Kitin Kitosan_Thervina Yenni Tri Kusuma_12.70.0121_D4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Kitin Kitosan 2014

Citation preview

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:Thervina Yenni Tri Kusuma12.70.0121Kelompok D4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2014Acara II2

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kitin dan KitosanKel.PerlakuanRendemen chitin I (%)Rendemen chitin II (%)Rendemen chitosan (%)

D1Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40%31,75014,73022,273

D2Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40%34,75012,35321,100

D3Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5 % + NaOH 50%30,25021,00010,090

D4Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5 % + NaOH 50%32,62512,1718,528

D5Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5 % + NaOH 60%29,00032,13829,125

D6Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5 % + NaOH 60%5,62542,63413,547

Dapat dilihat pada tabel 1, diketahui bahwa pada pembuatan kitin dan kitosin diberi perlakuan yang berbeda pada beberapa kelompok, dimana pada proses pembuatan kitin dan kitosan ini meliputi proses demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Pada proses demineralisasi, digunakan HCl 0,75 N (kelompok D1 dan D2), HCl 1 N (kelompok D3 dan D4), dan HCl 1,25 N (kelompok D5 dan D6). Pada proses deproteinasi digunakan NaOH 3,5% untuk seluruh kelompok. Sedangkan pada proses deasetilasi digunakan NaOH 40% (kelompok D1 dan D2), NaOH 50% (kelompok D3 dan D4), serta NaOH 60% (kelompok D5 dan D6). Pada kelompok D2 dihasilkan rendemen kitin I terbesar, yaitu 34,750% sedangkan pada kelompok D6 dihasilkan rendemen kitin I terendah, yaitu 5,625%. Di sisi lain, rendemen kitin II terbesar dihasilkan oleh kelompok D6, yaitu 42,634% dan rendemen terendah dihasilkan oleh kelompok D4, yaitu 12,171%. Pada rendemen kitosan terbesar, dihasilkan pada kelompok D5 yaitu 29,125%, dan rendemen kitosan terendah dihasilkan pada kelompok D3, yaitu 10,090%.Dengan perlakuan yang berbeda-beda pada beberapa kelompok menghasilkan rendemen kitin I, rendemen kitin II, dan rendemen kitosan yang berbeda-beda pula.

19

2. 20

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum teknologi hasil laut akan dibahas tentang percobaan kitin kitosan pada kulit udang sebagai sampel. Kitin adalah hasil pengolahan kulit udang yang bernilai ekonomis tinggi sehingga penting untuk mengolah kulit udang menjadi kitin, karena kulit udang merupakan sumber potensial untuk pembuatan kitin (Shahidi et al., 1999). Beberapa manfaat yang dapat diambil dari kitin, yaitu di bidang pertanian antara lain dengan memanfaatkan sifat antifunginya untuk melindungi tanaman dari serangan fungi dan sifat antibakterinya terhadap beberapa patogen. Kelarutan kitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Kitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila kitosan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100oF maka sifat kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila kitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka dan terjadi kontak dengan udara maka akan terjadi dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi berkurang (Krissetiana, 2004).

Dalam praktikum ini, penggunaan kulit udang sebagai bahan dasar pembuatan kitin dan kitosan ini, menurut Hargono, et all (2008) dikarenakan kulit udang mengandung 20-30% senyawa kitin, 21% protein, dan 40-50% mineral. Disamping itu, Mudasir et al (2008) menambahkan bahwa kitin dan kitosan merupakan produk yang menggunakan limbah crustasea sebagai bahan dasarnya. Kitin dapat ditemukan dalam komponen struktural eksoskeleton dari serangga dan crustacea. Selain itu dapat pula ditemukan dalam dinding sel ragi dan jamur yang jumlahnya berkisar antara 30-60%. Kitin dapat dimanfaatkan sebagai bahan pendukung enzim dimana penggunaan terbesar digunakan pada industri makanan dan kosmetik. Kitin dapat digunakan sebagai bahan pendukung untuk beberapa enzim seperti papain, kimotripsin, laktase, asam pospatase dan glukosa isomerase. Sifat kitin yaitu lebih fleksibel dan lebih mudah larut dalam asam encer, larut dalam asam pekat seperti asam nitrit, asam sulfat tetapi tidak larut dalam air, asam organik, asam anorganik encer, pelarut organik dan alkali pekat. Dalam asam pekat, kitin dapat larut serta terdegradasi menjadi monomernya dan memutuskan gugus asetil. Pada limbah udang, struktur kitinnya memiliki persamaan dengan selulosa yakni pada ikatan antara monomernya terangkai dengan glukosida pada posisi (1-4).Limbah udang mengandung protein dan mineral yang cukup tinggi, serta astaxantin yang merupakan pro-vitamin A untuk pembentukan warna (Dutta et al, 2004). Muzzarelli (1985) di dalam Rochima (2007) menambahkan bahwa cangkang hewan invertebrata laut, terutama Crustacea mengandung kitin dalam kadar tinggi, berkisar antara 20-60% tergantung spesies. Cumi-cumi mempunyai kandungan kitin paling sedikit, sekitar 20%, sedangkan cangkang kepiting dapat mengandung kitin sampai 70%. Menurut Patil (2000) di dalam Rochima (2007), lebih dari 80.000 metrik ton kitin diperoleh dari limbah laut dunia per tahun. Di Indonesia sendiri limbah kitin yang belum dimanfaatkan sebesar 56.200 metrik ton per tahun. Hal tersebut diungkapkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (2000) di dalam Rochima (2007).

