55
Studi komparasi warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum perdata Penulisan Hukum (SKRIPSI) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Muh Rasyid Ridha E.0005224 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

Studi komparasi warisan anak luar kawin menurut hukum .../Studi...Studi komparasi warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum perdata ... terutama dalam hal kewarisan, anak

Embed Size (px)

Citation preview

Studi komparasi warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum

perdata

Penulisan Hukum

(SKRIPSI)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Muh Rasyid Ridha E.0005224

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2009

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat sebagai suatu kumpulan orang yang mempunyai sifat dan watak

masing-masing yang berbeda, membutuhkan hukum yang mengatur kehidupannya

agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang

timbul dalam kehidupan masyarakat tersebut. Oleh karena itu dibentuklah berbagai

peraturan hukum yang mengatur berbagai hal yang terjadi sepanjang kehidupan

manusia yaitu sejak lahir hingga kemudian kematian merenggutnya. Mengenai hal ini

secara eksplisit terdapat dalam penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan

negara butir 1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Hal ini berarti

bahwa segala sesuatu harus berdasarkan pada hukum yang berlaku di negara RI.

Tuhan menciptakan manusia ini saling berpasang-pasangan dengan tujuan agar

manusia itu sendiri merasa tenteram dan nyaman serta untuk mendapatkan keturunan

demi kelangsungan hidupnya. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia membentuk

sebuah lembaga perkawinan. Di Indonesia sendiri perkawinan adalah sesuatu hal

yang sakral dan agung. Dengan adanya perkawinan tersebut maka diharapkan dapat

membentuk sebuah keluarga yang sejahtera, karena di dalam keluarga dapat

menciptakan generasi yang sehat lahir dan bathin. Generasi yang sehat itu nantinya

akan dapat menciptakan sumber daya manusia yang tangguh dan handal sehingga

dapat memajukan kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya

perlindungan hukum bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup keluarga serta

peraturan hukum yang tegas tentang perkawinan.

Perkawinan merupakan usaha untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan

melindungi nasab. Namun terkadang perlindungan tersebut seringkali ternoda dengan

adanya suatu perzinaan atau hubungan diluar nikah. Seringkali hubungan tersebut

menghasilkan suatu keturunan yang tidak sah yang tentunya keturunan yang dari

hasil perzinaan tersebut mempunyai kedudukan dalam hukum yang berbeda pula

dengan kedudukan terhadap anak sah. Oleh karena itu anak luar kawin sebagai hasil

dari suatu perzinaan yang dilakukan oleh kedua orangtuanya tidak akan mendapat

haknya sebagimana hak yang didapat oleh anak sah terutama dalam hal kewarisan,

anak luar kawin tidak akan bisa mendapatkan warisan dari orangtua biologisnya

sebelum ada pengakuan dari orangtua biologisnya. Padahal anak luar kawin tersebut

bukan menjadi keinginannya untuk dilahirkan dari hasil perbuatan zina. Padahal

menurut Islam anak yang dilahirkan itu dalam keadaan suci walaupun berasal dari

perbuatan zina, hanya perbuatan yang dilakukan oleh orangtuanyalah yang haram.

Sebenarnya undang-undang telah memberikan suatu perlindungan mengenai anak

luar kawin tersebut terutama dalam hal pewarisan.

Dengan perkembangan jaman yang sangat cepat ternyata mempunyai pengaruh

terhadap pergaulan para muda-mudi yang saat ini mempunyai pergaulan yang luas

dan cenderung bebas. Pergaulan-pergaulan tersebut sering kali membawa pada hal-

hal yang negatif yang tidak sesuai dengan norma orang timur. Norma-norma agama

dan hukum sudah tidak ditaati lagi, bahkan tidak jarang ada yang melahirkan anak

yang disebabkan karena hubungan yang terlalu bebas diantara muda-mudi tersebut.

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum di bidang Perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris

sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia

pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum

yang dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang

diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu (Erman Suparman, 2005:

9).

Hukum waris Indonesia masih bersifat plutralistik artinya belum ada kesatuan

(kodifikasi) hukum waris yang dapat diterapkan secara menyeluruh terhadap

masyarakat Indonesia. Hukum waris di Indonesia saat ini berlaku tiga sistem hukum

waris yakni hukum waris Islam, hukum waris Perdata, hukum waris Adat. Sehingga

dengan masih berlakunya tiga sistem hukum kewarisan tersebut diatas maka setiap

penduduk Indonesia menggunakan aturan hukum yang berbeda-beda dalam

menentukan pembagian warisan tergantung dari hukum yang dianutnya sendiri-

sendiri (Wirjono Prodjodikoro, 1983: 18). Sedangkan menurut pendapat R. Subekti

yang dikutip dari buku karangan Surani Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah bahwa

hukum waris Indonesia masih beraneka ragam disamping hukum waris menurut adat,

berlaku hukum waris menurut agama Islam dan hukum waris menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (Surani Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, 2005:2).

Dari ketiga sistem hukum yang mengatur tentang waris tersebut tentunya

mempunyai sumber hukum yang berbeda antar satu dengan yang lain. Waris Islam

yang berasal dari hukum Islam tentunya mempunyai sumber hukum pokok yang

sama dengan sumber hukum Islam itu sendiri sehingga hukum waris Islam sendiri

bersumber dari Al-Qur`an, Hadits dan Ijtihad. Sedangkan dalam hukum Perdata

bersumber dari Kitap Undang-Undang Hukum Perdata.

Dari ketiga sistem hukum warisan tersebut diatas maka hanya hukum waris

Islam dan hukum waris Perdatalah yang sudah mengatur secara terperinci mengenai

bagian-bagian yang diterima oleh setiap ahli waris. Hal ini dapat kita lihat dalam

terdapatnya aturan yang mengatur secara jelas dan terperinci yang mengatur tentang

warisan, dalam hukum Perdata hukum kewarisan diatur dalam buku ke II Kitap

Undang-Undang Hukum Perdata sedangkan dalam hukum Islam Al-Qur`an pun telah

mengaturnya yakni dalam Surat An Nisa` dari ayat 1, 7, 8, 9, 10, 11, 12 serta dalam

surat Al-Anfal ayat 75. Sedangkan dalam hukum waris adat karena merupakan bagian

dari hukum adat yang mana hukum adat yang terdapat di Indonesia saling berbeda-

beda antara satu dengan yang lain maka pengaturan terhadap pembagian warisan pun

juga berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain yang didasarkan pada sistem

kekeluargaan yang dianut apakah menggunakan sistem patrilineal, sistem matrilineal,

ataupun menggunakan sistem parental. Maka sistem hukum waris Islam dan sistem

waris Perdatalah yang dapat digunakan sebagai acuan perbandingan hukum

kewarisan.

Dalam sistem kewarisan di Indonesia anak mempunyai kedudukan yang

diutamakan dibandingkan ahli waris yang lain baik itu menurut sistem hukum Islam,

Perdata ataupun hukum adat oleh karena mereka pada hakekatnya merupakan satu-

satunya golongan ahli waris, artinya lain-lain sanak keluarga tidak menjadi ahli waris

apabila si pewaris meninggalkan anak (Wirjono Prodjodikoro, 1983: 33). Namun

dalam hal suatu warisan dapat terjadi konflik apabila terdapat anak luar kawin yang

dapat menjadi ahli waris. Hal ini dapat menjadi konflik mengingat bahwa anak luar

kawin tersebut juga merupakan anak biologis dari orangtuanya walaupun anak luar

kawin tersebut dihasilkan saat keduanya tidak sedang terikat secara sah menurut

hukum perkawinan yang berlaku. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah

adalah bukan anak yang sah, sehingga membawa konsekuensi dalam bidang

perwarisan. Sebab anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan Perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Mengingat antara anak sah dan tidak sah (anak luar kawin) yang menjadi

perbedaan adalah mengenai konsekuensinya terhadap hukum yang berhubungan

antara orangtua dengan anaknya. Bukan dalam hak-hak sipil (untuk hak-hak sipilnya,

tetap bisa di dapat apabila, ibu bisa mendapatkan akta kelahiran sianak walaupun di

luar nikah, terhadap si anak dari Dinas Kependudukan dan catatan Sipil setempat).

Ketidakjelasan status si anak luar kawin di muka hukum, mengakibatkan hubungan

antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal

bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Oleh karena itu sudah menjadi hak

bagi si anak luar kawin untuk menuntut hak dalam mendapatkan warisan dari

orangtua biologisnya.

Dalam hukum waris Islam dan hukum waris Perdata telah diatur mengenai

warisan bagi anak luar kawin secara berbeda-beda sesuai dengan prinsip-prinsip yang

diatur oleh hukum waris Islam dan hukum waris Perdata yang tentunya bersendikan

terhadap keadilan. Oleh karena itu untuk memberikan gambaran terhadap keadilan

terhadap pembagian warisan terhadap anak luar kawin maka perlulah diadakan

penelitian mengenai hal tersebut.

