185
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia memepengaruhi kepadatan dan pemenuhan kebutuhan akan perumahan, sehingga Pemerintah berusaha menata pembangunan perumahan dengan melibatkan berbagai pihak baik perorangan maupun badan hukum. Usaha Pemerintah dalam menata Pembangunan tersebut tidak terlepas dari tujuan negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya yang secara jelas merupakan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) alenia ke-IV yang intinya adalah “Untuk memjukan kesejahteraan umum.......”, dalam mencapai tujuan tersebut maka dilakukan pembangunan nasional yang pada hakikatnya merupakan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. 1

Tanah Untuk Perumahan Rakyat

  • Upload
    tondy

  • View
    28

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Permasalahan perolehan hak atas Pertanahan berkaitan regulasi peraturan yang bertumpang tindih menyebabkan lemahnya prinsip kepastian hukum

Citation preview

Page 1: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia memepengaruhi kepadatan

dan pemenuhan kebutuhan akan perumahan, sehingga Pemerintah berusaha

menata pembangunan perumahan dengan melibatkan berbagai pihak baik

perorangan maupun badan hukum. Usaha Pemerintah dalam menata

Pembangunan tersebut tidak terlepas dari tujuan negara untuk menciptakan

kesejahteraan bagi rakyatnya yang secara jelas merupakan amanat Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) alenia ke-IV yang intinya adalah

“Untuk memjukan kesejahteraan umum.......”, dalam mencapai tujuan tersebut

maka dilakukan pembangunan nasional yang pada hakikatnya merupakan

pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.

Berkaitan dengan tujuan pembangunan nasional itu maka Pemerintah

mengeluarkan berbagai kebijakan dengan sasaran untuk menjamin bahwa semua

rakyat Indonesia, khususnya golongan yang berpenghasilan rendah, mempunyai

akses untuk mendiami rumah yang memadai dan terjangkau dalam suatu

lingkungan yang sehat. Agar tujuan pembangunan perumahan tercapai,

pemerintah terus merumuskan berbagai strategi dan program, antara lain

1

Page 2: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

membuat peraturan perundang-undangan yang diperlukan, membentuk forum-

forum untuk mendorong pembangunan perumahan.1

Sebagai usaha pembangunan perumahan maka tidak terlepas dari kegiatan

perolehan hak atas tanah. Jika ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang

ada khususnya dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya sudah

dilakukan pembagian yakni terdapat pasal-pasal yang mengatur perolehan hak

atas tanah untuk kepentingan umum dan pasal-pasal yang mengatur perolehan hak

atas tanah selain kepetingan umum. Dalam kaitannya dengan perolehan hak atas

tanah untuk kepentingan umum terdapat adanya dua pasal penting yaitu Pasal 18

dan Pasal 6. Dalam Pasal 18 disebutkan bahwa untuk kepentingan umum,

termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama bagi rakyat,

hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak

menurut cara yang diatur dalam Undang-undang. Dalam penjelasan Pasal 18

disebutkan bahwa pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-hak

atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan tetapi diikat dengan syarat-syarat,

misalnya harus disertai dengan ganti kerugian yang layak. Atas dasar Pasal 18

tersebut maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang

Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.

Kalau disimak dari ketentuan tersebut maka nampak bahwa yang diatur

dalam Pasal 18 UUPA dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 itu hanya

dalam kaitannya dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dengan

1 Ibid.

2

Page 3: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

demikian dapat diketahui bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk

kepentingan umum, seseorang atau badan hukum pemegang hak atas tanah harus

rela melepaskan tanahnya. Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan

Pasal 6 UUPA yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi

sosial. Hal ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang

tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak

dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu

menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus sesuai dengan

keadaannya dan sifat haknya hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan

kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan

negara. Hal ini bukan berarti hak perorangan akan terdesak sama sekali oleh

kepentingan umum. Untuk itu bagi orang atau badan hukum yang terkena proyek

pembangunan untuk kepentingan umum, maka mereka berhak mendapatkan ganti

kerugian yang layak. Dengan demikian antara kepentingan perorangan dan

kepentingan masyarakat akan terjadi keseimbangan sehingga pada akhirnya

diharapkan akan tercapai tujuan pokok yakni kemakmuran, keadilan dan

kebahagiaan bagi seluruh rakyat .

Pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam

perkembangannya telah mengalami berbagai perubahan yakni diatur dalam

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 Tentang

Ketentuan-Ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan

Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan tanah Bagi Pelaksanaan

3

Page 4: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan yang terakhir diatur dalam

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah dirubah

dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

Apabila merujuk pada Undang-Undang Pokok Agraria yang tidak secara

eksplisit mengatur mengenai pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum.

Namun kalau disimak dari beberapa pasal maka dapat ditemukan adanya

pengaturan mengenai peralihan berbagai macam hak, misalnya Pasal 20 ayat (2)

mengatur peralihan hak milik atas tanah, Pasal 28 ayat (3) mengatur peralihan

Hak Guna Usaha, Pasal 35 ayat (3) mengatur peralihan Hak Guna Bangunan,

Pasal 43 mengatur peralihan hak pakai. Dalam pengadaan tanah selain untuk

kepentingan umum salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan cara

peralihan hak misalnya jual beli atau tukar menukar. Sampai saat ini tidak ada

undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah selain untuk

kepentingan umum. Berbagai peraturan yang pernah ada selama ini nampak

pengaturan secara sektoral misalnya Permendagri Nomor 5 Tahun 1974 Tentang

Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk

Keperluan Perusahaan, Permendagri Nomor 3 Tahun 1987 Penyediaan dan

Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan

Perumahan, Permendagri 12 Tahun 1984 yang merupakan penyempurnaan

Permendagri Nomor 3 Tahun 1984 Tentang Tata Cara Penyediaan Tanah dan

Pemberian Hak Atas Tanah, pemberian izin bangunan serta izin Gangguan bagi

4

Page 5: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

perusahaan-perusahaan yang mengadakan penanaman modal Menurut Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968.

Selain berbagai peraturan tersebut diatas dikeluarkan pula Keputusan

Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara

Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal.

Berdasarkan Keputusan Menteri tersebut dapat disimpulkan bahwa perolehan

tanah dilakukan secara langsung antara perusahaan dengan pemilik atau

pemegang hak atas tanah atas dasar kesepakatan yang dapat dilakukan melalui

cara pemindahan hak atas tanah atau melalui pelepasan atau penyerahan hak atas

tanah yang diikuti dengan pemberian hak. Dalam Pasal 32 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1992 disebutkan bahwa penyediaan tanah untuk pembangunan

perumahan dan permukiman diselenggarakan dengan cara penggunaan tanah yang

langsung dikuasai oleh negara, konsolidasi tanah oleh pemilik tanah dan cara

pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah. Dari ketentuan pasal 32 Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1992 terdapat tumpang tindih dalam cara memperoleh

tanah yaitu dengan cara penggunaan tanah yang langsung dikuasai oleh negara,

konsolidasi tanah oleh pemilik tanah dan cara pelepasan hak atas tanah oleh

pemilik tanah. Padahal antara konsolidasi tanah dan pengadaan tanah merupakan

hal yang berbeda. Konsolidasi tanah merupakan penataan kembali penguasaan

dan penggunaan tanah untuk pembangunan. Penataan kembali penguasaan tanah

5

Page 6: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

berarti melakukan upaya pengaturan secara rinci terutama tentang subyek, obyek

secara benar dan sah.2

Peraturan Perundang-undangan tersebut di atas nampak sekali masih

adanya berbagai konsep yang digunakan, dimana antara konsep yang satu dengan

yang lainnya didefinisikan dengan definisi yang sama dan ada pula yang berbeda.

Konsep-konsep tersebut antara lain “konsep pembebasan tanah, penyediaan

tanah, perolehan tanah, pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah”.

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan secara tegas dikemukakan bahwa:3

“Bahasa Peraturan Perundang-Undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengerjaannya, namun demikian bahasa Peraturan Perundang-Undangan mempunyai corak tersendiri yang bercerminkan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum. Di dalam peraturan perundang-undangan yang sama hindari penggunaan:a. Beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu.b. Satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda”

Untuk itu perlu kajian mengenai konsep hukum apa yang tepat

digunakan demi memberikan kepastian hukum. Selanjutnya dalam implementasi

peraturan perundang-undangan khususnya dalam kaitannya dengan perolehan hak

atas tanah untuk pembangunan perumahan sering kali dalam praktik

mengakibatkan terjadinya alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian.

2 H. Idham, Konsolidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 2004 , h. 27

3 Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Bab III nomor 205 dan 212

6

Page 7: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Sebagai contoh dapat dikemukakan perubahan penggunaan tanah irigasi sekitar

50.000 hektar per tahun. Ditinjau dari hilangnya produksi padi maka setiap tahun

diperkirakan mencapai 600.000 ton gabah kering.4 Selain itu dalam kaitannya

dengan perolehan hak atas tanah untuk kepentingan swasta sering terjadi

kegiatan-kegiatan perolehan tanah sebelum mendapatkan izin lokasi atau

dilakukan dengan dalih diperlukan untuk kepentingan umum dengan

menggunakan oknum-oknum aparat yang dalam pelaksanaannya kadang-kadang

cenderung merugikan pihak pemilik tanah.5

Untuk menciptakan kepastian hukum selain diperlukan perangkat hukum

yang jelas, konsisten dalam penggunaan konsep juga harus didasarkan pada

prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal. Sebagaimana diketahui

bahwa prinsip hukum memegang fungsi ganda yakni sebagai fondasi dari hukum

positif dan sebagai batu uji terhadap hukum positif itu karena prinsip hukum

sebagai kaidah penilai6.

Berdasarkan ketentuan yang tumpang tindih itulah dan ditambah dengan

banyaknya permasalahan yang terjadi dalam implementasinya, maka penting

untuk dilakukan analisis yang kemudian dituangkan dalam makalah dengan judul:

Prinsip Hukum dan Penormaan Terhadap Perolehan Hak Atas Tanah bagi

Pembangunan Perumahan Sesuai Sistem hukum di Indonesia.

4 P3 HT , Pokok-Pokok Kebijaksanaan Pertanahan Di Indonesia., Badan Pertanahan Nasional , Jakarta, 1995 h. 146.

5 Ibid. h. 1516 J.J.H. Bruggink,, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidarta, PT Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1999, h. 193

7

Page 8: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

B. Rumusan MasalahBerdasarkan uraian di atas, maka masalah yang akan diteliti dan dikaji dalam

penelitian disertasi ini adalah perolehan hak atas tanah dalam rangka pembangunan perumahan, yang akan diperinci ke dalam sub masalah:

a. Prinsip hukum perolehan hak atas tanah. b. Prinsip hukum pembangunan perumahan.c. Penormaan prinsip hukum perolehan hak atas tanah dalam peraturan

perundang-undangan dibidang perumahan

C. Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui, menganalisis dan menemukan mengenai prinsip-prinsip hukum yang lazim ada dalam perolehan hak atas tanah serta menganalisis konsep hukum dalam perolehan hak atas tanah, dan menemukan konsep hukum apa yang tepat digunakan dalam perolehan hak atas tanah

b. Untuk mengetahui, menganalisis dan menemukan mengenai prinsip-prinsip hukum yang ada dalam pembangunan perumahan.

c. Untuk mendapatkan suatu temuan tentang prinsip-prinsip hukum dalam perolehan hak atas tanah yang telah dinormakan dalam peraturan perundang-undangan dibidang perumahan

D. Manfaat PenelitianDari hasil penelitian ini nanti diharapkan bermanfaat:

a. Bagi para teoritisi dan akademisi menambah perspektif yang lebih komprehensip mengenai wacana tentang prinsip-prinsip dan konsep hukum hukum perolehan hak atas tanah serta prinsip-prinsip hukum dalam pembangunan perumahan dalam sistem hukum tanah di Indonesia, sehingga dapat lebih dikembangkan dan diperluas lagi mengenai wacana konsep hukum dan prinsip-prinsip hukum perolehan hak atas tanah

b. Bagi para pembuat peraturan perundang-undangan di Indonesia, dalam rangka untuk lebih menyempurnakan kerangka dasar hukum perolehan hak atas tanah maupun hukum perumahan di Indonesia, sehingga tujuan perolehan hak atas tanah untuk pembangunan perumahan dapat tercapai dan pada akhirnya akan memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat.

c. Bagi kalangan praktisi khususnya bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam pembangunan perumahan dapat memberikan gambaran yang obyektif mengenai substansi hukum dalam perolehan hak atas tanah khususnya dalam rangka pembangunan perumahan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pengetahuan hukum bagi mereka.

F. Metode Penelitian

8

Page 9: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

F. 1. Pendekatan MasalahPenelitian ini adalah penelitian hukum. Penelitian hukum dilakukan untuk

mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Hasil yang hendak dicapai adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya.7 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perbandingan (comparatitive approach) serta pendekatan kasus (Case approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute approach) adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.8 Sedangkan pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah pendekatan dengan berusaha membangun suatu konsep yang akan dijadikan acuan di dalam penelitian dengan beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.9 Pendekatan perbandingan (comparatitive approach) merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain.10 Sedangkan pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan memahami ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya.11

F.2. Sumber Bahan HukumSumber bahan hukum terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan masalah pengadaan tanah. Bahan hukum sekunder berupa literatur, jurnal, laporan penelitian, karya tulis ilmiah dalam bentuk makalah, majalah, surat kabar yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas.

F.3. Teknik Pengumpulan Bahan HukumTeknik pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui metode bola salju

(snow ball method) dan prosedur identifikasi serta inventarisasi bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan menggunakan sistem kartu (card system) yang terbagi dalam tiga kartu yaitu kartu abstrak, kartu kutipan, dan kartu analisis12. Terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan klasifikasi secara sitematis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Klasifikasi dimaksudkan untuk melakukan pemilahan bahan hukum sedasar dengan tema-tema analisis yang relevan.

F. 4. Analisis Bahan Hukum

7 Peter Mahmud Marzuki, op.cit.h. 89.8 Ibid h. 97

9 Ibid h. 13710 Ibid. h. 13311 Ibid h. 11912 Philipus M. Hadjon, Merancang dan Menulis Penelitian Hukum Normatif (Teori dan

Filsafat), Makalah, Tanpa Tahun, h.6.

9

Page 10: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Keseluruhan bahan hukum baik primer maupun sekunder yang diperoleh selanjutnya diolah dengan melakukan kategorisasi sebagai pengklasifikasian bahan hukum secara selektif. Keseluruhan bahan hukum dikelompokkan berdasarkan kriteria yang cermat dan ketat sesuai dengan perumusan masalah penelitian untuk dianalisis.

Analisis terhadap bahan hukum dilakukan melalui proses penalaran hukum (legal reasoning) yang logis sistematis. Penalaran hukum juga bertumpu pada aturan berfikir yang dikenal dalam logika. Namun demikian penggunaan logika dalam ilmu hukum mengandung ciri khas yang berkenaan dengan hakikat hukum (the nature of laws), sumber hukum (the sources of laws) dan jenis hukum (the kinds of laws).13

Selain itu terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan perolehan hak atas tanah dianalisis dengan menggunakan interpretasi yang meliputi interpretasi gramatikal, dan interpretasi sistematis. Dari hasil kajian terhadap peraturan perundang-undangan, serta melakukan studi kepustakaan serta putusan-putusan pengadilan maka akan dibuat opini hukum.

G. Sistematika PenulisanPenulisan disertasi ini dibagi dalam lima bab, yang masing-masing bab terbagi

dalam sub-bab yang sesuai dengan pembahasan.Bab I merupakan bab pendahuluan. Pendahuluan ini saya masukkan ke dalam

bab I karena di dalam bab ini menguraikan latar belakang timbulnya masalah yang akan dikaji dalam disertasi ini. Selain itu juga aka menguraikan mengenai bagaimana cara menganalisis permasalahan tersebut. Untuk itu dalam bab ini akan terbagi ke dalam sub bab yang secara berturut-turut menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II membahas mengenai prinsip dan konsep hukum dalam perolehan hak atas tanah. Prinsip dan konsep hukum dalam perolehan hak atas tanah saya masukkan ke dalam bab II karena dalam bab ini akan berusaha mengetahui dan menganalisis permasalahan pertama. Untuk menganalisis permasalahan tersebut maka dalam uraian ini akan di bagi dalam beberapa sub bab yang meliputi sistem hukum pertanahan di Indonesia, hakekat prinsip hukum, prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah, prinsip kepastian hukum dalam perolehan hak atas tanah dan prinsip peran serta masyarakat dalam perolehan hak atas tanah. Selanjutnya akan diuraikan hakekat konsep hukum, inkonsistensi penggunaan konsep hukum dalam perolehan hak atas tanah. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisa terhadap konsep hukum pengadaan tanah, penyediaan tanah, pembebasan tanah, dan perolehan hak atas tanah guna mencari konsep hukum mana yang paling tepat digunakan dalam kaitannya dengan perolehan hak atas tanah. Untuk menganalisis konsep hukum tersebut akan didasarkan pada hubungan antara negara dengan tanah, yang pada akhirnya akan

13 Irving M. Copi, Intreduction to Logic dalam PM. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Yuridika , No.6 Tahun XI November-Desember 1994.

10

Page 11: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

dapat diketahui mengenai konsep hukum yang tepat digunakan serta hak-hak atas tanah yang dapat diberikan dalam rangka perolehan hak atas tanah. Untuk lebih memperdalam analisis akan dilakukan perbandingan dengan konsep hukum pengambilan tanah (land acquisition) di Malaysia dan konsep hukum Verkrijging (acquisition) dan onteigening (expropriation) di Belanda.

Bab III akan membahas mengenai prinsip-prinsip hukum dalam pembangunan perumahan di Indonesia. Saya masukkan dalam bab III karena untuk membahas permasalahan kedua. Untuk membahas masalah tersebut maka akan dibagi dalam tiga sub bab yang meliputi prinsip pembangunan perumahan berwawasan lingkungan, prinsip pembangunan perumahan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, dan prinsip peran serta masyarakat. Pembagian sub bab demikian karena pembangunan perumahan tidak terlepas dari masalah lingkungan, masalah RTRW, dan perlunya peran serta masyarakat dalam pembangunan perumahan.

Bab IV akan membahas mengenai penormaan prinsip hukum perolehan hak atas tanah dalam peraturan perundangan di bidang perumahan. Penormaan prinsip hukum perolehan hak atas tanah saya masukkan dalam bab IV karena untuk membahas permasalahan ketiga. Untuk itu secara berturut-turut dalam bab ini akan dibagi dalam empat sub bab yakni penormaan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah dalam peraturan perundang-undangan di bidang perumahan, penormaan prinsip kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan di bidang perumahan dan prinsip peran serta masyarakat dalam perolehan hak atas tanah dalam peraturan perundang-undangan di bidang perumahan. Selanjutnya akan dibahas mengenai penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam praktik di pengadilan.

Bab V merupakan penutup disertasi yang akan menguraikan mengenai kesimpulan dan saran. Kesimpulan saya masukkan ke dalam bab V dengan maksud didalamnya akan menguraikan secara singkat mengenai simpulan dari uraian Bab II sampai dengan bab IV. Dari kesimpulan tersebut dapat diketahui jawaban atas permasalahan yang ada dalam Bab I. Selain itu diharapkan dapat memberikan saran baik kepada pemerintah maupun semua pihak dalam usaha memperbaiki peraturan perundang-undangan yang berkait dengan usaha memperoleh hak atas tanah, khususnya dalam rangka pembangunan perumahan.

II. PRINSIP DAN KONSEP HUKUM DALAM PEROLEHAN HAK ATAS TANAH

A. Sistem Hukum Pertanahan Di Indonesia Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat komplek, yang terdiri dari bagian-

bagian yang berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.14 Dari pengertian tersebut maka dapat diambil berbagai unsur yang ada ketika bicara mengenai sistem yaitu:

1. Adanya satu kesatuan yang bersifat komplek

14 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cet. Keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h. 48

11

Page 12: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

2. Adanya bagian-bagian atau komponen-komponen3. Bagian-bagian atau komponen-komponen tersebut saling bekerjasama4. Bekerjanya komponen-komponen itu untuk mencapai tujuan yang hendak

dicapai oleh kesatuan tersebut Dalam pembicaraan mengenai sistem hukum, maka peraturan-peraturan

yang nampaknya berdiri sendiri itu sebenarnya diikat oleh beberapa pengertian yang lebih umum sifatnya yakni prinsip hukum. Dengan adanya ikatan oleh prinsip atau asas hukum ini maka hukum pun merupakan suatu sistem15. Karena merupakan suatu sistem maka peraturan yang dibuat antara satu dengan yang lain harus sinkron baik secara vertikal maupun horisontal, untuk mencapai tujuan. Koesnoe mengemukakan bahwa dalam sistem tata hukum kita maka baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan yang tidak tertulis beserta segala peraturan pelaksanaannya, diwajibkan untuk selalu mengikuti dan berjiwa rechtsidee yang dianut negara kita.16

Dalam sistem hukum pertanahan kita maka antara peraturan hukum pertanahan yang satu dengan peraturan yang lain tidak boleh bertentangan demi mencapai tujuan yang dikehendaki.

Berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai maka tidak terlepas dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan dasar konstitusional politik hukum pertanahan nasional yang menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Sebagaimana diketahui bahwa Asas domein yang dianut pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana dimuat dalam Agrarisch Besluit Stb. 1870/118, memposisikan Negara sebagai pemilik tanah. Hal demikian jelas bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas negara yang merdeka dan modern. Berdasarkan Penjelasan Umum Angka II Butir (2) UUPA dikemukakan “tidaklah perlu dan tidaklah pada tempatnya bahwa Bangsa Indonesia atau Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) Indonesia bertindak selaku badan penguasa”.

Hak menguasai negara tersebut bersumber dari hak bangsa Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUPA ini tidak terlepas dari konsepsi hukum adat yakni “komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan”17.

15 Ibid. h. 4916 Koesnoe, Kapita Selekta Hukum Adat, Suatu Pemikiran Baru, Varia Peradilan, 2002 h.58.17 Boedi Harsono, Op. Cit. h. 228.

12

Page 13: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Sebagaimana diketahui bahwa hukum pertanahan kita dasarnya adalah hukum adat. Dalam hukum adat hak ulayat adalah hak penguasaan tanah yang tertinggi. Hak ulayat merupakan hak bersama masyarakat hukum adat atas tanah. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyebutkan dalam Pasal 1 bahwa hak ulayat adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat adat tertentu atas wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

Kalau dalam hukum adat hak ulayat merupakan hak bersama masyarakat hukum adat yang bersangkutan, maka dalam hukum tanah nasional semua tanah dalam wilayah negara kita adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia.18

Komunalistik religius dalam hukum adat dinormakan dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.19

Unsur religius dalam hukum adat nampak dari adanya pengakuan masyarakat hukum adat bahwa hak ulayat merupakan karunia Tuhan. Boedi Harsono menyebutkan bahwa sifat keagamaan hak ulayat belum jelas benar, dengan rumusan bahwa tanah ulayat sebagai tanah bersama adalah karunia sesuatu kekuatan yang gaib.20 Dalam hukum tanah nasional ditunjukkan oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia21

Untuk mengelola bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya maka tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia. Maka penyelenggaraannya oleh bangsa Indonesia dikuasakan kepada negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.22

Atas dasar hak menguasai tersebut maka negara mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yakni:

18 Boedi Harsona, loc cit.19 Ibid.20 Ibid21 Ibid22 Ibid. h. 231-232

13

Page 14: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Kewenangan negara tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti halnya yang terjadi di negara barat dan komunis. Negara dalam hal ini sebagai badan penguasa yang pada tingkat tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka negara harus bertanggung jawab kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa.23

Kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal yakni:24

1. Dibatasi oleh oleh UUD 1945, bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh bertentangan atau melanggar hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Misalnya peraturan yang dibuat tidak boleh bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain. Jika ini terjadi maka merupakan bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945. Dalam hal seseorang mau melepas haknya maka mereka harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanannya tersebut. Prinsip pengakuan atau penghormatan terhadap hak-hak orang lain itu harus dirumuskan secara tegas dan jelas dalam peraturan perundang-undangan.

2. Pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA maka semua peraturan yang dibuat harus ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewenangan ini tidak dapat didelegasikan pada organisasi swasta karena menyangkut kesejahteraan rakyat yang sarat dengan misi pelayanan. Pihak swasta merupakan bagian dari masyarakat juga, sehingga jika pendelegasian kepada swasta tersebut dilakukan maka akan menimbulkan konflik kepentingan.Wewenang pengaturan oleh negara itu ditujukan untuk mencapai sebesar-

besar kemakmuran rakyat. Arti dari sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah kemakmuran untuk sebanyak mungkin orang tanpa melanggar hak dan keadilan,

23 Maria S.W, Sumardjono, Kewenangan Negara Untuk mengatur Dalam Konsep Penguasaan tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1998 h.6-7.

24 Lilis Nur Faizah, Hak Menguasai Negara, Suatu pendekatan Historis-Filosofis, ,www.zeilla.wordpress.com

14

Page 15: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

sedangkan arti pentingnya kesejahteraan dalam hubungannya dengan pemanfaatan tanah karena tujuan negara untuk melengkapi dan mendukung usaha masyarakat.25

Atas dasar hak menguasai dari negara tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat dipunyai orang-orang atau badan hukum. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UUPA hak atas tanah memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat 2 tersebut maka hak-hak atas tanah yang dipunyai orang-orang dan badan hukum tersebut tetap dibatasi yakni oleh UUPA itu sendiri dan peraturan lain yang lebih tinggi. Muhammad Bakri menyebutkan bahwa semua hak atas tanah yang dapat dipunyai orang-orang dan badan hukum tidaklah mutlak artinya hak-hak atas tanah itu ada pembatasan-pembatasannya yaitu hak atas tanah mempunyai fungsi sosial dan kemungkinan adanya pencabutan hak atas tanah.26

Menurut Sri Hajati meskipun menurut Pasal 2 UUPA negara bukan pemilik tanah tetapi menguasai tanah berdasarkan Hak Menguasai Negara, namun kenyataannya berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan lain yang berlaku di bidang pertanahan, seolah-olah negara pemilik tanah. Hal ini disebabkan karena kekuasaan negara yang dimaksud itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa. Jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang, yang dihaki oleh masyarakat adat maupun yang tidak dihaki siapapun.27

Macam-macam hak atas tanah dalam sistem pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria menurut UUPA dibedakan dalam dua kategori (1) hak primer yaitu semua hak yang diperoleh langsung dari negara dan (2) hak sekunder artinya semua hak yang diperoleh dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan perjanjian bersama.28 Tanah-tanah yang sudah dipunyai dengan hak-hak atas tanah primer, disebut dengan nama sebutan haknya, misalnya tanah hak milik, tanah hak guna usaha dan lain-lain.29 Dengan adanya ketentuan tersebut maka orang-orang atau badan hukum yang memerlukan bidang tanah maka dapat mengajukan permohonan dan nantinya dapat diberikan hak atas tanah tertentu. Dengan dimilikinya bidang tanah dengan hak tertentu, maka apabila diperlukan oleh pihak lain khususnya dalam kaitannya dengan kegiatan perolehan hak atas tanah maka hak tersebut harus dihormati.

25 Maria SW. Sumardjono, Op Cit, h. 7-8.26.Muhammad Bakri, Pembatasan Hak Menguasai Tanah Oleh Negara Dalam Hubungannya

Dengan Hak Ulayat Dan Hak Perorangan Atas Tanah, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2006. h. 197.

27 Sri Hajati, Pengaturan Hak Atas Tanah Dalam Kaitannya Dengan Investasi, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.h.1

28 Ibid. .629 Boedi Harsono, Op. cit. h. 211.

15

Page 16: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Dengan demikian hubungan negara dengan tanah dalam hukum pertanahan Indonesia adalah hubungan penguasaan dalam arti negara mempunya hak menguasai yang mana di dalam hak menguasai negara tersebut terdapat poin-poin penting yakni:30

1. Bahwa hak menguasai ini lahir dalam konteks anti imperialisme, anti kapitalisme dan anti feodalisme;

2. Sebagai penghapusan terhadap asas domein negara yang dimanfaatkan pemerintah kolonial untuk mengambilalih pemilikan rakyat dan kemudian menyewakannya dan menjualnya kepada pengusaha asing yang dikenal dengan tanah pertikelir.

3. Sebagai sintesa antara individualisme dan kolektivisme4. Penguasaan ini lebih bersifat mengatur dan menyelenggarakan (publik), untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat (sebagai pertanggungjawaban)5. Dibatasi oleh konstitusi6. Tujuan dari hak menguasai tersebut digunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat.

B. Hakekat Prinsip HukumPrinsip hukum sebenarnya merupakan suatu pemikiran dasar yang

melatarbelakangi lahirnya suatu norma. Satjipto Rahardjo mengemukakan asas hukum atau prinsip hukum itu merupakan ‘jantungnya’ peraturan hukum, hal ini dikarenakan prinsip hukum atau asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut.31 Asas hukum layak juga disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau merupakan rasio legis dari peraturan hukum. Dengan adanya prinsip hukum atau asas hukum ini, maka hukum tidak sekedar kumpulan dari peraturan-peraturan, hal itu disebabkan karena asas hukum itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.32 Karena prinsip hukum atau asas hukum mengandung tuntutan etis, maka merupakan jembatan antara peraturan-peraturan dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Melalui asas hukum ini peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis. 33

Dalam praktik sering kali peraturan hukum ketinggalan dengan adanya peristiwa konkrit, dalam arti bahwa ketika ada suatu peristiwa konkrit maka sering kali peraturan yang ada kurang memadai. Dalam hal demikian maka prinsip hukum dapat dijadikan dasar dalam pemecahan masalah.34

30 Lilis Nur Faizah, Loc Cit.

31Satjipto Rahardjo, Op. Cit. h. 45.32 Ibid33 Ibid34 Yohanes Sogar Simamora mengemukakan bahwa prinsip-prinsip hukum diperlukan sebagai

dasar dalam pembentukan aturan hukum dan sekaligus sebagai dasar dalam memecahkan persoalan

16

Page 17: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Prinsip hukum atau asas hukum bukan merupakan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya, oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai pada asas-asas hukumnya. Asas hukum inilah yang memberi makna etis pada peraturan-peraturan hukum.35

Marthinus Johanes Saptenno mengemukakan adanya asas subtansial yakni asas yang terkait dengan landasan pembentukan Undang-Undang khususnya mengenai materi muatannya. Asas substansial ini bersifat terbuka dan merupakan landasan pemikiran dalam perumusan materi muatan Undang-Undang.36 Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan terdapat keterkaitan yang erat antara nilai, asas atau prinsip dan norma. Nilai mempunyai andil dalam membentuk asas atau prinsip dan selanjutnya asas atau prinsip akan melahirkan norma.37 Asas atau prinsip substansial merupakan tumpuan atau fondasi yang akan menjadi titik tolak berpikir dan akan dijadikan pedoman dalam perumusan materi suatu peraturan perundang-undangan.38 Berkaitan dengan kegiatan perolehan hak atas tanah, maka prinsip-prinsip substansial yang harus ada dalam peraturan perundang-undangan adalah:

a. Prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah, b. Prinsip kepastian hukum.c. Prinsip peran serta masyarakat.

C. Prinsip Penghormatan Terhadap Hak Atas TanahPenghormatan terhadap hak perorangan pada umumnya diakui di dalam

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 ayat (4) menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai

hukum yang timbul mana kala aturan hukum yang tersedia tidak memadahi. Yohanes Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Oleh Pemerintah, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga Surabaya, 2005. h. 22. Lihat pula M Hadi Subhan Prinsip Hukum Kepailitan Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2006. h.35 yang mengemukakan bahwa prinsip hukum dapat pula dijadikan dasar bagi hakim dalam menemukan hukum terhadap kasus-kasus yang dihadapi ketika tidak dapat merujuk norma hukumnya.

35 Satjipto Raharjo, Op. cit. h. 4736 Marthinus Johanes Saptenno, Perumusan asas-asas Substansial Dan Fungsinya Dalam

Pembentukan Undang-Undang, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2007, h. 1

37 Ibid. h.938 Ibid. h.8

17

Page 18: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Demikian bunyi ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.

