Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL LIMA MENIT SAJA
KARYA JOHN RINALDI ASH SHIDQI
SKRIPSI
Disusun untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
BAGUS SYARIFUDIN
NIM 111 12 019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
ii
iii
NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL LIMA MENIT SAJA
KARYA JOHN RINALDI ASH SHIDQI
SKRIPSI
Disusun untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
BAGUS SYARIFUDIN
NIM 111 12 019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
iv
v
vi
Serta Skripsi ini dapat dipublikasikan.
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Kehendak Tuhan tidak ada yang pernah tahu, terkadang apa yang kita inginkan
tidak begitu sama dengan apa yang kita harapkan itulah kehidupan. Dalam
menjalani kehidupan perlulah berpikir positif untuk menuai hasil yang baik,
meskipun apa yang di impikan tidaklah sesuai dengan adanya”
(Novel Karya Bagus Syarifudin “Manis Roda Cinta”)
PERSEMBAHAN
Untuk orang tuaku,
Para dosenku, saudara-saudaraku,
Calon Istriku Aisah kensar Nawang Wulan sari
Dan Sahabat-sahabat seperjuanganku,
viii
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, Skripsi ini saya
persembahkan kepada orang-orang yang telah mendukung dan membantu
mewujudkan mimpi saya:
1. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Maryono dan Ibu Salbiyah yang
senantiasa mendukung dan memotivasi dalam setiap pengerjaan skripsi
ini, tanpa adanya dorongan dan kekuatan yang mereka berikan tidaklah
mungkin diri ini bisa menyempatkan dalam kesibukan mengajar, untuk
menyelesaikan skripsi.
2. Orang tua keduaku Bapak Sardi dan Ibu Niken walaupun tidaklah
memberikan dukungan yang nyata, akan tetapi karenanya diri ini
senantiasa semangat untuk mempersembahkan gelar Sarjana Pendidikan
untuk mereka.
3. Keluarga besar SMP Muhammadiyah 10 Andong-Program Khusus, yang
juga senantiasa memberikan dukungan terhadapku.
4. Terhadap calon Istriku Aisah Kensar Nawang Wulan Sari, yang senantiasa
memberikan semangat dan dukungan tiada henti, keluh kesah pembuatan
Skripsi ini selalu terbangkitkan dengan motivasi yang dia berikan.
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT, atas
segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat diberikan
kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini. Sholawat serta salam semoha
tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para
pengikut setianya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
(FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
(PAI), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga.
4. Bapak Drs. Bahroni, M. Pd., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
dengan ikhlas mencurahkan pikiran, tenaga serta pengorbanan waktunya
dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
x
xi
ABSTRAK
Syarifudin, Bagus. 2017. Nilai-Nilai Moral dalam Novel Lima Menit Saja Karya
John Rinaldi Ash Shidqi. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi
Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Pembimbing: Drs. Bahroni, M. Pd.
Kata kunci: Nilai-Nilai Moral, Novel Lima Menit Saja
Penulis meneliti tentang Nilai-Nilai Moral dalam Novel Lima Menit Saja
Karya John Rinaldi Ash Shidqi. Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan Nilai-nilai moral apa saja yang terdapat dalam novel Lima
Menit Saja karya John Rinaldi?, 2. Mendeskripsikan relevansi nilai-nilai moral
dalam novel Lima Menit Saja karya John Rinaldi dengan pendidikan masa kini?
Untuk menjawab penelitian tersebut penulis menggunakan metode library
research, yaitu penelitian dimana objek penelitiannya digali dengan cara
membaca, memahami serta menelaah buku-buku, serta sumber-sumber yang
berkenaan dengan permasalahan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1. Nilai-nilai moral dalam Novel
Lima Menit Saja karya John Rinaldi adalah adanya hubungan antara manusia
dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan
manusia dengan manusia lain dalam lingkup lingkungan sosial.
2. Relevansi nilai-nilai moral dalam novel Lima Menit Sajai karya John Rinaldi
dengan pendidikan masa kini adalah Pendidikan terhadap kekusaan Allah SWT
perlu dikenalkan terhadap kehidupan masa kini sedari dini. Diharapkan dengan
model seperti ini banyak manusia yang mampu bersyukur terhadap Allah SWT,
dan mampu menunakian aktifitas Ibadah terhadap Allah SWT dengan baik dan
benar. Generasi yang bermartabat merupakan investasi bangsa yang senantiasa
mengharapkan kedamaian. Nilai pendidikan moral akan kepercayaan terhadap
Allah SWT sangat perlu ditanamkan terhadap jati diri manusia. Hal ini sebagai
bahan penyadaran diri (Muhasabah Diri), Dengan mempunyai sikap percaya
terhadap Allah SWT, manusia akan lebih terima dalam mengarungi kehidupan
yang dijalaninya. Apabila mendapat cobaan akan selalu dihadapi dengan rasa
sabar dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL ................................................................................................................. i
LEMBAR BERLOGO ............................................................................................ ii
JUDUL ................................................................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN .............................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................. vi
MOTTO ................................................................................................................ vii
PERSEMBAHAN ................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
ABSTRAK ............................................................................................................. xi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 7
E. Penegasan Istilah .............................................................................. 8
xiii
F. Metode Penelitian ............................................................................. 9
G. Sistematika Penulisan Skripsi......................................................... 11
BAB II : BIOGRAFI DAN HAKIKAT NOVEL
A. Biografi John Rinaldi ash-Shidqi ................................................... 13
B. Hakikat Novel ................................................................................. 14
1. Pengertian Novel ..................................................................... 14
2. Unsur-Unsur Pembangunan Novel .......................................... 17
a. Unsur Intrinsik .................................................................... 18
1) Tema ............................................................................. 19
2) Plot (Alur Cerita) .......................................................... 21
3) Tokoh dan Penokohan .................................................. 24
4) Latar (Setting) ............................................................... 28
5) Sudut Pandang Penceritaan........................................... 29
6) Gaya Bahasa ................................................................. 32
7) Amanat .......................................................................... 34
b. Unsur Ekstrinsik ................................................................. 35
BAB III: KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Pendidikan Moral .............................................................. 37
1. Pengertian Pendidikan Moral .................................................. 37
2. Landasan Pendidikan Moral .................................................... 50
B. Tujuan Pendidikan Moral ............................................................... 52
C. Ruang Lingkup Pendidikan Moral ................................................. 56
xiv
1. Teknik penyampaian nilai-nilai moral dalam novel Lima Menit
Saja karya John Rinaldi ......... .. ............................................... 56
a. Bentuk penyampaian langsung ........................................... 56
b. Bentuk penyampian tidak langsung.................................... 57
2. Jenis dan wujud nilai-nilai moral dalam novel Lima Menit Saja
karya John Rinaldi .................................................................... 58
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Nilai-nilai moral dalam novel Lima Menit Saja Karya
John Rinaldi .................................................................................... 62
1. Hubungan manusia dengan Allah SWT .................................. 62
a. Bersyukur kepada Allah SWT ............................................ 63
b. Memanjatkan do’a .............................................................. 65
2. Hubungan manusia dengan diri sendiri ................................... 68
a. Teguh pendirian .................................................................. 68
b. Optimis ............................................................................... 71
c. Penyesalan .......................................................................... 75
3. Hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup
lingkungan sosial ..................................................................... 78
a. Peduli sesama...................................................................... 78
b. Berterima kasih ................................................................... 81
c. Menghargai orang lain ........................................................ 83
d. Jujur .................................................................................... 85
xv
B. Relevansi nilai-nilai moral dalam novel Lima Menit Saja karya
John Rinaldi dengan pendidikan masa kini .................................... 87
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 95
B. Saran-saran ..................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mempelajari ilmu karya sastra tidak akan pernah habis, karena semua
yang ada di dunia ini ada keterkaitan dengan sastra. Misalkan, pengalaman
yang dialami sehari-hari dapat dijadikan sebuah karya sastra. Sastra berbeda
dengan ilmu hitung, jika pada ilmu hitung satu ditambah satu sama dengan
dua, akan tetapi karya sastra satu ditambah satu tidak selalu sama dengan dua,
bisa saja sama dengan tiga, empat dan sebagainya. Hal itu karena ilmu sastra
tidak hanya terpaku dengan hal-hal yang bersifat pasti.
Karya sastra pada umumnya berisikan tentang permasalahan yang
melengkapi kehidupan manusia. Karena karya sastra memiliki dunia yang
merupakan hasil dari pengamatan terhadap kehidupan yang diciptakan oleh
pengarang baik berupa novel, puisi, maupun drama yang berguna untuk
dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu,
dalam setiap yang dibaca atau dilihat pasti mengandung nilai-nilai pendidikan
yang dapat dijadikan pengetahuan dan pembelajaran.
Di dalam sastra terdapat aspek keindahan, kejujuran dan kebenaran,
sehingga dengan tiga aspek tersebut harapannya karya sastra yang dihasilkan
asli atau orisinil bukan hasil dari meniru atau menjiplak. Sebagimana Mada
dan Nyoman (2014: 1) berpendapat, karya sastra adalah ungkapan pikiran dan
perasaan seseorang pengarang dalam usahanya untuk menghayati kejadian-
2
kejadian yang ada di sekitarnya, baik yang dialaminya maupun yang terjadi
pada orang lain pada kelompok masyarakatnya. Hasil imajinasi pengarang
tersebut diungkapkan kedalam karya untuk dihidangkan kepada masyarakat
pembaca agar dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan.
