Upload
hoanghanh
View
218
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
iv
Tesis Ini Telah Diuji Pada
Hari Kamis, Tanggal 1 Desember 2016
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor: 6090/UN.14.4/HK/2016, Tanggal 30 Nopember 2016
Ketua : Prof.Dr. I Ketut Mertha, SH.,MHum.
Sekretaris : Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, S.H., M.H.
Anggota : 1. Dr. I Gede Artha, S.H. M.H.
2. Dr. I Dewa Made Suartha, S.H. M.H.
3. Dr. Gde Made Swardhana, S.H. M.H.
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : I Nengah Ardika
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Kebijakan Hukum Pidana Pembebasan Bersyarat Bagi
Justice Collaborator dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Korupsi
dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia
menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17
Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 1 Desember 2016
Yang menyatakan
I Nengah Ardika
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur, Asung Kertha Wara Nugraha penulis panjatkan kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa karena berkat anugrah Beliau penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul “Pidana Pembebasan Bersyarat Bagi Justice
Collaborator dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi.” Dalam kesempatan
ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD KEMD., Rektor Universitas Udayana.
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H.,M.H., Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana. Dr. Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, S.H.,M.H.,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum, Sekretaris Program
Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana. Prof.
Dr. I Ketut Mertha, SH.,MHum pembimbing I yang telah banyak membantu
dalam mengarahkan penulisan tesis ini. Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, S.H.,
M.H., pembimbing II atas segala masukannya. Para penguji yang telah banyak
memberikan saran-saran dalam penyempurnaan penelitian ini. Para Dosen
Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, terutama pada
konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana. Tenaga Kependidikan pada
Sekretariat Program Pascasarjana Studi S2 Ilmu Hukum Universitas Udayana.
Didi Haryono, S.H.M.H., Kepala Kejaksaan Negeri Lembata yang selalu
memberikan dukungan. Kedua orang tua penulis, kakak, kakak ipar dan
vii
keponakan yang selalu memberikan kehangatan keluarga. Sahabat yang selalu
memberikan motivasi Dewi Bunga, S.H., M.H. dan keluarga, Teman antara lain
Cindy Claudia Novita Wijaya, Adnyana, Nonik, Trisni, Ratih, Dadang, Dewi .
Serta para pihak yang turut memberikan kontribusi atas penyelesaian penelitian
ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti berikutnya.
Denpasar, 1 Desember 2016
Penulis
viii
RINGKASAN
Tesis ini berjudul “Kebijakan Hukum Pidana Pembebasan Bersyarat Bagi
Justice Collaborator dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi” yang
disusun dalam lima Bab. Bab I merupakan pendahuluan yang mengantarkan pada
permasalahan mengenai kebijakan hukum pidana dalam hal pembebasan bersyarat
bagi justice collaborator menurut hukum pidana positif di Indonesia dan
kebijakan hukum pidana dalam hal pembebasan bersyarat bagi justice
collaborator di masa yang akan datang (ius constituendum). Penelitian ini adalah
penelitian yuridis normatif yang mengkaji kekaburan norma mengenai pidana
pembebasan bersyarat bagi justice collaborator yang mengatur tentang
keringanan hukuman bagi justice collaborator, koordinasi antara LPSK dengan
kewenangan menindaklajuti rekomendasi LPSK serta mekanisme
perlindungannya.
Bab II merupakan tinjauan umum tentang pidana bersyarat bagi justice
collaborator dalam tindak pidana korupsi. Pada bagian ini dibahas mengenai
Pengaturan dan Tujuan Pembebasan Bersyarat, justice collaborator dalam perkara
tindak pidana korupsi, penanganggulangan tindak pidana korupsi dan kebijakan
penal serta kebijakan non penal.
Bab III membahas mengenai kebijakan hukum pidana dalam hal
pembebasan bersyarat bagi justice collaborator menurut hukum pidana positif di
Indonesia. Dalam kajian ini diuraikan mengenai kedudukan justice collaborator
ix
sebagai saksi, penentuan justice collaborator dalam tindak pidana korupsi dan
pidana pembebasan bersyarat bagi justice collaborator.
Bab IV menganalisis mengenai kebijakan hukum pidana dalam hal
pembebasan bersyarat bagi justice collaborator di masa yang akan datang (ius
constituendum). Dalam Bab IV ini lebih lanjut diuraikan mengenai pidana
pembebasan bersyarat sebagai extra ordinary strategy, perlindungan bagi justice
collaborator sebagai saksi dan pemberian pidana bebas bersyarat bagi justice
collaborator di masa yang akan datang.
Bab V adalah penutup yang menguraikan mengenai simpulan dan saran
yang terkait dengan permasalahan yang dibahas.
x
ABSTRAK
Justice collaborator adalah saksi pelaku yang mau bekerjasama dengan
penegak hukum untuk mengungkap kasus korupsi. Sebagai bentuk penghargaan
atas jasanya tersebut, justice collaborator berhak untuk mendapatkan pembebasan
bersyarat. Dalam Pasal 10 A ayat (5) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014
terdapat kekaburan norma, dimana ketentuan tersebut tidak jelas diatur mengenai
keringanan hukuman bagi justice collaborator dan kewenangan untuk
menindaklajuti rekomendasi LPSK. Dalam penelitian ini dibahas dua
permasalahan yakni Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam hal
pembebasan bersyarat bagi justice collaborator menurut hukum pidana positif di
Indonesia? dan Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam hal pembebasan
bersyarat bagi justice collaborator di masa yang akan datang (ius constituendum)?
Penelitian ini adalah penelitian normatif yang membahas mengenai
kekaburan norma, yakni Pasal 10 A ayat (5) Undang-undang Nomor 31 Tahun
2014. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum tersebut dikumpulkan melalui studi kepustakaan.
Analisis permasalahan dilakukan secara kualitatif. Pembahasan disajikan secara
deskriptif analitis.
Kebijakan hukum pidana dalam hal pembebasan bersyarat bagi justice
collaborator menurut hukum pidana positif di Indonesia didasarkan pada Undang-
undang Nomor 31 Tahun 2014, SEMA Nomor 4 Tahun 2011 dan Peraturan
Bersama. Pembebasan bersyarat bagi justice collaborator didasarkan pada
rekomendasi yang diberikan oleh LPSK berdasarkan pada Pasal 10A ayat (5)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014. Kebijakan hukum pidana dalam hal
pembebasan bersyarat bagi justice collaborator di masa yang akan datang (ius
constituendum) ditentukan oleh penyelidik, penyidik, penuntut umum dan hakim
yang memeriksa perkara tindak pidana korupsi bersangkutan.
Kata Kunci: pembebasan bersyarat, justice collaborator, korupsi.
xi
ABSTRACT
Justice collaborator is a witness who cooperates with law enforcement to
uncover cases of corruption. As a form of appreciation for his services, the justice
collaborator eligible for parole. A paragraph in Article 10 paragraph (5) of the
Act Number 31 of 2014 there is haziness norm, where such provisions do not
clearly set on leniency for justice collaborator and the authority of LPSK to
follow up the recommendations. In this study addressed two issues namely How is
criminal law policy in terms of parole for justice collaborator according to
positive criminal law in Indonesia? and How is criminal law policy in terms of
parole for justice collaborator in the future (ius constituendum)?
This research is a normative legal research that discussing the vagueness
of the norm, namely Article 10 A paragraph (5) of the Act No. 31 of 2014. The law
materials used consist of primary legal materials and secondary legal materials.
The legal materials collected through library research. Analysis of the issue made
qualitatively. The discussion presented by descriptive analysis.
Criminal law policy in terms of parole for justice collaborator according
to positive criminal law in Indonesia based on the Act No. 31 of 2014, SEMA No.
4 in 2011 and the joint regulation. Parole for justice collaborator is based on the
recommendations provided by the LPSK pursuant to Article 10A paragraph (5) of
the Act No. 31 of 2014. The criminal law policy in terms of parole for justice
collaborator in the future (ius constituendum) determined by investigators,
prosecutors and judges who examine cases concerned corruption.
