Upload
lamthien
View
274
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
i
TARAF PENGGUNAAN MIKROORGANISME LOKAL TAPAI
SEBAGAI BIOAKTIVATOR PEMBUATAN PUPUK ORGANIK
CAMPURAN KOTORAN DOMBA
DENGAN BATANG PISANG
SKRIPSI
LUTFI SETYO WIBOWO
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PETERNAKAN BOGOR
2011
ii
RINGKASAN
Lutfi Setyo Wibowo. D14060574. 2011. Taraf Penggunaan Mikroorganisme
Lokal Tapai sebagai Bioaktivator Pembuatan Pupuk Organik Campuran
Kotoran Domba dengan Batang Pisang. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Salundik, M.Si.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Agr.Sc.
Pengolahan limbah ternak seperti kotoran domba adalah salah satu alternatif
untuk menanggulangi kerusakan lingkungan dari limbah kotoran ternak. Sampai
sekarang, pengolahan kotoran domba menjadi pupuk di Karawang belum dapat
teroptimalisasi dengan baik. Penyebabnya adalah kesulitan dalam mendapatkan
bioaktivator komersial di Karawang. Cacahan batang pisang dapat digunakan untuk
meningkatkan kualitas pupuk, karena cacahan batang pisang mengandung kalium
yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas pupuk organik
campuran kotoran domba dengan batang pisang dengan taraf penggunaan
bioaktivator MOL (mikroorganisme lokal) tapai yang berbeda.
Rancangan percobaan yang digunakan pada proses pengomposan adalah
Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan penambahan aktivator EM4, MOL tapai
1% (MT1), MOL tapai 5% (MT5) dan MOL tapai 10%(MT10) dengan tiga ulangan.
Peubah yang diamati adalah produksi kompos, pH dan kualitas kompos (N, P, K, C,
rasio C/N). Rancangan yang digunakan pada pengujian kangkung adalah Rancangan
Acak Lengkap pola Faktorial 4x3. Perlakuan yang digunakan pada pengujian tanam
yaitu jenis pupuk yang digunakan (EM4, MT1, MT5, dan MT10) dan dosis pupuk
yang digunakan (80 g, 160 g dan 240 g). Peubah yang diamati adalah tinggi batang,
jumlah daun, berat kering akar dan berat kering tajuk.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian MOL tapai
berpengaruh pada nilai rataan bobot akhir kompos, rataan nilai kandungan karbon
(C) organik, rataan nilai kandungan nitrogen (N) total, rataan nilai kandungan fosfor
(P) total. Kompos yang dibuat dengan aktivator MT1 memiliki kualitas yang hampir
sama dengan kompos yang dibuat dengan aktivator EM4. Kompos dengan taraf
pemberian MOL tapai 1% memliki kandungan unsur hara yang terbaik dibandingkan
dengan kompos dengan taraf pemberian MOL tapai 5% dan 10%.
Hasil uji tanam menunjukkan semua tanaman yang diberi kompos lebih tinggi
bila dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi kompos. Tanaman yang diberi
dosis 160 g dan 240 g adalah tanaman yang paling tinggi. Tanaman yang diberi
kompos MT10 dengan dosis 80 g adalah tanaman yang paling pendek. Semua
tanaman yang diberi kompos memiliki jumlah daun lebih banyak bila dibandingkan
dengan tanaman yang tidak diberi kompos. Tanaman yang memiliki jumlah daun
paling banyak adalah tanaman yang diberi dosis kompos 240 g. Tanaman yang
memiliki jumlah daun paling sedikit adalah tanaman yang diberi kompos MT10.
Semua tanaman yang diberi kompos memiliki bobot kering tajuk yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi kompos. Tanaman diberi kompos
sebanyak 240 g merupakan tanaman dengan bobot kering terberat. Tanaman yang
diberi kompos memiliki berat kering akar yang lebih berat dari tanaman yang tidak
iii
diberi kompos. Tanaman yang diberi kompos 240 g merupakan tanaman yang
memiliki berat kering akar tertinggi.
Kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini yaitu aktivator MT1 dan
EM4 merupakan aktivator yang dapat membuat kompos dengan kualitas terbaik.
Semua pemberian kompos memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
tanaman yang tanpa pemupukan. Pemberian kompos MT1 dengan dosis 240 g
menghasilkan tanaman dengan produktivitas tertinggi.
Kata-kata kunci: Feses domba, Batang pisang, Mikroorganisme lokal tapai
iv
ABSTRACT
Organic Fertilizer Production from Sheep Manure and Banana Trunk Using
Local Microorganism of Tapai as an Activator.
Wibowo, L.S., Salundik, and S. Mulatsih
Processing of animal waste such as sheep manure is one alternative to prevent
environmental damage from animal waste. Until now, the processing of sheep
manure to produce fertilizer is not optimized yet. Difficulty to get commercial
bioactivator in Karawang causes this problem. To enrich the fertilizer, banana trunk
could be used because of its high kalium content. This research purpose was to
know the quality of organic fertilizer made using local microorganism of tapai. The
data of organic fertilizer were analyzed using completely randomized design (CRD)
with 3 replications. The data from planlation test were analyzed using completely
randomized factorial design with 3 replications. Result showed that organic fertilizer
made using activator local microorganism of tapai 1% and local microorganism of
tapai 5% have same quality, but both of them have higher quality than the organic
fertilizer made using activator local microorganism of tapai 10%. All plants using
fertilizer have higer productivity than plant without fertilizer. It is concluded that
fertiliezer usage of local mircroorganism of tapai 1% as an activator with dosage of
240 g have the higest productivity.
Keyword: Sheep waste, Banana trunk, Local microorganism of tapai
v
TARAF PENGGUNAAN MIKROORGANISME LOKAL TAPAI
SEBAGAI BIOAKTIVATOR PEMBUATAN PUPUK ORGANIK
CAMPURAN KOTORAN DOMBA
DENGAN BATANG PISANG
LUTFI SETYO WIBOWO
D14060574
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
vi
Judul : Taraf Penggunaan Mikroorganisme Lokal Tapai sebagai
Bioaktivator Pembuatan Pupuk Organik Campuran
Kotoran Domba dengan Batang Pisang.
Nama : Lutfi Setyo Wibowo
NIM : D14060574
Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
(Ir. Salundik, M.Si.)
NIP. 19640406 198903 1 003
(Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Agr.Sc.)
NIP. 19640529 198903 2 001
Mengetahui:
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)
NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian: 22 Desember 2010 Tanggal Lulus:
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Lutfi Setyo Wibowo, lahir di Pekalongan, tepatnya pada
tanggal 28 Agustus 1988. Penulis adalah anak dari pasangan Bapak Sutristiyanto,
S.Pd. dan Ibu Tanti Mulyani, S.Pd. Penulis merupakan Adik dari Tutut Lutfi Hastuti,
S.Farm, Apt. dan Kakak dari Asri Pangestika Lutfiani
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) tahun 2000 di SD
Negeri Tirto 03 Pekalongan, pendidikan lanjutan menengah pertama (SMP)
diselesaikan pada tahun 2003 di SMP Negeri 02 Pekalongan dan pendidikan lanjutan
menengah atas (SMA) diselesaikan tahun 2006 di SMA Negeri 01 Pekalongan.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006
melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima sebagai mahasiswa
jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor tahun 2007.
Selama mengikuti pendidikan di Tingkat Persiapan Bersama, penulis aktif di
Unit Kegiatan Mahasiswa Music Agricultural Expression. Penulis berpartisipasi
sebagai atlet basket dan pernah diundang untuk mewakili team basket fakultas dalam
Olimpiade Mahasiswa IPB tahun 2007-2008. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan di
IPB dan keorganisasian Himaproter. Selain aktif dalam keorganisasian intra kampus,
penulis juga aktif di organisasi mahasiswa daerah yaitu HIMAPEKA (Himpunan
Mahasiswa Pekalongan) dan pernah menjadi ketua acara MAKRAB tahun 2008-
2009.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’aalamin, segala puji dan syukur bagi Allah semata,
kedamaian dan kesejahteraan dari-Nya semoga tercurah bagi Rasulullah saw, beserta
keluarga, sahabat dan pengikutnya. Penghargaan tertinggi hanya kepada-Nya karena
atas kehendak dan petunjuk Nya penulis mampu untuk menyelesaikan skripsi dengan
judul Taraf Penggunaan Mikroorganisme Lokal Tapai sebagai Bioaktivator
Pembuatan Pupuk Organik Campuran Kotoran Domba dengan Batang Pisang.
Sebuah karya ilmiah yang bagi penulis bukan sekedar sebagai persyaratan untuk
meraih gelar Sarjana Peternakan belaka, namun lebih sebagai anugerah dari Allah
SWT yang mengajarkan umat manusia melalui utusanNya Khair Al Anam
Muhammad SAW di berbagai bidang ilmu sehingga mereka terangkat derajatnya.
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui kualitas pupuk organik
campuran kotoran domba dengan batang pisang pada taraf penggunaan bioaktivator
MOL tapai yang berbeda. Informasi ini diharapkan dapat dipergunakan untuk
mengatasi kesulitan dalam mendapatkan bioaktivator komersial dan juga menekan
biaya pembuatan pupuk kompos. Sehingga diharapkan dapat dijadikan alternatif
bioaktivator dalam pembuatan kompos.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya
dan semoga Allah SWT senantiasa memudahkan dan melapangkan upaya kita dalam
menjalankan kehendaknya. Amin.
Bogor, November 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ....................................................................................... ii
ABSTRACT .......................................................................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................... v
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... vi
RIWAYAT HIDUP ............................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xiii
PENDAHULUAN ................................................................................. 1
Latar Belakang ........................................................................... 1
Tujuan ........................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3
Kompos ..................................................................................... 3
Proses Pengomposan Anaerobik ................................................. 3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan
Anaerobik .................................................................................... 4
Ukuran Bahan ................................................................. 4
Rasio C/N ....................................................................... 4
Temperatur Pengomposan ............................................... 4
Derajat Keasaman (pH) .................................................... 4
Mikroorganisme yang Terlibat dalam Pengomposan ......... 5
Aktivator ...................................................................................... 5
Effective Microorganism 4 (EM4) .................................. 5
Mikroorganisme Lokal (MOL) Tapai .............................. 6
Kotoran Domba .......................................................................... 7
Batang Pisang ............................................................................ 7
Kangkung (Ipomeoa reptans poir) .............................................. 8
MATERI DAN METODE ..................................................................... 10
Lokasi dan Waktu ...................................................................... 10
Materi ........................................................................................ 10
Prosedur Penelitian .................................................................... 10
Pembuatan Pupuk Kompos ........................................... 10
Penanaman Tanaman Kangkung .................................... 11
Peubah yang Diamati ................................................................. 12
Rancangan Percobaan ................................................................ 13
x
Proses Pengomposan .................................................... 13
Pengujian ke Tanaman Kangkung .................................. 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 16
Keadaan Umum Penelitian ......................................................... 16
Produksi Kompos ....................................................................... 17
Kandungan Karbon (C) Organik Pupuk Kompos ........................ 18
Kandungan Nitrogen (N) Total Pupuk Kompos .......................... 19
Kandungan Fosfor (P) Total Pupuk Kompos .............................. 21
Kandungan Kalium (K2O) Total Pupuk Kompos ........................ 22
Kandungan Rasio Karbon/Nitrogen (C/N) Pupuk Kompos ......... 23
pH akhir Pupuk Kompos ........................................................... 23
Tinggi Vertikal Tanaman ........................................................... 24
Jumlah Daun Tanaman ............................................................... 30
Berat Kering Tajuk ..................................................................... 35
Berat Kering Akar ...................................................................... 37
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 40
Kesimpulan ................................................................................ 40
Saran .......................................................................................... 40
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 42
LAMPIRAN .......................................................................................... 45
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kandungan Hara Kotoran Domba ............................................. 7
2. Batas Antara Kecukupan dan Defissiensi Unsur Hara pada
Kangkung berdasarkan Analisis Tanaman ................................... 9
3. Rataan Nilai Produksi Bobot Akhir Kompos ............................. 18
4. Rataan Nilai Kandungan Karbon (C) Organik ........................... 19
5. Rataan Nilai Kandungan Nitrogen (N) Total ............................. 20
6. Rataan Nilai Kandungan Fosfor (P) Total ................................. 21
7. Rataan Nilai Kandungan Kalium (K2O) Total ........................... 22
8. Rataan Nilai Rasio Karbon/Nitrogen (C/N) ............................... 23
9. pH Akhir Kompos ..................................................................... 24
10. Rataan Nilai Tinggi Vertikal Tanaman 7 HST ........................... 25
11. Rataan Nilai Tinggi Vertikal Tanaman 14 HST ......................... 26
12. Rataan Nilai Tinggi Vertikal Tanaman 21 HST ......................... 27
13. Rataan Nilai Tinggi Vertikal Tanaman 28 HST ......................... 29
14. Rataan Nilai Jumlah Daun Tanaman 7 HST .............................. 31
15. Rataan Nilai Jumlah Daun Tanaman 14 HST ............................ 32
16. Rataan Nilai Jumlah Daun Tanaman 21 HST ............................ 33
17. Rataan Nilai Jumlah Daun Tanaman 28 HST ............................ 34
18. Rataan Nilai Berat Kering Tajuk ............................................... 36
19. Rataan Nilai Berat Kering Akar ................................................ 37
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Proses Pembuatan Ragi Tapai ................................................... 6
2. Bagan Alir Proses Pembuatan Kompos ..................................... 15
3. Media Tanam yang Digunakan ................................................. 15
4. Mol Tapai yang Telah Dikembangbiakkan Selama 5 Hari
Dalam Botol Air Minum 1 Liter ................................................. 17
5. Letak Media Tanah yang Diberi Perlakuan dan Kontrol Negatif
yaitu Media Tanah Dalam Rumah Kaca .................................... 24
6. Tinggi Vertikal Tanaman Kangkung 28 HST Pada Jenis
Kompos yang Berbeda dengan Pemberian Dosis A dan Kontrol
Berupa Media Tanah ................................................................... 29
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Analisis Soil and Fertilizer Biotrop Bogor 2010 ................ 45
2. Sidik Ragam Produksi Bobot Akhir Kompos ............................ 45
3. Uji Tukey Produksi Bobot Akhir Kompos .................................. 45
4. Sidik Ragam Kandungan Karbon (C) Organik ............................ 45
5. Uji Tukey Kandungan Karbon (C) Organik ............................... 45
6. Sidik Ragam Kandungan Nitrogen (N) total .............................. 45
7. Uji Tukey Kandungan Nitrogen (N) total .................................... 46
8. Sidik Ragam Kandungan Fosfor (P) total .................................... 46
9. Uji Tukey Kandungan Fosfor (P) total ...................................... 46
10. Sidik Ragam Kalium (K2O) Total ............................................... 46
11. Sidik Ragam Rasio Karbon/Nitrogen (C/N) .............................. 46
12. Sidik Ragam Tinggi Vertikal Tanaman 7 HST .......................... 47
13. Sidik Ragam Tinggi Vertikal Tanaman 14 HST .......................... 47
14. Sidik Ragam Tinggi Vertikal Tanaman 21 HST .......................... 47
15. Uji Tukey Tinggi Vertikal Tanaman 21 HST untuk Faktor A ..... 47
16. Uji Tukey Tinggi Vertikal Tanaman 21 HST untuk Faktor B ...... 48
17. Uji Tukey Tinggi Vertikal Tanaman 21 HST untuk
Interaksi A*B ........ .................................................................... 48
18. Sidik Ragam Tinggi Vertikal Tanaman 28 HST ........................ 48
19. Uji Tukey Tinggi Vertikal Tanaman 28 HST untuk Faktor B ..... 48
20. Sidik Ragam Pertambahan Daun Tanaman 7 HST .................... 49
21. Sidik Ragam Pertambahan Daun Tanaman 14 HST .................... 49
22. Sidik Ragam Pertambahan Daun Tanaman 21 HST .................... 49
23. Uji Tukey Pertambahan Daun Tanaman 21 HST untuk
Faktor A ..................................................................................... 49
24. Uji Tukey Pertambahan Daun Tanaman 21 HST untuk
Faktor B ..................................................................................... 50
25. Sidik Ragam Pertambahan Daun Tanaman 28 HST .................. 50
26. Uji Tukey Pertambahan Daun Tanaman 28 HST untuk
Faktor A ..................................................................................... 50
27. Uji Tukey Pertambahan Daun Tanaman 28 HST untuk
Faktor B ..................................................................................... 50
28. Sidik Ragam Berat Kering Tajuk .............................................. 50
xiv
29. Uji Tukey Berat Kering Tajuk untuk Faktor A ........................... 51
30. Uji Tukey Berat Kering Tajuk untuk Faktor B ........................... 51
31. Sidik Ragam Berat Kering Akar ................................................. 51
32. Uji Tukey Berat Kering Akar untuk Faktor A ........................... 51
33. Uji Tukey Berat Kering Akar untuk Faktor B ............................ 51
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Direktorat Jendral Peternakan menyebutkan bahwa data populasi ternak
domba di Indonesia tahun 2009 sebesar 10.471.991 ekor, dan populasi di Provinsi
Jawa Barat sebanyak 5.524.329 ekor. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di
Kabupaten Karawang, didapatkan data dari Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Karawang mengenai keseluruhan populasi ternak domba di Kabupaten
Karawang yang terdiri dari 30 kecamatan tahun 2009 sebesar 1.189.656 ekor dan
meningkat sebesar 73,16% dari tahun 2008 yang hanya sebesar 870.409 ekor. Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Karawang juga menyebutkan bahwa
Kecamatan Batu Jaya tahun 2009 mempunyai populasi domba sebanyak 28.801 ekor.