Dalam industri pengolahan crustaceae ada dua jenis limbah yang dihasilkan. Pertama adalah limbah cair yang berupa suspensi air dan kotoran serta yang kedua limbah padat yang berupa kulit, kepala, dan juga kaki. Kedua limbah ini tentunya menimbulkan pencemaran lingkungan, sehingga diperlukan penanganan limbah cair yang terbaik, yaitu dengan menggunakan waste water treatment. Lain halnya dengan limbah padat, limbah ini masih dapat dimanfaatkan menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, misalnya kitin. Menurut Dutta et al (2004), kitin memiliki warna yang putih, keras, inelastis, dan merupakan polisakarida yang mengandung nitrogen dan dapat ditemukan dalam eksoskleton sama seperti pada struktur internal invertebrata. Salah satunya yaitu pada limbah udang yang merupakan sumber yang kaya akan kitin, yaitu kurang lebih 30% dari berat kering (Purwaningsih, 1994). Rismana (2001) menambahkan bahwa kitosan merupakan bahan kimia multiguna yang disiapkan secara komersial dengan diasetilasi basa kitin yang didapatkan dari eksoskeleton crustaceae laut. Limbah udang yang terdiri atas kulit dan kepala merupakan limbah industri dari pabrik pembekuan udang, limbah ini dapat mencapai 60 -70 % dari berat utuh. Kulit dan kepala udang mengandung kitin yang cukup besar dibandingkan dengan cangkang atau kulit crustaceae lainnya.

Praktikum kitin kitosan yang dilakukan menggunakan sampel berupa limbah kulit udang. Tujuan penggunaan limbah kulit udang menurut Sandford & Hutchins (1978) adalah karena kulit udang merupakan limbah padat dalam pengolahan crustaceae. Jika dibandingkan dengan pengolahan limbah cair, pengolahan limbah padat ini selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, juga dapat diolah hingga menghasilkan produk olahan yang memiliki nilai fungsional yang lebih tinggi, yaitu dengan pengolahan menjadi kitin maupun kitosan. Pada praktikum pembuatan kitin kitosan ini dilakukan dengan 3 tahapan, yaitu demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Pada tahap demineralisasi pertama-tama limbah kulit udang dicuci dengan air mengalir, kemudian dikeringkan dengan alat dehumidifier. Kemudian dilakukan pencucian dengan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Hasil kulit udang yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan atau dihancurkan. Pada praktikum ini digunakan larutan HCl, NaOH yang berbeda-beda konsentrasinya. Pada tahap yang pertama, yaitu tahap dalam proses demineralisasi penggunaan HCl menurut teori Peter (1995) adalah untuk melarutkan ion Ca2+ dalam cangkang udang, hingga berikatan dan menghasilkan CaCl2 yang memiliki sifat larut dalam air, sedangkan produk sampingan yang lainnya adalah gas CO2 dan air, serta asam pospat yang larut air. Selain itu, hampir seluruh ion-ion logam dapat membentuk garam-garam klorida yang sifatnya larut dalam air. Kemudian, diaduk selama 1 jam sambil dipanaskan dengan suhu 900C. Menurut Johnson dan Peterson (1974), pemanasan pada proses demineralisasi bertujuan untuk mempercepat proses perusakan mineral dimana tujuan dari proses demineralisasi adalah untuk menghilangkan mineral, kalsium karbonat, dan kalsium fosfat. Disamping itu, pengadukan juga bertujuan untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara yang dihasilkan karena pemisahan mineral selama proses demineralisasi. Kemudian sampel dicuci dengan air hingga pH-nya netral dan dikeringkan selama 24 jam dengan suhu 800C. Mekawati et all (2000) mengemukakan teorinya bahwa pencucian yang dilakukan selain untuk menetralkan pH juga untuk menghindari resiko degradasi selama proses pengeringan, juga berfungsi untuk melarutkan CaCl2 dan asam pospat yang bersifat larut dalam air. Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan Prasetiyo (2006) yang menyatakan bahwa setiap tahapan yang dilakukan dalam percobaan mulai dari penggunaan campuran antara HCl dengan sampel kulit udang yang digunakan yaitu 10:1 dan dengan pemanasan yang digunakan adalah juga 800C selama 24 jam.

Menurut Wang et al (2010), kitin merupakan polisakarida yang sangat melimpah di alam. Kitin dapat ditemukan dalam komponen struktural eksoskeleton dari insecta dan crustacean, dalam dinding sel fungi (30-60%), kulit kerang, paruh burung, serta tulang rawan (bagian tengah) dari cumi-cumi. Kitin dapat digunakan sebagai bahan pendukung beberapa enzim seperti papain, lactase, kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase. Pemanfaatan kitin umumnya paling besar digunakan pada industri pangan dan industri kosmetik. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Peter (1995). Akan tetapi, karena kitin sangat sulit larut dengan air, hal ini membuat pemanfaatan kitin menjadi sangat terbatas. Untuk mengatasi sifat kitin tersebut, salah satu jalannya adalah dengan cara memodifikasi struktur kimiawi sehingga akan didapatkan turunan kitin yang mempunyai sifat kimia yang lebih baik dibandingkan dengan kitin. Salah satu dari turunan kitin tersebut adalah kitosan yang mempunyai sifat larut dalam asam dan viskositas larutannya tergantung dari derajat diasetilasi dan derajat degradasi dari polimer kitin. Kitosan kering tidak mempunyai titik lebur dan apabila disimpan dalam jangka waktu yang lama dengan suhu sekitar 100oF, sifat kelarutan dan viskositas dari kitosan ini akan berubah. Apabila kitosan disimpan lama dengan keadaan terbuka (mengalami kontak dengan udara), hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya dekomposisi, perubahan warna menjadi kekuningan, dan menurunnya viskositas dari kitosan tersebut. Sifat dari kitosan lainnya adalah kitosan hanya dapat larut dalam asam encer seperti misalnya asam asetat, asam format, asam sitrat. Akan tetapi bila kitosan telah disubstitusikan, hal ini akan membuat kitosan dapat larut dengan air. Kitosan dapat mudah larut dengan asam asetat karena asam asetat memiliki gugus karboksil yang akan mempermudah pelarutan kitosan yang disebabkan karena terjadinya interaksi hidrogen antara gugus karboksil dan gugus amina dari kitosan (Dunn et al., 1997).

