92
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan manusia (Aristoles dalam Djojosuroto, 2007:48). Selanjutnya, Aristoteles menyatakan bahwa bahasa itu baru ada kalau ada sesuatu yang ingin diungkapkan, yaitu pikiran atau perasaan. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dengan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi manusia dapat menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada orang lain; serta dapat pula meneliti dan menginterpretasikan yang mereka maksudkan atau kehendaki. Sebagai alat komunikasi dalam masyarakat, bahasa dapat dikatakan sangat lengkap dan jelas. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiterer yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk berkooperasi dan berinteraksi (Bloomfield, 1933 dalam Djojosuroto:49-50). Dengan kata lain, sesungguhnya dengan penggunaan bahasa yang digunakan secara sewenang- wenang itulah maka anggota masyarakat dapat berinteraksi, dan secara tidak langsung dapat mengidentifikasi orang lain. Bahasa itu berbeda-beda karena penutur berasal dari latar belakang yang berbeda, dan bahasa yang digunakan itu sendiri jelas berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kress dan Hodge (1979:1) bahwa bahasa yang

teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

  • Upload
    doquynh

  • View
    230

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan

manusia (Aristoles dalam Djojosuroto, 2007:48). Selanjutnya, Aristoteles

menyatakan bahwa bahasa itu baru ada kalau ada sesuatu yang ingin

diungkapkan, yaitu pikiran atau perasaan. Pernyataan tersebut menunjukkan

bahwa dengan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi manusia dapat

menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada orang lain; serta dapat pula

meneliti dan menginterpretasikan yang mereka maksudkan atau kehendaki.

Sebagai alat komunikasi dalam masyarakat, bahasa dapat dikatakan sangat

lengkap dan jelas. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiterer yang

digunakan oleh anggota masyarakat untuk berkooperasi dan berinteraksi

(Bloomfield, 1933 dalam Djojosuroto:49-50). Dengan kata lain,

sesungguhnya dengan penggunaan bahasa yang digunakan secara sewenang-

wenang itulah maka anggota masyarakat dapat berinteraksi, dan secara

tidak langsung dapat mengidentifikasi orang lain.

Bahasa itu berbeda-beda karena penutur berasal dari latar belakang

yang berbeda, dan bahasa yang digunakan itu sendiri jelas berbeda. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Kress dan Hodge (1979:1) bahwa bahasa yang

Page 2: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

2

dimiliki oleh individu didapatkan dari masyarakat tempat ia tinggal atau

hidup. Setiap bangsa memiliki bahasanya sendiri dengan dialek, aturan dan

pola masing-masing Oleh karena itu, pada saat orang berbicara, dialek,

aturan, pola yang digunakan, dibangun oleh masyarakat yang menggunakan

bahasa itu dalam berkomunikasi sehari-hari. Bahasa juga merupakan bagian

dari budaya suatu masyarakat. Seseorang akan jelas kelihatan latar

belakangnya pada saat dia menggunakan bahasanya.

Sapir dan Whorf (1956:34) menyatakan bahwa bahasa dan masyarakat

memiliki hubungan. Selanjutnya, dinyatakan bahwa dunia nyata manusia

dibangun oleh kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok. Hal ini membuktikan

bahwa bahasa, budaya, dan masyarakat berada dalam suatu keadaan yang

tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya karena melalui penggunaan

bahasa tampak budaya penutur itu. Bahasa memegang peranan penting

dalam kehidupan manusia. Bahasa membawa karakteristik budaya dan

pikiran penuturnya.

Menurut Halliday (1985:4), linguistik merupakan bagian dari sistem

tanda (semiotik) yang merupakan suatu aspek untuk mempelajari makna.

Selanjutnya dikatakan bahwa ada banyak cara untuk mempelajari makna,

dan salah satunya adalah bahasa. Bahasa dipandang sebagai potensi

semiotik. Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara

bersama menyatu. Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) / (Systemic-

Page 3: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

3

functional linguistics (SFL)) mempertimbangkan fungsi dan semantik

sebagai dasar dari bahasa manusia sebagai alat komunikasi. LSF tidak sama

dengan pendekatan struktural yang menekankan sintaksis. Orientasi ahli

bahasa yang merupakan pengikut LSF mulai menganalisis konteks sosial

dan kemudian mencermati bagaimana bahasa bertindak di dalamnya,

dibatasi serta dipengaruhi oleh konteks sosial. Konsep kunci dalam

pendekatan Halliday adalah " konteks situasi (context of situation)" yang

diperoleh "melalui hubungan sistematik antara lingkungan sosial pada satu

sisi/dan fungsi organisasi bahasa pada sisi yang lainnya " (Halliday,

1985:11).

Bahasa digunakan dalam konteks, tempat orang-orang berada dalam

suatu wacana ketika mereka menggunakan bahasa. Orang-orang tersebut

dapat berkomunikasi karena memahami teks, konteks, dan pola atau

struktur. Analisis teks berarti analisis bahasa yang ada di dalamnya (Brown

dan Yule, 1983:1). Dikatakan pula oleh Halliday (1985a:10) bahwa seorang

ahli bahasa yang menjelaskan bahasa tanpa memperhitungkan teks adalah

mandul, menjelaskan teks tanpa menghubungkannya dengan bahasa adalah

kosong.. Berdasarkan pendapat tersebut maka sangat penting dan menarik

analisis dilakukan terhadap teks karena dalam teks terkandung bahasa yang

tentunya dipengaruhi oleh konteks (sosial, budaya) dan bahkan ideologi

masyarakat pengguna bahasa itu. Untuk itu, teori LSF sangat sesuai dipakai

untuk menganalisis teks Kette Katonga Weri Kawendo (KKWK) karena di

Page 4: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

4

samping dapat menganalisis bentuk lisan dan tulisan, teori ini secara

eklektik menggabungkan atau menjangkau tidak saja unsur

leksikogramatika, tetapi juga metafungsi makna, konteks situasi (register),

konteks budaya (genre) sampai pada ideologi.

Menurut Halliday (1975:4-5, 1994:311; Fairclough (1995b:4), teks

dapat berbentuk lisan atau tulisan. Teks juga dapat berbentuk prosa atau

syair, dialog atau monolog (Halliday, 1975:1). Selanjutnya Halliday (1975)

menyatakan bahwa teks dapat berupa pribahasa/pepatah sampai pada suatu

keseluruhan sandiwara/lakon mulai dari suatu teriakan meminta tolong

sampai pada keseluruhan diskusi dalam suatu komisi. Berdasarkan pendapat

tersebut maka dapat dikatakan bahwa teks bisa panjang dan pendek. Teks

memiliki kekuatan untuk menciptakan lingkungannya sendiri; teks memiliki

kekuatan karena cara dari sistem yang ada di dalamnya memiliki

pengembangan dengan membuat/ memilih makna dari lingkungan seperti

yang diberikan (Halliday, 2004:29). Selain itu, Plum (2004) juga

menunjukkan bahwa faktor sosial harus menjadi bagian dari model teks agar

secara utuh memenuhi kondisi konteksnya.

Pengkajian teks, selain konteks merupakan satu bagian penting, struktur

teks merupakan bagian terpenting untuk dicermati dan dikaji agar dapat

diperoleh pemahaman secara utuh ( Halliday dan Hassan, 1985).

Page 5: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

5

Keseluruhan struktur yang ada secara sistemik dikaji secara simultan

melalui pengkajian teks. Dengan demikian, teks KKWK yang diteliti dan

dikaji mencakup keseluruhan struktur dan konteks yang ada di dalamnya.

Pada kenyataannya teks dalam dokumentasi bahasa telah dikenal secara

luas, namun teks hanya mewakili sebagian kecil (mungkin sepersepuluh

persen) dari bahan-bahan dokumentasi bahasa yang ada (Himmelmann,

1998 dalam Holton, 2005:1). Jika demikian, peran teks lisan, seperti cerita

rakyat dan teks prosedural, sangat penting dalam upaya pemertahanan dan

revitalisasi bahasa (lihat Holton, 2005:2). Terdapat dua hal penting yang

berkaitan dengan kontribusi teks lisan dalam revitalisasi bahasa. Pertama,

teks lisan dapat memberikan gambaran bagi model tertulis yang nantinya

bermanfaat dalam pengembangan bahan tertulis. Kedua, dengan adanya

rekaman, teks lisan dapat didengar sebagai cerminan pengalaman asli para

penutur (lihat Holton, 2005). Dengan adanya teks lisan yang terekam

dengan baik, transmisi bahasa, seperti cerita rakyat dan acara ritual, tidak

hanya bergantung pada kemampuan “menuturkan”, tetapi dapat

ditranskripsikan untuk dibuat dalam bentuk tulisan yang akan menjadi bahan

yang bisa dijadikan rujukan bagi generasi selanjutnya. Transkripsi teks lisan

dalam bentuk tulisan dalam mendokumentasikan acara-acara ritual atau

cerita-cerita rakyat dalam bentuk lisan akan lebih bermanfaat apabila

disebarkan dalam bentuk tulisan.

Page 6: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

6

Teks lisan memainkan peran yang sangat penting dalam hal

pengembangan bahan tertulis. Teks lisan dapat menghasilkan pengucapan

yang alamiah dan baik sehingga digunakan dalam pengembangan ortografi

bahasa tersebut (Seifart dalam Balukh,2009:5)). Teks lisan juga

menghasilkan konstruksi kalimat yang alamiah walaupun secara linguistik

belum tentu beraturan. Kalimat-kalimat hasil transkripsi menjadi basis data

penting dalam pengembangan tata bahasa (Mosel, 2006).

Berkaitan dengan data leksikal, teks lisan sangat potensial dalam

menghasilkan banyak kata dengan berbagai variasi, diksi, dan bentuk dalam

waktu singkat. Selain itu, kata-kata yang dihasilkan menggambarkan

berbagai makna dan fungsi dalam bahasa tersebut, dan hal ini sangat penting

dalam membangun basis data leksikal untuk kamus (Haviland, 2006). Teks

lisan yang ditrankrip dalam bentuk tulisan, akan lebih mudah dicermati

bentuk leksikogramatikalnya, yang selanjutnya dianalisis makna yang

tercermin dalam teks.

Terdapat banyak ritual yang melahirkan teks yang ditemukan dalam

masyarakat. Menurut Hodge dan Kress (1988:74), ada dua ritual yang secara

umum terdapat pada hampir setiap budaya, yaitu perkawinan dan kematian

(penguburan). Masyarakat Wewewa memiliki beberapa ritual yang

melahirkan teks, antara lain, kematian, pemanggilan arwah, tarik batu kubur,

pesta adat, pesta panen, perkawinan. Secara umum, teks ritual perkawinan

yang ada di Pulau Sumba hampir sama, yaitu adanya tahapan yang diikuti

Page 7: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

7

serta adanya belis, atau dikenal dengan mas kawin, meliputi hewan seperti

kerbau, kuda, babi dan mamoli emas. Namun, di balik kesamaan yang ada

terdapat beberapa perbedaan, yaitu bahasa yang digunakan. Dalam

penggunaan bahasa terkandung struktur, makna, serta simbol khusus yang

berbeda.

Teks KKWK adalah salah satu teks ritual yang ada dalam masyarakat

Wewewa. Di samping itu ada teks ritual lainnya yaitu tarik batu kubur

(tongngu odndi), pemanggilan arwah (zaizo), dan lain- lain. Teks ritual

KKWK adalah tuturan lisan dalam bahasa Waijewa yang digunakan oleh

masyarakat adat pada saat meminang gadis. Bahasa Waijewa digunakan

oleh masyarakat Wewewa yang ada di empat kecamatan, yaitu Kecamatan

Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Selatan,

dan Kecamatan Wewewa Utara.

Sama seperti bahasa lainnya, bahasa Waijewa digunakan untuk

berkomunikasi antarsesama warga, baik pada setiap aktivitas sehari-hari

maupun pada acara ritual-ritual lainnya. Seperti yang telah disampaikan

terdahulu bahwa salah satu aktivitas yang menggunakan bahasa Waijewa

adalah acara ritual pernikahan/perkawinan. Acara adat/ ritual perkawinan

(deke mawinne) mencakup tiga proses/ acara, yaitu: ketuk pintu (tunda

binna), peminangan (kette katonga weri kawendo) dan pindah adat

(pamalle/padikki). Masing-masing acara adat ini melahirkan suatu teks yang

Page 8: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

8

memiliki isi dan tujuan khusus pembicaraan yang berbeda. Proses ini

melahirkan teks lisan yang dari segi linguistik menarik untuk diteliti. Pada

proses ketuk pintu (tunda binna) terjadi dialog tentang penjajakan

keberadaan seorang gadis dan kesediaan pihak keluarga perempuan untuk

menerima dan menentukan proses selanjutnya yaitu proses peminangan

(kette katonga weri kawendo). Pada acara adat peminangan (kette katonga

weri kawendo) terjadi dialog antara perwakilan kedua keluarga, pihak

perempuan dan laki-laki. Dalam proses peminangan (kette katonga weri

kawendo) terjadi pembicaraan yang berisikan penawaran dan persetujuan

jumlah hewan dan mas kawin lainnya yang diberikan oleh pihak keluarga

pria kepada orang tua pihak perempuan. Belis (mas kawin) tersebut

diberikan mulai pada saat peminangan (kette katonga weri

kawendo/KKWK) sampai pada saat acara adat memboyong gadis ke rumah

mempelai laki-laki, yang dalam bahasa Waijewa disebut pamalle. Belis

(mas kawin) yang diberikan berupa hewan, misalnya kerbau, kuda, dan

mamoli (kepingan) emas Selanjutnya, pada proses pindah adat

(pamalle/padikki) terjadi dialog pemenuhan semua belis yang telah

disepakati dan mengajak gadis ke rumah calon suaminya. Pada bagian ini

pihak keluarga laki-laki harus menyerahkan seluruh belis (mas kawin) yang

telah disepakati. Jika tidak, gadis belum diperkenankan untuk diboyong ke

rumah mempelai laki-laki.

Page 9: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

9

Penelitian ini difokuskan pada bagian acara adat peminangan (kette

katonga weri kawendo) saja karena apabila ketiganya diteliti membutuhkan

waktu yang cukup lama (antara beberapa bulan, bahkan tahun) karena jarak

satu acara/proses dengan yang lainnya ditentukan oleh ketersediaan dan

pemenuhan belis (mas kawin) yang diberikan. Pada acara adat KKWK

terjadi dialog yang cukup panjang bahkan apabila tidak sampai pada

kesepakatan bisa diundurkan dalam beberapa hari sesuai kesepakatan.

Pada acara KKWK terjadi dialog antara juru bicara (ata panewe) dari

keluarga laki-laki dan perempuan untuk mencapai suatu kesepakatan

dalam peminangan gadis sampai pada pernikahan. Dalam pembicaraan

tersebut terjadi dialog yang panjang antara juru bicara (ata panewe) dari

kedua keluarga untuk mendapatkan suatu kesepakatan tentang jumlah belis

(hewan dan mas kawin) yang akan diberikan pihak keluarga pria kepada

keluarga gadis. Juga terjadi penawaran berapa jumlah kerbau, kuda dan

berapa buah mamoli (kepingan) emas yang diberikan pada saat pihak

keluarga pria datang melakukan peminangan dan pada saat pamalle/

padikki (pindah). Jumlah belis (mas kawin) tersebut sudah harus disepakati

bersama oleh kedua keluarga besar pada acara ritual KKWK. Kesepakatan

yang telah dicapai bersama pada proses KKWK tidak dapat ditunda

ataupun dilakukan perubahan akan jumlah dan jenis mas kawin. Jika terjadi

penundaan (tunda kira) atau penggantian maka akan ada sanksi adat.

Page 10: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

10

Teks KKWK merupakan tuturan lisan yang ditranskrip dalam bentuk

tulisan untuk selanjutnya dianalisis karena belum ada teks peminangan

dalam bentuk tulisan. Tidak hanya teks peminangan saja, tetapi teks-teks

ritual lainnya yang berhubungan dengan bahasa Waijewa belum ada.

Selama ini, banyak penelitian yang hanya difokuskan pada bahasa

Kambera di Sumba Timur. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh

Mariann Klamer (1998) tentang ‘Short Grammar bahasa Kambera’, Sari

(1998) tentang ‘Fonologi Bahasa Kambera’, Widarsini (1985) tentang

‘Pertalian Fonem Bahasa Austronesia Purba dengan bahasa Sumba dialek

Kambera’, Simpen (2008) tentang ‘Sopan Santun Berbahasa Masyarakat

Sumba Timur’. Penelitian bahasa Waijewa masih sangat terbatas. Misalnya

penelitian yang dilakukan oleh Budasi (2007) tentang ‘Rerelasi

kekerabatan genetis kuantitatif isolek-isolek Sumba di NTT’. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa terdapat tujuh isolek di Sumba, yakni isolek Kodi,

Wewewa, Lamboya, Kambera, Mamboro, Wanokaka dan Anakalang.

Putra (2008) meneliti tentang segmentasi dialektikal bahasa Sumba

berdasarkan kajian dialektologi. Kasni (2012) tentang strategi

penggabungan klausa bahasa Sumba dialek Waijewa. Penelitian tentang

teks bahasa Waijewa nyaris belum ada.

Teks Ritual KKWK ini menarik diteliti karena di samping belum ada

penelitian dengan topik tersebut, juga terdapat sejumlah hal yang menarik

Page 11: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

11

yaitu dari segi leksikogramatika, metafungsi makna, konteks situasi,

budaya dan ideologi yang perlu dikaji secara ilmiah. Misalnya, dari segi

konteks situasi, Semua pelibat menempati posisi masing-masing di sebuah

ruangan tamu. Jumlah pelibat dalam teks yang melakukan dialog dibatasi

yaitu empat pelibat dari pihak keluarga calon pengantin perempuan dan

empat dari pihak pengantin laki-laki. Pelibat sebagai orang tua dari kedua

calon pengantin tidak diperkenankan berdialog langsung walaupun mereka

saling berhadapan atau mendengar pembicaraan kawan berbicara, tetapi

melalui juru bicara mereka masing-masing Medan teks, yaitu yang

berkenaan dengan pokok pembicaraan pada awal sampai akhir memiliki

subpokok tersendiri, dan sebagainya.

Jika dibandingkan dengan acara yang sama terjadi di Sumba Tengah,

pada saat peminangan kedua keluarga tidak berada pada rumah yang sama

melainkan menempati rumah yang berbeda namun berdekatan atau satu

kompleks. Sehingga kedua keluarga tidak berhadapan atau bertatap muka.

Juru bicara yang pergi menyampaikan isi pembicaraan kepada masing-

masing orang tua kedua calon pengantin. Setelah terjadi kesepakatan,

barulah kedua keluarga diperkenankan untuk bertatap muka dan saling

berjabatan tangan. Keunikan tersebut tentunya memengaruhi penggunaan

bahasa yang digunakan pelibat dalam teks.

Selain itu, belum ada penelitian dalam teks bahasa Waijewa yang

menerapkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Kegiatan KKWK

Page 12: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

12

melahirkan suatu teks yang cukup panjang, dan apabila dikaji dengan

menerapkan teori LSF akan sangat relevan yaitu secara sistemik terlihat

jejaring yang dimulai dari leksikogramatika, semantik diskurs, konteks

situasi, genre, dan ideologi yang tercermin di dalam teks.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan yang muncul ialah:

Bagaimanakah struktur teks kette katonga weru kawendo/KKWK pada

masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba? Pertanyaan ini dapat

dirumuskan lagi ke dalam beberapa pertanyaan khusus seperti berikut.

1) Bagaimanakah leksikogramatika (transitivitas, modus dan tema)

teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba?

2) Bagaimanakah hubungan interdependensi atau hubungan logis

sintaksis dan hubungan logis semantik klausa dalam teks

KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba?

3) Konteks situasi (variable register) yang mana yang

memengaruhi teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa

di Pulau Sumba?

4) Bagaimanakah genre dan struktur potensi generik teks KKWK

pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba?

Page 13: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

13

5) Ideologi apakah yang tercermin dalam teks KKWK pada

masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba?

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penilitian ini adalah untuk menemukan dan mengkaji

dua hal, yaitu tujuan yang bersifat empiris dan tujuan yang bersifat teoretis.

Tujuan empiris untuk menemukan dan mengkaji teks KKWK pada

masyarakat adat Wewewa, dan tujuan teoretis untuk menguji, menjelaskan

dan mendukung teori linguistik sistemik fungsional. Tujuan umum ini

dijabarkan lebih khusus pada tujuan khusus.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1) menemukan dan menjelaskan leksikogramatika (transitivitas, modus

dan tema) teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba;

2) menemukan dan menjelaskan hubungan interdependensi atau hubungan

logis sintaksis teks dan hubungan logiko-semantik KKWK pada

masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba;

3) menemukan dan mengkaji konteks situasi (variabel register) yang

memengaruhi bahasa dalam teks KKWK pada masyarakat adat

Wewewa di pulau Sumba;

Page 14: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

14

4) menemukan dan mengkaji genre teks KKWK pada masyarakat

adat di Pulau Sumba; dan

5) menemukan dan mengkaji ideologi yang tercermin dalam teks KKWK

pada masyarakat adat di Pulau Sumba.

1.4 Manfaat Penilitian

Penilitian ini di samping memiliki tujuan juga diharapkan akan

membawa manfaat. Manfaat yang diharapkan meliputi dua hal, yaitu

manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Hasil penilitian ini diharapkan bermanfaat bagi penguatan dan

pengembangan teori linguistik. Teori yang dimaksud adalah teori

Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang telah dikemukakan oleh

Halliday dan Hassan (1985:52). Mengkaji teks secara khas ditunjukkan

dengan menguji elemen-elemen leksikogramatika dan fonologi. Namun,

unit yang lebih kecil ini harus dipandang dari perspektif kontribusinya

terhadap makna yang diekspresikan oleh keseluruhan teks dalam konteks.

Bagi seorang ahli bahasa, penjelasan bahasa tanpa memperhitungkan teks

adalah mandul, penjelasan teks tanpa menghubungkannya dengan bahasa

adalah kosong (Halliday, 1985:10).

Page 15: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

15

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penilitian ini diharapkan membawa manfaat praktis, antara lain,

sebagai langkah awal membuat tuturan lisan dalam bentuk tertulis karena

kenyataannya bahwa teks-teks yang ada masih dalam bentuk lisan. Teks

tertulis akan merupakan pedoman bagi generasi yang akan datang agar

tetap memiliki bentuk teks yang standar yang dapat digunakan; sebagai: (a)

masukan kepada peneliti sendiri dan rujukan bagi peneliti lainnya tentang

teks Kette Katonga Weri Kawendo (peminangan) di Kabupaten Sumba

Barat Daya, (b) sebagai suatu cara untuk mempertahankan bahasa dan

budaya Waijewa di Pulau Sumba khususnya di Kabupaten Sumba Barat

Daya, (c) sebagai motivasi khususnya bagi generasi muda agar tetap dan

selalu mempertahankan budayanya karena merupakan salah satu cerminan

identitas dari masyarakatnya, dan (d) sebagai salah satu cara untuk

mempromosikan bahasa dan budaya peminangan yang ada di Pulau Sumba,

khususnya di Kabupaten Sumba Barat Daya.

Page 16: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Pustaka yang terkait dengan topik ini menjadi acuan dalam penelitian

ini. Ada sejumlah pustaka dalam bentuk buku yang dapat dijadikan acuan.

Buku yang berjudul Language, Context and Text: Aspect of Language in

Social Semiotic Perspective merupakan karya Halliday dan Hasan (1985),

yang kajiannya menekankan pada bahasa dalam konteks sosial, yaitu pada

fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa sebagai pilihan yang berkaitan

dengan konteks sosial dan konteks budaya. Selanjutnya, Halliday dan Hassan

(1985) menjelaskan pula bahwa jalan menuju pemahaman bahasa terletak

dalam kajian teks. Secara semiotik sosial, Halliday dan Hassan (1985)

menjelaskan bahwa teks dan konteks sangat berkaitan dalam menentukan

pilihan bentuk ataupun makna. Dengan demikian, maka teks tidak hanya

mengacu pada bahasa secara material, tetapi merupakan suatu kesatuan

antara bahasa, konteks situasi, dan penuturnya, yang dalam terminologi

linguistik sistemik disebut medan, pelibat, dan sarana. Ketiganya merupakan

bagian penting yang tercakup dalam konteks sosial. Karya ini sangat relevan

dijadikan acuan, mengingat analisis teks tidak terlepas dari analisis

komponen-komponen yang terkait di dalamnya.

Page 17: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

17

Halliday (1994), dalam bukunya An Introduction to Functional

Grammar, membahas secara teknis penggunaan tata bahasa untuk

menganalisis teks dengan memberikan dasar-dasar pemahaman bahwa

kajian teks lebih ditekankan pada analisis leksikogramatika yang

pendekatannya bersifat sistemik. Karya tersebut merupakan kajian dasar

untuk mengkaji teks secara lengkap. Karya ini menekankan analisis klausa

yang dikaitkan dengan metafungsi bahasa. Klausa sebagai pesan yang

menyangkut konsep mempertukarkan proposisi dan proposal, dan dari

konsep ini lahir istilah tema-rema dalam sistem informasi komunikasi

antarpelibat. Dalam buku yang sama edisi terakhir, (Halliday,2004) juga

menjelaskan bahwa klausa sebagai representasi pengalaman berfungsi untuk

mengungkapkan ide atau gagasan. Dalam konsep ini dijelaskan bahwa inti

sebuah pengalaman adalah proses; dan untuk memahami proses dalam

hubungannya dengan unsur lain diperlukan analisis struktur transtivitas.

Karya tersebut sangat relevan digunakan sebagai petunjuk untuk

menganalisis teks dari segi leksikogramatika.

Karya lain yang juga berkaitan dengan teks adalah karya Halliday dan

Hassan (1976) berjudul Cohesion in English. Karya ini membahas

kekohesifan teks yang meliputi, antara lain, referensi, ellipsis, konjungsi,

dan kohesi leksikal. Bagian-bagian tersebut secara utuh tercakup dalam

kajian struktur dan tekstur teks.

Page 18: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

18

Karya Eggins (1994) dengan judul An Introduction to Systemic

Functional Linguistics memberikan landasan untuk memahami teks serta

teknik analisis teks. Konsep genre dengan lingkup kebudayaan dan register

dalam lingkup konteks sosial diperkenalkan dalam buku ini. Selain itu juga

Eggins memperkenalkan leksikogramatika, makna interpersonal, makna

ideasional, dan makna tekstual. Makna interpersonal dengan struktur

moodnya, makna ideasional dengan sistem transtivitasnya, dan makna

tekstual dengan struktur tema-rema. Karya tersebut memberikan penjelasan

dan contoh-contoh klausa serta memberikan cara menganalisis teks dari

aspek leksikogramatika, semantik wacana, dan aspek generik.

Buku lainnya yang dijadikan rujukan adalah karya Sutjaya (2001).

Dalam bukunya, Sutjaya membahas grup nomina bahasa Indonesia dengan

ancangan Sistemik Fungsional. Ia juga membahas masalah ketatabahasaan

yang menyangkut sistem dan struktur grup nomina Bahasa Indonesia. Ia

tidak mengkaji teks, tetapi data nomina diambil dari teks-teks dalam bahasa

Indonesia. Walaupun hanya mengkaji grup nomina bahasa Indonesia,

namun karyanya sangat sesuai dengan materi kajian dalam penelitian yang

dilakukan ini, karena memberikan contoh-contoh grup nomina dalam bahasa

Indonesia dan cara menganalisis berdasarkan pembahasan Halliday seperti

tertuang dalam Introductional to Functional Grammar.

Karya Hodge dan Kress (1988) dengan judul Social Semiotic juga

menjadi rujukan dalam kajian teks yang menjadi fokus penelitian ini. Karya

Page 19: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

19

ini memberikan wawasan tentang semiotik sosial dan konteks situasi sebagai

penentuan makna. Karya ini dapat menjadi acuan sebagai pembanding

pandangan Halliday tentang perspektif bahasa sebagai sistem semiotic,

sehingga dapat diperoleh pemahaman yang komprehensif.

Karya Tukan, B. dkk (2003) dengan judul Adat dan Upacara Perkawinan

Daerah NTT memberikan pemahaman awal tentang upacara adat perkawinan

di daerah Nusa Tenggara Timur. Buku ini tidak menganalisis teks perkawinan,

tetapi menjelaskan upacara adat yang dilakukan di Provinsi NTT. Karya ini

dapat dijadikan acuan secara umum dalam memahami adat perkawinan yang

ada di Provinsi NTT.

Dalam kaitan dengan konsep ideologi dirujuk karya Hodge dan Kress

(1979) dengan judul Language as Ideology. Penulis buku ini memberikan

wawasan tentang cara menghubungkan pandangan dengan keberadaan

penghasil itu sendiri. Pemahaman tentang analisis ideologi suatu masyarakat

juga ada di dalamnya. Karya mereka juga membahas pandangan bahasa dan

masyarakatnya. Karya mereka memberikan pemahaman yang sangat baik

kepada peneliti tentang ideologi. Pandangan mereka sesuai dengan pandangan

Halliday (1985) dan Eggins (1994) bahwa bahasa dan konteks memiliki

hubungan atau saling memengaruhi satu dengan yang lainnya.

Karya Simpen (2008) dengan judul Sopan Santun Berbahasa

Masyarakat Sumba Timur menjelaskan bahwa perilaku kesantuan berbahasa

pada penutur bahasa Kambera berlandaskan enam pedoman hidup yang

Page 20: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

20

menjadi ideologi orang Sumba Timur yang disebut ‘Hopu lila witi- Hopu lila

kunda’ ‘Akhir dari segala pembicaraan-akhir dari segala pintalan’. Empat

dari enam pandangan hidup, yaitu tentang hal suami dan istri,

berkepemimpinan dan hal yang dihormati, hal bertani dan berkebun, serta hal

tentang marapu dapat memberikan masukan dalam mengkaji bagian

ideolologi teks. Walaupun bahasa Kambera tidak sama dengan bahasa

Waijewa, ada kesamaan pandangan secara umum tentang ideologi orang

Sumba.

Keseluruhan konsep yang telah disampaikan tersebut merupakan kajian

pustaka dari buku-buku yang dijadikan rujukan dalam mengkaji teks. Konsep-

konsep yang diuraikan sangat sesuai dengan kajian teks yang dilakukan dalam

disertasi ini.

Selain buku-buku acuan yang telah disebutkan di atas, penelitian ini juga

berkaitan dengan sejumlah hasil penelitian yang menerapkan teori Linguistik

Sistemik Fungsional. Penelitian yang dilakukan oleh Eggins (1994), yaitu

‘Analysis of the Crying Baby Texts, menerapkan teori Linguistik Sistemik

Fungsional (LSF) dalam menganalisis teks Crying Baby. Dalam penelitiannya

dideskripsikan penggunaan bahasa Inggris antara orang tua dan bayi yang

diasuhnya. Teks itu berisikan ceritera tentang proses pengasuhan bayi yang

akhirnya menghasilkan teks yang diberi nama Crying Baby Texts.

Penelitian itu menguraikan teks dari segi leksikogramatika dan semantik

diskursif secara mendetail. Penelitian tersebut menemukan bahwa leksiko-

Page 21: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

21

gramatika dan semantik diskursif dapat memberikan keterangan atau tanda

bagaimana teks diberi makna. Penelitiannya juga ditemukan bahwa teks kaya

akan makna, tidak hanya makna yang terjadi dan alasan makna terjadi, tetapi

juga makna tentang hubungan dan sikap serta makna jarak dan kedekatan.

Dengan menghubungkan pepilihan bahasa yang khusus terhadap konstruksi

dan refleksi situasi, budaya, dan ideologi ditemukan bahwa teks

memperlihatkan fakta tentang makna sandi (encode), seperti cara orang tua

berbicara, pengalaman tanggung jawab dan harapan orang tua..Karya tersebut

secara teoretis belum memberikan penjelasan bagaimana ideologi dapat

memengaruhi penggunaan bahasa/teks. Karya itu hanya menjelaskan bahwa

ideologi merupakan level yang lebih tinggi dari konteks linguistik sistemik.

Walaupun secara teoretis ideologi belum diuraikan secara mendetail,

penelitian tersebut relevan dengan kajian teks yang peneliti lakukan karena

memberikan banyak contoh analisis, mulai analisis leksikogramatika sampai

dengan analisis konteks, serta simbol-simbol lain yang ada dalam struktur teks.

Graber (2001), dalam tulisannya yang berjudul Context in Text: A

Systemic Functional Analysis of the Parable of the Sower menerapkan teori

sistemik untuk menganalisis teks tertulis Alkitab Perjanjian Baru, yaitu Injil

Matius, Markus, dan Lukas. Ia mencermati fungsi bahasa dalam teks dan

sejauh mana konteks berkontribusi dalam teks. Penelitianya mencermati

bagaimana hubungan antara bahasa dan konteks situasi (medan, pelibat, dan

sarana) serta fungsi semantik yang merealisasinya. Hasil penelitiannya

Page 22: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

22

menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan dalam teks memiliki peranan

dalam aktivitas sosial. Walaupun penelitian itu tidak membahas ideologi

yang ada dalam teks tersebut, penelitian itu memberikan pemahaman bagi

peneliti bagaimana konteks situasi memengaruhi bahasa dalam teks. Oleh

karena itu, hasil penelitian tersebut sangat cocok diterapkan dalam kajian

teks yang dilakukan dalam penelitian ini.

Plum (2004), dalam tulisannya yang berjudul Text and contextual

Conditioning in Spoken English: A Genre-based approach, menerapkan dua

teori, yaitu teori tata bahasa sistemik fungsional Halliday dan teori variasi

Labov. Penelitiannya menemukan bahwa pemilihan relasi logiko-semantik

memiliki hubungan dengan genre dan pertanyaan, sedangkan pemilihan taksis

memiliki hubungan dengan jenis kelamin pembicara dan keanggotaan dalam

kelompok sosial. Parataksis disenangi oleh laki-laki dan anggota masayarakat

sosial bawah. Penelitian ini tidak membahas secara khusus leksikogramatika,

tetapi membahas hubungan klausa. Penelitian ini dapat memberikan

pemahaman peneliti tentang logiko semantik dalam klausa karena bagian

logikosemantik merupakan salah satu bagian yang dikaji dalam disertasi ini.

Rasna (2009), dalam penelitiannya yang berjudul “Teks Aji Blegodawa

dari Perspektif Linguistik Sistemik Fungsional”, berbicara tentang teks

magic, yaitu black magic (panestian). Teks ini berbentuk monolog. Satu-

satunya partisipan yang ada dalam teks tersebut adalah Blegodawa. Bentuk

teksnya adalah oral. Teks ini tidak dikonsumsi secara umum, tetapi hanya

Page 23: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

23

dimanfaatkan oleh dukun yang dapat mengendalikan emosinya untuk bisa

mendiagnosis penyakit secara mudah. Penelitian tersebut menemukan

siskumtan lokasi merupakan hal yang paling dominan dalam teks. Penelitian

tersebut juga menemukan adanya tiga metafungsi makna, yaitu makna

eksperiensial, interpersonal, dan tekstual. Namun, makna tekstual belum

secara jelas diuraikan. Penelitian tersebut juga belum mengkaji ideologi teks

dan hanya menyampaikan bahwa teks tersebut mengandung nilai-nilai.

Sutama (2010), dalam penelitiannya yang bertajuk “Teks Ritual

Pawiwahan Masyarakat Adat Bali”, mengkaji teks Pawiwahan dengan

menerapkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Ia mengkaji keseluruhan

bagian perkawinan yang dimulai dari marerasan (tahap pertemuan awal

antara keluarga calon pengantin laki-laki dengan keluarga calon pengantin

perempuan) sampai pada majauman (mengesahkan pernikahan) Keseluruhan

struktur dapat dikaji secara menyeluruh karena fakta menunjukkan bahwa

jarak bagian yang satu dengan yang lainnya tidak membutuhkan jarak waktu

yang lama. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa teks ritual pawiwahan

masyarakat adat Bali memiliki sejumlah dimensi struktur, yaitu (a) budaya

yang berkaitan dengan adat tradisi, (b) struktur makro yang berkaitan dengan

konteks sosial, (c) struktur mikro yang berkaitan dengan alur pesan dan

informasi, (d) serta struktur makna. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam

teks ritual yang ditelitinya ditemukan adanya sistem mood, transitivitas, dan

tema-rema. Penelitiannya belum mengkaji appraisal (penilaian) yang

Page 24: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

24

merupakan bagian dari modus (mood) teks. Penelitian tersebut dilihat dari

segi analisis tema- rema terutama yang berkenaan dengan tema bermarkah

belum dibahas secara tuntas. Namun, penelitian tersebut dapat dijadikan

rujukan karena memberikan pemahaman tentang struktur teks yang

merupakan salah satu kajian dalam disertasi ini.

Kasni (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Strategi Penggabungan

Klausa dalam dialek Waijewa” hanya mengkaji strategi penggabungan klausa

yang ada dalam bahasa Waijewa. Data yang dianalisis tidak diperoleh dalam

konteks/ fungsional, sehingga klausa yang dibahas sangat kaku karena

mengikuti pola umum yang sudah dipersiapkan oleh peneliti. Namun, hasil

penelitiannya memberikan hal yang bermanfaat terutama dalam

penggabungan klausa yang juga dibahas dalam penelitian ini, terutama

dikaitkan dengan hubungan parataksis dan hubungan logiko semantik

antarklausa dalam teks.

2.2 Konsep

Untuk menghindari salah pengertian dalam memahami tulisan ini maka

beberapa konsep yang digunakan dalam tulisan ini penting dijelaskan.

Konsep-konsep itu adalah teks, konteks, genre dan struktur teks, ideologi,

linguistik sistemik fungtional (LSF) , kette katonga weri kawendo, dan

masyarakat adat. Setiap konsep dapat dijelaskan sebagai berikut.

Page 25: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

25

2.2.1 Teks

Menurut Halliday (1985:10), teks adalah bahasa yang berfungsi.

Berfungsi dalam arti bahwa bahasa memainkan tugasnya dalam suatu

konteks. Selanjutnya, Halliday (1994:311) menyatakan bahwa teks adalah

‘sesuatu yang terjadi, dalam bentuk lisan atau tulisan, didengar atau dibaca’.

Selanjutnya, Halliday menyatakan bahwa analisis teks, berarti analisis

produk dari proses, dan istilah teks merujuk pada produk. Fairclough

(1995b:4) menyatakan bahwa teks adalah bahasa tulis dan lisan yang

dihasilkan dalam suatu peristiwa diskursif. Apabila kita menganalisis teks

maka kita menganalisis proses, dan istilah teks biasanya diambil sebagai

rujukan ke produknya (Halliday, 1985:10; Hodge dan Kress, 1988:6). Hal

ini menunjukkan bahwa teks merupakan suatu produk yang dapat berupa

tulisan atau lisan yang dituliskan atau lisan saja.

Berdasarkan pendapat para pakar tersebut, maka konsep teks dalam

tulisan ini adalah suatu produk dari proses. Dikatakan suatu produk karena

teks adalah hasil yang dapat direkam atau dibaca/ dipelajari. Dikatakan dari

proses karena teks didapatkan dari proses pemilihan makna yang

dipengaruhi oleh konteks, baik konteks sosial maupun konteks budaya

termasuk ideologi. Teks KKWK adalah teks lisan yang pada awalnya

berasal dari tuturan lisan yang direkam, dan selanjutnya ditranskrip

menjadi suatu teks lisan yang tertulis. Teks lisan tersebut dianalisis mulai

dari jenjang leksikogramatika sampai pada ideologi teks.

Page 26: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

26

2.2.2 Konteks

Konteks adalah “text that is ‘with” atau yang juga disebut “with the text”

(Halliday,1985:5). Jadi, yang dimaksud dengan “with” tersebut adalah segala

sesuatu di luar yang diujarkan dan yang tertulis termasuk aspek nonverbal

sehingga dikatakan sebagai keseluruhan lingkungan tempat teks itu ada atau

diujarkan. Konteks, menurut Halliday dan Hassan (1985, 1989); Eggins

(1994); Eggins dan Martin J.R (1997), meliputi konteks sosial, konteks

budaya, dan konteks ideologi.

Menurut Halliday (1985), LSF memperlakukan bahasa dan konteks

sosial sebagai abstraksi pelengkap yang dihubungkan dengan pentingnya

realisasi konsep. Selanjutnya, Halliday (1985:4) menyatakan bahwa bahasa

adalah sistem semiotik. Bahasa memiliki realisasinya sendiri atau bentuk

ekspresinya. Untuk itu ideologi, genre, dan register tidak memiliki bentuk

realisasinya sendiri, tetapi mereka membutuhkan bahasa untuk

mengekspresikan materi yang dimaksudkan. Bentuk ekspresi bahasa adalah

fonologi atau grafologi, dan seterusnya. Ideologi direalisasikan oleh genre

(cultural context) yang selanjutnya direalisasikan oleh register (konteks

situasi ), dan register direalisasikan oleh leksikogramatika. Ideologi, genre,

dan register adalah semiotik konotatif karena memaknai sistem semiotik

lainnya (misalnya bahasa) sebagai bentuk ekpresi; dan bahasa itu sendiri

adalah semiotik denotatif karena bahasa memiliki bentuk ekspresinya

Page 27: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

27

sendiri, misalnya fonologi atau grafologi (Halliday dan Martin 1993:37).

Konsep itu tergambar dalam diagram (1) berikut.

Strata Konteks Bentuk Ekspresi

Bentuk Strata Isi Bentuk Ekspresi

Diagram 1 :Bentuk Isi dalam Hubungan dengan Konteks Sosial

( Diadaptasi dari Halliday dan Martin,1993:37; Martin,1997:7)

Selanjutnya, secara keseluruhan bahasa dan konteks dalam

perspektif sistemik fungsional Halliday dan Martin (1993) dapat dilihat

pada diagram (2) berikut.

Semiotik Konotatif Pelibat

Genre Medan

Sarana

Semiotik Denotatif

Page 28: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

28

Diagram 2: Bahasa dan konteks dalam perspektif sistemik fungsional

Berdasarkan diagram (2) di atas dapat dicermati bahwa secara sistemik

unsur-unsur saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Organisasinya

secara sistemik dimulai dari fonologi sampai pada ideologi. Fonologi

merupakan bidang ekspresi, grammatika dan semantik merupakan bidang

isi, sedangkan register, genre dan ideologi merupakan konteks. Disertasi

ini mengkaji tataran leksikogramatikal sampai pada ideologi. Bagian

register meliputi field (medan), tenor(pelibat) dan mode/chanel (sarana),

sedangkan struktur genre dan struktur teks meliputi tujuan dan struktur

generik teks yaitu, tahapan-tahapan yang dimulai dari

pembukaan/pendahuluan, isi, dan penutup. Setelah ketiga tahapan itu

dipahami, baru akan dikaji ideologi, yaitu bagian yang ada di balik teks.

genre

register

semantik

gramatika

fonologi

Page 29: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

29

2.2.3 Genre dan Struktur Teks

Genre merupakan langkah orientasi tujuan menggunakan bahasa

Struktur adalah bagian-bagian dari sesuatu yang disusun atau disatukan

secara bersama (Hornby:2000). Hal ini berarti bahwa setiap bagian

berkaitan satu dengan yang lain dan membangun suatu teks. Hassan

(1985:53) menjelaskan bahwa struktur teks berkaitan dengan keseluruhan

struktur itu sendiri, keseluruhan struktur pesan. Selanjutnya, Hassan

(1985:53) menyatakan bahwa struktur teks meliputi elemen struktur teks dan

struktur generik teks.

Konsep struktur teks dalam disertasi ini dipahami sebagai keseluruhan

susunan pesan yang ada. Struktur teks merupakan realisasi struktur generik

suatu genre. Struktur tersebut terdiri atas elemen-elemen yang secara

berurutan muncul dalam teks, serta memiliki kesatuan makna/pesan. Dengan

mengikuti model Aristoteles (dalam Halliday, 1985: 53), maka struktur teks

terdiri atas tiga elemen yaitu bagian awal, bagian pertengahan, dan bagian

akhir.

2.2.4 Ideologi

Konsep ideologi tidak dapat dilihat secara terpisah, tetapi harus

disesuaikan dengan kerangka kerja teori sosial secara umum. Thomson

(2003:17) menyatakan bahwa ideologi sebagai seperangkat kepercayaan

yang diorientasikan pada tindakan secara tertutup yang berkaitan dengan

Page 30: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

30

pluralitas politik barat: sebuah pandangan yang berusaha mengurangi

kondisi institusional dan struktural suatu tindakan politik. Untuk itu,

pembelajaran ideologi berarti pembelajaran cara tempat makna (pemaknaan)

memberikan pembenaran terhadap relasi dominasi.

Pengarahan suatu tindakan menjadi bermakna, sebagaimana sebuah

teks yang dapat diinterpretasikan oleh siapa pun merupakan landasan

primordial fenomena ideologi (Thompson, 2003:295). Pemahaman seecara

lebih mendalam, ideologi menurut Ricoeur (dalam Thompson,2003),

berhubungan dengan citra (image) yang diserap oleh suatu kelompok sosial,

dan dengan representasi diri sebagai sebuah komunitas yang memiliki

sejarah dan identitasnya. Ideologi dapat memberikan pemahaman yang

tersirat dalam peristiwa-peristiwa tindakan yang terletak dalam asal usul

suatu kelompok. Tugasnya adalah untuk menyebarkan keyakinannya yang

melampaui para pendirinya dan juga untuk menjadikannya sebagai

keyakinan bagi seluruh kelompok. Berdasarkan pandangan ini dapat

dikatakan bahwa ideologi mempunyai fungsi sebagai mediasi dan penyatu

untuk mengonsolidasikan dan mengeratkan. Ideologi merupakan penyatu

bagi masyarakat pemiliknya.

Ideologi tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui proses tersendiri dan

sampai pada suatu keyakinan yang menjadikannya sebagai penyatu dalam

suatu kelompok masyarakat. Sejalan dengan itu, Martin (1997:237)

menyatakan bahwa ideologi merujuk pada posisi kekuatan, juga bias politik

Page 31: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

31

dan asumsi bahwa semua yang berinteraksi sosial membawa mereka dalam

teks.

Berdasarkan pendapat para pakar tersebut, konsep ideologi dalam

penelitian ini adalah seperangkat kepercayaan dari suatu kelompok

masyarakat yang direalisasikan dalam tutur dan tindakan, serta yang dapat

mengikat dan mempersatukan mereka secara turun-temurun.

Berkenaan dengan pandangan tersebut, analisis idiologi sangat berkaitan

dengan bahasa karena bahasa merupakan media dasar makna (pemaknaan)

yang cenderung mempertahankan relasi dominasi. Dengan kata lain, bahasa

mengandung makna yang ada hubungannya dengan ideologi pengguna

bahasa.

2.2.5 Kette Katonga Weri Kawendo (KKWK)

Frasa kette katonga weri kawendo terdiri atas empat kata yang

memiliki makna ‘peminangan’. Kata ‘kette’ mengandung makna

‘mengikat’,’ katonga’ bermakna ‘tempat duduk’ (yang terbuat dari bambu

yang disebut bale-bale); ‘weri’bermakna ‘tanda larangan’; kawendo

bermakna ‘tiris rumah’ (emper/serambi rumah yang terbuat dari alang-

alang). Jadi, frasa kette katonga bermakna mengikat bale-bale; weri

kawendo bermakna melarang tiris rumah. Jadi, kette katonga weri kawendo

bermakna mengikat dan melarang. Frasa mengikat bale-bale bermakna

bahwa sesuatu telah diikat dan tidak bisa dilepas atau dipisahkan; frasa

melarang tiris rumah bermakna bahwa sesuatu telah ditandai dalam bentuk

Page 32: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

32

larangan untuk memilih yang lain atau mengubah sesuatu. Selanjutnya, frasa

tersebut mengandung makna ‘meminang/peminangan’. Jadi, apabila terjadi

acara kette katonga weri kawendo maka kejadian tersebut menandakan

telah terjadi kesepakatan dari kedua keluarga calon pengantin laki-laki dan

perempuan yang disatukan melalui pengikatan janji. Hal ini bermakna

bahwa gadis telah dipinang (diikat) dan melarang orang lain melamarnya/

meminangnya lagi. Baik laki-laki maupun perempuan diikat dan dilarang

untuk mengubah atau memilih orang lain sebagai calon suami atau calon

istri.

Acara KKWK merupakan salah satu bagian dari proses perkawinan di

samping proses lainnya, yaitu tunda binna’yang mengandung makna ‘ketuk

pintu sebagai perkenalan’ dan pamalle yang mengandung makna

penjemputan) atau padikki yang mengandung makna ‘pemindahan’). Dari

ketiga proses tersebut KKWK membutuhkan waktu yang cukup panjang

dalam dialog untuk mencapai kesepakatan yang akan ditindaklanjuti pada

kemudian hari.

2.2.6 Masyarakat Adat

Frasa masyarakat adat terdiri atas dua kata. Kata masyarakat dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Diknas,1995:635) bermakna ‘manusia

dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka

anggap sama’. Kata adat dalam kamus tersebut (Diknas,1995:6) bermakna

Page 33: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

33

‘aturan, kebiasaan yang dilakukan sejak dahulu kala; juga bermakna wujud

gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan

aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem’.

Berdasarkan konsep tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat adat

adalah sekelompok masyarakat yang menjalankan kebiasaan (adat), yang

berlaku sejak dahulu kala sesuai dengan yang dikehendaki yang diikat oleh

seperangkat norma, hukum, dan tradisi nenek moyang mereka. Masyarakat

adat tersebut harus tunduk pada kebiasaan yang telah disepakati bersama-

sama secara turun temurun. Selanjutnya, masyarakat adat Wewewa adalah

masyarakat adat yang menggunakan bahasa Waijewa dalam berkomunikasi

sehari-hari. Masyarakat adat Wewewa tunduk pada adat, norma, dan

kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Wewewa.

2.2.7 Linguistik Sistemik Fungsional

Linguistik Sistemik Fungsional/LSF adalah teori linguistik dengan

pendekatan analisis terhadap teks, yaitu bahasa yang berfungsi dalam

konteks. Teori ini mempertimbangkan fungsi dan makna sebagai dasar

bahasa manusia untuk melakukan komunikasi. Hal yang paling hakiki dalam

teori ini ialah upaya dalam membedah sistem klasifikasi yang dibuat sesuai

dengan penutur bahasa yang bersangkutan.

Page 34: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

34

2.3 Landasan Teori

Teori Linguistik Sistemik Fungsional merupakan teori utama yang

digunakan dalam menganalisis teks Kette Katonga Weri Kawendo/KKWK

(peminangan) pada masyarakat adat Wewewa penutur bahasa Waijewa di

pulau Sumba. Teori ini pada awalnya dikenal dengan nama Systemic

functional grammar (SFG) kemudian menjadi systemic functional linguistics

(SFL). Teori tersebut merupakan suatu model tata bahasa yang

dikembangkan oleh Michael Halliday pada tahun enam puluhan. Teori

tersebut merupakan bagian dari pendekatan semiotik sosial terhadap bahasa

yang disebut systemic linguistics. Istilah sistemik menunjuk pada

pandangan bahasa sebagai suatu jaringan. Deng. Teori Linguistik Sistemik

Fungsional merupakan suatu teori bahasa yang mengkaji fungsi bahasa

dalam penggunaannya (konteks). Teori tersebut menempatkan bahasa

sebagai unsur yang utama (Halliday, 1985:17). Dengan kata lain, teori LSF

menjelaskan bagaimana bahasa berfungsi sesuai dengan konteksnya. Ada

empat pandangan utama teori ini (Eggins, 1994:2). Keempat pandangan itu

adalah:

(i) bahasa itu fungsional,

(ii) fungsi atau kegunaan menciptakan makna/ fungsi yang

bermakna,

Page 35: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

35

(iii) fungsi-fungsi/kegunaan bahasa dipengaruhi oleh konteks

budaya dan konteks sosial tempat fungsi itu dipertukarkan,

dan

(iv) proses penggunaan bahasa adalah proses semiotik, yaitu

proses membuat makna melalui pemilihan.

Selanjutnya teori tersebut memperkenalkan empat kategori dasar dalam

analisis, yaitu unit, struktur, kelas, dan sistem (Halliday, 1961). Keempat

kategori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Unit

Unit, pada awalnya meliputi klausa, kelompok kata, kata, dan morfem

(Halliday, 1961:58). Selanjutnya, dikatakan bahwa unit, menurut LSF, ada

dua jenis, yaitu unit bahasa tulis dan unit tata bahasa. Konsep unit dapat

dipahami dalam kaitannya dengan teks. Pada teks tulis, misalnya, setiap

paragraf terdiri atas beberapa unit mulai dari unit terkecil, yaitu morfem,

kata, kelompok kata, klausa, dan kalimat. Sementara itu, kalimat dibedakan

dengan klausa karena satu proses direalisasikan oleh sebuah klausa. Kalimat

secara tradisional, menurut Rose (2001, 2006), merujuk pada unit dalam

bentuk teks tertulis, dan klausa secara luas dalam linguistik merujuk pada

bahasa lisan. Kalimat bukan merupakan unit tata bahasa, melainkan unit

bahasa tulis yang diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik.

Page 36: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

36

Halliday dan Matthiessen (2004:371) menyatakan bahw kalimat adalah unit

tertinggi dari tanda baca pada jenjang grafologi. Satu kalimat direalisasikan

oleh satu klausa saja (Rose, 2001,dan 2006). Hal yang sama juga dikatakan

oleh Halliday dan Matthiessen (2004:371) bahwa kalimat adalah unit

tertinggi dari tanda baca pada jenjang grafologi, Kedua unit tersebut

selanjutnya diberikan terminologi yang berbeda, yaitu unit untuk bahasa

tulisan dan jenjang (rank) untuk tata bahasa. Singkatnya, dapat dikatakan

bahwa unit merupakan tata urutan yang dimulai dari morfem, kata,

kelompok kata, klausa, dan kalimat.

2) Struktur

Struktur adalah susunan unsur-unsur secara horizontal. Setiap struktur

disusun berupa susunan kanonik, morfologis, fungsional gramatika, seperti

subjek, predikat, komplemen dan ajung untuk klausa; dan modifier, head,

dan qualifier untuk grup nomina. Struktur adalah susunan unsur-unsur

secara sintagmatik (Halliday dan Matthiessen, 2004:22). Selanjutnya,

Halliday (1985, 2004) menyatakan bahwa susunan fungsional semantik

meliputi pelaku - proses - sirkumstan ataupun urutan informasi, sedangkan

fungsi gramatika meliputi subjek dan predikat.

3) Kelas

Secara umum kelas disebut juga kategori gramatikal yang berupa tataran

kata sampai dengan klausa. Kategori nomina, misalnya, dapat berupa kata

nomina, frasa nominal, dan klausa nominal, sama halnya dengan verba,

Page 37: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

37

adjektiva, dan preposisi. Selain kategori umum, ada dua gagasan lain, yaitu

kategori dan level. Keduanya disusun untuk menjelaskan aspek formal

bahasa. Tiga level pokok adalah bentuk, substansi, dan konteks. Bentuk

adalah organisasi substansi bagi peristiwa yang padat arti, yaitu leksikal dan

gramatikal. Substansi adalah materi fonik dan grafik; dan konteks adalah

hubungan antara bentuk dan situasi, yakni semantik. Ketiganya merupakan

representasi dan konsep dasar ekspresi dan situasi. Konsep tersebut dapat

dilihat pada model/diagram (3) berikut.

Folk Names Technical Terms

CONTENT Meanings (Discouse)

Semantics

Wordings (words & structure)

Lexico- grammar

EXPRESSION Sounds letters Phonology

Graphology

Diagram 3: Ekspresi dan relasi ( Diadopsi dari Eggins,1994::21)

4) Sistem

Sistem merupakan padanan kata sistemik. Bahasa tersusun atas sistem-

sistem dan istilah-istilah yang satu dengan yang lainnya memberikan nilai-

nilai yang didapat hanya dari saling ketergantungan di antara mereka.

Sistem adalah seperangkat unit secara paradigmatik, yang satu dengan yang

Page 38: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

38

lainnya bisa saling menempati dalam suatu struktur (Firth dalam Halliday,

1975:55)

Selain mengandung empat gagasan, yaitu, unit, sistem, struktur dan

kelas, teori LSF juga memiliki tiga pilar utama. Ketiga pilar utama

dimaksud adalah sebagai berikut.

(1) Bahasa merupakan satu sistem yang terdiri atas unsur-unsur

ekspresi, bentuk, dan makna. Ketiganya menyatu dalam teks.

Subbagian seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,

struktur, dan kelas berada di bawah ketiga level tersebut.

(2) Bahasa sebagai fenomena sosial, yaitu perpaduan sistem

bahasa dengan sistem sosial. Kedua sistem tersebut saling

merujuk dan menentukan di dalam penggunaannya sehingga

kedua sistem itulah yang menentukan terjadinya pilihan

bentuk, makna, serta ekspresi di dalam konteks sosial.

(3) Bahasa sebagai sumber daya yang fungsional. Artinya, bahasa

memiliki metafungsi yang terdiri atas fungsi mempertukarkan

atau interpersonal, fungsi memaparkan atau ideasional, dan

fungsi merangkai atau tekstual .

Ketiga metafungsi tersebut membentuk satu sistem yang fungsional.

Analisis LSF pada strata leksikogramatika terjadi dari tiga metafungsi, yaitu

makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual. Analisis ini

menggunakan klausa sebagai representasi, pertukaran, dan pesan. Ketiga

Page 39: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

39

metafungsi makna terealisasi dalam struktur klausa modus, transtivitas, dan

tema-rema. Berdasarkan leksikogramatika dan logiko-sematik dapat dikaji pula

register, genre dan struktur teks, dan ideologi yang tercermin di dalam teks.

Selanjutnya, model analisis tiga metafungsi tergambar dalam diagram (4)

berikut.

genre// register/ realisasi bahasa Diagram 4: Metafungsi dalam Hubungannya dengan Register dan Genre ( Diadaptasi dari Martin,1997:8)

Halliday (1996) memberikan alasan bahwa fokus ekslusif LSF pada

variabel register dibangun untuk secara bersama-sama memenuhi tiga tipe

makna: medan (field) yang direalisasi melalui makna eksperiensial ( misalnya,

pola transitivitas melalui pemilihan partisipan, proses, dan hubungan logis);

pelibat (tenor) diekspresikan melalui makna interpersonal (misalnya: pola

modus (mood), modalitas (modality) melalui pemilihan finit, adjung, dan

adjektiva); dan sarana (mode) direalisasikan melalui makna tekstual (misalnya:

genre

medan sarana

pelibat

Idiasional tekstual

interpersonal

Page 40: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

40

pola kohesi melalui pemilihan rangkaian tema dan referensi (Butler, 1985;

Eggins, 2004; Halliday & Matthiesen, 2004; Martin & Rose, 2003).

Berdasarkan uraian di atas, secara lebih kasat mata diagram (5) berikut

memperlihatkan hubungan metafungsi makna, sumber linguistik, dan fungsi

yang menjadi kajian disertasi ini. Tabel yang dimaksud memperlihatkan kajian

teks KKWK secara menyeluruh dalam bentuk ringkas.

Tabel 1: Tiga Metafungsi Makna (diadaptasi dari Thompson ,1996 dan

Schleppegrell, 2004)

Tipe metafungsi

Sumber linguistik Fungsi

Medan (eksperiensial)

/ideasional

Kelompok nomina

(Partisipan)

Kelompok verba

(Proses: MMVERB)

adverbia, frasa preposisional, (Sirkumstan)

Siapa melakukan apa untuk siapa?

Tenor/pelibat (interpersonal)

Modus: -sistem modus dalam klausa (deklaratif, interrogatif, imperatif)

-struktur modus

Modalitas (tipe modal &adjung utk mengekspresikan tingkat obligasi , ketentuan/

keharusan

Penilaian (ekspresi dampak, putusandan apresiasi) (Martin & Rose, 2003)

Bagaimana hubungan antar pelibat (pembicara & pendengar & pokok persoalan?

Mode/sarana (tekstual)

Unsur kekohesifan (referen, repetisi, dan elipsis)

Rangkaian tema:

tipe tema, tema tunggal dan tema jamak, tema bermarkah dan tidak bermarkah

Gabungan klausa: hubungan interpendensi dan hubungan logis semantik

Bagaimana teks disusun untuk tipe tertentu dalam interaksi, mis: dialog, diskusi, dan lain-lain

Catatan: MMVERB menunjuk pada Material, Mental, Verbal, Ekstensial, Relasional dan Behavioural

Page 41: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

41

Apabila tabel (1) diperhatikan secara cermat maka pola/struktur

transitivitas berada di bawah sumber linguistik (linguistic resources) yang

meliputi tiga bagian, yaitu kelompok nomina, kelompok verba dan

kelompok preposisi dan adverbia; struktur transtivitas merealisasikan

makna eksperiensial yang selanjutnya merealisasikan medan teks. Struktur

modus meliputi modus, modalitas dan penilaian (appraisal) yang

merealisasikan makna interpersonal yang selanjutnya menunjukkan pelibat

dalam teks. Struktur tema meliputi tema, elemen kohesif , dan gabungan

klausa. Struktur ini merealisasikan makna tekstual yang selanjutnya

menunjukkan sarana (mode) teks.

2.3.1 Leksikogramatika

Pada level leksikogramatika ada tiga bagian penting yang

merealisasikan metafungsi makna, yaitu, transitivitas, modus (mood) dan

tema. Berikut adalah paparan ketiga bagian dari leksikogramatika tersebut.

2.3.1.1 Transitivitas

Sistem seperti yang telah disampaikan sebelumnya merupakan

seperangkat unit secara paradigmatik, yang satu dengan yang lainnya bisa

saling menempati dalam suatu struktur, maka sistem transtivitas mencakup

unsur-unsur yang saling berhubungan, yaitu partisipan, proses, dan

sirkumstan.

Page 42: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

42

Kesan pengalaman nyata kita terlihat/terungkap dalam proses

(Halliday, 2004:170) misalnya dalam hal – terjadi (happening), melakukan

(doing), merasakan (sensing), mengartikan (meaning), dan menjadi (being,

becoming). Proses ini merupakan sistem transitivitas bahasa yang memiliki

metafungsi eksperiensial, dan kemudian meneliti cara bahasa menafsirkan

pengalaman manusia akan dunia di sekitarnya.

Fokus analisis adalah klausa sebagai representasi (tentang

pengalaman akan dunia). Transitivitas merupakan sumber untuk

menguraikan pengalaman dan dilakukan dalam bentuk proses. Bagian

yang tercakup dalam proses ini adalah proses itu sendiri, partisipan

/peristiwa, dan .sirkumstan (Eggins, 1994:229; Halliday, 2004).

Proses direalisasikan oleh kelompok verba; partisipan/peristiwa

direalisasikan oleh kelompok nomina, dan sirkumstan oleh kelompok

keterangan dan frasa preposisional. Ada enam proses, yaitu proses material,

mental, verbal, eksistensi (wujud), relasional, dan perilaku (Eggins, 1994;

Halliday,2004). Secara lebih jelas keenam proses tersebut dan partisipan

yang mengikutinya dapat dilihat pada tabel (2) berikut.

Page 43: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

43

Tabel 2: Proses dan Partisipan

Proses Partisipan

Material Aktor (pelaku), tujuan/sasaran, lingkup, atributif , klien, penerima

Mental Pencerap (Senser), fenomena

Verbal Pembicara, pendengar, isi pembicaraan (verbiage)

Eksistensi wujud ( excistent)

Relasional Pembawa/atribut(Carrier/attribute), Token. Nilai (Value)

Perilaku Pemerilaku, perilaku (Behaver, behavior)

Sebelum pembahasan tentang proses, terlebih dahulu akan dibahas

sirkumstan yang mengikuti proses dalam sstem transitivitas.

(1) Sirkumstan

Unsur sirkumstan merupakan salah satu elemen dalam sistem

transtivitas . Unsur sirkumstan menambah informasi tentang waktu

(kapan), tempat (di mana), cara (bagaimana), dan alasan, sebab (mengapa,

untuk apa, siapa). Unsur sirkumstan dapat digali dengan menggunakan

pertanyaan di mana, mengapa, bagaimana, dan kapan.

Unsur inti sirkumstan (Halliday, 2004:262) adalah sebagai berikut.

(a) Lokasi (Location) : Di mana? (Where?) (1) That child plays badminton in the park.

‘Anak itu bermain badminton di taman.’

(b) Alasan, sebab (Reason/cause ): Mengapa? (Why?) (2) That child plays badminton for fun.

‘Anak itu bermain badminton untuk bersenang-senang.’

Page 44: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

44

(c) Cara/Keterangan (Manner): bagaimana? ( How?)

(3) That oldman crossed the road carelessly. ‘Orang tua itu menyeberang jalan dengan hati-hati.’

(d) Waktu (Time): Kapan? (When? (4) That oldman crossed that road yesterday.

‘Orang tua itu menyeberangi jalan itu kemarin.’

Contoh keempat klausa di atas memperlihatkan unsur sirkumtan

(lokasi, alasan, cara, dan waktu). Sirkumstan tersebut menambah informasi

tentang lokasi, alasan, cara, dan waktu.

(2) Proses dalam Transitivitas

Ada enam proses dalam transtivitas, yaitu proses material, verbal,

relasional, mental, eksistensial, dan perilaku ( Eggins, 1994:229; Halliday,

1994: 107-139; Halliday & Matthiessen, 2004:171-206). Ada tiga proses

utama, yaitu material, mental, dan relasional (Halliday, 1994: 107; Halliday

& Matthiessen, 2004:171). Tiga proses lainnya, yaitu perilaku, verbal, dan

eksistensial. Proses perilaku dapat juga memiliki karakteristik proses

material dan proses mental; proses verbal dapat juga memiliki karakteristik

proses mental dan proses relasional; dan proses eksistensial dapat memiliki

karakteristik proses relasional dan material.

(a) Proses material

Proses material adalah proses melakukan atau terjadi, dan Aktor

adalah partisipan kunci. Partisipan dalam proses material adalah aktor ,

sasaran(goal), limgkup (scope), atributif, klien dan penerima (recipient).

Page 45: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

45

Proses material dapat dites dengan mencari informasi tentang ‘apa

yang aktor lakukan atau apa yang terjadi (Eggins, 1994;227).

Contoh: (Diadaptasi dari Halliday dam Matthiessen, 2004:187-195)

(5) They played ping pong yesterday Pt: Pr: Pt: Circ: Actor Material Scope Time mereka main ping pong kemarin ‘Mereka bermain ping pong kemarin.’

(6) Diana swallowed the ping pong ball by mistake :Pr: Pr: Pt: Circ: Actor material Goal manner Dina terima ping pong bola dengan salah ‘Diana menerima bola ping pong secara salah.’

(7) They gave Tom a house Pt: Pr: Pt: Pt: Actor Material Recipient Goal mereka beri Tom sebuah rumah ‘Mereka memberi Tom sebuah rumah.’

(8) The doctor made Alvin a tablet Pt: Pr: Pt: Pt: Actor Material Client Goal dokter buat Alvin sebua tablet ‘Dokter membuatkan Alvin sebuah tablet.’

Keempat klausa (5-8) di atas memperlihatkan pemakaian proses

material (bermain, menerima, memberikan, dan membuatkan). Karena

proses material mencakup verba dinamik, progressif dimungkinkan.

Misalnya: Mereka sedang bermain ping pong kemarin (-- "They were

playing ping pong yesterday").

(b) Proses Mental

Partisipan dalam proses mental adalah pencerap (senser) dan

fenomena. Pencerap (senser) adalah seseorang yang merasakan secara

Page 46: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

46

emosional, memikirkan, dan perceive (merasa bahwa seseorang

memperhatikan). Fenomena adalah sesuatu yang dirasakan secara emosional,

dipikirkan, atau perceived (terasa sedang diperhatikan).

Proses mental berkenaan dengan kasih sayang (affection), kognisi

(cognition), persepsi (perception), atau desideration ( Eggins, 1994;

Halliday, 2004):

(9) I hate injections Pt: Pr: Pt: Senser Mental Phenomenon [Affection] saya benci suntikan ‘Saya membenci suntikan.’

(10) That show amazed me Pt: Pr: Pt: Phenomenon Mental Senser [Cognition] itu pertunjukan agum saya ‘Pertunjukan itu mengagumkan saya.’

(11) I saw that accident Pt: Pr: Pt: Senser Mental Phenomenon [Perception] saya melihat itu kecelakaan ‘Saya melihat kecelakaan itu.’

Pencerap ( Senser) tidak selalu berada di depan. Contoh pada klausa

(10) “That show amazed me”, fenomena that show berada di depan.

(c) Proses Verbal (Verbal process)

Partisipan dalam proses verbal (Eggins,1994:251; Halliday, 2004:253-

256) adalah sebagai berikut.

(i) Pembicara (Sayer -- the addresser

Page 47: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

47

(ii) Penerima/pendengar (Receiver -- the addressee, or the entity

targetted by the saying)

(iii) Isi pembicaraan (Verbiage -- the content of what is said or indicated

Proses verbal meliputi semua modes of expressing dan indicating

walaupun mereka tidak membutuhkan verba, misalnya memperlihatkan.

Isi pembicaraan dapat direalisasikan sebagai sebuah klausa yang

diproyeksikan secara penuh oleh partisipan atau sirkumstan (matter).

Sebagai contoh, perhatikan kalimat berikut.(didaptasi dari Halliday dan

Matthiessen, 2004:252-256).

(12) His farther tells that child a nice story

Pt: Pr: Pt Sayer Verbal receiver Verbiage ayahnya ceritera anak itu suatu ceritera menarik ‘Ayahnya menceriterakan anak itu suatu ceritera menarik.’

(13) The doctor expressed some concern Pt: Pr: Pt: Sayer Verbal Verbiage dokter itu nyatakan beberapa keprihatinan ‘Dokter itu menyatakan keprihatinan.’

(14) Tom explained about that accident Pt: Pr: Circ: Sayer Verbal Matter Tom jelaskan tentang itu kecelakaan Tom menjelaskan tentang kecelakaan itu. (15) She said that the book has been read.

Pt: Pr: Pt Sayer Verbal dia katakan bahwa buku itu telah baca ‘Dia mengatakan bahwa buku itu telah dibaca.’

Page 48: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

48

(d) Proses Eksistensi/Ujud

Proses eksistensi meliputi struktur ekstensial yang didahului oleh frasa

dalam bahasa Inggris, misalnya, there was/is something (Eggins,1994:254).

Frasa ini berada pada posisi subjek. Tipe verba yang digunakan adalah

verba be. Dengan demikian, akan mudah diingat bahwa apabila setiap saat

terdapat konstruksi ujud maka hal itu adalah proses ekstensi. Proses

eksistensi hanya memiliki satu partisipan yaitu eksisten. Eksisten itu

sederhana karena menerangkan keberadaan.

(16) Once upon a time there was a wise grammarian Sir: Pr:Ekst/ujud Pt:Ekst/perujudan pada suatu saat ada seorang ahli tata bahasa yang bijaksana ‘Pada suatu saat ada seorong ahli tatabahasa yang bijaksana.’

(e) Proses Relasional

Proses relasional wajib menghendaki dua partisipan. Dalam sebuah

klausa finit tentu tidak memiliki prosess relasional yang hanya memiliki satu

partisipan. Proses relasional berkaitan dengan pemilikan (possessing) atau

menjadi (becoming).

Proses relasional itu bisa pengenalan ataupun atributif (Eggins,

1994:255). Proses pengenalan membolehkan partisipan dipertukarkan

bersama-sama dengan perubahan yang berkaitan dalam fungsi gramatikal.

Partisipan dapat dipertukarkan dalam dua cara, yaitu dengan hanya menukar

posisi atau pemasifan.(Halliday, 2004: 216). Perhatikan contoh berikut yang

diadaptasi dari Halliday dam Matthiessen, 2004: 210-216).

Page 49: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

49

(17 a) Diana is a wise guest. Carrier Pr;intensive attributive Diana adalah seorang tamu bijak ‘Diana itu tamu bijak’. (17b) The wise guest is Diana Attributive Pr:intensive carrier bijak tamu adalah Diana ‘Tamu bijak itu adalah Diana.’

Pertukaran fungsi gramatikal dari partisipan pada kalimat 17a, Diana,

adalah subjek, tetapi pada kalimat 17b menjadi komplemen. Sama halnya

dengan the wise guest adalah komplemen pada kalimat 17a, tetapi menjadi

subjek pada kalimat 17b.

(18a) The exam takes up the whole day. S C ‘Ujian itu memerlukan sehari penuh.’

(18b) The whole day is taken up by the exam. S C ‘Sehari penuh diperlukan untuk ujian itu.’

Pertukaran fungsi gramatikal pada kalimat 18a, the exam adalah

subjek, tetapi pada kalimat 18b adalah komplemen preposisional. Sama

halnya pada kalimat 18b the whole day adalah subjek, tetapi pada kalimat

18a adalah komplemen.

Proses atributif pada umumnya tidak menghendaki partisipan

dipertukarkan .Proses atributif juga tidak mengenal pemasifan (Eggins,

1994: 257)

(19a) He is blessed. S K

‘Dia keberkatan.’

Page 50: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

50

(19b) Blessed is he. C S

‘Keberkatan dia.’

Pada kalimat 19 tidak ada pertukaran fungsi gramatikal. He pada ke

duanya tetap menjadi subjek dan blessed tetap menjadi komplemen. Jika

proses adalah pengidentifikasian maka partisipan adalah Token dan Value.

Jika proses pengidentifikasian itu dapat mengoperasikan pemasifan maka

dalam bentuk aktif subjek selalu Token (value tentunya adalah komplemen).

Jika proses tidak dapat mengoperasikan pemasifan maka dibutuhkan tes

penunjukan untuk menentukan label yang mana akan digunakan. Untuk itu

pertama-tama dilakukan penempatan kembali verba yang dapat mewakili

dalam membentuk konstruksi alternatif yang dapat diterima. Dengan

demikian, akan diperoleh Token yang mewakili Value.

(20) Today is Christmas Day Pt: Pr: Pt: Token Rel-Ident Nilai ‘Hari ini Hari Natal atau Hari ini adalah Hari Natal.’ (21) The World champion is Tomy Pt: Pr: Pt: Nilai Rel-Ident Token ‘ Juara dunia adalah Tomi.’

Tomy pada klausa (21) diidentifikasi oleh statusnya sebagai world

champion. Tomy juga mewakili world champion, tetapi world Champion

tidak mewakili Tomy.

Page 51: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

51

Jika prosess itu atributif maka partisipan itu pembawa (Carrier) dan

atribut (Attribute). Klausa yang memiliki proses atributif tidak dapat

dipasifkan. Hal ini berarti bahwa subjek gramatika itu selalu adalah

pembawa.

(22) Tomy was great during World Competition Day Pt: Pr: Pt: Circ: Pembawa Rel-Atributif Waktu Tomy terkenal selama dunia kompetisi hari ‘Tomy terkenal selama pertandingan dunia.’

(23) Sally has a beautiful car Pt: Pr: Pt: Pembawa Rel-Attr Atributif Sally punya sebuah cantik mobil ‘Sally memiliki sebuah mobil bagus/cantik.’

(f) Proses Perilaku

Partisipan utama itu adalah pemerilaku (behaver), tetapi kadang-

kadang melibatkan suatu perilaku, a Behaviour (Eggins, 1994:250) Proses

perilaku (behavioural) adalah tipe intransitif, melibatkan hanya pemerilaku

(behaver) sebagai partisipan. Jika ada dua partisipan maka partisipan kedua

itu adalah perilaku (behavior).

Proses perilaku itu adalah suatu prosess hibrid yaitu proses material

dan proses mental. Karena proses perilaku itu bagian dari mental, proses ini

melibatkan verba yang jelas merupakan kejiwaan. Demikian pula, proses ini

bagian dari proses material, proses perilaku menghendaki bentuk progresif

(Eggins, 1994:251).

Page 52: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

52

(24) That girl nodded at her lecturer. Pt: Pr: Pt: Behaver Behavioural Behaviour gadis itu angguk pada dosennya ‘Gadis itu mengangguk pada dosennya.’ Pada contoh klausa (24) di atas verba nodded ‘mengangguk’

merupakan proses perilaku. Proses perilaku dalam klausa tersebut disebut

behavioural.

2.3.1.2 Modus

Modus merealisasi metafungsi makna interpersonal. Penggunaan

klausa dalam sistem modus berfungi sebagai mempertukarkan pengalaman

antarpelibat. Secara umum, pemahaman tentang modus merujuk pada bentuk

verba yang menyatakan suatu fakta atau tindakan ( indikatif = deklaratif,

interrogatif), imperatif, atau subjungtif (doubt). Namun, dalam konsep

Halliday subjungtif tidak dibahas. Modus dalam kerangka Halliday (2004)

secara teknis menunjuk pada Blok modus (Mood Block) yang terdiri atas

komponen-komponen seperti Subjek (S), unsur Finit (F) dan adjung modal.

Agar tidak membingungkan pemahaman, sebutan atas pemikiran yang secara

umum telah dikenal sebelumnya, di sini digunakan istilah klausa modus

(deklaratif, interogatif, dan sebagainya), yang dibedakan dari modus menurut

Halliday. Apabila dicermati maka S,F dan adjung modal berada di bawah

blok modus. Elemen-elemen lainnya berada di bawah Residu. Konjungsi dan

adjung konjungtif serta vokatif dan ekspletif tidak termasuk dalam analisis

modus (Halliday dan Christian, 2004: 125-133).

Page 53: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

53

Struktur dalam klausa yang telah dikenal sebelumnya berupa sebuah

singkatan SVOKA yang berasal dari Subyek, Verba, Objek, komplemen dan

Adverbia (keterangan). Dalam konsep Halliday istilah tersebut mengalami

penyesuaian. Penyesuaiannya dapat dilihat pada tabel (3) berikut.

Tabel 3: Penyesuaian Istilah Menurut Konsep Halliday

SVOKA Haliday Subjek tidak ada perubahan Verba berubah menjadi F (Finit), P (Predikat) Objek Berubah menjadi komplemen Komplemen Tetap sebagai komplemen Adverbia Berubah menjadi AR (Adjung residu) atau

AM ( Adjung modal )

Perbedaan antara komplemen dan adjunct menurut Halliday &

Matthiessen (2004: 122-124) adalah:

"A complement is an element within the Residue that has the potential of being Subject but is not ... It is typically realized by a nominal group." "An Adjunct is an element that has not got the potential of being Subject ... An Adjunct is typically realized by an adverbial group or a prepositional phrase (rather than by a nominal group)."

Pada kutipan di atas secara jelas terlihat bahwa jika menganalisis

klausa dengan menggunakan LSF menurut Halliday, khusus untuk PKA

(Predikat, Komplemen dan Adjung), maka mood block untuk S (Subjek), dan

F (Finit) ada di bawah MODUS sedangkan P (Predikat) dan K (Komplemen)

berada di bawah RESIDU, seperti pada (25).:

Page 54: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

54

(25)

He can’t hear on the telephone Subjek dia

Finit tidak bisa

Predikat mendengar

Adjung telepone

Mood

Residue

‘Dia tidak bisa mendengar telepon.’

Terdapat dua tipe adjung, yaitu adjung modal (AM) dan adjung residu

(AR). AR melengkapi informasi sirkumstansial yang dalam hal ini meliputi

informasi tentang waktu, tempat, sikap/cara, dan sebagainya, termasuk agen

dalam klausa pasif, misalnya him dalam the cake was eaten by him. Semua

AR membentuk bagian dari residue. Adjung modal (AM), pada bagian

yang lain, membentuk bagian blok modus. AM melengkapi informasi

tambahan pada kemungkinan dan kebiasaan, dan sebagainya.

(mood adjunct), atau pendapat pembicara, komentar, dan sebagainya. Jadi,

AM meliputi baik modus maupun adjung komen. Singkatnya, S, F, AM

dibawah Modus, dan P, K, AR di bawah Residu. Lebih jelasnya, yang

mana merupakan bagian adjung modus dan adjung komen (Halliday dan

Matthiessen, 2004: 126-131)) dapat dilihat pada tabel (4) berikut.

Page 55: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

55

Tabel 4: Adjung Modus dan Adjung Komen (Diadaptasi dari Halliday dan Matthiessen, 2004:126-131) Tipe Contoh Adjung Modus : Kemungkinan Kebiasaan Obligasi/kewajiban Kepastian Intensitas Polaritas

mungkin, barangkali, boleh jadi. selalu, pernah, jarang, pada umumnya, biasanya dengan pasti, benar, secara jelas, tentu, secara benar. jelas. hanya, sederhana, bahkan, melulu, sesungguhnya,, kenyataannya, hampir mendekati,jarang tidak, bukan

Adjung Komen: Pengakuan Pengharapan Permohonan yg mendesak Penilaian/ Evaluasi Opini Persuasif. meyakinkan Prediksi Anggapan

sebetulnya, secara jujur, menyatakan kebenaran sungguh sial sangat menyenangkant ,untungnya/beruntung, disayangkan berharap silahkan, dengan baik hati, dengan senang hati dapat dimengerti, secara keliru, dengan penuh kecurigaan, cukup, secara sembarangan,secara tidak arif dalam pikiran saya, dari sudut pandangan saya, secara pribadi,menurut pikiran saya Secara jujur, secara sungguh-sungguh, secara serius, atas dugaan saya, anehnya, seperti yang diharapkan, dengan mengagumkan, kebetulan dengan jelas, rupanya, nampaknya, .

Berikut adalah modus dan adjung komen (diadaptasi dari Halliday

dan Matthiessen, 2004:126-131; Eggins, 1994):

(i) Adjung Modus

(26a) Maybe the ball fell on Tom's head. (probability) ‘Barangkali bola itu jatuh di atas kepala Tom.’

Page 56: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

56

(26b) Drake seldom thinks straight these days. (usuality) ‘Drake jarang berpikir sungguh-sungguh (serius) akhir-akhir ini.’ (26c) Paul could hardly walk after the incident. (degree) Paul sangat sulit berjalan setelah kecelakaan itu.

(ii) Adjung Komen

(27a) Frankly, you were surprised at the outcome. (opinion) (27b) Fortunately, the doctor has left an adress. (desiderable) (27c) John has, supposedly, designed a new model of his car. (presumption) Contoh klausa (26a,b,c) memperlihatkan penggunaan mood ajung,

sedangkan contoh (27 a,b,c) memperlihatkan penggunaan comment ajung.

(1) Subjek dan Finit

Subjek (S) dan Finit (F) adalah komponen penting dalam blok

modus. Finit, menurut Halliday & Matthiessen (2004: 115) memaparkan

“suatu cara yang baik untuk membuat sesuatu dapat didebat dengan

memberikannya suatu batas referensi; dan inilah yang Finit lakukan”.

Elemen S memungkinkan preposisi dinyatakan atau ditiadakan. Subyek itu

elemen yang memungkinkan fungsi klausa sebagai peristiwa interaktif.

Beberapa contoh susunan S dan F yang merealisasi klausa modus

(Halliday, 2004:137-139) berbeda dalam bahasa Inggris:

(i) Deklaratif -- S^F (28) The tutorials made him hypertensive. ‘Tutorial itu membuat dia hipertensi.’

(ii) Pertanyaan informatif (ya/tidak/kata-kata tanya = S) -- S^F (29) What made him hypertensive? ‘Apa yang membuat dia hipertensi?’

Page 57: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

57

(iii) Pertanyaan informatif lainnya -- F^S (30) When did he become hypertensive? Sejak kapan dia menjadi hipertensi?

(iv) Pertanyaan ya/tidak -- F^S (31) Did the tutorials make him hypertensive? ‘Adakah tutorial itu membuat dia hipertensi?’

(v) Perintah (Imperative (ekslusif) – tidak ada (32) Complete the tutorial worksheet! ‘Lengkapilah lembaran kerja tutorial ini!’

(vi) Perintah (Imperative (inklusif) -- S (33) Let's complete the tutorial worksheet. ‘Mari kita melengkapi lembaran kerja tutorial ini!’

Klausa (28 -33) memperlihatkan susunan Subjek dan Finit/predikat

dalam klausa modus deklaratif, pertanyaan, dan perintah. Posisi subjek

dapat di depan atau di belakang finit/predikat tergantung pada klausa modus

yang digunakan.

(2) Penyatuan dan Pemisahan F dan P

Dalam klausa finit , jika grup verba terdiri atas hanya satu verba maka F

setara atau sama dengan P. Jadi, label verbanya adalah F/P.

(34) The ball fell (F/P) on Tom's head, didn't it? ‘Bola itu jatuh (F/P) di atas kepala Tom, bukan?’

Suatu cara yang paling mudah untuk menentukan elemen F adalah

menyisipkan Tag modus yang diambil dari elemen F dan S pada klausa

utama. Pada klausa (34) tag modus adalah didn’t it. Cara yang paling

mudah untuk menentukan unsur Finit adalah menyisipkan tag modus yang

diambil dari unsur subjek dan finit pada klausa utama. Tag modus, didn't it –

Page 58: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

58

memunculkan teka-teki karena klausa utama tidak memiliki verba did.

Sehubungan dengan itu, Eggins (1994: 158) menjelaskan:

"Where does the ‘did’ in the tag come from? What happens is that with verbs in the simple present or simple past declarative, the Finite element gets fused with another element, known as Predicator. In earlier forms of English, and still in emphatic forms of contemporary English, the did used to be present in the main part of the clause as well as in the tag [...] I did learn the English language from the guy, didn't I? [...] In unemphatic modern English, the did Finite has become fused in with the content part of the verb. But technically it is still there in the clause, as we see when we add the tag."

Berdasarkan penjelasan kutipan di atas secara jelas dapat

dikatakan bahwa unsur F melebur dengan unsur yang lain. Jadi, F (did)

melebur dalam verba yang ada dalam klausa utama.

Jika kelompok verba dalam klausa finit terdiri atas lebih dari satu verba

maka F selalu verba awal/pertama yang mendapat label F. Segala sesuatu

dalam kelompok verba adalah P.

(35) Tom won't (F, AM) be eating (P) durians for a while. ‘Tom tidak akan (F, AM) makan (P) durian untuk

sementara.’

Untuk verba yang terdiri atas lebih dari satu kata, seperti frasa atau

verba preposisi, tendensi pengikut sistemik yakin bahwa kelompok verba

melebur dalam unsure predikat finit yang diikuti adjung, seperti dalam

bahasa Inggris switch (F/P) on (A). Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa verba yang terdiri atas lebih dari satu kata itu merupakan perluasan

dari verba sehingga merupakan bagian dari predikat.

Page 59: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

59

(36) The boy switched (F/P-) on (-P) the radio. ‘Anak laki-laki itu menghidupkan radio.’

(3) Modalitas dalam Verba Finit

Verba Finit adalah verba yang ditandai oleh kala (tense) dan/ atau

modalitas. Modalitas merujuk pada tingkat keadaan yang tidak dapat

dipastikan . Modalitas tidak hanya merujuk pada verba modal, misalnya

can/could, may/migh", shall/should, will/would, mus", atau marginal modals,

misalnya used to, had to, tetapi juga merujuk pada ide modalitas yang

diperluas pada setiap verba dan tidak hanya verba modal. Untuk itu, dalam

kaitan dengan verba modalitas, manifestasinya dilakukan dalam dua cara,

yaitu modalisasi dan modulasi.

Modalisasi mengandung makna kemungkinan, termasuk ketentuan

atau kebiasaan. Kedua contoh di bawah ini memperlihatkan penggunaan

makna kemungkinan dan kebiasaan.

(37) He may have put on my briefs by mistake. (probability)

‘Dia mungkin telah meletakkan laporan saya secara salah.’ (kemungkinan)

(38) He sings in the shower every Friday evening. (usuality) ‘Dia menyanyi di kamar mandi setiap hari Jumat malam.’ (kebiasaan)

Modulasi mengandung makna keharusan, termasuk permohonan atau

kecenderungan (Halliday, 2004:147). Ketiga contoh di bawah ini

memperihatkan penggunaan modulasi yang mengandung makna seperti

yang disebutkan.

Page 60: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

60

(39) You ought to keep awake during the grammar lecture. (obligation) ‘Kamu harus tetap terjaga selama kuliah grammar.’

(40) He can sleep all he wants! (obligation) ‘Dia dapat tidur kapan dia mau.’

(41) He desperately tried to stay awake. (inclination)

‘Dia dengan putus asa mencoba tetap terjaga.’

Apabila menganalisis verba perlu dipertimbangkan bagaimana

penggunaan modalitas. Modalitas yang dimaksudkan dalam hal ini adalah

modalisasi yang mengandung makna kemungkinan dan kebiasaan, serta

modulasi yang mengandung makna keharusan dan kecenderungan.

(4) Penderita S

Dalam bahasa Inggris terdapat konstruksi seperti it yang lebih dahulu

digunakan. Dalam konstruksi tersebut isi yang mendahului subjek

ditempatkan pada posisi akhir.

(42) It is a shame to see a bruise on Newton's head. (= To see a bruise on Newton's head is a shame.) ‘Memalukan melihat memar di kepala Newton.’ (= melihat memar di kepala Newton memalukan)

Untuk mengakhiri sistem modus atau lebih dikenal blok modus, di

bawah ini dapat dikemukakan contoh Blok Modus yang berisikan MODUS

dan RESIDU (Eggins, 1994; Halliday dan Christian, 2004),

(43). You come here S Kamu

P datang

AR mari

MODUS RESIDU ‘Kamu datang ke mari.’

Page 61: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

61

(44) Let’s go home S mari kita

P pulang

AR rumah

MODUS

RESIDU

‘Mari kita pulang ke rumah.’ (45). Do not Go home F AM P AR MODUS Jangan

RESIDU pulang rumah

‘Jangan pulang ke rumah.’ 2.3.1.3 Tema

Tema, menurut Halliday (1985a:39) merupakan unsur sebagai pesan

awal dalam suatu klausa. Dengan kata lain, tema merupakan unsur awal

klausa yang muncul pada awal klausa. Tema menyediakan konteks lokal

bagi pengembangan pesan dalam klausa, yang juga merupakan butir awal,

bahwa tema itu butir yang melebihi pesan dalam klausa dengan baik. Tema

dalam bahasa Inggris selalu berada di awal klausa dan diikuti oleh

rema. Tema memiliki tiga tipe yang berbeda (Halliday,2004:79), seperti

tampak pada tabel (5) berikut.

Page 62: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

62

Tabel 5: Tiga Tipe Tema

Tema Tekstual Kontinuitas Konjungsi Konjungtif ajung Wh-relative (½ tekstual, ½ topik)

Tema Interpersonal Vokatif Adjung modal Unsur finit Wh-question (½ int. ½ topik)

Tema Topikal Partisipan Sirkumstan Proses

Tema dalam klausa merupakan unsur yang muncul pertama, dan

sesudah itu baru diikuti rema yang merupakan bagian dari klausa. Dengan

demikian porsi tematik itu adalah segala sesuatu yang ada pada awal klausa,

termasuk tema topikal . Pada tabel (5) di atas terlihat bahwa kontinuitas

(continuatives), konjungsi (conjunctions), adjung konjungtif dan Wh-

relative merupakan tema tekstual. Perhatikan contoh-contohnya di bawah

ini.

(a) kontinuitas, misalnya, umm, yeah, ..,

(b) konjungsi, misalnya, dan, atau, tetapi

(c) adjung konjungtif, mis.,biarpun, betapun, sebab, walaupun, ...

(d) Wh-relative, misalnya, yang mana (which), siapa ( who, ...)

‘Wh-relatives’ dapat berupa baik sebagai tema tekstual maupun sebagai

tema topikal .Jika sebuah klausa didahului oleh wh-relative baik dalam

Page 63: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

63

tema tekstual maupun dalam tema topikal, maka segala sesuatu sesudah wh-

relative adalah rema.

(46) Alvin, « who cried loudly, » lost his job.

Alvin Txt/Top

yang Rheme berteriak dengan keras

kehilangan jabatannya

‘Alvin, yang berteriak keras kehilangan jabatannya.’

Tema interpersonal meliputi Vocatif, Adjung modal , unsu finit, dan

kata-kata tanya . Contoh dari setiap bagian ini adalah seperti:

(a) Vocatif (mis., Henry!, Tuan!, ...)

(b) Adjung modal, termasuk modus dan adjung komen (misalnya.,

mungkin, biasanya, sebetulnya, ...)

(c) Operator finit (misalnya., kata kerja bantu modal,kata kerja bantu be,)

(d) Kata-kata tanya (misalnya, siapa, apa, dimana, bagaimana,

mengapa)

(47) Why did Alvin cry loudly? Int/Top

mengapa Rheme Alvin berteriak dengan keras

‘Mengapa Alvin berteriak keras?’

Tema topik itu, semua harus dalam klausa utama, termasuk

imperatf/perintah. Dalam tema topikal dikenal partisipan yang biasa disebut

kelompok nomina, siskumstan disebut PP atau AdvG. Kelompok

keterangan, dan proses disebut kelompok verba. Ketiganya merupakan

bagian dalam tema topikal . Contoh klausa yang memiliki tiga tipe tema

tampak pada (48).

Page 64: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

64

(48) Well, Superman, why do you keep your briefs on the outside? Txt

‘Baiklah Int Superman

Int/Top mengapa

Rheme engkau menyimpan laporanmu di luar?’

Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa tema topikal harus

dalam klausa utama, maka tema yang lain, yaitu tema tekstual dan tema

interpersonal, adalah pilihan (opsional). Karena keharusan adanya tema

topical, perlu dicermati segala sesuatu yang ada pada awal klausa. Oleh

karena itu, perlu dipertimbangkan atau dimasukkan unsur ellipsis.

(49) Michael hit Tom, and was sorry about it. ‘Michael memukul Tom dan menyesalinya.’

Ada dua klausa dalam contoh di atas, yaitu "Michael hit Tom" +

"and was sorry about it". Tema topikal pada klausa pertama adalah "

Michael ". Pada klausa kedua and adalah tema tekstual, sehingga tema

topikal bukan verba was. Dalam menganalisis klausa tersebut perlu

dicermati klausa secara utuh, yaitu klausa sesungguhnya:

"and (he) was sorry about it" . Jelaslah bahwa he adalah tema topikal

elipsis. Tema topikal elispsis berada di dalam kurung:

and was sorry about it Txt (Top) Rheme

Contoh lain yang menunjukkan adanya dua klausa, yang dipisahkan oleh

dua tanda garis miring (//) tampak pada (50).

Page 65: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

65

(50) Alvin took up aerobics // and became even skinnier! Top

‘Alvin Rheme mengikuti erobik

//

Txt dan

(Top) Rheme menjadi lebih kurus.’

(1) Tema bermarkah dan tidak bermarkah

Pemakaian pemarkahan berimplikasi pada pemunculan beberapa

fenomena kurang khusus atau jarang. Apabila dikatakan bahwa tema itu

dimarkahi maka hal itu menunjukkan hal yang kurang khusus atau jarang,

karena hal itu direalisasi dengan cara yang demikian. Lawan tema yang

dimarkahi adalah tema yang tidak dimarkahi.

Pembicaraan tentang tema bermarkah dan tidak bermarkah,

menunjuk pada hanya tema topikal dan bukan tema tekstual atau tema

interpersonal. Penggunaan apakah tema topikal bermarkah atau tidak

tergantung pada klausa modus, yaitu apakah klausa itu deklaratif,

interogatif, atau imperatif. Hal yang penting adalah bahwa tema tidak

bermarkah berbeda dari klausa modus.

Tema tidak bermarkah berbeda dengan klausa modus. Perbedaannya

dapat diuraikan sebagai berikut:

(a) Deklaratif: Tema tidak bermarkah adalah subjek. Misalnya, dalam

kalimat bahasa Inggris, "The man picked his daughter's toys."

Semua realisasi yang lainnya dari tema topikal itu bermarkah,

misalnya: " his daughter's toys, he loves to pick" . Dalam kalimat ini

Page 66: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

66

his daughter's toys adalah komplemen, dari subjek sebagai tema

topikal.

(b) Interogatif terdiri atas polar dan kontent interrogatif:

(i) Polar: Tema tidak bermarkah memiliki dua bagian tema yaitu

tema interpersonal yang direalisasikan oleh unsur finit, dan tema

topikal yang direalisasikan oleh subjek. Sebagai contoh, "Did the

man pick his daughter's toys?" Semua realisasi lainnya

bermarkah.

(ii) Isi: Tema tidak bermarkah adalah kata Tanya. Sebagai contoh,

"Why did the man pick his daughter's toys?" Semua realisasi

lainnya bermarkah.

(c) Perintah (Imperative): inclusif dan ekslusif.

(i) Inklusif: Tema tidak bermarkah adalah let's atau let us, yang

sesungguhnya merupakan bentuk yang tidak patuh dari subjek (= we):

"Let's pick our books!" Semua realisasi lainnya bermarkah.

(ii) Ekslusif: Tema tidak bermarkah itu adalah proses, misalnya: "Pick

your books!" Semua realisasi lainnya bermarkah.

Tema topikal yang direalisasikan oleh unsur sirkumstansial selalu

bermarkah tanpa pengecualian. Jadi, apabila ada unsur sirkumstansial

berfungsi sebagai tema topikal, maka tema itu bermarkah. Tidak semua

tema bermarkah sama. Bandingkan kedua klausa di bawah ini.

Page 67: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

67

(51a) Orange juice, she loves to drink. ‘Jus jeruk, dia senang minum.’ (51b) In the evenings, she loves to drink orange juice. ‘ Pada sore hari, dia senang mimum jus jeruk.’

Klausa (51a) kurang spesifik dari (51b). Untuk itu klausa (51b) lebih

bermarkah dari (51a). Klausa tersebut memiliki tema pemarkahan ganda.

Hal tersebut disebabkan oleh perluasan dari pemarkahan.

2.3.2 Hubungan Antarklausa

Hubungan antarkaluasa mencakup dua bagian tipe interpendensi, yaitu

parataksis dan hipotaksis, serta hubungan logiko-semantik (Halliday dan

Matthiessen, 2004:373). Hubungan antarklausa ini berada pada klausa

kompleks. Klausa kompleks ada di bawah logika metafungsi bahasa yang

merupakan perluasan dari ideasional metafungsi bahasa. Klausa kompleks

merujuk pada hubungan yang ada di antara klausa dalam kalimat. Hubungan

ini terdiri atas dua tipe, yaitu taksis dan logiko-semantik. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Halliday (1994:216):

"We shall assume, therefore, that the notion of 'clause complex' enables us to account in full for the functional organization of sentences. A sentence will be defined, in fact, as a clause complex. The clause complex will be the only grammatical unit which we shall recognize above the clause. Hence there will be no need to bring in the term 'sentence' as a distinct grammatical category. We can use it simply to refer to the orthographic unit that is contained between full stops. This will avoid ambiguity: a sentence is a constituent of writing, while a clause complex is a constituent of grammar."

Page 68: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

68

Klausa kompleks dimarkahi berbeda dari klausa pemeringkatan

(rangking). Klausa pemeringkatan (ranging) dimarkahi oleh label // …//,

sedangkan klausa kompleks dimarkahi oleh penanda |||…|||. Klausa

kompleks dibutuhkan dengan alasan bahwa klausa tersebut menghubungkan

klausa yang satu dengan yang lain dalam cara yang khusus dan pembagian

ke dalam klausa konstituen mungkin mengaburkan hubungan ini, misalnya:

(52) He signed the papers after the lawyer had read them and verified the facts.

‘Dia menandatangani dokumen-dokumen itu setelah pengacara membaca dan membuktikan fakta-fakta itu.’

Apabila klausa (52) dicermati, maka ada tiga pemeringkstan klausanya, yaitu

||| He signed the papers // after the lawyer had read them // and verified the facts. ||| ‘Dia menandatangani dokumen itu // setelah pengacara membacanya// dan membuktikan fakta-fakta.’

Pembagian klausa tersebut mengaburkan fakta bahwa klausa kedua dan

ketiga, "after the lawyer had read them and verified the facts", memiliki

hubungan yang sangat dekat, yaitu keduanya adalah klausa terikat dan

subordinasi pada klausa utama. Untuk itu dibutuhkan klausa kompleks.

Alasan lain adalah pola distribusi dalam teks penting secara gaya bahasa.

Suatu teks yang terdiri atas banyak klausa simplek akan memiliki banyak

efek yang berbeda terhadap pembaca yang berhadapan dengan suatu teks

yang memiliki banyak klausa kompleks.

Page 69: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

69

Selanjutnya, akan secara khusus dicermati kedua tipe hubungan di

antara klausa dalam klausa kompleks. Kedua tipe itu adalah sistem taksis

dan logiko-semantik.

2.3.2.1 Hubungan Interdependensi Klausa

Interdependensi klausa meliputi taksis atau sistem taksis. Sistem taksis

menyatakan apakah hubungan klausa itu statusnya setara (equal) atau

tidak.(unequal). Parataksis menyatakan hubungan antara dua unsur yang

memiliki status yang setara.. Angka Arab yang digunakan mengisyaratkan

parataksis. Karena hubungan klausa parataksis statusnya setara, maka

klausa dinomori secara sekuen, yaitu ‘1’ untuk klausa pertama dan diikuti

oleh ‘2’ untuk klausa kedua dan seterusnya (Halliday dan Matthiessen,

2004: 374-376) .

(53). He saw the lecturer and smiled. ‘Dia melihat dosen itu dan tersenyum.’

Klausa (53) memiliki dua klausa. Kedua klausa utama itu memiliki

hubungan yang setara yang disebut hubungan parataksis. Dengan

menggunakan penanda klausa seperti yang telah disebutkan sebelumnya

maka klausa tersebut menjadi:

||| 1 He saw the lecturer // 2 and smiled. ||| ||| 1 Dia melihat dosen itu // 2 dan tersenyum ||

Hipotaksis menunjukkan hubungan dua elemen yang memiliki status

yang tidak setara. Huruf Yunani digunakan untuk menandai hipotaksis.

Page 70: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

70

Simbol α selalu di balik klausa utama atau klausa dominan. Simbol lainnya,

yaitu β, dari depan digunakan untuk klausa terikat pada klausa bebas

/utama atau klausa dominan, seperti pada (54).

(54) ||| β If you can't convince them, // α ask them. ||| ||| β Jika kamu tidak dapat meyakinkan mereka, // α tanya

mereka. |||

Hubungan parataksis dan hipotaksis dapat digabungkan, misalnya pada

klausa (55) berikuti.

(55) ||| β1 When Rowan came near // β2 and looked // α he was amazed at Alvin's ribcage. |||

||| β1 Ketika Rowan datang mendekat // β2 dan memperhatikan // α dia tajub akan bingkai sangkar Alvin. ||| Klausa (55) di atas terbagi atas dua bagian. Bagian pertama "When

Rowan came near and looked", dan yang kedua, "he was amazed at Alvin's

ribcage". Karena bagian pertama subordinat atas yang kedua, maka

hubungan ini adalah hubngan hipotaktis. Untuk itu segmen pertama

menggunakan simbol β, dan untuk yang kedua digunakan simbol α.

Apabila ada dua klausa dalam segmen pertama, maka β diulangi untuk ke

dua-duanya. Sementara itu, segmen kedua hanya memiliki satu klausa. Jadi,

tidak dibutuhkan untuk melakukan hal yang sama pada α. Untuk itu, segmen

pertama ada dua klausa yang berhubungan satu dengan yang lainnya.

Karena keduanya adalah klausa bebas, maka keduanya memiliki hubungan.

Penanda hubungannya adalah "1" and "2". Kalimat tersebut dapat ditulis

Page 71: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

71

dengan simbol sebagai berikut:: β1^β2^α, dengan simbol sisipan (^) yang

menunjuk pada rentetannya.

2.3.2.2 Hubungan Logiko-Semantik

Logiko-semantik menunjuk pada sifat dasar hubungan di antara

klausa. Hubungan ini meliputi hubungan logis dan hubungan semantik.

Hubungan logiko- semantik (Halliday dan Christian, 2004:377-406)

memiliki dua tipe utama , yaitu ekspansi/perluasan (Expansion) yang terdiri

atas ekstensi, enhansemen, dan elaborasi, dan proyeksi yang terdiri atas

lokusi dan ide.

(1) Ekspansi (Expansion)

Ada tiga jenis ekspansi, yaitu ekstensi, enhansemen, dan elaborasi.

Ketiga jenis ekspansi dapat diuraikan sebagai berikut.

(a) Ekstensi (Ekstension)

Salah satu jenis perluasan ( ekspansi) adalah ekstensi. Ekstensi

memperluas klausa dengan menambah sesuatu yang baru, memberikan

pengecualian , atau menawarkan alternatif. Simbol yang digunakan untuk

ekstensi adalah "+" . Penanda ekstensi di bawah ini memperlihatkan

konstruksi parataksis dan hipotaksis (Halliday, 2004:377)

(56a) ||| 1 Those singers sang poorly, // +2 and was booed off the stage. |||

||| 1 Penyanyi itu menyanyi kurang bagus, // +2 dan diolok di atas panggung. |||

Page 72: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

72

(56b) ||| α Those singers sang poorly, // +β being booed all the way||| ||| α Penyanyi itu menyanyi kurang bagus, // +β diolok

sepanjang jalan ||| (b) Enhansemen (Enchancement)

Klausa enhansemen menyediakan ciri-ciri sirkumstansi waktu, tempat

sebab akibat, kondisi, hasil, dan sebagainya. Simbol untuk enhansemen

adalah l "x" .

(57) ||| 1 Alvin wanted a band, // x2 so he formed his own |||| |||| 1 Alvin menghendaki suatu orkes, // x2 sehingga dia membentuk nya sendiri ||| (58) ||| α Alvin formed his own band, // xβ because he wanted a band. |||

||| α Alvin membentuk orkesnya sendiri, // xβ karena dia menghendaki sebuah orkes |||

Contoh (57) dan (58) di atas memperlihatkan perluasan makna yang

berkenaan dengan sebab-akibat, yaitu karena menghendaki adanya orkesnya

sendiri, Alvin membentuk satu band.

(c) Elaborasi

Klausa elaborasi mengembangkan makna klausa dengan cara

mengulangi, mengomentari, menyederhanakan, atau menentukan secara

terperinci atau mendetail. Dalam hubungan hipotaksis, elaborasi secara

khusus direalisasi oleh klausa relatif non-restriktif.. Simbol penanda yang

digunakan adalah "=" .

(59) ||| 1 The group of Ariel recorded their first song in August 2010 // =2 it sold 13,000 copies ||| ‘Kelompok Ariel merekam lagu pertama mereka bulan Agustus 2010, lagu itu terjual 13 ribu keping’.

Page 73: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

73

(60) ||| α The group of Ariel recorded their first song in August 2010, // =β which sold 13.000 copies ||| ‘Kelompok Ariel merekam lagu pertma mereka bulan Agustus 2010 yang mana terjual 13 ribu keping’.

Contoh (59) dan (60) memperlihatkan perluasan makna dengan cara

elaborasi, yaitu klausa yang mengikuti klausa primer memberikan

penjelasan yang lebih terperinci yaitu terjualnya lagu tersebut dalam jumlah

13.000 keping.

(2) Proyeksi

Proyeksi merupakan perluasan makna dengan melaporkan kembali,

menyampaikan ide dan fakta. Lokusi dan ide merupakan dua tipe utama

dalam proyeksi. Lokusi menunjuk pada perluasan makna dengan

menggunakan ucapan tidak langsung (reported speech/quoted speech).

Simbol yang digunakan untuk lokusi adalah ("). Ucapan tidak langsung

harus diproyeksikan dari proses verba (Halliday, 2004:378).

(61) ||| "1 "Let's record that song!"// 2 Alvin declared. ||| ||| "1 "mari kita merekam 'lagu itu'!"// 2 Alvin menegaskan ||| (62) ||| α Alvin declared // "β that we should record that song'||| ||| α Alvin menegaskan // "β bahwa kami merekam lagu itu |||

Ide merupakan perluasan makna dengan melaporkan pendapat ( quoted

atau reported thought). Simbol (') digunakan untuk menandai ide.

Melaporkan pikiran/pandangan harus diproyeksi dari proses mental, seperti

pada (63).

Page 74: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

74

(63) ||| '1 "He will buy a property in that city" // 2 Alvin thinks ||| ||| '1 "Dia akan membeli satu properti di kota itu " // 2 Alvin berpikir|||

(64) ||| α Alvin thought // 'β that he will buy a property in that city ||| ||| α Alvin memikirkan // 'β bahwa ia akan membeli satu property di kota itu|||

Contoh (63) dan (64) di atas memperlihatkan perluasan makna dengan

melaporkan pendapat atau ide, yaitu Alvin memikirkan bahwa ia akan

membeli satu properti di kota itu.

Keseluruhan contoh klausa yang telah disampaikan pada bagian ini

mencakup tiga bagian struktur atau sistem yang tercakup dalam

leksikogramatika suatu teks bahasa. Ketiga bagian itu adalah Struktur/sistim

TRANSTIVITAS, MODUS dan TEMA serta beberapa contoh hubungan

antarklausa yang meliputi hubungan taksis ( hubungan logis-sintaktik) dan

hubungan logis-semantik.

2.3.3 Konteks Situasi : Tiga Variabel Register

Bahasa digunakan dalam suatu konteks. Bahasa yang ada dalam teks

juga ditentukan oleh konteks tempat bahasa itu digunakan.. Dengan

mengikuti tradisi semantik fungsional yang dikemukakan oleh Firth

(Eggins, 1994:52), Halliday ( dalam Eggins, 1994:52) menemukan konsep

register yang merupakan abstraksi yang bermanfaat untuk membatasai

variasi bahasa terhadap variasi konteks sosial dan mengusulkan adanya tiga

aspek dalam setiap situasi yang memiliki konsekuensi linguistik, yaitu

medan, sarana, dan pelibat.

Page 75: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

75

Selanjutnya, Halliday (1985:12) menyatakan bahwa medan (field)

merujuk pada "sesuatu yang sedang terjadi, kealamiahan aksi sosial tempat

berlangsungnya aksi itu," sarana (mode) menyangkut "sesuatu yang

partisipan kehendaki dengan penggunaan bahasa dalam situasi tersebut,"

dan pelibat (tenor) berkenaan dengan siapa yang mengambil bagian dalam

transaksi secara alamiah atau apa adanya, status dan peranannya (Hasan dan

Halliday, 1985:12). Ketiga variabel register tersebut menggambarkan

hubungan fungsi bahasa dan bentuk bahasa. Dengan kata lain, register

disesuaikan atau ditentukan oleh ciri-ciri kebahasaan yang secara tipikal

dihubungkan dengan suatu konfigurasi ciri-ciri situasi, yaitu yang berkenaan

dengan medan, sarana, dan pelibat " (Halliday, 1976:22). Misalnya, pelibat

dalam teks meliputi hubungan antara addresser (pembicara) dan addressee

(pendengar) dapat dianalisis dalam hal perbedaan dasar, seperti polite-

colloquial-intimate, pada suatu skala kategori yang menunjukkkan jarak

formal dan tidak formal Hal yang sama juga terjadi pada sarana interaksi

yang memanifestasikan kealamiahan atau keaslian kode/ sandi bahasa yang

sedang digunakan dapat dibedakan dalam hal lisan dan tulisan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan

dalam suatu teks memiliki hubungan dengan konteks. Secara khusus, situasi

konteks, dalam hal ini konteks sosial menurut Halliday dan Hassan (1985,

1989), meliputi tiga komponen yaitu medan (field), pelibat (tenor), dan

sarana (mode). Ketiga konteks situasi tersebut direalisasikan dalam bahasa

Page 76: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

76

pada tataran metafungsi makna yaitu makna eksperiensial merealisasi

medan teks, makna interpersonal merealisasi tenor dan makna tekstual

merealisasi sarana teks.

2.3.4 Genre dan Struktur Teks

Genre makro menurut Martin (1992) dapat meliputi langkah,

orientasi tujuan menggunakan bahasa. Salah satu bagian teks yang perlu

dicermati adalah genre dan struktur teks. Halliday (1975:6) menyatakan

bahwa struktur adalah suatu relasi atau hubungan yang mempersatukan

(unifying relation). Hassan ( dalam Halliday dan Hassa, 1985:53)

menjelaskan bahwa struktur teks berkaitan dengan keseluruhan struktur itu

sendiri, keseluruhan struktur pesan. Untuk itu, apabila suatu teks dianalisis

maka salah satu bagian yang harus dicermati adalah struktur teks. Struktur

teks menurut defenisi Aristoteles (dalam Halliday dan Hassan, 1985: 53)

terdiri atas tiga elemen, yaitu bagian awal (the beginning), bagian

pertengahan (the middle), dan bagian akhir (the end).

Analisis struktur teks menurut pendekatan Linguistik Sistemik

Fungsional telah dilakukan oleh Halliday (1985:53). Misalnya, dalam kajian

mengenai seni pertunjukan Kabuki di Jepang ditemukan adanya tiga unsur

dalam teks pertunjukan Kabuki, yaitu peristiwa perpisahan (precipitative

event), peristiwa akibat (concequental event) dan peristiwa pembeberan

Page 77: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

77

(revelation event). Konsep analisis struktur juga dilakukan oleh Martin

(1997:16-17) terhadap struktur genre dengan mengajukan tipe struktur, yaitu

particulate, yang terdiri atas orbital dan serial, prosodik dan periodik. Tipe

struktur ini dihubungkan dengan makna ideasional, interpersonal, dan

tekstual. Particulate berhubungan dengan makna ideasional yang meliputi

orbital yang berhubungan dengan makna eksperiental, dan serial yang

berhubungan dengan makna logika; prosodik yang berhubungan dengan

makna interpersonal, dan periodik yang berhubungan dengan makna

tekstual.

Struktur genre menurut Martin ( 1997:17), harus diinterpretasi secara

simultan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menganalisis struktur genre

perlu dianalisis seluruh bagian yang ada dalam struktur itu secara

bersamaan. Berdasarkan perspektif konstituensi, Francis dan Martin (1991)

menyatakan bahwa susunan struktur meliputi Orientasi ^ Insiden

^Interpretasi ^ Coda.

Berdasarkan beberapa konsep struktur teks yang telah diuraikan di atas

maka dalam menganalisis struktur teks dicermati tiga elemen. Ketiga

elemen dimaksud adalah bagian awal (the beginning), bagian pertengahan

(the middle), dan bagian akhir (the end).

Konsep genre atau struktur genre dari Martin (1997:17)) dan struktur

teks dari Halliday (1985: 53) serta model Yunani, pada dasarnya

Page 78: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

78

menguraikan bahwa struktur meliputi elemen-elemen yang secara beruntun

dan saling berhubungan menyatu dalam teks.

Dengan demikian analisis genre teks mencakup struktur generik dan

secara simultan tercakup kontekstual konfigurasi dan struktur teks.

Kontekstual konfigurasi (Halliday dan Hassan, 1985:55-59) meliputi medan,

tenor dan sarana. Selanjutnya Halliday dan Hassan (1985:55) mengatakan

bahwa konfigurasi kontekstual memainkan peranan yang sangat penting

karena dari ciri konfigurasi kontektual inilah dapat digunakan untuk

memprediksi jenis-jenis perkiraan struktur teks. Prakiraan tentang struktur

elemen tersebut adalah:

(i) elemen-elemen apa yang harus muncul,

(ii) elemen-elemen apa yang dapat muncul,

(iii) di mana elemen-elemen itu harus muncul,

(iv) di mana elemen-elemen itu dapat muncul,

(v) berapa sering elemen-elemen itu dapat muncul

Untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam struktur teks terdapat elemen-

elemen yang harus atau wajib muncul, elemen-elemen yang boleh muncul

atau sebagai pilihan. Juga terlihat pada bagian mana elemen-elemen itu

muncul dan berapa kali kemunculannya dalam struktur teks. Secara lebih

jelas dapat dikatakan bahwa kontekstual konfigurasi dapat memprediksi

Page 79: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

79

elemen-elemen yang bersifat wajib, pilihan, dan pengulangan. Pada

akhirnya akan dilihat apa yang menjadi maksud dan tujuan dari teks KKWK

secara menyeluruh. Menurut (Martin dan Eggins,1997:236) tujuan dan

maksud dari suatu teks hanya dapat diketahui dari genre teks itu. Dengan

demikian sangat jelas bahwa genre teks mencerminkan apa yang menjadi

maksud dari dan tujuan teks itu sendiri.

2.3.5 Ideologi Teks

Konsep ideologi seperti yang diuraikan sebelumnya merupakan

seperangkat kepercayaan dari suatu kelompok masyarakat yang

direalisasikan dalam tutur dan tindakan, serta yang dapat mengikat dan

mempersatukan mereka secara turun-temurun. Untuk itu ,bahasa yang

digunakan oleh sekelompok masyarakat mencerminkan ideologi

masyarakat tersebut. Mengelaborasi ideologi yang tercermin melalui

bahasa yang digunakan sangat menarik dan penting dilakukan.

Bonvillian (2003:371) menyatakan bahwa ideologi diteruskan

lewat perilaku komonikasi dan lewat bagaimana manusia berbicara

tentang bahasa dan aktifitas lingual. Lebih lanjut Bonvillian

(2003:371) mengatakan, bahwa pada bangsa modern ideologi bahasa

memerlukan praktik yang menyeleksi dan menyebarluaskan suatu

bahasa standar atau legitimasi bahasa yang digunakan dalam konteks

umum, misalnya di sekolah, media, dan politik, ekonomi dan agama.

Page 80: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

80

Bahasa dan ideologi berkaitan erat untuk melakukan elaborasi yang

sistematik dengan alasan yang berikut.

1) Bahasa (wacana) sebagai kesadaran lisan (oral) dan tulisan sebagai

interpretasi.

2) Peristiwa, tindakan, dan ekspresi secara konstan dapat

diinterpretasikan dan dipahami karena selalu menggunakan

prosedur interpretasi untuk memahami dirinya dan orang lain.

3) Analisis wacana berarti melakukan interpretasi atas

interpretasi untuk menafsirkan wilayah pre-interpreted.

4) Situasi yang muncul dalam bentuk analisis wacana merupakan

satu manifestasi yang disebut lingkaran hermeneutik.

5) Karakter kreatif dari proses interpretasi. Analisis wacana berupa

konstruksi sintetik, suatu proyeksi kreatif tentang suatu makna

yang mungkin.

Merujuk pada konsep-konsep tersebut, dan sesuai dengan teori Linguistik

Sistemik Fungsional, maka kajian ideologi dari teks menghendaki

pemahaman yang komprehensif, baik yang bersifat linguistik mikro-makro

maupun yang ada di luar linguistik itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa realisasi

penggunaan bahasa dipengaruhi oleh konteks sosial , konteks budaya, dan

ideologi. Bagan berikut memperlihatkan realisasi keterkaitan bahasa,

Page 81: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

81

konteks dan ideologi, dan harmonisasi dalam pemilihannya. Diagram (5)

berikut memperlihatkan hubungan itu.

Ideologi

Medan/isi Tujuan pelibat

medium/ saluran

Register Medan Pelibat Sarana Konteks

Hubungan Struktur Referensi & Wacana leksikal percakapan konjungsi Teks Semantik Ekspresi Bahasa atau ideasional Interpersonal Tekstual

Leksikogramatika Transtivitas Modus Tema

Diagram 5: Realisasi Keterkaitan antara Bahasa. Konteks, dan Ideologi (Diadaptasi dari Eggins,1994:113)

Diagram (5) di atas menunjukkan bahwa bahasa, konteks, dan

ideologi memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Bahasa yang digunakan suatu masyarakat tertentu dipengaruhi oleh

konteks yang selanjutnya mencerminkan ideologi dari masyarakat

pengguna bahasa.

Genre

Page 82: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

82

2.4 Model Penelitian

Pada bagian Landasan teori telah dijelaskan bahwa teori utama yang

digunakan dalam menganalisis teks ritual KKWK adalah Teori Linguistik

Sistemik Fungsional dari Halliday (1985, 1994) dan Halliday dan

Mathiessen (2004). Untuk itu, model penelitian dibutuhkan untuk

memberikan gambaran alur berpikir dan langkah-langkah yang akan

dilakukan oleh peneliti terhadap penelitian teks ritual KKWK. Penjelasan

langkah-langkah peneltian itu disajikan dalam bentuk bagan. Bagan yang

disajikan singkat, jelas, dan sederhana.

Secara sistemik keseluruhan langkah yang ada dilakukan secara

simultan. Artinya, dalam mengkaji satu bagian, bagian lainnya ikut terbawa

di dalamnya. Namun, yang pasti bahwa dari bagan yang ada dapat diketahui

beberapa hal, seperti teori yang digunakan, bahan atau obyek yang diteliti,

fokus analisis, dan temuan baru yang dicari oleh peneliti. Dalam hal ini,

peneliti berusaha melakukan penelitian dan menjelaskan hasil sesuai

dengan model penelitian yang dipaparkan tersebut.

Teks KKWK merupakan materi kajian penelitian yang dibahas

dengan menggunakan teori LSF. Berdasarkan teori ini maka teks KKWK

dikaji dari level leksikogramatika yang meliputi analisis struktur atau sistem

transtivitas teks, modus teks dan struktur tema rema. Pada bagian semantik

diskursif dianalisis hubungan klausa yang meliputi hubungan

interdependensi klausa dan hubungan logikosemantik. Analisis konteks

Page 83: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

83

situasi dapat dikaji tiga variabel register, yaitu medan teks, pelibat teks, dan

sarana teks. Selanjutnya, pada bagian genre dan struktur teks dianalisis

struktur generik teks, baik dari segi makro maupun mikro teks; dan pada

bagian ideologi yang tercermin dalam teks dianalisis ideologi pada konteks

situasi (register) yang meliputi medan teks, pelibat, dan sarana teks, serta

ideologi pada genre teks. Keseluruhannya merupakan suatu jaringan

(network) yang memiliki hubungan satu dengan yang lainnya. Secara garis

besar, model penelitian dapat disajikan dalam diagram berikut.

Page 84: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

84

Diagram 6: Model Penelitian

TEKS KKWK

METODOLOGI

KUALITATIF KUANTITATIF DATA

Teori LSF

DATA

Leksikogramatika Hubungan

antarkalusa

Konteks

Situasi

Genre Ideologi

Analisis

1.Transitivitas

2.Modus

3. Tema

Analisis

1.Hub. Interdependensi

Klausa (taksis):

-parataksis

-hipotaksis

Analisi

1.Medan

2. Pelibat

3. Sarana

Analisis

-Struktur

teks dan

struktur

potensi

Analisis

1. Ideologi teks KKWK

2. Ideologi Medan

3. Ideologi Sarana

TEMUAN

Page 85: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

85

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pengantar

Bab ini menguraikan metode penelitian yang mencakup: (1)

pendekatan penelitian, (2) lokasi penelitian, (3) jenis dan sumber data, (4)

instrumen penelitian, (5) metode dan tehnik pengumpulan data, (6) metode

dan teknik analisis data, dan (7) metode dan teknik penyajian hasil analisis.

Secara rinci setiap subbab ini dapat disajikan di bawah ini.

3.2 Pendekatan Penelitian

Berdasarkan topik area dan permasalahan yang ada maka

pendekatan penelitian ini adalah fenomenologi. Pendekatan fenomenologi

menghendaki peneliti menempatkan memorinya, pengetahuannya, spekulasi,

dan lain-lain yang berkenaan dengan fenomena itu, sehingga data dapat

terungkap secara alamiah (Richards, 2003:18).

Berdasarkan pendekatan fenomenologi tersebut penelitian lapangan

dianggap cocok untuk meneliti penggunaan bahasa yang berkaitan dengan

teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa yang berbahasa Waijewa.

Page 86: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

86

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian teks KKWK (peminangan) ini berlokasi di Pulau Sumba,

Kabupataen Sumba Barat Daya (SBD), Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kabupaten ini memiliki jumlah penduduk 235.632 jiwa, memiliki 95

desa/kelurahan dan delapan kecamatan. Kedelapan kecamatan itu adalah: (1)

Kecamatan Kodi, (2) Kecamatan Kodi Bangedo, (3) Kecamatan Kodi Utara,

(4) Kecamatan Laura, (5) Kecamatan Wewewa Barat, (6) Kecamatan

Wewewa Selatan, (7) Kecamatan Wewewa Timur dan (8) Kecamatan

Wewewa Utara.

Bahasa Waijewa digunakan oleh masyarakat penutur yang berada di

empat kecamatan, yaitu Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa

Timur, Kecamatan Wewewa Selatan dan Kecamatan Wewewa Utara. Acara

adat KKWK yang terjadi di empat kecamatan ini diambil secara purposif.

Pada saat penelitian dilakukan acara KKWK terjadi di dua kecamatan induk,

yaitu kecamatan Wewewa Timur dan kecamatan Wewewa Barat, sehingga

observasi langsung dilakukan pada dua kecamatan tersebut. Empat acara

KKWK diperoleh dari acara adat peminangan yang terjadi di Tambulotana,

Waimangura, Tanggoba, dan Weerame.

Penelitian dalam rangka penjaringan data dilakukan dari bulan

Februari sampai dengan Mei 2012. Acara KKWK terjadi pada bulan

Februari dan Maret 2012. Wawancara dilakukan sebagian pada bulan

Februari dan Maret dan verifikasi pada bulan April dan Mei 2012. Bahkan,

Page 87: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

87

wawancara berlanjut sampai pada bulan November 2012. Kenyataan ini

dilakukan karena terdapat sejumlah data yang masih harus diverifikasi pada

saat peneliti menganalisisnya.

3.4 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data

kualitatif yang meliputi data primer dan sekunder. Data primer meliputi

data bahasa lisan (tuturan dalam proses peminangan) yang dijaring melalui

pengamatan langsung pada saat proses KKWK berlangsung, dan wawancara

terhadap informan. Observasi langsung dilakukan empat kali proses

KKWK. Data observasi ini menghasilkan empat korpus data bahasa lisan

yang dianalisis serta menghasilkan teks lisan. Data sekunder berupa

dokumentasi tertulis berkenaan data statistik tentang jumlah penduduk.

Data lainnya juga diperoleh dari beberpa pelibat yang ditentukan

berdasarkan teknik purposive sampling. Pelibat terdiri atas beberapa pelibat

dalam teks, yaitu mediator (ata panewe ‘juru bicara’) berjumlah delapan

orang, penengah’ lenango berjumlah delapan orang ; orang tua dari kedua

mempelai berjumlah delapan orang; serta pemuka masyarakat berjumlah

empat orang. Data juga diperoleh dari dua informan perwakilan dari Dinas

Pemerintah yang secara khusus menangani bidang kebudayaan satu orang

dan pariwisata satu orang. Total informan berjumlah 30 orang.

Page 88: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

88

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk menjaring data meliputi alat perekam

dan alat dokumentasi seperti handycam dan kamera digital. Handycam ini

digunakan untuk merekam empat acara KKWK yang selanjutnya

ditranskrip serta diverifikasi dan menghasilkan empat korpus data dalam

bentuk tertulis sehingga dapat dianalisis leksikogramatikanya, konteks

situasi, genre dan struktur teks, serta ideologi teks. Pedoman wawancara

yang tidak terstruktur atau terbuka juga merupakan instrumen untuk

menjaring data guna melengkapi data yang belum diperoleh melalui

observasi. Wawancara ini lebih khusus pada data yang berkenaan dengan

makna dari beberapa klausa, serta beberapa bagian dari konteks situasi teks.

Selain itu peneliti sendiri langsung terlibat dalam proses penjaringan data

baik melalui observasi maupun wawancara.

3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Ada dua metode pengumpulan data yang digunakan, yaitu

metode observasi (metode simak) dan wawancara yang bersifat terbuka atau

tidak terstruktur (Guba dan Lincoln, dalam Maleong, 2010:174-215).

Metode observasi dengan alat handycam dilakukan pada saat empat acara

KKWK berlangsung. Panduan wawancara tidak terstruktur juga disediakan

untuk menuntun peneliti dalam melakukan wawancara. Wawancara

dilakukan setelah observasi dilakukan. Teknik yang dilakukan adalah

Page 89: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

89

teknik perekaman, pemotretan, dan pencatatan. Teknik perekaman

digunakan untuk merekam acara KKWK secara menyeluruh dan alamiah.

Teknik pemotretan digunakan untuk mendokumentasikan proses KKWK

serta hal lain yang berkenaan proses tersebut, seperti, paralinguistik dan hal

lainnya yang berhubungan dengan acara KKWK. Selanjutnya, teknik

pencatatan digunakan untuk mencatat segala hal yang berkaitan dengan

acara peminangan serta dijadikan pedoman pada saat mewawancarai

informan.

3.7 Metode danTeknik Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif-

kualitatif. Data juga dianalisis menggunakan penjumlahan sederhana yang

bersifat kuantitatif .untuk melengkapi analisis kualitatif. Data dianalisis

dengan berpedoman pada Teori Linguistik Sistemik Fungsional

(Halliday,1994, Halliday dan Martin 2004; Eggins, 1994), yaitu yang

berhubungan dengan analisis leksikogramatika dan hubungan logis klausa

dalam teks. Analisis konteks situasi, genre, dan struktur teks berpedoman

pada Halliday dan Hassan (1985), Halliday dan Martin (1993), dan Martin

(1997). Analisis ideologi berpedoman pada Halliday (1985), Eggins (1994),

Thomson (1984), Kress dan Hodge (1979).

Page 90: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

90

Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan (Mahsun,

2005: 249-259). Metode ini dalam analisis data menghubung –bandingkan

antarunsur yang bersifat lingual. Metode tersebut dapat digunakan untuk

menganalisisa unsur lingual yang terdapat dalam bahasa yang sama.

Berdasarkan metode padan, analisis data seluruhnya diawali dari analisis

leksikogramatika meliputi analisis transitivitas yang berfokus pada

partisipan, proses dan sirkumstan. MODUS meliputi sistem modus,

struktur dengan BLOK MODUS yang terdiri atas Modus dan Residu, serta

penilaian teks. Tema, meliputi tipe tema, tema bermarkah dan tidak

bermarkah, tema tunggal dan tema majemuk, serta struktur tema.

Selanjutnya, analisis konteks situasi (medan, pelibat, dan sarana teks,) dan

genre serta struktur teks; dan diakhiri dengan analisis ideologi (ideologi teks

KKWK, ideologi pada konteks situasi dan genre teks) yang tercermin dalam

teks. Analisis tersebut saling berhubungan antara satu dengan lainnya secara

sistemik.

Untuk itu, teknik analisis data akan mengikuti prosedur analitik sebagai

beriikut. Pertama, data rekaman lisan ditranskrip dalam bentuk tulisan dan

verifikasi kembali untuk dilihat kesesuaianya. Kedua, Data dalam bentuk

tulisan diberi penandaan, yaitu penomoran angka sesuai urutan berbicara

pelibat dalam teks. Ketiga, menentukan batas-batas klausa, yaitu penanda ||

untuk batas klausa sederhana dan penanda ||| untuk batas klausa kompleks.

Keempat, mengidentifikasi dan mengkaji leksikogramatika yang meliputi

Page 91: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

91

(a) transitivitas teks, yaitu mengidentifikasi dan mengkaji tipe proses,

partisipan dan sirkumstan, (b) modus teks, yaitu sistem modus, struktur

modus termasuk blok modus, dan penilaian teks, dan (c) tema teks, yaitu

tipe tema, tema bermarkah dan tidak bermarkah, tema tunggal dan jamak,

serta struktur tematik tema. Metafungsi makna diidentifikasi dan dikaji

secara bersamaan dengan transitivitas, modus, dan tema. Kelima,

menentukan dan mengkaji hubungan antarklausa, yaitu hubungan

interdependensi dan hubungan logiko semantik. Keenam, menentukan dan

mengkaji konteks situasi yang memengaruhi teks, yaitu medan, pelibat dan

sarana berdasarkan transitivitas, modus dan tema. Ketujuh, menentukan dan

mengkaji genre dan struktur generik teks berdasarkan konteks situasi yang

direalisasikan oleh leksikogramatika. Kedelapan, menganalisis serta

mengkaji ideologi yang tercermin dalam teks berdasarkan genre yang

direalisasikan oleh konteks situasi, dan konteks situasi yang direalisasikan

oleh transitivitas, modus, dan tema. Kesembilan, melaporkan hasil analisis

dan temuan.

Keseluruhan prosedur analitik tersebut di atas mengacu pada linguistik

sistemik fungsional yang mana antara satu dan yang lainnya saling

berhubungan, yaitu ideologi direalisasikan oleh genre yang direalisasikan

oleh konteks situasi. Konteks situasi direalisasikan oleh sematik diskurs

yang direalisasikan oleh leksikogramatika. Secara lingual seluruhnya

berhubungan secara sistemik.

Page 92: teks kette katonga weri kawendo pada masyarakat adat wewewa di

92

3.8 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis

Analisis disajikan dalam bentuk formal, yaitu menggunakan tabel

dan diagram. Di samping itu, analisis juga disajikan dalam bentuk informal,

yaitu, mendeskripsikan dalam kalimat dan paragraf. Dalam hal tertentu

dilakukan penggabungan penyajian dalam bentuk formal dan informal,

yaitu tabel atau diagram disajikan terlebih dahulu baru diikuti penjelasan

atau deskripsi sesuai dengan yang tertera dalam tabel, atau diagram/maupun

grafik.