Karya sastra merupakan salah satu cabang seni di samping seni lukis,
seni tari, dan seni musik. Sebagaimana karya seni lainnya, sastra merupakan
produk budaya yang mengutamakan keindahan. Dengan penekanan pada
aspek tersebut maka akan membuat sebuah sastra menjadi enak untuk dibaca.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kosasih (2008: 1) Berdasarkan asal-usulnya,
istilah kesusastraan berasal dari bahasa Sansekerta, yakni susastra. Su berarti
‘bagus’ atau ‘indah’, sedangkan sastra berarti ‘buku’, ‘tulisan’, atau ‘huruf’.
Berdasarkan kedua kata itu, susastra diartikan sebagai tulisan atau teks yang
bagus atau tulisan yang indah.
Sastra merupakan wujud dari gagasan seseorang melalui pandangan
terhadap lingkungan sosial yang berada di sekelilingnya dengan
menggunakan bahasa yang indah dan imajinatif. Sastra hadir sebagai hasil
perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra sebagai karya
fiksi juga memiliki pemahaman yang mendalam, bukan hanya sekadar cerita
khayal atau angan saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam
menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya.
3
Dalam sastra, isi yang termuat di dalamnya memberikan pesan
informatif yang bermanfaat bagi pembacanya. Oleh karena itu maka karya
yang dibuat merupakan karangan yang baik dengan tujuan untuk melukiskan
sesuatu tentang kehidupan manusia yang penuh dengan nilai-nilai. Begitu
juga pendapat Jabrohim (1994: 15) Bahasa yang dipergunakan secara
istimewa dalam ciptaan sastra, pada hakikatnya, dalam rangka fungsi sastra
berperan sebagai sarana komunikasi, yaitu untuk menyampaikan informasi.
Setiap karya sastra tidak akan bisa tercipta tanpa melibatkan
unsur-unsur yang lain di antanya adalah unsur kebudayaan. Semua sastra
akan terkait dan melibatkan dinamika suatu kehidupan masyarakat yang
mempunyai adat dan tradisi tertentu. Munculnya unsur-unsur ekstrinsik
semacam itu dalam karya sastra memang sangatlah masuk akal karena karya
sastra dicipta atas dasar kekayaan rohani, imajinasi, dan pengalaman
pengarang. Sementara itu, pengarang dipengaruhi oleh struktur kehidupan,
kebiasaan, dan sejarah masyarakat dan budayanya.
Sebagai karya seni yang bermediakan bahasa, karya sastra dipandang
sebagai karya imajinatif. Sebagaimana pendapat dari Kosasih (2008: 2)
bahawa ciri-ciri sastra adalah menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan
gaya penyajiannya ”indah” atau tertata dengan baik sehingga menimbulkan
daya tarik dan berkesan di hati pembacanya. Di samping itu, ada pula yang
memberikan ciri bahwa seni sastra bersifat imajinatif, yakni hasil renungan,
khayalan, dan perasaan yang diwujudkan dalam kata-kata yang menimbulkan
pesona tertentu bagi pembacanya.
4
Salah satu bentuk karya sastra yang mengandung nilai-nilai moral
adalah novel. Sebagaimana Kosasih (2008: 4) berpendapat dengan membaca
karya sastra, seseorang dapat memperoleh pengetahuan tentang seluk-beluk
kehidupan manusia dan pelajaran tentang nilai-nilai kebenaran dan kebaikan
yang ada di dalamnya. Dari sana, orang tersebut terbangkitkan kreativitas dan
emosinya untuk berbuat sesuatu, baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk
orang lain.
Perkembangan karya seni novel di Indonesia berkembang cukup pesat,
hal itu dapat diketahui dengan hadirnya berbagai macam novel yang telah
diterbitkan, sehingga bentuk dan isi novel tersebut beragam. Pada dasarnya,
novel selalu hadir sebagai sebuah gambaran atau cerminan kehidupan
manusia dalam mengarungi kehidupannya. Novel juga merupakan gambaran
lingkungan masyarakat yang hidup di suatu masa dan suatu tempat. Tokoh
dan peristiwa yang disajikan dalam novel merupakan pantulan realitas yang
ditampilkan oleh pengarang dari suatu keadaan tertentu.
Pengarang dalam karyanya sudah pasti memiliki pesan yang ingin
disampaikan terhadap para pembaca sebagai makna dari sebuah karya sastra
yang dapat dilakukan melalui pemaparan cerita, salah satunya adalah nilai
moral. Seperti novel Lima Menit Saja karya John Rinaldi yang juga ingin
menyampaikan pesan kehidupan yang bermanfaat bagi pembacanya. Novel
tersebut memiliki pesan yang baik untuk para penikmatnya karena di dalam
cerita tersebut mengisahkan tentang tekat dan usaha untuk mengubah sikap
diri dan tingkah laku untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
5
Karya sastra berupa novel memiliki nilai yang sangat strategis dan
mendalam bagi pembacanya hal ini karena pesan dari novel penuh dengan
nilai-nilai kehidupan. Melalui konflik dan tokoh-tokohnya, pembaca akan
belajar tentang menyikapi setiap permasalahan dalam kehidupan. Selain itu,
karya sastra dapat menumbuhkan imajinasi yang dapat menjadi instrumen
hebat dalam menciptakan karakter pembacanya dan memperkaya kehidupan
pembacanya melalui pencerahan pengalaman dan masalah pribadi. Imajinasi
yang baik akan mendorong pembaca untuk menyenangi dan membiasakan
dirinya berprilaku baik. Maka dari itu dengan senantiasa membaca karya
sastra ini harapan dari pengarang akan banyak orang yang berubah menjadi
lebih baik lagi.
Setiap karya sastra (dalam hal ini prosa) selalu mengungkapkan nilai
pendidikan moral, agama, sosial, maupun estetis (keindahan). Perkembangan
moral yang merupakan aneka ragam pengalaman peran berdasarkan situasi
tertentu sehingga mampu mengatasi masalah moral atas prakarsanya sendiri
secara bebas (tanpa diawasi orang lain) dan memilih objek moral yang
penting dan berguna bagi dirinya.
Pemilihan karya sastra khususnya pada novel, untuk dijadikan bahan
kajian penelitian dirasa tepat, hal ini dikarenakan karya sastra novel pada
dasarnya dapat dijadikan sebuah alat untuk mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk, dan instruksi terhadap para penikmatnya. Membaca cerita
khususnya novel, pada hakikatnya seseorang akan dibawa untuk melakukan
eksplorasi, sebuah penjelajahan, sebuah petualangan baru, menarik,
6
menyenangkan, menegangkan sekaligus memuaskan lewat berbagai kisah dan
peristiwa yang dahsyat sebagaimana yang diperankan para tokoh cerita.
Moral yang disampaikan kepada pembaca melalui karya sastra ini tentu
mempunyai manfaat yang dalam. Demikian juga pelajaran yang terdapat
dalam novel Lima Menit Saja, penanaman moral yang ditekankan berkaitan
dengan persoalan hubungan manusia dengan manusia, misalnya nilai kasih
sayang antara orang tua dengan anak dan persoalan hidup antara hubungan
manusia dengan Allah SWT. Novel ini dapat dijadikan contoh untuk
bersikap, bergaul serta bertingkah laku yang baik dan benar dalam tatanan
kehidupan sehari-hari.
Novel Lima Menit Saja karya John Rinaldi ini diterbitkan pertama kali
pada Juni 2013. Kehadirannya mendapatkan tanggapan positif dari penikmat
sastra. Antusiasnya apresiasi masyarakat menjadikan karya John Rinaldi ini
masuk dalam kategori novel psikologi pembangun jiwa. Cerita novel Lima
Menit Saja menggambarkan tentang cara memandang hidup secara positif.
Diterangkan bahwa saat seseorang mampu menafsirkan gambar kehidupan
yang dilukiskan dalam sebuah kisah, maka dia merupaan orang yang mampu
meraih inspirasi dari kisah tersebut.
Penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang nilai-nilai moral yang
terkandung dalam novel tersebut yang sesuai dengan perbaikan
kualitas moral pendidikan dan relevansi novel Lima Menit Saja pada masa
kini. Selain itu, novel dapat dijadikan salah satu media atau bahan ajar yang
7
tepat dalam mentransfer sejumlah nilai-nilai moral kepada pembaca. Dengan
membaca novel maka sejatinya seseorang tanpa sadar akan mendapati
berbagai ilmu tentang bagaimana cara menjalani kehidupan ini dengan baik
dan benar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Nilai-nilai moral apa saja yang terdapat dalam novel Lima Menit Saja
karya John Rinaldi?
2. Bagaimanakah relevansi nilai-nilai moral dalam novel Lima Menit Saja
karya John Rinaldi dengan pendidikan masa kini?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan nilai-nilai moral dalam novel Lima Menit Saja karya
John Rinaldi.
