Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
UNIVERSITAS INDONESIA
TATA LAKSANA NUTRISI PADA SINDROMA
NEFROTIK IDIOPATIK ANAK
SERIAL KASUS
TUTIK ERNAWATI
1106026835
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK
JAKARTA
JUNI 2013
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
i
i
UNIVERSITAS INDONESIA
TATA LAKSANA NUTRISI PADA SINDROMA NEFROTIK
IDIOPATIK ANAK
SERIAL KASUS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Gizi Klinik
TUTIK ERNAWATI
1106026835
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK
JAKARTA
JUNI 2013
Universitas Indonesia Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
ii Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 14 Juni 2013
iii Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
iv
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji sukur kepada Allah atas nikmat karunianya sehingga penyusunan
serial kasus ini dapat terselesaikan meskipun dengan banyak kekurangan. Serial
kasus ini disusun dalam rangka memenuhi sebagian persaratan untuk meraih gelar
Spesialis Gizi Klinik Universitas Indonesia.
Serial kasus ini mengenai tata laksana nutrisi terhadap pasien anak dengan
Sindroma Nefrotik Idiopatik di Rumah Sakit Umum Daerah Kebupaten
Tangerang. Sindroma nefrotik merupakan kelainan pada glomerulus yang
menimbulkan kumpulan gejala berupa proteinuria, edema, dislipidemia, dan
hipoalbuminemia. Penatalaksanaan di bidang nutrisi memegang peranan penting
dalam meningkatkan kualitas hidup pasien dan menghambat progresifitas
penyakit ini.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada dr. Sri Sukmaniah, MS, SpGK selaku pembimbing sekaligus Ketua
Program Studi Ilmu Gizi Klinik PPDS-I, yang telah dengan penuh kesabaran,
ketelitian dan dedikasi membimbing penulis selama menjalani pendidikan, hingga
tersusunnya makalah serial kasus ini
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Victor Tambunan MS,
SpGK selaku Ketua Departemen Ilmu Gizi Klinik, DR. dr. Johana Titus, MS,
SpGK selaku sekretaris Program Studi Ilmu Gizi Klinik PPDS-I, serta seluruh
pengajar PPDS-1 PSIGK, atas bimbingan dan dukungan yang telah diberikan
sejak awal penulis menjalani pendidikan hingga saat ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada dr. Elvi Manurung, MS, SpGK dan dr. Trisno
Wijanto MS, SpGK atas kesempatan, bimbingan serta dukungannya dalam
melaksanakan kewajiban sebagai PPDS di RSUD Kebupaten Tangerang, sampai
tersusunnya makalah serial kasus ini.
Kepada direktur RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung penulis
juga mengucapkan terima kasih atas izinnya sehingga penulis dapat melanjutkan
pendidikan di PPDS-1 PSIGK FKUI. Terima kasih kepada Direktur RSUD
Kabupaten Tangerang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
dapat melaksanakan tugas PPDS-1 PSIGK di RSUD Kebupaten Tangerang, serta
iv Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
v
Universitas Indonesia
terimakasih kepada seluruh staf di RSUD Tangerang yang telah terlibat dalam
proses tata laksana pasien serial kasus ini. Penulis juga menyampaikan terima
kasih dan penghargaan setinggi–tingginya kepada seluruh pasien yang terlibat
dalam penyusunan serial kasus ini. Terima kasih kepada seluruh teman PPDS Gizi
Klinik FKUI angkatan II, para staf dan karyawan departemen Ilmu Gizi Klinik,
serta semua pihak yang telah memberikan motivasi, dukungan dan kerjasama
yang baik selama penulis menjalankan pendidikan.
Terimakasih kepada suami tercinta Kunjono SE, yang telah memberikan
ijin dan kesempatan penulis untuk melanjutkan pendidikan, yang telah
memberikan kekuatan saat dalam keputusasaan, serta tetap melindungi dan
mengasihi saat dalam ketidakberdayaan. Kepada anak–anak terkasih, Afif
Kunprasetyo Danu, Alvita Laksmi Primajati dan Alivia Hasna Ratridiani, terima
kasih atas pengertian dan kesabarannya, sehingga penulis tetap tegar dan bertahan
sampai berakhirnya pendidikan ini. Ucapan terima kasih pula kepada kedua orang
tua tercinta dan keluarga besar di Yogyakarta atas dukungan dan doanya.
Penulis berharap semoga Allah membalas kebaikan semua pihak yang
telah membantu dan melancarkan penyusunan serial kasus ini. Semoga serial
kasus inipun bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Jakarta, 14 Juni 2013
Penulis
v Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
vi
Universitas Indonesia
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
vi Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
vii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Tutik Ernawati
Program Studi : Ilmu Gizi Klinik, Program Pendidikan Dokter
Spesialis-1
Judul : Tata Laksana Nutrisi Pada Sindroma Nefrotik
Idiopatik Anak
Pembimbing : dr. Sri Sukmaniah, MSc, SpGK
Tata laksana nutrisi pada sindroma nefrotik idiopatik anak meliputi
penilaian status gizi, kebutuhan nutrisi baik makronutrien, mikronutrien, maupun
managemen cairan. Penyakit sindroma nefrotik anak dapat menyebabkan berbagai
komplikasi yang mengganggu pertumbuhan, memperberat kerja ginjal hingga
berakhir pada keadaan gagal ginjal. Untuk itu peran nutrisi menjadi sangat penting
dalam menekan progresifitas penyakit dan memperbaiki kualitas hidup pasien.
Keempat pasien serial kasus ini memiliki karakteristik penyakit sindroma nefrotik
idiopatik, dengan rentang usia 1–8 tahun, semua kasus merupakan serangan
pertama dan sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit.
Penghitungan kebutuhan energi menggunakan rumus Schoefield (W–H)
dikalikan faktor stres, kebutuhan protein sesuai RDA dikalikan faktor stres, dan
lemak tidak lebih dari 28% total kalori, dengan komposisi SAFA 8 %, PUFA 8%
dan MUFA 12 %. Berdasarkan hasil analisis keempat kasus tersebut, pencapaian
asupan sesuai kebutuhan energi total sudah mencapai 100 % pada kisaran hari
perawatan ke–3 sampai ke–6, dengan rata–rata kepulangan pasien setelah
perawatan hari ke–7. Terjadinya peningkatan tekanan darah di atas persentil rata–
rata mengalami perbaikan seiring perbaikan klinis yang terjadi.
Pemberian nutrisi pada pasien sindroma nefrotik anak dilakukan secara
individual, menyangkut status gizi, analisis asupan, serta berbagai komplikasi
yang terjadi. Monitoring dan evaluasi meliputi keadaan klinis, tanda vital, analisis
asupan dan toleransi, keseimbangan cairan dan elektrolit, keadaan
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria dan gambaran darah lengkap. Tata
laksana nutrisi yang optimal harus disertai konseling dan motivasi kepada orang
tua pasien ataupun pengasuh, dengan harapan dapat menekan progresifitas
penyakit, meminimalisir kekambuhan, menekan komplikasi lebih lanjut,
tercukupinya kebutuhan nutrisi, perbaikan status nutrisi, dan tercapainya tumbuh
kembang yang optimal.
Kata Kunci: Sindroma nefrotik idiopatik, anak, tata laksana nutrisi
vii Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
viii
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Tutik Ernawati
Study Program : Study Program of Clinical Nutrition
Spescialist, Faculty of Medicine,
University of Indonesia
Title : Nutrition Management in Nephrotic Idiopathic
Syndrome of Children
Counselor : dr. Sri Sukmaniah, MSc, SpGK
Nutritional management therapy for idiopathic nephrotic syndrome in children
includes nutritional status assessment, nutritional requirement including
macronutrient, micronutrient, and fluid management. Nephrotic syndrome in
children could cause several complications which disrupt growth and worsening
kidney function which ends to kidney failure. According to that condition,
nutritional therapy has become more important to alleviate disease progression
and increase quality of life of the patient. On this case series, four patients had the
characteristics of idiopathic nephrotic syndrome. All of them was on the age
group of 1–8 years, on the first attack, and admitted in certain hospital.
Energy requirement calculation was done using Schoefield (W-H) formula
multiplied by stress factor, protein requirement based on RDA multiplied by stress
factor, and fat requirement was no more than 28% of total calories, with the
composition of SAFA 8%, PUFA 8%, and MUFA 12%. Based on the analysis of
those patients, energy intake of the patients which met 100% of total energy
requirement had accomplished on day 3 to day 6 of hospitalization, and they were
discharged from hospital after 7 days hospitalization. An increase in blood
pressure above the median percentile improved as clinical improvement occurs.
Nutritional management therapy for nephrotic syndrom in children was
done individually, includes nutritional status, dietary assesment, and the possible
complications. Monitoring and evaluations included clinical condition, vital signs,
dietary assesment and tolerance, fluid and electrolyte balance, hypoalbuminemia
condition, proteinuria, hematuria, and full blood count. Optimal nutritional
management therapy should be completed with counseling and encouragment to
parents or caregiver to alleviate the disease progression, prevent relaps, and avoid
further complications, nutritional requirement completion, nutritional status
improvement, and optimal growth and development.
Keywords: Idiopathic nephrotic syndrome, children, nutritional management
therapy
viii Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
ix
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
UNIVERSITAS INDONESIA .............................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................ vi
ABSTRAK ........................................................................................................ vii
ABSTRACT ..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv
1. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Tujuan ....................................................................................................... 2
1.2.1 Tujuan Umum ...................................................................................... 2
1.2.2 Tujuan Khusus ..................................................................................... 2
1.3 Manfaat Penulisan ................................................................................. 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4
2.1. Embriologi Ginjal ..................................................................................... 4
2.2. Anatomi Ginjal ......................................................................................... 4
2.3. Fisiologi Ginjal .......................................................................................... 7
2.4. Parameter Klinis Penyakit Ginjal ............................................................... 9
2.4.1 Protein Urin ...................................................................................... 10
2.4.2 Sel darah merah urin ......................................................................... 10
2.4.3 Pemeriksaan Mikroskopik Urin ......................................................... 11
2.5. Laju Filtrasi Glomerulus .......................................................................... 11
2.6. Patogenesis Penyakit Glomerulus ............................................................ 11
2.7. Sindroma Nefrotik ................................................................................... 12
2.7.1 Definisi .............................................................................................. 12
2.7.2 Epidemiologi...................................................................................... 13
2.7.3 Etiologi .............................................................................................. 13
2.7.4 Patofisiologi ....................................................................................... 13
2.7.5 Gambaran Klinis ................................................................................ 16
2.7.7 Komplikasi......................................................................................... 17
2.7.8 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 21
2.7.9 Perubahan metabolisme nutrien pada sindroma nefrotik .................... 22
2.7.10 Terapi Farmakologi .......................................................................... 26
2.7.11 Terapi Nutrisi ................................................................................... 29
2.7.12 Prognosis ......................................................................................... 34
2.7.13 Monitoring, evaluasi dan konseling .................................................. 35
ix Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
x
Universitas Indonesia
3. KASUS.......................................................................................................... 39
3.1. Kasus 1 .................................................................................................... 39
3.2. Kasus 2. ................................................................................................... 45
4. PEMBAHASAN ........................................................................................... 62
5. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 88
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 88
5.2.Saran ........................................................................................................ 90
DAFTAR REFERENSI ................................................................................... 91
x Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
xi
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Analisis nilai proteinuria.................................................................... 10
Tabel 2. 2 Rumus Schofield (WH) anak ............................................................. 31
Tabel 2. 3 Batasan kadar kolesterol untuk anak usia 2–19 tahun pada................. 32
Tabel 3. 1 Karakteristik umum data pasien ......................................................... 39
Tabel 4. 1 Skrining gizi dan data subyektif ........................................................ 71
Tabel 4. 2 Tanda vital, kelainan fisik dan pemeriksaan penunjang ..................... 72
Tabel 4. 3 Terapi yang diperoleh ........................................................................ 76
Tabel 4. 4 Komplikasi yang terjadi ..................................................................... 78
Tabel 4. 5 Pemantauan dan evaluasi ................................................................... 85
Tabel 4. 6 Evaluasi proteinuria ........................................................................... 85
Tabel 4. 7 Evaluasi berat badan dan produksi urin .............................................. 86
xi Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Anatomi Ginjal ................................................................................ 5
Gambar 2. 2 Anatomi glomerulus. ....................................................................... 6
Gambar 2. 3 Gangguan permeabilitas glomerulus. ............................................. 15
Gambar 2. 4 Gagal ginjal akut ........................................................................... 19
Gambar 2. 5 Patofisiologi hipertensi renal .......................................................... 21
Gambar 3. 1 Analisis asupan makronutrien kasus 1 sebelum sakit, satu minggu
SMRS,........................................................................................... 42
Gambar 3. 2 Grafik Tanda vital selama pemantauan kasus1 ............................... 43
Gambar 3. 3 Grafik asupan makronutrien selama pemantauan kasus 1 ............... 44
Gambar 3. 4 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan kasus 1 ................ 44
Gambar 3. 5 Analisis asupan makronutrien kasus 2 sebelum sakit, satu minggu
SMRS, dan 24 jam terakhir ............................................................ 47
Gambar 3.6 Grafik Tanda vital selama pemantauan kasus 2 ............................... 49
Gambar 3.7 Grafik asupan makronutrien selama pemantauan kasus 2 ................ 49
Gambar 3.8 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan kasus 2 ................. 50
Gambar 3.9 Analisis asupan kasus 3 sebelum sakit, selama sakit sejak ............... 54
Gambar 3.10 Tanda–tanda vital selama pemantauan kasus 3 ............................. 55
Gambar 3.11 Analisis asupan makronutrien selama pemantauan kasus 3 ............ 55
Gambar 3.12 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan kasus 3 ............... 56
Gambar 3.13 Analisis asupan kasus 4 sebelum sakit, selama sakit tiga hari SMRS,
...................................................................................................... 59
Gambar 3.14 Tanda–tanda vital selama pemantauan kasus 4 .............................. 60
Gambar 3.15 Analisis asupan makronutrien kasus 4 ........................................... 60
Gambar 3.16 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan kasus 4 .............. 61
xii Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
AA : arachidonic acid
ADH : anti deuretik hormon
ACE : angiotensin-converting enzyme
AHA : American Heart Association
ALA : Alpha-linolenic acid
ASPEN : American Society for Parenteral and Enteral Nutrition
ASI : air susu ibu
BB : berat badan
BMD : bone mineral density
CCT : creatinin clearance test
CDC : Centre for Disease Control
CPA : siklofosfamid
CVD : cardiovascular disease
DHA : docosahexaenoic acid
EPA : eicosapentaenoic acid
EPO : erythropoietin
ERDS : End State Renal Disease
FDA : Food and Drug Administration
FGF : Fibroblast Growth Factor
GFR : glomerular filtration rate
Hb : haemoglobin
HBV : high bioavaibylity value
HDL : High–density lipoprotein
iv : intra vena
IMT : indek masa tubuh
ISKDC : International Study on Kidney Disease in Children
KH : karbohidrat
LA : linoleic acid
LDL : low–density lipoprotein
LPB : lapang pandang besar
xiii
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
xiv
Universitas Indonesia
LPB : lapang pandang besar
NCEP : National Cholesterol Education Program guidelines
PTH : pharatyroid hormone
p.o : per oral
RDA : recommended dietary allowances
SGA : Subjective Global Assessment
SGNA : Subjective Global Nutritional Assessment
RSUT : Rumah Sakit Umum Tangerang
RS : rumah sakit
TTG : Tim Terapi Gizi
USG : ultrasonography
WHO : World Health Organization
xiv
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
xv
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Analisis asupan An. G ................................................................................ 98
Lampiran 2 Analisis asupan An. R .............................................................................. 101
Lampiran 3 Analisis asupan An. F ............................................................................... 104
Lampiran 4 Analisis asupan An. E .............................................................................. 107
Lampiran 5 Form skrining RSUT ............................................................................... 108
Lampiran 6 Form SGNA Kasus 1 (An. G) .................................................................. 108
Lampiran 7 Form SGNA An. R ................................................................................... 108
Lampiran 8 Form SGNA An F .................................................................................. 108
Lampiran 9 Form SGNA Kasus 4. (An. E) ................................................................. 108
Lampiran 10 Grafik CDC anak laki–laki 0–36 bulan .................................................. 108
Lampiran 11 Grafik CDC anak laki laki 2–20 tahun ................................................... 108
Lampiran 12 Grafik CDC anak perempuan 2–20 tahun ............................................... 108
Lampiran 13 Tabel tekanan darah anak laki–laki ........................................................ 108
Lampiran 14 Tabel tekanan darah anak perempuan ..................................................... 108
Lampiran 15 Monitoring An. G .................................................................................. 108
Lampiran 16 Monitoring An. R .................................................................................. 108
Lampiran 17 Monitoring An. F ................................................................................... 108
Lampiran 18 Monitoring An. E .................................................................................. 108
xiv
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
1
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindroma nefrotik merupakan kelainan pada glomerulus yang menimbulkan
kumpulan gejala berupa proteinuria, edema, hiperkolesterolemia, dan
hipoalbuminemia.1,2,3,4
Pada sindroma nefrotik terjadi keluaran protein melalui
urin lebih dari 40 mg/m2/jam, atau > 50 mg/kg BB/24 jam atau rasio
albumin/kreatinin urin sewaktu ≥ 2 mg/mg), kadar albumin darah < 2,5 g/dL,
kadar kolesterol darah > 200 mg/dL. Rasio kejadian sindroma nefrotik untuk
anak laki–laki dan perempuan usia kurang dari delapan tahun adalah 2:1 sampai
3:2. Insiden sindroma nefrotik di Amerika Serikat dan di Eropa sekitar 1–7 per
100.000 anak usia kurang dari 16 tahun. Di Jakarta terdapat enam kasus dari
100.000 anak dibawah usia 14 tahun.1,4
Kombinasi berbagai keadaan tersebut
dapat menyebabkan terjadinya hipovolemia, hiperkoagulasi, dan infeksi.2,3,4
Penyebab sindroma nefrotik dibagi menjadi penyebab primer dan
sekunder. Sindroma nefrotik primer dikenal sebagai sindroma nefrotik idiopatik,
yaitu penyakit yang terkait dengan faktor glomerular intrinsik pada ginjal dan
tidak disebabkan oleh faktor sistemik. Sindroma nefrotik idiopatik adalah
sindroma nefrotik yang paling sering terjadi, mencapai 90% kasus. Sindroma
nefrotik sekunder disebabkan oleh faktor dari luar ginjal/faktor ekstrinsik,
termasuk Henoch-Schönlein purpura (HSP), lupus eritematosus sistemik,
Amyloidosis, diabetes melitus, sifilis, hepatitis B dan C, human immunodeficiency
virus (HIV), keganasan, dan obat–obatan.1,2,3,4
Lebih dari 60% sindroma nefrotik idiopatik mengalami kekambuhan
berulang, sehingga pemantauan jangka panjang menjadi sangat penting, baik
dalam terapi medis maupun tata laksana nutrisinya. Kasus penyakit ini dikaitkan
dengan peningkatan risiko komplikasi komplek, seperti edema anasarka, berbagai
kejadian infeksi, penyakit kardiovaskular, trombosis, dislipidemia, gagal ginjal
akut, bahkan berkembang menjadi gagal ginjal kronis ataupun gagal ginjal
terminal dengan segala dampak psikologisnya.2,3
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
2
Universitas Indonesia
Sejak ditemukannya pilihan terapi dengan kortikosteroid, angka kematian
penderita sindroma nefrotik menurun lebih dari 50 %, sehingga prognosis menjadi
sangat penting sejak pasien terdiagnosis penyakit ini karena keluarga/lingkungan
sangat berperan dalam menjaga kepatuhan terapi medis dan edukasi yang telah
diberikan.2
Penatalaksanaan di bidang nutrisi memegang peranan penting dalam
menghambat progresifitas penyakit ini. Beberapa pendapat mengatakan
pemberian protein tinggi dianggap kontra indikasi karena akan memperberat kerja
glomerulus dan mempercepat terjadinya sklerosis sehingga mempercepat
progresifitas kerusakan ginjal. Diet rendah protein juga tidak diperbolehkan
karena dapat menghambat pertumbuhan dan menyebabkan malnutrisi. Berbagai
suplementasipun perlu hati–hati.3,4
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, dilakukan studi serial kasus ini
yang membahas tata laksana nutrisi pada sindroma nefrotik idiopatik anak,
mencakup berbagai dampak metabolisme dan managemen komplikasi yang
terjadi.
1.2. Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penyusunan serial kasus ini untuk memperbaiki atau
mempertahankan status nutrisi, meningkatkan kualitas hidup pasien dan mencapai
tumbuh kembang yang optimal.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Mengetahui perubahan fisiologi dan metabolisme zat gizi pada
kasus anak dengan sindroma nefrotik idiopatik
1.2.2.2 Menilai riwayat nutrisi, antropometri, keadaan klinis, pemeriksaan
penunjang, serta diagnosis kerja gizi pada kasus anak dengan
sindroma nefrotik idiopatik
1.2.2.3 Menilai interaksi obat dengan zat gizi dan komplikasi terapi jangka
panjang pada kasus anak dengan sindroma nefrotik idiopatik
1.2.2.4 Memberikan terapi gizi pada kasus anak sindroma nefrotik idiopatik
dengan berbagai komplikasi
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
3
Universitas Indonesia
1.2.2.5 Untuk mengetahui peranan monitoring dan evluasi dalam terapi
gizi
1.3 Manfaat Penulisan
1.3.1 Manfaat Bagi Pasien
Untuk meningkatkan status nutrisi, mempercepat kesembuhan dan
menurunkan risiko kekambuhan pasien
1.3.2 Manfaat Bagi Masyarakat
Tersusunnya makalah ini dapat memperbaiki status nutrisi dan
menurunkan risiko kekambuhan para pasien anak dengan sindroma
nefrotik idiopatik
1.3.3 Manfaat Bagi Institusi
Makalah ini dapat menjadi tambahan informasi dalam
penatalaksanaan nutrisi kasus anak sindroma nefrotik idiopatik
1.3.4 Manfaat Bagi Penulis
Sebagai media untuk menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang
diperoleh selama menjalani pendidikan spesialis
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
4
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Embriologi Ginjal
Selama kehidupan intra uterus, ginjal manusia terbentuk tiga sistem yaitu
pronefros, mesonefros, dan metanefros. Pronefros tidak berfungsi dan mengalami
rudimenter, mesonefros berfungsi sementara dalam kehidupan intra uterus, dan
metanefros membentuk ginjal permanen. Metanefros terbentuk pada minggu
kelima. Sistem ekskretoriknya terbentuk dari mesoderm metanefros. Duktus
koligentes ginjal permanen terbentuk dari tunas ureter, suatu pertumbuhan keluar
dari duktus mesonefrikus dekat dengan muaranya ke kloaka. Perkembangan
selanjutnya tubulus koligentes terus memanjang dan mengumpul ke kaliks minor,
membentuk piramis renalis. Tunas ureter membentuk ureter, pelvis renalis, kaliks
mayor dan minor, dan lebih kurang 1–3 juta tubulus koligentes. Setiap tubulus
koligentes yang terbentuk, di ujung distalnya tertutup oleh suatu jaringan
metanefros yang diinduksi oleh tubulus. Sel–sel jaringan penutup akan
membentuk vesikel kecil ginjal, kemudian menghasilkan tubulus kecil berbentuk
S. Pembuluh kapiler tumbuh ke dalam kantong di salah satu ujung S dan
berdiferensiasi menjadi glomerulus. Tubulus bersama dengan glomerulus
membentuk nefron, suatu unit ekskretorik yang setiap ujung proksimalnya
membentuk kapsula Bowman, sedangkan ujung distal berhubungan dengan salah
satu tubulus koligentes, membentuk suatu saluran dari kapsula Bowman ke unit
pengumpul. Tubulus ekskretorik terus memanjang membentuk tubulus kontortus
proksimalis, ansa Henle, dan tubulus kontortus distalis. Nefron terus terbentuk
sampai janin lahir, sedangkan produksi urin sudah dimulai sejak awal kehamilan,
yaitu setelah diferensiasi kapiler glomerulus mulai terbentuk di minggu ke
sepuluh. Pada saat bayi lahir keadaan ginjal masih berlobus–lobus, tetapi
kemudian menghilang sejalan pertumbuhan nefron pada masa bayi.5,6
2.2. Anatomi Ginjal
Ginjal terletak di rongga retroperitoneum bagian belakang, di depan dua iga
terakhir dan tiga otot besar, otot transversus abdominalis, kuadratus lumborum
dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan posisinya oleh bantalan lemak tebal.
4 Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Bagian depan terlindungi oleh usus yang tebal.7,8
Ginjal anak memiliki panjang
berkisar enam sampai dua belas sentimeter dengan berat kurang lebih 24 g. Ginjal
terdiri dari dua lapis, lapisan luar disebut kortek dan lapisan dalam disebut
medula. Kortek dikelilingi oleh kapsul fibrosa yang kuat. Kortek melebar diantara
piramida ginjal membentuk kolum ginjal (dari Bertini). Kortek berisi glomeruli,
tubulus kontortus proksimalis, tubulus kontortus distalis dan duktus kolektivus.
Kalik minor merupakan tabung berbentuk cangkir yang mengelilingi papila ginjal,
dan menyatu membentuk kalik mayor, kemudian membentuk pelvis ginjal.8,9
Medula terdiri dari serangkaian masa berbentuk kerucut disebut piramida
ginjal. Puncak piramida membentuk papila yang berproyeksi ke dalam kalik
minor. Di dalam medula terdapat tubulus yang lurus, lengkung (ansa) henle, vasa
rekta dan duktus koligens terminal. Ginjal dialiri oleh arteri renalis dari aorta.
Arteri renalis ini bercabang–cabang segmental dalam medula menjadi arteri
interlobularis, menembus medula ke batas antara kortek dan medula. Arteri
interlobaris ini bercabang membentuk arteri arkuata, berada didasar piramida
ginjal. Arteri interlobularis dari arteri arkuata membentuk arteriole aferen
glomerulus.8,9
Anatomi ginjal tampak pada Gambar 2.1.9
Gambar 2. 1 Anatomi Ginjal
Sumber : daftar referensi nomor 9
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
6
Universitas Indonesia
Sel–sel otot dinding arteriole aferen, sel lacis dan bagian distal tubulus
(makula densa) yang dekat dengan glomerulus membentuk aparatus
jukstaglomeruler. Aparatus ini berperan dalam pengaturan sekresi renin. Arteriol
aferen membentuk anyaman kapiler glomerulus dan bergabung menjadi arteriol
eferen. Kapsula Bowman, glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung
henle, dan tubulus kontortus distal membentuk unit kerja fungsional ginjal yang
disebut nefron. Dalam satu ginjal terdapat lebih kurang satu juta nefron, yang
telah terbentuk sempurna saat bayi lahir dan mengalami maturasi seiring
bertambahnya usia bayi.7,8
Kapiler glomerulus dilapisi sel endotelium dengan sitoplasma tipis,
berlubang dan berfungsi sebagai penyaring ginjal. Membran ini terdiri dari tiga
lapis, yaitu lamina densa, lamina rara interna dan lamina rara eksterna. Diantara
kapiler glomerulus pada sisi endotel glomerulus terdapat mesangium. Mesangium
berfungsi sebagai struktur pendukung kapiler glomerulus dan mengatur filtrasi
glomerulus, pembuangan makro molekul, termasuk komplek imun dari
glomerulus, dengan cara fagositosis intraseluler atau interseluler ke dalam
junkstaglomerulus. Glomerulus dikelilingi oleh kapsula Bowman yang terdiri
dari dua lapis, membrana basalis dan sel–sel parietalis.7,8
Anatomi glomerulus
tampak pada Gambar 2.2.10
Gambar 2. 2 Anatomi glomerulus.
Sumber : daftar referensi nomor 10
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
7
Universitas Indonesia
2.3. Fisiologi Ginjal
Ginjal memiliki fungsi utama dalam mempertahankan volume darah dan cairan
ekstra sel, yang dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsobsi dan sekresi tubulus.
Proses pembentukan urin diawali dari filtrasi glomerulus. Aliran darah ginjal
setara sekitar 25 % curah jantung atau 1200 mL/menit. Pada kadar hematokrit
darah 45 %, maka aliran plasma ginjal 1200 x 55 % (660 mL/menit). Lebih
kurang seperlima aliran plasma tersebut akan dialirkan oleh glomerulus ke
kapsula Bowman. Kecepatan alirannya disebut laju filtrasi glomerulus dan proses
filtrasinya disebut ultrafiltrasi glomerulus.7,8,11
Sel darah dan molekul protein berukuran besar atau bermuatan negatif
tidak akan difiltrasi oleh glomerulus. Molekul yang tersaring langsung oleh
glomerulus adalah molekul berukuran kecil dengan beban netral atau positif
seperti air dan kristaloid. Laju filtrasi glomerulus/ glomerular filtration rate
(GFR) adalah sebesar 173 L perhari, kemudian di tubulus akan mengalami
reabsobsi maupun sekresi berbagai zat dari dan ke dalam filtrat sehingga yang
keluar sebagai urin menjadi sekitar 1,5 L/hari. Proses filtrasi glomerulus bersifat
pasif, tidak membutuhkan energi, sedangkan tekanan filtrasi glomerulus sebesar
10 mmHg berasal dari perbedaan tekanan antara kapiler glomerulus dengan
kapsula Bowman. Pada keadaan normal tidak ada protein dalam filtrasi, maka
tekanan onkotik kapsula Bowman adalah nol. Keadaan yang mempengaruhi
tekanan filtrasi glomerulus selain tersebut di atas juga dipengaruhi oleh
permeabilitas membran filtrasi. Laju filtrasi kapiler glomerulus lebih tinggi
dibandingkan kapiler tubuh lainnya.7,8,11
Laju filtrasi glomerulus dalam keadaan stabil meskipun terjadi perubahan
tekanan darah sistemik ataupun tekanan perfusi ke ginjal, dengan tujuan untuk
menghindari fluktuasi yang tidak sesuai untuk natrium dan ekskresi air.
Kestabilan GFR tersebut adalah suatu autoregulasi intrinsik di ginjal, dan efektif
pada tekanan darah arteri 80–180 mmHg. Mekanisme yang berperan pada
autoregulasi GFR adalah reseptor regangan miogenik otot polos vaskular arteriol
aferen, timbal balik tubuloglomerular, serta suatu sistem hormonal, antara lain
peran norepinefrin dan angiotensin II. Apabila tekanan darah sistemik turun maka
terjadi pengaktifan sistem renin angiotensin dengan membentuk angiotensin II,
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
8
Universitas Indonesia
sehingga terjadi vasokonstriksi arteriol aferen dan eferen diikuti penurunan
tekanan perfusi ginjal.7,11
Jenis zat yang difiltrasi oleh glomerulus adalah air, elektrolit dan non
elektrolit. Elektrolit terpenting adalah natrium (Na+), kalium (K
+), kalsium (C
++),
magnesium (Mg++
), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl
-), dan fosfat (HPO4
--). Zat
non elektrolit terpenting adalah glukosa, asam amino, dan produk akhir
metabolisme protein (urea, asam urat, kreatinin). Setelah proses filtrasi
diglomerulus, selanjutnya terjadi proses reabsorbsi dan sekresi di tubulus. Glukosa
dan asam amino direabsorbsi seluruhnya di tubulus proksimal, kalium dan asam
urat hampir seluruhnya direabsorbsi untuk kemudian disekresi di tubulus distal.
Sekitar dua per tiga natrium yang difiltrasi akan direabsorbsi di tubulus proksimal,
selebihnya di rebasorbsi di lengkung henle, tubulus distal dan tubulus pengumpul
dan hanya kurang dari 1 % yang diekskresikan melalui urin. Proses sekresi dan
reabsorbsi di tubulus diatur oleh beberapa hormon, dan proses berakhir di tubulus
distal dan pengumpul. Tubulus distal memegang peranan penting dalam
pengaturan keseimbangan air dan asam basa, pH dipertahankan pada 7,35–
7,45.7,11
Pharatyroid hormone (PTH) mengatur reabsobsi kalsium dan fosfat,
sehingga peningkatan PTH akan meningkatkan reabsorbsi kalsium dan ekskresi
fosfat. Anti diuretik hormon (ADH) mengatur reabsorbsi air, membantu
mempertahankan volume plasma dan osmolalitasnya sebesar 285 mOsm.
Osmolalitas ditentukan oleh rasio zat terlarut (terutama garam natrium dan
kalium) terhadap air. Hormon aldosteron merangsang reabsorbsi natrium dan
sekresi kalium. Apabila aldosteron meningkat maka reabsorbsi natrium dan
sekresi kalium akan meningkat. Mekanisme renin–angiotensin–aldosteron
memegang peranan penting dalam pengaturan natrium.7,11
Peran renin adalah mempertahankan volume plasma dan perfusi jaringan,
dengan mengatur ekskresi natrium dan air serta tekanan pembuluh darah ginjal.
Keadaan hipotensi, penurunan volume plasma dan peningkatan aktivitas
simpatetik akan menyebabkan hipoperfusi ginjal diikuti rangsangan sekresi renin.
Baroreseptor tubuh terletak pada arkus aorta dan sinus karotis, yang direspon oleh
perubahan tekanan arteri darah. Meningkatnya volume intravaskular akan
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
9
Universitas Indonesia
menimbulkan beban atrium jantung, menurunnya aktivitas simpatis ginjal dan
pelepasan peptida natriuretik atrium jantung, sehingga meningkatkan ekskresi
natrium di ginjal. Sedangkan menurunnya tekanan darah akan meningkatkan
aktivitas simpatis ginjal, retensi natrium dan air.
Peptida natriuretik adalah
hormon yang disintesis oleh atrium jantung, sekresinya direspon oleh adanya
regangan atrium akibat peningkatan volumenya. Efek vasodilatasi pada hormon
ini akan meningkatkan perfusi ginjal, menekan sekresi ADH dan aldosteron,
sehingga ekskresi air dan natrium di ginjal akan meningkat.7,11
Dilepasnya renin oleh sel junktaglomerular akan merubah angiotensinogen
menjadi angiotensin I, kemudian angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh
suatu enzim pengubah angiotensin (ACE/angiotensin converting enzyme).