Domba yang dipelihara peternak di Jawa Barat rata-rata sebanyak 6 ekor.
Pakan hijauan segar yang dikonsumsi domba sekitar 5,35 kg/hari (32,1 kg/peternak).
Pupuk kandang yang dihasilkan sekitar 4 kg (bahan kering feses 45 %) per hari per 6
ekor. Sisa pakan hijauan yang terbuang berkisar antara 40-50 % atau 14,2 kg. Feses
dan sisa hijauan yang dapat dikumpulkan setiap hari sebagai bahan kompos
mencapai 28,2 kg untuk setiap peternak (Mathius, 2007).
Studi kasus yang dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan feses domba di
Kecamatan Batu Jaya Kabupaten Karawang pada tanggal 14-17 Agustus 2009
didapatkan hasil 8,57% peternak menjual kotoran domba ke pengumpul, 88,57%
tidak memanfaatkannya (langsung ditimbun, dibakar, atau dibuang) dan 2,85%
peternak memanfaatkan kotoran tersebut sebagai pupuk untuk kebun. Kotoran
domba berdasarkan berat kering oven memiliki rasio C/N 29; kandungan N 1,78%;
fosfor 0,79%, dan kalium 2,2% (Wibisono dan Basri, 1993).
Batang pisang merupakan bahan yang potensial untuk meningkatkan kualitas
kompos. Ultra et al. (2005) menyatakan bahwa tanaman pisang banyak menyerap
kalium dan kompos pisang yang diaplikasikan ke dalam tanaman pisang mampu
memberikan serapan kalium yang tinggi sehingga kadarnya tinggi pada buah dan
batang pisang.
Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat potensial untuk
mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran.
2
Apabila tidak ditangani secara tepat, limbah ternak dapat menyebabkan pencemaran
lingkungan (air, tanah dan udara).
Pengomposan alami memerlukan waktu yang relatif lama, namun dapat
dipersingkat dengan penambahan aktivator. Aktivator adalah bahan yang sering
ditambahkan dalam pengomposan dengan tujuan untuk mempercepat proses
penguraian (Gaur, 1983). Pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk belum
dilakukan oleh petani secara optimal. Hal ini salah satunya dikarenakan kesulitan
dalam mendapatkan bioaktivator komersial di lingkungan mereka. Tapai sangat
familiar dalam masyarakat pedesaan, sehingga diharapkan nantinya masyarakat
dapat memanfaatkan ragi tape ini sebagai bioaktivator dalam pembuatan pupuk
organik.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas pupuk organik
campuran kotoran domba dengan batang pisang pada taraf penggunaan bioaktivator
mikroorganisme lokal (MOL) tapai yang berbeda.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Kompos
Pupuk dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang diberikan pada tanah agar
dapat menambah unsur hara atau zat makanan yang diperlukan tanah baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pupuk organik adalah bahan organik yang
umumnya berasal dari tumbuhan dan atau hewan, ditambahkan ke dalam tanah
secara spesifik sebagai sumber hara, pada umumnya mengandung nitrogen yang
berasal dari tumbuhan dan hewan (Sutanto, 2002). Suriawiria (2003) menyatakan
bahwa pupuk organik mempunyai kandungan unsur hara, terutama N, P, dan K yang
relatif sedikit dibandingkan dengan pupuk anorganik, tetapi mempunyai peranan lain
yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan
tanaman.
Pengomposan menurut Yang (1997), merupakan suatu proses biooksidasi
yang menghasilkan produk organik yang stabil dan dapat dikontribusikan secara
langsung ke tanah serta digunakan sebagai pupuk. Harada et al. (1993) menyatakan
produk dari pengomposan berupa kompos apabila diberikan ke tanah akan
mempengaruhi sifat fisik, kimia maupun biologis tanah.
Proses Pengomposan Anaerobik
Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis pada struktur
kimia dan biologi bahan organik tanpa kehadiran oksigen (hampa udara). Proses
tersebut merupakan proses yang dingin dan tidak terjadi fluktuasi suhu, seperti yang
terjadi pada proses pengomposan aerobik.
Proses pengomposan secara anaerobik akan menghasilkan metana (alkohol),
CO2, dan senyawa lain seperti asam organik yang memiliki berat molekul rendah
(asam asetat, asam propionat, asam butirat, dan asam laktat). Proses anaerobik
umumnya dapat menimbulkan bau yang tajam. Sisa hasil pengomposan anaerobik
berupa lumpur yang mengandung air sebanyak 60% dengan warna cokelat gelap
sampai hitam. Kehilangan unsur hara pada proses pengomposan secara anaerobik
sedikit, sehingga umumnya mempunyai kandungan unsur hara yang lebih tinggi dari
proses pengomposan secara aerobik (Samekto, 2006)
4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan Anaerobik
Ukuran Bahan
Proses pengomposan dapat dipercepat jika bahan mentah kompos dicincang
menjadi bahan yang lebih kecil. Bahan yang kecil akan cepat didekomposisi karena
peningkatan luas permukaan untuk aktivitas organisme perombak (Gaur, 1983).
Menurut Murbandono (1993), sampai batas tertentu semakin kecil ukuran partikel
bahan maka semakin cepat pula waktu pelapukannya.
Rasio Karbon-Nitrogen (C/N)
Rasio C/N bahan organik merupakan faktor yang paling penting dalam
pengomposan. Hal tersebut disebabkan mikroorganisme membutuhkan karbon untuk
menyediakan energi (Gunawan dan Surdiyanto, 2001) dan nitrogen yang berperan
dalam memelihara dan membangun sel tubuhnya (Triadmojo, 2001). Kisaran rasio
C/N yang ideal adalah 20-40, dan rasio yang terbaik adalah 30 (Center for policy and
Implementation Study, 1992). Rasio C/N yang tinggi akan mengakibatkan proses
berjalan lambat karena kandungan nitrogen yang rendah, sebaliknya jika rasio C/N
terlalu rendah akan menyebabkan terbentuknya amoniak, sehingga nitrogen akan
hilang ke udara (Gunawan dan Surdiyanto, 2001).
Temperatur Pengomposan
Pengomposan akan berjalan optimal pada suhu yang sesuai dengan suhu
optimum pertumbuhan mikroorganisme perombak. Menurut Murbandono (1993),
suhu optimum pengomposan berkisar antara 35-55 oC, akan tetapi setiap kelompok
mikroorganisme mempunyai suhu optimum yang berbeda sehingga suhu optimum
pengomposan merupakan integasi dari berbagai jenis mikroorganisme.
Derajat Keasaman (pH)
Identifikasi proses degradasi bahan organik pada proses pengomposan dapat
dilakukan dengan mengamati terjadinya perubahan pH kompos. Menurut Center for
Policy and Implementation Study (1992), derajat keasaman (pH) yang dituju adalah
6-8,5 yaitu kisaran pH yang pada umumnya ideal bagi tanaman. Hasil dekomposisi
bahan organik ini menghasilkan kompos yang bersifat netral sebagai akibat dari sifat-
sifat basa bahan organik yang difermentasikan. Pada pengomposan pupuk organik
5
padat nilai pH pada hari ketiga berkisar dari 7,66-8,84 dan hari ke-enam berkisar
pada 8,66-9,08 (Nengsih, 2002).
Mikroorganisme yang Terlibat dalam Pengomposan
Pengomposan akan berjalan lama jika mikroorganisme perombak pada
permulaannya sedikit. Mikroorganisme sering ditambahkan pada bahan yang akan
dikomposkan yang bertujuan untuk mempercepat proses pengomposan (Indriyani,
1999).
Populasi mikroorganisme selama berlangsungnya proses pengomposan akan
berfluktuasi. Berdasarkan kondisi habitatnya (terutama suhu), mikroorganisme yang
terlibat dalam pengomposan tersebut terdiri dari dua golongan yaitu mesofilik dan
termofilik. Mikroorganisme mesofilik adalah mikroorganisme yang hidup pada suhu
antara 45-65 oC. Pada waktu suhu tumpukan kompos kurang dari 45
oC, maka proses
pengomposan dibantu oleh mesofilik di atas suhu tersebut (45-65 oC)
mikroorganisme yang berperan adalah termofilik (Gaur, 1983 dan Center for Policy
and Implementation Study, 1992). Menurut Center for Policy and Implementation
Study (1992), mikroorganisme mesofilik pada hakekatnya berfungsi memperkecil
ukuran partikel zat organik sehingga luas permukaan partikel bertambah. Menurut
Gaur (1983), bakteri termofilik yang tumbuh dalam waktu yang terbatas berfungsi
untuk mengkonsumsi karbohidrat dan protein, sehingga bahan-bahan kompos dapat
terdegradasi dengan cepat.
Aktivator
Aktivator merupakan bahan yang mampu meningkatkan dekomposisi bahan
organik (Gaur, 1983). Aktivator mempengaruhi proses pengomposan melalui dua
cara, cara pertama yaitu dengan menginokulasi strain mikroorganisme yang efektif
dalam menghancurkan bahan organik (pada activator organic), kedua yaitu
meningkatkan kadar N yang merupakan makanan tambahan bagi mikroorganisme
tersebut.
EM4 (Effective Microorganisms4)
Sekitar tahun 1980, Prof Dr. Teruo Higa dari Jepang mengembangkan
teknologi Mikroorganisme Efektif (ME) sebagai alternatif dalam mewujudkan
konsep pertanian alami. Mikroorganisme efektif adalah suatu larutan yang terdiri dari
6
kultur pertanian alami dan merupakan kultur campuran berbagai mikroba yang
bermanfaat bagi tanaman dan berfungsi sebagai bio-inokulan. Setiap spesies mikroba
mempunyai fungsi dan peranan masing-masing yang bersifat saling menunjang dan
bekerja secara sinergis. Larutan ME di pasaran umum diperdagangkan dengan merek
EM4 (Higa dan Wididana, 1994).
Higa dan Wididana (1994) menyatakan, bahwa effective Microorganisms4
(EM4) mengandung lima jenis mikroorganisme utama yaitu Lactobacillus sp.
(bakteri asam laktat) dalam jumlah besar, bakteri fotosintesis, ragi, Actinomycetes
dan jamur fermentasi, yang bekerja secara sinergis untuk menyuburkan tanah dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Mikroorganisme Lokal (MOL) Tapai
Tapai adalah sebuah makanan yang terbuat dari singkong yang difermentasi
dengan ragi tapai. Mikroba yang terdapat di dalam ragi adalah kapang, khamir dan
bakteri. Bakteri yang sering ditemukan di dalam ragi tape berasal dari genus
Pediococcus dan Basillus. Kapang yang berperan adalah Amylomyces, Mucor dan
Rhizopus sp. Khamir yang berperan adalah Endomycopsis fibuliger, Saccharomyces
cerevisiae dan Hansenula sp. (Saono et al., 1982). Proses pembuatan ragi tapai dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Proses Pembuatan Ragi Tapai
7
MOL tapai dibuat dengan mencampurkan tapai singkong dengan air dan gula.
Campuran tersebut disimpan di dalam botol dan didiamkan selama 5 hari. Setelah 5
hari, MOL sudah dapat digunakan. Sejumlah 2,5 liter MOL dapat digunakan untuk
membuat 1 ton kompos (Setiawan dan Tim ETOSA, 2010).
Kotoran Domba
Gatenby (1986) mengemukakan bahwa kotoran domba mengandung N, P, K dan
mineral-mineral esensial untuk pertumbuhan tanaman juga mengandung bahan
organik yang dapat memperbaiki struktur tanah, mengurangi erosi dan menambah
kapasitas tanah untuk memegang air. Menurut Wibisono & Basri (1993), kotoran
domba berdasarkan berat kering oven memiliki rasio C/N 29; kandungan N 1,78%;
fosfor 0,79%, dan kalium. Gatenby (1986) mengemukakan bahwa kotoran domba
mengandung N, P, K, dan mineral-mineral esensial untuk pertumbuhan. Kandungan
hara kotoran domba dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Hara Kotoran Domba
Sumber: A= Soepardi (1983), B= Kammlade (1985), C= Setiawan (1998)
Batang Pisang
Batang atau pelepah pisang merupakan bagian dari tanaman pisang yang
berada di atas tanah yang berfungsi sebagai kultur penyangga daun, tunas, dan buah.
Batang pisang berfungsi sebagai jalan pengakutan hasil-hasil asimilasi dari atas ke
bawah. Batang semu tersusun dari cekungan-cekungan pelepah daun. Cekungan
pelepah daun tersebut umumnya terdapat pada tumbuhan yang tergolong dalam
tumbuhan berbiji tunggal atau Monocotyledonae gabungan daun tersebut berbentuk
sirkuler (Tjitrosoepomo, 1988).
