116
STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) Jurusan Manajemen Dakwah (MD) SRI WAHYUNI 1105054 FAKULTAS DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010

STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/91/jtptiain-gdl... · STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN SKRIPSI

Embed Size (px)

Citation preview

STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI

MISIONARIS KRISTEN

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian PersyaratanMencapai Derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Jurusan Manajemen Dakwah (MD)

SRI WAHYUNI 1105054

FAKULTAS DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2010

ii

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 5 (eksemplar)Hal : Persetujuan Naskah

Skripsi Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang

Assalamualaikum Wr. Wb.Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya,maka kami menyatakan bahwa skripsi saudari :

Nama : Sri WahyuniNIM : 1105054Jurusan : DAKWAH /MDJudul Skripsi : STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM

MENGHADAPI MISIONARIS KRISTENDengan ini telah saya setujui dan mohon agar segera diujikan. Demikianatas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Semarang, Mei 2010 Pembimbing,

Bidang Substansi Materi Bidang Metodologi & Tatatulis

Drs. H. M. Zein Yusuf, MM Thohir Yuli Kusmanto, S.Sos., M.SiNIP. 195309091982031003 NIP. 197307101999031004

iii

SKRIPSISTRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI

MISIONARIS KRISTEN

Disusun oleh: Sri Wahyuni

1105054

Telah dipertahankan di depan Dewan PengujiPada tanggal: 21 Juni 2010

Dan dinyatakan telah lulus memenuhi syarat

Susunan Dewan Penguji

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Drs. H. Anasom, M.Hum Thohir Yuli Kusmanto,S.Sos., M.SiNIP. 19661225 199403 1004 NIP. 19730710 199903 1004

Penguji I Penguji II

Dr. H. Awaludin Pimay, Lc., M.Ag Saerozi, S.Ag. M.PdNIP. 19610727 200003 1001 NIP. 19710605 199803 1004

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. M. Zain Yusuf, MM Thohir Yuli Kusmanto,S.Sos., M.SiNIP. 19530909 198203 1003 NIP. 19730710 199903 1004

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja sayasendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untukmemperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembagapendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupunyang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dandaftar pustaka

Semarang, 14 Mei 2010

SRI WAHYUNI 1105054

v

MOTTO

) :(

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengancara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yanglebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yangmendapat petunjuk (Depag RI,1978: 421)

}{

Artinya: Tidak ada paksaan untuk agama; sesungguhnya telah jelasjalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itubarangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan berimankepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegangkepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S.al-Baqarah (2): 256) (Depag, 1986: 63).

vi

PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan mengarungi ilahi tanpa batas,dengan keringat dan air

mata kupersembahkan karya tulis ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan

berharap keridhaan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada

diruang dan waktu kehidupanku khususnya buat:

v Ayahanda Muchtar dan Ibunda Rusmiyati yang dengan tabah mengasuh

penulis mulai kecil sampai dewasa dan mencurahkan jiwa raganya. Dan

dengan kesabarannya membesarkan, mendidik penulis hingga seperti sekarang

ini, serta do'anya yang tak putus-putus sehingga penulis dapat melanjutkan

studi sampai ke perguruan tinggi dan semoga beliau tetap diberi kesehatan,

umur panjang dan selamat dunia dan akhirat.

v Kakakku tercinta Edi Hartanto, Anisah yang selalu memberikan support, baik

moral maupun material, sehingga terselesaikannya skripsi ini, dan Adikku

Dewi Rosmita Sari, Roy Andes Santoni dan keponakanku Evan Hardiansah,

M. Aldo Fikar Almansyah yang selalu memberikan warna dalam kehidupan

penulis serta memberikan inspirasi untuk terus berjuang dalam menggapai

cita-cita.

v Teman-teman satu kost Segaran Semarang No. 14, yang selalu

mendampingiku dalam suka dan duka dalam hidup dan kehidupan Kak

Dahlia, Suyati, Wati, Safi’ah, Zahro’ul, Ernik, Mahfudzoh, Asyiah yang selalu

memberikan support untuk menyelesaikan tugas akhir ini dengan lancar, do'a

penulis semoga amal baik kalian dibalas lebih oleh Allah SWT.

v Teman-teman satu kelas MD 2005, Nurul Khikmah, Dewi Thoharoh, Suyati,

Okta Laila, Siti Zulaikhah, Arifin, Bambang, Bowo, Dibyo, Khoirul tempat

berbagi suka maupun duka serta yang selalu memberikan suport dan

dukungan.

v Pendamping hidupku (M. Bagus Ibrahim) yang tidak pernah menyerah dalam

memberikan motivasi kepada penulis untuk menemukan arti dan tujuan

kehidupan, sehingga terselesaikannya skripsi ini.

vii

ABSTRAK

Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda nasionalbahkan internasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena masadepan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada sejauh mana keharmonisanhubungan antarumat beragama ini. Yang menjadi rumusan masalah yaitubagaimana pandangan M Natsir tentang dakwah? Bagaimana pandangan MNatsir tentang misionaris Kristen? Bagaimanakah strategi dakwah M. Natsirdalam menghadapi misionaris Kristen?Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode pengumpulan dataskripsi ini dengan teknik dokumentasi atau studi dokumenter. Data Primernyayaitu tulisan, informasi dari saksi-saksi sejarah, dan karya-karya M. Natsirtentang strategi dakwah dan misionaris Kristen, sedangkan data sekundernyayaitu sejumlah kepustakaan yang relevan dengan skripsi ini. Penulisan inimenggunakan metodologi analisis yang kualitatif.Hasil pembahasan skripsi adalah pandangan M Natsir tentang dakwah, bahwaM. Natsir secara maksimal telah berupaya menyampaikan materi dakwah.Dilihat dari segi isi dan sasaran dakwahnya, M. Natsir terkesan memilikikemampuan intelektual yang utuh. Artinya, ada keseimbangan secara utuhpesan dakwah yang disampaikan, baik dari dimensi spiritual maupun sosial.Dalam dimensi spiritual, M. Natsir banyak menggugah perasaan para objekdakwah dengan berbagai tulisan dan karya-karya ilmiah keagamaan.Sedangkan, dalam dimensi sosial, M. Natsir tidak ragu-ragu menyampaikanpesan dakwahnya yang berisikan kepentingan sosial, termasuk politik,ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Pada sisi ini, M. Natsir ingin menyadarkanumat bahwa Islam itu meliputi ajaran spiritual dan sosial. Pandangan MNatsir tentang misionaris Kristen, bahwa pandangan M. Natsir dalammenghadapi misionaris Kristen dikenal apa yang disebut konsep modusvivendi. Menurut M. Natsir modus vivendi adalah menciptakan kehidupanberdampingan secara damai. Modus vivendi M. Natsir tersebut dapat dipahamikarena umat Islam di Indonesia menginginkan hal-hal berikut. Pertama, antarapemeluk beragama di Indonesia ini supaya hidup berdampingan. Kedua, agarsemua agama di Indonesia merasakan arti hidup intern umat beragama denganpemerintah. Ketiga, terwujudnya perdamaian antara masyarakat yang berbedaagama. Keempat, menghindari terjadinya perang agama. Strategi dakwah M.Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen. M. Natsir mengetengahkan tigastrategi dakwah dalam mengimbangi berbagai upaya misionaris Kristen, yaitustrategi pertama adalah memperbanyak pembangunan masjid. Strategi yangkedua adalah pengiriman da'i ke daerah terpencil dan desa-desa yangberpotensi terpengaruh misionaris Kristen, dan strategi ketiga yaitumenerbitkan berbagai media cetak.

viii

KATA PENGANTARBismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq

dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM

MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN” ini, disusun untuk memenuhi

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S.1) Fakultas

Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan

saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat

terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A., selaku Rektor IAIN Walisongo

Semarang.

2. Bapak Drs. H. M. Zain Yusuf, MM. selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN

Walisongo Semarang.

3. Bapak Drs. H. M. Zain Yusuf, MM selaku Dosen pembimbing I dan Bapak

Thohir Yuli Kusmanto, S.Sos., M.Si selaku Dosen pembimbing II yang telah

bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan

dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Segenap Bapak, Ibu tenaga edukatif dan administratif Fakultas Dakwah IAIN

Walisongo Semarang yang telah memperlancar proses pembuatan skripsi ini.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai

kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Semarang, 14 Mei 2010

Penulis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING.......................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iv

HALAMAN MOTTO ................................................................................. v

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... vi

ABSTRAKSI............................................................................................... vii

KATA PENGANTAR................................................................................. viii

DAFTAR ISI ............................................................................................... ix

BAB I : PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang ....................................................................1

1.2.Perumusan Masalah ...................................................................10

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................10

1.4.Tinjauan Pustaka ....................................................................11

1.5.Metoda Penelitian ....................................................................16

1.6.Sistematika Penulisan ................................................................18

BAB II: DAKWAH, STRATEGI DAKWAH DAN MISIONARIS

2.1.Dakwah ....................................................................20

2.1.1. Konsep tentang Dakwah ..................................................20

2.1.2. Tujuan Dakwah ................................................................22

2.1.3. Unsur-Unsur Dakwah .......................................................24

2.2.Strategi ....................................................................41

2.2.1. Pengertian Strategi ...........................................................41

2.2.2. Strategi Dakwah ...............................................................43

2.3.Konsep Misionaris ....................................................................45

x

BAB III: STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI

MISIONARIS KRISTEN

3.1. Biografi M. Natsir, Pendidikan dan Karya-Karyanya................. 49

3.2. Strategi Dakwah M. Natsir dalam Menghadapi Misionaris

Kristen .............................................................. 53

3.2.1. Islam Memberantas Intoleransi Agama............................. 53

3.2.2. Strategi dalam Menghadapi Kegiatan Missi Kristen/

Katholik di Indonesia........................................................ 60

3.2.3. Keragaman Hidup antar Agama........................................ 65

3.2.4. Indonesia Jadi Sasaran Kristenisasi .................................. 67

BABIV: ANALISIS STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM

MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN

4.1. Pandangan M. Natsir Tentang Dakwah....................................74

4.2. Konsep Dakwah M.Natsir dalam menghadapi misionaris

Kristen........................................................................................... 81

4.3.Strategi Dakwah M. Natsir dalam menghadapi Misionaris

Kristen...........................................................................................96

BAB V : PENUTUP

5.1.Kesimpulan ....................................................................101

5.2.Saran-Saran ....................................................................102

5.3.Penutup ....................................................................102

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap pemeluk agama menginginkan agar agamanya banyak yang

memeluk, tidak terkecuali agama Kristen. Hanya saja para misionaris (utusan

penyebar injil) seringkali menggunakan cara-cara yang tidak terpuji yaitu

menyebarkan agama di kalangan orang yang non Kristen yaitu para pemeluk

agama Islam. Fenomena ini sangat menyinggung perasaan orang Islam

terlebih lagi para pemuka agama Islam termasuk di dalamnya para da'i.

Melihat kenyataan ini, para misionaris menganggap Islam tidak toleran,

sebaliknya kalangan pemeluk Islam menganggap justru Kristen yang tidak

toleran. Peristiwa ini terus berlangsung hingga munculnya berbagai

propaganda dan cara untuk menjadikan penganut Islam keluar dari agamanya.

Hal itu dilakukan bisa dalam bentuk yang halus dan tak kentara sampai bentuk

yang terang-terangan. Persoalan ini yang menjadi salah satu pemicu timbulnya

saling curiga antara agama yang melibatkan kecurigaan para pemeluknya serta

menimbulkan berbagai hujatan yang dialamatkan pada para misionaris

Kristen. Dari kecurigaan tersebut, maka peristiwa pertikaian, peledakkan bom

di beberapa gereja memunculkan sebuah asumsi yang dikembangkan oleh

sebagian para misionaris sebagai kelakuan orang Islam yang benci terhadap

keberadaan umat Kristen di Indonesia. Padahal Islam bukan agama kekerasan

dan tidak ada dalam ajarannya yang memerintahkan pengeboman karena

2

hanya lantaran perbedaan agama. Dari sini tampaknya umat Kristiani telah

membuat penilaian yang keliru

Berbagai peristiwa yang mengagetkan hampir mewarnai media cetak

dan elektronika. Dalam Harian Kompas (2006: 6) diberitakan bahwa beberapa

tempat obyek wisata seperti Bali dan tempat ibadah luluh lantak oleh bom

yang dijatuhkan sekelompok orang yang disebut teroris. Banyak kejadian jika

ditelusuri lebih jauh dan mendalam merupakan "simbol-simbol" dari apa yang

selama ini telah dilakukan dalam bermasyarakat.

Masyarakat beragama sering diguncang dengan banyaknya peristiwa

yang sentimentil, rasial, dan agama dengan upaya-upaya mengail di "air

keruh" sehingga tampaknya bermuatan keagamaan. Peristiwa yang sama

sekali bukan bermuara agama, berubah menjadi peristiwa yang sarat dengan

sentimen-sentimen keagamaan, sehingga tidak jarang membuyarkan anganan

bahwa agama adalah pembawa damai dan keselamatan bersama. Agama

menjadi semacam ancaman yang bisa dengan tiba-tiba datang memberangus

kehidupan bersama di bumi ini.

Fenomena di masyarakat telah menampakkan adanya serangkaian aksi

teroris yang meledakkan bom di beberapa tempat dan melukai orang-yang

tidak bersalah telah memicu kecemasan bangsa Indonesia. Padahal ajaran

agama melarang keras membunuh orang yang tidak bersalah dan tidak

memerangi. Namun kenyataan menunjukkan adanya keyakinan yang keliru

dari para teroris dalam memperjuangkan konsep jihad. Fenomena pengeboman

ini telah memicu antipati bagi kelompok agama yang kebetulan tempat

3

ibadahnya rusak dalam sekejap akibat pengeboman (Harahap dan Nasution,

2003: 320).

Islam memberikan perlindungan terhadap pemeluk-pemeluk agama

lain yang ingin hidup secara damai dalam masyarakat atau pemerintahan yang

dikuasai oleh kaum Muslimin. Mereka diperlakukan dengan cara yang baik

dan adil, seperti yang berlaku terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani di

zaman pemerintahan Rasulullah di Madinah. Orang-orang Yahudi dan Nasrani

itu diberikan kebebasan menjalankan agamanya seperti kebebasan yang

diberikan kepada orang-orang Islam sendiri. Hak-hak mereka dilindungi dan

dijamin dalam suatu bentuk perjanjian. Menurut hukum antar-golongan dalam

Islam, mereka itu dinamakan kaum Zimmi, yaitu orang-orang yang mendapat

jaminan, perlindungan dari masyarakat Islam (Ghazali, 2005: 55).

Islam merupakan agama yang paling toleran, Islam tidak

membenarkan meng-klaim agama lain tidak benar tetapi dalam kenyataannya

banyak peristiwa perpecahan antar agama yang dipicu oleh keyakinan yang

keliru terhadap agama, dengan klaim agamaku sebagai agama yang paling

benar (Ma'arif, 2005: 36). Kaum Muslimin diikat oleh suatu peraturan supaya

hidup bertetangga dan bersahabat dengan orang-orang yang memeluk agama

lain itu. Hak-hak mereka tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dilanggar

undang-undang perjanjian itu. Apabila orang-orang yang memeluk agama lain

itu memajukan suatu pengaduan atau perkara, maka pengaduan itu wajib

diperiksa dan ditimbang secara adil. Umat Islam dilarang menganiaya,

mengusik, mengganggu dan menghina pemeluk-pemeluk agama lain dan

4

dilarang menahan dan merampas hak-milik mereka (Harahap dan Nasution,

2003: 321).

Agama dalam kehidupan masyarakat majemuk selain dapat berperan

sebagai faktor pemersatu (integratif) juga sebagai faktor pemecah

(disintegratif). Fenomena ini banyak ditentukan oleh empat hal: (1) Teologi

agama dan doktrin ajarannya, (2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam

memahami dan menghayati agama tersebut, (3) lingkungan sosio-kultural

yang mengelilinginya, (4) peranan dan pengaruh pemuka agama tersebut

dalam mengarahkan pengikutnya (Harahap dan Nasution, 2003: 320 – 322).

Dalam sejarah Islam, toleransi dalam kehidupan beragama telah

dipraktikkan. Salah satu yang sangat menonjol ialah "Piagam Madinah" yang

disusun oleh Rasulullah, sesaat setelah berhijrah dari Madinah ke Mekah dan

pimpinan agama lain. Piagam Madinah itu semacam deklarasi damai

antarumat beragama. Demikian pula ketika Umar bin Khattab memimpin

pemerintahan tahun 15 Hijriah mengadakan perjanjian terhadap penduduk

yang beragama Nasrani Yerusalem, ketika kawasan itu dibebaskan. Dalam

perjanjian itu antara lain disebutkan jaminan untuk jiwa dan harta mereka, dan

untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta yang dalam keadaan sakit

ataupun sehat dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Bahkan jauh hari

Al-Qur'an telah mensinyalir akan muncul bentuk klaim kebenaran, baik dalam

wilayah intern umat beragama maupun antarumat beragama. Kedua-duanya

sama-sama tidak menyenangkan dan tidak kondusif bagi upaya membangun

tata pergaulan masyarakat yang sehat (Harian Suara Merdeka, 2006: 9).

5

Islam mengakui hak hidup agama-agama lain, dan membenarkan para

pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masing.

Di sini, terdapat dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama. Toleransi

tidak diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap agamanya, atau bahkan

tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakininya itu. Oleh

karena itu, setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk

menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus

berpegang teguh pada etika dan tata krama sosial, serta tetap menghargai hak-

hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara

sukarela. Sebab, pada hakikatnya hanya di tangan Tuhanlah pengadilan atau

penilaian sejati akan dilaksanakan. Pengakuan akan adanya kebenaran yang

dianut memang harus dipertahankan. Tetapi, pengakuan itu harus memberi

tempat pula pada agama lain sebagai sebuah kebenaran yang diakui secara

mutlak oleh para pemeluknya (Ghazali, 2005: 55-58).

Islam merupakan agama termuda dalam tradisi Ibrahimi (artinya Islam

lahir belakangan dibandingkan agama semisal Yahudi dan Kristen).

Pemahaman diri Islam sejak kelahirannya pada abad ke-7 sudah melibatkan

unsur kritis pluralisme, yaitu hubungan Islam dengan agama lain. Melacak

akar-akar pluralisme dalam Islam, berarti ingin menunjukkan bahwa agama

Islam bisa mengungkap diri dalam suatu dunia agama pluralistis. Islam

mengakui dan menilainya secara kritis, tapi tidak pernah menolaknya atau

menganggapnya salah. Sejak kelahirannya, memang Islam sudah berada di

tengah-tengah budaya dan agama-agama lain. Nabi Muhammad Saw ketika

6

menyiarkan agama Islam sudah mengenal banyak agama semisal Yahudi dan

Kristen. Di dalam Al-Qur'an pun banyak ditemukan rekaman kontak Islam

serta kaum muslimin dengan komunitas-komunitas agama yang ada di sana.

Perdagangan yang dilakukan bangsa Arab pada waktu itu ke Syam, Irak,

Yaman, dan Etiopia, dan posisi kota Mekah sebagai pusat transit perdagangan

yang menghubungkan daerah-daerah di sekeliling jazirah Arab membuat

budaya Bizantium, Persia, Mesir, dan Etiopia, menjadikan agama-agama yang

ada di wilayah Timur Tengah dan sekitarnya, tidak asing lagi bagi Nabi

Muhammad Saw (Ma'arif, 2005: 36-38).

Pandangan tentang manusia memiliki akar-akarnya dalam setiap segi

ajaran Islam. Bahkan Islam itu sendiri adalah agama kemanusiaan, dalam arti

bahwa ajaran-ajarannya sejalan dengan kecenderungan alami manusia

menurut fitrahnya yang abadi (perennial). Karena itu seruan untuk menerima

agama yang benar itu dikaitkan dengan fitrah tersebut, sebagaimana dapat kita

baca dalam Kitab Suci al-Qur'an surat a-Baqarah (2) ayat 256 :

}{

Artinya: Tidak ada paksaan untuk agama; sesungguhnya telah jelasjalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itubarangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan berimankepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegangkepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. DanAllah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah (2): 256) (Depag, 1986: 63).

7

Jadi menerima agama yang benar tidak boleh karena terpaksa. Agama

itu harus diterima sebagai kelanjutan atau konsistensi hakikat kemanusiaan itu

sendiri. Dengan kata lain, beragama yang benar harus merupakan kewajaran

manusiawi. Cukuplah sebagai indikasi bahwa suatu agama atau kepercayaan

tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan

naluri kemanusiaan yang suci. Karena itu dalam firman yang dikutip tersebut

ada penegasan bahwa kecenderungan alami manusia kepada kebenaran

(hanifiyah) sesuai dengan kejadian asalnya yang suci (fitrah) merupakan

agama yang benar, yang kebanyakan manusia tidak menyadari (Madjid, 2000:

24).

Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda

nasional bahkan internasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena

masa depan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada sejauh mana

keharmonisan hubungan antarumat beragama ini. Kegagalan dalam

merealisasikan agenda ini akan mengantarkan suatu bangsa pada trauma

terpecah belahnya sebagai bangsa (Shihab, 1988: 133). Dalam Al-Qur’an surat

al-Mumtahanah (60) ayat 8 Allah SWT berfirman:

) :(

Artinya:Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlakuadil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karenaagama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.

8

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil(Q.S. al-Mumtahanah (60): ayat 8) (Depag, 1986: 924).

Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa umat Islam tidak memusuhi

umat beragama lain, khususnya Kristen. Sebaliknya para misionaris Kristen

juga harus menjaga etika dalam menyebarkan agamanya. Para misionaris

jangan seenaknya menyebarkan agama dan menarik-narik orang Islam masuk

kedalam agamanya. Atas dasar itu dapat dimengerti jika M. Natsir menaruh

perhatian khusus terhadap kristenisasi di Indonesia. Perhatian khusus ini

dituangkan dalam bentuk konkrit dengan melakukan tiga upaya besar, sebagai

strategi dakwah yaitu (1) mengirimkan tenaga dai Dewan Dakwah Islamiyah

Indonesia (DDII) ke pelosok daerah dengan salah satu tugasnya membendung

kristenisasi; (2) menulis karya ilmiah yang monumental yaitu, Islam dan

Kristen di Indonesia; (3) mengirim surat kepada Paus Yohanes Paus II di

Vatikan dengan permohonan agar membuka mata , memperhatikan

kristenisasi yang tengah digencarkan di negara Republik Indonesia dengan

penduduk mayoritas muslim. M. Natsir menyoroti kristenisasi di Indonesia ini

pada tiga hal utama, yaitu (1) kristenisasi itu sendiri; (2) diakonia pelayanan

yang berkedok sosial); (3) modus vivendi (metode yang memungkinkan antara

kedua belah pihak yang bersengketa untuk dapat hidup berdampingan dalam

sementara waktu dengan jalan menahan nafsu masing-masing, persetujuan

sementara, jalan tengah)

M. Natsir sangat memahami bahwa untuk membendung kristenisasi

harus menggunakan strategi dakwah karena dakwah demikian penting untuk

memperkokoh akidah umat Islam. Urgensi dakwah yaitu dakwah dapat

9

memperjelas dan memberi penerangan pada mad'u tentang bagaimana sikap

umat Islam dalam beragama. Dengan adanya dakwah maka kekeliruan dalam

memaknai agama dapat dikurangi.

Pada waktu M. Natsir hidup ada suatu fenomena yaitu misionaris

dengan gencar memperluas ajaran kristenisasi di kalangan umat Islam.

Misionaris melakukan proses penginjilan dengan berbagai cara. Di antaranya,

pertama, melalui semboyan cinta kasih mendatangi rumah umat Islam, dari

rumah kerumah dijalani proses penginjilan; kedua, dengan memberi supermi

dan beras merayu umat Islam agar memasuki ajarannya; ketiga, dengan

semboyan menolong, para misionaris mencari umat Islam yang sedang terjepit

utang lalu misionaris mengulur tangan membantu membayarkan hutang.

Kondisi yang riskan ini mendorong M. Natsir merancang strategi dakwah

untuk membendung upaya-upaya yang sedang ditempih misionaris.

Menariknya meneliti konsep M. Natsir yaitu karena ia merupakan

salah seorang putra Indonesia yang dikenal sebagai birokrat, politisi dan juga

sebagai dai ternama. Sebagai birokrat, M. Natsir pernah menduduki dua

jabatan penting, yaitu menteri penerangan dalam Kabinet Syahrir dan perdana

menteri pertama pada masa pemerintahan Soekarno. Sebagai politisi, M.

Natsir telah menduduki jabatan puncak partai Islam terbesar, yaitu Masyumi

dan pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Adapun sebagai

seorang dai ternama, M. Natsir pernah menduduki jabatan sebagai Wakil

Presiden Muktamar Alam Islami sekaligus juga sebagai tokoh puncak

10

Rabithah Alam Islami, serta menjadi Ketua Dewan Dakwah Islamiyah

Indonesia sejak tahun 1967 sampai wafatnya tahun 1993.

Berdasarkan keterangan tersebut, mendorong peneliti memilih judul

Strategi Dakwah M. Natsir dalam Menghadapi Misionaris Kristen.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara

tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya

(Suriasumantri, 1993: 312). Berdasarkan keterangan ini maka yang menjadi

perumusan masalah yaitu

1.2.1. Bagaimana pandangan M Natsir tentang dakwah?

1.2.2. Bagaimana pandangan M Natsir tentang misionaris Kristen?

1.2.3. Bagaimanakah strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi

misionaris Kristen?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan penelitian ini:

1.3.1.1. Untuk mengetahui pandangan M Natsir tentang dakwah

1.3.1.2. Untuk mengetahui pandangan M Natsir tentang misionaris

Kristen

1.3.1.3. Untuk mengetahui strategi dakwah M. Natsir dalam

menghadapi misionaris Kristen

1.3.2 Manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua segi:

1.3.2.1 Secara teoritis, yaitu untuk menambah pengembangan ilmu

Fakultas Dakwah khususnya jurusan Manajemen Dakwah,

11

dengan harapan dapat dijadikan salah satu bahan studi banding

oleh peneliti lainnya.

1.3.2.2 Secara praktis yaitu dapat dijadikan masukan pada umat Islam

dan umat Kristen dalam menyebarkan agama.

1.4 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa skripsi dan beberapa buku yang membahas masalah

strategi dakwah, namun belum ada yang membahas secara khusus pendapat

M. Natsir dalam hubungannya dengan misionaris Kristen. Di antara karya

ilmiah yang membahas secara umum sebagai berikut:

1. Skripsi yang disusun oleh Tri Sulis Setiyaningsih (Tahun 2006),

Fanatisme dan Toleransi Beragama Menurut Yusuf al-Qardhawi. Yang

menjadi rumusan masalah dalam penelitian di atas adalah bagaimana

fanatisme dan toleransi beragama menurut Yusuf al-Qardhawi dalam buku

Kebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju Kematangan.

Metode penelitian ini menggunakan hermeneutik. Hasil penelitian

menunjukkan, dalam hubungannya dengan toleransi, Yusuf Al-Qardawi

menegaskan: tak bisa dipungkiri, kita memerlukan sikap toleran yang

membuka jendela bagi pihak lain, dan tidak memusuhi mereka yang

berbeda. Yaitu, berupa toleransi agama, toleransi pemikiran, serta toleransi

politik, yang melapangkan semua manusia sekalipun mereka berbeda satu

dengan yang lain. Toleransi Agama, teks-teks agama yang agung

mewajibkan toleransi tersebut, khususnya toleransi agama, bahkan, agama

memerintahkan dan menganjurkannya. Di antara bidang garapan toleransi

12

agama ini ialah; penerimaan dialog Islam-Kristen, selama jelas tujuan-

tujuannya, gamblang pengertiannya, dan kaum muslimin yang terlibat

dalam dialog tersebut merupakan orang-orang yang memiliki kapasitas

keagamaan dan keilmuan yang memadai. Terlebih dahulu, harus memiliki

kesepakatan tentang tujuan dialog semacam ini. Banyak kaum muslimin

takut menghadapi dialog dengan orang-orang yang berbeda (pendapat dan

keyakinan). Seolah-olah mereka khawatir dialog tersebut akan

menyebabkan pihak muslim menarik diri dari akidah, syari'at, serta nilai-

nilainya. Hal semacam ini tak bisa dibayangkan muncul dari seorang

muslim yang benar keislamannya, kuat imannya, rela menjadikan Allah

sebagai Tuhan, menjadikan Islam sebagai agama, dan menjadikan

Muhammad sebagai Nabi serta Rasul.

2. Skripsi yang disusun oleh Sulistiyono (Tahun 2005), Studi Analisis

Pendapat Jalaluddin Rakhmat tentang Konsep Dakwah Islam dalam

Pendidikan. Pada intinya dijelaskan bahwa bentuk-bentuk dakwah Islam

dalam pendidikan dapat ditarik dari dua ayat Al-Quran yang berkenaan

dengan tugas Nabi s.a.w. sebagai da'i:

"Orang-orang yang mengikuti Nabi yang ummi, yang namanyamereka temukan termaktub dalam Taurat dan Injil di sisi mereka:memerintahkan yang ma'ruf, melarang yang munkar, menghalalkanyang baik, mengharamkan yang jelek, dan melepaskan beban darimereka dan belenggu-belenggu yang (memasung) mereka. Makabarangsiapa beriman kepadanya, memuliakannya, membantunya, sertamengikuti cahaya yang diturunkan besertanya, mereka itulah orang-orang yang berbahagia." (QS. 7:157)."Sesungguhnya, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orangyang beriman, ketika la mengutus di tengah mereka Rasul darikalangan mereka sendiri, (yang) membacakan ayat-ayat-Nya kepadamereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-

13

Kitab dan al-Hikmah, walaupun mereka sebelumnya berada dalamkesesatan yang nyata." (QS. 3:164; 2:129; 62:2).

Dari ayat pertama kita melihat ada tiga bentuk dakwah: amar

ma'ruf nahi munkar, menjelaskan tentang yang halal dan haram (syariat

Islam), meringankan beban penderitaan, dan melepaskan umat dari

belenggu-belenggu. Dari ayat kedua kita melihat ada tiga bentuk dakwah:

tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (menyucikan diri

mereka), dan ta'lim (mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah). Seperti akan

saya jelaskan nanti, amar ma'ruf dan nahi munkar dapat dimasukkan

dalam tazkiyah, dan menjelaskan yang halal dan haram, termasuk ta'lim.

Dengan demikian, dakwah Islam dapat disimpulkan dengan empat bentuk:

tilawah, tazkiyah, ta'lim, dan ishlah (yang saya pakai untuk meringkaskan

pengertian tentang "melepaskan beban dan belenggu-belenggu".

3. Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Tahun

2001). Menurut penulis buku ini bahwa pada era globalisasi masa kini,

umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak

terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme

agama, konflik intern atau antar agama, adalah fenomena nyata. Di masa

lampau kehidupan keagamaan relatif lebih tentram karena umat-umat

beragama bagaikan kamp-kamp yang terisolasi dari tantangan-tantangan

dunia luar. Sebaliknya, masa kini tidak sedikit pertanyaan kritis yang harus

ditanggapi oleh umat beragama yang dapat diklasifikasikan rancu dan

merisaukan. Pluralitas merupakan kondisi obyektif dalam suatu

masyarakat yang terdapat sejumlah group saling berbeda, baik strata

14

ekonomi, ideologi, keimanan (agama), maupun latar belakang etnis.

Sedangkan isme artinya paham, pemahaman atau memahami. Dari

pengertian ini dapat dipahami bahwa pluralisms adalah paham yang

menyadari suatu kenyataan tentang adanya kemajemukan, keragaman

sebagai sebuah keniscayaan, sekaligus ikut secara aktif memberikan

makna signifikansinya dalam konteks pembinaan dan perwujudan

kehidupan berbangsa dan bernegara serta beragama. Dalam kehidupan

modern, masalah pluralisme dapat dikatakan sebagai agenda kemanusiaan

yang perlu mendapat perhatian dan respon secara aktif dan konstruktif dari

para pemikiran dan cendekiawan. Dikatakan demikian, karena

bagaimanapun pluralisme merupakan kenyataan sosiologis yang tidak

dapat dihindari. la merupakan bagian dari sunnatullah, sebagai kenyataan

yang telah menjadi ketentuan Tuhan. Pemahaman seperti ini sangat

dibutuhkan dalam segala perilaku kehidupan, termasuk dalam membangun

harkat dan martabat manusia.

4. Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Toleransi Agama

(2004: 167). Toleransi beragama di Indonesia dikembangkan melalui

berbagai cara, di antaranya melalui dialog karena dialog selalu bermakna

menemukan bahasa yang sama, tetapi bahasa bersama ini diekspresikan

dengan kata-kata yang berbeda. Dialog didefinisikan sebagai pertukaran

ide yang diformulasikan dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu,

setiap usaha mendominasi pihak lain harus dicegah; kebenaran satu pihak

tidak berarti ketidakbenaran di pihak lain. Bahasa bersama lebih dari

15

sekadar kemiripan pembahasan; dia berdasarkan kesadaran akan masalah

bersama, kita butuh alat untuk mencapai landasan bersama (Ghazali, 2004:

167). Akhir-akhir ini wacana tentang toleransi beragama, dialog antar

agama, pluralitas agama dan masalah-masalah yang mengitarinya semakin

menguat dan muncul ke permukaan. Buku-buku, tulisan- tulisan media

massa, dan acara-acara seminar, kongres, simposium, diskusi, dialog

seputar hubungan antarumat beragama semakin sering disaksikan dalam

berbagai tingkat, baik lokal, nasional, maupun internasional.

Kecenderungan menguatnya perbincangan seputar pluralitas agama dan

hubungan antarumat beragama ini akan semakin kuat di masa-masa

mendatang dan tidak akan pernah mengalami masa kadaluarsa. Sebab

topik ini adalah topik yang selalu aktual dan menarik bagi siapa pun yang

mencita-citakan terwujudnya perdamaian di bumi ini.

5. Achmad (2001: ix). Toleransi Agama Kerukunan dalam Keragaman.

Banyak hal yang melatarbelakangi mengapa wacana ini semakin marak.

Di antaranya: pertama, perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua

agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dan

perdamaian dalam kehidupan umat manusia. Kedua, wacana agama yang

pluralis, toleran, dan inklusif merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran

agama itu sendiri. Sebab pluralitas apa pun, termasuk pluralitas agama,

dan semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan atau

sunnatullah yang tidak bisa diubah, dihalang-halangi, dan ditutup-tutupi.

Oleh karena itu, wacana pluralitas ini perlu dikembangkan lebih lanjut di

16

masyarakat luas. Hal ini bukan untuk siapa-siapa, melainkan demi cita-cita

agama itu sendiri, yaitu kehidupan yang penuh kasih dan sayang

antarsesama umat manusia. Ketiga, ada kesenjangan yang jauh antara cita-

cita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan umat beragama di

tengah masyarakat. Keempat, semakin menguatnya kecenderungan

eksklusivisme dan intoleransi di sebagian umat beragama yang pada

gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel

agama. Kelima, perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalah-

masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antarumat

beragama. Beberapa latar belakang di atas menjadi sebab mengapa tema

pluralitas agama dan cita-cita kerukunan menjadi semakin menarik untuk

dikaji dan didalami.

Karya-karya ilmiah sebagaimana disebutkan terdahulu belum ada yang

membahas Strategi Dakwah M. Natsir dalam Menghadapi Misionaris

Kristen.

1.5 Metoda Penelitian

1.5.1. Jenis, Pendekatan, dan Spesifikasi Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yakni

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati

(Moleong, 2002: 3). Jenis penelitian kualitatif yang dipakai adalah

studi pustaka dan tokoh.

17

Penulisan ini menggunakan metodologi analisis yang

kualitatif. Dalam studi tokoh ini data dianalisis secara induktif

berdasarkan data langsung dari subyek penelitian (Fuchan, Maimun,

2005: 59 – 61). Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan

manajemen. Pendekatan ini diupayakan dengan menggunakan

pemikiran secara mendalam dengan memahami substansi strategi

dakwah M. Natsir.

Metode ini menguraikan dan menjelaskan strategi dakwah M.

Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen.

1.5.2. Sumber Data

a. Data primer yaitu tulisan, informasi dari saksi-saksi sejarah, dan

karya-karya M. Natsir tentang strategi dakwah dan misionaris

Kristen

b. Data sekunder yaitu dokumen-dokumen, notulis, foto-foto dan

tulisan tentang M. Natsir (internet, jurnal-jurnal, surat kabar dan

lain-lain).

1.5.3. Metode Pengumpulan Data

Menurut Sumadi Suryabrata (1992: 84), kualitas data

ditentukan oleh kualitas alat pengambil data atau alat pengukurnya.

Berpijak dari keterangan tersebut, peneliti menggunakan teknik

dokumentasi atau studi dokumenter yang menurut Arikunto (2002:

206) yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa

catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,

18

agenda, dan sebagainya Yang dimaksud dokumentasi dalam tulisan

ini yaitu sejumlah data yang terdiri dari data primer dan sekunder.

1.5.4. Teknik Analisis Data

Penulisan ini menggunakan metodologi analisis yang

kualitatif. Dalam studi tokoh ini data dianalisis secara induktif

berdasarkan data langsung dari subyek penelitian. Oleh karena itu

pengumpulan dan analisis data dilakukan secara bersamaan, bukan

terpisah sebagaimana penelitian kuantitatif di mana data dikumpulkan

terlebih dahulu, baru kemudian dianalisis. Analisis data kualitatif

dalam studi tokoh ini dilakukan melalui langkah-langkah sebagai

berikut: menemukan pola atau tema tertentu. Artinya peneliti berusaha

menangkap karakteristik konsep Natsir dengan cara menata dan

melihatnya berdasarkan dimensi suatu bidang keilmuan sehingga

dapat ditemukan pola atau tema tertentu. Mencari hubungan logis

antar konsep Natsir dalam berbagai bidang, sehingga dapat ditemukan

alasan mengenai pemikiran tersebut. Di samping itu, peneliti juga

berupaya untuk menentukan arti di balik pemikiran tersebut

berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang mengitarinya.

Mengklasifikasikan dalam arti membuat pengelompokan konsep

Natsir sehingga dapat dikelompokkan ke dalam berbagai aspek

(Fuchan, Maimun, 2005: 59 – 61)

19

1.6 Sistematika Penulisan

Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka

penelitian disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang

satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian

rupa sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini.

Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

kerangka teoritik, metoda penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi tinjauan umum tentang strategi dakwah yang

meliputi: Tentang Dakwah (pengertian dakwah, tujuan dakwah, unsur-unsur

dakwah). Strategi dakwah (batasan strategi, strategi dakwah, misionaris)

Bab ketiga berisi strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi

misionaris Kristen yang meliputi: biografi M. Natsir, pendidikan dan karya-

karyanya. Strategi dakwah M. Natsir dakwah dalam menghadapi misionaris

Kristen

Bab keempat berisi analisis strategi dakwah M. Natsir dalam

menghadapi misionaris Kristen, meliputi: Pandangan M. Natsir tentang

dakwah, konsep dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen dan

strategi dakwah M Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen

Bab kelima merupakan penutup berisi kesimpulan dan saran-saran

yang layak dikemukakan.

20

BAB II

DAKWAH, STRATEGI DAKWAH DAN MISIONARIS

2.1 Dakwah

2.1.1 Konsep tentang Dakwah

Kata da'wah ( ) secara harfiyah bisa diterjemahkan menjadi:

"seruan, ajakan, panggilan, undangan, pembelaan, permohonan (do'a)

(Pimay, 2005: 13). Sedangkan secara terminologi, banyak pendapat

tentang definisi dakwah, antara lain: Ya'qub (1973: 9), dakwah adalah

mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti

petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Menurut Anshari (1993: 11), dakwah

adalah semua aktifitas manusia muslim di dalam berusaha merubah

situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT dengan

disertai kesadaran dan tanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri,

orang lain, dan terhadap Allah SWT. Umar (1985: 1), dakwah adalah

mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar

sesuai dengan perintah Tuhan, untuk kemaslahatan dan kebahagiaan

mereka di dunia dan di akhirat.

Umary (1980: 52), dakwah adalah mengajak orang kepada

kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh

kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang. Sanusi (t.th: 11),

dakwah adalah usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat,

memperbaiki kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan,

21

kemaksiatan dan ketidak wajaran dalam masyarakat. Dengan demikian,

dakwah berarti memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar,

memenangkan yang hak atas yang batil. Esensi dakwah adalah terletak

pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap

orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi

untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru

dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 1).

Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu

proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban

dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan

Allah, dan secara bertahap menuju perikehidupan yang Islami

(Hafidhuddin, 2000: 77). Dakwah adalah setiap usaha rekonstruksi

masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi

masyarakat yang Islami (Rais, 1999: 25). Oleh karena itu Zahrah (1994:

32) menegaskan bahwa dakwah Islamiah itu diawali dengan amr ma'ruf

dan nahy munkar, maka tidak ada penafsiran logis lain lagi mengenai

makna amr ma'ruf kecuali mengesakan Allah secara sempurna, yakni

mengesakan pada zat sifatNya. Lebih jauh dari itu, pada hakikatnya

dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang

dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam

bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk

mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia

pada dataran kenyataan individual dan sosio kultural dalam rangka

22

mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan

dengan menggunakan cara tertentu (Achmad, , 1983: 2).

Keaneka ragaman pendapat para ahli seperti tersebut tersebut

meskipun terdapat kesamaan ataupun perbedaan-perbedaan namun bila

dikaji dan disimpulkan maka dakwah akan mencerminkan hal-hal

seperti berikut: pertama, dakwah adalah suatu usaha atau proses yang

diselenggarakan dengan sadar dan terencana; kedua, usaha yang

dilakukan adalah mengajak umat manusia ke jalan Allah, memperbaiki

situasi yang lebih baik (dakwah bersifat pembinaan dan pengembangan);

ketiga, usaha tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu,

yakni hidup bahagia sejahtera di dunia ataupun di akhirat.

2.1.2 Tujuan Dakwah

Barmawie Umary (1984: 55) merumuskan, tujuan dakwah

adalah memenuhi perintah Allah Swt dan melanjutkan tersiarnya syari'at

Islam secara merata. Dakwah bertujuan untuk mengubah sikap mental

dan tingkah laku manusia yang kurang baik menjadi lebih baik atau

meningkatkan kualitas iman dan Islam seseorang secara sadar dan

timbul dari kemauannya sendiri tanpa merasa terpaksa oleh apa dan

siapa pun.

Salah satu tugas pokok dari Rasulullah adalah membawa amanah

suci berupa menyempurnakan akhlak yang mulia bagi manusia. Dan

akhlak yang dimaksudkan ini tidak lain adalah al-Qur'an itu sendiri sebab

hanya kepada al-Qur'an-lah setiap pribadi muslim itu akan berpedoman.

23

Atas dasar ini tujuan dakwah secara luas, dengan sendirinya adalah

menegakkan ajaran Islam kepada setiap insan baik individu maupun

masyarakat, sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu perbuatan

sesuai dengan ajaran tersebut (Tasmara, 1997: 47).

Secara umum tujuan dakwah dalam al-Qur'an menurut Aziz

(2004: 68) adalah :

1. Agar manusia mendapat ampunan dan menghindarkan azab dari Allah.

) ... :(Artinya: Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada

iman) agar Engkau mengampuni mereka ... (QS Nuh: 7)(Depag RI,1978: 978).

2. Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.

)(

Artinya: Orang-orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka,bergembira dengan kitab yang telah diturunkan kepadamu,dan di antara golongan-golongan Yahudi Jang bersekutu adayang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: "Sesungguhnyaaku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidakmempersekutukan sesuatu dengan Dia. Hanya kepada-Nyaaku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". (QS.ar Ra'd: 36) (Depag RI,1978: 375).

3. Untuk menegakkan agama dan tidak terpecah-belah.

24

)... : (Artinya: Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah

diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kamiwahyukan kepadamu dan apa Jang telah Kami wasiatkankepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama danjanganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagiorang-orang musyrik agama yang kamu seru merekakepadanya..." (QS Asy Syura: 13) (Depag RI,1978: 786).

4. Mengajak dan menuntun ke jalan yang lurus.

): (Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka ke jalan

yang lurus. (QS. al-Mukminun: 73) (Depag RI,1978: 534).

5. Untuk menghilangkan pagar penghalang sampainya ayat-ayat Allah ke

dalam lubuk hati masyarakat.

) : (

Artinya: Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari(menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat ituditurunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan)Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. al-Qashshas: 87)(Depag RI,1978: 612).

2.1.3 Unsur-Unsur Dakwah

Unsur-unsur dakwah adalah segala aspek yang ada sangkut

pautnya dengan proses pelaksanaan dakwah, dan sekaligus menyangkut

tentang kelangsungannya (Anshari, 1993: 103). Unsur-unsur tersebut

adalah da'i (pelaku dakwah), mad'u (obyek dakwah), materi

25

dakwah/maddah, wasîlah (media dakwah), tharîqah (metode), dan atsar

(efek dakwah).

a. Subjek Dakwah

Subjek dakwah ialah orang yang melakukan dakwah, yaitu

orang yang berusaha mengubah situasi kepada situasi yang sesuai

dengan ketentuan-ketentuan Allah Swt, baik secara individu maupun

berbentuk kelompok (organisasi), sekaligus sebagai pemberi

informasi dan pembawa missi (Anshari, 1993: 105). Menurut Helmy

(1973: 47) subjek dakwah adalah orang yang melaksanakan tugas-

tugas dakwah, orang itu disebut da'i, atau mubaligh.

Kata da'i ini secara umum sering disebut dengan sebutan

mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran Islam) namun

sebenarnya sebutan ini konotasinya sangat sempit karena masyarakat

umum cenderung mengartikan sebagai orang yang menyampaikan

ajaran Islam melalui lisan seperti penceramah agama, khatib (orang

yang berkhutbah), dan sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut terdapat pengertian para

pakar dalam bidang dakwah, yaitu:

1. Hasjmy (1984: 186) menjelaskan tentang juru dakwah adalah

para penasihat, para pemimpin dan pemberi periingatan, yang

memberi nasihat dengan baik, yang mengarang dan berkhutbah,

yang memusatkan kegiatan jiwa raganya dalam wa'ad dan wa id

(berita pahala dan berita siksa) dan dalam membicarakan tentang

26

kampung akhirat untuk melepaskan orang-orang yang karam

dalam gelombang dunia.

2. M. Natsir (tth: 119) menjelaskan bahwa pembawa dakwah

merupakan orang yang memperingatkan atau memanggil supaya

memilih, yaitu memilih jalan yang membawa pada keuntungan

Dalam kegiatan dakwah peranan da'i sangatlah esensial,

sebab tanpa da'i ajaran Islam hanyalah ideologi yang tidak terwujud

dalam kehidupan masyarakat. Biar bagaimanapun baiknya ideologi

Islam yang harus disebarkan di masyarakat, ia akan tetap sebagai

ide, ia akan tetap sebagai cita-cita yang tidak terwujud jika tidak ada

manusia yang menyebarkannya (Ya'qub, 1981: 37).

Da'i merupakan orang yang melakukan dakwah, yaitu orang

yang berusaha mengubah situasi yang sesuai dengan ketentuan-

ketentuan Allah SWT, baik secara individu maupun berbentuk

kelompok (organisasi). Sekaligus sebagai pemberi informasi dan

missi. Pada prinsipnya setiap muslim atau muslimat berkewajiban

berdakwah, melakukan amar ma ruf nahi munkar. Jadi mustinya

setiap muslim itu hendaknya pula menjadi da’i karena sudah menjadi

kewajiban baginya.

Sungguhpun demikian, sudah barang tentu tidak mudah

berdakwah dengan baik dan sempurna, karena pengetahuan dan

kesanggupan setiap orang berbeda-beda pula. Namun bagaimanapun,

27

mereka wajib berdakwah menurut ukuran kesanggupan dan

pengetahuan yang dimilikinya.

Sejalan dengan keterangan tersebut, yang berperan sebagai

muballigh dalam berdakwah dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Secara umum; adalah setiap muslim atau muslimat yang

mukallaf, dimana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan

suatu yang melekat tidak terpisahkan dari missionnya sebagai

penganut Islam.

2. Secara khusus; adalah mereka yang mengambil keahlian khusus

(mutakhassis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan

ulama (Tasmara, 1997: 41-42)

Anwar Masy'ari (1993: 15-29) dalam bukunya yang berjudul:

"Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah" menyatakan, syarat-

syarat seorang da'i harus memiliki keadaan khusus yang merupakan

syarat baginya agar dapat mencapai sasaran dan tujuan dakwah

dengan sebaik-baiknya.

Syarat-syarat itu ialah:

Pertama, mempunyai pengetahuan agama secara mendalam,

berkemampuan untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan

keterangan yang memuaskan.

Syarat kedua, yaitu tampak .pada diri da'i

keinginan/kegemaran untuk melaksanakan tugas-tugas dakwah dan

28

penyuluhan semata-mata untuk mendapatkan keridaan Allah dan

demi perjuangan di jalan yang diridhainya.

Syarat ketiga, harus mempelajari bahasa penduduk dari suatu

negeri, kepada siapa dakwah itu akan dilancarkan. Sebabnya dakwah

baru akan berhasil bilamana da'i memahami dan menguasai prinsip-

prinsip ajaran Islam dan punya kemampuan untuk

menyampaikannya dengan bahasa lain yang diperlukan, sesuai

dengan kemampuannya tadi.

Harus mempelajari jiwa penduduk dan alam lingkungan

mereka, agar kita dapat menggunakan susunan dan gaya bahasa yang

dipahami oleh mereka, dan dengan cara-cara yang berkenan di hati

para pendengar. Sudahlah jelas bahwa untuk setiap sikon ada kata-

kata dan ucapan yang sesuai untuk diucapkan; sebagaimana untuk

setiap kala-kata dan ucapan ada pula sikonnya yang pantas untuk

tempat menggunakannya.

Syarat keempat, harus memiliki perilaku, tindak tanduk dan

perbuatan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan suri-teladan

bagi orang-orang lain.

Hamka, (1984: 228-233) berpandangan tentang standar

seorang da'i dalam delapan kriteria sebagai berikut :

1. Hendaklah seorang da’i melihat dirinya sendiri apakah niatnya

sudah bulat dalam berdakwah. Kalau kepentingan dakwahnya

adalah untuk kepentingan diri sendiri, popularitas, untuk

29

kemegahan dan pujian orang, ketahuilah bahwa pekerjaannya itu

akan berhenti di tengah jalan. Karena sudah pasti bahwa di

samping orang yang menyukai akan banyak pula yang tidak

menyenangi.

2. Seorang da’i mengerti benar soal yang akan diucapkannya.

3. Seorang da’i harus mempunyai kepribadian yang kuat dan teguh,

tidak mudah terpengaruh oleh pandangan orang banyak ketika

memuji,dan tidak tergoncang, ketika orang-orang melotot karena

tidak senang. Jangan ada cacat pada perangai, meskipun ada

cacat jasmani.

4. Pribadinya menarik, lembut tetapi bukan lemah, tawadhu tetapi

bukan rendah diri, pemaaf tetapi disegani.

5. Seorang da’i harus mengerti pokok pegangan kita ialah Al

Qur’an dan As Sunnah, di samping itu pun harus mengerti ilmu

jiwa (Ilmu Nafs), dan mengerti adat-istiadat orang yang hendak

didakwahi.

6. Jangan membawa sikap pertentangan, jauhkan dari sesuatu yang

membawa perdebatan, sebab hal itu akan membuka masalah

khilafiyah.

7. Haruslah diinsyafi bahwa contoh teladan dalam sikap hidup,

jauh lebih berkesan kepada jiwa umat daripada ucapan yang

keluar dari mulut.

30

8. Hendaklah seorang da'i itu menjaga jangan sampai ada sifat

kekurangan yang akan mengurangi gengsinya dihadapan

pengikutnya.

b. Objek Dakwah

Objek dakwah adalah manusia yang menjadi audiens yang

akan diajak ke dalam Islam secara kaffah (Muriah, 2000: 32). Pimay

(2006: 29) berpandangan bahwa objek dakwah adalah manusia yang

menjadi sasaran dakwah. Mereka adalah orang-orang yang telah

memiliki atau setidak-tidaknya telah tersentuh oleh kebudayaan asli

atau kebudayaan selain Islam. karena itu, objek dakwah senantiasa

berubah karena perubahan aspek sosial kultural, sehingga objek

dakwah ini akan senantiasa mendapat perhatian dan tanggapan

khusus bagi pelaksanaan dakwah

Berdasarkan keterangan tersebut dapat juga dikatakan bahwa

unsur dakwah yang kedua adalah mad'u, yaitu manusia yang menjadi

sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai

individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama

Islam maupun tidak; atau dengan kata lain manusia secara

keseluruhan. Sesuai dengan firman Allah QS. Saba' 28:

) :(

Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umatmanusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dansebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusiatiada mengetahui. (QS. Saba: 28) (Depag RI,1978: 683).

31

Objek dakwah bisa juga terhadap manusia yang belum

beragama Islam, karena dakwah bertujuan untuk mengajak mereka

mengikuti agama Islam; sedangkan kepada orang-orang yang telah

beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas iman,

Islam, dan ihsan. Mereka yang menerima dakwah ini lebih tepat

disebut mad'u daripada sebutan objek dakwah, sebab sebutan yang

kedua lebih mencerminkan kepasifan penerima dakwah; padahal

sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan menjadikan orang lain

sebagai kawan berpikir tentang keimanan, syari'ah, dan akhlak

kemudian untuk diupayakan dihayati dan diamalkan bersama-sama.

Al-Qur'an mengenalkan kepada kita beberapa tipe mad'u.

Secara umum mad'u terbagi tiga, yaitu: mukmin, kafir, dan munafik

(DEPAG RI, 1993: 5). Dari tiga klasifikasi besar ini mad'u masih

bisa dibagi lagi dalam berbagai macam pengelompokan. Orang

mukmin umpamannya bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: dzâlim

linafsih, muqtashid, dan sâbiqun bilkhairât. Kafir bisa dibagi

menjadi kafir zimmi dan kafir harbi (DEPAG RI, 1978: 890).

Mad'u (obyek dakwah) terdiri dari berbagai macam golongan

manusia. Oleh karena itu, menggolongkan mad'u sama dengan

menggolongkan manusia itu sendiri, profesi, ekonomi, dan

seterusnya. Penggolongan mad'u tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Dari segi sosiologis, masyarakat terasing, pedesaan, perkotaan,

kota kecil, serta masyarakat di daerah marjinal dari kota besar.

32

2. Dari struktur kelembagaan, ada golongan priyayi, abangan dan

santri, terutama pada masyarakat Jawa.

3. Dari segi tingkatan usia, ada golongan anak-anak, remaja, dan

golongan orang tua.

4. Dari segi profesi, ada golongan petani, pedagang seniman,

buruh, pegawai negeri.

5. Dari segi tingkatan sosial ekonomis, ada golongan kaya,

menengah, dan miskin.

6. Dari segi jenis kelamin, ada golongan pria dan wanita.

7. Dari segi khusus ada masyarakat tunasusila, tunawisma, tuna-

karya, narapidana, dan sebagainya (Arifin, 2000: 3).

c. Materi Dakwah

Materi dakwah adalah pesan yang disampaikan oleh da’i

kepada mad’u yang mengandung kebenaran dan kebaikan bagi

manusia yang bersumber al-Qur'an dan Hadis. Oleh karena itu

membahas maddah dakwah adalah membahas ajaran Islam itu

sendiri, sebab semua ajaran Islam yang sangat luas, bisa dijadikan

sebagai maddah dakwah Islam (Ali Aziz, 2004: 194)

Materi dakwah, tidak lain adalah al-Islam yang bersumber

dari al-Qur'an dan hadis sebagai sumber utama yang meliputi akidah,

syari'ah dan akhlak dengan berbagai macam cabang ilmu yang

diperoleh darinya (Wardi Bachtiar, 1997: 33). Maddah atau materi

33

dakwah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga masalah pokok M.Daud

Ali (2000: 133-135 dan Asmuni Syukir (1983: 60-63):

a. Akidah

Akidah secara etimologi adalah ikatan, sangkutan. Disebut

demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau

gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian teknisnya adalah

iman atau keyakinan. Karena itu akidah Islam ditautkan dengan

rukun iman yang menjadi azas seluruh ajaran Islam.

b. Syari’ah

Syari’at dalam Islam erat hubunganya dengan amal lahir

(nyata) dalam rangka mentaati semua peraturan atau hukum Allah

guna mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan

mengatur pergaulan hidup manusia dengan manusia. Syari’ah

dibagi menjadi dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah

adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan, sedangkan

muamalah adalah ketetapan Allah yang berlangsung dengan

kehidupan sosial manusia. Seperti hukum warisan, rumah tangga,

jual beli, kepemimpinan dan amal-amal lainnya.

c. Akhlak

Akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang secara

etimologi berati budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.

Akhlak bisa berarti positif dan bisa pula negatif. Yang termasuk

positif adalah akhlak yang sifatnya benar, amanah, sabar, dan sifat

34

baik lainnya. Sedangkan yang negatif adalah akhlak yang sifatnya

buruk, seperti sombong, dendam, dengki dan khianat.

Akhlak tidak hanya berhubungan dengan Sang Khalik

namun juga dengan makhluk hidup seperti dengan manusia,

hewan dan tumbuhan. Akhlak terhadap manusia contohnya akhlak

dengan Rasulullah, orang tua, diri sendiri, keluarga, tetangga, dan

masyarakat

Akhlak terhadap Rasulullah antara lain

1. Mencintai Rasul secara tulus dengan mengikuti semua

sunnahnya.

2. Menjadikan Rasul sebagai idola, suri tauladan dalam hidup

dan kehidupan

3. Menjalankan apa yang disuruhnya, tidak melakukan apa yang

dilarang (M.Daud Ali, 1997: 356).

Akhlak terhadap orang tua antara lain :

1. Mencintai mereka melebihi cinta pada kerabat lainnya

2. Merendahkan diri kepada keduannya

3. Berkomunikasi dengan orang tua dengan hikmat

4. Berbuat baik kepada Bapak Ibu

5. Mendoakan keselamatan dan keampunan bagi mereka.

(M.Daud Ali, 1997: 357)

Akhlak terhadap diri sendiri antara lain :

1. Memelihara kesucian diri

35

2. Menutup aurat

3. Jujur dalam perkataan dan perbuatan

4. Ikhlas

5. Sabar

6. Rendah diri

7. Malu melakukan perbuatan jahat

Akhlak terhadap keluarga antara lain:

1. Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan

keluarga

2. Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak

3. Berbakti kepada Ibu Bapak

4. Memelihara hubungan silaturahmi (M.Daud Ali, 1997: 357)

Akhlak terhadap tetangga antara lain :

1. Saling menjunjung

2. Saling bantu diwaktu senang dan susah

3. Saling memberi

4. Saling menghormati

5. Menghindari pertengkaran dan permusuhan

Akhlak terhadap masyarakat antara lain :

1. Memuliakan tamu

2. Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat,

3. Saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa

36

4. Menganjurkan anggota masyarakat termasuk diri sendiri

berbuat baik dan mencegah diri sendiri dan orang lain berbuat

jahat/mungkar.

5. Memberi fakir miskin dan berusaha melapangkan hidup dan

kehidupannya.

6. Bermusywarah dalam segala urusan mengenai kepentingan

bersama.

7. Menunaikan amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaan

yang diberikan seseorang atau masyarakat kepada kita.

8. Dan menepati janji.

Akhlak terhadap lingkungan hidup antara lain :

1. Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup

2. Menjaga dan memanfaatkan alam terutama flora dan fauna

3. Sayang pada sesama makhluk (M.Daud Ali, 1997: 358).

d. Media Dakwah

Arti istilah media bila ditinjau dari asal katanya (etimologi),

berasal dari bahasa Latin yaitu "median", yang berarti alat perantara.

Sedangkan kata media merupakan jamak daripada kata median

tersebut. Pengertian semantiknya media berarti segala sesuatu yang

dapat dijadikan sebagai alat (perantara) untuk mencapai suatu tujuan

tertentu. Dengan demikian media dakwah, yaitu segala sesuatu yang

dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang

telah ditentukan (Syukir, 1983: 163).

37

Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah

dapat menggunakan berbagai wasilah. Ya'qub (1973: 42-43)

membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu lisan, tulisan,

lukisan, audio visual, dan akhlak. Wasilah tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Lisan, merupakan inilah wasilah dakwah yang paling sederhana

yang menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan wasilah ini

dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan,

penyuluhan, dan sebagainya.

2. Tulisan, berupa buku majalah, surat kabar, surat menyurat

(korespondensi) spanduk, flash-card, dan sebagainya.

3. Lukisan, di antaranya gambar, karikatur, dan sebagainya.

4. Audio visual, merupakan alat dakwah yang merangsang indra

pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya. Wasilah ini

contohnya, televisi, film, slide, ohap, internet, dan sebagainya.

5. Akhlak, mengubah perbuatan-perbuatan nyata yang

mencerminkan ajaran Islam dapat dinikmati serta didengarkan

oleh mad'u Pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai

wasilah yang dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat

menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat

dan efektif wasilah yang dipakai semakin efektif pula upaya

pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran

dakwah.

38

Media (terutama media massa) telah meningkatkan

intensitas, kecepatan, dan jangkauan komunikasi dilakukan umat

manusia begitu luas sebelum adanya media massa seperti pers, radio,

televisi, internet dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan alat-alat

tersebut telah melekat tak terpisahkan dengan kehidupan manusia di

abad ini.

e. Metode Dakwah

metode dakwah biasa dikenal dengan istilah thariqah.

Thariqah berhubungan dengan metode yang digunakan dalam

dakwah. Kalau wasilah adalah alat-alat yang dipakai untuk

mengoperkan atau menyampaikan ajaran Islam.

Arifin (2003: 65) dalam bukunya yang berjudul: Ilmu

Pendidikan Islam, menyatakan: metode berasal dari dua perkataan

yaitu meta dan hodos. Meta berarti "melalui", dan "hodos" berarti

"jalan atau cara", dengan demikian asal kata "metode" berarti suatu

jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Munsyi (1982: 29)

mengartikan metode sebagai cara untuk menyampaikan sesuatu.

Sedangkan dalam metodologi pengajaran ajaran Islam disebutkan

bahwa metode adalah "Suatu cara yang sistematis dan umum

terutama dalam mencari kebenaran ilmiah".

Pius Partanto (1994: 461) menjelaskan bahwa metode adalah

cara yang sistematis dan teratur untuk pelaksanaan suatu atau cara

kerja. Dakwah adalah cara yang digunakan subjek dakwah untuk

39

menyampaikan materi dakwah atau biasa diartikan metode dakwah

adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da'i untuk

menyampaikan materi dakwah yaitu al-Islam atau serentetan

kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.

Sementara itu dalam komunikasi, metode dakwah ini lebih

dikenal sebagai approach, yaitu cara-cara yang dilakukan oleh

seorang da'i atau komunikator untuk mencapai suatu tujuan tertentu

atas dasar hikmah dan kasih sayang (Tasmara, 1997: 43). Dengan

kata lain, pendekatan dakwah harus bertumpu pada satu pandangan

human oriented menetapkan penghargaan yang mulia pada diri

manusia. Hal tersebut didasari karena Islam sebagai agama salam

yang menebarkan rasa damai menempatkan manusia pada prioritas

utama, artinya penghargaan manusia itu tidaklah dibeda-bedakan

menurut ras, suku, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang tersirat

dalam QS. al-Isra' 70;

}{"Kami telah muliakan Bani Adam (manusia) dan Kami bawamereka itu di daratan dan di lautan. Kami juga memberikankepada mereka dan segala rezeki yang baik-baik. Merekajuga Kami lebihkan kedudukannya dari seluruh makhlukyang lain" (Depag RI,1978: 435).

40

Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru

dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam). Dalam

menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting

peranannya, suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat

metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima

pesan. Maka dari itu kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam

memilih dalam memakai metode sangat mempengaruhi kelancaran

dan keberhasilan dakwah. Ketika membahas tentang metode dakwah

pada umumnya merujuk pada surah an-Nahl (QS.16:125).

) :(Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah

dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan carayang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebihmengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya danDialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatpetunjuk (Depag RI,1978: 421).

Dalam ayat ini, metode dakwah ada tiga, yaitu: a) hikmah b)

mau'izah al-hasanah c) mujadalah billati hiya ahsan.

Asmuni Syukir membagi metode dakwah menjadi tujuh,

yaitu sebagai berikut :

1. Metode Ceramah ( retorika dakwah ). Metode ini banyak diwarnai

oleh ciri karakteristik berbicara seorang da’i pada suatu aktivitas

dakwah. Metode ini efektif bila objek dakwah berjumlah banyak.

41

2. Metode tanya jawab adalah metode penyampaian materi dakwah

dengan mendorong sasarannya (objek dakwah ) untuk

menyatakan suatu yang belum dimnegerti dan Da’i berfungsi

sebagai penjawab.

3. Metode mmujadalah (diskusi). Mujadalah yang dimaksud adalah

mujadalah yang baik, ada argumen namun tidak ngotot sampai

menimbulkan pertengkaran.

4. Metode percakapan pribadi. Metode ini bertujuan menggunakan

kesempatan yang baik dalam percakapan antar Da’i dan pribadi

dari individu yang menjadi sasaran dalam berdakwah.

5. demonstrasi. Metode ini adalah berdakwah dengan

memperlihatkan contoh, baik berupa benda, peristiwa, perbuatan

dan sebagainya.

6. Metode pendidikan dan pengajaran. Dalam devinisi dakwah

terdapat makna yang bersifat pembinaan, juga tedapat makna

pengembangan.

7. Metode silaturahim. Metode ini digunakan oleh para juru

penerang agama. Metode home visit (silaturahmi ) dapat

dilakukan dua cara yaitu undangan tuan rumah dan atas inisiatif

pribadi. ( Syukir, 1983 : 105-106 )

2.2 Strategi

2.2.1. Pengertian Strategi

42

Strategi merupakan istilah yang sering diidentikkan dengan "taktik"

yang secara bahasa dapat diartikan sebagai "corcerning the movement of

organisms in respons to external stimulus" (suatu yang terkait dengan gerakan

organisme dalam menjawab stimulus dari luar). Sementara itu, secara

konseptual strategi dapat dipahami sebagai suatu garis besar haluan dalam

bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan (Pimay, 2005: 50).

Strategi juga bisa dipahami sebagai segala cara dan daya untuk menghadapi

sasaran tertentu dalam kondisi tertentu agar memperoleh hasil yang

diharapkan secara maksimal (Arifin, 2003: 39).

Strategi pada mulanya berasal dari peristiwa peperangan, yaitu sebagai

suatu siasat untuk mengalahkan musuh. Namun pada akhirnya strategi

berkembang untuk semua kegiatan organisasi, termasuk keperluan ekonomi,

sosial, budaya, dan agama. Strategi ini dalam segala hal digunakan untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan tidak akan mudah dicapai

tanpa strategi, karena pada dasarnya segala tindakan atau perbuatan itu tidak

terlepas dari strategi. Adapun tentang taktik, sebenarnya merupakan cara yang

digunakan, dan merupakan bagian dari strategi. Strategi yang disusun,

dikonsentrasikan, dan dikonsepsikan dengan baik dapat membuahkan

pelaksanaan yang disebut strategis (Rafi'udin dan Djaliel, 1997: 76). Menurut

Hisyam Alie yang dikutip Rafi'udin dan Djaliel, untuk mencapai strategi yang

strategis harus memperhatikan apa yang disebut SWOT sebagai berikut:

43

1. Strength (kekuatan), yakni memperhitungkan kekuatan yang dimiliki yang

biasanya menyangkut manusianya, dananya, beberapa piranti yang

dimiliki.

2. Weakness (kelemahan), yakni memperhitungkan kelemahan-kelemahan

yang dimilikinya, yang menyangkut aspek-aspek sebagaimana dimiliki

sebagai kekuatan, misalnya kualitas manusianya, dananya, dan

sebagainya.

3. Opportunity (peluang), yakni seberapa besar peluang yang mungkin

tersedia di luar, hingga peluang yang sangat kecil sekalipun dapat

diterobos.

4. Threats (ancaman), yakni memperhitungkan kemungkinan adanya

ancaman dari luar (Rafi'udin dan Djaliel, 1997: 77).

2.2.2. Strategi Dakwah

Dengan demikian, strategi dakwah dapat diartikan sebagai proses

menentukan cara dan daya upaya untuk menghadapi sasaran dakwah dalam

situasi dan kondisi tertentu guna mencapai tujuan dakwah secara optimal.

Dengan kata lain strategi dakwah adalah siasat, taktik atau manuver yang

ditempuh dalam rangka mencapai tujuan dakwah (Pimay, 2005: 50).

Dalam hubungannya dengan strategi dakwah, bahwa dakwah dalam

hubungannya antara umat seagama dapat dilakukan dengan berupaya agar

mad'u memahami bahwa perbedaan pendapat dalam aliran dan mazhab

merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Dengan demikian tidak bisa satu

aliran atau mazhab meng-klaim sebagai yang paling benar. Sedangkan

44

pelaksanaan dakwah dalam hubungannya antar umat beragama, maka dakwah

diupayakan untuk meyakinkan mad'u bahwa dalam beragama harus

menghargai dan menghormati agama yang berbeda karena Nabi Muhammad

pun sangat menghargai agama lain selain Islam. Demikian pula pelaksanaan

dakwah dalam hubungannya antara umat beragama dengan negara adalah

dapat diupayakan dengan menerangkan pada mad'u bahwa agama menyuruh

mentaati yang memerintah yaitu menghormati dan menghargai ulil amri.

Berkaitan dengan strategi dakwah Islam, maka diperlukan pengenalan

yang tepat dan akurat terhadap realitas hidup manusia yang secara aktual

berlangsung dalam kehidupan dan mungkin realitas hidup antara satu

masyarakat dengan masyarakat lain berbeda. Di sini, juru dakwah dituntut

memahami situasi dan kondisi masyarakat yang terus mengalami perubahan,

baik secara kultural maupun sosial-keagamaan. Strategi dakwah semacam ini

telah diperkenalkan dan dikembangkan oleh Rasulullah Muhammad SAW

dalam menghadapi situasi dan kondisi masyarakat Arab saat itu. Strategi

dakwah Rasulullah yang dimaksud antara lain menggalang kekuatan di

kalangan keluarga dekat dan tokoh kunci yang sangat berpengaruh di

masyarakat dengan jangkauan pemikiran yang sangat luas, melakukan hijrah

ke Madinah untuk fath al-Makkah dengan damai tanpa kekerasan, dan lain

sebagainya (Rafi'udin dan Djaliel, 1997: 78).

Kemudian, jika dikaitkan dengan era globalisasi saat ini, maka juru

dakwah harus memahami perubahan transisional dari transaksi pada kekuatan

magis dan ritual ke arah ketergantungan pada sains dan kepercayaan serta

45

transisi dari suatu masyarakat yang tertutup, sakral dan tunggal ke arah

keterbukaan, plural dan sekuler. Jadi, suatu strategi tidak bersifat universal. la

sangat tergantung pada realitas hidup yang sedang dihadapi. Karena itu,

strategi harus bersifat terbuka terhadap segala kemungkinan perubahan

masyarakat yang menjadi sasaran dakwah (Pimay, 2005: 53).

2.3 Konsep Misionaris

Kata "konsep" berarti istilah dan definisi yang digunakan untuk

menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu

yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun dan Effendi, 1995:

33). Sedangkan kata "misionaris" berarti orang yang melakukan penyebaran

warta Injil kepada orang lain yang belum mengenal Kristus (KBBI, 2004:

749).

Yang dimaksud dengan kristenisasi adalah semua bentuk usaha orang-

orang Kristen dalam mengajarkan agama Kristen dan menyebar luaskannya ke

berbagai negara. Saat ini, kaum misionaris Kristen sedang mengerahkan

seluruh kemampuan dan potensi yang mereka miliki, untuk menyebarluaskan

ajaran Kristen kepada masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia, tanpa

mempedulikan perbedaan aliran maupun organisasinya (Muhaisy, 1994: 23).

Adapun tujuan kristenisasi dapat dijelaskan bahwa semua orang

menyangka, bahwa satu-satunya tujuan kristenisasi adalah menyebarkan

ajaran Kristen. Padahal sebenarnya, menyebarkan ajaran Kristen adalah tujuan

46

sekunder, dan bukan tujuan primer dari semua organisasi misionaris. Apabila

kita melempar pandangan ke Dunia Barat, yang kita temukan adalah dunia

materi yang tidak mengenal dunia rohani sama sekali, bahkan tidak mengenal

peraturan agama. Namun Amerika, yang menghamba kepada besi, emas, dan

minyak (sebagaimana diungkapkan oleh Amin Raihani), telah menebar

misionaris ke separuh wilayah bumi ini, dan mereka mengaku telah menyeru

kepada kedamaian, kehidupan rohani, dan keselamatan agama. Demikian pula

Perancis, yang kita kena) memiliki perundang-undangan sekuler. telah

menancapkan misionarisnya di luar negeri (Muhaisy, 1994: 23).

Tujuan utama mereka adalah imperialisme (penjajahan) yang sangat

berbahaya. Sebagian di antara mereka ada yang menjadikan kristenisasi

sebagai sarana perniagaan, untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-

besarnya. Yang lain, menjadikan kristenisasi sebagai sarana untuk

mengadakan perjalanan dan melancong gratis, karena dibiayai oleh

organisasinya. Dan sebagian lagi, memanfaatkan kegiatan kristenisasi untuk

memuaskan keinginan pribadinya. Selain itu, ada juga kelompok yang

memanfaatkan kegiatan kristenisasi untuk menutupi perbuatan mereka yang

menyimpang, seperti: freesex, homoseksual, lesbian, dan sebagainya. Bahkan,

orang-orang Barat sendiri mengakui, bahwa gereja merupakan tempat untuk

melakukan perbuatan menyimpang dan memalukan (Muhaisy, 1994: 24).

Banyak sekali skandal seksual para pendeta yang telah terbongkar,

yaitu mereka melakukan kegiatan seksual secara terselubung di dalam gereja.

Belum lama ini telah terbongkar lagi sebuah skandal yang memalukan, yaitu

47

seorang pendeta Amerika yang mengambil anak-anak untuk dijadikan partner

dalam hubungan seksualnya yang menyimpang (Muhaisy, 1994: 24).

Kristenisasi adalah proses masuk dan tersebarnya pengaruh Kristen di

kawasan tertentu. Kristenisasi di Indonesia dapat diartikan sebagai proses

pengkristenan yang terjadi di Indonesia (Dermawan, 2002: 199). Akhir-akhir

ini gerakan kristenisasi terhadap umat lslam yang dilancarkan oleh para

missionaris semakin agresif, baik melalui cara yang halus sampai kepada cara

yang kasar. Menurut Abu Deedat Syihab, strategi misi Kristen dapat disebut

sebagai "Segitiga Imperialisme'' yang memuat sembilan strategi penghancuran

kaum muslimin. Cara-cara tersebut adalah pemiskinan, penguasaan aset-aset

ekonomi, penguasaan kekayaan alam, penguasaan aset informasi, penguasaan

sistem politik dan hukum, penghancuran moral, deislamisasi, penghancuran

militansi Islam dan konversi agama atau pemurtadan agama (Syihab, 2005: 4-

5).

Kristenisasi merupakan sebuah realitas. Hal ini ditegaskan dan

diperkuat oleh ungkapan yang disampaikan oleh Berkhof dalam bukunya yang

berjudul Sejarah Gereja: "Boleh kita simpulkan bahwa Indonesia adalah suatu

daerah pekabaran Injil yang diberkati Tuhan dengan hasil yang indah dan

besar atas penaburan bibit firman Tuhan Jumlah orang Kristen Protestan

sudah 13 juta lebih, akan tetapi jangan lupa kita berada di tengah-tengah 200

juta penduduk" (Berkhof, 1991: 321).

Lebih lanjut dia mengatakan : "Jadi; tugas Zending gereja-gereja muda

di benua ini masih luas dan berat. Bukan saja sisa kaum kafir yang tidak

48

seberapa banyak itu. yang perlu mendengar kabar gembira, tetapi juga kaum

muslimin yang besar yang merupakan benteng agama yang sukar sekali

dikalahkan oleh pahlawan-pahlawan injil. Bukan saja rakyat jelata, lapisan

bawah yang harus ditaklukkan oleh Kristus, namun terutama para pemimpin

masyarakat, kaum cendekiawan, golongan atas dan tengah" (Berkhof, 1991:

321).

Indonesia merupakan pusat kristenisasi untuk wilayah Asia Pasifik.

Informasi ini dapat diketahui melalui hasil seminar kerjasama Global Mission

Singapure and Galilea Ministry Indonesia di Hotel Shangrila Jakarta pada

tanggal 9-12 Juni 1998. Pendeta George Anatorae dari The Lord Family

Church sebagaimana dikutip oleh Yusuf lsmail Al Hadid dalam bukunya yang

berjudul Menghalau Missionoris dan Misi Sucinya Mengkristenkan Dunia

mempresentasikan bahwa Indonesia akan dijadikan pusat perkembangan

Kristen di Asia Pasifik (Al-Hadid, 2005: 201).

Selain itu, Bambang, Widjaja mengatakan bahwa indonesia

merupakan ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya. Indonesia

siap mengalami transformasi (Majalah Spirit, 2003: 13) yang besar. Menurut

dia hal ini bukan suatu kerinduan yang hampa, melainkan suatu pernyataan

iman terhadap janji firman Tuhan. Hal ini juga bukan impian di siang bolong,

tetapi suatu ekspresi keyakinan akan kasih dan kuasa Tuhan. Dengan

memeriksa firman Tuhan maka akan sampai kepada kesimpulan bahwa

Indonesia memiliki pra kondisi yang sangat cocok bagi tuaian besar yang ia

rencanakan (Widjaja, 2003: 13).

49

BAB III

STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI

MISIONARIS KRISTEN

3.1 Biografi M. Natsir, Pendidikan dan Karya-Karyanya

Mohammad Natsir dilahirkan di Kampung Jambatan, Baukia,

Alahanpanjang Minangkabau Sumatra Barat, 17 Juli 1908- dan wafat di

Jakarta, 6 Februari 1993. Kampung Jambatan terletak di balik Gunung Talang

Solok Provinsi Sumatra Barat (Rozikin, 2009: 221). Ia seorang negarawan

muslim, ulama intelektual, pembaru dan politikus muslim Indonesia yang

kenamaan dan disegani, bergelar Datuk Sinaro Pandjang. Ayahnya bernama

Idris Sutan Saripado, seorang pegawai pemerintah Belanda. Ibunya bernama

Khadijah, dari keturunan suku Caniago.

Ketika berusia 8 tahun, Mohammad Natsir belajar pada HIS

(Hollandsch Inlandsche School) Adabiyah di Padang dan tinggal bersama

makciknya. Kemudian ia dipindahkan oleh orang-tuanya ke HIS pemerintah di

Solok dan tinggal di rumah Haji Musa, seorang saudagar. Di sini ia menerima

cukup banyak ilmu. Pada malam hari ia mengaji Al-Qur'an, pagi hari belajar

pada HIS, dan sore hari belajar di Madrasah Diniyah. Tiga tahun kemudian ia

dipindahkan ke HIS Padang dan tinggal bersama kakaknya, Rabi'ah. Pada

tahun 1923 ia meneruskan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager

Onderwijs/setingkat SMP sekarang) di Padang. Di sini ia menjadi anggota JIB

(Jong Islamieten Bond) cabang Padang. Pada tahun 1927 ia melanjutkan ke

50

AMS (Algemenc Middelbare School/setingkat SMA sekarang) di Bandung. Di

MULO dan AMS ia mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda. Selama di

AMS, ia tertarik untuk lebih menekuni ilmu pengetahuan agama. Waktu

luangnya digunakan untuk belajar agama pada Persatuan Islam di bawah

bimbingan Ustad A. Hassan. Ia lulus dari AMS pada tahun 1930. Nilai prestasi

yang diperolehnya memungkinkannya mendapatkan beasiswa untuk

menduduki bangku perguruan tinggi

(http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2331_0_1_0_C, diakses

tanggal 5 September 2009).

Sejak sekolah di MULO, ia sudah mulai mengenal semangat

perjuangan. la masuk menjadi anggota kepanduan pada JIB. Ketika belajar di

AMS ia menjadi anggota JIB cabang Bandung dan kemudian diangkat

menjadi ketua (1928-1932). Minatnya terhadap politik, perhatiannya terhadap

nasib bangsanya yang tertindas, dan tekadnya untuk meluruskan

kesalahpahaman umat terhadap ajaran agama, telah melibatkan dirinya dalam

bidang politik dan dakwah serta menolak setiap tawaran dari pemerintah

Belanda, seperti meneruskan sekolah ke Fakultas Hukum Jakarta, Fakultas

Ekonomi Rotterdam Belanda atau menjadi pegawai pemerintah. Kegiatan

politiknya terus berkembang setelah lebih jauh berkenalan dengan tokoh-

tokoh gerakan politik seperti H Agus Salim, Wihono Purbohadijoyo, dan

Syamsurijal. Karena kegigihannya dalam perjuangan, pada masa kemerdekaan

ia menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Republik

Indonesia. Di samping itu, jiwa dai yang telah dimilikinya sejak muda terus

51

dibinanya sampai masa usia tuanya (http:// swaramuslim. net/ printer

friendly.php?id=2331_0_1_0_C, diakses tanggal 5 September 2009).

Sejak tahun 1932 sampai 1942, Mohammad Natsir diangkat sebagai

direktur Pendidikan Islam di Bandung; dari tahun 1942 sampai 1945, sebagai

kepala Biro Pendidikan Kotamadia Bandung (Bandung Syiakusyo); dan dari

tahun 1945 sampai 1946 sebagai anggota badan pekerja KNIP (Komite

Nasional Indonesia Pusat) dan kemudian menjadi wakil ketua badan ini. Pada

tahun 1946 (Kabinet Sjahrir ke-2 dan ke-3) dan 1949 (Kabinet Hatta ke-1) ia

menjadi menteri Penerangan RI; dan dari tahun 1949 sampai 1958 ia diangkat

menjadi ketua umum Partai Masyumi. Sejak tahun 1950 sampai 1951 ia

menjadi perdana menteri negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam pemilu

tahun 1955 ia terpilih menjadi anggota DPR. Dari tahun 1956 hingga 1958 ia

menjadi anggota Konstituante RI dan sejak tahun 1958 menjadi deputi

perdana menteri PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)

sampai akhirnya pada tahun 1960 ditangkap oleh pemerintah dengan tuduhan

ikut terlibat dalam pemberontakan PRRI. Sejak tahun 1962 sampai dengan

tahun 1966 ia ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Keagungan Jakarta.

Sejak dibebaskan dari tahanan, ia aktif pada organisasi-organisasi Islam

internasional, seperti pada Kongres Muslim Sedunia (World Moslem

Congress) pada tahun 1967 yang bermarkas di Karachi, sebagai wakil

presiden. Pada tahun 1969 ia masuk menjadi anggota Rabitah al-Alam al-

Islami (World Moslem League) di Mekah. Pada tahun 1976 ia menjadi

anggota Dewan Masjid Sedunia (al-Majlis al-A'la al-'Alami li al-Masajid)

52

yang bermarkas di Mekah. Sedangkan di Indonesia sejak tahun 1967 sampai

dengan masa usia tuanya, ia dipercaya menjadi ketua DDII (Dewan Dakwah

Islamiyah Indonesia, al-Majlis al-A'la al-Indunisi li ad-Da'wah al-Islamiyah).

Di samping jabatan dan kegiatan di atas, ada beberapa kegiatan dan jabatan

lainnya yang sempat dijalaninya, seperti sebagai penulis tetap artikel pada

majalah Pembela Islam dan Suara Republik, penasihat delegasi Indonesia

dalam perundingan antara Indonesia dan Belanda, serta penasihat SBII

(Serikat Buruh Islam Indonesia). Karena peran yang dimainkannya pada dunia

Islam internasional, ia mendapat penghargaan King Faisal Foundation dari

Arab Saudi.

Kebiasaan menulis Mohammad Natsir sudah dimulai sejak sekolah di

AMS. Pada waktu menduduki kelas IV AMS ia menulis sebuah analisis

tentang "Pengaruh Penanaman Tebu dan Pabrik Gula bagi Rakyat di Pulau

Jawa." Terdorong oleh kemauannya untuk membela Islam dari pihak yang

merendahkannya dan untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang

Islam, ia menulis artikel-artikel, seperti Muhammad als Profeet dan Quran en

Evangelie pada tahun 1929. Pada tahun 1931 ia menulis Kon tot Het Gebed

dan Kebangsaan Muslimin. Tahun 1932 ia menulis De Islamietische Vrouw en

Haar Recht. Buku-buku hasil karya lainnya ialah Fiqh ad-Da'wah, Capita

Selecta, Kebudayaan Islam, dan ad-Din au al-Ladiniyyah (Dewan Redaksi

Ensiklopedi Islam, jili4, 1994: 21).

53

3.2 Strategi Dakwah M. Natsir dalam Menghadapi Misionaris Kristen

3.2.1. Islam Memberantas Intoleransi Agama

Menurut Natsir (1983: 200) di dalam pembinaan Negara Indonesia

janganlah ada warganegara non Islam yang sesak nafas apabila mendengar

bahwa umat Islam hendak melaksanakan ajaran Islam dalam masyarakat dan

Negara RI yang dicintai ini. Selanjutnya Moh Natsir mengatakan, bahwa

Islam memberantas intoleransi agama, menegakkan kemerdekaan beragama

dan meletakkan dasar bagi keragaman hidup antar agama. Kemerdekaan

menganut agama, adalah suatu nilai hidup, yang dipertahankan oleh tiap-tiap

Muslimin dan Muslimat, Islam melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan

menurut agama masing-masing, baik di gereja ataupun di Mesjid.

Umat Islam berseru kepada seluruh teman sebangsa yang beragama

lain, bahwa negara ini adalah Negara bersama, yang ditegakkan untuk

bersama, atas dasar toleransi dan tenggang rasa, bukan untuk satu golongan

yang khusus. Sebagaimana seruan Muhammad kepada sesama warganegara

yang berlainan agama, Islam memerintahkan supaya menegakkan keadilan

dan keragaman di antara saudara. Allah, adalah Tuhan kami dan Tuhan

saudara. Bagi kami amalan kami, bagi saudara amalan saudara, tidak ada

persengketaan agama antara kami dengan saudara. Allah akan menghimpun

kita di hari kiamat, dan kepada-Nyalah kita sama-sama kembali.

Islam memberantas kemiskinan dan kemelaratan, dan memberantas

perhambaan dan eksploitasi manusia atas manusia. Islam adalah dasar hidup

yang luas bagi semua golongan dalam lingkungan bangsa-bangsa, termasuk

54

bangsa Indonesia dalam keragaman dan kesatuan. Islam adalah induk dari

serba-sila yang telah berurat berakar dalam kalbu umat Islam di seluruh dunia

dan menjadi pedoman hidup serta sumber kekuatan lahir bathin dan sebagian

besar bangsa Indonesia, semenjak berabad-abad.

Menurut Natsir (1983: 202) ada orang yang berkata bahwa takut

adalah nasihat yang tidak baik dari orang yang penuh ketakutan dan

kekuatiran susah diharapkan pandangan yang jernih dalam menilai sesuatu

keadaan. Menurut istilah orang sekarang, tidak mudah baginya melihat sesuatu

dengan ukuran yang sebenarnya. Tambahan pula takut apabila sudah sampai

ke puncaknya, akan dipakai jadi sumber kekuatan oleh yang takut, dengan

cara-cara orang di dalam ketakutan, dengan segala akibat-akibatnya, yakni

dengan terburu nafsu dan sebagainya dengan hasil yang sama sekali tidak

diharapkannya sendiri.

Pada galibnya, kekuatan yang bersumber pada ketakutan dan

dipergunakan dalam ketakutan akibatnya ialah kerusakan. Di kalangan

masyarakat Indonesia, ketakutan sering kali mempengaruhi jalan pikiran orang

dan kalau tidak sama-sama awas, ketakutan inipun mungkin menjadi salah

satu pendorong dari pikiran dan langkah-langkah selanjutnya.

Tatkala Undang-Undang Dasar Sementara RI dibicarakan dalam

Parlemen, ternyata bahwa pasal 18 UUDS tersebut yang menjamin

kemerdekaan beragama di RI dirasakan oleh saudara-saudara-sebangsa kita

yang beragama Kristen belum cukup menjamin kemerdekaan beragama di

negeri ini.

55

Bunyi pasal 18 tersebut : "Setiap orang berhak atas kebebasan agama,

keinsyafan batin dan pikiran" . Ternyata bahwa ada semacam keragu-raguan

di kalangan para anggota Parlemen, terhadap sikap umat Islam di sini, tentang

kemerdekaan beragama ini. Keragu-raguan ini, syukur sudah dapat

dihilangkan di kalangan Parlemen, setelah mengadakan rapat yang khusus

tentang itu.

Hapusnya keragu-raguan ini di kalangan Parlemen, belum berarti

bahwa ketakutan ataupun kekuatiran di dalam masyarakat tentang sikap umat

Islam terhadap kemerdekaan beragama ini, sudah lenyap pula. Selama

ketakutan yang demikian itu masih hidup di dalam masyarakat, adalah

kewajiban bagi masyarakat, berusaha dengan giat untuk menghilangkan

kekuatiran kita.

Menurut Natsir (1983: 203) usaha ini tidak dapat dijalankan oleh satu

dua orang saja, akan tetapi harus dilakukan oleh masing-masing orang, sebab,

ini mengenai satu segi dari ideologi bangsa Indonesia yang harus didukung,

tumbuh dan suburkan dalam masyarakat seluruh bangsa umumnya. Sudah ada

satu cita-cita kemerdekaan beragama yang diajarkan oleh Islam dan yang

diketahui oleh orang banyak, dan yang merupakan cara pemecahan soal yang

dihadapi oleh negara kita, yakni : "Menjaga keragaman hidup di dalam

lingkungan RI ini yang terdiri dari penduduk yang berbeda-beda agamanya".

1. Perlu ditegaskan bahwa tauhid pada hakekatnya adalah suatu revolusi

rohani yang membebaskan manusia dari pada kungkungan dan tekanan

jiwa dengan arti yang seluas-luasnya. Tauhid membebaskan manusia

56

daripada segala macam ketakutan terhadap benda dan takhayul dalam

bentuk apapun juga. Tauhid membawa orang iman kepada Tuhan,

terhadap siapa dia menundukkan jiwanya. Keimanan kepada Tuhan itu

diperoleh dengan jalan yang bersih daripada segala macam paksaan.

Sunatullah, bahwa sesuatu keyakinan yang sebenar-benarnya keyakinan,

tidak dapat diperoleh dengan paksaan

2. Maka agama yang sebenar-benarnya agama, menurut Islam ialah agama

yang sesuai dengan sunatullah ini. Yakni tidaklah bernama agama, jika

agama itu hanya berupa buah bibir, sekedar pemeliharaan diri dari bahaya

luar, tidak tumbuh subur di dalam jiwa yang bersangkutan. Berkenaan

dengan ini maka dengan tegas Islam mengemukakan kaidahnya: "Tidak

ada paksaan dalam, agama". (Al-Qur'an). Ini pokok pandangan Islam

terhadap agama umumnya.

3. Keimanan adalah karunia Ilahi, yang hanya dapat diperoleh dengan ajaran

dan didikan yang baik, dengan dakwah dan panggilan yang bijaksana serta

diskusi (mujadalah) yang sopan dan teratur. Umat Islam berpegang kepada

khithah memanggil orang ke jalan Allah sebagaimana yang disebutkan

dalam Al-Qur'an: "Panggillah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan

pendidikan yang baik dan bertukar pikiranlah dengan cara yang lebih

baik" Orang Islam hanya disuruh memanggil, dan memanggil dengan cara

yang bersih dari segala yang bersifat paksa.

4. Di dalam pergaulan hidup sehari-hari, di mana perbedaan tidak dapat

dipertemukan, perbedaan tentang paham, amal, agama dan sebagainya,

57

maka seorang Islam tidak boleh tinggal pasif dan tenggelam serta lumpuh

hatinya melihat persimpang-siuran perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan

tentang ibadah dan agama, tidak boleh menyebabkan putus asanya seorang

Muslim di dalam mencari titik persamaan yang ada di dalam agama-

agama itu. Seorang Muslim itu diwajibkan untuk mengambil inisiatif,

menjernihkan kehidupan antar-agama dengan memanggil orang-orang

yang beragama lain, yang mempunyai kitab berpedoman kepada Wahyu

Ilahi :

) :(Artinya: "Ya, Ahli Kitab, marilah bersama-sama berpegang kepada

Kalimah yang bersamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwakita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu jua" (QS.Al-Imran: 64).

5. Umat Islam harus tahan hati dan tidak boleh dipengaruhi oleh hawa nafsu

walau dari manapun datangnya, dari dalam atau dari luar, dalam

menegakkan kejernihan hidup antar agama ini. Dengan penuh keyakinan

akan kebenaran yang ada pada sisinya dan keluasan dada yang

ditimbulkan oleh kalimat tauhidnya, kalimat tauhid yang membawa

keyakinan kepadanya, bahwa Allah adalah Tuhan bagi segenap manusia,

maka seorang Muslim harus memancarkan di sekelilingnya jiwa tasamuh

(toleransi) dalam menghadapi agama lain. Ajaran Islam menghadapi orang

yang berlainan agama, adalah sebagai berikut :

"Katakanlah : Aku diperintah untuk berlaku adil di antara kamu, Allahadalah Tuhan kamu dan Tuhan kami bagi kami amalan kami dan bagikamu amalan kamu dan tidaklah ada perselisihan antara kamu dan kami.

58

Allah akan. menghimpun antara kamu dan kami. Dan kepadanyalahtempat kita semua kembali ! (QS. As-Syura:15).

6. Toleransi yang diajarkan oleh Islam itu, dalam kehidupan antar agama

bukanlah suatu toleransi yang bersifat pasif. la itu aktif, yaitu aktif dalam

menghargai dan menghormati keyakinan orang lain. Aktif dan bersedia

senantiasa mencari titik persamaan antar bermacam-macam perbedaan,

Bukan itu saja, kemerdekaan beragama bagi seorang Muslim adalah suatu

nilai hidup yang lebih tinggi daripada nilai jiwanya sendiri. Apabila

kemerdekaan agama terancam dan tertindas, walau kemerdekaan agama

bagi bukan orang yang beragama Islam, maka seorang Muslim diwajibkan

untuk melindungi kemerdekaan umat non Islam tersebut agar manusia

umumnya merdeka untuk menyembah Tuhan menurut agamanya masing-

masing dan di mana perlu dengan mempertahankan jiwanya. Al-Qur'an

mengajarkan:

"Seorang Muslim diperintah untuk berjuang mempertahankan orang yangkena kezaliman, yaitu mereka yang diusir dari tempat kediamannya hanyalantaran mereka bertuhankan Allah. la harus berjuang untukmempertahankan biara-biara, gereja-gereja, tempat-tempat sembahyangdan mesjid-mesjid yang di dalamnya diseru dan disebut nama Allah".

Demikianlah tegasnya ajaran Islam menurut Natsir (1983: 205)

berkenaan dengan hal ini. Demikian pula sunnah junjungan Nabi Muhammad

saw dan khithah amal para sahabatnya, yang nyata-nyata dapat bertemu dalam

tarikh dan riwayat, dalam melaksanakan ajaran Islam dalam peri kehidupan

antar-agama. Ini pulalah khithah yang hendak ditegakkan dan dilaksanakan

59

oleh ummat Islam; di dalam negara RI ini, semata-mata bukan lantaran apa-

apa, tetapi lantaran mengharapkan keridaan Ilahi.

Setelah menjelajah apa yang tersebut di atas, maka yang hendak

dipertanyakan: Kalau tidaklah ajaran Islam yang menjamin kemerdekaan

beragama dan menyuburkan kehidupan beragama di Indonesia ini dengan cara

yang positif itu, tunjukkanlah ideologi manakah lagi selain daripada Islam

yang mampu mengemukakan konsepsi yang lebih tegas dari pada yang

diajarkan oleh Islam itu.

Jawab pertanyaan di atas ini ialah : Kalau orang memang hendak

menjamin kemerdekaan agama dan hendak menegakkan kejernihan hidup

antar agama di tengah-tengah penduduk Indonesia yang bermacam-macam

agama ini sebagai dasar dari kesatuan Negara, maka tidak ada lain pemecahan,

melainkan memesrakan paham tersebut dan meluaskan paham itu dalam

kepulauan Indonesia yang indah dan permai ini, yang memang watak

rakyatnya pada dasarnya adalah bersifat tasamuh (toleransi) itu.

Tiap-tiap orang yang berpikiran sehat, seorang patriot tanah air,

ataupun seorang ahli negara yang hendak menegakkan kesatuan negara, tak

dapat tidak apabila berani bersikap jujur, pasti akan mendapat dalam

pelaksanaan ajaran Islam itu jawaban pertanyaan tersebut, dengan toleransi

ajaran Islam yaag dikemukakan itu memelihara dan menyuburkan keragaman

dart perdamaian antar agama dalam Negara Indonesia ini.

60

Apa yang dibawa oleh Islam itu bukanlah monopoli umat Islam saja,

akan tetapi milik yang akan menyelamatkan kesejahteraan pribadi seluruh

masyarakat dalam dunia ini. Maka adalah kewajiban dari tiap-tiap umat Islam:

1. Memahami ajaran Islam ini bagi diri masing-masing dengan sungguh-

sungguh.

2. Menjadikan ajaran ini jadi pakaian hidup: dalam berkata, bertindak dan

berlaku terhadap masyarakat di sekelilingnya, sesuai dengan ajaran

tersebut.

3. Memancarkan pengertian ini di sekelilingnya dengan tidak

membelakangkan agama dan kepercayaan manapun jua, dengan lisan dan

sikap perbuatan.

Dengan demikian apa yang sekarang merupakan ketakutan dan

kekuatiran di kalangan bangsa Indonesia yang beragama lain, pasti akan

lenyap, dan akan timbullah pengertian baru yang lebih segar, sebagai dasar

yang subur untuk pembangunan lahir dan bathin bagi Negara dan isinya.

Itulah dia Negara yang yang diliputi oleh keampunan Ilahi.

3.2.2. Strategi dalam Menghadapi Kegiatan Missi Kristen/Katholik di

Indonesia

Menurut Natsir (1983: 207) kegiatan Missi Kristen/Katholik di

Indonesia, tampak meningkat. Ummat Islam yang miskin, adalah sasaran

utama mereka. Berpuluh-puluh ribu orang terpaksa masuk Kristen berkat

strategi dan bujukan-bujukan serta dana-dana missi tersebut. Organisasi-

organisasi Missionaris itu bermacam-macam, dan cara-cara yang mereka

61

jalankan dalam kegiatannya bertentangan dengan Pancasila-(Kebebasan

Menganut Agama).

Missi tersebut mulai menunjukkan cara-cara yang sangat menyinggung

perasaan ummat Islam, yaitu mendirikan gereja-gereja dan sekolah-sekolah

Kristen di lingkungan kaum Muslimin. Gereja-gereja dan Sekolah-sekolah

Kristen, tumbuh "bagaikan jamur di musim hujan", di seluruh pelosok

Indonesia. Keadaan yang demikian, telah menimbulkan suatu peristiwa yang

tidak diinginkan, yaitu : perusakan gereja di beberapa tempat dan daerah.

Menghadapi misionaris Kristen dan atau Kristenisasi bukanlah dengan

cara perusakan gereja apalagi kekerasan fisik terhadap umat Kristen, akan

tetapi umat Islam harus melakukan strategi yaitu:

1. Pembangunan Masjid

Masjid merupakan salah satu pilar kepemimpinan umat. Masjid

merupakan lembaga pembinaan pribadi dan jiwa masyarakat. Hal itu

tampak dari adanya gairah remaja masjid dalam berbagai kegiatan

keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Atas hal itu, maka umat Islam

harus memberi perhatian khusus terhadap pembangunan masjid dan

pembinaan masjid, baik di kota maupun di pedesaan.

2. Pengiriman Da'i

Dalam rangka membina umat Islam terutama di pedesaan dan

daerah transmigrasi, sekaligus membentengi umat dari berbagai pengaruh

terhadap pendangkalan akidah, pemurtadan dan segala strategi yang

diluncurkan para misonaris Kristen, maka perlu adanya pengiriman da'i ke

62

tempat tempat tersebut. Para da'i dapat direkrut dari masyarakat desa

sendiri, dan ia harus dibekali dengan berbagai ilmu dan keterampilan yang

diperlukan dalam melaksanakan tugas di lapangan. Melalui pengiriman

da'i ini diharapkan umat Islam yang berada di daerah-daerah tersebut dapat

terbina keimanan dan keislamannya. Akidah dan keyakinan mereka dapat

dibentengi dari berbagai pengaruh negatif dari luar, baik pengaruh ajaran

nativisme (ajaran yang digali dari bumi sendiri) maupun pengaruh

misionaris Kristen yang cukup pesat perkembangannya.

3. Penerbitan

Perlu adanya tulisan-tulisan yang berisi ajaran Islam mulai dari

persoalan akidah, syari'ah maupun akhlaq. Tulisan tersebut dapat

dituangkan dalam buku, majalah, brosur dan lain-lain. Majalah dan buku

tersebut harus bisa menjangkau semua pihak, mulai dari golongan awam,

menengah maupun terpelajar. Tujuannya adalah memberikan informasi

keagamaandan sosial kemasyarakatan pada masyarakat secara luas, supaya

mereka dapat memahami agama dan persoalan-persoalan sosial secara

tepat.

Dalam rangka menjaga keserasian dalam pelaksanaan penyebaran

agama di Indonesia, Pemerintah telah menyelenggarakan "musyawarah antar

agama" di Jakarta.

Pancasila menentukan adanya kebebasan menganut agama antara

Islam, Kristen, Protestan, Katholik dan Hindu-Bali. Ini bukan berarti bahwa

meng-kristen-kan orang-orang Islam itu sesuai dengan Pancasila. Kalau tokoh

63

mau berlomba-lomba akan mengembangkan agama-agama masing-masing itu

silahkan lakukan di kalangan bangsa Indonesia yang belum menganut sesuatu

agama. Platform Pancasila menghendaki adanya saling harga menghargai di

antara golongan-golongan agama-agama itu. Kalau orang Islam dikristenkan

adalah bertentangan dengan prinsip itu.

Kalau di suatu lingkungan masyarakat yang hampir tidak ada dijumpai

orang-orang Kristen, kemudian akan didirikan suatu gereja yang megah,

menjadi pertanyaan sekarang apakah masih ada harga menghargai seperti yang

dimaksudkan oleh Pancasila itu? Supremasi atau kekuasaan mutlak dalam

materi dan keuangan diakui ada pada fihak Kristen, yang dipergunakan untuk

mengkristenkan orang-orang Islam yang amat lemah dan miskin dalam

kebendaan, hal ini sangat melukai hati kaum Muslimin.

Pengrusakan gereja-gereja itu sudah tentu melukai kaum Kristen.

Tetapi janganlah dilihat persoalan itu dengan suatu symptomatis approach,

dengan sekedar melayani gejala yang kelihatan. Ibarat orang yang sakit

malaria, kepalanya panas, lantas diberi kompres dengan es, tidaklah akan

menghilangkan penyakit malaria itu. Harus dicari sebab hakiki dari penyakit

itu sendiri, karena panas kepala hanya suatu gejala dari orang yang sakit

malaria. Islam punya kode yang positif tentang toleransi sesama beragama

yang tidak perlu dikhawatirkan oleh orang yang beragama lain.

Tetapi kalau pihak Kristen yang unggul dalam arti materiil dan

intelektuil mengkristenkan orang-orang Islam, ini melahirkan satu ekses yang

serius. Suatu contoh tentang supremasi materiil itu, misalnya, membagi-

64

bagikan beras kepada orang-orang Islam di daerah yang miskin dan melarat

dengan menganjurkan mereka yang telah disuapi dengan beras itu agar masuk

Kristen, menurut agama Islam orang Islam yang masuk Kristen itu adalah

munafik, dan percayalah, kalau orang-orang seperti itu lahirnya masuk Kristen

adalah mereka itu munafik Kristen pula, sebab jadi Kristen karena beras.

Identitas orang-orang Islam jangan diganggu. Perdamaian Nasional

hanya bisa dicapai kalau masing-masing golongan agama, di samping

memelihara identitas masing-masing juga pandai menghormati identitas

golongan lain dan hentikan segera melahirkan golongan-golongan munafik

beragama itu. Terhadap bangsa-bangsa asing yang mau membantu rakyat

Indonesia, kalau betul-betul jujur, mengapa diserahkan melalui missionaris-

missionaris asing Kristen atau Katholik? Jangan diadakan zending asing yang

campur tangan memecah kedamaian ummat Islam dan Kristen Indonesia di

tanah air Indonesia.

Sebagai contoh pula, Bung Natsir menanyakan, apa artinya penjualan-

penjualan mentega yang memakai tanda dan semboyan Advent, sedangkan

mentega itu dijual dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasaran?

Hal itu menimbulkan kejengkelan di kalangan ummat Islam yang sadar. Kalau

kejengkelan seperti itu sudah menumpuk dan tidak bisa mencari jalan ke luar,

maka akibatnya susah menyelesaikannya. Natsir menambahkan agar jiwa

Kristus yang begitu murni jangan dipakai untuk tujuan yang tidak murni dan

ikhlas. Janganlah hal itu sampai menjadi suatu peaceful agression, suatu

penyerangan bersemboyan damai. Tindak tanduk seperti itu segera harus

65

dihentikan oleh pihak Kristen. Akhirnya Natsir mengatakan, coba beritahu

kepada saya, adakah kalangan Islam yang mencetak buku-buku Agama Islam

dan membagi-bagikannya dengan gratis atau dengan harga yang amat murah,

tetapi dengan cara setengah paksa keluarga-keluarga Kristen dan Katolik,

sebagaimana yang setiap kali dilakukan oleh orang Kristen dan Katolik

terhadap rumah tangga rumah tangga Islam,

3.2.3. Keragaman Hidup antar Agama

Sudah tidak diragukan lagi, bahwa bangsa Indonesia sudah memiliki

keragaman hidup antar-agama itu sebagai tradisi, berabad-abad. Sekarang

kalau keragaman itu terganggu, apa sebabnya? Jawabnya ialah, bukan semata-

mata oleh karena masing-masing golongan agama itu merasakan ada perintah

Ilahy, supaya melakukan tugas dakwah agama masing-masing. Tetapi,

sebabnya ialah resep-lama dari misi dan zending yang kembali menjelma di

tanah air ini, yaitu resep "la conquete du monde musulman", (penaklukkan

dunia Islam) yang menjelma dalam tindak tanduk missi dan zending di negeri

ini, yang menjadikan ummat Islam sebagai sasarannya.

Ummat Islam merasakan bahwa mereka sedang terancam. Mulanya

secara instinctief, lambat laun mereka menyadari, bahwa Agama mereka

sedang menjadi sasaran dari satu kegiatan kristenisasi yang terarah dan

expansif. Lalu merekapun merasa terpanggil oleh panggilan suci untuk

membela dan mengamankan Agama dan Ummat mereka daripada bahaya

pengkristenan itu.

66

Apabila aksi dan reaksi ini dibiarkan berjalan terus, maka sangat

dikekhawatiran terhadap keselamatan perikehidupan bernegara, sekarang dan

untuk di masa depan. Maka tugas masyarakat sekarang ialah, menjawab

pertanyaan "Apakah bangsa ini memeluk bermacam-macam agama, yang

sudah sama-sama berjuang dan ingin terus menegakkan Negara Republik

Indonesia ini sebagai negara bersama, bisa mencari dan mendapat satu modus

vivendi (metode yang memungkinkan antara kedua belah pihak yang

bersengketa untuk dapat hidup berdampingan dalam sementara waktu dengan

jalan menahan nafsu masing-masing, persetujuan sementara, jalan tengah)

yang menjamin keragaman hidup antar-agama, dengan tidak mengkhianati

keyakinan agama masing-masing?"

Menurut Natsir (1983: 212) dalam menjalankan kewajiban dakwah,

orang Islam memiliki strategi dakwah dengan mengacu pada kode dan ethik,

sebagai pedoman.

- Antara lain kode ethik ini, menegaskan bahwa keyakinan agama tidak

boleh (dan memang tidak bisa) dipaksa-paksakan. "Tidak ada paksaan

dalam keyakinan-agama" Oleh karena itu dakwah harus dilakukan

"dengan kebijaksanaan (hikmah), dengan didikan yang baik-baik

(mau'idzah hasanah) dan dengan bertukar fikiran dengan cara yang

terbaik (mujadalah billatihiya ahsan)"

- Sesuai dengan kode dan ethik itu pula, kami Ummat Islam tidak

menganggap Ummat Masehi sebagai orang-orang heiden atau orang

animis yang masih belum beragama. Ummat Masehi bagi umat Islam

67

adalah apa yang disebut Ahli-Kitab, yang mempunyai kedudukan yang

khusus dalam penilaian umat Islam terhadap Ahli-Kitab (Masehi dan

Yahudi). Umat Islam diperintahkan untuk menyerukan:

"Aku diperintah supaya berlaku adil terhadapmu.Allah adalah Tuhan kamidan Tuhan-mu jua,Bagi kami amalan kami, bagi-mu (pulalah) amalan-mu.Tak ada (alasan untuk) sengketa antara kita (dalam urusan agama);Allahjua akan menghimpun kita (semua). Dan kepada-Nya-lah kita akan (sama-sama) kembali!" (Al-Qur'an : As-Syura 15).

Kami berseru kepada Saudara-saudara kami Ahli Kitab : ............"Marilahkita sama-sama kembali kepada titik-pertemuan antara kami dan Saudara-saudara, yakni supaya kita tidak menyembah selain daripada Allah, dansupaya tidak mendewakan antara satu sama lain ........!"(Al-Qur'an: Al'Imran 64).

Demikian seruan umat Islam kepada Saudara-saudara Ahli-Kitab.

Sekiranyapun seruan ini tidak diterima, maka itu bagi orang Islam, sama sekali

tidak menutup pintu untuk sama-sama hidup berdampingan secara damai.

3.2.4. Indonesia Jadi Sasaran Kristenisasi

Menurut Natsir (1983: 243) Indonesia menjadi sasaran Kristenisasi

dari segenap penjuru dunia. Dari Eropah, di mana ada "World Council of

Churches", yang berpusat di Geneva, dan dari Vatikan yang berpusat di Roma

dan berpuluh-puluh lembaga-lembaga missi dan zending di luar kedua badan

tersebut, dari Amerika Serikat, seperti Baptis, Advent, Yehova, "Students

Crusade for Christ", dan lain-lain, besar dan kecil. Semua itu datang ke

Indonesia dengan tenaga-tenaga bangsa asing berupa pendeta-pendeta, guru-

guru agama dan pekerja-pekerja sosial (social workers), dipelopori oleh

sarjana-sarjana dan mahasiswa-mahasiswa ahli riset. Datang ke sini dengan

alat-alat modern untuk propaganda agama Kristen, seperti film, kaset-kaset,

68

buku-buku dan bacaan, malah juga kapal-kapal penginjil yang mendatangi

pantai-pantai dan kepulauan-kepulauan seperti pulau Lombok, Sumbawa,

Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain-lain. (Kapal penginjil "Logos", "Stella

Maris", "Ebenezer" dan lain-lain).

Menurut Natsir (1983: 243) di daerah-daerah di luar Jawa seperti

Nusatenggara, Kalimantan, missi dan zending itu telah mempunyai alat-alat

komunikasi modern sendiri berupa pemancar-pemancar radio, dan pesawat-

pesawat terbang cesna, dan di mana perlu, bisa dapat lisensi dari Departemen

Perhubungan R.I. untuk membuat landasan pesawat terbang sendiri.

Pegawai-pegawai Pemerintah dan jawatan pos-pun mendapat "service"

dari dinas-penerbangan missi/zending itu, terutama di daerah-daerah yang

terpencil. Umpamanya dari Timur Kupang ke Waingapu, dua kali seminggu.

Di Irian Barat tidak usah disebut lagi karena di sana itu sudah merupakan

warisan dari Kolonial Belanda dulu.

Peta yang diterbitkan oleh Dewan Gereja Indonesia (Council of

Churches in Indonesia) sepintas lalu dapat memberi gambaran yang nyata

bagaimana kepulauan Indonesia ini sudah dibagi-bagi menjadi sasaran dari

tidak kurang ratusan Gereja di bawah pimpinan Dewan Gereja Indonesia.

Menurut Natsir (1983: 244) untuk ekspansi Kristenisasi ini, baik

Dewan Gereja Sedunia, ataupun Vatikan dan Lembaga-lembaga Missi luar

negeri lainnya mengadakan approach baru, yaitu approach "Pembangunan

Ekonomi" dengan semboyan "Dari Gereja ke Masyarakat". Sudah ada satu

Lembaga yang bernama C.C.P.D. (Council of Churches Participation on

69

Development = Majlis Partisipasi Gereja dalam Pembangunan), yang aktif

dibidang "pembangunan ekonomi" dengan berbagai cara, pembangunan desa-

desa pertanian dengan latihan keterampilan, pemberian-pemberian kredit

langsung kepada petani melalui lembaga-lembaga yang dinamakan Credit

Union, transmigrasi dan lain-lain.

C.C.P.D. menjadikan empat negara di dunia ini sebagai proyek

utamanya, yaitu Ethiopia, Kamerun, Caribia, dah Indonesia. Sangat naif dan

bodoh sekali apabila dikatakan bahwa organisasi-organisasi missi dan zending

dari luar negeri itu dengan modal yang tidak terbatas dan dengan para ahli,

baik di bidang agama ataupun dibidang teknik riset, semata-mata berdatangan

ke Indonesia ini sekedar untuk menolong meningkatkan kesejahteraan dan

ilmu pengetahuan bangsa Indonesia saja, seperti umpamanya yang dilakukan

oleh Palang Merah Internasional, Ford Foundation dan lain-lainnya.

Dalam prakteknya juga tidak begitu. Pada tiap-tiap Rumah Sakit yang

didirikan pasti di tiap-tiap kamar ada tergantung palang salib, dan tiap-tiap

sekolah yang diakui bermutu tinggi, mewajibkan kepada murid-murid yang

beragama Islam, agar turut, serta dalam mengikuti pelajaran Injil dan turut

serta pula dalam melakukan Rituil ibadah secara Kristen. Di Sekolah-sekolah

Menengah umpamanya, tidak diberi kesempatan bagi murid-murid yang

beragama Islam melaksanakan Ibadat seperti sholat Jum'at dan Asar

umpamanya. Apalagi untuk menerima pelajaran agama Islam.

Kejadian di beberapa sekolah, di mana baik murid-muridnya ataupun

guru-gurunya yang merupakan mayoritas beragama Islam, diharuskan mengaji

70

Injil dari lembaga missi asing yang bernama: "The Gideons International"

hanyalah satu contoh dari keadaan yang umum. Di mana-mana dilakukan

pembelian tanah dan rumah (milik orang Islam) yang strategis tempatnya

untuk digunakan oleh missi dan zending, dengan harga yang luar biasa

tingginya. Pemilik-pemilik Islam yang berada dalam keadaan serba miskin

secara berangsur-angsur menyingkir ke pinggiran lagi.

Di desa Cigugur, di kaki gunung Ceremai dekat Kuningan Jawa Barat,

umpamanya, satu rumah kecil mungil di mana sebelumnya dilakukan tabligh-

tabligh agama Islam dan yang kebetulan berada di hadapan gereja, dengan

mudah saja dibeli oleh Gereja dan di suatu daerah digunakan untuk satu

poliklinik Kristen yang bernama "Sekar Kemulyaan". Begitulah seterusnya

berlaku, baik di kota-kota besar,. maupun di pedalaman Indonesia.

Di Indonesia, gereja-gereja didirikan di tengah-tengah desa orang

Islam dan sawah-sawah. Petugas-petugas missi membeli tanah yang

tempatnya strategis dengan harga yang sangat tinggi (2 kali, malah 3 kali dari

harga biasa) guna mendirikan gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Apabila si

pemilik tanah memperlihatkan keengganannya menjual (kepada missi), maka

petugas-petugas missi mengirim orang (lain) yang membeli tanah itu atas

namanya sendiri, akan tetapi sesudah itu dijual lagi kepada missi. Gereja

membagi-bagi beras, pakaian dan uang.

Gereja meminjamkan uang atau bahan-bahan kepada para petani

miskin dengan syarat supaya mereka memasukkan anak-anaknya ke sekolah

missi.' Banyak anggota-anggota dari Partai Komunis yang sudah dilarang dan

71

sedang berada dalam tahanan atau penjara didekati, oleh petugas-petugas

missi. Petugas-petugas itu menawarkan beras dan uang tunai yang akan

diserahkan secara kontinu kepada famili dari orang-orang Komunis yang

sedang dalam tahanan dengan syarat agar mereka nanti menanda tangani satu

keterangan dimana mereka mengakui sudah masuk agama Katholik.

Pekerja-pekerja industri textil yang kehilangan mata pencaharian

dalam keadaan ekonomi yang sulit ini ditawarkan bantuan berupa beras dan

uang tunai. Rumah-rumah besar yang telah diwariskan pemilik-pemilik kaya

untuk keluarganya, dijual kepada missi. Banyak toko-toko dan rumah-rumah

tempat tinggal dirombak menjadi gereja-gereja. Club-club, ruang-ruang

bacaan, perpustakaan, tempat berenang dan lapangan olahraga dibuatkan

untuk pemuda-pemuda bukan Kristen.

Puteri-puteri Kristen mencoba merayu pemuda-pemuda Islam masuk

Kristen. Pemuda-pemuda Kristen merayu puteri-puteri Islam masuk Kristen.

Pernah terjadi bahwa guru-guru Islam yang menerangkan ayat-ayat Al-Qur'an

mengenai Yesus dikenakan tahanan oleh petugas Pemerintah yang beragama

Kristen atau diseret oleh pemuda-pemuda Kristen kepada petugas-petugas

Pemerintah. Rumah dari keluarga Islam dikunjungi oleh petugas-petugas missi

yang mendesak supaya mendengarkan penerangannya mengenai agama

Kristen.

Sebenarnya warga Indonesia Kristen dan warga Indonesia Islam, di

waktu sama-sama keluar dari penjajahan, pada hakekatnya, sama-sama miskin

kalau dikatakan miskin, dan sama-sama kaya kalau dikatakan kaya. Akan

72

tetapi, dengan terus mengalirnya ratusan juta dollar ke Indonesia, dari negeri-

negeri industri di Eropah, Amerika, dan lain-lain untuk missi dan zending,

keadaan mendadak sontak sudah berubah. Di kota-kota besar ataupun kecil,

berdirilah seperti jamur sesudah hujan, gedung-gedung besar, berlapis-lapis

berupa Rumah Sakit Kristen, Universitas Kristen, Percetakan Kristen,

Christian Center, Youth Center Advent, dan sebagainya.

Terus terang, organisasi-organisasi dakwah dan Sosial Islam seperti

Muhammadiyah, Jami'atul Washliyah dan lain-lain takkan mungkin dapat

menandinginya. Bagaimana pedati-kuda disuruh berlomba dengan kereta

ekspres. Pendeknya D.G.I./Vatikan/C.C.P.D., dan lembaga-lembaga missi dan

zending luar negeri itu, bukan tandingannya bagi ormas-ormas dan yayasan-

yayasan Islam. Malah dinas-dinas Pemerintah RI di bidang sosial, pertanian,

peternakan, kesehatan dan lain-lain dari Kabupaten kebawah pun bisa atau

sudah kewalahan, lantaran tak cukup tenaga dan dana operasionil.

Di tengah-tengah keadaan itu semua, ummat Islam yang awam

merasakan dirinya sebagai "armoed-zaaiers", perlambang kemiskinan yang

sewaktu-waktu, musim paceklik bisa menadahkan tangan, menerima susu

kaleng dan bulgur luar negeri dari tangan Romo Pastur atau tuan Domine dari

Jerman, Amerika dan lain-lain. Oleh karena itu, Dr. Verkuyl sebagai sarjana

yang terkenal aktif dalam gerakan zending, juga untuk Indonesia, hendaknya

jangan heran, apabila ummat Islam di Indonesia ini merasakan agamanya

dalam kepungan. Kata-kata ini tidak berlebih-lebihan.

73

Menurut Natsir (1983: 248) dalam tahun 1967 dalam satu

permusyawaratan antar-agama yang sengaja diadakan oleh Pemerintah di

kantor Dewan Pertimbangan Agung (D.P.A), Presiden Suharto pernah

mengadakan suatu appeal agar hendaknya ummat beragama memusatkan

perhatiannya dalam mempertinggi mutu agama golongan masing-masing, dan

menjaga agar jangan ada satu golongan Agama merasakan dirinya sebagai

sasaran propaganda dari agama yang lain. Dari pihak golongan Islam diajukan

sebagai suatu "Modus vivendi" satu rumusan piagam antar-agama yang sesuai

dengan appeal Presiden Suharto tersebut. Akan tetapi, sebagaimana Dr.

Verkuyl barangkali juga sudah mengetahui, pihak Kristen baik Protestan

maupun Katholik sama-sama menolaknya mentah-mentah.

Maka semenjak itu berlakukah apa yang terlihat sekarang sebagai

gejala "Free fight for all", dengan "survival of the fittest" di bidang agama.

Gejala yang menimbulkan satu situasi yang dapat pujian oleh Dr. Verkuyl,

lantaran "dipermukaan air" kelihatannya rukun, indah sekali akan tetapi yang

hanya tampaknya demikian, justru lantaran pada pihak ummat Islam, syukur

masih ada kekuatan untuk mengontrol diri dan menekan perasaan, atau ada

kepatuhan bercampur takut kepada pihak penguasa. (Kuatir kalau-kalau nanti

dituduh "ekstrim kanan" pula, atau dianggap "menentang Rencana

Pembangunan Pemerintah" dan sebagainya dan sebagainya (Natsir (1983:

248).

74

BAB IV

ANALISIS STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI

MISIONARIS KRISTEN

4.1 Pandangan M. Natsir Tentang Dakwah

Natsir sebagai salah seorang pejuang dan da’i yang memberi

pengertian dakwah yaitu usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada

perorangan, mannusia dan seluruh umat. Konsepsi tentang pandangan dan

tujuan hidup manusia di dunia ini yang meliputi amar ma’ruf nahyi munkar,

dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan akhlak dan

membimbing pengalamannya dalam perikehidupan perseorangan,

perikehidupan berumah tangga (usrah), perikehidupan bermasyarakat dan

perikehidupan bernegara (Shaleh, 1976 ).

Menurut Natsir (dalam Luth, 1999 : 131) ada tiga unsure dakwah yaitu:

pertama: Amal perbuatan lisan, kedua : aktualisasi Islam dengan karya-karya

nyata, ketiga : kepribadian terpuji sebagai sokogurunya. Pemahaman konsep

dakwah seperti ini mempunyai implikasi terhadap perubahan masyarakat, baik

dari sosiokulturalnya maupun geopolitiknya, adapun masyarakat pada level

sosio kultural yang sederhana, hanya menghendaki perubahan seadanya

dengan memotivasi mereka dengan konsep Islam bagi perubahan. Hal ini

berbeda dengan masyarakat pada level geopolitiknya dengan tingkat tajam

berfikir dan kemampuan daya kritis yang kuat. Dalam level ini masyarakat

menghendaki perubahan yang lebih mendasar dimana perubahan itu sendiri

75

mempunyai implikasi nyata dalam kehidupan. Dalam hal ini, ajaran Islam

tidak dipahami sebagai dukungan sosial untuk kemajuan hidupnya. Dalam

konteks ini, tugas dakwah Islam ini lebih diarahkan sebagai kewajiban pribadi,

buakan sebagai kewajiban kolektif. Artinya semua orang harus berdakwah

untuk dirinya, keluarganya, danmasyarakat dimana saja dan kapan saja,

supaya dapat memacu adanya “perubahan”. Untuk bangsa Indonesia dengan

komunitas muslim sebagai mayoritas tunggal maka logis kalau ajaran Islam

di negeri ini. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan tidak demikian adanya.

Artinya, Masyumi dengan dakwah politiknya bisa berhasil, tentu warna

kehidupan bernegra sudah pasti lain, mungkin mayoritas muslim Indonesia

akan hidup dalam bimbingan ajaran Islam yang sekaligus menjadi tolak

ukurnya.

M. Natsir memang serius dengan sebuah obsesi yang tampak ideal,

yaitu bagaimana memperjuangkan Islam secara politis pada elite birokrat, baik

dalam pemerintahan orde lama maupun orde baru. Tarjet yang di inginkan

adalah bagaimana mengislamkan umat Islam di Indonesia. Karena sebagai

mayoritas tunggal, ini merupakan satu dilema besar sebagai pencerminan

kehidupan Islam. Hal ini tidak boleh di diamkan begitu saja, harus

diperjuangkan secara serius melalui kekuatan politik. Kendatipun gagal karena

dibubarkan oleh kekuasaan Soekarno, M.Natsir tetap memiliki komitmen yang

kuat tentang dakwah Iskam itu. Inilah yang terlihat dalam pernyataanya,

“kalau dulu, kita berdakwah dengan politik tetapi sekarang kita bberpolitik

melalui dakwah.” Melalui pernyataan m.Natsir ini dapat di ketahui kemauanya

76

yang kuat untuk menyampaikan dakwah Islam melalui jalur politik secara

formal. Akan tetapi apa hendak dikata kemauannya tersebut tidak dapat izin

dari pihak penguasa.

Sebgai konsekuensi dari pernyataan tersebut maka isi dakwah Islam

yang lebih digemari oleh m. Natsir tampak bergeser. Artinya pada tahun

199330an dakwah Islam m.Natsir lebih terfokus pada materi Islam sebagai

petunjuk ritual. Disana, M. Natsir tanpak tegas mengajarkan tauhid, sholat,

dan lain-lain dengan satu muara, yaitu ingin menjadikan masyarakat Islam

supaya “ mengamalkan” ajaran Islam. Hal tersebut berubah ketika M.Natsir

ikut mengambil bagian pada sejumlah jabatan politis tahun 1940-an. Lebih

terasa lagi adalah ketika M. Natsir menjadi ketua umum Masyumi pada tahun

1949-1958 dan menjadi perdana mentri RI pada tahun 1950-1951.

orienrasinya pada materi dakwah tanpak berubah, yaitu ingin menjadikan

kekuatan politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam di Indonesia.

Karenanya, M. Natsir tanpaknya lebih intens berbicara, menulis, bahkamn

menggalang potensi-potensi umat yang dipandangnya memiliki nuansa politik

dan komitmen yang kuat terhadap kepentingan Islam. Hal tersebut tidak saja

dilakukannya pada masa pemerintahan orde lama, tetapi juga pada masa

pemerintahan orde baru. Tema-tema dakwah yang mendapatkan perhatiannya

adalah masalah politik, ekonomi, pendidikan, dan hal-hal yang dipandang

sebagai kekuatan yang melemahkan Islam.

Dalam pemerintahan Orde Baru, Dewan Dakwah Islamiyah

Indonesia (DDII) dan M. Natsir sebagai pemimpinnya hingga wafatnya, selalu

77

berjuang dan berdakwah. Misi dakwah yang dikembangkan oleh DDII

tanpaknya sangat vokal dan agak kritis terhadap siapa saja yang ingin

memadamkan ajaran Islam, tidak peduli apakah interen Umat Islam, terlebih

lagi terhadap kelompok selain Islam. Dalam konteks ini, secara transparan

dapat terlihat bagaimana M. Natsir berbicara dengan elite birokrasi di

Indonesia tentang beberapa hal yang dipandang merugikan masyarakat.

Demikian juga terhadap pemimpin-pemimpin spiritual agama lain, M. Natsir

juga berbicara soal nasib umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Terlepas dari kekurangan M. Natsir sebagai mannusia dalam bidang dakwah

Islam, beliau memiliki kepribadian yang utuh. Kemampuan menulis dan

ceramah mi bar serta ikut sertanya dalam setiap gerakan masyarakat dalam

dakwah nyata, apalagi didukung olehn kepribadiannya yang begittu teguh

maka beliau pantas diberi penghargaan sebagai “ mujahid dakwah “.

Kalau pemerintah Orde Baru hingga saat ini masih belum memberi

pengharagaan kepada M. Natsir sebagai salah satu pahlawan nasional, itu

hanya pertimbangan politis saja. Akan tetapi, umat Islam tentunya akan

memberi penghargaan moral yang lebih tinggi dari sekedar pahlawan nasional.

M. Natsir pantasdisebut “mujhid dakwah “, tidak saja pada skala nasional

tetapi juga dalam skala internasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya

pengakuan tokoh-tokoh dunia tentang andil M. Natsir terhadap kepentingan

umat pada masa hidupnya. hanya saja disayangkan, generasi penggantinya

tidak sehebat beliau sehingga ada praduga sepertiny telah terjadi stagnasi

kepemimpinan. Hal tersebut disebabkan karena orang-orang kepercayaannya

78

hanya sekedar mengandalkan kehebatannya sebagai pemimpin besar dan

berlindung dibawah kepemimpinannya yang sangat kharismatik. Mereka tidak

atau kurang berani menimba Ilmu dan pengalaman darinya. Tidak terpikirkan

oleh M. Natsir untuk membina kader penggantinya yang lebih andal karena

kesibukannya mengurus kepentingan dakwah. Hal ini bisa terjadi pada

siapapun, termasuk M. Natsir, karena tidak diprogramkan terlebih dahulu.

Memang diakuui, menciptakan generasi yang handal bukanlah suatu

pekerjaan yang mudah. Akan tetapi, upaya menciptakan generasi pengganti itu

harus dimulai sejak dini sehingga kalaupun kemampuan itu tidak sama persis

minimal berada tidak terlalu jauh dibawah kemampuan pemimpin yang

digantikan. Katakanlah seperti Nabi Muhammad SAW, beliau tidak

menciptakan para sahabatnya menjadi nabi-nabi sesudahnya. akan tetapi,

mereka para sahabat mendapat bimbingan langsung secara intensif dari beliau.

Karena itu, dalam sejarah Islam diketahui sesudah wafatnya nabi, masih ada

penggantinya, yaitu Khulafa ar-Rasyidin.

Diakui atau tidak., pola kepemimpinan yang bertumpu hanya pada

seseorang merupakan kelemahan terbesar dari umat Islam pada umumnya pola

ini tampaknya tidak percaya pada kemampuan generasi penggantinya. Dengan

kata lain, pola kepemimpinan ini hanya mengakui kehebatan dan kelebihan

pribadi pemimpinnya dan meniadakan kehebatan serta kelebihan generasi

berikutnya.

M. Natsir sebenarnya tidak termasuk pada pola kepemimpianan

tersebut, dalam artian secra hukum. Maksudnya, secara teoretis/ hukum, M.

79

Natsir mempunyai orang-orang kepercayaan yang duduk bersamanya salam

memimpin DDII, dan sudah barang tentu beliau secara langsung ataupun tidak

membimbing atau mengader orang-orang dekatnya sebagai penggantinya.

Akan tetapi, bila dilihat kenyataanya, M. Natsir tampaknya tidak bisa

menghindarkan diri dari pola kepemimpinan tersebut, karena setelah

wafatanya M. Natsir, tidak lahir “ M. Natsir M. Natsir baru yang sehebat

beliau.

Ternyata, melisannkan pepatah “ patah tumbuh hilang berganti “ atau

“patah satu tumbuh seribu “ itu tidak mudah tetapi kenyataanya tidak

demikian. Hal ini bisa terjadi karena ada beberapa faktor sebagai

penyebabnya. Pertama, lemahnya progaram pembinaan kader sebagai penerus

generasi atau terlalu percaya pada kemungkinan munculnya kader-kader

penerus secara ilmiah. Kedua, ada kecenderungan sang pemimpin untuk

membesarkan harapan yang berlebihan pada masanya bahwa setelah ia tiada,

pasti ada pengganti yang lebih baik dari dirinya, sehingga urusan pembinaan

generasi diserahkan kepada seleksi alam. Ketiga, da semacam penyakit takut

kalah bersaing dalam masa kepemimpinan seseorang,sehingga proses generasi

berjalan tanpa bimbingan atau tanpa disiapkan. Hal ini semakin parah lagi

ketika ada praduga bahwa yang disiapkan itu boleh jadi dapat mengambil alih

kepemimpinannya secara paksa karena ada kepentingan-kepentingan tertanam

( vetsed interst ).

Jalan keluar menghadapi kendala ini adalah berdakwah sambil

menyiapakan generasi pengganti dengan program-program yang terarah.

80

Untuk hal tersebut, konsep dakwah Islam juga harus diarahkan pada proses

terbentukkant regenerasi dalam arti luas sehingga dalam wajah masyarakat

Islam terliahat ada kelanjutan proses alih generasi, bukan stagnasi dalam

generasi kita menyadari bahwa mencarai pemimpin seperti M. Natsir bukan

hal yang muadah, tetapi tidak akan tumbuh pemimpin-pemimpin seperti beliau

kalau tidak diupayakan melalaui program-program pengaderan. Bahkan,

janagn bermimoi untuk mendapatkan tipe-tipe pemimpin seperti M. Natsir

kalau hanya diserahkan kepada seleksi alam.

Ada hal yang perlu disempurnakan dalam gerakan dakwah yang

dilakukan oleh M. Natsir. Dakwah Islam yanng dilakukan beliau hanya

terfokusnya pada pendekatan formal, terutama dalam menghadapi elite

birokrasi. Tidak tampak pendekatan dakwah yang bersifat lebih kekeluargaan

atau dari hati kehati seperti bapak dengan anaknya. Pendekatan yang serba

formal inilah yang menimbulkan jarak yang cukup jauh dengan penguasa

sehingga menimbulkan sikap kurang akrab dan bershabat yang membawa

konsekuensi kecurigaan pihak elite birokrasi terhadap misi dakwah yang di

emban oleh M. Natsir. Tampaknya, M. Natsir dalam gerakan dakwahnya,

terkesan sebagai seorang mubaligh yang menyampaikan kebenaran dengan

berorientasi pada apa yang disebut qul al- haq walau kaana murran

”katakanlah yang benar walaupun rasanya pahit”. Tugasnya menyampaikan

informasi dakwah dalam arti tabligh. Ia tidak memainkan peran dakwahnya

sebagai da’i pengundang yang objek dakwah dijemput dan dihormati ketika

menerima informasi dakwah. Sebenarnya, dakwah yang bertumpu pada amar

81

ma ruf nahi munkar harus lebih di artikan sebagai undangan atau mengundang

para objek dakwah dengan diberi penghormatan sebagai tamu, diajak

berbicara dari hati kehati, didengar keluhan dan kesulitan apa yang sedang

dihadapi oleh mereka ( objek dakwah ), kemudian sang da’i mencoba

memberi solusi dengan pilihan-pilihan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan

kemampuan mereka. Sudah barang tentu tawaran pilihan tersebut diikuti

dengan cara-cara yang arif dengan bahasa yang santun.

Dakwah Islam dalam arti sekadar tabligh atau asal menyampaikan

saja tanpa memperhatikan siapa dan apa yang sedanng dihadapi oleh objek

dakwah, apalagi tidak memberikan solusi dan hanya sekedar menuding, sudah

waktunya dihindari karena cara tersebut dipandang tidak menyelesaikan

masalah, malah bisa sebaliknya.

M. Natsir tampaknya masih menghendaki kekuatan politik sebagai

alat dakwah amar ma ruf nahi munkar. Kehendaknya ini dapat dibaca pada

ucapan “ kalau dulu, kita berdakwah melalui politik maka sekarang, kita

berpolitik melalui jalur dakwah.

4.2. Konsep Dakwah M Natsir dalam Menghadapi Misionaris Kristen

M. Natsir menaruh perhatian khusus terhadap kristenisasi di Indonesia.

Perhatian khusus ini dituangkan dalam bentuk konkret dengan melakukan tiga

upaya besar, yaitu 1) mengirimkan tenaga dai Dewan Dakwah Islamiyah

Indonesia (DDII) ke pelosok daerah dengan salah satu tugasnya membendung

kristenisasi, 3) menulis dua karya ilmiah yang monumental yaitu, Islam dan

Kristen di Indonesia dan Mencari Modus Vivendi antarumat Beragama di

82

Indonesia, dan 3) mengirim surat kepada Paus Yohanes Palus 11 di Vatikan

dengan permohonan agar membuka mata, memperhatikan kristenisasi yang

tengah digencarkan di negara Republik Indonesia dengan penduduk yang

mayoritas muslim.

M. Natsir menyoroti kristenisasi di Indonesia ini pada tiga hal utama,

yaitu kristenisasi itu sendiri, diakonia (pelayanan yang berkedok sosial), dan

modus vivendi.

M. Natsir mengatakan,

Kegiatan misi Kristen/Katolik di Indonesia tampak meningkat setelahmeletusnya pemberontakan Komunis G. 30 S/PKl. Keluarga orang-orang komunis yang ditangkap dan umat Islam yang miskin, adalahsasaran utama mereka. Berpuluh-puluh ribu orang terpaksa masukKristen berkat bujukan-bujukan dan dana-dana misi tersebut.Organisasi-organisasi misionaris itu bermacam-macam, dan cara yangmereka jalankan dalam kegiatannya bertentangan dengan Pancasila(kebebasan menganut agama) (Natsir, 1983: 207).

Pada tahun 1967, misi tersebut mulai menunjukkan cara-cara yang

sangat menyinggung perasaan umat Islam, yaitu mendirikan gereja-gereja dan

sekolah-sekolah Kristen di lingkungan kaum muslim.

Gereja-gereja dan sekolah-sekolah Kristen tumbuh bagaikan jamur dimusim hujan di seluruh pelosok Indonesia. Keadaan yang demikian itutelah menimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan, yaituperusakan gereja di Meulaboh, Aceh, pada bulan Juni 1967, perusakangereja di Ujungpandang (Makasar) bulan Oktober 1967, danperusakan sekolah Kristen di Palmerah, Slipi, Jakarta (Natsir, 1983:207)..

Agama Kristen Katolik di Indonesia tampaknya benar-benar

memanfaatkan kesempatan dengan melakukan upaya kristenisasi secara

terbuka pasca G. 30 S/PKI. Peluang ini ternyata berhasil merayu sebagian

83

umat Islam untuk berpindah ke agama mereka. Yang lebih demonstratif lagi

adalah sebagai minoritas, mereka tidak segan-segan mendirikan gereja,

sekolah-sekolah di tengah-tengah lingkungan masyarakat mayoritas muslim.

Mereka tidak segan-segan melakukan ajakan Kristenisasi dari rumah ke rumah

kepada umat Islam dengan membagikan sejumlah materi yang menjadi

kebutuhan masyarakat Islam. Alasannya sederhana, yaitu bantuan sosial dan

kepedulian mereka terhadap nasib sebagian umat Islam yang memerlukan

bantuan. Jika diteliti, sebenarnya kegiatan seperti ini tidak lebih dari suatu

penyerangan yang bersemboyan kedamaian.

Dari segi ini, Kristen/Katolik melalui misionarisnya tampak sudah

melampaui batas, sebab mereka sudah tidak mengindahkan lagi etika

beragama, atau dengan pengertian lain, para misionaris Kristen/Katolik

tampak demonstratif memasuki rumah-rumah orang Islam dengan berbagai

dalih untuk menyampaikan pekabaran Injil. Sebagai contoh kecil, dapat

dikemukakan suatu kejadian misi mereka yang membawa korban

meninggalnya H. Achmad al-Amudi di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa

Timur.

"Pada hari Minggu pukul 11.15, rumah H. Achmad al-Amudi di JalanPendowo Lawang, Kabupaten Malang, tanggal 7 Oktober 1979didatangi 3 (tiga) orang tamu, masing-masing bernama Sukamto, UtuHutapea, dan Tri Sulistio. Ketiga orang tersebut mengaku dari GerejaAdvent, Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, yang bermaksudmenyampaikan ajaran Yesus Kristus, dengan membawa beberapabrosur. H. Achmad al-Amudi memberi kesempatan duduk di ruangtamunya.

Mengetahui maksud yang demikian itu, H. Achmad lantas mengatakan

bahwa dia orang Islam dan sudah mempunyai keyakinan sendiri. Karena tamu

84

tersebut memaksa menyampaikan ajakannya, maka terjadilah perdebatan dan

akhirnya H. Achmad meminta agar ketiga orang tersebut keluar dari

rumahnya. Pada saat tolak-menolak di halaman rumah, maka berteriaklah H.

Achmad, 'kurang ajar'. Orang tidak mau 'kok dipaksa-paksa.' Setelah berkata

demikian, ia meninggal dunia karena emosi dan shock.

Menurut keterangan Anis (21 tahun, putra tertuanya), ia sempat

melihat dorong-mendorong antara ayahnya dengan Sukamto dan mendengar

perdebatan ayahnya dengan ketiga tamu itu. Terakhir, ia ikut membantu

ayahnya yang roboh ke tanah. Dikabarkan, sebelum bertamu ke rumah korban

H. Achmad, ketiga misionaris Advent tersebut mendatangi rumah Saleh yang

juga beragama Islam di jalan Pendowo. Walaupun terjadi dialog soal Tuhan

Yesus sebagai juru selamat dan lain-lain, Saleh tetap tidak menggubris rayuan

mereka. Kemudian tamu tersebut menuju ke rumah Ny. Edy yang tidak jauh

dari rumah korban. Ny. Edy beragama Katolik dan suaminya beragama Kung

Fu Cu. Dalam pertemuan itu, Sukamto mengatakan, 'Mengapa Nyonya tidak

memaksa suami Nyonya masuk Kristen?' Demikian tamu itu menganjurkan.

Diberitakan juga, sebelum melakukan kegiatan 'penyebaran agama',

Gereja Advent Lawang meminta izin kepada Kepala Desa Lawang, A. Hadi.

Mereka meminta izin akan beranjangsana ke rumah-rumah pengikutnya.

Permintaan itu diizinkan dengan syarat tidak boleh masuk ke rumah orang

yang sudah menganut agama Islam. Ternyata, mereka menyimpang dan masuk

ke rumah-rumah orang Islam. Dari situlah terjadi peristiwa H. Achmad al-

85

Amudi, yang saat itu menimbulkan ketegangan dan keresahan umat Islam di

Lawang. Demikian ucap A.Hadi.

Peristiwa di atas menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, ajaran

Kristen/Katolik yang selama ini berpangkal pada kasih sayang seperti yang

digembar-gemborkan, ternyata diselewengkan oleh para misionaris, atau

mungkin ajaran itu sekadar bermakna simbolik untuk memperlancar misi

mereka menambah pengikut agama mereka. Kedua, peristiwa itu tampak tidak

etis karena para misionaris tidak segan-segan melakukan pemaksaan terhadap

masyarakat yang telah memeluk agama lain. Ketiga, menempuh segala cara

dengan mengecoh para pejabat desa untuk kepentingan misionaris. Terhadap

hal-hal seperti inilah, M. Natsir angkat bicara, yang dikenal dengan sebutan

"tiga saran untuk tiga pihak". Untuk menghindari agar insiden-insiden

semacam itu tidak terulang lagi, ia menyarankan hal-hal berikut. 1) Golongan

Kristen tanpa mengurangi hak dakwah mereka untuk 'membawa pekabaran

Injil sampai ke ujung bumi supaya menahan diri dari maksud dan tujuan

program kristenisasi itu. 2) Orang Islam pun harus dapat menahan diri, jangan

cepat-cepat melakukan tindakan-tindakan fisik. Hal ini hanya bisa dilakukan

apabila orang Kristen dapat menahan diri. 3) Sementara itu, pemerintah harus

bertindak cepat terhadap pihak Kristen yang telah tidak mematuhi larangan

pemerintah, agar tidak timbul perasaan tidak berdaya di kalangan orang Islam,

seolah-olah mereka tidak mendapat perlindungan hukum dan jaminan hukum

terhadap rongrongan pihak lain.

86

Adapun dalam konteksnya dengan istilah diakonia, maka yang

dimaksud dengan diakonia adalah penyalahgunaan pelayanan masyarakat dan

sikap tidak toleran orang-orang Kristen terhadap umat Islam. Terhadap

diakonia ini, M. Natsir dan kawan-kawannya (K.H. Masykur, K.H. Rusli

Abdul Wahid, dan H.M. Rasyidi) pernah mengirim surat terbuka kepada Paus

Yohanes Paulus II melalui Duta Besar Tahta Suci di Jakarta. Mantan Perdana

Menteri RI, mantan Menteri Agama RI, mantan Menteri Negara RI, dan

mantan Menteri Agama RI ini membeberkan bagaimana lihainya misi

Kristen/Katolik melalui diakonia di Indonesia. Dalam surat tersebut, M. Natsir

dan kawan-kawannya berkomentar soal diakonia sebagai berikut.

"But we witness with concern that the progress of the Indonesiandevelopment is being hampered by the disharmony of relationshipbetween Muslims and Cristians, caused by the abuse of diakonia andintolerant attitude of the Cristian towards the Muslims in Indonesia.This condition should not be allowed to continue, because m nationallife we have to recognize the necessity of tolerance and mutualrespect."

Sebagai lampiran surat tersebut, M. Natsir dan kawan-kawannya

membeberkan kegiatan-kegiatan misionaris Kristen di Indonesia. Ditunjukkan

ada 13 (tiga belas) poin kegiatan mereka, yaitu:

a memilih desa-desa yang terpencil dan membantu orang-orang miskin,

b menawarkan pekerjaan,

c perbaikan rumah,

d pertunjukan-pertunjukan film,

e kursus-kursus latihan gratis,

f meniru kebiasaan orang Islam,

87

g penyalahgunaan transmigrasi,

h membangun gereja-gereja dan kapel liar,

i kawin campur,

j perkumpulan-perkumpulan koperasi,

k penyalahgunaan kedudukan,;

l pendidikan di sekolah-sekolah Kristen, dan

m merawat yang sakit dan menguburkan mayat.

Memperhatikan misi tersebut dengan diakonianya, dapatlah dikatakan

bahwa sebenarnya umat Islam telah terkepung oleh upaya kristenisasi dalam

berbagai aspek. Kenyataan ini disadari oleh pemerintah. Ini terbukti dengan

lahirnya beberapa surat dari pemerintah yang bertujuan mengatur tata cara

penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di

Indonesia. Keputusan-keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan

Menteri Agama No. 77 Tahun 1978 dan Keputusan Bersama Menteri Agama

dan Menteri Dalam Negeri No.l Tahun 1979.

M. Natsir rupanya mempunyai pemikiran khusus soal kristenisasi di

Indonesia. Maksudnya adalah kegiatan kristenisasi yang telah melampaui

batas kode etik beragama ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Ini karena

bila umat Islam kehabisan kesabarannya akan timbul tragedi yang paling

berbahaya yang mengancam nasib kelompok minoritas khususnya dan bangsa

Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, perlu dicari pemecahannya untuk

mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam rangka mencari jalan keluar

88

ini, M. Natsir mengajukan perlunya warga yang beragama Kristen dan Islam

sama-sama mengadakan modus vivendi.

Adapun tujuan modus vivendi menurut M. Natsir adalah menciptakan

kehidupan berdampingan secara damai. Modus vivendi M. Natsir tersebut

dapat dipahami karena umat Islam di Indonesia menginginkan hal-hal berikut.

Pertama, antara pemeluk beragama di Indonesia ini supaya hidup

berdampingan secara baik, saling menghargai dan toleransi. Kedua, agar

semua agama di Indonesia merasakan arti hidup intern umat beragama dengan

pemerintah. Ketiga, terwujudnya perdamaian antara masyarakat yang berbeda

agama di negara ini dengan kepentingan pembangunan nasional. Keempat,

menghindari terjadinya perang agama sebagaimana yang sedang terjadi di

berbagai belahan dunia ini. Kelima, tidak kalah pentingnya adalah mengajak

semua manusia dengan perbedaan agama masing-masing untuk mengamalkan

salah satu perintah agama yang paling esensial, yaitu keadilan dalam

keragaman beragama.

Terhadap poin kelima ini, M. Natsir mengatakan,

"Kami umat Islam berseru kepada seluruh teman-teman sebangsa yangberagama lain bahwa negara itu adalah negara kita bersama, yang kitategakkan untuk kita bersama, atas dasar toleransi, tenggang rasa,bukan untuk satu golongan yang khusus. Kami berseru, sebagaimanaseruan Muhammad kepada sesama warga yang berlainan agama. Kamidiperintahkan supaya menegakkan keadilan dan keragaman di antaraSaudara. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan Saudara. Bagi kami,amalan kami; bagi Saudara, amalan Saudara. Tidak ada persengketaanagama antara kami dan Saudara. Allah akan menghimpun kita di harikiamat, dan kepada-Nyalah kita sama-sama kembali."

Konsep dakwah M. Natsir melalui modus vivendi tersebut patut

dihargai oleh pemerintah dan semua umat beragama di Negara Kesatuan

89

Republik Indonesia, karena konsep tersebut menyangkut pemeliharaan

stabilitas dan kelanjutan pembangunan nasional. Dengan demikian, baik

pemerintah maupun masyarakat melalui tokoh-tokoh agama masing-masing,

memperhatikan secara sungguh-sungguh. Sebab, hanya dengan modal

mengamalkan trilogi kerukunan, masyarakat bangsa Indonesia dapat hidup

damai. M. Natsir mengatakan,

"Sekarang, posisi masing-masing sudah jelas. 1. Umat Islam Indonesiasudah mengulurkan tangan mengajukan satu modus vivendi demikerukunan hidup antaragama. 2. Presiden Soeharto sudah berkali-kalimenganjurkan agar satu golongan agama jangan dijadikan sasarandakwah oleh agama lam. 3. Menhankam/Panglima ABRI telahmemperingatkan agar jangan memakai penindasan atau daya tarikekonomi dan kebudayaan untuk pemindahan agama (proselytisme). 4.Konferensi bersama Misi Kristen dengan Dakwah Islam yangberlangsung di Genewa tahun 1976 pun sudah menyadari danmenyarankan agar diakonia dihentikan. 5. Prinsipnya, di tingkat atas,sudah tercapai hasil-hasil yang positif. Tinggal realisasinya oleh parapelaksana lapangan secara praktisnya."

Tampaknya, para petinggi gereja menyambut harapan M. Natsir

tersebut dengan dingin. Kalaupun ada pemimpin umat Kristiani yang ikut

dalam Forum Komunikasi dan musyawarah antara umat beragama itu pun

hanya sekadar simbol belaka. Mereka, para petinggi gereja, tidak terlihat

kesungguhannya ikut mengendalikan umatnya dari hal-hal yang tidak baik

terhadap umat Islam minoritas di daerah-daerah. Bahkan, mereka terkesan

menutup mata atau bahkan mengatur strategi dari belakang terhadap

pembakaran mushala, penganiayaan umat Islam, pembakaran kios-kios,

warung-warung, dan toko-toko milik umat Islam, seperti terjadi di Kupang

NTT, Larantuka, Kabupaten Flores Timur, dan Provinsi Timor-Timur baru-

baru ini.

90

Insiden tersebut sebenarnya sangat menyakitkan hati umat Islam di

Indonesia sehingga dalam hati kecilnya ingin membalas. Akan tetapi, berkat

kearifan para pemimpin spiritual Islam di Indonesia dalam meredam gejolak

emosi para pengikutnya, massa Islam dapat terkendali. Untungnya umat Islam

tidak terpancing dan mau main hakim sendiri atas peristiwa tersebut sehingga

umat Kristiani sebagai kelompok minoritas di Indonesia dapat terlindungi

keselamatan jiwanya. Hal ini diungkapkan oleh Tarmizi Thaher, mantan

Menteri Agama RI, "Kasus Timtim merupakan ujian berat bagi bangsa

Indonesia, terutama bagi umat Islam. Untungnya, umat Islam tidak terpancing

untuk melakukan pembalasan atas perlakuan yang diterima di Timtim.

Bayangkan, kalau umat Islam dari semua provinsi melakukan pembalasan

kepada umat lain, apa tidak akan terjadi malapetaka seperti di Bosnia?"

Viktor Tanja, Pendeta Protestan asal Nusa Tenggara Timur, memuji

sikap umat Islam yang tak beraksi negatif, padahal menurut pemikiran Viktor,

umat Islam akan membalas, sebagai reaksi kebringasan peristiwa Timtim (dan

juga di beberapa daerah di NTT). Katanya,

"Saya sangat memuji sikap umat Islam yang sejuk-sejuk saja dan tidak

bereaksi keras atas musibah di provinsi termuda Indonesia."

Akan tetapi, pujian itu segera ditimpali Amien Rais, Ketua PP

Muhammadiyah (waktu itu),

"Melihat penampilan lahiriah (fisik umat Islam) memang tak bereaksi,

tapi batin umat Islam sangat terkoyak."

91

Malah, ada juga pemuda Islam mendesak mantan Ketua P.P

Muhammadiyah agar diberi izin membakar gereja, tetapi Amien dengan tugas

menjawab, "Jangan ikut-ikut gila."

Kini, peristiwa itu telah berlalu dan pasti meninggalkan bekas luka

yang mendalam bagi umat Islam. Mudah-mudahan saja peristiwa itu tidak

menjadi api dalam sekam. Tugas pemimpin-pemimpin Islam akan semakin

berat dan teruji, apakah suaranya masih dihargai umat atau tidak.

Sementara itu, pihak umat agama lain, terutama para petinggi spiritual

mereka, supaya mengerti bahwa umat Islam di Indonesia ini sudah sangat

toleran dan ekstra sabar demi persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap dan sifat

ini jangan dijadikan alasan untuk terus melakukan penganiayaan dan

penindasan terhadap umat Islam. Kasus Timtim, Kupang, NTT, serta

Larantuka Kabupaten Flores Timur, Ketapang cukup menjadi pelajaran yang

berharga bagi semua pihak. Sifat tahu diri serta sikap pengendalian diri sangat

penting artinya dalam menjaga keutuhan hidup bernegara dan bermasyarakat.

Oleh karena itu, menjadi kewajiban semua pihak menjaganya. Demi

pembangunan nasional, sangat diperlukan sikap kerja sama antarumat

beragama untuk membangun negara RI, sambil bersenandung, "Kemesraan ini

janganlah cepat berlalu."

M. Natsir tampaknya sangat antusias mengusahakan agar trilogy

kerukunan itu benar-benar terlaksana secara nyata, bukan sebagai biasan

bibir belaka. Hanya saja, M. Natsir lupa bahwa kepentingan tertanam (vested

interest) pada masing-masing umat beragama dan semua kekuatan yang ada

92

dalam masyarakat itu pada dasarnya ingin menguasai, ingin menang, dan ingin

dikatakan paling baik. Dengan demikian, sikap ingin menguasai sulit

dihindari, bahkan sering menjadi motivasi utama bagi masing-masing pihak

untuk mengalahkan pihak lain. Hal inilah yang tidak diperhitungkan M. Natsir

sehingga apa yang dilakukannya dalam banyak hal, ada yang menjegal.

Akibatnya, keinginan M. Natsir tidak semua terpenuhi sebagaimana yang

diharapkannya. Bahkan, yang terjadi malah sebaliknya. M. Natsir hanya

memperhitungkan kuantitas umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini. Beliau

lupa bahwa secara politis, umat Islam yang mayoritas itu tidak mempunyai

kualitas yang bisa diandalkan sehingga bukan merupakan hal yang baru,

meskipun dari segi jumlah umat Islam di negeri ini merupakan mayoritas,

tetap saja pengaruhnya terasa sebagai minoritas. Baru belakangan ini mulai

terasa gemanya setelah adanya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia

(ICMI).

Sasaran dari isi-isi dakwah M. Natsir sebagaimana tersebut, pada

dasarnya ditujukan kepada:

a para politisi yang memiliki kekuasaan politik, termasuk lembaga-lembaga

politiknya,

b para ekonom, pengusaha, dan para konsumennya,

c para pendidik, peserta didik, dan kelompok intelektual lainnya yang

mempunyai perhatian dalam dunia pendidikan,

d para penguasa yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan sebagai

pelaksana roda pemerintahan,

93

e para kaum sekuler dengan berbagai paham sekularismenya, dan f. para

alim ulama dan tokoh-tokoh agama lain, termasuk di dalamnya

masyarakat sebagai pengikut/penganut agama masing-masing.

Menurut penulis, dari sasaran-sasaran tersebut, kuncinya terletak pada

penguasa/pemerintah, karena pemerintah mempunyai otoritas mutlak untuk

melakukan suatu perubahan. Dengan pengertian lain, kemauan para elite

birokrasi sangat menentukan warna kehidupan beragama di negara kita ini.

Dengan demikian, bisa dipahami mengapa M. Natsir begitu vokal terhadap

kebijakan penguasa/pemerintah yang menurutnya perlu diluruskan.

M. Natsir secara maksimal telah berupaya menyampaikan isi-isi

dakwah dan sasarannya sebagaimana tersebut di atas. Dilihat dari segi isi dan

sasaran dakwahnya, M. Natsir terkesan memiliki kemampuan intelektual yang

utuh. Artinya, ada keseimbangan secara utuh pesan dakwah yang

disampaikan, baik dari dimensi spiritual maupun sosial. Dalam dimensi

spiritual, M. Natsir banyak menggugah perasaan para objek dakwah dengan

berbagai tulisan dan karya-karya ilmiah keagamaan. Sedangkan, dalam

dimensi sosial, M. Natsir tidak ragu-ragu menyampaikan pesan dakwahnya

yang berisikan kepentingan sosial, termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan

lainnya. Pada sisi ini, M. Natsir ingin menyadarkan umat bahwa Islam itu

meliputi ajaran spiritual dan sosial. Di samping mengamalkan ajaran agama,

umat Islam juga harus mengerti politik, mapan dalam ekonomi,

berpendidikan, dan memiliki kepekaan sosial terhadap setiap masalah yang

94

terjadi di lingkungannya. Ini semua merupakan hal yang sangat baik bagi

kehidupan manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.

Akan tetapi, ketika M. Natsir membicarakan masalah politik sebagai

isi dakwahnya, terkesan ada kepribadian yang tidak utuh pada dirinya. M.

Natsir ketika menyoroti kebijakan para penguasa, termasuk para pejabat

negara, di matanya mereka seperti manusia-manusia yang tidak mempunyai

jasa atau serba salah. Semestinya, M. Natsir secara jujur mengatakan

kelebihan dan kekurangan mereka sehingga tidak terjadi penilaian sepihak

oleh siapa pun juga. Kejujuran ini sangat penting karena akan diikuti oleh para

da'i atau pengikut yang menjadikannya sebagai idola mereka. Sebagai

gambaran global, hal ini terjadi pada majalah bulanan Media Dakwah yang

dikelolanya. Pada majalah mi, para dewan redaksi atau penulis artikel jika

menyoroti masalah-masalah politik selalu dengan nada negatif. Hal-hal

semacam ini sebenarnya tidak perlu terjadi lagi, karena bagaimanapun juga

akan menimbulkan sikap pro dan kontra bagi pembacanya. Bukan merupakan

hal yang mustahil jika hal tersebut akan membentuk opini umat yang akan

menimbulkan sikap antipati terhadap pemerintah. Apabila hal ini terjadi maka

sangat disayangkan karena dakwah Islam terus dibenturkan dengan

kepentingan emosional pribadi. Ini merupakan kerugian bagi umat Islam

secara keseluruhan dan dapat menjadi indikasi bahwa dakwah Islam tidak

berhasil memperbaiki umat.

Hal yang senada juga terjadi ketika M. Natsir membicarakan masalah

sekularisme. Bagi M. Natsir, sekuler itu seperti horor dan hal yang

95

menjijikkan. Karena itu, tidak ada tempat buat paham sekuler di negeri ini.

Tidak hanya itu, orang-orang yang dianggapnya membawa paham sekuler, di

mata M. Natsir semuanya serba salah, padahal tidak semua sekuler itu

salah/menjijikkan. Sekuler dalam pandangan Barat secara terminologis tidak

dapat dibenarkan. Istilah ini, bukan saja M. Natsir yang menolaknya, tetapi

juga umat Islam pada umumnya, karena pengertian sekuler tersebut akan

menolak campur tangan agama dalam urusan keduniaan. Ini yang disebut

bahaya terselubung bagi umat beragama. Penulis melihat bahwa istilah sekuler

secara harfiah mempunyai arti sangat positif, yaitu "memberi perhatian

terhadap masalah-masalah dunia" atau berkenaan dengan kehidupan dunia.

Demikian tulisan Harun Nasution dalam bukunya, Islam Rasional. Istilah ini

sebenarnya sesuai dengan isyarat dari beberapa ayat yang terdapat dalam Al-

Qur'an surat al-Baqarah ayat 201, surat al-Qashash ayat 77, dan lain

sebagainya.

Sebenarnya, sasaran dakwah M. Natsir pada intinya ditujukan kepada

penguasa negara. Hanya saja, M. Natsir tidak begitu akrab dengan penguasa

sehingga menyebabkan sasaran dakwah ini hanya tinggal sebagai teori belaka.

M. Natsir merasa kecewa terhadap sikap para penguasa yang kurang

memperhatikan imbauan, harapan, dan kritiknya. Demikian sebaliknya, para

penguasa merasa disepelekan oleh kritik M. Natsir yang vokal melalui media

massa.

Sebagai mujahid dakwah, M. Natsir seharusnya berpikir demi

kepentingan yang lebih besar bagi umat Islam. Seharusnya, ia mau mengalah

96

dan menjalin hubungan baik dengan para penguasa, kemudian mengajak

mereka secara arif untuk kepentingan umat Islam dan negara RI. Sikap inilah

yang sebenarnya diharapkan oleh umat Islam, karena bagaimanapun juga

kewibawaannya dan suaranya masih didengar oleh pihak penguasa. Sayang

sekali, sikap ini tidak muncul pada pribadi M. Natsir sehingga jurang pemisah

dengan penguasa semakin melebar. Akibatnya, ibarat peribahasa, "Gajah

bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah."

4.3. Strategi Dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini, bahwa

dalam menghadapi misionaris Kristen, Natsir mengetengahkan tiga strategi

dakwah dalam mengimbangi berbagai upaya misionaris Kristen, yaitu strategi

pertama adalah memperbanyak pembangunan masjid. Strategi yang kedua

adalah pengiriman da'i ke daerah terpencil dan desa-desa yang berpotensi

terpengaruh misionaris Kristen, dan strategi ketiga yaitu menerbitkan

berbagai media cetak

Pertama, Pembangunan Masjid. M. Natsir mengatakan bahwa masjid

merupakan salah satu pilar kepemimpinan umat. Dengan demikian, masjid

dipandang sebagai lembaga pembinaan pribadi dan jiwa masyarakat. M. Natsir

melihat adanya gairah remaja masjid dalam berbagai kegiatan keagamaan dan

sosial kemasyarakatan. Oleh karenanya, beliau menganggap penting memberi

perhatian khusus terhadap pembangunan masjid dan pembinaan masjid, baik

di kota maupun di pedesaan.

97

Menurut penulis bahwa perhatian M. Natsir terhadap pembinaan intern

umat Islam melalui masjid, terutama masjid-masjid di pedesaan, itu

merupakan sesuatu yang mulia. Ini karena dengan masjid tersebut, umat Islam

dapat mengonsolidasi dirinya terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang dianutnya.

Wujud dari konsolidasi tersebut akan melahirkan umat Islam yang memiliki

kepribadian sebagaimana yang dikehendaki Islam. Di samping itu, ikut

sertanya DDII secara nyata di masyarakat membuktikan bahwa DDII yang

dimotori oleh M. Natsir itu bukan sekadar organisasi teoretis, tetapi juga

praktis. Hal ini menunjukkan betapa pedulinya DDII terhadap kehidupan

keagamaan umat Islam.

Kedua, Pengiriman Dai. Dalam rangka membina umat Islam terutama

di pedesaan dan daerah transmigrasi, sekaligus membentengi umat dari

berbagai pengaruh terhadap pendangkalan akidah, pemurtadan, dan

sebagainya, DDII mengirimkan dai ke tempat-tempat tersebut. Dakwah yang

dilaksanakan oleh M. Natsir, selain melalui hal-hal tersebut, juga melalui

pengiriman da'i ke daerah-daerah pedesaan, pedalaman, dan transmigrasi. Para

dai umumnya direkrut dari masyarakat desa sendiri. Mereka dididik dan

dilatih, dibekali dengan berbagai ilmu dan keterampilan yang diperlukan

dalam melaksanakan tugas di lapangan. Melalui pengiriman dai ini diharapkan

umat Islam yang berada di daerah-daerah tersebut dapat terbina keimanan dan

keislamannya. Akidah dan keyakinan mereka dapat dibentengi dari berbagai

pengaruh negatif dari luar, baik pengaruh ajaran nativisme (ajaran yang digali

98

dari bumi sendiri) maupun pengaruh misionaris Kristen yang dewasa ini

cukup pesat perkembangannya.

M. Natsir memahami bahwa para da'i yang melaksanakan tugas di

daerah-daerah pedesaan, pedalaman, dan transmigrasi itu menghadapi

berbagai hambatan dan rintangan yang tidak sedikit, baik yang menyangkut

keadaan di lapangan (medan) maupun sarana yang mereka perlukan dalam

melaksanakan tugasnya. Umumnya, sarana yang dipergunakan para dai itu

kurang memadai jika dibandingkan dengan yang dimiliki oleh para misionaris

Kristen. Para misionaris ini antara lain mempergunakan pesawat terbang

dalam melaksanakan tugasnya, seperti di daerah pedesaan dan pedalaman

Kalimantan. Oleh karena itu, ia tidak segan-segan mengirim bantuan

secukupnya sesuai dengan kemampuan yang ada.

Sekalipun bantuan yang diberikan oleh M. Natsir kepada para dai yang

sedang melaksanakan tugasnya itu tidak seberapa besar, namun mereka yang

sebelumnya telah dibekali dengan semangat iman yang mantap, tetap

melaksanakan tugasnya dengan baik. Banyak di antara mereka yang telah

berhasil melaksanakan tugasnya. Bagi sebagian mereka yang telah berhasil,

mendapat beasiswa untuk belajar ke negara-negara Timur Tengah. Hal ini

diberikan selain sebagai imbalan atas tugas-tugas mereka, juga untuk

mengembangkan dan meningkatkan kualitas ilmu dan agama mereka yang

berguna untuk kegiatan dakwah kepada masyarakat di masa yang akan datang.

Ketiga, Penerbitan. M. Natsir tampaknya belum begitu puas atas

dakwah bi al-hal seperti tersebut. la merancang dakwah bi al-kitabah, yaitu

99

melalui tulisan-tulisan yang diorganisasi oleh DDII. Mulai dari brosur berupa

lembaran sampai pada majalah ataupun buku-buku yang ditulisnya sendiri

maupun orang lain. Majalah dan buku-buku tersebut menjangkau semua

pihak, mulai dari golongan awam, menengah, maupun terpelajar. Tujuannya

adalah memberikan informasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan pada

masyarakat secara luas, supaya mereka dapat memahami agama dan

persoalan-persoalan sosial secara tepat. Paling tidak ada lima penerbitan

dakwah yang dikelola secara tertib, dan itu semuanya dikerjakan di kompleks

sekretariat DDII, Jalan Kramat Raya No.45, Jakarta Pusat. Adapun kelima

penerbitan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, majalah serial Media

Dakwah yang dititikberatkan sebagai konsumsi golongan terpelajar dan

menengah. Kedua, majalah Suara Masjid yang isinya lebih difokuskan untuk

konsumsi awam, berisi uraian-uraian tentang tafsir, hadits, dan lain-lain.

Ketiga, Serial Khutbah Jum'at, khusus memuat bahan-bahan khutbah Jumat

untuk para da'i dan masyarakat luas. Isinya kemudian ditambah dengan

pengelolaan manajemen dan pembinaan masjid. Keempat, majalah Sahabat,

bacaan agama dan bimbingan untuk anak-anak dalam membentuk anak yang

saleh. Kelima, Buletin Dakwah, terbit setiap hari Jumat yang terdiri atas empat

halaman. Isinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh semua

pihak. Di samping itu, DDII menerbitkan tabloid Al-Salam sampai sekarang.

Isinya menyangkut masalah keagamaan dan laporan masalah-masalah

kegiatan sosial keagamaan. Dengan penerbitan-penerbitan tersebut, terjalinlah

hubungan yang kontinu dengan wilayah-wilayah, sedikit banyaknya juga

100

dikembangkan bahan-bahan dakwah yang dapat dikatakan "satu nafas" dan

"satu bahasa".

Demikianlah M. Natsir merancang dakwah Islam melalui DDII dalam

bidang penerbitan yang sampai sekarang menjadi bahan bacaan umat Islam.

Dengan misi ini, dakwah Islam yang digemakan melalui DDII akan meluas.

Inilah salah satu karya nyata M. Natsir yang selalu memiliki kepedulian yang

tinggi terhadap umat Islam. Hal tersebut dibuktikan melalui dua etape

perjuangan yang tidak pernah berhenti, yaitu etape perjuangan politik dalam

Orde Lama dan atape perjuangan dakwah dalam Pemerintahan Orde Baru.

Kelanjutan perjuangan ini menunjukkan bahwa M. Natsir benar-benar ingin

berbuat sesuatu yang terbaik untuk kepentingan bangsa dan umat Islam.

Hanya saja keinginan tersebut tidak semuanya terlaksana karena adanya

kendala internal dan eksternal. Secara internal, pola dakwah yang

dikembangkan M. Natsir sangat formal dan terkesan beroposisi dengan pihak

penguasa. Sedangkan secara eksternal, sikap M. Natsir tersebut mau tidak mau

mengundang rasa tidak suka dari pihak penguasa yang dalam beberapa hal

secara langsung ataupun tidak hambatan tersebut dirasakan oleh M. Natsir

dalam mengembangkan dakwahnya.

101

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan pada temuan berbagai sumber, hasil karya M. Natsir dan

berupa tulisan tentang Natsir yang penulis paparkan di awal maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

5.1.1. Pandangan M Natsir tentang dakwah, bahwa dalam dimensi spiritual,

M. Natsir banyak menggugah perasaan para objek dakwah.

Sedangkan, dalam dimensi sosial, M. Natsir tidak ragu-ragu

menyampaikan pesan dakwahnya yang berisikan kepentingan sosial,

termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan lainnya.

5.1.2. Pandangan M Natsir tentang misionaris Kristen dengan melahirkan

konsep modus vivendi yaitu menciptakan kehidupan berdampingan

secara damai. Modus vivendi dapat dipahami karena umat Islam di

Indonesia menginginkan terwujudnya perdamaian antara masyarakat

yang berbeda agama, dan menghindari terjadinya perang agama.

5.1.3. Strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen. M.

Natsir mengetengahkan tiga strategi dakwah dalam mengimbangi

berbagai upaya misionaris Kristen, yaitu strategi pertama adalah

memperbanyak pembangunan masjid. Strategi yang kedua adalah

pengiriman da'i ke daerah terpencil dan desa-desa yang berpotensi

102

terpengaruh misionaris Kristen, dan strategi ketiga yaitu menerbitkan

berbagai media cetak.

5.2. Saran-saran

Meskipun konsep dan strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi

misionaris Kristen kurang memuaskan atau mungkin masih dianggap kurang

memadai dalam menguraikan, namun setidaknya dapat dijadikan masukan

bagi masyarakat terutama para da'i. Konsep tokoh ini dapat dijadikan studi

banding oleh peneliti lainnya dalam menghadapi misionaris Kristen

5.3. Penutup

Seiring dengan karunia dan limpahan rahmat yang diberikan kepada

segenap makhluk manusia, maka tiada puji dan puja yang patut

dipersembahkan melainkan hanya kepada Allah SWT. Dengan hidayahnya

pula tulisan sederhana ini dapat diangkat dalam skripsi yang tidak luput dari

kekurangan dan kekeliruan. Menyadari akan hal itu, bukan suatu kepura-

puraan bila penulis mengharap kritik dan saran menuju kesempurnaan

tulisan ini.

103

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Amrullah, 1983. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Primaduta.

Anshari, Hafi. 1993. Pemahaman dan Pengamalan Dakwah. Surabaya: al-Ikhlas.

Arifin, M., 2000. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Arikunto Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,Jakarta, Rinika Cipta.

Berkhof, H.. 1991. Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia.

Dermawan, Andy et. al, Metodologi Ilmu Dakwah, Yogyakarta: LESFI.

Fuchan, Arief, dan Agus Maimun. 2005. Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ghazali, Adeng Muchtar, 2004. Agama dan Keberagamaan dalam KonteksPerbandingan Agama, Bandung: Pustaka Setia.

------. 2005. Pemikiran Islam Kontemporer Suatu Refleksi Keagamaan YangDialogis, Bandung: Pustaka Setia, 2005

Hadid, Yusuf Ismail, 2005. Menghalau Missionaris dan Misi SucinyaMengkristenkan Dunia, Yogyakarta: Pustaka Fahima.

Hafidhuddin, Didin, 2000, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani

Harahap, Syahrin, dan Hasan Bakti Nasution. 2003. Ensiklopedi Aqidah Islam.Jakarta: Prenada Media.

M. Amirin, Tatang. 1995. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Ma'arif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme Di Indonesia. Yogyakarta:Logung Pustaka.

Madjid, Nurcholish, 2000. Islam Doktrin Dan Peradaban. Jakarta: YayasanWakaf Paramadina.

-------. 2000. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina.

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. RosdaKarya.

Munsyi, Abdul Kadir. 1981. Metode Diskusi Dalam Dakwah. Surabaya: al-Ikhlas.

Nabil bin Abdurrahman al-Muhaisy. 1994. Virus Fikrah Melemahkan KetahananUmmat. Jakarta: Wacanalazuardi Amanah

104

Natsir, M.. 1983. Islam dan Kristen di Indonesia. Jakarta: Media Dakwah.

--------. 1985. Fiqhud Da'wah. Jakarta: Media Dakwah.

--------.1973. Capita Selecta, Jakarta : Bulan Bintang.

--------. 1982. Pesan Islam Terhadap Orang Moderen. Jakarta : Media Dakwah.

--------.1988. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah. Jakarta : Giri MuktiPasaka

Njotorahardjo, Niko et.al. Transformasi Indonesia, Jakarta: Metanoia.

Pimay, Awaludin. 2005. Paradigma Dakwah Humanis. Semarang: Rasail.

Rais, Amien, 1999, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan

Sanusi, Shalahuddin. t.th. Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Dakwah Islam.Semarang: CV Ramadhani.

Shihab, M. Quraish. 1988. Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam DialogBebas Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah.

Siagian, Harbangan, 1994, Manajemen Suatu Pengantar, Semarang: SatyaWacana.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3 ES.

Sulthon, Muhammad. 2003. Desain Ilmu dakwah, Kajian Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suriasumantri, Jujun S. 1993. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka SinarHarapan.

Suryabrata, Sumardi. 1992. Metodologi penelitian, Jakarta: Rajawali Pers (Cet.VVII).

Syihab, Abu Deedat, 2005. Membongkar Gerakan Pemurtadan Umat Islam:Dokumen Kristenisasi, Jakarta: Pustaka Tazkiya Az Zahra.

Umar, Toha Yahya,1985, Ilmu Dakwah, Jakarta, Widjaja.

Umary, Barmawie. 1980. Azas-Azas Ilmu Dakwah. Semarang: CV Ramadhani.

Ya'qub, Hamzah. 1973. Publisistik Islam, Seni dan Teknik Dakwah. Bandung: CVDiponegoro.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an. 1989. Al-Qur'an danTerjemahnya. Jakarta: Depaq RI.

105

Zahrah, Abu, 1994, Dakwah Islamiah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Referensi lain:

Harian Kompas, 7 Juli 2004.

Harian Suara Merdeka, 10 April 2006.

Majalah Spirit, 2003

106

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Sri Wahyuni

NIM : 1105054

Tempat / tgl. lahir : Kayu Aro, Kerinci Jambi 06 Juni 1986

Alamat Asal : Jl. Hanura Bento Kayu Aro Kerinci Jambi

Pendidikan : - SDN 91/III Kayu Aro Kerinci Jambi lulus th. 1999

- MTss Kayu Aro Kerinci Jambi lulus th 2002

- MA Al-Ikhsan Purwokerto lulus th 2005

- Fakultas Dakwah Jurusan MD IAIN Walisongo

Semarang angkatan 2005

Demikian daftar riwayat hidup pendidikan ini saya buat dengan sebenar-benarnya

dan harap maklum adanya.

Sri Wahyuni