Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    1/19

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    2/19

    1039 M.), al-Biruni (973-1051 M.), Ibn Sina (980-1037 M.), al-Ghazali (1058-

    1111 M.) adalah produk dari masa ini.

    Namun sejak kekhalifahan Abbasiyah dipegang oleh al-Mutawakkil (232-247 H.), keadaan tersebut mulai berubah. Beliau mengeluarkan kebijakan yang

    sangat berbeda dengan masa sebelumnya. Cara pikir Mutazily (cara pikir rasional

    dalam mencari pengetahuan dan kebenaran) dan buku-buku yang berbau

    Mutazilah serta ilmu-ilmu sekuler, prafon, mulai disingkirkan. Sementara itu

    keyakinan tradisional mulai mendominasi masyarakat Islam. Para filsuf dituduh

    sebagai penganut bidah. Agama jadi beku karena tokoh-tokohnya yang jumud

    dan fanatisme. Syariat Islam dikacaukan oleh noda tawil yang telah jauh dari

    syariat Islam itu sendiri.

    Pada masa ini muncullah sekelompok orang yang ingin menghidupkan

    kembali obor ilmu pengetahuan dengan mempelajari segala cabang ilmu

    pengetahuan, baik yang beredar di negeri Islam maupun ilmu-ilmu yang

    didatangkan dari India, Yunani, Persia dan Romawi, sebagai refleksi dari

    kejumudan dan fanatisme tersebut. Karena hilangnya kebebasan berpikir dan

    menyatakan pendapat kala itu, maka kelompok yang akhirnya dikenal dengan

    nama Ikhwan al-Shafa ini menjadi gerakan bawah tanah. Mereka berkumpul,

    bertukar pikiran (mudzakarah) secara rahasia. Bahkan nama, juga dirahasiakan,

    untuk menghindarkan diri dari gangguan pihak penguasa.

    Karakteristik dasar pemikiran mereka, terefleksi dalam pandangan

    pendidikannya. Menurutnya, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum

    kelahiran, sebab kondisi diri bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh

    keadaan kehamilan dan kesehatan sang ibu hamil. Dengan demikian, perhatian

    pendidikan harus sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim (embrio). Karena

    janin berada dalam rahim selama sembilan bulan itu adalah agar sempurna bentuk

    dan kejadiannya. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    3/19

    Berangkat dari pemikiran tersebut, selanjutnya dalam pendidikan mereka

    memiliki tujuan tertentu. Hal inilah yang akan dikaji (merupakan kajian pokok)

    dalam tulisan ini. Apa atau bagaimana tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-

    Shafa.

    Dalam karya-karya ilmiah, baik yang tidak -atau belum- terpublikasikan,

    seperti makalah, skripsi, tesis maupun desertasi, maupun yang telah

    terpublikasikan, tidak banyak (sekurang-kurangnya jika dibanding dengan tokoh-

    tokoh lain secara individual, seperti al-Ghazali, Ibn Khaldun dan lain-lain) yang

    membicarakan tentang kepedulian Ikhwan al-Shafa ini. Hipotesis penulis, hal

    tersebut lebih karena di masa eksisnya Ikhwan al-Shafa merupakan gerakan

    bawah tanah yang bergerak secara rahasia, sehingga sejarahnya sulit --untuk tidak

    mengatakan tidak dapat--ditelusuri dan diteliti. Tidak selayaknya tokoh-tokoh

    maupun filsuf-filsuf yang lain seperti dua nama di atas, kemusian al-Kindi, al-

    Farabi, Ibn Sina dan lain-lain.

    Berangkat dari kelangkaan tersebut, tulisan ini berniat menambah

    khazanah keilmuan Islam sekaligus menengok kembali dan mencari data, betapa

    Islam dengan tokoh-tokohnya, di setiap masa dan tempat tertentu, selalu

    menunjukkan kepeduliannya terhadap ilmu pengetahuan maupun pendidikan.

