Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
KEDUDUKAN HUKUM WARGA NEGARA ASING
DALAM PENGUASAAN HAK ATAS TANAH
UNTUK INVESTASI DI BALI
I GUSTI NGURAH OKA SANDITYA PRATAMA PUTRA P 3600211062
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
ABSTRAK
I GUSTI NGURAH OKA SANDITYA PRATAMA, Kedudukan Hukum Warga
Negara Asing dalam Penguasaan Hak Atas Tanah Untuk Investasi di Bali
(dibimbing oleh Farida Patittingi dan I Made Suwitra)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) bentuk penguasaan
Warga Negara Asing dalam kegiatan Investasi di Bali dan (2) kedudukan hukum
Warga Negara Asing dalam Investasi di Bali.
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, dimana
penelitian ini diarahkan untuk mengetahui model investasi bagi Warga Negara
Asing dalam bidang pertanahan dan kaidah pengaturan. Adapun bahan hukum
yang dipergunakan, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan (1) penguasaan Hak atas Tanah oleh Warga Negara Asing untuk Investasi di Bali, diberikan suatu hak penguasaan atas tanah yaitu Hak Pakai. Hak Pakai tersebut, bisa Hak Pakai atas Tanah Negara, Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, dan juga Hak Pakai atas Tanah Hak Pengelolaan, dan (2) kedudukan hukum Warga Negara Asing dalam kegiatan Investasi di Bali, yaitu dengan mendapatkan Hak Pakai atas Tanah, merupakan suatu kepastian hukum dalam melakukan investasi yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Bentuk penguasaan atas tanah selain Hak Pakai, berindikasi pada penyelundupan hukum, karena pada saat ini WNA yang berinvestasi dalam bidang pertanahan masih ada yang menggunakan nominee, sehingga kedudukan hukumnya menjadi lemah. Kata Kunci : Hak Pakai, Investasi
P E R N Y A T A A N
Nama : I Gusti Ngurah Oka Sanditya Pratama Putra
N I M : P3600211062
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul
“KEDUDUKAN HUKUM WARGA NEGARA ASING DALAM
PENGUASAAN HAK ATAS TANAH UNTUK INVESTASI DI BALI”,
adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya,
dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar
pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya di atas tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa
pencabutan tesis dan gelar yang saya telah peroleh dari tesis tersebut.
Makassar, Mei 2013
Yang membuat pernyataan,
I Gusti Ngurah Oka Sanditya Pratama Putra
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena atas berkah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul
“Kedudukan Hukum Warga Negara Asing Dalam Investasi di
Indonesia”.
Tesis ini dapat terselesaikan atas bimbingan dari Ibu Prof.
Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Utama dan
Bapak Dr. I Made Suwitra, S.H.,M.H., selaku Pembimbing
Pendamping yang senantiasa meluangkan waktu, pikiran dan
tenaganya dalam membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Untuk itu, dengan penuh
hormat, perkenankan penulis menghaturkan terima kasih yang tiada
terhingga.
Rasa hormat dan penghargaan yang tinggi penulis haturkan
juga kepada Tim Penguji Tesis, yaitu Bapak Prof. Dr. Aminuddin
Salle, S.H.,M.H., Bapak Prof. Dr. Syamsul Bachri S.H.,M.S., dan Ibu
Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H. serta kepada Ketua Pengelola
Program Studi Magister Kenotariatan, Ibu Dr. Hj. Nurfaidah Said,
S.H., M.H., M.Si., dan Bapak Kahar Lahae, S.H.,M.H. selaku
Sekretaris serta staf atas perhatian dan pelayanannya yang sangat
baik.
Semoga tesis ini dapat dijadikan langkah awal untuk
mengkaji permasalahan penguasaan atas tanah oleh Warga Negara
Asing melalui perjanjian-perjanjian yang nantinya diharapkan dapat
meningkatkan nilai investasi bagi perekonomian di Indonesia pada
umumnya, dan di Bali pada khususnya.
Makassar, April 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA v ABSTRAK vi ABSTRACT vii DAFTAR ISI viii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................ 10
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 11
D. Manfaat Penelitian................................................................................ 11
E. Orisinalitas Penelitian........................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.Kerangka Konseptual............................................................................ 18
1. Konsep Penguasaan Hak Atas Tanah di
Indonesia............................................................ 18
2. Penguasaan Hak Atas Tanah Bagi Warga Negara
Asing.............................. 23
3. Pengaturan Hukum Terhadap Penguasaan Hak Atas Tanah Bagi
Warga Negara Asing........................................................................ 27
4. Pengaturan Penguasaan Tanah oleh Warga Negara Asing
Melalui Perjanjian............................................................................ 31
5. Bentuk Perjanjian dalam Penguasaan Tanah oleh Orang
Asing.................... 33
6. Penguasaan Tanah oleh Warga Negara Asing dengan Instrumen
Perjanjian.......... 36
7. Konsep Perlindungan Hukum dalam Penguasaan dan Pemilikan Tanah................. 38
` 8. Asas Kepastian Hukum dalam Penguasaan dan Pemilikan Tanah
di Indonesia bagi Warga Negara Asing .......................................... 43
A. Konsep Negara Hukum................................................................ 43
B. Konsep Hukum Tanah Nasional................................................... 44
B. Kerangka Teoritik.................................................................................. 47
1. Teori Penguasaan dan Pemilikan Tanah........................................ 48
2. Teori Perlindungan Hukum............................................................. 54
C. Definisi Operasional............................................................................. 56
D. Kerangka Berpikir................................................................................ 57
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian........................................................ 57
B. Bahan Hukum..................................................................................... 58
C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.................................................... 60
D. Analisis................................................................................................ 61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Investasi Warga Negara Asing di Bali................................................ 62
1. Bentuk perjanjian dalam investasi oleh Warga Negara Asing........ 62
2. Syarat-syarat perjanjian yang berupa Akta Otentik...................... 72
3. Akta Notaris sebagai Akta Otentik................................................ 74
4. Legalitas Suatu Perjanjian............................................................ 76
5. Sebab-sebab batalnya suatu perjanjian....................................... 77
B. Kedudukan Hukum Warga Negara Asing dalam Penguasaan Tanah
1. Jual Beli Tanah Secara Nominee.................................................. 87
2. Legalitas Jual Beli Tanah Secara Nominee dengan pembebanan
Hak Tanggungan........................................................................... 90
3. Legalitas Perjanjian Nominee........................................................ 94
4. Perjanjian Nominee sebagai sarana investasi bagi Warga
Negara Asing............................................................................... 101
1. Aspek Yuridis penguasaan Tanah bagi Warga Negara
Asing....................................................................................... 101
2. Perjanjian Nominee sebagai alternatif penguasaan tanah oleh
Warga Negara Asing.................................................................. 106
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan.................................................................................
. 110
B. Saran..................................................................................... 111
DAFTAR BACAAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan
kepada manusia untuk dikelola, digunakan dan dipelihara sebaik-baiknya
sebagai sumber kehidupan dan penghidupan. Manusia diberikan kepercayaan
untuk mengelola dan memelihara fungsi dan kegunaan tanah, sebab manusia
diciptakan sebagai mahluk yang sempurna yang memiliki akal pikiran,
sehingga Tuhan Yang Maha Esa menundukkan alam semesta ini termasuk
tanah dibawah penguasaan dan pengelolaan manusia. Kehidupan ekonomi
masyarakat dewasa ini telah membuat tanah menjadi komoditas dan faktor
produksi yang dicari oleh manusia. Peningkatan jumlah penduduk di setiap
negara yang sangat pesat telah meningkatkan permintaan akan tanah guna
keperluan tempat tinggal dan tempat usaha.
Mengingat kenyatan bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui dan mengingat akan pentingnya tanah bagi
kehidupan manusia, Indonesia sebagai negara agraris memandang penting
pengaturan penguasaan tanah, karena berdasarkan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 (selanjutnya disebut "UUD 1945"), tanah dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran
rakyat, hal ini disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 :
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut
UUPA), disebutkan bahwa :
Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.
Warga Negara Asing sesuai ketentuan UUPA berhak memiliki Hak
Pakai untuk peruntukan tanah di Indonesia, tetapi bukan Hak Milik. Status Hak
Pakai ini diberikan kepada Warga Negara Asing dan menjadi fenomena
hukum yang tidak memberikan kepastian atas kepemilikan tanah di Indonesia.
Perkembangan pariwisata baik usaha kepariwisataan yang kecil,
menengah dan besar dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan
sektor-sektor pembangunan lainnya agar dapat saling menunjang. Untuk
meningkatkan perkembangan kepariwisataan, dilakukan langkah-langkah
yang terarah dan terpadu untuk pengembangan obyek-obyek wisata serta
kegiatan promosi baik di dalam maupun di luar negeri.
Pada dasarnya pembangunan kepariwisataan merupakan kelanjutan
serta peningkatan dari pembangunan sebelumnya serta dengan
pengembangan dan pendayagunaan sumber dan potensi kepariwisataan
nasional menjadi kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan. Kegiatan
kepariwisataan tentunya dapat memperkenalkan keindahan alam dan nilai-
nilai budaya bangsa yang beraneka ragam yang pada akhirnya juga dapat
meningkatkan pembangunan di daerah.
Disamping itu pembangunan di sektor-sektor lainnya juga mendukung
kemajuan kepariwisataan, seperti dengan adanya pembangunan di bidang
perhubungan yang meliputi perhubungan darat, laut dan udara serta
telekomunikasi akan diarahkan untuk memperlancar arus manusia, barang
dan jasa serta informasi ke seluruh tanah air. Kenyataan ini dapat
memperlancar roda perekonomian serta memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa. Kemajuan yang dicapai dalam perhubungan, tidak saja
berpengaruh di dalam negeri tetapi juga mempengaruhi hubungan luar negeri.
Hal ini terbukti dengan banyak terdapat pelabuhan, baik pelabuhan laut
maupun udara yang dapat disinggahi secara langsung untuk membawa para
wisatawan masuk ke Indonesia dan Bali khususnya.1
Persoalan tentang hak atas tanah merupakan persoalan yang sentral
dalam sistem hukum agraria kita. Dalam Negara yang berkembang, seperti
Indonesia dengan jumlah penduduk yang kian hari kian semakin bertambah
mengakibatkan semakin dituntutnya kejelasan mengenai status hak atas
tanah. Hal ini jelas diperlukan untuk memastikan hak yang melekat atas tanah
tersebut.
Dengan kemajuan pariwisata mancanegara yang datang ke Bali dan
didukung oleh transportasi penerbangan langsung ke Bali maka banyak
Warga Negara Asing yang datang ke Bali dengan macam-macam tujuan
1 Oka Yoeti, 1996, Anatomi Pariwisata Indonesia, Angkasa, Bandung, hal 79
diantaranya untuk berlibur, berlibur sambil berbisnis, bekerja, belajar
kebudayaan, penelitian dan sebagainya, sehingga keberadaan mereka di Bali
ada yang tinggal beberapa hari dan adapula untuk jangka waktu yang lama
dan sekaligus membuka usaha.
Bagi mereka yang harus tinggal lama sesuai dengan maksud dan
tujuan di atas maka banyak di antara mereka yang ingin memiliki tempat
tinggal yang permanen seperti layaknya orang-orang Indonesia khususnya
orang-orang lokal (Bali) dengan rumah yang memadai dan memiliki kebun dan
tidak bertingkat tinggi seperti di Negara mereka tanpa melalui syarat-syarat
serta peraturan-peraturan yang sulit.
Sebagai dasar pertimbangan dari perubahan kebijakan pemerintah
dalam hal pertanahan nasional saat ini yaitu melihat usaha dari Negara-
Negara tetangga khususnya Australia dan Singapura yang berlomba-lomba
menarik investor perorangan (asing) untuk menanamkan modalnya dalam
pembelian rumah atau apartemen di Negara-Negara yang bersangkutan yang
berimplikasi terhadap masuknya devisa ke Negara-Negara bersangkutan.
Warga Negara Asing yang bermaksud untuk berkeinginan
menanamkan investasi dalam bentuk tanah akan terlebih dahulu
mempertimbangkan masalah kepastian hukum. Sebab salah satu aspek yang
penting dari tujuan hukum adalah kepastian hukum, artinya hukum
berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antar orang
dalam masyarakat.
Dengan mengetahui kepastian hukum di suatu Negara, maka Warga
Negara Asing tersebut dalam menanamkan modalnya dapat mengetahui
dengan jelas akibat hukum dari suatu perbuatan atau hal-hal yang harus
dipenuhi dalam melaksanakan suatu perbuatan hukum.
Sejalan dengan hal tersebut, Warga Negara Asing berusaha mencari
tahu mengenai produk hukum yang dapat menjamin kepastian hukum bagi diri
pribadi Warga Negara Asing tersebut. Kepastian hukum akan tercapai apabila
suatu peraturan dirumuskan secara jelas dan dapat menjadi pedoman untuk
pelaksanaan yang sama, dan peraturan yang ada akan dilaksanakan secara
konsekuen dan konsisten sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang
beragam.
Kecenderungan yang ada sekarang ini, para investor asing berusaha
mencari suatu produk hukum yang benar-benar dapat menjamin baik secara
hukum maupun secara ekonomi bagi investor asing tersebut.
Dalam kenyataan yang ada di masyarakat saat ini, Warga Negara
Asing lebih cenderung memakai sistem jual beli tanah dengan sistem pinjam
nama dari orang lokal (Indonesia) yang biasa disebut dengan istilah nominee
atau istilah pinjam nama.
Dengan memakai sistem pinjam nama atau nominee ini Warga Negara
Asing yang berkeinginan memiliki tanah dengan hak milik di Indonesia akan
bertindak sebagai penyandang dana atau kreditur yang memberikan dana
atau uang kepada orang lokal (Warga Negara Indonesia) untuk membeli
tanah dengan syarat-syarat dan diikuti dengan perjanjian-perjanjian yang
ditentukan oleh Warga Negara Asing sebagai perlindungan bagi pemberi dana
yang diikuti dengan pemberian hak tanggungan atas tanah yang menjadi
objek perikatan antara Warga Negara Asing dan orang lokal.
Sistem nominee dengan kenyataannya di masyarakat seringkali
dianggap sebagai sesuatu yang melanggar hukum karena dianggap
menyelundupkan hukum. Di sisi yang lain Warga Negara Asing yang
berkeinginan untuk bertempat tinggal di Indonesia sering pula menggunakan
hak sewa. Namun Warga Negara Asing sebagai pihak penyewa yang berada
dalam hubungan sewa menyewa dengan pemilik tanah tidak berada dalam
kedudukan sebagai pihak yang memiliki kuasa penuh atau paling berkuasa
atas obyek dari sewa menyewa tersebut.
Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang
pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh Warga Negara Asing yang
berkedudukan di Indonesia, telah membuat perkembangan baru di bidang
hukum pertanahan nasional, jadi dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 1996 tersebut adalah untuk memberikan suatu kepastian
hukum kepada Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia untuk
memiliki rumah tempat tinggal atas tanah tertentu.
Warga Negara Asing saat ini yang berkeinginan besar untuk memiliki
tanah ataupun rumah tempat tinggal di Indonesia dihadapkan pada kenyataan
apakah hak pakai tersebut benar-benar mampu memberikan suatu kepastian
hukum dan tidak hanya sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk menarik
investor ke Indonesia. Sehingga walaupun pemerintah telah cukup lama
mengeluarkan peraturan mengenai hak pakai, namun dalam penerapannya
jarang sekali ada Warga Negara Asing yang tertarik membeli tanah dengan
memakai sistem Hak Pakai.
UUPA yang menjamin perlindungan hak-hak atas tanah yang dimiliki
pemilik tanah, dalam pelepasan hak atas tanah didasarkan pada asas
kesepakatan, memberikan landasan bagi setiap kegiatan pembangunan di
bidang perumahan dan pemukiman untuk terjaminnya kepastian hukum dan
ketertiban hukum tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah.2
Bali sebagai salah satu tujuan wisata terbaik di Indonesia bahkan di
dunia tentunya berkaitan erat dengan dunia pariwisata. Kedatangan
wisatawan baik domestik maupun asing melalui pintu masuk pulau Bali yaitu
lewat udara melalui Pelabuhan Udara Internasional Ngurah Rai, lewat laut
melalui Pelabuhan Padang Bai dan Benoa. Di Kabupaten Badung khususnya
daerah Kuta, Legian, Seminyak dan Kerobokan merupakan daerah-daerah
dimana banyak wisatawan asing menghabiskan liburannya baik sementara
maupun menetap.
