Surimi Thervina Yenni Tri Kusuma 12.70.0121 D4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Surimi 2014

Citation preview

4

SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:Thervina Yenni Tri Kusuma12.70.0121Kelompok D4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2014Acara III2

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan surimi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan SurimiKelompokPerlakuanWHC (mg)Sensoris

KekenyalanAroma

D1Sukrosa 2,5%297303,06++++

Polifosfat 0,1%

Garam 2,5%

D2Sukrosa 2,5%317777,78+++++

Polifosfat 0,1%

Garam 2,5%

D3Sukrosa 2,5%261332,59+++++

Polifosfat 0,3%

Garam 2,5%

D4Sukrosa 5%287848,10+++++

Polifosfat 0,3%

Garam 2,5%

D5Sukrosa 5%302700,42+++++

Polifosfat 0,5%

Garam 2,5%

D6Sukrosa 5%243111,81+++++

Polifosfat 0,5%

Garam 2,5%

Keterangan:KekenyalanAroma+: Tidak kenyal+: Tidak amis++: Kenyal++: Amis+++: Sangat kenyal+++: Sangat amis

Berdasarkan pada tabel 1, dapat dilihat bahwa pembuatan surimi dilakukan dengan penambahan sukrosa, garam 2,5%, dan polifosfat. Penambahan sukrosa dan polifosfat tiap-tiap kelompok berbeda. Kelompok 1, 2, dan 3 menambahkan 2,5% sukrosa dari berat sampel, sedangkan kelompok 4, 5, dan 6 menambahkan 5% sukrosa dari berat sampel. Sedangkan pada penambahan polifosfat pada kelompok 1, dan 2 menambahkan 0,1%, kelompok 3 dan 4 menambahkan 0,3% sedangkan pada kelompok 5 dan 6 menambahkan sebesar 0,5%. WHC (Water Holding Capacity) tertinggi dihasilkan oleh kelompok D2 dengan penambahan sukrosa 2,5%, polifosfat 0,1%, dan garam 2,5% dari berat sampel dengan nilai WHC 317777,78 MgH2O. Sedangkan nilai WHC terendah pada pembuatan surimi dihasilkan oleh kelompok D6 dengan penambahan sukrosa 5%, polifosfat 0,5%, dan garam 2,5% dari berat sampel dengan hasil yang diperoleh 243111,81 MgH2O. Pada umumnya, surimi yang dihasilkan bersifat kenyal dan aroma surimi yang dihasilkan pada kelompok D2 sampai D6 yaitu amis namun pada kelompok D1 bau yang dihasilkan tidak amis.

15

2. 4

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini akan dibahas pembuatan produk surimi yang diberi 2 perlakuan yaitu penambahan sukrosa dan penambahan polifosfat terhadap sifat fisik dan uji organoleptik. Parameter dalam sifat fisik yaitu uji pengikatan air atau water holding capacity kemudian parameter dalam uji organoleptik yakni aroma dan tekstur. Menurut Miyauchi, (1970) bahwa produk surimi merupakan produk semi processed protein ikan yang menjadi bahan dasar untuk pembuatan sosis, nugget, bakso berbasis daging ikan serta produk Kamaboko yang terkenal di Jepang. Pembuatan surimi dimulai dengan proses pelumatan daging ikat yang sudah dibersihkan dan dicuci berulang-ulang untuk menghilangkan sebagian besar komponen bau, darah, pigmen dan lemak hilang kemudian disimpan dalam kondisi dingin antara -10oC sampai -20oC (Andini, 2006).

Surimi berasal dari Jepang yang diterima secara internasional yang merupakan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai proses yang diperlukan untuk mengawetkannya. Surimi merupakan protein miofibril ikan yang telah distabilkan dan diproduksi melalui tahapan proses secara kontinyu dengan penghilangan kepala dan tulang, pelumatan daging, pencucian, penghilangan air, penambahan cryoprotectant, dilanjutkan dengan atau tanpa perlakuan, sehingga mempunyai kemampuan fungsional terutama dalam membentuk gel dan mengikat air. Surimi merupakan produk antara yang dapat diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan (fish jelly products) seperti bakso, sosis, otak-otak, kamaboko, chikuwa yang spesifikasinya menuntut kelenturan (springiness). Surimi merupakan produk daging ikan lumat yang telah dicuci dengan air dan dicampur dengan krioprotektan untuk penyimpanan beku. Protein larut air (protein sarkoplasma), enzim, darah, komponen logam, dan lemak akan dikeluarkan selama proses pencucian, sehingga daging ikan giling yang telah dicuci akan mengandung sejumlah besar protein serat yang larut garam (protein miofibrilar). Konsistensi surimi mirip dengan bubur kentang. Miosin dan aktin merupakan komponen utama dari protein ikan yang larut garam (protein miofibrilar) dan berperan penting dalam membentuk karakteristik utama surimi, yaitu kemampuan untuk membentuk gel yang kokoh tetapi elastis pada suhu yang relatif rendah sekitar 40oC (Anonim, 2010b).