Unsur Hara A (Padat) B (Padat) C
Padat Cair
------------------------%------------------------
H2O 66 64 60 85
N 5,06 1,44 0,6 1,50
P 0,67 0,22 0,3 0,13
K 3,97 1,01 0,17 1,80
8
Batang pisang sebagian berisi air dan serat (selulosa), disamping mineral,
kalium, dan fosfor. Komposisi kimia batang pisang dipengaruhi oleh berbagai faktor
yaitu komposisi tanah, frekuensi pemotongan, fase pertumbuhan, pemupukan, iklim
setempat, dan ketersediaan air. Serat batang pisang mengandung 63% selulosa, 20%
hemiselulosa, dan 5% lignin (Small, 1954 dalam Wijaya, 2002).
Kangkung (Ipomoea reptans poir)
Ipomea aquatic Forssk, sinonimnya adalah Ipomae reptans poir yang dalam
bahasa Indonesia disebut kangkung, dikenal luas masyarakat Indonesia sebagai
tanaman sayuran (Van Valkenburg dan Bunyapraphatsara, 2001). Tanaman ini di
Asia Tenggara memiliki dua tipe yaitu kangkung merah yang dicirikan berbunga
ungu atau merah jingga atau lembayung disebut juga sebagai kangkung air dan
kangkung berbunga putih yang disebut dengan kangkung darat.
Kangkung memiliki kedudukan dalam tatanama (sistematika) tumbuhan
diklasifikasikan sebagai berikut:
Division : Spermatophyta
Sub division : Angiospermae
Kelas : Dycotyledoneae
Famili : Convolvulaceae
Genus : Ipomoea reptans poir (kangkung darat)
Masyarakat Indonesia hampir semuanya mengenal kangkung. Kangkung
merupakan tanaman menetap yang dapat tumbuh lebih dari satu tahun (Rukmana,
1994). Kangkung juga dikenal dengan tumbuhan yang tumbuh cepat dan
memberikan hasil dalam waktu 4-6 minggu sejak dari benih. Di dataran rendah
tropika sekitar khatulistiwa kangkung dapat dipanen sesudah 25 hari dan dapat
menghasilkan lebih dari 20 ton/ha daun segar.
Pertumbuhan kangkung tidak terlalu sulit, kangkung dapat tumbuh di
perairan dan daratan (bedengan). Kangkung yang tumbuh di perairan adalah
kangkung air yang memiliki tangkai daun panjang, daun lebar dan warna hijau tua
segar dan bunga berwarna ungu. Jenis kangkung darat berbeda dengan kangkung air.
Kangkung darat banyak tumbuh di lahan kering atau tegalan. Daun lebih langsing
dengan ujung daun meruncing. Warnanya hijau pucat keputih-putihan dan warna
bunga putih polos. Bunga ini dipelihara untuk menghasilkan biji sebagai benih yang
9
baru. Untuk kangkung darat, varietas sutra sangat baik dikembangbiakkan. Jenis ini
bukan asli Indonesia, melainkan dari tempat yang cukup jauh di Pasifik, yakni di
kepulauan Hawai. Penampilanya menarik, tumbuh tegak dengan daun yang berwarna
pucat keputihan. Batang berwarna hijau muda dengan daun berbentuk segi tiga lebar.
Sedikit berbeda dengan sifat kangkung darat lainnya, kangkung sutra dapat dipanen
pertama sekali pada umur 35-40 hari. Pada umur 50 hari bunganya yang berwarna
putih sudah muncul. Kemampuan bercabang mencapai 2m. Produksinya pun tak
kalah hebat, yaitu antara 12-44 ton/ha. Sedangkan kemampuan memproduksi bijinya
adalah 6 ton/ha. Batas antara kecukupan dan defisiensi unsur hara kangkung
berdasarkan analisis tanaman dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Batas antara Kecukupan dan Defisiensi Unsur Hara pada Kangkung
berdasarkan Analisis Tanaman
Unsur hara Kangkung
N(%) 4,2
P(%) 0,26
K(%) 1,71
Ca(%) 0,36
Mg(%) 0,26
S(%) -
Sumber : Sanchez (1992)
10
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang bertempat
di Laboratorium Pengolahan Limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan serta di Laboratorium Lapang University Farm,
Institut Pertanian Bogor.
Materi
Penelitian ini menggunakan bahan kotoran domba, batang pisang, larutan
gula, molases, bioaktivator berupa MOL tapai, EM4, tanah latosol, polybag, dan
benih kangkung lokal.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah drum plastik, gayung,
pisau, timbangan, karung, sekop, dan penggaris.
Prosedur Penelitian
Pembuatan Kompos
Salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi proses
pengomposan yakni ukuran partikel bahan. Untuk mendapatkan ukuran bahan yang
sesuai standar 2,5 hingga 4 cm (Metcalf dan Eddy, 2004), maka dilakukan
pencacahan pada batang pisang.
Tahapan penelitian selanjutnya, yakni melakukan karakterisasi bahan
pengompos. Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui nilai rasio pengomposan.
Parameter yang diukur yakni kadar C/N masing-masing bahan. Kemudian, dilakukan
penentuan jumlah bahan organik yang akan dicampurkan persamaan person squere
methode.
Rasio C/N batang pisang 55 dan rasio C/N kotoran domba 29. Setelah
dihitung, diketahui persen perbandingan batang pisang dan kotoran domba dengan
C/N kompos yang diinginkan adalah 35 yaitu 77 % : 23 %. Jika kompos yang dibuat
ukuran 10 kg maka diperlukan batang pisang 2,3 kg dan kotoran domba 7,7 kg.
Taraf yang digunakan adalah penambahan MOL tapai 1% , 5%, 10% dengan
kontrol berupa EM4. Aktivasi larutan EM4 pada kompos 10 kg dilakukan dengan
penambahan 500 g dedak, 500 g gula pasir dan diencerkan dengan air sampai volume
11
400 ml. MOL disiapkan dengan mencampur 25 ml MOL dengan 375 ml air. Bahan
kemudian dimasukkan dalam drum dan ditutup agar terjadi pengomposan anaerobik.
Bobot bahan baku kompos yang sesuai dengan perhitungan formulasi di atas,
kemudian dicampurkan. Pencampuran bahan dilakukan sesuai dengan taraf
percobaan yang akan dilakukan yakni: perlakuan pemberian MOL tapai dengan
taraf (1 %, 5 % dan 10 %) dan kontrol (dengan tambahan aktivator EM4). Kemudian,
bahan dimasukkan dalam drum 10 kg dan ditutup agar terjadi pengomposan secara
anaerob. Pengadukan dilakukan agar proses pengomposan terjadi dengan baik.
Pengambilan data meliputi produksi bobot akhir kompos, kandungan karbon (C)
organik, kandungan nitrogen (N) total, kandungan fosfor (P) total, kandungan K2O
total, rasio karbon/nitrogen (C/N), pH akhir kompos.
Penanaman Tanaman Kangkung
Pengolahan tanah bertujuan untuk memperbaiki kondisi tanah, dan
memberikan kondisi menguntungkan bagi pertumbuhan akar. Melalui pengolahan
tanah, drainase, dan aerasi yang kurang baik akan diperbaiki. Pengolahan tanah
dalam penelitian ini meliputi penjemuran tanah latosol dan juga penyaringan tanah
latosol.
Penelitian uji tanaman kangkung menggunakan 4 pupuk yang berbeda (EM4,
MOL tapai 1%, MOL tapai 5%, dan MOL tapai 10%) dengan 1 kontrol berupa tanah
latosol 4 kg. Dosis yang diberikan pada masing-masing kompos ada 3 (80 g, 160 g
dan 240 g). Setiap kombinasi jenis kompos dan dosis ditanaman pada polybag
berukuran 35 cm x 35 cm dengan jumlah tanah masing-masing polybag 4 kg dan
diulang sebanyak 3 kali. Banyaknya petak percobaan yang digunakan adalah 45
petak. Kombinasi perlakuan EM4 80 g, EM4 160 g, EM4 240 g, MOL tapai 1% 80
g, MOL tapai 1% 160 g, MOL tapai 1% 240 g, MOL tapai 5% 80 g, MOL tapai 5%
160 g, MOL tapai 5% 240 g, MOL tapai 10% 80 g, MOL tapai 10% 160 g, MOL
tapai 10% 240 g.
Polybag yang telah terisi tanah dan juga pupuk kompos dengan berbagai
dosis tersebut kemudian ditanami benih kangkung lokal dengan jarak yang memadai.
Setiap polybag mempunyai 4 lubang dam setiap lubang dimasukkan 6 biji kangkung.
Penyulaman dilakukan pada minggu pertama setelah penanaman dengan melihat
jumlah terkecil tanaman yang tumbuh. Penyiraman secukupnya dilakukan setelah
12
benih ditanaman. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dengan pengambilan data dilakukan setiap minggu
Tanaman kangkung sudah dapat dipanen pada saat berumur 3 minggu setelah
penanaman. Pada saat panen tanaman dipisahkan antara tajuk dengan akarnya yang
kemudian dikeringkan untuk mengetahui biomasa tanaman.
Peubah yang Diamati
Kadar Karbon (C)
Pupuk sebanyak 0,25 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian
ditambah 5 ml K2Cr2O7 dan 2,5 ml H2SO4 perlahan-lahan. Larutan lalu dikocok
sampai bereaksi sempurna. Sebanyak 1 ml larutan yang telah dibuat dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer 125 ml dan ditambah 9 ml aquades kemudian dititrasi dengan
Fe2SO4 0,1 N dengan indikator diphenylalamin sebanyak 2-3 tetes. Titrasi
dihentikan jika warna larutan sudah berwarna biru.
Nitrogen Total
Total nitrogen dianalisa dengan metode Kjedahl, titrimetri. Sampel kompos
yang akan diujikan ditambah dengan H2SO4, H2O2 dan katalis selenium mixtur (Se +
CuSO4 + Na2SO4) kemudian didestruksi sampai menjadi jernih/putih (semua N
diubah menjadi (NH4)2 SO4), kemudian didinginkan, setelah itu didestilasi dengan
menambahkan 20 ml NaOH 50% untuk melepaskan NH3 yang ditampung dengan
larutan asam borat 1%. Sampel yang telah didestilasi selanjutnya ditritasi dengan
HCl encer (0,05) dengan indikator Conway
Kadar Fosfor (P2O5)
Pupuk sebanyak 2 g dicampur dengan 10 ml HCl 25% dan disimpan selama ±
24 jam. Rendaman tersebut diambil sebanyak 2 ml dan ditambah 18 ml aquades.
Larutan hasil pengenceran ditambahkan 0,5 ml NH4 molybdat serta 2-3 tetes SnCl2
kemudian diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 693 mm.
Hasil pengukuran yang didapatkan dibandingkan dengan kurva standar.
Kadar Kalium (K)
Pupuk sebanyak 1 g ditambahkan dengan 25 ml HCl 25% kemudian
didekstruksi. Campurkan HNO3 65% dan HClO4 37% sampai sampel berwarna
13
putih. Hasil destruksi diencerkan sampai 250 ml kemudian dipipet sebanyak 5 ml dan
diencerkan menjadi 10 ml, kemudian diukur dengan menggunakan spektrofotometer
AAS (Atomic Absorbtion Spectrophotometer).
Nilai pH Pupuk
Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran derajat keasaman atau kebasaan
suatu larutan atau bahan. Pengukuran derajat keasaman pada penelitian ini
menggunakan pH meter pada akhir pengomposan.
Tinggi Vertikal (cm)
Tinggi vertikal dapat diperoleh dengan mengukur tanaman kangkung dari
permukaan tanah sampai ujung tanaman yang tertinggi. Variabel yang diukur adalah
pertambahan tinggi vertikal tanaman yang diukur setiap minggu dengan cara
menyatukan tanaman sampai tegak lurus kemudian dilakukan pengukuran secara
vertikal pada bagian tanaman yang paling tinggi dari permukaan.
Jumlah Daun (unit)
Jumlah daun dihitung berdasarkan jumlah daun setiap individu kangkung dari
tanaman yang tertinggi dari satu lubang tanam.
Berat Kering Akar (g)
Bobot kering akar diperoleh dengan cara menimbang akar yang telah
dikeringkan dengan sinar matahari selama 48 jam dan pengeringan oven 60 0C
selama 48 jam
Berat Kering Tajuk (g)
Produksi kering tajuk diperoleh dengan cara menimbang tajuk setelah
dikeringkan dengan sinar matahari 48 jam dan pengeringan oven 60 0C selama 48
jam.
Rancangan Percobaan
Proses Pengomposan
Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengomposan adalah metode
Rancangan Acak Lengkap (RAL) meliputi 4 taraf dengan 3 ulangan. Perlakuan pada
penelitian ini adalah taraf biokativator MOL tapai yaitu 1%, 5%, 10% dengan EM4
sebagai kontrol.
14
Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Yij = µ + Gi + ∑ij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada taraf ke-i (konsentrasi MOL tapai dan kontrol) pada
ulangan ke-j
µ = Nilai tengah umum
Gi = Pengaruh taraf MOL tapai ke-i
∑ij = Pengaruh galat percobaan pada MOL tapai ke-j
Data diolah dengan metode ANOVA, selanjutnya hasil sidik ragam yang
menunjukkan pengaruh perlakuan yang nyata diuji banding dengan menggunakan uji
Tukey (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).
Pengujian ke Tanaman Kangkung
Rancangan percobaan yang digunakan dalam uji tanam ini adalah Rancangan
Faktorial dengan faktor pertama yaitu 4 macam kompos yaitu kompos dengan
penambahan MOL tapai 1%, 5%, 10%, dan EM4. Faktor kedua yaitu dosis
pemberian kompos 80 g, 160 g, dan 240 g. Kedua jenis perlakuan ini diberikan
secara acak. Untuk masing-masing perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Model
matematika dari rancangan adalah sebagai berikut :
Yijk = + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan :
Yijk = Nilai pengamatan faktor M taraf ke-i, faktor X taraf ke-j, dan
ulangan ke-k
= Rataan umum pengamatan
αi = Pengaruh perlakuan i
βj = Pengaruh perlakuan j
(αβ)ij = Pengaruh interaksi perlakuan i dan j
εijk = Pengaruh galat pupuk ke-i, dosis ke-j, dan ulangan ke-k (k = 1, 2,3)
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan analisa ragam
(Analyses of Variance / ANOVA) dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan Uji
Tukey (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).
15
Keterangan : E= EM4; MT1= Mol tapai 1%; MT5= Mol tapai 5%; MT10= Mol tapai 10%; A= Dosis
80 g; B= Dosis 160 g; C= Dosis 240 g.
Keterangan : E= EM4; MT1= Mol tapai 1%; MT5= Mol tapai 5%; MT10= Mol tapai 10%; A= Dosis
80 g; B= Dosis 160 g; C= Dosis 240 g.