    B.Biografi Ikhwan al-Shafa

    Dari namanya, dapat diketahui bahwa ia adalah sebuah kelompok yang

    terdiri dari beberapa orang. Ia muncul pertama kali di Basrah (sebelah selatan

    Irak) pada abad IV H., sekitar tahun 340 H./951 M., sebagai refleksi dari pola

    pikir umat Islam (sebagian ulama) pada masa itu yang dinilai telah mengalami

    kejumudan dan fanatisme. Sehingga agama menjadi beku, para filsuf dikutuk

    dengan cara menuduh para rasionalis sebagai penganut bidah. Syariat Islam

    dinodai dengan tawil yang telah jauh dari syariat Islam itu sendiri. (Depag.,

    Ensiklopedi Islam, 1988). Berangkat dari niatnya yang mulia --memurnikan

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    4/19

    syariat Islam dan menyalakan kembali obor ilmu pengetahuan di kalangan kaum

    muslimin-- kelompok ini menyebut organisasinya dengan nama Ikhwan al-Shafa

    (Persaudaraan Suci).

    Mereka terdiri dari ahli pikir (ilmuwan dan filsuf) muslim. Sebuah

    pendapat mengatakan bahwa mereka berasal dari para simpatisan Syiah

    Ismailiyyah, setelah wafatnya Imam Ismailiyyah ke-7, Ismail ibn Jafar al-

    Shadiq. Pendapat lain mengatakan bahwa mereka adalah para pendukung Dinasti

    Buwaihi (golongan Syiah) yang berkuasa sebagai amir al-umara dalam

    lingkungan Dinasti Abbasiyah. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988). Ada lima

    nama yang dianggap sebagai tokoh utama dari kelompok ini, yaitu 1) Abu

    Sulaiman Muhammad ibn Musyir al-Busty (terkenal dengan nama al-Maqdisi),

    yang bertugas menulis dan merangkum semua pandangan kelompok ini; 2) Abu

    al-Hasan Ali ibn Harun al-Zanjany; 3) Abu Ahmad al-Mihranjany; 4) Al-Aufy;

    dan 5) Zaid ibn Rafiah, selaku pemimpin kelompok ini. (MM. Syarif, 1963)

    Mereka mengklaim dirinya sebagai kelompok non partisan, objektif,

    pecinta kebenaran, elit intelektual, dan solid-kooperatif. Menurutnya, pangkal

    perseteruan sosial, politik dan keagamaan terdapat pada keragaman agama, aliran

    keagamaan, dan etnik kesukuan dalam kekhalifahan Abbasiyah. Sebagai solusi,

    mereka menawarkan alternatif, yaitu menyatukan perbedaan ke dalam satu

    madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran-ajaran yang disarikan dari semua

    agama dan aliran yang ada.(Muhammad Jawwad Ridla, 2002)

    Mereka mempelajari segala cabang ilmu pengetahuan baik yang beredar di

    negeri Islam maupun ilmu-ilmu yang didatangkan dari India, Yunani, Persia, dan

    Romawi. Mereka juga giat mengadakan penelitian, yang dimunculkan dalam

    bentuk buku, brosur, dan pamphlet, sebagaimana mereka memunculkan statemen-

    statemennya. (Depag.,Ensiklopedi Islam, 1988)

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    5/19

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    6/19

    dari 10 naskah, meliputi: metafisika, waktu dan peredaran waktu, ilmu tabiat, dan

    tentang kebangkitan kembali. 4) Agama, terdiri dari 14 risalah, yang meliputi

    theologi, hubungan manusia dengan Tuhan, ramalan, entitas spiritual, tindakan

    (aksi) perundingan politik, taqdir, ilmu ghaib, dan azimat. (Depag., Ensiklopedi

    Islam, 1988) Sedangkan di bidang filsafat meliputi: ilmu, matematika, mantik

    (logika), metafisika, tentang jiwa, filsafat agama, dan moral.

    Dalam perkembangan pemikiran pendidikan, Ikhwan al-Shafa memiliki

    beberapa keistimewaan. Di antaranya, pertama, aplikasi keilmuan atas problema

    sosial melalui sistem pendidikan yang efektif dan berorientasi pada rekonstruksi

    keseimbangan ranah intelektual dan moral, dan pembebasan potensi nalar

    masyarakat luas. Mereka berpendapat bahwa fenomena kelaliman, otoritanisme

    dan tiranisme politik tidak akan berlangsung kontinu kecuali akibat merebaknya

    kebodohan dan kelalaian mayoritas masyarakat. Dengan diubahnya pola pikir dan

    disadarkannya mayoritas masyarakat dari kebodohan dan kelalaian mereka, maka

    akan sulit terjadi kelaliman, otoritanisme dan tiranisme.