Dengan prinsip ini maka hak atas tanah yang dipunyai seseorang sesuai dengan hukum tanah nasional dilindungi dari gangguan pihak lain. Demikian juga hak atas tanah seseorang tidak boleh dirampas dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum, termasuk oleh penguasa.39

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia semakin nampak usaha untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Berkenaan dengan pengambil alihan hak atas tanah untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2). Bila dalam pasal 37 disebutkan “Pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hal ini sekarang telah memperoleh penegasan, bahwa yang dimaksud sebagai wadah atau bentuk pengaturannya tidak lain adalah Undang-Undang.40

Prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah sering dipertentangkan dengan prinsip hak atas tanah adalah “fungsi sosial”. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 26 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) menyebutkan bahwa hak milik itu adalah suatu fungsi sosial. Prinsip ini jelas tidak adanya penghormatan terhadap hak atas tanah seseorang. Dalam prinsip hak atas tanah adalah fungsi sosial maka apabila bidang tanah dipergunakam untuk kepentingan umum maka penghormatan terhadap hak atas tanah yang dikuasai seseorang adalah sangat kurang, hal ini dikarenakan tanah adalah fungsi sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Boedi Harsono, andaikata dikatakan bahwa hak-hak atas tanah adalah fungsi sosial maka pernyataan yang demikian itu bukan berpangkal pada pengakuan terhadap hak-hak perorangan atas tanah melainkan sebaliknya, berarti mengingkarinya.41

Dalam UUPA tidak dikenal hak atas tanah adalah “fungsi sosial”, akan tetapi setiap hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dengan kata “mempunyai fungsi sosial” ini maka hak-hak atas tanah yang ada pada seseorang itu akan tetap dihormati. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dalam Penjelasan Umum II angka (4) UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagian yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA menghormati serta memperhatikan hak-hak dan kepentingan-kepentingan

39 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya. Penerbit Kompas, Jakarta, 2008 (Selanjutnya Disebut Maria SW Sumardjono I), h. 269.

40 Ibid.41 Boedi Harsono, Op. Cit. h. 303-304.

18

Page 19: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

perorangan atas bidang tanahnya. Selanjutnya kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Boedi Harsono mengemukakan bahwa salah satu tujuan UUPA sebenarnya bukan menambah pembatasan atau mengurangi kebebasan individu dalam menentukan peruntukan dan penggunaan tanah yang dipunyainya, karena hal itu sudah terkandung dalam sifat hakekat hak yang ada padanya.42 Tujuan UUPA justru akan memperkuat kedudukan individu dalam hubungan dengan masyarakatnya dan anggota masyarakat yang lain yakni dengan menyediakan perangkat peraturan hukum yang tertulis dan memberikan surat tanda bukti pemilikan tanah, melalui penyelenggaraan pendaftaran tanah.43 Dengan demikian apa yang tercantum dalam UUPA tersebut sebenarnya merupakan penegasan pokok-pokok pembatasan kebebasan individu yang sudah ada dalam menggunakan haknya atas bagian dari tanah bersama yang dipunyai.44

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Ronald Z. Titahelu yang mengemukakan bahwa fungsi sosial tidak saja dipergunakan untuk menerangkan kata tanah atau hak atas tanah, tetapi juga mempergunakan untuk menerangkan kata hukum.45 Fungsi sosial dapat diartikan sebagai suatu daya kerja kemasyarakatan tertentu yang timbul atau muncul pada waktu sesuatu digerakkan, diaktifkan, atau dikerjakan. Ada karakteristik tertentu yang menunjukkan adanya daya kerja kemasyarakatan. Dengan demikian dibutuhkan karakteristik tertentu untuk menandai arti dari tanah memiliki fungsi sosial, maupun fungsi sosial dari hukum.46

Dengan memperhatikan ketentuan Penjelasan Umum II angka (4) UUPA maka pada hakekatnya menggambarkan karakteristik fungsi sosial yaitu:47

a. Tanah dengan hak apapun tidak dibenarkan dipergunakan atau tidak dipergunakan, semata-mata untuk kepentingan pribadi.

b. Penggunaan tanah tidak boleh merugikan masyarakat. Dengan demikian maka tanah dengan hak apapun juga, jika digunakan atau

tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, harus pula melibatkan kepentingan atau kemanfaatan bagi masyarakat. Dalam pengertian itu, kepentingan dan kemanfaatan bagi masyarakat harus diutamakan.48 Hal demikian memberi petunjuk bahwa ketika tanah dipergunakan atau tidak dipergunakan, pada saat itu juga daya kerja dari dipergunakan atau tidak dipergunakannya tanah itu menjangkau kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat secara bersama-sama. Inilah arti dari pernyataan bahwa

42 Ibid h. 30243 Ibid44 Ibid h, 30345 Ronald Z. Titahelu, Op. Cit. h 23.46 Ibid.47 Ibid48 Ibid.

19

Page 20: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

setiap penggunaan atau tidak dipergunakannya tanah, daya kerja kemasyarakatan dari tanah itu selalu diwujudkan.49

Jika dinyatakan fungsi sosial dari hukum maka yang dimaksudkan adalah adanya daya kerja kemasyarakatan dari hukum, atau daya kerja dari hukum terhadap masyarakat. Dengan kata lain, dapat dikatakan mendekati arti efektivitas hukum.50

Dalam berbagai literature ditemukan bermacam-macam istilah mengenai hak. Seperti dalam kepustakaan berbahasa Inggris ditemuka adanya istilah natural right, human right dan fundamental right. Sedangkan dalam literature berbahasa Belanda terdapat istilah recht yang dapat diartikan hak dan dapat pula diartikan hukum. Selain itu ditemukan pula istilah-istilah seperti groundrechten, mensenrechten, rechten van den mens dan fundamentalen rechten. Sedangkan dalam kepustakaan berbahasa Indonesia ditemukan istilah hak asasi manusia, hak-hak kodrat, hak-hak dasar yang sering diberi imbuhan manusia sehingga menjadi hak-hak dasar manusia.51

Berbagai peristilahan tersebut diatas menimbulkan perbedaan pendapat antara sarjana satu dengan yang lain, sebagaimana diungkapkan oleh Louis Henkin sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon yang menyatakan bahwa pengertian hak (rights) sendiri telah menjadi salah satu bahan perdebatan, oleh filsuf maupun politik. Makin rumit lagi dengan berbagai tambahan seperti dalam bahasa Inggris natural atau fundamental yang dalam bahasa Indonesia dengan tambahan asasi manusia, kodrat dan dasar.52 Philipus M. Hadjon tidak memberikan definisi tentang pengertian hak (rights). Menurut Hadjon inti yang terkandung di dalam hak yaitu adanya suatu tuntutan (claim).53

Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa human right (hak-hak manusia) adalah hak-hak yang seharusnya diakui sebagai hak-hak yang lekat pada manusia karena pada hakekatnya manusia ini sebagai manusia, yang tiadanya hak-hak itu akan menyebabkan manusia tidak akan mungkin dapat hidup dalam harkat dan martabatnya sebagai manusia.54

Sedangkan fundamental right meliputi baik legal right maupun moral right. Sifat dari hak dikatakan fundamental right seperti diungkapkan oleh D.L. Perrot dalam tulisannya The Logic of Fundamental Rights sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hajon adalah:………., nevertheless these rights are legally basic in the sense that their existence and content is essential to the existence and content of many other lesser legal rights of the system.55

Dalam berbagai literatur sering dikemukakan bahwa hak berdasarkan hukum yang dibedakan dengan dari hak yang timbul dari norma lain. Menurut Paton, hak

49 Ibid.50 Ibid.51 Philipus M. Hadjon,, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,

1987,h.38-39.52 Ibid.53 Ibid.54 Soetandyo Wignjosoebroto, Hak-hak Manusia Dan Konstitusi, Makalah, Tanpa Tahun, h.1.55 Philipus M. Hadjon, Loc Cit.

20

Page 21: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

berdasarkan hukum biasanya diartikan sebagai hak yang diakui dan dilindungi oleh hukum.56

Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya, kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak.57

Fitzgerald sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hak menurut hukum adalah sebagai berikut:58

1. Hak itu dilekatkan pada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki title atas barang yang menjadi sasaran dari hak.

2. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.

3. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan, ini bisa disebut sebagai isi dari hak.

4. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang bisa disebut objek dari hak.

5. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai title, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.

Sarah Worthington sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki mengemukakan bahwa legal right sering dilawankan dengan moral right. 59 Ia memberi contoh bahwa seseorang karyawan dapat mengharapkan mendapatkan dari majikannya, seorang kreditor mengharap mendapatkan pengembalian hutang dari debitor, seseorang mengharap dicintai oleh ibunya atau diberi hadiah pada hari ulang tahunnya.60 Selanjutnya ia menyatakan bahwa diantara harapan-harapan itu terdapat hak berdasarkan hukum, yaitu hak seseorang karyawan untuk mendapatkan bayaran dari majikannya,seorang debitor mendapat pengembalian dari debitor; apabila ia tidak dibayar, karyawan tersebut dapat menggunakan lembaga formal untuk membantu karyawan itu memperoleh haknya atas bayaran itu dari majikan, demikian pula seorang kreditor dapat menuntut pembayaran dari debitor.61 Sebaliknya dalam hal harapan-harapan untuk dicintai ibu atau diberikan hadiah pada ulang tahun; apabila harapan-harapan itu tidak dipenuhi, tidak ada satu lembaga pun yang dapat memaksa

56 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pradana Media, Jakarta, 2008, h. 163.

57 Satjipto Rahardjo, Op. Cit. h. 54.58 Ibid. h. 55

59 Peter Mahmud Marzuki , loc. cit.60 Ibid.61 Ibid

21

Page 22: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

terpenuhinya harapan itu. Akan tetapi seseorang tersebut mempunyai hak moral untuk dicintai ibunya, sedangkan harapan untuk mendapatkan hadiah ulang tahun, harapan itu tinggal harapan karena harapan demikian tidak diatur oleh hukum maupun moral62.

Definisi hak hukum sebagai kepentingan yang dilindungi oleh hukum, atau keinginan yang diakui hukum, diragukan dengan adanya kenyataan bahwa tidak akan ada hak hukum sebelum adanya hukum. Sepanjang suatu hak belum dijamin oleh aturan hukum, maka belum menjadi hak hukum, maka hal ini berarti bahwa hukum mendahului, atau bersamaan dengan lahirnya hak.63

Menurut Bentham, hak adalah anak dari hukum. Dari hukum yang nyata timbul hak yang nyata. Sebaliknya dari hukum imajiner, yaitu hukum alam timbul hak yang bersifat imajiner, hak-hak alamiah benar-benar tidak masuk akal.64

Mengingat Bentam menempatkan hukum sebagai instrumen reformasi utilitarian, ia berpendapat bahwa hak-hak untuk dapat dilaksanakan harus dituangkan ke dalam undang-undang. Dari Pandangan itulah terbentuk pandangan yang menyatakan bahwa hak merupakan bentukan hukum.65 Menurut Peter Mahmud Marzuki pandangan demikian kurang tepat. Dalam bahasa Eropa kontinental, hak dan hukum dinyatakan dalam arti yang sama, yaitu ius dalam bahasa Latin, droit dalam bahasa Perancis, Recht dalam bahasa Jerman, dan recht dalam bahasa Belanda. Oleh karena itulah dalam literatur berbahasa Belanda guna membedakan antara hak dan hukum digunakan istilah subjectief recht untuk hak dan objectief recht untuk hukum.66

Senada dengan yang dikemukakan oleh Peter Mahmud, Kenottenbelt sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa subjectief recht sesungguhnya adalah hak dan kewajiban. Akan tetapi pada umumnya yang dimaksud dengan subjectief recht itu hanyalah hak saja tidak termasuk kewajiban.67

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa hak itu memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya, sedangkan kewajiban merupakan pembatasan dan beban, sehingga yang menonjol adalah segi aktif dalam hubungan manusia itu, yaitu hak.68 Pada umumnya yang ditonjolkan adalah hak-hak asasi, sedangkan kewajiban-kewajiban asasi dapatlah dikatakan hampir tidak pernah disebut. Hak-hak asasi sesorang tersangka, terdakwa, maupun terpidana selalu mendapat perhatian, selalu ditonjolkan dan selalu diperjuangkan, tetapi sebaliknya kewajiban asasinya terhadap masyarakat boleh dikatakan tidak pernah disinggung.69

62 Ibid.63 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, h. 71.

64 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h.16565 Ibid.66 Ibid67 Sudikno Mertokusumo, Op cit, h. 40.68 Ibid.69 Ibid.

22

Page 23: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

P. Scholten berpendapat bahwa keseluruhan sistem hukum perdata itu didasarkan pada subjectief recht. Sebaliknya Algra mengatakan bahwa objectief recht adalah dasar dari subjektief recht.70

Perbedaan pendapat antara P. Shcolten dengan Algra, menurut Sudikno Mertokusumo adalah terletak pada sudut pandangan.71 Algra melihat dari sudut daya kerjanya. Subjectief recht itu baru nyata setelah ditetapkan oleh objectief recht: saya berhak melakukan sesuatu karena hal itu ditetapkan oleh objectief recht. Hukum memerlukan terjadinya peristiwa. Barulah hukum itu memberikan hak atau membebani kewajiban apabila peristiwa itu terjadi72. Sedangkan P. Sholten melihat subjectief recht sebagai melekat pada setiap individu sejak dilahirkan sampai mati, jadi melihatnya secara historis teoritis, sedangkan algra melihatnya secara positif operasional. 73

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo membedakan hak menjadi dua yakni hak absolut dan hak relatif. Hak absolut adalah hubungan hukum antara subyek hukum dengan obyek hukum yang menimbulkan kewajiban pada setiap orang untuk menghormati hubungan-hubungan hukum tersebut. Hak absolut memberi wewenang pada pemegangnya untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang pada dasarnya dapat dilaksanakan terhadap siapa saja dan melibatkan setiap orang. Isi hak absolut ini ditentukan oleh kewenangan pemegang hak. Kalau ada hak absolut pada seseorang maka ada kewajiban bagi setiap orang lain untuk menghormati dan tidak mengganggunya. Pada hak absolut pihak ketiga mempunyai kepentingan untuk mengetahui keberadaannya sehingga memerlukan publikasi.74

Hak relatif adalah hubungan subyek hukum dengan subyek hukum tertentu lain dengan perantaraan benda yang menimbulkan kewajiban pada subyek hukum lain tersebut. Hak relatif adalah hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak yang hanya dimiliki seseorang terhadap orang-orang tertentu (kreditur tertentu dan debitur tertentu). Pada dasarnya tidak ada pihak ketiga yang terlibat. Hak relatif ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak terlibat dalam perikatan tertentu, jadi hanya berlaku bagi mereka yang menjadi pihak dalam perjanjian. Hak relatif ini berhadapan dengan kewajiban seseorang tertentu. Pihak ketiga yang berada di luar perjanjian tidak mempunyai kewajiban. Antara para pihak yang melakukan perjanjian terjadi hubungan hukum yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan yang lain wajib memenuhi prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian.75

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa hak absolut masih dibedakan antara hak absolut yang bersifat kebendaan dan hak absolut yang tidak bersifat kebendaan. Hak absolut yang bersifat kebendaan obyeknya adalah benda

70 Ibid.71 Ibid. h.41

72 Ibid.73 Ibid,74 Ibid. h.4675 Ibid

23

Page 24: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

seperti hak milik atas sebidang tanah, sedangkan hak absolut yang tidak bersifat kebendaan adalah hak-hak yang berhubungan dengan hak milik perindustrian dan hak milik intelektual. Yang menjadi obyek di sini adalah hasil pemikiran manusia, suatu pendapat, tanda merek atau penemuan-penemuan tertentu. Yang dimaksud dengan hak milik intelektual itu lazimnya adalah hak cipta, sedangkan yang lain adalah hak paten dan hak merek termasuk dalam hak perindustrian.76

Dengan uraian yang agak berbeda tapi maksudnya sama Mahadi sebagaimana dikutip oleh Djuhaendah Hasan mengemukakan bahwa hukum benda dalam sistem BW merupakan bagian dari hukum kekayaan, dan hukum kekayaan terdiri atas hak benda dan hak dalam perikatan. Benda mengandung hak kebendaan yang bersifat absolut dan hukum perikatan merupakan hukum kekayaan yang bersifat relatif.77

Dalam kaitan hukum pertanahan dapat pula dibedakan antara hak absolut dan hak relatif. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA bahwa atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah, yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Macam-macam hak atas tanah tersebut dijabarkan dalam Pasal 16 UUPA yang meliputi hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa, serta hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang dan hak atas tanah yang bersifat sementara. Sedangkan hak membuka tanah dan memungut hasil hutan bukanlah hak atas tanah tetapi lebih tepat disebut hak keagrariaan yakni hak yang menyangkut tanah.78 Dari hak-hak atas tanah diatas maka hak milik, HGU, HGB diklasifikasikan sebagai hak absolut dan mengikat setiap orang, sedangkan hak pakai dan hak sewa merupakan hak relatif.79

Dalam setiap hak terdapat empat unsur yaitu subyek hukum, obyek hukum, hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan kewajiban dan perlindungan hukum.80 Dalam hubungannya dengan pemegang hak atas tanah maka terdapat subyek dalam arti pemegang hak atas tanah yang bersangkutan yakni bisa perorangan atau badan hukum, obyek hak tersebut adalah tanah. Dengan adanya hubungan

76 Ibid.77 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang

Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 94.(Selanjutnya disebut Djuhaendah Hasan 1)

78 Sebagaimana disebutkan dalam pasal 46 ayat (2) bahwa dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah. Penjelasan Pasal 46 UUPA mengemukakan bahwa hak membuka tanah dan memungut hasil hutan adalah hak-hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah.

79 Djuhaendah Hasan, Asek Perdata dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Makalah disampaikan dalam Seminar BPN Tanggal 23 Desember 2009, h. 4. (Selanjtnya disebut Djuhaendah Hasan 2)

80 Ibid h. 41

24

Page 25: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

hukum tersebut mengakibatkan pihak lain untuk menghormati hubungan itu. Kalau kewajiban itu tidak diindahkan akan terjadi pelanggaran hak, maka subyek atau pemegang hak dapat minta bantuan perlindungan hukum kepada pengadilan.81

Prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah ini dianut pula diberbagai negara dalam rangka pengadaan tanah. Sebagaimana dikemukakan oleh Hj. Salieh Hj. Buang bahwa adequate compensation must be paid for every land acquisition.82 Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Pengambilan Tanah Malaysia yang mengharuskan adanya ganti rugi yang layak dalam setiap adanya kegiatan pengadaan tanah.

Dalam pengadaan tanah Malaysia kompensasi terhadap tanah yang dikuasai harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a. The market value as determined in accordance with section 1 of the First Schedule.

b. Any increase in the value of other properties belonging to the interested person which is likely to accrue from the use to which the land acquired will be put.

c. The damage, if any, sustained or likely to be sustained by the person by reason of the severing of the acquired land from his other properties.

d. The damage, if any, sustained or likely to be sustained by the person by reason of the acquisition injuriously affecting his other properties or his actual earnings.

e. If, in consequence of the acquisition, he is compelled to change his residence or place of business, the reasonable expenses incidental to such charge, and

f. Where only part of the land is being acquired, any undertaking by a competent authority to construct roads, drains, walls, fences or other facilities benefitting any part of the land left unacquired, provided that the undertaking is clear and enforceable.83

Dari uraian tersebut maka dalam memberikan kompensasi harus mempertimbangkan:a. Nilai pasar sebagaimana ditetapkan menurut pasal 1 dari Skedul

pertama Undang-Undang pengambilan tanahb. adanya kenaikan nilai properti lain milik orang terkait yang mungkin

bertambah penggunaannya terhadap tanah yang dikuasaic. bila ada kerugian yang diderita atau mungkin dialami oleh seseorang

dengan alasan besarnya tanah yang dikuasai dari propertinya yang lain.

81 Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Rineka Cipta, Jakarta, h. 37.82 Hj. Saleh Hj. Buang, Malaysian Torrens System, Dewan bahasa Dan Pustaka, Kuala

Lumpur 2001, h.273.

83 Ibid. 275

25

Page 26: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

d. Bila ada kerugian yang diderita atau mungkin dialami oleh seseorang dengan alasan bahwa pembelian tanahnya secara merugikan mempengaruhi propertinya yang lain atau pendapatannya.

e. Akibat dari pengambilan tanahnya, bila ia dipaksa berpindah tempat atau berpindah usaha, maka harus ada biaya yang layak untuk kepindahannya

f. Bila hanya sebagian tanah yang dikuasai, segala tindakan yang dilakukan pihak terkait dalam membangun jalan, saluran, dinding, pagar atau fasilitas yang menguntungkan sebagian tanah yang tidak dikuasai, asalkan tindakan itu jelas dan dapat dilaksanakan.

Di Belanda prinsip penghormatan hak atas tanah juga diakui. Belanda merupakan salah satu negara yang ikut juga meratifikasi Protocol No. 1 The European Convention on Human Rights (ECHR) sejak 1954. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 ECHR yang menyatakan bahwa:84

No one shall be deprived of his possessions except in the public interest and subject to the conditions provided for by law and by the general principles of intemational law. This, however, shall not hamper the State to enforce such laws as it deerns necessary to control the use of property (again: in accordance with the general interest) or to secure the payment of taxes and other contributions or penalties.

Dengan meratifikasi ECHR tersebut maka Belanda sangat konsen dalam memperhatikan hak-hak atas kekayaan seseorang. Dalam kaitannya dengan penghormatan hak atas tanah dalam hal terjadinya kegiatan perolehan hak atas tanah maka hak atas tanah seseorang dapat dicabut dan wajib diberikan ganti kerugian. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Konstitusi Belanda yang menyatakan sebagai berikut:

1. Expropriation may take place only in the public interest and on prior assurance of full compensation, in accordance with regulations laid down by or pursuant to Act of Parliament.

2. Prior assurance of full compensation shall not be required if in an emergency mediate expropriation is called for.

3. In the cases laid down by or pursuant to Act of Parliament there shall be a right to full or partial compensation if in the public interest the competent authority destroys property or renders it unusable or restricts the exercise of the owner’s rights to it.

Dari ketentuan Pasal 14 tersebut maka setiap perolehan hak atas tanah yang ada khususnya untuk kepentingan umum, maka pemegang hak atas tanah harus mendapatkan ganti kerugian.

84 P.C.E. van Wijmen & J.P. Loof, The influence of Article 1 Protocol No. 1 on the Dutch legislation concerning expropriation, https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/1887/ 2694/4/The%252 Binfluence%252Bof%252BArticle%252B1%252BProtocol%252BNo.%252B1.pdf

26

Page 27: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Dengan berpegang prinsip ini maka seseorang akan mendapatkan ganti rugi sesuai dengan apa yang selayaknya diterima.

D. Prinsip Kepastian Hukum Prinsip kepastian hukum tidak terlepas dari aliran individualisme. Hal ini

diawali adanya cita-cita negara hukum dari aliran individualisme yang memikirkan hubungan antara negara dengan perseorangan (individu). Cita-cita negara hukum ini di dunia barat mendapat dorongan kuat pada masa Renaisance. Manusia pribadi meminta penegakan hukum yang lebih banyak. Segala sesuatu itu sebagai reaksi dari kekuasan yang tidak terbatas akibat tindakan raja-raja yang dikenal dengan zaman absolutisme.85

Sebagai pribadi manusia pada dasarnya dapat berbuat sekehendak hatinya secara bebas, akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat manusia akan dibatasi oleh aturan-aturan yang membatasi tingkah laku tersebut. Agar tercapai keseimbangan di dalam masyarakat maka dibuatlah ketentuan-ketentuan tingkah laku mereka. Apabila tidak ada ketentuan–ketentuan tersebut akan terjadi ketidakadanya keseimbangan dalam masyarakat dan pertentangan satu sama lain. Kepentingan manusia itu bermacam-macam ada yang sama ada juga yang bertentangan satu sama lain. Apabila keadaan demikian tidak diatur dan tidak dibatasi, maka yang lemah akan tertindas atau setidak-tidaknya timbul pertentangan atau gejolak.86 Dengan adanya ketentuan-ketentuan yang disebut hukum itu maka setidak-tidaknya dapat diharapkan akan terjadi adanya keadilan dan kepastian hukum.

Hukum mempunyai tugas suci dan luhur ialah keadilan dengan memberi kepada tiap-tiap orang apa yang berhak ia terima. Untuk terlaksananya hal tersebut maka diperlukan peraturan, dimana peraturan ini diperlukan masyarakat demi kepastian hukum.87

Namun demikian dalam praktiknya apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan maka sering kali tidak sejalan sama sekali. Hal ini sering terjadi karena kepastian hukum sering mengabaikan sisi-sisi keadilan demikian pula sebaliknya tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum.88

Apeldoorn mengemukakan bahwa tuntutan kepastian hukum yang diwujudkan dengan pengkitaban hukum dalam bentuk undang-undang muncul sebagai reaksi dari adanya ketidakpastian pada hukum kebiasaan.89 Kepastian hukum mempunyai dua segi, pertama diartikan sebagai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal yang konkrit; pihak-pihak yang mencari

85 Yahya. A.Z. Keadilan dan kepastian hukum, http://yahyazein.blogspot.com/ 2008/07/keadilan -dan- kepastian-hukum.html., diakses tanggal 7 Mei 2010.

86 Ibid.87 Ibid.88 Ibid.89 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse

Recht), Pradnya Paramita, Jakarta, Cet keduapuluhdelapan, 2000, h. 117-118.

27

Page 28: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

keadilan ingin mengetahui, apakah hukumnya dalam hal terjadi suatu peristiwa konkrit, sebelum memulai perkaranya, kedua kepastian hukum berarti keamanan hukum, artinya perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.90

Dalam uraian yang agak berbeda Nurhasan Ismail mengemukakan hukum sebagai pengatur kehidupan masyarakat mempunyai tujuan akhir untuk meminimalisasi konflik dan optimalisasi ketertiban. Untuk mencapai tujuan akhir tersebut, norma hukum harus dibentuk dan dilaksanakan dengan mendasarkan pada nilai-nilai dasar tertentu. Nilai dasar tersebut sebagai pengarah dan acuan dalam berperilaku serta sekaligus berfungsi sebagai ukuran untuk menilai potensi dan realita keberhasilan hukum mencapai tujuan akhir tersebut. Terjabarkannya atau teraktualisasikannya nilai dasar dalam substansi hukum atau dalam perilaku hukum merupakan tujuan antara yang menentukan peranan hukum menciptakan ketertiban dan meminimalkan konflik. Artinya tujuan akhir dari hukum akan dapat segera terwujud apabila nilai-nilai dasar dapat dijabarkan dengan tepat.91

Nilai dasar yang berfungsi sebagai pengarah dan acuan dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum adalah kepastian hukum, nilai dasar keadilan dan nilai kemanfaatan. Kepastian hukum dimaknakan sebagai adanya kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua warga masyarakat termasuk konsekwensi-konsekwensi hukumnya.92

Dalam kaitannya dengan usaha memperoleh hak atas tanah maka prinsip kepastian hukum ini memberikan dasar agar dalam pelaksanaan perolehan hak atas tanah berdasarkan peraturan perolehan hak atas tanah yang berlaku. Dalam kaitannya dengan prinsip ini Maria SW Sumardjono mengemukakan bahwa pengadaan tanah dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, sehingga para pihak mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.93

Sebagaimana diketahui bahwa peraturan perundang-undangan itu dalam pengaturannya sering kali tumpang tindih antara peraturan satu dengan peraturan yang lain sehingga hal ini akan menimbulkan ketidakpastian dalam pelaksanaannya. Hal ini akan berakibat tujuan hukum tidak tercapai. Tujuan hukum adalah untuk meciptakan ketertiban dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. 94

Selain itu hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku. Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum.95

90 Ibid.91 Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Pendekatan Ekonomi Politik . Huma

& Magister Hukum UGM, Yogyakarta, 2007, h. 23.92 Ibid. 93 Maria SW. Sumardjono I, Op. Cit., h. 28394 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. h. 58.95 Ibid. H. 134.

28

Page 29: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengarapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.96

Di Malaysia untuk memberikan kepastian hukum kepada semua warga masyarakat maka ketentuan-ketentuan dalam rangka perolehan hak atas tanah telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang/Akta Pengambilan Tanah (Land Acquisition Act 1960). Di dalam Land Acquisition Act 1960) inilah diatur mengenai tata cara dan prosedur dalam perolehan hak atas tanah sebagaimana saya uraikan dalam Bab II sub bab J.

Di Belanda pengaturan pengadaan tanah telah diatur dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) khususnya dalam Buku 3 Pasal 80, dan dalam hal perolehan tanah untuk kepentingan umum diatur secara khusus dalam Onteigeningswet.

Dasar perolehan hak atas tanah di Belanda secara tegas diatur dalam Buku 3 Pasal 80 NBW, yang mengemukakan bahwa perolehan hak atas tanah dilakukan melalui dua cara yakni melalui hak umum yang dalam hal ini pewarisan dan perolehan melalui hak khusus yang terdiri dari pemindahan hak, keadaan daluarsa dan karena pencabutan. Pencabutan hak dilakukan untuk kepentingan umum yang secara khusus diatur dalam Onteigeningswet (OW) 1851 yang telah beberapa kali mengalami perubahan yang terahir tahun 2005. Proses pencabutan hak berdasarkan Pasal 17 OW didahului oleh adanya musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan, maka penyelesaian ganti kerugian diselesaiakan melalui jalur pengadilan. Pengadilan yang akan menentukan besarnya ganti kerugian. (Pasal 18 OW). Berdasarkan Pasal 40 OW ganti rugi meliputi semua kerusakan yang ditanggung oleh pemilik dan juga hilangnya usaha yang mengakibatkan mereka menderita. Terhadap putusan pengadilan tersebut tidak bisa di banding, akan tetapi dapat diajukan kasasi dalam jangka waktu 2 minggu (Pasal 52 OW). Terhadap prosedur pencabutan hak yang ada di Belanda tersebut kalau dibandingkan dengan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 maka OW prosedurnya lebih panjang dan melibatkan pihak pengadilan.

Peraturan tersebut dimaksudkan untuk dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak dalam usaha-usaha perolehan hak atas tanah.

E. Prinsip Peran Serta Masyarakat Dalam Perolehan Hak Atas TanahDalam hukum administrasi peran serta masyarakat tidak dapat dipisahkan dari

fungsi pemerintah dalam rangka pembinaan dan pengayoman. Dalam rangka menjalankan fungsi tersebut maka dengan sendirinya mengharapkan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan fungsi tersebut97. Dalam perolehan hak

96 Ibid.

97 Philipus M. Hadjon at. al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada Iniversity Press, Yogyakarta, 1993. h.28-29.

29

Page 30: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

atas tanah prinsip ini menegaskan bahwa pelaksanaan kegiatan perolehan hak atas tanah harus melibatkan masyarakat. Maria SW Sumardjono mengemukakan bahwa peran serta seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam setiap tahap pengadaan tanah (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi) diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat meminimalkan penolakan masyarakat terhadap kegiatan yang bersangkutan.98

Arti penting yang melandasi perlunya peran serta masyarakat adalah bahwa pemerintah akan mendapatkan informasi dari masyarakat. Peran serta masyarakat terutama akan dapat menambah perbendaharaan pengetahuan mengenai sesuatu aspek tertentu yang diperoleh dari pengetahuan khusus masyarakat sendiri maupun dari para ahli yang dimintai pendapat oleh masyarakat.99 Dengan adanya informasi dari masyarakat tersebut maka akan diketahui apa saja yang terjadi, siapa saja yang berkepentingan serta faktor-faktor apa saja yang sekiranya akan menghambat pelakanaan rencana pembangunan tersebut.

Selain itu perlunya peran serta masyarakat adalah dapat meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan. Seseorang warga masyarakat yang telah memperoleh kesempatan untuk berperan serta dalam proses pengambilan keputusan dan tidak dihadapkan pada suatu fait accompli, akan cenderung untuk memperlihatkan kesediaan yang lebih besar guna menerima dan menyesuaikan diri dengan keputusan tersebut.100 Di pihak lain peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan akan dapat banyak mengurangi kemungkinan timbulnya pertentangan, asal peran serta tersebut dilaksanakan pada saat yang tepat.101

Selanjutnya peran serta masyarakat juga memberikan arti penting dalam membantu perlindungan hukum. Sebuah keputusan akhir diambil dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh masyarakat selama proses pengambilan keputusan berlangsung, maka dalam banyak hal tidak akan ada keperluan untuk mengajukan perkara ke pengadilan102

Peran serta masyarakan juga akan mendemokratisasikan pengambilan keputusan. Dalam hubungannya dengan peran serta masyarakat ini, ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam pemerintahan dengan sistem perwakilan, maka hak untuk melaksanakan kekuasaan ada pada wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat. Dengan demikian tidak ada keharusan adanya bentuk-bentuk dari peran serta masyarakat karena wakil-wakil rakyat itu bertindak untuk kepentingan rakyat103.

98 Maria SW. Sumardjono, Loc. Cit.

99 Koesnadi Hardjasoemantri, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, 1986. h,2.

100 Ibid. h.3

101 Ibid

102 Ibid

103 Ibid. h.4

30

Page 31: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Atas kritik tersebut, Gundling sebagaimana dikutip oleh Koesnadi Hardjasumantri mengemukakan:104

a) Bahwa demokrasi dengan sistem perwakilan adalah satu bentuk demokrasi, bukan satu-satunya.

b) Bahwa sistem perwakilan tidak menutup bentuk-bentuk demokrasi langsung.

c) Bahwa bukanlah warga masyarakat, sekelompok warga masyarakat atau organisasi yang sesungguhnya mengambil keputusan; mereka hanya berperanserta dalam tahap-tahap persiapan pengambilan keputusan.

I Putu Gede Ardhana mengemukakan bahwa peran serta masyarakat merupakan kemitraan diantara para stakeholder khususnya pemerintah, swasta dan masyarakat dalam proses pembangunan yang dikenal dengan konsep „Public Private Partnership“105

Selanjutnya I Putu Gede Ardhana mengemukakan adanya tiga bentuk interaksi pelaksanaan peran serta masyarakat untuk mencapai kemitraan tersebut yaitu: Pertama model interaksi antara pemerintah dan swasta begitu kuat sementara disisi lain masyarakat belum berdaya. Situasi ini menyebabkan interaksi pemerintah dan swasta justru mendominasi sekaligus menentukan arah pembangunan. Di sini masyarakat hanya akan diposisikan sebagai obyek pembangunan. Masyarakat belum menjadi subyek pembangunan. Model kedua tahap ini memperlihatkan interaksi yang seimbang antara stakeholder, yaitu interaksi antara pemerintah-swasta-masyarakat. Interaksi ini dapat memberikan pengalaman yang berharga bagi semua pihak bagaimana bergaul di lingkungan majemuk dalam pengambilan keputusan. Semua pihak bisa belajar sehingga saling menghargai adanya perbedaan pendapat dan musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Model ketiga adalah model yang paling ideal dari bentuk kemitraan pemerintah-swasta dan masyarakat. Dalam model ini masyarakat tidak lagi harus terlibat langsung secara teknis dalam kontrak-kontrak pembangunan antara pemerintah-swasta. Walaupun demikian masyarakat tetap mempunyai kekuatan dalam menentukan arah kontrak itu sendiri melalui mekanisme demokrasi dan transparansi. Dalam model ini masyarakat menjadi subyek pembangunan dan bukan lagi menjadi obyek pembangunan.106

Peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan daerah merupakan salah satu syarat mutlak dalam era keterbukaan dan kebebasan ini. Diabaikannya kegiatan peran serta masyarakat ini telah terbukti menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan

104 Ibid.

105 I Putu Gede Ardhana, Peran Serta Masyarakat Dalam Pembangunan, http:/www.akademik. unsri. ac.id

106 Ibid.

31

Page 32: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemborosan keuangan negara merupakan implikasi lain dari deviasi tersebut.107

Paradigma baru di Indonesia, bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan tidak lagi dilakukan secara sentralistik, tetapi lebih banyak melibatkan masyarakat untuk ikut berperan aktif. Pada awalnya pelaksanaan peran serta dalam pembangunan masyarakat dapat dilibatkan dalam penataan ruang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan peran serta masyarakat dalam penataan ruang yaitu:108

a. Kebijakan penyusunan rencana tata ruang yang belum sepenuhnya melibatkan masyarakat.

b. Kurang terbukanya para pelaku pembangunan dan rendahnya deseminasi informasi dalam proses perencanaan tata ruang.

c. Belum optimalnya kemitraan antar stakeholder.d. Panjangnya birikrasi pengambilan keputusan.

Sjarifuddin Akil berpendapat bahwa rendahnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang telah menimbulkan dampak yang negatif sebagai berikut:109

a. Rendahnya rasa memiliki dari masyarakat atas program/proyek pembangunan wilayah yang disusun. Akibatnya telah mengakibatkan keberlanjutan (sustainability) dari program yang dilaksanakan tidak terwujud.

b. Munculnya biaya transaksi (transaction cost) yang sangat mahal karena masyarakat kurang memahami tujuan dari program/proyek pembangunan sehingga sering kali muncul penolakan atas program/proyek yang dilaksanakan.

c. Program/proyek pembangunan wilayah yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakatnya.

d. Lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah

Untuk menghindari dampak negatif tersebut maka guna mewujudkan peran serta masyarakat yang seutuhnya, proses pelibatan masyarakat tidak boleh berhenti sampai tahap yang bersifat konsultasi dan sosialisasi, akan tetapi harus terlihat jelas bahwa aspirasi masyarakat terefleksi dalam proses perencanaan tata ruang. Oleh sebab itu, saluran-saluran aspirasi masyarakat harus diformulasikan secara jelas,

107 Zuryawan Isvandiar Zoebir, Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat Dalam Pebangunan Daerah, http:/zuryawanisvandiarzoebir. wordpress.com/2008/06/08

108 Sjarifuddin Akil, Peran Serta Masyarakat Dalam Kelembagaan Perencanaan Tata Ruang , Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pengembangan wilayah Regional Marketing Sebagai Instrumen Pembangunan Daerah Dalam Menghadapi Globalisasi Dan Otonomi Daerah, Semarang, 2003 h.1

109 Ibid. h.2

32

Page 33: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

sehingga apabila terjadi penyimpangan di lapangan dari proses perencanaan tata ruang, masyarakat dapat melakukan pengawasan dan berpartisipasi aktif.110

Zuryawan Isvandiar Zoebir mengemukakan bahwa proses pemberdayaan secara implisit mengandung makna terdapatnya faktor inisiatif yang berasal dan berkembang dari masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah sebagai penampung keluhan-keluhan yang berasal dari masyarakat. Dalam hal ini aparatur pemerintah dituntut untuk memiliki kepekaan dalam memberi respon, terhadap inisiatif dan keluhan yang berasal dari masyarakat daripada hanya sekedar menonjolkan kepentingan mereka sendiri dan berdalih pada penjaga kewibawaan pemerintah. Dalam kenyataan inisiatif dan keluhan masyarakat bawah sering kali diabaikan, dan untuk memperoleh perhatian dan tanggapan mereka terpaksa mengambil jalan pintas walaupun kadang-kadang merupakan pelanggaran hukum, yaitu dengan melakukan pengrusakan ataupun pembakaran.111

Dalam upaya melibatkan peran serta masyarakat guna mendukung pembangunan wilayah maka diperlukan:112

1. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku (ujung tombak) dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi (termasuk dalam penataan ruang).

2. Memfasilitasi masyarakat agar menjadi pelaku dalam proses perencanaan tata ruang (Pemerintah sebagai fasilitator dan hormati masyarakat, serta kearifan lokal/keberagaman budaya).

3. Mendorong agar stakeholder mampu bertindak secara transparan, akuntabel, dan professional dalam proses penataan ruang (terutama dalam perencanaan tata ruang).

4. Mendorong perkuatan kelembagaan yang mewadahi berbagai aspirasi dari berbagai stakeholder.Ginanjar Kartasasmita, mengemukakan bahwa upaya memberdayakan

partisipasi masyarakat dalam menyusun program-program pembangunan, harus dilakukan melalui tiga cara yaitu:113

Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Kondisi ini berdasarkan asumsi bahwa setiap individu dalam masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Hakikat dari kemandirian dan keberdayaan masyarakat adalah keyakinan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk mengorganisasi dirinya sendiri dan potensi kemandirian tiap individu perlu diberdayakan. Proses pemberdayaan masyarakat berakar kuat pada proses kemandirian tiap individu, yang kemudian meluas ke keluarga, serta kelompok masyarakat baik di tingkat lokal maupun nasional.

110 Ibid.

111 Zuryawan Isvandiar Zoebir, op cit.h.1.112 Ibid h.3113 Ibid. h.3.

33

Page 34: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat dengan menerapkan langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan, menyediakan prasarana fisik maupun sosial yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan paling bawah. Terbukanya akses pada berbagai peluang akan membuat masyarakat makin berdaya, seperti tersedianya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan dan pemasaran di pedesaan . Dalam upaya memberdayakan masyarakat ini, yang penting antara lain adalah meningkatkan mutu dan perbaikan sarana pendidikan dan kesehatan, serta akses pada sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar.Ketiga, memberdayakan masyarakat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau semakin tersingkir dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.

Upaya tersebut dimaksudkan agar masyarakat sebagai pihak yang paling terkena akibat dari penataan ruang harus dilindungi dari berbagai tekanan dan paksaan pembangunan yang dilegitimasi oleh birokrasi yang sering tidak difahami.114

Dengan melihat begitu besarnya arti penting mengenai peran serta masyarakat maka mau tidak mau peraturan perundang-undangan yang dibuat sudah seharusnya mengakomodasi prinsip ini. Sehingga dengan diakomodasikannya prinsip ini maka akan jelas mengenai bentuk-bentuk peran serta yang dapat dilakukan oleh masyarakat, serta pada tahapan mana peran serta tersebut dapat dilakukan masyarakat.

Di dalam BW diatur juga mengenai pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan peran serta untuk melindungi hak-hak seseorang ataupun badan hukum. Hal ini nampak dari ketentuan Pasal 618 Jo. Pasal 620 BW. Di dalam Pasal 618 BW menyebutkan bahwa segala akta pemisahan harta kekayaan, sekedar mengenai barang-barang tak bergerak, harus diumumkan juga dengan cara sebagaimana diatur dalam Pasal 620 BW. Dengan adanya pengumuman tersebut maka setiap orang yang merasa berhak atas benda tersebut dapat meminta kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi benda itu berada supaya dinyatakan sebagai miliknya (Pasal 621 BW).115

Di Malaysia prinsip peran serta masyarakat dalam kegiatan perolehan hak atas tanah juga diakui dan dinormakan dalam Land Acquisition Act 1960. Dalam Undang-Undang tersebut memberikan kuwajiban kepada otoritas Negara untuk terlebih dahulu mempublikasikan ke dalam surat kabar, untuk memberi kesempatan kepada

114 Ibid.115 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya

Paramita, Jakarta, 1985, h. 174.

34

Page 35: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

semua pihak mengajukan keberatan dalam hal ada yang merasa keberatan atas rencana tersebut. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 Land Acquisition Act 1960 bahwa When the State Authority decides that any of the land referred to in section 7 are neede for any of the purposes referred to in section 3, a declaration in form D shall be published in the Gazette.

Pengajuan keberatan tersebut dibatasi waktunya selama 2 tahun, dalam hal keberatan tersebut diajukan lebih dari batas waktu tersebut maka tidak akan diperhatikan. Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 8 ayat 4 Land Acquisition Act 1960 yang menyatakan bahwa A declaration under subsection (1) shall lapse and cease to be of any effect on the expiry of two years after the date of its publication in the gazette in so far as it relates to any land or part of any land in respect of which the Land Administrator has not made an award under section 14 (1) within the said period of two years, and accordingly, all proceedings already taken or being taken in consequence of such declaration in respect of such land or such part of the land shall terminate and be of no effect.

Dari uraian tersebut nampak bahwa prinsip peran serta masyarakat yang dinormakan dalam Land Acquisition Act 1960 diwujudkan dalam bentuk hak setiap orang untuk mengajukan keberatan. Dengan adanya keberatan tersebut tentu pihak otoritas Negara sebagai pelaksana kegiatan perolehan tanah akan mendapatkan masukan serta informasi tentang masalah apa yang timbul berkaitan dengan rencana pelaksanaan pembangunan. Selain itu pemerintah akan mendapatkan informasi mengenai berbagai kepentingan yang ada, sehingga dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam usasa melakukan kegiatan perolehan hak atas tanah.

Di Belanda prinsip peran serta masayarakat ini juga telah diakomodasi dalam Onteigeningswet (OW) . Usaha-usaha perolehan hak atas tanah di Belanda pada dasarnya tetap didasarkan pada kesepakatan para pihak. Jadi pelaksanaan pencabutan hak dilakukan dalam hal tidak tercapai kesepakatan, dan merupakan usaha yang terakhir sebagaimana telah diuraikan dalam sub bab sebelumnya. Dalam OW tidak hanya pemegang hak saja yang diberi kesempatan untuk berperan serta akan tetapi pihak ketiga yang terkait dengan tanah yang akan dicabut diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan. Prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 23 OW yakni dilakukannya pengumuman untuk mendengar keprihatinan para pemangku kepentingan yang diselenggarakan di kota (de gemeente). Dengan adanya pengumuman inilah maka dimungkinkan adanya masukan-masukan serta keberatan-keberatan dalam kaitannya dengan pelaksanaan pencabutan hak. Dari uraian Pasal tersebut nampak bahwa prinsip peran serta masyarakat telah dinormakan dalam peraturan-peraturan perolehan hak atas tanah. Hal ini tidak terlepas dari pengakuan terhadap hak eigendom sebagai hak atas tanah yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi.

F. Hakekat Konsep Hukum Konsep berasal dari bahasa latin conceptus yang berarti buah gagasan.

Konsep berhubungan dengan benda atau gejala, bukan benda atau gejala itu sendiri,

35

Page 36: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

melainkan gambaran yang diimajinasikan dan didefinisikan saja.116 Konsep merupakan suatu realitas yang berada diranah atau tataran idea manusia, hadir sebagai konstuksi yang menggambarkan dalam wujudnya yang abstrak yang simbolis suatu realitas empiris.117

Hukum dalam beroperasinya menggunakan konsep-konsep. Konsep-konsep yang digunakan dimaksudkan untuk merumuskan sekian banyak pengertian yang tercakup didalamnya, baik variasi maupun perbedaan-perbedaannya, kedalam satu istilah saja.118 Oleh pembuat peraturan perundang-undangan, konsep-konsep tersebut digunakan untuk menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh suatu peraturan hukum, konsep-konsep tersebut digunakan untuk menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh peraturan hukum.119 Misalnya konsep musyawarah adalah istilah ringkas untuk menggantikan suatu uraian yang menjelaskan proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.120 Contoh lain yang dapat dikemukakan di sini adalah konsep pendaftaran tanah adalah istilah ringkas yang menggantikan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.121

Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa penyusunan konsep hukum harus dapat dikembalikan pada unsur-unsur empiris yang membentuk konsep tersebut. Suatu konsep juga dituntut untuk mengandung suatu arti (meaningful). Suatu bunyi yang dikeluarkan oleh manusia tetapi tidak mengandung pesan apa-apa kepada orang lain tidaklah dapat disebut konsep.122

Kaplan sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa suatu konsep seketika itu membentuk suatu pengertian tertentu di kepala orang yang

116 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Huma, 2002, h. 179.

117 Ibid118 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. keenam, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2006.

h.311.119 Ibid. 120 Merupakan contoh konsep musyawarah yang ada dalam Keputusan Presiden Nomor 55

Tahun 1993.121 Merupakan contoh konsep pendaftaran tanah yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997.122 Satjipto Rahardjo, Op cit, h. 312.

36

Page 37: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

menangkapnya, oleh karena itulah disebut sebagai “mengandung arti”. Seperti juga dalam artinya sebagai pengetahuan tersebut diatas maka untuk bisa mempunyai arti yang demikian itu, konsep harus bisa dikembalikan kepada empiris atau pengalaman. Pengembalian pada pengalaman ini merupaka ujian terhadap kebenaran arti konsep tersebut.123

Selanjutnya Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa konsep hukum itu harus mempunyai dasar empiris. Konsep-konsep hukum itu nantinya akan menjadi ukuran untuk menilai dan menghakimi dunia kenyataan, khususnya perbuatan manusia. Atas dasar ini saja, sebetulnya konsep-konsep hukum sudah dengan sendirinya harus mempunyai relevansi empiris. Demikian hubungan antara konsep dan kenyataan.

Pembentukan konsep atau pengertian memberikan kemungkinan untuk memberikan dimensi universal pada pengetahuan teoritikal dan praktikal yang terkumpul, sebab pengertian-pengertian dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, sejauh bahasa-bahasa yang bersangkutan mungkin untuk itu. 124

Definisi diperlukan untuk memberikan batasan dari sebuah konsep tersebut, sehingga akan dapat memberikan pemahaman yang jelas kepada pembaca ataupun pendengar tentang apa yang maksud dari perkataan tertentu. Dengan adanya batasan tersebut maka perkataan itu siapapun yang mengucapkan akan dapat memberikan pemahaman yang sama pada pendengarnya tentang konsep itu.125 Jadi dengan definisi itu suatu konsep diharapkan akan dapat diuraikan secara jelas mengenai batasan-batasannya.

Dari uraian diatas maka sangatlah diperlukan adanya suatu konsep yang jelas khususnya dalam hukum, karena hal itu akan dapat memudahkan dalam memahami hukum dan pada akhirnya dapat memberikan kepastian hukum.

G. Inkonsistensi Penggunaan Konsep Hukum Dalam Perolehan Hak Atas Tanah

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat berbagai konsep hukum yang digunakan antara lain konsep hukum pembebasan tanah, penyediaan tanah, pengadaan tanah, perolehan tanah, pencabutan hak atas tanah. Berikut ini diuraikan mengenai konsep hukum tersebut.

G.1. Konsep Hukum Pembebasan TanahG.1.1. Konsep Hukum Pembebasan Tanah Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai tata Cara Pembebasan Tanah

Pengaturan mengenai pembebasan tanah selama Indonesia merdeka pertama kali diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. Keluarnya Permendagri ini dilatarbelakangi oleh adanya keperluan untuk memenuhi

123 Ibid. 124 J.J.H. Bruggink, Op Cit.. h. 48125 Ibid. h. 71

37

Page 38: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

kebutuhan tanah dalam usaha-usaha pembangunan, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun untuk kepentingan swasta. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Permendagri 15 tahun 1975 yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi (garis bawah dari penulis). Dalam rangka pembebasan tanah itu dibentuk adanya panitia pembebasan tanah yang bertugas melaksanakan pemeriksaan atau penelitian dan penetapan ganti rugi dalam rangka pembebasan suatu hak atas tanah dengan atau tanpa bangunan/tanaman yang tumbuh diatasnya, yang pembetukannya ditetapkan oleh Gubernur untuk masing-masing Kabupaten/Kotamadya dalam suatu wilayah provinsi yang bersangkutan. Pada dasarnya penggunaan panitia pembebasan tanah itu hanya diperuntukkan bagi pelaksanaan pembangunan untuk keperluan pemerintah, sedangkan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta tidak diperlukan adanya panitia pembebasan tanah. Dalam Permendagri tersebut ditegaskan bahwa pembebasan tanah untuk keperluan swasta dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman pada azas musyawarah.

Konsep pembebasan tanah tersebut sama dengan konsep penyerahan atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 yakni kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Sehingga timbul pertanyaan apakah pembebasan tanah sama dengan penyerahan atau pelepasan hak. Kalau dikaji dari cara perolehan hak atas tanah maka dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 tersebut dilakukan dengan cara pelepasan hak. Hal ini nampak dari ketentuan Pasal 9 ayat (1) Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa ”Bilamana telah tercapai kata sepakat mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi seperti dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), maka dilakukan pembayaran ganti rugi sejumlah yang telah disetujui bersama. Bersamaan dengan pembayaran ganti rugi itu dilakukan pula penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya (garis bawah dari penulis) dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 4 orang anggota Panitia Pembebasan tanah, diantaranya Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan”.

Dari ketentuan Pasal 9 tersebut walaupun dalam mendefinisikan konsep pembebasan tanah mirip dengan definisi dari konsep pelepasan hak namun ketentuan Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 dapat disimpulkan bahwa pelepasan/penyerahan hak merupakan salah satu cara pembebasan tanah.

Dalam pembebasan tanah yang diatur dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 sangat terbuka untuk dilakukan cara selain pelepasan atau penyerahan hak khususnya terhadap pembebasan tanah untuk kepentingan swasta. Hal ini dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 11 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pembebasan tanah untuk keperluan swasta pada asasnya harus dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman pada asas musyawarah”. Dalam peraturan tersebut tidak menggunakan pengertian

38

Page 39: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

atau konsep pembebasan tanah untuk kepentingan umum dan selain kepentingan umum, tetapi membedakan antara pembebasan tanah untuk keperluan pemerintah dan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta.

G.1.2. Konsep Hukum Pembebasan Tanah Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan.

Dalam Permendagri Nomor 5 Tahun 1974 tidak ditemukan mengenai definisi yang menjelaskan tentang konsep pembebasan tanah. Dalam peraturan tersebut hanya diuraikan bahwa pembebasan tanah merupakan bagian dari tatacara penyediaan dan penguasaan tanah yang diperlukan. Hal ini nampak dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa selama belum diperoleh izin usaha dari instansi yang berwenang, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Bab II atau jika Perusahaan yang bersangkutan meminta fasilitas penanaman modal dalam rangka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 atau Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968, selama belum diperoleh persetujuan Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat, maka perusahaan atau calon investor tidak diperbolehkan melakukan pembelian, penyewaan, pembebasan hak ataupun lain-lain bentuk perbuatan yang mengubah penguasaan tanah yang bersangkutan, baik secara fisik ataupun yuridis, baik langsung maupun tidak langsung untuk kepentingan perusahaan atau calon investor. Selanjutmya dalam Pasal 11 Permendagri 5 Tahun 1974 setelah diperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 atau persetujuan Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat dalam hal diminta fasilitas penanaman modal, maka perusahaan/calon investor baru boleh melakukan pembelian, penyewaan atau pembebasan hak dan penguasaan tanah yang diperlukan, menurut tata cara yang diatur dalam peraturan perundangan agraria yang bersangkutan. Jadi dengan demikian pembebasan tanah merupakan bagian dari tata cara penyediaan dan penguasaan tanah.

Dari uraian diatas apakah konsep pembebasan tanah menurut Permendagri 5 Tahun 1974 dapat dipersamakan dengan pelepasan hak. Dalam Pasal 13 Permendagri disebutkan bahwa izin bangunan dan izin Undang-Undang Gangguan (S. 1926 No 226) baru boleh diberikan setelah selesai dilakukan pembelian tanah dan dimintakan pendaftarannya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan jika dilakukan pembebasan hak, setelah diajukan permohonan hak yang baru kepada pejabat yang berwenang menurut ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 (garis bawah dari penulis) ataupun jika digunakan tanah pihak lain, setelah ada perjanjian dengan yang mempunyai tanah yang dibuat menurut peraturan yang berlaku. Dari ketentuan Pasal 13 tersebut jelas bahwa setelah dibebaskan baru diajukan permohonan hak baru kepada pejabat yang berwenang. Dengan melalui tahap permohonan hak tersebut maka dapat dipastikan bahwa status tanah tersebut adalah tanah negara. Dengan demikian maka konsep pembebasan hak dalam Permendagri 5 Tahun 1974 dapat dipersamakan dengan pelepasan hak.

39

Page 40: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

G.1.3. Konsep Hukum Pembebasan Tanah Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 Tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan

Bedasarkan penelitian terhadap ketentuan – ketentuan yang terdapat dalam Permendagri Nomor 3 Tahun 1987 diketemukan mengenai istilah/konsep pembebasan tanah, akan tetapi tidak diketemukan mengenai definisi mengenai pembebasan tanah.

Konsep pembebasan tanah dapat ditemukan dalam berbagai pasal yaitu Pasal 3 ayat (2) Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 13. Dalam Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa dalam menetapkan izin lokasi dan luas tanah yang dimaksud ayat (1) dicantumkan pula izin pembelian dan atau izin pembebasan tanahnya. Sedangkan dalam Pasal 8 menyebutkan bahwa: Dalam penetapan ijin lokasi dan luas tanah dimaksud dalam Pasal 2 dicantumkan syarat-syarat antara lain:

a. Jangka waktu penyelesaian pembelian/pembebasan tanah diberikan secara bertahap selama 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun dan diperpanjang paling lama satu tahun untuk setiap tahap jika terdapat alasan yang cukup kuat.

b. Pembelian atau pembebasan tanah dilakukan atas dasar musyawarah untuk mencapai kesepakatan.

c. Apabila tidak tercapai kesepakatan ganti rugi dapat ditempuh dengan cara menyediakan tempat penampungan bagi pemilik tanah yang terkena rencana proyek pembangunan atau mengikutsertakan pemilik tanah dalam bentuk penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah.

d. Setelah dilakukan pembelian atau pembebasan tanah wajib mengajukan permohonan pendaftaran atau permohonan hak dalam waktu 6 (enam) bulan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun disertai dengan syarat-syarat yang lengkap kepada pejabat yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku.

Dalam pasal 10 disebutkan bahwa Perusahaan dapat melakukan pembelian tanah secara langsung menurut ketentuan peraturan perundang-undangan agraria yang berlaku atau pembebasan tanah dengan bantuan Panitia Pembebasan Tanah sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam Permendagri Nomor 2 tahun tahun 1976 merupakan peraturan yang mengatur tentang penggunaan acara pembebasan tanah untuk kepentingan umum bagi pembebasan tanah oleh pihak swasta. Dengan adanya peraturan tersebut maka pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II dan IV Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Dengan demikian konsep pembebasan tanah dalam Permendagri

40

Page 41: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Nomor 3 Tahun 1987 ini sama dengan konsep Pembebasan tanah dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 yaitu melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diatara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. (garis bawah dari penulis).

Dari ketiga pasal tersebut diatas konsep hukum pembebasan tanah sering kali menimbulkan berbagai penafsiran yakni dapat dipersamakan dengan penyediaan tanah, namun di sisi lain juga merupakan salah satu cara penyediaan tanah. Penyediaan tanah itu sendiri diberikan suatu batasan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 Permendagri Nomor 3 Tahun 1987 disebutkan bahwa setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah bagi keperluan perusahaan dalam memberikan ganti kerugian kepada yang berhak (garis bawah dari penulis)

Namun kalau dibandingkan dengan ketentuan Pasal 13 Permendagri Nomor 3 Tahun 1987 terjadi adanya ketentuan sebaliknya yang dapat ditafsirkan bahwa penyediaan tanah merupakan kegiatan lebih lanjut setelah dilakukannya pembelian/pembebasan tanah. Dalam Pasal 13 disebutkan bahwa setelah dilakukan pembelian/pembebasan tanah, perusahaan berkewajiban antara lain untuk:

a. Mematangkan tanah dan membangun rumah sesuai dengan rencana proyek yang telah disetujui oleh Pemerintah.

b. Menyediakan tanah untuk keperluan fasilitas sosial dan memelihara selama jangka waktu tertentu prasarana lingkungan dan utilitas umum yang diperlukan oleh masyarakat penghuni lingkungan.

c. Menyerahkan prasarana lingkungan dan tanah untuk keperluan fasilitas sosial serta utilitas umum kepada Pemerintah daerah Tingkat II.

Dari hasil penelitian ketentuan Permendagri Nomor 3 Tahun 1987 tersebut diatas nampak sekali adanya penggunaan konsep hukum pembebasan tanah yang tidak jelas dikarenakan tidak ada definisi yang menjelaskan konsep hukum pembebasan tanah. Selain itu dalam pengaturannya disatu sisi merupakan bagian dari penyediaan tanah, namun disisi lain justru penyediaan tanah merupakan kelanjutan dari kegiatan pembelian/pembebasan hak.

G.2. Konsep Hukum Penyediaan TanahG.2.1. Konsep Hukum Penyediaan Tanah Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987

Berdasarkan penelusuran berbagai peraturan, konsep hukum penyediaan tanah pertama-tama muncul dari adanya Peraturan Negeri Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan Dan Pemberian tanah Untuk Keperluan Perusahaan dan kemudian disusul Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 Tentang Penyediaan Dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan.

Dalam Permendagri Nomor 5 Tahun 1974 tidak ditemukan adanya definisi yang menjelaskan mengenai konsep hukum penyediaan tanah. Namun dalam peraturan tersebut diatur mengenai tata cara penyediaan tanah yang diatur dalam

41

Page 42: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Pasal 9 sampai dengan Pasal 12. Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa dalam penyediaan dan penguasaan tanah yang diperlukan perusahaan maka pertama-tama harus diperhatikan, bahwa segala sesuatunya harus diselenggarakan dan diselesaikan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalam batas-batas kewenangan para pejabat sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 serta harus dicegah dan dihindari terjadinya ketegangan-ketegangan dalam usaha dan kegiatan untuk memperoleh tanah yang diperlukan itu.

Tata cara penyediaan tanah dilakukan dengan cara jual beli, sewa dan pembebasan tanah. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) Permendagri Nomor 5 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa setelah diperoeh izin usaha sebagai mana dimaksud dalam Pasal 10 atau persetujuan Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat dalam hal diminta fasilitas penanaman modal, maka perusahaan atau calon investor baru boleh melakukan pembelian, penyewaan, atau pembebasan hak dan penguasaan anah yang diperlukan, menurut tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan agraria yang bersangkutan. Demikian pula Pasal 11 ayat (5) menyebutkan bahwa jika pembelian, penyewaan atau pembebasan hak (garis bawah dari penulis) atas tanahnya tidak dilakukan menurut cara yang semestinya dan/atau tidak diselesaikan dalam waktu yang ditentukan, maka setelah diberi peringatan seperlunya oleh Bupati/Walikota Kepala Daerah, izin usahanya akan dibatalkan.

Sedangkan dalam Permendagri Nomor 3 Tahun 1987 secara tegas menggunakan konsep hukum penyediaan tanah yang didefinisikan setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah bagi keperluan perusahaan dengan memberi ganti kerugian kepada yang berhak (Pasal 1 angka 3). Sedangkan cara penyediaan tanah dilakukan dengan pembelian dan pembebasan tanah.

Kalau dikaji dari segi morfologi kata penyediaan adalah berasal dari kata sedia. Dengan demikian penyediaan tanah suatu keadaan dimana tanpa adanya suatu kegiatan memperoleh tanah. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tidak ada usaha dari pihak yang memerlukan tanah tersebut untuk memperoleh tanah, karena tanah sudah disediakan. Sedangkan kalau dikaji dari tatacara penyediaan tanah yang menyebutkan dengan cara pembelian, penyewaan atau pembebasan hak, maka nampak adanya usaha untuk memperoleh tanah. Oleh karena itu maka penggunaan konsep penyediaan tanah dengan cara pembelian, penyewaan atau pembebasan hak menurut pendapat saya merupakan konsep yang kurang tepat karena saling bertolak belakang.

Selain itu bahwa seseorang atau suatu badan hukum yang akan membangun maka sebelumnya harus mempunyai hak atas tanah, sehingga perlu adanya usaha untuk memperoleh tanah tersebut, baik dengan cara jual beli, sewa atau cara lainnya.

G.2.2. Konsep Hukum Penyediaan Tanah Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Permukiman

42

Page 43: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 juga menggunakan konsep hukum penyediaan tanah. Namun tidak memberikan definisi tentang penyediaan tanah. Sebagaimana diatur dalam pasal 32 ayat 1 disebutkan bahwa penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman diselengarakan dengan :

a. Penggunaan tanah yang langsung dikuasai negarab. Konsolidasi tanah oleh pemilik tanahc. Pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa tatacara penggunaan tanah yang

langsung dikuasai Negara dan tatacara konsolidasi tanah oleh pemilik tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir a dan b diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Kalau definisi konsep hukum penyediaan tanah mengacu pada Permendagri Nomor 3 Tahun 1987 yakni setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah bagi keperluan perusahaan dengan memberi ganti kerugian kepada yang berhak, maka ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tersebut dapatlah ditafsirkan bahwa konsolidasi tanah oleh pemilik tanah termasuk penyediaan tanah.

Selain itu uraian pasal diatas yang menyebutkan peggunaan tanah yang langsung dikuasai negara, seakan-akan tanah negara boleh digunakan tanpa adanya pemberian hak oleh pejabat yang berwenang. Tanah negara adalah tanah yang tidak terdapat hak apapun di atasnya. Hanya negara yang menguasai. Atas dasar itu maka apabila seseorang atau badan hukum bermaksud untuk mendapatkan hak di atasnya maka harus mengajukan permohonan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria (Permen Agraria)/Kepala BPN nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Dan Pemberian Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara Jo. Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan. Setelah adanya proses permohonan maka akan dikeluarkan Surat Keputusan Pemberian hak Atas Tanah.

Selanjutnya cara yang berikutnya dengan pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang mengakibatkan hapusnya hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanahnya baru merupakan cara yang dapat dilakukan karena setelah tanahnya dilepaskan maka status tanah tersebut berubah menjadi tanah negara dan selanjutnya pihak yang memerlukan tanah mengajukan permohonan hak kepada pejabat yang berwenang.

Jadi dari uraian tersebut maka penggunaan konsep hukum penyediaan tanah dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 menurut pendapat saya kurang tepat kalau dihubungkan dengan cara perolehan tanahnya.

G.3. Konsep Hukum Pengadaan Tanah

Berdasarkan penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, konsep hukum pengadaan tanah pertama kali muncul pada saat keluarnya Permendagri Nomor 2 Tahun 1985 yang mengatur tentang tatacara pengadaaan tanah

43

Page 44: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

untuk keperluan proyek pembangunan di wilayah kecamatan. Dalam peraturan tersebut yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberi ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah itu (Pasal 1 huruf c). Selanjutnya diatur pula mengenai tata cara pengadaan tanah yakni dengan cara jual beli atau pelepasan hak. Hal ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) yang menyebutkan bahwa dalam pengadaan tanah sebagai dimaksud dalam Pasal 6, maka camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat membuat akte jual beli tanah dan selaku Kepala Wilayah dapat menguatkan /melegalisir pelepasan hak.

Ketentuan dalam Permendagri Nomor 2 Tahun 1985 tersebut sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 yang juga menggunakan istilah/konsep hukum pengadaan tanah. Dalam Pasal 1 angka (1) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 juga menyebutkan bahwa pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.