Menurut (Andini, 2006) bahwa protein ikan merupakan komponen terbesar setelah air dan merupakan bagian yang sama penting untuk tubuh. Protein ikan dapat diklasifikasikan menjadi protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein jaringan ikat atau protein stroma. Proporsi yang paling tinggi terdapat pada protein miofibril yang larut dalam garam. Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot dan penyusun protein miofibril terdiri dari 3 bagian yaitu miosin, aktin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Pada proses pembuatan surimi, protein miofibril berperan sangat penting dalam proses pembentukan gel.

Proses pembentukan gel oleh protein sakroplasma sangat dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu proses pencucian dan proses penambahan garam selain bahan baku, kekuatan ion, pH, suhu dan laju pemanasan serta jenis ikan (Lan et al. 1995). Menurut Amiza dan Nur Ain, (2012) bahwa proses pencucian berperan sangat penting untuk meningkatkan kekuatan gel dari surimi. Proses pencucian dengan volume air yang besar akan mengurangi proporsi protein sarkoplasma yang dapat menghalangi proses pembentukan gel karena protein sarkoplasma mempunyai sifat larut air dan komposisi protein sarkoplasma berperan penting untuk metabolisme anaerob sel otot oleh enzim, lemak, darah dari daging ikan kemudian akan meningkatkan tekstur, warna, dan bau surimi.

Faktor-faktor yang penting dalam proses pencucian yaitu jenis, komposisi, tingkat kesegaran ikan, dan jumlah pencucian. Jumlah pencucian yang baik biasanya dilakukan selama 4 kali untuk menghilangkan darah, lemak, dan protein sarkoplasma. Faktor kedua yaitu proses penambahan garam untuk proses pembentukan gel secara optimal. Bahan yang biasa digunakan untuk proses pembentukan gel adalah sodium klorida. Tan et al., (1988); Shimizu & Toyohara (1992) menambahkan bahwa jika konsentrasi garam yang diberikan kurang dari 2% maka miofibril tidak dapat larut, sedangkan jika konsentrasinya lebih dari 12% maka miofibril akan terhidrasi dan menyebabkan salting out. Konsentrasi garam yang paling umum digunakan untuk membuat produk surimi adalah 2-3%,. Menurut Agustiani et al., (2006) ada dua tipe surimi yang biasa diproduksi, yaitu mu-en surimi dan ka-en surimi.Mu-en surimi merupakan produk surimi yang dibuat tanpa menggunakan penambahan garam, sedangkan ka-en surimi dibuat dengan menggunakan garam pada konsentrasi tertentu.

Surimi merupakan produk olahan perikanan setengah jadi (intermediate product), yaitu berupa hancuran daging ikan yang mengalami proses pencucian dengan larutan garam dingin, pengepresan, penambahan bahan tambahan (food additive), pengepakan dan pembekuan. Berdasarkan teori dari Peranginangin et al (1999), surimi merupakan daging lumat yang dibersihkan dan dicuci berulang-ulang sehingga sebagian besar komponen bau, darah, pigmen, dan lemak akan hilang. Menurut Reinheimer et al (2010), surimi merupakan produk daging ikan yang digiling halus dan dicuci dalam larutan. Surimi yang dibekukan dengan garam dan cryoprotectant diolah dengan pemanasan untuk mengatur tekstur dan mengembangkan gelnya. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan bau amis, bahan yang tidak diinginkan, komponen lain yang larut air serta meningkatkan konsentrasi dari protein myofibril.

Proses pembuatan surimi dapat melalui 2 cara, yaitu cara manual dan cara mekanis. Pembuatan surimi secara manual meliputi proses filleting, mixing, leaching, dewatering, dan straining. Proses pembuatan surimi secara manual dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.Gambar 1. Proses Manual Pembuatan Surimi (Agustiani et al., 2006)

Sedangkan pembuatan surimi secara mekanis dilakukan dengan menggunakan mesin. Mesin-mesin yang digunakan untuk pembuatan surimi secara mekanis antara lain fish washer, meat separator, leaching tank, rotary screen, refiner, dan screw press. Proses pembuatan surimi secara mekanis umumnya dilakukan secara kontinyu. Proses pembuatan surimi secara mekanis dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Proses Mekanis Pembuatan Surimi (Agustiani et al., 2006)

Djazuli, N et al (2009) mengungkapkan bahwa untuk mendapatkan surimi dengan kualitas yang baik harus berasal dari bahan baku yang segar, dimana protein yang terkandung dalam ikan tidak mengalami denaturasi. Apabila surimi disimpan dalam bentuk beku, maka dapat dilakukan penambahan bahan antidenaturasi (cryoprotectant). Dalam pembuatan surimi, terdapat syarat mutu bahan baku yang digunakan antara lain bahan baku harus dalam keadaan bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan (Standar Nasional Indonesia 1992). Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran sekurang-kurangnya sebagai berikut:a. Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis ikan.b. Bau : segar spesifik jenis ikan.c. Daging : elastis dan kompak.d. Rasa : netral agak manis.

Surimi dapat dikatakan bermutu baik apabila memiliki ciri-ciri seperti warna yang putih, flavor yang baik, dan elastisitasnya tinggi. Kesegaran ikan yang digunakan dalam pembuatan surimi akan mempengaruhi elastisitas dari surimi yang dihasilkan. Semakin segar ikan yang digunakan maka elastisitas surimi yang dihasilkan akan semakin tinggi pula. Apabila ikan yang digunakan dalam pembuatan surimi memiliki elastisitas yang rendah maka biasanya elastisitas surimi akan ditingkatkan dengan cara menambahkan daging ikan jenis yang lain, diberikan penambahan gula, pati, atau protein nabati. Hordur et al (2005) mengungkapkan bahwa tingkat keasaman juga akan mempengaruhi degradasi protein miofibril selama proses pembuatan surimi, dimana pada suasana asam, protein miofibril yang ada pada daging akan dapat lebih banyak yang mampu dipertahankan dibandingkan saat suasana basa ketika proses pembuatan surimi. Ikan yang digunakan sebagai bahan membuat surimi disarankan memiliki lemak yang rendah karena lemak akan mempengaruhi daya gelatinasi dan dapat mengakibatkan produk surimi cepat mengalami ketengikan. Apabila ikan yang digunakan mempunyai kandungan lemak tinggi, ikan tersebut harus melalui proses pengekstrakan lemak terlebih dahulu. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Koswara et al. (2001).

Phatcharat et al (2006) juga menambahkan bahwa kesegaran ikan merupakan faktor yang dianggap paling penting untuk menentukan kemampuan pembentukan gel pada surimi. Waktu dan suhu penyimpanan antara ikan yang telah ditangkap dan pengolahannya dapat mempengaruhi kualitas akhir produk surimi. Waktu penyimpanan yang semakin lama akan membuat kualitas gel yang lebih rendah. Kualitas gel surimi dapat dicapai dengan beberapa langkah seperti dengan penambahan aditif protein, penggunaan mikroba transglutaminase, serta proses pencucian yang akan meningkatkan kekuatan gel surimi.

3.1. Proses Pembuatan SurimiProses pengolahan surimi secara umum dimulai dari pemilihan ikan, pembuangan bagian-bagian yang tidak berguna seperti sisik, kepala, organ dalam, darah, dan tulang kemudian dilakukan proses pencucian fillet ikan. Langkah selanjutnya yaitu penambahan bahan tambahan pangan untuk proses penyimpanan dan menjaga gel produk surimi agar tidak rusak (Miyauchi, 1970). Dahar, (2003) juga menambahkan bahwa bahan baku yang tepat untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan surimi adalah ikan yang memiliki kemampuan pembentukan gel yang baik. Proses pemotongan kepala dan pembuangan isi perut biasa dilakukan dengan cara manual menggunakan pisau. Proses selanjutnya yaitu proses pencucian dengan air, salah satu factor yang penting saat proses pemotongan dan pencucian yaitu semuanya dilakukan dengan suasana dingin (suhu chilling).

Menurut Miyauchi, (1970) bahwa bahan tambahan makanan yang ditambahkan pada surimi antara lain sodium tripolyphosphate dan gula (sorbitol, sukrosa, dan glukosa). Tujuan penambahan sodium tripolyphosphate dan gula yaitu mencegah proses denaturasi protein. Oleh karena itu, kedua bahan yaitu STTP dan gula yang termasuk dalam cryoprotectant yang ditambahkan pada produk surimi dapat meningkatkan kekuatan gel serta mencegah denaturasi protein selama penyimpanan kondisi dingin.

Menurut Nopianti et al., (2010) bahwa STTP atau natrium tripolyfosfat merupakan salah satu komponen yang mengandung satu gugus fosfat yang dinamakan orthophosphate. Jika mengandung 2 gugus fosfat disebut sebagai pyrophosphates, 3 gugus fosfat disebut triphosphates dan 4 gugus fosfat disebut tetraphosphates, gugus fosfat antara 5-15 disebut sebagai oligophosphate. Selain STTP, bahan lain yang dapat ditambahkan yaitu sodium pyrophosphate (SPP), sodium hexametaphospate (SHMP), tetrasodium pyrophosphate (TSPP), tetrapotassium pyrophosphate, sodium hexametaphosphate (SHMP) and trisodium phosphate (TSP).

Tujuan utama dari penambahan STTP yaitu untuk menurunkan tingkat viskositas dari pasta ikan sehingga akan meningkatkan tingkat pemotongan. Kandungan fosfat dalam STTP dapat mempertahankan kelembapan dan meningkatkan aktivitas protein untuk mengabsorbsi kembali air yang keluar ketika surimi dithawing. Selain itu, kandungan fosfat akan meningkatkan pH yang akan meningkatkan pembentukan gel, kekuatan gel, dan kepadatan tekstur karena meningkatnya kapasitas pengikatan air atau WHC dalam pH yang tinggi. polyphosphate yang ditambahkan dengan kadar 0,5% akan memberikan kekuatan gel yang paling besar tetapi penambahan 0,3% cukup untuk menghasilkan kekuatan gel. Penambahan fosfat biasanya diikuti dengan penambahan dengan gula sukrosa atau sorbitol (Nopianti et al., 2010).

Aplikasi produk surimi diterapkan pada proses pembuatan bakso ikan, menurut Zamri and Etty, (2012) bahwa proses pembuatan bakso ikan dimulai dari pembuangan bagian-bagian tubuh yg tidak berguna serta organ-organ ikan, pencampuran bahan cryoprotectants, penyimpanan beku surimi, pencampuran surimi dengan tepung kemudian dibentuk hingga menyerupai bakso. Hasil analisa tekstur bakso ikan menunjukkan parameter chewiness, hardness, springiness, cohesiveness lebih besar daripada produk surimi.

Menurut Dahar (2003), proses pembuatan surimi umumnya meliputi penerimaan bahan baku, penyiangan dan pencucian, pemisahan daging dari tulang dan kulit, leaching, straining (bertujuan untuk menghilangkan sisa sisik, jaringan ikan, membran, duri, serta bagian lainnya yang tidak digunakan supaya surimi yang dihasilkan memiliki mutu yang baik), pengepresan (bertujuan untuk mengurangi kadar air surimi hingga sekitar 85%), penambahan gula dan sodium polyphosphate, pencetakan dan pembekuan, serta pengemasan. Hal tersebut sesuai dengan yang dilakukan saat praktikum, dimana mula-mula dilakukan pemfiletan daging ikan tongkol sebanyak 100 gram, kemudian dilakukan penggilingan atau pemblenderan hingga halus. Setelah itu, dilakukan penambahan dengan sukrosa dari berat sampel, dimana kelompok D1, D2, dan D3 ditambahkan 2,5% sukrosa, sedangkan kelompok D4, D5, dan D6 ditambahkan 5% sukrosa. Selanjutnya, ditambahkan dengan garam 2,5% dan STTP atau polifosfat dengan konsentrasi yang berbeda-beda tiap kelompok. Penambahan polifosfat pada kelompok D1 hingga D6 secara berturut-turut adalah 0,1%, 0,1%, 0,3%, 0,3%, 0,5%, dan 0,5%. Kemudian fillet daging ikan tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik polietilen dan disimpan dalam freezer selama semalam. Menurut Anonim_a (1987), penggunaan jenis plastik PE dikarenakan surimi yang sudah dikemas membutuhkan penyimpanan pada suhu dingin dan salah satu plastik yang tepat untuk disimpan pada suhu dingin adalah plastik dengan jenis PE. Setelah dibekukan selama 1 malam yaitu selama 24 jam, kemudian surimi di thawing selama 15 menit kemudian diamati water holding capacity, dan faktor sensorisnya (aroma dan tekstur). Menurut Nopianti et al (2010), proses pembekuan dapat mempengaruhi karakteristik gel pada surimi, dimana selama proses pembekuan kemampuan gelnya akan semakin menurun. Selain itu, proses pembekuan juga dapat menyebabkan denaturasi. Maka dari itu, pada pembuatan surimi biasanya ditambahkan dengan cryoprotectant.

Cryoprotectant merupakan senyawa yang berperan sebagai anti denaturasi protein pada proses pembekuan maupun penyimpanan beku. Penambahan senyawa cryoprotectant yang berupa sukrosa bertujuan untuk meningkatkan N-aktomiosis dan kekuatan gel. Selama penyimpanan, surimi akan terjadi proses denaturasi protein yang disebabkan adanya peningkatan konsentrasi garam mineral dan substansi organik terlarut pada fase sebelum terjadi pembekuan di dalam sel. Konsentrasi garam mineral menjadi sangat tinggi apabila cairan dalam sel membeku, sehingga menyebabkan terjadinya pemisahan dan denaturasi protein. Menurut Wong (1989), denaturasi protein akan mengakibatkan lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik terbalik keluar dan bergabung dengan fase cair. Proses hidrasi hidrofobik tersebut akan menghasilkan energi bebas positif yang akan meningkatkan permukaan protein. Permukaan protein yang lebih luas ini secara termodinamik tidak stabil dibandingkan dengan bentuk yang tidak terdenaturasi (Fennema 1985). Proses hidrofobik tersebut dapat dicegah dengan antidenaturan, khususnya gula.

Jenis surimi yang dilakukan pada praktikum ini adalah ka-en surimi, dimana pada prosesnya surimi tersebut ditambahkan dengan garam dalam kosentrasi tertentu (Suzuki, 1981). Sedangkan menurut Anonim_a (1987), penambahan garam bertujuan untuk mempercepat proses penurunan jumlah air yang terdapat pada fillet daging ikan yang akan dibuat surimi nantinya. Berdasarkan teori dari Okada, et al. (1973), surimi merupakan daging ikan cincang yang telah diproses sedemikian rupa dengan dihilangkan tulangnya, dicuci dengan air dingin, serta mengalami penghilangan sebagian kadar air yang ada pada daging tersebut.

Selain itu, saat pembuatan surimi ditambahkan juga dengan STTP yang merupakan polyphosphate. Penambahan polyphosphate bertujuan untuk meningkatkan sifat elastisitas dan kelembutan dari surimi yang dihasilkan. Polyphosphate tidak tergolong dalam senyawa cryoprotectant, namun sering ditambahkan untuk meningkatkan daya ikat air (water holding ability). Jumlah polyphosphate yang baik untuk ditambahkan pada proses pembuatan surimi adalah sebanyak 0,2-0,3% dalam bentuk garam natrium tripolifosfat atau natrium pirofosfat (Tan et al., 1988).

3.2. Pengaruh Sukrosa, Garam, dan Polifosfat terhadap Kualitas SurimiMenurut Winarno et al. (1980), proses pembuatan surimi biasanya ditambahkan dengan beberapa jenis bahan tambahan yang sengaja diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan serta memberikan bentuk, tekstur dan rupa. Jenis-jenis bahan tambahan yang umumnya ditambahkan dalam pembuatan surimi adalah garam, gula, dan polifosfat.

GaramPenambahan garam bertujuan untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang sangat penting untuk pembentukan gel yang kuat. Selain itu, garam juga digunakan sebagai bumbu, penyedap rasa, dan penambah aroma. Tetapi apabila digunakan dalam kadar yang cukup tinggi dapat mengubah cita rasa makanan. PolifosfatPolifosfat yang digunakan dalam pembuatan surimi adalah natrium tripolifosfat (STTP). Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan poliposfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral serta vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Haryati (2001). Pada umumnya, polifosfat ditambahkan sebanyak 0,2 %-0,3 % dalam bentuk garam natrium tripolifosfat (Peranginangin et al. 1999). Bahan cryoprotectantCryoprotectant adalah bahan yang umumnya digunakan dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Bahan yang dapat menginaktifkan kondensasi dengan cara mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen disebut dengan cryoprotectant. Menurut P. Santana (2012), cryoprotectant yang sering digunakan adalah sukrosa, sorbitol, dan polyols yang dapat mencegah denaturasi protein. Cryoprotectant juga dapat meningkatkan kemampuan air sebagai energi pengikat, mencegah pertukaran molekul-molekul air dari protein, dan menstabilkan protein. Hal tersebut diungkapkan oleh Zhou et al. (2006). Pipatsattayanuwong et al. (1995) menambahkan bahwa cryoprotectant berfungsi sebagai zat antidenaturan. Cryoprotectant digunakan dalam menghambat proses denaturasi protein selama pembekuan dan penyimpanan beku.

Berdasarkan percobaan yang dilakukan, WHC (Water Holding Capacity) tertinggi dihasilkan oleh kelompok D2 dengan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,1% dari berat sampel yaitu 317777,78 MgH2O. Sedangkan WHC terendah pada pembuatan surimi dihasilkan oleh kelompok D6 dengan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,5% dari berat sampel yaitu 243111,81 MgH2O. Menurut Fennema (1985), gula mempunyai grup polihidroksi yang dapat bereaksi dengan molekul air oleh ikatan hidrogen, sehingga dapat meningkatkan tegangan permukaan dan mencegah keluarnya molekul air dari protein, dan stabilitas protein tetap terjaga. Penggunaan sukrosa dalam pembuatan produk surimi bertujuan sebagai pelindung protein, dimana dapat mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan. Berdasarkan teori tersebut, dapat dikatakan bahwa gula memiliki kemampuan untuk mengikat air sehingga seharusnya semakin banyak penambahan gula pada surimi maka WHC yang dimiliki juga akan semakin tinggi.

Akan tetapi, dalam percobaan ini tidak sesuai dengan teori tersebut dimana terdapat kelompok memiliki WHC terendah saat penambahan sukrosa sebanyak 2,5% dari berat sampel. Perbedaan WHC tersebut dapat dipengaruhi dari kualitas ikan yang digunakan. Phatcharat et al (2006) mengatakan bahwa kesegaran ikan merupakan faktor yang dianggap paling penting untuk menentukan kemampuan pembentukan gel pada surimi. Waktu dan suhu penyimpanan antara ikan yang telah ditangkap dan pengolahannya dapat mempengaruhi kualitas akhir produk surimi.Waktu penyimpanan yang semakin lama akan membuat kualitas gel yang lebih rendah, sehingga kemampuan untuk mengikat air atau WHC pun rendah. Selain itu, selama proses pembuatan surimi pun terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi, yaitu suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan. Jumlah protein larut air yang hilang selama pencucian tergantung pada suhu air pencuci, dimana hal tersebut akan mempengaruhi kekuatan gel. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika hancuran daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 100C-150C (Andini, 2006).

Selain itu, saat pembuatan surimi ditambahkan dengan garam. Menurut Roussel dan Cheftel (1988), penambahan garam berfungsi untuk membentuk gel yang fleksibel dan elastis pada surimi yang dihasilkan. Apabila surimi dicampurkan dengan garam, dan disertai dengan proses pelumatan, hal tersebut akan mengakibatkan terbentuknya sol dan apabila ada pemanasan maka gel akan terbentuk. Lan et al. (1995) menambahkan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel surimi yaitu bahan baku, kekuatan ion, pH, suhu dan laju pemanasan, serta jenis ikan yang digunakan. Penambahan garam bertujuan untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang sangat penting untuk pembentukan gel yang kuat. Pembentukan gel tersebut akan mempengaruhi dari WHC surimi itu sendiri. Penggunaan garam juga berfungsi sebagai bahan pelarut protein miofibril. Apabila konsentrasi garam yang ditambahkan kurang dari 2% maka protein miofibril tidak dapat larut, sedangkan apabila konsentrasi garam yang ditambahkan lebih dari 12% maka protein miofibril akan terhidrasi dan menyebabkan salting out. Konsentrasi garam yang umumnya digunakan untuk membuat surimi adalah 2% hingga 3% (Shimizu et al., 1992). Sesuai dengan praktikum yang dilakukan dimana pada pembuatan surimi dilakukan penambahan garam sebanyak 2,5% dari berat sampel.

Menurut Tan et al. (1988), penambahan polyphosphate bertujuan untuk meningkatkan sifat elastisitas dan kelembutan dari surimi yang dihasilkan. Berdasarkan teori tersebut dapat dikatakan bahwa semakin banyak penambahan polifosfat maka seharusnya hardness yang dihasilkan akan semakin kecil. Polyphosphate juga umumnya ditambahkan untuk meningkatkan daya ikat air (water holding ability). Djazuli, N et al (2009) mengungkapkan bahwa uji daya ikat air atau WHC bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan bahan untuk mengikat molekul air. Interaksi protein-air terutama daya ikat air sangat berperan dalam pembentukan gel. Tekstur gel akan semakin baik apabila daya serap air semakin baik pula. Hal tersebut sesuai dengan hasil percobaan, dimana WHC tertinggi dihasilkan pada saat penambahan polifosfat sebanyak 0,5% dari berat sampel.

Pada umumnya, surimi yang dihasilkan bersifat kenyal hal ini sesuai dengan teori Tanaka (2001) yang mengatakan bahwa surimi biasanya memiliki tekstur yang elastis dan kenyal, hal tersebut dikarenakan surimi mengandung konsentrasi protein miofibril yang sangat tinggi. Selain itu aroma surimi yang dihasilkan pada kelompok D2 sampai D6 yaitu amis namun pada kelompok D1 bau yang dihasilkan tidak amis.

Pada jurnal Effect of different types of low sweetness sugar on physicochemical properties of threadfin bream surimi (Nemipterus spp.) during frozen storage mengatakan bahwa pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi elastisitas pada surimi. Tingkat keasaman atau pH ikan yang paling ideal untuk pembuatan surimi adalah 6,5 hingga 7 (pH netral) (Nopianti et al., 2012)

Pada jurnal The Determination of Technology & Storage Period of Surimi Production from Anchovy ( Engraulis encrasicholus L., 1758) mengatakan bahwa perubahan kualitas surimi yang dihasilkan oleh ikan pada suhu -29oC pada penyimpanan lima bulan. Total bakteri aerobik dengan menggunakan TBA dan TVB-N didapat nilai kelembaban yaitu, 74,98%. Surimi dapat dihasilkan dari ikan dalam waktu penyimpanan 5 bulan dalam keadaan beku dengan pembusukan yang rendah (Kaba, 2006).

Pada jurnal Effect of different salts on dewatering and properties of yellowtail barracuda surimi mengatakan bahwa pencucian dalam proses surimi sangat penting untuk menghilangkan kompenen yang tidak diinginkan. Penggunaan NaCl 0,45% dan MgCl2 20mM dapat meningkatkan efikasi dan meningkatkan kekuatan gel terhadap surimi dengan jaringan gel yang halus (Lertwittayanon, 2013).

Pada jurnal Fatty acid profile and mineral content of the wild snail (Helix pomatia) from the region of the south of the Turkey menyatakan bahwa kesalahan mungkin saja terjadi karena ikan yang digunakan mungkin saja berasal dari tempat yang berbeda sehingga kualitas ikan yang digunakan pun berbeda-beda. Selain itu, menurutnya, komposisi antar asam lemak pada ikan itu pun bisa jadi berbeda, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti spesies, pakan, letak geografis, umur, dan ukuran ikan tersebut. Disamping itu, kesalahan juga mungkin terjadi akibat kurang telitinya penimbangan yang dilakukan oleh praktikan dalam penimbangan polifosfat yang digunakan, sehingga hasil akhir surimi pun berbeda (Ozogul et al., 2005).

Sedangkan pada jurnal Effect of Some Biopolymers on the Rheological Behavior of Surimi Gel mengatakan bahwa sifat reologi dari surimi dipengaruhi oleh tingkat penambahan pati. Peningkatan pati dapat meningkatkan kekuatan, deformasi, dan kekuatan gel pada surimi sebagai hasil dari penyerapan air oleh granula pati dalam campuran untuk membuat surimi yang lebih keras (Sarker et al., 2012).4. KESIMPULAN

Surimi merupakan protein miofibril ikan yang telah melalui berbagai proses sehingga menjadi produk olahan perikanan setengah jadi (intermediate product) yang dapat diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan Perlakuan pembuatan surimi pada praktikum ini adalah ka-en surimi karena surimi ditambahkan dengan garam dengan konsentarsi yang berbeda Garam yang digunakan dalam pembuatan surimi memiliki banyak fungsi, yaitu mempercepat pengeluaran air, penghilangan lendir, darah dan kotoran lain dari daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu surimi adalah jenis ikan yang digunakan, proses pencucian, penambahan bahan tambahan, dan metode pembekuan. Daging ikan tongkol yang berwarna putih sebagai bahan baku surimi sesuai dengan syarat karakteristik surimi yang baik Kekuatan gel terbaik diperoleh jika hancuran daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10C 15C dan tidak berkesadahan tinggi serta tidak air laut atau air garam Air pencuci yang berkesadahan tinggi justru dapat merusak tekstur dan mempercepat terjadinya degradasi lemak Aquades seharusnya digunakan untuk mencuci ikan tongkol pada pratikum ini. Tekstur gel akan semakin baik bila daya serap air (WHC) semakin baik pula Pembekuan dengan suhu yang tidak tepat dapat menimbulkan pecahnya sel-sel sehingga cairannya keluar dari sel, warna bahan menjadi gelap, terjadi pembusukan dan pelunakan Sukrosa berfungsi sebagai pelindung protein karena dapat mencegah denaturasi protein selama pembekuan STPP (Sodium tripolypospat) berguna untuk meningkatkan elastisitas surimi

Semarang, 20 Oktober 2014Asisten Dosen: Dea Nathania

Thervina Yenni Tri Kusuma 12.70.01215. DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, T. W., Akhmad S.F, dan Ulfah, A. (2006). Modul Diversifikasi Produk Perikanan Universitas Diponegoro Press. Semarang.

Amiza, M. A. and K. Nur Ain. (2012). Effect of Washing Cycle and Salt Addition on the Properties of Gel from Silver Catfish (Pangasius Sp.) Surimi. UMT 11th International Annual Symposium on Sustainability Science and Management.

Andini YS. 2006. Karakteristik surimi hasil ozonisasi daging merah ikan tongkol (Euthynnus sp.) [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Anonim, 2010b. Sumiri, Suatu Alternatif Pengolahan Ikan. Ebookpangan.com. Diakses tanggal 10 Oktober 2014

Anonim_a. (1987). Petunjuk Praktis Pengolahan Surimi. Direktorat Jendral Perikanan Departemen Pertanian. Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia. 01 2694 1992. Surimi Beku. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Dahar, D. (2003). Pengembangan Produksi Hasil Perikanan. Sidoarjo.

Djazuli, N et al. 2009. Modifikasi Teknologi Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang di Laut Arafura. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Institut Pertanian Bogor.

Fennema, O.R. (1985).Food Chemistry-Second Edition, Revised and Expanded.New York: Marcel Dekker, Inc.

Haryati S. 2001. Pengaruh lama penyimpanan beku surimi ikan jangilus (Istiophorus sp) terhadap kemampuan pembentukan gel ikan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Hordur G. Kristinsson, Ann E. Theodore, Necla Demir, And Bergros Ingadottir. (2005). A Comparative Study between Acid and Alkali-aided Processing and Surimi Processing for the Recovery of Proteins from Channel Catfish Muscle. Journal of Food Science.

Kaba, Nilgn. (2006). The Determination of Technology & Storage Period of Surimi Production from Anchovy ( Engraulis encrasicholus L., 1758). Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 6: 29-35.

Koswara S, Hariyadi P, dan Purnomo EH. (2001). Tekno Pangan dan Agroindustri. Jakarta: UI Press.

Lan, H. Y.,MuW.,Nikolic-PatersonD.J.,and AtkinsR.C.(1995).A Novel, Simple, Reliable, and Sensitive Method for Multiple Immunoenzyme Staining: Use of Microwave Oven Heating to Block Antibody Cross-Reactivity and Retrieve Antigens.J Histochem Cytochem43:9710.

Lertwittayanon, Kosol., Soottawat Benjakul., Sajid Maqsood., Angel B Encarnacion. (2013). Effect of different salts on dewatering and properties of yellowtail barracuda surimi. Lertwittayanon et al. International Aquatic Research 2013, 5:10 http://www.intaquares.com/content/5/1/10

Miyauchi, David, George Kudo and Max Patashnik. (1970). Surimi-A Semi-Processed Wet Fish Protein. Pacific Fishery Products Technology Center.

Nopianti, Rodiana., Nurul Huda., & Noryati Ismail. (2010). Loss of Functional Properties of Proteins During Frozen Storage and Improvement of Gel-forming Properties of Surimi. As. J. Food Ag-Ind. 2010 , 3(06), 535-547

Nopianti., R., Huda, N., Fazilah, A., Ismail., N., & Easa, A.M. (2012). Effect of Different Types of Low Sweetness Sugar on Physicochemical Properties of Threadfin Bream Surimi (Nemipterus spp.) During Frozen Storage. International Food Research Journal.

Okada, M, M. David, and G. Kudo. (1973). Kamaboko The Giant Among Japanese Processed Fishery Products. MFR Paper 1019.Marine Fisheries Review Vol 35 (12).

Ozogul, Y., F. Ozogul and I. A. Olgunoglu,.(2005) Fatty acid profile and mineral content of the wild snail (Helix pomatia) from the region of the south of the Turkey. European Food Research and Technology, 221 (3-4): 547-549.

P., Santana., Huda. N., & Yang T.A. (2012). Technology for Production of Surimi Powder and Potential of Applications. International Food Research Journal 19(4): 1313-1323 (2012)

Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.

Phatcharat, S; Benjakul, S; Visessanguan, W. 2006. Effect of Washing with Oxidising Agents on The Gel-Forming Ability and Physicochemical Properties of Surimi Produced From Bigeye Snapper (Priacanthus tayenus). Department of Food Technology Prince of Songkla University Thailand.

Pipatsattayanuwong S, Park JW, Morissey MT. 1995. Functional properties and self life of fresh surimi from pacific whitting. Journal of Food Science 60(6):1241-1244.

Reinheimer et al. 2010. Quality Characteristics of Surimi Made From Sabalo (Prochilodus platensis) as Affected by Water Washing Composition. World Congress and Exhibiton Engineering. Argentina.

Roussel, H and Cheftel J.C. (1988).Characteristics of Surmi and Kamaboko from Sardines. International Journal of Food Science and Technology 23:607-623.

Sarker, Md. Zaidul Islam., M. Abd Elgadir., Sahena Ferdosh., Md. Jahurul Haque Akanda., Mohd Yazid Abdul Manap., Takahiro Noda. (2012). Effect of Some Biopolymers on the Rheological Behavior of Surimi Gel. Molecules 2012 , 17, 5733-5744; doi:10.3390/molecules17055733. ISSN 1420-3049

Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel dekker. Page.425-442.

Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied Science Publ Ltd.

Tan SM, Ng MC, Fujiwara T, Kok KH, and Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia.Marine Fisheries.Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.

Tanaka, M. (2001).Surimi and Surimi Products.Department of Food Science and Technology. Jepang.

Winarno F.G, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.

Wong, D.W.S. (1989).Mechanism and Theory in Food Chemistry. Pp. 4862. New York: Avi =Van Nostrand Reinhold.

Zamri, Amir Izzwan and S.I. Etty. (2012). Development and Physicochemical Analysis of Fish Ball from Starry Triggerfish (Abalistes Stellatus) Surimi. UMT 11th International Annual Symposium on Sustainability Science and Management

Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. 2006. Cryoprotective effect of trehalose and sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi durimg frozen storage. Journal of Food Chemistry 96(2):96-103.

6. LAMPIRAN

6.1. PerhitunganRumus:1. 2. 3. Luas area basah = LA - LB4. Kandungan air bebas

Kelompok D1Luas Atas :LA = (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + hn)LA = (90+4x182+2x199+4x191+108)LA = 34800

Luas Bawah :LB = (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 +hn)LB = (90+4x17+2x3+4x23+108)LB = 6066,67

Luas Area BasahLuas area basah = LA - LB = 34800-6066,67 = 28192,33

WHC (mg H2O) = 297303,06 mg H2O

Kelompok D2Luas Atas : LA = 35.233,333

Luas Bawah :

LB = 5.100

Luas Area BasahLuas area basah=

WHC (mg H2O)mg H2O = = 317.777,78 mg H2O

Kelompok D3

Kelompok D4Luas Atas :LA = (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + hn)LA = (95+4x183+2x195+4x179+105)LA = 32608

Luas Bawah :LB = (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 +hn)LB = (90+4x15+2x4+4x16+105)LB = 5312

Luas Area BasahLuas area basah = LA - LB = 32608-5312= 27296

WHC (mg H2O) = 287848,10 mg H2O

Kelompok D5

mg H2O

Kelompok D6

= 30.450

= 7.395

Luas area basah= La-Lb= 30.450 7.395= 23.055

Mg H2O= = = 243.111,81 mg H2O5.2 Laporan Sementara5.3 Diagram Alir1