Upload
phanye
View
772
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Bahan Seminar : Hasil PenelitianJudul : Asosiasi Eboni (Diospyros celebica) dengan berbagai jenis
pohon di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros
Pembawa Seminar : Arghatama Djuan K.Stambuk : M. 111 05 043Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Amran Achmad. M.Sc
2. Asrianny S.Hut, M.Si
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eboni (Diospyros celebica) atau yang lebih dikenal dengan nama kayu
hitam merupakan salah satu jenis dari family Ebenaceae, dan tumbuh endemik di
hutan alam Pulau Sulawesi. Di Indonesia eboni sering disebut dengan kayu
hitam, sedangkan masyarakat suku Bugis (Sulawesi Selatan) mengenal tanaman
ini dengan nama daerah aju lotong. Pemberian nama ini berdasarkan pada warna
dan serat kayunya yang berwarna hitam.
Keberadaan eboni di habitat alaminya kini kian tersisihkan, hal ini dapat
dilihat dari jumlahnya di alam yang kian merosot tajam. Sifat ekologis dari Eboni
yang memiliki pertumbuhan lambat merupakan faktor penyebab utama. Maka
untuk mencegah kelangkaan spesies eboni yang mengarah pada kepunahannya,
pemerintah sejak awal tahun 1990-an telah melakukan tindakan perlindungan dan
pelestarian. Departemen Kehutanan telah mengeluarkan surat keputusan (SK)
No. 950/IV-PPHH/1990 yang intinya melarang kegiatan tebang baru terhadap
pohon eboni kecuali mendapatkan ijin khusus. Word Conservation Union (IUCN),
dalam daftarnya juga mencantumkan Eboni ke dalam kategori vulnerable (VU AL
cd) yang artinya berada pada batas beresiko tinggi untuk punah di alam.
1
Tingkat regenerasi Eboni di alam tergolong rendah, hal ini disebabkan
oleh sifatnya yang semitoleran, dimana pada tingkat semai eboni membutuhkan
tanaman penaung dan pada saat percabangan sekundernya terbentuk dia
membutuhkan intensitas cahaya yang secara bertahap bertambah seiring dengan
tingkat pertumbuhannya. Hubungan ketergantungan antara Eboni dan tanaman
penaungnya inilah yang akan membentuk suatu pola asosiasi. Dan dari kekuatan
asosiasi yang terbentuk ini dapat terlihat seberapa besar jenis pohon penaung
memberikan dampak terhadap tingkat pertumbuhan dari Eboni.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada survei awal lokasi
penelitian, maka didapati bahwa kerapatan populasi Eboni dipengaruhi oleh
keberadaan vegetasi jenis tertentu. Hal ini dicirikan oleh jumlah dan tinggi Eboni
yang dipengaruhi oleh keberadaan beberapa jenis vegetasi yang ada. Dapat
terlihat pertumbuhan Eboni yang baik apabila pohon penaungnya adalah Pinang
(Areca catechu) ataupun Aren (Arenga saccharifera).
Dengan melihat adanya hubungan ketergantungan antara Eboni dengan
tanaman penaungnya, maka penelitian mengenai asosiasi Eboni adalah sangat
penting. Penelitian mengenai asosiasi Eboni dengan tanaman penaungnya dapat
digunakan sebagai bahan acuan dalam menentukan jenis tanaman yang menjadi
penaung agar pertumbuhan Eboni menjadi optimal.
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui asosiasi jenis Eboni dengan
jenis-jenis pohon lainnya di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin,
Bengo-bengo.
Manfaat penelitian ini adalah merupakan ukuran dasar terhadap asosiasi
Eboni di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, sehingga dapat
dimanfaatkan oleh stakeholder untuk pengelolaan Eboni di Kawasan Hutan
Pendidikan tersebut.
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistematika dan Morfologi
Menurut Riswan (2002), klasifikasi jenis Diospyros celebica Bakh, secara
lengkap dapat diuraikan sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub kelas : Sympetalae
Bangsa : Ebenales
Suku : Ebeneceae
Marga : Diospyros
Spesies : Diospyros celebica
Eboni adalah pohon yang berukuran sedang sampai besar, tinggi pohon
dapat mencapai 40 m. Bagian batang yang tidak bercabang dapat mencapai 40 m.
Bagian batang yang tidak bercabang dapat mencapai 150 cm atau lebih di atas
akar papan yang tingginya dapat mencapai 4 m di atas permukaan tanah. Batang
bersisik dan berwarna hitam (Riswan, 2002).
Daun tunggal, bentuk memanjang sampai jorong, dengan panjang 12-35
cm dan lebar 2,5-7cm. Bagian dasar daun tumpul sampai agak menjantung dan
ujung daun lancip sampai agak lancip, tulang daun menjala tersier dan nyata jika
di raba baik muka daun atas dan bawah (Riswan, 2002).
Sistem perbungaan berbentuk payung menggarpu, pada bunga jantan ada
3-7, dengan masing-masing 4 petal dan mempunyai 16 benangsari, sedangkan
pada bunga betina, dijumpai 1-3 perbungaan yang seperti payung menggarpu, 4
petal dengan kelopak yang bergelombang dan berkatup, rapat dan kaku di sebelah
luar. Tajuk bunga seperti terbagi dua, bakal buah mempunyai 4-8 ruang bakal biji
yang menyatu (Riswan, 2002).
3
Buah berbentuk bulat telur, dengan ukuran rata-rata 3,5-5cm x 3-3,5 cm,
kulit buah halus seperti sutera, berbulu tipis pada dasar dan ujung buah.
Diospyros celebica mulai berbunga dan berbuah pertama kali pada umur 5-7
tahun. Periode dari bunga betina matang dan dibuahi sampai menjadi buah masak
memerlukan waktu kurang lebih selama 4 tahun (Riswan, 2002).
