54
BAB I PENDAHULUAN Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang menyebabkan perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak mempengaruhi fungsi. Struma merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai sehari-hari, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan atau tanpa kelainan fungsi metabolisme dapat didiagnosis secara tepat. Survey epidemiologi untuk struma endemik sering ditemukan di daerah pegunungan seperti pegunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan dan daerah pegunungan lainnya. Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada wanita dibanding pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1.000 wanita, sedangkan pria 1-5 dari 1.000 pria. 1

Struma

Embed Size (px)

DESCRIPTION

etiologi, klasifikasi, patofisiologi, terapi, pencegahan

Citation preview

Page 1: Struma

BAB I

PENDAHULUAN

Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan

jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang menyebabkan

perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak mempengaruhi fungsi. Struma

merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai sehari-hari, dengan anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan atau tanpa kelainan fungsi metabolisme

dapat didiagnosis secara tepat.

Survey epidemiologi untuk struma endemik sering ditemukan di daerah

pegunungan seperti pegunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan dan daerah pegunungan

lainnya. Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada wanita dibanding

pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1.000 wanita, sedangkan pria 1-5 dari

1.000 pria.

1

Page 2: Struma

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi, Anatomi, dan Histologi Kelenjar Tiroid

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan tiroid, perlu diingat kembali tentang

anatomi tiroid. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali

sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu

penyakit atau kelainan.

Embriologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus pharyngeus

pertama dan kedua pada garis tengah atau lekukan faring antara branchial pouch pertama

dan kedua. Mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm pada akhir bulan pertama

kehamilan. Dari bagian tersebut timbul divertikulum yang kemudian membesar, jaringan

endodermal ini turun ke leher sampai setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang

kemudian membentuk 2 lobus, yang akhirnya melepaskan diri dari faring. Penurunan ini

terjadi pada garis tengah. Sebelum lepas, ia berbentuk sebagai duktus tiroglossus, yang

berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan menghilang

pada usia dewasa. Sisa ujung kaudal duktus tiroglossus lebih sering mengalami obliterasi

menjadi lobus piramidalis kelenjar tiroid. Tetapi ada beberapa keadaan yang masih

menetap, sehingga dapat terjadi kelenjar di sepanjang jalan tersebut, yaitu antara

kartilago tiroid dengan basis lidah. Dengan demikian, kegagalan menutupnya duktus akan

mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang letakya abnormal, dinamakan persisten

duktus tiroglossus, dapat berupa kista duktus tiroglossus, tiroid lingual atau tiroid

servikal. Sedangkan desensus yang terlalu jauh akan menghasilkan tiroid substernal.

Branchial pouch keempatpun akan ikut membentuk bagian kelenjar tiroid, dan

merupakan asal mula sel-sel parafolikular atau sel C yang memproduksi kalsitonin.

Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan

intrauterin.

1

Page 3: Struma

Anatomi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang dihubungkan oleh

ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian

ketiga yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari garis

tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan embrional tiroid yang masih tertinggal. Setiap

lobus tiroid berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat

kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan asupan yodium. Pada orang dewasa berat

normalnya antara 10-20 gram. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu lapisan yang

disebut true capsule.

Pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan laring melalui kapsul

fibrosa, sehingga akan ikut bergerak kea rah cranial sewaktu menelan.

Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m. sternotiroid

dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline. Pada sebelah yang lebih

superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda dan superfisialis yang

membungkus m. sternokleidomastoideus dan vena jugularis eksterna. Sisi lateral

berbatasan dengan a. karotis komunis, v. jugularis interna, trunkus simpatikus dan arteri

tiroidea inferior. Posterior dari sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, n. laringeus

rekuren dan esophagus. Esofagus terletak di belakang trakea dan laring, sedangkan

n.laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagikus.

Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior berasal dari

a.karotis kommunis atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari a.subklavia, dan

a.tiroidea ima berasal dari a.brakhiosefalik salah sau cabang arkus aorta. Saraf yang

melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal tiroid sebelum masuk

ke laring.

Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit, kira-kira 50 kali

lebih banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Pada keadaan

hipertiroidisme, aliran darah ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar

bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar.

2

Page 4: Struma

Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik, sedangkan

system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di permukaan

membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior.

Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar paratiroid

menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius.

Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus

trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada di atas

ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang langsung ke

duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran

keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid

Gambar 2. Vaskularisasi dan Persarafan Kelenjar Tiroid

3

Page 5: Struma

Gambar 4. Vaskularisasi Kelenjar Tiroid

Gambar 4. Anatomi Tiroid Potongan Melintang

Histologi Kelenjar Tiroid

Secara histologi, parenkim kelenjar ini terdiri atas:

4

Page 6: Struma

1. Folikel-folikel dengan epithetlium simplex kuboideum yang mengelilingi suatu massa

koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang menjadi bentuk kolumner katika folikel

lebih aktif (seperti perkembangan otot yang terus dilatih).

2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel yang

berjauhan.

Gambar 5. Histologi Kelenjar Tiroid

Fisiologi Hormon Tiroid

Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4). Bentuk

aktif ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4

di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Yodida anorganik

yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan

kadarnya menjadi 30-40 kali yang afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida

anorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian

dari tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau

diyodotirosin (DIT). Senyawa atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang

lain akan menghasilkan T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian

besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang

kemudian mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam

sirkulasi, hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid

binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine binding

prealbumine, TBPA).

5

Page 7: Struma

Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid (thyroid

stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis.

Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon

tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative feedback terhadap lobus anterior

hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.

Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin.

Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme kalsium, yaitu

menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap tulang.

Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah, yaitu:

1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.

2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid

merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai

status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.

3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu

tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim

tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).

4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)

menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin)

dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh

enzim tiroperoksidase.

5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi

dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada

dalam sel folikel.

6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.

Proses ini dibantu oleh TSH.

7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,

dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan

dalam proses ini.

6

Page 8: Struma

8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan

kompleks golgi.

Gambar 6. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

7

Page 9: Struma

2.2. Definisi Struma

Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena

pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi

atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.

Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat

mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar

tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga

mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan

disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi

serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang

besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.

2.3. Epidemiologi Struma

2.3.1. Distribusi dan Frekuensi

a. Orang

Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005 struma

nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki (12,12 %) dan 435

orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun 259 orang (52,3 2%),

struma multinodusa toksik yang terjadi pada 1.912 orang diantaranya orang laki-laki (8,9

%) dan 174 perempuan (91,1%) dengan usia yang terbanyak pada usia 31-40 tahun

berjumlah 65 orang (34,03 %).

b. Tempat dan Waktu

Penelitian Ersoy di Jerman pada tahun 2009 dilakukan palpasi atau pemeriksaan

benjolan pada leher dengan meraba leher 1.018 anak ditemukan 81 anak (8,0%)

mengalami struma endemis atau gondok. Penelitian Tenpeny K.E di Haiti pada tahun

8

Page 10: Struma

2009 menemukan PR struma endemis 26,3 % yang dilakukan pemeriksaan pada 1.862

anak usia 6-12 tahun.

Penelitian Arfianty di Kabupaten Madiun tahun 2005 dengan sampel 40 anak yang

terdiri dari 20 anak penderita gondok dan 20 anak bukan penderita gondok menunjukan

PR GAKY 31,9 % di Desa Gading (daerah endemik) dan 0,65 % di Desa Mejaya (daerah

non endemik).

2.3.2. Determinan Struma

a. Host

Kasus struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki namun

dengan bertambah beratnya endemik, perbedaan seks tersebut hampir tidak ada. Struma

dapat menyerang penderita pada segala umur namun umur yang semakin tua akan

meningkatkan resiko penyakit lebih besar. Hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh

dan imunitas seseorang yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia.

Berdasarkan penelitian Hemminichi K, et al yang dilakukan berdasarkan data

rekam medis pasien usia 0-75 tahun yang dirawat di rumah sakit tahun 1987- 2007 di

Swedia ditemukan 11.659 orang (50,9 %) mengalami struma non toxic, 9.514 orang (41,5

%) Graves disease, dan 1.728 orang (7,54%) struma nodular toxic.

b. Agent

Agent adalah faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati yang

terdapat dalam jumlah yang berlebihan atau kekurangan. Agent kimia penyebab struma

adalah goitrogen yaitu suatu zat kimia yang dapat menggangu hormogenesis tiroid.

Goitrogen menyebabkan membesarnya kelenjar tiroid seperti yang terdapat dalam

kandungan kol, lobak, padi-padian, singkong dan goitrin dalam rumput liar. Goitrogen

juga terdapat dalam obat-obatan seperti propylthiouraci, lithium, phenylbutazone,

aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium secara berlebih.

Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma yang merupakan

9

Page 11: Struma

salah satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus anak-anak yang

sebelumnya mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium radioaktif pada

tirotoksikosis berat serta operasi di tempat lain di mana sebelumnya tidak diketahui.

Adanya hipertiroidisme mengakibatkan efek radiasi setelah 5-25 tahun kemudian.

c. Environment

Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya kurang sekali

mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapat struma endemik adalah di

Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes, Himalaya di mana iodinasi profilaksis

tidak menjangkau masyarakat. Di Indonesia banyak terdapat di daerah Minangkabau,

Dairi, Jawa, Bali dan Sulawesi.

Berdasarkan penelitian Mafauzy yang dilakukan di Kelantan Malaysia pada tahun

1993 dari 31 daerah yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah pesisir, pedalamam

serta diantara pantai dan pedalaman. Sebanyak 2.450 orang dengan usia >15 tahun

ditemukan PR GAKY 23 % di wilayah pesisir dengan kelompok usia terbanyak pada usia

36-45 tahun (33,9 %) , 35,9 % di wilayah pedalaman pada usia 15-25 tahun (39,6 %) dan

44,9 % diantara pedalaman dan pesisir pantai pada usia 26-35 tahun (54,3 %).

Berdasarakan penelitian Juan di Spanyol pada tahun 2004 terhadap 634 orang yang

berusia 55-91 tahun diperiksa ditemukan 325 orang (51,3 %) mengalami goiter

multinodular non toxic, 151 orang (23,8 %) goiter multinodular toxic, 27 orang (4,3%)

Graves disease, dan 8 orang (1,3 %) simple goiter.

2.4.Klasifikasi Struma

Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek

fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi.

2.4.1. Berdasarkan Fisiologisnya

Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

10

Page 12: Struma

a. Eutiroidisme

Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan

stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis

menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacam ini

biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi

secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.

b. Hipotiroidisme

Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga

sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk

mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme

mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat

pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar

dalam sirkulasi.

Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara

dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut

rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan

bicara.

c. Hipertiroidisme

Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai

respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang

berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah

yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan

tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.

Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat,

keringat berlebihan, kelelahan, lebIh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga

terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot

(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot. Gambar penderita

hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini.

11

Page 13: Struma

2.4.2.Berdasarkan Klinisnya

Secara klinis pemeriksaan klinis struma dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :

a. Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh, berdasarkan

perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :

1. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus,

seperti yang ditemukan pada Grave’s disease.

2. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah satu

lobus, seperti yang ditemukan pada Plummer’s disease.

b. Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada tubuh,

berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi :

1. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter.

2. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid.

Adapun klasifikasi klinisnya adalah sebagai berikut:

a. Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal

b. Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat

c. Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala

menengadah

d. Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa

e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6 meter

f. Grade IV : struma yang amat besar

2.5. Patogenesis Struma

Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :

1. Hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid

Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan berkompensasi

dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula dengan kelenjat tiroid pada

12

Page 14: Struma

saat masa pertumbuhan atau paa kondisi memerlukan hormon tiroksin lebih

banyak, misal saat pubertas, gravid dan sembuh dari sakit parah.

a. Non toxic goiter: difus, noduler

b. Toxic goiter: noduler (Parry’s disease), difus (Grave’s disease)/Morbus

Basedow

2. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid

a. Tiroiditis akut

b. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)

c. Tiroiditis kronis (Hashimoto’s disease dan struma Riedel)

3. Neoplasma

a. Neoplasma jinak (adenoma)

b. Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum,folikularis, anaplastik

2.6. Struma Difusa Toksik

2.6.1 Definisi

Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Grave’s Disease. Penyakit ini juga

biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus,

hipertiroidi dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda

dengan gejala seperti berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi

terhafap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi

berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan

adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang terdapat juga manifestasi pada mata berupa

exophthalmus dan miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak

diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap

reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit

ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.

13

Page 15: Struma

Gambar 5 Penderita Grave’s disease

2.6.2 Patofisiologi

Grave’s Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan system

imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid Receptor

Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara

berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid

dalam tubuh menjadi meningkat.

2.6.3 Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan

metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas.

Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan seringkali

asupan ( intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat

badan secara drastis.

Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk

peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/ cardiac

output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi

meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus celer; penderita akan

mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom

14

Page 16: Struma

dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan

fibrilasi ventrikel.

Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul

polidefekasi dan diare.

Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita sulit

tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi,

kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat

menggangu.

Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang

tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya

cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan

elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut.

Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.

Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap reseptor

pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan

lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata

terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata

akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.

Gambar 6. Skema Patogenesis Grave’s Disease

15

Page 17: Struma

2.6.4 Tatalaksana

Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/

hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol.

Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan

yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi

dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid

besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen

meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

2.7. Struma Nodosa Toksik

2.7.1 Definisi

Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus

yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia

dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun

dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit Grave’s oleh Plummer, maka

disebut juga Plummer’s disease.

2.7.2 Patofisiologi

Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar tiroid

yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera diobati, dalam

15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang mempengaruhi

perubahan dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah

menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan penyakit autoimun), pemberian hormon

tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif sebagai pengobatan.

2.7.3 Gejala Klinis

Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Grave’s disease dengan

Plummer’s disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang

16

Page 18: Struma

membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat

merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu lobus.

2.7.4 Tatalaksana

Terapi yang diberikan pada Plummer’s Disease juga sama dengan Grave’s yaitu

ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian

antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih

antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau

tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika

pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang

baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai

terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

2.8. Struma Difusa Nontoksik

2.8.1 Definisi

Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid

yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan berhubungan dengan defisiensi diet

dalam harian. Epidemologi Endemik goiter diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada

populasi anak sekolah dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa

penelitian. Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter

endemik sering terjadi di derah pegnungan, seperti di himalaya, alpens, daerah dengan

ketersediaan yodium alam dan cakupan pemberian yodium tambahan belum terlaksana

dengan baik

2.8.2 Patofisiologi

Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya

defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh kelainan

sintesis hormon tiroid kongenital ataupun goitrogen (agen penyebab goiter

seperti intake kalsium berlebihan maupun sayuran familiBrassica). Kurangnya iodin

17

Page 19: Struma

menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu

peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone) ke dalam darah sebagai efek

kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari

sel folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran

ini dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut

kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi

iodin endemik, pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada.

Kondisi itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid

mengikuti level dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.

Goiter Difus

Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang

tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik

(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat juga

disebut sebagai goiter koloid karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya

dipenuhi oleh koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik.

Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya

mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah

teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya. 

Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh

berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis hormon tiroid atau

gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter.

Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi

koloid. Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris,

walaupun pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya

dilapisi oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di

keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan

tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga terbentuk

folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik tiroid akan

terlihat coklat dan translusen, sementara secara histologis akan terlihat bahwa folikel

dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.

18

Page 20: Struma

2.8.3 Gejala Klinis

Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran kelenjar

tiroid. Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun sebagian lagi

mengalami keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-anak

dengan defek biosintetik sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer yodium.

2.8.4 Tatalaksana

Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma dan

mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli selama

4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan kemudian

tapering off dalam 4 minggu. Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga

mengecil maka pengobatan medikamentosa tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan

operatif.

2.9. Struma Nodosa Nontoksik

2.9.1 Definisi

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik

teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma

nodosa menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang

menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda

toksisitas pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa

nontoksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-

tanda keganasan yang mungkin ada.

2.9.2 Patofisiologi

SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi 10%

populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang

yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang

19

Page 21: Struma

belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis

hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil,

fenilbutazone, atau aminoglutatimid.

2.9.3 Gejala Klinis

Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak

ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya

gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi

dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai

membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.

Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala

kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup

dengan strumanya tanpa keluhan.

Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke

depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya

bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah

kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan

pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai

akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar.

Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup

laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.

2.9.4 Tatalaksana

Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam

teknik operasinya antara lain :

a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan

seberat 3 gram

b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus

c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid

20

Page 22: Struma

d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan dan

sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk

mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus.

2.10. Karsinoma Tiroid

2.10.1 Definisi

Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari sel)

yang terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu keganasan pada tiroid yang

memiliki 4 tipe yaitu: papiler, folikuler, anaplastik dan meduller. Kanker tiroid jarang

menyebabkan pembesaran kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul)

dalam kelenjar. Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid bisa

disembuhkan

Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan menyerap yodium dan

membatasi kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi kadang menghasilkan cukup

banyak hormon tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.

