Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
I
PROBLEMATIKA OPEN LEGAL POLICY
DALAM PERIODISASI MASA JABATAN HAKIM KONSTITUSI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum ( S.H.)
Oleh :
MUHAMMAD REZA BAIHAKI
NIM : 16150480000012
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M
II
PROBLEMATIKA KEBIJAKAN HUKUM TERBUKA
(OPEN LEGAL POLICY) DALAM PERIODISASI MASA JABATAN HAKIM
KONSTITUSI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
M Reza Baihaki
NIM 16150480000012
Pembimbing:
Fathudin, S.H.I., S.H., M.A. Hum., M.H
NIP. 198506102019031007
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H /2019 M
Fathudin, S.H.I., S.H., M.A., Hum., M.
NIP. 19850610 2019031007
Fathudin, S.H.I, S.H., M.A., Hum., M.H
NIP. 198506102019031007
Fathudin, S.H.I, S.H., M.A, Hum., M.H
NIP. 198506102019031007
V
ABSTRAK
Muhammad Reza Baihaki. NIM:16150480000012. PROBLEMATIKA
OPEN LEGAL POLICY DALAM PERIODISASI MASA JABATAN HAKIM
KONSTITUSI. Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta., 1439H/2019M. IX+113 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk membahas tentang problematika masa jabatan
Hakim Konstitusi yang diregulasikan sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal
policy). Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang
Nomor. 08 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003, masa jabatan Hakim Konstitusi di Indonesia hanya dinisbatkan
pada sistem periodisasi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali
masa jabatan. Sedangkan Hakim Agung di lingkungan Mahkamah Agung yang
merupakan lembaga tinggi negara yang setara dengan Mahkamah Konstitusi justru
menggunakan sistem usia produktif selama 70 tahun sebagaimana tertuang dalam
pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Pemberlakuan
kebijakan hukum terbuka pada kedua institusi kekuasaan kehakiman tersebut
nyatanya telah menciptakan problematika yang cukup serius dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, dan library
research dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
buku, dan literatur hukum tata negara lainnya yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan hukum terbuka (open
legal policy) yang memberikan regulasi yang berbeda antara masa jabatan Hakim
Konstitusi dan Hakim Agung telah mencederai nilai-nilai independensi kekuasaan
kehakiman, serta sarat akan kepentingan politik dari lembaga pengusung calon
Hakim Konstitusi.
Kata Kunci: Open Legal Policy, Independensi, Masa Jabatan Hakim
Pembimbing : Fathudin, S.H.I, S.H, M.A. Hum, M.H
Daftar Pustaka : Tahun 1960 Sampai Tahun 2019
VI
"KATA PENGANTAR"
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
taufiqnya kepada kita semua khususnya kepada peneliti sehingga dapat
menyelesaikan penelitian ini sesuai dengan arahan pembimbing dan penguji skripsi
pada Program Studi Ilmu Hukum. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan figur utama dan pertama dalam
berbagai aspek, tidak terkecuali dalam aspek ijtihad dan berijtihad yang dalam hal
ini secara terirat dan tersurat tertuangkan dalam pembahasan penelitian ini.
Peneliti tidak lupa memberikan ucapan terimaksih dan apresiasi yang
sebesar besarnya kepada segenap pihak yang telah memberikan kontribusi baik
secara moril dan materil sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini, yaitu yang
terhormat :
1. Dr. Ahmad Thalabi Kharlie, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
yang baru saja dilantik dan berkontribusi dalam mengesahkan penelitian
ini.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, dan Drs. Abu Tamrin, S.H, M.Hum,
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum yang
memfasilitasi serta membantu peneliti dalam terlaksananya sidang
skripsi ini.
3. Fathudin, S.H.I, S.H., M.A. Hum., M.H, sebagai dosen pembimbing
yang berkenan untuk mengoreksi dan memberikan pandangan baru
terhadap permasalahan dalam penelitian ini.
4. Dr. A. Irman Putra Sidin, yang berkenan untuk berdiskusi di sela
persidangan pada saat judicial review mengenai masa jabatan BPK di
Mahkamah Konstitusi, yang kemudian menjadi bahan pertimbangan
penulis dalam menguraikan subtansi penelitian ini.
VII
5. Pihakpihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian Skripsi ini.
Akhir kata, selamat membaca dan mengkritisi penelitian ini, semoga dapat
menjadi bahan dialektika baru dalam tradisi keilmuan hukum tata negara di
Indonesia.
Jakarta, 19 Mei 2019
Muhammad Reza Baihaki
VIII
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ I
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. II
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ III
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ IV
ABSTRAK ............................................................................................................. V
KATA PENGANTAR ........................................................................................ VI
DAFTAR ISI ..................................................................................................... VIII
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi,Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................ 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ........................................ 7
D. Metode Penelitian ............................................................................ 8
E. Sistematikan Penulisan .................................................................. 11
BAB II : TINJAUAN TEORITIS PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
DAN PRINSIP LEMBAGA PERADILAN ....................................... 13
A. Kerangka Konseptual .................................................................... 13
1. Problematika ............................................................................. 13
2. Kebijakan Hukum Terbuka ...................................................... 13
3. Periodisasi Masa Jabatan ......................................................... 14
4. Hakim Konstitusi ....................................................................... 15
B. Kerangka Teori .............................................................................. 16
1. Kekuasaan Pembentuk Undang-Undang .................................. 16
a. Sejarah Pembagian Cabang Kekuasaan Negara ................ 16
b. Konstelasi Dalam Cabang Kekuasaan Negara ................... 22
c. Paradigma Legislasi ............................................................ 30
d. Kebijakan Hukum (Legal Policy) ....................................... 36
2. Kekuasaan Kehakiman .............................................................. 42
a. Prinsip Lembaga Kekuasaan Kehakiman ........................... 42
b. Independensi Lembaga Peradilan ....................................... 47
IX
c. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................. 54
BAB III : MASA JABATAN HAKIM DI INDONESIA ................................ 57
A. Kekuasaan Kehakiman Dalam Konstitusi .................................... 57
1. Sejarah Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ............................ 57
2. Rekrutmen Hakim Agung dan Hakim Konstitusi...................... 68
B. Masa Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi .................... 76
BAB IV : ANALISIS KONSEPSI MASA JABATAN
HAKIM KONSTITUSI ..................................................................... 79
A. Pencalonan dan Pergantian Masa Jabatan Hakim Konstitusi ...... 79
B. Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman ........................................ 89
1. Jabatan Hakim dan Konsep Periodesasi dalam Konteks
Kebijakan Hukum Terbuka (Open Legal Policy) .................. 89
2. Jaminan Independensi Dalam Konstitusi ............................... 97
BAB V : PENUTUP ........................................................................................ 105
A. Kesimpulan ....................................................................................... 105
B. Saran dan Rekomendasi ................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 107
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam serpihan pemikiran hukum progresif yang digagas oleh
Satjipto Rahardjo, ia menjelaskan kedudukan konstitusi dalam sebuah negara
selazimnya dipandang sebagai Spirit dan Volkgeist Suatu bangsa, lebih
lengkapnya ia mengatakan:
"Ketika kita membaca Undang-Undang Dasar, maka sebenarnya kita
sedang membaca nurani, naluri, dan semangat moral suatu bangsa."1
Keberadaan konstitusi tentu dapat dipandang dan ditafsirkan dari
berbagai sisi, sebab secara praktik, seringkali narasi-narasi dalam konstitusi
tidak seindah dan semerdu dengungannya. Dalam praktik penyelenggaraan
negara, bukan tidak mungkin akan selalu terdapat berbagai praktik yang di
legitimasi berdasarkan konstitusi, namun justru melanggar nilai-nilai
konstitusionalisme.
Bertalian dengan hal tersebut, Donal L Horowitz mengilustrasikan
bahwa konstitusi merupakan dokumen yang mati, dan hanya Mahkamah
Konstitusilah yang dapat menjadikannya sebagai dokumen hidup yang
memberi bentuk dan arah kekuasaan politik dalam suatu negara.2
Ilustrasi yang diungkapkan Horowitz kiranya harus dipadang secara
imparsial, sebab keberadaan Peradilan Konstitusi nyatanya tidak dapat
terpisahkan dari hakim-hakim Konstitusi yang memberikan sumbangsih
pemikiran dalam rangka menghidupkan dokumen hukum (konstitusi).
Merujuk istilah Danang Hardianto, Hakim Konstitusi adalah hati dalam tubuh
1 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2010, Cet. Pertama), h.164
2 Donal L. Horowitz, "Constitutional Court: A Primer For Decicion Makers" dalam
Journal of Democracy, Volume 17, Number 4, October 2006, h.126
2
Mahkamah Konstitusi.3 Oleh karenanya, berbagai jaminan terhadap peradilan
konstitusi dalam rangka mengawal konstitusi yang demokratis, harus juga
diimbangi dengan merefleksikan jaminan terhadap individual Hakim
Konstitusi, baik berupa nilai-nilai independensi, Imparsialitas maupun
kemandirian.
Dalam konteks normatif, konstitusi Indonesia hanya menggariskan
bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Namun secara
praktik, pendelegasian norma tersebut dalam undang-undang organik yang
mengatur subtansi norma kekuasaan kehakiman justru kerap kali bersebrangan
dengan nilai-nilai kemerdekaan.
Seperti halnya mengenai masa jabatan hakim Peradilan Pajak yang
merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, namun
secara normatif, masa jabatannya diregulasikan sesuai dengan nuansa politik
hukum yang pragmatis dengan menggunakan pola periodesasi. Hal inilah yang
menjadi dasar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (untuk selanjutnya
disingkat MKRI) untuk membatalkan pendelegasian norma konstitusi yang
tidak sesuai dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman melalui putusannya
No 06/PUU-XIV/2016 tentang masa jabatan hakim pengadilan pajak.4
Tidak sampai di situ, anomali pendelegasian norma konstitusi dalam
kekuasaaan kehakiman juga pernah terjadi dalam masa jabatan kepaniteraan di
kedua lingkungan kekuasaan kehakiman, yang di desain berbeda dalam
undang-undang organik, sehingga dalam kesempatan ini pula MKRI melalui
putusannya No. 34/PUU-X/2012 memerintahkan kepada pembentuk undang-
undang untuk menyeragamkan kedua masa jabatan panitera tersebut,5 terlebih
3 Danang Hardianto, "Hakim Konstitusi Adalah Hati Dalam Tubuh Mahkamah
Konstitusi", Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014.h.1
4 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 06/PUU-XIV/2016, h.85-88
5 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 34/PUU-X/2012, h.42
3
dalam ratio decidendi putusan tersebut, MKRI mendasarkan pada kedudukan
Mahkamah Agung Republik Indonesia (untuk selanjutnya disingkat MARI)
dan MKRI sesungguhnya lembaga yang setara (equal) yang bebas dan
independen dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.
Bertitik tolak dari kedua anomali regulasi tersebut, pengawasan
norma dalam pengejawentahan nilai nilai independensi dalam kekuasaan
kehakiman masih dapat divalidasi melalui putusan mahkamah konstitusi,
berbeda halnya dengan masa jabatan hakim konstitusi dan hakim agung yang
justru dinisbatkan sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
Kendati keduanya merupakan lembaga negara yang setara (equal)
sebagaimana disinggung dalam putusan sebelumnya, namun ternyata secara
normatif undang-undang organik mengatur masa jabatan hakim agung dengan
pola masa pensiun, sebagaimana tertuang dalam pasal 11 Undang-Undang No
3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Atas Undang-Undang No 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung yang hanya menyandarkan pada barometer
usia produktif hingga berumur 70 tahun. Sedangkan hakim konstitusi
menggunakan pola priodesasi layaknya pejabat eksekutif (Presiden).
Sebagaimana tertuang dalam pasal 22 dan 23 Undang-Undang No 08 Tahun
2011 tentang Perubahan kedua Undang Undang No 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstittusi yang menjadikan hakim konstitusi hanya 5 (lima)
tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.6
Upaya dalam menguji validitas kedua regulasi (lawfullness) ini
pernah terjadi sebagaimana tergambar dari dua putusan Mahkamah Konstitusi
No 53/PUU-XIV/2016 dalam pengujian undang-undang No 03 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung dan undang-undang No.08 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 dan Putusan No. 73/PUU-XIV/2016 dalam perkara pengujian
4
undang-undang No.08 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Secara subtansi, MKRI
berpendirian bahwa kedua pemohon tidak memiliki legal standing, sebab,
kendati dalam hal ini terdapat potensi kerugian konstitusional, maka hanya
hakim konstitusilah yang memiliki legal standing.
Dalam ratio decidendi putusan tersebut, secara jelas MKRI
memberikan dukungannya terhadap upaya masa jabatan hakim konstitusi
untuk diidealkan sebagaimana masa jabatan hakim konstitusi di berbagai
negara, sebab, jika ditelisik lebih mendalam, konsep periodesasi selama lima
tahun yang dijadikan acuan masa jabatan hakim di indonesia dewasa ini,
dinilai merupakan masa jabatan hakim konstitusi paling singkat di dunia.7
Namun sayangnya, berbagai argumentasi MKRI mengenai dukungan
untuk memperbaiki masa jabatannya ditutup dengan asas nemo judex in causa
sua (tidak boleh ada hakim yang menjadi perkara atas dirinya sendiri), hal
inilah yang kemudian menjadikan mahkamah melemparkan kewenangan
regulasi masa jabatan Hakim Konstitusi untuk sepenuhnya diatur oleh
pembentuk undang-undang (open Legal Policy).
Postulat tersebut, secara jelas menggambarkan kedudukan MKRI
yang terjebak akibat regulasi yang berseberangan yang diciptakan berdasarkan
cita rasa pembentuk undang-undang, lebih dari itu, alih-alih bukannya
memperbaiki konstruksi norma dalam masa jabatan hakim konstitusi, dewasa
ini, justru sebaliknya, DPR dalam agenda Rancangan Undang Undang jabatan
hakim hendak mempolakan masa jabatan hakim agung layaknya hakim
konstitusi yang menggunakan pola periodisasi.
7 Pan Mohamad Faiz, A Critical Analysis of Judicial Appointmen Proses and Tenure of
Constitutional Justice in Indonesia,Hassanuddin Law Review (Halrev), II, 2 (Agustus, 2016)
h.165
5
Di lain sisi, diskursus masyarakat Internasional dalam menyikapi
problematika independensi lembaga yudikatif secara dinamis telah menjamah
ke dalam hal ikhwal masa jabatan. Seperti apa yang pernah dituangkan dalam
The Universal Charter of The Judge, dalam Central Council of the
International Association of Judges in Taipei (Taiwan) pada 17 November
1999 :
Article 8: "A judge must be appointed for life or for such other period and conditions, that the
judicial independence is not endangered"8
Bertalian dengan hal tersebut, maka penulis mencoba untuk
merefleksikan pameo seorang ahli hukum belanda, Odette Buitendan yang
mengungkapkan: “Good Judges are not born but made”9, Melalui
sumbangsih pemikiran dalam Penelitian yang berjudul; "PENERAPAN
OPEN LEGAL POLICY DALAM PERIODESASI MASA JABATAN
HAKIM KONSTITUSI", dalam rangka memberikan gagasan dalam
pembangunan hukum (legal Reform) di indonesia serta sebagai bagian dari
tugas akhir peneliti di Program Studi Ilmu Hukum.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dalam tulisan ini peneliti mengidentifikasi berbagai isu yang
mungkin mencakup tema hukum tata negara khususnya dalam bidang
yudikatif yakni mahkamah konstitusi. seperti :
a. Sistem periodisasi masa jabatan hakim konstitusi bertentangan dengan
pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.
8 Central Council of the International Association of Judges in Taipei,1999 The Universal
Charter of The Judge Article 8. Diakses pada 18 Januari dalam:
https://www.fjc.gov/sites/default/files/2015/Universal%20Charter%20of%20the%20Judg
e.pdf
9 Odette Buitendam, Good Judges Are Not Born But Made, Recruitmen, Selection and
Training of Judges in Netherland,(Netherland: IOS Press, 2000), h.221
6
b. Adanya pemberlakuan periodisasi dalam masa jabatan hakim konstitusi
secara praktik sarat akan kepentingan.
c. Terjadi perlakuan yang tidak sama dihadapan hukum antara masa
jabatan hakim agung dan hakim konstitusi.
d. Singkatnya masa jabatan membuat hakim konstitusi tidak memiliki
kemapanan dalam tradisi menafsirkan konstitusi.
2. Pembatasan Masalah
Dari berbagai identifikasi masalah tersebut, peneliti hendak
membatasi masalah yang akan menjadi focus pembahasan dalam
penelitian ini. Penelitian ini akan memfokuskan kepada bagaimana
problematika masa jabatan Hakim Konstitusi yang menggunakan sistem
periodisasi selama lima tahun sebagaimana tertuang dalam undang undang
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang selama ini
dianggap sebagai bagian dari kebijakan terbuka (Open Legal Policy)
pembentuk undang-undang.
3. Perumusan Masalah
Masalah utama dalam penelitian ini terkait adanya pertentangan
konsep imparsialitas, kemandirian serta independensi hakim konstitusi
yang tercermin dari pola rekruitmen serta masa jabatan hakim dengan
norma yang ada dalam Peraturan Perundang-undangan, dimana secara
normatif permasalahan secara langsung berasal dari penerapan kebijakan
terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang yang menerapkan
masa jabatan hakim konstitusi secara singkat, yaitu selama lima tahun dan
dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Maka untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama
yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti mencoba
mengkonstruksikan berbagai serpihan masalah dalam perumusan masalah
dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana problematika kebijakan terbuka (open legal policy)
pembentuk Undang-Undang tentang masa jabatan hakim
konstitusi dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka ?
7
b. Bagaimana konsepsi ideal masa jabatan hakim konstitusi yang
sesuai dengan prinsip kemerdekaan, Imparsialitas dan mandiri?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, paling tidak peneliti mendalilkan tujuan penelitian
pada:
a. Mengetahui penerapan kebijakan terbuka (open legal policy)
pembentuk Undang-Undang dalam periodesasi masa jabatan hakim
konstitusi ditinjau dari perspektif Independensi Lembaga Peradilan?
b. Memberikan konsepsi ideal masa jabatan hakim konstitusi sesuai
dengan kajian teoritis lembaga peradilan yang bebas merdeka dan
mandiri?
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini, secara dikotomi dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Manfaat teoritis
1) Secara teoritis paling tidak penelitian ini bermanfaat bagi berbagai
peneliti lainnya yang memiliki ketertarikan dalam melakukan
critical analysis terhadap struktur pola masa jabatan hakim
konstitusi.
2) Menambah sumbangsih atas berbagai serpihan pemikiran dan teori
dalam poros demokrasi konstitusional.
b. Manfaat praktis
Adapun secara praktik, paling tidak penelitian ini dapat memberikan
pertimbangan bagi pembentuk undang-undang, serta pengamat isu
konstitusionalitas norma hukum untuk dijadikan legal momerandum
baru dalam rangka merumuskan kebijakan dan ketentuan-ketentuan
dalam problematika hukum tata negara terutama mengenai lembaga
kekuasaan kehakiman.
8
D. Metode Penelitian
Metodologi penelitian adalah prosedur atau langkah-langkah dalam
mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Menurut sugiyono metodologi
penelitian adalah proses atau cara ilmiah untuk mendapatkan data yang akan
digunakan untuk keperluan penelitian10
. Adapun mengenai metodologi
penelitian ini, maka metode penelitian secara spesifik mengacu pada metode
penelitian hukum yang menurut Peter Mahmud Marzuki, adalah sebuah proses
menemukan hukum yang mengatur aktivitas pergaulan manusia, yang
melibatkan aturan yang diberlakukan oleh negara dan komentar atau
menganalisis pemberlakuan aturan tersebut.11
Bertalian dengan metodologi penelitian hukum, berikut rangkaian
instrumen penelitian hukum yang digunakan dalam skripsi ini:
1. Jenis Penelitian
Dalam Skripsi ini, peneliti menggunakan penelitian hukum normatif
(doctrinal legal research) yang menjadikan undang-undang serta putusan-
putusan MKRI sebagai objek kajian yang kemudian ditinjau dari aspek
teoritis maupun berbagai instrumen hukum internasional mengenai
kekuasaan kehakiman di berbagai negara untuk selanjutnya menghasilkan
analisa hukum mengenai konsepsi ideal tentang problematika hukum yang
berlaku.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statue approach) yakni pendekatan
dengan menggunakan legislasi dan regulasi,12
dan Pendekatan Konsep
10 Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif, ALFABETA (Bandung. 2012) h.5
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, PT Kencana, (Jakarta: 2008) h.29
12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed.Revisi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia,
2005), h.178
9
(conceptual approach) yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum yang
ada.13
3. Data Penelitian dan Bahan Hukum
Berdasarkan sumber penelitian hukum, maka penelitian ini
disusun berdasarkan:
a. Bahan Hukum Primer
(1) Undang-Undang Dasar 1945
(2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 08 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No
24 Tahun 2003.
(3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung.
(4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XIV/2016
(5) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 73/PUU-XIV/2016
(6) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-XIV/2016
(7) Putusan MK No 108/PUU-X/2012
(8) Putusan Mahkamah Konstitusi N.o 05\PUU-VI\2005
(9) Putusan MK No 34/PUU-X/2012
(10) Salinan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Dewan Etik Hakim
Konstitusi Nomor : 18/LAP-V/BAP/DE/2018
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberi
penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-
dokumen resmi. Meliputi:
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum..., h.178
10
(1) Buku-buku yang berhubungan dengan tema penelitian;
(2) Artikel, jurnal, makalah, dan majalah yang membahas tentang
kekuasaan kehakiman.
(3) Bahan non- hukum
Merupakan bahan atau rujukan yang berupa petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder
seperti kamus hukum, ensklopedia, berita hukum, blog dan berbagai
website.
4. Metode Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui penelaahan
berbagai literatur (kepustakaan), yaitu data sekunder yang relevan
dengan penelitian/kajian yang dilakukan. Telaah data sekunder dijadikan
sebagai telaah awal, dari seluruh kegiatan penelitian yang dilakukan.
Telaah sekunder akan mencakup berbagai buku teks, jurnal, makalah-
makalah ilmiah, dan kepustakaan lain yang relevan. Penelaahan literatur
atau dokumentasi merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara meneliti dan menganalisis dokumen, arsip, catatan resmi
dalam rangka sinkronisasi antara berbagai teori dan implementasi yang
tertuang dalam bentuk normatif.
5. Teknik Pengelolaan
Data-data yang diperoleh dikumpulkan sesuai dengan landasan
pustaka yang relevan dengan tema yang diteliti, lalu di kategorikan menjadi
bab dan sub-bab dalam penelitian secara rinci agar terstruktur dan
sistematis.
6. Analisis Data
11
Penelitian ini menggunakan metode analisis normatif. Jenis
penelitian ini menekankan pada aspek pemahaman suatu norma hukum
yang terdapat didalam perundang-undangan serta norma-norma yang hidup
dan berkembang di masyarakat.
7. Teknik Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pola pikir deduktif, yaitu dengan menarik kesimpulan khusus
dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi.
8. Metode Penulisan
Acuan metode penulisan dalam penelitian ini, secara konseptual
mengacu pada “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Tahun 2017” yang diterbitkan oleh Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang masyhur pada
literatur akademisi di lingkungan fakultas hukum di Indonesia.
E. Sistematika Penulisan
Secara ringkas, sistematika penulisan dapat tergambar sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) pustaka
terdahulu, serta metodologi yang digunakan dalam penelitian ini.
BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN PEMBENTUKAN
UNDANG-UNDANG DAN PRINSIP LEMBAGA PERADILAN
Dalam bab ini, peneliti membuka pembahasannya dengan
menguraikan kajian mengenai pembagian kekuasaan yang
merupakan induk dari ilmu kenegaraan, untuk selanjutnya secara
khusus peneliti akan secara mendalam membedah salah satu
cabang kekuasaan negara yaitu mengenai kedudukan kekuasaan
12
kehakiman, serta hal-hal yang bertalian dengan prinsip
kemerdekaan (independensi) kehakiman dari beragam aspek.
BAB III MASA JABATAN HAKIM DI INDONESIA
Mengenai data penelitian, peneliti akan menguraikan status aquo
masa jabatan hakim di Indonesia berdasarkan ketentuan konstitusi
dan Undang-Undang organik yang mengatur kedua Institusi, baik
Mahkamah Agung dan Peradilan di bawahnya maupun
Mahkamah Konstitusi.
BAB VI ANALISIS MASA JABATAN HAKIM KONSTITUSI
Dalam bab ini, pembahasan akan dimulai dengan menghadirkan
problematika periodesasi masa jabatan Hakim Konstitusi untuk
selanjutnya secara koheren dihubungkan dengan politik hukum
kekuasaan kehakiman yang dinamis dalam meninjau praktik dan
prinsip kemerdekaan kekuasaan yudikatif dalam skala
Internasional dan Nasional.
BAB V PENUTUP
Berisikan tentang kesimpulan pemaparan penelitian serta
rekomendasi penelitian.
DAFTAR PUSTAKAS
13
BAB II
TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN PEMBENTUK UNDANG-UNDANG
DAN PRINSIP LEMBAGA PERADILAN
A. Kerangka Konseptual
1. Problematika
Istilah problema/problematika berasal dari serapan bahasa Inggris
yaitu "problematic" yang artinya persoalan atau masalah1. Sedangkan
dalam kamus bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat
dipecahkan; yang menimbulkan permasalahan.2
Adapun masalah itu sendiri adalah suatu kendala atau persoalan
yang hadir dalam dimensi praktik hukum yang yang harus dipecahkan,
dalam rangka menciptakan hukum yang berkesesuaian dengan nilai nilai
filosofis, sosiologis dan yuridis. Dengan kata lain terdapat sebuah praktik
penyelenggaraan sebuah ketentuan hukum yang telah menimbulkan
kesenjangan antara kenyataan (das sein) dan yang diharapkan (das sollen)
sehingga dibutuhkan sebuah telaahan yang mendalam mengenai masalah
tersebut melalui kajian literasi hukum dalam rangka memberikan sebuah
jawaban atau pemecahan permasalahan tersebut.