Berdasarkan teori dari Muzzarelli (1985), kitin yang memiliki struktur kimia (C8H13NO5)n ini merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang berikatan dengan ikatan glikosidik (1,4). Sedangkan kitosan merupakan produk turunan dari kitin, dan merupakan senyawa dengan rumus kimia polimer (2-amino-2-dioksi--D-Glukosa) yang dapat dihasilkan dengan cara menghidrolisis kitin dengan menggunakan basa kuat. Kitosan memiliki bentuk padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal yang tetap dari bentuk awal kitin murni. Rantai dari kitosan tersebut akan lebih pendek dibandingkan dengan rantai kitin yang digunakan untuk menghasilkan kitosan tersebut. Bentuk dari kitosan mirip dengan selulosa, yang membedakannya hanya pada gugus hidroksi C-2nya, dimana gugus tersebut disubtitusi dengan gugus amino (NH2). Kitosan juga dapat dimanfaatkan sebagai pengawet karena kitosan ini mengandung gugus amino yang memiliki muatan positif yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Hal tersebut menjadikan ciri khas bagi kitosan dimana polisakarida lainnya biasanya memiliki muatan yang netral (Robert, 1992). Kitosan dihasilkan dari kitin yang telah di-deasetilasi dengan larutan basa 40-50% pada suhu sekitar 120o hingga 160oC. Beberapa kelebihan kitosan sebagai biomaterial adalah mudah terdegradasi, kompatibel, tidak beracun, dan antithromboganic (Radhakumary et al.,2005). Berikut merupakan struktur kitin dan kitosan:

Gambar 1. Struktur Kitin dan Kitosan (Pillai et al., 2009)Menurut Abun et al. (2007), kitin dapat diperoleh dari berbagai macam organisme yang ada di alam. Kitin pada tubuh organisme didapati dalam tiga bentuk kristal dan dibedakan atas susunan rantai molekul yang menyusun kristalnya. Ketiga jenis kitin tersebut antara lain -kitin yang berupa rantai antipararel, -kitin berupa rantai pararel, dan -kitin yang berupa rantai campuran. Struktur kimia dari kitin tersebut dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Struktur Kimia Kitin (Abun et al., 2007).Kitosan yang dihasilkan dari deasetilasi kitin tersebut mempunyai sifat polikationik yang menyebabkan kitosan dapat berfungsi sebagai agen penggumpal dalam penanganan limbah, terutama pada limbah yang mengandung protein. Hal tersebut diungkapkan oleh Hartati et al. (2002). Menurut Cahyaningrum et al. (2007), kitosan mampu berikatan secara crosslink apabila ditambahkan dengan crosslinked agent seperti misalnya glutaraldehid, glioksial, atau kation Cu2+ pada kitosan tersebut. Balley et al (1977) menambahkan bahwa hingga saat ini terdapat lebih dari 200 pemanfaatan dari kitin dan kitosan serta turunannya terutama di industri pangan, pemrosesan makanan, bioteknologi, pertanian, farmasi, kesehatan, serta lingkungan. Berikut merupakan struktur kimia dari kitosan :

Gambar 3. Struktur Kimia Kitosan (Muzzarelli, 1985).Pada praktikum ini, proses ekstraksi kitin menggunakan bahan baku limbah kulit udang yang telah dipisahkan dari kepalanya. Untuk mengekstraksi kitin, limbah kulit udang harus mengalami tahap demineralisasi dan deproteinasi. Sedangkan untuk mendapatkan kitosan, kitin yang telah didapat sebelumnya harus diproses lebih lanjut, yaitu proses desasetilasi.

3.1. Pembuatan Kitin3.1.1. DemineralisasiPada tahap ini, mula-mula limbah kulit udang dicuci dengan air mengalir, dan kemudian dikeringkan. Pencucian tersebut bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang ada pada kulit udang yang akan digunakan dimana kotoran tersebut dapat mencemari ekstrak kitin yang dihasilkan. Sedangkan proses pengeringan bertujuan untuk membuat air panas yang masih berada pada kulit udang dapat dihilangkan, sehingga kadar air yang terletak pada kulit udang tersebut dapat dikurangi sehingga menghasilkan produk kulit udang yang kering. Setelah itu, dihancurkan hingga menjadi serbuk dimana serbuk tersebut akan diambil sebanyak 10 gram pada masing-masing kelompok. Menurut Prasetyo (2006), proses penghancuran bertujuan untuk memperbesar luas permukaan bahan sehingga pelarut yang nantinya digunakan dapat dengan maksimal melarutkan komponen-komponen dengan maksimal.