Angiotensin II memiliki dua efek penting dalam sirkulasi sistemik, efek pertama
yaitu vasokonstriksi arteriole, meningkatkan reabsorbsi natrium dan air di tubulus
distal dan pengumpul. Efek kedua adalah dengan merangsang sekresi aldosteron
dari kortek adrenal kemudian berkerjasama dalam memperbaiki perfusi jaringan,
dengan mengoreksi keadaan hipovolemia maupun hipotensi.7,11
Peran ginjal dalam fungsi non ekskresi antara lain mensintesis dan
mengaktifkan hormon eritropoietin, yang berfungsi merangsang tulang untuk
memproduksi sel darah merah, hidroksilasi vitamin D menjadi 1,25
dihidroksivitamin D, prostaglandin, sebagai vasodilator lokal dan melindungi
kerusakan ginjal akibat iskemia. Sifat non ekskresi ginjal lainnya adalah
mendegradasi hormon–hormon polipeptida, insulin, glukagon, parathormon,
prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, hormon–hormon gastrointestinal seperti
gastrin dan polipeptida vasoaktif.7,11
2.4. Parameter Klinis Penyakit Ginjal
Parameter klinis dalam menilai penyakit ataupun evaluasi ginjal meliputi
parameter biokimia dan morfologi. Parameter biokimia meliputi pemeriksaan
kimia urin, laju filtrasi glomerulus dan tes fungsi tubulus. Sedangkan metode
pemeriksaan morfologi meliputi pemeriksaan mikroskopik urin, bakteriologik
urin, pemeriksaan radiologik dan biopsi ginjal. Pemeriksaan laboratorium utama
sehubungan dengan penyakit ginjal adalah pemeriksaan proteinuria, hematuria,
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
10
Universitas Indonesia
dan mikroskopik urin. Laju filtrasi glomerulus merupakan parameter penting
untuk menilai fungsi ginjal.7
2.4.1 Protein Urin
Pada keadaan normal ekskresi protein melalui urin 40–80 mg/hari, secara kasat
mata hal ini tidak tampak. Protein tersebut merupakan protein plasma yang
melewati filtrasi dan protein non plasma yang berasal dari tubulus dan saluran
kemih bagian bawah. Komposisinya berupa 30–40 % albumin, 5–10 % IgG, 5 %
rantai ringan, 3% igA, dan selebihnya adalah protein Tamm–Horsfall, sedangkan
IgG dan IgM tidak terdeteksi. Proteinuria ringan tidak menimbulkan konsekuensi
klinis, sedangkan proteinuria berat (> 3 g/24 jam) memberikan konsekuensi klinis
berupa hemodinamik tidak stabil, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan
hiperkoagulabilitas. Keadaan proteinuria dapat dikategorikan dalam proteiunuria
patologis dan non patologis. Proteinuria non patologis dapat disebabkan oleh olah
raga, demam dan ortostatik. Pada keadaan non patologis biasanya kurang dari
1000 mg/24 jam dan tidak disertai edema. Proteinuria dianggap patologis apabila
diatas 150 mg/24 jam. Penyebab proteinuria patologis adalah terdapatnya
gangguan pada glomerulus atau tubulus.4,7,8
Analisis jumlah protein pada keadaan
proteinuria pada Tabel 2.1.7
Tabel 2. 1 Analisis nilai proteinuria
Nilai pemeriksaan mikroskopik
Jumlah protein (mg/dL)
0 0 – 5 Samar 5 – 20
1+ 30 2+s 100 3+ 300 4+ 1000
Sumber : daftar referensi no 7
2.4.2 Sel darah merah urin
Adanya sel darah merah diatas normal dalam urin disebut hematuria, terdapat
secara makroskopik (gross hematuria), dan mikroskopik. Penyebabnya dapat dari
ginjal maupun dari luar ginjal, kelainan sistemik, atau penyakit darah. Kelainan di
dalam ginjal menurut asalnya dibedakan menjadi hematuria glomerulus dan non
glomerulus.4,8
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
11
Universitas Indonesia
2.4.3 Pemeriksaan Mikroskopik Urin
Pemeriksaan mikroskopik urin dengan sentrifugasi, kemudian endapannya
disuspensi. Kandungan urin normal adalah terdapat beberapa epitel, 1–2
erotrosit/LPB, 3–4 leukosit/LPB. Nilai eritosit dan leukosit lebih dari itu disebut
abnormal, demikian juga apabila terdapat bakteri dan silinder. Silinder berasal
dari ginjal, sehingga keberadaanya dalam urin menyatakaan suatu gangguan
ginjal. Silinder merupakan matrik mukoprotein Tamm–Horsfall dengan sel–sel
atau debris dari berbagai serum dan potein ginjal yang diabsorbsi, dan saat
melewati tubulus akan kehilangan kandungan airnya kemudian menyesuaikan diri
membentuk tubulus.4,8
2.5. Laju Filtrasi Glomerulus
Laju filtrasi glomerulus menggambarkan jumlah jaringan ginjal yang berfungsi,
diukur dengan uji bersihan inulin atau uji bersihan kreatinin. Uji bersihan inulin
lebih teliti tetapi sulit untuk mampu laksana karena melibatkan proses intravena
dan pengumpulan urin dengan kateter pada saat–saat yang telah ditentukan. Uji
bersihan kreatinin dengan mengumpulkan urin 24 jam dan satu kali spesimen
darah pada hari yang sama. Indeks GFR merupakan perkalian kadar kreatinin urin
dengan volume urin 24 jam dibagi kadar kreatinin plasma. GFR normal diatas 125
mL/menit, secara fisiologis menurun 2 mL/menit sejak usia 30 tahun.,11
Alternatif
lain untuk penghitungan GFR adalah dengan rumus creatinin clearance test
(CCT), merupakan salah satu standar penghitungan yang mempertimbangkan
kadar serum kreatinin, jenis kelamin, berat badan dan usia. Rumus CCT tersebut
adalah (140–usia (tahun) x berat badan (kg) : 72 x kreatinin serum, untuk wanita
dikalikan faktor pengali 0,85.12,13
2.6. Patogenesis Penyakit Glomerulus
Gangguan pada glomerulus antara lain oleh karena faktor imunologi, koagulasi,
dan kongenital. Penyebab tersering adalah faktor imunologi. Pada keadaan ini
terdapat mekanisme lokal komplek imun antigen–antibodi dan interaksi antibodi
dengan antigen. Antigen ini dapat merupakan suatu komponen normal
glomerulus. Kelainan di glomerulus karena faktor imunologi ini diperantarai oleh
komplek imun, dimana antibodi yang dihasilkan akan melawan dan berkombinasi
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
12
Universitas Indonesia
dengan antigen. Komplek imun berakumulasi di glomerulus dan mengaktifkan
sistem komplemen. Proses akumulasi di glomerulus kemungkinan ada
hubungannya dengan konsentrasi, ukuran, serta muatan komplek yang
berakumulasi, karakteristik glomerulus, dan pengaruh mediator–mediator seperti
angiotensin II dan prostaglandin.8
Reaksi radang yang menyertai mungkin karena sistem komplemen
diaktifkan oleh komplek imun antigen–antibodi atau diaktifkan oleh polisakarida
dan endotoksin. Kemudian hasil aktivasi tersebut bertemu pada C3, dan dari titik
tersebut berlanjut rangkaian yang sama yang akan menyebabkan lisis membran
sel. Aktivasi C3 akan menghasilkan toksin yang menstimulasi protein kontraktil
dinding kapiler, menaikkan permeabilitas vaskular dan faktor–faktor kemotaksis
(C5a). Kemudian neutrofil dan makrofag menuju ke tempat aktivasi komplemen,
mengeluarkan substansi yang merusak dinding pembuluh darah dan membrana
basalis. Aktifasi koagulasi yang terjadi menghasilkan endapan fibrin, disertai
proliferasi sel–sel epitel parietalis membentuk bulan sabit dalam kapiler
glomerulus dan kapsula Bowman. Aktivasi ini dapat mengaktifkan sistem kinin,
yang juga menghasilkan faktor kemotaksis dan faktor mirip anafilatoksin.
Bertambahnya endapan fibrin, proliferasi sel–sel epitel dan adanya makrofag
merupakan penyebab terjadinya kerusakan glomerulus. Pada beberapa keadaan
dapat disertai eksudasi. Beberapa hari atau minggu kemudian bulan sabit diinvasi
jaringan ikat sehingga sel glomerulus mengalami nekrosis. Jaringan parut yang
terbentuk di glomerulus disebut sklerosis.8
2.7. Sindroma Nefrotik
2.7.1 Definisi
Sindroma nefrotik merupakan kelainan pada glomerulus yang menimbulkan
kumpulan gejala berupa proteinuria, edema, hiperkolesterolemia, dan
hipoalbuminemia. Sindroma nefrotik idiopatik adalah sindroma nefrotik yang
paling sering terjadi, mencapai 90 % kasus.1,2,3,4
Jenis ini pula yang dibahas pada
serial kasus ini.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
13
Universitas Indonesia
2.7.2 Epidemiologi
Rasio kejadian sindroma nefrotik untuk anak laki–laki dan wanita usia kurang
dari delapan tahun adalah 2:1 sampai 3:2. Paling sering terjadi pada usia dua
sampai enam tahun, dilaporkan usia termuda serangan pada usia enam bulan dan
banyak pula terjadi pada usia dewasa. Insiden sindroma nefrotik di Amerika
Serikat dan di Eropa sekitar 1–7 per 100.000 anak usia kurang dari 16 tahun. Di
Jakarta terdapat enam kasus dari 100.000 anak dibawah usia 14 tahun.1,4,8
2.7.3 Etiologi
Penyebab sindroma nefrotik secara pasti belum diketahui, kemungkinan dimediasi
olef faktor imunologi, hal ini diperkuat adanya keberhasilan pengendalian dengan
terapi imunosupresif.7,8
Menurut asalnya dibagi menjadi penyebab primer dan
sekunder. Dikatakan sindroma nefrotik primer oleh karena sindroma nefrotik ini
secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri, terkait faktor
glomerular intrinsik pada ginjal dan tidak disebabkan oleh faktor sistemik.
Dikenal dua macam sindroma nefrotik primer, yaitu sindroma nefrotik idiopatik
dan kongenital/hereditary nephropathies. Sindroma nefrotik sekunder disebabkan
oleh faktor dari luar ginjal/faktor ekstrinsik, terbanyak oleh karena Henoch-
Schönlein purpura (HSP), lupus eritematosus sistemik, Amyloidosis, diabetes
melitus. Penyebab sekunder yang jarang adalah sickle cell disease, sifilis, hepatitis
B dan C, human immunodeficiency virus (HIV), keganasan, malaria, dan obat–
obatan.1,2,3,4
Pengelompokan bentuk sindroma nefrotik secara histopatologi yaitu
adanya lesi minimal glomerulus/minimal change glomerulopathy (85%), sklerosis
lokal/focal segmental glomerulosclerosis (10%) dan proliferasi
mesangium/membranous nephropathy (5%). Sebagian besar sindroma nefrotik
diawali serangan glomerulonefritis, yang tersering adalah jenis glomerulonefritis
membranosa dan membranoproliferatif. Terdapat kemungkinan adanya serangan
awal atau kekambuhan pasca infeksi saluran pernafasan atas.1,4,7,8,14
Hereditary
nephropathies timbul pada tahun pertama kehidupan, terutama pada di tiga bulan
pertama.1
2.7.4 Patofisiologi
Dalam keadaan normal, filter glomerulus bersifat permeabilitas selektif. Molekul
yang lebih besar dari diameter pori–pori tidak akan terfiltrasi sama sekali, dan
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
14
Universitas Indonesia
molekul dengan diameter lebih kecil yang akan melewati. Molekul yang
diameternya lebih kecil dari diameter pori–pori akan mengikuti air melalui pori-
pori, sehingga konsentrasi dalam filtrat lebih rendah dari pada dalam plasma.
Permeabilitas tidak hanya ditentukan oleh ukuran, tetapi juga oleh muatan
molekul. Molekul bermuatan negatif lebih mudah melewati filtrasi glomerulus
dari pada molekul netral atau bermuatan positif.15
Pada sindroma nefrotik, integritas filter glomerulus terganggu,
permeabilitas protein bermuatan negatif meningkat, sehingga protein plasma dan
eritrosit dapat melewati filter glomerulus. Keadaan ini mengakibatkan proteinuria
dan hematuria. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya polisakarida dalam urin.
Polisakarida hampir tidak diserap kembali oleh tubulus. Contohnya dekstran,
suatu polisakarida bermuatan negatif, biasanya kurang baik disaring oleh
glomerulus. Pada keadaan glomerulus yang luka, permeabilitas selektif akan
hilang dan filtrasi bermuatan negatif sangat meningkat. Salah satu penyebabnya
adalah suatu proteoglikan bermuatan negatif, misalnya, enzim lisosom dari sel–
sel inflamasi yang membelah glikosaminoglikan. Tampak dengan elektroforesis,
albumin (bermuatan negatif) melintasi membran, bahkan glomerulus yang
permeabel terhadap sejumlah protein, kemudian diserap oleh tubulus proksimal.
Kapasitas transportasi terbatas, tidak mampu mengatasi beban berlebihan protein
yang difiltrasi oleh glomerulus yang rusak. Apabila reabsorbsi protein tubular juga
rusak, protein terutama yang kecil, yaitu terbanyak albumin, akan keluar melalui
urin (proteinuria tubular).15
Kehilangan protein melalui urin akan menyebabkan hipoproteinemia,
terutama albumin, sementara konsentrasi protein dengan ukuran molekul yang
lebih besar justru cenderung meningkat. Hal ini karena tekanan onkotik berkurang
dalam sistem vaskular menyebabkan peningkatan filtrasi cairan plasma perifer dan
konstituen darah lainnya. Filtrasi kapiler perifer difasilitasi oleh berkurangnya
tekanan onkotik, juga kerusakan dinding kapiler sehingga terjadi proses
inflamasi. Peningkatan filtrasi protein perifer menyebabkan konsentrasi protein
dan tekanan onkotik ruang interstitial akan meningkat, sehingga terjadi
peningkatan cairan yang berpindah ke ruang interstitial. Apabila hal ini tidak
terkendali maka akan terjadi edema.15
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
15
Universitas Indonesia
Keadaan proteinuria, hipoproteinemia, dan edema perifer terjadi
bersamaan. Kerusakan filter glomerulus juga menyebabkan lipoprotein tidak
tersaring dan terjadi lipiduria. Keadaan hipoproteinemia akan merangsang sintesis
lipoprotein di hati, sehingga terjadi hiperkolesterolemia. Berpindahnya cairan
intravaskular ke ruang interstitial akan menyebabkan hipovolemia. Keadaan ini
akan memicu rasa haus, serta pelepasan ADH melalui sistem renin–angiotensin–
aldosteron. Peningkatan asupan cairan dan peningkatan reabsorpsi natrium klorida
dan air di tubulus akan memperberat terjadinya edema. Aldosteron akan
meningkatkan ekskresi K+ dan H
+di ginjal, sehingga terjadi hipokalemia dan
memungkinkan terjadinya keadaan alkalosis.15
Gambar 2.3. merupakan gambaran
adanya gangguan pada permeabilitas glomerulus.
Gambar 2. 3 Gangguan permeabilitas glomerulus.
Sumber : daftar referensi no.15
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
16
Universitas Indonesia
2.7.5 Gambaran Klinis
Terdapat empat gambaran klinik yang spesifik pada sindroma nefrotik, yaitu
proteinuria masif (keluaran protein melalui urin lebih dari 40 mg/m2/jam, atau >
50 mg/kg BB/24 jam atau rasio albumin/kreatinin urin sewaktu ≥ 2 mg/mg),
hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 2,5 g/dL), hiperkolesterolemia
(kolesterol serum > 200 mg/dL), dan terdapatnya edema.1,2,3,4
Proteinuria masif
dimungkinkan adanya peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang
terjadi akibat hilangnya muatan negatif glikoprotein pada dinding kapiler
glomerulus.7,8
Protein yang terbawa urin terutama albumin, dapat lebih dari 2 g/24
jam, edema timbul apabila albumin serum kurang dari 2,5 g/dL.1,2,3,4
Penderita biasanya memeriksakaan diri karena keluhan bengkak yang
diawali di sekitar mata, bisa disertai keadaan asites, edema anasarka, sesak (dapat
akibat terjadinya efusi pleura ataupun adanya bronkhopneumonia), sakit perut
(kemungkinan peritonitis), infeksi saluran nafas atas, eksantema, dan atopi (30–
60 % kasus), hematuria (22 %), hipertensi (15–20 %), peningkatan ureum dan
kreatinin sementara (32 %).2,3,4,7,8
2.7.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pada Anamnesis sering ditemukan keluhan bengkak kedua kelopak
mata, perut, tungkai, bahkan seluruh tubuh, dapat disertai berkurangnya jumlah
urin. Keluhan lainnya dapat disertai adanya warna urin yang kemerahan. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai,
skrotum/labia atau asites, dan hipertensi. Pemeriksaan penunjang yang penting
yaitu pemeriksaan urinurinalisis, darah dan biopsi. Pada pemeriksaan urin
ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada
pemeriksaan darah ditemukan hipoalbuminemia (albumin serum kurang dari 2,5
g/dL), hiperkolesterolemia, meningkatnya laju endap darah, rasio
albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali
ada penurunan fungsi ginjal.16
Indikasi Biopsi ginjal apabila terdapat dua atau
lebih keadaan berikut ini, usia onset lebih dari sepuluh tahun, hematuria menetap
atau gross hematuria, hipertensi, terdapat insufisiensi ginjal, kadar C3 yang
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
17
Universitas Indonesia
rendah, dan keadaan proteiunuria menetap dalam terapi prednison selama empat
minggu.17
2.7.7 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat merupakan bagian dari penyakit itu sendiri ataupun
efek dari terapi. Komplikasi dari penyakitnya termasuk keadaan proteinuria
terutama albuminurianya, kejadian infeksi, tromboemboli, penyakit
kardiovaskular, krisis hipovolemik, anemia, gagal ginjal akut, gangguan
keseimbangan elektrolit, dan hormonal. Komplikasi jangka panjang dapat berupa
efek samping terapi dari kortikosteroid (obesitas, gangguan pertumbuhan,
hipertensi, osteoporosis, katarak, glaukoma, dan perubahan perilaku), suatu
Alkylating agents (depresi sumsum tulang, alopesia, mual, muntah, sistitis
hemoragik, infeksi, infertilitas, keganasan), siklosporin A (nefrotoksisitas,
neurotoksisitas, hiperplasia gingiva, hirsuitism, dan hipertensi), mycophenolate
mofetil (mual, muntah, depresi sumsum tulang), tacrolimus (diabetes, hipertensi,
tremor, tremor, sakit kepala, dan bersifat nefrotoksik), rituximab (bronkospasme,
infark miokard, progressive multifocal leukoencephalopathy, dan reaktivasi
virus).1,18
2.7.7.1 Proteinuria dan hipoalbuminemia
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan gejala utama terjadinya sindroma
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui dengan benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut akan menyebabkan albumin tertarik keluar
menembus sawar kapiler glomerulus, seperti diketahui albumin memiliki muatan
negatif. Albuminuria masif menyebabkan hati tidak dapat mengkompensasi
keadaan hipoalbuminemia, keadaan ini dianggap sebagai kegagalan hati dalam
mensintesis albumin. Keadaan ini diperberat oleh adanya pelepasan sitokin,
dimana sitokin akan menekan sintesis albumin di hati.13,14,17
Beberapa mekanisme yang menginduksi cedera ginjal dan menyebabkan
proteinuria antara lain terhalangnya tubulus ginjal oleh protein yang tercetak di
glomerulus, terlepasnya enzim lisosom ke dalam sitoplasma protein dan
direabsorbsi tubulus, besi yang tersaring di tubulus yang terikat langsung oleh
transferin, sifat sitotoksik atau mungkin terdapat efek tidak langsung dari sintesis
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
18
Universitas Indonesia
besi yang mengkatalisasi metabolit oksigen reaktif, aktivasi komplemen kaskade
alternatif oleh tubulus proksimal, iskemia akibat cedera sehingga menyebabkan
vasokonstriksi molekul, faktor dari fibrosis ginjal sehingga dapat menyebabkan
fibrosis interstitial, filtrasi lipoprotein dan absorbsinya oleh tubulus proksimal
sehingga mengaktifkan jalur inflamasi yang akhirnya menyebabkan cedera sel,
filtrasi sitokin sehingga dapat menimbulkan proliferasi, infiltrasi sel inflamasi, dan
aktivasi infiltrasi sel, serta adanya filtrasi / generasi antigen baru yang dapat
berfungsi sebagai antigen–presenting sel dan menimbulkan respon imun seluler.19
2.7.7.2 Edema
Proteinuria/albuminuria akan menyebabkan turunnya kadar albumin serum.
Rendahnya kadar albumin serum menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma,
sehingga terjadi ekstravasasi cairan plasma menembus dinding kapiler dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial, dan terjadilah edema. Edema dapat terlihat pada
wajah, ektermitas atas, ektermitas bawah, organ genetalia, asites, bahkan edema
yang menyeluruh (edema anasarka). Penurunan volume plasma menstimulasi
retensi air dan natrium di ginjal. Retensi natrium dan air ini merupakan
kompensasi tubuh untuk mempertahankan volume dan tekanan intravaskular tetap
normal.14,17
Suatu teori menyatakan bahwa berkurangnya volume intravaskular
akan merangsang sekresi renin dan memicu aktifitas renin–angiotensin–
aldosteron sehingga terjadi retensi natrium dan air, kemudian produksi urin
menjadi berkurang dan lebih pekat. 17,18,19
Pendapat ini dikenal dengan teori
underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin dan
aldosteron plasma merupakan akibat sekunder dari hipovolemianya. Pada
kenyataannya beberapa penderita sindroma nefrotik justru memperlihatkan
peningkatan volume plasma serta penurunan aktivitas renin dan kadar aldosteron
plasma. Teori ini disebut teori overfill, dimana menyatakan bahwa retensi natrium
dan air terjadi karena mekanisme intra renal primer dan tidak tergantung oleh
stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi
volume plasma dan cairan ekstra seluler. Pembentukan edema terjadi sebagai
akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat
menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan
aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.20
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
19
Universitas Indonesia
2.7.7.3 Hiperkolesterolemia
Terdapat berbagai pendapat mengenai terjadinya hiperkolesterolemia, antara lain
adanya penurunan tekanan onkotik plasma akan disertai penurunan aktivitas
degradasi lemak akibat hilangnya suatu glikoprotein perangsang lipase. Pada
kenyataannya pula apabila kadar albumin serum kembali normal, maka biasanya
kadar lipid plasma juga akan kembali normal.4,14,18,19
2.7.7.4 Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal pada sindroma nefrotik merupakan gagal ginjal yang disebabkan
intra renal, gambaran gagal ginjal terlihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2. 4 Gagal ginjal akut
Sumber : daftar referensi no.15
2.7.7.5 Hipovolemia dan Gangguam keseimbangan Elektrolit
Penderita sindroma nefrotik dikaitkan dengan edema dan retensi natrium, tetapi
ternyata pada beberapa kasus konsentrasi natrium serum cukup rendah. Kondisi
ini dikenal sebagai pseudohiponatremia.18,19
Terdapatnya edema pada pasien sindroma nefrotik biasanya diterapi
dengan diuretik. Dampak pemberian diuretik antara lain hipovolemia, penderita
dalam keadaan oliguria, hipotensi, takikardi, dan akral dingin. Pada pemeriksaan
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
20
Universitas Indonesia
laboratorium didapatkan kadar natrium urin dibawah 10 mmol/L, peningkatan
hematokrit, ureum, kreatinin dan asam urat. Tanda hipovolemia lainnya apabila
rasio kadar kalium urin terhadap jumlah kalium dan natrium urin lebih dari 60
%.4,18,19
2.7.7.6 Trombosis
Hiperkoagulasi, peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, penurunan kadar
antitrombin III, serta penurunan aktifitas protein S dan C akan mempermudah
terjadinya trombosis. Trombosis diperberat oleh keadaan dehidrasi.4,19,20
2.7.7.7 Infeksi
Kehilangan imunoglobulin, komplemen faktor B dan D melalui urin dapat
mengakibatkan gangguan imunitas dan peningkatan risiko infeksi. Keadaan ini
diperberat oleh penggunaan obat–obatan imunosupresif.4 Komplikasi infeksi yang
terjadi terutama akibat streptococcus pneumoniae, meskipun bakteri gram negatif
juga sering ditemukan. Penderita dengan terapi sitotoksik lebih rentan mengalami
infeksi dibandingkan yang mendapatkan terapi steroid. Keadaan sepsis merupakan
penyebab utama kematian akibat infeksi.4,18,19
2.7.7.8 Hipokalsemia
Hilangnya globulin vitamin D–binding dapat mengakibatkan kekurangan vitamin
D, hipokalsemia, osteomalasia, dan hiperparatiroidisme sekunder. Osteoporosis
dan osteopenia dapat disebabkan pula oleh penggunaan steroid jangka
panjang.4,14,18,19
Meskipun total kalsium serum sering rendah, tetapi tingkat kalsium
terionisasi biasanya normal. Rendahnya kalsium serum disebabkan rendahnya
ikatan protein dengan kalsium. Meskipun demikian, suatu laporan menyebutkan
bahwa sebagian besar anak dengan sindroma nefrotik tidak menunjukkan
defisiensi kepadatan mineral tulang yang signifikan.19
2.7.7.9 Hipertensi
Hipertensi pada sindroma nefrotik dapat terjadi akibat adanya gangguan perfusi di
ginjal, sehingga disebut hipertensi renalis.15
Gambaran hipertensi renalis terlihat
pada Gambar 2.5.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
21
Universitas Indonesia
.
Gambar 2. 5. Patofisiologi hipertensi renal Sumber : daftar referensi no.15
Tekanan darah normal untuk anak–anak adalah baik sistole maupun
diastole berada di bawah persentile 90 menurut jenis kelamin, umur dan TB,
disebut pra hipertensi apabila sistole atau diastole berada pada persentile 90-95,
sedangkan terjadi hipertensi apabila sistole atau diastole berada di atas persentile
95, dikatakan hipertensi grade I apabila sistole atau diastole berada di atas
persentile 95-99 persentile + 5 mmHg, dikatakan hipertensi grade II apabila
sistole atau diastole di atas persentile 99 + 5 mmHg, serta terjadi krisis hipertensi
apabila sistole atau diastole di atas 50% tekanan darah normal sesuai
persentile.21,22
2.7.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada sindroma nefrotik meliputi urin rutin, protein urin
kuantitatif, darah tepi, kadar albumin, kadar kolesterol, kadar ureum dan kreatinin,
titer ASTO, kadar komplemen C3, serta biopsi ginjal. Mengingat sebagian besar
kasus sindroma nefrotik memberikan gambaran lesi minimal maka biopsi tidak
selalu diperlukan. Lesi minimal glomerulus secara histologi masih dianggap
normal. Biopsi ginjal menjadi indikasi apabila onset kurang dari satu tahun atau
lebih dari 16 tahun, hematuria mikroskopik atau makroskopik persisten dengan
kadar C3 rendah, hipertensi atau gangguan fungsi ginjal menetap, resisten
terhadap steroid, serta apabila timbul gejala–gejala ekstra renal seperti
limfadenopati, arthritis, dan sebagainya).4
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
22
Universitas Indonesia
2.7.9 Perubahan metabolisme nutrien pada sindroma nefrotik
Perubahan metabolisme nutrien pada sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh
penyakitnya sendiri ataupun akibat komplikasi terapi. Perubahan pada
metabolisme karbohidrat masih sulit ditemukan dan belum banyak diteliti.
Sebagian besar kasus sindroma nefrotik anak tanpa disertai uremia, sedangkan
uremia pada sindroma nefrotik biasanya terjadi akibat hipovolemia, dimana dapat
terjadi pada keadaan albuminemia yang sangat rendah disertai edema yang berat,
ataupun dalam terapi diuretik yang tidak terkontrol dengan baik.3,4,18
Suatu studi
untuk menyelidiki adanya resistensi insulin, diagnosis patologi dan efektifitas
terapi awal glukokortikoid dosis tinggi pada anak sindroma nefrotik idiopatik
dengan fungsi ginjal normal, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya
resistensi insulin pada kasus ini. Tidak terdapat gangguan metabolisme
karbohidrat meskipun dalam terapi hormon dengan beda dosis dan beda kondisi
patologisnya. Meskipun demikian terdapat peningkatan yang bermakna pada
tekanan darah, kadar asam urat, kadar lemak darah dan koagulabilitas pada
kelompok ini. Kadar peptida C serum puasa juga terjadi peningkatan. Hal ini
menunjukkan bahwa peptida C serum puasa mungkin sebagai faktor protektif.23
Sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
kadar glukosa darah, insulin, perubahan bersihan kreatinin dan proteinuria pada
pasien glomerulonefritis primer dengan fungsi ginjal normal. Yaitu dengan
intervensi 75 g glukosa oral kemudian kurva insulin dan glukosa dievaluasi. Hasil
penelitian ini menyatakan tidak terdapat korelasi antara insulin dan glukosa darah
dengan perubahan bersihan kreatinin.24
Dislipidemia adalah gangguan metabolisme lipoprotein, termasuk
kelebihan atau kekurangan. Gangguan ini dapat dimanifestasikan oleh
peningkatan kolesterol total serum, low-density lipoprotein (LDL), trigliserida,
dan penurunan high-density lipoprotein (HDL). Sindroma nefrotik merupakan
satu diantara banyak penyebab sekunder terjadinya dislipidemia.25
Dislipidemia pada sindroma nefrotik ditandai oleh adanya peningkatan
kadar kolesterol plasma, LDL, trigliserida dan lipoprotein a, sedangkan kadar
HDL biasanya normal atau berkurang, mekanisme tersebut belum jelas.
Konsentrasi apolipoprotein plasma pada sindroma nefrotik umumnya
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
23
Universitas Indonesia
mencerminkan perubahan dalam metabolisme lipoprotein. Dengan demikian,
terdapat peningkatan kadar apo B, C–II, dan E, yang berhubungan dengan VLDL
dan LDL, di sisi lain, kadar apolipoprotein utama yang terkait dengan HDL, apo
AI dan A–II, biasanya normal.26
Sebagian besar pasien dengan sindroma nefrotik memiliki kadar LDL di
sirkulasi yang tinggi, sedangkan kadar VLDL juga dapat mengalami peningkatan.
Kadar HDL dapat tetap normal di sirkulasi, tetapi terdapat penurunan kadar
subfraksi HDL2 dan peningkatan kadar HDL3 akibat menurunnya aktivitas lecitin
cholesterol acyltransferase (LCAT). Perubahan subfraksi HDL disertai dengan
meningkatnya rasio LDL–HDL, dan peningkatan kadar lipopratein (a) dapat
meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis pada pasien sindroma nefrotik.
Abnormalitas apoprotein pada pasien sindroma nefrotik merefleksikan perubahan
yang terjadi pada kadar lipoprotein, dimana kadar ApoB yang merupakan
apopratein utama pada LDL mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan
dengan apoprotein lainnya.27
Mekanisme terjadinya peningkatkan profil lipid pada pasien dengan
sindroma nefrotik adalah akibat meningkatnya sintesis ApoB dihati yang
dicetuskan oleh penurunan tekanan onkotik plasma dan bukan oleh keadaan
hipoalbuminemia. Hal ini dibuktikan pada studi in vitro yang memperlihatkan
hubungan antara tekanan onkotik rendah menstimulasi meningkatnya aktivitas
transkripsi gen yang mengkode sintesis Apo B.27
Gangguan metabolisme merupakan penyebab utama terjadinya
hipertrigliseridemia pada pasien dengan sindroma nefrotik. Pada kaskade
delipidasi dimana VLDL dirubah menjadi IDL dan kemudian LDL, mengalami
perlambatan disertai juga dengan reduksi reseptor LDL yang memediasi klirens
dari LDL dan IDL. Keadaan ini berhubungan dengan klirens albumin di ginjal.
Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya kehilangan melalui urin untuk regulator
metabolisme lipid tersebut.27
Dislipidemia disebabkan oleh adanya peningkatan sintesis lemak dan
apolipoprotein di hati, disertai bersihan kilomikron dan VLDL yang menurun.
Keadan ini berkontribusi terhadap peningkatan lipogenesis dan penurunan
katabolisme lemak. Kemungkinan akibat dari proteinuria, hipoalbuminemia dan
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
24
Universitas Indonesia
rendahnya tekanan onkotik serum masih menjadi kontroversi. Tingginya kadar
lemak plasma dapat meningkatkan risiko aterosklerosis dan sklerosis di
glomerulus, meskipun belum ada bukti terjadinya komplikasi tersebut.
Kemungkinan keadaan tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang pada pasien
sindroma nefrotik.28
Tingginya kadar kolesterol biasanya menggambarkan adanya sensitivitas
terhadap terapi steroid. Kadar kolesterol pasien sindroma nefrotik responsif
steroid sering ditemukan sangat tinggi, dapat mencapai 500 mg / dL atau lebih,
tetapi biasanya akan membaik setelah mendapatkan terapi, sedangkan pada yang
resisten steroid, umumnya menetap, sehingga berisiko terjadinya aterosklerosis
pada usia yang relatif muda. 19
Keadaan proteinuria, hipoalbuminemia, dan edema perifer terjadi
bersamaan. Kerusakan filter glomerulus juga menyebabkan lipoprotein tidak
tersaring dan terjadi lipiduria. Keadaan hipoproteinemia akan merangsang sintesis
lipoprotein di hati, sehingga terjadi hiperkolesterolemia. Pendapat yang
menyatakan bahwa keadaan tersebut diperberat oleh hilangnya lipoprotein lipase
di glomerulus masih menjadi perdebatan.15
Regulasi protein di ginjal sangat komplek, melibatkan permeabilitas filter
glomerulus terhadap protein dan metabolisme tubular terhadap protein yang
difiltrasi. Filtrasi glomerulus normal akan menghasilkan sekitar 180 L cairan ultra
filtrasi per hari. Kandungan protein sebelum memasuki glomerulus berkisar
11.000–14.000 g/hari. Ekskresi protein urin normal sebesar 40–80 mg/hari.
Protein ini merupakan campuran protein yang terfiltrasi oleh glomerulus maupun
protein non plasma dari tubulus dan saluran kencing bagian bawah. Penyebab
meningkatnya ekskresi protein melalui urin/proteinuria hampir selalu oleh faktor
intrinsik di ginjal. Proteinuria melebihi 3 g/hari akan berdampak klinis berupa
hipoalbuminemia dengan berbagai komplikasi klinis lainnya, serta terjadi
penurunan tekanan onkotik plasma dengan segala dampak yang menyertai pula.
Keadaan hipoalbuminemia akan merangsang hati untuk meningkatkan sintesisnya.
Sintesis protein pada sindroma nefrotik meningkat 3–4 kali lipat dari normal,
meskipun demikian tidak dapat mengkompensasi keadaan hipoalbuminemia yang
terjadi.3,4,15,19
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
25
Universitas Indonesia
Seperti dijelaskan di atas, terdapatnya proteinuria dapat berasal dari
glomerulus maupun tubulus, hal ini dapat menyebabkan berbagai efek buruk pada
sel tubulus. Protein plasma yang tidak terfiltrasi di glomerulus kemungkinan
akibat cedera glomerulus dan akan menginduksi cedera di intra tubular. Sebuah
penelitian untuk melihat pengaruh asidosis metabolik pada intratubular
komplementer telah dilakukan dengan pengukuran complement activation
products (CAP) dan membrane attack complex plasma dan urin. Subyek
penelitian adalah pasien sindroma nefrotik lesi minimal, fokus glomerular
sklerosis, nefropati IgA, membranefropati dan nefropati diabetes. Air kemih
diukur sebelum dan sesudah pemberian natrium bikarbonat. Hasil penelitian ini
adalah tidak terdapatnya korelasi yang bermakna antara CAP urin dengan plasma.
Pada pasien sindroma nefrotik lesi minimal, ekskresi CAP urin meningkat
bermakna dan berkorelasi bermakna dengan kadar kreatinin serum. Derajat
ekskresi CAP secara signifikan menurun setelah dua minggu intervensi natrium
bikarbonat, tanpa mempengaruhi tingkat proteinuria ataupun CAP plasma. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat aktivasi komplemen intratubular berkorelasi dengan
tingkat proteinuria, jenis penyakit glomerulus, gangguan fungsi ginjal, dan
asidosis metabolik.29
Gangguan metabolisme mineral dapat merupakan komplikasi metabolik
pada sindroma nefrotik, antara lain hipokalsemia, yang dapat menyebabkan tetani,
gangguan pembentukkan tulang, dan penyakit tulang. Akibat proteinuria maka
terjadi hipoalbuminemia dan edema. Padahal setengah dari jumlah kalsium total
serum berikatan dengan protein terutama albumin. Peran kalsium dalam tubuh
untuk mineralisasi tulang, mempertahankan tonus normal, stimulasi sekresi
kelenjar eksokrin, menjaga integritas dan permeabilitas membran, serta berperan
dalam koagulasi darah, konduksi neuromuskular, kekuatan otot rangka dan
jantung. Penurunan kadar kalsium ekstrasel kurang dari normal akan
menimbulkan efek eksitasi sel saraf dan otot, berupa spasme ekstensif otot
rangka, terutama otot ekstremitas dan laring, sehingga terjadi kejang.
Bagaimanapun, penelitian tentang kadar kalsium pada anak sindroma nefrotik
masih jarang, dan hasilnya pun masih menimbulkan berbagai kontroversi.30,31
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
26
Universitas Indonesia
Penyebab gangguan metabolisme mineral yang lain adalah adanya efek
samping terapi kortikosteroid. Keadaan ini dapat menyebabkan turunnya
kepadatan mineral tulang/bone mineral density/BMD. Sebuah penelitian dengan
metode kohort retrospektif pada anak usia 5–18 tahun, yang bertujuan
membandingkan BMD anak sehat dan anak dengan sindroma nefrotik, dan juga
untuk menilai efek pengobatan kortikosteroid terhadap BMD, disimpulkan bahwa
pasien sindroma nefrotik memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya penurunan
BMD dibandingkan anak sehat. Terdapatnya respon terhadap pengobatan steroid
juga memperburuk BMD.32
2.7.10 Terapi Farmakologi
Terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan terapi steroid:
Remisi Proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4
mg/m2 LPB/jam) selama tiga hari berturut–turut
dalam satu minggu
Relaps Proteinuria ≥ 2 (+)/proteinuria > 40 mg/m2LPB/jam
selama tiga hari berturut–turut dalam
satu minggu, dimana sebelumnya pernah remisi
Relaps jarang Relaps terjadi kurang dari dua kali dalam enam
bulan pertama setelah respon awal atau kurang dari
empat kali pertahun pengamatan
Relaps sering / frequent relaps
Relap terjadi lebih dari dua kali dalam enam bulan
pertama setelah respon awal, atau lebih dari empat
kali dalam satu tahun
Sensitif steroid Remisi tercapai dalam empat minggu atau kurang
setelah pengobatan steroid dosis penuh (full dose)
Dependen steroid Relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan,
atau dalam waktu 14 hari setelah pengobatan steroid
dihentikan, dan terjadi keadaan seperti ini dua kali
bertutur–turut
Resisten steroid Tidak terjadi remisi setelah empat minggu
pengobatan steroid dosis penuh/ (full dose)
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
27
Universitas Indonesia
Responder lambat Remisi terjadi setelah empat minggu terapi
prednison 60 mg/kgBB/hari tanpa tambahan terapi
lain
Non responder awal Resisten steroid sejak terapi awal
Non responder lambat Resisten steroid terjadi pada pasien yang
sebelumnya sensitif steroid.1,3,4,19
2.7.10.1 Pengobatan keadaan sembab
Pada keadaan sembab nyata tanpa deplesi volume intravaskular diberikan terapi
furosemid 1–3 mg/kgBB/hari, dua kali sehari. Apabila tidak ada respon maka
dosis dinaikkan 4–6 mg/kgBB/hari dengan ditambah spironolakton 2–3
mg/kgBB/hari. Apabila masih gagal maka ditambahkan thiazid. Apabila
pemberian diuretik tidak berhasil pada penderita dengan kadar albumin serum
dibawah 1,5 g/dL disertai deplesi volume intravaskular maka terapi infus albumin
20–25 % dengan dosis 1–2 g/kgBB diberikan dalam waktu empat jam, disertai
pemberian furosemid 1–2 mg/kgBB. Apabila pemberian albumin terkendala biaya
atau faktor lain maka dapat diberikan tranfusi plasma 20 mL/kgBB/hari dengan
tetesan 10 tetes/menit.4
2.7.10.2 Pengobatan Inisial
Sesuai anjuran International Study on Kidney Disease in Children (ISKDC),
pengobatan inisial prednison dosis penuh selama empat minggu, dengan dosis
penuh/full dose sebesar 2 mg/kgBB/hari atau 60 mg/m2 LPB/hari (maksimal 80
mg/hari) terbagi dalam tiga dosis. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (BB/PB). Terapi lanjutan dengan prednison 40 mg/m2/LPB/hari
diberikan secara intermitent (tiga hari berturut– turut dalam satu minggu atau
alternating (selang seling tiga kali seminggu dalam empat minggu). Apabila
remisi terjadi dalam empat minggu pertama maka prednison intermitent/
alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama empat minggu. Apabila tidak terjadi remisi
dalam empat minggu pertama maka didiagnosis sindroma nefrotik resisten steroid.
