15
A. Tentang Jurgen Habermas Jurgen Habermas adalah tokoh terkemuka dalam sebuah aliran filsafat, yang sejak beberapa dekade terakhir, semakin berpengaruh dalam dunia filsafat maupun ilmu- ilmu sosial, yaitu filsafat kritis. Terkadang pandangannya digunakan dalam istilah teori kritis. Habermas melukiskan teori kritis sebagai metodologi yang berdiri dalam ketegangan dialektis, antara filsafat dengan ilmu. Teori kritis hendak menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental, yang melampaui data empris. Dengan ekplorasi kritisnya, tampak nantinya Habermas melakukan suatu kritik ideologi dan ilmu melalui kritik pengetahuan. Pengetahuan, ilmu, dan teknologi, merupakan tiga hal yang saling berhubungan dalam praksis kehidupan manusia. Pengetahuan merupakan aktivitas, proses, kemampuan, serta bentuk kesadaran manusia, sedangkan ilmu sebagai satu pengetahuan yang direfleksikan secara metodis. Jika ilmu dan pengetahuan membeku menjadi suatu delusi atau kesadaran palsu yang merintangi praksis sosial manusia untuk merealisasikan kebaikan, kebenaran, kebahagiaan dan kebebasannya, maka keduanya telah berubah menjadi ‘ideologis’. Teori kritis Habermas ingin membebaskan sekaligus ‘menyembuhkan’ masyarakat yang mendekam dalam kungkungan ideologi melalui kritik ideologi. Dalam hubungannya dengan masyarakat industri maju, seperti saat ini, teori kiritis ideology mengemban tugas untuk membuka kedok ideologis dari positivisme, yang dalam konteks ini, tidak hanya dimaknai sebagai pandangan positivisme dalam ilmu, melainkan jauh lebih luas lagi, positivisme sebagai cara berpikir atau rasio yang menjangkit kesadaran masyarakat industri maju.

Teori Tentang Jurgen Habermas

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Teori Tentang Jurgen Habermas

A. Tentang Jurgen Habermas

Jurgen Habermas adalah tokoh terkemuka dalam sebuah aliran filsafat, yang sejak beberapa dekade terakhir, semakin berpengaruh dalam dunia filsafat maupun ilmu-ilmu sosial, yaitu filsafat kritis. Terkadang pandangannya digunakan dalam istilah teori kritis. Habermas melukiskan teori kritis sebagai metodologi yang berdiri dalam ketegangan dialektis, antara filsafat dengan ilmu. Teori kritis hendak menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental, yang melampaui data empris.

Dengan ekplorasi kritisnya, tampak nantinya Habermas melakukan suatu kritik ideologi dan ilmu melalui kritik pengetahuan. Pengetahuan, ilmu, dan teknologi, merupakan tiga hal yang saling berhubungan dalam praksis kehidupan manusia. Pengetahuan merupakan aktivitas, proses, kemampuan, serta bentuk kesadaran manusia, sedangkan ilmu sebagai satu pengetahuan yang direfleksikan secara metodis. Jika ilmu dan pengetahuan membeku menjadi suatu delusi atau kesadaran palsu yang merintangi praksis sosial manusia untuk merealisasikan kebaikan, kebenaran, kebahagiaan dan kebebasannya, maka keduanya telah berubah menjadi ‘ideologis’. Teori kritis Habermas ingin membebaskan sekaligus ‘menyembuhkan’ masyarakat yang mendekam dalam kungkungan ideologi melalui kritik ideologi.

Dalam hubungannya dengan masyarakat industri maju, seperti saat ini, teori kiritis ideology mengemban tugas untuk membuka kedok ideologis dari positivisme, yang dalam konteks ini, tidak hanya dimaknai sebagai pandangan positivisme dalam ilmu, melainkan jauh lebih luas lagi, positivisme sebagai cara berpikir atau rasio yang menjangkit kesadaran masyarakat industri maju. Teori kritis Habermas merupakan usaha rekonstruksi teori kritis madzhab Frankfurt yang diilhami oleh teori kritis Karl Marx, yang telah mengalami kebuntuan. Tanpa meninggalkan keprihatinan para pendahulunya untuk melakukan perubahan struktur berpikir praksis secara radikal, Habermas merumuskan keprihatinan tersebut dalam konsep teori kritis yang baru dan dapat dikatakan orisinal. Hal ini tampak dalam dimensi proses perubahan, tempat Habermas menempuh jalan yang berbeda dari pendahulunya dengan menempuh cara yang tidak revolusioner atau kekerasan. Akan tetapi, melalui jalan transformasi sosial, dengan dialog-dialog emansipatoris, dengan metode komunikasi, bukan melalui metode dominasi.

