85
Kaj. Eko. & Keu. Vol. 18 No. 3 Desember 2014 Halaman : 181 - 254 Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia Performa Belanja Pemerintah Daerah, Investasi Privat dan Kesempatan Kerja di Indonesia Efektivitas Kebijakan Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi di Jawa-Bali Income Inequality : Education as The Panacea Dampak Bea Keluar terhadap Ekspor CPO Indonesia No. Akreditasi : 467/AU3/P2MI-LIPI/08/2012 Vol 18 No 3, Desember 2014 [

Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kaj. Eko. & Keu.

Vol. 18 No. 3 Desember

2014 Halaman : 181 - 254

Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia

Performa Belanja Pemerintah Daerah, Investasi Privat dan Kesempatan Kerja di Indonesia

Efektivitas Kebijakan Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi di Jawa-Bali

Income Inequality : Education as The Panacea

Dampak Bea Keluar terhadap Ekspor CPO Indonesia

No. Akreditasi : 467/AU3/P2MI-LIPI/08/2012

Vol 18 No 3, Desember 2014

[

T

y

p

e

a

q

u

o

t

e

f

r

o

m

t

h

Page 2: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

181

STUDI PENGARUSUTAMAAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PERUBAHAN IKLIM DALAM PERENCANAAN

PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Study for Mainstreaming Environmental and Climate Change Policy On The Development Planning Agenda in Indonesia

Joko Tri Haryanto 1, Akhmad Nurkholis 2

1 Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Jln. Dr. Wahidin No. 1, Jakarta Pusat 10710, DKI Jakarta, Indonesia

1 Email: [email protected] 2 Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia

Kampus UI Depok, Depok 16424, Jawa Barat, Indonesia 2 Email : [email protected]

Naskah diterima: 26 September 2014

Naskah direvisi: 30 Oktober 2014 Disetujui diterbitkan: 19 November 2014

ABSTRACT

Over the past few years, environmental issues have became a major policy agenda in developed and

developing countries. The government has some alternative policies that can be used as a form of the

intervention either to play the role of market-based policies and government regulations as well as other

options. In this context, the Government of Indonesia already issued Presidential Decree No. 61 Year 2011 on

National Action Plan for Reducing Greenhouse Gas Emissions (RAN-GRK). Based on this document, financial

source for climate change (PI) and also protection, preservation of the environment (PPLH) mainly comes

from the state budget, local budget, private sector, and other sources legalized by regulations. Unfortunately,

the capacity for this obligation is still constrained. For this reason, public funding must be able to cooperate

with the private fundingr in order to leverage the capacity. Regarding this matter, the flexibility for the

allocation of state budget/local budget is not easy, due several reasons. One of that reason is the lack of policy

meanstreaming PPLH the PI on the budgeting systems, the nature of the management PI and PPLH and also

lack of awareness from many stakeholders. By using descriptive analysis method, this paper tries to answer

these issues from the variety of scenarios, especially in the sphere of government planning and budgeting

policy.

Keywords: protection and preservation of environment, national action plan for reducing greenhouse gas

emissions, climate change, state budget/local budget

ABSTRAK

Selama beberapa tahun terakhir, isu-isu lingkungan telah menjadi agenda dan kebijakan utama di

negara maju serta negara-negara berkembang. Pemerintah memiliki beberapa alternatif kebijakan yang

dapat digunakan sebagai bentuk intervensi baik melalui opsi memainkan peran pasar dengan berbasis

kebijakan dan peraturan pemerintah maupun opsi-opsi lainnya. Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia

memprioritaskan penanganan isu lingkungan melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang

Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Berdasarkan dokumen tersebut,

dijelaskan bahwa sumber pembiayaan perubahan iklim (PI) dan pelestarian dan perlindungan lingkungan

Page 3: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196

182

hidup (PPLH) utamanya berasal dari APBN, APBD, sektor swasta serta sumber-sumber lainnya yang sah

sesuai peraturan yang berlaku. Sayangnya kewajiban pendanaan tersebut masih terkendala. Untuk itulah,

pemerintah harus dapat bekerjasama dengan pihak swasta dalam menjembatani keterkaitan yang

harmonis, dengan peran APBN/APBD tetap yang utama. Permasalahannya, pengalokasian anggaran

APBN/APBD yang memadai bagi kepentingan PI dan PPLH bukan hal yang mudah. Hal ini tidak terlepas

dari belum adanya meanstreaming kebijakan PI dan PPLH dalam system penganggaran, sifat pengelolaan

PI dan PPLH yang lintas K/L serta belum munculnya kesadaran seutuhnya stakeholders terkait upaya PI

dan PPLH. Dengan menggunakan metode analisis deskriptif, tulisan ini mencoba menjawab persoalan

tersebut dari berbagai skenario yang memungkinkan khususnya dalam lingkup perencanaan kebijakan

pemerintah, sehingga ke depannya penganggaran PI dan PPLH menjadi mudah diimplementasikan.

Kata Kunci : PPLH, RAN-GRK, perubahan iklim, APBN/APBD

JEL Classification: H5, H6, E62, E63

I. PENDAHULUAN

Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu

karena diyakini memainkan peran penting dalam proses pembangunan. Selama beberapa tahun

terakhir, isu-isu lingkungan telah menjadi agenda kebijakan utama di negara maju serta negara-negara

berkembang. Para ekonom berpendapat bahwa masalah lingkungan adalah hasil dari kegagalan pasar di

mana mekanisme pasar gagal dalam mencapai alokasi sumber daya yang efisien (yaitu inefisiensi

alokatif) karena masalah eksternalitas negatif yang disebabkan oleh kelalaian untuk memperhitungkan

dampak negatif dari kegiatan tersebut dalam biaya produksi (Krugman, 2010).

Karena kegagalan pasar, intervensi pemerintah menjadi penting dalam upaya memperbaiki

mekanisme fungsi pasar lingkungan. Pemerintah memiliki beberapa alternatif kebijakan yang dapat

digunakan sebagai bentuk intervensi baik melalui opsi memainkan peran pasar dengan berbasis

kebijakan dan peraturan pemerintah maupun opsi-opsi lainnya. Kebijakan berbasis pasar juga dirancang

untuk memodifikasi mekanisme harga dengan menggunakan instrumen fiskal, seperti pajak dan subsidi.

Demikian juga, regulasi diarahkan untuk menciptakan insentif bagi (perusahaan dan rumah tangga)

swasta untuk mengurangi emisi berbahaya, misalnya izin bagi perusahaan untuk mencemari sampai ke

tingkat tertentu. Regulasi sampai batas tertentu dianggap sebagai instrumen kunci kedua dalam

memitigasi dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan.

Perkembangan yang cepat di Indonesia dianggap telah mempengaruhi perubahan lingkungan. Hal

ini mengarahkan Pemerintah Indonesia (RI) untuk lebih memperhatikan pada masalah lingkungan dan

memasukkannya ke dalam prioritas perkembangan yang lebih serius. Dalam konteks ini, Pemerintah

Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional

Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) telah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 26

persen dan sebesar 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2020.

Berdasarkan dokumen tersebut, dijelaskan bahwa sumber pembiayaan perubahan iklim utamanya

berasal dari APBN, APBD, sektor swasta serta sumber-sumber lainnya yang sah sesuai peraturan yang

berlaku. Pencantuman sumber pendanaan dari APBN dan APBD mengindikasikan perlunya peran

Pemerintah dalam menginisiasi mitigasi perubahan iklim dan perbaikan lingkungan. Namun demikian,

mengingat adanya keterbatasan pendanaan sektor publik serta prioritas anggaran, peran dana swasta

dalam membiayai perubahan iklim dan perbaikan lingkungan ke depannya menjadi sangat penting.

Terkait dengan target RAN/RAD GRK, dalam perhitungan Bappenas, dibutuhkan anggaran

Rp225,5 triliun untuk kegiatan inti serta Rp18,5 triliun untuk kegiatan pendukung upaya mitigasi

perubahan iklim PI. Jumlah tersebut diturunkan ke dalam perhitungan di lima sektor kontributor utama

Page 4: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)

183

PI. Sektor kehutanan sebagai sektor dominan membutuhkan alokasi sekitar Rp48,4 triliun untuk

kegiatan inti dan Rp2,3 triliun untuk kegiatan pendukung. Sektor energi transportasi membutuhkan

Rp94,7 triliun kegiatan inti dan Rp7,0 triliun kegiatan pendukung. Sektor pertanian membutuhkan

Rp36,8 triliun sektor utama dan Rp0,8 triliun kegiatan pendukung. Sektor pengelolaan limbah

membutuhkan Rp44,7 triliun kegiatan utama dan Rp4,9 triliun kegiatan pendukung dan sektor industri

membutuhkan Rp32 triliun kegiatan utama, Rp1,2 triliun kegiatan pendukung.

Di sisi lain, perhitungan Mitigation Fiscal Framework (MFF) Fase I mengindikasikan adanya

kebutuhan dana yang lebih besar meskipun MFF fase I ini baru memfokuskan pada aksi mitigasi di

sektor kehutanan, lahan gambut, energi dan transportasi yang mencakup 93 persen target pengurangan

emisi nasional. Disebutkan bahwa anggaran terkait dengan kegiatan mitigasi RAN-GRK di tahun 2012

sekitar Rp15,9 triliun. Jika pembiayaan RAN-GRK dipertahankan di level yang sama tahun 2012,

penurunan emisi yang dicapai hanya 15 persen (116 mtCO2e) dari target 767 mtCO2e. Apabila

pengeluaran pemerintah sebesar pertumbuhan ekonomi, akan menambah 4 persen penurunan emisi.

Jika pemerintah memprioritaskan pada proyek yang paling efektif di sisi biaya dan efisien, akan

menambah 10 persen pengurangan emisi. Namun demikian peran sektor kehutanan tetap signifikan.

Jika deforestasi dapat dibatasi 450,000 ha/tahun, akan menambah 34% penurunan emisi, jika mitigasi

dari pembangkit listrik rendah karbon juga dimasukkan, akan menambah 14% penurunan emisi sisa

target penurunan emisi sebesar 23% di tahun 2020 dicapai melalui kegiatan reforestasi yang dilakukan

swasta dan CSO Total biaya untuk sektor kehutanan, lahan gambut, energi dan transportasi diperkirakan

antara Rp100 dan Rp140 triliun, yang akan ditanggung oleh pemerintah dan swasta meskipun akan ada

berbagai dampak dari sisi anggaran (pemerintah, swasta, dan CSO) dan pertumbuhan ekonomi.

Di level daerah, mereka juga dituntut adanya kepedulian melalui penyusunan dokumen RAD GRK.

RAD-GRK adalah dokumen perencanaan potensi kegiatan mitigasi untuk penurunan GRK di daerah.

Berdasarkan Perpres No. 61 Tahun 2011, penyusunan RAD-GRK dilakukan dengan mengacu pada

dokumen RAN-GRK dan juga dokumen perencanaan daerah. RAD-GRK tentunya berhubungan dengan

aktivitas yang dicantumkan dalam RAN-GRK dan merupakan bagian dokumen perencanaan daerah

jangka menengah (RPJMD) dan jangka panjang (RPJP).

RAD-GRK dikoordinasikan di tingkat provinsi dan terdiri dari aktivitas yang dikelompokkan dalam

lima sektor: 1) energi (sektor energi dan pertambangan; dan transportasi), 2) industri, 3) pertanian, 4)

kehutanan; dan 5) pengelolaan sampah. Berdasarkan prioritas pembangunan daerah dan

mempertimbangkan variasi potensi dan karakteristik potensi kegiatan mitigasi antardaerah, sangat

dimungkinkan terdapat set prioritas kegiatan mitigasi yang berbeda antardaerah. Pemerintah provinsi

atau pemerintah kabupaten dan kota dapat hanya merencanakan kegiatan mitigasi di satu atau sedikit

sektor dan bukan di keseluruhan lima sektor sesuai dengan potensi mitigasi yang ada.

Tujuan dari penurunan GRK adalah target nasional, komitmen Negara Indonesia untuk penurunan

GRK. Oleh karena itu, diperlukan keterkaitan yang jelas antara RAD-GRK dan RAN-GRK, karena pada

akhirnya, keseluruhan kegiatan mitigasi GRK yang dilakukan adalah kegiatan mitigasi yang dilakukan

oleh Negara Indonesia termasuk dalam keberhasilan upaya penurunan GRK.

Selain komitmen Pemerintah melalui Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tentang RAN/RAD GRK,

Pemerintah juga telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dimana dalam salah satu Pasal 45 diwajibkan kepada

Pemerintah dan DPR bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran yang

memadai untuk perlindungan lingkungan hidup dan pembiayaan manajemen kegiatan dan program

pembangunan berkelanjutan. Dalam pasal lainnya, Pemerintah juga telah menyusun berbagai daftar

sumber-sumber pembiayaan yang memungkinkan dalam mendukung upaya perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan di Indonesia.

Page 5: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196

184

Mengingat amanat Undang-undang dan Perpres tersebut, APBN dan APBD sudah selayaknya

mengalokasikan anggaran mitigasi (PI) serta perlindungan dan perbaikan lingkungan hidup (PPLH)

hidup secara signifikan. Sayangnya kewajiban APBN dan APBD untuk mengalokasikan anggaran PI dan

PPLH setiap tahunnya masih terkendala. Dalam APBN Tahun 2012 misalnya, alokasi anggaran untuk

fungsi lingkungan hidup sebesar Rp11,5 triliun atau sebesar 1,2 persen terhadap total belanja

Pemerintah Pusat atau sebesar 0,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan dalam R-

APBN Tahun 2013, anggaran tersebut menjadi Rp12,2 triliun atau sebesar 1,1 persen terhadap total

belanja Pemerintah Pusat atau 0,1 persen terhadap PDB.

Kebutuhan penganggaran tersebut tentu wajib segera disiapkan oleh APBN/APBD. Namun

demikian peran APBN/APBD tidak harus membiayai seluruh kebutuhan tersebut. Dalam kalkulasi hasil

kegiatan Mitigation Fiscal Framework (MFF) Fase I, peran pembiayaan sektor publik hanya berkisar

20%. Sisa 80% tentu dijawab oleh swasta dengan berbagai mekanisme pembiayaan yang

memungkinkan. Pendanaan APBN/APBD harus dapat bekerjasama dengan pihak swasta dalam

menjembatani keterkaitan yang harmonis antara sektor publik dan swasta dalam pembiayaan PI dan

PPLH. Pengalokasian anggaran APBN/APBD yang memadai bagi kepentingan PI dan PPLH bukan hal

yang mudah. Hal ini tidak terlepas dari beberapa tantangan PI dan PPLH terkait dengan belum adanya

meanstreaming kebijakan PI dan PPLH dalam sistem penganggaran, sifat pengelolaan PI dan PPLH yang

lintas K/L serta belum munculnya kesadaran seutuhnya stakeholders terkait upaya PI dan PPLH.

Untuk memudahkan analisis dalam penelitian ini, ukuran dan indikator meanstreaming PPLH dan

PI lebih difokuskan kepada persoalan alokasi anggaran APBN untuk fungsi lingkungan hidup serta isu PI.

Selain itu akan diusulkan beberapa indikator perencanaan pembangunan baru yang lebih mencerminkan

dukungan terhadap upaya PPLH dan PI.

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Menganalisis berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam mendukung upaya

pengarusutamaan isu PPLH dan PI dalam sistem perencanaan pembangunan nasional;

b. Mengupayakan adanya mekanisme pendanaan APBN/APBD yang memadai bagi kegiatan lingkungan

(PPLH) maupun perubahan iklim (PI);

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Eksternalitas

Dalam kegiatan ekonomi, masyarakat mengkonsumsi dan memproduksi barang dan jasa. Teori

ekonomi menempatkan manusia pada dua peran, yaitu: 1) sebagai aktor atau pelaku kegiatan ekonomi,

yaitu pihak yang melakukan kegiatan konsumsi atau kegiatan produksi, serta 2) sebagai insiden atau

pihak yang terkena pengaruh kegiatan ekonomi. Pengaruh ini dapat bersifat langsung maupun tidak

langsung. Dari sisi lain, kedua pengaruh tadi, baik yang langsung maupun tidak langsung dapat bersifat

positif atau negatif. Positif, jika meningkatkan kesejahteraan manusia yang terkena, dampak negatif, jika

menurunkan kesejahteraan pihak yang terkena (Turner, 1994). Oleh karena ekonomi merupakan sistem

terbuka, maka ketiga proses dasarnya (ekstraksi, proses atau fabrikasi, dan konsumsi) masing-masing

menghasilkan residual atau limbah, yang akhirnya kembali ke lingkungan.

Polutan atau limbah dengan jumlah tertentu di suatu tempat dalam waktu yang lama akan

menyebabkan perubahan biologis dan perubahan lainnya atau kontaminasi, yang selanjutnya dapat

mengganggu atau merusak tanaman atau hewan dan ekosistem di sekitarnya. Jika kerusakan tersebut

selanjutnya berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan manusia, maka hal ini memenuhi batasan

ekonomi pencemaran. Batasan ekonomi pencemaran, mensyaratkan dua hal, yaitu terjadinya pengaruh

fisik terhadap lingkungan dan reaksi manusia terhadap pengaruh fisik yang bersangkutan.

Page 6: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)

185

Dalam bahasa ekonomi, telah terjadi kerugian dalam bentuk berkurangnya kesejahteraan yang

tidak dikompensasi, karena adanya biaya eksternal yang berkaitan dengan pembuangan limbah ke

lingkungan alam, akan menimbulkan biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat (Turner, Pearce &

Bateman, 1994). Eksternalitas timbul ketika beberapa kegiatan dari produsen dan konsumen memiliki

pengaruh yang tidak diharapkan atau tidak langsung terhadap produsen dan atau konsumen lain.

Eksternalitas bisa positif atau negatif. Eksternalitas positif terjadi saat kegiatan yang dilakukan oleh

seseorang atau kelompok memberikan manfaat pada individu atau kelompok lainnya (Sankar, 2008).

Perbaikan pengetahuan di berbagai bidang, misalnya ekonomi, kesehatan, kimia, fisika

memberikan eksternalitas positif bagi masyarakat. Eksternalitas positif terjadi ketika penemuan para

ilmuwan tersebut tidak hanya memberikan manfaat pada mereka, tapi juga terhadap ilmu pengetahuan

dan lingkungan secara keseluruhan. Adapun eksternalitas negatif terjadi saat kegiatan oleh individu atau

kelompok menghasilkan dampak yang membahayakan bagi orang lain. Polusi adalah contoh

eskternalitas negatif. Terjadinya proses pabrikan di sebuah lokasi akan memberikan eksternalitas

negatif pada saat perusahaan tersebut membuang limbahnya ke sungai yang berada di sekitar

perusahaan.

Penduduk sekitar sungai akan menanggung biaya eksternal dari kegiatan ekonomi tersebut

berupa masalah kesehatan dan berkurangnya ketersediaan air bersih. Polusi air tidak saja ditimbulkan

oleh pembuangan limbah pabrik, tapi juga bisa berasal dari penggunaan pestisida, dan pupuk dalam

proses produksi pertanian (Yoesgiantoro, 2012).

2.2. Sumber Eksternalitas

Sumber dari eksternalitas adalah ketiadaan hak milik (property right), yaitu kesepakatan sosial

yang menentukan kepemilikan, penggunaan dan pembagian faktor produksi serta barang dan jasa. Hak

milik tidak ada saat eksternalitas timbul. Tidak ada seorangpun yang memiliki udara, sungai, dan laut.

Pada saat tidak adanya hak milik, maka tidak ada jaminan sebuah perusahaan swasta beroperasi pada

tingkat yang efisien. (Taggart, et al, 2003 dalam Yoesgiantoro, 2012).

Sumber daya lingkungan seperti udara bersih, air di sungai, laut dan atmosfir hak kepemilikannya

tidak terdefinisikan dengan tepat. Di banyak negara sumber daya tersebut berada dalam domain publik.

Penggunaan sumber daya tersebut dianggap sebagai barang bebas dan faktor produksi tanpa harga. Oleh

karena itu mereka menghitung penggunaan sumber daya lingkungan tidak ada harganya ketika nilai

sosial yang positif mengalami kelangkaan. Dua alasan penting ketiadaan pasar adalah a) adanya

kesulitan mendefisikan, mendistribusikan dan menentukan hak milik, b) tingginya biaya dari penciptaan

dan pengoperasian pasar (Sankar, 2008). Pada saat sebuah perusahaan membuang limbahnya di sungai,

maka perusahaan memperoleh manfaat dari sungai tersebut, namun tidak menanggung biaya dari

penggunaan sungai tersebut karena perusahaan tidak merasa memiliki sungai tersebut.

2.3. Jenis Eskternalitas

Eksternalitas lingkungan dapat dikelompokkan berdasarkan pengaruhnya terhadap individu dan

wilayah. Pencemaran lingkungan atau kerusakan lingkungan dapat dikelompokkan sebagai eksternalitas

daerah atau lokal seperti terjadi kerusakan air danau, kerusakan tanah, dan polusi udara. Polusi di

daerah menjadi kesulitan bagi penduduk daerah tersebut jika memiliki dua karakteristik, yaitu non-

rivalry dan non-exclusion. Adapun polusi dari sungai besar dan kerusakan ekosistem gunung mungkin

akan mempengaruhi sejumlah wilayah. Emisi gas rumah kaca merupakan masalah penduduk dunia

tanpa memperhatikan dari mana polusi berasal, emisi menyeluruh berdampak kepada semua orang di

dunia dan ekosistem secara keseluruhan. Pengelompokkan eksternalitas penting berkenaan dengan

masalah otoritas mana yang akan membawahi masalah polusi dan atau kerusakan tersebut (Sankar,

2008 dalam Yoesgiantoro, 2012).

Page 7: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196

186

2.4. Kebijakan Publik Mengenai Eksternalitas

Dalam mengatur eksternalitas yang berorientasi pasar, pemerintah menggunakan kebijakan yang

berorientasi pada pasar untuk menyamakan insentif swasta dengan efisensi sosial. Pemerintah dapat

menginternalisasikan eksternalitas dengan cara menerapkan pajak atas kegiatan yang menghasilkan

eksternalitas negatif (Pigovian tax) dan mensubsidi kegiatan yang menghasilkan eksternalitas positif.

Beberapa negara lebih memilih menerapkan pemberlakuan pajak Pigovian daripada melakukan

regulasi untuk menangani polusi, karena pajak Pigovian dapat mengurangi polusi dengan biaya

transaksi yang lebih rendah. Regulasi menentukan suatu tingkat polusi, sementara pajak memberikan

kepada pelaku usaha insentif ekonomi lebih baik untuk mengurangi polusi. Sebagai contoh pabrik kertas

akan menghabiskan biaya lebih sedikit daripada pabrik baja dalam mengurangi polusi. Pabrik kertas

akan mengurangi jumlah polusi sebanyak mungkin untuk menghindari pajak, sementara pabrik baja

akan mengurangi polusi dan membayar pajak.

Di Indonesia, penerapan pajak Pigovian masih terkendala, karena pajak Pigovian memperbaiki

insentif di tengah eksternalitas dan menggerakkan kembali alokasi sumber daya mendekati titik optimal

bagi sosial, sementara sebagian besar pajak merusak insentif dan menggerakkan alokasi sumber daya

keluar dari titik optimal bagi sosialnya. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya kesejahteraan

ekonomi, yaitu surplus produsen dan surplus konsumen, melebihi jumlah pendapatan yang diperoleh

pemerintah dan menghasilkan kerugian beban baku. (Mankiw, 2006).

Di dalam pola pengaturan hubungan industrial, pengaturan tentang kode etik moral ini sudah

diatur dalam sebuah penetapan Baku Mutu Lingkungan (BML) yang ditetapkan oleh Kementrian

Lingkungan Hidup Indonesia. Penetapan Baku Mutu Lingkungan tersebut diharapkan dapat menjadi

filter di dalam upaya menjaga kesimbangan hubungan antara pengembangan industri migas yang

menyejahterakan masyarakat dengan pengelolaan dampak terhadap lingkungan. Jadi di dalam

menciptakan pola keseimbangan hubungan antara industri migas dan kelestarian lingkungan,

optimalisasi penetapan BML menjadi hal yang sangat krusial. Karenanya diharapkan BML yang

ditetapkan oleh pemerintah harus benar-benar dapat menjadi sebuah acuan seberapa besar daya

dukung dan daya tampung lingkungan terhadap pencemaran yang dihasilkan oleh sebuah industri.

UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)

sebenarnya telah memperkenalkan mekanisme instrumen ekonomi seperti pajak lingkungan. Namun

demikian, implementasi mekanisme ini masih banyak menghadapi kendala. Untuk itulah di dalam

penelitian ini, salah satu rekomendasi yang nantinya dihasilkan adalah bagaimana mekanisme dan

prosedur penetapan pajak lingkungan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

kelestarian lingkungan hidup sebagai dampak dari eksternalitas industri migas. III. METODOLOGI

3.1. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapatkan dari

beberapa sumber institusi yang terkait diantaranya:

Tabel 3.1. Jenis-jenis Data

No Jenis Data Instansi Keterangan 1 Dokumen RAN GRK Bappenas Perpres Nomor 61 Tahun 2011 2 Realisasi anggaran DJA, Kemenkeu Realisasi anggaran per K/L 2006-2012 3 Realisasi anggaran DJA, Kemenkeu Realisasi anggaran fungsi lingkungan 4 Beban lingkungan KLH, DNPI Data pendukung

Sumber: Internal peneliti, data diolah

Page 8: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)

187

3.2. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis statistika deskriptif

dengan menggunakan instrumen grafik dan tabel dalam membandingkan beberapa alokasi anggaran

yang telah direalisasikan. Berdasarkan analisis grafik dan tabel tersebut, kemudian disusun beberapa

sintesa analisis sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan serta rekomendasi untuk perbaikan

kebijakan kedepannya. IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Upaya Meanstreaming Kebijakan PI dan PPLH dalam Perencanaan Pembangunan

Aspek PI dan PPLH merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan berkelanjutan di

Indonesia. Kekayaan alam dan lingkungan yang ada di Indonesia merupakan kondisi yang secara

ekonomis mempunyai peran yang strategis. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan tidak

terpisahkan dengan kelestarian lingkungan. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan

terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi

pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,

kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Dalam rangka mengawal pembangunan berkelanjutan di Indonesia, Pemerintah telah

mengeluarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan (PPLH). Salah satu dukungan konkrit dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan maka

pemerintah telah menetapkan beberapa instrumen. Beberapa instrumen tersebut antara lain terdapat

pada gambar di bawah ini.

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup

Gambar 4.1. Instrumen Pencegahan Mitigasi PI dan PPLH.

Pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai mekanisme instrumen fiskal mengenai

kebijakan lingkungan dalam rangka mencapai target pengurangan emisi gas sebesar 26 persen pada

tahun 2020 dan sebesar 41 persen jika cukup dukungan internasional (Resosudarmo dan Yusuf, 2009).

Pembahasan berikut akan memberikan review kebijakan fiskal yang berkaitan dengan pengelolaan

lingkungan dalam hal pengeluaran dan kebijakan pendapatan. Kebijakan belanja meliputi alokasi

anggaran baik di tingkat pusat maupun daerah atau pemerintah untuk mengatasi masalah lingkungan

Page 9: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196

188

dan tentu saja dengan penawaran program subsidi terutama untuk energi. Berkenaan dengan kebijakan

pendapatan, kita akan menguraikan penggunaan pajak dan biaya untuk mengatur efek buruk dari

kegiatan memproduksi tercemar.

4.1.1. Kebijakan Belanja

Dua indikator dapat digunakan untuk mengukur kebijakan pengeluaran yang berkaitan dengan

pengelolaan lingkungan. Pertama adalah rasio biaya perlindungan lingkungan terhadap PDB, dan kedua

adalah rasio perlindungan lingkungan untuk anggaran negara. Pengeluaran lingkungan dalam APBN

2012 telah meningkat hampir enam kali dari biaya pada tahun 2006 atau kira-kira 1,19 persen dari total

pengeluaran pemerintah pada tahun yang sama (atau dua kali dari persentase pada tahun 2006).

Meskipun persentase terhadap PDB sedikit meningkatkan itu membuat sampai dengan 0,14 persen dari

PDB pada tahun 2012 (dibandingkan dengan 0,08 persen pada tahun 2006). Tentu saja, pengeluaran

untuk lingkungan yang lebih besar diperlukan untuk mengatasi masalah lingkungan yang lebih

kompleks.

Tabel 4.1. Beban Lingkungan

Description 2006 2007 2008 2009 2010 2011-P 2012-APBN

Total Belanja Pusat (Rp billions)

440,031.2 504,623.4 693,356.0 628,812.4 697,406.4 908,243.4 964,997.3

Pengeluaran Lingkungan

2,664.5 4,952.6 5,315.1 10,703.0 6,549.6 10,935.9 11,451.5

% Thd Total Belanja

0.61 0.98 0.77 1.70 0.94 1.20 1.19

% Thd PDB 0.08 0.13 0.13 0.19 0.10 0.15 0.14

Sumber: Kementerian Keuangan, 2006-2012

Pemerintah pusat juga telah mengalokasikan dana untuk pengelolaan lingkungan melalui

Kementerian Lingkungan Hidup. Ini dukungan keuangan bertujuan memungkinkan kementerian untuk

program desain dan peraturan untuk mengelola lingkungan negara. Secara umum, uang yang

dialokasikan untuk pelayanan lingkungan bervariasi mulai 0,06-0,11 persen dari total pengeluaran

pemerintah (lihat Tabel 4.2). Dalam APBN 2012, itu adalah sekitar pengeluaran pemerintah 0,09 persen

total yang dibagikan untuk pelayanan lingkungan (dibandingkan dengan pengeluaran hanya 0,07 persen

pada tahun 2006). Selain itu, beberapa alokasi anggaran lingkungan dibuat untuk departemen lain.

Sebagai contoh, pemerintah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Direktorat Cipta Karya

bawah Kementerian Pekerjaan Umum dalam rangka meningkatkan kapasitas lokal terhadap

aksesibilitas air bersih. Tabel 4.2. Alokasi Anggaran untuk KLH

Description 2006 2007 2008 2009 2010 2011-P 2012-APBN

Alokasi Anggaran KLH 300.9 414.2 415.3 359.5 404.4 974.3 885.4

% Total Belanja Pemerintah 0.07 0.08 0.06 0.06 0.06 0.11 0.09

Sumber: Kementerian Keuangan, 2006-2012

Pemerintah pusat lingkungan dapat dikategorikan ke dalam program-program berikut untuk

reboisasi, pengelolaan penggunaan air, mitigasi pencemaran, konservasi sumber daya alam dan tanah.

Tabel 4.3 memberikan pengeluaran detail untuk perlindungan lingkungan. Biaya terbesar pada tahun

2006, dari 62 persen dari anggaran lingkungan, adalah digunakan untuk konservasi sumber daya alam.

Page 10: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)

189

Persentase tersebut telah menurun menjadi hanya 38,8 persen dari biaya total pada tahun 2012 dan

dalam alokasi waktu yang berarti untuk pengelolaan air telah meningkat. Bencana yang disebabkan oleh

kurangnya manajemen air seperti banjir, tanah longsor, dll telah menyebabkan pemerintah untuk

membayar perhatian lebih pada masalah ini.

Tabel 4.3. Pengeluaran Perlindungan Lingkungan

Environmental Protection

2006 2007 2008 2009 2010 2011-P 2012-APBN

Total Belanja (Rp billions)

2,664.5 4,952.6 5,315.1 10,703.0 6,549.6 10,935.9 11,451.5

- Pengelolaan Air 325.6 348.0 478.4 525.2 764.4 2,874.8 2,884.0

- Pengelolaan Limbah

35.1 - - - - - -

- Penanggulangan Polusi

179.1 189.9 201.6 155.9 151.4 220.3 168.4

- Konservasi SDA Natural

1,669.2 3,176.6 3,150.3 4,518.7 3,897.9 4,500.3 4,445.0

- Tata Guna Lahan 413.6 961.7 1,351.9 1,412.3 1,578.1 2,943.6 3,300.6 - Riset dan

Penelitian 0.6

- Lingkungan lainnya

41.2 276.5 128.4 4,090.9 157.9 396.8 653.6

Sumber: Kementerian Keuangan, 2006-2012

Selain alokasi pada lembaga tingkat pusat, pemerintah telah menyediakan Dana Alokasi Khusus

(DAK) yang bertujuan untuk meningkatkan peran pemerintah daerah dan tanggung jawab dalam

pengelolaan lingkungan terutama dalam meningkatkan kualitas air atau lain masalah lingkungan dalam

kabupaten. DAK juga dimaksudkan untuk mendukung penghijauan. Ada sekitar Rp112,8 miliar dana

DAK didistribusikan di antara lima wilayah (Sumatera, Jawa & Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa

Tenggara, Maluku dan Papua) pada tahun 2006. Jumlah DAK kemungkinan peningkatan empat kali lipat

pada tahun 2009 (lihat Tabel 4.4). Pada 2013, pemerintah mengalokasikan sebesar Rp530,56 miliar atau

meningkat 9.8 persen pada alokasi DAK tahun 2012. Dana ini dibagikan kepada 432 kabupaten atau

Rp1,2 miliar untuk setiap kabupaten.

Tabel 4.4. Alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) Lingkungan Hidup Berdasarkan Wilayah (Rp Milyar)

Daerah 2006 2007 2008 2009

Sumatera 29.7 101.9 101.9 96

Java & Bali 30.4 78.5 78.5 70.6

Kalimantan 12.4 40.1 40.1 40.6

Sulawesi 16.5 57.4 57.4 62

Nusa Tenggara, Maluku & Papua 23.8 73.8 73.8 82.3

Total 112.8 351.7 351.7 351.5 Sumber: Kementerian Keuangan RI

Pemerintah pusat juga telah peduli pada upaya untuk mendorong penggunaan energi alternatif

seperti sel surya, biomassa, angin, air dan panas bumi seperti yang ditunjukkan oleh beban subsidi

pengembangan energi alternatif tersebut.

4.1.2. Kebijakan Pendapatan

Peran kegiatan yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi

tetap penting. Hal ini dapat dilihat oleh kontribusi besar mereka terhadap anggaran negara dalam hal

Page 11: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196

190

pendapatan dari sumber daya alam. Menurut APBN, kontribusi pembayaran sumber daya alam yang

relatif meningkat setelah penurunan yang signifikan pada tahun 2009. Gambar 3.1 menunjukkan bahwa

kontribusi pendapatan dari pembayaran sumber daya alam cenderung meningkat dari 2,5 persen dari

PDB pada tahun 2009 menjadi sekitar 2,67 persen dari PDB pada tahun 2011 (APBN direvisi). Angka ini

menggambarkan bahwa aktivitas yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam cenderung naik,

meskipun faktor kenaikan harga SDA juga berpotensi meningkatkan sumbangan tersebut. Dalam

konteks ini, kondisi tersebut menunjukkan bahwa dampak pada kerusakan lingkungan serta penipisan

sumber daya alam cenderung meningkat.

Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2006-2012

Gambar 4.2. Penerimaan SDA.

Berkenaan dengan kerugian yang berasal dari ekstraksi sumber daya alam, pemerintah Indonesia

telah mengenakan berbagai pajak dan biaya yang berkaitan dengan kegiatan ekstraksi sumber daya alam

dan menggabungkan dengan pengisian dari penggunaan produk hilir seperti bahan bakar. Menurut UU

Nomor 28 Tahun 2009 tentang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah telah

menetapkan besaran pajak bahan bakar sebesar 10 persen. Pajak ini dikumpulkan oleh pemerintah

provinsi dan tingkat ditentukan oleh peraturan daerah (PERDA). Pendapatan 70 persen dari pajak bahan

bakar didistribusikan ke tingkat kabupaten. Selain itu, pemerintah juga membebankan biaya untuk

ekstraksi sumber daya alam. Sebagai contoh, ekspor pajak untuk produk pertambangan yang akan

efektif pada tahun 2014.

Namun, di saat yang bersamaan, pemerintah masih tetap mensubsidi harga BBM dalam negeri

bahkan lebih besar dari penerimaan pajak bahan bakar yang dikenakan. Sebagai contoh, dalam APBN

tahun 2013, pemerintah mengalokasikan sekitar 11,5 persen dari total pengeluaran pemerintah atau

sekitar Rp193.8 triliun untuk subsidi BBM. Namun, mengurangi subsidi BBM akan mendorong

kerusuhan sosial dan ketidakstabilan politik. Oleh karena itu, beberapa pihak berpendapat bahwa pajak

bahan bakar tidak efektif dalam mengendalikan penggunaannya, karena permintaan untuk bahan bakar

adalah inelastis dan produk yang penggantinya belum tersedia dan jika mereka tersedia mereka belum

diproduksi secara besar-besaran.

Page 12: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)

191

Berkaitan dengan pengelolaan air, ada biaya lisensi untuk menarik air permukaan. Biaya ini

didasarkan pada volume air yang diambil. Namun, penerimaan ini relatif rendah, terutama untuk

pengguna industri. Selain itu, air permukaan juga telah menjadi obyek untuk mengenakan pajak pada

tingkat lokal berdasarkan pasal 21 UU Nomor 12 Tahun 2009 dimana tingkat maksimum 10 persen telah

dikenakan. Tidak seperti pajak bahan bakar, pajak air permukaan dipungut di tingkat kabupaten

(kota/kota). Demikian pula, Kementerian Pekerjaan Umum telah memutuskan untuk memungut

pembuangan limbah pada tahun 1989. Kerangka kerja ini adalah untuk mengarahkan perusahaan untuk

menyediakan pengelolaan air limbah mereka. 4.2. Penyusunan Indikator Makro Ekonomi Berkelanjutan

4.2.1. Pendapatan Nasional Bersih yang Disesuaikan

Indikator makro konvensional yaitu PDB, dianggap gagal menyediakan hubungan antara kegiatan

ekonomi dan degradasi lingkungan serta penipisan sumber daya. United Nations dan Bank Dunia

kemudian mencoba mengembangkan alternatif makro-indikator melalui pendekatan pendapatan

nasional lingkungan disesuaikan dan berkelanjutan. Lembaga tersebut membangun konsep dasar

produk nasional lingkungan disesuaikan. Salah satunya adalah dengan memperkenalkan pelaksanaan

Sistem Akuntansi Lingkungan dan Ekonomi Terpadu (SEEA) untuk menggambarkan hubungan antara

ekonomi dan lingkungan (lihat PBB, 1993). Kerangka utamanya adalah untuk menyertakan rekening

aset dan lingkungan untuk memperkenalkan dampak dari kegiatan ekonomi (yang disebabkan oleh

rumah tangga, pemerintah dan perusahaan) pada akun aset alam atau lingkungan.

Dalam SEEA versi 2003, disediakan empat aspek yang mengukur hubungan antara lingkungan dan

kegiatan ekonomi di kedua arah: mengukur kegiatan lingkungan termasuk pengeluaran yang berkaitan

dengan perlindungan lingkungan, pengukuran lingkungan akun aset, dan menyesuaikan ukuran

akuntansi yang ada untuk menghitung modal alami yang terdegradasi. Keduanya juga berusaha untuk

mengukur degradasi lingkungan serta berkurangnya sumber daya alam akibat ekstraksi ekonomi.

Namun demikian, tidak ada negara yang sepenuhnya menerapkan semua kriteria, sementara banyak

negara lebih mengadopsi satu atau beberapa akun karena kurangnya informasi.

Dimulai dari ide memperkenalkan produk domestik bersih (NDP) yang meliputi akuntansi untuk

penyusutan modal tetap seperti bangunan dan mesin, ide utamanya adalah: sementara aktivitas

ekonomi yang diwakili oleh PDB konvensional memberikan manfaat bagi masyarakat, nilai aset yang

diproduksi menurun setiap tahun. Dengan demikian, NDP dapat dihitung dengan GDP dikurangi nilai

depresiasi tahunan dari aktiva tetap yang ada. Demikian pula diharapkan bahwa nilai modal alam juga

mungkin akan terdepresiasi sebagai akibat dari ekstraksi sumber daya yang dapat menyebabkan

kerusakan lingkungan. Dalam banyak kasus, kualitas lingkungan dapat meningkat karena berkaitan

dengan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan.

Jadi pendapatan nasional lingkungan disesuaikan dapat dirumuskan sebagai berikut: EDP = GDP -

DFC - DNC, di mana DFC dan DNC menunjukkan penyusutan modal tetap dan alami masing-masing.

Namun, kesulitannya adalah untuk menguangkan penyusutan modal alam dan serta pengukuran

kerusakan lingkungan. Repetto et.al (1989) memelopori upaya untuk memperkirakan akuntansi hijau

EDP untuk Indonesia selama 14 periode tahun, 1.971-1.984. Hasilnya digambarkan bahwa EDP adalah

20 persen lebih rendah dari PDB tradisional. Untuk kata lain, penyusutan alami menyumbang 20 persen

dari produksi total ekonomi.

Selain EDP, EDI memberikan wawasan yang sama seperti EDP untuk memperhitungkan dampak

dari kegiatan ekonomi dan degradasi lingkungan. Gambar 4.3 menggambarkan perbandingan antara

pendapatan nasional bruto dan pendapatan nasional bersih disesuaikan untuk Indonesia. Angka

tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan antara EDI dan GNI menjadi jauh lebih besar 1980-2010. Hal

Page 13: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196

192

ini dapat menyatakan bahwa aktivitas ekonomi sementara di Indonesia selama periode ini menghasilkan

manfaat sebanyak diwakili oleh GNI, itu juga berpengaruh banyak dalam hal penyusutan modal

alam/degradasi seperti yang ditunjukkan oleh pendapatan nasional bersih.

Sumber: World Bank, 2012

Gambar 4.3. Pendapatan Nasional Bruto dan Pendapatan Nasional Bersih Disesuaikan. 4.2.2. Tabungan (Genuine Saving)

Ukuran lain inklusi sumber daya alam dan kualitas lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan

adalah konsep tabungan asli (disebut GS). Hal ini terkait dengan ukuran tradisional kekayaan tabungan

bruto yang diberikan oleh perbedaan antara GNP dan konsumsi pribadi. Sedangkan tabungan bruto

adalah kurangnya dari menjelaskan apakah proses pembangunan yang berkelanjutan atau tidak, GS

memberikan wawasan inklusi modal manusia yang memberikan informasi tentang bagaimana manusia

juga dianggap berkontribusi untuk keberlanjutan dengan membantu proses pembangunan

berkelanjutan. Selain aspek manusia, keberlanjutan GS juga sesuai dengan dimasukkannya penipisan

sumber daya alam dan kerusakan lingkungan dalam pengembangan.

Secara khusus, GS dirumuskan oleh persamaan yang diberikan: GS = Net Saving1 + Human Capital

Investment – Depletion of Natural Resources – Environmental Damages. Model diperpanjang untuk

memasukkan aspek lain seperti pengeluaran untuk kesehatan dan untuk memotong dengan rumah

tangga dan konsumsi pemerintah. Jika GS <0 hal ini menunjukkan nonkeberlanjutan sementara GS> 0

menggambarkan keberlanjutan.

Dalam estimasi GS, investasi modal manusia dalam periode berjalan diasumsikan untuk

menyediakan sumber daya untuk peningkatan produktivitas dan pendapatan di masa depan. Dalam

menghitung nilai investasi modal manusia, Bank Dunia menggunakan pengeluaran pendidikan saat ini

sebagai variabel proxy meskipun hal ini bukan indikator langsung untuk menunjukkan kontribusi

pendidikan terhadap pembangunan ekonomi. Demikian juga, menipisnya sumber daya alam diukur

sebagai total sewa dan dipanen (misalnya hasil hutan). Untuk sumber daya tak terbarukan, itu dihitung

dengan mengurangi nilai produksi (dengan harga dunia) dengan biaya produksi sedangkan untuk

produk kehutanan diperkirakan sebagai selisih antara nilai panen log dan biaya panen.

Danida (2010) menemukan bahwa tabungan asli (GS) untuk Indonesia selama periode 2000-2010

menunjukkan tren positif GS menunjukkan bahwa pembangunan nasional telah menyumbang aspek

1 Net Saving = Gross Domestic Saving – depreciation of fixed capital, while Gross Saving = gross domestic investment – net

foreign borrowing + net official transfers.

Page 14: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)

193

keberlanjutan. Namun, menunjukkan kemajuan yang lambat dalam nilai nominal jika dibandingkan

dengan tren PDB (Danida, 2010). GS diperkirakan untuk memperhitungkan 17,45 persen dari PDB pada

tahun 2000 dan dengan demikian menurun menjadi 13,54 persen pada 20102 (Lihat gambar 4.4). Hasil

ini juga menjelaskan bahwa deplesi (terbarukan dan tidak terbarukan) sumber daya dan degradasi

lingkungan selama periode 2000-2010, memberikan tekanan lebih dari sisi ekonomi terhadap proses

pembangunan. Selanjutnya, mungkin dapat menjelaskan bahwa konsumsi (rumah tangga dan

pemerintah) seharusnya memiliki peran yang lebih besar dalam estimasi GS. Yang penting adalah bahwa

pendidikan dan kesehatan pengeluaran yang terus meningkat selama periode tersebut.

Sumber : Danida, 2010, *preliminary figure

Gambar 4.4. PDB dan Genuine Saving. 4.2.3. PDRB dan PDB Hijau

Green GDP atau kadang disebut Green NDP (atau Produk Domestik Eco (EDP), lihat Alisjahbana

dan Yusuf, 2003) yang sekarang menjadi indikator yang lebih populer di agregat ekonomi makro hijau

didefinisikan sebagai GDP dikurangi penyusutan modal tetap dan biaya lingkungan diperhitungkan

(Alisjahbana dan Yusuf, 2002b). Hal ini digunakan untuk menunjukkan upaya untuk mengintegrasikan

biaya dan manfaat dari sumber daya alam yang digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Pada

dasarnya, green GDP adalah kerangka teoritis di bawah yang berasal dari masalah optimasi yang

meliputi kendala tertentu (Atkinson et.al, 1997). Dengan demikian, green GDP mengukur nilai optimal

atau kesejahteraan ekonomi setelah dibawa ke rekening kendala lingkungan. Namun, pendekatan

tersebut tidak menerangkan tentang keberlanjutan. Untuk itu, dalam hal kesejahteraan dapat menurun

atau tidak berkelanjutan, perlu diperhitungkan untuk tingkat diskonto utilitas positif.

Meskipun kelemahan seperti disebutkan di atas, dalam konteks Indonesia, green GDP bisa menjadi

salah satu alternatif pengukuran untuk menunjukkan proses pembangunan yang telah diperhitungkan

untuk masalah lingkungan akibat kegiatan ekstraksi. Studi Alisjahbana dan Yusuf (2002b) menemukan

bahwa Indonesia Eco-Produk Domestik (EDP) pada tahun 1995 diperkirakan sebesar Rp 411.763 miliar

atau 90,6 persen dari PDB konvensional pada tahun yang sama sementara itu sekitar 89,8 persen dari

PDB tahun 1990 (Alisjahbana dan Yusuf, 2002b). Ini tumbuh sekitar 8,0 persen 1990-1995

dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi konvensional dari 7,8 persen selama periode yang sama.

Meskipun hasil ini tidak sesuai dengan keberlanjutan, nilai yang lebih rendah dari PDB hijau setidaknya

2 Estimated value in 2010

Page 15: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196

194

menyampaikan informasi mengenai kinerja "benar" dari pembangunan ekonomi. Dalam hal ini, green

GDP telah meningkatkan indikator makro-ekonomi standar dalam hal PDB konvensional.

4.3. Alternatif Kebijakan untuk Anggaran Berbasis LH / Anggaran Hijau

4.3.1. Pengalokasian Minimal Sekian Persen dalam APBN/APBD untuk Anggaran Fungsi Lingkungan Hidup (Seperti Halnya Untuk Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan yang Diatur melalui Undang-undang)

Dengan mendasarkan pengalaman sektor pendidikan yang mampu melakukan ear marking

anggaran pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20

persen dari APBN/APBD, maka perlu kiranya dilakukan kajian terkait hal yang sama untuk sektor

lingkungan. Berdasarkan hasil analisis KLH tahun 2011, kebutuhan minimal anggaran pengelolaan

lingkungan sekitar 3 persen dari alokasi APBN.

Dengan melakukan ear-marking anggaran lingkungan minimal sekian persen dalam APBN, maka

besaran belanja lingkungan dipastikan akan menjadi lebih signifikan setiap tahunnya. Besaran yang

signifikan tersebut dapat digunakan untuk berbagai kegiatan adaptasi, mitigasi dan konservasi

lingkungan serta berbagai upaya riset dan pengembangan teknologi ramah lingkungan, pengembangan

sistem transportasi massal ramah lingkungan serta penciptaan pasar yang efisien dalam mendukung

kegiatan ramah lingkungan. Namun demikian, skenario ini juga mengandung kelemahan khususnya

terkait dengan prioritas APBN kedepannya untuk mencoba melepaskan diri dari jebakan politik

pengkaplingan anggaran (resource envelope).

4.3.2. Membuat Pos Baru dalam Belanja Pemerintah Pusat (yaitu Semacam Pos "Belanja Lingkungan Hidup")

Belanja ini nantinya ditujukan untuk memberikan kepastian anggaran terhadap upaya mitigasi

dan perbaikan lingkungan yang rusak akibat kegiatan pembangunan. Meskipun demikian, belanja ini

juga memiliki fleksibilitas, khususnya dalam mendukung upaya pengembangan industri ramah

lingkungan, teknologi hemat energi, transportasi publik serta energi efisiensi.

Diupayakan juga adanya alokasi persentase minimal (5 persen, 10 persen) dari besaran Belanja

Pemerintah Pusat, serta ear-marking dari sisi pemanfaatan belanja, dengan konsekuensi punishment bagi

pelanggaran alokasi penggunaan. Skenario ini tentu mengandung beberapa kelemahan diantaranya

potensi tumpang tindih dalam sistem akuntansi negara terkait dengan pengalokasian anggaran

beradasarkan fungsi dan jenis belanja. Selain itu kelemahan utama dari skenario ini adalah adanya

potensi tuntutan yang sama dari masing-masing sektoral untuk mekanisme yang sama dalam APBN.

4.3.3. Memasukkan "Indikator Lingkungan Hidup" sebagai Salah Satu Asumsi Dasar Ekonomi Makro dalam Penyusunan APBN

Asumsi yang sudah ada, dirasakan sangat pro-ekonomi serta kurang mampu menangkap dampak

rusaknya lingkungan hidup. Asumsi PDB Rp8.542.634 triliun dalam APBN-P 2012 misalnya. Pemerintah

tidak dapat menjelaskan berapa dampak kerusakan yang ditimbulkan untuk mencapai nominal PDB

tersebut. Artinya Pemerintah seharusnya memiliki sensitivitas masing-masing asumsi terhadap dampak

kerusakan lingkungan yang dihasilkan.

Tingkat kesulitan utama dari usulan skenario ini adalah pemilihan indikator yang benar-benar

mampu mewakili tingkat kerusakan lingkungan yang sifatnya nasional. Beberapa K/L teknis telah

mengusulkan adanya mekanisme ini diantaranya indikator PDB Hijau (green PDB) yang telah disusun

oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan BPS, indikator Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Hidup yang sudah dimanfaatkan dalam penyusunan Deplesi Sumber Daya Alam dan Neraca Akuntansi

Page 16: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Studi Pengarusutamaan Kebijakan ... (Joko Tri Haryanto dan Akhmad Nurkholis)

195

Sumber Daya Alam. Namun demikian bagaimana menghubungkan indikator tersebut dengan skenario

defisit APBN menjadi pertimbangan utama skenario ini tidak mudah dijalankan.

4.3.4. Melakukan Reformasi Kebijakan Fiskal agar Anggaran Dapat Lebih Hijau, Baik dari Sisi Penerimaan, Pengeluaran, maupun Pembiayaan.

Perbaikan manajemen pengelolaan APBN khususnya realokasi beban subsidi BBM untuk fosil fuel

menuju pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Pemerintah sejatinya telah memiliki road

map di dalam strategi pengembangan energi baru dan terbarukan. Namun sayangnya besarnya tekanan

politik serta ketidaksiapan infrastruktur menyebabkan rencana tersebut masih berjalan perlahan-lahan.

Untuk itulah kedepannya strategi ini harus terus didorong seiring dengan komitmen pemerintah untuk

terus menciptakan efisiensi dalam pengelolaan subsidi BBM APBN.

4.4. Peran Sektor Swasta

Terkait dengan permasalahan lingkungan, peranan dari sektor pemerintah melalui APBN memang

dirasa menjadi hal yang paling utama khususnya di periode awal ketika persoalan tersebut masih

bersifat eksternalitas yang sifatnya non-market. Namun perlu dipahami bahwa kapasitas pendanaan

publik baik melalui APBN maupun APBD jelas sangat terbatas. Badan Kebijakan Fiskal dalam salah satu

kajiannya di tahun 2009 menyebutkan bahwa kapasitas pendanaan publik tidak lebih dari 20 persen

kebutuhan pendanaan secara umum. Artinya peran swasta menjadi sangat signifikan (80 persen).

Namun permasalahannya, sektor swasta tidak akan bergerak menangani masalah lingkungan jika

belum ada peran dari pemerintah maupun regulasinya. Padahal di sisi lain, dengan kemampuan kapital

yang begitu besar, sektor swasta memiliki potensi kemampuan pendanaan yang besar melalui berbagai

skema, salah satunya mekanisme Corporate Social Responsibility (CSR).

Untuk itulah, hal yang dibutuhkan saat ini untuk menggerakkan pendanaan sektor swasta adalah

pengaturan mengenai ketentuan teknis alokasi CSR serta berbagai regulasi pendukungnya. Jika kesiapan

ini sudah dapat diwujudkan, ke depannya pendanaan swasta pasti dapat dimanfaatlan seoptimal

mungkin.

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan kajian ini, dapat disimpulkan bahwa adanya kebutuhan dukungan dari pendanaan

publik (APBN/APBD) dalam upaya mengatasi persoalan perubahan iklim dan perbaikan kualitas

lingkungan hidup di Indonesia. Agar signifikan, maka kebutuhan penganggaran berbasis perubahan

iklim dan lingkungan hidup minimal sekitar 3 – 5 persen dari Total Belanja APBN/APBD. Besaran

tersebut didasarkan kepada studi yang pernah dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup. Untuk

mendukung mekanisme tersebut, dibutuhkan adanya pengarusutamaan kebijakan perubahan iklim dan

lingkungan hidup dalam sistem perencanaan pembangunan nasional serta sistem penganggaran

APBN/APBD.

Dalam membuat anggaran lebih hijau, prioritas kebijakan yang utama adalah reformasi kebijakan

fiskal, baik dari sisi penerimaan, belanja, dan pembiayaan. Dengan demikian biaya yang timbul paling

murah dan manfaat yang diperolehnya paling besar. Mengingat keterbatasan kemampuan pendanaan

publik sekitar 20 persen dari total kebutuhan pembiayaan seluruhnya, maka ke depannya perlu juga

dipikirkan dukungan pendanaan sektor swasta.

Page 17: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 196

196

5.2. Rekomendasi Kebijakan

Adapun rekomendasi terhadap penelitian ini adalah perlunya peningkatan kesadaran masyarakat

akan pentingnya reformasi kebijakan fiskal yang mengakomodir perbaikan Lingkungan Hidup

(Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup atau Anggaran Hijau). Hal tersebut bisa dilakukan dengan adanya

program sosialisasi dan publikasi terhadap pentingnya kebijakan anggaran berbasis lingkungan. Selain

itu perlu dipikirkan juga upaya mendirikan Green Budget Working Group, antara Pemerintah dan DPR,

serta stakeholders terkait.

Reformasi kebijakan fiskal juga dapat dilakukan melalui upaya peningkatan penerimaan negara

dari SDA dan Lingkungan Hidup, peningkatan pengeluaran untuk anggaran Lingkungan Hidup dan

reformasi subsidi energi fosil, dan peningkatan pembiayaan khususnya EBTKE. Dengan demikian akan

berdampak pada anggaran menurut fungsi, menurut jenis, dan menurut organisasi akan berubah. Untuk

penerapan kebijakan anggaran berbasis lingkungan hidup dapat diujicobakan di daerah provinsi atau

kabupaten/kota, yang memiliki komitmen terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Contoh daerah yang

dapat menjadi wilayah uji coba adalah Kota Surabaya dan Provinsi Jawa Timur atau Provinsi DKI Jakarta

untuk di pulau Jawa dan Provinsi Kalimantan Selatan untuk wilayah di luar pulau Jawa. Untuk

mengefektifkan peran pendanaan swasta, pemerintah perlu memberikan petunjuk dan arahan terkait

pedoman umum aloaksi CSR serta regulasi pendukunganya.

DAFTAR PUSTAKA

Panayotou, Theodore. (1994). Economic Instruments for Environmental Management and Sustainable Development. UNEP;

Yusgiantoro.P, (2000). Ekonomi Energi, Teori dan Praktik. Edisi Pertama. LP3ES. Jakarta;

Soemarwoto. O, (2001). Ekologi, Lingkungan dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta;

Soemarwoto. O, (2003). Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta;

Fauzy, Dr. Akhmad, Dr.dra. Suzy Ana,MSi.(2005). Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan Untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka. Jakarta;

Mankiw, N. G. (2007). Principles of Economics (4th ed.). USA: Cengage Learning;

Suparmoko M, Suparmoko R., Maria. (2007). Ekonomi Lingkungan. Edisi Pertama,BPFE, Yogyakarta;

Suparmoko. (2008). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Suatu Pendekatan Teoritis. Edisi Keempat, BPFE, Yogyakarta;

Sugandhy, Aca. (2009). Instrumen dan Standarisasi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penerbit Trisakti, Jakarta;

Danida, 2011. Kajian Cepat terhadap kesiapan Indonesia menuju Reformasi Fiskal Lingkungan Hidup untuk Penghijauan Ekonomi. Pahala Tamba. Jakarta;

Yoesgiantoro, Dony, (2012). Kebijakan Internalisasi Biaya Eksternal Lingkungan Optimal Minyak dan Gas Bumi Dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan. Disertasi Paska Sarjana Lingkungan. Universitas Indonesia. Jakarta;

Nurcholis, (2012). Laporan Hasil Kajian Indikator Pembangunan Berkelanjutan. PKPPIM-UKCCU;

Haryanto, Tri Joko. Menggagas APBN yang Lebih Hijau. Opini Koran Jakarta, 22 Mei 2012;

Direktorat Lingkungan Hidup, Bappenas (2012). Indikator Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta;

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Hidup;

Page 18: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan
Page 19: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

PERFORMA BELANJA PEMERINTAH DAERAH, INVESTASI PRIVAT DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA

Regional Governments Spending, Private Investment and Employment Performance in Indonesia

Budiyanto 1, D.S. Priyarsono 2, Bonar M. Sinaga 3, Tahlim Sudaryanto 4

1 2 3 Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Jln. Kamper, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16116, Jawa Barat, Indonesia

1 Email: [email protected] 2 Email : [email protected]

4 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Jln. Ragunan No. 29, Jakarta Selatan 12540, DKI Jakarta, Indonesia

Naskah diterima: 17 Juni 2014

Naskah direvisi: 27 November 2014 Disetujui diterbitkan: 4 Desember 2014

ABSTRACT

The amount and composition of government spending in fiscal operations has a significant impact on

aggregate demand and national output and affects resource allocationin an economy. Therefore, in order to

achieve effective economic development, government spending has to be allocated appropriately according to

the potentials of each area. Indonesia, which consists of areas with a variety of potential resources would

require the determination of the amount and composition of different government spending in order to have

an impact on the growth of private investment and employment opportunities are maximized. The purpose of

this study is to examine the regional government expenditure performance, private investment and

employment opportunities in the area where contribution of the agricultural sector to GRDP is high and low.

The study utilizes an econometric model of the system of simultaneous equations using a panel of data of 20

provinces in Indonesia for the period of 2003-2011. The 20 sampled provinces were classified into two groups,

based on contribution of agriculture sector to the respective regional economy. The estimation results

indicate that the determination of the amount of local government spending, both in the areas where the

contribution of the agricultural sector to GRDP is either high or low, based on the activity or program of the

previous year. Meanwhile, the greater the number of regional government spending for the agricultural

sector, the private investment of agricultural sector and employment is increasing.

Keywords: employment, privat investment, regional government spending

ABSTRAK

Besaran dan komposisi belanja pemerintah, dalam operasi fiskal, mempunyai dampak signifikan

pada permintaan agregat dan output nasional, serta mempengaruhi alokasi sumber daya dalam

perekonomian. Oleh karena itu, dalam rangka untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi secara

efektif maka penetapannya perlu dilakukan secara tepat sesuai potensi daerah. Indonesia yang terdiri dari

daerah-daerah dengan beragam potensi sumber daya tentunya memerlukan penetapan besaran dan

komposisi belanja pemerintah yang berbeda agar berdampak pada tumbuhnya investasi privat dan

kesempatan kerja yang maksimal. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui perilaku belanja pemerintah

daerah, investasi privat dan kesempatan kerja di daerah PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah. Studi

Page 20: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kaj. Eko. & Keu.

Vol. 18 No. 3 Desember

2014 Halaman : 181 - 254

Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia

Performa Belanja Pemerintah Daerah, Investasi Privat dan Kesempatan Kerja di Indonesia

Efektivitas Kebijakan Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi di Jawa-Bali

Income Inequality : Education as The Panacea

Dampak Bea Keluar terhadap Ekspor CPO Indonesia

No. Akreditasi : 467/AU3/P2MI-LIPI/08/2012

Vol 18 No 3, Desember 2014

[

T

y

p

e

a

q

u

o

t

e

f

r

o

m

t

h

Page 21: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 197 - 208

198

menggunakan model ekonometrika dengan persamaan sistem simultan untuk mengestimasi data panel

pada dua puluh provinsi di Indonesia periode 2003-2011. Sampel dua puluh provinsi dikelompokkan

menjadi dua, yaitu kelompok daerah yang memiliki PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah. Hasil

estimasi menunjukkan bahwa penetapan besaran belanja pemerintah daerah, baik di daerah PDRB sektor

pertanian tinggi maupun rendah, lebih didasarkan pada kegiatan atau program tahun sebelumnya.

Sementara itu, semakin besar jumlah belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian, maka investasi

privat sektor pertanian dan penyerapan tenaga kerja semakin meningkat.

Kata Kunci: belanja pemerintah daerah, investasi privat, kesempatan kerja

JEL Classification: H5, H3, J2

I. PENDAHULUAN

Investasi, baik sektor publik (belanja pemerintah) maupun sektor privat, mempunyai peran

penting dalam pertumbuhan ekonomi. Bahkan Model Harrod dan Domar memberikan peranan kunci

kepada investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, setiap negara atau daerah

berupaya untuk selalu meningkatkan investasi dari waktu ke waktu.

Pemerintah memiliki sumber keuangan yang lebih besar sehingga peran belanja pemerintah

terhadap perekonomian relatif lebih banyak dibanding investasi privat. Jhingan (2008, hal 388-390)

menyebutkan peranan belanja negara dalam pembangunan ekonomi terletak di dalam peningkatan laju

pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan standar kehidupan,

penurunan kesenjangan pendapatan dan kemakmuran, dalam mendorong inisiatif dan usaha swasta dan

dalam mewujudkan keseimbangan regional di dalam perekonomian.

Kaitannya dengan peran belanja pemerintah tersebut, maka sejak diberlakukannya desentralisasi

fiskal di Indonesia, pemerintah daerah ditantang untuk mengalokasikan anggaran pada sektor-sektor

yang tepat, dan membelanjakan pada hal-hal yang sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat

sehingga belanja pemerintah mampu memberikan eksternalitas terhadap tumbuhnya investasi privat

dan kegiatan ekonomi masyarakat serta berdampak pada penyerapan tenaga kerja.

Belanja pemerintah memang harus dialokasikan untuk pembangunan seluruh sektor

perekonomian, tetapi mengingat pertimbangan keterbatasan sumber daya dan pencapaian tujuan

pembangunan maka perlu dilakukan skala prioritas untuk suatu sektor tertentu. Kontribusi sektor

pertanian, baik kepada PDB (Produk Domestik Bruto) maupun lapangan kerja memang terus menurun.

Namun sektor pertanian sesuai data BPS (Badan Pusat Statistik) pada Agustus 2013 masih menyerap

tenaga kerja sekitar 34.78 persen dari total tenaga kerja, sehingga sektor pertanian sebenarnya masih

layak untuk mendapatkan perhatian khusus dalam pembangunan nasional.

Pembangunan yang memfokuskan pada sektor pertanian sesuai pendapat para ahli pembangunan,

yang mana sebagian besar negara yang mengadopsi kebijakan pembangunan yang berfokus pada sektor

pertanian justru cenderung lebih berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dibanding strategi

pembangunan yang menekankan pada sektor nonpertanian, seperti yang disampaikan Mellor (1995)

dan Rostow (1960).

Pada tahun 2012 secara administrasi pemerintahan, Indonesia terdiri dari 33 provinsi dengan 497

kabupaten/kota, yang mana memiliki potensi sumber daya alam dan manusia yang beragam. Sektor

pertanian di sebagian daerah masih mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian, baik

dilihat dari kontribusinya terhadap PDRB, pertumbuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan pangan,

maupun penyerapan tenaga kerja. Tetapi sebagian daerah lainnya, sektor pertanian kurang dominan

dalam perekonomian. Dengan demikian, timbul pertanyaan: apakah daerah atau provinsi-provinsi yang

kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB relatif tinggi perlu memfokuskan pembangunannya pada

Page 22: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Performa Belanja Pemerintah ... (Budiyanto., et al.)

199

sektor pertanian dan/atau sektor nonpertanian agar lebih efektif dalam rangka mencapai tujuan

pembangunan ekonomi, begitu juga daerah atau provinsi-provinsi yang kontribusi sektor pertanian

terhadap PDRB relatif rendah.

Di lain pihak, investasi privat sektor pertanian selama ini dianggap kurang memberikan

keuntungan sehingga investasi privat untuk sektor pertanian setiap tahun relatif kecil dibanding

investasi sektor nonpertanian. Data BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) menunjukkan bahwa

selama tahun 2003-2011 rata-rata investasi privat untuk sektor pertanian hanya sekitar 10.9 persen

dari total investasi. Padahal pembangunan pertanian dengan meningkatkan produktivitasnya dapat

menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan.

Selain hal tersebut, masalah ketenagakerjaan perlu juga mendapatkan perhatian dalam

perencanaan pembangunan. Upaya Indonesia untuk menurunkan jumlah pengangguran terbuka melalui

peningkatan pertumbuhan ekonomi masih belum menampakkan hasil signifikan. Data Badan Pusat

Statistik menunjukkan bahwa pada Agustus 2013 jumlah angkatan kerja yang bekerja sebanyak 110,8

jiwa dan pengangguran terbuka 6,25 persen. Jika dibandingkan dengan setahun sebelumnya, dapat

dikatakan terjadi penurunan atau stagnasi penciptaan lapangan kerja, yang mana pada Agustus 2012

jumlah angkatan kerja yang bekerja sebanyak 110,81 jiwa dan pengangguran terbuka sebesar 6,14

persen. Priyarsono (2011, hal 27) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun

terakhir cenderung didorong oleh peningkatan konsumsi, sementara investasi privat tidak meningkat.

Dengan demikian, meskipun perekonomian telah meningkat namun penciptaan lapangan kerja sangat

lambat.

Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana perilaku belanja daerah,

apakah belanja di daerah yang PDRB sektor pertanian tinggi atau rendah, ditetapkan berdasarkan

potensi daerah atau kebutuhan pembangunan daerah, serta terkait dengan upaya untuk meningkatkan

investasi privat dan meningkatkan kesempatan kerja?. Tujuan studi ini untuk mengetahui perilaku

belanja pemerintah daerah, investasi privat dan kesempatan kerja di daerah PDRB sektor pertanian

tinggi dan rendah. II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fungsi Pengeluaran (Belanja) Pemerintah Daerah

Peran belanja pemerintah di negara maju berbeda dengan di negara terbelakang. Tulsidharan

(2006, hal. 170) menyatakan bahwa peran pengeluaran pemerintah (sektor publik) di negara maju

terutama ditujukan untuk stabilisasi perekonomian, stimulasi aktivitas investasi privat dan sebagainya.

Sedangkan di negara terbelakang pengeluaran pemerintah memainkan peran aktif dalam mengurangi

disparitas regional, pengembangan social overheads, penciptaan infrastruktur pertumbuhan ekonomi

dalam bentuk fasilitas transportasi dan komunikasi, pendidikan dan latihan, pertumbuhan industri

barang-barang modal, pertumbuhan industri dasar dan utama, research and development, stimulasi

tabungan nasional, pembentukan modal dan sebagainya.

Secara teori, kebutuhan fiskal (belanja pemerintah) bukan ditentukan oleh penerimaan daerah

namun justru sebaliknya, yaitu penerimaan daerah yang dipengaruhi oleh kebutuhan daerah, seperti

disampaikan Stiglitz (2000). Musgrave and Peggy (1989). Tetapi pada realisasinya, pengeluaran

pemerintah ditentukan oleh penerimaan daerah. Di lain pihak, salah satu diantara beberapa intepretasi

dari hukum Wagner adalah peningkatan aktivitas ekonomi akan menyebabkan peningkatan pengeluaran

pemerintah, seperti disampaikan Liu, Hsu, dan Younis (2008). Dengan demikian, besaran pengeluaran

pemerintah daerah ditentukan oleh aktivitas ekonomi daerah, atau dalam hal ini adalah PDRB. Selain

aktivitas ekonomi, besaran pengeluaran daerah juga ditentukan oleh luas wilayah dan jumlah penduduk.

Page 23: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 197 - 208

200

2.2. Fungsi Investasi Privat

Terdapat perbedaan pendapat tentang dampak peningkatan pengeluaran pemerintah terhadap

investasi. Pendapat tradisional menyebutkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah

menyebabkan investasi privat crowding-out. Pendapat nontradisional mengemukakan bahwa

pengeluaran pemerintah dapat menstimulasi investasi, seperti disampaikan Ahmed dan Miller (2000).

Barro (1990, hal 122) menyatakan bahwa pajak (pajak digunakan untuk belanja pemerintah)

menyebabkan berkurangnya laba setelah pajak dari investasi privat, sehingga mengakibatkan investasi

menurun.

Wang (2005, hal 494) menyebutkan bahwa jika belanja pemerintah meningkat, utamanya yang

didanai dari pinjaman, interest rate di pasar uang bergerak naik karena permintaan uang meningkat.

Konsekuensi kenaikan interest rate adalah menurunnya investasi privat. Pendapat lain yang berbeda,

peningkatan belanja pemerintah akan mengakibatkan kenaikan tingkat pendapatan yang selanjutnya

bisa meningkatkan investasi privat, karena peningkatan tabungan sebagai akibat kenaikan pendapatan,

akan mendorong investasi yang lebih besar.

Selain pengeluaran pemerintah, sesuai teori Ekonomi Makro, investasi juga dipengaruhi oleh

interest rate (tingkat suku bunga). Semakin tinggi interest rate, investasi yang layak dilaksanakan

semakin sedikit sehingga investasi privat kecil, dan sebaliknya, jika interest rate rendah, jumlah jenis

investasi yang layak dilaksanakan semakin banyak sehingga investasi privat banyak masuk.

2.3. Fungsi Penyerapan Tenaga Kerja

Dalam perkembangan ekonomi di negara-negara maju tampak bahwa pada tahap awal

pembangunan, kontribusi relatif sektor pertanian sangat dominan, dan selanjutnya akan terus menurun

sampai pada tahap tertentu. Di sisi lain, kemampuan sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja juga

akan menurun yang diimbangi oleh peningkatan peran sektor industri dan jasa. Fenomena seperti ini

oleh Todaro (2000), Hayami dan Ruttan (1981) disebut dengan proses transformasi struktural.

Kurva permintaan tenaga kerja menunjukkan kecondongan garis yang menurun terhadap upah

tenaga kerja. Hal ini sesuai teori produksi perusahaan, yang mana suatu perusahaan akan menggunakan

jumlah tenaga kerja secara optimal untuk mencapai tujuan perusahaan, yaitu memperoleh laba maksimal.

Jumlah optimal penggunaan tenaga kerja dicapai ketika nilai produk fisik marginal (value of marginal

physical product) tenaga kerja sama dengan upah tenaga kerja. Oleh karena itu perusahaan akan

menyesuaikan jumlah tenaga kerja yang digunakan sesuai dengan biaya (upah) tenaga kerja. Apabila

upah meningkat, perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerja yang digunakan. Di pihak lain, jika

pengeluaran pemerintah untuk belanja modal dan investasi meningkat juga membutuhkan tenaga kerja

yang semakin besar. III. METODOLOGI

3.1. Data

Kajian ini menggunakan data panel yang meliputi: belanja pemerintah daerah, investasi,

penyerapan tenaga kerja pada 20 provinsi di Indonesia selama tahun 2003 sampai 2011. Data provinsi

yang relatif baru terbentuk (provinsi yang terbentuk setelah tahun 1999) digabungkan atau

diakumulasikan dengan data provinsi induknya. Dipilih data pada 20 provinsi di Indonesia karena data

pada provinsi lainnya tidak tersedia secara series. Digunakannya data tahun 2003 sampai 2011 dengan

dasar bahwa format penyusunan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang sesuai dengan

penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia dimulai tahun 2003 setelah adanya Keputusan Menteri

Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, dan ketersediaan data ketika dilakukan pengumpulan data, yaitu

data tahun 2011. Sumber data: Badan Pusat Statistik, Direktort Jenderal Perimbangan Keuangan

Page 24: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Performa Belanja Pemerintah ... (Budiyanto., et al.)

201

Kementerian Keuangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal. Data belanja pemerintah daerah

merupakan akumulasi dari realisasi anggaran belanja pemerintah kabupaten, kota serta provinsi. Data

yang terkumpul dari tiap-tiap provinsi dikelompokkan menjadi dua, yaitu data provinsi yang memiliki

proporsi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) sektor pertanian tinggi (lebih besar dari rata-rata)

dan rendah (lebih kecil dari rata-rata).

3.2. Identifikasi dan Estimasi Model

Untuk menjawab permasalahan studi digunakan pendekatan model ekonometrika dengan

persamaan sistem simultan. Digunakannya persamaan sistem simultan karena adanya hubungan dua

arah antara variabel endogen. Uji random atau fixed effect terhadap data tidak dilakukan karena

diasumsikan data yang digunakan termasuk pooled data.

Model ekonometrika dengan persamaan sistem simultan digunakan sebagai pengembangan model

yang digunakan dalam studi sebelumnya. Kim dan Cayer (1997) meneliti tentang perubahan

pengeluaran pemerintah di Korea dengan pendekatan model ekonomterika, persamaan tunggal; Ahmed

dan Miller (2000) meneliti tentang disagregasi pengeluran pemerintah dan investasi privat juga

menggunakan model ekonometrika dengan persamaan tunggal. Sementara itu, Wang (2005)

menggunakan cointegration and error-correction untuk mengestimasi hubungan pengeluaran

pemerintah Kanada dengan investasi privat. Jiranyakul dan Brahmasrene (2007) menggunakan granger

causality test dan OLS untuk mengetahui hubungan pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan

ekonomi di India; Liu, Hsu, dan Younis (2008) mengestimasi hubungan pengeluaran pemerintah dengan

pertumbuhan ekonomi di USA dengan menggunakan granger causality test; dan World Bank (2009)

melakukan studi tentang hubungan pengeluaran publik untuk sektor pertanian dan pertumbuhan PDB

sektor pertanian di Indonesia dengan menggunakan pendekatan model ekonometrika, persamaan

tunggal. Dengan demikian model yang dispesifkasi adalah sebagai berikut:

a. Belanja (Pengeluaran) Pemerintah Daerah

1) Belanja untuk sektor pertanian :

PSAit = a0 + a1 LATSit + a2 JTBit + a3 LATPit + a4 LAHUTit + a5 JNLit +

a6 TREVDit + a7 LPDRBAit + a8 LPSAit + a9 Dit + uit

2) Belanja untuk sektor non pertanian :

PSNAit = b0 + b1 LWit + b2 POPit + b3 LPDRBNAit + b4 TREVDit +

b5 LPSNAit + b6 Dit + uit

b. Investasi

1) Investasi privat sektor pertanian :

INVSAit = c0 + c1 PSAit + c2 PPLit + c3 TSBR it + c4 LWit + c5 POPit +

c6 LINVSAit + c7 Dit + uit

2) Investasi privat sektor non pertanian :

INVSNAit = d0 + d1 PSNAit + d2 TSBRit + d3 POPit + d4 LWit +

d5 LINVSNAit + d6 Dit + uit

c. Kesempatan Kerja

1) Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian :

TKSAit = e0 + e1 PINVSAit + e2 UTKARit + e3 PSAit + e4 LTKSAit +

e5 Dit + uit

2) Penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian :

TKSNAit = f0 + f1 INVSNAit + f2 RUTKRit + f3 PSNAit + f4 LTKSNAit +

f5 Dit + uit

Page 25: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 197 - 208

202

keterangan :

PSA = belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian riil (Rp miliar), PSNA = belanja pemerintah

daerah untuk sektor non pertanian riil (Rp miliar), LATS = luas areal tanaman semusim (ribu hektar),

JTB = jumlah ternak besar (ribu ekor), LATP = luas areal tanaman perkebunan (ribu hektar), LAHUT =

luas areal hutan (ribu hektar), JNL = jumlah nelayan (ribu orang), TREVD = total penerimaan

pemeritah daerah riil (Rp miliar), LPDRBA = PDRB riil sektor pertanian tahun t-1 (miliar rupiah), LPSA

= belanja untuk sektor pertanian riil tahun t-1 (Rp miliar), LW = luas wilayah (ribu km2), POP = jumlah

penduduk (juta jiwa), LPDRBNA = PDRB riil sektor non pertanian tahun t-1 (Rp miliar), LPLSNA =

belanja untuk sektor non pertanian riil tahun t-1 (Rp miliar), INVSA = investasi privat sektor pertanian

riil (Rp miliar), INVSNA = investasi privat sektor non pertanian riil (Rp miliar), PPL = persentase

belanja langsung terhadap total belanja pemerintah daerah (persen), TSBR = tingkat suku bunga riil

(persen), LINVSA = investasi privat sektor pertanian riil tahun t-1 (Rp miliar), LINVSNA = investasi

privat sektor non pertanian riil tahun t-1 (Rp miliar), TKSA = penyerapan tenaga kerja sektor

pertanian (ribu jiwa), TKSNA = penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian (ribu jiwa), PINVSA =

persentase investasi sektor pertanian terhadap total investasi (persen), UTKAR = upah tenaga kerja

sektor pertanian riil (Rp ribu/bulan), RUTKR = rata-rata upah tenaga kerja riil (Rp ribu/bulan), LTKSA =

penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tahun t-1 (ribu jiwa), LTKSNA = penyerapan tenaga kerja

sektor non pertanian tahun t-1 (ribu jiwa), D = dummy variable: nilai 1 untuk daerah yang proporsi

PDRB sektor pertanian tinggi; dan nilai 0 untuk daerah yang proporsi PDRB sektor pertanian rendah,

u = komponen error

Identifikasi model ditentukan atas dasar order condition sebagai syarat keharusan dan rank

condition sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1982, hal 358), hasil identifikasi untuk

setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau over identified untuk dapat menduga

parameter-parameternya. Syarat kecukupan dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang

menyatakan bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk

membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah

yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut.

Model meliputi: 6 persamaan (G), yang terdiri dari: 28 variabel atau peubah (K), serta antara 5

sampai 9 variabel dalam suatu persamaan (M); sehingga K – M = 19 dan G – 1 = 5, maka (K – M) > (G – 1).

Oleh karena itu berdasarkan kriteria order condition maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara

berlebih (over identified) sehingga dapat diduga parameter-parameternya. Selanjutnya, estimasi model

dilakukan dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS). IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Perilaku Belanja Pemerintah Daerah

4.1.1. Persamaan Belanja Pemerintah Daerah untuk Sektor Pertanian

Jumlah ternak besar, luas areal perkebunan dan hutan berpengaruh positif dan signifikan terhadap

belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian dapat diartikan bahwa penetapan jumlah belanja

pemerintah untuk sektor pertanian telah didasarkan pada potensi sumberdaya daerah. Namun

demikian, jika dilihat pengaruh luas areal tanaman semusim, yang negatif dan signifikan pada α = 0.20,

dan pengaruh jumlah nelayan yang positif dan tidak signifikan serta pengaruh jumlah PDRB pertanian

tahun sebelumnya yang negatif dan signifikan maka hal ini dapat menjadi bukti bahwa penetapan

jumlah atau besaran belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian belum dilakukan dengan dasar

kebutuhan pembangunan sektor tersebut. Pemerintah daerah barangkali berpendapat bahwa semakin

Page 26: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Performa Belanja Pemerintah ... (Budiyanto., et al.)

203

tinggi PDRB suatu sektor maka sektor tersebut telah mengalami kemajuan atau perkembangan yang

berarti sehingga belanja pemerintah daerah untuk pengembangan sektor tersebut perlu dikurangi dan

dialokasikan pada sektor lainnya yang kurang berkembang.

Bukti pendukung lainnya, bahwa belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian tidak

didasarkan pada kebutuhan dan potensi daerah adalah pengaruh total penerimaan pemerintah daerah

yang berpengaruh positif dan signifikan. Belanja untuk sektor pertanian tahun sebelumnya berpengaruh

positif dan signifikan dapat diartikan juga bahwa penetapan jumlah belanja untuk sektor pertanian pada

semua daerah di Indonesia lebih didasarkan pada kebiasaan atau rutinitas penyusunan anggaran

kegiatan dan program, kurang didasarkan pada kebutuhan pembangunan sektor tersebut. Sedangkan

dummy variable yang berpengaruh positif dan signifikan menunjukkan bahwa belanja pemerintah

daerah untuk sektor pertanian di daerah PDRB sektor pertanian tinggi, lebih besar dibanding di daerah

PDRB sektor pertanian rendah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah PDRB sektor pertanian tinggi telah

mengalokasikan belanjanya sesuai dengan kebutuhan daerah.

4.1.2. Persamaan Belanja Pemerintah Daerah untuk Sektor Non-pertanian

Daerah yang memiliki wilayah lebih luas tentunya akan mengalokasikan belanjanya untuk sektor

non pertanian yang lebih besar dibanding daerah yang memiliki wilayah lebih sempit. Hal ini sesuai

dengan hasil estimasi yang menunjukkan bahwa luas wilayah berpengaruh postif dan signifikan

terhadap belanja pemerintah daerah untuk sektor non pertanian. Alokasi belanja pemerintah daerah

untuk sektor non pertanian tersebut diduga lebih banyak digunakan untuk peningkatan ketersediaan

infrastruktur.

Tabel 4.1. Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas Variabel Persamaan Struktural Belanja Pemerintah Daerah Tahun 2003 – 2011

Variabel Parameter t -hit Prob. t Elastisitas

Jgk.Pendek Jgk.Panjang Belanja Pemerintah Daerah untuk Sektor Pertanian 1. Intersep 2. Luas areal tanaman semusim 3. Jumlah ternak besar 4. Luas areal perkebunan 5. Luas areal hutan 6. Jumlah nelayan 7. Total penerimaan daerah 8. PDRB pertanian riil t-1 9. Belanja untuk sektor

pertanian riil t-1 10. Dummy variable

-3.64621 -0.02513 0.032048 0.030060 0.001578 0.005354 0.028087 -0.00341

0.265776 43.89845

-0.25 -1.43 2.57 3.70 1.71 0.05

10.81 -3.85

4.72 3.75

0.8010 0.1533 0.0110 0.0003 0.0884 0.9622 <.0001 0.0002

<.0001 0.0002

-0.1100 0.0817 0.1054 0.0385 0.0023 0.7349

-0.1879

-0.14984 0.111283 0.143556 0.052447 0.003156 1.000938 -0.25585

Durbin-Watson R-Square

1.97161 0.81604

F-Hitung Prob>F

83.30 <0.0001

Belanja Pemerintah Daerah untuk Sektor Non-pertanian 1. Intersep 2. Luas wilayah 3. Jumlah penduduk 4. PDRB sektor non pert. riil t-1 5. Total penerimaan daerah riil 6. Belanja untuk sektor non

pertanian riil t-1 7. Dummy variable

-19.4428 1.796023 -37.8085 -0.00162 0.395468

0.146519 -103.585

-0.17 3.25

-4.18 -1.13

16.64

2.53 -1.14

0.8632 0.0014 <.0001 0.2580 <.0001

0.0124 0.2541

0.059581 -0.15426 -0.04024 1.016741

0.06981

-0.18074 -0.04715 1.191288

Durbin-Watson R-Square

1.581079 0.91635

F-Hitung Prob>F

314.05 <.0001

Sumber: Hasil olah data

Page 27: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 197 - 208

204

Pengaruh jumlah penduduk terhadap belanja pemerintah daerah untuk sektor nonpertanian,

negatif dan signifikan. Diduga hal ini dikarenakan pemerintah daerah berpendapat bahwa ketika jumlah

penduduk meningkat maka partisipasi masyarakat terhadap pembangunan daerah juga meningkat.

Sedangkan PDRB sektor non-pertanian tahun sebelumnya yang berpengaruh negatif dan tidak

signifikan, serta total penerimaan daerah dan belanja pemerintah daerah untuk sektor nonpertanian

tahun sebelumnya yang berpengaruh positif dan signifikan menunjukkan bahwa penetapan jumlah

belanja pemerintah daerah untuk sektor nonpertanian kurang didasarkan pada kebutuhan

pembangunan sektor tersebut, tetapi lebih ditentukan oleh total penerimaan daerah dan kebiasaan atau

rutinitas penyusunan anggaran kegiatan dan program.

Dummy variable berpengaruh negatif dan tidak signifikan merupakan bukti bahwa pemerintah

daerah PDRB sektor pertanian rendah tidak memberikan alokasi belanja untuk sektor non pertanian

yang berlebih dibanding pemerintah daerah PDRB sektor pertanian tinggi.

4.2. Perilaku Investasi Privat

4.2.1. Persamaan Investasi Privat Sektor Pertanian

Belanja pemerintah yang langsung terkait dengan kegiatan dan program berpengaruh positif dan

signifikan terhadap investasi privat sektor pertanian, yang berarti bahwa semakin besar belanja

pemerintah yang langsung terkait dengan kegiatan dan program maka investasi privat sektor pertanian

semakin meningkat, sesuai hasil studi Barro (1990) yang menyimpulkan bahwa pengeluaran

pemerintah untuk konsumsi berpengaruh negatif, sedang pengeluaran pemerintah untuk productive

service berpengaruh positif terhadap investasi dan pertumbuhan.

Tingkat suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan pada α = 0.15 terhadap investasi privat

sektor pertanian dapat diartikan bahwa investor sektor pertanian bertindak secara rasional, yaitu

dengan mempertimbangkan Net Present Value Discounted dalam berinvestasi. Selain faktor tingkat suku

bunga, faktor teknis, sosial budaya, ekonomi, politik dan kemanan pada suatu daerah juga menjadi

pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya pada sektor pertanian.

Kegiatan pertanian akan membutuhkan media lahan yang relatif lebih luas dibanding dengan

kegiatan sektor non pertanian. Dengan demikian diduga bahwa pada daerah-daerah yang memiliki

wilayah yang lebih luas akan banyak masuk investasi sektor pertanian. Tetapi dari hasil estimasi

parameter menunjukkan bahwa variabel luas wilayah berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap

investasi sektor pertanian. Hal ini diduga disebabkan oleh kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana

di daerah yang memiliki wilayah lebih luas tersebut. Jumlah penduduk berpengaruh negatif dan tidak

signifikan menunjukkan bahwa investasi sektor pertanian yang dilakukan dalam bentuk estate dan tidak

padat karya.

Investasi privat sektor pertanian tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan, berarti

bahwa kegiatan investasi privat sektor pertanian dilakukan terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu

yang sebelumnya terdapat investasi sektor pertanian. Hasil estimasi menunjukkan bahwa dummy

variable berpengaruh positif dan tidak signifikan, yang berarti bahwa nilai investasi privat sektor

pertanian di daerah PDRB sektor pertanian tinggi relatif sama dengan di daerah PDRB sektor pertanian

rendah. Hal ini diduga disebabkan oleh kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana di daerah PDRB

sektor pertanian tinggi.

Page 28: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Performa Belanja Pemerintah ... (Budiyanto., et al.)

205

Tabel 4.2. Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas Variabel Persamaan Struktural Investasi Privat Tahun 2003 – 2011

Variabel Parameter t -hit Prob. t Elastisitas

Jgk.Pendek Jgk.Panjang Investasi Privat Sektor Pertanian 1. Intersep -229.568 -1.41 0.1610 2. Belanja utk sektor pertani

riil 0.147541 0.40 0.6863 0.1804 0.3004

3. Persen belanja langsung 8.949208 2.34 0.0204 2.0255 3.3721 4. Tingkat suku bunga riil -11.1190 -1.48 0.1410 -0.3654 -0.6084 5. Luas wilayah -0.19288 -0.55 0.5860 -0.0797 -0.1326 6. Jumlah penduduk -0.68649 -0.17 0.8613 -0.0349 -0.0580 7. Invest sektor pertani riil

t-1 0.399322 5.75 <.0001

8. Dummy variable 11.63694 0.21 0.8341 Durbin-Watson 1.87633 F-Hitung 9.02 R-Square 0.26962 Prob>F <0.0001

Investasi Privat Sektor Non Pertanian 1. Intersep -918.338 -1.68 0.0940 2. Belanja utk sektor non

pert riil 0.446895 2.31 0.0220 0.6830 1.0982

3. Tingkat suku bunga riil -71.9691 -1.45 0.1482 -0.2904 -0.4669 4. Jumlah penduduk 118.3737 4.44 <.0001 0.7381 1.1866 5. Luas wilayah -1.03208 -0.43 0.6646 -0.0523 -0.0841 6. Invest asi sektor non

pertanian riil t-1

0.378087

6.38

<.0001

7. Dummy variable 356.0635 0.95 0.3446 Durbin-Watson 1.949241 F-Hitung 69.38 R-Square 0.70762 Prob>F <0.0001

Sumber: Hasil olah data

4.2.2. Persamaan Investasi Sektor Non Pertanian

Investasi privat sektor non pertanian memberikan respon positif terhadap belanja pemerintah

daerah untuk sektor non-pertanian. Hal ini sesuai dengan pendapat nontradisional yang mengemukakan

bahwa belanja pemerintah dapat menstimulasi investasi. Investasi privat banyak masuk ketika

sumberdaya ekonomi un-and under employed, yang mana hal itu biasa terjadi di banyak negara

berkembang.

Sebagaimana pada persamaan investasi privat sektor pertanian, tingkat suku bunga juga

berpengaruh negatif dan signifikan pada α = 0.20 terhadap investasi privat sektor non-pertanin. Jumlah

penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap investasi privat sektor non-pertanian

dikarenakan pada daerah yang padat penduduknya tersedia tenaga kerja murah, infrastruktur yang

mencukupi dan pangsa pasar yang besar. Dengan demikian, investor sektor non pertanian akan lebih

tertarik untuk menanamkan modalnya pada daerah-daerah yang memiliki jumlah penduduk besar.

Daerah-daerah dengan PDRB sektor pertanian tinggi memiliki wilayah rata-rata lebih luas dengan

ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai. Dengan demikian, seharusnya variabel luas wilayah

dan dummy variable berpengaruh negatif terhadap investasi sektor non-pertanian, tetapi hasil estimasi

menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut berpengaruh tidak signifikan. Hal ini diduga karena

investasi privat sektor non-pertanian dilakukan dominan di beberapa daerah tertentu, seperti Provinsi

Jawa Barat, Riau dan Jawa Timur. Dugaan tersebut didukung oleh pengaruh Invetasi sektor non

pertanian tahun sebelumnya yang berpengaruh positif dan signifikan, yang mana investasi privat sektor

non pertanian akan semakin meningkat pada suatu daerah tertentu.

Page 29: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 197 - 208

206

4.3. Perilaku Kesempatan Kerja

4.3.1. Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian

Diharapkan, dengan meningkatnya investasi privat sektor pertanian maka akan meningkatkan

penggunaan tenaga kerja, tetapi hasil estimasi menunjukkan bahwa investasi sektor pertanian

berpengaruh tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal ini diduga karena investasi sektor

pertanian merupakan investasi skala besar yang berbentuk estate sehingga tidak labour intensive (sesuai

hasil kajian Priyarsono, 2011).

Ketika upah naik maka permintaan terhadap tenaga kerja akan turun sehingga upah berpengaruh

negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Belanja pemerintah untuk

sektor pertanian berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yang berarti

bahwa semakin meningkat belanja pemerintah untuk sektor pertanian maka penyerapan tenaga kerja

sektor pertanian semakin besar. Hal ini sesuai hasil kajian World Bank (2009) yang menunjukkan

bahwa, kecuali untuk subsidi input privat, belanja pemerintah untuk sektor pertanian berdampak positif

terhadap pertumbuhan output dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Sedang subsidi input pertanian

(misal: pupuk, benih) berdampak negaif.

Dummy variable berpengaruh tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian

berarti bahwa jumlah penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di daerah PDRB sektor pertanian tinggi,

tidak lebih besar dibanding dengan di daerah PDRB sektor pertanian rendah. Hal ini diduga karena sub-

sektor pertanian yang berkembang di daerah PDRB sektor pertanian tinggi adalah sub-sektor

perkebunan yang padat modal.

4.3.2. Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian

Penyerapan tenaga kerja sektor non-pertanian memberikan respon positif dan signifikan terhadap

investasi privat sektor non-pertanian, belanja-pemerintah daerah untuk sektor non-pertanian, dan

jumlah tenaga kerja sektor non pertanian tahun sebelumnya, serta memberikan respon negatif dan

signifikan terhadap rerata upah tenaga kerja. Hal tersebut sesuai dengan harapan bahwa jika belanja

pemerintah untuk sektor non-pertanian ditingkatkan maka akan menyebabkan peningkatan penyerapan

tenaga kerja secara langsung, dan secara tidak langsung melalui peningkatan investasi privat.

Dummy variable berpengaruh positif dan tidak signifikan dapat diartikan bahwa penyerapan

tenaga kerja sektor non-pertanian di daerah PDRB sektor pertanian rendah, tidak lebih besar dibanding

dengan di daerah PDRB sektor pertanian tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa perkembangan sektor

non-pertanian di daerah PDRB sektor pertanian rendah tidak signifikan dalam peningkatan penyerapan

tenaga kerja. Atau dengan kata lain, sektor non-pertanian yang berkembang di daerah PDRB sektor

pertanian rendah merupakan sektor non-pertanian yang padat modal.

Tabel 4.3. Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas Variabel Persamaan Struktural Kesempatan Kerja Tahun 2003 – 2011

Variabel Parameter

t –hit Prob. t Elastisitas

Jgk.Pendek Jgk.Panjang

Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian 1. Intersep 459.3270 1.73 0.0846 2. Persen invstasi sektor pert

riil 0.09171 0.04 0.9707 0.0015 0.0046

3. Upah ten kerja pertanian riil -2.45954 -3.79 0.0002 -0.4356 -1.3512 4. Belanja utk sektor pertani riil 3.855386 5.82 <.0001 0.5061 1.5696

5. Tenaga kerja pertanian t-1 0.677601 14.73 <.0001 6. Dummy variable 0.172378 0.00 0.9990

Page 30: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Performa Belanja Pemerintah ... (Budiyanto., et al.)

207

Durbin-Watson 1.553754 F-Hitung 174.34 R-Square 0.83440 Prob>F <.0001

Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian 1. Intersep 1986.900 3.69 0.0003 2. Investasi non pertanian riil 0.387506 8.38 <.0001 0.2386 0.4683 3. Rerata upah tenaga kerja riil -4.26621 -5.11 <.0001 -0.8661 -1.6997 4. Belanja utk sektor non

pertani 0.401557 4.70 <.0001 0.3779 0.7416

5. Ten kerja sektor non pertan t-1

0.490440 11.55 <.0001

6. Dummy variable 23.08581 0.11 0.9153 Durbin-Watson 1.249587 F-Hitung 340.11 R-Square 0.90766 Prob>F <0.0001

Sumber: Hasil olah data

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Kesimpulan

Belanja pemerintah mempunyai peran strategis dalam perekonomian. Terbukti dari hasil studi ini

menunjukkan bahwa semakin besar jumlah belanja pemerintah daerah yang langsung terkait dengan

kegiatan dan program, utamanya belanja daerah untuk sektor pertanian, maka investasi privat sektor

pertanian semakin meningkat. Selan itu, Belanja pemerintah daerah berdampak signifikan pada

penyerapan tenaga kerja di semua sektor perekonomian. Belanja pemerintah daerah berdampak

signifikan pada penyerapan tenaga kerja di semua sektor perekonomian. Oleh karena itu, besaran dan

struktur alokasi belanja pemerintah daerah seharusnya ditetapkan secara tepat sesuai kebutuhan

pembangunan dan potensi daerah. Tetapi berdasarkan hasil estimasi parameter dapat disampaikan

bahwa penetapan besaran belanja pemerintah daerah untuk sektor pertanian maupun non-pertanian,

baik di daerah PDRB sektor pertanian tinggi maupun rendah, lebih didasarkan pada kegiatan atau

program tahun sebelumnya.

Selain belanja pemerintah, investasi privat juga diperlukan untuk menunjang pertumbuhan

ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Namun demikian, karena jenis investasi privat sektor

pertanian merupakan investasi skala besar.yang labour intensive maka investasi privat sektor pertanian

kurang menciptakan lapangan kerja baru. Disamping itu, investasi privat di Indonesia terkonsentrasi

pada daerah-daerah yang ketersediaan infrastrukturnya memadai. 5.2. Rekomendasi Kebijakan

Mengingat peran belanja pemerintah daerah, maka pemerintah daerah sebaiknya lebih

meningkatkan belanja daerah yang langsung terkait dengan program dan kegiatan, dengan mengurangi

belanja daerah yang tidak langsung terkait dengan program dan kegiatan. Khususnya pada daerah PDRB

sektor pertanian tinggi, sebaiknya pemerintah daerah mengalokasikan belanja daerah untuk

meningkatkan ketersediaan infrastruktur daerah guna menarik investasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, H. dan S.M. Miller. (2000). Crowding-out and Crowding-in Effects of The Components of Government Expenditure. Contemporary Economic Policy, 18(1): 124-133

Barro, R.J. (1990). Government Spending in a Simple Model of Endogenous Growth. Journal of Political Economy, 98: 103-125

Hayami, Y and V.W. Ruttan. (1981). Agricultural Development: An International Perspective. Baltimore: The John Hopkins Press.

Page 31: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 197 - 208

208

Kaldor, N. (1966). Causes of the Slow Rate of Economic Growth of the United Kingdom: an Inaugural Lecture. Cambridge: Cambridge University Press.

Koutsoyiannis, A. (1982). Modern Microeconomics. Second Edition. Univercity of Waterloo, Ontario. Hongkong: The Macmillan Press LTD.

Liu, L.C; C.E. Hsu and M.Z. Younis. (2008). The Association Between Government Expenditure and Economic Growth: Granger Causality Test of US Data, 1947-2002. Journal of Public Budgeting Accounting & Financial Management, 20(4): 537-553

Mellor, JW. (1995). Agriculture on the Road to Industrialization. Baltimore and London: The John Hopkins University Press.

Musgrave, R.A. and B.M. Peggy. (1989). Public Finance in Theory and Practice. New York: McGraw-Hill Book Company.

Priyarsono, D.S. (2011). Dari Pertanian ke Indunstri, Analisis Pembangunan dalam Perspektif Ekonomi Regional. Bogor: IPB Press.

Stiglitz. J.E. (2000). Economics of the Public Sector. New York: W.W. Norton and Company.

Todaro, M.P. (2000). Economic Development. Seventh Edition. New York: Addision Wesley Longman. Inc.

Tulsidharan, S. (2006). Government Expendinture and Economic Growth in India (1960 to 2000). Finance India, 20(1): 169-179

Wang, B. (2005). Effects of Government Expendinture on Private Investment: Canadian Empirical Evidence. Empirical Economics. 30: 493-504

World Bank. (2009). Indonesia Agriculture Public Expenditure Review - Indonesia Agriculture Public and Growth. Policy Notes. The World Bank Office Jakarta.

Page 32: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan
Page 33: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kaj. Eko. & Keu.

Vol. 18 No. 3 Desember

2014 Halaman : 181 - 254

Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia

Performa Belanja Pemerintah Daerah, Investasi Privat dan Kesempatan Kerja di Indonesia

Efektivitas Kebijakan Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi di Jawa-Bali

Income Inequality : Education as The Panacea

Dampak Bea Keluar terhadap Ekspor CPO Indonesia

No. Akreditasi : 467/AU3/P2MI-LIPI/08/2012

Vol 18 No 3, Desember 2014

[

T

y

p

e

a

q

u

o

t

e

f

r

o

m

t

h

Page 34: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PEMBATASAN KONSUMSI BBM BERSUBSIDI DI JAWA-BALI

The Effectiveness of Control Policy of Subsidized Fuel Consumption in Java-Bali

Praptono Djunedi Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan

Jln. Dr. Wahidin No. 1, Jakarta Pusat 10710, DKI Jakarta, Indonesia Email: [email protected]

Naskah diterima: 17 September 2014 Naskah direvisi: 30 November 2014

Disetujui diterbitkan: 3 Desember 2014

ABSTRACT

It has been more than three decades that the government provided subsidized fuel. The cheap fuel price

leads to consumption of the fuel increase. Although the government has implemented some policies, subsidy

on fuel remains hike in the budget. Therefore, by issuing MEMR Regulation on Control of Fuel Consumption,

the government implement control policy of subsidized fuel consumption on official vehicles and others. The

goals of the policy are to control of the subsidy through reducing the use of low-quality fuel (RON 88). Refer to

the above illustration, this paper aims to describe the effectiveness of the policy and to propose policy

recommendations to be effective. To measure effectiveness of the policy, this paper uses paired t test. The tool

to know whether a significant difference on subsidized and non subsidized fuel sales between before and after

the policy implemented. Based on the results, it can be concluded that the policy is not effective. To be

effective, it is proposed as follows (1) there is adequate fuel cost allocation for each official vehicle, (2)

optimization of the vehicle’s benefit, (3) the policy needs strong monitoring system, and (4) there is sanction

for those who violate the policy.

Keywords: control, consumption, subsidized fuel, subsidy on fuel

ABSTRAK

Lebih dari tiga dasawarsa kewajiban penyediaan dan pendistribusian BBM bersubsidi. Rendahnya

harga BBM bersubsidi menyebabkan konsumsi BBM bersubsidi meningkat. Walaupun pemerintah telah

melakukan variasi kebijakan, subsidi BBM dalam APBN tetap meningkat. Oleh karena itu, dengan terbitnya

Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013, pemerintah memutuskan untuk menerapkan kebijakan

pembatasan konsumsi BBM bersubsidi pada kendaraan dinas dan jenis kendaraan lainnya. Tujuan

kebijakan ini terutama untuk mengendalikan subsidi BBM dan mengurangi penggunaan BBM berkualitas

rendah (RON 88). Berdasarkan paparan di atas, kajian ini bertujuan untuk menjelaskan efektivitas

kebijakan tersebut dan mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan. Ada dua indikator untuk mengukur

efektivitas kebijakan yaitu (1) respon kebijakan, dan (2) jumlah penjualan BBM nonsubsidi. Dari

penjelasan dua indikator tersebut disimpulkan bahwa kebijakan pembatasan konsumsi tidak efektif. Agar

kebijakan ini efektif maka diusulkan agar (1) ada alokasi biaya BBM secara memadai bagi setiap kendaraan

dinas, (2) optimalisasi nilai manfaat kendaraan dinas, (3) perlu memperkuat sistem monitoring, dan (4)

sanksi (administratif atau bentuk lainnya) bagi yang melanggar kebijakan pembatasan konsumsi ini.

Kata Kunci: BBM bersubsidi, konsumsi, pembatasan, subsidi BBM

JEL: H200

Page 35: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228

210

I. PENDAHULUAN

Konsumsi BBM bersubsidi yang disalurkan ke masyarakat semakin meningkat dari tahun ke

tahun. Naiknya konsumsi tersebut ternyata belum diimbangi dengan terdistribusinya BBM bersubsidi

secara proporsional ke masyarakat. Berdasarkan data kementerian ESDM, pengguna BBM bersubsidi

dikelompokkan menjadi transportasi darat, transportasi air, perikanan, usaha kecil dan rumah tangga.

Dari penggolongan tersebut, transportasi darat sangat mendominasi konsumsi BBM bersubsidi, yakni

97,33 persen. Di sektor transportasi darat, konsumsi BBM bersubsidi terbesar di Jawa Bali (59,64

persen), sedangkan di Sumatera 24,22 persen, Kalimantan 7,19 persen, dan sisanya untuk kawasan

Indonesia timur. Dari sisi pendapatan masyarakat, 25 persen rumah tangga berpenghasilan tinggi

menikmati alokasi subsidi sebesar 77 persen, sedangkan 25 persen rumah tangga berpenghasilan

terendah hanya menerima subsidi sekitar 15 persen (Legowo, 2012). Temuan terkait subsidi BBM yang

tidak tepat sasaran juga dinyatakan oleh Ikhsan et al (2005:16).

Ada dua parameter untuk mengukur tingkat pemborosan energi di suatu negara yaitu elastisitas

energi dan intensitas energi. Angka elastisitas energi di Indonesia tergolong cukup boros, yakni sebesar

2,17. Angka ini berarti bahwa setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen maka

konsumsi energi akan meningkat sebesar 2,17 persen (negara maju sekitar 0,55 s.d. 0,65). Angka

intensitas energi Indonesia juga menunjukkan angka yang relatif tinggi yakni mencapai 482 TOE (tonne

of oil equivalent) per juta USD. Angka ini bermakna bahwa setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi

sebesar USD1 juta, konsumsi energi yang dibutuhkan sebesar 482 TOE (negara OECD 164 TOE/juta

USD).1

Di sisi lain, harga minyak (crude oil) rata-rata dalam beberapa tahun terakhir berada di atas

USD100 per barel. Kombinasi antara tingginya konsumsi BBM bersubsidi dan tingginya harga minyak

menyebabkan alokasi subsidi BBM dalam APBN cenderung terus meningkat. Selama tiga dekade ini,

peningkatan dana subsidi BBM telah mencapai hampir 200 kali (tahun 1984/1985 Rp1,1 triliun dan

tahun 2013 Rp210 triliun).

Berbagai upaya pengendalian subsidi BBM telah dilakukan pemerintah. Cara yang telah dilakukan

diantaranya adalah pengurangan jumlah jenis BBM bersubsidi (tahun 1986 ada delapan jenis dan sejak

tahun 2005 hanya tiga jenis), konversi minyak tanah ke tabung elpiji tiga kilogram, dan kenaikan harga

BBM bersubsidi. Program konversi minyak tanah ke elpiji tiga kilogram, walaupun dinilai cukup berhasil

tetapi hingga kini ada sebagian daerah yang masih menggunakan minyak tanah. Terkait kebijakan

kenaikan harga, terakhir kali pemerintah melakukannya pada tahun 2013 walaupun terkadang muncul

penolakan dari DPR. Menurut Ikhsan et al (2005), walaupun kenaikan harga BBM secara ekonomi teknis

sangat valid, tetapi proses ini tidak mudah dilakukan dari sisi politik. Argumentasi politik yang sering

mengemuka adalah bahwa proses kenaikan harga ini ditumpangi oleh kepentingan politik lain. Kejadian

seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di semua negara berkembang yang menganut

pola intervensi harga.

Selanjutnya, dalam rangka pengendalian subsidi BBM, pemerintah memilih melakukan kebijakan

pembatasan konsumsi BBM bersubsidi (selanjutnya disebut “kebijakan pembatasan konsumsi”). Dalam

Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2012 yang dilanjutkan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun

2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak, kebijakan pembatasan konsumsi BBM

bersubsidi diterapkan pada kendaraan dinas dan jenis kendaraan lainnya. Terkait dengan hal itu,

muncul beberapa pertanyaan yakni (1) bagaimana efektivitas pelaksanaan kebijakan pembatasan

konsumsi tersebut, dan (2) rekomendasi apa yang diusulkan agar kebijakan pembatasan konsumsi

1 Nilai itu merupakan nila rata-rata elastisitas energi di Indonesia pada periode 1995 – 2008. Lihat Elinur et al, 2010. Menurut

Abdullah (2010), 1 TOE adalah massa suatu sumber energi primer yang kandungan energinya setara dengan kalori dari hasil

pembakaran satu ton minyak mentah.

Page 36: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)

211

efektif untuk penghematan subsidi BBM. Kajian ini membatasi pembahasan hanya pada implementasi

kebijakan pembatasan konsumsi terhadap mobil dinas di Jawa dan Bali. Hal ini dilakukan dengan

pertimbangan (1) penerapan kebijakan dilakukan pada mobil dinas agar bisa menjadi teladan bagi

masyarakat dan untuk meningkatkan public trust apabila nantinya kebijakan pembatasan konsumsi

diberlakukan dalam skala yang lebih luas, (2) penerapan pada mobil dinas diasumsikan lebih mudah

dilakukan karena mobil tersebut dalam kontrol pemerintah, (3) Jawa Bali merupakan wilayah yang

mengonsumsi BBM bersubsidi terbesar (sekitar 60 persen, seperti dijelaskan di awal tulisan). Untuk

mengukur efektivitas kebijakan digunakan paired t test. Alat analisis ini untuk mengetahui apakah

terdapat perbedaan signifikan jumlah penjualan BBM bersubsidi dan non subsidi antara sebelum dan

sesudah kebijakan diterapkan. Selanjutnya, sistematika penulisan dalam kajian ini adalah sebagai

berikut: (1) pendahuluan, (2) tinjauan pustaka, (3) metodologi, (4) hasil analisis dan pembahasan, serta

diakhiri dengan (5) kesimpulan dan rekomendasi kebijakan. II. TINJAUAN PUSTAKA

Subsidi dapat didefinisikan sebagai pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan

atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau

mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara

ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran (Handoko dan

Patriadi, 2005). Salah satu jenis subsidi yang dialokasikan dalam APBN yaitu subsidi terhadap BBM.

Tujuan pemberian subsidi BBM adalah untuk menciptakan harga energi yang terjangkau bagi

masyarakat tidak mampu dan usaha mikro, dan menjaga daya beli masyarakat sehingga perekonomian

meningkat (Badan Kebijakan Fiskal, 2012:2).

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran,

Penghitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban Subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu

menyebutkan bahwa subsidi BBM dihitung berdasarkan perkalian antara subsidi BBM per liter dengan

volume BBM. Subsidi BBM per liter sendiri merupakan selisih kurang antara harga jual eceran BBM per

liter setelah dikurangi PPN dan PBBKB dengan harga patokan per liter.

Perhitungan subsidi BBM dapat diformulasikan sebagai berikut:

SH = SHL x Vol

SHL = ((HJE – PPN – PBBKB)- HP) Keterangan:

SH = subsidi harga

SHL = subsidi harga per liter

HJE = harga jual eceran

PPN = pajak pertambahan nilai

PBBKB = pajak bahan bakar kendaraan bermotor

HP = harga patokan (meliputi MOPS, margin dan biaya distribusi)

Vol = volume BBM bersubsidi

Dari ketiga persamaan di atas, dapat diketahui bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi

besaran subsidi BBM meliputi harga jual eceran, tarif PPN, tarif PBBKB, harga patokan dan volume BBM

bersubsidi. Karena MOPS (dalam harga patokan) berdenominasi USD maka variabel kurs Rp/USD juga

berperan mempengaruhi besaran subsidi BBM. Kecuali MOPS, variabel-variabel yang mempengaruhi

subsidi BBM tersebut besarannya ditetapkan oleh pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR.

Volume permintaan BBM bersubsidi merupakan permintaan turunan (derived demand) dari

permintaan barang/jasa. Hal ini wajar karena energi BBM diperlukan dalam proses produksi

Page 37: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228

212

barang/jasa (Badan Kebijakan Fiskal, 2012:14). Apabila harga BBM bersubsidi dinaikkan, dampaknya

terhadap perekonomian adalah meningkatkan biaya produksi dan distribusi, yang berujung pada

meningkatnya harga barang dan jasa (Badan Kebijakan Fiskal, 2012:25).

Menurut Ikhsan et al (2005), terdapat dua argumen atas kenaikan harga BBM yaitu alasan jangka

pendek dan alasan jangka panjang. Alasan jangka pendek meliputi (1) tingginya disparitas harga BBM

dalam negeri dan luar negeri, (2) disparitas tersebut menyebabkan subsidi BBM meningkat, (3)

kenaikan harga BBM dilakukan di banyak negara, (4) rendahnya harga domestik mendorong tingginya

tingkat konsumsi, (5) faktor keadilan, serta (6) kenaikan harga BBM memungkinkan alokasi yang lebih

banyak untuk penanggulangan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur. Sedangkan alasan jangka

panjang adalah (1) koreksi terhadap harga BBM agar terjadi efisiensi penggunaan energi, dan (2)

berkurangnya penggunaan BBM akan mendorong penggunaan energi yang ramah lingkungan. Kajian

terkait kenaikan harga BBM bisa juga dibaca pada Oktaviani dan Sahara (2005).

Apabila harga BBM bersubsidi ditetapkan lebih rendah daripada harga keekonomiannya2 maka

dapat mendorong penjualan BBM bersubsidi lebih besar daripada yang diperlukan masyarakat. Hal itu

terjadi karena (1) murahnya harga BBM bersubsidi mendorong masyarakat menggunakan BBM

bersubsidi secara tidak efisien, (2) disparitas harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi dapat meningkatkan

penyelewengan BBM bersubsidi kepada pengguna yang tidak berhak, dan (3) disparitas harga BBM

bersubsidi dengan harga BBM di luar negeri menjadi insentif terjadinya penyelundupan (Badan

Kebijakan Fiskal, 2012:11).

Menurut Nugroho (www.bappenas.go.id), masalah yang mendasar pada subsidi BBM adalah pola

konsumsi energi itu sendiri. Pola konsumsi energi tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) terlalu

tergantung pada BBM, (2) konsumsi tidak mencerminkan kekayaan sumber daya energi yang dimiliki,

dan (3) sangat terlambat mengembangkan sumber energi nonBBM. Oleh karena itu, langkah efisiensi

untuk mengurangi ketergantungan BBM yaitu (1) meningkatkan efisiensi pemakaian BBM sektor

transportasi dengan memaksa berlakunya sistem transportasi yang efisien terhadap konsumsi energi

(yang berarti lebih sehat secara lingkungan), (2) menggantikan pemakaian solar di pembangkit listrik

tenaga diesel (PLTD) dengan pembangkit listrik berbasis energi setempat, (3) mengganti pemakaian

minyak tanah dengan mengembangkan briket batubara, LPG dalam tabung kecil dan lainnya, (4)

menerapkan strategi pendanaan untuk peningkatan efisiensi, rehabilitasi, substitusi BBM dan

diversifikasi energi, serta (5) menerapkan harga BBM yang lebih mahal dibandingkan dengan yang

dipraktekkan sekarang. Karena besaran subsidi BBM telah berkembang melampaui pendapatan ekspor

minyak bumi maka diusulkan untuk dihapus secara bertahap. Wacana penghapusan subsidi BBM ini juga

dikemukakan oleh Ikhsan et al (2005), dan Whitley (2013).

Apabila permintaan BBM bersubsidi dilakukan pembatasan, diduga akan menurunkan

kesejahteraan pengguna dan menimbulkan gejolak sosial (Badan Kebijakan Fiskal, 2012:15). Masih

terkait dengan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, Handajani (2012) melakukan penelitian yang

bertujuan menganalisis hubungan sistem transportasi terhadap konsumsi BBM dengan menggunakan

multivariable analysis. Lokasi penelitian adalah 13 kota sedang di Jawa, meliputi Jawa barat (Sukabumi

dan Cirebon), Jawa tengah (Pekalongan, Tegal, Magelang, Salatiga), Jawa timur (Kediri, Pasuruan,

Probolinggo, Mojokerto, Blitar dan Madiun) serta Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan variabel

sistem transportasi kota yang berpengaruh kuat terhadap konsumsi BBM adalah jumlah penduduk,

mobil penumpang umum, dan mobil penumpang pribadi. Jumlah penduduk memiliki pengaruh sangat

kuat terhadap konsumsi BBM total, sedangkan mobil penumpang pribadi dan mobil penumpang umum

2 Harga keekonomian bisa diasumsikan sama dengan harga patokan yang masuk dalam formula subsidi BBM.

Pengertian harga patokan adalah harga yang dihitung setiap bulan berdasarkan harga indeks pasar BBM dan/atau harga

indeks pasar BBN rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya ditambah biaya distribusi dan margin.

Page 38: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)

213

berpengaruh terhadap konsumsi BBM premium. Handajani merekomendasikan perlunya pengendalian

konsumsi BBM dengan cara memperpendek panjang perjalanan orang dan barang. Beberapa langkah

yang perlu ditempuh yaitu penataan land use, peningkatan potensi kota, mengurangi jumlah kendaraan

pribadi dan meningkatkan pelayanan angkutan umum. Kajian lain tentang pembatasan konsumsi BBM

bersubsidi bisa dilihat pada Layli (2012).

Di India, pemerintah telah mencoba beberapa strategi reformasi atas minyak tanah/kerosene

bersubsidi, diantaranya dengan sistem kupon dan kartu pintar (smart card). Pelaksanaan sistem kupon

ini dilatarbelakangi adanya temuan the Mysore Consumer Council dimana lebih dari 30 persen kerosene

yang dijual di Mysore telah dialihkan ke pasar gelap untuk dicampur dengan produk-produk yang

bernilai tinggi. Terhadap temuan tersebut, lembaga ini merekomendasikan ke pemerintah daerah agar

suplai kerosene bersubsidi dilakukan melalui sistem kupon. Sistem kupon ini dilaksanakan dengan

mekanisme sebagai berikut: (1) pada awal bulan, setiap penerima manfaat diberi kupon untuk membeli

kerosene dengan kuota tertentu; (2) agen/dealer hanya menjual kerosene kepada para pembawa kupon;

(3) pada bulan berikutnya, dealer akan dipasok kerosene berdasarkan jumlah kupon yang terkumpul.

Jika dealer menjual ke pasar gelap atau pembeli non kupon, pasokan kerosene akan dikurangi dan

dipasok sesuai dengan jumlah kupon yang diterima. Hasil evaluasi menunjukkan konsumen tidak perlu

antri panjang untuk memperoleh kerosene. Sebaliknya, dealer keberatan dengan pelaksanaan sistem ini

karena harus menunggu konsumen untuk mengumpulkan kupon dan menukarkan kupon dengan uang

sebelum pengisian kembali (replenish) pasokan kerosene di bulan berikutnya. Walaupun ide ini diterima

oleh pemerintah dan beberapa politisi yang progresif, tetapi ada resistensi atas implementasi ini.

Bagaimana pun, implementasi ini dinilai sukses di beberapa wilayah di provinsi (state) Karnataka.

Setelah beberapa bulan, dengan adanya suksesi dan lobi kuat dari pedagang kerosene serta para politisi,

sistem kupon ini secara perlahan dihentikan. Kemudian, terkait dengan implementasi smart cards, pada

tahun 2005 the Planning Commission of India merekomendasikan penggunaan smart card karena sistem

ini membantu monitoring distribusi kerosene dengan lebih baik. Tahun 2007, Menteri Perminyakan India

memutuskan pelaksanaan sistem smart cards diujicoba di tiga provinsi yaitu Bihar, Maharastra, dan

Uttaranchal. Namun, ketiga provinsi menolak tawaran itu sehingga rencana tersebut dihentikan. Ini

sebuah contoh bagaimana kelompok politik menentang setiap sistem yang akan mengurangi

penyimpangan penggunaan kerosene (Shenoy, 2010: 11-12).

Di Malaysia, solar dijual dengan harga subsidi dan harga keekonomian. Penerapan sistem harga

dua tingkat (two-tier) ini mendorong pembelian solar secara signifikan pada harga subsidi oleh

konsumen nonkelompok target subsidi. Guna meredam aktivitas ilegal tersebut, pemerintah

meluncurkan skema subsidi e-diesel untuk nelayan dengan menggunakan smart card sehingga

pembelian unqualified solar bersubsidi lebih dipersulit. Skema ini menetapkan kuota bulanan sesuai

ukuran kapal dan memungkinkan nelayan membeli solar seharga MYR1 per liter dari outlet pengguna

sistem smart card. Pada setiap transaksi pembelian solar akan tercetak nama pemilik kapal, nomor

registrasi kapal, dan kuota bulanan. Di sisi lain, sistem fleet cards juga diperkenalkan kepada operator

angkutan umum yang berhak atas subsidi diesel. Para operator yang disahkan oleh Ministry of Domestic

Trade and Domestic Affairs berhak atas diskon 15 sen (USD0.05) per liter ketika membeli menggunakan

fleet cards. Setiap kategori kendaraan punya kuota bulanan, 570 liter untuk bus sekolah, 720 liter untuk

taxi dan 2.280 liter untuk bus (The International Institute for Sustainable Development, 2013: 11). Namun

demikian, keberhasilan penerapan smart cards di Malaysia sangat terbatas (Yemstov, 2011).

Di Iran, pemerintah meluncurkan smart fuel system untuk melakukan penjatahan bensin, solar

(gasoil) dan CNG tidak dilakukan penjatahan. Ada dua alasan dilakukannya penjatahan bensin yaitu (1)

pertumbuhan konsumsi bensin yang meningkat 100 persen per 15 tahun, dan (2) jumlah produksi

bensin yang lebih rendah daripada kebutuhannya sehingga perlu impor. Pelaksanaan smart fuel system

Page 39: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228

214

diawali ketika pada tahun 1999, terjadi penyelundupan BBM di provinsi Sistan Balouchestan. Akhirnya

diputuskan untuk mencari solusi yang bisa mengakhiri penyelundupan itu. Terkait dengan hal itu, ada

ide untuk uji coba smart fuel system di dua kota (Zahedan dan Mirjaveh) dalam provinsi tersebut. Setelah

sekitar 50 ribu kartu didistribusikan, dilakukan pembatasan yang ketat untuk pengisian bahan bakar.

Salah satu pembatasan itu adalah menetapkan hari tertentu bagi kendaraan yang boleh dijalankan

berdasarkan plat nomor ganjil dan genap. Setelah uji coba terbukti sukses untuk meredam

penyelundupan BBM, dilanjutkan ke level provinsi. Selanjutnya, dilakukan kajian mendetail tentang

penjatahan bensin dan berdasarkan kajian ini, parlemen mengesahkan regulasinya dan pemerintah

memperbaiki smart fuel distribution system. Setelah semua hal dalam kondisi siap, baru pemerintah

melakukan penjatahan bensin secara nasional. Manfaat dari implementasi smart fuel system ini

meliputi transportasi publik yang semakin membaik, pembuatan bank data kendaraan dan sepeda

motor yang selalu ter-update, pengelolaan (termasuk monitoring) konsumsi dan distribusi BBM sehingga

dapat mencegah penyelundupan, konservasi BBM dan lainnya. Selama enam tahun pelaksanaan smart

card (2007–2013), jumlah dana yang bisa dihemat lebih dari USD43 miliar karena tidak ada lagi impor.

Sedangkan nilai investasi proyek IT tersebut sekitar 1,5 triliun rial Iran (sekitar Rp700 miliar, 1 rial =

Rp0,45).3

III. METODOLOGI

3.1. Data dan Sumber Data

Data yang dipakai dalam kajian ini adalah data sekunder selama periode tahun 2008 sampai 2013.

Data yang dikumpulkan meliputi konsumsi BBM bersubsidi, Indonesia Crude Oil Price (ICP), subsidi BBM,

konsumsi BBM per jenis BBM bersubsidi, jumlah kendaraan bermotor, serta disparitas harga bensin

premium dan pertamax.

Tiga data pertama yang disebutkan di atas untuk menggambarkan hubungan konsumsi BBM

bersubsidi dan harga minyak terhadap besaran subsidi BBM. Data harga minyak diproksi dengan data

ICP. Data konsumsi BBM per jenis BBM bersubsidi untuk menggambarkan perkembangan konsumsi

bensin premium dan minyak solar. Data jumlah kendaraan dinas roda empat di Jawa Bali diproksi

dengan jumlah pejabat struktural eselon I sampai III dan jumlah PNS di Jawa Bali untuk mengetahui

jumlah kendaraan dinas di wilayah ini. Data diperoleh dari Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM,

Badan Pusat Statistik dan berbagai sumber lainnya.

3.2. Metode Analisis

Metode analisis yang dipakai adalah analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Efektivitas

kebijakan dilihat dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah kebijakan pembatasan

konsumsi diterapkan apakah jumlah konsumsi BBM subsidi dan nonsubsidi terjadi perbedaan signifikan

atau tidak. Dalam hal ini BBM nonsubsidi merupakan substitusi atas BBM bersubsidi. Alat analisis yang

digunakan adalah paired t test. Beberapa formula yang digunakan4 adalah:

Difference = var sesudah – var sebelum

rata-rata d = εd / n

Standar Deviasi = SQRT ( ε (d – rata-rata d)^2/(n-1))

3 Wawancara Shana, The Petroenergy Information Network, dengan Nasser Sajjadi, penemu smart fuel system di Iran, sebagai

Deputy Chief NIOPDC, 2013. Program pembatasan bensin ini dibarengi dengan konversi bensin ke CNG, tetapi konversi

tersebut tidak dibahas dalam tulisan ini. 4 Lihat Levin, R dan Rubin, D, 1998. Juga http://www.statstutor.ac.uk/resources/uploaded/paired-t-test.pdf

Page 40: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)

215

Standar Error = SD / SQRT(n)

T Hitung = rata-rata d / SE

T Tabel = (df, α)

BBM PSO:

H0 = tidak ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM PSO antara kondisi sebelum dan

sesudah kebijakan diterapkan.

H1 = ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM PSO antara kondisi sebelum dan

sesudah kebijakan diterapkan.

BBM Non PSO:

H0 = tidak ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM non PSO antara kondisi sebelum

dan sesudah kebijakan diterapkan

H1 = ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM non PSO antara kondisi sebelum dan

sesudah kebijakan diterapkan

Apabila hasil test menunjukkan bahwa terjadi perbedaan signifikan atas penjualan BBM bersubsidi

dan sebaliknya, tidak terjadi perbedaan signifikan atas penjualan BBM nonsubsidi maka kebijakan

pembatasan dinilai tidak efektif. Hasil analisis kuantitatif didukung dengan analisis kualitatif dari respon

pengguna kendaraan dinas untuk mengkonsumsi BBM nonsubsidi. Indikasi tersebut tampak pada (1)

apakah stiker “Mobil Ini Tidak Menggunakan BBM Bersubsidi” masih tertempel pada mobil dinas atau

tidak, dan (2) apakah terjadi hitamisasi pada plat merah mobil dinas atau tidak. Data dan penjelasan

respon kebijakan diperoleh dari wawancara dengan beberapa pengguna kendaraan dinas (eselon III)

dari instansi yang berbeda di lingkungan Kementerian Keuangan.

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Konsumsi BBM Bersubsidi dan Subsidi BBM

Dari Gambar 4.1 tampak bahwa besaran subsidi BBM tahun 2008 terealisasi sekitar Rp139,1

triliun, atau meningkat sebesar Rp55,3 triliun jika dibandingkan realisasi subsidi BBM tahun 2007

(Rp83,8 triliun). Tingginya peningkatan dana subsidi BBM ini disebabkan oleh tingginya harga minyak

dunia yang rata-rata USD97 per barel, terjadinya pelemahan kurs Rp/USD5 serta naiknya konsumsi BBM

bersubsidi (bensin premium dan minyak solar) sebesar 2,5 juta kilo liter (KL). Kondisi ini yang

mendasari munculnya wacana kebijakan pembatasan konsumsi.

Pada tahun 2009, realisasi subsidi BBM menurun sangat drastis. Setidaknya terdapat tiga faktor

yang mempengaruhi penurunan ini yaitu: (1) rendahnya harga minyak dunia yang rata-rata USD61,6 per

barel, (2) terjadinya penguatan kurs Rp/USD6, serta (3) menurunnya total konsumsi BBM bersubsidi

sebesar 1,3 juta KL yang disebabkan oleh menurunnya konsumsi minyak tanah bersubsidi terkait

pelaksanaan program konversi minyak tanah ke LPG tiga kilogram. Berkurangnya konsumsi minyak

tanah secara bertahap selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 4.2. Tampak pada Gambar 4.2 terjadi

pengurangan konsumsi minyak tanah bersubsidi yang tajam selama tiga tahun pertama (tahun 2007 s.d.

2010), tetapi pada tiga tahun berikutnya pengurangan konsumsi itu berlangsung agak lambat.

Dari Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 dapat diketahui bahwa sejak tahun 2010 sampai tahun 2012

konsumsi BBM bersubsidi (bensin premium dan minyak solar) secara konsisten mengalami kenaikan

rata-rata 3,5 juta KL per tahun. Naiknya konsumsi BBM bersubsidi tersebut serta meningkatnya harga

minyak menyebabkan alokasi subsidi BBM juga meningkat.

5 Kurs asumsi APBN Rp9.100/USD dan kurs realisasi Rp9.691/USD 6 Kurs asumsi APBN-P Rp10.500 dan kurs realisasi Rp10.408/USD

Page 41: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228

216

Sumber: Kemenkeu, 2014, diolah

Gambar 4.1. Perkembangan Subsidi BBM (Rp T), Konsumsi BBM (Juta KL) dan ICP (USD/Barel).

Sumber: Kemenkeu, 2014, diolah

Gambar 4.2. Perkembangan Konsumsi Per Jenis BBM Bersubsidi (Juta KL).

Berdasarkan Gambar 4.3, besarnya konsumsi BBM bersubsidi (bensin premium dan minyak solar)

ternyata didominasi oleh sektor transportasi darat (96,7 persen). Sedangkan untuk sektor lainnya

disisakan kurang dari empat persen. Untuk transportasi laut porsinya hanya 2,36 persen, usaha kecil

0,46 persen, pemerintah 0,06 persen dan kereta api 0,38 persen. Khusus sektor kereta api, hanya sebagai

pengguna minyak solar bersubsidi. Konsumsi BBM bersubsidi di sektor transportasi laut merupakan

penjumlahan dari transportasi laut (1,59 persen), nelayan (0,7 persen) serta usaha perikanan (0,07

83.8

139.1

45

82.4

165.2

211.9210

35

40

45

50

20

70

120

170

220

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Juta

KL

Rp

Tri

liu

n /

USD

per

bar

Real Kons BBM Real Subsidi BBM Real ICP

17.9 19.5 21.2 22.925.5

28.1 29.3

9.8 7.9 4.7 2.31.7

1.7 1.1

10.9 11.812.0 13.0

14.5

15.5 16.0

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Premium Minyak Tanah Solar

Page 42: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)

217

persen). Dengan komposisi seperti di atas maka sektor yang perlu dielaborasi lebih lanjut yaitu sektor

transportasi darat.

Pada sektor transportasi darat, sebanyak 53 persen BBM bersubsidi dikonsumsi oleh mobil,

sedangkan konsumsi motor roda dua sebanyak 40 persen, mobil barang sebanyak empat persen dan

mobil umum sebanyak tiga persen.

Sumber: Legowo, 2012, diolah

Gambar 4.3. Komposisi Konsumsi Pengguna BBM Bersubsidi.

Dari Gambar 4.3 tampak bahwa bensin premium dikonsumsi oleh kendaraan mobil sebesar 53

persen. Apabila realisasi bensin premium diketahui sebesar 28,1 juta KL (lihat Gambar 4.2) dan jumlah

mobil di seluruh Indonesia sekitar 10,43 juta unit (BPS, 2013) maka jumlah konsumsi bensin premium

per mobil sekitar 3,9 liter per hari. Dari jumlah 10,43 juta unit tersebut, jumlah mobil di Jawa Bali

mencapai 6,26 juta unit (60 persen) dan sisanya berada di luar Jawa Bali. Sedangkan jumlah konsumsi

bensin premium per motor hanya 0,4 liter per hari yang dihasilkan dari cara perhitungan yang sama

(porsi 40 persen dan jumlah total 76,38 juta unit). Jika mobil merepresentasikan golongan mampu dan

motor mewakili golongan kurang mampu, maka kondisi yang timpang ini mengulangi ketimpangan

seperti sinyalemen Ikhsan et al (2005). Pola konsumsi seperti ini menjadi pendorong bagi pemerintah

untuk melakukan kebijakan pembatasan konsumsi. 4.2. Kebijakan Pembatasan Konsumsi

Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa timpangnya pola konsumsi BBM bersubsidi dan

tingginya harga minyak dunia mendorong munculnya wacana kebijakan pembatasan konsumsi.

Meningkatnya harga minyak dunia tampak tergambar pada semakin melebarnya disparitas harga BBM

bersubsidi dan BBM nonsubsidi (pertamax) pada pertengahan tahun 2008 (lihat Gambar 4.4).

Rendahnya harga BBM bersubsidi dapat mendorong tingginya tingkat konsumsi (Ikhsan et al, 2005),

bahkan mendorong masyarakat menggunakan BBM bersubsidi secara tidak efisien (Badan Kebijakan

Fiskal, 2012).

Pada saat itu, pemerintah mempunyai tiga opsi terkait wacana pembatasan konsumsi ini. Pertama,

pembatasan konsumsi BBM dilakukan dengan kartu pintar (smart card). Opsi kedua, melarang

kendaraan produksi di atas tahun 2000 mengkonsumsi BBM bersubsidi. Opsi ketiga, melarang

Page 43: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228

218

kendaraan di atas 2.000 cc mengkonsumsi BBM bersubsidi. Terkait ketiga opsi itu, kendala yang

berpotensi muncul adalah faktor besarnya pendanaan pada pembuatan smart card dan sistem

aplikasinya, dan tidak adanya mekanisme pengawasan yang efektif bagi petugas SPBU untuk memeriksa

setiap kendaraan yang antri di SPBU terhadap dua opsi terakhir. Karena berbagai kendala di atas, maka

pemerintah mengusulkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Usulan ini dinilai lebih efektif untuk

mengendalikan subsidi BBM sehingga memperoleh persetujuan DPR. Harga bensin premium naik dari

Rp4.500/liter menjadi Rp6.000/liter (lihat Gambar 4.4) dan minyak solar naik dari Rp4.300/liter

menjadi Rp5.500/liter.

Sumber: Berbagai sumber

Gambar 4.4. Perkembangan Harga Premium dan Pertamax di Jakarta.

Pada tahun 2009, wacana pembatasan konsumsi kurang memperoleh perhatian pemerintah

seiring dengan turunnya harga minyak. Justru, pemerintah memilih kebijakan penurunan harga BBM

bersubsidi sehingga harga bensin premium dan minyak solar masing-masing turun menjadi

Rp4.500/liter. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2009, pemerintah memiliki

kewenangan melakukan evaluasi setiap bulan atas harga jual eceran BBM bersubsidi.

Tahun 2010, rencana pembatasan konsumsi muncul lagi dengan pilihan empat opsi. Opsi tersebut

meliputi (1) membatasi SPBU yang menjual BBM bersubsidi, (2) mobil produksi setelah tahun 2005

dilarang membeli BBM bersubsidi dan ada pemeriksaan STNK saat mengisi BBM di SPBU, (3) mobil

produksi sebelum tahun 2005 ditempel stiker:”Mobil Ini Menggunakan BBM Bersubsidi”, dan (4) mobil

produksi sebelum tahun 2005 menggunakan BBM oktan 84. Kendala atas opsi di atas, misalnya belum

adanya regulasi yang memungkinkan produksi dan penggunaan BBM beroktan 84, atau antrian

pengisian BBM bisa semakin panjang dan munculnya keengganan pihak SPBU memeriksa STNK

terhadap mobil produksi setelah tahun 2005 lantaran dinilai hanya menambah beban kerja petugas

SPBU.

Dalam perkembangannya, rencana pembatasan konsumsi itu fokus pada dua opsi yaitu: (1)

melarang semua mobil pribadi untuk menggunakan BBM bersubsidi, dan (2) melarang mobil pribadi

produksi tahun 2005 ke atas untuk menggunakan BBM bersubsidi. Dari kedua opsi ini, akhirnya

pemerintah memutuskan opsi semua mobil pribadi dilarang menggunakan BBM bersubsidi (opsi 1).

-

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

01-Jan-08 01-Jan-09 01-Jan-10 01-Jan-11 01-Jan-12 01-Jan-13

Ha

rga

(R

p/

lite

r)

Premium

Pertamax

Page 44: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)

219

Tabel 4.1. Jadwal Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi

Waktu Cakupan Daerah

Januari 2011 Jabodetabek I

Juli 2011 Jabodetabek II dan Jawa Bali I

Oktober 2011 Jawa Bali II

Januari 2012 Sumatera Kota Besar

Juli 2012 Seluruh Sumatera; Kalimantan Kota Besar

Januari 2013 Seluruh Kalimantan; Sulawesi Kota Besar

Juli 2013 Seluruh Sulawesi

Sumber: BPH Migas (dalam Bisnis Indonesia, 8 Desember 2010)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 s.d. 2013, diolah

Gambar 4.5. Perkembangan Kendaraan Bermotor di Jawa Bali, 2008 – 2012.

Kebijakan pembatasan konsumsi secara bertahap direncanakan mulai di Jabodetabek pada Januari

2011 (lihat Tabel 4.1). Namun, hingga tahun 2011 berakhir7 pembatasan konsumsi ini belum

diimplementasikan karena belum memperoleh persetujuan DPR. Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 7

ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun 2012, pemerintah dan DPR

bersepakat bahwa pembatasan konsumsi bensin premium untuk kendaraan roda empat pribadi akan

diberlakukan langsung di wilayah Jawa dan Bali mulai 1 April 2012.

Namun, dalam kenyataannya, peraturan teknis yang mengatur kebijakan pembatasan konsumsi

tersebut (lihat Tabel 4.2) diterapkan hanya pada kendaraan dinas milik pemerintah (pusat dan daerah),

BUMN dan BUMD, mobil barang untuk kegiatan pertambangan dan perkebunan di sektor transportasi

darat serta kapal barang nonperintis dan nonpelayaran rakyat di sektor transportasi laut. Di bagian awal

7 Walaupun Tim kajian dari akademisi optimis bahwa program pembatasan bisa dilakukan mulai April 2011, tetapi pemerintah

dengan mempertimbangkan berbagai hal, menunda program ini hingga tahun 2011 berakhir.

-

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

Mobil Pnp Bus Truk Spd Motor

2008

2009

2010

2011

2012

Page 45: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228

220

kajian ini, sudah dijelaskan bahwa kajian ini hanya membahas penerapan kebijakan pembatasan

konsumsi pada kendaraan dinas di wilayah Jawa Bali saja.

Pada Gambar 4.5 dapat diketahui bahwa jumlah mobil di Jawa Bali sekitar 6,26 juta unit (60

persen dari total 10,43 juta unit). Untuk mengetahui Jumlah mobil dinas, penulis melakukan proksi dari

jumlah pejabat struktural eselon I sampai eselon III dan jumlah PNS di wilayah Jawa Bali (BPS, 2014).

Diasumsikan setiap pejabat struktural sampai eselon III memperoleh mobil dinas.

Selanjutnya, jumlah kendaraan operasional diasumsikan sekitar 200 persen dari total kendaraan

dinas pejabat struktural di atas, termasuk jumlah kendaraan seluruh BUMN dan BUMD. Jumlah tersebut

lalu dikaitkan dengan porsi PNS di Jawa Bali untuk mendapatkan angka jumlah mobil dinas di wilayah

ini. Dari hasil perhitungan tersebut diperkirakan jumlah mobil dinas di Jawa Bali sekitar 100 ribu unit

(lihat Tabel 4.2). Dengan demikian, porsi kendaraan dinas di Jawa Bali sekitar 1,6 persen dari total mobil

di Jawa-Bali atau satu persen terhadap total mobil di Indonesia.

Tabel 4.2. Perkiraan Jumlah Kendaraan Dinas Di Jawa Bali

Jumlah Jabatan Struktural di Indonesia Eselon I 662

Eselon II 13,194

Eselon III 61,810

Jumlah 75,666

Asumsi: Kendaraan Operasional8 200% 151,332

Total 226,998

Rasio PNS Jawa Bali Terha- dap Total PNS 0.449

Perkiraan Jumlah Mobil 100,104

Dinas Sumber: Hasil perhitungan penulis

Di sisi lain, guna mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, pemerintah melalui Tim Nasional

Penghematan BBM Bersubsidi menyediakan seratus ribu stiker “Mobil Ini Tidak Menggunakan BBM

Bersubsidi”. Kebijakan yang dilaksanakan mulai 1 Juni 2012 di wilayah Jabodetabek tersebut selanjutnya

diperluas hingga Sulawesi sejak 1 Juli 2013.

Tabel 4.3. Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi

BBM Bersubsidi

Konsumen Pengguna Wilayah Waktu Mulai

Bensin (Gasoline) RON 88

Transportasi Jalan: Semua Kendaraan dinas kecuali ambulance, mobil jenazah, pemadam kebakaran dan pengangkut sampah.

Jabodetabek 1 Juni 2012 Seluruh provinsi di Jawa dan provinsi Bali (non-Jabodetabek)

1 Agustus 2012

Seluruh provinsi di Sumatera dan Kalimantan

1 Februari 2013

8 Termasuk pada BUMN dan BUMD 9 Berdasarkan data BPS, jumlah PNS Jawa Bali sebanyak 1.923.956 orang sedangkan total PNS di Indonesia 4.362.805 orang

Page 46: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)

221

Seluruh provinsi di Sulawesi

1 Juli 2013

Minyak Solar (Gas Oil)

Transportasi Jalan: Semua Kendaraan dinas kecuali ambulance, mobil jenazah, pemadam kebakaran dan pengangkut sampah.

Jabodetabek 1 Februari 2013 Seluruh provinsi di Jawa dan provinsi Bali (non-Jabodetabek)

1 Maret 2013

Transportasi Jalan: Mobil barang dengan lebih dari 4 roda untuk kegiatan perkebunan dan pertambangan kecuali perkebunan rakyat skala usaha kurang dari 25 hektar, dan pertambangan rakyat dan komoditas batuan,

1 September 2012

Transportasi Jalan: Mobil barang dengan lebih dari 4 roda untuk kegiatan kehutanan, kecuali hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat

1 Maret 2013

Transportasi Laut: Kapal barang nonperintis dan nonpelayaran rakyat

1 Februari 2013

Sumber: Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2013, diolah

Keterangan: 1. Pengertian pembatasan konsumsi di atas diartikan sebagai pelarangan atas konsumsi BBM bersubsidi 2. Kendaraan Dinas yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah pusat/daerah dan BUMN/BUMD 3. Kegiatan pertambangan adalah kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara serta kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.

Berdasarkan uraian di atas, penulis akan membahas efektivitas atas implementasi kebijakan

pembatasan konsumsi tersebut terutama pada jumlah konsumsi BBM bersubsidi dan nonsubsidi.

Efektivitas kebijakan dilihat dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah kebijakan

pembatasan konsumsi diterapkan apakah jumlah konsumsi BBM subsidi dan nonsubsidi terjadi

perbedaan signifikan atau tidak. Alat analisis yang digunakan adalah paired t test. Apabila hasil test

menunjukkan bahwa terjadi perbedaan signifikan atas penjualan BBM bersubsidi dan sebaliknya, tidak

terjadi perbedaan signifikan atas penjualan BBM non subsidi maka kebijakan pembatasan dinilai tidak

efektif. Analisis kualitatif digunakan untuk mendukung hasil analisis kuantitatif terutama terkait dengan

respon pengguna kendaraan dinas untuk mengkonsumsi BBM non subsidi. Indikasi tersebut tampak

pada (1) apakah stiker “Mobil Ini Tidak Menggunakan BBM Bersubsidi” masih tertempel pada mobil

dinas atau tidak, dan (2) apakah terjadi hitamisasi pada plat merah mobil dinas atau tidak. Data dan

penjelasan respon kebijakan diperoleh dari wawancara dengan beberapa pengguna kendaraan dinas

(eselon III) dari instansi yang berbeda di lingkungan Kementerian Keuangan.

4.3. Jumlah Konsumsi BBM Bersubsidi dan Non Subsidi

Sebagaimana dijelaskan di atas, kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi mulai

dilaksanakan sejak 1 Juni 2012. Kondisi penjualan BBM bersubsidi dan nonsubsidi (pertamax/pertamax

plus) sebelum dan sesudah kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi (disajikan dalam bentuk

angka indeks)10 adalah sebagai berikut:

10 Penulis tidak memperoleh izin untuk menyajikan data penjualan yang original.

Page 47: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228

222

Tabel 4.4. Penjualan BBM Non PSO di Jawa Bali, Okt 2010 s.d. Jan 2014

Sumber: Hitungan penulis Keterangan: Nilai penjualan bulan Januari 2010 = 100 (nilai dasar)

Dengan menggunakan paired t test, uji ini membandingkan kondisi sebelum dan sesudah

kebijakan diterapkan apakah ada perbedaan yang signifikan atas penjualan kedua komoditas tersebut.

Formula yang digunakan adalah:

Difference = var sesudah – var sebelum

rata-rata d = εd / n

Standar Deviasi = SQRT ( ε (d – rata-rata d)^2/(n-1))

Standard Error = SD / SQRT(n)

T Hitung = rata-rata d / SE

T Tabel = (df, α)

BBM PSO:

H0 = tidak ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM PSO antara kondisi sebelum dan

sesudah kebijakan diterapkan.

H1 = ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM PSO antara kondisi sebelum dan

sesudah kebijakan diterapkan.

BBM Non PSO:

H0 = tidak ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM non PSO antara kondisi sebelum

dan sesudah kebijakan diterapkan

BBM Non PSO (Kilo Liter)

Oct 10 sd Mei 12 Jun 12 sd Jan 14

Before After d

Bulan ke-1 189,8470 95,6720 (94,1750)

Bulan ke-2 176,3188 110,6523 (65,6665)

Bulan ke-3 189,2731 121,5130 (67,7600)

Bulan ke-4 150,0451 107,4513 (42,5938)

Bulan ke-5 131,1706 105,5995 (25,5711)

Bulan ke-6 124,4170 119,3617 (5,0553)

Bulan ke-7 115,8215 118,8566 3,0352

Bulan ke-8 94,0653 107,0527 12,9873

Bulan ke-9 101,2052 99,7420 (1,4631)

Bulan ke-10 116,5444 107,6716 (8,8728)

Bulan ke-11 110,3354 111,2539 0,9185

Bulan ke-12 105,0375 122,1270 17,0895

Bulan ke-13 108,6619 122,6494 13,9875

Bulan ke-14 104,1958 150,4535 46,2578

Bulan ke-15 108,1073 162,2031 54,0957

Bulan ke-16 106,6615 140,0904 33,4289

Bulan ke-17 106,7160 144,7991 38,0831

Bulan ke-18 99,7767 140,4692 40,6925

Bulan ke-19 75,8865 141,8630 65,9765

Bulan ke-20 90,9658 121,3942 30,4284

rata-rata 120,2526 122,5438 2,2912

SD 43,211

SE 9,662

t hitung 0,237

t tabel 2,093

Page 48: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)

223

H1 = ada perbedaan signifikan pada penjualan BBM non PSO antara kondisi sebelum dan

sesudah kebijakan diterapkan Tabel 4.5. Penjualan BBM PSO di Jawa Bali, Okt 2010 s.d. Jan 2014

Sumber: Hitungan penulis Keterangan: Nilai penjualan bulan Januari 2010 = 100 (nilai dasar)

Dari perhitungan di atas, diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Untuk penjualan BBM PSO (bersubsidi), t hitung > t tabel maka H0 ditolak atau H1 diterima.

Kesimpulannya: ada perbedaan signifikan penjualan BBM PSO antara kondisi sebelum dan sesudah

kebijakan diterapkan.

2. Untuk penjualan BBM non PSO, t hitung < t tabel maka H0 diterima atau H1 ditolak. Kesimpulannya:

tidak ada perbedaan signifikan penjualan BBM non PSO antara kondisi sebelum dan sesudah

kebijakan diterapkan.

Dari kedua kondisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pembatasan konsumsi BBM

bersubsidi tidak efektif. Hasil kesimpulan tersebut juga didukung dengan beberapa data deskriptif

berikut ini.

Page 49: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228

224

Sumber: Laporan Tahunan PT Pertamina 2011 dan 2013

Gambar 4.6. Penjualan BBM PSO dan BBM Non PSO (Juta KL).

Berdasarkan Gambar 4.6, penjualan BBM non subsidi tahun 2013 (19,12 juta KL) lebih rendah

daripada tahun 2012 (19,92 juta KL), sedangkan penjualan BBM bersubsidi tampak meningkat.11 Terkait

dengan BBM nonsubsidi, penjualan BBM non subsidi ke sektor ritel menurun karena adanya disparitas

harga yang tinggi sehingga konsumen beralih ke BBM bersubsidi. Dari tren perkembangan konsumsi

BBM bersubsidi yang meningkat dan BBM nonsubsidi yang menurun, dapat disimpulkan bahwa

kebijakan pembatasan konsumsi tidak efektif.

Selain itu, berdasarkan wawancara dengan beberapa pengguna mobil dinas di salah satu

kementerian yang berkantor pusat di Jakarta, tampaknya penerapan atas kebijakan pembatasan

konsumsi BBM bersubsidi ini tidak efektif. Seperti diketahui, semua biaya operasional dan perawatan

kendaraan dinas ditanggung oleh anggaran pemerintah. Pedoman Standar Biaya Masukan Tahun

Anggaran 2013 dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2012 tentang Standar Biaya Tahun

2013 yang diterbitkan Kementerian Keuangan setiap tahun menjelaskan bahwa biaya pemeliharaan dan

operasional kendaraan dinas digunakan untuk mempertahankan kendaraan dinas agar tetap dalam

kondisi normal dan siap pakai sesuai dengan peruntukannya termasuk biaya bahan bakar. Pada Tabel

4.6 diilustrasikan bahwa standar biaya kendaraan dinas untuk masing-masing pejabat per wilayah

relatif berbeda.

Walaupun setiap kendaraan dinas memiliki alokasi anggaran operasional termasuk biaya bahan

bakar, tetapi berdasarkan kaidah let the manager manages, para pengelola keuangan negara mempunyai

fleksibilitas dalam mengelola anggarannya. Dengan demikian, perlakuan pengelola anggaran di setiap

instansi pemerintah pusat kepada pengguna kendaraan dinas untuk memberikan biaya bahan bakar bisa

berbeda-beda. Ada pengguna kendaraan dinas yang memperoleh uang (responden_1) atau voucher

11 Karena ketidaktersediaan data penjualan pertamax atau bahan bakar nonsubsidi untuk ritel selama tahun 2013 maka

perkembangan data penjualan pertamax diproksi dari penjualan BBM nonsubsidi pada tahun yang sama. Berdasarkan

Laporan Tahunan PT Pertamina (Persero) Tahun 2013 hlm 125-126, BBM nonsubsidi meliputi premium, minyak tanah,

minyak solar, minyak diesel, minyak bakar, avgas, avtur, bio pertamax, pertamax, bio solar, pertamax plus, pertamina dex,

dan pertamax racing. Produk premium dan minyak solar dijual untuk industri; minyak tanah dijual untuk industri dan ritel;

minyak disel dan minyak bakar untuk industri dan marine; avtur dan avgas untuk aviasi; pertamax, pertamax plus, pertamax

racing, bio pertamax dan lainnya untuk ritel. Penjualan BBM nonsubsidi untuk sektor industri (termasuk industri

ketenagalistrikan) menurun karena adanya konversi BBM nonsubsidi ke gas atau batubara (dengan adanya proyek kelistrikan

10.000 MW). Untuk penjualan avtur dan avgas cenderung meningkat karena meningkatnya frekuensi penerbangan domestik

dan internasional.

17.5

20.0

22.5

25.0

27.5

30.0

32.5

35.0

37.5

40.0

42.5

45.0

47.5

50.0

2010 2011 2012 2013

BBM PSO BBM Non PSO

Page 50: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)

225

pertamax/dex (responden_2) dalam jumlah tertentu setiap bulan tanpa memperhitungkan realisasi

pembelian bahan bakar. Namun, ada pengguna kendaraan dinas yang tidak mendapatkan biaya bahan

bakar dalam bentuk apa pun (responden_3).12 Uang atau voucher yang diterima oleh pengguna

kendaraan dinas pada kenyataannya tidak cukup untuk kebutuhan biaya bahan bakar per bulannya.

Dengan demikian, kekurangan biaya bahan bakar untuk operasional kendaraan dinas menjadi tanggung

jawab para pengguna kendaraan dinas. Tabel 4.6. Standar Biaya Masukan Kendaraan Dinas TA 2013

Sumber: Kementerian Keuangan, 2012, diolah

Kondisi ini memunculkan semacam dilema, di satu sisi masih memerlukan kendaraan dinas,

tetapi di sisi lain biaya bahan bakar yang diterima tidak mencukupi untuk operasional. Ditambah lagi,

pada saat kebijakan pembatasan konsumsi diberlakukan mulai 1 Juni 2012, disparitas harga BBM

bersubsidi dan non subsidi sangat tinggi. Sebagai gambaran, berdasarkan Gambar 4.4 dan Gambar 4.7,

pada tanggal 1 Juni 2012 disparitas harga per liter antara bensin premium (Rp4.500) dan pertamax

(Rp9.250) sekitar Rp4.750 atau disparitas harga rata-rata tahun 2012 berada pada level Rp4.788. Tahun

2013, disparitas harga rata-rata per liter masih relatif tinggi (Rp4.115).

Sumber: Hasil Hitungan Penulis, 2014

Gambar 4.7. Rata-Rata Disparitas Harga Premium dan Pertamax di Jakarta.

12 Hasil wawancara kepada beberapa pengguna kendaraan dinas instansi pemerintah pusat. Dari hasil wawancara juga diperoleh

informasi bahwa ada pejabat eselon III yang tidak memperoleh jatah kendaraan dinas.

2,962.5

1,534.4

2,028.1

3,922.5

4,788.5

4,114.6

-

1,000.0

2,000.0

3,000.0

4,000.0

5,000.0

6,000.0

2008 2009 2010 2011 2012 2013

Jabatan / Wilayah Biaya (Rp/unit/tahun)

Pejabat Negara 38.880.000,- Pejabat Eselon I 36.090.000,- Pejabat Eselon II: DKI 29.190,000,- DIY 29.340.000,- Jawa Timur 29.340.000,- Operasional: DKI 25.300.000,- DIY 25.450.000,- Jawa Timur 25.450.000,-

Page 51: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228

226

Tambahan biaya pembelian BBM seperti dijelaskan di atas berpotensi menambah beban

pengeluaran bagi pengguna kendaraan dinas. Oleh karena itu, untuk menyiasati tambahan beban

pengeluaran tersebut, cara yang dilakukan oleh responden adalah (1) mobil dinas tidak dioperasikan

atau diparkir di kantor atau di rumah, dan (2) mobil dinas tetap dioperasikan tetapi dengan

membeli/mengkonsumsi BBM bersubsidi. Selanjutnya, agar petugas SPBU memperbolehkan para

pengguna kendaraan dinas mengkonsumsi BBM bersubsidi maka cara yang dilakukan adalah (1)

melepaskan/tidak memasang stiker larangan mengkonsumsi BBM bersubsidi dari/pada kaca mobil

dinas dan (2) membuat/menempelkan plat nomor polisi berwarna hitam pada kendaraan dinasnya.

Para pengguna mobil dinas melakukan hal itu karena lemahnya mekanisme monitoring dari instansi

berwenang. Kemudian, dengan lemahnya mekanisme monitoring terhadap implementasi kebijakan

pembatasan konsumsi menyebabkan pengguna kendaraan dinas tidak mendapatkan sanksi

administratif apa pun apabila mobil dinas yang dipakainya masih diisi dengan BBM bersubsidi.

Pelepasan stiker ini diduga dilakukan secara masif karena untuk mendukung kebijakan pembatasan

konsumsi BBM bersubsidi ini, pemerintah cq Kementerian ESDM (2012) telah menyediakan seratus ribu

stiker untuk Jawa dan Bali. Pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa tidak semua kendaraan

dinas menggunakan plat merah atau jarang ditemui stiker “Mobil Ini Tidak Menggunakan BBM

Bersubsidi” masih tertempel pada kendaraan dinas sehingga kondisi ini dapat mempersulit petugas

SPBU untuk melarang penggunaan BBM bersubsidi pada kendaraan dinas.

Lemahnya mekanisme monitoring terhadap penerapan kebijakan pembatasan konsumsi dan tidak

adanya sanksi (berupa denda atau bentuk lainnya) diduga juga menyebabkan pengguna mobil barang di

daerah perkebunan dan pertambangan serta kapal barang non perintis atau pelayaran rakyat masih

dengan leluasa mengkonsumsi BBM bersubsidi. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa

kebijakan pembatasan konsumsi dilihat dari indikator respon kebijakan dinilai tidak efektif. V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kebijakan pembatasan

konsumsi BBM bersubsidi selama ini tidak efektif. Ketidakefektifan ini diukur dengan menggunakan

paired t test untuk mengetahui apakah jumlah konsumsi BBM bersubsidi dan nonsubsidi terdapat

perbedaan signifikan atau tidak sebelum dan sesudah diterapkan kebijakan pembatasan konsumsi BBM

bersubsidi. Dari hasil uji t test ditemukan bahwa penjualan BBM bersubsidi terdapat perbedaan

signifikan antara sebelum dan sesudah kebijakan diterapkan. Sebaliknya, penjualan BBM nonsubsidi

tidak terdapat perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah kebijakan diterapkan. Indikasi di

lapangan juga menunjukkan bahwa pengguna kendaraan dinas di tingkat pusat masih mengkonsumsi

BBM bersubsidi karena (1) sebagian atau seluruh biaya bahan bakar harus ditanggung pengguna

kendaraan dinas walaupun aturan pedoman standar biaya memungkinkan tersedianya alokasi biaya

bahan bakar untuk setiap kendaraan dinas, (2) adanya disparitas harga yang tinggi pada saat kebijakan

pembatasan konsumsi diberlakukan, dan (3) lemahnya mekanisme monitoring atas penerapan

kebijakan pembatasan konsumsi dari instansi berwenang.

Oleh karena itu, apabila pemerintah tetap akan melanjutkan kebijakan pembatasan konsumsi BBM

bersubsidi, maka diusulkan beberapa perbaikan sebagai berikut: (1) biaya BBM nonsubsidi bagi setiap

kendaraan dinas harus disediakan secara memadai dan terhadap alokasi biaya BBM nonsubsidi ini

dipisahkan dari ruang fleksibilitas pengelola anggaran, (2) dengan adanya pemenuhan alokasi biaya

BBM tersebut secara memadai, maka untuk mengoptimalkan nilai manfaat kendaraan dinas, seluruh

kendaraan dinas operasional (termasuk kendaraan dinas pejabat eselon III) perlu dikonversi menjadi

kendaraan antar/jemput pegawai, (3) perlu memperkuat sistem monitoring atas penerapan kebijakan

Page 52: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Efektivitas Kebijakan Pembatasan ... (Praptono Djunedi)

227

pembatasan konsumsi, dan (4) perlu ada sanksi (administrasi atau bentuk lainnya) yang tegas bagi yang

melanggar kebijakan pembatasan konsumsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, G. (2010). Konsumsi Energi Indonesia: Seberapa Boros?. Jurnal Energi, Juli – September 2010.

Badan Kebijakan Fiskal. (2012). Kajian Pengembangan Model Proyeksi Volume BBM Bersubsidi Berdasarkan Konsumen Pengguna dan Wilayah (Kerjasama Riset BKF – LPEM UI).

Badan Pusat Statistik. (2014). Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi 44 Januari 2014.

_________________. (2013). Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi 32 Januari 2013.

_________________. (2014). Statistik Indonesia 2014.

_________________. (2013). Statistik Indonesia 2013.

Badan Pengatur Hilir Migas. (2010). Data Kendaraan dan Konsumsi BBM.

Elinur et al. (2010). Perkembangan Konsumsi dan Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia. Indonesian Journal of Agricultural Economics, Volume 2, Nomor 1, Desember 2010.

Handajani, M. (2012). Nonlinear Model Sistem Transportasi dan Pengendalian Konsumsi BBM Kota Sedang. Prosiding Seminar Nasional Jembatan Bentang Panjang Teknik Sipil Universitas Semarang, 27 Juni 2012.

Handoko, R dan Pandu P. (2005). Evaluasi Kebijakan Subsidi Non BBM. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, Nomor 4, Desember 2005.

Ikhsan, M. et al. (2005). Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 Terhadap Kemiskinan. LPEM Working Paper 10. Jakarta: Universitas Indonesia.

Layli, F. (2012). Dampak Kebijakan Pembatasn Konsumsi BBM Premium di Sektor Angkutan Darat Terhadap Perekonomian Indonesia (tesis). Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Jakarta: Universitas Indonesia.

Legowo, E. (2012). Kebijakan Pengaturan BBM Bersubsidi. 15 Maret 2012, Workshop IIEE, GSI dan IISD “Pengendalian BBM Bersubsidi: Persiapan Implementasi dan Mitigasi Dampak Negatifnya. dalam http://www.iisd.org/gsi/sites/default/files/ Evita%20Legowo %20MIGAS.pdf

Levin, R dan Rubin, D. 1998. Statistics for Management. Seventh edition. Part A. Prentice Hall, Inc. upper Saddle River, New Jersey.

Nugroho, H. Apakah Persoalannya Pada Subsidi BBM? Tinjauan Terhadap Masalah Subsidi BBM, Ketergantungan Pada Minyak Bumi, Manajemen Energi Nasional, dan Pembangunan Infrastruktur Energi.

Oktaviani, R. dan Sahara. (2013). Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Kinerja Ekonomi Makro, Keragaan Ekonomi Sektoral dan Rumah Tangga di Indonesia (Suatu Pendekatan Model Ekonomi Keseimbangan Umum Recursive Dynamic). Jurnal Manajemen Agribisnis Vol.1 No.3 April 2005:35-52. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Shana. (2013). The Petroenergy Information Network. Smart Fuel Distribution: The Biggest IT Project in Iran. 23 Juli 2013 dalam http://www.shana.ir/en/newsagency/206107/Smart-Fuel-Distribution-the-biggest-IT-project-in-Iran

Shenoy, B.V. (2010). Lessons Learned from Attempts toReform India’s Kerosene Subsidy. Winnipeg, Manitoba: International Institute for Sustainable Development.

International Institute for Sustainable Development. (2013). A Citizens’ Guide To Energy Subsidies in Malaysia.

Whitley, S. (2013). Time to Change The Game: Fossil Fuel Subsidies and Climate. London: Overseas Development Institute.

Page 53: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 209 - 228

228

Yemstov, R. (2010). Developing Effective Reform Strategies: Safety Nets To Protect Poor and Vulnerable Groups from The Negative Impacts of Reform, Joint Conference, Geneva : World Trade Organization

http://www.statstutor.ac.uk/resources/uploaded/paired-t-test.pdf

Page 54: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan
Page 55: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kaj. Eko. & Keu.

Vol. 18 No. 3 Desember

2014 Halaman : 181 - 254

Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia

Performa Belanja Pemerintah Daerah, Investasi Privat dan Kesempatan Kerja di Indonesia

Efektivitas Kebijakan Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi di Jawa-Bali

Income Inequality : Education as The Panacea

Dampak Bea Keluar terhadap Ekspor CPO Indonesia

No. Akreditasi : 467/AU3/P2MI-LIPI/08/2012

Vol 18 No 3, Desember 2014

[

T

y

p

e

a

q

u

o

t

e

f

r

o

m

t

h

Page 56: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

229

INCOME INEQUALITY: EDUCATION AS THE PANACEA

Kesenjangan Pendapatan: Pendidikan Sebagai Solusi

Nugraheni Kusumaningsih Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan

Jln. Dr. Wahidin No. 1, Jakarta Pusat 10710, DKI Jakarta, Indonesia Email : [email protected]

Naskah diterima: 7 Oktober 2014 Naskah direvisi: 31 Oktober 2014

Disetujui diterbitkan: 30 November 2014

ABSTRAK

Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan anggaran sebesar 20 persen dari total Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Oleh sebab itu, sangatlah penting untuk

mengetahui apakah anggaran yang dikeluarkan untuk pendidikan memberikan hasil yang besar bagi tiap

individu. Penelitian ini menyelidiki tingkat hasil pendidikan di Indonesia, apakah ada perbedaan antara

tingkat hasil bagi perempuan dan laki-laki, dan apakah pendidikan dapat membantu mngecilkan jurang

perbedaan penghasilan yang makin lebar, sebuah masalah pelik yang dihadapi terutamanya oleh negara-

negara berkembang. Dengan menggunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS), data longitudinal dari

rumah-rumah tangga di Indonesia, penelitian ini menemukan bahwa, tingkat hasil pendidikan di Indonesia

rata-rata adalah 7,5 persen. Penemuan yang menarik bahwa tingkat hasil pendidikan perempuan tidak

berbeda dengan laki-laki, mengingat umumnya tingkat hasil pendidikan perempuan lebih besar dari laki-

laki, walaupun perbedaan ini cenderung mengecil seiring waktu. Selain itu didapatkan bahwa pendidikan

tidak memperlebar kesenjangan pendapatan, walaupun tidak dapat dikatakan bahwa pendidikan dapat

mempersempit kesenjangan pendapatan kecuali untuk perempuan, dalam kasus perempuan, pendidikan

memang mempersempit kesenjangan pendapatan. Penemuan ini menunjukkan bahwa pemerintah harus

memberikan perhatian lebih dalam menyediakan pendidikan bagi perempuan sebagai cara mempersempit

kesenjangan pendapatan.

Kata Kunci: perempuan, kesenjangan pendapatan, tingkat hasil pendidikan

ABSTRACT

The Indonesian government has already allocated 20 percent from its budget every year for

education. Therefore, it’s profound to know whether the budget spent on education is giving significant

return. The paper aims to examine the rate of return to education, whether there’s a disparity between

rate of return to education between females and males, and whether education can help tighten the gap of

income inequality which is a crucial issue these days facing emerging countries. This paper is using Mincer

Equation as the model and Indonesian Family Life Survey (IFLS), a panel data from Indonesian households,

finding the rate of return to education to be 7.5 percent. Interesting finding coming from return to

education for females to be not different from males, given that return to education for females usually

higher than males, though disparity tends to get smaller over time. In addition, it is found that education is

not widening the gap of inequality though we can’t say whether income equalizing process through

education really occurs except for female case, it is income equalizing. This finding is crucial showing that

Page 57: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 229 - 240

230

the government should pay more focus in educating females as a means to tighten the income inequality

gap.

Keywords: female, income inequality, return to education

JEL Classification: E24, I24

I. INTRODUCTION

According to the OECD (2011), emerging countries have levels of income inequality significantly

higher than the OECD average. As an emerging economy, Indonesia faces income inequality issues, which

is highlighted by a sharp increase in wage inequality between 2001 and 2007. Sakellarious (2009) found

that workers at the bottom 20 percent of the earnings distribution experienced a decline in earnings

while workers at the top of the earnings distribution enjoyed a significant increase in earnings. Those at

the top of earnings distribution are usually highly educated in contrast to the ones at the bottom that are

less educated. Education tends to be seen as the social escalator for achieving increased quality of life.

While Martins and Pereira (2004) said that schooling is also portrayed as the best tool to erode wage

inequality.

This paper aims to examine the rate of return to education in Indonesia and observe whether

education can help tightening the gap of inequality in Indonesia. In addition, this paper will observe

whether there’s a disparity in rate of education between females and males. These studies are important

since many emerging economies devote significant amount of their budget for educational purposes.

Indonesia spends at a minimum twenty percent of its budget on education alone. The Indonesian

government focuses on primary education, which covers elementary and junior high school level, and

has a goal that that every Indonesia citizens should at least graduate from junior high school.

II. LITERATURE REVIEW

Given the importance of education in easing severity of wage inequality, it does not come as a

surprise that there are numerous studies studying returns to education. Blundell et.al (2001) defined

return to education as followed:

“There are at least three distinct ways of defining the ‘returns to education’: (a) the private

return, (b) the social return and (c) the labour productivity return. The first of these is made up of

the costs and benefits to the individual and is clearly net of any transfers from the state and any

taxes paid. The second definition highlights any externalities or spill-over effects and includes

transfers and taxes. The final definition simply relates to the gross increase in labour productivity

(or growth). A key component of each of these measures is the impact of education on earnings.

This is perhaps the aspect of returns to education measurement where statistical methods have

been most developed and most fruitfully deployed ………”

Psacharopoulos (1994) used Mincer-type models in developing countries to estimate returns to

education and found an average return rate of 8% in Asian countries, excluding China, which averaged

11%. Psacharopoulos conducted the first comprehensive study on estimating private rates of return to

education in developing countries. He found that the private returns to education are highest at the

primary level and it will decline by the level of schooling and country’s per capita income. However,

other experts have challenged this notion that primary education offers the highest rates of return.

Duraisamy (2000) uses Indian households to shows that returns to education are positively related to

the level of education until the secondary level and it is negatively related beyond secondary level.

Appleton (2000) uses Uganda Household Data and finds that college graduates receive a much higher

Page 58: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Income Inequality : Education ... (Nugraheni Kusumaningsih)

231

rate of annual rate of return, about 18 percent, compared to non-college education level that yields

around 7 to 8 percent.

Siphambe (2009) using Mincerian Earnings Function found that rates of return in rise by level of

education, the empirical fitness of the human capital model is quite robust, education is not income

equalizing, women are paid less than men despite being on average more highly educated than men.

Chirwa and Matita (2009) found that on average, an additional year of schooling increases life time

earnings by 10 percent. Returns from various levels of education increase as the levels of education

increase from 5 percent from primary level to 65 percent from university education. Farooq (2011)

examined returns to primary and middle standard education of both the male and female workers were

lower as compared to higher levels of education in Pakistan.

There are some studies focusing on returns to education in Indonesia. Newhouse and Suryadarma

(2011) use the Indonesia Family Life Survey (IFLS) data to estimate the effect of senior secondary

education on incomes. Senior secondary is schooling that emphasizes academic performance and

students are expected to continue to college in contrast to vocational secondary schools, which place

more emphasis on technical skills so that the students are ready to enter the labor market upon the

completion of the study. Females get higher rates of return than males from vocational secondary

schooling. They estimate that individuals who complete senior secondary schooling receive about 40

percent higher wages than those who do not graduate from senior secondary school. Another study

conducted by Duflo (2001), analyzes the impact of 61,000 new schools built between 1973 and 1978.

She finds the economic returns to education ranging from 6.8 to 10.6 percent. Carneiro et.al (2009)

found that the return to upper secondary schooling varies widely across individuals: it can be as high as

50 percent per year of schooling for those very likely to enroll in upper secondary schooling, or as low as

10 percent for those very unlikely to do so. Byron and Takahashi (1989) estimate a 15–17% rate of

return per year of schooling from 1981 data for urban Java.

Psacharopoulus (1994) stated that educating female is marginally more profitable than educating

male. Another finding by Chirwa and Matita9 showed that female workers particularly at the higher level

of education tend to have higher rates of return to education than male workers. Dougherty (2003) using

national Longitudinal Survey of Youth (NLSY) observed that return to education for female is greater by

two percentage points compared to males in United States. He reasoned that female samples in NLSY

perform better academically and work in the sectors that relatively value education highly. Farouq10

analyzed return to education for Males and Females worker in Pakistan by province, he found that

female worker earned higher rates of returns in all the provinces indicating better prospects for female

workers. He mentioned that field of study such as medical, engineering, agriculture and computer

science give higher return to females rather than to males. Tansel (2010) found that the returns to

education estimates for women in Turkey are higher than that of men throughout the period considered

by about two to five percentage points. In addition, returns to education declined significantly from 1994

to the 2002. Returns to education for men did not change much throughout the period 2002-2005 while

that for women declined by five percent from 2002 to 2003 and one percent from 2004 to 2005. Beudry

and Lewis (2012) found that over the 1980s and 1990s the US wage differentials between men and

women (with similar observable characteristics) declined significantly at the same time, the returns to

education increased.

III. METHODOLOGY

The data is obtained from two waves of Indonesian Family Life Survey (IFLS). The Indonesian

Family Life Survey (IFLS) is an on-going longitudinal survey in Indonesia. The sample which is collected

from 13 out of 27 provinces is representative of about 83% of the Indonesian population since the 13

Page 59: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 229 - 240

232

provinces have total population of about 83% of total population in Indonesia. The total individuals

surveyed are about 30,000 individuals. The first wave of the IFLS (IFLS1) was conducted by RAND in

1993/94 in collaboration with Lembaga Demografi, University of Indonesia. IFLS2 and IFLS2+ were

conducted in 1997 and 1998, respectively, by RAND in collaboration with UCLA and Lembaga Demografi,

University of Indonesia. IFLS2+ covered a 25% sub-sample of the IFLS households. IFLS3, which was

fielded in 2000 and covered the full sample, was conducted by RAND in collaboration with the

Population Research center, University of Gadjah Mada. The fourth wave of the IFLS (IFLS4), fielded in

2007/2008 covering the full sample, was conducted by RAND, the center for Population and Policy

Studies (CPPS) of the University of Gadjah Mada and Survey METRE. The data can be accessed publicly at

www.rand.org. In addition, IFLS has been widely used in numerous researches due to its credibility. The

third and fourth waves which are from 2000 and 2007 are used in this paper since they are the most

recent and more complete.

There are 5714 observations of salaried workers are examined in this paper. 1918 of them are

female workers and the remaining 3796 are male workers. In year 2000, 707 observations are working

in public sector while 2150 are working in private sector. There’s an increase in number of observations

who work in public sector becoming 796 people from only 707 in the previous wave. The number of

observations who work in private sector has decreased in the second wave of IFLS. There’s an increase

in number of observations who work in large and medium size over time and the decrease in number of

observations who work in small firms. Between 2000 and 2007, there’s not much different in the

proportion of both male and female who work in either public or private sector.

There are two main methods for estimating private rates of return to education: the elaborate and

the Mincer wage function methods6. The first method requires the usage of cost of education. This is

difficult to calculate and the reasons why the Mincer approach more widely used. Jacob Mincer

introduced the Mincer approach through his book Schooling, Experience, and Earnings in 1974 Mincer

developed a model that use natural logarithm of earnings as a function of years of education and years of

potential labor market experience (age minus year of schooling minus six). The basic Mincer equation is:

lnYᵢ = α + β₁Sᵢ + γ₁Expᵢ+ γ₂ Expᵢ² + δXᵢ + uᵢ

Y is a measure of income, earnings, or wage rates. S is a measure of schooling. Expᵢ is total actual

experience, which is estimated as experience=age-years of schooling-6, and considered to be a measure

of years of potential experience. Xᵢ represents control variables, and I am use gender, location and

marital status.

The model used in this paper is as following:

Logsalaryᵢᵼ = αᵢᵼ + λᵢᵼ + β₁years_of_schooling + β₂exper + β₃exper2 + β₄tenure + β₅public + β₆large +

β₇medium + βᵢXᵢ+ y07 + εᵢᵼ

Fixed effect regression is employed in this paper. Started with OLS regression, further coefficients

are estimated using random effect as a comparison. The Breusch_Pagan Lagrange Multiplier (LM) test

result showed that random effect results are preferred compared to OLS regressions. Haussman test is

later performed to seek whether fixed effect estimations are more efficient compare to random effect

estimation. The test showed that fixed effect regression give more efficient estimation, thus going to be

elaborated in this paper.

According to Wooldridge, fixed effects model contain observation specific variables, αᵢᵼ, that

capture all unobserved, time constant factors that affect Logsalaryᵢᵼ. The error εᵢᵼ is called idiosyncratic

error or time varying error and depicts the unobserved factors that change overtime and affect the

dependent variable. The strength of the fixed effect model is that it allows arbitrary correlation between

αᵢᵼ and explanatory variables in any time periods such that it can avoid the omitted variable bias case.

Page 60: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Income Inequality : Education ... (Nugraheni Kusumaningsih)

233

This paper uses wage equation that’s very risky in relation to endogeneity issue since salary isn’t just a

representation of the level of education but also the representation of the ability and motivation of the

person that can’t be captured just by how long the person is in school. The person who can achieve a

higher educational level might have a higher IQ, more highly motivated and more likely coming from

educated family. Any explanatory variables that are constant overtime will be swept away and in my

fixed effect regression it would be gender (represented by variable “female”).

Further a quantile regression is applied to observe the return to education across the earnings

distribution to seek which quantile of the distributions who gets most of the return to education. If the

lower quantiles whom are characterized by having low salaries and low skill that benefit the most from

education then the notion that education help reducing inequality is valid. But if the returns to education

are mostly enjoyed by those at the top of the earnings distribution whom are characterized by having

high salaries and high skill then it is proven otherwise. Quantile regression is a statistical procedure

intended to estimate conditional quantile functions and a full range of other conditional quantile by

minimizing asymmetrically weighted absolute residuals in analogy with classical linear regression

methods, based on minimizing sums of squared residuals.

In order to seek whether there’s a disparity between the return to education between male and

female, the gender dummy is interacted with the years of schooling variable. If this variable is

statistically significant then the null that there’s a disparity in return to education between male and

female is proven.

Table 3.1. Variable Descriptions

Source : Author’s calculation using Stata

IV. ANALYSIS AND DISCUSSION

In Table 4.1, OLS, Random Effect and Fixed Effect regression results are compared. Random effect

regression is more preferred than OLS based on Breusch-Pagan Lagrange Multiplier (LM) test. Further

using Hausman test, fixed effect regression is more preferred than random effect. The only variable that

falls out due to the fixed effect regression is the variable female that represents gender since it does not

change overtime. The fixed effects will also capture unobservable characteristics of individuals (e.g.

work ethic) that are correlated with wages.

The return to education is far less compared to OLS regression results. It’s only 7.5 percent

compared to 9.9 percent in the OLS regressions based on year and Random Effect regression. All of these

logsalary Log of hourly wage indexed to inflation years_of_schooling Years spent on school exper Years of experience (Age-years of schooling-6) exper2 Exper square tenure Years spent on the current job married =1 if married, 0 otherwise rural =1 if living in rural area, 0 otherwise female =1 if female, 0 otherwise yosfem Return to education for female compared to male public =1 if working in public sector, 0 otherwise large =1 if working in a large firms (>100 employees), 0 otherwise medium =1 if working in a medium size firms (20-99 employees), 0 otherwise small =1 if working in a small firms (<20 employees), 0 otherwise Industry_n types of industries dummies y00 =1 if 2000, 0 otherwise y07 =1 if 2007, 0 otherwise

Page 61: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 229 - 240

234

results are statistically significant at 1 percent level. The paper uses the result from the fixed effect

regression which is 7.5 percent, this means that every one additional year spent in education, it will

increase the wage at 7.5 percent. This finding is almost in line with the finding from Psacharapoulus5

that the rate of education in Asian countries is around 8 percent. Experiences as well as tenure are both

very statistically significant at 1 percent level either, that shows how experience and tenure play very

important role in determining someone’s income.

The variable exper shows that every one additional year of experience, it will increase the wage by

5.1 percent. Tenure that’s also statistically very significantly affecting wage shows that every one

additional year of tenure, it will increase the wage at 0.7 percent, the magnitude is not as big as return to

education and experience to affect someone’s wage. A very surprising result from variable yosfem that’s

not statistically significant which means that return to education for females isn’t different from that of

males. This is surprising given that return to education for females higher than males are usually the

norm15. But it’s most likely that the disparity in return to education between females and males gets

smaller in developed countries compared to developing countries. As Tansel17 discovered in Turkey that

return to education in females gets smaller since 2002 till 2005 while for male remain stable.

In the US, the wage differential between males and females gets smaller over 1980’s and 1990’s

(Beaudry and Lewis, 2012). Finding in this paper is in line with Siphambe (2009), in Bostwana, there,

female are paid less than men despite being on average more highly educated than male. Our finding

here, showing that return to education for female is not different from males can probably occur

because:

a. Our females samples are mostly distributed between the very low educated and the very high. Even

for the category of never attending school which means the samples’ year of schooling is zero, our

female samples are exceeding our male samples, there isn’t any other category of number of years

of schooling that females sample exceeding males other than this category. At this category, the

number of female samples is 62 percent.

b. It might be that female samples don’t work in sectors that value high education, therefore although

many of them in the samples are highly educated too, but they are not getting as high salaries as

males given the same educational level.

Another interesting finding from Table 4.1 is the variable public which is statistically significant at

10 percent level affecting the log salary. This means that employment in public sectors is positively

affecting the log salary, workers in public sectors earn 14 percent more compared to workers in private

sectors.

Table 4.2 depicts quantile regressions used to seek the rate of return to education for each

quantile of earnings distributions. The lower tail shows low income workers, usually characterized with

low education and skill, whereas the upper tail shows workers with higher income, education and skill.

The main variable which is years of schooling is very statistically significant at one percent level at all

quantiles, meaning that return to education is statistically significant at all level of earnings distribution.

The rates of return to education are found to be almost similar in all quantiles. This finding shows that in

all level of income and education, workers will be benefitted in the same proportion, though this doesn’t

prove that education will reduce income inequality since the lower tail of the earnings distribution are

not the ones who gets most of the return to education, yet it can be said as well that education will not

widen the income gap since the rate of return to education for higher tail of the distribution which are

dominated by highly educated workers are in the similar rate with the low educated workers at the

lower tail.

Page 62: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Income Inequality : Education ... (Nugraheni Kusumaningsih)

235

Table 4.1. OLS by Year and Fixed Effect Regression

(1) (2) (3) Variables OLS Random Effect Fixed Effect

years_of_schooling 0.099*** 0.100*** 0.075*** (0.004) (0.005) (0.023) Exper 0.029*** 0.030*** 0.051*** (0.004) (0.004) (0.019) exper2 -0.000*** -0.000*** -0.000*** (0.000) (0.000) (0.000) Tenure 0.014*** 0.013*** 0.007** (0.002) (0.002) (0.003) Married 0.123*** 0.113*** 0.032 (0.032) (0.032) (0.052) Rural -0.023 -0.030 -0.084 (0.025) (0.027) (0.058) Female -0.480*** -0.473*** (0.060) (0.066) Public 0.298*** 0.296*** 0.140* (0.034) (0.035) (0.075) Yosfem 0.030*** 0.030*** -0.040 (0.005) (0.006) (0.027) Constant 6.890*** 6.872*** 7.106*** (0.248) (0.243) (0.571) Observations 5,711 5,711 5,711 R-squared 0.399 0.159 Number of pidlink 2,857 2,857

Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1

Source : Author’s calculation using Stata

In addition, the variable public is positively very significantly affecting the log salary with 1

percent confident level at almost all quantiles of earning distribution except the top tail. These findings

show that employment in public sector benefit those particularly at the lower tail of income

distributions since the lower the tail the larger the coefficients showing the larger the magnitude of the

impact. It can be inferred that employment in public sector help tighten the income inequality gap since

its benefits are mostly enjoyed by workers with lower education and income. Table 4.2. Quantile Regressions

(1) (2) (3) (4) (5) Variables Q_0.10 Q_0.25 Q_0.50 Q_0.75 Q_0.90

years_of_schooling 0.100*** 0.110*** 0.108*** 0.109*** 0.104*** (0.013) (0.007) (0.005) (0.005) (0.011) Exper 0.037*** 0.028*** 0.028*** 0.026*** 0.014 (0.012) (0.007) (0.005) (0.005) (0.010) exper2 -0.001** -0.000*** -0.000*** -0.000*** -0.000 (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) Public 0.459*** 0.431*** 0.357*** 0.176*** 0.053 (0.116) (0.064) (0.045) (0.042) (0.091) Constant 7.336*** 6.151*** 6.704*** 7.200*** 8.552*** (0.201) (0.334) (0.279) (0.237) (0.231) Observations 2,855 2,855 2,855 2,855 2,855

Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1

Source : Author’s calculation using Stata

Page 63: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

236

In order to examine the rate of return to education across quantiles of earnings distribution for

females, the quantile regression for female is run as depicted in Table 4.3. The main variable which is

years of schooling is very statistically significant at one percent level at all quantiles, meaning that

education is statistically significant affecting wage at all level of earnings distribution. The return to

education are higher at the lower tail, around 11 and 12 percent, at the top of the earning distribution is

at 9 percent. This finding shows that education benefit female workers at all level of earnings

distribution especially the ones at the lower tail of earnings distribution. If many female workers at the

lower tails are getting educated and getting higher return to their investment in education, it will help

tightening the wage gap between the poor and the rich and further will tighten the inequality that tends

to get more severe these days. Education helps tightening the inequality is in principal in line with

finding from Psacharapoulus6 saying that returns to schooling decline by the level of schooling. The

bigger the return to schooling at the lower educational level will give bigger implication in tightening

income inequality in the society. Duraisamy7 finding is similar. Return to education will get higher as

reaching the secondary level and then going down. In the opposite, higher return to education at the

higher educational level, tend to create wider income inequality. Some findings supporting the higher

return to education bigger at the higher educational level are made by Siphambe8, Appleton7, Farooq10,

Chirwa and Matita9.

Table 4.3 depicts that employment in public sector also benefit female that are at the lower tail at

earning distribution. It shows that employment in public sector for females can boost income equalizing

process since it benefits more workers at the lower tail rather than the upper ones.

Table 4.3. Quantile Regressions for Female

(1) (2) (3) (4) (5) Variables Q_0.10 Q_0.25 Q_0.50 Q_0.75 Q_0.90

years_of_schooling 0.114*** 0.128*** 0.126*** 0.114*** 0.090*** (0.026) (0.012) (0.009) (0.008) (0.018) exper 0.020 0.013 0.021*** 0.025*** -0.016 (0.021) (0.011) (0.008) (0.007) (0.014) exper2 -0.000 -0.000 -0.000* -0.000*** 0.000 (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) public 0.811*** 0.662*** 0.525*** 0.319*** 0.307** (0.236) (0.108) (0.078) (0.063) (0.133) Constant 5.640*** 5.521*** 6.433*** 7.004*** 7.525*** (0.487) (0.327) (0.394) (0.203) (0.293) Observations 959 959 959 959 959

Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1

Source : Author’s calculation using Stata

Table 4.4 depicts quantile regressions for male. The returns to education for male are very

statistically significant in all level of earnings distribution. Unlike in females case in which return to

education is higher in the lower tail of the distribution, return to education for males are evenly

distributed in all quantiles of earnings distribution. This finding shows that in all level of income and

education, males will be benefitted in the same proportion. These findings are very unique,

acknowledging that although the rate of return to education for females are not higher than males as

usually the case, but their rate of return to education proven to be helpful in tightening the gap of income

inequality among females since the rates are higher for female workers at the lower level of earnings

distribution.

Page 64: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

237

Table 4.4. Quantile Regressions for Male

(1) (2) (3) (4) (5) Variables Q_0.10 Q_0.25 Q_0.50 Q_0.75 Q_0.90

years_of_schooling 0.103*** 0.097*** 0.098*** 0.103*** 0.105*** (0.015) (0.007) (0.005) (0.006) (0.015) exper 0.050*** 0.043*** 0.034*** 0.032*** 0.027* (0.019) (0.009) (0.006) (0.006) (0.015) exper2 -0.001* -0.001*** -0.001*** -0.000*** -0.000 (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) public 0.169 0.313*** 0.316*** 0.108** -0.192 (0.155) (0.069) (0.048) (0.050) (0.126) Constant 6.181*** 6.681*** 7.124*** 7.195*** 8.486*** (0.352) (0.449) (0.297) (0.349) (0.316) Observations 1,896 1,896 1,896 1,896 1,896

Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1

Source : Author’s calculation using Stata

Interesting finding from Table 4.4, the variable public are statistically significantly affecting the log

salary for males in second, third and fourth quantile but not the first quantile. The first quantile is filled

with workers with lowest salary and education level. This means the income equalizing process through

employment in public sector for male is not as profound for males given as well the lowest tail of income

distribution is not significantly affected by it. The magnitude of the benefit of employment in public

sector for males also lower compared to females.

V. CONCLUSION AND POLICY RECOMMENDATION

Income inequality has been seen as very serious issues for decades, particularly now. OECD has

put emerging countries as the one who face the highest risk in income inequality. The wage gap has risen

sharply throughout 2001 to 2007 as researched by Sakellariou2, and the trend seems to continue to date.

Education has always been seen as a social escalator to help particularly the poor to escape from

poverty. This notion is supported by some studies believe in the opposite directions that rate of return to

educations are the highest at the primary and secondary level rather than at the college level. On the

contrary, some previous studies also said that despite the fact that education giving return to all level of

education, the income inequality can get even wider since the rate of returns are different across the

level of education and the higher the educational level, the rate gets even higher.

This paper uses the longitudinal data set from IFLS, from 5714 observers, working in both private

and public sector coming from two waves of IFLS (2000 and 2007), to estimate the rate of return to

education. The rate is found to be 7.5 percent which is in line with finding from Psacharapoulus5 saying

that the rate of return of education in Asian countries is around 8 percent. Another interesting finding

from this paper is that return to education for females is not different from males since usually the rate

of return to education for females is usually higher than males. Some of the reasons probably because

the female samples are the majority at the level of never attending school or in other word zero year of

schooling which doesn’t happen in another level of year of schooling. Many of female samples also

receive higher education, they’re about 46 percent in the level of receiving more than 12 years of

schooling, this number is big given that female samples is only about 30 percent in total. But it might be

that they don’t work in sectors that don’t value education as much as sectors in which male samples

work.

To examine whether education can help tighten the income inequality gap, the quantile regression

analysis is done, the result shows that education is very statistically significantly affecting wage in the

Page 65: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 229 - 240

238

similar rates across the earnings distribution. This is also the case when the quantile regression for

males was done. This means that although rate of return doesn’t prove to tighten the gap on income

inequality since the rates are similar for all earnings distribution not showing the bigger rates for

workers at the lower tail, but that education widen the income inequality isn’t proven as well since

workers at the higher tail with higher level of education also get the same rates or return to education. A

different finding is shown for females’ case. Their rates of return to education are higher for workers at

the lower tail of the earnings distribution. This shows that for females, education can help to tighten the

gap in income inequality since workers that are benefitted the most from education are those at the

lower tail.

Another interesting finding is that public sector workers earn more compared to their peers in

private sector. Public sector employment also help income equalizing process since it benefits workers

particularly at the lower tail of earning distributions. The income equalizing process for public sector

employment is more profound for female compared to male workers.

REFERENCES

Appleton, A. (2000). Education and Health at the Household Level in Sub-Saharan Africa. CID Working Paper No. 33

Beaudry, P, and Ethan Lewis. (2012). Do Male-Female Wage Differentials Reflect Differences in the Return to Skill? Cross-City Evidence From 1980-2000. Presented in the Seminars at University of British Columbia, the Federal Reserve Bank of San Francisco, and Dartmouth College

Blundell, R, Dearden L, and Sianesi B. (2001). Estimating the Returns to Education: Models, Methods and Results. London: Center for the Economics Education, London School of Economics Press

Byron, R and Hiroshi Takahashi. (1989). An Analysis of the Effect Earnings in the Government and Private Sectors of Urban Java. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.25, No.10, pp. 105-117

Carneiro, P. et. all. (2009). Average and Marginal Returns to Upper Secondary Schooling in Indonesia. Report for Economic and Social Research Council

Chirwa, E.W. (2009). The Rate of Return on Education in Malawi. Zomba: Working Paper No. 2009/01, University of Malawi Press

Dougherty, C. (2003). Why is the Rate of Return to Schooling Higher for Women than For Men. London: London School of Economics Press

Duflo, E. (2001). Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence From An Unusual Policy Experiment. American Economic Review v91 795-813

Duraisamy, P. (2000). Changes in Returns to Education in India, 1983-94: By Gender, Age-Cohort and Location. Connecticut: Center Discussion paper No.815, Yale University Press

Farooq, M. (2011) The Returns to Education for Male and Female Workers in Pakistan: A New Look at the Evidence. The Dialogue Volume VI Number 2

Martins, Pedro S.and Pedro T. Pereira. (2004). Does Education Reduce Wage Inequality? Quantile Regression Evidence from 16 Countries. Labour Economics 11 (2004) 355 – 371

Newhouse, D and Daniel Suryadarma. (2011). The Value of Vocational Education: High School Type and Labor Market Outcomes in Indonesia. World Bank Economic Review Volume 25, Issue 25 292-322

OECD. (2011). Special Focus: Inequality in Emerging Economies (EEs). (http://www.oecd.org/els/social/inequality, diakses Agustus 2013)

Psacharopoulos, G. (1994). Return to Investment in Education: A Global Update. World Development, Vol. 22, No 9, pp. 132.5-1 343

RAND Indonesia Family Life Survey ( http://www.rand.org/labor/FLS/IFLS.html,) accessed on July 5th, 2013

Page 66: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Income Inequality : Education ... (Nugraheni Kusumaningsih)

239

Sakellarious, C. (2009). Changing Wage Distributions and the Evolution of Wage Inequality in Indonesia: 1994 – 2007. Singapore: Economic Growth Centre Working Paper Series

Siphambe, H.K. (2009). Rates of Return to Education in Bostwana. Economics of Education Review 19 (2000) 291–300

Tansel, A. (2010). Changing Returns to Education for Men and Women in a Developing Country: Turkey, 1994-2005. Presented at ESPE 2008 Conference

Wooldridge, J.M. (2010). Introductory Econometrics: A Modern Approach. CengageLearning

Page 67: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan
Page 68: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kaj. Eko. & Keu.

Vol. 18 No. 3 Desember

2014 Halaman : 181 - 254

Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia

Performa Belanja Pemerintah Daerah, Investasi Privat dan Kesempatan Kerja di Indonesia

Efektivitas Kebijakan Pembatasan Konsumsi BBM Bersubsidi di Jawa-Bali

Income Inequality : Education as The Panacea

Dampak Bea Keluar terhadap Ekspor CPO Indonesia

No. Akreditasi : 467/AU3/P2MI-LIPI/08/2012

Vol 18 No 3, Desember 2014

[

T

y

p

e

a

q

u

o

t

e

f

r

o

m

t

h

Page 69: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

DAMPAK BEA KELUAR TERHADAP EKSPOR CPO INDONESIA

Impact Tax Policy on CPO Exports

Makmun Syadullah Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan

Jln. Dr. Wahidin No. 1, Jakarta Pusat 10710, DKI Jakarta, Indonesia Email : [email protected]

Naskah diterima: 22 Oktober 2014 Naskah direvisi: 18 November 2014

Disetujui diterbitkan: 3 Desember 2014

ABSTRACT

CPO is a strategic commodity in the global market, so that the condition and CPO prices in the

domestic market is strongly influenced by the global market. This study aims to analyze several factors

that affect CPO export, namely CPO price in the international market, the exchange rate rupiah against the

US dollar and tax policy as stated in the PMK No. 128 / PMK.011 / 2011. Based on this research, in the

period 2005-2013 Indonesia's CPO exports was influenced by the CPO price in the international market,

the exchange rate rupiah against the US dollar and tax policy in 2011. Overall the model is able to explain

that variation changes CPO exports in the period 2005-2013 by 73,73%t are influenced by the three

variables used in this model, while the rest is influenced by other variables that are not included in this

study observations. while the rest is influenced by other variables that are not included in this study

observations.

Keywords : crude palm oil, exchange rate, export, tax policy

ABSTRAK

Produk CPO merupakan komoditas strategis di pasar global, sehingga kondisi dan harga CPO di

pasar domestik sangat dipengaruhi oleh pasar global. Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis beberapa

faktor yang mempengaruhi ekspor CPO, yakni harga CPO di pasar internasional, nilai tukar rupiah

terhadap dollar Amerika dan kebijakan bea keluar sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor

128/PMK.011/2011. Berdasarkan hasil penelitian, dalam periode 2005-2013 ekspor CPO Indonesia

dipengaruhi oleh harga CPO di pasaran internasional, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan

kebijakan bea keluar tahun 2011. Secara keseluruhan model mampu menjelaskan bahwa variasi

perubahan ekspor CPO dalam periode 2005-2013 sebesar 73,73% dipengaruhi oleh ketiga variable yang

dipakai dalam model ini, sedangkan selebihnya dipengaruhi oleh variable lain yang tidak masuk dalam

pengamatan penelitian ini.

Kata Kunci: bea keluar, ekspor, minyak sawit mentah, nilai tukar

JEL Classification: F4, H3, E4

I. PENDAHULUAN

Produk CPO merupakan komoditas strategis di pasar global, sehingga kondisi dan harga CPO di

pasar domestik sangat dipengaruhi oleh pasar global. Produk CPO merupakan komoditas ekspor

potensial dan memberikan kontribusi cukup besar bagi perolehan devisa. Dalam rangka meningkatkan

Page 70: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254

242

nilai tambah ekpor, pemerintah memacu industri untuk melakukan hilirisasi industri dengan fokus pada

sektor serta komoditas yang menjadi andalan, yakni industri agro, migas, dan bahan tambang mineral.

Penelitian tentang dampak kebijakan bea keluar terhadap ekspor komoditas tertentu sudah

banyak dilakukan. Secara umum penelitian tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok:

Pertama, mereka menghitung pajak ekspor optimal (Akiyama 1992; Trivedi dan Akiyama 1992; Yilmaz

1999; Burger 2008; Permani, Vanzetti, dan Setyoko 2011). Kedua adalah mereka yang menganalisis

pengaruh pajak ekspor pada kesejahteraan dan ekonomi (Marks, Larson, dan Pomeroy 1998; Hasan,

Reed, dan Marchant 2001; Warr 2002; Susila 2004; Rifin 2010; Nyein et al 2010;. Pradiptyo et al 2011).

Semua studi ini menunjukkan bahwa pajak ekspor akan berdampak negatif terhadap perekonomian dan

mengurangi daya saing.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Amzul Rifin,(2012) menunjukkan bahwa harga petani

ditentukan oleh harga internasional. Sementara itu, harga internasional hampir sempurna

ditransmisikan ke harga petani. Hal ini menyebabkan petani memiliki posisi tawar lebih tinggi dari

eksportir, khususnya setelah pelaksanaan pajak ekspor pada bulan April 2010 Dengan penerapan pajak

ekspor, margin exportir semakin menurun karena persaingan yang semakin sengit dalam mendapatkan

biji kakao dari petani.

Menurut Piermartini (2004) efek dari pajak ekspor tergantung pada kekuatan pasar. Negara-

negara dengan kekuatan pasar yang menerapkan pajak ekspor memiliki lebih banyak berpengaruh pada

harga internasional, volume perdagangan, distribusi pendapatan, dan terms of trade daripada negara

tanpa kekuatan pasar. Sementara itu, dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan

nasional lebih parah ketika pajak ekspor diimplementasikan oleh negara tanpa kekuatan pasar

(Devarajan et al. 1996). Jika suatu negara dengan kekuatan pasar menerapkan pajak ekspor, juga akan

menderita kerugian efisiensi karena dampak distorsi dari pajak ekspor, namun terms of trade akan

meningkatkan karena kenaikan harga ekspor (Piermartini 2004).

Hasil penelitian Prahastuti (2000) menunjukkan bahwa ekspor CPO dipengaruhi oleh harga CPO

domestik, produksi CPO, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Sedangkan hasil penelitian

Askadarimi (2007) menunjukkan bahwa harga riil CPO domestik, dan dummy kebijakan perluasan areal

kelapa sawit bersifat responsif pada jangka panjang.

Widyanti (2007) melakukan analisis integrasi pasar CPO dunia dengan minyak goreng dan TBS

domestik serta pengaruh tarif ekspor BBM dunia, bertujuan untuk menganalisis integrasi pasar CPO,

minyak goreng, dan TBS domestik; pengaruh tarif ekspor dan harga BBM dunia. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tarif ekspor merupakan bentuk ketidakefektifan kebijaksanaan pemerintah dalam

industri perkelapasawitan karena dengan adanya tarif ekspor, ekspor CPO akan berkurang.

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Munadi (2007) dalam jangka pendek permintaan

ekpor kelapa sawit oleh India sangat dipengaruhi oleh rasio antara harga minyak kedelai dan harga

minyak kelapa sawit dunia..Penurunan pajak ekspor akan diikuti oleh meningkatnya jumlah minyak

sawit yang diekspor.

Paper ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dampak bea keluar tahun 2011 terhadap ekspor CPO

Indonesia. Disamping itu juga melihat dampak variabel-variabel lainnya yang diduga mempengaruhi

ekspor CPO yakni harga CPO internasional dan nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Selanjutnya dalam

paper ini juga akan dianalisis dampak kebijakan bea keluar terhadap perkembangan hilirisasi CPO di

Indonesia.

Page 71: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Dampak Bea Keluar ... (Makmun)

243

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dampak Pengenaan Bea Keluar terhadap Harga Barang

Dalam rangka mencapai tujuan menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi

kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor

tertentu di pasaran internasional, dan menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri,

Pemerintah mengenakan pungutan atas barang ekspor tertentu. Dengan demikian pengenaan bea keluar

akan berdampak negatif terhadap ekspor.

Menurut Mankiw (2003), kebijakan perdagangan merupakan kebijakan yang dirancang untuk

mempengaruhi secara langsung jumlah barang dan jasa yang diekspor atau diimpor. Biasanya kebijakan

perdagangan berbentuk melindungi industri domestik dari pesaing asing, baik dengan menerapkan

pajak impor (tarif) atau membatasi jumlah barang dan jasa yang diimpor (kuota).

Sumber: Mankiw (2003) Gambar 2.1. Dampak Bea Keluar pada Harga.

Gambar di atas menjelaskan bahwa secara ekstrim, apabila tidak ada bea keluar, maka ekpor akan

mencapai sebesar QFT dengan harga sebesar PFT. Apabila pemerintah mengenakan bea keluar atas

ekspor barang sebesar

maka jumlah yang diperdagangkan akan turun menjadi Qr. Dengan kata lain, bea keluar akan

menghambat perdagangan internasional.

Kenaikan harga barang-barang domestik relatif terhadap barang-barang luar negeri cenderung

mengurangi ekspor karena akan mendorong impor dan menekan ekspor. Jadi, apresiasi menghapus

kenaikan ekspor yang langsung bisa dikaitkan dengan hambatan perdagangan. Kebijakan perdagangan

proteksionis mempengaruhi jumlah perdagangan. Karena kurs riil terapresiasi, maka barang dan jasa

yang diproduksi menjadi relatif lebih mahal terhadap barang dan jasa luar negeri. Pada tingkat yang

sama, jumlah yang diekspor lebih sedikit. Karena ekspor tidak berubah, barang yang akan diimpor juga

sedikit (apresiasi kurs riil akan mendorong impor, tetapi kenaikan impor ini hanya sebagian yang akan

menghilangkan dampak penurunan impor yang disebabkan oleh adanya hambatan perdagangan). Jadi,

kebijakan proteksionis mengurangi jumlah impor dan ekspor.

Penurunan jumlah perdagangan total merupakan alasan yang selalu digunakan para ekonom

untuk menentang kebijakan proteksionis. Perdagangan internasional menguntungkan semua negara

dengan memberikan kebebasan pada setiap negara untuk melakukan spesialisasi dan memberikan

Page 72: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254

244

setiap negara variasi barang dan jasa yang lebih beragam. Kebijakan proteksionis mengurangi manfaat

perdagangan internasioal. Meskipun kebijakan ini menguntungkan kelompok-kelompok tertentu dalam

masyarakat.

Kebijakan menaikkan PE untuk mendorong pertumbuhan industri hilir dilandasai pemikiran

bahwa kenaikan PE akan lebih menjamin ketersediaan bahan baku dengan harga yang lebih rendah.

Kenaikan PE akan menghambat ekspor sehingga ketersediaan bahan baku di dalam negeri akan

meningkat dengan harga yang lebih murah. Meskipun kebijakan ini menguntungkan kelompok-

kelompok tertentu dalam masyarakat.

Kebijakan menaikkan PE untuk mendorong pertumbuhan industri hilir dilandasai pemikiran

bahwa kenaikan PE akan lebih menjamin ketersediaan bahan baku dengan harga yang lebih rendah.

Kenaikan PE akan menghambat ekspor sehingga ketersediaan bahan baku di dalam negeri akan

meningkat dengan harga yang lebih murah.

2.2. Kebijakan Bea Keluar CPO

Harga CPO dalam negeri sangat ditentukan oleh harga CPO internasional dan nilai tukar dollar

terhadap rupiah. Harga CPO dunia yang tinggi merupakan daya tarik yang besar bagi pengusaha dalam

negeri untuk mengekspor CPO dan menghindarkan diri dari kewajibannya memenuhi kebutuhan dalam

negeri. Begitu halnya dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar, semakin lemah nilai tukar rupiah, maka

pengusaha dalam negeri semakin bergairah untuk melakukan ekspor. Hal ini akan mengakibatkan

berkurangnya pasokan CPO bagi industri dalam negeri, terutama minyak goreng, yang pada akhirnya

akan mengganggu stabilitas harga minyak goreng.

Dalam rangka menjamin terpenuhinya kebutuhan CPO dalam negeri; melindungi kelestarian

sumber daya alam; mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di

pasaran internasional; atau menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri pemerintah

mengeluarkan kebijakan bea keluar terhadap barang ekspor.

Kebijakan bea keluar sudah dimulai sejak 1974 yang lebih dikenal dengan pajak ekspor, namun

mulai menjadi perhatian dalam perdagangan CPO pada tahun 1994 sebagaimana tertuang dalam

Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 439/KMK.017/1994. Pada tahun 1997, melalui Surat

Keputusan Memperindag Nomor 456/MPP/Kep/12/1997 Pemerintah hanya membolehkan 15

perusahaan yang ditunjuk melakukan ekspor dengan kuota 25 persen dari total produksi. Ekspor CPO

dan produk turunannya baru boleh diekspor kembali secara bebas pada tahun 1998 melalui Surat

Keputusan Memperindag Nomor 181/MPP/Kep/4/1998. Perkembangan selengkapnya kebijakan terkait

dengan ekspor CPO dapat dilihat pada lampiran.

Pada tahun 2005 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

92/KMK.02/2005 tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Pungutan Ekspor.

Berdasarkan PMK 92/PMK.02/2005 tarif pungutan ekspor ditetapkan sebesar 3 persen. Pada tahun

2007 pemerintah memberlakukan tarif progresif.

Pada tahun 2006 pemerintah mengubah penggunaan istilah pajak ekspor menjadi bea keluar.

Pemberlakuan bea keluar di Indonesia diawali dengan diaturnya pengenaan bea keluar terhadap ekspor

barang-barang tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang

Kepabeanan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2008 tentang Penetapan Barang

Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar yang efektif mulai berlaku 1 Januari 2009

dengan tarif progresif. Tidak ada perbedaan antara pajak ekspor dengan bea keluar, perbedaan hanya

pada penambahan dengan lebih memerinci beberapa jenis produk turunannya. Sedangkan pokok barang

yang dikenakan bea keluar tidak mengalami perubahan.

Pemerintah terus melakukan restrukturisasi struktur tarif bea keluar untuk mendukung hilirisasi

Page 73: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Dampak Bea Keluar ... (Makmun)

245

industri sawit. Sebelumnya produk hulu dan hilir kelapa sawit dikenakan tarif bea keluar sama. Dengan

restrukturisasi produk hulu dikenakan tarif bea keluar lebih tinggi dari produk hilir dengan selisih yang

signifikan. Kebijakan tarif bea keluar untuk hilirisasi sawit dituangkan dalam Peraturan Menteri

Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK.011/2011 dan mulai berlaku 14 September 2011. Mengingat PMK

128/2011 mengatur barang ekspor lain yang dikenakan bea keluar sehingga PMK 128/2011 telah

mengalami perubahan dua kali yakni dengan PMK 75/2012 dan PMK 128/2013. Namun susunan tarif

bea keluar minyak sawit dan produk turunannya tidak mengalami perubahan.

III. METODOLOGI

3.1. Metode Analisis

Penelitian ini akan mencoba suatu model untuk menganalisis bagaimana pengaruh harga CPO di

pasar dunia, nilai tukar USD terhadap rupiah dan kebijakan bea keluar terhadap kuantitas ekspor Crude

Palm Oil (CPO). Adapun model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Log (export) = β0 + β1Log (P_ Intern) + β2 Log (Log (ER) + Dummy

Dimana:

Y = jumlah ekpor CPO

P_Intern = harga CPO internasional

ER = nilai tukar rupiah USD terhadap rupiah

Dummy = adalah dummy viabel, untuk mengukur dampak bea

keluar (PMK Nomor 128/PMK.011/2011) terhadap

eskpor CPO

Sebuah model ekonometrik seperti yang ditunjukkan oleh persamaan di atas pada akhirnya akan

digunakan untuk membuktikan hipotesis yang sudah ditentukan dalam penelitian ini. Dalam analisis

ekonometrik modern, jika menggunakan data deret waktu (time series), mensyaratkan data yang

digunakan harus stationer. Sebuah data deret waktu dikatakan stasioner jika nilai rata-rata galat sama

dengan nol dan nilai varians (variance) dari peubah yang bersangkutan konstan sepanjang waktu

(Ramanathan, 2001). Uji stationer data penting dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi pelanggaran

asumís regresi. Masalah utama yang terjadi apabila data yang digunakan di dalam analisis regresi tidak

stasioner, nilai dugaan yang dihasilkan menjadi bias (spurious regression), sehingga menimbulkan

kesalahan dalam interpretasi hasil analisis. Untuk menanggulagi masalah data yang tidak stationer,

beberapa kajian terdahulu telah menyarankan penggunaan konsep deferensial (differencial) data untuk

menghilangkan unit root walaupun penggunaan metode ini masih menimbulkan perdebatan karena

akan menghilangkan informasi jangka panjang yang sangat penting.

Dalam kajian ini untuk menguji kondisi apakah data stationer atau tidak stationer dilakukan uji

Augmented Dickey Fuller (ADF). Jika variabel yang digunakan ternyata tidak stationer, maka dalam

penelitian kita tidak dapat menggunakan OLS. Data yang stationer diketahui setelah dilakukan pengujian

unit root. Adapun yang dimaksud dengan pengujian unit root adalah menguji apakah data yang

digunakan memiliki error yang konstan, dan tidak terpengaruh oleh waktu serta variabel lainnya. Salah

satu metode yang umum digunakan adalah metode Dickey-Fuller.

Selanjutnya untuk menguji bahwa apakah model terbebas dari autocorelasi dan heteroskedasticity,

dalam paper ini akan digunakan uji uji statistik dengan menggunakan metode Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test dan uji heteroskedasticity test Glejser.

3.2. Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat

Page 74: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254

246

Statistik, Bank Indonesia, Kementerian Perdagangan dan Kemeneterian Keuangan. Rentang waktu

pengamatan dalam penelitian ini adalah tahun 2005-2013.

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Ekpor Sawit

Salah satu andalan ekspor Indonesia adalah minyak sawit (crude palm oil -CPO). Hal ini sejalan

dengan kedudukan Indonesia sebagai salah satu negara produsen CPO terbesar di dunia. Menurut Ditjen

Bina Produksi Perkebunan, Kementerian Pertanian, total produksi CPO pada tahun 2005 mencapai 14,1

juta ton dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 26 juta ton. Dengan demikian dalam periode 2005-

2013 rata-rata produksi CPO meningkat sebesar 10,55 persen.

Sebelum 2005 Indonesia merupakan produsen CPO kedua terbesar di dunia setelah Malaysia.

Namun sejak tahun 2006, jumlah produksi CPO Indonesia telah melebihi Malaysia. Pada tahun 2012

produksi CPO Indonesia jauh di atas Malaysia yang hanya mencapai 18,8 juta ton.

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, diolah

Gambar 4.1. Perkembangan Produksi CPO Indonesia 2005-2013.

Sementara itu dari sisi ekspor, dalam periode 2005-2013 ekspor CPO Indonesia mengalami

peningkatan dari 5,7 juta ton (2005) menjadi 9,57 juta ton (2009), namun sejak 2010 terus mengalami

penurunan hingga akhirnya pada tahun 2013 hanya mencapai 6,62 juta ton. (lihat Gambar 4.1). Namun

apabila dibandingkan dengan prosentase kenaikan produksi, prosentase kanaikan ekspor CPO jauh lebih

kecil. Hal ini disebabkan kebutuhan CPO dalam negeri pada periode yang sama juga mengalami

peningkatan.

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, diolah

Gambar 4.2. Perkembangan Ekspor CPO Indonesia 2005-2013.

Page 75: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Dampak Bea Keluar ... (Makmun)

247

Berdasarkan data produksi dan ekspor CPO di atas, nampak bahwa porsi ekspor CPO dari tahun

ke tahun berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Pada tahun 2005 porsi ekspor CPO mencapai

40,43 persen dan puncaknya pada tahun 2009 yang mencapai 49,53 persen. Sejak 2010 porsi ekspor

CPO terus menurun sehingga pada tahun 2013 diperkirakan hanya mencapai 25,46 persen.

Produk CPO merupakan komoditas strategis di pasar global, sehingga kondisi dan harga CPO di

pasar domestik sangat dipengaruhi oleh pasar global. Produk CPO merupakan komoditas ekspor

potensial dan memberikan kontribusi cukup besar bagi perolehan devisa.

Berdasarkan The United States Departemen of Agricultural total produksi CPO pada tahun 2012 di

seluruh dunia mencapai 62,24 juta ton. Dari total produksi tersebut Indonesia menyumbang 53,73

persen, Malaysia 32,64 persen, Thailand 3,61 persen, Colombia 1,64 persen, dan Nigeria 1,49 persen.

Dari gambaran di atas, Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia dan pada tahun

2012. Dunia berharap Indonesia memberikan kontribusi besar terhadap kebutuhan CPO dunia. Hal ini

disebabkan Malaysia sebagai salah satu pemasok CPO terbesar dunia tidak lagi memiliki lahan

pengembangan yang baru, hanya bertumpu pada peningkatan produktivitas (USDA, 2011).

Sumber: The United States Departemen of Agricultural, diolah

Gambar 4.3. Produksi CPO Seluruh Dunia Tahun 2012 (Juta Ton).

Dalam rangka meningkatkan nilai tambah ekspor, pemerintah memacu industri untuk melakukan

hilirisasi industri dengan fokus pada sektor serta komoditas yang menjadi andalan, yakni industri agro,

migas, dan bahan tambang mineral. Dalam konteks hilirisasi industri agro, khususnya minyak sawit

mentah (crude palm oil/CPO), Indonesia masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan Malaysia.

Indonesia saat ini baru bisa menghasilkan 47 produk turunan CPO, sedangkan Malaysia sudah mencapai

100 produk turunan.

Salah satu jalan yang ditempuh pemerintah untuk mempercepat program hilirisasi CPO adalah

melalui pengenaan bea keluar (BK) CPO. Sejak Januari 2009 pemerintah menerapkan bea keluar ekspor

untuk minyak sawit mentah (CPO). Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri keuangan Nomor

214/PMK.08/2008 tentang Pungutan Bea Keluar yang mulai diberlakukan 1 Januari 2009. Selanjutnya

PMK ini terus diperbaharui sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 128/PMK.011/2011 tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang

Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Terakhir PMK Nomor 67/PMK.011/2010

diubah kembali dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 128/PMK.011/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Page 76: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254

248

4.2. Perkembangan Hilirisasi Kelapa Sawit

Sejak diberlakukannya bea keluar atas CPO pada Januari 2009, ekspor CPO Indonesia mengalami

penurunan. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa tahun pertama sejak diberlakukannya bea keluar, ekspor

CPO masih belum menunjukkan adanya tanda-tanda penurunan, bahkan mengalami peningkatan.

Penurunan ekspor CPO mulai efektif terutama sejak 2011 dengan dikeluarkannya PMK Nomor

128/PMK.011/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010

tentang Penetapan Barang-Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Sumber: BPS, diolah

Gambar 4.4. Perkembangan Ekspor CPO, Harga CPO dan Nilai Tukar Periode Januari 2005-Desember 2013.

Dalam rangka mempercepat program hilirisasi CPO, pemerintah pada tahun 2013 mengeluarkan

PMK Nomor 128/PMK.011/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

75/KMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dab Tarif Bea Keluar.

PMK ini merupakan salah satu faktor pendukung kesuksesan kebijakan hilirisasi industri kelapa sawit,

karena menjamin pasokan bahan baku minyak sawit mentah bagi industri dalam negeri.

Beberapa dampak positif keberadaan PMK Nomor 128/PMK.011/2013 adalah sebagai berikut: (i)

telah terjadi penambahan ragam produk hilir dari hanya 54 jenis pada tahun 2011 menjadi 149 jenis

pada awal 2014 (oleofood, oleochemical, biofuel), (ii) masuknya investasi lebih dari Rp 30 triliun di

sektor industri pengolahan minyak sawit, (iii) komposisi ekspor produk mentah (CPO/CPKO) dengan

produk hilir berubah dari 60 persen berbanding 40 persen pada tahun 2011 menjadi 40 persen dan 60

persen pada akhir 2013, (iv) utilisasi industri minyak goreng yang semula hanya 45% pada tahun 2011

meningkat menjadi 73 persen pada tahun 2013 dengan kapasitas produksi total mencapai 23 juta ton

CPO, dan (v) pasokan dan harga minyak goring di dalam negeri sebagai salah satu bahan pokok pangan

sangat terjamin dengan stabilitas yang terjaga dengan baik. 4.3. Analisis Regresi

Dalam kajian ini, tahap pertama dalam analisis data adalah untuk memastikan bahwa data yang

digunakan tidak mengandung unit root yang berarti bahwa data harus stationer dengan menggunakan

uji Augmented Dickey Fuller (ADF) dan uji Phillips-Perron (PP). Tabel 4.1 menyajikan hasil uji unit root

dengan menggunakan uji ADF. Berdasarkan hasil uji unit root pada Tabel 4.1 dapat disimpulkan bahwa semua variable harga

internasional (p_intern) dan nilai tukar rupiah terhadap USD stasioner pada first difference, sedangkan variable ekpor (export) stasioner pada level.

Page 77: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Dampak Bea Keluar ... (Makmun)

249

Tabel 4.1. Uji Unit Root untuk Data Stasioner

Variabel Augemented-Dicky Fuller Test Statistic Level 1st Difference

export -3,6906* -1,4191 er -2,5088 -3,1037** p_intern -2,5089 -3,1037** Critical value 1% 5% 10%

-4,8035 -3,4033 -2,8182

Sumber: Data BPS, BI dan Kemendag, diolah Keterangan: * signifikan pada 5% ** signifikan pada 10%

Hasil uji statistik terhadap kondisi autokorelasi dengan menggunakan metode Breusch-Godfrey

Serial Correlation LM Test dan uji heteroskedasticity test: Glejser menunjukkan bahwa Prob. Chi-Square

jauh di atas nilai kritis pada 5 persen. Dengan demikian, berdasarkan semua uji-uji tersebut diatas dapat

disimpulkan bahwa hubungan vector dalam persamaan ekspor tidak ada autokorelasi, struktur yang

stabil namun tidak didistribusikan secara normal.

Tabel 4.2. Uji Autokorelasi dengan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test

F-statistic 0.280774 Prob. F(2,3) 0.7731

Obs*R-squared 1.419026 Prob. Chi-Square(2) 0.4919

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares

Date: 10/17/14 Time: 10:52

Sample: 2005 2013

Included observations: 9 Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 3.875307 8.987564 0.431186 0.6954

LOG(P_INTERN) 0.087544 0.218326 0.400980 0.7153

LOG(ER) -0.487933 1.058026 -0.461173 0.6761

D2 0.034680 0.140031 0.247659 0.8204 RESID(-1) -0.556160 0.900499 -0.617613 0.5805

RESID(-2) -0.402382 0.668122 -0.602258 0.5895 R-squared 0.157670 Mean dependent var -2.12E-15

Adjusted R-squared -1.246215 S.D. dependent var 0.100181

S.E. of regression 0.150145 Akaike info criterion -0.719705

Sum squared resid 0.067631 Schwarz criterion -0.588222

Log likelihood 9.238673 Hannan-Quinn criter. -1.003445 F-statistic 0.112310 Durbin-Watson stat 1.807236

Prob(F-statistic) 0.981060

Sumber: Data BPS, BI dan Kemendag, diolah

Page 78: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254

250

Tabel 4.3. Heteroskedasticity Test: Glejser

F-statistic 1.141092 Prob. F(3,5) 0.4173

Obs*R-squared 3.657661 Prob. Chi-Square(3) 0.3009

Scaled explained SS 1.946379 Prob. Chi-Square(3) 0.5836

Test Equation:

Dependent Variable: ARESID Method: Least Squares

Date: 10/17/14 Time: 10:55

Sample: 2005 2013

Included observations: 9 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -1.983746 2.607911 -0.760665 0.4812

LOG(P_INTERN) 0.095630 0.062032 1.541617 0.1838 LOG(ER) 0.158150 0.286970 0.551103 0.6053

D2 -0.068054 0.047185 -1.442259 0.2088 R-squared 0.406407 Mean dependent var 0.076263

Adjusted R-squared 0.050251 S.D. dependent var 0.059104

S.E. of regression 0.057600 Akaike info criterion -2.569499

Sum squared resid 0.016589 Schwarz criterion -2.481844

Log likelihood 15.56275 Hannan-Quinn criter. -2.758659 F-statistic 1.141092 Durbin-Watson stat 3.650570

Prob(F-statistic) 0.417315

Sumber: Data BPS, BI dan Kemendag, diolah

Berdasarkan hasil analisis dengan merode regresi diperoleh hasil bahwa dalam periode 2005-

2013 ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO di pasaran internasional (harga kontrak

Amseterdam), nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan kebijakan bea keluar CPO tahun 2011.

Tabel 4.4. Hasil Regresi

Dependent Variable: LOG(EXPORT)

Method: Least Squares

Date: 10/09/14 Time: 15:54 Sample: 2005 2013

Included observations: 9 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -6.137581 5.737455 -1.069739 0.3336

LOG(P_INTERN) 0.595254 0.136472 4.361736 0.0073

LOG(ER) 1.219915 0.631339 1.932265 0.1112 Dummy -0.325454 0.103809 -3.135123 0.0258

R-squared 0.835852 Mean dependent var 8.871370

Adjusted R-squared 0.737363 S.D. dependent var 0.247268

S.E. of regression 0.126720 Akaike info criterion -0.992567

Sum squared resid 0.080290 Schwarz criterion -0.904911 Log likelihood 8.466550 Hannan-Quinn criter. -1.181727

F-statistic 8.486772 Durbin-Watson stat 2.229684

Prob(F-statistic) 0.020891

Sumber: Data BPS, BI dan Kemendag, diolah

Page 79: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Dampak Bea Keluar ... (Makmun)

251

Setiap harga CPO di pasaran internasional naik 1 persen, ekspor CPO juga mengalami peningkatan

sebesar 0,5952 persen. Setiap nilai tukar rupiah melemah 1 persen terhadap dollar Amerika, maka

ekspor CPO naik sebesar 1,2199 persen. Sedangkan kebijakan bea keluar CPO tahun 2011 mampu

menahan laju pertumbuhan ekspor CPO sebesar 0,3254 persen.

Pengaruh harga CPO internasional dan kebijakan bea keluar CPO tahun 2011 terhadap ekspor

signifikan pada α sebesar 5 persen, sedangkan pengaruh nilai tukar terhadap ekspor signifikan pada α

sebesar 15 persen. Secara keseluruhan model mampu menjelaskan bahwa variasi perubahan ekspor

CPO dalam periode 2005-2013 sebesar 73,73 persen dipengaruhi oleh ketiga variable yang dipakai

dalam model ini, sedangkan selebihnya dipengaruhi oleh variable lain yang tidak diamati pada penelitian

ini.

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

Berdasarkan hasil kajian dapat dsimpulkan bahwa ekspor CPO Indonesia dalam periode 2005-

2013 secara signifikan dipengaruhi oleh harga CPO di pasaran internasional, nilai tukar rupiah terhadap

dollar Amerika dan kebijakan bea keluar CPO tahun 2011.

Setiap harga CPO di pasaran internasional naik 1 persen, ekspor CPO juga mengalami peningkatan

sebesar 0,5952 persen. Setiap nilai tukar rupiah melemah 1 persen terhadap dollar Amarika, maka

ekspor CPO naik sebesar 1,2199 persen. Sedangkan kebijakan bea keluar CPO tahun 2011 mampu

menahan laju pertumbukan ekspor CPO sebesar 0,3254 persen.

Berdasarkan temuan di atas, kebijakan bea keluar sebaiknya tetap dilanjutkan, mengingat

dampaknya terhadap program hilirisasi cukup berhasil. Sejak dikeluarkannya PMK Nomor

128/PMK.011/2011 komposisi ekspor CPO Indonesia telah mengalami perubahan dari ekspor produk

mentah (CPO/CPKO) dengan produk hilir berubah dari 60 persen berbanding 40 persen pada tahun

2011 menjadi 40 persen dan 60 persen pada akhir 2013. Ke depan, kebijakan bea keluar sebaiknya juga

diperluas untuk diterapkan bukan saja untuk kepentingan hilirisasi, namun juga untuk tujuan konservasi

lingkungan dan pengendalian terkurasnya cadangan sumber daya alam, misalnya batubara.

DAFTAR PUSTAKA

Akiyama, Takamasa. (1992). Is There a Case for an Optimal Export Tax for Perennial Crops. Policy Research Working Paper, World Bank.

Amzul Rifin, (2012)., Impact of Export Tax Policy on Cocoa Farmers and Supply Chain, SEADI Discussion Paper No. 1

Askadarimi, I. (2007). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perdagangan Minyak Sawit (CPO) Indonesia. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Burger, K. (2008). Optimal export taxes: the case of cocoa in Cote d'Ivoire. Paper presented at the 107th EAAE Seminar "Modelling of Agricultural and Rural Development Policies", Sevilla, Spain, European Association of Agricultural Economists.

Ernawati Munadi, (2007), Penurunan Pajak Ekspor dan Dampaknya terhadap Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia Ke India (Pendekatan Error Correction Model), dimuat dalam Informatika Pertanian Volume 16 No. 2.

Hasan, Mohamad F, Michael R. Reed and Mary A. Marchant. (2001). Effects of an Export Tax on Competitiveness: The Case of the Indonesian Palm Oil Industry. Journal of Economic Development, Vol 26(2),pp77 – 90

Intan, Eka K.P, Widyastutik, Amzul Rifin, Sri Hartoyo dan Heny Daryanto, (2008). Kebijakan Pungutan Ekspor Crude Palm Oil Kelapa Sawit: Perkembangan Dan Mekanisme Pemungutannya. Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 – Juni).

Page 80: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254

252

Mankiw. (2003). Teori Makroekonomi. Edisis ke-5. Erlangga. Jakarta.

Marks, Stephen V, Donald F Larson and Jacqueline Pomeroy. (1998). Economic Effects of Taxes on Exports of Palm Oil Products. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol 42(3), pp7-58.

Nyein, Khin Myo, Prapinwadee Sirisupluxana and Boonjit Titapiwatanakun. (2010). Welfare Effects of Export Tax Implications on Sesame in Myanmar. Journal of Global Business and Economics, Vol 1(1),p162-179.

Permani, Risti, David Vanzetti and Nur Rakhman Setyoko. (2011). Optimum Level and Welfare Effects of Export Taxes for Cocoa Beans in Indonesia: A Partial Equilibrium Approach. Paper presented at the 2011 AARES Annual Conference 8-11 February 2011 in Melbourne.

Pradiptyo, Rimawan, Tri Widodo and Amirullah Setya Hardi. (2011). Evaluasi Kebijakan Bea Keluar Biji Kakao di Indonesia (Cocoa’s Export Tax Policy Evaluation). Penelitian Pelatihan Ekonomika dan Bisnis, Gadjah Mada University.

Prahastuti, I. (2000). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perdagangan CPO, serta Keterkaitan Pasar CPO dan Minyak Goreng Sawit. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rifin, Amzul. (2010). The Effect of Export Tax on Indonesia’s Crude Palm Oil (CPO) Export Competitiveness. ASEAN Economic Bulletin, Vol 27(2), pp173-184.

Susila, Wayan R. (2004b). Impacts of CPO-Export Tax on Several Aspects of Indonesian CPO Industry. Oil Palm Industry Economic Journal, Vol 4(2), pp1-13。

Trivedi, Pravin K and Takamasa Akiyama. (1992). A Framework for Evaluating the Impact of Pricing Policies for Cocoa and Coffee Cote d’Ivoire. The Work Bank Economic Review, Vol 6(2),pp307-330.

Yilmaz, K. (1999). Optimal Export Taxes in a Multi-country Framework. Journal of Development Economics, Vol 60(2), pp439-465.

Warr, Peter G. (2002). Export Taxes and Income Distribution: The Philippines Coconut Levy. Weltwirtschaftliches Archiv, Vol 138(3),pp.437-458.

Widyanti, S. (2007). Analisis Intergrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO, Minyak Goreng dan TBS Domestik serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan Harga BBM Dunia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

http://www.pecad.fas.usda.gov/highlights/2011/06/Malaysia

Page 81: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Dampak Bea Keluar ... (Makmun)

253

LAMPIRAN Tabel 1. Perkembangan Kebijakan Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia

No Periode Dasar Kebijakan

Pemerintah Materi Kebijakan

1 1978-1991 SKB Mendagkop, Mentan dan Menperindag No 275/KPB/XIII/1978 764/Kpts/12/1978 252/U/SK/1978 Tanggal 16 Desember 1978

Digunakan instrumen a. alokasi bagi kebutuhan dalam negeri b. Ditetapkan harga CPO untuk penjualan

dalam negeri c. Diperlukan ijin dari Dept. Perdagangan

untuk ekspor Catatan: Mei 1986 ditambah dengan instrumen PE yang akhirnya mulai Mei 1991 dihapuskan lagi, termasuk alokasi kebutuhan DN

2 1991-1994 SKB Mendag, Mentan, Menperin No. 136/KPB/VI/1991 340/Kpts/KB.320 VI/1991 50/M/SK/6/1991 Mei 1991

SKB 16 Desember 1978 dicabut, berarti perdagangan dan ekspor CPO dibebaskan 3

3 1994-1997 SK Menkeu No. 439/KMK.017/1994 Tanggal 31 Agustus 1994

Ditetapkan PE progresif bagi CPO dan produk olahannya Catatan: Mei 1995 ditugaskan membentuk kesediaan penyanggah. Bekerja sama dengan Bimoli, Bulog melakukan operasi pasar.

4 1997-1998 SK Menkeu No. 300/KMK/1997 Tanggal 4 Juli 1997

Pajak ekspor diturunkan dari 40 s/d 60% menjadi 2 s/d 5% dan tidak progresif.

SK Menperindag No. 456 /MPP/Kep/12/1997 tgl 17-12-97

Kewajiban produsen memasok CPO untuk kebutuhan dalam negeri.

Surat Menkeu No.622 /KMK.01/1997 tgl 17-12- 1997

Produsen ekspor CPO namun belum memenuhi kewajiban memasok kebutuhan DN dikenakan PE tambahan 28% - 30%

Surat Ditjen Dagri No. 420 /DJPDN/XII/1997 tgl 24-12-97

CPO dan produk-produknya produksi bulan Januari s/d Maret 1998 hanya untuk kebutuhan DN

SK Menperindag No. 102/MPP/Kep/2/1998 Tanggal 26 Februari 1998

Mencabut SK tanggal 17 Desember Produksi CPO dan turunannya hanya untuk kebutuhan dalam negeri sampai harga DN stabil.

SK Menperindag No 181/ MPP/Kep/4/1998 tgl 17 April 98

Perdagangan CPO dan produk-produknya dinyatakan bebas

SK Menkeu No. 242 /KMK.01/1998 tgl 22 April 98

Pajak ekspor dinyatakan berkisar antara 15% - 40% 5

5 2001 SK Menkeu 66/KMK.017/2001

Pajak ekspor CPO 3 %

Page 82: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18, No. 3, Desember 2014, Hal : 241 - 254

254

No Periode Dasar kebijakan

Pemerintah Materi Kebijakan

6 2005 SK Menkeu 130/KMK. 010/2005

Pajak ekspor CPO 1,5 %

PP No.35 tahun 2005

Penetapan barang ekspor tertentu oleh Menkeu. Tujuan pengenaan PE (pasal 2 ayat 2) yaitu: a. Menjamin kebutuhan DN b. Melindungi kelestarian SDA c. Antisipasi kenaikan harga di pasar International d. Menjaga stabilitas harga DN

7 2006 SK Menperindag No. 17/M-Dag/Per/3/2006 Tanggal 29 maret 2006

a. HPE ditetapkan setiap bulan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan atau Dirjen Perdagangan LN.

b. HPE berlaku 10 April - 9 mei 2006: US $ 362/MT

SK Menperindag No. 21/M-Dag/Per/5/2006 tgl 8-5- 2006

HPE berlaku satu bulan mulai 10 Mei-9Juni 2006, yaitu US $ 358/MT

8 2008 PMK No. 223/PMK.011/2008 Bea Keluar mulai berlaku 1 Januari 2009 dengan tariff progresif

9 2011 PMK No. 128/PMK.011/2011 Pengenaan bea keluar atas campuran dari CPO dan produk turunannya dan mulai berlaku 14 September 2011

10 2012 PMK No. 75/2012 Penyempurnaan uraian dan kelompok barang dan produk turunannya

11 2013 PMK No. 128/2013 Penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan arif bea keluar

Sumber: Intan, dkk (2008) dan Kementerian Keuangan, diolah

Page 83: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan
Page 84: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18 No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 254 ISSN 1410-3249

INDEKS SUBJEK

A

Analisis data panel 92, 141 APBN/APBD 182, 184, 194, 195 Asuransi gempa 16, 21, 22

B

Belanja pemerintah daerah 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 207 Bea keluar 241, 242, 243, 244, 245, 247, 248, 250 BBM bersubsidi 209, 210, 211, 212, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 224

D

Data mikro 119, 125, 126, 141 Debt sustainable framework 99

E

Ekonomi internasional 155 Ekstensifikasi 119, 120, 122, 127, 128, 129, 131, 132, 134, 135, 137, 138 139 Ekspor 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250 External debt 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 108, 109, 110, 111, 112 113, 114, 115, 116, 117

F

Fasilitas umum 1, 2, 3, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13 Female 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237 Foreign currency 99, 101, 102, 115, 117

H

Highest and best us 1, 2, 11, 13 Harga minyak mentah (ICP) 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67

I

Income inequality 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237 Insentif pajak 69, 70, 71, 72, 74, 78, 79, 80 Investasi privat 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 207

J

Jarak garis lurus 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12 Jarak jalanan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12

K

Kebijakan fiskal 125, 155, 156, 157, 161, 167 Kepatuhan pajak 120, 123 Kesempatan kerja 197, 198, 199, 201, 207 Konsumsi 209, 210, 211, 212, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 224 Kredit usaha rakyat 38, 39, 44

Page 85: Studi Pengarusutamaan Kebijakan Lingkungan Hidup dan ... vol 18 no 3.… · Pembahasan ekonomi lingkungan dan pembangunan semakin lebih jelas dari waktu ke waktu karena diyakini memainkan

Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 18 No. 3, Desember 2014, Hal : 181 - 254 ISSN 1410-3249

INDEKS SUBJEK

M

Model peramalan 155 Minyak sawit mentah

N

Nilai tukar 241, 242, 243, 244, 245, 248, 250, 251

P

Pajak properti 1, 2, 3, 4, 11, 12, 13 Penerimaan pajak 2, 3, 12 Pengeluaran listrik rumah tangga 141, 142, 143, 147, 149, 150, Pengeluaran rumah tangga 15, 20, 25, 26, 27, 28 Perdagangan bilateral 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 96, 97 Pertumbuhan PDB 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80 Pertumbuhan penerimaan pajak 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80 Perubahan iklim 181, 182, 184, 195 Potensi pajak 120 Proyeksi 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67 Premi asuransi bencana 15, 19, 29, 32

R

Ratio 99, 100, 102, 103, 104, 108, 109, 110, 111, 112, 114, 115, 116 117 RAN-GRK 181, 182, 183, Return to education 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237 Risiko fiskal 37, 38, 44, 50, 51, 52

S

Solvency 99, 100, 102, 103, 104, 108, 111, 114, 117 Sosiokultural 86, 87 Subsidi BBM 209, 210, 211, 212, 214, 215, 216, 218

T

Teori gravitasi 85, 88

U

Usaha mikro, kecil, dan menengah 38

W

Wajib pajak orang pribadi 120, 124, 137 Model peramalan 155 Minyak sawit mentah 241, 247, 248

N

Nilai tukar 241, 242, 245, 248, 250, 251

P

Pajak properti 1, 2, 3, 4, 11, 12, 13