B. Pisang
Cacah
Kotoran domba
Karakterisasi Bahan
Pencampuran, Homogenisasi, pemberian aktivator sesuai taraf
Metode
E
Metode
MT1
Metode
MT5
Metode
MT10
Proses Pengomposan. Pengadukan bahan dilakukan setiap 5 hari sekali
Kompos
E (kontrol)
Kompos
MT1
Kompos
MT5
Kompos
MT10
Uji Kualitas
Selesai
Gambar 2. Bagan Alir Proses Pembuatan Kompos
Media Tanam
E MT1 MT5 MT10
B A C B A C B A C B A C
Gambar 3. Media Tanam yang Digunakan
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Penelitian
Kondisi ruangan laboratorium secara umum mendukung untuk pembuatan
pupuk kompos karena mempunyai suhu yang tidak berubah signifikan setiap harinya
serta terlindung dari cahaya matahari. Suhu ruangan di Laboratorium Pengolahan
Limbah Hasil Ternak berkisar antara 26,3-27,7oC (Hadi, 2007).
Unsur hara yang terdapat pada kotoran domba terbilang lengkap namun
jumlahnya sedikit, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Peningkatan kualias kompos
kotoran domba ini kemudian dilakukan dengan menggunakan cacahan batang pisang
sebagai bahan penambah.
Pengomposan dilakukan untuk menurunkan suhu pada kotoran domba karena
kotoran yang belum dikomposkan mempunyai suhu yang tinggi yang dapat
mengakibatkan tanaman mati jika diberikan secara langsung pada tanaman.
Pengomposan juga mengurangi persaingan nutrisi dalam tanah dan merombak unsur
hara agar lebih mudah digunakan oleh tanaman dan mengurangi mikroorganisme
patogen. Aktivator merupakan bahan yang mampu meningkatkan dekomposisi bahan
organik (Gaur, 1983). Aktivator mempengaruhi proses pengomposan melalui dua
cara, cara pertama yaitu dengan menginokulasi strain mikroorganisme yang efektif
dalam menghancurkan bahan organik (pada activator organic), kedua yaitu
meningkatkan kadar N yang merupakan makanan tambahan bagi mikroorganisme
tersebut.
MOL tapai dapat digunakan sebagai bioaktivator karena sifatnya yang bisa
”diternakkan” yang berfungsi sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik.
Setiawan dan Tim ETOSA (2010) menyatakan terdapat golongan mikroorganisme
pokok dalam bioaktivator yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp., Streptomycetes
sp., ragi (yeast), dan actinomycetes. MOL tapai yang telah dikembangbiakkan selama
5 hari dalam botol minum 1 liter ditunjukkan pada Gambar 4.
17
Gambar 4. MOL Tapai yang Telah Dikembangbiakkan selama 5 Hari dalam Botol
Minum 1 Liter
Proses pengomposan dilakukan secara anaerobik dengan menggunakan
polybag yang ditutup rapat lalu diberi selang untuk mengeluarkan gas-gas hasil dari
pengomposan dan ujung selang dimasukkan ke dalam botol yang berisi air, sehingga
udara dapat keluar namun tidak dapat masuk untuk menjaga keadaan anaerobik
dalam polybag.
Produksi Kompos
Produk akhir dari proses dekomposisi dan stabilisasi bahan organik oleh
mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkontrol adalah kompos. Produksi
kompos ini dipengaruhi oleh imbangan C/N, tingkat keasaman (pH), jenis
mikroorganisme yang terlibat, penyusutan, kadar air bahan dan struktur bahan
organik. Berat awal bahan organik yang digunakan pada masing-masing perlakuan
terdiri dari 2,3 kg cacahan batang pisang dan 7,7 kg kotoran domba. Angka tersebut
didapatkan setelah diketahui rasio C/N batang pisang 55 dan rasio C/N kotoran
domba 29. Setelah dihitung, diketahui persen perbandingan batang pisang dan
kotoran domba dengan C/N kompos yang diinginkan sebesar 35 yaitu 23,07 % :
76,92 %. Rataan nilai produksi bobot akhir kompos dapat dilihat pada Tabel 3.
18
Tabel 3. Rataan Nilai Produksi Bobot Akhir Kompos
Perlakuan Bobot Awal Kompos Bobot Akhir Kompos
--------------(kg)------------ --------------(kg)-------------
EM4 10 3,10 ± 0,02b
MT1 10 3,23 ± 0,24b
MT5 10 3,54 ± 0,04ab
MT10 10 3,79 ± 0,33a
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(P<0,05).
Hasil sidik ragam untuk rataan nilai produksi bobot kompos dengan
perlakuan penambahan EM4, MT1, MT5 dan MT10 menunjukkan hasil yang
berbeda nyata (P<0,05).
Hasil uji lanjut Tukey pada kompos dengan masing-masing perlakuan
menandakan adanya perbedaan antara kompos dengan pemberian EM4, MT1, MT5
dengan MT10 dan kesamaan antara kompos dengan perlakuan pemberian EM4,
MT1, MT5 serta antara MT5 dengan MT10.
Bobot akhir kompos pada kompos dengan perlakuan pemberian EM4 (31%),
MT1 (32%), MT5 (35%), MT10 (38%). Menurut Salundik (2009), volume kompos
jauh lebih kecil dibandingkan bahan asalnya (kompos kurang lebih 30-40% dari
bahan asal), sehingga dapat mengurangi tenaga serta biaya transportasi dan
penyebaran di lapangan.
Kandungan Karbon (C) Organik Pupuk Kompos
Karbon dalam bahan organik berfungsi sebagai energi untuk berkembangnya
mikroorganisme tanah. Nilai karbon pada kompos dipengaruhi oleh jenis bahan
organik yang digunakan karena karbon pada tanaman lebih besar dari pada karbon
limbah ternak dan juga bioaktivator yang digunakan untuk membantu proses
pengomposan ikut berpengaruh terhadap nilai karbon kompos. Karbon dalam
tanaman dipengaruhi oleh kandungan lignin dan selulosa. Kecepatan kehilangan
karbon (C) pada proses pengomposan lebih cepat daripada kehilangan nitrogen (N).
Hasil sidik ragam untuk rataan nilai kandungan karbon (C) organik dengan perlakuan
pemberian EM4, MT1, MT5, dan MT10 menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(P<0,05). Hal ini dapat dilihat pada lampiran 4. Rataan nilai kandungan karbon (C)
organik dapat dilihat pada Tabel 4.
19
Tabel 4. Rataan Nilai Kandungan Karbon (C) Organik
Perlakuan C Organik (%)
EM4 20,73 ± 0,68ab
MT1 21,98 ± 2,03ab
MT5 23,88 ± 2a
MT10 18,13 ± 1,05b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(P<0,05)
Hasil uji lanjut Tukey pada kompos dengan masing-masing perlakuan
menunjukkan kompos dengan pemberian EM4, MT1, dan MT5 tidak berbeda namun
menghasilkan rataan nilai kandungan karbon (C) organik tertinggi. Kompos dengan
pemberian EM4, MT1, dan MT10 tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai
kandungan karbon (C) terendah.
Kandungan C-organik yang dicapai pada masing-masing perlakuan berkisar
antara 18,13-20,73%. Hal ini telah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
Departemen Pertanian yaitu minimum 15%. Penurunan kadar karbon selama
pemupukan terjadi karena mikroorganisme membutuhkan karbon untuk
menyediakan energi (Gunawan dan Surdiyanto, 2001). Rata-rata nilai kandungan
karbon (C) organik pada tiap-tiap kompos dengan perlakuan yang berbeda juga dapat
dikatakan tinggi, hal ini berdasarkan hasil analisis kandungan rata-rata hara kompos
domba dengan tanpa penambahan bioaktivator yang menghasilkan unsur karbon
sebesar 4,38 – 8,00% (Yuwono, 2006). Kandungan karbon (C) organik yang tinggi
dapat dikarenakan faktor imbangan C/N yang tinggi pada awal pencampuran bahan
organik dalam pembuatan kompos yaitu sebesar 35 dan juga proses pengomposan
yang dilakukan secara anaerobik sehingga hasil samping dari perombakan mikroba
berupa CO2 sebagian besar tertahan di dalam.
Kandungan Nitrogen (N) Total Pupuk Kompos
Rataan nilai N total yang dicapai masing-masing kompos berkisar antara
1,31-1,75%. Rataan nilai N total terbesar dicapai oleh kompos dengan pemberian
EM4 yaitu sebesar 1,75% dan nilai N total terendah dicapai oleh kompos dengan
pemberian MT10 yaitu sebesar 1,31%. Rataan nilai N total pada masing-masing
perlakuan telah sesuai dengan SNI 19-7030-2004 yang menyatakan kandungan N
20
total pada kompos sampah organik kompos minimal 0,4%. Rataan nilai kandungan
nitrogen (N) total dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Nilai Kandungan Nitrogen (N) Total
Perlakuan N Total (%)
EM4 1,75 ± 0,13A
MT1 1,66 ± 0,06A
MT5 1,61 ± 0,04A
MT10 1,31 ± 0,07B
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat berbeda
nyata (P<0,01)
Hasil sidik ragam untuk rataan nilai kandungan nitrogen (N) total dengan
perlakuan pemberian EM4, MT1, MT5 dan MT10 menunjukkan hasil yang sangat
berbeda nyata (P<0,01).
Hasil uji lanjut Tukey pada kompos dengan masing-masing perlakuan
menunjukkan kompos dengan pemberian EM4, MT1, MT5 tidak berbeda namun
menghasilkan rataan nilai kandungan nitrogen (N) total tertinggi. Kompos dengan
pemberian MT10 merupakan kompos dengan rataan nilai kandungan nitrogen (N)
total terendah.
EM4 mengandung bakteri heterotropik yang dapat mengikat N. Sutedjo
(1987), menyatakan aktifitas dari bakteri heterotropik membutuhkan karbon sebagai
energi, tingginya konsentrasi bakteri heterotropik pada EM4 dan tingginya rasio C/N
pada bahan kompos menyebabkan nitrifikasi yang terjadi semakin baik. Nitrifikasi
adalah proses pembentukan nitrat atau nitrit secara hayati dari senyawa-senyawa
yang mengandung nitrogen terenduksi. Di alam proses ini terjadi di tempat-tempat
seperti tanah, lingkungan marin, tumpukan pupuk kandang atau selama pengolahan
limbah. Nitrat merupakan bentuk nitrogen utama yang diasimilasi oleh tanaman dan
berperanan penting untuk mempertahankan kesuburan tanah (Imas et al., 1989).
Pemberian MT1, MT5 dan MT10 berbanding terbalik terhadap rataan
kandungan nitrogen (N) total. Organisme penyebab denitrifikasi seperti bacillus
konsentrasinya relatif tinggi pada MOL tapai, sehingga pemberian konsentrasi MOL
tapai berpengaruh terhadap tingkat kandungan nitrogen (N) total pada kompos.
21
Kandungan Fosfor (P) Total Pupuk Kompos
Fosfor (P) merupakan unsur hara makro yang sangat penting untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Fosfor berperan dalam macam-macam
metabolisme utama seperti karbohidrat, protein dan lemak (Ashari, 1995). Selain itu,
P berguna sebagai bahan mentah untuk pembentukan protein, membantu asmilasi
dan pernafasan serta mempercepat pembungaan, pemasakan biji, dan buah (Siregar,
1981). Rataan nilai P total yang dicapai masing-masing kompos berkisar antara
0,51-0,74%. Rataan nilai P total pada masing-masing perlakuan telah sesuai dengan
SNI 19-7030-2004, yang menyatakan kandungan P total pada kompos sampah
organik minimal 0,1%. Rataan nilai kandungan Fosfor (P) total dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Nilai Kandungan Fosfor (P) Total
Perlakuan P Total (%)
EM4 0,74 ± 0,036A
MT1 0,69 ± 0,052AB
MT5 0,63 ± 0,04B
MT10 0,51 ± 0,03C
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat berbeda
nyata (P<0,01)
Hasil sidik ragam untuk rataan nilai kandungan fosfor (P) total dengan
perlakuan pemberian EM4, MT1, MT5 dan MT10 menunjukkan hasil yang sangat
berbeda nyata (P<0,01). Hasil uji lanjut Tukey pada kompos dengan pemberian EM4
dan MT1 tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai kandungan fosfor (P)
tertinggi. Hasil uji lanjut Tukey kompos dengan pemberian MT1 dan MT5 tidak
berbeda. Hasil uji lanjut Tukey kompos dengan pemberian M10 menunjukkan bahwa
kompos pemberian MT10 merupakan kompos dengan rataan nilai kandungan fosfor
(P) terendah.
Manfaat EM4 menurut Indriyani (1999), adalah memperbaiki sifat fisika,
kimia dan biologis tanah, menekan pertumbuhan bakteri patogen tanah,
meningkatkan ketersediaan nutrisi dan senyawa organik tanah, meningkatkan
mikroba indigenus yang menguntungkan, misalnya Mycoriza, Rhizobius, dan bakteri
pelarut fosfat lainnya.
Pemberian MT1, MT5 dan MT10 pada bahan organik berbanding terbalik
terhadap rataan kandungan fosfor (P) total kompos. Hal ini dikarenakan MOL tapai
22
memiliki pH yang rendah yang mengakibatkan semakin besarnya volume
pencampuran MOL tapai ke dalam ransum bahan organik yang akan dikomposkan
berakibat semakin rendah pula pH awal pada bahan organik. Mikroorganisme yang
secara langsung terdapat pada kotoran domba hasil ikutan dari aktifitas rumen domba
tersebut kurang dapat beradaptasi. Menurut Hadiah (2003), semakin banyak bakteri
maka proses dekomposisi menjadi intensif yang menyebabkan unsur P yang
dibutuhkan mikroba untuk pembentukan tubuhnya semakin besar dan pada waktu
miroba itu mati maka unsur tersebut dilepas sehingga dapat meningkatkan
kandungan P dalam kompos.
Kandungan Kalium (K2O) Total Pupuk Kompos
Hasil sidik ragam untuk rataan nilai kandungan kalium (K2O) total dengan
perlakuan pemberian EM4, MOL tapai 1%, 5% dan 10% menunjukkan hasil yang
tidak berbeda. Rataan nilai K2O total pada masing-masing perlakuan telah sesuai
dengan SNI 19-7030-2004, yang menyatakan kandungan K2O total pada kompos
sampah organik kompos minimal 0,2%. Rataan nilai kandungan K2O total dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Nilai kandungan Kalium (K2O) Total
Perlakuan K Total (%)
EM4 2,22 ± 0,055
MT1 2,35 ± 0,58
MT5 2,16 ± 0,076
MT10 1,87 ± 0,085
Menurut Tan (1993), kandungan kalium pada pupuk kandang domba sebesar
0,93%. Rataan K2O total pada masing-masing perlakuan berkisar antara 1,87-2,22%,
hal ini menandakan bahwa cacahan batang pisang dapat meningkatkan unsur kalium
dalam kompos. Rataan nilai K total pada masing-masing perlakuan juga telah sesuai
dengan SNI 19-7030-2004, yang menyatakan kandungan K total pada kompos
sampah organik kompos minimal 0,2%. Kalium (K) adalah salah satu unsur hara
yang mempunyai peranan penting, selain P yang mampu diserap oleh tanaman dalam
jumlah besar. Adanya K yang cukup tersedia dalam tanaman akan merangsang
pertumbuhan akar dan meningkatkan ketegaran tanaman yang membuat tanaman
lebih tahan terhadap serangan hama penyakit (Soepardi, 1983).
23
Kandungan Rasio Karbon/Nitrogen (C/N) Pupuk Kompos
Rasio C/N bahan organik (bahan baku kompos) merupakan faktor terpenting
dalam pengomposan. Proses pengomposan akan berjalan baik jika rasio C/N bahan
organik yang dikomposkan sekitar 25-35. Imbangan C/N yang terlalu tinggi akan
menyebabkan proses pengomposan berlangsung lambat. Keadaan ini disebabkan
mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan kekurangan nitrogen (N).
Sementara itu, imbangan yang terlalu rendah akan menyebabkan kehilangan nitrogen
dalam bentuk amonia yang selanjutnya akan teroksidasi. Kecepatan dekomposisi
bahan organik ditunjukkan oleh perubahan rasio C/N. (Simamora dan Salundik,
2006).
Hasil sidik ragam untuk rataan nilai rasio karbon/nitrogen (C/N) total dengan
perlakuan pemberian EM4, MT1, MT5 dan MT10 menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata.
Rataan rasio C/N pada masing-masing perlakuan berkisar antara 1,87-2,22%
perlakuan telah sesuai dengan SNI 19-7030-2004, yang menyatakan kandungan C/N
rasio pada kompos sampah organik kompos minimal 10 dan maksimal 20. Simamora
dan Salundik (2006) menyatakan kecepatan kehilangan C lebih besar daripada N
sehingga diperoleh imbangan C/N lebih rendah (10-20). Rataan nilai C/N total pada
masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Nilai Rasio Karbon/Nitrogen (C/N)
Perlakuan C/N
EM4 12,03± 0,84
MT1 13,20 ± 1,36
MT5 14,86 ±1,50
MT10 13,86 ± 0,96
pH Akhir Pupuk Kompos
Salah satu faktor kritis bagi pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat
dalam proses pengomposan adalah tingkat keasaman pH (Simamora dan Salundik,
2006). Tingkat keasaman (pH) pada masing-masing perlakuan adalah 7,4. Nilai ini
telah sesuai dengan SNI 19-7030-2004, yang menyatakan pH pada kompos sampah
organik kompos minimal 6,80 dan maksimal 7,49.
Tingkat keasaman yang mendekati netral atau netral merupakan indikasi
bahwa kompos sudah matang. Pada awal pengomposan reaksi cenderung asam, hal
24
ini dikarenakan bahan organik yang dirombak menghasilkan asam-asam organik
sederhana. Pada akhir pengomposan aktivitas mikroba semakin menurun karena
semakin berkurangnya zat-zat yang dirombak dan menyebabkan pembentukan
kation-kation basa, sehingga pH akan kembali netral. Nilai pH pada masing-masing
kompos dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. pH Akhir Kompos
Perlakuan pH
EM4 7,4
MT1 7,4
MT5 7,4
MT10 7,4
Tinggi Vertikal Tanaman
Penampilan ukuran tinggi tanaman merupakan salah satu aspek yang dapat
diamati dan mudah dinilai kualitas pertumbuhannya (Sitompul dan Guritno, 1995).
Pertumbuhan tinggi tanaman ditentukan oleh perkembangan dan pertumbuhan sel,
semakin cepat sel membelah dan memanjang (membesar) semakin cepat tanaman
meninggi. Pengukuran dari pertambahan tinggi vertikal tanaman setiap minggu pada
7 HST (hari setelah tanam), 14 HST, 21 HST, dan 28 HST digunakan untuk
mengetahui respon pertumbuhan tanaman kangkung terhadap masing-masing
perlakuan. Letak media tanah yang diberi perlakuan dan kontrol negatif yaitu media
tanah tanpa penambahan kompos dalam rumah kaca dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Letak Media Tanah yang Diberi Perlakuan dan Kontrol Negatif yaitu
Media Tanah Dalam Rumah Kaca.
25
Data pengamatan interaksi antara jenis kompos dan dosis diambil dari 4 kali
pengamatan yaitu 7 HST (hari setelah tanam), 14 HST, 21 HST dan 28 HST. Hasil
sidik ragam interaksi antara jenis kompos dan dosis, jenis kompos, dosis yang
diberikan terhadap rataan nilai tinggi tanaman kangkung pada 7 HST dan 14 HST
tidak berpengaruh nyata (lampiran 12 dan 13).
Hasil sidik ragam interaksi antara jenis kompos dan dosis pada 21 HST
menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap rataan nilai tinggi tanaman
kangkung. Hasil sidik ragam jenis kompos pada 21 HST menunjukkan hasil yang
berbeda nyata (P<0,05) terhadap rataan nilai tinggi tanaman kangkung. Hasil sidik
ragam dosis yang diberikan pada 21 HST menunjukkan hasil yang sangat berbeda
nyata (P<0,01) terhadap rataan nilai tinggi tanaman kangkung.
Hasil sidik ragam interaksi antara jenis kompos dan dosis pada 28 HST
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap rataan nilai tinggi tanaman
kangkung. Hasil sidik ragam jenis kompos pada 28 HST menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata terhadap rataan nilai tinggi tanaman kangkung. Hasil sidik ragam
dosis yang diberikan pada 28 HST menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata
(P<0,01) terhadap rataan nilai tinggi tanaman kangkung. Rataan nilai tinggi tanaman
kangkung pada 7 HST dan 14 HST dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11. Rataan nilai
tinggi tanaman kangkung pada 21 HST dan 28 HST dapat dilihat pada Tabel 12 dan
13.
Tabel 10. Rataan Nilai Tinggi Vertikal Tanaman 7 HST
Jenis Dosis
Rataan 80 160 240
---------------------------------------cm----------------------------------
EM4 8,36±0,81 7,89±1,61 8,54±0,88 8,26
MT1 8,79±0,67 9,36±0,88 8,40±0,71 8,85
MT5 8,12±1,02 7,57±1,39 8,61±0,60 8,10
MT10 8,16±0,53 9,15±0,39 8,06±0,81 8,45
Rataan 8,36 8,49 8,41 Kontrol negatif berupa tanah mencapai rataan pertambahan tinggi vertikal 7,78 cm pada 7 HST.
Dosis B (pemberian 160 g) mencapai rataan nilai tinggi vertikal tanaman
kangkung tertinggi, yaitu 8,49 cm pada 7 HST, diikuti dengan dosis C (pemberian
240 g) dengan rataan nilai tinggi vertikal 8,41 cm dan dosis A (pemberian 80 g)
dengan rataan nilai tinggi vertikal 8,36 cm. Kompos dengan pemberian MT1
26
mencapai rataan nilai tinggi vertikal tanaman kangkung tertinggi yaitu 8,85 cm
diikuti oleh kompos dengan pemberian MT10 yaitu 8,45 cm, kompos dengan
pemberian EM4 yaitu 8,26 cm dan kompos dengan pemberian MT5 yaitu 8,10 cm.
Jika dibandingkan dengan rataan nilai pertumbuhan tinggi vertikal tanaman dengan
media tanah tanpa pemberian kompos sebesar 7,78 cm pada 7 HST maka dapat
dilihat bahwa media dengan pemberian kompos pada masing-masing perlakuan lebih
tinggi dari kontrol negatif. Interaksi antara jenis kompos dengan dosis yang
diberikan terhadap rataan nilai tinggi vertikal tanaman berkisar antara 7,57-9,36 cm.
Media dengan pemberian kompos MT5B mencapai nilai rataan tinggi vertikal
terendah sebesar 7,57 cm. Media dengan pemberian kompos MT1B mencapai rataan
nilai tinggi vertikal tertinggi yaitu sebesar 9,36 cm. Jika dibandingkan dengan rataan
nilai pertumbuhan tinggi vertikal tanaman dengan media tanah tanpa pemberian
kompos (kontrol negatif) yaitu 7,78 cm pada 7 HST, maka dapat dilihat bahwa media
dengan pemberian masing-masing kompos pada dosis yang berbeda selain media
dengan pemberian MT5B mencapai rataan nilai tinggi vertikal yang lebih tinggi dari
kontrol negatif berupa media tanah tanpa penambahan kompos.
Sistem perakaran tanaman yang belum berkembang dengan sempurna
menyebabkan terbatasnya penyerapan unsur-unsur hara yang terkandung didalam
tanah. Akar merupakan salah satu bagian tanaman yang berperan pokok dalam
pertumbuhannya, berfungsi untuk menyerap air dan juga unsur hara yang ada di
dalam tanah (Sufardi, 2001).
Tabel 11. Rataan Nilai Tinggi Vertikal Tanaman 14 HST
Jenis Dosis
Rataan 80 160 240
---------------------------------------cm--------------------------------
EM4 14,09±1,37 15,15±1,61 16,13±1,07 15,12
MT1 15,79±0,62 16,87±1,91 14,49±1,83 15,72
MT5 14,26±0,96 14,77±2,32 15,34±1,17 14,79
MT10 13,58±1,60 15,85±0,51 14,76±1,28 14,73
Rataan 14,43 15,66 15,18 Kontrol negatif berupa tanah mencapai rataan pertambahan tinggi vertikal 13,23 cm pada 14 HST.
Dosis B mencapai rataan nilai tinggi vertikal tanaman kangkung tertinggi,
yaitu 15,66 cm pada 14 HST, diikuti dengan dosis C dengan rataan nilai tinggi
vertikal 15,18 cm dan dosis A dengan rataan nilai tinggi vertikal 14,43 cm. Kompos
27
dengan pemberian MT1 mencapai rataan nilai tinggi vertikal tanaman kangkung
tertinggi yaitu 15,72 cm diikuti oleh kompos dengan pemberian EM4 yaitu 15,12 cm,
kompos dengan pemberian MT5 yaitu 14,79 cm dan kompos dengan pemberian
MT10 yaitu 14,73 cm. Jika dibandingkan dengan rataan nilai pertumbuhan tinggi
vertikal tanaman dengan media tanah tanpa pemberian kompos sebesar 13,23 cm
pada 14 HST maka dapat dilihat bahwa media dengan pemberian kompos pada
masing-masing perlakuan lebih tinggi dari kontrol negatif.
Interaksi antara jenis kompos dengan dosis yang diberikan terhadap rataan
nilai tinggi vertikal tanaman berkisar antara 13,58-16,87 cm. Media dengan
pemberian kompos MT10A mencapai nilai rataan tinggi vertikal terendah sebesar
13,58 cm. Media dengan pemberian kompos MT1B mencapai rataan nilai tinggi
vertikal tertinggi yaitu sebesar 16,87 cm. Jika dibandingkan dengan rataan nilai
pertumbuhan tinggi vertikal tanaman dengan media tanah tanpa pemberian kompos
(kontrol negatif) yaitu 13,23 cm pada 14 HST, maka dapat dilihat bahwa media
dengan pemberian masing-masing kompos pada dosis yang berbeda mencapai rataan
nilai tinggi vertikal yang lebih tinggi dari kontrol negatif berupa media tanah tanpa
penambahan kompos.
Tabel 12. Rataan Nilai Tinggi Vertikal Tanaman 21 HST
Jenis Dosis
Rataan 80 160 240
---------------------------------------cm--------------------------------
EM4 20,7±1,53bc
25,41±2,02ab
25,11±1,72ab
23,74ab
MT1 22,87±0,60abc
27,26±3,55a 22,97±3,67
abc 24,37
a
MT5 20,81±0,88bc
22,94±0,99abc
25,66±1,29ab
23,14ab
MT10 18,34±1,57c 22,14±1,34
abc 24,23±4,06
ab 21,57
b
Rataan 20,68B 24,44
A 24,49
A
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom rataan jenis kompos menunjukkan hasil yang
berbeda nyata (P<0,05). Superskrip yang berbeda pada baris rataan dosis menunjukkan
hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Superskrip yang berbeda pada kolom dan
baris interaksi antara dosis dengan jenis kompos menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(P<0,05). Kontrol negatif berupa tanah mencapai rataan pertambahan tinggi vertikal
16,18 cm pada 21 HST.
Hasil uji lanjut Tukey pemberian dosis kompos pada 21 HST terhadap rataan
nilai pertumbuhan tinggi vertikal tanaman kangkung menunjukkan bahwa dosis
kompos 160 dan 240 menghasilkan rataan nilai pertumbuhan tinggi vertikal tanaman
yang tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai pertumbuhan tinggi vertikal
28
tanaman yang lebih tinggi dari dosis lainnya. Hasil uji lanjut Tukey jenis kompos
pada 21 HST terhadap rataan nilai pertumbuhan tunggi vertikal tanaman kangkung
menunjukkan bahwa kompos dengan pemberian EM4, MT1, dan MT5 tidak berbeda
namun menghasilkan rataan nilai pertumbuhan tinggi vertikal tanaman yang lebih
tinggi dari jenis kompos lainnya. Kompos dengan pemberian EM4, MT5, dan MT10
tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai pertumbuhan tinggi vertikal tanaman
yang lebih rendah dari jenis kompos lainnya.
Hasil uji lanjut Tukey interaksi antara jenis kompos dan dosis terhadap rataan
nilai pertumbuhan tinggi vertikal tanaman kangkung pada 21 HST menunjukkan
bahwa media dengan pemberian MT1 80, EM4 160, MT1 160, MT5 160, MT10 160,
EM4 240, MT1 240, MT5 240, MT10 240 tidak berbeda namun menghasilkan rataan
nilai pertumbuhan tinggi vertikal tanaman yang lebih tinggi dari pada media lainnya.
Kompos dengan media EM4 80, MT1 80, MT5 80, EM4 160, MT5 160, MT10 160,
EM4 240, MT1 240, MT5 240, dan MT10 240 tidak berbeda. Kompos dengan media
EM4 80, MT1 80, MT5 80, MT10 80, MT5 160, MT10 160, dan MT1 240 tidak
berbeda namun menghasilkan rataan nilai pertumbuhan tinggi vertikal tanaman yang
lebih rendah dari media lainnya.
Dosis 240 dan 160 mencapai rataan nilai tinggi vertikal tanaman kangkung
lebih tinggi dari dosis 80 pada 21 HST. Penambahan dosis kompos meningkatkan
kapasitas nutrisi pada media tanam, sehingga tanaman kangkung dengan media
pemberian dosis C angka kecukupan nutrien lebih besar dari pada dosis di bawahnya.
Jenis kompos berpengaruh nyata terhadap tinggi vertikal tanaman pada 21
HST. Kompos dengan pemberian MT1, EM4, MT5, dan MT10 mencapai rataan nilai
tinggi vertikal tanaman kangkung tertinggi. Jika dibandingkan dengan rataan nilai
pertumbuhan tinggi vertikal tanaman dengan media tanah tanpa pemberian kompos
sebesar 16,18 cm pada 21 HST maka dapat dilihat bahwa media dengan pemberian
kompos pada masing-masing perlakuan lebih tinggi dari kontrol negatif.
Interaksi antara jenis kompos dengan dosis yang diberikan terhadap rataan
nilai tinggi vertikal tanaman berkisar antara 20,7-27,26 cm. Jika dibandingkan
dengan rataan nilai pertumbuhan tinggi vertikal tanaman dengan media tanah tanpa
pemberian kompos (kontrol negatif) yaitu 16,18 cm pada 21 HST, maka dapat dilihat
bahwa media dengan pemberian kompos pada dosis yang berbeda menghasilkan
29
rataan nilai tinggi vertikal yang lebih tinggi dari kontrol negatif. Pertumbuhan
tanaman didukung oleh tersedianya faktor-faktor yang dibutuhkan oleh tanaman
dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Kontrol negatif tanpa pemberian kompos
menjadikan minimnya ketersedian hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk hidup
dan berkembangnya.
Tabel 13. Rataan Nilai Tinggi Vertikal Tanaman 28 HST
Jenis Dosis
Rataan 80 160 240
---------------------------------------cm--------------------------------
EM4 38,55±2,78 50,93±8,43 48,30±9,20 45,93
MT1 44,02±4,92 48,84±10,50 42,81±5,18 45,22
MT5 37,76±2,28 42,46±3,12 50,17±4,44 43,46
MT10 34,94±2,47 39,76±4,21 46,23±8,72 40,31
Rataan 38,82B 45,49
A 46,88
A
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris rataan dosis menunjukkan hasil yang berbeda sangat
nyata (P<0,01). Kontrol negatif berupa tanah mencapai rataan pertambahan tinggi
vertikal 18,80 cm pada 28 HST.
Hasil uji lanjut Tukey pemberian dosis pada 28 HST terhadap rataan nilai
pertumbuhan tinggi vertikal tanaman kangkung menunjukkan bahwa dosis 160 dan
dosis 240 menghasilkan menghasilkan rataan nilai pertumbuhan tinggi vertikal
tanaman yang tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai pertumbuhan tinggi
vertikal tanaman yang lebih tinggi dari dosis lainnya. Tinggi vertikal tanaman
kangkung 28 HST pada jenis kompos yang berbeda dengan pemberian dosis 80 dan
kontrol berupa media tanah dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Tinggi Vertikal Tanaman Kangkung 28 HST pada Jenis Kompos yang
Berbeda dengan Pemberian Dosis A dan Kontrol Berupa Media Tanah.
K EM4
A
MT1
A
MT5
A
MT10A
30
Dosis 240 dan 160 mencapai rataan nilai tinggi vertikal tanaman kangkung
tertinggi, yaitu 46,88 cm dan 45,49 cm. Dosis 80 dengan rataan nilai tinggi vertikal
38,82 cm mempunyai rataan nilai tinggi vertikal tanaman terendah. Jika
dibandingkan dengan rataan nilai pertumbuhan tinggi vertikal tanaman dengan media
tanah tanpa pemberian kompos (kontrol negatif) yaitu 18,80 cm pada 28 HST, maka
dapat dilihat bahwa rataan nilai tinggi vertikal pada masing-masing perlakuan tinggi
dari kontrol negatif. Penambahan dosis kompos meningkatkan kapasitas nutrisi pada
media tanam, sehingga tanaman kangkung dengan media pemberian dosis 240 dan
180 unsur haranya lebih besar dari pada dosis di bawahnya.
Jumlah Daun Tanaman
Jumlah daun merupakan parameter yang dapat digunakan untuk melihat
indikator pertumbuhan. Daun merupakan organ tanaman tempat fotosintesis terjadi
yang menghasilkan karbohidrat sederhana untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Pengamatan daun dapat didasarkan atas fungsinya sebagai
penerima cahaya dan alat yang berperan dalam proses fotosintesis.
Untuk kepentingan analisis, data pengamatan interaksi antara jenis kompos
dan dosis diambil dari 4 kali pengamatan yaitu 7 HST (hari setelah tanam), 14 HST,
21 HST dan 28 HST. Hasil sidik ragam jenis dan dosis serta interaksi antara jenis
kompos dan dosis terhadap rataan nilai jumlah daun tanaman kangkung terhadap
pada 7 HST dan 14 HST tidak berbeda nyata.
Sidik ragam interaksi antara jenis kompos dan dosis pada 21 HST
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap rataan nilai jumlah daun
tanaman kangkung. Hasil sidik ragam jenis kompos pada 21 HST terhadap rataan
nilai jumlah daun tanaman menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01).
Hasil sidik ragam pemberian dosis pada 21 HST terhadap rataan nilai jumlah daun
tanaman menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01).
Hasil sidik ragam interaksi antara jenis kompos dan dosis pada 28 HST
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap rataan nilai jumlah daun
tanaman kangkung. Hasil sidik ragam jenis kompos pada 28 HST terhadap rataan
nilai jumlah daun tanaman menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Hasil
sidik ragam pemberian dosis pada 28 HST terhadap rataan nilai jumlah daun
tanaman menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01). Rataan nilai jumlah
31
daun tanaman kangkung pada 7 HST dan 14 HST dapat dilihat pada Tabel 14 dan 15.
Rataan nilai jumlah daun tanaman kangkung pada 21 HST dan 28 HST dapat dilihat
pada Tabel 16 dan 17.
Tabel 14. Rataan Jumlah Daun Tanaman 7 HST
Jenis Dosis
Rataan 80 160 240
---------------------------------------helai--------------------------------
EM4 1,94±0,12 2,00±0,00 2,00±0,00 1,98
MT1 2,00±0,00 1,87±0,14 1,87±0,14 1,92
MT5 1,94±0,12 1,87±0,25 1,94±0,12 1,92
MT10 1,87±0,25 2,00±0,00 1,94±0,12 1,94
Rataan 1,94 1,94 1,94 Kontrol negatif berupa tanah mencapai rataan nilai jumlah daun 1,98 pada 7 HST.
Rataan jumlah daun tanaman pada 7 HST seragam yang berkisar antara 1,87-
2,00 dengan simpangan baku 0,00-0,25. Hal ini dikarenakan kangkung masih dalam
proses pertumbuhan awal setelah fase perkecambahan selesai. Unsur hara yang
terkandung dalam tanah belum berperan penting dalam fase ini karena unsur hara
yang dibutuhkan masih sedikit dan semuanya terpenuhi. Perkecambahan adalah
proses pengaktifan kembali aktivitas pertumbuhan embryonic axis di dalam biji yang
terhenti untuk kemudian membentuk bibit. Proses perkecambahan ini terjadi setelah
pembuahan berlangsung. Secara visual dan morfologis, suatu biji yang berkecambah
umumnya ditandai dengan terlihatnya radikel atau plumula yang menonjol keluar
dari biji. Dalam keadaan normal, semua jaringan yang kompleks dan organ yang
membentuk bibit dan kemudian menjadi tumbuhan dewasa adalah yang berasal dari
sel telur yang telah dibuahi. Sementara kulit biji berasal dari tumbuhan induk, dan
endosperma berasal dari penyatuan antara sperma dengan polar nuclei di dalam
embryo sac (Sutopo, 2002).
32
Tabel 15. Rataan Jumlah Daun Tanaman 14 HST
Jenis Dosis
Rataan 80 160 240
-------------------------------------helai------------------------------
EM4 4,69±0,31 5,00±0,64 5,12±0,14 4,94
MT1 5,25±0,71 5,06±0,31 4,62±0,66 4,98
MT5 4,75±0,29 4,75±0,54 5,06±0,31 4,85
MT10 4,75±0,35 4,56±0,37 4,94±0,43 4,75
Rataan 4,86 4,84 4,94 Kontrol negatif berupa tanah mencapai rataan nilai jumlah daun 4,81 pada 14 HST
Dosis 240 mencapai rataan nilai jumlah daun tanaman kangkung tertinggi,
yaitu 4,94 pada 14 HST, diikuti dengan dosis 80 dengan rataan nilai jumlah daun
tanaman 4,86 dan dosis 160 dengan rataan nilai jumlah daun 4,84. Kompos dengan
pemberian MT1 mencapai rataan nilai jumlah daun tanaman kangkung tertinggi yaitu
4,98 diikuti oleh kompos dengan pemberian EM4 yaitu 4,94, kompos dengan
pemberian MT5 yaitu 4,85 dan kompos dengan pemberian MT10 yaitu 4,75.
Interaksi antara jenis kompos dengan dosis yang diberikan terhadap rataan nilai
jumlah daun tanaman berkisar antara 4,56-5,25. Media dengan pemberian kompos
MT10 160 mencapai nilai rataan jumlah daun terendah sebesar 4,56. Media dengan
pemberian kompos MT1 80 mencapai rataan nilai jumlah daun tertinggi yaitu sebesar
5,25. Jika dibandingkan dengan rataan nilai pertumbuhan tinggi vertikal tanaman
dengan media tanah tanpa pemberian kompos (kontrol negatif) yaitu 4,81 pada 14
HST, kompos tanpa pemberian MOL mempunyai rataan nilai jumlah daun yang
lebih tinggi dari kompos dengan pemberian MT10 160 namun lebih rendah rataan
nilai jumlah daun tanaman dari kompos dengan pemberian MT1 80.
Sistem perakaran tanaman yang belum berkembang dengan sempurna
menyebabkan terbatasnya penyerapan unsur-unsur hara yang terkandung di dalam
tanah. Sehingga unsur hara yang terkandung dalam tanah belum dapat dimanfaatkan
dengan optimal oleh tanaman.
33
Tabel 16. Rataan Jumlah Daun Tanaman 21 HST
Jenis Dosis
Rataan 80 160 240
-------------------------------------helai------------------------------
EM4 7,37±0,32 8,19±0,69 8,37±0,43 7,98A
MT1 8,06±0,51 8,12±0,59 8,69±1,26 8,29A
MT5 7,62±0,25 7,69±0,24 8,25±0,46 7,85AB
MT10 7,00±0,35 7,31±0,37 7,69±0,55 7,33B
Rataan 7,51B 7,83
AB 8,25
A
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom rataan jenis kompos menunjukkan hasil yang
berbeda sangat nyata (P<0,01). Superskrip yang berbeda pada baris rataan dosis
menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Kontrol negatif berupa tanah
mencapai rataan nilai jumlah daun 6,79 pada 21 HST.
Hasil uji lanjut Tukey pemberian dosis kompos terhadap rataan nilai jumlah
daun tanaman kangkung pada 21 HST menunjukkan bahwa dosis kompos 160 dan
dosis C tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai jumlah daun tanaman
kangkung yang lebih tinggi dari media lainnya. Dosis kompos A dan dosis B tidak
berbeda namun menghasilkan rataan nilai jumlah daun tanaman kangkung yang lebih
rendah dari media lainnya. Hasil uji lanjut Tukey jenis kompos terhadap rataan nilai
jumlah daun tanaman pada 21 HTS menunjukkan bahwa kompos dengan pemberian
EM4, MT1 dan MT5 tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai jumlah daun
tanaman kangkung yang lebih tinggi dari media lainnya. Kompos dengan pemberian
MT5 dan MT10 tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai jumlah daun
tanaman kangkung yang lebih rendah dari media lainnya.
Dosis 240 dan 160 mencapai rataan nilai jumlah daun tanaman kangkung
tertinggi, yaitu 8,25 dan 7,83. Unsur hara yang terdapat pada media dengan
pemberian dosis 240 dan 160 lebih besar sehingga tanaman mempunyai cukup nutrisi
untuk pertambahan hidupnya. Kontrol negatif berupa tanah mencapai rataan nilai
jumlah daun 6,79 pada 21 HST. Jika dibandingkan dengan rataan jumlah daun pada
seluruh media maka dapat dilihat bahwa rataan nilai jumlah daun pada masing-
masing perlakuan lebih tinggi dari kontrol negatif. Fosfor merupakan unsur esensial
bagi kehidupan tanaman. Kekurangan P dapat menyebabkan tanaman tidak mampu
menyerap unsur lain, pembelahan sel menurun, dan tanaman menjadi kerdil (Sutedjo,
1994).
Jenis kompos berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun pada 21 HST.
Kompos dengan perlakuan pemberian MT1, EM4 dan MT5 mencapai rataan nilai
34
jumlah daun tertinggi yaitu 8,29; 7,98; dan 7,85. Jika dibandingkan dengan rataan
nilai jumlah daun tanaman dengan media tanah tanpa pemberian kompos sebesar
6,79 pada 21 HST maka dapat dilihat bahwa media dengan pemberian kompos pada
masing-masing perlakuan lebih tinggi dari kontrol negatif. Kompos dengan
pemberian EM4, MT1 dan MT5 tidak berbeda, dikarenakan kandungan unsur seperti
N, P dan K pada tiap-tiap kompos tidak berbeda jauh. NPK merupakan unsur makro
yang sangat dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya.
Tabel 17. Rataan Jumlah Daun Tanaman 28 HST
Jenis Dosis
Rataan 80 160 240
-------------------------------------helai------------------------------
EM4 11,47±1,37 15,50±3,63 15,25±1,88 14,17a
MT1 13,12±2,09 14,00±1,62 15,44±2,68 14,19a
MT5 11,69±0,77 11,94±0,55 15,44±3,36 13,02ab
MT10 11,56±0,24 10,87±0,83 13,06±2,73 11,83b
Rataan 12,03A 13,08
AB 14,80
B
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom rataan jenis kompos menunjukkan hasil yang
berbeda nyata (P<0,05). Superskrip yang berbeda pada baris rataan dosis menunjukkan
hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Kontrol negatif berupa tanah mencapai rataan
nilai jumlah daun 8,37 pada 28 HST.
Hasil uji lanjut Tukey pemberian dosis kompos terhadap nilai rataan jumlah
daun tanaman kangkung pada 28 HST menunjukkan bahwa dosis kompos A dan
dosis B tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai jumlah daun tanaman
kangkung yang lebih rendah dari media lainnya. Dosis kompos B dan dosis C tidak
berbeda namun menghasilkan rataan nilai jumlah daun tanaman kangkung yang lebih
tinggi dari media lainnya. Hasil uji lanjut Tukey jenis kompos terhadap rataan nilai
jumlah daun tanaman pada 28 HST menunjukkan bahwa kompos dengan pemberian
EM4, MT1, dan MT5 tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai jumlah daun
tanaman kangkung yang lebih tinggi dari media lainnya. Kompos dengan pemberian
MT5 dan MT10 tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai jumlah daun
tanaman kangkung yang lebih rendah dari media lainnya.
Dosis 240 dan 160 mencapai rataan nilai jumlah daun tanaman kangkung
tertinggi, yaitu 14,80 dan 13,08 pada 28 HST. Kontrol negatif berupa tanah mencapai
rataan nilai jumlah daun 8,37 pada 28 HST. Jika dibandingkan dengan rataan jumlah
35
daun pada seluruh media maka dapat dilihat bahwa rataan nilai jumlah daun pada
masing-masing perlakuan lebih tinggi dari kontrol negatif.
Jenis kompos berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun pada 28 HST.
Kompos dengan perlakuan pemberian MT1, EM4, dan MT5 mencapai rataan nilai
jumlah daun tertinggi yaitu 14,19; 14,17; dan 13,02. Jika dibandingkan dengan rataan
nilai jumlah daun tanaman dengan media tanah tanpa pemberian kompos sebesar
8,37 pada 28 HST maka dapat dilihat bahwa media dengan Setiap tanaman
membutuhkan nutrisi (makanan) untuk kelangsungan hidupnya. Tanah yang baik
mempunyai unsur hara yang dapat mencukupi kebutuhan tanaman. Berdasarkan
jumlah yang dibutuhkan tanaman, unsur hara dibari menjadi 3 golongan. Unsur hara
makro primer (N,P,K), unsur hara makro sekunder (S,Ca,Mg) dan unsur hara mikro
(Fe, Cu, Zn, Cl, B, Mn). Dalam kompos terdapat unsur hara, baik makro maupun
mikro, berbeda dengan kompos sintetis yang hanya terdapat beberapa unsur hara
makro saja.
Berat Kering Tajuk
Produksi bobot kering merupakan peubah penting untuk menduga produksi
total potensial tanaman yang dijadikan pedoman untuk mengetahui tingkat
pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena kandungan airnya tidak terlalu
beragam (Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Gardner et al., (1985) Produksi berat
kering merupakan efisien penyerapan dan pemanfaatan radiasi matahari yang
tersedia sepanjang musim pertumbuhan oleh tajuk tanaman. Hasil sidik ragam
interaksi antara jenis kompos dan dosis yang diberikan terhadap rataan nilai berat
kering tajuk menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hasil sidik ragam jenis
kompos terhadap rataan nilai berat kering tajuk menunjukkan hasil yang berbeda
nyata (P<0,05). Hasil sidik ragam pemberian dosis terhadap rataan nilai berat kering
tajuk menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01). Rataan nilai berat
kering tajuk dapat dilihat pada Tabel 18.
36
Tabel 18. Rataan Nilai Berat Kering Tajuk
Jenis Dosis
Rataan 80 160 240
-------------------------------------g--------------------------------------
EM4 1,94±0,42 3,85±0,90 3,81±0,31 3,20a
MT1 2,06±0,30 2,99±0,61 4,38±2,40 3,15ab
MT5 1,79±0,61 2,37±0,12 3,51±0,76 2,56ab
MT10 1,69±0,09 2,14±0,50 2,91±0,60 2,25b
Rataan 1,87C 2,84
B 3,66
A
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom rataan jenis kompos menunjukkan hasil yang
berbeda nyata (P<0,05). Superskrip yang berbeda pada baris rataan dosis menunjukkan
hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Kontrol negatif berupa tanah mencapai rataan
nilai berat kering tajuk 0,56.
Hasil uji lanjut Tukey pemberian dosis terhadap rataan nilai berat kering tajuk
menunjukkan bahwa dosis kompos 80, dosis 160 dan dosis 240 menghasilkan rataan
nilai yang berbeda namun kompos dengan dosis 240 menghasilkan rataan nilai berat
kering tajuk yang lebih tinggi dari dosis lainnya.
Hasil uji lanjut Tukey jenis kompos terhadap rataan nilai berat kering tajuk
pada tanaman kangkung menunjukkan bahwa kompos dengan pemberian EM4, MT1
dan MT5 tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai berat kering tajuk yang
lebih tinggi dari jenis kompos lainnya. Kompos dengan pemberian MT1, MT5 dan
MT10 tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai berat kering tajuk yang lebih
rendah dari jenis kompos lainnya.
Dosis 240 mencapai rataan nilai berat kering tajuk tertinggi, yaitu 3,66 g,
diikuti dengan dosis 160 dengan rataan nilai berat kering tajuk 2,84 g dan dosis 80
dengan rataan nilai berat kering tajuk 1,87 g. Dosis 240, dosis 160 dan dosis 80
berbeda, ini terlihat jelas bawah dosis sangat berpengaruh terhadap kualitas tajuk
tanaman kangkung.
Jenis kompos berpengaruh nyata terhadap berat kering tajuk. Kompos dengan
perlakuan pemberian EM4, MT1, dan MT5 mencapai rataan nilai berat kering tajuk
tertinggi yaitu 3,20 g, 3,15 g, dan 2,56 g. Jika dibandingkan dengan rataan nilai berat
kering tajuk dengan media tanah tanpa pemberian kompos 0,56 g maka dapat dilihat
bahwa media dengan pemberian kompos pada masing-masing perlakuan lebih tinggi
dari kontrol negatif.
Kompos dengan perlakuan pemberian bioaktivator EM4 memiliki kandungan
N 1,75%, P 0,74%, K 2,22%. Unsur P dan K yang terkandung dalam kompos dengan
37
pemberian EM4 adalah yang tertinggi dibandingkan dengan kompos lainnya.
Tingginya kandungan hara yang terkandung dalam kompos dapat dilihat dengan
peningkatan berat tajuk. Hal ini sesuai dengan Lakitan (1995), yang menyatakan
semakin besarnya bobot kering maka kualitas akan semakin baik karena hal itu
mencerminkan kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara mineral dari media
yang akan diubah menjadi organ tanaman baru.
Berat Kering Akar
Akar merupakan salah satu bagian tanaman yang berperan pokok dalam
pertumbuhannya, berfungsi untuk menyerap air dan juga unsur hara yang ada di
dalam tanah. Berat kering akar merupakan salah satu parameter pertumbuhan
tanaman, karena akar berfungsi dalam penyediaan unsur hara bagi tanaman selain itu
berat akar tanaman merupakan parameter yang paling sesuai untuk mengetahui
biomassa total akar di dalam tanah (Sufardi, 2001).
Hasil sidik ragam interaksi antara dosis dan jenis kompos menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata. Hasil sidik ragam jenis kompos terhadap rataan nilai berat
kering akar pada tanaman kangkung menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(P<0,05). Hasil sidik ragam pemberian dosis terhadap rataan nilai berat kering akar
menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01). Rataan nilai berat kering
akar dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Rataan Nilai Berat Kering Akar
Jenis Dosis
Rataan 80 160 240
-------------------------------------g------------------------------------
EM4 0,51±0,12 0,89±0,33 0,73±0,13 0,71
MT1 0,50±0,17 0,73±0,09 0,76±0,27 0,66
MT5 0,43±0,23 0,56±0,04 0,71±0,17 0,57
MT10 0,47±0,09 0,49±0,19 0,56±0,17 0,51
Rataan 0,48B 0,67
A 0,69
A
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom rataan jenis kompos menunjukkan hasil yang
berbeda nyata (P<0,05). Superskrip yang berbeda pada baris rataan dosis menunjukkan hasil yang
berbeda sangat nyata (P<0,01). Kontrol negatif berupa tanah mencapai rataan nilai berat kering akar
0,30 g.
Hasil uji lanjut Tukey pemberian dosis terhadap rataan nilai berat kering akar
pada tanaman kangkung menunjukkan bahwa dosis kompos 160 dan dosis 240
38
menghasilkan rataan nilai yang tidak berbeda namun menghasilkan rataan nilai berat
kering akar yang lebih tinggi dari dosis lainnya. Hasil uji lanjut Tukey jenis kompos
terhadap rataan nilai berat kering akar pada tanaman kangkung menunjukkan bahwa
kompos dengan pemberian EM4, MT1, MT5 dan MT10 tidak berbeda.
Dosis 240 dan 160 mencapai rataan nilai berat kering akar tertinggi, yaitu
0,69 g dan 0,67 g. Jika dibandingkan dengan rataan nilai berat kering akar dengan
media tanah tanpa pemberian kompos yaitu 0,30 g maka dapat dilihat bahwa media
dengan pemberian kompos pada masing-masing perlakuan lebih tinggi dari kontrol
negatif.
Media tanpa pemberian kompos didalamnya akan membuat tanah kekurangan
unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Seperti
diketahui tanah yang digunakan adalah tanah latosol yang mempunyai kandungan N
total 0,11%, P 0,5 ppm, K 0,10 m2/100g (Tabel 2). Kekurangan salah satu unsur hara
makro tanaman akan berdampak buruk pada perkembangan tumbuh tanaman.
Sutedjo (1994), menyatakan fosfor merupakan unsur esensial bagi kehidupan
tanaman. Kekurangan P dapat menyebabkan tanaman tidak mampu menyerap unsur
lain, pembelahan sel menurun, dan tanaman menjadi kerdil. Pemberian kompos juga
berfungsi untuk memperbaiki struktur tanah. Pada tanah pasiran penambahan
kompos dapat meningkatkan daya ikat partikel tanah. Sedangkan pada tanah yang
berat dapat mengurangi ikatan partikel tanah sehingga strukturnya menjadi remah
yang menjadikan sistem perakaran tanaman dapat berkembang dengan baik
(Samekto, 2006)
Unsur hara dalam kompos dengan pemberian EM4, MT1, MT5 dan MT10
lengkap dan jumlahnya diatas SNI 19-7030-2004. Adanya K yang cukup tersedia
dalam tanaman akan merangsang pertumbuhan akar, dan meningkatkan ketegaran
tanaman yang membuat tanaman lebih tahan terhadap serangan hama penyakit
(Soepardi, 1983).Nitrogen berfungsi untuk menghasilkan peningkatan tinggi dan
bobot kering tanaman. karena kandungan N berperan dalam merangsang
pertumbuhan secara keseluruhan khususnya batang, cabang dan daun. Selain itu
nitrogen juga berfungsi dalam pembentukan hijau daun untuk proses fotosintesis dan
berfungsi untuk pembentukan protein, lemak, dan berbagai senyawa organik lain
(Lingga dan Marsono, 2000). Fosfor merupakan salah satu dari unsur makro yang
39
dibutuhkan tanaman. Fosfor berperan mempercepat pertumbuhan akar semai,
memperkuat dan mempercepat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman
dewasa, dapat mempercepat pembungaan dan pemasakan buah serta biji, membantu
pembentukan protein, proses transfer metabolik, sintesis ADP dan ATP,
meningkatkan fotosintesis, dan membantu proses respirasi (Sutedjo, 1987).
40
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian bioaktivator mikroorganisme lokal tapai pada taraf 1% dan 5%
relatif sama terhadap kualitas kompos yang dihasilkan namun keduanya lebih besar
dari kompos dengan pemberian mikroorganisme lokal tapai 10%.
Media tanam kombinasi tanah dengan kompos pemberian mikroorganisme
lokal 1% dengan dosis pemberian 240 g adalah yang terbaik. Media tanam
kombinasi tanah dengan jenis kompos dan dosis yang berbeda mempunyai rataan
nilai tinggi vertikal tanaman, jumlah daun, berat kering tajuk dan berat kering akar
yang lebih tinggi dari kontrol negatif pada akhir pengamatan.
Saran
Perlu diadakan penelitian lanjutan terhadap objek yang sama dengan
memperkecil taraf MOL tapai untuk mengetahui taraf yang baik digunakan sebagai
bioaktivator dalam pembuatan kompos. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut
dengan menggunakan tanaman selain kangkung.
41
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih pada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga Skripsi Taraf Penggunaan Mikroorganisme Lokal Tapai
sebagai Bioaktivator Pembuatan Pupuk Organik Campuran Kotoran Domba dengan
Batang Pisang telah dapat diselesaikan. Kepada Orang Tua penulis, Sutristiyanto dan
Tanti Mulyani, beribu-ribu ucapan takkan cukup untuk menyatakan rasa syukur
penulis atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan YME atas karunianya karena
dipertemukan dengan Ayah dan Ibu yang dari penulis kecil hingga dewasa menjadi
penutan yang tak ada duanya. Terimakasih kepada kakak dan adikku, Tutut Lutfi
Hastuti dan Asri Pangestika Lutfiani.
Terimakasih kepada dosen pembimbing penulis Ir. Salundik, M.Si dan
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Agr.Sc yang dengan sangat sabarnya membimbing penulis
dari draf proposal, proposal, draf skripsi, skripsi tanpa lelah sedikit pun. Terimakasih
atas tenaga dan pikirannya. Terima kasih kepada Ibu Hj. Ir. Komariah, M.Si atas
semua nasehat dan bimbingannya.
Terimakasih juga kepada teman penelitian penulis saudara Yohanes Tigana,
Febriwendi Firdaus, Dedy Permana atas persahabatan yang telah terjalin.
Terimakasih kepada anak Sawit, anak warkop, IPTP 43 dan seluruh komponen yang
telah membantu dalam penulisan skripsi ini
Bogor, November 2010
Penulis
42
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, S. 1995. Hortikultura: Aspek Budidaya. UI Press, Jakarta.
Center for Policy and Implementation Study. 1992. Panduan Teknik Pembuatan
Kompos & Sampah: Teori & Aplikasi. Center for Policy and Implementation
Study (CPIS), Jakarta.
Gardner, F.P., B. Pearce, & R.L Mitchell. 1985. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik.
Terjemahan : Susilo Herawati. Universitas Indonesia Press, Jakarta
Gatenby, R.M. 1986. Sheep Production in Tropics and Sub Tropics. Longman Goup
Limited, New York.
Gaur. A. C. 1983. A Manual of Rural Composting. Food and Agicultural
Organization, Rome.
Gunawan, A. & Y. Surdiyanto. 2001. Pembuatan kompos dengan bahan baku
kotoran sapi. Jurnal Ilmu Pengetahuan & Teknologi Peternakan. Vol. 24 (3):
12-17.
Hadi, P. 2007. Peningkatan kualitas pupuk organik cair keluaran instalasi biogas
fermentasi lanjut dengan penambahan tepung telur busuk & tepung tulang
kambing. Skripsi. Fakultas Petenakan, Intsitut Pertanian Bogor. Bogor.
Hadiah. 2003. Kualitas kompos dari kotoran domba & sisa pakan dengan
menggunakan tiga macam aktivator. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Harada. Y., K. Haga, T. Osada. & M. Koshino. 1993. Quality of compost produce
from animal waste. Japan Agicultural 26 (4): 238-246.
Higa, T. and Wididana, G.N. 1994. Tanya Jawab Teknologi Efektif Mikroorganisme.
Indonesian Kyusei Nature Farming Societies (IKNFS) dan PT. Songgolangit
Persada, Jakarta.
Imas, T., R. S. Hadioetomo, A. W. Gunawan, & Y. Setiadi. 1989. Mikrobiologi
Tanah II. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Indriyani, Y.H. 1999. Membuat Kompos secara Kilat. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Kammlade, W.G. 1985. Sheep Science. J.B. Lippin Cott Company, New York.
Lakitan, B. 1995. Fisiologi Pertumbuhan Tanaman. PT. Raja Gafindo Persada,
Jakarta
Lingga P & Marsono. 2000. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Peberbit Penebar
Swadaya. Jakarta.
Mathius, I.W. 2007. Kotoran Kambing-Domba pun Bisa Bernilai Ekonomis.
http://www.pustaka-deptan.go.id [18 Oktober 2009].
Mattjik, A.A, dan M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. IPB Press, Bogor.
Metcalf & Eddy. 2004. Wastewater Engineering : Treatment and Reuse. 4th ed.
43
Murbandono, L. 1993. Membuat Kompos. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Nengsih. 2002. Penggunaan EM4 & GT 1000-WTA dalam pembuatan pupuk
organik cair & padat dari isi rumen limbah Rumah Potong Hewan. Skripsi.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Salisbury, F. B. & C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Dasar. Lukman D. R.
Sumaryono (penerjemah). ITB Press, Bandung.
Salundik. 2009. Pelatihan Pupuk Organik. Jurusan Ilmu Produksi & Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Samekto, M.P. 2006. Pupuk Kompos. Citra Aji Parama, Yogyakarta.
Sanchez, P.A. 1992. Sifat & Pengelolaan Tanah Tropika. Penerbit Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
Saono, J.K.D., Winarno, F.G.A. & Karjadi. 1982. Traditional fermentation as
industrial Resources in ASCA countries. Proceeding of Technical Seminar.
Medan. LIPI, Jakarta.
Setiawan, A.I. 1998. Memanfaatkan Kotoran Ternak. PT. Penebar Swadaya, Bogor.
Setiawan, B.S & tim ETOSA. 2010. Membuat Pupuk Kandang Secara Cepat.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Simamora, S. & Salundik. 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Agomedia
Pustaka, Jakarta.
Sitompul, S. M. & B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
SNI 19-7030-2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta.
Soepardi, G. 1983. Sifat & Ciri Tanah. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB,
Bogor.
Sufardi. 2001. Meningkatkan hasil jagung pada ultisol muatan berubah dengan
aplikas beberapa amandemen tanah: II. Hasil & efisiensi pupuk fosfat. Jurnal
Agista. Vol. 5 nomor 1
Suriawiria, U. 2003. Mikrobiologi Air & Dasar-Dasar Pengolahan Buangan Secara
Biologis. PT Alami, Bandung.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan &
Pengembangannya. Kanisius, Yogyakarta.
Sutedjo, M.M. 1987. Pupuk & Cara Pemupukan. Rineka Putra. Jakarta
Sutedjo, M.M., A.G. Kartasapoetra, & R.D.S. Sastroatmodjo. 1994. Mikrobiologi
Tanah. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
Sutopo, Lita. 2002. Teknologi Benih. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tan, K, H. 1993. Principles of Soil Chemistry : Genesis, Composition, Reaktion.
John Willey & Son. New York.
44
Tjitrosoepomo, G. 1988. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Triadmojo, S. 2001. Kualitas kompos yang diproduksi dari feses sapi perah & sludge
limbah penyamakan kulit. Buletin Peternakan 25 (4):190-199.
Ultra, V. U., D. M. Mendoza, and A. M. Briones. 2005. Chemical change under
aerobic composting and nutrient supplying potential of banana residue
compost. Renewable Agriculture and Food System. Volume 20. Number 2.
Pp: 113-125 (13). CABI Publishing.
Van Valkenburg J.L.C.H & Bunyapraphatsara N.2001. Plant Resources of South
East Asia. Yang disitir Sunaryo.2003.Responsi Biologis & Hematologist Itik
Mandaulang Terhadap Suplementasi Kangkung & Vitamin C Dalam
Pakan.Tesis. Progam Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wibisono, A & M. Basri. 1993. Pemanfaatan limbah organik untuk pupuk. Buletin
Kyusei Farming. 2:37-41. International Kyusei Nature Farming System.
Wijaya, A. 2002. Pengembangan Teknologi Papan Komposit dari Limbah Batang
Pisang (Musa sp) : Sifat Fisis Mekanis Papan pada Berbagai Tingkat. Skripsi.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yang, S.S. 1997. Preparation of compost and evaluating its maturity. Agriculure and
Horticulture. Extension Bulletin No. 445, National Taiwan University,
Taiwan.
Yuwono, N.W. 2006. Pupuk Hayati. http://www.w3.org/1999. [10 September 2010]
45
Lampiran 1. Hasil Analisis Soil and Fertilizer Biotrop Bogor 2010
Pengujian Satuan EM4 MT1 MT5 MT10
pH % 7,4 7,4 7,4 7,4
C-organik % 20,73 21,98 23,88 18,13
N total % 1,75 1,66 1,61 1,31
P total % 0,74 0,69 0,63 0,51
K total % 2,22 2,35 2,16 1,87
Lampiran 2. Sidik Ragam Produksi Bobot Akhir Kompos
SK Db JK KT F P
Perlakuan 3 0,88 0,29 6,80* 0,013
Galat 8 0,35 0,04
Total 11 1,23 Keterangan
*: Hasil menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 3. Uji Tukey Produksi Bobot Akhir Kompos
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EM4 3,10 B
MT1 3,23 B
MT5 3,54 AB
MT10 3,79 A
Lampiran 4. Sidik Ragam Kandungan Karbon (C) Organik
SK Db JK KT F P
Perlakuan 3 52,43 17,47 7,21* 0,011
Galat 8 19,39 2,42
Total 11 71,82 Keterangan
*: Hasil menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 5. Uji Tukey Kandungan Karbon (C) Organik
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EM4 20,73 AB
MT1 21,98 AB
MT5 23,88 A
MT10 18,13 B
Lampiran 6. Sidik Ragam Kandungan Nitrogen (N) Total
SK Db JK KT F P
Perlakuan 3 0,34 0,11 15,4**
0,001
Galat 8 0,05 0,00
Total 11 0,39 Keterangan
**: Hasil menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
46
Lampiran 7. Uji Tukey Kandungan Nitrogen (N) Total
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EM4 1,75 A
MT1 1,66 A
MT5 1,61 A
MT10 1,31 B
Lampiran 8. Sidik Ragam Kandungan Fosfor (P) Total
SK Db JK KT F P
Perlakuan 3 0,09 0,03 18,0**
0,000
Galat 8 0,01 0,00
Total 11 0,10 Keterangan
**: Hasil menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Lampiran 9. Uji Tukey Kandungan Fosfor (P) Total
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EM4 0,74 A
MT1 0,69 AB
MT5 0,63 B
MT10 0,51 C
Lampiran 10. Sidik Ragam Kalium (K2O) Total
SK Db JK KT F P
Perlakuan 3 0,37 0,12 1,40tn
0,312
Galat 8 0,71 0,09
Total 11 1,08 Keterangan
tn: Hasil menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Lampiran 11. Sidik Ragam Rasio Karbon/Nitrogen (C/N)
SK Db JK KT F P
Perlakuan 3 12,67 4,22 2,96tn
0,098
Galat 8 11,43 1,43
Total 11 24,10 Keterangan
tn: Hasil menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
47
Lampiran 12. Sidik Ragam Tinggi Vertikal Tanaman 7 HST
SK db JK KT F P
Faktor A 3 3,76 1,25 1,47 tn
0,24
Faktor B 2 0,15 0,07 0,09 tn
0,91
A*B 6 7,61 1,27 1,49 tn
0,21
Galat 36 30,69 0,85
Total 47 42,22
Keterangan
tn: Faktor A menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor B menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata (P>0,05), Faktor A: jenis kompos, faktor B: dosis, A*B : interaksi antara
jenis kompos dan dosis.
Lampiran 13. Sidik Ragam Tinggi Vertikal Tanaman 14 HST
SK db JK KT F P
Faktor A 3 7,34 2,44 1,17 tn
0,336
Faktor B 2 12,30 6,15 2,93 tn
0,066
A*B 6 20,01 3,33 1,59 tn
0,178
Galat 36 75,47 2,10
Total 47 115,12
Keterangan
tn: Faktor A menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor B menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata (P>0,05). Faktor A: jenis kompos, faktor B: dosis, A*B : interaksi antara
jenis kompos dan dosis.
Lampiran 14. Sidik Ragam Tinggi Vertikal Tanaman 21 HST
SK db JK KT F P
Faktor A 3 51,86 17,29 3,45* 0,026
Faktor B 2 152,79 76,29 15,26**
0,001
A*B 6 71,62 11,94 2,38* 0,048
Galat 36 180,25 5,00
Total 47 456,52
Keterangan
**,*: Faktor A menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Faktor B menunjukkan
hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01). Faktor A*B menunjukkan hasil yang
berbeda nyata (P<0,05). Faktor A: jenis kompos, faktor B: dosis, A*B : interaksi
antara jenis kompos dan dosis.
Lampiran 15. Uji Tukey Tinggi Vertikal Tanaman 21 HST untuk Faktor A
Faktor A Rataan Wilayah Tukey
EM4 23,74 AB
MT1 24,37 A
MT5 23,14 AB
MT10 21,57 B
48
Lampiran 16. Uji Tukey Tinggi Vertikal Tanaman 21 HST untuk Faktor B
Faktor B Rataan Wilayah Tukey
A 20,68 B
B 24,44 A
C 24,49 A
Lampiran 17. Uji Tukey Tinggi Vertikal Tanaman 21 HST untuk Interaksi A*B
A*B Rataan Wilayah Tukey
EM4A 20,7 BC
EM4B 25,41 AB
EM4C 25,11 AB
MT1A 22,87 ABC
MT1B 27,26 A
MT1C 22,97 ABC
MT5A 20,81 BC
MT5B 22,94 ABC
MT5C 25,66 AB
MT10A 18,34 C
MT10B 22,14 ABC
MT10C 24,23 AB
Lampiran 18. Sidik Ragam Tinggi Vertikal Tanaman 28 HST
SK db JK KT F P
Faktor A 3 226,26 75,42 1,97tn
0,136
Faktor B 2 594,36 297,179 7,76**
0,001
A*B 6 398,25 66,347 1,73tn
0,141
Galat 36 1377,94 38,276
Total 47 2596,80
Keterangan
**,tn: Faktor A menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor B
menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01). Faktor A*B menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor A: jenis kompos, faktor B: dosis,
A*B : interaksi antara jenis kompos dan dosis.
Lampiran 19. Uji Tukey Tinggi Vertikal Tanaman 28 HST untuk Faktor B
Faktor B Rataan Wilayah Tukey
A 38,82 B
B 45,49 A
C 46,88 A
49
Lampiran 20. Sidik Ragam Pertambahan Daun Tanaman 7 HST
SK db JK KT F P
Faktor A 3 0,03 0,01 0,55 tn
0,65
Faktor B 2 0,00 0,00 0,00 tn
1,00
A*B 6 0,09 0,01 0,82 tn
0,56
Galat 36 0,69 0,02
Total 47 0,81
Keterangantn
: Faktor A menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor B menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata (P>0,05). Faktor A: jenis kompos, faktor B: dosis, A*B : interaksi antara
jenis kompos dan dosis.
Lampiran 21. Sidik Ragam Pertambahan Daun Tanaman 14 HST
SK db JK KT F P
Faktor A 3 0,37 0,12 0,59 tn
0,62
Faktor B 2 0,08 0,04 0,19 tn
0,82
A*B 6 1,69 0,28 1,35 tn
0,26
Galat 36 7,48 0,21
Total 47 9,62
Keterangantn
: Faktor A menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor B menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor A*B menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata (P>0,05). Faktor A: jenis kompos, faktor B: dosis, A*B : interaksi antara
jenis kompos dan dosis.
Lampiran 22. Sidik Ragam Pertambahan Daun Tanaman 21 HST
SK db JK KT F P
Faktor A 3 5,73 1,91 5,90 **
0,002
Faktor B 2 4,35 2,17 6,71 **
0,003
A*B 6 0,76 0,12 0,39 tn
0,880
Galat 36 11,66 0,32
Total 47 22,49
Keterangantn,**
: Faktor A menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01). Faktor B
menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P>0,01). Faktor A*B menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor A: jenis kompos, faktor B: dosis,
A*B : interaksi antara jenis kompos dan dosis
Lampiran 23. Uji Tukey Pertambahan Daun Tanaman 21 HST untuk Faktor A
Faktor A Rataan Wilayah Tukey
EM4 7,98 A
MT1 8,29 A
MT5 7,85 AB
MT10 7,33 B
50
Lampiran 24. Uji Tukey Pertambahan Daun Tanaman 21 HST untuk Faktor B
Faktor B Rataan Wilayah Tukey
A 7,51 B
B 7,83 AB
C 8,25 A
Lampiran 25. Sidik Ragam Pertambahan Daun Tanaman 28 HST
SK db JK KT F P
Faktor A 3 45,21 15,07 3,40 *
0,028
Faktor B 2 62,39 31,20 7,04 **
0,002
A*B 6 28,86 4,81 1,09 tn
0,390
Galat 36 159,53 4,43
Total 47 295,99
Keterangantn,**,*
: Faktor A menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Faktor B menunjukkan
hasil yang sangat berbeda nyata (P>0,01). Faktor A*B menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor A: jenis kompos, faktor B: dosis, A*B :
interaksi antara jenis kompos dan dosis.
Lampiran 26. Uji Tukey Pertambahan Daun Tanaman 28 HST untuk Faktor A
Faktor A Rataan Wilayah Tukey
EM4 14,17 A
MT1 14,19 A
MT5 13,02 AB
MT10 11,83 B
Lampiran 27. Uji Tukey Pertambahan Daun Tanaman 28 HST untuk Faktor B
Faktor B Rataan Wilayah Tukey
A 12,03 A
B 13,08 AB
C 14,80 B
Lampiran 28. Sidik Ragam Berat Kering Tajuk
SK db JK KT F P
Faktor A 3 7,70 2,57 3,47 0,026
Faktor B 2 25,55 12,78 17,26 0,000
A*B 6 4,15 0,69 0,93 0,482
Galat 36 26,65 0,74
Total 47 64,05
Keterangantn,**,*
: Faktor A menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Faktor B menunjukkan
hasil yang sangat berbeda nyata (P>0,01). Faktor A*B menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor A: jenis kompos, faktor B: dosis, A*B :
interaksi antara jenis kompos dan dosis.
51
Lampiran 29. Uji Tukey Berat Kering Tajuk untuk Faktor A
Faktor A Rataan Wilayah Tukey
EM4 3,20 A
MT1 3,15 AB
MT5 2,56 AB
MT10 2,25 B
Lampiran 30. Uji Tukey Berat Kering Tajuk untuk Faktor B
Faktor B Rataan Wilayah Tukey
A 1,87 C
B 2,84 B
C 3,66 A
Lampiran 31. Sidik Ragam Berat Kering Akar
SK db JK KT F P
Faktor A 3 0,30 0,10 2,94 0,046
Faktor B 2 0,43 0,21 6,34 0,004
A*B 6 0,19 0,03 0,95 0,473
Galat 36 1,22 0,03
Total 47 2,14
Keterangantn,**,*
: Faktor A menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Faktor B menunjukkan
hasil yang sangat berbeda nyata (P>0,01). Faktor A*B menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata (P>0,05). Faktor A: jenis kompos, faktor B: dosis, A*B :
interaksi antara jenis kompos dan dosis.
Lampiran 32. Uji Tukey Berat Kering Akar untuk Faktor A
Faktor A Rataan Wilayah Tukey
EM4 0,71 A
MT1 0,66 A
MT5 0,57 A
MT10 0,51 A
Lampiran 33. Uji Tukey Berat Kering Akar untuk Faktor B
Faktor B Rataan Wilayah Tukey
A 0,48 B
B 0,67 A
C 0,69 A