Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
WEWENANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
DALAM MENEGAKKAN PERATURAN DAERAH DI
KOTA JAMBI
(STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1)
Dalam Hukum Tata Negara
Pada Fakultas Syariah
Oleh :
MUHAMMAD SOLEH ABDULLAH
NIM : SPI. 152218
PEMBIMBING :
Dr.AHRUL ULUM,S.Ag.,M.A
MASBURIYAH.Ag.,M.FII.I
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH
UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
TAHUN 2019
ii
iii
iv
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
للهبســــــــــــــــــم حمنالر حيمالر
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya skripsi ini
dengan baik dan lancar. Skripsi ini saya persembahkan untuk almamater
Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
Serta untuk istri saya Siti Rohana yang telah menemani setiap waktu di
kehidupan saya.
vi
MOTTO
نواالذين آم ل م بسواو ي ل ان وم إيم م بظل ئك نل ومأول ال م هم و ت دون مو
Artinya : Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan
iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk.
vii
ABSTRAK
WEWENANG SATPOL PP DALAM MENEGAKKAN PERATURAN
DAERAH DI KOTA JAMBI (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014
TENTANG PROSTITUSI)
Muhammad Soleh Abdullah
Penelitian ini dibuat untuk menjelaskan kewenanagan satpol pp dalam
penegakkan prostitusi di kota Jambi agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan
dengan pihak polri. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalh Bagaimana
kewenangan umum SATPOL PP, Faktor apa saja yang menjadi penghambat
SATPOL PP kota Jambi dalam melaksanakan kewenangan menegakkan Perda
No. 2 tentang prostitusi , Bagaimana bentuk kewenangan SATPOL PP kota Jambi
dalam upaya penegakan peraturan daerah tentang prostitusi di Jambi (Perda N0.2
Tahun 2014)Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wewenang SATPOL
PP dalam menegakkan peraturan daerah di kota Jambi . Metode dalam penelitian
ini adalah deskriptif kualitatif. Penulis menggunakan Jenis penelitian hukum
empiris.
Simpulan dalam penelitian ini adalah Wewenangan Satuan Polisi Pamong Praja
Dalam Penegakan Peraturan Daerah Kota Jambi (Perda N0.2 Tahun 2014 tentang
Prostitusi) antara lain memberikan sanksi tindakan, melakukan pembinaan,
memberikan bantuan sosial dan Faktor yang menjadi kendala dalam penegakan
peraturan daerah kota Jambi (Studi Pada Perda N0.2 Tahun 2014 tentang
Prostitusi) faktor yang mempengaruhi kewenangan SATPOL PP Jambi adalah
kualitas sumber daya SATPOL PP yang masih rendah.
Kata Kunci : wewenang, SATPOL PP, Perda Kota Jambi, Prostitusi
viii
ABSTRACT
SATPOL PP AUTHORITY IN ENFORCING REGIONAL REHULATION
IN JAMBI CITY (2014 LOCAL REGULATION STUDY ON
PROSTITUTION)
Muhammad Soleh Abdullah
This study aims to describe the authority of the SATPOL PP in enforcing regional
regulations in Jambi city. The method in this study is descriptive qualitive. The
author uses empirical legal research.
Conclusions in this study are authority of the satpol PP in enforcing regional
regulations in Jambi city (regulation No.2 of 2014 tentang prostitusi) among
other, giving actions, conducting coaching, providing social assistance and factors
that become obtacles in enforcing Jambi (regulation No.2 of 2014 tentang
prostitusi). Factos affecing the authority of SATPOL PP Jambi are the low quality
of the SATPOL PP resources.
Key words : authority, SATPOL PP, Jambi city regulation
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat merampungkan
perbuatan Skripsi dengan judul “Wewenang SATPOL PP Dalam Menegakkan
Peraturam Daerah Di Kota Jambi (Studi Perda No. 2 Tahun 2014 Tentang
Prostitusi)
Perbuatan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi salah satu persyaratan
untuk lulus dan mencapai gelar Sarjana Hukum Tata Negara pada Fakultas
Syariah UIN Sulthan Thaha Jambi. Berkat pertolongan dan bantuan dari berbagai
pihak yang mau meluangkan waktu dan pikirannya bagi penulis. Maka dari itu,
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada :
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA, Ph. D, selaku Rektor UIN STS Jambi.
2. Bapak Dr. A. A. Miftah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS
Jambi.
3. Bapak H. Hermanto Harun, Lc, M.HI., Ibu Dr. Rahmi Hidayati, S.Ag., M.HI,
dan Dr. Yuliatin, S.Ag., M.HI, Selaku Wakil Dekan I bidang Akademik ,Wakil
Dekan II bidang Keuangan, dan Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaaan, di
lingkungan Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
4. Bapak Abdul Razak, S.HI.,M.IS dan ibu Ulya Fuhaidah, S.Hum, MSI, selaku
Ketua dan Sekretaris Jurusan Hukum Tatanegara Fakultas Syariah UIN STS
Jambi.
5. Bapak Dr. Bahrul Ulum, MA dan Ibu Masburiyah, S.Ag, M.Fil.I selaku
pembimbing I dan II skripsi ini.
6. Bapak dan ibu dosen, asisten dosen, dan seluruh karyawan/karyawati Fakultas
Syariah UIN STS Jambi.
7. Saudara-saudara yang selalu ada dan siap membantu dalam segala hal.
x
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN .............................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii
PERSEMBAHAN ................................................................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. v
MOTTO ................................................................................................................ vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 7
C. Batasan Masalah ................................................................................... 8
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................... 8
E. Kerangka Teori ..................................................................................... 8
F. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 28
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian .......................................................................... 31
B. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 32
C. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 34
xii
D. Analisis Data ........................................................................................... 35
E. Sistimatika Penulisan ............................................................................... 37
F. Jadwal Penelitian ..................................................................................... 39
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum SATPOL PP Kota Jambi .......................................... 41
B. Struktur Organisasi SATPOL PP Kota Jambi ........................................ 45
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Kewenangan SATPOL PP secara umum ............................................... 46
B. Faktor yang menjadi kendala dalam penegakan peraturan daerah kota
Jambi ........................................................................................................... 48
C. Wewenang Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Penegakan Peraturan
Daerah Kota Jambi ..................................................................................... 51
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................. 57
B. Saran ........................................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan negara hukum (rechtstaat),
bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Hal ini berarti bahwa Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum demokratis yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin persamaan setiap warga
negara di hadapan hukum dan pemerintahan.1
Penegakan hukum merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap
masyarakat. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan,
melaksanakan ketentuan di dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih
luas penegakan hukum merupakan suatu proses berlangsungnya perwujudan
konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan. Proses penegakan hukum dalam
kenyataannya memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum
itu sendiri. Aparat pemerintahan dalam hal ini penegak hukum mempunyai tugas
dan wewenang untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia yang diantaranya
adalah menjaga ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat yang mungkin saja
di dalamnya terdapat pelanggaran hak asasi manusia sehingga dapat
menyebabkan kekacauan dalam masyarakat itu sendiri.
1Hartati, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm 1
2
Aparat pemerintahan dalam hal ini penegak hukum mempunyai tugas dan
wewenang untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia yang diantaranya adalah
menjaga ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat yang mungkin saja di
dalamnya terdapat pelanggaran hak asasi manusia sehingga dapat menyebabkan
kekacauan dalam masyarakat itu sendiri. Menurut Suhaidi, Hak asasi manusia
sendiri merupakan hak dasar yang secara kodrat melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgeng , dan oleh karena itu harus dilindungi dihormati,
dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi,, atau dirampas oleh
siapapun.4Penegak hukum disini antara lain kepolisian, kejaksaan, kehakiman,
dan juga termasuk Satuan Polisi Pamong Praja (SatPol PP) yang merupakan
aparat pengembanpenegakan hukum non yustisial di daerah.
Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP,
merupakan salah satu perangkat yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam
memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan
Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Satpol PP dapat berkedudukan di Daerah Provinsi dan Daerah
atau Kota.
1. Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris
Daerah
3
2. Di Daerah atau Kota, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati atau Walikota melalui
Sekretaris Daerah.2
Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah ini, pemerintah diamanatkan membentuk Satuan Polisi Pamong
Prajauntuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan
penyelenggaraan ketertiban umum serta ketentraman masyarakat. Dengan melihat
pada kewenangan yang diberikan kepada SatPol PP, tidak dapat dipungkiri
bahwa keberadaan SatPol PP sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah sesuai dengan lingkup tugasnya, termasuk didalamnya
penyelenggaraan perlindungan masyarakat (Linmas).
Belakangan ini, gerak langkah SatPol PP tidakpernah luput dari perhatian
publik, mengingat segala aktivitasnya dengan mudahdiketahui melalui
pemberitaan di mass media, baik cetak maupun elektronik.Sayangnya, image yang
terbentuk di benak masyarakat atas sepak terjang aparat SatPol PP sangat jauh
dari sosok ideal, yang sejatinya menggambarkan aparaturpemerintah daerah yang
dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi normahukum, norma agama,
Hak Asasi Manusia dan norma-norma sosial lainnya yanghidup dan berkembang
di masyarakat
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat seringkali
dibenturkan pada perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi itu antara lain
2 Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005) hlm 818
4
mengenai tindakan atau perilaku yang dianggap melanggar ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat. Tindakan kriminal sebagai salah satu perbedaan
persepsi yang terjadi diantara polisi dan Satpol PP yang didasarkan atas
wewenangnya masing-masing. Secara sosiologis, perbedaan-perbedaan tersebut
dapat mengarah pada kategori sosial. Dan dari ketegori sosial inilah dimulai
lahirnya perbedaan persepsi sosial antara polisi dan warga masyarakat lain dalam
memandang berbagai persoalan. Termasuk perbedaan persepsi mengenai
persoalan mengenai tindakan kriminal yang menimbulkan benturan kewenangan
antara polisi dan SatPol PP untuk mengatasinya yang mengarah pada
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.3
Keberadaan SatPol PP di Kota Jambi merupakan bagian dari proses
penegakan hukum sebagai perangkat pemerintah daerah yang diperlukan guna
mendukung suksesnya pelaksanaan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan
tugasnya, kewenangan Satpol PP sering tumpang tindih dan berbenturan dengan
penegak hukum yang lain terutama polisi. Tindakan kriminal yang terjadi di Kota
Makassar sering ditangani oleh SatPol PP dengan berdasarkan adanya
kewenangan yang diberikan oleh peraturan pemerintah dan peraturan daerah
dalam hal menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Kondisi ini
menghasilkan friksi antara kewenangan Polisi sebagai aparat sentralistik dengan
Satpol PP yang merupakan aparat Pemda yang otonom meskipun kehadiran
3Ali, Menjelajahi Kajian Empiris (Makasar: Kencana, 1998) hlm 169
5
SatPol PP sendiri dapat memberikan kontribusi dalam membantu kepolisian untuk
bertugas di lapangan.4
Prostitusi merupakan fenomena yang sudah ada sejak lama di dunia, tidak
terkecuali Indonesia.prostitusi di Indonesia bermula zaman kerajaan-kerajaan
jawa ysng mengggunakan wanita sebagai bagian dari komoditas sistem
feodal.fenomena prostitusi hingga saat ini masih menjadi masalah yang belum
terselesaikan. Prostitusi atau pelacuran merupakan salah satu masalah sosial yang
kompleks, mengingat prostitusi merupakan peradaban yang termasuk tertua di
dunia dan hingga saat ini masih terus ada pada masyarakat kita.