Kemudian, ditambahkan dengan HCl dimana perbandingan serbuk kitin dan HCl yaitu 10:1 dengan menggunakan HCl 0,75 N (kelompok D1 dan D2), HCl 1 N (kelompok D3 dan D4), serta HCl 1,25 N (kelompok D5 dan D6). Proses penambahan HCl tersebut bertujuan untuk melarutkan komponen mineral yang dikandung oleh kulit udang. Menurut Bastaman (1989), kulit udang mengandung mineral sebanyak 30 hingga 50% dari berat keringnya dimana mineral utama yang ada pada kulit udang adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Mineral yang ada pada kulit udang harus dipisahkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya proses ekstraksi kitin dimana komponen mineral tersebut dapat dilarutkan dengan penambahan asam encer seperti misalnya HCl, H2SO4, atau asam laktat. Ca3(PO4)2 dan CaCO3 merupakan mineral yang paling banyak ditemukan dalam kitin yang masih kasar (impurities chitin) dimana dengan penambahan HCl akan mengakibatkan kerusakan pada permukaan biopolimer kitin. Reaksi kerusakan kitin akibat penambahan HCl adalah sebagai berikut:HCl (aq) H+(aq) + Cl-(aq)H+(aq) + H2O H3O+(aq)Ca3(PO4)2(s) + 2 H3O+(aq) 3 Ca2+(aq) + 2 H3PO4(aq) + O2(g)CaCO3(s) + 2 H3O+(aq) Ca2+(aq) + CO2(g) + 3 H2O(l)(Robert, 1992).

Setelah itu, dipanaskan selama 1 jam hingga suhunya mencapai 90oC sambil diaduk. Proses pemanasan selama 1 jam ini berfungsi untuk mempercepat proses perusakan mineral. Sedangkan proses pengadukan yang dilakukan bersamaan dengan proses pemanasan ini bertujuan untuk menghindari timbulnya gelembung-gelembung udara yang akibat proses pemisahan mineral selama terjadinya proses demineralisasi (Puspawati et al., 2010). Gelembung-gelembung udara merupakan dampak dari terbentuknya gas CO2 pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel pada proses perusakan mineral (demineralisasi). Reaksi yang terjadi pada proses terbentuknya gelembung dari gas CO2 ini adalah sebagai berikut:CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g). (Robert, 1992).Tahap selanjutnya, dicuci dengan air hingga pHnya mencapai netral. Kemudian, dikeringkan selama 24 jam pada suhu 80oC. Dengan adanya proses demineralisasi ini akan menghilangkan garam-garam anorganik serta kandungan mineral yang dikandung oleh kitin, terutama kandungan kalsium karbonat (CaCO3). Hal tersebut sesuai dengan teori dari Hargono & Haryani (2004). Proses demineralisasi ini akan mengakibatkan kalsium karbonat bereaksi dengan asam klorida sehingga membentuk kalsium klorida, asam karbonat, dan asam fosfat yang merupakan senyawa yang larut dengan pelarut polar seperti air sedangkan residu yang tidak larut dengan pelarut polar (air) merupakan senyawa kitin yang telah terekstrak. Karena mineral yang ada pada kitin terlarut dengan air, maka diperlukannya proses penyaringan dalam proses penetralan pH ini sehingga hanya residu kitin saja yang tersisa. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Bastaman (1989).

Pada percobaan ini, kelompok D2 menghasilkan rendemen kitin I terbesar, yaitu 34,750% sedangkan pada kelompok D6 dihasilkan rendemen kitin I terendah, yaitu 5,625%. Dengan penambahan konsentrasi HCl dari 0,75N, 1 N, dan 1,25 N secara berturut-turut dihasilkan rata-rata rendemen kitin I sebesar 33,250%, 31,438%, dan 17,313%. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dari Johnson dan Peterson (1974) yang mengatakan bahwa apabila semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka rendemen kitin yang dihasilkan juga akan semakin banyak pula. Hal tersebut dikarenakan adanya senyawa-senyawa mineral pada serbuk udang akan semakin mudah untuk dilepaskan. Penambahan asam atau basa dengan konsentrasi yang lebih tinggi dengan disertai proses atau waktu yang lebih panjang akan mengakibatkan lepasnya ikatan protein dan mineral dengan kitin serta bahan organik lainnya yang ada pada kulit udang.

