21
SYARAT UTAMA DITERIMANYA IBADAH Peribadatan seorang hamba yang muslim akan diterima dan diberi pahala oleh Allah I apabila telah memenuhi dua syarat utama berikut ini, yaitu : 1. IKHLAS ( ُ صَ لاْ خ لاَ ا) Ikhlas merupakan salah satu makna dari syahadat ( ُ َ اَ لا اَ ه َ ل اَ لاْ نَ ا) bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar menjadikan ibadah itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata. Allah I berfirman : هَ م يَ قْ ل اُ ن ي دَ ! ك لَ دَ وَ اةَ كَ ز ل وا اُ تْ وُ تَ وَ ةَ لاَ ص ل وا اُ م ي قُ 1 يَ وَ اءَ فَ نُ حَ ن ي الدُ هَ لَ ن ي ص لْ خُ مَ َ وا اُ دُ > بْ عَ ن لَ لا وا اُ ر مُ ا اَ مَ و“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. [QS. Al Bayyinah : 5] َ ن ي الدُ هَ ا لً ص لْ خُ مَ َ ا دُ > بْ ع اَ ف“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mu) untuk-Nya.” [QS. Az Zumar : 2] Kemudian Rasulullah r bersabda : ُ هُ هْ > جَ و ه > بَ ي غُ نْ > ب اَ ا وً ص ل اَ خُ هَ لَ انَ ا كَ مَ لا ا لَ مَ عْ ل اَ ن مُ لَ > بْ قَ يَ لاَ لَ > خَ وَ زَ عَ له الَ ن ا

Syarat Utama Diterimanya Ibadah

  • Upload
    maya

  • View
    15

  • Download
    8

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

Page 1: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

SYARAT UTAMA DITERIMANYA IBADAH

Peribadatan seorang hamba yang muslim akan diterima dan diberi pahala oleh Allah I apabila

telah memenuhi dua syarat utama berikut ini, yaitu :

1.    IKHLAS  ( ال�ص� ( ا�إل�خ�

Ikhlas merupakan salah satu makna dari syahadat (   الل�ه� إ�ال� �ل�ه� إ ال� bahwa tiada sesembahan‘ (أ�ن�

yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar menjadikan ibadah itu murni hanya ditujukan

kepada Allah semata. Allah I berfirman :

ذ�ل�ك� و� ك�اة� الز� ت�وا ي�ؤ� و� ال�ة� الص� يم�وا ي�ق� و� اء� ن�ف� ح� الد&ين� ل�ه� ين� ل�ص� م�خ� الل�ه� ل�ي�ع�ب�د�وا إ�ال� وا ر� م�أ� ا و�م�

ة� ي&م� ال�ق� د�ين�

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan

kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. [QS. Al Bayyinah : 5]

الد&ين� ل�ه� ا ل�ص/ خ� م� الل�ه� اع�ب�د� ف�

“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mu) untuk-Nya.” [QS. Az

Zumar : 2]

Kemudian Rasulullah r bersabda :

ه� ه� و�ج� ب�ه� اب�ت�غ�ي� و� ا ال�ص/ خ� ل�ه� ك�ان� ا م� إ�ال� ال�ع�م�ل� م�ن� ب�ل� ي�ق� ال� ل� ج� و� ع�ز� الله� إ�ن�

“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang murni dan hanya

mengharap ridho Allah”. [HR. Abu Dawud dan Nasa’i]

Lawan daripada ikhlas adalah syirik (menjadikan bagi Allah tandingan/sekutu di dalam

beribadah, atau beribadah kepada Allah tetapi juga kepada selain-Nya). Contohnya : riya’

(memperlihatkan amalan pada orang lain), sum’ah (memperdengarkan suatu amalan pada orang

lain), ataupun ujub (berbangga diri dengan amalannya). Kesemuanya itu adalah syirik yang

harus dijauhi oleh seorang hamba agar ibadahnya itu diterima oleh Allah I . Sebagaimana sabda

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam:

Page 2: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

ال� ق� الل�ه� ول� س� ر� ي�ا غ�ر� ص�ا�أل� ك� ر� الش& ا و�م� ال�وا ق� غ�ر� ص�

ا�أل� ك� ر� الش& ع�ل�ي�ك�م� اف� أ�خ� ا م� و�ف� خ�أ� إ�ن�

ي�اء� الر&

“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syrik kecil”, para

sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil ? Rasulullah menjawab : “Riya’”.

[HR. Ahmad]

Kemudian firman Allah tentang larangan syirik ialah,

ت�ع�ل�م�ون� ن�ت�م�� أ و� ن�د�اد/ا

� أ ل�ل�ه� ع�ل�وا ت�ج� ال� ف�

“Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui”. [QS. Al-

Baqoroh :22]

Orang yang rajin beribadah kepada Allah I namun dalam waktu yang bersamaan ia belum

bertaubat dari perbuatan syirik dengan berbagai bentuknya, maka semua amal ibadah yang telah

dikerjakannya menjadi terhapus dan ia menjadi orang yang merugi di akhirat kelak, sebagaimana

firman Allah Ta’ala:

ل�ون� ي�ع�م� ك�ان�وا ا م� م� ع�ن�ه� ب�ط� ل�ح� ك�وا ر� ش�أ� ل�و� و�

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah

mereka kerjakan”. [QS. Al-An’aam: 88]

ن� م� ل�ت�ك�ون�ن� و� ل�ك� ع�م� ب�ط�ن� ل�ي�ح� ك�ت� ر� ش�أ� ل�ئ�ن� ب�ل�ك� ق� م�ن� ال�ذ�ين� إ�ل�ى و� �ل�ي�ك� إ ي� أ�وح� د� ل�ق� و�

ر�ين� اس� ال�خ�

“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu.

“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu

Termasuk orang-orang yang merugi”. [QS. Az-Zumar: 65]

2. AL-ITTIBA’ ( ت&ب�اع�� ( ا�ال�

Al-Ittiba’ (Mengikuti Tuntunan Nabi Muhammad r) merupakan salah satu dari makna syahadat

bahwa Muhammad adalah utusan Allah ( الل�ه� ول� س� ر� د/ا م� ن�م�ح�� yaitu agar di dalam beribadah ,(أ

Page 3: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad r . Setiap ibadah yang diadakan

secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu

tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena Allah

dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita semua untuk

senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad  dalam segala hal, dengan firman-Nya :

وا ان�ت�ه� ف� ع�ن�ه� اك�م� ن�ه� ا و�م� ذ�وه� خ� ف� ول� س� الر� ء�ات�اك�م� ا و�م�

“Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya

bagimu maka tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7]

            Dan Allah Ta’ala berfirman:

د� ول� ف�ي ل�ك�م� ك�ان� ل�ق� س� ةP الل�ه� ر� و� س�ن�ةP أ� س� ح�

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS. Al-

Ahzaab: 21]

Dan Rasulullah r  juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang

tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau:

Rد ر� و� ه� ف� ن�ا ر� م�أ� ع�ل�ي�ه� ل�ي�س� ال/ ع�م� ع�م�ل� م�ن�

“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu

tertolak”. [HR. Muslim]

Itulah tadi dua syarat yang menjadikan ibadah seseorang diterima dan diberi pahala oleh Allah,

sebagaimana firman-Nya :

د/ا أ�ح� ب&ه� ر� ب�ع�ب�اد�ة� ر�ك� ي�ش� و�ال� ا ال�ح/ ص� ع�م�ال/ ل�ي�ع�م�ل� ف� ب&ه� ر� اء� ل�ق� وا ج� ي�ر� ك�ان� م�ن� ف�

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal

yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada

Tuhannya”. [QS. Al Kahfi : 110]

Page 4: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

Berkata Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat ini : “Inilah 2 landasan amal yang diterima (dan

diberi pahala oleh Allah), yaitu harus ikhlas karena Allah dan benar / sesuai dengan syari’at

Rasulullah .”

Jadi kedua syarat ini haruslah ada pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan tidak

boleh terpisahkan antara yang satu dan yang lainnya. Mengenai hal ini berkata Al Fudhoil

bin ‘Iyadh :

“Sesungguhnya andaikata suatu amalan itu dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak

sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad ), maka amalan itu tidak diterima. Dan andaikata

amalan itu dilakukan dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi ) tapi tidak ikhlas, juga tidak

diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan benar. Ikhlas semata karena Allah, dan

benar apabila sesuai dengan tuntunan Nabi ”.

Maka barang siapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah semata dan

cocok dengan tuntunan Rasulullah niscaya amal itu akan diterima dan diberi pahala oleh Allah.

Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal ibadah itu akan tertolak

dan tidak diterima oleh Allah I. Hal inilah yang sering luput dari perhatian orang banyak karena

hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak  memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu

sering kita dengar mereka mengucapkan : “yang penting niatnya, kalau niatnya baik maka

amalnya akan baik”.

NIKAH

1. MENGENAL CALON.

Sebelum seorang memutuskan untuk menikahi seseorang, tentunya ia harus mengenal

terlebih dahulu siapa calon pasangan yang hendak dinikahinya. Tentunya proses kenal-

mengenal ini tidaklah seperti yang dijalani orang-orang yang tidak memahami agama,

sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon

pasangan hidup, kata mereka. Karena pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita

sangsikan.

Page 5: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa

namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang

memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari

kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.

Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah

(godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan

telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon

suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya

dari fitnah.

Ketika hendak mengenali calon pasangan, beberapa hal yang perlu diperhatikan :

* Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya : “Wanita

itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena

hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka

pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Bukhari dan

Muslim).

* Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara

perempuannya yang telah menikah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah

bersabda, artinya : “Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku

berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah

kalian.” (HR. An-Nasa`i dan Abu Dawud, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu

dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784).

* Wanita tersebut masih gadis, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna. Jabir

bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda, artinya : “Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa

mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!” .

Page 6: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya :

“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih

banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah, dihasankan Al-

Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623).

2. NAZHAR (MELIHAT CALON).

Ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam menasihatinya : “Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar

ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim).

Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang

wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah

melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya : “Lihatlah wanita tersebut, karena dengan

seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua

(kelak).” (HR. An-Nasa`i dan At-Tirmidzi. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu

dalam Ash-Shahihah no. 96).

Bagaimana jika nazhar dilakukan setelah khitbah (peminangan), dalam arti kata prosesnya

terbalik (karena sebaiknya nazhar dulu baru khitbah ?

Dalam hal ini, Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata : “Dalam sabda Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah

melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si

wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia

membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.”

(Syarhus Sunnah 9/18).

Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si

Page 7: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin (saj) ketika si lelaki melihatnya ternyata

tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan

sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214).

Bolehkah melihatnya dengan sembunyi – sembunyi ?

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi

walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini

sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya : ‘Apabila seorang dari kalian ingin

meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang

tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya

sedang dilihat).” Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak

menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan

kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi

bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad

karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar

2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158).

Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut

berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya : “Sekali-kali tidak boleh seorang

laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR.

Al-Bukhari dan Muslim).

Atau jika tidak memungkinkan ditemani oleh mahramnya, boleh baginya mengutus seorang

wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian

disampaikan kepadanya.

Bagaimana batasan yang boleh dilihat ?

Page 8: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan

mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya,

seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya.

Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya : “Bila seorang dari

kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang

mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud,

dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99).

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si

wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan

melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian

diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa

terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu

tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut

memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan

melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat

berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-

mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah).

Meskpun demikian, dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan

adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama.

3. KHITHBAH (PEMINANGAN)

Setelah mengenal, nazhar dan telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita,

hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.

Tetapi, apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih

dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang

wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, artinya :

“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga

Page 9: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).”

(HR. Al-Bukhari).

Meskipun telah dipinang, wanita masih tetap harus ditemani mahramnya karena jelas masih

dapat mendatangkan fitnah.

Yang Perlu Diperhatikan Oleh Wali :

* Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

pernah bersabda, artinya : “Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian

ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian

menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya

akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan Al-

Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022).

* Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh

memaksanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya : “Tidak boleh

seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh

seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah!

Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-

Bukhari dan Muslim ).

4. AKAD NIKAH

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan

pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.

Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan

ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar

sebuah ....”

Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima

Page 10: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah ....”

Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang

dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:

�ات� �ئ ي و�س� �ا ن �ف�س� �ن أ و�ر� ر� ش� م�ن� �الله� ب �ع�و�ذ� و�ن �ه�، �ي �ل إ �وب� �ت و�ن ه� �غ�ف�ر� ت �س� و�ن �ه� �ن �ع�ي ت �س� و�ن �ح�م�د�ه� ن �له� ل �ح�م�د� ال �ن' إ

�ك� ر�ي ش� � ال و�ح�د�ه� الله� ' إال �ه� �ل إ ' ال� أ ه�د� �ش� و�أ �ه�، ل ه�اد�ي� ف�ال� �ض�ل�ل� ي و�م�ن� �ه�، ل م�ض�ل' � ف�ال الله� �ه�د�ه� ي م�ن� �ا، �ن �ع�م�ال أ

�ه� و�ل س� و�ر� �د�ه� ع�ب م�ح�م'د7ا �ن' أ ه�د� �ش� و�أ �ه�، .ل

dilanjutkan dengan membaca : QS. Al Imran : 102, QS. An Nisa : 1 dan QS. Al Ahzab : 70-

71.

5. WALIMATUL ‘URS

Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi,

menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu

ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah : “Selenggarakanlah

walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari dan

Muslim).

Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula

ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Anas bin Malik

radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah

radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau

mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (HR. Abu Ya’la, Al-Imam Al-Albani

rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: dengan sanad yang hasan).

Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa

memandang dia orang kaya atau orang miskin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda, artnya : “Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang

Page 11: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak

diundang.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping

logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-) dalam rangka

mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda, artinya : “Pemisah antara apa yang halal dan yang haram

adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i, Ibnu Majah. Dihasankan

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994). Bukan dengan memutar

nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.

Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai

dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, adalah Nabi Shallallahu

‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan :

�ر8 ي خ� ف�ي �م�ا �ك �ن �ي ب و�ج�م�ع� �ك� �ي ع�ل ك� �ار� و�ب �ك� ل الله� ك� �ار� ب

Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian

berdua dalam kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu

dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi).

6. SETELAH AKAD

Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk

menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini :

* Bersiwak terlebih dahulu. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari

Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim).

* Menyerahkan mahar bagi istrinya.

Page 12: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

* Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman

ataupun yang semisalnya (HR. Ahmad secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad

yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20).

* Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari

mendoakannya :

�ه� �ي ع�ل �ه�ا �ت �ل ب ج� م�ا ر� و�ش� ه�ا ر� ش� م�ن� �ك� ب �ع�و�ذ� و�أ �ه� �ي ع�ل �ه�ا �ت �ل ب ج� م�ا �ر� ي و�خ� �ر�ه�ا ي خ� م�ن� �ل�ك� أ س�� أ �ي �ن إ Aهم' الل

Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau

ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan

kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya” (HR. Abu Dawud,

dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud).

* Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi

baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. (Atsar yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah

dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu

berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id).

Wallahu A’lam.

(Dikutip, diringkas dan dirubah dengan seperlunya tanpa mengurangi esensi -Insya Allah-

dari : http://menikahsunnah.wordpress.com/2008/06/23/proses-syari-sebuah-pernikahan/.

Oleh : Ust. Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim).

Adab Membaca Al-Quran

24 May 2008, 11:28 am

Adab-Adab Muslim

Page 13: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al Qur’an

memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam

menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam

golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang

lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an.

Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik kamu adalah orang yg

mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini

untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:

1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.

Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan

apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang

membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh,

akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)

2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang

dibaca.

Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari,

berarti dia tidak memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)

Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di

atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an

setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin

Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam

seminggu.

3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat

yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.

Page 14: Syarat Utama Diterimanya Ibadah

Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka

menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’:

109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan

tangisan yang dibuat-buat.

4. Membaguskan suara ketika membacanya.

Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Hiasilah Al-Qur’an dengan

suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, “Tidak

termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud

hadits ini adalah membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj

hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan

seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.

5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an,

maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS.

An-Nahl: 98)

Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu

membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan

suara yang lirih secara khusyu’.

Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian

bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan

salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca

(Al-Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.

***

Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf

Artikel www.muslim.or.id

Page 15: Syarat Utama Diterimanya Ibadah