Pokok-pokok kebijaksanaan pengadaan tanah yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 itu semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentinan umum dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 2 ayat (3)).

Dalam Keputusan Presiden tersebut juga nampak adanya pembagian antara pengadaan tanah untuk kepentingan umum skala luas dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam skala kecil, yakni pengadaan tanah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dapat dilakukan langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.

Pada tahun 2005 dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, juga menggunakan kosep hukum pengadaan tanah, akan tetapi dengan definisi yang agak berbeda yakni setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Kalau kita bandingkan konsep hukum pengadaan tanah antara Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, maka seakan-akan nampak bahwa apa yang diatur dalam Peraturan Presiden 36 tahun 2005 lebih luas karena dalam definisinya menyebutkan macam-macam benda yang diberikan ganti rugi yakni diberikan kepada yang melepaskan atau menyerahkan

44

Page 45: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 walaupun dalam definisinya hanya memberikan ganti rugi terhadap tanah, namun dalam Pasal 12 menyebutkan bahwa ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk : hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Jadi dari uraian tersebut nampak bahwa ada kesamaan konsep hukum pengadaan tanah antara yang digunakan antara Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

Walaupun ada persamaan mengenai penggunaan konsep hukum pengadaan tanah yang digunakan kedua peraturan tersebut, namun ada perbedaan dalam mendefinisikan konsep kepentingan umum.

Dalam Pasal 1 angka 3 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keppres 55 tahun 1993 tersebut dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Selain itu terdapat 14 kegiatan yang masuk kategori kepentingan umum:

a. Jalan umum, saluran pembuangan airb. Waduk, bendungan, dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran

irigasic. Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakatd. Pelabuhan atau Bandar udara atau terminale. Peribadatanf. Pendidikan atau sekolahg. Pasar umum atau pasar inpresh. Fasilitas pemakaman umumi. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan

bahaya bandir, lahar, dan lain bencanaj. Pos dan telekomunikasik. Sarana olah ragal. Stasiun penyiaran radio, televise beserta sarana pendukungnyam. Kantor pemerintahn. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

Maria S.W. Sumarjono dalam uraiannya mengenai pengadaan tanah menyampaikan bahwa dalam Keppres ini, kepentingan umum didefinisikan sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat, sedangkan mengenai kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dibatasi pada kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah, serta tidak digunakan untuk mencari

45

Page 46: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

keuntungan. Dengan demikian interpretasi kegiatan yang termasuk dalam kategori kepentingan umum dibatasi pada terpenuhinya ketiga unsur tersebut.126

Konsekuensi dari batasan tiga kriteria tersebut maka walaupun kegiatan itu dilakukan oleh pemerintah dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah, akan tetapi untuk mencari keuntungan maka hal ini jelas tidak dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum. Sebagaimana diketahui dalam perkembangannya banyak kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah tetapi juga digunakan untuk mencari keuntungan. Misalnya kegiatan pos dan telekomunikasi dalam perkembangannya merupakan kegiatan yang nyata-nyata mencari keuntungan. Oleh karena itu sebenarnya tidak tepat dimasukkan dalam pengertian kepentingan umum. Senada dengan hal tersebut Akhmad Safik mengemukakan bahwa tumbuh dan kembangnya perusahaan-perusahaan titipan kilat, pengiriman paket baik dalam maupun luar negeri tidak lagi bisa dipertahankan bahwa sektor pos adalah kepentingan umum.127 Hal yang sama terjadi dengan stasiun penyiaran radio dan televisi beserta sarana pendukungnya. Era informasi telah menempatkan radio dan televisi sebagai sarana komunikasi yang penting dan telah menjadi kegiatan komersial yang sangat menguntungkan, sehingga tidak dapat lagi disebutkan sebagai kepentingan umum. 128

Sedangkan dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah dirubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006, kepentingan umum diartikan sebagai kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat (Pasal 1 angka 5). Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Perpres tersebut diberikan batasan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki pemerintah. Selanjutnya kepentingan umum tersebut dibatasi dalam 7 kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Perpres 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dalam Pasal 1 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 yang meliputi:

a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum atau air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi.

b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya.c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal.d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya

banjir, lahar, dan lain-lain bencana.e. Tempat pembuangan sampah.f. Cagar alam dan cagar budaya.g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik

126 Maria S.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasinya, Kompas, 2001. h 73.

127 Ahmad Safik, Op cit, h. 12128 Ibid.

46

Page 47: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Dari ketentuan Keppres 55 Tahun 1993 dan Perpres 36 Tahun 2005 sebagaimana telah dirubah dengan Perpres 65 Tahun 2006 nampak adanya keharusan bahwa pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum selalu dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Achmad Sodiki berpendapat bahwa pihak swasta boleh menyelenggarakan pembangunan untuk kepentingan umum, karena tidak semua kepentingan umum itu dapat dipenuhi oleh negara. Negara dapat menaruh saham pada perusahaan swasta dan tidak perlu 100 %, boleh 50% (mayoritas mutlak) atau kurang 50 % (mayoritas relatif). Yang penting negara tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan di badan usaha tersebut.129

Pendapat Achmad Sodiki tersebut didasarkan pada Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” Pengertian “yang penting” dan “menguasai hajat hidup orang banyak” sejalan dengan pengertian kepentingan umum. Hal tersebut mengikuti penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002.130 Pemikiran Mahkamah Konstitusi ini didasarkan pada perkataan “dikuasai oleh negara”, sebagaimana dalam pertimbangan yang mengemukakan bahwa: 131

Perkataan “dikuasai oleh Negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah

129 Achmad Sodiki, Kepentingan umum dalam Pengadaan Tanah Menurut Perpres Nomor 65 Tahun 2006, Makalah, Disampaikan Dalam Diskusi Panel Dewan Pakar Propinsi Jawa Timur tanggal 20 Nopember 2007.

130 Ibid.131Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Dimuat Dalam Berita Negara Republik

Indonesia Nomor 102 Tahun 2004, Terbit Hari Selasa tanggal 21 Desember 2004

47

Page 48: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Dalam kerangka pengertian yang demikian itu, penguasaan dalam arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara, tergantung pada dinamika perkembangan kondisi masing-masing cabang produksi. Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan menguasai ketiga tiganya barulah akan lebih terjamin adanya perlindungan kepentingan umum.132

Senada dengan hal tersebut Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa istilah kepentingan umum tidak ada definisi yang jelas dan memuaskan di dalam peraturan perundang-undangan. Sejak zaman Hindia belanda telah dikenal pengertian kepentingan umum dengan istilah algemeen belang , openbaar belang, ten algemeenen nutte atau publiek belang.133 Uraian Sudikno tersebut menunjukkan bahwa peristilahan yang digunakan pada jaman Hindia Belanda pun bermacam-macam dengam maksud yang sama yakni ditujukan untuk menjelaskan kepentingan umum sendiri.

Agak berbeda Ronald Z. Titahelu mengemukakan bahwa istilah kepentingan umum dapat berasal dari istilah algemeene belang dan dari istilah ten algemeenen nutte.134 Namun dengan melihat maksudnya, istilah ten algemeenen nutte sebaiknya diterjemahkan sebagai untuk kemanfaatan umum. Arti kemanfaatan umum dapat meliputi maksud banyaknya orang yang dapat memperoleh kemanfaatan, atau banyaknya manfaat yang dapat diperoleh, ataupun arti manfaat yang dapat dinikmati

132 Achmad Sodiki, Loc Cit.133 Sudikno Mertokusumo, Kepentingan umum, http://sudiknoartikel blogspot.com/2008/03/

kepentingan .umum.html (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II)‘134 Ronald Z. Titahelu, Penetapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan Tanah Untuk

Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat, Suatu kajian Filsafati dan Teoritik Tentang Pengaturan Dan Penggunaan Tanah di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1993 h. 175.

48

Page 49: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

secara luas oleh siapa saja.135 Dilihat dari segi program, istilah algemeene belang, maupun ten algemeenen nutte bersama-sama bertujuan mencapai suatu keadaan yang lebih baik yang dikehendaki bersama.136 Lebih luas lagi pengertian itu meliputi banyaknya orang yang memperoleh manfaat, atau banyaknya manfaat yang dapat diperoleh, atau kemanfaatan yang dapat dinikmati secara luas oleh siapa saja. Dalam pengertian ini, kedua istilah tersebut dapat dipakai sebagai gambaran atau alasan untuk mengubah suatu keadaan masyarakat kedalam keadaan yang dikehendaki sebagai keadaan yang lebih baik, bahkan seringkali dikaitkan pula dengan cita-cita mengenai keadilan.137

Dalam peraturan perundang-undangan istilah kepentingan umum sering digunakan dalam arti yang beragam. Sebagaimana dikemukakan oleh Ronald Z. Titahelu bahwa :138

1. Istilah kepentingan umum merupakan suatu sifat yang dikaitkan pada kegiatan untuk kepentingan bersama dari rakyat, kepentingan bersama dari bangsa dan Negara, dan kepentingan pembangunan.

2. Istilah kepentingan umum dikaitkan dengan suatu keadaan, yaitu “dalam keadaan mendesak” untuk kepentingan umum, yaitu keadaan bencana alam, keadaan luar biasa yang membahayakan.

3. Istilah kepentingan umum (van algemeen belang) dikaitkan dengan situasi alternatif dari istilah “in het belang der wetenschap” lengkapnya, van algemeen belang der wetenschap dan wel om andere redenen van algemeen belang”

4. Istilah kepentingan umum digunakan berdampingan sebagai istilah yang berdiri sendiri terhadap istilah kepentingan keamanan dan pertanahan, dan istilah kepentingan dinas umum

Kepentingan merupakan tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi dan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.139 Di dalam masyarakat terdapat banyak sekali kepentingan-kepentingan, baik perorangan maupun kelompok, yang tidak dapat dihitung jumlahnya maupun jenisnya, yang kesemuanya itu harus dihormati dan dilindungi.140 Dengan demikian wajarlah kalau setiap orang atau kelompok mengharapkan atau menuntut kepentingan-kepentingannya itu dilindungi dan dipenuhi, yang sudah tentu tidak mungkin dipenuhi semua sekaligus, mengingat bahwa kepentingan-kepentingan itu banyak pula yang bertentangan satu sama lain.141

135 Ibid.136 Ibid137 Ibid. h. 177138 Ibid, h 176-177139 Sudikno Mertokusumo, Loc Cit.140 Ibid.141 Ibid.

49

Page 50: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Kalau kita melihat uraian dari Brugink dan Sudikno maka pengertian kepentingan umum itu dapat dikategorikan sebagai pengertian yang kabur yakni pengertian-pengertian yang intinya sendiri juga tidak jelas. Selanjutnya Bruggink menyatakan bahwa pengertian kabur bidang hukum sering dikenal, mengingat pembuat undang-undang kadang-kadang menggunakannya, contohnya antara lain kesusilaan yang baik, dapat diterima akal dan adil, ketertiban umum, kecermatan yang layak dalam pergaulan masyarakat dan sebagainya.142

Pengertian yang kabur mengakibatkan isi norma menjadi norma kosong atau klausula umum. Memaksakan untuk merumuskan pengertian kabur akan membawa konsekuensi normanya menjadi norma kabur atau menjadi norma kosong atau menjadi klausula umum. Oleh karena konsep kepentingan umum tidak bisa didefinisikan secara tepat, maka cara yang tepat untuk menguraikan kepentingan umum hanya dengan cara menemukan kriteria-kriteria dari kepentingan umum, hal ini untuk memudahkan pembentukan normanya. Dengan kriteria kepentingan umum yang tepat maka kepentingan umum dalam pengadaan tanah tidak menjadikan negara bertindak sewenang-wenang dan sebaliknya rakyat akan lebih terlindungi hak-haknya.143

Dalam pengadaan tanah diperlukan ganti rugi. Bentuk ganti rugi menurut Pasal 13 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah dirubah dengan Perpres 65 Tahun 2006 dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti rugi tersebut sebelumnya, dan bentuk lain yang disepakati. Mengingat bentuk ganti rugi itu tidak selalu dalam bentuk uang, kiranya dalam proses musyawarah perlu disampaikan pada mereka yang terkena proyek pengadaan tanah untuk dapat memilih dan menyepakati macam-macam bentuk ganti rugi yang ditawarkan.144

Dalam hal bentuk dan besarnya ganti kerugian diterima maka dapat dilakukan proses pelepasan atau penyerahan hak. Atas dasar pelepasan atau penyerahan hak tersebut maka status tanah berubah menjadi tanah negara dan selanjutnya instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan hak sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 Jo. Nomor 9 Tahun 1999. Atas dasar permohonan hak tersebut maka akan dikeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak. Dalam pemberian hak, jenis hak atas tanah yang diberikan disesuaikan dengan jenis hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh instansi pemerintah yang memerlukan.145 Setelah memperoleh Surat Keputusan Pemberian Hak dari

142 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidarta, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 63.

143 Gunanegara, Pengadaan Tanah Oleh Negara Untuk Kepentingan Umum, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2006, h.9.

144 Eman Ramelan, Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Makalah, Disampaikan Dalam Diskusi Panel Dewan Pakar Propinsi Jawa Timur tanggal 20 Nopember 2007.

145 Jenis Hak Atas tanah yang mungkin bagi instansi pemetintah adalah hak pakai dan hak pengelolaan. Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

50

Page 51: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

pejabat yang berwenang146 maka ada kewajiban bagi instansi yang memerlukan untuk mendaftarkan tanahnya atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Sebagaimana disebutkan bahwa dalam Keppres 55 Tahun 1993 dan Perpres 36 Tahun 2005 sebagaimana telah dirubah dengan Perpres 65 Tahun 2006 keduanya mengatur mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum skala kecil yakni apabila luas tanah yang diperlukan tidak lebih dari satu hektar. Dalam pengadaan tanah skala kecil dilakukan tanpa bantuan Panitia Pengadaan Tanah atau dapat pula dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah.

Kalau dibandingkan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum skala luas, dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum skala kecil ini diatur mengenai cara perolehan tanahnya yaitu melalui cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati. Hal tersebut diatur dalam Pasal 20 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah dirubah dengan Perpres 65 Tahun 2006. Dalam praktek tata cara jual beli dan tukar menukar yang dilakukan oleh pemerintah sering mengalami hambatan yuridis.

Sehingga dapat disimpulkan walaupun dalam pengaturan mengenai cara perolehan hak atas tanah antara pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam skala luas dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum skala kecil terdapat adanya perbedaan, namun dalam praktik kedua-duanya yang mungkin adalah dengan cara pelepasan atau penyerahan.

G.4. Konsep Perolehan TanahKonsep perolehan tanah terdapat dalam Keputusan Menteri Negara

Agraria/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal. Dalam Keputusan Menteri tersebut konsep perolehan tanah didefinisikan setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah melalui pemindahan hak atas tanah atau dengan cara penyerahan atau pelepasan hak atas tanah dengan pemberian ganti kerugian kepada yang berhak.

Perolehan tanah melalui pemindahan hak dilakukan apabila tanah yang bersangkutan sudah dipunyai dengan hak atas tanah yang sama jenisnya dengan hak atas tanah yang diperlukan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya dengan ketentuan bahwa apabila perusahaan yang bersangkutan menghendaki, hak atas tanah tersebut dapat juga dilepaskan untuk kemudian dimohon hak sesuai ketentuan yang berlaku (Pasal 3 ayat (2)). Pemindahan yang dimaksudkan pasal ini yang mungkin adalah dengan cara jual beli atau tukar menukar. Sedangkan perolehan tanah melalui penyerahan atau pelepasan hak dilakukan apabila tanah yang diperlukan dipunyai dengan hak milik atau hak lain yang tidak sesuai dengan jenis hak yang diperlukan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya, dengan ketentuan bahwa jika yang diperlukan adalah tanah dengan HGB, maka apabila perusahaan yang bersangkutan menghendaki, perolehan tanahnya dapat dilakukan melalui pemindahan hak dengan

146 Pejabat yang berwenang tergantung dari luas tanah yang diperlukan dan jenis hak yang diberikan, diatur dalam Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

51

Page 52: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

mengubah hak atas tanah tersebut menjadi HGB menurut ketentuan dalam keputusan ini (Pasal 3 ayat (3)). Ketentuan terakhir ini dimungkinkan dengan terlebih dahulu melakukan perubahan hak. Setelah hak atas tanahnya sesuai dengan hak atas tanah yang diperlukan maka baru dilakukan jual beli.

Ketentuan ini tidak terlepas dari ketentuan adanya bermacam-macam jenis hak atas tanah yang masing-masing jenis hak atas tanah tersebut telah ditentukan siapa yang berhak atas jenis hak atas tanah tersebut. Sehingga cara yang dilakukan tentu akan disesuaikan dengan jenis hak dan subyek yang memerlukan hak atas tanah tersebut.

G.5. Konsep Hukum Pencabutan Hak Atas Tanah Setelah Indonesia merdeka tidak ada peraturan yang mengatur baik

pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah. Atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 maka peraturan yang ada dan berlaku pada saat itu tetap dapat diberlakukan sepanjang belum dibuat yang baru dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945. Dengan adanya ketentuan tersebut maka ketentuan pembebasan tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yang diatur dalam Gouvernements Besluit 1927 sebagaimana telah dirubah dengan Gouvernements Besluit 1932 dan peraturan pencabutan tanah sebagaimana diatur dalam Stb. 1920 nomor 574 dinyatakan tetap berlaku.

Pada tahun 1960 dengan lahirnya UUPA tidak diatur secara tegas mengenai pembebasan tanah. Sedangkan pencabutan tanah secara tegas diatur dalam UUPA. Dalam Pasal 18 UUPA disebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Dari ketentuan Pasal 18 UUPA tersebut maka dapat dikatakan bahwa pencabutan hak atas tanah tersebut dapat dilakukan sepanjang tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum.

Sebagai peraturan lebih lanjut maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, Lembaran Negara (LN) Tahun 1961 Nomor 288, Tambagan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2324. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tersebut maka ketentuan mengenai pencabutan tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana diatur dalam Onteigeningsordonnantie (Stb. 1920 Nomor 574) dinyatakan tidak berlaku.

Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 ini pada dasarnya tetap mengedepankan adanya usaha-usaha musyawarah untuk mencapai kesepakatan, sehingga apabila terjadi kesepakatan tentu tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Sebagaimana diuraikan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 maka jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan yang empunya. Tetapi cara yang demikian itu tidak selalu dapat membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang

52

Page 53: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

mempunyai tanah minta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan untuk itu. Oleh karena kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan orang perorang, maka jika tindakan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalam keadaan memaksa yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan.

Jelaslah bahwa pencabutan hak adalah jalan yang terakhir untuk memperoleh tanah dan atau benda-benda lainnya yang diperlukan untuk kepentingan umum. Dalam menjalankan pencabutan hak atas tanah, kepentingan pihak yang mempunyai hak atas tanah tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 ini dimuat jaminan-jaminan berupa pemberian ganti kerugian yang layak dan harus pula dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. Oleh karena mencabut hak seseorang atau badan hukum maka harus diatur dalam bentuk Undang-Undang.

Pada tahun 1973 dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya. Suatu kegiatan yang dapat dikategorikan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut:

a. Kepentingan bangsa dan negara, dan/ataub. Kepentingan masyarakat luas, dan/atauc. Kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau d. Kepentingan pembangunan.

Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum tersebut meliputi bidang: pertanahan, pekerjaan umum, perlengkapan umum, jasa umum, keagamaan, ilmu pengetahuan dan seni budaya, kesehatan, olah raga, keselamatan umum terhadap bencana alam, kesejahteraan sosial, makam/kuburan, pariwisata dan rekreasi, serta usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.

Dalam peraturan pencabutan hak atas tanah tersebut diatas memberi wewenang kepada Presiden untuk melakukan pencabutan hak. Jadi hanya Presiden saja yang berwenang melakukan pencabutan hak atas tanah setelah mendengarkan pertimbangan dari Menteri Agraria (saat ini Kepala Badan Pertanahan), Menteri Kehakiman (saat ini Menteri Hukum Dan HAM) dan Menteri yang bersangkutan. Ini berarti hanya presiden yang mempertimbangkan dan menetapkan apakah benar kepentingan umum mengharuskan dilakukannya pencabutan hak atas tanah. Presiden juga yang menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar kepada yang berhak. Hanya jika yang berhak itu tidak bersedia menerima ganti kerugian yang ditetapkan oleh Presiden, karena dianggap kurang layak, maka pemegang hak atas tanah dapat minta banding kepada Pengadilan Tinggi, agar Pengadilan Tinggi yang menetapkan jumlah ganti kerugian. Sengketa ganti kerugian di Pengadilan Tinggi tersebut tidaklah menghentikan proses pencabutan hak. Akan tetapi sengketa di

53

Page 54: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Pengadilan Tinggi itu hanya untuk menentukan besarnya ganti kerugian. Dengan demikian apabila Surat Keputusan Presiden mengenai pencabutan hak telah dikeluarkan, maka pelaksanaan pencabutan hak tidak dapat dihalang-halangi.

Berdasarkan Pasal 18 UUPA maka pencabutan hak atas tanah hanya diperuntukkan bagi kepentingan umum. Keharusan untuk kepentingan umum ini tentu memberikan kewenangan kepada pemerintah sebagai pelakunya.

Sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa tindakan pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan umum dan memperhatikan serta melindungi kepentingan umum, sedangkan di dalam masyarakat banyak terdapat kepentingan-kepentingan, maka dari sekian banyak kepentingan-kepentingan harus dipilih dan dipastikan ada kepentingan-kepentingan yang harus didahulukan atau diutamakan dari kepentingan-kepentingan yang lain.147 Jadi kepentingan umum adalah kepentingan yang harus diutamakan dan didahulukan dengan tetap memperhatikan proporsi pentingnya dan tetap menghormati kepentingan-kepentingan lain, namun dalam hal ini tidak berarti bahwa ada kewerdaan atau hierarkhi yang tetap antara kepentingan yang termasuk kepentingan umum dan kepentingan lainnya.148 Dengan kenyataan seperti ini maka bisa terjadi adanya perubahan yang dulu masuk kriteria kepentingan umum, berubah menjadi bukan untuk kepentingan numum. Perubahan perubahan yang ada telah nampak dalam peraturan perundang-undangan kita. Misalnya kriteria dan kegiatan yang termasuk kepentingan umum dalam Inpres 9 Tahun 1973 berbeda dengan yang ada pada Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dan lain pula dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006.

Dengan berbagai kriteria yang ada maka kepentingan umum selalu merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, namun tidak semua kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah itu termasuk kepentingan umum. Bahkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dimungkinkan kegiatan yang dilakukan oleh pihak swasta dapat dilakukan pencabutan hak. Sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Umum 4 huruf b Undang Undang Nomor 20 Tahun 1961 disebutkan bahwa:

” Umumnya pencabutan hak diadakan untuk keperluan usaha-usaha Negara (Pemerintah Pusat dan Daerah), karena menurut Pasal 18 UUPA hal itu hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum. Tetapi biarpun demikian, ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan untuk, sebagai perkecualian, mengadakan pula pencabutan hak guna pelaksanaan usaha-usaha swasta, asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum dan tidak mungkin diperoleh tanah yang diperlukan melalui persetujuan dengan yang empunya. Sudah barang tentu usaha swasta tersebut rencananya harus disetujui Presiden dan sesuai dengan pola pembangunan nasional semesta berencana. Contoh dari pada kepentingan umum itu misalnya pembuatan jalan raya, pelabuhan, bangunan untuk industri dan pertambangan, perumahan dan

147 Sudikno Mertokusumo II, Loc Cit.148 Ibid.

54

Page 55: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

kesejahteraan rakyat serta lain-lain usaha dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional semesta berencana. Jika untuk menyelesaikan suatu soal pemakaian tanah tanpa hak oleh rakyat, Pemerintah memandang perlu untuk menguasai sebagian tanah kepunyaan pemiliknya, maka jika pemilik itu tidak bersedia menyerahkan tanah yang bersangkutan atas dasar musyawarah, soal tersebut dapat pula dianggap sebagai suatu kepentingan umum untuk mana dapat dilakukan pencabutan hak.”

Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 tersebut di atas sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Permendagri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Permendagri Nomor 2 Tahun 1976 itu adalah untuk merangsang pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan dipandang perlu adanya bantuan fasilitas dari pemerintah yang berbentuk jasa-jasa dalam pembebasan tanah rakyat dalam rangka penyediaan tanah, untuk pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas-fasilitas sosial. Atas dasar Permendagri tersebut maka Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II, dan IV Permendagri Nomor 15 Tahun 1975. Dengan ketentuan tersebut maka pihak swasta dalam rangka pembebasan hak atas tanah dapat menggunakan acara yang ada dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, dengan minta bantuan Panitia Pembebasan Tanah. Dengan keluarnya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 maka kedua Permendagri tersebut dinyatakan tidak berlaku. Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tersebut secara tegas disebutkan bahwa untuk kepentingan umum pihak yang melakukan kegiatan hanyalah pemerintah selanjutnya dimiliki oleh pemerintah dan tidak untuk mencari keuntungan.

Dari uraian tersebut maka Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, Perrmendagri Nomor 2 Tahun 1976 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 sebenarnya membuka peluang bagi pihak swasta untuk melakukan kegiatan usaha di bidang yang masuk kategori kepentingan umum. Dengan tidak berlakunya kedua Permendagri tersebut namun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 masih berlaku, maka dengan demikian dimungkinkan pihak swasta terlibat dalam kegiatan untuk kepentingan umum.

H. Analisis Terhadap Konsep Hukum Penyediaan Tanah, Pembebasan Tanah, Pengadaan Tanah, Perolehan Tanah Dan Pencabutan Hak Atas Tanah

Untuk menentukan konsep hukum apa yang paling tepat digunakan maka maka terlebih dahulu kita harus mengkajinya dari hubungan hukum antara negara dengan tanah dalam hukum pertanahan di Indonesia. Sebagaimana diuraikan dimuka

55

Page 56: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

bahwa hubungan antara negara dengan tanah adalah hubungan penguasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Jo. Pasal 2 UUPA. Atas dasar hubungan tersebut maka negara dapat memberikan hak-hak atas tanah baik pada orang-orang ataupun badan hukum. Dengan demikian maka terhadap bidang tanah yang sudah ada haknya maka disebut tanah hak, sedangkan tanah yang sama sekali tidak ada haknya disebut dengan tanah negara.

Istilah tanah negara berawal pada zaman Hindia Belanda. Sesuai dengan konsep hubungan antara penguasa (Pemerintah Hindia Belanda) dengan tanah yang berupa hubungan kepemilikan, maka dikeluarkanlah suatu pernyataan yang dikenal dengan nama Domein Verklaring149

Teori Domein yang berintikan pemilikan negara atas tanah ini lahir sebagai hasil revitalisasi hubungan feodalistik pada masa sebelumnya yang telah dimanfaatkan oleh Vereenigde Oost Indesche Compagnie (VOC) dan begitu juga pada masa pemerintahan Raffles (1811-1816), dan selanjutnya diperkuat dengan domein verklaring dalam Agrarisch Besluit (Stb. 1870 No. 118) sebagai aturan pelaksana dari Agrarische Wet (stb. 1870 N. 55), bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa itu tanah eigendomnya, adalah domein negara.150

Dalam praktik pelaksanaan perundang-undangan pertanahan, domein verklaring ini berfungsi sebagai landasan hukum bagi pemerintah yang mewakili negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam BW seperti hak erfpacht dan hak opstal. Selain itu juga berfungsi di bidang pembuktian pemilikan.151

Akibat adanya domein verklaring ini banyak merugikan hak atas tanah yang dipunyai oleh rakyat sebagai perseorangan serta hak ulayat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat, karena berbeda dengan tanah-tanah hak barat, di atas tanah-tanah hak adat tersebut pada umumnya tidak ada alat bukti haknya.152 Dalam konsep domein negara tersebut maka tanah-tanah hak milik adat tersebut sebagai tanah negara tidak bebas (onvrij landsdomein), karena sudah dilekati dengan suatu hak, tetapi di luar itu, semua tanah termasuk hak ulayat disebut sebagai tanah negara bebas (vreij landsdomein).153

Setelah Indonesia merdeka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Peraturan ini dikeluarkan pada masa Undang-Undang Dasar Sementara. Pada masa ini belum lahir UUPA, sehingga tanah negara yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini adalah tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Agrarisch Besluit.

Latar belakang diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 adalah untuk mengatur kembali kesimpangsiuran dalam urusan penguasaan tanah

149 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Negara, Tulisan Untuk SKH Kompas, Minggu IV Agustus 1994

150 Lilis Nur Faizah, op. cit, h. 2 151 Boedi Harsono, op. cit, h. 43.152 Maria S.W Sumardjono, op. cit, h. 2.153 Ibid.

56

Page 57: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

negara pada umumnya. Kekacauan itu diawali pada masa pendudukan Jepang. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum angka 5 Peraturan Pemerintah Nomer 8 Tahun 1953 bahwa:

„Untuk melancarkan usaha-usaha peperangan, berbagai jawatan dari pemerintah pendudukan Jepang diberi keleluasaan penuh untuk mengatur kepentingannya masing-masing. Akibatnya ialah bahwa dalam urusan tanah, jawatan itu berbuat sekehendak sendiri dengan mengabaikan peraturan-peraturan yang ada. Banyaknya tanah-tanah negara yang dengan begitu saja dipergunakan untuk keperluan yang menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan semula atau dipindah-pindahkan dari tangan jawatan satu ke tangan jawatan yang lain, dengan tidak melalui acara penerimaan dan penyerahan yang resmi. Banyak pula tanah-tanah negara yang dibiarkan terlantar oleh jawatan yang tidak membutuhkan lagi. Selain dari pada itu sering juga terjadi pembelian-pembelian tanah dari penduduk yang tidak saja dilakukan menurut peraturan-peraturan yang ada melainkan kemudian pun tidak diketahui jawatan manakah yang menguasainya“.

Ternyata tindakan-tindakan berbagai jawatan yang tidak menunjukkan garis-garis kebijaksanaan yang sama itu berlanjut hingga sesudah berakhirnya pendudukan Jepang. Kesimpang-siuran urusan penguasaan tanah negara pada umumnya tidak dapat diatasi dengan Stb. 1911 Nomor 110. Satu-satunya cara adalah dengan membentuk peraturan baru untuk mengatur kembali kesemrawutan urusan penguasaan tanah-tanah negara. Oleh karena itu diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953.

Dalam pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 disebutkan bahwa tanah negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Lebih lanjut diuraikan dalam penjelasan umum angka 1 Peraturan Pemerintan Nomor 8 Tahun 1953 yang menyebutkan:

„Menurut domeinverklaring yang antara lain dinyatakan di dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit, semua tanah yang bebas sama sekali dari pada hak-hak seseorang (baik yang berdasar atas hukum adat asli Indonesia, maupun yang berdasar atas hukum barat) dianggap menjadi „vrij landsdomein" yaitu tanah-tanah yanag dimiliki dan dikuasai penuh oleh negara. Tanah- tanah demikian itulah yang di dalam Peraturan Pemerintah ini disebut „tanah negara“

Maria S.W. Sumardjono mengatakan bahwa dalam peraturan pemerintah tersebut yang dimaksud dengan tanah negara adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh negara yang meliputi semua tanah yang sama sekali bebas dari hak-hak perorangan, baik yang berdasarkan hukum adat maupun hukum barat. Penguasaan tanah negara diletakkan dalam satu tangan, dan instansi yang diserahi tugas tersebut adalah Kementerian Dalam Negeri. Sebagai konsekuensinya maka tanah-tanah negara yang tidak diperlukan lagi atau tidak dipergunakan lagi oleh

57

Page 58: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

instansi yang sesuai dengan tugasnya maka harus dikembalikan kepada Menteri Dalam Negeri. 154

Setelah lahirnya UUPA maka sebagaimana diuraikan dalam sub bab di atas, maka hubungan antara negara dengan tanah bukan hubungan kepemilikan akan tetapi hubungan penguasaan. Dengan lahirnya UUPA ini menurut Maria S.W. Sumarjono yang dimaksud tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan serta tanah ulayat dan tanah wakaf.155 Adapun ruang lingkup tanah negara meliputi:156

a. Tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya.b. Tanah-tanah yang berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang

lagi.c. Tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris.d. Tanah-tanah yang ditelantarkane. Tanah-tanah yang diambil untuk kepentingan umum sesuai dengan tata

cara pencabutan hak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan pengadaan tanah yang diatur dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993 (sekarang Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana diubah dengan Perpres 65 Tahun 2006).

Tanah-tanah yang diserahkan oleh pemiliknya menjadi tanah negara sering terjadi dalam kegiatan perolehan hak atas tanah yang mana pihak yang memerlukan tanah tidah dapat menjadi subyek hak atas tanah yang diperlukan.

Untuk tanah-tanah yang berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang lagi ini berkaitan dengan tanah-tanah yang dibatasi jangka waktu misalnya HGU, HGB, dan hak pakai yang terbatas waktunya. Pemegang hak mempunyai hak untuk mengajukan perpanjangan manakala jangka waktunya berakhir. Akan tetapi apabila pemegang hak tidak mengajukan permohonan perpanjangan hak, apabila tanah tersebut berasal dari tanah negara maka akan kembali menjadi tanah negara. Demikian pula dalam hal pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris.

Dalam kaitannya dengan tanah terlantar telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010. Berdasarkan peraturan tersebut yang menjadi obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, dan Hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Terhadap tanah-tanah tersebut dapat diusulkan oleh Kepala Kanwil BPN kepada Kepala BPN untuk di tetapkan sebagai tanah terlantar yang memuat juga penetapan hapusnya hak tersebut. Penetapan tersebut sekaligus memutuskan hubungan hukum dan selanjutnya ditegaskan sebagai tanah negara.

154 Ibid. h.3155 Ibid156 Ibid

58

Page 59: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

TANAH HAK

Pihak yang memerlukan tanah

TANAH NEGARA

Pengadaan hak atas tanah

Pelepasan Hak

Peralihan Hak Atas tanah

Dengan uraian tersebut maka tanah negara adalah benar-benar tanah yang bebas dalam arti tidak ada hak pihak lain di atasnya. Tanah-tanah inilah yang dapat diberikan kepada seseorang atau badan hukum yang memerlukan.

Dalam kaitannya dengan usaha untuk memperoleh hak atas tanah, maka dapat digambarkan skema sebagai berikut :

59

Page 60: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Perolehan Hak Atas Tanah

Dari uraian serta skema diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam usaha memperoleh hak atas tanah dapat dilakukan baik melalui tanah yang sudah ada haknya maupun yang belum ada hanya. Terhadap kegiatan untuk memperoleh hak atas tanah yang dilakukan dengan mengajukan permohonan hak di atas tanah negara maka konsep yang tepat adalah pengadaan hak atas tanah (garis bawah dari penulis). Pengadaan hak atas tanah ini saya katakan tepat karena yang dimohon adalah tanah negara, jadi tidak ada hak diatasnya. Sedangkan terhadap bidang tanah yang sudah ada haknya dilakukan dengan cara peralihan hak.

Ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985, Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presisen 65 Tahun 2006 dengan menggunakan konsep hukum pengadaan tanah menurut pendapat saya kurang tepat. Manusia tidak pernah mengadakan tanah, tanah diseluruh Indonesia sudah ada sebelumnya yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana diuraikan. Pasal 1 ayat 2 UUPA bahwa seluruh bumi, air, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Yang dimaksud tanah adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat 1 UUPA). Sedangkan yang dapat diadakan adalah hak atas tanah. Dengan demikian konsep pengadaan tanah adalah tidak tepat, sedangkan konsep pengadaan hak atas tanah hanya tepat digunakan apabila cara yang digunakan itu adalah melalui proses permohonan hak terhadap tanah negara.

Konsep pembebasan tanah sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 5 Tahun 1975 juga kurang tepat. Dalam Permendagri tersebut pembebasan tanah di definisikan melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. Definisi tersebut adalah lebih tepat digunakan untuk mendefinisikan pelepasan hak. Kegiatan pelepasan hak adalah bagian dari proses perolehan hak atas tanah.

Konsep penyediaan tanah yang didefinisikan setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah bagi keperluan perusahaan dengan memberi ganti kerugian kepada yang berhak, merupakan konsep yang kurang tepat. Menurut pendapat saya terdapat kontradiksi antara definisi dengan konsepnya. Konsep penyediaan

60

Page 61: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

memberikan pengertian kita bahwa tidak diperlukan usaha untuk mendapatkan atau untuk memperoleh hak atas tanah, karena sudah disediakan. Namun didalam definisinya menyebutkan kegiatan untuk mendapatkan tanah, yang tentunya ada usaha dan kegiatan untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut. Disisi lain dalam pembangunan khususnya pembangunan perumahan rasanya tidak ada tanah yang telah disediakan oleh pihak lain, akan tetapi pasti didahului oleh usaha-usaha untuk memperoleh hak atas tanah.

Konsep pencabutan hak atas tanah dapat dibenarkan dalam rangka usaha perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Jadi konsep pencabutan hak ini hanya ditujukan terhadap usaha perolehan hak atas tanah, terhadap bidang tanah yang sudah ada haknya dan kemudian dicabut untuk dijadikan tanah negara. Baru dilakukan upaya pengadaan hak.

Jadi dengan demikian konsep yang tepat digunakan dalam rangka memperoleh hak atas tanah adalah konsep perolehan hak atas tanah. Konsep perolehan hak atas tanah ini lebih luas apabila dibandingkan dengan konsep hukum pengadaan hak atas tanah. Karena konsep perolehan hak atas tanah bisa dilakukan terhadap tanah yang sudah ada haknya yaitu dengan cara peralihan hak misalnya jual beli atau tukar menukar dan dengan cara pelepasan hak yang ditindaklanjuti dengan permohonan hak. Sedangkan terhadap tanah negara langsung dapat dilakukan permohonan hak.

Definisi yang ada dalam Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam rangka Penanaman Modal adalah sudah tepat, akan tetapi konsep yang digunakan adalah kurang tepat karena karena menggunakan konsep perolehan tanah bukan perolehan hak atas tanah. Dalam pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri tersebut menyebutkan bahwa perolehan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah melalui pemindahan hak atas tanah atau dengan cara penyerahan atau pelepasan hak atas tanah dengan pemberian ganti kerugian kepada yang berhak.

Jadi dari berbagai konsep yang ada diatas dapatlah disimpulkan bahwa konsep perolehan hak atas tanah adalah konsep yang tepat karena konsep tersebut mencakup usaha perolehan hak atas tanah baik terhadap tanah yang berasal dari tanah negara ataupun tanah yang sudah ada haknya.

I. Konsep Ganti Rugi Dalam Perolehan Hak Atas TanahDalam peraturan perundang-undangan di Indonesia kita jumpai berbagai

peristilahan/konsep mengenai ganti rugi. Dalam UUPA, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973, dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993, Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 menggunakan istilah/konsep ganti kerugian. Sedangkan dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 dan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres 65 Tahun 2006 menggunakan istilah ganti rugi. Dalam peraturan tersebut yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman dan atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai

61

Page 62: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Sedangkan ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.

Dari kedua konsep tersebut menunjukkan adanya kesamaan yakni merupakan penggantian terhadap tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat adanya pengadaan tanah (yang dilakukan dengan cara pelepasan/penyerahan). Perbedaannya dalam konsep ganti rugi memberikan kewajiban kepada pihak yang memerlukan tanah bahwa penggantian tersebut dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.

Sebagaimana diuraikan diatas bahwa konsep perolehan hak atas tanah dibedakan untuk kepentingan umum maupun selain kepentingan umum. Dalam usaha perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum maka hanya dapat dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang sebelumnya didahului oleh adanya musyawarah untuk menentukan bentuk dan besarnya ganti kerugian. Dalam hal musyawarah tidak tercapai kesepakatan maka panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi dan menitipkan ganti rugi ke Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan (Pasal 10 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006). Berkaitan dengan penitipan ganti rugi ke pangadilan negeri (konsinyasi) sebelum adanya kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi jelas tidak dapat dibenarkan, karena syarat adanya konsinyasi terlebih dahulu harus ada hubungan hukum. Dengan belum tercapainya kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah maka berarti belum terjadi adanya hubungan hukum. Ketentuan mengenai konsinyasi diatur dalam Pasal 1404 BW yang menyebutkan:

”Jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang diutangnya, dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan.Penawaran yang sedemikian, diikuti dengan penitipan, membebaskan si berutang, dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undang-undang, sedangkan apa yang dititipkan secara itu tetap atas tanggungan si berpiutang.”

Dari ketentuan Pasal 1404 BW tersebut maka antara pihak debitor dan kreditor harus ada hubungan hukum. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 Pepres tersebut jelas merupakan perampasan hak karena pihak pemegang hak atas tanah

62

Page 63: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

belum menyetujui bentuk dan besarnya ganti rugi. Senada dengan uraian tersebut di atas Sri Hajati mengemukakan bahwa:157

”Ketentuan Pasal 10 ayat (2) Perpres Nomor 36 Tahun 36 tahun 2005 merupakan bentuk tidak adanya penghormatan terhadap hak atas tanah oleh Panitia Pengadaan Tanah padahal ini menjadi prinsip dalam Perpres 36 Tahun 2005. Upaya menitipkan ganti rugi ke Pengadilan Negeri merupakan bentuk kesewenang-wenangan Panitia Pengadaan Tanah terhadap pemegang hak atas tanah.”

Di dalam Perpres tersebut nampak adanya inkonsistensi dalam perolehan hak atas tanah yakni selain diatur mengenai konsinyasi diatur pula pemberian kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan Panitia Pengadaan Tanah dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai dengan kewenangannya disertai dengan penjelasan mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan tersebut. Jadi disisi lain memaksa pemegang hak atas tanah dengan cara menitipkan ganti rugi tapi disisi lain masih memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan keberatan.

Setelah mendengar dan mempelajari pendapat dan keinginan dari pemegang hak atas tanah serta pertimbangan Panitia Pengadaan Tanah, Bupati/Walikota, atau Gubernur, atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangannya mengeluarkan keputusan yang dapat mengukuhkan atau mengubah keputusan Panitia Pengadaan Tanah mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi yang akan diberikan. Apabila upaya penyelesaian yang ditempuh oleh Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri tetap tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan, maka Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.

Sedangkan untuk perolehan hak atas tanah selain kepentingan umum, apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan maka tidak dapat dilakukan pencabutah hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang nomor 20 Tahun 1961.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa dalam usaha perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum pemegang hak atas tanah akan dihantui suatu perasaan bahwa nantinya apabila tidak tercapai kesepakatan hak atas tanahnya akan dicabut. Sedangkan dalam perolehan hak tanah selain kepentingan umum, pemegang hak atas tanah tidak ada rasa ketakutan bahwa hak atas tanahnya akan dicabut. Jadi dalam perolehan hak atas tanah selain kepentingan umum benar-benar di dasarkan pada kesepakatan, dalam arti bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-

157 Sri Hajati, Beberapa Catatan mengenai Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005,Yuridika, Vol. 20, No. 5, Fakultas Hukum Unair, 2005 h.368-369

63

Page 64: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

masing, dan pernyataan pihak yang satu cocok dengan pernyataan yang lain.158 Jadi tidak ada tekanan sama sekali. Oleh karena itu tidak ada pula pihak yang merasa dirugikan. Berbeda dengan perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum, dimana instansi yang memerlukan punya kekuatan untuk menekan atau memaksa pemegang hak atas tanah untuk menyerahkan/melepaskan hak atas tanahnya. Sehingga dengan demikian tidak tepat menggunakan istilah/konsep ganti rugi ataupun ganti kerugian dalam perolehan hak atas tanah selain untuk kepentingan umum. Di dalam disertasi ini saya menawarkan adanya suatu konsep kompensasi untuk perolehan hak atas tanah selain kepentingan umum, sedangkan untuk perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum dapat digunakan konsep ganti rugi/ganti kerugian. (garis bawah dari penulis). Kompensasi sebenarnya berasal dari bahasa Inggris compensation yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah ganti rugi, akan tetapi konsep kompensasi ini saya tawarkan untuk membedakan bahwa dalam kompensasi ini digunakan dalam perolehan hak atas tanah selain kepentingan umum dan benar-benar didasarkan pada kesepakatan yang lahir tanpa adanya tekanan dan kekawatiran bagi pemegang hak atas tanah bahwa kalau tidak sepakat tanahnya akan dicabut.

Di dalam BW juga dikenal adanya konsep ganti kerugian, akan tetapi pengaturan mengenai ganti kerugian yang ada dalam BW adalah lebih luas, yakni ganti kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum dan wanprestasi maupun ganti kerugian tanpa adanya pelanggaran hukum dan tanpa adanya wanprestasi, misalnya ganti kerugian oleh perusahaan asuransi. J.H. Neuwenhuis mengemukakan pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.159 Dengan demikian ganti rugi adalah penggantian oleh pihak lain atas berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain tersebut. Ganti rugi lazimnya dalam bentuk sejumlah uang, tetapi dapat pula berbentuk lain.160 Sedangkan ganti rugi maupun kompensasi yang ada dalam perolehan hak atas tanah tanpa didahului adanya perbuatan melanggar hukum ataupun wanprestasi.

J. Perbandingan Konsep Hukum Dalam Perolehan Tanah Dengan MalaysiaSebagai suatu perbandingan perlu dikemukakan mengenai land acquaisition

di Malaysia. Pengaturan land acquaisition di Malaysia diatur dalam Land Acquisition Act 1960 sebagaimana telah direvisi pada tahun 1985. Di Malaysia land acquisition diterjemahkan dengan pengambilan tanah. Sebagaimana halnya di Indonesia, pengambilan tanah di Malaysia mengatur bahwa bagi pihak yang

158 J.H. Nieuwenhuia, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, Tanpa Penerbit, Surabaya, 1985.h.2.

159 Ibid. h. 57.160 Ibid. h.133.

64

Page 65: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

memerlukan tanah tersebut harus memberikan ganti kerugian. Hal ini sebagaimana di atur dalam Pasal 13 Land Acquisition Act yang menyebutkan bahwa:

1) No person shall be deprived of property save in accordance with the law2) No law shall provide for the compulsory acquisition or use of property

without adequate compensation.Di Malaysia Undang-Undang Pengambilan Tanah diperlukan karena dua

alasan yakni pemilik tanah tidak mau dipisahkan dari tanahnya berapa pun harga yang ditawarkan kepadanya dan selain itu juga karena tanah yang dikuasainya merupakan subyek kategori penggunaan tanah tertentu sedangkan pihak berwenang memiliki rencana yang berbeda terhadap tanah itu. Dengan adanya Undang-Undang Pengambilan tanah itu maka kedua masalah itu dapat diatasi dan dengan demikian program-program pembangunan pemerintah akan dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Sebagaimana dikemukakan oleh HJ. Salleh Hj. Buang bahwa a law providing for compulsory acquisition of private land is necessary because of two main reasons. Firstly, the owner is unwiling to part with his property whateger may be the price that he is offered, and secondly, the land to be acquired may be currently subject to a certain category of land use whilst the authorities might have a defferent pland for it. 161

Pengambilan tanah di Malaysia seperti halnya di Indonesia dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan tanah dalam rangka pelaksanaan pembangunan. Hanya saja di Indonesia pengadaan tanah dibedakan antara pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum. Di Indonesia pembedaan itu sangat nampak apabila ditinjau dari adanya pelaksana dari pengadaan tanah tersebut. Pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah. Sedangkan untuk pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum tidak diperlukan adanya bantuan dari Panitia Pengadaan Tanah.

Di Malaysia pembedaan itu tidak nampak. Dalam pengambilan tanah secara paksa dilakukan oleh otoritas negara. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Hj Salleh Hj. Buang bahwa In Malaysia , only the State Authority can acquired lands compulsorily.162 Teo Keang Sood dan Khaw Lake Tee mengemukakan bahwa The compulsory acquisition of land by the State Authority.163 Sedangkan pengambilan tanah yang dapat dilakukan oleh otoritas negara adalah untuk keperluan:

1) Bagi kepentinan umum2) Bagi seseorang atau perusahaan yang menjalankan sebuah pekerjaan

dimana menurut otoritas negara yaitu untuk kemanfaatan umum.3) Untuk tujuan pertambangan atau perumahan, pertanian, perdagangan atau

industri.

161 Hj. Salleh Hj. Buang, Malaysian Torrens System, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur , 2001 H. 263.

162 Ibid.163 Teo Keang Sood dan Khaw Lake Tee, Land Law in Malaysia, Case and Commentary,

Butterworths, second edition, Kuala Lumpur, Malaysia,1995 h,720.

65

Page 66: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Hal ini sebagaimana dimuat dalam pasal 3 Undang-Undang Pengambilan Tanah Tahun 1960 yang menyatakan bahwa land may be acquired by the State Authority which is needed:

1) For any public porpose2) By any person or corporation undertaking a work which in the opinion of

the State Authority is of public utility, or3) For the purpose of mining or for residential, agricultural, commercial or

industrial purposes.Berkaitan dengan cara penentuan ganti kerugian, pada tahap awal sebelum

melakukan kegiatan pengambilan tanah maka pihak yang memerlukan mengajukan rencana pembangunan tersebut kepada pihak yang berwenang. Apabila hal tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan di atas maka harus diumumkan dalam surat kabar yang isinya bahwa semua tanah yang tercantum dalam pengumuman tersebut akan digunakan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan dalam Pasal 3. Pengumuman tersebut berlaku selama 2 tahun. Dalam masa pengumuman itulah maka siapa yang merasa keberatan dapat mengajukan keberatan. Semua laporan dan keberatan yang disampaikan lebih dari batas waktu tersebut tidak berlaku. Sebagaimana dikemukakan oleh Hj. Saleh Hj. Buang Thereafter, the collector must prepare and submit to the state Authority a plan of the whole area of the lands needed for acquisition and a list threof, in accordance with Form C. When this has been done, and the State Authority has decided that any of leand referred to in section 7 are required for any of the purposes reffered to section 3 , a declaration in Form D must then be published in the Qazette.164A declaration made under section 8 (1) will lapse and cease to have any effect on the expiry of 2 years afte the date of the publicationin the Gazette.165

Ganti kerugian (compensation) yang dibayarkan harus dilakukan secara layak untuk semua pengambilan tanah. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang pengambilan tanah bahwa dalam menentukan kompensasi terhadap tanah yang dikuasai maka harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:166

a) Nilai pasar sebagaimana ditetapkan menurut pasal 1 dari skedul pertama Undang-Undang pengambilan tanah

b) adanya kenaikan nilai properti lain milik orang terkait yang mungkin bertambah penggunaannya terhadap tanah yang dikuasai

c) bila ada kerugian yang diderita atau mungkin dialami oleh seseorang dengan alasan besarnya tanah yang dikuasai dari propertinya yang lain.

d) Bila ada kerugian yang diderita atau mungkin dialami oleh seseorang dengan alasan bahwa pembelian tanahnya secara merugikan mempengaruhi propertinya yang lain atau pendapatannya.

e) Akibat dari pembelian tanahnya, bila ia dipaksa berpindah tempat atau berpindah usaha, maka harus ada biaya yang layak untuk kepindahannya

164 Hj. Salleh Hj. Buang, Op. Cit, h. 268.165 Ibid.166 Ibid. h. 275

66

Page 67: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

f) Bila hanya sebagian tanah yang dikuasai, segala tindakan yang dilakukan pihak terkait dalam membangun jalan, saluran, dinding, pagar atau fasilitas yang menguntungkan sebagian tanah yang tidak dikuasai, asalkan tindakan itu jelas dan dapat dilaksanakan.

Pasal 3 Skedul Pertama Undang-Undang pengambilan tanah menetapkan adanya hal-hal yang tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan jumlah kompensasi, yaitu :167

a. Tingkat kemendesakan pengambilan tanahb. Ada keengganan pemilik untuk berpisah dari tanahnya.c. Adanya kerugian yang dialami yang bukan merupakan penyebab perilaku yang

baik, bila ditimbulkan oleh seseorang secara pribadi.d. Terjadinya depresiasi nilai lahan yang dikuasai akibat penggunaan tanah ketika

tanah itu dikuasaie. Terjadinya kenaikan nilai tanah yang dikuasai yang menambah penggunaan tanah

ketika tanah itu dikuasaif. Timbulnya biaya tambahan atau biaya perbaikan tanah yang dikuasai yang terjadi

setelah tanggal penerbitan pengumuman menurut pasal 8, kecuali biaya tambahan atau biaya perbaikan dipersatukan untuk pemeliharaan bangunan, dan bila tanahnya berupa lahan pertanian, maka biaya tersebut dibutuhkan untuk pengolahan sampai panen.

Dalam hal pihak pemegang hak atas tanah tidak puas terhadap bentuk dan besarnya ganti kerugian maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.

Dari uraian tersebut maka nampak bahwa konsep pengambilan tanah (land acquisition) di negara Malaysia mencakup untuk kepentingan umum maupun selain kepentingan umum.

K. Perbandingan Konsep Hukum Dalam Perolehan Tanah Dengan BelandaDalam rangka pelaksanaan pembangunan di Belanda diatur usaha usaha

untuk memperoleh hak atas tanah, sebagaimana diatur dalam Buku 3 Titel 4 NBW. Dalam peraturan perundang-undangan Belanda ditemukan konsep hukum verkrijging. Dalam bahasa Inggris setara dengan acquisition. Di dalam Buku 3 Pasal 80 NBW disebutkan bahwa:168

1) Men kan goederen onder algemene en onder bijzondere titel verkrijgen.2) Men verkrijgt goederen onder algemene titel door erfopvolging en door

boedelmenging.3) Men verkrijgt goederen onder bijzondere titel door overdracht, door verjaring

en door onteigening en voorts op de overige bij landsverordening voor iedere soort aangegeven wijzen van rechtsverkrijging

4) Man verliest goederen op de voor iedere soort bij landsverordening aangegeven wijzen

167 Ibid h. 275-276168 Peter Haanappel,at all, The Civil Code Of The Netherlands Antilles And Aruba, Kluwer

Law International,2002,h.21

67

Page 68: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Dalam terjemahan bahasa Inggris 169

1) Property is acquired by general and by particular title.2) Property is acquired by general title through inheritance and by confusion of

patrimonies (intermixture of estate).3) Property is acquired by particular title by transfer, prescription, expropriation

and in any other manner of acquisition of rights provided by National Ordinance according to its type

4) Property is lost in the ways provided by National Ordonance according to its type.

Dari uraian Pasal 80 Buku 3 NBW tersebut maka perolehan hak (verkrijging/acquisition) dapat dikelompokkan menjadi dua yakni pertama, perolehan melalui hak umum yang dalam hal ini pewarisan dan kedua, perolehan melalui hak khusus yang terdiri dari pemindahan hak, karena keadaan daluarsa, dan karena pencabutan hak (onteigening/expropriation).

Onteigening/expropriation adalah merupakan bagian dari proses perolehan hak (verkrijging/acquisition) dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai ganti kerugian, yang dalam hal ini diperuntukkan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Neufeldt sebagaimana dikutip oleh Gerhard Navratil, Andrew U Frang mengemukakan bahwa expropriation is to take land from its ownwr: esp., to take for public use or in the public interest, as by right of eminent domain’.170 Dari pendapat tersebut jelas bahwa expropriation hanya digunakan untuk kepentingan umum saja. Dalam expropriation merupakan pengambilan hak atas tanah seseorang tanpa persetujuan pemilik untuk kepentingan umum dan diberikan ganti rugi. Sebelum prosedur expropriation dilakukan maka pemerintah berusaha memperoleh hak atas tanah melalui negosiasi dengan pemilik tanah. Jika dalam negosiasi tidak mendapatkan kesepakatan, maka prosedur expropriation diterapkan. 171

Sebagaimana diketahui pengaturan mengenai tanah masuk property law. Dalam Buku 5 NBW benda di bedakan antara benda bergerak (roerande zaken/moveable things) dan tidak bergerak (onroerende zaken/immoveable). Tanah masuk dalam benda tidak bergerak. Konsep utama dalam Hukum Properti adalah eigendom (kepemilikan), seperti dalam hukum Perancis atau Jerman. Berdasarkan Pasal 1 Buku 5 NBW, hak ini digolongkan sebagai ”hak paling komprehensif dimana seseorang bisa memiliki dalam suatu benda”,172

169 Ibid

170 Gerhard Navratil, Andew U Frank, Expropriation In The Simple Cadaster, university of Technology, Vienna, Austria, 2007, h.4.

171 Ibid172 Jeroen Chorus, Piet-Hein Gerver, Ewoud Hondius, Introduction to Dutch Law, Kluwer Law

International, 2006 h. 103

68

Page 69: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Sebelum NBW diberlakukan tahun 1992 maka sebenarnya pencabutan hak (onteigening) juga sudah diberlakukan. Onteigening yang berlaku sebenarnya didasarkan pada penghormatan yang sangat tinggi pada hak milik (eigendom). Sebagaimana diatur dalam Pasal 570 BW Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi. Hak milik atas sebidang tanah mengandung didalamnya, kepemilikan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah. Di atas tanah si pemilik tanah dapat mengusahakan segala macam tanaman dan mendirikan bangunan yang dikehendaki, dengan tanpa mengurangi beberapa pengecualian yang terdapat dalam bab keempat dan keenam Buku 2 BW. Sedangkan di bawah tanah pemegang hak boleh membuat dan menggali sesuka hati dan memiliki segala hasil yang diperoleh karena penggalian itu, dengan tidak mengurangi akan perubahan-perubahan yang kiranya harus di diadakan berhubung dengan perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang pertambangan, pengambilan bara, sampah terpendam dan sebagainya. (Pasal 571 BW). Ketentuan mengenai hak atas tanah di Belanda tersebut berbeda dengan yang ada dalam UUPA. Dalam UUPA pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanah tersebut demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung dengan penggunaan tanah tersebut, dalam batas batas yang ditentukan dalam UUPA dan peraturan yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat 2 UUPA).

Perbedaan tersebut diatas dapat dipahami karena terdapat perbedaan politik hukum pertanahannya juga berbeda. Setiap Negara mempunyai tujuan untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya, hanya saja di Indonesia untuk mencapai kemakmuran tersebut, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara. Jadi hubungan antara negara dengan tanah adalah hubungan penguasaan. Bahkan secara tegas disebutkan dalam Penjelasan Umum II angka (2) UUPA yang menyatakan bahwa UUPA berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak perlu dan tidaklah pada tempatnya bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat kalau Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia bertindak sebagai Badan Penguasa. Dengan ketentuan ini maka ada tanah-tanah yang sudah berupa tanah hak, ada tanah yang berstatus tanah Negara.

Hal ini sangat berbeda dengan yang ada di Belanda. Di Belanda setiap benda termasuk tanah pasti ada pemiliknya. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 520 BW, pekarangan dan kebendaan tak bergerak lainnya yang tidak terpelihara dan tiada pemiliknya, sepertipun kebendaan mereka yang meninggal dunia tanpa ahli waris atau yang warisannya telah ditinggalkan adalah milik negara..

69

Page 70: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Setelah berlakunya NBW keadaannya juga tidak jauh berbeda. Sehingga semua tanah di wilayah Belanda saat ini juga ada pemiliknya. Dalam hal tanah tidak ada pemiliknya maka menjadi milik otoritas wilayah pulau dimana benda itu berada. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Jo Pasal 26 Buku 5 NBW. Pasal 24 Buku 5 NBW menyebutkan “onroendere zaken die geen andere eigenaar hebben, behoren toe aan het eilandgebied waar zij zijn gelegen”.

Wilayah pulau meliputi pantai, tanah yang ada di perairan pedalaman dan juga pulau-pulau kecil dan daratan yang ada di wilayahnya. Dalam hal penggunaan wilayah tersebut perlu mendapat persetujuan oleh penguasa pulau. (Pasal 26 Buku 5 NBW).

Dari ketentuan yang ada baik dalam masa berlakunya BW maupun setelah berlakunya NBW, maka penghormatan hak milik atas tanah di Belanda sangat tinggi. Dengan begitu tingginya penghormatan hak milik seseorang maka proses onteigening-pun memerlukan prosedur yang sangat rumit.

Atas dasar ketentuan diatas maka dalam hal kegiatan perolehan tanah (land acquisition) untuk pembangunan maka dapat ditempuh melalui pemindahan hak yang dalam hal ini cara jual beli hak atas tanah atau melalui permohonan hak kepada pemilik tanah, yang kemudian diberikan dengan hak erfpacht.

Sedangkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tanah dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum ketika tidak tercapai kesepakatan mengenai ganti kerugian maka dilakukan upaya pencabutan hak atas tanah (onteigening/expropriation). Dari uraian di atas maka dalam kaitannya pengaturan kegiatan memperoleh hak atas tanah ditemukan ada dua konsep yaitu verkrijging/acquisition dan onteigening/expropriation.

III. PRINSIP HUKUM PEMBANGUNAN PERUMAHAN

A. Prinsip Pembangunan Perumahan Berwawasan Lingkungan Dan Berkelanjutan

Pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan adalah pembangunan berkelanjutan yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya173. Sedangkan pembangunan berkelanjutan dimaksudkan agar pembangunan yang dijalankan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.174

Setiap pembangunan yang dilakukan tentu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tentunya tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumber daya alam yang ada. Namun eksploitasi terhadap sumber daya alam yang

173 Benni Setiawan, Pembangunan Berwawasan Lingkungan , http://bennisetiawan. blogspot.com/2008/03/pembangunan-berwawasa.. Diakses tanggal 9 Juli 2019

174 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Cet. Kedelapan, Yogyakarta, 16 Juni 2005, h. 15

70

Page 71: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

tidak memperhatikan kemampuan dan daya dukung lingkungan mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan.175

Dalam melakukan pembangunan nasional perlu memperhatikan tiga pilar pembangunan berkelanjutan secara seimbang, hal ini sesuai dengan hasil Konverensi PBB tentang Lingkungan hidup yang diadakan di Stockholm tahun 1972 dan suatu Deklarasi Lingkungan Hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro Tahun 1992 yang menyepakati prinsip dalam pengambilan keputusan pembangunan harus memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia serta KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002 yang membahas dan mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan. 176 Tiga pilar tersebut meliputi bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. 177 Pembangunan berkelanjutan timbul dan berkembang karena timbulnya kesadaran bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat dilepaskan dengan kondisi lingkungan hidup.178

Dalam kaitannya dengan pembangunan perumahan maka tidak terlepas dari keberadaan tanah. Jumlah luas tanah dapat dikatakan tidak bertambah jika dibandingkan dengan pertambahan jumlah penduduk yang memerlukan tanah tersebut. Keadaan demikian akan menambah beban lingkungan hidup179

Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 prinsip ini terdapat dalam Pasal 3 dimana dalam penataan perumahan berdasarkan pada asas kelestarian lingkungan hidup demi menunjang pembangunan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.180

Dalam kaitannya dengan prinsip ini maka salah satu tujuan penataan perumahan adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Untuk itu diharapkan setiap warga negara mempunyai rumah yang layak dalam arti bangunan rumah yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuniannya. Lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur adalah lingkungan yang memenuhi persyaratan penataan ruang, persyaratan penggunaan tanah, pemilikan hak atas tanah dan kelayakan prasarana serta sarana lingkungannya.

Dalam kaitannya dengan pembangunan perumahan yang layak maka dikeluarkan berbagai kebijakan yang mana kebijakan tersebut dengan tetap memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat. Sehingga dalam pembangunan perumahan, rumah yang dibangun dapat dikelompokkan menjadi rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah.

175 Admin, Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah, http://geo.ugm.ac.id/archives/125 , diakses tanggal 9 Juli 2010

176 Ibid.177 Ibid178 Ibid.179 Benni Setiawan, Op. Cit. 180 Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992

71

Page 72: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Rumah sederhana adalah rumah tidak bersusun dengan luas lantai tidak lebih dari 70 M 2, yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling 54M2 sampai dengan 200 M2 dan biaya pembangunan per M2 tidak melebihi dari harga satuan per M2

tertinggi untuk pembangunan rumah dinas tipe C yang berlaku, yang meliputi rumah sederhana tipe besar, rumah sederhana tipe kecil, rumah sangat sederhana dan kavling siap bangun. Rumah menengah adalah rumah tidak bersusun yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling 54 M2 sampai dengan 600 M2 dan biaya pembangunan per M2 antara harga satuan per M2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas tipe C sampai dengan harga satuan per M2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas tipe A yang berlaku dan rumah tidak bersusun yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 200 M2 sampai dengan 600 M2 dan biaya pembangunan per M2

nya lebih kecil atau sama dengan harga satuan per M2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas tipe C yang berlaku, dengan luas lantai bangunan dan koefisien lantai bangunan yang diizinkan dalam rencana tata ruang yang berlaku. Sedangkan rumah mewah adalah rumah tidak bersusun yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling 54 M2 sampai dengan 2000 M2 dan biaya pembangunan per M2 diatas harga satuan per M2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas tipe A yang berlaku dan rumah tidak bersusun yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling antara 600 M2 sampai dengan 2000 M2 dan biaya pembangunan per M2 nya lebih kecil atau sama dengan harga satuan per M2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas tipe A yang berlaku, dengan luas lantai bangunan rumah disesuaikan dengan koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan yang diizinkan dalam rencana tata ruang yang berlaku.

Dengan adanya pengelompokan ini diharapkan akan terpenuhi berbagai kebutuhan masyarakat sesuai dengan kemampuan ekonomi dan sosial. Sehingga mereka yang berpenghasilan rendah akan tersedia rumah bagi mereka, demikian pula bagi mereka yang status ekonomi dan sosialnya menengah keatas juga telah tersedia rumah menengah dan mewah.

Untuk terciptanya keseimbangan pemenuhan rumah tersebut, maka diperlukan kebijakan yang mampu mengendalikan pembangunan perumahan agar selalu mengikuti ketentuan pembangunan perumahan dengan lingkungan hunian yang berimbang.

Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat selaku Ketua Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional Nomor 04/KPTS/BKP4N/1995 bahwa pembangunan perumahan dan permukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang bertujuan :

1. Mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman yang sehat, aman, serasi dan teratur.

2. Mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman yang terdiri dari rumah mewah, rumah menengah dan rumah sederhana agar dapat menampung dan terciptanya secara serasi berbagai kelompok masyarakat.

72

Page 73: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

3. Mewujudkan rasa kesetiakawanan sosial, rasa kekeluargaan, kebersamaan dan kegotong royongan antara kelompok masyarakat, dimana masyarakat yang mampu dapat membantu masyarakat yang kurang mampu melalui perusahaan pembangunan perumahan, khususnya dengan melaksanakan subsidi silang dari kavling tanah matang untuk rumah mewah dan menengah kepada kaveling tanah matang untuk rumah sederhana.

4. Lebih menjamin terciptanya target pembangunan perumahan dan permukiman, khususnya target pembangunan rumah sederhana.

Untuk mewujudkan lingkungan yang seimbang tersebut maka dalam membangun rumah sederhana, menengah dan mewah ditentukan perbandingan 6 untuk rumah sederhana, 3 untuk rumah menengah dan 1 untuk rumah mewah, dengan batasan sebagai berikut:181

1. Perusahaan pembangunan perumahan yang membangun rumah mewah wajib membangun rumah sederhana sekurang-kurangnya 6 kali banyaknya rumah mewah dan membangun rumah menengah sekurang-kurangnya 3 kali banyaknya rumah mewah yang dibangun. Rumah sederhana yang dibangun wajib pula memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya dua kali banyaknya rumah menengah yang dibangun.

2. Perusahaan pembangunan perumahan yang membangun rumah menengah tetapi tidak membangun rumah mewah wajib membangun rumah sederhana sekurang-kurangnya 2 kali banyaknya rumah menengah yang dibangun dan tidak diwajibkan membangun rumah mewah.

3. Perusahaan pembangunan perumahan yang membangun rumah sederhana saja tidak diwajibkan membangun rumah menengah dan/atau rumah mewah.

Dengan ada ketentuan ini maka setiap pengembang diharapkan ikut mewujudkan pembangunan perumahan rumah sederhana dengan tetap memperhatikan prinsip pembangunan berwawasan lingkungan.

B. Prinsip Pembangunan Perumahan Sesuai Rencana Tata Ruang WilayahAdanya perkembangan jumlah penduduk yang tinggi dan angka pertumbuhan

ekonomi yang tinggi khususnya di wilayah perkotaan mengakibatkan kebutuhan rumah yang layak makin lama makin bertambah. Peluang tersebut dimanfaatkan oleh berbagai pihak antara lain para pengembang untuk memperoleh tanah baik terhadap bidang tanah yang peruntukannya untuk bangunan maupun melakukan alih fungsi tanah menjadi tanah untuk perumahan, baik untuk bangunan rumah mulai dari rumah

181 Ketentuan Pasal 4 ayat 2 Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat selaku Ketua Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional Nomor 4/KPTS/BKP4N/1995 Tentang ketentuan lebih lanjut surat keputusan bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 648-384 tahun 1992, nomor 739/KPTS/1992, Nomor 90/KPTS/1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang.

73

Page 74: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

yang bertipe sederhana maupun yang bertipe rumah mewah182. Walaupun sebenarnya tujuan pembangunan perumahan ini untuk menyediakan tempat yang layak huni, namun sering kali pembangunan perumahan ini membawa dampak yang kurang baik karena tidak direncanakan secara terintegrasi sesuai dengan rencana tata ruang wilayah setempat.183

Rencana tata ruang belum sepenuhnya menjadi perhatian serius pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Perubahan terhadap konsep rencana tata ruang wilayah seringkali berubah dengan berubahnya struktur organisasi dalam pemerintahan yang memegang kekuasaan, akibatnya perencanaan pembangunan kota yang berkelanjutan sangat sulit diwujudkan, yang pada akhirnya timbul kesemrawutan pembangunan di daerah perkotaan tidak terhindari.184

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 bahwa rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN) merupakan pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional, penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional; mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah provinsi, serta keserasian antar sektor. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan strategis nasional dan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memadukan dan menyerasikan tata guna tanah, tata guna udara, tata guna air, tata guna sumber daya alam lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi dan disusun melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alam dan lingkungan sosial. Untuk itu penyusunan rencana tata ruang wilayah nasional di dasarkan pada upaya untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah nasional.

Tujuan negara dalam menyelengarakan penataan ruang adalah untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah maupun Pemerintah Daerah.

Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah untuk dapat menjalankan tugasnya maka diperlukan adanya kewenangan. Kewenangan yang dimiliki oleh badan administrasi atau pejabat dalam melakukan tindakan nyata, mengadakan pengaturan ataupun mengeluarkan keputusan dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh secara atribusi, delegasi maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum tata negara. Pada delegasi menegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada badan pemerintah yang lain. Adapun mandat tidak

182 Zuingli Santoso Bandaso, Mengatur Perumahan Berdasarkan RTRW, http://www. batukar.info/komunitas/articles/mengatur-perumahan-ber. diakses Tanggal 20 Agustus 2010. Pukul 11.00. WIB

183 Ibid. 184 Ibid.

74

Page 75: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian kewenangan, akan tetapi pejabat yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Di dalam pemberian mandat, pejabat yang memberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandatory (pemberi mandat).185

Apabila ditinjau dari sumber-sumber kewenangan tersebut di atas maka kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dalam menyelenggarakan penataan ruang adalah merupakan kewenangan yang diperoleh atas dasar ketentuan hukum tata negara yakni didasarkan pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan dapat mewujudkan pemanfatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang. Dengan demikian izin lokasi merupakan salah satu filter untuk tercapainya harapan tersebut.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 Izin lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya. Sebelumnya ketentuan izin lokasi diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 tahun 1993. Dalam Peraturan tersebut izin lokasi diberikan batasan yakni izin yang di berikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah sesuai dengan Tata Ruang Wilayah, yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak.

Atas dasar Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 tahun 1993 tersebut Maria SW Sumardjono mengemukakan bahwa dalam kenyatannya terdapat beberapa hal berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan izin lokasi, pertama, perolehan tanah mengalami berbagai kendala sehingga izin lokasi mungkin telah habis jangka waktunya, tetapi perolehan tanahnya belum seluruhnya diselesaikan; kedua, dapat juga terjadi bahwa diatas areal tanah yang sudah dikuasai itu pembangunannya belum dimulai atau baru sebagian dibangun dengan berbagai alasan; ketiga kemungkinan juga dapat terjadi bahwa perusahaan telah merencanakan untuk memperoleh tanah tetapi kegiatannya dilakukan secara parsial sehingga berakibat terhadap pemegang hak atas tanah yang tidak mempunyai kepastian kapan tanahnya akan dibeli oleh pengusaha yang bersangkutan; keempat, jarang sekali permohonan izin lokasi itu ditolak karena yang diperlukan pada umumnya persyaratan yang bersifat formal.186

185 Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, 2002, h. 65-66.

186 Maria SW Sumardjono I, Op Cit, h. 40.

75

Page 76: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Dengan berlakunya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 diatur mengenai jangka waktu izin lokasi sebagai berikut: Untuk izin lokasi seluas sampai dengan 25 hektar diberikan jangka waktu selama 1 tahun, untuk izin lokasi seluas lebih dari 25 hektar sampai dengan 50 hektar diberikan jangka waktu 2 tahun, dan untuk izin lokasi seluas lebih dari 50 hektar diberikan jangka waktu 3 tahun. Perolehan tanah oleh pemegang izin lokasi harus diselesaikan dalam jangka waktu izin lokasi. Apabila jangka waktu izin lokasi sudah habis dan perolehan tanahnya belum selesai, maka izin lokasi dapat diperpanjang selama satu tahun dengan syarat tanah yang sudah diperoleh mencapai lebih dari 50% dari luas tanah yang ditunjuk dalam izin lokasi. Dari ketentuan tersebut maka secara akontrario dapat dikatakan bahwa apabila perolehan tanahnya tidak lebih dari 50% maka perolehan tanahnya tidak dapat dilakukan perpanjangan, dan dengan demikian pula bahwa perolehan tanahnya harus dihentikan. Namun dalam ketentuan berikutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 menyebutkan bahwa apabila perolehan tanah tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu izin lokasi, termasuk perpanjangannya, maka perolehan tanah tidak dapat lagi dilakukan oleh pemegang izin lokasi dan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh dilakukan tindakan sebagai berikut:

a. Dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal dengan penyesuaian mengenai luas pembangunan, dengan ketentuan bahwa apabila diperlukan masih dapat dilaksanakan perolehan tanah sehingga diperoleh bidang tanah yang merupakan satu kesatuan bidang.(garis bawah dari penulis)

b. Dilepaskan kepada perusahaan atau pihak lain yang memenuhi syarat.(garis bawah dari penulis)

Dari apa yang digaris bawahi tersebut diatas maka nampak ada ketidak konsistenan dalam pengaturan pembatasan waktu dan perpanjangan izin lokasi, yakni disisi lain ada ketentuan yang membatasi jangka waktu dan perpanjangannya tetapi disisi lain diatur kemungkinan untuk tetap dilakukannya perolehan tanah walaupun jangka waktu izin lokasi telah habis.

Peraturan tersebut juga dapat menimbulkan berbagai interpretasi karena adanya ketentuan mengenai “dilepaskan” kepada perusahaan atau pihak lain yang memenuhi syarat. Penggunaan konsep pelepasan tersebut jelas kurang tepat. Pelepasan hak merupakan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan hak atas tanahnya yang berakibat bahwa status tanah tersebut berubah menjadi tanah negara. Padahal perusahaan tersebut belum tentu mempunyai hak atas tanah tersebut, dalam hal ini status tanahnya masih status tanah negara, misalnya perusahaan tersebut memperolehnya dari pemegang hak sebelumnya adalah dengan cara pelepasan. Sehingga secara yuridis belum merupakan hak dari perusahaan yang memperoleh izin lokasi, sehingga tidak bisa dilepaskan. Maria SW Sumardjono mengemukakan bahwa izin lokasi tidak dapat dialihkan kepada pihak lain karena

76

Page 77: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

sifatnya yang “personal” dan dapat dibatalkan/dicabut oleh pemberi izin lokasi apabila syarat-syarat tertentu tidak dipenuhi.187

Untuk menghindari perbedaan persepsi tentang izin lokasi, maka pengertian izin lokasi perlu dipahami secara obyektif. Izin lokasi adalah tindakan hukum sepihak dari pemerintah yang memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk memperoleh tanah sesuai Tata Ruang Wilayah melalui cara-cara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, disamping memberikan kewajiban kepada pengusaha untuk menaati syarat-syarat yang tercantum dalam SK pemberian hak. 188

Adanya berbagai kesalahan persepsi terhadap pengertian izin lokasi terlihat dari berbagai penyalahgunaan izin lokasi oleh pemegangnya.

Pertama, izin lokasi dipandang sebagai hak oleh pemegangnya yang memberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum secara sepihak terhadap pemegang hak atas tanah untuk menguasai tanahnya.189 Ini berarti pemegang izin lokasi sudah merasa bahwa tanah yang ditunjuk dalam izin lokasi itu merupakan haknya, sehingga akan berusaha mematikan hak pemegang hak atas tanah untuk dapat melakukan perbuatan hukum apapun. Pemegang hak yang kurang memahami hal ini akan menjadi kurban. Kedua, terjadi kenyataan jual beli izin lokasi yang dilarang menurut SK Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 22/1993. Caranya tentu saja bukan melalui jual beli langsung, tetapi melalui cara pengambilalihan (akuisisi) perusahaan, dengan cara akuisisi saham atau dapat juga melalui penggabungan perusahaan atau merger.190

Bila tanah sudah dapat diperoleh, dapat terjadi kesenjangan antara perolehan tanah dengan pemanfaatannya disebabkan oleh berbagai faktor. Data yang ada menunjukkan bahwa total izin lokasi yang telah diterbitkan meliputi 3,026 juta hektar; untuk perumahan, seluas 74.735 hektar, pemanfaatannya 9 persen; untuk industri sejumlah 29.999 hektar, pemanfaatannya 9,6 persen; untuk jasa pariwisata 18.582 hektar, pemanfaatannya mencapai 16,2 persen.191

Izin lokasi hanya dibatasi untuk perusahaan yang memperoleh fasilitas penanaman modal, apakah dengan demikian perusahaan yang tidak memperoleh fasilitas penanaman modal tidak perlu izin lokasi. Penegasan ini penting demi mendapatkan kepastian hukum.

Sebagaimana diketahui bahwa Peraturan menteri negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 tahun 1999 memuat ketentuan umum mengenai izin lokasi, antara lain menyangkut pengertian izin lokasi, isi izin lokasi, kapan izin lokasi diperlukan, hak dan kewajiban pemegang izin lokasi, dan hak serta perlindungan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan atas tanah yang ditunjuk dalam izin lokasi, terutama para pemegang hak atas tanah.

187 Ibid, h.41.188 Ibid.189 Ibid.190 Ibid191 Ibid.

77

Page 78: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Peraturan tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan perkembangan yang terjadi sebelum peraturan tersebut dikeluarkan diperlukan adanya dukungan untuk memperlancar usaha melanjutkan rencana-rencana penanaman modal yang terhenti karena kekurangan modal akibat krisis ekonomi dan keperluan akan tercapainya koordinasi yang lebih baik dalam pemberian izin lokasi dengan pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah. Disamping itu juga dimaksudkan untuk mengakhiri kesalahan persepsi yang terjadi mengenai isi izin lokasi sehingga merugikan para pemilik tanah yang ditunjuk dalam izin lokasi.

Dalam peraturan tersebut ditentukan bahwa izin lokasi merupakan persyaratan yang perlu dipenuhi dalam hal suatu perusahaan akan memperoleh tanah dalam rangka penanaman modal. Maksud persyaratan ini adalah untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan-perusahaan dalam memperoleh tanah mengingat penguasaan tanah harus memperhatikan kepentingan masyarakat banyak dan penggunaan tanah harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku dan dengan kemampuan fisik tanah itu sendiri.

Sebelum keluarnya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 tersebut sering kali terjadi dalam praktik bahwa izin lokasi tersebut berlaku pula terhadap bidang tanah yang tidak diperuntukkan oleh perusahaan dalam rangka penanaman modal. Untuk itu keluarnya peraturan tersebut untuk meluruskan dan menegaskan bahwa izin lokasi hanya dipersyaratkan dalam rangka penanaman modal sebagaimana di atur dalam Pasal 2, dan sekaligus menetapkan dalam hal apa izin lokasi itu tidak diperlukan atau dianggap sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan karena maksud izin lokasi itu sudah terpenuhi (Pasal 2 ayat 2). Dengan ketentuan itu maka diharapkan adanya kejelasan mengenai kapan izin lokasi itu diperlukan dan kapan tidak diperlukan.

Mengenai luas tanah yang dapat ditunjuk dalam izin lokasi adalah seluas yang disetujui dalam persetujuan penanaman modal, agar penanaman modal tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Tentu dalam hal tidak dimungkinkan perolehan tanah sesuai dengan yang ditentukan dalam penanaman modal maka hal ini dapat diperoleh dengan luas yang lebih kecil.

Dalam peraturan mengenai izin lokasi juga tidak menyebutkan mengenai luas maksimum yang dapat ditunjuk dalam izin lokasi. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 diatur mengenai ketentuan luas maksimum tanah pertanian yang dapat dimiliki/dikuasai oleh orang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga. Namun dalam Undang-Undang tersebut tidak diatur mengenai ketentuan luas maksimum luas dan jumlah bidang tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya serta ketentuan mengenai luas maksimum tanah yang dapat dikuasai oleh badan hukum. Atas dasar hal tersebut maka pemberian luas maksimum tanah yang ditunjuk dalam izin lokasi ditujukan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999. Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa Izin lokasi dapat diberikan kepada perusahaan yang sudah mendapatkan persetujuan penanaman modal sesuai ketentuan yang berlaku untuk memperoleh tanah dengan luas tertentu sehingga

78

Page 79: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

apabila perusahaan tersebut berhasil membebaskan seluruh areal yang ditunjuk, maka luas penguasaan tanah oleh perusahaan tersebut dan perusahaan-perusahaan lain yang merupakan satu group perusahaan dengannya tidak lebih dari luasan sebagai berikut: Untuk usaha pengembangan perumahan dan permukiman:

a. Kawasan perumahan: 1 provinsi : 400 hektarSeluruh Indonesia : 4.000 hektar

b. Kawasan resort-perhotelan: 1 provinsi : 200 hektarSeluruh Indonesia : 2.000 hektar

Untuk keperluan itu maka pemohon izin lokasi diwajibkan untuk menyampaikan pernyataan tertulis mengenai luas tanah yang telah dikuasainya. Karena luas maksimum penguasaan tanah tersebut mengenai juga perusahaan lain yang merupakan satu group dengan perusahaan pemohon, maka pernyataan tertulis itu juga harus mengenai penguasaan tanah oleh perusahaan lain yang satu group dengan pemohon.

Terhadap perusahaan yang tidak menggunakan fasilitas penanaman modal maka tidak diperlukan izin lokasi, untuk itu maka demi melakukan kontrol agar pembangunan perumahan tersebut tidak bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ada, maka ada kewajiban agar sebelum membangun perusahaan tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB). IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan atau merawat bangunan sesuai dengan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis yang berlaku. Dengan adanya IMB ini akan terpantau apakah bangunan yang berdiri itu sudah sesuai dengan rencana tataruang yang ada.

Dalam kaitannya dengan penataan ruang, Budiman Arif mengemukakan bahwa tujuan pembangunan perumahan adalah menyelenggarakan pembangunan perumahan yang mengacu pada suatu kerangka penataan ruang wilayah, sehingga dapat berlangsung tertib, terorganisasi dengan baik serta sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.192 Sedangkan sasaran dari rencana pembangunan perumahan antara lain193:

a. Tersedianya rencana pembangunan perumahan di daerah yang aspiratif dan akomodatif, yang memudahkan penyelenggara pembangunan perumahant untuk mengacunya, yang dituangkan dalam suatu Rencana Pembangunan Perumahan

b. Tersedianya skenario dalam pembangunan perumahan yang memungkinkan pembangunan perumahan yang tertib dan terbuka peluang bagi setiap warga masyarakat untuk berperan serta secara aktif.

c. Terakomodasinya kebutuhan perumahan yang berkepastian hukum, terutama bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah.

192 Budiman Arif, Aplikasi Penataan Perumahan Dan Permukiman Masyarakat Dalam Penataan Ruang Kota Sesuai Kebijakan Pemerintah, http://www.penataanruang .net/taru/upload/ peper/sekjen140604.pdf. Diakses tanggal 20 Agustus 2010.

193 Ibid.

79

Page 80: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

d. Tersedianya informasi pembangunan perumahan yang dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijakan pemerintah.

C. Prinsip Peranserta Masyarakat Dalam Pembangunan PerumahanDalam rangka pembangunan perumahan diperlukan adanya peran serta aktif

dari berbagai pihak yang ada di masyarakat. Berkaitan dengan prinsip peran serta masyarakat, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 , Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan. Selanjunya dalam Pasal 29 disebutkan bahwa

1. Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

2. Pelaksanaan peran serta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan atau dalam bentuk usaha bersama.

Dalam Pasal 5 lebih menonjolkan adanya kewajiban bagi setiap warga negara untuk berperan serta, akan tetapi tidak dijelaskan bagaimana bentuk peran serta yang dimaksudkan Pasal 5 ayat (2) tersebut. Di dalam penjelasannya disebutkan cukup jelas. Sedangkan dalam dalam Pasal 29 mengatur hak bagi setiap warga negara untuk berperan serta. Hak dan kesempatan untuk berperan serta yang sebesar-besarnya tersebut meliputi kegiatan dalam proses pemugaran, perbaikan, peremajaan lingkungan dan pembangunan perumahan. Dalam proses pembangunan perumahan inilah jelas diperlukan usaha-usaha memperoleh tanah sehingga peran serta masyarakat tersebut dapat dilakukan dengan berperan aktif dalam menentukan bentuk dan besarnya kompensasi dalam perolehan hak atas tanah.

Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002, prinsip peran serta masyarakat tersebut telah dinormakan dalam pasal 42 ayat (1) yang menyebutkan bahwa peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dapat:

a. Memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraanb. Memberikan masukan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam

penyempurnaan peraturan, pedoman dan standar teknis di bidang bangunan gedung;

c. Menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang berwenang terhadap penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan, rencana teknis bangunan gedung tertentu, dan kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan;

d. Melaksanakan gugatan perwakilan terhadap bangunan gedung yang mengganggu, merugikan dan atau membahayakan kepentingan umum

Dari ketentuan tersebut nampak bahwa peran serta yang diatur dalam Pasal 42 tersebut tidak hanya ditujukan dalam kaitannya dengan ketertiban dalam pelaksanaannya akan tetapi juga sejak penyusunan peraturan sampai dengan pelaksanaan teknis pembangunan gedung. Selain itu masyarakat diupayakan untuk

80

Page 81: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

terlibat dan berperan aktif bukan hanya dalam rangka pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan bangunan gedung dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya. Perwujudan bangunan gedung juga tidak terlepas dari peran jasa konstruksi berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi baik sebagai perencana, pelaksana, pengawas atau manajemen konstruksi maupun jasa-jasa pengembangannya, termasuk jasa pengkaji teknis bangunan gedung. Apabila terjadi ketidaktertiban dalam pembangunan, pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan, maka masyarakat dapat menyampaikan laporan, masukan, dan usulan kepada Pemerintah Daerah setempat.

IV. PENORMAAN PRINSIP HUKUM DALAM PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DALAM PERATURAN DI BIDANG PERUMAHAN

A. Penormaan Prinsip Penghormatan Terhadap Hak Atas TanahSebagaimana disebutkan diatas bahwa dalam rangka penghormatan terhadap

hak atas tanah seseorang ataupun badan hukum maka hak atas tanah seseorang atau badan hukum tersebut tidak boleh dirampas. Dalam rangka pelaksanaan prinsip ini maka perusahaan pembangunan perumahan dalam rangka pengadaan tanah untuk pembangunan perumahan harus mendapat kesepakatan dari pihak pemegang hak atas tanah

Peraturan yang terkait dengan pelaksanaan pembangunan perumahan ditemukan pengaturannya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 Tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan, Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005.

Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 disebutkan bahwa dalam penetapan izin lokasi dan luas tanah yang dimaksud dalam Pasal 2 dicantumkan syarat-syarat antara lain:

a. Jangka waktu penyelesaian pembelian/pembebasan tanah diberikan secara bertahap selama 6 bulan sampai 1 tahun dan diperpanjang paling lama 1 tahun untuk setiap tahap jika terdapat alasan yang cukup kuat

b. Pembelian/pembebasan tanah dilakukan atas dasar musyawarah untuk mencapai kesepakatan.

c. Apabila tidak tercapai kesepakatan ganti rugi dapat ditempuh dengan cara menyediakan tempat penampungan bagi pemilik tanah yang terkena rencana proyek pembangunan atau mengikutsertakan pemilik tanah dalam bentuk penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah.

81

Page 82: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

d. Setelah dilakukan pembelian/pembebasan tanah wajib mengajukan permohonan pendaftaran/permohonan hak dalam waktu 6 (enam) bulan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun disertai dengan syarat-syarat yang lengkap kepada pejabat yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku.

Dari ketentuan pasal 8 tersebut diatas maka perolehan tanah dapat dilakukan dengan cara jual beli atau pembebasan. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan ganti rugi dapat ditempuh dengan cara menyediakan tempat penampungan bagi pemilik tanah yang terkena rencana proyek pembangunan atau mengikutsertakan pemilik tanah dalam bentuk penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. (garis bawah dari penulis).

Dengan adanya tahap pembelian atau pembebasan tanah yang dilakukan atas dasar musyawarah untuk mencapai kesepakatan maka nampak bahwa Permendagri Nomor 3 Tahun 1987 menurut pendapat saya telah menormakan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah, karena dalam kegiatan musyawarah didalamnya terdapat suatu proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, yang semuanya itu dilakukan dengan maksud untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan masalah-masalah lainnya yang terkait dengan kegiatan perolehan tanah atas dasar kesukarelaan antara pihak yang mempunyai tanah, tanaman bangunan dan benda-benda yang terkait lainnya dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah. Dalam kaitannya dengan musyawarah ini Rachmadi Usman menyamakan konsep berunding dan negosiasi.194

Hanya saja negosiasi yang dikemukakan oleh Rachmadi Usman adalah upaya penyelesaian sengketa.195 Padahal dalam negosiasi tidak harus didahului adanya sengketa.

Musyawarah merupakan suatu proses diantara dua atau lebih para pihak yang berusaha mencapai kesepakatan melalui keputusan bersama terhadap satu atau beberapa masalah yang menjadi konsern bersama yang apabila dalam situasi aktual, potensial terjadi ketidaksepakatan atau bahkan terjadi konflik196. Dari uraian tersebut maka yang menjadi konsern bersama adalah berkaitan dengan pelaksanaan perolehan hak atas tanah serta bentuk dan besarnya ganti kerugian yang akan diberikan pada pemegang hak atas tanah, tanaman, serta bangunan yang berkaitan dengan tanah. Sutrisno mengemukakan bahwa musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan

194 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2003 h.53.

195 Ibid. h. 55. Rachmadi Usman mengemukakan bahwa negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh pihak-ihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung pada saat negosiasi dilakukan, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah.

196 Donald G. Gifford , Legal Notiation Theory and Applications, West Publishing Co. ST Paul. Minn, 1989, h. 3. Dalam buku ini Gifford mengemukakan bahwa negotiation can be defined as a prosess in which two or more participants attempt to reach a joint decision on matters of common concern in situations where they are in actual or potential disagreement or conflict . Definisi negosiasi yang dikemukakan Gifford ini dapat disetarakan dengan proses musyawarah.

82

Page 83: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian 197

Untuk mencapai kesepakatan tersebut dalam musyawarah tersebut para pihak harus saling menghormati terhadap hak pihak lain. Untuk itu agar pelaksanaannya bisa efektif maka:198

a. Pihak-pihak harus bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran penuh (willingness)

b. Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness)c. Mempunyai wewenang mengambil keputusan (authoritative)d. Memiliki kekuatan yang relative seimbang, sehingga dapat menciptakan

saling ketergantungan (relative equal bargaining power)e. Mempunyai kemauan menyelesaiakan masalah.

Untuk itu pelaksanannya harus didasarkan pada saling menghormati pihak lain.Namun penormaan prinsip tersebut menimbulkan berbagai interpretasi dan

kiranya perlu dipertegas mengenai apa yang dimaksud cara perolehan tanah dengan pembebasan. Apakah pembebasan disetarakan dengan proses pelepasan hak. Selain itu perlu adanya penegasan mengenai apakah menyediakan tempat penampungan bagi pemilik tanah yang terkena rencana proyek pembangunan termasuk perolehan tanah.

Kalau disimak ketentuan sebelumnya yang menyatakan bahwa pembelian/pembebasan tanah dilakukan atas dasar musyawarah untuk mencapai kesepakatan, maka jelas ketentuan yang menyatakan bahwa apabila tidak tercapai kesepakatan ganti rugi dapat ditempuh dengan cara menyediakan tempat penampungan bagi pemilik tanah yang terkena rencana proyek pembangunan tidak termasuk ketegori perolehan tanah. Ketentuan tersebut bahkan dapat dikategorikan perampasan hak bagi pemegang hak karena hal tersebut dilakukan atas dasar tidak adanya kesepakatan (garis bawah dari penulis)

Selain itu pernyataan bahwa mengikutsertakan pemilik tanah dalam bentuk penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah apakah juga termasuk cara perolehan tanah. Saya berpendapat bahwa hal tersebut bukan merupakan cara perolehan tanah. Mengikutsertakan pemilik tanah dalam penataan kembali penggunaan dan pemilikan tanah itu masuk ketegori konsolidasi tanah. Adham mengemukakan bahwa komponen penting dari sistem pelaksanaan konsolidasi tanah yaitu parsitipasi aktif masyarakat. Dalam kaitan ini dapat pula dinyatakan bahwa pembangunan lingkungan melalui konsolidasi tanah tidak dapat dilakukan sendiri oleh aparatur pembangunan, tatapi harus bersama-sama masyarakat dan meibatkan swadaya rakyat banyak.199

197 D. Sutrisno, Op. Cit, h.17198 Rachmadi Usman, Op. Cit. H. 69.199 H.Idham, Konsolidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Alumni,

Bandung, 2004 h. 29

83

Page 84: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Dalam konsolidasi tanah pada prinsipnya bila ditinjau dari inisiatifnya terdapat dua cara yakni sukarela (Voluntary) dan wajib (compulsory). Dalam Konsolidasi tanah sukarela (voluntary) pelaksanaannya berdasarkan persetujuan pemilik tanah; sedangkan konsolidasi tanah wajib (compulsory) dilaksanakan apabila inisiatif datang dari pemerintah dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia yang berlaku adalah campuran keduanya karena ditinjau dari inisiatifnya adalah dari pemerintah, namun pelaksanaannya tergantung dari persetujuan para pemegang hak atas tanah200. Sampai saat ini belum ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur konsolidasi tanah, sehingga untuk mewajibkan pelaksanaan konsolidasi tanah di Indonesia tidak dimungkinkan. Disamping itu pemahaman masyarakat mengenai konsolidasi tanah juga masih kurang sehingga inisiatif dari pelaksanaan konsolidasi tanah di Indonesia juga selalu berasal dari masyarakat.

Dari uraian diatas jelas bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 telah berusaha untuk menormakan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah, namun Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 juga mencantumkan norma yang justru bertentangan dengan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.

Selanjutnya dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 disebutkan bahwa perolehan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah melalui pemindahan hak atas tanah atau cara penyerahan atau pelepasan hak atas tanah dengan pemberian ganti kerugian kepada yang berhak. Pemindahan hak adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain, sedangkan penyerahan atau pelepasan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan pemberian ganti kerugian atas dasar musyawarah.

Perolehan tanah melalui pemindahan hak dilakukan apabila tanah yang bersangkutan sudah dipunyai dengan hak atas tanah yang sama jenisnya dengan hak atas tanah yang diperlukan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya dengan ketentuan bahwa apabila perusahaan yang bersangkutan menghendaki, hak atas tanah tersebut dapat juga dilepaskan untuk kemudian dimohonkan hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Perolehan tanah melalui penyerahan atau pelepasan hak dilakukan apabila tanah yang diperlukan dipunyai dengan hak milik atau hak lain yang tidak sesuai dengan jenis hak yang diperlukan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya, dengan ketentuan bahwa jika yang diperlukan adalah tanah dengan hak guna bangunan, maka apabila perusahaan yang bersangkutan menghendaki, perolehan tanahnya dapat dilakukan melalui pemindahan hak dengan mengubah hak atas tanah

200 Maria SW. Sumardjono, Aspek Yuridis Dan Sosial-Ekonomi Dalam Pelaksanaan Konsolidasi Pertanahan, Makalah disampaikan pada lokakarya Regional” Konsolidasi Tanah Perkotaan (Urban Land Consolidation)” Kanwil BPN Prop. Jateng, emarang 12-13 Desember 1990. (Selanjutnya disebut Maria SW Sumardjono II).

84

Page 85: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

tersebut nenjadi hak guna bangunan (Pasal 3 ayat 3 Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994)

Jika perolehan tanah dilakukan dengan pemindahan hak dengan terlebih dahulu mengubah hak yang bersangkutan menjadi Hak Guna Bangunan sebagaimana disebutkan dalam ayat (3), maka untuk kepentingan para pihak, sebelum pembuatan akta jual beli Hak Guna Bangunan oleh PPAT, dapat dilakukan penguasaan tanah dengan membayar harga yang disepakati, yang dituangkan dalam suatu perjanjian atau dengan cara lain yang disepakati oleh para pihak.

Dari ketentuan tersebut nampak bahwa tata cara perolehan tanah dengan cara pemindahan hak yang dimaksudkan diatas adalah cara jual beli yang dilakukan dengan akta PPAT. Namun dalam hal pelaksanaan jual beli dengan akta PPAT belum dapat dilaksanakan maka pihak yang memerlukan dapat melakukan penguasaan tanah dengan membayar harga yang disepakati yang dituangkan dalam suatu perjanjian. Tentu perjanjian yang dilakukan adalah perjanjian akan jual beli tanah atau sering disebut dengan pengikatan jual beli tanah. Mengenai jual beli akan diuraikan dalam sub bab tersendiri.

A.1. Jual Beli Hak Atas Tanah.Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UUPA bahwa hukum agraria yang

berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat. Hukum tanah yang merupakan hukum agraria dalam arti sempit tentu juga di dasarkan pada hukum adat. Syarat untuk sahnya jual beli tanah menurut hukum adat adalah terpenuhinya tiga unsur, yakni tunai, riil dan terang.201

Yang dimaksud dengan tunai adalah bahwa penyerahan hak oleh penjual dilakukan bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli dan seketika itu juga hak sudah beralih. Harga yang dibayarkan itu tidak harus lunas, selisih harga dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual yang termasuk dalam lingkup hukum utang piutang. Sifat riil berarti bahwa kehendak yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan nyata, misalnya dengan telah diterimanya uang oleh penjual dan dibuatnya perjanjian di hadapan kepala desa. Dalam putusan Mahkamah Agung Tanggal 4 Desember 1957 Nomor 271 K/Sip/1956 menjelaskan sifat riil perjanjian jual beli menurut hukum adat sebagai berikut: “Sifat riil hanya berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja, belumlah terjadi perjanjian jual beli, namun harus sudah terjadi penulisan kontrak jual beli di muka Kepala kampung serta penerimaan harga barangnya oleh penjual, yang dinyatakan oleh penjual secara riil pelaksanaan maksudnya untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli”202

Terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut Mahadi mengemukakan sifat riil sebagai berikut:203

201 Maria SW Sumarjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasinya, Penerbit Buku Kompas, 2001, (selanjutnya disebut Maria SW Sumardjono III), h.119

202 Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Penerbit Alumni, Bandung, 1991, h.119

203 Ibid

85

Page 86: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

a) Sifat riil tidak saja terletak pada kenyataan bahwa benda yang dibeli, benar-benar sudah diserahkan oleh penjual kepada pembeli.

b) Sifat riil dapat juga terletak pada kehendak kedua belah pihak; penjual mau menjual; si pembeli mau membeli; kehendak kedua belah pihak secara riil (nyata) telah terbukti.

c) Perjanjian telah dituliskan, penulisan itu terjadi di hadapan Kepala kampung, harga telah dibayar, dianggap barang telah diserahkan.

Perbuatan hukum jual beli tanah tersebut disebut terang kalau dilakukan di hadapan kepala desa untuk memastikan bahwa perbuatan itu tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku.204

Senada dengan pendapat tersebut di atas Hilman Hadikusumah mengemukakan bahwa hukum adat bercorak serba konkrit, serba jelas artinya hubungan-hubungan hukum yang dilakukan tidak serba samar-samar, antara kata dan perbuatan berjalan serasi, jelas dan nyata.205 Misalnya dalam perjanjian jual beli, perjanjian itu baru terjadi jika jelas dan nyata pembeli telah membayar harganya dan penjual telah menyerahkan barang yang dijualnya. Jika barang yang dijual telah diterima oleh pembeli sedangkan harganya belum dibayar, maka ini bukan perjanjian jual beli tetapi perjanjian hutang piutang.206

Selanjutnya Hilman Hadikusuma mengemukakan bahwa dalam hukum adat tidak membenarkan berlakunya hubungan-hubungan hukum yang samar-samar, yang tidak nyata (abstrak) seperti hukum barat, misalnya suatu jual beli sudah terjadi walaupun barang belum diserahkan dan harganya belum dibayar, begitu pula dalam hukum adat hubungan pria dan wanita sebelum terjadi perkawinan pria dan wanita tidak boleh campur sebagai suami istri sebagaimana dikalangan orang-orang barat.207

Prinsip jual beli dalam hukum adat tersebut kemudian diangkat dalam hukum tanah nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Senada dengan pendapat diatas, Boedi Harsono mengemukakan bahwa dalam memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang terbuka lembaga jual beli tanah mengalami modernisasi dan penyesuaian, tanpa mengubah hakikatnya sebagai perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran

204 Maria SW Sumarjono III, Loc. Cit.

205 Hilman Hadikusumah, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1980, h. 56.

206 Ibid.207 Ibid

86

Page 87: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

harganya secara tunai, serta sifat dan cirinya sebagai perbuatan riil dan terang.208 Jual beli berdasarkan Pasal 37 diatas harus dibuktikan dengan akta PPAT. Hal tersebut merupakan suatu perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu alat bukti perbuatan hukum yang dilakukan, yang menurut hukum adatnya masyarakat yang terbatas lingkup personal dan teritorialnya, cukup dibuatkan aktanya oleh penjual sendiri dan diketahui oleh Kepala Desa/Adat. Perubahan tata cara ini bukan meniadakan ketentuan hukum adat yang mengatur segi materiil lembaga jual beli tanah.209

Dalam berbagai diskusi sering diperdebatkan mengenai jual beli tanah yang dilakukan tanpa akta PPAT. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung bahwa syahnya jual beli tanah menurut hukum adat diperlukan adanya dua syarat yang harus dipenuhi yaitu:210

a. Syarat tunai: pihak pembeli menyerahkan uangnya kepada pihak penjual yang secara serentak diikuti pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya tersebut kepada pembeli (contante handeling).

b. Syarat terang: pelaksanaan syarat pertama diatas dilakukan dihadapan saksi para pejabat/Pamong Desa.

Bilamana kedua syarat ini tidak dipenuhi, maka belum atau tidak terjadi jual beli tanah menurut hukum adat.Berdasarkan Putusan Mahkamah agung tersebut untuk sahnya jual beli adalah bahwa jual beli tersebut dianggap syah apabila telah dilakukan sebagaimana yang diatur dalam hukum adat.

Apabila pelaksanaan jual beli tersebut dilakukan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maka apa yang ada dalam putusan mahkamah agung tersebut jelas akan mengalami kesulitan dalam proses pendaftaran, sebab kantor pertanahan akan mendasarkan pada ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang mewajibkan pelaksanaan jual beli harus dibuktikan dengan akta PPAT kecuali jual beli melalui lelang yang dibuktikan dengan berita acara lelang.

Selain itu sering diperdebatkan pula mengenai saat terjadinya peralihan hak atas tanah. Saat terjadinya peralihan hak atas tanah ini sering kali muncul dalam setiap diskusi mengenai jual beli tanah. Sering adanya pendapat bahwa dalam setiap jual beli termasuk jual beli tanah harus didahului adanya perjanjian jual beli kemudian dilanjutkan dengan adanya penyerahan hak (levering). Untuk mengkaji hal itu maka perlu kita kembalikan terlebih dahulu pada dasar hukum tanah kita yaitu hukum adat. Atas dasar hukum adat bahwa transaksi jual beli tanah adalah bersifat kontante handeling atau perbuatan tunai, artinya sejak saat terjadinya persetujuan tentang obyek dan harga tanah, maka transaksi jual beli tanah telah terjadi dengan sah

208 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2007 h. 207.

209 Ibid, h 208.

210 Ali Boediarto, Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung Tentang Hukum Tanah (Dalam Putusan MA Nomor 3438.K/Pdt/1987), Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta, 2000, h,103.

87

Page 88: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

dan hak atas tanah langsung serentak berpindah dari kepemilikan penjual kepada pihak pembeli. Hal ini berbeda dengan jual beli menurut BW. Sebagaimana dikemukakan oleh Subekti bahwa unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian BW, perjanjian jual beli ini sudah dilahirkan pada detik tercapainya kesepakatan mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah pejanjian jual beli yang sah.211 Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 BW yang berbunyi jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.212

Setelah terjadinya jual beli tersebut maka ada kewajiban bagi pihak penjual untuk menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan dan menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.213 Dari apa yang dikemukakan oleh Subekti ini maka dalam hukum barat dikenal adanya dua tahap yakni tahap terjadinya perjanjian dan yang kedua tahap penyerahan.

Ali Boediarto mengemukakan bahwa ketentuan dalam hukum barat yang mengariskan adanya obligatoir overeenkost dan zakelijk overeenkomst yang terdiri dari juridische levering dan feitelijk levering adalah tidak dikenal dalam UUPA214.

Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa setelah terjadi adanya jual beli dihadapan Kepala Desa/Adat, yang dalam perkembangannya hal tersebut ditingkatkan menjadi Hukum Tanah nasional sebagaimana diatur dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dengan akta PPAT, maka pada saat itu pula telah terjadi peralihan hak.A.2. Tukar Menukar Hak Atas Tanah

Dalam perolehan tanah dalam rangka pembangunan perumahan maka dapat pula dimungkinkan adanya tukar menukar. Dalam pelaksanaan tukar menukar hak atas tanah pada prinsipnya sama dengan pelaksanaan jual beli yakni harus dibuat dengan akta PPAT. Namun perlu ditekankan bahwa pelaksanaan tukar menukar hak atas tanah itu harus tetap memperhatikan apakah para pihak yang melakukan tukar menukar tersebut dapat menjadi subyek hak atas tanah yang akan ditukarkan. Hal ini perlu mendapat perhatian karena tidak semua subyek hukum dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu. Misalnya subyek yang dapat menjadi subyek hak milik adalah warga negara Indonesia dan badan hukum tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963. Ketentuan yang mengharuskan hanya warga negara Indonesia yang dapat menjadi subyek hak milik ini didasarkan pada prinsip nasionalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia,

211 Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, h.2.

212 Ibid.213 Ibid. h.9214 Ali Boediarto, Op. Cit h. 140.

88

Page 89: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

yang besatu sebagai bangsa Indonesia, dan Pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Sedangkan hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia adalah hubungan yang bersifat abadi. Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada, demikian pula selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula, maka tida ada sesuatu kekuasaan apapun yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.215

Dengan demikian hanya warganegara Indonesia saja yang mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, tanpa membedakan apakah itu laki-laki atau perempuan. Dengan demikian setiap warganegara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Untuk itulah maka hanya warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Mengenai badan hukum sebenarnya tidak dapat mempunyai hak milik, tetapi mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan masalah-masalah perekonomian maka diadakan escape-clause yang memungkinkan badan hukum dapat mempunyai hak milik atas tanah. Dengan demikian badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah ini terbatas pada badan-badan hukum yang untuk penunaian tugas dan usahanya yang tertentu benar-benar memerlukan tanah dengan hak milik. Tetapi bagi badan-badan hukum yang memiliki tanah dengan hak milik itu tidaklah tidak terbatas, tetapi disertai pula syarat-syarat mengenai peruntukan dan luasnya.216

Sedangkan untuk Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan subyeknya adalah Warga Negara Indonesia dan badan hukum Indonesia. Jadi jangan sampai terjadi tukar menukar antara badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, melakukan tukar menukar dengan warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah. Sebab hal ini apabila dilakukan akan berakibat batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA. Selain itu perlu juga diperhatikan apakah sifat dari hak atas tanah itu juga dapat dipindahtangankan atau tidak.

Sebagaimana diketahui bahwa hak pakai atas tanah dapat dikelompokan menjadi dua yaitu hak pakai yang menurut sifatnya mudah dipindahtangankan dan hak pakai yang sifatnya tidak dapat dipindahtangankan. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 45 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 bahwa Hak pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada : Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah, Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional, serta badan keagamaan dan badan sosial. Dalam Penjelasan

215 Penjelasan Umum II.1 UUPA.

216 Penjelasan Umum PP Nomor 38 Tahun 1963.

89

Page 90: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Pasal 45 disebutkan bahwa Hak pakai yang diberikan untuk waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, akan tetapi dapat dilepaskan oleh pemegang haknya, sehingga menjadi tanah negara untuk kemudian dimohon dengan hak baru oleh pihak lain tersebut. Jadi hak pakai yang demikian itu tidak dapat dilakukan tukar menukar.

A.3. Cara Lain

Perolehan tanah selain dengan cara jual beli, tukar menukar juga dapat dilakukan dengan cara lain. Cara lain yang dimaksud menurut Djuhaendah Hasan diantaranya adalah mengikutsertakan dalam pemilikan saham217. Sedangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman, Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan yang telah beberapa kali dilakukan perubahan yang terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008, Permen Agraria/Kep. BPN Nomor 9 Tahun 1999, dan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 perolehan hak dapat pula dilakukan dengan cara pelepasan hak atas tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Kepusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 yang dimaksud pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Dari ketentuan tersebut nampak bahwa pelaksanaan pelepasan dilakukan apabila telah terjadi adanya kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah. Dengan dilepaskannya hak atas tanah tersebut bukan berarti tanah tersebut langsung menjadi hak dari pihak yang memerlukan, akan tetapi status tanah tersebut menjadi tanah negara.

Mengenai pengertian tanah negara dijelaskan dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 yaitu tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Lebih lanjut dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah tersebut menurut domein verklaring yang antara lain dinyatakan di dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit, semua tanah baik yang bebas sama sekali dari pada hak-hak seseorang (baik yang berdasar atas hukum adat asli Indonesia maupun yang berdasar atas hukum barat), dianggap menjadi vrijlandsdomein yaitu tanah-tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Dari ketentuan tersebut maka tanah negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara karena belum ada hak-hak atas tanah tertentu yang membebaninya.

Dengan status tanah negara tersebut maka memberi kewajiban bagi pihak yang memerlukan untuk mengajukan permohonan hak kepada pejabat yang berwenang. Pelepasan hak merupakan perbuatan sepihak dari pegang hak atas tanah

217 Djuhaendah Hasan 2, Op Cit, h. 16

90

Page 91: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

dengan demikian tidak dapat disamakan dengan peralihan hak. Dengan demikian tidak diperlukan adanya akta pemindahan hak yang dibuat oleh PPAT.

Secara garis besar pelaksanaan pelepasan hak atas tanah dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Pihak yang memerlukan tanah melakukan musyawarah dengan pemegang hak atas tanah untuk menentukan bentuk dan besarnya ganti kerugian.

b. Terjadi kesepakatan dalam menentukan bentuk dan besarnya ganti kerugian.

c. Pelaksanaan pelepasan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah dengan cara membuat surat pernyataan pelepasan hak atas tanah atau dapat pula dilakukan dengan akta notaris, sekaligus dilakukan penyerahan ganti kerugian secara langsung oleh pihak yang memerlukan tanah kepada pihak yang memerlukan tanah.

d. Berdasarkan Pasal 51 Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007. bersamaan dengan pembuatan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah tersebut maka yang berhak atas ganti kerugian wajib menyerahkan dokumen berupa:

1. Sertipikat hak atas tanah dan atau dokumen asli pemilikan dan penguasaan tanah.

2. Akta-akta perbuatan hukum lainnya yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan

3. Akta-akta lain yang berhubungan dengan tanah yang bersangkutan4. Surat pernyataan yang diketahui oleh Kepala Desa/ Lurah setempat

atau yang setingkat dengan itu yang menyatakan bahwa tanah tersebut adalah benar kepunyaan yang bersangkutan.

5. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mencatat hapusnya hak atas tanah yang dilepaskan atau diserahkan pada buku tanah, sertipikat, dan daftar umum pendaftaran tanah lainnya. Dalam hal tanah yang diserahkan belum bersertipikat, pada asli surat-surat tanah yang bersangkutan oleh Kepala Kantor Pertanahan dicatat bahwa hak atas tanah tersebut telah dilepaskan, untuk di daftar dalam buku tanah, dan selanjutnya pada buku administrasi di Desa yang bersangkutan dicoret oleh Kepala Desa dan dicatat bahwa tanah tersebut telah dilepaskan.

Setelah adanya pelepasan hak atas tanah tersebut maka selanjutnya permohonan pemberian hak atas tanah oleh pihak yang memerlukan tanah kepada Badan Pertanahan Nasional sebagaimana diatur dalam Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999. Pejabat yang berwenang sebagaimana diatur dalam Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 akan memberikan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah (SKPH). Dalam Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tersebut diatur mengenai pelimpahan kewenangan dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah negara. Ada tiga pejabat yang berwenang untuk

91

Page 92: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

memberikan keputusan pemberian hak atas tanah yakni Kepala Badan Pertanahan Pertanahan (Kepala BPN), Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi (Kakanwil BPN), dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota (Kakantah). Pembagian kewenangan itu ada yang didasarkan pada jenis haknya dan juga ada yang didasarkan pada luas bidang tanahnya. Misalnya Kakantah tidak punya wewenang untuk mengeluarkan keputusan pemberian HGU, tetapi itu merupakan wewenang Kakanwil BPN jika luasnya tidak lebih dari 200 hektar, dan jika lebih dari 200 hektar wewenang Kepala BPN. Yang perlu dianalisis pejabat tersebut memperoleh kewenangan atas dasar atribusi, delegasi atau mandat. Sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon bahwa terdapat dua cara utama dalam memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Kadang-kadang juga mandat, akan tetapi untuk mandat jika dikaitkan dengan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maka tidak dapat ditempatkan sendiri karena penerima mandat tidak dapat menjadi pihak tergugat di PTUN.218 Rapport sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan yang langsung bersumber pada undang-undang dalam arti materiil.219

Sedangkan delegasi adalah penyerahan wewenang oleh pejabat pemerintah kepada pihak lain dan selanjutnya wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak yang lain tersebut.220 Ten Berge sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa syarat-syarat delegasi adalah:221

a. Delegasi harus definitif, artinya pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.

b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.

c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.

d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.

e. Peraturan kebijakan, artinya delegans memberi instruksi tentang penggunaan wewenang tersebut.

Sedangkan mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu dimaksudkan untuk memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama (a.n) pejabat yang memberi mandat.222 Dari uraian tentang sumber-sumber kewenangan tersebut maka kewenangan yang ada pada Kakantah dan Kakanwil merupakan wewenang yang bersumber dari mandat. Hal ini

218 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No 5&6 Tahun XII, Fakultas Hukum Unair, 1997, h. 2.

219 Ibid. 220 Ibid, h.5221 Ibid.222 Ibid. h.7

92

Page 93: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

mengingat Kepala BPN, Kakanwil BPN dan Kakantah merupakan hubungan hirarki kepegawaian di lingkungan BPN. Selain itu berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa pemegang pelimpahan kewenangan pemberian atau pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah menerbitkan keputusan yang memuat penetapan pemberian hak atas tanah atau pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atas nama Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dengan demikian jelas bahwa kewenangan tersebut bersumber pada mandat, sehingga semua keputusan yang dikeluarkan Kakantah dan Kakanwil BPN harus atas nama Kepala BPN.

Atas dasar SKPH tersebut maka pihak yang memperoleh SKPH berkewajiban untuk melakukan pendaftaran hak atas tanah untuk selanjutnya dikeluarkan sertipikat sebagai alat pembuktian hak. Dengan dilakukan pendaftaran tersebut maka pemegang hak akan mendapatkan kepastian hukum. Kepastian hukum disini meliputi kepastian mengenai subyek, obyek maupun jenis haknya. Irawan Soerodjo mengemukakan bahwa kepastian hak tersebut meliputi:223

a. Kepastian mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hakb. Kepastian mengenai letak, batas serta luas bidang bidang tanah.Apa yang dikemukakan oleh Irawan Soerodjo tersebut menurut pendapat saya

kurang lengkap karena dengan didaftarkannya sebidang tanah maka akan juga dicatat mengenai jenis haknya, misalnya apakah itu hak milik, HGB, HGU atau Hak Pakai. Sehingga dengan demikian pula akan memberikan kepastian mengenai jenis haknya.

Dari uraian tersebut nampak bahwa dalam Kepusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 telah menormakan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.

Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Permukiman sebenarnya telah berusaha menormakan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah, hal ini nampak dari ketentuan Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan bahwa penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan dengan penggunaan tanah yang langsung dikuasai oleh negara, konsolidasi tanah oleh pemilik tanah dan pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tentunya pelaksanaan pelepasan hak atas tanah itu oleh pemilik hak atas tanah itu didasarkan pada kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah dengan memberikan kompensasi.

Didalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung juga telah menormakan prinsip penghormatan terhadap hak seseorang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 ayat (2 ) bahwa pembangunan bangunan gedung dapat dilakukan baik di tanah milik sendiri maupun di tanah milik pihak lain. Ayat (3) menyebutkan bahwa pembangunan bangunan gedung di atas tanah milik pihak lain sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung. Kalau dianalisis ketentuan Pasal tersebut maka 35 ayat (2) dan (3) tersebut maka hak atas tanah yang mungkin timbul

223 Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, 2002, h. 78.

93

Page 94: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

guna mendirikan bangunan adalah hak guna bangunan atas tanah milik, hak pakai atas tanah milik dan hak sewa untuk bangunan. Ketiga hak tersebut mungkin timbul diatas tanah hak milik atas dasar perjanjian. Disisi lain hak-hak tersebut sangat mungkin untuk didirikan bangunan gedung. Namun cakupan dari ketentuan Pasal 35 ayat (2) dan (3) tersebut sebenarnya sangat sempit. Karena bangunan gedung dapat pula berdiri di atas tanah hak pakai atas tanah negara, hak pakai atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan diatas tanah negara dan hak guna bangunan diatas tanah hak pengelolaan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005 Tentang Rumah Negara, tidak diatur mengenai cara perolehan hak atas tanah akan tetapi diatur mengenai pengadaan rumah negara yang dapat dilakukan dengan cara pembangunan, pembelian, tukar menukar, tukar bangun atau hibah (Pasal 4 ayat 1). Pelaksanaan pengadaan rumah negara tersebut diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 4 ayat 2). Sedangkan dalam Pasal 6 disebutkan bahwa pelaksanaan pengadaan rumah negara dengan cara pembelian, tukar menukar, tukar bangun atau hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat dilakukan secara langsung dengan masyarakat atau badan usaha. Dari ketentuan tersebut nampak tidak mengatur mengenai cara perolehan hak atas tanah untuk pembangunan perumahan akan tetapi mengatur mengenai pengadaan rumah.

Di Indonesia menganut asas pemisahan horisontal dalam arti bahwa pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berdiri di diatas tanah itu adalah terpisah.224 Dengan demikian kepemilikan hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi kepemilikan atas bangunan, sehingga perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi pula bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.225 Dengan mengacu pada pengertian asas pemisahan horisontal tersebut maka bisa dipahami kalau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005 Tentang Rumah Negara tidak mengatur mengenai tanah. Meskipun demikian dalam hal adanya rencana dari pemerintah untuk membangun rumah negara maka pasti diperlukan bidang tanah dimana rumah tersebut akan didirikan. Sehingga seharusnya di dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga harus dimuat adanya tata cara perolehan hak atas tanah yang berpegang pada prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.

B. Penormaan Prinsip Kepastian HukumSebagaimana disebutkan dalam uraian sebelumnya bahwa prinsip kepastian

hukum ini memberikan dasar agar dalam pelaksanaan pengadaan tanah berdasarkan peraturan pengadaan tanah yang berlaku. Dalam kaitannya dengan prinsip ini Maria SW Sumardjono mengemukakan bahwa pengadaan tanah dilakukan menurut tata cara

224 Eman, Asas Pemisahan Horisontal Dalam Hukum Tanah Nasional, Pidato, Disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2008, h.8

225 Ibid. h. 15

94

Page 95: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, sehingga para pihak mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.226 Sehingga dengan demikian peraturan perundang-undangan dibidang perumahan seharusnya sudah menormakan prinsip ini. Sebagaimana diketahui bahwa peraturan dibidang perumahan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum akan tercapai apabila suatu peraturan dirumuskan secara jelas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang beragam dan dapat menjadi pedoman untuk pelaksanaan yang sama, dan bahwa peraturan yang ada akan dilaksanakan secara konsekwen dan konsisten.227 Disamping itu kepastian hukum akan tercapai bila peraturan yang diterbitkan memenuhi persyaratan formal berkenaan dengan bentuk pengaturan sesuai tata urutan peraturan perundang-undangan dan secara substansial materi yang diatur tidak tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan peraturan lain yang relevan yang lebih tinggi tingkatannya (sinkron secara vertikal) ataupun bertentangan dengan peraturan lain yang sejajar tingkatannya (singkron secara horosontal).228

Untuk mengkaji apakah prinsip ini telah dinormakan dalam peraturan perundang-undangan dibidang perumahan maka akan dimulai dari pengaturan mengenai izin lokasi. Izin lokasi merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah yang berfungsi untuk mengatur alokasi sumber daya yang langka, dalam hal ini tanah agar dimanfaatkan secara optimal. Dasar penerbitan izin lokasi adalah rencana tata ruang wilayah229 sebagaimana telah saya uraikan dalam Bab III

Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa izin lokasi dibatasi jangka waktunya dalam arti bahwa selama jangka waktu izin lokasi maka perusahaan tersebut harus memproleh tanah di areal yang ditunjuk dalam izin lokasi tersebut. Cara yang mungkin dilakukan adalah cara jual beli, tukar menukar atau cara pelepasan hak. Mengenai cara jual beli dan tukar menukar sering kali mengalami hambatan yuridis karena perusahaan yang akan memperoleh tanah tersebut bukan merupakan subyek dari hak milik, sehingga cara yang dilakukan adalah dengan cara pelepasan hak. Setelah pelepasan hak maka tanah berstatus tanah negara, selanjutnya pihak yang memerlukan hak atas tanah segera melakukan permohonan hak. Persoalannya adalah dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak ada jaminan bahwa permohonan haknya akan dikabulkan. Jadi dari peraturan yang ada tidak ada satupun yang memberikan jaminan kepastian hukum bahwa pihak yang telah memberikan ganti kerugian ini akan akan mendapatkan hak atas tanah. (garis bawah dari penulis). Kiranya sangat besar kerugian yang akan ditanggung oleh

226 Maria SW. Sumardjono I, Op. Cit., h. 283

227 Maria SW. Sumardjono, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 14 Februari 1998, Yogyakarta. (Selanjutnya disingkat Maria SW Sumardjono V) h. 13.

228 Ibid.229 Maria SW Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya,

Kompas, 2008, h.41 (Selanjutnya disebut Maria SW Sumardjono I)

95

Page 96: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

perusahaan yang telah memberikan ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah kalau pada akhirnya tidak mendapatkan hak atas tanah.

Selain ketentuan yang ada tidak menjamin kepastian perolehan hak atas tanah, pengaturan mengenai perolehan hak atas tanah dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 juga kurang dapat memberikan kepastian hukum. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan dengan cara penggunaan tanah yang langsung dikuasai oleh negara, konsolidasi tanah oleh pemilik tanah dan cara pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah.

Penormaan tersebut kurang dapat memberikan kepastian hukum karena mencampuradukkan antara tanah negara, pengadaan tanah, kosolisdasi tanah dan pelepasan hak atas tanah. Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah. Sedangkan penyediaan tanah juga didefinisikan sebagai kegiatan untuk mendapatkan tanah bagi keperluan perusahaan dengan memberikan ganti kerugian kepada yang berhak (Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987). Dari ketentuan tersebut nampak adanya pemberian definisi yang sama terhadap konsep yang berbeda. Rumusan semacam inilah yang dapat dikatakan kurang memberikan kepastian hukum.

Selanjutnya ketentuan tersebut juga menimbulkan penafsiran seakan-akan pengembang dapat menggunakan tanah negara tanpa proses permohonan hak. Kalau berpegang pada konsep pengadaan tanah maka harus ada usaha untuk memperoleh tanah tersebut. Tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak atas tanah (Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).

Dengan uraian yang agak berbeda namun intinya sama, Maria S.W. Sumardjono mengemukakan bahwa yang dimaksud tanah negara adalah tanah-tanah yang tidak dilekat dengan suatu hak, yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan serta tanah ulayat dan tanah wakaf.230

Dengan definisi mengenai tanah negara tersebut maka jelas bahwa siapa saja yang hendak memperoleh tanah negara harus ada usaha untuk memperolehnya yakni dengan mengajukan permohonan hak. Dengan adanya permohonan hak tersebut maka akan dikeluarkan surat keputusan pemberian hak dan selanjutnya didaftarkan sesuai dengan peraturan pendaftaran tanah (Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Sejak didaftarkan itulah maka hak atas tanah itu lahir. Sehingga perusahaan pembangunan perumahan sejak mendaftarkan hak atas tanahnya itu maka mempunyai hak atas tanah. Dengan demikian maka penggunakan konsep penyediaan tanah

230 Maria S.W. Sumardjono IV, Loc. Cit.

96

Page 97: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

menimbulkan berbagai penafsiran dan dengan demikian kurang dapat memberikan kepastian hukum.

Di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung sebenarnya telah menormakan prinsip kepastian hukum, sebagaimana terdapat dalam Pasal 3 bahwa tujuan pengaturan bangunan gedung adalah untuk:

1. Mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;

2. Mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan;

3. Mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

Sebagaimana diuraikan dimuka bahwa ketentuan yang mengatur perolehan hak atas tanah dalam rangka pembangunan gedung sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 hanya menyebutkan berdasarkan perjanjian. Padahal sangat dimungkinkan perolehan hak atas tanah dengan cara jual beli, tukar menukar ataupun permohonan hak. Cara-cara terakhir ini tidak dimuat dalam Undang-Undang tersebut. Sehingga dalam hal usaha perolehan hak atas tanah dengan cara-cara tersebut, Undang-Undang Nomor 28 tidak menormakan prinsip kepastian hukum.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005 Tentang Rumah Negara, sebagaimana dikemukakan diatas tidak diatur mengenai cara perolehan hak atas tanah akan tetapi diatur mengenai pengadaan rumah negara yang dapat dilakukan dengan cara pembangunan, pembelian, tukar menukar, tukar bangun atau hibah (Pasal 4 ayat 1). Pelaksanaan pengadaan rumah negara tersebut diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 4 ayat 2). Sedangkan Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa pelaksanaan pengadaan rumah negara dengan cara pembelian, tukar menukar, tukar bangun atau hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat dilakukan secara langsung dengan masyarakat atau badan usaha.

Ketentuan tersebut jelas tidak memberikan kepastian hukum. Sebab dalam kaitannya dengan pengadaan rumah tentu diperlukan tanahnya. Dalam hukum tanah memang diakui asas pemisahan horisontal, akan tetapi dalam hal bangunan rumah tersebut bersifat rumah permanen maka asas pemisahan horisontal sulit diberlakukan secara mutlak, sehingga pada umumnya ketika dilakukan jual beli rumah maka sekaligus juga tanahnya.

Selain itu pelaksanaan jual beli, tukar menukar, hibah yang dilakukan oleh instansi pemerintah dengan pemilik tanah, sering kali mengalami hambatan yuridis karena instansi pemerintah bukan merupakan subyek hak milik atas tanah yang sering dimiliki oleh masyarakat. Dalam hal hak pakai yang mau dibeli maka hal ini juga akan mengalami hambatan yuridis karena sifat hak pakai seseorang berbeda dengan sifat hak pakai instansi pemerintah. Jadi dengan demikian dalam Peraturan

97

Page 98: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Pemerintah Tentang Rumah Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005 tidak menormakan prinsip kepastian hukum.

Dari uraian tersebut nampak bahwa di bidang perumahan belum sepenuhnya menormakan prinsip kepastian hukum karena sering menimbulkan berbagai penafsiran.

C. Penormaan Prinsip Peran Serta Masyarakat Dalam Perolehan Hak Atas Tanah.

Prinsip ini menegaskan bahwa pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah harus melibatkan masyarakat. Maria SW Sumardjono mengemukakan bahwa peran serta seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam setiap tahap pengadaan tanah (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi) diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat meminimalkan penolakan masyarakat terhadap kegiatan yang bersangkutan.231

Dalam rangka pengadaan tanah sangat diperlukan adanya peran serta dalam setiap tahapan pengadaan tanah. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 bahwa sebelum perusahaan melakukan perolehan tanah maka harus mendapatkan izin lokasi. Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 diatur pula mengenai tidak diperlukannya izin lokasi bagi perusahaan karena perusahaan tersebut dianggap telah mempunyai izin lokasi dalam hal:

a. Bahwa tanah yang akan diperoleh merupakan pemasukan dari pemegang saham

b. Tanah yang akan diperoleh merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh perusahaan lain dalam rangka melanjutkan pelaksanaan sebagian atau seluruh rencana penanaman modal perusahaan lain tersebut dan untuk itu telah diperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang.

c. Tanah yang akan diperoleh diperlukan dalam rangka melaksanakan usaha industri dalam suatu kawasan industri.

d. Tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut.

e. Tanah yang akan diperoleh untuk perluasan usaha yang sudah berjalan dan untuk perluasan itu telah diperoleh ijin perluasan usaha sesuai ketentuan yang berlaku, sedangkan letak tanah tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan.

f. Tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal tidak lebih dari 25 Ha (dua puluh lima hektar) untuk usaha pertanian atau tidak lebih dari 10.000 M2 (sepuluh ribu meter persegi) untuk usaha bukan pertanian.

231 Maria SW. Sumardjono I, Loc. Cit.

98

Page 99: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

g. Tanah yang akan digunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal adalah tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa tanah-tanah tersebut terletak di lokasi yang menurut rencana tata ruang wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang bersangkutan.

Dalam penerbitan izin lokasi diperlukan adanya partisipasi masyarakat. Walaupun izin lokasi tidak memberi hak apapun kepada pemegangnya tanah yang ditunjuk, namun untuk memperoleh dukungan dalam pelaksanaannya diperlukan partisipasi dari masyarakat yang bersangkutan dalam proses penerbitannya, oleh karena itu sebelum izin lokasi dikeluarkan perlu diadakan kosultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah dalam lokasi yang akan ditunjuk dalam izin lokasi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 5 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999, konsultasi yang dilakukan tersebut mencakup empat aspek yaitu:

a. Penyebarluasan informasi mengenai rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan, ruang lingkup dampaknya dan rencana perolehan tanah serta penyelesaian masalah yang berkenaan dengan perolehan tanah tersebut.

b. Pemberian kesempatan kepada pemegang hak atas tanah untuk memperoleh penjelasan tentang rencana penanaman modal dan mencari alternatif pemecahan masalah yang ditemui.

c. Pengumpulan informasi langsung dari masyarakat untuk memperoleh data sosial dan lingkungan yang diperlukan.

d. Peran serta masyarakat berupa usulan tentang alternatif bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam perolehan tanah dalam pelaksanaan izin lokasi.

Dari ketentuan tersebut jelas bahwa pengaturan mengenai ijin lokasi dalam rangka perolehan hak atas tanah telah mengakomodasikan prinsip-prinsip peran serta masyarakat.

D. Implementasi Prinsip Hukum Dalam Perolehan Hak Atas Tanah Dalam Putusan Pengadilan

D.1 Prinsip Penghormatan Terhadap Hak Atas TanahPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Nomor 1504 K/Pdt/2005232

Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi : MENGADILI: Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: Aisyah (Istri), Misnawati

(anak), Nurmawati (anak), Efendi (anak), Imran (anak), Asrial (anak), Yulamar tersebut.

Menghukum para Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah)

232 Lihat salinan Putusan MA Nomor 154 K/Pdt/2005

99

Page 100: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

D.1.2. Analisis Putusan:Berdasarkan uraian kasus di atas, akan dikaji beberapa poin penting dari

putusan majelis, dengan memperhatikan materi gugatan dan eksepsi tergugat dengan menggunakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dibidang perolehan hak atas tanah.D.1.2.1. Tata Cara Perolehan Hak Atas Tanah.

Penggugat dalam gugatannya menerangkan bahwa penggugat memiliki sebidang tanah seluas + 1 hektar terletak di Jl. BTN Lintas Asri Desa Sungai Arang, Kecamatan Muaro Bungo, Kabupaten Bungo yang diperoleh dari jual beli/ganti rugi pada tergugat III, IV, V dan VI pada tahun 1997.

Putusan Judex Facti (Pengadilan Negeri Muara Bungo) Nomor 13/Pdt.G/2003 dalam Pokok perkara menyatakan tanah yang menjadi obyek sengketa yang terletak di Jalan BTN Lintas Asri Desa Sungai Arang Kecamatan Muara Bungo adalah hak milik Penggugat yang sah berdasarkan ganti rugi/pelepasan hak dari Tergugat III, IV dan V.

Dari gugatan dan putusan Judex Facti tersebut nampak bahwa tidak ada kejelasan mengenai cara perolehan tanah yang dilakukan oleh Penggugat (PT. Karya Bungo Pantai Ceria Group), yakni cara jual beli atau pelepasan hak.

Sebagaimana diuraikan dalam sub bab sebelumnya bahwa antara jual beli hak atas tanah dengan pelepasan hak atas tanah merupakan dua hal berbeda. Dalam hal jual beli maka para pihak harus memenuhi syarat materiil dan formal. Syarat materiil dalam hal ini bahwa pihak penjual harus berhak, berwenang serta boleh menjual hak atas tanahnya. Sedangkan pembeli juga berhak, berwenang dan boleh membeli. Sedangkan syarat formalnya bahwa jual beli tersebut harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Syarat formal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari syarat-syarat tersebut maka pelaksanaan jual beli yang dilakukan oleh Penggugat (PT. Karya Bungo Pantai Ceria Group) dengan tergugat III, IV, V dan VI sebagaimana diuraikan dalam surat gugatan adalah tidak tepat. Hal ini dikarenakan Penggugat tidak memenuhi syarat materiil yaitu tidak boleh membeli tanah dengan status hak milik. Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UUPA hanya warga negara Indonesia dan badan-badan hukum tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah yang dapat menjadi subyek hak milik. Badan hukum tertentu yang ditunjuk oleh Pemerintah tersebut

100

Page 101: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963.233 Atas dasar Peraturan Pemerintah tersebut Penggugat (PT. Karya Bungo Pantai Ceria Group) jelas bukan subyek hak milik sehingga tidak boleh membeli hak milik Tergugat III, IV, V dan V. Apabila jual beli itu dilakukan maka jual beli tersebut batal demi hukum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA bahwa setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2) adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Jadi manakala perbuatan jual beli itu dilakukan maka jual beli tersebut batal demi hukum.

Apabila dilakukan pelepasan hak maka pihak Penggugat (PT. Karya Bungo Pantai Ceria Group) seharusnya melakukan musyawarah dengan pemegang hak atas tanah dalam hal ini Tergugat III, IV, V dan V untuk menentukan bentuk dan besarnya ganti kerugian. Selanjutnya pelaksanaan pelepasan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah dengan cara membuat surat pernyataan pelepasan hak atas tanah atau dapat pula dilakukan dengan akta notaris, sekaligus dilakukan penyerahan ganti kerugian secara langsung oleh pihak yang memerlukan tanah kepada pihak yang memerlukan tanah. Berdasarkan Pasal 51 Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007. bersamaan dengan pembuatan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah tersebut maka yang berhak atas ganti kerugian wajib menyerahkan dokumen berupa sertipikat hak atas tanah dan atau dokumen asli pemilikan dan penguasaan tanah, akta-akta perbuatan hukum lainnya yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan, akta-akta lain yang berhubungan dengan tanah yang bersangkutan, surat pernyataan yang diketahui oleh Kepala Desa/ Lurah setempat atau yang setingkat dengan itu yang menyatakan bahwa tanah tersebut adalah benar kepunyaan yang bersangkutan. kemudian Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mencatat hapusnya hak atas tanah yang dilepaskan atau diserahkan pada buku tanah dan sertipikat. Dalam hal tanah yang diserahkan belum bersertipikat, pada asli surat-surat tanah yang bersangkutan oleh Kepala Kantor Pertanahan dicatat bahwa hak atas tanah tersebut telah dilepaskan, untuk di daftar dalam buku tanah, dan selanjutnya pada buku administrasi di Desa yang bersangkutan dicoret oleh Kepala Desa dan dicatat bahwa tanah tersebut telah dilepaskan.

Dari kasus diatas apabila dianalisis dari tata cara pelepasan maka nampak bahwa prosedur tersebut diatas tidak ditempuh oleh Penggugat (PT. Karya Bungo

233 Badan badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 adalah Bank-Bank yang didirikan oleh Negara, Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang_undang Nomor 79 Tahun 1958, Badan-Badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama, Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria. Setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

101

Page 102: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Pantai Ceria Group) dan tergugat III, IV, V, dan VI. Sehingga terjadi Jual Beli antara Tergugat I dan II. D.1.2.2. Pernyataan Sertipikat Hak Milik Nomor 849/2001 Batal Demi Hukum

Terbitnya sertipikat hak Milik Nomor 849/2001 atas nama Yulimar (Tergugat II/Pemohon Kasasi) tersebut didahului oleh jual beli hak atas tanah dari tergugat I sebagai penjual dan Tergugat II sebagai pembeli. Sebagaimana diuraikan pemohon kasasi dalam memori kasasinya yang menyebutkan bahwa Pemohon kasasi I menguasai tanah sengketa atas dasar pemberian waris tahun 1968 dari orang tuanya sebagaimana diuraikan ditunjukkan dalam bukti Pemohon Kasasi II (T.II/4) dan diterbitkan Surat Keterangan Tanah oleh Kepala Desa Sungai Arang Kecamatan Muara Bungo, baru kemudian dijual Pemohon Kasasi pada Pemohon II melalui PPAT Agus Sutrisno, S.H. pada tanggal 12 April 2000. Atas dasar jual beli tersebut maka dilanjutkan dengan proses pendaftaran di Kantor Pertanahan Kabupaten Bungo. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bungo Sertipikat Nomor 849 dinyatakan batal demi hukum.

Putusan tersebut ditinjau dari prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah jelas sangat bertentangan dengan prinsip tersebut. Hakim dalam putusannya tanpa mempertimbangkan bagaimana Tergugat II memperoleh hak tersebut sampai dengan terbitnya sertipikat.

Sebagaimana diketahui bahwa seseorang yang mau mendaftarkan tanah harus mampu membuktikan dirinya bahwa tanah tersebut adalah haknya. Terhadap bidang tanah hak lama maka dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti tertulis sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Sebagaimana diuraikan Penjelasan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak. Alat-alat bukti tertulis yang dimaksud sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dapat berupa:

a. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan overschrijvings Ordonnantie (staatsblad. 1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau

b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan overschrijvings Ordonnantie (staatsblad. 1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau

c. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau

d. Sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau

e. Surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban

102

Page 103: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

untuk mendaftarkan hak yang diberikan tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau

f. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh kepala adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau

g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan; atau

h. Akta ikrar wakaf/ Surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau

i. Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang yang tanahnya belum dibukukan; atau

j. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh pemerintah atau pemerintah daerah; atau

k. Petuk pajak bumi/ landrente, girik, pipil, kekitir dan verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau

l. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau

m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA.

Dalam hal bukti tertulis tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi pembuktian kepemilikan itu dapat dilakukan dengan keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya menurut pendapat Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam Pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang cakap memberi kesaksian dan mengetahui kepemilikan tersebut.

Dari kasus tersebut Tergugat II dalam rangka memperoleh hak atas tanah sampai dengan terbitnya sertipikat atas nama dirinya dilakukan dengan etikat baik. Oleh karena itu hak atas tanah tergugat II harus dihormati.

Saya tidak sependapat Putusan Pengadilan Negeri Muara Bungo yang menolak eksepsi Turut Tergugat (Kantor Pertanahan Kabupaten Bungo). Dalam Eksepsinya Turut Tergugat mengemukakan Kantor Pertanahan Kabupaten Bungo adalah bagian dari Tata Usaha Negara dalam memproses Administrasi Pertanahan, tidak ada alasan Kantor Pertanahan untuk menolak Administrasi pertanahan terhadap siapapun juga baik perorangan, badan hukum sepanjang memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku. Adalah tepat kalau Kantor pertanahan mendaftar permohonan pendaftaran hak sepanjang permohonan memenuhi persyaratan yang ditentukan.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa salah satu alat bukti kak baru adalah akta PPAT. Sehingga sepanjang alat bukti hak baru tersebut telah ada maka tidak ada alasan bagi Pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Bungo untuk menolak melakukan pendaftaran tanah.

103

Page 104: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Dari uraian tersebut nampak bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 1504 K/Pdt/2005 tidak menperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah seseorang.

D.2. Prinsip Kepastian Hukum Dan Peran Serta Masyarakat Dalam Perolehan Hak Atas Tanah

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Nomor. 570 K/Pdt/1999234

Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasiMENGADILI: Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT Portanigra tersebut Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, Tanggal 30 Oktober 1997 No.

597/Pdt/1997/PT DKI yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta barat tanggal 24 April 1997 No. 161/Pdt.G/1996/PN. Jkt/Bar.

MENGADILI SENDIRI : Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; Menyatakan sita Jaminan berdasarkan Penetapan No. 161/Pdt.G/1996/PN.Jkt.Bar,

tanggal 24 Maret 1997 dan Berita Acara Sita Jaminan No. 161/Pdt.G/1996/PN.Jkt.Bar tanggal 1 April 1997 dan tanggal 7 April 1997 adalah sah dan berharga

Menyatakan Tergugat I, II, dan III telah melakukan perbuatan ingkar janji dan melakukan perbuatan melanggar hukum;

Menyatakan Penggugat adalah satu-satunya pembeli dan pemilik yang sah atas tanah-tanah sengketa tersebut seperti terurai dalam bukti P.1 s/d P.146;

Menghukum Tergugat I, II dan III serta semua orang yang memperoleh hak dari padanya untuk mengosongkan tanah-tanah sengketa tersebut dan menyerahkan dalam keadaan kosong kepada Penggugat;

Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.

D.2.1. Analisis PutusanD.2.1.1. Tata Cara Perolehan Hak Atas Tanah.

Dalam Putusan Mahkamah Agung sebagaimana diuraikan diatas menyebutkan bahwa menyatakan penggugat adalah satu-satunya pembeli dan pemilik yang sah atas tanah-tanah sengketa tersebut seperti terurai dalam bukti P.1 s/d P.146; Putusan tersebut bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. Dalam rangka perolehan hak atas tanah telah diatur secara tegas mengenai berbagai cara yang dapat dilakukan oleh instansi yang memerlukan. Sebagaimana diuraikan dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 bahwa tata cara perolehan hak dapat dilakukan melalui peralihan hak (jual beli atau tukar menukar) dan cara kedua melalui cara pelepasan hak atas tanah, yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

234 Lihat salinan Putusan MA Nomor 570 K/Pdt/1999

104

Page 105: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

1. Dalam hal hak atas tanah sudah sesuai dengan hak atas tanah yang diperlukan oleh perusahaan maka dapat dilakukan dengan cara jual beli atau tukar menukar.

2. Dalam hal hak atas tanah tidak sesuai dengan hak atas tanah yang diperlukan oleh perusahaan tersebut maka cara yang dilakukan adalah cara pelepasan hak.

3. Dalam hal hak atas tanah yang diperlukan tidak sesuai dengan hak atas tanah yang diperlukan oleh perusahaan, sedangkan cara jual beli yang dikehendaki oleh para pihak, maka dapat ditempuh perubahan hak atas tanah terlebih dahulu baru dilakukan jual beli. Dalam kasus tersebut PT Portanigra yang merupakan Badan Hukum. Suatu

Badan Hukum dalam memperoleh hak atas tanah maka cara yang dilakukan harus disesuaikan dengan jenis hak atas tanah yang akan diperolehnya. Dalam Putusan tersebut PT Portanigra dinyatakan sebagai satu-satunya pembeli. Putusan tersebut jelas tidak sesuai dengan tatacara tersebut diatas serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa jual beli yang dilakukan oleh pembeli yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik maka batal demi hukum. Seharusnya cara yang dapat dilakukan oleh PT Portanigra melalui cara kedua yakni dengan cara pelepasan hak terlebih dahulu baru kemudian melakukan permohonan hak. Kelemahan dari cara ini adalah bahwa peraturan yang ada tidak ada yang memberi jaminan bahwa hak atas tanah yang sudah dilepaskan akan menjadi hak dari instansi yang memerlukan. Hal ini karena status tanahnya masih berstatus tanah negara, setelah tanah menjadi tanah negara kemudian intansi yang memerlukan mengajukan permohonan hak atas tanah. Di sinilah tidak ada peraturan yang menjamin akan dikabulkannya permohonan tersebut.

Cara lain yang mungkin adalah cara ketiga yakni meminta pemilik hak atas tanah melakukan perubahan hak terlebih dahulu, misalnya hak milik dirubah menjadi HGB baru kemudian melakukan jual beli. Dalam cara ini juga ada kelemahannya, yakni jika status hak milik atas tanahnya telah dirubah kemungkinan instansi yang memerlukan tidak jadi melakukan pembelian terhadap hak atas tanah tersebut. Di sini pemegang hak atas tanah pasti akan mengalami kerugian karena status tanah hak miliknya telah dirubah menjadi HGB. Sebagaimana diketahui hak milik adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh.

Selain itu dalam Putusan MA tersebut menyebutkan Penggugat sebagai satu- satunya pemilik tanah. Dalam Pasal 21 UUPA telah diatur secara tegas siapa saja yang dapat menjadi subyek hak milik. Dalam pasal ini disebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia dan badan-badan hukum tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut PT Portanigra tidak termasuk di dalamnya, sehingga secara yuridis bukanlah subyek hak milik.

Dari uraian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa Putusan tersebut mengabaikan prinsip kepastian hukum.

105

Page 106: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

D.2.1.2. Pihak Pemegang Hak Atas Tanah.Dalam eksepsinya penggugat mengemukakan bahwa penggugat tidak ingat

kalau telah menyerahkan atau mengalihkan persoalan-persoalan tanah di Maruya Udik/Selatan seluas lebih kurang 60 Ha, baik permasalahannya maupun penjualan-penjualan atas tanah tersebut kepada Yayasan Bhumiyanca/PT. Indo Kisar Jaya dan Bapak May Jen Marinir (purn) H.Moh. Anwar sebagai Kuasa Penggugat Bahwa Pengalihan hak atas tanah seluas lebih kurang 60 Ha di Maruya Udik/Selatan kepada Yayasan sosial Bhumiyanca/PT Indo Kisar Jaya dan Mayjen, Marinir (pur) H. Moh Anwar adalah sebagai pembayaran hutang hutang penggugat. Bahwa Penggugat sendiri pada tangal 19 Januari 1987 dan pada tanggal 3 Pebruari 1987 telah menjual tanah-tanah yang nomor girik, blok dan persilnya tertera pada dalil-dalil Penggugat dalam gugatannya dimana dalam Akta Jual Beli Kecamatan No. 102/KBJ/JB/1987 dan No.050/KJB/JB/1987, Penggugat turut menandatangani sebagai saksi Penjual (T-6 dan T-7)

Dari eksepsi tergugat sebenarnya hakim perlu mempertimbangkan bahwa ada pihak lain sebagai pihak pemegang hak atas tanah, yaitu Yayasan Bhumiyanca/PT. Indo Kisar Jaya. Dengan melibatkan Yayasan Bumiyanca/PT. Indo Kisar Jaya tersebut tentu akan mendapatkan informasi yang lengkap dalam usaha penyelesaian sengketa tersebut. Dengan mengesampingkan pihak-pihak yang disebutkan dalam eksepsi tersebut jelas mengabaikan prinsip peran serta masyarakat.

V. PENUTUPA. Kesimpulan1. Terdapat tiga prinsip dalam perolehan hak atas tanah yang berlaku secara

universal di berbagai negara yakni prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah, prinsip kepastian hukum dan prinsip peran serta masyarakat dalam perolehan hak atas tanah. Selanjutnya berkaitan dengan konsep perolehan hak atas tanah, terdapat berbagai konsep yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu konsep hukum penyediaan tanah, pembebasan tanah, pengadaan tanah, perolehan tanah dan pencabutan hak atas tanah. Diantara berbagai konsep tersebut yang paling tepat adalah konsep perolehan hak atas tanah. Hal ini di dasarkan pada hubungan antara negara dengan tanah yakni hubungan penguasaan. Atas dasar hak menguasai negara tersebut maka ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada orang-orang atau badan hukum. Terhadap tanah yang diberikan kepada orang-orang dan badan hukum disebut tanah hak, sedangkan tanah yang belum ada haknya sama sekali disebut tanah negara. Atas dasar hubungan tersebut maka terdapat tanah yang berstatus tanah negara dan ada tanah yang berstatus tanah hak. Konsep hukum perolehan hak atas tanah dapat dilakukan terhadap tanah yang belum ada haknya (tanah negara) maupun tanah yang sudah ada haknya. Terhadap bidang tanah yang belum ada haknya perolehan hak atas tanah dilakukan dengan cara permohonan hak. Sedangkan terhadap bidang tanah yang

106

Page 107: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

sudah ada haknya dilakukan dengan cara peralihan hak. Dalam hal tanah berstatus tanah hak dilepaskan maka statusnya menjadi tanah negara maka perolehannya juga dengan permohonan hak. Konsep hukum perolehan hak atas tanah ini lebih luas apabila dibandingkan dengan konsep hukum pengadaan hak atas tanah. Karena konsep hukum pengadaan hak atas tanah hanya tepat digunakan apabila tanah yang dikehendaki adalah tanah negara dan bukan tanah hak. Sebagai perbandingan di Malaysia digunakan konsep pengambilan tanah (land acquisition) tanpa membedakan apakah itu untuk kepentingan umum atau selain kepentingan umum. Sedangkan di Belanda digunakan verkrijging dan onteigening. Verkrijging dapat disetarakan dengan konsep perolehan hak atas tanah dan onteigening dapat disetarakan dengan pencabutan hak atas tanah. Perbedaannya, di Belanda secara tegas disebutkan dalam Pasal 80 Buku 3 NBW bahwa onteigening merupakan salah satu cara dari verkrijging dalam hal untuk kepentingan umum.

2. Prinsip hukum dalam pembangunan perumahan meliputi prinsip pembangunan perumahan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, prinsip pembangunan perumahan sesuai dengan rencana tata ruang dan prinsip peran serta masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut sudah dinormakan dengan baik dalam peraturan perundang-undangan di bidang perumahan.

3. Dari tiga prinsip perolehan hak atas tanah yang belum dinormakan dengan baik dalam peraturan perundang-undangan di bidang perumahan adalah prinsip kepastian hukum. Hal ini nampak masih adanya penggunaan konsep hukum yang tidak konsisten dan tidak adanya jaminan kepastian hukum bahwa pihak yang telah memberikan ganti kerugian akan mendapatkan hak atas tanah. Jadi dalam peraturan perundang-undangan tidak ada satupun yang memberi jaminan kepada pihak yang memerlukan tanah dan telah memberi ganti kerugian bahwa mereka akan mendapatkan hak atas tanah. Kiranya sangat besar kerugian yang akan ditanggung oleh perusahaan yang telah memberikan ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah kalau pada akhirnya tidak mendapatkan hak atas tanah.

B. Saran1. Dalam rangka perbaikan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan

perolehan hak atas tanah, seyogyanya menggunakan konsep perolehan hak atas tanah dan bukan pengadaan tanah atau pengadaan hak atas tanah. Selain itu perlu dibedakan antara konsep ganti rugi dan kompensasi. Konsep ganti rugi hanya tepat digunakan untuk kegiatan perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum, karena didalam perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum pemilik tanah dibawah bayang-bayang akan terjadinya pencabutan hak manakala tidak terjadi kesepakatan. Sedangkan dalam kegiatan untuk memperoleh hak atas tanah selain untuk kepentingan umum maka saya sarankan untuk menggunakan konsep kompensasi, karena jika tidak terjadi kesepakatan maka instansi yang memerlukan tidak dapat melakukan pencabutan hak. Sebenarnya kompensasi berasal dari bahasa Inggris compensation yang diterjemahkan dalam bahasa

107

Page 108: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Indonesia ganti rugi. Penggunaan kompensasi ini untuk membedakan bahwa kesepakatan yang terjadi benar-benar di dasarkan pada kesadaran dan bukan atas dasar bayang-bayang akan terjadinya pencabutan hak.

2. Dengan ditemukannya prinsip-prinsip hukum dalam perolehan hak atas tanah yang berlaku secara universal, maka hendaknya pemerintah juga menormakan semua prinsip tersebut secara jelas dalam peraturan yang berkait dengan kegiatan perolehan hak atas tanah.

3. Kepada para penegak hukum khususnya para hakim, dalam menjatuhkan putusan yang berkait dengan kegiatan perolehan hak atas tanah hendaknya juga memperhatikan prinsip-prinsip tersebut.

DAFTAR BACAAN

Buku dan Majalah

108

Page 109: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Asshiddiqie Jimly dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.

Boediarto, Ali, Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung Tentang Hukum Tanah (Dalam Putusan MA Nomor 3438.K/Pdt/1987), Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta, 2000

Bakri, Muhammad, Pembatasan Hak Menguasai Tanah Oleh Negara Dalam Hubungannya Dengan Hak Ulayat Dan Hak Perorangan Atas Tanah, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2006

Bruggink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidarta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidarta, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Buang, Hj. Saleh Hj. Malaysian Torrens System, Dewan bahasa Dan Pustaka, Kuala Lumpur 2001

Eman Ramelan, Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Makalah, Disampaikan Dalam Diskusi Panel Dewan Pakar Propinsi Jawa Timur tanggal 20 Nopember 2007

________, Asas Pemisahan Horisontal Dalam Hukum Tanah Nasional, Pidato, Disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2008

Donald G. Gifford , Legal Notiation Theory and Applications, West Publishing Co. ST Paul. Minn, 1989

Green, Kate & Joe Cursley, Land Law, Fourth Edition, Palgrave, 2001 Kate Green & Joe Cursley, Land Law, Fourth Edition, Palgrave, 2001.

Gunanegara, Pengadaan Tanah Oleh Negara Untuk Kepentingan Umum, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2006.

_________, Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Tatanusa, Jakarta, 2007

Hajati, Sri, Pengaturan Hak Atas Tanah Dalam Kaitannya Dengan Investasi, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.

109

Page 110: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

________, Restrukturisasi Hak Atas Tanah Dalam rangka Pembaruan Hukum Agraria Nasional, Pidato, Disampaikan pada Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2005

_________, Beberapa Catatan mengenai Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005,Yuridika, Vol. 20, No. 5, Fakultas Hukum Unair, 2005

Hadjon, PM, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Yuridika , No.6 Tahun XI November-Desember 1994.

_________, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987.

__________, Tentang Wewenang, Yuridika, No 5&6 Tahun XII, Fakultas Hukum Unair, 1997

________,et. Al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University, 1993.

_________, Merancang dan Menulis Penelitian Hukum Normatif (Teori dan Filsafat), Makalah, Tanpa Tahun

Hardjasoemantri, Koesnadi Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, 1986.

___________, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University, 1993.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1994.

______, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2006

Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

_______, Aspek Perdata Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Makalah Dalam Seminar di BPN , 23 Desember 2009.

110

Page 111: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Hamzah , Andi et.al., Dasar-Dasar Hukum Perumahan, Rineka cipta, 1990

Hilman Hadikusumah, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1980

Haanappel, Peter ,at all, The Civil Code Of The Netherlands Antilles And Aruba, Kluwer Law International, 2002

Idham, H, Konsolidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 2004

Ismail, Nurhasan, Perkembangan Hukum Pertanahan Pendekatan Ekonomi Politik . Huma & Magister Hukum UGM, Yogyakarta, 2007

Judit-Anne Mackenzie dan Mary Phillips, Textbook on Land Law, 9 th edition, Oxford University Press, 2002

Jeroen Chorus, Piet-Hein Gerver, Ewoud Hondius, Introduction to Dutch Law, Kluwer Law International, 2006

Kate Green & Joe Cursley, Land Law, Fourth Edition, Palgrave, 2001

Koesnoe,H.M., Prinsip-Prinsip Hukum Adat Tentang Tanah, Ubhara Press, Surabaya, 2000

___________, Kapita Selekta Hukum Adat, Varia Peradilan-Ikatan Hakim Indonesia, 2002.

Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Penerbit Alumni, Bandung, 1991,

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.

________, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pradana Media, Jakarta, 2008.

Mertoksumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1985.

Nadapdap, Binoto Kamus Istilah Hukum Agraria Indinesia, Jala, Jakarta, 2007

Nieuwenhuia, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, Tanpa Penerbit, Surabaya, 1985

111

Page 112: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Navratil, Gerhard ,Andew U Frank, Expropriation In The Simple Cadaster, university of Technology, Vienna, Austria, 2007

Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Perumahan Dan Permukiman & Undang-Undang Rumah Susun, Mandar Maju, Bandung, 1997

Paton, G.W. A Text-Book Of Jurisprudence, Oxford University Press, Third Edition, 1964.

Raharjo R, Himpunan Istilah PertanahanDan Yang Terkait, Jambatan, Jakarta, 2008

Rahardjo, Satjipto Ilmu Hukum, Cet. keenam, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2006

Safik, Akhmad, Tanah untuk Kepentingan Umum, Lembaga Studi Hukum Dan Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006,

Saptenno, Marthinus Johanes, Perumusan asas-asas Substansial Dan Fungsinya Dalam Pembentukan Undang-Undang, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2007

Simamora, Yohanes Sogar, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Oleh Pemerintah, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga Surabaya, 2005.

Shubhan, M. Hadi, Prinsip Hukum Kepailitan Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2006.

Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995

Subekti dan Tjitrisudibio, Kitab Undang_undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, 1985

Sudiyat, Imam, Hukum Adat sketsa Asas, liberty, Yogyakarta, 1981

Sumardjono, Maria S.W, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasinya, Kompas, 2001.

___________, , Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya. Penerbit Kompas, Jakarta, 2008

___________,, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Kompas, 2008.

112

Page 113: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

___________, , Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1998.

___________, , Aspek Yuridis Dan Sosial-Ekonomi Dalam Pelaksanaan Konsolidasi Pertanahan, Makalah disampaikan pada lokakarya Regional” Konsolidasi Tanah Perkotaan (Urban Land Consolidation)” Kanwil BPN Prop. Jateng, Semarang 12-13 Desember 1990.

____________, Tanah Negara, Tulisan Untuk SKH Kompas, Minggu IV Agustus, 1994

Sodiki, Achmad , Kepentingan umum dalam Pengadaan Tanah Menurut Perpres Nomor 65 Tahun 2006, Makalah, Disampaikan Dalam Diskusi Panel Dewan Pakar Propinsi Jawa Timur tanggal 20 Nopember 2007.

Sood, Teo Keang dan Khaw Lake Tee, Land Law In Malaysia, Cases and Commentary, Butterworths Asia, 1995 Teo Keang Sood dan Khaw Lake Tee, Land Law In Malaysia, Cases and Commentary, Butterworths Asia, 1995.

Soerodjo,Irawan, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, 2002

Sutedi, Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007

Sjarifuddin Akil, Peran Serta Masyarakat Dalam Kelembagaan Perencanaan Tata Ruang , Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pengembangan wilayah Regional Marketing Sebagai Instrumen Pembangunan Daerah Dalam Menghadapi Globalisasi Dan Otonomi Daerah, Semarang, 2003

Titahelu, Ronald Z Penetapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan Tanah Untuk Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat, Suatu kajian Filsafati dan Teoritik Tentang Pengaturan Dan Penggunaan Tanah di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1993

Teo Keang Sood dan Khaw Lake Tee, Land Law In Malaysia, Cases and Commentary, Butterworths Asia, 1995

Usman, Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2003

Wignjosoebroto, Soetandyo, Hak-hak Manusia Dan Konstitusi, Makalah, Tanpa Tahun

113

Page 114: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

__________, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Huma, 2002,

Zein, Ramli, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Rineka Cipta, Jakarta, 1994

Internet:

Admin, Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah, http://geo.ugm.ac.id/archives/125 , diakses tanggal 9 Juli 2010

Budiman Arif, Aplikasi Penataan Perumahan Dan Permukiman Masyarakat Dalam Penataan Ruang Kota Sesuai Kebijakan Pemerintah, http://www.penataanruang.net/taru/upload/peper/sekjen140604.pdf. Diakses tanggal 20 Agustus 2010.

I Putu Gede Ardhana, Peran Serta Masyarakat Dalam Pembangunan, http:/www.akademik. unsri. ac.id

Lilis Nur Faizah, Hak Menguasai Negara, Suatu pendekatan Historis-Filosofis, ,www.zeilla.wordpress.com

P.C.E. van Wijmen & J.P. Loof, The influence of Article 1 Protocol No. 1 on the Dutch legislation concerning expropriation, https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/1887/ 2694/4/The%252 Binfluence%252Bof%252BArticle%252B1%252BProtocol%252BNo.%252B1.pdf

Sudikno Mertokusumo, Kepentingan umum, http://sudiknoartikel blogspot.com/2008/03/ kepentingan .umum.html.

Benni Setiawan, Pembangunan Berwawasan Lingkungan , http://bennisetiawan. blogspot.com/2008/03/pembangunan-berwawasa.. Diakses tanggal 9 Juli 2019 pukul 15:24.

Yahya. A.Z. Keadilan dan kepastian hukum, http://yahyazein.blogspot.com/ 2008/07/keadilan -dan- kepastian-hukum.html.

Zuryawan Isvandiar Zoebir, Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat Dalam Pebangunan Daerah, http:/zuryawanisvandiarzoebir. wordpress.com/2008/06/08

Zuingli Santoso Bandaso, Mengatur Perumahan Berdasarkan RTRW, http://www.batukar.info/komunitas/articles/mengatur-perumahan-ber. diakses Tanggal 20 Agustus 2010.

114

Page 115: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, Lembaran Negara Republik Indonesia 1961 Nomor 228 Tambahan Lembaran Negara Reublik Indonesia Nomor 2431.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Permukiman, Lembaran Negara Republik Indonesia 1992 Nomor 23 Tambahan Lembaran Negara Reublik Indonesia Nomor 3667

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, Lembaran Negara Republik Indonesia 1985 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Reublik Indonesia Nomor 3317

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, Lembaran Negara Republik Indonesia 2002 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Reublik Indonesia Nomor 4247

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 44 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Lembaran Negara Republik Indonesia 2000 Nomor 44 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988.

PERATURAN PEMERINTAH

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643

115

Page 116: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 Tentang Rumah Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia 1994 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3573

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 Tentang Rumah Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia 2005 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4515

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/atau Bangunan Lembaran Negara Republik Indonesia 1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3580.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/atau Bangunan Lembaran Negara Republik Indonesia 1999 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3891.

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/atau Bangunan Lembaran Negara Republik Indonesia 2008 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4914.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Lembaran Negara Republik Indonesia 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5098

PERATURAN PRESIDEN

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

116

Page 117: Tanah Untuk Perumahan Rakyat

KEPUTUSAN PRESIDEN

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

PERATURAN MENTERI/ PERATURAN KEPALA BPN

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Dirubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

KEPUTUSAN MENTERI

Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal.

117