3.1.2. DeproteinasiPada proses deproteinasi, masing-masing kelompok serbuk yang telah diperoleh dari pengolahan demineralisasi ditambahkan dengan NaOH dengan konsentrasi yang berbeda sesuai dengan kelompok. Tujuan dari tahapan proses deproteinasi yaitu untuk menghilangkan atau melarutkan protein dengan semaksimal mungkin dari substrat menggunakan larutan kimia yang bersifat basa (Lehninger, 1975). Dalam tahap ini juga ditambahkan NaOH 3,5% yang bertujuan untuk memperbesar volume partikel bahan / substrat. Maka dari itu, ikatan antar komponen akan menjadi renggang sehingga mampu menghidrolisis gugus asetil pada kitin dan kitin mengalami deasetilasi akan berubah menjadi kitosan. Hal ini yang menyebabkan kadar kitin menjadi berkurang sehingga ikatan antar komponen menjadi renggang, juga mampu menghidrolisis gugus asetil pada kitin, sehingga kitin akan mengalami deasetilasi dan berubah menjadi kitosan yang menyebabkan kadar kitin berkurang. Setelah ditambahkan NaOH kemudian larutan diaduk dan dipanaskan diatas pemanas selama 1 jam pada suhu 90C. Tujuan pemanasan larutan ini adalah supaya protein dapat terdenaturasi sehingga protein lebih mudah dipisahkan. Pengadukan juga berfungsi untuk meratakan proses denaturasi protein oleh larutan NaOH. Dengan pemanasan dan pengadukan dapat mengkonsentrasikan NaOH, sehingga hasil kitin yang diperoleh lebih optimal (Patil et al, 2000). Kemudian setelah proses pengadukan, larutan didinginkan selama 30 menit ini bertujuan untuk mengendapkan kitin pada bagian dasar larutan sehingga ketika dilakukan pencucian kitin tidak terbuang. Setelah itu, kitin dicuci dengan air mengalir secara berulang-ulang hingga tercapai pH netral dan pencucian ini bertujuan untuk menurunkan kondisi basa larutan menjadi pH normal. Setelah dicuci kitin dikeringkan kembali dalam dehumidifier pada suhu 80C selama 24 jam yang bertujuan dari pengeringan ini untuk menguapkan air yang masih tersisa selama proses pencucian sehingga diperoleh produk kitin akhir yang kering (Rogers, 1986).

Pada percobaan yang dilakukan, rendemen kitin II terbesar dihasilkan oleh kelompok D6, yaitu 42,634% dan rendemen terendah dihasilkan oleh kelompok D4, yaitu 12,171%. Hal tersebut ada yang sesuai, namun ada juga yang tidak sesuai dengan teori dari Puspawati et al. (2010) yang mengatakan bahwa pada umumnya rendemen kitin yang berasal dari limbah kulit udang akan menghasilkan rendemen kitin lebih dari 20%, karena pada kelompok D2 dan D4 tidak menghasilkan rendemen kitin lebih dari 20%. Berdasarkan hasil percobaan, umumnya terdapat beberapa kelompok yang mengalami peningkatan rendemen kitin dibandingkan dengan sebelumnya, hal tersebut dapat saja terjadi karena proses deproteinasi yang kurang sempurna. Proses deproteinasi yang kurang sempurna tersebut umumnya diakibatkan oleh adanya kitin yang terikut dengan air pada saat proses penetralan dan penyaringan, pengeringan kitin yang kurang sempurna, atau proses demineralisasi yang kurang optimal sehingga masih ada pelindung mineral yang terletak pada kulit udang sehingga menghambat proses deproteinasi. Kelarutan protein dan mineral pada suasana basa akan lebih besar jika dibandingkan kelarutannya pada suasana asam. Hal ini dikarenakan larutan basa seperti NaOH memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan larutan asam seperti HCl. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Fennema (1985). Maka dari itu, proses deproteinasi dengan NaOH yang bersifat basa akan mengoptimalkan proses penghilangan mineral dan khususnya komponen protein yang berada pada kitin tersebut, sehingga rendemen kitin yang dihasilkan dapat mengalami penurunan dari rendemen kitin sebelumnya.

Faktor-faktor yang menyebabkan berhasil atau tidaknya pembuatan kitin antara lain jenis bahan baku yang digunakan, serta proses ekstraksi kitin yang dibagi menjadi dua metode yaitu proses demineralisasi dan proses deproteinasi. Kitin dapat diekstrak baik dengan secara kimiawi maupun secara enzimatis. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas kitin dipengaruhi oleh tahapan dan kondisi proses yang di dalamnya termasuk lamanya proses pengolahan, suhu pengeringan yang digunakan, konsentrasi zat kimia yang ditambahkan, dan pH saat proses pengekstrakan kitin. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Laila & Hendri (2008). Dengan semakin lama proses pemanasan (pengeringan), akan menyebabkan denaturasi protein, sehingga protein yang terlarut berkurang banyak. Namun, apabila pemanasan dilakukan dalam waktu yang lebih singkat, hal ini mengakibatkan kandungan protein yang terlarut menjadi lebih rendah karena protein yang ada di dalam kitin tersebut belum larut sepenuhnya. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Winarno (1997). Menurut Mukku dan Willem (2005), kitin juga dapat dibuat dari kulit udang dengan menggunakan mikroorganisme. Salah satu mikroorganisme yang dapat digunakan untuk proses pembuatan kitin tersebut adalah Lactobacillus plantarum.

3.2. Deasetilasi (Pembuatan Kitosan)Setelah kulit udang melalui proses pembuatan kitin (demineralisasi dan deproteinasi), maka kitin yang telah dihasilkan tersebut diberikan perlakuan lanjutan sehingga terbentuk senyawa turunannya, yaitu kitosan. Proses ekstraksi kitosan dari kulit udang sendiri terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap demineralisasi dan deproteinasi yang merupakan tahap pembuatan kitin, serta deasetilasi yang akan mengubah senyawa kitin yang telah terbentuk sebelumnya menjadi senyawa kitosan. Hal tersebut diungkapkan oleh Robert (1992). Menurut Ramadhan et al. (2010), transformasi senyawa kitin menjadi senyawa kitosan pada tahap deastilasi ini sendiri dilakukan dengan langkah penghilangan gugus asetil yang ada pada kitin menjadi gugus amina yang ada pada kitosan. Mutu kitosan yang dihasilkan digambarkan dengan persentase gugus asetil yang bisa dihilangkan dari rendemen kitin sebelumnya maupun kitosan tersebut. Standar mutu kitosan yang menilai berdasarkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan tersebut dinamakan dengan derajat deasetilasi. Dengan semakin tingginya derajat deasetilasi dari kitosan yang dihasilkan, hal tersebut menandakan bahwa gugus asetil yang dimiliki kitosan tersebut semakin rendah sehingga mengakibatkan interaksi antar ion-ion dan ikatan hidrogennya bertambah kuat. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Knoor (1984).