Sifat fenologi eboni menunjukkan bahwa buah Eboni sudah masak secara
fisiologis pada sekitar bulan November dan Desember. Pengumpulan buah
sebaiknya dilakukan dengan memanjat pohon untuk memilih buah yang baik
karena buah yang sudah jatuh ke lantai hutan biasanya bercampur dengan buah
yang muda dan yang rusak karena terserang hama dan penyakit. Biji Eboni yang
sehat ditandai dengan warna biji cokelat kehitaman dan memiliki radikel
berwarna kuning kecoklatan. Berhubung sifat biji Eboni adalah rekalsitran
maka tidak dapat disimpan dalam waktu lama (Samuel dan Nurkin, 2002).
B. Penyebaran
Eboni (Diospyros celebica) sesuai dengan nama spesiesnya merupakan
jenis endemik di Pulau Sulawesi (Celebes) terutama di Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Utara. Di Sulawesi Utara, penyebarannya terutama di
Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Bolaan Mongondow. Sulawesi tengah
merupakan tempat sebaran utama jenis ini dan juga di enam kabupaten yaitu
Poso, Donggala, Parigi, Toli-toli, Kolonodale dan Luwu, sedangkan di Sulawesi
Selatan Eboni tersebar di dua kabupaten yaitu Luwu dan Gowa (Samuel dan
Nurkin, 2002).
Eboni dijumpai pada hutan dataran rendah sampai daerah pegunungan
rendah, 400 m di atas permukaan laut. Jenis pohon ini tumbuh alami di hutan
tropika basah dan di hutan monsoon atau hutan yang beriklim musiman, di mana
jenis ini merupakan jenis utama atau jenis paling dominan di tipe-tipe hutan
tersebut. Eboni dapat tumbuh di tanah-tanah latosol, tanah podzol dan tanah
berkapur (Riswan, 2002).
4
Eboni dapat ditemukan di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin yang
secara administratif terletak di wilayah Desa Limampoccoe, Kec Cenrana Kab
Maros. Ditinjau dari segi astronomis kawasan hutan pendidikan Unhas terletak
pada posisi antara 119˚44’33” - 119˚46’17” BT dan 04˚58’7” - 05˚00’30” LS,
dengan ketinggian antara 300 – 1100 m dari permukaan laut. Kawasan hutan
pendidikan Unhas merupakan bagian dari kawasan Hutan Bulusaraung yang
berada dalam Resort Polisi Hutan (RPH) Bengo, bagian Hutan Lebbo Tengae, sub
dinas kehutanan (Anonim, 2009).
C. Karakteristik
Berdasarkan hasil penelitian regenerasi hutan yang dilakukan oleh Harun
(2002) di kelompok hutan alam Eboni di Sulawesi tengah menunjukkan bahwa
pembukaan tajuk yang terlalu terbuka dan penyinaran yang terlalu kuat tidak baik
untuk perkembangan dan pertumbuhan anakan Eboni. Begitu pula pada daerah
yang naungan berat (kurang cahaya) anakan banyak yang mati. Sedang anakan
yang berada pada naungan ringan menunjukkan pertumbuhan yang baik, namun
demikian setelah anakan mencapai tingkat sapling secara bertahap naungan harus
sudah mendapat cahaya penuh agar pertumbuhannya cepat. Dengan demikian,
Eboni tergolong jenis pohon semi toleran terhadap cahaya.
Dari aspek ekologi, yang paling menarik dari Eboni adalah tipe
tumbuhnya yang mengelompok, sifat kayunya sangat keras, dan tahan terhadap
serangga perusak kayu. Penelitian produksi buah dan pemencaran biji, serta
predator dalam populasi jenis ini merupakan suatu hal yang sangat penting dan
menarik dalam mempelajari populasi dan penyebaran Eboni di hutan alamnya
(Riswan, 2002).
D. Struktur Vegetasi
5
Struktur vegetasi sebagai suatu organisasi dari kumpulan individu-individu
yang membentuk suatu tegakan (berdasarkan tipe vegetasi atau asosiasi
tumbuhan) dan elemen dasar dari struktur vegetasi itu sendiri adalah bentuk
tumbuh, stratifikasi dan penutupan tajuk (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).
Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), membagi struktur vegetasi
menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu:
1. Fisiognomi vegetasi berupa penampilan fisik dari suatu vegetasi.
merupakan hasil dari struktur biomassa, wujud fungsional (misalnya:
rontoknya daun di hutan), dan karakteristik penyusunnya (misalnya:
kesuburan tanah)
2. Struktur biomassa mengarah pada jarak dan tinggi dari vegetasi yang
membentuk matriks dari penutupan vegetasi
3. Struktur bentuk hidup mengarah pada komposisi dari bentuk
pertumbuhan suatu vegetasi. Konsep struktur benttuk hidup
mengelompokkan individu dari spesies dengan bentuk morfologi yang
sama ke dalam suatu tipe bentuk tumbuh
4. Struktur floristik merupakan gabungan dari struktur horizontal
(penyebaran spasial dari populasi spesies dan individu) dan struktur
kuantitatif (kelimpahan tiap spesies dalam komunitas)
5. Struktur tegakan mengarah kepada penyebaran dari tiap individu dalam
kelas ukuran yang berbeda dari jenis pohon tertentu pada tegakan
hutan.
Stratifikasi sering dihubungkan dengan struktur vertikal dan horizontal
dari vegetasi dan khususnya stratifikasi vertikal atau lapisan-lapisan dari vegetasi.
Penampakan dari beberapa lapisan berurut dari vegetasi yang didasarkan pada
perbedaan tinggi adalah pendekatan struktural dari gambaran tumbuhan dan yang
menjadi ciri pengklasifikasian bentuk kehidupan tumbuhan. Pendekatan
struktural dapat digunakan untuk menyederhanakan dan mendeskripsikan
organisasi dari tipe vegetasi yang kompleks. Masing-masing lapisan
dideskripsikan lewat tinggi total pohon dan informasi floristik lainnya yang dapat
mendukung kelanjutan dari pendeskripsian ini (Moore dan Chapman, 1988).