Pertumbuhan kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali seperti dari
Amerika, Australia, Eropa, Jepang dan lain-lain terus meningkat. Keberadaan
Warga Negara Asing terdiri dari dua macam kelompok. Kelompok pertama
adalah wisatawan asing yang datang ke Indonesia (Bali khususnya) untuk
waktu yang singkat yaitu tidak lebih dari tiga bulan, dan mereka yang tinggal
lebih dari tiga bulan.
Bagi wisatawan mancanegara yang datang kemudian tinggal dalam
waktu kurang dari tiga bulan tentu tidak ada masalah, karena di Bali banyak
tersedia sarana-sarana akomodasi dari hotel berbintang lima sampai hotel
melati dan losmen/pondok wisata untuk tempat menginap selama mereka
2 AP.Parlindungan, 1994, Bunga Rampai “ Hukum Agraria Serta Landreform” Bagian II,
Mandar Maju, Bandung, Hal.31
berada di Bali. Namun bagi mereka yang tinggal di Bali untuk jangka waktu
yang lama baik untuk tujuan bisnis atau sebagai pekerja tentu tidak
memungkinkan bagi mereka menyewa kamar hotel selama lebih dari tiga
bulan, mengingat mahalnya sewa kamar atau alasan-alasan lainnya. Karena
itulah sebagian dari mereka ada yang memanfaatkan rumah milik penduduk
untuk tempat tinggal mereka selama jangka waktu tertentu.3
Kegiatan penguasaan tanah atau rumah melalui sewa-menyewa tanah
atau rumah atau Hak Pakai, baik Hak Pakai atas tanah Negara maupun Hak
atas Tanah Hak Milik, terjadi antara Warga Negara Indonesia dengan Warga
Negara Asing atau melalui pemberian hak oleh Negara kepada Warga Negara
Asing maka menimbulkan pertautan hukum antara hukum Indonesia dengan
hukum asing dan khusus peraturan yang mengatur tentang hak sewa atas
tanah sesuai dengan keinginan UUPA, hingga saat ini belum terwujud
termasuk juga tidak ada peraturan yang mengatur secara spesifik tentang
sewa menyewa rumah antara Warga Negara Indonesia sebagai pemberi
sewa dengan Warga Negara Asing sebagai penyewa.
Hak-hak atas tanah bagi Warga Negara Asing dan/atau Badan
Hukum Asing baik untuk rumah tempat tinggal maupun untuk keperluan
bisnis, diberikan dengan syarat-syarat dan pembatasan jangka waktu.
Pembatasan tersebut diatur di dalam terdapat di dalam Pasal 42 dan
Pasal 45 UUPA yakni ketentuan Hak Pakai dan Hak Sewa.
3 Ibid, hal. 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pakai diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak
Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (selanjutnya disebut dengan "PP
Nomor 40 tahun 1996"). Selain itu pembatasan tentang kepemilikan Warga
Negara Asing yang di dalamnya juga dimuat tentang Hak Pakai diatur di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan dan
Rumah Tinggal atau Hunian oleh Warga Negara Asing yang berkedudukan di
Indonesia (yang selanjutnya disebut dengan "PP Nomor 41 Tahun 1996").
Di Bali terutama di Kabupaten Badung banyak terjadi kegiatan sewa-
menyewa, baik tanah maupun rumah antara Warga Negara Indonesia dengan
Warga Negara Indonesia untuk kepentingan Warga Negara Asing melalui
Perjanjian Pinjam Nama bilamana Warga Negara Asing menyewa rumah atau
Pengakuan Utang Dengan Jaminan Fidusia, bilamana Warga Negara Asing
menyewa tanah melalui nomineenya seorang Warga Negara Indonesia, hal-
hal seperti inilah oleh banyak pihak disebut sebagai penyelundupan hukum
yang sering menimbulkan masalah hingga berujung di Pengadilan.
Untuk menjawab pertanyaan inilah menarik untuk dibahas dalam
penelitian ini dengan judul: "Kedudukan Hukum Warga Negara Asing Dalam
Penguasaan Hak Atas Tanah untuk Investasi Di Bali".
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan atas apa yang telah diuraikan dalam latar belakang
masalah, maka permasalahan hukum yang akan dibahas adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana penguasaan tanah Indonesia bagi Warga Negara Asing
untuk keperluan Investasi di Bali ?
2. Bagaimana kedudukan hukum Warga Negara Asing Dalam Investasi di
Bali ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah tersebut maka yang menjadi
tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penguasaan Hak atas Tanah bagi
Warga Negara Asing dalam investasi di Bali.
2. Untuk mengetahui kedudukan hukum bagi Warga Negara Asing dalam
kegiatan berinvestasi di Bali.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis
Dengan penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan masukan
dan acuan dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam hukum
agraria yang berkaitan dengan Penguasaan Tanah terhadap Warga
Negara Asing serta kedudukan hukumnya.
2. Secara Praktis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi
instansi-instansi, badan-badan maupun masyarakat dalam mengambil
kebijakan maupun keputusan yang berhubungan dengan penguasaan
tanah terhadap Warga Negara Asing dan bentuk kedudukan hukumnya
yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi Warga
Negara Asing.
E. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan
sebelumnya yang menyangkut masalah “Kedudukan Hukum Warga Negara
Asing dalam Penguasaan Hak atas Tanah untuk Investasi di Bali". Penulis
tidak menemukan Tesis maupun karya tulis lainnya yang meneliti tentang
judul tersebut diatas, namun penulis membandingkan beberapa tesis yang
mengangkat permasalahan terkait dengan penguasaan dan pemanfaataan
tanah-tanah terhadap warga Negara Asing yaitu :
1. G Agus Permana Putra, Tesis Universitas Diponegoro, Semarang, Magister
Kenotariatan 2010 dengan judul “Wanprestasi Dalam Penggunaan
Nominee Pada Perjanjian Yang Dibuat Dibawah Tangan Berkaitan Dengan
Kepemilikan Tanah Di Bali. Rumusan masalahnya adalah :
1. Apakah penggunaan Nominee pada Perjanjian dibawah tangan
sah atau tidak ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria ?
2. Bagaimana akibat hukum apabila Warga Negara Indonesia
Wanprestasi dalam penggunaan Nominee pada perjanjian yang
dibuat dibawah tangan ?.
Dari hasil penelitian dapat dijelaskan Penggunaan Nominee
pada Perjanjian dibawah Tangan khususnya transaksi atas sebidang
tanah dan bangunan melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (4)
Burgerlijk Wetboek mengenai klausa yang dilarang oleh Undang-
undang khususnya UUPA Pasal 9 jo Pasal 21 dan Pasal 26 mengenai
kepemilikan hak atas tanah (Hak Milik) oleh Warga Negara Asing
sehingga perjanjian tersebut dapat dikatakan perjanjian simulasi yang
bertentangan dengan kausa tersebut adalah dapat menjadi penyebab
perjanjian bersangkutan tidak sah atau maka perjanjian batal demi
hukum.
2. Dewi Inalya Junita Sitorus, Tesis Universitas Sumatra Utara Magister
Kenotariatan 2009 “Perjanjian Penguasaan Hak Atas Tanah Oleh
Indonesian Nominee Kepada Warga Negara Asing". Rumusan masalah
yang diangkat adalah :
1. Bagaimanakah ketentuan-ketentuan yang diberikan peraturan
perundang-undangan dalam mengatur penguasaan Hak Atas
Tanah di Indonesia terhadap Warga Negara Asing ?
2. Bagaimanakah penerapan perjanjian penguasaan hak atas tanah
bagi WNA di Indonesia?
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya celah hukum yang
terbuka dan dipergunakan oleh para pihak untuk mengambil keuntungan.
Celah hukum tersebut terlihat dari masih belum jelas dan kurang
sinkronnya peraturan perundang-undangan yang berlaku dari produk
Undang-Undang sampai kepada peraturan pelaksana. Tidak adanya
peraturan daerah juga menjadi kelemahan penerapan perjanjian yang
benar untuk penguasaan hak atas tanah bagi warga negara asing di
Indonesia. Upaya hukum juga diperlukan dalam mencapai suatu kepastian
hukum bagi para pihak.
3. Agus Setyadi Hadisusilo, Tesis Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro 2009 “Perbandingan Hukum Perolehan Hak Atas Tanah Untuk
Warga Negara Asing Di Indonesia Khususnya Di Pulau Batam Dengan
Warga Negara Asing Di Negara Malaysia. Permasalahan yang diajukan
dalam tesis ini adalah :
1. Bagaimana status kepemilikan tanah oleh orang asing di Batam
dan di Malaysia ?
2. Apakah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1996 tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing
yang berkedudukan di Indonesia dapat diberlakukan bagi orang
asing di Batam ?
Hasil penelitian dapat dijelaskan Orang asing yang tinggal di
Indonesia (Pulau Batam) yang bermaksud memiliki tanah/bangunan hanya
dapat menguasainya dengan status tanah Hak Pakai untuk jangka waktu
25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang 20 (dua puluh) tahun
dan berikutnya diperbaharui untuk jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.
Sedangkan untuk perusahaan asing dapat menguasainya dengan status
tanah Hak Guna Bangunan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun dan
diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan berikutnya
dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun. Kepemilikan
rumah tempat tinggal (Recidential Housing) untuk Orang asing hanya
diperbolehkan 1 (satu) unit rumah tinggal dengan type rumah yang tidak
termasuk katagori Rumah Sangat Sederhana/Rumah Sederhana (Low
Cost Housing).
4. I Nyoman Sumardika, Tesis Magister Kenotariatan UGM tahun 2007
dengan judul “Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing Di Kabupaten
Badung” Rumusan masalah yang dikemukakan dalam tesis ini adalah :
1. Bentuk perbuatan hukum apa saja yang dilakukan oleh warga
negara asing untuk mengikat warga negara Indonesia dalam
menguasai tanah di Kabupaten Badung?
2. Bagaimana bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing di
Kabupaten Badung yang berindikasi penyelundupan hukum ?
Dari Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bentuk perbuatan
hukum yang dilakukan oleh warga negara asing untuk mengikat warga
negara Indonesia dalam menguasai tanah di Kabupaten Badung adalah
melalui instrumen akta notaris berupa Akta Sewa Menyewa Tanah, Akta
Perjanjian Pendahuluan Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak
Milik, Akta Kuasa, Akta Perjanjian Pembaharuan Hak Guna Bangunan Atas
Tanah Hak Milik, Akta Perjanjian Pendahuluan Pemberian Hak Pakai Atas
Tanah Hak Milik, Akta Perjanjian Pembaharuan Hak Pakai Atas Tanah Hak
Milik, Akta Pengakuan Hutang dengan Jaminan, Akta Pernyataan dan
Kuasa, Akta Kuasa Menggunakan dan Mendirikan Bangunan, Akta Kuasa
Menyewakan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Akta Kuasa Menjual,
Akta Kuasa Roya, dan Akta Perpanjangan Sewa Menyewa. Adapun
mengenai bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing di
Kabupaten Badung yang berindikasi penyelundupan hukum adalah
terjadinya pemilikan semu berkarakter ”Hak Milik Plus” karena secara
formal Warga Negara Asing tidak memiliki tanah namun secara material
melalui instrumen akta notaris, Warga Negara Asing dapat menguasai
tanah melebihi sifat hak milik, misalnya kebal hukum dan tidak hapus
karena fungsi sosial tanah.
Dari penelusuran orisinalitas penelitian yang telah dilakukan, penulis
tidak menemukan adanya kesamaan dalam hal isi maupun substansi karya
tulis yang telah dimuat sebelumnya, oleh karena itu tingkat orisinalitas
penelitian yang akan dilakukan dengan Judul "Kedudukan Hukum Warga
Negara Asing Dalam Penguasaan Hak atas Tanah untuk Investasi di Bali"
yang mengangkat 2 permasalahan yaitu : 1. Bagaimana penguasaan tanah
Indonesia bagi Warga Negara Asing untuk keperluan Investasi di Bali ? dan 2.
Bagaimana kedudukan hukum Warga Negara Asing dalam investasi di Bali ?
dapat di pertanggungjawabkan tingkat ke orisinalitasannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Konsep Penguasaan Hak Atas Tanah di Indonesia
Kebijakan (politik) hukum Agraria (Hukum Tanah) berpedoman
pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa tujuan
dikuasainya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
oleh negara adalah guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.4
UUPA diundangkan pada tanggal 24 September 1960, yang
mana UUPA tersebut dilandasi oleh Pancasila dan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945. Lahirnya Undang-Undang tersebut diharapkan dapat
merombak sistem keagrariaan Indonesia yang sebelumnya bersifat
dualisme dan individualisme yang disebabkan oleh kondisi tertentu.
Penyesuaian itu bersifat mendasar atau fundamental, karena
baik mengenai struktur perangkat hukumnya, mengenai konsepsi yang
mendasarinya, maupun isinya, yang dinyatakan di dalam UUPA harus
sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi
keperluannya menurut permintaan zaman.
4 Alvi Syahrin, 2009, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, hal 16
Di dalam Penjelasan Umum I UUPA dinyatakan bahwa terdapat
3 (tiga) tujuan pokok5, yakni :
a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional
yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama
rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur;
b. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Berdasarkan Penjelasan Umum I UUPA jelas bahwa ketiga
tujuan pokok dari UUPA tersebut membutuhkan acuan. Di dalam
hukum tanah nasional Pancasila merupakan acuan. Tidak hanya untuk
hal hukum tanah namun untuk setiap hal dalam kehidupan berbangsa
Pancasila adalah acuan. Pancasila merupakan asas kerohanian negara
Indonesia.6
Pernyataan UUPA, bahwa Hukum Tanah Nasional “berdasarkan”
Hukum Adat menunjukkan adanya hubungan fungsional antara hukum
adat dan hukum tanah nasional7. Hukum adat yang dimaksud adalah
hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang
hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur
5Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, Jilid 1, Penerbit Djambatan, hal 219 6 Alvi Syahrin, Op.Cit, hal 16
7 Boedi Harsono, Op.Cit, hal 223
nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang
berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.8
Pengakuan dan penerapan asas-asas tersebut dalam hukum
agraria nasional memperkuat adanya pengakuan atas hak ulayat yang
lahir dari hukum-hukum adat istiadat masyarakat Indonesia. Pada
kenyataannya masyarakat adat tersebut masih ada, dan hukum-hukum
adat yang dimaksud adalah hukum-hukum adat yang tidak memiliki
pertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.
Di dalam UUPA diatur dan ditetapkan jenjang hak-hak
penguasaan atas tanah, yakni 9 :
a. Hak Bangsa Indonesia, hak yang disebut di dalam Pasal 1,
sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek
perdata dan publik;
b. Hak Menguasai dari Negara, yang disebut di dalam Pasal 2,
semata-mata beraspek publik;
c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, disebut di dalam Pasal 3,
beraspek perdata dan publik;
d. Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata yang
terdiri dari :
i. Hak-Hak atas Tanah sebagai hak individual ;
ii. Wakaf
iii. Hak Jaminan Atas Tanah yang disebut Hak Tanggungan.
8 Boedi Harsono, Ibid, hal 179.
9 Boedi Harsono, Ibid, hal 24
Berdasarkan jenjang tersebut diatas masing-masing memiliki
wewenang, kewajiban dan ketentuan-ketentuan yang mengatur sesuatu
hal yang dapat atau tidak dapat dilakukan atas tanah yang dihaki
tersebut. Perbedaan dari wewenang, kewajiban dan atau ketentuan-
ketentuan yang berlaku tersebut itulah yang selanjutnya akan menjadi
pembeda atas masing-masing hak penguasaan atas tanah tersebut.
Hak penguasaan atas tanah pada hak bangsa akan meningkat
kepada jenjang selanjutnya yakni hak menguasai dari negara. Sebagai
sebuah bangsa tentu memiliki institusi kelembagaan yang menjalankan
kelangsungan sebuah negara. Negara kesatuan Indonesia merupakan
sebuah kesatuan bangsa yang berdaulat. Menurut UUPA, hak
menguasai dari negara yang dituangkan di dalam Pasal 2 UUPA yakni :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
Di dalam UUPA ketiga uraian hak menguasai oleh negara
diartikan sebagai suatu amanat yang ditujukan untuk pengelolaan
dengan baik kekayaan alam dalam hal ini khususnya tanah-tanah untuk
generasi sekarang dan selanjutnya. Uraian tersebut juga
menggambarkan suatu hak menguasai yang merupakan hubungan
hukum yang bersifat publik saja, yakni negara melakukan
kewenangannya untuk kepentingan masyarakatnya.
Kepentingan masyarakat atas kebijakan hak atas tanah
adalah dijaminnya perlindungan terhadap hak-hak perorangan atas
tanah. Di dalam UUPA hal tersebut diatur beberapa hak atas tanah
yang bersifat primer, yaitu :
a. Hak Milik (HM)
b. Hak Guna Usaha (HGU)
c. Hak Guna Bangunan (HGB) d. Hak Pakai (HP)
Selain hak tersebut diatas terdapat pula hak-hak atas tanah yang
lain yang bersifat sekunder seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang dan hak menyewa atas tanah pertanian.
Masing-masing dari hak-hak perorangan tersebut diatur secara
umum di dalam UUPA. Hak-hak perorangan tersebut memiliki
perbedaan ketentuan dan persyaratan. Akibat hukum dari hak-hak
perorangan itu juga ada bagi para pihak yang berkaitan dengan
masing-masing hak. Ketentuan menguasai, mengalihkan dan jangka
waktu penguasaannya diatur dengan peraturan hukum yang berlaku
mulai dari UUPA dan peraturan di bawahnya.
Hak milik diatur di dalam Pasal 20 UUPA. Di dalam Pasal
tersebut dinyatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat
dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik artinya
dapat diwariskan, terkuat dan terpenuh dinyatakan sebagai bentuk
pembeda hak milik dengan hak yang lainnya. Kedudukan hak milik
paling kuat dan paling penuh. Namun perlu diingat bahwa hak milik
tidak meniadakan fungsi sosial dari hak-hak tersebut. Hak milik dapat
dialihkan kepada pihak lain.
Hak milik menurut Pasal 21 UUPA bahwa yang dapat
mempunyai hak milik adalah warga negara Indonesia. Selain itu
terdapat beberapa badan/lembaga atau institusi yang dapat memiliki
hak milik dengan persyaratan tertentu. Namun secara tegas diatur
bahwa yang bukan orang Indonesia secara pasti dinyatakan tidak dapat
memiliki tanah di Indonesia dengan alas hak milik.
2. Penguasaan Hak Atas Tanah Bagi Warga Negara Asing
Bagi warga negara asing di Indonesia Undang-Undang
memberikan pengaturan tentang penguasaan atas tanah yang dapat
dihakinya. Hak pakai dipahami sebagai hak yang diberi kekhususan
sifat atau peruntukan penggunaan tanahnya atau atas pertimbangan
dari sudut penggunaan tanahnya dan/atau penggunanya yang tidak
dapat diberikan dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, atau Hak Guna
Bangunan.
Di dalam UUPA, Hak Pakai diatur di dalam Pasal 41 sampai
dengan Pasal 44. UUPA yang menjadi payung hukum untuk ruang
lingkup agraria adalah memberikan beberapa pilihan lembaga
penguasaan tanah yang dapat digunakan oleh Warga Negara Asing di
dalam kesempatan untuk menguasai tanah di Indonesia. Di dalam
Pasal 41 diatur tentang hak pakai, sedangkan di dalam Pasal 44
disebutkan hak sewa untuk bangunan.
Hak sewa untuk bangunan yang dimaksud ditujukan untuk
bangunan-bangunannya saja, bukan sebagaimana yang dimaksud
sebagai hak sewa untuk tanah pertanian di dalam Pasal 10 UUPA. Hak
sewa dimaksud adalah suatu bentuk hubungan hukum perjanjian sewa
menyewa rumah/bangunan yang sudah ada diatas sebidang tanah
untuk dihuni tanpa penguasaan hak atas tanahnya.10
Hak sewa untuk bangunan itu sendiri yang diatur di dalam Pasal
44 UUPA merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus.
Oleh karena itu selanjutnya tidak akan masuk di dalam pembahasan
karena yang menjadi fokus penelitian adalah hak atas tanah bukan
kepada bangunan yang ada diatas tanah tersebut, melainkan
penguasaan atas tanahnya.
Adapun hal-hal yang diatur di dalam UUPA tentang Hak pakai
adalah sebagai berikut :
a. Pasal 41 tentang definisi hak pakai termasuk di dalamnya jangka waktu dan syarat pelaksanaannya di dalam ayat 2 dan 3;
10
Maria S.W Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi Dan Implementasi , Penerbit Kompas, hal 171
b. Pasal 42 tentang subjek dari hak pakai; c. Pasal 43 tentang ketentuan terhadap objek hak pakai yang diatur
ketentuannya. Ayat 1 yakni untuk hak pakai atas tanah negara dan ayat 2 untuk hak pakai atas tanah hak milik;
d. Pasal 44 dan 45 mengatur tentang hak sewa untuk bangunan
yang telah dijelaskan diatas sebagai bentuk hak pakai khusus.
Ketentuan umum yang diatur dalam 3 Pasal tersebut dalam
UUPA juga dinyatakan akan diatur dengan peraturan pelaksana
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 50 ayat 2 UUPA.
Peraturan pelaksana tentang Hak Pakai dituangkan di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Lahirnya PP Nomor 40 tahun
1996 diharapkan dapat menjawab tuntutan kepastian dalam
penguasaan hak atas tanah bagi Warga Negara Asing. Tujuan dari PP
Nomor 40 tahun 1996 adalah membuka peluang investasi dan
peningkatan modal asing yang akan meningkatkan pemasukan devisa
bagi Indonesia.
Di dalam aturan hukum tersebut ada pembatasan-pembatasan
namun peluang investasi tersebut terbuka tidak hanya untuk Badan
Hukum Asing melainkan individu asing yang memenuhi persyaratan
dan ketentuan sebagai berikut :
a. Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia dapat
memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan
hak atas tanah tertentu.
b. Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatas adalah Warga
Negara Asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan
manfaat bagi pembangunan nasional.
Selain itu, terdapat pula aturan hukum Indonesia yang mengatur
tentang peluang bagi Warga Negara Asing untuk memiliki rumah
tempat tinggal di Indonesia yang diatur di dalam PP Nomor 41 tahun
1996.
Kedua peraturan pelaksana tersebut secara berkaitan dan saling
melengkapi mengatur tentang hak bagi warga negara asing untuk
memiliki tanah dan/atau bangunan di Indonesia. Secara tegas hal
tersebut dibedakan bahwa di dalam PP Nomor 40 tahun 1996 yang
diatur adalah hak atas tanah. Di dalam PP Nomor 41 tahun 1996 yang
diatur adalah bangunan yang dimiliki oleh Warga Negara Asing diatas
tanah yang bukan merupakan miliknya.
Aturan-aturan hukum mengenai penguasaan warga negara asing
terhadap tanah dan/atau bangunan di Indonesia yang dapat
dikuasainya tidak hanya peraturan pelaksana tersebut diatas,
melainkan terdapat beberapa peraturan lain. Inventarisasi peraturan-
peraturan yang dilakukan adalah secara khusus mengatur tentang hal
itu
3. Pengaturan Hukum Terhadap Penguasaan Hak Atas Tanah Bagi
Warga Negara Asing
Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas maka dapat dijadikan
pedoman untuk mengetahui sejauh mana peraturan pelaksana tentang
kepemilikan Warga Negara Asing di dalam menguasai tanah akan
diperoleh. Acuan keterkaitan tersebut akan menghasilkan peraturan-
peraturan lain yang terkait di dalamnya.
Di dalam memperoleh hasil analisis dari inventarisasi peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang penguasaan tanah oleh
Warga Negara Asing atas tanah di Indonesia maka perlu dibuat sebuah
pedoman. Sesuai dengan tujuan yang diatur di dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang merupakan dasar
negara maka bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur
berkaitan dengan Penguasaan dan Pemilikan hak atas Tanah bagi
Warga Negara Asing adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria ;
b. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun;
c. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian;
d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
e. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia;
f. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal;
g. Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai ;
h. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Warga Negara Asing
Yang Berkedudukan Di Indonesia ;
i. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN 7/ 1996 jo 8/
1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau
Hunian Oleh Warga Negara Asing ;
Dalam tatanan hukum pertanahan Nasional, hubungan hukum
antar orang baik yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI)
maupun Warga Negara Asing, serta perbuatan hukumnya yang terkait
dengan tanah telah diatur dalam UUPA (Lembaran Negara Tahun 1960
No. 104, Tambahan Lembaran Negara No. 2943).
Dalam pasal 9 UUPA, dianut asas Nasionalitas, yaitu hanya
Warga Negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai hubungan
sepenuhnya dengan tanah sebagai salah satu bagian dari bumi dalam
frasa (kata atau kalimat) yang termuat di dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD
1945.
Hubungan yang dimaksud adalah dalam wujud Hak Milik.
Sedangkan bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing yang
mempunyai Perwakilan di Indonesia dapat diberikan pula hak, yaitu
hanya sebatas Hak Pakai Atas Tanah saja. Pelanggaran terhadap hak
tersebut, disertai akibat hukumnya diatur di dalam Pasal 26 Ayat (2)
UUPA.
Hubungan hukum antara Warga Negara Asing dan Badan
Hukum Asing dengan tanah dalam bentuk Hak Pakai sebagaimana
dimuat dalam Pasal 42 UUPA telah dijabarkan lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas
Tanah.
Pada kurun waktu yang bersamaan ketika industri dan property
(perumahan) mengalami kemajuan yang sangat pesat pada dekade
tahun 1990-an, timbul gagasan untuk memasarkan Properti kepada
Warga Negara Asing, oleh sebab itu hal yang cukup mengejutkan pada
masa itu bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 1996 diterbitkan secara bersamaan waktunya dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996, yakni pada
Tanggal 17 Juni 1996.
Setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1996 itu meperoleh banyak tanggapan baik yang pro
maupun kontra, dengan sigap Pemerintah Indonesia menerbitkan dua
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Pusat RI Nomor 7 Tahun 1996
dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Pusat RI Nomor 8 Tahun
1996 yang keduanya terbit dalam hanya selang waktu seminggu saja,
yakni 7 Oktober 1996 dan 15 Oktober 1996.
Kesigapan Pemerintah menyiapkan aturan hukum sebagai
pelaksana PP Nomor 40 dan PP Nomor 41 Tahun 1996 tersebut, tidak
diimbangi oleh pihak-pihak terkait untuk menerapkannya dengan baik
dan konsisten sesuai dengan amanat Peraturan Perundang-undangan
yang telah dibuat tersebut.
Yang disebut dengan penyelundupan hukum oleh Warga Negara
Asing, tujuannya adalah untuk dapat menguasai Hak Milik atas tanah di
Indonesia, sehingga beberapa cara yang ditempuh oleh Warga Negara
Asing, seperti menggunakan/membuat sebuah paket perjanjian antara
Warga Negara Asing sebagai penerima kuasa dan Warga Negara
Indonesia sebagai pemberi kuasa yang pada intinya memberikan
wewenang sepenuhnya kepada Warga Negara Asing selaku penerima
kuasa, untuk menguasai hak atas tanah dan segala hak-hak lain yang
menyertainya, dan melakukan suatu perbuatan hukum apapun atas
tanah tersebut baik berupa pengelolaan maupun pengambilan
manfaatnya atas dasar perjanjian dimaksud.
Salah satu upaya yang telah dilakukan Pemerintah untuk
mencegah upaya penyelundupan hukum dimaksud, seperti
menerbitkan PP Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan
Rumah/Tempat Tinggal oleh Warga Negara Asing yang berkedudukan
di Indonesia, dengan segala pengaturan dan pencegahan serta
meminimalisir segala bentuk pelanggaran dan kerugian Negara akibat
ditimbulkan oleh pelanggaran tersebut.
4. Pengaturan Penguasaan Tanah oleh Warga Negara Asing Melalui Perjanjian
Konsepsi penguasaan tanah melahirkan hak penguasaan tanah oleh
Negara dan individu. Negara dan individu adalah dua hal yang berbeda dalam
hubungannya dengan tanah. Hubungan individu dengan tanah melahirkan
hak dan kewajiban, sedangkan hubungan Negara dengan tanah melahirkan
kewenangan dan tanggung jawab.
Otoritas penguasaan tanah oleh Negara sebagaimana tercermin pada
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Amandemen ke-IV diartikan dengan hak
penguasaan yang di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA menetapkan sebagai
berikut :
Hak menguasai dari Negara termasuk dalam ayat (1) Pasal ini, memberi
wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa.
Berlandaskan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Amandemen IV, UUPA
tidak menggunakan konsep domein Negara atas tanah seperti dianut oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Negara bukanlah sebagai pemilik tanah. Dalam
penjelasan UUPA angka II (2) disebutkan sebagai berikut :
tidak perlu dan tidaklah pada tempatnya bahwa bangsa Indonesia atau
Negara bertindak sebagai pemilik tanah, adalah lebih tepat jika Negara
sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak
selaku Badan Penguasa itu.
Kekuasaan Negara atas tanah yang sudah dipunyai orang dengan
sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa jauh
Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai hak atas tanah untuk
menggunakannya, sampai disitulah kekuasaan Negara tersebut. Konsepsi
penguasaan Negara berkaitan dengan tugas dan wewenang Negara untuk
memajukan kesejahteraan rakyat, yang secara teoritik dikenal dengan Negara
yang menganut paham Negara Kesejahteraan (welfare state). Dalam Negara
kesejahteraan, maka individu tetap diakui hak-haknya, sekalipun terbatas
bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Menurut Boedi
Harsono, hak-hak perseorangan yang diberi hak untuk memakai dalam arti
menguasai, menggunakan dan/atau mengambil manfaat tertentu berupa :11
11
Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, Hal.27-28.
a. Hak-hak atas tanah yang akan tetap berupa Hak Milik, Hak Guna
Usaha,Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai sebagai hak-hak atas tanah
tertulis yang bersifat nasional serta hak-hak atas tanah lain dalam
Hukum Adat setempat.
b. Hak atas tanah wakaf, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 28 Tahun
1977 sebagai pelaksanaan dari Pasal 49 UUPA.
c. Hak Tanggungan sebagai satu-satunya hak jaminan atas tanah dalam
Hukum Tanah Nasional, sebagaimana diatur dalam Undang- Undang
Nomor 4 Tahun 1996.
Penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing harus berdasarkan
perbuatan hukum atau peristiwa hukum tertentu. Perbuatan hukum yang
memberikan hak kepada Warga Negara Asing untuk menguasai tanah di
Indonesia antara lain : pemberian hak oleh Negara atau pemerintah, jual beli,
perjanjian pemberian hak oleh pemilik hak milik atas tanah dan perjanjian
pemberian hak sewa untuk bangunan. Sedang peristiwa hukum yang
memberi mereka hak adalah karena pewarisan.
5. Bentuk Perjanjian dalam Penguasaan Tanah oleh Orang Asing
Konsep penguasaan tanah pada hakikatnya bersifat faktual yang
mementingkan kenyataan pada suatu saat. Secara normatif, konsep
penguasaan bersifat sementara dalam artian masih membutuhkan kembali
adanya kepastian hukum lebih lanjut mengenai hubungan antara pihak yang
menguasai dengan obyek yang dikuasai.
Dengan demikian masalah penguasaan tanah tidak dapat diabaikan
sama sekali oleh hukum. Untuk sahnya tindakan penguasaan tanah oleh
Warga Negara Asing maka dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang
bersifat melindungi tindakan penguasaan tanah bersangkutan. Peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penguasaan tanah oleh Warga
Negara Asing dan Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA.
Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan hukum menimbulkan suatu
perjanjian, hal ini berkaitan dengan syarat substansif utama perjanjian yakni
adanya perjumpaan kehendak dari para pihak yang terkait. Sejalan dengan
hal ini Herlien Budiono, mengatakan tentang ciri atau karakteristik dari
perjanjian, yakni : Perjanjian bentuknya bebas, namun untuk beberapa
perjanjian, suatu bentuk khusus dipersyaratkan oleh perundang-undangan :
a. Tindakan hukum harus terbentuk oleh atau melalui kerjasama dari dua
pihak atau lebih;
b. Pernyataan-pernyataan kehendak yang berkesuaian tersebut tergantung
satu dengan yang lainnya;
c. Kehendak dari para pihak harus ditujukan untuk memunculkan akibat
hukum;
d. Akibat hukum ini dimunculkan demi kepentingan salah satu pihak dan
atas beban pihak lainnya, atau demi kepeningan dan atas beban belah
pihak secara timbal balik.12
12
Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbagan bagi Perjanjian Indonesia, Cetakan pertama, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal.76
Pada dasarnya Nominee adalah orang yang diangkat atau ditunjuk.
Nominee digunakan Warga Negara Asing untuk kepentingan kepemilikan hak
atas tanah. Warga Negara Asing tidak berhak memiliki tanah di Indonesia,
oleh karena itu, Warga Negara Asing menggunakan cara Nominee agar dia
dapat menikmati obyek tanah secara menyeluruh. Dalam praktik di lingkup
Kenotariatan dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), pemakaian Nominee
bukan lagi hal yang tabu. Beberapa Notaris di Badung menggunakan
Nominee untuk memberikan kenyamanan dan sugesti perlindungan hukum
bagi kliennya.