2. Mendeskripsikan relevansi nilai-nilai moral dalam novel Lima Menit Saja
karya John Rinaldi dengan pendidikan masa kini.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara praktik dan teoritik.
1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis, penelitian ini mendukung dan menerapkan teori
tentang nilai-nilai moral pada karya sastra khususnya pada novel
Lima Menit Saja karya John Rinaldi.
8
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
perkembangan karya sastra, terutama karya sastra yang banyak
mengandung ajaran nilai moral.
2. Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca memahami
secara menyeluruh apa yang terkandung dalam novel tersebut dan dapat
mengambil nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya.
E. Penegasan Istilah
Untuk mengetahui pemahaman serta untuk menetukan arah yang jelas dalam
menyusun skripsi ini, maka penulis memberikan penegasan dan maksud
penulisan judul sebagai berikut:
1. Nilai
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang disusun oleh
Purwadarminta (1984 : 677), nilai adalah : a) harga dalam arti taksiran,
misal nilai intan; b) harga sesuatu, misalnya uang; c) angka kepandian; d)
kadar, mutu; e) sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan, misalnya : nilai-nilai agama.
2. Moral
Dalam Kamus Umum bahasa Indonesia, yang disusun oleh
Purwadarminta (1984: 654), kata “moral” berarti ajaran tentang baik
buruk perbuatan dan kelakuan. Dengan kata lain moral atau kesusilaan
adalah kesempurnaan sebagai manusia. Moral sebagai tingkah laku hidup
manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh
9
keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku dalam lingkungannya. Dengan demikian moral atau kesusilaan
adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di
masyarakat untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan baik dan benar.
3. Novel
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, yang disusun oleh Dendy Sugono
(2008: 1008), Novel adalah karangan prosa panjang yang mengandung
rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di
sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
4. Nilai Moral
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai moral
adalah ilmu tentang apa yang benar dan apa yang salah yang dianut oleh
masyarakat umum mengenai sikap, perbuatan dan keyakinan.
F. Metode Penelitian
Sebgaimana pendapat Ruslan (2010: 24) pengertian metode berasal dari kata
methodos (Yunani) yang dimaksud adalah cara atau menuju suatu jalan.
Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja
(sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian sebagai
upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dan keabsahannya.
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mendeskripsikan
mengenai penyampaian nilai moral dalam novel Lima Menit Saja.
10
Berdasarkan tujuan tersebut, maka metode yang dipakai dengan
menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Metode yang digunakan
dalam kajian ini dijabarkan ke dalam langkah-langkah sesuai dengan
tahapan pelaksanaannya, yaitu (1) tahap penyediaan data, (2) tahap
analisis data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis data.
Pendekatan deskriptif kualitatif dalam penelitian ini adalah suatu
prosedur penelitian dengan hasil sajian data deskriptif berupa tuturan
pengarang dalam novel Lima Menit Saja. Sudaryanto (1993: 62),
menyatakan bahwa istilah deskriptif menyarankan kepada suatu
penelitian yang semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada dan
juga fenomena yang memang secara empiris hidup di dalam penuturnya,
sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa uraian bahasa yang
biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti apa adanya.
2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca dan catat. Teknik
membaca dilakukan dengan membaca novel Lima Menit Saja. Pada
mulanya dilakukan pembacaan keseluruhan terhadap novel tersebut
dengan tujuan untuk mengetahui identifikasi secara umum. Setelah itu
dilakukan pembacaan secara cermat dan menginterpretasikan unsur
moral dalam novel tersebut. Setelah membaca cermat dilakukan
pencatatan data langkah berikutnya adalah pencatatan yang dilakukan
dengan mencatat kutipan secara langsung dari novel yang diteliti.
11
3. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data dari novel Lima Menit Saja karya John
Rinaldi yang diterbitkan oleh DIVA Press, Jogjakarta pada bulan juni
2013 fokus penelitian ini adalah mengenai aspek nilai- nilai moral.
4. Instrumen Penelitian
Sebagaimana mestinya penelitian deskriptif kualitatif, penelitian ini
instrumennya manusia, tepatnya peneliti sendiri. Manusia digunakan
sebagai alat untuk mengumpulkan data, berdasarkan kriteria-kriteria yang
dipahami. Kriteria yang dimaksud adalah pengetahuan tentang nilai- nilai
moral.
5. Metode Analisis Data
Teknik analisis data menggunakan teknik analisis isi (content analysis)
dengan menggunakan cara berpikir induktif yaitu berangkat dari fakta-
fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian ditarik
generalisasi yang bersifat umum.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Agar terdapat kejelasan secara garis besar dan dapat dimengerti dengan
mudah, maka dalam pembahasannya secara berurutan penulis membagi
dalam lima bab, yaitu Bab I Pendahuluan, Bab II kajian pustaka, Bab III
Paparan data dan hasil temuan, Bab IV Pembahasan, Bab V Penutup.
BAB I Pedahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metode
penelitian, sistematika penulisan skripsi.
12
BAB II Biografi dan Hakikat Novel, bab ini akan memuat tentang
biografi penulis dan unsur - unsur novel.
BAB III Kajian Pustaka, bab ini akan memuat tentang pendidikan moral
yang mencakup pengertian pendidikan moral, tujuan
pendidikan moral, dan lingkup pendidikan moral.
BAB IV Analisis Data, bab ini memuat tentang nilai-nilai moral dan
relevansi nilai-nilai moral dalam novel Lima Menit Saja karya
John Rinaldi dengan pendidikan masa kini.
BAB V Penutup, berisi kesimpulan, saran dan lampiran-lampiran.
13
BAB II
BIOGRAFI DAN HAKIKAT NOVEL
A. Biografi Penulis
John Rinaldi ash Shidqi lahir di Mandailing Natal, Sumatra Utara, pada
23 April 1979. Anak ke-4 dari tujuh orang bersaudara dari pasangan
Khairuddin dan Sri Hayati Lubis. Setelah menamatkan SD di tanah
kelahirannya, ia menyeberang ke Pulau Jawa guna melanjutkan pendidikan.
Pernah singgah di Pesantren Gontor, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian,
pindah ke Yogyakarta. Di sini, ia melanjutkan studinya di SMP 9 dan SMU 5
yang sama-sama berlokasi di wilayah Kotagede. Setelah selesai pendidikan
menengahnya, ia masuk ke Fakultas Filsafat UGM. Disebabkan kenyataan
hidup yang tidak seindah bayangannya, maka pada tahun 2005 ia baru bisa
menyelesaikan pendidikan S1-nya.
Pendidikan nonformalnya di jalani di Pesantren al-Mahalli,
Wonokromo, Plered, Bantul, di bawah asuhan alm. KH Ahmad Mudjab
Mahalli. Ia tidak lama tinggal di sana, namun cukup memberikan bekal
baginya untuk mengenal ajaran agama yang dianutnya. Karya-karya yang
telah dihasilkannya antara lain: Syekh Siti Jenar (Pustaka Pelajar, 2008), Iblis
Pun Ingin Bertaubat (Pustaka Insan Madani, 2009), Berjumpa Allah di langit
dunia (Diva Press), Beginilah Cara Mendidik Anak yang Diajarkan
Rasulullah (Diva Press), Sembuhkan Segala Jenis Penyakit Anak bersama
Nabi (Penerbit Sabil), 115 Smart Games untuk meningkatkan kecerdasan dan
kreativitas Bayi Usia 0-3 Tahun. (Diva Press), Nasihat Emas Khalifah ar-
14
Rasyidin (Diva Press), Seni Mendekati Anak dan Berdiaolog dengan Anak
(Diva Press), Tuhan Pun Jatuh Cinta (Diva Press), Tuntunan Praktis Puasa
Ramadhan Seperti Rasulullah (Pustaka Wasilah), Haramkah Tahlilan,
Yasinan dan Kenduri Arwah? (Pustaka Wasilah) dan, beberapa naskah
terjemahan yaitu Sejarah Filsafat Cina (Pustaka Pelajar, 2007), dan
Handbook Of Qualitative Research (Pustaka Pelajar).
Bersama istrinya, Uswatun Khasanah dan putrinya, Fathimah Zahratul
‘Athira Rinaldi, saat ini ia tinggal di Klaten mengabdikan dirinya untuk
menyambung lidah para nabi. “Tiada yang istimewa dalam hidupku, tiada
yang pantas kuceritakan tentang diriku pada orang lain. Hanya karena kasih
sayang Allah-lah sehingga aibku tak diketahui orang. Dia masih
merahasiakan semua keburukanku sehingga masih banyak orang yang mau
duduk bersamaku. Seandainya semuanya dibeberkan Allah, tak seorang pun
yang mau menatapku dan mendengarkanku. Aku malu” Itulah kata-kata yang
diucapkannya untuk mengakhiri tulisan ini. Rinaldi (2013: 265-266)
B. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Karya sastra ini sudah tidak asing lagi bagi penikmat yang gemar
membacanya. Dalam novel banyak cerita inspiratif yang termuat di
dalamnya. Bacaan yang ringan, asyik dan menambah wawasan sehingga
novel banyak digemari oleh pembacanya, bahkan banyak dijadikan
sebagai bacaan terfavorit bagi semua kalangan. Novel berbeda dengan
15
cerpen, meskipun sama-sama berbentuk prosa, namun novel tidaklah
cerita yang hanya beberapa lembar saja, akan tetapi cerita yang terdapat
di dalamnya cukup panjang dan dikhususkan menjadi satu buku yang
didesain dengan cover sesuai isi dari novel tersebut.
