Upload
trinhminh
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ASPEK HUKUM RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERSEROAN TERBATAS MELALUI TELEKONFERENSI
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Derajat S2
Program Studi Magister Kenotariatan
Oleh : MUNTINAH
NIM : B4B 008 168
PEMBIMBING : BUDIHARTO, SH, MS.
NIP. 19560110 198203 1002
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2010
ASPEK HUKUM RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERSEROAN TERBATAS MELALUI TELEKONFERENSI
Disusun Oleh :
MUNTINAH B4B008168
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 24 Juni 2010
Tesis ini Telah Diterima
Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar
Magister Kenotariatan
Pembimbing, Mengetahui, Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro,
BUDIHARTO, SH, MS. H. KASHADI,.SH.,MH NIP. 19560110 198203 1002 NIP. 19540624 198203 1 001
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama : MUNTINAH, dengan ini
menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan di dalam tesis ini tidak
terdapat karya orang lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
di perguruan tinggi/lembaga pendidikan manapun. Pengambilan karya
orang lain dalam tesis ini dilakukan dengan menyebutkan sumbernya
sebagaimana tercantum dalam Daftar Pustaka.
2. Tidak keberatan untuk dipublikasikan oleh Universitas Diponegoro
dengan sarana apapun, baik seluruhnya atau sebagian, untuk
kepentingan akademik/ilmiah yang non komersial sifatnya.
Semarang, Juni 2010
Yang Menyatakan,
MUNTINAH
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
berkah, rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
ini yang berjudul “Aspek Hukum Rapat Umum Pemegang Saham
Perseroan Terbatas Melalui Telekonferensi”.
Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu
persyaratan guna menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro Semarang.
Saya menyadari bahwa di dalam tesis ini masih terdapat banyak
kekurangan, oleh sebab itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna kesempurnaan dari tesis ini. Pada kesempatan ini
terimakasih yang sebesar-besarnya saya berikan kepada pihak-pihak yang
telah banyak membantu dalam pembuatan tesis ini, antara lain kepada:
1. Bapak H. Kashadi, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.
2. Bapak Prof. Dr. Budi Santoso, S.H., M.S., selaku Sekretaris Program
Bidang Akademik Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro
Semarang.
3. Bapak Dr. Suteki, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Bidang
Keuangan Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang
4. Bapak Budiharto, S.H., M.S, selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan banyak bimbingan dan semangat kepada penulis dalam
penulisan tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro yang telah dengan tulus memberikan ilmunya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Program Magister
Kenotariatan.
6. Seluruh staf karyawan tata usaha pada Program Studi Magister
Kenotariatan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
pendidikan di Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.
7. Kedua Orang Tua ku tercinta yang bersusah payah membantu,
mendorong, mendoakan dan memotivasi penulis dalam penyelesaikan
penulisan tesis ini.
8. Drg. Susanti Munandar., MDSc yang telah memberi dukungan baik
materiil maupun moril serta kasih sayangnya.
9. MS. Sa’di Ahmad., SH yang telah memberi dukungan serta do’a yang tak
henti-hentinya agar penulis dapat menyelesaikan penulisan ini.
10. Adik tersayang yang memberi dukungan serta do’a.
11. Rekan-rekan di Magister Kenotariatan angkatan 2008 khusus nya kelas
A1 terima kasih atas bantuan yang telah diberikan selama dalam
perkuliahan.
Akhir kata saya mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga, dan
semoga amal baik dari semua pihak tersebut mendapat balasan dari Allah
SWT, amin...
Semarang, Juni 2010
Penulis,
MUNTINAH
Abstrak
ASPEK HUKUM RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERSEROAN
TERBATAS MELALUI TELEKONFERENSI
Kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen
yang dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara langsung dalam media elektronik, sehubungan dengan hal tersebut penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS melihat dan mendengar serta secara langsung berpartisipasi dalam rapat.
Dari latar belakang di atas, penulis membatasi masalah dengan mengidentifikasinya sebagai berikut : Bagaimana mekanisme pembuatan risalah RUPS PT yang dilakukan dengan telekonferensi dan Bagaimana kekuatan pembuktian dari risalah RUPS PT yang dilakukan dengan telekonferensi.
Metode pendekatan yang digunakan dalam karya penulisan ilmiah ini adalah Yuridis Normatif. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan pada peraturan hukum yang ada.
Mekanisme pembuatan akta dari hasil RUPS yang dilakukan
secara telekonferensi meliputi pembuatan akta oleh Notaris, kemudian dibacakan secara telekonferensi agar para pihak yang mengikuti RUPS dapat mengetahui isi akta. Setelah para pihak setuju dengan isi akta, kemudian dilakukan penandatanganan akta secara elektronik menggunakan digital signature. Kekuatan pembuktian data digital dari RUPS yang dilakukan secara telekonferensi adalah sah, hal ini secara tegas diatur dalam Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
Kata kunci : Telekonferensi, RUPS, Dokumen Elektronik
Abstract
LEGAL ASPECTS GENERAL MEETING OF SHAREHOLDERS OF THE
COMPANY LIMITED BY TELECONFERENCE
Advances in technology have allowed the notes and documents created on paper were transferred into electronic media or created directly in the electronic media, in relation to the implementation of the GMS can be done via media teleconference, video conference or other electronic media tool that allows all participants GMS see and hear as well as directly participate in the meeting.
From the above background, the authors restrict the problem to identify it as follows: What is the mechanism making the minutes of the GMS Page conducted by teleconference and What is the strength of evidence from the minutes of the GMS PT conducted by teleconference.
The method used in scientific writing is the work of Juridical Normative.This research was conducted based on the existing legal regulations.
Mechanism of making the deed from the GMS, which is conducted teleconferences include making the deed by deed, then read out by teleconference to the parties that follow the GMS can know the contents of deed. Once the parties agree with the contents of deed, then the signing of the deed electronically using digital signatures. Evidentiary strength of the digital data from the GMS, which is conducted teleconference is legitimate, it is expressly stipulated in Law Number 8 Year 1997 regarding the Company Documents. Keywords: teleconference, GMS, Electronic Documents
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………… ii
SURAT PERNYATAAN ……………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR …………………………………………………………. iv
ABSTRAK (DALAM BAHASA INDONESIA) …………………………….. vii
ABSTRACT (DALAM BAHASA INGGRIS) ………………………………… viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………… 1
B. Perumusan Permasalahan …………………………………… 6
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………… 7
D. Manfaat Penelitian …………………………………………….. 7
E. Kerangka Penelitian …………………………………………… 9
F. Metode Penelitian ……………………………………………… 11
1. Pendekatan Masalah ………………………………………. 11
2. Sumber dan Jenis Data ……………………………………. 16
3. Teknik Pengumpulan Data………………………………… 15
4. Teknik Analisis Data ……………………………………….. 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Perseroan Terbatas
1. Pengertian PT …………………………………………………16
2. Modal dan Saham Perseroan Terbatas …………………....22
3. Organ Perseroan Terbatas …………………………........... 28
B. Kekuatan Pembuktian Akta
1. Kekuatan Pembuktian Akta Non-Elektronik ………………. 38
2. Kekuatan Pembuktian Akta Elektronik ……………………. 31
a. Menurut UU Dokumen Perusahaan ……………………51
b. Menurut UU Informasi dan Transaksi Elektronik……...58
BAB III Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Mekanisme Pembuatan Risalah RUPS PT yang Dilakukan
dengan Telekonferensi
1. Pelaksanaan RUPS Menggunakan Telekonferensi...........66
2. Proses Pembuatan Akta RUPS yang Dilaksanakan
Secara Telekonferensi........................................................72
B. Kekuatan Pembuktian dari Risalah RUPS PT yang Dilakukan
dengan
Telekonferensi…………………………………………………...85
BAB IV Penutup
A. Kesimpulan …………………………………………………….. 102
B. Saran ……………………………………………………… ……. 104
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai homo sapien diberikan kemampuan untuk
berkomunikasi dalam lingkungan. Kemampuan mereka tidak hanya dalam
lingkaran kekerabatan, tetapi meluas hingga pemanfaatan potensi alam.
Tata cara komunikasi yang dilakukan manusia memiliki riwayat tumbuh
kembang yang beraneka ragam. Hal ini dimulai sejak jaman prasejarah
sampai era teknologi satelit dewasaa ini.
Semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan
telekomunikasi, telah mengakibatkan semakin beragamnya pula aneka
jasa-jasa (features) fasilitas telekomunikasi yang ada, serta semakin
canggihnya produk-produk teknologi informasi yang mampu
mengintegrasikan semua media informasi.1
Komputer sebagai alat bantu manusia dengan didukung
perkembangan teknologi informasi, telah membantu akses ke dalam
jaringan-jaringan publik (public network) dalam melakukan pemindahan
data dan informasi, dengan kemampuan komputer dan akses yang
semakin berkembang, maka transaksi perdagangan pun dilakukan di
dalam jaringan komunikasi tersebut. Jaringan publik mempunyai
1 Arrianto Mukti Wibowo,1999, Kerangka Hukuum Digital Signature Dalam Electronic
Commerce, 1999,[email protected], Hlm. 3
keunggulan dibandingkan dengan jaringan privat dengan adanya efisiensi
biaya dan waktu, hal ini membuat perdagangan dengan transaksi
elektronik (Electronic Commerce) menjadi pilihan bagi para pelaku bisnis
untuk melancarkan transaksi perdagangannya, karena sifat jaringan
publik yang mudah untuk diakses oleh setiap orang ataupun perusahaan
yang dilaksanakan dengan sistem elektronik.
Sistem elektronik, digunakan untuk menjelaskan keberadaan
sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang
berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi
merancang, memproses, menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan
atau menyebarkan informasi elektronik. Sistem informasi secara teknis
dan manajemen, sebenarnya adalah perwujudan penerapan produk
teknologi informasi ke dalam suatu bentuk organisasi dan manajemen
sesuai dengan karakteristik kebutuhan pada organisasi tersebut dan
sesuai dengan tujuan peruntukkannya. Pada sisi lain, sistem informasi
secara teknis dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia
dan mesin, yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat lunak,
prosedur, sumber daya manusia, dan substansi informasi yang dalam
pemanfaatanya mencakup fungsi input, process, output, storage, dan
communication.2
Sejak tahun 1999 Rancangan Undang-Undang tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik dibahas oleh Badan Legislatif yang berwenang,
2 Penjelasan Undang-undang nomor 11 Tahun 2004 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
akhirnya Indonesia mempunyai aturan hukum untuk mengatur masalah
Informasi dan Transaksi Elektronik dengan dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2008, tentang “Informasi dan Transaksi
Elektronik” yang disahkan pada tanggal 21 April 2008.
Berdasarkan pada Pasal 18 juncto Pasal 7 juncto Pasal 11
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 maka kekuatan pembuktian
dokumen elektronik tersebut yang ditandatangani dengan digital signature
sama dengan kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, menampung aspirasi dan mengakomodasi
perkembangan teknologi informasi dengan diterimanya teleconference
dan video conference yang terdapat pada Pasal 77 Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas tersebut. Hasil dari teleconference atau video
conference yang dijadikan sarana komunikasi, dipermudah dengan
adanya tekologi 3 G, yaitu teknologi yang memungkinkan adanya tatap
muka melalui media komunikasi. Sarana komunikasi yang demikian ini
membawa dampak dalam memberikan kemudahan dari sisi ekonomis.
Bertatap muka tidak dengan konteks face to face tetapi bertatap muka
dengan media elektronik.
Pasal 77 UUPT 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas
mengakomodasi hal ini. Berarti di sini ada sebuah data digital yang
dihasilkan oleh sebuah telekonferensi. Dalam Pasal 77 UUPT nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur bahwa
penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan melalui media telekonferensi,
video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang
memungkinkan semua peserta RUPS melihat dan mendengar serta
secara langsung berpartisipasi dalam rapat. Pasal 77 UUPT Nomor 40
Tahun 2007 menyatakan bahwa :
(1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media
telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik
lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling
melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi
dalam rapat.
(2) Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan
adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar
Perseroan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung
berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana
dimaksud ayat (1).
(4) Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan
ditandatangani oleh semua peserta RUPS.
Aturan yang terdapat pada Pasal 77 Undang-Undang Nomor
40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tersebut di atas bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris,bahwa yang dimaksud akta notaris adalah akta otentik
yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini, sedangkan pengertian akta
otentik berdasarkan pasal 1868 KUH Perdata adalah suatu akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di
mana akta dibuatnya.
UU Dokumen Perusahaan secara jelas telah mempertimbangkan
bahwa kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen
yang dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat
secara langsung dalam media elektronik. Oleh karena itu, untuk lebih
menyederhakan tata cara penyimpanan, pemindahan, pemusnahan, dan
penyerahan dokumen perusahaan dapat dilakukan dengan efisien dan
efektif dengan tidak mengurangi kepastian hukum dan tetap melindungi
kepentingan para pihak dalam melakukan suatu hubungan hukum.
Akibat terjadi suatu pertentangan aturan tersebut, maka apabila
salah satu pihak mengajukan gugatan dengan alat bukti dokumen
elektronik yang ditandatangani dengan tanda tangan elektronik sebagai
alat bukti, maka di dalam menyelesaikan sengketa dipengadilan, hakim
dituntut untuk berani melakukan terobosan hukum, karena hakim yang
paling berkuasa dalam memutuskan suatu perkara dan juga yang dapat
memberi suatu vonnis van de rechter, yang tidak langsung dapat
didasarkan atas suatu peraturan hukum tertulis atau tidak tertulis.
Atas dasar latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk
menyusun tesis dengan judul : ASPEK HUKUM RAPAT UMUM
PEMEGANG SAHAM PERSEROAN TERBATAS MELALUI
TELEKONFERENSI
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis membatasi masalah dengan
mengidentifikasinya sebagai berikut :
1. Bagaimana mekanisme pembuatan risalah RUPS PT yang dilakukan
dengan telekonferensi?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian dari risalah RUPS PT yang
dilakukan dengan telekonferensi?
C. Tujuan Penelitian
Dalam setiap penelitian tentu mempunyai tujuan yang diharapkan dari
penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui mekanisme pembuatan risalah RUPS PT yang
dilakukan dengan telekonferensi.
2. Untuk mengkaji dan menganalisa kekuatan pembuktian dari risalah
RUPS PT yang dilakukan dengan telekonferensi.
D. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian dalam penulisan karya ilmiah diharapkan akan
adanya manfaat dari penelitian tersebut, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Kejelasan yang dapat menimbulkan kemampuan untuk menyusun
kerangka teoritis dalam penelitian hukum dan bagaimana suatu teori
dapat di operasionalkan di dalam penelitian ini, maka penellitian ini
diharapkan dapat bermanfaat untuk :
a. dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di
bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum perdata.
b. sebagai antisipasi bila dikemudian hari ada permintaan untuk
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham melalui
media telekonferensi, seorang notaris mempunyai gambaran
mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh.
c. sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. memberikan gambaran tentang mekanisme pembuatan akta
risalah RUPS yang dilakukan dengan telekonferensi.
b. memberikan masukan bagi pemerintah untuk menjamin
kepastian hukum mengenai kekuatan pembuktian dari risalah
RUPS yang dilakukan dengan telekonferensi.
c. dapat menjadi masukan bagi para pemegang saham mengenai
kemungkinan dapat dimanfaatkannya teknologi telekonferensi
untuk melaksanakan RUPS, sehingga RUPS dapat
dilaksanakan dengan lebih efisien dan efektif.
E. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran pada hakekatnya3 merupakan sajian yang
mengetengahkan kerangka konseptual dan kerangka teotitik. Kerangka
konseptual merupakan konsep-konsep dasar yang berkaitan dengan konsep-
konsep yang terkandung dalam judul penelitian yang dijabarkan ke dalam
permasalahan dan tujuan penelitian. Kerangka teoritik pada hakekatnya
merupakan kerangka pikir yang intinya mencerminkan seperangkat proposisi
yang berisi konstruksi pikir ketersalinghubungan atau kerangka pikir yang
mencerminkan hubungan antar variabel penelitian.
3 Paulus Hadisoeprapto,dkk, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, ( Semarang : UNDIP, 2009), hal 18‐19
Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelusuran bahan-bahan
pustaka, menetapkan konsep-konsep dasar dan teori-teori yang dianggap
relevan untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian yang telah
diuraikan di atas.
Suatu rapat khususnya Rapat Umum Pemegang Saham melalui
telekonferensi adalah suatu tindakan-hukum dengan maksud untuk
mengadakan suatu rapat (pertemuan) diantara pemegang saham Pasal 76
ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Bahwa maksud diadakan RUPS biasanya untuk memutuskan sesuatu yang
didasarkan kepada adanya suatu keputusan “persetujuan” untuk suatu
tindakan hukum tertentu atas nama PT, di mana terhadap persetujuan ini
boleh ditanda-tangani baik secara fisik maupun secara elektronik.4
Berdasarkan pada Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008, Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas
informasi elektronik yang dilekatkan,terasosiasi atau terkait dengan informasi
elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
Informasi elektronik yang menggunakan jaringan publik, bisa saja
seseorang berniat jahat mengganti informasi elektronik yang telah
4 Robaga Gautama Simanjuntak, 2008, Keabsahan Tanda Tangan Elektronik RUPS Berdasarkan UU PT No. 40 Tahun 2007 VS UU ITE No 11 Tahunn 2008, mazaremo Law Firm & Legal Consultants.com
ditandatangani oleh para pihak dengan informasi elektronik lain tetapi tanda
tangan tidak berubah. Pada data elektronik perubahan ini mudah terjadi dan
tidak mudah dikenali. Oleh karena itu, tanda tangan elektronik harus
terasosiasi dengan informasi elektronik.
Dokumen elektronik yang ditandatangani dengan sebuah digital
signature, dapat dikategorikan sebagai bukti tertulis, tetapi terdapat suatu
kendala yang menyebabkan sulitnya pengembangan penggunaan dan
dokumen elektronik atau digital signature, yakni adanya syarat bahwa
dokumen tersebut harus dapat dilihat, dikirim dan disimpan dalam bentuk
kertas.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan masalah
Metode merupakan suatu prosedur atau cara untuk mengetahui
sesuatu, untuk mempunyai langkah-langkah sistematis. Menurut
Soerjono Soekanto metodologi pada hakikatnya memberikan
pedoman tentang tata cara seorang ilmuwan dalam mempelajari,
menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang
dihadapinya.5
Penelitian suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena
penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara
5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan singkat, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, Cetakan ke 4 1995), hlm. 6
sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui proses penelitian
tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah
dikumpulkan dan diolah.6
Oleh karena penelitian merupakan suatu saran (ilmiah) bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi
penelitian yang ditetapkan harus senantiasa disuaikan dengan ilmu
pengetahuan yang menjadi induknya dan dalam hal ini tidaklah selalu
berarti metodologi yang dipergunakan berbagai ilmu pengetahuan
pasti akan berbeda secara utuh. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas
metodologi penelitian hukum juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang
merupakan identitas, oleh karena ilmu hukum dapat dibedakan dari
ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Metode pendekatan yang digunakan dalam karya penulisan
ilmiah ini adalah Yuridis Normatif. Penelitian ini dilaksanakan
berdasarkan pada peraturan hukum yang ada.
Penelitian dengan pendekatan yuridis normatif dilaksanakan
dengan melalui tahapan sebagai berikut :
1). inventarisasi terhadap peraturan yang mencerminkan
kebijaksanaan pemerintah di bidang peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan dokumen perusahaan
dan dokumen elektronik.
6 Ibid, hlm. 1
2). menganalisis perundang-undangan dan peraturan-peraturan
yang telah diinventarisir tersebut untuk mengetahui sejauh
mana peraturan perundang-undangan tersebut diatas
sinkron baik secara vertikal dan horizontal.
Selain menggunakan pendekatan yuridis normatif, penulis juga
menggunakan penelitian langsung di lapangan, dalam arti penulis
ingin mengetahui secara langsung pendapat dan pandangan dari
pihak-pihak yang melaksanakan rapat menggunakan media,
khususnya pendapat dari kalangan Notaris, dengan pertimbangan
utama bahwa pendekatan yuridis normatif masih belum cukup untuk
dapat mengetahui realitas yang terjadi dalam masyarakat, khususnya
mengenai aspek hukum telekonferensi dalam RUPS PT .
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang
terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk
mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran ataupun
ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada.7
2. Sumber dan Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat digolongkan
menjadi 2 (dua), yaitu :
a. Data Primer
7 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktik, (Jakarta:Sinar Grafika 1991), hlm. 6
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
masyarakat dan diperoleh dengan cara langsung dari sumber pertama
dilapangan melalui penelitian di lapangan yaitu perilaku masyarakat.8
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang antara lain mencakup dokumen-
dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku
harian dan seterusnya.9
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, Jenis dan sumber data terdiri atas Data Primer dan data Sekunder.. Sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan membaca dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan. Data Sekunder dalam penelitian hukum terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer berupa: norma dasar Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang,Yurisprudensi dan Traktat dan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai peraturan organiknya. Bahan hukum sekunder berupa : rancangan peraturan perundang-undangannya, buku-buku hasil karya para sarjana dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Dan bahan hukum tertier berupa bibliografi dan indeks komulatif.10
Untuk data sekunder yang berupa bahan hukum primer, meliputi:
a) Undang-Undang Dasar 1945
b) Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
c) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi .
d) Undang-Undang No. 30 Tahun 2003 tentang Jabatan Notaris.
e) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
f) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik.
8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit, hlm. 12 9 Ibid. 10 Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit, hlm. 53
g) Peraturan Pemerintah No. 88 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pengalihan Dokumen Perusahaan ke Dalam Mikrofilm atau Media
Lainnya dan Legalisasi.
Sedangkan data sekunder yaitu, yang berupa bahan hukum
sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer yang diperoleh dari studi kepustakaan yaitu :
1). Hasil penelitian dan karya ilmiah yang berhubungan dengan dokumen
elektronik (e-contract/online-contract) dan rapat melelui media
(teleconference).
2). Buku-buku yang berhubungan dengan teleconference.
3). Makalah-makalah tentang tanda tangan elektronik.
4). Makalah-makalah tentang akta elektronik.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini meliputi data primer
dan data sekunder.
a. Data primer
Adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat melalui
penelitian, interview / wawancara dan questioner/angket. Data primer
dalam penelitian ini diperoleh dengan cara penelitian, disamping
melakukan wawancara terhadap narasumber yang berhubungan dengan
penelitian. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam wawancara telah
dipersiapkan terlebih dahulu sebagai pedoman bagi penerima informasi.
Wawancara terstruktur dilakukan dengan berpedoman pada daftar
pertanyaan-pertanyaan yang sudah disediakan peneliti, sedangkan
wawancara tidak terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan tanpa
berpedoman pada daftar pertanyaan. Bahan diharapkan berkembang
sesuai jawaban dari yang diwawancari dan situasi pada saat itu.
b. Data sekunder
Data ini diperoleh melalui studi pustaka. Studi kepustakaan dilakukan
sebagai langkah awal untuk memperoleh :
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri
dari : norma dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, peraturan dasar,
dan peraturan perundang-undangan.
c. Data Tersier
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, mencakup:
1). Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Contohnya : Kamus hukum dan Kamus bahasa
Inggris.
2). Bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar
bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang : sosiologi
dan filsafat dan lain sebagainya, yang dapat dipergunakan
untuk melengkapi ataupun menunjang data lapangan. 11
11 Soerjono Soekanto, Dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1990, Hlm. 41
4. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang
diperoleh kemudian disusun secara sistematis, kemudian dianalisa
secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas.
Pengertian analisis di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan
penginterprestasian secara logis sistematis. Logis sistemais
menunjukkan cara berpikir deduktif-induktif dan mengiuti tata tertib
dalam penulisan laporan ilmiah.
Analisis Data Kualitatif adalah suatu cara penelitian yang
menghasilkan data deskritif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyta
diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.12
12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc. Cit, hlm 12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perseroan Terbatas
1. Pengertian Perseroan Terbatas
Perseroan terbatas merupakan badan usaha dan besarnya modal
perseroan tercantum dalam anggaran dasar. Kekayaan perusahaan terpisah
dari kekayaan pribadi pemilik perusahaan sehingga memiliki harta kekayaan
sendiri. Setiap orang dapat memiliki lebih dari satu saham yang menjadi bukti
pemilikan perusahaan. Pemilik saham mempunyai tanggung jawab yang
terbatas, yaitu sebanyak saham yang dimiliki. Apabila utang perusahaan
melebihi kekayaan perusahaan, maka kelebihan utang tersebut tidak menjadi
tanggung jawab para pemegang saham. Apabila perusahaan mendapat
keuntungan maka keuntungan tersebut dibagikan sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan. Pemilik saham akan memperoleh bagian keuntungan yang
disebut dividen yang besarnya tergantung pada besar-kecilnya keuntungan
yang diperoleh perseroan terbatas.13
Selain berasal dari saham, modal PT dapat pula berasal dari obligasi.
Keuntungan yang diperoleh para pemilik obligasi adalah mereka
mendapatkan bunga tetap tanpa menghiraukan untung atau ruginya
perseroan terbatas tersebut.
13 Wikipedia bahasa Indonesia, Perseroan Terbatas, ensiklopedia bebas.co.id
Menurut ketentuan aslinya dalam KUHD, PT bernama Naamlooze
Vennootschap disingkat NV, yang secara harfiah bermakna persekutuan
tanpa nama. Sebelum keluarnya UUPT sesungguhnya tidak ada undang-
undang yang secara khusus dan resmi mengubah sebutan Naamlooze
Vennootschap hingga harus disebut PT. Namun sebutan PT telah menjadi
baku dalam masyarakat. Bahkan dalam berbagai peraturan perundang-
undangan nasional yang diterbitkan setelah Indonesia merdeka telah terbiasa
dipergunakan istilah PT.
Menurut Purwosutjipto (1982:104) Naamloze Vennootschap yang
secara harfiah bermakna persekutuan tanpa nama maksudnya adalah tidak
menggunakan nama orang atau sekutu sebagai nama dari perseroan seperti
halnya dalam Firma. Pendapat ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
Prasetya.14
Beberapa Sarjana memberikan pengertian mengenai PT, seperti
Soemitro menyatakan bahwa;15
Perseroan Terbatas merupakan suatu persetujuan antar dua orang atau lebih untuk menyerahkan atau memusatkan sesuatu barang, uang atau tenaga dengan maksud untuk mengusahakan itu dan membagi keuntungan yang didapatnya, dengan modal perseroan yang terbagi atas saham-saham dalam modal mana persero itu ikut serta dengan mengambil satu atau lebih saham, melakukan, perbuatan-perbuatan hukum, dengan tanggung jawab yang semata- mata terbatas pada modal yang mereka setorkan.
Selanjutnya Tirtaamidjaja menyatakan bahwa;16
14 Ibid. 15 Tirtaamidjaja, 2000, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Cetakan IV, Jakarta: Djambatan, hal. 109. 16 op cit.
Perseroan Terbatas adalah perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal tertentu yang terbagi atas saham-saham dan tiap-tiap pesero (pemegang saham) turut serta didalamnya sebanyak satu saham atau lebih dengan tidak bertanggung jawab untuk persetujuan-persetujuan itu.
Lebih lanjut pengertian Perseroan Terbatas menunjuk kepada modal
yang terdiri dari yang terdiri atas sero (saham), sedangkan kata terbatas
menunjuk kepada tanggung jawab yang tidak melebihi nilai nominal saham
yang diambil bagian dan dimilikinya. Orang yang memegang sero disebut
pesero sedangkan perusahaan yang mengeluarkan sero disebut perseroan.17
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Perseroan
Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang dijalankan untuk menjalankan
suatu perusahaan dengan modal perseroan tertentu yang terbagi atas
saham-saham, dalam mana para pemegang saham (pesero) ikut serta
dengan mengambil satu saham atau lebih dan melakukan perbuatan-
perbuatan hukum atas nama bersama, dengan tidak bertanggung jawab
sendiri atas persetujuan-persetujuan perseroan itu (dengan tanggung jawab
semata-mata pada modal yang mereka setorkan).
Dalam perkembangannya, ketentuan larangan penggunaan nama
seperti ditentukan Pasal 36 KUHD itu di Belanda sudah ditinggalkan.
Beberapa istilah PT dalam beberapa Negara, yaitu :18
a. Pasal 2.64.1 NBW (BW Belanda yang baru) mendefinisikan NV
sebagai : “ Badan hukum yang didirikan dengan penyerahan saham
17Sastrawidjaja dan Suparman, 1995, Eksistensi dan Peranan Direksi, Komisaris, Pemegang Saham Dalam Perseroan Terbatas dengan Berkunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, hal. 1. 18 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta : FH UII Press, 2006), hlm. 10.
yang terbagi dalam modal dasar di mana pemegang saham tidak
bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian yang diderita
perseroan, kecuali hanya sebatas modal yang disetor”.
b. Di Prancis menggunakan istilah Society Anonyme yang lebih
menonjolkan pada keterikatan badan itu dengan orang-orangnya.
c. Di Inggris menggunakan istilah Limited Company
• Company : menonjolkan lembaga usaha yang diselenggarakan itu tidak
seorang diri, namun terdiri dari beberapa orang yang tergebung daalam
suatu badan.
• Limited : terbatasnya tanggung jawab pemegang saham, dalam arti
bertanggung jawab tidak lebih dari dan semata-mata dengan harta
kekayaan yag terhimpun dalam badan itu.
d. Di Jerman menggunakan istilah Aktien Gesellschaft
• Aktien, artinya saham.
• Gesellschaft, artinya himpunan.
e. Di Indonesia menurut Rudy Prasetyo, istilah Perseroan Terbatas
sebenarnya mengawinkan antara sebutan yang digunakan hukum Inggris
(menampilkaan segi tanggung jawab) dan Jerman (menonjolkan segi
saham).
Perseroan Terbatas terdiri dari dua kata, yaitu :19
a. Perseroan, artinya modal Perseroan Terbatas yang terdiri dari sero-sero
atau saham-saham. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1)
19 Handri Raharjo, 2009, Hukum Perusahaan (Pustaka Yustisia : Yogyakarta), hal 70.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(selanjutnya disebut sebagai UUPT)
b. Terbatas, artinya tanggung jawab pemegang saham terbatas pada
nominal semua saham yang dimilikinya. Hal ini dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUPT.
Pengertian PT berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUPT, Perseroan
Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
2. Modal dan Saham Perseroan Terbatas
a. Modal Perseroan
1) Modal Dasar atau Modal Statuter
Merupakan keseluruhan nilai nominal saham yang ada
dalam perseroan. Berdasarkan Pasal 32 UUPT, modal dasar
perseroan paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
sedangkan undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu
dapat menentukan jumlah minimum modal perseroan yang lebih
besar dari pada ketentuan modal dasar tersebut (Rp. 50.000.000).
Hal ini dimaksudkan agar ketika PT didirikan setidak-tidaknya
sudah memiliki modal sebesar modal yang disetor dan juga dapat
menjadi jaminan bagi setiap tagihan dari pihak ketiga terhadap PT
dan semuanya ini bertujuan untuk memberikan jaminan
perlindungan terhadap tagihan pihak ketiga. Besarnya modal dasar
perseroan itu tidaklah menggambarkaan kekuatan financial riil
perseroan tetapi hanya menentukan jumlah maksimum modal dan
saham yang dapat diterbitkan perseroan.20
2) Modal yang Ditempatkan
Merupakan modal yang disanggupi para pendiri untuk
disetor ke dalam kas perseroan pada saat prseroan didirikan.
Berasarkan Pasal 33 UUPT, modal yang ditempatkan paling sedikit
25 % (dua puluh lima persen) dari modal dasar. Modal ditempatkan
dan disetor penuh harus dibuktikan dengan bukti penyetoran yang
sah. Sedangkan pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan
setiap kali untuk menambah modal yang ditempatkan harus disetor
penuh, hal ini berarti tidak dimungkinkan penyetoran atass saham
dengan cara mengangsur. Sebagaimana modal dasar, modal yang
ditempatkan ini pun belum memberikan kekuatan financial riil
perseroan, karena modal tersebut belum berupa uang tunai atau
belum ada sama sekali dlam kas perseroan.
3) Modal yang Disetor
Merupakan modal perseroan yang berupa sejumlah uang
tunai atau bentuk lainnya yang diserahkan para pendiri kepada kas
perseroan pada saat perseroan didirikan. Berdasarkan Pasal 33
UUPT ditentukan bahwa modal yang ditempatkan itu harus disetor
20 ibid hal. 83
penuh. Pada umumnya penyetoran saham adalah dalam bentuk
uang. Namun, tidak ditutup kemungkinan penyetoran saham dalam
bentuk lain, baik berupa benda berwujud maupun benda tidak
berwujud, yang dapat dinilai dengan uang dan yang secara nyata
telah diterima oleh perserosan.
Penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang harus
disertai rincian yang menerangkan nilai atau harga, jenis atau
macam, status, tempat kedudukan, dan lain-lain yang dianggap
perlu memiliki kejelasan mengenai penyetoran tersebut. Dalam
penyetoran modal saham dilakukan alam bentuk lain, penilaian
setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang
ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak
terafiliasi dengan perseroan.21
Nilai wajar setoran modal saham ditentukan sesuai dengan
nilai pasar. Jika nilai pasar tidak tersedia, nilai wajar ditentukan
berdasarkan teknik penilaian yang paling sesuai dengan
karakteristik setoran, berdasarkan informasi yang relevan dan
terbaik. Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak
harus diumumkan dalam satu surat kabar atau lebih, dalam jangka
waktu 14 hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah
RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut.
21 Kansil, C.S.T., 1985, Hukum Perusahaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita.
a. Saham
Merupakan tanda penyertaan modal dalam suatu perusahaan
(sebagai bukti kepemilikan hak). Saham perseroan dikeluarkan
atas nama pemiliknya. Persyaratan kepemilikan saham dapat
ditetapkan dalam anggaran dasar dengan memperhatikan
persyaratan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal persyaratan kepemilikan saham telah ditetapkan dan
tidak dipenuhi, pihak yang memperoleh kepemilikan saham
tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum yang harus dicapai
sesuai dengan ketentuan UUPT dan/atau anggaran dasar. Nilai
saham harus dicantumkan dalam mata uang rupiah, saham tanpa
nilai nominal tidak dapat dikeluarkan. Dalam hal ini tidak menutup
kemungkinan diaturnya pengeluaran saham tanpa nilai nominal
dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk :
Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
Menerima pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil
likuidasi;
Menjalankan hak lainnya berdasarkan UUPT.
Hak tersebut di atas baru berlaku setelah saham dicatat dalam
daftar pemegang saham atas nama pemiliknya. Setiap saham
memberikan kepada pemiliknya hak yang tidak dapat dibagi. Dalam
hal satu saham dimiliki oleh lebih dari satu orang, hak yang timbul
dari saham tersebut digunakan dengan cara menunjuk satu orang
sebagai wakil bersama. Berdsarkan Pasal 53 UUPT, anggaran
dasar menetapkan satu klasifikasi saham atau lebih. Setiap saham
dalam klasifikasi yang sama menberikan kepada pemegangnya
hak yang sama. Namun, dalam hal terdapat lebih dari satu
klasifikasi saham, anggaran dasar menetapkan salah satu
diantaranya sebagai saham biasa. Klasifikasi saham sebagaimana
dimaksud di atas (lebih dari satu klasifikasi) antara lain:22
1) Saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;
2) Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi
dan / atau anggota Dewan Komasisaris;
3) Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau
ditukar dengan klasifikasi saham lain;
4) Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk
menerima deviden lebih dahulu dari pemegang saham
klasifikasi lain atas pembagian deviden secara kumilatif atau
non kumulatif;
5) Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk
menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain
atas pembagian sisa kekayaan perseroan dalam likuidasi.
22 www.sahampt‐hukumonline.co.id
Berdasarkan klasifikasi di atas, saham-saham tersebut
dapat dibedakan menjadi:23
1) Saham Biasa
Merupakan saham yang mempunyai hak suara untuk
mengambil keputusan dalam RUPS mengenai segala hal yang
berkaitan dengan pengurusan perseroan, mempunyai hak untuk
menerima deviden yang dibagikan, dan menerima sisa kekayaan
hasil likuidasi. Hak suara yang dimiliki oleh pemegang saham biasa
dapat dimiliki juga oleh pemegang saham klasifikasi lain.
Pemegang saham biasa ini tidak memiliki hak lebih tertentu dari
pemegang saham klasifikasi lainnya.
2) Saham yang Mengandung atau Memiliki Keistimewaan
Merupakan saham yang memiliki keunggulan atau
keistimewaan dari pada saham biasa. Keungggulan tersebut
diantaranya berkaitan dengan pembagian deviden, pembagian sisa
kekayaan perseroan setelah perseroan dibubarkan atau
dilikuidasi.24
a) Saham Utama
Yaitu saham yang memiliki hak lebih dari saham biasa dalam
hal keuntungan dan saldo pada saat perseroan dilikuidasi.
b) Saham Utama Kumulatif
23 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang‐undangan dan
jurisprudensi (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 101‐109. 24 Ibid.
Saham yang memiliki hak-hak lebih daripada saham utama.
Selain memiliki hak atas deviden tunggakan.
c) Saham Istimewa/ Priorotas
Saham yang memberikan poada pemegangnya hak untuk
berbicara khusus. Ini adalah kewenangan yang tidak diberikan
oleh undang-undang kepada RUPS. Hal ini adalah hak yang
termasuk dalam klausul oligarkhi. Pemilihan atau penunjukan
komisaris atau direksi biasanya terikat pada pencalonan yang
dikemukakan oleh pemegang saham yang memiliki hak
istimewa tersebut.
Selain ketiga jenis saham di atas, masih dikenal dua jenis
lainnya yaitu:
♦ Saham Pendiri: saham yang diberikan sebagai balas jasa terhadap
jasa-jasa para pendiri dalam mendirikan perseroan. Di sini tidak ada
kewajiban penyetoran baik berwujud uang atau bentuk lain.
♦ Saham Bonus: saham biasa yang diberikan kepada pemegang
saham yang telah ada tanpa penyetoran. Saham ini diberikan
sebagai pengganti hak menagih kepada perseroan atas dana
kelebihan dari modal yang ditempatkan.
Berdasarkan cara peralihan saham, saham dapat dibedakan
menjadi:
♦ Saham Atas Nama: saham yang mencantumkan nama pemegang
atau pemiliknya sehingga peralihannya dilakukan dengan akta
pemindahan hak.
♦ Saham Atas Tunjuk: saham yang tidak mencantumkan nama
pemegang atau pemiliknya sehingga peralihannya dilakukan
dengan penyerahan secara fisik.
3. Organ Perseroan Terbatas
PT merupakan badan hukum namun ia tidak dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum sendiri, sehingga ia harus bertindak dengan
perantara orang alamiah, tetapi oraang alamiah tersebut tidak bertindak
untuk dirinya, melainkan untuk dan atas tanggung jawab badan hukum.25
Organ Perseroan Terbatas meliputi:
a. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ perseroan
yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau
Dewan Komisaris dlam batas yang ditentukan dalam UUPT dan /atau
anggaran dasar. Di dalam perseroan, jabatan pemegang saham bukanlah
pemegang kedaulatan tertinggi namun sering kali digunakan untuk
mempengaruhi kebijakan perseroan. Sehingga di dalam perseroan
seharusnya pemegang saham tidak mempunyai kekuasaan sama sekali,
namun para pemegang saham baru mempunyai kekuasaan atas PT
25 Handri Raharjo, opcit, hal. 91
apabila mereka berada alam suatu ruangan pertemuan atau forum yang
dinamakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Hal ini berarti kehendak bersama para pemegang saham adalah
kehendak perseroan yang paling tinggi dan tidak dapat ditentang oleh
siapa pun kecuali keputusan RUPS itu melanggar akta pendirian atau
anggaran dasar.
a). Prosedur RUPS
Berdasarkan UUPT, RUPS diselenggarakan sesuai dengan Pasal
76 yang menyatakan bahwa :
(1) RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat
Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama
sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.
(2) RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat kedudukan
bursa di mana saham Perseroan dicatatkan.
(3) Tempat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus terletak di wilayah Negara Republik Indonesia.
(4) Jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham
dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS
dengan agenda tertentu, RUPS dapat diadakan di manapun
dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
(5) RUPS sebagainama dimaksud pada ayat (4) dapat mengambil
keputusan jika keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat.
Selanjutnya diterangkan dalam Pasal 77 bahwa:
(1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media
telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik
lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat
dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
(2) Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan
adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung
berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud
ayat (1).
(4) Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani
oleh semua peserta RUPS.
Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan
adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung
berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud ayat
(1). Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh
semua peserta RUPS.
Sebelum penyelenggaraan RUPS Direksi wajib melakukan
pemanggilan kepada pemegang saham. Pemanggilan RUPS dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal
RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan
dan tanggal RUPS. Pemanggilan RUPS dilakukan dengan Surat Tercatat
dan/atau dengan iklan dalam Surat Kabar. Dalam panggilan RUPS
dicantumkan ; 26
- Tanggal
- Waktu
- Tempat, dan
- Mata acara rapat
Selain hal di atas juga disertai pemberitahuan bahwa bahan yang
akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor Perseroan sejak tanggal
dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal RUPS diadakan.
Menurut Pasal 83 UUPT, bagi Perseroan Terbuka, sebelum
pemanggilan RUPS dilakukan wajib didahului dengan pengumuman
mengenai akan diadakan pemanggilan RUPS dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video
26 http//www.uupt‐hukumonline.com
konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan
semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung
serta berpartisipasi dalam rapat.
Telekonferensi, dalam telekomunikasi, merupakan pertemuan
berbasis elektronik secara langsung (live) di antara dua atau lebih
partisipan manusia atau mesin yang dihubungkan dengan suatu sistem
telekomunikasi yang biasanya berupa saluran telepon.
Penggunaan telekonferensi memiliki kelebihan efektivitas biaya
dan waktu. Telekonferensi dapat berbentuk konferensi audio atau
konferensi video.27 Konferensi audio merupakan salah satu jenis
telekonferensi dimana seseorang dapat melakukan percakapan interaktif
didalamnya. Dengan audio-konferensi ini, seseorang dapat berbicara
dengan lebih dari satu orang melalui speaker. Dalam konferensi video,
para partisipannya dapat saling melihat gambar (video) dan saling
mendengar, melalui peralatan kamera, monitor, atau pengeras suara
masing masing.28
Sesuai dengan Pasal 77 UUPT tersebut, suatu perseroan
memungkinkan mengadakan RUPS melalui media elektronik yang berarti
juga menghasilkan suatu dokumen elektronik. Dalam penyelenggaraan
RUPS melalui media telekonferensi juga harus diawali dengan
pemanggilan sama halnya dalam penyelenggaraan RUPS yang dilakukan
27 Mirabito, Michael dan Morgenstern, Barbara. "The New Communication Technology".
USA: Elsevier, halaman 219. 28 RUPS melalui media, www.rupsmodern.com
secara konvensional seperti di atas. Hanya bedanya pemanggilan
dimungkinkan pula melalui media elektronik seperti dengan pesan singkat
(SMS) atau melalui alamat e-mail para pemegang saham.
Perbedaan RUPS melalui telekonferensi dengan RUPS yang
konvensional adalah menenai tempat penyelenggaraan, yaitu dapat
dilakukan di manapun peserta rapat itu berada dengan menggunakan
media elektronik yang disyaratkan.
b). Kuorum dalam RUPS
Keputusan RUPS adalah sah jika persyaratan penyelenggaraan
telah dipenuhi dan dihadiri oleh para pemegang saham dengan
memenuhi ketentuan kuorum serta jumlah pemegang saham yang
ditentukan UUPT dan anggaran dasar perseroan. Mengenai ketentuan
dalam penyelenggaraan RUPS diatur dalam Pasal 86 UUPT, yaitu RUPS
dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari ½ bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara hadir atau anggaran dasar menentukan
jumlah kuorum yang lebih besar. Bila ketentuan tersebut tidak tercapai,
maka dapat diadakan pemanggilan RUPS kedua. Dalam pemanggilan
RUPS kedua ini harus disebutkan bahwa RUPS pertama telah
dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum.
RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam
RUPS paling sedikit 1/3 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar menentukan jumlah
kuorum yang lebih besar. Namun, jika di dalam hal kuorum RUPS kedua
tidak tercapai maka perseroan dapat memohon kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan
agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga. Pemanggilan RUPS ketiga
harus mencantumkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dengan
kuorum yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Penetapan
Ketua Pengadilan Negeri mengenai kuorum RUPS bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap.29
Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dengan jangka
waktu paling lambat tujuh hari sebelum RUPS kedua atau ketiga
dilangsungkan. Sedangkan RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam
jangka waktu paling cepat sepuluh hari dan paling lambat duapuluh satu
hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan. Berdasarkan
Pasal 87 UUPT, keputusan RUPS dimungkinkan diambil berdasarkan
musyawarah untuk mufakat. Namun, dalam hal keputusan berdasarkan
musyawarah untuk mufakat tidak tercapai maka keputusan adalah sah
jika disetujui lebih dari ½ bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan
kecuali undang-undang dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa
keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih
besar.
c). Bentuk RUPS
Berdasarkan Pasal 78 UUPT, RUPS terdiri atas:
RUPS tahunan (annual general meeting)
29 Ridwan Khairandy, ibid,hal 124.
RUPS tahunan bertujuan memberikan penilaian dan pengambilan
keputusan atas laporan direksi mengenai kegiatan PT dan hasil-hasilnya
pada tahun yang lalu dan rencana kegiatan tahun berikutnya. RUPS
tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat enam bulan
setelah tahun buku berakhir. Dalam RUPS tahunan harus diajukan semua
dokumen dari laporan tahunan perseroan. Laporan tahunan perseroan
memuat sekurang-kurangnya:
Laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya neraca akhir
tahun buku yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahunbuku
sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan,
laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuisitas, serta catatan atas
laporan keuangan tersebut;
Laporan mengenai kegiatan perseroan;
Laporan pelaksanaan tanggung jawab social dan lingkungan;
Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi
kegiatan usaha perseroan;
Laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh
Dewan Komisaris selama tahun buku yang baru lampau;
Nama anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris;
Laporan keuangan ini harus disusun berdasarkan standar
akuntansi keuangan.
RUPS lainnya (RUPS luar biasa/extraordinary general meeting)
RUPS luar biasa bertujuan untuk membahas dan mengambil
keputusan atas masalah-masalah yang timbul mendadak dan
memerlukan penanganan segera karena jika tidak dilaksanakan segera
maka akan menghambat operasionalisasi PT. RUPS lainnya ini dapat
diadaakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan
perseroan.
b. Direksi
Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) UUPT disebutkan bahwa direksi
adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perserroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalan
maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Direksi sebagai organ Perseroan yang melakukan pengurusan
perseroan memahami dengan jelas kebutuhan pengurusan perseroan.
Oleh karena itu, apabila RUPS tiadak menetapkan pembagian tugas dan
wewenang anggota Direksi, sudah sewajarnya penetapan tersebut
dilakukan oleh Direksi sendiri.30
Direksi adalah orang perseorangan yang diangkat oleh
Perseroan,yaitu orang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam
waktu lima tahum sebelum pengangkatannya pernah:
• Dinyatakan pailit;
30 Penjelasan Pasal 92 ayat (6) Undang-Undang PT
• Menjadi anggota direksi atau anggota Dewan Komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan pailit; atau
• Dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan
Negara dan/ atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.
Pengangkatan anggota direksi yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 UUPT dapat dinyatakan batal
karena hukum, sejak saat anggota direksi lainnya atau Dewan Komisaris
mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut.
Jumlah direktur dalam perseroan sangat tergantung dari
kepentingan dan kebutuhan perseroan yang bersangkutan.
c. Dewan Komisaris
Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan / atau khusus sesuai dengan
anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi.
Komisaris sebagai organ disebut Dewan Komisaris.
Komisaris sebagai orang perorangan disebut anggota komisaris.
Berdasarkan Pasal 108 UUPT, Dewan Komisaris memiliki tugas
melakukan pengawasan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan atas kebijakan pengurusan, jalannya
pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha
perseroan, dan member nasihat kepada direksi.
Dewan Komisaris dapat terdiri atas satu orang anggota atau lebih.
Dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas lebih dari satu orang anggota
merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat
bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan
Komisaris. Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan
menghipun dan / atau mengelola dana masyarakat, perseroan yang
menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau perseroan
terbuka wajib mempunyai paling sedikit dua orang anggota Dewan
Komisaris.
B. Kekuatan Pembuktian Akta
1. Kekuatan pembuktian akta non-elektronik
Akta otentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh notaris
atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta
Tanah) untuk kepentingan pihak-pihak dalam kontrak. Dalam peraturan
perundang-undangan disebutkan beberapa jenis kontrak yang harus
dilakukan melalui akta otentik dan yang cukup dilakukan melalui akta
bawah tangan.
Surat sebagai alat pembuktian tertulis atau dalam hal ini
merupakan akta non-elektronik dapat dibedakan dalam akta dan surat
bukan akta. Akta dapat dibedakan dalam akta otentik dan akta di bawah
tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus
ditandatangani, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk
dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Sehingga
surat yang tidak ditandatangani dapat dikategorikan sebagai surat bukan
akta . Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan
adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut.31 Suatu akta otentik
ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
(seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil),di
tempat akta itu dibuat. Akta di bawah tangan cara pembuatan atau
terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai
umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja.Contoh dari akta
otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal
penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya,
sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa
menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan sebagainya.
Akta mempunyai fungsi formil dan fungsi sebagai alat bukti. Akta
sebagai fungsi formil artinya bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi
lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Sebagai contoh perbuatan hukum
yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil adalah
perbuatan hukum disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata mengenai
perjanjian hutang piutang. Minimal terhadap perbuatan hukum yang
disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata, disyaratkan adanya akta
bawah tangan. Fungsi akta lainnya yang juga merupakan fungsi akta yang
paling penting adalah akta sebagai alat pembuktian. Dibuatnya akta oleh
31 http//id.wikipedia.org//Indonesia//akta otentik
para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian
di kemudian hari. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna
bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang
mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta
otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-
hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta
tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada
pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Sebaliknya, akta di bawah
tangan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang
yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang
mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di
bawah tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu
hendak dipakai.
a. Menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia
Pembuktian, adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut
hukum oleh para pihak yang berperkara kepada hakim dalam suatu
persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang
fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh
dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan.32
32 Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dan A.Chodari, 1999, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 50
Pembuktian diatur baik di dalam hukum perdata materiil yaitu KUH
Perdata, maupun di dalam hukum perdata formil, yaitu dalam RBg dan
HIR. Pembuktian diatur pada buku ke-IV yaitu dari Pasal 1865 sampai
dengan 1945, sedangkan dalam RBg diatur Pasal 282 sampai dengan
314 dan dalam HIR pada Pasal 162 sampai dengan 165, Pasal 167, 169
sampai dengan 177.
Hukum pembuktian termasuk dalam hukum acara, juga terdiri dari
unsur materiil maupun unsur formil, hukum pembuktian materiil mengatur
tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu
di persidangan diterima kekuatan pembuktiannya. Sedangkan hukum
pembuktian formil, yaitu mengatur tentang caranya mengadakan
pembuktian.
a. Hal-Hal Yang Harus Dibuktikan
Menurut ketentuan Pasal 283 RBg atau Pasal 163 HIR dan Pasal
1865 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai hak atau guna meneguhkan haknya
sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu
peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak dan peristiwa tersebut.
Dari ketentuan Pasal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa yang
dapat dibuktikan itu adalah peristiwa dan hak. Sedangkan hal yang harus
dibuktikan adalah hanyalah hal-hal yang menjadi perselisihan, yaitu
segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi disangkal atau di
bantah oleh pihak lain.
b. Beban Pembuktian
Pembuktian pada Hukum Acara Perdata, dilakukan oleh para pihak
dan bukan oleh hakim. Hakim akan memerintahkan kepada para pihak
untuk mengajukan alat-alat buktinya. Dalam arti lain, hakimlah yang
membebani para pihak dengan pembuktian.
Azas pembagian beban pembuktian (Bewijlast Verdeling) diatur
dalam Pasal 283 RBg atau Pasal 163 HIR atau Pasal 1865 KUH Perdata,
yang menyatakan “ Barang siapa yang mengakui mempunyai hak atau
yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan hak atau
yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu
atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak
atau peristiwa itu”.
Pada asanya masing-masing pihak diwajibkan membuktikan dalil-
dalilnya sendiri, penggugat wajib membuktikan dalil-dalilnya sendiri,
penggugat wajib membuktikan peristiwa yang dianjurkan, sedangkan
tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Asas ini sesuai
dengan peribahasa latin yang menyatakan “Affirmandi Incumbit Probatio”
artinya yaitu “Siapa yang mendalilkan dia yang harus membuktikan”.
c. Alat-alat Bukti
Alat bukti atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai
evidence, adalah informasi yang digunakan untuk menetapkan kebenaran
fakta-fakta hukum dalam suatu penyelidikan atau persidangan.
Paton dalam bukunya yang berjudul A Textbook of Jurisprudence,
seperti yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo menyebutkan, bahwa alat
bukti dapat bersifat oral, documentary, atau material. Alat bukti yang
bersifat oral, merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang dalam
persidangan. Alat bukti yang bersifat documentary, meliputi alat bukti
surat atau alat bukti tertulis. Alat bukti yang bersifat material, meliputi alat
bukti berupa barang selain dokumen.33
Pakar lainnya, yaitu Michael Chissick dan Alistair Kelman
mengemukakan tiga jenis pembuktian yang dibuat oleh komputer, yaitu :34
a. Real Evidence
Contohnya adalah komputer bank yang secara otomatis menghitung nilai
transaksi perbankan yang terjadi. Hasil kalkulasi ini dapat digunakan
sebagai sebuah bukti nyata.
b. Hearsay Evidence
Contohnya dokumen-dokumen yang diproduksi oleh komputer sebagai
salinan dari informasi yang dimasukkan oleh seseorang kedalam
komputer.
c. Derived Evidence
33 Sudikno Mertokusumo, 1999, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Hlm.120 34 Michael Chissick And Alistair Kelman, 1999, Electronic Commerce Law And Practice,
Sweet&Maxwell, New York, Hlm. 326
Derived evidence, merupakan kombinasi antara real evidence dan
hearsay evidence
Freddy Haris membagi alat-alat bukti dalam sistem hukum,
pembuktian menjadi :35
a. Oral Evidence
1) perdata (keterangan saksi, pengakuan sumpah);
2) pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa)
b. Documentary Evidence
1) perdata (surat dan persangkaan);
2) pidana (barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana,
barang yang merupakan hasil tindak pidana).
c. Electronic Evidence
1) konsep pengelompokkan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan
elektronik;
2) konsep tersebut terutama berkembang di Negara-negara common law;
3) pengaturannya tidak melahirkan alat bukti baru tetapi memperluas
cakupan alat bukti documentary evidence.
Segala sesuatu alat atau upaya yang data dipergunakan atau
dipakai untuk pemuktian disebut alat pembuktian (Bewijsmiddelen). Hakim
terikat pada alat-alat bukti yang sah, artinya hakim hanya boleh
mengambil putusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh
35 Freddy Haris, 2008, Cybercrime Dari Prespektif Akademis, www.gipi.or.id
Undang-Undang, demikian pula para pihak memberikan dalil-dalilnya
dengan alat-alat bukti tersebut.
Alat bukti adalah alat atau upaya yang dipergunakan oleh pihak-
pihak untuk membuktikan dalil-dalil yang diajukannya, sedangkan, ditinjau
dari sudut pengadilan yang memeriksa perkara, alat bukti artinya : alat
yang dipergunakan oleh hakim atau pengadilan untuk menjatuhkan
putusannya.36
Menurut Pasal 284 RBg atau Pasal 164 HIR atau Pasal 1866 KUH
Perdata, alat-alat bukti dalam perkara perdata, terdiri atas :
1). Bukti tulisan; 2). Bukti dengan saksi-saksi; 3). Persangkaan-persangkaan; 4). Pengakuan; 5). Sumpah;
Terdapat alat-alat bukti yang lain diluar ketentuan tersebut diatas, yaitu:
1). Pemeriksaan Setempat (Plaatselijk Orderzoek Discente) Pemeriksaan setempat ini diatur pada Pasal 180 RBg dan Pasal 153
HIR.
2). Keterangan Ahli (Expertise) atau saksi ahli
Keterangan ahli ini diatur pada Pasal 181 RBg atau Pasal 154 HIR.
b. Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris
Keotentikan dari akta notaris bersumber pada Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo Pasal
36 Ahmaturrahman, 2005, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Universitas Hukum Universitas Sriwijaya, Hlm. 84
1868 KUHPerdata, yaitu Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini, kewenangan yang dimaksud
terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang ini, yaitu Notaris
berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang
dibuatnya dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat otentik. Akta
yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat otentik bukan karena undang-
undang menetapkan demikian, tetapi karena akta itu dibuat oleh atau di
hadapan pejabat umum. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1868 KUHPerdata yang menyatakan:
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang demikian oeh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata ini, maka dapat diketahui
bahwa ada dua bentuk akta yang dibuat oleh notaris (relaas akta) dan
akta yang dibuat di hadapan notaris (partij akta). Akta yang dibuat oleh
notaries dapat suatu akta yang memuat relaas atau menguraikan secara
otentik suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat
atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni notaris sendiri, di dalam
menjalankan jabatannya sebagai notaris. Akta ini disebut juga akta yang
dibuat oleh (door) notaris (sebagai pejabat umum).
Akta notaris dapat juga berisikan cerita dari apa yang terjadi,
karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan notaris,
artinya yang diterangkan atau yang diceritakan oleh pihak lain kepada
notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak
lain ini sengaja dating di hadapan notaris, agar keterangan atau
perbuatan itu dituangkan dalam suatu akta otentik. 37 Akta ini disebut juga
akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui ada dua
bentuk akta notaris, yaitu:
a. Akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas
atau akta pejabat (ambtelijke akten).
b. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang
dinamakan akta partij (partij akten).
Di dalam semua akta tersebut, notaris menerangkan atau
memberikan dalam jabatannya sebagai pejabat umum, kesaksian dari
semua apa yang dilihat, disaksikan dan dialaminya, yang dilakukan pihak
lain. Dalam golongan akta yang kedua termasuk akta-akta yang memuat
37 http//www.hukum/indonesia_notarissby.co.id
perjanjian hibah, jual beli (tidak termasuk penjualan di muka umum atau
lelang), wasiat, kuasa dan lain sebagainya.
Dalam pelaksanaan pembuatan akta yang dibuat di hadapan
notaris hanya memenuhi kehendak para pihak yang menghadap
berdasarkan data-data yang dikemukakan kepadanya, adapun tujuan
dibuatnya akta notaris adalah sebagai upaya untuk pembuktian.
Pembuktian, adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut
hukum oleh para pihak yang berperkara kepada hakim dalam suatu
persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang
fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh
dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan.38
Tentang kekuatan pembuktian dari akta notaris dapat dikatakan
bahwa tiap-tiap akta notaris mempunyai tiga macam kekuatan
pembuktian, yaitu sebagai berikut:
(a) Kekuatan pembuktian yang luar (uitvendige bewijskracht), ialah
syarat-syarat formal yang diperlukan agar supaya akta notaris dapat
berlaku sebagai akta otentik.
(b) Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), ialah
kepasian bahwa suatu kejadian dan akta tersebut dalam akta betul-betul
dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang
menghadap.
38 Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dan A.Chodari, 1999, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 50
(c) Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht), ialah
kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta ini merupakan
pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau
mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecualin ada
pembuktian sebaliknya (tegenbenvijs).
Tiap-tiap akta notaris dapat dinilai sampai dengan kekuatan
pembuktiannya dan bagaimana perbandingan dari kekuatan pembuktian
yang tersimpul di dalamnya, di sini akta notaris akan menjadi persoalan
apabila objek yang dimuat dalam akta tersebut disengketakan.39
2. Kekuatan pembuktian akta elektronik
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat di
bidang telekomunikasi, informasi dan komputer telah menghasilkan
konvergensi dalam aplikasinya. Konsekuensinya, terjadi pula konvergensi
dalam peri kehidupan manusia, termasuk dalam kegiatan industri dan
perdagangan. Perubahan yang terjadi mencakup baik dari sisi lingkup
jasanya, pelakunya, maupun konsumennya. Dalam perkembangan
selanjutnya melahirkan paradigma, tatanan sosial serta sistem nilai
baru.40
39 Muhammad Adam, 1985, Asal Usul Dan Sejarah Akta Notarial, CV. Sinar Baru,
Bandung, Hlm. 28
40 Supancana, IBR., Kekuatan Akta Elektronis Sebagai Alat Bukti Pada Transaksi E-commerce Dalam Sistem Hukum Indonesia.
Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, semakin
lama manusia semakin banyak menggunakan alat teknologi digital,
termasuk dalam berinteraksi antara sesamanya. Oleh karena itu, semakin
lama semakin kuat desakan terhadap hukum, termasuk hukum
pembuktian, untuk menghadapi kenyataan perkembangan masyarakat
seperti itu. Sebagai contoh, untuk mengatur sejauh mana kekuatan
pembuktian dari suatu dokumen elektronik dan tanda tangan digital /
elektronik, yang dewasa ini sudah sangat banyak dipergunakan dalam
praktik sehari-hari.
a. Menurut UU Dokumen Perusahaan
Pengaruh globalisasi ekonomi dan informasi yang demikian luas
karena perkembangan perekonomian dan perdagangan baik nasional
maupun internasional yang bergerak cepat mengakibatkan meningkatnya
penggunaan dokumen, sehingga mengharuskan dunia usaha
memanfaatkan kemajuan teknologi untuk meningkatkan kemampuannya
secara efektif dan efisien khususnya dalam pengelolaan dokumen
perusahaan. Guna mencapai tujuan tersebut, pembentukan peraturan
mengenai dokumen perusahaan yang merupakan bagian dan
pembangunan hukum di bidang ekonomi perlu segera disusun, dalam
upaya memacu laju pertumbuhan perusahaan melalui pengelolaan
dokumen perusahaan yang efektif dan efisien.41
Ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Kitab Undang-
undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor Indonesie,
Staatsblad 1847 : 23) yang mewajibkan setiap orang yang menjalankan
perusahaan menyelenggarakan pencatatan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan perusahaan dan menyimpan dokumen tersebut antara
10 (sepuluh) sampai dengan 30 (tiga puluh) tahun, sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat khususnya di
bidang ekonomi dan perdagangan dewasa ini. Selain ketentuan wajib
menyimpan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Kitab Undang-
undang Hukurn Dagang (Wetboek van Koophandelvoor Indonesia,
Staatsblad 1847: 23) yang mewajibkan setiap orang yang menjalankan
perusahaan menyelenggarakan pencatatan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan perusahaan dan menyimpan dokumen tersebut antara
10 (sepuluh) sampai dengan 30 (tiga puluh) tahun, sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat khususnya di
bidang ekonomi dan perdagangan dewasa ini.
Selain ketentuan wajib menyimpan dokumen sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel voor Indonesie, Staatsblad 1847 : 23), juga ketentuan
41http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/uu_dokumen_perusahaan/penjelasan_u
mum.htm
Undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
berkaitan dengan tata cara penyimpanan, pemindahan, pemusnahan, dan
penyerahan arsip menimbulkan beban yang berat bagi perusahaan
karena pelaksanaannya memerlukan ruangan yang luas, tenaga, waktu,
perawatan, dan biaya yang besar.
Sedangkan data pendukung administrasi keuangan yang tidak
merupakan bagian dan bukti pembukuan, dan dokumen lainnya, jangka
waktu penyimpanannya disesuaikan dengan nilai guna dokumen yang
disusun dalam jadwal retensi yang ditetapkan dengan keputusan
pimpinan perusahaan. Sejalan dengan upaya mengurangi jangka waktu
penyimpanan, penerapan teknologi maju di bidang informatika telah
memungkinkan dokumen perusahaan yang dibuat di atas kertas atau
sarana lainnya dapat dialihkan untuk disimpan dalam mikrofiim atau
media lainnya.42
Pemakaian mikrofilm atau media lain tersebut dapat dipastikan
semakin banyak digunakan dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan
karena lebih ekonomis. Untuk menjamin kepastian hukum, maka
dokumen perusahaan yang disimpan dalam mikrofilm dan media lain,
merupakan salah satu alat bukti yang sah.
Data elektronis diterima sebagai alat bukti dan dalam Undang-
Undang Dokumen Perusahaan yaitu UU nomor 8 tahun 1997,
sebagaimana termuat dalam Pasal 1 bahwa :
42www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/uu_dokumen_perusahaan/penjelasan_umum.htm
(1) Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan
secara tetap dan terus-menerus dengan tujuan memperoleh
keuntungan dan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh orang-
perorangan maupun badan usaha yang didirikan dan berkedudukan
dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Dokumen perusahaan adalah data, catatan, dan atau keterangan
yang dibuat dan atau keterangan yang dibuat dan atau diterima oleh
Perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya baik tertulis di
atas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apa
pun yang dapat dilihat, dibaca atau didengar.
(3) Jadwal retensi adalah jangka waktu penyimpanan dokumen
perusahaan yang disusun dalam suatu daftar sesuai dengan jenis dan
nilai kegunaan dan dipakai sebagai pedoman pemusnahan dokumen
perusahaan.
Berdasarkan UUDP tersebut juga diketahui bahwa untuk Dokumen
Perusahaan pada pokoknya dibedakan atas dua jenis dokumen
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 UUDP yang menyatakan bahwa
Dokumen Perusahaan terdiri dari :
1. Dokumen keuangan, yang terdiri dari catatan, bukti pembukuan, dan
data pendukung administrasi keuangan, yang merupakan bukti adanya
hak dan kewajiban serta kegiatan usaha suatu perusahaan dan
2. Dokumen lainnya, yang terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi
keterangan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan meskipun
tidak terkait langsung dengan dokumen keuangan.
Selanjutnya dalam Pasal 9 UU Dokumen Perusahaan dinyatakan
bahwa catatan wajib dibuat sesuai Kebutuhan Perusahaan dan
ditandatangani oleh pimpinan perushaan atau pejabat yang ditunjuk di
lingkungan perusahaan yang bersangkutan. Kemudian dalam Pasal 10
UUDP dinyatakan ada dua jenis keharusan fiksasi, yaitu :
1. Catatan yang wajib dibuat di atas kertas, seperti neraca tahunan,
perhitungan laba rugi tahunan atau tulisan lain yang
mengganbarkan neraca laba rugi, dan
2. Catatan yang boleh dibuat di atas kertas atau sarana lainnya seperti
rekening, jurnal transaksi harian, atau setiap tulisan yang berisikan
keterangan mengenai hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan kegiatan usaha perusahaan.
Dalam Bab III Pasal 12 UUDP ini juga diatur mengenai pengalihan
wujud dan bentuk media penyimpanan informasi berikut legalisasinya,
yaitu dengan memperkenankan Dokumen Perusahaan tersebut dapat
dialihkan ke dalam media mikrofilm atau media lainnya. Setiap pengalihan
bentuk tersebut wajib dilegalisasi yang dilakukan oleh pimpinan
perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan yang
bersanggkutan, dengan dibuatkan berita acara. Mengenai hal ini, nantinya
akan diatur lebih lanjut oleh PP Nomor 88 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pengalihan Dokumen Perusahaan ke dalam Mikrofilm atau Media Lainnya
dan Legalisasi.
Hal yang menarik dari keberadaan UU Pokok Kearsipan dan
Dokumen Perusahaan adalah terbukanya pemahaman mengenai
keberadaan suatu informasi yang tersimpan secara elektronik (arsip
elektronik). Walaupun konsepsi UUDP tidak secara tegas menimbang
keberlakuan UU Pokok kearsipan, keberlakuannya mungkin dapat
dipahami sebagai lex spesialis dari keberadaan sistem kearsipan nasional
yang berlaku dalam lingkup perusahaan. Hal yang menjadi masalah
tentunya dewasa ini adalah pemahaman yang masih terlihat kurang tepat
karena masih sangat menggantungkan substansi informasi pada
keberadaan media penyimpanannya, bukan kepada mekanisme sistem
penyimpanannya ataupun sistem informasinya itu sendiri.
Penjelasan Pasal 3 UU Dokumen Perusahaan yang menyatakan
bahwa dokumen perusahaan yang sejak semula dibuat atau diterima
dalam sarana bukan kertas, misalnya rekening, jurnal transaksi harian,
nota kredit, dan nota debet yang diproses secara komputerisasi dan
hasilnya disimpan dalam bentuk disket, hard disk atau sarana lainnya,
dapat langsung dialihkan ke dalam microfilm atau media lainnya tanpa
perlu dibuatkan hasil cetaknya (hard copy).
Substansi ketentuan hukum tersebut memberikan ruang yang lebih
lapang bagi kita untuk berefisiensi, namun sebenarnya pernyataan ini
cukup berbahaya secara hukum karena sehurusnya ada persyaratan
tertentu dalam konteks ini, tidak dengan serta merta. Jika sistem tersebut
tidak pernah diverifikasi atau diaudit terlebih dahulu, nilainya menjadi
cukup meragukan. Perlu kehati-hatian dalam menerapkannya karena
tidak semua informasi dan/atau sistem informasi dengan gampangnya
begitu saja layak dipercaya. Paling tidak tetap diperlukan verifikasi dari
pihak ketiga yan profesional untuk menerangkan hal itu. Namun perlu juga
dipahami bahwa meskipun suatu informasi selayaknya tidak langsung
dipercaya bukan berarti informasi itu tidak bernilai secara hukum.
b. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
Menurut UU ITE, yang dimaksud dengan dokumen elektronik
adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar
melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna
atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Sedangkan pengertian informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan
data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah
yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.43
Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronik/dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah,
dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum
acara yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 1866 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, alat-alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan,
bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan
sumpah. Sedangkan menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, alat-alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh karena
itu, alat bukti menurut hukum acara di atas yang dibuat dalam bentuk
informasi elektronik/dokumen elektronik, dan informasi
elektronik/dokumen elektronik itu sendiri, merupakan alat bukti yang sah
menurut UU ITE.
Tapi tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik
dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE, suatu informasi
elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti
43 Artikel hukum teknologi informasi (www.not.sby.htm)
apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman,
serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
1. dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan;
2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan,
dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut;
3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan
bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang
bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
dan
5. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Disamping itu, ada beberapa jenis dokumen yang tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah apabila dibuat dalam bentuk
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dokumen-dokumen
tersebut adalah sebagai berikut: 44
1. surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis; dan
2. surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat
akta.
Dalam penjelasan UU ITE, hanya disebutkan bahwa yang surat
yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis itu
meliputi namun tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga,
dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara
perdata, pidana dan administrasi negara.
Dokumen elektronik berdasarkan pada Pasal 1 ayat 4 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah setiap informasi elektronik yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya.
44 Artikel hukum‐teknologi‐informasi,http//www.legalitas.org
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Mekanisme Pembuatan Risalah RUPS PT yang Dilakukan dengan
Telekonferensi
Perkembangan dunia telekomunikasi mengalami perluasan wilayah
dengan ditemukannya teknologi internet sebagai sarana komunikasi.
Percepatan inovasi sangat dimungkinkan karena internet memungkinkan
terintegrasinya seluruh kemampuan berpikir dan daya imajinasi manusia
ke dalam sebuah jaringan internet. Jaringan internet menjadi semacam
jembatan penghubung telepatis dari manusia ke manusia lainnya dengan
kecepatan cahaya menembus batas waktu dan batas negara.45
Teknologi Informasi (information technology) memegang peranan
yang sangat penting, baik dimasa kini atau masa yang akan datang.
Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan dan kepentingan yang
besar bagi negara-negara di dunia. Ada banyak hal yang membuat
teknologi informasi begitu penting dan hal itu dikarenakan bahwa
teknologi informasi memacu pertumbuhan ekonomi dunia.46
Teknologi informasi membawa dampak kompleksitas pada sebuah
realitas virtual yang memecahkan kebuntuan yang dimiliki oleh kehidupan
nyata mengenai konsep ruang dan waktu. Realitas virtual memungkinkan
45 Agus Raharjo, 2002, Ilmu Komunikasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 26. 46 Ibid., hal. 1.
orang yang berada pada tempat dan waktu yang berbeda untuk
berkomunikasi secara langsung menggunakan media internet.47
Informasi dan teknologi komunikasi mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan masyarakat, aspek ekonomi, sosial, maupun budaya.
Perkembangan internet telah membawa pengaruh yang besar dalam
segala aspek kehidupan manusia, dan diterapkan hampir pada semua
kegiatan, termasuk dalam bidang hukum. Perkembangan ini membawa
konsekuensi yang penting serta mempengaruhi lalu lintas hukum.48
Konsekuensi itu ditandai oleh:
- Dematerialisasi.
- Ekonomi bergantung pada informasi, pengetahuan, dan jasa
melalui jaringan digital, pertautan fisik melalui kertas atau
material yang fisiknya dapat dipegang menjadi berkurang.
- Internasionalisasi atau deteritorialisasi.
- Bagi internet tidak ada lagi batas negara.
- Turbulensi teknik
- Perkembangan teknik berjalan dalam kecepatan yang relatif
tinggi yang menyebabkan pembuat undang-undang terseok-
seok mengikutinya.
47 Ibid., hal. 110. 48 Herlien Budiono, 2007, Kompilasi Hukum Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal.
211.
Perkembangan teknologi digital yang semakin pesat, membuat
tidak sepantasnya lagi dipersyaratkan suatu tatap muka di antara pihak
yang melakukan kontrak, tetapi cukup memakai internet.49
Perkembangan teknologi informasi yang demikian cepat membawa
perkembangan baru dalam praktek hukum. Salah satunya adalah dalam
hal Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang sebelumnya dalam UU
No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, mewajibkan kepada para
peserta rapat untuk hadir dalam satu tempat guna melaksanakan RUPS,
akan tetapi sekarang ini dengan dikeluarkannya UU No. 40 Tahun 2007
sebagai pengganti UU No. 1 Tahun 1995, memungkinkan RUPS
dilaksanakan secara telekonferensi. Pelaksanaan RUPS secara
telekonferensi membuat para pihak yang mengikuti rapat tidak harus hadir
dalam satu tempat, tetapi bisa dilakukan dari lokasi masing-masing, tetapi
dalam waktu yang bersamaan. Penelitian ini ditujukan untuk mengupas
masalah penggunaan telekonferensi dalam RUPS dilihat dari tata cara
pelaksanaan dan kekuatan pembuktian data digital dari Rapat Umum
Pemegang Saham yang dilakukan secara telekonferensi.
Dalam hal pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi
elektronik menuntut adanya asas kepastian hukum, manfaat, kehati-
hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.
“Asas kepastian hukum” berarti landasan hukum bagi pemanfaatan
teknologi informasi dan transaksi elektronik serta segala sesuatu yang
49 Munir Fuady, 2006, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 151.
mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum
di dalam dan di luar pengadilan.
“Asas manfaat” berarti asas bagi pemanfaatan teknologi informasi
dan transaksi elektronik diupayakan untuk mendukung proses
berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Asas kehati-hatian” berarti landasan bagi pihak yang
bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi
mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam
pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik.
“Asas itikad baik” berarti asas yang digunakan para pihak dalam
melakukan transaksi elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain
tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.
“Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi” berarti
asas pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik tidak
terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti
perkembangan pada masa yang akan datang.50
Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik
dilaksanakan dengan tujuan untuk:51
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia;
50Assafa Endeshaw, 2007, Hukum E-Commerce dan Internet, Yogyakarta: Pustaka Pelayar. 51 Barkartullah, Abdul Halim dan Teguh Prasetyo, 2005, Bisnis E-Commerce: Studi Keamanan dan Hukum Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 12
b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam
rangka rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan dibidang penggunaan dan
pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dan bertanggung
jawab; dan
e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi
pengguna dan penyelenggara teknologi informasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan
teknologi informasi dalam praktek hukum dapat dilaksanakan sejauh
memenuhi asas-asas yang telah ditetapkan dan bermanfaat bagi banyak
orang.
1. Pelaksanaan RUPS Menggunakan Telekonferensi
Menurut Pasal 76 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan
atau di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama
sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar. Namun dalam ayat (2)
ditentukan bahwa RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat
kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan. Dalam ayat (3)
dinyatakan bahwa tempat pelaksanaan RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) harus terletak di wilayah negara Republik
Indonesia.
Dalam hal ini jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua
pemegang saham dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya
RUPS dengan agenda tertentu, RUPS dapat diadakan di manapun
dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengambil keputusan
jika keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat.
Dalam ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa Pasal 76 ayat (4)
UU No. 40 Tahun. 2007 menyatakan bahwa RUPS dapat diadakan di
manapun dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3). Hal ini menunjukkan bahwa RUPS tidak wajib dilakukan di
lokasi di mana Perseroan Terbatas berada. Hal tersebut diperjelas lagi
dengan ketentuan Pasal 77 UU No. 40 Tahun 2007 yang menentukan
bahwa:
(1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video
konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan
semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung
serta berpartisipasi dalam rapat.
(2) Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah
persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau
sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung
berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4) Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh
semua peserta RUPS.
Dari ketentuan Pasal 77 ini, dapat diketahui bahwa RUPS dapat
dilaksanakan secara telekonferensi. Dalam RUPS melalui media
telekonferensi, semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar
secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. Artinya RUPS dengan
media ini sebenarnya sama saja dengan pelaksanaan RUPS bertatap
muka secara langsung. Bedanya terletak pada lokasi peserta RUPS yang
tidak berada pada satu lokasi (bisa berada dimanapun).
Dalam hal ini pelaksanaan RUPS secara telekonferensi hanya
membutuhkan peralatan pendukung yang dapat memungkinkan para
peserta rapat melihat dan mendengar satu sama lain. Secara teknologi
hal ini sudah dimungkinkan dengan ditemukannya teknologi 3G yang
bahkan telah mencapai teknologi 3,5G dewasa ini.
Agar RUPS secara telekonferensi dapat terlaksana dengan baik,
masing-masing peserta rapat menyiapkan peralatan 3,5G yang terhubung
satu sama lain. Setelah dipastikan semua peserta RUPS terhubung, maka
rapat dimulai sama seperti protokoler biasa jika RUPS dilaksanakan
secara langsung tanpa melalui media 3,5G. Dalam rapat ini juga ada
Notulen dan ada Notaris. Keberadaan Notaris dalam hal ini dibutuhkan
untuk membuat akta Notaris pengesahan RUPS yang dilaksanakan
secara telekonferensi.
Hanya saja perbedaanya ada pada prosedur pelaksanaan RUPS
dan terdapat penambahan kalimat pada akta Pernyataan Keterangan
Rapat yang menerangkan bahwa RUPS dilaksanakan melalui
Telekonferensi, Video konferensi maupun sarana media elektronik
lainnya. Pembuatan akta Pernyataan Keterangan Rapat tersebut masih
terbatas pada area wilayah Negara Republik Indonesia, mengingat
ketentuan dalam Pasal 76 ayat (3) UUPT No.40 tahun 2007 yang masih
membatasi wilayah tempat diadakannya RUPS harus di dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
Menurut Husnawati, SH., tanggung jawab Notaris terhadap Akta
Berita Acara RUPS yang dibuat oleh notaris adalah terhadap kebenaran
tanggal, waktu, tempat di mana RUPS diadakan dan seluruh isi Akta
Berita Acara RUPS, terutama tentang keputusan-keputusan yang telah
ditetapkan oleh para pemegang saham dalam RUPS sebagaimana
tertuang dalam Akta Berita acara RUPS tersebut oleh karena pada saat
RUPS berlangsung Notaris menyaksikan dan mendengar secara
langsung sejak dibuka sampai dengan ditutupnya RUPS yang
bersangkutan.52 Sedangkan tanggungjawab Notaris terhadap Akta
Pernyataan Keterangan Rapat yang dibuat dihadapan notaris
52 Wawancara dengan Husnawati, SH.,Notaris di Palembang
berdasarkan Risalah RUPS melalui Media Telekonferensi, terbatas hanya
pada kebenaran tanggal, waktu dan tempat dimana Akta Pernyataan
Keterangan Rapat tersebut dibuat dan ditandatangani.
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui mengenai bagaimana
tata cara pelaksanaan RUPS menggunakan media telekonferensi yaitu
sebagai berikut ;
1) RUPS diawali dengan panggilan rapat oleh Direksi seperti pada
RUPS biasa atau secara konvensional, hanya saja dalam hal ini
panggilan dimungkinkan melalui pesan atau mail ke alamat e-
mail masing-masing pemegang saham dengan mencantumkan:
a. Tanggal
b. Waktu
c. Tempat, dan
d. Mata acara rapat
2) Pada hari dan jam yang telah ditentukan, para pemegang
saham yang berkehendak hadir atau mengikuti rapat langsung
menyambung ataupun mengakses ke alamat web yang telah
ditentukan oleh Direksi untuk memberi konfirmasi akan
keikutsertaannya dalam RUPS tersebut.
3) Dalam rapat ini juga ada Notulen dan ada Notaris. Keberadaan
Notaris dalam hal ini dibutuhkan untuk membuat akta Notaris
pengesahan RUPS yang dilaksanakan secara telekonferensi.
4) Setelah dipastikan seluruh anggota rapat telah terhubung, maka
rapat dapat dilangsungkan sama seperti protokoler biasa jika
RUPS dilaksanakan secara langsung tanpa melalui media.
Mengenai kebenaran isi dari keputusan-keputusan RUPS melalui
media Telekonferensi yang dituangkan ke dalam Akta Pernyataan
Keterangan Rapat tetap menjadi tanggung jawab klien yang bertindak
selaku pihak yang diberi kuasa oleh RUPS untuk menuangkan seluruh
keputusan RUPS tersebut ke dalam Akta Pernyataan Keterangan Rapat
dan yang menandatangani Akta tersebut, oleh karena pada saat proses
pengambilan keputusan dalam RUPS melalui media Telekonferensi itu
notaris tidak menyaksikan dan mendengarkan secara langsung.53
2. Proses Pembuatan Akta RUPS yang Dilaksanakan Secara
Telekonferensi
Proses pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham dari Notulen Rapat yang diselenggarakan melalui
media telekonferensi, menurut Notaris Jusuf Patrianto Tjahjono, SH.,
langkah-langkah yang akan dilakukan oeh seorang Notaris pada saat
diminta bantuannya oleh kliennya untuk membuat Akta Pernyataan
Keputusan RUPS adalah sebagai berikut :
Notaris wajib meminta Notulen Rapat yang asli, di sini mungkin
sudah dapat membingungkan Notaris, oleh karena bisa jadi ada 2
eksemplar Notulen Rapat, yang satu eksemplar ditanda tangani secara
fisik oleh sebagian peserta rapat, sedangkan yang lain ditanda tangani
secara elektronik oleh sebagian peserta rapat yang lain atau mungkin
juga 1 eksemplar Notulen Rapat dengan waktu penanda tanganan yang
berbeda beberapa saat. Untuk mendapat kejelasan maka notaris melihat
pada penjelasan Pasal 10 ayat 6 UU No. 40 Tahun 2007 dengan materi
muatan sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan ”tanda tangan secara eletronik” adalah
tanda tangan yang dilekatkan atau disertakan pada data elektronik oleh
pejabat yang berwenang yang membuktikan keotentikan data yang
berupa gambar elektronik dari tanda tangan pejabat yang berwenang
tersebut yang dibuat melalui media komputer.54
Tanda tangan elektronik yang memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah seperti diatur dalam pasal 11 ayat 1 UU ITE. Tanda
Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah
selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada
Penanda Tangan;
b. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses
penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda
Tangan;
54 Penjelasan Pasal 10 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
c. Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi
setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
d. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait
dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui;
e. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa
Penandatangannya; dan
f. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan
telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang
terkait.
Menurut hasil wawancara dengan Notaris Husnawati, SH., kalau
dianalisa sungguh definisi yang membingungkan dan tidak sesuai dengan
hukum pembuktian yang ada.55 Unsur-unsur dari definisi tersebut adalah:
tanda tangan yang dilekatkan atau disertakan pada data elektronik
olehpejabatyangberwenang
yang membuktikan keotentikan data
berupa gambar elektronik dari tanda tangan pejabat yang
berwenang tersebut
dibuat melalui media komputer
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan tanda tangan elektronik tersebut adalah gambar elektronik dari
tanda tangan si pejabat yang dibuat melalui media computer.
55 Wawancara dengan Husnawati, SH.,Notaris di Palembang
Dalam praktek sehari-hari, sebuah akta harus diresmikan untuk
mendapatkan keabsahan akta tersebut. Akta mempunyai daya berlaku
setelah diresmikan (verlijden) oleh notaris. Pasal 28 PJN mengatur
tentang peresmian (verlijden) yang menyatakan :
Notaris harus membacakan akta kepada para penghadap dan para saksi. Apabila seorang atau lebih dari para penghadap tidak mengerti bahasa yang dipergunakan dalam akta, maka oleh notaris harus diterjemahkannya, maka terjemahannya itu dilakukan oleh seorang penerjemah.
Segera setelah itu maka aktanya ditandatangani oleh masing-
masing penghadap, kecuali mereka menerangkan tidak dapat menulis
tanda tangannya atau berhalangan untuk menandatangani, dalam hal-hal
mana tentang keterangan itu dan sebabnya berhalangan disebutkan
dengan tegas dalam akta.
Jika seorang atau lebih dari para penghadap mempunyai
kepentingan terhadap bagian tertentu dari akta atau hanya bertindak
dalam sebagian dari akta, maka cukuplah apabila hanya bagian itu saja
yang dibacakan dan jika diterjemahkan kemudian ditandatangani oleh
mereka, dan bahwa pembacaan, penerjemahan dan penandatanganan
bagian dari akta itu disebutkan dengan tegas.56 Selain itu akta harus
didatandatangani oleh saksi-saksi, tidak termasuk yang tersebut dalam
Pasal 24, beserta notaris, dan dalam hal tersebut dalam ayat kedua Pasal
ini, juga oleh penterjemah. Dalam hal satu atau lebih ketentuan-ketentuan
dilanggar, maka akta itu hanya mempunyai kekuatan sebagai akta
dibawah tangan, jika ditandatangani oleh para penghadap. Tentang
56 Wawancara dengan Eva Yunani, SH., Notaris di Kota Magelang (Mei 2010)
pembacaan, penerjemahan dan penandatanganan harus disebutkan
secara tegas pada penutup akta, dengan ancaman denda jika diabaikan.
Pasal 28 ayat (1), (2), (3) dan (5) PJN memuat prosedur
pelaksanaan peresmian akta notaris (verlijden). Prosedur ini merupakan
prosedur standar yang tidak boleh diabaikan oleh notaris. Ketentuan
tersebut antara lain menyatakan sebelum akta ditandatangani oleh para
penghadap maka akta tersebut harus dibacakan secara keseluruhan
terlebih dahulu oleh notaris kepada para penghadap dan para saksi.
Pembacaan akta ini dilakukan baik untuk akta para pihak (partij acte)
maupun akta pejabat (amtelijke acte). Pembacaan ini merupakan bagian
yang dinamakan verlijden (pembacaan dan penandatanganan) dari akta.57
Pembacaan akta harus dilakukan sendiri oleh notaris yang
bersangkutan. Maksud dari pembacaan akta oleh notaris adalah :
a. Jaminan kepada para penghadap bahwa apa yang mereka
tanda tangani adalah sama dengan apa yang mereka dengar
dari pembacaan itu.
b. Kepastian bagi para penghadap bahwa apa yang ditulis dalam
akta adalah benar kehendak para penghadap.
Pembacaan akta dapat memberikan pemahaman agar para
penghadap dalam akta dapat mengerti dan memahami isi dari akta
tersebut sehingga dapat diperoleh keyakinan, bahwa akta itu benar-benar
57 Tobing, GHS Lumban, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, hal. 201.
berisikan apa yang dikehendaki oleh para penghadap. Pembacaan itu
sebagai pemenuhan dari formalitas yang ditentukan oleh undang-undang,
tidak boleh ditiadakan, sedangkan pembacaan itu sendiri masih tetap
mempunyai arti terhadap para penghadap.58 Apabila pembacaan akta
tidak dilakukan oleh notaris maka akta tersebut akan mempunyai
kekuatan sebagai akta dibawah tangan.
Semua yang tertulis di atas tentang penghadap yang mengerti atau
tidak ataupun tidak mau mendengarkan apa yang dibacakan, tidak
membebaskan notaris dari kewajibannya membacakan akta. Penghadap
diberi kesempatan mengetahui isi akta dan bertanya, terserah kepada
mereka, ingin memakai kesempatan itu atau tidak.59
Tan Thong Kie menyatakan bahwa manfaat pembacaan akta
adalah:60
a. Pada saat-saat terakhir dalam proses meresmikan (verlijden) akta,
notaris masih diberi kesempatan memperbaiki kesalahan-
kesalahannya sendiri yang sebelumnya tidak terlihat.
b. Para penghadap diberi kesempatan untuk bertanya apa yang
kurang jelas bagi mereka.
c. Untuk memberi kesempatan kepada notaris dan para penghadap
pada detik-detik terakhir, sebelum akta ini selesai diresmikan
dengan tanda tangan mereka, para saksi-saksi dan notaris
58 Ibid. hal. 202. 59 Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, hal. 223. 60 Ibid., hal. 224.
mengadakan pemikiran ulang, bertanya dan jika perlu mengubah
bunyi akta.
Setelah akta dibacakan oleh notaris kepada para penghadap maka
selanjutnya ditandatangani oleh para penghadap, saksi-saksi dan notaris.
Penghadap dalam akta notaris adalah mereka yang datang
menghadap kepada notaris untuk pembuatan akta, bukan mereka yang
diwakili untuk suatu jabatan atau kedudukan. Seorang suami yang turut
hadir dalam pembuatan akta untuk membantu istrinya adalah penghadap
dalam arti kata undang-undang.61 Seorang penghadap dalam akta notaris
dapat bertindak untuk :
1) Dirinya sendiri, artinya perbuatan hukum yang dilakukan
dimaksudkan untuk dirinya sendiri, dan akta yang dibuatnya itu
digunakan sebagai bukti bahwa ia telah meminta dibuatkan akta itu
untuk kepentingan sendiri.
2) Mewakili kepentingan orang lain dengan perantaraan kuasa,
artinya yang menjadi pihak (partij) dalam akta tersebut mewakili
kepentingannya melalui perantaraan orang lain, baik melalui kuasa
tertulis ataupun dengan kuasa lain.
3) Mewakili jabatan atau kedudukan, artinya apabila seseorang
menyatakan, bahwa ia bertindak di dalam akta yang bersangkutan
bukan untuk dirinya sendiri, akan tetapi untuk orang lain. Misalnya
seorang ayah yang menjalankan kekuasaan sebagai orang tua
61 GHS Lumban Tobing, Op. Cit., hal. 177.
terhadap anak-anaknya yang masih dibawah umur, wali untuk
mewakili anak yang berada dibawah perwaliannya, direksi dari
suatu perseroan terbatas.
Penandatanganan akta dilakukan pula oleh saksi. Saksi adalah
seseorang yang memberi kesaksian, baik secara lisan maupun secara
tertulis, yaitu menerangkan apa yang disaksikan sendiri, baik merupakan
perbuatan atau tindakan dari orang lain atau suatu keadaan ataupun
suatu kejadian. Saksi yang dimaksud dalam penandatangan akta adalah
saksi menurut Pasal 22 PJN, yaitu saksi instrumenter yang hadir dalam
pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta.
Dalam hal ini Undang-Undang tidak memberikan defenisi tentang
apa yang disebut tanda tangan. Penandatanganan atau menandatangani
(ondertekenen) secara etimologis (ilmu asal-usul suatu kata), yaitu
memberi tanda (teken) dibawah sesuatu.
Scheltema memberi defenisi tanda tangan adalah keseluruhan
tanda-tanda huruf yang dibubuhkan dalam tanda tangan yang
mengindividualisir penandatangan dalam batas tertentu. Pengertian yang
disampaikan oleh Scheltema mempunyai pengertian yang luas karena
tanda tangan dengan menggunakan nama kecil atau dengan paraf atau
dengan stempel dianggap sebagai tanda tangan yang sah selama yang
menandatangani dapat di-individualisir secukupnya. Hoge Raad (17
Desember 1885 memberikan defenisi penandatanganan ialah
membubuhkan nama dari si penandatangan, sehingga membubuhkan
paraf, yaitu singkatan tanda tangan saja dianggap belum cukup.
Dengan ditentukan oleh undang-undang keharusan
penandatangan (het tekenen van de naam) dalam akta, maka kiranya
dapat dimengerti apa sebabnya dalam akta notaris tidak perlu
dibubuhkannya cap jempol oleh seseorang yang tidak dapat
menandatangani sesuatu akta karena ia buta huruf atau karena
berhalangan, oleh karena cap jempol bukan merupakan tanda-tanda huruf
(lettertekens), sehingga karenanya tidak memenuhi persyaratan
penandatanganan nama.62
Apabila penghadap menerangkan bahwa ia tidak dapat
membubuhkan tanda tangannya dalam akta baik atas alasan kesehatan
ataupun karena buta huruf maka atas segala sebab yang menjadi
halangan pemberian tanda tangan itu harus dijelaskan secara tegas oleh
notaris dalam aktanya.
Pelaksanaan penandatanganan tidak dapat dilakukan dalam hari
yang berlainan.63 Pasal 28 PJN dinyatakan secara tegas bahwa setelah
akta dibacakan maka selanjutnya akta itu harus segera ditandatangani
oleh masing-masing penghadap. Pelaksanaan pembacaan dan
pandatangan akta merupakan satu rangkaian perbuatan yang tidak dapat
terbagi-bagi dengan hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Apabila
penandatanganan akta dilakukan dalam hari yang berbeda maka terbuka
62 Ibid., hal. 205. 63 Ibid.
kemungkinan akan pelaksanaan pembacaan dan penandatanganan
aktanya dilakukan pada hari yang berlainan. Dengan demikian akta yang
seperti ini harus mempunyai lebih dari satu tanggal dan hal ini
bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 PJN yang menyatakan “…
segera setelah dibacakan …” pernyataan ini tidak memungkinkan adanya
dua tanggal dalam satu akta yang sama.
Tujuan Pasal 28 PJN adalah agar para penghadap dalam akta
memiliki kepastian bahwa mereka menandatangani akta yang sama yang
telah dibacakan oleh notaris kepada mereka. Kepastian ini termasuk pula
akan kepastian hari dan tanggal akta. Notaris harus dapat memberikan
kepastian tentang hari dan tanggal peresmian akta baik dalam akta dibuat
oleh para pihak dihadapannya (partij acte) ataupun dalam akta pejabat
(amtekijke acte).
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa peresmian akta
dilakukan dengan menandatangani akta yang disepakati setelah
sebelumnya dibacakan oleh Notaris mengenai isi akta. Hal ini juga
berlaku bagi RUPS yang dilaksanakan secara telekonferensi. Peresmian
akta RUPS dilaksanakan dengan membubuhkan tanda tangan para pihak
yang mengikuti RUPS setelah sebelumnya isi dari akta dibacakan oleh
Notaris.
Menurut Notaris Eva Yunani, para pihak yang mengikuti RUPS
dianggap hadir di depan Notaris, sehingga syarat bahwa para pihak harus
menghadap langsung dengan Notaris dianggap telah terpenuhi.64 Adapun
tanda tangan yang diberikan oleh para peserta RUPS melalui media
telekonferensi berupa tanda tangan digital (digital signature). Tanda
tangan digital adalah tanda tangan yang diberikan oleh para pihak dengan
menggunakan teknologi tertentu, yang kemudian dikirimkan kepada
Notaris untuk dijadikan sebagai bagian dari akta RUPS.
Fungsi dari tanda tangan digital ini sama dengan tanda tangan
konvensional. Tanda tangan digital sebenarnya dapat memberikan
jaminan keamanan yang lebih terhadap keamanan dokumen dibanding
dengan tanda tangan konvensional. Penerima dokumen elektronik yang
dibubuhi tanda tangan digital dapat memeriksa apakah dokumen itu benar
– benar datang dari si pengirim dan apakah dokumen itu telah diubah
setelah ditandatangani, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Lagi
pula pada tanda tangan digital yang aman tidak dapat diingkari oleh
penanda tangan dibelakang hari dengan alasan tanda tangannya telah
dipalsukan (hal ini sering terjadi pada dokumen konvensional yang berupa
akta biasa/tidak otentik). Dengan kata lain, tanda tangan digital dapat
memberikan jaminan keaslian dokumen yang dikirimkan secara digital,
baik jaminan identitas pengirim dan kebenaran dari dokumen tersebut.
Apabila seseorang mengirimkan dokumen yang ditandatangani
secara digital kepada pihak lain, maka ia membuat sari dari dokumen itu
yang berbentuk suatu format yang merupakan tanda “sidik jari digital” dari
64 Wawancara dengan Eva Yunani, SH., Notaris di Kota Magelang (Mei 2010)
dokumen tersebut. Apabila ada bagian dari dokumen tersebut yang
diubah, maka hasilnya akan mengubah keseluruhan dokumen. Tahap
pertama, pengirim akan melakukan pengacakan (encryption/enkripsi)
terhadap dokumen yang sudah disarikan itu dengan menggunakan kunci
privatnya.65 Pesan yang diacak ini merupakan tanda tangan digital dari si
pengirim dokumen. Kemudian pengirim mengirimkan dokumen dan tanda
tangan digitalnya kepada penerima. Ketika dokumen itu diterima,
selanjutnya penerima melakukan penyusunan kembali tanda tangan
digital yang diterimanya dengan menggunakan kunci publik milik pengirim
dan menyusun kembali dokumen yang telah diacak tesebut agar dapat
dibaca. Untuk memeriksa keaslian dokumen tersebut, penerima dapat
mencocokkan dokumen itu dengan fungsi pencocokan yang sama dengan
yang dimiliki si pengirim dan membandingkan hasilnya dengan dokumen
yang diacak yang dikirimkan padanya. Apabila keduanya sama maka
penerima akan yakin bahwa dokumen itu memang berasal dari pengirim
yang benar dan tidak mengalami perubahan sejak ditandatangani.
Selanjutnya perlu difahami dengan dengan baik oleh praktisi
hukum bahwa suatu tanda-tangan elektronis, bukanlah suatu gambar
tanda-tangan yang di-scan kemudian ditempatkan pada suatu dokumen,66
sehingga suatu dokumen memang terkesan (pada layar monitor
komputer) sudah ditandatangani. Pengertian tandatangan elektronis yang
65 Robaga Gautama Simanjuntak, http://advokat-rgsmitra.com 66 Hasil diskusi mengenai Sosialisasi Undang-Undang Informasi & Transaksi
Elektronis, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Advokat Indonesia DPC-Jakarta Selatan, tanggal 25 Mei 2008, dari Pembicara Edmon Makarim.
sebenarnya (menurut Undang-Undang ITE) bisa dibuat dengan berbagai
cara antara lain dengan sebuah kode digital yang ditempelkan pada
pesan yang dikirimkan secara elektronis, yang secara khusus akan
memberikan identifikasi khusus dari pengirimnya. Indonesia sendiri
kemungkinan akan mengarah kepada praktek penggunaan tanda-tangan
digital berdasarkan “publik-key” yaitu sebuah bentuk enkripsi data yang
menggunakan 2 jenis kunci berbeda yaitu public-key dan private key.
Akan tetapi pada beberapa kasus akibat perbedaan program yang
digunakan untuk proses pengacakan oleh si pengirim atau sifat dari
dokumen yang dikirimkan sangatlah rahasia sehingga hanya si penerima
dokumen saja yang dapat membacanya maka proses pengacakan
sebuah dokumen tidak dapat dilakukan oleh tanda tangan digital sendiri,
maka si pengirim harus melakukan pengacakan dengan menggunakan
kunci publik milik si penerima. Dengan demikian hanya penerima tersebut
yang dapat membaca dokumen itu dengan cara menyusun kembali
dokumen itu dengan kunci privat miliknya.
Dengan demikian tanda tangan digital merupakan alat yang
digunakan untuk menjaga keaslian suatu dokumen elektronik. Namun
untuk menjamin bahwa tanda tangan digital tesebut memang milik
seseorang yang berhak maka para pihak pengguna internet ini
memerlukan adanya lembaga yang menjamin keabsahan tanda tangan
digital tersebut, dinamakan Certification Authority (CA). Dimana cara kerja
CA ada beberapa tahap adalah sebagai berikut:67
1. Tahap pertama: pengguna internet (end user – U) mendaftarkan
tanda tangan digitalnya kepada Intermediate Certification
Authority (T),
2. Intermediate Certification Authority (T), menerbitkan sertifikat
yang menjamin keabsahan tanda tangan digital,
3. T mendaftarkan sertifikat tersebut ke Intermediate Certification
Authority (S),
4. S menerbitkan sertifikat atas sertifikat yang diterbitkan oleh T,
5. kemudian S mendaftarkan sertifikat tersebut ke Root Certification
Authority (R) ,
6. Dan R menerbitkan kunci publik atas seluruh tanda tangan
digital yang dijaminnya. Kunci publik ini didistribusikan melalui
lembaga independen yang dapat dipercaya.
Adapun alasan mengapa sertifikat dibuat secara bertingkat
sebagaimana dikemukakan di atas, adalah untuk menciptakan
infrastruktur kunci publik yang lebih aman dan terukur, baik dalam 1 (satu)
domain tersendiri (intranet) ataupun antar bermacam-macam domain.
67 Group Riset Digital Security & Electronic Commerce, “Kerangka Hukum Digital Signature
Dalam Electronic Commerce”, Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 1999.
Tanda tangan digital ini terbatas masa berlakunya, di Amerika
Serikat misalnya, kebanyakan penyelenggara Certification Authority (CA)
memberi batas waktu 1 (satu) tahun untuk tanda tangan digital dan
dengan demikian dokumen yang dibubuhi tanda tangan digital yang
sudah habis masa berlakunya tidak dapat diterima. Pembatasan masa
berlaku tanda tangan digital dilakukan dengan stempel waktu (time-
stamp) digital. Yang menjadi masalah adalah bila suatu penandatanganan
dokumen yang masa berlakunya lebih dari 2 (dua) tahun seperti kontrak –
sewa dan perjanjian jangka panjang lainnya. Jalan keluarnya adalah
dengan mendaftarkan setiap kontrak yang dibuat lewat internet untuk
dibubuhi stempel waktu digital pada waktu ditandatangani. Dengan
pembubuhan stempel waktu, maka tanda tangan digital ini dapat berlaku
sampai berakhirnya masa berlaku tanda tangan digital. Apabila masing –
masing pihak memegang salinan dari stempel waktu tersebut, maka
masing-masing pihak dapat membuktikan bahwa dokumen elektronik
tersebut ditandatangani dengan kunci yang sah. Setiap dokumen
elektronik yang ditandatangani secara digital dapat dibubuhi stempel
waktu, untuk menjamin bahwa tanda tangan digital yang dibubuhkan
dalam dokumen elektronik itu dapat diverifikasi setelah kunci masing –
masing penanda tangan telah habis masa berlakunya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa
peresmian akta RUPS yang dilaksanakan secara telekonferensi adalah
dengan ditandatanganinya akta RUPS oleh para pihak, saksi dan Notaris,
setelah sebelumnya dibacakan hasil RUPS oleh Notaris seara
telekonferensi. Penandatanganan ini dilakukan secara dugital (digital
signature) dengan menggunakan bantuan perangkat teknologi yang
terjamin keamanannya.
B. Kekuatan Pembuktian dari Risalah RUPS PT yang Dilakukan
dengan Telekonferensi
Dokumen elektronik yang ditanda tangani dengan tanda tangan
elektronik didalam hukum pembuktian di Indonesia, diakui esensinya
setelah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa informasi elektronik/dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah,
dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum
acara yang berlaku di Indonesia hal tersebut berdasarkan ketentuan pada
Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.
Berdasarkan pada Pasal 164 HIR dan Pasal 284 RBg, alat-alat
bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi,
persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah, sedangkan menurut
Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat-alat bukti
yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk
dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, alat bukti menurut hukum
acara di atas yang dibuat dalam bentuk informasi elektronik/dokumen
elektronik, dan informasi elektronik/dokumen elektronik itu sendiri,
merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik.68
Kekuatan pembuktian dari dokumen elektronik tersebut hanyalah
akta di bawah tangan, di mana bentuk akta di bawah tangan dibuat dalam
bentuk yang tanpa perantara atau tidak perantara atau tidak di hadapan
pejabat umum yang berwenang, Mempunyai kekuatan pembuktian
sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari
salah satu pihak. Jika salah satu pihak tidak mengakuinya, beban
pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut,
dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada
hakim.69
Dalam hal kekuatan pembuktian dari suatu dokumen elektronik dan
tanda tangan digital / elektronik, yang dewasa ini sudah sangat banyak
dipergunakan dalam praktik sehari-hari. Di satu pihak, agar hukum selalu
dapat mengakui perkembangan zaman dan teknologi, perlu pengakuan
hukum terhadap berbagai jenis perkembangan teknologi digital untuk
berfungsi sebagai alat bukti pengadilan. Akan tetapi, di lain pihak
kecenderungan terjadi manipulasi penggunaan alat bukti digital oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menyebabkan hukum tidak
bebas dalam mengakui alat bukti digital tersebut dengan “hukum alat bukti
68 Ario Juliano Gema,2008, Apakah Dokumen Elektronik Dapat Menjadi Alat Bukti
Yang Sah, www.Legalminded.com
69 Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, Hlm. 49
yang terbaik” (best evidence rule), satu alat bukti digital sulit diterima
dalam pembuktian.
The best evidence rule mengajarkan bahwa suatu pembuktian
terhadap isi yang substansial dari suatu dokumen/photograph atau
rekaman harus digunakan dengan membawa ke pengadilan
dokumen/photograph atau rekaman asli tersebut. Kecuali jika
dokumen/photograph atau rekaman tersebut memang tidak ada, dan
ketidakberadaannya bukan terjadi karena kesalahan yang serius dari
pihak yang harus membuktikan. Dengan demikian, menurut doktrin best
evidence ini, foto kopi (bukan asli) dari suatu surat tidak mempunyai
kekuatan pembuktian di pengadilan. Demikian juga bukti digital, seperti e-
mail, surat dengan mesin faksimile, tanda tangan elektronik, tidak ada
aslinya atau setidak-tidaknya tidak mungkin dibawa aslinya ke pengadilan
sehingga hal ini mengakibatkan permasalahan hukum yang serius dalam
bidang hukum pembuktian.
Menurut Budi Agus Riswandi, terdapat beberapa persyaratan
hukum yang harus dipenuhi dalam melakukan transaksi atau proses
secara elektronik, yaitu:70
a. Autentisitas (Authenticity)
Para pihak yang terlibat dalam transaksi elektronik harus percaya bahwa
autentisitas dan komunikasinya diterima. Autentisitas dibutuhkan agar
dapat dijadikan alat pembuktian di pengadilan.
70 Budi Agus Riswandi, Op. Cit., hal. 43‐44.
b. Integritas (Integrity)
Seorang recipient membutuhkan kepercayaan terhadap keutuhan
komunikasi sebelum bertindak untuk melakukan transaksi atau yakin
bahwa pesan yang disampaikan tidak diubah. Persyaratan ini juga
dibutuhkan oleh hukum sebagai alat pembuktian.
c. Tidak Dapat Disangkal (Non Repudation)
Non repudation menjadi persyaratan hukum ketika pengirim pesan tidak
dapat menyangkal bahwa pengirim pesan tersebut tidak pernah
mengirimkan pesan.
d. Tertulis dan Tanda Tangan
Hukum mensyaratkan bahwa persetujuan harus memuat dua hal, yaitu
dokumen tertulis dan ditandatangani. Jika para pihak masuk dalam
kontrak online, maka persyaratan tertulis dan ditandatangani harus dapat
diterapkan.
e. Kerahasiaan (Confidentiality)
Kerahasiaan diperlukan untuk melindungi hak kekayaan terhadap
informasi. Kerahasiaan sangat diperlukan untuk mencegah akses dan
penggunaan informasi yang dapat menyebabkan bahaya bagi pemilik
informasi, seperti nomor rekening bank.
Syarat-syarat yang dikemukakan di atas sudah dipenuhi dalam
pelaksanaan RUPS secara telekonferensi, sehingga pelaksanaan RUPS
tersebut dianggap sudah memenuhi persyaratan hukum transaksi
elektronik.
Di lain pihak, secara umum penggunaan dokumen elektronik ini
juga sudah diakui oleh hukum dengan dikeluarkannya UU Nomor 8 Tahun
1997 tentang Dokumen Perusahaan (UUDP). Menurut Pasal 1 angka 2
UUDP, yang dimaksud dengan dokumen perusahaan adalah data,
catatan, dan atau keterangan yang dibuat dan atau diterima oleh
perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas
kertas atau sarana lain maupun rekaman dalam bentuk corak apa pun
yang dapat dilihat, dibaca, dan didengar. Dokumen perusahaan terdiri dari
dokumen keuangan dan dokumen lainnya. Dokumen lainnya ini adalah
hal-hal lain yang tidak terkait langsung dengan dokumen keuangan yang
terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterangan yang
mempunyai nilai guna bagi perusahaan, dan di dalam penjelasan dari
ketentuan tersebut adalah Risalah Rapat Umum Pemegang Saham, akta
pendirian, dan akta otentik lainnya yang mengandung kepentingan hukum
tertentu dan NPWP.71
Adanya ketentuan UUDP sebagaimana dikemukakan di atas,
memberi payung hukum bagi dokumen elektronik hasil RUPS secara
telekonferensi bahwa dokumen hasil RUPS yang dilakukan secara
telekonferensi adalah sah adanya. Apalagi dengan telah dikeluarkannya
ketentuan Pasal 77 UUPT 2007 yang memperbolehkan RUPS
71 Nindyo Pramono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 107-108.
dilaksanakan secara telekonferensi. Dengan demikian tidak ada keraguan
hukum atas keabsahan hasil RUPS yang dilaksanakan dengan dengan
media telekonferensi sehingga hasil RUPS tersebut mengikat para pihak
sebagai Undang-undang sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338
KUH Perdata.
Selanjutnya, akibat hukum yang timbul dengan adanya RUPS
secara telekonferensi juga diakui oleh hukum. Hal ini didasarkan pada
asas legalitas hukum yang berbunyi “nullum dellectum nulla poena sine
praevia lege poenale” yang artinya tidak ada perbuatan yang dapat
dijatuhi hukuman kecuali atas kekuatan aturan dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Dalam hal ini karena Undang-undang sudah mengatur mengenai
pelaksanaan RUPS secara telekonferensi, maka asas legalitas hukum
tersebut sudah terpenuhi.
Karena hasil RUPS secara telekonferensi telah diakui
keabsahannya, maka ada perlindungan hukum terhadap hasil rapat
tersebut. Dengan demikian apabila terjadi sengketa antara para pihak di
kemudian hari, maka hasil RUPS tersebut dapat dipergunakan sebagai
alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Pembuat undang-undang
secara eksplisit dalam penjelasan umum UU ITE juncto Pasal 6 UU ITE
berikut penjelasannya telah menyatakan bahwa dokumen elektronik
kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. (
Pasal 6 UU ITE :”Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur
dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus
berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya
dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.”
Penjelasan Pasal 6 UU ITE :”Selama ini bentuk tertulis identik dengan
informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal
pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam
media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem
Elektronik, Informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk
dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan
cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat
dibedakan lagi dari salinannya.”
Dengan demikian maka risalah rapat RUPS modern yang
merupakan dokumen elektronik dapat disetarakan kedudukannya dengan
dokumen (risalah rapat) yang ditulis diatas kertas. Namun dalam hal ini
perlulah diadakan analisa yang lebih mendalam mengenai arti kata
”kedudukan” yang disetarakan dalam Penjelasan Umum UU ITE tersebut.
Menurut Jusuf Patrianto Tjahjono, SH, Notaris di Surabaya, jika
dianalisa ketentuan pasal 5 ayat 1, ayat 2, pasal 6, Penjelasan Umum
dengan menggunakan metode logika induksi, maka kesimpulannya yang
dimaksud dengan kedudukan adalah fungsi; jadi informasi yang dibuat
melalui media elektronik ”fungsinya” disetarakan dengan informasi yang
dibuat dengan menggunakan media kertas; oleh karena itu dalam UU ITE
sama sekali tidak menentukan kedudukan hukum ( dalam hal ini
kedudukan, nilai, derajat, dan kekuatan pembuktian ) dalam Hukum Acara
yang berlaku di Indonesia.
Dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 UU ITE hanya disebutkan bahwa
dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya adalah alat bukti hukum yang
sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di Indonesia; sehingga permasalahannya
apakah dokumen elektronik tersebut dapat dipersamakan akta dibawah
tangan (risalah rapat yang dibuat di bawah tangan) atau bahkan setara
dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris dalam kedudukan, nilai,
derajat dan kekuatan pembuktiannya dalam Hukum Acara Perdata di
Indonesia.
Untuk menjawab pertanyaan dapatkah dokumen eletronik
khususnya risalah rapat RUPS modern disetarakan dengan akta otentik
sebagaimana yang diwacanakan oleh para ahli hukum telematika,72 maka
haruslah diteliti lebih dahulu ketentuan-ketentuan yang ada pada UUPT
sebagai ”lex specialis ”nya.
Oleh UU PT bahwa setiap perubahan anggaran dasar baik yang
memerlukan persetujuan maupun yang hanya cukup diberitahukan
kepada Menteri wajib dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris dalam
72 Arrianto Mukti Wibowo beserta team dalam Laporan Penelitian Tahap Pertama
versi 1.04 Naskah Akademik Rancangan Undang Undang tentang Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik, 2001, hal 108-109
bahasa Indonesia. Jika tidak dimuat dalam akta berita acara rapat yang
dibuat oleh notaris harus dinyatakan dalam akta notaris paling lambat 30
(tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS. Selanjutnya
ditentukan bahwa jika lewat dari batas waktu yang telah ditentukan di
atas, maka risalah rapat perubahan anggaran dasar tersebut tidak dapat
dinyatakan dalam akta notaris.
Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dan
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b
UU ITE :
“ Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis;dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat
akta.
Maka risalah rapat dari RUPS modern yang merupakan Dokumen
Elektronik tidak dapat disetarakan dengan akta otentik yang dibuat oleh
atau dihadapan notaris; oleh karena otensitas dari akta notaris bersumber
dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun
2004, yaitu notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang
dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta
otentik.
Akta yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat otentik, bukan oleh
karena undang-undang menerapkan demikian, tetapi karena akta itu
dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Hal ini sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan: “Suatu akta otentik
ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.
Jika tidak dapat disetarakan dengan akta otentik baik dari segi
fungsi maupun dari segi kekuatan pembuktiannya, apakah kekuatan
hukum pembuktian Dokumen Elektronik dalam hal ini risalah RUPS
modern dapat disetarakan dengan akta yang dibuat dibawah tangan.
Singkatnya, segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta
otentik disebut akta di bawah tangan atau dengan kata lain segala jenis
akta yang tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Tetapi dari
segi hukum pembuktian, agar suatu tulisan bernilai sebagai akta dibawah
tangan, diperlukan persyaratan pokok, yaitu:
1. surat atau tulisan itu ditanda tangani;
2. isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum
3. (rechtshandeling) atau hubungan hukum (recht bettrekking);
4. sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut
di dalamnya.
Daya kekuatan pembuktian akta dibawah tangan, tidak seluas dan
setinggi derajat akta otentik. Akta otentik memiliki daya pembuktian
lahiriah, formil dan materiil. Tidak demikian dengan akta dibawah tangan,
yang padanya tidak mempunyai daya kekuatan pembuktian lahiriah,
namun hanya terbatas pada daya pembuktian formil dan materiil dengan
bobot yang jauh lebih rendah dibandingkan akta otentik.
Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronik/dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah,
dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum
acara yang berlaku di Indonesia. Tapi, tidak sembarang informasi
elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah.
Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik/ dokumen elektronik
dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem
elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu
sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan
minimum sebagai berikut:
1. dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan;
2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan,
dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut;
3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan
bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang
bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
dan
5. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Pihak yang mengajukan informasi elektronik tersebut harus dapat
membuktikan bahwa telah dilakukan upaya yang patut untuk memastikan
bahwa suatu sistem elektronik telah dapat melindungi ketersediaan,
keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi
elektronik tersebut.
Bagaimanapun juga UU ITE harus bisa menjelaskan bagaimana
membuktikan suatu sistem elektronik memenuhi syarat yg diatur dalam
UU ITE, agar alat bukti berupa informasi/dokumen elektronik tidak
dipertanyakan lagi keabsahannya. Karena dalam UU ITE sendiri
pengaturan mengenai sistem elektronik masih akan diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah, maka sangat diharapkan pengaturannya
nanti dapat menghindari perdebatan yang tidak perlu mengenai
keabsahan alat bukti tersebut.
Dasar hukum mengenai pembuktian secara elektronis dapat
diuraikan sebagai berikut :
1) Undang - Undang UU nomor 8 tahun 1997 tentang Dokumen
Perusahaan
Data elektronis diterima sebagai alat bukti dan dalam Undang -
Undang Dokumen Perusahaan yaitu UU nomor 8 tahun 1997,
sebagaimana termuat dalam Pasal 1 khususnya dalam ayat (2) bahwa :
“Dokumen perusahaan adalah data, catatan, dan atau keterangan yang
dibuat dan atau keterangan yang dibuat dan atau diterima oleh
Perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya baik tertulis di atas
kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apa pun
yang dapat dilihat, dibaca atau didengar”
Dalam Bab III Pasal 12 UUDP ini juga diatur mengenai pengalihan
wujud dan bentuk media penyimpanan informasi berikut legalisasinya,
yaitu dengan memperkenankan Dokumen Perusahaan tersebut dapat
dialihkan ke dalam media mikrofilm atau media lainnya. Setiap pengalihan
bentuk tersebut wajib dilegalisasi yang dilakukan oleh pimpinan
perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan yang
bersanggkutan, dengan dibuatkan berita acara. Mengenai hal ini, nantinya
akan diatur lebih lanjut oleh PP Nomor 88 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pengalihan Dokumen Perusahaan ke dalam Mikrofilm atau Media Lainnya
dan Legalisasi.
2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronik/dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang
sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 1866 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, alat-alat bukti yang sah terdiri dari
bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan,
pengakuan dan sumpah. Sedangkan menurut Pasal 184 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat-alat bukti yang sah terdiri
dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa. Oleh karena itu, alat bukti menurut hukum acara di atas
yang dibuat dalam bentuk informasi elektronik/dokumen elektronik,
dan informasi elektronik/dokumen elektronik itu sendiri, merupakan
alat bukti yang sah menurut UU ITE.
Dokumen elektronik berdasarkan pada Pasal 1 ayat 4 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah setiap informasi elektronik yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum dokumen
elektronik dapat dijadikan suatu bukti yang sah, maka harus diuji lebih
dahulu syarat minimal yang ditentukan oleh undang-undang yaitu
pembuatan dokumen elektronik tersebut dilakukan dengan menggunakan
sistem elektronik yang andal, aman dan beroperasi sebagaimana
mestinya.
Oleh karena itu dapat dipertanyakan apakah dokumen elektronik
(dalam hal ini risalah RUPS modern) sudah memenuhi batas minimal
pembuktian, oleh karena dalam teori hukum pembuktian disebutkan
bahwa agar suatu alat bukti yang diajukan di persidangan sah sebagai
alat bukti, harus dipenuhi secara utuh syarat formil dan materiil sesuai
dengan yang ditentukan oleh undang-undang.
Batas minimal pembuktian akta otentik cukup pada dirinya sendiri,
oleh karena nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik
adalah sempurna dan mengikat, pada dasarnya ia dapat berdiri sendiri
tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain.
Sedangkan pada akta dibawah tangan agar mempunyai nilai pembuktian
haruslah dipenuhi syarat formil dan materiil yaitu :
a. dibuat secara sepihak atau berbentuk partai (sekurang-kurangnya
dua pihak);
b. ditanda tangani pembuat atau para pihak yang membuatnya;
c. isi dan tandatangan diakui.
Kalau syarat diatas dipenuhi, maka sesuai dengan ketentuan Pasal
1975 KUH Perdata juncto Pasal 288 RBG maka nilai kekuatan
pembuktiannya sama dengan akta otentik; dan oleh karena itu juga
mempunyai batas minimal pembuktian yaitu mampu berdiri sendiri tanpa
bantuan alat bukti lain.
Dari Pasal 1 point 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 dan Pasal 7 UU ITE
dapat dikategorikan syarat formil dan materiil dari dokumen elektronik
agar mempunyai nilai pembuktian,yaitu:
a. berupa informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima atau disimpan, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau
didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk
tulisan, suara, gambar dan seterusnya yang memiliki makna atau
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya;
b. dinyatakan sah apabila menggunakan/berasal dari Sistem
Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang;
c. dianggap sah apabila informasi yang tecantum di dalamnya dapat
diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Dari syarat-syarat formil dan materiil tersebut dapat dikatakan
bahwa dokumen elektronik agar memenuhi batas minimal pembuktian
haruslah didukung dengan saksi ahli yang mengerti dan dapat menjamin
bahwa sistem elektronik yang digunakan untuk membuat, meneruskan,
mengirimkan, menerima atau menyimpan dokumen elektronik adalah
sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang; kemudian juga harus
dapat menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut tetap dalam keadaan
seperti pada waktu dibuat tanpa ada perubahan apapun ketika diterima
oleh pihak yang lain (integrity), bahwa memang benar dokumen tersebut
berasal dari orang yang membuatnya (authenticity) dan dijamin tidak
dapat diingkari oleh pembuatnya (non repudiation).
Hal ini bila dibandingkan dengan bukti tulisan, maka dapat
dikatakan dokumen elektronik mempunyai derajat kualitas pembuktian
seperti bukti permulaan tulisan (begin van schriftelijke bewijs), dikatakan
seperti demikian oleh karena dokumen elektronik tidak dapat berdiri
sendiri dalam mencukupi batas minimal pembuktian, oleh karena itu harus
dibantu dengan salah satu alat bukti yang lain. Dan nilai kekuatan
pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, yang dengan
demikian sifat kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vrij bewijskracht).
Berdasarkan penalaran hukum di atas, maka dapatlah disimpulkan
dokumen elektronik dalam hukum acara perdata dapat dikategorikan
sebagai alat bukti persangkaan Undang-undang yang dapat dibantah atau
setidak-tidaknya persangkaan hakim.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Mekanisme pembuatan akta dari hasil Rapat Umum Pemegang
Saham yang dilakukan secara telekonferensi meliputi pembuatan akta
oleh Notaris, kemudian dibacakan secara telekonferensi agar para
pihak yang mengikuti RUPS dapat mengetahui isi akta. Setelah para
pihak setuju dengan isi akta, kemudian dilakukan penandatanganan
akta secara elektronik menggunakan digital signature. Pihak yang
menandatangani adalah para pihak peserta RUPS, para saksi, dan
Notaris. Semua dilakukan secara digital. Setelah penandatanganan,
maka akta RUPS sudah sah dan mengikat para pihak sebagai
Undang-undang.
2. Kekuatan pembuktian data digital dari Rapat Umum Pemegang
Saham yang dilakukan secara telekonferensi adalah sama dengan
akta RUPS yang dilakukan secara konvensional. Hal ini dikarenakan
hasil RUPS secara telekonferensi sudah mendapat payung hukum
dari:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen
Perusahaan, dimana Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan dokumen perusahaan adalah data,
catatan, dan atau keterangan yang dibuat dan atau diterima
oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya,
baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun rekaman
dalam bentuk corak apa pun yang dapat dilihat, dibaca, dan
didengar. Dari ruang lingkup data yang dianggap dokumen
perusahaan tersebut, dapat diketahui bahwa data rekaman
dalam bentuk bukan kertas juga diakui sebagai dokumen,
sehingga data hasil RUPS yang merupakan dokumen
rekaman elektronik diakui keabsahannya.
b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dokumen elektronik berdasarkan pada Pasal 1 ayat 4 UU
ITE adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, disimpan dalam bentuk
analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya,
yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui
komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol,
atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
c. Selain itu, pelaksanaan RUPS dengan telekonferensi sudah
diperbolehkan oleh UUPT No. 40 Tahun 2007, sehingga
semakin absahlah hasil RUPS dengan telekonferensi di
mata hukum.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat diberikan saran-saran
sebagai berikut:
1. RUPS dengan telekonferensi dapat diterima secara hukum, sehingga
bagi para pihak yang akan mengadakan RUPS tetapi mempunyai
kendala jarak dan waktu, maka disarankan melakukan RUPS dengan
media telekonferensi.
2. Agar hasil RUPS benar-benar diakui keabsahannya secara hukum,
perlu dibuat ketentuan hukum yang mengatur secara jelas mengenai
keabsahan hasil RUPS secara telekonferensi, sehingga tidak ada
keraguan mengenai hal ini.
DAFTAR PUSTAKA Buku Ali, Achmad, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis), Jakarta: Chandra Pratama. Ali, Achmad, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta:
Yarsif Watampone. Ali, Achmad, 2001, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan
Solusinya), Jakarta: Ghalia Indonesia. Ali, Chidir, 1999, Badan Hukum, Bandung: Alumni. Effendy, Onong Uchjana, 2003, Komunikasi Massa, Bandung: Remaja Rosda
Karya. Friedmann, Lawrence M., 1975, The Legal System, Asocial Science
Perspective, New York: Russel Sage Foundation. Fuady, Munir, 2006, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Bandung: Citra
Aditya Bakti. H Budiono, erlien, 2007, Kompilasi Hukum Kenotariatan, Bandung: Citra
Aditya Bakti. Hamzah, Andi, 1986, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia. Kansil, C.S.T., 1985, Hukum Perusahaan Indonesia, Jakarta: Pradnya
Paramita. Kie, Tan Thong, 2000, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve. Kohar, A., 1983, Notaris dalam Praktek Hukum, Bandung: Alumni. Lubis, Suhrawadi K., 1994, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. Mertokusumo, Sudikno, 1986, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Liberty. Mertokusumo, Sudikno, 1996, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Liberty.
Mertokusumo, Sudikno, 1996, Penemuan Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.
Notodisoerjo, R. Soegondo, 1995, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Jakarta: Pradnya Paramita.
Pitlo, A., 1978, Pembuktian dan Daluwarsa, Jakarta: PT Intermasa. Pramono, Nindyo, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya
Bakti. Prasetya, Rudhi, 2001, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Disertai
Dengan Ulasan Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1995, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Puspa, Yan Pramadyan, 1977, Kamus Hukum, Semarang: Aneka. Raharjo, Agus, 2002, Ilmu Komunikasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rido, R. Ali, 2001, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,
Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Alumni. Riswandi, Budi Agus, 2008, Hukum dan Internet di Indonesia, Yogyakarta: UII
Press. Sastrawidjaja dan Suparman, 1995, Eksistensi dan Peranan Direksi,
Komisaris, Pemegang Saham Dalam Perseroan Terbatas dengan Berkunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press. Soemitro, H. Rohmat, 2003, Hukum Perseroan Terbatas Yayasan dan Wakaf,
Bandung: PT. Eresco. Sumardjono, Maria S.W., 2001, Metode Penelitian Ilmiah, Bandung:
Angkasa. Sumaryono, E., 1995, Etika Profesi Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat
Thomas Aquinas, Yogyakarta: Kanisius. Tirtaamidjaja, 2000, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Cetakan IV, Jakarta:
Djambatan. Tobing, GHS Lumban, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas jo.
Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi
Elektronik. Internet Ronny, 2008, Sembilan Peraturan Pemerintah Dan Dua Lembaga Yang Baru Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik, www.ronny-hukum.blogspot.com.
Grace Giovani, 2008, RUPS Melalui Media Elektronik. http://notarisgracegiovani.com. Wikipedia bahasa Indonesia, Perseroan Terbatas, ensiklopedia bebas.co.id http//id.wikipedia.org//Indonesia//akta otentik http//www.hukum/indonesia_notarissby.co.id http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/uu_dokumen_perusahaan/penjelasan_umum.htm