    Kedua, paradigma talimiy (pengajaran). Ini tampak dalam praktik

    politiknya, yaitu dalam pola relasi dan organisasi antar mereka berada pada

    penjenjangan dawah. Ketiga, difersifikasi sumber-sumber pengetahuan, yang

    merupakan refleksi dari sabda Nabi Hikmah itu barang hilang orang mukmin, ia

    akan mengambilnya di manapun ditemukan.

    Keempat, penolakan fanatisme buta, peneguhan paham kebebasan dan

    apresiasi pluralitas pemikiran sebagai hal produktif bagi dinamika intelektual dan

    sosial.(Muhammad Jawwad Ridla, 2002)

    Para sejarawan kontemporer mengakui kontribusi besarIkhwan al-Shafa

    dalam perkembangan pemikiran Islam, yang dapat mereka simpulkan, antara lain:

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    7/19

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    8/19

    pertengahan abad ke-20. Di antara tokoh yang menggunakan istilah tersebut

    adalah Abdurrahman al-Nahlawi.

    Berhubungan dengan pendidikan, Ikhwan al-Shafa menguraikan teorinyadengan komprehensif, sempurna, dan gradual. Secara garis besar uraian tersebut

    dapat disimpulkan, bahwa pendidikan adalah aktivitas moral untuk mencapai

    kebaikan bagi manusia. Dengan demikian, pendidikan merupakan hal yang

    urgensi dan esensi bagi manusia. Dan sebagai konsekuensi, mereka memberikan

    perhatian yang sangat besar terhadap hal tersebut. Kepedulian serta keseriusan

    mereka dapat dilihat dari karya spektakulernya, yaitu sebuah ensiklopedi yang

    terdiri dari 51 risalah dan tersusun dalam 4 jilid, yang sampai kini tetap eksis

    menghiasi diskursus-diskursus. Di dalam ensiklopedi tersebut terdapat kurikulum

    pendidikan yang pernah diberlakukan dalam Lembaga Pendidikan Tinggi Islam

    pada abad X M. (Charles Michael Stanton-terj, 1994).

    Berikut ini kesimpulan dari materi dan topik-topik yang tercakup dalam

    Ensiklopedi Ikhwan al-Shafa, yang dikemukakan oleh Fredrich Dieterici, dalam

    kutipan Charles Michael Stanton :

    Disiplin-disiplin umum : tulis-baca dan gramatika, ilmu hitung, sastra,

    sajak dan puisi, ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat,

    kimia, sulap, dagang dan keterampilan tangan, jual-beli, komersial, pertanian

    dan peternakan, serta biografi dan kisah-kisah.

    Ilmu-ilmu agama : ilmu al-Qur'an, tafsir, hadis, fiqih, dzikir, zuhud,

    tasawuf, dan syahadah.

    Ilmu-ilmu filosofis : matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri,

    astronomi, musik, aritmatika, dan hukum-hukum geometri; ilmu-ilmu alam dan

    antropologi; zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan; kosmologi; produksi,

    peleburan, dan elemen-elemen; meteorology dan minerologi; esensi alam dan

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    9/19

    manifestasinya; botani dan zoology; anatomi dan antropologi; persepsi

    inderawi; embriologi; manusia sebagai mikro kosmos; perkembangan jiwa

    (evolusi psikologis); tubuh dan jiwa; perbedaan bahasa-bahasa (filologi);

    psikologi-pemahaman dunia kejiwaan dan sebagainya; dan theology-doktris

    esoteris Islam, susunan alam spiritual; serta ilmu tentang alam ghaib. (Charles

    Michael Stanton-terj, 1994)

    MenurutIkhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan bukan sekedar mentransfer

    pengetahuan atau pengalaman dari seseorang pada orang lain. Tapi jauh lebih luas

    dari itu. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan tidak dimulai sedari kecil, tetapi

    sejak seorang anak masih dalam kandungan. Saran para dokter agar ibu yang

    hamil berhati-hati dalam segala aktivitasnya, menurutnya, adalah karena kehati-

    hatian sang ibu sangat berpengaruh pada kesehatan bayi dalam rahimnya, yang

    selanjutnya berpengaruh pada intelektual dan kejiwaan sang bayi. (Ahmad Tafsir,

    2001). Keberadaan janin dalam rahim selama sembilan bulan, menurutnya,

    hanyalah demi kesempurnaan bentuk dan kejadian sang bayi. (Muhammad

    Jawwad Ridla, 2002).