Praktik prostistusi sudah menjadi rahasia umum, seperti hotel, restoran
maupun tempat di warung remang-remang. Hal tersebut perlu diantisipasi
penyebarannya. Berkaitan dengan hal tersebut , terdapat Peraturan Daerah Kota
Jambi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemberantasan Pelacuran dan Perbuatan
Asusila. Satpol PP memiliki wewenang dalam menyelesaikan permasalahan
prostistusi tersebut.
Asal mula prostitusi modern di Indonesia dapat ditelusuri kembali hingga
ke masa kerajaan Jawa dimana perdagangan pada saat itu merupakan bagian
pelengkap dari sistem pemerintah feodal. Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa
di Jawa berdiri pada tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi
Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta. Mataram merupakan kerajaan
Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa konsep
4 Ali, Menjelajahi Kajian Empiris (Makasar: Kencana, 1998) hlm 170
6
kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung san
mulia (bintara). Kekuasaan raja Mataram sangat besar, mereka dianggap
menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba
sahaja mereka. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat
itu mempunyai arti tersendiri.5
Permasalahan yang muncul dalam melaksanakan tugas sebagai anggota
SATPOL PP khususnya SATPOL PP kota Jambi adalah masalah kewenangan.
Sering kali kewenangan untuk menangani masalah penertiban prostitusi di kota
Jambi sering tumpang tindih dengan kewenangan yang dilakukan oleh anggota
polisi yang ada di kota Jambi. Dalam beberapa kasus sering terjadi salah paham
antara siapa yang berhak menangani kasus prostitusi di Jambi, jadi perlu
pembagian yang jelas antara wewenang polisi dengan SATPOL PP.
Munculnya gambaran miring terhadap sosok aparat SatPolPP tidak lain dan
tidak bukankarena seringnya masyarakat disuguhi aksi-aksirepresif, namun
terkesan arogan dari aparat daerah tersebut saat menjalankanperannya dalam
memelihara dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum.Diberikannya
kewenangan pada SatPol PP untuk memelihara keamanan danketertiban
masyarakat bukanlah tanpa alasan. Namun, didukung oleh dasar pijakanyuridis
yang jelas, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerahmenyebutkanuntuk membantu kepala
5 Sulistyaningsih, E.Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya,(Pustaka Sinar
Harapan dan Ford Foundation,Jakarta, 1997) hlm. 3
7
daerah dalammenegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakatdibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
. SATPOL PP Dalam penegakkan kewenangannya guna menegakkan
peraturan daerah serta keputusan kepala daerah yaitu tentang perda no.2 tahun
2014 , sebagai salah satu tugas utama dari SatPol PP. Masalah lain ketika satpol
PP dalam melaksanakan tugasnya adalah SatPol PP dibatasi oleh kewenangan
represif yang sifatnya nonyustisial. Karenanya, aparat SatPol PP seringkali harus
menghadapi berbagai kendala ketika harus berhadapan dengan masyarakat yang
memiliki kepentingan tertentu dalam memperjuangkan kehidupannya, yang
akhirnya bermuara pada munculnya konflik (bentrokan). Selain itu pihak satpol
pp dalam meneggakkan peraturan daerah khususnya prostitusi sering salah paham
antara wewenang satpol pp dengan polri di kota Jambi, agar kedepannya tidak
terjadi masalah yang serupa, maka di penelitian ini akan diperjelas wewenang
satpol pp dalam menjalankan tugas menertibkan prostitusi di kota Jambi.
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penulis tertarik untuk
meneliti sebuah penelitian yang bertujuan memperjelas kewenangan yang
dilakukan oleh SATPOL PP di Kota Jambi. Maka peneliti ingin menulis skripsi
dengan judul “Wewenang Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Dalam
Penegakan Peraturan Daerah di Kota Jambi (Perda N0.2 Tahun 2014 tentang
Prostitusi)”.
8
B. Rumusan Masalah
Permasalahan penelitian dibuat agar permasalahan yang diangkat tidak
terlalu luas, sehingga pembahasan akan lebih terarah dan mendalam sesuai dengan
sasaran yang ingin dicapai. Untuk memudahkan pembahasan masalah dan
pemahamannya, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kewenangan umum SATPOL PP ?
2. Faktor apa saja yang menjadi penghambat SATPOL PP kota Jambi dalam
melaksanakan kewenangan menegakkan Perda No. 2 tentang prostitusi ?
3. Bagaimana bentuk kewenangan SATPOL PP kota Jambi dalam upaya
penegakan peraturan daerah tentang prostitusi di Jambi (Perda N0.2 Tahun
2014) ?
C. Batasan Masalah
Untuk menghindari adanya perluasan masalah yang dibahas menyebabkan
pembahasan ini menjadi tidak konsisten dengan rumusan masalah yang telah
penulis buat sebelumnya maka memberikan batasan masalah ini hanya membahas
tentang wewenang satuan polisi pamong praja dalam penegakan peraturan daerah
kota Jambi (Perda N0.2 Tahun 2014 tentang Prostitusi), serta Faktor apa saja yang
menjadi kendala dalam penegakan peraturan daerah tersebut pada tahun 2019.
9
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan agar penelitian tersebut dapat
memberikan manfaat yang sesuai dengan apa yang dikehendaki. Adapun tujuan
penelitian ini adalah :
a. untuk mengetahui kewenangan umum SATPOL PP
b. Untuk mengetahui Faktor yang menjadi penghambat SATPOL PP kota
Jambi dalam melaksanakan kewenangan menegakkan Perda No. 2 tentang
prostitusi.
c. Untuk mengetahui kewenangan SATPOL PP kota Jambi dalam upaya
penegakan peraturan daerah kota Jambi (Studi Perda N0.2 Tahun 2014)
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan agar penelitian tersebut dapat
memberikan manfaat yang sesuai dengan apa yang dikehendaki. Adapun tujuan
penulisan ini adalah :
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
penulis khususnya dalam bidang wewenang satpol PP dalam penegakan
peraturan daerah tentang prostitusi.
b. Untuk mendapatkan data guna penyusunan skripsi demi memperoleh gelar
sarjana starata satu (1) di Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri
Sulthan Tha Saifuddin Jambi.
c. Untuk memberikan dasar-dasar serta landasan guna penelitian lebih lanjut.
10
E. Kerangka Teori
1. Pengertian Wewenang
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata
negara dan hukum administrasi. Dalam hukum tata negara dan hukum
administrasi negara, istilah “kekuasaan” dan “wewenang” terkait erat dengan
pelaksanaan fungsi pemerintahan, karena dalam teori kewenangan dijelaskan
bahwa untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, kekuasaan dan kewenangan
sangatlah penting. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini sehingga
F.A.M Stronik dan J.G.Steenbeek menyebutnya sebagai konsep inti dalam
hukum tata negara dan hukum administrasi.6
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata wewenang memiliki
arti :
a. Hak dan kekuasaan untuk bertindak ; kewenangan
b. Kekuasaan membuat keputusan, memerintah melimpahkan tanggung jawab
kepada orang lain,
c. Fungsi yang boleh dilaksanakan
sedangkan kewenangan memiliki arti :
a. Hal berwenang,
b. Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.
6Ridwan, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006) hlm 101
11
Terkait dengan sumber kekuasaan atau kewenangan, Aristoteles
menyebut hukum sebagai sumber kekuasaan. Dalam pemerintahan yang
berkonstitusi, hukum haruslah menjadi sumber kekuasaan bagi para penguasa
agar pemerintahan terarah untuk kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan
umum. Dengan meletakkan hukum sebagai sumber kekuasaan, para penguasa
harus menaklukkan diri di bawah hukum. Pandangan ini berbeda dengan
pandangan pendahulunya. Plato yang meletakkan pengetahuan sebagai sumber
kekuasaan. Karena menurut Plato, pengetahuan dapat membimbing dan
menuntun manusia ke pengenalan yang benar. Karena itu, jika dilihat dari segi
sofatnya wewenang dapat dibedakan atas expressimilied, fakultatif dan
vrijbestuur. Wewenang pemerintahan yang bersifat expressimilied adalah
wewenang yang jelas maksud dan tujuannya, terikat pada waktu tertentu dan
tunduk pada batasan – batasan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, isinya
dapat bersifat umum dan dapat pula bersifat individual konkret. Wewenang
pemerintah bersifat fakulatif adalah wewenang yang peraturan dasarnya
memberikan ruang lingkup longgar kepada pejabat Tata Usaha Negara untuk
mempergunakan wewenang yang dimilikinya. Berbeda dengan kewenangan
ada juga yang disebut dengan otoritas (kekuasaan). Kewenangan dalam
konteks penyelenggaraan negara terkait pula dengan paham kedaulatan
(souveregnity). Dalam konteks wilayah hukum dan kenegaraan, orang yang
berjasa itu memperkenalkan gagasan-gagasan kedaulatan adalah Jean Bodin
dan setelah itu dilanjutkan oleh Hobbes.7
7 Budiharjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta : Gramedia.Pustaka Utama. 1998) hlm 35
12
Mengenai sifat kewenangan pemerintahan yaitu yang bersifat terikat,
fakultatif, dan bebas, terutama dalam kaitannya dalam kewenangan
kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (besluiten) dan
ketetapan-ketetapan (beschikkingan) oleh organ pemerintahan, sehingga
dikenal ada keputusan yang bersifat terikat dan bebas.
