Upload
rangga-aditya
View
99
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Syok Kardiogenik
S.M. Hollenberg
Pendahuluan
Syok kardiogenik merupakan salah satu kedaruratan yang paling menantang yang
harus dihadapi oleh intensivist. Syok kardiogenik adalah suatu sindroma yang
terjadi apabila jantung tidak dapat menghantarkan darah yang cukup untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat. Penentuan yang teliti
memerlukan konfirmasi hemodinamik, dengan hipotensi sistemik yang menetap
(tekanan arteri sistolik < 90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata (MAP) 30 mmHg
atau lebih di bawah kadar basal), tekanan pengisian ventrikel kiri (LV) yang
adekuat (tekanan wedge arteri pulmonal > 15 mmHg), dan penurunan curah
jantung (indeks kardiak < 2,2 l/mnt/m2). Secara klinis, diagnosis syok kardiogenik
seringkali dibuat sebelum konfirmasi yang objektif, dengan adanya hipotensi
arterial sistemik dengan adanya bukti hipoperfusi pada keadaan disfungsi
miokardial.
Syok kardiogenik baik akibat kegagalan pompa ventrikel kiri atau
komplikasi mekanik, mewakili penyebab utama kematian di rumah sakit setelah
infark miokardial. Walaupun dengan adanya kemajuan dalam penanganan gagal
jantung dan infark miokardial akut, sampai saat ini hasil akhir klinis pasien
dengan syok kardiogenik sangat jelek dengan angka kematian yang dilaporkan
berkisar dari 50 % sampai 80 %. Meskipun demikian, baru-baru ini terdapat
beberapa penyebab untuk tetap optimis. Terdapat kemajuan yang besar dalam
mencegah terjadinya syok pada infark miokardial dan dalam menangani syok
kardiogenik ketika terjadi. Kemajuan merupakan hasil dari pengaruh pemahaman
patogenesis yang meningkat, pengukuran suportif yang lebih cepat dan agresif,
dan yang paling penting, penerapan strategi terapi revaskularisasi dini.
Epidemiologi Syok Kardiogenik
Penyebab utama syok kardiogenik adalah kegagalan ventrikel kiri pada infark
miokardial akut. Syok kardiogenik biasanya akibat infark akut yang luas,
walaupun infark yang lebih kecil pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang
terkompensasi sebelumnya, dapat juga mencetuskan terjadinya syok. Penyebab
penting lainnya termasuk komplikasi mekanik infark, disfungsi ventrikel kanan,
bypass kardiopulmonal yang memanjang, penyakit katup, kontusio miokardial,
sepsis dengan depresi miokardial berat yang tidak biasanya, dan kardiomiopati.
Kondisi yang menyertai seperti perdarahan atau infeksi juga dapat menyebabkan
terjadinya syok.
Pasien mungkin mengalami syok kardiogenik pada presentasi awal tetapi
syok biasanya berkembang dalam beberapa jam. Hal ini penting karena
menunjukkan bahwa terapi dini dapat mencegah syok secara potensial. Walaupun
demikian, dalam penelitian prospektif SHOCK (Should We Emergently
Revascularize Occluded Coronaries for Cardiogenic Shock) waktu rata-rata dari
masuk rumah sakit sampai onset syok hanya 4,6 jam, yang menunjukkan
therapeutic window relatif sempit untuk kebanyakan pasien. Perbandingan
karakteristik klinis pasien dengan syok dini dan lambat pada penelitian tersebut
menunjukkan karakteristik demografi, riwayat, klinis dan hemodinamik yang
serupa, akan tetapi syok cenderung terjadi dini pada pasien dengan penyakit
pembuluh darah tunggal daripada pada pasien dengan penyakit pembuluh darah
tripel. Perbedaan tersebut memiliki implikasi klinis. Karena syok dini pada
perjalanan infark miokardial akut lebih sering akibat oklusi arteri koroner mayor
tunggal dengan infark yang sedang berlangsung, maka hipotesis mengenai
penanganan syok dini dengan revaskularisasi pembuluh darah culprit melalui
trombolisis atau angioplasti lebih dapat diterima dan bahwa syok lambat mungkin
memerlukan revaskularisasi yang lebih lengkap dengan angioplasti pembuluh
darah multipel atau operasi bypass.