Seperti yang telah diutarakan di atas bahwa karya sastra novel
adalah karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekitarnya serta
menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Biasanya, cerita dalam novel
dimulai dari peristiwa atau kejadian terpenting yang dialami oleh tokoh
cerita, yang kelak mengubah nasib kehidupannya.
Pemaparan tersebut sejalan dengan pendapat Tarigan (1984:164),
novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu,
yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang
representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau
kusut. Novel merupakan suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang
mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria dan wanita
yang bersifat imajinatif.
Novel ada berbagai bentuk baik itu fiksi maupun fakta. Dari dua
macam novel tersebut akan membuat pembacanya semakin tertarik
dengan karya sastra ini. Novel sebagai sebuah karya imajinatif atau
menceritakan tentang fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia
dan kehidupan. Fiksi juga menceritakan berbagai masalah kehidupan
16
manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya
dengan diri sendiri, serta dengan Allah SWT. Pengarang menghayati
berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang
kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi yang sesuai
dengan pandangannya.
Sastra yang dianggap fiksi pada hakikatnya adalah fakta (Nyata),
karya-karya itu lahir didasarkan atas kesadaran pengarang dalam melihat
realitas (Kenyataan) masyarakatnya. Ciri khas novel adalah
kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks secara
penuh, namun perlu diketahui bahwa dunia kesastraan terdapat suatu
bentuk karya sastra yang mendasarakan diri pada fakta. Sebagaimana
Nurgiyantoro (1995: 6) mengemukakan, bahwa realitas dalam karya fiksi
merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan yang
ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari.
Novel merupakan sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara
naratif dan biasanya ditulis dalam bentuk cerita. Kata novel berasal dari
bahasa Italia yaitu “novella” yang artinya sebuah kisah atau sepotong
cerita. Penulis novel disebut dengan novelis. Isi novel lebih panjang dan
lebih kompleks dari isi cerpen, serta tidak ada batasan struktural dan
sajak. Pada umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dalam
kehidupan sehari-hari beserta semua sifat, watak dan tabiatnya.
17
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro (1995: 9) Kata
novel berasal dari bahasa Latin novellus. Sebutan novel dalam bahasa
Inggris dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia, sedangkan dari
bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). sedangkan
Priyatni (2010: 124) mendefinisikan novel sebagai cerita dalam bentuk
prosa yang agak panjang dan meninjau kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
hakikatnya novel adalah cerita atau kisah yang disampaikan oleh
pengarang terhadap pembaca yang didasarkan pada kehidupan nyata
maupun hanya cerita ilusi saja. Setiap isi yang terkandung dalam novel
selalu memberikan banyak inspirasi bagi penikimatnya, bahkan
terkadang membuat pembaca jatuh dalam skenario di dalamnya.
Dalam arti umum novel adalah cerita berbentuk prosa dalam
ukuran luas yang mempunyai cerita dengan plot (alur) yang kompleks,
karakter yang banyak, tema yang baik, suasana cerita yang beragam, dan
setting cerita yang beragam pula.
2. Unsur-Unsur Pembangunan Novel
Nurgiyantoro (2013: 29-30) berpendapat unsur-unsur pembangun
sebuah novel yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas
itu di samping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya.
Namun, secara garis besar berbagai macam unsur tersebut secara
18
tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian walau pembagian
itu tidak benar-benar pilah. Pembagian unsur yang dimaksud adalah
unsur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering banyak
disebut para kritikus dalam rangka mengkaji atau membicarakan karya
sastra pada umumnya.
a. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membangun prosa. Pada
umumnya, para ahli membagi unsur intrinsik prosa rekaan atas tema,
tokoh, penokohan, alur (plot), latar cerita (setting), sudut pandang, gaya
bahasa, dan amanat. Sehingga dengan pembagian tersebut novel akan
lebih mudah untuk dipahami. Sebagaimana Wiyanto (2012: 213)
berpendapat, unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang
(secara langsung) turut serta membangun cerita. Keterpaduan antar
berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud.
Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur (cerita)
inilah yang akan dijumpai jika kita membaca novel. Unsur yang
dimaksud untuk menyebut sebagian saja misalnya, peristiwa, cerita, plot,
penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya
bahasa, dan lain-lain.
19
1) Tema
Tema adalah suatu gagasan pokok atau ide pikiran tentang
sesuatu hal, salah satunya dalam membuat sebuah karya tulis.
Contoh halnya cerpen, puisi, novel dan berbagai macam jenis tulisan
lainnya haruslah memiliki sebuah tema.
Berdasarkan gagasan pokok atau ide utama, pengarang akan
mudah untuk mengembangkan cerita. Oleh karena itu, dalam suatu
novel akan terdapat satu tema pokok dan sub tema. Pembaca harus
mampu menentukan tema pokok dari suatu novel. Tema pokok
adalah tema yang dapat memenuhi atau mencakup isi dari
keseluruhan cerita. Tema pokok yang merupakan makna keseluruhan
cerita tidak tersembunyi, namun terhalangi dengan cerita yang
mendukung tema tersebut. Maka pembaca harus dapat
mengidentifikasi dari setiap cerita dan mampu memisahkan antara
tema pokok dan sub-subtema atau tema tambahan.
Jadi apabila diperumpamakan sebuah rumah, tema menjadi
sebuah fondasinya karena tema adalah suatu hal yang paling utama
dilihat oleh para pembaca. Jika ide pikiran dalam tulisan tersebut itu
menarik, maka akan memberikan nilai yang lebih pada tulisan
tersebut. Sebagaimana Siswanto (2008: 161) juga mengemukakan,
bahwa tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan
tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.
20
Semakin menarik tema yang tersaji dalam sebuah tulisan
tersebut maka akan menambah daya tarik bagi para pembaca
terhadap karya tersebut, akan tetapi apabila tema itu tidak
memberikan kesan yang menarik maka pembaca akan jenuh dan bisa
jadi meninggalkan untuk membaca karya tersebut. Dengan demikian
tema dapat dikatakan sebagai ide pokok atau gagasan dalam
membangun sebuah cerita. Sebuah cerita akan berkembang sesuai
dengan tema yang telah ditentukan oleh seorang pengarang
Tema berarti pokok pikiran atau masalah yang akan
dikembangkan dalam sebuah cerita oleh pengarangnya. Dengan,
tema semua permasalahan dalam sebuah karya sastra akan terwujud
dengan baik dan benar. Oleh karena itu, peranan tema menjadi
pokok pikiran yang diutamkan dalam membuat karya sastra.
Sehingga dengan pemahaman di atas maka sangat jelas dalam
membuat penulisan, tema sangat perlu diperhatikan secara
mendalam untuk kebaikan sebuah tulisan yang dibuat. Semakin
menarik ide gagasan tersebut maka akan semakin banyak penikmat
yang akan membaca dari tulisan tersebut.
Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka
bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Oleh karena itu, untuk
menentukan tema sebuah novel harus disimpulkan dari keseluruhan
cerita tidak hanya berdasarkan bagian tertentu cerita.
21
2) Plot (Alur Cerita)
Alur atau plot juga merupakan kerangka dasar yang juga
penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus berkaitan
antara satu dengan yang lain, bagaimana suatu peristiwa mempunyai
hubungan dengan peristiwa lain. Sedangkan plot adalah sebagai
peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana,
karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan
kaitan sebab dan akibat.
Alur cerita merupakan rangkaian peristiwa yang dijalin untuk
menggerakkan jalan cerita, sangat penting memperhatikan plot karena
alur cerita yang teruraikan secara sistematis akan membuat pembaca
lebih nyaman dalam memahami sebuah tulisan yang terkandung pada
sebuah karya tulis tersebut.
Sebagaimana Nurgiyantoro (1995: 209-210) berpendapat,
Pengarang menyusun cerita sehingga pembaca ingin selalu mengikuti
apa yang terjadi setelah itu, ingin tahu mengapa hal itu terjadi. Akibat
plot itu bagi pembaca ada dua macam: akan terus mengikuti apa yang
terjadi berikutnya atau tidak mau lagi mengikuti apa yang terjadi
selanjutnya. Selain rincian mengenai pengertian plot sebagaimana
yang telah dikemukakan, terdapat tahapan plot yang dikemukakan
lebih rinci. Rincian yang dimaksud oleh tasrif dalam Nurgiyantoro
adalah membedakan tahap plot menjadi lima bagian, yaitu:
22
a) Tahap situation: tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi
pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita.
Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita.
b) Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik, Pada
tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan akan
berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
c) Tahap rising action: tahap peningkatan konflik, konflik yang
telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang.
