Teori Negosiasi Wajah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Face Negotiation Theory

Citation preview

Critical Review

Face Negotiation Theory(Teori Negosiasi Wajah)-- Stella Ting Toomey --

Kelompok 6 :1. Agam Imam Pratama (F1D010036)2. 3. 4.

Teori Negosiasi WajahNegosiasi secara sederhana dipahami sebagai suatu cara bagi dua atau lebih pihak yang berbeda kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan dalam mencari kesepahaman dengan cara mempertemukan penawaran dan permintaan dari masing-masing pihak sehingga tercapai suatu kesepakatan atau kesepahaman kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan.Teori negosiasi wajah(Face Negotiation Theory) dikembangkan oleh Stella Ting Toomey pada tahun 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan membentuk wajah mereka dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Wajah atau rupa disini mengacu pada gambar diri atau citra seseorang di hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Dengan kata lain wajah disini merupakan gambaran yang anda inginkan atau jati diri orang lain yang berasal dari anda dalam sebuah situasi sosial. Ini adalah perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi citra mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam wajah (citra) orang lain. Adapun usaha untuk membangun citra diri sendiri ataupun menciptakan atau mengamcam citra (martabat) pihak lain dinamakan facework.Teori negosiasi wajah ini berangkat dari beberapa asumsi sebagai berikut :1. Identitas diri (citra diri) merupakan hal yang penting dalam proses interaksi antar pribadi. Identitas diri disini mencakup pengalaman seseorang, ide, pemikiran, rencana, dan lain-lain. Dimana identitas diri ini tidak stagnan, melainkan secara terus-menerus baik secara sadar maupun tidak dinegosiasikan dalam proses interaksi dengan orang-orang di sekitarnya.2. Konflik dapat dimediasi oleh wajah dan budaya. Yang dimaksud adalah konflik dapat mengurangi wajah (citra sosial) seseorang dan juga mengurangi kedekatan hubungan sosial. Sebagaimana dinyatakan oleh Toomey bahwasanya konflik adalah ajang atau tempat bagi seseorang kehilangan wajah (citra) nya. Oleh karenanya orang-orang cenderung menegosiasikan wajah mereka dalam berinteraksi dengan sekitar dengan tujuan sebisa mungkin menghindari konflik.3. Asumsi ketiga adalah berkaitan dengan tindakan-tindakan tertentu yang dapat mengancam seseorang kehilangan wajahnya. Dalam hal ini berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dapat merusak citra diri seseorang, ataupun tindakan-tindakan yang diambil dalam rangka mengembalikan citra diri seseorang. Toomey mengungkapkan, bila citra diri terancam setidaknya ada dua proses untuk mengembalikan citra tersebut. Yang pertama adalah penyelamatan wajah (face saving). Ini berkaitan dengan usaha-usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan kerentanan atau dapat merusak citra seseorang. Dan yang kedua adalah penyelamatan wajah (face restoration). Ini merupakan usaha-usaha yang ditempuh dalam rangka memulihkan wajah (citra) seseorang setelah dia kehilangan wajah.Untuk lebih mudah memahami teori negosiasi wajah ini kelompok kami menggunakan contoh. Misalnya saja dalam upaya pembongkaran kasus-kasus korupsi di Indonesia yang diyakini menyeret banyak nama tokoh-tokoh serta orang-orang besar di Indonesia. Lembaga yang berwenang dalam menanggulangi hal ini misalnya KPK merupakan bagian dari kekuasaan. Dan bilamana orang-orang besar yang juga memiliki kekuasaan dibongkar dan ditangkap, sejatinya sama saja dengan merontokkan wibawa kekuasaan itu sendiri. Oleh karenanya, orang-orang di dalam lembaga pemberantas korupsi melakukan facework tertentu. Facework adalah usaha untuk membangun citra diri sendiri, ataupun usaha dalam menciptakan ataupun mengancam citra pihak lain. Dengan adanya facework ini, yang terjadi adalah proses lobi politik. Hasilnya, lembaga pemberantas korupsi tetap menjaga wajahnya dengan menangkap pelaku-pelaku korupsi, meskipun bukan induk nya. Dan para orang-orang besar yang sejatinya merupakan induk korupsi juga terjaga wajahnya, karena yang tertangkap adalah bawahan-bawahan mereka. Ini semua dilakukan demi mempertahankan kekuasaan dan menjaga citra bersama. Inilah yang disebut proses face negotiation.Dan pada kesimpulannya, ada setidaknya dua hal untuk mencapai kenyamanan dalam face negotiation. Yang pertama adalah functional bicultarilsm, yaitu kondisi dimana seseorang dapat membangun dan menempatkan wajah (citra) dirinya dengan kuat, serta juga mampu mengeksplor citra orang lain dan menghargainya. Yang kedua adalah cultural transformer, yaitu seseorang mampu menempatkan diri dari satu konteks budaya (kondisi) ke konteks budaya yang lain. Sementara kunci untuk mencapai kedua kenyamanan tersebut adalah memiliki intercultural competence yang terdiri dari tiga komponen yaitu identity knowledge, mindfulness, dan negotiation skill. Identity knowledge adalah pemahaman akan budaya, identitas serta entitas-entitas yang ada di sekitarnya. Mindfulness adalah pemahaman akan kemampuan diri sendiri. Dan negotiation skill adalah kemampuan untuk menempatkan diri serta melihat peluang di sekitar.

Kritik Terhadap Face Negotiation TheoryMenurut kelompok kami, teori ini tidak dapat dipakai secara universal, apalagi di negara seperti Indonesia. Pertama, dengan tingkat kemiskinan yang tinggi banyak masyarakat yang tidak peduli dengan bagaimana wajah (citra) dirinya di mata orang-orang di sekitarnya. Yang menjadi perhatian utama adalah hari esok dirinya dan keluarganya akan makan apa?. Apakah bisa memberi uang jajan untuk anaknya?. Dan hal-hal lain semacam itu. Sehingga citra diri bukan merupakan lagi hal yang penting, meskipun tidak terjadi pada semua orang.Kedua, khususnya di masyarakat perkotaan dengan rasa individualisme yang tinggi, persoalan mengenai citra diri ini bisa jadi tidak lagi menjadi terlalu berarti. Banyak fenomena di kota-kota besar dimana antar tetangga sebelah rumah saja misalnya tidak saling kenal. Sebab di tengah dunia dimana manusia diperhamba oleh uang ini, apalagi di perkotaan dengan biaya hidup yang tinggi, orang-orang hanya peduli bagaimana memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga. Bekerja dari pagi sampai malam sehingga teralienasi (terasing) dari orang-orang di sekitarnya. Ini bisa jadi akan menyebabkan persoalan citra diri bukan lagi hal yang utama. Yang menjadi hal utama adalah pemenuhan dan pemuasan kebutuhan hidup individu dan keluarganya semata.