Morteza et al (2009) mengungkapkan derajat deasetilasi dari kitosan dapat diwakilkan dengan banyaknya glukosamin dan asetil glukosamin yang terkandung pada kitosan yang dihasilkan. Azhar et al. (2010) menambahkan bahwa, kitin dapat diubah menjadi kitosan dengan cara mengubah gugus asetamida (NHCOCH3) yang dimiliki oleh kitin menjadi gugus amina (NH2) yang nantinya dimiliki oleh kitosan. Tujuan dari proses deasetilasi ini adalah untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil dengan gugus nitrogen yang terletak pada gugus asetamida kitin untuk diubah menjadi gugus amina (NH2) yang merupakan bagian dari senyawa kitosan yang akan dihasilkan. Berikut ini merupakan gambar dari proses pelepasan gugus asetil pada asetamida kitin menghasilkan gugus amina terdeasetilasi yang dimiliki oleh kitosan.

Gambar 4. Pengubahan gugus asetil pada gugus asetamida kitin (Azhar et al., 2010).

Berdasarkan teori dari Cahyaningrum (2007), kitosan merupakan senyawa yang memiliki banyak kegunaan pada bidang pangan, yang salah satunya dapat digunakan sebagai bahan antimikroba. Kemampuan antimikroba yang dimiliki oleh kitosan ini dikarenakan kitosan mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolisakarida yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Kemampuan antimikroba kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi pelarut kitosan dimana antimikroba yang menggunakan kitosan ini efektif untuk menghambat pertumbuhan dari berbagai macam bakteri dan kapang. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Limam et al (2011) yang mengatakan bahwa kitosan memiliki karakteristik sebagai penghambat aktivitas bakteri dan fungi yang baik.

Pada proses deasetilasi ini, mula-mula kitin ditambahkan dengan NaOH dimana perbandingan antara kitin dengan NaOH yang ditambahkan adalah 1 : 20. Pada proses deasetilasi digunakan NaOH 40% (kelompok D1 dan D2), NaOH 50% (kelompok D3 dan D4), serta NaOH 60% (kelompok D5 dan D6). Setelah itu, dipanaskan selama 1 jam hingga suhunya mencapai 90oC sambil diaduk, kemudian didinginkan. Suhu yang digunakan pada proses pemanasan dan pengadukan ini akan berpengaruh terhadap derajat deasetilasi kitosan yang terbentuk, dimana semakin tinggi suhu yang diaplikasikan maka derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk akan meningkat. Tujuan dari pemanasan ini sendiri adalah untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk. Sedangkan proses pengadukan yang dilakukan bersamaan dengan proses pemanasan ini bertujuan untuk meratakan kitin yang digunakan sebagai bahan dengan larutan NaOH yang ditambahkan sehingga proses deasetilasi berjalan lebih optimal. Hal tersebut diungkapkan oleh Puspawati et al. (2010). Selain itu, proses pendinginan pada tahap ini bertujuan untuk membuat bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap dengan sempurna di bagian bawah dan tidak ikut terbuang selama proses pencucian. Tahapan selanjutnya, dicuci dengan air hingga pHnya mencapai netral, dimana proses ini dilakukan bersamaan dengan penyaringan yang bertujuan untuk memisahkan rendemen kitosan yang terbentuk dengan komponen-komponen lainnya. Kemudian, dikeringkan selama 24 jam pada suhu 70oC dan dihasilkan kitosan dari percobaan ini. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Ramadhan et al. (2010) yang mengungkapkan bahwa setelah proses pengeringan tersebut, maka kitosan yang dihasilkan akan berbentuk serbuk dengan warna putih kekuningan.

Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, rendemen kitosan terbesar, dihasilkan pada kelompok D5 yaitu 29,125%, dan rendemen kitosan terendah dihasilkan pada kelompok D3, yaitu 10,090% dengan penambahan NaOH sebesar 50%. Penambahan NaOH dengan konsentrasi sekitar 50% ini sudah sesuai dengan teori dari Hirano (1989) yang mengatakan bahwa struktur kristal kitin panjang memiliki ikatan yang kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga di proses deasetilasi ini digunakan larutan natrium hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi 40-50% dan suhu yang tinggi untuk mengubah struktur kitin menjadi struktur kitosan. Penggunaan NaOH sendiri bertujuan untuk merubah konformasi kitin yang sangat rapat menjadi renggang, sehingga enzim yang akan menguraikan lebih mudah masuk untuk mendeasetilasi polimer dari kitin. Alkali (NaOH) dengan konsetrasi yang tinggi ini akan memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan gugus nitrogen pada kitin. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Martinou (1995). Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan pada proses deasetilasi, hal ini akan menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi pula. Hal tersebut dikarenakan gugus fungsional amino yang mensubstitusi gugus asetil pada kitin dalam larutan tersebut menjadi semakin aktif, sehingga proses deasetilasi yang dilakukan akan lebih optimal. Sedangkan penggunaan suhu tinggi pada poses deasetilasi ini akan mengakibatkan gugus asetil terlepas dari struktur kitin dan gugus amina pada struktur kitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang memiliki muatan positif sehingga membentuk gugus amina bebas. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Mekawati et al. (2000).

