24
1 Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi 1 Eddy O.S Hiariej 2 Pengantar Dalam rangka memberantas korupsi, dunia internasional telah menandatangani deklarasi pemberantasan korupsi di Lima, Peru pada tanggal 7- 11 September 1997 dalam konferensi anti korupsi yang dihadiri oleh 93 negara 3 . Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Declaration Of 8 th International Conference Against Corruption diyakini bahwa korupsi mengerosi tatanan moral masyarakat, mengingkari hak-hak sosial dan ekonomi dari kalangan kurang mampu dan lemah. Demikian pula korupsi dianggap menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum yang merupakan dasar dari setiap masyarakat, memundurkan pembangunan, dan menjauhkan masyarakat dari manfaat persaingan bebas dan terbuka, khususnya bagi kalangan kurang mampu. Konferensi tersebut juga mempercayai bahwa memerangi korupsi adalah urusan setiap orang dari setiap masyarakat. Memerangi korupsi mencakup pula mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai etika dalam semua masyarakat. Karena itu sangat penting untuk menumbuhkan kerjasama diantara pemerintah, masyarakat sipil, dan pihak usaha swasta 4 . Perkembangan berikutnya, melalui Ad Hoc Committee For The Negotiation Of The United Nations Conventions Against Corruption sejak tanggal 1 Oktober 2003, lebih kurang 107 negara telah menyetujui korupsi sebagai transnational Crime. Indonesia termasuk salah satu negara yang telah menyetujui Convention Against Corruption yang diselenggarakan di 1 Disampaikan dalam Expert Meeting, 12 – 13 Oktober 2006, Kerjasama Pusat Kajian Anti- Korupsi Fakultas Hukum UGM, Indonesian Court Monitoring dan Kemitraan, Yogyakarta. 2 Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 3 International Conference Against Corruption, ”Declaration of the 8th International Conference Against Corruption:, signed in Lima ,Peru, 11 September 1997 4 Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena : ilmu dan amal, Jakarta, hlm. 33 – 34.

Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

1

Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi1

Eddy O.S Hiariej2 Pengantar

Dalam rangka memberantas korupsi, dunia internasional telah

menandatangani deklarasi pemberantasan korupsi di Lima, Peru pada tanggal 7-

11 September 1997 dalam konferensi anti korupsi yang dihadiri oleh 93 negara3.

Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Declaration Of 8th International

Conference Against Corruption diyakini bahwa korupsi mengerosi tatanan

moral masyarakat, mengingkari hak-hak sosial dan ekonomi dari kalangan

kurang mampu dan lemah.

Demikian pula korupsi dianggap menggerogoti demokrasi, merusak

aturan hukum yang merupakan dasar dari setiap masyarakat, memundurkan

pembangunan, dan menjauhkan masyarakat dari manfaat persaingan bebas

dan terbuka, khususnya bagi kalangan kurang mampu. Konferensi tersebut juga

mempercayai bahwa memerangi korupsi adalah urusan setiap orang dari setiap

masyarakat. Memerangi korupsi mencakup pula mempertahankan dan

memperkuat nilai-nilai etika dalam semua masyarakat. Karena itu sangat penting

untuk menumbuhkan kerjasama diantara pemerintah, masyarakat sipil, dan

pihak usaha swasta4.

Perkembangan berikutnya, melalui Ad Hoc Committee For The

Negotiation Of The United Nations Conventions Against Corruption sejak

tanggal 1 Oktober 2003, lebih kurang 107 negara telah menyetujui korupsi

sebagai transnational Crime. Indonesia termasuk salah satu negara yang

telah menyetujui Convention Against Corruption yang diselenggarakan di

1Disampaikan dalam Expert Meeting, 12 – 13 Oktober 2006, Kerjasama Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum UGM, Indonesian Court Monitoring dan Kemitraan, Yogyakarta. 2 Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 3 International Conference Against Corruption, ”Declaration of the 8th International Conference Against Corruption:, signed in Lima ,Peru, 11 September 1997 4 Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena : ilmu dan amal, Jakarta, hlm. 33 – 34.

Page 2: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

2

Wina tersebut5. Pemberantasan korupsi yang sudah akut, dirasakan tidak

cukup hanya dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai

korupsi serta cara-cara yang konvensional. Diperlukan metode dan cara

tertentu agar mampu membendung meluasnya korupsi. Salah satu cara

ialah dengan menetapkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa,

sehingga pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi

dituntut cara-cara yang luar biasa6.

Dalam rangka pemberantasan tersebut yang tentunya memerlukan

metode penegakan hukum secara luar biasa pula, sinyalemen Pasal 43

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 20017 telah mengamanatkan pembentukan Badan khusus yang

kemudian beken dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

KPK bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan

secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.

Sejak terbentuknya, KPK yang dikomandoi Taufikurachman Ruki, telah memperlihatkan sepak terjangnya dalam membongkar sindikat korupsi

di Komisi Pemilihan Umum dan suap di Mahkamah Agung dalam perkara

korupsi dana reboisasi dengan terdakwa Probosutedjo. Namun saat ini,

eksistensi KPK sedang digugat, menyusul Permohonan Pengujian Materiil

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 oleh Mulyana W. Kusumah, Tarcisius Wala, dan

5 Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung, hlm.V. 6 Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, Ibid, hlm. 69. 7 Pasal 43 ayat (1) : “ Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Selanjutnya dalam Pasal 43 ayat (2) menyebutkan : ”Komisi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.

Page 3: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

3

sejumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum dengan kuasa hukum Mohamad Assegaf.

Hak konstitusional yang dirugikan menurut masing-masing pemohon

adalah : Pertama, Mulyana W. Kusuma telah disidik, dituntut dan diadili

serta telah diputus sebagai terpidana berdasarkan Putusan Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi, yang tidak berdasarkan due process of law dengan

dilakukannya penyadapan yang mengarah pada penjebakan. Kedua,

Tarcisius Wala telah di vonis berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI

N0. 1557/K/PID/2005, tertanggal 16 November 2005, ternyata tempus delicti

perbuatan Pemohon dilakukan sebelum berlakunya Undang-undang No. 30

tahun 2002.