2. Kebijakan Hukum Terbuka (Open Legal Policy)
Kebijakan hukum terbuka (open legal policy) adalah sebuah istilah
yang lahir dari perkembangan penggunaan kata kebijakan hukum (legal
policy) yang secara terminologi diartikan sebagai kebijaksanaan dari
negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan dan memutuskan peraturan-peraturan yang dikehendaki,
untuk mengekspresikan apa yang dicita-citakan. Seperti halnya
pembentukan undang-undang yang dilakukan oleh lembaga legislatif
1 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2000), h. 440
2 Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), h. 896
14
merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting dan
mempunyai pengaruh yang luas akan memberi bentuk dan mengatur atau
mengendalikan masyarakat. Bahkan lebih dari itu, undang-undang yang
merupakan produk penguasa dapat digunakan untuk mencapai dan
mewujudkan tujuan-tujuan sesuai yang dicita-citakan.3
Dalam praktiknya istilah legal policy mengalami proses ekstensi
kata dengan adanya penambahan frasa "terbuka" "(open)". Secara subtansi,
(open legal policy) tidak jauh berbeda dengan arti semula, ( kebijakan
hukum) namun lahirnya open legal policy tersebut secara praktik telah
mendikotomi materi muatan yang boleh diatur oleh pembentuk undang-
undang dengan kehendaknya berdasarkan cara pandang (worldview)
pembentuk undang-undang (legislatif dan eksekutif) dan materi muatan
yang harus secara pasti dan konsisten dengan mandat norma ketentuan
yang lebih tinggi dan tidak dapat distafsirkan selain dari pada yang sudah
ditentukan.4
3. Periodisasi Masa Jabatan
Secara etimologi, kata periodisasi berasal dari kata periode, yang
dalam kamus bahasa indonesia berarti pembagian sesuatu menurut
zamannya; atau penzamanan; pembabakan. Biasa digunakan dalam literasi
mengenai sejarah manusia. Istilah Periodisasi bisa disusun berdasar
perkembangan politik, ekonomi, kesenian, agama dan lain lain.5
Dalam penelitian ini, penggunaan kata periodisasi disandingkan
dengan kata masa jabatan yang secara istilah diartikan sebagai jangka
waktu atau penzamanan suatu masa jabatan yang berarti bahwa masa
jabatan sebuah institusi menggunakan sistem periode (jangka waktu
tertentu).
3 Nyoman Serikat Putra Jaya, Politik Hukum. Badan Penyediaan, Bahan Kuliah Program
Studi Magister Kenotariatan UNDIP Semarang, 2007 , h. 13
4 Radita Ajie, "Batasan Pilihan Kebijakan Pembentuk Undang-Undang (OPEN LEGAL
POLICY) Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Berdasarkan Tafsir Putusan
Mahkamah Konstitusi", Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.13 No.02, Juni 2016. H.111-120. 5
15
4. Hakim Konstitusi
Secara etimologi, kata hakim berasal dari bahasa arab hakama-
yahkumu (hakim) yang juga biasa disandingkan dengan kata qada yang
berarti seseorang yang menetapkan atau menyelesaikan atau
menyempurnakan sesuatu.6
Secara terminologi, kata hakim dinisbatkan kepada seseorang yang
menangani atau mengadili dan menyelesaikan sebuah perkara di
pengadilan. Dalam Pasal 1 butir 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili. Lebih lanjut, kewenangan
mengenai hakim diregulasikan melalui Pasal 1 Undang-Undang Nomor.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik
Indonesia.
Untuk lebih lanjut memahami kewenangan yang dimiliki seorang
hakim, dapat ditelaah berdasarkan struktur kekuasaan kehakiman yang ada
di Indonesia. Dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari Mahkamah Agung
dan badan peradilan dibawahnya yang berada dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer,
dan sebuah Mahkamah Konstitusi.
Adapun mengenai Hakim Konstitusi, maka secara terminologi
dapat diartikan berdasarkan kewenangannya yaitu hakim pada Mahkamah
Konstitusi, yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman untuk
memeriksa, mengadili, memutus perkara yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
6 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa oleh Abdul hayyie Al-
Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2010), h. 103
16
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta
memutus atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-
Undang Dasar 1945.
B. Kerangka Teori
1. Kekuasaan Pembentuk Undang-Undang
a. Sejarah Pembagian Cabang Kekuasaan Negara
Titik awal dari adanya konsepsi mengenai kekuasaan pembentuk
undang-undang kiranya tidak dapat terpisahkan dari tesis dan antitesis
dalam dialektika pembagian kekuasaan negara, dengan tujuan agar
tidak terjadi sebuah pemusatan kekuasaan pada salah satu lembaga
tertentu.
Adalah Jimly Ashhiddqie, salah satu ahli hukum tata negara yang
hemat penulis relevan untuk menguraikan pembagian kekuasaan
dengan memulai berdasarkan tinjauan klasifikasi kompetensi
kekuasaan negara pada abad ke-XVI di Prancis, pasca tumbangnya
doktrin kekuasaan absolut. Secara umum, diskursus mengenai
pembagian kekuasaan negara oleh kalangan sarjana hukum dan politik
pada waktu itu mengkerucut pada lima aspek yaitu; i.fungsi
diplomacie, ii fungsi defencie, iii fungsi financie, iv fungsi justicie, v
fungsi policie.7
Dalam perkembangannya, kelima kekuasaan negara tersebut
berhasil dikristalisasikan menjadi tiga, oleh salah satu filsuf inggris,
Jhon Locke. Pijakan pemikiran John Locke yang terdapat dalam
Second Treatise of Goverment adalah pada cara pandangnya terhadap
7 Jimly Ashhidiqie, Perkembangan Dan Konsilidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010,) h.,29
17
natural law yang mendudukan fungsi Tuhan sebagai pusat perintah
(God’s order), namun disisi lain juga manusia memiliki hak untuk
menentukan hidupnya seperti right to life, liberty and property, bahkan
manusia berhak menentukan bagaimana sebuah negara dijalankan
hingga akhirnya ia mengemukakan tiga cabang penting kekuasaan
negara yang mencakup, kekuasaan eksekutif, legislatif dan federatif.8
Hal tersebut menurut locke dikarenakan bahwa manusia bersifat
bebas dan setara (free and equal) di dalam sebuah pemerintahan
karena telah mentransfer hak-hak mereka melalui kontrak sosial dalam
pembentukan sebuah negara.9 Untuk itulah pemisahan kekuasaan yang
dikembangkannya adalah berdasarkan kriteria dari pandangannya yang
meliputi hubungan antar individu di dalam dan di luar sebuah negara.
Asumsi yang dibangun Locke didasari pada cara pandangnya terhadap
negara persemakmuran yang lebih menekankan pada lahirnya cabang
kekuasaan federatif dan tidak terlalu mamandang penting akan konsep
yudikatif sebagai cabang kekuasaan yang berdiri sendiri.10
Di dalam negara persemakmuran (commonwealth), legislatif
adalah cabang kekuasaan untuk mengarahkan kekuatan negara
persemakmuran agar melayani dan menjaga masyarakat melalui
hukum yang dibentuknya.11
selain itu juga legislatif dalam pandangan
Locke memungkinkan lembaga tersebut untuk mengeksekusi
peraturan-peraturan tersebut. Sehingga lembaga legislatif dapat
8 John locke, Two treatised of governmet, editor: peter laslet, (UK: cambridge university
press 1988).h.,150
9 Pandangan Locke tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran Thomas Hobbes termasuk
mengenai teori kontrak sosial, namun Locke menolak absolutism dari Filmer yang mempengaruhi
juga dalam pandangan Hobbes tentang teori-teori sosial. John Locke, Two Treatised of Governmet,
..., h., 67
10
John Locke, Two treatised of governmet,... h., 354-355
11
John Locke, Two treatised of governmet, Pada Chapter X of the form of a Common-
wealth,... h., 364
18
sekaligus menjadi judges bagi peraturan-peraturan yang dilanggar.
Lebih lengkapnya proposisi Locke berbunyi :
"The legislative power is that which has a right to direct how the
force of the commonwealth shall be imployed for preserving the
community and the member of it...”
Peran yang tidak kalah penting, selain lembaga legislatif, adalah
lembaga eksekutif. Dalam pandangannya, kehadiran dari kekuasaan
eksekutif adalah untuk mengimbangi dari pembentukan peraturan yang
memiliki kekuatan konstan, yang diterapkan dengan jangka waktu
yang lama dan perlu pelaksanaan secara komprehensif. Sehingga,
kekuatan eksekutif adalah untuk melihat pelaksanaan terhadap hukum
yang dibuat telah terlaksana dengan baik atau tidak, dengan konsep
pemisahan secara murni antar kedua cabang kekuasaan tersebut. Lebih
tepatnya Locke mengungkapkan12
:
“.....but because the laws, that are at once and in a short
time made, have constant and lasting force and need perpetual
execution or an attendance there unto: therefore this neccessary
there should be a power always in being, which should see to the
execution of the laws that are made, and remain in force. and thus
the legislative and executive power come often to be separated...”
Namun, dalam pembagian kekuasaan tersebut, di dalam negara
persemakmuran, ada yang disebut sebagai kekuasaan natural, karena
dapat menjawab mengenai kekuasaan setiap manusia ketika mereka
berada di dalam seuatu lingkup sosial.13
Menurut Locke Kekuasaan
federatif meliputi kekuatan perang dan kedamaian, perserikatan dan
persekutuan dan semua transaksi antar negara “this therefore contains
the power of war and peace, leagues and alliances and all the
transactions” yang pelaksanaan dari kekuasaan ini secara mutlak harus
diikuti setiap orang yang ada di negara, karena hakikat sebagai
12 John locke, Two treatised of governmet,...,h. 364-365
13
“...there is another power in every commonwealth, which one may called natural,
because it is that which anser to the power every man naturally had before he entred into society.”
h., 364
19
manusia adalah secara natural menepatkan etika dan moral dalam
memberi respect terhadap negara maupun setiap masing-masing
individu.
Pemikiran John Locke kemudian secara responsif diperbaharui
oleh Montesquie dengan konsep trias politika, dimana ia justru
memasukkan kekuasaan federatif kedalam eksekutif dan mengeluarkan
kekuasaan yudikatif dari bagian legislatif dan eksekutif.14
Pandang
Montesquie didasari background profesinya sebagai mantan hakim dan
setelah ia mengamati model pemerintahan inggris yang cenderung
menjadikan lembaga peradilan berada dibawah kekuasaan raja
menurutnya dapat sangat berbahaya. Montesquie yang merupakan
mantan hakim jelas menginsyafi betul akan pentingnya pemisahan
kekuasaan yudikatif dari eksekutif. Sehingga lembaga peradilan harus
berada pada posisi yang sejajar dengan kekuasaan negara lainnya.
Kelanjutan mengenai diskursus tersebut ternyata belum berakhir,
Logemann seorang ahli hukum tata negara Belanda justru
mengemukakan pandangannya tentang fungsi kekuasaan negara yang
dapat dibagi menjadi 5 (lima) bidang, yaitu; fungsi Perundang-
undangan (fungsi untuk membuat undang-undang); fungsi pelaksanaan
(fungsi melaksanakan undang undang); fungsi pemerintahan (dalam
arti khusus); fungsi kepolisian (fungsi menjaga ketertiban, melakukan
penyelidikan dan penyidikan); dan fungsi peradilan (fungsi mengadili
pelanggaran terhadap undang-undang).15
Selain logemann, C.Van Vollenhoven seorang sarjana hukum
Belanda juga mencoba memformulasikan kekuasaan menjadi empat
14 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2 (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, Cet. Pertama) h., 16
15 Abdul Rasyid, Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya terhadap Ketatanegaraan RI
(Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2006) h.,215
20
cabang kekuasaan. Menurutnya fungsi-fungsi kekuasaan negara terdiri
atas empat cabang yang kemudian di indonesia biasa diistilahkan
dengan catur praja.16
Berupa, i regeling, ii berstuur, iii rechrsspraak
atau peradilan, iv politie atau berkenaan dengan ketertiban dan
keamanan. Yang kemudian pandangan catur praja tersebut diringkas
oleh Frank J Goodnow dengan ajaran yang dikenal dengan dwipraja ,
yaitu; i, policy making fungtion, dan ii, policy executing function.
Policy Making adalah kebijakan negara untuk waktu tertenu ,
untuk seluruh masyarakat. Adapun policy execuiting, adalah kebijakan
yang harus dilaksanakan untuk tercapainya policy making.17
Kendati dari berbagai pandangan ahli mengenai pemisahan
kekuasaan begitu variatif, namun paling tidak hanya pandangan
montesquie yang masyhur dan mempengaruhi berbagai negara untuk
mengkonsepsikan cabang kekuasaan negara menjadi tiga kekuasaan
dimana diformulasikan menjadi legislatif sebagai pembentuk undang-
undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, serta yudikatif
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
Jika menelaah pemikiran Montesquie lebih dalam maka yang
dimaksud pemisahan kekuasaan ialah memisahkan secara murni
cabang-cabang kekuasaan tersebut sebab baginya jika terdapat satu
lembaga memiliki dua fungsi kekuasaan justru akan menihilkan
kebebasan. Tepatnya seperti apa yang diungkapkan oleh Lee Cameron
Mcdonald yang dikutip oleh Jimly Ashiddiqie:18
16 Jimly Ashhiddqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
(Jakarta: Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006) h., 29
17 Ni‟matul Huda, Ilmu Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010) h., 76
18 Lee Cameron McDonald, Western Political Theory (California: Pomona Collage, 1968,
Part I) h., 377-379
21
“the heart of Montesquie theme was that where these three
functions were combined in the same person or body of
magistrates, there would be no the end of liberty”
Yang diidealkan oleh Montesquie adalah bahwa ketiga fungsi
kekuasaan negara itu harus dilembagakan dan masing-masing dalam
tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan
tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti
mutlak. Jika tidak demikian maka kebebasan akan terancam.
Dalam perkembangan ketatanegaraan, sejarah mencatat bahwa,
secara praktik apa yang dikonsepsikan oleh Montesquie ternyata tidak
sepenuhnya dapat digunakan. Sebab antar cabang kekuasaan saling
memiliki keterkaitan dan hubungan yang erat sehingga tidak dapat
secara terpisah kewenangan tersebut dilangsungkan.19
Sebagai contoh,
di Amerika Serikat presiden tetap dapat mem-veto tentang rancangan
undang-undang yang dinilai tidak sesuai dengan kehendaknya, artinya
harus terdapat kesepahaman antar pihak eksekutif dan legislatif dalam
hal pengesahan undang-undang20
. Tidak hanya demikian, bahkan di
Prancis rancangan Undang-Undang yang telah disetujui parlemen
dapat berlaku Presiden dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi
untuk melakukan pengkajian apakah bertentangan atau tidak dengan
Undang-Undang Dasar21
. Apabila pendapat Mahkamah Konstitusi
adalah positif maka barulah rancangan undang-undang itu ditingkatkan
menjadi undang-undang dengan mengundangkannya dalam lembaran
negara. Apabila pendapat Mahkamah Konsitusi bersifat negatif maka
rancangan undang-undang dikembalikan kepada parlemen untuk
diperbaharui. Inilah yang dinamakan pengkajian preventif. Sebelum
19 Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi,... h.,26
20 The Constitution of the United States (Article 1, Section7)
21 Alec Stone Sweet, Governing With Judges: Constitutional Politics in Europe (New
York: Oxford University Pers, 2000) h., 24
22
suatu undang-undang dapat diberlakukan harus terlebih dahulu diuji
oleh conseil constutitionel apakah memuat hal-hal yang bertentangan
dengan konstitusi.22
Ini artinya bahwa secara praktik kekuasaan negara
yang diidealkan oleh montesquie secara terpisah mutlak tersebut tidak
dapat lagi dipertahankan dengan dijalankan hanya oleh salah satu
kekuasaan negara tampa hubungan antara satu dan lainnya.
b. Konstelasi Dalam Cabang Kekuasaan Negara (Check and
Ballances)
Konstelasi hubungan antar kekuasaan negara satu dan lainnya
(check and ballances), disinyalir sebagai antitesa dari konsep
pemisahan kekuasaan secara mutlak yang diidealkan Montesquie dan
John Locke, namun tetap bermuara dari ide dasar yang sama terhadap
pemisahan kekuasaan negara, yaitu agar tidak terjadinya pemusatan
kekuasaan dan kesewenang-wenangan pemegang kekuasaan.23
hal ini
didasari pada dinamika yang alamiah, menurut C.J.Ville dalam
pandangannya, bahwa check and ballances merupakan buah dari
implementasi pemisahan kekuasaan, baik yang digagas John Locke
maupun Barron Montesquie.24
checks and balances sendiri merupakan prinsip ketatanegaraan
yang menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Sehingga
kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan
sebaik baiknya, dengan tujuan agar penyalahgunaan kekuasaan oleh
aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang sedang
22 T. Koopmans, Compendium van Staatsrecht editor: th. Bellekom,A.W. Heringa, T.
Koopmans, dan R.E. de Winter, (Achtste druk, 1998), h., 243
23 Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, ...,h., 173
24 C.J. Ville, Constitutionalism and Separation of Powers, (Indianapolis: Liberty Funds,
1989) h., 211
23
menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara dapat dicegah dan
ditanggulangi.25
Menurut Mark Brzezinnski, sebagaimana yang dikutip oleh Susi
Dwi Harijanti, ajaran separation of power yang diiringi oleh dengan
teori check and ballances dipandang mampu untuk melindungi nilai-
nilai konstitusi dengan hadirnya cabang pemerintahan yang berbeda
namun saling menguatkan dalam melaksanakan fungsi legislatif,
eksekutif dan yudikatif.26
Pada awalnya hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif
secara praktik dapat terlihat dalam sejarah ketatanegaraan di Inggris,
sejak lahirnya parlemen Inggris pada abad ke-17, sebagaimana
dipaparkan oleh Jimly Ashiddiqie, dimana lahirnya parlemen Inggris
didasari pada adanya hasrat kaum aristokrat dan berbagai masyarakat
untuk ikut serta dalam pemerintahan yang berbuah pada pengalihan
kekuasaan politik raja menuju kepentingan-kepentingan di luar raja
melalui parlemen inggris. Hubungan demikian selanjutnya
dikonstruksikan oleh jimly dengan mengasumsikan bahwa pemerintah
(eksekutif) pada umumnya mewakili kepentingan negara, dan
parlemen (legislatif) mewakili kepentingan rakyat secara keterwakilan.
Sehingga pentingnya hubungan antar kedua kekuasaan negara tersebut
didasari pada penilaian mengenai derajat keterlibatan rakyat dalam
kekuasaan negara sebagai ukuran utama dalam pemahaman mengenai
demokrasi.
Lebih lanjut, eksistensi mengenai hubungan antar lembaga
negara dan prinsip check and ballances dapat kita telaah juga
keberadaannya dari konstitusi Amerika pada tahun 1787, ketika
terjadinya perdebatan sengit antara kaum federalis dan anti federalis.
25 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010) h., 61
26 Susi Dwi Harjanti, "Kelemahan Fundamental UUD 1945; Pra dan Amandemen"
(Jurnal Ilmu Sosial No. 49 /XXVI/ 2003) h., 251
24
Dimana narasi mengenai keseimbangan kekuasaan diungkapkan oleh
salah satu penganut aliran federalis John Adam, presiden ke-2 Amerika
Serikat, melalui pidatonya berjudul “Defense of the Constitution of the
United States” pada tahun 1787.27
“Without three divisions of power, stationed to watch each other,
and compare each other's conduct with the laws, it will be impossible
that the laws should at all times preserve their authority, and govern
all men”
Perdebatan kaum federalis dan anti-federalis di Amerika, didasari
pada adanya kekhawatirkan kewenangan Pemerintah pusat yang
absolut sehingga menciptakan konsensus politik di waktu itu untuk
menghadirkan representatif house ikut serta dalam membentuk
undang-undang dan mengalihkan kewenangan Presiden dengan
diberikannya hak veto dalam mengesahkan undang-undang pada tahun
1989. Lebih lanjut penjelasan implementasi mengenai check and
ballances di Amerika dijelaskan oleh John H Ferguson dan Mc Henry
tentang prinsip check and ballances di Amerika sebagai berikut28
:
“Separation of power is implemented by an elaborate system of
cheak and ballance. To mention only a few, congress is cheaked by
requirement that laws must be receive the approval of both house,
by the president’s veto and by the power judicial review of the
courts. The president is checked by the fact that he cannot encact
laws, that no money may be spend except in accordance with
appropriations made by laws, that congress can override his veto,
that he can be inpeachead, that treatiesmust be approved and
appointment confirmedby the senate and by judicial review. The
judicial branch is checked by the power retained by the people to
amend the constitution, by the powerthe president with the advice
and consent of the senate to appoint fact that congress can
determine the size of courts and limit the appellate jurisdiction of
both the Supreme Court and inferior court.”
27 John Adams, A Defence of the Constitutions of Government of the United States of
America (London, 1787) diakses dari http://hua.umf.maine.edu/Reading_Revolutions/Adams.html.
pada tanggal 13 Desember 2018
28 John Ferguson and Dean McHenry, The American System of Government (New York-
Toronto-London: Mc Graw-Hill Book Company: 1965) h., 50
25
Paling tidak, konsepsi check and ballances di Amerika menjadi
rujukan dasar pemerintah indonesia dalam melangsungkan harmonisasi
pembentukan undang-undang dengan persetujuan bersama Parlemen
dan Eksekutif.
Lebih lanjut, konstelasi hubungan antar cabang kekuasaan negara
mengalami dinamisasi yang begitu kompleks dengan lahirnya lembaga
peradilan konstitusi. dimana peradilan konstitusi dapat menengahi
proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah di
sahkan oleh Pembentuk undang-undang (eksekutif dan legislatif). Hal
tersebut di dasari pada asumsi produk undang-undang yang dinilai
dapat bertentangan dengan Konstitusi serta hak Asasi Manusia yang
telah dijamin dalam konstitusi.
Dalam konstitusi Indonesia pra-amandemen konsep check and
ballances secara komprehensif belum diterapkan. Sehingga dalam
praktiknya kekuasaan secara absolute masih terpusat dalam salah satu
lembaga negara.
Kendati terdapat pemisahan kekuasaan negara, dengan
menjadikan lembaga Legislatif sebagai pembentuk undang-undang
yang berada di tangan DPR dan eksekutif sebagai pelaksana undang-
undang berada di lembaga Kepresidenan, serta yudikatif sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman berada di dua badan yaitu Mahkamah
Agung. Namun Sejarah mencatat dalam konstitusi Indonesia pra-
amandemen, nampak presiden memiliki kekuasaan yang dominan dari
berbagai lembaga kekuasaan lainnya, terutama dalam hal legislasi
yang merupakan mahkota utama dari lembaga legislatif. Hal demikian
tercermin dari kekuasaan pembentuk undang-undang berada di tangan
Eksekutif yaitu presiden, tepat pada pasal 5 ayat 1 UUD 1945 Pra-
26
Amandemen berbunyi “Presiden Memegang kekuasaan pembentukan
undang-undang.29
Implementasi dari pasal a quo adalah berbagai rancangan
undang-undang yang diajukan presiden telah menempatkan DPR
hanya sebagai lembaga pengesah semata bukan pembentuk dan
perumus. Bahkan lebih dari itu executif heavy pada masa pemerintahan
Soekarno, presiden mendominasi kekuasaan dengan cara membongkar
pasang kabinetnya, dan memberikan status menteri kepada berbagai
lembaga tinggi dan tertinggi negara sebagai pembantu presiden yang
berarti badan legislatif pun berada tepat di bawah lembaga
kepresidenan. 30
Begitu pula pada masa pemerintahan Soeharto, yang justru secara
praktiknya tidak lebih baik dari orde sebelumnya, dimana memberikan
dasar kuat kepada kekuasaan eksekutif (executive heavy), serta tidak
adanya check and balances31
. Presiden justru merupakan pemegang
kekuasaan pembentuk undang-undang. Sehingga, pengawasan dari
lembaga yudisial maupun DPR tidak dapat berjalan efektif, tidak
efektifnya Kekuasaan MPR dan DPR lebih terletak pada aspek politik,
yaitu karena kedua lembaga negara tersebut didominasi oleh kekuatan
politik Presiden yaitu Golongan Karya.32
Postulat di atas yang kemudian mendasari gagasan constitutional
reform dengan menempatkan berbagai lembaga tinggi negara berada di
kedudukan yang sejajar dengan berbagai kewenangannya yang
29 Puguh windarawan, "Pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga; Fenomena Kekuasaan Ke
Arah Constitusional Heavy", Jurnal Konstitusi, Vol 9, No 4, h.,616
30 Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta-
Yogyakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006), h. 11-13
31 Susi Dwi Harijianti, Kelemahan Fundamental UUD 1945: Pra dan Pasca
Amandemen..., h.66
32 Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi,..., h., 116-117.
27
dilangsungkan dengan prinsip check and ballances. Bahkan
penyempurnaan sistem check and ballances dalam amandemen ini
dilakukan dengan melahirkan lembaga baru bernama Mahkamah
Konstitusi.