Rata-rata rendemen kitosan dengan penggunaan NaOH sebesar 40%, 50%, dan 60% secara berturut-turut adalah 21,687%, 9,309%, dan 21,336%. Hal tersebut kurang sesuai dengan teori dari Hong et al. (1989) dan Naznin (2005) yang mengatakan bahwa penggunaan NaOH dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan menghasilkan kitosan dengan rendemen yang lebih rendah. Hal tersebut dikarenakan penambahan NaOH akan mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan sehingga berat molekul dari kitosan akan menurun. Kualitas dari produk kitosan yang dihasilkan sangat ditentukan oleh derajat deasetilasinya dimana derajat deasetilasi pada proses pembuatan kitosan ini dipengaruhi oleh jenis dan kualitas bahan dasar yang digunakan dan kondisi proses yang dilakukan (konsentrasi larutan alkali, suhu, dan waktu). Hal tersebut sesuai dengan teori dari Suhardi (1992).

Pada jurnal Extraction of chitin from chitosan from exoskeleton of shrimp for application in the pharmaceutical industry mengatakan bahwa kitosan merupakan polisakarida amino yang disiapkan dalam pengoolahan limbah udang yang melibatkan d-acytyl dari kitin. Kitosan tidak beracun yang dapat digunakan dalam dunia farmasi sebagai formulasi eksipien potensial. Hasil kitosan ditemukan 35,49% dan dianalisis untuk parameter physiochemical (Puvvada et al., 2012).

Pada jurnal The Use of Crude Shrimp Shell Powder for Chitinase Production bySerratia marcescens WF mengatakan bahwa limbah udang mentah dapat memproduksi kitinase. Produksi kitinase diperoleh dengan bubuk kulit udang kering sebesar 6%, pH 6,5 dengan temperatur 28oC selama fermentasi hingga 72 jam (Sauls et al., 2006).

Pada jurnal Chitin Extraction from Crustacean Shells Using Biological Methods mengatakan bahwa kitin merupakan biopolimer yang paling luas dialam. Dapat diekstraksi dari tiga sumber, yaitu krustasea, serangga, dan mikroorganisme, tetapi sumber utama pada kitin terdapat pada cangkang dan produksi terbesar terdapat pada pengolahan kerang. Ekstraksi kitin melibatkan dua langkah, yaitu demineralisasi dan deproteinisasi. Asam laktat dihasilkan dari proses demineralisasi dan asam laktat bereaksi dengan kalsium karbonat, mineral, dan membentuk asam laktat (Arbia et al., 2013)

Pada jurnal Determination of Degree of Deacetylation of Chitosan and Their effect on the Release Behavior of Essential Oil from Chitosan and Chitosan-Gelatin Complex Microcapsules mengatakan bahwa kitosan merupakan polisakarida alami yang disusun oleh N-deacetylation dari kitin. Sudah banyak digunakan dalam industri makanan dan bioteknologi. Kitosan digunakan untuk melapisi zat bioaktif dan menghentikan enzim akhir (Zhao et al., 2011).

Pada jurnal Preparation and Application of Chitosan Nanoparticles and Nanofibers mengatakan bahwa deasetilasi kitosan dilakukan dengan perlakuan alkali, derajat deasetilasi ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer, titrasi potensiometri dan CHN analyzer. Semakin tinggi perlakuan alkali maka semakin tinggi juga derajat deasetilasi dan berat molekul lebih rendah lagi (Hussain, 2013).

4. 5. KESIMPULAN

Kitin merupakan makromolekul yang mempunyai bentuk berupa padatan amorf atau kristal yang berwarna putih. Kitin dapat ditemukan dalam komponen struktural eksoskeleton dari serangga dan crustacea. Kitin memiliki sifat lebih fleksibel, lebih mudah larut dalam asam encer, larut dalam asam pekat, tidak larut dalam air, asam organik, asam anorganik encer, pelarut organik dan alkali pekat. Pembuatan kitin dan kitosan menggunakan limbah udang (kulit) yang sudah dipisahkan dari dagingnya yang melalui proses demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Ekstraksi kitin secara kimiawi dilakukan melalui proses deproteinasi dengan menggunakan basa kuat, dan proses demineralisasi dengan menggunakan senyawa asam, baik asam kuat atau asam lemah. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel yang dapat mencemari ektraksi kitin. Keuntungan kitosan yaitu mudah didapat, prosedur isolasinya mudah, tidak beracun, dan tidak membahayakan. Penggunaan NaOH sebagai pelarut dikarenakan NaOH merupakan alkali yang digunakan untuk menghidrolisa kitin sehingga terjadi proses deasetilasi dari gugus asetamida menjadi gugus amina. Proses transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan dengan proses penghilangan gugus asetil dari kitin menjadi amina pada kitosan yang dikenal dengan proses deasetilasi. Proses pemanasan bertujuan untuk mengoptimalkan proses pendeasetilan N dari kitin. Proses pencucian hingga pH-nya netral mempengaruhi sifat penggembungan kitin dengan alkali oleh karena itu efektivitas proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai kitin semakin baik. Proses pengeringan dimaksudkan untuk menghilangkan kadar air yang masih tersisa saat pencucian sehingga ketika dihitung rendemennya hanya ada kitosan saja. Faktor yang mempengaruhi proses pembuatan kitin adalah jenis bahan baku dan proses ekstraksi kitin. Faktor yang mempengaruhi pembuatan kitosan adalah konsentrasi enzim, pH dan suhu proses.

