Upload
doquynh
View
230
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan
manusia (Aristoles dalam Djojosuroto, 2007:48). Selanjutnya, Aristoteles
menyatakan bahwa bahasa itu baru ada kalau ada sesuatu yang ingin
diungkapkan, yaitu pikiran atau perasaan. Pernyataan tersebut menunjukkan
bahwa dengan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi manusia dapat
menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada orang lain; serta dapat pula
meneliti dan menginterpretasikan yang mereka maksudkan atau kehendaki.
Sebagai alat komunikasi dalam masyarakat, bahasa dapat dikatakan sangat
lengkap dan jelas. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiterer yang
digunakan oleh anggota masyarakat untuk berkooperasi dan berinteraksi
(Bloomfield, 1933 dalam Djojosuroto:49-50). Dengan kata lain,
sesungguhnya dengan penggunaan bahasa yang digunakan secara sewenang-
wenang itulah maka anggota masyarakat dapat berinteraksi, dan secara
tidak langsung dapat mengidentifikasi orang lain.
Bahasa itu berbeda-beda karena penutur berasal dari latar belakang
yang berbeda, dan bahasa yang digunakan itu sendiri jelas berbeda. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Kress dan Hodge (1979:1) bahwa bahasa yang
2
dimiliki oleh individu didapatkan dari masyarakat tempat ia tinggal atau
hidup. Setiap bangsa memiliki bahasanya sendiri dengan dialek, aturan dan
pola masing-masing Oleh karena itu, pada saat orang berbicara, dialek,
aturan, pola yang digunakan, dibangun oleh masyarakat yang menggunakan
bahasa itu dalam berkomunikasi sehari-hari. Bahasa juga merupakan bagian
dari budaya suatu masyarakat. Seseorang akan jelas kelihatan latar
belakangnya pada saat dia menggunakan bahasanya.
Sapir dan Whorf (1956:34) menyatakan bahwa bahasa dan masyarakat
memiliki hubungan. Selanjutnya, dinyatakan bahwa dunia nyata manusia
dibangun oleh kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok. Hal ini membuktikan
bahwa bahasa, budaya, dan masyarakat berada dalam suatu keadaan yang
tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya karena melalui penggunaan
bahasa tampak budaya penutur itu. Bahasa memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia. Bahasa membawa karakteristik budaya dan
pikiran penuturnya.
Menurut Halliday (1985:4), linguistik merupakan bagian dari sistem
tanda (semiotik) yang merupakan suatu aspek untuk mempelajari makna.
Selanjutnya dikatakan bahwa ada banyak cara untuk mempelajari makna,
dan salah satunya adalah bahasa. Bahasa dipandang sebagai potensi
semiotik. Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara
bersama menyatu. Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) / (Systemic-
3
functional linguistics (SFL)) mempertimbangkan fungsi dan semantik
sebagai dasar dari bahasa manusia sebagai alat komunikasi. LSF tidak sama
dengan pendekatan struktural yang menekankan sintaksis. Orientasi ahli
bahasa yang merupakan pengikut LSF mulai menganalisis konteks sosial
dan kemudian mencermati bagaimana bahasa bertindak di dalamnya,
dibatasi serta dipengaruhi oleh konteks sosial. Konsep kunci dalam
pendekatan Halliday adalah " konteks situasi (context of situation)" yang
diperoleh "melalui hubungan sistematik antara lingkungan sosial pada satu
sisi/dan fungsi organisasi bahasa pada sisi yang lainnya " (Halliday,
1985:11).
Bahasa digunakan dalam konteks, tempat orang-orang berada dalam
suatu wacana ketika mereka menggunakan bahasa. Orang-orang tersebut
dapat berkomunikasi karena memahami teks, konteks, dan pola atau
struktur. Analisis teks berarti analisis bahasa yang ada di dalamnya (Brown
dan Yule, 1983:1). Dikatakan pula oleh Halliday (1985a:10) bahwa seorang
ahli bahasa yang menjelaskan bahasa tanpa memperhitungkan teks adalah
mandul, menjelaskan teks tanpa menghubungkannya dengan bahasa adalah
kosong.. Berdasarkan pendapat tersebut maka sangat penting dan menarik
analisis dilakukan terhadap teks karena dalam teks terkandung bahasa yang
tentunya dipengaruhi oleh konteks (sosial, budaya) dan bahkan ideologi
masyarakat pengguna bahasa itu. Untuk itu, teori LSF sangat sesuai dipakai
untuk menganalisis teks Kette Katonga Weri Kawendo (KKWK) karena di
4
samping dapat menganalisis bentuk lisan dan tulisan, teori ini secara
eklektik menggabungkan atau menjangkau tidak saja unsur
leksikogramatika, tetapi juga metafungsi makna, konteks situasi (register),
konteks budaya (genre) sampai pada ideologi.
Menurut Halliday (1975:4-5, 1994:311; Fairclough (1995b:4), teks
dapat berbentuk lisan atau tulisan. Teks juga dapat berbentuk prosa atau
syair, dialog atau monolog (Halliday, 1975:1). Selanjutnya Halliday (1975)
menyatakan bahwa teks dapat berupa pribahasa/pepatah sampai pada suatu
keseluruhan sandiwara/lakon mulai dari suatu teriakan meminta tolong
sampai pada keseluruhan diskusi dalam suatu komisi. Berdasarkan pendapat
tersebut maka dapat dikatakan bahwa teks bisa panjang dan pendek. Teks
memiliki kekuatan untuk menciptakan lingkungannya sendiri; teks memiliki
kekuatan karena cara dari sistem yang ada di dalamnya memiliki
pengembangan dengan membuat/ memilih makna dari lingkungan seperti
yang diberikan (Halliday, 2004:29). Selain itu, Plum (2004) juga
menunjukkan bahwa faktor sosial harus menjadi bagian dari model teks agar
secara utuh memenuhi kondisi konteksnya.
Pengkajian teks, selain konteks merupakan satu bagian penting, struktur
teks merupakan bagian terpenting untuk dicermati dan dikaji agar dapat
diperoleh pemahaman secara utuh ( Halliday dan Hassan, 1985).
5
Keseluruhan struktur yang ada secara sistemik dikaji secara simultan
melalui pengkajian teks. Dengan demikian, teks KKWK yang diteliti dan
dikaji mencakup keseluruhan struktur dan konteks yang ada di dalamnya.
Pada kenyataannya teks dalam dokumentasi bahasa telah dikenal secara
luas, namun teks hanya mewakili sebagian kecil (mungkin sepersepuluh
persen) dari bahan-bahan dokumentasi bahasa yang ada (Himmelmann,
1998 dalam Holton, 2005:1). Jika demikian, peran teks lisan, seperti cerita
rakyat dan teks prosedural, sangat penting dalam upaya pemertahanan dan
revitalisasi bahasa (lihat Holton, 2005:2). Terdapat dua hal penting yang
berkaitan dengan kontribusi teks lisan dalam revitalisasi bahasa. Pertama,
teks lisan dapat memberikan gambaran bagi model tertulis yang nantinya
bermanfaat dalam pengembangan bahan tertulis. Kedua, dengan adanya
rekaman, teks lisan dapat didengar sebagai cerminan pengalaman asli para
penutur (lihat Holton, 2005). Dengan adanya teks lisan yang terekam
dengan baik, transmisi bahasa, seperti cerita rakyat dan acara ritual, tidak
hanya bergantung pada kemampuan “menuturkan”, tetapi dapat
ditranskripsikan untuk dibuat dalam bentuk tulisan yang akan menjadi bahan
yang bisa dijadikan rujukan bagi generasi selanjutnya. Transkripsi teks lisan
dalam bentuk tulisan dalam mendokumentasikan acara-acara ritual atau
cerita-cerita rakyat dalam bentuk lisan akan lebih bermanfaat apabila
disebarkan dalam bentuk tulisan.
6
Teks lisan memainkan peran yang sangat penting dalam hal
pengembangan bahan tertulis. Teks lisan dapat menghasilkan pengucapan
yang alamiah dan baik sehingga digunakan dalam pengembangan ortografi
bahasa tersebut (Seifart dalam Balukh,2009:5)). Teks lisan juga
menghasilkan konstruksi kalimat yang alamiah walaupun secara linguistik
belum tentu beraturan. Kalimat-kalimat hasil transkripsi menjadi basis data
penting dalam pengembangan tata bahasa (Mosel, 2006).
Berkaitan dengan data leksikal, teks lisan sangat potensial dalam
menghasilkan banyak kata dengan berbagai variasi, diksi, dan bentuk dalam
waktu singkat. Selain itu, kata-kata yang dihasilkan menggambarkan
berbagai makna dan fungsi dalam bahasa tersebut, dan hal ini sangat penting
dalam membangun basis data leksikal untuk kamus (Haviland, 2006). Teks
lisan yang ditrankrip dalam bentuk tulisan, akan lebih mudah dicermati
bentuk leksikogramatikalnya, yang selanjutnya dianalisis makna yang
tercermin dalam teks.
Terdapat banyak ritual yang melahirkan teks yang ditemukan dalam
masyarakat. Menurut Hodge dan Kress (1988:74), ada dua ritual yang secara
umum terdapat pada hampir setiap budaya, yaitu perkawinan dan kematian
(penguburan). Masyarakat Wewewa memiliki beberapa ritual yang
melahirkan teks, antara lain, kematian, pemanggilan arwah, tarik batu kubur,
pesta adat, pesta panen, perkawinan. Secara umum, teks ritual perkawinan
yang ada di Pulau Sumba hampir sama, yaitu adanya tahapan yang diikuti
7
serta adanya belis, atau dikenal dengan mas kawin, meliputi hewan seperti
kerbau, kuda, babi dan mamoli emas. Namun, di balik kesamaan yang ada
terdapat beberapa perbedaan, yaitu bahasa yang digunakan. Dalam
penggunaan bahasa terkandung struktur, makna, serta simbol khusus yang
berbeda.
Teks KKWK adalah salah satu teks ritual yang ada dalam masyarakat
Wewewa. Di samping itu ada teks ritual lainnya yaitu tarik batu kubur
(tongngu odndi), pemanggilan arwah (zaizo), dan lain- lain. Teks ritual
KKWK adalah tuturan lisan dalam bahasa Waijewa yang digunakan oleh
masyarakat adat pada saat meminang gadis. Bahasa Waijewa digunakan
oleh masyarakat Wewewa yang ada di empat kecamatan, yaitu Kecamatan
Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Selatan,
dan Kecamatan Wewewa Utara.
Sama seperti bahasa lainnya, bahasa Waijewa digunakan untuk
berkomunikasi antarsesama warga, baik pada setiap aktivitas sehari-hari
maupun pada acara ritual-ritual lainnya. Seperti yang telah disampaikan
terdahulu bahwa salah satu aktivitas yang menggunakan bahasa Waijewa
adalah acara ritual pernikahan/perkawinan. Acara adat/ ritual perkawinan
(deke mawinne) mencakup tiga proses/ acara, yaitu: ketuk pintu (tunda
binna), peminangan (kette katonga weri kawendo) dan pindah adat
(pamalle/padikki). Masing-masing acara adat ini melahirkan suatu teks yang
8
memiliki isi dan tujuan khusus pembicaraan yang berbeda. Proses ini
melahirkan teks lisan yang dari segi linguistik menarik untuk diteliti. Pada
proses ketuk pintu (tunda binna) terjadi dialog tentang penjajakan
keberadaan seorang gadis dan kesediaan pihak keluarga perempuan untuk
menerima dan menentukan proses selanjutnya yaitu proses peminangan
(kette katonga weri kawendo). Pada acara adat peminangan (kette katonga
weri kawendo) terjadi dialog antara perwakilan kedua keluarga, pihak
perempuan dan laki-laki. Dalam proses peminangan (kette katonga weri
kawendo) terjadi pembicaraan yang berisikan penawaran dan persetujuan
jumlah hewan dan mas kawin lainnya yang diberikan oleh pihak keluarga
pria kepada orang tua pihak perempuan. Belis (mas kawin) tersebut
diberikan mulai pada saat peminangan (kette katonga weri
kawendo/KKWK) sampai pada saat acara adat memboyong gadis ke rumah
mempelai laki-laki, yang dalam bahasa Waijewa disebut pamalle. Belis
(mas kawin) yang diberikan berupa hewan, misalnya kerbau, kuda, dan
mamoli (kepingan) emas Selanjutnya, pada proses pindah adat
(pamalle/padikki) terjadi dialog pemenuhan semua belis yang telah
disepakati dan mengajak gadis ke rumah calon suaminya. Pada bagian ini
pihak keluarga laki-laki harus menyerahkan seluruh belis (mas kawin) yang
telah disepakati. Jika tidak, gadis belum diperkenankan untuk diboyong ke
rumah mempelai laki-laki.
9
Penelitian ini difokuskan pada bagian acara adat peminangan (kette
katonga weri kawendo) saja karena apabila ketiganya diteliti membutuhkan
waktu yang cukup lama (antara beberapa bulan, bahkan tahun) karena jarak
satu acara/proses dengan yang lainnya ditentukan oleh ketersediaan dan
pemenuhan belis (mas kawin) yang diberikan. Pada acara adat KKWK
terjadi dialog yang cukup panjang bahkan apabila tidak sampai pada
kesepakatan bisa diundurkan dalam beberapa hari sesuai kesepakatan.
Pada acara KKWK terjadi dialog antara juru bicara (ata panewe) dari
keluarga laki-laki dan perempuan untuk mencapai suatu kesepakatan
dalam peminangan gadis sampai pada pernikahan. Dalam pembicaraan
tersebut terjadi dialog yang panjang antara juru bicara (ata panewe) dari
kedua keluarga untuk mendapatkan suatu kesepakatan tentang jumlah belis
(hewan dan mas kawin) yang akan diberikan pihak keluarga pria kepada
keluarga gadis. Juga terjadi penawaran berapa jumlah kerbau, kuda dan
berapa buah mamoli (kepingan) emas yang diberikan pada saat pihak
keluarga pria datang melakukan peminangan dan pada saat pamalle/
padikki (pindah). Jumlah belis (mas kawin) tersebut sudah harus disepakati
bersama oleh kedua keluarga besar pada acara ritual KKWK. Kesepakatan
yang telah dicapai bersama pada proses KKWK tidak dapat ditunda
ataupun dilakukan perubahan akan jumlah dan jenis mas kawin. Jika terjadi
penundaan (tunda kira) atau penggantian maka akan ada sanksi adat.
10
Teks KKWK merupakan tuturan lisan yang ditranskrip dalam bentuk
tulisan untuk selanjutnya dianalisis karena belum ada teks peminangan
dalam bentuk tulisan. Tidak hanya teks peminangan saja, tetapi teks-teks
ritual lainnya yang berhubungan dengan bahasa Waijewa belum ada.
Selama ini, banyak penelitian yang hanya difokuskan pada bahasa
Kambera di Sumba Timur. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh
Mariann Klamer (1998) tentang ‘Short Grammar bahasa Kambera’, Sari
(1998) tentang ‘Fonologi Bahasa Kambera’, Widarsini (1985) tentang
‘Pertalian Fonem Bahasa Austronesia Purba dengan bahasa Sumba dialek
Kambera’, Simpen (2008) tentang ‘Sopan Santun Berbahasa Masyarakat
Sumba Timur’. Penelitian bahasa Waijewa masih sangat terbatas. Misalnya
penelitian yang dilakukan oleh Budasi (2007) tentang ‘Rerelasi
kekerabatan genetis kuantitatif isolek-isolek Sumba di NTT’. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa terdapat tujuh isolek di Sumba, yakni isolek Kodi,
Wewewa, Lamboya, Kambera, Mamboro, Wanokaka dan Anakalang.
Putra (2008) meneliti tentang segmentasi dialektikal bahasa Sumba
berdasarkan kajian dialektologi. Kasni (2012) tentang strategi
penggabungan klausa bahasa Sumba dialek Waijewa. Penelitian tentang
teks bahasa Waijewa nyaris belum ada.
Teks Ritual KKWK ini menarik diteliti karena di samping belum ada
penelitian dengan topik tersebut, juga terdapat sejumlah hal yang menarik
11
yaitu dari segi leksikogramatika, metafungsi makna, konteks situasi,
budaya dan ideologi yang perlu dikaji secara ilmiah. Misalnya, dari segi
konteks situasi, Semua pelibat menempati posisi masing-masing di sebuah
ruangan tamu. Jumlah pelibat dalam teks yang melakukan dialog dibatasi
yaitu empat pelibat dari pihak keluarga calon pengantin perempuan dan
empat dari pihak pengantin laki-laki. Pelibat sebagai orang tua dari kedua
calon pengantin tidak diperkenankan berdialog langsung walaupun mereka
saling berhadapan atau mendengar pembicaraan kawan berbicara, tetapi
melalui juru bicara mereka masing-masing Medan teks, yaitu yang
berkenaan dengan pokok pembicaraan pada awal sampai akhir memiliki
subpokok tersendiri, dan sebagainya.
Jika dibandingkan dengan acara yang sama terjadi di Sumba Tengah,
pada saat peminangan kedua keluarga tidak berada pada rumah yang sama
melainkan menempati rumah yang berbeda namun berdekatan atau satu
kompleks. Sehingga kedua keluarga tidak berhadapan atau bertatap muka.
Juru bicara yang pergi menyampaikan isi pembicaraan kepada masing-
masing orang tua kedua calon pengantin. Setelah terjadi kesepakatan,
barulah kedua keluarga diperkenankan untuk bertatap muka dan saling
berjabatan tangan. Keunikan tersebut tentunya memengaruhi penggunaan
bahasa yang digunakan pelibat dalam teks.
Selain itu, belum ada penelitian dalam teks bahasa Waijewa yang
menerapkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Kegiatan KKWK
12
melahirkan suatu teks yang cukup panjang, dan apabila dikaji dengan
menerapkan teori LSF akan sangat relevan yaitu secara sistemik terlihat
jejaring yang dimulai dari leksikogramatika, semantik diskurs, konteks
situasi, genre, dan ideologi yang tercermin di dalam teks.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan yang muncul ialah:
Bagaimanakah struktur teks kette katonga weru kawendo/KKWK pada
masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba? Pertanyaan ini dapat
dirumuskan lagi ke dalam beberapa pertanyaan khusus seperti berikut.
1) Bagaimanakah leksikogramatika (transitivitas, modus dan tema)
teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba?
2) Bagaimanakah hubungan interdependensi atau hubungan logis
sintaksis dan hubungan logis semantik klausa dalam teks
KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba?
3) Konteks situasi (variable register) yang mana yang
memengaruhi teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa
di Pulau Sumba?
4) Bagaimanakah genre dan struktur potensi generik teks KKWK
pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba?
13
5) Ideologi apakah yang tercermin dalam teks KKWK pada
masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penilitian ini adalah untuk menemukan dan mengkaji
dua hal, yaitu tujuan yang bersifat empiris dan tujuan yang bersifat teoretis.
Tujuan empiris untuk menemukan dan mengkaji teks KKWK pada
masyarakat adat Wewewa, dan tujuan teoretis untuk menguji, menjelaskan
dan mendukung teori linguistik sistemik fungsional. Tujuan umum ini
dijabarkan lebih khusus pada tujuan khusus.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1) menemukan dan menjelaskan leksikogramatika (transitivitas, modus
dan tema) teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba;
2) menemukan dan menjelaskan hubungan interdependensi atau hubungan
logis sintaksis teks dan hubungan logiko-semantik KKWK pada
masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba;
3) menemukan dan mengkaji konteks situasi (variabel register) yang
memengaruhi bahasa dalam teks KKWK pada masyarakat adat
Wewewa di pulau Sumba;
14
4) menemukan dan mengkaji genre teks KKWK pada masyarakat
adat di Pulau Sumba; dan
5) menemukan dan mengkaji ideologi yang tercermin dalam teks KKWK
pada masyarakat adat di Pulau Sumba.
1.4 Manfaat Penilitian
Penilitian ini di samping memiliki tujuan juga diharapkan akan
membawa manfaat. Manfaat yang diharapkan meliputi dua hal, yaitu
manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penilitian ini diharapkan bermanfaat bagi penguatan dan
pengembangan teori linguistik. Teori yang dimaksud adalah teori
Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang telah dikemukakan oleh
Halliday dan Hassan (1985:52). Mengkaji teks secara khas ditunjukkan
dengan menguji elemen-elemen leksikogramatika dan fonologi. Namun,
unit yang lebih kecil ini harus dipandang dari perspektif kontribusinya
terhadap makna yang diekspresikan oleh keseluruhan teks dalam konteks.
Bagi seorang ahli bahasa, penjelasan bahasa tanpa memperhitungkan teks
adalah mandul, penjelasan teks tanpa menghubungkannya dengan bahasa
adalah kosong (Halliday, 1985:10).
15
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penilitian ini diharapkan membawa manfaat praktis, antara lain,
sebagai langkah awal membuat tuturan lisan dalam bentuk tertulis karena
kenyataannya bahwa teks-teks yang ada masih dalam bentuk lisan. Teks
tertulis akan merupakan pedoman bagi generasi yang akan datang agar
tetap memiliki bentuk teks yang standar yang dapat digunakan; sebagai: (a)
masukan kepada peneliti sendiri dan rujukan bagi peneliti lainnya tentang
teks Kette Katonga Weri Kawendo (peminangan) di Kabupaten Sumba
Barat Daya, (b) sebagai suatu cara untuk mempertahankan bahasa dan
budaya Waijewa di Pulau Sumba khususnya di Kabupaten Sumba Barat
Daya, (c) sebagai motivasi khususnya bagi generasi muda agar tetap dan
selalu mempertahankan budayanya karena merupakan salah satu cerminan
identitas dari masyarakatnya, dan (d) sebagai salah satu cara untuk
mempromosikan bahasa dan budaya peminangan yang ada di Pulau Sumba,
khususnya di Kabupaten Sumba Barat Daya.
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pustaka yang terkait dengan topik ini menjadi acuan dalam penelitian
ini. Ada sejumlah pustaka dalam bentuk buku yang dapat dijadikan acuan.
Buku yang berjudul Language, Context and Text: Aspect of Language in
Social Semiotic Perspective merupakan karya Halliday dan Hasan (1985),
yang kajiannya menekankan pada bahasa dalam konteks sosial, yaitu pada
fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa sebagai pilihan yang berkaitan
dengan konteks sosial dan konteks budaya. Selanjutnya, Halliday dan Hassan
(1985) menjelaskan pula bahwa jalan menuju pemahaman bahasa terletak
dalam kajian teks. Secara semiotik sosial, Halliday dan Hassan (1985)
menjelaskan bahwa teks dan konteks sangat berkaitan dalam menentukan
pilihan bentuk ataupun makna. Dengan demikian, maka teks tidak hanya
mengacu pada bahasa secara material, tetapi merupakan suatu kesatuan
antara bahasa, konteks situasi, dan penuturnya, yang dalam terminologi
linguistik sistemik disebut medan, pelibat, dan sarana. Ketiganya merupakan
bagian penting yang tercakup dalam konteks sosial. Karya ini sangat relevan
dijadikan acuan, mengingat analisis teks tidak terlepas dari analisis
komponen-komponen yang terkait di dalamnya.
17
Halliday (1994), dalam bukunya An Introduction to Functional
Grammar, membahas secara teknis penggunaan tata bahasa untuk
menganalisis teks dengan memberikan dasar-dasar pemahaman bahwa
kajian teks lebih ditekankan pada analisis leksikogramatika yang
pendekatannya bersifat sistemik. Karya tersebut merupakan kajian dasar
untuk mengkaji teks secara lengkap. Karya ini menekankan analisis klausa
yang dikaitkan dengan metafungsi bahasa. Klausa sebagai pesan yang
menyangkut konsep mempertukarkan proposisi dan proposal, dan dari
konsep ini lahir istilah tema-rema dalam sistem informasi komunikasi
antarpelibat. Dalam buku yang sama edisi terakhir, (Halliday,2004) juga
menjelaskan bahwa klausa sebagai representasi pengalaman berfungsi untuk
mengungkapkan ide atau gagasan. Dalam konsep ini dijelaskan bahwa inti
sebuah pengalaman adalah proses; dan untuk memahami proses dalam
hubungannya dengan unsur lain diperlukan analisis struktur transtivitas.
Karya tersebut sangat relevan digunakan sebagai petunjuk untuk
menganalisis teks dari segi leksikogramatika.
Karya lain yang juga berkaitan dengan teks adalah karya Halliday dan
Hassan (1976) berjudul Cohesion in English. Karya ini membahas
kekohesifan teks yang meliputi, antara lain, referensi, ellipsis, konjungsi,
dan kohesi leksikal. Bagian-bagian tersebut secara utuh tercakup dalam
kajian struktur dan tekstur teks.
18
Karya Eggins (1994) dengan judul An Introduction to Systemic
Functional Linguistics memberikan landasan untuk memahami teks serta
teknik analisis teks. Konsep genre dengan lingkup kebudayaan dan register
dalam lingkup konteks sosial diperkenalkan dalam buku ini. Selain itu juga
Eggins memperkenalkan leksikogramatika, makna interpersonal, makna
ideasional, dan makna tekstual. Makna interpersonal dengan struktur
moodnya, makna ideasional dengan sistem transtivitasnya, dan makna
tekstual dengan struktur tema-rema. Karya tersebut memberikan penjelasan
dan contoh-contoh klausa serta memberikan cara menganalisis teks dari
aspek leksikogramatika, semantik wacana, dan aspek generik.
Buku lainnya yang dijadikan rujukan adalah karya Sutjaya (2001).
Dalam bukunya, Sutjaya membahas grup nomina bahasa Indonesia dengan
ancangan Sistemik Fungsional. Ia juga membahas masalah ketatabahasaan
yang menyangkut sistem dan struktur grup nomina Bahasa Indonesia. Ia
tidak mengkaji teks, tetapi data nomina diambil dari teks-teks dalam bahasa
Indonesia. Walaupun hanya mengkaji grup nomina bahasa Indonesia,
namun karyanya sangat sesuai dengan materi kajian dalam penelitian yang
dilakukan ini, karena memberikan contoh-contoh grup nomina dalam bahasa
Indonesia dan cara menganalisis berdasarkan pembahasan Halliday seperti
tertuang dalam Introductional to Functional Grammar.
Karya Hodge dan Kress (1988) dengan judul Social Semiotic juga
menjadi rujukan dalam kajian teks yang menjadi fokus penelitian ini. Karya
19
ini memberikan wawasan tentang semiotik sosial dan konteks situasi sebagai
penentuan makna. Karya ini dapat menjadi acuan sebagai pembanding
pandangan Halliday tentang perspektif bahasa sebagai sistem semiotic,
sehingga dapat diperoleh pemahaman yang komprehensif.
Karya Tukan, B. dkk (2003) dengan judul Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah NTT memberikan pemahaman awal tentang upacara adat perkawinan
di daerah Nusa Tenggara Timur. Buku ini tidak menganalisis teks perkawinan,
tetapi menjelaskan upacara adat yang dilakukan di Provinsi NTT. Karya ini
dapat dijadikan acuan secara umum dalam memahami adat perkawinan yang
ada di Provinsi NTT.
Dalam kaitan dengan konsep ideologi dirujuk karya Hodge dan Kress
(1979) dengan judul Language as Ideology. Penulis buku ini memberikan
wawasan tentang cara menghubungkan pandangan dengan keberadaan
penghasil itu sendiri. Pemahaman tentang analisis ideologi suatu masyarakat
juga ada di dalamnya. Karya mereka juga membahas pandangan bahasa dan
masyarakatnya. Karya mereka memberikan pemahaman yang sangat baik
kepada peneliti tentang ideologi. Pandangan mereka sesuai dengan pandangan
Halliday (1985) dan Eggins (1994) bahwa bahasa dan konteks memiliki
hubungan atau saling memengaruhi satu dengan yang lainnya.
Karya Simpen (2008) dengan judul Sopan Santun Berbahasa
Masyarakat Sumba Timur menjelaskan bahwa perilaku kesantuan berbahasa
pada penutur bahasa Kambera berlandaskan enam pedoman hidup yang
20
menjadi ideologi orang Sumba Timur yang disebut ‘Hopu lila witi- Hopu lila
kunda’ ‘Akhir dari segala pembicaraan-akhir dari segala pintalan’. Empat
dari enam pandangan hidup, yaitu tentang hal suami dan istri,
berkepemimpinan dan hal yang dihormati, hal bertani dan berkebun, serta hal
tentang marapu dapat memberikan masukan dalam mengkaji bagian
ideolologi teks. Walaupun bahasa Kambera tidak sama dengan bahasa
Waijewa, ada kesamaan pandangan secara umum tentang ideologi orang
Sumba.
Keseluruhan konsep yang telah disampaikan tersebut merupakan kajian
pustaka dari buku-buku yang dijadikan rujukan dalam mengkaji teks. Konsep-
konsep yang diuraikan sangat sesuai dengan kajian teks yang dilakukan dalam
disertasi ini.
Selain buku-buku acuan yang telah disebutkan di atas, penelitian ini juga
berkaitan dengan sejumlah hasil penelitian yang menerapkan teori Linguistik
Sistemik Fungsional. Penelitian yang dilakukan oleh Eggins (1994), yaitu
‘Analysis of the Crying Baby Texts, menerapkan teori Linguistik Sistemik
Fungsional (LSF) dalam menganalisis teks Crying Baby. Dalam penelitiannya
dideskripsikan penggunaan bahasa Inggris antara orang tua dan bayi yang
diasuhnya. Teks itu berisikan ceritera tentang proses pengasuhan bayi yang
akhirnya menghasilkan teks yang diberi nama Crying Baby Texts.
Penelitian itu menguraikan teks dari segi leksikogramatika dan semantik
diskursif secara mendetail. Penelitian tersebut menemukan bahwa leksiko-
21
gramatika dan semantik diskursif dapat memberikan keterangan atau tanda
bagaimana teks diberi makna. Penelitiannya juga ditemukan bahwa teks kaya
akan makna, tidak hanya makna yang terjadi dan alasan makna terjadi, tetapi
juga makna tentang hubungan dan sikap serta makna jarak dan kedekatan.
Dengan menghubungkan pepilihan bahasa yang khusus terhadap konstruksi
dan refleksi situasi, budaya, dan ideologi ditemukan bahwa teks
memperlihatkan fakta tentang makna sandi (encode), seperti cara orang tua
berbicara, pengalaman tanggung jawab dan harapan orang tua..Karya tersebut
secara teoretis belum memberikan penjelasan bagaimana ideologi dapat
memengaruhi penggunaan bahasa/teks. Karya itu hanya menjelaskan bahwa
ideologi merupakan level yang lebih tinggi dari konteks linguistik sistemik.
Walaupun secara teoretis ideologi belum diuraikan secara mendetail,
penelitian tersebut relevan dengan kajian teks yang peneliti lakukan karena
memberikan banyak contoh analisis, mulai analisis leksikogramatika sampai
dengan analisis konteks, serta simbol-simbol lain yang ada dalam struktur teks.
Graber (2001), dalam tulisannya yang berjudul Context in Text: A
Systemic Functional Analysis of the Parable of the Sower menerapkan teori
sistemik untuk menganalisis teks tertulis Alkitab Perjanjian Baru, yaitu Injil
Matius, Markus, dan Lukas. Ia mencermati fungsi bahasa dalam teks dan
sejauh mana konteks berkontribusi dalam teks. Penelitianya mencermati
bagaimana hubungan antara bahasa dan konteks situasi (medan, pelibat, dan
sarana) serta fungsi semantik yang merealisasinya. Hasil penelitiannya
22
menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan dalam teks memiliki peranan
dalam aktivitas sosial. Walaupun penelitian itu tidak membahas ideologi
yang ada dalam teks tersebut, penelitian itu memberikan pemahaman bagi
peneliti bagaimana konteks situasi memengaruhi bahasa dalam teks. Oleh
karena itu, hasil penelitian tersebut sangat cocok diterapkan dalam kajian
teks yang dilakukan dalam penelitian ini.
Plum (2004), dalam tulisannya yang berjudul Text and contextual
Conditioning in Spoken English: A Genre-based approach, menerapkan dua
teori, yaitu teori tata bahasa sistemik fungsional Halliday dan teori variasi
Labov. Penelitiannya menemukan bahwa pemilihan relasi logiko-semantik
memiliki hubungan dengan genre dan pertanyaan, sedangkan pemilihan taksis
memiliki hubungan dengan jenis kelamin pembicara dan keanggotaan dalam
kelompok sosial. Parataksis disenangi oleh laki-laki dan anggota masayarakat
sosial bawah. Penelitian ini tidak membahas secara khusus leksikogramatika,
tetapi membahas hubungan klausa. Penelitian ini dapat memberikan
pemahaman peneliti tentang logiko semantik dalam klausa karena bagian
logikosemantik merupakan salah satu bagian yang dikaji dalam disertasi ini.
Rasna (2009), dalam penelitiannya yang berjudul “Teks Aji Blegodawa
dari Perspektif Linguistik Sistemik Fungsional”, berbicara tentang teks
magic, yaitu black magic (panestian). Teks ini berbentuk monolog. Satu-
satunya partisipan yang ada dalam teks tersebut adalah Blegodawa. Bentuk
teksnya adalah oral. Teks ini tidak dikonsumsi secara umum, tetapi hanya
23
dimanfaatkan oleh dukun yang dapat mengendalikan emosinya untuk bisa
mendiagnosis penyakit secara mudah. Penelitian tersebut menemukan
siskumtan lokasi merupakan hal yang paling dominan dalam teks. Penelitian
tersebut juga menemukan adanya tiga metafungsi makna, yaitu makna
eksperiensial, interpersonal, dan tekstual. Namun, makna tekstual belum
secara jelas diuraikan. Penelitian tersebut juga belum mengkaji ideologi teks
dan hanya menyampaikan bahwa teks tersebut mengandung nilai-nilai.
Sutama (2010), dalam penelitiannya yang bertajuk “Teks Ritual
Pawiwahan Masyarakat Adat Bali”, mengkaji teks Pawiwahan dengan
menerapkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Ia mengkaji keseluruhan
bagian perkawinan yang dimulai dari marerasan (tahap pertemuan awal
antara keluarga calon pengantin laki-laki dengan keluarga calon pengantin
perempuan) sampai pada majauman (mengesahkan pernikahan) Keseluruhan
struktur dapat dikaji secara menyeluruh karena fakta menunjukkan bahwa
jarak bagian yang satu dengan yang lainnya tidak membutuhkan jarak waktu
yang lama. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa teks ritual pawiwahan
masyarakat adat Bali memiliki sejumlah dimensi struktur, yaitu (a) budaya
yang berkaitan dengan adat tradisi, (b) struktur makro yang berkaitan dengan
konteks sosial, (c) struktur mikro yang berkaitan dengan alur pesan dan
informasi, (d) serta struktur makna. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam
teks ritual yang ditelitinya ditemukan adanya sistem mood, transitivitas, dan
tema-rema. Penelitiannya belum mengkaji appraisal (penilaian) yang
24
merupakan bagian dari modus (mood) teks. Penelitian tersebut dilihat dari
segi analisis tema- rema terutama yang berkenaan dengan tema bermarkah
belum dibahas secara tuntas. Namun, penelitian tersebut dapat dijadikan
rujukan karena memberikan pemahaman tentang struktur teks yang
merupakan salah satu kajian dalam disertasi ini.
Kasni (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Strategi Penggabungan
Klausa dalam dialek Waijewa” hanya mengkaji strategi penggabungan klausa
yang ada dalam bahasa Waijewa. Data yang dianalisis tidak diperoleh dalam
konteks/ fungsional, sehingga klausa yang dibahas sangat kaku karena
mengikuti pola umum yang sudah dipersiapkan oleh peneliti. Namun, hasil
penelitiannya memberikan hal yang bermanfaat terutama dalam
penggabungan klausa yang juga dibahas dalam penelitian ini, terutama
dikaitkan dengan hubungan parataksis dan hubungan logiko semantik
antarklausa dalam teks.
2.2 Konsep
Untuk menghindari salah pengertian dalam memahami tulisan ini maka
beberapa konsep yang digunakan dalam tulisan ini penting dijelaskan.
Konsep-konsep itu adalah teks, konteks, genre dan struktur teks, ideologi,
linguistik sistemik fungtional (LSF) , kette katonga weri kawendo, dan
masyarakat adat. Setiap konsep dapat dijelaskan sebagai berikut.
25
2.2.1 Teks
Menurut Halliday (1985:10), teks adalah bahasa yang berfungsi.
Berfungsi dalam arti bahwa bahasa memainkan tugasnya dalam suatu
konteks. Selanjutnya, Halliday (1994:311) menyatakan bahwa teks adalah
‘sesuatu yang terjadi, dalam bentuk lisan atau tulisan, didengar atau dibaca’.
Selanjutnya, Halliday menyatakan bahwa analisis teks, berarti analisis
produk dari proses, dan istilah teks merujuk pada produk. Fairclough
(1995b:4) menyatakan bahwa teks adalah bahasa tulis dan lisan yang
dihasilkan dalam suatu peristiwa diskursif. Apabila kita menganalisis teks
maka kita menganalisis proses, dan istilah teks biasanya diambil sebagai
rujukan ke produknya (Halliday, 1985:10; Hodge dan Kress, 1988:6). Hal
ini menunjukkan bahwa teks merupakan suatu produk yang dapat berupa
tulisan atau lisan yang dituliskan atau lisan saja.
Berdasarkan pendapat para pakar tersebut, maka konsep teks dalam
tulisan ini adalah suatu produk dari proses. Dikatakan suatu produk karena
teks adalah hasil yang dapat direkam atau dibaca/ dipelajari. Dikatakan dari
proses karena teks didapatkan dari proses pemilihan makna yang
dipengaruhi oleh konteks, baik konteks sosial maupun konteks budaya
termasuk ideologi. Teks KKWK adalah teks lisan yang pada awalnya
berasal dari tuturan lisan yang direkam, dan selanjutnya ditranskrip
menjadi suatu teks lisan yang tertulis. Teks lisan tersebut dianalisis mulai
dari jenjang leksikogramatika sampai pada ideologi teks.
26
2.2.2 Konteks
Konteks adalah “text that is ‘with” atau yang juga disebut “with the text”
(Halliday,1985:5). Jadi, yang dimaksud dengan “with” tersebut adalah segala
sesuatu di luar yang diujarkan dan yang tertulis termasuk aspek nonverbal
sehingga dikatakan sebagai keseluruhan lingkungan tempat teks itu ada atau
diujarkan. Konteks, menurut Halliday dan Hassan (1985, 1989); Eggins
(1994); Eggins dan Martin J.R (1997), meliputi konteks sosial, konteks
budaya, dan konteks ideologi.
Menurut Halliday (1985), LSF memperlakukan bahasa dan konteks
sosial sebagai abstraksi pelengkap yang dihubungkan dengan pentingnya
realisasi konsep. Selanjutnya, Halliday (1985:4) menyatakan bahwa bahasa
adalah sistem semiotik. Bahasa memiliki realisasinya sendiri atau bentuk
ekspresinya. Untuk itu ideologi, genre, dan register tidak memiliki bentuk
realisasinya sendiri, tetapi mereka membutuhkan bahasa untuk
mengekspresikan materi yang dimaksudkan. Bentuk ekspresi bahasa adalah
fonologi atau grafologi, dan seterusnya. Ideologi direalisasikan oleh genre
(cultural context) yang selanjutnya direalisasikan oleh register (konteks
situasi ), dan register direalisasikan oleh leksikogramatika. Ideologi, genre,
dan register adalah semiotik konotatif karena memaknai sistem semiotik
lainnya (misalnya bahasa) sebagai bentuk ekpresi; dan bahasa itu sendiri
adalah semiotik denotatif karena bahasa memiliki bentuk ekspresinya
27
sendiri, misalnya fonologi atau grafologi (Halliday dan Martin 1993:37).
Konsep itu tergambar dalam diagram (1) berikut.
Strata Konteks Bentuk Ekspresi
Bentuk Strata Isi Bentuk Ekspresi
Diagram 1 :Bentuk Isi dalam Hubungan dengan Konteks Sosial
( Diadaptasi dari Halliday dan Martin,1993:37; Martin,1997:7)
Selanjutnya, secara keseluruhan bahasa dan konteks dalam
perspektif sistemik fungsional Halliday dan Martin (1993) dapat dilihat
pada diagram (2) berikut.
Semiotik Konotatif Pelibat
Genre Medan
Sarana
Semiotik Denotatif
28
Diagram 2: Bahasa dan konteks dalam perspektif sistemik fungsional
Berdasarkan diagram (2) di atas dapat dicermati bahwa secara sistemik
unsur-unsur saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Organisasinya
secara sistemik dimulai dari fonologi sampai pada ideologi. Fonologi
merupakan bidang ekspresi, grammatika dan semantik merupakan bidang
isi, sedangkan register, genre dan ideologi merupakan konteks. Disertasi
ini mengkaji tataran leksikogramatikal sampai pada ideologi. Bagian
register meliputi field (medan), tenor(pelibat) dan mode/chanel (sarana),
sedangkan struktur genre dan struktur teks meliputi tujuan dan struktur
generik teks yaitu, tahapan-tahapan yang dimulai dari
pembukaan/pendahuluan, isi, dan penutup. Setelah ketiga tahapan itu
dipahami, baru akan dikaji ideologi, yaitu bagian yang ada di balik teks.
genre
register
semantik
gramatika
fonologi
29
2.2.3 Genre dan Struktur Teks
Genre merupakan langkah orientasi tujuan menggunakan bahasa
Struktur adalah bagian-bagian dari sesuatu yang disusun atau disatukan
secara bersama (Hornby:2000). Hal ini berarti bahwa setiap bagian
berkaitan satu dengan yang lain dan membangun suatu teks. Hassan
(1985:53) menjelaskan bahwa struktur teks berkaitan dengan keseluruhan
struktur itu sendiri, keseluruhan struktur pesan. Selanjutnya, Hassan
(1985:53) menyatakan bahwa struktur teks meliputi elemen struktur teks dan
struktur generik teks.
Konsep struktur teks dalam disertasi ini dipahami sebagai keseluruhan
susunan pesan yang ada. Struktur teks merupakan realisasi struktur generik
suatu genre. Struktur tersebut terdiri atas elemen-elemen yang secara
berurutan muncul dalam teks, serta memiliki kesatuan makna/pesan. Dengan
mengikuti model Aristoteles (dalam Halliday, 1985: 53), maka struktur teks
terdiri atas tiga elemen yaitu bagian awal, bagian pertengahan, dan bagian
akhir.
2.2.4 Ideologi
Konsep ideologi tidak dapat dilihat secara terpisah, tetapi harus
disesuaikan dengan kerangka kerja teori sosial secara umum. Thomson
(2003:17) menyatakan bahwa ideologi sebagai seperangkat kepercayaan
yang diorientasikan pada tindakan secara tertutup yang berkaitan dengan
30
pluralitas politik barat: sebuah pandangan yang berusaha mengurangi
kondisi institusional dan struktural suatu tindakan politik. Untuk itu,
pembelajaran ideologi berarti pembelajaran cara tempat makna (pemaknaan)
memberikan pembenaran terhadap relasi dominasi.
Pengarahan suatu tindakan menjadi bermakna, sebagaimana sebuah
teks yang dapat diinterpretasikan oleh siapa pun merupakan landasan
primordial fenomena ideologi (Thompson, 2003:295). Pemahaman seecara
lebih mendalam, ideologi menurut Ricoeur (dalam Thompson,2003),
berhubungan dengan citra (image) yang diserap oleh suatu kelompok sosial,
dan dengan representasi diri sebagai sebuah komunitas yang memiliki
sejarah dan identitasnya. Ideologi dapat memberikan pemahaman yang
tersirat dalam peristiwa-peristiwa tindakan yang terletak dalam asal usul
suatu kelompok. Tugasnya adalah untuk menyebarkan keyakinannya yang
melampaui para pendirinya dan juga untuk menjadikannya sebagai
keyakinan bagi seluruh kelompok. Berdasarkan pandangan ini dapat
dikatakan bahwa ideologi mempunyai fungsi sebagai mediasi dan penyatu
untuk mengonsolidasikan dan mengeratkan. Ideologi merupakan penyatu
bagi masyarakat pemiliknya.
Ideologi tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui proses tersendiri dan
sampai pada suatu keyakinan yang menjadikannya sebagai penyatu dalam
suatu kelompok masyarakat. Sejalan dengan itu, Martin (1997:237)
menyatakan bahwa ideologi merujuk pada posisi kekuatan, juga bias politik
31
dan asumsi bahwa semua yang berinteraksi sosial membawa mereka dalam
teks.
Berdasarkan pendapat para pakar tersebut, konsep ideologi dalam
penelitian ini adalah seperangkat kepercayaan dari suatu kelompok
masyarakat yang direalisasikan dalam tutur dan tindakan, serta yang dapat
mengikat dan mempersatukan mereka secara turun-temurun.
Berkenaan dengan pandangan tersebut, analisis idiologi sangat berkaitan
dengan bahasa karena bahasa merupakan media dasar makna (pemaknaan)
yang cenderung mempertahankan relasi dominasi. Dengan kata lain, bahasa
mengandung makna yang ada hubungannya dengan ideologi pengguna
bahasa.
2.2.5 Kette Katonga Weri Kawendo (KKWK)
Frasa kette katonga weri kawendo terdiri atas empat kata yang
memiliki makna ‘peminangan’. Kata ‘kette’ mengandung makna
‘mengikat’,’ katonga’ bermakna ‘tempat duduk’ (yang terbuat dari bambu
yang disebut bale-bale); ‘weri’bermakna ‘tanda larangan’; kawendo
bermakna ‘tiris rumah’ (emper/serambi rumah yang terbuat dari alang-
alang). Jadi, frasa kette katonga bermakna mengikat bale-bale; weri
kawendo bermakna melarang tiris rumah. Jadi, kette katonga weri kawendo
bermakna mengikat dan melarang. Frasa mengikat bale-bale bermakna
bahwa sesuatu telah diikat dan tidak bisa dilepas atau dipisahkan; frasa
melarang tiris rumah bermakna bahwa sesuatu telah ditandai dalam bentuk
32
larangan untuk memilih yang lain atau mengubah sesuatu. Selanjutnya, frasa
tersebut mengandung makna ‘meminang/peminangan’. Jadi, apabila terjadi
acara kette katonga weri kawendo maka kejadian tersebut menandakan
telah terjadi kesepakatan dari kedua keluarga calon pengantin laki-laki dan
perempuan yang disatukan melalui pengikatan janji. Hal ini bermakna
bahwa gadis telah dipinang (diikat) dan melarang orang lain melamarnya/
meminangnya lagi. Baik laki-laki maupun perempuan diikat dan dilarang
untuk mengubah atau memilih orang lain sebagai calon suami atau calon
istri.
Acara KKWK merupakan salah satu bagian dari proses perkawinan di
samping proses lainnya, yaitu tunda binna’yang mengandung makna ‘ketuk
pintu sebagai perkenalan’ dan pamalle yang mengandung makna
penjemputan) atau padikki yang mengandung makna ‘pemindahan’). Dari
ketiga proses tersebut KKWK membutuhkan waktu yang cukup panjang
dalam dialog untuk mencapai kesepakatan yang akan ditindaklanjuti pada
kemudian hari.
2.2.6 Masyarakat Adat
Frasa masyarakat adat terdiri atas dua kata. Kata masyarakat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Diknas,1995:635) bermakna ‘manusia
dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka
anggap sama’. Kata adat dalam kamus tersebut (Diknas,1995:6) bermakna
33
‘aturan, kebiasaan yang dilakukan sejak dahulu kala; juga bermakna wujud
gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan
aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem’.
Berdasarkan konsep tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat adat
adalah sekelompok masyarakat yang menjalankan kebiasaan (adat), yang
berlaku sejak dahulu kala sesuai dengan yang dikehendaki yang diikat oleh
seperangkat norma, hukum, dan tradisi nenek moyang mereka. Masyarakat
adat tersebut harus tunduk pada kebiasaan yang telah disepakati bersama-
sama secara turun temurun. Selanjutnya, masyarakat adat Wewewa adalah
masyarakat adat yang menggunakan bahasa Waijewa dalam berkomunikasi
sehari-hari. Masyarakat adat Wewewa tunduk pada adat, norma, dan
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Wewewa.
2.2.7 Linguistik Sistemik Fungsional
Linguistik Sistemik Fungsional/LSF adalah teori linguistik dengan
pendekatan analisis terhadap teks, yaitu bahasa yang berfungsi dalam
konteks. Teori ini mempertimbangkan fungsi dan makna sebagai dasar
bahasa manusia untuk melakukan komunikasi. Hal yang paling hakiki dalam
teori ini ialah upaya dalam membedah sistem klasifikasi yang dibuat sesuai
dengan penutur bahasa yang bersangkutan.
34
2.3 Landasan Teori
Teori Linguistik Sistemik Fungsional merupakan teori utama yang
digunakan dalam menganalisis teks Kette Katonga Weri Kawendo/KKWK
(peminangan) pada masyarakat adat Wewewa penutur bahasa Waijewa di
pulau Sumba. Teori ini pada awalnya dikenal dengan nama Systemic
functional grammar (SFG) kemudian menjadi systemic functional linguistics
(SFL). Teori tersebut merupakan suatu model tata bahasa yang
dikembangkan oleh Michael Halliday pada tahun enam puluhan. Teori
tersebut merupakan bagian dari pendekatan semiotik sosial terhadap bahasa
yang disebut systemic linguistics. Istilah sistemik menunjuk pada
pandangan bahasa sebagai suatu jaringan. Deng. Teori Linguistik Sistemik
Fungsional merupakan suatu teori bahasa yang mengkaji fungsi bahasa
dalam penggunaannya (konteks). Teori tersebut menempatkan bahasa
sebagai unsur yang utama (Halliday, 1985:17). Dengan kata lain, teori LSF
menjelaskan bagaimana bahasa berfungsi sesuai dengan konteksnya. Ada
empat pandangan utama teori ini (Eggins, 1994:2). Keempat pandangan itu
adalah:
(i) bahasa itu fungsional,
(ii) fungsi atau kegunaan menciptakan makna/ fungsi yang
bermakna,
35
(iii) fungsi-fungsi/kegunaan bahasa dipengaruhi oleh konteks
budaya dan konteks sosial tempat fungsi itu dipertukarkan,
dan
(iv) proses penggunaan bahasa adalah proses semiotik, yaitu
proses membuat makna melalui pemilihan.
Selanjutnya teori tersebut memperkenalkan empat kategori dasar dalam
analisis, yaitu unit, struktur, kelas, dan sistem (Halliday, 1961). Keempat
kategori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Unit
Unit, pada awalnya meliputi klausa, kelompok kata, kata, dan morfem
(Halliday, 1961:58). Selanjutnya, dikatakan bahwa unit, menurut LSF, ada
dua jenis, yaitu unit bahasa tulis dan unit tata bahasa. Konsep unit dapat
dipahami dalam kaitannya dengan teks. Pada teks tulis, misalnya, setiap
paragraf terdiri atas beberapa unit mulai dari unit terkecil, yaitu morfem,
kata, kelompok kata, klausa, dan kalimat. Sementara itu, kalimat dibedakan
dengan klausa karena satu proses direalisasikan oleh sebuah klausa. Kalimat
secara tradisional, menurut Rose (2001, 2006), merujuk pada unit dalam
bentuk teks tertulis, dan klausa secara luas dalam linguistik merujuk pada
bahasa lisan. Kalimat bukan merupakan unit tata bahasa, melainkan unit
bahasa tulis yang diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik.
36
Halliday dan Matthiessen (2004:371) menyatakan bahw kalimat adalah unit
tertinggi dari tanda baca pada jenjang grafologi. Satu kalimat direalisasikan
oleh satu klausa saja (Rose, 2001,dan 2006). Hal yang sama juga dikatakan
oleh Halliday dan Matthiessen (2004:371) bahwa kalimat adalah unit
tertinggi dari tanda baca pada jenjang grafologi, Kedua unit tersebut
selanjutnya diberikan terminologi yang berbeda, yaitu unit untuk bahasa
tulisan dan jenjang (rank) untuk tata bahasa. Singkatnya, dapat dikatakan
bahwa unit merupakan tata urutan yang dimulai dari morfem, kata,
kelompok kata, klausa, dan kalimat.
2) Struktur
Struktur adalah susunan unsur-unsur secara horizontal. Setiap struktur
disusun berupa susunan kanonik, morfologis, fungsional gramatika, seperti
subjek, predikat, komplemen dan ajung untuk klausa; dan modifier, head,
dan qualifier untuk grup nomina. Struktur adalah susunan unsur-unsur
secara sintagmatik (Halliday dan Matthiessen, 2004:22). Selanjutnya,
Halliday (1985, 2004) menyatakan bahwa susunan fungsional semantik
meliputi pelaku - proses - sirkumstan ataupun urutan informasi, sedangkan
fungsi gramatika meliputi subjek dan predikat.
3) Kelas
Secara umum kelas disebut juga kategori gramatikal yang berupa tataran
kata sampai dengan klausa. Kategori nomina, misalnya, dapat berupa kata
nomina, frasa nominal, dan klausa nominal, sama halnya dengan verba,
37
adjektiva, dan preposisi. Selain kategori umum, ada dua gagasan lain, yaitu
kategori dan level. Keduanya disusun untuk menjelaskan aspek formal
bahasa. Tiga level pokok adalah bentuk, substansi, dan konteks. Bentuk
adalah organisasi substansi bagi peristiwa yang padat arti, yaitu leksikal dan
gramatikal. Substansi adalah materi fonik dan grafik; dan konteks adalah
hubungan antara bentuk dan situasi, yakni semantik. Ketiganya merupakan
representasi dan konsep dasar ekspresi dan situasi. Konsep tersebut dapat
dilihat pada model/diagram (3) berikut.
Folk Names Technical Terms
CONTENT Meanings (Discouse)
Semantics
Wordings (words & structure)
Lexico- grammar
EXPRESSION Sounds letters Phonology
Graphology
Diagram 3: Ekspresi dan relasi ( Diadopsi dari Eggins,1994::21)
4) Sistem
Sistem merupakan padanan kata sistemik. Bahasa tersusun atas sistem-
sistem dan istilah-istilah yang satu dengan yang lainnya memberikan nilai-
nilai yang didapat hanya dari saling ketergantungan di antara mereka.
Sistem adalah seperangkat unit secara paradigmatik, yang satu dengan yang
38
lainnya bisa saling menempati dalam suatu struktur (Firth dalam Halliday,
1975:55)
Selain mengandung empat gagasan, yaitu, unit, sistem, struktur dan
kelas, teori LSF juga memiliki tiga pilar utama. Ketiga pilar utama
dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Bahasa merupakan satu sistem yang terdiri atas unsur-unsur
ekspresi, bentuk, dan makna. Ketiganya menyatu dalam teks.
Subbagian seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,
struktur, dan kelas berada di bawah ketiga level tersebut.
(2) Bahasa sebagai fenomena sosial, yaitu perpaduan sistem
bahasa dengan sistem sosial. Kedua sistem tersebut saling
merujuk dan menentukan di dalam penggunaannya sehingga
kedua sistem itulah yang menentukan terjadinya pilihan
bentuk, makna, serta ekspresi di dalam konteks sosial.
(3) Bahasa sebagai sumber daya yang fungsional. Artinya, bahasa
memiliki metafungsi yang terdiri atas fungsi mempertukarkan
atau interpersonal, fungsi memaparkan atau ideasional, dan
fungsi merangkai atau tekstual .
Ketiga metafungsi tersebut membentuk satu sistem yang fungsional.
Analisis LSF pada strata leksikogramatika terjadi dari tiga metafungsi, yaitu
makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual. Analisis ini
menggunakan klausa sebagai representasi, pertukaran, dan pesan. Ketiga
39
metafungsi makna terealisasi dalam struktur klausa modus, transtivitas, dan
tema-rema. Berdasarkan leksikogramatika dan logiko-sematik dapat dikaji pula
register, genre dan struktur teks, dan ideologi yang tercermin di dalam teks.
Selanjutnya, model analisis tiga metafungsi tergambar dalam diagram (4)
berikut.
genre// register/ realisasi bahasa Diagram 4: Metafungsi dalam Hubungannya dengan Register dan Genre ( Diadaptasi dari Martin,1997:8)
Halliday (1996) memberikan alasan bahwa fokus ekslusif LSF pada
variabel register dibangun untuk secara bersama-sama memenuhi tiga tipe
makna: medan (field) yang direalisasi melalui makna eksperiensial ( misalnya,
pola transitivitas melalui pemilihan partisipan, proses, dan hubungan logis);
pelibat (tenor) diekspresikan melalui makna interpersonal (misalnya: pola
modus (mood), modalitas (modality) melalui pemilihan finit, adjung, dan
adjektiva); dan sarana (mode) direalisasikan melalui makna tekstual (misalnya:
genre
medan sarana
pelibat
Idiasional tekstual
interpersonal
40
pola kohesi melalui pemilihan rangkaian tema dan referensi (Butler, 1985;
Eggins, 2004; Halliday & Matthiesen, 2004; Martin & Rose, 2003).
Berdasarkan uraian di atas, secara lebih kasat mata diagram (5) berikut
memperlihatkan hubungan metafungsi makna, sumber linguistik, dan fungsi
yang menjadi kajian disertasi ini. Tabel yang dimaksud memperlihatkan kajian
teks KKWK secara menyeluruh dalam bentuk ringkas.
Tabel 1: Tiga Metafungsi Makna (diadaptasi dari Thompson ,1996 dan
Schleppegrell, 2004)
Tipe metafungsi
Sumber linguistik Fungsi
Medan (eksperiensial)
/ideasional
Kelompok nomina
(Partisipan)
Kelompok verba
(Proses: MMVERB)
adverbia, frasa preposisional, (Sirkumstan)
Siapa melakukan apa untuk siapa?
Tenor/pelibat (interpersonal)
Modus: -sistem modus dalam klausa (deklaratif, interrogatif, imperatif)
-struktur modus
Modalitas (tipe modal &adjung utk mengekspresikan tingkat obligasi , ketentuan/
keharusan
Penilaian (ekspresi dampak, putusandan apresiasi) (Martin & Rose, 2003)
Bagaimana hubungan antar pelibat (pembicara & pendengar & pokok persoalan?
Mode/sarana (tekstual)
Unsur kekohesifan (referen, repetisi, dan elipsis)
Rangkaian tema:
tipe tema, tema tunggal dan tema jamak, tema bermarkah dan tidak bermarkah
Gabungan klausa: hubungan interpendensi dan hubungan logis semantik
Bagaimana teks disusun untuk tipe tertentu dalam interaksi, mis: dialog, diskusi, dan lain-lain
Catatan: MMVERB menunjuk pada Material, Mental, Verbal, Ekstensial, Relasional dan Behavioural
41
Apabila tabel (1) diperhatikan secara cermat maka pola/struktur
transitivitas berada di bawah sumber linguistik (linguistic resources) yang
meliputi tiga bagian, yaitu kelompok nomina, kelompok verba dan
kelompok preposisi dan adverbia; struktur transtivitas merealisasikan
makna eksperiensial yang selanjutnya merealisasikan medan teks. Struktur
modus meliputi modus, modalitas dan penilaian (appraisal) yang
merealisasikan makna interpersonal yang selanjutnya menunjukkan pelibat
dalam teks. Struktur tema meliputi tema, elemen kohesif , dan gabungan
klausa. Struktur ini merealisasikan makna tekstual yang selanjutnya
menunjukkan sarana (mode) teks.
2.3.1 Leksikogramatika
Pada level leksikogramatika ada tiga bagian penting yang
merealisasikan metafungsi makna, yaitu, transitivitas, modus (mood) dan
tema. Berikut adalah paparan ketiga bagian dari leksikogramatika tersebut.
2.3.1.1 Transitivitas
Sistem seperti yang telah disampaikan sebelumnya merupakan
seperangkat unit secara paradigmatik, yang satu dengan yang lainnya bisa
saling menempati dalam suatu struktur, maka sistem transtivitas mencakup
unsur-unsur yang saling berhubungan, yaitu partisipan, proses, dan
sirkumstan.
42
Kesan pengalaman nyata kita terlihat/terungkap dalam proses
(Halliday, 2004:170) misalnya dalam hal – terjadi (happening), melakukan
(doing), merasakan (sensing), mengartikan (meaning), dan menjadi (being,
becoming). Proses ini merupakan sistem transitivitas bahasa yang memiliki
metafungsi eksperiensial, dan kemudian meneliti cara bahasa menafsirkan
pengalaman manusia akan dunia di sekitarnya.
Fokus analisis adalah klausa sebagai representasi (tentang
pengalaman akan dunia). Transitivitas merupakan sumber untuk
menguraikan pengalaman dan dilakukan dalam bentuk proses. Bagian
yang tercakup dalam proses ini adalah proses itu sendiri, partisipan
/peristiwa, dan .sirkumstan (Eggins, 1994:229; Halliday, 2004).
Proses direalisasikan oleh kelompok verba; partisipan/peristiwa
direalisasikan oleh kelompok nomina, dan sirkumstan oleh kelompok
keterangan dan frasa preposisional. Ada enam proses, yaitu proses material,
mental, verbal, eksistensi (wujud), relasional, dan perilaku (Eggins, 1994;
Halliday,2004). Secara lebih jelas keenam proses tersebut dan partisipan
yang mengikutinya dapat dilihat pada tabel (2) berikut.
43
Tabel 2: Proses dan Partisipan
Proses Partisipan
Material Aktor (pelaku), tujuan/sasaran, lingkup, atributif , klien, penerima
Mental Pencerap (Senser), fenomena
Verbal Pembicara, pendengar, isi pembicaraan (verbiage)
Eksistensi wujud ( excistent)
Relasional Pembawa/atribut(Carrier/attribute), Token. Nilai (Value)
Perilaku Pemerilaku, perilaku (Behaver, behavior)
Sebelum pembahasan tentang proses, terlebih dahulu akan dibahas
sirkumstan yang mengikuti proses dalam sstem transitivitas.
(1) Sirkumstan
Unsur sirkumstan merupakan salah satu elemen dalam sistem
transtivitas . Unsur sirkumstan menambah informasi tentang waktu
(kapan), tempat (di mana), cara (bagaimana), dan alasan, sebab (mengapa,
untuk apa, siapa). Unsur sirkumstan dapat digali dengan menggunakan
pertanyaan di mana, mengapa, bagaimana, dan kapan.
Unsur inti sirkumstan (Halliday, 2004:262) adalah sebagai berikut.
(a) Lokasi (Location) : Di mana? (Where?) (1) That child plays badminton in the park.
‘Anak itu bermain badminton di taman.’
(b) Alasan, sebab (Reason/cause ): Mengapa? (Why?) (2) That child plays badminton for fun.
‘Anak itu bermain badminton untuk bersenang-senang.’
44
(c) Cara/Keterangan (Manner): bagaimana? ( How?)
(3) That oldman crossed the road carelessly. ‘Orang tua itu menyeberang jalan dengan hati-hati.’
(d) Waktu (Time): Kapan? (When? (4) That oldman crossed that road yesterday.
‘Orang tua itu menyeberangi jalan itu kemarin.’
Contoh keempat klausa di atas memperlihatkan unsur sirkumtan
(lokasi, alasan, cara, dan waktu). Sirkumstan tersebut menambah informasi
tentang lokasi, alasan, cara, dan waktu.
(2) Proses dalam Transitivitas
Ada enam proses dalam transtivitas, yaitu proses material, verbal,
relasional, mental, eksistensial, dan perilaku ( Eggins, 1994:229; Halliday,
1994: 107-139; Halliday & Matthiessen, 2004:171-206). Ada tiga proses
utama, yaitu material, mental, dan relasional (Halliday, 1994: 107; Halliday
& Matthiessen, 2004:171). Tiga proses lainnya, yaitu perilaku, verbal, dan
eksistensial. Proses perilaku dapat juga memiliki karakteristik proses
material dan proses mental; proses verbal dapat juga memiliki karakteristik
proses mental dan proses relasional; dan proses eksistensial dapat memiliki
karakteristik proses relasional dan material.
(a) Proses material
Proses material adalah proses melakukan atau terjadi, dan Aktor
adalah partisipan kunci. Partisipan dalam proses material adalah aktor ,
sasaran(goal), limgkup (scope), atributif, klien dan penerima (recipient).
45
Proses material dapat dites dengan mencari informasi tentang ‘apa
yang aktor lakukan atau apa yang terjadi (Eggins, 1994;227).
Contoh: (Diadaptasi dari Halliday dam Matthiessen, 2004:187-195)
(5) They played ping pong yesterday Pt: Pr: Pt: Circ: Actor Material Scope Time mereka main ping pong kemarin ‘Mereka bermain ping pong kemarin.’
(6) Diana swallowed the ping pong ball by mistake :Pr: Pr: Pt: Circ: Actor material Goal manner Dina terima ping pong bola dengan salah ‘Diana menerima bola ping pong secara salah.’
(7) They gave Tom a house Pt: Pr: Pt: Pt: Actor Material Recipient Goal mereka beri Tom sebuah rumah ‘Mereka memberi Tom sebuah rumah.’
(8) The doctor made Alvin a tablet Pt: Pr: Pt: Pt: Actor Material Client Goal dokter buat Alvin sebua tablet ‘Dokter membuatkan Alvin sebuah tablet.’
Keempat klausa (5-8) di atas memperlihatkan pemakaian proses
material (bermain, menerima, memberikan, dan membuatkan). Karena
proses material mencakup verba dinamik, progressif dimungkinkan.
Misalnya: Mereka sedang bermain ping pong kemarin (-- "They were
playing ping pong yesterday").
(b) Proses Mental
Partisipan dalam proses mental adalah pencerap (senser) dan
fenomena. Pencerap (senser) adalah seseorang yang merasakan secara
46
emosional, memikirkan, dan perceive (merasa bahwa seseorang
memperhatikan). Fenomena adalah sesuatu yang dirasakan secara emosional,
dipikirkan, atau perceived (terasa sedang diperhatikan).
Proses mental berkenaan dengan kasih sayang (affection), kognisi
(cognition), persepsi (perception), atau desideration ( Eggins, 1994;
Halliday, 2004):
(9) I hate injections Pt: Pr: Pt: Senser Mental Phenomenon [Affection] saya benci suntikan ‘Saya membenci suntikan.’
(10) That show amazed me Pt: Pr: Pt: Phenomenon Mental Senser [Cognition] itu pertunjukan agum saya ‘Pertunjukan itu mengagumkan saya.’
(11) I saw that accident Pt: Pr: Pt: Senser Mental Phenomenon [Perception] saya melihat itu kecelakaan ‘Saya melihat kecelakaan itu.’
Pencerap ( Senser) tidak selalu berada di depan. Contoh pada klausa
(10) “That show amazed me”, fenomena that show berada di depan.
(c) Proses Verbal (Verbal process)
Partisipan dalam proses verbal (Eggins,1994:251; Halliday, 2004:253-
256) adalah sebagai berikut.
(i) Pembicara (Sayer -- the addresser
47
(ii) Penerima/pendengar (Receiver -- the addressee, or the entity
targetted by the saying)
(iii) Isi pembicaraan (Verbiage -- the content of what is said or indicated
Proses verbal meliputi semua modes of expressing dan indicating
walaupun mereka tidak membutuhkan verba, misalnya memperlihatkan.
Isi pembicaraan dapat direalisasikan sebagai sebuah klausa yang
diproyeksikan secara penuh oleh partisipan atau sirkumstan (matter).
Sebagai contoh, perhatikan kalimat berikut.(didaptasi dari Halliday dan
Matthiessen, 2004:252-256).
(12) His farther tells that child a nice story
Pt: Pr: Pt Sayer Verbal receiver Verbiage ayahnya ceritera anak itu suatu ceritera menarik ‘Ayahnya menceriterakan anak itu suatu ceritera menarik.’
(13) The doctor expressed some concern Pt: Pr: Pt: Sayer Verbal Verbiage dokter itu nyatakan beberapa keprihatinan ‘Dokter itu menyatakan keprihatinan.’
(14) Tom explained about that accident Pt: Pr: Circ: Sayer Verbal Matter Tom jelaskan tentang itu kecelakaan Tom menjelaskan tentang kecelakaan itu. (15) She said that the book has been read.
Pt: Pr: Pt Sayer Verbal dia katakan bahwa buku itu telah baca ‘Dia mengatakan bahwa buku itu telah dibaca.’
48
(d) Proses Eksistensi/Ujud
Proses eksistensi meliputi struktur ekstensial yang didahului oleh frasa
dalam bahasa Inggris, misalnya, there was/is something (Eggins,1994:254).
Frasa ini berada pada posisi subjek. Tipe verba yang digunakan adalah
verba be. Dengan demikian, akan mudah diingat bahwa apabila setiap saat
terdapat konstruksi ujud maka hal itu adalah proses ekstensi. Proses
eksistensi hanya memiliki satu partisipan yaitu eksisten. Eksisten itu
sederhana karena menerangkan keberadaan.
(16) Once upon a time there was a wise grammarian Sir: Pr:Ekst/ujud Pt:Ekst/perujudan pada suatu saat ada seorang ahli tata bahasa yang bijaksana ‘Pada suatu saat ada seorong ahli tatabahasa yang bijaksana.’
(e) Proses Relasional
Proses relasional wajib menghendaki dua partisipan. Dalam sebuah
klausa finit tentu tidak memiliki prosess relasional yang hanya memiliki satu
partisipan. Proses relasional berkaitan dengan pemilikan (possessing) atau
menjadi (becoming).
Proses relasional itu bisa pengenalan ataupun atributif (Eggins,
1994:255). Proses pengenalan membolehkan partisipan dipertukarkan
bersama-sama dengan perubahan yang berkaitan dalam fungsi gramatikal.
Partisipan dapat dipertukarkan dalam dua cara, yaitu dengan hanya menukar
posisi atau pemasifan.(Halliday, 2004: 216). Perhatikan contoh berikut yang
diadaptasi dari Halliday dam Matthiessen, 2004: 210-216).
49
(17 a) Diana is a wise guest. Carrier Pr;intensive attributive Diana adalah seorang tamu bijak ‘Diana itu tamu bijak’. (17b) The wise guest is Diana Attributive Pr:intensive carrier bijak tamu adalah Diana ‘Tamu bijak itu adalah Diana.’
Pertukaran fungsi gramatikal dari partisipan pada kalimat 17a, Diana,
adalah subjek, tetapi pada kalimat 17b menjadi komplemen. Sama halnya
dengan the wise guest adalah komplemen pada kalimat 17a, tetapi menjadi
subjek pada kalimat 17b.
(18a) The exam takes up the whole day. S C ‘Ujian itu memerlukan sehari penuh.’
(18b) The whole day is taken up by the exam. S C ‘Sehari penuh diperlukan untuk ujian itu.’
Pertukaran fungsi gramatikal pada kalimat 18a, the exam adalah
subjek, tetapi pada kalimat 18b adalah komplemen preposisional. Sama
halnya pada kalimat 18b the whole day adalah subjek, tetapi pada kalimat
18a adalah komplemen.
Proses atributif pada umumnya tidak menghendaki partisipan
dipertukarkan .Proses atributif juga tidak mengenal pemasifan (Eggins,
1994: 257)
(19a) He is blessed. S K
‘Dia keberkatan.’
50
(19b) Blessed is he. C S
‘Keberkatan dia.’
Pada kalimat 19 tidak ada pertukaran fungsi gramatikal. He pada ke
duanya tetap menjadi subjek dan blessed tetap menjadi komplemen. Jika
proses adalah pengidentifikasian maka partisipan adalah Token dan Value.
Jika proses pengidentifikasian itu dapat mengoperasikan pemasifan maka
dalam bentuk aktif subjek selalu Token (value tentunya adalah komplemen).
Jika proses tidak dapat mengoperasikan pemasifan maka dibutuhkan tes
penunjukan untuk menentukan label yang mana akan digunakan. Untuk itu
pertama-tama dilakukan penempatan kembali verba yang dapat mewakili
dalam membentuk konstruksi alternatif yang dapat diterima. Dengan
demikian, akan diperoleh Token yang mewakili Value.
(20) Today is Christmas Day Pt: Pr: Pt: Token Rel-Ident Nilai ‘Hari ini Hari Natal atau Hari ini adalah Hari Natal.’ (21) The World champion is Tomy Pt: Pr: Pt: Nilai Rel-Ident Token ‘ Juara dunia adalah Tomi.’
Tomy pada klausa (21) diidentifikasi oleh statusnya sebagai world
champion. Tomy juga mewakili world champion, tetapi world Champion
tidak mewakili Tomy.
51
Jika prosess itu atributif maka partisipan itu pembawa (Carrier) dan
atribut (Attribute). Klausa yang memiliki proses atributif tidak dapat
dipasifkan. Hal ini berarti bahwa subjek gramatika itu selalu adalah
pembawa.
(22) Tomy was great during World Competition Day Pt: Pr: Pt: Circ: Pembawa Rel-Atributif Waktu Tomy terkenal selama dunia kompetisi hari ‘Tomy terkenal selama pertandingan dunia.’
(23) Sally has a beautiful car Pt: Pr: Pt: Pembawa Rel-Attr Atributif Sally punya sebuah cantik mobil ‘Sally memiliki sebuah mobil bagus/cantik.’
(f) Proses Perilaku
Partisipan utama itu adalah pemerilaku (behaver), tetapi kadang-
kadang melibatkan suatu perilaku, a Behaviour (Eggins, 1994:250) Proses
perilaku (behavioural) adalah tipe intransitif, melibatkan hanya pemerilaku
(behaver) sebagai partisipan. Jika ada dua partisipan maka partisipan kedua
itu adalah perilaku (behavior).
Proses perilaku itu adalah suatu prosess hibrid yaitu proses material
dan proses mental. Karena proses perilaku itu bagian dari mental, proses ini
melibatkan verba yang jelas merupakan kejiwaan. Demikian pula, proses ini
bagian dari proses material, proses perilaku menghendaki bentuk progresif
(Eggins, 1994:251).
52
(24) That girl nodded at her lecturer. Pt: Pr: Pt: Behaver Behavioural Behaviour gadis itu angguk pada dosennya ‘Gadis itu mengangguk pada dosennya.’ Pada contoh klausa (24) di atas verba nodded ‘mengangguk’
merupakan proses perilaku. Proses perilaku dalam klausa tersebut disebut
behavioural.
2.3.1.2 Modus
Modus merealisasi metafungsi makna interpersonal. Penggunaan
klausa dalam sistem modus berfungi sebagai mempertukarkan pengalaman
antarpelibat. Secara umum, pemahaman tentang modus merujuk pada bentuk
verba yang menyatakan suatu fakta atau tindakan ( indikatif = deklaratif,
interrogatif), imperatif, atau subjungtif (doubt). Namun, dalam konsep
Halliday subjungtif tidak dibahas. Modus dalam kerangka Halliday (2004)
secara teknis menunjuk pada Blok modus (Mood Block) yang terdiri atas
komponen-komponen seperti Subjek (S), unsur Finit (F) dan adjung modal.
Agar tidak membingungkan pemahaman, sebutan atas pemikiran yang secara
umum telah dikenal sebelumnya, di sini digunakan istilah klausa modus
(deklaratif, interogatif, dan sebagainya), yang dibedakan dari modus menurut
Halliday. Apabila dicermati maka S,F dan adjung modal berada di bawah
blok modus. Elemen-elemen lainnya berada di bawah Residu. Konjungsi dan
adjung konjungtif serta vokatif dan ekspletif tidak termasuk dalam analisis
modus (Halliday dan Christian, 2004: 125-133).
53
Struktur dalam klausa yang telah dikenal sebelumnya berupa sebuah
singkatan SVOKA yang berasal dari Subyek, Verba, Objek, komplemen dan
Adverbia (keterangan). Dalam konsep Halliday istilah tersebut mengalami
penyesuaian. Penyesuaiannya dapat dilihat pada tabel (3) berikut.
Tabel 3: Penyesuaian Istilah Menurut Konsep Halliday
SVOKA Haliday Subjek tidak ada perubahan Verba berubah menjadi F (Finit), P (Predikat) Objek Berubah menjadi komplemen Komplemen Tetap sebagai komplemen Adverbia Berubah menjadi AR (Adjung residu) atau
AM ( Adjung modal )
Perbedaan antara komplemen dan adjunct menurut Halliday &
Matthiessen (2004: 122-124) adalah:
"A complement is an element within the Residue that has the potential of being Subject but is not ... It is typically realized by a nominal group." "An Adjunct is an element that has not got the potential of being Subject ... An Adjunct is typically realized by an adverbial group or a prepositional phrase (rather than by a nominal group)."
Pada kutipan di atas secara jelas terlihat bahwa jika menganalisis
klausa dengan menggunakan LSF menurut Halliday, khusus untuk PKA
(Predikat, Komplemen dan Adjung), maka mood block untuk S (Subjek), dan
F (Finit) ada di bawah MODUS sedangkan P (Predikat) dan K (Komplemen)
berada di bawah RESIDU, seperti pada (25).:
54
(25)
He can’t hear on the telephone Subjek dia
Finit tidak bisa
Predikat mendengar
Adjung telepone
Mood
Residue
‘Dia tidak bisa mendengar telepon.’
Terdapat dua tipe adjung, yaitu adjung modal (AM) dan adjung residu
(AR). AR melengkapi informasi sirkumstansial yang dalam hal ini meliputi
informasi tentang waktu, tempat, sikap/cara, dan sebagainya, termasuk agen
dalam klausa pasif, misalnya him dalam the cake was eaten by him. Semua
AR membentuk bagian dari residue. Adjung modal (AM), pada bagian
yang lain, membentuk bagian blok modus. AM melengkapi informasi
tambahan pada kemungkinan dan kebiasaan, dan sebagainya.
(mood adjunct), atau pendapat pembicara, komentar, dan sebagainya. Jadi,
AM meliputi baik modus maupun adjung komen. Singkatnya, S, F, AM
dibawah Modus, dan P, K, AR di bawah Residu. Lebih jelasnya, yang
mana merupakan bagian adjung modus dan adjung komen (Halliday dan
Matthiessen, 2004: 126-131)) dapat dilihat pada tabel (4) berikut.
55
Tabel 4: Adjung Modus dan Adjung Komen (Diadaptasi dari Halliday dan Matthiessen, 2004:126-131) Tipe Contoh Adjung Modus : Kemungkinan Kebiasaan Obligasi/kewajiban Kepastian Intensitas Polaritas
mungkin, barangkali, boleh jadi. selalu, pernah, jarang, pada umumnya, biasanya dengan pasti, benar, secara jelas, tentu, secara benar. jelas. hanya, sederhana, bahkan, melulu, sesungguhnya,, kenyataannya, hampir mendekati,jarang tidak, bukan
Adjung Komen: Pengakuan Pengharapan Permohonan yg mendesak Penilaian/ Evaluasi Opini Persuasif. meyakinkan Prediksi Anggapan
sebetulnya, secara jujur, menyatakan kebenaran sungguh sial sangat menyenangkant ,untungnya/beruntung, disayangkan berharap silahkan, dengan baik hati, dengan senang hati dapat dimengerti, secara keliru, dengan penuh kecurigaan, cukup, secara sembarangan,secara tidak arif dalam pikiran saya, dari sudut pandangan saya, secara pribadi,menurut pikiran saya Secara jujur, secara sungguh-sungguh, secara serius, atas dugaan saya, anehnya, seperti yang diharapkan, dengan mengagumkan, kebetulan dengan jelas, rupanya, nampaknya, .
Berikut adalah modus dan adjung komen (diadaptasi dari Halliday
dan Matthiessen, 2004:126-131; Eggins, 1994):
(i) Adjung Modus
(26a) Maybe the ball fell on Tom's head. (probability) ‘Barangkali bola itu jatuh di atas kepala Tom.’
56
(26b) Drake seldom thinks straight these days. (usuality) ‘Drake jarang berpikir sungguh-sungguh (serius) akhir-akhir ini.’ (26c) Paul could hardly walk after the incident. (degree) Paul sangat sulit berjalan setelah kecelakaan itu.
(ii) Adjung Komen
(27a) Frankly, you were surprised at the outcome. (opinion) (27b) Fortunately, the doctor has left an adress. (desiderable) (27c) John has, supposedly, designed a new model of his car. (presumption) Contoh klausa (26a,b,c) memperlihatkan penggunaan mood ajung,
sedangkan contoh (27 a,b,c) memperlihatkan penggunaan comment ajung.
(1) Subjek dan Finit
Subjek (S) dan Finit (F) adalah komponen penting dalam blok
modus. Finit, menurut Halliday & Matthiessen (2004: 115) memaparkan
“suatu cara yang baik untuk membuat sesuatu dapat didebat dengan
memberikannya suatu batas referensi; dan inilah yang Finit lakukan”.
Elemen S memungkinkan preposisi dinyatakan atau ditiadakan. Subyek itu
elemen yang memungkinkan fungsi klausa sebagai peristiwa interaktif.
Beberapa contoh susunan S dan F yang merealisasi klausa modus
(Halliday, 2004:137-139) berbeda dalam bahasa Inggris:
(i) Deklaratif -- S^F (28) The tutorials made him hypertensive. ‘Tutorial itu membuat dia hipertensi.’
(ii) Pertanyaan informatif (ya/tidak/kata-kata tanya = S) -- S^F (29) What made him hypertensive? ‘Apa yang membuat dia hipertensi?’
57
(iii) Pertanyaan informatif lainnya -- F^S (30) When did he become hypertensive? Sejak kapan dia menjadi hipertensi?
(iv) Pertanyaan ya/tidak -- F^S (31) Did the tutorials make him hypertensive? ‘Adakah tutorial itu membuat dia hipertensi?’
(v) Perintah (Imperative (ekslusif) – tidak ada (32) Complete the tutorial worksheet! ‘Lengkapilah lembaran kerja tutorial ini!’
(vi) Perintah (Imperative (inklusif) -- S (33) Let's complete the tutorial worksheet. ‘Mari kita melengkapi lembaran kerja tutorial ini!’
Klausa (28 -33) memperlihatkan susunan Subjek dan Finit/predikat
dalam klausa modus deklaratif, pertanyaan, dan perintah. Posisi subjek
dapat di depan atau di belakang finit/predikat tergantung pada klausa modus
yang digunakan.
(2) Penyatuan dan Pemisahan F dan P
Dalam klausa finit , jika grup verba terdiri atas hanya satu verba maka F
setara atau sama dengan P. Jadi, label verbanya adalah F/P.
(34) The ball fell (F/P) on Tom's head, didn't it? ‘Bola itu jatuh (F/P) di atas kepala Tom, bukan?’
Suatu cara yang paling mudah untuk menentukan elemen F adalah
menyisipkan Tag modus yang diambil dari elemen F dan S pada klausa
utama. Pada klausa (34) tag modus adalah didn’t it. Cara yang paling
mudah untuk menentukan unsur Finit adalah menyisipkan tag modus yang
diambil dari unsur subjek dan finit pada klausa utama. Tag modus, didn't it –
58
memunculkan teka-teki karena klausa utama tidak memiliki verba did.
Sehubungan dengan itu, Eggins (1994: 158) menjelaskan:
"Where does the ‘did’ in the tag come from? What happens is that with verbs in the simple present or simple past declarative, the Finite element gets fused with another element, known as Predicator. In earlier forms of English, and still in emphatic forms of contemporary English, the did used to be present in the main part of the clause as well as in the tag [...] I did learn the English language from the guy, didn't I? [...] In unemphatic modern English, the did Finite has become fused in with the content part of the verb. But technically it is still there in the clause, as we see when we add the tag."
Berdasarkan penjelasan kutipan di atas secara jelas dapat
dikatakan bahwa unsur F melebur dengan unsur yang lain. Jadi, F (did)
melebur dalam verba yang ada dalam klausa utama.
Jika kelompok verba dalam klausa finit terdiri atas lebih dari satu verba
maka F selalu verba awal/pertama yang mendapat label F. Segala sesuatu
dalam kelompok verba adalah P.
(35) Tom won't (F, AM) be eating (P) durians for a while. ‘Tom tidak akan (F, AM) makan (P) durian untuk
sementara.’
Untuk verba yang terdiri atas lebih dari satu kata, seperti frasa atau
verba preposisi, tendensi pengikut sistemik yakin bahwa kelompok verba
melebur dalam unsure predikat finit yang diikuti adjung, seperti dalam
bahasa Inggris switch (F/P) on (A). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa verba yang terdiri atas lebih dari satu kata itu merupakan perluasan
dari verba sehingga merupakan bagian dari predikat.
59
(36) The boy switched (F/P-) on (-P) the radio. ‘Anak laki-laki itu menghidupkan radio.’
(3) Modalitas dalam Verba Finit
Verba Finit adalah verba yang ditandai oleh kala (tense) dan/ atau
modalitas. Modalitas merujuk pada tingkat keadaan yang tidak dapat
dipastikan . Modalitas tidak hanya merujuk pada verba modal, misalnya
can/could, may/migh", shall/should, will/would, mus", atau marginal modals,
misalnya used to, had to, tetapi juga merujuk pada ide modalitas yang
diperluas pada setiap verba dan tidak hanya verba modal. Untuk itu, dalam
kaitan dengan verba modalitas, manifestasinya dilakukan dalam dua cara,
yaitu modalisasi dan modulasi.
Modalisasi mengandung makna kemungkinan, termasuk ketentuan
atau kebiasaan. Kedua contoh di bawah ini memperlihatkan penggunaan
makna kemungkinan dan kebiasaan.
(37) He may have put on my briefs by mistake. (probability)
‘Dia mungkin telah meletakkan laporan saya secara salah.’ (kemungkinan)
(38) He sings in the shower every Friday evening. (usuality) ‘Dia menyanyi di kamar mandi setiap hari Jumat malam.’ (kebiasaan)
Modulasi mengandung makna keharusan, termasuk permohonan atau
kecenderungan (Halliday, 2004:147). Ketiga contoh di bawah ini
memperihatkan penggunaan modulasi yang mengandung makna seperti
yang disebutkan.
60
(39) You ought to keep awake during the grammar lecture. (obligation) ‘Kamu harus tetap terjaga selama kuliah grammar.’
(40) He can sleep all he wants! (obligation) ‘Dia dapat tidur kapan dia mau.’
(41) He desperately tried to stay awake. (inclination)
‘Dia dengan putus asa mencoba tetap terjaga.’
Apabila menganalisis verba perlu dipertimbangkan bagaimana
penggunaan modalitas. Modalitas yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
modalisasi yang mengandung makna kemungkinan dan kebiasaan, serta
modulasi yang mengandung makna keharusan dan kecenderungan.
(4) Penderita S
Dalam bahasa Inggris terdapat konstruksi seperti it yang lebih dahulu
digunakan. Dalam konstruksi tersebut isi yang mendahului subjek
ditempatkan pada posisi akhir.
(42) It is a shame to see a bruise on Newton's head. (= To see a bruise on Newton's head is a shame.) ‘Memalukan melihat memar di kepala Newton.’ (= melihat memar di kepala Newton memalukan)
Untuk mengakhiri sistem modus atau lebih dikenal blok modus, di
bawah ini dapat dikemukakan contoh Blok Modus yang berisikan MODUS
dan RESIDU (Eggins, 1994; Halliday dan Christian, 2004),
(43). You come here S Kamu
P datang
AR mari
MODUS RESIDU ‘Kamu datang ke mari.’
61
(44) Let’s go home S mari kita
P pulang
AR rumah
MODUS
RESIDU
‘Mari kita pulang ke rumah.’ (45). Do not Go home F AM P AR MODUS Jangan
RESIDU pulang rumah
‘Jangan pulang ke rumah.’ 2.3.1.3 Tema
Tema, menurut Halliday (1985a:39) merupakan unsur sebagai pesan
awal dalam suatu klausa. Dengan kata lain, tema merupakan unsur awal
klausa yang muncul pada awal klausa. Tema menyediakan konteks lokal
bagi pengembangan pesan dalam klausa, yang juga merupakan butir awal,
bahwa tema itu butir yang melebihi pesan dalam klausa dengan baik. Tema
dalam bahasa Inggris selalu berada di awal klausa dan diikuti oleh
rema. Tema memiliki tiga tipe yang berbeda (Halliday,2004:79), seperti
tampak pada tabel (5) berikut.
62
Tabel 5: Tiga Tipe Tema
Tema Tekstual Kontinuitas Konjungsi Konjungtif ajung Wh-relative (½ tekstual, ½ topik)
Tema Interpersonal Vokatif Adjung modal Unsur finit Wh-question (½ int. ½ topik)
Tema Topikal Partisipan Sirkumstan Proses
Tema dalam klausa merupakan unsur yang muncul pertama, dan
sesudah itu baru diikuti rema yang merupakan bagian dari klausa. Dengan
demikian porsi tematik itu adalah segala sesuatu yang ada pada awal klausa,
termasuk tema topikal . Pada tabel (5) di atas terlihat bahwa kontinuitas
(continuatives), konjungsi (conjunctions), adjung konjungtif dan Wh-
relative merupakan tema tekstual. Perhatikan contoh-contohnya di bawah
ini.
(a) kontinuitas, misalnya, umm, yeah, ..,
(b) konjungsi, misalnya, dan, atau, tetapi
(c) adjung konjungtif, mis.,biarpun, betapun, sebab, walaupun, ...
(d) Wh-relative, misalnya, yang mana (which), siapa ( who, ...)
‘Wh-relatives’ dapat berupa baik sebagai tema tekstual maupun sebagai
tema topikal .Jika sebuah klausa didahului oleh wh-relative baik dalam
63
tema tekstual maupun dalam tema topikal, maka segala sesuatu sesudah wh-
relative adalah rema.
(46) Alvin, « who cried loudly, » lost his job.
Alvin Txt/Top
yang Rheme berteriak dengan keras
kehilangan jabatannya
‘Alvin, yang berteriak keras kehilangan jabatannya.’
Tema interpersonal meliputi Vocatif, Adjung modal , unsu finit, dan
kata-kata tanya . Contoh dari setiap bagian ini adalah seperti:
(a) Vocatif (mis., Henry!, Tuan!, ...)
(b) Adjung modal, termasuk modus dan adjung komen (misalnya.,
mungkin, biasanya, sebetulnya, ...)
(c) Operator finit (misalnya., kata kerja bantu modal,kata kerja bantu be,)
(d) Kata-kata tanya (misalnya, siapa, apa, dimana, bagaimana,
mengapa)
(47) Why did Alvin cry loudly? Int/Top
mengapa Rheme Alvin berteriak dengan keras
‘Mengapa Alvin berteriak keras?’
Tema topik itu, semua harus dalam klausa utama, termasuk
imperatf/perintah. Dalam tema topikal dikenal partisipan yang biasa disebut
kelompok nomina, siskumstan disebut PP atau AdvG. Kelompok
keterangan, dan proses disebut kelompok verba. Ketiganya merupakan
bagian dalam tema topikal . Contoh klausa yang memiliki tiga tipe tema
tampak pada (48).
64
(48) Well, Superman, why do you keep your briefs on the outside? Txt
‘Baiklah Int Superman
Int/Top mengapa
Rheme engkau menyimpan laporanmu di luar?’
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa tema topikal harus
dalam klausa utama, maka tema yang lain, yaitu tema tekstual dan tema
interpersonal, adalah pilihan (opsional). Karena keharusan adanya tema
topical, perlu dicermati segala sesuatu yang ada pada awal klausa. Oleh
karena itu, perlu dipertimbangkan atau dimasukkan unsur ellipsis.
(49) Michael hit Tom, and was sorry about it. ‘Michael memukul Tom dan menyesalinya.’
Ada dua klausa dalam contoh di atas, yaitu "Michael hit Tom" +
"and was sorry about it". Tema topikal pada klausa pertama adalah "
Michael ". Pada klausa kedua and adalah tema tekstual, sehingga tema
topikal bukan verba was. Dalam menganalisis klausa tersebut perlu
dicermati klausa secara utuh, yaitu klausa sesungguhnya:
"and (he) was sorry about it" . Jelaslah bahwa he adalah tema topikal
elipsis. Tema topikal elispsis berada di dalam kurung:
and was sorry about it Txt (Top) Rheme
Contoh lain yang menunjukkan adanya dua klausa, yang dipisahkan oleh
dua tanda garis miring (//) tampak pada (50).
65
(50) Alvin took up aerobics // and became even skinnier! Top
‘Alvin Rheme mengikuti erobik
//
Txt dan
(Top) Rheme menjadi lebih kurus.’
(1) Tema bermarkah dan tidak bermarkah
Pemakaian pemarkahan berimplikasi pada pemunculan beberapa
fenomena kurang khusus atau jarang. Apabila dikatakan bahwa tema itu
dimarkahi maka hal itu menunjukkan hal yang kurang khusus atau jarang,
karena hal itu direalisasi dengan cara yang demikian. Lawan tema yang
dimarkahi adalah tema yang tidak dimarkahi.
Pembicaraan tentang tema bermarkah dan tidak bermarkah,
menunjuk pada hanya tema topikal dan bukan tema tekstual atau tema
interpersonal. Penggunaan apakah tema topikal bermarkah atau tidak
tergantung pada klausa modus, yaitu apakah klausa itu deklaratif,
interogatif, atau imperatif. Hal yang penting adalah bahwa tema tidak
bermarkah berbeda dari klausa modus.
Tema tidak bermarkah berbeda dengan klausa modus. Perbedaannya
dapat diuraikan sebagai berikut:
(a) Deklaratif: Tema tidak bermarkah adalah subjek. Misalnya, dalam
kalimat bahasa Inggris, "The man picked his daughter's toys."
Semua realisasi yang lainnya dari tema topikal itu bermarkah,
misalnya: " his daughter's toys, he loves to pick" . Dalam kalimat ini
66
his daughter's toys adalah komplemen, dari subjek sebagai tema
topikal.
(b) Interogatif terdiri atas polar dan kontent interrogatif:
(i) Polar: Tema tidak bermarkah memiliki dua bagian tema yaitu
tema interpersonal yang direalisasikan oleh unsur finit, dan tema
topikal yang direalisasikan oleh subjek. Sebagai contoh, "Did the
man pick his daughter's toys?" Semua realisasi lainnya
bermarkah.
(ii) Isi: Tema tidak bermarkah adalah kata Tanya. Sebagai contoh,
"Why did the man pick his daughter's toys?" Semua realisasi
lainnya bermarkah.
(c) Perintah (Imperative): inclusif dan ekslusif.
(i) Inklusif: Tema tidak bermarkah adalah let's atau let us, yang
sesungguhnya merupakan bentuk yang tidak patuh dari subjek (= we):
"Let's pick our books!" Semua realisasi lainnya bermarkah.
(ii) Ekslusif: Tema tidak bermarkah itu adalah proses, misalnya: "Pick
your books!" Semua realisasi lainnya bermarkah.
Tema topikal yang direalisasikan oleh unsur sirkumstansial selalu
bermarkah tanpa pengecualian. Jadi, apabila ada unsur sirkumstansial
berfungsi sebagai tema topikal, maka tema itu bermarkah. Tidak semua
tema bermarkah sama. Bandingkan kedua klausa di bawah ini.
67
(51a) Orange juice, she loves to drink. ‘Jus jeruk, dia senang minum.’ (51b) In the evenings, she loves to drink orange juice. ‘ Pada sore hari, dia senang mimum jus jeruk.’
Klausa (51a) kurang spesifik dari (51b). Untuk itu klausa (51b) lebih
bermarkah dari (51a). Klausa tersebut memiliki tema pemarkahan ganda.
Hal tersebut disebabkan oleh perluasan dari pemarkahan.
2.3.2 Hubungan Antarklausa
Hubungan antarkaluasa mencakup dua bagian tipe interpendensi, yaitu
parataksis dan hipotaksis, serta hubungan logiko-semantik (Halliday dan
Matthiessen, 2004:373). Hubungan antarklausa ini berada pada klausa
kompleks. Klausa kompleks ada di bawah logika metafungsi bahasa yang
merupakan perluasan dari ideasional metafungsi bahasa. Klausa kompleks
merujuk pada hubungan yang ada di antara klausa dalam kalimat. Hubungan
ini terdiri atas dua tipe, yaitu taksis dan logiko-semantik. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Halliday (1994:216):
"We shall assume, therefore, that the notion of 'clause complex' enables us to account in full for the functional organization of sentences. A sentence will be defined, in fact, as a clause complex. The clause complex will be the only grammatical unit which we shall recognize above the clause. Hence there will be no need to bring in the term 'sentence' as a distinct grammatical category. We can use it simply to refer to the orthographic unit that is contained between full stops. This will avoid ambiguity: a sentence is a constituent of writing, while a clause complex is a constituent of grammar."
68
Klausa kompleks dimarkahi berbeda dari klausa pemeringkatan
(rangking). Klausa pemeringkatan (ranging) dimarkahi oleh label // …//,
sedangkan klausa kompleks dimarkahi oleh penanda |||…|||. Klausa
kompleks dibutuhkan dengan alasan bahwa klausa tersebut menghubungkan
klausa yang satu dengan yang lain dalam cara yang khusus dan pembagian
ke dalam klausa konstituen mungkin mengaburkan hubungan ini, misalnya:
(52) He signed the papers after the lawyer had read them and verified the facts.
‘Dia menandatangani dokumen-dokumen itu setelah pengacara membaca dan membuktikan fakta-fakta itu.’
Apabila klausa (52) dicermati, maka ada tiga pemeringkstan klausanya, yaitu
||| He signed the papers // after the lawyer had read them // and verified the facts. ||| ‘Dia menandatangani dokumen itu // setelah pengacara membacanya// dan membuktikan fakta-fakta.’
Pembagian klausa tersebut mengaburkan fakta bahwa klausa kedua dan
ketiga, "after the lawyer had read them and verified the facts", memiliki
hubungan yang sangat dekat, yaitu keduanya adalah klausa terikat dan
subordinasi pada klausa utama. Untuk itu dibutuhkan klausa kompleks.
Alasan lain adalah pola distribusi dalam teks penting secara gaya bahasa.
Suatu teks yang terdiri atas banyak klausa simplek akan memiliki banyak
efek yang berbeda terhadap pembaca yang berhadapan dengan suatu teks
yang memiliki banyak klausa kompleks.
69
Selanjutnya, akan secara khusus dicermati kedua tipe hubungan di
antara klausa dalam klausa kompleks. Kedua tipe itu adalah sistem taksis
dan logiko-semantik.
2.3.2.1 Hubungan Interdependensi Klausa
Interdependensi klausa meliputi taksis atau sistem taksis. Sistem taksis
menyatakan apakah hubungan klausa itu statusnya setara (equal) atau
tidak.(unequal). Parataksis menyatakan hubungan antara dua unsur yang
memiliki status yang setara.. Angka Arab yang digunakan mengisyaratkan
parataksis. Karena hubungan klausa parataksis statusnya setara, maka
klausa dinomori secara sekuen, yaitu ‘1’ untuk klausa pertama dan diikuti
oleh ‘2’ untuk klausa kedua dan seterusnya (Halliday dan Matthiessen,
2004: 374-376) .
(53). He saw the lecturer and smiled. ‘Dia melihat dosen itu dan tersenyum.’
Klausa (53) memiliki dua klausa. Kedua klausa utama itu memiliki
hubungan yang setara yang disebut hubungan parataksis. Dengan
menggunakan penanda klausa seperti yang telah disebutkan sebelumnya
maka klausa tersebut menjadi:
||| 1 He saw the lecturer // 2 and smiled. ||| ||| 1 Dia melihat dosen itu // 2 dan tersenyum ||
Hipotaksis menunjukkan hubungan dua elemen yang memiliki status
yang tidak setara. Huruf Yunani digunakan untuk menandai hipotaksis.
70
Simbol α selalu di balik klausa utama atau klausa dominan. Simbol lainnya,
yaitu β, dari depan digunakan untuk klausa terikat pada klausa bebas
/utama atau klausa dominan, seperti pada (54).
(54) ||| β If you can't convince them, // α ask them. ||| ||| β Jika kamu tidak dapat meyakinkan mereka, // α tanya
mereka. |||
Hubungan parataksis dan hipotaksis dapat digabungkan, misalnya pada
klausa (55) berikuti.
(55) ||| β1 When Rowan came near // β2 and looked // α he was amazed at Alvin's ribcage. |||
||| β1 Ketika Rowan datang mendekat // β2 dan memperhatikan // α dia tajub akan bingkai sangkar Alvin. ||| Klausa (55) di atas terbagi atas dua bagian. Bagian pertama "When
Rowan came near and looked", dan yang kedua, "he was amazed at Alvin's
ribcage". Karena bagian pertama subordinat atas yang kedua, maka
hubungan ini adalah hubngan hipotaktis. Untuk itu segmen pertama
menggunakan simbol β, dan untuk yang kedua digunakan simbol α.
Apabila ada dua klausa dalam segmen pertama, maka β diulangi untuk ke
dua-duanya. Sementara itu, segmen kedua hanya memiliki satu klausa. Jadi,
tidak dibutuhkan untuk melakukan hal yang sama pada α. Untuk itu, segmen
pertama ada dua klausa yang berhubungan satu dengan yang lainnya.
Karena keduanya adalah klausa bebas, maka keduanya memiliki hubungan.
Penanda hubungannya adalah "1" and "2". Kalimat tersebut dapat ditulis
71
dengan simbol sebagai berikut:: β1^β2^α, dengan simbol sisipan (^) yang
menunjuk pada rentetannya.
2.3.2.2 Hubungan Logiko-Semantik
Logiko-semantik menunjuk pada sifat dasar hubungan di antara
klausa. Hubungan ini meliputi hubungan logis dan hubungan semantik.
Hubungan logiko- semantik (Halliday dan Christian, 2004:377-406)
memiliki dua tipe utama , yaitu ekspansi/perluasan (Expansion) yang terdiri
atas ekstensi, enhansemen, dan elaborasi, dan proyeksi yang terdiri atas
lokusi dan ide.
(1) Ekspansi (Expansion)
Ada tiga jenis ekspansi, yaitu ekstensi, enhansemen, dan elaborasi.
Ketiga jenis ekspansi dapat diuraikan sebagai berikut.
(a) Ekstensi (Ekstension)
Salah satu jenis perluasan ( ekspansi) adalah ekstensi. Ekstensi
memperluas klausa dengan menambah sesuatu yang baru, memberikan
pengecualian , atau menawarkan alternatif. Simbol yang digunakan untuk
ekstensi adalah "+" . Penanda ekstensi di bawah ini memperlihatkan
konstruksi parataksis dan hipotaksis (Halliday, 2004:377)
(56a) ||| 1 Those singers sang poorly, // +2 and was booed off the stage. |||
||| 1 Penyanyi itu menyanyi kurang bagus, // +2 dan diolok di atas panggung. |||
72
(56b) ||| α Those singers sang poorly, // +β being booed all the way||| ||| α Penyanyi itu menyanyi kurang bagus, // +β diolok
sepanjang jalan ||| (b) Enhansemen (Enchancement)
Klausa enhansemen menyediakan ciri-ciri sirkumstansi waktu, tempat
sebab akibat, kondisi, hasil, dan sebagainya. Simbol untuk enhansemen
adalah l "x" .
(57) ||| 1 Alvin wanted a band, // x2 so he formed his own |||| |||| 1 Alvin menghendaki suatu orkes, // x2 sehingga dia membentuk nya sendiri ||| (58) ||| α Alvin formed his own band, // xβ because he wanted a band. |||
||| α Alvin membentuk orkesnya sendiri, // xβ karena dia menghendaki sebuah orkes |||
Contoh (57) dan (58) di atas memperlihatkan perluasan makna yang
berkenaan dengan sebab-akibat, yaitu karena menghendaki adanya orkesnya
sendiri, Alvin membentuk satu band.
(c) Elaborasi
Klausa elaborasi mengembangkan makna klausa dengan cara
mengulangi, mengomentari, menyederhanakan, atau menentukan secara
terperinci atau mendetail. Dalam hubungan hipotaksis, elaborasi secara
khusus direalisasi oleh klausa relatif non-restriktif.. Simbol penanda yang
digunakan adalah "=" .
(59) ||| 1 The group of Ariel recorded their first song in August 2010 // =2 it sold 13,000 copies ||| ‘Kelompok Ariel merekam lagu pertama mereka bulan Agustus 2010, lagu itu terjual 13 ribu keping’.
73
(60) ||| α The group of Ariel recorded their first song in August 2010, // =β which sold 13.000 copies ||| ‘Kelompok Ariel merekam lagu pertma mereka bulan Agustus 2010 yang mana terjual 13 ribu keping’.
Contoh (59) dan (60) memperlihatkan perluasan makna dengan cara
elaborasi, yaitu klausa yang mengikuti klausa primer memberikan
penjelasan yang lebih terperinci yaitu terjualnya lagu tersebut dalam jumlah
13.000 keping.
(2) Proyeksi
Proyeksi merupakan perluasan makna dengan melaporkan kembali,
menyampaikan ide dan fakta. Lokusi dan ide merupakan dua tipe utama
dalam proyeksi. Lokusi menunjuk pada perluasan makna dengan
menggunakan ucapan tidak langsung (reported speech/quoted speech).
Simbol yang digunakan untuk lokusi adalah ("). Ucapan tidak langsung
harus diproyeksikan dari proses verba (Halliday, 2004:378).
(61) ||| "1 "Let's record that song!"// 2 Alvin declared. ||| ||| "1 "mari kita merekam 'lagu itu'!"// 2 Alvin menegaskan ||| (62) ||| α Alvin declared // "β that we should record that song'||| ||| α Alvin menegaskan // "β bahwa kami merekam lagu itu |||
Ide merupakan perluasan makna dengan melaporkan pendapat ( quoted
atau reported thought). Simbol (') digunakan untuk menandai ide.
Melaporkan pikiran/pandangan harus diproyeksi dari proses mental, seperti
pada (63).
74
(63) ||| '1 "He will buy a property in that city" // 2 Alvin thinks ||| ||| '1 "Dia akan membeli satu properti di kota itu " // 2 Alvin berpikir|||
(64) ||| α Alvin thought // 'β that he will buy a property in that city ||| ||| α Alvin memikirkan // 'β bahwa ia akan membeli satu property di kota itu|||
Contoh (63) dan (64) di atas memperlihatkan perluasan makna dengan
melaporkan pendapat atau ide, yaitu Alvin memikirkan bahwa ia akan
membeli satu properti di kota itu.
Keseluruhan contoh klausa yang telah disampaikan pada bagian ini
mencakup tiga bagian struktur atau sistem yang tercakup dalam
leksikogramatika suatu teks bahasa. Ketiga bagian itu adalah Struktur/sistim
TRANSTIVITAS, MODUS dan TEMA serta beberapa contoh hubungan
antarklausa yang meliputi hubungan taksis ( hubungan logis-sintaktik) dan
hubungan logis-semantik.
2.3.3 Konteks Situasi : Tiga Variabel Register
Bahasa digunakan dalam suatu konteks. Bahasa yang ada dalam teks
juga ditentukan oleh konteks tempat bahasa itu digunakan.. Dengan
mengikuti tradisi semantik fungsional yang dikemukakan oleh Firth
(Eggins, 1994:52), Halliday ( dalam Eggins, 1994:52) menemukan konsep
register yang merupakan abstraksi yang bermanfaat untuk membatasai
variasi bahasa terhadap variasi konteks sosial dan mengusulkan adanya tiga
aspek dalam setiap situasi yang memiliki konsekuensi linguistik, yaitu
medan, sarana, dan pelibat.
75
Selanjutnya, Halliday (1985:12) menyatakan bahwa medan (field)
merujuk pada "sesuatu yang sedang terjadi, kealamiahan aksi sosial tempat
berlangsungnya aksi itu," sarana (mode) menyangkut "sesuatu yang
partisipan kehendaki dengan penggunaan bahasa dalam situasi tersebut,"
dan pelibat (tenor) berkenaan dengan siapa yang mengambil bagian dalam
transaksi secara alamiah atau apa adanya, status dan peranannya (Hasan dan
Halliday, 1985:12). Ketiga variabel register tersebut menggambarkan
hubungan fungsi bahasa dan bentuk bahasa. Dengan kata lain, register
disesuaikan atau ditentukan oleh ciri-ciri kebahasaan yang secara tipikal
dihubungkan dengan suatu konfigurasi ciri-ciri situasi, yaitu yang berkenaan
dengan medan, sarana, dan pelibat " (Halliday, 1976:22). Misalnya, pelibat
dalam teks meliputi hubungan antara addresser (pembicara) dan addressee
(pendengar) dapat dianalisis dalam hal perbedaan dasar, seperti polite-
colloquial-intimate, pada suatu skala kategori yang menunjukkkan jarak
formal dan tidak formal Hal yang sama juga terjadi pada sarana interaksi
yang memanifestasikan kealamiahan atau keaslian kode/ sandi bahasa yang
sedang digunakan dapat dibedakan dalam hal lisan dan tulisan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan
dalam suatu teks memiliki hubungan dengan konteks. Secara khusus, situasi
konteks, dalam hal ini konteks sosial menurut Halliday dan Hassan (1985,
1989), meliputi tiga komponen yaitu medan (field), pelibat (tenor), dan
sarana (mode). Ketiga konteks situasi tersebut direalisasikan dalam bahasa
76
pada tataran metafungsi makna yaitu makna eksperiensial merealisasi
medan teks, makna interpersonal merealisasi tenor dan makna tekstual
merealisasi sarana teks.
2.3.4 Genre dan Struktur Teks
Genre makro menurut Martin (1992) dapat meliputi langkah,
orientasi tujuan menggunakan bahasa. Salah satu bagian teks yang perlu
dicermati adalah genre dan struktur teks. Halliday (1975:6) menyatakan
bahwa struktur adalah suatu relasi atau hubungan yang mempersatukan
(unifying relation). Hassan ( dalam Halliday dan Hassa, 1985:53)
menjelaskan bahwa struktur teks berkaitan dengan keseluruhan struktur itu
sendiri, keseluruhan struktur pesan. Untuk itu, apabila suatu teks dianalisis
maka salah satu bagian yang harus dicermati adalah struktur teks. Struktur
teks menurut defenisi Aristoteles (dalam Halliday dan Hassan, 1985: 53)
terdiri atas tiga elemen, yaitu bagian awal (the beginning), bagian
pertengahan (the middle), dan bagian akhir (the end).
Analisis struktur teks menurut pendekatan Linguistik Sistemik
Fungsional telah dilakukan oleh Halliday (1985:53). Misalnya, dalam kajian
mengenai seni pertunjukan Kabuki di Jepang ditemukan adanya tiga unsur
dalam teks pertunjukan Kabuki, yaitu peristiwa perpisahan (precipitative
event), peristiwa akibat (concequental event) dan peristiwa pembeberan
77
(revelation event). Konsep analisis struktur juga dilakukan oleh Martin
(1997:16-17) terhadap struktur genre dengan mengajukan tipe struktur, yaitu
particulate, yang terdiri atas orbital dan serial, prosodik dan periodik. Tipe
struktur ini dihubungkan dengan makna ideasional, interpersonal, dan
tekstual. Particulate berhubungan dengan makna ideasional yang meliputi
orbital yang berhubungan dengan makna eksperiental, dan serial yang
berhubungan dengan makna logika; prosodik yang berhubungan dengan
makna interpersonal, dan periodik yang berhubungan dengan makna
tekstual.
Struktur genre menurut Martin ( 1997:17), harus diinterpretasi secara
simultan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menganalisis struktur genre
perlu dianalisis seluruh bagian yang ada dalam struktur itu secara
bersamaan. Berdasarkan perspektif konstituensi, Francis dan Martin (1991)
menyatakan bahwa susunan struktur meliputi Orientasi ^ Insiden
^Interpretasi ^ Coda.
Berdasarkan beberapa konsep struktur teks yang telah diuraikan di atas
maka dalam menganalisis struktur teks dicermati tiga elemen. Ketiga
elemen dimaksud adalah bagian awal (the beginning), bagian pertengahan
(the middle), dan bagian akhir (the end).
Konsep genre atau struktur genre dari Martin (1997:17)) dan struktur
teks dari Halliday (1985: 53) serta model Yunani, pada dasarnya
78
menguraikan bahwa struktur meliputi elemen-elemen yang secara beruntun
dan saling berhubungan menyatu dalam teks.
Dengan demikian analisis genre teks mencakup struktur generik dan
secara simultan tercakup kontekstual konfigurasi dan struktur teks.
Kontekstual konfigurasi (Halliday dan Hassan, 1985:55-59) meliputi medan,
tenor dan sarana. Selanjutnya Halliday dan Hassan (1985:55) mengatakan
bahwa konfigurasi kontekstual memainkan peranan yang sangat penting
karena dari ciri konfigurasi kontektual inilah dapat digunakan untuk
memprediksi jenis-jenis perkiraan struktur teks. Prakiraan tentang struktur
elemen tersebut adalah:
(i) elemen-elemen apa yang harus muncul,
(ii) elemen-elemen apa yang dapat muncul,
(iii) di mana elemen-elemen itu harus muncul,
(iv) di mana elemen-elemen itu dapat muncul,
(v) berapa sering elemen-elemen itu dapat muncul
Untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam struktur teks terdapat elemen-
elemen yang harus atau wajib muncul, elemen-elemen yang boleh muncul
atau sebagai pilihan. Juga terlihat pada bagian mana elemen-elemen itu
muncul dan berapa kali kemunculannya dalam struktur teks. Secara lebih
jelas dapat dikatakan bahwa kontekstual konfigurasi dapat memprediksi
79
elemen-elemen yang bersifat wajib, pilihan, dan pengulangan. Pada
akhirnya akan dilihat apa yang menjadi maksud dan tujuan dari teks KKWK
secara menyeluruh. Menurut (Martin dan Eggins,1997:236) tujuan dan
maksud dari suatu teks hanya dapat diketahui dari genre teks itu. Dengan
demikian sangat jelas bahwa genre teks mencerminkan apa yang menjadi
maksud dari dan tujuan teks itu sendiri.
2.3.5 Ideologi Teks
Konsep ideologi seperti yang diuraikan sebelumnya merupakan
seperangkat kepercayaan dari suatu kelompok masyarakat yang
direalisasikan dalam tutur dan tindakan, serta yang dapat mengikat dan
mempersatukan mereka secara turun-temurun. Untuk itu ,bahasa yang
digunakan oleh sekelompok masyarakat mencerminkan ideologi
masyarakat tersebut. Mengelaborasi ideologi yang tercermin melalui
bahasa yang digunakan sangat menarik dan penting dilakukan.
Bonvillian (2003:371) menyatakan bahwa ideologi diteruskan
lewat perilaku komonikasi dan lewat bagaimana manusia berbicara
tentang bahasa dan aktifitas lingual. Lebih lanjut Bonvillian
(2003:371) mengatakan, bahwa pada bangsa modern ideologi bahasa
memerlukan praktik yang menyeleksi dan menyebarluaskan suatu
bahasa standar atau legitimasi bahasa yang digunakan dalam konteks
umum, misalnya di sekolah, media, dan politik, ekonomi dan agama.
80
Bahasa dan ideologi berkaitan erat untuk melakukan elaborasi yang
sistematik dengan alasan yang berikut.
1) Bahasa (wacana) sebagai kesadaran lisan (oral) dan tulisan sebagai
interpretasi.
2) Peristiwa, tindakan, dan ekspresi secara konstan dapat
diinterpretasikan dan dipahami karena selalu menggunakan
prosedur interpretasi untuk memahami dirinya dan orang lain.
3) Analisis wacana berarti melakukan interpretasi atas
interpretasi untuk menafsirkan wilayah pre-interpreted.
4) Situasi yang muncul dalam bentuk analisis wacana merupakan
satu manifestasi yang disebut lingkaran hermeneutik.
5) Karakter kreatif dari proses interpretasi. Analisis wacana berupa
konstruksi sintetik, suatu proyeksi kreatif tentang suatu makna
yang mungkin.
Merujuk pada konsep-konsep tersebut, dan sesuai dengan teori Linguistik
Sistemik Fungsional, maka kajian ideologi dari teks menghendaki
pemahaman yang komprehensif, baik yang bersifat linguistik mikro-makro
maupun yang ada di luar linguistik itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa realisasi
penggunaan bahasa dipengaruhi oleh konteks sosial , konteks budaya, dan
ideologi. Bagan berikut memperlihatkan realisasi keterkaitan bahasa,
81
konteks dan ideologi, dan harmonisasi dalam pemilihannya. Diagram (5)
berikut memperlihatkan hubungan itu.
Ideologi
Medan/isi Tujuan pelibat
medium/ saluran
Register Medan Pelibat Sarana Konteks
Hubungan Struktur Referensi & Wacana leksikal percakapan konjungsi Teks Semantik Ekspresi Bahasa atau ideasional Interpersonal Tekstual
Leksikogramatika Transtivitas Modus Tema
Diagram 5: Realisasi Keterkaitan antara Bahasa. Konteks, dan Ideologi (Diadaptasi dari Eggins,1994:113)
Diagram (5) di atas menunjukkan bahwa bahasa, konteks, dan
ideologi memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Bahasa yang digunakan suatu masyarakat tertentu dipengaruhi oleh
konteks yang selanjutnya mencerminkan ideologi dari masyarakat
pengguna bahasa.
Genre
82
2.4 Model Penelitian
Pada bagian Landasan teori telah dijelaskan bahwa teori utama yang
digunakan dalam menganalisis teks ritual KKWK adalah Teori Linguistik
Sistemik Fungsional dari Halliday (1985, 1994) dan Halliday dan
Mathiessen (2004). Untuk itu, model penelitian dibutuhkan untuk
memberikan gambaran alur berpikir dan langkah-langkah yang akan
dilakukan oleh peneliti terhadap penelitian teks ritual KKWK. Penjelasan
langkah-langkah peneltian itu disajikan dalam bentuk bagan. Bagan yang
disajikan singkat, jelas, dan sederhana.
Secara sistemik keseluruhan langkah yang ada dilakukan secara
simultan. Artinya, dalam mengkaji satu bagian, bagian lainnya ikut terbawa
di dalamnya. Namun, yang pasti bahwa dari bagan yang ada dapat diketahui
beberapa hal, seperti teori yang digunakan, bahan atau obyek yang diteliti,
fokus analisis, dan temuan baru yang dicari oleh peneliti. Dalam hal ini,
peneliti berusaha melakukan penelitian dan menjelaskan hasil sesuai
dengan model penelitian yang dipaparkan tersebut.
Teks KKWK merupakan materi kajian penelitian yang dibahas
dengan menggunakan teori LSF. Berdasarkan teori ini maka teks KKWK
dikaji dari level leksikogramatika yang meliputi analisis struktur atau sistem
transtivitas teks, modus teks dan struktur tema rema. Pada bagian semantik
diskursif dianalisis hubungan klausa yang meliputi hubungan
interdependensi klausa dan hubungan logikosemantik. Analisis konteks
83
situasi dapat dikaji tiga variabel register, yaitu medan teks, pelibat teks, dan
sarana teks. Selanjutnya, pada bagian genre dan struktur teks dianalisis
struktur generik teks, baik dari segi makro maupun mikro teks; dan pada
bagian ideologi yang tercermin dalam teks dianalisis ideologi pada konteks
situasi (register) yang meliputi medan teks, pelibat, dan sarana teks, serta
ideologi pada genre teks. Keseluruhannya merupakan suatu jaringan
(network) yang memiliki hubungan satu dengan yang lainnya. Secara garis
besar, model penelitian dapat disajikan dalam diagram berikut.
84
Diagram 6: Model Penelitian
TEKS KKWK
METODOLOGI
KUALITATIF KUANTITATIF DATA
Teori LSF
DATA
Leksikogramatika Hubungan
antarkalusa
Konteks
Situasi
Genre Ideologi
Analisis
1.Transitivitas
2.Modus
3. Tema
Analisis
1.Hub. Interdependensi
Klausa (taksis):
-parataksis
-hipotaksis
Analisi
1.Medan
2. Pelibat
3. Sarana
Analisis
-Struktur
teks dan
struktur
potensi
Analisis
1. Ideologi teks KKWK
2. Ideologi Medan
3. Ideologi Sarana
TEMUAN
85
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pengantar
Bab ini menguraikan metode penelitian yang mencakup: (1)
pendekatan penelitian, (2) lokasi penelitian, (3) jenis dan sumber data, (4)
instrumen penelitian, (5) metode dan tehnik pengumpulan data, (6) metode
dan teknik analisis data, dan (7) metode dan teknik penyajian hasil analisis.
Secara rinci setiap subbab ini dapat disajikan di bawah ini.
3.2 Pendekatan Penelitian
Berdasarkan topik area dan permasalahan yang ada maka
pendekatan penelitian ini adalah fenomenologi. Pendekatan fenomenologi
menghendaki peneliti menempatkan memorinya, pengetahuannya, spekulasi,
dan lain-lain yang berkenaan dengan fenomena itu, sehingga data dapat
terungkap secara alamiah (Richards, 2003:18).
Berdasarkan pendekatan fenomenologi tersebut penelitian lapangan
dianggap cocok untuk meneliti penggunaan bahasa yang berkaitan dengan
teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa yang berbahasa Waijewa.
86
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian teks KKWK (peminangan) ini berlokasi di Pulau Sumba,
Kabupataen Sumba Barat Daya (SBD), Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kabupaten ini memiliki jumlah penduduk 235.632 jiwa, memiliki 95
desa/kelurahan dan delapan kecamatan. Kedelapan kecamatan itu adalah: (1)
Kecamatan Kodi, (2) Kecamatan Kodi Bangedo, (3) Kecamatan Kodi Utara,
(4) Kecamatan Laura, (5) Kecamatan Wewewa Barat, (6) Kecamatan
Wewewa Selatan, (7) Kecamatan Wewewa Timur dan (8) Kecamatan
Wewewa Utara.
Bahasa Waijewa digunakan oleh masyarakat penutur yang berada di
empat kecamatan, yaitu Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa
Timur, Kecamatan Wewewa Selatan dan Kecamatan Wewewa Utara. Acara
adat KKWK yang terjadi di empat kecamatan ini diambil secara purposif.
Pada saat penelitian dilakukan acara KKWK terjadi di dua kecamatan induk,
yaitu kecamatan Wewewa Timur dan kecamatan Wewewa Barat, sehingga
observasi langsung dilakukan pada dua kecamatan tersebut. Empat acara
KKWK diperoleh dari acara adat peminangan yang terjadi di Tambulotana,
Waimangura, Tanggoba, dan Weerame.
Penelitian dalam rangka penjaringan data dilakukan dari bulan
Februari sampai dengan Mei 2012. Acara KKWK terjadi pada bulan
Februari dan Maret 2012. Wawancara dilakukan sebagian pada bulan
Februari dan Maret dan verifikasi pada bulan April dan Mei 2012. Bahkan,
87
wawancara berlanjut sampai pada bulan November 2012. Kenyataan ini
dilakukan karena terdapat sejumlah data yang masih harus diverifikasi pada
saat peneliti menganalisisnya.
3.4 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data
kualitatif yang meliputi data primer dan sekunder. Data primer meliputi
data bahasa lisan (tuturan dalam proses peminangan) yang dijaring melalui
pengamatan langsung pada saat proses KKWK berlangsung, dan wawancara
terhadap informan. Observasi langsung dilakukan empat kali proses
KKWK. Data observasi ini menghasilkan empat korpus data bahasa lisan
yang dianalisis serta menghasilkan teks lisan. Data sekunder berupa
dokumentasi tertulis berkenaan data statistik tentang jumlah penduduk.
Data lainnya juga diperoleh dari beberpa pelibat yang ditentukan
berdasarkan teknik purposive sampling. Pelibat terdiri atas beberapa pelibat
dalam teks, yaitu mediator (ata panewe ‘juru bicara’) berjumlah delapan
orang, penengah’ lenango berjumlah delapan orang ; orang tua dari kedua
mempelai berjumlah delapan orang; serta pemuka masyarakat berjumlah
empat orang. Data juga diperoleh dari dua informan perwakilan dari Dinas
Pemerintah yang secara khusus menangani bidang kebudayaan satu orang
dan pariwisata satu orang. Total informan berjumlah 30 orang.
88
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk menjaring data meliputi alat perekam
dan alat dokumentasi seperti handycam dan kamera digital. Handycam ini
digunakan untuk merekam empat acara KKWK yang selanjutnya
ditranskrip serta diverifikasi dan menghasilkan empat korpus data dalam
bentuk tertulis sehingga dapat dianalisis leksikogramatikanya, konteks
situasi, genre dan struktur teks, serta ideologi teks. Pedoman wawancara
yang tidak terstruktur atau terbuka juga merupakan instrumen untuk
menjaring data guna melengkapi data yang belum diperoleh melalui
observasi. Wawancara ini lebih khusus pada data yang berkenaan dengan
makna dari beberapa klausa, serta beberapa bagian dari konteks situasi teks.
Selain itu peneliti sendiri langsung terlibat dalam proses penjaringan data
baik melalui observasi maupun wawancara.
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Ada dua metode pengumpulan data yang digunakan, yaitu
metode observasi (metode simak) dan wawancara yang bersifat terbuka atau
tidak terstruktur (Guba dan Lincoln, dalam Maleong, 2010:174-215).
Metode observasi dengan alat handycam dilakukan pada saat empat acara
KKWK berlangsung. Panduan wawancara tidak terstruktur juga disediakan
untuk menuntun peneliti dalam melakukan wawancara. Wawancara
dilakukan setelah observasi dilakukan. Teknik yang dilakukan adalah
89
teknik perekaman, pemotretan, dan pencatatan. Teknik perekaman
digunakan untuk merekam acara KKWK secara menyeluruh dan alamiah.
Teknik pemotretan digunakan untuk mendokumentasikan proses KKWK
serta hal lain yang berkenaan proses tersebut, seperti, paralinguistik dan hal
lainnya yang berhubungan dengan acara KKWK. Selanjutnya, teknik
pencatatan digunakan untuk mencatat segala hal yang berkaitan dengan
acara peminangan serta dijadikan pedoman pada saat mewawancarai
informan.
3.7 Metode danTeknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif-
kualitatif. Data juga dianalisis menggunakan penjumlahan sederhana yang
bersifat kuantitatif .untuk melengkapi analisis kualitatif. Data dianalisis
dengan berpedoman pada Teori Linguistik Sistemik Fungsional
(Halliday,1994, Halliday dan Martin 2004; Eggins, 1994), yaitu yang
berhubungan dengan analisis leksikogramatika dan hubungan logis klausa
dalam teks. Analisis konteks situasi, genre, dan struktur teks berpedoman
pada Halliday dan Hassan (1985), Halliday dan Martin (1993), dan Martin
(1997). Analisis ideologi berpedoman pada Halliday (1985), Eggins (1994),
Thomson (1984), Kress dan Hodge (1979).
90
Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan (Mahsun,
2005: 249-259). Metode ini dalam analisis data menghubung –bandingkan
antarunsur yang bersifat lingual. Metode tersebut dapat digunakan untuk
menganalisisa unsur lingual yang terdapat dalam bahasa yang sama.
Berdasarkan metode padan, analisis data seluruhnya diawali dari analisis
leksikogramatika meliputi analisis transitivitas yang berfokus pada
partisipan, proses dan sirkumstan. MODUS meliputi sistem modus,
struktur dengan BLOK MODUS yang terdiri atas Modus dan Residu, serta
penilaian teks. Tema, meliputi tipe tema, tema bermarkah dan tidak
bermarkah, tema tunggal dan tema majemuk, serta struktur tema.
Selanjutnya, analisis konteks situasi (medan, pelibat, dan sarana teks,) dan
genre serta struktur teks; dan diakhiri dengan analisis ideologi (ideologi teks
KKWK, ideologi pada konteks situasi dan genre teks) yang tercermin dalam
teks. Analisis tersebut saling berhubungan antara satu dengan lainnya secara
sistemik.
Untuk itu, teknik analisis data akan mengikuti prosedur analitik sebagai
beriikut. Pertama, data rekaman lisan ditranskrip dalam bentuk tulisan dan
verifikasi kembali untuk dilihat kesesuaianya. Kedua, Data dalam bentuk
tulisan diberi penandaan, yaitu penomoran angka sesuai urutan berbicara
pelibat dalam teks. Ketiga, menentukan batas-batas klausa, yaitu penanda ||
untuk batas klausa sederhana dan penanda ||| untuk batas klausa kompleks.
Keempat, mengidentifikasi dan mengkaji leksikogramatika yang meliputi
91
(a) transitivitas teks, yaitu mengidentifikasi dan mengkaji tipe proses,
partisipan dan sirkumstan, (b) modus teks, yaitu sistem modus, struktur
modus termasuk blok modus, dan penilaian teks, dan (c) tema teks, yaitu
tipe tema, tema bermarkah dan tidak bermarkah, tema tunggal dan jamak,
serta struktur tematik tema. Metafungsi makna diidentifikasi dan dikaji
secara bersamaan dengan transitivitas, modus, dan tema. Kelima,
menentukan dan mengkaji hubungan antarklausa, yaitu hubungan
interdependensi dan hubungan logiko semantik. Keenam, menentukan dan
mengkaji konteks situasi yang memengaruhi teks, yaitu medan, pelibat dan
sarana berdasarkan transitivitas, modus dan tema. Ketujuh, menentukan dan
mengkaji genre dan struktur generik teks berdasarkan konteks situasi yang
direalisasikan oleh leksikogramatika. Kedelapan, menganalisis serta
mengkaji ideologi yang tercermin dalam teks berdasarkan genre yang
direalisasikan oleh konteks situasi, dan konteks situasi yang direalisasikan
oleh transitivitas, modus, dan tema. Kesembilan, melaporkan hasil analisis
dan temuan.
Keseluruhan prosedur analitik tersebut di atas mengacu pada linguistik
sistemik fungsional yang mana antara satu dan yang lainnya saling
berhubungan, yaitu ideologi direalisasikan oleh genre yang direalisasikan
oleh konteks situasi. Konteks situasi direalisasikan oleh sematik diskurs
yang direalisasikan oleh leksikogramatika. Secara lingual seluruhnya
berhubungan secara sistemik.
92
3.8 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis
Analisis disajikan dalam bentuk formal, yaitu menggunakan tabel
dan diagram. Di samping itu, analisis juga disajikan dalam bentuk informal,
yaitu, mendeskripsikan dalam kalimat dan paragraf. Dalam hal tertentu
dilakukan penggabungan penyajian dalam bentuk formal dan informal,
yaitu tabel atau diagram disajikan terlebih dahulu baru diikuti penjelasan
atau deskripsi sesuai dengan yang tertera dalam tabel, atau diagram/maupun
grafik.