6
Tinggi tanaman digunakan sebagai salah satu kriteria dari klasifikasi
bentuk tumbuh. Oleh karena itu, klasifikasi bentuk tumbuh memberikan ide
mengenai stratifikasi dalam komunitas. Bagaimanapun juga, stratifikasi bisa
diindikasikan dalam bentuk diagram, jika tinggi dan penutupan setiap strata turut
diambil selama analisis di lapangan. Dengan menggunakan diagram abstrak lebih
memungkinkan dalam memberi gambaran mengenai pembentukan stratifikasi.
Diagram abstrak ini lebih dikenal dengan nama diagram profil (Mueller-Dombois
dan Ellenberg, 1974).
E. Asosiasi
Asosiasi yang digunakan dalam ekologi tak lain sebagai indera semu yang
mengarah ke penggabungan karakteristik yang sama dari dua spesies yang
berbeda yang membentuk suatu komunitas yang sama dari spesies yang berbeda
sebagai satu unit kesatuan vegetasi atau dalam arti yang sebenarnya sebagai suatu
ukuran dari kesamaan kejadian pada dua spesies yang berbeda (Moore dan
Chapman, 1988).
Konsep asosiasi sangat memungkinkan untuk membagi unit vegetasi
menjadi beberapa bagian. Suatu hubungan asosiasi tidak harus memperlihatkan
satu lapisan tajuk yang terdiri dari satu jenis dominan. Sebaliknya dalam setiap
lapisan tajuk terdiri dari lebih dari satu jenis yang dapat digunakan untuk
menetapkan suatu hubungan asosiasi (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).
Pada pengertian sebenarnya asosiasi dapat dideskripsikan menggunakan
statistik, misalnya dengan chi_squared (x2). Kehadiran tiap spesies akan direkam
dalam jumlah dari plot yang dibuat dan data yang dimasukkan ke dalam
Contingency table 2x2. Hasilnya dapat diuji kebenarannya dengan menggunakan
tabel x2. Hasilnya dapat mengidentifikasi asosiasi yang terjadi apakah positif atau
negatif. Hasilnya akan bergantung pada ukuran plot karena data yang dihasilkan
berasal dari frekuensi kemunculan (Moore dan Chapman, 1988).
Berdasarkan sebuah resolusi dari Kongres Botani Internasional di Brussel
pada tahun 1910, disepakati bahwa bentuk asosiasi hanya diaplikasikan pada
komunitas dengan: komposisi floristik tertentu, fisiognomi yang seragam dan
7
ketika terjadi pada kondisi habitat yang seragam. Akan tetapi syarat yang
menyatakan bahwa habitatnya seragam. Sangat susah untuk dipenuhi. Habitat
yang seragam dapat ditemukan di beberapa situasi lapangan, akan tetapi sampel
vegetasi yang telah dikelompokkan ke dalam suatu tipe asosiasi tidak pernah
memiliki habitat yang identik, karena tidak ada 2 tempat di muka bumi ini yang
mempunyai kombinasi faktor tempat tumbuh yang benar-benar sama (Mueller-
Dombois dan Ellenberg, 1974).
F. Analisis Komunitas
Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan
atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan,
satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang
merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu
habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas
adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu
wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2005).
Beberapa penelitian spesifik tentang vegeasi didasarkan pada gambaran
dan pembelajaran dari komunitas tumbuhan atau tipe vegetasi harus terlebih
dahulu diketahui di lapangan. Kemudian dari masing-masing tipe vegetasi
dilakukan pengambilan sampel yang mewakili tegakan di dalamnya dan dilakukan
analisis. Penelitian secara 100% dari tiap vegetasi untuk tujuan apapun akan
banyak menghabiskan waktu. Oleh karena itu, gambaran dari masing-masing tipe
vegetasi harus berdasarkan pengambilan sampel, juga harus ditentukan apa yang
menjadi parameter yang harus diamati dan ukuran serta bentuk sampel yang harus
diamati (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).
Berikut ini empat tahapan yang harus dilakukan untuk menentukan sampel
dari vegetasi, menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974):
a. Membagi wilayah berdasarkan penutupan tajuk
b. Mengadakan pilihan atas sampel dari masing-masing tipe vegetasi
8
c. Menetapkan ukuran dan bentuk sampel yang harus diambil
d. Menetapkan ukuran plot yang akan digunakan
Menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), bagaimanapun metode
yang digunakan dalam analisis lapangan, sampel tegakan harus memenuhi
persyaratan di bawah ini:
1. Sampel harus cukup besar untuk mengandung semua spesies yang ada
dalam komunitas tumbuhan
2. Habitat harus seragam pada wilayah tegakan, sedapat mungkin dapat
dibedakan dari habitat yang lain
3. Penutupan tajuk sebisa mungkin homogen. Contohnya: Penutupan
tajuk tidak harus memperlihatkan gap yang besar, atau tidak
didominasi 1 jenis dari setengah luasan areal.
Menurut Indriyanto (2005), dalam mengambil contoh untuk analisis
komunitas tumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan metode petak (plot),
metode jalur, ataupun metode kuadrat.
Prosedur dalam melaksanakan penelitian tentang asosiasi didasarkan pada
kehadiran dan ketidakhadiran dari suatu spesies dalam plot–plot pengamatan.
Kita dapat menunjukkannya dengan mengelompokkan data secara berpasangan.
