13
Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Mengantisipasi Fenomena Desifit Kembar ( Mengantisipasi Fenomena Desifit Kembar (Twin Twin Defisit) Defisit) Haryanto Abstract Twin deficits hypothesis is one of the significant economic issues in developed and developing countries in the world during past 20 years. This paper is itended to carry out a descriptive analysis of the twin deficit phenomenon that occurred in Indonesia in the period of 2012, and to propose some policy recomendations in term of synchronization between monetary and fiscal policies. Results of the analysis concluded that the twin deficits in 2012 was triggered by the current account deficit and the primary balance deficit, and likely resulted in the decline of domestic exchange rate against the USD. The main causes of the current account deficit, estimated as (1) the drop in demand for goods and services to other countries, (2) rising oil imports since oil lifting decreased from 900,000 barrels to 830,000 barrels per day, (3) high imports of capital goods, (4) no longer a competitive exchange rate to encourage exports and restrain imports. In the medium term, the twin deficit lead to the emergence of downward death spiral, a vicious cycle that plunged, and could destabilize the economy. To anticipate the negative impact of twin deficit, it is necessary to synchronize the monetary and fiscal policy formulation, as follows: (1) the implementation of monetary policy to mitigate the decline or depreciation of the local currency excessive, (2) reduction in spending on unproductive activities and divert it to activities that reduce the social costs of the economic crisis, (3) the implementation of policies to improve the ability of public and private sector management, including efforts to reduce government intervention, monopolies and activities that are less productive, (4) increasing fuel prices, seeking fuel consumption savings, reducing fuel subsidies, avoiding fuel smuggling, and reducing the imports of fuel, (5) increasing tax revenues through tax collection decrease the leakage rate and expand the tax base, (6) promote the upgrading of domestic industries, and (7). Assisting the private to renegotiate short-term private loans into medium-term / long terms loans, to reduce the private current need of foreign exchange. 67 Edisi 03/Tahun XIX/2013 31/12/2013 16:01:03 31/12/2013 16:01:03

SSinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam ...perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/131082... · Berita Resmi Statistik No ... pp. 1-11 6Tulus Tambunan, Perdagangan

  • Upload
    dinhnga

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Pembangunan kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara terencana dan terpadu dan memegang prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kelestarian nilai-nilai agama, budaya, dan lingkungan alam, dan yang paling penting harus tetap menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Peran Pariwisata dalam Pembangunan di Indonesia

Pariwisata mempunyai peran penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusinya terhadap penerimaan devisa negara yang dihasilkan dari jumlah wisatawan asing (wisman) yang berkunjung ke Indonesia. Jumlah kunjungan wisman yang berkunjung ke Indonesia dari tahun ke tahun sejak periode Repelita I sampai dengan Periode RPJMN I selalu mengalami peningkatan dengan tingkat pertumbuhan yang berfl uktuasi. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada periode Repelita IV (Gambar 2), yang disebabkan karena adanya kemudahan-kemudahan bagi wisman antara lain pemberian bebas visa selama 2 bulan untuk wisman di 26 negara, memantapkan Kantor Pusat Promosi Pariwisata Indonesia (P3I) di luar negeri dan pengembangan dan peningkatan daya tarik wisata, sedangkan yang terendah terjadi pada era Transisi (Propenas). Pada era tersebut tepatnya pada tahun 2002 Bali digoncang Bom yang menewaskan ratusan manusia yang sebagian besar adalah wisatawan asing. Walaupun obyek wisata di Indonesia bukan Bali semata, namun karena Bali merupakan provinsi yang menyumbangkan wisatawan paling besar di antara provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, maka pertumbuhan wisman yang berkunjung ke Indonesia berada di titik terendah. Sementara itu, kontribusi pariwisata dalam penerimaan devisa negara pada tahun 2010 menduduki peringkat keempat setelah minyak & gas bumi, minyak kelapa sawit, dan karet olahan. Keberhasilan pembangunan pariwisata tersebut belum dibarengi dengan peringkat daya saing Indonesia di pasar global. Berdasarkan laporan The Travel & Tourism Competitiveness Report

yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF), peringkat daya saing pariwisata Indonesia pada tahun 2013 meningkat menjadi peringkat 70 dari 140 negara, dari posisi daya saing tahun 2011 yaitu peringkat 74 dari 139 negara. Namun peringkat tersebut masih dibawah Singapura (peringkat 10), Thailand (43), dan Malaysia (34), serta China (45).

Tabel 1: Peringkat Daya Saing Pariwisata Negara-

negara ASEAN dan China

Tahun Indonesia Kamboja Malaysia Filipina Singapura Thailand Vietnam China2008 1) 80 112 32 81 16 42 96 62

2009 1) 81 108 32 86 10 39 89 472011 1) 74 109 35 94 10 41 80 3920132) 70 106 34 82 10 43 80 45

Sumber : 1) The Travel and Competitiveness Report (World Economic

Forum Report 2011)2) Insight Report: The Travel & Tourism Competitiveness

Report 2013, Reducing Barriers to Economic Growth and Job Creation

Dari aspek kebudayaan, pengembangan pariwisata terutama wisata budaya akan membantu menyadarkan dan memperkenalkan kepada masyarakat betapa kaya dan uniknya kebudayaan Indonesia. Di samping itu, dana yang dihasilkan dari kunjungan wisatawan di obyek wisata budaya dapat dimanfaatkan untuk melestarikan dan menata kebudayaan yang ada.

Grafi k 1: Perkembangan Wisatawan Mancanegara (wisman) Periode Repelita I – Periode Propenas

Sumber: Repelita

22 Edisi 03/Tahun XIX/2013

kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF),

Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam

Mengantisipasi Fenomena Desifi t Kembar (Mengantisipasi Fenomena Desifi t Kembar (Twin Twin

Defi sit)Defi sit)

Haryanto

Abstract

Twin defi cits hypothesis is one of the signifi cant economic issues in developed and developing countries in the world during past 20 years. This paper is itended to carry out a descriptive analysis of the twin defi cit phenomenon that occurred in Indonesia in the period of 2012, and to propose some policy recomendations in term of synchronization between monetary and fi scal policies. Results of the analysis concluded that the twin defi cits in 2012 was triggered by the current account defi cit and the primary balance defi cit, and likely resulted in the decline of domestic exchange rate against the USD. The main causes of the current account defi cit, estimated as (1) the drop in demand for goods and services to other countries, (2) rising oil imports since oil lifting decreased from 900,000 barrels to 830,000 barrels per day, (3) high imports of capital goods, (4) no longer a competitive exchange rate to encourage exports and restrain imports. In the medium term, the twin defi cit lead to the emergence of

downward death spiral, a vicious cycle that plunged, and could destabilize the economy. To anticipate the negative impact of twin defi cit, it is necessary to synchronize the monetary and fi scal policy formulation, as follows: (1) the implementation of monetary policy to mitigate the decline or depreciation of the local currency excessive, (2) reduction in spending on unproductive activities and divert it to activities that reduce the social costs of the economic crisis, (3) the implementation of policies to improve the ability of public and private sector management, including eff orts to reduce government intervention, monopolies and activities that are less productive, (4) increasing fuel prices, seeking fuel consumption savings, reducing fuel subsidies, avoiding fuel smuggling, and reducing the imports of fuel, (5) increasing tax revenues through tax collection decrease the leakage rate and expand the tax base, (6) promote the upgrading of domestic industries, and (7). Assisting the private to renegotiate short-term private loans into medium-term / long terms loans, to reduce the private current need of foreign exchange.

67Edisi 03/Tahun XIX/2013

MAJALAH.indd Spread 22 of 44 - Pages(22, 67)MAJALAH.indd Spread 22 of 44 - Pages(22, 67) 31/12/2013 16:01:0331/12/2013 16:01:03

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis keuangan global yang mendera zona Euro dan Amerika Serikat sejak pertengahan tahun 2008 telah berdampak pada penurunan yang tajam pada pertumbuhan ekonomi dunia dan bahkan hampir semua negara mengalami kontraksi ekonomi. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia sebelum krisis (2007) sebesar 5,4% menjadi 2,8% pada tahun 2008, dan bahkan pada tahun 2009 mengalami kontraksi sebesar -0,6%1. Ketidakpastian kondisi ekonomi global pasca krisis Eropha dan Amerika yang dibarengi dengan meningkatnya eskalasi kawasan Timur Tengah, Jepang-China, Korea Utara-Korea Selatan, telah berimbas kepada penurunan pemintaan barang dan jasa global yang signifi kan termasuk permintaan barang dan jasa ke Indonesia. Namun demikian, dalam kondisi ekonomi dunia yang masih dibayang-bayangi oleh krisis keuangan global ini, ekonomi Indonesia pada tahun 2012 masih mampu tumbuh sebesar 6,23% menduduki posisi kedua tertinggi dunia setelah China yang tumbuh sebesar 8,7%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi ditengah kelesuan ekonomi global ini, nampaknya membawa mimpi buruk bagi kondisi makroekonomi, karena untuk pertama kalinya sejak tahun 1961, Indonesia mengalami defi sit kembar (twin defi cit)2.

Twin defi sit merupakan fenomena dimana defi sit anggaran pemerintah (APBN) terjadi bersamaan dengan defi sit transaksi berjalan (current account)3. Tahun 2012 defi sit APBN Indonesia sebesar Rp. 190,1 trilyun atau 2,23% dari PDB, dianggap aman karena masih di bawah angka toleransi defi sit sebesar 3%4. Permasalahan utamanya adalah bahwa defi sit fi skal tahun 2012 ini diantaranya berasal dari defi sit keseimbangan primer sebesar Rp 72,3 triliun, dan pertama kali terjadi sejak tahun 1990-an. Keseimbangan primer merupakan total penerimaan negara dikurangi belanja, tetapi tidak memasukkan pembayaran bunga. Disamping defi sit fi skal, pada tahun 2012 Indonesia juga mengalami

1Republik Indonesia, (2013). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, pp. 2-3

2A. Tony Priantono, Defi sit Kembar, Kompas 18 Februari 2013 available at: http://psekp.ugm.ac.id /artikel/id/13.

3John Bluedron and Daniel Leigh, Revisiting the Twin Defi cit Hypothesis: The Eff ect of Fiscal Consolidation on the current Account, pp. 1.

4Republik Indonesia, (2013). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, pp. 1-9

defi sit neraca perdagangan sebesar US$ 1,7 milliar yang juga merupakan pengalaman pertama sejak 2009 yang surplus US$ 19,6 miliar, pada tahun 2010 surplus sebesar US$ 22,1 miliar dan pada 2011 surplus US$ 26 milliar5. Defi sit neraca perdagangan ini terjadi karena kombinasi faktor domestik (impor migas meningkat dan lifting minyak dalam negeri menurun) dan menurunnya ekspor karena menurunnya permintaan barang dan jasa khususnya dari Amerika dan Eropa.

Neraca transaksi berjalan (current account) merupakan penjumlahan neraca barang (trade balance), neraca jasa (service account), dan neraca transaksi unilateral (hibah atau grant), baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh swasta.6 Kecenderungan sebelum tahun 2012, neraca transaksi berjalan yang dilakukan oleh pemerintah sering defi sit, tetapi bisa ditutup oleh transaksi swasta. Masalah mulai timbul ketika transaksi berjalan yang dilakukan oleh swasta mulai mengalami defi sit, dan pada saat yang sama pemerintah tidak mampu menekan defi sit anggaran. Neraca transaksi berjalan secara total mengalami defi sit 2,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2012, dan 0,2% dari PDB pada 2011. Pada tahun 2012, neraca transaksi perdagangan dan jasa mengalami defi sit, sedangkan neraca arus modal mengalami surplus. Jadi sumber masalah utama pelemahan nilai tukar pada 2012 adalah defi sit neraca perdagangan dan jasa. Defi sit neraca transaksi berjalan ini, berujung pada penurunan pasokan valuta asing.

Defi sit kembar ini dapat berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD karena kurangnya pasokan valuta asing (Aviliani dan Iman Sugema, 2013)7, dalam jangka menengah dapat mendorong munculnya fenomena downward death spiral, lingkaran setan yang menjerumuskan (Wijayanto Samirin, 2013)8, dan dalam jangka panjang akan mengganggu stabilitas perekonomian suatu negara (Edward, 2001)9. Defi sit kembar dalam jangka menengah sangat berbahaya, seperti downward death spiral, lingkaran setan yang

5BPS, Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Januari 2013, Berita Resmi Statistik No. 17/03/Th. XVI, 1 Maret 2013, pp. 1-11

6Tulus Tambunan, Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan Empiris, Jakarta: Putaka LP3ES, P. 184

7Aviliani dan Iman Sugema dalam diskusi EC-Think. Avalibale at: http://www.metrotvnews.com/ metronews/read/2013/03/21/2/140365/Defi sit-Kembar-Ancaman-Perekonomian-Indonesia.

8Wijayanto Samirin, Defi sit Kembar: Lingkaran Setan Yang Menjerumuskan Availabel at: http://beritamoneter.com/defi sit-kembar-lingkaran-setan-yang-menjerumuskan/

9Anonim, Waspadai Jebakan “Twin Defi cit”, availabel at: http://klikheadline.com/in/berita/waspadai-jebakan-twin-defi cit.html

68 Edisi 03/Tahun XIX/2013

I. PENDAHULUAN defi sit neraca perdagangan sebesar US$ 1,7 milliar

Pembangunan Kepariwisataan: Overview, Pembangunan Kepariwisataan: Overview, Tantangan, dan Kebijakan Pembangunan ke DepanTantangan, dan Kebijakan Pembangunan ke Depan

Esti *Esti *

ABSTRAK

Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), Devisa, Kebijakan, Multiplier Eff ect, Wisatawan

Pariwisata merupakan salah satu bidang yang penting dalam mendukung pembangunan perekonomian nasional melalui sumbangan devisa yang dihasilkan dari jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia. Perkembangan pariwisata di suatu daerah akan ditengarai dengan meningkatnya jumlah hotel dan restoran maupun membaiknya infrastruktur serta berkembangnya industri yang terkait dengan kepariwisataan. Dampak lebih lanjut, dengan berkembangnya industri-industri tersebut akan memperluas lapangan pekerjaan. Pariwisata merupakan bidang yang pembangunnya melibatkan banyak sektor. Oleh karenanya, permasalah yang dihadapi selama ini selalu terkait dengan koordinasi dan sinergi kebijakan dalam mengembangkan dan meningkatkan daya saing destinasi pariwisata dan sekaligus mempromosikannya serta menciptakan keamanan dan kenyamanan wisatawan di daerah wisata.

I. POTRET PARIWISATA INDONESIA SAAT INI

Kebijakan pembangunan kepariwisataan sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945 sampai sekarang telah mengalami perubahan-

perubahan seiiring dengan perubahan kondisi sosial politik dan ekonomi di Indonesia maupun dunia. Walaupun terjadi perbedaan dan perubahan pemerintahan, namun pada dasarnya kebijakan pembangunan kepariwisataan terutama ditujukan untuk meningkatkan jumlah orang yang melakukan perjalananan wisata wilayah Indonesia atau dikenal dengan wisatawan. Meningkatnya jumlah wisawatan diharapkan mampu meningkatkan perekonomian lokal sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan melestarikan alam dan budaya tradisional. Tulisan ini akan diawali dengan potret pariwisata Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan perjalanan kebijakan pembangunan kepariwisataan selama periode Orede Lama sampai dengan periode Reformasi. Dan terakhir penulis mencoba menawarkan alternatif kebijakan pembangunan kepariwisataan ke depan.

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata1 dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Sedangkan kepariwisataan adalah keseluruhan

1Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribasi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara (UU No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan).

21Edisi 03/Tahun XIX/2013

MAJALAH.indd Spread 21 of 44 - Pages(68, 21)MAJALAH.indd Spread 21 of 44 - Pages(68, 21) 31/12/2013 16:01:0031/12/2013 16:01:00

DAFTAR PUSTAKA

Binh, P. T. (Vol. 1, No.1, 2011). Energy Consumption and Economic Growth in Vietnam: Threshold Cointegration and Causality Analysis. International Journal of Energy Economic and Policy, 1-117.

Chen, S.-T., Kuo, H.-I., & Chen, C.-C. (2007). The relationship between GDP and electricity consumption in 10 Asian countries. Energy Policy, 2611–2621.

Dickey, D. A., & Fuller, W. (Juli 1981). Likelihood Ratio Statistics for Autoregressive Time Series with a Unit Root. Econometrica, Vol 49, No. 4, 1057-1072.

Engle, R., & Granger, C. (Mar.,1987). Cointegration and error correction: representation, estimation and testing. Econometrica, Vol. 55, No. 5, 251-276.

Giles, D. (n.d.). Testing for Granger Causality . Retrieved July 2013, from Econometrics Beat: Dave Giles’ Blog: http://davegiles.blogspot.com/2011/04/testing-for-granger-causality.html

Johansen, S., & Juselius, K. (1990). Maximum likelihood estimation and inference on cointegration with applications to the demand for money. Oxford Bulletin of Economics and Statistics 52, 169-210.

Murry, D. A., & Nan, G. D. (Spring 1994, v. 19, iss. 2). A Defi nition of the Gross Domestic Product-Electrifi cation Interrelationship. Journal of Energy and Development, , 275-83.

Phillips, P., & Perron, P. (1988). Testing for a unit root in time series regression. Biometrika 75, 335–346.

Shiu, A., & Lam, P.-L. (2004 32(1)). Electricity consumption and economic growth in China. Energy Policy, 47-54.

The World Bank. (n.d.). Indicators | Data. Retrieved July 2013, from The World Development Indicators (WDI): http://data.worldbank.org/indicator/all

Toda, H., & Yamamoto, T. (1995). Statistical inferences in vector autoregressions with possibly integrated processes. Journal of Econometrics, 66, 225-250.

Wooldridge, J. M. (2006). Introductory Econometric: A Modern Approach Fourth Edition. Mason, OH: South-Western Cengage Learning.

Yoo, S.-H. (2006 34(18)). The causal relationship between electricity consumption and economic growth in the ASEAN countries. Energy Policy , 3573-3582.

Yoo, S.-H., & Kim, Y. (2006 31(14)). Electricity generation and economic growth in Indonesia. Energy , 2890-2899.

20 Edisi 03/Tahun XIX/2013

DAFTAR PUSTAKA Murry, D. A., & Nan, G. D. (Spring 1994, v. 19, iss. 2). A menjerumuskan. Semakin lama dibiarkan, semakin sulit untuk mengatasinya. Hal ini dapat terjadi apabila defi sit kembar tidak segera diantisipasi oleh pemerintah Indonesia, seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat, dimana defi sit perdagangan dan defi sit fi skal ditutup dengan hutang. Dalam jangka menengah, hutang, yang kebanyakan berasal dari hutang luar negeri ini akan menumpuk, sehingga akan semakin banyak sumber dana dikeluarkan untuk membayar bunga, serta perekonomian Indonesia akan semakin rentan terhadap guncangan ekonomi global. Mengingat, dampak negatif twin defi cit sangat membahayakan bagi stabilitas perekonomian Indonesia, baik jangka menengah maupun jangka panjang, maka diperlukan tindakan secara koordinatif dalam perumusan kebijakan moneter dan fi skal untuk mengantisipasi fenomena twin defi cit yang berkepanjangan.

Policy paper ini menganalisis secara diskriptif mengenai fenomena terjadinya twin defi sit di Indonesia dan analisis perumusan alternatif kebijakan sinkronisasi/koordinasi kebijakan antara kebijakan moneter dan fi skal dalam mengantisipasi dampak twin defi cit yang berkepanjangan.

B. Perumusan masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, maka permasalahan fenomena twin defi cit dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses terjadinya twin defi cit, baik secara teoretis maupun secara praktis?

2. Bagaimanakah alternatif kebijakan sinkronisasi antara sektor moneter dan fi skal yang dianggap sesuai untuk mengantisipasi munculnya defi sit kembar?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan policy paper ini adalah untuk:

1. Melakukan analisis diskriptif mengenai fenomena terjadinya twin defi cit di Indonesia (baik secara teoretis maupun secara praktis);

2. Melakukan analisis perumusan alternatif kebijakan sinkronisasi/koordinasi antara kebijakan moneter dan fi skal dalam mengantisipasi fenomena twin defi cit yang berkepanjangan

D. Metodologi

Analisis yang digunakan dalam menjawab permasalahan yang diajukan dalam policy paper ini adalah dengan menggunakan metode inferential dekriptive analysis, yaitu dengan cara menyajikan fakta-fakta berupa data dan informasi terkait fenomena defi sit kembar, kemudian melakukan analisis deskriptif berdasarkan landasan teoretis, data dan informasi yang ada untuk kemudian diambil berbagai kesimpulan dalam rangka policy reccomendation. Hasil analisis deskriptif dan rumusan rekomendasi kebijakan dikonsultasikan bersama pakar (pembimbing) dan didiskusikan dalam forum pertemuan policy paper.

II. ANALISIS TEORETIS DAN PRAKTIS FENOMENA

TWIN DEFISIT

Permasalahan defi sit, baik defi sit fi skal maupun defi sit transaksi berjalan (current account defi cit), seringkali dialami oleh pemerintah suatu negara, baik di negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Gejala defi sit fi skal biasaya terjadi saat pemerintah meningkatkan pelayanan publik kepada rakyatnya atau untuk meningkatkan pembangunan perekonomian sehingga pemerintah dapat bertindak dengan cara meningkatkan pengeluaran pemerintah (government expenditure) atau` menurunkan tingkat pajak (taxes). Fleegleler (2006) menjelaskan bahwa defi sit perdagangan (current account defi cit) terjadi apabila penerimaan pemerintah dari ekspor lebih kecil dibandingkan pengeluaran pemerintah untuk impor, hal ini seringkali terjadi apabila produk domestik kurang memiliki daya saing dibandingkan produk lain di pasar internasional atau karena kurs domestik yang terapresiasi sehingga menurunkan daya saing produk domestik di pasar internasional10.

10Fleegler, Ethan. 2006. The Twin Defi cits Revisited: A Cross-Country, Empirical Approach. Durham: Duke University.

69Edisi 03/Tahun XIX/2013

menjerumuskan. Semakin lama dibiarkan, semakin 2. Melakukan analisis perumusan alternatif kebijakan

MAJALAH.indd Spread 20 of 44 - Pages(20, 69)MAJALAH.indd Spread 20 of 44 - Pages(20, 69) 31/12/2013 16:00:5931/12/2013 16:00:59

A. Analisis Teoretis Fenomena Twin Defi sit

1. Konsep Pendapatan Nasional

Mankiw, dalam Marrisa Mahalayati (2011), menjelaskan bahwa berdasarkan model pengeluaran total Keynessian (Keynessian Total Expenditure Model) faktor-faktor yang merupakan komponen pendapatan nasional adalah : 1) Konsumsi, 2) Investasi, 3) Belanja Pemerintah (Government Purchase), dan 4) ekspor bersih11. Keempat faktor tersebut mempengaruhi permintaan agregat (aggregate demand) dan memiliki dampak untuk tingkat harga dan tingkat pendapatan nasional.

2. Konsep Neraca Transaksi Berjalan (Current

Account)

Current account atau neraca transaksi berjalan merupakan bagian dari neraca pembayaran internasional yang mencakup arus pembayaran jangka pendek (mencatat transaksi ekspor-impor barang dan jasa). Ekspor barang-barang dan jasa yang diperlakukan sebagai kredit, impor barang-barang dan jasa diperlakukan sebagai debit. Net investment income tingkat bunga dan dividen diperlakukan sebagai jasa karena mencerminkan pembayaran untuk penggunaan modal. Net transfer (transfer unilateral), yang meliputi bantuan luar negeri, pemberian-pemberian dan pembayaran lain antar pemerintah dan antar pihak swasta. Komposisi transaksi berjalan mencakup neraca perdagangan dan neraca barang dan jasa. Transaksi berjalan umumnya digunakan untuk menilai neraca perdagangan. Secara sederhana, neraca Perdagangan merupakan selisih/perbedaan antara ekspor dan impor. Jika ekpsor lebih rendah dari impor, maka yang terjadi adalah defi sit neraca perdagangan. Sebaliknya, jika impor lebih rendah dari ekspor, yang terjadi adalah surplus. Sedangkan neraca jasa adalah neraca perdagangan ditambah jumlah pembayaran bunga kepada para investor luar negeri dan penerimaan dividen dari investasi di luar negeri, serta penerimaan dan pengeluaran yang berhubungan dengan pariwisata dan transaksi ekonomi lainnya.

Konsep Anggaran Pemerintah (Government Budget)

Anggaran pemerintah (Government Budget) yang biasa disebut sebagai Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBP) adalah selisih antara penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak dengan pengeluaran

11Malahayati, Marrisa, 2011, Fenomena Twin Defi cit pada Negara-Negara Asean, Bogor: FEM-IPB, pp. 6-13.

pemerintah. Pemerintah mengalami surplus anggaran (budget surplus) apabila penerimaan pemerintah lebih besar dibandingkan pengeluarannya, sebaliknya pemerintah mengalami defi sit anggaran (budget defi cit) jika pengeluaran pemerintah lebih besar dibandingkan penerimaannya.

Fischer dan Easterly (1990) mengatakan bahwa defi sit anggaran pemerintah (budget defi cit) dapat dibiayai melalui empat sumber, antara lain: 1) Mengambil cadangan mata uang asing , 2) Melalui pinjaman domestik dengan cara menjual surat berharga kepada masyarakat, 2) Melalui pinjaman luar negeri, 3) Melakukan pencetakan uang, atau perpaduan antara ketiga sumber tersebut.12 Seluruh sumber permbiayaan defi sit anggaran pemerintah tersebut memiliki risiko masing-masing. Pembiayaan defi sit anggaran pemerintah dengan pinjaman domestik mengakibatkan suku bunga riil domestik meningkat sehingga investasi domestik akan turun. Sedangkan, sumber pembiayaan defi sit dengan menggunakan cadangan mata uang asing atau melalui sumber pinjaman luar negeri dapat menyebabkan kurs domestik menguat (terapresiasi) sehingga daya saing produk domestik menurun dan dapat berakibat turunnya ekspor. Fenomena ini menyebabkan menurunnya net expor sehingga berdampak pada penurunan cadangan mata uang asing di dalam negeri dan pelunasan hutang yang tidak berkesinambungan (unsustainable external indebtedness).

3. Hubungan antara current account defi ct dengan

Government bugdet defi cit

Aqeel dan Nishat (2000) menyatakan bahwa hubungan antara current account dan budget defi cit dapat diturunkan dari persamaan pendapatan nasional. Persamaan pendapatan nasional dapat dituliskan sebagai berikut13:

Y = C + I + G+ (X – M) .............(1)

dimana:

Y = Pendapatan Nasional, C = Konsumsi, I = Investasi Swasta, G = Pengeluaran Pemerintah, X = Ekpor, M = Impor, Selain itu, persamaan lain yang merumuskan pendapatan nasional adalah:

12Stanley Fischer and William Easterly, The Eeconomics of the Government Budget Constraint, The Worlbank Reserach Observer, Vol 2 No., 5, Juli 1990.

13Anjum Aqeel and Mohammed Nishat, The Twin Defi cits Phenomenon: Evidence from Pakistan, The Pakistan Development Review 39 : 4 Part II (Winter 2000) p. 2

70 Edisi 03/Tahun XIX/2013

A. Analisis Teoretis Fenomena Twin Defi sit pemerintah. Pemerintah mengalami surplus anggaran LAMPIRAN

1. LM Test VAR Residual Serial Correlation LM Tests Null Hypothesis: no serial correlation at lag order h Date: 07/24/13 Time: 13:05 Sample: 1971 2010 Included observations: 38

Lags LM-Stat Prob

1 1.830625 0.7669 2 4.559803 0.3355 3 4.185753 0.3815 4 1.393427 0.8453 5 1.000063 0.9098 6 3.933901 0.4150 7 1.343636 0.8539 8 2.007598 0.7344 9 4.131076 0.3886

10 1.136295 0.8885 11 0.600294 0.9630 12 0.750046 0.9450

Probs from chi-square with 4 df. 2. Uji Kestabilan

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial

19Edisi 03/Tahun XIX/2013

LAMPIRAN

MAJALAH.indd Spread 19 of 44 - Pages(70, 19)MAJALAH.indd Spread 19 of 44 - Pages(70, 19) 31/12/2013 16:00:5831/12/2013 16:00:58

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Tujuan dari makalah ini adalah menguji kembali hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik di Indonesia. Makalah ini menggunakan metode-metode yang umumnya digunakan untuk mengkaji hal dimaksud. Uji stationaritas dengan menggunakan ADF test menemukan bahwa kedua variabel tersebut memiliki unit root atau integrated order 1 (I(1)). Selanjutnya Engle-Granger cointegration method digunakan untuk menguji hubungan kausalitas jangka panjang (long run relationship). Hasilnya adalah tidak terjadi kointegrasi antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan dalam jangka panjang antara kedua variabel yang dikaji. Yoo (2006) menyatakan bahwa ketiadaan kointegrasi merupakan akibat dari lemahnya kaitan antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi dan juga kenyataan bahwa konsumsi listrik tidak bergantung (independen) pada pertumbuhan ekonomi.

Metode Toda-Yamamoto digunakan untuk menguji hubungan kausalitas diantara variabel pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik. Uji kausalitas menunjukkan kedua variabel tidak memiliki hubungan kausalitas. Implikasi kebijakan dari tidak adanya kausalitas tersebut adalah bahwa pertumbuhan ekonomi tidak memberikan pengaruh ataupun dampak negatif terhadap konsumsi energi listrik dan juga sebaliknya. Dengan demikian upaya-upaya untuk effi siensi penggunaan energi listrik ataupun pengurangan konsumsi energi listrik melalui demand side management dapat dilakukan di Indonesia.

Temuan di atas dapat dipahami melihat kenyataan bahwa konsumsi energi listrik di Indonesia dalam jumlah yang signifi kan digunakan hanya untuk pemenuhan kebutuhan dasar (penerangan dan hiburan). Berdasarkan data statistik tahun 20112 penjualan energi listrik untuk rumah tangga, sosial dan penerangan jalan sebesar 72.174 GWh dari total penjualan 157.993 GWh atau mencapai sekitar 46 persen. Selain itu, belum semua penduduk Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapatkan layanan energi yang memadai. Sebagai ilustrasi, rasio elektrifi kasi Indonesia tahun 2011 baru mencapai sekitar 73 persen atau dengan kata lain 41 juta penduduk belum dapat menikmati listrik.

2 2012 Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia, Kementerian ESDM.

Dengan demikian dapat dimaklumi apabila sampai saat ini konsumsi energi listrik tidak berdampak secara signifi kan terhadap GDP mengingat masih terbatasnya pemanfaatan dan tingkat layanan energi.

Penjelasan lainnya sebagai ditemukan oleh Yoo (2006) dan Shiu dan Lam (2004) adalah problema inefi siensi ataupun pemakaian energi listrik yang boros. Lebih lanjut, Chen et al. (2007) menyatakan intensitas3 energi listrik (electricity intensity) yang tinggi menunjukkan pemakaian energi listrik yang tidak efi sien yang berarti adanya potensi untuk peningkatan efi siensi. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa intensitas energi listrik di Indonesia yang mencapai 0.85 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (0.75) dan Thailand (0.78). Kondisi ini mendukung kebijakan konservasi energi listrik yang bertujuan untuk meningkatkan efi siensi dan nilai tambai dari pemanfaatan energi listrik yang sekaligus mengurangi konsumsi energi listrik dengan tanpa berdampak buruk baik pada pengguna maupun pada pertumbuhan ekonomi.

Studi ini memiliki keterbatasan yang memerlukan perhatian yaitu kemungkinan adanya structural change/break. Keberadaan structural break tersebut dapat mempengaruhi hasil uji unit root maupun uji kointegrasi. Uji unit root akan condong pada tidak dapat ditolaknya unit root hypothesis apabila data yang diuji sebenarnya adalah stationer dengan structural break. Standar uji Granger cointegration dan Johansen cointegration memiliki keterbatasan apabila digunakan pada variabel dengan structural break. Hasil uji akan cenderung menolak cointegration hypothesis. Hal tersebut didasari bahwa residuals hasil dari cointegration regressions tidak memperhitungkan adanya break. Keterbatasan lainnya adalah masih minimnya dataset. Diharapkan di masa depan studi ini dapat disempurnakan dengan memperhitungkan adanya structural break dengan rentang sampel penelitian yang lebih panjang. Tak kalah pentingnya adalah studi lebih lanjut dengan memperhitungkan pemanfaatan energi lainnya seperti bahan bakar minyak, gas, dan batubara sehingga kita dapat mengetahui dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sekaligus kita dapat menemukenali implikasi kebijakan untuk masing-masing sektor terkait. Hal lainnya adalah memperluas analisa dari yang berbasiskan bivariate model ke multi-variate model dimana beberapa variabel lainnya seperti harga, urbanisasi, eksport, dan sebagainya di tambahkan ke dalam estimasi.

3Didefi nisikan sebagai jumlah konsumsi energi listrik per GDP.

18 Edisi 03/Tahun XIX/2013

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Dengan demikian dapat dimaklumi apabila sampai Y = C + S + T ............ (2)

dimana:

Y= Pendapatan Nasional, C = Konsumsi, S = Tabungan Swasta Domestik, T= Pajak.

Jika persamaan (1) dan (2) disusun kembali maka: C+I+G+(X – M) = C+S+T, sehingga X-M= C+S+T-C-I-G, jika disederhanakan hasilnya: X-M= S+T-I-G atau X-M= (S-I) + (T-G).... .....(3). Persamaan (3) ini disebut sebagai hubungan twin defi cit, yang menyatakan bahwa defi sit yang terjadi pada current account ( X < M) akan diikuti oleh budget defi cit pemerintah (T < G). Menurut Hossain dan Chowdurry, twin defi cit ini hanya berlaku apabila gap antara investasi sektor swasta dan tabungan (S - I) diasumsikan tetap.14

B. Analisis Praktis Twin Defi sit

Isu yang lebih penting adalah apa yang mesti pemerintah harus lakukan ketika defi sit anggaran pemerintah dan defi sit transaksi berjalan muncul secara bersamaan serentak. Fenomena ini disebut sebagai defi sit kembar, yang muncul pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Akibatnya, hal ini membuat keyakinan baru di kalangan ekonom bahwa defi sit anggaran pemerintah menyebabkan defi sit transaksi berjalan. Dengan kata lain, pemerintah dapat mengurangi defi sit eksternal (current account) dengan mengendalikan yang domestik (anggaran pemerintah). Dengan demikian, neraca transaksi berjalan distabilkan dengan mengurangi pengeluaran pemerintah dan menaikkan pajak atau dengan mengendalikan defi sit anggaran pemerintah.mengenai defi sit kembar, khususnya tentang dampak defi sit kembar dan analisis hubungan antara defi sit fi skal dan defi sit current account, akhir-akhir ini menjadi bahan telaahan yang menarik untuk dianalisis oleh para peneliti dibidang ekonomi.

1. Data Empiris Perkembangan Ekspor, Impor dan

Defi sit/Surplus Neraca Perdagangan Indonesia

(Milyar USD)

Neraca perdagangan Indonesia sejak tahun 2000 s.d. tahun 2011 memperlihatkan adanya surplus perdagangan dengan rata-rata setiap tahun sebesar USD 26,367 Milyar. Namun, sejak tahun 2012, neraca perdagangan internasional Indonesia mengalami

14Hossain, A dan A. Chowdurry, 1998. Open Economy Macroeconomics Macroeconomics for Developing Countries. Edwar Elgar Publishing Limited. Cheltenham, UK

defi sit sebsar USD 1,7 milyar, dan hingga pada Januari s.d. Mei 2013 masih menunjukkan adanya defi sit neraca perdangan Indonesia sebesar USD 2,5 milyar15. Total ekspor Indonesia periode Januari-Mei 2013 sebesar USD 76,3 Milyar didominasi oleh ekspor non migas sebesar USD 62,8 Milyar (83,33%), dan sisanya sebesar USD 13,5 Milyar (17,67%) berasar dari ekspor migas. Sementara itu, total impor periode Januari s.d. Mei 2013 sebesar USD 78,8 Milyar didominasi oleh impor non migas sebesar USD 60,2 Milyar (76,42%), dan sisanya sebesar USD 18,6 Milyar (23,58%) merupakan impor migas. Impor jenis mesin dan peralatan mekanik, dan jenis mesin dan peralatan listrik masih mendominasi nilai impor pada tahun 2013 dengan kontribusi masing-masing sebesar 18,64% dan 12,9% dari total impor Januari-Mei 2013. Perkembangan neraca perdagangan Indonesia Periode 2000 s.d. Mei 2013 terlihat pada Gambar 3 berikut:

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemnekeu, dan Bappenas

Gambar 3: Perkembangan Neraca Perdagangan

Indonesia Periode 2000 s.d. Mei 2013

Sementara itu, kalau kita perhatikan pada sisi impor, terlihat bahwa impor Migas sejak tahun 2009 hingga 2012 memperlihatkan trend yang cenderung meningkat. Perkembangan Impor Migas dan Non Migas (USD) 2006 s.d. Jan-Mei 2013 terlihat pada Gambar 4 berikut:

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemenkeu, dan Bappenas

Gambar 4: Impor Migas dan Non Migas (Juta USD)

2006 s.d. Jan-Mei 2013

15Biro Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik: Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia. Availabel at: http://www.bps.go.id/aboutus.php?news=1&nl=1.

71Edisi 03/Tahun XIX/2013

Y = C + S + T ............ (2) defi sit sebsar USD 1,7 milyar, dan hingga pada Januari

MAJALAH.indd Spread 18 of 44 - Pages(18, 71)MAJALAH.indd Spread 18 of 44 - Pages(18, 71) 31/12/2013 16:00:5631/12/2013 16:00:56

Secara total neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2012 mengalami defi sit sebesar USD 1,7 milyar, memburuk dibandingkan dengan kinerja neraca perdagangan tahun 2011 yaitu surplus USD 26,1 milyar. Memburuknya kinerja neraca perdagangan tahun 2012 ini disebabkan oleh menurunnya kinerja neraca perdagangan migas dari surplus USD 0,8 milyar di tahun 2011 menjadi defi sit USD 5,6 milyar pada tahun 2012. Selain itu, menurunnya surplus neraca perdagangan non migas dari USD 25,3 milyar pada tahun 2011 menjadi USD 4 milyar pada tahun 2012 juga mendukung memburuknya neraca perdagangan Indonesia di tahun 2012. Memburuknya kinerja neraca perdagangan indonesia pada tahun 2012 inilah yang ditengarai sebagai penyebab utama timbulnya defi sit transaksi berjalan dan berujung pada munculnya fenomena defi sit kembar (twin defi sit) di Indonesia tahun 2012.

2. Data Empiris Perkembangan Neraca Transaksi

Berjalan Indonesia Periode 2000 s.d. 2012

Data yang diolah dari World Ecnomic Outlook memerlihatkan bahawa defi sit transaksi berjalan di Indonesia tahun 2012 mencapai USD 3,89 Milyar atau sebesar 0,42% dari PDB. Defi sit transaski berjalan ini merupakan merupakan hal yang pertama kali terjadi di Indonesia sejak tahun 2005. Penyebab utamanya defi sit transaski berjalan ini adalah adanya surplus neraca perdagangan yang terus menyusut sehingga tidak dapat mengimbangi defi sit neraca jasa dan neraca pendapatan yang semakin melebar. Tingginya impor BBM untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat juga ditengarai sebagai penyebab defi sit transaski berjalan. Berdasarkan data, selama Januari – Juli 2012 ini, realisasi konsumsi BBM telah mencapai sekitar 25,6 juta kilo liter atau sekitar 64% dari kuota volume BBM tahun 2012. Defi sit transaski berjalan juga telah menyebabkan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD yang cenderung melemah selama tahun 2012. Sejauh ini, Rupiah menunjukkan kinerja yang paling buruk jika dibandingkan dengan mata uang pada kawasan Asia Tenggara. Implikasi dari pelemahan Rupiah ini menyebabkan cadangan devisa tergerus dari sebesar USD111,99 milyar menjadi USD106,6 milyar pada Juli 2012 sebelum menjadi USD108,99 milyar pada Agustus 2012. Gambaran tentang perkembangan transaksi berjalan sejkat tahun 2000 s.d. 2012 terlihat dalam gambar 5 berikut.

Sumber: Diolah dari World Economic Outlook (http://world- economic- out look . f indthedata .org/ compare/2583-2584/Indonesia-vs-Indonesia#/)

Gambar: 5. Perkembangan Neraca Transaksi

Berjalan Indonesia Periode 2000 s.d. 2012

3. Perkembangan APBN (Trilyun RP) 2005-2013

Selama periode 2005–2012, realisasi APBN memperlihatkan defi sit yang cenderung meningkat. Pada periode 2005–2012, realisasi pendapatan negara dan hibah berada pada kisaran 15,1 hingga 19,8 persen terhadap PDB, realisasi belanja negara pada kisaran 16,2 sampai 19,9 persen, dan defi sit fi skal berada pada kisaran 0,9 persen sampai dengan 2,4 persen terhadap PDB. Terdapat setidaknya 3 (tiga) gejolak eksternal yang berpengaruh terhadap peningkatan defi sit APBN, yaitu: (1) Lonjakan drastis harga minyak mentah dunia hingga sempat menyentuh level psikologis USD 112,73 per barel pada tahun 2012. Pada tahun 2005, harga minyak masih berada pada posisi USD 53,66 per barel, dan terus melonjak hingga mencapai USD 111,555 per barel pada tahun 2011 dan USD 112,73 per barel pada tahun 2012; (2) lonjakan harga internasional beberapa produk dan bahan pangan, salah satunya kedelai, cabai, bawang, dan daging yang mengalami kenaikan dramatis hingga di atas 100%; dan (3) Perlambatan ekonomi Amerika Serikat dan Eropha, terutama disebabkan efek multiplier (ganda) krisis kredit keuangan.

Sementara itu, Dari sisi penerimaan negara tercatat bahwa rata-rata pertumbuhan penerimaan negara selama kurun waktu 2006-2013 hanya tumbuh sebesar 14,3%/tahun; sedangkan, dari sisi belanja negara selama kurun waktu yang sama tumbuh sebesar 15,1 %. Tingginya peningkatan belanja pemerintah untuk komponen subsidi (khususnya subsisi energi) sejak tahun 2007 s.d. 2012 inilah yang diperkirakan ikut andil terjadinya defi sit keseimbangan primer, yang pada tahun 2012 diperkirakan sebesar 72,3 trilyun rupiah,

72 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Secara total neraca perdagangan Indonesia pada Tabel 5. Hasil Uji Kointegrasi Engle-Granger

Dependenttau-

statistic Prob.* z-statistic Prob.*LNEC -2.570647  0.2694 -16.93082  0.0612

LNGDP -2.584029  0.2642 -17.46085  0.0531*MacKinnon (1996) p-values.

Alternatif uji kointegrasi menurut Johansen cointegration approach juga dilakukan untuk memeriksa hubungan jangka panjang (long-run relationship) antara GDP dan konsumsi energi listrik. Tabel 6 menyajikan hasil uji kointegrasi dimaksud. Bukti yang mendukung kointegrasi tidak dapat ditemukan, dengan null hypothesis tidak ada kointegrasi ditolak pada tingkat signifi kansi 5 persen baik untuk maximum eigenvalue maupun trace statistics.

Tabel 6. Hasil Uji Kointegrasi Johansen

Hypothesized No. of

CE(s)Max eigenvalue Trace

None 10.863 13.983[0.161] [0.083]

At most 1

3.120

3.120[0.077]* [0.077]*

Catatan: Baris pertama adalah t-statistic, baris kedua adalah probability value. * berarti null hypothesis di tolak pada level of signifi cance 5%. Jumlah lag yang digunakan adalah dua.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel LnGDP dan LnEC tidak terkointegrasi (not cointegrated). Hal ini berarti bahwa tidak terjadi kausalitas dalam jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik. Hasil ini konsisten dengan studi yang dilakukan oleh Yoo (2006). Langkah selanjutnya adalah uji kausalitas yang dilakukan dengan mengikuti metode Toda-Yamamoto.

1.3. Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test)

Langkah pertama dalam uji kausalitas Granger adalah menyusun model VAR yang stabil dan tidak miss-specifi ed. Di sini banyaknya lag (lag length) menjadi

sangat menentukan karena jumlah lag yang tepat dapat menghilangkan serial correlation. Beberapa kriteria yang umumnya digunakan untuk menentukan lag length adalah Akaike information criterion (AIC), Schwarz information criterion (SC), dan Hannan-Quinn information criterion (HQ). Tabel 7 menampilkan lag length berdasarkan kriteria-kriteria tersebut. Ketiga kriteria tersebut memilih satu lag (p=1). Dalam studi ini jumlah lag yang digunakan adalah dua (p=2) untuk lebih meminimalisir serial correlation. Berdasarkan uji stabilitas dan uji serial correlation dengan LM-test, VAR (2) terbukti memenuhi syarat kestabilan dan juga bebas dari problem serial correlation. Dengan demikian model VAR (2) dapat digunakan untuk tes kausalitas dalam studi ini.

Tabel 7. Seleksi Kriteria VAR Lag Order

 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -13.12852 NA   0.007766  0.817758  0.904835  0.848456

1  118.1118   241.1985*   8.01e-06*  -6.060100*  -5.798870*  -5.968004*

2  120.8143  4.674566  8.61e-06 -5.989964 -5.554581 -5.836471

3  123.2121  3.888309  9.45e-06 -5.903358 -5.293821 -5.688468

 Catatan: * indicates lag order selected by the criterion. LR: sequential modifi ed LR test statistic (each

test at 5% level). FPE: Final prediction error

Tabel 8 menyajikan hasil uji kausalitas Granger berdasarkan T-Y prosedur. Null hypothesis bahwa GDP tidak mempengaruhi konsumsi energi listrik dan sebaliknya ditolak pada tingkat signifi kansi 5 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara kedua variabel. Hal ini menunjukkan bahwa growth hypothesis ditolak untuk kasus Indonesia. Sebaliknya neutrality hypothesis dapat diterima sehingga kebijakan konservasi pemanfaatan energi listrik dapat dilaksanakan tanpa memberikan akibat yang buruk terhadap pertumbuhan ekonomi.

Tabel 8. Uji Kausalitas Granger

Dependent variable: LnEC

Excluded Chi-sq df Prob. Kesimpulan

LNGDP 0.758894 1 0.3837GDP does not Granger-cause

konsumsi energi listrik

Dependent variable: LnGDP

Excluded Chi-sq df Prob. Kesimpulan

LNEC 0.001477 1 0.9693Konsumsi energi listrik does not

Granger-cause GDP

17Edisi 03/Tahun XIX/2013

Tabel 5. Hasil Uji Kointegrasi Engle-Granger sangat menentukan karena jumlah lag yang tepat

MAJALAH.indd Spread 17 of 44 - Pages(72, 17)MAJALAH.indd Spread 17 of 44 - Pages(72, 17) 31/12/2013 16:00:5531/12/2013 16:00:55

menggunakan tes augmented Dickey Fuller (ADF), Phillips-Perron (PP), atau Kwiatkowski-Phillips-Schmidt-Shin (KPSS).

(ii) jika variabel yang digunakan memiliki orde integrasi yang sama, lakukan uji kointegrasi dengan menggunakan pendekatan dua-langkah Granger (Granger two step approach) ataupun metodologi Johansen-Joselius. Uji kointegrasi dilakukan sebagai cross-check atas hasil uji kausalitas Granger yang dilakukan.

(iii) susun model VAR(p) dan cek agar tidak miss-specifi ed (tidak ada serial correlation). Kemudian menambahkan maksimum integrasi order (m

lags) dalam VAR model terpilih dan melakukan uji kausalitas Granger.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1. Hasil Uji Stationaritas (Unit Root Test)

Studi ini menggunakan beberapa metode untuk uji stationaritas yaitu tes ADF, PP, dan KPSS. Metode tersebut dipilih agar mendapatkan hasil yang teguh (robust). Tes ADF dan PP berdasarkan pada null hypothesis bahwa variabel memiliki unit root (tidak stationer), sebaliknya tes KPSS menguji null hypothesis stationary. Hasil uji stationaritas disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Stationaritas (Unit Root Tests)

Null Hypothesis: Variable has a unit root Null Hypothesis: Variable is stationary

Variabel

ADF Test PP Test KPSS Test

Level Δ Level Δ Level Δ

No trend With trend

No trend No trend

With trend

No trend No trend

With trend

No trend

LnGDP -2.191 -1.543 -4.323 -2.002 -1.658 -4.328 0.773* 0.174* 0.308

[0.213] [0.797] [0.002]* [0.285] [0.751] [0.002]* (0.463) (0.146) (0.463)

LnEC -2.571 -0.107 -4.529 -2.413 -0.069 -4.450 0.760* 0.197* 0.534

[0.108] [0.993] [0.001]* [0.145] [0.994] [0.001]* (0.463) (0.146) (0.739)1

Catatan: Δ adalah fi rst diff erence. Variabel dalam bentuk logaritma natural. Baris pertama adalah tes statistik dan baris kedua adalah probability value [ ] atau critical value ( ). * berarti null hypothesis (non stationary) di tolak pada level of signifi cance 5%. Lag length menggunakan kriteria Schwarz Info Criterion. 1 adalah critical value pada level 1%.

Dari tabulasi di atas dapat disimpulkan bahwa kedua dataset (GDP dan konsumsi energi listrik) memiliki unit root atau I(1). Hasil ini sejalan dengan unit root test yang dilakukan oleh Chen et al. (2007) dan Yoo (2006) yang hanya menggunakan ADF test dan PP test. Selanjutnya perlu dilakukan uji kointegrasi untuk mencari kemungkinan adanya long-run relationship antara GDP dan konsumsi energi listrik.

1.2. Uji Kointegrasi (Cointegration Test)

Hasil uji kointegrasi Engle-Granger disajikan dalam Tabel 5. Tes memasukkan intersep (konstan) dengan jumlah lag ditentukan secara otomatis menurut Schwarz criterion. Engle-Granger t-statistik dan z-statistik tidak dapat menolak (fail to reject) null hypothesis bahwa variabel tidak terkointegrasi (not cointegrated) dengan the signifi cance level (tingkat signifi kansi) 5 persen.

16 Edisi 03/Tahun XIX/2013

menggunakan tes augmented Dickey Fuller (ADF), lags) dalam VAR model terpilih dan melakukan uji dan diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun 2013 dengan perkiraan nilai defi sit kesimbangan primer sebesar 36,9 trilyun rupiah. Kondisi perkembangan APBN dan kondisi surplus/defi sit sejak tahun 2005 s.d. 2013 terlihat dalam Gambar 6. Sementara itu, gambaran tentang defi sit APBN terhadap PDB tahun 2005 s.d. 2013 tercermin dalam Gambar 7.

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemenkeu, dan Bappenas

Gambar 6: Perkembangan APBN dan Kondisi

Surplus/Defi sit 2005 s.d. 2013

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemenkeu, dan Bappenas

Gambar 7: Gambaran Defi sit APBN terhadap PDB

tahun 2005 s.d. 2013

4. Perkembangan Subsidi 2007-2013

Dalam rentang waktu 2007-2012, realisasi anggaran belanja untuk subsidi cukup berfl uktuasi, rata-rata mengalami peningkatan sebesar 10,3 persen per tahun, atau secara nominal mengalami pertumbuhan sebesar Rp. 94,9 triliun/tahun. Subsidi energi (BBM dan Listrik) merupakan alokasi anggaran yang cukup besar. Realisasi anggaran belanja subsidi BBM dan Listrik, dalam rentang waktu 2007–2012 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp. 85,5 triliun atau tumbuh rata-rata 11,6 persen per tahun, yaitu dari Rp. 116,9 triliun (3,0 persen terhadap PDB) pada tahun 2007, dan diperkirakan mencapai Rp. 202,4 triliun (2,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2012.

Pertumbuhan subsidi yang cukup tinggi tersebut, antara lain disebabkan oleh: (1) perubahan parameter subsidi, antara lain harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price, ICP), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, volume BBM bersubsidi, kuantum raskin, jumlah rumah tangga sasaran (RTS), volume pupuk dan benih bersubsidi; dan (2) berbagai kebijakan Pemerintah antara lain berupa kebijakan penetapan harga BBM dalam negeri dan tarif tenaga listrik serta kebijakan dalam rangka mendukung program surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014.

Tingginya peningkatan belanja pemerintah untuk komponen subsidi (khususnya subsisi energi) sejak tahun 2007 s.d. 2012 inilah yang diperkirakan ikut andil terjadinya defi sit keseimbangan primer, yang pada tahun 2012 diperkirakan sebesar 72,3 trilyun rupiah, dan diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun 2013 dengan perkiraan nilai defi sit kesimbangan primer sebesar 36,9 trilyun rupiah. Perkembangan realisasi belanja subsidi tahun 2007-2012 disajikan dalam Tabel 1 berikut:

Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2013

5. Perkembangan Nilai Tukar rupiah terhadap USD

periode 2007-2013

Pada kuartal I tahun 2009, depresiasi nilai tukar rupiah masih terus berlanjut hingga menyentuh level terendah pada 6 Maret 2009 sebesar Rp12.065 per dolar AS sebagai imbas kekhawatiran terhadap meluasnya krisis keuangan global. Namun, secara bertahap mulai kuartal II tahun 2009, nilai tukar rupiah mengalami penguatan hingga mencapai nilai tertinggi pada 8 Juni 2009 sebesar Rp9.985 per dolar AS. Penguatan nilai tukar rupiah tersebut sejalan dengan kondisi fundamental perekonomian yang semakin membaik serta keseimbangan permintaan dan penawaran

73Edisi 03/Tahun XIX/2013

dan diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun Pertumbuhan subsidi yang cukup tinggi tersebut,

MAJALAH.indd Spread 16 of 44 - Pages(16, 73)MAJALAH.indd Spread 16 of 44 - Pages(16, 73) 31/12/2013 16:00:5431/12/2013 16:00:54

valuta asing di pasar domestik. Di samping itu, jumlah cadangan devisa yang meningkat dan imbal hasil rupiah yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan peer countries telah memberikan sinyal positif kepada investor mengenai ketahanan perekonomian Indonesia terhadap guncangan di pasar internasional. Sampai dengan akhir tahun 2009, rata-rata nilai tukar rupiah berada pada Rp10.399 per dolar AS atau mengalami pelemahan sekitar 7,4 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sumber: Diolah dari data BPSGambar 8: Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

terhadap USD periode 2007 s.d. 2013

Proses transmisi pengaruh defi sit anggaran terhadap defi sit transaksi berjalan dapat dijelaskan dengan dua cara sebagai berikut: (a) Defi sit anggaran berarti tabungan nasional yang lebih rendah yang menyebabkan pembiayaan investasi pinjaman luar negeri menyebabkan defi sit transaksi berjalan yang lebih besar, dan (b) Defi sit anggaran menyebabkan apresiasi mata uang nasional yang mempengaruhi secara negatif ekspor dan menyebabkan defi sit perdagangan yang lebih besar16.

C. Tinjauan tentang Pengalaman Indonesia dalam

Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter.

Tidak mudah memang melakukan praktek koordinasi kebijakan yang melibatkan 3 lembaga, yaitu BI, Kementerian Keuangan dan Menko Perekonomian. Dalam prakteknya sering terjadi ketidaksinkronan dalam peuncuran berbagai paket kebijakan, baik di bidang moneter maupun fi skal. Pengalaman pada tahun 2007, dengan terbitnya Instruksi Presiden No. 6/2007 tentang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan

16Majed Bader, 2006, The Eff ect of the Twin Defi cits on the Foreign Debt In Jordan: an Econometrical Study, Jordan: Hashemite University, pp. 23-24.

pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah, untuk pemulihan sektor riil dan pengembangan UKM. Namun, tidak ada respons yang visioner dari otoritas moneter atau BI atas Keppres itu. Bahkan langkah BI pada 2007, justru mengarahkan fokus perhatiannya ke potensi ekonomi daerah. Delapan arah kebijakan perbankan tahun 2007 tentang peningkatan peran intermediasi perbankan, malah mendorong bank umum fokus pada pengembangan potensi ekonomi daerah, dengan stimulus kredit perbankan. Muncul asumsi bahwa daerah menjadi target utama BI memaksimalkan penyaluran kredit perbankan, karena permintaan dan daya serap kredit di perkotaan sangat rendah. BI mungkin melihat sektor perkebunan dan pertanian di daerah lebih prospektif, karena harga komoditas perkebunan dan pertanian sedang bagus di pasar internasional. Namun, langkah itu tidak sinkron dengan target pemerintah yang ingin memulihkan sektor riil dan mengembangkan UKM di luar perkebunan dan pertanian.

Kasus lain terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Produk-produk Tertentu, dengan tujuan meringankan biaya produksi agar produk akhirnya kompetitif. Namun, seminggu kemudian BI sudah keburu menaikkan BI Rate 0,25 basis poin, yang menyebabkan harga kredit modal kerja menjadi lebih mahal. Ketidaksinkronan antara kebijakan fi skal dan moneter ini perlu dihindari manakala pemerintah harus melakukan tindakan dalam mengantisipasi dampak negatif yang berkepanjangan dari munculnya defi sit kembar.

Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan fi skal dan moneter guna mengantisipasi dampak bruuk dari twin defi sit dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: (1) menaikkan harga BBM, mengupayakan penghematan konsumsi BBM, mengurangi subsidi BBM, menghindari penyelundupan BBM, dan menekan impor BBM; (2) pemberlakuan kebijakan moneter ketat yaitu kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan, dan (3) pemberlakuan kebijakan yang dapat memperbaiki kemampuan pengelolaan sektor publik dan swasta, termasuk upaya mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif, (4), pengurangan pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif dan mengalihkannya pada pengeluaran untuk kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi biaya sosial akibat krisis ekonomi, (5) meningkatkan pendapatan pajak melalui penurunan tingkat kebocoran penarikan pajak serta memperluas

74 Edisi 03/Tahun XIX/2013

valuta asing di pasar domestik. Di samping itu, jumlah pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah, untuk parameter α12 statistically jointly signifi cant maka dinyatakan konsumsi energi listrik Granger-causes GDP atau terjadi kausalitas satu arah (unidirectional causality) dari konsumsi energi listrik ke GDP; (ii) apabila parameter α21 statistically jointly signifi cant maka dinyatakan GDP Granger-causes konsumsi energi listrik atau terjadi kausalitas satu arah (unidirectional causality) dari GDP ke konsumsi energi listrik; (iii) apabila parameter α12 dan α21 statistically jointly signifi cant maka dinyatakan GDP Granger-causes konsumsi energi listrik dan sebaliknya atau terjadi kausalitas dua arah (bidirectional causality/feedback); dan (iv) apabila parameter α12 dan α21 statistically jointly insignifi cant maka dinyatakan GDP dan konsumsi energi listrik tidak memiliki hubungan kausalitas (no causality).

Uji kausalitas Granger dalam persamaan di atas mensyaratkan penggunaan stationary variables. Untuk mengetahui apakah suatu variabel stationer atau tidak dilakukan uji unit root (unit root test). Uji unit root ini digunakan untuk menentukan orde integrasi (order of integration). Variabel dengan orde integrasi d atau I(d) berarti variabel tersebut menjadi stationer setelah dilakukan diff erencing sebanyak d kali. Orde integrasi sangat penting karena standar uji kausalitas Granger dengan menggunakan level data menjadi tidak valid apabila sebagian atau semua variabel yang digunakan adalah non-stationary. Jika variabel yang digunakan tidak terkointegrasi (not cointegrated) maka uji kausalitas harus dilakukan dengan menggunakan diff erenced data. Lebih lanjut Engle and Granger (1987) menyatakan bahwa jika non-stationary variabel dimaksud terkointegrasi (cointegrated) maka tidak hanya terdapat hubungan kausalitas dalam jangka pendek namun juga dalam jangka panjang yang tidak terdeteksi oleh model dengan diff erenced data. Dalam kasus ini, maka estimasi dilakukan menggunakan vector error correction model (VECM). VECM dari persamaan (2) dan (3) dapat disajikan sebagai berikut.

(4)

(5)

dimana ECT adalah error correction term yang dihasilkan dari long-run relationship, π menunjukkan speed of adjustment atau deviasi dependent variabel dari long-

run equilibrium. Jika parameter π statistically signifi cant maka disimpulkan terdapat Granger-causality dalam jangka panjang. Sedangkan koefi sien γ1 dan γ2 menunjukkan short-run causality.