Apabila terjadi remisi dalam empat minggu pertama maka prednison dilanjutkan
sampai empat minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2/LPB/hari.4
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
28
Universitas Indonesia
2.7.10.3 Pengobatan Relaps
Pengobatan keadaan relaps dengan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal empat minggu), kemudian dilanjutkan dengan prednison intermitent
(dalam dosis tunggal atau terbagi) atau alternating (dalam dosis tunggal saat pagi
hari) 40 mg/m2 LPB/hari selama empat minggu. Apabila masih tidak terjadi
remisi maka pasien didiagnosis sindroma nefrotik resisten steroid dan harus
mendapatkan terapi immunosupresif yang lain.4
2.7.10.4 Pengobatan sindroma nefrotik dependen steroid/relaps sering
Faktor risiko terjadinya relaps adalah onset penyakit pada umur kurang dari tiga
tahun, relaps terjadi pada enam bulan pertama, dan remisi lambat pada episode
awal. Pada penderita sindroma nefrotik relaps sering dan pada dependen steroid,
terdapat empat pilihan terapi yaitu dengan pemberian steroid jangka panjang,
pemberian levamisol, pengobatan dengan sitostatika, atau dengan siklosporin.
Pemberian steroid jangka panjang dapat menjadi pilihan sebelum pemberian
siklofosfamid (CPA), hal ini mengingat efek samping steroid yang lebih ringan.4
2.7.10.5 Pengobatan sindroma nefrotik resisten steroid
Sebelum penatalaksanaan sindroma nefrotik resisten steroid sebaiknya dilakukan
biopsi ginjal. Tujuan dilakukannya biopsi ginjal adalah untuk melihat gambaran
patologi anatomi ginjal. Hal ini dengan pertimbangan untuk pemilihan terapi,
dikarenakan terdapat obat tertentu yang memberikan hasil lebih baik pada suatu
patologi anatomi tertentu.4
2.7.10.6 Terapi non imunosupresif
Pengobatan non imunosupresif antara lain dengan pemberian diuretik untuk
mengatasi edemanya, dan pemberian inhibitor angiotensin converting enzyme
(ACE). Pemberian ACE bertujuan untuk memperbaiki tekanan darah yang
biasanya meningkat, di sisi lain juga dapat memperbaiki keadaan proteinuria yang
terjadi. Inhibitor ACE yang digunakan adalah dengan captopril 0,3 mg/kgBB/hari,
terbagi dalam tiga dosis, atau enalapril 0,5 mg/kgBB/hari terbagi dalam dua
dosis. Inhibitor ACE bersifat renoprotektif, dapat dikombinasikan dengan
angiotensin receptor blocker (ARB), seperti losartan dalam dosis tunggal 0,75
mg/kgBB/hari.4
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
29
Universitas Indonesia
2.7.11 Terapi Nutrisi
Anak pada keadaan sakit memiliki kondisi stres metabolik yang berbeda dengan
keadaan anak sehat, sehingga kebutuhan nutrisinyapun menjadi berbeda pula
tergantung berat ringannya stres metabolik yang ada. Pada keadaan stres
metabolik, pemberian nutrisi yang berlebihan akan menimbulkan berbagai
komplikasi, sehingga diperlukan asupan nutrisi yang optimal agar tercukupi
kebutuhan dan mempercepat proses penyembuhan. Kebutuhan nutrisi harus
diperhitungkan sesuai kebutuhan per individu. Oleh sebab itu perlu diketahui
status nutrisi pasien sebelum memberikan terapi nutrisi. Analisis asupan pun perlu
dilakukan, yaitu asupan sebelum sakit dan selama sakit, yang akan membantu
dalam menilai kecukupan asupan pasien dan perencanaan terapi nutrisi
selanjutnya.33
Nutritional assessment pada anak merupakan parameter untuk
mengevaluasi status kesehatan dan pertumbuhan anak, ada tidaknya faktor risiko
yang berkontribusi terhadap penyakit yang diderita, serta sebagai deteksi dini dan
penatalaksanaan adanya defisiensi maupun kelebihan nutrisi. Parameter tersebut
berupa pengukuran antropometri, parameter biokimia, penilaian klinik dan
analisis asupan. Tidak ada parameter terlengkap maupun terbaik dalam
mengevaluasi status nutrisi, jadi yang terbaik adalah kombinasi dari keempat
parameter tersebut.34
Adapun pemeriksaan antropometri yang dilakukan untuk
pasien anak meliputi pengukuran berat badan (BB), panjang badan (PB),
pengukuran tebal lipatan kulit triceps (triceps skinfold thicknes), lingkar lengan
atas (LLA) dan lingkar kepala, penilaian berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB), dan indek masa tubuh (IMT). Lingkar lengan atas dapat
menggambarkan kadar lemak tubuh, penanda cadangan energi dan protein,
sedangkan tebal lipatan kulit triceps menggambarkan keadaan lemak subkutan
dan merupakan gambaran lemak tubuh. Pengukuran lingkar kepala dapat
menggambarkan status nutrisi pasien sampai usia tiga tahun dan tidak dapat
digunakan untuk keadaan makrosepali, mikrosefali dan hidrosefalus.33
Parameter status nutrisi dengan antropometri menggunakan alat bantu
grafik dan tabel dari World Health Organization (WHO) dan Centre for Disease
Control (CDC). Grafik WHO untuk BB menurut TB hanya tersedia sampai usia
lima tahun, sedangkan grafik CDC tersedia sampai usia 20 tahun. Penggunaan
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
30
Universitas Indonesia
kedua grafik tersebut sesuai usia dan jenis kelamin. Ukuran perkembangan anak
digambarkan ke dalam grafik pertumbuhan/growth chart. Persentil pasien
dibandingkan dengan populasi acuan, misalnya seorang pasien berada pada
persentil 10 untuk BB menurut umur, berarti pasien tersebut memiliki BB sama
dengan 10 % populasi acuan untuk umur dan jenis kelamin yang sama.33,34
Masalah nutrisi pada keadaan sakit berhubungan dengan adanya gangguan
pencernaan, metabolisme, dan ekskresi nutrisi pada berbagai penyakit. Kebutuhan
nutrisi setiap pasien bersifat individual, sehingga berbeda dengan kecukupan
nutrisi harian yang direkomendasikan/recomended dietary allowance/RDA.
Tujuan pemberian nutrisi pasien yaitu untuk memenuhi kebutuhan rumatan,
sebagai tambahan akibat adanya ekskresi nutrisi, sebagai tambahan untuk
penyembuhan dan untuk mengganti nutrisi akibat suatu defisiensi atau deplesi.33
Status nutrisi pada anak akan mempengaruhi tumbuh kembangnya,
sehingga diharapkan tidak terjadi gagal tumbuh. Gagal tumbuh/ Failure to Thrive
(FTT) merupakan keadaan pertumbuhan anak yang tidak sesuai kurva
pertumbuhan normal. Dinyatakan gagal tumbuh apabila berat badan menurut
umur berada di bawah persentil tiga dari nilai pertumbuhan standar rata–rata
sesuai umur dan jenis kelamin, atau BB telah memotong lebih dari dua garis
persentil kurva pertumbuhan. Failure to Thrive menggambarkan suatu keadaan,
bukan suatu diagnosis.35,36
Tatalaksana nutrisi ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi,
mempercepat penyembuhan dan menekan progresifitas penyakit, sehingga
diharapkan tumbuh kembang pasien tidak terganggu ataupun dapat tumbuh kejar
sesuai usianya, menekan komplikasi dan meminimalisir kekambuhan.3,4
2.7.11.1 Kebutuhan Energi dan Komposisi Makronutrien
Diagnosis status nutrisi diperlukan untuk menentukan kebutuhan zat gizi, terdapat
beberapa rumus dalam menghitung kebutuhan gizi anak. Kebutuhan energi pada
keadaan sakit dipengaruhi oleh status gizi, usia, jenis kelamin, penyakit yang
diderita atau yang mendasari, besarnya asupan dan keluaran energi. Beberapa
komponen yang diperhitungkan antara lain basal metabolic rate (BMR) atau
kebutuhan energi basal/KEB, faktor stres dan faktor aktifitas. Basal metabolic
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
31
Universitas Indonesia
rate akan mengalami peningkatan pada keadaan demam, infeksi, keganasan,
maupun penyakit kronik.
Penghitungan BMR pada pasien sindroma nefrotik dilakukan dengan
menggunakan kalorimetri indirek, dan apabila alat tersebut tidak tersedia maka
dapat dilkukan dengan berbagai rumus seperti Harris–Benedict, WHO, Schofield
(W), ataupun Schofield (WH). Rumus Schofield (WH) mempertimbangkan jenis
kelamin, TB dan BB aktual, rumus ini lebih sering digunakan karena dinyatakan
paling akurat dalam menentukan BMR.
Tabel 2. 2 Rumus Schofield (WH)
Usia Laki–laki Perempuan
0–3 tahun (0,167xBB)+(1517,4xTB)–617,6 (16,25xBB)+(1023,2xTB)–413,5
3–10 tahun (19,6xBB)+(130,3xTB)+414,9 (16,97xBB)+(161,8xTB)+371,2
Sumber : daftar referensi no 37
Kebutuhan energi total diperoleh dari BMR dikalikan faktor aktifitas dan
faktor stres. Faktor aktifitas untuk keadaan tirah baring adalah 1, sedangkan untuk
keadaan ambulatory sebesar 1,2–1,3. Faktor stres untuk kondisi infeksi berkisar
antara 1,2–1,6.33,37
Diet tinggi protein pada sindroma nefrotik merupakan suatu kontra
indikasi, karena meskipun diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis
albumin, tetapi juga meningkatkan albuminuria dan proteinuria, dimana hal ini
akan meningkatkan beban filtrasi glomerulus dan mempercepat terjadinya
sklerosis glomerulus tanpa menghasilkan kenaikan albumin serum ataupun
protein otot. Penatalaksanaan lanjutan dengan diet tinggi protein memiliki
konsekuensi dalam mempercepat progresifitas penyakit ginjal, sedangkan
pemberian diet rendah protein dapat berisiko terjadi keseimbangan nitrogen
negatif, penurunan berat badan, malnutrisi dan gangguan pertumbuhan. Maka,
penghitungan kebutuhan protein total diawali dengan menentukan kebutuhan
protein sesuai RDA dan menentukan BB ideal. Kebutuhan protein sesuai RDA
adalah RDA untuk umur TB, yaitu umur dimana TB saat pemeriksaan berada
pada persentil 50. Berat badan ideal adalah BB pada persentil 50 BB menurut TB
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
32
Universitas Indonesia
saat pemeriksaan. Berat badan ideal tersebut kemudian dikalikan dengan faktor
aktifitas dan faktor stress.3,4,33,38
Pemberian lemak yang disarankan tidak lebih dari 28%, dengan komposisi
SAFA 8 %, PUFA 8% dan MUFA 12 %.3,4
. Selain itu sehubungan keadaan
dislipidemia pada sindroma nefrotik, dianjurkan untuk menghindari asupan asam
lemak trans dan asupan kolesterol <300 mg/hari. Hal ini sesuai rekomendasi
National Cholesterol Education Program guidelines (NCEP) dan American
Heart Association (AHA). Berdasarkan data epidemiologi, klinis, dan studi
laboratorium, tampak bahwa proses penyakit aterosklerosis–kardiovaskular
dimulai pada masa anak–anak dan dipengaruhi dari waktu ke waktu oleh interaksi
genetik dan berbagai faktor risiko yang dimodifikasi oleh paparan lingkungan.
Selain rekomendasi diet di atas, NCEP dan AHA menekankan pendekatan
individual yang berisiko tinggi dan berbasis populasi sebagai sarana utama untuk
pencegahan primer, modifikasi gaya hidup yang meliputi pola asupan makan dan
aktivitas fisik dalam pencegahan dislipidemia, serta faktor risiko lain dalam
terjadinya penyakit cardiovascular disease (CVD). Pada anak usia 2 tahun atau
lebih ditekankan asupan kalori dan nutrisi tetap optimal untuk proses tumbuh
kembang.39
Tabel 2. 3 Batasan kadar kolesterol untuk anak usia 2–19 tahun pada
Kadar Total kolesterol
(mg/dL)
LDL-C (mg/dL
Normal <170 <110
Borderline 170–199 110–129
Tinggi ≥200 ≥130
Sumber : daftar referensi no 39
Terdapat beberapa studi klinis yang menilai dampak kuantitatif perubahan
pola makan dengan profil lipid, asupan kolesterol dalam diet akan meningkatkan
level LDL–C , dimana setiap asupan kolesterol 100 mg / hari akan meningkatkan
kolesterol total serum sebanyak 2–3 mg / dL, hal ini setara dengan 70% fraksi
LDL.39
2.7.11.2 Kebutuhan mikronutrien dan antioksidan
Anjuran pemberian mikronutrien adalah sesuai RDA, berupa niasin, vitamin B1,
vitamin B2, vitamin D, kalsium, zink, cuprum, vitamin K, dan zat besi,
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
33
Universitas Indonesia
suplementasi diberikan apabila terjadi defisiensi, dan hal ini tentu memerlukan
bukti klinis. Penelitian tentang defisiensi mikronutrien pada sindroma nefrotik
masih sulit ditemukan.40
Penderita sindroma nefrotik idiopatik rata–rata tidak
memiliki perubahan selera makan. Penurunan selera makan biasanya akibat
adanya beberapa komplikasi seperti asites permagna, efusi pleura ataupun
bronkhopneumonia.3,4,18
Pada terapi kortikosteroid jangka panjang (lebih dari satu tahun), dapat
terjadi hipokalsemia, sehingga menyebabkan terjadinya osteoporosis dan
osteopenia. Hipokalsemia pada sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh adanya
efek samping terapi kortikosteroid maupun akibat hilangnya vitamin D terikat
protein melalui urin, sehingga turunnya status vitamin D akan memperburuk
absorbsi kalsium di usus dan turunnya konsentrasi ion kalsium. Hal ini dapat
menyebabkan gejala hiperparatiroidisme sekunder.3,4,30,31
Untuk itu disarankan
suplementasi cholecalciferol (vitamin D3) 400 IU dengan 800 mg kalsium
perhari.3
2.7.11.3 Nutrien Spesifik
Asam lemak omega tiga, yaitu asam α-linolenat (ALA), asam eicosapentaenoic
(EPA), dan asam docosahexaenoic (DHA) selain diperlukan untuk mencapai
kecukupan gizi juga sebagai anti inflamasi dan untuk pencegahan penyakit
jantung. Pada orang dewasa, rekomendasi asupan ALA dalam mencegah
defisiensi adalah 0,6–1,2%, dianjurkan dari bahan makanan sumber seperti biji
dan minyak biji rami, kenari dan minyak kenari, serta minyak canola.
Eicosapentaenoic dan DHA yang direkomendasikan dari diet untuk mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular adalah 500 mg, sedangkan untuk pengobatan
penyakit jantung dianjurkan 1 g/hari. Sebuah strategi diet untuk mencapai 500
mg/hari adalah dengan mengkonsumsi ikan 2 kali per minggu (terutama ikan
berlemak). Alternatif lain untuk mencapai asupan yang disarankan adalah makan
makananan yang diperkaya dengan EPA dan DHA ataupun dengan suplementasi
minyak ikan.41
Rekomendasi dosis yang dianjurkan untuk anak–anak masih belum
jelas, pada kenyataannya fortifikasi asam lemak omega tiga sering didapatkan
dalam beberapa formula bayi dan anak–anak.3,42
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
34
Universitas Indonesia
2.7.11.4 Kebutuhan cairan dan elektrolit
Kebutuhan cairan rumatan per hari pada anak–anak diperhitungkan sesuai berat
badannya. Anak dengan BB ≤10 kg adalah 100 mL/24 jam, untuk BB 11–20 kg
adalah 1000 mL+50 mL/24 jam untuk setiap kilo gram BB antara 11–20 kg, dan
untuk BB > 20 kg adalah 1500 mL+20 mL/kgBB/24 jam untuk setiap kilogram
diatas 20 kg.43
Pada sindroma nefrotik diperlukan pertimbangan ada tidaknya
oliguria atupun ketidak stabilan volume intravaskular, termasuk adanya edema
berat yang tidak responsif terhadap steroid dan adanya hipertensi yang sulit
terkontrol. Pada keadaan ini cairan diretriksi menjadi 400 mL/m2 body surface
area (BSA) + urin out put, dilanjutkan untuk beberapa hari sampai diuresis
normal kembali.3
Diet rendah garam yang dianjurkan adalah 2 g natrium per hari, meskipun
demikian pada pasien dengan edema berat, relaps ataupun dalam terapi steroid,
tidak dianjurkan menambahkan garam dalam makanan. Pada pasien tidak sensitif
steroid asupan natrium yang dianjurkan adalah 23 sampai 46 mg/kgBB/hari
dengan maksimal 690 mg/hari. Pada prinsipnya tetap disesuaikan dengan keadaan
pasien, bagaimanapun makanan tanpa rasa enak akan sulit diterima anak–anak,
sehingga modifikasi pemilihan, pembuatan dan penyajian makanan menjadi
sangat penting untuk menarik perhatian dan selera makan anak.3,4
2.7.12 Prognosis
Lebih dari 60% sindroma nefrotik idiopatik mengalami kekambuhan berulang,
sehingga pemantauan jangka panjang menjadi sangat penting, baik dalam terapi
medis maupun tata laksana nutrisinya. Kasus penyakit ini dikaitkan dengan
peningkatan risiko komplikasi yang komplek, seperti edema anasarka, berbagai
kejadian infeksi, penyakit CVD, trombosis, dislipidemia, gagal ginjal akut,
bahkan perkembangan menuju gagal ginjal kronis ataupun gagal ginjal terminal
dengan segala dampak psikologisnya, hingga membutuhkan dialisis, ataupun
transplantasi ginjal.2,3,18,19
Keadaan yang memperburuk prognosis sebagai berikut,
menderita pertama kali pada usia kurang dari dua tahun atau lebih dari enam
tahun, disertai oleh hipertensi, disertai hematuria, berdasarkan etiologinya
termasuk sindroma nefrotik sekunder, serta pada gambaran histopatologi bukan
merupakan kelainan minimal.16
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
35
Universitas Indonesia
Sejak ditemukannya pilihan terapi dengan kortikosteroid, angka kematian
penderita sindroma nefrotik turun lebih dari 50 %. Sindroma nefrotik dengan lesi
minimal akan sembuh spontan dalam waktu tiga tahun (2/3 kasus), atau
mengalami penyembuhan tanpa komplikasi setelah mendapatkan terapi
kortikosteroid atau agen sitotoksik (95%).15
Edukasi kepada pasien dan orang tua
ataupun pengasuh menjadi sangat penting sejak pasien terdiagnosis penyakit ini,
karena keluarga atau lingkungan sangat berperan dalam menjaga kepatuhan terapi
dan edukasi yang telah diberikan.2
2.7.13 Monitoring, evaluasi dan konseling
Kurangnya bukti klinis yang mendukung pilihan dalam pengobatan, dan masih
banyak diperlukannya pengalaman dalam pengelolan pasien, maka
penatalaksanaan sindroma nefrotik idiopatik pada anak harus melibatkan spesialis
ataupun nefrolog. Seperti halnya penyakit kronis lainnya, terdapat masalah
psikososial yang perlu mendapatkan penanganan, yaitu dari segi perilaku, segi
kepatuhan terhadap pengobatan, dan ada tidaknya dukungan lingkungan.
Mengingat kejadian relaps sindroma nefrotik idiopatik sebesar 60 %,
maka pemantauan jangka panjang adanya proteinuria dan status cairan
merupakan bagian dari manajemen, meskipun pasien sudah selesai menjalani
perawatan maupun pengobatan dan dinyatakan telah sembuh. Orang tua atau
pengasuh harus dilatih untuk memonitor proteinurianya, yang dapat dilakukan
dengan pemeriksaan dipstick urin, dan melakukan pengukuran BB. Disarankan
untuk konsultasi setiap terjadi keadaan edema yang diiringi peningkatan BB atau
terjadi proteinuria lebih dari 2 hari. Deteksi dini kekambuhan dengan cara ini
dapat memungkinkan inisiasi dini pengobatan steroid sebelum berkembangnya
edema dan komplikasi lain.2 Di bidang nutrisipun, berbagai keadaan yang terjadi
akan mempengaruhi penatalaksanaan, baik jumlah, jenis dan komposisinya.
Mengingat sensitifitas terapi, lamanya remisi dan berulangnya kekambuhan masih
sulit diprediksi, maka sangat dianjurkan kepada orang tua ataupun pengasuh untuk
konsultasi mengenai nutrisi apabila tanda–tanda relaps tersebut mulai timbul.4
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
36
Universitas Indonesia
2.7.14 Interaksi Obat
Obat dan gizi, banyak menimbulkan interaksi, keduanya sama–sama melalui
proses penyerapan dan metabolisme serta dikeluarkan melalui organ yang sama.
Pada status gizi buruk dapat terjadi gangguan metabolisme obat. Kelompok
berisiko tinggi untuk terjadinya interaksi obat adalah terdapatnya penyakit kronis,
gangguan fungsi hati, ginjal dan gastrointestinal, keadaan dehidrasi, sedang
dalam terapi obat dengan jumlah lebih dari satu jenis dalam jangka lama, serta
pada usia yang ekstrem dengan perubahan massa tubuh, jumlah cairan tubuh dan
konsentrasi protein plasma. Terapi obat dapat memiliki efek yang merugikan pada
status gizi. Interaksi obat dapat menimbulkan xerostomia, gangguan rasa dan
penciuman, turunnya selera makan, penurunan motilitas gastrointestinal,
mengganggu metabolisme dan ekskresi nutrisi, mengganggu absorbsi nutrisi
maupun obat, sehingga berhubungan dengan efektifitas obat maupun risiko
terjadinya defisiensi nutrisi. Adanya korelasi langsung antara jumlah obat yang
dikonsumsi dan efek samping yang terjadi dapat diperberat oleh kondisi fisik
pasien, status gizi, umur dan penyakit yang mendasari, sehingga terapi obat dapat
berdampak pada status gizi, baik positif maupun negatif. Oleh karena itu penilaian
status gizi merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan dalam pemberian terapi
farmakologi.43
2.7.14.1 Captopril
Captopril adalah suatu Angiotension Converting Enzyme (ACE) Inhibitors.
Captopril digunakan untuk pengobatan hipertensi, gagal jantung kongestif,
mencegah perkembangan disfungsi ginjal yang disebabkan oleh hipertensi dan
diabetes mellitus, sering dikombinasikan dengan diuretik dan atau digoxin
(Lanoxin). Cara kerja dengan dilatasi pembuluh darah, dan meningkatkan
efisiensi pemompaan jantung dan output pada pasien dengan gagal jantung.
Dilatasi pembuluh darah dengan mencegah pembentukan angiotension II, karena
angiotensin II menyebabkan penyempitan arteri dan meningkatnya tekanan darah
sehingga penghambatan akan menyebabkan vasodilatasi arteri dan menurunkan
tekanan darah. Bersama dengan besi, captopril akan menurunkan bioavailabilitas
obat dengan membentuk kompleks stabil besi–captopril. Bersama dengan
magnesium, captopril akan meningkatkan kadar magnesium limfosit. Bersama
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
37
Universitas Indonesia
dengan kalium, captopril akan meningkatkan kadar kalium limfosit, sehingga
secara umum akan meningkatkan kadar kalium dalam darah. Bersama sodium,
captopril akan menyebabkan hiponatremia dan kemungkinan meningkatkan efek
anti–aldosteron. Bersama dengan seng, captopril akan mengikat ion seng, sesuai
dengan ligan ion seng, memiliki gugus sulfhidril sebagai ACE ligan, dan rute
ekskresi akan diekskresikan terutama melalui ginjal.44,45
2.7.14.2 Furosemide
Furosemide adalah suatu diuretika yang bekerja dengan menghambat reabsorbsi
ion Na di jerat henle ginjal. Nama dagang yang sering dipakai adalah lasix.
Furosemid meningkatkan ekskresi elektrolit (kalium, magnesium dan kalsium),
sehingga perlu suplementasi akibat kehilangan tersebut. Nutrisi lain mungkin
hilang akibat ekskresi urin yang meningkat. Suplementasi seng, vitamin B1,
vitamin B6, riboflavin, dan vitamin C mungkin diperlukan.46,47
Kemungkinan juga
dapat kehilangan nafsu makan dan gangguan lambung serta mulut terasa kering
pada pemakaian diuretik ini.43
2.7.14.3 Prednison
Pada saluran pencernaan dapat menimbulkan esofagitis ulseratif, anoreksia,
muntah, konstipasi, diare, peningkatan kadar enzim hati (biasanya reversibel),
iritasi lambung, hepatomegali, peningkatan nafsu makan dan berat badan,
kandidiasis orofaringeal, pankreatitis, ulkus peptikum, perforasi usus (terutama
pada pasien dengan penyakit inflamasi usus), serta distensi abdomen. Pada
muskuloskeletal dapat menyebabkan arthralgia, meningkatnya risiko patah
tulang, kehilangan massa otot, kelemahan otot, mialgia, osteopenia, osteoporosis ,
fraktur patologis tulang panjang, serta miopati steroid. Komplikasi pada kelenjar
endokrin biasanya setelah pemakaian jangka panjang, dapat menyebabkan
insufisiensi adrenal, amenore, perdarahan pasca menopause atau ketidakteraturan
menstruasi lainnya, menurunnya toleransi glukosa, diabetes mellitus (onset baru
atau manifestasi laten), glukosuria, hiperglikemia, hipertiroidisme, hipotiroidisme,
meningkatnya kebutuhan insulin atau obat hipoglikemik oral pada penderita
diabetes, peningkatan kadar lipid, keseimbangan nitrogen negatif akibat
katabolisme protein, adrenocortical dan pituitary unresponsiveness sekunder
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
38
Universitas Indonesia
(terutama pada saat stres, seperti pada trauma, pembedahan atau penyakit),
gangguan pertumbuhan pada pasien anak.48
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
39
Universitas Indonesia
BAB 3
KASUS
Pasien pada serial kasus ini adalah anak dengan rentang usia 1–8 tahun yang
sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit, dengan sindroma nefrotik
idiopatik anak. Dilakukan pemantauan dan intervensi nutrisi minimal 5 (lima)
hari.
Tabel 3. 1 Karakteristik umum data pasien
Karakteristik Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4 Usia 3 tahun 15 bulan 4 tahun 8 tahun Jenis kelamin Laki–laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Status gizi SGNA
Kurang B
Kurang B
Kurang B
Kurang B
Lama rawat 8 hari 10 hari 7 hari 9 hari Keterangan Pulang Pulang Pulang,atas
permintaan sendiri
Pulang
3.1. Kasus 1
An. G, seorang anak laki–laki berusia tiga tahun, beragama Islam, masuk rumah
sakit pada tanggal 24 Januari 2013 dan dilakukan skrining gizi pada tanggal 25
januari 2013. Berdasarkan skrining gizi tersebut, an. G memerlukan pemantauan
Tim Terapi Gizi (TTG), karena asupan yang tidak adekuat sejak lima hari SMRS,
kadar albumin < 3 g/dL (1,5 mg/dL), dan adanya penyakit dengan stres metabolik.
Hasil anamnesis yang dilakukan terhadap ibu kandung pasien, menyatakan
bahwa keluhan utama pasien dibawa ke RS karena bengkak seluruh tubuh.
Riwayat perjalanan penyakitnya adalah dua minggu SMRS pasien menderita
batuk, pilek dan demam, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Satu minggu SMRS,
saat bangun tidur pagi hari, kedua mata pasien tampak sembab, yang berkurang
saat siang hari. Lima hari SMRS kedua mata semakin sembab dan sembab tidak
berkurang saat siang hari, disertai bengkak pada kedua kaki serta perut
bertambah besar, mual tetapi tidak muntah, masih mau makan nasi lauk ikan tiga
kali sehari sebanyak tiga sampai empat suap, dan susu tiga kali satu botol, air
putih empat kali setengah gelas, BAB tidak ada keluhan, BAK biasanya sekitar
39
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
40
Universitas Indonesia
enam kali sehari menjadi empat kali dengan jumlah yang lebih sedikit pula. Pasien
kemudian dibawa berobat ke klinik dekat rumah, diberi obat untuk tiga hari dan
disarankan untuk dibawa ke RS, tidak diketahui obat apa yang diberikan. Ternyata
setelah obat habis tidak ada perubahan, bengkak pada mata dan kaki semakin
bertambah, perut semakin membesar, BAK hanya tiga kali sehari dalam jumlah
yang sangat sedikit, sekitar seperempat gelas setiap kali BAK. Satu hari SMRS
keluhan semakin memberat, perut semakin kencang, tampak sesak, batuk
berdahak tetapi tidak panas, mata semakin sembab, kedua kaki semakin
membengkak, pasien tidak mau makan lagi, hanya minum susu sekitar empat kali
sepertiga botol, tidak muntah, BAK satu kali sebanyak kurang lebih seperempat
gelas, tidak BAB empat hari. Kemudian pasien di bawa ke RSUT.
Pasien merupakan anak tunggal, pertumbuhan dan perkembangannya tidak
mengalami gangguan. Riwayat imunisasi dasar lengkap di bidan. Pasien lahir
dengan BB 3000 gram, PB lahir tidak diketahui, lingkar kepala tidak diketahui,
lahir spontan di bidan, cukup bulan. Pasien tidak pernah sakit seperti ini
sebelumnya, tidak memiliki riwayat sering minum obat–obatan, riwayat penyakit
darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal. Ibu pasien
juga tidak mengalami suatu penyakit berat maupun minum obat-obat tertentu pada
saat kehamilannya
Riwayat nutrisi pasien, memperoleh air susu ibu (ASI) sampai usia dua
tahun, susu tambahan sejak usia tiga bulan sampai sekarang. Riwayat penurunan
BB dalam enam bulan terakhir disangkal. Asupan sehari–hari pasien menyukai
sayur bening dan sop. Asupan makan sebelum sakit, pasien biasa makan nasi tiga
kali setengah centong sehari, dengan sayur bening, lauk ikan atau telur atau ayam,
minum susu formulasekitar enam botol (perbotol 250 mL) sehari, biskuit sesekali.
Lima hari SMRS pasien hanya makan nasi lauk ayam kurang lebih setengah porsi
dari biasanya, susu tiga kali satu botol, air putih sekitar empat kali setengah gelas.
Saat 24 jam terakhir, pasien tidak mau makan diet lunak RS, hanya minum susu
formula bawaan sendiri sebanyak empat botol, tidak mau susu yang diberikan
oleh RS, biskuit tiga kali dua keping, tidak muntah, belum BAB lima hari, BAK
masih sedikit. Data BB terakhir sebelum sakit, dua minggu SMRS yaitu 12 kg.
Pasien diskrining setelah hari kedua menjalani perawatan.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
41
Universitas Indonesia
Data obyektif diperoleh tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 120 x/menit,
pernafasan 28 x/menit, suhu 36,6 0C. Pada pemeriksaan fisik tampak kepala
normosepal, rambut tipis kemerahan, edema kedua palpebra, konjungtiva tidak
anemis, tonsil tidak hipertropi dan tidak hiperemia, pada pemeriksaan fisik dada
tidak tampak iga gambang, terdapat ronkhi pada kedua lapangan paru, jantung
tidak terdapat murmur ataupun gallop, abdomen tampak cembung, tegang, hepar
lien sulit dinilai, shifting dullness (+), bising usus normal, pekak. Pada kemaluan
dan kedua kaki edema, kapasitas fungsional mampu berjalan perlahan dan
memegang botol minum sendiri.
Hasil laboratorium Hb 11,3 mg/dL, leukositosis (11.900/μL),
hipoalbuminemia (1,5 mg/dL), natrium 141 mmol/L, kalium 5,06 mmol/L, klorida
113 mmol/L, ureum 31 mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL, dislipidemia (trigliserida 331
mg/dL, kolesterol total 476 mg/dL, HDL 43 mg/dL, LDL 408 mg/dL), titer ASTO
(-). Pada pemeriksaan urin sewaktu tampak kuning keruh, pH 6, berat jenis 1025,
proteinuria (++), glukosa (-), darah samar (++), eritrosit 9–12/LPB, leukosit 2–
3/LPB, silinder 0–1/LPB. Pemeriksaan thorak foto tampak gambaran
bronkhopneumonia. Selama pemantauan, data laboratorium menunjukkan
perbaikan.
Pada pemeriksaan antropometri, TB 93 cm (P25-50) (sesuai TB anak usia
dua tahun tujuh bulan), LLA 14 cm (-1 SD > Z >-2 SD), lingkar kepala 47 cm
(P10), BB 15 kg, berat badan dua minggu sebelum sakit 12 kg, berat badan ideal
14 kg. Penentuan status gizi menggunakan BB sebelum sakit, maka berdasarkan
berat badan menurut tinggi badan adalah sebesar 85,7 %, kesan gizi kurang.
Obat yang diberikan oleh dokter penanggung jawab pasien secara intra
vena adalah lasix 2x20 mg dan cefotaxim 2x750 mg, secara oral aldakton 2x6,25
mg, captopril 3x0,25 mg, prednison 3x2 tab dan mucera sirup 3x1 sendok teh,
zamel sirup 3x1 sendok teh.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
42
Universitas Indonesia
Gambar 3. 1 Analisis asupan makronutrien kasus 1, sebelum sakit,
satu minggu SMRS, dan 24 jam terakhir
Asupan sebelum sakit 1440,3 kkal (protein 62,8 g, lemak 55,4 g dan KH
172 g), asupan selama sakit lima hari SMRS 720 kkal (protein 31,4 g, lemak 27,7
g, dan KH 86 g), dan asupan 24 jam terakhir 833,5 kkal (protein 36,4 g, lemak
33,5 g dan KH 96,6 g). Keseimbangan cairan (-) 280 mL, diuresis 1,7
mL/kgBB/24 jam.
Diagnosis kerja gizi pasien ini adalah sindroma nefrotik idiopatik,
bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia)
Rencana pemberian nutrisi diawali dengan perhitungan kebutuhan energi
basal menggunakan rumus Schoefield (BB-TB). Kebutuhan energi basal diperoleh
795,586 kkal, dengan faktor stres 1,3 sehingga KET sebesar 1000 kkal, protein 22
g, sumber protein dengan bioavailabilitas tinggi. lemak 28 g (25%) dengan
komposisi MUFA 10 %, PUFA 8 %, dan SAFA 7 %, karbohidrat 166 g (66 %),
saran pemberian mikronutrien sesuai RDA berupa niacin (vitamin B3) 6 mg,
tiamin (vitamin B1) 0,5 mg, riboflavin (vitamin B2) 0,5 mg, vitamin B6 0,5 mg,
vitamin C 40 mg, vitamin D 5 μg, calsium 500 mg, zink 8,2 mg, copper 340 mcg,
vitamin K 15 μg, omega tiga sirup 3 x 1 cth. Kebutuhan cairan 1100 mL/24 jam.
Data analisis mikronutrien (pada lampiran data nutrisurvey) cukup baik.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
43
Universitas Indonesia
Berdasarkan analisis asupan 24 jam terakhir telah mencapai 80 % KET maka
pemberian nutrisi sesuai KET. Rute pemberian nutrisi secara oral, frekuensi
pemberian terbagi dalam tiga kali makan utama dan dua kali selingan berupa diet
lunak bubur nasi rendah garam, sebanyak 2 g natrium per hari dan susu formula
RS. Monitoring dan evaluasi dilakukan setiap hari, meliputi keadaan klinis, tanda
vital, analisis dan toleransi asupan, pengukuran berat badan, penilaian
laboratorium analisis urin setiap hari, kadar Hb, leukosit, profil lipid dan albumin
setiap tiga hari.
Gambar 3. 2 Grafik Tanda vital selama pemantauan Kasus 1 (A. Grafik tekanan darah
dan frekuensi nadi, B. Grafik respirasi dan suhu)
Pemantauan pada pasien ini dilakukan dalam tujuh hari sejak hari pertama
pemeriksaan (H0) pada tanggal 25 Januari 2013 dilanjutkan hari pertama
pemantauan (H1) sampai hari kepulangannya pada tanggal 31 Januari 2013 (H6).
Selama pemantauan, keadaan klinis dan asupan makan pasien semakin membaik.