Aliran pemikiran kritis ini mulai berkembang sekitar tahun dua puluhan. Tokoh-tokohnya antara lain Georg Lukacs, Karl Korsch, Ernst Bloch, Antonio Gramsci dan seterusnya. Salah satu aliran dalam pemikiran kritis adalah Teori Kritis Masyarakat. Teori Kritis ini dikembangkan sejak tahun 30-an oleh tokoh-tokoh yang semula bekerja di Institut fur Sozialforschung pada Universitas Frankfurt. Mereka itu adalah Marx Horkheimer, Theodor W. Adorno dan Herbert

Page 2: Teori Tentang Jurgen Habermas

Marcuse serta anggota-anggota lainnya. Kelompok ini kemudian dikenal dengan sebutan “Mazhab Frankfurt”2. Jugern Habermas adalah pewaris dan pembaharu Teori Kritis. Meskipun ia sendiri tidak lagi dapat dikatakan termasuk Mazhab Frankfurt, arah penelitian Habermas justru membuat subur gaya pemikiran “Frankfurt” itu bagi filsafat dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Uraian singkat ini akan mencoba menelusuri perkembangan pemikirannya.

B. Perkumbangan Pemikiran Jurgen Habermas

Titik tolak pemikiran J. Habermas adalah pada faham Horkheimer dan Adrono. Dalam pemikiran Habermas, Teori Kritiss dirumuskan sebagai sebuah “filsafat empiris sejarah dengan maksud praktis”. Empiris dan ilmiah, tetapi tidak dikembalikan kepada ilmu-ilmu empiris-analitis; filsafat di sini berarti refleksi kritis bukan dalam arti menetapkan prinsip-prinsip dasar; historis tanpa jatuh ke dalam historisistik; kemudian praktis, dalam arti terarah pada tindakan politis emansipatoris.

Perkembangan filsafat sosial sejak Marx sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praksis. Masalahnya adalah bagaimana pengetahuan tentang masyarakat dan sejarah bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan mendorong „praksis perubahan sosial‟. Praksis ini bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai mahluk sosial. Dengan demikian praksis diterangi oleh „kesadaran rasional‟, karenanya bersifat emansipatoris.

Habermas dalam eseinya, Labor and Interaction: Remarks on Hegel’s Jena ‘Philosophy of Min”, mengatakan bahwa Hegel memahami praksis bukan hanya sebagai “kerja’’, melainkan juga „komunikasi”. Karena praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukan alam dengan kerja, melainkan juga dalam „interaksi intersubjektif’ dengan bahasa sehari-hari. Jadi seperti halnya kerja membuat orang berdistansi dari alamnya, bahasa memungkinkan distansi dari persepsilangsung, sehingga baik kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan rasionalitas.

Habermas memperlihatkan kelemahan para pendahulunya, karena tidak hanya mengandaikan praksis sebagai kerja, yang disebutnya „tindakan rasional bertujuan’, melainkan juga rasionalisi sebagai „penaklukan, kekuasaan, atau apa yang disebutnya „rasio yang berpusat pada subjek’. Modenisasi kapitalis berjalan timpang karena mengutamakan rasionalisasi dalam bidang subsistem-subsistem tindakan rasional-bertujuan, dan mengesampingkan rasionalisasi di bidang kerangka-kerja institusional atau komunikasi. Rasionalisasi praksis komunikasi ini adalah dasar khas teori sosial Habermas.