Posisi utama mahkamah konstitusi dalam miniatur check and
ballances dijelaskan oleh pendiri Mahkamah Konstitusi pertama di
dunia, Hans Kelsen dengan mengatakan33:
“recognized the need for an institution with power to control
or regulate legislation....The power to examine the laws as to their
constitutionality and to invalidate unconstitutional laws may be
conferred, as a more or less exclusive function, on a special
constitutional court... The possibility of a law issued by legislative
organ being annulled by another organ constitutes a remarkable
restriction of the former’s power. Such a possibility means that there
is, besides the positive, a negative legislator. An organ which may be
composed according to a totally different principle from that of the
parliament elected by the people
Lebih lanjut, Kelsen secara spesifik menempatkan posisi
peradilan konstitusi sebagai bagian dari legislator dengan mengatakan:
"a court which is competent to abolish laws individually or
generally function as a negative legislature”.34
Konsepsi demikian, menempatkan peradilan konstitusi agar
dituntut untuk memainkan perannya melalui kewenangan pengujian
undang-undang terhadap konstitusi, sebagai upaya penyeimbang dalam
mengontrol produk legislasi agar tidak menabrak konstitusi baik dalam
arti luas maupun sempit.35
33 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Editor A. Javier Trevinno, ( New
Brunswick (USA) and London (UK) 2006), h. 268
34 Hans Kelsen, General Theory of Law and State,..., h. 268
35 Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, "Model dan
Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan
Tahun 2003-2012)" Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 4, Desember 2013, h. 675-708
28
Pandangan Kelsen dipertegas oleh Charles L. Black dengan
catatan yang lebih restriktif, dimana keberadaan peradilan konstitusi
menurutnya merupakan sebuah pencurian sebagian kewenangan
legislatif, sehingga seharusnya peradilan konstitusi lazim untuk
membatasi diri dan tidak aktif dalam pembentukan ketentuan hukum
(norma baru). Lebih lanjut Charles mengungkapkan :36
"The prime and most necessary function of the Court has
been that of validation, not that of invalidation. What a government
of limited powers needs, at the beginning and forever, is some
means of satisfying the people that it has taken all steps humanly
possible to stay within its powers"
Namun kendati kelsen dianggap pendiri mahkamah konstitusi
pertama di dunia, hal yang tidak dapat dinafikkan adalah bahwa
ternyata ide dasar tersebut justru pernah di singgung oleh Alexander
Hamilton dalam karya monumentalnya the federalis paper yang
kemudian mengilhami putusan Jhon Marhsal dalam kasus marbury vs
madison. Hamilton menegaskan perlunya peradilan konstitusi dengan
mengatakan37
:
"The courts were seen as protecting democracy from its own
excesses and were adopted precisely because they could be
countermajoritarian, able to protect the subtantive values of the
democracy from prosedurally elected bodies"
Jalan pikiran Hamilton ternyata bukan hanya gagasan simantik
semata, nyatanya hal demikian mendapat penegasan faktual seperti
yang dipaparkan oleh Tom Ginsburg bahwa supremasi parlemen yang
selama berabad abad nyaris tanpa kritik telah menunjukkan
perkembangan pemikiran yang menyebutkan bahwa ancaman dalam
36 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas,Perkembangan
Pengujian Perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (dari berfikir hukum Tekstual Menuju
Hukum Progresif) (Jakarta: 2010) h.,76
37 The Federalist Papers, adalah sebuah koleksi tulisan yang memuat 85 artikel dan esai
yang ditulis oleh beberapa fouding father's Amerika. Mereka adalah Alexander hamilton, James
Madision, john jay
29
demokrasi konstitusional bukan datang dari raja melainkan datang dari
sistem parlemen yang terpilih secara demokratis namun ternyata
melahirkan rezim pemerintahan fasis dan membawa eropa ke dalam
perang dunia ke-II.38
Terlebih dalam konteks negara-negara modern dewasa ini, dalam
proses pembentukan hukum (law making) Gerakan Studi Hukum Kritis
di Amerika (Critical Legal Studies Movement/Gerakan CLS)
memberikan ilustrasi dalam proses pembentukan undang-undang
hingga tiba pada kesimpulan, bahwa hampir pasti terjadi tolak tarik,
negotiable, subjective and policy dependent as politics antar subjek
yang terlibat di dalamnya. Proses legislasi untuk menjadikan hukum
positif (in abstracto). Kesemuaan ini, nyatanya selalu merupakan hasil
dari proses yang sarat dengan berbagai muatan, nilai dan kepentingan
para aktor yang disinyalir39
dapat bertentangan dengan nilai-nilai
konstitusi dan juga hak konstitusional warga negara yang minoritas.40
Bahkan dalam konteks sosiological jurisprudence di Indonesia,
pengamatan Satjipto Rahardjo dalam proses pembentukan hukum (law
making) memberikan hipotesis bahwa sering didapati intervensi baik
dari dalam maupun luar badan pembentuk undang-undang dengan
jenis kepentingan tersendiri maupun berdasarkan kepentingan elit
tertentu.41
38 Tom Ginsburg, Judicial Reveiw in New Democracies. Constitutional Court in Asian
Cases, (New York: Cambride University Press, 2003), h.,2
39 Kasim, Ifdhal “Mempertimbangkan „Critical Legal Studies‟ dalam Kajian Hukum di
Indonesia”. Jurnal Wacana, II, 6 (Februari 2000), h.,12
40 Ni'matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
Cet.8, 2014) h.,218
41 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah.
Penyunting Khudzaifah Dimyati, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,2002), h.,150
30
Bila disimak dari pernyataan Satjipto, mengenai kompleksitas
produk legislasi tersebut paling tidak terdapat potensi penyimpangan
(bifurkasi) pada konsep pembentukan dan pelaksanaannya undang-
undang yang jika menggunakan istilah Larry Cata Backer ada
semacam ”resistensi” akibat ketidaksetaraan antara hukum (UU) dan
masyarakat (mismatch between law and society). Postulat demikianlah
yang meneguhkan posisi intelektual peneliti untuk tetap
mempertahankan gagasan supremasi konstitusi melalui kehadiran
mahkamah konstitusi, sehingga dengan itu paling tidak dapat
membungkam adagium sinis dalam dunia hukum:
“Law are spider webs, they hold the weak and delicate who are
caugh in their meshes, but are tom in pieces by the rich and
powerful."42
c. Paradigma Legislasi
„Legislasi‟ berasal dari bahasa Inggris legislation. Ditinjau
secara kebahasaan maupun dalam khasanah ilmu hukum, „legislasi‟
mengandung makna yang secara dikotomi bisa berarti (1) proses
pembentukan hukum (perundang undangan), dan juga bisa berarti
(2) produk hukum (perundang-undangan)43
. Elizabeth A. Martin
and Jonathan Law, misalnya, mengartikan legislation sebagai 1) the
whole or any part of a country’s written law, 2) the process of
making written law.44
Demikian juga halnya dengan John M.
42 Adagium yang diungkapkan oleh Anacharis seorang musafir Scythian dan seorang
filusuf abad ke-6 SM
43 Anis ibrahim, "Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi, Analisis interaksi politik dan
Hukum dalam Proses pembentukan peraturan daerah di Jawa timur" (Semarang: Disertasi
Universitas Diponegoro, 2008), h.,150, t.d 44
Elizabeth A. Martin and Jonathan Law, A Dictionary of Law (New York Oxford
University Press, Sixth Edition ,2006), h., 311
31
Echols dan Hassan Shadily menerjemahkan legislation sebagai (1)
perundang-undangan, (2) pembuatan undang-undang45
Hal tersebut berbeda dengan Subekti dan Tjitrosoedibio yang
menyamakan legislasi (legislatie) dengan perundang-undangan.46
Pengertian demikian ini berbeda dengan yang diutarakan Satjipto
Rahardjo yang menyamakan legislasi (wetgeving, legislation)
sebagai “pembuatan undang-undang”, sedangkan Bryan A. Garner
mengartikan legislasi sebagai law making47
Menurut Plato dalam demokrasi keterwakilan, “Legislasi dan
pembentukan tatanan politik merupakan sarana paling sempurna di
dunia ini untuk mencapai kebaikan (undang-undang).48
Hipotesis
Plato kemudian menjadi dasar bagi pemegang aliran supremasi
parlemen yang selama berabad-abad hadir tanpa kritik, pasca
tumbangnya absolutisme raja. Bahkan pemikiran Plato tersebut
dewasa ini tetap mendarah daging bagi aliran-aliran legisme yang
justru belum menerima kehadiran supremasi konstitusi melalui
lembaga peradilan konstitusi.
Adalah Goldsworthy yang merupakan salah seorang penyokong
paling bersemangat dalam gagasan supremasi parlemen, yang
masih berpegang teguh terhadap konsepsi supremasi parlemen
adalah sebuah kebutuhan yang mutlak, ia tidak segan-segan untuk
mengatakan bahwa ketidakadilan dalam undang-undang yang
diciptakan parlemen mungkin saja terjadi, namun hal itu adalah hal
yang harus dibayar dalam demokrasi, lebih lanjut ia mengatakan :
45 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta Gramedia,
1995), hal. 333
46 Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum. (Jakarta:Pradnya Paramita, 1980), hal. 76
47 Anis ibrahim, "Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi"..., h.,150
48 Carl Joachim Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Perspective. Penerjemah
Raisul Muttaqien, Filsafat Hukum: Perspektif Historis. (Bandung: Nusamedia, 2004), hal. 22
32
" The whole poin of having a democracy is that in these debatable
cases the opinion of the majority rather than of an unelected elite is
supposed to privaile." 49
Pandangan Goldsworthy, secara responsif ditanggapi oleh
koleganya T.R.S Allan, yang justru memberikan posisi intelektual
yang lebih netral dengan menyarankan bahwa apa yang
diungkapkan oleh Goldsworthy harusnya dijadikan dasar argumen
untuk para hakim menerapkan prinsip judicial restrain50
, bukan
justru mempertahankan prinsip supremasi parlemen yang kian lama
semakin lemah dalam mempertahankan kemampuan intelektualnya
dalam merumuskan norma.51
Ketidakadilan dalam pembentukan hukum seperti yang
disinggung oleh Goldsworthy dan ketidakmampuan dalam
merumuskan norma seperti yang diungkapkan oleh Alan paling
tidak dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya apa yang
pernah diungkapkan oleh pengkritik positivisme hukum Lon F.
Fuller. (1964) juga memberikan sumbangsih terhadap fenomenal
legislasi, yang menurutnya ada delapan hal yang menjadi penyebab
kegagalan peraturan perundang-undangan, delapan kegagalan
hukum tersebut dihindari bila terjadi penekanan pada isi peraturan
49 Jeffery goldworthy, the sovereignty of parlement : history and philosophy, (United
Kingdom: oxford university Press 1999), h., 269
50 Judicial restraint merupakan doktrin yang berkembang di Amerika yang merupakan
implementasi dari penerapan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power). Dalam doktrin
judicial restraint, pengadilan harus dapat melakukan pengekangan diri dari kecenderungan ataupun
dorongan untuk bertindak layaknya sebuah “miniparliament"
51 T.R.S Allan, Constitutional Justice, A Liberal Theory of The rule of Law (United
Kingdom: Oxford University Press, 2005), h,.232
33
perundang-undangan dengan persyaratan moral tertentu yang
meliputi:52
1. Law should be general
2. They should be promulgated, that citizens might know the
standards to which they are being held
3. Retroactive rule-making and application should be
minimalized.
4. Laws should be understandable
5. Free of contradiction
6. Law should not require conduct beyond the abilities of those
offected
7. They should remain realatively constant through time
8. They should be a congruence between the laws as announced
and their actual administration.
Fuller berpendapat bahwa hukum (Peraturan perundang-
undangan) akan menimbulkan masalah ketika hukum menyimpang
dari 8 (delapan) persyaratan tersebut:
"The eight principals constituate a morallity, because of
two reason. One being that law leads to social order which
needs moral values, and two being is does so be respecting
individuality and the right to self guidance, because rule guide
behaviore. One cannot be autonomous and follow the principles
of legality, without there being some sort of inherent moral
value. This is the connection between law and morality; morals
and principles inherently and internally construct and hold
togather laws"53
Selain Fuller, perhatian yang mendalam mengenai gejala
legislasi juga terlontar dari Peter Noll yang mencetuskan disiplin
ilmu perundang-undangan melalui karyanya "Gesetsgebungslehre"
(teori hukum), menurutnya teori hukum telah secara ekslusif
terfokus pada ajudikasi semata, sehingga perkara legslasi kerap
52 A. Hamid, S Attamimi,.Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Kebijakan, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1993, h.303. Lihat Lon L.
Fuller,The Morality of Law, (New Haven and London: Yale University Press 1963), h. 39
53 Ahmad Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta:2018,
Sinar Grafika) h.44
34
tidak diperhatikan oleh kalangan ahli hukum54
. Lebih lanjut Noll
mengungkapkan bahwa teori hukum tidak semata mengenai
penerapan hukum (rule aplication), hal ini yang menyebabkan ilmu
hukum (legal science) selama ini telah terbatas pada apa yang
disebutnya " a science of the aplication of rule"
(Rechtsprechungwissenschaft).
Dari sudut pandang ini, teori legislasi mendapat perhatian dan
kajian lebih mendalam dalam interdisiplin ilmu hukum (teori hukum),
yang kemudian diistilahkan oleh Wintgens dengan sebutan
legisprudence melalui karyanya yang ditulis dan dieditnya,
“Legisprudence: A New Theoritical Approach to Legislation”55
.
Wintgens kemudian mengkaitkan konsep legislasi dengan doktrin
rule of law dengan menyatakan bahwa segala aktifitas legislative
dibatasi oleh aturan yang mengatur bentuk dan substansi perundang-
undangan. Dalam konteks ini, posisi legislator sesungguhnya sama
dengan hakim. Sekalipun sama, jelas bahwa legislator memiliki
kebebasan lebih besar daripada hakim khususnya berkaitan dengan
aturan-aturan yang disasar. Dalam istilah lain, mereka keduanya
dibatasi secara konstitusionalitas.56
Kritik Wintgens kemudian berlanjut dengan mempersoalankan
legitimasi yang dimiliki oleh para legislator. Melalui karyanya yang
kedua dengan judul "Legislation in Context: Essays in Legisprudence",
menurutnya dibalik proses-proses pembentukan hukum, oleh legislator
54 Herlambang Perdana Wiratman, Legisprudence dan Pendekatan Sosio-Legal dalam
Pembentukan Hukum: Konteks Indonesia, makalah disampaikan dalam Continuing Legal
Education tentang Kontribusi Teori Legisprudensi dalam Pembentukan Hukum, diselenggarakan
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta 28 November 2012. h.1
55 Herlambang Perdana Wiratraman, Legisprudence, Pengembangan Teori Legislasi
dalam Wacana Demokratisasi dan Kritik Rule of Law...,h.,3
56 Herlambang Perdana Wiratraman, Legisprudence, Pengembangan Teori Legislasi
dalam Wacana Demokratisasi dan Kritik Rule of Law,..., h.,4
35
yang memiliki legitimasi demokrasi (dalam arti: proseduralisme
elektoral) legisprudence secara teoritik menyoal legitimasi itu. Hingga
sampai pada kesimpulan, sekalipun otoritas politik (hukum) yang
dimiliki oleh pengambil kebijakan atau juga legislator, haruslah pula
memastikan dan memperhitungkan bahwa proses-proses pembentukan
hukum memperkuat level partisipasi politik kewargaan dan
kenegaraan.57
Paradigma legisprudence yang diungkapkan oleh wintgens
seringkali dikaitkan para pendukungnya menolak paham-paham
positivistik dan aliran legisme hukum dalam proses legislasi
terutama dalam konteks modern constitution yang sangat
menjunjung tinggi semangat rule of law, bukan rule of man atau
rule of king bahkan rule of policy.
Adalah Satjipto Rahardjo, sebagai promotor hukum progresif
yang mendukung pandangan Wintgens dengan melempar sebuah
pertanyaan terkait dengan apakah yang dimaksud dengan supremasi
hukum dalam konteks perundang-undangan. Ia kemudian
melanjutkan dengan memberikan multiple choice yaitu apakah
supremasi keadilan, ataukah supremasi perundang-undangan. Dari
Pertanyaan dan pernyataan tersebut menurutnya memberikan
konsekuensi pada kondisi dimana benih-benih bifurcation dalam
dimensi hukum akan bermunculan, baik dalam ragam bentuk
keadilan, yakni formal justice atau legal justice di satu sisi, dan
subtantial justice di sisi lain.58
57
Herlambang Perdana Wiratman, Legisprudence dan Pendekatan Sosio-Legal dalam
Pembentukan Hukum: Konteks Indonesia, ..., h.5
58 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian pembebasan dan Pencerahan (Surakarta:
Muhammadiah Universitas Press, 2004) h.,65-68
36
d. Kebijakan Hukum (Legal Policy).
Peralihan paradigma kekuasaan dari supremasi parlemen menuju
supremasi konstitusi melalui praktik judicial review, nampak
meninggalkan satu ruang kosong yang sampai saat ini masih selalu
menjadi diskursus yang hangat bagi para pemerhati hukum, yaitu
posisi lembaga peradilan konstitusi yang kerap memberikan putusan-
putusan yang bersifat magnitudo,59
baik putusan-putusan yang
dianggap ultra petita, maupun posisi hakim yang sering dianggap
melampaui posisinya sebagai negative legislator, bahkan seringkali
dalam putusannya peradilan konstitusi sering terkesan berada dalam
kondisi yang abstain dengan memberikan istilah baru dalam ilmu
perundang undangan berupa kebijakan hukum terbuka (Open Legal
Policy).
Secara formal, open legal policy tidak memiliki pijakan
terminologi yang baku, bahkan dalam disiplin ilmu hukum kajian
mengenai kebijakan hukum terbuka (Open Legal Policy) adalah hal
baru dan relatif tidak dikenal sebelumnya,60
sebab selama ini, dimensi
hukum hanya mengenal legal policy (kebijakan hukum) dalam arti ini,
maka frasa kebijakan hukum terbuka (open legal policy) tidaklah
berdiri secara otonom, ia berasal dari perkembangan paradigma legal
policy (kebijakan hukum).
Menurut Muhandar, keberadaan legal policy sering diistilahkan
sebagai politik hukum yang akan dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah yang mencakup: Pembangunan hukum yang berintikan
pembuatan materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan
59 Istilah yang digunakan oleh satjipto rahardjo dalam menggambarkan putusan putusan
yang bersifat kontroversial. Lihat Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Progresif, (Jakarta:
Kompas,2010), h.,51
60 Mardian wibowo, "Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum Terbuka
Dalam Pengujian Undang-Undang", Jurnal Konsitusi, Vol 12 No. 02, Juni 2015. H.210
37
pembangunan, termasuk materi-materi hukum di bidang pertanahan;
juga bagaimana pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegakan supremasi hukum, sesuai fungsi-fungsi hukum, fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum.61
Istilah Politik hukum sendiri dapat ditelusuri dari istilah
rechtspolitiek. Politiek mengandung arti beleid (policy) atau kebijakan.
Oleh karena itu politik hukum sering diartikan sebagai pilihan konsep
dan asas sebagai garis besar rencana yang menentukan arah, bentuk
maupun isi hukum yang akan diciptakan. Policy diartikan sebagai :”the
principles, on which any measure or course of action is based;
prudence or wisdom of government or individuals in the management
of their affair, public or private; general prudence or dexterity;
sagacity.62
Bagir Manan menyatakan politik hukum adalah kebijaksanaan
yang akan dan sedang ditempuh mengenai penentuan isi hukum,
pembentukan hukum, penegakan hukum, beserta segala unsur yang
akan menopang pembentukan dan penegakan tersebut.63
Menurut Mahfud MD dalam disertasinya yang berjudul
Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi
Politik terhadap Karakter Produk Hukum di Indonesia, Mahfud
mengungkapkan bahwa dimensi politik hukum merupakan ranah dari
disiplin ilmu hukum. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa politik
hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan
61 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan di Bidang Pertanahan. (Yogyakarta: LaksBang
PRESSindo 2006,) h.51
62 Radita Ajie, Kebijakan Pembentuk Undang-Undang (Open Legal Policy) Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Tafsir Putusan Mahkamah
Konstitusi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13, No. 02, Juni 2016, h.114. Lihat Grolier Webster,
International Dictionary of the English Language, Volume II, hal. 737
63 Bagir Manan, „Politik Perundangan-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi
Liberalisasi Perekonomian‟, (Lampung: Fakultas Hukum Universitas Lampung, 1996), h.,5, t.d
38
atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup
pembuatan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan
terhadap materi-materi hukum agar dapat disesuaikan dengan
kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah ada,
termasuk penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
hukum.64 Bahkan berdasarkan disertasinya tersebut, Mahfud
memberikan dua asumsi yang memiliki rumpun kajian tersendiri,
yaitu, apakah hukum determinan atas politik atau sebaliknya politik
yang determinan atas hukum. Hingga akhirnya ia sampai pada
kesimpulan tentang jenis jenis politik hukum yang terbagi menjadi
politik hukum permanen dan politik hukum kontemporer.
Menurutnya, Politik hukum permanen berupa, berbagai prinsip-
prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar sepertihalnya
independensi kekuasaan kehakiman, negara hukum, ekonomi
kerakyatan dan lainya. adapun politik hukum temporer adalah
pembentukan hukum yang didasari pada perkembangan situasi yang
dihadapi pada periode tertentu.65
Secara praktik, dari berbagai asumsi dasar mengenai politik
hukum (legal policy) yang disebutkan sebelumnya, adakalanya
menemukan titik pertentangan baik oleh masyarakat yang dinilai
dirugikan hak konstitusionalnya akibat pemberlakuan norma dari
kebijakan hukum tersebut maupun dari berbagai kalangan yang
mempersoalkan kesesuaian norma legal policy tersebut terhadap
konstitusi.66
64 Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009),
h.,8
65 Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia..., h..3
66 Kebijakan Hukum yang dibentuk melalui instrumen Undang-undang dihadapkan pada
validitas norma melalui konsep pengawasan norma dengan mekanisme Judicial Reveiw sebagai
konsekuensi diadopsinya supremasi konstitusi
39
Legal policy yang dihadapkan kedalam ranah pengujian
konstitusional inilah kemudian dihadapkan dengan ragam konsep
penafsiran mahkamah konstitusi yang akhirnya melahirkan beberapa
putusan yang menyebut bahwa kebijakan hukum tersebut adalah
kebijakan hukum terbuka (open Legal Policy).
Asumsi diatas dapat dilihat dengan memahami kewenangan
MKRI dalam skema Judicial Review yang memuat dua konsep berupa
Constitutional Interpratation dan Statutory Interpratation. Keduanya
merupakan rangkain dalam proses Judicial Review yang tidak selalu
bertalian.
Constitutional Interpratation, secara sederhana dapat dibedakan
dengan Statutory Interpratation dengan melihat objek, berupa
Konstitusi yang menjadi objek dari penafsiran, adapun Statutory
Interpratation merujuk pada aktifitas untuk menafsirkan undang-
undang.
Pemisahan dari kedua aktifitas tersebut memiliki relevansi yang
subtansial, sebab dalam pengamatan penulis dari berbagai kasus
pengujian perundang-undangan MKRI ternyata tidak selalu
menjadikan Penafsiran Konstitusi sebagai sarana utama dalam
memberikan putusan pengujian perundang-undangan. Sebagai contoh,
manakala MKRI memberikan putusan dalam penafsiran Perbuatan
yang tidak menyenangkan dalam perkara pengujian Pasal 335 ayat (1)
butir 1 KUHP argumentasi yang dibangun dalam pertimbangan majelis
menekankan pada hilangnya hak merdeka warga negara karena
kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum. Tidak
diketemukan pertimbangan dimana MK mengelaborasi makna “hak
warga negara untuk memperoleh kepastian hukum yang adil” dalam
putusan tersebut.67
Namun, adakalanya kedua aktifitas tersebut
67 Salinan Putusan MK Nomor 51/PUU-XI/2013, Paragraf [3.16]
40
bertalian, seperti halnya ketika MKRI mengujikan ketentuan
peninjauan kembali yang dilakukan Jaksa, meski ketentuan tersebut
tidak diatur dalam KUHAP namun, secara praktik, jaksa dalam
berbagai kasus pidana mengajukan upaya hukum luar biasa berupa
peninjauan kembali. Atas kasus tersebut MKRI mengabulkan
permohonan pemohon dengan menafsirkan KUHAP secara historis
dengan mengelaborasikan tafsiran KUHAP terhadap tafsir konstitusi
dalam bab XA pasal 28D, dan 28G.68
Dari konsep demikian, dapat difahami juga bahwa dalam putusan
MKRI tidak hanya ditiik beratkan pada permasalahan
konstitusionalitas semata, melainkan juga dengan melihat skema legal
policy dalam statutory interpratation.
Berdasarkan ragam skema judicial review tersebut, selanjutnya
aktifitas pengujian norma dihadapkan pada kadar konstitusionalitas
norma sebelum dituangkan dalam putusan MKRI, dengan mengukur
sebuah ketentuan sebuah norma pada tiga kategori berupa: 1) sesuai
dengan undang-undang dasar 1945, II) tidak bertentangan dengan
UUD 1945, III) Bertentangan dengan UUD 1945.
Kategori pertama dan kedua sekilas secara naratif relatif sama
namun secara subtansial keduanya dapat dibedakan dikarenakan
memiliki konsekuensi penerapan yang berbeda pula. Kriteria sesuai
dengan Undang-Undang Dasar 1945 dipergunakan dalam hal ikhwal
suatu pasal dan / atau ayat UUD 1945 memberikan perintah yang jelas
mengenai pembentukan norma Undang-Undang, dan tidak
memungkinkan munculnya tafsir lain. Adapun kriteria tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dipergunakan dalam
hal ikhwal suatu pasal dan / ayat Undang-Undang Dasar 1945 tidak
mengatur dengan spesifik dan jelas suatu permasalahan tertentu.
68 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 33/PUU-XIV/2016
41
Kriteria kedua, dalam pengujian konstitusionalitas sebuah norma
inilah yang kerap mewarnai putusan MKRI, sebab secara normatif
ketentuan UUD1945 tidak secara spesifi mengatur berbagai tata cara
dalam menyelenggarakan negara. Maka konsekuensi logis dari
abstraknya konstitusi, MKRI melalui berbagai ratio decendentie
memperkenalkan istilah-istilah hukum yang relatif baru dalam dunia
peradilan hukum indonesia. Seperti adanya istilah konstitutional
bersyarat, inkonstitusional bersyarat, bahkan juga termasuk dalam
memperkenalkan istilah open legal policy.
Secara sederhana, maka rumusan open legal policy dapat
difahami sebagai kebebasan pembentuk undang-undang untuk
membentuk kebijakan hukum selama hal tersebut tidak secara spesifik
diatur dalam Konstitusi.69
hal demikian dapat dilihat dari berbagai
putusan MKRI yang memuat tafsiran open legal policy dalam norma
undang-undang.70
Dalam perkembangannya, pemaknaan terhadap open legal policy
oleh pembentuk undang-undang sering disalah artikan, atau bahkan
sering dijadikan sebagai senjata pamungkas baik bagi DPR maupun
Presiden dalam rangka membungkam aspirasi masyarakat dalam
proses pembentukan hukum.71
Hingga akhirnya MKRI melalui salah
satu putusannya pernah menggeser makna open legal policy menjadi
close legal policy. Hal ini dapat dilihat dalam putusan MKRI No.