Menurut Indroharto; pertama, pada wewenang yang bersifat
terikat, yakni terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam
keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan
dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dan keputusan yang harus
diambil, kedua, wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata
usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau
sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan
dalm hal-hal atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan
dasarnya: ketiga, wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya
memberikan kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk
menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya
atau peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata
usaha negara yang bersangkutan.
Philipus mandiri Hadjon mengutip pendapat N. M. Spelt dan Ten Berge,
membagi kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu kebebasan
kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian
(beoordelingsverijheid) yang selanjutnya disimpulkan bahwa ada dua jenis
13
kekuasaan bebas yaitu : pertama, 17 kewenangan untuk memutuskan mandiri;
kedua, kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (verge norm).
2. Pengertian Polisi Satpol PP
Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP,
merupakan salah satu perangkat yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam
memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan
Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan
dengan Peraturan Daerah. Satpol PP dapat berkedudukan di Daerah Provinsi
dan Daerah, Kota.
1. Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui
Sekretaris Daerah
2. Di Daerah Kota, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui
Sekretaris Daerah.
Menurut tata bahasa Pamong Praja berasal dari kata Pamong dan Praja,
Pamong artinya pengasuh yang berasal dari kata Among yang juga mempunyai
arti sendiri yaitu mengasuh. Mengasuh atau merawat anak kecil itu sendiri
biasanya diartikan sebagai mengemong anak kecil, sedangkan Praja adalah
pegawai negeri. Pangreh Praja atau Pegawai Pemerintahan. Menurut Kamus
14
Besar Bahasa Indonesia Pamong Praja adalah Pegawai Negeri yang mengurus
pemerintahan Negara.8
Definisi lain mengenai Polisi Pamong Praja adalah sebagai salah satu
Badan Pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum
atau pegawai Negara yang bertugas menjaga keamanan. Sedangkan menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 mengenai Satuan Polisi Pamong
dijelaskan Satpol PP adalah bagian dari perangkat aparatur di daerah yang
memiliki kewajiban untuk melaksanakan penegakan peraturan daerah dan
menyelenggrakan ketertiban umum serta menciptakan ketentraman di
masyarakat. Ketertiban umum dan Ketentraman masyarakat merupakan sebuah
keadaan dinamis yang dimana memungkinkan pemerintah daerah dan
masyarakat daerah dapat melakukan kegiatanya dengan tentram, tertib, dan
teraur. Berdasarkan definisi-definisi yang tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa Polisi Pamong Praja adalah Polisi yang mengawasi dan mengamankan
keputusan pemerintah di wilayah kerjanya.9
Berkaitan dengan adanya lembaga pengamanan swakarsa yang dibentuk
atas kemauan masyarakat sendiri, Undang-undang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, sebagai undang-undang yang menjadi dasar pijakan
yuridis dalam hal pemeliharaan keamanan dalam negeri, telah memberikan
kemungkinan dibentuknya Satpol PP, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat
(1c) Undang-undang (UU) No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
8Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka), hlm 817
99 Dirjen PUOD. Pedoman dan Petunjuk Polisi Pamong Praja. Jakarta : Dirjen POUD
15
Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa "Pengemban fungsi kepolisian
adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Kepolisian
Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau bentuk-bentuk pengamanan
swakarsa”.
Keberadaan Polisi Pamong Praja dalam jajaran pemerintahan daerah
mempunyai arti khusus yang cukup menonjol, karena tugas-tugasnya
membantu kepala daerah dalam pembinaan ketentraman dan ketertiban serta
penegakan peraturan daerah sehingga berdampak pada upaya peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pada hakekatnya, seorang anggota Satpol PP adalah seorang polisi, yang
oleh karenanya dapat (dan bahkan harus) dibilangkan sebagai bagian dari
aparat penegak hukum (law enforcer). Dikatakan demikian, karena Satpol PP
dibentuk untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan peraturan daerah
(Perda). Sebagaimana diketahui, Perda menurut Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah salah
satu jenis perundang-undangan.
Pada hakekatnya, seorang anggota Satpol PP adalah seorang polisi, yang
oleh karenanya dapat (dan bahkan harus) dibilangkan sebagai bagian dari
aparat penegak hukum (law enforcer). Dikatakan demikian, karena Satpol PP
dibentuk untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan peraturan daerah
(Perda). Sebagaimana diketahui, Perda menurut Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10
16
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah salah
satu jenis perundang-undangan.10
Pada tahun 1620 Gubernur Jenderal VOC telah membentuk BAILLUW
yaitu semacam Polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas
untukmenangani perselisihan hukum antara warga dan dan VOC juga
menjagaketertiban dan ketentraman warga kota. Pasca Raffles (1815)
BAILLUW ini terus berkembang menjadi organisasi yang tersebar disetiap
Keresidenan dengan dikendalikan sepenuhnya oleh Resident dan asisten
Resident. Satuan baru lainnya yang disebut BESTURPOLITIE atau Polisi
Pamong Praja yang dibentuk dengan tugas membantu Pemerintah Kewedanan
untuk melakukan tugas ketertiban dan keamanan.Keberadaan Polisi Pamong
Praja dimulai pada eraKolonial sejak VOC menduduki Batavia di bawah
pimpinan Gubernur Jenderal PIETER BOTH, bahwa kebutuhan memelihara
Ketentraman dan Ketertiban penduduk sangat diperlukan karena pada waktu
itu Kota Batavia sedang mendapat serangan secara sporadis baik dari
pendduduk lokal maupun tentara Inggris sehingga terjadi peningkatan terhadap
gangguan Ketenteraman dan Keamanan.11
Polisi Pamong Praja (Bestuurpolitie) hadir untukmendukung fungsi-
fungsi pemerintahan pribumiyang dijalankan kepala desa dan membantu
pejabat-pejabat pamong Praja.Ia melekat pada fungsi pamongyang
10
Perda Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 11
Http//:Sejarah Satpol PP. Diakses Tanggal 17 Desember 2018
17
menekankan pada kemampuan memimpinwarga, bukan untuk mengawasi
warga sebagaimanalayaknya fungsi polisi modern.
Pasca proklamasi kemerdekaan yang diawalidengan kondisi yang
mengancam NKRI, dibentuklahDetasemen Polisi Penjaga Keamanan
Kapanewon diYogjakarta sesuai dengan Surat Perintah Jawatan Prajadi DIY
No 1/1948 tertanggal 30 Oktober 1948 untukmenjaga ketenteraman dan
ketertiban masyarakat.Pada tanggal 10 Nopember 1948, lembaga ini
berubahmenjadi Detasemen Polisi Pamong Praja berdasarkanSurat Perintah
Jawatan Praja DIY No 2/1948. Di Jawadan Madura, Satuan Polisi Pamong
Praja dibentuktanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Surat KeputusanMenteri
dalam Negeri NO.UR32/2/21/Tahun 1950untuk mengubah Detasemen Pol PP
menjadi KesatuanPolisi Pamong Praja.Inilah embrio terbentuknya SatPol PP
Tanggal 3 Maret ini kemudian ditetapkan sebagaiHari Jadi Satuan Polisi
Pamong Praja yangdiperingati setiap tahun.
Pada Tahun I960, dimulai pembentukan Kesatuan PolisiPamong Praja di
luar Jawa dan Madura berdasarkanPeraturan Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi DaerahNo. 7 Tahun 1960 tanggal 30 Nopember 1960, yangmendapat
dukungan para petinggi militer (AngkatanPerang). Tahun 1962 namanya
berubah menjadiKesatuan Pagar Baya dengan Peraturan MenteriPemerintah
Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun1962 tertanggal 11 Juni 1962 untuk
membedakannyadari korps Kepolisian Negara seperti dimaksud dalamUU No
13/1961 tentang Pokok-pokok Kepolisian.Tahun 1963, lembaga ini berganti
nama lagi menjadiKesatuan Pagar Praja dengan Peraturan
18
MenteriPemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. 1Tahun 1963 tanggal
11 Februari 1963. Istilah SatPol PP sendiri mulai populer sejak pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah.Dalam Pasal 86 ayat 1 UU itu disebutkan, SatPol PP merupakan
perangkat wilayah yang melaksanakantugas dekonsentrasi.
Untuk menyikapi hal tersebut maka dibentuklah BAILLUW, semacam
Polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas menangani perselisihan
hukum yang terjadi antara VOC dengan warga serta menjaga Ketertiban dan
Ketenteraman warga. Kemudian pada masa kepemimpinan RAAFFLES,
dikembangkanlah BAILLUW dengan dibentuk Satuan lainnya yang disebut
BESTURRS POLITIE atau Polisi Pamong Praja yang bertugas membantu
Pemerintah di Tingkat Kawedanan yang bertugas menjaga Ketertiban dan
Ketenteraman serta Keamanan warga. Menjelang akhir era Kolonial
khususnya pada masa pendudukan Jepang Organisasi polisi Pamong Praja
mengalami perubahan besar dan dalam prakteknya menjadi tidak jelas, dimana
secara struktural Satuan Kepolisian dan peran dan fungsinya bercampur baur
dengan Kemiliteran. Pada masa Kemerdekaan tepatnya sesudah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia Polisi Pamong Praja tetap menjadi bagian
Organisasi dari Kepolisian karena belum ada Dasar Hukum yang mendukung
Keberadaan Polisi Pamong Praja sampai diterbitkannya Peraturan Pemerintah
No.1 Tahun 1948.
19
3. Tugas dan Kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja
Tugas SatPol PP yaitu menegakkan peraturan daerah dan
menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta
perlindungan masyarakat.12
SatPol PP memiliki kewenangan dalam penegakan
hukum Perda karena SatPol PP adalah pejabat Pemerintah Pusat yang ada di
daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan umum. Dengan adanya
kedudukan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Polisi Pamong Praja
berwenang:13
a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda
dan atau peraturan kepala daerah,
b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat,
c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan
masyarakat,
d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur,
atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan
atau peraturan kepala daerah; dan
12
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong
Praja 13 Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja
20
e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur,
atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda atau peraturan
kepala daerah.