Unit sampel dapat bersifat alami maupun buatan. Terdapat dua masalah yang
sering didiskusikan dalam meneliti asosiasi, yakni: ukuran dan bentuk dari unit
sampel. Dua masalah tersebut diyakini dapat mempengaruhi hasil analisis
asosiasi. Ketergantungan ini dapat dikurangi jika pemilihan unit sampel dibuat
berdasarkan ukuran, bentuk, penyebaran dari spesies yang pernah diteliti. Unit
sampel harus besar dan berpeluang mengandung sekurangnya satu individu dari
setiap jenis dan tidak harus terlalu besar jika salah satu spesies terdapat dalam
setiap unit sampel (Ludwig dan Reynolds, 1988).
9
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, dimulai pada bulan Oktober
2009 hingga Januari 2010. Pengambilan data dilakukan di Hutan Pendidikan
Universitas Hasanuddin, yang berlokasi pada Laboratorium Alam Konservasi,
Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Meteran roll, digunakan untuk membuat plot
2. Kompas, digunakan untuk mengukur sudut plot
3. Abney level, digunakan untuk mengukur kelerengan plot
4. Tali rafiah, digunakan untuk menandakan batas plot
5. GPS, digunakan untuk menentukan koordinat plot
6. Peta, digunakan untuk menentukan penempatan plot
7. Alat tulis menulis, digunakan untuk mencatat data
8. Tally sheet, digunakan untuk mengisi data hasil pengamatan di lapangan
9. Buku panduan lapangan (Field guides), digunakan untuk mengidentifikasi
spesimen
10. Pita diameter, digunakan untuk menghitung keliling pohon
11. Haga meter, digunakan untuk mengukur tinggi total pohon
12. Alkohol 70%, digunakan untuk membuat herbarium basah.
13. Kertas koran, digunakan sebagai media penyimpanan herbarium basah
14. Trash bag, digunakan untuk menyimpan herbarium basah
15. Etiket gantung, digunakan untuk menandai spesimen
16. Kertas milimeter, digunakan untuk menggambar proyeksi tajuk pohon
17. Kamera digital, dipakai untuk mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan
C. Metode Pengumpulan Data
1. Orientasi Lapangan
Kegiatan orientasi dilakukan untuk menunjang kegiatan pengamatan yang
dilakukan. Orientasi lapangan dilakukan sebagai langkah awal untuk menentukan
vegetasi yang terdapat tegakan Eboni pada berbagai kelas penutupan tajuk
dan kelas ketinggian. Hal ini mempermudah untuk menetapkan di mana kelak plot
sampel akan diletakkan dengan mempertimbangkan faktor tutupan tajuk dan kelas
ketinggian.
Dalam kegiatan tersebut dilakukan pengukuran, penentuan batas – batas dan
pembuatan peta kawasan hutan Eboni. Dan dilakukan perencanaan untuk
menentukan lokasi pengambilan data dengan menggambar perencanaan penempatan
plot secara Purposive Sistematik Sampling di atas peta kawasan hutan Eboni yang
terletak di Hutan Pendidikan Univesitas Hasanuddin. Setelah lokasi ditentukan di
atas peta, maka dilakukan pembuatan plot di lapangan dengan memberikan tanda
berupa tali rafia.
Tabel 1. Model Tally Sheet Hasil Pengukuran Batas Luar Kawasan Hutan Eboni
No. PatokUTM
KeteranganKoordinat X Koordinat Y
1.
2.
3.
....
2. Pengambilan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah Metode Purposive
Sistematik Sampling. Dimana peneliti menentukan titik awal pembuatan plot secara
purposive dan dari titik awal tersebut dibuat jalur ke arah utara sepanjang lokasi
penelitian, adapun jalur yang dibuat sebanyak 3 jalur dengan jarak antar jalur 100m.
Model plot yang digunakan dalam pengambilan data adalah model jalur berpetak.
Dimana pada masing-masing jalur, dibuat plot bujur sangkar berukuran 20m x 20m
secara berkesinambungan tanpa adanya jarak antar plot.
Pengamatan dimulai dari plot satu pada jalur penelitian pertama, kemudian
berlanjut pada plot dua pada jalur penelitian pertama, demikian seterusnya. Ketika
plot pada jalur penelitian pertama telah diselesaikan maka penelitian dilakukan pada
plot pertama jalur penelitian kedua, kemudian plot dua jalur penelitian kedua,
demikian seterusnya. Dalam penelitian, setiap vegetasi yang berada dalam tahapan
tiang dan pohon (diameter >10cm), dilakukan pencatatan diameter batangnya dan
dilakukan pencatatan nama spesies. Sedangkan, setiap vegetasi yang berada dalam
tahapan semai dan pancang (diameter <10cm) dilakukan pencatatan jumlah masing-
masing vegetasi dan dilakukan pencatatan nama spesiesnya. Jika ada jenis spesies
yang tidak diketahui, maka diambil sampel daun, batang dan buahnya (jika ada)
kemudian dibuat menjadi herbarium basah yang nantinya akan diidentifikasi ketika
kembali di laboratorium
Bentuk Purposive Sistematik Sampling pengamatan Eboni diperlihatkan pada
gambar 1.
Gambar 1. Bentuk penempatan jalur penelitian dengan jarak antar jalur 100m secara Purposive Sistematik Sampling
Pengambilan data Eboni dengan metode jalur berpetak diperlihatkan pada
gambar 2.
20mPlot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6
20m
Gambar 2. Cara pengambilan data Eboni dengan menggunakan metode jalur berpetak
Untuk mempermudah kegiatan pengamatan maka dibuat tally sheet
pengamatan. Model tally sheet yang dipakai untuk pengambilan data, adalah sebagai
berikut :
Tabel 2. Model Tally Sheet dengan menggunakan metode Purposive SamplingJalur penelitian/Plot penelitian : Hal : Kelerengan :Hari/tanggal pengamatan :
No. Nama Tumbuhan DiameterJumlah
Semai Pancang
1 …………………… ...../...../...../...../...../...../...../
2
3
…..
Kegiatan pengamatan dilakukan pada pagi hari hingga sore hari dimulai pada
pukul 07.30 WITA dan berakhir pada pukul 17.00 WITA.
D. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk menentukan asosiasi eboni dengan jenis
pohon lainnya, dengan menggunakan Tabel Contingency 2 x 2, sebagai berikut:
Tabel 3. Model Tabel Contingency 2 x 2
Spesies B
Ada Tidak Ada Jumlah
Spesies AAda a b a + bTidak Ada c d c + dJumlah a + c b + d N= a + b + c + d
Keterangan:
a = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A dan spesies B
b = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A saja
c = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies B saja
d = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A dan spesies B
N = Jumlah titik pengamatan
Untuk mengetahui adanya kecenderungan berasosiasi atau tidak, digunakan
Chi-square test dengan formulasi sebagai berikut:
Chi-square hitung = N (ad-bc)2 (a+b) (a+c) (c+d) (b+d)
Keterangan :
a = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A dan jenis B
b = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A saja
c = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis B saja
d = Jumlah titik pengamatan yang tidak mengandung jenis A dan jenis B saja
N = Jumlah titik pengamatan
Nilai chi square hitung kemudian dibandingkan dengan nilai Chi-square tabel
pada derajat bebas = 1, pada taraf uji 10% (2.704) dan 5% (nilai 3,846). Dengan
ketentuan sebagai berikut:
- Asosiasi bersifat tidak nyata jika nilai chi square hitung < 2.704
- Asosiasi bersifat nyata jika nilai 3.846 < chi square hitung < 2.704
- Asosiasi bersifat sangat nyata jika nilai chi square hitung < 3.846
Penentuan selanjutnya untuk mengetahui tipe asosiasi digunakan rumus
sebagai berikut:
E (a) = (a+b) (a+c) N
Keterangan :
a = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A dan jenis B
b = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A saja
c = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis B saja
N = Jumlah titik pengamatan
Berdasarkan rumus tersebut, maka terdapat dua jenis asosiasi yaitu:
- Asosiasi positif, apabila nilai a > E(a) berarti pasangan jenis terjadi
bersama lebih sering dari yang diharapkan
- Asosiasi negatif, apabila nilai a < E(a) berarti pasangan jenis yang terjadi
bersama kurang sering dari yang diharapkan.
Selanjutnya hasil ini diuji dengan perhitungan Indeks Asosiasi Ochiai
IO = a
v/a+b . v/a+c
Keterangan :
IO = Indeks Ochiai
a = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A dan jenis B
b = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A saja
c = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis B saja
BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI
A. Letak dan Luas
Kawasan Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas terletak di Kabupaten
Maros pada jalan poros Kota Makassar dengan Kabupaten Bone. Dari pusat ibukota
Propinsi Sulawesi Selatan kawasan hutan pendidikan tersebut berjarak sekitar 65 km,
sedangkan dari pusat ibukota Kabupaten Maros berjarak sekitar 34 km. Kawasan ini
dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun kendaraan roda
empat dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam 30 menit dari Kota Makassar.
Luas kawasan Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas sekitar 1300 Ha.
Secara administratif pemerintahan, sebagian besar kawasan Hutan Pendidikan
Fakultas Kehutanan Unhas berada di wilayah Desa Limapocoe, Kecamatan Cenrana
(sebelumnya Kecamatan Camba), Kabupaten Maros. Dari segi geografis, kawasan
Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas terletak pada 119 44’34”-119 46’17”
Bujur Timur dan 04 58’7”-05 00’30” Lintang Selatan.
Adapun batas-batas Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas adalah
sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Timpuseng
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Laiya
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kappang
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ballocci Kabupaten Pangkep
B. Topografi
Menurut letaknya, kawasan Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas
berada pada ketinggian 300-800 m di atas permukaan laut, dengan keadaan lapangan
berbukit, bergunung-gunung di bagian Utara dan Barat, makin ke Timur Selatan
bergelombang sampai datar.
Berdasarkan peta topografi skala 1:100.000 maka keadaan lapangan dapat
digambarkan sebagai berikut:
a. Daerah datar dengan kemiringan < 3% terdapat pada sekitar jalan raya dan
kampung di sebelah Timur.
b. Daerah landai sampai berombak dengan 3% - 10% terdapat pada bagian Tengah.
c. Daerah berbukit dengan kemiringan 10% - 30 % terdapat pada bagian Timur dan
Selatan.
d. Daerah bergunung dengan kemiringan >30% terdapat di bagian Barat dan Bagian
Utara.
C. Tanah dan Geologi
Menurut LPT Bogor (1967) keadaan tanah di Kawasan Hutan Pendidikan
Fakultas Kehutanan Unhas sebagian besar terdiri dari bahan induk tuff dan batuan
vulkan alkali dan hanya pada bagian Selatan dijumpai bahan induk dari batu
gamping. Penyebaran jenis tanahnya adalah sebagai berikut:
a. Alluvial dengan batuan induk endapan liat dan pasir pada daerah berombak.
b. Grumusol dengan batuan induk gamping dan tuff pada daerah bergelombang.
c. Regosol dengan batuan induk tuff vulkan pada daerah berbukit dan
bergelombang.
d. Mediteran dengan batuan induk serpih tuff vulkan pada daerah berombak dan
bergelombang.
e. Podsolik dengan endapan liat ber-tuff pada topografi berombak..
f. Kompleks mediteran, litosol, regosol, dengan batuan induk tuff vulkan alkali
pada daerah berbukit dan bergunung.
D. Iklim
Umumnya tipe iklim di Indonesia ditetapkan menurut klasifikasi Schmit dan
Ferguson yang berdasarkan atas perbandingan rata- rata bulan kering, bulan basah
dan bulan lembab dengan pengklasifikasian sebagai berikut :
a. Bulan kering (bk) dengan curah hujan setiap bulan di bawah 60 mm
b. Bulan lembab (bl) dengancurah hujan setiap bulan antara 60 mm – 100 mm
c. Bulan basah (bb) dengan curah hujan setiap bulan lebih besar dari 100 mm
Data curah hujan rata- rata selama 10 tahun terakhir yaitu dari tahun 1999
sampai dengan tahun 2008 dari stasiun Klimatologi I Kabupaten Maros dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Data curah hujan rata- rata selama 10 tahun terakhir di Kecamatan Cenrana Kabupaten Maros (1999-2009)
BulanTahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jan 310 462 276 96 396 839 0 538 289 -
Feb 155 395 203 323 205 384 0 - 348 601
Mar 130 232 124 90 251 253 0 - 99 65
Apr 167 179 176 25 69 287 0 88 154 96
Mei 34 167 184 28 226 51 0 88 36 -
Jun 28 87 154 39 4 41 - 145 16 -
Jul 42 54 45 16 - - 2 2 27 47
Agt 15 34 34 - - 14 - - 0 32
Sep - 13 9 1 1 66 - - - 103
Okt - 253 32 38 - 99 - - 108 39
Nov - 256 189 190 319 193 89 - 306 107
Des - 431 292 52 - 1370 780 - 378 513
Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Maros, 2010
Dari Tabel 4, dapat ditentukan nilai rata- rata bulan basah, bulan kering, dan
bulan lembab selama 10 tahun terakhir di Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros
(Tabel 5).
Tabel 5. Jumlah bulan basah, bulan kering dan bulan lembab selama 10 tahun terakhir di Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros
Tahun Jumlah Bulan Basah
Jumlah Bulan Kering
Jumlah Bulan Lembab
2000 4 4 -2001 8 3 12002 8 4 -2003 2 7 22004 5 2 12005 6 3 22006 1 6 62007 2 1 22008 6 4 12009 4 2 3
JumlahRata-Rata
Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Maros, 2010
Pada Tabel 5 terlihat bahwa, jumlah curah hujan perbulan di Kecamatan
Cenrana menyebar setiap bulannya. Bulan Januari merupakan bulan terbasah
sedangkan bulan September merupakan bulan terkering. Pada bulan November curah
hujan menanjak terus hingga mencapai puncak tertinggi pada bulan Januari. Selama
kurun waktu 10 tahun terakhir jumlah bulan basah .... dengan rata- rata .... kemudian
bulan kering .... dengan rata-rata ....., dan bulan lembab sebanyak ..... dengan rata-
rata ...... Sehingga dari data tersebut dapat ditentukan nilai Q untuk mengetahui tipe
iklim di Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros yaitu dengan rumus :
Q = x 100% = .....x 100%
..... = ..... %
Makin kecil nilai Q maka makin basah suatu tempat dan makin besar nilai Q
ratio maka makin kering suatu tempat. Berdasarkan penggolongan iklim dari Schmidt
dan Ferguson, maka tipe iklim di Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros termasuk
dalam tipe iklim ... yaitu iklim sedang, yang nilai Q ratio berkisar antara ... % -... %.
Klasifikasi tipe iklim menurut Schmidt dan Ferguson dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Klasifikasi iklim di Indonesia menurut Schmidt dan Ferguson
Kondisi Iklim Tipe Iklim Nilai Q (%)Sangat Basah A 0 – 14,3Basah B 14,3 – 33,3Agak Basah C 33,3 – 60Sedang D 60 – 100Agak Kering E 100 – 160Kering F 160 – 300Sangat Kering G 300 – 700Luar Biasa Kering H > 700
E. Vegetasi
Vegetasi yang terdapat di Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas
awalnya sebagian besar berupa vegetasi padang rumput. Namun, pada tahun
1970/1971 dilakukan kegiatan reboisasi sehingga kawasan hutan ini menjadi hijau.
Jenis tanaman yang ditanam pada kegiatan reboisasi yaitu pinus, akasia dan mahoni.
Tanaman Pinus di Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unhas menyebar
dari bagian Selatan hingga ke bagian Utara dengan jumlah yang lebih sedikit di
bagian Utara hutan pendidikan, tanaman Akasia terdapat pada bagian Utara hutan
sedangkan tanaman Mahoni terdapat pada bagian Selatan yang berbatasan dengan
jalan provinsi.
Hutan alam di kawasan ini memiliki luas 512 ha atau sekitar 39% dari luas
hutan pendidikan tersebut. Jenis-jenis yang paling banyak dijumpai di hutan alam
adalah Lento-lento (Atrophyllum sp), Kemiri (Aleurites moluccana), Mangga hutan
(Buchanania arboreschense), Jabon (Anthocepalus caramba), Jambu-jambu (Eugenia
sp.) dan beberapa jenis dari famili Moraceae seperti jenis Ficus sp.
Kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat didominasi oleh tanaman
jangka panjang seperti kemiri, Aren (Arenga pinnata), Bambu (Gigantochloa sp.),
melinjo (Gnetum gnemon), Pangi (Pangium sp.), Cokelat (Theobroma cacao), kopi
(Coffea sp.), mangga (Mangifera indica), dan bahkan terdapat tegakan eboni
(Diospyros celebica) seluas + 21 ha yang dikelola oleh masyarakat di kawasan hutan
Pallanro, Desa Rompegading.
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Jumlah jenis tumbuhan
Berdasarkan hasil pengambilan data, diketahui bahwa terdapat 53 jenis
tumbuhan yang terdapat dalam 69 plot pengamatan di lokasi penelitian. Ke 53 jenis
tumbuhan tersebut terdiri dari ……genus dan ,,,,, famili. Daftar jenis tumbuhan yang
ditemukan diperlihatkan pada lampiran 1.
2. Asosiasi jenis Dyospirous celebica dengan jenis tumbuhan lainnya
Dari 69 plot pengamatan terdapat 65 plot pengamatan dimana Eboni
ditemukan. Berdasarkan hasil perhitungan uji Chi-square dan nilai indeks asosiasi
Ochiai, didapati bahwa semua jenis tumbuhan yang ditemukan mempunyai tipe, sifat,
dan nilai indeks asosiasi yang berbeda pada masing-masing jenis tumbuhan. Hasil
analisis asosiasi Eboni ini dapat dilihat pada Lampiran 2.
Lanpiran 2. memperlihatkan bahwa berdasarkan hasil perhitungan chi square
hanya ada 6 jenis tumbuhan yang berasosiasi dengan Eboni, seperti diperlihatkan
pada Tabel 7.
Tabel 7. Jenis tanaman yang berasosiasi dengan Eboni (Dyospirous celebica) No. Jenis tumbuhan Tipe
asosiasiChi
squareIndeks asosiasi
OchiaiKategori kekuatan
asosiasi1. Pinang + 6.110** 0.937 Sangat tinggi2. Aren + 5.113** 0.929 Sangat tinggi3. Lento-lento + 4.368** 0.851 Sangat tinggi4. Langsat + 3.028* 0.814 Sangat tinggi5. Sp 12 + 6.218** 0.794 Sangat tinggi6. Jambu + 3.266* 0.679 Tinggi
Tabel 7. memperlihatkan bahwa dari 53 jenis tumbuhan yang ada, 6 jenis
tumbuhan dinyatakan berasosiasi dengan Eboni berdasarkan hasil uji chi square..
Diantaranya terdapat 4 jenis tumbuhan yang berasosiasi sangat nyata dengan Eboni,
sementara 2 jenis lainnya berasosiasi nyata. Dari ke-6 jenis tumbuhan tersebut
seluruhnya bertipe asosiasi positif.
Tabel 7 juga memperlihatkan bahwa dari ke-6 jenis tumbuhan tersebut,
terdapat 5 jenis tumbuhan termasuk ke dalam kategori kekuatan asosiasi sangat tinggi
berdasarkan nilai indeks asosiasi Ochiai, yakni: Pinang, Aren, Lento-lento, Langsat,
dan Sp 12. Sementara 1 jenis tumbuhan lainnya termasuk ke dalam kategori
kekuatan asosiasi tinggi, yakni: Jambu
3. Sebaran jenis Eboni berdasarkan tingkat pertumbuhannya pada berbagai kelas kelerengan
Perbandingan antara banyaknya individu Eboni berdasarkan tingkat
pertumbuhannya pada berbagai kelas, menunjukkan bahwa jumlah individu bervariasi
antara ….-….., untuk berbagai tingkat pertumbuhan pada berbagai posisi topografi,
hal itu dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Sebaran jenis Eboni (Dyospirous celebica) berdasarkan tingkat pertumbuhannya pada berbagai kelas lereng
No. Kelas lerengTingkat pertumbuhan
Semai Pancang Tiang Pohon1. 1o - 14o 2649 196 30 212. 15o - 29o 4605 179 20 123. 30o - 44o 749 104 9 154. 45o - 59o 1541 134 19 115. > 59o 292 16 0 3
Tabel 8 memperlihatkan bahwa jumlah individu Eboni pada kelas lereng
1o – 14o, 15o – 29o, dan 45o – 59o, menunjukkan bentuk diagram J terbalik.
Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa jumlah individu Eboni pada kelas lereng
30o – 44o dan > 59o, menunjukkan bentuk yang tidak beraturan. Data ini
menunjukkan bahwa jumlah individu Eboni pada tingkat tiang lebih sedikit dari
jumlah individu Eboni pada tingkat pohon.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil yang didapat pada tabel 7, diketahui bahwa dari 53 jenis
tumbuhan lain yang ada bersama Eboni hanya ada 6 jenis tumbuhan yang dinyatakan
berasosiasi berdasarkan hasil uji Chi square. Enam jenis tanaman tersebut adalah
Pinang, Aren, Lento-lento, Langsat, Sp 12 dan Jambu. Ke-6 tanaman tersebut
memiliki tipe asosiasi positif. Akan tetapi, dapat kita lihat bahwa ternyata nilai hasil
uji chi square tidak berbanding lurus dengan nilai indeks asosiasi Ochiai. Hal ini
terlihat pada Sp 12, yang mempunyai nilai uji chi square 6.218** dan nilai indeks
asosiasi Ochiai nya hanya 0.794. Sebaliknya pada langsat yang mempunyai nilai uji
chi square 3.028* dan nilai indeks asosiasi Ochiai nya lebih tinggi, yaitu 0.814.
Dalam pertumbuhannya, Eboni membutuhkan tingkat naungan yang berbeda-
beda. Pada tingkat semai, Eboni membutuhkan tingkat naungan antara………. Dan
secara bertahap berkurang, sejalan dengan pertumbuhannya (Harun, 2002).
Sedangkan menurut petani nira yang berada di dalam kawasan hutan Eboni
mengatakan bahwa, “Eboni membutuhkan tanaman pendamping, dimana tanaman
pendamping itu mempunyai pertumbuhan riap yang tinggi, bentuk batang yang lurus
dan tinggi”
Frekuensi Eboni pada kelas lereng 1o – 14o, 15o – 29o, 30o – 45o dan 45o – 59o;
menunjukkan bahwa secara alami Eboni pada kawasan ini dapat beregenerasi dengan
baik. Hal ini ditunjukkan oleh frekuensi jumlah individu Eboni pada tingkat semai
dan pancang yang melimpah. Jika dilakukan kegiatan pemeliharaan berdasarkan
teknik silvikultur yang tepat maka akan sangat menunjang bagi pertumbuhan dan
pengembangan Eboni tersebut
Pada kelas lereng > 59o, Eboni masih dapat tumbuh akan tetapi proses
regenerasinya mulai menurun. Hal ini tampak pada jumlah individu Eboni pada
tahapan semai, pancang, dan pohon yang menurun drastis jumlahnya. Pada tingkat
tiang, Eboni tidak ditemukan sama sekali. Selain dipengaruhi oleh kelerengan,
penyebaran Eboni nampaknya juga dipengaruhi oleh tingkat naungan diatasnya. Dari
hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa semai Eboni cenderung tumbuh
berdekatan dengan pohon induk, akan tetapi pada tahapan tiang kerap kali ditemukan
berada di dekat tanaman lain yang mempunyai morfologi berbatang lurus dan tinggi.
Eboni pada tahapan tiang sangat jarang ditemukan hidup berdampingan dengan jenis
Eboni juga.
Sifat dari Eboni yang cenderung mengelompok pada tingkat semai dan
semakin soliter pada tingkat tiang ini didukung oleh keterangan dari petani nira di
sekitar kawasan Eboni. Menurut mereka, bahwa Eboni dalam pertumbuhannya
membutuhkan tanaman pendamping yang cocok setelah mereka cukup besar
(pertumbuhan percabangan sekunder telah terbentuk). Tanaman pendamping ini
dibutuhkan agar pertumbuhan horizontal Eboni semakin maksimum. Pertumbuhan
horizontal Eboni akan berhenti jika berada lebih tinggi 1.5 hingga 2 m dari tajuk
pohon tanaman pendampingnya. Jika tanaman pendampingnya semakin tinggi, maka
semakin tinggi pula Eboni nya
Dari ke-6 jenis yang berasosiasi dengan Eboni, dipilih 3 jenis tumbuhan yang
memiliki nilai indeks asosiasi Ochiai tertinggi, yakni: Pinang, aren dan Lento-lento.
Hal ini dilakukan untuk memperbandingkan karakteristik ekologi masing-masing
tumbuhan tersebut dengan sifat pertumbuhan Eboni itu sendiri, sebagai berikut:
a. Pinang (Areca catechu L)
Pinang diklasifikasikan dalam divisi spermatophyta, sub divisi
angiospermae, kelas monocotyledonae, bangsa arecales, suku arecaceae/palmae,
marga areca, dan jenis Areca catechu L. (Syamsuhidayat and Hutapea, 1991;
Backer and Van Den Brink, 1965).
Pinang dapat mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris
tengah 15 cm dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Pembentukan batang baru
terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan
tanah. Tumbuh berkelompok dan memiliki tajuk yang tidak rimpun.
Menghasilkan anakan dalam jumlah besar dan tumbuh dalam tingkat kerapatan
yang tinggi.
b. Aren (Arenga pinnata)
Berdasarkan buku budidaya Aren, dikatakan bahwa:
- Aren memiliki akar serabut berwarna hitan yang sangat kuat, menyebar
hingga 10 meter lebih dengan kedalaman 3 meter
- Akar aren memiliki kemampuan menahan air sehingga dapat hidup pada
lahan kering
- Pohon aren biasanya tumbuh soliter, tinggi pohon 10-20 m dan diameter
batang 30-65 cm
- Pohon aren termasuk tumbuhan yang memiliki pertumbuhan terbatas
(hapaxanthic palm), dengan masa hidup 10-12 tahun
Berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki oleh aren dan kategori asosiasi sangat
tinggi pada tingkat semai dan pohon, maka hubungan asosiasi yang terjadi anatara
Eboni dengan aren dapat diterima dengan alasan ekologis, bahwa dalam
pertumbuhannya Eboni memerlukan tanaman penanung yang riap
pertumbuhannya tinggi dan masa hidup yang terbatas.
c. Lento-lento
Berdasarkan pengamatan dilapangan, didapati bahwa:
- Lento-lento termasuk pada tanaman yang mempunyai titik pertumbuhan
simpodial
- Tinggi dapat mencapai 8 meter
Dari ketiga tumbuhan tersebut, ternyata memiliki ciri-ciri yang relatif sama,
yakni:
- Tidak memiliki percabangan
- Morfologinya berbatang lurus dan tinggi
- Mempunyai batasan tinggi maupun umur pertumbuhan yang relatif cepat
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan, sebagai berikut :
1. Eboni pada saat semai tingkat toleransi hidup bersama dengan jenis
tanaman lain sangat besar, akan tetapi dalam proses pertumbuhan
selanjutnya menginginkan jenis-jenis tanaman tertentu dimana Eboni
mendapatkan tingkat penyinaran yang sesuai pada tiap-tiap tingkat
pertumbuhan
2. Eboni sangat baik berasosiasi dengan jenis-jenis tanaman yang
mempunyai laju pertumbuhan cepat, memiliki bentuk tubuh lurus dan
tinggi serta memiliki masa hidup yang tidak terlalu lama, yakni: Pinang,
Aren dan Lento-lento
3. Eboni dapat beregenerasi dengan baik pada kelas lereng 1o – 14o, 15o –
29o, 30o – 45o dan 45o – 59o dan mulai menurun pada kelas lereng > 59o
B. Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang asosiasi Eboni, secara
lebih mendalam lagi, yang sekiranya dapat lebih menyempurnakan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alrasyid, H. 2002. Kajian Budidaya Pohon Eboni. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
Anonim. 2009. Laporan Praktek Umum gelombang XIX. Makassar: Pengelola
Praktek Umum Fakultas Kehutanan, UNHAS.
Chapman, S.B. and P.D. Moore. 1986. Methods in Plant Ecology. London: Blackwell Scientific Publication, Oxford University.
Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Jakarta: PT. Bumi Aksara Group.
Ludwig, J.A. and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. United States of America.
McNaughton, S.J. and W.L. Wolf. 1992. Ekologi Umum. Edisi Kedua. Penerjemah: Sunaryono P. dan Srigandono. Penyunting: Soedarsono. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.
Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons.
Paembonan, S.A. dan Baharuddin, N. 2002. Kajian Biologi Ekologi Dan Kajian Budidaya Eboni. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
Riswan, S. 2002. Kajian Biologi Eboni (Dyospyros celebica Bakh). Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI.