Suku Tengger

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Suku Tengger

Citation preview

  • ADAPTASI TERHADAP LINGKUNGAN DAN KEARIFAN LOKAL

    MASYARAKAT SUKU TENGGER

    Yoga WijayaUniversitas Negeri Malang

    Email: [email protected]

    ABSTRAK: Masyarakat Suku Tengger memiliki keuinikan yang positif dalampola kehidupannya. Salah satunya adalah tindakannya dalam pemanfaatanruang dan adaptasi dengan lingkungannya. Keunikan yang terdapat pada polakehidupanhya terserbut bersumber dari nilai-nilai budaya, religi, hingga adat-istiadat setempat. Dalam artikel ini ini akan dibahas mengenai penerapankearifan lokal dalam pemanfaatan ruang dan upaya pemeliharaan lingkungan diDesa Wonokitri untuk melestarikan dan menjaga keberlanjutan DesaWonokitri.

    Kata Kunci: Kebudayaan, Adat-istiadat, Suku Tengger, PemeliharaanLingkungan, Pemanfaatan Ruang, Kearifan Lokal.

    PENDAHULUANLocal Wisdom atau yang sering disebut dengan Kearifan Lokal adalah

    sebuah bentuk pengetahuan, keyakinan, wawasan, etika, dan adat-istiadat yang menuntun manusia berperilaku dalam komunitas ekologis (Keraf, 2002:5). Oleh karena itu kearifan lokal dapat diartikan sebagai nilai yang dianggap baik dan benar pada sebuah masyarakat dan bersifat turun temurun. Nilai tersebut dapat terwujud akibat adanya interaksi antara sebuah individu maupun kelompok terhadap lingkungannya. Dan dalam sebuah masyarakat, kearifan lokal dapat berwujud sebagai nilai, norma, etika, kepercayaan, hukum adat, adat-istiadat.

    Desa Wonokitri yang merupakan salah satu desa yang terletak di KecamatanTosari, Kabupaten Pasuruan. Dan desa Wonokitri ini juga terletak di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sehingga desa tersebut merupakan salah satu tempat tinggak komunitas Suku Tengger. Berdasarkan Rencana Induk Pengelolaan Pariwisata Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2004-2014, Desa Wonokitri dituntun untuk dapat menjadi desa wisata. Objek wisata yang ditawarkan adalah Budaya desa, pola kehidupan sosial masyarakat, dan adat-istiadat Suku Tengger di desa Wonokitri tersebut. Dan yang menjadi fokus dari penulisan artikel ini adalah terdapatnya keunikan pada pola kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger yang mencerminkan tindakan positif pada pemeliharaan lingkungan dan pemanfaatan ruang.

    Keunikan yang terdapat pada pola kehidupan masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri tersebut rupanya bersumber dari nilai budaya, religi, dan adat-istiadat setempat yang dapat dikategorikan sebagai bentuk kearifan lokal. Serta yang tak kalah unik adalah cara masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri

  • dalam mensiasati sistem atau tatanan kehidupannya untuk dapat menyesuakian dengan kondisi lingkungan setempat. Beradasarkan atas kedua alasan tersebut, maka disusunlah artikel ini dengan judul ADAPTASI TERHADAP LINGKUNGAN DAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU TENGGER.

    BAGIAN INTIDalam menjalani kesehariannya, baik dalam berperilaku maupun

    bertindak Suku Tengger di Desa Wonokitri diatur oleh ketentuan adat berupaaturan-aturan dan hukum adat yang digunakan sebagai sistem pengendalian sosial di masyarakat. Menurut Salvina (2003: 91-92) dalam masyarakat Tengger ada sebuah sistem pengendalian sosial yang disepakati dan dijaga kelestariannya, sistem tersebut adalah hukum adat yang digunakan untuk mencegah timbulnya ketegangan sosial antar masyarakat. Dan dalam masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri ada beberapa aturan yang harus dipatuhi antara lain yaitu: 1. Tidak diperbolehkan untuk menyakiti apalagi membunuh binatang (kecuali untuk korban atau untuk dimakan), 2. Tidak boleh mencuri, 3. Tidak boleh berbuat jahat, 4. Tidak boleh berdusta, 5. Tidak boleh minum minuman yang memabukkan.

    Hukum adat sebagi sistem pengendalian sosial yang berlaku di desa Wonokitri tersebut bertujuan sebagai pemberian keyakinan pada anggota masyarakat tentang kebaikan adat-istiadat Tengger, memberi ganjaran kepada anggota masyarakat yang tidak pernah melakukan kejahatan, mengembangkan rasa malu, dan mengembangkan rasa takut pada anggota masyarakat yang hendak melanggar ketentuan adat.

    Dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Wonkitri juga terdapat sebuah konsep yang dijadikan landasan sikap hidup masyarakat, konsep tersebut yaitu Anteng-Seger(Tengger) yang berarti damai dan makmur. Dan terdapat juga konsep yang mendasari hubungan tiga arah, yaitu hubungan antara manusia dengan tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Menurut Sukari (2004: 47-51) konsep landasan hidup masyarakat suku Tengger ada tiga yaitu konsep Tri Sandya, konsep Karma Pahala, dan Hukum Tumimbal Lahir. Konsep Tri Sandya diwujudkan dengan melakukan sembahyang tiga kali sehari (pagi, sore, malam). Konsep karma pahala menyatakan bahwa hidup atau nasib manusia tergantung dari pahalanya. Sedangkan Hukum Tumimbal Lahir adalah hukum hidup yang harus dipatuhi, hukum tersebut berbunyi Sapa nandur kebecikan bakal ngundhuh kabecikan. Sapa nandur barang ora becik bakal ngundhuh kacilaka(Barangsiapa menanam kebaikan, maka ia akan memperoleh kebaikan. Barangsiapa menanam keburukan maka ia akanmemperoleh nasib buruk).

    Nilai kearifan lokal pada penduduk Desa Wonikitri dalam sektor pemukiman dapat dilihat dari aturan atau ketentuan adat tertentu yang mengatur peletakan elemen-elemen pembentuk pemukiman. Aturan yang berlaku di desa Wonokitri tersebut menentukan arah peletakan sebuah elemen-lemen bangunan didalam desa. Seperti pada makam, baik makam keramat maupun makam biasa, penduduk Desa Wonokitri meyakini bahwa

  • peletakan makam haruslah jauh diluar pemukiman dan berada disebelah utara desa. Dan makam keramat yang ada harus tetap ada di tempat yang sama dengan luasan lahan yang tidak boleh bertambah ataupun berkurang. Kemudian pura sebagai tempat ibadah diletakkan ditempat yang dianggap sakral dan biasanya berada ditengah-tengah pemukiman, yaitu ditempat yang disekelilingnya banyak terdapat sanggar pamujan. Letak Pura Dhang Kahyangan Kerti Jaya Buana di Desa Wonokitri adalah di sebelah Timur Laut permukiman penduduk. Makna filosofis yang terkandung dari ketentuan peletakan pura di sebelah Timur adalah karena menghadap ke arah matahari. Dan sebagai tempat yang disakralkan, pura diletakkan pada kontur lahan yang paling tinggi. Kemudian ada satu lagi tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat suku Tengger di Desa Wonokitri yaitu Pandhayangan yang terletak disebelah selatan desa dan sama-sama berorientasi dengan makam keramat yang sama-sama mengarah ke Gunung Bromo.

    Selain terdapat pembagian pada tata bangunan desa, ketentuan adata di Desa Wonkitri juga mengatur struktur bangunan tempat tinggal (mikro). Bangunan tempat tinggal (mikro) tersebut dibagi dalam beberapa ruang yaitu tempat pemujaan (sanggar pamujan), ruang tamu (patamon), kamar tidur (paturon), dapur (pegenen), ruang penyimpanan (pedaringan), kamar mandi (pakiwan), dan tempat menyimpan kayu (pekayon). Ketentuan peletakan masing-masing ruang adalah: sanggar pamujan diletakkan di depan rumah, harus menghadap ke Timur atau Selatan, tidak boleh menghadap Barat dan Utara. Patamon diletakkan di bagian depan rumah. Paturon harus berada di sebelah kanan arah pelawangan (pintu). Pagenen dan pedaringan diletakkan di belakang patamon dan dapat digabungkan. Peletakan pakiwan harus di bagian belakang rumah. Dan pekayon merupakan ruang tambahan, diletakkan di bagian belakang rumah.Selain itu juga ada ketentuan adat yang menyatakan bahwa anak yang sudah berkeluarga tidak boleh membangun rumah di sebelah kanan rumah orang tuanya. Ladang pertanian atau tegalan terletak disebelah selatan, utara, dan timur desa. Dan yang terakhir yaitu gunung Bromo yang terletak di disebelah selatan dipercayai sabagai poros suci aktivitas spiritual masyarakat Suku Tengger. Hefner (1985: 65-69) juga menyatakan bahwa orientasi masyarakat Suku Tengger yang menganggap bahwa Gunung Bromo adalah poros spiritual diikuti oleh dasar atas sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa Gunung Bromo yang terletak disebelah selatan adalah singgasana dari Bromo atau Dewa Brahma. Pendapat Hefner tersebut juga didukung oleh posisi pemakaman, berdoa, pengucapan mantra,orientasi dari pintu (pintu utama atau pelawangan), dan juga orientasi dari tempat-tempat suci yang semuanya menghadap arah selatan.

    Menurut Sukari (2004: 63) sikap hidup yang terpenting bagi Suku Tengger adalah tata tentrem (tidak banyak mengambil resiko), ojo jowal-jawil (jangan mengganggu sesama), kerja keras dan tetap mempertahankan tanah warisan secara turun temurun. Sistem kepemilikan tanah di Desa Wonokitri juga masih menganut ketentuan adat. Salah satu ketentuannya adalah tidak diperbolehkannya menual tanah kepada orang diluar Suku Tengger. Penjualan tanah ataupun tanah warisan hanya boleh dilakukan oleh

  • sesama masyarakat Suku Tengger dan biasanya penjualan tanah juga diutamakan pada keluarga terdekat. Dan tanah yang dimiliki oleh masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri pada umumnya adalah tanah warisan pemberian orang tua mereka. Sistem pembagian tanah warisan juga masih dipertahankan sejak saat ini dengan ketentuan pembagian yang sama rata antara anak laki-laki maupun perempuan. Aturan adat dalam pembagiantanah warisan ini mengatur dua kondisi, yaitu pembagian tanah warisan saat orang tua masih hidup dengan pembagian tanah warisan setelah orang tua meninggal. Seperti pada saat orang tua tersebut masih hidup dan memiliki tiga orang anak, orang tua tersebut akan memberikan 2/3 tanahnya untuk diberikan kepada dua orang anaknya. 1/3 bagian yang ia tinggali biasanya akan diberikan pada salah satu anaknya setelah ia meninggal.

    Yang tak kalah unik dari masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri adalah kearifan lokal mereka yang dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan. Seperti yang terlihat pada konstruksi rumah-rumah tradisional mereka yang mampu beradaptasi dengan iklim setempat. Dan karena mengacu untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya maka terjadilah perubahan dan perkembangan dalam penggunaan bahan material bangunan rumah tradisional dari waktu ke waktu. Rumah-rumah di Desa Wonokitri memiliki struktur sebagai berikut : atap, berbentuk limasan menyerupai limas tegak segitiga dengan sisi kemiringan 45 terbuat dari seng, dinding berupa tembok atau setengah tembok yang terbuat dari bata dan yang dimaksud setengah tembok adalah perpaduan antara tembok dengan papan kayu, pintu, terbuat dari kayu, dan jendela terbuat dari kusen kayu dan kaca. Iklim di Desa Wonokitri termasuk iklim tropis dengan suhu udara harian rata-rata antara 16-23C. Salah satu contoh perubahan strukturbangunan rumah-rumah di Desa Wonkitri adalah pada penggunaan seng sebagai atap yang sudah diterapkan sejak tahun 1950an. Kemudian pada tahun 1970an seng tersebut diganti dengan genteng. Penyesuaian terhadap lingkungan mulai terlihat disini, dimana seng kembali digunakan karena ternyata genteng justru membuat suhu didalam rumah menjadi semakin dingin. Oleh karena itu sekitar tahun 1980an seng kembali dipilih sebagai bahan atap dirumah-rumah warga Desa Wonokitri karena dianggap sesuai dengan daerah beriklik dingin. Dari adanya perubahan dalam penggunaan bahan untuk atap tersebut dapat didentifikasi bentuk nilai kearifan lokal yaitu melalui proses mencoba-coba (trial and error) kemudian didapatkan hasil paling sesuai dan adaptif jika diterapkan.

    Masyarakat Suku Tengger di Desa Wonkitri juga mengenal sistem peternakan yaitu peternakan sapi dan babi. Sapi yang diternak adalah sapi jantan karena sapi jantan tidak dapat memperbanyak jenisnya sehingga tidakmemerlukan tempat yang luas. Pemeliharaan ternak sapi dilakukan secara individu di ladang masing-masing. Tindakan pemeliharaan pada ternak sapi,yaitu pemberian pakan, pemeliharaan dan perawatan ternak, pembersihan kandang secara teratur dan pemberian obat penyakit. Hapir sama dengan pemeliharaan sapi, babi juga diternakkan di ladang dengan kandang khusus. Kearifan lokal masyarakat disana dapat dilihat dari peletakan kandang dari hewan ternak yang diletakkan di kandang yang lokasinya juah dari pemukiman. Kotoran dari hewan ternak juga mereka manfaatkan sebagai

  • pupuk kandang yang mampu menyuburkan tanah tanpa merusak struktur maupun tekstur tanah karena ramah lingkungan. Kedua hal tersebut adalah perwujudan kearifan lokal masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri yang peduli terhadap lingkungan.

    Dan yang bahasan yang terakhir dalam artikel ini adalah kearifan lokalmasyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri dalam pengelolaan dan perlindungan hutan serta pengelolaan sumber air. Dalam wilayah Desa Wonokitri terdapat hutan lindung yang berfungsi menjaga keseimbangan struktur tanah. Masayarakat Desa Wonkitri memiliki kesadaran tinggi dalammengelola hutan seperti yang terlihat dalam tindakan mereka yang tidak menebang hutan sembarangan. Mereka mematuhi adanya slogan tebang satu, tanam dua yang berarti bila mereka perlu menebang sebuah pohon, mereka sebelumnya harus menanam minimal dua pohon dengan jenis yang sama. Dan untuk sumber air, masyarakat disana menggunakan sumber mata air alami yang dialirkan melalui pipa-pipa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Kemudian untuk pengelolaan air tersebut, mereka sengaja mengumpulkan limbah sisa hasil pembuangan rumah tangga untuk menyirami tanaman dengan cara menampung air limbah di tempat penampungan kemudian disalurkan melalui pipa plastik/slang ke arah tanaman yang akan disarami. Dari tindakan tersebut sudah terlihat bahwa masyarakat disana sangat memperhatikan efisiensi dalam penggunaan air sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan yang mereka tempati.

    PENUTUPMasyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri adalah salah satu contoh

    masyarakat masih memegang teguh kebudayaan dan adat-istiadat yang diwarisi oleh nenek moyang mereka. Nyatanya sikap menghargai kebudayaan lokal tersebut dapat berbuah tindakan-tindakan positif yang menunjukkan sikap kepedulian terhadap alam dan lingkuan sekitar. Menurut Alfian (2013: 1) kekayaan warisan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang secara turun-temurun merupakan sumber yang sangat kaya. Sehingga perlu bagi kita untuk dapat meneladai tindakan-tindakan positif dari masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri. Karena dengan menghargai kebudayaan lokal maka kita dapat menunjukkan pada dunia luar bahwa bangsa kita adalah bangsa yang memiliki kebudayaan yang baik dan kuat.

    DAFTAR RUJUKANAlfian, M. 2013. Potensi Kearifan Lokal Dalam Pembentukan Jati Diri Dan

    Karakter Bangsa. Depok: Universitas Indonesia.

    Hefner, R, W. 1985. Hindu Javanese Tengger Tradition and Islam. New York.

    Keraf, S, A. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

    Salvina, D, S. 2003. Modal Sosial Masyarakat adat Tengger Dalam Menjaga Tatanan Sosial: Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKIS dan UMM Press.

  • Sukari. 2004. Kerifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger Pasuruan Jawa Timur. Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.