Kebutuhan energi total sudah terpenuhi pada pemantauan hari ke–3. Asupan
protein sudah di atas rekomendasi sejak sebelum sakit. Produksi urin dan
penurunan BB selama pemantauan berbanding terbalik, yaitu peningkatan diuresis
diikuti penurunan berat badan.
A B
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
44
Universitas Indonesia
Gambar 3. 3 Grafik asupan makronutrien selama pemantauan Kasus 1 (A. Asupan energi,
B. Asupan protein, C. Asupan lemak, D. Asupan karbohidrat)
Hal penting yang perlu dilakukan untuk melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap pasien ini adalah keadaan klinis, analisis dan toleransi asupan,
keseimbangan cairan, tanda vital, pengukuran berat badan, penilaian laboratorium
analisis urin dan elektrolit setiap hari, kadar Hb, leukosit, profil lipid dan albumin
setiap tiga hari. Namun demikian tidak semua pemeriksaan laboratorium tersebut
dapat dilaksanakan, dikarenakan berbagai pertimbangan.
Gambar 3. 4 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan selama
pemantauan Kasus 1 (A. Produksi urin,B. Penurunan berat badan)
Keadaan hipoalbuminemia pada pasien ini diatasi pada hari ke–3
pemantauan dengan melakukan intervensi menggunakan albumin 20% sebanyak
50 mL (selama satu kali dari 3 kali yang direncanakan karena pertimbangan
administrasi), dan tidak dilakukan pemeriksaan ulang albumin serum sampai
pasien dipulangkan. Namun demikian pada hari ke tiga pemantauan dilakukan
A B
C D
A B
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
45
Universitas Indonesia
pemeriksaan urin kuantitatif dan urin rutin. Hasil pemeriksaan urin kuantitatif
adalah 2436 mg/24 (normalnya 24–141 mg/24 jam). Pada pemantuan hari ke–4
dilakukan pemeriksaan urin rutin dan hasilnya menunjukkan perbaikan dibanding
pemeriksaan awal, yaitu gambaran mikroskopis eritrosit 3–8 /LPB, proteiunuria
(+), dan darah samar (+)
Pasien dipulangkan dalam kondisi klinis yang membaik, dan tidak
dilakukan pemeriksaan urin kembali saat hari kepulangan. Kedua orang tua pasien
telah diberikan edukasi nutrisi untuk di rumah. Tujuan pemberian nutrisi untuk
memenuhi kebutuhan, menekan progresifitas dan kekambuhan penyakit,
memperbaiki status nutrisi dan optimalisasi pertumbuhan.
3.2. Kasus 2
Pasien an R, seorang anak laki–laki lima belas bulan, beragama Islam. Pasien
masuk rumah sakit pada tanggal 13 Pebruari 2013 dan dilakukan skrining gizi
pada tanggal 14 Pebruari 2013. Berdasarkan skrining gizi tersebut, an. R
memerlukan pemantauan TTG, karena asupan yang tidak adekuat sejak satu
minggu SMRS, kadar albumin < 3 g/dL (1,4 mg/dL), dan adanya penyakit dengan
stres metabolik.
Hasil anamnesis yang dilakukan terhadap ibu kandung pasien, menyatakan
bahwa keluhan utama pasien dibawa ke RS akibat bengkak seluruh tubuh.
Riwayat perjalanan penyakitnya adalah tiga minggu SMRS pasien menderita
batuk, pilek dan demam, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien berobat ke
puskesmas sebanyak dua kali baru sembuh. Satu minggu SMRS, saat bangun tidur
pagi hari, kedua mata pasien tampak sembab, dan sembab tidak berkurang saat
siang hari. disertai bengkak pada kedua kaki serta perut bertambah besar, mual
tetapi tidak muntah, masih mau makan setengah porsi biasanya, BAB tidak ada
keluhan, BAK biasanya berkurang dari biasanya. Semakin hari bengkak
bertambah dan disertai bengkak pada perut dan kaki, tidak demam maupun batuk,
kemudian pasien di bawa ke RSUT.
Pasien merupakan anak ke dua dari dua bersaudara, lahir dengan BB lahir
3000 gram, PB 49 cm, lingkar kepala tidak diketahui, lahir cukup bulan di rumah
sakit melalui sectio sesaria, dengan riwayat persalinan yang sama sebelumnya.
Riwayat imunisasi lengkap di bidan. Pertumbuhan dan perkembangan tidak
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
46
Universitas Indonesia
mengalami gangguan. Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak
memiliki riwayat sering minum obat–obatan, riwayat penyakit darah tinggi, asma,
alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal. Ibu pasien juga tidak
mengalami suatu penyakit berat maupun minum obat-obat tertentu pada saat
kehamilannya.
Riwayat nutrisi pasien, asupan ASI dari bayi sampai usia 12 bulan, susu
formula sejak usia dua minggu sampai sekarang. Enam bulan terakhir tidak terjadi
penurunan BB. Asupan sebelum sakit, sarapan nasi ½ centong, sayur bening
bayam, 1/2 potong tempe goreng, 1/2 potong ikan, makan siang nasi ½ centong,
sayur bening campur, tempe/tahu 1/2 potong, telur dadar ½ butir, makan malam
nasi ½ centong, sayur sop ayam. Selingan berupa susu formula dua gelas perhari,
buah pisang/jeruk 1 buah. Asupan selama sakit satu minggu sebelum masuk RS
berupa bubur nasi ½ mangkok bayi dengan kuah sayur bening, teh manis satu
gelas, susu formula dua gelas. Asupan 24 jam terakhir berupa bubur nasi dengan
kuah sayur 3x 3 sampai empat suap, lauk dan sayur tidak dimakan, snack tidak
dimakan, susu formula 3x1/2 gelas. Data BB terakhir sebelum sakit, tiga minggu
SMRS yaitu 9 kg. Pasien di skrining setelah hari kedua menjalani perawatan.
Data obyektif diperoleh tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 130 x/menit,
pernafasan 28 x/menit, suhu 36,80C. Pada pemeriksaan fisik tampak kepala
normosepal, rambut tipis kemerahan, edema kedua palpebra, konjungtiva anemis,
tonsil tidak hipertropi dan tidak hiperemia, pada pemeriksaan fisik dada tidak
tampak iga gambang, tidak terdapat ronkhi pada kedua lapangan paru, jantung
tidak terdapat murmur ataupun gallop, abdomen tampak cembung, tegang, hepar
lien sulit dinilai, shifting dullness (+), bising usus normal, pekak. Pada kemaluan
dan kedua kaki edema, kapasitas fungsional mampu duduk, belum mampu
berjalan, mampu memegang botol minum sendiri.
Hasil laboratorium menggambarkan keadaan anemia (Hb 10,6 mg/dL),
leukositosis (14.900/μL), hematokrit 30 %, trombosit 606.000, hipoalbuminemia
(1,4 mg/dL), kadar natrium 135 mmol/L, kalium 3,02 mmol/L, klorida 111
mmol/L, ureum 40 mg/dL, kreatinin 0,5 mg/dL, dislipidemia (kolesterol total 573
mg/dL, trigliserida 1296 mg/dL, HDL 32 mg/dL, LDL 277 mg/dL), titer ASTO (-
). Pada pemeriksaan urin sewaktu tampak kuning keruh, pH 6, berat jenis 1030,
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
47
Universitas Indonesia
proteinuria (++), glukosa (-), darah samar (+++), eritrosit perlapangan pandang
besar tampak penuh, leukosit 1–2/LPB, silinder (-), epitel (+). Selama
pemantauan hematuria menunjukkan perbaikan, begitu juga hipoalbuminemianya.
Pada pemeriksaan antropometri, TB 76 cm (P10-25), hal ini sesuai TB anak
usia dua belas setengah bulan, LLA 13 cm (-1 SD > Z >-2 SD), BB 12 kg, berat
badan tiga minggu sebelum sakit 9 kg, berat badan ideal 10,4 kg. Penentuan status
gizi menggunakan BB sebelum sakit, maka berdasarkan berat badan menurut
panjang badan adalah 87 %, kesan gizi kurang.
Obat yang diberikan oleh dokter penanggung jawab pasien secara intra
vena adalah lasix, 3x10 mg, cefotaxim 3x250 mg, albumin 20% sebanyak 50 mL
selama tiga hari berturut–turut. Secara oral spironolakton 2x6,25 mg, prednison 2
tablet pagi, 2 tablet siang dan 1 tablet sore, captopril 3x2 mg.
Analisis asupan sebelum sakit, selama satu minggu SMRS, dan 24 jam
terakhir terlihat pada gambar 3.5., dengan keseimbangan cairan (-) 170 mL,
diuresis 2,3 mL/kgBB/24 jam.
Protein (g) Lemak (g) KH (g)
34,3
30,7
98,1
16,9
11,7
85
11,7 8,7
47,2
ANALISIS MAKRONUTRIEN
Sebelum sakit
Selama sakit
24 jam terakhir
Gambar 3. 5 Analisis asupan makronutrien Kasus 2, sebelum sakit,
satu minggu SMRS, dan 24 jam terakhir
Asupan sebelum sakit 798,5 kkal (protein 34,3, g, lemak 30,7 g dan KH
98,1 g), asupan selama sakit lima hari SMRS 522,8 kkal (protein 16,9 g, lemak
11,7 g, dan KH 85 g), dan asupan 24 jam terakhir 318,1 kkal (protein 11,7 g,
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
48
Universitas Indonesia
lemak 8,7 g dan KH 47,2 g). Keseimbangan cairan (-) 170 mL, diuresis 2,3
mL/kgBB/jam.
Diagnosis kerja gizi pasien ini adalah sindroma nefrotik idiopatik,
hipertensi, anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia)
Rencana pemberian nutrisi diawali dengan perhitungan kebutuhan energi
basal menggunakan rumus Schoefield (BB-TB). Kebutuhan energi basal 537,127
kkal, dengan faktor stres 1,3 sehingga KET sebesar 700 kkal, protein 17 g,
disarankan protein bioavailabilitas tinggi. Lemak 19 g (25%) dengan komposisi
MUFA10 %, PUFA 8 %, dan SAFA 7 %, karbohidrat 114 g (65%), pemberian
mikronutrien disarankan sesuai RDA berupa zat besi 8 mg, Niacin 6 mg, vitamin
B1 0,5 mg, vitamin B2 0,5 mg, vitamin B6 0,5 mg, vitamin C 40 mg, vitamin D 5
μg, calsium 500 mg, zink 8,2 mg, copper 340 mcg, vitamin K 15 μg, omega tiga
sirup 3 x 1 cth. Kebutuhan cairan 900 mL/24 jam. Data analisis mikronutrien
(pada lampiran data nutrisurvey) kurang baik. Berdasarkan pertimbangan analisis
asupan 24 jam terakhir maka pemberian nutrisi dimulai dari 80% KET, yaitu 560
kkal, protein 17 g, lemak 16 g, karbohidrat 88 g. Rute pemberian nutrisi secara
oral, frekuensi pemberian terbagi dalam tiga kali makan utama dan dua kali
selingan, berupa diet lunak bubur nasi rendah garam, sebanyak 2 g natrium per
hari dan susu formula RS.
Pemantauan pada pasien ini dilakukan dalam sembilan hari sejak tanggal
14 Pebruari 2013 yang merupakan hari pertama pemeriksaan (H0) dilanjutkan hari
pertama pemantauan (H1) sampai dengan hari kepulangan pada tanggal 22
Pebruari 2013 (H8). Selama pemantauan, keadaan klinis pasien semakin
membaik, demikian juga asupan nutrisinya.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
49
Universitas Indonesia
Gambar 3. 6 Grafik Tanda vital selama pemantauan Kasus 2 (A. Grafik tekanan darah dan frekuensi nadi, B. Grafik respirasi dan suhu)
Asupan energi pasien semakin membaik meskipun kebutuhan energi total
baru tercapai pada hari ke–6 pemantauan, demikian juga dengan asupan
proteinnya.
Gambar 3. 7 Grafik asupan makronutrien selama pemantauan Kasus 2 (A. Asupan energi,
B. Asupan protein, C. Asupan lemak, D. Asupan karbohidrat)
Produksi urin selama pemantauan meningkat diikuti oleh menurunnya BB,
sehingga bengkak semakin berkurang dan kondisi klinis pasien semakin membaik.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
50
Universitas Indonesia
Gambar 3. 8 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan Kasus 2
(A. Produksi urin, B. Penurunan berat badan)
Monitoring dan evaluasi terhadap pasien ini adalah keadaan klinis, analisis
dan toleransi asupan, yang akan ditingkatkan pada planning sebesar 10%–20%
dalam satu sampai dua hari sampai target kebutuhan terpenuhi, keseimbangan
cairan, tanda vital, pengukuran berat badan, penilaian laboratorium analisis urin
dan elektrolit setiap hari, kadar Hb, leukosit, profil lipid dan albumin setiap tiga
hari.
Hipoalbuminemia pada pasien ini mengalami perbaikan dari saat datang
1,4 mg/dL menjadi 3,2 mg/dL pada pemeriksaan laboratorium terakhir selama
perawatan, yaitu pada sehari menjelang dipulangkan. Perbaikan ini didukung oleh
koreksi albumin pada pasien tersebut selama tiga hari berturut–turut sejak hari
pertama pemeriksaan. Tetapi keadaan tersebut tidak diikuti oleh perbaikan
keadaan proteinurianya, yang menetap positif dua.
Hipoalbuminemia pada pasien ini diatasi dengan melakukan intervensi
albumin 20% sebanyak 50 mL (selama tiga hari berturut–turut, kemudian
dilakukan pemeriksaan ulang kadar albumin pada hari ke dua pemantauan dan
juga hri kedua intervensi, yaitu sebesar 2,8 mg/dL dan hari empat pemantauan
sebesar 3,2 mg/dL). Meskipun keadaan klinis pasien ini menunjukkan perbaikan,
tetapi hasil pemeriksaan laboratorium di akhir perawatan pada pasien ini belum
semuanya mencapai normal. Hasil pemeriksaan urin sewaktu menunjukkan masih
terdapat proteinuria (++), darah samar (+), pemeriksaan kolesterol 631 mg/dL,
trigliserida 483 mg/dL, ureum 15 mg/dL, kreatinin 0,5 mg/dL, natrium 130
mmol/L, kalium 3,3 mmol/L dan klorida 99 mmol/L.
Pasien dipulangkan dalam kondisi perbaikan klinis, dengan asupan makan
sudah mencapai total. Edukasi nutrisi untuk di rumah telah disampaikan ke ayah
dan ibu pasien. Nutrisi diberikan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan,
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
51
Universitas Indonesia
mempercepat penyembuhan, menekan progresifitas dan kekambuhan penyakit,
memperbaiki status nutrisi dan tercapainya pertumbuhan yang optimal.
3.3. Kasus 3
Pasien an. F. seorang anak laki–laki berusia empat tahun sepuluh bulan,
beragama Islam, masuk rumah sakit pada tanggal 27 Januari 2013 dan dilakukan
skrining gizi pada tanggal 28 Januari 2013. Berdasarkan skrining gizi tersebut, an.
F memerlukan pemantauan TTG karena kadar albumin < 3 g/dL (1 mg/dL), dan
adanya penyakit dengan stres metabolik.
Hasil anamnesis yang dilakukan terhadap ibu kandung pasien, keluhan
utama pada pasien ini adalah adanya bengkak seluruh tubuh yang belum
membaik. Riwayat perjalanan penyakit pasien ini pada satu bulan SMRS saat
bangun tidur tampak sembab di kedua kelopak mata, disertai bengkak di kedua
kaki, tidak demam, tidak batuk, nafsu makan tidak menurun, BAB tidak ada
keluhan, BAK lebih jarang dari biasanya. Kemudian pasien dibawa oleh orang
tuanya berobat ke klinik 24 jam tetapi kemudian dirujuk ke dokter spesialis
praktek swasta, dan dilakukan pemeriksaan laboratorium urin dan darah. Pasien
tidak teratur minum obat, obat yang diresepkan oleh dokter hampir tidak pernah
diminum. Dua minggu SMRS tampak bengkak semakin memberat sampai ke
perut, pasien dibawa berobat jalan kembali di dokter sebelumnya, telah dianjurkan
menjalani rawat inap tetapi orang tua pasien menolak, pasien masih tidak mau
minum obat. Satu minggu SMRS bengkak bertambah berat disertai bengkak pada
kemaluan, pasien kembali dibawa kontrol ke dokter yang sama, dilakukan
pemeriksaan USG pada bagian perut, pasien masih menolak minum obat, makan
masih seperti biasanya, BAB tidak ada keluhan sedangkan BAK semakin jarang
dan sedikit, kemudian pasien dibawa ke RSUT.
Pasien merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara, lahir dengan BB lahir
3500 gram, panjang badan tidak diketahui, lingkar kepala tidak diketahui, lahir
cukup bulan di bidan. Riwayat imunisasi lengkap juga di bidan. Pertumbuhan dan
perkembangan tidak mengalami gangguan. Pasien tidak pernah sakit seperti ini
sebelumnya, tidak memiliki riwayat sering minum obat–obatan, riwayat penyakit
darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal. Ibu pasien
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
52
Universitas Indonesia
juga tidak mengalami suatu penyakit berat maupun minum obat-obat tertentu pada
saat kehamilannya
Riwayat asupan ASI sampai usia dua tahun, susu tambahan sejak umur
tiga bulan. Penurunan BB dalam enam bulan terakhir disangkal. Asupan sebelum
sakit, sarapan susu kental manis satu gelas, roti manis satu potong sedang, makan
siang nasi satu centong, sayur sop , telur satu buah, makanan selingan berupa buah
pepaya satu potong sedang. Makan malam nasi satu centong, ikan kembung
satu ekor, tempe atau tahu goreng satu potong sedang, sayur bening, kerupuk satu
genggam. Asupan selama sakit sejak satu bulan SMRS tidak ada perubahan.
Asupan 24 jam terakhir berupa bubur nasi diet RS dua kali setengah porsi, susu
ultra satu kotak 250 mL, roti manis satu potong sedang, pisang satu buah. Data
BB terakhir sebelum sakit, enam minggu SMRS yaitu 16 kg. Skrining dilakukan
pada hari kedua perawatan.
Data obyektif diperoleh tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 118 x/menit,
pernafasan 28 x/menit, suhu 36,80C. Pada pemeriksaan fisik tampak kepala
normosepal, rambut hitam, edema kedua palpebra, konjungtiva tidak anemis,
tonsil tidak hipertropi dan tidak hiperemia, pada pemeriksaan fisik dada tidak
tampak iga gambang, tidak terdapat ronkhi pada kedua lapangan paru, jantung
tidak terdapat murmur ataupun gallop, abdomen tampak cembung, tegang, hepar
lien sulit dinilai, shifting dullness (+), bising usus normal, pekak. Pada kemaluan
dan kedua kaki edema, kapasitas fungsional mampu duduk dan belum berjalan.
Hasil laboratorium Hb 11,5 mg/dL, gambaran lain tampak leukositosis
(18.100/μL), hematokrit 32 %, trombosit 419.000 mg/dL, hipoalbuminemia (1
mg/dL), protein total 3,3 mg/dL. Pada pemeriksaan urin tampak kuning keruh,
berat jenis 1025, pH 6,5, proteinuria (+), glukosa (-), darah samar (+), hematuria
(eritrosit 3–7/LPB), leukosit 5–10/LPB, epitel (+), silinder hyalin 1–2/LPB.
Kadar elektrolit normal, yaitu natrium 137 mmol/L, kalium 4,3 mmol/L, klorida
107 mmol/L , fungsi ginjal normal, ditandai kadar ureum 26 mg/dL dan kreatinin
0,5 mg/dL. Enzim transaminase meningkat, yaitu SGOT 57 mg/dL, SGPT 53
mg/dL, hiperkolesterolemia, kolesterol total 547 mg/dL, titer ASTO (-). Data
laboratorium saat menjalani rawat jalan yaitu saat kontrol pertama satu bulan
SMRS, hasil laboratorium urin kuning keruh, berat jenis 1020, pH 6, protein (+),
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
53
Universitas Indonesia
urobilinogen (+), leukosit 5–7/LPB, eritrosit 0–1/LPB, epitel (+), silinder granula
0–1, krital oksalat (+++), bakteri (+). Pada pemeriksaan darah, Hb 15,2 mg/dL,
leukosit 12.100/ μL, hematokrit 46%, trombosit 395.000 mg/dL, MCV 85 fL,
MCH 30,2 pq, MCHC 37,6 %, LED 105, ureum 38,5, kreatinin 0,6. Protein total
4,4 mg/dL, albumin 3,4 mg/dL. Gambaran darah tepi, basofil 0, eosinofil 2%, sel
batang 2%, netrofil segmen 50%, limfosit 40 %, monosit 60%. Data kontrol
kedua, dua minggu SMRS hasil laboratorium urin kuning keruh, berat jenis 1030,
pH 5, protein (++), darah samar (+), urobilinogen (+), leukosit 3–5/LPB, eritrosit
1–3/LPB, epitel (+), silinder granula 0–1, krital oksalat (+++), bakteri (+). Data
kontrol ketiga, satu minggu SMRS, hasil laboratorium urin sewaktu tampak
kuning keruh, berat jenis 1030, pH 5, protein (++), darah samar (+), urobilinogen
(+), leukosit 6–9/LPB, eritrosit 4–5/LPB, epitel (+), silinder granula 1–2, krital
amorf (++), bakteri (+). Pemeriksaan USG, hepar ukuran normal, reguler,
parenkim homogen, tidak tampak nodul, vena hepatika dan vena porta normal,
ginjal kanan dan kiri normal, parenkim normal, kortek tidak menipis, tidak
tampak batu.
Pada pemeriksaan antropometri, TB 114 cm (P90), sesuai TB anak usia
lima tahun delapan bulan, LLA 15 cm, P5-10, atau -1 SD > Z > -2 SD, BB 20 kg,
berat badan enam minggu SMRS sakit 16 kg, berat badan ideal 20 kg. Penentuan
status gizi menggunakan BB sebelum sakit, maka berdasarkan berat badan
menurut panjang badan adalah 80 %, kesan gizi kurang.
Obat yang diberikan oleh dokter penanggung jawab pasien secara intra
vena adalah furosemid 3x20 mg, dan cefotaxim 2x800 mg, serta direncanakan
koreksi albumin 25% 100 mL. Obat secara oral berupa tablet captopril 2x6,25 mg
dan prednison 3 x 3 tablet.
Analisis asupan sebelum sakit, selama sakit sejak satu bulan SMRS, dan
24 jam terakhir terlihat pada gambar 3.9., dengan keseimbangan cairan (-) 35 mL,
diuresis 0,65 mL/kgBB/24 jam.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
54
Universitas Indonesia
Gambar 3.9 Analisis asupan kasus 3 sebelum sakit, selama sakit sejak
satu bulan SMRS, dan 24 jam terakhir
Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah sindroma nefrotik idopatik,
hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia,
proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)
Rencana pemberian nutrisi diawali dengan perhitungan kebutuhan energi
basal menggunakan rumus Schoefield (BB-TB), KEB 877,042 kkal, stres 1,3
sehingga KET 1100 kkal, protein 31 g, sumber protein yang bioavailabilitasnya
tinggi. Pemberian lemak 30,5 g (25%) dengan komposisi MUFA 10 %, PUFA 8
%, dan SAFA 7 %, dan kebutuhan karbohidrat 175 g (64 %), saran pemberian
multivitamin sesuai RDA, berupa Niacin 8 mg, vitamin B1 0,6 mg, vitamin B2
0,6 mg, vitamin B6 0,6 mg, vitamin C 45 mg, vitamin D 5 μg, calsium 500 mg,
zink 9,7 mg, copper 440 mcg, vitamin K 20 μg, omega tiga sirup 4 x 1 cth.
Kebutuhan cairan 1300 mL/24 jam. Data analisis mikronutrien (pada lampiran
data nutrisurvey) masih kurang baik. Berdasarkan pertimbangan analisis asupan
24 jam terakhir, maka pemberian nutrisi sesuai KET. Rute pemberian nutrisi
secara oral, bentuk padat, frekuensi pemberian terbagi dalam tiga kali makan
utama dan dua kali selingan berupa diet nasi rendah garam, sebanyak 2 g natrium
per hari.
Pemantauan pada pasien ini dilakukan selama enam hari sejak hari
pertama pemeriksaan (H0) pada tanggal 28 Januari 2013, dilanjutkan pemantauan
hari pertama (H1) sampai dengan 2 Pebruari 2013 saat pasien pulang (H5).
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
55
Universitas Indonesia
Selama pemantauan, keadaan klinis pasien semakin membaik meskipun pasien
pulang atas permintaan sendiri di hari ke enam perawatan. Tanda–tanda vital
selama pemantauan terlihat pada gambar 3.10.
Gambar 3. 10 Tanda–tanda vital selama pemantauan Kasus 3(A. Tekanan darah dan
frekuensi nadi, B. Respirasi dan suhu)
Pada dasarnya asupan makan pasien ini cukup baik, tetapi pasien sulit
minum obat. Hampir semua obat per oral selama menjalani perawatan tidak bisa
di minum.
Gambar 3. 11 Analisis asupan makronutrien selama pemantauan Kasus 3(A. Asupan energi,
B. Asupan protein, C. Asupan lemak, D. Asupan karbohidrat)
Produksi urin dan hasil penimbangan berat badan setiap hari pada pasien
ini seperti halnya pasien sebelumnya, yaitu berbanding terbalik, dimana
peningkatan diuresisi diikuti penurunan BB.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
56
Universitas Indonesia
Gambar 3. 12 Grafik produksi urin dan berat badan Kasus 3(A. Produksi urin,
B. Penurunan berat badan)
Hal penting yang perlu dilakukan untuk melakukan monitor dan evaluasi
terhadap pasien ini adalah keadaan klinis, analisis dan toleransi asupan,
keseimbangan cairan, tanda vital, pengukuran berat badan, penilaian laboratorium
analisis urin dan elektrolit setiap hari, kadar Hb, leukosit, SGOT, SGPT, profil
lipid dan albumin setiap tiga hari.
Keadaan hipoalbuminemia pada pasien ini tidak dapat teratasi sesuai yang
direncanakan berupa intervensi menggunakan albumin 20 % 100 mL (selama tiga
hari berturut–turut) dikarenakan faktor administrasi. Meskipun keadaan klinis
pasien ini menunjukkan perbaikan, tetapi evaluasi laboratorium tidak dapat
dilakukan seperti halnya alasan tersebut di atas.
Pasien dipulangkan atas permintaan kedua orang tua pasien dalam kondisi
masih edema kedua kaki dan asites, tetapi telah diberikan edukasi nutrisi untuk di
rumah. Tujuan pemberian nutrisi untuk memenuhi kebutuhan dan mempercepat
penyembuhan pada pasien ini, sehingga diharapkan dapat memperbaiki status
nutrisi dan tercapainya pertumbuhan yang optimal, serta menekan progresifitas
penyakit dan kekambuhan.
3.3. Kasus 4
Pasien an. E, seorang anak perempuan berusia delapan tahun dua bulan,
beragama Islam, masuk rumah sakit pada tanggal 28 Pebruari 2013 dan dilakukan
skrining gizi pada tanggal 28 Pebruari 2013. Berdasarkan skrining gizi tersebut,
an. F memerlukan pemantauan TTG karena asupan tidak adekuat sejak satu
minggu SMRS, kadar albumin < 3 g/dL (1,8 mg/dL), dan adanya penyakit dengan
stres metabolik.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
57
Universitas Indonesia
Hasil anamnesis yang dilakukan terhadap ibu kandung pasien, keluhan
utama pada pasien ini adalah adanya bengkak seluruh tubuh disertai sesak nafas.
Riwayat perjalanan penyakit pasien ini pada satu minggu SMRS saat bangun tidur
pasien sembab di kedua kelopak mata, bengkak berkurang saat siang hari, tidak
demam, tidak batuk, nafsu makan tidak menurun, BAB tidak ada keluhan, BAK
berkurang, warna tidak diperhatikan. Lima hari SMRS pasien mengeluh sesak,
tidak disertai demam maupun batuk, bengkak diwajah kian bertambah, disertai
bengkak di kedua kaki, kemaluan, serta perut. Perut kanan atas sakit menjalar
kepinggang dan punggung. Keluhan lain adalah nafsu makan yang menurun,
pasien mampu menghabiskan setengah porsi dari makan biasanya, BAB tidak ada
keluhan, BAB warna abu–abu disangkal, BAK semakin jarang, warna urin coklat
tua, tidak sakit saat BAK. Kemudian oleh orang tuanya pasien dibawa berobat ke
puskesmas, tetapi kemudian dirujuk ke RSUT.
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara, lahir dengan BB
lahir 300 gram, panjang badan 50 cm, lingkar kepala tidak diketahui, lahir spontan
cukup bulan di bidan. Riwayat imunisasi tidak lengkap, tidak imunisasi DPT 3
dan campak. Pertumbuhan dan perkembangan tidak mengalami gangguan. Pasien
tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat sering minum
obat–obatan, riwayat penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung,
sakit kuning ataupun sakit ginjal. Ibu pasien juga tidak mengalami suatu penyakit
berat maupun minum obat-obat tertentu pada saat kehamilannya
Riwayat asupan, ASI sampai usia enam bulan, susu tambahan sejak lahir,
pasien tidak menyukai susu seduh, tetapi masih mengkonsumsi susu cair kotak,
tidak suka bubur. Ibu pasien menyangkal telah terjadi penurunan BB dalam enam
bulan terakhir. Asupan sebelum sakit, sarapan nasi setengah centong, tumis sawi,
tahu satu potong sedang, telur dadar ½ butir, makan siang nasi satu centong, sayur
sop, ayam satu potong sedang, tempe satu potong sedang. Makanan selingan
berupa buah jeruk satu potong, pepaya satu potong sedang, snack chiki satu
bungkus sedang, makan malam nasi satu centong, ikan lele satu ekor, tempe atau
tahu goreng satu potong sedang, sayur bening. Asupan selama sakit, lima hari
SMRS setengah porsi biasanya. Asupan 24 jam terakhir pasien masih dirumah,
makan masih sama seperti lima hari SMRS. Data BB terakhir sebelum sakit, satu
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
58
Universitas Indonesia
bulan yang lalu yaitu 17 kg. Pasien di skrining sejak hari pertama menjalani
perawatan.
Data obyektif diperoleh tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 130 x/menit,
pernafasan 36 x/menit, suhu 36,60C. Pada pemeriksaan fisik tampak kepala
normosepal, rambut hitam, edema kedua palpebra, sklera ikhterik, konjungtiva
anemis, tonsil tidak hipertropi dan tidak hiperemia, pada pemeriksaan fisik dada
tampak iga gambang, terdapat retrakasi di kedua dinding dada, terdapat ronkhi di
kedua lapangan paru, jantung tidak terdapat murmur ataupun gallop, abdomen
tampak cembung, tegang, hepar lien sulit dinilai, shifting dullness (+), bising usus
normal, pekak. Pada kemaluan dan kedua kaki edema, kapasitas fungsional hanya
mampu duduk dengan bersandar.
Hasil laboratorium Hb 10,6 mg/dL, leukosit (8.500/μL), hematokrit 33%,
trombosit 114.000 mg/dL, hipoalbuminemia (1,8 mg/dL), protein total 4,7 mg/dL,
globulin 2,9 mg/dL. Hasilpemeriksaan urin sewaktu tampak kuning keruh, pH 6,5,
berat jenis 1025, proteinuria (++), hematuria (eritrosit 5–10/LPB), leukosit 1–
3/LPB, darah samar (+), epitel (+), silinder hyalin 0–1, GDS 83 mg/dL, kadar
elektrolit normal, natrium 142 mmol/L, kalium 4,3 mmol/L , klorida 115 mmol/L.
Fungsi ginjal normal, ureum 31 mg/dL, kreatinin 0,5 mg/dL, Peningkatan enzim
tranaminase, SGOT 518 mg/dL, SGPT 385 mg/dL, trigliserida 194 mg/dL,
kolesterol total 266 mg/dL, titer ASTO (-). Pemeriksaan thorak foto menunjukkan
gambaran bronkhopneumonia. Hasil pemeriksaan USG abdomen, kesan
splenomegali ringan, cholecystitis, dan asites
Pada pemeriksaan antropometri, TB 120 cm (P3-10), sesuai TB anak usia
enam tahun delapan bulan, LLA 17 cm, pada P5–10, BB 23 kg, BB ideal 22 kg,
berat badan 1 bulan sebelum sakit sakit 17 kg. Penentuan status gizi menggunakan
BB sebelum sakit, maka berdasarkan berat badan menurut panjang badan adalah
adalah 77, %, kesan gizi kurang.
Obat yang diberikan oleh dokter penanggung jawab pasien secara intra
vena adalah furosemid 2x20 mg, dan cefotaxim 2x1g, albumin 20 % 100 mL.
Secara oral berupa ambroksol 3x1 cth, prednison 3x3 tablet, curvit 2x1 cth,
captopril 2x6,25 mg, sedangkan melalui inhalasi berupa kombinasi ventolin 1
ampul, normal salin, serta bisolvon 10 tetes. Analisis asupan sebelum sakit,
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
59
Universitas Indonesia
selama sakit sejak satu bulan SMRS, dan 24 jam terakhir terlihat pada gambar
3.13., dengan keseimbangan cairan (-) 300 mL/24 jam, diuresis 0,6 mL/kgBB/24
jam.
Gambar 3. 13 Analisis asupan Kasus 4, sebelum sakit, selama sakit tiga hari SMRS, dan 24 jam terakhir (A. Asupan energi, B. Komposisi makronutrien)
Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah sindroma nefrotik idiopatik,
bronkhopneumonia, cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia,
peningkatan enzim tranaminase)
Rencana pemberian nutrisi diawali dengan perhitungan kebutuhan energi
basal menggunakan rumus Schoefield (BB–TB), adapun KEB yang diperoleh
sebesar 853,85 kkal, dengan faktor stres 1,3 sehingga KET 1100 kkal, protein 34 g
dari protein dengan bioavailabilitas tinggi. Lemak diberikan sebanyak 24 g (20%),
MUFA 8 %, PUFA 6 %, dan SAFA 6 %, dengan kebutuhan karbohidrat 186 g
(68%). Pemberian multivitamin sesuai RDA, saran pemberian besi 10 mg, niacin
10 mg, vitamin B1 0,9 mg, vitamin B2 0,9 mg, vitamin B6 1 mg, vitamin C 45
mg, vitamin D 5 μg, calsium 600 mg, zink 11,2 mg, copper 440 mcg, vitamin K
25 μg, omega tiga sirup 4 x 1 cth, . Kebutuhan cairan 1350 mL/24 jam. Data
analisis mikronutrien (pada lampiran data nutrisurvey) masih kurang baik.
Berdasarkan pertimbangan analisis asupan 24 jam terakhir, maka pemberian
nutrisi dimulai dari 80 % KET, sebesar 880 kkal, protein 34 g, lemak 24 g,
karbohidrat 131 g. Rute pemberian nutrisi secara oral, bentuk lunak (bubur nasi),
frekuensi pemberian porsi kecil tapi sering, berupa diet nasi rendah garam,
sebanyak 2 g natrium per hari.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
60
Universitas Indonesia
Pemantauan pada pasien ini dilakukan selama sembilan hari sejak tanggal
8 Pebruari 2013 yang merupakan hari pertama pemeriksaan (H0), diikuti hari
pertama pemantauan (H1) sampai dengan kepulangan pada tanggal 16 Pebruari
2013 (H8).
Gambar 3. 14 Tanda–tanda vital selama pemantauan Kasus 4 (A. Tekanan darah dan frekuensi nadi, B. Respirasi dan suhu)
Perbaikan klinis dan asupan semakin membaik selama pemantauan,
meskipun KET baru terpenuhi pada hari ke delapan pemantauan. Asupan protein
terpenuhi sesuai kebutuhan pada hari ke dua pemantauan, dimana asupan ini tidak
sesuai kebutuhan sejak pasien sakit SMRS.
Gambar 3. 15 Analisis asupan makronutrien Kasus 4 (A. Asupan energi,
B. Asupan protein, C. Asupan lemak, D. Asupan karbohidrat)
Produksi urin dan hasil penimbangan berat badan setiap hari
menggambarkan kenaikan diuresis yang diikuti penurunan berat badan. Keadaan
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
61
Universitas Indonesia
tersebut sama halnya tiga kasus sebelumnya dan menggambarkan keadaan sensitif
terhadap pengobatan steroid.
Gambar 3. 16 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan Kasus 4 (A. Produksi urin, B. Penurunan berat badan)
Keadaan yang perlu dilakukan untuk melakukan monitor dan evaluasi
terhadap pasien ini adalah keadaan klinis, analisis dan toleransi asupan, yang akan
ditingkatkan pada planning sebesar 10%–20% dalam satu sampai dua hari sampai
target kebutuhan terpenuhi, keseimbangan cairan, tanda vital, pengukuran berat
badan, penilaian laboratorium analisis urin dan elektrolit setiap hari, kadar Hb,
leukosit, profil lipid, dan albumin setiap tiga hari serta diusulkan untuk dilakukan
pemeriksaan fungsi hati.