Keywords: parole, justice collaborator, corruption.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL…………………………………………………………….i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER...........................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.........................................................iii
SURAT PERNYATAAN.......................................................................................iv
UCAPAN TERIMA KASIH...................................................................................v
RINGKASAN...................................................................................................... viii
ABSTRAK..............................................................................................................x
ABTRACT..............................................................................................................xi
DAFTAR ISI..........................................................................................................xii
DAFTAR BAGAN……………………………………………………..……….xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………….......17
1.3 Ruang Lingkup Masalah………………………...…..……17
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum……………...……………………...18
1.4.2 Tujuan Khusus……………………...……………..18
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis…….…….………………………19
1.5.2 Manfaat Praktis……..…………………………….19
xiii
1.6 Orisinalitas Penelitian……………..……………………...19
1.7 Landasan Teoretis…………..……………………………..22
1.7.1 Landasan Teoretis……………..………………….23
1.7.2 Kerangka Berpikir…………………..…………….44
1.8 Metode Penelitian…………….…………….…………….46
1.8.1 Jenis Penelitian……………..…………………….46
1.8.2 Jenis Pendekatan……………………..…………...47
1.8.3 Sumber Bahan Hukum…………..………………..48
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum……….……51
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum………….……….51
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PIDANA BERSYARAT BAGI
JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI
2.1 Pengaturan dan Tujuan Pidana Pembebasan Bersyarat……54
2.2 Justice Collaborator dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi…………………………………………….60
2.3 Tindak Pidana Korupsi dan Penanggulangannya………….64
2.4 Kebijakan Penal dan Non Penal…………………………...68
BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM HAL PEMBEBASAN
BERSYARAT BAGI JUSTICE COLLABORATOR MENURUT
HUKUM PIDANA POSITIF DI INDONESIA
3.1 Kedudukan Justice Collaborator Sebagai Saksi…………..73
3.2 Penentuan Justice Collaborator dalam
xiv
Tindak Pidana Korupsi……………………………………..87
3.3 Pembebasan Bersyarat bagi Justice Collaborator…………..95
BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM HAL PEMBEBASAN
BERSYARAT BAGI JUSTICE COLLABORATOR DI MASA
YANG AKAN DATANG (IUS CONSTITUENDUM)
4.1 Pidana Pembebasan Bersyarat Sebagai
Extra Ordinary Strategy…………………………….…….111
4.2 Perlindungan bagi Justice Collaborator Sebagai Saksi…..119
4.3 Pemberian Pidana Bebas Bersyarat bagi
Justice Collaborator di Masa yang Akan Datang………..124
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan………………………………………………….134
5.2 Saran………………………………………………………135
DAFTAR PUSTAKA
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Peringkat dan Skor Corruption Perception Index 2015………..…..112
Tabel 2 Rekapitulasi Penindakan Pidana Korupsi………………………….113
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kasus korupsi di Indonesia merupakan kasus yang mendapatkan perhatian
yang serius. Romli Atmasasmita mengibaratkan bahwa korupsi di Indonesia sudah
merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan sejak tahun
1960an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai
sekarang.1 Berbagai upaya untuk membenahi sistem hukum dan manajemen
pemerintahan telah dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi, namun
hal tersebut belum mampu menekan jumlah kasus korupsi di Indonesia.
Secara kuantitatif, kasus korupsi di Indonesia mengalami peningkatan.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kasus korupsi pada
tahun 2012 berjumlah 402 kasus namun, pada 2013, jumlahnya naik signifikan
menjadi 560 kasus. Pada 2014, jumlah kasus korupsi diperkirakan akan meningkat
lagi mengingat selama semester I-2014 jumlahnya sudah mencapai 308 kasus.
Perkembangan jumlah kasus korupsi linier dengan jumlah tersangka korupsi. Pada
1 Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi,Aspek Nasional dan Aspek
Internasional, Mandar Maju, Bandung, h. 1. (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita I).
2
2013 jumlah tersangka kasus korupsi adalah 1.271 orang dan diperkirakan
bertambah lagi pada 2014.2
Audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap 144
BUMN induk yang terdapat di Indonesia menunjukkan bahwa korupsi juga terjadi
di badan usaha tersebut. Berdasarkan analisis hasil audit BPK tahun 2005-2011,
ditemukan sekitar 24 BUMN yang berpotensi sebagai lembaga negara yang korup
dengan total kerugian negara Rp 4,9 triliun, 305 juta dollar AS dan 3,3 juta Yen
Jepang, dengan total dugaan penyimpangan penggunaan keuangan sebanyak
2.757 kasus. Ada tiga kategori yang disebutkan dalam temuan BPK di BUMN,
yaitu kerugian negara, potensi kerugian negara dan kekurangan penerimaan
negara.3 BUMN diposisikan sebagai sapi perahan oleh partai politik untuk
mendanai kegiatan politik para elite yang berkuasa.
Korupsi sebenarnya merupakan permasalahan klasik yang sudah ada sejak
dulu. Frans Magnis Suseno memandang bahwa praktik korupsi di Indonesia telah
sampai pada yang paling membahayakan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.4 Tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tidak hanya dilakukan
oleh Penyelenggara Negara, antar Penyelenggara Negara, melainkan juga
Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para
2 Laksono Hari Wiwoho (ed.), 2014, Tren Korupsi Naik Lagi, available at
http://nasional.kompas.com/read/2014/08/18/10085091/Tren.Korupsi.Naik.Lagi, Accessed 13th
April 2015.
3 J.E., Sahetapy et. al. 2012, Arah Pembangunan Hukum Nasional, Komisi Hukum
Nasional Republik Indonesia, Jakarta, h. 197.
4 R. Diyatmiko Soemodihardjo, 2008, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati
Dinamikanya di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 3.
3
pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara.5
Dikaji dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 140 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874
(selanjutnya disebut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999) dan perubahannya,
bentuk-bentuk korupsi di dalamnya meliputi:
1) Kerugian keuangan negara. Tindak pidana korupsi tentang kerugian negara
diatur dalam Pasal 2, 3 dan 8 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
2) Suap-menyuap. Suap-menyuap tidak merugikan keuangan negara secara
langsung namun berdampak pada pelaku pasar yang secara tidak langsung
merugikan keuangan negara. Suap sangat merugikan masyarakat yang tidak
memiliki uang dan kekuasaan.
3) Penggelapan dalam jabatan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 8
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
4) Pemerasan. Pemerasan diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001.
5) Perbuatan curang. Perbuatan curang diatur dalam Pasal 7 Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 387-388 KUHP
6) Gratifikasi. Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B. Gratifikasi adalah setiap
pemberian yang diberikan atau diperolehnya suatu bantuan atau
keuntungan. Gratifikasi dibagi menjadi dua yaitu gratifikasi positif yakni
pemberian hadiah yang dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang
kepada orang lain tanpa pamrih sedangkan gratifikasi negatif adalah
pemberian dengan tujuan pamrih karena adanya interaksi kepentingan.6
Korupsi menyebabkan kerugian negara dan sekaligus melanggar HAM
ekonomi dari masyarakat secara keseluruhan. Kerugian negara akibat kasus
korupsi yang terjadi selama semester I tahun 2014 menurut Indonesia Corruption
5 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di
Indonesia, Badan Penerbit Undip, Semarang, h. 2.
6 I Ketut Mertha, 2014, Efek Jera, Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana, Udayana
Press, Denpasar, h. 68-93.
4
Watch (ICW) sebanyak Rp 3,7 triliun karena dikorupsi oleh pejabat mulai dari
pusat hingga daerah.7 Robert Klitgaard telah merinci beberapa hal akibat korupsi
di antaranya:
1. Suap menyebabkan dana untuk pembangunan rumah murah jatuh ke
tangan yang tidak berhak.
2. Komisi untuk para penanggung jawab pengadaan barang dan jasa bagi
pemerintah daerah berarti bahwa kontrak jatuh ke tangan perusahaan yang
tidak memenuhi syarat.
3. Kepolisian sering kali karena telah disuap pura-pura tidak tahu bila ada
tindak pidana yang seharusnya diusutnya.
4. Pegawai pemerintah daerah menggunakan sarana masyarakat untuk
kepentingan pribadi.
5. Untuk mendapatkan surat izin dan lisensi, warga masyarakat harus
memberi uang pelicin kepada petugas bahkan kadang-kadang harus
memberi suap agar surat izin atau lisensi bisa terbit.
6. Dengan memberi suap, warga masyarakat bisa berbuat sekehendak hati
melanggar peraturan keselamatan kerja, peraturan kesehatan, atau
peraturan lainnya sehingga menimbulkan bahaya bagi anggota masyarakat
selebihnya.
7. Layanan pemerintah daerah diberikan hanya bila warga telah membayar
sejumlah uang tambahan di luar biaya yang resmi.
8. Keputusan mengenai peruntukan lahan dalam kota sering dipengaruhi oleh
korupsi.
9. Petugas pajak memeras warga, atau lebih bersekongkol dengan wajib
pajak, memberikan keringanan pajak pada wajib pajak dengan imbalan
suap. 8
Korupsi merupakan masalah serius/ luar biasa (extra ordinary crime), oleh
karena itu, penanggulangannya juga dengan cara-cara luar biasa. Tindak pidana
ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan
pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai
7 Republika, 2014 Kerugian Negara Akibat Korupsi Capai 3,7 Triliun,available at
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/08/17/nafz0b-kerugian-negara-akibat-
korupsi-capai-37-triliun, Accessed 13th April 2015.
8 Thomas Barker & David L. Carter, 1999, Police Deviance (Penyimpangan Polisi),
Cipta Manunggal, Jakarta, h. 132.
5
demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah
budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil
dan makmur.9 Adnan Buyung Nasution menilai bahwa perbuatan dan dampak
korupsi harus dilihat dari aspek yang lebih jauh, karena korupsi telah sedemikian
mengganggu hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.10
Perbuatan tersebut tentu
saja melanggar konstitusi, hukum positif, moral dan etika.
Tindak pidana korupsi bukanlah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh
setiap orang, sebagaimana pembunuhan, pencurian, penganiayaan, atau penipuan.
Kejahatan ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kewenangan. Pelaku bukanlah orang yang tidak berpendidikan, melainkan orang-
orang yang memiliki pendidikan tinggi dan memiliki kekuasaan. Korupsi
dilakukan dengan cara-cara yang cerdas. Menurut Indriyanto Seno Adji, tidak
dapat dipungkiri korupsi merupakan White Collar Crime dengan perbuatan yang
selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga
dikatakan sebagai invisible crime yang penanganannya memerlukan kebijakan
hukum pidana.11
Kebijakan hukum pidana ini harus berorientasi pada
pengungkapan kasus korupsi sampai ke akar-akarnya.
Pemberantasan korupsi memerlukan pendekatan yang holistik. Mayoritas
rakyat yang tidak melakukan korupsi seharusnya berpartisipasi dalam
memberantas korupsi yang dilakukan oleh minoritas. Cara ini disebut Siskamling
9 Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h.1
10 Adnan Buyung Nasution, 2004, Pergulatan Tanpa Henti, Pahit Getir Merintis
Demokrasi, Aksara Karunia, Jakarta, h. 413.
11 Indryanto Seno Adji, 2006, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana,
Diadit Media, Jakarta, h. 374
6
(Sistem Keamanan Keliling).”12
Salah satu wujud nyata dari sistem tersebut
adalah pengungkapan kasus korupsi melalui keterlibatan justice collaborator.
Seorang Justice Collaborator adalah saksi pelaku yang bekerjasama dengan
penegak hukum untuk mengungkap kasus korupsi. Konsep Justice Collaborator
diadopsi dari sistem peradilan pidana di Amerika Serikat. Munculnya istilah ini
tidak dapat dilepaskan dari Kasus Susno Duaji.
Pengaturan tentang Justice Collaborator di level Internasional juga
merupakan suatu hal yang baru. The Attorney General USA melalui Organized
Crime Control of 1970, memberikan kewenangan untuk memberikan keamanan
terhadap saksi yang bersedia bekerjasama dan bersedia untuk memberikan
kesaksian atas kasus yang melibatkan tindak kejahatan yang terorganisir atau
tindak pidana serius lainnya, dengan memindahkan mereka ke tempat yang aman
dan menyediakan segala kebutuhan pendukungnya. Peraturan ini kemudian di
amandemen dan diperbaharui pada tahun 1984, melalui Witness Security Reform
Act of 1984 (Title18, United States Code, Section 3521 et seq.). Ketentuan ini
berada di bawah Federal Witness Security Program dan telah dilakukan dalam
beberapa waktu terakhir. Dalam sistem di Italia, dasar hukum dari pengaturan atas
perlindungan terhadap saksi (or collaborators with justice) diatur dalam Undang-
undang Nomor 8, 15 January 1991 yang kemudian telah disesuaikan dalam Law
No. 82, March 15–1991, dan kemudian di amandemen dengan Law No. 45 of 13
12
Andi Hamzah, 2012, Pemberantasan Korupsi, Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.16. (selanjutnya disebut Andi Hamzah I).
7
February 2001.13
Justice Collaborator sudah menjadi instrumen yang sangat
membantu penegak hukum dalam memberangus mafia di Italia. Di Italia
perlindungan terhadap seorang Justice Collaborator bisa diberikan kepada sekitar
200 (dua ratus) orang lebih yang merupakan orang terdekatnya, sehingga orang-
orang terdekat di luar keluarga inti Justice Collaborator itu terlindungi.
Komitmen seorang Justice Collaborator dalam memberikan keterangan dan
perlindungan terhadapnya dituangkan dalam nota kesepahaman. Dalam Witness
Security Reform Act of 1984 di Amerika Serikat ditentukan:
Before providing protection to any person under this chapter, the Attorney
General shall enter into a memorandum of understanding with that person.
Each such memorandum of understanding shall set forth the responsibilities of
that person, including the agreement of the person to disclose any probation
or parole responsibilities, and if the person is on probation or parole under
State law, to consent to Federal supervision.
(Sebelum memberikan perlindungan kepada setiap orang di bawah bab ini,
Jaksa Agung akan memulai nota kesepahaman dengan orang itu. Setiap nota
kesepahaman akan memuat tanggung jawab orang tersebut, termasuk
persetujuan dari orang tersebut untuk mengungkapkan setiap percobaan atau
pembebasan bersyarat tanggung jawab, dan jika orang tersebut dalam masa
percobaan atau bebas bersyarat di bawah hukum negara, untuk menyetujui
pengawasan federal).
Pentingnya pelibatan Justice Collaborator terlihat dalam beberapa
instrumen hukum internasional. United Nations Convention against Corruption
13
Abdul Haris Semendawai, Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi
Catatan tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana,
Disampaikan Dalam Kegiatan Stadium General Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Jogjakarta, 17 April 2013.
8
(UNCAC) pada tahun 2003 dan United Nation Convention against Transnasional
Organized Crime pada tahun 2000. Ide Justice Collaborator dalam penegakan
hukum terhadap kasus korupsi di Indonesia diawali dari Pasal 37 ayat (2) United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang telah
diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang No 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti korupsi). Instrumen hukum internasional
memang perlu adanya perlakuan khusus bagi pihak yang bekerjasama dalam
pengungkapan kasus, khususnya terhadap pengungkapan otak kejahatan meskipun
mereka terlibat di dalamnya.
Pasal 37 ayat (2) UNCAC menyatakan “Setiap negara peserta wajib
mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu,
mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama yang
substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan
berdasarkan Konvensi ini.” Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC
dinyatakan pula “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan
“kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial
dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana
yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.”
United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime
(UNCATOC) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
9
Transnasional Organized Crime (Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional)
menjabarkan ide pengaturan berkaitan dengan Justice Collaborator dalam
peradilan pidana diatur dalam Pasal 26 Ayat (2) disebutkan “Setiap Negara Pihak
wajib mempertimbangkan untuk membuka kemungkinan, dalam keadaan yang
tepat, pengaturan hukum atas tertuduh yang memberikan kerjasama yang berarti
dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana yang tercakup oleh
konvensi ini”, selanjutnya Pasal 26 Ayat (3) disebutkan
Setiap Negara wajib mempertimbangkan untuk membuka kemungkinan,
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, pemberian kekebalan
atas penuntutan terhadap seseorang yang memberikan kerjasama yang berarti
dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana yang tercakup oleh
konvensi ini.
Legitimasi yuridis Justice Collaborator di Indonesia dapat dilihat pada
pengaturan mengenai saksi pelaku sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 293 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5602. Definisi terhadap saksi pelaku menurut Pasal 1 angka 2
adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak
hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Justice
Collaborator dalam ketentuan normatif di Indonesia disebut dengan saksi pelaku.
Justice Collaborator adalah pelaku yang kooperatif dalam membantu
penegak hukum untuk membongkar tuntas kejahatan yang dipersangkakan dan
akan didakwakan kepadanya. Dengan pemahaman seperti ini, maka dalam kasus
tersebut harus sudah jelas ada suatu kejahatan dan sudah ada seorang tersangka-
10
pelaku.14
Kejahatan yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi dan tersangka-
pelaku adalah salah satu dari pelaku tindak pidana korupsi, mengingat korupsi
tidak dapat dilakukan secara individual.
Seorang Justice Collaborator berbeda dengan seorang whistleblower.
Whistleblower adalah saksi pelapor atau orang yang memberikan laporan atau
kesaksian mengenai suatu dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum
dalam proses peradilan pidana. Untuk diakui sebagai whistleblower maka
seseorang harus memenuhi dua persyaratan: pertama, whistleblower
menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau
kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang
berwenang atau kepada media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat
diungkap atau terbongkar. Kedua, seorang whistleblower merupakan orang dalam,
yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di
tempatnya bekerja atau ia berada.15
Seorang whistleblower adalah orang dalam yang hanya berstatus sebagai
saksi pelapor sedangkan Justice Collaborator berstatus sebagai salah satu pelaku.
Justice Collaborator adalah orang yang terlibat dalam tindak pidana korupsi
memberikan keterangan mengenai siapa pelaku dan bagaimana kejahatan ini
dilakukan serta mengakui segala perbuatan yang dilakukannya. Apabila ia mau
bekerja sama dengan penegak hukum maka ketentuan mengenai larangan
14
Mardjono Reksodiputro, 2013, Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Komisi
Hukum Nasional Republik Indonesia, Jakarta, h. 363.
15 Abdul Haris Semendawai et.al., 2011, Memahami WhistleBlower, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jakarta, h. ix.
11
pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi dapat disimpangi. Beberapa kasus
korupsi yang terungkap dari Justice Collaborator diantaranya kasus korupsi Agus
Chondro, Mindo Rosalina Manulang, Vincentius Agus Sutanto dan Kosasih
Abbas.
Pasal 43A ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99
Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan Pemberian Pembebasan Bersyarat (selanjutnya disebut PP
Pembebasan Bersyarat Perubahan Kedua) menyebutkan mengenai pemberian
pembebasan bersyarat yakni sebagai berikut:
Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena
melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika,
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak
asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya,
selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (2) juga harus memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana,
dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan;
c. telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa
pidana yang wajib dijalani; dan
d. telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang
menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis
bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis
bagi Narapidana Warga Negara Asing,
12
Pemberian pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator terpidana
korupsi merupakan reward atas kerjasamanya dalam menanggulangi tindak
pidana korupsi di Indonesia. Penanggulangan tindak pidana korupsi meliputi
kebijakan penerapan hukum terhadap koruptor dan kebijakan di masa yang akan
datang dengan kemungkinan mengungkap kasus korupsi yang lebih besar dan
mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Pembebasan bersyarat diberikan
terhadap pelaku yang telah berstatus sebagai narapidana. Keringanan hukum yang
diberikan kepada narapidana korupsi yang mau bekerjasama tersebut, diberikan
untuk memberikan rasa keadilan bagi mereka. Hal ini untuk mengimbangi putusan
pidana penjara yang berlangsung lama karena rumusan pidana dari tindak pidana
korupsi memuat ancaman pidana minimal.
Perlakuan istimewa bagi Justice Collaborator dipertegas kembali melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi
Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
(Justice Collaborator) di dalam Tindak Pidana Tertentu (selanjutnya disebut
SEMA Nomor 4 Tahun 2011). Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 ini mengatur
mengenai perlakuan khusus, berupa keringanan pidana bagi pelaku yang mau
bekerjasama sepanjang bukan pelaku utama. Perbuatan tindak pidana korupsi
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai
kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa
13
(extra ordinary crimes).16
Pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator
merupakan extra ordinary way atau cara yang luar biasa untuk menanggulangi
kasus korupsi di Indonesia.
Ide dasar pembentuk undang-undang untuk memberikan pembebasan
bersyarat bagi Justice Collaborator dapat dilihat pada SEMA Nomor 4 Tahun
2011 yang menyebutkan korupsi dipandang sebagai tindak pidana serius yang
menjadi masalah serius terhadap keamanan nasional. Korupsi juga meruntuhkan
nilai-nilai etika, demokrasi dan kejujuran. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan.
Pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator juga menumbuhkan partisipasi
publik untuk melaporkan, dan menemukan hal-hal yang dapat membantu penegak
hukum untuk mengungkap kasus korupsi sampai pada akar-akarnya. Pembebasan
bersyarat secara umum memang merupakan hak dari narapidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) k Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan.
Partisipasi Justice Collaborator dalam pengungkapan kasus korupsi
memberikan keuntungan bagi penegak hukum. Dengan adanya justice
collaborator, maka tugas penyidik dan jaksa penuntut umum akan lebih mudah
dalam mengungkap peristiwa tindak pidana korupsi. Penegak hukum akan lebih
mudah bekerja untuk menemukan pelaku lainnya dan menentukan jumlah
kerugian negara akibat kasus korupsi tersebut. Kondisi tersebut tentu akan
mengurangi biaya penegakan hukum. Pembebasan bersyarat akan mengurangi
16
Ermansjah Djaja, 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 26.
14
prisonisasi bagi warga binaan tindak pidana korupsi. Pembebasan bersyarat bagi
Justice Collaborator juga akan mengurangi beban negara dalam membina warga
binaan di lembaga pemasyarakatan, baik dari segi pengawasan maupun anggaran
rumah tangga lembaga pemasyarakatan.
Dukungan terhadap eksistensi Justice Collaborator di Indonesia dapat pula
dilihat dari keluarnya Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Ketua
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Nomor : M.HH-
11.HM.03.02.th.2011, Nomor : PER-045/A/JA/12/2011, Nomor : 1 Tahun 2011,
Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan
Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (selanjutnya
disebut Peraturan Bersama).
Keluarnya SEMA Nomor 4 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama di satu sisi
dipandang sebagai langkah maju dalam penanggulangan kasus korupsi di
Indonesia. Implikasi yang dapat timbul dari pemberian pembebasan bersyarat
dalam narapidana kasus korupsi adalah terungkapnya kasus korupsi dan jumlah
kerugian negara yang sebenarnya. Pengungkapan kasus korupsi memang diakui
cukup sulit. Selain dikerjakan dengan rapi, pelaku juga tidak mungkin sendiri.
Pelaku juga adalah orang yang bereputasi, berpendidikan dan sangat cerdas.
Barang bukti yang ada, mungkin saja sudah diamankan sebelumnya oleh pelaku.
Kehadiran Justice Collaborator akan sangat membantu penegak hukum dalam
mengungkap tindak pidana ini.
15
Ketentuan mengenai pemberian pembebasan bersyarat dipandang sebagai
penghargaan bagi saksi pelaku, yang mana hal ini memang diatur dalam Undang-
undang. Dalam Pasal 10 A ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014
disebutkan bahwa penghargaan atas kesaksian dari saksi pelaku berupa
keringanan penjatuhan pidana; atau pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan
hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi
saksi pelaku yang berstatus narapidana. Pengaturan mengenai penghargaan bagi
pelaku yang bekerjasama ini merupakan semangat dari sistem pemidanaan
modern yang mengedepankan tindakan (pembinaan) daripada penjeraan.
Pengaturan mengenai Justice Collaborator tidak diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, mengingat pemberian pembebasan
bersyarat bagi Justice Collaborator merupakan perkembangan hukum terkini.
Pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator di sisi lain dipandang sebagai
inkonsistensi perang terhadap korupsi. Perang terhadap korupsi menginginkan
pembalasan yang optimal terhadap koruptor dengan pidana yang setinggi-
tingginya. Keringan bagi Justice Collaborator dikhawatirkan akan menyuburkan
praktik suap dan gratifikasi bagi oknum penegak hukum dan menimbulkan
diskriminasi bagi pelaku tindak pidana lain.
Dalam Pasal 10 A ayat (5) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 hanya
disebutkan LPSK berwenang untuk memberikan rekomendasi secara tertulis
kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Permasalahan hukum yang terjadi dalam penormaan mengenai pidana
pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator dalam pasal ini belum jelas
16
mengatur seberapa lama diberikan keringanan bagi justice collaborator,
koordinasi antara LPSK dengan siapa yang berwenang menindaklajuti
rekomendasi LPSK serta model perlindungannya. Dalam Penjelasan Pasal 10 A
ayat (5) hanya dinyatakan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum menjalankan dengan sungguh-sungguh rekomendasi LPSK.
Rekomendasi tersebut semakin sulit dijelaskan mengingat belum ada peraturan
pemerintah yang menjadi pelaksana dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014.
Ketentuan hukum mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi sendiri tidak
mengatur mengenai pembebasan bersyarat.
Kekaburan norma tersebut, memungkinkan timbulnya multi intepretasi dan
dapat juga menimbulkan penyalahgunaan wewenang dari aparat penegak hukum
akibat diskresi yang terlalu luas. Penegak hukum juga tidak memiliki legitimasi
yang kuat dalam memberikan pembebasan bersayarat terhadap justice
collaborator. Dalam hal ini diperlukan intepretasi hukum yang mampu menjawab
masalah kekaburan Pasal 10 A ayat (5) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014,
yakni dengan intepretasi sistematis yakni dengan melacak ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan dan ketentuan teknis yuridis yang masih berlaku.
Pengaturan Justice Collaborator secara ekplisit dalam SEMA Nomor 4 tahun
2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi
Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana
Tertentu. SEMA Nomor 4 tahun 2011 berfungsi sebagai surat dinas yang memuat
penjelasan peraturan perundang-undangan dalam ruang lingkup kewenangannya.
Oleh sebab itu, sangat menarik untuk membahas mengenai KEBIJAKAN
17
HUKUM PIDANA PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI JUSTICE
COLLABORATOR DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
KORUPSI.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya maka
permasalahan yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam hal pembebasan bersyarat
bagi Justice Collaborator menurut hukum pidana positif di Indonesia?
b. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam hal pembebasan bersyarat
bagi Justice Collaborator di masa yang akan datang (ius constituendum)?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang membahas mengenai
beberapa permasalahan yakni kebijakan hukum pidana mengenai pembebasan
bersyarat bagi Justice Collaborator dalam hukum positif dan relevansi
pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator dengan penangulangan tindak
pidana korupsi. Permasalahan dalam penelitian ini mengenai mekanisme,
ketentuan yuridis dan akibat hukum pembebasan bersyarat bagi justice
collaborator. Pada permasalahan berikutnya akan dibahas mengenai dasar
pertimbangan pembebasan bersyarat bagi justice collaborator, perlindungan
hukum bagi Justice Collaborator dan reorientasi dari penjatuhan pidana bagi
koruptor.
18
Dalam bagian akhir dibahas mengenai kebijakan hukum pidana pembebasan
bersyarat bagi Justice Collaborator di masa yang akan datang (ius
constituendum). Pidana pembebasan bersyarat sebagai extra ordinary strategy,
perlindungan bagi justice collaborator sebagai saksi dan pemberian pidana bebas
bersyarat bagi justice collaborator di masa yang akan datang.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menelaah mengenai
pidana pembebasan bersyarat bagi justice collaborator dalam
penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan perbandingan di
beberapa negara.
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menjawab
permasalahan yaitu:
a. Untuk menganalisis kebijakan hukum pidana dalam hal pembebasan
bersyarat bagi Justice Collaborator menurut hukum pidana positif di
Indonesia.
b. Untuk menganalisis kebijakan hukum pidana dalam hal pembebasan
bersyarat bagi Justice Collaborator di masa yang akan datang (ius
constituendum).
19
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Penelitian mengenai Pidana Pembebasan Bersyarat bagi Justice
Collaborator dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi bermanfaat
dalam pengembangan keilmuan hukum secara teoritis yakni dalam
pengembangan ilmu perbandingan hukum, tindak pidana khusus dan tindak
pidana korupsi.
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini memiliki manfaat praktis yakni sebagai berikut:
a. Bagi pelaku, pelaku dapat mengajukan pembebasan bersyarat apabila
mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap
kasus korupsi secara tuntas dan menghindarkan dari prisonisasi yang
lebih lama.
b. Bagi penyidik, penuntut umum dan hakim, kerjasama pengungkapan
kasus korupsi oleh Justice Collaborator dapat memperingan kerja
penegak hukum dalam pengungkapan kasus.
c. Bagi negara, partisipasi Justice Collaborator dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi akan menghemat anggaran untuk
pengungkapan kasus dan pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Penelitian mengenai “Kebijakan Hukum Pidana Pembebasan Bersyarat bagi
Justice Collaborator dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi” merupakan
20
penelitian yang orisinal yang belum pernah ditulis sebelumnya oleh peneliti lain.
Beberapa penelitian yang menelaah mengenai korupsi diantaranya:
a. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Korupsi yang ditulis oleh Ridwan, 2010. Dalam penelitian tersebut
dibahas mengenai kebijakan formulasi berkaitan dengan pemberantasan
tindak pidana korupsi saat ini serta untuk mengetahui dan menganalisis
mengenai kebijakan formulasi yang harus dilakukan dalam rangka
penanggulangan tindak pidana korupsi yang akan datang.17
Penelitian
mengenai “Kebijakan Hukum Pidana Pembebasan Bersyarat bagi Justice
Collaborator dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi” berbeda
dengan penelitian ini karena penelitian ini menekankan pada kelemahan
kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana
korupsi serta perlunya pembaharuan dengan menekankan rumusan tindak
pidana pada unsur “merugikan negara” sedangkan penelitian yang ditulis
oleh penulis menekankan pembebasan bersyarat bagi pelaku yang bekerja
sama dalam pengungkapan kasus korupsi.
b. Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi Pidana Tambahan Guna
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar), oleh Kadek Krisna Sintia
Dewi. Penelitian mengenai efektifitas penerapan ancaman sanksi pidana
tambahan guna pengembalian kerugian negara dalam tindak pidana
17
Ridwan, 2010, “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Korupsi”, (tesis) Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro, Semarang, h.136.
21
korupsi (studi kasus pada Pengadilan Negeri Denpasar) membahas
mengenai efektifitas pidana tambahan berupa pengembalian kerugian
negara tindak pidana korupsi. Selain itu, penelitian ini juga membahas
mengenai kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait
pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti.18
Titik
berat dari penelitian ini adalah pengenaan uang pengganti sebagai
pengembalian kerugian negara sedangkan dalam penelitian mengenai
“Kebijakan Hukum Pidana Pembebasan Bersyarat bagi Justice
Collaborator dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi” dibahas
mengenai kebijakan hukum pidana mengenai pembebasan bersyarat bagi
Justice Collaborator dan relevansi pembebasan bersyarat bagi Justice
Collaborator dengan penangulangan tindak pidana korupsi.
c. Perlindungan Hukum terhadap Saksi yang Bekerjasama (Justice
Collaborator) Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
yang ditulis oleh Sigit Artantojati. Dalam penelitian tersebut dibahas
mengenai perbandingan konsep dan pengaturan tentang perlindungan
Justice Collaborator di beberapa negara, peran LPSK dalam memberikan
perlindungan dan penghargaan bagi Justice Collaborator dan bentuk
kerjasama, hambatan serta peluang dari LPSK dalam memberikan
18
Kadek Krisna Sintia Dewi, 2014, “Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi Pidana
Tambahan Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi
Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar)” (tesis) Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas
Udayana, Denpasar, h. 120.
22
perlindungan bagi justice collaborator.19
Dalam penelitian, pengkajian
dilakukan terhadap perlindungan Justice Collaborator oleh LPSK
sedangkan pada penelitian penulis, pembahasan terhadap konstruksi
hukum pembebasan bersyarat bagi justice collaborator.
1.7 Landasan Teoretis dan Kerangka Berpikir
Landasan teori merupakan suatu landasan yang digunakan sebagai upaya
dalam mengidentifikasi asas-asas hukum, teori hukum, konsep-konsep hukum dan
lain-lain yang akan dipakai untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini.
Landasan teoritis ini bertujuan untuk mewujudkan suatu kebenaran dalam ilmu
hukum yakni kebenaran konsensus yang mana lahir dari perkembangan hukum itu
sendiri. Hari Chand dalam bukunya yang berjudul Modern Jurisprudence
menyatakan “law, like language, become richer in idea and more complex and
technical. It assumed political and technical aspect.”20
Landasan teoritis terdiri
atas dua aspek yakni aspek politik dan aspek teknis.
Teori memahkotai sistem ilmiah yang terdiri atas hukum-hukum ilmiah.
Dalam teori termuat pernyataan-pernyataan umum yang memuat hubungan teratur
antar fakta/gejala yang berfungsi untuk memberi eksplanasi, prediksi dan
pemahaman terhadap berbagai fakta/ gejala.21
Dalam penelitian ini ada beberapa
19
Sigit Artantojati, 2012, “Perlindungan Hukum terhadap Saksi yang Bekerjasama
(Justice Collaborator) Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)”, (tesis) Fakultas
Hukum Program Pascasarjana Kekhususan Sistem Peradilan Pidana Universitas Indonesia, Jakarta,
h. 143.
20 Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala
Lumpur, h. 126.
21 Zainal Arifin Mochtar, 2009, Panorama Teori Hukum dan Keadilan, Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, h. 2.
23
teori dan konsep yang digunakan yakni teori kebijakan hukum pidana, teori sistem
peradilan pidana, teori perlindungan hukum, teori pemidanaan, konsep negara
hukum, konsep tindak pidana korupsi, konsep Justice Collaborator dan konsep
pembebasan bersyarat. Teori-teori tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut
ini:
1.7.1 Landasan Teoretis
Konsep
1. Konsep Negara Hukum
Konsep negara hukum adalah konsep mendasar yang dipergunakan
dalam menganalisis tesis ini. Negara hukum merupakan istilah yang
meskipun kelihatan sederhana namun mengandung muatan sejarah
pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah Indonesia yang
terbentuk dari dua suku kata yaitu negara dan hukum. Padanan kata ini
menunjukkan bentuk dan sifat yang saling isi-mengisi antara negara disatu
pihak dan hukum dipihak lain.22
Empat unsur rechtstaats dalam arti klasik
menurut Friedrich Julius Stahl adalah:
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
(di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);
3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van
bestuur);
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan. 23
22
Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 46-47.
23 Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
h. 57-58.
24
Rule of Law, yang dipelopori oleh Albert Venn Dicey (1885) dalam
bukunya yang berjudul Introduction to the Study of Law of The Constitution.
Dalam pandangan ini terdapat tiga unsur negara hukum yaitu pertama,
supremasi absolut ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau
preogratif penguasa; kedua, berlakunya prinsip persamaan dalam hukum
(equality before the law), dimana semua orang harus tunduk pada hukum,
dan tidak seorang pun yang berada diatas hukum (above the law); ketiga,
konstitusi merupakan dasar dari segala hukum bagi negara yang
bersangkutan. Dalam arti ini, hukum yang berdasarkan konstitusi harus
melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan rakyat.24
Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum jika memenuhi
unsur-unsur dan asas-asas dasar sebagai berikut yakni:
1. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan kepribadian manusia
(identitas) yang mengimplikasikan asas pengakuan dan perlindungan
martabat dan kebebasan manusia yang merupakan asas fundamental
negara hukum.
2. Asas kepastian hukum yang mengimplikasikan hal berikut ini:
3. Para warga masyarakat harus bebas dari tindakan pemerintah dan
pejabatnya yang tidak dapat diprediksi dari tindakan yang sewenang-
wenang.
4. Pemerintah dan para pejabatnya harus terikat dan tunduk pada aturan
hukum positif. Semua tindakan poemerintah dan para pejabatnya
harus selalu bertumpu pada aturan hukum positif sebagai dasar
hukumnya.
5. Asas persamaan (similia similibus). Pemerintah dan para penjabatnya
harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang dan
Undang-undang juga berlaku sama untuk semua orang.
24
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (rechtstaat), Refika Aditama,
Bandung, h. 3
25
6. Asas demokrasi. Asas ini berkenaan dengan cara pengambilan
putusan. Tiap warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan
yang sama untuk mempengaruhi putusan dan tindakan pemerintah.
7. Asas pemerintah dan pejabatnya mengemban fungsi melayani rakyat.
Asas ini dijabarkan ke dalam seperangkat asas umum pemerintahan
yang layak (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Syarat-
syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat
manusiawi harus terjamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-
undangan.25
Konsep negara hukum menjadi dasar fundamental dan menjadi grand
theory dari penelitian ini. Konsep negara hukum menjadi dasar dari
penanggulangan korupsi dan pemberian pembebasan bersyarat. Teori ini
menjadi dasar yang dipergunakan dalam menganalisis semua permasalahan.
2. Konsep Pembebasan Bersyarat
Pengertian pembebasan bersyarat dapat dilihat pada beberapa
peraturan. Dalam Penjelasan Pasal 12 huruf k UU No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan (“UU 12/1995”) menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan "pembebasan bersyarat" adalah bebasnya Narapidana
setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan
ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
Pembebasan bersyarat menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan adalah proses pembinaan
di luar LAPAS setelah menjalani sekurangkurangnya 2/3 (dua per tiga)
25
Benard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 1999-2001.
26
masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan. Pasal 43 PP Pembebasan
Bersyarat Perubahan Kedua menyatakan:
(1) Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak
Sipil, berhak mendapatkan Pembebasan Bersyarat.
(2) Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan syarat:
a. telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga)
dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling
sedikit 9 (sembilan) bulan;
b. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat
9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua
per tiga) masa pidana;
c. telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan
bersemangat; dan
d. masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan
Narapidana.
(3) Pembebasan Bersyarat bagi Anak Negara diberikan setelah
menjalani pembinaan paling sedikit 1 (satu) tahun.
(4) Pemberian Pembebasan Bersyarat ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
(5) Pembebasan Bersyarat dicabut jika Narapidana atau Anak Didik
Pemasyarakatan melanggar persyaratan Pembebasan Bersyarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Ketentuan mengenai pencabutan Pembebasan Bersyarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan
Menteri.”
Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.
M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat
(“Permenkumham 01/2007”) juga menegaskan pengertian pembebasan
bersyarat yaitu, “proses pembinaan Narapidana dan Anak Pidana di luar
27
Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua
pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan.”
3. Konsep Justice Collaborator
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 mengatur mengenai saksi
pelapor. Menurut Pasal 1 angka 2 disebutkan “Saksi Pelaku adalah
tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak
hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.”
Justice Collaborator adalah saksi pelaku yakni terpidana yang bekerja sama
dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus kejahatan. Pasal 1 angka
3 Peraturan Bersama mengistilahkan Justice Collaborator sebagai saksi
pelaku yang bekerjasama. Dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Bersama
dinyatakan:
Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku
suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum
untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu
tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak
pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat
penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku
yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Tindak Pidana Tertentu,
menyatakan bahwa:
a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu
sebagaimana diatur dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang
28
dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta
memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
b. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat
signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat
mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar
dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
Dalam Pasal 4 Peraturan Bersama diatur mengenai syarat untuk
mendapatkan perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah
sebagai berikut:
a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius
dan/atau terorganisir;
b. memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk
mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
c. bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya;
d. kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak
pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan
tertulis; dan
e. adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman,
tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang
bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap
menurut keadaan yang sebenarnya.
29
Justice Collaborator harus dipisahkan dari whistleblower karena
Justice Collaborator adalah tersangka/ terdakwa yang membuka rahasia/
tabir kasus kejahatan, tetapi bukan karena alasan terpanggil moral, namun
dengan harapan untuk memperoleh keringan dakwaaan dan/ atau tuntutan
pidana.26
Whistleblower diartikan sebagai saksi pelapor atau pengungkap
fakta. Whistleblower menurut KPK adalah seseorang yang melaporkan
perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam
organisasi tempat dia bekerja, dan dia memiliki akses informasi yang
memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut.27
Pengertian whistleblower kemudian diperluas menjadi pemberi informasi,
pelapor /pengungkap kasus ke penegak hukum, pewarta/pers yang
melakukan investigasi/memberitakan kasus korupsi dan pelaku minor yang
mau kerjasama (justice colaboration).28
4. Konsep Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
Penanggulangan tindak pidana korupsi adalah salah satu kebijakan
hukum pidana. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yang “corruptio”
“corruption” (Inggris) dan “corruptive” (Belanda) arti harfiahnya merujuk
pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur, yang dikaitkan dengan
keuangan. Huntington menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku
26
Mardjono Reksodiputro, Op.Cit., h. 366.
27 Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2015, available at KPK
Whistleblower’s System, https://kws.kpk.go.id/ Accessed 13th
April 2015.
28 Emerson Yuntho, 2014, Simalakama Whistleblower Kasus Korupsi, available at
http://www.elsam.or.id/downloads/1308812896_Simalakama_Whistleblower_kasus_korupsi.pdf,
Accessed 13th April 2015.
30
menyimpang dari public official atau para pegawai dari norma-norma yang
diterima dan dianut oleh masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan-keuntungan pribadi.29
Menurut definisi ini, pelaku adalah
pegawai negeri yang mencari keuntungan pribadi atas anggaran negara.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu dari beberapa tindak
pidana khusus yang diatur juga di luar KUHP. Dalam hukum nasional,
pemberantasan tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu
yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum
acara dan materi yang diatur yang dimaksudkan menekan seminimal
mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan
perekonomian negara.30
Marella Buckley memandang bahwa korupsi sebagai penyalahgunaan
jabatan publik demi keuntungan pribadi dengan cara suap atau komisi tidak
sah.31
Pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang memegang
kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti
29
Chaerudin,dkk, 2009, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi, Refika Aditama, Bandung, h.2
30 Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni,
Bandung, h. 3
31 Marella Buckley, dalam Hans Otto Sano, et.al., 2003, Hak Asasi Manusia dan Good
Governance, Membangun Suatu Ketertiban, (alih bahasa oleh Rini Adriati), Jakarta, Departemen
Hukum dan HAM, h. 157
31
seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah
lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang; membujuk untuk
mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah
dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.32
Gunnar Myrdal mengemukakan macam-macam atau jenis-jenis perbuatan
korupsi yakni sebagai berikut:
a. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang
menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan
mengenai kurang tumbuhnya pasaran nasional;
b. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural sedang
bersamaan dengan itu kesatuan negara bertambah lemah. Juga karena
turunnya martabat pemerintah, tedensi-tedensi itu membahayakan
stabilitas politik;
c. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap itu tidak
hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi biasanya juga
berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat proses
administrasi
32
Martiman Prodjohamidjojo, 2009, Penerapan Pembuktian dalam Delik Korupsi,
Bandung, Mandar Maju, Bandung, h. 9.
32
d. agar dengan demikian dapat menerima uang suap. Disamping itu,
pelaksanaan rencana-rencana pembangunan yang sudah diputuskan,
dipersulit atau diperlambat karena alasan-alasan yang sama.33
Korupsi yang dilakukan oleh hakim akan merugikan pihak yang
berperkara di pengadilan, baik dalam perkara perdata, maupun dalam
perkara pidana. Lebih jauh, korupsi yang dilakukan oleh hakim akan
melemahkan kepercayaan dalam penegakan hukum yang adil. Choesnon
membedakan jenis-jenis korupsi sebagai berikut :
a. Korupsi jenis halus, korupsi jenis ini lazimnya disebut uang siluman,
uang jasa gelap, komisi gelap, macam-macam pungutan liar, dan
sebagainya. Tindakan kejahatan seperti ini boleh dikatakan tak
tergolong oleh sanksi positif.
b. Korupsi jenis kasar, korupsi jenis ini kadang-kadang masih dapat
dijerat oleh hukum kalau kebetulan kepergok alias tertangkap basah.
Beberapa contoh umpamanya menggelapakan uang Negara yang
dipercayakan kepada seorang bendaharawan, mempribadikan benda
milik Negara, mempribadikan benda-benda milik ahli waris (yang
notabene tidak berdosa) dari oknum-oknum yang tererat oleh hukum
karena politik dan lain-lainnya. Korupsi kasar semacam inipun sering
masih bisa luput dari jeratan hukum karena rupa-rupa faktor “ada
33
Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, h. 21-22.
33
main” (hubungan tahu sama tahu yang saling menguntungkan dan
sebagainya)
c. Korupsi yang sifatnya administratif manipulative, korupsi semacam ini
agak lebih sukar untuk diteliti, kalaupun memang ada dilakukan
penelitian oleh yang berwenang. Umpamanya adalah ongkos-ongkos
perjalanan dinas yang sebenarnya sebagian atau seluruhnya tidak
pernah dijalani, ongkos pemeliharaan kendaraan milik Negara yang
cepat rusak karena terlalu sering dipakai untuk keperluan pribadi,
ongkos perbaikan bangunan pemerintah dengan biaya yang segaja
dilebih-lebihkan (over begroot), ongkos pemmugaran rumah pribadi
dan sebagainya.34
Tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan curang yaitu
dengan menyelewengkan atau menggelapkan keuangan negara yang
dimaksudkan untuk memperkaya diri seseorang yang dapat merugikan
negara. Umumnya, tindak pidana korupsi dilakukan secara rahasia,
melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan secara timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan tersebut tidak selalu berupa uang.35
Tindak
pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa.
Dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara dikatakan bahwa kerugian negara
34
HAL Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum
Administrasi Negara),Sinar Grafika, Jakarta, h. 35-36. 35
Aziz Syamsuuddin, 2001, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, h.15
34
dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau
pegawai negeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan
administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan
kebendaharaan. Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk
mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta
meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat
negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.
Pengembalian atas keuangan negara yang dirugikan harus dilakukan
untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat. Menurut Pasal 17 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain dapat dijatuhi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal
14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18. Pidana tambahan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UU
Pemberantasan Tipikor:
Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di
mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
35
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama
1 (satu) tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Sanksi tambahan dalam tindak pidana korupsi bertujuan untuk
mengembalikan keuangan negara yang hilang akibat perbuatan tersebut.
Masalah korupsi bukan hanya masalah hukum saja, melainkan juga masalah
moral dan integritas dari pejabat negara. Oleh sebab itu upaya
penanggulangan tindak pidana korupsi ini harus dilaksanakan secara
komprehensif.
Penggolongan tersebut dapat dilihat pada konsideran Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan “tindak pidana korupsi yang
selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan
secara luar biasa.” Tindak pidana korupsi di masyarakat sudah menjadi
endemik yang sulit diatasi. Tindak pidana korupsi bukan merupakan
kejahatan luar biasa, hanya kualitas dan kuantitas perkembangbiakannya
yang luar biasa.36
Penanggulangan tindak pidana korupsi merupakan upaya yang
holistik. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan kebijakan
36
Ronny Rahman Nitibaskara, 2005, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Kompas,
Jakarta, h. 5.
36
untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, maka wajarlah bila
dikatakan bahwa usaha penanggulangan kejahatan (termasuk usaha
penegakan hukum pidana) merupakan bagian integral rencana pembangunan
nasional.37
Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, sedangkan korupsi akan menunda bahkan
menghilangkan dana-dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Penanggulangan korupsi adalah memperbaiki peraturan perundangan
yang berlaku, untuk mengantisipasi perkembangan korupsi dan menutup
celah pasal-pasal karet yang sering digunakan koruptor melepaskan diri dari
jerat hukum.38
Aturan yang dibuat oleh manusia tentu tidak lepas dari
kekurangan dan kelemahan. Pasal-pasal yang memiliki kelemahan tersebut
dimanfaatkan untuk menghindari jeratan hukum bagi koruptor. Upaya
judicial review juga seringkali digunakan untuk menunda proses hukum dari
koruptor.
Teori
1. Teori Kebijakan Hukum Pidana
Teori kebijakan hukum pidana atau penal policy dikemukakan oleh
Marc Ancel sebagai keterpaduan antara ilmu dengan seni yang memiliki
tujuan praktis untuk membentuk rumusan hukum positif yang tepat, baik
37
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 8-9.
38 Arya Maheka, 2006, Mengenali dan Memberantas Korupsi, KPK Republik Indonesia,
Jakarta, h. 31.
37
kepada pembuat undang-undang dalam menyusun suatu aturan maupun
kepada pengadilan dalam menjatuhkan suatu putusan.39
Kebijakan hukum
pidana oleh beberapa pakar hukum disebut dengan politik hukum pidana.
Politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara
yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendak,
yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.40
Sunaryati Hartono tidak mendefinisikan politik hukum secara eksplisif,
beliau mengatakan politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan
langkah yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum
nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan
diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.41
A. Mulder menyebutkan bahwa
politik hukum pidana mencakup tiga hal yakni:
a. Menentukan ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku untuk segera atau
perlu diubah atau diperbaharui.
b. Metode dan strategi penanggulangan kejahatan.
39
Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 21. (Selanjutnya Barda Nawawi Arief I).
40 Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Hukum
Pidana, Sinar baru, Bandung, h. 20.
41 C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, h. 1.
38
c. Pelaksanaan penyidikan, penuntutan dan peradilan sampai pada tahap
eksekusi.42
Penal policy juga diterjemahkan sebagai kebijakan kriminal dan
diistilahkan pula dengan politik kriminal. Bryan A. Garner memandang
bahwa kebijakan kriminal sebagai bagian dari hukum pidana yang mengkaji
mengenai perlindungan masyarakat dari kejahatan (the branch of criminal
scien concerned with protecting against crime).43
Teori kebijakan hukum
pidana digunakan untuk membahas permasalahan pertama dan kedua yakni
dalam menganalisis kebijakan pembebasan bersyarat dalam hukum positif
dan dalam ketentuan yang akan datang.
2. Teori Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana merupakan terjemahan dari frasa criminal
justice system. Istilah criminal justice system dikemukakan oleh Frank
Remington di Amerika Serikat sebagai reaksi atas ketidakpuasan terhadap
aparat dan institusi penegak hukum. Menurut Romli Atmasasmita, criminal
justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem
terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana
sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-
undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi
42
Barda Nawawi Arief, 1992, Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana, Pasca Sarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, h. 7. (Selanjutnya Barda Nawawi Arief II).
43 M. Ali Zaidan, 2015, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h.
100.
39
yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efesien untuk
memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.44
Sistem peradilan pidana selalu melibatkan dan mencakup sistem
dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana, sebagai
berikut:
a. Kepolisian, dengan tugas utama: menerima laporan dan pengaduan
dari publik manakala terjadi tindak pidana, melakukan penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap
kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan,
melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan
dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan
pidana.
b. Kejaksaan dengan tugas pokok, menyaring kasus-kasusyang layak
diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan,
melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.
c. Pengadilan berkewajiban mrenegakkan hukum dan keadilan,
melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses
peradilan pidana, melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien
dan efektif, memberikan putusan pengadilan yang adil dan berdasar
hukum, dan menyiapkan arena publik untuk persidangan sehingga
publik dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses
peradilan di tingkat ini.
d. Lembaga pemasyarakatan berfungsi untuk menjalankan putusan
pengadilan berupa pemenjaraan, memastikan terlindunginya hak-hak
narapidana, melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana,
dan mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat.
e. Pengacara dengan fungsi melakukan pembelaan bagi klien dan
menjaga agar hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan
pidana.45
Sistem peradilan pidana bertujuan untuk mencegah terjadinya korban
kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan secara adil dan mencegah mereka
44
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Binacipta, Bandung, h. 14. (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita II).
45 Sidik Sunaryo, 2005, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, h.
219-220.
40
yang pernah melakukan kejahatan agar tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Teori ini dipergunakan dalam membahas kebijakan pembebasan bersyarat
bagi Justice Collaborator dalam hukum positif sehubungan dengan
tujuannya untuk menanggulangi kejahatan, khususnya tindak pidana
korupsi.
3. Teori Perlindungan Hukum
Teori perlindungan hukum dalam Bahasa Inggris disebut legal
protection theory, sedangkan dalam Bahasa Belanda disebut dengan theorie
van de wettelijke bescherming atau dalam Bahasa Jerman disebut dengan
theorie der rectliche schutz. Menurut Therezia Geme perlindungan hukum
adalah berkaitan dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu dengan
(memberlakukan hukum negara secara eksklusif) dengan tujuan untuk
memberikan jaminan kepastian hak-hak seseorang atau sekelompok orang.46
Perlindungan hukum bukan saja mempertimbangkan kepentingan hukum
dari salah satu individu, namun juga mempertimbangkan kebutuhan dan
aspirasi hukum dari masyarakat.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar
dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.47
Dalam
46
H. Salim., H.S. dan Erlies Septiana Nurbani, 2013,Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Rajawali, Jakarta, h. 262.
47 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 54.
41
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 dirumuskan pengertian
perlindungan. Menurut Pasal 1 angka 8 “Perlindungan adalah segala upaya
pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau
lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.”
Pasal 1 angka 5 Peraturan Bersama menyatakan bahwa Perlindungan
adalah segala upaya pemenuhan hak, dan pemberian bantuan untuk
memberikan rasa aman dan penghargaan kepada Pelapor, Saksi Pelapor dan
Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang wajib dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Teori
perlindungan hukum ini digunakan dalam membahas permasalahan
mengenai manfaat dan kelemahan pembebasan bersyarat bagi Justice
Collaborator dengan penanggulangan korupsi.
4. Teori Pemidanaan
Teori pemidanaan menguraikan mengenai latar belakang mengenai
perumusan dan penjatuhan pidana. Dalam doktrin ilmu hukum terdapat dua
teori besar:
a. Teori pembalasan (retributif). Dalam teori ini Hegel mengajarkan
bahwa “hukum adalah suatu kenyataan kemerdekaan. Oleh sebab itu,
kejahatan merupakan tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman
42
dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische
vergelding (pembalasan dialektis).”48
b. Teori pencegahan (prevensi). Menurut teori ini pidana itu dijatuhkan
bukan karena telah berbuat jahat, tetapi agar jangan diperbuat
kejahatan, hal ini merupakan suatu kenyataan bahwa hukum pidana
bersifat preventif atau pencegahan agar tidak melakukan kejahatan atau
pelanggaran.49
Dalam perkembangannya, terdapat penggabungan teori antara teori
pembalasan dengan teori pencegahan, dimana penjatuhan sanksi disatu sisi
bertujuan untuk pembalasan, namun disisi lain bertujuan untuk pembinaan.
Teori pemidanaan digunakan untuk menganalisis masalah kebijakan hukum
pidana pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator pada masa yang
akan datang (ius constituendum).
5. Teori Keadilan
Istilah keadilan berasal dari kata adil yang berarti tidak berat sebelah,
tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-
wenang. Adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu
yang semestinya. Disini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku
tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya.
48
Leden Marpaung, 2008, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h.
105.
49 Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 7.
(selanjutnya disebut Andi Hamzah II).
43
Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal
yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.50
Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distributif,
keadilan komutatif dan keadilan remedial. Perbedaan dari masing-masing
pengertian tersebut adalah sebagai berikut:
a. Keadilan distributive adalah keadilan yang memberikan kepada
setiap orang berdasarkan profesinya atau jasanya. Pembagian
barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang sesuai
dengan statusnya dalam masyarakat. Keadilan ini menghendaki
orang-orang yang mempunyai kedudukan yang sama memperoleh
perlakuan yang sama pula di hadapan hukum.
b. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan hak kepada
seseorang berdasarkan statusnya sebagai manusia.
c. Keadilan remedial, yaitu menetapkan kriteria dalam melaksanakan
hukum sehari-hari, yaitu kuta harus mempunyai standar umum
untuk memulihkan akibat tindakan yang dilakukan orang dalam
hubungannya satu sama lain. Sanksi pidana yang dijatuhkan,
memulihkan yang telah dilakukan oleh pembuat kejahatan dang
anti rugi memulihkan kesalahan perdata. Standar tersebut
diterapkan tanpa membeda-bedakan orang.51
L.J. van Apeldoorn menyebutkan bahwa keadilan tidak boleh
dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa
tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.52
Keadilan merupakan hal
yang penting dimana perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi
dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus
diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai
yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada
50
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 156.
51 Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.51.
52L.J. van Apeldoorn, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ketigapuluh, Pradnya
Paramita, Jakarta, h. 11
44
jaminan stabilitas hidup manusia.53
Teori ini menjadi dasar yang
dipergunakan dalam menganalisis semua permasalahan, dimana suatu
perlakuan hukum yang dirancang atau yang sudah dilakukan bertujuan
untuk memberikan keadilan.
1.7.2 Kerangka berpikir
Tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang dilakukan secara rapi oleh
orang-orang yang professional di bidangnya. Hal ini menyebabkan kejahatan ini
sulit terungkap. Salah upaya yang dilakukan oleh penegak hukum untuk
mengungkap kasus korupsi adalah dengan meminta informasi dari pelaku yang
sudah diperiksa sebelumnya. Pelaku yang bekerjasama (justice collaborator)
dalam pengungkapan kasus korupsi diberikan reward berupa pembebasan
bersyarat. Keringanan hukum bagi pelaku yang bekerjasama bertujuan untuk
menaggulangi kasus korupsi. Penanggulangan korupsi model ini merupakan
model baru yang perlu mendapat kajian hukum pidana untuk pengaturan yang
lebih baik di masa mendatang.
Kerangka berpikir menguraikan mengenai alur dalam penelitian ini, yakni
sejak perumusan latar belakang masalah, menemukan masalah yang akan diteliti,
penggunaan teori, metode penelitian, pembahasan hingga simpulan dan saran.
Adapun kerangka berpikir dari tesis ini dapat dilihat pada bagan berikut:
53
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.Cit., h. 161.
45
Bagan 1 Kerangka berpikir
Kebijakan Hukum Pidana Pembebasan Bersyarat bagi
Justice Collaborator dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
Latar
Belakang
Pembebasan
bersyarat
bagi justice
collaborator
.
Kekaburan
Pasal 10A
ayat (5)
Undang-
undang
Nomor 31
Tahun 2014
mengenai
bentuk
rekomendasi
, lama masa
pembebasan
bersyarat
dan
koordinasi
dengan
komponen
peradilan
pidana
Rumusan
Masalah
Bagaimanakah
kebijakan
hukum pidana
dalam hal
pembebasan
bersyarat bagi
justice
collaborator
menurut
hukum pidana
positif di
Indonesia?
Bagaimanakah
kebijakan
hukum pidana
dalam hal
pembebasan
bersyarat bagi
justice
collaborator di
masa yang
akan datang
(ius
constituendum)
?
Teori
kebijakan
hukum
pidana
Teori
keadilan
Teori sistem
peradilan
pidana
Teori
perlindungan
hukum
Teori
kebijakan
hukum
pidana
Teori
keadilan
Teori
perlindungan
hukum
Teori
pemidanaan
Metode
Penelitian
Penelitian
hukum
normatif, yakni
kekaburan
norma Pasal
10A ayat (5)
Undang-
undang Nomor
31 Tahun 2014
Pendekatan
kasus, analisis
konsep hukum,
perundang-
undangan dan
perbandingan.
Sumber hukum
berasal dari
bahan hukum
primer dan
sekunder yang
dikumpulkan
dengan studi
dokumen.
Deskriptif
analitis
Simpulan
1. Kebijakan hukum
pidana dalam hal
pembebasan
bersyarat bagi
Justice
Collaborator
menurut hukum
pidana positif di
Indonesia
didasarkan pada
Undang-undang
Nomor 31 Tahun
2014, SEMA
Nomr 4 Tahun
2011 dan
Peraturan
Bersama.
2. Collaborator di
masa yang akan
datang (ius
constituendum)
ditentukan oleh
penyelidik,
penyidik,
penuntut umum
dan hakim yang
memang benar-
benar memeriksa
perkara tindak
pidana korupsi
bersangkutan.
Saran
1. Pembuat undang-undang hendaknya mengatur mengenai bentuk rekomendasi
pembebasan bersyarat serta batas minimum dan maksimum pembebasan
bersyarat bagi Justice Collaborator sebagai bentuk penghargaan atas
kerjasama Justice Collaborator dalam mengungkap kasus korupsi yang lebih
besar.
2. Pembuat undang-undang hendaknya merevisi ketentuan Pasal 10A ayat (5)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014, dimana rekomendasi pembebasan
bersyarat bagi Justice Collaborator ditentukan oleh penyelidik, penyidik,
penuntut umum dan hakim yang memeriksa perkara bersangkutan. Lembaga
pemasyarakatan hendaknya memberikan penilaian terhadap sikap dan perilaku
narapidana Justice Collaborator selama menjalani hukumannya.
46
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum adalah
suatu proses untuk menemukan aturan hukum maupun doktrin-
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.54
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang
menganalisis kekaburan norma mengenai kebijakan hukum pidana
pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator yang mengatur
tentang keringanan hukuman bagi justice collaborator, koordinasi
antara LPSK dengan kewenangan menindaklajuti rekomendasi
LPSK serta mekanisme perlindungannya.
Penelitian hukum jenis ini mengkonsepkan sebagai apa yang
ditulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau
hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.55
Dengan demikian, tidak hanya sebatas mempelajari ketentuan-
ketentuan dalam peraturan hukum, tetapi juga menggunakan
substansi yang bersumber dari literatur dalam rangka menganalisis
bahan hukum yang disajikan sebagai suatu pembahasan.
54
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 35.
55 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h 118.
47
1.8.2 Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan untuk menganalisis masalah
yang dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Pendekatan kasus (the case approach), dimana permasalahan
dianalisis melalui kasus-kasus korupsi yang terungkap melalui
kerjasama justice collaborator.
2. Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual
approach), dimana permasalahan dianalisis melalui pengertian-
pengertian dan konsep-konsep hukum yang relevan yakni
konsep tindak pidana korupsi, konsep jusctice collaborator dan
konsep pembebasan bersyarat.
3. Pendekatan perundang-undangan (the statute approach), dimana
permasalahan dianalisis berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang baik dalam bentuk undang-undang, peraturan
pemerintah Surat Edaran Mahkamah Agung maupun peraturan
bersama.
4. Pendekatan perbandingan (comparative approach), dalam
penelitian ini digunakan pendekatan perbandingan dengan
membandingkan keberadaan, pengaturan, perlindungan dan
kelembagaan Justice Collaborator di Indonesia dengan di
negara lain.
48
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
normatif ini adalah sebagai berikut:
1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat.56
Bahan hukum primer yang digunakan adalah :
a. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 77 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3614.
b. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150.
c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nations Convention against Corruption. Lembaran
56
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 113.
49
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4620 .
d. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635 jo
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602
e. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Transnasional
Organized Crime. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 5 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4960.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 69, dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3846 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan
50
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
61, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4632 jo Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan Pemberian Pembebasan Bersyarat,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
225, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5359.
g. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011
tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana
(Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
(Justice Collaborator) di Dalam Tindak Pidana Tertentu.
h. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia,
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Ketua Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Nomor
: M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor : PER-
045/A/JA/12/2011, Nomor : 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-
51
02/01-55/12/2011, Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang
Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku
yang Bekerjasama
2) Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer.57
Bahan hukum
sekunder yang digunakan adalah literatur yang membahas
mengenai tindak pidana korupsi dan pembebasan bersyarat.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah
dengan menggunakan teknik sistematis dimana setiap hal-hal yang
berhubungan dengan proposal ini dikumpulkan dan kemudian
digunakan untuk mengalisis pemasalahan. Pengumpulan ini dicatat
dengan sistem kartu (card system). Bahan hukum yang dicatatkan
digunakan sebagai sumber referensi.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik pengolahan bahan hukum adalah kegiatan merapikan
bahan hukum hasil dari pengumpulan bahan hukum sehingga siap
dipakai untuk dianalisis.58
Bahan hukum yang terkumpul dianalisis
dengan:
57
Ibid.
58 Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h.
72.
52
a. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat
dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya
terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi
hukum atau non hukum. Dalam penelitian ini mendeskripsikan
masalah pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator
khususnya dalam tindak pidana korupsi.
b. Teknik sistematisasi. Teknik ini berupaya mencari kaitan
rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara
peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara
yang tidak sederajat. Teknik sistematisasi dilakukan dengan
merujukan pada aturan tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, aturan tentang perlindungan saksi dan korban serta
aturan-aturan mengenai Justice Collaborator dan pembebasan
bersyarat.
c. Teknik evaluasi adalah penilai berupa tepat atau tidak tepat,
setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh
peneliti terhadap pandangan, proposisi, pernyataan rumusan
norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian
mengenai pembebasan bersyarat bagi Justice Collaborator
dalam tindak pidana korupsi ini.
d. Teknik argumentasi. Teknik argumentasi ini tidak bisa
dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus
53
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak
argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.
Argumentasi ada setiap bagian dalam penelitian ini untuk
menjelaskan masalah kekaburan norma mengenai pembebasan
bersyarat bagi Justice Collaborator khususnya dalam tindak
pidana korupsi.