2.10.2 Klasifikasi karsinoma tiroid

1. Karsinoma papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan merupakan jenis

paling umum dari karsinoma tiroid. Lebih sering terdapat pada anak dan dewasa muda

dan lebih banyak pada wanita. Terkena radiasi semasa kanak ikut menjadi sebab

keganasan ini. Pertama kali muncul berupa benjolan teraba pada kelenjar tiroid atau

sebagai pembesaran kelenjar limfe didaerah leher. Metastasis dapat terjadi melalui limfe

ke daerah lain pada tiroid atau, pada beberapa kasus, ke paru.

2. Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan merupakan 20-

25 % dari karsinoma tiroid. Karsinoma folikuler terutama menyerang pada usia  di atas

40 tahun. Karsinoma folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering

daripada pria. Pemaparan terhadap sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan resiko

jenis keganasan ini. Jenis ini lebih infasif daripada jenis papiler.

21

Page 23: Struma

3. Karsinoma anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10% dari

kanker tiroid. Sedikit lebih sering pada wanita daripada pria. Metastasis

terjadi secara cepat, mula-mula disekitarnya dan kemudian keseluruh bagian tubuh. Pada

mulanya orang yang hanya mengeluh tentang adanya tumor didaerah tiroid. Dengan

menyusupnya kanker ini disekitar, timbul suara serak, stridor, dan sukar menelan.

Harapan hidup setelah ditegakkan diagnosis, biasanya hanya beberapa bulan.

4. Karsinoma parafolikular, karsinoma parafolikular atau meduller adalah unik

diantara kanker tiroid. Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada wanita daripada pria

dan paling sering di atas 50 tahun. Karsinoma ini dengan cepat bermetastasis, sering

ketempat jauh seperti paru, tulang, dan hati. Ciri khasnya adalah kemampuannya

mensekresi kalsitonin karena asalnya. Karsinoma ini sering dikatakan herediter.

2.10.3 Perbedaan Nodul Tiroid Jinak dan Ganas

Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul

tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :

1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar

digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan

kemudian menjadi lunak.

2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul

yang mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang

sudah berlangsung lama.

3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan, walaupun nodul

ganas tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis, dan

enoftalmus merupakan tanda infiltrasi ke jaringan sekitar

4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas.

5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas terutama

yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif

22

Page 24: Struma

6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening

regional atau perubahan suara menjadi serak.

7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus

sternokleidomastoideus karena desakan pembesaran nodul (Berry’s Sign)

2.11. Langkah-langkah Penegakkan Diagnosis Struma

2.11.1 Anamnesis

Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa benjolan

di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau

hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali lebih

jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan

menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada

tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan

tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk mengetahui apakah ada kecendrungan

ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-

gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo

dan ada tidaknya benjolan di leher.

2.11.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama

dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-

tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.

Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah benjolan tersebut benar

adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien

diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak

saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan

pembesaran kelenjar getah bening leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :

- Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus.

- Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang.

23

Page 25: Struma

- Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa).

- Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras.

- Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi.

- Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus

sternokleidomastoidea.

- Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak.

2.11.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit tiroid

terbagi atas :

a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk mengetahui kadar

T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA)

dan ELISA dalam serum atau plasma darah. Kadar normal T4 total pada orang

dewasa adalah 50-120 ng/dl. Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah

0,65-1,7 ng/dl. Kadar T3 dan TSH sangat membantu untuk mengetahui

hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang

meningkat sampai 3 kali normal.

b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi terhadap

macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum penderita dengan

penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating

hormone antibody (TSA).

c. Pemeriksaan radiologis

Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau

pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa

diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya menjadi pilihan.

USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul, membedakan

antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya jaringan kanker yang tidak

menangkap iodium dan bisa dilihat dengan scanning tiroid, mengukur volume

24

Page 26: Struma

dari nodul tiroid, mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak,

untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi

terarah, dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.

Scanning Tiroid, dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131

yang didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran, bentuk

lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam

kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning tiroid dapat

dibedakan 3 bentuk, yaitu cold nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal

dibandingkan dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah

dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm nodule bila

uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul sama dengan

bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot nodule bila uptake lebih dari normal,

berarti aktifitasnya berlebih dan jarang pada neoplasma.

d. FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar

jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.

e. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi

diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu

keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan

pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau jinak serta

mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.

2.12. Pencegahan

2.12.1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri

dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya struma adalah :

a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku

makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium.

25

Page 27: Struma

b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut.

c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah

dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk

menghindari hilangnya yodium dari makanan.

d. Iodinasi air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini

memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat

terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan dengan yodida

diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang diberikan dalam air yang

mengalir, dan penambahan yodida dalam sediaan air minum.

e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah

endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria

berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan

menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis sedang. Dosis

pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.

f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun

sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc dan

untuk anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.

2.12.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit,

mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit

yang dilakukan melalui beberapa cara yaitu :

a. Diagnosis

1. Inspeksi

Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada

pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat

pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran,

jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk

menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan.

26

Page 28: Struma

2. Palpasi

Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher

dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan

menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.

3. Tes Fungsi Hormon

Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi

tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan

triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur

kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat

diukur dengan assay radioimunometrik.

Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar

tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada

pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal

penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif

(RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan

mengubah yodida.

4. Foto Rontgen leher

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau

menyumbat trakea (jalan nafas).

5. Ultrasonografi (USG)

Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di

layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya

kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan

yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan

karsinoma.

6. Sidikan (Scan) tiroid

27

Page 29: Struma

Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-

99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian

berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil

pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama

adalh fungsi bagian-bagian tiroid.

7. Biopsi Aspirasi Jarum Halus

Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi

aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas.

Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi

kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang

baik atau positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.

b. Penatalaksanaan Medis

Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain sebagai

berikut :

1. Operasi/Pembedahan

Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering

dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien

hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat

diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan

untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau

wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar hormon

tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh

protein maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan

fungsi tiroid.

Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum

pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari.

28

Page 30: Struma

Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak

cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium

untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.

Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong operasi besar.

Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung patologiya serta ada tidaknya

penyebaran dari karsinomanya. Ada 6 macam operasi, yaitu:

1. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang mengandung

jaringan patologis

2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan satu sisi

lobus tiroid

3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang mengandung

jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid

4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang patologis

berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.

5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid

6. Operasi yang sifatnya ”extended”:

a. Tiroidektomi total + laringektomi total

b. Tiroidektomi total + reseksi trakea

c. Tiroidektomi total + sternotomi

d. Tiroidektomi total + FND atau RND

Indikasi operasi pada struma adalah :

1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa

2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan

3. Struma dengan gangguan kompresi

4. Kosmetik

Kontraindikasi pada operasi struma :

29

Page 31: Struma

1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya

2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang

belum terkontrol

3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit

digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang

demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosisnya.

Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukanreseksi

trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher

yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.

4. Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya

karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah

dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan

mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.

Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah

nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut

suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.

Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi

insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan

debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek

maligna yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan

isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi

tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan

terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.

Komplikasi pembedahan tiroid

Komplikasi awal antara lain :

a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior

30

Page 32: Struma

b. Dispneu

c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring terjadi

kelemahan

d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita menjadi

lenih lemah dan sukar mengontrol suara nada tinggi, karena terjadi

pemendekan pita suara oleh karena relaksasi M. Krikotiroid.

Kemungkinan nervus terligasi saat operasi.

e. Trakeomalasia

f. Infeksi

g. Tetani hipokalsemia

h. Krisis tiroid (thyroid storm)

Sedangkan komplikasi lanjut berupa:

a. Keloid;

b. Hipotiroiditi;

c. Hipertiroiditi yang kambuh

2. Yodium Radioaktif

Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small goiter (volume

<100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3) penderita dengan riwayat operasi

sebelumnya, (4) penderita dengan resiko tindakan bedah. (AME Guideline, 2006)

Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan membutuhkan

radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat menyebabkan terjadinya efek resiten

terhadap terapi. Satu satunya kontra indikasi prosedur ini adalah kehamilan dan laktasi,

yang bisa dideteksi segera dengan tes kehamilan pada penderita. (AME Guideline, 2006)

Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita tiroid nodul. Masa

nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan, bahkan mengecil sampai 45%

setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini efektif dan aman, meskipun penelitian lain

melaporkan bahwa pengunaan dosis tinggi dapat menyebabkan thyroid cancer, leukemia;

namun demikian, studi epidemiologi tidak menunjukkan efek klinis yang signifikan

terhadap timbulnya carcinoma dan leukemia. (AME Guideline, 2006)

31

Page 33: Struma

Penggunaan high-iodine-content-drugs (misalnya: amiodarone) hendaknya

dihindari sebelum melakukan prosedur terapi dengan radioiodine, agar tidak

mempengaruhi thyroid radioiodine uptake. Jika mungkin, obat anti-tiroid hendaknya

distop tiga mingu sebelim prosedur pengobatan, dan tidak boleh diberikan selama 3-5

hari pasca prosedur terapi dengan radioiodine, untuk mencegah menurunnya efektifitas

terapi. (AME Guideline, 2006)

Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 – 1800 MBq, dosis

ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Sehinga prosedur ini simple, murah, dan

hasilnya memuaskan. (AME Guideline, 2006)

Prosedur ini dibilang berhasil jika nilai TSH mecapai 0,5 µIU/mL. Jika kondisi ini

belum tercapai, maka terapi dapat diulang setelah 3 sampai 6 bulan. (AME Guideline,

2006)

3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid

Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1 µIU/mL)

masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan nodul tiroid dan

mencegah kembali munculnya nodul baru atau pertumbuhan kecil massa yang serupa

dengan nodul awal. (AME Guideline, 2006)

Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih sering terjadi

pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di banding dengan penderita

yang tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus nodul dapat mengecil, tetapi jika

hanya dengan terapi Levothyroxine (LT4) saja maka persentase keberhasilannya hanya

20%. (AME Guideline, 2006)

Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam sebelum

makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal. Disarankan agar minum

tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan segelas air agar tablet lebih mudah larut

dan mudah terserap. Jangan mengkonsumsi tablet calcium, iron supplements, dan

antasida karena akan menghambat absorbsi obat Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum

yang diberikan adalah 400 microgram per hari. (GNU-Wikipedia, 2007)

Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita dengan

nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine (LT4) harus dihindari

32

Page 34: Struma

pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large nodule), (2) pada kasus long-

standing goiter, (3) jika level TSH <1 µIU/mL, (4) wanita post-menopause, (5) penderita

usia lebih dari 60 tahun, (6) penderita dengan osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit

kardiovaskuler, dan (8) penderita dengan systemic illness. (AME Guideline, 2006)

Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan terhadap

penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4)

hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada minoritas jumlah penderita dan

variasi respons-nya belum diketahui dengan baik. Pengobatan dengan Levothyroxine

(LT4) hendaknya tidak boleh terlalu suppressive karena akan menimbulkan adverse

effect. Jika nodul tiroid tidak mengecil dengan pemberian Levothyroxine (LT4), tindakan

reaspiration harus segera dilakukan. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) tidaklah

berguna untuk tindakan pencegahan recurrent goiter pasca tindakan lobectomy. (AME

Guideline, 2006)

Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan

metimasol/karbimasol.

2.12.3. Pencegahan Tertier

Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial

penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah

sebagai berikut :

a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan

mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.

b. Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan

c. Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik segar

dan bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya melalui

melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan

rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi

aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.

BAB III

33

Page 35: Struma

KESIMPULAN

Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting

untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk

mengetahui ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar

hormon tiroid dalam tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat

diketahui secara dini.

Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk

menentukan diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan menegakkan diagnosis

pasti maka kita dapat mnentukkan tatalaksana yang tepat bagi struma yang dialami oleh

pasie. Apakah memerlukan tindakan pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam

jangka waktu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

34

Page 36: Struma

1. Lal Geeta, Clark OH. Thyroid, parathyroid and adrenal gland : Schwartz Principles of Surgery, 10th edition, Mcgraw-Hilll Education, 2015 : 1521-1556.

2. Jamson, L. Diseases of Tyroid Gland : Harrisons Principles of Internal Medicine, 16 th edition, Mcgraw-Hill Medical Publishing Division, 2005: 2104-2126.

3. Widjosono, Garitno. Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor

Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 2010 : 925-952.

4. Johan, SM. Nodul Tiroid : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat,

Penerbit FKUI, Jakarta, 2006 : 757-778.

5. Djokomoeljanto, R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme dan hipertiroidisme : Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat, Penerbit FKUI, Jakarta, 2006:

779-792.

6. Schteingert David E. Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat,

Buku Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.

7. Liberty Kim H. Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit

Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.

8. American Association of Clinical Endocrinologists and Association Medici Endocrinologi, Medical Guidelines For Clinical Practice for the diagnosis and management of thyroid nodule : ENDOCRINE PRACTICE Vol 12 No. 1. January/February2006. Diunduh dari http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/thyroid_ nodule.pdf tanggal 9 Juni 2015.

35