4. Dasar Hukum SATPOL PP
Satuan Polisi Pamong Praja telah berusia lebihdari setengah abad,
tetapi sebenarnya keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja makin penting
dan menonjol setelah era reformasi. Tepatnya setelah penerapan UU
OtonomiDaerah. Setelah otonomi daerah,SatPol PPmenjadilembaga yang
independen yang melaporkan langsungtugas dan kewajibannya kepada
pemerintah daerahdan memiliki kantor sendiri. Sebagai lembaga
yangmandiri dan memiliki tugas dan tanggung jawabyang besar, mereka
juga merasa perlu meningkatkankemampuan mereka baik secara fisik
maupun non-fisik untuk anggota-anggotanya.
Peraturan daerah hanya dapat dibentuk apabila ada kesatuan
pendapat antara Bupati/Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, termasuk mengenai keberadaan SatPol PP yang pada dasarnya
mempunyai peranan membantu Bupati/Kepala Daerah di dalam
menyelenggarakan pemerintahan umum. Namun menurut
Misdayanti18,peraturan daerah tersebut harus memenuhi batas-batas
kewenangan yang telah ditentukan dengan keterikatan dalam hubungannya
dengan Pemerintah Pusat yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan
pencegahan, pengawasan penanggulangan dan pengawasan umum.
21
Dasar hukum keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja merupakan
kekuatan yang mengikat dan mengatur segala hal tentang kedudukan Satuan
Polisi Pamong Praja. Dasar atau sumber hukum keberadaan Satuan Polisi
Pamong Praja sendiri terdiri dari:
1) Peranturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2010 tentang
Pedoman Penyelanggaraan Pendidikan dan Pelatihan Dasar Polisi Pamong
Praja.
2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
3) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang tentang Satuan Polisi
Pamong Praja
4) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Pera
5) Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 tahun 2009 Tentang
pembentukan dan susunan organisasi perangkat daerah kota Makassar.
5. Prostitusi
a. Pengertian Prostusi
Sebelum membahas lebih jauh tentang prostitusi, terlebih dahulu harus
dipahami apa sebenarnya pengertian dari pelacur. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), istilah pelacur berkata dasar “lacur” yang berarti
malang, celaka, gagal, sial, atau tidak jadi. Kata lacur bahkan juga memiliki arti
buruk, pelacur melacur di tempat-tempat pelacuran. pelacuran adalah perbuatan
atau praktik seorang perempuan yang jalang, liar, nakal, pelanggar norma susila
22
yang menginginkan lelaki melakukan hubungan seksual dengannya dengan
memberikan bayaran.14
Pelacuran sering disebut sebagai prostitusi (dari bahasa Latin Prostituere
atau Prostauree) misalnya berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan
persundalan pencabulan dan pengendakan. Sejalan dengan itu pula, Iwan Bloch
berpendapat bahwa pelacuran adalah suatu bentuk perhubungan kelamin di luar
pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada siapapun secara terbuka dan
hampir selalu dengan bayaran baik untuk persebadanan maupun kegiatan seks
lainnya yang memberi kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan.
Sementara itu, Commenge mengatakan bahwa:15
Prostitusi atau pelacuran adalah suatu perbuatan seorang wanita
memperdagangkan atau menjual tubuhnya yang dilakukan untuk memperoleh
bayaran dari laki-laki yang datang, dan wanita tersebut tidak ada pencarian nafkah
lainnya kecuali yang diperolehnya dariperhubungan sebentar-sebentar dengan
orang banyak.
Demikianlah beberapa perumusan tentang pelacuran di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan prostitusi, pelacuran, penjaja seks,
pekerja seks komersial atau persundalan adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh
wanita kepada banyak laki-laki (lebih dari satu) dengan imbalan pembayaran guna
14 Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar, Dolly Membedah Dunia Pelacuran Surabaya (
Surabaya: Graffiti Pers, 1985) hlm. 10. 15
Soedjono D, Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam Mayarakat (Bandung:
PT Karya Nusantara, 1977) hlm. 17.
23
disetubuhi dan sebagai pemuas nafsu seks si pembayar, yang dilakukan di luar
pernikahan.
b. Sejarah Singkat Perkembangan Prostitusi di Indonesia
sejarah perkembangan prostitusi di Indonesia terbagi atas tiga tahap
perkembangan, yang pertama adalah perkembangan prostitusi pada masa
kerajaan, diikuti dengan perkembangan prostitusi pada zaman penjajahan dan
perkembangan prostitusi setelah Indonesia merdeka.
1) Perkembangan Prostitusi Masa Kerajaan
Asal mula prostitusi modern di Indonesia dapat ditelusuri kembali hingga
ke masa kerajaan Jawa dimana perdagangan pada saat itu merupakan bagian
pelengkap dari sistem pemerintah feodal. Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa
di Jawa berdiri pada tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi
Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta. Mataram merupakan kerajaan
Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa konsep
kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung san
mulia (bintara). Kekuasaan raja Mataram sangat besar, mereka dianggap
menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba
sahaja mereka. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat
itu mempunyai arti tersendiri.16
Kekuasaan raja yang tidak terbatas ini terlihat dari banyaknya selir yang
dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang
diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi persembahan dari
16 Sulistyaningsih, E., Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya (Pustaka Sinar
Harapan dan Ford Foundation, Jakarta, 1997) hlm. 1
24
kerajaan lain dan ada juga selir yang berada di lingkungan luar kerajaan dengan
maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.
Sebagai selir raja ini dapat meningkatkan statusnya karena anak-anak raja.
Perempuan yang menjadi selir tersebut berasal dari daerah tertentu yang terkenal
banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Dari hasil penelitian
Koentjoro mengidentifikasikan 11 Kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal
sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan, dan sekarang daerah tersebut masih
terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut
adalah Kabupaten Indramayu, Karawang dan Kuningan di Jawa Barat, Pati,
Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah, serta Blitar, Malang,
Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di
Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur dan menurut sejarah daerah ini
merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Cirebon
sebagai selir. Makin banyak selir yang dipelihara bertambah kuat posisi raja di
mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan fisik mengambil banyak selir berarti
mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja dan kaum bangsawan dalam
masyarakat yang mempunyai selir. Oleh karena itu, status perempuan pada zaman
kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang hantaran) dan sebagai selir.
2) Perkembangan Prostitusi Masa Penjajahan
Bentuk industri yang terorganisir berkembang pesat dapa periode
penjajahan Belanda. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan
tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pemuas
seks masyarakat Eropa. Umumnya aktivitas ini berkembang di daerah sekitar
25
pelabuhan Nusantara ini. Pemuas seks untuk para serdadu, pedagang dan para
utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke
Nusantara. Situasi pada masa kolonial tersebut membuat sakit hati perempuan
Indonesia, karena telah menempatkan mereka pada posisi yang tidak
menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat, dan
dirugikan dari segi kesejahteraan sosial.
Tahun 1853 pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui
komersialisasi industri seks tetapi dengan serangkaian aturan untuk menghindari
tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum
tersebut masih berlaku hingga sekarang. Meskipun istilah yang digunakan berbeda
tetapi telah memberikan kontribusi bagi penelaah industri seks yang berkaitan
dengan karakteristik dan dialek yang digunakan saat ini. Apa yang digunakan
sebagai wanita tuna susila sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai wanita
public menurut aturan yang dikeluarkan tahun 1852.17
Pada tahun 1875, Pemerintah Batavia (kini Jakarta) mengeluarkan
peraturan berkenaan dengan pemeliharaan kesehatan. Peraturan tersebut
menyebutkan antara lain bahwa petugas kesehatan bertanggung jawab untuk
memelihara kesehatan para wanita publik. Para petugas kesehatan ini pada
peringkat III (tidak setara dengan eselon III zaman sekarang yaitu kepala Biro
pada organisasi pemerintah) mempunyai kewajiban untuk mengunjungi dan
memeriksa wanita publik pada setiap hari Sabtu pagi. Sedangkan para petugas
pada peringkat lebih tinggi (peringkat II) bertanggung jawab untuk mengatur
17 Sulistyaningsih, Sejarah dan Perkembangan Prostitusi di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1977) hlm. 3.
26
wadah yang diperuntukkan bagi wanita, umumnya yang sakit dan perawatan lebih
lanjut.
Berdasarkan laporan pada umumnya, meskipun telah banyak dikeluarkan
peraturan, aktivitas prostitusi tetap saja meningkat secara drastic pada abadke-19,
terutama setelah diadakannya pembenahan hukum agrarian pada tahun 1870,
dimana pada saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam
modal asing. Pertumbuhan gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian
perkebunan-perkebunan di Sumatera dan pembangunan jalan raya dan jalur kereta
api, telah merangsang terjadinya migrasi tenanga kerja laki-laki secara besar-
besaran. Sebagian dari pekerja tersebut adalah bujangan yang menciptakan
pemerintah terhadap aktivitas prostitusi.
Pada masa pendudukan Jepang, banyak perempuan dewasa dan anak -
anak sekolah yang tertipu atau dipaksa memasuki dunia prostitusi. Bangsa Jepang
menawarkan pendidikan dan kehidupan yang baik di Tokyo atau di kota - kota
besar di Indonesia lainnya kepada sejumlah pelajar perempuan. Banyak calon
yang berparas menarik dan cerdas dari keluarga kalarigarl atas untuk mencoba
tawaran pihak Jepang ini. Kondisi para perempuan pekerja seks selama masa
penjajahan Belanda sangat berbeda apabila dibandingkan dengan kondisi
kelompok yang sama zaman Jepang. Sebuah dokumen yang dikumpulkan majalah
mingguan tempo menyebutkan bahwa perempuan yang menjadi pelacur pada
kedua masa penajajahan itu, umumnya lebih menyukai kehidupan yang tentram
pada masa penjajahan Belanda, karena pada masa banyak sinyo yang memberi
27
mereka hadiah berupa pakaian, perhiasan bahkan tempat tinggal. Sebaliknya pada
masa pendudukan Jepang pekerjaan mereka terasa sulit.
6. Kebijakan
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan
kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan juga sebagai suatu program
pencapain tujuan, nilai-nilai dan tindakan-tindakan yang terarah dan kebijakan
juga merupakan serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukan kesulitan-
kesulitan dan kemungkinan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai
tujuan tertentu.