Peristiwaperistiwa dramatik yang menjadi inti semakin
menegangkan. Konflikkonflik yang terjadi internal dan eksternal,
pertentangan, benturanbenturan antarkepentingan masalah dan
tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.
d) Tahap climax: tahap klimaks, konflik yang terjadi, yang
dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai
titik intesitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh
tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita
terjadi konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja
memiliki lebih dari satu klimaks.
e) Tahap denouement: tahap penyelesaian, konflik yang telah
mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Tahap ini
berkesesuaian dengan tahap akhir di atas.
23
Masih menurut pandangan Nurgiyantoro (1995: 213-216) plot
dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan kriteria
urutan waktu. Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya
urutan penceritaan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan, yang
pertama disebut sebagai plot maju atau progresif, kedua plot sorot
balik atau regresif flash-back, dan plot campuran.
Plot progresif bersifat kronologis, secara runtut cerita dimulai
dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik),
tengah (konflik meningkat, klimaks), akhir (penyelesaian). Plot
progresif biasanya menunjukkan kesederhanaan cara penceritaan,
tidak berbelitbelit, dan mudah diikuti. Plot flash-back, cerita tidak
dimulai dari tahap awal melainkan mungkin dari tahap tengah atau
bahkan tahap akhir baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Teks
yang berplot jenis ini, langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik,
bahkan konflik yang meruncing.
Selanjutnya, plot campuran atau progresif regresfif, barangkali
tidak ada novel yang secara mutlak berplot lurus-kronologis atau
sebaliknya sorot balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin
progresif, tetapi di dalamnya betapapun kadar kejadiannya sering
terdapat adegan-adegan sorot balik. Jadi, dapat dikatakan tidak
mungkin ada sebuah cerita yang mutlak flash-back. Pengategorian
plot sebuah novel ke dalam progresif atau flash-back, sebenarnya
24
lebih didasarkan pada mana yang lebih dominan. Hal tersebut
disebabkan pada kenyataannya sebuah novel pada umumnya akan
mengandung keduanya atau berplot campuran untuk mendukung tema
dan penokohan dalam novel.
3) Tokoh dan Penokohan
Pembahasan ini merupakan suatu hal yang mengacu terhadap
pelaku dalam karya sastra. Jalan cerita dalam novel dilakukan oleh
tokoh cerita tersebut. Tokoh merupakan individu rekaan yang
mengalami peristiwa di dalam berbagai kejadian cerita. Tokoh pada
umumnya berwujud manusia, tetapi juga dapat berwujud binatang
atau benda-benda yang diinsankan. Individu ini semata-mata hanya
bersifat rekaan, tidak ada dalam dunia nyata. Bila pun ada mungkin
hanya kemirip-miripan dengan individu tertentu yang memiliki sifat-
sifat yang sama yang kita kenal dalam kehidupan kita.
Penokohan dalam novel adalah komponen yang sama
pentingnya dengan unsur yang lain. Penokohan adalah teknik
bagaimana pengarang menampilkan tokoh dalam cerita sehingga
dapat diketahui karakter atau sifat para tokoh tersebut.
Menurut pendapat dari Nurgiyantoro (1995: 165) tokoh
merupakan sosok atau pelaku yang berada di dalam cerita sehingga
peristiwa itu menjalin suatu cerita. Abrams mengemukakan, tokoh
25
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya, yang oleh
pembaca ditafsirkan memilik kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan.
Sama halnya dengan manusia yang ada pada alam kehidupan
nyata, maka tokoh dalam suatu fiksi hendaknya memiliki dimensi
fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia,
jenis kelamin, keadaan tubuh, dan sebagainya. Dimensi sosiologis
meliputi status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan di dalam
masyarakat, pendidikan, agama, pandangan hidup, ideologi, aktivitas
sosial, organisasi, hobi, bangsa, suku, dan keturunan. Dimensi
psikologis meliputi mentalitas, ukuran moral, keinginan dan perasaan
pribadi, sikap dan kelakuan juga intelektualitasnya.
Tokoh dalam fiksi biasanya dibedakan menjadi beberapa jenis.
Sesuai dengan keterlibatannya dalam cerita dibedakan antara tokoh
utama (sentral) dan tokoh tambahan (periferal). Tokoh disebut
sebagai tokoh sentral apabila memenuhi tiga syarat yaitu paling
terlibat dengan makna atau tema, paling banyak berhubungan dengan
tokoh lain, paling banyak memerlukan waktu penceritaan.
26
Nurgiyantoro (1995: 259-267) juga mengemukakan, tokoh-
tokoh dalam cerita dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis
penamaan, berdasarkan peran dan pentingnya seorang tokoh
dibedakan menjadi; tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari segi
peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita ada tokoh
yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa
mendominasi sebagain besar cerita. Sebaliknya, ada tokoh yang hanya
dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu pun
mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang
disebut pertama adalah tokoh utama, sedang yang kedua adalah tokoh
tambahan.
Tokoh utama merupakan tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Dia merupakan tokoh
yang paling banyak diceritakan, dia sangat menentukan perkembangan
plot cerita secara keseluruhan, karena tokoh utama paling banyak
diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat
menentukan perkembangan plot cerita secara keseluruhan.
Tokoh utama dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari
seorang walau kadar keutamaannya belum tentu sama. Keutamaan
mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan dan
pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan. Selain
tokoh utama terdapat tokoh utama tambahan yang memiliki kadar
27
keutamaan dibawah tokoh utama. Pada tokoh tambahan terdapat
pembedaan berdasarkan gradasi karena kadar keutamaannya, yaitu
tokoh tambahan utama dan tokoh tambahan (yang memang)
tambahan.
Membicarakan masalah tokoh berarti membicarakan pula
penokohan. Menurut Kosasih (2003: 256) Penokohan menyaran pada
perwatakan, karakter dari tokoh yang menunjuk pada sifat dan sikap.
Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan
mengembangkan tokoh-tokoh dalam cerita.
Penokohan merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan dapat
juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan yang
menunjukan pada penempatan tokoh-tokoh dengan watak tertentu
dalam sebuah cerita. Dengan demikian, istilah penokohan lebih luas
pengertiannya dibandingkan tokoh karena ia sekaligus mengartikan
masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana
penempatan dan pelukisan dalam sebuah cerita sehingga sanggup
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Dengan demikian, penokohan merupakan gambaran tokoh
cerita yang dilukiskan melalui bentuk lahir dan bentuk yang tidak
terlihat. Dapat diamati melalui dioalog antar tokoh, tanggapan tokoh
lain terhadap tokoh utama, atau pikiran-pikiran tokoh.
28
4) Latar (Setting)
Latar yaitu penggambaran seputar waktu, tempat, dan suasana
terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita. Tokoh-tokoh dalam cerita
pada tempat dan waktu (masa) tertentu. Menurut Atmazki (1990: 62)
latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, hal ini
penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca,
menciptakan suasana tertentu seolah-olah sungguh-sungguh ada dan
terjadi. Dalam karya sastra, latar tidak mesti realitas objektif, tetapi
bisa jadi realitas imajinatif. Artinya latar yang digunakan hanya
ciptaan pengarang, yang kalau dilacak kebenarannya tidak akan
bertemu sebagaimana diceritakan.
Nurgiyantoro (1995: 304-308) mengemukakan, latar terbagi
menjadi latar fisik dan latar spiritual, latar netral dan latar fungsional.
Latar fisik adalah latar tempat secara jelas menunjuk pada lokasi
tertentu, yang dapat dilihat dan dirasakan kehadirannya, sedang latar
spiritual adalah latar yang berwujud tata cara, adat istiadat,
kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang
bersangkutan. Latar netral adalah sebuah tempat hanya sekedar
sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan tidak lebih dari
itu dan tidak akan mempengaruhi pemlotan dan penokohan, sedang
latar fungsional adalah latar yang mampu mempengaruhi cerita dan
bahkan ikut menentukan perkembangan plot dan pembentukan
29
karakter tokoh, karena mempengaruhi perkembangan plot dalam
sebuah cerita fiksi, latar fungsional tidak dapat digantikan dengan latar
lain tanpa mengganggu atau bahkan merusak cerita.
Sebagaimana pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
latar dibagi dalam dua jenis yaitu latar secara fisik dan latar secara
spritual. Latar fisik terdiri dari latar tempat dan waktu. Nama lokasi
tertentu seperti nama kota, desa, jalan, sungai, dan lain-lain.
Hubungan waktu seperti tahun, tanggal, pagi, siang, malam, dan lain-
lain yang menyaran pada waktu tertentu merupakan latar waktu. Latar
spritual dalam karya fiksi berwujud tata cara, adat istiadat,
kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku ditempat bersangkutan. Ada
juga yang menyebutnya sebagai latar sosial.
5) Sudut Pandang Penceritaan
Sudut pandang atau point of view adalah cara pengarang
memandang sebuah cerita. Sudut pandang mengandung arti hubungan
di antara tempat pencerita dengan ceritanya. Hubungan antara
pengarang dan cerita ada dua macam, yaitu hubungan pencerita
“diaan” dengan ceritanya dan hubungan pencerita äkuan” dengan
ceritanya.
30
Dalam penyampaian sebuah cerita, pengarang dapat
menggunakan sudut pandang melalui sebuah kejadian yang
dialaminya. Menurut pandangan dari Stanton (2007: 61) Sudut
pandang merupakan tempat pengarang memandang cerita. Sudut
pandang pada dasarnya merupakan strategi, teknik, siasat yang yang
disengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan gagasan dan
ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup dan tafsirannya
terhadap kehidupan yang semua sudut pandang tokoh.
Sudut pandang menyaran pada cara atau pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya kepada pembaca.
Minderop (2005: 88) mengemukakan bahwa sudut pandang
terdapat beragam variasi dan kombinasi, namun ada tiga varian
mendasar yang berbeda, yaitu sudut pandang impersonal, orang ketiga
dan orang pertama. Sudut pandang impersonal adalah apabila
pencerita berdiri di luar cerita dan bergerak bebas dari satu tokoh ke
tokoh lainnya, satu tempat ke tempat lainnya, satu episode ke episode
lainnya yang dapat memberikan akses terhadap pikiran dan perasaan
tokoh dengan bebasnya. Jenis sudut pandang orang ketiga terbagi atas;
pertama “dia” maha tahu dan “dia” terbatas. “Dia” maha tahu yaitu
pencerita yang berada di luar cerita dan melaporkan peristiwa-
31
peristiwa yang menyangkut para tokoh dari sudut pandang “ia” atau
“dia”. Pencerita mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan
tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.
Ia bebas bergerak menceritakan apa saja dalam lingkup waktu
dan tempat cerita, berpindah-pindah tokoh “dia” yang satu ke tokoh
“dia” yang lain, menceritakan ucapan, tindakan tokoh bahkan juga
hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara
jelas. Kedua, “Dia” terbatas yaitu pencerita yang berada di luar cerita
yang mengetahui segala sesuatu tentang diri seorang tokoh saja baik
tindakan maupun batin tokoh tersebut. Dalam percakapan antar tokoh
banyak penyebutan “aku” dan “engkau”, sebab tokoh-tokoh “dia”
sedang dibiarkan mengungkapkan diri mereka sendiri.
Jenis sudut pandang pertama “akuan” terdiri atas “aku” tokoh
utama dan “aku” tokoh tambahan. Sudut pandang “Aku” tokoh utama
yaitu pencerita yang ikut berperan sebagai tokoh utama, melaporkan
cerita dari sudut pandang “aku” dan menjadi fokus atau pusat cerita.
Sudut pandang “aku” tokoh tambahan, yaitu pencerita yang tidak ikut
berperan dalam cerita, hadir sebagai tokoh tambahan yang aktif
sebagai pendengar atau penonton dan hanya melaporkan cerita kepada
pembaca dari sudut pandang “saya”.
32
Dengan demikian, bahwa dalam sudut pandang (point of view)
seperti halnya, akuan-sertaan, tokoh sentral (utama) cerita adalah
pengarang secara langsung terlibat dalam cerita. Sudut pandang
akuan-taksertaan, tokoh “aku: di sana berperan sebagai figuran atau
pembantu tokoh lain yang lebih penting, sedangkan sudut pandang
diaan-mahatahu, pengarang berperan sebagai pengamat saja yang
berada diluar cerita. Hal ini berkebalikan dengan sudut pandang
diaanterbatas yakni, pengarang memakai orang ketiga sebagai
pencerita yang terbatas dalam bercerita
6) Gaya Bahasa
Bahasa dapat menjadi sarana pengungkapan sebuah karya
sastra. Dalam sastra, gaya keindahan sebuah kata-kata adalah cara
pengarang dalam menggunakan bahasa yang baik. Gaya berdasarkan
pendapat Siswanto (2008: 158-159) adalah cara seorang pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang
indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana
yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Alat
gaya dapat melibatkan masalah kiasan dan majas: majas kata ataupun
majas kalimat.
Gaya bahasa dalam Wikipedia (2015: 1-3) ada beberapa
macam, yaitu alegori, metafora, simile, sinestesia, litotes, hiperbola,
personifikasi, enumerasio, dan satire.
33
a) Alegori, yaitu menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau
penggambaran.
b) Metafora, yaitu gaya bahasa yang membandingkan suatu benda
dengan benda lain karena mempunyai sifat yang sama atau
hampir sama.
c) Simile, yaitu pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang
dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya,
bagaikan, " umpama", "ibarat","bak", bagai".
d) Sinestesia, yaitu suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang
dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya.
e) Litotes, yaituungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta
dengan tujuan merendahkan diri.
f) Hiperbola, yaitu pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan
sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
g) Personifikasi, yaitupengungkapan dengan menggunakan perilaku
manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia.
h) Enumerasio, yaituungkapan penegasan berupa penguraian bagian
demi bagian suatu keseluruhan.
34
i) Satire, yaitu ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau
parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan gaya bahasa
merupakan penggunaan bahasa dalam menyampaikan suatu makna.
Gaya bahasa digunakan untuk membantu menyampaikan kesan dan
maksud kepada pembaca melalui pilihan kata.
7) Amanat
Karya sastra selain berfugsi sebagai hiburan bagi pembacanya,
juga berfungsi sebagai sarana pendidikan dan penyampaian sebuah
nilai-nilai moral. Dengan kata lain, pengarang selain ingin menghibur
pembaca (penikmat) juga ingin mengajari pembaca. Ajaran yang ingin
disampaikan itu dinamakan amanat. Jadi, amanat adalah unsur
pendidikan terutama pendidikan moral, yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca lewat karya sastra yang ditulisnya.
Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri
pengarang dan pembacanya. Dari sudut pengarang, nilai ini biasa
disebut amanat. Siswanto (2008: 162) mengemukakan, amanat adalah
gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca atau pendengar.
35
Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat
sementara dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.
Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan amanat
adalah pesan atau nasihat pengarang yang disampaikan kepada
pembaca, secara implisit ataupun eksplisit.
b. Unsur ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra itu; biografi pengarang, psikologi pengarang, keadaan lingkungan
sosial dan ekonomi pengarang, dan pandangan hidup suatu bangsa.
Sebagaimana pandangan dari Nurgiyantoro (2013: 30) unsure
ekstrinsi adalah unsur-unsur yang berada di luar teks sastra itu, tetapi
secara tidak langsung mempengaruhi bangun atau sistem organisme teks
sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur
yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra.
Begitupun sama dengan yang dikemukakan Adisusilo (2012: 56)
bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra itu; biografi pengarang, psikologi pengarang, keadaan lingkungan
sosial dan ekonomi pengarang, dan pandangan hidup suatu bangsa.
Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro (2013: 30-31) juga
berpendapat bahwa unsur ektrinsik terdiri atas sejumlah unsur. Unsur-
unsur yang dimaksud antara lain adalah keadaan subjektivitas individu
36
pengarang yang meniliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang
kesemuanya itu akan memengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata,
unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang
dihasilkan. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi pengarang (yang
mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan
prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti
ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra,
dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain
misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain,
dan sebagainya
Unsur ekstrinsik sebuah karya sastra bergantung pada pengarang
menceritakan karya itu. Unsur ini mengandung nilai dan norma yang
telah dibuatnya. Norma adalah suatu ketentuan atau peraturan-peraturan
yang berlaku dan harus ditaati oleh seseorang.
Sehingga unsur ekstrinsik ini sangat penting sekali dalam
pemberian pesan atau nilai pada sebuah novel. Karya sastra dikatakan
baik apabila sebuah sastra mampu memperhatikan dengan baik akan
unsur intrinsik dan ekstrinsik.
37
BAB III
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Pendidikan Moral
1. Pengertian Pendidikan Moral
Sebelum mengetahui tentang pengertian dari pendidikan
moral, maka alangkah baiknya jika didefinisikan dengan konteks
makna secara bahasa. Karena pendidikan moral tersebut terdiri dari
dua komponen yaitu pendidikan dan moral. Sehingga dengan
mengetahui dua makna dari kata tersebut akan memudahakan untuk
memahami tentang arti dari pendidikan moral yang sebenarnya.
Ramayulis (2002: 1) berpendapat bahwa Istilah pendidikan
berasal dari kata “didik” yang diberi awalan “pe’ dan akhiran “kan”,
mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya). Istilah
pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani yaitu “pedagogie”
yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak.
Sebagaimana Purwanto (1985: 10) juga berpendapat,
Pendidikan juga bisa diartikan segala usaha orang dewasa dalam
pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan
jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
Mengacu dari pengertian di atas maka pendidikan adalah
proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan
berbagai macam bentuk tingkah laku lainnya baik di dalam
38
lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat di mana dia hidup.
Proses sosial di mana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan
yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah)
sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan
kemampuan sosial dan kemampuan individual yang optimum.
Pendidikan merupakan faktor yang teramat penting dalam
tatanan kehidupan manusia. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan, baik kehidupan keluarga, diri sendiri maupun kehidupan
dalam bermasyarakat dan negara.
Sebagaimana dalam undang-undang Indonesia ditegaskan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses belajar pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pelaksanaan suatu pendidikan mempunyai berbagai macam
fungsi, antara lain; inisiasi, inovasi, dan konservasi. Inisiasi
merupakan fungsi pendidikan untuk memulai suatu perubahan.
Inovasi merupakan wahana untuk mencapai perubahan. Konservasi
berfungsi untuk menjaga nilai-nilai dasar. Oleh sebab itu, untuk
memperbaiki kehidupan suatu bangsa, harus dimulai penataan dari
39
segala aspek. Salah satu aspek yang dimaksud di atas adalah
manajemen pendidikan.
Pendidikan bertujuan tidak hanya membentuk manusia yang
cerdas otaknya dan trampil dalam melaksanakan tugas, namun
diharapkan menghasilkan manusia yang memiliki moral dan budi
pekerti yang baik, sehingga menghasilkan seseorang yang excellent.
Oleh karena itu pendidikan tidak semata-mata mentrasfer ilmu
pengetahuan saja, akan tetapi juga mentransfer nilai moral dan nilai
kemanusiaan yang bersifat universal (menyeluruh).
Sebagaimana Habibah (2007: 1) berpendapat, Disinilah
pentingnya nilai-nilai moral yang berfungsi sebagai media
transformasi manusia Indonesia agar lebih baik, memiliki
keunggulan dan kecerdasan di berbagai bidang; baik kecerdasan
emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, kecerdasan
kinestika, kecerdasan logis, musikal, lenguistik, kecerdasan special.
Sebagaimana di dalam Al Qur’an dan terjemahan (2002: 598)
Q.S Al Alaq : 1-5 juga membahas tentang pentingnya peran
pendidikan bagi kehidupan manusia. Sehingga dengan pentingnya
akan hal itu maka pendidikan sangat ditekankan bahkan diwajibkan.
40
Artinya : 1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, 5. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Di dalam Al Qur’an dan terjemahan (2002: 24) yang
mempelajari tentang pendidikan selain itu terdapat dalam
Q.S. Al Baqoroh : 151 yang berbunyi:
Artinya : “sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat
Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul
diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada
kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al
kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa
yang belum kamu ketahui.”
Melihat dari pembahasan ayat tersebut maka sangat jelas
bahwa utamanya ilmu itu akan bertambah apabila seseorang mau
untuk senantiasa belajar. Dengan prinsip “membaca” maka akan
munculah beberapa pengetahuan yang sebelumnya belum diketahui.
41
Pendidikan sastra di Negara Indonesia sangatlah tertinggal
dibandingkan dengan dunia Barat atau Asia sendiri. Hal ini
dikarenakan para siswa di Indonesia sangat kurang dalam membaca
karya-karya sastra dan juga kegiatan menulis atau mengarang. Di
Jerman, pada pendidikan tingkat SMA, para siswa telah membaca
sekurang-kurangnya 15 judul buku sastra, di New York membaca 32
judul buku sastra, di Rusia 12 judul buku sastra, di Singapura dan
Malaysia masing-masing 6 judul, sementara di Indonesia belum bisa
menerapkan itu.
Pengarang sastra di sekolah umum Indonesia sangat tertinggal
dalam kegiatan apresiasi siswa untuk gemar membaca karya sastra.
Di Indonesia sendiri dan juga lemahnya kemampuan pengungkapan
jiwa lewat bahasa tulisan. Sehingga dengan pandangan seperti itu
perlulah adanya pembinaan dalam pendidikan sastra.
Dari beberapa pakar terkemuka atas pendapat di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah proses transformasi
ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan pengembangan potensi yang dapat
mempengaruhi perkembangan jiwa dan watak manusia yang
diharapkan bisa diaktualisasikan melalui perilakunya dalam
kehidupan sehari-hari. Sehingga merupakan perbuatan yang
mengarah pada pembimbingan agar tercapai suatu kebaikan seperti
yang telah dicita-citakan.
42
Sedangkan Pengertian moral dalam KBBI (2008: 929) adalah
“ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, akhlak dan budi pakerti”. Sebagaimana Nurgiyantoro
(2009: 321) berpendapat, Moral merupakan sesuatu yang ingin
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, yang merupakan
makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra dan makna yang
disarankan lewat cerita. Hal ini berarti pengarang menyampaikan
pesan-pesan moral kepada pembaca melalui karya sastra baik
penyampaian secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Bambang (1998: 22) Secara etimologis kata “Moral”
berasal dari kata latin “mos” yang berarti tata cara, adat istiadat atau
kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah “Mores”. Dalam arti adat
istiadat atau kebijaksanaan, kata-kata “Moral”mempunyai arti yang
sama dengan kata Yunan ”Ethos”, yang menurunkan kata”etika”.
Dalam bahasa arab kata”Moral”berarti budi pekerti adalah sama
dengan “akhlak”, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata “Moral”
dikenal dengan arti kesusilaan.
Pada hakikatnya moral adalah membicarakan tentang
persoalan benar atau salah, apa yang perlu dilakukan dan
ditinggalkan atas sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan
timbulnya “pengadilan” dari masyarakat mengenai tindakan yang
telah dilakukan oleh seorang individu. Pertimbangan moral
tergantung kepada suasana atau keadaan yang membentuk individu
43
tersebut. Misalnya, sistem sosial, kelas sosial, dan kepercayaan yang
dianut. Moralitas dalam diri manusia merupakan kesadaran tentang
baik buruk, tentang larangan, tentang yang harus dilakukan, dalam
setiap tindakan manusia secara tidak langsung dibebani oleh
tanggung jawab moral yang harus selalu dipatuhi.
Di masyarakat moral yang berlaku bersifat mengikat terhadap
setiap individu pada segala lapisan masyarakat yang ada. Setiap
individu dalam bersikap, bertingkah laku, dan bergaul dalam
masyarakat haruslah memperhatikan tatanan yang ada. Selain
melakukan apa yang ditugaskan kepadanya oleh kehidiupan sosial
dan oleh nasib pribadinya.
Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan
perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.
Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak
bermoral dan tidak memilki nilai positif di mata manusia lainnya.
Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.
Pada dasarnya pendidikan moral itu diajarkan dalam sebuah
lingkungan (Sekolah, Keluarga dan Masyarakat) dan manusia harus
mempunyai moral jika ingin dihormati oleh sesamanya.
Moral juga bisa diartikan sebagai perbuatan atau tingkah laku
dan ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila
yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku
di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan
44
lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral
yang baik, begitu juga sebaliknya.
Sebagaimana pendapat dari Ali (2004: 26) bahwa pengertian
moral atau yang lazimnya disebut dengan khuluqiyah atau akhlak
adalah sebuah sistem yang lengkap yang terdiri dari
karakteristikkarakteristik akal atau tingkah laku yang membuat
seseorang menjadi istimewa. Karakteristik-karakteristik tersebut
membentuk kerangka psikologi seseorang seseorang dan
membuatnya berprilaku sesuai dengan dirinya dan nilai yang cocok
dengan dirinya dalam kondisi yang berbeda-beda.
Menurut Nurgiyantoro (2013: 430), moral dalam karya sastra
biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang
bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal
itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Jadi, pada intinya
moral merupakan representasi ideologi pengarang. Karya sastra yang
berwujud berbagai genre yang notabene adalah “anak kandung”
pengarang pada umumnya terkandung ideologi tertentu yang
diyakini kebenarannya oleh pengarang terhadap berbagai masalah
kehidupan dan sosial, baik terlihat eksplisit maupun implisit.
Kenny dalam Nurgiyantoro (2013: 430) mengemukakan bahwa
moral dalam karya sastra biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran
yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat
praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan), lewat cerita yang
45
bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja
diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan
dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan
santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” nyata,
sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap
dan tingkah laku tokoh-tokohnya.
Poespoprodjo (1999: 13) menyatakan bahwa dengan moral
berarti hidup kita mempunyai arah tertentu meskipun arah tersebut
sekarang belum dapat kita tunjuk sepenuhnya. Seseorang menangis
atau menyesal dalam hatinya karena melihat bahwa perbuatan
melanggar, menyeleweng, menghianati arah ini.
Jika mendiskusikan nilai moral dalam karya sastra, maka harus
mencari unsur-unsur yang dapat menjadi sumber harmoni atau
konflik antara perbuatan dan norma. Dalam bertindak, dua orang
bisa melakukan tindakan yang sama tetapi dengan motif yang
berbeda, atau melakukan tindakan yang berbeda tetapi dengan motif
yang sama. Selain itu bisa juga bertindak dengan motif yang sama,
tetapi dengan keadaan yang berbeda.
Mangunwijaya dalam Nurgiyantoro (2013: 446) menyatakan
kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua
keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu
yang bersifat religious. Pada awal mula segala sastra adalah religius.
Istilah “religius” membawa konotasi pada makna agama. Religius
46
dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat
melebur dalam kesatuan, namun sebenarnya keduanya menunjuk
pada makna yang berbeda
Moral sangat penting dalam kehidupan manusia, bahkan moral
merupakan bagian terpenting yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan manusia. Pentingnya mempunyai moral tidak hanya
dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi juga dirasakan oleh orang lain,
misalnya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Dalam Al-Qur’an dan terjemahan (2002: 279) telah
diterangkan dengan jelas tentang manfaat mempelajari akhlak
(moral) yang mulia. Sebagaiman dijelaskan dalam Firman Allah
SWT dalam QS An-Nahl: 97.
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka
Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl: 97).
Ayat tersebut telah menjelaskan tentang keuntungan atau
manfaat dari sifat bermoral, dalam hal ini beriman dan beramal
shaleh. Yang mana mereka akan mendapatkan kehidupan baik,
mendapat rezeki yang berlimpah ruah, dan mendapatkan pahala yang
47
berlipat ganda di akhirat dengan masuk dalam surga-Nya
sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah SWT.
Dari uraian tersebut menjelaskan sebagian kecil dari manfaat
yang menghasilkan sebagai akibat dari mempelajari moral yang telah
dikerjakan dan tentunya masih banyak lagi manfaat dari bermoral
mulia. Namun dengan menyebut sebagian kecil dari manfaat
tersebut. Maka rasanya sudah cukup untuk memberikan isyarat
kepada manusia sebagai tujuan hidupnya untuk memperoleh
kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
Mengambil dari pemahaman tersebut, maka mengindikasikan
bahwa antara moral dan etika mempuyai arti yang sama yaitu sebuah
hal yang mempelajari tentang pola prilaku seseorang dalam
kehidupannya sehari-hari.
Sehingga dari pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa
Moral adalah suatu hal yang didasari oleh prilaku seseorang melalui
kebiasaan yang didapati dalam lingkungkannya. Apabila lingkungan
tersebut baik maka akan menumbuhkan moral yang baik begitupun
juga dengan sebaliknya.
Mengacu dari dua pengertian tersebut maka Pendidikan Moral
mempunyai sebuah keterkaitan yang saling menentukan untuk
kebaikan dari orang tersebut. Hal ini bisa diartikan bahwa
Pendidikan Moral adalah diartikan sebagai proses pendidikan yang
ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap dan perilaku siswa
48
yang memancarkan akhlak (moral) yang baik atau budi pekerti luhur,
lewat pendidikan moral ini kepada anak didik akan diterapkan nilai
dan perilaku yang positif.
Pendidikan moral dapat disebut juga sebagai pendidikan nilai
atau pendidikan afektif. Dalam hal ini hal-hal yang disampaikan
dalam pendidikan moral adalah nilai-nilai yang termasuk domain
afektif. Nilai tersebut antara lain, meliputi : perasaan, sikap, emosi,
kemauan, keyakinan, dan kesadaran.
Dalam mensosialisasikan nilai moral perlu adanya sebuah
komitmen para elit politik, tokoh masyarakat, guru, stakeholders
pendidikan moral, dan seluruh masyarakat. Hal ini dikarenakan
bahwa sosialisasi pendidikan moral harus memperhatikan prinsip-
prinsip antara lain: Pendidikan moral adalah suatu proses,
pendekatan yang digunakan secara komperhensip, pendidikan ini
hendaknya dilakukan secara kondusif baik di lingkungan sekolah,
rumah dan masyarakat, semua partisan dan komunitas terlibat di
dalamnya.
Sosialisasi pendidikan moral perlu diadakan bagi kepala
sekolah, guru, murid, orang tua murid, dan komunitas pemimpin
yang merupakan esensial utama. Perlu perhatian terhadap latar
belakang murid yang terlibat dalam proses kehidupan pendidikan
moral. Perhatian pendidikan moral harus berlangsung cukup lama
49
(terus menerus), dan pembelajaran moral harus diintegrasikan dalam
kurikulum secara praksis di sekolah dan masyarakat.
Pendidikan moral harus direncanakan secara baik dan matang
oleh stakeholders , sebagai think-tank, baik para pakar Pendidikan
moral seperti tokoh agama, pemimpin nonformal (tokoh
masyarakat), kepala sekolah, guru-guru, orang tua mood. Pendidikan
moral ini harus memperhatikan nilai-nilai secara holistik dan
uiniversal. Keberhasilan pendidikan moral dengan keluaran
menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi personal dan
kompetensi sosial yang memiliki moral luhur dan dinamis sehingga
menghasilkan warga negara yang baik (good citizen).
Dengan demikian dapat disimpulkn bahwa pendidikan moral
adalah usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh seorang
pendidik untuk membentuk tabiat yang baik pada seorang anak
didik, sehingga terbentuk manusia yang taat terhadap norma yang
berlaku serta mampu taat dan patuh kepada Allah SWT.
pembentukan tabiat ini dilakukan oleh pendidik secara terus menerus
dengan tidak ada paksaan dari pihak manapun.
Pendidikan moral diharapkan dapat menciptkan seorang yang
memiliki kompetensi personal dan sosial sehingga menjadi warga
negara yang baik (good care atau good citizen). Arah kebijaksanaan
pendidikan moral adalah untuk mewujudkan masyarakat sipil dengan
parameter masyarakat lebih baik; demokratis, anti kekerasan,
50
berbudi pekerti luhur, bermoral; masyarakat mendapat porsi
partisipasi lebih luas, serta adanya landasan kepastian hukum,
mengedepankan nilai keadilan, menghargai HAM, penegakan
hukum, menghargai perbedaan SARA dalam kesatuan bangsa.
2. Landasan Pendidikan Moral
Dalam hubungannya dengan Agama Islam, Pendidikan moral
merupakan suatu hal yang berlandaskan dan berpedoman pada
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mengenai landasan pendidikan moral
telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Terjemahan (2002: 413) Surat
Al-Lukman ayat 14-17 yang berisikan nasihat Lukmanul Hakim
kepada anaknya, jelasnya yaitu:
51
Artinya: “14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat
baik) kepada dua orang, ibu-bapanya; ibunya telah
mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-
Kulah kembalimu. 15. dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,
dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan. 16. (Luqman berkata): "Hai
anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat
biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam
bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui. 17.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah).” (Q.S Al Luqman : 12-19)
Dalam pembahasan ayat tersebut maka sangat jelas pendidikan
moral yang pertama dilakukan oleh manusia adalah untuk senantiasa
berbakti kepada orang tua, karena merekalah yang utama dalam
kehidupan manusia. Barulah setelah itu untuk senantiasa berbuat
baik kepada siapapun baik itu di dalam lingkungan keluarga maupun
masyarakat karena hal itu merupakan sebuah kewajiban yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT.
Kaitannya dengan pendidikan moral yang terkandung dari
Q.S Al luqman : 14-17 adalah pada dasarnya moral (akhlak) yang
diajarkan syari’at Islam untuk kebaikan dan kemanfaatan bagi
manusia. Syari’at Islam akan selalu dilandasi dengan hujjah yang
kuat dan dalil-dalil yang jelas, menunjukkan kebaikan dan
52
keutamaannya. Syari’at Islam merupakan kajian yang sangat luas
untuk dipikirkan (tafakkur), direnungkan (tadabbur) dan dipahami
untuk mengetahui keagungan ajaran Islam serta tingkat
kemaslahatannya bagi umat manusia.
Sehingga mengambil ide gagasan pada dasar Al-Qur’an dan
Al-Hadits tersebut menunjukkan betapa pendidikan moral itu sangat
penting untuk diajarkan kepada setiap orang. Bahkan bila
memperhatikan dalam surat di atas pendidikan moral itu sebenarnya
mulai diberikan sejak anak masih kecil (dini), sehingga dewasa dia
mempunyai karakter pribadi yang baik.
B. Tujun Pendidikan Moral
Suatu usaha atau kegiatan apabila tidak mempunyai tujuan yang jelas
maka tidak akan berarti apa-apa. Oleh karena itu tidak ada sebuah kegiatan
yang tanpa tujuan. Sedangkan tujuan itu sendiri telah terkandung dalam
pengertian kegiatan, agar suatu kegiatan terarah dan mencapai sesuatu
yang diharapkan, tentu saja perlu adanya tujuan. Demikian juga dengan
pendidikan. Untuk dapat melihat tujuan dan orientasi pendidikan moral,
perlu kiranya menjadikan peta wacana pendidikan moral yang berkembang
sebagai parameter dalam usaha memperbaiki diri untuk lebih baik.
Mengingat pentingnya perkembangan moral, maka tentu akan ada
sebuah proses yang tak lepas dari perkembangan moral itu sendiri. Proses
yang dimaksud adalah yang disebut dengan pendidikan. Pendidikan moral
sangat perlu bagi manusia, karena melalui pendidikan perkembangan
53
moral diharapkan mampu berjalan dengan baik, serasi dan sesuai dengan
norma demi harkat dan martabat manusia itu sendiri.
Sebagaimana Ali (2004: 11) berpendapat, tujuan pendidikan moral
sebenarnya tidak terlepas dari tujuan pendidikan islam, karena salah satu
tujuan pendidikan islam adalah membangun akhlakul karimah sesuai
dengan tuntunan Al-Qur’an dan Al Hadits. Yaitu:
1. Mengesakan Allah SWT, tidak menyekutukan-Nya dan hanya
menyembah-Nya sesuai dengan syariat yang telah Dia turunkan.
2. Mengikuti dan konsisten terhadap aturan Allah yang sesuai dalam Al-
Qur’an dan Al-Hadits.
3. Memakmurkan bumi dan menghantarkan manusia kepada tingkat
kehidupan yang baik sesuai dengan kemuliaan