naik atau turun ditentukan oleh volume
perdagangan. Data ini akan menunjukkan kecenderungan harga saham
di masa mendatang (Price Trend).
6. A Trend is Assumes To Be In Effect Until It Gives Define Signal
Analisis tren ini mengatakan bahwa tren akan dianggap benar kalau
sudah ada sinyal yang terjadi. Beberapa alat analisis yang dipakai
adalah Support and Resistance Level, Trend Lines, serta Moving
Averages.” (h. 151−152).
18
II.5.4 Istilah-istilah Teknikal
Rahardjo (2006) menyatakan, ”Untuk memahami analisis teknikal
secara mendalam, ada beberapa istilah teknikal yang bisa dijadikan dasar
untuk membuat keputusan investasi. Istilah tersebut:
1. Open
Adalah harga saat pembentukan harga saham pada awal perdagangan.
Jadi, setiap perdagangan saham dimulai, ada harga pembukaan yang
dijadikan patokan dasar kenaikan atau penurunan harga saham pada
periode tertentu. Istilah lainnya ”Opening Price”.
2. High
Adalah posisi harga tertinggi dalam suatu periode perdagangan saham.
Dalam posisi ini, ada kecenderungan banyak terjadi keinginan
pembelian daripada penjualan saham. Dengan demikian, tren harga
saham menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan dan tinggi pada
waktu tertentu.
3. Low
Adalah posisi harga saham yang paling rendah pada periode tertentu.
Ini terjadi karena tren orang menjual saham lebih banyak daripada
minat belinya. Oleh karena itu, harga tertekan ke posisi bawah.
4. Close
Adalah harga terakhir/penutupan sebuah perdagangan saham pada
periode tertentu. Istilah Closing menjadi dasar berakhirnya transaksi
perdagangan pada periode (session) perdagangan tertentu. Istilah
19
umumnya adalah ”Closing Price”, yang menjadi patokan untuk harga
pembukaan pada session perdagangan berikutnya.
5. Volume
Adalah jumlah total saham yang diperdagangkan dalam periode tertentu
(biasanya kenaikan harga saham diiringi kenaikan volume
perdagangan). Satuan perdagangan bisa berbentuk lembar saham, lot,
atau block sale. Semakin sedikit volume transaksi saham, pasar saham
akan semakin sepi atau tidak ada insentif dengan minat beli atau jual
para investor.
6. Bid
Adalah harga penawaran beli saham; ada pembeli yang berminat pada
saham tertentu dengan harga yang disetujui untuk pembelian harga
saham tersebut. Semakin serius minat beli investor saham, semakin
mereka memberi order beli saham dengan harga yang cenderung tinggi
dan mendekati harga transaksi terakhir.
7. Offer
Adalah harga penawaran jual tertentu; ada pemilik saham yang
berminat menjual sahamnya pada harga jual yang disepakati. Semakin
ingin cepat dilakukan transaksi jual, semakin penjual saham tersebut
memberikan harga jual yang mendekati harga pasar saham yang telah
ditransaksikan sebelumnya.” (h. 154).
20
II.6 Grafik dan Pola Dalam Analisis Teknikal
II.6.1 Model Grafik
Rahardjo (2006) menjelaskan, ”Salah satu bagian penting
mengenal analisis teknikal adalah mengerti secara akurat beberapa model
grafik atau tren pergerakan harga saham. Setiap jenis grafik mempunyai
keunggulan dan kelemahan. Ada lima model grafik, yaitu:
1. Lines Chart
Dari sekian jenis grafik yang ada di industri analisis teknikal, jenis ini
mempunyai bentuk yang sederhana. Data yang diolah didasarkan pada
harga penutupan saham dalam periode waktu (harian). Grafik ini ditarik
berdasarkan data pergerakan harga saham yang menyangkut skala titik
koordinat antara garis tegak (sumbu x) dan garis datar (sumbu y) yang
menjadi dasar pergerakan grafik tersebut. Grafik garis yang ada bisa
dibuat berdasarkan pendekatan Vertical Arithmetic Scale, Vertical
Logaritmic Scale, dan Time Scale.
2. Bar Chart
Model grafik ini menggambarkan indikasi pergerakan harga saham
yang menyangkut informasi harga saham tertinggi (high price), harga
saham terendah (low price), dan harga penutupan saham (closing price)
pada sekian periode waktu.