Pada infark miokardial, syok lebih cenderung terjadi pada pasien usia
lanjut, diabetes, yang memiliki riwayat infark sebelumnya, penyakit vaskular
perifer, dan penyakit serebrovaskular, dan yang memiliki infark anterior. Bukti
angiografik seringkali menunjukkan penyakit koroner pembuluh darah multipel
(pada penelitian SHOCK, oklusi utama kiri ditemukan pada 29 %, penyakit 3
pembuluh darah pada 58 %, penyakit 2 pembuluh darah pada 20 % dan penyakit
satu pembuluh darah pada 22 % pasien). Faktor tersebut penting karena terjadinya
hiperkinesis kompensasi pada segmen miokardial yang tidak terlibat dalam infark
miokardial akut, merupakan suatu respon normal yang membantu
mempertahankan curah jantung. Kegagalan terjadinya respon tersebut baik akibat
infark sebelumnya atau akibat stenosis koroner derajat tinggi, merupakan faktor
resiko penting terjadinya syok kardiogenik dan kematian.
Patofisiologi
Disfungsi kardiak pada pasien dengan syok kardiogenik biasanya dimulai dari
infark miokardial atau iskemia. Disfungsi miokardial akibat iskemia dapat
memperburuk iskemia tersebut, menyebabkan terjadinya downward spiral
(Gambar 1). Apabila massa kritis dari miokardium ventrikel kiri yang iskemia
atau nekrotik (biasnya sekitar 40 %) gagal untuk memompa, volume isi sekuncup
dan curah jantung mulai menurun secara signifikan. Disfungsi sistolik
menyebabkan penurunan perfusi sistemik dan hipotensi, yang menurunkan
tekanan perfusi koroner dan mencetuskan kompensasi vasokonstriksi perifer dan
retensi cairan. Mekanisme kompensasi tersebut menyebabkan lingkaran ganas
yang akan lebih lanjut memperburuk disfungsi sistolik. Iskemia miokardial
meningkatkan kekakuan miokardial, meningkatkan tekanan end-diastolik
ventrikel kiri dan stress dinding miokardial pada saat pengisian volume end-
diastolik. Peningkatan kekakuan ventrikel kiri membatasi pengisian diastolik dan
dapat menyebabkan kongesti paru dan menyebabkan hipoksemia dan perburukan
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen dan kebutuhan oksigen pada
miokardium, yang menyebabkan iskemia dan disfungsi miokardial lebih lanjut.
Mekanisme kompensasi retensi cairan sebagai suatu upaya untuk
mempertahankan curah jantung dapat menambah lingkaran ganas dan peningkatan
tekanan pengisian diastolik lebih lanjut. Pemutusan siklus disfungsi miokardial
dan iskemia tersebut merupakan dasar untuk pemberian regimen terapeutik syok
kardiogenik.
Gambar 1. Downward spiral pada syok kardiogenik. Stroke volume dan curah jantung menurun
dengan disfungsi ventrikel kiri (LV), menyebabkan hipotensi dan takikardia yang menurunkan
aliran darah koroner. Peningkatan tekanan diastolik ventrikel menurunkan aliran darah koroner
dan peningkatan stress dinding meningkatkan kebutuhan oksigen miokardial. Semua faktor
tersebut bergabung untuk memperburuk iskemia. Curah jantung yang menurun juga
mempengaruhi perfusi sistemik. Mekanisme kompensasi termasuk stimulasi simpatis dan retensi
cairan untuk meningkatkan preload. Mekanisme tersebut sebenarnya dapat memperburuk syok
kardiogenik dengan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardial dan afterload. Dengan demikian
terjadi lingkaran ganas. LVEDP : Left Ventrikular End-Diastolik Pressure.
Konsep penting lainnya yang berhubungan dengan patofisiologi syok
kardiogenik adalah pengertian bahwa tidak semua miokardium iskemik hilang dan
tidak dapat dikembalikan; area disfungsi tetapi viabel miokardium dapat juga
menyebabkan atau berperan dalam terjadinya syok kardiogenik pada pasien
setelah infark miokardial. Disfungsi reversibel tersebut dapat didiskripsikan dalam
dua kategori utama : stunning dan hibernasi. Miokardial stunning mewakili
disfungsi post iskemik yang menetap meskipun restorasi aliran darah normal;
meskipun demikian, kemampuan miokardial membaik sepenuhnya. Patogenesis
stunning belum selesai disimpulkan akan tetapi cenderung melibatkan kombinasi
stress oksidatif, perturbasi homeostasis kalsium, dan penurunan responsivitas
miofilamen terhadap kalsium, semuanya merupakan keadaan yang mendahului
iskemia. Miokardial hibernasi merupakan suatu keadaan gangguan fungsi yang
persisten pada saat istirahat akibat penurunan aliran darah koroner yang berat;
pengertian bahwa fungsi pada segmen tersebut dapat dinormalkan dengan
memperbaiki aliran darah melekat pada definisi di atas. Hibernasi dapat dianggap
sebagai suatu respon adaptif untuk menurunkan fungsi kontraktil miokardium
yang hipoperfusi dan mengembalikan equlibrium antara aliran dan fungsi,
sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya iskemia atau nekrosis. Episode
miokardial stunning yang berulang dapat terjadi bersamaan dengan, atau
menyerupai miokardial hibernasi. Pertimbangan mengenai miokardial stunning
dan hibernasi sangat penting pada pasien dengan syok kardiogenik karena
implikasi terapeutiknya. Baik miokardial stunning dan hibernasi mempertahankan
cadangan inotropik dan dapat berespon terhadap katekolamin. Fungsi miokardium
hibernasi dapat membaik dengan revaskularisasi dan fungsi miokardium stunning
dapat membaik dengan waktu. Pengertian mengenai fungsi beberapa jaringan
miokardial dapat membaik menekankan pada pentingnya melakukan pengukuran
suportif yang cepat, termasuk medikasi dan counterpulsation balon intra-aorta,
untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung pada pasien dengan syok
kardiogenik.
Pendekatan Umum pada Pasien dengan Syok Kardiogenik
Setelah mengenali adanya syok kardiogenik, klinisi harus melakukan pemeriksaan
klinis yang diperlukan untuk memahami penyebabnya sambil memulai terapi
suportif sebelum syok meyebabkan kerusakan organ vital yang ireversibel.
Tantangannya adalah karena kecepatan penting untuk mendapatkan hasil akhir
yang baik, evaluasi dan terapi harus dimulai secara simultan. Walaupun evaluasi
harus dilakukan dengan cermat, namun tidak diinginkan adanya penegakan
diagnosis sebelum tercapainya stabilisasi atau melakukan terapi empiris tanpa
membuat patofisiologi yang mendasarinya.
Pendekatan praktis dengan cara membuat evaluasi inisial dengan cepat dan
berdasarkan riwayat yang terfokus, pemeriksaan fisik dan prosedur diagnostik
yang spesifik. Diagnosis syok sirkulasi bedside dibuat berdasarkan adanya
hipotensi bersamaan dengan kombinasi tanda klinis yang menunjukkan perfusi
jaringan yang buruk termasuk oliguria, kesadaran yang menurun, dan ekstremitas
yang dingin, mottled menunjukkan penurunan aliran darah ke kulit. Syok
kardiogenik didiagnosis setelah terbukti adanya disfungsi miokardial dan eksklusi
penyebab hipotensi lainnya.
Ekokardiografi merupakan peralatan inisial yang baik untuk konfirmasi
diagnosis syok kardiogenik dan menyortir diferensial diagnosis dan seharusnya
dilakukan dini secara rutin. Ekokardiografi memberikan informasi pada fungsi
sistolik keseluruhan dan regional dan dapat mendiagnosis dengan cepat penyebab
mekanik syok seperti ruptur otot papiler dan regurgitasi mitral akut, defek septal
ventrikel akut dan ruptur dinding bebas dan tamponade. Pada beberapa kasus,
ekokardiografi dapat mengungkapkan penemuan yang berhubungan dengan infark
ventrikel kanan.
Pemantauan hemodinamik yang invasif penting untuk mengkonfirmasi
diagnosis dan sangat berguna untuk optimalisasi terapi farmakologis pada pasien
yang tidak stabil karena perkiraan klinis tekanan pengisian tidak dapat dipercaya
dan karena perubahan dalam kemampuan miokardial dan komplians dan
intervensi terapeutik dapat merubah curah jantung dan tekanan pengisian dengan
cepat. Walaupun syok kardiogenik didefinisikan sebagai indeks kardiak kurang
dari 2,2 l/mnt/m2 dan tekanan wedge kapiler pulmonal lebih dari 15 mmHg,
namun tekanan pengisian optimal mungkin dapat lebih tinggi daripada nilai
tersebut pada pasien individual akibat disfungsi diastolik ventrikel kiri.
PENANGANAN AWAL
Mempertahankan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat adalah penting. Banyak
pasien memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik, kecuali untuk mengurangi
kerja nafas dan memfasilitasi sedasi dan stabilisasi sebelum kateterisasi jantung.
Beberapa studi terbaru telah menyarankan bahwa penggunaan tekanan udara
positif secara terus-menerus pada pasien dengan edema paru kardiogenik dapat
menurunkan kebutuhan akan intubasi [17], tetapi studi tersebut kecil dan perlu
dievaluasi dengan beberapa perhatian; kegagalan dari ventilasi non-invasif terjadi
hampir setengahnya.
Kelainan elektrolit harus dikoreksi, dan morfin (atau fentanyl jika tekanan
sistolik membahayakan) digunakan untuk menghilangkan nyeri dan kecemasan,
jadi mengurangi aktivitas simpatis yang berlebihan dan kebutuhan akan oksigen,
‘preload’ dan ‘afterload’. Aritmia dan blok jantung memiliki efek besar terhadap
‘output’ jantung, dan harus dikoreksi segera dengan obat anti aritmia,
‘cardioversion’ atau ‘pacing’. Pengukuran yang telah terbukti memperbaiki
keadaan setelah infark miokad dan diberikan rutin seperti nitrat, penghambat beta,
dan enzim penghambat angiotensin-converting, memiliki potensi untuk
menimbulkan hipotensi pada syok kardiogenik dan harus ditunda sampai pasien
stabil.
Setelah stabilisasi awal dan kembalinya tekanan darah yang adekuat,
perfusi jaringan harus dievaluasi. Jika perfusi jaringan masih tidak adekuat,
pemberian inotropik atau pompa balon intra aorta harus dilakukan. Jika perfusi
jaringan adekuat tetapi kongesti paru-paru yang signifikan masih terjadi, dapat
diberikan diuretik. Vasodilator dapat dipertimbangkan juga, tergantung dari
tekanan darah.
Penanganan awal pasien hipotensi harus mencakup resusitasi cairan
kecuali terdapat edema paru-paru yang jelas. Pasien umumnya diaphoresis dan
hipovolemia relatif dapat terjadi pada 20% pasien dengan syok kardiogenik. Infus
cairan paling baik diberikan dengan bolus yang ditentukan berdasarkan nilai akhir
klinikal dari detak jantung, pengeluaran urin dan tekanan darah. Iskemia
menyebabkan kelainan diastolik dan sistolik, sehingga peningkatan tekanan
pengisian mungkin perlu untuk mempertahankan ‘stroke volume’ pada pasien
dengan syok kardiogenik. Pasien yang tidak merespon segera dengan bolus cairan
awal atau pasien dengan cadangan fisiologik yang buruk harus dipertimbangkan
untuk pemantauan hemodinamik yang invasif. Tekanan pengisian optimal berbeda
antar pasien; pemantauan hemodinamik dapat digunakan untuk membentuk
lengkung Starling di tempat tidur, menentukan tekanan pengisian dimana
pengeluaran jantung adalah maksimal. Mempertahankan ‘preload’ yang adekuat
secara khusus penting pada pasien dengan infark ventrikel kanan.
Ketika tekanan arteri masih tidak adekuat, terapi dengan obat vasopresor
mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan perfusi koroner.
Mempertahankan tekanan darah yang adekuat penting untuk menghilangkan
lingkaran setan dari hipotensi progresif dengan iskemik miokad lanjut. Dopamin
meningkatkan tekanan darah dan ‘output’ jantung, dan biasanya merupakan
pilihan awal pada pasien dengan tekanan sistolik kurang dari 80 mmHg. Ketika
hipotensi masih refrakter, norepinefrin mungkin perlu untuk mempertahankan
tekanan perfusi organ. Fenilefrin, suatu agonis adrenergik alfa-1 selektif, mungkin
berguna ketika tachiaritmia membatasi terapi oleh vasopresor lainnya. Infus
vasopresor perlu dititrasi secara hati-hati pada pasien dengan syok kardiogenik
untuk memaksimalkan tekanan perfusi koroner dengan kemungkinan terkecil
terjadinya peningkatan akan kebutuhan oksigen miokad. Pemantauan
hemodinamik, dengan pengukuran pengeluaran jantung secara serial, tekanan
pengisian, (dan parameter lainnya, seperti campuran saturasi oksigen vena),
memperlihatkan titrasi dosis obat vasoaktif sampai dosis minimum yang
diperlukan untuk mencapai target terapi yang ditentukan [18].
Pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume
intravascular yang adekuat, pendukung kardiovaskular dengan obat inotropik
harus diberikan. Dobutamine, agonis reseptor B-adrenergik selektif, dapat
memperbaiki kontraktilitas miokad dan meningkatkan pengeluaran jantung, dan
merupakan obat pilihan awal pada pasien dengan tekanan sistolik lebih dari 80
mmHg. Dobutamine dapat menimbulkan hipotensi pada beberapa pasien, dan
dapat mencetuskan takhiaritmia. Penggunaan dopamine lebih dipilih jika tekanan
sistolik kurang dari 80 mmHg, meskipun takhikardi dan peningkatan resistensi
perifer dapat memperburuk iskemi miokad. Pada beberapa situasi, kombinasi dari
dopamin dan dobutamin dapat lebih efektif daripada hanya satu jenis obat.
Penghambat fosfodiesterase, seperti milrinone, meningkatkan siklik AMP
dalam sel dengan mekanisme yang tidak melibatkan reseptor adrenergik, memiliki
efek inotropik positif dan vasodilator, dan lebih kurang aritmiagenik daripada
katekolamin. Milrinone memiliki potensi untuk menyebabkan hipotensi dan
memiliki waktu paruh yang panjang; pada pasien dengan status klinik lemah,
penggunaannya lebih sering pada keadaan dimana obat lainnya telah terbukti tidak
efektif. Pemberian standar milrinone yaitu pemberian dosis bolus yang diikuti
pemberian infuse, tetapi banyak klinisi menghindari dosis awal (atau menjadikan
setengahnya) pada pasien dengan tekanan darah marginal.
‘Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP)’ mengurangi ‘afterload’
sistolik dan menambah tekanan perfusi diastolik, meningkatkan pengeluaran
jantung dan memperbaiki aliran darah koroner [19]. Efek menguntungkan ini,
berbeda dengan obat inotropik atau vasopresor, terjadi tanpa adanya peningkatan
kebutuhan oksigen. IABP tidak menghasilkan perbaikan signifikan dalam aliran
darah distal ke suatu stenosis koroner kritikal, dan belum menunjukkan perbaikan
mortalitas ketika digunakan sendiri tanpa terapi reperfusi atau revaskularisasi.
Pada pasien dengan syok kardiogenik dan perfusi jaringan yang buruk, IABP
merupakan mekanisme pendukung penting yang digunakan [19,20]. Pada keadaan
yang tepat, pendukung intensif yang lebih banyak dengan alat Bantu mekanik
dapat juga digunakan.
REPERFUSI MIOKAD
Seperti disebutkan sebelumnya, perhatian patofisiologi membantu intervensi
untuk memulihkan aliran ke arteri yang tersumbat pada pasien dengan syok
kardiogenik akibat dari infark miokad. Terapi fibrinolitik telah menunjukkan
adanya pemulihan keutuhan arteri yang infark, mengurangi ukuran infark,
memulihkan fungsi ventrikel kiri, dan mengurangi mortalitas pasien dengan infark
akut [21-23]. Meskipun telah jelas menunjukkan bahwa terapi fibrinolitik dapat
mengurangi kemungkinan timbulnya syok setelah pemberian awal [4,22,24],
perannya dalam penanganan pasien yang telah timbul syok kurang jelas. Jumlah
pasien dalam percobaan random adalah sedikit karena banyak percobaan
fibrinolitik telah mengeksklusi pasien dengan syok kardiogenik [25], tetapi
percobaan yang tersedia ‘(Gruppo Italiano per lo Studio Della Streptochinasi
Nell’Infarto Miocardico [GISSI], International Study of Infarct Survival [ISIS]-2,
dan Global Use of Strategies to Open Occluded Arteries [GUSTO]-1)’ [26] belum
menunjukkan bahwa terapi fibrinolitik mengurangi mortalitas pada pasien dengan
syok kardiogenik. Pada keadaan lain, dalam ‘SHOCK Registry’ [27], pasien yang
diterapi dengan terapi fibrinolitik memiliki tingkat mortalitas dalam perawatan
inap rumah sakit yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak (54 vs 64%,
p=0,005), bahkan setelah penyesuaian untuk umur dan status revaskularisasi
(rasio ‘odds’ 0,70, p=0,027).
Terapi fibrinolitik jelas kurang efektif pada pasien dengan syok
kardiogenik daipada yang tidak. Penjelasan untuk kurangnya efektivitas adalah
pencapaian tingkat reperfusi yang rendah pada pasien ini. Alasan kurangnya
efektivitas trombolitik pada pasien dengan syok kardiogenik mungkin termasuk
faktor hemodinamik, mekanik, dan metabolik yang mencegah tercapainya dan
dipertahankannya keutuhan arteri yang terinfark [28]. Usaha menaikkan tingkat
reperfusi dengan meningkatkan tekanan darah dengan terapi agresif inotropik dan
pressor dan kounterpulsasi balon intra-aorta masuk akal secara teori, dan dua
penelitian kecil mendukung informasi bahwa terapi vasopresor untuk
meningkatkan tekanan aorta memperbaiki efektivitas trombolitik [28,29].
Penggunaan pompa balon intra-aorta untuk menambah tekanan diastolik aorta
juga dapat meningkatkan efektivitas trombolitik.
Sampai saat ini, revaskularisasi perkutaneus emergensi merupakan satu-
satunya intervensi yang telah menunjukkan adanya pengurangan konsisten tingkat
mortalitas pada pasien dengan syok kardiogenik. Penggunaan angioplasti pada
pasien dengan syok kardiogenik melebihi daripada penggunaannya sebagai terapi
primer pada pasien dengan infark miokad. Suatu analisis dari 1000 pasien pertama
yang diterapi dengan angioplasti primer di ‘Mid America Heart Institute’
menunjukkan suatu mortalitas 44% pada subgroup 79 pasien yang menderita syok
kardiogenik, lebih rendah daripada 80 sampai 90% mortalitas pada control
histories [30]. Kebanyakan kasus lainnya yang dilaporkan juga menunjukkan hasil
lebih baiknya intervensi perkutaneus baik terhadap terapi fibrinolitik ataupun
penanganan medikal konservatif, dengan tingkat mortalitas sekitar 40 sampai 50%
[1]. Studi observasi dari percobaan random yang tercatat juga telah menunjukkan
hasil yang lebih baik pada pasien dengan syok kardiogenik yang diterapi
revaskularisasi. Yang lebih jelas di antaranya adalah percobaan GUSTO-1,
dimana pasien yang diterapi dengan strategi ‘agresif’ (angiografi koroner yang
dilakukan dalam 24 jam dari terjadinya syok dengan revaskularisasi secara
angioplasti koroner transuminal perkutaneus [PTCA] atau bedah bypass) memiliki
mortalitas yang lebih rendah secara signifikan (38% dibandingkan dengan 62%)
[31]. Kelebihan ini terbukti bahkan setelah penyesuaian untuk karakter dasar [31]
dan bertahan sampai satu tahun [32].
‘National Registry of Myocardial Infarction-2’ (NRMI-2) yang
mengumpulkan data 26280 pasien syok kardiogenik dengan kasus infark miokad
antara tahun 1994 dan 1997, dengan sama mendukung hubungan antara
revaskularisasi dan ketahanan hidup [33]. Membaiknya mortalitas jangka pendek
terbukti pada pasien yang kemudian menjalani revaskularisasi selama dirawat
inap, baik secara PTCA (12,8% mortalitas vs 43,9%) atau grafting bypass arteri
koroner (CABG, 6,5 vs 23,9%) [33]. Data-data ini melengkapi data substudi
GUSTO-1 dan penting, bukan hanya karena jumlah data pasien yang banyak,
tetapi juga karena NRMI-2 merupakan suatu penelitian lintas sektoral yang lebih
jelas menunjukkan praktek klinik secara umum daripada populasi penelitian yang
diseleksi dengan ketat.
Penelitian dari badan observasi dan pendaftaran yang besar ini
menunjukkan keuntungan yang konsisten dari revaskularisasi, tetapi tidak boleh
dianggap definitif karena penelitian ini bersifat retrospektif. Dua percobaan
kontrol secara acak sekarang telah mengevaluasi revaskularisasi untuk pasien
dengan infark miokad.
Penelitian SHOCK [10,34] termasuk jenis random, percobaan
internasional multi sentral yang menganjurkan pasien dengan syok kardiogenik
untuk menerima penanganan medikal secara optimal –termasuk terapi IABP dan
trombolitik- atau untuk kateterisasi jantung dengan revaskularisasi yang
menggunakan PTCA atau CABG. Percobaan melibatkan 302 pasien dan bertujuan
untuk mendeteksi suatu penurunan absolute 20% tingkat kematian oleh semua
penyebab dalam 30 hari. Mortalitas pada 30 hari adalah sebesar 46,7% pada
pasien yang diobati dengan intervensi awal dan 56% pada pasien yang diobati
dengan stabilisasi medikal awal, tetapi perbedaan ini tidak mencapai signifikan
statistic (p=0,11) [10]. Penting untuk diperhatikan bahwa grup kontrol (pasien
yang menerima penanganan medikal) memiliki mortalitas lebih rendah daripada
yang dilaporkan dalam penelitian sebelumnya; ini mungkin menunjukkan
penggunaan yang agresif akan terapi trombolitik (64%) dan pompa balon (86%)
dalam kontrol ini. Data ini memberikan bukti tidak langsung bahwa kombinasi
dari trombolisis dan IABP dapat menghasilkan hasil terbaik ketika kateterisasi
jantung tidak segera tersedia. Pada 6 bulan, pengurangan resiko absolute dengan
terapi invasif awal pada percobaan SHOCK sebesar 13% (50,3% dibandingkan
dengan 63,1%, p=0,027) [10], dan pengurangan resiko ini dipertahankan pada 12
bulan (mortalitas 53,3 vs 66,4%, p<0,03) [34]. Analisis subgroup menunjukkan
suatu perkembangan penting dalam tingkat mortalitas pasien yang lebih muda dari
75 tahun baik pada 30 hari dan 6 bulan (44,9 vs 65,0%, p=0,003). [10]
Percobaan SMASH (Swiss Multicenter trial of Angioplasty Shock)
tersusun secara independen dan memiliki pola yang mirip, walaupun suatu
definisi yang lebih kaku dari syok kardiogenik menghasilkan pendaftaran pasien
yang lebih sakit dan mortalitas yang lebih tinggi [35]. Percobaan dihentikan lebih
awal karena kesulitan untuk pendaftaran pasien, oleh dua alas an yang berbeda ;
pada awalnya, beberapa sentral eropa mengurangi untuk berpartisipasi karena
merasa tidak etis untuk melakukan evaluasi invasif awal pada pasien yang sangat
sakit, dan berikutnya, setelah publikasi dari beberapa penelitian yang memberi
harapan bahwa adanya superioritas intervensi rekutaneus terhadap trombolisis
pada infark miokad akut, banyak sentral merasa tidak etis untuk tidak melakukan
evaluasi dan revaskularisasi dini [36]. Dalam percobaan SMASH, suatu tren yang
sama dalam pengurangan mortalitas absolut dalam 30 hari terhadap 9% percobaan
SHOCK ditemukan (mortalitas 69% pada grup invasif vs 78% pada grup yang
ditangani secara medikal, RR=0,88, 95% CI=0,6-1,2, p=NS) [35]. Kelebihan ini
juga dipertahankan pada satu tahun.
Ketika hasil dari percobaan SHOCK dan SMASH diletakkan dalam
perspektif dengan hasil dari sistem random lainnya, percobaan kontrol dari pasien
dengan infark miokad akut, timbul satu nilai penting; disamping pengurangan
resiko relatif menengah (percobaan SHOCK sebesar 0,72, CI 0,54-0,95,
percobaan SMASH, 0,88, CI 0,60-1,20) kelebihan absolut adalah penting, dengan
terselamatkannya 9 jiwa dari 100 pasien yang diterapi dalam 30 hari pada kedua
percobaan, dan 13,2 jiwa terselamatkan dari 100 pasien yang diterapi selama 1
tahun pada percobaan SHOCK. Gambaran terakhir ini berhubungan dengan suatu
jumlah yang diperlukan untuk terapi (NNT) sebesar 7,6, salah satu gambaran
terendah yang pernah ditemukan dalam suatu percobaan random, kontrol pada
penyakit kardiovaskular.
PERKEMBANGAN TERBARU
Pendekatan baru untuk revaskularisasi pasien dengan infark miokad akut dan syok
kardiogenik menjadi berkembang. Sten arteri koroner menjadi rutin, dalam kasus
elektif dan sebagai suatu komponen dari angioplasti primer untuk infark miokad
akut. Percobaan panduan sten Primary Angioplasty in Myocardial (PAMI) dan
Intracoronary Stenting and Antithrombotic Regimens (ISAR) [39] baru-baru ini
telah menunjukkan bahwa sten primer dapat dikerjakan dengan mudah pada
pasien dengan infark miokad akut; aliran koroner normal dapat dicapai pada lebih
dari 90% pasien dan hasil jangka pendek adalah baik [39]. Data pada pasien
dengan syok kardiogenik lebih jarang. Suatu penelitian baru dari PTCA langsung
pada pasien dengan syok [40] melaporkan suatu tingkat kesuksesan sebesar 94%,
dengan peletakan sten pada 47% pasien;
Keadaan-keadaan Lainnya
Pada pasien dimana tidak dapat dilakukan kateterisasi jantung dan
revaskularisasi, pilihan terbaik ialah dilakukan stabilisasi dengan “intra-aortic
ballon counter pulsation” dan trombolisis kemudian dilanjutkan kefasilitas
perawatan tertier. IABP berguna untuk menunjang trombolisis, dengan cara
meningkatkan penghantaran obat ke thrombus, meningkatkan “coronary flow” ke
tempat-tempat lain, menurunkan kejadian hipotensi, atau dengan cara mensupport
tekanan darah dan fungsi ventrikel sehingga daerah myocardium yang terkena
dapat pulih. Dalam NRM-2, dari 2178 pasien dengan infark myocard dan syok
kardiogenik, 32% (6992) menerima IABP counterpulsation. Ketika pasien-pasien
yang diterapi dengan fibrinolitik dianalisa, mereka yang juga mendapat IABP
counterpulsation mempunyai angka mortalitas lebih rendah daripada mereka yang
tidak ( 49 vs 69 %, p<0,001). Hasil yang sama juga didapatkan pada syok; pasien-
pasien yang diterapi dengan mengkombinasikan IABP dengan fibrinolitik,
mempunyai angka mortalitas yang lebih rendah (47%) daripada hanya
mendapatkan terapi dengan fibrinolitik saja (63&, p=0,007). Meskipun pada
pemilihan pasien masih terdapat bias sehingga merupakan factor yang
mempersulit penelitian ini, 2 penelitian retrospektif telah menemukan bahwa
pasien-pasien di rumah sakit dengan syok kardiogenik yang di terapi dengan
pemasangan IABP yang diikuti dengan trombolitik telah meningkatkan angka
keberhasilan.