Kebijakan adalah sebuah instrumen pemerintah, bukan saja dalam arti
government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula gevernance
yang menyentuh pengelolaan sumberdaya publik. Kebijakan pada intinya
merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara
langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial
dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk,
masyarakat atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi,
kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideology dan
kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara.
28
kebijakan publik adalah „apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan‟. Sedangkan menurut Hogwood dan Gunn, 1990
Edi Suharto (2007:4) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat
tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Ini tidak
berarti bahwa makna „kebijakan‟ hanyalah milik atau dominan pemerintah saja.
Organisasi-organisasi non-pemerintah, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), Organisasi Sosial (Misalnya Karang Taruna, Pendidikan Kesejahtraan
Keluarga/PKK) dan lembagalembaga sukarela lainnya memiliki kebijakan-
kebijakan pula.18
Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik
biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan
tujuan yang jelas. Implimentasi kebijakan dari sudut pandang teori siklikal
(cyclical theory) maka implementasi itu akan diperlukan sebagai suatu tahapan
penting yang berlangsung dari proses kebijakan, terutama setelah wacana legal
formal, biasanya berupa undang-undang, peraturan, ketetapan, atau bentuk-bentuk
produk lainnya, dianggap sudah usai.
F. Tinjauan Pustaka
Terdapat penelitian yang memiliki kesamaan tema dengan penelitian yang
peneliti lakukan yaitu :
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Eka Novianti Pertiwi dengan judul
penelitiannya “ Wewenang Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dalam
18
Suharto, Edi. Membangaun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. (Refika Aditama. Bandung.
2007) hlm 5
29
Penegakan Peraturan Daerah di Makasar”, Universitas Hasanuddin Makasar
Tahun 2014. Penelitian ini mengkaji wewenang SATPOL PP secara keseluruhan
dalam menegakkan peraturan daerah secara keseluruhan atau semua bentuk
peraturan daerah yang ada di kota Makasar. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif normatif yaitu data yang diperoleh dari
penelitian diuraikan sehingga memberikan gambaran secara jelas dan konkrit
terhadap objek yang dibahas.19
Penelitian yang kedua, adalah penelitian yang dilakukan oleh Fredi Anton
Nugroho dengan judul penelitiannya adalah peranan satuan polisi pamong praja
dalam mengimplikasikan peraturan daerah tentang pedagang kaki lima di
surakarta. Hasil dalam penelitian ini adalah Peran Satpol PP Kota Surakarta dalam
penataan PKL adalah penertiban dan sosialisasi. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan Satpol PP Kota Surakarta dalam penertiban PKL dengan cara: 1)
preventif , dalam melakukan kegiatan ini dengan melakukan dialog yang
diinginkan pemerintah dengan apa yang diinginkan PKL untuk menemukan titik
temu yang terbaik, 2) penindakan, dalam melakukan kegiatan ini Satpol PP
melakukan penentuan tempat relokasi dan pembangun tempat relokasi bersama-
sama dengan PKL, 3) represif, kegiatan ini tidak dilakukan dikarenakan dalam
penertiban PKL di Kota Surakarta selalu melakukan dialog dengan PKL.20
19
Pertiwi, Eka Novianti. Wewenang Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dalam
Penegakan Peraturan Daerah di Makasar (Skripsi. 2014) 20
Nugroho, Fredi Anton. peranan satuan polisi pamong praja dalam mengimplikasikan peraturan
daerah tentang pedagang kaki lima di surakarta (Skripsi. 2017)
30
Penelitian yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Widi Aulia
Rahkman pada tahun 2016 dengan judul penelitian peran SATPOL PP kabupaten
Temanggung terhadap kenakalan pelajar di Kabupaten Temanggung. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Bentuk-bentuk pembinaan
danpembimbingan terhadap pelajar yang dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten
Temanggung adalah bentuk pembinaan fisik, pembinaan mental serta mengisi
surat pernyataan serta dalam pembinaan dilakuakan oleh tim pembinaan pelajar
yang berisikan Dinas Pendidikan, Kemenag, Polres Temanggung serta Satpol PP.
(2) Dalam pembinaan dan pembimbingan terhadap pelajar yang dilakukan Satpol
PP terdapat hambatan, antara lain : Jadwal pembinaan dan pembimbingan yang
dengan jadwal kurikulum dan sekolah tidak singkron, Sarana dan prasana kurang
memenuhi dan menunjang kegiatan, Jumlah anggota Satpol PP masih kurang,
Kesadaran pelajar terhadap tugas pelajar kurang, Luasan wilayah Kabupaten
Temanggung.21
Penelitian keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Martha Maharani
dengan judul penelitiannya adalah kedudukan satuan polisi pamong praja dalam
pelaksanaan pemilihan umum. Hasil dari penelitian ini adalah secara umum tugas
dan kewenangan tersebut dalam makna essensi tugas dan kewenangan Satuan
Polisi Pamong Praja sebagai bagian dari perangkat daerah dalam penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Dengan demikian secara luas,
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat tersebut
21
Rakhman, Widi Aulia. peran SATPOL PP kabupaten Temanggung terhadap kenakalan pelajar
di Kabupaten Temanggung (Skipsi. 2016)
31
diwujudkan dalam mengawal tahapan pelaksanaan pemilihan umum di wilayah
dinas Satpol PP yang bersangkutan.22
Perbedaan penelitian diatas dengan penelitian ini yaitu : tempat penelitian,
objek kajian dan pada judul penelitian. Begitu pula dengan hasil penelitiannnya
nanti.
22
Maharani, Marta. kedudukan satuan polisi pamong praja dalam pelaksanaan pemilihan umum
(Skripsi. 2017)
32
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.
Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu. Sistematis adalah
berdasarkan suatu sistim, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.
Penulis menggunakan sifat penelitian yang deskriptif kualitatif, yang
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan atau gejala-gejala lainnya.23
Penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang wewenang satuan
polisi pamong praja dalam menegakkan peraturan daerah di Kota Jambi perda
No.2 Tahun 2014 tentang prostitusi.
B. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang peneliti pilih adalah jenis penelitian hukum
empiris. Jenis penelitian empiris adalah penelitian yang pada awalnya meneliti
data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data
primer di lapangan, atau terhadap masyarakat. Data sekunder dalam penelitian
adalah perda kota Jambi No. 2 tahun 2014 kemudian baru dilihat kenyataan
23
Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 2006) hlm 10
33
dilapangan bagaimana proses SATPOL PP dalam proses melaksanakan
wewenangnya.
2. Sumber Data
a. Primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh secara
langsung dari lapangan, yang dalam penelitian ini adalah semua pihak
yang dapat memberikan keterangan secara langsung mengenai segala hal
yang berkaitan dengan objek penelitian. Sumber data primer dalam
penelitian ini adalah wawancara dengan anggota SATPOL PP Kota
Jambi.
b. Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data yang mendukung
sumber data primer. Adapun sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini:
1) Perda No.2 Tahun 2014
2) Karya ilmiah para sarjana
3) Hasil penelitian
4) Buku-buku
5) Internet
6) Makalah.
34
C. Teknik Pengumpulan Data
Penulis akan mempergunakan dua macam teknik pengumpulan data, yaitu:
1. Observasi
Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan pengamatan
langsung dan pencatatan secara sistematis terhadap obyek yang akan diteliti.
Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara pengamatan dan pencatatan
mengenai proses penegakkan Perda No. 2 tahun 2014 tentang prostitusi di kota
Jambi yang dilakukan oleh SATPOL PP.
2. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara melakukan
tanya jawab dengan responden atau informan. Jenis wawancara dalam penelitian
ini merupakan wawancara tak terstruktur adalah wawancara yang bisa dikatakan
pertanyaan dan jawabannya diserahkan atau berada pada orang yang
diwawancarai. Wawancara tak terstruktur bisa disebut juga wawancara mendalam,
karena peneliti merasa tidak tahu apa yang belum diketahuinya. Peneliti akan
mewawancarai pihak yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan wewenang
satuan polisi pamong praja dalam menegakkan Perda no. 2 tahun 2014 tentang
prostitusi. Yaitu :
a. Drs H. Yan Ismar, M.H (Kepala Satuan)
b. Said Faizal. S.H (Bidang Penegakkan Peraturan Daerah)
c. Mukhatab SIP (Bidang perlindungan Masyarakat)
35
3. Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan suatu bentuk pengumpulan data dengan cara
membaca literatur, hasil penelitian, dokumen dan peraturan yang berhubungan
dengan objek penelitian
D. Analisis Data
Analisis data merupakan cara yang dipakai untuk menelaah seluruh data
yang tersedia dari berbagai sumber.24
Sehingga untuk memperoleh kesimpulan
yang kuat maka digunakan analisis kualitatif dengan metode berfikir secara
deduktif yaitu metode yang dimulai dari analisis yang bersifat umum untuk
mendapatkan hasil yang bersifat khusus. Cara ini menggunakan analisis yang
berpijak dari pengertian-pengertian atau fakta-fakta yang bersifat umum.
Kemudian diteliti yang hasilnya dapat memecahkan persoalan khusus. Syarat-
syarat yang diperlukan bagi seseorang peneliti agar mendapatkan dasar-dasar
deduksi yang benar dan tepat memerlukan ketekunan, ketelitian dan kecermatan
dalam pengumpulan fakta-fakta, objektif dalam menganalisa, menginterpretasi
dan menarik kesimpulan.25
Dari keseluruhan data yang sudah dikumpulkan dan telah dilakukan
pemeriksaan, kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode
deskriptif kualitatif, yaitu dengan menggambarkan arti terhadap data yang akan
disajikan dalam bentuk kalimat untuk selanjutnya ditarik kesimpulan guna
24
Lexy J Moleong. Metodologi Penelitian Kuantitatif (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.2002) hlm 190
Mardali. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal ( Jakarta: Bumi Askara.
2004) hlm 21
36
menjawab permasalahan dan penelitian terhadap wewenang SATPOL PP kota
Jambi tentang penegakkan tindak prostitusi di kota Jambi sesuai dengan perda No.
2 Tahun 2014.
Terdapat tiga macam kegiatan analisis data kualitatif, yaitu :
1. Reduksi Data
Data yang diperoleh dari lokasi penelitian dituangkan dalam uraian
atau laporan yang lengkap dan terperinci. Laporan lapangan oleh peneliti
direduksi, dirangkum dan dipilih hal – hal yang pokok, difokuskan dengan
hal – hal yang penting dan kemudian dicari polanya. Selama tahap
pengumpulan data berlangsung dilakukan tahap reduksi data, selanjutnya
dengan cara membuat ringkasan, pengkodean, menelusuri pola, membuat
gugus-gugus dan menulis memorandum teoritis. Reduksi data dalam
penelitian ini adalah dengan memilih data-data yang telah diperoleh di
lapangan yang mendukung topik penelitian seperti Perda No. 2 tahun 2014
dan hasil wawancara.
2. Penyajian data
Penyajian data bertujuan memudahkan penelitian untuk melihat
gambaran secara keseluruhan atau bagan-bagan tertentu dan penelitian. Data
dapat disajikan dalam bentuk matriks, peta atau uraian naratif. Pada
penelitian ini penyajian data berupa uraian naratif mengenai wewenang
37
satuan polisi pamong praja dalam melaksanakan wewenangnya, sesuai
dengan perda No. 2 tahun 2014 tentang prostitusi.26
3. Penarikan simpulan atau verifikasi
Verifikasi data dalam penelitiaan kualitatif dilakukan secara terus-
menerus selama penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan
selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha menganalisis dan
mencari makna dari data yang dikumpulkan dengan mencari pola, tema,
hubungan persamaan, hal-hal yang sering ditimbul dan yang dituangkan
dalam kesimpulan. Pada penelitiaan ini peneliti menganalisis data yang
diperoleh dilapangan terkait wewenang satuan polisi pamong praja dalam
menerapkan perda no.2 tahun 2014 di kota Jambi.
E. Sistimatika Penulisan
Untuk mendapatkan pemahaman secara runtut, pemabahasan dalam
penulisan skripsi ini akan disistemtisasi sebagai berikut :
Pembahasan diawali dengan BAB I, Pendahuluan. BAB ini pada hakikatnya
menjadi pijakan bagi penulisan skripsi, baik mencakup background, pemikiran
tentang yang dibahas. BAB I mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori,
Kerangka Pemikiran, Tinjauan Pustaka.
26
Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif (Malang. UMM Press. 2008) hlm 7
38
BAB II dipaparkan, Metode Penelitian yang mencakup Pendekatan
Penelitian, Jenis Dan Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Sistematika
Penulisan dan Jadwal Penelitian.
BAB III dipaparkan tentang gambaran umum mengenai teori wewenang
Polisi Pamong Praja (SATPOL PP).
BAB IV merupakan inti dari penulisan skripsi yaitu pemaparan tentang
pembahasan dan hasil penelitian.
BAB V penutup yang terdiri dari kesimpilan dan saran-saran, kata penutup
serta dilengkapi dengan Daftar Pustaka, Lampiran dan Curriculum Vitae.
Daftar Pustaka
F. Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian ini dibuat agar waktu penelitiannya jelas dan terarah,
No
Kegiatan
Tahun 2018
September Oktober November Desember
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengajuan
Judul
√
2 Pembuatan
Proposal
√
3 Perbaikan √
39
Proposal
dan
Seminar
4 Surat Izin
Riset
√
Tahun 2019
Januari Februari Maret April
5 Pengumpu
lan Data
√
6 Pengolaha
n dan
Analisis
Data
√
7 Pembuatan
Laporan
√
8 Bimbingan
dan
Perbaikan
√
9 Agenda
dan Ujian
Skripsi
√
10 Perbaikan
dan
√
40
Penjilidan
41
BAB III
GAMBARAN UMUM
TENTANG LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum SATPOL PP Kota Jambi
1. Sejarah SATPOL PP
Keberadaan Satuan Polisi Pamong Prajayang bermoto
Prajawibawa,sebenarnya bisa dilacak lebih jauh pada pembentukanBailluw saat
VOC menduduki Batavia (1602). Bailluwsaat itu merupakan polisi yang
merangkap jaksa danhakim yang bertugas untuk menangani perselisihan hukum
yang timbul antara VOC dengan warga kota.Selain menjaga ketertiban dan
ketenteraman wargakota, institusi ini berkembang menjadi organisasi kepolisian
di setiap Keresidenan dan Kawedananuntuk melakukan tugas-tugas ketertiban
dankeamanan pasca kekuasaan Raffles (1815). Bailluwini terus berkembang
menjadi suatu organisasi yangtersebar di setiap Keresidenan dengan
dikendalikansepenuhnya oleh residen dan asisten residen.
Selanjutnya, organisasi kepolisian kolonialdikembangkan menjadiPertama,
Polisi Pamong Praja(Bestuurpolitie) yang ditempatkan menjadi bagiandari
pemerintahan pribumi yang didukung oleh kepalakepala desa, para penjaga
malam, dan agen-agen polisi yang diperbantukan pada pejabat-pejabatpamong
Praja.Kedua, Polisi Umum (Algemeen Politie)yang merupakan kesatuan khusus
dan berfungsi untukmenyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepolisian.Ketiga, polisi
bersenjata (Gewapende Politie).Untukpolisi pamong Praja dan polisi umum,
keduanyaditempatkan di bawah Kejaksaan (Procureur Generaal)pada Mahkamah
42
Agung (Hoogerrechtshof) sebagaipenanggung jawab tertinggi atas
pemeliharaankeamanan dan ketertiban umum. Polisi Pamong Praja
(Bestuurpolitie) hadir untukmendukung fungsifungsi pemerintahan pribumiyang
dijalankan kepala desa dan membantu pejabat-pejabat pamong Praja.Ia melekat
pada fungsi pamongyang menekankan pada kemampuan memimpinwarga, bukan
untuk mengawasi warga sebagaimanalayaknya fungsi polisi modern.
Pasca proklamasi kemerdekaan yang diawalidengan kondisi yang
mengancam NKRI, dibentuklahDetasemen Polisi Penjaga Keamanan Kapanewon
diYogjakarta sesuai dengan Surat Perintah Jawatan Prajadi DIY No 1/1948
tertanggal 30 Oktober 1948 untukmenjaga ketenteraman dan ketertiban
masyarakat.Pada tanggal 10 Nopember 1948, lembaga ini berubahmenjadi
Detasemen Polisi Pamong Praja berdasarkanSurat Perintah Jawatan Praja DIY No
2/1948. Di Jawadan Madura, Satuan Polisi Pamong Praja dibentuktanggal 3 Maret
1950 berdasarkan Surat KeputusanMenteri dalam Negeri NO.UR32/2/21/Tahun
1950 untuk mengubah Detasemen Pol PP menjadi KesatuanPolisi Pamong
Praja.Inilah embrio terbentuknya SatPol PP Tanggal 3 Maret ini kemudian
ditetapkan sebagaiHari Jadi Satuan Polisi Pamong Praja yangdiperingati setiap
tahun.27
Pada Tahun I960, dimulai pembentukan Kesatuan PolisiPamong Praja di
luar Jawa dan Madura berdasarkanPeraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi
DaerahNo. 7 Tahun 1960 tanggal 30 Nopember 1960, yangmendapat dukungan
para petinggi militer (AngkatanPerang). Tahun 1962 namanya berubah
27
Sejarah SATPOL PP. Id.M.wikipedia.org. Diakses tanggal 5 April 2019
43
menjadiKesatuan Pagar Baya dengan Peraturan MenteriPemerintah Umum dan
Otonomi Daerah No. 10 Tahun1962 tertanggal 11 Juni 1962 untuk
membedakannyadari korps Kepolisian Negara seperti dimaksud dalamUU No
13/1961 tentang Pokokpokok Kepolisian.Tahun 1963, lembaga ini berganti nama
lagi menjadiKesatuan Pagar Praja dengan Peraturan MenteriPemerintahan Umum
dan Otonomi Daerah No. 1Tahun 1963 tanggal 11 Februari 1963. Istilah SatPol
PP sendiri mulai populer sejak pemberlakuan UndangUndang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.Dalam Pasal 86 ayat 1 UU itu
disebutkan, SatPol PP merupakan perangkat wilayah yang melaksanakantugas
dekonsentrasi.
2. Dasar Hukum Satuan Polisi Pamong Praja
Satuan Polisi Pamong Praja telah berusia lebihdari setengah abad, tetapi
sebenarnya keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja makin penting dan menonjol
setelah era reformasi. Tepatnya setelah penerapan UU OtonomiDaerah. Setelah
otonomi daerah,SatPol PPmenjadilembaga yang independen yang melaporkan
langsungtugas dan kewajibannya kepada pemerintah daerahdan memiliki kantor
sendiri. Sebagai lembaga yangmandiri dan memiliki tugas dan tanggung
jawabyang besar, mereka juga merasa perlu meningkatkankemampuan mereka
baik secara fisik maupun non-fisik untuk anggota-anggotanya. Peraturan daerah
hanya dapat dibentuk apabila ada kesatuan pendapat antara Bupati/Kepala Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, termasuk mengenai keberadaan SatPol PP
yang pada dasarnya mempunyai peranan membantu Bupati/Kepala Daerah di
dalam menyelenggarakan pemerintahan umum. Peraturan daerah tersebut harus
44
memenuhi batas-batas kewenangan yang telah ditentukan dengan keterikatan
dalam hubungannya dengan Pemerintah Pusat yang diwujudkan dalam bentuk
pengawasan pencegahan, pengawasan penanggulangan dan pengawasan umum.
Dasar hukum keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja merupakan kekuatan
yang mengikat dan mengatur segala hal tentang kedudukan Satuan Polisi Pamong
Praja. Dasar atau sumber hukum keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja sendiri
terdiri dari: 1) Peranturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2010 tentang
Pedoman Penyelanggaraan Pendidikan dan Pelatihan Dasar Polisi Pamong Praja.
2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 3)
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang tentang Satuan Polisi Pamong
Praja 4) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah. 5) Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 tahun 2009
Tentang pembentukan dan susunan organisasi perangkat daerah kota Jambi.
45
B. Struktur Organisasi SATPOL PP Kota Jambi
Berikut ini akan dipaparkan strutur organisasi dalam pengelolaan satuan
polisi pamong praja yang di Kota Jambi.28
Tabel 3.1
Struktur SATPOL PP Kota Jambi
NO NAMA JABATAN
1 Drs H. Yan Ismar, M.H Kepala Satuan
2 H. Ermawati, S.e Kasubag Umum dan Kepegawaian
3 Alwir, S.e Kasubag Keuangan dan Aset
4 Sagap Ali Solihin, S.e Bagian Program
5 M. Fajri, Se. M.e Bidang Ketentraman dan
ketertiban Masyarakat
6 Said Faizal. S.H Bidang Penegakkan Peraturan
Daerah
7 Mukhatab SIP Bidang perlindungan Masyarakat
8
Rasta Tri Jaya, S.e Seksi Intelejen dan Kewaspadaan
Dini
28
Dokumentasi SATPOL PP Tahun 2019
46
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja Secara Umum
Tugas SatPol PP yaitu menegakkan peraturan daerah dan
menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta
perlindungan masyarakat. 29
SatPol PPmemiliki kewenangan dalam penegakan hukum Perda karena
SatPol PP adalah pejabat Pemerintah Pusat yang ada di daerah yang
melaksanakan urusan pemerintahan umum. Dengan adanya kedudukan di atas
maka dapat disimpulkan bahwa Polisi Pamong Praja berwenang : 30
1. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas
Perda dan atau peraturan kepala daerah.
Arti dari tindakan Non-Yutisial adalah tindakan penertiban atau
tindakan yang dilakukan oleh satpol pp dalam rangka menjaga dan
memulihkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat terhadap
pelanggaran perda dan perkada dengan cara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan tidak sampai pada proses peradilan.
29
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja 30
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja
47
Untuk itu peneliti melakukan wawancara terhadap bapak M.Fajri
selaku bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat, yaitu :31
Dalam hal penangan secara Non-Yutisial kami dari pihak SATPOL
PP Kota Jambi melakukan deteksi dan cegah dini segala penyebab
yang menggangu ketertiban masyarakat, seperti penangan unjuk
rasa dan kerusuhan massa. Selain itu pihak SATPOL PP Kota
Jambi juga melakukan patroli di berbagai tempat keramaian yang
berada di kota Jambi.
Hal tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa kegiatan tersebut
selalu dilakukan oleh pihak SATPOL PP Kota Jambi dalam rangka
menjaga ketertiban umum.
2. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Pada bagian ini kewenangan SATPOL PP Kota Jambi yang
selanjutnya adalah menindak warga masyarakat yang mengganggu
ketertiban umum seperti anak jalanan, pengamen dan lain sebagainya.
Aparatur negara juga merupakan wewenang SATPOL PP dalam
melakukan penindakan, penindakan yang dilakukan adalah mengamankan
para aparatur negara yang bolos di jam kerja. Untuk itu peneliti melakukan
wawancara terhadap bapak M.Fajri, yaitu :
Pihak SATPOL PP kota Jambi selain mengakkan peraturan daerah
juga melakukan penindakan secara langsung, seperti menangkap
anak jalanan yang meresahkan warga, anak PUNK yang
berkeliaran langsung ditindak.
31
M. Fajri, Se. M.e (Bidang Ketentraman dan ketertiban Masyarakat)
48
Dari hasil wawancara tersebut pihak SATPOL PP juga melakukan
penindakan langsung terhadap masyarakat yang mengganggu ketertiban
dan ketentraman umum masyarakat.
3. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan
masyarakat.
4. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur,
atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda
dan/atau peraturan kepala daerah.
5. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur,
atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau
peraturan kepala daerah.
B. Faktor yang menjadi kendala dalam penegakan peraturan daerah kota
Jambi (Studi Pada Perda N0.2 Tahun 2014 tentang Prostitusi) yang
dilakukan oleh satuan polisi pamong praja
Dalam rangka upaya untuk mencapai sasaran yang diharapkan berkenaan
dengan penegakan peraturan daerah kota oleh Satuan Polisi Pamong Praja dalam
lingkup Pemerintah Daerah Kota Jambi, hal ini sangat terkait dengan pelaksanaan
penertiban yang dilakukan oleh polisi pamong praja itu sendiri. Proses
pelaksanaan penertiban yang dilakukan tersebut dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu :
49
1. Kualitas Sumber Daya Manusia
Berdasarkan hasil wawancara penulis di Kantor Satpol PP Pemerintah
Daerah Kota Jambi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap upaya
peningkatan kinerja penegakan peraturan daerah kota Jambi oleh Satuan Polisi
Pamong Praja adalah sumber daya manusia berupa pelatihan kerja lapangan
dimana masih ada aparat yang belum mampu melaksanakan tugasnya sesuai
ketentuan yang berlaku dalam hal penegakan peraturan daerah lingkup Pemerintah
Daerah Kota Jambi.
Masih lemahnya sistem pengembangan staf sehingga mengakibatkan
kinerja Satuan Polisi Pamong Praja semakin kurang memadai dalam menegakkan
peraturan daerah. Kondisi ini juga mengakibatkan kurang mantapnya kinerja
aparat satuan polisi pamong praja dalam lingkup Pemerintah Daerah Kota Jambi.
Sumber daya aparatur Satuan Polisi Pamong Praja tidak saja harus memadai
tetapi juga diperlukan kemampuan serta kebutuhan fungsi-fungsi manajemen.
Dapat diartikan bahwa kelemahan yang terjadi akibat rendahnya kualitas SDM
aparatur Satuan Polisi Pamong Praja. menyebabkan keberhasilan penegakan
peraturan daerah kota akan sulit dicapai, dan keunggulan SDM aparatur Satuan
Polisi Pamong Praja akan menghasilkan kinerja dalam penegakan peraturan
daerah kota yang kurang maksimal. Seperti wawancara yang peneliti lakukan
terhadap Ibuk Ermawati, yaitu :
“Kendala yang kami hadapi adalah dari segi kualitas SDM yang masih
kurang memadai, karena masih banyak pihak SATPOL PP kota Jambi yang
kurang memahami aturan atau pasal yang sebenarnya. Hanya langsung melakukan
50
penindakan saja, hal tersebutlah yang sering membuat terjadi kesalah pahaman
dengan aparat kepolisian.” 32
Hasil dari wawancara peneliti juga mendapatkan bahwa banyak dari
petugas SATPOL PP paham aturannya secara umum saja, tetapi tidak begitu
paham bagaimana isi perda yang sebenarnya, khususnya perda no. 2 tahun 2014
tentang prostitusi.
2. Sarana dan Prasarana
Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap kantor SATPOL PP Kota
Jambi mengenai faktor apa saja yang dapat mempengaruhi SATPOL PP Kota
Jambi dalam melaksanakan tujuannya untuk mencapai ketentraman dan
perdamaian di masyarakat. Khususnya disini adalah melaksanakan perda No. 2
Tahun 2014 tentang prostitusi.
Berikut hasil wawancara peneliti dengan Ketua SATPOL PP Kota Jambi,
yaitu :
Kendala yang kami hadapi dalam usaha penegakkan prostitusi yang ada di
kota Jambi adalah sarana dan prasaran yang kurang, seperti fasilitas
kendaraan roda 4 yang kami nilai masih kurang banyak, perlu ada
penambahan lagi agar pelaksanaan penertiban prostitusi di kota Jambi
semakin maksimal.33
Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa
salah satu kendala lain yang dihadapi oleh SATPOL PP kota Jambi adalah masih
kurangnya sarana dan prasarana dalam melaksanakan tugasnya.
32
H. Ermawati, S.e (Kasubag Umum dan Kepegawaian) 33
Drs H. Yan Ismar, M.H (Kepala Satuan SATPOL PP Kota jambi)
51
C. Wewenangan Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Penegakan Peraturan
Daerah Kota Jambi tentang Penertiban Prostitusi
Penegakan hukum memang wajib dilaksanakan demi tercapainya suatu
daerah yang aman, tertib serta tentram. SAT POLPP merupakan salah satu
instansi yang membantu menjaga ketertiban, kenyamanan dan keamanan. Demi
terwujudnya hal demikian, ada beberapa wewenang yang bisa dilakukan oleh
SATPOL PP kota Jambi yang sesuai dengan perda No.2 Tahun 2014, antara lain :
1. Daerah yang menjadi kawasan penerapan Perda No. 2 harus di wilayah
Kota Jambi.
2. Memberikan sanksi kepada pelaku asusila dan pelacuran
3. SATPOL PP memberikan bantuan sosial kepada pelaku asusila dan
pelacuran sesuai dengan pasal 1 ayat 8 yang berisi Bantuan Sosial adalah
pemberian bantuan berupa uang/barang dari Pemerintah kepada individu,
keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus
menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan
dari terjadinya resiko sosial.
4. Memberikan izin usaha kepada pelaku usaha sesuai dengan pasal 1 ayat
10 yang berisi Izin usaha adalah izin yang diberikan kepada setiap orang
atau badan yang melakukan usaha secara teratur dan terus menerus
dengan maksud mencari keuntungan.
52
5. SATPOL PP berhak menutup tempat usaha prostitusi sesuai dengan
pasal 1 ayat 12 yang berisi Penutupan tempat usaha adalah kegiatan
penutupan tempat usaha.
6. Memberikan pembinaan terhadap pelaku tindak pidana pelacuran dan
asusila yang sesuai dengan pasal 2 ayat 1 yang berisi Pelaku pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf b dan huruf d
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Pemberantasan Pelacuran dan Perbuatan Asusila yang telah selesai
menjalani hukumannya dilakukan tindakan pembinaan.
Pembinaan dilakukan dengan berbagai cara, antara lain :
a. bimbingan mental,
b. bimbingan sosial
c. bimbingan fisik
d. bimbingan keterampilan.
Berdasarkan wewenang dan hak SATPOL PP dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya, terdapat beberapa hal yang telah dilakukan oleh SATPOL PP
kota Jambi dalam melaksanakan wewenangnya dalam menjalankan perda kota
Jambi No.2 Tahun 2014, antara lain :
1. Memberikan sanksi tindakan, sanksi tindakan ini dibagi menjadi dua,
yaitu sanski administratif dan sanksi pidana. Pola pemberian sanksi yaitu berupa
53
sanksi administratif terlebih dahulu kepada tempat usaha yang berupa Teguran
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing dengan tenggang waktu
10 (sepuluh) hari kerja. Apabila setelah 10 hari kerja belum juga ada tanggapan dari
pihak pemilik usaha prostitusi. Maka akan dilakukan penindakan tegas berupa
Pencabutan izin usaha dan penutupan tempat usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berupa penyegelan tempat usaha. Seperti hasil wawancara peneliti
dengan kepala satuan SATPOL PP kota Jambi bapak Yan Ismar yaitu :
“Kami dari pihak SATPOL PP kota Jambi akan memberikan tindakan tegas
terhadap pihak yang memiliki usaha prostitusi. Kami memberikan peringatan
selama 10 hari kerja, apabila tidak ada juga tanggapan dari pihak yang memiliki jasa
usaha prostitusi, akan langsung kami tindak tegas seperti penutupan tempat usaha
selamannya.”34
Setelah melakukan sanksi administratif, kemudian terdapat juga sanksi
pidana berupa Penerapan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Daerah Kota Jambi
Nomor 2 Tahun 2014 dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku.
2. SATPOL PP Kota Jambi juga melakukan pembinaan terhadap pelaku tindak
pidana pelacuran. Bentuk pembinaan yang dilakukan oleh pihak SATPOL PP adalah
a. Pembinaan mental, pembinaan mental disini adalah berupa pemberian
informasi tentang ajaran agama yang baik dan benar, bahwa dalam ajaran
keagaman tidak dianjurkan untuk melakukan pelacuran. Kemudian pihak
SATPOL PP juga memberikan pelatihan pelatihan untuk memotivasi setiap
34
Drs H. Yan Ismar, M.H (Kepala satuan SATPOL PP Kota Jambi)
54
individu yang terlibat dalam kegiatan pelacuran, agar tidak melakukan
kegiatan tersebut kedepanya. Untuk memastikan hal tersebut berjalan dengan
baik maka peneliti melakukan wawancara terhadap bapak Said Faizal selaku
Bidang Penegakkan Peraturan daerah. Yaitu :
“kami dari pihak SATPOL PP kota Jambi memberikan pembinaan kepada
pihak yang terlibat kedalam pelacuran ini, pembinaan mental yang kami
lakukan berupa memberikan pendalaman tentang agama, betapa agama
sangat melarang kegiatan ini dilakukan.kami memberikan berupa pandangan
kedepan yang lebih baik tentang cara mencari lapangan pekerjaan yang lebih
layak dan halal.”35
b. Bimbingan Sosial, Bimbingan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (2) huruf b dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan dan
meningkatkan kemampuan berfungsi sosial. SATPOL PP memberikan
dorongan kepada mereka agar mau ikut terlibat dalam kegiatan gotong
royong dalam masyarakat, ikut kegiatan majlis taklim, dan beberapa kegiatan
sosial lainnya. Untuk memperkuat data peneliti melakukan wawancara
terhadap bapak Fajri, yaitu :
“disini kami juga melakukan pembinaan sosial, mengajak kepada pihak yang
terlibat kasus prostitusi ini untuk bisa bersosialisasi dengan masyarakat pada
umumnya. Kebanyakan dari mereka banyak yang malu untuk terjun ke dunia
masyarakat lantaran pekerjaan yang mereka lakukan sebelumnya, maka dari
itu disinilah dituntut peran kami selaku SATPOL PP untuk melakukan
pembinaan sosial.”36
c. Bimbingan Fisik, Bimbingan Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) huruf c dilakukan dengan tujuan untuk pengenalan dan praktek cara
35
Said Faizal, S.H (Bidang Penegakkan Peraturan daerah) 36
M. Fajri, Se. M.e (Bidang Ketentraman dan ketertiban Masyarakat)
55
hidup sehat. Kegiatan yang dilakukan oleh pihak SATPOL PP adalah dengan
mengajarkan kepada para pelaku tindak pelacuran tentang pentingnya hidup
sehat, baik itu berupa pemeliharaan kesehatan, cara menjaga pola hidup
sehat. Agar mereka terhindar dari kegiatan yang merusak dirinya. Adapun
bentuk wawancara yang peneliti lakukan adalah :
“kami juga melakukan pembinaan fisik atau membina fisik masyarakat yang
terlibat kedalam prostitusi, pembinaan fisik disini dimaksudkan adalah
dengan mengajarlkan mereka tentang pola hidup sehat, hal- hal yang dapat
merusak tubuh, penyakit menular seksual yang fatal.” 37
d. Bimbingan Keterampilan, Bimbingan Keterampilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pelatihan keterampilan
kewirausahaan dan ekonomi produktif. SATPOL PP mengajarkan kepada
para pihak yang terlibat dalam prostitusi adalah mengajarkan kepada mereka
agar bisa menjadi wirausaha dan memulai usaha yang lebih baik kedepannya
supaya mereka tidak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan
prostitusi lagi kedepannya. Adapun bentuk wawancara yang peneliti lakukan
adalah :
“kami dari pihak SATPOL PP juga memberikan pembinaan tentang
bagaimana cara memulai usaha yang baik, agar masyarakat pelaku tindak
prostitusi tidak mengulangi lagi perbuatan mereka dan bisa memulai usaha
yang lebih baik dan bisa bersosialisasi dengan normal dengan masyarakat.”38
37
M. Fajri, Se. M.e (Bidang Ketentraman dan ketertiban Masyarakat) 38
Mukhatab S IP (Bidang perlindungan Masyarakat)
56
Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa SATPOL
PP selalu memberi perhatian kepada pelaku prostitusi dengan sangat baik agar
mereka tidak mengulangi lagi hal dan kegiatan yang serupa.
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dibahas pada bab
sebelumnya, maka peneliti dapat menyimpulkan hasil dari penelitian tersebut
adalah sebagai berikut :
1. SatPol PPmemiliki kewenangan dalam penegakan hukum Perda karena SatPol
PP adalah pejabat Pemerintah Pusat yang ada di daerah yang melaksanakan
urusan pemerintahan umum. Dengan adanya kedudukan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa Polisi Pamong Praja berwenang, antara lain :
a. melakukan tindakan penertiban Non-Yutisial
b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan
masyarakat.
d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur,
atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda
dan/atau peraturan kepala daerah.
58
e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur,
atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau
peraturan kepala daerah.
2. Faktor yang menjadi kendala dalam penegakan peraturan daerah kota Jambi
(Studi Pada Perda N0.2 Tahun 2014 tentang Prostitusi)
a. Kualitas Sumber Daya Manusia, Masih lemahnya sistem pengembangan
staf sehingga mengakibatkan kinerja Satuan Polisi Pamong Praja semakin
kurang memadai dalam menegakkan peraturan daerah. Kondisi ini juga
mengakibatkan kurang mantapnya kinerja aparat satuan polisi pamong
praja dalam lingkup Pemerintah Daerah Kota Jambi. Sumber daya aparatur
Satuan Polisi Pamong Praja tidak saja harus memadai tetapi juga
diperlukan kemampuan serta kebutuhan fungsi-fungsi manajemen.
b. Sarana dan Prasarana yang kurang memadai.
3. adapun Wewenangan Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Penegakan Peraturan
Daerah Kota Jambi (Perda N0.2 Tahun 2014 tentang Prostitusi)
a. Memberikan sanksi tindakan, sanksi tindakan ini dibagi menjadi dua,
yaitu sanski administratif dan sanksi pidana. Pola pemberian sansksi yaitu
berupa sanski administratif terlebih dahulu kepada tempat usaha yang berupa
Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing dengan
tenggang waktu 10 (sepuluh) hari kerja. Apabila setelah 10 hari kerja belum
juga ada tanggapan dari pihak pemilik usaha prostitusi. Maka akan dilakukan
penindakan tegas berupa Pencabutan izin usaha dan penutupan tempat usaha
59
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berupa penyegelan tempat
usaha.
b. SATPOL PP Kota Jambi juga melakukan pembinaan terhadap pelaku
tindak pidana pelacuran. Bentuk pembinaan yang dilakukan oleh pihak
SATPOL PP.
c. SATPOL Kota Jambi memberikan bantuan sosial, Bantuan sosial
diberikan kepada warga binaan yang telah mengikuti pembinaan maupun
pelaku pelanggaran yang akan dikembalikan kepada keluarga atau daerah
asal.
B. Saran
Adapun saran yang dapat peneliti berikan dalam penlitian ini adalah :
1. Disarankan kepada masyarakat untuk berprestasi dalam usaha
penanggulangan prostitusi yang terdapat di kota Jambi.
2. Diharapkan kepada peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan yang
lebih luas dan dalam terhadap wewenang SATPOL PP dalam
meningkatkan .
3. Diharapkan skripsi ini bisa menjadikan sebagai bahan acuan pihak
SATPOL PP lebih memahami lagi tentang perda No. 2 Tahun 2014, serta
faktor apa saja yang dapat ditingkatkan kedepannya, agar penangan
terhadap prostitusi yang ada di Jambi bisa berjalan dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Alim, Menjelajahi Kajian Empiris, Makasar: Kencana, 1998.
Alwi Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Ali, Menjelajahi Kajian Empiris, Makasar: Kencana, 1998.
Budiharjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.Pustaka Utama.
1998.
Dirjen PUOD. Pedoman dan Petunjuk Polisi Pamong Praja. Jakarta : Dirjen
POUD
Evi Hartati, Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Http//:Sejarah Satpol PP. Diakses Tanggal 17 Desember 2018.
Lexy J Moleong. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2002.
Mardali. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Askara.
2004.
Maharani, Marta. kedudukan satuan polisi pamong praja dalam pelaksanaan
pemilihan umum (Skripsi. 2017).
Nugroho, Fredi Anton. peranan satuan polisi pamong praja dalam
mengimplikasikan peraturan daerah tentang pedagang kaki lima di
surakarta (Skripsi. 2017)
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong
Praja
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong
Praja
Pertiwi, Eka Novianti. Wewenang Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP)
dalam Penegakan Peraturan Daerah di Makasar (Skripsi. 2014)
Perda Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004
Rakhman, Widi Aulia. peran SATPOL PP kabupaten Temanggung terhadap
kenakalan pelajar di Kabupaten Temanggung (Skipsi. 2016)
Ridwan, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo. 2006.
Sulistyaningsih, E.Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya.
Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation,Jakarta, 1997
Soedjono D, Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam
Mayarakat, Bandung: PT Karya Nusantara, 1977.
Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2006.
Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar, Dolly Membedah Dunia Pelacuran
Surabaya, Surabaya: Graffiti Pers, 1985.
Wawancara anggota SATPOL PP Kota Jambi.