Ketiga, Nazaruddin Sjamsuddin dan kawan-kawan, telah

terdiskriminasi karena diperiksa di persidangan pengadilan Tindak Pidana

Korupsi baik di tingkat pertama, banding dan / atau kasasi serta jaminan

perlindungan dan kepastian hukum yang adil telah dilanggar karena legalitas

atau dasar keberadaan Pengadilan Tipikor tidak benar atau cacat secara

hukum. Demikian pula terhadap Ramlan Surbakti, Chusnul Mari’yah dan

Valina Singka Subekti karena dengan adanya kewenangan KPK

melakukan penyadapan dan perekaman secara nyata sangat mengganggu

rasa aman, ketenangan dan perlindungan pribadinya karena secara terus –

menerus merasa terancam dan khawatir dan merasa sangat tertekan dan

kehilangan rasa aman serta merasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuatu, karena terus dibayang-bayangi oleh kekhawatiran sewaktu-waktu

akan ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK.

Pasal - Pasal Undang-Undang KPK Yang Dimohonkan Untuk Uji Materiil Dan Alasan Pemohon

Secara garis besar ada 7 pasal dalam undang-undang KPK yang

dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji materiil terhadap UUD

1945. Pertama, keberadaan pengadilan Tipikor. Pasal 1 Angka 3 dikaitkan

Page 4: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

4

dengan Pasal 53 undang-undang KPK Melanggar Prinsip Kemandirian dan

Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman serta menimbulkan Ketidakpastian

Hukum dan Ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 24 (1) dan

(2) dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Adapun alasan pemohon adalah

bahwa Pasal 1 angka 3 undang-undang KPK telah menempatkan

pengadilan Tipikor sebagai bagian dari fungsi pemberantasan tindak pidana

korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran bagian

“Menimbang” huruf b undang-undang KPK menunjukkan bahwa pengadilan

tipikor tidak berada dalam bagian kekuasaan kehakiman (kekuasaan

yudikatif), dan Pengadilan Tipikor justru lebih erat dan / atau merupakan

bagian dari kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif).

Kedua, keberadaan KPK. Pasal 2 undang-undang KPK jo. Pasal 3 jo.

Pasal 20 undang-undang KPK melanggar prinsip dan konsep negara,

sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Adapun alasan

pemohon bahwa keseluruhan ketentuan baik dalam Pembukaan UUD 1945

maupun dalam Pasal 1 UUD 1945 bermakna bahwa negara Republik

Indonesia adalah negara hukum dan UUD 1945 menetapkan 8 (delapan)

organ negara yang mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat, yang

secara langsung menerima konstitusional dari UUD 1945, yaitu MPR,

Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY.

Kewenangan organ negara yang berdasarkan perintah Undang-

undang seharusnya didasarkan dalam kerangka sistem ketatanegaraan

yang diatur dalam UUD 1945 guna menghindarkan kekacauan sistem

ketatanegaraan, menjamin tegaknya keadilan dan demokrasi, serta

menghindari terjadinya penyalahgunaaan kekuasaaan (abuse of power).

Kenyataannya dalam undang-undang KPK, telah menjadikan KPK sebagai

lembaga yang mempunyai kekuasaan yang berada di luar kerangka sistem

ketatanegaraan, tidak memiliki sistem pengawasan dan sistem

pertanggungjawaban yang accountable, dan melakukan pemangkasan

peran dan fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada dibawah Presiden.

Dengan demikian sebagai organ kenegaraan baru yang mengambil alih

Page 5: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

5

kewenangan lembaga lain yang diperoleh dari UUD 1945, yang sebetulnya

telah terbagi dalam beberapa kekuasaan, maka dapat dimaknai bahwa KPK

merupakan atau dapat disebut sebagai lembaga ekstra konstitusional.

Ketiga, Pasal 6 huruf c undang-undang KPK bertentangan dengan

pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun alasan pemohon

adalah bahwa wujud dari adanya kepastian hukum dalam suatu negara

adalah adanya ketegasan tentang berlakunya suatu aturan hukum (lex certa)

yang mengharuskan suatu aturan hukum berlaku mengikat secara tegas

karena tidak ada keragu-raguan dalam pemberlakuannya. Dengan

pemberlakuan pasal 6 huruf c undang-undang KPK sesungguhnya

mengandung materi muatan penyatuan fungsi-fungsi penegakan hukum,

sehingga terdapat pertentangan antara dua atau lebih ketentuan dalam UU

yang berbeda namun berlaku mengikat pada saat yang sama dan mengatur

materi muatan yang sama pula tentang tugas yang dimiliki oleh lembaga

penegak hukum.

Penegasan tugas dan wewenang Kepolisian maupun Kejaksaan

dalam upaya penegakan hukum di bidang korupsi diatur dalam pasal 13 dan

14 Ayat (1) huruf g undang-undang kepolisian negara mengatur tugas dan

wewenang Kepolisian dalam hal penyelidikan dan penyidikan perkara pidana

termasuk perkara tindak pidana korupsi tetap menghormati prinsip

pengawasan keseimbangan (check and balances) dengan Kejaksaan dan

Penyidik lain berdasarkan Undang-undang. Dalam teori hukum acara pidana

prinsip ini dikenal sebagai sistem peradilan pidana terpadu (integrated

criminal justice system) dan telah berjalan selama ini sebelum pemberlakuan

pasal 6 huruf c undang-undang KPK.