Sehubungan dengan uraian diatas, penulis tertarik melakukan penelitian dalam

rangka penulisan hukum dengan judul “STUDI KOMPARASI WARISAN ANAK

LUAR KAWIN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA”

B. Perumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, penulis

merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan anak luar kawin di dalam hukum waris Islam dan

hukum waris Perdata?

2. Bagaimanakah pembagian warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan

hukum Perdata?

3. Bagaimanakah penggantian tempat warisan terhadap anak luar kawin dalam

Hukum Islam dan Hukum Perdata?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga dengan adanya

tujuan tersebut dapat dicapai solusi atas masalah yang dihadapi, maupun untuk

memenuhi kebutuhan perseorangan. Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka

penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui kedudukan anak luar kawin di dalam hukum waris Islam

dan hukum waris Perdata.

b. Untuk mengetahui pembagian warisan anak luar kawin menurut hukum waris

Islam dan hukum waris Perdata.

c. Untuk Mengetahui penggantian tempat warisan terhadap anak luar kawin

dalam hukum Islam dan hukum Perdata

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk mengetahui dan memperluas pengetahuan, pengalaman serta

pemahaman penulis tentang warisan anak luar kawin menurut hukum Islam

waris dan hukum waris Perdata

b. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum

guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di

bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari

penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini

antara lain :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat bagi

pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum waris Islam dan

hukum waris Perdata

b. Memberikan wawasan dan pengetahuan tentang warisan anak luar kawin

menurut hukum waris Islam dan hukum waris Perdata

2. Manfaat Praktis

a. Memberi jawaban terhadap permasalahan yang akan diteliti

b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta

tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang

diteliti sehingga tidak ada keraguan lagi mengenai aspek hukumnya, baik dari

hukum Perdata maupun hukum Islam.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep

baru sebagai perspektif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud,

2006: 35).

Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu

tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan

tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat

ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu

maksud.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan

hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan,

yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan

bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji,

kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang

diteliti.

Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder

belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum

kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup

(Soerjono Soekanto 2007:13-14):

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum

b. Penelitian terhadap sistematik hukum

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal

d. Perbandingan hukum

e. Sejarah hukum.

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini termasuk ke dalam tipe

penelitian perbandingan hukum, yaitu perbandingan waris anak luar kawin

menurut hukum Islam dan hukum Perdata. Kedua jenis hukum ini

diperbandingkan karena berasal dari dua rumpun sistem hukum yang berbeda.

2. Sifat Penelitian

Menurut Holland dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud

Marzuki ruang lingkup perbandingan hukum terbatas pada penyelidikan secara

deskriptif (Peter Mahmud Marzuki: 2006: 132):

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian

deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang

seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud

dari penelitian deskriptif adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat

membantu dalam memperkuat teori-teori lama di dalam kerangka menyusun

teori-teori baru (Soerjono Soekanto: 2006:10).

Merujuk pada hal tersebut maka penelitian ini termasuk kedalam penelitian

normatif yang bersifat deskriptif karena menggambarkan secara detail tentang

pengaturan warisan bagi anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum

Perdata.

3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa dokumen publik

dan catatan-catatan resmi (public documents and official records), yaitu

dokumen peraturan perundangan yang berkaitan dengan warisan terhadap anak

luar kawin. Disamping jenis data yang berupa undang-undang negara maupun

peraturan pemerintah, penulis juga memperoleh data dari beberapa jurnal, buku-

buku referensi, internet dan media massa yang mengulas tentang warisan anak

luar kawin.

4. Pendekatan Penelitian

Dalam hal ini pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan

perbadingan yang dilakukan dengan membandingkan sistem hukum Islam dan

Perdata dalam hal pengaturan warisan bagi anak luar kawin. Menurut Gutteridge

yang dikutip dari buku karangan Peter Mahmud Marzuki “perbandingan hukum

merupakan suatu metode studi dan penelitian hukum”( Peter Mahmud Marzuki:

2006, 132).

5. Sumber Data

Sumber data merupakan tempat dimana dan kemana data dari suatu

penelitian dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data

sekunder yang berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi (public

documents and official records). Dalam bukunya Soejono Soekanto bahwa

sumber hukum sekender dalam bidang hukum dibagi menjadi tiga yakni:

a. Bahan hukum Primer adalah sumber hukum yang mengikat yang terdiri dari:

1) Norma atau kaidah dasar yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

2) Peraturan dasar yaitu batang tubuh UUD 1945 dan ketetapan MPR

3) Peraturan perundang-undangan

a) Undang-undang dan peraturan yang setaraf

b) Peraturan pemerintah dan pearturan yang setaraf

c) Keputusan presiden dan peraturan yang setaraf

d) Keputusan menteri dan peraturan yang setaraf

e) Peraturan-peraturan daerah

4) Bahan hukum tidak terkodifikasi

5) Yurisprudensi

6) Traktat

7) Bahan hukum dari zaman kolonial yang sampai sekarang masing

digunakan yakni KUHPerdata

b. Bahan hukum sekender merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer:

1) Rancangan peraturan perundang-undangan

2) Hasil karya ilmiah para sarjana

3) Hasil penelitian

c. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekender, misalnya

kamus, ensiklopedia hukum, bahan dari internet, dan lain-lain.

Sedangkan sumber hukum Islam dengan mengacu pada pendapat dari Soerjono

Soekanto dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Bahan hukum Primer bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari:

1) Al-Qur`an

Adalah sumber hukum Islam yang utama. Didalamnya termuat aturan-

aturan hukum dasar yang masih harus dikembangkan dan diteliti lagi. Al-

Qur`an sebagi sumber hukum utama bagi umat Islam terdiri dari 30 juz,

114 surat, dan 6666 ayat

2) Al-Hadits

Al-hadits merupakan sumber hukum paling utama kedua setelah Al-

Qur`an, didalam As-Sunnah terdapat hal-hal yang belum diatur dalam Al-

Qur`an.

3) Kompilasi Hukum Islam

b. Bahan hukum sekender

Merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum

primer. Dalam hukum Islam hal ini dapat dicontohkan yakni pendapat para

sahabat dan ulama, mazhab-mazhab, serta hasil penelitian

c. Bahan hukum tersier

Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekender, misalnya kamus, ensiklopedia

hukum, bahan dari internet, dan lain-lain.

6. Teknik Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara

pengumpulan (dokumentasi) data sekunder berupa peraturan perundangan,

artikel maupun dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorisasi

menurut pengelompokan yang tepat. Dalam penelitian ini penulis menggunakan

teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan.

7. Teknik Analisis Data

Penulis akan menggunakan teknik analisis isi (content analysis) yaitu suatu

teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru

(replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis ini

mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemprosesan data ilmiah (bahan

hukum). Menurut Ole R. Holsti sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto,

content analysis sebuah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi

dengan mengidentifikasi secara sistematik dan obyektif karakteristik-

karakteristik khusus ke dalam sebuah teknik (Oleh R. Holsti dalam Soerjono

Soekanto, 2006: 22).

Dalam penulisan hukum ini penulis berusaha untuk mendiskripsikan isi

dari peraturan, mengidentifikasikan, dan mengkompilasikan data-data terkait

dengan warisan anak luar kawin dalam hukum Islam dan hukum Perdata yang

disesuaikan dengan alur pikiran sehingga dapat ditemukan suatu hubungan yang

mengarah pada pembahasan yang dapat menghasikan kesimpulan.

F. Sistematika Penelitian

Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan

hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka sistematika

penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub

bab untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.

Sistematika penulisan hukum tersebut sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisi kerangka teori yang terdiri dari tinjauan tentang hukum,

tinjauan tentang hukum Islam, dan tinjauan tentang hukum perdata, serta berisi

kerangka pemikiran penulis mengenai permasalahan yang diangkat dalam penulisan

hukum ini.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah

ditentukan sebelumnya yakni mengenai bagaimanakah kedudukan anak luar kawin di

dalam hukum waris Islam dan hukum waris Perdata serta bagaimanakah pembagian

warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum Perdata. Dan bagaimana

penggantian tempat warisan terhadap anak luar kawin dalam hukum Islam dan hukum

Perdata.

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek

penelitian dan saran-saran.

DAFTAR PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

F. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Hukum

a. Pengertian Hukum

Manusia secara kodratnya selalu membutuhkan manusia lain untuk bisa

terus hidup dengan alasan tersebut Aristoteles menyatakan manusia itu adalah

Zoon Politicon. Dalam melakukan hubungan dengan manusia lain tersebut

maka manusia perlu adanya suatu aturan yang mengatur terhadap hubungan

tersebut yang memberikan kepada manusia bagaimana ia harus bertindak dan

bertingkah laku didalam masyarakat. Maka dari itu dibentuklah norma hukum

yang mengatur tentang perilaku manusia dalam hubungan masyarakat. Hukum

merupakan salah satu norma dari ke empat norma yang lain paling ditaati oleh

masyarakat, mengingat hanya norma hukumlah yang mempunyai daya paksa

yang dapat diberlakukan secara riil kepada masyarakat.

Banyak pendapat dari ahli hukum yang memberikan pengertian tentang

hukum diantaranya:

Plato memberikan pengertian hukum sebagai sistem peraturan-peraturan yang teratur yang tersusun baik yang mengikat masyarakat. Menurut Aristoteles hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tapi juga hakim. M.H. Tirtaamidjata hukum adalah semua aturan yang harus diturut dalam tingkah laku dan tindakan dalam pergaulan hidup dengan anacaman mesti mengganti kerugian bila melanggar itu yang akan membahayakan diri sendiri, atau harta,umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaanya, didenda, atau sebagainya (Ishaq: 2008, 2-3).

Mengenai tujuan hukum dalam rangka mengatur kehidupan masyarakat

yakni hukum secara garis besar ada tiga teori yang dapat menjelaskan tentang

tujuan hukum (Ishaq: 2008, 8-9):

1) Teori Etis

Teori beranggapan hukum ditempatkan pada perwujudan keadilan yang

semaksimal mungkin dalam tata tertip masyarakat, dalam arti kata hukum

semata-mata hanya bertujuan keadilan. Keadilan berarti pemeliharaan tata

hukum positif melalui penerapannya yang betul-betul sesuai dengan jiwa

dari tata hukum tersebut.

2) Teori Utilitis

Tujuan hukum adalah memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya

bagi kepada manusia. Hal ini dilatarbelakangi karena hukum barulah sesuai

dengan daya guna atau bermanfaat apabila telah memberikan kebahagian

tanpa harus mempedulikan keadilan.

3) Teori gabungan

Teori tujuan hukum ini merupakan gabungan dari teori utilitis dan teori etis

sehingga hukum bertujuan untuk memberikan kebahagiaan yang disertai

dengan keadilan.

Hukum bekerja dengan cara membatasi tingkah laku manusia, maka dari

itu untuk menjalankannya diperlukan fungsi dari hukum itu sendiri, yakni

(Ishaq: 2008, 11):

1) Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk

berperilaku;

2) Pengawasan atau pengendalian sosial;

3) Rekayasa sosial;

4) Penyelesaian sengketa.

b. Hukum dan keadilan

Keadilan dalam hukum secara harfiahnya mempunyai makna yang

sempit yakni apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang yang

melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran hukum, maka

harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya

pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut kejahatan

maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan

dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran

pidana atau kejahatan tersebut (Wahyu Kuncoro,

http://advokatku.blogspot.com/2006/11/memaknai-keadilan-dalam-

hukum_07.html, diakses tanggal 2 februari 2009, 07.30 WIB). Setiap norma

hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan

kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-

norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara

akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang

menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum

dan keadilan.

2. Tinjauan Tentang Hukum Islam

a Tinjauan hukum Islam

1) Ruang Lingkup Hukum Islam

Islam merupakan ajaran Allah SWT yang mengatur seluruh bidang

kehidupan manusia yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW.

Salah satu bidang yang diatur adalah hukum. Hukum Islam mempunyai

karakteristik yang berbeda dengan hukum-hukum lain yang ada di dalam

masyarakat. Menurut pendapat Abu Ishaq as Satibi yang dikutip dari buku

karangan M. Daud Ali tujuan hukum Islam adalah memelihara agama,

jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan terpeliharanya kelima tujuan

tersebut, manusia akan mencapai kebahagiaan hidup dunia akhirat (M.

Daud Ali, 1998:192). Membicarakan tentang hukum Islam, tidak terlepas

dari beberapa hal diantaranya pembahasan mengenai sumber hukum

Islam, asas-asas, lingkup masalah atau pembidangan dalam hukum Islam.

a) Sumber Hukum Islam

Validitas yang khas dari hukum Islam adalah bahwa ia menjadi

manifestasi kehendak Tuhan, yang pada waktu tertentu dalam sejarah,

mengungkapkannya kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad

SAW karena itu, hukum Islam tidak menyandarkan diri pada otoritas

pembuat hukum duniawi manapun. Sumber hukum Islam disamping

Al-Qur’an adalah ketetapan-ketetapan Nabi SAW yang merefleksikan

penerapan aturan-aturan, prinsip-prinsip dan perintah-perintah yang

sudah dikemukakan dalam Al-Qur’an.

Sumber Hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum

Islam. Mengenai sumber hukum Islam, ada beberapa pendapat

dikalangan para ulama. Menurut Muaz bin Jabal sumber hukum Islam

ada tiga yaitu Al Qur’an, As Sunnah atau Al Hadits, dan akal pikiran

manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad (Ar Ra’yu).

Sedangkan menurut Imam Syafi’i dalam kitab Al Risalah, sumber

hukum Islam ada empat yaitu Al Qur’an, As Sunnah atau Hadits,

Ijma’, dan Qiyas. Dari dua pendapat mengenai sumber hukum Islam

dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam adalah Al Qur’an, As

Sunnah atau Hadits dan akal pikiran (Ar Ra’yu) manusia yang

memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad (M. Daud Ali, 2002:71-75).

(1) Al Qur’an

Al Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama.

pada garis besarnya Al Qur’an menjelaskan berbagai aspek

kehidupan manusia, baik behubungan manusia dengan Tuhannya

atau hubungan manusia dengan manusia atau dengan makhluk

tuhan yang lain. Soal-soal pengaturan tersebut berkenaan dengan

akidah, syariah, ibadah, muamalah, akhlak, kisah-kisah umat

terdahulu, berita tentang zaman yang akan datang, prinsip-prinsip

ilmu pengetahuan, dan lain-lain.

(2) As Sunnah atau Al Hadits

As Sunnah atau Al Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua

setelah Al Qur’an, yaitu berupa perkataan (sunnah qauliyah),

perbuatan (sunnah fi’liyah), dan sikap diam atau ketetapan (sunnah

taqririyah) Rasulullah.

(3) Akal pikiran (Ra’yu)

Sumber hukum Islam yang ketiga adalah akal pikiran manusia

yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh

kemampuan yang ada untuk memahami kaidah-kaidah hukum

yang fundamental yang terdapat dalam Al Qur’an, kaidah-kaidah

hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi dan

merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan

pada suatu kasus tertentu (M Daud Ali, 1998:101). Akal adalah

kunci untuk memahami agama, ajaran dan hukum Islam karena itu,

akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad yang

menjadi sumber hukum Islam yang ketiga, atau dalam kepustakaan

disebut Ar Ra’yu atau ijtihad. Adapun metode atau cara untuk

melakukan ijtihad antara lain: (M. Daud Ali, 1998:108-111):

(a) Ijma’ (konsensus) yaitu persetujuan atau kesesuaian pendapat

para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu

masa atau dapat dikatakan juga sebagai persetujuan atau

kesesuaian pendapat di suatu tempat mengenai tafsiran ayat-

ayat (hukum) tertentu dalam Al-Qur’an;

(b) Qiyas (deduksi analogi) artinya penalaran secara analogis,

dengan menggunakan analogi-analogi masa lalu dan

keputusan-keputusan yang dihasilkannya menjadi preseden

dari setiap situasi baru, atau juga diartikan dengan

menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat

ketentuannya di dalam Al Qur’an dan Sunnah atau Hadits

dengan hal lain yang hukumnya disebut dalam Al Qur’an dan

Sunnah karena persamaan illat (penyebab atau alasan). Dalam

aplikasi qiyas meliputi perbandingan antara dua hal dengan

maksud menilai suatu hal dari sudut pandang hal lainnya;

(c) Isti’dal yaitu menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan,

misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum

agama yang diwahyukan sebelum Islam;

(d) Al masalih mursalah yaitu cara menemukan hukum tentang

suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al Qur’an

maupun Sunnah berdasarkan pertimbangan kemaslahatan atau

kepentingan umum;

(e) Istihsan yaitu cara menentukan hukum dengan jalan

menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan

kepentingan sosial;

(f) Istihsab yaitu menetapkan hukum tentang suatu hal menurut

keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang

mengubahnya;

(g) Urf atau adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum

Islam dapat dikukuhkan dan berlaku bagi masyarakat yang

bersangkutan.

b) Asas-Asas Hukum Islam

Konsep hukum antara hukum dalam Islam berbeda dengan

hukum lainnya. Sehingga ada aspek-aspek dan asas-asas yang harus

dipenuhi yang menjadikan ciri khasnya. Apabila kata asas

dihubungkan dengan hukum, maka yang dimaknai asas adalah

kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan

pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Dalam

garis besar mengenai asas hukum Islam dapat dibagi menjadi tiga

yaitu (M. Daud Ali, 1998:115-116):

(1) Asas-asas umum

Asas umum adalah asas yang meliputi semua bidang dan segala

lapangan hukum Islam yaitu keadilan, kepastian hukum, dan

kemanfaatan.

(2) Asas-asas dalam lapangan hukum pidana

Asas-asas dalam lapangan hukum pidana Islam antara lain

legalitas, larangan memindahkan kesalahan pada orang lain, dan

praduga tidak bersalah.

(3) Asas-asas dalam lapangan hukum perdata

Asas-asas dalam lapangan hukum perdata Islam antara lain

kebolehan atau mubah, kemaslahatan, kebebasan dan

kesukarelaan, menolak mudharat dan mengambil manfaat,

kebajikan, kekeluargaan, adil dan berimbang, mendahulukan

kewajiban daripada hak, larangan merugikan diri sendiri dan orang

lain, kemampuan berbuat, kebebasan berusaha, mendapatkan hak

karena usaha dan jasa, perlindungan hak, hak milik berfungsi

sosial, beritikad baik, risiko dibebankan pada benda atau harta,

tidak pada tenaga atau pekerja, mengatur sebagai petunjuk, dan

perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi.

c) Lingkup Masalah Hukum Islam

Dari segi materi lingkup masalah, hukum Islam mencakup

hukum ibadah dan hukum muamalat. Hukum Ibadah mengatur

hubungan manusia dengan Allah SWT, hukum ini tidak terdapat pada

hukum positif yang lain. Sedangkan hukum muamalah yaitu yang

mengatur hubungan manusia dengan manusia, benda dan alam

semesta mencakup bidang tentang hukum keluarga, pidana, acara,

ketatanegaraan, hubungan antar negara, serta ekonomi dan

perdagangan.

Waris dalam Islam di kenal dengan Fardh secara syar'ie adalah bagian

yang telah ditentukan bagi ahli waris. Dalam Islam kedudukan ilmu waris

sangatlah tinggi oleh karena terdapat Hadits Nabi SAW Dari Ibnu Mas'ud, dia

berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW (Sayyid Sabiq, 1986: 2):

Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada manusia. Pelajarilah Faroidh dan ajarkanlah kepada manusia. Karena aku adalah orang yang akan mati, sedang ilmupun akan diangkat. Hampir saja dua orang berselisih tentang pembagian warisan dan masalahnya tidak menemukan seorang yang memberitahukannya kepada keduanya.

1) Dasar atau sumber hukum waris Islam

Seperti halnya dalam hukum Islam sumber waris Islam juga

bersumber pada Al Qur’an, As Sunnah atau Hadits dan akal pikiran (Ar

Ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Adapun

sumber waris Islam adalah (Ahmad Azhar, 1999: 11)::

a) Al Qur’an

Sebagai sumber hukum waris yang utama ada beberapa ayat-ayat Al-

Qur`an yang mengatur tentang pembagian warisan terdapat dalam

Surat An Nisa` dari ayat 1, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 176 serta dalam surat

Al-Anfal ayat 75 yang dalam ayat-ayat tersebut disebutkan secara

terperinci mengenai bagian yang diterima dari ahli waris.

b) Sunnah Muhammad Rasulullah S.A.W

Walaupun dalam Al-Qur`an telah disebutkan mengenai bagian-bagian

ahli waris secara lengkap namun dalam Sunnah Rasul SAW juga

disebutkan tentang bagian-bagian ahli waris diantaranya hadits riwayat

Bukhari dan Muslim “mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang

lebih dekat kepada pewaris lebih berhak atas sisa warisan yang setelah

diambil bagian ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu”.

c) Ijtihad

Dalam hal-hal tertentu terdapat suatu masalah dalam waris yang tidak

terperincikan dalam Al Qur’an dan As Sunnah atau Hadits maka dari

itu sudah menjadi tugas manusia untuk menggunakan akal pikirannya

untuk berijtihad. Contoh ijtihad dalam waris adalah mengenai bagian

dari seorang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi lalu kepada

siapa sisa tersebut diberikan.

2) Asas kewarisan Islam

Sebagai hukum yang bersumber dari Al Qur’an, As Sunnah atau

Hadits hukum kewarisan Islam mengandung asas yang berlaku dalam

waris Islam tersebut. Asas hukum waris Islam sendiri berkaitan dengan

sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh

penerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu peralihan harta

warisan tersebut. Kelima asas tersebut adalah (Amir Syarifuddin, 2004:

16):

a) Asas Ijbari

Penggunaan akan asas ini mengadung pengertian bahwa peralihan

harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya

berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT tanpa

tergantung pada kehendak dari pewarisan atau permintaan dari ahli

warisnya. Dengan asas ini pewaris sebelum ia meninggal ia tidak

dapat menolak, peralihan harta tersebut apapun kemauan dari pewaris

terhadap harta tersebut maka kemauannya dibatasi oleh ketentuan

Allah SWT;

b) Asas Bilateral

Mengandung pengertian bahwa harta warisan beralih kepada atau

melalui dua arah, hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak

kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat

keturunan laki-laki dan pihak kerabat perempuan. Yang menjadi dasar

asas bilateral ini adalah firman Allah SWT dalam surat An- Nisa` ayat

7, 11, 12, 176;

c) Asas Individu

Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan

arti bahwa harta warisan dapat dibagi untuk dimiliki secara

perseorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara

tersendiri tanpa harus terikat dengan ahli waris lain. Menghilangkan

bentuk individualnya dengan jalan mencampuradukan harta warisan

tanpa perhitungan dan dengan sengaja menjadikan hak kewarisan itu

bersifat kolektif maka hal ini berarti telah menyalahi ketentuan-

ketentuan yang terdapat di dalam Al-Qur`an dan pelakunya terkena

sanksi yakni dosa besar;

d) Asas Keadilan Berimbang

Dalam kewarisan hukum Islam asas keadilan berimbang ini dapat

terlihat dalam pewarisan Islam perbedaan gender tidak menentukan

hak kewarisan dalam Islam. Ditinjau dari segi jumlah bagian yang

diperoleh saat menerima hak, memang tidak terdapat kesamaan hal itu

menurut Islam bukan tidak adil melainkan dalam Islam keadilan tidak

hanya diukur berdasarkan jumlah yang didapat saat menerima warisan

melainkan juga dikaitkan kepada penggunaan dan kebutuhan. Secara

umum laki-laki lebih membutuhkan banyak materi dari pada

perempuan hal ini dikarenakan pria memikul kewajiban ganda yaitu

untuk dirinya sendiri beserta keluarganya;

e) Asas Semata Akibat Kematian

Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam hukum Islam hanya

mengenal pewarisan yang didasarkan pada akibat kematian atau dalam

hukum Perdata disebut sebagai pewarisan ab intestato dan dalam Islam

tidak dikenal pewarisan karena wasiat yang dilakukan oleh pewaris

sebelum meninggal. Karena dalam Islam wasiat merupakan lembaga

yang berdiri sendiri dan terpisah dengan waris.

3) Syarat dan sebab mendapat warisan

Dalam Islam syarat waris haruslah dipenuhi untuk dapat

dilaksanakannya suatu pewarisan. Syarat-syarat waris juga ada tiga:

a) Pertama: Meninggalnya pewaris yang dimaksud dengan meninggalnya

pewaris baik secara hakiki ataupun secara hukum ialah bahwa

seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya

atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap

seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya;

b) Kedua: Masih hidupnya para ahli waris maksudnya, pemindahan hak

kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat

benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki

hak untuk mewarisi;

c) Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris Dalam hal ini posisi para

ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri,

kerabat, dan sebagainya. Sehingga pembagi mengetahui dengan pasti

jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris.

Sebab dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan

membedakan jumlah yang diterima.

selain adanya syarat ada pula sebab seseorang mendapatkan warisan. Dan

empat sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:

a) Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orangtua, anak,

saudara, paman, dan seterusnya;

b) Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara

seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi

hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan

yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan

hak waris;

c) Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Yang menjadi

penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan

seseorang. Orang yang membebaskan budak berarti telah

mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia.

Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi

terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli

waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena

adanya tali pernikahan;

d) Tujuan Islam, yaitu dengan menampung harta warisan yang tidak

terdapat ahli warisnya di Baitul Mal yang akan digunakan untuk

kesejahteraan umat.

Sebelum harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ahli waris

sehingga akan menjadi miliknya terlebih dahulu harus dilaksanakan hak-

hak yang menyangkut harta pewarisan tersebut baik si pewaris

mempunyai hutang ataupun sebab lain. Hak-hak yang berhubungan

dengan harta peninggalan itu ada empat. Keempatnya tidak sama

kedudukannya, sebagiannya ada yang lebih kuat dari yang lain sehingga ia

didahulukan atas yang lain untuk dikeluarkan dari peninggalan. Hak-hak

tersebut menurut tertib berikut (Ahmad Azhar, 1999: 11):

a) Biaya mengkafani dan memperlengkapinya menurut cara yang telah

diatur dalam masalah jenazah;

b) Melunasi hutangnya. mendahulukan hutang kepada Allah SWT seperti

zakat dan kifarat, atas hutang kepada manusia. Dengan diwasiatkannya

hutang, maka hutang itu menjadi seperti wasiat kepada orang lain yang

dikeluarkan oleh ahli waris atau pemelihara dari sepertiga yang tersisa

setelah perawatan mayat dan hutang kepada manusia. Ini bila dia

mempunyai ahli waris;

c) Pelaksanaan wasiat dari sepertiga sisa harta semuanya sesudah hutang

dibayar;

d) Pembagian sisa harta di antara para ahli waris.

4) Penggolongan Ahli Waris

Ahli waris menurut haknya dalam hukum Islam dapat dibagi menjadi tiga

golongan yakni:

a) Ahli waris Dzawil Furudl

Yang dimaksud dengan Ahli waris Dzawil Furudl “Yaitu ahli waris

yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi

SAW, keistimewaan dari Ahli waris dzawil furudl bagian mereka akan

selalu tetap dan tidak akan berubah-ubah. Bagian tertentu yang telah

diatur tersebut ialah 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, dan 1/8. Adapun yang

termasuk kedalam Ahli waris dzawil furudl adalah:

(1) Suami

(2) Istri

(3) Ayah

(4) Ibu

(5) Anak perempuan

(6) Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki

(7) Saudara perempuan kandung

(8) Saudara perempuan seayah

(9) Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu

(10) Kakek

(11) Nenek

b) Ahli waris `ashabah

Mereka yang mendapatkan sisa sesudah Ashhaabul Furuudh

mengambil bagian-bagian yang ditentukan bagi mereka. Apabila tidak

ada sisa sedikitpun dari mereka (ashhaabul furuudh), maka mereka

('ashobah) tidak mendapatkan apa-apa, `ashobah di bagi menjadi tiga

yakni:

(1) `Ashabah binafsihi yaitu `ashabah-`ashabah yang berhak

mendapat semua harta atau semua sisa, yang urutannya adalah:

Anak laki-laki; Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke

bawah asal saja pertaliannya masih terus laki-laki; Ayah; Kakek

dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja pertaliannya belum

putus dari pihak ayah; Saudara laki-laki sekandung; Saudara laki-

laki seayah; Anak saudara laki-laki sekandung; Anak saudara laki-

laki seayah; paman yang sekandung dengan ayah; Paman yang

seayah dengan ayah; Anak laki-laki paman yang sekandung

dengan ayah; Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.

(2) `Ashabah bilghairi yaitu `ashabah dengan sebab ditarik oleh orang

lain, yakni seorang wanita yang menjadi `ashabah karena ditarik

oleh seorang laki-laki, mereka yang termasuk dalam `ashabah

bilghairi ada empat wanita yang fardh mereka ½ bila tunggal dan

2/3 bila lebih dari satu orang, meraka adalah anak perempuan

kandung, cucu perempuan pacer laki-laki, saudari sekandung,

saudari tunggal ayah. Apabila salah satu perempuan-perempuan

yang tersebut bersama-sama dengan seorang mu`ashshibnya-

binnafsinya yang sama derajadnya dan kekuatan kekerabatannya,

ia menjadi `Ashabah bilghairi. Ia bersama-sama dengan

mu`ashshibnya menerima sisa harta peninggalan dari ashhabul-

furudh atau seluruh harta peninggalan bila tidak ada ashhabul-

furudh dengan ketentuan orang yang laki-laki mendapat dua kali

lipat bagian dari orang perempuuan

(3) Ashabah ma’al ghairi yaitu `ashabah yang berkedudukan menjadi

waris `ashobah karena bersama-sama dengan waris lain, seperti

saudara perempuan kandung atau seayah menjadi waris `ashabah

karena bersama-sama dengan anak perempuan. 'Ashabah ma'al

ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun

saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan

anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi,

saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah

bila berbarengan dengan anak perempuan atau cucu perempuan

keturunan anak laki-laki dan seterusnya akan menjadi 'ashabah.

c) Ahli waris dzawil arham

Yakni ahli waris yang mempunyai hubungan famili dengan pewaris

tetapi tidak termasuk kedalam golongan waris dzawil furudl dan

`ashabah, yang termasuk kedalam golongan ini antara lain: cucu laki-

laki atau perempuan anak-anak dari anak perempuan, kemenakan,

paman seibu, paman, kakek, nenek buyut.

Walaupun seorang yang berkedudukan sebagai ahli waris namun ada

kalanya ia dapat kehilangan haknya sebagai ahli waris dikarenakan tidak patut

dan tidak berhak mendapat bagian waris dari pewaris. Hal tersebut bisa

ditentukan karena beberapa penyebab, yaitu:

1) Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapat warisan dari

keluarga yang dibunuhnya;

2) Orang yang berbeda agama atau orang yang murtad tidak berhak

mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam, demikian pula

sebaliknya;

3) Menjadi budak orang lain, budak itu dianggap tidak memiliki sesuatu oleh

karenanya tidak boleh mewaris.

Orang-orang yang tergolong dalam kriteria ahli waris seperti yang

disebutkan di atas, apabila ternyata telah berpura-pura dan menguasai

sebagian atau seluruh harta peninggalan pewaris, maka dia berkewajiban

mengembalikan seluruh harta yang dikuasainya.

Dalam hal apabila tidak terdapat ahli waris yang akan mewaris terhadap

harta warisan entah itu meminggal dunia lebih dahulu sebelum pewaris, maka

harta tersebut akan beralih ke Baitul Mal yakni perbendaharaan negara tempat

menampung harta benda kepentingan umum yang akan dibelanjakan untuk

kepentingan umum.

Didalam hukum waris Islam anak dalam mewaris mempunyai

kedudukan yang paling utama diantara golongan ahli waris yang lain. Anak

dalam Islam dapat dibagi menjadi dua golongan yakni anak syar`iy dan

thabi`iy. Dinamakan syar`iy karena agama telah menetapkan adanya

hubungan nasab antara orang tua laki-laki dan perempuan melalui

perkawinan, sedangkan yang dinamakan dengan anak thabi`iy adalah secara

hukum dianggap tidak memiliki nasab dengan orang tua laki-lakinya karena

anak tersebut lahir tidak dalam perkawinan yang sah.

Seorang anak dapat dikatakan sebagai anak anak syar`iy yaitu:

1) Anak tersebut adalah anak yang dilahirkan oleh suami istri dari

perkawinan yang sah. Sehingga anak yang dilahirkan tersebut sah secara

undang-undang dan agama karena dilahirkan dari perkawinan yang sah

menurut agama dan undang-undang. Dalam hal ini mengandung dua

kemungkinan yang pertama yaitu anak yang lahir setelah terjadi akad nikah

yang sah dan kemudian dalam perkawinan tersebut atau selam perkawinan

tersebut sang istri hamil dari hasil hubungan dengan suaminya lalu anak

tersebut lahir. Kemungkinan yang kedua adalah Anak yang lahir sebagai

akibat dari perkawinan yang sah. Contoh, istri hamil dan kemudian suami

meninggal. Anak yang dikandung istri adalah anak sah sebagai akaibat

dari adanya perkawian yang sah

2) Anak tersebut adalah anak yang merupakan hasil pembuahan suami-istri

yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Dengan adanya

teknologi seperti jaman sekarang yang serba maju hal tersebut dapat

dilakukan dengan bayi tabung.

Sedangkan anak yang disebut sebagai anak thabi`iy adalah anak luar

kawin yang dianggap sebagai anak zina dari orang tuanya. Sehingga ada dua

kelompok anak luar kawin dalam hukum Islam yakni anak zina dan anak li'an.

Dengan mana kedua anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya tapi

hanya kepada ibunya.

Dalam hal anak thabi`iy mereka tidak bisa mewaris terhadap ayah

kandungnya, hal ini dikarenakan anak thabi`iy hanya bisa dinasabkan kepada

jalur ibunya.

3. Tinjauan Hukum Perdata

a Ruang lingkup hukum Perdata

Hukum Perdata mempunyai pengertian yakni segala peraturan hukum

yang mengatur hubungan hukum antara orang satu dan yang lain. Sedangkan

yang dimaksud dengan Hukum Perdata Indonesia adalah hukum Perdata yang

berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hukum Perdata yang berlaku di

Indonesia adalah hukum Perdata barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk

pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda

atau dikenal dengan burgerlijk wetboek dan biasa disingkat dengan B.W.

Sebagian materi B.W sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan

Undang-Undang Republik Indonesia misalnya mengenai Undang-Undang

Perkawinan, Undang-Undang Hak Tanggungan, Undang-Undang Kepailitan.

Setelah Indonesia merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan

UUD 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Hindia Belanda tetap

dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan Undang-Undang baru

berdasarkan Undang-Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga

Kitab Undang-Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum

Perdata Indonesia. Sehingga dengan berlakunya Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata di Indonesia ini yang mana dalam Undang-Undang Dasar

1945 tidak dikenal adanya suatu pembagian penduduk berdasarkan golongan-

golongan melainkan hanya mengenal warga negara dan bukan warga negara

berarti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat diterapkan bagi semua

masyarakat Indonesia tanpa harus membedakan apakah itu dari golongan

timur asing, golongan pribumi, ataupun golongan eropa. Hal ini sangat

berbeda dengan penerapan Kitab Undang-Undang hukum Perdata pada saat

jaman penjajahan.

Dalam hukum Perdata terbagi kedalam 4 buku yang terdiri dari:

1) Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum

keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang

dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya

hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga,

perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian

perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak

berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan;

2) Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum

yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang

berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris, dan

penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi benda berwujud yang

tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat

tertentu); benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya

selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan benda

tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian

tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku

dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Pokok-Pokok Agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan

hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-

Undang tentang hak tanggungan;

3) Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan atau

kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya

mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang

hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain

tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari

(ditetapkan) Undang-Undang dan perikatan yang timbul dari adanya

perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian.

Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat

dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Buku III. Bisa

dikatakan Kitap Undang-Undang Hukum Dagang adalah bagian khusus

dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

4) Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban

subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam

mempergunakan hak-haknya dalam hukum Perdata dan hal-hal yang

berkaitan dengan pembuktian.

Didalam pembagian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menurut buku

diatas telah disebutan bahwa waris termasuk kedalam buku II.

Hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Hukum waris menurut konsepsi hukum Perdata barat bersumber pada

BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah

hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan

dan yang akan diwariskan. Sedangkan Hak dan kewajiban dalam hukum

publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak

akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang

timbul dari hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan.

Kiranya akan lebih jelas apabila kita memperhatikan rumusan hukum waris

yang diberikan oleh Pitlo yang dikutip dari buku Erman Suparman dibawah

ini, rumusan tersebut menggambarkan bahwa hukum waris merupakan bagian

dari kenyataan, yaitu (Erman Suparman, 2005: 13):

Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.

Hukum waris Perdata di Indonesia pada umumnya digunakan oleh

orang non muslim dan keturunan timur asing. Menurut Pitlo yang dikutip dari

buku Abdulkadir Muhammad pengaturan hukum waris Perdata mengandung

dua sisi dimana satu sisi termasuk dalam hukum benda dan yang lain

termasuk kedalam hukum keluarga. Masuknya hukum waris dalam hukum

benda didasarkan pada pemikiran bahwa ahli waris mempunyai hak waris, hak

mana tidak dipunyai oleh pewaris. Pewaris hanya mempunyai hak milik atas

bendanya. Menurut Pasal 833 KUHPerdata ahli waris dengan sendirinya

memperoleh segala barang, hak, dan piutang dari pewaris. Ahli waris dapat

menggugat siapa saja yang melanggar hak warisnya (Pasal 834 KUHPerdata).

Jadi hak waris itu adalah hak yang berdiri sendiri. Padahal menurut Pitlo

didasarkan pada Pasal 1100 KUHPerdata harta warisan itu terdiri dari

kekayaan yang dikurangi dengan hutang dan beban lainnya (Abdulkadir

Muhammad, 2000: 268).

Berbicara mengenai hukum waris barat yang dimaksud adalah

sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) yang menganut sistem individual, dimana harta peninggalan

pewaris yang telah wafat diadakan pembagian. Didalam hukum waris terdapat

unsur waris yakni:

1) Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak

untuk mewarisi harta peninggalannya;

2) Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima

harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab)

atau ikatan pernikahan, atau lainnya;

3) Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang

ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

Didalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 830 telah

ditetapkan bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Hal ini

berarti syarat kematian sebagai syarat yang harus dipenuhi supaya terjadi

pewarisan anatara ahli waris dengan pewaris. Sedangkan bagi ahli waris untuk

dapat harta warisan dari pewaris maka ahli waris tersebut haruslah masih

hidup pada saat pewaris tersebut meninggal dunia.

1) Cara mewaris menurut hukum Perdata

Dalam hukum Perdata dikenal adanya dua cara untuk seseorang bisa

mendapatkan warisan dari seorang pewaris:

a) Mewaris menurut ketentuan Undang-Undang

Mewaris menurut ketentuan Undang-Undang dinamakan

mewaris menurut undang-undang/ab intestato. Berdasarkan Pasal 832

KUHPerdata maka yang berhak menerima bagian warisan berdasarkan

Undang-Undang adalah para keluarga sedarah, baik sah ataupun diluar

kawin dan suami atau istri yang hidup terlama. Pewarisan ab intestato

ini dikenal dengan dua cara mewaris:

(1) Mewaris karena haknya atau kedudukannya

Merupakan para ahli waris yang terpanggil untuk mewaris

karena kedudukannya sendiri berdasarkan hubungan darah dengan

si pewaris. Mereka mewaris kepala demi kepala maksudnya adalah

mereka menerima dengan hak yang sama hal ini sebagaimana

diatur dalam Pasal 852 ayat 2 KUHPerdata.

Contoh: D, E, F mewaris dari A maka D, E, F akan menerima

harta warisan yang sama yakni 1/3. D, E, F inilah yang disebut

mewaris karena haknya atau kedudukannya.

(2) Mewaris karena penggantian tempat

Dalam Pasal 841 KUHPerdata menyebutkan bahwa

pergantian memberi hak kepada pihak yang mengganti untuk

bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak

orang yang diganti. Sebagai contoh Z adalah pewaris dengan ahli

waris D, E, F dan A, B adalah anak dari D. Tapi karena terjadi

suatu hal yang menyebabkan kematian dari D sebelum Z

meninggal dunia maka yang dapat menggantikan D adalah anak-

anaknya yakni A dan B yang mendapatkan warisan sebesar 1/3.

Maka A dan B tersebut adalah ahli waris karena menggantikan

tempat yakni D. Ada tiga bentuk mewaris karena penggantian

tempat yaitu:

(a) Penggantian yang terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah,

berlangsung terus tanpa akhir. Penggantian itu diizinkan dalam

segala hal, baik bila anak-anak dan orang yang meninggal

menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan-keturunan

dan anak yang meninggal lebih dahulu, maupun bila semua

keturunan mereka mewaris bersama-sama, seorang dengan

yang lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda

derajatnya. Penggantian tempat ini diatur dalam Pasal 842

KUHPerdata;

(b) Dalam garis ke samping, penggantian diperkenankan demi

keuntungan semua anak dan keturunan saudara laki-laki dan

perempuan orang yang meninggal, baik jika mereka menjadi

ahli waris bersama-sama dengan paman-paman atau bibi-bibi

mereka, maupun jika warisan itu, setelah meninggalnya semua

saudara yang meninggal, harus dibagi di antara semua

keturunan mereka, yang satu sama larnnya bertalian keluarga

dalam derajat yang tidak sama. Penggantian tempat ini diatur

dalam Pasal 844 KUHPerdata;

(c) Penggantian juga diperkenankan dalam pewarisan dalam garis

ke samping, bila di samping orang yang terdekat dalam

hubungan darah dengan orang yang meninggal, masih ada anak

atau keturunan saudara laki-laki atau perempuan dan mereka

yang tersebut pertama. Penggantian tempat ini diatur dalam

Pasal 845 KUHPerdata.

b) Mewaris berdasarkan testament

Berbeda dengan hukum Islam yang menempatkan wasiat sebagai

hukum yang berdiri sendiri, dalam hukum Perdata testament

merupakan bagian dari hukum waris. Suatu wasiat adalah suatu

pernyataan dari orang tentang apa yang dikehendakinya setelah

meninggal. Pada dasarnya perjanjian seperti ini hanya keluar dari satu

pihak saja dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh pembuatnya.

Dalam Pasal 874 KUHPerdata yang menerangkan arti wasiat dalam

testament juga sudah mengandung syarat bahwa isi dari pernyataan

tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Sebagaimana telah

diterangkan suatu testament dapat dapat setiap waktu dicabut/ditarik

kembali, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara yakni secara diam-

diam yang mana dalam hal ini membuat testament baru yang memuat

pesanan-pesanan yang bertentang dengan testament yang lama serta

cara yang kedua yakni secara terang-terangan yakni terjadi dengan

dibuatnya testament yang baru dimana diterangkan secara tegas bahwa

testament yang dahulu telah dicabut kembali.

Ketetapan dengan surat wasiat dalam Pasal 876 KUHPerdata

terdiri dari dua macam cara yaitu (Ali Afandi, 1986: 16):

(1) Erfstelling yaitu memberikan wasiat dengan tidak ditentukan

bendannya secara tertentu. Erfstelling diatur didalam Pasal 954

KUperdata, dimana dalam pasal tersebut memberikan pengertian

tentang Erfstelling adalah suatu ketetapan kehendak terakhir

pada mana si pewaris memberikan harta kekayaan yang akan

ditinggalkan setelah ia meninggal kepada seseorang ataupun

beberapa orang, baaik untuk seluruhnya ataupun bagian

seimbang;

(2) Legaat yaitu memberikan wasiat yang bendanya dapat

ditentukan. Legaat ini terdapat dalam Pasal 957 KUHPerdata

yang mengatakan bahwa hibah wasiat adalah suatu penetapan

khusus, dengan mana si pewaris memberikan suatu atau

beberapa barang tertentu kepada sesorang atau beberapa orang

atau memberikan barangnya dari jenis tertentu.

Dengan demikian wasiat itu merupakan kehendak terakhir dari

seseorang yang setiap saat bisa dicabut kembali. Namun dalam

pembuatan wasiat ada dua hal yang perlu diperhatikan yang pertama

yaitu pada Pasal 897 KUHPerdata anak-anak di bawah umur yang

belum mencapai umur delapan belas tahun penuh, tidak diperkenankan

membuat surat wasiat. Dan Pasal 888 KUHPerdata Dalam semua surat

wasiat, persyaratan yang tidak dapat dimengerti atau tidak mungkin

dijalankan, atau bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan,

dianggap tidak tertulis. Jadi dalam dua kasus diatas baik pengangkatan

sebagai ahli waris maupun ketentuam pemberian hibah harus dimuat

didalam surat wasiat

2) Golongan ahli waris

Dalam hukum Perdata Undang-Undang tidak membedakan ahli

waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran,

hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada

maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus

ke atas maupun ke samping. Terdapat empat golongan yang berhak untuk

menerima warisan:

a) Golongan pertama terdiri dari keluarga dalam garis lurus ke bawah,

meliputi anak-anak beserta keturunan hal ini berdasarkan pada Pasal

852 KUHPerdata yang berbunyi:

Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu.

Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti.

Maksud dari Pasal tersebut adalah anak tidak bisa mewaris

bersama dengan keturunannya, karena hanya bisa dilakukan dengan

penggantian tempat. Yang dimaksud sebagai anak didalam Pasal 852

KUHPerdata adalah anak yang sah yang dihasilkan dari perkawinan

yang sah. Anak-anak mewaris kepala demi kepala maksudnya adalah

bagian antara anak-anak tersebut adalah sama besarnya. Anak-anak

mewaris dalam derajad pertama artinya mereka mewaris kepala demi

kepala. Artinya adalah bagian yang mereka terima mempunyai besaran

yang sama.

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata anak dalam

mewaris mempunyai kedudukan yang paling utama diantara golongan

ahli waris yang lain. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

anak dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu:

(1) Anak sah yakni anak yang dilahirkan berdasarkan perkawinan

yang sah menurut undang-undang. Hal ini sejalan dengan bunyi

Pasal 250 KUHPerdata. Anak sah dalam Pasal 250 KUHPerdata

ini adalah anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang

perkawinan dan sampai perkawinan tersebut putus. Adapun

putusnya perkawinan disebabkan sebab yaitu karena perceraian,

baik itu cerai mati maupun cerai hidup (Pasal 199 KUHPerdata),

(2) Anak tidak sah yakni anak uang dilahirkan tidak didasarkan pada

perkawinan yang sah. Dalam hal anak tidak sah ini banyak yang

menyebut sebagai anak luar kawin dalam arti luas. Anak tidak sah

ini masih dibagi lagi menjadi tiga kelompok yakni:

(a) anak yang pada waktu lahirnya orangtuanya tidak kawin secara

syah serta tidak kawin pula dengan orang lain/ sedang tidak

ada hubungan perkawinan. Anak semacam ini disebut dengan

natuurlijk kind (anak alami). Terdapat dalam Pasal 280

KUHPerdata;

(b) anak yang pada waktu lahirnya orangtuanya atau salah satu

dari orangtuanya terikat dalam ikatan perkawinan dengan

orang lain. Anak semacam ini disebut dengan overspeleg kind

(anak zina), apabila seorang perempuan mengadakan hubungan

dengan selain suaminya dan anak hasil hubungan tersebut lahir

sepanjang perkawinan dengann suaminya akan tetapi suaminya

bisa membuktikan bahwa anak tersebut bukanlah anaknya,

maka anak tersebut tetap merupakan anak zina. Hal ini diatur

dalam Pasal 283 KUHPerdata;

(c) anak yang pada waktu lahirnya orangtuanya tidak boleh kawin,

sebab pertalian darahnya melarangnya kawin. Anak semacam

ini disebut blodsceneg (anak sumbang). Hal ini diatur dalam

Pasal 283 KUHPerdata. Undang-undang melarang perkawinan

antara mereka yang mempunyai kedekatan hubungan darah;

Dari kedua golongan anak berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata tersebut diatas hanya anak sahlah yang bisa menjadi ahli waris

dari orangtuanya. Sedangkan untuk anak tidak sah mereka tidak bisa

mewaris. Akan tetapi berdasarkan Pasal 272 KUHPerdata dapat

diketahui bahwa dalam hukum Perdata terdapat anak yang dapat

dilakukan pengakuan dan dapat disahkan yakni natuurlijk kind, dan

juga terdapat anak-anak yang tidak dapat dilakukan pengakuan

terhadapnya yakni overspeleg kind dan blodsceneg. Dengan adanya

pengakuan tersebut timbullah hubungan keperdataan antara anak luar

kawin dan orangtua yang mengakuinya sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 280 KUHPerdata. Dengan adanya hubungan keperdataan

tersebut maka membawa akibat salah satunya adalah hubungan

kewarisan. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak tidak sah baru bisa

mewaris setelah mendapat pengakuan dari orangtua yang mengakui,

dan hanya anak tidak sah yang diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata

yakni anak luar kawin atau anak alami yang bisa diakui dan kemudian

disahkan.

Dalam hukum Perdata anak luar kawin dapat memporoleh

warisan dengan semua golongan waris yang terdapat dalam hukum

Perdata yakni Golongan I, Golongan II, Golongan III, Golongan IV.

Dasar pengaturan warisan terhadap anak luar kawin berada pada Pasal

863 KUHPerdata.

(1) Anak Luar Kawin Mewaris Bersama Golongan I

Anak luar kawin dapat mewaris dengan golongan satu yang terdiri

dari anak sah beserta keturunannya dan janda (janda yang

dimaksud disini adalah suami/istri pewaris). Hak waris yang

diterima oleh anak luar kawin adalah 1/3 dari hak yang mereka

sedianya terima, seandainya ia adalah anak sah.

(2) Anak Luar Kawin Mewaris Bersama Golongan II

Dalam hal anak luar kawin mewaris dengan golongan II besar

warisan yang diterima adalah ½ dari warisan yang ditinggalkan

oleh pewaris.

(3) Anak Luar Kawin Mewaris Bersama Golongan III

Sama dengan mewaris bersama golongan ke II besar warisan dari

anak luar kawin yang mendapat warisan adalah ½ dari harta yang

ditinggalkan oleh pewaris

(4) Anak Luar Kawin Mewaris Bersama Golongan IV

Dalam hal anak luar kawin mewaris dengan golongan IV maka

warisan yang diterimanya adalah ¾ dari harta warisan pewaris.

Seperti telah disebutkan diatas hanya anak luar kawin yang

diakui yang dapat mewaris terhadap harta orangtua yang

mengakuinya, akan tetapi dalam Pasal 285 KUHPerdata disebutkan

bahwa pengakuan oleh suami atau istri terhadap anak yang dibenihkan

dengan orang lain daripada suami atau istrinya yang dilakukan

sepanjang perkawinan tidak boleh merugikan terhadap suami atau istri

maupun anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka. Hal ini berarti

pengakuan dapat dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami attau

istri yang mengakui, namun apabila pengakuan sepanjang perkawinan

tersebut membawa kerugian terhadap suami atau istri dan anak-anak

yang lahir selama perkawinan tersebut maka pengakuan tersebut tidak

boleh dilakukan. Sehingga walaupun anak luar kawin tersebut telah

ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat

dilakukan pengakuan sehingga dia mempunyai hubungan Perdata

dengan orang yang mengakuinya terutama dalam bidang waris tapi

apabila pengakuan tersebut dilakukan sepanjang perkawinan dan dari

adanya pengakuan tersebut menimbulkan kerugian terhadap suami

atau istri dan anak-anak yang lahir selama perkawinan maka anak luar

kawin tersebut tidak bisa mendapat pengakuan dan tidak bisa

mendapat warisan.

Pada tahun 1936 janda yang ditinggalkan atau yang hidup paling

lama diakui sebagai ahli waris. Bagian yang akan mereka dapatkan

adalah sama yakni dibagi rata diantara para ahli waris golongan

pertama hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 852a KUHPerdata.

Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa bagian darimsuami atau istri

yang hidup terlama adalah sama dengan bagian anak. Ketentuan yang

mempersamakan bagian janda dengan anak hanya berlaku dalam

pewarisan karena kematian;

b) Golongan kedua yang terdiri dari keluarga dalam garis lurus ke atas,

meliputi orangtua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta

keturunan mereka. Golongan II ini baru menerima warisan apabila

tidak terdapat golongan I.

Dasar pengaturan dari ahli waris golongan II ini Pasal 854

KUHPerdata yang menyebutkan:

bila seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, maka bapaknya atau ibunya yang masih hidup masing-masing mendapat sepertiga bagian dan harta peninggalannya, bila yang mati itu hanya meninggalkan satu orang saudara laki-laki atau perempuan yang mendapat sisa yang sepertiga bagian. Bapak dan ibunya masing-masing mewarisi seperempat bagian, bila yang mati meninggalkan lebih banyak saudara laki-laki atau perempuan, dan dalam hal itu mereka yang tersebut terakhir mendapat sisanya yang dua perempat bagian.

Bagian yang mereka terima Menurut ketentuan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata baik ayah, ibu maupun saudara-saudara pewaris

masing-masing mendapat bagian akan tetapi bagian ayah dan ibu

senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼

bagian dari seluruh harta warisan yang sama. Namun jika ibu atau

ayah salah seorang sudah meninggal dunia, yang hidup paling lama

akan memperoleh bagian sebagai berikut:

½ (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris

bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun

perempuan adalah sama saja; 1/3 bagian dari seluruh harta warisan,

jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris; ¼

(seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris

bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris;

c) Golongan ketiga meliputi sekalian keluarga sedarah dalam garis ayah

dan dalam garis ibu. Dalam hal terjadi pewarisan yang ahli warisnya

adalah golongan tiga maka warisan tersebut haruslah dibuka terlebih

dahulu kemudian dibagi dua (kloving). Selanjutnya setengah harta

warisan yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah

pewaris, dan bagian yang setengah harta warisannya lagi merupakan

bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Pembagian warisan

untuk golongan tiga ini diatur dalam Pasal 853 KUHPerdata, selain

terdapat dalam Pasal tersebut pengaturan lebih lanjut juga terdapat

dalam Pasal 861 KUHPerdata;

d) Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping

dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam yang diatur dalam

Pasal 858 KUHPerdata. Dalam Pasal ini menyatakan bahwa apabila

tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga

sedarah yang masih hidup dalam satu garis lurus keatas maka separuh

harta peninggalan menjadi bagian dari keluarga sedarah dalam garis

keatas yang masih hidup, sedangkan yang separo lagi menjadi bagian

keluarga sedarah garis kesamping dari garis ke atas lainnya kecuali

terdapat hal-hal yang tercamtung dalam Pasal 858 KUHPerdata yaitu:

(1) Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada

keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke atas;

(2) Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan keluarga

sedarah yang masih hidup dalam kedua garis ke atas;

(3) Harta warisan dibagi dua, yaitu ½ bagan menjadi bagian keluarga

sedarah lurus keatas yang masih hidup dan ½ sisanya menjadi

bagian keluarga sedarah lurus keatas yang masih hidup yang masih

hidup (kloving).

3) Bagian Legitieme Portie

Pada dasarnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur

mengenai apa yang akan terjadi dengan harta kekayaannya setelah ia

meninggal dunia. Seorang pewaris mempunyai kebebasan untuk mencabut

hak waris dari para ahli warisnya, karena meskipun ada ketentuan-

ketentuan di dalam undang-undang yang menetukan siapa-siapa saja yang

berhak untuk menjadi ahliwaris dari harta peninggalannya beserta bagian-

bagian yang telah ditentukan. Akan tetapi ketentuan-ketentuan tentang

pembagian-pembagian itu bersifat hukum pengatur dan hukum pemaksa.

Di dalam hukum Perdata dikenal adanya legitieme portie yang

merupakan bagian mutlak yang menjadi hak ahli waris menurut garis

vertikal yang tidak dapat diganggu gugat. Terhadap bagian mana pewaris

tidak diperbolehkan menguranginya dengan suatu pemberian dengan surat

wasiat. Hal ini berdasarkan pada Pasal 913 KUHPerdata. Maksud dari

adanya legitieme portie adalah untuk melindungi hak para ahli waris dari

perbuatan pewaris yang tidak bertanggungjawab. Yang berhak atas bagian

legitieme portie adalah:

a) Bila pewaris hanya meninggalkan satu orang anak sah dalam garis ke

bawah, maka legitieme portie itu terdiri dan seperdua dan harta

peninggalan yang sedianya akan diterima anak itu pada pewarisan

karena kematian. Bila yang meninggal meninggalkan dua orang anak,

maka legitieme portie untuk tiap-tiap anak adalah dua pertiga bagian

dan apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena

kematian. Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan tiga

orang anak atau lebih, maka legitieme portie itu tiga perempat bagian

dan apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena

kematian. Dasarnya adalah Pasal 914 KUHPerdata;

b) Dalam garis ke atas legitieme portie itu selalu sebesar separuh dan apa

yang menurut Undang-Undang menjadi bagian tiap-tiap keluarga

sedarah dalam garis itu pada pewarisan karena kematian. Dasarnya

adalah Pasal 915 KUHPerdata;

c) Legitieme portie dari anak yang lahir di luar perkawinan tetapi telah

diakui, ialah seperdua dari bagian yang oleh Undang-Undang sedianya

diberikan kepada anak diluar kawin itu pada pewarisan karena

kematian. Dasarnya adalah Pasal 916 KUHPerdata;

4) Asas Kebebesan Ahli Waris Untuk Menentukan Sikap

Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna

menentukan sikap tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi

kewajiban sebagai ahli waris sampai jangka waktu itu berakhir selama

empat bulan (Pasal 1024 KUHPerdata). Setelah jangka waktu yang

ditetapkan Undang-Undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih

antara tiga kemungkinan, yaitu:

a) Menerima secara penuh;

Ahli waris atau para ahli waris yang menerima warisan secara penuh,

baik secara diam-diam maupun secara tegas bertanggung jawab

sepenuhnya atas segala kewajiban yang melekat pada harta warisan.

Artinya, ahli waris harus menanggung segala macam hutang-hutang

pewaris. Penerimaan warisan secara penuh yang dilakukan dengan

tegas yaitu melalui akta otentik atau akta di bawah tangan, sedangkan

penerimaan secara penuh yang dilakukan diam-diam, biasanya dengan

cara mengambil tindakan tertentu yang menggambarkan adanya

penerimaan secara penuh.

b) Menerima warisan secara beneficiaire;

Menerima warisan secara beneficiaire merupakan pewaris menerima

warisan dengan syarat. Cara ini merupakan suatu jalan tengah antara

menerima ataupun menolak. Akibat dari ahli waris yang menerima

warisan secara beneficiaire adalah:

(1) Seluruh warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli waris;

(2) Ahli waris tidak perlu menanggung pembayaran hutang hutang

pewaris dengan kekayaan sendiri sebab pelunasan hutang-hutang

pewaris hanya dilakukan menurut kekuatan harta warisan yang

ada;

(3) Tidak terjadi percampuran harta kekayaan antara harta kekayaan

ahli waris dengan harta warisan;

(4) Jika hutang-hutang pewaris telah dilunasi semuanya dan masih ada

sisa peninggalan, maka sisa itulah yang merupakan bagian ahli

waris;

Akibat terpenting dari menerima warisan secara beneficiaire adalah

bahwa kewajiban si waris untuk melunasi hutang-hutangnya dan

beban-beban lainnya dibatasi sedemikian rupa bahwa pelunasan itu

hanyalah dilakukan menurut kekuatan warisan, sehingga si waris itu

tidak usah menanggung pembayaran hutang-hutang itu dengan

kekayaan sendiri. Akta otentik atau akta di bawah tangan, sedangkan

penerimaan secara penuh yang dilakukan diam-diam, biasanya dengan

cara mengambil tindakan tertentu yang menggambarkan adanya

penerimaan secara penuh.

c) Menolak warisan

Ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi

ahli waris (Pasal 1058 KUHPerdata), karena jika ia meninggal lebih

dahulu dari pewaris ia tidak dapat digantikan kedudukannya oleh

anak-anaknya yang masih hidup. Menolak warisan harus dilakukan

dengan suatu pernyataan kepada panitera pengadilan negeri wilayah

hukum tempat warisan terbuka. Penolakan warisan dihitung dan

berlaku surut, yaitu sejak meninggalnya pewaris.

2. Kerangka teori

Hukum

Hukum Islam Hukum Perdata

Anak luar kawin Anak luar kawin

Waris

Ahli waris

Ahli waris

Bagian Yang diterima

Persamaan Perbedaan Keadilan

Bagian Yang diterima

Ketentuan Pembagian

Warisan

Ketentuan Pembagian

Warisan

Penjelasan:

Suatu negara membutuhkan adanya hukum untuk mengatur

masyarakatnya. Dalam hal ini hukum yang mengatur masyarakat tersebut

tidak hanya hukum yang bersifat publik artinya yang mengatur hubungan

antara satu orang dengan orang yang lain, tapi juga yang bersifat privat. Waris

merupakan salah satu lingkup hukum privat, dalam hukum Perdata termasuk

kedalam hukum benda. Ahli waris yang mempunyai kedudukan lebih utama

adalah anak baik itu dalam hukum Perdata maupun dalam hukum Islam.

Apabila dalam mewaris tersebut terdapat anak yang mewaris berasal dari

hubungan yang menurut hukum sah tentu hal tersebut tidak akan menjadi

masalah, tapi apabila terdapat anak yang lahir dari hubungan yang tidak sah

menurut hukum maka hal tersebut tentunya yang akan menjadi masalah.

Oleh karena itu perlu ditinjau bagaimana kedudukan dan pengaturan

anak luar kawin dalam mewaris apakah sudah memenuhi unsur keadilan bagi

anak tersebut.