3. Candlestick
Model ini juga menggunakan variabel data, meliputi harga pembukaan
(open price), harga tertinggi (high price), harga terendah (low price),
dan harga penutupan (closing price). Grafik ini menggambarkan kaitan
21
antara harga pembukaan dan harga penutupan saham. Apabila harga
saham ditutup lebih tinggi daripada harga pembukaan, biasanya
digambarkan dengan candlestick yang masih asli atau tidak berwarna.
Sebaliknya, jika harga penutupan lebih rendah daripada harga
pembukaan, digambarkan dengan candlestick warna hitam atau warna
lain, seperti merah.
4. Point and Figure
Jenis grafik ini menggunakan data berdasarkan perubahan harga saham.
Model ini sekarang sangat diminati karena adanya bantuan teknologi
komputer yang dengan mudah dapat menggambarkan perubahan harga
saham yang terjadi pada periode tertentu. Biasanya, setiap perubahan
harga saham yang naik digambarkan dengan simbol (x = perkalian),
sebaliknya jika harga saham menurun digunakan simbol (o). Jenis
grafik ini berguna untuk menggambarkan sinyal rekomendasi investor
untuk bersiap-siap membeli atau menjual saham. Selain itu, identifikasi
penting lainnya ialah dapat mengetahui perilaku pasar (investor),
seperti jumlah permintaan dan penawaran harga saham yang
berlebihan, karena kesuksesan investasi sangat bergantung pada
pemahaman perilaku pasar dan pengetahuan dalam memahami tren
pergerakan minat beli dan jual investor di masa mendatang.
5. Histogram Volume
Salah satu keunggulan grafik ini adalah menggambarkan konsep
pergerakan harga saham di masa mendatang berdasarkan volume
jumlah saham yang ditransaksikan pada periode tertentu. Semakin
22
banyak jumlah volume saham yang diperdagangkan, semakin tinggi
minat beli investor atas instrumen tersebut, begitu juga sebaliknya.
Grafik volume dapat mengukur potensi beli dan jual saham pada
periode tertentu; hampir sama dengan yang dikatakan Dow Theory,
”Volume Must Confirm The Trend”. Jadi, jika volume perdagangan
saham lebih banyak dibandingkan dengan periode sebelumnya, berarti
ada informasi penting yang mempengaruhi alasan banyak investor
untuk membeli atau menjual saham.” (h. 155−160).
II.6.2 Analisis Teknikal Klasik
Rahardjo (2006) menyatakan, ”Untuk mengetahui pergerakan
harga saham, ada beberapa metode analisis teknikal yang didasarkan pada
metode klasik yaitu grafik klasik. Ada beberapa jenis arah trend yang dapat
menggambarkan pergerakan harga saham, yaitu:
1. Up Trend
Pola grafik ini menggambarkan harga saham yang sedang naik. Pada
posisi up trend, investor sebaiknya membeli saham karena harganya
cenderung meningkat. Apabila up trend terjadi berulang-ulang secara
terus-menerus, dapat dikatakan bahwa pasar berada dalam kondisi
”market bullish”. Pada saat seperti ini, investor sebaiknya membeli
untuk mendapatkan keuntungan yang cukup signifikan. Setiap investor
biasanya ingin mengetahui sinyal up trend sebagai momentum yang
tepat untuk melakukan investasi saham.
23
2. Down Trend
Pola down trend bertolak belakang dengan model up trend. Pada pasar
down trend, harga saham cenderung menurun sehingga investor
sebaiknya tidak membeli saham atau menjualnya apabila dianggap
sudah mendapatkan keuntungan. Situasi down trend sangat
dikhawatirkan banyak investor karena kalau tidak waspada, portfolio
harga sahamnya bisa rontok dan akibatnya tentu akan rugi. Situasi
down trend yang terjadi secara terus-menerus dikatakan juga ”market
bearish”; dan harus diwaspadai oleh para investor.
3. Sideways Market Trend
Pola ini menggambarkan situasi pergerakan harga saham yang
mempunyai pola naik dan turun dalam kisaran harga tertentu. Dengan
demikian, tren harga saham kadang naik, kadang pula turun dalam
jangka waktu tertentu, sehingga membentuk pola sideways trend.