Dalam praktiknya terjadi penyelundupan hukum oleh Warga Negara
Asing untuk menguasai Hak Milik melalui berbagai cara, pada umumnya
dengan membuat satu paket perjanjian antara Warga Negara Asing sebagai
penerima kuasa dan Warga Negara Indonesia sebagai pemberi kuasa yang
memberikan kewenangan kepada Warga Negara Asing untuk menguasai hak
atas tanah dan melakukan segala perbuatan hukum terhadap tanah tersebut,
yang secara yuridis dilarang oleh Undang- Undang, dalam hal ini UUPA.
Pihak-pihak yang terkait punya hak dan kewajiban yang sudah
tertuang dalam kesepakatan perjanjian tersebut. Warga Negara Indonesia
hanya dipinjam namanya saja untuk membeli tanah dari pihak pemilik tanah,
tentunya semua pembiayaan bersumber dari Warga Negara Asing tersebut.
Terjadinya wanprestasi dalam proses transaksi jual beli sebidang tanah
mempunyai akibat hukum bagi kedua belah pihak yang terkait.
6. Penguasaan Tanah oleh Warga Negara Asing dengan Instrumen
Perjanjian
Perjanjian yang mengatur hubungan hukum antara Warga Negara
Asing dengan orang Indonesia sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dalam hubungan hukum
perjanjian tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik.
Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak
lain, dan pihak lain wajib memenuhi tuntutan itu, demikan pula sebaliknya.
Pihak yang berhak menuntut disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib
memenuhi tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi.
Prestasi adalah obyek perjanjian, yaitu sesuatu yang dituntut kreditur terhadap
debitur atau sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur terhadap kreditur.
Prestasi adalah harta kekayaan yang diukur atau dapat dinilai dengan
uang. Penegasan tentang varian perjanjian dalam penguasaan tanah Hak
Milik oleh Warga Negara Asing seperti itu juga dijumpai pada pendapat Maria
S.W. Sumardjono bahwa adapun varian perjanjian yang dimaksudkan secara
garis besar dikemukakan terdiri dari :
1) Perjanjian Induk yang terdiri dari dari Perjanjian Pemilikan Tanah (land
agreement) dan Surat Kuasa;
2) Perjanjian Opsi
3) Perjanjian sewa-menyewa (lease agreement)
4) Kuasa Menjual (power of attorney to sell)
5) Hibah Wasiat; dan
6) Surat Pernyataan Ahli Waris.13
Dalam praktik sehari-hari adalah memberikan kemungkinan bagi
Warga Negara Asing memiliki tanah yang dilarang oleh UUPA adalah dengan
jalan “meminjam nama” (Nominee) Warga Negara Indonesia dalam
melakukan jual beli, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi aturan.
Akan tetap disamping itu dilakukan upaya pembuatan perjanjian antara Warga
Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing dengan cara pemberian
kuasa, yaitu kuasa mutlak, yang memberikan hak yang tidak dapat ditarik
kembali oleh pemberi kuasa (Warga Negara Indonesia) dan memberikan
kewenangan bagi penerima kuasa (Warga Negara Asing) untuk melakukan
segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah tersebut, yang
menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak (Warga Negara
Indonesia).
Sehingga pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah.
Selanjutnya menurut pendapat Maria S.W Sumardjono menyebutkan adanya
indikasi pemindahan hak atas tanah secara terselubung, misalnya dapat
terjadi hal-hal sebagai berikut :
1) Uang sewa dibayar sekaligus atau uang pengganti untuk menyerahkan
hak pakai besarnya kurang lebih sama dengan harga tanah itu.
2) Jangka waktu perjanjian (sewa) melampui batas kewajaran.
13
Maria S.W. Sumardjono, 2007, “Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta
Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing”, Kompas, Jakarta, hlm 14
3) Pemilik hanya dapat meminta kembali tanahnya dengan membayar
kembali sebesar harga tanah yang sebenarnya.
7. Konsep Perlindungan Hukum dalam Penguasaan dan Pemilikan Tanah
Salah satu perlindungan hak asasi manusia yang penting di Indonesia
adalah perlindungan terhadap hak milik. Sebagaimana dikutip, pengertian
istilah hak dalam Black’s Law Dictionary pengertian hak sangat luas.
as a noun, taken an abstract sense means justice, ethical correctness or
consonance with the rules of law or the principles of morals... Rights are
defined generally as power of free action. And the primal rights pertaining to
men are enjoyed by human beings purely as such, being grounded in
personality, and existing entecedently to their recognition by positive law. But
leaving the abstract moral sphere, and giving to the term a juristic content, a
rights is well defined as a capacity residing in one man of controlling, with the
assent and assistance of the state, the actions of others.
Asas perlindungan bagi warga negara Indonesia untuk mempunyai hak
milik atas tanah yakni asas yang menyatakan bahwa hak milik tidak dapat
dipunyai oleh Warga Negara Asing dan pemindahan hak milik kepada Warga
Negara Asing dilarang dengan ancaman batal demi hukum. Warga Negara
Asing hanya dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luas dan jangka
waktunya terbatas. Peraturan mengenai asas perlindungan ini diatur dalam :
1. Pasal 9 ayat 1 jo.Pasal 21 ayat 1 UUPA yang menyatakan bahwa:
hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan
yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Pasal 21 yang dengan tegas UUPA menyatakan bahwa hanya Warga
Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah yang dapat memiliki tanah.
3. Bagi mereka yang mempunyai status Warga Negara Asing hanya
diperbolehkan menguasai hak atas tanah dengan status hak pakai.
Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing dan Badan
Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia secara garis
besar telah diatur dalam Pasal 41 & Pasal 42 UUPA dan diatur lebih
lanjut dalam PP Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan,
Hak Guna Usaha dan Hak Pakai atas tanah. Berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing yang
berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing yang memiliki
perwakilan di Indonesia hanya diberi Hak Pakai. Dengan demikian tidak
dibenarkan Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing memiliki
tanah dan bangunan dengan status Hak Milik.
4. Hak milik kepada Warga Negara Asing dilarang (Pasal 26 ayat 2 UUPA),
dan pelanggaran terhadap Pasal ini mengandung sanksi “Batal Demi
Hukum".
5. Pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 41 tahun 1996 yang
mengatur tentang pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh Warga
Negara Asing. Peraturan Pemerintah ini berisi antara lain:
- Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia
diperkenankan untuk memiliki 1 rumah tinggal (Satuan Rumah
Susun) yang dibangun di atas tanah Hak Pakai. Rumah yang berdiri
di atas tanah Hak Pakai tersebut dapat berasal dari Hak Pakai atas
Tanah Negara atau Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Milik
yang diberikan oleh Pemegang Hak Milik. Pemberian Hak Pakai oleh
pemegang Hak Milik ini diberikan melalui akta PPAT & perjanjiannya
harus dicatat dalam Buku Tanah dan Sertipikat Hak Milik atas tanah.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1996 terdapat syarat,
Warga Negara Asing yang dapat mempunyai rumah tinggal di Indonesia
adalah Warga Negara Asing yang kehadirannya memberikan manfaat bagi
pembangunan nasional. Warga Negara Asing tersebut dibatasi boleh memiliki
satu rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri sendiri, atau satuan
rumah susun, yang dibangun diatas tanah hak pakai. Hak pakai tersebut
diberikan paling lama untuk jangka waktu 25 tahun. Berbeda dengan jenis hak
berjangka waktu lainnya seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak
pakai (yang bukan untuk Warga Negara Asing) dapat diperpanjang untuk
waktu tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama berakhir. Jangka
waktu Hak Pakai rumah tinggal untuk Warga Negara Asing adalah 25 (dua
puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang selama 20 (dua puluh) tahun,
namun setelah perpanjangan Hak Pakai tersebut habis, WNA dapat
memperbaharui Hak Pakai itu selama 25 (dua puluh lima) tahun lagi, dengan
ketentuan Warga Negara Asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.
Jangka waktu yang ’hanya’ 25 (dua puluh lima) tahun tersebut dinilai
banyak kalangan sudah tidak kondusif dengan perkembangan dunia global
sekarang ini, tidak menarik minat Warga Negara Asing untuk membeli rumah
di Indonesia. Sebagai perbandingan, Singapura membolehkan warga negara
asing untuk memiliki bangunan komersial, hotel dan hunian dengan jangka
waktu hak tanah 99 tahun, dan untuk industri diberikan 60 tahun. Di Thailand,
hak sewa menyewa dengan warga negara asing berlaku selama 30 tahun
dengan perpanjangan 30 tahun. Sedangkan di Kamboja antara 70 sampai
dengan 99 tahun.
Namun demikian UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan warga
negara asing dan badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di
Indonesia. Warga Negara Asing dapat mempunyai hak atas tanah di
Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh dengan status Hak Pakai.
Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan Warga
Negara Indonesia diatas segala-galanya baik dari segi ekonomi, sosial, politis
dan juga dari sudut Hankamnas untuk menciptakan asas perlindungan bagi
Warga Negara Indonesia untuk mempunyai hak milik atas tanah.
Jadi bisa ditegaskan bahwa hanya Warga Negara Indonesia saja yang
dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa,
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Ketentuan ini mendapat
penerapan lebih lanjut dalam pengaturan Hak Milik sebagai Hak Atas Tanah
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah. Hanya Warga Negara
Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik atas Tanah. Konsekuensinya
adalah penguasaan hak atas tanah oleh Warga Negara Asing dibatasi, yakni
hanya dimungkinkan diberikan Hak Pakai atau Hak Sewa.
Asas tersebut di atas tidak berarti meniadakan peran Warga Negara
Asing dalam pembangunan Nasional. Indonesia sebagai Negara berkembang
masih sangat membutuhkan investasi asing. Oleh karena itu, untuk
mengimbangi pesatnya kebutuhan hukum dalam praktek dan untuk
memberikan jaminan kepastian hukum bagi Warga Negara Asing yang ingin
memperoleh hak atas tanah di Indonesia telah dikeluarkan beberapa
peraturan, diantaranya PP Nomor 40 Tahun 1996, PP Nomor 41 Tahun 1996,
dan PMNA/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 Jo PMNA/Kepala BPN Nomor 8
Tahun 1996. Peraturan-peraturan tersebut merupakan kebijakan Pemerintah
dalam melaksanakan amanat UUPA yang memperkenankan Warga Negara
Asing yang berkedudukan di Indonesia untuk memperoleh tanah dengan
status Hak Pakai.
8. Asas Kepastian Hukum dalam Penguasaan dan Pemilikan Tanah di
Indonesia bagi Warga Negara Asing
A. Konsep Negara Hukum
Untuk memahami masalah penerapan prinsip-prinsip pembaruan
agraria dalam sistem hukum tanah nasional, maka diperlukan
pemahaman tentang konsep negara hukum, karena konsep negara
hukum menjunjung tinggi adanya system hukum yang menjamin
kepastian hukum. Berdasarkan teori sistem hukum yang dikemukakan
oleh Lawrence M. Friedman “a legal system in actual is a complex in
wich structure, substance and culture interact”14, terdiri dari 3
komponen, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum
(legal structure), dan budaya hukum (legal culture).
Negara dikatakan sebagai suatu Negara Hukum dapat dilakukan
melalui penelusuran pandangan ilmiah para ahli. Menurut pendapat
yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa yang memberikan
14
Lawrence M Friedman, 1975, The Legal System, A Social Science Perspective, Rusell Sage
Foundation, New York, hal. 4
unsur-unsur atau ciri-ciri dari suatu Negara Hukum adalah sebagai
berikut:
1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia;
2. Adanya pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan
4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.15
B. Konsep Hukum Tanah Nasional
Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang
tunggal yang tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pikiran
hukum adat, sehingga sumber utama dalam pembangunan hukum
tanah nasional adalah hukum adat. Sebagaimana dinyatakan oleh
Boedi Harsono, yang antara lain merumuskan bahwa falsafah/konsepsi
hukum tanah nasional adalah komunalistik-religius, yang
memungkinkan penguasa tanah secara individual, dengan hak-hak
atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus
mengandung unsur kebersamaan.16 Yang dimaksudkan dengan sifat
“komunalistik” sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 Butir 1
UUPA merumuskan bahwa semua tanah dalam Wilayah Negara
Indonesia adalah tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia, yang
penguasaannya ditugaskan kepada Negara untuk digunakan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
15
Oemar Seno Adji, 1966, Prasarana dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI Jakarta, h 24 16
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Cetakan keduabelas (edisi revisi), Djambatan, Jakarta, h. 229
Selanjutnya mengenai watak “religius” tampak pada Pasal 1 Butir
2 UUPA, yang menyatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia adalah merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa.
Dibandingkan dengan Konsepsi Hukum Tanah Barat (dengan
dasar individualisme dan liberalisme) dan Konsepsi Tanah Feodal,
maka konsepsi Hukum Tanah Nasional merupakan konsepsi yang
sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia, karena
berdasarkan alam pikiran masyarakat adat bangsa Indonesia. Dari
rumusan falsafah/konsepsi Hukum Tanah Nasional tersebut diatas,
maka dapat dicermati beberapa hal sebagai berikut :17
UUPA adalah peraturan perUndang- Undang an yang menjadi
payung hukum bagi bidang agraria. Hak atas tanah bagi Warga Negara
Asing diatur di dalam UUPA bahwa Warga Negara Asing hanya
memiliki Hak Pakai sebagai alas hak kepemilikan di Indonesia. Namun
selain yang diatur di dalam UUPA terdapat Undang-Undang lain yang
memiliki keterkaitan dan mengatur tentang hak Warga Negara Asing
atas tanah di Indonesia.
Sebagaimana telah diinventarisir bahwa Undang- Undang
tersebut antara lain : Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
17
Oloan Sitorus & H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasinya, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, h. 65
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang
Keimigrasian, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal.
Masing-masing dari Undang-Undang tersebut adalah ketentuan
khusus yang memiliki keterkaitan di dalam masing-masing pasalnya terhadap
hak atas tanah bagi Warga Negara Asing. Undang-Undang Nomor 12 tahun
2002 tentang Kewarganegaraan dan Undang- Undang No. 9 tahun 1992
tentang Keimigrasian mengatur tentang definisi Warga Negara Asing atau
warga negara asing. Lahirnya Undang-Undang tentang Kewarganegaraan
mempertegas batasan hak dan kewajiban seorang warga negara dan seorang
bukan warga negara. Asas Nasionalitas tercfermin dari lahirnya Undang-
Undang tentang Kewarganegaraan tersebut.
Menjadi suatu perhatian adalah kemunculan Undang-Undang
Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebelumnnya
Undang-Undang ini dianggap tidak berpihak kepada kepentingan
rakyat. Undang- Undang tersebut hanya membawa kepentingan para
investor atau penanam modal semata. Hal tersebut dikritisi oleh karena
mencamtumkan perubahan terhadap jangka waktu dan proses
pemberian atau terjadinya Hak Pakai.
Sebagaimana sebelumnya diatur (sebelum dilakukan judicial
review kepada Mahkamah Konstitusi dan dikabulkan sebagian) di
dalam Pasal 22 bahwa jangka waktu Hak Pakai bisa sampai dengan 70
tahun. Hal tersebut bertenantang dengan asas pemerataan dan
keadilan sosial karena secara tidak langsung jangka waktu yang lama
itu menutup kemungkinan tanah tersebut dipergunakan oleh
masyarakat Indonesia umumnya. Hal tersebut juga bertentangan
karena ada pengaturan bahwa perpanjangan dapat dilakukan dimuka.
Secara tidak langsung menyatakan bahwa tanpa ada evaluasi dan
kajian maka perpanjangan hak pakai dapat dilakukan. Tentu saja hal
tersebut tidak sejalan dengan asas pemeliharaan tanah secara
berencana.
Tanah memiliki fungsi sosial selain memiliki fungsi individu. Pada saat
tanah dikuasai dengan jangka waktu yang sangat lama tanpa evaluasi berkala
dan diberikan sebagai fasilitas bagi penanaman modal asing maka memiliki
kelemahan dimana seharusnya tanah tersebut dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Hak Pakai dibatasi karena bertujuan untuk
memberikan kepastian dan perlindungan bagi masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu oleh Mahkamah Konstitusi permohonan judicial
review diterima sebagian (untuk Pasal 22 saja). Sejak keputusan oleh
Mahkamah konstitusi tersebut maka pengaturan jangka waktu kembali kepada
PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak pakai.