Demikian pula penegasan tugas dan wewenang Kejaksaan RI dalam

hal penyidikan dan penuntutan diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf a dan

huruf d undang-undang kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan

penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dengan berlakunya pasal 6

huruf c undang-undang KPK, dalam hal penyidikan dan penuntutan tindak

pidana korupsi terdapat dua aturan yang sama-sama berlaku. Hal ini jelas

Page 6: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

6

bertentangan dengan prinsip lex certa. Bahwa dengan adanya keragu-

raguan dalam pemberlakuan dua atau lebih undang-undang, tentu telah

berpotensi terhadap tidak adanya kepastian hukum. Padahal kepastian

hukum merupakan hak konstitusional pemohon yang dijamin berdasarkan

pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Sehingga dengan demikian, pasal 6 huruf c

undang-undang KPK bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

Keempat, Mendapatkan Perhatian Masyarakat. Pasal 11 huruf b

undang-undang KPK menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan,

sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Adapun

alasan pemohon adalah bahwa Pasal 11 huruf b undang-undang KPK yang

menyatakan pada pokoknya bahwa KPK berwenang melakukan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang

mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, jadi sangat sumir jika

sesuatu yang tidak ada tolok ukurnya kemudian serta merta dijadikan bahan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK. Bahwa KPK sengaja

membocorkan informasi kepada wartawan / pers secara tendensius

mengenai segala hal atas diri Pemohon yang dipersangkakan atau diselidiki

oleh KPK. Bahkan secara sistematik KPK telah melakukan pembentukan

opini di masyarakat luas berdasarkan informasi dan bukti yang sangat sumir

dan lemah.

Kelima, Penyadapan dan Perekaman. Pasal 12 Ayat (1) huruf a

undang-undang KPK melanggar Hak Warga Negara atas rasa aman dan

jaminan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga bertentangan dengan

Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945. Adapun alasan

pemohon adalah bahwa keberadaan KPK yang diberi kewenangan untuk

melakukan penyadapan sangat jelas melanggar hak warga negara dari rasa

aman untuk berkomunikasi, selain itu proses penyadapan yang tanpa ada

aturan tersebut, jelas-jelas melanggar prinsip praduga tidak bersalah

(presumption of innocence) yang merupakan prinsip utama dalam

penegakan hukum. Hal tersebut telah menimbulkan kekhawatiran dan

bahkan ketakutan serta perasaan tidak aman pada diri Pemohon.

Page 7: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

7

Keenam, Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence).

Pasal 40 undang-undang KPK melanggar prinsip persamaan di muka hukum

dan kepastian hukum, serta bersifat diskriminatif, sehingga bertentangan

dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal

28 I Ayat (2) UUD 1945. Adapun alasan pemohon bahwa berdasarkan Pasal

40 undang-undang KPK yang menyatakan KPK tidak berwenang untuk

mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan

membawa konsekuensi seseorang yang disidik atau diperiksa sebagai

Tersangka oleh KPK otomatis juga sudah menjadi Terdakwa.

Hal ini berbeda bagi tersangka perkara tindak pidana korupsi yang

penanganan perkaranya diajukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Sehingga,

ketentuan ini jelas-jelas telah mencabut dan melanggar hak-hak asasi warga

negara atas kedudukan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum

sebagaimana diberikan dan dijamin oleh konstitusi, yaitu dalam Pasal 27

ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Secara faktual proses

penegakan hukum terhadap seorang Warga Negara Indonesia, dapat

dilakukan oleh tiga lembaga, yaitu: Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Namun

demikian mengenai ketentuan hukum acaranya berbeda-beda, yaitu untuk

Kepolisian dan Kejaksaan menggunakan hukum acara sebagaimana diatur

dalam KUHAP dan undang-undang korupsi, sedangkan untuk KPK,

disamping menggunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam KUHAP

dan undang-undang korupsi, juga menggunakan undang-undang KPK

sebagai ketentuan khusus (lex specialis) sebagaimana disebutkan dalam

Bagian Penjelasan Umum undang-undang KPK. Sehingga, ketentuan ini

jelas sangat diskriminatif.

Ketujuh atau yang terakhir adalah Pasal 72 undang-undang KPK

bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Adapun alasan pemohon keberadaan pasal 72 undang-undang KPK yang

menyangkut tentang pemberlakuannya, tampak jelas bahwa undang-undang

KPK berlaku sejak tanggal diundangkan yakni terhitung sejak tanggal 27

Desember 2002. Adanya penafsiran di kalangan ahli dalam perkara No.

Page 8: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

8

069/PUU-II/2004 tentang apakah undang-undang a quo berlaku ke depan

(prospective) atau sebaliknya dapat diberlakukan surut (retroaktif), telah

menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dalam pemberlakuannya.

Sistem Peradilan Pidana8

Berbicara mengenai sistem peradilan pidana sangatlah berkaitan erat

dengan sistem hukum yang berlaku di sebuah negara. Hal ini adalah suatu

kewajaran sebab sistem peradilan pidana adalah sebagai salah satu sub

sistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh

suatu negara. Oleh sebab itu, setiap negara di dunia ini mempunyai sistem

peradilan pidana yang meskipun secara garis besar hampir sama namun

memiliki karakter tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial

masyarakat, budaya dan politik yang dianut.

Secara sederhana sistem peradilan pidana adalah proses yang

dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana.

Proses itu dimulai dari kepolisian, kejaksaan dan akhirnya pengadilan.

Sebagaimana yang diungkapkan Cavadino dan Dignan bahwa sistem

peradilan pidana adalah ”A term covering all those institution which respond

officially to the commission of offences, notably the police, prosecution

authorities and the court”.9 Dengan kata lain, sistem peradilan pidana ini

tidak hanya mencakup satu institusi tetapi berkaitan erat dengan beberapa

institusi negara yang menurut Feeney pekerjaan aparat penegak hukum

yang satu akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat

penegak hukum yang lain. Secara tegas dikatakan oleh Feeney “ …..what

once criminal justice agency does likely to affect and be affected by other

8 Intisari tulisan mengenai Sistem Peradilan Pidana ini pernah dimuat dalam : Eddy O.S Hiariej, 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research Institute. 9 Michael Cavadino dan James Dignan, The Penal Sistem An Introduction, 1997, SAGE Publication Ltd. hlm. 1.

Page 9: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

9

agencies and …..a detailed knowledge of the kinds of interactions that are

likely to take is essential for undertaking system improvement “10

Hebert L. Packer menyatakan bahwa para penegak hukum dalam

sistem peradilan pidana adalah integrated criminal justice system yang tidak

dapat dipisah-pisahkan. Artinya, antara tugas penegak hukum yang satu

dengan lainnya saling berkaitan. Packer selanjutnya memperkenalkan dua

model dalam sistem peradilan pidana yaitu crime control model dan due

process model. Crime control model memiliki karakteristik efisiensi,

mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt sehingga tingkah laku

kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan sampai ia sendiri

yang melakukan perlawanan. Model ini diibaratkan seperti sebuah bola yang

sedang digelinding dan tanpa penghalang.

Sedangkan due process model memiliki karakteristik menolak

efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocent sehingga

peranan penasehat hukum amat penting sekali dengan tujuan jangan sampai

menghukum orang yang tidak bersalah. Model ini diibaratkan seperti orang

yang sedang melakukan lari gawang. Kedua model tersebut ada nilai-nilai

yang bersaing tetapi tidak berlawanan11.

Sementara itu King mengemukakan beberapa model dalam sistem

peradilan pidana guna melengkapi apa yang dikemukakan oleh Packer. Selain crime control model dan due porocess model, King menambahkan

empat model lainnya yaitu medical model, bureaucratic model, status pasage

model dan power model12.

Dalam medical model proses acara pidana diibaratkan seperti

mengobati orang sakit. Sebagaimana yang diungkapkan oleh King, “ …..the

restoration of the defendant to a state of mental and social health whereby

10 University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”, Scarman Center, University Of Leicester, hlm. 13. 11 Hebert L Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Oxford University Press, hlm. 164 – 165. 12 University Of Leicester, Ibid, hlm. 24.

Page 10: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

10

s/he will be able to cope with the demands society makes oh him/her and

refrain from the conduct which causes further intervention to be necessary 13”

Bureaucratic model memandang sistem peradilan pidana sebagai

konflik antara negara dan terdakwa. Hukum acara pidana dinilai diskriminatif

terhadap individu atau kelompok tertentu. Dikatakan demikian karena

dengan aturan yang terbatas dalam beracara dan pembuktian, negara

bebas memilih untuk membuat putusan kendatipun terkadang meniadakan

kejadian yang sesunggunya. King berpendapat bahwa bureaucratic model

dan due process model mempunyai hubunngan yang jelas namun

didasarkan pada aspek yang berbeda. Due process model mengutamakan

perlindungan terhadap individu dari kesewenang-wenangan kekuasaan

negara sedangkan bureaucratic model mengutamakan proses terhadap

terdakwa berdasarkan standar prosedur. Akan tetapi baik due process model

maupun bureaucratic model didasarkan pada aturan yang baku dalam

sistem peradilan pidana14.

Selanjutnya terhadap model yang kelima dari King adalah status

passage model. Model ini memandang sistem peradilan pidana sebagai

suatu proses penerimaan status bagi si terpidana oleh masyarakat yang

diwakili pengadilan. Terhadap status passage model, King berpendapat, “

….. this perspective stresses the function of the criminal court as institutions

for denouncing the defendant, reducing his social status and promoting

solidarity within the community . The reduction of social status in the offender

results …..not only in the stigmatization of the defendant as a person with a

tarnished moral character , but also in the enhancement of social

cohesiveness among law – abiding members of the community by setting the

defendant apart from the community and by emphasizing the difference

between him and law abiding citizens 15”

13 M. King, 1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London, hlm. 20. 14 University Of Leicester, Ibid, 25. 15 M. King, Ibid, 24.

Page 11: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

11

Model yang terakhir dari King adalah power model. Berdasarkan

power model, sistem peradilan pidana adalah instrumen dari (Ruling class)

golongan yang berkuasa yang melakukan diskriminasi terhadap kelompok-

kelompok tertentu termasuk di dalamnya kelompok etnis minoritas. Sistem

peradilan pidana adalah untuk melindungi golongan yang berkuasa

kendatipun terdapat perbedaan antara das sollen dan das sein. Hal ini

disebabkan golongan yang berkuasa dapat mengontrol dan menginterpretasi

aturan dengan diskriminasi dan represif16.

Model yang dikemukakan Packer dan King selanjutnya oleh King dibagi ke dalam dua pendekatan, yakni participant approaches dan social

approaches. Participant approaches adalah sistem peradilan dilihat dari

sudut pandang aparat penegak hukum yang meliputi 3 model, yakni crime

control model, due process model dan medical model. Sedangkan social

approaches adalah sistem peradilan pidana dilihat dari sudut pandang

masyarakat yang mencakup bureaucratic model, status passage model dan

power model.

Menurut King, dalam participant approach, ketiga model pertama

tersebut telah mengidentifikasi berbagai nilai dalam proses acara pidana dan

aparat penegak hukum diberi kebebasan untuk memilih mana yang akan

digunakan. Ketiga model tersebut tidak ada satu model pun mengungguli

yang lain, semuanya memiliki keunggulan masing-masing. Oleh sebab itu,

para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana biasanya tidak

menerapkan satu model secara tegas tetapi tergantung pada individu atau

kasus yang dihadapi. Sementara, dalam social approaches, ketiga model

yang terakhir didasarkan pada analisis teori sosial mengenai hubungan

antara institusi penegak hukum sebagai struktur tersendiri dengan struktur

lainnya dalam masyarakat. Para penegak hukum mencoba menjelaskan

proses beracara secara keseluruhan kepada masyarakat dengan tujuan-

16 University Of Leicester, Ibid, 26 – 27.

Page 12: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

12

tujuan tertentu mengapa terjadi kesenjangan antara retoika dan kenyataan

hukum17.

Dalam peraturan hukum kongkrit, sistem peradilan pidana biasanya

dituangkan dalam hukum acara pidana. Oleh Enschede hukum acara

pidana adalah hukum yang riskan sebagai instrumen penegak hukum yang

pelaksanaaannya dengan pengawasan yang rumit. Secara tegas Enschede menyatakan, ”Strafprocesrecht is riskant recht : De strafrechtspleging,

instrumen voor handhaving van het recht, vertoont nu in dit opzicht een

eigenaardigheid....”18. Pernyataan tersebut tidaklah berlebihan dengan

mengingat hukum acara pidana pada dasarnya adalah hak subjektif negara

– biasa disebut jus puniendi – untuk menegak hukum pidana19. Oleh Vos,

jus puniendi didefinisikan : ”..... subjectieve recht van de overhied om te

straffen, omvattend dus het recht om straf te bedreigen, starf op te legen en

straf te voltreken20”.

Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, bila dikaitkan dengan

sistem peradilan pidana seperti yang telah diungkapkan di atas maka dapat

dikemukakan hal-hal sebagai berikut : PERTAMA, perihal integrated criminal

justuce system yang diungkapkan baik oleh Packer maupun King, pada

kenyataannya tidak dianut sepenuhnya dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia. Sebab, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dikenal asas

difererensiasi fungsional. Artinya, masing-masing aparat penegak hukum

mempunyai tugas sendiri-sendiri dan terpisah antara satu dengan yang lain.

17 University Of Leicester, Ibid,hlm. 28. Lihat juga : Eddy O.S Hiariej, 2002, Memahami Asas Praduga Bersalah Dan Tidak Bersalah, KOMPAS, 21 Oktober 2002, hlm. 4. 18 Ch.J.Enschede, 2002, Beginselen Van Strafrecht, Kluwer Deventer, hlm. 63. 19 D. Hazewinkel Suringa, 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem, hlm. 1. 20 Hak penguasa terhadap pemidanaan yang meliputi hak menuntut pidana, menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana : H.B. Vos, 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem, hlm. 2.

Page 13: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

13

KEDUA, perihal model dalam beracara baik yang dikemukakan oleh

Packer, maupun King, sistem peradilan pidana di Indonesia tidak menganut

secara strik satu model tertentu. Kendatipun kecenderungannya pada crime

control model, namun realitanya dikombinasikan dengan model yang lain.

Sebagai contoh, asas presumption of innocent tetap menjadi landasan legal

normatif bagi aparat penegak hukum ketika mengadakan pemeriksaan terhadap

tersangka. Artinya, si tersangka diberlakukan seperti orang yang tidak bersalah.

Namun di sisi lain, secara formal KUHAP kita menyatakan dalam Pasal 17

nya bahwa penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap seseorang yang

diduga keras melakukan suatu tindak pidana (baca : presumption of guilt). Hal ini

berarti berdasrkan diskiptif faktual, polisi dan jaksa harus yakin bahwa terhadap

orang yang sedang disidik atau didakwa, dia adalah pelaku kejahatan yang

sesungguhnya21. Demikian pula dalam penanganan narapidana di lembaga

pemasyarakatan, sedikit – banyaknya, sistem kita mengikuti medical model dari

King.

KETIGA, dalam mengantisipasi perkembangan zaman, khususnya

kejahatan yang terjadi di masyarakat, tugas penegakan hukum tidak semata

dibebankan kepada polisi, jaksa dan hakim, namun dimungkinkan pembentukan

badan-badan khusus untuk membantu penegakan hukum di Indonesia. Hal ini

sangat dimungkinkan dalam sistem hukum pidana di Indonesia sebagaimana

yang tercantum dalam Pasal 103 KUHP dan Pasal 284 ayat (2) KUHAP.

Substansi kedua pasal tersebut secara implisit memberi peluang bagi

pertumbuhan hukum pidana baru di luar kodifikasi.

Maksud Pasal 103 KUHP maupun Pasal 284 KUHAP adalah bahwa

dalam mengantisipasi perkembangan zaman tidaklah menutup kemungkinan

21 Eddy O.S Hiariej, 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research Institute, hlm. 33 – 34.

Page 14: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

14

timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada

saat mengkodifikasi hukum pidana dalam suatu kitab undang-undang. Demikian

pula dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan konvensional dilakukan

dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara

diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan22.

Sebagai misal, dalam mengungkap pelanggaran berat hak asasi manusia,

polisi sama sekali tidak dilibatkan. Penyelidikannya dilakukan oleh Komisi

Nasional Hak Asasi Manusia. Sedangkan penyidikan dan penuntutan berada

dalam satu tangan yakni kejaksaan agung. Demikian pula halnya dengan

kejahatan korupsi yang sudah sangat akut di Indonesia, jika korupsi tersebut

melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang

ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum atau penyelenggara negara; korupsi yang mendapat perhatian yang

meresahkan masyarakat atau korupsi yang menyangkut kerugian negara paling

sedikit 1 milyar rupiah, maka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dilakukan

oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tanggapan Terhadap Susbtansi Permohonan Pengujian Undang-Undang KPK Berdasarkan pemahaman terhadap sistem peradilan pidana secara

kahfaah dan realitanya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana

telah diuraikan di atas, adapun tanggapan penulis terhadap dasar permohonan

pengujian undang-undang KPK adalah sebagai berikut : PERTAMA, mengenai

keberadaan Pengadilan Tipikor. TIDAK BENAR argumentasi pemohon yang

menyatakan Pengadilan Tipikor merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif

dengan merujuk Pasal 53 undang-undang KPK23. Pengadilan Tipikor tetap

merupakan bagian kekuasaan yudikatif yang mempunyai dasar cantolan yang

jelas. 22 Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, Ibid, hlm. 2 – 3. 23 Pasal 53 : “Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”

Page 15: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

15

Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa : ”Kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, .......”. Sementara dalam

Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman menyebutkan, ” Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah

Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, ......”.

Sedangkan Pasal 15 ayat (1) nya menyatakan, ”Pengadilan khusus hanya dapat

dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 10 yang diatur dalam undang-undang”. Secara eksplisit penjelasan Pasal

15 ayat (1) menyatakan, ”Yang dimaksud dengan ”Pengadilan Khusus dalam

ketentuan ini, antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan

hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan

industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, ......”.

KEDUA, perihal keberadaan KPK yang menurut pendapat para pemohon

bukan merupakan organ yang disebut dalam UUD 1945. Masih menurut para

pemohon, KPK sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan yang berada di

luar kerangka sistem ketatanegaraan, tidak memiliki sistem pengawasan dan

sistem pertanggungjawaban yang accountable, dan melakukan pemangkasan

peran dan fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada dibawah Presiden.

Pendapat penulis, argumen para pemohon TERLALU MENGADA-ADA .

Bukankah, institusi kejasaan yang nota bene adalah aparat penegak hukum juga

tidak disebut dalam UUD 1945 sehingga eksistensinya perlu dipertanyakan ?

Berdasarkan Pasal 15 undang-undang KPK dan juga dalam penjelasan

umum, KPK berkewajiban menyusun laporan tahunan sebagai

pertanggungjawaban yang disampaikan kepada Presiden, DPR dan BPK.

Bukankah hal ini merupakan salah satu bentuk akuntabilitas ? Selain itu dalam

hubungan kemitraannya dengan aparat penegak hukum yang lain (baca : polisi

dan jaksa), KPK dapat senantiasa diawasi dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini

terbukti dengan kasus yang sudah diputus pengadilan mengenai pegawai KPK

Page 16: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

16

yang mencoba memeras tersangka kasus korpusi yang kemudian dipidana

dengan menggunakan Pasal 67 undang-undang KPK24.

KETIGA, mengenai penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan yang berada dalam satu tangan, yakni KPK. Menurut para pemohon

Pasal 6 huruf c undang-undang KPK25 bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1)

UUD 194526. Adapun alasan pemohon bahwa pemberlakuan pasal tersebut

sesungguhnya mengandung materi muatan penyatuan fungsi-fungsi penegakan

hukum, sehingga terdapat pertentangan antara dua atau lebih ketentuan dalam

undang-undang yang berbeda namun berlaku mengikat pada saat yang sama

dan mengatur materi muatan yang sama pula tentang tugas yang dimiliki oleh

lembaga penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa. Hal ini jelas bertentangan

dengan prinsip lex certa.

Tanggapan penulis, penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan pada KPK dalam perkara korupsi, TIDAK ADA KAITANNYA dengan

Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Penyatuan ketiga fungsi tersebut pada KPK lebih

pada faktor efisiensi dan efektifitas dalam penanganan kasus korupsi. Sebab

dalam konteks hukum acara, meskipun dikenal intergrated criminal justice

system dari para aparat penegak hukum yang terlibat didalamnya, namun pada

kenyataannya antara satu institusi dengan institusi yang lain saling berkompetisi,

bekerja dalam sistem yang tertutup dan kurang koordinasi.

Mengenai hal ini secara tegas dinyatakan oleh Feeney, “Despite the fact

that no one denies that the stages and processes of criminal justice are

interconnected, many commentators argue that the process can not be viewed

as a system because it is dysfunctional because it is made up of different

agencies all of which have different and sometimes competing objectives and

exercise wide and unaccountable discretionary powers. The agencies work in

24 Pasal 67 : “ Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi dan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi, pidananya diperberat dengan menambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok”. 25 Pasal 6 C : “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”. 26 Pasal 28 D Ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukumyang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Page 17: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

17

isolation and there is a lack of communication and cooperation both between

stages and agencies. As a result, the criminal justice process is ill coordinated27.”

Bila kita menggunakan metode perbandingan, fungsi penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan di negeri Belanda berada dalam satu kekuasaan.

Meskipun polisi merupakan institusi tersendiri, tetapi dalam hal strafrechtelijke

handhaving van de rechtsorde di Belanda, polisi berada di bawah kekuasaan

jaksa. Artinya, dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan berada dalam kekuasaan officier van justitie, polisi hanyalah hulp

magistraat atau pembantu dari jaksa28.

terhadap asas lex certa, dalam konteks hukum pidana materiil, tidak

boleh ada perumusan delik yang kurang jelas29. Artinya, ketentuan pidana yang

tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum

dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan30. Dalam konteks hukum

pidana formal, ketentuan beracara haruslah pula dirumuskan secara tegas

sehingga tidak dapat diinterpretasikan lain dari apa yang tertulis. Ketentuan

Pasal 6 C SAMA SEKALI TIDAK BERTENTANGAN dengan asas lex certa,

namun merupakan lex specialis dari ketentuan KUHAP, ketentuan dalam

undang-undang kepolisian dan ketentuan dalam undang-undang kejaksaan

selama kasus korupsi tersebut memenuhi kriteria Pasal 11 undang-undang KPK.

KEEMPAT, Mendapatkan Perhatian Masyarakat. Menurut para pemohon

Pasal 11 huruf b UU KPK31 menimbulkan ketidakpastian hukum dan

ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945.

Alasannya KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat,

27 University Of Leicester, Ibid,hlm. 14. 28 Elzinga, D.J., Van Rest, P.H.S., de Valk, J.,1995, Het Nederlandse Politierecht, Tjeenk Willink Zwole, 1995, hlm. 171. 29 D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.PH. Sutorius, diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, hlm.12 30 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 358. 31 Pasal 11 huruf b : “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat”.

Page 18: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

18

jadi sangat sumir jika sesuatu yang tidak ada tolok ukurnya kemudian serta

merta dijadikan bahan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK.

Tanggapan penulis terhadap hal ini adalah bahwa ketentuan dalam Pasal

11 UU KPK tidaklah dapat dipisahkan dengan ajaran sifat melawan hukum yang

terkandung dalam undang-undang korupsi. Seperti yang kita ketahui bahwa

berdasarkan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) undang-undang korupsi yang dimaksud

dengan melawan hukum tidak hanya dalam artian formil semata tetapi juga

dalam arti materiil. Artinya, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap

tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan

sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Ajaran sifat melawan hukum materiil ini sebenarnya berasal dari Jerman

dengan salah satu ilmuannya adalah Von Liszt. Secara tegas Von Liszt menyatakan bahwa setiap perbuatan yang anti-sosial adalah wederrechtelijk32.

Di negeri Belanda, pengikut fanatiknya adalah Vos, yang dalam Leerbook nya ia

mengatakan, “..... het strafrecht zich richt tegen min of meer abnormale

gedragingen....33”. Dalam kaitannya dengan kasus korupsi yang mendapatkan

perhatian masyarakat, sudah barang tentu menganut unsur dapat dicelanya

suatu perbuatan yang merupakan salah satu elemen dari perbuatan pidana34.

KELIMA, Penyadapan dan Perekaman. Pendapat para pemohon, Pasal

12 Ayat (1) huruf a undang-undang KPK35 melanggar Hak Warga Negara atas

rasa aman, jaminan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga bertentangan

dengan Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 194536. Adapun

alasan pemohon adalah bahwa keberadaan KPK yang diberi kewenangan untuk

32 Utrecht, , 1960. Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung, hlm. 270. 33 Hukum pidana adalah untuk melawan kelakuan-kelakuan yang tidak normal. Lihat : H.B. Vos, Ibid, hlm. 136. 34 Ch.J. Enschede, Ibid, hlm. 156 35 Pasal 12 Ayat (1) huruf a : ” Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan“. 36 Pasal 28 G Ayat (1) : ” Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Page 19: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

19

melakukan penyadapan sangat jelas melanggar hak warga negara dari rasa

aman untuk berkomunikasi, selain itu proses penyadapan yang tanpa ada aturan

tersebut, jelas-jelas melanggar prinsip praduga tidak bersalah (presumption of

innocence) yang merupakan prinsip utama dalam penegakan hukum.

Perihal penyadapan dan perekaman seperti yang dimohonkan oleh para

pemohon, ada beberapa tanggapan penulis. Pertama, penyadapan dan

perekaman adalah dalam rangka menemukan bukti untuk membuat terang suatu

peristiwa pidana. Artinya, kita sedang berbicara mengenai apa yang dikenal

dengan istilah bewijsvoering dalam hukum pembuktian. Secara harafiah

bewijsvoering berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti

kepada hakim di pengadilan.

Bagi negara-negara yang cenderung menggunakan due process model37

dalam sistem peradilan pidananya, perihal bewijsvoering ini cukup mendapatkan

perhatian. Dalam due process model, negara begitu menjunjung tinggi hak asasi

manusia (hak-hak tersangka), sehingga acap kali seorang tersangka dibebaskan

oleh pengadilan dalam pemeriksaan pra peradilan, lantaran alat bukti diperoleh

dengan cara yang tidak sah atau yang diesbut dengan istilah unlawful legal

evidence38. Bewijsvoering ini semata-mata menitikberatkan pada hal-hal yang

bersifat formalistis. Konsekuensi selanjutnya, seirngkali mengkesampingkan

kebenaran dan fakta yang ada.

Lain hanlnya dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, meskipun

tidak sepenunhnya, namun paling tidak didominasi oleh crime control model

dalam beracara. Di sini teknis penyelidikan dan penyidikan dalam rangka

menemukan tersangka dan barang serta alat bukti dapat disimpangi dari

ketentuan umum yang diatur oleh KUHAP selama ada undang-undang khusus

yang mengatur tentang itu. Dalam pengungkapan kasus korupsi, demikian pula

dalam pengungkapan kasus narkotika, psikotropika dan terorisme teknis

37 Due Process Model oleh Herbert L. Packer seperti yang telah diutarakan di atas dapatlah dikatakan mendominasi sistem peradilan pidana di Amerika. Bahkan pada sutau titik yang paling ekstrim, ketika seorang polisi menangkap tersangka dan ia lupa membacakan hak-hak tersangka yang dikenal dengan istilah Miranda Warning, memberi konsekuensi tersangka dapat dilepaskan. 38 Eddy O.S Hiariej, Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6 November 2003, hlm.37

Page 20: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

20

penyelidikan dan penyidikan secara khsus seperti under cover, penyadapan dan

perekaman pembicaraan dapat dibenarkan. Sehingga tidaklah dapat

dikualifikasikan sebagai unlawful legal evidance karena sesuai dengan ketentuan

undang-undang.

Kedua, kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 F Ayat (1) UUD 194539, demikian pula

Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945 sebagaimana yang

dimaksud oleh para pemohon, BUKANLAH PASAL-PASAL YANG TIDAK

DAPAT DISIMPANGI DALAM KEADAAN APAPUN. Hal ini berbeda dengan

ketentuan dalam Pasal 28 I Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan dengan tegas

dan rinci hak-hak yang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun. Meskipun

ada yang berpendapat bahwa pembatasan terhadap Pasal 28 I Ayat (1) terdapat

dalam Pasal 28 J UUD 1945, namun masih bisa diperdebatkan lebih lanjut.

Ketiga, penyadapan dan perekaman TIDAK ADA KAITANNYA dengan

asas presumption of innocent yang akan penulis jelaskan lebih lanjut dalam

uraian di bawah ini.

KEENAM, Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocent).

Menurut para pemohon, Pasal 40 undang-undang KPK40 melanggar prinsip

persamaan di muka hukum dan kepastian hukum, serta bersifat diskriminatif,

sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 D

Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945. Adapun alasan pemohon bahwa

berdasarkan Pasal 40 undang-undang KPK yang menyatakan KPK tidak

berwenang untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan

penuntutan membawa konsekuensi seseorang yang disidik atau diperiksa

sebagai Tersangka oleh KPK otomatis juga sudah menjadi terdakwa.

Terhadap masalah asas praduga tidak bersalah yang dikaitkan dengan

tidak adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan surat perintah penghentian

39 Pasal 28 F : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. 40 Pasal 40 : “Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi”.

Page 21: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

21

penyidikan dan penuntutan, ada dua hal yang menjadi tanggapan penulis :

Pertama, ketentuan dalam Pasal 40 undang-undang KPK merupakan prudential

principle bagi KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab,

begitu ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus korupsi oleh KPK,

membawa konsekuensi akan dibawa sampai ke pengadilan. Oleh karena itu,

sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, KPK dituntut untuk bekerja

semaksimal dan secermat mungkin, terutama yang berkaitan dengan masalah

pembuktian.

Kedua, sebagai konsekuensi logis sistem peradilan pidana di Indonesia

yang didominasi oleh crime control model yang menggunakan asas praduga

bersalah dalam beracara, tidaklah dapat dilawankan dengan asas praduga tidak

bersalah. Secara tegas dinyatakan oleh Packer dalah keliru jika asas praduga

bersalah sebagai suatu yang bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah.

Ibarat kedua bintang kutub dari proses kriminal, asas praduga tidak bersalah

bukan lawannya, ia tidak relevan dengan asas praduga bersalah, kedua konsep

itu berbeda tetapi tidak bertentangan.

Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi aparat penegak

hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan

mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap

tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal normative dan tidak

berorientasi padsa hasil akhir. Sedangkan asas praduga bersalah bersifat

deskriptif faktual. Artinya, berdasar fakta-fakta yang ada si tersangkan akhirnya

akan dinyatakan bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses

hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai pada tahap

peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan41.

KETUJUH atau yang terakhir adalah Pasal 72 undang-undang KPK42

bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun

alasan pemohon keberadaan pasal 72 undang-undang KPK yang menyangkut

tentang pemberlakuannya, tampak jelas bahwa undang-undang KPK berlaku

41 Hebert L Packer, 1968, Ibid, hlm. 164. Lihat juga dalam Eddy O.S Hiariej, 2002, Memahami Asas Praduga Bersalah Dan Tidak Bersalah, KOMPAS, 21 Oktober 2002, hlm. 4. 42 Pasal 72 : Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan“.

Page 22: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

22

sejak tanggal diundangkan yakni terhitung sejak tanggal 27 Desember 2002.

Adanya penafsiran di kalangan ahli dalam perkara No. 069/PUU-II/2004 tentang

apakah undang-undang a quo berlaku ke depan (prospective) atau sebaliknya

dapat diberlakukan surut (retroaktif), telah menimbulkan tidak adanya kepastian

hukum dalam pemberlakuannya.

Tanggapan penulis, ketentuan Pasal 72 undang-undang a quo, TIDAK

ADA KAITANNYA DENGAN KEPASTIAN HUKUM. Persoalan yang selalu

diperdebatkan dalam ketentuan Pasal 72 undang-undang KPK ini adalah

apakah KPK dapat menyidik perkara korupsi sebelum KPK dibentuk berdasarkan

undang-undang a quo ? Mengenai persoalan ini terlebih dulu harus dijelaskan

bahwa kewenangan untuk melakukan proses penuntutan sebagai bagian yang

tidak dipisahkan proses beracara merupakan salah satu makna yang tergantung

dalam asas legalitas.

Menurut sejarahnya, asas legalitas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach. Dengan mantap dalam bahasa Latin ia mengatakan : nulla poena

sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang) ;

nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana) ; nullum

crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut

undang-undang)43. Berdasarkan ketiga frase tersebut, asas legalitas ini

mempunyai dua fungsi. Kedua frase yang pertama adalah fungsi melindungi dari

asas legalitas. Artinya, undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap

kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Sedangkan frase ketiga adalah

fungsi instrumentasi dari asas legalitas. Artinya, di dalam batas-batas yang

ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tegas-

tegas diperbolehkan44.

Asas legalitas dalam hukum pidana dapat dibedakan dalam hukum pidana

materiil dan hukum pidana formal. Sebagaimana pembagian umum dalam

hukum pidana seperti yang dinyatakan van Hamel, ”..... strafrecht omvat naar de

43 D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.PH. Sutorius, Ibid, , hlm. 5 44 Ibid, hlm. 4.

Page 23: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

23

gangbare onderscheiding twee deelen, een materieel en een formeel”45. Fungsi

melindungi ada dalam hukum pidana materiil, sementara fungsi instrumentasi

ada dalam hukum pidana formal. Asas legalitas dalam hukum pidana formal

(hukum acara pidana) mempunyai makna setiap perbuatan pidana harus

dituntut. Dengan demikian, KPK sejak terbentuk berwenang untuk melakukan

proses pidana terhadap kasus korupsi selama memenuhi kriteria yang terdapat

dalam Pasal 11 undang-undang KPK tanpa dibatasi batas waktu kapan

perbuatan koruspi tersebut dilakukan.

Pustaka Cavadino Michael dan Dignan James,1997, The Penal Sistem An

Introduction, SAGE Publication Ltd.

Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto

dan Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena : ilmu dan

amal, Jakarta.

Elzinga, D.J., Van Rest, P.H.S., de Valk, J.,1995, Het Nederlandse

Politierecht, Tjeenk Willink Zwole, 1995.

Enschede, Ch.J., 2002, Beginselen Van Strafrecht, Kluwer Deventer.

Hiariej, Eddy O.S., 2002, Memahami Asas Praduga Bersalah Dan Tidak

Bersalah, KOMPAS, 21 Oktober 2002.

Hiariej, Eddy O.S ., Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6

November 2003.

Hiariej, Eddy O.S., 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between

Theory And Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean

Legislation Research Institute.

International Conference Against Corruption, ”Declaration of the 8th

International Conference Against Corruption:, signed in Lima ,Peru, 11

September 1997

King, M.,1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London.

45 G.A Van Hamel, 1913, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlansche Strafrecht, Derde Druk, De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante ’s-Gravenhage, hlm. 4.

Page 24: Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil UU KPK edypukat.hukum.ugm.ac.id/upload/module/Telaah_Kritis_Permohonan... · korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran

24

Packer, Hebert L., 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Oxford

University Press.

Remmelink, Jan., 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal

Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan

Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia

Pustaka Utama.

Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan

Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung.

Schaffmeister, D., Keijzer, N., Sutorius, E.PH., Diterjemahkan oleh J.E

Sahetapy, 1995, Hukum Pidana, Liberty.

Suringa Hazewinkel, D., 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het

Nederlandse Strafrecht, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tetang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice

Process”, Scarman Center, University Of Leicester.

Utrecht, E., 1960. Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung.

Van Hamel, G.A., 1913, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlansche

Strafrecht, Derde Druk, De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante ’s-

Gravenhage.

Vos, H.B., 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene

Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.