    Selanjutnya, setelah sang bayi lahir, ia akan terus dipengaruhi oleh faktor-

    faktor yang ada di sekelilingnya. Ikhwan al-Shafa menganalogikan jiwa bayi

    sebelum terisi oleh suatu pengetahuan bagaikan kertas putih dan bersih, tidak ada

    tulisan apapun, sebagaimana sabda Nabi SAW. sewaktu jiwa telah diisi oleh suatu

    pengetahuan atau kepercayaan, baik yang benar maupun yang batil, maka

    sebagian darinya telah tertulisi dan sulit untuk dihapuskan. Dengan demikian,

    perhatian terhadap kesehatan indrawi bayi atau anak hendaknya diberikan sejak

    dini, karena ia merupakan jendela masuknya dunia luar ke dalam jiwa.

    (Muhammad Jawwad Ridla, 2002).

    Kesadaran kuat Ikhwan al-Shafa terhadap urgensi indra dalam

    memperoleh pengetahuan dan imperasinya dalam keberadaan manusia, baik

    dataran empiris-sensual maupun empiris-logis, membawa mereka pada

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    10/19

    pengapresiasian peran dan fungsi fisik-jasmani untuk kebahagiaan manusia dan

    kenormalan hidupnya. Dalam risalah yang lain, mereka menekankan perlunya

    memperhatikan fisik-jasmaniah, memeliharanya dan mengaturnya dengan

    seksama agar jangan sampai tidak terurus kebutuhan makan dan minumnya.

    Sekiranya kebutuhan makan, minum, gerak dan istirahat dari fisik-jasmaniah

    terpenuhi dengan baik, maka kamu akan sehat wal afiat. (Muhammad Jawwad

    Ridla, 2002).

    Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa manusia tersusun dari unsur

    fisik-biologis dan unsur jiwa-rohaniah, yang mana antara keduanya memiliki

    perbedaan sifat dan berlawanan kondisi. Oleh karena itu, kehidupan manusia

    diwarnai dengan dualitas berlawanan, seperti hidup dan mati, kepandaian dan

    kebodohan dan lain-lain. Namun dualistic yang mewarnai manusia tersebut

    tidaklah bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh pengakuan akan ragam potensi

    individual yang unik. Antara satu orang berbeda dengan orang lain. Meskipun

    watak dasar setiap individu bersifat genetic-bawaan, namun kecenderungan-

    kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyari. (Muhammad Jawwad Ridla,

    2002). Sebagai treatment menjauhkan anak dari dampak negative, Ikhwan al-

    Shafa menegaskan perlunya lingkungan pendidikan (konteks positif) bagi

    perkembangan anak.

    Kelompok yang membenarkan adanya kebenaran dalam agama-agama

    non Islam ini, juga mengatakan bahwa setiap manusia memiliki potensi, tetapi

    potensi itu tidak akan bisa menjadi aktual tanpa bimbingan guru. Ilmu yang ada

    pada manusia datang dari tiga jurusan, yaitu 1) panca indra; 2) argument; dan 3)

    perenungan akal. Jalan yang ketiga ini merupakan tahapan yang sederhana, dan

    akan mencapai marifat Allah jika melalui hidup zuhud (asketis) dan amal saleh.

    (Depag.,Ensiklopedi Islam, 1988).

    Dalam pengajarannya, kelompok yang disebut juga talimiyyun ini,

    mengklasifikasikan manusia, sehubungan dengan pengetahuannya, ke dalam

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    11/19

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    12/19

    sumber ilmu pengetahuan yang memenuhi syarat adalah yang diperoleh melalui

    akal atau rasio. Di antara filsuf yang memelopori pendapat ini adalah Plato.

    Sedang pendapat kedua selanjutnya dikenal dengan faham empirisme dankelompoknya disebut kaum empiris. Mereka berpendapat bahwa indra manusia

    mempunyai peranan besar dalam menghasilkan pengetahuan, sementara akal

    lebih berfungsi sebagai pengaturnya.

    Dari dua kelompok ini, di manakah Ikhwan al-Shafa berada? Ikhwan al-

    Shafa mempunyai pendapat yang berbeda dengan teori pengetahuan Plato, yang

    menyatakan bahwa jiwa mengetahui dengan mengingat-ulang apa yang telah

    diperolehnya sewaktu berada di alam ide, sebelum turun ke bumi. Di alam ide,

    jiwa mengetahui banyak hal. Pada saat jiwa berpindah dari alam ide yang bersifat

    rohaniah menuju ke alam material, ia lupa akan pengetahuan yang dulu

    dimilikinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dipelajarinya (di alam material),

    sebenarnya hanya bersifat mengingat-ulang pengetahuan yang dulu pernah

    dimilikinya (di alam ide). (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)

    Berbeda dengan pendapat tersebut, Ikhwan al-Shafa menganggap semua

    pengetahuan berpangkal pada cerapan indrawiah (empirisme). Mereka

    memandang salah terhadap kelompok yang mengatakan bahwa pengetahuan

    diperoleh dengan cara mengingat-ulang. Argumentasi mereka, bahwa segala

    sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra, tidak bisa diimajinasikan, dan segala

    sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, tidak bisa dirasiokan. (Muhammad

    Jawwad Ridla, 2002)

    Sekedar menguatkan pendapat kaum empiris di atas, yang mengatakan

    bahwa akal lebih berfungsi sebagai pengatur, Ikhwan al-Shafa mengatakan

    bahwa, orang-orang yang berakal mempunyai perbedaan tingkat pengetahuan

    rasionalnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kualitas potensi

    indrawiah, pola interaksi mereka dengan lingkungan dan lainnya.

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    13/19

    Berangkat dari realita tersebut, selanjutnya Ikhwan al-Shafa merumuskan

    bahwa:

    Sesungguhnya rasio manusia tiada lain hanyalah jiwa yang berpikir (al-nafs al-nathiqah), di kala manusia dalam usia dewasa. Jiwa pada waktu awalbersatu dengan badan, yaitu periode janin dalam rahim, adalah sesuatu yang amat

    sederhana, tidak berpengetahuan, tidak berakhlak, tidak berpihak dan tidak

    beraliran, sebagaimana difirmankan Allah SWT.: Allah yang telahmengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Ia

    hanyalah substansi rohaniah yang hidup dan mempunyai potensi berkembang.

    Sewaktu jiwa mendapat impresi dan stimuli indrawiah-sensual dengan ragam

    jenis dan macamnya, lalu dipersepsikan. Dengan demikian, jiwa disebut sebagaiberakal dan mengetahui secara aktual. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)

    Tentang pertanyaan, apa sumber pengetahuan ? MenurutIkhwan al-Shafa,sumber pengetahuan ada empat macam:

    1. Kitab suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an.

    2. Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama dan para filosof, seperti

    matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat.

    3. Alam.

    4. Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, yang sering disebut

    substansi noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya

    dengan kenyataan empiris. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)

    E.Tujuan Pendidikan Menurut Ikhwan al-Shafa

    Untuk mengetahui tujuan pendidikan, tidak bisa lepas dari pembahasan

    tentang konsep manusia. Karena merekalah pelaku pendidikan. Sebagai

    konsekuensi logis, jika kita ingin mengetahui apa tujuan pendidikan alaIkhwan

    al-Shafa, maka kita harus mengetahui diskursus mereka tentang manusia.

    Sebagaimana --secara serba sederhana-- telah penulis singgung di atas,

    bahwa dalam moral-etik, Ikhwan al-Shafa mempunyai pandangan dualistic

    tentang konsep dasar manusia. Manusia itu, jelasnya, tersusun dari unsur fisik-

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    14/19

    biologis dan jiwa-rohaniah. Kedua unsur ini memiliki perbedaan sifat dan

    berlawanan kondisi, namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan

    aksidentalnya. Karena unsur fisik-biologisnya, manusia cenderung untuk tidak

    kekal di dunia dan hidup selamanya. Sedangkan, karena unsur jiwa-rohaniahnya,

    manusia cenderung untuk meraih akhirat dan keselamatan di sana. Dengan

    demikian, kondisi kehidupan manusia diwarnai oleh dualitas berlawanan, seperti

    hidup dan mati, tidur dan terjaga, pengetahuan dan kebodohan, ingat dan lupa,

    cerdas dan dungu, sehat dan sakit, kedermawanan dan kekikiran, baik dan jahat,

    ketakutan dan keberanian, susah dan senang dan lain-lain. (Muhammad Jawwad

    Ridla, 2002)

    Manusia berada dalam tarik-menarik antara persahabatan dan

    permusuhan, kefakiran dan kecukupan, kemudaan dan ketuaan, takut dan

    berharap, jujur dan dusta, kebenaran dan kebatilan, ketepatan dan kekeliruan, baik

    dan buruk, serta dualitas berlawanan dari ucapan dan perilaku moral-etiklainnya.

    Namun dualistik yang mewarnai manusia, lanjutnya, tidaklah bersifat

    liberal, melainkan dibatasi oleh ragam potensi individual yang unik. Antara satu

    orang berbeda dengan orang lain. Meskipun watak dasar setiap individu bersifat

    genetic-bawaan, namun kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat

    ikhtiyari, sehingga terjadi keragaman antar individu, seperti ada individu yang

    berbakat menjadi pedagang, dai, guru dan lain-lain.

    Ragam potensi kognitif dan indrawiah juga memengaruhi pula pada

    potensi moral-etikyang juga beragam antara manusia, sebagaimana beragamnya

    potensi kognitif-intelektual. Menurutnya, moral yang bersandar pada karakter

    dasar manusia adalah kecenderungan kuat pada anggota badan, dan pada

    gilirannya akan memudahkan dalam merefleksikan dalam tindakan nyata. Sebagai

    contoh, misalnya seseorang berkarakter pemberani maka dia akan merasa enteng

    menghadapi hal-hal yang menakutkan. Tetapi jika dia berkarakter penakut, dalam

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    15/19

    menghadapi hal-hal yang menakutkan dia akan pikir-pikir dahulu atau penuh

    pertimbangan, begitu seterusnya.

    Ikhwan al-Shafa juga mengakui adanya potensi psikomotorik, kognitif,dan afektif pada masing-masing individu. Mereka menggambarkan kehidupan

    sosial sebagai tatanan (sistem) fungsional-komplementer, di mana tiap-tiap

    potensi genetic-bawaan yang dimiliki manusia merupakan alat-alat sistemik (sub

    sistem-sub sistem) yang berfungsi spesifik demi tegaknya sebuah tatanan (sistem)

    tersebut. Namun tidak diragukan bahwa fungsi-fungsi spiritual berada pada

    hirarkhi paling atas dan mulia dibanding fungsi-fungsi lainnya.

    Berangkat dari eksplanasi di atas, bahwa manusia diliputi oleh dua hal,

    yaitu positif dan negative (baik dan buruk). Maka tujuan pendidikan bagi

    manusia, menurut Ikhwan al-Shafa, secara umum, adalah untuk mencapai

    kebaikan. Dan secara khusus, mereka merincinya menjadi dua tujuan, yaitu tujuan

    individual dan tujuan sosial. Secara tekstual, antara keduanya terdapat perbedaan.

    Ikhwan al-Shafa memberikan porsi lebih kepada kelompok kedua. Secara global-

    individual, tujuan pendidikan adalah untuk mengenal Tuhan. Sedangkan tujuan -

    global-sosialadalah untuk pembentukan karakter diri (al-suluk).

    Namun tujuan tertinggi dari aktivitas pendidikan ini, menurutnya, adalah

    peningkatan harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci, agar dapat

    meraih ridha Allah SWT. Dan hal itu, tegasnya, hanya bisa direalisir dengan

    komitmen seseorang terhadap perilaku moral. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)

    F. Penutup

    Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan

    persaudaraan suci yang terdiri dari para ilmuwan dan filsuf muslim. Mereka

    bergerak secara rahasia dan memiliki tujuan politis melakukan transformasi

    sosial, namun tidak melalui cara radikal-revolusioner, tetapi melalui cara

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    16/19

    transformasi pola pikir masyarakat luas. Mereka sangat peduli dengan nasib Islam

    di zamannya. Kepedulian tersebut terutama dalam pemikiran (pendidikan), yang

    selanjutnya terefleksi dalam karya spektakulernya, Rasail Ikhwan al-Shafa,

    sebuah karya dalam bentuk ensiklopedi yang di dalamnya terdapat beberapa

    disiplin ilmu pengetahuan, sekaligus kurikulum pendidikan.

    Dalam pendidikan, Ikhwan al-Shafa, memiliki konsep bahwa pendidikan

    itu bukan sekedar upaya transfer suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang

    lain tetapi lebih merupakan aktivitas moral yang dengannya seseorang

    mendapatkan derajat kemanusiaan yang tertinggi, yang dalam istilah mereka

    disebut derajat malaikat al-muqarrabin. Aktivitas pendidikan ini bukan hanya

    berupa bimbingan dan pengajaran tetapi juga pengaruh, yang dapat terjadi sejak

    seorang anak masih dalam kandungan (embrio). Sehingga sejak inilah aktivitas

    pendidikan sudah dimulai.

    Dalam epistemologi, Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa semua

    pengetahuan berpangkal pada cerapan indrawiah (empirisme). Mereka

    memandang salah terhadap kelompok yang mengatakan bahwa pengetahuan

    diperoleh dengan cara mengingat-ulang. Argumentasi mereka, bahwa segala

    sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra, tidak bisa diimajinasikan, dan segala

    sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, tidak bisa dirasiokan. Pengetahuan juga

    dapat diperoleh dari 1) kitab suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur,

    dan al-Qur'an; 2) kitab-kitab yang disusun oleh para hukama dan para filosof,

    seperti matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat; 3) alam; 4) perenungan

    alam semesta dan tata aturan kosmiknya.

    Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan

    harkat manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat

    meraih ridha Allah SWT.

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    17/19

    Daftar Pustaka

    Ahmad Tafsir,Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001

    Azyumardi Azra,Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 2002

    Charles Michael Stanton,Pendidikan Tinggi dalam Islam (terj.), Jakarta: Logos, 1994

    Cyril Glasse,Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999

    Departemen Agama RI.,Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1988

    Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996

    Majid Fakhriy, Sejarah Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2002

    Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Yogyakarta,Tiara Wacana, 2002

    M.M. Syarif (ed), A. Historis of Muslim Philosophy, Otto Harrassinwitz Wiesbaden,

    1963

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    18/19

    TARBIYAH MASA DINASTI

    BUWAIHI

    Disusun untuk dipresentasikan dalam seminar kelas pada mata kuliah

    Analisis dan Kritik Sejarah Sosial Pendidikan Islam

    pada Program Pascasarjana UIN SUSKA RIAU

    Oleh:

    ISNAINI SEPTEMIARTI

    NIM: 0804 S2 780

    Dosen Pembimbing

    Prof. Dr. Zul Asyri, LA, MA

    KOSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM

    PROGRAM PASCASARJANA (S2)

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SULTAN SYARIF KASIM

    RIAU

  • 7/28/2019 Tarbiyah Pada Masa Dinasti Buwaihi

    19/19

    2009

    KATA PENGANTAR

    Syukur Alhamdulillah penulis ucapan kehadirat Allah SWT atas karunia dan

    rahmat-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan

    alam Nabi Muhammad SAW.

    Makalah ini membahas tentang Tarbiyah Masa Dinasti Buwaihi, disusun

    untuk memenuhi tugas dan dipresentasikan dalam seminar kelas pada mata kuliah

    Analisis dan Kritik Sejarah Sosial Pendidikan Islam di Program Pascasarjana

    Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

    Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Olehkarena itu, sebagai penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi

    kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis, pembaca,

    dan semua pihak yang tekait.

    Tak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua

    pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, terutama kepada

    Dosen Pembimbing Prof. Dr. Zul Asyri, LA, MA.

    Pekanbaru, Oktober 2009

    Penulis