Page 3: Teori Tentang Jurgen Habermas

Habermas menerima asumsi Marx bahwa sejarah berjalan menurut logika perkembangan tertentu, hanya ia tidak setuju bahwa teknologi dan ekonomi menjadi motor perkembangan sejarah. Apa yang oleh Marx disebut cara produksi masyarakat, menurutnya justru dimungkinkan oleh proses belajar dimensi praktis-moral masyarakat itu, yakni prinsip-prinsip organisasinya. Jadi, kapitalisme adalah sebuah kasus dalam evolusi sosial; dan dalam kasus itu, prinsip organisasi kapitalis memungkinkan ekonomi dan teknologi mengatur interaksi sosial. Karena kapitalisme hanyalah sebuah kasus, peranan teknologi dan ekonomi tidak bisa diuniversalkan untuk segala zaman dan segala bentuk formasi sosial.

Dengan asumsi bahwa masyarakat pada hakekatnya bersifat komunikatif, Habermas kemudian mengganti paradigma produksi dari materialisme sejarah itu dengan paradigma komunikasi. Jadi sebagai ganti peranan cara-cara produksi, ia mengutamakan peranan struktur-struktur komunikasi sosial dalam perubahan masyarakat10. Struktur-struktur komunikasi ini, menurut Habermas lebih hakiki untuk masyarakat daripada cara-cara produksi, sebab cara-cara produksi yang juga melibatkan proses belajar berdimensi teknis itu diatur oleh struktur-struktur komunikasi.

Rasionalisasi kekuasaan pada gilirannya mengangkat isu demokrasi dalam arti bentuk-bentuk komunikasi umum dan publik yang bebas dan terjamin secarainstitusional. Dalam pandangan Habermas, hanya kekuasaan yang ditentukan oleh diskusi publik yang kritis merupakan kekuasaan yang dirasionalisasikan. Dalam politik modern hanya model „pragmatis‟lah yang berkaitan dengan demokrasi. Dalam model pragmatis ini, pemisahan ketat fungsi tenaga ahli dan politikus diganti dengan „interaksi kritis‟. Model ini memungkinkan adanya komunikasi timbal balik di antara para ahli dan para politikus, yang pada gilirannya memungkinkan para ahli itu memberikan nasihat ilmiah untuk para pengambil keputusan, dan para politikus berbincang dengan para ilmuwan menurut kebutuhan-kebutuhan praktis. Komunikasi macam ini dilukiskan sebagai komunikasi yang tidak didasari atas legitimasi kekuasaan ideologis, melainkan sebuah diskusi informatif ilmiah. Unsur interaksi kritis dalam politik inilah yang dilihat Habermas sebagai kemungkinan nyata bagi rasionalisasi kekuasaan dalam masyarakat dewasa ini11. Rasionalisasi yang demikian disebutnya dengan rasionalisasi praktis-etis, yang dalam pengertian klasiknya --dalam pikiran Aristoteles-- politik berhubungan dengan etika: ajaran tentang hidup yang baik dan adil dalam „polis‟ atau masyarakat.

Page 4: Teori Tentang Jurgen Habermas

C. Rasio Komunikatif

Habermas berpendapat bahwa kritik hanya akan maju dengan landasan „rasio komunmikatif‟ yang dimengerti sebagai „praksis komunikasi atau tindakan komunikatif’. Ditegaskan olehnya, bahwa masyarakat pada hakekatnya komunikatif dan yang menentukan perubahan sosial bukanlah semata-mata perkembangan kekuatan-kekuatan produksi atau teknologi, melainkan „proses belajar‟ dalam dimensi praktis-etis‟..

Dalam rasio komunikatif, „sikap mengobjektifkan yang membuat subjek pengetahuan memandang dirinya sebagai entitas-entitas di dunia luar tidak lagi istimewa‟. Hubungan ambivalaen subjek kepada dirinya (memandang diri sebagai subjektivitas yang bebas sekaligus objektifikasi diri yang memperbudak) dihancurkan oleh intersubjektivitas. Rasio tersebut tidak berasimilasi dengan kekuasaan. Singkatnya , rasio yang berpusat pada subyek, termasuk pencampuradukan (amalgama) pengetahuan dan kekuasaan, dapat dihancurkan dengan intersubjektivitas rasio komunikatif.

Atas dasar paradigma baru itu, Habermas ingin mempertahankan isi normatif yang terdapat dalam modernitas dan pencerahan kultural. Isi normatif modernitas adalah apa yang disebutnya rasionalisasi dunia-kehidupan dengan dasar rasio komunikatif. Dunia kehidupan terdiri dari kebudayaan, masyarakat dan kepribadian. Rasionalisasi dunia-kehidupan ini dimungkinkan lewat tindakan komunikatif.

Rasionalisasi akan menghasilkan tiga segi. Peertama, reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalam situasi-situasi baru yang muncul, tetap ada kelangsungan tradisi dan kohenrensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsensus dalam praktek sehari-hari. Kedua, integrasi sosial yang menjamin bahwa dalam situasi-situasi yang baru, koordinasi tindakan tetap terpelihara dengan sarana hubungan antarpribadi yang diatur secara legitim dan kekonstanan identitas-identitas kelompok tetap ada. Ketiga, sosialisasi yang menjamin bahwa dalam siatuasi-situasi baru, perolehan kemampuan umum untuk bertindak bagi generasi mendatang tetap terjamin dan penyelarasan sejarah hidup individu dan bentuk kehidupan kolektif tetap terpelihara15. Ketiga segi ini memastikan bahwa situasi-situasi baru dapat dihubungkan dengan apa yang ada di dunia ini melalui tindakan komunikatif.

Di dalam komuniksi itu, para partisan melakukan komunikasi yang memuaskan. Para partisan ingin membuat lawan bicaranya memahami makksudnya dengan berusaha mencapai apa yang disebutnya „kalim-klaim kesahihan‟ (validity of clims). Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai „hasil konsensus‟.

Page 5: Teori Tentang Jurgen Habermas

Dalam bukunya The Theory of Communicative Action, Habermas menyebut empat macam klaim. Kalau ada kesepakatan tentang dunia alamiah dan objektif, berarti mencapai „klaim kebenaran‟ (truth). Kalau ada kesepakatan tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial, berarti mencapai „klaim ketepatan‟ (rightness). Kalau ada kesepakatan tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang, berarti mencapai „klaim autentisitas atau kejujuran‟ (sincerety). Akhirnya, kalau mencapai kesepakatan atas klaim-klaim di atas secara keseluruhan, berarti mencapai „klaimkomprehensibilitas‟ (comprehensibility). Setiap komunikasi yang efektif harus mencapai klaim keempat ini, dan mereka yang mampu melakukannya disebut memiliki „kompe-tensi komunikatif.

Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat revolusi dengan kekerasan, akan tetapi dengan memberikan argumentasi. Habermas lalu membedakan dua macam argumentasi: perbincangan atau diskursus (discourse) dan kritik. Dilakukan perbincangan jika mengandaikan kemungkinan untuk mencapai konsensus. Meskipun dimaksudkan untuk konsensus, komunikasi juga bisa terganggu, sehingga tak perlu mengandaikan konsesnsus. Dalam hal ini Habermas mengedepankan kritik. Bentuk kritik itu dibaginya menjadi dua: kritik estetis dan kritik terapeutis. Kritik estetis, kalau yang dipersoalkan adalah norma-norma sosial yang dianggap objektif. Kalau diskursus praktis mengandaikan objektivitas norma-norma, kritik dalam arti ini adalah mempersoalkan kesesuaiannya dengan penghayatan dunia batiniah. Sedang kritik terapeutis adalah kalau itu dimaksudkan untuk menyingkapkan penipuan-diri masing-masing pihak yang berkomunikasi.

D. Public Sphere

Dalam bukunya, Transformasi Struktural Ranah Publik, Habermas mengembangkan konsepnya yang berpengaruh, tentang ranah publik. Karya Habermas ini sangat kaya dan memberi dampak besar pada berbagai disiplin ilmu. Buku ini juga menerima berbagai kritik yang rinci, membuka wawasan, serta mendorong munculnya diskusi-diskusi yang sangat produktif, antara lain tentang demokrasi liberal, masyarakat sipil, kehidupan publik, dan perubahan-perubahan sosial pada abad ke-20.

Dalam buku itu, dengan menggeneralisasi perkembangan-perkembangan di Inggris, Perancis, dan Jerman pada penghujung abad ke-18 dan ke-19, Habermas pertama membuat sketsa sebuah model yang disebutnya ―ranah publik borjuis.‖ Ia kemudian juga menganalisis kemunduran ranah publik ini pada abad ke-20.

Ranah publik borjuis, yang mulai muncul pada sekitar tahun 1700 dalam penafsiran Habermas, adalah berfungsi untuk memperantarai keprihatinan privat

Page 6: Teori Tentang Jurgen Habermas

individu dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan keluarga, yang dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan dan keprihatinan dari kehidupan sosial dan publik.

Ini mencakup fungsi menengahi kontradiksi antara kaum borjuis dan citoyen (kalau boleh menggunakan istilah yang dikembangkan oleh Hegel dan Marx awal), mengatasi kepentingan-kepentingan dan opini privat, guna menemukan kepentingan-kepentingan bersama, dan untuk mencapai konsensus yang bersifat sosial.

Ranah publik di sini terdiri dari organ-organ informasi dan perdebatan politik, seperti suratkabar dan jurnal. Serta institusi diskusi politik, seperti parlemen, klub politik, salon–salon sastra, majelis publik, tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, dan ruang-ruang publik lain, di mana diskusi sosio-politik berlangsung. Konsep ranah publik yang diangkat Habermas ini adalah ruang bagi diskusi kritis, terbuka bagi semua orang. Pada ranah publik ini, warga privat (private people) berkumpul untuk membentuk sebuah publik, di mana ―nalar publik tersebut akan bekerja sebagai pengawas terhadap kekuasaan negara. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, individu dan kelompok dapat membentuk opini publik, memberikan ekspresi langsung terhadap kebutuhan dan kepentingan mereka, seraya mempengaruhi praktik politik. Ranah publik borjuis memungkinkan terbentuknya area aktivitas opini publik, yang menentang kekuasaan negara yang opresif, serta kepentingan-kepentingan kuat yang membentuk masyarakat borjuis.

Prinsip-prinsip ranah publik melibatkan suatu diskusi terbuka tentang semua isu yang menjadi keprihatinan umum, di mana argumentasi-argumentasi diskursif (bersifat informal, dan tidak ketat diarahkan ke topik tertentu) digunakan untuk menentukan kepentingan umum bersama. Ranah publik dengan demikian mengandaikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan.

Sesudah terjadinya revolusi-revolusi demokratis, Habermas menyarankan, agar ranah publik borjuis ini dilembagakan dalam aturan konstitusional, yang menjamin hak-hak politik secara meluas. Serta, mendirikan sistem yudisial untuk menengahi klaim-klaim antara berbagai individu atau berbagai kelompok, atau antara individu dan kelompok dan negara. Dalam konsep Habermas, media dan ranah publik berfungsi di luar sistem politis-kelembagaan yang aktual. Fungsi media dan ranah publik ini sebagai tempat diskusi, dan bukan sebagai lokasi bagi organisasi, perjuangan, dan transformasi politik.

Dalam bukunya itu, Habermas juga mengkontraskan berbagai bentuk ranah publik borjuis. Mulai dari ranah publik yang bersifat partisipatoris dan aktif di era heroik demokrasi liberal, sampai dengan bentuk-bentuk ranah publik yang lebih

Page 7: Teori Tentang Jurgen Habermas

privat dari pengamat politik dalam masyarakat industri birokratis. Pada masyarakat semacam itu, kalangan media dan elite mengontrol ranah publik.

Sesudah menyatakan gagasan tentang ranah publik borjuis, opini publik, dan publisitas, Habermas menganalisis struktur sosial, fungsi-fungsi politis, dan konsep serta ideologi ranah publik. Kemudian, Habermas menggambarkan transformasi sosial-struktural ranah publik, perubahan-perubahan dan fungsi publiknya, serta pergeseran-pergeseran dalam konsep opini publik dalam tiga bab penyimpulan.

Dua tema utama dari buku Habermas itu mencakup analisis kelahiran historis ranah publik borjuis, yang diikuti dengan ulasan tentang perubahan struktural ranah publik di era kontemporer. Habermas menganalisis kemerosotan ranah publik itu pada abad ke-20 Yaitu, dengan bangkitnya kapitalisme negara, industri budaya, dan posisi yang semakin kuat di pihak perusahaan ekonomi dan bisnis besar dalam kehidupan publik. Dalam ulasannya ini, ekonomi besar dan organisasi pemerintah telah mengambil alih ruang publik, di mana warga negara hanya diberi kepuasan untuk menjadi konsumen bagi barang, layanan, administrasi politik, dan pertunjukan publik.

Menurut Habermas, berbagai faktor akhirnya mengakibatkan kemerosotan ranah publik. Salah satu faktor itu adalah pertumbuhan media massa komersial, yang mengubah publik menjadi konsumen yang pasif. Mereka menjadi tenggelam dalam isu-isu yang bersifat privat, ketimbang isu-isu yang menyangkut untuk kebaikan bersama dan partisipasi demokratis. Faktor lain, adalah munculnya negara kesejahteraan, yang menyatukan negara dan masyarakat sebegitu mendalam, sehingga ranah publik menjadi tertekan habis. Negara mulai memainkan peran yang lebih fundamental dalam kehidupan sehari-hari dan lingkungan aktivitas privat, sehingga mengikis perbedaan antara negara dan masyarakat sipil, serta antara ranah publik dan privat.

Faktor-faktor ini juga mengubah ―ranah publik menjadi sebuah situs bagi kontestasi atas sumber-sumber negara, yang lebih ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, ketimbang menjadi ruang bagi pengembangan konsensus rasional yang mendahulukan kepentingan publik. Menurut analisis Habermas, dalam ranah publik borjuis, opini publik dibentuk oleh konsensus dan perdebatan politik. Sedangkan dalam ranah publik yang sudah merosot kualitasnya di kapitalisme negara kesejahteraan (welfare state capitalism), opini publik diatur oleh para elite politik, ekonomi, dan media, yang mengelola opini publik sebagai bagian dari manajemen sistem dan kontrol sosial. Jadi, pada tahapan yang lebih awal dari perkembangan borjuis, opini publik dibentuk dalam debat politik terbuka, berkaitan dengan kepentingan umum bersama, dalam upaya membentuk sebuah konsensus yang menghargai kepentingan umum. Sebaliknya, dalam tahapan

Page 8: Teori Tentang Jurgen Habermas

kapitalisme kontemporer, opini publik dibentuk oleh kalangan elite yang dominan, dan dengan demikian sebagian besar mewakili kepentingan privat partikular mereka. Tidak ada lagi konsensus rasional di antara para individu dan kelompok, demi kepentingan artikulasi kebaikan bersama, yang dijadikan sebagai norma. Sebaliknya, yang terjadi adalah pertarungan di antara berbagai kelompok untuk memajukan kepentingan privat mereka sendiri, dan inilah yang menjadi ciri panggung politik kontemporer.

Karena itu, Habermas menjabarkan transisi dari ranah publik liberal, yang berasal dari Pencerahan (Enlightenment) serta revolusi Amerika dan Perancis, ke ranah publik yang didominasi media di era masa sekarang, yang disebutnya kapitalisme negara kesejahteraan dan demokrasi massa.

Transformasi historis ini, sebagaimana bisa kira catat, didasarkan pada analisis Horkheimer dan Adorno tentang industri budaya. Yakni, kondisi di mana perusahaan-perusahaan raksasa mengambil alih ranah publik, dan mengubah ranah publik itu dari ranah perdebatan rasional menjadi ranah konsumsi yang manipulatif dan pasifitas.

Dalam transformasi ini, opini publik bergeser dari konsensus rasional yang muncul dari debat, diskusi, dan refleksi, menjadi opini yang direkayasa lewat jajak pendapat atau pakar media. Jadi, perdebatan rasional dan konsensus telah digantikan oleh diskusi yang diatur dan manipulasi lewat mekanisme periklanan dan badan-badan konsultasi politik.

Bagi Habermas, fungsi media dengan demikian telah diubah dari memfasilitasi wacana dan perdebatan rasional dalam ranah publik, menjadi membentuk, mengkonstruksi, dan membatasi wacana publik ke tema-tema yang disahkan dan disetujui oleh perusahaan-perusahaan media. Maka, saling-hubungan antara ranah debat publik dan partisipasi individu sudah patah, dan berubah bentuk ke dalam lingkungan aktivitas informasi politik atau pertunjukan publik. Dalam lingkungan semacam itu, warga-konsumen menyerap dan mencernakan hiburan dan informasi secara pasif. Warga negar, dengan demikian sekadar menjadi penonton pertunjukan dan wacana media, yang membentuk opini publik, dan menurunkan derajat konsumen/warganegara itu menjadi sekadar obyek bagi berita, informasi, dan urusan-urusan publik.

Dalam magnum opusnya, The Theory of Communicative Action (1981), Habermas mengeritik proses modernisasi sepihak, yang dipimpin oleh kekuatan-kekuatan rasionalisasi ekonomi dan administratif. Habermas memandang, intervensi yang semakin meningkat dari sistem formal terhadap kehidupan kita sehari-hari, itu sejalan dengan pertumbuhan negara kesejahteraan, kapitalisme korporat, dan budaya konsumsi massa.

Page 9: Teori Tentang Jurgen Habermas

Kecenderungan yang semakin kuat ini telah memberi pembenaran bagi perluasan area kehidupan publik, dan menundukkan mereka di bawah logika pukul rata tentang efisiensi dan kontrol. Partai-partai politik, yang diregulerkan, dan kelompok-kelompok kepentingan telah menjadi pengganti dari demokrasi partisipatoris. Masyarakat pun semakin diatur pada tingkatan yang jauh dari masukan warga negara. Akibatnya, batas-batas antara publik dan privat, antara individu dan masyarakat, serta antara sistem dan dunia kehidupan, semakin memudar.

Proyek Habermas tentang ranah publik itu menggunakan berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat, teori sosial, ekonomi, dan sejarah, dan dengan demikian merintis gaya Institut untuk Riset Sosial, dalam menghasilkan teori sosial supradisiplin. Pandangan historis proyek ini lalu menjadi landasan bagi proyek-proyek yang dilakukan Institut tersebut, untuk pengembangan teori kritis era kontemporer.

Aspirasi politik Habermas telah memposisikannya sebagai pengkritik atas kemerosotan demokrasi di masa sekarang, dan imbauan bagi pembaruan demokrasi. Ini adalah tema-tema yang tetap bersifat sentral dalam pemikiran Habermas.

Kehidupan publik demokratis hanya berkembang subur, manakala institusi-institusi memungkinkan warga negara, untuk memperdebatkan masalah-masalah yang menjadi kepentingan publik. Habermas menggambarkan jenis ideal dari -situasi bicara ideal- (ideal speech situation), adalah ketika para aktor secara setara dibekali dengan kapasitas wacana, mengakui persamaan sosial dasar antara satu dengan yang lain, dan pembicaraan mereka tidak terdistorsi oleh ideologi atau salah pengenalan (misrecognition).

Habermas optimistis tentang kemungkinan menghidupkan kembali ranah publik. Ia melihat harapan bagi masa depan di era baru komunitas politik, yang melampaui negara-bangsa yang berbasis pada kesamaan etnik dan budaya, menuju ke arah negara yang berdasarkan pada hak-hak setara dan kewajiban warga negara yang melekat secara hukum.

Teori diskursif tentang demokrasi ini mensyaratkan komunitas politik, yang secara kolektif dapat merumuskan kehendak politiknya, dan mengimplementasikan kehendak politik itu menjadi kebijakan di tingkatan sistem legislatif. Sistem politik ini mensyaratkan sebuah ranah publik aktivis, di mana hal-hal yang menjadi kepentingan bersama dan isu-isu politik dapat didiskusikan, dan kekuatan opini publik dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan.