Upload
truongdat
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN
BALITA GIZI KURANG DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS CEBONGAN
SKRIPSI
“Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna mencapai Gelar Sarjana Keperawatan”
Oleh :
Lastanto
NIM. ST13045
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
i
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN
BALITA GIZI KURANG DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS CEBONGAN
SKRIPSI
“Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna mencapai Gelar Sarjana Keperawatan”
Oleh :
Lastanto
NIM. ST13045
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Penulis mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, atas
segala rahmat, karunia, hidayah serta petunjuk yang telah dilimpahkan-Nya.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ANALISIS
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN BALITA GIZI
KURANG DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CEBONGAN” sebagai
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan ini dengan lancar.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini,
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna untuk
memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi selanjutnya. Ucapan rasa
terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu
penulis dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini, sehingga dalam kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada yang
terhormat:
1. Dra. Agnes Sri Harti, M. Si selaku Ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta.
2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M. Kep, selaku Ketua Program Studi S1
Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
3. Happy Indri H, S. Kep., Ns., M. Kep.,selaku pembimbing I yang banyak
memberi saran dan petunjuk dalam pembuatan skripsi ini.
4. Anissa Cindy.N.A,S. Kep., Ns., M. Kep., selaku pembimbing II yang
banyak memberi saran dan petunjuk dalam pembuatan skripsi ini.
5. S. Dwi Sulisetyawati S. Kep., Ns., M. Kep, selaku Penguji skripsi yang
telah memberi masukan dan saran.
6. Kepada kedua orang tua penulis, Bapak dan Ibu yang telah mengajarkan
kepada penulis akan arti sebuah perjuangan dalam hidup.
v
7. Kakak - kakakku yang tersayang. Terima kasih atas dukungan yang telah
kalian berikan dalam lembar kehidupan ini.
8. Kepala Puskesmas Cebongan Kota Salatiga yang telah memberikan ijin
lahan untuk melakukan penelitian.
9. Seluruh Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Cebongan yang telah
berpartisipasi dalam penelitian ini.
10. Seluruh rekan - rekan di Puskesmas Cebongan Kota Salatiga yang telah
memberikan dukungan dan kerjasamanya dalam melakukan penelitian.
11. Sahabat seperjuanganku, kelompok V. Semoga kesabaran, ketekukan serta
keyakinan kita tidak sia-sia.
12. Seluruh Dosen dan Staf STIKes Kusuma Husada Surakarta.
13. Seluruh rekan se-angkatan STIKes Kusuma Husada Surakarta.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Yang telah
memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
penyusunan skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga dengan doa, dukungan, dan nasehat
yang telah diberikan, dapat bermanfaat bagi penulis untuk menjadi orang yang
lebih baik, dan semoga dengan disusunnya skripsi ini dapat memberikan manfaat
kepada penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surakarta, 27 Juli 2015
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
SURAT PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
Abstrak xii
Abstrak xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Penelitian 6
1.4 Manfaat Penelitian 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Teori 10
2.2 Keaslian Penelitian 24
2.3 Kerangka Teori 31
2.4 Kerangka Konsep 32
2.5 Hipotesis Penelitian 32
vii
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian 34
3.2 Populasi dan Sampel 35
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian 37
3.4 Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran 37
3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpula Data 40
3.6 Pengolahan dan Analisa Data 41
3.7 Validitas dan Reliabilitas………………………………...…….…44
3.8 Etika Penelitian 47
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Analisis Univariat 48
4.2 Analisis Bivariat 52
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Analisis Univariat 57
5.2 Analisis Bivariat 67
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan 82
6.2 Saran 83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Judul Tabel Halaman
2.1. Pengukuran Status Gizi Balita Berdasarkan Z-Score ..................... 12
2.2. Keaslian Penelitian ......................................................................... 24
3.1. Definisi Operasional ........................................................................ 37
3.2. Kisi-kisi Jawaban Tingkat Pengetahuan. ......................................... 41
3.3. Uji Kai Kuadrat. .............................................................................. 43
4.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Status Pekerjaan ............................ 48
4.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin................................ 49
4.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur ............................................. 49
4.4. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pengetahuan .................... 49
4.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan ....................... 50
4.6. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendapatan ...................... 50
4.7. Distribusi Sampel Berdasarkan Pemberian ASI .............................. 51
4.8. Distribusi Sampel Berdasarkan Pemberian Imunisasi ..................... 51
4.9. Distribusi Sampel Berdasarkan Berat Balita Saat Lahir.................. 51
4.10. Hubungan antara Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Balita
ix
Gizi Kurang di Puskesmas Cebongan Tahun 2015 ........................ 52
4.11. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Kejadian
Balita Gizi Kurang di Puskesmas Cebongan Tahun 2015............. 53
4.12. Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Keluarga Dengan Kejadian
Balita Gizi Kurang di Puskesmas Cebongan Tahun 2015............... 53
4.13. Hubungan Antara Pemberian ASI Dengan Kejadian Balita Gizi
Kurang di Puskesmas Cebongan Tahun 2015 ................................ 54
4.14. Hubungan Antara Kelengkapan Imunisasi Dengan Kejadian Balita
Gizi Kurang di Puskesmas Cebongan Tahun 2015 ........................ 55
4.15. Hubungan Antara Berat Badan Balita Saat Lahir Dengan Kejadian
Balita Gizi Kurang di Puskesmas Cebongan Tahun 2015 .............. 56
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Judul Gambar Halaman
2.1 Kerangka Teori .............................................. 31
2.2 Kerangka Konsep ........................................... 32
3.1 Bagan Desain Korelasi .................................. 34
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran Judul Lampiran
1 Lembar Permohonan Ijin Studi Pendahuluan
2 Lembar Balasan Ijin Studi Pendahuluan
3 Lembar Permohonan Ijin Validitas
4 Lembar Balasan Ijin Validitas
5 Lembar Permohonan Ijin Penelitian
6 Lembar Balasan Ijin Penelitian
7 Lembar Permohonan Menjadi Responden
8 Lembar Persetujuan Responden
9 Kuesioner
10 Lembar Hasil Uji Validitas
11 Lembar Hasil Uji Reliabilitas
12 Hasil Penelitian
13 Hasil Out put SPSS
14 Foto Penelitian
15 Lembar Konsultasi
16 Jadwal Penelitian
xii
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2015
Lastanto
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian
Balita Gizi Kurang Di Wilayah Kerja
Puskesmas Cebongan
Abstrak
Kekurangan gizi dapat memberikan konsekuensi buruk yang tak
terelakkan, dimana manifestasi terburuk dapat menyebabkan kematian. Tujuan
penelitian ini untuk untuk menganalisis hubungan antara faktor resiko terhadap
kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.
Metode penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain Cross
Sectional Study. Teknik sampling menggunakan purposive sampling dengan
jumlah sampel sebanyak 30 balita gizi kurang dan 30 balita gizi baik. Teknik
pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Teknik analisis data
menggunakan analisis chi square.
Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square untuk tingkat
pengetahuan hasil ρ-value (0,021) < 0,05. Tingkat pendidikan ibu dengan hasil ρ-
value (1,000) > 0,05. Tingkat pendapatan keluarga dengan hasil ρ-value (0,010) <
0,05. Pemberian ASI dengan hasil ρ-value (0,038) < 0,05. Kelengkapan imunisasi
dengan hasil ρ-value (-). BBLR dengan hasil ρ-value (0,002) < 0,05.
Kesimpulan penelitian ini adalah Faktor yang mempengaruhi kejadian
balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan adalah tingkat
pengetahuan ibu, tingkat pendapatan keluarga, pemberian ASI, dan BBLR.
Sedangkan tingkat pendidikan ibu dan kelengkapan imunisasi tidak
mempengaruhi secara signifikan terhadap kejadian balita gizi kurang di wilayah
kerja Puskesmas Cebongan.
Bagi tenaga kesehatan diharapkan dapat lebih efektif melakukan
penyuluhan pendidikan kesehatan di posyandu-posyandu kepada ibu hamil dan
ibu yang mempunyai anak balita tentang pemberian asupan gizi.
Kata Kunci : Balita gizi kurang, tingkat pengetahuan ibu, tingkat pendidikan ibu,
tingkat pendapatan keluarga, pemberian ASI, kelengkapan
imunisasi, BBLR.
Daftar Pustaka : 36 (2002-2014)
xiii
BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE
KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA
2015
Lastanto
Analysis of Factors Affecting the Malnutrition Incidence in the Toddlers at
the Working Region of Community Health Center of Cebongan
ABSTRACT
Malnutrition may induce unavoidable bad consequences and even cause
death. The objective of this research is to analyze the correlation between the risk
factors and the malnutrition incidence at the working region of Community Health
Center of Cebongan.
This research used the analytical observational method with the cross-
sectional design. The samples of research consisted of 60 toddlers with
malnutrition and 30 toddlers with a good nutritional status. The data of research
were collected through questionnaire and analyzed by using the Chi-square Test.
The result of the statistical test with the Chi-square test shows that the p-value of
the mothers’ knowledge level was 0.029 which was less than 0.05; the p-value of
the mothers’ education level was 1.000 which was greater than 0.05; the p-value
of the family income was 0.010 which was less than 0.05; the p-value of the
breast milk administration was 0.038 which was less than 0.05; and the p-value of
immunization completeness was absent (-); and the p-value of the newborn low
birth weight was 0.002 which was smaller than 0.05.
The factors which affected the malnutrition incidence in the working
region of Community Health Center of Cebongan were mothers’ knowledge level,
households’ income level, breast milk administration, and infants’ low birth.
Meanwhile, the mothers’ education level and the immunization completeness did
not have a significant effect on the malnutrition incidence at the working region of
Community Health Center of Cebongan.
Thus, health workers are expected to more effectively conduct health
education extensions of nutritional intakes at Integrated Health Posts to
gestational mothers and those with toddlers.
Keywords: toddlers with malnutrition, mothers’ education level, family’s
income level, breast milk administration, immunization
completeness, and newborn low birth weight
References : 36 (2002-2014)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita
kekurangan gizi dan gizi buruk (Notoatmodjo, 2010). Kebutuhan gizi untuk
anak pada awal masa kehidupannya merupakan hal yang sangat penting.
Kekurangan gizi dapat memberikan konsekuensi buruk yang tak terelakkan,
dimana manifestasi terburuk dapat menyebabkan kematian. Menurut
UNICEF (2013) tercatat ratusan juta anak di dunia menderita kekurangan
gizi yang artinya permasalahan ini terjadi dalam populasi yang jumlahnya
sangat besar.
Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RJMN) tahun
2010-2014 menyebutkan bahwa perbaikan status gizi masyarakat
merupakan salah satu prioritas dengan menurunkan prevalensi gizi kurang
menjadi 15% dan prevalensi balita pendek menjadi 32% pada tahun 2014.
Permasalahan gizi juga dimasukan kedalam Millennium Development Goals
(MDGs) dengan tujuan pertama yaitu mengatasi masalah kekurangan gizi,
meningkatkan kesehatan anak dan menekan angka kematian anak dimana
salah satu faktornya disebabkan oleh gizi buruk. Masalah gizi buruk dan
gizi kurang nampaknya belum bisa teratasi dengan baik dalam skala
internasional maupun nasional, tercatat 101 juta anak di dunia dibawah lima
tahun menderita kekurangan gizi (Unicef, 2013).
2
Riset Kesehatan Dasar (2013) menunjukan prevalensi berat badan
kurang pada tahun 2013 di Indonesia adalah 19,6 %, terdiri dari 5,7 %
gizi buruk dan 13,9 % gizi kurang. Angka prevalensi secara nasional jika
dibandingkan pada tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat
meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4
% pada tahun 2007, 4,9 % pada tahun 2010, dan 5,7 % pada tahun 2013.
Hal ini menunjukan bahwa adanya peningkatan jumlah gizi kurang dan
gizi buruk setiap tahunnya dari tahun 2010 hingga 2013 (Litbang Depkes,
2013). Enam belas provinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi berat
badan kurang. Nusa Tenggara Barat memiliki presentase prevalensi
tertinggi melebihi 30%, sedangkan prevalansi gizi kurang dan gizi buruk
di Jawa Tengah meningkat dari 15 % pada tahun 2010 menjadi 17,5 %
pada 2013 (UNICEF Indonesia, 2013). Untuk mencapai target sasaran
MDGs pada tahun 2015 harus diturunkan menjadi 15,5 %.
Permasalahan kekurangan gizi mikro seperti kurang vitamin A
(KVA), anemia gizi pada balita, serta kekurangan yodium sudah dapat
dikendalikan, sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan di
masyarakat (DINKES Prov Jateng, 2013). Tingkat status gizi optimal akan
tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Namun demikian,
perlu diketahui bahwa keadaan gizi seseorang dalam suatu masa bukan
saja ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada saat itu saja, tetapi lebih
banyak ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada masa yang telah lampau,
bahkan jauh sebelum masa itu. Ini berarti bahwa konsumsi zat gizi masa
3
kanak-kanak memberi andil terhadap status gizi setelah dewasa (DINKES
Prov Jateng, 2013).
Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya angka gizi buruk
dan gizi kurang, antara lain faktor kemiskinan, pendidikan dan
pengetahuan orang tua, pola asuh orang tua, makanan pendamping, infeksi
dan penyakit penyerta seperti HIV/aids, kondisi psikologi anak, keamanan
negara, terbatasnya fasilitas kesehatan, tidak diberikannya ASI ekslusif,
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), nutrisi pada masa kehamilan ( Jamra &
Bankar, 2013; Pei, Ren & Yan, 2013; Ghazi, Musta, Isa & Mohhamed,
2011; McDonald, Kupka, Manji, Okuma, Bosch, Aboud, 2012; Kumar &
Singh, 2013).
Dampak kekurangan gizi sangat kompleks, anak dapat mengalami
gangguan pada perkembangan mental, sosial, kognitif dan pertumbuhan
yaitu berupa keidakmatangan fungsi organ, dimana manifestasinya dapat
berupa kekebalan tubuh yang rendah yang menyebabkan kerentanan
terhadap penyakit penyakit seperti infeksi saluran pernafasan, diare,
demam. (Supartini.Y, 2004; Feinstorm, Uauy & Arroyo, 2005; World
Food Progam, 2007). Permasalahan gizi kurang dan gizi buruk merupakan
permasalahan yang multikompleks. Dalam usaha pemutusan rantai
kekurangan gizi ini tentunya dibutuhkan pemetaan yang tepat untuk dapat
mengetahui permasalahan utama yang menyebabkan terjadinya gizi
kurang dan gizi buruk.
4
Setiap daerah tentunya memiliki penyebab potensial gizi buruk
dan gizi kurang yang berbeda-beda, sehingga penting untuk mengetahui
permasalahan utamanya. Pemerintah dalam usahanya memerangi gizi
buruk dan gizi kurang sudah cukup baik. Pemerintah sudah melakukan
banyak progam untuk menekan angka gizi buruk maupun gizi kurang,
antara lain melalui revitalisasi Posyandu dalam meningkatkan cakupan
penimbangan balita, penyuluhan dan pendampingan, Pemberian Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI) atau Pemberian Makanan Tambahan (PMT),
peningkatan akses dan pelayanan kesehatan gratis, penanggulangan
penyakit menular dan pemberdayaan masyarakat melalui keluarga sadar
gizi (Kadarzi), tetapi angka gizi kurang dan gizi buruk masih tetap ada
(Kemenkes, 2012).
Puskesmas Cebongan merupakan salah satu Puskesmas yang
berada di daerah cekungan kaki gunung Merbabu, berbatasan dengan
kabupaten Semarang yang terletak di kecamatan Argomulyo, Kota
Salatiga. Puskesmas Cebongan memiliki 3 wilayah kerja yaitu Kelurahan
Cebongan, Kelurahan Ledok, dan Kelurahan Noborejo dengan mayoritas
penduduk bekerja sebagai buruh industri dan latar belakang pendidikan
SD. Adanya fasilitas kesehatan gratis, dan progam pemerintah seperti
pemberian susu gratis, Posyandu, imunisasi, pendidikan kesehatan,
pengobatan gratis, pemberian makanan tambahan (PMT), Makanan
Pendamping ASI (MPASI) seharusnya menjadikan Puskesmas Cebongan
memiliki potensi yang baik untuk menekan ataupun menghilangkan angka
5
kekurangan gizi. Namun kenyataannya, berdasarkan data Puskesmas
Cebongan dari bulan Januari – Juni tahun 2014 masih terdapat anak yang
mengalami kekurangan gizi sejumlah 50 anak yang tersebar di tiga desa
wilayah kerja Puskesmas Cebongan.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap 3 orang tua
balita dengan gizi kurang didapatkan data bahwa orang tua balita
mengetahui program yang dilakukan oleh Puskesmas Cebongan seperti:
Pemberian Makanan Tambahan atau Makanan Pendamping ASI (MPASI)
. Orang tua menyatakan bahwa MPASI yang diberikan kepada balita yang
mengalami gizi kurang tidak bisa diberikan 100%, dikarenakan di dalam
keluarganya terdapat anak lebih dari satu, sehingga terjadi ketidakefektifan
pemberian makanan dengan gizi yang seimbang terhadap balita. Kurang
pengetahuan orang tua tentang penerapan MPASI didukung dengan
pengetahuan dan pendidikan yang rendah menyebabkan MPASI yang
merupakan salah satu progam Puskesmas belum tepat sasaran dalam
meningkatkan status gizi anak di Puskesmas Cebongan.
Berdasarkan fenomena yang terjadi maka peneliti tertarik untuk
menganalisis faktor yang mempengaruhi kejadian balita gizi kurang di
Wilayah Kerja Puskesmas Cebongan.
6
1.2. Rumusan Masalah
Angka kekurangan gizi, dalam skala global maupun regional
terjadi dalam populasi yang jumlahnya sangat besar. Penyebab kekurangan
gizi pun sangat kompleks dengan potensial penyebab setiap daerah yang
berbeda-beda, sehingga diperlukan pemetaan yang tepat untuk mengetahui
permasalahan utamanya. Puskesmas Cebongan sebenarnya memiliki
potensi yang baik untuk menuntaskan angka balita gizi kurang melalui
progam-progamnya seperti pembagian makanan pendamping asi,
Posyandu, pemberian makanan tambahan dan progam lainnya, melihat
hal-hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti faktor apa saja yang
berhubungan terhadap kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja
Puskesmas Cebongan?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan
antara faktor resiko dengan kejadian balita gizi kurang di wilayah
kerja Puskesmas Cebongan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik responden.
7
2. Mengetahui gambaran tentang tingkat pengetahuan ibu, tingkat
pendidikan, pendapatan, kelengkapan imunisasi, pemberian asi
eksklusif dan berat bayi saat lahir terhadap kejadian balita gizi
kurang.
3. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu
dengan kejadian balita gizi kurang.
4. Menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan
kejadian balita gizi kurang.
5. Menganalisis hubungan antara tingkat pendapatan keluarga
dengan kejadian balita gizi kurang.
6. Menganalisis hubungan antara berat bayi saat lahir dengan
kejadian balita gizi kurang.
7. Menganalisis hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan
kejadian balita gizi kurang.
8. Menganalisis hubungan antara pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian balita gizi kurang.
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Bagi Masyarakat
1) Dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang gizi kurang.
2) Dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang faktor yang
mempengaruhi kejadian balita gizi kurang.
8
1.4.2. Bagi Puskesmas
1) Dapat mengetahui hubungan faktor resiko yang mempengaruhi
kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja puskesmas
cebongan.
2) Sebagai bahan acuan dan evaluasi untuk melakukan intervensi
yang lebih baik lagi dalam meningkatkan status gizi balita
melalui program – programnya.
1.4.3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
1) Memberikan informasi tentang faktor yang mempengaruhi
kejadian balita gizi kurang.
2) Dapat menjadi bahan kajian pengembangan penelitian tentang
gizi kurang.
3) Dapat menjadi referensi dan bahan pembelajaran tentang gizi
kurang.
1.4.4. Manfaat Bagi Peneliti lain
1) Memotivasi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian
tentang faktor yang mempengaruhi balita gizi kurang.
2) Memberikan referensi penelitian tentang gizi bagi peneliti lain.
9
1.4.5. Manfaat Bagi Peneliti
1) Menyumbangankan ilmu pengetahuan sebagai bahan atau
referensi pembelajaran mengenai gizi kurang.
2) Dapat mengetahui hubungan antara faktor resiko yang
mempengaruhi kejadian balita gizi kurang di Wilayah Kerja
Puskesmas Cebongan.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Teori
2.1.1. Balita
Bawah lima tahun (Balita) didefinisikan sebagai anak di
bawah lima tahun dan merupakan periode usia setelah bayi dengan
rentang 0-5 tahun (Gibney, 2009). Anak balita adalah anak yang
telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan
pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris, 2006). Menurut
Sutomo dan Anggraeni (2010), balita adalah istilah umum bagi
anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5tahun).
2.1.2. Gizi Kurang
Gizi kurang merupakan kondisi dimana seseorang tidak
memiliki nutrien yang dibutuhkan tubuh akibat kesalahan atau
kekurangan asupan makanan. Secara sederhana kondisi ini terjadi
akibat kekurangan zat gizi secara terus menerus dan menumpuk
dalam derajat ketidakseimbangan yang absolute dan bersifat
immaterial. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan terjadinya
defisiensi atau defisit energi dan protein dan sering disebut dengan
KKP (kekurangan Kalori Protein). Dalam standar yang ditetapkan
11
oleh Pemerintah, balita gizi kurang apabila indeks berat badan
menurut umur (BB/U) –3 s/d <-2 SD (Wong, 2008; Departemen
Gizi dan Kesehatan Msyarakat, 2007).
2.1.3. Definisi Status Gizi dan Cara Pengukurannya
Status gizi merupakan gambaran kesehatan sebagai refleksi
penggunaan konsumsi pangan yang dikonsumsi oleh seseorang
dan penggunaannya oleh tubuh (Jonny, 2005; Sunarti,
2004).Penilaian status gizi balita dengan standar nasional yang di
terbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia hanya
menggunakan pengukuran antropometri (penilaian gizi secara
langsung) yaitu berdasarkan BB/U (berat badan/umur) dengan
klasifikasi gizi kurang, gizi buruk, gizi baik, gizi lebih.
Berdasarkan TB/U (tinggi badan/umur) diklasifikasikan menjadi
sangat pendek, pendek, normal, tinggi, dan berdasarkan BB/TB
(berat badan/tinggi badan) dengan klasifikasi sangat kurus, kurus,
gemuk (DEPKES RI, 2011). Pengukuran langsung selain
antropometri adalah pengukuran secara klinis, biokimia, dan
biofisik. Sedangkan pengukuran secara tidak langsung adalah
dengan survei konsumsi makanan dan statistik vital (Supariasa,
Bakhri & Fajar, 2013).
12
Tabel 2.1
Pengukuran Status Gizi Balita Berdasarkan Z- Score
Batas
Pengelompokan Sebutan Status Gizi
BB/U < -3 SD Gizi buruk
- 3 s/d <-2 SD Gizi kurang
- 2 s/d +2 SD Gizi baik
> +2 SD Gizi lebih
TB/U < -3 SD Sangat Pendek
- 3 s/d <-2 SD Pendek
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Tinggi
BB/TB < -3 SD Sangat Kurus
- 3 s/d <-2 SD Kurus
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Gemuk
Sumber : DEPKES RI, 2012
2.1.4. Faktor Resiko Gizi Buruk dan Kurang
Penyebab gizi Penyebab gizi buruk secara mendasar terdiri
dari dua hal yakni sumber daya potensial dan sumber daya
manusia. Sumber daya potensial seperti politik, ideology,
suprastruktur, struktur ekonomi dan sumber daya manusia seperti
13
pengawasan, ekonomi, pendidikan/pengetahuan dan penyakit
(Priharsiwi, dkk.,2006).
Sumber lain menjelaskan beberapa penyebab gizi kurang
dan buruk adalah asupan makanan, penyakit penyerta, infeksi,
sosial ekonomi, pendidikan, persediaan makanan, perawatan anak
dan kesehatan ibu pada masa kehamilan (Supariasa, dkk, 2013) :
a. Asupan makanan
Kondisi gizi seseorang dipengaruhi oleh masuknya zat
makanan dan kemampuan tubuh manusia untuk menggunakan
zat makanan tersebut. Sedangkan masuknya zat makanan
kedalam tubuh manusia ditentukan oleh perilaku berupa sikap
seseorang memilih makanan, daya seseorang dalam
memperoleh makanan dan persediaan makanan yang ada.
Kemampuan tubuh untuk menggunakan zat makanan
ditentukan oleh kesehatan tubuh orang atau manusia yang
bersangkutan (Wise, dkk,. 2004).
Jansen (2013) melakukan penelitian di Belanda dengan
melibatkan 4987 partisipan anak. Peneliti menggunakan
metode Cross-Sectional study dengan menggunakan
instrument penelitian berupa kuisioner, kuisioner berisi tentang
jenis makanan apa yang disukai anak, tingkat kekenyangan
anak, pola minum anak, pengawasan orang tua, pembatasan
14
makanan oleh orang tua, nafsu makan anak dan jenis makanan.
Hasil yang diperoleh adalah bahwa pola asuh, perilaku makan
anak, dan praktek pemberian makan orang tua sangat
mempengaruhi status gizi anak.
b. Status sosial ekonomi
Salah satu faktor yang mempengaruhi rantai tak
terputus gizi buruk adalah status ekonomi yang buruk, secara
langsung ataupun tidak keadaan financial mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk memperoleh kelayakan pangan
dan fasilitas untuk menunjang kesehatannya (Gibney, dkk,
2009).
Saputra dan Nurizka (2012) melakukan penelitian di
Sumatra Barat dengan jumlah sampel sebanyak 572 yang
merefleksikan situasi rumah tangga di Sumatera Barat yang
bercirikan masyarakat nelayan, masyarakat pertanian dan
perkebunan, dan masyarakat perkotaan. Penarikan sampel
dilakukan secara sitematical random sampling. Hasil penelitian
tersebut menunjukan bahwa terjadi prevalensi gizi buruk
sekitar 17,6 persen dan gizi kurang sekitar 14 persen, dengan
faktor penyebab kemiskinan dan tingkat pendidikan orang tua
yang merupakan faktor utama penyebab balita menderita gizi
buruk dan gizi kurang.
15
Perbedaan pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan
antara orang miskin dengan orang tidak miskin juga sangat
mempengaruhi kesehatan dan gizi anak. Berdasarkan
penelitian Singhn dan Kumar (2013) di India kesenjangan
yang terjadi antara orang miskin dan kaya mempengaruhi
pelayanan kesehatan yang diberikan dan hal ini secara
langsung ataupun tidak langsung dan secara bertahap
menyebabkan terjadinya gizi buruk.
c. Pendidikan ibu
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap status
kesehatan, dalam hal ini gizi buruk dan gizi kurang karena
orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung
lebih berpeluang terpapar informasi kesehatan dan tingkat
pemahaman mengenai informasi kesehatan juga lebih baik
(Ismail, dkk. 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jamra dan
Banwar (2013) di salah satu daerah perkumuhan di India,
dengan melibatkan 281 partisipan menunjukan hasil 22,1%
anak menderita kekurangan gizi yang disebabkan oleh
berbagai faktor status sosial ekonomi seperti kemiskinan dan
berlakunya sistem kasta, pengetahuan/pendidikan orang tua
yang rendah, urutan kelahiran, dan kelengkapan imunisasi.
Setelah memperoleh data mengenai status gizi anak di wilayah
16
tersebut peneliti melakukan intervensi dengan memberikan
pendidikan kesehatan selama enam bulan dan diperoleh hasil
41 anak mengalami kenaikan berat badan. Hal ini menunjukan
bahwa pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan orang tua
sangat memiliki pengaruh yang signifikan untuk meningkatkan
status gizi anak.
d. Penyakit penyerta dan infeksi
Antara status gizi kurang atau status gizi buruk dan
infeksi atau penyakit penyerta terdapat interaksi bolak-balik
yang dapat menyebabakan gizi kurang dan gizi buruk melalui
berbagai mekanisme fisiologis dan biologis. Yang terpenting
ialah efek langsung dari infeksi sistemik pada katabolisme
jaringan. Walaupun hanya terjadi infeksi ringan sudah dapat
mempengruhi status gizi (Suhardjo ,2005).
e. Pengetahuan ibu
Tingkat pengetahuan yang rendah dapat menyebabkan
kesalahan dalam pemahaman , kebenaran yang tidak lengkap
dan tidak terstruktur dimana manifestasinya berupa kesalahan
manusia atau individu dalam melakukan praktek kehidupannya
karena dilandasi pengetahuan yang salah. Pengetahuan yang
salah, dalam hal ini mengenai kesehatan tentunya juga akan
mempengaruhi perilaku dan kualitas kesehatan orang tersebut
(Watloly, 2002).
17
Pengetahuan berkaitan erat dengan tingkat pemahaman
seseorang tentang suatu hal dalam hal ini adalah mengenai
kesehatan. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, sebagian besar
rumah tangga di Indonesia masih menggunakan air yang tidak
bersih (45 %) dan sarana pembuangan kotoran yang tidak
aman (49 %) hal ini berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan
kesadaran yang rendah dari masyarakat. Minimal satu dari
setiap empat rumah tangga dalam dua kuintil termiskin masih
melakukan buang air besar di tempat terbuka.Perilaku tersebut
berhubungan dengan penyakit diare, yang selanjutnya
berkontribusi terhadap gizi kurang. Diare merupakan salah
satu penyebab kematian yang berkontribusi besar di Indonesia
tercatat 31 persen anak usia 1 sampai 11 bulan meninggal
akibat diare dan 25 persen kematian pada anak-anak antara
usia satu sampai empat tahun (UNICEF Indonesia 2012).
Menurut Notoatmojo, 2007 membagi kategori
pengetahuan menjadi 3 tingkatan:
1. Pengetahuan rendah, jika skor < 56%
2. Pengetahuan sedang, jika skor 56-75%
3. Pengetahuan rendah, jika skor >75%
18
f. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang
ketika dilahirkan mempunyai berat badan kurang dari 2500
gram. Berat lahir yang rendah disebabkan oleh kelahiran
premature atau retardasi pertumbuhan intrauteri. Bayi
prematur mempunyai organ dan alat tubuh yang belum
berfungsi normal untuk bertahan hidup di luar rahim sehingga
semakin muda umur kehamilan, fungsi organ menjadi
semakin kurang berfungsi dan prognosanya juga semakin
kurang baik. Kelompok BBLR sering mendapatkan komplikasi
akibat kurang matangnya organ karena kelahiran prematur
(Wong, dkk,. 2008).
Multikompleksitas penyebab gizi buruk memiliki
keterikatan antara BBLR, penyakit penyerta dan infeksi.
Mcdonald, dkk., (2012) dengan metode multivariate
didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara infeksi, penyakit
seperti HIV aids, bayi prematur, dan BBLR dengan status gizi
anak.
g. Kelengkapan Imunisasi
Imunisasi adalah pemberian vaksin (bibit penyakit
menular yang telah dilemahkan atau dimatikan) kepada bayi
atau anak-anak, vaksin ini pada awalnya berasal dari penyakit
menular yang menyebabkan kecacatan atau kematian yang
19
telah dimatikan.Dengan pemberian vaksin, tubuh bayi atau
anak akan membentuk antibody, sehingga tubuh bayi atau
anak telah siap (telah kebal) bila terinfeksi oleh penyakit
menular tersebut. Dengan kata lain terhindarnya bayi atau anak
dari berbagai penyakit dapat memperbaiki status gizi anak
tersebut (Wise, 2004).
Sedangkan Pei dkk., (2012) melakukan penelitian pada
suatu daerah pedesaan di China dengan sampel sebanyak
13.532 anak di 45 kabupaten dan menunjukan hasil bahwa ada
pengaruh yang siginifikan antara gizi anak dengan
kelengkapan imunisasi, pemberian ASI, kemiskinan, etnis
minoritas dan pendidikan orang tua.
h. Air Susu Ibu (ASI)
Wanita menyusui mempunyai air susu yang bersifat
spesifik, sesuai dengan kebutuhan laju pertumbuhan dan
kebiasaan menyusui bayinya yang tidak bisa didapatkan dari
susu atau sumber lainya (Wise, 2004). Pemberian ASI ekslusif
merupakan salah satu cara efektif yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya kekurangan gizi dan kematian pada bayi,
pemberian ASI ekslusif dapat memberikan manfaat bagi ibu
maupun bayinya, dengan pemberian ASI ekslusif dapat
memberikan kekebalan bagi bayi dan secara emotional
20
kedekatan ibu dan anaknya akan semakin terjalin dengan baik
(Kahleen, 2009).
ASI merupakan hal yang sangat penting dalam
pemenuhan nutrisi anak. Tidak ada sumber nutrisi lain yang
lebih baik dari ASI. Hassiotao dkk.,(2013) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa ASI adalah komponen nutrisi yang
penting bagi bayi karena dapat memberikan kekebalan atau
anti body sehingga anak dapat terhindar dari infeksi, hal ini
dapat mempengaruhi dalam pemenuhan zat gizi anak. Dalam
penelitian lainnya, hanya 14% ibu di Indonesia yang
memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai enam
bulan. Rata-rata bayi di Indonesia hanya menerima ASI
eksklusif kurang dari dua bulan. Hasil yang dikeluarkan Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia cukup memprihatinkan
yaitu bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sangat rendah.
Sebanyak 86% bayi mendapatkan makanan berupa susu
formula, makanan padat, atau campuran antara ASI dan susu
formula(Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2008).
i. Keamanan Lingkungan
Lingkungan yang aman juga merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi status gizi anak. Hal ini
ditunjukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ghazi,
21
dkk., (2013) dari hasil penelitian yang dilakukan dengan
sampel sejumlah 220 anak berusia 3 sampai 5 tahun
menunjukan bahwa daerah konflik memiliki pengaruh yang
siginifikan terhadap status gizi anak. Hal yang cukup menarik
adalah di daerah tersebut tidak ada hubungan yang bermakna
antara pendidikan orang tua dengan gizi anak.
j. Kebudayaan
Kebudayaan juga merupakan salah satu faktor yang menjadi
penyebab terjadinya angka gizi buruk. Evans, dkk., (2011)
dalam penelitiannya dengan menggunakan total sample 721
orang tua dengan anak berusia 1-5 tahun di bagian selatan
Amerika Serikat. Dengan menggunakan cross-sectional study
menemukan bahwa ada perbedaan cara pemberian makan dan
pemilihan jenis makanan pada etnis dan ras tertentu. Praktek
pemberian makanan dapat menentukan pola perilaku anak
dalam makan, terutama bagi anak untuk dapat memiliki isyarat
lapar yang normal.
Dari hasil penelitian-penelitian tersebut dapat dilihat bahwa
gizi buruk dan gizi kurang merupakan permasalahan yang
multikompleks dan memiliki kesinambungan antar faktor
penyebab. Berdasarkan metode cross-sectional study maupun
multivariate yang digunakan dalam penelitian tersebut
menunjukan bahwa faktor kemiskinan, pendidikan dan
22
pengetahuan orang tua, makanan pendamping, kebudayaan,
infeksi dan penyakit penyerta seperti HIV aids, kondisi
psikologi anak, keamanan negara, terbatasnya fasilitas
kesehatan, BBLR dan nutrisi pada masa kehamilan
berpengaruh dan memiliki hubungan yang bermakna dengan
gizi buruk dan gizi kurang. Dari hasil penelitian juga
menunjukan bahwa faktor ekonomi, pendidikan, dan
pengetahuan yang selama ini menjadi salah faktor utama
penyebab gizi buruk dan gizi kurang tidak dapat diberlakukan
secara universal terhadap seluruh wilayah dan lapisan
masyarakat yang ada.
2.1.5. Dampak Kekurangan Gizi
Dampak kekurangan gizi sangatlah kompleks. Pada anak,
hal ini dapat menyebabkan gangguan pada perkembangan mental,
sosial, kognitif ,pertumbuhan dan keluarga.
1. Perkembangan mental dan Kognitif
Anak dapat mengalami gangguan pada perkembangan
mental sejak dalam kandungan ataupun setelah kelahiran
akibat kekurangan nutrisi yang dibutuhkan otak untuk dapat
bekerja dengan baik. Kekurangan gizi yang parah dapat
menghambat perkembangan anak pada fase oral hingga fase
laten. Untuk gangguan kognitif anak dapat mengalami
penurunan IQ.
23
2. Perkembangan sosial
Kekurangan gizi dapat membatasi aktivitas anak untuk
dapat bermain dengan teman sebaya, sehingga secara langsung
ataupun tidak akan mempengaruhi interaksi sosial anak
tersebut.
3. Gangguan pertumbuhan
Yaitu berupa keidakmatangan fungsi organ dimana
manifestasinya dapat berupa kekebalan tubuh yang rendah
yang menyebabkan kerentanan terhadap penyakit penyakit
seperti infeksi saluran pernafasan, diare, demam dan lain-lain,
dengan bentuk terparah menyebabkan marasmus, kwashiokor,
marasmik-kwashiokor dan kematian.
4. Keluarga
Pada keluarga, bentuk terparah akibat kekurangan gizi
dapat mengambat produktivitas keluarga dalam mencukupi
kebutuhan keluarga, bentuk perhatian akan terfokus pada
perawatan anak sakit akibat kekurangan gizi dan hal itu dapat
mengganggu keseimbangan pemenuhan kebutuhan keluarga.
(Supartini, 2004; Feinstorm, Uauy & Arroyo. 2001; World
Food Progam of UK, 2007).
24
2.2. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian yang akan diteliti
yaitu :
Tabel 2.2 Keaslian Penelitian
No Peneliti /
Judul
Penelitian
Variabel/Tujuan
Penelitian
Metode/Sampel Hasil
1.
Vishal Jamra,
Vishal
Bankwar
Effect of short
term
community
based
intervention
to reduce the
prevalenceof
under
nutrition in
under-five
children.
2013
Untuk
mengetauhi
faktor-faktor
penyebab gizi
buruk pada
daerah
perkumuhan dan
untuk
mengetahui
pengaruh
intervensi
pendidikan
jangka pendek.
(India)
Dengan
menggunakan
cross sectional
study dan case
control, di daerah
perkumuhan di
India selama 6
bulan. Penilaian
status gizi
dilakukan dari
rumah ke rumah /
door to door utk
untuk mengetahui
penyebab gizi
buruk.
Sampel: 281 anak
Hasil 22,1%
anak
kekurangan
gizi
disebabkan
oleh Berbagai
faktor seperti
usia anak, jenis
kelamin, status
sosial
ekonomi,
pendidikan
orang tua,
urutan
kelahiran,
imunisasi.
2.
Leilei pei, lin
ren, hong yan
A survey of
undernutritio
n in children
under three
years of age
Untuk
mengetahui
faktor penyebab
terjadinya gizi
buruk pada
daerah pedesaan
di china
Dengan
menggunakan
cross-sectional
study, dengan
sampel anak
berusia dibawah 3
tahun dengan
Menunjukkan
bahwa ada
hubungan/peng
aruh yang
signifikan
antara usia
anak-anak,
jenis kelamin,
25
No Peneliti /
Judul
Penelitian
Variabel/Tujuan
Penelitian
Metode/Sampel Hasil
In rural
Western
China
2013
jumlah sample
13.532 anak dari
45 kabupaten.
etnis, ASI
yang
diberikan,
pendidikan
ibu, dan
ekonomi.
3.
Hasanain
Faisal
Ghazi,Jamsia
h Musta,
Syed Aljunid,
Zaleha Md.
Isa,
Mohammed
A.
Malnutrition
among 3 to 5
Years
Old Children
in
Baghdad
City, Iraq: A
Cross-
sectional
Study
2011
Untuk
mengetahui
pengaruh socio-
demografi
terhadap nutrisi
anak.
(Baghdad , irak)
Cross-sectional
design
Dengan sample
220 anak umur 3-
5 tahun
Terdapat
hubungan
antara socio-
demografi
dengan status
nutrisi anak,
penemuan lain
yang
ditemukan
adalah ada
hubungan
bermakna
antara
keamanan
lingkungan
dengan status
nutrisi anak.
4. Alexandra
Evans,
Jennifer
Greenberg,
Seth,Shanna
Smith, Karol
Tujuan dari
penelitian ini
adalah untuk
menguji
perbedaan
dalam praktik
Cros-sectional
study, dengan
total sample 721
orang tua dengan
anak berusia 1-5
tahun.
Dorongan
makan oleh
orang tua,
pemilihan jenis
makanan dan
adanya
26
No Peneliti /
Judul
Penelitian
Variabel/Tujuan
Penelitian
Metode/Sampel Hasil
Kaye Harris,
Jennifer
Loyo,Carol
Spaulding
Mary Van
Eck, Nell
Gottlieb
Parental
Feeding
Practices and
Concerns
Related to
Child
Underweig
ht, Picky
Eating, and
Using Food
to Calm
Differ
According to
Ethnicity/Rac
e,
Acculturation
, and Income
2011
pemberian
makan orang tua
menurut ethnic-
ity/race,
pendapatan
rumah tangga,
tingkat
pendidikan
orang tua, dan
partisipasi
dalam Program
Nutrisi
Tambahan
Khusus untuk
Wanita, Bayi,
dan Anak
Program (WIC)
di antara
orang tua yang
tinggal di negara
bagian selatan di
Amerika Serikat
perbedaan
budaya sangat
berpengaruh
terhadap pola
pemberian
makan anak.
Pola
pemberian
makan anak
oleh orang tua
juga penyebab
terjadinya
malnutrisi.
5. CM
McDonald, R
Kupka, KP
Manji, J
Okuma, RJ
Bosch, S
Tujuan dari
penelitian ini
adalah untuk
mengidentifikasi
kehamilan ibu
dgn HIV,
Multivariat Cox
metode
proportional
hazards
digunakan untuk
menilai hubungan
Jenis kelamin
laki-laki,
kelahiran
premature, dan
HIV aids
sangat
27
No Peneliti /
Judul
Penelitian
Variabel/Tujuan
Penelitian
Metode/Sampel Hasil
Aboud
Predictors of
stunting,
wasting and
underweight
among
Tanzanian
Children
born to HIV-
infected
women
2012
prediktor sosial
ekonomi dan
anak pendek,
kurus dan pada
anak-anak
Tanzania yang
terlahir dg
terinfeksi HIV .
Tanzania
antara penyebab
potensial stunting,
wasting dan
underweight
berpengaruh
secara
signifikan
terhadap gizi
buruk.
6.
Abhishek
Kumar,
Aditya Singh
Decomposing
the Gap in
Childhood
Undernutritio
n between
Poor and
Non–Poor in
Urban India,
2013
Penelitian ini
bertujuan untuk
menjelaskan
bagaimana gap
antara
kemiskinan dan
ketidakmiskinan
berkontribusi
terhadap gizi
anak. (India)
Data cross-
sectional dari
putaran ketiga
Survei Kesehatan
Keluarga
Nasional
dilakukan selama
2005-2006.
Statistik deskriptif
digunakan untuk
memahami
kesenjangan gizi
anak antara
masyarakat
miskin perkotaan
dan non-miskin,.
Teknik
dekomposisi
Blinder-Oaxaca
digunakan untuk
Menunjukan
bahwa terjadi
kesenjangan
yang
menyebabkan
perbedaan
secara
signifikan
terhadap status
gizi, indikator
tersebut antara
lain pelayanan
Kesehatan,
kemiskinan
yang juga
berkontribusi
pada
pendidikan.
28
No Peneliti /
Judul
Penelitian
Variabel/Tujuan
Penelitian
Metode/Sampel Hasil
menjelaskan
faktor-faktor
berkontribusi
terhadap
kesenjangan gizi
antara anak-anak
miskin dan non-
miskin di
perkotaan India.
7. Wiko
Saputra*,
Rahmah Hida
Nurrizka
Faktor Sosial-
Demografi
yang
Pengaruh Sosio-
demografi
terhadap risiko
anak balita
menderita gizi
buruk di tiga
komunitas di
Sumatera Barat.
Sumatera Barat
yang merupakan
provinsi basis
pangan di
kawasan
sumatera
seharusnya
merupakan
daerah yang
memiliki
prevalensi
penderita gizi
buruk yang lebih
rendah.
(Sumatra)
Kajian ini
mengunakan data
melalui studi
lapangan yang
dilaksanakan pada
tahun 2010 pada
tiga Komunitas
di Sumatera
Barat. Jumlah
sampel ditetapkan
sebanyak 572
yang akan
merefleksikan
situasi rumah
tangga di
Sumatera Barat
yang bercirikan
masyarakat
nelayan,
masyarakat
pertanian dan
perkebunan, dan
masyarakat
perkotaan.
Masih banyak
anak balita
yang memiliki
gizi buruk di
Sumatera
Barat dimana
prevalensi gizi
buruk sekitar
17,6 persen.
Kemiskinan
dan tingkat
pendidikan
orang tua
merupakan
faktor utama
penyebab
balita
menderita gizi
buruk dan gizi
kurang.
29
No Peneliti /
Judul
Penelitian
Variabel/Tujuan
Penelitian
Metode/Sampel Hasil
Penarikan
sampel dilakukan
secara
systematical
random sampling
8.
Pauline W
Jansen,
Sabine J
Roza,
Vincent WV
Jaddo,
Joreintje D
Mackenba-ch,
Hein
Raat,Albert
Hofma, Frank
C Verhulst
and
Henning
Tiemeier
Children's
eating
behavior,
feeding
practices of
parents and
weight
problems in
early
childhood:
results from
the
Penelitian ini
bertujuan untuk
mengetahui
hubungan
perilaku makan
anak dan
praktek
pemberiaan
makanan orang
tua terhadap
permasalahan
berat badan anak
(Belanda).
Menggunakan
cross-sectional
study dengan
menggunakan
quisioner tentang
kebiasaan makan
anak dan praktek
pemberian makan
orang tua di
Belanda dengan
participant
sejumlah 4987.
Lalu diukur
secara objektif
dengan BMI
(body massa
index)
Menunjukan
bahwa praktek
pemberian
makan orang
tua dan pola /
perilaku
makan anak
berkaitan erat
dengan berat
badan anak ,
terdapat pula
perbedaan
pola makan
anak dengan
underweight
dan overweight
30
No Peneliti /
Judul
Penelitian
Variabel/Tujuan
Penelitian
Metode/Sampel Hasil
population-
based
Generation R
Study
2012
31
2.3. Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Jamra & Bankar, 2013; Pei, Ren & Yan, 2013; Ghazi, Musta, Isa &
Mohhamed, 2011; McDonald, Kupka, Manji, Okuma, Bosch, & Aboud, 2012;
Kumar & Singh, 2013;Supartini, 2004; Supariasa, 2013; Feinstorm, Uauy, &
Arroyo. 2001; World Food Progam of UK, 2007.
Faktor
● Pendidikan ibu
● Pemberian ASI ekslusif
● Pengetahuan ibu
● Kemiskinan / Pendapatan
rendah
● Pola asuh
● Berat bayi saat lahir rendah
● Nutrisi masa Kehamilan
● Praktek Pemberian Makan
● Keamanan lingkungan
● Kondisi psikologi anak
●Penyakit penyerta
● Keterbatasan fasiltas
kesehatan
● Kebudayaan
● Kelengkapan Imunisasi
● Perbedaan pelayanan
kesehatan
● Sanitasi dan higenitas
Gizi Kurang
Dampak
● Penurunan IQ
● Kerentanan terhadap
penyakit (diare, demam,
ISPA. dll.)
● Ketdakmatangan fungsi
organ
● Gangguan sosial
● Kwashiorkor
● Marasmus
● Marasmik-kwashiorkor
● Edema
● Tubuh Kurus
● Kematian
● Gangguan Pertumbuhan
dan perkembangan
Bagi keluarga :
● Stigma negatif dari
masyarakat
● menciptakan kualitas
SDM keluarga yang rendah
● menghambat produktivitas
keluarga
32
2.4 Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual
2.5. Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
Ho1 : Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu terhadap kejadian
balita gizi kurang.
Ho2 : Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu terhadap kejadian
balita gizi kurang.
Gizi Kurang
Pengetahuan Ibu
Pendidikan Ibu
BBLR
Kelengkapan
Imunisasi
Pemberian ASI
Ekslusif
Pendapatan
33
Ho3 : Tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan terhadap kejadian balita
gizi kurang.
Ho4 : Tidak ada hubungan antara kelengkapan imunisasi terhadap kejadian
balita gizi kurang.
Ho5 : Tidak ada hubungan antara tingkat pemberian asi eksklusif terhadap
kejadian balita gizi kurang.
Ho6 : Tidak ada hubungan antara bayi berat lahir rendah terhadap kejadian
balita gizi kurang.
Ha1 : Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu terhadap kejadian balita
gizi kurang.
Ha2 : Ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu terhadap kejadian balita
gizi kurang.
Ha3 : Ada hubungan antara tingkat pendapatan terhadap kejadian balita gizi
kurang.
Ha4 : Ada hubungan antara kelengkapan imunisasi terhadap kejadian balita
gizi kurang.
Ha5 : Ada hubungan antara tingkat pemberian asi eksklusif terhadap kejadian
balita gizi kurang.
Ha6 : Ada hubungan antara bayi berat lahir rendah terhadap kejadian balita
gizi kurang.
34
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan
desain Cross Sectional Study atau penelitian dengan pengambilan data satu
waktu. Penelitian kuantitatif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
mendeskripsikan hasil analisis berdasarkan permasalahan yang diteliti dalam
area populasi yang sudah ditentukan sehingga hasil yang ditemukan dapat
mengetahui hubungan antara kejadian balita gizi kurang dengan faktor-
faktor resiko (Dharma, 2011). Rancangan penelitian ini dapat dilihat melalui
skema dibawah ini memiliki makna dari sebuah pendeskripsian tersebut.
Gambar 3.1 Bagan Desain Korelasi
Faktor Resiko (+)
Efek (+) Efek (-)
Faktor Resiko (-)
Efek (+) Efek (-)
35
Keterangan :
Faktor Resiko : Variabel Independen
Efek (+) dan (-) : Variabel dependen
3.2 Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling
3.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang akan
diteliti. (Notoatmodjo, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah 70
balita di Pustu Noborejo yang merupakam wilayah kerja Puskesmas
Cebongan. Berdasarkan data bulan Juli – Desember 2014.
3.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti
(Notoatmojo, 2010). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 60 balita yang terdiri dari 30 balita gizi kurang dan 30 balita
gizi baik di Wilayah Kerja Puskesmas Cebongan.
3.2.3 Tehnik Sampling
Sampel penelitian ditentukan dengan model purposive
sampling, yaitu menetapkan sampel dengan berdasarkan
pertimbangan tertentu. Menurut Notoatmojo (2010) untuk populasi
36
kecil lebih kecil dari 10.000 dapat menggunakan formula yang lebih
sederhana sebagai berikut:
)(1 2dN
Nn
+
=
Keterangan :
N: Besar pupulasi = 70 balita
n : besarnya sampel
2d : Tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan = 0,05.
)05,0(701
702
+
=n =175,1
70= 59,57 dibulatkan menjadi 60
Berdasarkan penghitungan tersebut maka jumlah sampel
adalah 60 balita yang terdiri dari 30 balita dengan gizi kurang dan
30 balita dengan gizi baik. Dengan kriteria inklusi sebagai berikut:
1. Orang tua yang memiliki balita Gizi Kurang
2. Orang tua yang memiliki balita Gizi Baik
3. Balita yang berumur diatas 12 Bulan
4. Orang tua yang bersedia menjadi responden
Kriteria eksklusi adalah anggota populasi yang tidak dapat
dijadikan sebagai sampel. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini
sebagai berikut :
1. Orang tua yang tidak pernah sekolah
37
2. Balita yang dalam keadaan sakit saat dilakukan
penelitian
3. Orang tua yang tidak bekerja
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Cebongan.
Waktu penelitian bulan September 2014 sampai dengan Mei 2015.
3.4 Variabel Penelitian, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi
Operasional
Alat Ukur Parameter/
Indikator
Penilaian
Skala
Ukur
1 Status Gizi
Keadaan tubuh
balita yang
dinilai
menggunakan
indeks
antropometri
berat badan
menurut umur.
Catatan
medis di
puskesmas
1 : Gizi kurang
(-3SD sampai
‹-2SD)
2 : Gizi baik (-
2SD sampai
2SD)
Skala
Ordinal
2.
Pengetahu-an
Ibu
Seberapa
mengerti dan
seberapa banyak
dan benar orang
tua balita terpapar
informasi dan
mengetahui
tentang hal-hal
berkaitan dengan
gizi kurang dn
gizi buruk dan
hal-hal apa saja
yang dapat
bermanifestasi
Kuisioner
dengan
pertanyaan
mengenai
pengetahu-
an Ibu
tentang gizi,
jumlah soal
27
Pernyataan
Negatif
berada pada
no: 2, 7, 9,
10, 12, 13,
14, 19, 22,
25, 26.
Hasil pengukuran
tersebut
menggunakan
parameter untuk
data berdistribusi
tidak normal
pengelompokan
berdasarkan nilai
median yaitu:
1. Tinggi x ≥
Median
2. Rendah
x.˂
Median
Skala
Ordinal
38
No Variabel Definisi
Operasional
Alat Ukur Parameter/
Indikator
Penilaian
Skala
Ukur
menjadi gizi
kurang dan gizi
buruk.
Cara
Skoring
N:∑B
3. Tingkat
pendidikan
Ibu
Tingkatan
pendidikan yang
diperoleh Ibu
balita melalui
lembaga formal
Kuisioner
dengan
pertanyaan
mengenai
tingkat
pendidikan
ibu
Pada hasil ukur
tingkat
pendidikan Ibu di
gunakan skor:
1 = Dasar(Wajib
belajar 9 th)
2 = Menengah
dan Tinggi
(SMA/SMK) dan
(Diploma -
Sarjana)
Ordinal
4. Tingkat
Pendapatan
Tingkat
Pendapatan
diartikan sebagai
kemampuan
keluarga dalam
memperoleh
penghasilan
secara materil dan
financial untuk
diproyeksikan
dalam kecukupan
kebutuhan
keluarga.
Kuisioner
dengan
pertanyaan
mengenai
Tingkat
Pendapatan
Hasil
pengukuran
tersebut
menggunakan
parameter UMR
di Salatiga.
(Disnakertrans,
2015)
yaitu:
1= <Rp.1.287.000
2= ≥Rp.1.287.000
Ordinal
5. Kelengkapan
Imunisasi
Seberapa lengkap
atau kurang anak
diberikan
imunisasi.
Kuisioner
dengan
pertanyaan
mengenai
kelengkap
an
imunisasi
anak.
Pada hasil ukur
kelengkapan
imunisasi di
gunakan skor:
1 = Kurang
lengkap(< 5
imunisasi dasar)
2 = Lengkap(5
imunisasi dasar)
Ordinal
39
No Variabel Definisi
Operasional
Alat Ukur Parameter/
Indikator
Penilaian
Skala
Ukur
Lima Imunisasi
Dasar Lengkap:
- BCG
- DPT
- Polio
- Campak
- Hepatitis B
6. Pemberian
ASI eksklusif
Pemberian ASI
selama 6 bulan
tanpa diberikan
tambahan
pendamping
apapun.
Kuisioner
dengan
pertanyaan
mengenai
pemberian
ASI
eksklusif
Standard yang
digunakan
adalah :
1 = Eksklusif
2 = Tidak
eksklusif
Nominal
7.
Berat bayi
saat lahir
Berat bayi saat
lahir diartikan
sebagai berat
anak saat
dilahirkan
Kuisioner
dengan
pertanyaan
mengenai
berat bayi
saat lahir
Standard yang
digunakan
adalah :
1.Bayi dengan
berat badan lahir
rendah (BBLR),
yaitu 1500-
2500gram.
2.Bayi dengan
berat badan lahir
Normal, yaitu
2500-4000gram
(Sinclair,2009)
Ordinal
40
3.5. Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data
3.5.1 Jenis Data
3.5.1.1 Data Primer
Data variabel independen (pengetahuan ibu, pendidikan
ibu, status ekonomi, pemberian ASI eksklusif, kelengkapan
imunisasi, berat bayi saat lahir) diperoleh dengan cara survei
menggunakan kuesioner. Survei adalah suatu rancangan yang
digunakan untuk menyediakan informasi berhubungan dengan
prevalensi, distribusi dan hubungan antar variabel dalam suatu
populasi merupakan metode pengumpulan data dengan
menggunakan instrument yang diberikan kepada koresponden
untuk dimintai tanggapannya mengenai sampel (Gulo, 2007).
Sedangkan kuesioner adalah daftar pertanyaan yang telah
disusun untuk memperoleh data sesuai yang diinginkan
peneliti. Skala yang digunakan adalah dengan menggunakan
skala ukur nominal dan skala ukur Ordinal (Wasis, 2007).
Dalam penggunaan kuisioner pengetahuan digunakan
alternative jawaban Favorable dan Unfavorable. Untuk
Pernyataan Favorable benar nilainya 1, salah nilainya 0,
sedangkan Pernyataan Unfavorable benar nilainya 0, Salah
nilainya 1.
41
3.5.1.2 Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang didapatkan dari suatu
lembaga atau instrumen (Arikunto, 2006). Data sekunder
dalam penelitian ini adalah data literatur yang terkait dengan
penelitian. Pengambilan subjek penelitian sebagai variabel
dependen dengan klasifikasi Status gizi balita (gizi kurang
dan gizi baik) didapatkan dengan melihat catatan medis yang
terdapat pada catatan medis Puskesmas Cebongan.
Tabel 3.2
Kisi-kisi jawaban
Pernyataan Nomor Soal
Positif (Favorable) 1, 3, 4, 5, 6, 8, 11, 15, 16, 17, 18, 20, 21,
23, 24, 27
Negatif (Unfavorable) 2, 7, 9, 10, 12, 13, 14, 19, 22, 25, 26
3.6. Pengolahan Data dan Analisa Data
3.6.1. Pengolahan Data
Setelah mempelajari jawaban dari seluruh pertanyaan yang
diajukan dalam kuisioner, perlu dilakukan proses editing, coding,
tabulasi, dan entry data sehingga lebih memudahkan dalam
pembacaan data dan meningkatkan kredibilitas analisa (Efendi,
2012).
42
1) Editing data
Memastikan kelengkapan dan kejelasan setiap aspek yang
diteliti, yaitu dengan melakukan pengecekan terhadap kuisioner
untuk memastikan bahwa kuisioner telah lengkap.
2) Coding data
Teknik coding ini digunakan untuk memudahkan dalam
proses analisis data. Penggunaan kode yang sudah ditetapkan
atau dirumuskan sebelumnya digunakan untuk mempermudah
dalam melakukan tabulasi dan analisis data.
3) Tabulasi
Memasukan data kedalam diagram atau tabel-tabel sesuai
dengan kriteria agar lebih mudah dalam entery data.
4) Entery data
Data dari kuisioner diolah dengan menggunakan bantuan
progam komputer untuk mempermudah proses analisis data.
3.6.2. Analisa Data
1. Analisis Univariat
Analisa Univariat adalah analisis yang dilakukan
terhadap tiap jenis variabel dari hasil penelitian. Pada
umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan
frekuensi dari variabel bebas.
43
2. Analisis Bivariat
Analisa bivariat adalah analis yang digunakan untuk
mengetahui hubungan antara variabel dependen dengan
variabel independen. Data yang terkumpul di analisis dengan
uji statistik bivariat dengan menggunakan uji kai kuadrat (chi
square).
Tabel. 3.3 Uji Kai Kuadrat
Variabel
Dependen
Variabel Independen Uji Statistik
Status Gizi Tingkat Pengetahuan Kai Kuadrat
Status Gizi Tingkat Pendidikan Kai Kuadrat
Status Gizi Tingkat Pendapatan Kai Kuadrat
Status Gizi Kelengkapan Imunisasi Kai Kuadrat
Status Gizi ASI Eksklusif Kai Kuadrat
Status Gizi Berat bayi saat lahir Kai Kuadrat
Intepretasi hasil:
Dari hasil uji Kai Kuadrat hanya dapat menyimpulkan
ada/tidaknya hubungan dua variabel katagorik, yang
selanjutnya untuk menentukan kekuatan hubungan
menggunakan uji Odds Ratio (OR).
44
Dengan nilai α 0,05 Chi square menguji hipotesis apakah ada
hubungan antara variabel dependen dengan variabel
independen.
a. Bila P < α, berarti secara statistik ada hubungan yang
signifikan antara variabel dependen dengan variabel
independen. Sehingga kesimpulan Ho ditolak dan Ha
diterima (Dharma, 2011).
b. Bila P > α, berarti secara statistic tidak ada hubungan yang
signifikan antara variable dependen dengan variable
independen. Sehingga kesimpulan Ho diterima dan Ha
ditolak. (Dharma, 2011).
3.7 Validitas dan Reliabilitas
Untuk menetapkan keabsahan data, maka peneliti menggunakan uji
validitas (konstruk dan isi) dan reliabilitas.
1. Tahap pertama
Pada tahap pertama dilakukan penyusunan pertanyaan dalam
pembuatan kuesioner. Kuesioner yang telah tersusun dilakukan uji
validitas isi dengan meminta pendapat pakar keperawatan anak STIKes
Kusuma Husada.
45
2. Tahap kedua
Pada tahap kedua adalah melakukan validitas konstruk yaitu
menguji konstruk pertanyaan dari sebuah instrument penelitian dengan
menggunakan statistika melalui aplikasi komputer untuk diuji ke-validan
dan realibitasnya. Dalam melakukan uji validitas digunakan metode
pearson correlation. Data dianggap valid jika nilai korelasi > 0,361
(Priyatno, 2010).
Dari hasil analisis validitas untuk pengetahuan tentang kejadian
balita gizi kurang yang dilakukan di Puskesmas Sidorejo Kidul Kota
Salatiga yang mempunyai karakteristik sama, dari 30 item soal hanya 27
item soal saja yang dinyatakan valid dengan rhitung (0,474 – 0,849) > rtabel
(0,361). Sedangkan ketiga item soal dinyatakan tidak valid yaitu item
nomor 6 dengan nilai rhitung (0,324) < rtabel (0,361), nomor item 7 dengan
nilai rhitung (-0,129) < rtabel (0,361), dan item nomor 30 dengan nilai rhitung (-
0,667) < rtabel (0,361).
3. Tahap ketiga
Pada tahap ketiga yaitu melakukan uji reliabilitas merupakan
kemampuan data untuk memberikan hasil yang sama sekalipun dilakukan
pengukuran secara berulang. Reliabilitas merupakan alat ukur yang
penting untuk menjamin pengumpulan data yang akurat (Assaf, 2003).
46
Untuk mencari reliabilitas angket digunakan rumus Alpha
Croncbach :
r11= (k) (1- ∑ σ b
2)
(k-1) σ2t
Keterangan :
r11 : realibilitas instrument
k : banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
∑ σ b
2 : jumlah varians butir
σ2t : varians total
Jika hasil rhitung > rtabel maka item dikatakan signifikan, dan
sebaliknya jika rhitung < rtabel maka item dikatakan tidak signifikan. Jika
nilai koefisien > 0,7 maka instrument dikatakan reliable (Arikunto,
2006).
Dari hasil uji reliabilitas diperoleh nilai r11 cronbach alpha sebesar
0,949) > 0,7. Hal ini berarti ke-27 item pertanyaan dinyatakan reliabel
dan dapat digunakan sebagai alat pengumpul data penelitian.
47
3.8 Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya
rekomendasi dari pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada
instansi tempat penelitian dalam hal ini Puskesmas Cebongan salatiga.
Setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan
menekankan masalah etika yang meliputi :
1. Informed Concent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang diteliti
yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian, bila
responden menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap
menghormati hak-hak responden.
2. Anonimity
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak mencantumkan nama
responden, tetapi lembaran tersebut diberikan kode.
3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti. Hanya
kelompok data tertentu yang dilaporkan sebagai hasil peneliti.
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara faktor resiko terhadap
kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan. Faktor resiko
terdiri dari tingkat pengetahuan ibu, tingkat pendidikan, pendapatan, kelengkapan
imunisasi, pemberian ASI eksklusif dan berat balita saat lahir. Sampel penelitian
adalah 30 orang balita dengan gizi kurang dan 30 orang balita gizi baik di
Wilayah Kerja Puskesmas Cebongan Kota Salatiga. Berikut hasil penelitian yang
dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan April 2015.
4.1. Analisis Univariat
4.1.1 Karakteristik Responden
a. Status Pekerjaan Ibu Balita
Tabel 4.1
Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Status Pekerjaan
(n = 30)
Status Pekerjaan
Ibu
Balita gizi baik Balita gizi kurang
f % f %
Buruh 19 63.3 23 76.6
Pedagang 1 3.4 3 10.0
PNS 0 0 2 6.7
Swasta 10 33.3 2 6.7
Jumlah 30 100 30 100
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui sebagian besar pekerjaan ibu
balita gizi baik dan balita gizi kurang adalah buruh.
49
b. Jenis Kelamin Balita
Tabel 4.2
Distribusi Karakteristik Jenis Kelamin Balita
(n = 30)
Jenis Kelamin Balita gizi baik Balita gizi kurang
f % f %
Laki –laki 19 63.3 9 30.0
Perempuan 11 36.7 21 70.0
Jumlah 30 100 30 100
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui sebagian besar jenis kelamin
balita dengan gizi baik adalah laki-laki dan balita dengan gizi kurang
adalah perempuan.
c. Umur Balita
Tabel 4.3
Distribusi Karakteristik balita berdasarkan umur
(n = 30)
Umur Balita
Balita gizi baik Balita gizi kurang
f % f %
12-24 bulan 9 30 5 16.6
25-36 bulan 9 30 11 36.7
37-50 bulan 12 40 14 46.7
Jumlah 30 100 30 100
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui sebagian besar umur balita
antara 37-50 bulan baik pada balita gizi baik dan gizi kurang.
4.1.2 Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Status Gizi
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Orang Tua Balita Tentang
Gizi
(n = 30)
Pengetahuan Balita gizi baik Balita gizi kurang
f % f %
Tinggi 24 20 15 50
Rendah 6 80 15 50
Jumlah 30 100 30 100
50
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui sebagian besar orang tua pada
balita gizi baik mempunyai pengetahuan tinggi dan orang tua balita
gizi kurang mempunyai pengetahuan yang sama antara rendah dan
tinggi tentang gizi.
4.1.3 Tingkat Pendidikan Ibu
Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Ibu Balita
(n = 30)
Pendidikan Ibu Balita gizi baik Balita gizi kurang
f % f %
Dasar 16 53.3 17 56.7
Menengah dan tinggi 14 46.7 13 43.3
Jumlah 30 100 30 100
Berdasarkan tabel 4.5 diketahui sebagian besar tingkat
pendidikan ibu balita adalah berpendidikan dasar, baik pada balita gizi
baik dan balita gizi kurang.
4.1.4 Tingkat Pendapatan Keluarga
Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Tingkat Pendapatan Keluarga
(n = 30)
Pendapatan Balita gizi baik Balita gizi kurang
f % f %
≥UMR 26 86.7 16 53.3
< UMR 4 13.3 14 46.7
Jumlah 30 100 30 100
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui sebagian besar pendapatan orang
tua lebih dari upah UMR sebesar Rp. 1.287.000,- baik pada balita gizi
baik dan balita gizi kurang.
51
4.1.5 Pemberian ASI
Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Pemberian ASI
(n = 30)
Pemberian ASI Balita gizi baik Balita gizi kurang
f % f %
Eksklusif 15 50.0 11 36.7
Tidak eksklusif 15 50.0 19 63.3
Jumlah 30 100 30 100
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui ibu pada balita gizi baik antara
yang memberikan ASI eksklusif dengan tidak memberikan ASI secara
eksklusif adalah sama besar, sementara ibu dari balita gizi kurang
mayoritas memberikan ASI secara tidak ekslusif.
4.1.6 Imunisasi
Tabel 4.8
Distribusi Frekuensi Pemberian Imunisasi pada Balita
(n = 30)
Pemberian
Imunisasi
Balita gizi baik Balita gizi kurang
f % f %
Lengkap 30 100 30 100
Tidak lengkap 0 0 0 0
Jumlah 30 100 30 100
Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa semua balita telah
diberikan imunisasi secara lengkap.
4.1.7 Berat Balita Saat Lahir
Tabel 4.9
Distribusi Frekuensi Berat Balita Saat Lahir
(n = 30)
Berat Balita Saat
Lahir
Gizi Baik Gizi Kurang
f % f %
Normal 30 100 21 70.0
Rendah 0 0 9 30.0
Jumlah 30 100 30 100
52
Berdasarkan tabel 4.9 diketahui bahwa pada balita gizi baik
semuanya memiliki berat badan lahir normal, sementara pada balita gizi
kurang mayoritas saat lahir memiliki berat badan normal.
4.2. Analisis Bivariat
4.2.1. Hubungan antara Pengetahuan ibu dengan Kejadian Balita Gizi
Kurang
Tabel 4.10
Hubungan antara Pengetahuan Ibu dengan kejadian Balita Gizi
Kurang
(n = 30)
Pengetahuan Gizi Baik Gizi Kurang Jumlah p OR
f % f % f %
Tinggi 24 40 15 25 39 100 0,029 4,000
Rendah 6 10 15 25 21 100
Berdasarkan tabel 4.10 diketahui ibu dengan pengetahuan tinggi
menjadikan balita mempunyai gizi yang baik sebesar 40%.
Pengetahuan ibu balita yang rendah menjadikan balita mempunyai
gizi yang kurang sebesar 25%. Hasil uji bivariat diketahui nilai p
sebesar 0,029 < 0,05; sehingga keputusan Ho ditolak, yang artinya
ada hubungan antara pengetahuan orang tua dengan kejadian balita
gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan. Nilai Odd Ratio
(OR) sebesar 4,00 mempunyai makna bahwa pengetahuan ibu yang
tinggi mempunyai peluang 4 kali lebih besar menjadikan balita
53
memiliki gizi baik daripada ibu dengan pengetahuan yang rendah
tentang gizi.
4.2.2. Hubungan antara Tingkat Pendidikan Ibu dengan Kejadian
Balita Gizi Kurang
Tabel 4.11
Hubungan antara Tingkat Pendidikan Ibu dengan Kejadian
Balita Gizi Kurang
Pendidikan
ibu
Gizi baik Gizi kurang Jumlah p OR
f % f % f %
Dasar 16 48,5 17 51,5 33 100 1,000 0,874
Menengah
dan Tinggi
14 51,9 13 48,1 27 100
Berdasarkan tabel 4.11 diketahui ibu balita dengan pendikan
dasar lebih banyak menjadikan balita dengan gizi kurang sebesar
51,5% dan ibu balita dengan pendidikan menengah dan tinggi
menjadikan balita memiliki gizi baik sebesar 51,9%. Hasil uji bivariat
diketahui nilai p sebesar 1,000 > 0,05 sehingga keputusan Ho
diterima, yang artinya tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan
ibu dengan kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas
Cebongan.
4.2.3. Hubungan antara Tingkat Pendapatan Keluarga dengan
Kejadian Balita Gizi Kurang
Tabel 4.12
Hubungan antara Tingkat Pendapatan Keluarga dengan Kejadian
Balita Gizi Kurang
Pendapatan
keluarga
Gizi baik Gizi kurang Jumlah p OR
f % f % f %
≥ UMR 26 61,9 16 38,1 42 100 0,010 5,688
< UMR 4 22,2 14 77,8 18 100
54
Berdasarkan tabel 4.12 diketahui orang tua balita dengan
pendapatan lebih dari UMR lebih banyak menjadikan balita dengan
gizi baik. Orang tua balita dengan pendapatan kurang dari UMR lebih
banyak menjadikan balita dengan gizi kurang. Hasil uji bivariat
diketahui nilai p sebesar 0,010 < 0,05 sehingga keputusan Ho ditolak
yang artinya ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan
kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.
Nilai Odd Ratio (OR) sebesar 5,688 mempunyai makna tingkat
pendapatan keluarga lebih dari UMR mempunyai peluang 5,688 kali
lebih besar menjadikan balita dengan gizi baik daripada tingkat
pendapatan keluarga kurang dari UMR.
4.2.4. Hubungan antara Pemberian ASI dengan Kejadian Balita Gizi
Kurang
Tabel 4.13
Hubungan antara Pemberian ASI dengan Kejadian Balita Gizi Kurang
Pemberian
ASI
Gizi Baik Gizi Kurang Jumlah p OR
f % f % f %
Ekslusif 20 64,5 11 35,5 31 100 0,038 3,455
Tidak
eksklusif
10 34,5 19 65.5 29 100
Berdasarkan tabel 4.13 diketahui balita yang mendapat ASI
eksklusif menjadikan balita memiliki gizi baik, sementara balita yang
mendapat ASI tidak eksklusif menjadikan balita memiliki gizi kurang.
Hasil uji bivariat diketahui nilai p sebesar 0,038 < 0,05 sehingga
keputusan Ho ditolak yang artinya ada hubungan antara pemberian
55
ASI dengan kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas
Cebongan. Nilai Odd Ratio (OR) sebsar 3,455 mempunyai makna
balita yang mendapat ASI ekslusif mempunyai peluang 3,455 kali
lebih besar menjadikan balita mempunyai gizi baik daripada balita
yang tidak diberikan ASI secara ekslusif.
4.2.5. Hubungan antara Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian
Balita Gizi Kurang
Tabel 4.14
Hubungan antara Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian
Balita Gizi Kurang
Kelengkapan
Imuniasasi
Gizi baik Gizi kurang Jumlah p OR
f % f % f %
Lengkap 30 100 30 100 60 100 - -
Belum
lengkap
0 0 0 0 0 0
Berdasarkan tabel 4.14 diketahui semua balita baik pada balita
gizi baik dan balita gizi kurang semuanya secara lengkap telah
mendapat imunisasi (100%). Hasil uji statistik diketahui nilai p dan
nilai OR tidak dapat dihitung, karena tidak ada balita pembanding.
Syarat tabulasi 2 x 2 tidak terpenuhi.
56
4.2.6. Hubungan antara Berat Badan Balita Saat Lahir dengan
Kejadian Balita Gizi Kurang
Tabel 4.15
Hubungan antara Berat Badan Balita saat Lahir dengan Kejadian
Balita Gizi Kurang
Berat Badan
Balita Saat
Lahir
Gizi
baik
Gizi
kurang
Jumlah
p OR
f % f % f %
Normal 30 50,8 21 41,2 51 100 0.002 2,429
Rendah 0 0 9 100 9 100
Berdasarkan tabel 4.15 diketahui balita dengan berat badan
saat lahir normal lebih banyak menjadikan balita memiliki gizi baik
sementara balita dengan berat badan saat lahir rendah cenderung
menjadikan balita mempunyai gizi kurang. Hasil uji bivariat diketahui
nilai p sebesar 0,002 < 0,05 sehingga keputusan Ho ditolak yang
artinya ada hubungan antara berat badan bayi saat lahir dengan
kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.
Nilai Odd Ratio (OR) sebsar 2,429 mempunyai makna balita saat
lahir dengan berat badan normal mempunyai peluang 2,429 kali lebih
besar menjadikan balita dengan gizi baik daripada balita dengan berat
badan lahir rendah.
57
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Analisis Univariat
5.1.1 Pekerjaan Ibu
Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar pekerjaan
orang tua responden sebagai buruh, dimana pada balita gizi baik
sebanyak 19 orang (63,3%) sementara pada balita gizi kurang sebanyak
23 orang (76,6%). Penduduk di sekitar wilayah kerja Puskesmas
Cebongan banyak yang bekerja sebagai buruh. Hal ini disebabkan di
Kota Salatiga terdapat beberapa pabrik yang berdiri seperti pabrik
tekstil, pabrik garmen, pabrik rokok yang lebih banyak menggunakan
tenaga kerja perempuan. Ibu yang bekerja sebagai buruh bekerja selama
delapan jam dalam sehari dari jam 07.00 – 15.00 WIB.
Mubarak (2007) menyatakan lingkungan pekerjaan dapat
menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik
secara langsung maupun secara tidak langsung termasuk masalah gizi
balita. Ibu yang mendapat pengetahuan tentang gizi balita tentu akan
lebih berusaha untuk memberikan gizi yang baik kepada balita mereka.
5.1.2 Jenis Kelamin Balita
Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar jenis
kelamin pada balita gizi baik adalah laki-laki sebanyak 19 balita
(63,3%) dan jenis kelamin balita gizi kurang adalah perempuan
58
sebanyak 21 orang (70%). Banyaknya balita perempuan dikarenakan
berdasarkan data yang ada di Puskesmas Pembantu Noborejo yang
merupakan wilayah kerja Puskesmas Cebongan diketahui dari 70 balita,
sebanyak 42 balita berjenis kelamin perempuan. Oleh karena itu dalam
penelitian ini mayoritas balita adalah berjenis kelamin perempuan.
5.1.3 Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Status Gizi
Berdasarkan hasil penelitian tingkat pengetahuan orang tua
terutama ibu tentang status gizi masih ditemukan pegetahuan yang
rendah, untuk kelompok gizi baik sebanyak 6 orang (20%) sementara
kelompok gizi kurang sebanyak 15 orang (50%). Hal ini wajar dengan
tingkat pengetahuan ibu yang rendah tentang status gizi balita menjadi
kurang status gizinya. Rendahnya pengetahuan orang tua tentang status
gizi ini dapat disebabkan masih banyak ibu balita berpendidikan dasar.
Dengan adanya pendidikan dasar setidaknya akan mempengaruhi
tingkat pengetahuan, termasuk pengetahuan yang baik tentang status
gizi. Selain itu dapat disebabkan ibu belum pernah mendapatkan
pendidikan kesehatan tentang status gizi bagi bayi dan balita. Meskipun
saat kegiatan posyandu di wilayah kerja Puskesmas Cebongan, namun
informasi yang diberikan ternyata kurang intensif sehingga
menyebabkan ibu kurang paham tentang pemberian status gizi yang
baik bagi balita.
Dengan banyaknya pengetahuan yang rendah pada ibu dapat
berdampak pada sikap dan perilaku ibu dalam memberikan makanan
59
kepada balita, yang menimbulkan ketidakseimbangnya makanan bergizi
yang dibutuhkan balita yang sangat penting dalam masa pertumbuhan,
sehingga menyebabkan balita mempunyai status gizi kurang. Namun
pada balita yang mempunyai gizi baik pun ibu juga memiliki tingkat
pengetahuan yang rendah tentang status gizi. Hal ini mungkin
dikarenakan balita sering diasuh oleh nenek atau pengasuhnya yang
jauh memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang gizi dibandingkan
ibu, sehingga balita tetap dapat terpenuhi gizi dengan baik meskipun
ibunya sendiri rendah pengetahuannya tentang gizi.
Seperti halnya Watloly (2002) mengutarakan bahwa tingkat
pengetahuan yang rendah dapat menyebabkan kesalahan dalam
pemahaman, kebenaran yang tidak lengkap dan tidak terstruktur dimana
manifestasinya berupa kesalahan manusia atau individu dalam
melakukan praktek kehidupannya karena dilandasi pengetahuan yang
salah. Hal ini didukung oleh pendapat dari Ihsan (2012), bahwa tingkat
pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan
memahami pengetahuan yang mereka peroleh, semakin tinggi
pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya. Ihsan
juga menambahkan bahwa tingkat pengetahuan ibu memang sangat
mempengaruhi status gizi balita karena kebutuhan dan kecukupan gizi
anak balita tergantung dari pengetahuan ibu mengenai jenis makanan
yang diberikan oleh ibu.
60
5.1.4 Tingkat Pendidikan Ibu
Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar responden
masuk dalam pendidikan dasar yaitu lulus SD dan lulus SMP. Balita
gizi baik sebanyak 16 orang (53,3%) dan Balita gizi kurang sebanyak
17 orang (56,7%). Warga di sekitar wilayah kerja Puskesmas Cebongan
banyak yang berpendidikan dasar yaitu hanya lulusan SD dan SMP,
meskipun tempat tinggal responden yang tidak jauh dari kota Salatiga.
Hal ini tidak terlepas dari karakteristik wilayah Desa Noborejo yang
masih menganggap bahwa seorang wanita hanya dengan berpendidikan
SMP sudah dianggap cukup atau wajar dan siap untuk bekerja atau
justru menikah. Meskipun ibu memiliki pendidikan rendah tetapi
dengan pengalaman yang lebih banyak menjadikan ibu mampu
memberikan gizi seimbang kepada balitanya sehingga balita memiliki
status gizi yang baik.
Mubarok (2007) menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi
kesempatan memperoleh informasi mengenai penatalaksanaan
kesehatan. Tingkat pendidikan orang tua ini dapat mempengaruhi
tingkat pengetahuan, termasuk permberian makanan yang bergizi untuk
balitanya. Namun pendidikan dasar pada responden tidak menutup
untuk menerima informasi pengetahuan di luar pendidikan formal.
Informasi pengetahuan dapat diperoleh dari petugas kesehatan seperti
dalam kegiatan posyandu ataupun saat pemeriksaan kesehatan balita di
puskesmas.
61
5.1.5 Tingkat Pendapatan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar responden
mempunyai tingkat pendapatan sesuai upah minimal regional (UMR).
Kelompok pada balita gizi baik sebanyak 26 orang (86,7%) dan
kelompok balita gizi kurang sebanyak 17 orang (53,3%). Meskipun
pendapatan responden mayoritas sesuai UMR dari hasil penelitian
masih ditemukan balita dengan status gizi kurang. Hal ini dipengaruhi
oleh faktor lain seperti jumlah anggota keluarga yang ditanggung lebih
besar, artinya semakin banyak anggota keluarga yang ditanggung maka
semakin banyak pengeluaran biaya untuk mencukupi kebutuhan gizi
keluarga, sedangkan disisi lain pendapatan keluarga per bulan dapat
dianggap tetap namun harga bahan makanan yang cenderung semakin
mahal. Faktor-faktor lain diatas yang perlu harus diperhatikan oleh
pemerintah daerah.
Kondisi ini dapat berpengaruh pada status gizi balita. Selain itu
ibu juga memiliki pengetahuan yang rendah sehingga meskipun tingkat
pendapatan sesuai UMR ibu belum mengetahui menu seimbang yang
baik diberikan kepada balita sehingga balita tetap dalam kondisi gizi
buruk.
Notoatmodjo (2007) berpendapat bahwa salah satu faktor
presdisposisi yang mempengaruhi perilaku adalah status ekonomi,
artinya perilaku kebutuhan hidup sehat dipengaruhi oleh kemampuan
keluarga secara ekonomi. Sihadi (2006) menambahkan bahwa tingkat
62
pendapatan ikut menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli dengan
adanya tambahan uang, semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula
persentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk membeli
berbagai jenis bahan pangan.
Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan
kualitas makan dalam keluarga. Perubahan pendapatan dapat
mempengaruhi perubahan pola asuh gizi yang secara langsung
mempengaruhi konsumsi pangan pada balita. Meningkatnya
pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan
dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
Sebaliknya, pendapatan yang rendah akan menyebabkan
penurunan dalam hal kualitas dan penurunan kuantitas pangan yang
dibeli dan makanan yang dikonsumsi tidak mempertimbangkan nilai
gizi, tetapi nilai materi lebih menjadi pertimbangan. Terdapat dua
peubah ekonomi yang cukup dominan sebagai determinan pola asuh
gizi yaitu pendapatan keluarga dan harga pangan.
5.1.6 Pemberian ASI
Berdasarkan hasil penelitian diketahui pada balita gizi baik ibu
memberikan ASI ekslusif sebanyak 15 orang (50%), sementara ibu pada
balita gizi kurang mayoritas memberi ASI secara tidak ekslusif
sebanyak 19 orang (63,3%).
Menurut peneliti bagi ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik
atau yang lain, maka kesempatan untuk memberikan ASI ekslusif
hingga bayi usia 6 bulan adalah sulit. Kondisi ini terjadi karena ibu
yang sudah habis masa cuti selama 2 bulan tidak dapat memberikan
63
ASI secara langsung, meskipun ibu memerah ASI dan dimasukkan
dalam botol ASI, namun kebutuhan bayi selama ditinggal bekerja masih
kurang, sehingga memungkinkan kecenderungan bayi ditambah dengan
susu formula selama ibu bekerja.
Menurut Henderson dan Jone (2006), kandungan susu formula
masih sangat rendah dibandingkan kandungan ASI. ASI ekslusif
mengandung sel darah putih, zat kekebalan, hormon, faktor
pertumbuhan, vitamin, air, protein, bahkan zat yang dapat membunuh
bakteri dan virus. Anak yang sehat karena ASI lebih tahan terhadap
penyakit.
Brown et al (2005) menambahkan bahwa ASI lebih unggul
dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu formula, karena
kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada susu sapi
sehingga tidak memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah
dicerna. Selain itu, ASI mengandung lemak dalam bentuk asam amino
esensial, asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol
dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi.
Roesli (2005) menyatakan pemberian ASI secara eksklusif ini
dianjurkan untuk jangka waktu sampai 6 bulan, jika usia anak sudah
lebih dari 6 bulan, maka harus mulai diperkenalkan dengan makanan
padat. Dengan demikian bahwa balita yang telah berumur diatas 6 bulan
sudah dapat mendapat asupan gizi di luar ASI ekslusif. Pemberian
makanan kepada balita dengan kandungan gizi yang seimbang sangat
tergantung dari pengetahuan dan kemampuan orang tua. Orang tua yang
memahami kebutuhan gizi balita akan berusaha memberikan asupan
64
makanan yang seimbang yang dibutuhkan oleh balita mengingat balita
sudah tidak mendapat ASI ekslusif lagi dimana pada saat penelitian usia
balita diatas 24 bulan.
Pemberian ASI eksklusif dipengaruhi banyak faktor, diantaranya
sosial budaya, pengaruh promosi susu formula, dukungan petugas
kesehatan, kesehatan ibu, kesehatan bayi, status pekerjaan ibu, tingkat
pendidikan ibu dan pengetahuan serta sikap ibu. Pendidikan pada satu
sisi mempunyai dampak positif yaitu ibu mengerti akan pentingnya
pemeliharaan kesehatan termasuk pemberian ASI eksklusif. Namun
pendidikan yang semakin tinggi juga akan berdampak adanya
perubahan nilai sosial seperti anggapan bahwa menyusui dianggap tidak
modern dan dapat mempengaruhi bentuk payudara ibu.
Pemberian ASI pada bayi dianggap tidak modern dan
menempatkan ibu pada kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan
ibu golongan atas. Pengetahuan dan sikap petugas kesehatan dalam
memberikan penyuluhan tentang ASI sangat berpengaruh pada
keberhasilan menyusui. Bayi yang sehat, tidak menderita kelainan atau
penyakit tertentu lebih mudah untuk menyusu. Kondisi ibu yang tidak
dianjurkan untuk menyusui bayi seacara permanen adalah ibu yang
terinfeksi HIV. Hal ini untuk mencegah penularan ibu-anak melalui
ASI. Tekanan ekonomi memaksa ibu bekerja untuk mencari
penghasilan sehingga tidak mempunyai kesempatan memberikan ASI
secara ekslusif (Syarif dkk, 2011).
65
5.1.7 Pemberian Imunisasi
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa seluruh responden
penelitian diketahui telah diberikan imunisasi secara lengkap (100%)
baik pada balita yang menderita gizi buruk dan pada balita gizi baik.
Pemberian imuniasasi kepada balita dilakukan pada saat kegiatan
posyandu ataupun sesuai dengan jadwal imunisasi di puskesmas.
Puskesmas Cebongan yang terletak di pinggir jalan raya, memudahkan
ibu untuk imunisasi balitanya secara lengkap di Puskesmas Cebongan
karena mudah dijangkau.
Seperti yang dilaporkan Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa
cakupan imunisasi balita diIndonesia secara lengkap angkanya
mengalami peningkatan mulai dari 41,6 persen pada tahun 2007
menjadi 53,8% pada tahun 2010 dan 59,2 persen pada tahun 2013,
termasuk di Puskesmas Cebongan Kota Salatiga sebagai bagian dari
wilayah Propinsi Jawa Tengah.
. Wise (2004) berpendapat bahwa dengan pemberian vaksin,
tubuh bayi atau anak akan membentuk antibody, sehingga tubuh bayi
atau balita telah siap (telah kebal) bila terinfeksi oleh penyakit menular
tersebut. Dengan kata lain terhindarnya bayi atau anak dari berbagai
penyakit dapat memperbaiki status gizi anak tersebut.
66
5.1.8 Berat Badan Saat Bayi Lahir
Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebesar 100% balita
dengan gizi baik saat lahir memiliki berat badan normal sedangkan
sebanyak 21 balita (70%) pada saat lahir memiliki berat badan normal
namun saat ini mengalami gizi kurang. Hal ini mungkin disebabkan
saat masa tumbuh kembang anak tidak diberikan asupan gizi secara
seimbang meskipun selama 6 bulan penuh sudah diberikan ASI secara
ekslusif, namun tidak diberikannya asupan gizi secara seimbang. Hal
ini disebabkan ibu memiliki pengetahuan yang rendah, sehingga ibu
tidak memahami pola asuh gizi yang secara langsung dapat
mempengaruhi konsumsi pangan pada balita yang berpengaruh ada
pemberian pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
Joeharno (2008) menyatakan kejadian berat badan lahir rendah
(BBLR) pada dasarnya berhubungan dengan kurangnya pemenuhan
nutrisi pada masa kehamilan ibu dan hal ini berhubungan dengan
banyak faktor dan lebih utama pada masalah perekonomian keluarga
sehingga pemenuhan kebutuhan konsumsi makanan pun kurang.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Wibowo (2008), dia
berpendapat bahwa bayi yang lahir dengan BB rendah akan lebih cepat
bertambah berat badanya seakan-akan mengejar ketertinggalanya
sedangkan bayi non BBLR umumnya sering tumbuh lambat hal ini
diperkirakan oleh kualitas dan kuantitas makanan serta gangguan
pencernaan yang dialami selama masa tumbuh kembang balita.
67
Tonda (2012) juga menambahkan bahwa balita usia 2-5 tahun
merupakan kelompok yang rentan atau rawan terhadap status gizi.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi kurang atau
buruk pada balita adalah berat lahirnya yang kurang (BBLR). Bayi
dengan berat lahir rendah mengalami pertumbuhan dan perkembangan
lebih lambat pada organ-organ tubuhnya. Keadaan ini menjadi lebih
buruk lagi jika BBLR kurang mendapat asupan energi dan zat gizi,
mendapat pola asuh yang kurang baik, dan sering menderita penyakit
infeksi.
5.2 Analisis Bivariat
5.2.1 Hubungan antara Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Balita Gizi
Kurang
Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada hubungan antara
pengetahuan ibu dengan kejadian balita gizi kurang. Pengetahuan ibu
yang tinggi tentang gizi balita menjadikan lebih memahami kebutuhan
gizi balita dibandingkan ibu dengan pengetahuan yang masih rendah.
Ibu dapat memberikan menu yang bervariasi sehingga balita tidak
bosan dengan menu yang disediakan dan tercukupuinya kebutuhan
akan gizi seimbang bagi balita.
Dengan pengetahuan yang tinggi maka ibu mempunyai dasar
untuk bertindak dalam memilih dan memberikan asupan gizi yang
sesuai dengan usia bayi. Pemberian makanan bergizi seperti
memberikan sayur mayur dan buah yang sangat dibutuhkan oleh bayi
68
dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia bayi. Dalam
penelitian ini mayoritas ibu memiliki pengetahuan yang rendah baik
pada balita dengan gizi baik maupun balita dengan gizi kurang. Pada
balita gizi kurang terjadi karena itu ibu berpengetahuan rendah tentang
gizi sehingga belum memahami pemberian gizi seimbang bagi
balitanya sehingga menyebabkan balita gizi kurang. Sedangkan pada
balita gizi baik dengan ibu mempunyai pengetahuan rendah
disebabkan ibu bekerja dan lebih banyak diasuh oleh nenek atau
pengasuh yang jauh lebih mengetahui gizi seimbang yang baik bagi
tumbuh kembang balita. Dengan ibu mempunyai pengetahuan yang
tinggi maka ibu lebih banyak memahami asupan gizi seimbang yang
baik tumbuh kembang balita sehingga balita dapat tumbuh dengan
baik.
Dalam penelitian ini ada ibu dengan pengetahuan tinggi namun
balita mempunyai gizi kurang, hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Pormes (2014) bahwa kejadian ini dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti besarnya keluarga dimana jarak kelahiran antar anak amat dekat
akan menimbulkan lebih banyak masalah. Apabila pendapatan
keluarga pas-pasan sedangkan jumlah anak pada keluarga tersebut
banyak maka, pemerataan dan kecukupan makanan dalam keluarga
kurang bisa dijamin. Penyakit infeksi juga menjadi salah satu faktor
penyebab stunting, dimana infeksi sendiri mengakibatkan balita
kehilangan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare.
69
Notoadmojo (2010) berpendapat bahwa pengetahuan seseorang
dapat mempengaruhi sikap dan perilaku. Pengetahuan yang tinggi
dapat mempengaruhi sikap positif dan perilaku yang baik termasuk
dalam memberikan asupan gizi balita dengan baik. Pengetahuan
tentang gizi pada orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
diantaranya adalah umur diamana semakin tua umur sesorang maka
proses perkembangan mentalnya menjadi baik, intelegensi atau
kemampuan untuk belajar dan berpikir abstrak guna, menyesuaikan
diri dalam situasi baru, kemudian lingkungan dimana seseorang dapat
mempelajari hal-hal baik juga buruk tergantung pada sifat
kelompoknya, budaya yang memegang peran penting dalam
pengetahuan, pendidikan merupakan hal yang mendasar untuk
mengembangkan pengetahuan, dan pengalaman yang merupakan guru
terbaik dalam mengasah pengetahuan.
Seperti halnya sesuai dengan pendapat dari Fatimah (2008),
dimana pengetahuan orangtua terutama ibu tentang gizi sangat
berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi yang diperoleh oleh
balita. Orangtua perlu memahami pengetahuan tentang gizi, terutama
yang berkaitan dengan zat-zat yang dikandung dalam makanan, cara
mengolah makanan, menjaga kebersihan makanan, waktu pemberian
makan dan lain-lain, sehingga pengetahuan yang baik akan membantu
ibu atau orangtua dalam menentukan pilihan kualitas dan kuantitas
makanan.
70
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian dari Turnip
(2014) diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan ibu dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas
Glugur Darat tahun 2014, begitu juga mendukung hasil penelitian dari
Rachmawati, dkk (2015) dimana responden yang berpengetahuan
kurang tentang gizi hal ini dikarenakan responden tidak aktif bertanya
pada tenaga kesehatan, juga disebabkan responden baru mempunyai
anak sehingga kurang mendapatkan pengalaman tentang pemberian
gizi seimbang kepada balita agar tidak terjadi gizi buruk pada balita.
5.2.2 Hubungan antara Tingkat Pendidikan Ibu dengan Kejadian Balita
Gizi Kurang
Berdasarkan hasil penelitian diketahui tidak ada hubungan
antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian balita gizi kurang
dengan p value sebesar 1,00. Berdasarkan hasil penelitian sebagian
besar responden berpendidikan dasar yaitu SD dan SMP. Hal ini
berkaitan dengan sosiodemografi dimana di wilayah Puskesmas
Cebongan sebagian besar bekerja sebagai petani dan buruh pabrik
khususnya penduduk perempuan.
Menurut peneliti bahwa tidak selama pendidikan seseorang
yang tinggi akan diikuti dengan kondisi gizi yang baik pada bayi. Hal
ini terjadi karena orang yang berpendidikan tinggi dan lebih banyak
sibuk bekerja di luar rumah, maka memungkinan tidak adanya waktu
untuk memasak bagi kebutuan makan bayi secara sehat. Meskipun ibu
71
hanya berpendidikan rendah tetapi mempunyai kesempatan mengasuh
bayi secara penuh, sehingga ibu dapat memberi asupan gizi yang baik
bagi balita dimana ibu berbelanja di pasar dan memilih sayur dan buah
yang baik bagi bayinya.
Menurut pendapat Notoadmojo (2010) bahwa semakin tinggi
pendidikan seseorang maka tingkat pengetahuan seseorang juga
semakin tinggi. Pendidikan seseorang yang meningkat mengajarkan
individu mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya, termasuk
dalam memberikan asupan gizi kepada balita.
Ulfah dan Fransiska (2014) berpendapat bahwa tingkat
pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh.
Tingkat pendidikan ibu dapat mempengaruhi pengetahuan tentang
perawatan kesehatan seperti apabila balita sakit ibu tidak segera
membawa balita ke fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu
pendidikan juga dapat mempengaruhi pengetahuan tentang gizi yang
baik untuk pertumbuhan dan perkembangan balita sehingga asupan
gizi yang dikonsumsi balita juga kurang. Dengan adanya anak yang
mengalami status gizi kurus dan sangat kurus ini harus mendapat
perhatian yang serius agar keadaan tidak menjadi hal yang buruk. Hal
ini jika dibiarkan berlarut – larut maka dapat menurunkan derajat
kesehatan anak dan menghambat perkembangan fisik dan mental
anak.
72
Nilakesuma (2015) dalam penelitiannya juga menunjukkan
tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara tingkat
pendidikan ibu dengan status gizi. Seseorang yang hanya tamat
sekolah dasar akan berbeda pengetahuan gizinya dibanding dengan
yang pendidikannya lebih tinggi. Namun, belum berarti seseorang
yang hanya tamat sekolah dasar kurang mampu menyusun makanan
yang memenuhi persyaratan gizi. Hal ini dikarenakan jika orang
tersebut rajin membaca informasi tentang gizi atau turut serta dalam
penyuluhan gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik.
Hanya saja perlu dipertimbangkan, seseorang yang memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi akan lebih mudah dalam menerima pesan dan
informasi gizi. Pendidikan pada satu sisi mempunyai dampak positif
yaitu ibu semakin mengerti akan pentingnya pemeliharaan kesehatan,
tetapi di sisi lain pendidikan yang semakin tinggi juga akan
berdampak adanya perubahan nilai sosial.
5.2.3 Hubungan antara Tingkat Pendapatan dengan Kejadian Balita
Gizi Kurang
Berdasarkan hasil penelitian diketahui adanya hubungan antara
pendapatan orang tua dengan kejadian balita gizi kurang dengan p
value sebesar 0,010. Peningkatan pendapatan dalam rumah tangga
memberikan kesempatan kepada ibu untuk memperbaiki dan
meningkatkan mutu jumlah dan keragaman pangan yang dapat dibeli.
Tingkat pendapatan yang cukup, maka ibu lebih leluasa untuk memilih
73
dan membeli kebutuhan bayi seperti membeli daging sapi, ikan, buah
meskipun harga dipasar cukup mahal. Namun sebaliknya, ibu yang
tidak mempunyai pendapatan yang cukup, maka akan kesulitan
memberikan asupan gizi yang baik kepada bayi dimana ibu hanya
memberikan sayur dan lauk dengan menu yang jarang bervariasi
sehingga menjadikan bayi dengan gizi kurang meskipun tingkat
pendapatan keluarga di atas UMR namun, masih ditemukan balita
dengan gizi buruk.
Hal ini dapat dipengaruhi faktor lain seperti jumlah anggota
keluarga yang ditanggung lebih besar, artinya semakin banyak anggota
keluarga yang ditanggung maka semakin banyak pengeluaran biaya
untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarga, sementara disisi lain
pendapatan keluarga per bulan dapat dianggap tetap namun harga
bahan makanan yang cenderung semakin mahal. Faktor – faktor
tersebut harus menjadi perhatian oleh pemerintah.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Sihadi (2006) bahwa
tingkat pendapatan ikut menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli
dengan adanya tambahan uang, semakin tinggi pendapatan, semakin
besar pula persentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk
membeli berbagai jenis bahan pangan. Jadi pendapatan merupakan
faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makan dalam keluarga.
Perubahan pendapatan dapat mempengaruhi perubahan pola asuh gizi
yang secara langsung mempengaruhi konsumsi pangan pada balita.
74
Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk
membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
Sebaliknya, pendapatan yang rendah akan menyebabkan penurunan
dalam hal kualitas dan penurunan kuantitas pangan yang dibeli dan
makanan yang dikonsumsi tidak mempertimbangkan nilai gizi, tetapi
nilai materi lebih menjadi pertimbangan. Terdapat dua peubah
ekonomi yang cukup dominan sebagai determinan pola asuh gizi yaitu
pendapatan keluarga dan harga pangan
Namun berbeda dengan pendapat dari Soetjiningsih (2007)
yang menyatakan bahwa pendapatan keluarga yang baik dapat
menunjang tumbuh kembang anak. Hal ini dikarenakan orang tua
menyediakan semua kebutuhan anak-anaknya. Rendahnya pendapatan
merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu
membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, sehingga tinggi
rendahnya pendapatan sangat mempengaruhi daya beli keluarga
terhadap bahan pangan yang akhirnya berpengaruh terhadap status gizi
seseorang terutama anak balita karena pada masa itu diperlukan
banyak zat gzi untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sarah (2008)
yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
pendapatan keluarga dengan status gizi balita, begitu juga mendukung
hasil penelitian dari Turnip (2014) yang menunjukkan bahwa terdapat
75
hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan status
gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat tahun 2014.
5.2.4 Hubungan antara Pemberian ASI dengan Kejadian Balita Gizi
Kurang
Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada hubungan
pemberian ASI dengan kejadian balita gizi kurang. Hasil observasi
diperoleh bahwa ibu yang memberikan ASI tidak eksklusif ternyata
menjadikan bayi lebih sering sakit dibandingkan bayi yang diberi ASI
esksklusif. Sehingga dengan diberi ASI ekslusif maka berat bayi lebih
seimbang dengan usianya dibanding pada bayi yang tidak diberi ASI
tidak ekslusif. Dalam penelitian ini juga masih ditemukan meskipun
ibu memberikan ASI secara ekslusif pada 6 bulan pertama dalam
kehidupan bayi tetapi saat ini balita mengalami gizi kurang.
Gibney et al (2005) disebabkan karena komposisi ASI akan
berubah sejalan dengan kebutuhan bayi. Semakin besar tumbuh
kembang balita akan membutuhkan nutrisi yang lebih seimbang,
sehingga setelah 6 bulan pertama bayi tidak cukup hanya dengan
diberikan ASI saja tetapi juga diberikan nutrisi makanan tambahan
secara seimbang agar kebutuhan nutrisi bayi tercukupi dan balita
memiliki status gizi baik.
Roesli (2005) menyatakan anak yang baru lahir secara alamiah
mendapat immunoglobulin dari ibunya melalui ari-ari. Namun, kadar
zat ini akan cepat sekali menurun segera setelah anak lahir. Badan
76
anak sendiri baru membuat zat kekebalan cukup banyak sehingga
mencapai kadar protektif pada waktu berusia 9-12 bulan. Berdasarkan
hasil penelitian ini diketahui bahwa balita dengan status gizi baik
ternyata tidak semuanya menerima ASI eksklusif, demikian halnya
dengan balita dengan status gizi kurang diketahui ada yang mendapat
ASI ekslusif. Meskipun jumlah balita yang mendapat ASI tidak
ekslusif lebih banyak.
Pujiyanti (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh pemberian air susu ibu (ASI) terhadap status gizi
bayi. Hasil penelitian dari Giri, dkk (2013) juga menujukkan bahwa
ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita
usia 6-24 bulan di Kampung Kajanan Buleleng. ASI memiliki semua
unsur-unsur yang memenuhi kebutuhan bayi akan gizi selama periode
sekitar 6 bulan, kecuali jika ibu megalami keadaan gizi kurang yang
berat atau gangguan kesehatan lain.
Begitu juga mendukung hasil penelitian dari Mastin dan
Roosita (2015) yang menunjukkan bayi yang mendapat ASI eksklusif
cenderung memiliki frekuensi sakit dan periode lama sakit yang lebih
rendah dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI eksklusif pada
enam bulan pertama kehidupan bayi. Dengan frekuensi sakit dan
periode lama sakit yang rendah maka bayi dapat sehat sehingga nutrisi
dapat terserap dengan baik ke dalam tubuhnya, sehingga balita
77
memiliki status gizi yang baik dimana seimbang antara berat badan
dan tinggi badannya.
5.2.5 Hubungan antara Pemberian Imunisasi dengan Kejadian Balita
Gizi Kurang
Berdasarkan hasil penelitian diketahui tidak terdapat hubungan
antara pemberian imunisasi dengan kejadian balita gizi kurang.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa baik balita dengan gizi
baik dan balita gizi kurang semuanya telah diimunisasi secara lengkap.
Seperti yang dilaporkan Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa cakupan
imunisasi balita diIndonesia secara lengkap angkanya mengalami
peningkatan mulai dari 41,6 persen pada tahun 2007 menjadi 53,8%
pada tahun 2010 dan 59,2 persen pada tahun 2013, termasuk di
Puskesmas Cebongan Kota Salatiga sebagai bagian dari wilayah
Propinsi Jawa Tengah.
Mastin dan Roosita (2015) berpendapat bahwa tidak
ditemukan kecenderungan bahwa semakin baik kelengkapan imunisasi
bayi maka frekuensi sakit bayi semakin rendah dan lama sakit bayi
semakin singkat. Namun hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Vindriana (2012), dimana ada hubungan yang
bermakna antara Kelengkapan Imunisasi dengan Status Gizi di
Kelurahan Watonea wilayah kerja Puskesmas Katobu Kabupaten
Muna. Imunisasi merupakan domain yang sangat penting untuk
78
memiliki status gizi yang baik. Imunisasi yang lengkap biasanya
menghasilkan status gizi yang baik. Sebagai contoh adalah dengan
imunisasi seorang anak tidak mudah terserang penyakit yang
berbahaya, sehingga anak lebih sehat, dengan tubuh/status sehat
asupan makanan dapat masuk dengan baik, nutrisipun terserap dengan
baik. Nutrisi yang terserap oleh tubuh balita dimanfaatkan untuk
pertumbuhannya, sehingga menghasilkan status gizi yang baik.
5.2.6 Hubungan antara Berat Badan Bayi Saat Lahir dengan Kejadian
Balita Gizi Kurang
Berdasarkan hasil penelitian diketahui adanya hubungan antara
berat badan bayi saat lahir dengan kejadian balita gizi kurang dengan p
= 0,002. Menurut peneliti bayi yang lahir dengan berat badan rendah
akan lebih lama untuk menjadikan berat badan normal. Berbeda
dengan bayi yang sudah lahir dengan berat badan normal, maka bayi
akan lebih mudah untuk mempertahakan berat badan sesuai usia
ataupun meningkatkan berat badannya dengan mengkonsumsi seperti
ASI ekslusif. Dalam penelitian ini masih ditemukan balita pada saat
lahir memiliki berat badan normal namun saat sekarang balita justru
memiliki status gizi kurang. Hal ini dikarenakan ibu memiliki
pengetahuan yang rendah tentang gizi sehingga ibu belum begitu
memahami secara benar asupan nutrisi yang seimbang yang
dibutuhkan bayi untuk mendukung masa pertumbuhan dan
79
perkembangannya, sehingga membuat balita tumbuh dengan status gizi
kurang.
Tonda (2012) menjelaskan bahwa BBLR terjadi karena (1)
Faktor ibu, seperti penyakit malaria, anemia, infeksi dan komplikasi
pada kehamilan. Komplikasi yang terjadi pada kehamilan ibu seperti
perdarahan antepartum, pre-eklamsia berat, eklamsia, dan kelahiran
preterm. Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia muda. Faktor kebiasaan ibu juga
berpengaruh seperti ibu perokok, pecandu alkohol dan pengguna
narkotika. (2) Faktor janin Prematur, hidramion, kehamilan
kembar/ganda (gemeli). (3) Faktor lingkungan yang dapat berpengaruh
antara lain: tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi, sosio-ekonomi dan
paparan zat-zat racun. Sebagian besar bayi lahir dengan BB normal
dikarenakan ibu balita selalu memantau pertumbuhan dan
perkembangan janin, mengenali bahaya selama kehamilan serta
mengkonsumsi diet gizi seimbang. Selain itu, juga berkaitan dengan
pendidikan ibu yang tinggi karena ia dapat mengetahui berbagai
informasi dan pengetahuan tentang perkembangan janin.
Wibowo (2008) menambahkan bahwa bayi yang lahir dengan
BB rendah akan lebih cepat bertambah berat badanya seakan-akan
mengejar ketertinggalanya sedangkan bayi non BBLR umumnya
sering tumbuh lambat hal ini diperkirakan oleh kualitas dan kuantitas
80
makanan serta adanya gangguan pencernaan yang diderita bayi selama
masa pertumbuhan dan perkembangannya.
Sukmawati (2011) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa
bayi usia 6-12 bulan kejadian stunting berhubungan signifikan dengan
kejadian BBLR. Percepatan pertumbuhan bayi dengan BBLR terjadi
pada 3-6 bulan postnatal, selanjutnya sesudah umur 6 bulan kurva
pertumbuhan bayi berat lahir rendah tampak lebih mendatar. Bayi yang
lahir dengan BBLR mempunyai risiko untuk mengalami stunting pada
usia 6-12 bulan sebesar 3,6 kali dibandingkan dengan bayi yang lahir
dengan berat badan normal. Terjadi perubahan status stunting pada
usia 3-4 tahun dibandingkan dengan usia 6-12 bulan yaitu meningkat
sebanyak 6,3%.
Muqni (2012) menambahkan bahwa ada tiga hal yang
mendasari terjadinya pemberian makanan yang tidak adequat (cukup)
dan timbulnya penyakit infeksi yaitu rendahnya akses memperoleh
makanan dalam rumah tangga, rendahnya pelayanan kesehatan dan
lingkungan yang tidak sehat, serta rendahnya perhatian kepada anak
dan ibu. Anak balita dari keluarga sosial ekonomi yang tinggi
cenderung mengkonsumsi makanan kecil dengan kalori tinggi,
sementara anak balita dari kelompok ekonomi rendah cenderung
membeli makanan kecil dengan kalori rendah.
Srikandi (2011) dalam penelitiannya menunjukkan hasil
terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat berat bayi lahir
81
rendah dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Gondosari Kabupaten Kudus pada tahun 2011. Mcdonald, dkk., (2012)
dalam penelitiannya menunjukkan hasil dengan metode multivariate
didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara BBLR dengan status gizi
anak. Begitu juga dengan hasil penelitian Saputra (2012) yang
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara BBLR dengan
kejadian gizi buruk di Kelurahan Pringgokusuman Yogyakarta tahun
2012. Namun ada korelasi yang positif atau searah antara berat lahir
dan status gizi. Artinya, semakin besar nilai berat lahir semakin besar
pula nilai status gizi. Anak usia 2-3 tahun dengan riwayat berat lahir
rendah dan kecil masa kehamilan akan mengalami tumbuh kejar. Hal
ini dikarenakan ada faktor lain yang dapat mempengaruhi status gizi
anak antara lain : status sosial-ekonomi yang baik, pendidikan ibu
sedang-tinggi, tempat tinggal di perkotaan, episode infeksi yang
rendah (khususnya diare dan penyakit pernapasan), status menyusui
yang baik (misalnya pemberian ASI eksklusif), status kelahiran (bayi
bukan dengan kelahiran kembar), interval kelahiran >2 tahun,
pemberian makanan pendamping sejak dini, imunisasi yang lengkap
dan perawatan kesehatan yang cepat dan tepat waktu memiliki efek
positif yang signifikan pada kesehatan anak. Selain itu status gizi dan
kesehatan ibu juga genetika memainkan peran penting dalam
pertumbuhan.
82
82
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Mayoritas orang tua khususnya ibu bekerja sebagai buruh pabrik,
mayoritas balita berjenis kelamin perempuan, berumur antara 37-
50 bulan.
2. Mayoritas pengetahuan orang tua, khususnya ibu tentang gizi
masih rendah, mempunyai tingkat pendidikan rendah karena hanya
berpendidikan dasar, mempunyai tingkat pendapatan keluarga lebih
dari UMR, mayoritas ibu memberikan ASI eksklusif mempunyai
balita dengan gizi baik dan ibu tidak memberikan ASI eksklusif
mempunyai balita dengan gizi kurang, semua responden telah
diberikan imunisasi secara lengkap dan mayoritas balita pada saat
lahir mempunyai berat badan normal.
3. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian
balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.
4. Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian
balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.
5. Ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian
balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.
6. Ada hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian balita gizi
kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.
83
7. Tidak ada hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan kejadian
balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.
8. Ada hubungan antara berat badan bayi saat lahir dengan kejadian
balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan penelitan, maka peneliti
memberikan saran sebagai berikut:
6.2.1. Kepada orang tua balita
Diharapkan untuk terus meningkatkan pengetahuan tentang
pentingnya kebutuhan asupan gizi bagi balita sehingga kesehatannya
tetap terjaga serta dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan
usianya secara normal. Pengetahuan dapat diperoleh dengan tetap
aktif mengikuti kegiatan posyandu balita sehingga informasi tentang
gizi balita mudah diperoleh dari kader poyandu dan petugas
kesehatan dari puskesmas.
6.2.2. Bagi Masyarakat
Masyakarat diharapkan lebih peduli dan kooperatif serta
memberikan dukungan secara penuh terhadap pemberian ASI
eksklusif kepada bayi usia 0-6 bulan agar bayi dapat tumbuh dan
berkembang secara normal dan terjaga status gizinya secara baik.
6.2.3. Bagi Puskesmas
Diharapkan pihak Puskesmas dapat lebih efektif melakukan
penyuluhan dan pemberian pendidikan kesehatan di posyandu-
84
posyandu kepada ibu hamil dan ibu yang mempunyai anak balita
tentang pemberian asupan gizi dan pentingnya memberikan ASI
secara eksklusif terutama selama 6 bulan pertama dalam kehidupan
bayi setelah lahir, sehingga jumlah balita dengan gizi kurang dapat
berkurang.
6.2.4. Bagi Peneliti lain
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat lebih care agar
responden dapat bersikap lebih terbuka untuk menjawab kuesioner
atau dibantu dengan sesepuh masyarakat setempat agar responden
lebih percaya kepada peneliti dan mau bekerjasama, sehingga
kualitas pengisian kuesioner dapat lebih dipertanggungjawabkan.
Selain itu diharapkan peneliti selanjutnya dapat kontrak waktu yang
tepat saat ibu memiliki waktu luang dimana pada saat anak sedang
tidur sehingga responden dapat lebih fokus mengisi kuesioner secara
lebih real dan jujur, dengan cara peneliti mengunjungi rumah
responden satu per satu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Assaf, A.F. (2003). Health Care Quality : International Perspektif. Jakarta :
EGC.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. (2007). Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Departemen Kesehatan RI. (2013). Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Depkes RI. (2008). Pedoman Respon Cepat Penanggulangan Gizi Buruk, Jakarta:
Departemen Kesehatan.
Depkes RI. (2011). Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta: Departemen
Kesehatan.
DINKES Prov Jateng. (2013). Data informasi kesehatan jawa tengah 2013.
Efendi, Sofyan. (2012). Metode Penelitian Survei. Jakarta : LP3ES.
Evans, A., Seth, J.G., Smith, S., Harris, L. &Gothieb, N. (2011). Parental Feeding
Practice Concern Related to Child Underweight , Picky Eating and Using
Food to Calm Differ Acording to Etnicity/Race, Aculturation, and Income.
Springer Science &Bussnes Media, 15: 899-909.
Fatimah, Sari. 2008. Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terhadap Status Gizi
Pada Balita Di Kecamatan Ciawi Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal
Kesehatan Vol 10 No. XVIII Maret 2008 – September 2008 Hal 37-51.
Feinstorm.J.D.,Uauy.R. &Arroyo.P.(2005). Nutrition and Brain. Center for
international child health: institute of child health/University of London
UK.
Ghazi, H., Mustafa, J., Isa, J. &Abdalqader, A. (2013). Malnutrition Among 3 to 5
Years old in Baghdad City, Iraq: A Cross Sectionl Study. International
Center for Diarhoeal Disease Recsearch. 31(3): 350-355.
Gibney MJ, Barrie MM, John MK, and Leonore A. 2005. Public Health Nutrition.
Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Gibney, J., Michael, Barnie, M., Margarets, John, M.K. & Lenore, A. (2009). Gizi
Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.
Gulo,W. (2007). Metodelogi Penelitian. Jakarta: Grasindo.
Hassiotao, Underhill.J. & Hepworth. (2013). Immune Cells in Breast Milk
Increase During Infections Of The Mother And Infant. Australian Medical
Journal.AMJ. 2013, 6 (11) : 580-685.
Henderson, C., Jones, K. (2006). Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta. EGC.
http://www.indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementerian-negara-
pemberdayaan-perempuan-dan-perlindungan-anak/1596-kesehatan/2319-
86-bayi-di-indonesia-tidak-diberi-asi-eksklusif. Diakses 27 Nopember
2014. Pukul:22.00 WIB.
Ihsan M. (2012). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Balita
di Desa Teluk Rumbia Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. Jurnal
Gizi Indonesia. 2012; 22(3): 44-54.
Jamra, V. &Bankwar, V. (2013). Effect of Short Term Comunnity Based
Intervention to Reduce The Prevalence of Under Nutrition In Under Five
Childern. Niatjl Community Med, 4(3): 413-417.
Jansen, W., Sabin, J.R., Vincent, W.,Heinraat., Hofman, A. &Henning,T (2011).
Childern’s Eating Behaviour, Feeding Practice of Parents and Weight
Problems In Early Childhood: Result from the Population-Based
Generation R Study. BMC Public Health, 9: 130.
Joeharno, (2008). Beberapa Faktor Risiko Kejadian BBLR di Rumah Sakital
Fatah Ambon Periode Januari – Desember Tahun 2006. Skripsi. Tidak
diterbitkan. FIK , Universitas Negeri Ambon.
Jonny, P. (2005). Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Kahleen, R.M. (2009). Investigasidan Pengendalian Wabah di Pelayanan
Fasilitas Kesehatan. Jakarta: EGC.
Kelana Kusuma Dharma (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta:
Trans Info Media.
Kemenkes RI. (2012). Petunjuk Pelaksanaan Surveilans Gizi. Jakarta:Kementrian
Kesehatan RI.
Kemenkes RI. (2010). Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat 2010-2014.
Jakarta:Kementrian Kesehatan RI.
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2008).
Diakses pada 20 Oktober 2014. Pukul: 16.00WIB.
Kumar, A. & Sighn, A. (2013). Decomposing The Gap in Childhood
Undernutrition In Under Five Childern. Plus One, 8(5): e64972.
Mastin, Masruroh dan Katrin Roosita. (2015). Kecukupan Vitamin A dan Praktek
Pemberian Air Susu Ibu serta Kelengkapan Imunisasi Dasar dan
Morbiditas Bayi. Jurnal Gizi Pangan, Maret 2015, 10(1): 49-56.
Mc Donald, Kupka, R.,Bosch, R., Spiegelman, D. & Duggan, L.P. (2012).
Predictors of Stunting, Wasting, and Underweight Among Tanzanian
Childern Born to HIV-Infected Woman. Europan Journal of Clinical
Nutriion, 66: 1265-1276.
Muaris. H. (2006). Sarapan Sehat Untuk Anak Balita. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.
Mubarak. Wahid Iqbal. (2007). Promosi Kesehatan. Jogjakarta : Graha ilmu.
Muqni, Asry Dwi. (2012). Hubungan Berat Badan Lahir dan Pelayanan KIA
terhadap Status Gizi Anak Balita di Kelurahan Tamamaung Makassar.
Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.1,No.2, Februari 2012 :109-116.
Nilakesuma, Aisyah. (2015). Hubungan Status Gizi Bayi dengan Pemberian ASI
Ekslusif, Tingkat Pendidikan Ibu dan Status Ekonomi Keluarga di Wilayah
Kerja Puskesmas Padang Pasir. Artikel Penelitian Jurnal Kesehatan
Andalas. 2015; 4(1) hal37-44 diakses dari http://jurnal.fk.unand.ac.id
tanggal 6 Juni 2015. Pukul: 15.30 WIB.
Notoatmojo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Notoatmojo, Soekidjo. (2007). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: :
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2010). Promosi Kesehatan : Teori dan Aplikasidan. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Pei, L., Ren. & Yan, H. (2014). A Survey of Undernutrition in Childern Under
Three Years of Age in Rural Western China.BMC Public Health ,14 : 121.
Pormes, Wellem Elseus. (2014). Hubungan Pengetahuan Orang Tua Tentang Gizi
Dengan Stunting Pada Anak Usia 4-5 Tahun di TK Malaekat Pelindung
Manado. Jurnal Keperawatan vol 2 no 2 2014.
Priharsiwi. (2006). Potret Buram Anak Indonesia di-Era Otonomi Daerah
‘’Busung Lapar’’. Yogyakarta: Media Pasindo.
Priyatno, D. (2010). Teknik Mudah dan Cepat Melakukan Analisis Data
Penelitian dengan SPSS dan Tanya Jawab Ujian Pendadaran.
Yogyakarta: Gava Media.
Proverawati, A. (2010). Imunisasi dan Vaksinasi. Yogyakarta:Nuha Offset.
Pujiyanti, Suci. (2008). Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI), Konsumsi Zat
Gizi, dan Kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS) terhadap Status Gizi
Bayi. Jurnal Gizi dan Pangan, Maret 2008 3(1): 7 – 11.
Rahmawati, NA; I Novi Anding Suciati dan Istichhomah. (2015). Hubungan
Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Kurang Pada Balita Terhadap
Kejadian Gizi Kurang Di Desa Penusupan Tahun. SIKLUS 2015 -
ejournal.poltektegal.ac.id. diakses tanggal 6 Juni 2015. Pukul:16.00 WIB.
Roesli, Utami. (2005). Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya.
Saputra & Nurizka. (2012). Faktor Demografi dan Resiko Gizi Buruk dan Gizi
Kurang. Tanjung Biru Research Institute, 16(2): 95-101.
Saputra. ( 2012). Menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara BBLR
dengan kejadian gizi buruk. di Kelurahan Pringgokusuman Yogyakarta
tahun 2012.
Sarah. (2008). Penelitian yang berjudul hubungan antara pendapatan keluarga
dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Pantai Cermin
Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat.
Sihadi. (2006). Kurang Energi Protein pada Anak Balita. Jurnal Epidemiologi
Indonesia. Vol. 8 Edisi 3.
Sinclair, C. (2009). Buku Saku Kebidanan. Jakarta : EGC.
Soetjiningsih. (2007). Buku Ajar Tumbuh Kembang Remaja dan
Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto.
Srikandi, G. (2011). Hubungan Riwayat Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
Terhadap Status Gizi Anak Balita Di Puskesmas Gondosari Kabupaten
Kudus. Artikel Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Indonesia.
Suhardjo. (2005). Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Sukmawati, Yohana. (2011). Pengaruh BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan
Pemberian ASI Eksklusif terhadap Perubahan Status Stunting Pada Balita
di Kota dan Kabupaten Tangerang Provinsi Banten. Prosiding Seminar
Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di
Indonesia” 12 April 2011 161-169.
Sunarti, E. (2004). Mengasuh Dengan Hati. Jakarta: Elex Media Kompetindo.
Supariasa, N., Bakhri,B. & Fajar,I. (2013). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Supartini, Y., (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan anak. Jakarta: EGC.
Sutomo, B & Anggraini, D. Y., (2010), Makanan Sehat Pendamping ASI.
Demedia.Jakarta.
Syarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS. (2011). Buku Ajar Nutrisi
Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Tonda, Mikhael. (2012). Hubungan Status Gizi Saat Lahir dengan Pertumbuhan
Balita Saat Ini di Desa Caturtunggal Kecamatan Depok Sleman
Yogyakarta. Artikel Penelitian. Yogyakarta: Prodi Gizi Universitas
Respati Yogyakarta.
Turnip, Olivia. (2014). Hubungan Pendapatan, Penyakit Infeksi dan Pengetahuan
Ibu dengan Kejadian Gizi Kurang pada Balita di Wilayah Puskesmas
Glugur Darat Tahun 2014. Gizi, Kesehatan Reproduksi dan Epidemiologi
vol 1 no 4 2014.
Ulfah, Maria dan Septya Ayu Fransiska. (2014). Analisis Faktor Penyebab
Langsung Dan Tidak Langsung Status Gizi Anak Balita Di Desa
Tanahbaya Kecamatan Randudongkal Kabupaten Pemalang Tahun 2014.
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada Vol. 2, No 2 Agustus 2014 hal 70-77.
UNICEF Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian. Di akses pada 2 Oktober 2014 dari
www.Unicef.or.id. Pukul: 16.00WIB.
UNICEF. (2013). Improving Child Nutrition. New York: Division of
Comunication UNICEF.
Vindriana Vidya. (2012). Hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Status Gizi
pada Balita Usia 1-5 Tahun di Kelurahan Watonea Wilayah Kerja
Puskesmas Katobu Kabupaten Muna. Jurnal Kesehatan Volume 1 Nomor
2 Tahun 2012: 1-8.
Wasis. (2007). Pedoman riset praktis untuk profesi perawat. Jakarta: EGC.
Watloly, A. (2002). Tanggung Jawab Pengetahuan. Penerbit Kanisius: Jogjakarta.
Wibowo. (2008). Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBP-SP.
Wise, P. (2004). Panduan Kesehatan Masyarakat. Surakarta :Yayasan Indonesia
Sejahtera.
Wong, D. (2002). Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Wong, D., Merylin, H., David, W., Merylin, L. & Patricia, S. (2008). Buku Ajar
Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
World Food Progam. (2007). Hunger and Health. WFP: UK.