Apabila ingin tetap bertransaksi, investor sebaiknya mencermati range
antara harga kenaikan paling tinggi untuk posisi jual dan harga
kenaikan paling rendah untuk posisi beli. Pola pergerakan harga saham
ini berbentuk zig-zag dalam kisaran harga yang terbentuk sebelumnya.
Apabila trend harga melewati batas maksimum atau minimum pola
tersebut, analisis teknikal kadang memberikan rekomendasi saatnya
untuk buy atau sell dalam jumlah volume saham yang signifikan.” (h.
160-163).
24
II.6.3 Garis Support & Resistance
Menurut Rahardjo (2006), ”Kedua istilah ini cukup dikenal di
kalangan investor pemula karena menjelaskan kisaran garis batas bawah
dan kisaran garis batas atas untuk pergerakan harga saham.
1. Support Level
Adalah kisaran harga yang menunjukkan kecilnya peluang harga saham
untuk turun. Peluang tren harga saham untuk tetap stabil atau naik ke
posisi harga justru lebih kuat karena posisi demand atas saham pada
kisaran harga tersebut lebih besar daripada supply. Pada posisi support
ini, investor cenderung membeli saham untuk mendapatkan peluang
gain atas saham tersebut.
2. Resistance Level
Adalah kisaran harga yang menunjukkan kecilnya peluang harga saham
untuk naik lebih tinggi. Ini terjadi karena supply saham pada kisaran
harga tersebut cenderung lebih banyak daripada demand-nya. Pada
kisaran resistance ini, investor cenderung menjual saham.” (h.
165−166).
II.6.4 Pola Reversal
Rahardjo (2006) menjelaskan, ”Dalam pola grafik teknikal ini
terbentuk suatu model garis tren grafik yang akhirnya melewati batas pola
sebelumnya hingga terbentuk suatu model tren grafik lainnya.
25
1. Head & Shoulder
Pola ini menunjukkan kenaikan dan penurunan saham dalam satu kali
siklus sesuai dengan istilahnya. Jadi, pergerakan grafik harga saham
yang naik (left shoulder) berbentuk tren ke arah posisi atas (head) atau
kepala seseorang. Setelah mengalami kenaikan, harga saham cenderung
bereaksi untuk koreksi menurun menuju posisi harga yang lebih murah
(right shoulder).
2. Double Tops/Bottoms
Pola tren ini mudah dikenali dan berbentuk seperti huruf ”M” untuk
double tops dan huruf ”W” untuk double bottoms. Pola grafik tren
pergerakan di antara keduanya sangat bertolak belakang. Misalnya, tren
grafik cenderung menurun atau meningkat dua kali lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata sebelumnya (kurang lebih di atas 3%
dari perbedaan pola grafik sebelumnya). Kisaran level grafik tersebut
dikenal dengan istilah tingkat support atau resistance. Pola ini
merupakan fundamen pergerakan saham yang cukup fluktuatif.
Sebaiknya lebih dulu mengenali pola ini daripada pergerakan pola tren
grafik lainnya.” (h. 166−169).
II.6.5 Pola Continuation/Consolidation
Menurut Rahardjo (2006), ”Pola pergerakan harga saham ini
didasarkan pada konsep konsolidasi pembentukan target harga saham baru.
Dengan konsep ini, investor dapat dengan mudah menentukan dasar
26
keputusan membeli atau menjual saham. Pembentukan harga saham baru
didasarkan pada besaran supply dan demand serta konsolidasi harga saham.
1. Triangles
Pola ini menerangkan bahwa pembentukan harga saham baru
didasarkan pada persepsi investor pembeli atau penjual saham atas
value saham itu sendiri. Pada pola triangle, penjual saham mempunyai
persepsi harga saham yang terlalu tinggi sehingga sudah saatnya untuk
dijual terus-menerus. Sementara itu, ada investor beli yang mempunyai
persepsi berbeda dan tetap membeli saham yang masih dianggap
undervalued. Oleh karena demand atas saham tersebut lebih besar
daripada supply-nya, atau sebaliknya, pola zig-zag harga saham akan
menyempit membentuk pola tiga sudut (triangle). Sudut paling kanan
adalah batasan akan terbentuknya harga saham baru sebagai indikasi
pola kisaran fluktuasi harga saham yang lebih besar.
2. Rectangles
Pola grafik ini menggambarkan fluktuasi harga saham yang sebelumnya
mempunyai pola sideway trend. Akan tetapi, karena tekanan jual atau
beli cukup besar, pergerakan harga saham tersebut melewati ambang
batas tertentu. Jika pergerakan tersebut cenderung mengikuti tren ke
atas, harga saham akan meningkat cukup signifikan di atas rata-rata
pergerakan harga saham sebelumnya.” (h. 169-172).
27
II.7 Grafik Candlestick
II.7.1 Bentuk Candlestick
Menurut Rahardjo (2006), “Bentuk Candlestick secara umum ada
2 yaitu warna hitam dan warna putih. Dapat disajikan dengan gambar:
Gambar 2.1
Bentuk Umum Candlestick
Untuk candle berwarna putih menunjukkan harga pembukaan <
harga penutupan, sedangkan untuk candle berwarna hitam menunjukkan
harga pembukaan > harga penutupan.” (h. 156).
II.7.2 Pola Umum Candlestick
Rahardjo (2006) menjelaskan, “Candlestick memiliki beberapa
pola umum sebagai berikut:
1. Marubozu
Adalah bar yang tidak mempunyai tangan baik ke atas maupun ke
bawah, biasanya pola ini menunjukkan akan adanya trend yang
berlanjut dari trend yang sedang dialami saat ini.
28
Gambar 2.2
Pola Marubozu
2. Spinning Tops
Adalah bentuk dimana bar lebih pendek daripada tangan dan berada di
tengah-tengah. Pola ini menunjukkan bahwa tingkat fluktuasi harga
sangat tinggi selama transaksi berlangsung, namun selisih harga
pembukkan dan penutupan tidak terlalu besar
Gambar 2.3
Pola Spinning Tops
3. Doji
Terbagi menjadi 4 jenis:
a. Long-Legged Doji
Pola ini menunjukkan transaksi yang terjadi sangat kuat baik dalam
hal membeli maupun melepas saham, namun harga penutupan sama
dengan harga pembukaan.
b. Dragonfly Doji
Pola ini menunjukkan bahwa adanya indikasi para pelaku pasar
ingin melepas saham tersebut sehingga harga saham jatuh selama
29
perdagangan, namun keinginan untuk mempertahankan harga
saham tersebut masih cukup kuat. Akibatnya harga saham tidak
berubah pada saat penutupan.
c. Gravestone Doji
Pola ini menunjukkan bahwa adanya indikasi para pelaku pasar
ingin meningkatkan harga saham dengan membeli saham sehingga
harga saham meningkat selama perdagangan berlangsung, namun
jumlah saham yang dilepas masih cukup kuat sehingga harga saham
tidak berubah pada saat penutupan.
d. Four Price Doji
Pola ini menunjukkan bahwa tidak terjadi transaksi pada saham
tersebut.” (h. 157-159).
Gambar 2.4
Pola Doji
II.8 Fibonacci
II.8.1 Latar Belakang Fibonacci
Kurniawan (2007) mejelaskan, “Fibonacci adalah seorang
matematikawan terkenal dari Italia, orang yang pintar dan telah
menemukan bilangan-bilangan sederhana yang kemudian menciptakan
barisan bilangan untuk menggambarkan proporsi alami dari setiap benda di
30
alam semesta. Dalam kejeniusannya dia menemukan sebuah deret
sederhana dalam memetakan perilaku alam semesta.
Dalam barisan bilangan ini, setiap bilangan setelah angka 1 adalah
hasil penjumlahan dua bilangan sebelumnya, yaitu: 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21,
34, 55, 89, 144 dan seterusnya. Pada barisan bilangan tersebut, kalau saling
dijumlahkan seperti 1 tambah 1 akan menghasilkan angka berikutnya yaitu
2, kemudian 1 tambah 2 akan menghasilkan angka berikutnya yaitu 3,
kemudian 2 ditambah angka berikutnya 3 akan menghasilkan 5 dan
seterusnya, bilangan-bilangan ini disebut bilangan Fibonacci.
Bilangan Fibonacci memiliki keunikan bila bilangan-bilangan
tersebut dibagi dengan bilangan lainnya. Dapat dilihat pada tabel:
Tabel 2.1
Hasil Pembagian Bilangan Fibonacci
F1 F2 F2/F1 F1/F2- 1 - -
1 1 1.0000 1.0000 1 2 2.0000 0.5000 2 3 1.5000 0.6667 3 5 1.6667 0.6000 5 8 1.6000 0.6250 8 13 1.6250 0.6154
13 21 1.6154 0.6190 21 34 1.6190 0.6176 34 55 1.6176 0.6182 55 89 1.6182 0.6180
Perhatikan bahwa perbandingannya selalu pada kisaran 1,62 dan
0,618. Bilangan-bilangan hasil pembagian ini adalah “bilangan emas”.” (h.
5-6).
31
II.8.2 Fibonacci Retracement
Menurut Kurniawan (2007), “Penggunaan Fibonacci Retracement
sebenarnya sangatlah sederhana. Pada sebuah Up Trend, cara
penggunaannya adalah untuk melakukan pemasangan posisi buy dengan
sebuah retracement di tingkat-tingkat Fibonacci. Demikian sebaliknya
pada saat Down Trend, cara penggunaannya adalah untuk menentukan
posisi sell dengan sebuah retracement di tingkat-tingkat Fibonacci.
Tingkatan Fibonacci Retracement, adalah: 0,236; 0,382; 0,500; 0,618.” (h.
10-11).
II.9 Elliott Wave
II.9.1 Dasar Elliott Wave Analysis
Kotick (2005) menjelaskan, “Elliott’s main advocacy was that
crowd behavior trends and reverses in consistent and recognisable
patterns. Elliott named and illustrated patterns or “waves” that recur in
markets and are repetitive in form but not necessarily in time or amplitude.
He further described how these structures link together to form larger
versions of the same patterns and how those in turn become the building
blocks for patterns of the next larger size etc. Regardless of the size, the
form remains constant.” (p. 12).
(Pembelaan utama Elliott bahwa tren dan titik balik dari perilaku orang
banyak dalam konsisten dan polanya dapat dikenali. Elliott menyebut dan
mengilustrasikan pola atau “waves” yang berulang dalam pasar dan bentuk,
namun tidak perlu tepat waktu atau lebar. Lebih jauh, dia menggambarkan
32
bagaimana struktur-struktur ini berhubungan satu sama lain membentuk
versi yang lebih besar dari pola yang sama dan bagaimana struktur itu
berbalik menjadi dinding yang merintangi pola dari ukuran berikutnya
yang lebih besar dan lain-lain. Tanpa menghiraukan ukuran, bentuknya
tetap konstan).
Menurut Kotick (2005), “This discovery was well ahead of its
time. In fact, over the last decade or two, many prominent academics have
embraced Elliott’s idea and have been aggressively advocating the
existence of financial market fractals. However, it is important to
understand the type of fractal pattern that Elliott Wave represents. The
traditional line of thought has been that fractals are either self-identical
(each component of the pattern is exactly the same as the whole) or
indefinite (self-similar to the extent that it is similarly irregular at all
levels). Elliott discovered a third type of selfsimilar fractal that Prechter in
his later works coined a “robust fractal”. This pattern has highly variable
components that fall within a certain defined structure.” (p. 13).
(Penemuan ini merupakan yang terbaik di masanya. Kenyataannya, lebih
dari dua atau dekade terakhir, banyak akademis terkemuka menganut ide
Elliott dan telah menjadi agresif menganjurkan keberadaan pasar keuangan.
Akan tetapi, hal ini penting untuk memahami jenis pola yang digambarkan
Elliot Wave. Garis pemikiran tradisional telah menjadi fraktal yang juga
“self-identical” (setiap komponen dari pola sebenarnya sama secara
keseluruhan) atau “indefinite” (menyerupai luas sama halnya dengan
ketidakteraturan pada semua tingkatan). Elliott menemukan jenis ketiga
33
dari fraktal penyerupaan diri bahwa Prechter pada pekerjaan terakhirnya
membuat “fraktal yang kuat”. Pola ini mempunyai komponen variabel yang
sangat tinggi dimana turunnya pada struktur tertentu ditetapkan).
II.9.2 Karakteristik Grafik Elliott Wave
Poser (2003) menjelaskan, “Elliott Wave analysts (or
"Elliotticians") hold that it is not necessary to look at a price chart to judge
where a market is in its wave pattern. Each wave has its own "signature"
which often reflects the psychology of the moment. Understanding how and
why the waves develop is key to the application of the Wave Principle; that
understanding includes recognizing the characteristics described below.”
(p. 8).
Poser (2003) menjabarkan, “Five wave pattern (dominant trend):
1. Wave 1: Wave one is rarely obvious at its inception. When the first
wave of a new bull market begins, the fundamental news is almost
universally negative. The previous trend is considered still strongly in
force. Fundamental analysts continue to revise their earnings estimates
lower; the economy probably does not look strong. Sentiment surveys
are decidedly bearish, put options are in vogue, and implied volatility
in the options market is high. Volume might increase a bit as prices
rise, but not by enough to alert many technical analysts.
2. Wave 2: Wave two corrects wave one, but can never extend beyond the
starting point of wave one. Typically, the news is still bad. As prices
retest the prior low, bearish sentiment quickly builds, and "the crowd"
34
haughtily reminds all that the bear market is still deeply ensconced.
Still, some positive signs appear for those who are looking: volume
should be lower during wave two than during wave one, prices usually
do not retrace more than 61.8% of the wave one gains, and prices
should fall in a three wave pattern.
3. Wave 3: Wave three is usually the largest and most powerful wave in a
trend. The news is now positive and fundamental analysts start to raise
earnings estimates. Prices rise quickly, corrections are short-lived and
shallow. Anyone looking to "get in on a pullback" will likely miss the
boat. As wave three starts, the news is probably still bearish, and most
market players remain negative; but by wave three's midpoint, "the
crowd" will often join the new bullish trend. Wave three often extends
wave one by a ratio of 1.618:1.
4. Wave 4: Wave four is typically clearly corrective. Prices may meander
sideways for an extended period, and wave four typically retraces less
than 38.2% of wave three. Volume is well below than that of wave
three. This is a good place to buy a pull back if you understand the
potential ahead for wave 5. Still, the most distinguishing feature of
fourth waves is that they often prove very difficult to count.
5. Wave 5: Wave five is the final leg in the direction of the dominant
trend. The news is almost universally positive and everyone is bullish.
Unfortunately, this is when many average investors finally buy in, right
before the top. Volume is lower in wave five than in wave three, and
many momentum indicators start to show divergences (prices reach a
35
new high, the indicator does not reach a new peak). At the end of a
major bull market, bears may very well be ridiculed.
Three wave pattern (corrective trend):
1. Wave A: Corrections are typically harder to identify than impulse
moves. In wave A of a bear market, the fundamental news is usually
still positive. Most analysts see the drop as a correction in a still-active
bull market. Some technical indicators that accompany wave A include
increased volume, rising implied volatility in the options markets and
possibly a turn higher in open interest in related futures markets.
2. Wave B: Prices reverse higher, which many see as a resumption of the
now long-gone bull market. Those familiar with classical technical
analysis may see the peak as the right shoulder of a head and shoulders
reversal pattern. The volume during wave B should be lower than in
wave A. By this point, fundamentals are probably no longer improving,
but they most likely have not yet turned negative.
3. Wave C: Prices move impulsively lower in five waves. Volume picks up,
and by the third leg of wave C, almost everyone realizes that a bear
market is firmly entrenched. Wave C is typically at least as large as
wave A and often extends to 1.618 times wave A or beyond.” (p.
10−12).
Mengacu pada pendapat Poser (2003) pola Elliott Wave memiliki
5 wave pertama yang merupakan dominant trend atau up trend. Di
dalamnya ada wave 1, 3, dan 5 yang merupakan wave up trend dengan
wave 2 sebagai koreksi wave 1 dan wave 4 sebagai koreksi wave 3. Lalu 3
36
wave berikutnya merupkan corrective trend atau down trend. Di dalamnya
terdapat wave A dan C sebagai wave down trend dengan wave B sebagai
koreksi wave A. Pola umum dari Elliott Wave dapat ditunjukkan pada
gambar:
Gambar 2.5
Pola Umum Elliott Wave
Melalui gambar dapat terlihat bahwa pola Elliott Wave dimulai
pada wave 1 dan berakhir pada wave C dengan titik tertinggi berada pada
wave 5.