TARNAMA SINAMBELA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

TARNAMA SINAMBELA SEORANG PENGUSAHA YANG TELAH LAMA BERKECIMPUNG MENJADI REKANAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA SEKALIGUS SALAH SEORANG PENDIRI DAN PEMILIK INSTITUSI PENDIDIKAN SWASTA UNIVERSITAS MPU TANTULAR YANG BERLOKASI DI JALAN CIPINANG BESAR NOMOR 2 JAKARTA TIMUR. SEDANG MERENCANAKAN UNTUK PENGEMBANGAN KAMPUS INTERNASIONAL DI CARIU JONGGOL JAWA BARAT.

Citation preview

  • SEKAPUR SIRIH

    Ada satu alas an yang paaling mendasar mengapa saya menginginkan terbitnya sebuah buku yang mencoba membedah keberadaaan saya, mulai mulai dari masa kecil ketika tinggal di desa, hingga keberadaan saya saat ini. Tiada lain karena saya ingin menitipkan catatan sejarah kepada istri anak dan menantu, termasuk kepada keluarga besar Sumber Batu Group Yayasan Pendidikan Budi Murni dan Universitas Mpu Tantular.

    Rasanya juga tidak berlebihan apabila melalui buku ini saya ingin membagi pengalaman, khususnya kepada generasi muda bangsa, para pemuda pemudi, kepada mahasiswa dan para siswa. Minimal perjalanan hidup saya yang sekalipun barang kali tidak istimewa di bandingkan bnayak tokoh tersohor di negeri ini, namun diharapkan bias membuka mata hati dan pikiran generasi muda bangsa, bahwa hidup dan kehidupan ini adalah sebuah perjuangan. Tidak boleh pesimis karena pesimisme selalu melihat tantangan dalam setiap kesempatan. Sebaliknya harus tetap optimis, karena optimisme selalu melihat peluang dalam setiap kesempatan.

    Sebelumnya memang sudah ada sebuah buku berjudul : Pengabdian Anak Petani yang mengangkat seputar keberadaan saya. Kalu kemudian saya meminta saudara Bachtiar Panjaitan, yang saya kenal sebagai seorang wartawan untuk menulis buku tentang jati diri saya, karena saya menginginkan sebuah buku yang menyajikan sosok saya lebih rinci. Setidaknya alur perjalanan hidup saya terangkum di dalamnya.

    Memang harus saya akui bahwa waktu yang saya berikan untuk penulisan buku ini benar-benar sangat terbatas. Terkadang saya sudah menjadwalkan untuk bertemu dengan penulis , namun karena suatu hal yang mendesak pertemuan lalu di undur dan itupun tidak jarang dibatalkan lagi. Tetapi dengan acaranya sendiri saudara Bachtiar Panjaitan, yang berusaha mencari bahan dari berbagai sumber, toh dapat merampungkan penulisan buku ini mengenai sosok pribadi saat ini dalam waktu yang relative singkat.

    Bahwa dalam isi buku ini ada pemikiran atau argumentasi saya yang memberi kesan menuding atau seolah-olah memojokkan pihak tertentu, semata-mata itu hanya sebuah koreksi ataiu kritik membangun. Semua saya serahkan kepada kepada penilaian pembaca dan saya dengan senang hati akan menerima semua tanggapan mengenai buku ini.

    Dengan terbitnya buku ini, masyarakat luas akan mengetahui lebih jelas mengenai sosok saya seutuhnya. Sebab selama ini masih ada sebagian orang yang keliru atau yang belum mengenal saya secara lebih jelas. Sehingga sering ada pendapat yang mengatakan saya ini orang Jawa yang di batakkan. Padahal yang sebenarnya saya orang Batak tulen yang memperoleh gelar kehormatan Bangsawan Jawadari Keraton Surakarta. Bukan Bangsawan Jawa yang diberi marga Sinambela.

  • Secara prbadi saya merasa bangga hadir sebagai sosok seseorang Tarnama Sinambela yang dalam dirinya menyatu dua nilai-nilai budaya dan sifat yangsudah menjadi kewajibannya untuk tetap teguh mempertahankannya. Sebagai orang Batak saya bangga, dan sebagai Bangsawan Jawa saya juga bangga. Sebab bagi saya bukan kebatakkan atau kebangsawanan itu yang harus ditonjolkan, namun jiwa dan semangat keindonesiaan itulah yang patut digelorakan.

    Prof. DR..KPT. Tarnama Sinambela Kusumonegoro.

  • BAB I PENDAHULUAN

    Masa lalu, ketika kecil di desa, adalah masa yang sarat kenangan dan tidak mudah melupakan. Ada kenangan manis yang indah dikenang. Ada kenangan pahit yang membuat getir dan sakit di dada jika diingat.

    Kenangan masa lalu pun bisa melahirkan dendam membara. Seperti membaranya dendam Tarnama Sinambela terhadap masa silamnya, masa ketika bocah di desa kelahirannya, Pangasean Kecamatan Porsea, Kabupaten Tapanuli Utara. Suatu masa dimana Tarnama Sinambela kecil melihat sarana pendidikan kurang memadai dan warga desanya dibelenggu keadaan ekonomi yang memperihatinkan. Jangankan makan daging, ikan asin lauk yang paling murah saat itu adakala dinikmati warga desa Pangasean seklai seminggu.

    Keadaan ekonomi masyrakat Pangasean yang tidak begitu menggembirakan kala itu, menyebabkan tidak sedikt bocah sebaya Tarnama yang tidak bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik. Mereka, para bocah, karena terdesak keadaan terpaksa harus membantu orangtuanya ke sawah. Bocah-bocah yang kurang bernasib ini, praktis tidak bisa menikmati indahnya masa kanak-kanak yang sarat canda gurau.

    Pagi hari kal bocah sebayanya berangkat ke sekolahdengan langkah yang gagah menyongsong menyongsongmasa depan, mereka justru berangkat ke sawahdengan sejuta tanya tentang masa depannya selepas senja manakla bocah-bocah lain tengah asyik belajar merajut masa depan, mereka malah sudah tertidur lelap untuk melepas penat setelah sehari penuh membantu orangtuanya di sawah.

    Bayang-bayang masa lalu yang kelabu ini, sangat membekas diingatan Tarnama. Dan setiap kali mengenang, dendamnya terhadap kebodohan dan kemeralatan terasa semakin mengusik hati dan pikirannya. Hal inilah memicu semangat dan keinginannya utuk berperan aktif memerangi kebodohan.

    Sebagai wujud rasa dendamnya terhadap kebodohan Tarnama pada tahun 1976 lalu mendirikan Yayasan Pendidikan Budi Murni yang berkedudukan di Jakarta. Pada mulanya Yayasan Pendidikan Budi murni hanya menyelenggarakan pendidikan untuk tingkat Taman Kanak-kanak ( TK ), SD, SMP, SMA, SMEA dan STM. Delapan tahun kemudian, tepatnya tahun 1984, Yayasan Pendidikan Budi Murni mulai menyelenggarakan Pendidikan Tinggi, ditandai dengan berdirinya Universitas Mpu Tantular ( UMT ) di Jakarta.

    Sejak awal Tarnama sudah komit , bahwa kehadirannyamengelola lembaga pendidikan formal bukan untuk mencari untung, tetapi semata-mata untuk mengabdi demi mencerdaskan bangsanya. Komitmennya itu masih tetap dipegang teguh secara konsisten sampai saat ini.

  • Ditengah perjuangannya mempertahankan eksistensi Yayasan Pendidikan Budi Murni yang menyelenggrakan pendidikan dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi, Tarnama masih menyimpan sebuah obsesi untuk untuk mendirikan Kota Mahasiswa. Sebuah Kampus yang dilengkapi sarana dan prasarana yang fantastis. Ada asrama mahasiswa, perumahan dosen, sarana olah raga, bioskop, Bank dan pusat perbelanjaan.

    Bahwa Tarnama memiliki keinginan untuk menduduki jabatan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara, juga sudah dibuktikan melalui sebuah perjuangan. Keinginannyauntuk menjadi Gubernur terdorong rasa ingin membangun daerah asalnya kearah perbaikan di sgala bidang kehidupan.

    Meski perjuangannya untuk menjadi orang nomor satu di Sumatera Utara belum terwujud, Tarnama yang berjiwa pantang menyerah menghadapi kenyataan tidak meras berkecil hati. Sebab baginya, berjuang untuk seorang pejuang adalah sebuah komitmen yang harus dilakukan secara konsisten. Walau begitu Tarnama tetap menyimpan semacam kekecewaan. Karena sepanjang sejarah semenjak negeri ini merdeka, jangankan utuk jabatan gubernur, untuk jabatan Bupati atau Camat di daerah Sumatera Utara, belum pernah ada dari marga Sinambela yang merupakan marga dari Raja Batak, pahlawan nasional, Raja Sisingamangaraja.

    Sensasi besar yang membuatnya menjadi buah bibir pernah pula merebak ketika Tarnama dinobatkan sebagai Bangsawan Jawa bergelar Kanjeng Raden Tumenggung ( KRT ) yang diperoleh dari Keraton Solo, Surakarta April 1985. Semenjak Januari 1994 kedudukannya sudah naik setingkat menjadi KRHT ( Kanjeng Raden Hario Tumenggung ). Lengkap nya ia memiliki sederet sebutan yang cukup panjang, yakni Profesor Doktor Kanjeng Raden Hario Tumenggung Tarnama Sinambela Kusumonagoro. Atau biasa disingkat Prof.DR.KRHT.T. Sinambela Kusumonagoro.

    Dengan menyandang gelar bangsawan Jawa, Tarnama yang berdarah asli Batak Toba menjadi sosok manusia, seorang putra bangsa yang memiliki ciri kehidupan yang unik. Unik karena ia di[ersatukan dua budaya, norma-norma dan sifat yang berbeda, sifat bangsawan Jawa yang lembut dan sifat putra Batak yangyang dikenal keras. Tetapi justru keunikan ini yang menjadikan figur atau keberadaan Tarnama menarik. Menarik karena dala jiwanya hidup dua budaya, yang harus dilakoni dalam perjalanan hidup dan kehidupannya sehari-hari.

    Itulah Tarnama. Tarnama yang memulai karir sebagai pelayan hotel, pengawas proyek dan leveransirbahan bangunan dan bahkan sempat menjadi penyelundup antar pulau Singapore Tanjung Pinang Jakarta. Peristiwa kelabu yang menyebabkan semua barang penyelundupannya dirampas untuk negara ketika tertangkap di pulau Sambu dalam sebuah operasi gabungan pada tahun 1969, menjadi akhir pertualangannya sebagai penyelundup. Akhir yang tragis itu sekaligus awal kebangkitan dalam dunia usaha.

    Dalam kehidupan sehari-hari, Tarnama yang memperoleh gelar akademis dari Uniersitas Tujuh Belas Agustus Jakarta. ( Drs.dengan spesialisasi Ilmu Administrasi Ketataniagaan ), dari Universitas John Dewey Consortium, Merry College AS ( Doktor Ekonomi ), dan

  • terakhir gelar Profesor dari Universitas yang sama, dikenal sangat teguh pada prinsip pola hidup sederhana. Untuk belanja hidup sehari-hari misalnya, keluarga Tarnama sudah terbiasa menyediakan dana tidak lebih dari Rp.5.000,- untuk sarapan pagi, hidangan bubur nasi atau sekali-sekali diselingi kolak labu parang atau getuk singkong, ubi atau jagung sudah lebih dari cukup bagi Tarnama.

    Pria Batak yang selalu tampak necis ini, dikenal pula sebagai seorang insane berhati emas, suka menolong sesama yang membutuhkan uluran kasih, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Dalam kesehariannya, dismping menduduki jabatan penting dalam sejumlah perusahaan, Tarnama adalah Rektor Universitas Mpu Tantular ( UMT ) Jakarta.

    Peran aktif dan keberhasilannya dalam berbagai bidang telah mengantar Tarnama sebagai putra bangsa yang patut menerima beragam penghargaan, baik dari pemerintah , lembaga pendidikan dan keagamaa, organisasi politik maupun dari lembaga swadaya masyarakat.

    Meskipun sehari-harinya sarat kesibukan sebagai akibat fungsi gandanya, ya pengusaha, Rektor, sosiawan, organisatoris dan sejumlah fungsi lain yang diemban, Tarnama yang sudah membiasakan hidupnya tidak mau diatur waktu, sebaliknya ia mengatur waktu, tampaknya memang bisa melakukan aktivitasnya secara lebih terorganisir.

    Segi kehidupannya yang ibarat keeping mata uang bersisi banyak, sudah barang tentu menarik diangkat dalam sebuah buku biografi. Akan tetapi merangkum semua aktivitasnya dalam sebuah sajian sosok utuh seorang Tarnama, jelas agak sedikit merepotkan. Maka untuk menghindari alur cerita perjalanan hidup dan kehidupan Tarnama terkesan tumpang tindih, penulis sengaja menyajikan semua aktivitas tokoh secara terpisah. Dimaksudkan untuk lebih memudahkan pembaca mengikuti dan menyimak pahit, getir dan manisnya hari-hari yang dilalui Tarnama sejak masa bocah sampai ia berhasil meraih sukses.

    Sekalipun banyak kendala dalam usaha mewujudkan terbitnya buku biografi Prof.DR. KRHT. T. Sinabela Kusumonagoro ini, utamanya masalah keterbatasan waktu luang sang tokoh, namun bagi penulis sosok seorang Tarnama Memiliki nilai lebih yang patut dicatat dalam lembaran sejarah perjalanan seorang anak manusia Indonesia. Seorang putra bangsa yang menapak hidupnya dari seorang pelayan hotel dan penyelundup, da bagai meteor melejit menjadi pengusaha ternama dan cukup terpandang dalam jajaran tokoh pengusaha besar di Indonesia.

    Keberhasilannya menjadi pengusaha tangguh yang mampu mempertahankan kemapanan aktivitas bisnisnya, selain karena naluri bisnis yang dimiliki cukup tajam, keberaniannya memikul resiko dan sifatnya yang supel dan suka bergaul menjadi bagian yang sngat menentukan.

    Dalam mengelola Sumber Batu Groupyang saat ini memperkejakan sekitar 1.500 tenaga kerja, Tarnama sebagai seorang nasionalis senantiasa mempertahankan corak

  • kebinekaan dan jalinan kekeluargaan dalam hubungan karyawan dengan karyawan, dan hubungan karyawan dengan pimpinan.

    Sebagai seorang pimpinan Tarnama selalu menempatkan dirinya sebagai ayah sekaligus guru bagi seluruh karyawannya yang tergabung dibawah naungan Sumber Batu Group. Sang Ayah dalam setiap kesempatan rapat, tidak bosan-bosannya pula menggugah dan memotivasi para direksi, staf dan para tenaga ahli, untuk bersama-sama membangun dan memajukan perusahaan. Dan disaat seperti itu, Tarnama tidak jarang menitipkan pesan bijak kepada para stsf dan karyawannya. Salah satu pesannya yang amat popular dan akan selalu diingat staf dan karyawannya adalah : Pemimpin baik adalah guru yang baik, yang selalu bersedia membimbing bawahannya. Maka jadilah guru atas kelebihanmu, jadilah murid karena kekuranganmu.

    Tarnama sendiri dalam menapak hari-harinya, tidak pernah merasa malu belajar dari kegagalan, dan tidak pernah jenuh mendengar atau nasehat dari orang yang lebih tua dan ahli. Dengan banyak mendengar dan mau belajar dar pengalaman sendiri maupun dari pengalaman oarng lain, disamping membuatnya semakin jeli melihat dan memanfaatkan peluang Tarnama juga tampak lebih tegar menghadapi tantangan atau hambatan yang dating menghadang ditengah perjuangannya memecu perkembangan dan kemajuan ushanya. Setidaknya Tarnama memang lebih tangguh dan lebih bijak dalam berpikir, berbuat dan bertindak.

    Bagi seorang Tarnama juga tidak ada kamus menghentikan usaha yang tampak kurang menjanjikan keuntungan dengan terburu-buru. Sebab dengan terus menjalankan aktivitas sambil mempelajari dan memperbaiki dimana letak kelemahannya, itu menurut Tarnama akan menjadi pelajaran atau pengalaman yang tidak ternilai harganya.

    Dari tinjauan managemen modern, prinsip dan terobosan bisnis yang dilakukan Tarnama khususnya jasa usaha konstruksinya, juga memberi kesan sedikit agak menyimpang dari yang lazim diterapkan para pelaku bisnis. Bahwa Sumber Daya Manusia ( SDM ) yang berkualitas sangat dibutuhkan dalam persaingan bisnis yang semakin keras dewasa ini, Tarnama tidak memungkirinya. Tetapi dalam bisnis jasa konstruksi yang sudah dua puluh tahun lebih digelutinya, Tarnama menggarisbawahi bahwa yang dibutuhkan adalah manusia yang memiliki keberanian memikul risiko, bukan masalah sarjana atau tidak sarjana.

    Bukti menunjukkan dari dari sekian banyak cabang usaha jasa konstruksi Sumber Batu, cabang Jawa Timur dan Sumatera Utara yang dikendalikan bukan oleh seorang sarjana, ternyata memang lebih tinggi omset yang bisa dicapai. Satu faktor yang sangat menentukan menurut Tarnama, selain kedua kepala cabang tersebut tahu kapan harus menggunakan naluri bisnisnya, juga tidak mau terperangkap perihitungan secara teoritis, yang justru dapat menimbulkan rasa takut menaggung risiko. Dimana dalam bisnis jasa konstruksi, takut menanggung risiko bisa berarti hilangnya kesempatan atau sebuah peluang bisnis.

  • Mengenai alih kepemimpinan atau regenerasi, konsep pemikiran Tarnama tidak seperti lazimnya pemikiran banyak pengusaha yang cenderung mengkader satu atau dua anaknya untuk meneruskan usaha keluarga. Anak bagi Tarnama memang harus dipersiapkan agar kelak kemudian hari, minimal mampu berdiri diatas telapak kaki sendiri. Tetapi mempersiapkan anak supaya memliki semangat berkompetisi secara sehat dalam dunia bisnis, dalam arti tangguh bukan menjadi pengusaha karbitan, tidak berarti nantinya ada semacam keharusan bahwa sang anak yang akan meneruskan kepemimpinan. Tarnama agaknya lebih cenderung memilih untuk pengelolaan Sumber Batu Group kepada kelompok konsultan jika saatnya sudah tiba.

    Mencoba melihat dan membedah lebih dalam apa yang terkandung dalam jiwa dan pemikiran Tarnama, akan segera pula terungkap bahwa anak petani yang satu ini adalah usahawan yang memeiliki etos kerja yang tinggi, sarat gagasan, banyak keinginan, pemberani, luwes dalam bergaul, suka berbagi kasih terhadap sesama dan komit untuk mengabdi demi kepentingan bangsa dan negaranya, Indonesia.

    Apa yang diungkap melalui penulisan buku biografi ini adalah sosok utuh keberadaan Tarnama yang multi fungsi. Apa dan bagaimana keutuhan jiwa, semangat perjuangan dan pemikiran mengenai dunia bisnis dan pendidikan pada khususnya, diharapkan menjadi masukan dan pemicu bagi generasi muda bangsa, utamanya bagi pengusaha muda dalam memantapkan eksistensi dan arah perjuangannya dalam mengisi kemerdekaan yang ditebus oleh pendahulu, para pejuang dan pahlawan revolusi dengan semangat rela berkorban jiwa dan raga.

    Dalam menyusun buku ini, sudah barang tentu diperlukan bantuan berupa informasi dan data kajian sebagai bahan penulisan terutama langsung dari pihak yang bersangkutan, yakni Prof.DR. KRHT. T. Sinabela Kusumonagoro. Dimana ditengah kesibukannya yang luar biasa padat Tarnama masih bersedia meluangkan waktu luangnya untuk wawancara. Maka sudah pada tempatnya jika saya menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga.

    Tidak terkecuali kepada istri tercintanya Tarnama, ibu Damaris boru Tampubolon dan kapada kedua putranya. Budi Parlindungan Sinambela, BBA dan Santo Mulia Parulian Sinambela, SE yang dengan tulus bersedia memberikan masukan atau informasi, saya haturkan berjuta terima kasih.

    Bahan-bahan lain untuk melengkapi penulisan buku ini, saya peroleh dari staf dan karyawan Sumber Batu Group serta buku yang ditulis D.Sibarani yang berjudul : Pengabdian Anak Petani. Untuk itu sudah selayaknya saya mengucapkan terima kasih. Khususnya kepada Nurnani Saragih, staf Sumber Batu Group yang senatiasa membantu disaat saya butuhkan dari mulai mengatur waktu pertemuan dengan Tarnama sampai mencari bahan dokementasi dan mengumpulkan foto-foto yang dibutuhkan untuk penulisan buku ini, saya haturkan ribuan terima kasih dari relung hati saya yang paling dalam.

  • Kepada kedua anak saya, Tiurma Amelinda boru Panjaitan dan Rico Ricardo Panjaitan, yang memberi kekuatan batin saya selama proses penggarapan buku ini, saya berdoa Tuhan senantiasa menyertai dan membimbing kalian.

    Saya juga tidak melupakan ketulusan hati ibu Mellie Eka Tjipta Wijaya da Bapak DR.Setiawan Barin yang senantiasa menggugah semangat dan mendorong saya untuk berbuat sesuatu yang lebih berarti dalam hidup dan kehidupan ini. Atas kebaikan dan ketulusan hatinya, saya mengucapkan terima kasih.

    Diatas semua itu, puji syukur kepada Tuhan Karena berkat karunia dan seijin-Nya jualah penulisan buku biografi Prof. DR. KRHT. T. Sinambela Kusumonagoro ini, dapat terlaksana dengan baik. Tuhan memberkati !

    Jakarta, Desember 1995

    Bachtiar Panjaitan

  • BAB II PANGASEAN

    Pangasean, 15 juli 1943, menjelang tengah malam. Ketika penghuni desa sudah lelap dalam tidur, disaat udara dingin terasa menusuk menembus tulang, dank ala kesunyian ditingkah desir angin yang bertiup sepoi kian mencekam disana , disebuah rumah berdinding dan berlantai papan dengan atap rumbia, seorang wanita yang tidak lain adalah Tiopan boru Marpaung, sedang terbaring diatas ranjang papan beralas tikar menahan rasa sakit perutnya yang terasa melilit-lilit dan mulas bukan main sakitnya. Boru Marpaung yang sudah mengandung lebih 9 bulan tahu, kalau rasa sakit yang membuatnya keringat dingin, adalah pertanda sudah saatnya melahirkan.

    Hiobaja Sinambela yang mengetahui istrinya akan melahirkan, segera mengambil stagen lalu menggantungkannnya pada tiang dalam rumahnya. Sebab seperti diketahui, dimasa lalu dimana cara melahirkan pada masyarakat Batak Masih primitive, stagen atau ulos memiliki arti penting untuk membantu seorang wanita saat melahirkan.

    Setelah stagen dikaitkan pada tiang, kedua tangan boru Marpaung lalu diikatkan pada stagen. Dengan posisi setengah berjongkok dan bertumpa kepada kedua lututnya, boru Marpaung siap menghadapi saat-saat melahirkan.

    Ketika itu jangankan bidan, yang namamnya dukun bernak pun tidak ada. Sehingga yang membantu persalinan dengan cara mengurut perut Tiopan boru Marpaung saat itu, adala wanita-wanita tua kerabat dekatnya. Biasanya, tanpa dipanggil para kerabat dekat akan segera dating jika mengetahui diantara keluarganya yang melahirkan. Tanpa diminta mereka pun akan segera memberi pertolongan.

    Bagi Hiobaja Sinambela menunggu saat-saat boru Marpaung melahirkan, adalah saat dimana berbagai perasaan campur aduk dalam hatinya. Gelisah, was-was dan rasa bahagia menanti hadirnya bayi mungil membuat hiobaja menjadi serba salah. Pada hal bagi pasangan Hiobaja Sinambela dan Tiopan boru Marpaung, anak yang ditunggu adalah anak ketujuh. Tapi karena oarng Batak di masa itu dan bahkan masih teguh dipegang sampai sekarang, anak adalah harta paling berharga yang dalam bahasa Batak disebut Anakkon hi do hamoraon di ahu, sehingga kehadiran anak keberapa pun dalam keluarga orang Batak, pasti disambut dengan rasa bahagia. Lebih-lebih lagi jika bayi yang baru lahir seorang laki-laki yamg akan meneruskan garis keturunan atau marga dari bapaknya.

    Begitu anak yang ditunggu-tunggu lahir, Hiobaja Sinambela bukan main girangnya. Rasanya ia pun baru bisa menarik nafas dengan lega, setelah sekian lama menunggu dengan perasaan yang tidak menentu. Sangking bahagianya, Hiobaja Sinambela langsung memeluk boru Marpaung, dan menatap dalam-dalam wajah anaknya yang baru lahir.

    Dimasa itu ada semacam kepercayaan bagi masyarakat Batak, yang selalu menghubung-hubungkan suatu peristiwa atau tanda-tanda dengan kelahiran seorang bayi. Misalnya, jika ayam berkokok bersahut-sahutan sebelum atau bersamaan dengan kelahiran seorang

  • bayi orang-orang tua menyimpulkan bahwa bayi yang baru lahir kelak akan menjadi jagoan.

    Peristiwa kelahiran bayi pasangan Hiobaja dan boru Marpaung yang terbalut ari-ari atau semakin kulit tipis, juga disimpulkan para orang tua sebagai suatu tanda-tanda. Ada yang mengatakan jika bayi yang lahir terbungkus ari-ari, kelak akan menjadi anak yang kebal atau tahan pukul. Sebagian lagi memberi pendapat bahwa ada dua kemungkinan yang kelak akan terjadi jika bayi lahir terbungkus ari-ari. Jika tidak menjadi orang yang terkenal dan sukses, hidupnya bisa susah, penuh penderitaan.

    Antara percaya dan tidak percaya, Hiobaja yang mendengar komentar orang-orang tua tersebut, sempat juga berpikir jangan-jangan anaknya yang baru lahir hidupnya susah kelak. Tetapi diam-diam dalam hati Hiobaja berdoa kepada Tuhan, agar nasib anaknya nanti bisa jadi sebaliknya. Sebab Hiobaja percaya, segala sesuatunya dalam hidup ini hanya Tuhan yang maha mengetahui.

    Dan sebagaimana biasanya dalam tradisi atau tata kehidupan masyarakat Batak, sebuah nama memiliki arti penting, dan diyakini semacam jaminan yang menentukan perjalanan hidup dan kehidupan atau masa depan bagi seorang anak. Makanya ketika tiba saatnya untuk memberikan nama bagi anaknya, pasangan Hiobaja dan boru Marpaung harus berpikir keras mencari sebuah nama yang mereka piker akan menjadi obor yang menerangi langkah kehidupan bgi anak yang mereka cintai.

    Setelah memilah-milah sekian banyak nama, akhirnya mereka sepakat memilih Tarnama sebagai nama anaknya. Sesuai pengertiannya, Tarnama yang berarti terkenal, pasangan Hiobaja dan boru Marpaung sangat mengharapkan putranya kelak akan menjadi orang yang terkenal dalam pengabdian dan budi pekertinya. Pemberian nama Tarnama juga dimaksudkan pasngan Hiobaja dan boru Marpaung smacam penangkal, agar anaknya yang lahir terbalut kulit ari-ari jauh dari penderitaan atau kesengsaraan di kemudian hari.

    Sebagai orangtua , terlebih boru Marpaung yang bersusah payah merawat bayinya semasa dalam kandungan, belum lagi merasa merasakan sakitnya disaat melahirkan, mengharap kehidupan yang baik buat masa depan anaknya adalah suatu hal yang wajar. Begitu juga harapan dan doa-doa diminta boru Marpaung saat menghadap Tuhan untuk keenam anaknya yang lain Bongitan, Juhal, Lasak , Bismar, Unggul, dan Taor, yang terlebih dahulu menghirup udara kehidupan diatas bumi. Boru Marpaung dalam setiap berdoa selalu memohon jamahan tangan dan kasih kuasa Tuhan, agar anak-anaknya senatiasa Tuhan bombing dan tuntun dalam setiap langkah hidup dan kehidupannya.

    Tidak seperti lazimnya dalam kehidupan orang Batak yang beragama Kristen, dimana selalu menambahkan nama baptis untuk nama anaknya, bayi Tarnama saat dibaptis tetap dengan nama Tarnama. Namun sebagai orang Batak yang mengikuti garis keturunan bapak, pembaptisannya di gereja tidak dilepas dari marga sang ayah yang ditempatkan dibelakang namanya.

  • Dengan pembaptisan nama Tarnama sesuai ajaran kristus bagi pengikutnya yang setia di Rumah Tuhan, semakin besar harapan bagi pasanga Hiobaja dan boru Marpaung, bahwa dengan kasih setia Tuhan, anaknya yang sudah Terkenal sejak bayi akan menjadi kenyataan.

    MASA KANAK-KANAK

    Seperti bocah sebayanya masa kanak-kanak yang sarat suka cita, bermain dan bermain selalu mewarnai hari-hari Tarnama kecil semasa tinggal di desa Pangasean, Porsea, dimana ia dilahirkan. Tetapi sebagai anak yang tahu diri dan selalu menurut kata bapak dan ibunya, Tarnama kecil juga selalu berusaha menyenangkan hati orang tuanya.

    Namun jika kegemarannya main kelereng sudah kumat atau sudah musimnya, Tarnama kecil kadang suka lupa kalu ia sudah berada di desa tetangga. Salah satu hobi beratnya memeng main kelereng. Bersama bocah-bocah sekampung, Tarnama sering mendatangi desa tetangga menantang bocah-bocah sebayanya yang ada disana untuk bertanding main kelereng. Dalam setiap bertanding dan taruhannya juga kelereng, mereka hamper tidak pernah kalah, selalu menang. Biasanya hasil kemenangan mereka dibagi secara merata dan seadil-adilnya.

    Masa kanak-kanak Tarnama boleh dibilang cukup menyenangkan. Bapaknya ,Hiobaja Sinambela, selain memiliki sebidang sawah yang digarap oleh orang lain, juga memiliki kedai minum dan dikenal sebagai pedagang Pinahan Lobu atau babi yang dijual ke Pematang Siantar. Disamping itu, Hiobaja juga dikenal sebagai Parbaringin, yang sangat terpandang pada zaman Jepang.

    Dari segi kedudukan Parbaringin berada dibawah Raja Mardinding,dan Raja Mardinding berada dibawah Raja Maropat dan diatasnya baru si Raja Batak, Raja Sisingamangaraja. Secara hirarki kedudukan seoang Parbaringin masih lebih tinggi dari kepala kampong dimasa itu.

    Untuk mengangkat seorang Parbaringin juga tidak sembarangan, karena harus dipilih paling tidak oleh 30 buah desa. Selain itu, karena yang menentukan perlunya seorang Parbaringin adalah Raja Sisinga mangaraja, maka seseorang yang diangkat menjadi Parbaringin harus memenuhi persyaratan , antara lain memiliki kemapuan dalam soal adat-istiadat, kemapuan berbicara, dan kemapuan ekonomi, disamping banyak keturunan.

    Mengigat Parbaringin adalah Raja Adat, maka dia haruslah seorang terpandang. Bisa tampil penuh charisma dalam acara-acara adat, mampu mendamaikan warga yang bertikai, dan yang terpenting dia harus menjadi raja lalo, berani berkorban secara materi. Pengangkatan seorang Parbaringin, biasanya dilakukan dalam sebuah pesta adapt yang cukup meriah.

    Walau bapaknya tergolong berada dan terpandang, Tarnama kecil tidak menjadi manja atau menganggarkan keberadaan orangtuanya. Ia selalu hidup apa adanya, dan tidak banyak menuntut. Tarnama kecil juga beruntung memiliki orangtua sebaik Hiobaja dan

  • boru Marpaung. Pasangan suami istri ini tidak pernah memperlakukan Tarnama kecil secara kasar. Kalau pun ia terlambat pulang dari sekolah karena terpaksa mengikuti keinginan teman-temannya untuk bermain, orangtuanya paling mengingatkan Tarnama kecil untuk tidak mengulangi perbuatannya.

    Meskipun kedua orangtuanya sama-sama baik, tetapi buat Tarnama ibunya boru Marpaung memiliki arti khusus dalam hati kecilnya. Boru Marpaung memang seorang ibu yang baik hati. Selain selalu berkata lembut jika menasehati anak-anaknya, diam-diam tanpa sepengetahuan suaminya, boru Marpaung suka memberikan uang kepada Tarnama kecil

    Bagi Tarnama, hidup ditengah keluarga dengan tujuh bersaudara,apalgi semuanya laki-laki, memang cukup menyenangkan sealigus suka membuatnya jengkel. Jengkel karena abang-abangnya suka menuntut makanan yang enak-enak walau begitu, Hiobaja dan boru Marpaung tidak pernah marah mereka selalu berusaha menyenangkan ketujuh anaknya. Namun seingat Tarnama, orangtuanya sangat megistimewakan abangnya, Lasak, ahak yang paling nakal diantara keenam saudaranya. Lasak, almarhum, semasa hidupnya dikenal sebagai raja preman, yang namanya sangat tersohor di Tanjung Balai dan Balawan, Medan, dan Sumatera Utara.

    Dalam usia empat tahun, Tarnam kecil Sudah menunjukkan sikap yang berbeda disbanding bocah sebayanya. Dimana kala teman sedang asyik bermain, Tarnama kecil malah lebih suka memilih membantu orangtuanya dikedai untuk melayani tamu atau pengunjung. Malah sebelum fajar menyingsing, Tarnama kecil sudah sibuk membersihkan meja dan merapikan kursi-kursi kedai . karena ketelatenannya dalam bekerja dan lagi jujur, orantuanya tidak segan-segan mempercayakan kepada Tarnama kecil untuk menjaga dan melayani dikedainya, jika kebetulan mereka mengahdiri sebuah pesta perkawianan atau acara keluarga. Sebab jika Tarnama kecil yang menjaga, uang yang dikedai tidak sepeser pun hilang.

    Ketika tiba saatnya masuk Sekolah Rakyat ( SR ) di Pardamean, sebuah desa yang tidak begitu jauh dari desanya, kebiasaan Tarnama membantu orangtuanya tetap tidak berkurang, dipagi hari, sebelum berangkat sekolah seperti biasa dilakukan sebelum sekolah, Tarnama selalu lebih dahulu membersihkan meja dan kursi-kursi di kedai.

    Sepulang sekolah, Tarnama juga selalu membantu orangtuanya di dapur. Kalau kebetulan Tarnama melihat ibunya sedang menumbuk beras untuk membuat lampet, kue yang terbuat dari tepung beras yang sudah dibungkus daun pisang, Tarnama akan meminta kepada ibunya agar ia yang menumbuk. Jika tugasnya membatua orangtuanya di rumah sudah selesai, Tarnama biasanya segera bergegas untuk menggembala bebek-bebeknya yang dibeli bapaknya begitu Tarnama masuk SD. Tarnama kecil sangat menyayangi bebek piaraannya. Sangking sayangnya , hamper setiap hari dijaganya.

    Semasa kecil Tarnama memang sudah giat bekerja. Ia tidak begitu suka menghabiskan waktunya untuk bermain, begitu Amintas Sinambela , mengenang mas bocah Tarnama. Sebagai kawan dekat, semarga dan masih ada hubungan keluarga , yang kebetulan

  • rumahnya berhadapan dengan Tarnama, Amintas atau sekarang dikenal sebagai Ama ni Manuntun, sudah melihat dari kelebihan-kelebihan pada diri Tarnama kecil. Selain tidak mau diam, ada-ada saja yang dikerjakan, sama dengan sifat ibunya boru Marpaung, Tarnama juga selalu mengalah jika sedang bermain dengan teman sebayanya.

    Keberaniannya mengahadapi risiko sudah Tarnama perlihatkan pula semasa bocah.Ia tidak segan-segan menebang pohon di kebun orang lain, jika sedang mencari kayu baker. Dimasa itu, keadaan desa Pangasean memang masih berupa seluk belukar yang di sekeliling desa dipenuhi pepohonan. Tapi karena pada saat itu setiap jengkal tanah sudah jelas pemiliknnya, maka tidak boleh sembarangan untuk mengambil sesuatu atau mencari kayu baker apalagi menebang pohon di kebun orang lain. Namun dasar Tarnama kecil orangnya memang nekad, hati kecilnya tidak pernah merasa takut untuk melakukannya.

    Karena dikepalanya terdapat tujuh pusaran, Tarnama dimasa bocah dijuluki harirungan alias sarang tawon. Gillas Sinambela semasa tinggal di Pangasean dan sering singgah di kedai milik orangtua Tarnama, tidak segan-segan memanggil Tarnama kcil dengan julukan harirungan. Dipanggil dengan julukan seperti itu tidak membuat Tarnama kecil itu marah.

    Sejak semula atau begitu melihat Tarnama memiliki tujuh pusaran, Gillas sinambela yang kini berdomisili di Kisaran, sudah ada keyakinan bahwa suatu kelak, Tarnama kecil bakal jadi Terkenal seperti namanya,Jadi marboa-boa do angka jolma siulahon nadeggan, maksud Gillas Sinambela, bahwa setiap orang yang mengerjakan sesuatu yang baik sudah ada tanda-tandanya. Bagi Tarnama, boa-boa atau tanda-tanda tersebut dimilikinya tujuh pusaran di kepala dan terbalutnya bayi Tarnama dengan kulit ari sewaktu lahir.

    MASA REMAJA

    Memasuki masa remaja, saat Tranama sudah duduk dibangku SMP, kegemarannya bermain kelereng sudah mulai berkurang, dan lambat laun malah hilang sama sekali. Diam-diam ia pun sudah memiliki kegemaran baru, seperti main kasti, sepak bola, lomba lari, dan main tinju.

    Karena tubuhnya pendek, teman-teman menjulukinya si pendek. Walau pendek, Tarnama yang tubuhnya keras sangat ditakuti lawan-lawannyajika sedang bermain bola kaki. Sehingga jika ia sedang menggiring bola, hamper semua lawan-lawannya takut merebut bola darinya. Mudah dibayangkan kalau Tarnama sering mengancam gawang lawan. Bahkan dengan mainannya yang cantik, Tarnama dengan kawan-kawannya selalu memenangkan pertandingan dengan gol-golnya yang fantastis.

    Salah satu hobinya yang lain, dan biasa ia lakukan sepulang sekolah adalah memancing. Di masa itu terdapat sebuah kolam yang terbentang luas tidak jauh dari rumahnya. Selain ikan mujair, di kolam tersebut terdapat ikan mas yang luar biasa banyaknya. Sambil mengembala bebeknya yang dilepas tidak jauh dari kolam, tarnama bersama teman-

  • temanya mengisi waktunya untuk memancing. Karena ikannya memang banyak, setiap kali memancing Taranma selalu memperoleh hasil yang banyak pula.

    Tapi semenjak bobolnya sungai Aek Bolon yang membelah desa Pangasean dengan desa Namora , kolam ikan tempat dimana Tarnama semasa remaja sering memancing hilang sudah. Saat ini bekas kolam ikan tersebut sudah berubah menjadi tanah persawahan. Dan semenjak hilangnya kolam tersebut praktis hingga sekarang sangat sulit mendapatkan ikan mas di desa Pangasean. Sehinnga jika ada pesta adat yang membutuhkan ikan mas dalam jumlah besar, pendudduk Pangasean terpaksa pergi membeli ikan mas ke Pematang Siantar. Jarak yang cukup jauh karena bisa memekan waktu lebih kurang dua jam melalui perjalanan darat dari Pangasean, Porsea ke Pematang Siantar.

    Semasa SMP di desa Narumonda, sebuah desa tetangga yang mengaharuskan Tarnama menempuh jarak lima kilometer, setiap hari hampir setiap guru sayang padanya. Tarnama yang selalu berpakaian putih-putih mulai sejak SD, dan selalu rapid an bersih, paling sering ditunjuk untuk menaikan bendera dalam upacara kenaikan bendera.

    Kalau Tarnama mencuci pakaian biasanya terlebih dahulu direndam dua sampai tiga hari. Itu menandakan bahwa Tarnama memang benar-benar anak yang resik, dan selalu nampak necis. Dan sekalipun orangtuanya tergolong mampu, namun tarnama dari mulai SD sampai SMP hampir tidak pernah memakai sepatu jika pergi ke sekolah. Tarnama seperti teman-temannya yang lain, lebih suka bertelanjang kaki.

    Bakatnya yang mulai menonjol di bidang olah raga membuatnya sering menjadi juara apabila diadakan lomba lari di sekolahnya. Kalu kebetulan orangtuanya meminta Tarnama tidak masuk sekolah supaya ada yang menjaga kedai sebelum mereka pulang dari sebuah pesta. Tarnama akan menangis sedih. Sebagai pelajar Tarnama tidak pernah mangkir absent ke sekolah. Makanya walau dipaksa untuk menjaga kedai karena orangtuanya ada urusan penting, Tarnama akan melakukan berbagai cara untuk tetap berangkat sekolah salah satu bentuk protesnya adalah dengan mengangguk bobar, menangis keras sejadi-jadinya.

    Hiobaja dan boru Marpaung yang sudah mengenal watakTarnama dengan baik, biasanya tidak akan memaksa, terlebih jika mereka sudah melihat Tarnama terisak-isak. Sebagai oaring tua, pasangan Hiobaja dan boru Marpaung sanagt memperhatikan dan rela berkorban dalam menyekolahkan anak-anaknya, setiap anak yang sudah lulus SMP, selalu di usahakan Hiobaja dan boru Marpaung untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang SLTA. Ada yang di sekolahkan di Tarutung, ke Pematang Siantar dan bahkan ke Medan. Selain saat itu belum ada sekolah tingkat SLTA yang dekat di Pangasean, Hiobaja dan boru Marpaung sekaligus ingin mendidik anak-anaknya agar tidak manja piker mereka waktu itu, dengan menyekolahkan anaknya ke Tarutung, Pematang Siantar, dan Medan anak-anaknya bisa belajar mandiri. Danketika giliran tarnama lulus dri SMP Narumonda, seperti abang-abangnya yang lain , Tarnama juga memperoleh kesempatan melanjutkan sekolahnya ke sebuah SMA di Medan, Sumatera Utara. Keinginan Tarnama untuk melanjutkan sekolahnya di Medan, memang sudah menjadi dambaannya sejak lama.

  • Apalagi ia sering melihat anak-anak sekampungnya pulang sewaktu libur sekolah tampak beda, membuat Tarnama Sekolah ke Medan semakin besar.

    Sat tiba mengucapkan selamat tinggal desa Pangasean terasa ada sesuatu yang membuat Tarnama berat untuk mengayunkan langkahnya. Berat karena ia akan segera meninggalkan semua kenangan masa bocah dan masa pra-remajanya. Masa dimana Tarnama mengisi hari-harinya dengan bermain kelereng, menggembala bebek, menyabit rumput, mencari kayu baker, memancing dan menumbuk beras untuk membuat lampet Suka dan dukanya hidup di desa yang saat itu jalan menuju desanya masih jalan setapak, dan dikala malam hanya diterangi lampu-lampu tempel terasa sangat mengusik hati kecil Tarnama.

    Kala itu tahun 1958, dimana usia Tarnama baru menginjak 15 tahun, keadaan desa Pangasean masih sunyi senyap, terlebih pada malam hari. Sebab sebagai sebuah desa yang warganya mayoritas hidup dari hasil bertani, lumrah apabila selepas senja sebagian penduduk memilih melepas lelah di rumahnya masing-masing. Kalupun kedai Hiobaja masih buka, tapi hanya segelintir orang yang terlihat asyik duduk sembari berbincang-bincang mengenai bebagai masalah.

    Bagi seorang Tarnama, hidup semasa remaja di desa Pangasean adalah hari-hari yang terkadang sangat menjemukan. Dismping listrik belum masuk yang membuat suasana desa khusus pada malam hari seba gelap malam-malam panjang seperti malam minggu seperti terasa menyiksa karena tidak ada hiburan apa-apa yang bis memberikan kebahagiaan bagi remaja seusianya. Kalau kebetulan bersama teman-temannya Tarnama ingin menonton, satu-satunya hiburan hanyalah bioskop, itu pun hanya dikota Balige. Selain jaraknya cukup jauh dan alat transportasi saat itu masih minim, mengharuskan Tarnama dan kawan-kawannya berangkat pada sore hari jika kebetulan pulangnya sudah agak malam, mereka terpaksa harus berjalan kaki dari jalan raya lintas medan Tapanuli menuju desa Pangasean yang jaraknya kurang lebih dua kilometer.

    Bersama keberangkatannya ke Medan untuk melanjutkan sekolahnya disana, semua peristiwa yang pernah dijalani dan keadaaan desa kelahirannya, tinggal sebuah kenangan bagi Tarnama.

    Di Medan, Tarnama tinggal bersama abangnya, Juhal, yang sudah lebih dulu berada disana. Hari-hari pertama, bahkan selama beberapa bulan setelah tinggal di Medan, Tarnama sering terkenang pada kampong halamannya. Disaat seperti itu terbayang kembali masa bocahnya dan masa Tarnama memasuki usia remaja. Dalam khayalnya Tarnama membayangkan betapa asyiknya ketika menggembala kerbau dan memancing. Ia bayangkan wajah ibunya boru Marpaung yang terpaksa menumbuk beras seorang diri. Dan terbayang pula wajah bapaknya, Hiobaja yang harus membersihkan meja dan mengatur kursi-kursi di kedai pagi sebelum fajar menyingsing.

    Seperti kebiasaan pelajar perantau yang selalu pulang kampong pada saat libur sekolah, Tarnama juga memanfaatkan sat libur seperti itu untuk melepas rindu kepada kedua orangtua dan sahabat-sahabatnya. Dan biasanya memutuskan pulang kampong pada saat

  • libur sekolah, Tarnama selalu lebih dahulu mengabarkan kepada orangtuanya di kampung kalau ia akan pulang pada masa libur. Jika orangtuanya meminta agar Tarnama tidak perlu pulang, apa yang diinginkan orangtuanya pasti dituruti.

    Sikapnya yang penurut dan tidak pernah melawan atau menentang, itulah yang membuat pasangan Hiobaja dan boru Marpaung merasa sangat senang dan bahagia mempunyai anak seperti sosok Tarnama, yang kian hari tumbuh semakin dewasa. Hiobaja dan boru Marpaung bisa merasakan bahwa anaknya yang satu ini, memang berbeda dengan anak-anaknya yang lain. Mereka juga bisa merasakan betapa repotnya semenjak Tarnama sekolah di Medan. Sebab biasanya Tarnama tanpa diminta atau dikomando selau membantu boru Marpaungdi dapur, dan menemani bapaknya, Hiobaja melayani para tamu yang singgah di kedai.

    Bagi Tarnama pulang kampong saat libur sekolah, tidak sekedar melepas rindu. Terkadang untuk mengenang masa lalunya, Tarnama tidak lupa melongok tempat dimana ia suka memancing, termasuk bertandang ke rumah kawan-kawan seperti mainannya dulu. Saat bertemu seperti, Tarnama lebih suka bercerita mengenai kerinduanya terhadap kampung halamannya semenjak sekolah di kota Medan. Kepada kawan-kawannya, Tarnama mengisahkan suasana hatinya yang sering larut mengenang masa bocahnya. Suatu masa yang sarat kenangan manis, yang membuatnya tidak akan pernah bisa lupa sampai kapan pun. Dan terbukti sampai saat ia telah menapak dlam suatu kehidupan dimana namanya benar-benat telah terkenal, masa ketika gemar memancing dan bermain kelereng sampai ke desa tetangga, masih tetap segar dalam ingatannya.

    Dan bagi pasangan Hiobaja dan boru Marpaung, pulangnya Tarnama disaat libur sekolah adalah suatu kesempatan untuk mengingatkan anaknya agar tidak melupakan petuah orangtuanya. Hiobaja dan boru Marpaung memeng tidak jenuh-jenuh memberi wejangan agar Tarnama mengenal siapa dirinya, siapa orangtuanya. Dengan selalu mengingat siapa diri kita sebenarnya, dan dari keluarga yang bagaimana kita dihasilkan, Hiobaja dan boru Marpaung percaya, bahwa Tarnama akan lebih giat belajar untuk merajut masa depan. Dan sebagai oarng Kristen yang taat menjalankan kepercayaannya, Hiobaja dan boru Marpaung tidak lupa pula mengingatkan Tarnama selalu mengingat Tuhan , selalu berdoa, dan selalu menjalankan apa yang dikhendaki-Nya.

    Tidak seperti kebanyakkan anak apalagi yang sudah tinggal di kota, yang suka masa bodoh atau bahkan tidak mau mendengar wejangan orangtuanya, Tarnama justru merasa haus dengan petuah-petuah. Makanya setiap kali orangtuanya menyampaikan keinginan dan wejangannya, kata demi kata yang terangkai dalam sebuah kalimat yang terucap dari bbir orangtuanya selalu Tarnama simak dengan baik, dan selalu pula ia jalankan.

    Begitulah, setiap kali pulang kampung saat libur, Tarnama selalu mengenang masa lalunya, dan selalu mendapat petuah dari orangtuanya. Dan disaat kembali meninggalkan desanya seusai menikmati masa libur, kerinduan dan bayang-bayang masa silamnya akan kembali mengusik sanubarinya. Hiobaja dan boru Marpaung juga kembali merasakan rindu dan rasa kehilangan. Kehilangan selama masa libur di desa Tarnama selalu rajin membantu boru Marpaung di dapur. Sikap tarnama tidak sedikit pun berubah walau

  • sudah sekolah di kota Medan. Ia masih tetap Tarnama yang dulu Tarnama yang semasa belum sekoalah di Medan selalu rajin bekerja, dan tidak pernah melawan orang tuanya.

    BERANGKAT KE JAKARTA

    Keinginan Tarnama untuk merantau ke Jakarta suadah mulai mengusik hati kecilnya, begitu sekolah di Medan. Keinginannya untuk bisa menginjak dan mengadu nasib di kota besar Jakarta semakain bertambah besar menjelang ujian terakhir di SMA. Bersama teman-temannya yang lain, Tarnama sering membicarakan masalah masa depan dan mau kemana setelah tamat SMA. Setiap kali hal itu ditanyakan teman-temannya, Tarnama dengan entengnya menjawab ingin merantau ke pulau Jawa.

    Diam-diam Tarnama sudah menyimpan sebuah cita-cita untuk mencoba mengikuti ujian penerimaan perwira TNI-AU. Dalam hati, Tarnama selalu membayangkan betapa gagahnya jika suatu waktu bisa menyandang pakaian dinas TNI-AU. Dan ketika selesai mengikuti ujian terakhir di SMA dan lulus, tekadnya untuk mewujudkan cita-citanya benar-benar semakin membara.

    Dalam suatu kesempatan bertemu orangtuanya setelah lulus SMA, Tarnama menyampaikan niatnya sekaligus meminta ijin dan doa restu agar diperbolehkan merantau ke pulau Jawa. Kepada orang tuanya Tarnama mengutarakan bahwa kemungkinan bisa berhasil lebih terbuka lebar di pulau Jawa. Lagi pula masih tetap tanah air kita, Tarnama berusha menghibur boru Marapaung yang memeng agak berat melepas kepergian Tarnama.

    Tetapi sebagai orang Batak yang sudah melihat banyak dari Toba memberangkatkan anaknya merantau ke pulau Jawa, akhirnya boru Marpaung merasa tertantang juga. Pikirnya, kalau memang bisa memberngkatkan anaknya, kenapa saya tidak bisa. Boru Marpaung juga ingin melihat pada suatu saat nanti, Tarnama dapat menjadi orang berguna bagi bangsa dan negaranya. Dalam doanya, boru Marpaung memang selalu memohon kepada Tuhan supaya anak-anaknya diberkati. Dimana pun mereka berada kelak, Tuhan bimbing dan ajari mereka.

    Dengan sejumlah uang hasil penjualan beberapa ekor bebek kesayangannya, dan berbekal ijasah SMA, serta diiringi doa restu orangtuanya, berangkatlah Tarnama ke Jakarta melalui pelabuhan Belawan. Sebagai penguat semangat dan pegangan hidup bagi Tarnama di rantau orang, orangtuanya tidak lupa membekalinya dengan sebuah falsafah Batak : Ulosi Nasa Tungko-tungko, Sai Adong Do I Hangoluanmu. Saongi Angka Dalan, Dapot Ho Do Na Tonggi Dalan Pasu-Pasu- yang artinya Manfaatkanlah rejeki sekecil apapun sebelum cita-cita tercapai, sebab kalu dikumpulkan akan menjadi banyak dan dapat kehidupan. Kemudian tanamlah kebaikan di dalam kehidupan , agar beroleh rejeki dari sesame manusia dan beroleh yang manis atas jerih payahmu.

  • Dalam kehidupan Mmasyarakat Batak, memang sudah menjadi tradisi untuk mmegang tegung falsafah leluhurnya. Sebab sejak dahulu kala masyarakat Batak menyadari bahwa manusia merupakan bagian dari masyarakat yang majemuk, dimana satu sama lainnya saling membutuhkan, saling mengahargai, dan saling menghormati, seperti makna yang terkandung dalam Dalihan Na Tolu.

    Tidak banyak yang diucapkan Tarnama ketika akan berpisah dengan orangtua dan sanak familinya, kecuali memohon agar namanya tetap disebut dalam setiap doa. Dan tatkala kapal yang membawanya mengarungi lautan mulai bergerak meninggalkan pelabuhan Belawan, Tarnama berusaha menguatkan hatinya dengan berdoa. Walau ada perasaan gundah karena akan berpisah entah berapa tahun lamanya, Tarnama yang sudah sejak kecil terbiasa untuk bersikap tegar, tidak menunjukkan rasa sedih yang dalam.

    Tetapi selepas senja, dikala hari mulai menjelang malam, ditengah laut yang tampak tidak terbatas, Tarnama baru merasakan adanya getaran haru dan perasaan berat menghimpit dalam dadanya. Di pelupuk matanya jelas terbayang wajah ibu dan bapaknya. Ia bayangkan di usia yang semakin tua, kedua orangtuanya harus menjalani hari-hari semakin terasa berat. Dan tanpa tarnama sadari , mendadak muncul semacam keinginan yang kuat dalam dirinya untuk membuktikan bahwa ia harus berhasil di rantau orang. Tarnama sepertinya merasa tercambuk untuk berbuat sesuatu yang berarti bagi hidup dan kehidupan orangtuanya kelak.

    Disaat malam semakin larut, Tarnama yang berusaha memejamkan mata tapi tak jua bisa terpejam, membuatnya tidak kuasa mengusir baying-bayang masa lalu. Terbayang kembali ketika ia menjalani masa bocah yang sarat tawa canda. Kenang-kenangan sepeti itu membuatnya hatinya tergelitik, Ah, betapa indahnya masa kecil, angan Tarnama melayang jauh ke desa kelahirannya.

    Bersama berlalunya masa kenangan di desa, masa-masa yang tidak mungkin terulang untuk kedua kalinya, Tarnama menjelang tahun1961 telah memulai lembaran hidup baru di kota Jakarta.

    MENGABDI TERHADAP KAMPUNG HALAMAN

    Banyak peristiwa yang tidak pernah Tarnama bayangkan sebelumnya, telah dialami semenjak mencoba merenda sebuah masa depan di kota Jakarta. Kegagalannya mewujudkan cita-citanya menjadi seorang perwira TNI-AU, menyeret langkah Tarnama untuk menjadi pekerja bangunan, menjadi mandor, pelayan hotel dan bahkan Tarnama harus menjalani hidup sebagai penyelundup karena keinginannya untuk merubah nasib melalui jalan pintas.

    Jatuh bangun dan silih berganti menekuni berbagai bidang pekerjaan, telah menempa seorang Tarnama menjadi tangguh dalam menghadapi ragam tantangan hidup dan

  • kehidupan. Dan ketika Tarnama memilih berbisnis , diawali sebagai leveransir bahan bangunan, dan gagal, Tarnama tetap tegar melangkah untuk bangkit kembali. Melalui perjuangan dan kerja keras Tarnama yang rupanya sudah di takdirkan menjadi seorang pengusaha, tidak sis-sia dalam memutuskan memilih menjadi seorang kontraktor. Sebab terbukti kemudian, melalui usaha inilah Tarnama menjadi besar dan sukses mengantar jalan hidupnya yang sungguh-sungguh menjadi terkenal.

    Dan sebagai anak desa yang selalu merindukan tempat lahirnya, Tarnama tidak pernah melupakan kampung halamannya. Bebagai cara sudah Tarnama lakukan untuk memberikan apa yang dapat disumbangkan guna membangun desanya. Dengan dana yang jumlahnya ratusan juta rupiah, yang semuanya keluar dari koceknya, Tarnama telah membangun jalan tembus yang menghubungkan desa Pangasean sampai dengan desa Hutanamora. Sebuah desa tetangga yang dihuni mayoritas orang Batak bermarga Panjaitan. Dengan dibukanya jalan tembus Pangasean Hutanamora, hubungan kekerabatan yang selama beberapa lama hampir terputus segera terjalin kembali.

    Dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak hubungan marga Panjaitan dengan marga Sinambela sebagai penghuni desa Pangasean, masih sangat dekat. Kedua marga ini terikat oleh sebuah Pandan ( sumpah ) yang mengakui bahwa kedua marga msih satu garis keturunan atau Dongan Sabutuha, dan tidak diperbolehkan saling mengawini. Pandan ini masih tetap dipegang teguh hingga saat sekarang. Inilah salah satu alasan yang paling mendasar, mengapa Tarnama rela berkorban untuk membuka jalan tembus Desa Pangasean Desa Hutanamora. Hal ini sekaligus menandakan bahwa seorang Tarnama masih tetap menjunjung tinggi adapt istiadat, atau norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Batak.

    Manifestasi pengabdiannya dalam mebangun desa kelahirannya, tidak jarang pula Tarnama lakukan dengan memberikan bantuan langsung kepada setiap individu. Sayangnya, seperti diakui Amintas Sinambela, bantuan tersebut justru tidak dipergunakan warga untuk memperbaiki hidup dan kehidupannya. Secara pribadi saya juga merasa tidak tahu diri, kata Amintas.

    Saat pulang kampung untuk melepas rindu, Tarnama tidak jarang menayakan bahkan menantang warga Pangasean, untuk memikirkan usaha apa yang kiranya dapat dikembangkan di Pangasean guna membantu warga terlepas dari belenggu kemeralatan. Tetapi sejauh itu, warga pangasean tidak pernah memberi jawaban atas tantangan yang diajukan Tarnama. Dalam hal ini, Tarnama memang sengaja merangsang warga untuk berpikir sendiri, supaya terdorong untuk berusaha dengan pikirannya. Bukan selalu menunggu atau tinggal menerima suatu pemberian.

    Sekalipun apa yang telah Tarnama berikan tidak dimanfaatkan warga untuk hal-hal yang berarti, pengabdian Tarnama terhadap desa dan warganya tidak berarti berhenti sampai disitu. Melalui bantuannya yang tidak pernah dituntut untuk dikembalikan, Tarnama sering menolong warga Pangasean untuk mendapatkan kembali sawah miliknya yang sudah tergadai. Dan untuk maksud membantu warga, Tarnama telah membeli seluas kurang lebih 20.000 hektar sawah didesanya. Sawah yang demikian luas lalu diserahkan

  • pengelolaannya kepada warga yang tidak memiliki sawah, atau kepada mereka yang luas sawahnya tidak seberapa.

    Mengingat tujuannya adalah untuk membantu , maka dalam masalah sewa pengarapan sawah atau imbalan yang harus diberikan penyewa, Tarnama tidak mematok sesuai aturan umum yang berlaku. Kalau secara umum hasil panen 100 kaleng maka 50% harus diserahkan kepada pemilik sawah, Tarnama hanya meminta cukup memberikan 25%. Jadi yang dituntut hanya sekedar bukti dari sebuah tanggung jawab.

    Msih dalam usaha meningkatkan pengabdiannya dalam membangun desa kelahirannya, Tarnama telah membuka cabang Bank Perkreditan rakyat ( BPR ) di Pangasean. Melalui usaha BPR ini, Tarnama mengharapkan dapat membantu warga dalam mempercepat prose memperbaiki taraf hidupnya. Barangkali ini bisa sebagai sebuah jalan guna membantu warga Pangasean, Tarnama berharap.

    Dan pernah sekali waktu warga pangasean yang menganut agama katholik datang kepada Tarnama. Mereka menceritakan ingin memindahkan lokasi gereja karena lokasi yang lama dipandang sudah tidak sesuai lagi. Untuk itu mereka meminta agar Tarnama bersedia membantu dengan cara membeli lokasi membeli lokasi yang lama. Tanpa berpikir panjang, Tarnama segera mengulurkan tangan dan bersedia memberi semacam ganti rugi sebesar 10 juta. Pada hal jika dilihat dari luas tanah yang tidak seberapa, jumlah uang yang diberikan Tarnama bisa dibilang sudah terlalu besar. Tetapi bagi Tarnama, apa yang dilakukan adalah sebagai wujud sebuah pengabdian atau caranya dalam ikut membangun desa kelahirannya.

    Dalam keberadaan sebagai seorang pengusaha dan pengelola sebagai sebuah lembaga pendidikan, Tarnama juga sudah membuktikan antensinya terhadap para pemuda yang ingin bekerja dan melanjutkan sekolahnya ke jenjang Perguruan Tinggi. Dengan hati terbuka ia selalu memberikan kesempatan seluas-luasnyakepada para pemuda dari desa kelahirannya untuk bekerja di perusahaan yang dipimpinnya. Dan bagi mereka yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, Tarnama membuka pintu Universitas Mpu Tantular yang dikelolanya selebar-lebarnya.

    Kecintaan Tarnama terhadap desa kelahirannyamemang luar biasa besar. Makanya ada satu kebiasaan yang sudah mengakar dalam pribadi seorang Tarnama, dimana jika tahu ada orangtua dari desa Pangasean adtang Ke Jakarta, Ia mengundang dan menjamu makan warga desanya tersebut dengan hidangan lengkap berupa sajian lomok-lomok.

    Sebagai seorang anak petani yang mengetahui keadaan tanah persawahan dan perkebunannya di daerah Tapanuli Utara, Tarnama sudah sejak lama pula berpikir untuk membuka usaha perkebunan disana. Dengan Tanah seluas 5.000 hektar, terletak di Tapanuli Utara, yang diberikan pemerintah daerah kepada PT.Sumber Batu Group, Tarnama akan segera mewujudkan rencananya membuka perkebunan kelapa sawit, cokelat, dan perkebunan kopi.

  • Melalui usaha perkebunan ini, Tarnama ingin berpartisipasi lebih maksimal dalam turut membangun kampung halamannya. Dan melalui usaha perkebunan ini pula, Tarnama ingin membina calon-calon petani andalan dengan memberikan pendidikan dan praktek pada kebun-kebun percontohan, yang segera diadakan di Desa Parsoburan, Tapanuli Utara.

  • BAB III JADI PELAYAN HOTEL

    Gagal dalam ujian penerimaan calon perwira TNI-AU di Lanuma Panasan, Surakarta, Jawa tengah, sempat membuat pemuda Tarnama nayaris putus asa. Ini bisa dimengerti karena tujuan utama keberangkatannya dari desa kelahirannya Pangasean, Porsea menuju pulau Jawa adalah untuk menjadi perwira TNI Angkatan Udara ( AU ). Lumrah apabila Tarnama merasa terpukul akibat kegagalannya tersebut.

    Kegagalan itu sebetulnya tidak begitu membebaninya, andai Tarnama tidak sempat menceritakan keinginannya masuk TNI Angkatan Udara kepada Sahabat-sahabatnya yang ada di Medan maupun di kampung halamannya di Pangasean.

    Memang cita-citanya menjadi penerbang AU sudah ada semenjak masih duduk di bangku SMA di Medan. Setiap kali ia melihat perwira AU dengan pakaian dinasnya, kekaguman dan keinginannya bisa menyandang pakaian dinas AU semakin bertambah besar. Ia bayangkan betapa gagah beraninya jika suatu waktu ia bisa seperti mereka. Tetapi apa mau dikata, Tarnama ternyata gagal mewujudkan cita-citanya. Rupanya sudah di takdirkan pengabdian bagi pemuda Tarnama bukan lewat Angkata Udara.

    Dengan perasaan berat ia tinggalkan kota Surakarta dan kembali ke Jakarta. Sepanjang perjalanan Surakarta Jakarta dalam hati Tarnama hanya bisa berharap semoga seampai di Jakarta bisa segera mendapat pekerjaan. Sementara niat semula akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sepertinya sudah tidak terpikir olehnya.

    Tidak lebih dua minggu semenjak kembali ke Jakarta, pemuda Tarnama sudah bekerja pada proyek pembanguna Hotel Indonesia. Ketika itu kota Jakarta tidak semegah sekarang, dan mencari pekerjaan pun masih gampang, artinya setiap orang yang membutuhkan pekerjaan masih sangat mungkin memilih. Tidak seperti sekarang dimana jumlah pencari kerja terus bertambah, sementara lowongan kerja yang tersedia semakin terbatas. Setidaknya, setiap tahun diperkirakan dua juta orang pencari kerja di Indonesia. Demikian sulitnya mencari pekerjaan saat ini, sehingga tidak mengherankan tidak sedikit lulusan perguruan tinggi atau sarjana yang menganggur. Istilah pengangguran intelektual pun menjadi sangat akarab di telinga.

    Berbeda dengan situasi tahun 60-an, semasa Tarnama memulai hidup baru di kota Jakarta. Berbekal ijazah SMA ia malah langsung diterima menjadi asisten pelaksana di PT. Pembangunan Perumahan, yang pada waktu itu sedang melaksanakan pembangunan gedung Hotel Indonesia, dengan gaji Rp.600 per minggu.

    Brkat ketekunan dan kerja keras yang dibarengi tanggung jawab yang besar terhadap tugas yang dibebankan kepadanya, tidak lama kemudian Tarnama diangkat menjadi pelaksana proyek, yang bertanggung jawab terhadap pemakaian material dan pengerahan tenaga kerja harian. Jabatan ini bagi pemuda Tarnama cukup menantang sekaligus menuntut tanggung jawab yang besar.

  • Makanya begitu mendengar pengangkatan dirinya sebagai pelaksana proyek, dalam hati kecil Tarnama smpat berbisik, apa mungkin dengan pengalaman yang dibilang baru seumur jagung dapat melaksanakan beban yang demikian berat. Namun dengan jiwa besar tantangan itu coba ia hadapi. Lagi pula ia percaya dengan ketekunan dan kesungguhan hati pekerjaan apapun, pasti bisa terlaksana dengan baik.

    Sebagai seorang pemuda yang selalu mengandalkan akalnya, Tarnama punya kiat khusus dalam mengatasi beban tanggung jawab yang baru dipercayakan padanya. Seperti kata para orang bijak, malu bertanya sesat dijalan, benar-benar Tarnama gunakan sebagai senjata dalam melaksanakan tugasnya. Misalnya mengenai teknis pelaksanaan pekerjaan yang belum dimengerti selalu ditanyakan langsung kepada pimpinan proyek. Dengan selalu bertanya perlahan tapi pasti, Tarnama dengan sendirinya mengetahui apa yang sebelumnya tidak ia tahu.

    Kelebihan seorang Tarnama terletak pada naluri ingin tahunya luar biasa besar. Pada hal jika dipikir-pikir, rasanya mustahil bagi seorang lulusan SMA seperti Tarnama bisa cepat menguasai bidang pekerjaan bangunan. Namun berhubung karena ia juga memiliki sifat tidak sungkan apalagi rasa malu untuk bertanya, dalam waktu singkat Tarnama sudah menunjukkan eksistensinya sebagai orang yang pantas menerima beban tanggung jawab menjadi asisten pelaksana proyek.

    Dalam tempo kurang lebih dua tahun, tepatnya tahun 1962, pembangunan gedung Hotel Indonesia selesai dibangun. Tarnama pun segera mengajukan surat lamaran kerja untuk menjadi karyawan di hotel tersebut. Dari pengamatan dan penilaian kesungguhan ia bekerja selama pembangunan Hotel Indonesia berlangsung, tidak terlalu sulit bagi Tarnama untuk mewujudkan keinginannya. Jadilah Tarnama menjadi karyawan Hotel Indonesia dengan jabatan sebagai pelayan.

    Babak baru kembali terulang dalam lembaran kehidupan Tarnama, ia yang tadinya bekerja di lapangan , mau tidak mau harus belajar dari awal memainkan peranan sebagai seorang pelayan yang dituntut mapu memberikan kepuasan kepada setiap tamu hotel.

    Pada mulanya tidak mudah bagi pemuda Tarnama menjadi seorang jongos, yang bertugas mencuci piring dan menyediakan makan bagi karyawan hotel yang jumlahnya 1.800 orang. Namun karena pada dirinya sudah tertanam suatu sikap untuk pantang menyerah, beratnya memikul beban predikat pelayan tidak membuatnya dibelenggu perasaan rendah diri. Malahan kemudian ia merasakan bahwa menjadi pelayan hotel menjadi kenikmatan dan kebanggaan tersendiri baginya. Dimana ia bisa bertemu dengan sejumlah tokoh atau tamu-tamu yang pada umumnya hadir pada masyarakat menengah keatas.

    Sebagai hotel bergengsi ketika itu, memang tidak sembarangan orang bisa masuk Hotel Indonesia, kecuali jika menginap. Tidak demikian dengan keadaan sekarang, selain fasilitas yang dimiliki lebih lengkap, siapa saja bisa bebas keluar masuk Hotel Indonesia, tanpa perlu dicurigai. Bahkan lobi hotel berbintang lima ini sering menjadi ajang

  • pertemuan bagi banyak orang, yang ingin membicarakan berbagai masalah mulai dari masalah bisnis sampai masalah pribadi.

    Keberadaan Hotel Indonesia yang demikian eksklusif ketika itu, otomatis menjadikan setiap orang yang bekerja disana memiliki gengsi tersendiri. Dansaat itu memang bisa dikatakan, karyawan paling bergengsi setelah karyawan Pertamina adalah karyawan Hotel Indonesia. Dimana sudah menjadi tradisi bagi Hotel Indonesia untuk memberikan tiga stel pakaian termasuk sepatu pada karyawannya setiap tahun.

    Dukanya mengingat pimpinan hotel adalah orang asing yang menganut system kerja disiplin ketat, setiap karyawan utamanya yang bekerja sebagai pelayan dengan tugas melayani tamu dan mencuci piring di dapur harus ekstra hati-hati. Sebab jika misalnya ada piring yang pecah karena kelalaian seseorang. Karyawan bersangkutan wjib menggantinya. Dan Tarnama termasuk beruntung, karena selama menjadi pelayan ia belum pernah mengalami situasi seburuk itu.

    Akibat peraturan yang ketat ini tidak jarang menyebabkan munculnya protes dari pihak karyawan, khusunya para pelayan. Pernah sekali waktu sejumlah pelayan melakukan protes keras terhadap pimpinan hotel, yang waktu itu dijabat Mr.Kleen, seorang warga Amerika. Pada peristiwa tersebut Mr.Kleen nyaris menjadi sasaran emosional para pelayan yang tidak terkendali. Taranama yang melihat gelagat akan terjadinya pemukulan, segera bertindak tegas dengan menghajar satu dua orang pelaku pemrotes.

    Waktu itu sedang hangat-hangatnya konfrontasi Indonesia Malaysia, dimana kondisi tersebut membuat Mr.Kleen tidak berani bertindak keras. Melihat sikap Tarnama yang nekad menghadapi situasi yang memanas tersebut, membuat Mr.Kleen merasa simpati terhadap Tarnama. Sejak Tarnama menjadi staf kesayangan Mr.Kleen. walau menjadi staf kesayangan Tarnama tidak merasa sebagai anak emas yang patut diistimewakan justru dengan pengakuan staf kesayangan tersebut, ia malah lebih giat bekerja dan tetap menjaga wibawa atasannya.

    BERTEMU ROOSSENO

    Kisah bertemu dan perkenalan Tarnama dengan Prof. DR. Ir. Roosseno, boleh dikatakan unik dan cuma kebetulan. Sebagai pelayan lumrah apabila selalu dan banyak bertemu kaum intelektual. Namun secara kebetulan Prof. DR. Ir. Roosseno yang waktu itu menjadi pimpinan proyek pembangunan pusat pertokoan Sarinah, lebih suka memilih makan ditempat karyawan hotel level bawah daripada ditempat eksklusif.

    Pada mulanya pertemuannya biasa-biasa saja, hanya pertemuan rutin dimana Tarnama melayani Prof. DR. Ir. Roosseno sebagai tamu. Tarnama sendiri di awalnya tidak tahu persis siapa sesungguhnya tamu yang selalu ia layani makan siang itu. Ia pun tidak begitu peduli apabila Prof. DR.Ir. Roosseno meninggalkan uang sebesar Rp.800 setiap minggu. Keadaan seperti itu terus berlangsung beberapa lama.

  • Seingat Tarnama baru delapan bulan kemudian semenjak pertemuannya, ia tiba-tiba dipanggil oleh Prof. DR. Ir. Roosseno. Yang terpikir Tarnama saat itu, bahwa Prof. DR. Ir. Roosseno ada permintaan khusus atau saran mengenai menu makanan, sehingga ia dipanggil. Ternyata panggilan khusus itu bukan untuk urusan menu, melainkan untuk menanyakan siapa Tarnama sebenarnya.

    Ada perasaan kaget tercampur rasa kagum pada diri Tarnama, mendengar pertanyaan dan keingintahuan Prof. DR. Ir. Roosseno tentang pribadinya. Terlebih setelah Tarnama mengetahui bahwa oaring yang memanggilnya adalah seorang tokoh terkenal dan ahli beton bertulang. Sebab setelah sekian lama menjadi pelayan dan bertemu dengan begitu banyak tamu, baru kali itu Tarnama memperoleh perhatian dari seorang tamu.

    Dalam perbincangan yang berlangsung akrab dan tidak terlalu lama itu, Prof. DR. Ir. Roosseno yang rupanya sudah diam-diam mengamati sosok Tarnama, mencoba menawarkan agar Tarnama bersedia bekerja di proyek pembangunan pusat pertokoan Sarinah yang berlokasi dibilangan jalan Thamrin, Jakarta. Awalnya berat bagi Tarnama mengiyakan tawaran tersebut, selain kedudukannya sebagai Food and Beverage Manager di Hotel Indonesia menuntut tanggung jawab yang besar, ia juga merasa kurang enak terhadap atasanya, Mr.Kleen, yang sudah menganggapnya staf kesayangan.

    Tetapi lagi-lagi seorang Tarnama yang pantang ditantang dianggap merasa rugi jika melepas tawaran tersebut begitu saja. Setelah mempertimbangkan masalah pembagian waktu yang masih mungkin diatasi, Tarnama memutuskan untuk menerima tawaran itu dengan senang hati. Kala itu Tarnama segera pula teringat pada nasehat sederhana yang selalu yang selalu di ucapkan orangtuanya : masa muda adalah masa untuk bekerja keras guna memperoleh kesejahteraan . Inilah yang memotivasi sekaligus mencambuk pribadi Tarnama untuk melakukan kerja rangkap. Hal lain yang membuatnya tertarik, karena kebetulan ia sudah menjadi hubungan cinta kasih dengan seorang gadis, yakni Damaris boru Tampubolon. Mereka pun sudah berjanji dalam waktu yang tidak lama lagi akan melangsungkan pernikahan. Sudah barang tentu untuk bisa melangsungkan pernikahan, Tarnama membutuhkan uang yang tidak sedikit jumlahnya.

    Diawalnya berat juga bagi Tarnama melaksanakan kerja rangkap. Sebab di pagi hari mulai pukul 7.30 hingga pukul 15.00 WIB, Tarnama harus menjalankan tugasnya sebagai biasa di Hotel Indonesia. Tanpa sempat istirahat, Tarnama kemudian langsung berangkat ke tempat kerja selanjutnya di proyek pembangunan pusat pertokoan Sarinah.

    Bisa dibayangkan betapa berat beban perjuangan Tarnama dalam mempertahankan hidup dan kehidupan kala itu. Meski sudah merasa penat setelah setengah hari lebih bekerja di Hotel Indonesia, akan tetapi sebagai wujud rasa hormatnya kepada pimpinan proyek, Tarnama masih mau bekerja hingga larut malam. Pada hal, esok harinya sebelum fajar menyingsing ia sudah harus kembali bekerja di Hotel Indonesia.

    Berbulan-bulan ia menjalani masa bekerja rangkap, terkadang sangking lelah, Tarnama tidak kuasa mengatasi rasa ngantuk saat bekerja dari pagi hingga sore hari Di Hotel

  • Indonesia. Namun karena sudah memilih, sudah memutuskan, tidak ada kamus untuk menyerah.

    Pengalamannya bekerja siang malam dalam dua bidang yang berbeda, mengharuskan muncul dua sosok yang berbeda. Sebagai karyawan hotel dengan suasana kerja yang glamour pula. Dan sebagai pelaksana proyek pembangunan sebuah gedung, ia tampil dengan karakter yang keras sesuai dunia nyata yang dihadapi. Dua sosok yang masing-masing menuntut dua perwujudan karakter dalam sebuah pribadi, mengharuskan Tarnama bisa beradaptasi tepat dan cepat.

    Walau harus berperan dua sosok dalam dua kondisi yang berbeda, tidak menjadikan Tarnama kehilangan figure pribadi secara utuh. Ia tetap Tarnama, sosok orang muda yang sedang mencari jati dirinya. Sehingga ketika proyek pembangunan pusat pertokoan Sarinah selesai dibangun, dan Tarnama harus mengakhiri tugasnya sebagai pelaksana proyek, ia tetap tidak kehilangan indetitas. Dengan keberadaanya sbagai Food and Baverage Manager, Tarnama justru lebih matang dalam mengayun langkah mernda sebuah masa depan.

    Tapi saying, karir yang mulai dirintis dari seorang pelayan, hingga kemudian berhasil menduduki jabatan Food and Beverage Manager, harus berakhir hanya karena ingin menjadi seorang pedagang antar pulau, Singapore Tanjung Pinang Jakarta. Pada hal, Tarnama sudah bersusah payah membangun karirnya.***

  • BAB IV JADI

    PENYELUNDUP

    Diam-diam semenjak mengadu nasib di Jakarta tahun 1961, Tarnama Sinambela sudah mengamati kehidupan pedagang antar pulau , Singapura Tanjung Pinang Jakarta. Satu hal yang membuatnya penasaran, karena ia melihat kehidupan para pedagang antar pulau sangat menyenangkan. Selain hidup berkecukupan, mereka setiap pulang berdagang pasti membawa untung yang cukup besar. Ia juga sangat terkesan dengan keuletan dan keberanian pedagang antar pulau dalam menghadapi tantangan atau risiko yang tidak jarang mendadak dating menghadang.

    Semakin lama dan dalam mengikuti sepak terjang pedagang antar pulau, kekaguman pemuda Tarnama justru bertambah besar. Bahkan tanpa ia sadari rasa kagumnya yang luar biasa telah masuk jauh ke lubuk hatinya yang paling dalam. Diam-diam dalam hati kecil pemuda Tarnama pun terbesit sebuah keinginan untuk menjadi pedagang antar pulau. Harus.saya harus bisa. Sebab jika orang lain bisa, kenapa saya tidak, Tarnama sepertinya yakin betul bahwa apa yang diungkapkannya akan terwujud.

    Cukup lama juga ia menunggu untuk bisa mewujudkan apa yang sudah menjadi keingin annya. Maklum, untuk menjadi pedagang antar pulau butuh modal yang tidak sedikit jumlahnya. Sedangkan saat itu, selain belum punya pengalaman, pemuda Tarnama menyadari kondisi keuangannya baru cukup untuk keperluan makan. Soal menyerempet-menyerempet bahaya, karena memang itulah dunia pedagang antar pulau, keberanian pemuda Tarnama tidak perlu diragukan lagi. Sebab seperti kebanyakan orang Batak, pemuda Tarnama juga memiliki sifat dan karakter siap tempur dalam menghadapi tantangan. Inilah salah satu modal utama para pedagang antar pulau dalam melakukan aksi-aksinya.

    Pemuda Tarnama menyadari sepenuhnya beratnya tantangan dan risiko yang akan ia hadapi jika menjadi pedagang antar pulau. Kendati demikian menjadi orang Batak yang pantang mnyerah, tidak membuat nyalinya menjadi ciut atau merasa gentar. Dan memang sdah menjadi ciri khas Tarnama sejak maih kanak-kanak untuk tidak mudah menyerah sebelum mencoba melakukan apa yang sudah menjadi keinginannya. Tidak peduli apakah keinginannya itu membuahkan hasil atau gagal total. Baginya, mencoba walau kemungkinan gagal, masih tetap lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa hanya karena dibelenggu rasa takut sebelum berbuat.

    Dan sekalipun ia sering mendengar tidak sedikit pedagang antar pulau, Singapura tanjung Pinang Jakarta yang tertangkap basah dalam sebuah operasi di laut lepas, tetap tidak mampu menggoyahkan tekad pemuda Tarnama yang terlanjur membara. Sebaliknya ia justeru merasa penasaran untuk membuktikan sendiri, apakah memang benar peristiwa itu terjadi atau hanya sebuah cerita yang sengaja direkayasa pihak-pihak tertentu.

  • Setelah kurang lebih tujuh tahun menyimpan keinginannya, maka tepat pada tahun 1968. Tarnama yang ketika itu sudah beristri dengan dua anak, lalu memutuskan untuk menjadi pedagang antar pulau. Pada hal saat itu sudah menduduki jabatan Food and Baverage Manager di Hotel Indonesia. Sebuah jabatan yang sesungguhnya sudah jelas menjanjikan masa depan. Setidaknya dengan jabatan tersebut, ia sudah bisa menikmati hidup yang layak dimasa itu. Akan tetapi karena sudah terlanjur berjanji dan terdorong keinginannya untuk merubah nasib lebih cepat, Tarnama nekad mengakhiri karirnya. Ini membuktikan, bahwa seorang Tarnama juga rela melakukan cara apapun untuk mewujudkan keinginannya.

    Banyak pihak yang menyayangkan keputusan yang diambil Tarnama. Mr. Kleen, atasannya saat itu di Hotel Indonesia, satu dari sekian banyak pihak yang menganggap Tarnama yang membuat keputusan yang kurang masuk akal. Kawan-kawan sekerjanya juga menilai Tarnama tidak berpikir matang dan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan.

    Mr. Kleen sendiri berkali-kali menyarankan agar Tarnama memikirkan kembali tentang rencana gilanya itu. Cobalah pikirkan kembali. Lagi pula jelas rugi meninggalkan yang susah payah kamu raih. Atau barangkali kamu kurang puas bekerja disini, katakan, Mr. Kleen berusaha membujuk agar Tarnama mau mengurungkan niatnya. Dan itu semua dia lakukan karena Tarnama adalah staf kesayangannya, dimana sudah barang tentu dia tidak ingin kehilangan Tarnama. Tetapi dasar Tarnama memiliki pendirian yang teguh, saran dan bujukan Mr. Kleen tetap tidak mampu mengubah sikapnya.

    Malahan keinginan istri tercintanya, Damaris boru Tampubolon, yang mengaharapkan Tarnama mengurungkan niatnya menjadi pedagang antar pulau, tidak membendung tekad Tarnama. Ia benar-benar tidak mau ambil pusing dengan saran atau komentar orang lain, tidak terkecuali dengan saran istrinya.

    Sebagai seorang istri tentu saja Damaris boru Tampubolon merasa sangat sedih. Sedih karena menurutnya sang suami justru membuat suatu keputusan yang belum tentu memberi jaminan masa depan yang pasti bagi keluarga. Sementara sebuah masa depan yang di genggam, dilepas begitu saja. Saya sungguh tidak habis piker kenapa dia mau mengorbankan karirnya hanya untuk mengejar harapan yang belum pasti, kenang Damaris boru Tampubolon.

    Dengan keputusan yang diambil Tarnama Sinambela, itu juga berarti Damaris boru Tampubolon dengan kedua putranya, Budi Parlindungan dan Santo Mulia yang baru itu baru berusia 4 tahun dan 3 tahun, akan kehilangan dan selalu dalam penantian entah beberapa saat lamanya. Buat Damaris boru Tampubolon, ini suatu pukulan yang amat berat. Apalagi ia tahu hidup seorang pedagang anatar pulau seperti telur di ujung tanduk. Wajar sejak suaminya, Tarnama Sinambela mengutarakan niatnya, Damaris boru Tampubolon selalu gundah.

  • Pikirannya sering menerawang ke laut lepas membayangkan suaminya menentang hempasan ombak. Disaat lain, terbayang di benaknya sang suami sedang berjuang menghindar dari sergapan satuan tugas pengamanan di laut.

    Karena tidak ingin suaminya mengalami nasib naas, Damaris boru Tampubolon mencoba memberanikan diri menyampaikan kekhawatirannya itu. Barangkali saja bisa menerima dan mengerti perasaan saya, kata Damaris boru Tampubolon mengenang. Tapi apa yang terjadi justru membuatnya bertambah jengkel bercampur sedih yang semakin dalam. soal takdir atau mengalami nasib naas, tidak Cuma di laut. Kalu memang sedang sial juga bisa terjadi di darat, Tarnama menjawab dengan enteng. Lagi pula mama tidak seharusnya menangisi apa yang sudah saya putuskan. Mestinya mama berdoa dan berdoa.

    Sesaat ucapan sang suami yang begitu lembut cukup menyejukkan perasaan Damaris boru Tampubolon. Namun ketika tatapan matanya tertuju kepada kedua putranya yang sedang lucu-lucunya, Damaris boru Tampubolon tidak kuasa menyembunyikan rasa harunya. Sepertinya ia berada dipersimpangan jalan. Mau melarang sang suami dengan sikap yang tegas, jelas tidak mungkin. Tetapi melepas suami untuk mewujudkan keinginannya menjadi pedagang anatar pulau, berarti ia harus siap dibelenggu rasa was-was dalam penatian.

    Semakin dekat hari keberangkatan sang suami untuk memulai hidup bru sebagai pedagang anatar pulau, semakin bergejolak dan tidak menentu perasaan Damaris boru Tampubolon . untunglah dalam kondisi tidak berdaya seperti itu, Damaris boru Tampubolon menyadari bahwa ia tidak sendirian. Masih ada tuhan yang ia yakini tidak akan membiarkan dirinya tenggelam dalam keharuan yang berkepanjangan. Ia juga percaya bahwa suaminya akan tetap dalam kuasa dan kasih Tuhan.

    Akan tetap ketika tiba saatnya Tarnama Sinambela berangkat untuk berlayar mengarungi samudera, Damaris boru Tampubolon tetap tidak mapu menahan isak tangisnya. Dengan perasaan berat dipeluknya sang suami, sambil tidak lupa mengingatkan suaminya tetap dalam doa. Ingat anak-anak pa,bisiknya perlahan. Walau Tarnama tidak berkata apa-apa, namun dalam hati kecilnya juga terselip rasa haru meninggalkan keluarganya. Dan sebagai seorang ayah yang terpaksa berpisah dengan kedua putranya, Tarnama juga tidak mampu membendung rasa sedihnya. Ia peluk kedua putranya dan tidak lupa berpesan agar kedua anaknya menjaga mamanya. papa tidak lama nak, pesannya. Sesaaat kemudian ia pun berlalu dengan meninggalkan sejuta kenangan dan keharuan.

    TERTANGKAP DI PULAU SAMBU

    Pada waktu Tarnama memulai pertualngannya sebagai pedagang antar pulau, pedagang jalur Singapura Tanjung Pinang Jakarta, memang sedang ramai-ramainya. Selain menjanjikan keuntungan berlipat ganda, yang menyebabkan banyak orang tertarik melakukannya, kegiatan usaha yang tergolong ilegal dimana pelakunya bis dikategorikan penyelundup, juga sekaligus mengundang risiko sewaktu-waktu bisa tertangkap.

  • Disamping barang disita, pelakunya juga bisa ditahan bahkan dipenjara. Itulah sebabnya mereka yang terlibat dalam perdagangan Singapura Tanjung Pinang Jakarta adalah orang-orang nekad yang hanya memikirkan keuntungan, sementara risiko tertangkap urusan kedua.

    Seperti cerita dalam sebuah film dimana sekelompok penjahat pontang panting dikejar aparat keamanan, juga sering terjadi dalam dunia para penyelundup. Mereka dihadapkan dalam situasi semacam itu biasanya akan memacu kapal motornya untuk mencari tempat persembunyian di pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya.Yang nyaris dihabisi aparat keamanan karena tertangkap ketika menyelundupkan batik ke Singapore, atau membawa paying lipat dari Singapore menuju Jakarta, juga bukan cerita fiktif. Ini sebuah kisah nyata yang memberi gambaran bahwa dunia para penyelundup adalah dunia keras yang menuntut truhan nyawa.

    Ironisnya, meski sudah tahu usaha penyelundupan sebagai tindak criminal yang sarat tantangan dan ancaman keselamatan jiwa, namaun masih saja banyak orang yang berlomba-lomba ingin menjadi penyelundup. Bahkan ada diantara penyelundup yang sudah berkali-kali tertangkap, tetapi tidak pernah jera untuk melakukan aksi penyelundupan. Mereka malah merasa memiliki kebanggaan tersendiri jika bisa tetap eksis.

    Siapa yang pertama merintis jalur perdagangan Singapura Tanjun Pinang Jakarta, tidak seorang pun tahu secara pasti. Yang tercatat dalam sejarah bahwa pedagang Singapura Tanjung Pinang Jakarta pada umumnya adalah orang Sumatera, utamanya oarng Batak, baik yang bermukim di Jakarta, Medan, dan Riau. Barangkali karena orang Batak secara umum memang memiliki keberanian dan lihai dalam menghadapi situasi sesulit apapun.

    Dikalangan masyarakat Batak, pedagang antar pulau ini mendapat julukan Parsingapur sedanglan kegiatannya disebut Masingapur. Dimana di masa maraknya jalur perdagangan Singapura Tanjumg Pinang Jakarta, banyak dari mereka yang hidupnya berkecukupan. Dan semenjak pensiun sebagai penyelundup, diantaranya ada yang alih usaha dengan membuka toko pakaian, took sepatu, toko arloji dan bentuk usaha lainnya. Satu dari sekian banyak orang Batak yang bisa menjadi kaya dari usaha penyelundupan adalah pemilik toko Raja Na Pogos, yang kini berdomisili di Pekan Baru, Riau. Raja D.L Sitorus, seorang pengusaha sukses dan termasuk orang Batak yang kaya raya saat ini, juga pernah dikenal sebagai penyelundup di masa lalu.

    Walau kekayaan yang dia miliki sekarang bukan hasil dari penyelundup, melainkan dari usaha wiraswasta yang bersusah payah dia bangun dari bawah, Raja D.L Sitorus sempat menikmati manis, pahit dan getirnya jadi penyelundup. Disamping kedua tokoh ini, masih ada sederet nama orang-orang Batak yang memilih jadi penyelundup sebagai andalan penghidupannya. Sampai sekarang masih ada sejumlah orang Batak yang tetap bertahan, dan bahkan ada yang baru mencoba mengadu nasib melalui usaha penyelundupan.

  • Bedanya jika di tahun 60-an, busana, paying lipat, mata uang logam dan rambut palsu wanita yang dominant sebagai barang selundupan, belakangan ini nampak mulai bergeser pada komoditi bawang putih, dan barang elektronik. Yang tidak jauh berbeda adalah usaha main kucing-kucingan antara penyelendup dengan aparat keamanan yang tetap berlangsung, baik di laut lepas dan pelabuhan yang dituju.

    Yang beruntung tentu saja tetap ada.Yang gagal atau bernasib sial setelah satu dua tahun mencoba jadi penyelundup , tidak sedikit pula jumlahnya. Salah satunya adalah Tarnama Sinambela. Pada hal sejak awal pria Batak bertubuh pendek dan masih kurus ketika itu, sudah berjuang keras dan bahkan berkeinginan mengumpulkan uang sebanyak mungkin dari usaha penyelundupan. Tapi rupanya menyelundup bukan jalan yang tepat bagi seorang Tarnama.

    Memang pada tahun-tahun awal menjadi penyelundup yang membawa barang berupa batik, rambut palsu wanita dan mata uang logam zaman dulu dari Jakarta Mmenuju Singapore, boleh dibilang penyelundupannya berjalan mulus. Begitu sebaliknya, perjalanan dari Singapore membawa paying lipat dan pakaian menuju Jakarta, juga tanpa rintangan. Otomatis pada tahun-tahun awal tersebut, Tarnama bisa menghasilkan uangyang lumayan besar dari hasil perdagan yang ilegalnya.

    Jamak terjadi jika seorang penyelundup berhasil melakukan aksinya tanpa rintangan, maka keinginannya meningkatkan volume barangnya dagangan akan makin bertambah besar. Begitu juga yang terjadi pada diri Tarnama. Dengan melihat hasil yang ia peroleh, spontan timbul semacam sikap serakah dalam dirinya. Hasilnya memang tidak sis-sia, sebab dalam aksi-aksi penyelundupan berikutnya Tarnama terbukti selalu berhasil lolos dari pengintaian aparat keamanan.

    Sebagai orang Batak yang sudah sejak lama ingin menjadi penyelundup, tentu saja Tarnama merasa bangga dengan sukses demi sukses yang dicapainya. Setidaknya, dalam hati kecil ia bisa berbisik, bahwa keputusanna melepas jabatan Food and Baverage Manager dari Hotel Indonesia bukan sebuah keputusan yang tidak masuk akal, seperti apa yang dikatakan atasannya semasa kerja di Hotel Indonesia. Sebaliknya ia telah melakukan keputusan yang tepat. Dan bisa jadi memang demikian. Karena hanya beberapa kali melakukan penyelundupan, hasil yang diperoleh jauh lebih besar disbanding hasil yang ia dapat selama sekian tahun bekerja di Hotel Indonesia.

    Tetapi seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat pasti jatuh, pada akhirnya juga di alami Tarnama. Bersama kawannya Erbin Pardede, Tarnama yang sebelumnya selalu lolos dari usaha penyergapan petugas keamanan, suatu hari di tahun 1969 tidak bisa berkutik ketika tertangkap di pulau Sambu dalam sebuah operasi gabungan. Peristiwa kelabu yang terjadi begitu cepat dan tanpa diduga Tarnama dan sahabatnya, Erbin Pardede, cukup mengejutkan dan membuat keduanya seperti sedang bermimpi.

    Dalam posisi tersudut, tertangkap sebagai penyelundup, Tarnama dan Erbin Pardede mencoba melakukan kompromi dengan petugas. Mereka menawarkan prinsip sama-sama untung dengan cara barang selundupan dibagi dua. Kebiasaan seperti ini lumrah

  • dilakukan para pedagang Singapura Tanjung Pinang Jakarta jika tertangkap hitung-hitung adu nasib siapa tahu bisa berhasil, itu yang ada dibenak Tarnama dan Erbin Pardede.

    Dalam sejumlah kasus tertentu. Memang tidak sedikit jumlah penyelundup yang berhasil bermain dengan oknum petugas keamanan. Dari segi hokum dan moral permainan seperti ini, jelas bertentangan dan merugikan Negara. Tetapi jika sudah menyangkut urusan sejengkal perut, kebenaran terkadang tidak selamanya menjadi suatu keharusan yang patut didewakan. Setidaknya inilah yang dicoba Tarnama dengan sahabatnya Erbin Pardede. Minimal pikir Tarnama ketika itu, jika barang selundupan dibagi dua mereka masih terhibur walau tetap rugi.

    Dengan lagak seorang penyelundup benaran yang memang nekad, dua sekawan, Tarnama dan Erbin Pardede berusaha mempertahankan barang selundupannya. Gertakan aparat keamanan yang dikenal ganas dan tidak ada ampun, bagi penyelundup tetap disambut Tarnama dan Ebin Pardede dengan kepala dingin, meski hati kedua pria ini sudah panas membara.

    Tetapi apa yang terjadi benar-benar diluar dugaan mereka. Karena ternyata petugas yang mereka harap bersedia diajak berdamai tetap pada pendiriannya untuk menyita semua barang milik Tarnama dan Erbin Pardede. Merasa tidak ada jalan lain, atau dari pada ikut ditahan, Tarnama dan Erbin Pardede dengan berat hati melepaskan barang selundupannya. Dengan beban perasaan yang tidak menentu dua sekawan yang bernasib sial ini, terpaksa pulang menuju Jakarta tanpa membawa hasil apa-apa.

    Peristiwa tragis yang menyebabkan Tarnama kehilangan uang dalam jumlah besar, membuatnya kapok untuk melakukan penyelundupan. Akhir yang tragis sekaligus menjadi awal kebangkitan Tarnama Sinambela dalam dunia bisnis.

    Mengharukan memang, walau begitu pengalaman pahit tersebut telah membuka mata hati dan pikiran Tarnama untuk belajar menghargai dan mendengar saran nasihat orang lain. Penyesalan rasanya tidak ada gunanya lagi. Paling disaat seperti ini wakjah Mr. Kleen, wajah sahabat-sahabatnya, wajah istrinya dan kedua anaknya, terbayang kembali mengusik nuraninya. Ada perasaan bersalah yang terasa pedih mencabik-cabik hati dan pikirannya. Andai saya mau mengikuti saran istri, barangkali tidak begini jadinya, Tarnama mengenag masa lalunya.

    Disaat yang bersamaan ia pun menganggap telah memperoleh pengalaman berharga. Sebuah peristiwa yang berperan membentuk karakter dan menentukan jalan hidup dan kehidupan kelak kemudian.

    Sebuah perjalan hidup dalam mencari jati diri, yang diakui Tarnama banyak mendukung ushanya memantapkan eksistensinya sebagai seorang pengusaha pejuang yang opantang menyerah. Sebuah kenangan kelabu yang sampai kapan pun menurut Tarnama, tidak akan pernah terlupakan.

  • Dari pengalamn getirnya hidup sebagai penyelundup, Tarnama banyak belajar mengenai sisi baik dan buruknya hidup dan kehidupan. Sisi baik seorang penyelundup yang menuntut keberanian memikul risiko, ulet dan sabar menghadapi rintangan dalam situasi apapun, menjadi suatu kekuatan tersendiri baginya dalam menjalani bisnis konstruksi yang kini digelutinya. Dari dunia yamg keras ini pula Tarnama belajar kepekaan merespon secara cepat dan tepat, mengenai berbagai persoalan seputar dunia bisnis.

    Sementara sisi buruk dunia penyelundup yang sarat tipu menipu dan kebohongan, memberi pelajaran baginya untuk menjauhkan diri dari kebohongan. Sedangkan pahit getirnya jadi penyelendup menjadi cermin keberadaannya untuk senantiasa menatap keprihatian dan kesengsaraan hidup orang lain.***

  • BAB V

    BERWIRASWASTA

    Tragedi kelabu pulau Sambu, peristiwa tertangkapnya Tarnama dalam sebuah operasi gabungan pada tahun 1969, mengakhiri pertualangannya sebagai penyelundup. Akhir yang mengharukan benar-benar membuatnya berpikir tujuh kali, untuk kembali melakukan usaha penyelundupan. Tekadnya melupakan impian bisa memperoleh uang yang cukup besar dari dunia keras yang selalu diwarnai kebohongan dan main kucing-kucingan dengan aparat keamanan ini, adalah sebuah janji yang tidak akan ia ingkari. Saya kapok, saya lelah berpetualang, kata Tarnama ketika itu.

    Berhari-hari lamanya Tarnama merenungi nasib. Dalam sesal yang tiada guna, akalnya seolah buntu untuk memulai langkah hidup baru. Semua menjadi terasa gelap baginya. Kecuali keinginannya untuk bertemu dengan Prof. DR. Ir. Roosseno, masih sempat terlintas dalam pikirannya. Keinginan Tarnama bertemu Pak Roosseno, panggilan akrab ahli beton bertulang ini, tidak lain untuk melaporkan peristiwa kelabu yang menimpa dirinya.

    Sebagai seorang anak yang sedang menghadapi masalah, memang pada tepatnya jika Tarnama berusaha mencari Pak Roosseno. Setidaknya dalam suasana batin dan kekalutan pikiran yang tidak menentu, Tarnama bisa berharap mendapat wejangan yang menyejukkan dari Pak Roosseno. Sebab seperti diketahui hubungan Pak Roosseno dengan Tarnama sudah terbina dengan baik kala Tarnam bekerja sebagai pelayan di Hotel Indonesia, dimana ketika itu Pak Roosseno yang memegang jabatan pimpinan proyek pembangunan pertokoan Sarinah sering mampir untuk makan siang di hotel tempat Tarnama bekerja. Bahwa keduanya saling mengakui bahwa hubungan diantara mereka sudah seperti hubungan bapak dengan anak. Itulah sebabnya Tarnama yakin betul bahwa bapaknya, Pak Roosseno pasti menolongnya. Apalagi Tarnama tahu persis sosok Pak Roosseno yang arif bijaksana, dan selalu memberi waktu kepada orang yang membutuhkannya.

    Dalam sesuatu kesempatan bertemu dengan Pak Roosseno, Tarnama menceritakan Tragedi pulau Sanbu yang memporak porandakan impian-impiannya. Sebagai seorang bapak yang perihatin terhadap penderitaan anaknya, Pak Roosseno spontan menawarkan agar Tarnama mau bekerja sebagai ahli gambar padanya. Bagi Tarnama tawaran tersebut justru menyulitkan posisinya. Disatu sisi ia sangat menghargai atensi Pak Roosseno, tetapi di sisi lain, ia menyadari bahwa bekerja sebagai ahli gambar bukanlah bidangnya. Tarnama lebih menyukai pekerjaan lapangan yang menuntut banyak bergerak. Untuk terus terang bahwa ia tidak tertarik dengan pekerjaan yang ditawarkan Pak Roosseno, itulah yang membuatnya serba salah. Ia terima tetapi hatinya tidak berkenan, tidak terima takut menyinggung perasaan Pak Roosseno.

  • Tetapi karena Tarnama Tahu bahwa Pak Roosseno orang yang bijaksana, dengan perasaan berat akhirnya ia memutuskan menolak tawaran pekerjaan tersebut. Dan ternyata Pak Rooosseno bisa memaklumi dan menerimanya. Pak Roosseno yang dikenal berjiwa besar malahan masih memberikan sejumlah uang kepada Tarnama, dengan harapan uang yang diberikan dapat membantu Tarnama dari kesulitan.

    Mr. Kleen, mantan atasannya semasa bekerja di Hotel Indonesia, yang sengaja didatangi Tarnama, juga memberikan uang sebagai wujud keprihatinannya yang dalam terhadap nasib sial yang dialami bekas staf kesayangannya itu. Dengan uang pemberian pak Roosseno dan Mr. Kleen yang ketika itu sudah bisa membeli semen sebanyak 400 sak, Tarnama lalu memutuskan untuk membuka usaha leveransir bahan bangunan.

    Namun mengingat modal yang dimiliki belum cukup untuk membuka usaha sendiri, Tarnama kemudian mengikat kerjasama dengan seorang pedagang Cina, Wo