Konsep kointegrasi sendiri dapat diartikan sebagai pergerakan yang sama (keterkaitan) diantara dua atau lebih variabel-variabel ekonomi dalam jangka panjang (Yoo, 2006). Menurut Engle and Granger (1987), jika X dan Y adalah non-stationary, maka dapat diduga bahwa linear combination dari X dan Y adalah random walk. Namun apabila linear combination tersebut adalah stationary, maka dikatakan bahwa X dan Y terkointegrasi. Sebagai tambahan, kointegrasi hanya menunjukkan adanya hubungan kausalitas diantara variabel tetapi tidak mengindikasikan arah (direction) dari hubungan tersebut sehingga kointegrasi dapat digunakan sebagai cross-check atas hasil uji kausalitas1.

Uji kointegrasi menurut Engle-Granger dapat dilakukan dalam dua langkah yaitu melakukan regresi dari variabel yang dimaksud untuk mendapatkan residual dan menguji stationaritas dari residual yang dihasilkan. Non-stationary residual dalam uji kointegrasi Engle-Granger berarti variabel yang diuji not-cointegrated. Johansen and Juselius (1990) menentukan jumlah persamaan kointegrasi berdasarkan dua uji likelihood ratio yaitu berdasarkan trace statistics dan maximum eigenvalue. Untuk tes dengan dua variabel (bivariate), null hyphotesis-nya adalah bahwa jumlah vektor kointegrasi adalah nol diuji melawan alternative hypothesis bahwa jumlah vektor kointegrasi dalah paling besar satu.

Uji kausalitas Granger dalam studi ini dilakukan mengikuti metode Toda-Yamamoto (T-Y). Toda dan Yamamoto (1995) memodifi kasi standar uji kausalitas Granger sehingga dapat digunakan untuk non-stationary variables namun dengan menggunakan level data. Metode T-Y lebih unggul untuk uji kausalitas karena dapat digunakan untuk variabel yang memiliki integrasi order (order of integration) yang berbeda-beda. Langkah yang perlu dilakukan dalam metode T-Y adalah sebagai berikut.

(i) menentukan ode integrasi (order of integration) maksimum (m). Hal ini dilakukan melalui uji stationaritas (unit root test) misalnya dengan

1Dave Giles, http://davegiles.blogspot.com/2011/04/testing-for-granger-causality.html

� � � � � � � � � � � �

15Edisi 03/Tahun XIX/2013

parameter α12 statistically jointly signifi cant maka t run equilibrium. Jika parameter π statistically signifi cant

MAJALAH.indd Spread 15 of 44 - Pages(74, 15)MAJALAH.indd Spread 15 of 44 - Pages(74, 15) 31/12/2013 16:00:5331/12/2013 16:00:53

Tabel 2. Deskripsi variabel

No. Variabel Description

1. LnGDP Logaritma natural dari real GDP.

Real GDP dalam harga konstan 2005 dalam juta USD.

Diperoleh dari Bank Dunia (http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD).

2. LnEC Logaritma natural dari konsumsi energi listrik.

Konsumsi energi listrik dalam satuan juta kWh atau GWh.

Diperoleh dari Bank Dunia (http://data.worldbank.org/indicator/EG.USE.ELEC.KH).

Tabel 3 memperlihatkan bahwa kedua variabel memiliki tren dan intersep. Informasi ini akan digunakan dalam uji stationaritas (stationary test). Dari 40 observasi, rata-rata real GDP adalah 170 miliar USD sedangkan rata-rata konsumsi energi listrik adalah 48 ribu GWh. Kedua variabel memiliki positive skewnes yang menunjukkan bahwa kemungkinan kenaikan nilai lebih besar daripada penurunan.

Tabel 3. Deskripsi Statistik dan Grafi k

GDP EC

 Mean  169816.6  48049.27

 Median  156791.2  31166.50

 Maximum  377898.9  153832.0

 Minimum  40581.26  1692.000

 Std. Dev.  97623.17  46878.93

 Skewness  0.407254  0.757499

 Observations  40  40

EC: Konsumsi Energi ListrikGDP: Real GDP

0

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

400,000

1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010

Electriciy Power Consumption (in mill. kWh)Real GDP (in mill. US$)

3.2 Model dan Metodologi

Studi ini menggunakan vector autoregressive (VAR) model sebagai basis uji kausalitas Granger (Granger Causality Test). Struktur dari sebuah model VAR dengan p-lag(s) atau VAR(p) adalah bahwa setiap variabel direpresentasikan sebagai fungsi linear dari p lag(s) variabel tersebut dan p lag(s) variabel lainnya. Dengan demikian semua variabel menjadi variabel dependent dan independent. Model VAR (p) secara umum adalah sebagai berikut.

(1)

dimana, Xt adalah vektor dari variabel endogen dengan dimensi (n x 1). Xt-i adalah vektor dari lagged variabes. A0 = vektor dari variabel eksogen, termasuk konstanta (intersept) dan tren, Ai adalah koefi sien matriks berdimensi (n x n), dan εt adalah vektor dari white noise residual, sedangkan p adalah jumlah lag(s) yang dipilih.

Dalam uji kausalitas Granger (Granger-causality test), dinyatakan bahwa X2t menyebabkan (Granger-causes) X1t jika nilai lampau (past values) dari X2t membantu dalam memprediksikan X1t (Wooldridge, 2006). Dengan demikian, uji kausalitas Granger antara dua stationary variabel, pertumbuhan ekonomi (LnGDP) dan konsumsi energi listrik (LnEC), dapat dijelaskan dengan mengurai persamaan (1) sebagai berikut.

(2)

(3)

Persamaan (2) dan (3) memiliki empat kemungkinan hubungan sebab-akibat/kausalitas yaitu: (i) apabila

� � �

� � � � � � � � � �

14 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Tabel 2. Deskripsi variabel tax base (jumlah pembayar pajak), (6) Mengupayakan peningkatan kemampuan industri dalam negeri untuk mensuplai kebutuhan kelas menengah yang sedang tumbuh pesat, dan (7). membantu swasta untuk re-negosiasi pinjaman jangka pendek swasta menjadi pinjaman jangka menengah/panjang, sehingga dapat mengurangi kebutuhan valas.

D. Pendekatan Kurva IS-LM dalam Memprediksi

Efektifi tas Koordinasi dan Interaksi antara

Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter

Interaksi dan koordinasi antara kebijakan fi skal dan moneter dapat dianalisis dengan pendekatan kurve IS dan LM. Kurve IS menjelaskan bahwa keseimbangan pasar barang dan jasa terjadi ketika tingkat tabungan (saving/S), yang yang mewakili sisi penawaran barang dan jasa (agregat supply) sama dengan tingkat investasi (investment/I), yang mewakili sisi permintaan barang dan jasa (agregat demand). Kurve IS juga menyatakan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di di pasar barang dan jasa. Slope kurva IS bersifat negatif yang berarti semakin peningkatan tingkat suku bunga akan menurunkan output riil agregat dalam pasar banrang dan jasa. Sedangkan, kurve LM menjelaskan bahwa keseimbangan pasar uang-modal terjadi ketika permintaan uang (liquidity preference/L) sama dengan tingkat penawaran uang (money supply/L). Kurve LM juga menunjukkan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di pasar uang. Slope kurva LM bersifat positif yang berarti peningkatan suku bunga akan meningkatkan output riil agregat dalam pasar uang. Prinsip umum dari pendekatan IS-LM adalah bahwa keseimbangan umum ekonomi akan tercapai jika pasar barang-jasa dan pasar uang-modal secara simultan berada dalam kesimbangan.

Melalui pendekatan kurve IS-LM, menurut para ekonom, efektifi tas interaksi antara kebijakan moneter dan kebijakan fi skal, tergantung pada 3 situasi/keadaan, yaitu: (a) daerah Keynes, yang biasa disebut sebagai daerah liquidity trap, yaitu suatu kondisi pada kurve LM yang memiliki tingkat suku bunga yang sangat rendah sehingga tidak mungkin turun lagi; (b) daerah intermediate range, yaitu daerah yang menunjukkan kurva LM dipengaruhi oleh suku bunga; dan (c) daerah klasik, yang memiliki kurve LM tegak lurus, karena menurut faham klasik, permintaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga. Secara grafi s dapat dijelaskan dapal gambar 9 sebagai berikut:

Gambar 9 di atas mengisyaratkan pentingnya koordinasi antara kebijakan fi skal dan kebijakan moneter. Dalam memprediksikan apakah suatu kebijakan fi skal (misalnya) akan efektif atau tidak untuk mempengaruhi suatu variabel makroekonomi, maka para penentu kebijakan perlu memperhatikan tindakan/kondisi/kebijakan (yang terjadi atau yang akan diambil) oleh para penentu kebijakan lain (moneter). Sebagai ilustrasi, misalnya pemerintah akan mengambil kebijakan fi skal yang bersifat ekspansif yang ditandai dengan bergesernya kurva IS dari IS0 ke IS1 (misalnya menaikkan G/pengeluaran pemerintah, atau penurunan T/pajak) untuk meningkatkan output (pendapatan/pertumbuhan nasional). Berdasarkan pendekatan kurve IS-LM, maka kebijakan fi skal yang ekspansif tersebut akan SANGAT EFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) dalam keadaan/posisi Keynesian, karena perubahan Y0 ke Y1 paling optimal; dan akan EFFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) bersifat intermadiate change, karena masih ada perubahan positif dari Y0 ke Y1, dan akan TIDAK EFFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) dalam keadaan Klasik, karena tidak merubah pendapatan nasional (Y).

Begitu halnya dalam memprediksikan apakah langkah-langkah yang akan diambil oleh otoritas moneter akan efektif atau tidak dalam mempengaruhi berbagai kebijakan makroekonomi perlu juga mempertimbangkan parameter-parameter (slope) kondisi kesimbangan baik di sektor moneter (LM) itu sendiri maupun di sektor fi skal (IS). Gambar 10 berikut mengilustrasikan efektifi tas kebijakan moneter dalam mempengaruhi peningkatan output riil.

L

M

Y

I0

S0

I0

S0

I1

S1

I0

S0

I1

S1

I1

S1

R

Daerah Keynes

Daerah Klasik

Daerah Intermediate Range

Y0 Y0 Y0 ..Y1 Y1 Y1

Gambar 9: Efeketifitas Kebijakan Fiskal

75Edisi 03/Tahun XIX/2013

tax base (jumlah pembayar pajak), (6) Mengupayakan I1

MAJALAH.indd Spread 14 of 44 - Pages(14, 75)MAJALAH.indd Spread 14 of 44 - Pages(14, 75) 31/12/2013 16:00:5131/12/2013 16:00:51

Gambar 10: Efektifi tas Kebijakan Moneter

Gambar 10 di atas, mengilustrasikan bahwa, misalnya pemerintah akan mengambil kebijakan moneter yang bersifat ekspansif yang ditandai dengan bergesernya kurva LM dari LM0 ke LM1 (misalnya pemerintah akan meningkatkan jumlah uang yang beredar dengan cara: membeli surat berharga pemerintah atau menurunkan tingkat suku bunga bank sentral atau menurnkan ratio cadangan wajib) untuk meningkatkan output (pendapatan/pertumbuhan nasional), berdasarkan pendekatan kurve IS-LM, maka kebijakan moneter yang ekpansif tersebut akan TIDAK EFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) dalam keadaan/posisi Keynesian, karena tidak ada perubahan pada Y (tetap di Y1); dan akan EFFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) bersifat intermadiate change, karena masih ada perubahan positif dari Y2 ke Y3; dan akan SANGAT EFFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) dalam keadaan Klasik, karena perubahan pendapatan nasional paling optimal, dari Y4 ke Y5.

Dalam konteks twin defi sit, pemerintah juga dapat melakukan analisis melalui pendekatan IS-LM, untuk menentukan pilihan kebijakan mana (fi skal atau moneter) dan bagaimana kebijakaan tersebut dikoordinasikan agar dapat memberikan pareto optimal terhadap perekonomian secara makro. Misalnya, pemerintah akan mengurangi defi sit fi skal dengan cara meningkatkan pendapatan nasional dan menghidupkan kembali produksi. Misalnya, otoritas fi skal mengambil tindakan dengan cara menurunkan tingkat pajak (tax). Kebijakan penurunan pajak, akan menggeser kurve IS ke kanan. Kebijakan penurunan tax ini harus diresponse oleh otoritas moneter dengan cara menciptkan kondisi keseimbangan sektor moneter yang lebih bersifat elastis (sehingga kurve LM semakin

datar). Kebijakan penurunan pajak akan mengakibatkan peningkatan produksi yang lebih besar dalam kondisi keseimbangan permintaan uang yang bersifat elasitis, karena akan mendorong peningkatan pendapatan yang optimal sehingga mampu mengurangi defi sit fi skal dan defi sit perdagangan. Kalau otoritas moneter salah dalam meresponse kebijakan fi skal yang bersifat ekspasif tersebut, sehingga mengakibatkan kurve LM semakin in-elastis, maka akan memberikan trade-off terhadap dampak perekonomian secara makro.