97/PUU-XI/2013, yang diawal mahkamah mengatakan bahwa kendati
69 Mardian wibowo, Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum Terbuka
Dalam Pengujian Undang-Undang, Jurnal Konsitusi, Vol 12 No. 02, Juni 2015. H.210-215
70 Sebagai contoh, lihat Putusan MK Nomor 73/PUU-XII/2014, Mahkamah mendalilkan
bahwa Mekanisme pemilihan Ketua DPR merupakan Open Legal Policy, sebab tidak secara
eksplisit diatur dalam Konstitusi sehingga mekanisme pemilihannya dapat dituangkan sesuai
dengan kebutuhan institusi DPR melalui undang-undang
71 Radita Ajie, Kebijakan Pembentuk Undang-Undang (Open Legal Policy) Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Tafsir Putusan Mahkamah
Konstitusi,..., h.111
42
pemilihan kepala daerah merupakan open legal policy (kebijakan
hukum terbuka), yang mana dapat dimasukan sebagai rezim pemilu
yang sengketanya dapat dilakukan oleh MK atau rezim tersendiri yang
sengketanya berada dalam MA. Namun dalam putusan ini, mahkamah
mengeluarkan menegaskan bahwa ia dapat menggeser rezim pilkada
yang berada dalam rezim pemilu kedalam rezim tersendiri sehingga
kewenangan sengketa pemilihan kepala daerah berada diluar
kompetensi Mahkamah Konstitusi.
Secara umum dapat digambarkan bahwa keberadaan open legal
policy merupakan konsekuensi mempertahankan doktrin supremasi
parlemen di tengah derasnya arus supremasi konstitusi, sehingga
paradigma mengenai kebijakan hukum terbuka sebenarnya sesuai
dengan konstruksi penempatan negative legislator dan positif
legislator yang diungkapkan oleh Hans Kelsen.72
2. Kekuasaan Kehakiman
a. Prinsip Lembaga Kekuasaan Kehakiman
Berangkat dari analisa Alexander Hamilton, James Madison, dan
John Jay dalam tesis mereka yang cukup fenomenal dengan judul the
federalis paper, menjelaskan posisi intelektual mereka dalam
mengkomparasikan eksistensi kekuasaan yudikatif dengan berbagai
kekuasaan negara lainnya dengan mengemukakan:
“the judiciary, from the nature of its functions, will always be
the least dangerous to the political rights of the Constitution;
because it will be the least in a capacity to annoy or injure them.
The executive not only dispenses the honors but holds the sword
of the community. The legislature not only commands the purse
but prescribes the rules by which the duties and rights of every
citizen are to be regulated. The judiciary, on the contrary, has
no influence over either the sword or the purse…. It may truly
be said to have neither FORCE NOR WILL but merely
72 I D.G Palguna, Mahkamah Konstitusi Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan
Perbandingan dengan Negara Lain (Jakarta: KonPress, 2018), h.118
43
judgment; and must ultimately depend upon the aid of the
executive arm even for the efficacy of its judgments….The
complete independence of the courts of justice is peculiarly
essential in a limited Constitution.”
Tesis tersebut kiranya berbanding lurus, jika dikaitkan dengan
konteks perjalanan sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia,
manakala kita mencermati konstruksi kekuasaan kehakiman di
Indonesia pra-amandemen UUD 1945 yang hanya memuat 2 pasal
dalam bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:
1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan
undang-undang.
Ketentuan a qou dinilai sebagai fakta hukum yang sumir sebab
kriteria mengenai kekuasaan kehakiman yang independen serta
merdeka justru berada di dalam penjelasan pasal 24 dan 25 UUD 1945,
yang kemudian jaminan dan garansi terhadap independensi tersebut
secara mutatis mutandis diatur dalam undang-undang termasuk masa
jabatan dan kewenangan dan kedudukan serta mekanisme
pemilihannya yang kerap kental terhadap intervensi dan muatan politik
praktis.73
Berbagai intervensi terhadap kekuasaan kehakiman kemudian
tergambar secara lugas sejak pemerintahan era orde lama yang
menempatkan hakim sebagai alat revolusi, sebagaimana diatur dalam
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
“Hakim sebagai alat revolusi wajib menggali dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat
guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman”.
73 Susi Dwi Harijanti, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, Meluruskan Arah
Manajemen Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2018) h., 66-67
44
Bahkan, Presiden Soekarno selaku Pemimpin Besar Revolusi dapat
mencampuri urusan pengadilan dan mengintervensi hakim
sebagaimana ditegaskan secara eksplisit disebutkan oleh Pasal 19 UU
Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan
negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat
mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal
pengadilan”74
Tidak jauh berbeda dengan orde lama, pengalaman pada masa
orde baru, secara turun menurun justru mengikuti konstrusi monopoli
kekuasaan kehakiman layaknya arah politik kekuasaan sebelumnya,
yang secara praktiknya pada masa orde baru justru mengeluarkan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tanggal 17 Desember 1970 Untuk
menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 yang memuat
campur tangan Presiden dalam peradilan untuk kepentingan revolusi
tersebut75
. Dalam ketentuan Pasal 10 Ayat (2) disebutkan bahwa MA
adalah pengadilan negara tertinggi dalam arti MA sebagai badan
pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan yang berasal dari pengadilan
lain, yang meliputi keempat lingkungan peradilan.
Berbagai pola dan rekam jejak tersebutlah yang kiranya
mengilhami para perumus amandemen UUD 1945 untuk berupaya
memastikan bangunan kekuasaan kehakiman yang kokoh sesuai
dengan nilai nilai independensi, imparsialitas serta responsibilitas
lembaga peradilan dengan menempatkan berbagai ketentuan-ketentuan
74 Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collaps,
yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, Runtuhnya Institusi Mahkamah
Agung, (Jakarta: Yayasan Obor, 2014) h., 96
75 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010) h., 54-55
45
yang relatif kompleks, baik mengenai prinsip dan karakteristik
lembaga kekuasaan kehakiman, serta konstruksi pelaksana kekuasaan
kehakiman dalam pasal 24, dan berbagai kewenangan, serta
mekanisme pemilihannya dalam pasal 24A, 24B dan 24C UUD 1945.
Secara original intens frasa yang digunakan dalam konstitusi
pasca amandemen mengenai karakteristik kekuasaan kehakiman,
menggunakan diksi "Kekuasaan yang Merdeka" yang diadopsi dari
penjelasan naskah UUD 1945 Pra-Amandemen. jika ditelaah dalam
naskah komprehensip buku VI bab Kekuasaan Kehakiman mengerucut
pada pilihan kata "mandiri, bebas dan merdeka serta tidak memihak.76
yang pada akhirnya menemukan titik padam setelah ketua PAH BP-
MPR yang dipimpin oleh Harun Kamil melerai perdebatan dengan
mengkonsolidasikan berbagai pikiran dan maksud subtansi perubahan
yang hendak dicapai dari setiap diksi yang diajukan dengan menerima
usulan beberapa fraksi untuk menggunakan kata merdeka yang
cakupannya lebih luas, dan merupakan kata yang diadopsi dari
penjelasan UUD 1945 pra-amandemen.
Secara terminologi, frasa merdeka sering di istilahkan dengan
kata independensi yang secara gramatikal berasal dari bahasa inggris
''Independency''. Frasa kemerdekaan juga kerap sering digunakan
dalam istilah normatif dan populer dalam menggambarkan
karakteristik kekuasaan kehakiman di berbagai negara seperti bahasa
prancis indépendance, dan dalam bahasa italia indipendenza.
Seperti halnya dalam Basic Principles on the Independence of the
Judiciary 1985.
1. The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State
and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the
76 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010) h., 296
46
duty of all governmental and other institutions to respect and
observe the independence of the judiciary;77
Dan juga International Bar Asociation (IBA) 1982 yang
merumuskan "code of minimun standards of judicial independence "
dengan menyebut salah satu ketentuannya mengenai independensi
hakim:
1. (a) individual judge should enjoy personal independence and
substantiveindependence; (b) Personal Independence means that
the terms and conditionsof judicial service are adeuately secured,
so as to uensure that individuals judgesare not subject
to executive control; (c) Substantive Independence means that
inthe discharge of his judicial function, a judge is subject to
nothing but the lawand commands of his conscience.
2. the judiciary as a whole should enjoy autonomy and collective
indepence vis-a visthe executive
Disain kekuasaan kehakiman yang menempatkan Kemerdekaan
sebagai sukma dari kekuasaan kehakiman dipandang merupakan unsur
yang essensial dari negara yang menganut konsep demokrasi dan
konstitusi (constitutional Democratie). Bahkan lebih lanjut, oleh
karena pentingnya prinsip ini, maka konsepsi pemisahan kekuasaan di
antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta konsepsi
independensi peradilan, telah dipandang sebagai konsepsi yang
fundamental sehingga diangkat sebagai salah satu unsur utama dari
konstitusi, dengan menempatkan frasa merdeka dalam kekuasaan
kehakiman, yang secara subtansial arti kemerdekaan hakim tersebut
bukan merupakan privilage atau hak istimewa hakim melainkan
merupakan hak yang melekat (indispensable right atau inherent right)
pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga
negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak
(fair trial).78
77 United Nation Basic Principles on the Independence of the Judiciary, Principle 1
78 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 05\PUU-VI\2005
47
Paradigma kekuasaan kehakiman yang demikian kiranya tidak
dapat dipisahkan dari akar mengenai konsepsi pemisahan kekuasaan
yang di prakarsai montesque, yang merupakan mantan hakim dimana
sejak awal ia menginginkan pemisahan kekuasaan yudikatif dari
campur tangan eksekutif dan legislatif, melalui ungkapannya:79
Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated
from the legislative and executive. Were it joined with the
legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to
arbitrary control; for the judge would be then the legislator.
Were it joined to the executive power, the judge might behave
with violence and oppression.
Pemikiran montesquei tersebut secara khusus dilengkapi dengan
berbagai pandangan ahli hukum lainnya yang secara paripurna
mengkonsepsikan independensi lembaga kekuasaan Kehakiman dalam
konteks negara modern.
b. Independensi Lembaga Peradilan
Pasca berkembangnya negara-negara modern, terutama pasca
lahirnya berbagai negara-negara yang terlepas dari imperialisme
penjajahan negara-negara kolonial, lahirlah berbagai bentuk bentuk
pemerintahan yang masih belia dan belum secara matang untuk
mengkonsepsikan sebuah negara, terutama mengenai kekuasaan
kehakiman yang merdeka baik secara formil maupun materil.
Akibatnya, struktur ketatanegaraan yang dianut berbagai negara
tersebut secara praktik banyak memunculkan problematika yang
mendasar dalam sistem bernegara. Sepertihalnya peletakan posisi
kekuasaan yudikatif yang tergambung dalam eksekutif seperti yang
dialami indonesia dalam masa orde baru dan lama yang justru menjadi
bumerang dalam menegakkan hukum dan keadilan, sebab kewenangan
yang diberikan kepada lembaga eksekutif begitu besar hingga akhirnya
merampas berbagai cabang kekuasaan lainnya.
79 Montesqiueu, De l'esprit des lois, ..., h.173
48
Pengalaman-pengalaman otoritarianisme di berbagai negara-
negara tersebut secara faktual telah menggeser dan mengganggu
makna negara hukum yang merupakan World view masyarakat
Internasioanal pada saat itu.
Di negara yang menganut paham rechstaat maupun rule of law,
independensi kekuasaan kehakiman sesungguhnya bukanlah hak
istimewa atau previlage bagi hakim, melainkan kondisi atau syarat
yang harus terpenuhi agar negara benar-benar didasari pada doktrin
negara hukum yang demokratis. Lebih dari itu, Aharon Barak
mengilustrasikan bahwa jantung dari Demokrasi adalah kekuasaan
kehakiman yang merdeka (independen). Oleh karenanya, tidak
berlebihan kiranya jika negara-negara di dunia meletakan perhatian
yang mendalam terhadap kekuasaan kehakiman dalam rangka
menjamin independensi peradilan melalui brbagai resolusi
internasional yang juga diratifikasi oleh indonesia, seperti berbagai
resolusi berikut:
The International Covenant on Civil and Political rights:
Article 14 : “all persons shall be equal before the courts and tribunal.
In the determination of any criminal charge against him,
or of his rights and obligationas in a suit of law, everyone
shall be entitled to a fair and public hearing by a
competent, independent and impartial tribunal established
by law.”
The Bangalore Principle :
Article 1 “Judicial independence is a pre-requisite to the rule of law
and a fundamental guarantee of a fair trial. A judge shall
therefore uphold and exemplify judicial independence in
both its individual and institutional aspects”80
80 The Bangalore Principle. Value 1 “Hakim harus menjalankan fungsi judisialnya secara
independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar berupa bujukan,
iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik langsung maupun tidak langsung, dari
siapapun atau dengan alasan apapun, sesuai dengan penguasaannya yang seksama atas hukum”
49
Beijing Statement of Principles of The Independecies of The
Judiciary in The Lawasia Region,
Article 4 :“The maintenance of the independence of the judiciary is
essential to the attainment of its objectives and the proper
performance of its functions in a free society observing the
rule of law. It is essential that such independence be
guaranteed by the State and enshrined in the Constitution
or the law”.
International Bar Association Resolution Minimum Standars Of
Judicial Independence,
Article 20 : “Judicial appointments should generally be for life, subject
to removal for cause and compulsory retirement at an age
fixed by law at the date of appointment.”81
Berbagai resolusi internasional secara ringkas digunakan untuk
menakar tingkat independensi lembaga peradilan sebuah negara.
Seperti apa yang dikonsepsikan dan dikembangkan oleh Centeral
European and Eurasian Law Initiative (CEELI) dengan menggunakan
desain Judicial Reform Index (JRI). Tolok ukur yang digunakan ialah
dengan mengelaborasi 30 (tiga puluh) indikasi atau faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat independensi lebaga peradilan. Mulai dari
kualifikasi dan proses pengangkatan hakim, pelaksanaan atau eksekusi
putusan, pembiayaan atau anggaran, kesesuaian tingkat penggajian,
masa jabatan, pemberhentian dan disiplin hakim, kode etik, akses bagi
media dan masyarakat untuk memperoleh informasi persidangan,
publikasi putusan, hingga hal-hal yang sifatnya administratif dan
teknis. 82
81 Article 20 International Bar Association Resolution Minimum Standars Of Judicial
Independence
82 Judicial Reform Index (JRI) adalah konsep yang dikembangkan oleh Central European
and Eurasian Law Initiative (CEELI). JRI merupakan konsepsi dan desain yang disusun untuk
mengukur tingkat independensi lembaga peradilan dengan berdasar kepada United Nation Basic
Principles on The Independence of the Judiciary, the Council of Europe Recommendation on
independence of judges, the European Charter on The Statute for judges and the International Bar
50
Secara doktrinal, berbagai serpihan penilaian terhadap
independensi tersebut dapat ditelaah lebih mendalam melalui berbagai
pandangan ahli yang memberikan gambaran imparsial mengenai
independensi peradilan. Mulai dari ilustrasi yang sejak awal
digambarkan oleh John lokce dan Montesquie bahwa keberadaan
cabang kekuasaan harus dipisah dan tidak boleh saling mencampuri.
Yang kemudian terminologi kemerdekaan kehakiman juga mencakup
tidak hanya pada pengertian bahwa hakim harus bebas dari pengaruh
cabang cabang kekuasaan lainnya, melainkan bebas juga dari segala
macam tekanan yang datang dari luar dirinya, termasuk bebas dari
ancaman ketakutan akan pembalasan (fear of reprisel).83
Menurut Harold See dan Aharon Barak, independensi dapat
dikualifikasikan dalam dua perspektif, yaitu, Pertama, Prespektif
pemisahan kekuasaan dalam bentuk kemerdekaan kelembagaan (
Institutional Independence) dari cabang pemerintahan lainnya., baik
secara organisatoris, administratif, personalia maupun finansial.
Kedua, perspektif demokrasi, berupa kemerdekaan dalam membuat
putusan (desicional independence). 84
Selanjutnya Simon Shetreet dan Peter H. Russel,
mengungkapkan bahwa independensi kekuasaan kehakiman
dikategorikan dalam tiga bentuk. Pertama, yaitu independensi
kekuasaan kehakiman dalam memutus perkara (subtantive
independence). Kedua, independensi kekuasaan kehakiman secara
kolektif sebagai salah satu cabang kekuasaan negara (collective
Assosiation Minimum Standards for Judicial Independence. Lebih lanjut mengenai JRI dan CEELI
diakses Pada 28 Februari 2019 dalam: http://abanet.org/ceeli/publications/jri/jri_overview.html.
83 John N. Drobak, Norm and the Law, Cambridge University Press, (New York:2006)
h.163
84 Aharon Barak, The Judge in a Democracy , Princeton University Press, (New Jersey:
2006), h.77-78
51
independence). Ketiga, independensi kekuasaan kehakiman secara
internal, yakni dalam hal kebebasan antarsesama hakim (internal
independence).85
Pandangan mengenai independensi kekuasaan kehakiman juga
diungkapkan oleh Franken seperti yang pernah dikutip oleh Fahmiron,
yang menyatakan, independensi kekuasaan kehakiman dibedakan ke
dalam empat bentuk, yaitu86
:
1. Independensi konstitusional (constitutionele onafhankelijkheid);
adalah independensi yang dihubungkan dengan doktrin Trias
Politika dengan sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu.
Lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti
kedudukan kelembagaannya harus bebas dari pengaruh politik
2. Independensi fungsional (zakelijke of functionele
onafhankelijkheid); berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh
hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus memberikan
suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim
boleh menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan UU apabila
UU tidak memberi pengertian yang jelas. Independensi substansial
dapat juga dipandang sebagai pembatasan, tatkala seorang hakim
tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa dasar hukum.
Independensi substansial juga berarti bahwa dalam kondisi tertentu,
hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman dapat mencabut suatu
ketentuan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan
keadilan atau konstitusi
85 Simon Shetreet and J. Deshenes, Judicial Independence: the Contemporary Debat,
Martinus Nijob, (Netherlands: 1985), h.590. Lihat Peter H. Russel and David O Brien, Judicial
Independence, in the Age of Democracy Critical Prespectice from Around the World,
Constitutional and Democracy Series, University Press of Virgina, (London:2001) h.6
86 Fahmiron, "Independensi dan Akuntabilitas Hakim dalam Penegakan Hukum Sebagai
Wujud Independensi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman", Jurnal Litigasi, Vol. 17 (2),
2016, h. 3467-3468
52
3. Independensi personal hakim (persoonlijke of rechtspositionele
onafhankelijkheid); adalah mengenai kebebasan hakim secara
individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa
4. Independensi praktis yang nyata (praktische of feitelijke
onafhankelijkheid); adalah independensi hakim untuk tidak berpihak
(imparsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan
masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media. Hakim
tidak boleh dipengaruhi oleh berita-berita itu dan kemudian
mengambil begitu saja kata-kata dari media tanpa
mempertimbangkan. Hakim juga harus mampu menyaring desakan-
desakan dalam masyarakat untuk dipertimbangkan dan diuji secara
kritis dengan ketentuan hukum yang sudah ada. Hakim harus
mengetahui sampai sejauh mana dapat menerapkan norma-norma
sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Bertalian dengan hal tersebut, Richard D. Aldrich, sebagaimana
yang dikutip oleh Efik Yusdiansyah, membagi kekuasan kehakiman
yang merdeka ke dalam dua pengertian, yaitu kemerdekaan
personal (personal independent) dan kemedekaan substantif
(substantive independent)87
. Dimaknai dengan kemerdekaan personal
adalah kemerdekaan yang dikaitkan dengan keberadaan dari individu
hakim itu sendiri dengan cakupan, antara lain: penghasilan atau gaji
yang cukup; masa jabatan yang ditetapkan dengan UU; kebal terhadap
tuntutan perdata; kebal terhadap kesaksian tentang akibat dari
keputusannya; dan kontrol pengadilan atas pemecatan (perpindahan
dan disiplin para hakim). Sebaliknya, kemerdekaan substantif berarti
kebebasan yang berkaitan dengan isi dari putusan yang akan
dilakukannya, misalnya seorang hakim hanya dihadapkan kepada
hukum, konstitusi, pertimbangan berdasarkan akal sehat; dan promosi
para hakim harus didasarkan atas mutu kerjanya.
87
Efik Yusdianysah, Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap Pembentukan
Hukum Nasional dalam Kerangka Negara Hukum, Lubuk Agung (Bandung:2010), h. 34
53
Pandangan mengenai berbagai doktrin independensi tersebut
kemudian secara elaboratif dirumuskan Bagir Manan dengan merujuk
pada Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, Konstitusi RIS dan
UUD 1950 untuk selanjutnya dikaitkan dengan konsep ekuntabilitas
kekuasaan kehakiman, yang secara sederhana independensi kekuasaan
kehakiman artinya kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagai
“kekuasaan yang terlepas dari pengaruh pemerintah”. Dengan
demikian, kekuasaan kehakiman mengandung dua segi, yakni:
1. Hakim merdeka bebas dari pengaruh siapapun, selain kekuasaan
legislatif dan eksekutif, hakim juga harus bebas dari pengaruh
kekuasaan unsur-unsur yudisial itu sendiri dan pengaruh dari
luar pemerintahan seperti pendapat umum, pers dan sebagainya
2. Kemerdekaan dan kebebasan hakim sebatas fungsi hakim sebagai
pelaksana kekuasaan yudisial atau pada fungsi yudisialnya. bahwa
Independensi hakim dan kekuasaan kehakiman tidak sekadar berarti
imparsialitas hakim dari pengaruh eksekutif, legislatif, bahkan dari
internal lembaga yudikatif itu sendiri. Independensi tidak sekadar
bermakna “merdeka, bebas, imparsial, atau tidak memihak, dengan
individu, kelompok atau organisasi kepentingan apapun, atau tidak
tergantung atau dipengaruhi oleh kekuatan/power, paradigma, etika,
dan spirit untuk menjamin bahwa hakim akan menegakkan hukum
demi kepastian hukum.
Lebih lanjut, dalam posisi akuntabilitas, Bagir Manan
menyatakan perlunya tolok ukur dan batasan terhadap independensi
kekuasaan kehakiman, menurutnya :
1. Hakim hanya memutus menurut hukum. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim
dalam memutus perkara konkret harus dapat menunjuk secara tegas
ketentuan hukum dalam perkara tersebut. Makna ini sejalan dengan
asas legalitas dari suatu negara yang berdasarkan hukum
54
2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Hal ini
berimplikasi bahwa hakim dapat melakukan penafsiran, melakukan
konstruksi, bahkan tidak menerapkan atau mengenyampingkan
suatu ketentuan hukum yang berlaku. Semua itu dilakukan dalam
rangka menciptakan keadilan sehingga tidak dapat dilaksanakan
dengan sewenang-wenang
3. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak
hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kewenangan
atau kebebasannya.
Bertalian dengan pembatasan terhadap independensi dan
akuntabilitas kekuasaan kehakiman yang diungkapkan oleh Bagir
Manan, Donald P. Kommers telah mengingatkan bahwa hubungan
kebebasan hakim harus selalu diimbangi dengan akuntabilitas dalam
rangka menegakkan hukum dan keadilan. Selengkapnya Kommers
mengungkapkan :
"Institutional autonomy is a requirement of judicial independence.
As some critics have alleged, however, this very autonomy
threatens judicial independence in the face of a court system
dominated by career judges drawn from a narrow slice of society
and known more for their passivity than for their creativity.
Accountability, however, also endangers independence ".88
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian ini, paling tidak peneliti memiliki beberapa pijakan
literasi kajian terdahulu yang sesuai dengan fokus tema, diantaranya:
1. STUDI PERBANDINGAN MENGENAI STATUS HUKUM JABATAN
HAKIM PADA KUASAAN NEGARA INDONESIA DAN JERMAN.
Skripsi ini merupakan tugas akhir David Boy Sumurung Silaban
pada tahun 2016, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.
Secara umum, skripsi ini menjelaskan terkait dengan kondisi kekuasaan
88
Donald P. Kommers, „Autonomy versus Accountability’ dikutip dalam Peter H. Russel
dan David M. O‟Brien (eds), Judicial Independence in the Age of Democracy: Critical Perspective
from around the World, University of Virgina Press, (Charlottesville 2001), h.131
55
kehakiman yang bebas dan merdeka. Serta asumsi tentang status hukum
jabatan hakim yang sangat mempengaruhi banyak hal mengenai kekuasan
kehakiman. penelitian ini menggunakan penelitian komparatif dengan
manjadikan Negara Jerman sebagai contoh penelitiannya.
Perbedaan yang mendasar antara skripsi ini dan penelitian yang
sedang peneliti lakukan adalah, terkait dengan masa jabatan hakim
konstitusi secara spesifik dan faktual, dengan menggunakan pendekatan
normatif doktriner. Yang pada intinya mencari sebuah relevansi periodisasi
masa jabatan hakim dan konsepsi jangka waktu masa jabatan hakim yang
sesui dengan prinsip-prinsip kemerdekaan hakim.
2. MAHKAMAH KONSTITUSI, Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan
Perbandingan dengan Negara Lain.
Buku ini ditulis oleh Hakim Konstitusi I D.G. Palguna, dalam
menjelaskan posisi intelektualnya terhadap perkembangan eksistensi
Peradilan Konstitusi, termasuk dalam rangka memberikan pemahaman
mengenai dasar keberadaan dan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia.
Dalam buku ini, Palguna dengan cermat memilah dan memilih
berbagai manuskrip mengenai sejarah peradilan konstitusi serta dasar
pemikirannya dalam hal ikhwal kelahiran Mahkamah Konstitusi di
Indonesia. Lebih dari itu, berbagai kajian mengenai komparasi terhadap
Mahkamah Konstitusi Austria juga dijelaskan guna memberikan
pemahaman yang begitu komprehensif atas pengujian norma yang selama
ini berlaku.
Berbagai serpihan pemikiran I D.G Palguna, menjadi bahan yang
pokok atas penelitian ini, yang secara khusus peneliti gunakan dalam
membahas masa jabatan Hakim Konstitusi di Indonesia dan di berbagai
Negara.
56
3. Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan Pengekangan Diri.
Penelitian ini, termuat dalam jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM ,
tepatnya Nomor 4 volume 21 pada oktober 2014, yang ditulis oleh salah
satu ahli hukum tata negara Universitas Padjajaran.
Adalah Susi Dwi Harijianti, yang secara responsif menuangkan
analisanya terhadap kedudukan jabatan hakim di Indonesia pasca
reformasi. Dalam tulisan ini, Harijianti secara jelas menggambarkan
beberapa kelemahan atas jaminan konstitusi terhadap kemerdekaan hakim,
yang sampai saat ini belum diterapkan di Indonesia.
Tidak hanya itu, fokus penelitiannya juga ditunjukkan dengan
adanya analisis praktis dan teoritis terhadap keberadaan kekuasaan
kehakiman berdasarkan sistem hukum yang dianut dalam berbagai negara
di dunia.
Perbedaan mendasar mengenai penelitian Susi Dwi Harijianti,
dengan peneliti dewasa ini ialah adanya pendekatan cara pandang analisis
yang berbeda, serta objek kajian peneliti yang terfokus pada jaminan masa
jabatan hakim, terlebih pendekatan yang peneliti lakukan dalam hal ini,
disandingkan dengan melihat dari sisi kebijakan terbuka (open legal policy)
pembentuk Undang-Undang terutama pasca putusan mahkamah konstitusi
mengenai masa jabatan hakim konstitusi yang menegaskan bahwa norma
tersebut merupakan kewenangan DPR dan Presiden sehingga mahkamah
tidak berwenang untuk mengadilinya.
57
BAB III
MASA JABATAN HAKIM DI INDONESIA
A. Kekuasaan Kehakiman Dalam Undang Undang Dasar 1945
1. Sejarah Kekuasaan Kehakiman Indonesia
Amandemen Undang-Undang Dasar yang diselenggarakan dengan
empat tahapan (1999-2002), menyimpan ragam gagasan dan pandangan
yang responsif terhadap arah baru Indonesia dalam mempersiapkan masa
transisi dari negara yang semula otoritarianisme menuju demokrasi. Salah
satu potret sejarah yang menyita waktu cukup rumit ialah manakala para
second founding father1 merumuskan konsep kekuasaan kehakiman dalam
amandemen Undang-Undang Dasar yang semula hanya memuat dua pasal
menjadi lima pasal.
Konstruksi kekuasaan kehakiman semula dalam Undang-Undang
Dasar Pra-Amandemen, hanya mengenal Mahkamah Agung (in one
supreme court)2 sebagai puncak pelaku kekuasaan kehakiman, yang ketika
itu belum menggunakan sistem satu atap (one roof system) sehingga kendati
secara fungsional kewenangan peradilan memeriksa, mengadili dan
memutus berada di lingkungan Mahkamah Agung, namun, secara
administrasi peradilan, kekuasaan kehakiman masih berasandar kepada
Menteri Kehakiman.3 Kondisi demikian, tidak hanya mempersulit finansial
hakim, melainkan juga menjalar ke dalam praktik intervensi kemerdekaan
1 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010) h.10
2 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman,...,h.,12-22
3 Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collaps,
Penterjemah Noor Cholis, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta:Lembaga Kajian dan
Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012), h.,96
58
kekuasaan kehakiman yang tertuang dalam penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945.4
Berdasarkan Legal Momerandum tersebut, lahirlah gagasan untuk
menempatkan karakteristik kekuasaan kehakiman yang merupakan denyut
nadi dari lembaga yudikatif dalam amandemen Undang-Undang Dasar ke-3
dengan menyebut: "kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan."
Arah politik kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang Dasar
1945 amandemen secara hangat didiskusikan pada pembahasan sidang
pertama 1999, dimana perdebatan terfokus pada perubahan Bab Kekuasaan
Kehakiman dan seputar Pasal 24 dan Pasal 25 saja, Usulan-usulan
perubahan Bab Kekuasaan Kehakiman dalam UUD 1945 disampaikan oleh
para anggota fraksi yang tergabung dalam Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja
MPR 1999 (PAH III BP MPR RI), yang dibentuk sebagai alat kelengkapan
Badan Pekerja MPR 1999. Dimana pada saat itu, terdapat kehendak untuk
mengganti frasa BAB Kekuasaan Kehakiman dengan BAB Mahkamah
Agung.5Hal demikian terjadi karena, belum teridentifikasinya urgensi
lembaga peradilan konstitusi (mahkamah Konstitusi) pada awal pembahasan
amandemen Undang-Undang Dasar. Sehingga, pada perubahan tahap
pertama, mahkamah agung sempat digagas untuk melakukan uji materil
perundang-undangan. Serta sebagai satu satunya pelaku kekuasaan
kehakiman. 6
4 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman,...,h., 26
5 Istilah yang digunakan oleh Satjipto Raharjo kepada negarawan yang mendedikasikan
hidupnya guna kelangsungan negara pasca para founding father negara yang mendahuluinya. Lihat
satjipto raharjo, penegakkan hukum progresif,
6 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman...,h. 293
59
Di samping itu, perdebatan yang cukup rumit juga terjadi dalam
perumusan mengenai penyebutan karakteristik lembaga kekuasaan
kehakiman. Dimana dalam naskah Undang-Undang Dasar pertama, ruh dan
sukma (kekuasaan yang kemerdekaan) dari kekuasaan kehakiman hanya
tersiratkan di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Pra-Amandemen
yang justru dahulu menjadi alat bagi penguasa untuk memonopoli keadilan.
Hingga akhirnya frasa kemeredekaan tersebut diadopsi kedalam batang
tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Hingga akhirnya, Penyempurnaan mengenai bab kekuasaan
kehakiman terjadi pasca perubahan amandemen Undang-Undang Dasar ke-3
(2001). Dimana Pada bab kekuasaan kehakiman pada pasal 24 Undang-
Undang Dasar Pra-amandemen berbunyi:
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.”
(2) susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur
dengan undang-undang.
Dan pasal 25 berbunyi:
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai haki
ditetapkan undang-undang.
Sedangkan dalam UUD 1945 hasil perubahan ketiga tahun 2001
diputuskan sebuah badan lain sebagai salah satu unsur pelaksana kekuasaan
kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga akhirnya Rumusan
perubahan ketiga UUD 1945 khususnya dalam Bab Kekuasaan Kehakiman
awalnya hanya berisi dua pasal, kini menjadi lima pasal karena ada
penambahan materi pada Pasal 24, menjadi Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal
24C yang merinci lebih lanjut mengenai kewenangan Mahkamah Agung
(MA), prasyarat pengangkatan Hakim Agung, pembentukan Komisi
Yudisial (KY) yang akan mengusulkan calon Hakim Agung kepada DPR,
serta rincian detail lainnya mengenai KY dan MK seperti, kewenangan,
prasyarat keanggotaan, mekanisme pengangkatan, dan mandat pengaturan
60
kedua institusi tersebut dalam ketentuan undang-undang secara lebih
spesifik.7
Dari ketentuan tersebut, Secara normatif kekuasaan kehakiman
dijalankan oleh Mahkamah Agung, serta berbagai lembaga peradilan yang
berada di bawahnya dan sebuah mahkamah konstitusi. sehingga kendati
dalam bab kekuasaan kehakiman terdapat sebuah komisi yudisial,
keberadaannya dinilai bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman
melainkan sebagai supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan
kehakiman yang merdeka, bersih, berwibawa.8
Desain konstitusi pasca amandemen yang menempatkan MA dan
MK sebagai puncak kekuasaan kehakiman (judicial Power) didasari pada
paradigma perubahan pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menambah
ketentuan ayat 3 bahwa indonesia adalah negara hukum yang semula hanya
memuat dua pasal dan narasi mengenai negara hukum (rechstaate) berada
dalam penjelasan Undang-Undang Dasar.9 Dihapuskan kata rechstaate
dalam penjelasan Undang-Undang Dasar yang kemudian menjadi negara
hukum memiliki implikasi yang fundamental, sebab penghilangan kata
rechstaate tersebut bukan hanya perkara simantik atau gramatikal semata,
melainkan menyangkut masalah-masalah subtantif dan pragmatik. 10
Istilah rechstaate lebih menekankan pada pentingnya "hukum
tertulis" (civil law) dan kepastian hukum. Kebenaran dan keadilan dalam
rechstaate lebih berpijak atau menggunakan ukuran formal; artinya yang
7Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman..., h., 131
8 Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII
Press, 2007) h., 160
9 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo, 2014), h.,206
10 Mahfud Md, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009) h.95
61
benar dan adil itu adalah apa yang ditulis di dalam hukum tertulis. Didalam
rechstaate hakim adalah corong undang-undang. Sedangkan rule of law
lebih menekankan pada pentingnya hukum yang tidak tertulis (common law)
demi tegaknya hukum dan keadilan. Kebenaran dan keadilan hukum
berpijak atau menegakkan keadilan subtansial dari pada kebenaran formal
prosedural semata.
Asumsi diatas yang kemudian mendikotomi struktur puncak
kekuasaan kehakiman dengan menjadikan mahkamah agung sebagai court
of justice dan mahkamah konstitusi sebagai court of law. Kendati berbeda
kedua institusi tersebut bukan berarti keduanya bisa dipisahkan seratus
persen. Secara normatif ternyata dalam praktiknyapun mahkamah agung
menangani permasalah judicial review mengenai norma norma yang berada
di bawah undang-undang untuk dilakukan uji materil dan formil terhadap
undang undang. Begitu juga dengan mahkamah konstitusi diberikan tugas
(kewajiban) membuktikan unsur-unsur kesalahan dan tanggung jawab
pidana presiden dan\wakil presiden serta memutuskan permasalahan yang
diajukan oleh DPR tersebut. Sehingga mengikuti konsepsi demikian jimly
asshiddiqie mengatakan bahwa keduanya dapat disebut sebagai mahkamah
kehakiman.
Bertitik tolak pada pelaku kekuasaan kehakiman, mahkamah agung
secara formil memiliki wewenang dan kewajiban sebagaimana tertuang
dalam pasal 24A sebagai peradilan tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan undang-undang. Sedangkan mahkamah konstitusi
secara normatif berdasarkan pasal 24C ayat 1 memiliki wewenang untuk
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran patai politik dan memutus
perselisihan tentang pemilihan umum. Disamping itu, mahkamah konstitusi
62
memiliki satu kewajiban sebagaimana tertuang di dalam pasal 24C ayat 2
berupa memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan\atau wakil presiden
menurut Undang-Undang Dasar.
Mengenai masa jabatan, secara normatif, konstitusi tidak
menegaskan kedua masa jabatan pelaku kekuasaan kehakiman tersebut.
Peniadaan masa jabatan hakim dalam konstitusi ditindaklanjuti oleh
pembentuk undang-undang untuk didelegasikan kedalam undang-undang
organik kedua institusi tersebut. Sepertihalnya Mahkamah Agung, yang
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Mahkamah
Konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
Adapun terkait syarat dan pengisian jabatan Mahkamah Agung,
tertuang dalam pasal 24 ayat 2 dan 3, yaitu, syarat seseorang mencalonkan
diri menjadi hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum.
Ketentuan mengenai syarat tersebut, memberikan peluang bagi desain
mahkamah agung untuk mengisi jabatan hakim agung baik dari hakim karir
maupun non-karir. Ketentuan tersebut lebih lanjut dianulir dalam undang
undang no 3 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 6B:
Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon
hakim agung juga berasal dari non- karir.
Kebutuhan mengenai proses pengisian hakim agung, yang
demikian merupakan bagian dan sekaligus kelanjutan dari desain besar
(grand design) reformasi mendasar pemegang kekuasaan kehakiman,
khususnya reformasi di mahkamah agung.11
11 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53 \PUU-XIV-2016
63
Adapun mengenai reqruitmen, pengisian hakim agung dicalonkan
oleh komisi yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna mendapat
persetujuan dan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden. Ketentuan demikian lazim dikaitkan pada sejarah kekuasaan
kehakiman pada masa orde baru, dan orde lama yang pada masa itu
memiliki rekam jejak yang buruk dan rentan terhadap praktik Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN), bahkan kekuasaan kehakiman dinilai
memiliki kepala yang berada di mahkamah agung namun tubuhnya berada
di dalam badan eksekutif (menteri kehakiman). Berawal dari pembahasan
RUU tentang pokok pokok kekuasaan kehakiman, sekitar 1968, sempat
diusulkan pembentukan, lembaga yang diberinama majelis pertimbangan
penelitian hakim (MPPH) yang semula dikehendaki untuk berfungsi sebagai
pemberi pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-
saran, atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi,
kepindahan, pemberhentian dan tindakan atau hukuman jabatan para hakim,
yang diajukan baik oleh MA maupun menteri kehakiman.12
Gagasan demikian nyaris tidak terdengar kembali, hingga pada
akhirnya mulai muncul kembali dalam wacana yang kuat sejak adanya
desakan penyatu atap bagi hakim (one roof of justice system) tahun 1998-an.
Sebagaimana diketahui, pada tahun 1998 MPR mengeluarkan ketetapan
MPR RI No.X\MPR\1998 tentang pokok pokok reformasi pembangunan
dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai
haluan negara. Dalam TAP tersebut menyatakan perlu segeranya
diwujudkan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan
eksekutif.
Namun pasca TAP tersebut, realisasinya sangat dinilai sangat sulit
dalam praktik ketatanegaraa, karena setelah komitmen politik untuk
memindahkan kewenangan administrasi, personal, keuangan dan organisasi
12Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman..., h., 26
64
pengadilan dari departemen kehakiman kepada MA muncul kekhawatiran
baru dikalangan pemerhati hukum dan organisasi non-pemerintah bahkan
dari MA tersendiri mengenai kekhawatiran akan lahirnya monopoli
kekuasaan kehakiman oleh MA sendiri13
. Maka untuk menghindari
permasalahan-permasalahan tersebut lahirlah gagasan untuk melahirkan
komisi yudisial yang secara fundamental memiliki dua fungsi secara khusus
yaitu rekrutmen hakim agung dan pengawasan terhadap hakim dalam rangka
menjaga keluhuran dan martabat hakim, yang secara expressis verbis
dituangkan sebagai norma dasar dalam pasal 24B Undang-Undang Dasar
1945.
Terkait dengan pengangkatan hakim agung melalui komisi
yudisial, Jimly mengungkapkan bahwa keberadaan KY diawal memang
dikonstruksikan guna merekrut hakim agung melalui usulannya yang
kemudian disampaikan kepada DPR. Skema demikian juga dipandang
sejalan dengan studi komparasi tentang judicial council yang dilakukan oleh
Nuno Garopa dan Tom Ginsburg yang menghasilkan kesimpulan bahwa
pada hakikatnya adanya Dewan Yudisial di berbagai negara dimaksudkan
untuk melakukan rekrutmen hakim. Lebih lanjut Ginsburg mengungkapkan:
"Judicial Councils are bodies that are designed to insulate the
functions of appointment, promotion, and discipline of judges from the
partisan political process while ensuring some level of accountability"14
Kelahiran komisi yudisial yang secara fungsional menjaga
keluhuran martabat hakim secara responsibel, paling tidak terinspirasi dari
berbagai negara-negara yang sudah secara ‘balancing’ menerapkan prinsip
13 Buku Cetak Biru Mahkamah Agung halaman 93, 99, 105, dan 238, bahkan di halaman
238 tersebut merupakan program kerja Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Agung akan
mendorong lahirnya Komisi Yudisial yang mengawasi hakim termasuk Hakim Agung. Lihat
naskah akademik Rancangan Undangundang Komisi Yudisial yang dibuat oleh Mahkamah
Agung, halaman 26, 45, dan 58 menyebut Hakim Agung meminta bantuan pengawasan pihak
eksternal (ky). Lihat keterangan ahli Mahfud Md dalam Putusan MK No.5\PUU- VI\2005
14 Nuno Garoupa dan Tom Ginsburg, Guarding the Guardians: Judicial Councils and
Judicial Independence. (Chicago: University of Chicago Law School, 2008) Hal.3
65
independensi dan akuntabilitas dengan membentuk berbagai komisi15
dalam
rangka menjadikan lembaga peradilan sebagai institusi yang merdeka namun
memiliki sifat akuntabilitas yang tinggi, sebab keduanya merupakan dua
kunci kekuasaan kehakiman yang sering bertolak belakang16
. Disatu sisi
peradilan harus merdeka dan mandiri, namun disisi lain peradilan juga harus
secara bertanggungjawab (akuntabel) terhadap putusan-putusan serta
berbagai derap langkah politik hukumnya. Bahkan Donald P. Kommers
dalam posisi intelektualnya memandang17
:
"Institutional autonomy is a requirement of judicial
independence. As some critics have alleged, however, this very
autonomy threatens judicial independence in the face of a court system
dominated by career judges drawn from a narrow slice of society and
known more for their passivity than for their creativity. Accountability,
however, also endangers independence"
Adapun mengenai mahkamah konstitusi, secara resmi lahir pada
tanggal 13 agustus 2003 yang embrionya mulai hangat diperdebatkan pada
amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar 1945. Gagasan mengenai MK
dapat ditelusuri dari risalah sidang BPUPKI dahulu, dimana Moh. Yamin,
sempat mengusulkan pembentukan balai agung untung membandingkan
undang-undang terhadap undang-undang dasar, hukum adat dan hukum
islam. Namun gagasan itu mendapat pertentangan dari berbagai anggota
majelis, seperti soepomo, soekarno dan hatta.18
15 High council for magisrature, di Prancis, the higher judicial council di Iraq dan di
berbagai negara lain-lainya
16 Susi Dwi Harijanti, dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, Meluruskan Arah
Manajemen Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2018) h.,62-64
17 Donald P. Kommers, ‘Autonomy versus Accountability’ dalam Peter H. Russel dan
David M. O’Brien (eds), Judicial Independence in the Age of Democracy: Critical Perspective
from around the World (Charlottesville: University of Virgina Press, 2001) h., 131
18Naskah Komprehensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Buku VI Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2010) h.,445
66
Pada amandemen undang-undang dasar ke-3 Pembentukan
Mahkamah Konstitusi mulai diperbincangkan kembali, tatkala berbagai tim
ahli memandang persoalan konstitusionalitas sebuah peraturan merupakan
unsur yang fundamental dalam negara hukum yang berbasiskan nilai nilai
demokrasi. Bahkan, mahkamah konstitusi yang semula diformulasikan
berada di bawah mahkamah agung justru dikeluarkan dari miniatur
mahkamah agung dan berada sederajat sebagai puncak pelaku kekuasaan
kehakiman19
.
Hal demikian dikarenakan mengingat berbagai fungsi yang
dimiliki oleh mahkamah konstitusi sebagai the soul of the interpretater of
the constitution dan sebagai the guardiance of democracy, dengan
kewenangan berupa pengujian undang-undang terhadap Undang Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai
politik, dan memutus sengketa pemilihan umum. Serta dilengkapi dengan
kewajiban untuk memutus dugaan pelanggaran presiden yang diajukan oleh
DPR. 20
Melihat berbagai peran dan kewenangan yang begitu besar dimiliki
oleh Mahkamah Konstitusi, maka konstruksi pemilihan (rekrutmen) hakim
konstitusi pun dilakukan melalui 3 cabang kekuasaan negara, 3 dipilih oleh
DPR (legislatif), 3 dipilih oleh MA (yudikatif), dan 3 dipilih oleh Presiden
(Eksekutif)21
. Sehingga, MK dinilai merupakan perwujudan tiga cabang
kekuasaan negara, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Komposisi ini,
diharapkan dapat menerapkan prinsip saling mengawasi dan saling
mengimbangi. Serta diharapkan pula, agar setiap putusan untuk
19 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman..., h.563
20 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman...,.h.,593
21 Risalah Sidang Rapat ke-36 Panitia Ad Hock I MPR, 2001, Rabu, 26 September 2001
67
menyelesaikan perbedaan pendapat di tubuh MK didasarkan pada
pertimbangan komposisi keanggotaan hakim konstitusi.22
Pola pengisian jabatan demikian lazim dikenal di berbagai negara
di dunia dengan konsep split and quota, seperti halnya yang dipraktikan
pada negara Italia, Korea Selatan, bahkan negara Austria yang kerap
dianggap sebagai pelopor pendiri mahkamah konstitusi pertama di dunia,
nyatanya juga menggunakan konsep pencalonan dari lembaga pengusung,
yaitu Presiden Federal, dan dua kamar dalam Parlemen23
, sebagai mana
tertuang dalam Article 147 Konstitusi Austria :
“The President, the Vice-President, six additional members
and three substitute members are appointed by the Federal
President on the recommendation of the Federal Government;
these members and substitute members shall be selected from
among judges, administrative officials, and professors holding a
chair in law. The remaining six members and three substitute
members are appointed by the Federal President on the basis of
proposals submitted by the National Council for three members
and two substitute members and by the Federal Council for three
members and one substitute member. Three members and two
substitute members must have their domicile outside the Federal
capital, Vienna. Administrative officials on active service who are
appointed members or substitute members shall be exempted, with
their pay terminating, from all official duties. This shall not apply
to administrative officials appointed substitute members who for
the term of such."
Dari berbagai batang tubuh konstitusi pasca amandemen,
nampaknya para perumus belum menempatkan masa jabatan hakim sebagai
hal yang fundamental, baik terhadap hakim agung maupun hakim konstitusi.
Sehingga secara atribusi, regulasi mengenai masa jabatan tersebut tertuang
dalam undang-undang.
22 Naskah Komprehensip Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 buku 6 tentang
kekuasaan kehakiman
23 Feri Amsari, Pengisian Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, Rajawali Press,
(Jakarta:2016), h.333-332
68
2. Rekrutmen Hakim Agung dan Hakim Konstitusi
a) Mahkamah Agung
Konstitusi pra-amandemen yang hanya memuat dua pasal dan
tiga ayat, yang berlaku pada masa orde lama dan baru tidak memberikan
kejelasan mengenai pola rekrrutmen Hakim Agung. Yang secara mutatis
mutandis kebijakan dalam menentukan sistem rekrutmen Hakim Agung
berada pada ranah pembentuk undang-undang.
Konstelasi demikian kemudian diatribusikan ke dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
menentukan bahwa hakim agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala
Negara dari calon yang diusulkan oleh DPR yaitu diusulkan masing-
masing dua calon untuk satu posisi hakim agung.
Mekanisme tersebut dianggap tidak memberi jaminan
independensi kepada hakim agung, karena penentuan hakim agung akan
sangat ditentukan oleh Presiden dan usul DPR yang kedua-duanya adalah
lembaga politik.24
Pasca perubahan UUD 1945, konstitusi memberikan jaminan
independensi yang lebih kuat kepada hakim agung, dengan menentukan
mekanisme pengusulan Hakim Agung yang dilakukan oleh suatu lembaga
negara yang independen, yaitu Komisi Yudisial, dalam rangka
meminimalisir pengaruh politik dalam proses penentuan Hakim Agung
yang berpedoman pada kemerdekaan (independensi) hakim, hal demikian
tertuang dalam pasal 24B Undang- Undang Dasar 1945. 25
Secara umum, paling tidak terdapat 4 (empat) macam
mekanisme rekrutmen hakim, seperti apa yang pernah diuraikan oleh
24
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-XI/2013, h.47
25 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-XI/2013, h.47
69
Tom Ginsburg dan Aharon Barak yaitu26
: (1) appointment by political
institutions; (2) appointment by the judiciary itself; (3) appointment by a
judicial council (which may include nonjudge members); dan (4) selection
through an electoral system
Perubahan pola rekrutmen Hakim Agung, yang semula
menggunakan perspektif politik (appointment by political institutions),
kini berubah dengan melibatkan komisi yudisial (appointment by a
judicial council) dituangkan dalam amandemen UUD 1945. Hal demikian
didasari pada paradigma kekuasaan kehakiman dalam memandang
dinamika yang terjadi di berbagai negara. Sebagaimana diamini oleh
Saldi Isra, melalui salah satu keterangan ahlinya, Saldi mengungkapkan,
bahwa pola rekrutmen yang didasarkan pada lembaga politik merupakan
pola klasik yang sudah mulai banyak ditinggalkan oleh berbagai negara.
Lebih lanjut Saldi menggunakan analisa Harold W Chase yang
menguraikan bahwa hakim di negara ini (Amerika) sarat dengan
kepentingan politik. Dengan proses yang dilakukan berdasarkan kemauan
politik, Chase menilai bahwa bila Presiden merupakan politikus yang
baik, maka tentu saja hakim yang dihasilkan berpeluang besar menjadi
hakim yang baik. Sulit bagi seorang Presiden yang berasal dari Partai
Demokrat untuk memilih calon hakim yang baik namun merupakan
pendukung Partai Republik (yang notabene-nya adalah pesaing Partai
Demokrat).
Model tersebut membuat Amerika bermasalah dalam proses
seleksi Hakim Agung. Karenanya, konsepsi rekrutmen hakim Agung di
Amerika ditindaklanjuti dengan melakukan sejumlah langkah perbaikan
dengan melibatkan banyak pihak. Tidak hanya melibatkan anggota
parlemen (anggota senat dan anggota House of Representative), perbaikan
26 Tom Ginsburg, Judicial Appointments and Judicial Independence,...h.1, diakses pada
laman www.constitutionmaking.org./files/judicial_appointments.pdf , dan Aharon Barak, The
Judge in a Democracy, Princeton University Press,( New Jersey, 2006) h. 78,
70
proses seleksi hakim juga melibatkan Gubernur Negara bagian, peradilan-
peradilan, bahkan juga warga negara setiap negara bagian ikut aktif
mengkaji tentang perbaikan sisitem seleksi hakim. Dengan gagasan
utamanya adalah menjauhkan proses seleksi hakim dari banyak
kepentingan politik. 27
Secara normatif, pola rekrutmen Hakim Agung dewasa ini
bersumber dari ketentuan pasal 24A ayat (3) dan 24B ayat (1) yang
mendeskripsikan bahwa, calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden.
Lebih lanjut, ketentuan tersebut dianulir dalam Pasal 8 ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang No. 03 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung yang mana secara spesifik memberikan ketentuan
sebagai berikut:
a. Hakim agung ditetapkan oleh Presiden dari nama calon yang
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan
oleh Komisi Yudisial.
c. Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk
setiap lowongan.
d. Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung
sejak tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketentuan demikian kemudian disandingkan dengan pasal 13 dan
14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, yang
berbunyi:
27
Perbaikan mengenai upaya rekrutmen hakim di Amerika, sampai saat ini masih
menjadi diskursus yang intens, dengan melibatkan berbagai komponen lembaga negara dalam
rangka meminimalisir pengaruh politik http://www.judicialselection.us/
71
Pasal 13
Komisi Yudisial mempunyai wewenang :
a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim;
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim.
Pasal 14
Dalam rangka melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
1. melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3. menetapkan calon Hakim Agung; dan
4. d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Dari kedua instrumen undang-undang tersebut, secara normatif
nampak berkesesuaian dengan konteks pasal 24A dan 24B UUD 1945
yang melibatkan tiga komponen (KY, DPR, Presiden). Namun nyatanya
secara praktik terdapat indikasi pencederaan terhadap prinsip
independensi peradilan melalui jalur rekrutmen Hakim Agung.
Pencederaan tersebut, nampak dari bifurkasi norma "dipilih"
yang tertuang dalam bunyi pasal 8 ayat 2 undang-undang MA. Sebab,
implikasi dari bunyi norma tersebut, justru memberikan legitimasi kepada
DPR untuk membuka ruang pengajuan calon Hakim Agung selain calon
yang diajukan oleh Komisi Yudisial.28
Maka melalui Putusan MK No.27/PUU-XI/2013 ketentua a quo
dinyatakan secara inkonstitusional bersyarat (conditionally
inconstitutional) sepanjang frasa "dipilih" harus dimaknai sebagai
28 Keterangan Ahli Saldi Isra dalam sidang pengujian norma Undang-Undang No 3
Tahun 2009 dan Undang-Undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial. Lihat Salinan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013
72
"disetujui." Hal demikian tiada lain, sebagai upaya mendukung tesis dari
lahirnya Komisi Yudisial di berbagai negara, yaitu dalam rangka
meminimalisir pengaruh politik dalam kelangsungan kekuasaan
kehakiman.29
b) Mahkamah Konstitusi
Kelahiran peradilan konstitusi di berbagai negara nampaknya
masih menjadi hal yang dilematis. Sebab, masih ada negara di dunia ini
yang menempatkan sengketa norma dalam satu institusi peradilan yang
sama seperti halnya di Amerika Serikat, dimana Mahkamah Agung
(Supreme Court) memiliki kewenangan untuk menyatakan keabsahan
(konstitusionalitas) norma undang-undang yang berlaku, sehingga dalam
meninjau konsep rekrutmen hakim di Amerika, didasari pada rekrutmen
Hakim Agung pada umumnya.30
Dalam praktik negara-negara di dunia ini, pengisian jabatan hakim
konstitusi dapat diklasifikasikan melalui 5 cara pengisian jabatan (judicial
appointment) berupa31
:
1. Seleksi dilakukan oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam
hal ini, pengusulan diajukan oleh eksekutif (presiden) namun
dibutuhkan persetujuan legislatif melalui mekanisme
konfirmasi.
2. Seleksi dilakukan oleh legislatif. Di sini, legislatif sepenuhnya
bertanggungjawab dalam proses pemilihan para hakim. Dalam
29
Perdebatan mengenai kewenangan DPR bersama Komisi Yudisial dalam
melangsungkan rekrutmen Hakim Agung (Judicial Appoinment) dimana DPR dapat mengajukan
calonnya sendiri disamping calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial. Lebih lengkapnya lihat
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-XI/2013, h.50
30 I Dewa Gede Palguna, "Pengisian Jabatan Hakim Konstitusi," makalah dipresentasikan
pada Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-2, yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat
Studi Konstitusi (PUSaKo) Fakultas Hukum Universitas Andalas dengan Tahir Faoundation,
Padang 12 September 2015
31 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, Kewenangan dan
Perbandingan dengan Negara Lain,...,h.82.
73
proses ini pun dilakukan dengar pendapat kepada kandidat
hakim, guna menghindari calon-calon yang lolos seleksi
hanyalah mereka yang didominasi oleh partai yang menguasai
suara mayoritas di parlemen.
3. Seleksi dilakukan oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Ketiga cabang kekuasaan negara ini diberikan kekuasaan untuk
mengusulkan calon hakim dengan kuota tertentu. Cara ini,
antara lain, diterapkan di Italia, Korea Selatan, Indonesia.
4. Seleksi yang dilakukan oleh suatu komisi khusus. Cara ini
antara lain diterapkan oleh negara Afrika Selatan dan Thailand.
5. Penunjukan oleh eksekutif. Dalam hal ini, penunjukan
sepenuhnya berada di tangan eksekutif.
Dari berbagai model rekrutmen hakim konstitusi tersebut, praktik
yang diselenggarakan di Indonesia, nyatanya menggunakan pola split and
quote yang masing-masing diajukan melalui seleksi dari tiga cabang
kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Hal demikian
bermuara dari konsepsi amandemen UUD 1945 tepatnya pada pasal 24C
ayat (3). Yang selanjutnya secara atribusi dituangkan dalam Undang-
Undang No. 08 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, tepatnya pada pasal 18 yang
berbunyi:
Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang
oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga)
orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
Ketentuan demikian secara normatif difahami oleh berbagai
lembaga pengusung untuk memilih calon-calon hakim konstitusi
berdasarkan pilihan politiknya, sebab nyatanya hingga saat ini, belum ada
ketentuan yang seragam dalam rangka menciptakan standaritas serta
kualifikasi sistem rekrutmen hakim konstitusi.
74
Lebih dari itu, dalam tataran implementasinya, lembaga
pengusung, baik DPR, Presiden maupun Mahkamah Agung sering merubah
tata cara pemilihan dan rekrutmen hakim. Sebagai contoh, dalam hal
Mahkamah Agung sebagai lembaga pengusung, maka dibentuk panitia
seleksi oleh Pimpinan Mahkamah Agung yang diketuai oleh salah satu
hakim agung. Mahkamah Agung melalui pengumuman panitia seleksi
nomor 02/Pansel/H-MK/IX/2014 tanggal 18 September 2014, yang
membuka pendaftaran calon hakim konstitusi dari unsur Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Berbeda dengan tahun 2014, pada tahun 2016 saat salah
satu hakim konstitusi yang berasal dari Mahkamah Agung akan mengakhiri
masa jabatannya, Mahkamah Agung langsung melakukan perpanjangan
masa jabatan hakim yang bersangkutan tanpa membentuk panitia seleksi
ataupun pengumuman tentang pendaftaran calon hakim konstitusi dari unsur
Mahkamah Agung. Menurut pimpinan Mahkamah Agung, hakim konstitusi
yang bersangkutan dipilih kembali untuk periode kedua setelah memantau
kinerjanya serta melakukan uji kepatutan dan kelayakan. Begitu pula yang
terjadi di ranah eksekutif, rekrutmen hakim konstitusi justru dilakukan
berdasarkan penunjukan oleh Presiden. Sebagai contoh penunjukan Presiden
dalam seleksi hakim konstitusi dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 87/P Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013 tentang pemberhentian
dengan hormat dari jabatan Hakim Konstitusi, masing-masing atas nama 1.
Prof. DR. Maria Farida Indrati, SH., MH; 2. Prof. DR. Achmad Sodiki, SH.,
MH dan pengangkatan dalam jabatan Hakim Konstitusi Prof. DR. Maria
Farida Indrati, SH., MH dan DR. Patrialis Akbar, SH.,MH. Kemudian pada
tahun 2014, Presiden menggunakan panitia seleksi dalam menentukan
hakim konstitusi dari unsur Presiden. Pembentukan panitia seleksi
ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang
Pembentukan Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi yang Diajukan oleh
Presiden. Sementara itu, proses seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon
hakim konstitusi di DPR RI diselenggarakan oleh Komisi III melalui
pembentukan panitia seleksi.masa awal berdirinya Mahkamah Konstitusi,
75
pergantian hakim konstitusi dari tubuh eksekutif, dilakukan melalui
mekanisme penunjukan oleh Presiden. 32
Mekanisme pengangkatan hakim konstitusi melalui panitia khusus
pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013, yang menyatakan bahwa calon hakim konstitusi dipilih melalui uji
kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli. Mahkamah
Agung, DPR, dan Presiden mengajukan calon hakim konstitusi kepada Panel
Ahli masing-masing paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi
yang dibutuhkan untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan. Panel Ahli
menyampaikan calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan
dan kepatutan sesuai dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan
ditambah 1 (satu) orang kepada Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden.
Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 menyatakan Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas
UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
bertentangan dengan UUD 1945.33
Dalam salah satu pertimbangan
hukumnya (ratio legis), Mahkamah Konstitusi menyatakan, pengajuan calon
hakim konstitusi melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial
telah mereduksi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung, DPR, dan
Presiden. Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 memberikan kewenangan
atributif yang bersifat mutlak kepada masing-masing lembaga negara untuk
mengajukan calon hakim konstitusi, oleh karena itu dengan adanya Panel
Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk memilih hakim konstitusi
32 Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Mahkamah Konstitusi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia 2017, h. 42-43
33 Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Mahkamah Konstitusi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia 2017, h. 42-43
76
bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 juga bertentangan
dengan filosofi yang mendasari perlunya hakim konstitusi dipilih oleh
lembaga negara yang berbeda.34
B. Masa Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi
Sebagaimana telah disinggung dalam pebukaan bab ini, konstruksi
konstitusi pasca amandemen, telah menempatkan MA dan MK sebagai
puncak kekuasaan kehakiman. Dimana masa jabatan keduanya sama-sama
tidak secara tersurat dicantumkan di dalam Konstitusi, melainkan diatur dalam
undang-undang tersendiri. Kendati demikian, masa jabatan keduanya secara
legal policy35
di desain oleh pembentuk undang-undang dengan ketentuan
yang berbeda.
Mengenai Masa jabatan Hakim MARI, secara normatif tidak dibentuk
dalam skema periodesasi, melainkan produktifitas umur, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 03 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 11 huruf b :
Ketua, wakil ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, dan
hakim agung diberhentikan dengan terhormat dari jabatannya oleh
Presiden atas usul Mahkamah Agung karena:
a. Meninggal dunia;
b. Telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; c. Atas permintaan sendiri secara tertulis;
d. Sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter atau;
e. Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
34 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014
35 Legal policy merupakan kebijakan pemebentuk undang-undang untuk merumuskan
ketentuan norma dalam undang-undang, hal demikian dinisbatkan pada lembaga pembentuk
undang-undang (DPR dan Presiden) sebagai konsekuensi atas dikotomi positif legislator dan
Negatif legislator dalam doktrin triaspolitika pasca lahirnya konsep Judicial review dalam
pengawasan norma sebagai upaya penyelamatan atas nilai nilai demokrasi yang merujuk pada
konsep konstitusi. Lihat Alec Stone Sweet, "Constitutional Courts and Parlementary Democracy"
(Special Issue on Delegation), West European Politics, Vol. 15, No. 1 (January 2002), Frank Cass:
London, h.78-79
77
Adapun periodesasi masa jabatan, hanya dinisbatkan kepada Ketua
dan wakil Ketua serta Ketua Muda Mahkmah Agung, yang masing-masing
memegang jabatan selama lima tahun, sebagaimana tertuang dalam undang
undang Nomor 5 tahun 2004 tentang perubahan undang-undang Nomor 14
tahun 1985 pasal 5 :
(7). Masa jabatan ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah
Agung selama 5 (lima) tahun.
Pola demikian justru berbeda dengan masa jabatan yang ada di
Mahkamah Konstitusi, dimana hakim konstitusi hanya memiliki masa jabatan
5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Hal
demikian tertuang jelas dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas UU No.24 Tahun 2003 tentang MK Dalam Pasal 22 yang
menyebutkan:
"masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat
dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya."
Adapun mengenai ketua dan wakil ketua, hanya memiliki masa
jabatan dua tahun enam bulan. Sebagaimana tertuang dalam undang-undang
nomor 08 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pasal 4 (empat) yang berbunyi:
(3) ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh
anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6
(enam) bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi
(3a) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang terpilih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Terhadap ketentuan demikian, MKRI memberikan tafsir
konstitusional melalui dua putusannya, Putusan No 53/PUU-XIV/2016 dan
Putusan No 73/PUU-XIV/2016. Dalam ratio decedentie Putusan 53/PUU-
XIV/2016, MKRI berpandangan bahwa disparitas masa jabatan kedua
lembaga tersebut bertentangan dengan berbagai konsep independensi, serta
imparsialitas lembaga peradilan, terlebih mekanisme rekruitmen hakim MKRI
yang didesain didalam UUD 1945 menempatkan lembaga politik sebagai
78
pintu gerbang seleksi hakim konstitusi, sehingga undang-undang seharusnya
meletakkan masa jabatan hakim konstitusi dengan durasi waktu yang lebih
lama.36
Pertimbangan Mahkamah Jelas sejalan dengan apa yang pernah
diungkapkan oleh L.P Jain yang dikutip oleh Susi Dwi Harijianti, dalam upaya
meminimalisir proses politik dalam pengangkatan pejabat dilingkungan
yudikatif, yang selengkapnya Jain mengungkapkan37
:
"The main Purpose underlining the law laid down by the SC in
the matter of opportinity Supreme Court Judges was to minimize
political influence in Judicial appointments as well as to minimize
individual discretion of the constitutional functionaries invocked in
the process of appoinment of the Supreme Court. The entire process
making appointment to high judicial offices is sought to be made more
transparent so as the ensure that neither political bias nor personal
favoritism nor animosity play any part in the appointment of judges."
Kendati memberikan pandangan yang mendukung permohonan
pemohon, namun Mahkamah, tidak mengabulkan permohonan pemohon
dengan alasan bahwa permohonan aquo secara langsung menyentuh
kepentingan pribadi Hakim konstitusi dan dapat mencederai asas Nemo Judex
Indenous in propria causa yaitu hakim dilarang memutus perkara yang
bersangkutan dengan dirinya.38
Sehingga, dalam hal ini, mahkamah
berpendapat bahwa hal demikian menjadi kewenangan pembentuk undang-
undang (open legal Policy) agar membuat durasi masa jabatan hakim
konstitusi yang ideal.
36 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XIV/2016, h.97
37 Susi Dwi Harijianti, "Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan
Pengekangan Diri"..., Lihat M.P Jain, Indian Constitutional Law, 5th edition, Wadhwa Publisher
Nagpur, 2006, h. 195-196
38 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XIV/2016, h.97
9;
BAB IV
ANALISIS MASA JABATAN HAKIM KONSTITUSI
A. Problematika Pencalonan dan Pergantian Masa Jabatan Hakim
Konstitusi
Sejak awal berdirinya MKRI, konsepsi masa jabatan hakim konstitusi
didesain menggunakan pola periodisasi dengan jangka waktu lima tahun dan
dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Hal demikian tertuang
dalam pasal 22 undang undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah
dirubah dengan undang-undang Nomor 08 Tahun 2011 tentang Perubahan
undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pola masa jabatan demikian, mengikuti karakteristik kekuasaan
eksekutif yang secara konstitusional tertuang dalam pasal 7 UUD 1945 dengan
masa jabatan selama 5 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali
untuk satu kali masa jabatan. Pembatasan tersebut dituangkan dalam konstitusi
atas legal memorandum yang begitu mendasar, yaitu the power of executive
yang begitu besar dan bahkan tidak dapat dipersamakan dengan lembaga
politik lainnya seperti DPR maupun DPRD maupun DPD.
Dalam dimensi tata negara, presiden memiliki kewenangan penuh
dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, sehingga memang diperlukan
adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan. Dalam konteks
modern ini paling tidak kekuasaan eksekutif dapat diringkas menjadi (a)
Kekuasan diplomatik, yaitu berkaitan dengan hubungan luar negeri; (b)
Kekuasaan administratif, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang
dan administrasi negara; (c) Kekuasan militer, yaitu yang berkaitan dengan
organisasi bersenjata dan pelaksanaan perang; (d) Kekuasaan yudikatif, yaitu
menyangkut memberi pengampunan, penangguhan hukuman dan sebagainya
terhadap narapidana atau pelaku kriminal; dan (e) Kekuasaan legislatif, yaitu
:8
berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang dan ikut serta dalam
mengatur proses pengesahan menjadi undang-undang.1
Bahkan dalam kaitannya antara sesama Jabatan (lembaga) politik2,
masa jabatan presiden tidak dapat dipersamakan dengan masa jabatan anggota
DPR maupun DPRD yang dapat dipilih kembali dalam beberapa periode.3 hal
ini tergambar sangat jelas, manakala konstitusi secara rigid menegaskan masa
jabatan presiden hanya selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu
kali masa jabatan, sedangkan DPR tidak demikian, dan bahkan hanya
didelegasikan ke dalam undang-undang organik yang masa jabatannya dapat
berlangsung lebih dari dua periode. Jika ditelusuri melalui original intens
perbedaan kedua masa jabatan tersebut, paling tidak lahir dalam amandemen
ke1 dan ke-2 tatkala adanya gagasan untuk melahirkan pasal 7 dalam
Konstitusi. Dalam pandangan pembentuk konstitusi amandemen ke-2, semua
fraksi sepakat atas pembatasan masa jabatan presiden didasari pada sejarah
masa kelam pemerintahan yang otoritarian, yang secara praktik membentuk
dinasti dalam fungsional negara sehingga cenderung mempertahankan rezim
yang otoriter. Lahirnya pembatasan masa jabatan eksekutif tersebut didasari
juga pada doktrin yang berkembang dalam negara-negara demokrasi
konstitusional yang muaranya bersumber dari ungkapan politisi dan juga
1 CF Srong, Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative Study to
Their History and Existing Form (Konstitusi-Konstitusi Politik Modern. Kajian tentang Sejarah &
Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia,) Nuansa Media, (Bandung: 2004). H.,35
2 Jabatan Politik adalah jabatan yang diperoleh melalui mekanisme pemilihan langsung,
maupun jabatan yang diperoleh beradasarkan penunjukkan oleh lembaga yang dihasilkan melalui
pemilihan langsung. Lihat Azhari, Mereformasi Birokrasi Indonesia. Studi Perbandingan
Intervensi Pejabat Politik Terhadap Pejabat Birokrasi di Indonesia dan Malaysia, Pustaka Pelajar
(Yogyakarta: 2011), h.,52
3 Salinan Putusan MK No 108/PUU-X/2012, pada halaman 21-22
:8
sejarawan Inggris "Lord Acton" yang mengungkapkan power tends to corupt
and absolute power corupt absolutely. 4
Namun apakah doktrin demikian harus secara mutatis mutandis
berlaku kepada semua masa jabatan lembaga negara. Nyatanya lembaga
parlemen, kendati digolongkan sebagai lembaga publik (electoral public) yang
dipilih oleh rakyat (jabatan politik), namun masa jabatannya hanya dibatasi
oleh undang-undang dengan konsep periodesasi semata tanpa batasan jumlah
periode.
Hal demikian disinyalir bahwa legislatif tidak memiliki kekuasaan
yang absolute layaknya presiden. Bahkan jika dibandingkan dengan kekuasaan
presiden, parlemen cenderung lebih lemah dari eksekutif, sebab secara praktik
kebijakan parlemen hanya bersumber dari kewenangannya berupa legislasi,
kontrol, dan anggaran. Lebih dari itu, jika melihat sejarah lahirnya lembaga
parlemen seperti yang pernah disinggung oleh Jimly Asshiddiqie adalah dalam
rangka mengawasi keberadaan eksekutif sebab eksekutif dinilai merupakan
induk dari kekuasaan itu sendiri.5 Hal demikian tercermin secara jelas mana
kala konstitusi pasca amandemen merampas berbagai kewenangan presiden
untuk dialihkan kedalam struktur kekuasaan negara lainnya termasuk salah
satunya kekuasaan pembentuk undang-undang yang dialihkan ke DPR.
Konstruksi kedua masa jabatan politik di atas jika disandingkan
dengan masa jabatan hakim konstitusi tentu lebih tidak memiliki logika
konstitusi yang mendasar, terlebih jika disandingkan dengan jabatan presiden
yang sudah pasti memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi konstruksi
ketatanegaraan maupun kewenangan jabatannya. Merujuk pada pernyataan
4 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman,..., h.472-500
5 Jimly Ashidqy, Hukum Tata Ngara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press,
Jakarta:2005, h.,30-33
:8
Alexander Hamilton dalam membandingkan cabang kekuasaan negara ia
mengatakan6:
"In a government in which they are separated from each other,
the judicial, from the nature of its function, will always be the least
dangerous it will be least in a capacity to annoy or injure them. The
Executive not only dispenses the honors, but holds the sword of the
community. The legislature not only commands the purse, but
prescribes the rules by which the duties and rights of every citizen are
to be regulated. The judiciary, on the contrary, has no influence over
either the sword or the purse; no direction either of the strength or of
the wealth of the society; and can take no active resolution whatever.
It may truly be said to have neither FORCE nor WILL, but merely
judgment; and must ultimately depend upon the aid of the executive
arm even for the efficacy of its judgment.7"
Pernyataan Hamilton, kiranya menjadi pertimbangan berbagai pihak
dalam melihat eksistensi kekuasaan kehakiman di berbagai negara yang
memang terkadang berada di posisi yang rentan untuk diintervensi dan minim
akan alat kekuasaan, sehingga dalam konteks masa jabatan tentu tidak dapat
dipersamakan dengan lembaga eksekutif yang menggunakan pola pembatasan
masa jabatan dengan periodesasi. Bahkan secara praktik kekuasaan kehakiman
di indonesia, seharusnya MKRI memiliki persamaan masa jabatan dengan
MARI yang hanya disandingkan pada masa pensiun bukan periodesasi.
Persamaan tersebut didasari bahwa keduanya merupakan puncak
pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka berdasarkan perintah konstitusi.
MARI yang dinisbatkan menjadi Court of Justice sedangkan MKRI
mendapatkan julukan sebagai Court of Law8. Bahkan dalam Tafsir
Konstitutsional dalam putusan No.34\PUU-X\2012 MKRI berpandangan:
6 Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitualisme, Konstitusi Press (Jakarta:2016) h.135
7 Alexander Hamilton, John Jay, Tomas Madison, The Federalis Papers 78, The New
American Library: (New York:1996) h.,356
8 Yuliandri, dalam Hitam Putih Pengadilan Khusus, Pusat Analisis dan Layanan
Informasi Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, Jakarta: 2013 h.64
:8
"bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkup
peradilan umum, peradilan agama, militer dan tata usaha negara, dan
oleh sebuah mahkamah konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut,
lembaga negara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan
lemabaga negara yang setara (equal) yang bebas dan independent dalam
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman"9
Dengan adanya pemberlakuan disparitas masa jabatan keduanya yang
dituangkan ke dalam undang-undang organik justru seakan menabrak prinsip
persamaan di depan hukum. seperti apa yang pernah disampaikan oleh Bagir
Manan bahwa makna persamaan hukum dalam konteks kekuasaan kehakiman
ialah, pertama; segala bentuk yang mengatur dan mengurus kekuasaan
kehakiman harus menjamin, dipenuhi, dan tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip kehakiman yang merdeka. Prinsip-prinsip itu antara lain prinsip
pemisahan kekuasaan kehakiman dan segala bentuk campur tangan lain,
kebebasan hakim dalam memeriksa mengadili dan memutus perkara, jaminan
sistem penggajian atau remunerasi yang tidak tergantung pada cabang
kekuasaan lain, jaminan kekuasaan kehakiman yang imparsial dan fair
termasuk pengaturan masa jabatan hakim yang panjang untuk memberi rasa
aman dan bebas dari keterpaksaan untuk menjaga kelangsungan jabatan dan
berbagai prasangka. kedua, prinsip persamaan bermakna segala bentuk
mengatur dan mengurus kekuasaan kehakiman, harus menjamin perlakuan
yang sama antar berbagai lingkungan kekuasaan kehakiman. Segala bentuk
perbedaan atau inequality dan diskriminasi atas dasar perbedaan lingkungan
peradilan merupakan pelanggaran prinsip persamaan di depan hukum dan
pelanggaran terhadap larangan diskriminasi.10
9 Salinan Putusan MK No 34/PUU-X/2012, Pendapat Mahkamah, h.38
10 Keterangan Ahli Bagir Manan dalam Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
6/PUU-XIV/2016, Keterangan Ahli, h.29
:8
Terlebih, dalam konteks kekuasaan kehakiman yang merdeka, masa
jabatan merupakan salah satu faktor dalam menentukan independensi lembaga
peradilan. Seperti apa yang pernah dikonsepsikan oleh Alexander Hamilton
dalam federalis paper 78 bahwa pengadilan dapat dinilai independen ditinjau
dari 1. Pola pengisian jabatan hakim ( the mode of appointing the judges) 2;
masa jabatan hakim ( the tenure by which they are to hold their places), 3;
pembagian kewenangan lembaga peradilan dalam peradilan yang berbeda, dan
hubungan antara lembaga tersebut (the partition of the judiciary authority
between different court and their relations to each other).11
Pandangan
Hamilton dipertegas oleh Eropean Court of Human Right (ECHR) dalam
sengketa Findlay vs inggris12
dengan menyatakan“regard must be had, inter
alia, to the manner of appointment of its members and their term of office, the
existence of safeguards agains outside pressure and the question of whether it
presents an appearance of independence." Yang kemudian konsepsi tersebut
dituangkan dalam International Comission of Jurists, 2007, dan International
Principles on the Independence and Accountability of Judges, Lawyers, and
Prosecutors, di Jenewa.
Keterkaitan mengenai Konsep periodesasi dan independensi masa
jabatan hakim pernah juga diungkapkan oleh Bagir Manan, dengan mengutip
apa yang diungkapkan oleh Justice O' Connor, seorang Hakim Agung wanita
pertama di Amerika Serikat yang mengatakan apabila hakim dipilih secara
reguler dalam waktu waktu tertentu ada kemungkinan mereka merasa sekurang
kurangnya mempunyai sesuatu yang dipertaruhkan pada setiap putusan yang
dipublikasikan kemudian. Hal demikian pun dipertegas oleh Justice Beverley
Mclachlin Ketua Mahkamah Agung Kanada yang juga seorang wanita pertama
11
Alexander Hamilton, John Jay, Tomas Madison, The Federalis Papers, The New
American Library: New York, No. 78: Hamilton, Dikutip dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 53/PUU-XIV/2016, Pendapat Mahkamah, h.94
12 Findlay adalah seorang mantan (pensiunan) militer yang menganggap dirinya telah
dirugikan atas tindak peradilan militer dalam hal ganti rugi, ia mempertanyakan peradilan militer
yang independen kepada pengadilan HAM eropa pada tahun 1997
:8
yang menjadi ketua Mahkamah Agung di sana. Ia mengungkapkan seandainya
hakim-hakim dapat menekan perasaan ini atau menjauhkan diri dari perbuatan
semacam itu atas hubungan pribadi tersebut. Kepercayaan publik terhadap
kekuasaan kehakiman tetap dapat berkurang, semata mata karena ada
kemungkinan hakim-hakim yang bersangkutan tidak dapat mengelak untuk
tidak bertindak berdasarkan hubungan pribadi tersebut.13
Apa yang dipaparkan oleh Bagir Manan kiranya sejalan dengan
pandangan Ali Syafaat dalam memandang eksistensi masa jabatan Hakim
Konstitusi di Indonesia. Dimana ia justru memulai argumentasi proposisinya
dengan lebih dahulu mendeskripsikan pendekatan rekrutmen terhadap masa
jabatan dewasa ini dengan memberikan ilustrasi terhadap posisi hakim atas
putusan-putusan hakim tersebut yang dikhawatirkan akan menjadi penilaian
dari lembaga pengusul apakah merugikan atau menguntungkan lembaga
pengusul. 14
Lebih dari itu, hakim tertentu (sebagai Ketua) juga akan
menimbulkan persoalan dari sisi etika dan kesantunan jika mengikuti seleksi
lagi pada periode kedua. Apalagi jika hakim tersebut tidak terpilih yang akan
menimbulkan pertanyaan atas kualitas putusan yang telah dibuat. Persoalan-
persoalan ini sudah pernah mengemuka yaitu pada saat seleksi hakim
konstitusi. Jimly Asshiddiqie, oleh DPR untuk periode kedua, dan hakim
konstitusi Hamdan Zoelva yang lebih memilih tidak mengikuti seleksi yang
dilakukan oleh Presiden.15
Hubungan antara masa jabatan dan proses seleksi demikian kiranya
pernah disinggung oleh Lawrence Baum yang mengemukakan bahwa sangat
13
Bagir Manan, Dalam Keterangan Ahli, Lihat Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 6/PUU-XIV/2016, Keterangan Ahli, h.29
14 Ali Syafa'at, "Pengisian dan Masa Jabatan Hakim Konstitusi", h.4, Makalah
disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Perubahan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Jember, di Jember 20-22 Mei
2016.
15 Ali Syafaat, Ali Syafa'at, "Pengisian dan Masa Jabatan Hakim Konstitusi"…, h.4
:8
dimungkinkan independensi peradilan akan tercederai mengingat konsep
pengusulan hakim yang menggunakan pola rekrutmen oleh lembaga politik
serta jaminan masa jabatan yang dapat diperpanjang melalui lembaga yang
sama dapat memungkinkan akan transaksi politik yang lebih pragmatis.16
Apa yang dikatakan oleh Baum tidak sepenuhnya benar dan tidak
sepenuhnya salah sebab jika kita melihat kasus pelanggaran kode etik yang
disinyalir berujung pada transaksi jabatan. kiranya sedikit mendukung apa yang
diungkapkan oleh Baum. Dimana terjadi dugaan pelanggaran etik terhadap
hakim konstitusi Arief Hidayat yang diduga bertemu dengan komisi III DPR RI
dalam rangka memperpanjang masa jabatan hakim bersangkutan, meskipun
terhadap lobi lobi politik tersebut tidak terbukti namun MKMK RI tetap
menyatakan pertemuan tersebut merupakan bagian dari pelanggaran kode etik
hakim MK17
. Hingga akhirnya pasca dilantiknya Hakim Konstitusi Arief
Hidayat sejumlah kalangan menyatakan pertentangannya terhadap hakim
bersangkutan.18
Postulat demikian ternyata juga berimplikasi pada sistem acara MKRI
yang kerap dipertanyakan kredibilitasnya, seperti dalam hal putusan MK No
14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak dimana lamanya persidangan serta
singkatnya masa jabatan MKRI dan belum diaturnya sistem transisi yang
memadai menciptakan kegaduhan berupa pelanggaran terhadap pasal 46
undang-undang No 8 tahun 2011 dimana berbunyi:
"Putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh hakim yang
memeriksa mengadili dan memutus, dan panitera"
16
Lawrence Baum, Judges and Their Audience a Perspektive on Judicial Behavior (New
Jersey: Princaneton University Press, 2006), h.72-73
17 Salinan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor :
18/LAP-V/BAP/DE/2018, diakses melalui laman : https://nasional.tempo.co/read/1073910/arief-
hidayat-buka-suara-soal-pertemuan-dengan-dpr/full&view=ok
18 Diakses pada laman https://nasional.tempo.co/read/1059185/ramai-ramai-profesor-
minta-ketua-mk-arief-hidayat-mundur/full&view=ok
:9
Dalam hal pengujian materil undang-undang pemilu, putusan MK
tersebut justru diperiksa diadili serta diputus dengan hakim yang berbeda.
Dimana Pada saat itu hakim konstitusi Mahfud MD dan Ahmad Sodiki
mengalami masa pensiun serta hakim konstitusi Akil Muktar sedang
menghadapi persoalan hukum dengan KPK.
Kendati permohonan para pemohon sudah berlangsung sejak 10
Januari 2013 dengan format 3 (tiga) hakim tersebut masih sebagai hakim
konstitusi dan sudah memberikan pandangan dalam Rapat Permusyawaratan
Hakim (RPH) pada 26 maret yang secara eksplisit dituangkan dalam putusan,
namun nyatanya dalam putusan yang dibacakan pada 23 Januari 2014 putusan
tersebut ditandatangani oleh hakim baru yaitu hakim konstitusi Patrialis Akbar,
dan Arief Hidayat.19
Problematika periodisasi dalam masa jabatan hakim konstitusi
nyatanya pernah menjadi sorotan dalam pembahasan RUU MK, dimana
diamini oleh tim penyusun nashkah akademik yang dibentuk oleh
KemenkumHam RI pada tahun 2016, bahwa Pilihan pembentuk UU mengatur
masa jabatan 5 (lima) tahunan berpotensi mempengaruhi independensi MK
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman20
. Pengaturan periodisasi masa jabatan
berpotensi terjadinya intervensi atau penyimpangan dalam pengisian kembali
hakim konstitusi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Pengangkatan hakim
konstitusi yang dilakukan Presiden dan DPR, dimana keduanya adalah lembaga
politik, berakibat pada masuknya MK ke dalam ranah politic institutional
environment. Periodisasi masa jabatan lima tahunan dapat mengganggu kinerja
MK dalam menangani dan memutus perkara. Hal ini, dapat terjadi jika pada
19
Lihat Pandangan Berbagai Ahli Hukum Tata Negara Dalam Diskusi Publik Indonesia
Lawyers Club dengan Tema "Pemilu 2014 Sah atau Tidak" yang diselenggarakan pada 28 Januari
2014. Diakses pada https://www.youtube.com/watch?v=ZPWEMtCCwHc&t=7787s
20 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2016. Jakarta:2016. h.51-54
::
saat bersamaan, mayoritas hakim atau bahkan seluruhnya harus menjalani
proses seleksi yang diadakan.
Lebih lanjut, nashkah akademik tersebut juga mempersoalkan antara
kepastian hukum dalam ketidakjelasan antar pasal 22 dan 23. Dalam pasal 22
disebutkan :
Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat
dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Sedangkan dalam pasal 23 disebutkan mengenai alasan pemberhentian dengan
hormat, yang secara normatif berbunyi:
Hakim Konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan:
a. Meninggal dunia;
b. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada
Ketua Mahkamah Konstitusi;
c. Telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun;
d. Telah berakhir masa jabatannya; atau
e. Sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga)
bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan
dengan surat keterangan dokter.
Konstruksi kedua pasal ini, memberikan tafsiran sistematis, bahwa
masa jabatan hakim konstitusi disamping menggunakan konsep periodesasi
juga ternyata menggunakan pola masa pensiun yang mengikuti konsep masa
jabatan Mahkamah Agung21
. Hal demikian tentu dapat dinilai memiliki
ketidakpastian, sebab jika melihat syarat menjadi hakim konstitusi yang
tertuang dalam pasal 15 undang undang Nomor 08 tahun 2011 mencakup
paling rendah adalah 47 tahun dan paling tinggi adalah 65 tahun. Itu artinya
bahwa hakim yang mencalonkan dirinya pada umur 65 tahun dapat dibatasi
oleh ketentuan periodesasi dan juga masa jabatan untuk 1 (satu) kali masa
jabatan (periode). Sedangkan yang memulai karirnya sejak 47 tahun akan
berakhir pada 57 tahun yang hanya dibatasi oleh masa periodisasi. Padahal bisa
21
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2016. Jakarta:2016. h.51-54
:;
jadi bahwa dalam usianya 57 tahun, hakim yang bersangkutan masih memiliki
kesehatan jasmani dan masih berada dalam usia produktif (good behavior).
Kedua konsepsi masa jabatan dalam undang-undang demikian, tentu
memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap masa berakhir jabatan hakim
konstitusi, seperti yang penulis singgung dalam paragraf sebelumnya. Terhadap
problematika ini tentu perlu dipersoalkan rasio legis pembentuk undang-
undang dalam menerapkan dua konsep sekaligus dalam masa jabatan hakim
konstitusi yang menyebabkan konsekuensi ketidak setaraannya masa jabatan
hakim konstitusi dengan hakim agung sebagai puncak pelakuk kekuasaan
kehakiman yang merdeka.
Padahal jika ditinjau dari pembentukan norma, lazimnya dalam
sebuah ketentuan perumusan undang-undang, pembentuk undang-undang
hendaknya melandasi konstruksi norma materil pada apa yang pernah
diungkapkan oleh Van der Vlies yang juga menjadi acuan dalam undang-
undang Nomor 12 tahun 2011, selengkapnya Van der Vlies menyatakan22
:
1. Het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematized
(asas terminologi dan sistematika yang jelas)
2. Het beginsel van de kenbaarheid ( asas dapat dikenali)
3. Het rechtsgelijkheidsbeginsel (asas perlakuan sama dalam hukum)
4. Het beginsel van de individuals rechtbedeling (asas pelaksanaan
hukum sesuai dengan keadaan individual)
B. Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman
1. Jabatan Hakim dan Konsep Periodesasi dalam Konteks Kebijakan
Hukum Terbuka (Open Legal Policy)
Berangkat dari ilustrasi Aharon Barak dalam menggambarkan
eksistensi Jabatan hakim dengan mengungkapkan:
22
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,
Gagasan Pembentukan Undang-Undangan Berkelanjutan, cet ke-3 (Jakarta: Rajawali Pers) 2011,
h.,113. Lihat, I.C Van der Vlies, Het Wetsbegrip en Beginselen van Behoorlijke Regelgeving,
Vuga Uitgeverij B.V,'s-Gravenhage, 1984
;8
"The judge is a product of his times, living in and shaped by a
given society in a given era. The purpose of objectivity is not to
sever the judge from his environment ... A judge does not operate
in a vacuum. A judge is part of society, and society influences the
judges. The judge is influenced by the intellectual movements and
the legal thinking that prevail. A judge is always part of the
people"23
Yang secara tidak langsung mengindahkan apa yang pernah diungkapkan
oleh Donald Horowitz, bahwa jika Konstitusi (Undang-Undang) sebagai
dokumen yang mati, maka Hakim dan Pengadilan Konstitusilah yang
menjadikan Konstitusi sebagai dokumen yang hidup.24
Konstruksi logika yang terbentuk dari kedua aksioma tersebut
menyatakan bahwa eksistensi hakim dan peradilan nyata nyatanya tidak
dapat dipisahkan, meminjam istilah Danang Hardianto, hakim dicirikan
sebagai segumpal daging (hati) dan pengadilan sebagai tubuhnya, yang
apabila hati itu baik, maka baik pulalah tubuh itu dan jika sebaliknya tentu
buruk pulalah tubuh itu.25
Lebih lanjut, dalam konteks negara yang menganut Constitutional
Democracy, Aharon Barak mengilustrasikan bahwa Jantung dari Demokrasi
adalah Kekuasaan Kehakiman yang merdeka (independent).26
Baik negara
yang menganut aliran rule of law maupun rechstaate keduanya
menempatkan Kemerdekaan (independensi) kekuasaan kehakiman sebagai
hal yang mutlak guna menjamin tegaknya hukum dan keadilan.
23
Aharon Barak, The Judge in a Democracy, (Princeton: Princeton University Press,
2006), h.xi
24 Donald Horowitz, "Constitutional Courts: A Primer for Decision Makers" dalam
Journal of Democracy, Volume 17, Number 4. October 2006, h.126
25 Danang Hardianto, "Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah
Konstitusi," Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2 tahun, Juni 2014, h..1
26 Aharon Barak, The Judge in a Democracy, Princeton University Press, (New Jersey,
2006), h.76
;8
Bertalian dengan pandangan Barak, E.C.S Wade dan G. Godfrey
Philips memberikan proposisi terhadap eksistensi nilai-nilai independensi
dalam tubuh kekuasaan kehakiman dengan mengungkapkan: 27
"Independence judiciary is a fundamental requirement for
democracy. Within this understanding is the nation that judicial
independence must first exist in relation to the executive and in
relation to the parties. It must also almost involve independence in
relation to the legislative power, as well as in relation to political,
economic, or social pressure group."
Dari ketiga pandangan ahli hukum tersebut, setidak-tidaknya
terdapat tiga hal yang menjadi perhatian dan harus diatur dengan baik dalam
kaitannya dengan independensi kekuasaan kehakiman mencakup; (a) Sistem
pemilihan dan pengangkatan hakim (the system by which judges are chosen
and appointed); (b) Lama masa jabatan (the terms of their tenure); dan (c)
Mekanisme pemberhentian hakim (the mechanism for deciding whether a
judge should be removed from office.28
Pandangan senada juga pernah diungkapkan Alexander Hamilton
dalam Federalist Paper Nomor 78 bahwa terdapat tiga hal yang harus
diperhatikan dalam pembentukan kekuasaan kehakiman, yaitu: (a) Pola
pengisian jabatan hakim (the mode of appointing the judges); (b) Masa
jabatan hakim (the tenure by which they are to hold their places); (c)
Pembagian kewenangan lembaga peradilan dalam lingkungan pengadilan
yang berbeda, dan hubungan antara lembaga-lembaga tersebut (the partition
of the judiciary authority between different courts, and their relations to
each other).29
27
E.C.S Wade dan G. Godfrey Philips, Constitutional Law: An Outline of The Lawa and
Practice of The Constitution, Including Central and Local Government, the Citizen and the State
and Administrative Law,7th edition, London: Longmans, 1965
28 J. van Zyl Smith, The Appointment, Tenure and Removal of Judges under
Commonwealth Principles: A Compendium and Analysis of Best Practice, the British Institute of
International and Comparative Law, London, 2015, hlm. xxv
29 Alexander Hamilton, The Federalist Papers Number 78, www.constitution.org
diunduh pada tanggal 12 Februari 2019
;8
Secara praktik, masa jabatan hakim dari berbagai negara seperti
Amerika, Kanada, Belanda dan Prancis serta negara negara lainnya, justru
menyatakan masa jabatan hakim adalah during good behavior atau selama
tingkah laku baik30
bahkan di Belanda guna menjamin ketidak bergantungan
dan ketidak berpihakan (independensi) Kekuasaan Kehakiman terhadap
lembaga lembaga negara lain, diciptakan ketentuan anggota kekuasaan
kehakiman yang ditugaskan pada pengadilan dan Jaksa pada Mahkamah
Agung diangkat untuk seumur hidup melalui penetapan raja.31
Rasio Legis demikian mendapat tanggapan yang positif dari O.
Hood Phillips, yang secara responsif memberika komentar “The impartiality
of the judiciary recognised as an important, if not the most important
element” yang Secara sederhana memberikan pesan, bahwa
ketidakberpihakan atau impartiality itu sendiri mengandung makna
dibutuhkannya hakim yang tidak saja berkerja secara imparsial (to be
impartial), tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial (to appear to the
impartial). 32
Legal momerandum demikian ternyata juga dituangkan dalam
konsensus internasional tepatnya pada article 8 The Universal Charter of
The Judge, dalam Central Council of the International Association of Judges
in Taipei (Taiwan) pada 17 November 1999.
"A judge must be appointed for life or for such other period and
conditions, that the judicial independence is not endangered."33
30
Saikrishna Prakash & Steven D. Smith, "How To Remove a Federal Judge" Archived at
the Wayback Machine, 116 Yale L.J. 72 (2006). Lihat Keterangan Ahli Bagir manan dalam
Salinan Putusan MK No 6\PUU-XIV\2016, h.30
31 Philips M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, 1989; h., 496-497
32 Ofer Raban, Modern Legal Theory and Judicial Impartiality, 2003, hlm.1, dalam
naskah akademik Undang-undang MK 2016
33 The Universal Charter of The Judge, Central Council of the International Association
of Judges in Taipei
;8
Konsensus internasional tersebut justru lebih menekankan pada
independensi personal dengan menegaskan masa jabatan hakim agar
ditentukan selama jangka waktu yang panjang atau paling tidak mencegah
potensi akan gangguan independensi hakim.
Keberadaan Post factum tersebut dapat ditelaah kritis dari berbagai
aspek, salah satunya melalui hakikat profesi hakim itu sendiri dan
kedudukannya dalam hukum tata negara yang digolongkan sebagai pejabat
karir atau pejabat politik.
Dalam tradisi Anglo Saxon, menurut John Henry Merryman yang
dikutip oleh Susi Dwi Harijanti mengungkapkan bahwa posisi hakim
dipandang sebagai „a culture hero’, bahkan acapkali dikatakan sebagai figur
seorang ayah. Tradisi hukum di Anglo Saxon dibangun dan dikembangkan
dari tangan hakim. Oleh karena itu, di negara-negara yang menganut tradisi
ini, menjadikan hakim sebagai figur yang lebih dikenal dibandingkan
dengan pembuat undang-undang. misalnya Sejumlah nama hakim yang
fenomenal sepeti Sir Edward Coke, John Marshall, Oliver Wendell Holmes,
dan Benjamin N. Cardozo.34
Tradisi Demikian juga tidak jauh berbeda dengan tradisi yang
dikembangkan dalam dimensi hukum islam, yang menempatkan hakim
sebagai posisi penentu hukum. hal demikian dapat tercermin dari salah satu
prinsip (Qaidah) dalam konteks Ijtihad (law Making) :
35حكم الحاكم إزلام و يرفع الخلاف
https://www.fjc.gov/sites/default/files/2015/Universal%20Charter%20of%20the%20Judg
e.pdf Diakses pada 17 Februari 2019
34 Susi Dwi Harijanti, Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan Pengekangan
Diri, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 4 VOL. 21 OKTOBER 2014: 531 – 558. Lihat John
Henry Merryman, The Civil Law Tradition, Second Edition, Standford University Press Standford,
California, 1985, hlm. 34
35 Ungkapan ini merupakan Qaidah Fiqh dalam Memutus permasalahan ikhtilaf
(perselisihan) ijtihad atau kebenaran tafsir dalam berijtihad, dipopulerkan oleh Imam Syihabu Ad-
Din Al-Qarafi, yang merupakan ahli dalam bidang qaidah fiqhiyah, bahkan mnurutnya, Qaidah
;8
Ketetapan Hakim menghilangkan perbedaan (pandangan)""
Dalam hal ini, posisi hakim juga komposisikan dari berbagai
kalangan ahli hukum yang menguasai dimensi tafsir, fiqh dan berbagai
keilmuan dalam hukum syariat. Bahkan tercatatat beberapa hakim masyhur
yang juga menjabat dalam beberapa dekade khilafah seperti al imam abu
yusuf, Al imam Mawardi, dan Imam Abu Hanifah.
Begitu sentralnya kedudukan hakim dalam kedua tradisi hukum
demikian, peranan hakim dalam penyelenggaraan negara dan membangun
serta mengembangkan hukum diwujudkan dalam berbagai putusan dan
bentuk penafsiran yang sangat ekstensif, meskipun di samping itu berbagai
peraturan perundang-undangan yang ada, tetap sah dan dipandang sebagai
hukum yang berlaku. Konteks pengisian jabatan hakim dalam tradisi Anglo
Saxon sangat terpengaruh oleh peranan hakim yang demikian. Hakim dalam
sistem ini bukanlah jabatan yang dibangun berdasarkan karir, melainkan
diisi oleh orang-orang yang sudah berpengalaman menjadi jaksa, pengacara,
maupun akademisi dari berbagai institusi, baik swasta maupun pemerintah.
Posisi hakim yang demikian didasari pada pandangan bahwa
Seorang Hakim adalah sosok yang diartikan bahwa ia telah selesai dengan
kebutuhan dirinya sendiri dan selama menjadi Hakim tidak akan terpengaruh
dengan keuntungan materil lainnya. 36
Terlebih dalam konteks pengawasan norma melalui judicial power,
lahirnya peradilan konstitusi sejak awal didesain untuk menegakkan
konsistensi norma sebagaimana diungkapkan oleh Kelsen pada awal
tesisinya dalam membentuk mahkamah konstitusi:
fiqhiyah merupakan tiang dalam dimensi hukum Syariah. Lihat Syihabu Ad-Din Al- Qarafi,
Anwaru Al-buruq fii Anwaai Al-furuq, Tahqiq Ali Jum'ah Cet. 1, Daaru As-Salam, (Mesir:2001),
Cet.jilid 2 h.103
36 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2016. Jakarta:2016. h.51-54
;8
"Tertib hukum adalah suatu sistem norma (a System of norm), yaitu
suatu tertib normatif tentang tingkah laku manusia yang
diekspresikan dalam bentuk keharusan yang tersusun secara
hierarkis (bertingkat) di mana norma yang lebih rendah
memperoleh validitasnya atau keabsahannya dari norma yang lebih
tinggi, demikian seterusnya hingga sampai pada puncak piramida
norma yang disebut norma dasar (groundnorm, basic norm), yaitu
norma yang validitasnya tidak lagi dapat diturunkan dari norma
yang lebih tinggi.37
keberadaan hakim dan Peradilan Konstitusi dikonstruksikan dalam
rangka menyatukan norma atau menyelaraskan norma baik secara horizontal
maupun vertikal terhadap norma yang mendasar (groundnorm)38
. Menurut
bagir manan pengawasan norma salah satunya diejawentahkan melalui
putusannya yang final dan mengikat (final and binding) atau biasa dikenal
dengan asas erga omnes. Dalam hal ini, konstitusi yang dilaksanakan
dengan dibalut konsep presedent dapat menjadi pendukung dari fungsi
Mahkamah Konstitusi sebagai penjamin kesatuan tafsir atau kesatuan makna
asas dan kaidan hukum agar berjalan dengan konsisten.39
Bahkan di negara Austria, yang diasosiasikan sebagai peradilan
konstitusi pertama di dunia justru menegaskan peranannya dalam
menkonsistensikan norma dengan menempatkan masa jabatan hakim
37
I D G Palguna, Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, kewenangan dan
Perbandingan di Berbagai Negara, h.141-142. Lihat Hans Kelsen, General Theory of State
(translated by Anders Wedberg) Russel & Russel: New York h., 30
38 Baik praktik yang diciptakan dari John Marshal maupun Gagasa Hans Kelsen dan Karl
Renner di Austria lahir dari pandangan bahwa konsisitensi norma peraturan yang lebih rendah
hanya dapat dilangsungkan melalui instrument peradilan. Lihat I D G Palguna, Mahkamah
Konstitusi, Dasar Pemikiran, kewenangan dan Perbandingan di Berbagai Negara, …h.140
39 Lihat Putusan MK Nomor 73/PUU-XIV/2016, dalam pendapat ahli pemohon yakni
Bagir Manan, hlm. 24
;8
konstitusi hingga umur 70 tahun.40
Ketentuan masa jabatan kekuasaan
kehakiman demikian lazim dikenal di berbagai negara, salah satunya adalah
indonesia dalam hal Mahkamah Agung, yang sampai saat ini masih
menjadikan standaritas produktif hakim hingga berumur 70 tahun.41
Sayangnya praktik yang terjadi di Austria ini, tidak menjadi
pertimbangan di MKRI yang hanya berlaku pada MARI, sebab justru
Indonesia kendati menempatkan masa jabatan hakim konstitusi sebagai
pejabat publik atau penyelenggara Negara, namun konstruksinya seakan
dibuat seperti masa jabatan Presiden dan Bahkan hampir mirip dengan
Hakim Ad Hoc, yang artinya hanya periodik tertentu, pola jabatan demikian
dapat dimaklumi, karena gagasan awal pembentukan MKRI Indonesia
didasari atas motivasi para elit politik untuk memiliki lembaga yang dapat
menyelesaikan konflik politik dan hukum di masa mendatang
(judicialization of politics).42
Akibatnya, berbagai hakim konstitusi dilahirkan melalui pemilihan
yang bernuansa politis, dan terikat pada masa jabatannya yang singkat harus
sesekali mempertimbangkan putusannya berdasarkan lembaga pengusung
jika hendak memperpanjang masa jabatannya untuk periode kedua. Hal
demikian tentu menjadi pertimbangan yang serius untuk menelaah kembali
terkait independensi lembaga peradilan yang diakibatkan oleh Kebijakan
40
I D G Palguna, Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, Kewenangan dan
Perbandingan di Berbagai Negara,…, h.24. Lihat Konstitusi Negara Austria (Oktroyierte
Stadionverfassung) pasal147 ayat 6 Bab Mahkamah Konstitusi (Bundsverfassungsgerichthof)
41 Pasal 11 Salinan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
42 Pan Mohammad Faiz, „‟MK dan Konsolidasi Demokrasi Di Indonesia‟‟ di Akses pada
2 Maret 2019 dalam https://panmohamadfaiz.com/2014/05/05/mk-dan-konsolidasi-demokrasi-di-
indonesia/ . hal ini sejalan dengan pandangan berbagai ahli hukum dalam memandang eksistensi
Peradilan Konstitusi di Berbagai Negara, seperti Vicki C Jackson dengan memberi istilah
juridification of politics
;9
hukum terbuka (open legal policy) yang diatur dalam undang-undang
organik.
Lebih dari itu, konsistensi putusan akibat pergantian hakim dan
cepatnya periodesasi masa jabatan hakim, kerap menjadi problematika yang
krusial dalam sistem ketatanegaraan. Sebagaimana beberapa putusan yang
bersumber dari bermacam tafsir konstitusional baik Constitusional
Conditionally maupun unconstitutional conditionally yang telah penulis
sampaikan pada awal bab ini cukup menjadi permasalahan tersendiri yang
justru berpotensi dapat menjadikan Mahkamah Terjebak akibat beberapa
putusan yang tidak sesuai dengan tafsir konstitusi yang dibentuk diawal.
2. Jaminan Independensi Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang
Dasar.
Secara historis jabatan hakim di Indonesia dapat ditelaah melalui
undang-undang kolonial Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het
Beleid der Justitie (Reglement tentang Organisasi Kehakiman dan
Kebijaksanaan Peradilan) yang tertera di dalam S. 23/1847 juncto S.
57/1848. Dimana semula hakim dahulu diposisikan untuk memuat prinsip
bahwa, (1) pengangkatan seorang menjadi hakim dilakukan oleh Gubernur
Jenderal setelah lolos memenuhi persyaratan dan seleksi yang dilakukan
sebagaimana ditentukan undang-undang; (2) bahwa hakim adalah seorang
“ambtenaar” (pegawai negeri) yang khusus bertugas untuk melaksanakan
peradilan dalam rangka tujuan menegakkan hukum dan undang-undang; (3)
bahwa sebagai “ambtenaar” (pegawai negeri) di dalam menjalankan
tugasnya berada di bawah pengawasan badan pengadilan tertinggi; (4)
bahwa jabatan hakim tidak boleh dirangkap dengan jabatan lain; bahwa
hakim dapat diperhentikan atas dasar alasan-alasan yang ditentukan dalam
;:
undang-undang; (6) bahwa tidak berlaku asas “hakim diangkat untuk
seumur hidup.43
Paradigma kolonial ini kemudian berlanjut pada masa berlakunya
Konstitusi RIS dibawah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 yang
menjelaskan kedudukan hakim yang tidak jauh berbeda dengan apa yang
ditetapkan dalam Staatsblad (R.O), yaitu: (1) bahwa hakim adalah pegawai
negeri yang memenuhi persyaratanpersyaratan yang ditentukan undang-
undang; (2) bahwa hakim dapat diberhentikan atas dasar yang ditentukan
undang-undang; (3) bahwa hakim bertugas untuk menegakkan hukum dan
undang-undang berdasar pada ketentuan undang-undang; (4) bahwa dalam
menjalankan tugasnya hakim berada di bawah pengawasan Mahkamah
Agung. (5) bahwa tidak berlaku asas “hakim diangkat untuk seumur
hidup.”
Selanjutnya pada masa berlakunya kembali UUD 1945 dan UU
Nomor 19 Tahun 1964, ternyata kedudukan hakim pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan apa yang ditetapkan dalam masa sebelumnya, namun
terdapat beberapa perubahan, diantaranya adalah44
: (1) bahwa tugas hakim
adalah sebagai penegak hukum revolusi di bawah pimpinan Pemimpin
Besar Revolusi yaitu Presiden; (2) bahwa dengan kedudukannya sebagai
demikian, Presiden dapat campur tangan di dalam urusan peradilan yang
dilakukan hakim; (3) bahwa hakim di dalam menjalankan tugasnya, berada
di bawah pengurusan dan pengawasan dua kekuasaan, yaitu kekuasaan
yudikatif yang dilakukan Mahkamah Agung dalam hal pengawasan dalam
bidang teknis, dan kekuasaan eksekutif yaitu oleh departemen yang
43
Soetandyo Wignjosoebroto, Dalam Hitam Putih Pengadilan Khusu, Komisi Yudisial,
… h.118. Lihat, Soetoprawiro, Koerniatmanto, Pemerintahan dan Peradilan di Indonesia (Asal
Usul dan Perkembangannya, PT Citra Aditya Bakti, (Bandung:1994).h 118-122
44 Aidul Fitriciada Azhari, Paradigma Kekuasaan Kehakiman Sebelum dan Sesudah
Reformasi, dalam Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman,… h.38
;;
meliputi pengawasan dan pengaturan organisasi, administrasi dan finansiil
pada para hakim.
Bahwa pada masa pengembalian keberlakuan UUD 1945, lahirlah
TAP MPRS Nomor XIX dan Nomor XX Tahun 1966 serta UU Nomor 19
Tahun 1964. Yang justru menuai kritik dan tuntutan untuk diadakan
pembaharuan terhadapnya, sebab regulasi mengenai jabatan hakim dalam
ketentuan ini justru diragukannya pengadilan yang berjalan baik bila para
hakimnya berkedudukan sebagai pegawai negeri. Hingga pada masa
berlakunya UUD 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 1970, nyatanya keadaan
dan kedudukan serta tugas hakim pada dasarnya sama dengan apa yang
pernah berlaku di bawah Staatsblad (R.O), Konstitusi RIS dan UU Nomor
1 Tahun 1950, UUDS 1950 dan UU Nomor 1 Tahun 1950, serta UUD 1945
dan UU Nomor 19 Tahun 1964, yang pada pokoknya sebagai berikut: (1)
bahwa hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sesuai dengan
syarat dan ketentuan undang-undang; (2) bahwa gaji, tunjangan dan
sebagainya dari hakim sebagai penyelenggara badan peradilan yang
merupakan badan penyelenggara kekuasaan negara diatur secara tersendiri;
(3) bahwa hakim berada di bawah dua macam kekuasaan, yaitu: (a) dalam
bidang organisasi, administrasi dan keuangan di bawah departemen yang
bersangkutan, (b) dalam bidang teknis berada di bawah pengawasan
Mahkamah Agung; (4) bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
di dalam melaksanakan tugasnya harus memperhatikan serta mengamalkan
dan setia kepada Pancasila, UUD 1945, segala undang-undang serta
peraturan-peraturan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.
Dalam kaitannya dengan politik hukum tersebut, Sebastian
Pompe,memberikan tesis bahwa jabatan hakim pada saat itu, merupakan
profesi yang hendak ditundukkan oleh berbagai cabang kekuasaan lainnya
khususnya pemerintah. Hal ini didukung dengan fakta bahwa nyaris selama
40 tahun pemerintah berkuasa, tidak satupun sengkta yang dihadapi
888
pemerintah pernah kalah dalam pertarungan di pengadilan melawan warga
negaranya maupun pihak swasta.45
Pasca reformasi, perkembangan dalam politik hukum kekuasaan
kehakiman dituangkan di dalam amandemen (perubahan) UUD 1945. Pada
Perubahan Ketiga tahun 2001, rumusan tentang Kekuasaan Kehakiman
yang semula hanya terdiri dari dua pasal dan tiga ayat, sekarang pasca
perubahan menjadi lima pasal dan 19 ayat yang terdiri dari Pasal 24, Pasal
24A sampai dengan Pasal 24C, dan Pasal 25 yang diatur dalam Bab IX
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan terhadap rumusan ini mengakibatkan perubahan
terhadap struktur kelembagaan kekuasaan kehakiman dan pergeseran
terhadap fungsi peradilan. Perubahan terhadap struktur kelembagaan
kekuasaan kehakiman dapat dilihat pada bunyi ketentuan Pasal 24 ayat (2)
dan Pasal 24B ayat (1) yang menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (Ketentuan Pasal 24 ayat
(2), dan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. [Pasal 24B ayat (1)]. Kedua rumusan tersebut menjelaskan bahwa
perubahan UUD 1945 telah mengintroduksi dua lembaga baru dalam
struktur kelembagaan kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Yudisial. Selanjutnya mengenai pergeseran terhadap fungsi
peradilan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) yang menegaskan
45
Suparan Marzuki, Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman…,h.13, lihat
Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collaps, yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung,
Yayasan Obor, 2014, hal. 96
888
bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Seiring berlalunya masa reformasi, perhatian terhadap
keberlangsungan kekuasaan kehakiman di indonesia tidak pernah luput dari
perhatian dan kajian yang mendalam dalam rangka meneguhkan sukma
demokrasi. sebab faktor inilah yang menjadi salah satu penentu dalam
menilai apakah transisi tersebut menuju pada masa yang lebih baik
(demokrasi) atau tidak (otoriter). mengutip apa yang pernah disampaikan
,Luu Tien Dung46
:
"The Judiciary ini Pre-Transition regimes was 'dependent' or
compromised' rather than independent. It filed to protect the rule of law
and human right … many transitional countries have have adopted the
principle of separation of powers in the constitutional as a constitutional
guarantee of the independent of the judiciary."
Jika melihat dari konstruksi kekuasaan kehakiman yang merdeka,
paling tidak seperti apa yang hemat penulis sampaikan pada awal sub-bab
ini, bahwa keberadaan konsep periodesasi memiliki potensi yang sangat
menentukan dan mendasar terhadap jalannya Mahkamah Konstitusi sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Hal demikian disebabkan oleh politik hukum yang tidak
berkepastian dan kontinuitas oleh karena berbagai persoalan atas jaminan
independensi tersebut diatur lebih kompleks dalam undang-undang organik
yang secara temporer dapat dirubah oleh pembentuk undang-undang (DPR
dan Presiden). Hal demikian tergambar dari gagasan dalam RUU jabatan
hakim, dimana keberadaan masa jabatan hakim MKRI yang dinilai
bermasalah oleh berbagai kalangan ahli dan putusan MK, justru disikapi
DPR dengan menggagas masa jabatan MARI sesuai dengan masa jabatan
46
Judicial Independent in Transitional Countries. UNDP Democracy Governance
Fellowship Program. 2003. Lihat Putih Hitam Pengadilan Khusus…,h.87
888
MKRI dewasa ini yang hanya 5 tahun dan dapat dipilih untuk satu kali
masa jabatan.47
Kendati berkepastian secara kurun waktu, namun periodesasi
nampaknya memiliki permasahalan tersendiri manakala seorang hakim
hendak memperpanjang masa jabatannya sebab seorang hakim yang hendak
mengikuti proses pencalonan masih berpotensi untuk tidak diloloskan
dalam periode keduanya. Artinya ia hanya memiliki masa jabatan 5 tahun
saja jika ia tidak dipilih oleh lembaga pengusung.
Padahal, jika meninjau lebih teoritis, masa jabatan hakim
merupakan garansi (jaminan) bagi seorang hakim untuk bertindak, bahkan
merupakan salah satu penentu terhadap independensi lembaga peradilan
sebagaimana telah di singgung baik oleh Alexander Hamilton dan juga
tertuang dalam Instrumen Internasional seperti Bangalore Principle maupun
International Association of Judges in Taipei. Bahkan hal demikian menjadi
dasar bagi negara-negara demokrasi lain, untuk memberikan jaminan
perlindungan dan independensi lembaga peradilan yang secara langsung
dimuat dalam konstitusi.
Seperti apa yang pernah disinggung oleh Susi Dwi Harijani, dalam
mengkritisi kedudukan kekuasaan kehakiman dalam konstitusi indonesia
pasca amandemen. Dengan membanding konstitusi vietnam, dimana
terdapat jaminan yang sangat kompleks dalam kekuasaan kehakiman yang
ternyata tidak dimuat dalam konstitusi indonesia. Jaminan terhadap masa
jabatan hakim sebagaimana dijumpai dalam Konstitusi Amerika Serikat,
serta jaminan non-transferability, gaji dan pensiun, dan lain sebagainya
yang tertuang dalam Konstitusi Filipina,
47 Usulan Komisi 3 dari berbagai Fraksi. Lihat:
https://nasional.tempo.co/read/773351/masa-jabatan-hakim-agung-diusulkan-jadi-
lima-tahun/full&view=ok
888
Lebih lanjut, Harijianti mencermati bahwa desain dalam ketentuan
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, tidak secara tegas mencantumkan
ketentuan yang melarang segala bentuk campur tangan terhadap kekuasaan
kehakiman, yang hemat penulis dapat juga bersentuhan dengan masa
jabatan hakim konstitusi sebagai garansi agar tidak diintervensi oleh
lembaga pengusungnya.
Lebih dari itu, penempatan masa jabatan hakim konstitusi di dalam
undang-undang dapat menciptakan permasalahan tersendiri bagi
independensi hakim konstitusi. Sebab, jika disandingkan dalam kasus
pengujian masa jabatan hakim konstitusi baik dalam putusan No 53 dan 97,
mahkamah justru memberikan tafsir konstitusional untuk memberikan
kewenangan kepada pembentuk undang-undang mengenai regulasi masa
jabatan hakim konstitusi. Implikasinya adalah bahwa hakim konstitusi tidak
berwenang untuk mengubah ketentuan masa jabatannya karena secara
langsung bersentuhan dengan pribadi (personalisasi) hakim-hakim
konstitusi. Itu artinya, keberadaan pasal mengenai masa jabatan ini hanya
dapat direvisi melalui legislative review oleh pembentuk undang-undang.
Padahal jika melihat dinamika politik hukum yang ada di DPR
maupun Presiden sebagai pembentuk undang-undang, dapat dicermati
bahwa legal reform yang dilakukan melalui legislative review cenderung
memakan waktu yang lama. Bahkan dapat terhambat akibat agenda politik
yang dimiliki oleh kedua institusi tersebut. Hal ini justru akan selalu
berimplikasi terhadap keberlangsungan kekuasaan kehakiman yang pada
praktiknya tetap menjalankan sistem periodisasi masa jabatan dengan pola
rekrutmen yang rentan terhadap transaksi politik.
Postulat demikian, hemat peneliti, seakan menempatkan
independensi peradilan hanya sebagai tataran normatif dalam konstitusi
semata. Sebab kriteria dalam pengejawantahannya baik dalam undang-
undang organik serta praktik dalam penyelenggaraan regulasi norma yang
secara langsung bersentuhan dengan independensi peradilan dijadikan
888
sebagai second priority dalam agenda bernegara. Padahal kemerdekaan
hakim bukanlah hak bagi hakim ataupun yang diberikan oleh pemerintah, ia
merupakan denyut nadi dari negara hukum yang konstitusional yang secara
langsung harus hadir secara bersamaan dengan hadirnya konsep negara
hukum yang demokratis. "Judicial Independence is a centeral of any
democracy, and is crucial to separation of powers, the rule of law, and human
rights. It is also, however, a component that stands on its own. It is part of any
democractic constitution…"48
48
Aharon Barak, The Judge in a SDemocracy…, h.76
105
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-
undang dalam membentuk skema periodisasi masa jabatan hakim
konstitusi telah menciptakan problematika berupa pencederaan
terhadap konsep independensi kekuasaan kehakiman. Hal ini
dikarenakan penerapan periodesasi secara praktik dapat dikatakan
membuka ruang yang luas bagi lembaga politik untuk melakukan
intervensi ke dalam kekuasaan kehakiman melalui perpanjangan masa
jabatan dalam periode hakim yang kedua jika ia berkenan untuk
mencalonkan kembali dirinya.
2. Konsep ideal masa jabatan hakim konstitusi dapat dikatakan ideal, jika
memiliki jangka waktu yang relatif lebih panjang, dengan
menghilangkan konsep periodesasi. Bahkan hemat peneliti, masa
jabatan hakim konstitusi selazimnya disejajarkan dengan masa jabatan
hakim agung yang hanya disandarkan pada batas usia produktif 70
(tujuh puluh) tahun. Yang artinya jika seorang hakim diangkat mulai
dari umur 47 (empat puluh tujuh) tahun, maka ia memiliki jangka
waktu 23 (dua puluh tiga) tahun untuk menjadi hakim.
B. REKOMENDASI
1. Revisi Undang-Undang No 08 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,
dengan subtansi menghapuskan pola periodisasi masa jabatan hakim
konstitusi yang tertuang dalam pasal 22 Undang Undang Nomor 08
Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
2. Dalam rangka menjauhkan upaya dominasi pengaruh politik dalam
kekuasaan kehakiman, selazimnya masa jabatan hakim konstitusi dan
hakim agung dituangkan dalam konstitusi melalui Amandemen
106
Undang-Undang Dasar 1945 ke-5, terkait dengan Bab Kekuasaan
Kehakiman dengan menjadikan masa jabatan hakim agung dan hakim
konstitusi selama 70 tahun dan diberhentikan dengan hal-hal yang
diatur dalam konstitusi.
701
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Allan, T.R.S, Constitutional Justice, A Liberal Theory of The rule of Law .United
Kingdom: Oxford University Press, 2005.
Al- Qarafi, Syihabu Ad-Din, Anwaru Al-buruq fii Anwaai Al-furuq,Mesir : Daaru
As-Salam,2001.
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
____________, Perkembangan Dan Konsilidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi.Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
____________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2.Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.
____________, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
Attamimi, A. Hamid, S, Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Kebijakan. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia,1993.
Azhari, Aidul Fitriciada, Mereformasi Birokrasi Indonesia. Studi Perbandingan
Intervensi Pejabat Politik Terhadap Pejabat Birokrasi di
Indonesia dan Malaysia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Barak, Aharon, The Judge in a Democracy. New Jersey: Princeton University
Press, 2006.
Baum, Lawrence, Judges and Their Audience a Perspektive on Judicial Behavior.
New Jersey: Princaneton University Press, 2006.
Fadjar, Abdul Mukhtie, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta-
Yogyakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006.
Ferguson, John and Dean McHenry, The American System of Government . New
York-Toronto-London: Mc Graw-Hill Book Company, Inc., 4th
ed., 1965.
Friedrich, Carl Joachim, The Philosophy of Law in Historical Perspective.
Penerjemah Raisul Muttaqien, Filsafat Hukum: Perspektif
Historis. Bandung: Nusamedia, 2004.
701
Ginsburg, Tom, Judicial Reveiw in New Democracies. Constitutional Court in
Asian Cases. New York: Cambride University Press, 2003.
Goldworthy, Jeffery ,the sovereignty of parlement : history and philosophy.
United Kingdom: oxford university Press, 1999.
Garoupa, Nuno dan Tom Ginsburg, Guarding the Guardians,Judicial Councils
and Judicial Independence. Chicago: University of Chicago Law
School, 2008.
Hamilton, Madison, Jay, The Federalist Paper. New York:The New American
Library, 1961.
Hardjon, Philipus M, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta :
Gadjah Mada University, 1989.
Huda, Ni’matul, Ilmu Negara .Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
____________, Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, , 2014.
____________,Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta:
UII Press, 2007.
Ibrahim, Anis, "legislasi dalam perspektif Demokrasi, Analisis interaksi politik
dan Hukum dalam Proses pembentukan peraturan daerah di Jawa
timur" .Semarang: Disertasi Universitas Diponegoro, 2008.
Koopmans,T.,Compendium van Staatsrecht diolah kembali oleh th.
Bellekom,A.W. Heringa, T. Koopmans, dan R.E. de Winter.
Deventer, Kluwer, Achtste druk, 1998.
Kommers, Donald P. ,‘Autonomy versus Accountability’ dalam Peter H. Russel
dan David M. O’Brien (eds), Judicial Independence in the Age of
Democracy: Critical Perspective from around the World
.Charlottesville: University of Virgina Press, 2001.
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, with a new introduction by A.
Javier Trevinno. New Brunswick USA and London (UK):
Transaction Publisher, 2006.
Komisi Yudisial, Putih Hitam Pengadilan Khusus. Jakarta : Pusat Analisis dan
Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, 2013.
____________, Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman. Jakarta :
Pusat Analisis dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Komisi
Yudisial, 2018.
701
Locke, John, Two treatised of governmet,. UK: cambridge university press,1988.
Montesqiueu, De l'esprit des lois, translated by Thomas Negent The Spirits Of
Laws .Ontario: Batoche Books, 1752.
Merryman, John Henry, The Civil Law Tradition. California: Standford University
Press,1985.
Muhadar, Viktimisasi Kejahatan di Bidang Pertanahan. Yogyakarta: LaksBang
PRESSindo , 2006.
Manan, Bagir, ,Politik Perundangan-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi
Liberalisasi Perekonomian.Lampung:Fakultas Hukum Universitas
Lampung, 1996.
McDonald, Lee Cameron,Western Political Theory.California: Pomona Collage,
1968.
MD, Moh. Mahfud Hukum dan Pilar-pilarDemokrasi. Yogyakarta : Gama
Media,1999.
____________, Konstitusi dan Hukum dalam Konroversi Isu. Jakarta: Rajawali
Pers, 2009.
____________, Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009.
Pompe, Sebastian, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional
Collaps. yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan
judul, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. Yayasan Obor,
2014.
Palguna, I Dewa Gede, Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, kewenangan dan
Perbandingan di Berbagai Negara. Jakarta : Konstitusi
Press,2018.
Redi, Ahmad Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta:
Sinar Grafika, 2018.
Rasyid, Abdul, Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya terhadap Ketatanegaraan
RI . Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode, dan Pilihan
Masalah.Surakarta: Muhammadiyah University Press,2002.
____________, Ilmu Hukum: Pencarian pembebasan dan Pencerahan .Surakarta:
Muhammadiah Universitas Press, 2004.
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum. Jakarta:Pradnya Paramita, 1980.
770
Soetoprawiro, Koerniatmanto, Pemerintahan dan Peradilan di Indonesia (Asal
Usul dan Perkembangannya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
,1994.
Sweet, Alec Stone, Governing With Judges: Constitutional Politics in Europe.
New York: Oxford University Pers, 2000.
Secondat, Charles de, Baron de Montesquieu, The Spirit of Laws. Canada:
Batoche Books, 1748/2001.
Strong, C.F, Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative
Study to Their History and Existing Form (Konstitusi-Konstitusi
Politik Modern. Kajian tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk
Konstitusi Dunia. Bandung: Nuansa Media, 2004.
Smith,J. Van Zyl, The Appointment, Tenure and Removal of Judges under
Commonwealth Principles: A Compendium and Analysis of Best
Practice. London: The British Institute of International and
Comparative Law, 2015.
Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan
Kehakiman. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2010.
Ville, C.J. ,Constitutionalism and Separation of Powers. Indianapolis: Liberty
Funds, 1989.
Wade, E.C.S dan G. Godfrey Philips, Constitutional Law: An Outline of The Law
and Practice of The Constitution, Including Central and Local
Government, the Citizen and the State and Administrative Law.
London: Longmans, 1965.
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik.
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta:
Rajawali Pers, 2011.
Zoelva,Hamdan, Mengawal Konstitusi dan Konstitualisme. Jakarta: Konstitusi
Press,2016.
777
JURNAL
Ajie, Radita, Kebijakan Pembentuk Undang-Undang (Open Legal Policy) Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Tafsir
Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.
13, No. 02,(2016)
Harijianti, Susi Dwi, Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan
Pengekangan Diri. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM .
Vol.21,No.4,2014.
____________, Susi Dwi, "Kelemahan Fundamental UUD 1945; Pra dan
Amandemen", Jurnal Ilmu Sosial No. 49 /XXVI/ 2003)
Horowitz, Donald, "Constitutional Courts: A Primer for Decision Makers".
Journal of Democracy. Vol.17,No.4, 2006.
Hardianto, Danang ,Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah
Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Vol.11, No.2, 2014.
Kasim, Ifdhal, “Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ dalam Kajian
Hukum di Indonesia”. Jurnal Wacana, II, 2000.
Mahkamah Konstitusi, Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas
Andalas. "Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di
Mahkamah Konstitusi (dari berfikir hukum Tekstual Menuju
Hukum Progresif)", Jakarta : Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ,2016
Syafa'at, Ali. "Pengisian dan Masa Jabatan Hakim Konstitusi",Seminar dan
Lokakarya Nasional Perubahan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi, 20-22 Mei 2016.
Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model
dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)
.Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 4,2013.
Windarawan, Puguh, pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga; Fenomena
Kekuasaan Ke Arah Constitusional Heavy, Jurnal Konstitusi, Vol
9, No 4.
Wibowo, Mardian, Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum
Terbuka Dalam Pengujian Undang-Undang. Jurnal Konsitusi, Vol
12, No. 02.
771
Wiratman, Herlambang Perdana,” Legisprudence dan Pendekatan Sosio-Legal
dalam Pembentukan Hukum: Konteks Indonesia”, Continuing
Legal Education tentang Kontribusi Teori Legisprudensi dalam
Pembentukan Hukum, 28 November 2012.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
Undang-Undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 08
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 24
Tahun 2003. Naskah Komprehensif, Sekretariat Jenderal MPR
RI, 2008.
PUTUSAN
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 05\PUU-VI\2005
Putusan MK No 108/PUU-X/2012
Putusan MK No 34/PUU-X/2012
Putusan MK Nomor 1/PUU-XI/2013
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 06/PUU-XIV/2016
Putusan Nomor. 33/PUU-XIV/2016
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XIV/2016
771
Putusan MK Nomor 73/PUU-XIV/2016
Salinan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor :
18/LAP-V/BAP/DE/2018
WEBSITE
The Universal Charter of The Judge, Central Council of the International
Association of Judges in Taipei. Akses pada 17 Februrari 2019
dari
https://www.fjc.gov/sites/default/files/2015/Universal%20Charter
%20of%20the%20Judge.pdf .
Pan Mohammad Faiz, ‘’MK dan Konsolidasi Demokrasi Di Indonesia’’ Akses
pada 2 Maret 2019 dari
https://panmohamadfaiz.com/2014/05/05/mk-dan-konsolidasi-
demokrasi-di-indonesia/ .
Pandangan berbagai Ahli Hukum Tata Negara Dalam Diskusi Publik Indonesia
Lawyers Club dengan Tema "Pemilu 2014 Sah atau Tidak" yang
diselenggarakan pada 28 Januari 2014. Akses pada 2 Maret 2019
dari
https://www.youtube.com/watch?v=ZPWEMtCCwHc&t=7787s.
John Adams, A Defence of the Constitutions of Government of the United States
of America (London, 1787). Akses 13 Desember 2018 dari
http://hua.umf.maine.edu/Reading_Revolutions/Adams.html.