Semarang, 20 Oktober 2014Asisten Dosen: Stella Gunawan

Thervina Yenni Tri Kusuma 12.70.0121

6. 7. DAFTAR PUSTAKA

Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstraksi_kitin1.pdf.

Arbia, Wassila., Leila Arbia, Lydia Adour, Abdeltif Amrane. (2013). Chitin Extraction from Crustacean Shells Using Biological Methods. W. A R B I A et al.: Chitin Recovery Using Biological Methods, Food Technol. Biotechnol. 51 (1) 1225 (2013). ISSN 1330-9862

Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.

Balley, J.E., & Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha. Tokyo.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.

Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta.,& V.S.Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific and Industrial Research.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta.

Hargono; Abdullah & Indro Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57. Fakultas Teknik UNDIP. Semarang.

Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Hussain, Md Rabiul., Murshid Iman, Tarun K. Maji. (2013). Determination of Degree of Deacetylation of Chitosan and Their effect on the Release Behavior of Essential Oil from Chitosan and Chitosan-Gelatin Complex Microcapsules. International Journal of Advanced Engineering Applications, Vol.6, Iss.4, pp.4-12 (2013)

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Krissetiana, Henny, Mei. (2004). Khitin dan Khitosan dari Limbah Udang.

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim -Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf

Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.

Limam, Zouhour., Salah Selmi., Saloua Sadok., & Amor El Abed. (2011). Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from Crustacean by-Products : Biological and Physicochemical Properties. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647.

Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by enzymatic means.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.

Morteza Shahabi Viarsagh, Mohsen Janmaleki1, Hamid Reza Falahatpisheh, Jafar Masoumi1. (2009).Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation.

Mudasir, G. Raharjo, I. Tahir, and E.T. Wahyuni. (2008). Immobilization of Dithizone onto Chitin Isolated from Prawn Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study for the Adsorption of Cd(II) Ion. Journal of Physical Science, Vol. 19 (1), 36-78, 2008.

Mukku Shrinivas Rao and Willem F Stevens.(2005).Chitin production by Lactobacillus fermentation of shrimp biowaste in a drum reactorand its chemical conversion to chitosan.

Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.

Naznin, Rokshana. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7) : 1051-1054, 2005.

Patil, R. S., V. Chormade, and M. V. Desphande. 2000. Chitinolytic enzymes an exploration. Enz Microb Technol 26:473-483.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince.

Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.

Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 90.

Puvvada, Yateendra Shanmukha., Saikishore Vankayalapati., Sudheshnababu Sukhavasi. (2012). Extraction of chitin from chitosan from exoskeleton of shrimp for application in the pharmaceutical industry. Puvvada et al., International Current Pharmaceutical Journal 2012, 1(9): 258-263

Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs. Vol 18(2) : 117-124.

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Rismana, E. (2001). Langsing dan Sehat Lewat Limbah Perikanan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Rochima, Emma; Maggy T.Suhartono; Dahrul Syah; dan Sugiyono. (2007). Viskositas dan Berat Molekul Kitosan Hasil Reaksi Enzimatis Kitin Deasetilase Isolat Bacillus Papandayan K29-14. http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Makalah-6.Viskositas......pdf.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.

Sandford, T.A., and Hutchins, H.S., (1978), Reporting Degree of Deacetylation values of Chitosan, J. Pharm Pharmaceut Sci. Vol. 5(3), pp 205-212.

Sauls, Jess E. Meja., Krzysztof N. Waliszewski., Miguel A. Garcia., Ramon Cruz-Camarillo. (2006). The Use of Crude Shrimp Shell Powder for Chitinase Production bySerratia marcescens WF. J.E. MEJA-SAULS et al.: Crude Shrimp Shells for Chitinase Production, Food Technol. Biotechnol. 44 (1) 95100 (2006)

Shahidi F, Arachchi JKV, and Jeon Y-J. (1999). Food Applications of Chitin and Chitosans. Trends in Food Science and Technology 10 : 37- Slepecky, R. A. and H. E. Hemphill. 1991. The genus Bacillius-nonmedical the prokaryotes. In Balows, A. (ed). The Procaryotes, 2nd. Edn., Chapter 76, pp. 1663-1696. Springer Verlag. NY.

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Wang, Zhengke., Qiaoling Hu., & Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science.

Winarno,F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Zhao, Li-Ming., Lu-E Shi, Zhi-Liang Zhang, Jian-Min Chen, Dong-Dong Shi, Jie Yang, Zhen-Xing Tang. (2011). Preparation and Application of Chitosan Nanoparticles and Nanofibers. Brazilian Journal of Chemical Engineering. Vol. 28, No. 03, pp. 353 - 362, July - September, 2011. ISSN 0104-6632

8. LAMPIRAN8.1. Perhitungan

Rumus = Rendemen Kitin I = x 100%Rendemen Kitin II = x 100%Rendemen Kitosan = x 100%

Kelompok D1Rendemen Kitin I =Rendemen kitin II = Rendemen kitosan =

Kelompok D2Rendemen Kitin I =Rendemen kitin II = Rendemen kitosan =

Kelompok D3

Kelompok D4Rendemen Chitin I= = 32,625 %Rendemen Chitin II= = 12,1 %Rendemen Chitosan = = 8,528 %

Kelompok D5

Kelompok D6Rendemen Chitin I x 100% 5,625 %Rendemen Chitin II x 100% 42,635%Rendemen Chitosan x 100%13,547%

8.2. Laporan Sementara8.3. Diagram Alir