4
EKSISTENSI ANAK DAN EUFORIA BATU CINCIN Penulis : Salman Hasibuan* Euforia batu cincin kini melanda banyak wilayah di negeri ini, termasuk Sumatera Utara. Kegemaran terhadap batu pun tidak mengenal usia serta jabatan, mulai dari masyarakat awam, pejabat hingga pemuka agama. Para lansia, remaja bahkan anak- anak pun turut menggemari beragam jenis bebatuan yang dijajal di pinggir trotoar jalan maupun pertokoan. Namun ada hal menarik perhatian, ketertarikan anak-anak terhadap batu ternyata mendapat ragam komentar dari para orang dewasa, bahkan mereka kerap di”bully” dengan mengatakan bahwa anak-anak belum pantas pakai cincin, masih kecil sudah terlalu tua, masih anak-anak sudah bertingkah pakai cincin dan ragam cibiran lainnya. Fenomena tersebut tentu menarik ditinjau dari aspek sosiologis dan psikologis. Cara orang dewasa memandang keberadaan anak perlu dikritisi dan dievaluasi. Orang dewasa masih menganggap anak sebagai individu yang kecil, lemah dan masih bergantung dengan orang dewasa. Padahal, anak merupakan anggota dari komunitas masyarakat, sehingga perlu dilihat eksistensinya dalam kehidupan sosial. Paradigma Baru Perlu gerakan yang menggugah kesadaran sosial agar tercipta paradigma baru memandang anak sebagai agency dalam komunitas masyarakat. Mengutip pandangan sosiolog anak, David Buckingham dalam tulisan berjudul Structure, Agency and Pedagogy in Children’s Media Culture. Agency berarti individu yang otonom serta independen untuk berbuat, bertindak dan bersikap sesuai yang diinginkan untuk memenuhi kebutuhan personal maupun sosial. Pemenuhan kebutuhan personal berarti keingintahuan anak yang tinggi serta ketertarikan untuk mengetahui serta memiliki sesuatu yang diinginkan berdasarkan apa yang ia amati di

Sosiologi Anak Dan Euforia Batu Cincin

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sebuah pandangan mengenai cara orang dewasa mempersepsikan anak

Citation preview

EKSISTENSI ANAK DAN EUFORIA BATU CINCINPenulis : Salman Hasibuan*Euforia batu cincin kini melanda banyak wilayah di negeri ini, termasuk Sumatera Utara. Kegemaran terhadap batu pun tidak mengenal usia serta jabatan, mulai dari masyarakat awam, pejabat hingga pemuka agama. Para lansia, remaja bahkan anak-anak pun turut menggemari beragam jenis bebatuan yang dijajal di pinggir trotoar jalan maupun pertokoan.Namun ada hal menarik perhatian, ketertarikan anak-anak terhadap batu ternyata mendapat ragam komentar dari para orang dewasa, bahkan mereka kerap dibully dengan mengatakan bahwa anak-anak belum pantas pakai cincin, masih kecil sudah terlalu tua, masih anak-anak sudah bertingkah pakai cincin dan ragam cibiran lainnya.Fenomena tersebut tentu menarik ditinjau dari aspek sosiologis dan psikologis. Cara orang dewasa memandang keberadaan anak perlu dikritisi dan dievaluasi. Orang dewasa masih menganggap anak sebagai individu yang kecil, lemah dan masih bergantung dengan orang dewasa. Padahal, anak merupakan anggota dari komunitas masyarakat, sehingga perlu dilihat eksistensinya dalam kehidupan sosial.Paradigma Baru

Perlu gerakan yang menggugah kesadaran sosial agar tercipta paradigma baru memandang anak sebagai agency dalam komunitas masyarakat. Mengutip pandangan sosiolog anak, David Buckingham dalam tulisan berjudul Structure, Agency and Pedagogy in Childrens Media Culture. Agency berarti individu yang otonom serta independen untuk berbuat, bertindak dan bersikap sesuai yang diinginkan untuk memenuhi kebutuhan personal maupun sosial.Pemenuhan kebutuhan personal berarti keingintahuan anak yang tinggi serta ketertarikan untuk mengetahui serta memiliki sesuatu yang diinginkan berdasarkan apa yang ia amati di lingkungannya. Dalam konteks batu cincin, maka kehadiran anak-anak dalam euforia batu cincin harus mendapat sambutan positif, bahwa tindakan itu merupakan bagian dari eksistensi diri sebagai individu yang juga ingin melihat, menerawang batu dengan senter bahkan membelinya.Adapun kebutuhan sosial berarti keinginan anak untuk melihat serta terlibat dalam peristiwa sosial yang ada di lingkungan sekelilingnya. Orang dewasa layak memberi apresiasi kepada anak, memahami bahwa kebutuhan sosial bagi individu agar turut meramaikan semangat memiliki batu juga layak diberikan kepada anak. Melalui paradigma baru ini, berarti persoalan memiliki batu cincin adalah hak bagi setiap anggota masyarakat, baik lansia, orang tua, remaja bahkan anak-anak, sehingga tidak ada lagi ruang isolasi bagi aktivitas anak sebagai manusia di ruang-ruang publik, yang hanya melahirkan sebuah diskriminasi dalam dimensi kehidupan sosial.Anggapan bahwa anak-anak belum layak ikut campur atau hadir dalam ruang-ruang orang dewasa atau publik, merupakan sebuah stigma yang sangat diskriminatif. Fenomena demikian juga terjadi di Amerika dan Eropa, terdapat suara-suara komunitas yang menyerukan zona bebas anak (child-free zone) yang menginginkan anak-anak disingkirkan dari ruang publik karena mengganggu privasi orang dewasa. Bahkan lebih buruk, perusahaan pesawat Singapura, Scoot Airlines menawarkan layanan zona bebas anak untuk mewujudkan mimpi orang dewasa yang menginginkan hal serupa.Komoditas PolitikSuara-suara mengenai kepedulian terhadap hak-hak anak, masih sering menjadi komoditas politik. Pada ruang-ruang kampanye, janji-janji untuk memperhatikan permasalahan anak masih cukup seksi, karena jargon-jargon yang dibawa atas nama anak sangat mulia.Mungkin masih sering terdengar dengan baik di telinga kita, anak adalah masa depan bangsa, masa depan bangsa ada di tangan anak-anak, anak-anak penerus cita-cita dan harapan bangsa dan masih banyak lagi. Namun pada kenyataan, ucapan tersebut tidak muncul dalam praktiknya.Secara logika, menyuarakan jargon anak sebagai penerus masa depan bangsa, berarti orang dewasa melihat anak sebagai individu yang otonom, sehingga pantas untuk diberi mandat yang sangat besar dan berat yakni menyelamatkan bangsa di masa akan datang. Begitu juga bagi para lembaga-lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan, masih menempatkan anak sebagai objek bukan subjek, menganggap anak berada pada posisi yang rentan dalam situasi sosial. Kelalaian PemerintahKelalaian serta skeptisme masih wajar diarahkan kepada pemerintah, karena cenderung menutup mata melihat eksistensi anak-anak. Pemerintah tidak melihat anak sebagai subjek bergerak, yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam entitas masyarakat, yang perlu diperhatikan dan dipenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam kehidupan bersosial mereka.Pemerintah cenderung terus mengutamakan penyediaan fasilitas bagi orang dewasa, universitas yang luas bagi orang dewasa. Pada sisi lain, sangat minim fasilitas infrastruktur yang luas dibangun sebagai sarana anak-anak bermain dan belajar, yang konon digaungkan sebagai penerus masa depan bangsa.Lihat saja, bagaimana kebun binatang di tengah kota sebagai sarana rekreasi yang sangat bermanfaat bagi tumbuh-kembang anak, dipindahkan ke pinggiran kota yang sulit dijangkau anak. Lapangan-lapangan luas sebagai sarana olah raga bermain sepak bola, juga telah terganti oleh perumhan-perumahan, sehingga anak kian terisolasi dalam ruang-ruang publik.Lantas apa lagi yang tersisa dari eksistensi diri anak ?* Penulis merupakan Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi USU Pemerhati dunia anak,