III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

A. Kesimpulan

Fenomena defi sit kembar yang terjadi pada tahun 2012 cenderung berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap USD. Data memperlihatkan bahwa pada tahun 2011 nilai rupiah masih memperlihatkan penguatan yang cukup baik pada level Rp. 8.776/1 USD. Namun, nilai rupiah kembali terdepresiasi ke level Rp. 9.384/1 USD pada tahun 2012 dan menyentuh level Rp. 9.694,9/USD pada Maret 2013. Defi sit neraca transaksi berjalan sejak tahun 2012 ditengarai telah berimbas pada menurunnya pasokan valas. Karena pemerintah tidak mampu mengimbangi permintaan valas maka nilai rupiah terus terdepresiasi hingga tahun 2013. Pada tahun 2012, neraca transaksi berjalan mengalami defi sit, sedangkan neraca arus modal mengalami surplus. Jadi sumber masalah utama pelemahan nilai tukar pada 2012 dan 2013 diperkirakan bersumber dari defi sit neraca transaksi berjalan. Penyebab utama terjadinya defi sit neraca transaksi berjalan pada tahun 2012, termasuk defi sit keseimbangan primer, diperkirakan karena (1) turunnya permintaan barang dan jasa oleh negara lain karena krisis dan jatuhnya harga komoditas primer andalan ekspor (sawit dan batu bara); (2) naiknya impor minyak karena lifting minyak (produksi minyak mentah siap jual yg ditergetkan pemerintah) anjlok dari 900.000 barrel menjadi 830.000 barrel per hari; (3) tingginya impor barang modal, termasuk pembelian pesawat komersial; serta (4) kurs rupiah tak lagi kompetitif mendorong ekspor dan menahan impor.

Apabila gejala twin defi sit ini tidak segera diantisipasi, maka akan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD karena kurangnya pasokan valuta asing, dan dalam jangka menengah, bukannya tidak mungkin akan memunculkan kekawatiran dari para pengamat ekonomi, yaitu mendorong munculnya fenomena downward death spiral, lingkaran setan

76 Edisi 03/Tahun XIX/2013

datar). Kebijakan penurunan pajak akan mengakibatkan Tabel 1. Rekapitulasi hasil studi

No. Authors Countries Methodology Time Period Results

1. Murry and Nan (1996)

Philippines Standard Granger causality test

1970–1990 No causality

Indonesia 1970–1990 GDPàElectricity

Singapore 1970–1990 ElectricityàGDP

Malaysia 1970–1990 ElectricityßàGDP

2. Yoo (2006) Indonesia Hsiao’s version of Granger causality method

1971–2002 GDPàElectricity (LR)

No causality (SR)

Malaysia 1971–2002 ElectricityßàGDP (SR)

Singapore 1971–2002 ElectricityßàGDP (SR)

Thailand 1971–2002 GDPàElectricity (SR)

3. Chen, Kuo, and Chen (2007)

Indonesia Granger causality test dan ECM

1971–2001 ElectricityàGDP

Malaysia 1971–2001 GDPàElectricity (SR)

Thailand 1971–2001 No causality (LR)

Singapore 1971–2001 No causality (LR)

GDPàElectricity (SR)

Philippines 1971–2001 GDPàElectricity (SR)

4. Yoo, Kim (2006) Indonesia Hsiao’s version of Granger causality method

GDPàElectricity (SR)

5. Chandran, Sharma, Madhavan (2010)

Malaysia ARDL method 1971-2003 ElectricityàGDP (SR)

Catatan: GDPàElectricity berarti bahwa hubungan kausalitas terjadi dari konsumsi energi listrik ke pertumbuhan ekonomi; ElectricityàGDP berarti bahwa hubungan kausalitas terjadi dari pertumbuhan ekonomi ke konsumsi energi listrik; ElectricityßàGDP berarti terjadi hubungan kausalitas dua arah; LR = long-run; SR= short-run.

3. Data, Model, dan Metodologi

3.1. Data

Variabel yang digunakan dalam studi ini adalah real gross domestic product (GDP) sebagai representasi dari pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik (EC). Pemilihan kedua variabel tersebut konsisten dengan studi yang dilakukan oleh Chen et al. (2007). Data diperoleh dari World Development Indicators (WDI) yang disusun oleh Bank Dunia (the World Bank). Real GDP disajikan dalam satuan juta US$ untuk harga

konstan tahun 2005 sedangkan konsumsi energi listrik direpresentasikan dalam satuan juta kWh atau GWh. Data time-series yang digunakan adalah antara tahun 1971-2010. Kedua variabel tersebut selanjutnya diubah dalam bentuk logaritma natural (LnGDP dan LnEC) yang dimaksudkan untuk mengurangi problem heteroskedastisitas dalam estimasi. Selain itu, diff erenced logarithms merepresentasikan pertumbuhan (growth) dari variabel tersebut. Penjelasan mengenai kedua variabel yang digunakan disajikan dalam Tabel 2.

13Edisi 03/Tahun XIX/2013

Tabel 1. Rekapitulasi hasil studi

MAJALAH.indd Spread 13 of 44 - Pages(76, 13)MAJALAH.indd Spread 13 of 44 - Pages(76, 13) 31/12/2013 16:00:5031/12/2013 16:00:50

Kelompok kedua berpendapat bahwa konsumsi energi merupakan faktor yang membatasi pertumbuhan ekonomi. Perkembangan teknologi dan input produksi lainnya tidak dapat menggantikan peran penting dari energi dalam proses produksi. Lebih lanjut, energi adalah faktor utama dalam proses produksi karena faktor lainnya seperti tenaga kerja (labor) dan kapital (capital) tidak dapat bekerja tanpa adanya energi. Kelompok ini mendukung growth hypothesis yang berarti bahwa gangguan ataupun hambatan pada suplai energi dapat memberikan dampak yang negatif kepada pertumbuhan ekonomi.

Terkait hubungan kausalitas antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi, studi yang ada saat ini dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu studi multi negara (multi-country study) dan studi negara tunggal (single-country study). Studi multi-negara yang terkait dengan negara-negara di Asia tenggara diawali oleh Murry dan Nan (1996). Mereka menggunakan standar Granger method untuk menguji hubungan antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi yang diwakili oleh gross domestic product (GDP) di negara-negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Dengan menguji data tahun 1970-1990 dihasilkan hubungan yang bervariasi. Khusus untuk Indonesia mereka menemukan bahwa konsumsi energi listrik mengikuti pertumbuhan ekonomi (electricity follows economic growth) dalam jangka pendek (short-run). Kesimpulan yang sama ditemukan oleh Yoo (2006) dengan menggunakan metode Hsiao’s version of Granger causality tests dengan data tahun 1971–2002 di empat negara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN) yaitu

Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura. Chen et al. (2007) menggunakan uji kausalitas Granger dan error correction model (ECM) menguji hubungan kausalitas di 10 negara Asia berdasarkan data tahun 1971-2001. Khusus Indonesia mereka menemukan uni-directional long-run causality dari konsumsi energi listrik ke GDP. Namun, mereka tidak menemukan bukti adanya short-run causality di Indonesia.

Untuk studi negara tunggal, Yoo dan Kim (2006) tidak hanya menyelidiki kausalitas konsumsi tenaga listrik dan pertumbuhan ekonomi tetapi juga kausalitas pembangkitan listrik dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode Hsiao’s version of Granger causality tests untuk periode waktu 1971-2002. Hasilnya adalah peningkatan GDP menyebabkan peningkatan pembangkitan listrik, namun tidak sebaliknya (uni-directional) dan peningkatan GDP juga menyebabkan peningkatan konsumsi tenaga listrik. Sebagai tambahan, Chandran et al. (2010) menyelidiki kausalitas antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi di Malaysia menggunakan data time-series untuk periode waktu 1971-2003. Mereka menggunakan metode autoregressive distribute lag (ARDL). Mereka menyimpulkan adanya kausalitas satu arah dari konsumsi energi listrik ke pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek (short-run) di Malaysia. Dari berbagai studi tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil uji kausalitas berbeda-beda atau tidak konklusif (inconclusive). Perbedaan hasil studi tersebut diakibatkan oleh beberapa hal seperti karakteristik masing-masing negara, sample periods, dan metodologi riset, serta variabel yang digunakan (Binh, 2011).

12 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Kelompok kedua berpendapat bahwa konsumsi energi Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura. Chen et al. yang menjerumuskan, serta dalam jangka panjang akan mengganggu stabilitas perekonomian suatu negara. Mengingat, dampak negatif twin defi cit sangat membahayakan bagi stabilitas perekonomian Indonesia, baik jangka menengah maupun jangka panjang, maka diperlukan tindakan secara koordinatif dalam perumusan kebijakan moneter dan fi skal untuk mengantisipasi fenomena twin defi cit yang berkepanjangan.

Dalam rangka mengantisipasi dampak negatif defi sit kembar yang berkepanjangan terhadap stabilitas ekonomi, maka diperlukan langkah-langkah sinkronisai kebijakan moneter dan fi skal, melalui: (1) pemberlakuan kebijakan moneter ketat yaitu kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan; (2) pengurangan pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif dan mengalihkannya pada pengeluaran untuk kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi biaya sosial akibat krisis ekonomi, dan (3) pemberlakuan kebijakan yang dapat memperbaiki kemampuan pengelolaan sektor publik dan swasta, termasuk upaya mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif, (4) menaikkan harga BBM, mengupayakan penghematan konsumsi BBM, mengurangi subsidi BBM, menghindari penyelundupan BBM, dan menekan impor BBM, (5) meningkatkan pendapatan pajak melalui penurunan tingkat kebocoran penarikan pajak serta memperluas tax base (jumlah pembayar pajak), (6) Mengupayakan peningkatan kemampuan industri dalam negeri untuk mensuplai kebutuhan kelas menengah yang sedang tumbuh pesat, dan (7). Pemerintah membantu swasta untuk negosiasi ulang pinjaman jangka pendek swasta menjadi pinjaman jangka menengah /panjang, sehingga dapat mengurangi kebutuhan valas.

B. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan kesimpulan di atas, dalam rangka meminimalisir terjadinya defi sit kembar, serta mengurangi dampak defi sit kembar yang berkepanjangan, maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:

Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter yang

Besifat Jangka Pendek:

a. Dalam jangka pendek, dengan pendekatan kurva IS-LM, jalan keluar yang dapat ditempuh untuk

mengantisipasi dampak negatif dari twin defi sit adalah dengan menghidupkan kembali produksi dan pendapatan nasional melalui ekspansi fi skal yang didukung dengan kebijakan dari otoritas moneter dengan cara menciptkan kondisi keseimbangan sektor moneter yang lebih bersifat elastis (sehingga kurve LM semakin datar). Kebijakan penurunan pajak akan mengakibatkan peningkatan produksi yang lebih besar yang mendorong peningkatan pendapatan dan mengurangi defi sit fi skal dan defi sit perdagangan.

b. Perumusan kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan, dengan cara pemerintah membantu swasta untuk negosiasi ulang pinjaman jangka pendek swasta menjadi pinjaman jangka menengah /panjang, sehingga dapat mengurangi kebutuhan valas;

c. Kebijakan efi siensi fi skal dengan cara pengurangan pengeluaran pada kegiatan-kegiatan tidak produktif dan mengalihkannya pada pengeluaran untuk kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi biaya sosial akibat krisis ekonomi. PenghemataN fi skal ini dibarengi dengan kebijakan moneter yang bersifat pengetatan terhadap penggunaan valas.

d. Perumusan kebijakan kenaikan harga BBM, mengupayakan penghematan konsumsi BBM, mengurangi subsidi BBM, menghindari penyelundupan BBM, dan menekan impor BBM. Kebijakan pemerintah ini dibarengi dengan kebijakan dari otortas moneter yang bersifat penghematan dan pembatasan penggunaan Valas.

Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter yang

Besifat Jangka Menengah:

a. Kebijakan peningkatan kemampuan pengelolaan sektor publik dan swasta (termasuk sektor pariwisata yang diperkirakan cukup berpotensi dalam menghimpun devisa), kebijakan mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif,

b. Kebijakan peningkatan pendapatan pajak melalui penurunan tingkat kebocoran penarikan pajak serta memperluas tax base (jumlah pembayar pajak),

77Edisi 03/Tahun XIX/2013

yang menjerumuskan, serta dalam jangka panjang mengantisipasi dampak negatif dari twin defi sit

MAJALAH.indd Spread 12 of 44 - Pages(12, 77)MAJALAH.indd Spread 12 of 44 - Pages(12, 77) 31/12/2013 16:00:4931/12/2013 16:00:49

c. Kebijakan peningkatan kemampuan industri dalam negeri untuk mensuplai kebutuhan kelas menengah yang sedang tumbuh pesat, melalui percepatan upaya penguasaaan teknologi.

d. Perumusan kebijakan diversifi kasi negara tujuan Ekspor dan peningkatan ekspor barang bernilai tambah untuk meningkatkan nilai ekonomi

e. Koordinasi kebijakan fi skal melalui subsidi dalam menyerap resiko suatu gejolak terhadap perekonomian secara keseluruhan. Untuk praktik di Indonesia, konsep ini antara lain terkait dengan peran subsidi BBM dan pengelolaan pasokan kebutuhan pokok (horticultura). Untuk subsidi kebutuhan pokok, kajian untuk kasus di Indonesia berimplikasi pengelolaan terhadap distribusi dan pasokan kebutuhan pokok oleh pemerintah menjadi sangat penting artinya dalam pengendalian infl asi di Indonesia.

Daftar Pustaka

Anjum Aqeel and Mohammed Nishat, The Twin Defi cits Phenomenon: Evidence from Pakistan, The Pakistan Development Review 39 : 4 Part II (Winter 2000).

Anonim, Waspadai Jebakan “Twin Defi cit”, http://klikheadline.com/in/berita/waspadai-jebakan-twin-defi cit.html, diakses Mei 2013

Aviliani dan Iman Sugema dalam diskusi EC-Think. Avalibale at: http://www.metrotvnews.com/ metronews/read/2013/03/21/2/140365/Defisit-Kembar-Ancaman-Perekonomian-Indonesia

A. Tony Priantono, Defi sit Kembar, Kompas 18 Februari 2013 available at: http://psekp.ugm.ac.id/ artikel/id/13.

Baharumshah, A. Z., Lau, E., and Khalid, A. M., “Testing Twin Defi cits Hypothesis: Using VARs and Variance Decomposition”, University Putra Malaysia- Faculty of Economics and Management, 2004.

Bank Indonesia, Evaluasi Perekonomian Tahun 2012, Prospek 2013-2014, dan Kebijakan Bank Indonesia, Jakarta: Bank Indoensia, 2013.

Biro Pusat Statistik, Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Januari 2013, Berita Resmi Statistik No. 17/03/Th. XVI, 1 Maret 2013.

Biro Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik: Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia. Availabel at: http://www.bps.go.id/aboutus.php?news=1&nl=1.

Brian Ng, Twin Defi cits: An empirical analysis on the relationship between budget defi cits and trade defi cits in Argentina, USA: The College of New Jersey, 2007.

Fleegler, Ethan, The Twin Defi cits Revisited: A Cross-Country, Empirical Approach. Durham: Duke University, 2006.

Hossain, A dan A. Chowdurry, Open Economy Macroeconomics Macroeconomics for Developing Countries. Edwar Elgar Publishing Limited. Cheltenham, UK, 1998.

http://beritamoneter.com/defisit-kembar-lingkaran-setan-yang-menjerumuskan/

Iskandar Simorangkir, Peranan Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal terhadap Perekonomian Indonesia, dalam Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter: Tantangan ke Depan. Yogyakarta: Kanisius, 2012.

John Bluedron and Daniel Leigh, Revisiting the Twin Defi cit Hypothesis: The Eff ect of Fiscal Consolidation on the current Account, 2003.

Malahayati, Marrisa, Fenomena Twin Defi cit pada Negara-Negara Asean, Bogor: FEM-IPB, 2011.

Majed Bader, The Eff ect of the Twin Defi cits on the Foreign Debt In Jordan: an Econometrical Study, Jordan: Hashemite University, 2006.

Mankiw, Gregory, Macroeconomics fi fth edition. Worth Publisher, 2002.

Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, Jakarta: Kementerian Keuangan RI, 2013.

78 Edisi 03/Tahun XIX/2013

c. Kebijakan peningkatan kemampuan industri dalam Biro Pusat Statistik, Perkembangan Ekspor dan Impor 1. Pendahuluan

Salah satu isu utama di sektor energi saat ini adalah efi siensi pemanfaatan energi terkait dengan semakin meningkatnya harga energi dan dorongan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (green house gas emissions). Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang perlu lebih bijak dalam merespon isu tersebut. Hal ini mengingat bahwa konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat. Upaya untuk mengetahui hubungan sebab-akibat atau kausalitas (causality) diantara keduanya menjadi sangat penting. Arah (direction) dari hubungan kausalitas tersebut sangat menentukan kebijakan yang harus diambil. Sebagai contoh, apabila terdapat hubungan kausalitas dari konsumsi energi ke pertumbuhan ekonomi, maka kebijakan penghematan energi seharusnya tidak dilakukan karena dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian upaya untuk mengetahui hubungan kausalitas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang antara kedua variabel ekonomi tersebut sangat relevan untuk dilakukan.

Terkait kausalitas antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi, Chen et al. (2007) menyatakan empat kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, hubungan kausalitas satu arah (uni-directional causality) dari konsumsi energi listrik ke pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi bahwa keterbatasan penggunaan energi listrik dapat berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi. Kedua, hubungan kausalitas satu arah dari pertumbuhan ekonomi ke konsumsi energi listrik yang berarti bahwa pertumbuhan ekonomi akan mendorong pemakaian energi listrik dan juga upaya konservasi pemanfaatan energi listrik tidak akan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi. Ketiga, hubungan kausalitas timbal balik (bidirectional causality/feedback) yang berarti bahwa kedua variabel ekonomi tersebut saling terkait. Terakhir, tidak ada hubungan kausalitas (no causality) yang berarti bahwa konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi tidak berkorelasi atau kebijakan konservasi ataupun ekspansi dalam penyediaan energi listrik tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Mengingat hal tersebut di atas, tujuan dari studi ini adalah untuk menyelidiki kembali hubungan kausalitas

antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik di Indonesia dan mendiskusikan implikasi kebijakan yang ditimbulkan. Dengan demikian makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baru dalam literatur ekonomi energi di Indonesia terkait dengan masih terbatasnya penggunaan studi ekononometrika sebagai dasar formulasi kebijakan pembangunan bidang energi pada umumnya dan bidang ketenagalistrikan pada khususnya. Hal baru yang disajikan dalam studi ini adalah penggunaan data yang lebih terkini dengan periode yang lebih panjang dibandingkan dengan studi yang telah ada sebelumnya. Selain itu, menurut pengetahuan penulis, studi ini adalah yang pertama menggunakan metode Toda-Yamamoto untuk uji kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik di Indonesia sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pembanding atas literatur yang telah ada sebelumnya.

Selanjutnya, makalah ini disusun sebagai berikut. Bagian 1 berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang dan tujuan. Bagian 2 mengulas secara ringkas mengenai literatur yang telah ada, sedangkan Bagian 3 menjelaskan mengenai variabel dan data yang digunakan serta menerangkan mengenai metode yang digunakan. Bagian 4 melaporkan hasil estimasi. Terakhir, Bagian 5 menyajikan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan.

2. Studi Literatur

Terdapat dua kelompok pendapat mengenai hubungan antara energi dan pertumbuhan ekonomi. Kelompok pertama berpendapat bahwa energi hanya merupakan input antara dalam proses produksi. Diyakini bahwa meskipun sumber daya energi terbatas, ekonomi tetap dapat tumbuh karena pengaruh perkembangan teknologi dan penggunaan faktor-faktor produksi lainnya secara lebih efi sien termasuk diantaranya pemanfaatan energi terbarukan. Dengan kata lain kelompok ini mendukung neutrality hyphotesis atau conservation hyphotesis. Hipotesa tersebut berimplikasi bahwa keterbatasan ataupun hambatan atas suplai energi tidak akan menimbulkan dampak yang buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Sehingga pemerintah dapat secara simultan mengadopsi kebijakan konservasi energi dan pertumbuhan ekonomi.

11Edisi 03/Tahun XIX/2013

1. Pendahuluan antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi

MAJALAH.indd Spread 11 of 44 - Pages(78, 11)MAJALAH.indd Spread 11 of 44 - Pages(78, 11) 31/12/2013 16:00:4831/12/2013 16:00:48

Konsumsi Energi Listrik dan Konsumsi Energi Listrik dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia:

Aplikasi dan ModelAplikasi dan ModelYusuf Suryanto

Bappenas, IndonesiaEmail: [email protected]; [email protected]

Abstract

The purpose of this study is to investigate causal relationships between economic growth and electricity consumption in Indonesia. It uses time-series data spanning from 1971 to 2010. Vector autoregressive (VAR) model is used to understand the relationships. Using ADF and PP tests, it fi nds that the investigated variables are non stationary integrated order one or I(1). Engle-Granger cointegration as well as Johansen cointegration tests fail to reject not-cointegrated hypothesis. Finally, Granger non-causality methodology is employed and the results indicate that no causality between selected variables. Therefore, it can be concluded that economic growth does not support electricity consumption and vice versa. It implies that Indonesian government may impose conservation and economic growth polices simultaneously.

Tujuan dari studi ini adalah untuk menyelidiki hubungan sebab-akibat/kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik di Indonesia. Studi ini

menggunakan data time-series dari tahun 1971 sampai tahun 2010. Vector autoregressive (VAR) model digunakan untuk memahami hubungan dimaksud. Dengan menggunakan uji augmented dickey fuller (ADF) dan Phillips-Perron (PP), dan Kwiatkowski-Phillips-Schmidt-Shin (KPSS), studi ini menemukan bahwa variabel yang diselidiki adalah variabel non-stasioner terintegrasi orde 1 atau I(1). Uji Engle-Granger cointegration dan Johansen cointegration tidak dapat menolak not-cointegrated hypothesis. Terakhir, metode Granger non-causality digunakan dan hasilnya mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara variabel terpilih. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mendukung konsumsi energi listrik dan sebaliknya. Hal ini berimplikasi bahwa pemerintah dapat menempuh kebijakan conservation and economic growth secara simultan.

Keywords: konsumsi energi listrik, pertumbuhan ekonomi, vector autoregressive (VAR), kausalitas.

10 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Sachs, Jeff rey, and Felipe Larrain, “Macroeconomics in the Global Economy”, Harverter Wheatsheaf, New York, 1993.

Salvatore, D., Twin defi cits in the G-7 countries and global structural imbalances. Elsevier Journal of Policy Modeling, 2007.

Sri Adiningsih dan Laksmi Yustika Devi, Dinamika Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia, Yogyakarta: Kanisus, 2012.

Stanley Fischer and William Easterly, The Eeconomics of the Government Budget Constraint, The Worlbank Reserach Observer, Vol 2 No., 5, Juli 1990.

Tulus Tambunan, Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan Empiris, Jakarta: Putaka LP3ES, 2001.

Wijayanto Samirin, Defi sit Kembar: Lingkaran Setan Yang Menjerumuskan Availabel at: http://beritamoneter.com/defi sit-kembar-lingkaran-setan-yang-menjerumuskan/

World Bank, Country Page and Key Indicators:Vietnam. World Bank East Asia and Pasifi c Economic Update 2012, Volume 1, 2012.

World Economic Outlook (http://world-economic-outlook.fi ndthedata.org/compare/2583-2584/Indonesia-vs-Indonesia#/)

79Edisi 03/Tahun XIX/2013

Sachs, Jeff rey, and Felipe Larrain, “Macroeconomics in Tulus Tambunan, Perdagangan Internasional dan

MAJALAH.indd Spread 10 of 44 - Pages(10, 79)MAJALAH.indd Spread 10 of 44 - Pages(10, 79) 31/12/2013 16:00:4631/12/2013 16:00:46