Keadaan hipoalbuminemia pada pasien ini diatasi dengan melakukan
intervensi albumin 20% sebanyak 100 mL (selama tiga hari berturut–turut), yang
dimulai sejak hari pemantauan ke tiga, kemudian pada hari ke–4 pemantauan
dilakukan pemeriksaan urin kuantitatif dengan hasil 440 mg/24 jam (normal 24 –
141 mg/24 jam), dan tidak dilakukan pemeriksaan ulang kadar albumin. Pada hari
ke enam pemantauan, gambaran klinis urin masih menunjukkan proteinuri (++),
kemudian terapi prednison diberhentikan dan diganti triamsinolon 3x4 tablet.
Keadaan klinis menunjukkan perbaikan, meskipun evaluasi laboratorium tidak
semua dilakukan. Pasien dipulangkan masih dalam keadaan asites tetapi sudah
perbaikan, hasil pemeriksaan urin menunjukkan masih terdapat proteinuria (+),
darah samar (+). Asupan makan pasien semakin baik, dan telah diberikan edukasi
nutrisi untuk di rumah. Pemberian edukasi nutrisi agar terpenuhi kebutuhan nutrisi
pasien, menekan progresifitas dan kekambuhan penyakit, memperbaiki status
nutrisi dan mengoptimalkan pertumbuhan.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
62
Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN
Empat kasus dalam pembahasan serial kasus ini adalah penderita sindroma
nefrotik idiopatik, yaitu terdapatnya kumpulan gejala berupa proteinuria, edema,
dislipidemia, dan hipoalbuminemia.1,2,3,4
Proteinuria yang terjadi bersifat masif,
lebih dari 40 mg/m2/jam, atau > 50 mg/kg BB/24 jam atau rasio albumin/kreatinin
urin sewaktu ≥ 2 mg/mg, kemudian diikuti turunnya kadar albumin darah sampai
dibawah 2,5 g/dL, dan kadar kolesterol darah meningkat diatas 200 mg/dL.
Kombinasi berbagai keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya berbagai
komplikasi.2,3,4
Sindroma nefrotik idiopatik merupakan penyakit terkait kelainan
pada glomerular intrinsik ginjal dan tidak disebabkan oleh faktor sistemik,
penyebabnya belum diketahui dengan pasti.1,2,3,4
Penentuan diagnosis gizi menggunakan parameter pengukuran
antropometri, parameter biokimia, penilaian klinik dan analisis asupan. Pada
pemeriksaan antropometri ditentukan status gizi dengan menggunakan kurva
CDC, dengan penilaian berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Hasil
penilaian di atas 120 % merupakan status gizi obes, 110–120% overweight, 90–
110% termasuk gizi normal, 70–80% gizi kurang, dan < 70% gizi buruk.
Pengukuran LLA dilakukan untuk memberikan gambaran kecukupan cadangan
energi dan protein tubuh, sehingga dalam hal ini bertujuan untuk mengoreksi
status nutrisi jangka panjang.33,34
Skrining gizi pada keempat pasien ini
menggunakan acuan skrining gizi dari rumah sakit tempat pasien dirawat, dan
Subjective Global Nutritional Assessment (SGNA). Subjective Global Nutritional
Assessment adalah modifikasi dari Subjective Global Assessment (SGA), dan
merupakan alat yang valid untuk menilai risiko status gizi pada anak. Terkait
masalah gizi, SGNA digunakan untuk mengidentifikasi pasien anak yang berisiko
masalah gizi dengan berbagai komplikasi, ataupun pasien yang menjalani rawat
inap cukup lama.49,50
Berdasarkan status gizi, keempat pasien memiliki status gizi kurang.
Seperti diketahui, masalah gizi di Indonesia selain masalah gizi buruk juga masih
tingginya anak dengan status gizi kurang. Masalah gizi pada balita memiliki
61 62 Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
63
Universitas Indonesia
tingkat morbiditas sebanyak 34,3 %. Pada periode masa balita ini sangat rentan
terjadi infeksi bahkan sampai berakibat terjadinya kematian, maupun rentan
terjadinya gangguan dalam optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan otak,
sehingga usia tersebut disebut dalam kelompok berisiko tinggi. Keadaan gizi
kurang dapat diawali dengan keterlambatan dalam kenaikan BB, dan apabila
dalam waktu enam bulan BB tidak naik sebanyak dua kali, maka berisiko
mengalami kekurangan gizi menjadi 12,6 kali di bandingkan dengan anak yang
berat badannya naik terus. Masalah kurang gizi menyangkut beberapa faktor,
yaitu faktor biologi (meliputi umur, jenis kelamin, fisiologi, adanya penyakit
infeksi, ataupun status kesehatan), keadaan lingkungan serta keadaan sosial,
ekonomi dan budaya.51
Berdasarkan atas keluhannya, keempat pasien memiliki
persamaan keluhan yang mendorong orang tuanya untuk membawanya ke RS,
yaitu dalam hal terjadinya sembab di wajah, bengkak di kedua kaki, dan perut
yang semakin membuncit, serta BAK yang semakin berkurang.1,2,3,4
Kasus 1, adalah an. G usia 3 tahun, dibawa ke RSUT akibat bengkak yang
semakin memberat, diikuti sesak dan BAK yang semakin berkurang. Riwayat dua
minggu SMRS pasien menderita demam, batuk dan pilek. Pasien membutuhkan
TTG berdasarkan skrining gizi di RSUT, dimana pasien mengalami asupan makan
yang tidak adekuat sejak lima hari SMRS dan kadar albumin serum 1,5 mg/dL
serta penyakit dengan stres metabolik. Riwayat persalinan normal cukup bulan,
riwayat penyakit dahulu, riwayat sakit seperti ini sebelumnya, riwayat penurunan
BB dan riwayat mengkonsumsi obat–obatan disangkal, demikian juga riwayat
demikian tersebut pada si ibu di saat kehamilannya. Riwayat tersebut dikonfirmasi
untuk menggali kemungkinan faktor penyebab sindroma nefrotik dan prognosis
pada pasien ini. Riwayat terdapatnya suatu infeksi seperti malaria, hepatitis, HIV,
dan toksoplasma maupun riwayat mengkonsumsi obat–obatan seperti
penicillamine, interferon, anti inflamasi non steroid, pamidronate, serta paparan
emas dapat menjadi penyebab sekunder sindroma nefrotik.2,4
Data tanda vital tekanan darah pasien saat pemeriksaan adalah 110/70
mmHg. Sesuai kriteria hipertensi pada anak, yaitu menurut jenis kelamin, umur
dan TB, tekanan darah pasien saat ini berada pada persentile 90 untuk sistole dan
persentile 95 untuk diastole, sedangkan tekanan darah normal apabila dibawah
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
64
Universitas Indonesia
persentile 90. Persentile 90 untuk pasien ini apabila tekanan darah 110/60
mmHg.21,22
Terapi captopril 3 x 0,25 mg pada pasien ini memberikan gambaran
bahwa keadaan sebelum pemeriksaan pasien ini mengalami hipertensi dan saat
pemeriksaan sudah mengalami perbaikan. Kemungkinan penyebab kenaikan
tekanan darah ini akibat penyakitnya, sehingga bersifat sekunder. Hipertensi yang
terjadi kemungkinan disebabkan adanya penurunan perfusi ginjal, sehingga
merangsang pelepasan renin, kemudian melalui mekanisme angiotensin dan
aldosteron akan meningkatkan tekanan darah.15
Kejadian komplikasi hipertensi
pada anak sindroma nefrotik sekitar 15–20 %.4
Edema dan asites pada pasien ini kemungkinan akibat tekanan onkotik
plasma yang menurun, sehingga terjadi ekstravasasi cairan plasma menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial.14,17
Kedua lapangan
paru pasien ini terdapat ronkhi, didukung pemeriksaan rontgen dada yang
menunjukkan gambaran bronkhopneumonia, hal ini dapat merupakan komplikasi
sindroma nefrotik itu sendiri. Telah diketahui, infeksi saluran pernafasan
merupakan komplikasi infeksi paling sering pada anak dengan sindroma nefrotik,
diikuti urutan terbanyak berikutnya adalah infeksi saluran kencing. Angka
kejadian infeksi pada sindroma nefrotik telah menurun di negara-negara maju,
tetapi masih menjadi masalah utama di negara berkembang.18,52
Hasil
pemeriksaan laboratorium pada pasien ini menunjukkan leukositosis,
hipoalbuminemia, proteiuria, hematuria, dan dislipidemia. Gambaran
hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, dan tingginya kadar LDL yang terjadi
merupakan akibat dari meningkatnya sintesis lemak dan apolipoprotein dihati,
yang kemungkinan dapat dipicu oleh adanya penurunan tekanan onkotik
plasma.27,28
Pasien ini berusia tiga tahun, dengan status gizi kurang, memiliki TB
93 cm, sesuai TB anak usia dua tahun tujuh bulan. Pada saat pemeriksaan masih
terdapat retensi cairan, dengan BB 15 kg dan BB dua minggu sebelum sakit 12 kg,
sehingga perkiraan retensi cairan sebanyak kurang lebih 3 kg.
Terapi yang diperoleh adalah diuretik (lasix dan aldakton), antibiotik
(cefotaxim), albumin 20% (satu kali), penurun tekanan darah (captopril), steroid
(prednison), mukolitik (mucera), dan multivitamin (zamel sirup). Asupan nutrisi
pasien sebelum sakit cukup baik, dari data analisis juga menunjukkan asupan
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
65
Universitas Indonesia
mikronutriennyapun baik. Meskipun selama sakit asupan kalorinya menurun,
tetapi asupan protein masih baik. Pasien ini didiagnosis kerja gizi dengan
sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang,
hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria,
dislipidemia)
Kebutuhan energi basal pasien ini ditentukan menggunakan rumus
Schoefield (BB–TB), diperoleh hasil 795,586 kkal, dengan KET sebesar 1000
kkal. Penghitungan energi menggunakan rumus Schoefield (BB–TB)
mempertimbangkan usia, jenis kelamin, TB dan BB. Rumus ini juga dinyatakan
paling akurat dalam menentukan BMR.37
Sesuai panduan yang ada, tujuan
pemberian nutrisi untuk anak sakit diperhitungkan sesuai kebutuhan nutrisi per
individu, karena dalam kondisi stres metabolik, tubuh anak sakit dapat
mengalami respon metabolik yang berbeda. Apabila berlebihan dalam pemberian
nutrisi dapat meningkatkan beban metabolisme, dan berdampak terjadinya
overfeeding.33
Hasil penghitungan kebutuhan protein an. G adalah sesuai RDA dikalikan
faktor stres, yaitu sebesar 22 g. Sumber protein dianjurkan protein dengan
bioavailabilitas tinggi. Sebuah penelitian pada orang dewasa dikatakan pemberian
protein soya dapat menurunkan proteinuria, sehingga dapat memperbaiki
progresifitas glomerulus, tetapi pada anak–anak belum terdapat laporan.
Pemberian diet protein soya pada anak–anak harus hati–hati, karena dapat
menyebabkan defisiensi vitamin B12, vitamin D dan mikronutrien lainnya.3
Pemberian lemak sebesar 25 % yaitu 28 g dengan komposisi MUFA 10 %, PUFA
8 %, dan SAFA 7 % dengan pertimbangan pemberian lemak yang di
rekomendasikan tidak lebih dari 28 %, dengan komposisi SAFA 8 %, PUFA 8%
dan MUFA 12 %.3 Disarankan untuk menghindari asupan lemak trans, serta
asupan kolesterol tidak lebih dari 300 mg/hari. Suatu studi intervensi pada anak
dan bayi di Turki menunjukkan safety dan efficacy dengan dilakukannya
pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol.39
Pemberian mikronutrien sesuai RDA, juga diberikan nutrien spesifik asam
lemak omega tiga. Adapun pertimbangan yang mendukung suplementasi
mikronutrien pada pasien ini yaitu terdapatnya terapi diuretik, sehingga
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
66
Universitas Indonesia
dikhawatirkan beberapa mikronutrien ikut hilang terbawa urin.53,54
Diet rendah
garam diharapkan dapat memperbaiki efektifitas diuretik dan membantu
memperbaiki tekanan darah, menurunkan proteinuria, dan mempercepat hilangnya
edema, meskipun demikian pemberian cairan pada pasien ini tidak diretriksi,
dengan pertimbangan tidak terdapat oliguria, sensitif terhadap pemberian steroid,
dan terdapat perbaikan keadaan edemanya.3,4,55
Komplikasi sindroma nefrotik pada
pasien ini berupa edema, hipertensi, proteinuria, hematuria, dislipidemia,
hipoalbuminemia, dan infeksi.
Pada hari ke tiga pemantauan dilakukan pemeriksaan urin kuantitatif,
terdapat protein sebesar 2436 mg/24 jam (nilai normal 24–141 mg/24 jam), hal ini
dapat memberikan gambaran akan tingginya kehilangan protein yang terjadi
melalui urin.7 Meskipun demikian, selama pemantauan pasien menunjukkan
perbaikan, baik klinis, laboratoris maupun asupan. Kebutuhan energi total tercapai
pada hari ke tiga pemantauan sedangkan kebutuhan protein sudah tercukupi sejak
sebelum sakit.
Kasus 2 adalah an. R, dengan riwayat tiga minggu SMRS menderita
demam, batuk, dan pilek, kemudian satu minggu SMRS terdapat bengkak yang
semakin memberat dimulai dari mata, kedua kaki, perut dan kemaluan. Pasien ini
memerlukan pemantauan TTG akibat asupan yang tidak adekuat sejak satu
minggu SMRS, kadar albumin 1,4 mg/dL, serta penyakit dengan stres metabolik.
Riwayat persalinan cukup bulan melalui sectio sesaria, imunisasi lengkap,
pertumbuhan dan perkembangan baik. Riwayat penyakit dahulu, riwayat sakit
seperti ini, riwayat penurunan BB dan riwayat minum obat–obatan jangka
panjang tidak ada, sehingga sesuai kasus 1, yaitu kemungkinan terjadinya
penyakit ini bukan akibat sekunder. Tekanan darah pasien saat pemeriksaan
adalah 100/60 mmHg, dimana sesuai kriteria hipertensi pada kasus 1, maka sistole
berada pada persentile 95, dan diastole pada persentile 99. Tekanan darah
persentil 90 pasien ini adalah 95–97/50–51 mmHg.21,22
Pada pemeriksaan fisik tampak anemis, edema dan asites, dengan hasil
laboratorium menggambarkan keadaan anemia, leukositosis, hipoalbuminemia,
hipokalemia, dislipidemia, proteinuria, dan hematuria. Hemoglobin pada pasien
ini sebesar 10,6 mg/dL, tetapi gambaran anemia yang terjadi tidak diketahui
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
67
Universitas Indonesia
jenisnya karena tidak tidak dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jenis
anemianya.56
Kemungkinan lain jenis anemia yang sering terjadi pada sindroma
nefrotik adalah anemia mikrositik hipokrom, yaitu anemia akibat kekurangan zat
besi. Seperti diketahui, kehilangan erythropoietin (EPO) melalui urin akan
menyebabkan anemia defisiensi EPO, keadaan ini didukung oleh transferinuria
yang terjadi, sehingga akan menyebabkan peningkatan katabolisme transferin,
hipotransferinemia, dan anemia defisiensi besi. Pemberian rekombinan EPO
secara subkutan dan suplementasi zat besi dapat dilakukan untuk mengatasi
keadaan ini, meskipun koreksi proteinuria yang terjadi akan lebih ideal untuk
memperbaiki keadaan ini.18
Usia pasien ini 15 bulan, status gizi kurang dengan TB 76 cm, yaitu sesuai
TB anak usia dua belas setengah bulan. Saat pemeriksaan masih terdapat retensi
cairan, BB 12 kg, dengan BB tiga minggu sebelum sakit 9 kg, sehingga perkiraan
retensi cairan sebanyak kurang lebih 3 kg. Terapi yang diperoleh diuretik (lasix
dan spironolakton), antibiotika (cefotaxim), tranfusi albumin 20% (tiga hari
berturut–turut), kortikosteroid (prednison), dan obat anti hipertensi (captopril).
Diagnosis kerja gizi pasien ini adalah sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi,
anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia,
hipokalemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia). Rencana pemberian nutrisi
sesuai kasus 1, diperoleh KEB sebesar 537,127 kkal, dan KET sebesar 700 kkal,
protein 17 g, lemak 19 g, dan karbohidrat 114 g , demikian juga dalam pemberian
mikronutrien dan nutrien spesifik sesuai kasus 1, yang membedakan adalah pada
pasien ini terdapat anemia meskipun belum diketahui jenis anemianya,
bagaimanapun pasien tersebut berisiko tinggi kehilangan zat besi, EPO dan
transferin melalui urin, maka disarankan suplementasi zat besi sesuai RDA.
Komplikasi sindroma nefrotik pada pasien ini berupa edema, hipertensi, anemia,
proteinuria, hematuria, hipoalbuminemia, dislipidemia dan kemungkinan juga
terdapat infeksi. Kebutuhan cairan pasien ini juga dipertimbangkan sesuai kasus 1,
sehingga tidak diretriksi, demikian juga dalam pemberian garam juga sesuai kasus
1, yaitu dibatasi sebanyak 2 gram natrium. Selama pemantauan, pasien
menunjukkan perbaikan klinis dan asupan, tetapi perbaikan laboratoris belum
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
68
Universitas Indonesia
seluruhnya tercapai. Kebutuhan energi total dan protein tercapai pada hari ke–6
pemantauan.
Kasus ke tiga adalah an F, anak laki–laki berusia empat tahun sepuluh
bulan yang memerlukan pemantauan TTG karena kadar albumin1 mg/dL, dan
adanya penyakit dengan stres metabolik. Hasil anamnesis terhadap ibu kandung
pasien terdapat bengkak di seluruh tubuh yang semakin memberat sejak satu bulan
SMRS. Tidak ada riwayat sakit seperti ini sebelumnya, ataupun riwayat sering
minum obat–obatan, demikian juga pada ibu pasien di saat kehamilannya
sehingga hal ini sesuai kasus 1 dan kasus 2 bahwa kemungkinan terjadinya
sindroma nefrotik bukan merupakan akibat sekunder.
Tekanan darah pasien ini 110/70 mmHg, definisi hipertensi pada pasien ini
sesuai kriteria pada kasus 1 dan kasus 2, sistole berada pada persentile 90 dan
diastole pada persentile 95. Tekanan darah pada persentile 90 untuk pasien ini
adalah 110/66 mmHg.21,22
Pada pemeriksaan fisik pasien ini terdapat edema
palpebra, kemaluan, dan kedua kaki serta terdapat asites. Data laboratorium
menunjukkan tidak terjadi anemia, dengan Hb 11,5 mg/dL dan leukositosis
(18.100/μL). Kadar Hb saat kontrol rawat jalan yang pertama 15,2 mg/dL, dan
leukosit 12.100/ μL. Jadi walaupun kadar Hb masih normal tetapi telah terjadi
penurunan, dengan disertai peningkatan leukosit. Penurunan kadar Hb
kemungkinan seperti hal nya kasus 2, yaitu akibat hilangnya erythropoietin (EPO)
dan zat besi melalui urin, sehingga menyebabkan defisiensi EPO, keadaan ini
diperberat adanya transferinuria, sehingga terjadi peningkatan katabolisme
transferin, hipotransferinemia, dan terjadi anemia defisiensi besi.18
Pasien ini juga
terjadi hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, peningkatan enzim tranaminase,
dan dislipidemia. Terapi yang diperoleh berupa diuretika (furosemida), antibiotika
(cefotaxim), anti hipertensi (captopril), dan kortikosteroid (prednison).
Pasien berusia empat tahun sepuluh bulan dengan TB 114 cm. Hal ini sesuai
TB anak usia lima tahun delapan bulan, status gizi kurang. Retensi cairan masih
ditemukan, pada saat pemeriksaan BB 20 kg, serta BB enam minggu sebelum
sakit adalah 16 kg, sehingga perkiraan retensi cairan sebanyak kurang lebih 4 kg.
Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah sindroma nefrotik idopatik, hipertensi,
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
69
Universitas Indonesia
gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia,
proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim transaminase)
Rencana pemberian nutrisi baik makronutrien, mikronutrien dan nutrien
spesifik dengan pertimbangan sesuai kasus 1 dan kasus 2. Kebutuhan energi basal
877,042 kkal dan KET 1100 kkal, protein 31 g, lemak 30,5 g dan kebutuhan
karbohidrat 175 g, mikronutrien sesuai RDA, seperti halnya kasus 1, dan 2, juga
diberikan nutrien spesifik tetapi tidak diberikan zat besi karena pasien tidak
anemia. Dilakukan diet rendah garam serta cairan tidak diretriksi. Nutrisi
diberikan sesuai analisis asupan terakhir, yaitu sesuai KET. Komplikasi sindroma
nefrotik pada pasien ini berupa edema, hipertensi, proteinuria, hematuria,
hipoalbuminemia, dislipidemia dan kemungkinan adanya infeksi. Monitoring dan
evaluasi pada pasien ini meliputi keadaan klinis, analisis dan toleransi asupan,
keseimbangan cairan, tanda vital, pengukuran berat badan, penilaian laboratorium
analisis urin dan elektrolit setiap hari, sedangkan kadar Hb, leukosit, SGOT,
SGPT, profil lipid dan albumin setiap tiga hari. Selama pemantauan, asupan
makan pasien tetap baik, perbaikan klinis masih terjadi meskipun tidak sebaik
kasus 1 dan kasus 2. Selama pemantauan tidak dilakukan pemeriksaan
laboratorium sehingga tidak bisa dievaluasi perbaikan laboratoriumnya.
Kebutuhan energi total dan protein pada pasien ini sudah tercapai sejak SMRS.
Pasien dipulangkan atas permintaan kedua orang tua pasien dalam kondisi masih
edema kedua kaki dan asites.
Kasus ke–4 adalah an. E, pasien anak perempuan dengan usia delapan
tahun dua bulan, yang memerlukan pemantauan TTG karena asupan tidak adekuat
sejak satu minggu SMRS, kadar albumin 1,8 mg/dL, dan adanya penyakit dengan
stres metabolik. Keluhan utama adalah adanya bengkak seluruh tubuh yang
semakin memberat disertai sesak nafas. Keluhan lain adalah nafsu makan yang
menurun, BAK semakin jarang, sedikit dan berwarna coklat tua, kemudian pasien
dibawa berobat ke RSUT. Riwayat sakit seperti ini sebelumnya tidak ada, riwayat
penyakit dahulu juga tidak ada, serta tidak memiliki riwayat sering minum obat–
obatan, begitu juga ibunya saat kehamilan, maka hal ini dapat memberikan
gambaran sesuai kasus 1, kasus 2 dan kasus 3, bahwa penyebab penyakit ini
bukan akibat sekunder.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
70
Universitas Indonesia
Tekanan darah pasien pada saat pemeriksaan adalah 120/80 mmHg, dimana
sesuai definisi hipertensi pada kasus 1, kasus 2 dan kasus 3, sistole dan diastole
pasien ini berada pada persentile 99. Persentile 90 pasien ini apabila sistole 108–
109 dan diastole 71 mmHg.21,22
Denyut nadi pasien ini sebanyak 130 x/menit
sedangkan denyut nadi normal seusianya berkisar 80–120 x/menit, demikian juga
pernafasan pasien ini 36 x/menit, dimana pernafasan normal seusianya adalah 20–
25 x/menit.57
Pada pemeriksaan fisik tampak edema kedua palpebra, konjungtiva
anemis, sklera ikhterik, terdapat retraksi dinding dada, ronkhi di kedua lapangan
paru, asites, edema di kemaluan dan kedua kaki, didukung data laboratorium
berupa anemia, trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria,
peningkatan enzim transaminase, dan dislipidiemia. Gambaran thorak foto
menunjukkan bronkhopneumonia, dan USG abdomen kesan splenomegali ringan,
cholecystitis, dan asites.
Pasien ini memiliki status gizi kurang dengan panjang badan 120 cm di
usia delapan tahun dua bulan, sehingga PB sesuai PB anak usia enam tahun
delapan bulan. Berat badan saat pemeriksaan 23 kg, BB 1 bulan SMRS 17 kg,
sehingga retensi cairan yang terjadi sekitar 6 kg. Terapi yang diperoleh berupa
diuretika (furosemida), antibiotika (cefotaxim), albumin 20% (tiga hari berturut–
turut), mukolitik (ambroksol), kortikosteroid (prednison, triamsinolon),
multivitamin sirup (curvit), anti hipertensi (captopril), dan terapi inhalasi.
Analisis asupan sebelum sakit cukup baik, tetapi asupan mikronutrien rata–rata
masih kurang baik. Diagnosis kerja gizinya adalah sindroma nefrotik idiopatik,
bronkhopneumonia, cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia,
peningkatan enzim tranaminase). Rencana pemberian nutrisi diawali dengan
penghitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus Schoefield (BB–TB),
adapun KEB yang diperoleh sebesar 853,85 kkal, dengan faktor stres 1,3 sehingga
KET 1100 kkal, protein 34 g dari protein dengan bioavailabilitas tinggi, dengan
pertimbangan sesuai kasus 1, kasus 2 dan kasus 3. Diberikan diet rendah lemak
(20%), yaitu sebanyak 24 g, serta kebutuhan karbohidrat 186 g (68%). Disarankan
pemberian mikronutrien sesuai RDA, juga diberikan nutrien spesifik asam lemak
omega tiga sesuai kasus 1, kasus 2 dan kasus 3. Pasien tersebut anemia, maka
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
71
Universitas Indonesia
anjuran pemberian zat besi dengan pertimbangan sesuai kasus 2. Komplikasi
sindroma nefrotik pada pasien ini berupa edema, hipertensi, anemia,
bronkhopneumonia, cholecystitis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dan
dislipidemia. Pada hari ke–4 pemantauan, dilakukan pemeriksaan protein
kuantitatif, dengan hasil 440 mg/24 jam, pasien juga masih terdapat edema,
sehingga proteinuria pada pasien ini masih menunjukkan gambaran proteinuria
patologis (diatas 150 mg/24 jam).4,7,8
Selama pemantauan, asupan makan semakin
membaik. Kebutuhan energi total tercapai pada hari ke–8 pemantauan, sedangkan
kebutuhan protein sudah tercapai sejak hari pertama pemantauan.
Tabel 4. 1 Skrining gizi dan data subyektif
An. G (Kasus 1)
An. R (Kasus 2) An. F (Kasus 3) An. E (Kasus 4)
Usia 3 th 15 bln 4 th 8 th Jenis kelamin Laki –laki Laki –laki Laki –laki Perempuan Skrining Gizi Asupan tidak
adekuat 5 hari SMRS, Albumin 1,5 mg/dL, Stres metabolik
Asupan tidak adekuat 1 minggu SMRS, Albumin 1,4 mg/dL, Stres metabolik
Albumin 1 mg/dL, Stres metabolik
Asupan tidak adekuat 1 minggu SMRS, Albumin 1,8 mg/dL, Stres metabolik
Status Gizi Gizi kurang Gizi kurang Gizi kurang Gizi kurang Keluhan utama Bengkak
seluruh tubuh Bengkak seluruh tubuh
Bengkak seluruh tubuh
Bengkak seluruh tubuh
Riwayat penyakit yang mendahului
2 minggu SMRS batuk, pilek, demam
3 minggu SMRS batuk, pilek, demam
- -
RPD Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat minum obat–obatan jangka panjang, penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal.
Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat minum obat–obatan jangka panjang, penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal.
Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat minum obat–obatan jangka panjang, penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal.
Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat minum obat–obatan jangka panjang, penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal.
Berdasarkan Tabel 4.1, pengelompokan kasus berdasarkan jenis kelamin
dan usia, memperlihatkan terdapat tiga anak laki–laki dan seorang anak
perempuan, dengan rentang usia 15 bulan sampai dengan delapan tahun. Data
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
72
Universitas Indonesia
epidemiologi menunjukkan rasio kejadian sindroma nefrotik untuk anak laki–laki
dan perempuan dengan usia kurang dari delapan tahun berkisar antara 2:1 sampai
3:2.1,4
Riwayat penyakit pada keempat kasus ini digali untuk mengetahui
kemungkinan faktor risiko ataupun penyebabnya. Keempat pasien dalam serial
kasus ini usia diatas satu tahun, dan tidak pernah menderita sakit seperti ini
sebelumnya, sehingga keadaan ini merupakan serangan pertama. Jadi keempat
kasus tersebut kemungkinan bukan suatu keadaan kongenital. Dikatakan sindroma
nefrotik kongenital (Hereditary nephropathies) apabila timbulnya serangan awal di
tahun pertama kehidupan, terutama pada tiga bulan pertama.1
Riwayat minum obat–obatan, penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing
manis, jantung ataupun sakit ginjal pada keempat pasien tersebut juga disangkal,
hal tersebut dapat memberikan gambaran bahwa faktor penyebabnya merupakan
faktor primer (dari dalam ginjal) dan bukan sekunder (dari luar ginjal). Sindroma
nefrotik sekunder dapat terjadi akibat penggunaan obat–obatan jangka panjang,
suatu penyakit yang bersifat sistemik seperti Henoch-Schönlein purpura (HSP),
lupus eritematosus sistemik, Amyloidosis, diabetes melitus, sifilis, hepatitis B dan
C, human immunodeficiency virus (HIV), ataupun keganasan. 1,2,3,4
Tabel 4. 2 Tanda vital, kelainan fisik dan pemeriksaan penunjang
An. G (Kasus 1) An. R (Kasus 2) An. F (Kasus 3) An. E (Kasus 4) Sistole Persentile 90 Persentile 95 Persentile 90 Persentile 99 Diastole Persentile 95 Persentile 99 Persentile 95 Persentile 99 Pemeriksaan fisik
Edema, ronkhi paru, asites
Konjuntiva anemis, edema, asites
Edema, asites Konjungtiva anemis, sklera ikhterik, edema, retraksi dinding dada, ronkhi paru, asites,
Kapasitas fungsional
Ambulatory Ambulatory Ambulatory Bedridden
Laboratorium USG abdomen
Leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dan dislipidemia, titer ASTO (-)
Anemia, leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia, dislipidemia, proteinuria, dan hematuria, titer ASTO (-)
Leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, peningkatan enzim tranaminase, dan dislipidemia, titer ASTO (-)
Anemia, trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, peningkatan enzim transaminase, dan dislipidiemia titer ASTO (-) splenomegali ringan, cholecystitis, dan asites
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
73
Universitas Indonesia
Berdasarkan Tabel 4.2. dan Tabel 4.3. terlihat bahwa keempat pasien
memiliki tekanan darah sistole berkisar antara persentile 90 sampai dengan
persentile 99 dan diastole pada persentile 95 sampai dengan persentile 99. Apabila
dihubungkan dengan pemberian obat penurun tekanan darah yang diterima oleh
semua pasien ini, semua pasien mendapatkan obat penurun tekanan darah. Hal
tersebut dapat memberikan gambaran bahwa saat pasien datang ke RS, semua
kemungkinan dalam keadaan tekanan darah yang tinggi, seperti dijelaskan
sebelumnya, tekanan darah normal untuk anak–anak adalah baik sistole maupun
diastole berada di bawah persentile 90 menurut jenis kelamin, umur dan TB.21,22
Hipertensi pada sindroma nefrotik bersifat sekunder, disebabkan penurunan
perfusi ginjal, sehingga merangsang pelepasan renin, kemudian melalui
mekanisme angiotensin dan aldosteron akan meningkatkan tekanan darah. Oleh
karena penyebabnya dari dalam ginjal maka disebut hipertensi renalis.15
Dari
penelitian menunjukkan hipertensi pada anak kebanyakan (80%) berasal dari
penyakit ginjal.44,58
Pada pemeriksaan fisik semua pasien dalam keadaan edema dan asites, hal
ini seiring pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan proteinuria dan
hipoalbuminemia. Proteinuria akan menyebabkan kadar albumin serum menurun.
Rendahnya kadar albumin serum menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma,
sehingga terjadi ekstravasasi cairan plasma menembus dinding kapiler dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial, dan terjadilah edema.14,17
Suatu teori
menyatakan bahwa berkurangnya volume intravaskuler akan merangsang sekresi
renin dan memicu aktivitas renin–angiotensin–aldosteron sehingga terjadi retensi
natrium dan air, kemudian produksi urin menjadi berkurang, dan lebih pekat.
(teori underfill).17,18,19
Disisi lain, terdapat beberapa penderita sindroma nefrotik
dengan peningkatan volume plasma serta penurunan aktivitas renin dan kadar
aldosteron plasma (teori overfill), yang menyatakan bahwa retensi natrium dan air
terjadi akibat mekanisme intrarenal primer. Jadi, kemungkinan keterlibatan proses
underfill dan overfill menunjukkan bahwa terjadinya edema akibat beberapa
proses, yang mungkin berlangsung secara bersamaan ataupun tidak bersamaan.
Hal ini didukung oleh patogenesis penyakit glomerulus yang terjadi akibat
kombinasi lebih dari satu rangsangan.20
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
74
Universitas Indonesia
Data pemeriksaan mikroskopik urin pada keempat kasus menunjukkan
gambaran proteinuria, yang berkisar dari proteinuria (+) hingga (++). Gambaran
proteinuria (+) setara dengan sekitar 30 mg/dL protein yang terbawa urin, dan
gambaran proteinuria (++) setara dengan sekitar 100 mg/dL protein yang terbawa
urin, dan pemeriksaan mikroskopis keempat pasien tersebut dari urin sewaktu,
sehingga bukan merupakan gambaran dalam 24 jam.7 Pada keadaan normal, anak
laki-laki dan perempuan memiliki kecepatan eksresi protein di urin sebesar 4
mg/m2/jam atau 100 mg/m
2/hari. Lima puluh persennya merupakan protein
Tamm-Horsfall, yaitu suatu glikoprotein yang disekresikan oleh tubulus asenden
ansa henle. Sisanya adalah sejumlah kecil protein plasma yang difiltrasi oleh
glomerulus seperti albumin, imunoglobulin, transferin, dan β2–mikroglobulin
dengan albumin mencapai 30% dari protein urin normal tersebut.19
Besarnya
proteinuria pada sindroma nefrotik menggambarkan banyaknya berbagai jenis
protein tersebut yang terbawa urin.4
Terdapat dua pasien dengan anemia, seperti telah dijelaskan sebelumnya,
kejadian anemia dapat terjadi oleh karena beberapa faktor, pada sindroma nefrotik
dapat terjadi akibat adanya hematuria mataupun komplikasi infeksi pada saluran
kencing. Infeksi saluran kencing merupakan kasus infeksi terbanyak kedua setelah
bronkhopneumonia.18,59
Walaupun terdapat dua pasien tanpa data laboratorium enzim
transaminase, kedua pasien tersebut tidak menunjukkan kelainan klinis yang
mendukung untuk dilakukan pemeriksaan tersebut, dan satu pasien dengan
peningkatan ringan enzim transaminase juga tidak didukung oleh kelainan klinis,
asupan makan pasien tersebut pun cukup baik dan KET sudah tercapai sejak hari
pertama pemantauan. Sedangkan kasus 4, KET tercapai pada hari ke–8
pemantauan, hal tersebut kemungkinan akibat kondisi sesak dan mual yang
menyertai. Tanda–tanda klinis tersebut antara lain diperkuat oleh peningkatan
enzim transaminase yang cukup tinggi, pemeriksaan fisik terdapat ikhterik serta
hasil USG abdomen yang menunjukkan cholecystitis. Peningkatan enzim
transaminase terjai pada 62% kasus cholecystitis anak. Cholecystitis anak
merupakan gangguan yang langka, di klinik Mayo dilaporkan terdapat 1,3 kasus
cholecystitis anak untuk setiap 1000 kasus cholecystitis.60
Meskipun penyebab
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
75
Universitas Indonesia
tersering cholecystitis adalah batu empedu, tetapi batu empedu pada anak juga
jarang terjadi. Suatu penelitian menunjukkan bahwa batu empedu pada anak-anak
dan bayi belum tentu menimbulkan gejala klinis, berhubungan dengan rendahnya
tingkat komplikasi serta apabila tanpa komplikasi dapat dikelola secara
konservatif.61
Ditemukan satu pasien (kasus 2) dengan hipokalemia, tetapi selama
pemantuan tidak dilakukan pemeriksaan ulang kadar kalium, sehingga tidak
diketahui perbaikan ataupun perburukannya, tetapi dari tanda–tanda klinis yang
ada tidak menunjukkan kondisi hipokalemia. Hipokalemia adalah apabila kadar
kalium serum lebih rendah dari 3,5 mmol/L. Kadar kalium pada pasien ini adalah
3,02 mmol/L. Pasien dengan hipokalemia sering tanpa gejala, terutama dengan
hipokalemia ringan. Keadaan muntah ataupun dalam terapi loop diuretik dapat
menyebabkan terjadinya hipokalemia. Gejala yang spesifik terutama berkaitan
dengan fungsi otot atau jantung. Keluhan yang terjadi antara lain lemah,
kelelahan, kram otot dan nyeri, palpitasi, gejala psikologis (misalnya psikosis,
delirium, halusinasi, depresi). Hipokalemia berat dapat bermanifestasi sebagai
bradikardia dengan kolap kardiovaskular. Aritmia jantung dan gagal pernafasan
akut akibat kelumpuhan otot adalah komplikasi yang mengancam jiwa dan perlu
penatalaksanaan segera. Penyebab terjadinya hipokalemia antara lain akibat
asupannya yang kurang, pengeluaran melalui urin yang meningkat akibat terapi
diuretik, diuresis osmotik dan hiperaldosteronisme, serta terdapatnya gangguan
saluran cerna seperti muntah dan diare.62,63
Terdapat dua pasien dengan serangan awal demam, batuk dan pilek pada
2–3 minggu SMRS, kemungkinan hal tersebut akibat suatu infeksi bakteri
streptokokus beta hemolitikus grup A di saluran penafasan bagian atas. Bakteri
streptokokus beta hemolitikus grup A tersebut dapat menyebabkan terjadinya
glomerulonefritis.45
Kejadian sindroma nefrotik terbanyak diawali oleh serangan
glomerulonefritis.1,4,7,8,14
Titer ASTO (-) terdapat pada semua kasus, meskipun
demikian tidak menutup kemungkinan keempat pasien tersebut pernah terpapar
bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A. Titer ASTO positif hanya terjadi
pada 75–80% penderita glomerulonefritis pasca faringitis dan 50% penderita
pasca impetigo.45,64
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
76
Universitas Indonesia
Tabel 4. 3 Terapi yang diperoleh
Terapi An. G (Kasus 1)
An. R (Kasus 2)
An. F (Kasus 3) An.E (Kasus 4)
Diuretik + (lasix dan aldakton)
+ (lasix dan aldakton)
+ (furosemida) + (furosemida)
Antihipertensi + (captopril) + (captopril) + (captopril) Antibiotika + (cefotaxim) + (cefotaxim) + (cefotaxim) + (cefotaxim) Kortikosteroid + (prednison) + (prednison) + (prednison) + (prednison,
triamsinolon) Mukolitik + (mucera) - - + (ambroksol) Inhalasi - - - + Albumin + (1x) + (3x) - + (3x) Multivitamin + - - +
Seluruh pasien mendapatkan terapi kortikosteroid, baru pertama kali
menderita sindroma nefrotik, serta tidak memiliki riwayat minum obat–obatan
jangka panjang sebelumnya. Pasien dikatakan remisi apabila proteinuria negatif
atau trace selama tiga hari berturut–turut dalam satu minggu, dikatakan sensitif
steroid apabila remisi tercapai dalam empat minggu atau kurang setelah
pengobatan steroid dosis penuh (full dose), dan disebut resisten steroid apabila
tidak terjadi remisi setelah empat minggu.1,3,4,19
Apabila dikonfirmasi dengan
proteinuria di akhir pemantauan dan lamanya rawat, lama rawat seluruh pasien
berkisar enam sampai sembilan hari, tiga pasien menunjukkan proteinuria (+), dan
satu pasien tidak dilakukan pemeriksaan ulang. Jadi pada keempat pasien ini
kemungkinan belum terjadi remisi. Penanganan pasien sensitif steroid ataupun
resisten steroid pada kasus sindroma nefrotik idiopatik masih memerlukan
evaluasi lebih lanjut. Pasien yang tidak merespon pengobatan dengan steroid
sebaiknya dilakukan uji genetik dan biopsi ginjal untuk mengetahui kemungkinan
adanya fokal segmental glomerulosklerosis. Beberapa pilihan pengobatan belum
tentu memberikan respon yang optimal. Secara keseluruhan, sindroma nefrotik
idiopatik baik yang sensitif maupun resisten dengan steroid sama–sama cenderung
memiliki komplikasi, sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut.65
Sensitifitas steroid pada terapi sindroma nefrotik anak biasanya menandakan
rendahnya risiko gagal ginjal menetap. Tetapi terdapat beberapa pasien yang
awalnya sensitif steroid kemudian berkembang menjadi resistens steroid.
Tatalaksana pada yang resistensi steroid sering diobati dengan obat
imunosupresan, tetapi efek pada prognosis jangka panjang masih belum diketahui.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
77
Universitas Indonesia
Sebuah review retrospektif pada pasien yang didiagnosis sindroma nefrotik
idiopatik dan kelompok late steroid resistance, outcome yang diukur adalah
proteinuria dan fungsi ginjal. Terapi non steroid berdampak terjadinya remisi pada
69% pasien. Ternyata pada pasien late steroid resistance, terapi imunosupresif
dapat memperbaiki proteinuria dan mempertahankan fungsi ginjal. Kesimpulan
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengobatan imunosupresif merupakan
pilihan yang baik pada pasien sindroma nefrotik termasuk kelompok yang resisten
steroid.66
Terapi albumin yang didapat pasien ini (Kasus 2) sebanyak tiga kali
berturut–turut, yang kemungkinan bertujuan untuk mengatasi keadaan edemanya.
Jadi terapi albumin yang didapat kemungkinan untuk memperbaiki tekanan
onkotik dan bukan untuk terapi nutrisi. Pemberian albumin dengan furosemid
dikatakan dapat mengefektifkan proses diuresis pada pasien sindroma nefrotik
dengan edema berat yang diakibatkan oleh hipoalbuminemia.4
Seluruh kasus diatas mendapatkan terapi diuretik furosemid, seiring
pemberian diuretik tersebut maka produksi urin semakin meningkat, sehingga
risiko gangguan keseimbangan elektrolit dan defisiensi zinc, vitamin B1, vitamin
B6, vitamin B2, dan vitamin C pun semakin meningkat. Penambahan diuretik
berupa spironolakton adalah jenis diuretik yang bekerja berlawanan dengan efek
aldosteron di tubulus renalis, yaitu jenis diuretik yang dapat mencegah keluarnya
kalium, sehingga suplementasi mikronitrien yang tersebut di atas tetap
dianjurkan.67
Seluruh kasus juga mendapatkan obat anti hipertensi berupa captopril.
Captopril merupakan golongan ACE inhibitor yang selain sebagai obat
antihipertensi juga dapat menghambat progresifitas glomerulus, sehingga
dikatakan dapat memperbaiki proteinuria dan bersifat renoprotektif. Terapi
captopril jangka panjang dapat menyebabkan mulut kering, hubungannya dengan
elektrolit dapat meningkatkan kalium darah melalui interaksinya di ginjal.43,44,45
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
78
Universitas Indonesia
Tabel 4. 4 Komplikasi yang terjadi
Komplikasi An. G (Kasus 1)
An. R (Kasus 2)
An. F (Kasus 3)
An. E (Kasus 4)
Edema + + + + Hipertensi + + + + Proteinuria + + + + Hematuria + + + + Hipoalbuminemia + + + + Peningkatan enzim transaminase
Tidak ada data
Tidak ada data
+ (ringan) +
Dislipidemia + + + + Anemia - + - + Hipokalemia - + - - Infeksi Leukositosis,
Bronkho- Pneumonia
Leukositosis Leukositosis Bronkhopneumonia, cholecystitis
Tabel 4.4. menunjukkan terdapat satu pasien dengan diagnosis
penyerta berupa bronkhopneumonia (kasus 1) dan satu pasien dengan
bronkhopneumonia dan cholecystitis (kasus 4), sedangkan dua pasien lainnya
kemungkinan juga terdapat infeksi yang terlihat dari gambaran leukositosisnya.
Bronkhopneumonia, cholecystitis dan leukositosis memberikan gambaran
terdapatnya suatu infeksi. Infeksi merupakan salah satu komplikasi serius dari
sindroma nefrotik. Faktor risiko terjadinya infeksi antara lain akibat rendahnya
tingkat IgG serum yang hilang terbawa urin, T limfosit yang abnormal dan
penurunan faktor B (C3 proaktivator) dan D, yang masing-masing merupakan
komponen jalur alternatif komplemen, sehingga terjadi penurunan kemampuan
opsonisasi terhadap bakteri, termasuk bakteri streptococcus pneumoniae.
Penggunaan steroid dan terapi imunosupresif lainnya juga dapat meningkatkan
risiko terjadinya infeksi. Terdapat 100 lebih jenis infeksi ini, seperti selulitis,
sepsis, meningitis, dan pneumonia. Kebanyakan infeksi disebabkan oleh S.
Pneumoniae atau Staphylococcus, meskipun infeksi karena organisme gram
negatif seperti Escherichia coly dan Haemophilus influenzae juga dapat terjadi.
Untuk itu bagi penderita sindroma nefrotik dianjurkan imunisasi vaksin
Pneumococcus. American Academy of Pediatrics menghimbau penggunaan
vaksin Pneumococcus konjugasi heptavalent untuk vaksinasi universal semua
anak sampai usia 23 bulan, termasuk anak dengan sindroma nefrotik, dan pada
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
79
Universitas Indonesia
usia 24–59 bulan untuk kelompok anak yang berisiko menderita sindroma
nefrotik.46,68
Sehubungan dengan komplikasi cholecystitis pada kasus 4, sebuah studi di
Jepang melaporkan kejadian acute acalculous cholecystitis (ACC) pada anak
dengan sindroma nefrotik, mendadak sakit perut kurang dari satu bulan dan
terdapat muntah, serta diagnosis AAC diperoleh dari USG. Jenis cholecystitis
pasien ini tidak disebabkan oleh operasi, terdapat nyeri di perut kanan atas,
distensi abdomen, kuning dan demam, keadaan tersebut membaik dengan
pengobatan non operatif. Acute acalculous cholecystitis relatif umum terjadi pada
anak-anak, prevalensi 30–50% dari total cholecystitis anak. Klasifikasi AAC
berdasarkan durasi dibagi menjadi dua kategori, yaitu akut (kurang dari satu
bulan) dan kronis (lebih dari tiga bulan). Kedua kategori AAC dapat memiliki
aspek yang berbeda dalam manifestasi klinis dan laboratorium. AAC sering terjadi
pada keadaan infeksi, sepsis, pemberian nutrisi parenteral, dehidrasi, operasi
abdomen, dan luka bakar yang luas. Terapi pilihan untuk AAC pada orang dewasa
adalah kolesistektomi, tetapi belum ada bukti untuk anak–anak. Pada anak–anak
sebagian besar menunjukkan perbaikan dengan pengobatan non operatif, termasuk
dengan pemberian antibiotik spektrum luas.60
Pada urin penderita sindroma nefrotik, selain terdapat proteinuria juga
dapat ditemukan sel darah merah dan casts. Casts tersebut dapat berupa hialin,
granular, lemak, lilin, RBC, atau sel epitel. Lipiduria mungkin terjadi pada seluruh
kasus, tetapi pemeriksaan tersebut tidak dilakukan di tempat keempat pasien
dirawat. Lipiduria adalah terdapatnya lemak dalam urin. Lipiduria pada sindroma
nefrotik berupa lipoprotein bersama protein lain dengan jenis lemak endogen.
Lipiduria tersebut menunjukkan terdapatnya gangguan glomerulus. Kolesterol
urin dapat dideteksi dengan mikroskop biasa dan menunjukkan Maltese cross
pattern di bawah cahaya terpolarisasi silang, sedangkan pemeriksaan untuk
trigliserida dengan pewarnaan Sudan.69,70
.
Sebuah studi yang menilai besarnya lipiduria pada glomerulonefritis
kronik dan amiloidosis ginjal dengan sindroma nefrotik, dilakukan pemeriksaan
kadar lemak dalam darah dan urin, berupa lipid dan fosfolipid, kolesterol bebas,
monogliserida, digliserida, trigliserida, dan kolesterol ester. Ditemukan kenaikan
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
80
Universitas Indonesia
konsentrasi lipid, kolesterol bebas, dan triglserida serta terdapat penurunan
kolesterol ester. Lipiduria sebagian besar ditandai dengan peningkatan
konsentrasi lipid dan fosfolipid, dengan sebagian besar perubahan parameter
pada karakteristik pasien glomerulonefritis kronik. Tingginya lipid yang terbawa
urin menggambarkan tingginya lipid yang terfiltrasi.71
Dalam hubungannya dengan terapi nutrisi, meskipun diperoleh beberapa
keuntungan dalam retriksi protein dalam diet pada sejumlah kasus anak dengan
insufisiensi ginjal, suatu penelitian terakhir memperlihatkan tidak ada pengaruh
dari restriksi protein dalam diet terhadap progresifitas penyakit ginjal, tetapi tetap
merupakan tindakan yang benar untuk tidak memberikan protein yang berlebihan
pada anak dengan proteinuria. Hal ini disebabkan diet tinggi protein dapat
memperburuk proteinuria, khususnya pada pasien anak dengan sindroma nefrotik,
dan tindakan ini tidak bermanfaat untuk menaikkan kadar albumin plasma,
sehingga direkomendasikan asupan protein untuk anak dengan proteinuria adalah
sesuai RDA. 19
Semua pasien ini direncanakan pemberian protein dengan bioavaibilitas
tinggi. Pemberian protein yang dianjurkan untuk sindroma nefrotik adalah 80%
high bioavaibylity value (HBV), sedangkan asupan tinggi protein berkontribusi
terhadap tingginya asupan fosfat.72
Di sisi lain, sebuah studi menunjukkan
pembatasan diet fosfat pada penyakit ginjal dapat menurunkan proteinuria,
kalsifikasi ginjal, perubahan histologis, dan kerusakan fungsional ginjal. Hal ini
didukung oleh sebuah penelitian dengan pemberian diet rendah fosfor pada
pasien gagal ginjal, terdapat perbaikan proteinuria dan perlambatan progresifitas
penyakit ginjal. Diketahui, dalam setiap 1 mg/dL fosfat serum, terlepas dari
faktor risiko lain, dikaitkan dengan peningkatan sebesar 85% risiko
perkembangan End State Renal Disease (ESRD).73,74
Namun demikian, tidak
semua protein hewani dan sayuran memiliki proporsi fosfor yang sama, dan
konsentrasi fosfat dalam darah juga dipengaruhi oleh besarnya asupan protein,
tinggi rendahnya kadar pengikat fosfor dan juga tingkat Fibroblast Growth
Factor 23 (FGF 23) yang dilepaskan oleh tulang, serta toleransi tubuh terhadap
pengikat fosfor, dimana semua itu dapat mempengaruhi efisiensi fosfor.
Konsumsi fosfor harian orang dewasa sehat sekitar 1200 mg, di mana sebanyak
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
81
Universitas Indonesia
950 mg akan diserap oleh tubuh. Sekitar 29% fosfor tubuh terletak di dalam
tulang, dan kurang dari 1% ada di dalam darah, sebagai fosfor yang diukur dalam
praktek klinis. Sebagian besar fosfor (70%) terletak intra seluler. Fosfor di
ekskresi melalui saluran cerna sekitar 150 mg/hari dan melalui urin sekitar 800
mg/hari. Satu gram protein mengandung 13–15 mg fosfor, dimana 30–70% akan
diserap melalui usus. Konsumsi fosfor harian dimediasi oleh phosphatonin dari
usus. Keseimbangan fosfor positif melibatkan phosphatonin, pharatyroid hormone
(PTH) dan FGF 23. Asupan protein yang tinggi berkaitan dengan tingginya
asupan fosfor, rekomendasi diet yang dianjurkan adalah 700 mg/hari untuk
orang dewasa sehat, dan 1250 mg hari untuk anak–anak dan ibu hamil, dan asupan
lebih rendah lagi dianjurkan umtuk pasien dengan penyakit ginjal. Fosfor dari
protein nabati memiliki daya serap lebih rendah dibandingkan fosfor dari protein
hewani, mulai dari 40 % sampai 50 %. Hal tersebut karena fosfor dari tanaman
berada dalam bentuk phytates dan fosfor dalam protein hewani dalam bentuk
fosfat organik, yang mudah dihidrolisis dan diserap. Asupan protein hewani
dapat meningkatkan serum fosfor dan FGF 23 yang lebih banyak dari pada asupan
protein nabati, meskipun demikian tidak semua protein hewani memiliki proporsi
fosfor yang sama. Oleh karena itu diet protein dengan bioavaibilitas tinggi
diperlukan pula pemilihan protein hewani dengan kadar fosfor yang serendah
mungkin. Rasio fosfor (dalam mg) untuk protein (dalam gram) berkisar dari <10
mg/g sampai > 65 mg/g.74
Pada semua pasien tersebut juga terdapat hiperkolesterolemia. Kadar
kolesterol plasma yang meningkat merupakan hal paling sering terjadi pada
sindroma nefrotik, sedangkan peningkatan kadar trigliserida dapat ditemukan pada
pasien dengan proteinuria berat. Abnormalitas dari profil lipid tersebut berkolerasi
dengan beratnya sindroma nefrotik yang terjadi, dan perbaikan dapat terjadi
setelah penyakit tersebut mengalami remisi.27
Perencanaan diet pasien sindroma
nefrotik dengan komplikasi dislipidemia adalah sesuai rekomendasi NCEP dan
AHA, meskipun keadaan dislipidemia dapat membaik sejalan dengan perbaikan
terapi, penyakit aterosklerosis–kardiovaskular saat usia anak–anak dapat berisiko
masalah CVD di usia dewasa.39
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
82
Universitas Indonesia
Pemberian komposisi lemak baik PUFA, MUFA dan SAFA pada keempat
kasus adalah sesuai yang telah direkomendasikan. Ketidakseimbangan komposisi
PUFA, MUFA dan SAFA dalam diet dapat memicu stres oksidatif dan
peroksidasi lipid. Perkembangan ilmiah menyatakan hubungan kolesterol plasma
dengan konsumsi lemak (SAFA, PUFA, dan MUFA), ukuran partikel lipoprotein
serta serangkaian ikatan protein yang mengubah transkripsi gen yang terlibat
dalam metabolisme lipid atau oksidasi asam lemak, yang merupakan fungsi
fisiologisnya, serta responsif tidaknya terhadap lemak dalam makanan yang
dikonsumsi. Asupan asam lemak dalam makanan yang dikonsumsi, asam linoleat
tak jenuh ganda dan asam linoleinic paling rentan terhadap peroksidasi lipid.
Gugus asam lemak teroksidasi adalah komponen yang pada akhirnya menjadi sel
busa dan memblokir arteri melalui pembentukan plak arteri. Stres oksidatif dan
produk peroksidasi lipid diketahui terlibat dalam penyakit jantung, kanker dan
penyakit kronis maupun infeksi lainnya.75
Studi diet pada manusia sering mendapatkan hasil yang bertentangan
mengenai efek dari asam lemak tak jenuh tunggal dan tak jenuh ganda pada profil
lipid plasma. Asam lemak tak jenuh tunggal dan tak jenuh ganda keduanya
berperan untuk mengurangi total kolesterol dan LDL–kolesterol dibandingkan
dengan asam lemak jenuh, tetapi efek pada HDL belum jelas. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa asam lemak tak jenuh ganda dapat melindungi dari
terjadinya aterosklerosis, untuk asam lemak tak jenuh tunggal masih berdasarkan
pada data epidemiologi dan analisis faktor risiko.76
Managemen cairan pada keempat pasien tersebut tidak di retriksi,
dikatakan bahwa retriksi cairan dilakukan pada keadaan edema berat dengan
oligiria sampai anuria, tetapi disebutkan juga bahwa pada pasien yang sensitif
steroid meskipun terjadi edema tidak dilakukan retriksi. Seluruh kasus juga
mendapatkan diuretik, tanpa mendapatkan cairan rumatan secara intra vena,
sehingga apabila dilakukan retriksi cairan dapat menurunkan perfusi ginjal dan
memperburuk keadaan ginjal tersebut, oleh karena itu maka retriksi cairan tidak
dilakukan berdasarkan judgment penulis.77
`Pemberian mikronutrien pada sindroma nefrotik anak disarankan sesuai
RDA, dan suplementasi apabila terjadi defisiensi.3 Bagaimanapun, vitamin D
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
83
Universitas Indonesia
terikat protein dapat loss bersama urin, tetapi apakah sintesis meningkat karena
respon teresbut belum diketahui. Besi dan transferin akan meningkat ekskresinya
bersama urin, tetapi terdapat pendapat anemia yg terjadi mungkin lebih
disebabkan turunnya erythropoietin dari pada defisiensi besi. Zinc terikat protein
akan loss bersama urin, tetapi defisiensi yang terjadi selain terbawa urin mungkin
juga akibat turunnya absorbsi, sedangkan efek proteinuria terhadap metabolisme
zinc belum diketahui, demikian juga untuk copper dan kalsium. Selenium, vitamin
E,vitamin C dan L carnitin dapat normal atau menurun, tetapi sejauh mana
kadarnya belum diketahui.40
Bagaimanapun juga pasien dengan diuresis akibat terapi diuretik
cenderung akan lebih banyak kehilangan vitamin terutama vitamin larut air, hal
ini didukung oleh adanya kebutuhan metabolisme yang meningkat pada keadaan
sakit serta sesuai data nutrisurvey sebagian besar dari keempat kasus memiliki
asupan mikronutrien yang kurang. Maka beberapa alasan tersebut yang
menimbulkan pendapat sebagai dasar direkomendasikannya pemberian
mikronutrien pada keempat kasus ini, yang sesuai dengan rekomendasi American
Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) dalam hal tidak melarang
dilakukannya judgment dalam pemberian terapi nutrisi.77
Sebuah studi yang meneliti suplementasi zinc oral (10 mg sehari) pada
pasien anak dengan sindroma nefrotik, diperoleh hasil terjadinya remisi yang
lebih cepat dan penurunan frekuensi kekambuhan. Meskipun demikian masih
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat merekomendasikan suplementasi
zinc.2
Pemberian antioksidan belum ada rekomendasi, meskipun demikian suatu
studi pada pasien sindroma nefrotik anak yang relaps, dengan suplementasi single
dan kombinasi dari asam lemak omega tiga, vitamin E dan bawang putih,
diperoleh hasil bahwa suplementasi kombinasi ketiga hal tersebut lebih baik
dalam menurunkan profil lipid dan dapat ditoleransi untuk suplementasi jangka
pendek, sedangkan untuk jangka panjang masih perlu penelitian lebih lanjut.41,78
Studi lain pada pasien anak sindroma nefrotik sensitif steroid, berupa
suplementasi vitamin E, vitamin C, karoten dan riboflavin, diperoleh hasil bahwa
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
84
Universitas Indonesia
suplementasi kombinasi tersebut bermakna dalam menurunkan proteinuria dan
meningkatkan level malonylaldehide (MDA) serum.42,79
Seluruh kasus dalam serial kasus ini diberikan sirup omega tiga, meskipun
dosis yang tepat untuk anak belum ada rekomendasi.2
Pertimbangan suplementasi
tersebut mengingat terdapatnya dampak positif pemberian omega tiga terhadap
sindroma nefrotik, baik dalam hal menekan inflamasi maupun memperbaiki
dislipidemia dengan menurunkan sintesis VLDL di hati, serta perannya dalam
memperbaiki proteinuria. Hal tersebut sejalan dengan pemberian mikrinutrien
pada seluruh kasus ini, dimana sesuai rekomendasi ASPEN seperti tersebut di
atas, yaitu disetujuinya melakukan judgment dalam terapi nutrisi.77
Asam lemak
omega tiga terdiri dari Alpha-linolenic acid (ALA), Eicosapentaenoic acid (EPA)
dan docosahexaenoic acid (DHA). Alpha-linolenic acid merupakan asam lemak
esensial karena tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia, demikian juga linoleic
acid (LA) yang merupakan suatu asam lemak omega enam, dimana arachidonic
acid (AA), dapat disintesis dari LA tersebut. Eicosapentaenoic acid dan DHA,
dapat disintesis dari ALA tetapi tubuh anak belum dapat merubah ALA menjadi
EPA dan DHA, sehingga suplementasi dianjurkan dalam bentuk EPA dan DHA.
Adapun rekomendasi asupan sumber ALA untuk anak usia 1–3 tahun adalah 700
mg/hari dan untuk anak usia 4–8 tahun adalah 900 mg/hari. Peningkatan asupan
EPA dan DHA dinyatakan dapat menurunkan risiko penyakit jantung, mencegah
aritmia, mengurangi risiko trombosis, penurunan kadar trigliserida serum,
memperlambat terjadinya aterosklerosis, meningkatkan fungsi endotel vaskular,
menurunkan tekanan darah, menekan inflamasi serta mempertahankan fungsi
ginjal. Pada tahun 2001, Food and Drug Administration (FDA) mengizinkan
penambahan DHA dan AA pada formula bayi di Amerika Serikat. Produsen tidak
diwajibkan mencantumkan jumlah DHA dan AA pada lebel susu formula, namun
demikian penambahan DHA dan AA tersebut berkisar 8–17 mg DHA/100 kalori
(5 ml) dan 16–34 mg AA/100 kalori. World Health Organization
merekomendasikan asupan asam lemak omega enam sebanyak 5–8% dari energi
dan asupan asam lemak omega tiga 1-2% dari energi. American Heart Association
merekomendasikan untuk makan ikan, terutama ikan berminyak, setidaknya dua
kali seminggu untuk menurunkan risiko penyakit cardiovaskular.80
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
85
Universitas Indonesia
Tabel 4. 5 Pemantauan dan evaluasi
An. G (Kasus 1) An. R (Kasus 2) An. F (Kasus 3) An. E (Kasus 4) Lama pemantauan
7 9 6 9
KET tercapai hari ke-
3 6 1 8
Kebutuhan protein tercapai hari ke-
Sejak sebelum sakit
6 Sejak sebelum sakit
1
Asupan mikronutrien sebelum sakit
Baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik
Berdasarkan tabel 4.5. asupan makan keempat pasien mencapai total berkisar dari
hari ke dua hingga ke enam perawatan, meskipun demikian terdapat satu pasien
(kasus 2) dengan asupan protein kurang dari yang direncanakan hingga
pemantauan hari ke lima. Pada hari ke 6 pemantauan, kebutuhan protein baru
tercukupi, demikian juga kebutuhan energi totalnya, sedangkan berdasarkan data
analisis asupan sebelum sakit, pasien tersebut memiliki riwayat asupan protein
dan kalori yang cukup baik dengan riwayat asupan mikronutrien sebelum sakit
yang kurang baik. Asupan protein kurang dari yang direkomendasikan diimbangi
proteinuria yang belum menunjukkan perbaikan pada pasien ini, semakin
memperkuat untuk tidak meretriksi protein pada kasus sindroma nefrotik
idiopatik anak.
Tabel 4. 6 Evaluasi proteinuria
Proteinuria An. G (Kasus 1) An. R (Kasus 2) An. F (Kasus 3) An. E (Kasus 4)
Awal (saat pemeriksaan)
++ ++ + ++
Akhir (saat pulang)
+ ++ Tidak ada data +
Sesuai Tabel 4.6. pada akhir pemantauan, proteinuria pasien tersebut
(Kasus 2), masih menunjukkan keadaan seperti awal pemantauan, yaitu
proteinuria (++). Apabila dalam empat minggu masih menunjukkan keadaan
demikian, hal tersebut menggambarkan tidak adanya remisi.1,3,4,19
Proteinuria yang
menetap menggambarkan progresifitas penyakit ginjal, dan perbaikan proteiunuria
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
86
Universitas Indonesia
dapat memberikan gambaran ke arah perbaikan.18
Asupan protein yang tidak
adekuat dapat memperburuk keadaan meskipun terjadinya remisi mungkin
disebabkan oleh berbagai faktor.4
Tabel 4. 7 Evaluasi berat badan dan produksi urin
An. G (Kasus 1) An. R (Kasus 2) An. F (Kasus 3) An. E (Kasus 4) BB sebelum sakit 12 kg 9 16 17 BB saat pemeriksaan
15 kg 12 20 23
BB akhir pemantauan
13 kg 10 19 19
Diuresis saat pemeriksaan (mL/kgBB/24jam)
1,7 2,3 0,65 0,6
Diuresis akhir pemantauan
6,9 6,9 2,6 2,8
Keempat pasien memiliki kemampuan diuresis yang berbeda, meskipun
tidak terdapat pasien dengan kriteria oliguria (diuresis kurang dari 0,5
mL/kgBB/24 jam), tetapi pasien yang tidak taat mengkonsumsi steroid
menggambarkan tingkat diuresis yang lebih rendah.7 Terdapat satu pasien (Kasus
3) yang sulit mengkonsumsi obat termasuk steroid yang diberikan, sementara
sebelum perawatan pasien telah sekitar satu bulan menjalani rawat jalan dengan
dugaan diagnosis yang sama. Pasien pulang atas permintaan orang tua pasien,
setelah menjalani tujuh hari perawatan, meskipun demikian asupan protein pasien
sudah mencapai yang direkomendasikan. Pada pasien ini data laboratorium hanya
dilakukan saat kedatangan pertama kali ke RS, sehingga tidak bisa dievaluasi
keadaan proteinurianya selama pemantauan. Bagaimanapun terapi nutrisi pada
sindroma nefrotik idiopatik adalah untuk mencapai asupan nutrisi sesuai yang
direkomendasikan, agar nutrisi pasien tercukupi, mempertahankan atau
memperbaiki status nutrisi, menekan progresifitas penyakit dan mempertahankan
tumbuh kembang yang optimal.3,4
Kerjasama dengan sejawat yang merawat
pasien akan sangat membantu dalam menunjang pengobatan. Pada keempat kasus
dalam serial kasus ini terdapat satu pasien dengan proteinuria menetap sampai
akhir pemantauan, yaitu Kasus 2, asupan protein sesuai yang
direkomendasikanpun baru tercapai pada hari ke–6. Berdasarkan data tersebut,
terdapat kecenderungan akan pentingnya asupan protein sesuai yang
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
87
Universitas Indonesia
direkomendasikan dalam mendukung pengobatan dan tercapainya kesembuhan
pasien anak dengan sindroma nefrotik. Hal tersebut juga mendukung tidak
dilakukannya retriksi protein pada seluruh kasus tersebut.
Dari keempat kasus diatas, berdasarkan data dan pematauan yang ada,
risiko tinggi untk terjadi relaps adalah kasus 2, dimana onset penyakit pada usia
kurang dari tiga tahun (pasien ini usia 15 bulan) dan terdapat remisi lambat,
dimana pasien ini terdapat proteinuria menetap sejak awal sampai akhir
pemantauan. Hal tersebut sesuai yang telah dijelaskan diatas, bahwa pada pasien
tersebut terdapat dua dari tiga risiko tinggi terjadinya relaps. Risiko tinggi terjadi
relaps apabila (1) Onset terjadi pada enam bulan pertama, (2) Remisi lambat pada
episode awal, dan (3) relaps terjadi pada enam bulan pertama. Tingginya risiko
relaps berhubungan dengan pilihan terapi, termasuk kemungkinan diberikannya
steroid jangka panjang dengan segala efek samping terapi pada pasien tersebut.4
Prognosis yang memperburuk pasien ini adalah usia yang kurang dari dua tahun,
terdapat hipertensi dan hematuria.16
Berdasarkan keempat kasus di atas, kendala utama dalam terapi nutrisi
pasien anak adalah anak masih belum bisa mengerti tujuan terapi nutrisi, sehingga
cenderung untuk mengkonsumsi makanan yang disukai, bukan yang dianjurkan,
demikian juga mengenai diet rendah garam, untuk edema berat dianjurkan dengan
tidak menambahkan garam dalam makanan akan lebih baik mengatasi keadaan
edemanya, tetapi hal ini akan sulit diterima oleh anak–anak, sehingga apabila
dipaksakan justru anak tidak mau makan, dan dampaknya justru asupan nutrisi
yang direncanakan tidak dapat tercapai. Oleh karena itu monitoring disertai
pemberian konseling kepada pasien dan orang tua ataupun pengasuh, pemberian
modifikasi penyajian makanan yang menarik perhatian anak, serta suasana yang
kondusif untuk anak akan sangat membantu dalam keberhasilan terapi nutrisi.3
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
88
88
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Sindroma nefrotik idiopatik merupakan kumpulan gejala berupa proteinuria,
edema, hiperkolesterolemia, dan hipoalbuminemia, penyebabnya belum diketahui
dengan pasti, keadaan tersebut terkait kelainan glomerular intrinsik ginjal dan
tidak disebabkan oleh faktor sistemik. Seluruh pasien memiliki status gizi kurang,
memiliki persamaan hasil skrining dan subyektif yang hampir sama untuk
membuat pasien dibawa ke rumah sakit. Riwayat penyakit dahulu dan
kemungkinan riwayat mengkonsumsi obat–obatan dikonfirmasi untuk menggali
kemungkinan faktor penyebab primer atau sekunder, dimana seluruh pasien dalam
serial kasus ini merupakan sindroma nefrotik primer, serta bukan kongenital.
Seluruh pasien didiagnosis hipertensi, dimana komplikasi hipertensi dapat terjadi
sekitar 15–20% kasus.
Kebutuhan energi basal seluruh pasien ditentukan dengan rumus
Schoefield (BB–TB), rumus ini mempertimbangkan faktor usia, jenis kelamin, TB
dan BB, serta paling akurat dalam menentukan BMR. Tujuan pemberian nutrisi
anak sakit dengan mempertimbangkan kondisi stres metabolik, karena setiap anak
dapat mengalami respon metabolik yang berbeda, sehingga perlu diwaspadai
dampak yang mungkin terjadi. Pola diet yang disarankan untuk anak sindroma
nefrotik adalah sesuai rekomendasi NCEP dan AHA, lemak yang
direkomendasikan tidak lebih dari 28% dengan komposisi MUFA 12%, PUFA
8%, dan SAFA 8%, menghindari asupan lemak trans dengan asupan kolesterol
tidak melebihi dari 300 mg/hari. Kebutuhan protein diberikan sesuai RDA
dikalikan faktor stres, dengan sumber protein yang memiliki bioavailabilitas
tinggi. Pemberian mikronutrien dianjurkan sesuai RDA, meskipun belum ada
rekomendasi, pemberian mikronutrien dan nutrien spesifik berdasarkan judgment
yang telah disetujui oleh ASPEN. Diet rendah garam (natrium tidak lebih dari 2
g/hari) dapat memperbaiki efektifitas diuretik sehingga membantu mempercepat
hilangnya edema, membantu menurunkan tekanan darah, dan memperbaiki
proteinuria yang terjadi.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
89
Universitas Indonesia
Asupan cairan pada seluruh pasien tidak diretriksi berdasarkan antara lain
tidak terdapatnya oliguria, masih cukup sensitif dengan pemberian steroid, dan
edema yang terjadi masih mengalami respon yang baik dengan terapi. Dua pasien
dalam serial kasus ini memiliki komplikasi bronkhopneumonia. Infeksi saluran
pernafasan merupakan komplikasi infeksi paling sering pada anak dengan
sindroma nefrotik. American Academy of Pediatrics menghimbau untuk dilakukan
vaksinasi pada semua anak sampai usia 23 bulan, dan untuk kelompok berisiko
dianjurkan vaksinasi di usia 24–59 bulan. Terdapat dua pasien dengan komplikasi
anemia, kemungkinan terbanyak pada kasus sindroma nefrotik anak adalah akibat
kekurangan zat besi, kehilangan EPO dan transferin melalui urin. sehingga akan
meningkatkan katabolisme transferin, kemudian terjadi hipotransferinemia, dan
anemia defisiensi besi.
Terdapat satu pasien dengan komplikasi cholecystitis, komplikasi ini
merupakan kasus yang jarang pada sindroma nefrotik anak. Terdapat dua pasien
yang kemungkinan didahului terjadinya infeksi saluran nafas atas pada 2–3
minggu SMRS, yaitu kemungkinan terinfeksi bakteri streptokokus beta
hemolitikus grup A, dimana hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya
glomerulonefritis, sedangkan serangan glomerulonefritis merupakan penyebab
tersering terjadinya sindroma nefrotik.
Seluruh pasien mendapatkan terapi prednison, yaitu suatu kortikosteroid,
yang apabila dikonsumsi dalam jangka panjang terutama pada sindroma nefrotik
yang relaps berulang, maka perlu diwaspadai risiko efek samping terapi, baik
jangka panjang maupun jangka pendek. Modifikasi diet diperlukan untuk
mengatasi masalah ini.
Proteinuria menetap menggambarkan progresifitas penyakit ginjal, dan
kemungkinan tidak adekuatnya asupan protein dapat memberikan dampak lebih
buruk meskipun terjadinya remisi dapat diakibatkan oleh berbagai faktor.
Keempat kasus telah mencapai asupan energi maupun protein sesuai yang
direncanakan dengan waktu yang berbeda, hal tersebut seiring perbedaan kondisi
klinis yang mendasari.
Kendala utama dalam terapi nutrisi pasien anak adalah pasien anak masih
belum bisa menyadari pentingnya tujuan terapi nutrisi, sehingga cenderung untuk
89
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
90
Universitas Indonesia
mengkonsumsi makanan yang disukai, bukan yang dianjurkan. Demikian juga
untuk masalah rasa makanan, diet rendah garam lebih sulit diterima oleh anak–
anak, sehingga dapat berdampak tidak tercapainya asupan nutrisi sesuai yang
direncanakan. Peran orang tua dalam mengatur jumlah dan jenis asupan saat
kepulanganpun sangat diharapkan agar kemungkinan progresifitas penyakit dapat
diminimalkan.
Berhubung sindroma nefrotik memiliki risiko tinggi untuk kambuh, maka
monitoring dan evaluasi dengan disertai pemberian konseling kepada pasien dan
orang tua ataupun pengasuh, pemberian modifikasi penyajian makanan yang
menarik perhatian anak, serta suasana yang kondusif untuk anak akan sangat
membantu dalam keberhasilan terapi nutrisi, dimana akan berkontribusi positif
terhadap pemberian terapi farmakologi, sehingga tujuan untuk mempercepat
kesembuhan ataupun meminimalisir komplikasi dapat ditekan, hal tersebut
tentumya akan lebih baik bila terdapat kerjasama berbagai multi disiplin ilmu.
5.2. Saran
Tatalaksana nutrisi pada sindroma nefrotik idiopatik anak memerlukan
managemen farmakologi maupun non farmakologi, serta observasi dan
pemantauan jangka panjang. Apabila penyakit ini sering berulang maka tata
lakasana nutrisinyapun akan mempertimbangkan keadaan tersebut. Berbagai
komplikasi klinik yang mendasari dapat memberikan perbedaan dalam tata
laksana nutrisi, meskipun tetap tidak mengesampingkan penyakit yang mendasari.
Managemen nutrisi memegang peranan penting dalam memperbaiki status nutrisi,
mempengaruhi progresifitas penyakit, mempengaruhi kesembuhan dan kualitas
hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien, sehingga managemen nutrisi
ini sebaiknya menjadi bagian dari multi disiplin ilmu dalam managemen nutrisi
pasien sejak menjalani perawatan sampai saat perawatan di rumah. Kegiatan multi
disiplin ilmu ini dapat dilakukan berkelanjutan maupun berkala, bagaimanapun
deteksi dini dan penatalaksanaan lebih dini akan menekan terjadinya komplikasi.
Hal tersebut tentunya akan dapat menekan kegawat daruratan, frekuensi
kunjungan dan lama perawatan di rumah sakit. Kegiatan tersebut akan lebih baik
apabila dibuat suatu wadah dalam bentuk organisasi penderita sindroma nefrotik,
sehingga koordinasi terapi maupun pemantauan akan menjadi lebih mudah.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
91
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
1. Davin C, Rutjes NW. Nephrotic Syndrome in Children: From Bench to
Treatment. International Journal of Nephrology 2011;1–6.
2. Lane JC, Langman, CB. Paediatric Nephrotic Syndrome.
http://emedicine.medscape.com/article/982920l. Diunduh 13 Mei 13.
3. Swinford RD, Elenberg E, Ingelfinger JR. Nutrition in paediatric. ed 3,
London. BC Decker Inc. 2003
4. Noer, MS. Sindroma Nefrotik Idiopatik. Kompendium Nefrologi Anak.Badan
Penerbit IDAI. Jakarta. 2011.
5. Kidney development. From Wikipedia, the free encyclopedia.
http://en.wikipedia.org/wiki/Kidney_development. diunduh 18 Mei 2013.
6. Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman. ed 7. Jakarta. EGC. 2000.
hal.272-310
7. Wilson LM. Prosedur Diagnostik pada Penyakit Ginjal. Dalam: Wilson LM.
Price SA. Patofisiologi Konsep Klinis Proses–Proses Penyakit
(Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes). ed 6.
Jakarta.2006.hal.895–911.
8. Bergstein, JM. Nefrologi. Dalam; Nelson, WE (editor). Nelson Ilmu
Kesehatan Anak (Nelson Texbook of Pediatrics). ed 15.
Jakarta.EGC.2012.hal.1804–1061.
9. Anonymous. Kidney Anatomy Internal. http://www.medicalartlibrary.com/.
Diunduh 5 Mei 2013.
10. Anonymous. Urinary System : Anatomy and Histology.
http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/apiinotes3%20urinary
%20anatomy.htm. Diunduh 5 Mei 2013.
11. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (Human Physiology: from
Cells to Systems). ed 2.Jakarta. EGC:2001.hal.461–505.
12. Sacher RA, McPherson RA. Dalam: Hartanto H (editor). Tinjuan Klinis Hasil
Pemeriksaan Laboratorium. ed 11. Jakarta.EGC: 2004.
13. Levey AS, MD, Coresh J, MD, Balk E, Kausz AT, Levin A, Steffes MW,
dkk. National Kidney Foundation Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Clinical Guidelines.
Ann Intern Med 2003;139:137–147
91
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
92
Universitas Indonesia
14. Anonymous. Nephrotic Syndrome. Clinical key elsevier.
https://www.clinicalkey.com/topics/nephrology/nephrotic-syndrome.html
Diunduh 5 Mei 2013.
15. Silbernagl S, Lang F. Dalam: Resmisari T, Liena (editor).Teks dan Atlas
Berwarna Patofisiologi (Color Atlas Of Pathophyisiology). Jakarta EGC.
2007.
16. Noer MS, Soemyarso N. Sindroma Nefrotik. http://old.pediatrik.com
Diunduh 5 Mei 2013.
17. Gordillo R, Spitzer A. The Nephrotic Syndrome. American Academy of
Paediatrics 2009;30;94-105.
18. Park SJ, Shin, J. Complications of nephrotic syndrome. Korean J Pediatr
2011;54:322-328.
19. Hogg RJ, Portman RJ, Milliner D, Lemley KV, Eddy A, Ingelfinger J.
Evaluation and Management of Proteinuria and Nephrotic Syndrome in
Children: Recommendations From a Pediatric Nephrology Panel Established
at the National Kidney Foundation Conference on Proteinuria, Albuminuria,
Risk, Assessment, Detection, and Elimination (PARADE). American Journal
of pediatrics 2000;105;1242.
20. Wila Wirya IG, 2002. Sindroma nefrotik. Dalam : Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Pardede SO (editor). Buku Ajar Nefrologi Anak. 2 Ed. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/child_tbl.htm. Diunduh 5
Mei 2013.
21. National Institutes Of Health Staff. The Fourth Report On The Diagnosis,
Evaluation, And Treatment Of High Blood Pressure In Children And
Adolescents. http://www.nhlbi.nih.gov/health/prof/heart/hbp/hbp_ped.pdf
Diunduh 5 Mei 2013.
22. Lipszyc D, Parekh RS.Hypertension in Children and Adolescents–Diagnostic
Challenges and Management. European Nephrology 2011;5(2):126-131.
23. Jin J, Jin B, Huang S, Yuan Y, Ding G, dkk. Insulin resistance in children
with primary nephrotic syndrome and normal renal function. Pediatric
Nephrology 2012;1901-1909.
24. Biedunkiewicz B, Manitius J, Kustosz J, Wojszwiłło P, Rutkowski B.
[Relationship between some parameters of carbohydrate metabolism,
proteinuria and glomerular filtration rate in patients with primary
glomerulonephritis]. 1996 96(3):208-14.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9122011. Diunduh 2 Juni 2013.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
93
Universitas Indonesia
25. Ahmed SM, Clasen ME, Donnelly JF. Management of Dyslipidemia in
Adults. Am Fam Physician 1998; 1;57(9):2192-2204.
26. Anonymous. Lipid abnormalities in nephrotic syndrome.
http://www.uptodate.com/contents/lipid-abnormalities-in-nephrotic-
syndrome. Diunduh 15 Mei 2013.
27. Majumdar A, Wheelar DC. Lipid abnormalities in renal disease. J R Soc Med
2000:93;178–82.
28. Thabet MAEH, Salcedo JR, Chan JCM. Hyperlipidemia in childhood
nephrotic syndrome. International pediatric nephrology association.
link.springer.com/article/10.1007%2FBF00852550. Diunduh 3 Juni 2013.
29. Morita Y, Ikeguchi H, Nakamura J, Hotta N, Yuzawa Y, Matsuo S.
Complement Activation Products in the Urin from Proteinuric Patients. J Am
Soc Nephrol 2000;11:700–707.
30. Garniasih D, Djais JTB, Garna H. Hubungan antara Kadar Albumin dan
Kalsium Serum pada Sindroma Nefrotik Anak. Sari Pediatri 2008:10(2);100.
31. Brothers J. Texboox of pediatric . http://books.google.co.idotein . Diunduh 6
Juni 2013
32. Lisa C, Julia M, Kusuma PA, Sadjimin T. Risk Factors For Low Bone
Density In Pediatric Nephrotic Syndrome. Paediatrica Indonesiana
2011;51:(2).
33. Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik
dan Metabolik. Jakarta. IDAI.2011.
34. Hendricks KM, Walker WA. Manual of Pediatric Nutrition. ed 3. London.
BC Decker.2000.
35. Sastroasmoro S. Panduan pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta.RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.2007.
36. Nutzenadel W. Failure to thrive in childhood. Dtsch Arztebl In. 2011: 108
(36) 642-9.
37. Koletzko B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R. Guidelines on Paediatric
Parenteral Nutrition of the European Society of Paediatric Gastroenterology,
Hepatology and Nutrition (Espghan) and the European Society for Clinical
Nutrition and Metabolism (ESPEN), Supported by the European Society of
38. Paediatric Research (Espr). Journal of Pediatric Gastroenterology and
Nutrition 2005: 41:s1–s4.
39. Nutrition in Nephrotic Syndrome.http://
www.rch.org.au/nephrology/protocols/ 537_ Diunduh 2 Juni 2013.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
94
Universitas Indonesia
40. Fletcher B, Berra K, Ades P, Braun LT, Burke LE. Managing Abnormal
Blood Lipids. Circulation. 2005;112:3184–3209.
41. Yeun JY, Zakari M, Kaysen GA. Nephrotic Syndrome: Nutritional
consequence and dietary Management. Dalam : Mitch WE, Ikizler TA.
Handbook of Nutrition and the Kidney.ed 6.Lippicott
Williams&Wilkins.2009.hal.132–147.
42. Gebauer SK, Psota TL, Harris WS, Etherton PMK. n−3 Fatty acid dietary
recommendations and food sources to achieve essentiality and cardiovascular
benefits1,2,3. Am J Clin Nutr June 2006 vol. 83 no. 6 S1526-1535S.
43. Anonymous. Omega-3 fatty acids, fish oil, alpha-linolenic acid. http://
www.mayoclinic.com/health/fish-oil/NS_patient fishoil/ DSECTION=
evidence). Diunduh 20 Mei 2013.
44. Zyl MV. The effects of drugs on nutrition. S Afr J Clin Nutr 2011;24(3):
S38-S41
45. Anderson J, Roach J. Nutrient-Drug Interactions and Food.
http://www.ext.colostate.edu/pubs/foodnut/09361.html. Diunduh 3 Mei 2012.
46. Anonymous.
http://home.caregroup.org/clinical/altmed/interactions/Drugs/Captopril.html.
Diunduh 20 Juli 2013
47. Anonymous. Drug-Nutrient Interactions with Commonly Used
CardiacMedications.http://www.cranberryinstitute.org/RCToolkit/media/3_I
NTERACTIONS.pdf.Diunduh 3 Mei 2012.
48. Anonymous.
http://www.naturalnews.com/DrugWatch_Furosemide.html.Diunduh 3 Mei
2012.
49. Anonymous. http://www.drugs.com/pro/prednisone.html.Diunduh 21 Juli
2013.
50. Donna J Secker DJ, Jeejeebhoy KN. Subjective Global Nutritional
Assessment for childrenAm J Clin Nutr. 2007;85:1083–9. Printed in USA. ©
2007 American Society for Nutrition,
51. Moeeni V, Day AS. Nutritional Risk Screening Tools in Hospitalised
Children International Journal of Child Health and Nutrition, 2012, 1, 39-43
52. Faktor Penyebab Gizi Kurang dan Gizi Buruk. http://www.indonesian-
publichealth.com/2012/12/masalah-gizi-kurang-dan-gizi-buruk.html. 10 juni
2013
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
95
Universitas Indonesia
53. Alwadhi RK, Mathew JL, Rath B. Clinical profile of children with nephrotic
syndrome not on glucorticoid therapy, but presenting with infection. J
Paediatr Child Health. 2004;40(1-2):28-32.
54. Anonymous. Micronutrint Information Center.
http://lpi.oregonstate.edu/infocenter/. 23-7-13
55. Setiawan B, Rahayuningsih S. Angka kecukupan vitamin larut air. Dalam:
Angka Kecukupan Gizi dan Pelabelan Gizi. Widyakarya Nasional Pangan
dan Gizi 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2004.
h. 97-110
56. Yeun JY, Zakari M, Kaysen GA. Nephrotic Syndrome: Nutritional
consequence and dietary Management. 132–147. dalam : Mitch WE, Ikizler
TA. Handbook of Nutrition and the Kidney. 6 ed.Lippicott
Williams&Wilkins.2009.
57. Supandiman, I. Hematologi Klinik.Penerbit PT Alumni.Bandung.1997.
58. Bailey D, Bredell B. Paediatric. Hospital Life Support Resource. Department
of Health Goverment of Wester Australia. 2012.
59. Ricardo G. Hahn RG, Knox LM, Forman TA. Evaluation of
Poststreptococcal Illness. Am Fam Physician 2005; 15;71(10):1949-1954.
60. Meyers KEM. Evaluation of hematuria in children. Urol Clin N Am 2004;31:
559–573.
61. Shin YH, Shin JI, Park JM, kim JH, Lee JS,Kim MJ. A Five-Year-Old Boy
With Nephrotic Syndrome Complicated With Acute Acalculous
Cholecystitis. Pediatrics International 2007; 49:674–676.
62. Bogue, Conor O, Murphy, Amanda J, Gersle, et al. Risk Factors,
Complications, and Outcomes of Gallstones in Children: A Single-center
Review. Journal of Pediatric Gastroenterology & Nutrition 2010;50(3):303–
308.
63. LedererE.Hypokalemia. http://emedicine.medscape.com/article/242008-
overview. Diunduh 20 Juli 2013.
64. Sacher RA, McPherson RA. Dalam; Hartanto H (editor).Tinjauan Klinis
Hasil Pemeriksaan Laboratorium.Jakarta.EGC.2004.
65. Pardede SO. Struktur Sel streptokokus dan Patogenesis Glomerulonefritis
Akut Pasca Stretokokus. Sari Pediatri 2009;11(1).
66. Husen V, Kemper MJ. New therapies in steroid-sensitive and steroid-resistant
idiopathic nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 2011.26(6):881–92.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
96
Universitas Indonesia
67. Straatmann C, Ayoob R, Gbadegesin R, Gibson K, Rheault MN, et al.
Treatment outcome of late steroid-resistant nephrotic syndrome: a study by
the Midwest Pediatric Nephrology Consortium. Pediatric
Nephrology2013;28:1235–1241.
68. Anonymous. http://akfarsam.ac.id/downlot.php?file=DIURETIK.pdf.
Diunduh 22 Juli 2013.
69. Gbadegesin R, Smoyer WE. Nephrotic Syndrome. http:// www.podonet.org/
opencms/export/sites/default/podonet/podonet_en/pdf/9780323048835_12.pd
f. Diunduh 2 Juni 2013.
70. Anonymous. From Wikipedia, the free encyclopedia. http:// en.wikipedia.org/
wiki/ Lipiduria. Diunduh 23 Juli 2013.
71. Anonymous. Nephrotic Syndrome.
http://www.merckmanuals.com/professional/genitourinary_disorders/glomer
ular_disorders/nephrotic_syndrome.html.Diunduh. 20 Juni 2013.
72. Neverov NI, Nikitina EA. Lipiduria in the nephrotic syndrome. Ter
Arkh1992;64(6):16-8.
73. Byham-Gray L, Wiesen K. A clinical guide to nutrition care in kidney
disease.ADA, 2004
74. Cozzolino M, Gentile G, Mazzaferro S, Brancaccio D, Ruggenenti P,
Remuzzi G. Blood Pressure, Proteinuria, and Phosphate as Risk Factors for
Progressive Kidney Disease: A Hypothesis. Am J Kidney Dis. 2013.
75. Parra EG, Iguacel CG, Egido J, Ortiz A. Phosphorus and Nutrition in
Chronic Kidney Disease. International Journal of Nephrology2012.
76. Anonymous. Current Opinions in Saturated Fatty Acids and
Healthhttp://www.mpoc.org.my/Current_Opinions_in_Saturated_Fatty_Acid
s_and_Health_.aspx. 22-7-13.Diunduh 30 Juni 2013.
77. Lada AT, Rudel LL. Dietary monounsaturated versus polyunsaturated fatty
acids: which is really better for protection from coronary heart disease? Curr
Opin Lipidol.2003;14(1):41-6.
78. Mueller C, Compher C, Ellen DM, and the American Society for Parenteral
and Enteral Nutrition (ASPEN) Board of Directors. Nutrition Screening,
Assessment, and Intervention in Adult. ASPEN Clinical Guidelines. Journal
of Parenteral and Enteral Nutrition2011;35(1):16–24.
79. Hashem EA, Zakhary MM, Sotohi SM, Elkabs MY. Serum lipid and Lipid
Mediators in Childhood Nephrotic syndrome;Part II; Effect of fish oil and
lipoprotein abnormalities in non minimal change disease. Alex J.Pediatr
1998;12(2)
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
97
Universitas Indonesia
80. Mathew JL, Kabi BC, Rath B. Anti oxidant vitamin and steroid responsive
nephrotic syndrome in indian children. Journal of Paediatrics and Child
health. 2002; 38(5):450–454.
81. Anonymous. Essential Fatty Acids, Micronutrient Information Center. Linus
pauling institute. http:// lpi.oregonstate.edu/ infocenter/othernuts/omega3fa/
.Diunduh 23 Juli 2013.
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
98
Universitas Indonesia
Lampiran 1 Analisis asupan An. G
An. G (sebelum sakit)
Analysis of the food record
==========================================================
Food Amount energy carbohydr.
nasi putih 150 g 195,0 kcal 42,9 g
ikan goreng 50 g 79,9 kcal 0,0 g
susu dancow balita 240 g 1113,4 kcal 123,8 g
sayur sop 50 g 52,0 kcal 5,3 g
Meal analysis: energy 1440,3 kcal (100 %), carbohydrate 172,0 g (100 %)
Result
Nutrient analysed recommended percentage
content value value/day fulfillment
energy 1440,3 kcal 2036,3 kcal 71 %
water 0,0 g 1300,0 g 0 %
protein 62,8 g(18%) 60,1 g(12 %) 104 %
fat 55,4 g(34%) 69,1 g(< 30 %) 80 %
carbohydr. 172,0 g(48%) 290,7 g(> 55 %) 59 %
dietary fiber 2,1 g - -
alcohol 0,0 g - -
PUFA 1,5 g 9,0 g 17 %
cholesterol 85,0 mg - -
Vit. A 1250,0 µg 600,0 µg 208 %
carotene 0,0 mg - -
Vit. E (eq.) 11,1 mg 5,5 mg 202 %
Vit. B1 0,9 mg 0,6 mg 144 %
Vit. B2 1,5 mg 0,7 mg 217 %
Vit. B6 0,9 mg 0,4 mg 221 %
tot. fol.acid 123,3 µg 200,0 µg 62 %
Vit. C 90,8 mg 60,0 mg 151 %
sodium 799,5 mg - -
potassium 2624,5 mg 1500,0 mg 175 %
calcium 1868,0 mg 600,0 mg 311 %
magnesium 209,5 mg 80,0 mg 262 %
phosphorus 1629,5 mg 500,0 mg 326 %
iron 20,2 mg 8,0 mg 252 %
zinc 9,4 mg 3,0 mg 315 %
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
99
Universitas Indonesia
An. G (lima hari SMRS)
Analysis of the food record
Food Amount energy carbohydr.
nasi putih 75 g 97,5 kcal 21,5 g
ikan goreng 25 g 40,0 kcal 0,0 g
susu dancow balita 120 g 556,7 kcal 61,9 g
sayur sop 25 g 26,0 kcal 2,6 g
Meal analysis: energy 720,2 kcal (100 %), carbohydrate 86,0 g (100 %)
Result
Nutrient analysed recommended percentage
content value value/day fulfillment
energy 720,2 kcal 2036,3 kcal 35 %
water 0,0 g 1300,0 g 0 %
protein 31,4 g(18%) 60,1 g(12 %) 52 %
fat 27,7 g(34%) 69,1 g(< 30 %) 40 %
carbohydr. 86,0 g(48%) 290,7 g(> 55 %) 30 %
dietary fiber 1,0 g - -
alcohol 0,0 g - -
PUFA 0,8 g 9,0 g 8 %
cholesterol 42,5 mg - -
Vit. A 625,0 µg 600,0 µg 104 %
carotene 0,0 mg - -
Vit. E (eq.) 5,6 mg 5,5 mg 101 %
Vit. B1 0,4 mg 0,6 mg 72 %
Vit. B2 0,8 mg 0,7 mg 109 %
Vit. B6 0,4 mg 0,4 mg 111 %
tot. fol.acid 61,7 µg 200,0 µg 31 %
Vit. C 45,4 mg 60,0 mg 76 %
sodium 399,8 mg - -
potassium 1312,3 mg 1500,0 mg 87 %
calcium 934,0 mg 600,0 mg 156 %
magnesium 104,8 mg 80,0 mg 131 %
phosphorus 814,8 mg 500,0 mg 163 %
iron 10,1 mg 8,0 mg 126 %
zinc 4,7 mg 3,0 mg 158 %
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
100
Universitas Indonesia
An. G (24 jam terakhir)
Analysis of the food record
Food Amount energy carbohydr.
biscuit 18 g 91,2 kcal 14,0 g
susu dancow balita 160 g 742,3 kcal 82,6 g
Meal analysis: energy 833,5 kcal (100 %), carbohydrate 96,6 g (100 %)
Result
Nutrient analysed recommended percentage
content value value/day fulfillment
energy 833,5 kcal 2036,3 kcal 41 %
water 0,0 g 1300,0 g 0 %
protein 36,4 g(18%) 60,1 g(12 %) 61 %
fat 33,5 g(35%) 69,1 g(< 30 %) 49 %
carbohydr. 96,6 g(47%) 290,7 g(> 55 %) 33 %
dietary fiber 0,2 g - -
alcohol 0,0 g - -
PUFA 1,8 g 9,0 g 20 %
cholesterol 44,5 mg - -
Vit. A 689,8 µg 600,0 µg 115 %
carotene 0,0 mg - -
Vit. E (eq.) 6,6 mg 5,5 mg 120 %
Vit. B1 0,5 mg 0,6 mg 84 %
Vit. B2 1,0 mg 0,7 mg 146 %
Vit. B6 0,5 mg 0,4 mg 126 %
tot. fol.acid 70,6 µg 200,0 µg 35 %
Vit. C 59,6 mg 60,0 mg 99 %
sodium 530,2 mg - -
potassium 1606,4 mg 1500,0 mg 107 %
calcium 1270,7 mg 600,0 mg 212 %
magnesium 117,4 mg 80,0 mg 147 %
phosphorus 998,9 mg 500,0 mg 200 %
iron 12,9 mg 8,0 mg 162 %
zinc 5,8 mg 3,0 mg 193 %
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
101
Universitas Indonesia
Lampiran 2 Analisis asupan An. R
An. R (sebelum sakit)
Analysis of the food record
Food Amount energy carbohydr.
nasi putih 150 g 195,0 kcal 42,9 g
sayur bening campur 50 g 16,5 kcal 3,8 g
tempe goreng 50 g 177,0 kcal 7,7 g
ikan lele 25 g 21,0 kcal 0,0 g
sayur sop ayam 25 g 18,0 kcal 0,9 g
susu dancow balita 60 g 278,3 kcal 31,0 g
telur dadar 25 g 46,7 kcal 0,3 g
pisang ambon 50 g 46,0 kcal 11,7 g
Meal analysis: energy 798,5 kcal (100 %), carbohydrate 98,1 g (100 %)
Result
Nutrient analysed recommended percentage
content value value/day fulfillment
energy 798,5 kcal 2036,3 kcal 39 %
water 0,0 g 1300,0 g 0 %
protein 34,3 g(17%) 60,1 g(12 %) 57 %
fat 30,7 g(34%) 69,1 g(< 30 %) 45 %
carbohydr. 98,1 g(49%) 290,7 g(> 55 %) 34 %
dietary fiber 3,2 g - -
alcohol 0,0 g - -
PUFA 6,8 g 9,0 g 76 %
cholesterol 129,0 mg - -
Vit. A 597,5 µg 600,0 µg 100 %
carotene 0,0 mg - -
Vit. E (eq.) 4,4 mg 5,5 mg 80 %
Vit. B1 0,4 mg 0,6 mg 66 %
Vit. B2 0,7 mg 0,7 mg 95 %
Vit. B6 0,8 mg 0,4 mg 201 %
tot. fol.acid 89,4 µg 200,0 µg 45 %
Vit. C 29,5 mg 60,0 mg 49 %
sodium 251,3 mg - -
potassium 1202,8 mg 1500,0 mg 80 %
calcium 540,0 mg 600,0 mg 90 %
magnesium 126,8 mg 80,0 mg 158 %
phosphorus 646,5 mg 500,0 mg 129 %
iron 7,1 mg 8,0 mg 88 %
zinc 4,2 mg 3,0 mg 139 %
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
102
Universitas Indonesia
An. R (selama sakit satu minggu SMRS)
Analysis of the food record
Food Amount energy carbohydr.
bubur nasi 300 g 218,7 kcal 48,0 g
susu dancow balita 60 g 278,3 kcal 31,0 g
teh manis 200 g 25,8 kcal 6,4 g
Meal analysis: energy 522,8 kcal (100 %), carbohydrate 85,4 g (100 %)
Result
Nutrient analysed recommended percentage
content value value/day fulfillment
energy 522,8 kcal 2036,3 kcal 26 %
water 0,0 g 1300,0 g 0 %
protein 16,9 g(13%) 60,1 g(12 %) 28 %
fat 11,7 g(20%) 69,1 g(< 30 %) 17 %
carbohydr. 85,4 g(67%) 290,7 g(> 55 %) 29 %
dietary fiber 0,6 g - -
alcohol 0,0 g - -
PUFA 0,5 g 9,0 g 6 %
cholesterol 15,0 mg - -
Vit. A 252,0 µg 600,0 µg 42 %
carotene 0,0 mg - -
Vit. E (eq.) 2,4 mg 5,5 mg 44 %
Vit. B1 0,2 mg 0,6 mg 35 %
Vit. B2 0,4 mg 0,7 mg 56 %
Vit. B6 0,3 mg 0,4 mg 68 %
tot. fol.acid 28,2 µg 200,0 µg 14 %
Vit. C 22,2 mg 60,0 mg 37 %
sodium 198,0 mg - -
potassium 670,0 mg 1500,0 mg 45 %
calcium 472,0 mg 600,0 mg 79 %
magnesium 67,0 mg 80,0 mg 84 %
phosphorus 425,0 mg 500,0 mg 85 %
iron 5,1 mg 8,0 mg 64 %
zinc 2,7 mg 3,0 mg 90 %
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
103
Universitas Indonesia
An. R (24 jam terakhir)
Analysis of the food record
Food Amount energy carbohydr.
bubur nasi 150 g 109,3 kcal 24,0 g
susu dancow balita 45 g 208,8 kcal 23,2 g
Meal analysis: energy 318,1 kcal (100 %), carbohydrate 47,2 g (100 %)
Result
Nutrient analysed recommended percentage
content value value/day fulfillment
energy 318,1 kcal 2036,3 kcal 16 %
water 0,0 g 1300,0 g 0 %
protein 11,7 g(15%) 60,1 g(12 %) 19 %
fat 8,7 g(24%) 69,1 g(< 30 %) 13 %
carbohydr. 47,2 g(61%) 290,7 g(> 55 %) 16 %
dietary fiber 0,3 g - -
alcohol 0,0 g - -
PUFA 0,3 g 9,0 g 4 %
cholesterol 11,3 mg - -
Vit. A 189,0 µg 600,0 µg 32 %
carotene 0,0 mg - -
Vit. E (eq.) 1,8 mg 5,5 mg 33 %
Vit. B1 0,2 mg 0,6 mg 25 %
Vit. B2 0,3 mg 0,7 mg 41 %
Vit. B6 0,2 mg 0,4 mg 45 %
tot. fol.acid 20,4 µg 200,0 µg 10 %
Vit. C 16,6 mg 60,0 mg 28 %
sodium 144,0 mg - -
potassium 460,5 mg 1500,0 mg 31 %
calcium 349,5 mg 600,0 mg 58 %
magnesium 42,0 mg 80,0 mg 53 %
phosphorus 301,5 mg 500,0 mg 60 %
iron 3,8 mg 8,0 mg 47 %
zinc 1,9 mg 3,0 mg 63 %
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
104
Universitas Indonesia
Lampiran 3 Analisis asupan An. F
An. F (sebelum sakit)
Analysis of the food record
Food Amount energy carbohydr.
nasi putih 200 g 260,0 kcal 57,2 g
sayur bening campur 25 g 8,2 kcal 1,9 g
tempe goreng 25 g 88,5 kcal 3,8 g
ikan kembung goreng 50 g 101,0 kcal 0,0 g
supermie 80 g 112,8 kcal 22,6 g
susu kental manis 200 g 640,1 kcal 109,0 g
telur rebus 50 g 93,5 kcal 0,6 g
pepaya 50 g 19,5 kcal 4,9 g
krupuk rambak 25 g 131,8 kcal 14,9 g
Meal analysis: energy 1455,3 kcal (100 %), carbohydrate 215,0 g (100 %)
Result
Nutrient analysed recommended percentage
content value value/day fulfillment
energy 1455,3 kcal 2036,3 kcal 71 %
water 0,0 g 1600,0 g 0 %
protein 43,6 g(12%) 60,1 g(12 %) 73 %
fat 47,6 g(29%) 69,1 g(< 30 %) 69 %
carbohydr. 215,0 g(59%) 290,7 g(> 55 %) 74 %
dietary fiber 3,8 g 22,5 g 17 %
alcohol 0,0 g - -
PUFA 13,4 g 10,0 g 134 %
cholesterol 286,5 mg - -
Vit. A 400,0 µg 700,0 µg 57 %
carotene 0,0 mg - -
Vit. E (eq.) 3,5 mg 8,0 mg 44 %
Vit. B1 0,4 mg 0,8 mg 53 %
Vit. B2 1,1 mg 0,9 mg 126 %
Vit. B6 0,5 mg 0,5 mg 97 %
tot. fol.acid 88,8 µg 300,0 µg 30 %
Vit. C 36,3 mg 70,0 mg 52 %
sodium 333,5 mg 2000,0 mg 17 %
potassium 1244,6 mg 1500,0 mg 83 %
calcium 694,3 mg 700,0 mg 99 %
magnesium 141,9 mg 120,0 mg 118 %
phosphorus 916,5 mg 600,0 mg 153 %
iron 3,2 mg 8,0 mg 39 %
zinc 4,7 mg 5,0 mg 94 %
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
105
Universitas Indonesia
An. F (selama sakit enam minggu SMRS)
Analysis of the food record
Food Amount energy carbohydr.
nasi putih 200 g 260,0 kcal 57,2 g
sayur bening campur 25 g 8,2 kcal 1,9 g
tempe goreng 25 g 88,5 kcal 3,8 g
ikan kembung goreng 50 g 101,0 kcal 0,0 g
supermie 80 g 112,8 kcal 22,6 g
susu kental manis 200 g 640,1 kcal 109,0 g
telur rebus 50 g 93,5 kcal 0,6 g
pepaya 50 g 19,5 kcal 4,9 g
krupuk rambak 25 g 131,8 kcal 14,9 g
Meal analysis: energy 1455,3 kcal (100 %), carbohydrate 215,0 g (100 %)
Result
Nutrient analysed recommended percentage
content value value/day fulfillment
energy 1455,3 kcal 2036,3 kcal 71 %
water 0,0 g 1600,0 g 0 %
protein 43,6 g(12%) 60,1 g(12 %) 73 %
fat 47,6 g(29%) 69,1 g(< 30 %) 69 %
carbohydr. 215,0 g(59%) 290,7 g(> 55 %) 74 %
dietary fiber 3,8 g 22,5 g 17 %
alcohol 0,0 g - -
PUFA 13,4 g 10,0 g 134 %
cholesterol 286,5 mg - -
Vit. A 400,0 µg 700,0 µg 57 %
carotene 0,0 mg - -
Vit. E (eq.) 3,5 mg 8,0 mg 44 %
Vit. B1 0,4 mg 0,8 mg 53 %
Vit. B2 1,1 mg 0,9 mg 126 %
Vit. B6 0,5 mg 0,5 mg 97 %
tot. fol.acid 88,8 µg 300,0 µg 30 %
Vit. C 36,3 mg 70,0 mg 52 %
sodium 333,5 mg 2000,0 mg 17 %
potassium 1244,6 mg 1500,0 mg 83 %
calcium 694,3 mg 700,0 mg 99 %
magnesium 141,9 mg 120,0 mg 118 %
phosphorus 916,5 mg 600,0 mg 153 %
iron 3,2 mg 8,0 mg 39 %
zinc 4,7 mg 5,0 mg 94 %
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
106
Universitas Indonesia
An. F. (24 jam terakhir)
Analysis of the food record
Food Amount energy carbohydr.
bubur nasi 200 g 145,8 kcal 32,0 g
sayur sop 50 g 52,0 kcal 5,3 g
minuman susu ultra / ultra milk 250 g 164,9 kcal 12,0 g
ikan kembung goreng 50 g 101,0 kcal 0,0 g
telur orak arik 50 g 85,0 kcal 1,2 g
roti manis 100 g 284,9 kcal 56,7 g
tempe goreng 25 g 88,5 kcal 3,8 g
Meal analysis: energy 922,0 kcal (100 %), carbohydrate 111,0 g (100 %)
Result
Nutrient analysed recommended percentage
content value value/day fulfillment
energy 922,0 kcal 2036,3 kcal 45 %
water 0,0 g 1600,0 g 0 %
protein 36,9 g(16%) 60,1 g(12 %) 61 %
fat 37,0 g(35%) 69,1 g(< 30 %) 54 %
carbohydr. 111,0 g(49%) 290,7 g(> 55 %) 38 %
dietary fiber 5,1 g 22,5 g 23 %
alcohol 0,0 g - -
PUFA 9,3 g 10,0 g 93 %
cholesterol 213,5 mg - -
Vit. A 445,8 µg 700,0 µg 64 %
carotene 0,0 mg - -
Vit. E (eq.) 3,0 mg 8,0 mg 38 %
Vit. B1 0,5 mg 0,8 mg 59 %
Vit. B2 0,8 mg 0,9 mg 87 %
Vit. B6 0,5 mg 0,5 mg 101 %
tot. fol.acid 100,3 µg 300,0 µg 33 %
Vit. C 6,5 mg 70,0 mg 9 %
sodium 768,8 mg 2000,0 mg 38 %
potassium 899,0 mg 1500,0 mg 60 %
calcium 376,5 mg 700,0 mg 54 %
magnesium 114,8 mg 120,0 mg 96 %
phosphorus 698,3 mg 600,0 mg 116 %
iron 3,1 mg 8,0 mg 39 %
zinc 4,0 mg 5,0 mg 79 %
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
107
Universitas Indonesia
Lampiran 4 Analisis asupan An. E
An. E (sebelum sakit)
Analysis of the food record
Food Amount energy carbohydr.
nasi putih 250 g 325,0 kcal 71,5 g
sayur sop 25 g 26,0 kcal 2,6 g
telur dadar 25 g 46,7 kcal 0,3 g
ikan lele 50 g 41,9 kcal 0,0 g
daging ayam goreng 50 g 166,0 kcal 1,9 g
roti manis 100 g 284,9 kcal 56,7 g
tempe goreng 75 g 265,5 kcal 11,5 g
sayur bening campur 25 g 8,2 kcal 1,9 g
tumis sawi 25 g 7,0 kcal 0,4 g
jeruk manis 50 g 23,5 kcal 5,9 g
pepaya 50 g 19,5 kcal 4,9 g
chiki 50 g 255,0 kcal 31,5 g
Meal analysis: energy 1469,3 kcal (100 %), carbohydrate 189,0 g (100 %)
Result Nutrient analysed recommended percentage
content value value/day fulfillment
energy 1469,3 kcal 2036,3 kcal 72 %
water 0,0 g 1800,0 g 0 %
protein 55,0 g(15%) 60,1 g(12 %) 91 %
fat 55,0 g(33%) 69,1 g(< 30 %) 80 %
carbohydr. 189,0 g(52%) 290,7 g(> 55 %) 65 %
dietary fiber 8,8 g 25,0 g 35 %
alcohol 0,0 g - -
PUFA 19,0 g 10,0 g 190 %
cholesterol 162,0 mg - -
Vit. A 432,8 µg 800,0 µg 54 %
carotene 0,0 mg - -
Vit. E (eq.) 5,3 mg 9,5 mg 55 %
Vit. B1 0,5 mg 1,0 mg 53 %
Vit. B2 0,6 mg 1,1 mg 50 %
Vit. B6 0,7 mg 0,7 mg 103 %
tot. fol.acid 150,0 µg 300,0 µg 50 %
Vit. C 64,3 mg 80,0 mg 80 %
sodium 652,8 mg 2000,0 mg 33 %
potassium 1096,5 mg 1500,0 mg 73 %
calcium 164,3 mg 900,0 mg 18 %
magnesium 167,0 mg 170,0 mg 98 %
phosphorus 659,8 mg 800,0 mg 82 %
iron 4,7 mg 10,0 mg 47 %
zinc 5,2 mg 7,0 mg 74 %
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
108
Universitas Indonesia
An. E. (satu minggu SMRS)
Analysis of the food record
Food Amount energy carbohydr.
nasi putih 125 g 162,5 kcal 35,8 g
sayur sop 12,5 g 13,0 kcal 1,3 g
telur dadar 12,5 g 23,4 kcal 0,2 g
ikan lele 25 g 21,0 kcal 0,0 g
daging ayam goreng 25 g 83,0 kcal 0,9 g
roti manis 50 g 142,4 kcal 28,4 g
tempe goreng 37,5 g 132,7 kcal 5,7 g
sayur bening campur 12,5 g 4,1 kcal 0,9 g
tumis sawi 12,5 g 3,5 kcal 0,2 g
jeruk manis 25 g 11,8 kcal 3,0 g
pepaya 25 g 9,7 kcal 2,5 g
Butter biscuits 50 g 240,0 kcal 30,9 g
Meal analysis: energy 847,1 kcal (100 %), carbohydrate 109,7 g (100 %)
Result
Nutrient analysed recommended percentage
content value value/day fulfillment
energy 847,1 kcal 2036,3 kcal 42 %
water 1,0 g 1800,0 g 0 %
protein 31,0 g(15%) 60,1 g(12 %) 52 %
fat 31,7 g(33%) 69,1 g(< 30 %) 46 %
carbohydr. 109,7 g(52%) 290,7 g(> 55 %) 38 %
dietary fiber 5,5 g 25,0 g 22 %
alcohol 0,0 g - -
PUFA 6,4 g 10,0 g 64 %
cholesterol 112,0 mg - -
Vit. A 302,9 µg 800,0 µg 38 %
carotene 0,0 mg - -
Vit. E (eq.) 2,5 mg 9,5 mg 27 %
Vit. B1 0,3 mg 1,0 mg 32 %
Vit. B2 0,4 mg 1,1 mg 33 %
Vit. B6 0,4 mg 0,7 mg 61 %
tot. fol.acid 78,0 µg 300,0 µg 26 %
Vit. C 32,7 mg 80,0 mg 41 %
sodium 459,4 mg 2000,0 mg 23 %
potassium 659,8 mg 1500,0 mg 44 %
calcium 148,1 mg 900,0 mg 16 %
magnesium 98,3 mg 170,0 mg 58 %
phosphorus 431,6 mg 800,0 mg 54 %
iron 3,0 mg 10,0 mg 30 %
zinc 3,1 mg 7,0 mg 44 %
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
109
Universitas Indonesia
An. E (24 jam terakhir)
Analysis of the food record
Food Amount energy carbohydr.
nasi putih 125 g 162,5 kcal 35,8 g
sayur sop 12,5 g 13,0 kcal 1,3 g
telur dadar 12,5 g 23,4 kcal 0,2 g
ikan lele 25 g 21,0 kcal 0,0 g
daging ayam goreng 25 g 83,0 kcal 0,9 g
roti manis 50 g 142,4 kcal 28,4 g
tempe goreng 37,5 g 132,7 kcal 5,7 g
sayur bening campur 12,5 g 4,1 kcal 0,9 g
tumis sawi 12,5 g 3,5 kcal 0,2 g
jeruk manis 25 g 11,8 kcal 3,0 g
pepaya 25 g 9,7 kcal 2,5 g
roti tawar manis 50 g 142,4 kcal 28,4 g
Meal analysis: energy 749,6 kcal (100 %), carbohydrate 107,1 g (100 %)
Result
Nutrient analysed recommended percentage
content value value/day fulfillment
energy 749,6 kcal 2036,3 kcal 37 %
water 0,0 g 1800,0 g 0 %
protein 30,0 g(16%) 60,1 g(12 %) 50 %
fat 22,5 g(26%) 69,1 g(< 30 %) 32 %
carbohydr. 107,1 g(58%) 290,7 g(> 55 %) 37 %
dietary fiber 5,4 g 25,0 g 22 %
alcohol 0,0 g - -
PUFA 6,1 g 10,0 g 61 %
cholesterol 81,0 mg - -
Vit. A 216,4 µg 800,0 µg 27 %
carotene 0,0 mg - -
Vit. E (eq.) 2,1 mg 9,5 mg 22 %
Vit. B1 0,3 mg 1,0 mg 30 %
Vit. B2 0,3 mg 1,1 mg 27 %
Vit. B6 0,4 mg 0,7 mg 51 %
tot. fol.acid 87,5 µg 300,0 µg 29 %
Vit. C 32,1 mg 80,0 mg 40 %
sodium 600,4 mg 2000,0 mg 30 %
potassium 582,3 mg 1500,0 mg 39 %
calcium 84,6 mg 900,0 mg 9 %
magnesium 88,8 mg 170,0 mg 52 %
phosphorus 356,6 mg 800,0 mg 45 %
iron 2,5 mg 10,0 mg 25 %
zinc 2,8 mg 7,0 mg 40 %
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
110
Universitas Indonesia
Lampiran 5 Form skrining RSUT
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
111
Universitas Indonesia
Lampiran 6 Form SGNA Kasus 1 (An. G)
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
112
Universitas Indonesia
Lampiran 7 Form SGNA An. R
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
113
Universitas Indonesia
Lampiran 8 Form SGNA An F
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
114
Universitas Indonesia
Lampiran 9 Form SGNA Kasus 4. (An. E)
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
115
Universitas Indonesia
Lampiran 10 Grafik CDC anak laki–laki 0–36 bulan
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
116
Universitas Indonesia
Lampiran 11 Grafik CDC anak laki laki 2–20 tahun
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
117
Universitas Indonesia
Lampiran 12 Grafik CDC anak perempuan 2–20 tahun
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
118
Universitas Indonesia
Lampiran 13 Tabel tekanan darah anak laki–laki
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
119
Universitas Indonesia
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
120
Universitas Indonesia
Lampiran 14 Tabel tekanan darah anak perempuan
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
121
Universitas Indonesia
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
122
Universitas Indonesia
An G 26 Januari 2013 27 Januari 2013 28 Januari 2013
S Tidak muntah, makan sekitar setengah prosi, mata masih
bengkak, perut masih kencang, sesak dan batuk
Tidak muntah, mata masih bengkak , perut masih kencang,
masih sesak dan batuk
Mau makan setengah porsi, tidak muntah, BAB satu kali lembek,
kuning, BAK senakin banyak, mata dan kaki masih bengkak,
perut masih agak kenceng, sesak berkurang, dan batuk kadang -
kadang
O Kesadaran : CM
TV :
TD =105 /70
mmHg
RR = 28 x/menit
N = 116 x/menit S = 36,5
Antropometri: BB = 14,8 kg
Laboratorium :
Terapi sejawat :
Lasix 3x20 mg
Aldakton 2x6,25 mg
Cefotaxim mg 2x75
Prednison 3x2 tab
Mucera sirup 3x1 cth
Diusulakn pemberian multivitamin sirup 3x1 cth
Balans Cairan :
Intake 1250 mL
Output
IWL
220 mL
Urin 750 mL
BC (-) 280 mL
Diuresis : 2,6 mL/jam
Analisis Asupan :
E
(kka
l)
KH
(g)
L(g) P
(g)
ML
+SF
890 113,
5
35 29,5
Kesadaran : CM
TV :
TD = 105/60 RR = 26 x/menit
N = 116 x/menit S = 36,6
Antropometri : BB = 14,5 kg
Laboratorium :
Terapi sejawat : sama
Balans Cairan :
Intake 1000 mL
Output
IWL
220 mL
Urin 1000 mL
BC (-) 220 mL
Diuresis : 3,47 mL/jam
Analisis asupan :
E
(kkal
)
KH (g) L (g) P
(g)
ML
+SF
772 102,7 29,2 24,1
KEB = kkal
KET = kkal
KH = gr(%), Protein gr, Lipid gr(25 %)
Kesadaran : CM
TV :
TD = 100/60 mmHg RR = 26 x menit
N = 110 x/menit S = 36,6
Antropometri : BB = 14 kg
Laboratorium : urin kuantitatif 2436 mg/24 jam (Nilai normal
24–141 mg/24 jam)
Terapi sejawat :sama
Penambahan : zamel sirup 3x1 cth, albumin 20 % sebanyak 50
mL
Balans Cairan :
Intake 1250 mL
Output
IWL
220 mL
Urin 1500 mL
BC (-) 470 mL
Diuresis : 5,2 mL/jam
Analisis Asupan:
E (kkal) KH (g) L (g) P (g)
ML
+SF
1015
237,2 38,5 31,9
KEB = kkal
KET = kkal
KH = gr, Protein = gr, Lipid gr (25%)
A Sindroma nefrotik idiopatik,
bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang,
hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria,
dislipidemia)
Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia,
hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria,
hematuria, dislipidemia)
Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia,
hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria,
hematuria, dislipidemia)
Monitoring An. G Lampiran 15 Monitoring An. G
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
123
Universitas Indonesia
P 1000 kkal, protein 22 g, lemak 28 g (25 %), KH 166 g (66
%)
{KEB = 795,586 kkal, KET = 1000 kkal, KH = 166 gr(66
%), Protein 22 gr, Lipid 28 gr(25 %)}
Bentuk : 3xmakan pokok diet bubur nasi+2xselingan
Cairan = 1100 mL/24 jam
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
1000 kkal, protein 22 g, lemak 28 g (25 %), KH 166 g (66 %)
Bentuk : 3xmakan pokok diet bubur nasi+2xselingan
Cairan = 1100 mL/24 jam
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
1000 kkal, protein 22 g, lemak 28 g (25 %), KH 166 g (66 %)
3xmakan pokok diet nasi tim+2xselingan
Cairan = 1100 mL/24 j
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
An G 29 Januari 2013 30 Januari 2013 31 januari 2013
S Masih batuk, sesak berkurang, mata sudah tidak bengkak,
bengkak diperut sudah berkurang,BAK banyak, makan
habis
Kaki sudah tidak bengkak, bengkak diperut semakin berkurang,
BAK banyak, makan habis
Kemaluan sudah tidak bengkak, perut semakin kempes,BAK
banyak, makan habis
O Kesadaran : CM
TV :
TD = 100/70
mmHg
RR = 26 x/menit
N = 100 x/menit S = 36,5
Antropometri : BB = 13,5 kg
Laboratorium : Urin : pH 6,5, berat jenis 1010, leukosit 5–
10/LPB, eritrosit 3–8/LPB, epitel (+), silinder butir 0–
1/LPB, protein (+), darah samar (+)
Terapi sejawat :sama
Balans Cairan :
Intake 1750 mL
Output
IWL
220 mL
Urin 2000 mL
BC (-) 470 mL
Diuresis : 6,9 mL/jam
Kesadaran : CM
TV :
TD = 100/60
mmHg
RR = 24 x/menit
N = 100 x/menit S = 36,6
Antropometri : BB = 13,5 kg
Laboratorium : -
Terapi sejawat : sama
Balans Cairan :
Intake 1750 mL
Output
IWL
220 mL
Urin 2000 mL
BC (-) 250 mL
Diuresis : 6,9 mL/jam
Kesadaran : CM
TV :
TD = 100/60 mmHg RR = 24 x menit
N = 100 x/menit S = 36,5
Antropometri : BB = 13 kg
Laboratorium : -
USG abdomen : Abdomen dalam batas normal
Terapi sejawat : sama
Balans Cairan :
Intake 1750 mL
Output
IWL
220 mL
Urin 2000 mL
BC (-) 470 mL
Diuresis : 6,9 mL/jam
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
124
Universitas Indonesia
Analisis Asupan :
Vol E
(kka
l)
KH
(g)
L
(g)
P
(g)
ML
+SF
146
0
191 56 47
KEB = kkal
KET = kkal
KH = gr(%), Protein gr, Lipid gr(25 %)
Analisis asupan :
Vol E
(kkal
)
KH (g) L (g) P
(g)
Nas
i+S
F
1460 191 56 47
KEB = kkal
KET = kkal
KH = gr(%), Protein gr, Lipid gr(25 %)
Analisis Asupan:
E (kkal) KH (g) L (g) P (g)
Nasi+S
F 1460
191 56 47
KEB = kkal
KET = kkal
KH = gr, Protein = gr, Lipid gr (25%)
A Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang,
hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria,
dislipidemia)
Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria,
hematuria, dislipidemia)
Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria,
hematuria, dislipidemia)
P 1000 kkal, protein 22 g, lemak 28 g (25 %), KH 166 g (66
%)
Bentuk : 3xmakan pokok diet nasi biasa+2x selingan
Cairan = 1100 mL/24 jam
Saran Mikronutrien :
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
1000 kkal, protein 22 g, lemak 28 g (25 %), KH 166 g (66 %)
Bentuk : 3xmakan pokok diet nasi biasa+2x selingan
Cairan = 1100 mL/24 jam
Saran Mikronutrien :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
1000 kkal, protein 22 g, lemak 28 g (25 %), KH 166 g (66 %)
Bentuk : 3xmakan pokok diet nasi biasa+2x selingan
Cairan = 1100 mL/24 jam
Saran Mikronutrien :
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
125
Universitas Indonesia
An. R 15 Pebruari 2013 16 Pebruari 2013 17 Pebruari 2013
S Mata masih sembab, makan masih sedikit, tidak muntah,
perut masih kencang, BAK mulai banyak, tidak sesak
Mata tidak sembab lagi makan masih sedikit, tidak muntah,
perutmulai mengendor, BAK semakin banyak
Kemaluan tidak bengkak lagi, perut mulai berkurang
bengkaknya, masih habis setengah,tidak muntah,tidak sesak
O Kesadaran : CM
TV :
TD = 90/ 60 mmHg RR = 28 x/menit
N = 128 x/menit S = 36,6 0C
BB = 12 kg
Laboratorium :
Terapi :
Lasix 3x10 mg iv
Prednison 1,5–1,5–1,5 po
Cefotaxim 2x500 mg iv
Captopril 3x2 mg po
Spironolakton 2x6,25 mg
Albumin 20 % sebanyak 50 mL iv
Balans Cairan :
Intake 550 mL
Output
IWL
170 mL
Urin 500 mL
BC (-)120 mL
Diuresis : 2,3 mL/jam
Analisis Asupan :
E
(kka
l)
KH
(g)
L
(g)
P
(g)
435 79,4 9,6 8,6
KEB = 537,127 kkal
KET = 700 kkal
KH = 114 gr(65%), Protein 17 gr, Lipid 19 gr(25 %)
Kesadaran : CM
TV :
TD = 100/65mmHg RR = 28 x/menit
N = 126 x/menit S = 36,60C
BB = 11,7 kg
Laboratorium : Albumin 2,8 mg/dL, globulin 3,6 mg/dL, protein
total 6,4mg/dL
Terapi tetap
Balans Cairan :
Intake 700 mL
Output
IWL
170 mL
Urin 750 mL
BC (-) 220 mL
Diuresis : 3,4 mL/jam
Analisis asupan :
E
(kkal
)
KH (g) L (g) P
(g)
537,
5
91,1 14,4 10,8
5
Kesadaran : CM
TV :
TD = 100/60 mmHg
N = 126 x/menit
BB = 11,5 kg
Laboratorium-
Terapi : tetap
Balans Cairan :
Intake 700 mL
Output
IWL
170 mL
Urin 750 mL
BC (-) 220 mL
Diuresis : 3,4 mL/jam
Analisis Asupan:
E (kkal) KH (g) L (g) P (g)
537,5 91,1 14,4 10,8
A Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia,
gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia,
proteinuria, hematuria, dislipidemia)
Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia,
gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria,
hematuria, dislipidemia)
Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia,
gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria,
hematuria, dislipidemia)
Lembar monitoring An. R Lampiran 16 Monitoring An. R
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
126
Universitas Indonesia
P 560 kkal, protein 17 g, lemak 16 g, KH 88 g
Bentuk bubur nasi lauk cincang, extra susu formula
Cairan = 900 mL/24 jam
Saran Mikronutrien
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
560 kkal, protein 17 g, lemak 16 g, KH 88 g
Bentuk bubur nasi lauk cincang, extra susu formula
Bentuk bubur nasi lauk cincang, extra susu formula
Cairan = 900 mL/24 jam
Saran Mikronutrien
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
560 kkal, protein 17 g, lemak 16 g, KH 88 g
Bentuk nasi tim lauk cincang, extra susu formula
Cairan = 900 mL/24 jam
Saran Mikronutrien
Monitoring
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
An R 18 Pebruari 2013 19 Pebruari 2013 20 Pebruari 2013
S Kaki masih bengkak, batuk (+), demam (-), makan sudah
mulai banyak, tidak muntah, tidak diare
Bengkak kaki berkurang, perut buncit semakin mengecil, tidak
muntah, tidak diare,BAK bertambah banyak
Perut buncit dan kencang semakin berkurang, sudah tidak
bengkak mata, BAK seperti kemarin
O Kesadaran : CM
TV :
TD =100/60 mmHg RR = 26 x/menit
N = 126 x/menit S = 36,50C
BB = 11 kg
Laboratorium : Albumin 3,2 mg/dL, ureum 15 mg/dL,
kreatinin 0,5 mg/dL, urin: kuning keruh, pH 7, berat jenis
1015, silinder hialin 0–1/LPB, Protein (++), eritrosit penuh
Terapi tambahan :
Amoksisillin 3x250 mg , po
Albumin stop
Balans Cairan :
Intake 850 mL
Output
IWL
170 mL
Urin 1000 mL
BC (-) 320 mL
Diuresis : 4,6 mL/jam
Kesadaran : CM
TV :
TD = 95/60 mmHg RR = 26 x/menit
N = 120 x/menit S = 36,60C
BB = 11 kg
Laboratorium
Terapi
Balans Cairan :
Intake 1100 mL
Output
IWL
170 mL
Urin 1250 mL
BC (-) 320 mL
Diuresis : 5,8 mL/jam
Kesadaran : CM
TV :
TD =95/55 mmHg RR = 26 x menit
N = 120 x/menit S = 36,60C
BB = 10,5 kg
Terapi
Balans Cairan :
Intake 1100 mL
Output
IWL
170 mL
Urin 1250 15mL
BC (-) 320 mL
Diuresis : 5,8 mL/jam
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
127
Universitas Indonesia
Analisis Asupan :
E
(kka
l)
KH
(g)
L
(g)
P
(g)
640 87,8 26,1 13,5
Analisis asupan :
E
(kkal
)
KH (g) L (g) P
(g)
640 87,8 26,1 13,5
Analisis Asupan:
E (kkal) KH (g) L (g) P (g)
890 108,8 33 19,8
A Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia,
gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia,
proteinuria, hematuria, dislipidemia)
Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia,
gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria,
hematuria, dislipidemia)
Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia,
gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria,
hematuria, dislipidemia) P 700 kkal, protein 17 g, lemak 19 g
(25%),karbohidrat 114 g (65%)
Bentuk nasi tim lauk cincang, extra susu formula
Cairan = 900 mL/24 jam
Saran Mikronutrien
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
700 kkal, protein 17 g, lemak 19 g
(25%),karbohidrat 114 g (65%)
Bentuk nasi tim lauk cincang, extra susu formula
Cairan = 900 mL/24 jam
Saran Mikronutrien
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
700 kkal, protein 17 g, lemak 19 g
(25%),karbohidrat 114 g (65%)
Bentuk nasi tim lauk cincang, extra susu formula
Nasi biasa RS, ekstra suusu formula
Cairan = 900 mL/24 jam
Saran Mikronutrien
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
An R 21 Pebruari 2013 22 pebruari 2013
S Bengkak kemaluan berkurang banyak BAK bertambah
banyak, makan dari RS setenga, makan bawaan sendiri kue
kue, tidak diare,tidak muntah
Kemaluan tidak banyak BAK seperti kemarin, makan dari RS
setengah, makan bawaan sendiri kue kue, tidak diare,tidak
muntah
O Kesadaran : CM
TV :
TD = 95/55 mmHg RR = 26 x/menit
N = 110 x/menit S = 36,50C
Antropometri : BB = 10,5 kg
Kesadaran : CM
TV :
TD = 95/50 mmHg RR = 26 x/menit
N = 110x/menit S = 36,50C
Antropometri : BB = 10 kg
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
128
Universitas Indonesia
Laboratorium : Albumin 3,2 mg/dL, trigliserida 483 mg/dL,
kolesterol total 631 mg/dL, ureum 15 mg/dL, kreatinin 0,5
mg/dL, natrium 130 mmol/L, kalium 3,3 mmol/L, klorida 99
mmol/L, Urin : kuning keruh, pH 6, berat jenis 1030, protein
(++), darah samar (+), silinder 0–1/LPB
Terapi sejawat :
Furosemide
Spironolakton
Captopril
Balans Cairan :
Intake 1350 mL
Output
IWL
170 mL
Urin 1500 mL
BC (-) 320 mL
Diuresis : 6,9 mL/jam
Analisis Asupan :
Vol E
(kka
l)
KH
(g)
L
(g)
P
(g)
890 120,
8
27,5 19,8
Laboratorium
Terapi sejawat :
Sama
Penambahan :
Balans Cairan :
Intake 1350 mL
Output
IWL
170 mL
Urin 1500 mL
BC (-) 320 mL
Diuresis : 6,9 mL/jam
Analisis asupan :
Vol E
(kkal
)
KH (g) L (g) P
(g)
890 120,8 27,5 19,8
A Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia,
proteinuria, hematuria, dislipidemia)
Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria,
hematuria, dislipidemia) P 700 kkal, protein 17 g, lemak 19 g
Nasi biasa RS, ekstra suusu formula
(25%),karbohidrat 114 g (65%) Cairan = 900 mL/24 jam
Saran Mikronutrien
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
700 kkal, protein 17 g, lemak 19 g
(25%),karbohidrat 114 g (65%) Nasi biasa RS, ekstra suusu formula
Cairan = 900 mL/24 jam
Saran Mikronutrien
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
129
Universitas Indonesia
Balans cairan perhari
An. F 29 Januari 2013 30 Januari 2013 31 januari 2013
S Sulit minum obat, lauk maunya telur, tidak mual,tidak
muntah, tidak sukabubur, mata sembab, perut kencang
membesar, kaki dan kemaluanb engkak, tidak sesak, BAK
sedikit
Kemaluan, kaki, dan mata masih bengkak, perut masih kencang,
BAK masih sedikit
Masih lapar, BAK sudah lebih banyak, bengkak mata berkurang
O Kesadaran : CM
TV :
TD = 110/70
mmHg
RR = 28 x/menit
N = 116 x/menit S = 36,50C
BB = 20 kg
Laboratorium : Tidak ada tambahan
Terapi :
Furosemide 3x20 mg iv
Cefotaxim 2x800 mg iv
Captopril 2x6,25 mg po
Prednison 3-3-3 po
Balans Cairan :
Intake 500 mL
Output
IWL
285 mL
Urin 250 mL
BC (-) 35 mL
Diuresis : 0,65 mL/24 jam
Analisis Asupan :
E
(kkal
)
K
H
(g)
L
(g)
P (g)
Diet nasi RS,
susu ultra
1290 20
3
35,
5
39
KEB = 877,042 kkal
KET = 1100 kkal
KH = 175 gr(64 %), Protein 31 gr, Lipid 30,5 gr(25 %)
Kesadaran : CM
TV :
TD = 110/65
mmHg
RR = 26 x/menit
N = 118 x/menit S = 36,60C
BB = 20,5 kg
Laboratorium:-
Terapi : Tidak ada tambahan
Balans Cairan :
Intake 500 mL
Output
IWL
285 mL
Urin 250 mL
BC (-) 35 mL
Diuresis : 0,65 mL/24 jam
Analisis asupan :
E
(kkal
)
KH (g) L (g) P
(g)
Diet
nasi
RS,
susu
ultra
1290 203 35,5 39
Kesadaran : CM
TV :
TD = 100/ 65mmHg RR = 24 x menit
N = 116 x/menit S = 36,70C
BB = 20 kg
Laboratorium :
Terapi : Tidak ada tambahan
Balans Cairan :
Intake 865 mL
Output
IWL
285 mL
Urin 500 mL
BC (-) 180 mL
Diuresis : 1,3 mL/24 jam
Analisis Asupan:
E
(kkal)
KH (g) L (g) P (g)
Diet
nasi
RS,
milo
cair
1290 203 35,5 39
A Sindroma nefrotik idopatik, hipertensi, gizi
kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)
Sindroma nefrotik idopatik, hipertensi, gizi kurang,
hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)
Sindroma nefrotik idopatik, hipertensi, gizi kurang,
hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)
Lembar monitoring An. F Lampiran 17 Monitoring An. F
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
130
Universitas Indonesia
P 1100 kkal, KH = 175 gr(64 %), Protein 31 gr, Lipid 30,5
gr(25 %)
Berupa 3x makan pokok, 2x selingan
Cairan = 1300 mL/24 jam
Saran Mikronutrien :
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
1100 kkal, KH = 175 gr(64 %), Protein 31 gr, Lipid 30,5 gr(25
%)
Berupa 3x makan pokok, 2x selingan
Cairan = 1300 mL/24 jam
Saran Mikronutrien :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
1100 kkal, KH = 175 gr(64 %), Protein 31 gr, Lipid 30,5 gr(25
%)
Berupa 3x makan pokok, 2x selingan, ektra puding
Cairan = 1300 mL/24 jam
Saran Mikronutrien :
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
An F 1 pebruari 2013 2 pebruari 2013
S BAK bertambah banyak, bengkak mata sudah berkurang,
kaki,kemaluan masih bengkak,perut sudah berkurang
kencangnya, rasa lapar berkurang
BAK masih sama kemarin,, bengkak mata sudah semakin
berkurang, kaki,kemaluan berkurang bengkaknya,perut masih
sama kemarin
O Kesadaran : CM
TV :
TD = 100/60
mmHg
RR = 24 x/menit
N = 100 x/menit S = 36,60C
Antropometri : BB = 19,5 kg
Laboratorium :-
Terapi :tetap
Balans Cairan :
Intake 865 mL
Output
IWL
285 mL
Urin 1000 mL
BC (-) 420 mL
Diuresis : 2,6 mL/24 jam
Kesadaran : CM
TV :
TD = 100/60
mmHg
RR = 24 x/menit
N = 100 x/menit S = 36,60C
Antropometri : BB = 19 kg
Laboratorium -
Terapi tetap
Balans Cairan :
Intake 865 mL
Output
IWL
285 mL
Urin 1000 mL
BC (-) 420 mL
Diuresis : 2,6 mL/24 jam
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
131
Universitas Indonesia
Analisis Asupan :
E
(kka
l)
KH
(g)
L
(g)
P (g)
Diet
nasi
RS,
Mil
o
cair
138
0
218 37,5 42
Analisis asupan :
E
(kkal
)
KH (g) L (g) P (g)
Diet
nasi
RS,
Mil
o
cair
1380 218 37,5 42
A Sindroma nefrotik idopatik, hipertensi, gizi
kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria,
dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)
Sindroma nefrotik idopatik, hipertensi, gizi kurang,
hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria,
dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)
P 1100 kkal, KH = 175 gr(64 %), Protein 31 gr, Lipid 30,5
gr(25 %)
Berupa 3x makan pokok, 2x selingan, ektra puding
Cairan = 1300 mL/24 jam
Saran Mikronutrien :
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
1100 kkal, KH = 175 gr(64 %), Protein 31 gr, Lipid 30,5 gr(25
%)
Berupa 3x makan pokok, 2x selingan, ektra puding
Cairan = m1300 L/24 jam
Saran Mikronutrien :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
132
Universitas Indonesia
An. E 9 Pebruari 2013 10 Pebruari 2013 11 Pebruari 2013
S Sesak, batuk, mual, tidakmuntah, batuk, sesak,BAK seperti
teh dan masih sedikit, bengkak mata, perut,kaki dan
kemaluan,tidak diare,sakit perut kanan atas menembus
punggung dan pinggang
Masis sesak dan batuk, mual, batuk, sesak, BAK tetap masih
sedikit dan seperti teh,bengkak tetap, tidak diare, masih sakit
perut kanan atas
Masih sesak dan batuk, mata, kaki, kemaluan masih bengkak,
perut masih besar, mual,tidakmuntah,tidak dare,masih sakit perut
kanan atas,tidak mau nefrisol
O Kesadaran : CM
TV :
TD = 110/80
mmHg
RR = 30 x/menit
N = 130 x/menit S = 36,80C
BB = 23kg
Laboratorium :-
Terapi :
Furosemide 2x20 mg iv
Cefotaxim 2x1 gr iv
Ambroksol 3x1 cth
Prednison 3–3–3
Inhalasi ventolin 3x/hari
Captopril 2x6,25 mg
Curvit 2x1 cth
Balans Cairan :
Intake 415 mL
Output
IWL
300 mL
Urin 400 mL
BC (-) 285 mL
Diuresis : 0,8 mL/24 jam
Analisis Asupan :
E
(kkal
)
K
H
(g)
L (g) P (g)
bub
ur
nasi
840 97,4 22,9 34
KEB = 853,85 kkal
KET = 1100 kkal
Kesadaran : CM
TV :
TD = 110/70
mmHg
RR = 28 x/menit
N = 126 x/menit S = 36,7 0C
BB = 22,5 kg
Laboratorium -
Terapi : tetap
Balans Cairan :
Intake 500 mL
Output
IWL
300 mL
Urin 400 mL
BC (-) 200 mL
Diuresis : 0,8 mL/24 jam
Analisis asupan :
E
(kkal
)
KH (g) L (g) P
(g)
Bub
ur
nasi
mil
o,T
PS
750 82,4 20,9 36
Kesadaran : CM
TV :
TD = 110/80 mmHg RR = 28 x menit
N = 126 x/menit S = 370C
BB = 22,5 kg
Laboratorium -
Terapi tambahan: Albumin 20 % sebanyak 100 mL
Balans Cairan :
Intake 515 mL
Output
IWL
300 mL
Urin 600 mL
BC (-) 385 mL
Diuresis : 1,1 mL/24 jam
Analisis Asupan:
E (kkal) KH (g) L (g) P (g)
Bubur
nasi,ext
ra putel
960 143,4 24,4 34
Lembar monitoring An. E Lampiran 18 Monitoring An. E
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
133
Universitas Indonesia
KH = 186 gr(%), Protein 34 gr, Lipid 24 gr (20 %)
A Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia,
cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria,
dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)
Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis,
gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia,
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia,
peningkatan enzim tranaminase)
Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis,
gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia,
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia,
peningkatan enzim tranaminase)
P 880 kkal, protein 34 g,lemak 19,5 g, KH 142 g
Bentuk diet bubur nasi RS,extra TPS
Cairan = 1350 mL/24 jam
Saran mikronutrien :
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
Usul pemeriksaan test fungsi hati
880 kkal, protein 34 g,lemak 19,5 g, KH 142 g
Bentuk diet bubur nasi RS,extra TPS
Bentuk diet bubur nasi RS,extra nefrisol
Cairan = 1350 mL/24 jam
Saran mikronutrien :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
880 kkal, protein 34 g,lemak 19,5 g, KH 142 g
Bentuk diet bubur nasi RS,extra TPS
Bentuk nasi tim diet RS,3xmakan pokok,2xselingan
Cairan = 1350 mL/24 jam
Saran mikronutrien :
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
An E 12 Pebruari 2013 13 Pebruari 2013 14 Pebruari 2013
S Masih batuk, sesak berkurang,mual berkurang,tidak
muntah,tidak diare,sakit perut kanan atas berkurang,bengkak
mata,kemaluan,kaki dan perut berkurang sedikit,tidak suka
putih telur
Batuk berkurang, sesak berkurang,mual berkurang,tidak
muntah,tidak diare,sakit perut kanan atas berkurang,bengkak
mata,kemaluan,kaki dan perut berkurang tetap
Batuk kadang–kadang,, sesak berkurang,mual berkurang,tidak
muntah,tidak diare,sakit perut kanan atas berkurang,bengkak
mata,kemaluan,kaki dan perut berkurang berkurang
O Kesadaran : CM
TV :
TD = 110/60
mmHg
RR = 28 x/menit
N = 124 x/menit S = 37,30C
BB = 22 kg
Laboratorium : Protein kuantitatif 440 mg/24 jam
Terapi : tetap
Kesadaran : CM
TV :
TD =110/70 mmHg RR = 26x/menit
N = 124 x/menit S = 37,20C
BB = 21,5 kg
Laboratorium
Terapi : tetap
Kesadaran : CM
TV :
TD = 120/70 mmHg RR = 26 x menit
N = 126 x/menit S = 370C
BB = 21 kg
Laboratorium : Urin : kuning keruh, pH 7, berat jenis 1015,
protein (++), glukosa (-), eritrosit 10–15/LPB, leukosit 2–3/LPB,
silinder hialin 0–1/LPB, bilirubin (-), urobilinogen (-), keton (-
), darah samar (++), bakteri (-), leukosit (-)
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
134
Universitas Indonesia
Balans Cairan :
Intake 750 mL
Output
IWL
300 mL
Urin 900 mL
BC (-) 450 mL
Diuresis :1,7 mL/24 jam
Analisis Asupan :
E
(kka
l)
KH
(g)
L
(g)
P
(g)
ML,
kue
kue
100
0
169 23 29,5
Balans Cairan :
Intake 1000 mL
Output
IWL
300 mL
Urin 1000 mL
BC (-) 300 mL
Diuresis : 1,9 mL/24 jam
Analisis asupan :
E
(kkal
)
KH (g) L (g) P (g)
Nasi
diet
RS,susu
ultra
1015 157 28 33,5
Terapi :
Tambahan triamsinolon 3x4 tablet (prednison stop)
Albumin 20 % 100 mL stop
Balans Cairan :
Intake 865 mL
Output
IWL
300 mL
Urin 1200 mL
BC (-) 635 mL
Diuresis : 2,3 mL/24 jam
Analisis Asupan:
E (kkal) KH(g) L (g) P (g)
Nasi
diet
RS,susu
ultra
1015 157 28 33,5
A Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia,
cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria,
dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)
Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis,
gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia,
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia,
peningkatan enzim tranaminase)
Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis,
gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia,
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia,
peningkatan enzim tranaminase)
P 880 kkal, protein 34 g,lemak 19,5 g, KH 142 g
Bentuk diet bubur nasi RS,extra TPS
Diet nasi biasa,3x makan pokok,2xselingan
Cairan = 1350 mL/24 jam
Saran Mikronutrien :
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
1100 kkal, protein 34 g, lemak 24 g (20%), MUFA 8 %,
karbohidrat 186
Diet nasi biasa,3x makan pokok,2xselingan
Diet nasi tim,extra TPS
Cairan = 1350 mL/24 jam
Saran Mikronutrien :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
1100 kkal, protein 34 g, lemak 24 g (20%), MUFA 8 %,
karbohidrat 186 g
Diet nasi biasa,3x makan pokok,2xselingan
Diet nasi biasa
Cairan = 1350 mL/24 jam
Saran Mikronutrien :
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
135
Universitas Indonesia
An E 15 Pebruari 2013 16 Pebruari 2013
S Batuk kadang–kadang,, sesak jauh berkurang,mual kadang–
kadang, ,tidak muntah,tidak diare,sakit perut kanan atas
kadang–kadang ,bengkak mata hilang, bengkak
kemaluan,kaki dan perut bengkak semakin berkurang,tidak
kencang lagi
Batuk kadang–kadang,, sesak jauh berkurang,mual kadang–
kadang, ,tidak muntah,tidak diare,sakit perut kanan atas kadang
kadang , bengkak kemaluan sedikit, bengkak kaki sedikit, perut
buncit semakin mengecil
O Kesadaran : CM
TV :
TD = 110/70
mmHg
RR = 24 x/menit
N = 118 x/menit S = 36,80C
BB = 20 kg
Laboratorium :
Terapi sejawat :
Furosemide
Spironolakton
Captopril
Balans Cairan :
Intake 1250 mL
Output
IWL
300 mL
Urin 1500 mL
BC (-) 550 mL
Diuresis : 2,8 mL/24 jam
Analisis Asupan :
E
(kka
l)
KH
(g)
L
(g)
P (g)
Nasi diet
RS,susu
ultra
1015 157 28 33,5
Kesadaran : CM
TV :
TD = 110/65
mmHg
RR = 24 x/menit
N = 116 x/menit S = 36,80C
BB = 19 kg
Laboratorium : Urin : kuning keruh, pH 6,5, berat jenis 1020,
protein (+), glukosa (-), eritrosit 7–10/LPB, leukosit 1–3/LPB,
silinder hialin 0–1/LPB, bilirubin (-), urobilinogen (-), keton (-
), darah samar (+), bakteri (-), leukosit (-)
Terapi : tetap
Balans Cairan :
Intake 1250 mL
Output
IWL
300 mL
Urin 1500 mL
BC (-) 550 mL
Diuresis : 2,8 mL/24 jam
Analisis asupan :
E
(kkal)
KH
(g)
L (g) P (g)
Nasi diet
RS,susu
ultra
1290 200 35,5 42
A Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia,
cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang
(trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria,
dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)
Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis,
gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia,
hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia,
peningkatan enzim tranaminase)
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013
136
Universitas Indonesia
P
1100 kkal, protein 34 g, lemak 24 g (20%), MUFA 8 %,
karbohidrat 186 g
Bentuk diet nasi biasa, 3xmakan pokok,2xselingan
Cairan = 1350 mL/24 jam
Saran Mikronutrien :
Monitoring :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
1100 kkal, protein 34 g, lemak 24 g (20%), MUFA 8 %,
karbohidrat 186 g
Bentuk diet nasi biasa, 3xmakan pokok,2xselingan
Cairan = 1350 mL/24 jam
Saran Mikronutrien :
Klinis dan toleransi asupan per hari
Analisis asupan/hari
Elektrolit/hari
Antropometri/hari
Darah rutin/minggu
Balans cairan perhari
Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013