B. Kerangka Teoritik
Kerangka teori merupakan landasan bagi peneliti dalam
melakukan kajian atau analisis yang diperoleh dalam berbagai literatur
terhadap kasus Hukum yang konkret. Teori dan/atau konsep
diharapkan akan memberi wawasan berpikir untuk menemukan sesuatu
yang benar sesuai dengan tujuan penelitian.18
Dalam penelitian ini akan digunakan teori-teori, konsep-konsep,
maupun pandangan- pandangan para pakar yang berpengaruh sebagai
landasan pemikiran penelitian. Pandangan-pandangan teoritis
dimaksud dijastifikasi dengan peraturan perundang-undangan dan
instrumen-instrumen hukum pertanahan.
1. Teori Penguasaan dan Pemilikan Tanah
Teori penguasaan tanah dalam sejarah hukum pertanahan di
Indonesia sejak zaman kesultanan, zaman kolonial sampai zaman
kemerdekaan, dalam praktek diperlakukan teori penguasaan tanah
berdasarkan teori Eropa, adat dan hukum nasional.
Di Eropa sebelum masa Revolusi Perancis berlaku doktrin bahwa raja
adalah penguasa segala hal di negaranya dengan semboyan “L’etat c’est Moi”
atau Negara adalah Saya, teori ini mencerminkan kekuasaan yang besar atas
tanah. Raja dianggap sebagai wakil negara dan pemilik tanah adalah negara.
Teori ini juga berlaku di Inggris dan Belanda. Indonesia sebagai negara
jajahan Belanda memberlakukan teori ini di Indonesia, yang berarti bahwa
semua tanah di Indonesia adalah milik raja dan dengan demikian oleh karena
raja takluk kepada pemerintahan kolonial, maka semua tanah di negara
jajahan dikonversi menjadi milik raja Belanda.
Pemerintah Kolonial menganggap semua tanah yang ada di Indonesia
adalah milik penguasa kolonial. Dengan memberlakukan azas domein
18
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal 27
verklaring, dengan arti bahwa semua tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa
pemiliknya adalah menjadi tanah negara. Atas dasar teori ini maka
pemerintah kolonial dapat menyewakan tanah-tanah kepada perusahaan
onderneming dengan skala besar.
Dengan diberlakukannya teori domein verklaring oleh pemerintah
Hindia Belanda di Indonesia, dapat diasumsikan bahwa kebijakan itu didasari
atas alasan-alasan karena pemerintah Belanda menganggap raja-raja di
Indonesia yang mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah, maka dengan
sendirinya hak domein itu juga diambil over oleh Belanda karena Belanda
memegang kedaulatan di Indonesia.
Anggapan pemerintah Belanda yang demikian itu, pada dasarnya
adalah sangat keliru. Karena tidak semua raja-raja di Indonesia mempunyai
hak domein atas tanah, khususnya di Sumatera Timur raja-raja tidak
menguasai semua tanah di wilayah kerajaannya, tetapi di wilayah
persekutuan hukum adat yang berada di bawah kekuasaan kesultanan tanah
adalah merupakan milik komunal (beschikkingsrecht). Anggota persekutuan
dari hukum adat itu dapat membuka tanah dan memungut hasil hutan dengan
seizin kepala persekutuan atau pengetua adat, hak ini merupakan hak ulayat
dalam masyarakat adat itu.
Dalam praktek fungsi domein verklaring dalam perundang-undangan
pertanahan pemerintah kolonial Belanda adalah :
a. Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara
sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak Barat
yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek seperti hak erfpacht, hak opstal
dan lain-lainnya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah
dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik
Negara kepada penerima tanah.
b. Bidang pembuktian pemilikan.19
Dalam konsep Domein Verklaring, memberikan penjelasan bahwa
negara bertindak sebagai pemilik. Pemerintah memberikan hak-hak erfpacht
atau persewaan tanah jangka panjang kepada perusahaan onderneming,
dengan mengingkari hak-hak masyarakat adat yang ada di atas tanah menjadi
objek sewa menyewa tersebut.
Kebijakan pemerintah Belanda dalam memperlakukan teori
domein verklaring ini adalah, sangat merugikan rakyat karena domein
diperlakukan di atas tanah rakyat dan memungkinkan tanah-tanah hak
ulayat diberikan kepada orang asing dengan hak sewa (erfpacht).
Pemilik tanah yang diakui menurut hukum adat Eropa adalah
raja. Raja akan membagi-bagikan tanah tersebut kepada para
bangsawan dalam bentuk suatu struktur hirarkis, dengan tujuan dua
hal: menyerahkan sebagian hasilnya sebagai upeti kepadanya, dan
memelihara para bangsawan beserta keluarganya dengan sisa hasil itu
sebagai imbalan atas kepatuhan dan kesetiaannya kepadanya.
Dalam persekutuan hukum (beschikkingsrecht), setiap anggota
persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih
19
Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 43
dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus-menerus maka tanah
tersebut dapat menjadi hak milik secara individual.
Dalam hal ini bisa diperhatikan penjelasan Ter Haar tentang pemilikan
tanah adat sebagai berikut :
Hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu menaruh
tanda pelarangannya atau mula-mula membuka tanah; bilamana ia tidak
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penebangan dan pembakaran menurut
musimnya, maka orang lain bisa mendesaknya supaya memilih:
mengerjakan terus atau menyerahkan tanahnya kepadanya. Jadi tuntutan
pemilikan hak milik ini lenyap sama sekali bilamana ada lain orang
sesama anggota yang menginginkannya dan mendesak dia memilih satu
antara kedua pilihan itu.20
Bertolak dari pandangan Ter Haar ini dapat dinyatakan, bahwa
seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia
sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau
merubahnya dari kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang. Selama dia
masih mengerjakan tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Jadi
dalam hal ini, tekanan diberikan pada hasil produksi dari tanah yang bisa
dipetiknya, sebab apabila dia tidak lagi mengerjakannya maka tanah itu bila
diambil oleh orang lain yang akan menggarapnya.
Konsep Ter Haar tersebut bisa diperjelas lagi dengan apa yang
dikatakan sebagai hak ulayat. Soerojo Wignjodipoero mengatakan berikut ini :
Sebagai seorang warga persekutuan (komunal) maka tiap individu
mempunyai hak untuk :
a. mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan dan sebagainya.
20
Ter Haar, 1981, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 91.
b. memburu hewan liar yang hidup di wilayah wewenang komunal.
c. mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar.
d. membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus.
e. mengusahakan untuk diurus kolam ikan di atasnya.
Dalam hak pemilikan tanah yang berlaku secara yuridis di Indonesia,
konsep ini tertuang dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 pasal 2 yang berbunyi:
I. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat.
II. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
III. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur;
IV. Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada Daerah-Daerah swatantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah.
Hak menguasai negara yang dimaksudkan dalam pasal 2 UUPA
tersebut di atas adalah meliputi semua bumi, air dan ruang angkasa, baik
yang sudah dihakki oleh seorang maupun tidak. Kekuasaan tanah terhadap
tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari
hak itu, artinya sampai seberapa negara memberikan kekuasaan kepada
seorang yang mempunyainya untuk menggunakan haknya.
Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan
sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah sangat luas dan penuh.
Misalnya negara dapat memberikan tanah yang sedemikian itu kepada
seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut peruntukkannya dan
keperluannya, misalnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai ataupun dengan memberikan hak pengelolaan pada suatu
badan penguasa.
Kekuasaan negara atas tanah-tanah ini pun sedikit atau banyak
dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
sepanjang kenyataan hak ulayat itu masih ada. Pengertian “penguasaan” dan
“menguasai” di atas adalah merupakan aspek publik.
Bertolak dari ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tersebut bisa diketahui bahwa yang menguasai semua tanah
adalah Negara. Namun meskipun demikian Negara tidak sewenang-wenang
dalam pemilikannya, melainkan mengusahakan dan mengolahnya demi
kepentingan umum seluruh warga Negara Indonesia. Negara menjadi
pengganti raja dalam masa pemerintahan feodal, dan negara bisa menjadi
suatu lembaga hukum yang berwenang untuk melepaskan tanah dalam
bentuk peralihan hak (jual-beli, hibah, warisan).
2. Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan
menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum,
ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu,
yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke
dalam sebuah hak hukum. Dalam ilmu hukum “Hak” disebut juga hukum
subyektif, Hukum subyektif merupakan segi aktif dari pada hubungan hukum
yang diberikan oleh hukum obyektif (norma-norma, kaidah, recht).
Perlindungan hukum selalu terkait dengan peran dan fungsi hukum
sebagai pengatur dan pelindung kepentingan masyarakat, Bronislaw
Malinowski dalam bukunya berjudul Crime and Custom in Savage,
mengatakan “bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan
yang penuh kekerasan dan pertentangan, akan tetapi bahwa hukum juga
berperan pada aktivitas sehari-hari”.21
Menurut Roscoe Pound dalam teori mengenai kepentingan (Theory of
interest), terdapat 3 (tiga) penggolongan kepentingan yang harus dilindungi
oleh hukum, yaitu pertama; menyangkut kepentingan pribadi (individual
21
Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, Sinar Grafika, Jakarta,
Hal 49.
interest), kedua; yang menyangkut kepentingan masyarakat (social interest),
dan ketiga; menyangkut kepentingan umum (public interest).22
Pada abad ke-19 di Jerman dikemukakan 2 teori tentang hak yang
sangat penting dan sangat besar pengaruhnya, ialah:
1. Teori yang menganggap hak sebagai kepentingan yang terlindung (belangen theorie dari Rudolph von Jhering). Teori ini merumuskan bahwa hak itu merupakan sesuatu yang penting bagi yang bersangkutan, yang dilindungi oleh hukum. Teori ini dalam pernyataannya mudah mengacaukan antara hak dengan kepentingan. Memang hak bertugas melindungi kepentingan yang berhak tetapi dalam realitasnya sering hukum itu melindungi kepentingan dengan tidak memberikan hak kepada yang bersangkutan.
2. Teori yang menganggap hak sebagai kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan (wilsmacht theorie dari Bernhard Winscheid). Teori ini mengatakan bahwa hak itu adalah suatu kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan yang oleh tata tertib hukum diberikan kepada yang bersangkutan.23
C. Definisi Operasional
1. Pengaturan adalah proses, cara, perbuatan mengatur oleh yang diberi
kewenangan untuk itu berdasarkan peraturan perundang- undangan
yang berlaku.
22
Marni Emmy Mustafa, 2007, Prinsip-Prinsip Beracara Dalam Penegakan Hukum Paten
di Indonesia Dikatikan Dengan TRiPs-WTO, PT. Alumni, Bandung, Hal. 58.
23 Soeroso, Op.Cit. Hal. 274-275
2. Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang perorangan,
atau badan hukum dengan tanah.
3. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah
tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanah.
4. Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia adalah Warga
Negara Asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat
bagi pembangunan nasional.
5. Rumah Tempat Tinggal adalah Rumah yang berdiri sendiri yang
dibangun diatas bidang tanah.
6. Asas Kepastian Hukum adalah asas untuk mengetahui dengan adanya
aturan yang berlaku dan apa yang dikehendaki dari padanya.
7. Kedudukan hukum adalah status seseorang didalam melakukan
perbuatan hukum.
8. Hak atas Tanah adalah kewenangan pemegang hak untuk
menggunakan tanah untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-
undang dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
9. Investasi adalah penanaman uang atau modal untuk memperoleh
keuntungan.
D. Kerangka berpikir
Penguasaan tanah bagi Warga Negara Asing untuk Investasi di Bali
Penguasaan Tanah oleh Warga Negara
Asing untuk Investasi di Bali
- Tujuan Penguasaan Tanah
- Syarat Penguasaan Tanah
Kedudukan Hukum Warga Negara
Asing dalam Investasi di Bali
- Kepastian Hukum
- Fungsi hukum
Kepastian Hukum Warga Negara Asing dalam Berinvestasi di Bali
- Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 33 ayat 3)
- TAP MPR RI Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria
Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
- UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
- PP nomor 41 Tahun 1996 Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian
Oleh Warga Negara Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu meneliti
asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, dan sistematika hukum dengan cara
meneliti bahan pustaka yang merupakan Bahan Hukum Primer dan Bahan
Hukum Sekunder.
Sedangkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus, pendekatan
Undang-Undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah undang-
undang dan regulasi yang bersangkaut paut dengan isu hukum yang kita
akan bahas.24 Sedangkan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh
peneliti adalah ratio decidendi,25 yaitu alasan- alasan hukum yang digunakan
oleh hakim untuk sampai kepada putusannya ini dapat diketemukan dengan
memperhatikan fakta-fakta materiil. Fakta-fakta materiil tersebut berupa
orang, tempat, waktu, dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti
sebaliknya.
B. Bahan Hukum
24
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Metode penelitian Hukum, PT Fajar Interpratama, Jakarta, hal 93
25 Ibid
Dalam penelitian ini akan mempergunakan bahan-bahan hukum yang
relevan dalam membahas suatu permasalahan yang di kemukakan adapun
bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah :
1. Bahan Hukum primer yaitu bahan bahan hukum yang mengikat,
meliputi:
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Pokok Agraria (UUPA); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia; Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai; Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Warga Negara
Asing yang Berkedudukan di Indonesia; Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996
tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh
Warga Negara Asing; Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah; Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian dan Pembatalan keputusan Pemberian Hak
atas Tanah Negara; Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan; Keputusan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
16 Tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik menjadi Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai;
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan atau keterangan lanjutan mengenai bahan hukum primer
seperti Buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan, hasil-hasil
penelitian dan bahan-bahan seminar, serta makalah-makalah.
C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum yang dipakai
adalah dengan cara menginventarisasi, mengkategorisasi dan
mengklasifikasikan bahan-bahan hukum yang dipergunakan kemudian
dideskripsikan dan ditafsirkan sesuai dengan kaedah-kaedah yang ada dalam
ilmu hukum.
Kemudian untuk lebih meyakinkan penulis maka diperlukan data
penunjang berupa wawancara dengan pihak-pihak yang memungkinkan
sebagai sumber seperti Notaris/PPAT atau orang pribumi selaku
nominee/yang pernah, dan apabila memungkinkan adalah Warga Negara
Asing yang yang ada di Kabupaten Badung, Bali terkait dengan permasalahan
penyelundupan hukum tersebut.
D. Analisis
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul maka
teknik yang dipergunakan adalah dengan mendeskripkan artinya menguraikan
terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non
hukum, serta dengan menginterpretasikan asas-asas dan kaidah hukum,
serta teknik evaluasi yaitu mengevaluasi penerapan hukum yang yang telah
dilakukan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Investasi Warga Negara Asing di Bali
1. Bentuk Perjanjian dalam Investasi oleh Warga Negara Asing
Potensi Pulau Bali di mata dunia, sudah tidak dapat diragukan lagi.
Baik dari segi Pariwisata, Kesenian, maupun Investasi Properti dan jual beli
tanah. Oleh karena itu, banyak pihak berbondong-bondong untuk melakukan
investasi di pulau yg dikenal dengan Pulau Seribu Pura ini. Pihak yang
berinvestasi di Bali, tidak hanya diramaikan oleh Warga Negara Indonesia
(WNI) saja, tetapi juga dibarengi oleh Warga Negara Asing (WNA) yang ikut
belomba-lomba untuk menanamkan modalnya di Bali. Terlebih lagi di
Kabupaten Badung, yang merupakan salah satu tujuan wisatawan
mancanegara yang datang ke Bali, seperti Kuta, Seminyak, Legian, Nusa
Dua, dan daerah-daerah sekitarnya yang memang memiliki keindahan pantai
dan pemandangan yang menakjubkan. Dengan melihat adanya potensi yang
cukup menjanjikan inilah, banyak WNA yang memutuskan untuk melakukan
investasi di Kabupaten Badung. Seiring dengan perkembangan dari tahun ke
tahun, terjadi peningkatan investasi yang sangat pesat yang dilakukan oleh
WNA, seperti membangun Villa, Mall, Apartemen, bahkan Hotel.
Selain upaya investasi yang benar dengan tidak melanggar ketentuan
hukum yang berlaku, ternyata terjadi juga investasi yang berindikasi
penyelundupan hukum di dalam melakukan investasi oleh WNA. Yang sering
terjadi adalah dengan melakukan perjanjian nominee, Perjanjian Nominee
adalah perjanjian yang dibuat antara Warga Negara Asing (WNA) dengan
Warga Negara Indonesia (WNI) dalam jual beli tanah di Bali atau sering juga
disebut dengan istilah Perjanjian Pinjam Nama WNI oleh WNA dalam rangka
penguasaan atas Tanah. Di dalam perjanjian jual beli tanah ini, WNI bertindak
selaku nominee yang mana uang yang digunakan untuk membeli tanah
tersebut adalah sejatinya milik WNA.
Menurut Maria S.W. Sumardjono26, terdapat beberapa perjanjian yang
umumnya dibuat antara WNA dengan WNI, yaitu :
a. Perjanjian Induk yang terdiri dari Perjanjian Pemilikan Tanah (Land
Agreement) dan Surat Kuasa;
b. Perjanjian Opsi;
c. Perjanjian Sewa-Menyewa (Lease Agreement);
d. Kuasa Menjual (Power of Attorney to Sell);
e. Hibah Wasiat; dan
f. Surat Pernyataan Ahli Waris.
Perjanjian Nominee ini ada yang dibuat dalam bentuk akta di bawah
tangan, tetapi ada juga yang dibuat dalam bentuk Notariil yang mana bila
dilihat sepintas seakan-akan tidak menyalahi peraturan perundang-undangan,
namun apabila dilihat secara seksama, maka tujuan dari perjanjian tersebut
adalah untuk memindahkan hak atas tanah Hak Milik atau Hak Guna
Bangunan kepada WNA.
Adapun penjelasan secara detail mengenai beberapa macam
perjanjian antara WNA dengan WNI tersebut, yaitu 27:
1. Perjanjian Pemilikan Tanah dan Pemberian Kuasa
26
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hal 14-15 27
Ibid
Dalam perjanjian ini pihak WNI mengakui bahwa tanah Hak Milik (HM)
yang terdaftar atas namanya bukanlah miliknya, tetapi milik WNA
yang telah menyediakan dana untuk pembelian tanah HM beserta
bangunan. Selanjutnya didalam perjanjian ini telah diatur juga tentang
adanya pemberian kuasa oleh WNI yang tidak dapat ditarik kembali
kepada pihak orang asing untuk melakukan segala tindakan hukum
terhadap tanah Hak Milik (dan bangunan).
2. Perjanjian Opsi
Pihak WNI memberikan opsi untuk membeli tanah HM dan bangunan
kepada pihak orang asing karena dana untuk pembelian tanah HM
dan bangunan itu disediakan pihak orang asing
3. Perjanjian Sewa Menyewa
Pada prinsipnya dalam perjanjian ini diatur tentang jangka waktu
sewa berikut opsi untuk perpanjangannya beserta hak dan kewajiban
pihak yang menyewakan (WNI) dan penyewa (WNA).
4. Kuasa untuk Menjual
Perjanjian ini berisi pemberian kuasa dengan hak substitusi dari pihak
WNI selaku pemberi kuasa kepada pihak asing (penerima kuasa)
untuk melakukan perbuatan hukum menjual atau memindahkan tanah
HM dan bangunan.
5. Hibah Wasiat
Pihak WNI menghibahkan tanah HM dan bangunan atas namanya
kepada pihak orang asing.
6. Surat Pernyataan Ahli Waris
Istri pihak WNI dan anak-anaknya menyatakan bahwa walaupun
tanah HM dan bangunan terdaftar atas nama suaminya, tetapi
suaminya bukanlah pemilik sebenarnya atas tanah HM dan bangunan
tersebut.
Di Bali khususnya, antara WNA dengan WNI sering menggunakan
metode seperti perjanjian nomor 1 (satu) di atas, yaitu WNI membeli sebidang
tanah (dan bangunan) dengan menggunakan uang milik WNA dengan
dibarengi oleh syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan mana telah diatur
sebelumnya oleh para pihak dalam perjanjian di bawah tangan atau Notariil,
sebagai berikut :
a. Bahwa WNI mengakui jumlah uang mana yang dipakai untuk
membeli tanah dan bangunan, adalah memang benar berasal dari
WNA selaku pemilik uang tersebut.
b. Bahwa sejak saat ini Pihak Kedua dapat dan berhak dan karenanya
diberikan kuasa oleh Pihak Pertama untuk menggunakan atau
melakukan segala sesuatu atas tanah dan bangunan tersebut
sepanjang diperbolehkan menurut peraturan perundang undangan
yang berlaku.
c. Bahwa kuasa yang diberikan oleh Pihak Pertama kepada Pihak
Kedua berdasarkan akta ini serta akta-akta lainnya yang mungkin
akan dibuat di kemudian hari, yang berhubungan dengan akta ini,
sehingga dengan demikian selama perjanjian ini berlangsung, kuasa-
kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali atau tidak dapat
dibatalkan karena alasan apapun juga termasuk sebab-sebab yang
tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia
dan atau peraturan lainnya.
d. Dengan penyerahan segala hak dan kewajiban Pihak Pertama
kepada Pihak Kedua wajib untuk melaksanakan kewajiban kewajiban
Pihak Pertama selaku pemilik tanah dan bangunan termasuk
membayar segala biaya yang mungkin timbul untuk pelaksanaan
perjanjian ini.
e. Sehubungan dengan hal tersebut, Pihak Kedua menjamin Pihak
Pertama mengenai hal-hal tersebut di atas, Pihak Pertama tidak akan
mendapat teguran atau tuntutan apapun dan dari pihak manapun.
f. Segala hak dan kewajiban yang diberikan oleh Pihak Pertama
kepada Pihak Kedua berdasarkan akta ini dapat diserahkan kembali
oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama dengan cara penjualan
tanah tersebut di atas dengan ketentuan bahwa penjualan tersebut
hanya dapat dilaksanakan dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu
dari Pihak Kedua.
g. Bilamana tanah dan bangunan tersebut dijual atau ganti nama
dengan pihak lain, maka Pihak Kedua akan memberikan kompensasi
kepada Pihak Pertama yang nilainya ditentukan sesuai kesepakatan
para pihak.
h. Pada saat tanah dan bangunan tersebut dijual atau ganti nama
dengan pihak lain, maka Pihak Pertama harus menyetujuinya dan
bersama suami/istri untuk menandatangani akta jual beli serta
melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan, sehubungan
dengan penjualan tanah dan bangunan tersebut dengan tanpa syarat
apapun juga dalam kurun waktu tidak lebih dari 1 (satu) minggu
(sesuai kesepakatan).
i. Selama perjanjian ini berlangsung, Pihak Pertama menjamin Pihak
Kedua bahwa Pihak Pertama tidak akan mengganggu atau
menggugat atau menuntut Pihak Kedua atas penggunaan Tanah dan
Bangunan tersebut, tidak akan mengalihkan atau menjual atau
menjaminkan hak atas tanah dan bangunan tersebut di atas kepada
pihak lain, sehingga Pihak Kedua dapat menggunakan atau
menikmati hak atas tanah dan bangunan tersebut dengan aman serta
tidak akan mendapat gangguan, tuntutan dari siapapun juga dan
berupa apapun juga.
j. Pihak Pertama selanjutnya menyatakan kepada Pihak Kedua untuk
tidak memohon kepada instansi yang berwenang dengan dalih
apapun penerbitan sertipikat pengganti atas tanah dan bangunan
tersebut, kecuali dengan sepengetahuan Pihak Kedua dengan alasan
yang sah yang telah diketahui oleh Pihak Kedua.
k. Segala tindakan yang dilakukan oleh Pihak Pertama atas tanah dan
bangunan tersebut yang bertentangan dengan apa yang tertera di
dalam akta ini, adalah tidak sah dan batal dengan sendirinya menurut
hukum yang memberikan bagi Pihak Kedua untuk menuntut
dikembalikannya status tanah dan bangunan dalam keadaan seperti
semula untuk itu berhak untuk melakukan segala tindakan yang
dianggap perlu dan berguna, tidak ada yang dikecualikan dengan
ketentuan bahwa semua biaya yang bertalian dengan hal tersebut
menjadi tanggungan dan dibayar oleh Pihak Pertama.
l. Apabila ternyata Pihak Kedua tidak dapat melaksanakan hak-haknya
yang diperoleh berdasarkan akta ini, baik yang disebabkan oleh
ketentuan perundang-undangan yang berlaku maupun sebab-sebab
lainnya, maka Pihak Pertama dengan ini menyatakan kesediaannya
untuk membantu Pihak Kedua atau untuk melaksanakan hak-hak
tersebut untuk kepentingan Pihak Kedua, termasuk tetapi tidak
terbatas dengan memberikan hak sewa atas tanah dan bangunan
tersebut di atas kepada Pihak Kedua dengan menggunakan
ketentuan-ketentuan sebagaimana yang akan dimuat dalam akta
yang dibuat oleh Notaris.
m. Perjanjian ini tidak berakhir karena meninggalnya salah satu pihak,
tetapi akan berlaku dan mengikat para ahli waris/pengganti haknya
yang sah menurut hukum, kecuali ditentukan lain oleh Para Pihak.
n. Selama perjanjian ini berlangsung, maka dokumen-dokumen
pemilikan tanah dan bangunan akan diserahkan oleh Pihak Pertama
kepada dan untuk disimpan oleh Pihak Kedua.
Perjanjian diatas diikuti dengan surat pengakuan hutang disertai
dengan jaminan, dimana Pengakuan hutang yang dibuat tersebut adalah
untuk menjamin ketetapan pembayaran hutang, sehingga pihak WNI
memberikan jaminan kepada pihak WNA, yaitu berupa :
1. Surat Kuasa untuk pembebanan jaminan;
2. Surat Kuasa dengan Hak Substitusi untuk menjual tanah dan benda-
benda yang ada diatasnya;
3. Surat Kuasa dengan Hak Substitusi untuk menggunakan dan
mendirikan bangunan diatas tanah;
4. Surat Kuasa dengan Hak Substitusi untuk menyewakan tanah dan
bangunan yang ada diatasnya.
Jangka waktu perjanjian hutang ini dibuat sesuai dengan kesepakatan
antara kedua belah Pihak, yang mana disesuaikan dengan kepentingan pihak
WNA atas tanah tersebut. Perjanjian hutang ini tidak berakhir apabila salah
satu pihak meninggal dunia, dan dengan sendirinya diteruskan dan berlaku
antara pihak yang masih hidup dengan ahli waris pihak yang meninggal dunia
atau antara sesama ahli waris bilamana kedua duanya meninggal dunia.
Dalam perjanjian hutang tersebut, tercantum pula bahwa dokumen
jaminan adalah merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dan kuasa-kuasa mana tidak dapat ditarik kembali dan tidak dapat
mengakhiri atau dibatalkan untuk alasan apapun juga termasuk sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1813 Burgerlijk Wetboek, yakni:
karena ditariknya kembali kuasanya si kuasa, dengan pemberitahuan
penghentian kuasanya si kuasa, dengan meninggalnya, pengampuannya,
atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan perkawinannya
si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.
Jika ditinjau dari strukturnya, perjanjian nominee yang biasa digunakan
dalam praktiknya ada empat macam, yang pertama adalah terdiri dari surat
pernyataan sebagai perjanjian induk yang diikuti dengan beberapa akta yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan, yaitu :
1. Surat Pernyataan dari pihak WNI dalam akta di bawah tangan/notariil;
2. Akta perjanjian/Perikatan jual beli (otentik);
3. Akta Kuasa Menjual (otentik);
4. Akta Perjanjian Sewa-menyewa (otentik);
5. Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT);
6. Hak Tanggungan.
Berdasarkan struktur perjanjian tersebut, kewenangan pejabat yang
membuat perbuatan hukumnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Perjanjian nominee tersebut dibuat oleh para pihak dihadapan notaris,
yang di dalamnya berisi pernyataan dari pihak WNI (pengakuan hutang),
kuasa mengelola, kuasa menjual dan perjanjian sewa-menyewa yang
menjadi satu kesatuan;
2. Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) dibuat di hadapan PPAT.
Bentuk struktur nominee yang kedua, yaitu masing-masing aktanya
menjadi bagian-bagian yang terpisah, dan tidak diikuti dengan pembebanan
Hak Tanggungan, yang terdiri dari :
1. Surat pernyataan dari pihak WNI dalam bentuk akta dibawah tangan;
2. Akta Perjanjian/perikatan Jual Beli (otentik)
3. Akta Kuasa Menjual (otentik)
4. Akta Kuasa Mengelola (otentik).
5. Akta Perjanjian Sewa Menyewa (otentik).
Bentuk struktur nominee yang ketiga, yaitu semua aktanya dibuat dalam
notariil, dan akta-aktanya menjadi bagian-bagian yang terpisah, dalam struktur
nominee ini biasanya dibuat tanpa atau dengan diikuti dengan pembebanan Hak
Tanggungan tergantung dari permintaan pihak WNA, yang terdiri dari :
a. Perjanjian;
b. Pengikatan jual beli;
c. Kuasa Menjual;
d. Perjanjian Sewa-menyewa.
Sedangkan bentuk struktur perjanjian nominee yang lain, ada juga
yang memakai format dalam bentuk perjanjian yang dibuat dibawah tangan
tanpa struktur seperti tersebut di atas (bentuk bebas), ada yang mirip dengan
struktur yang pertama tetapi akta-aktanya terpisah-pisah seolah-olah tidak
terkait dengan memakai akta pengakuan utang dan dibebani Hak
Tanggungan.
2. Syarat-syarat perjanjian yang berupa Akta Otentik
Berdasarkan isi Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek, yang dimaksud
dengan Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Dari apa yang
dinyatakan dalam Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek tersebut, dapat
disimpulkan bahwa syarat akta otentik adalah :
a. Bentuknya ditentukan oleh undang-undang,
b. Dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai atau pejabat umum yang
berwenang untuk itu,
c. Akta itu dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang
untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
Sedangkan ciri-ciri akta otentik, menurut C.A. Kraan adalah sebagai
berikut 28 ;
a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.
b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang.
28
Herlien Budiono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 3-4.
c. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya c.q. data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut).
d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk-independence) serta tidak memihak (onpartijdigheid-impartiality) dalam menjalankan jabatannya.
e. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.
3. Akta Notaris Sebagai Akta Otentik
Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai
akta Otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), hal ini
sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, yang menyatakan syarat akta
otentik, yaitu29:
a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.
Di dalam Pasal 1 angka 7 UUJN dinyatakan bahwa Akta Notaris
adalah akta otentik yang dibuat oleh dan di hadapan Notaris menurut bentuk
dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN.
Menurut G.H.S Lumban Tobing, akta Notaris dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu30:
a. Akta yang dibuat oleh Notaris, dalam praktik notaris disebut Akta Relaas
atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat
29
Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, 31 Januari 2001, hal. 3
30 G.H.S. Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal 51
dan disaksikan Notaris atas permintaan para pihak, agar tindakan atau
perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk Akta
Notaris.
b. Akta yang dibuat di hadapan Notaris, dalam praktik Notaris disebut Akta
Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang
diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak
berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam
bentuk akta Notaris.
Yang menjadi dasar bagi Notaris dalam membuat akta relaas maupun
akta pihak, yaitu harus ada keinginan ataupun kehendak dan permintaan dari
para pihak. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak, Notaris
dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum dan tidak
berpihak kepada salah satu pihak. Ketika saran Notaris diikuti dan dapat
diterima dan diperimbangkanb oleh para pihak, baru kemudian keinginan dan
permintaan para pihak tersebut dituangkan dalam akta Notaris, meskipun
demikian tetap hal yang tertuang dalam akta tersebut merupakan keinginan
dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta
merupakan perbuatan para pihak, bukan perbuatan atau tindakan Notaris.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf (e) UUJN, Notaris berwenang
untuk memberikan penyuluhan atau saran-saran hukum kepada para pihak,
dan apabila saran-saran tersebut diterima dan disetujui oleh para pihak
kemudian dituangkan ke dalam akta, maka saran-saran tersebut harus dinilai
sebagai pernyataan atau keterangan para pihak itu sendiri. Akta-akta yang
dibuat oleh atau di hadapan Notaris harus sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan dalam Pasal 38 UUJN, dan tata cara atau prosedur pembuatannya
sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 53
UUJN.
4. Legalitas suatu Perjanjian
Menurut pasal 1313 Burgerlijk Wetboek, pengertian perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan
mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak apabila terpenuhinya syarat-
syarat sahnya perjanjian.
Adapun syarat-syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320
Burgerlijk Wetboek, yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
Sepakat adalah dasar untuk tercapainya suatu perjanjian. Kesepakatan
ini ditandai dengan adanya penawaran dan penerimaan, yang dapat
dilakukan dengan cara tertulis, lisan, diam-diam dan simbol-simbol
tertentu. Kesepakatan dengan cara tertulis dilakukan dengan cara
menuangkannya dalam akta autentik ataupun akta di bawah tangan.
b. Kecakapan dalam membuat perjanjian
Kecakapan dalam membuat perjanjian ini dapat diketahui dari usianya
yaitu telah berumur 21 tahun atau telah menikah walaupun belum genap
berumur 21 tahun. Disamping itu yang bersangkutan tidak ditaruh di
bawah pengampuan.
c. Hal Tertentu
Hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian baik berupa barang
atau jasa yang dapat dinilai dengan uang. Berdasarkan Pasal 1332 B.W,
dinyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
yang dapat menjadi pokok perjanjian. Dengan arti lain bahwa, objek dari
suatu perjanjian itu dapat dinilai uang, atau setidaknya sanksi atas
pelanggaran perjanjian adalah ganti rugi uang atau benda yang bernilai
uang.
d. Suatu Sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-
undang, ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan dan kesusilaan.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1335 Burgerlijk Wetboek, Suatu
perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sebab yang palsu
atau terlarang, adalah tidak mempunyai kekuatan
5. Sebab-sebab batalnya suatu perjanjian
Perjanjian, apabila tidak dipenuhinya salah satu syarat oleh salah
satu pihak, dapat mengakibatkan adanya kebatalan. Akibat hukum dari suatu
kebatalan pada prinsipnya sama dengan akta Batal Demi Hukum, Dapat
Dibatalkan atau Non Existent, yaitu ketiganya mengakibatkan perbuatan
hukum tersebut menjadi tidak berlaku atau perbuatan hukum tersebut tidak
mempunyai akibat hukum. Dari tiga jenis kebatalan tersebut di atas, yang
menjadi titik perbedaannya terdapat pada waktu berlakunya kebatalan
tersebut, yaitu :
a. Batal demi hukum, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak
mempunyai akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut
atau berdaya surut, dalam praktik batal demi hukum didasarkan pada
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
b. Dapat dibatalkan, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak
mempunyai akibat hukum sejak terjadinya pembatalan dan dimana
pembatalannya atau pengesahan perbuatan hukum tersebut tergantung
pada pihak tertentu, yang menyebabkan perbuatan hukum tersebut
dapat dibatalkan. Akta yang sanksinya dapat dibatalkan, tetap berlaku
dan mengikat selama belum ada putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang membatalkan akta tersebut.
c. Non exsistent, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak ada
atau non exsistent, yang disebabkan karena tidak dipenuhinya unsur
essensialia dari suatu perjanjian atau tidak memenuhi salah satu unsur
atau semua unsur dalam suatu perbuatan hukum tertentu. Sanksi non
exsistent secara dogmatis tidak diperlukan putusan pengadilan, namun
dalam praktik tetap diperlukan putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap dan implikasinya sama dengan batal demi
hukum.
Selain sebab-sebab kebatalan sebagaimana diuraikan di atas, ada
juga penyebab kebatalan yang lain, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal
1869 Burgerlijk Wetboek yang selengkapnya dirumuskan “suatu akta yang
karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas atau
karena suatu cacat dalam bentuknya, tidaklah dapat diberlakukan sebagai
akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah
tangan”. Ketentuan pasal tersebut memuat ketentuan, bahwa suatu akta tidak
memiliki kekuatan bukti otentik dan hanya memiliki kekuatan bukti di bawah
tangan dalam hal :
a. Pejabat umum tidak berwenang untuk membuat akta itu.
b. Pejabat umum tidak mampu atau tidak cakap untuk membuat akta itu.
c. Cacat dalam bentuknya.
Sebab-sebab kebatalan juga diatur secara kongkrit dalam Pasal 1446
sampai dengan 1456 Burgerlijk Wetboek dan dilengkapi dengan Yurisprudensi
serta Doktrin sebagai sumber hukum lainnya. Adapun sebab-sebab kebatalan
adalah sebagai berikut :
a. Ketidakcakapan bertindak
Seseorang dianggap tidak cakap dalam bertindak, apabila:
a. Belum berusia 21 tahun dan belum menikah;
b. Berusia 21 tahun, tetapi gelap mata, sakit ingatan, dungu atau
pemboros.
Sementara itu, di dalam Pasal 1330 BW, ditentukan bahwa tidak cakap
untuk membuat perjanjian adalah :
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-
undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-
undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Adapun persyaratan perjanjian yang batal demi hukum, yaitu31:
a. Batal Demi Hukum Karena Syarat Perjanjian Formil Tidak Terpenuhi
Pada perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil, tidak
dipenuhinya ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk atau format
perjanjian, cara pembuatan perjanjian, ataupun cara pengesahan perjanjian,
sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan, berakibat
perjanjian formil batal demi hukum. Ahli hukum memberikan pengertian
perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan pada adanya
31
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Restatement Kebatalan Perjanjian,
http://ditkumham.bappenas.go.id/Restatement Kebatalan Perjanjian.pdf, diakses tanggal 29
Maret 2013
kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang juga disyaratkan adanya
formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi
hukum32. Formalitas tertentu itu, misalnya tentang bentuk atau format
perjanjian yang harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik
ataupun akta di bawah tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta yang
dibuat oleh notaris atau pejabat hukum lain yang memiliki kewenangan untuk
membuat akta otentik menurut undang-undang.
Beberapa contoh perjanjian di bidang Hukum Kekayaan yang harus
dilakukan dengan Akta Notaris sebagai berikut33.
• Hibah, kecuali pemberian benda bergerak yang bertubuh atau
surat penagihan utang atas tunjuk dari tangan ke tangan: Pasal
1682 dan 1687 Burgerlijk Wetboek.
• Pendirian perseroan terbatas: Pasal 7 butir 1 UU No 40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
• Jaminan fidusia : Pasal 5 butir 1 UU No. 42 tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia.
• Perjanjian penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah
sengketa terjadi : Pasal 9 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
32
Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, hlm. 47–48;
33 Ibid
• Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT): Pasal 15
ayat (1) UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. SKMHT
dapat pula dibuat dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) menurut Pasal 15 ayat (1) UU tersebut.
Pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas tertentu yang
harus dipenuhi untuk perjanjian formil di atas, memang merupakan
pengecualian dari asas konsensualisme dalam hukum perjanjian yang berlaku
secara umum34. Sebab, menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian
sudah terbentuk dengan adanya kesepakatan dari para pihak yang
membuatnya. Kemudian, agar perjanjian itu sah adanya maka harus
memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek. Namun, asas
tersebut tidak cukup untuk perjanjian formil karena masih ada formalitas lain
yang diatur dalam undang-undang yang harus dipatuhi. Jadi, perjanjian formil
memang tidak cukup bila hanya berdasarkan pada asas konsensualisme.
b. Batal Demi Hukum Karena Syarat Objektif Sahnya Perjanjian Tidak
Terpenuhi
Menurut Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek, untuk sahnya suatu perjanjian
harus ada suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering
disebut sebagai syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Syarat objektif
pertama, yaitu suatu hal tertentu diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman35
dan Herlien Boediono sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa yang
34
Subekti, Op.Cit, hlm. 19 35 Mariam Darus Badrulzaman, 2001, “Perikatan pada Umumnya”, dalam buku berjudul
Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, hlm. 79–80.
menjadi hak dari kreditor dan kewajiban bagi debitor menurut Subekti36. Objek
perjanjian berupa barang, sebagaimana disebut dalam Pasal 1332, 1333, dan
1334 ayat (1) Burgerlijk Wetboek.
Kausa suatu perjanjian dinyatakan bukan merupakan sebab yang halal
sehingga terlarang, apabila kausa tersebut menurut Pasal 1337 Burgerlijk
Wetboek merupakan kausa yang “dilarang oleh undang-undang atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum”. Perjanjian seperti
ini tidak boleh atau tidak dapat dilaksanakan sebab melanggar hukum atau
kesusilaan atau ketertiban umum. Kondisi semacam itu menurut Subekti,
sudah sangat jelas dapat diketahui seketika oleh hakim dan juga oleh umum
sehingga untuk alasan ketertiban dan keamanan umum maka perjanjian
semacam itu dengan sendirinya batal demi hukum37.
Kedudukan hukum WNA dalam perjanjian semacam ini lemah karena
dua alasan, yaitu38 :
1. Walaupun kedua belah pihak cakap membuat bertindak dan
mengikatkan diri dengan sukarela, tetapi “causa” nya adalah palsu
atau terlarang karena perjanjian itu mengakibatkan dilanggarnya
ketentuan Pasal 26 Ayat (2) UUPA. Berdasarkan Pasal 1335 Burgerlijk
Wetboek dinyatakan, bahwa suatu perjanjian yang dibuat dengan
suatu causa yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Lebih lanjut menurut Subekti (1995:137), perjanjian yang dibuat antara
WNI dengan WNA tersebut didasarkan pada causa yang palsu, yakni
perjanjian yang dibuat dengan pura-pura, untuk menyembunyikan
36
Subekti, Op.Cit, hlm 18 37
Subekti, Op.Cit, hlm 19 38
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm 18-19
causa yang sebenarnya yang tidak diperbolehkan. Dalam hal ini,
perjanjian itu dianggap sudah batal dari semula dan hakim berwenang
karena jabatannya, mengucapkan pembatalan itu, walaupun tidak
diminta oleh salah satu pihak (batal secara mutlak).
2. Terkait dengan ketentuan bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 Burgerlijk
Wetboek), mengenai hal ini Subekti menjelaskan bahwa tidak semua
perjanjian yang dibuat mempunyai kekuatan mengikat sebagai
undang-undang. Hanya perjanjian yang dibuat secara sah, yang
mengikat kedua belah pihak (Subekti, 1995:139). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa perjanjian pura-pura tidak mempunyai
kekuatan mengikat karena dibuat secara tidak sah.
c. Batal Demi Hukum Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Berwenang
Melakukan Perbuatan Hukum
Ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum
(handelingsonbekwaamheid) harus dibedakan dengan ketidakwenangan
seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbevoegdheid).
Mereka yang tidak berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-
orang yang oleh undang undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu.
Jadi, seseorang yang oleh undang-undang dikualifikasi sebagai tidak
berwenang melakukan tindakan hukum tertentu, tidak berarti bahwa ia juga
tidak cakap. Dengan kata lain, orang yang menurut undang-undang adalah
cakap atau mampu melakukan tindakan hukum ternyata dapat tergolong
sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu menurut
undang-undang.
Perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut
undang-undang dinyatakan tidak berwenang, berakibat batal demi hukum.
Artinya, ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa
orang atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan hukum yang
bersifat memaksa sehingga tidak dapat disimpangi. Orang atau pihak tersebut
adalah mereka yang karena jabatan atau pekerjaannya, berdasarkan undang-
undang tertentu, dikategorikan tidak berwenang melakukan perbuatan hukum
tertentu. Dapat pula terjadi seseorang dinyatakan tidak memiliki wewenang
melakukan perbuatan hukum tertentu karena menurut undang-undang, orang
tersebut tidak memenuhi kualifikasi atau persyaratan tertentu.
d. Batal Demi Hukum Karena Ada Syarat Batal yang Terpenuhi
Syarat batal dalam sebuah perjanjian adalah suatu peristiwa atau fakta
tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa depan, namun para pihak
dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar
terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal. Syarat batal ini merupakan
kebalikan dari syarat tangguh, yang apabila peristiwa atau fakta yang belum
tentu terjadi di masa depan itu benar terjadi adanya maka justru membuat
lahirnya perjanjian yang bersangkutan. Ketentuan tentang kedua syarat ini
diatur dalam Pasal 1253 Burgerlijk Wetboek yang menyebut bahwa :
Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa
yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara
menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu,
maupun dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi
tidaknya peristiwa itu.
Perjanjian bersyarat yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan
pada kemauan orang yang membuat perjanjian itu menurut Pasal 1256
Burgerlijk Wetboek adalah batal demi hukum. Pasal 1256 Burgerlijk Wetboek
menegaskan bahwa :
Semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata
tergantung pada kemauan orang yang terikat. Tetapi jika perikatan
tergantung pada suatu perbuatan yang pelaksanaannya berada dalam
kekuasaan orang tersebut, dan perbuatan itu telah terjadi, maka perikatan
itu adalah sah.
Alasan dari ketentuan ini masuk akal mengingat bahwa mengharapkan
terjadinya suatu perjanjian semata-mata hanya pada kehendak atau kemauan
seseorang merupakan hal aneh kalau tak dapat disebut sia-sia, sebab
perjanjian seperti itu tidak akan terjadi bila orang itu tidak menghendakinya.
Demikian pula bila perjanjian memuat syarat yang bertujuan melakukan
sesuatu yang tak mungkin terlaksana, atau yang bertentangan dengan
kesusilaan yang baik, atau bahkan yang dilarang oleh undang-undang, adalah
batal demi hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1254 Burgerlijk Wetboek
yang berbunyi :
Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin
terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik,
atau sesuatu yang dilarang oleh UU adalah batal dan mengakibatkan
persetujuan yang digantungkan padanya tak berlaku.
Aturan ini mirip dengan syarat objektif untuk sahnya perjanjian, yaitu
syarat kausa yang halal.
Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena
syarat batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan
pada kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu atau dengan kata lain,
perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal
perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah pihak yang telah menerima
prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya. Pasal
1265 Burgerlijk Wetboek mengatur hal ini dengan menyebut bahwa :
Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan
perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula,
seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak
menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia mewajibkan si
berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa
yang dimaksudkan terjadi.
B. Kedudukan Hukum Warga Negara Asing Dalam Penguasaan Tanah
1. Jual Beli Tanah Secara Nominee
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak WNI yang pernah menjadi
nominee (Dewa Kade Suardana), terjadinya jual beli tanah secara nominee
yang dilakukan antara WNA dengan seorang WNI, dilakukan atas dasar
kepercayaan yang diawali dengan perkenalan diantara keduanya yang
berlanjut menjadi pertemanan. Jual beli secara nominee ini dilakukan oleh
orang asing dikarenakan adanya ketentuan hukum yang tidak membolehkan
orang asing memiliki tanah Hak Milik, bukan karena ingin memiliki untuk
jangka waktu panjang, tetapi karena keinginannya untuk berinvestasi di Bali
dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari penguasaan atas tanah Hak
Milik tersebut, maka atas dasar kepercayaan karena pertemanan inilah,
memunculkan suatu ide untuk membeli tanah secara nominee yang mana
menggunakan nama WNI sebagai pemilik yuridis atas suatu bidang tanah.
Perbuatan hukum para pihak WNI dengan WNA ini dilaksanakan di
hadapan Notaris setelah ada kesepakatan secara lisan di antara keduanya,
maka dituangkanlah maksud dan tujuan tersebut dalam suatu akta perjanjian
(nominee). Isi dari perjanjian tersebut, pada intinya adalah utang-piutang,
yang berisi pernyataan, bahwa uang yang dipakai untuk membeli tanah
tersebut diakui oleh pihak WNI adalah milik dari WNA. Perbuatan jual beli dan
penandatanganan perjanjian nominee dilakukan pada saat itu juga, yang
diawali penandatanganan jual beli tanah oleh WNI dengan pemilik tanah di
hadapan PPAT, kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan perjanjian
nominee di hadapan Notaris.
Untuk mengikat agar WNI sebagai pemilik tanah sah secara yuridis,
maka sertifikat itu dibebani Hak Tanggungan dan didaftarkan di BPN untuk
menjamin kepastian hukum. Selanjutnya sertifikat HM yang telah dibebani
Hak Tanggungan tersebut di serahkan kepada WNA sebagai penerima Hak
Tanggungan.
Setelah berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960, transaksi atau
perjanjian atau apapun namanya dengan maksud untuk memindahkan
kepemilikan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta otentik, yakni
akta jual beli yang dibuat di hadapan dan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), sebagai pejabat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 26 ayat (1) UUPA dan PP No. 10 Tahun 1961. Pada Pasal 26 Ayat (1)
UUPA, menyatakan bahwa jual beli, tukar menukar, pengibahan, pemberian
dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan dalam PP No.10 Tahun 1961 jo.
PP No. 24 Tahun 1997, ditetapkan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud
memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah,
menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di
hadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Negara Agraria (selanjutnya
dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Pejabat). Akta tersebut ditetapkan
oleh Menteri Negara Agraria.
Berdasarkan Pasal 1457 Burgerlijk Wetboek, yang dimaksud Jual beli
adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga
yang telah dijanjikan.
2. Legalitas Jual Beli Tanah secara Nominee dengan pembebanan Hak
Tanggungan.
Suatu jual beli dapat dilaksanakan apabila telah ada kesepakatan
antara para pihak yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban yang
bertimbal balik, yaitu, salah satu pihak memberikan sesuatu barang,
sedangkan pihak yang lainnya berkewajiban membayar dengan sejumlah
uang. Walaupun perjanjian jual beli mengikat para pihak setelah tercapainya
kesepakatan, namun bukan berarti bahwa hak milik atas barang yang
diperjualbelikan tersebut segera beralih bersamaan dengan tercapainya
kesepakatan, karena untuk beralihnya suatu hak milik atas barang yang
diperjualbelikan dibutuhkan penyerahan bukti kepemilikan atas barang
tersebut. Berdasarkan tata cara jual beli dan cara penyerahan barang
bergerak/tanah, maka beralihnya hak milik atas tanah secara yuridis terjadi
setelah melalui proses balik nama atau pendaftaran hak di Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Sejak saat itu siapa namanya yang tercantum dalam
Sertifikat Hak Milik, dialah pemilik sah atas tanah tersebut.
Dalam jual beli secara nominee, walaupun adanya pengakuan bahwa
uang yang dipakai untuk membeli tanah tersebut berasal dari orang asing,
yang selanjutnya sebagai pihak yang menguasai tanah tersebut secara fisik,
hal ini tidak mempengaruhi kepemilikan tanah tersebut secara yuridis,
mengingat perjanjian nominee itu dilakukan oleh para pihak di hadapan
Notaris, sedangkan jual beli tanah dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT), mengenai perbuatan hukum yang dilakukan di hadapan
Notaris, BPN tidak tahu-menahu tentang hal tersebut karena perbuatan
hukum itu dilakukan di luar tanggung jawabnya. BPN hanya mempunyai tugas
dan kewajiban untuk mencatatkan/mendaftarkan serta membukukan hasil
perbuatan hukum yang dilakukan di hadapan PPAT.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber (pegawai BPN di
Kabupaten Badung) terdapat 562 akta yang masuk ke BPN yang berindikasi
terhadap perjanjian nominee dalam 3 (tiga) tahun terakhir.
Berkaitan dengan jual beli tanah secara nominee itu, yang dapat
didaftarkan di BPN hanyalah surat yang berkaitan dengan pembebanan Hak
Tanggungan atas tanah. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, tidak ada pelarangan bagi orang asing
bertindak sebagai penerima hak tanggungan. Terhadap perjanjian utang-
piutang (surat pengakuan hutang) yang dibuat oleh para pihak sebelum
dilakukannya jual beli adalah sebagai perjanjian pokok yang menjadi syarat
untuk pembebanan hak tanggungan.
Hak tanggungan adalah sebagai jaminan atas pelunasan atas utang
atau kredit, tetapi dalam hal ini Hak Tanggungan selain berfungsi sebagai
jaminan atas utang, juga berfungsi sebagai jaminan bagi WNA sebagai
penerima Hak Tanggungan untuk bisa menguasai Hak Atas Tanah yang
menjadi objek Hak Tanggungan.
Adapun ciri-ciri Hak Tanggungan adalah :
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada
pemegangnya;
b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek
itu berada;
c. Memenuhi asas spesialitas dan publikasi sehingga dapat mengikat
pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak
yang berkepentingan;
d. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya.
Berdasarkan ketentuan dalam tata cara pembebanan Hak Tanggungan
dalam pelaksanaannya, diawali dengan pembuatan perjanjian kredit sebagai
perjanjian pokok kemudian sebagai jaminan atas kredit tersebut, maka
sebidang tanah yang dijadikan jaminan kredit tersebut dibebani Hak
Tanggungan dan didaftarkan di BPN untuk menjamin kepastian hukumnya.
Dalam hal ini tanah yang dijadikan jaminan kredit memang sejak semula
menjadi milik dari pemberi Hak tanggungan (debitur). Berbeda dengan
pembebanan hak tanggungan pada tanah yang timbul karena jual beli tanah
secara nominee, dimana tanah yang dijadikan jaminan utang sesungguhnya
bukan milik dari yang berhutang (WNI), tetapi milik dari yang menghutangkan
(WNA), walaupun secara yuridis pemilik tanah tersebut adalah WNI.
Ditinjau dari ketentuan-ketentuan tentang Hak Tanggungan tersebut
diatas, perjanjian nominee yang berisi pengakuan hutang di dalam
kenyataannya telah terjadi penyimpangan dalam hal penerapannya, dimana
dalam perjanjian utang-piutang antara WNI selaku pihak berhutang dan WNA
selaku pihak yang menghutangkan telah terjadi suatu perjanjian yang sifatnya
palsu, yang pada sejatinya WNI tersebut tidak betul telah berhutang, tetapi
hanya membuat pengakuan bahwa pihak WNI tersebut meminjam sejumlah
uang kepada WNA untuk membeli sebidang tanah yang selanjutnya tanah
tersebut dipergunakan sebagai jaminan atas utang kepada pihak WNA. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah agar WNI sebagai pemilik sah secara yurudis
atas tanah yang dibeli dengan uang milik WNA, namun tidak bisa
mengalihkan miliknya itu kepada pihak lain tanpa sepengetahuan WNA
sebagai pemilik tanah HM secara tidak langsung.
Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga yang berwenang dalam
mengadakan pendaftaran atas Hak Tanggungan, tetap berpedoman pada
aturan yang berlaku, yakni sesuai dengan perbuatan hukum yang telah
dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT, maka perjanjian tersebut yang
dijadikan dasar dalam pendaftaran Hak Tanggungannya, sehingga siapa yang
terdaftar, secara yuridis ialah sebagai pemegang Hak Milik atas Tanah yang
terdaftar tersebut. Sesuai dengan sifat akta otentik, suatu pernyataan para
pihak yang telah dituangkan dalam bentuk akta autentik, secara yuridis formal
tetap dianggap itu benar seperti apa adanya.
3. Legalitas Perjanjian Nominee
UUPA saat ini merupakan satu-satunya undang-undang yang
mengatur tentang pertanahan di Indonesia. Adapun latar belakang
diundangkannya UUPA adalah, yang salah satunya dinyatakan dalam
“Berpendapat”, bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan
akan tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa yang harus sesuai
dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya
menurut permintaan zaman dalam soal agraria.
Ditinjau dari aspek tujuan hukum, berkaitan dengan teori-teori dan
doktrin-doktrin yang dinyatakan oleh para ahli hukum. Hal ini berawal dari
pemikiran bahwa hakekat hukum itu tidak hanya aturan-aturan yang tertulis
yang ditetapkan oleh penguasa, tetapi selain daripada itu banyak aturan-
aturan yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang seiring dengan
kehidupan masyarakat sesuai dengan era zaman yang di alami.
Sejak diundangkan UUPA sampai saat ini belum banyak dibuat
peraturan pelaksanaan dari UUPA tersebut, sehingga dalam praktik
menimbulkan banyak penyimpangan dalam penerapannya. Sebagai contoh
misalnya dalam pengadaan tanah bagi orang asing yang berinvestasi di
Indonesia. Hal ini dikarenakan UUPA pada saat diundangkan, lebih
menekankan dalam memberikan perlindungan terhadap penguasaan tanah
oleh petani, mengingat negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan
rakyatnya termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris saat
itu. Sedangkan dalam perkembangannya saat ini telah menuju kearah
sebagai negara industri, salah satunya adalah industri pariwisata. Bali sebagai
salah satu pulau yang mengembangkan industri pariwisata, untuk menunjang
fasilitas pariwisata tersebut, maka dibutuhkan lahan yang tidak sedikit.
Dalam pengadaan tanah untuk memenuhi kebutuhan para investor,
khususnya investor asing sesuai keinginannya, terkadang menimbulkan
permasalahan karena tidak sesuai dengan aturan yang ada, dan kalaupun
ada tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan. Adapun salah satu permasalahan
yang muncul, yaitu adanya keinginan orang asing dalam berinvestasi untuk
mendapatkan penguasaan hak atas tanah secara hak milik. Untuk memenuhi
permintaan tersebut, maka ditempuhlah cara-cara yang sebetulnya dilarang
menurut undang-undang. Oleh karena itu perlu kiranya untuk membahas
permasalahan ini dari aspek yang berbeda, sehingga dapat menjadi
pertimbangan bagi eksekutif, legislatif dan penegak hukum dalam
menyelesaikan kasus-kasus pertanahan yang melibatkan orang asing secara
proposional demi terwujudnya tujuan hukum itu sendiri.
Legalitas perjanjian nominee, jika ditinjau dari aspek tujuan hukum
berdasarkan kasus yang ada, dalam hal ini berkenaan dengan kemanfaatan
dari hukum itu dalam mengatur pengadaan tanah untuk memenuhi kebutuhan
orang asing akan tanah dalam berinvestasi di Bali. Hal ini sesuai dengan apa
yang menjadi tujuan diundangkannya UUPA selain kepastian hukum itu
sendiri yang paling penting adalah bagaimana hukum agraria yang telah
dibuat bermanfaat dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai
dengan jaman perkembangannya, dalam rangka untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu narasumber (I
Putu Ngurah Aryana, Notaris di Badung), yang menyatakan pendapatnya,
bahwa perjanjian nominee itu bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum, yang berkaitan dengan
kontrak yang melibatkan dua kewarganegaraan, diperlukan adanya
pemahaman yang mendalam tentang hakekat dan esensi dari kontrak itu
sendiri, yang didalamnya ada keinginan para pihak yang perlu mendapatkan
perlindungan hukum dengan tanpa harus mengesampingkan adanya suatu
aturan hukum yang berlaku dalam wilayah atau negara.
Adapun teori hukum yang perlu dipertimbangkan untuk dapat dijadikan
rujukan dalam menelaah legalitas dari suatu perjanjian nominee, yaitu
“Konsep Segitiga Pluralisme Hukum (Triangular Concept of Legal Pluralism)
dari Werner Menski”.39 Teori ini menggunakan metode pendekatan hukum :
normatif, empiris, dan filsufis secara serentak dan proposional. Adapun
pendekatan-pendekatan tersebut dapat dijelaskan dalam menelah isu hukum
penyelundupan hukum dalam jual beli tanah bagi orang asing, dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Metode pendekakatan empiris, yang digunakan dalam menelaah isu
hukum tentang penyelundupan hukum dalam jual beli tanah bagi orang
asing tersebut adalah berkaitan dengan isi dari perjanjian nominee
tersebut, yang merupakan kesepakatan para pihak (WNA dengan WNI),
hal ini menjadi cerminan perilaku masyarakat dalam berhukum. Kontrak
atau perjanjian yang dibuat hanya mengikat para pihak dalam perjanjian
tersebut, walaupun secara yuridis ada penyimpangan mengenai causa
yang halal, tapi semasih itu menjadi kesepakatan antar pihak yang
terlibat didalam perjanjian tersebut, tetap berlaku sebagai hukum bagi
39
Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Volume I Pemahaman Awal, Edisi Pertama Cetakan ke-3, Kencana, Jakarta, hal 177-181
para pihak itu sendiri dengan segala hak dan kewajibannya harus
dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik.
b. Metode pendekatan normatif, pendekatan ini berkaitan dengan undang-
undang yang menjadi pedoman dalam perbuatan hukum dalam jual
beli tanah tersebut, yaitu UUPA. Berdasarkan UUPA
hanya WNI saja yang boleh memiliki tanah dengan Hak Milik,
sedangkan orang asing tidak. Dari konstruksi hukum dalam jual beli
tanah secara nominee, berdasarkan UUPA, yaitu tanah yang dibeli
dengan menggunakan uang milik WNA itu dengan mengatasnamakan
WNI, hal ini telah sesuai dengan ketentuan bahwa, pemilikan untuk
barang yang tidak bergerak (tanah), dibuktikan dengan pemilikan secara
yuridis. Dalam jual beli tidak ada ketentuan yang mengatur tentang
darimana asal uang yang digunakan untuk jual beli tanah tersebut, tapi
dengan siapa dan cara bagaimana tanah itu dapat dialihkan. Menurut
keterangan yang didapat dari Kepala BPN Kota Denpasar dan
Kabupaten Badung, bahwa BPN tidak mengetahui dan tidak mengenal
adanya suatu jual beli tanah HM secara tidak langsung yang dilakukan
antara WNI dan WNA, seandainyapun ada yang
dilakukan, dalam hal pendaftaran haknya tidak akan diterima, karena hal
tersebut bertentangan dengan Pasal 9 dan Pasal 26 UUPA .
c. Metode pendekatan filsufis, pendekatan ini lebih menekankan pada
diterapkannya asas-asas/prinsip-prinsip dari hukum perjanjian yang
menjadi dasar dalam pembuatan suatu perjanjian.
Menurut Maria S.W. Sumardjono40, apabila dianalisa isi dari perjanjian
nominee tersebut secara seksama, para pihak yang berkepentingan dan
merasa saling diuntungkan dengan perjanjian tersebut, tidak
mempermasalahkan kebenaran materiil, bagi mereka pertimbangan praktis
lebih penting dibandingkan pertimbangan yuridis. Perjanjian nominee ini lebih
menekankan kepada bagaimana para pihak baik WNA maupun WNI
mendapat suatu manfaat sebagai sesuatu hal yang diprioritaskan.
Apabila ditinjau dari tujuan yang ingin dicapai oleh orang asing untuk
mendapatkan penguasaan tanah secara Hak Milik adalah bukan
barang/tanahnya, melainkan hanya ingin mendapatkan manfaat dari tanah
tersebut untuk berinvestasi. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh
Jhon Stuart Mill, bahwa “manusia tidak butuh benda, tetapi apa yang
ditimbulkan oleh bendanya”. Jadi orang asing itu tidak butuh tanahnya tetapi
butuh “manfaat” yang ditimbulkan oleh tanah tersebut, yaitu untuk
mengembangkan usahanya atau mendapatkan nilai ekonomis dari tanah
tersebut.
Dari konstruksi hukum tersebut diatas, maka jual beli tanah bagi orang
asing secara nominee tersebut, apabila ditinjau dari Teori Prioritas Kasuistik41,
yaitu kemanfaatan hukum menjadi prioritas utama dalam penenerapannya,
dengan tanpa harus mengesampingkan tujuan hukum lainnya, yaitu kepastian
hukum dan keadilan. Mengenai kepastian hukum dalam hal ini adalah
kepastian mengenai status kepemilikan atas tanah tersebut, yaitu secara
yuridis Hak Milik atas Tanah tersebut dimiliki oleh WNI (tidak beralih kepada
orang asing). Walaupun dalam realitasnya tanah tersebut penguasaannya
40 Ibid, hlm 17 41
Achmad Ali, 2002, Menyimak Tabir Hukum, Gunung Agung, Jakarta, hal 73
secara fisik ada ditangan WNA. Tapi pengertian penguasaan oleh WNA
dalam hal ini adalah hanya untuk menikmati dan mengambil nilai ekonomis
dari tanah tersebut tanpa bisa mengalihkan hak atas tanah kepada orang lain,
tanpa sepengetahuan dari WNI sebagai pemilik sah atas tanah tersebut.
Pengertian penguasaan tanah oleh orang asing tersebut adalah penguasan
tanah secara sementara atau memiliki pemilikan.
Menurut Adrian Sutedi (2010:266), konsep jual beli secara nominee
sebenarnya dapat dikatakan tidak bertentangan dengan hukum perjanjian
secara umum, karena tidak ada unsur pemindahan hak milik dari pihak WNI
kepada WNA secara langsung. Transaksi antara kreditur asing dengan debitur
nasional dengan jaminan hak tanggungan adalah suatu transaksi yang sering
terjadi dalam dunia bisnis. Tanah yang merupakan aset dari debitur nasional
dapat dijaminkan dengan hak tanggungan kepada kreditor asing. Namun
demikian, terdapat unsur yang mungkin dapat diperdebatkan yaitu adalah
maksud dan tujuan dari pembiayaan pihak asing terhadap pihak Indonesia
yang sebenarnya adalah upaya untuk menghindar dari larangan ketentuan
UUPA Pasal 26 Ayat (2) di atas yg di dalamnya ada unsur pengalihan secara
tidak langsung.
4. Perjanjian Nominee sebagai sarana investasi bagi Warga Negara Asing
1. Aspek yuridis penguasaan tanah bagi WNA
Secara umum penguasaan tanah oleh WNA dan badan hukum
asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan
42 UUPA yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas Tanah. Landasan hukum ketentuan dalam Pasal 2 UUPA yang
merupakan pelaksanaan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD RI 1945, yang
salah satu perwujudan kewenangan Negara adalah menentukan dan
mengatur hubungan hukum antara orang dengan bumi (termasuk tanah),
air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan kewenangan Negara tersebut, maka ditentukanlah
bermacam-macam hak atas tanah, dengan isi dan wewenang masing-
masing, termasuk persyaratan tentang subyek (pemegang) hak atas tanah.
Pasal 9 ayat (1) UUPA dinyatakan, bahwa hanya Warga Negara Indonesia
(WNI) yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan
ruang angkasa, dengan perkataan lain, hanya WNI saja yang dapat
mempunyai Hak Milik (HM). Bagi Warga Negara Asing (WNA) yang
berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia dapat diberikan Hak Pakai (HP). Sebagai tindak
lanjut dari adanya ketentuan hukum tersebut di atas, maka diundangkan
Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di
Indonesia. Dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa WNA yang berkedudukan di
Indonesia dapat memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian
dengan hak atas tanah tertentu. Yang dimaksud WNA adalah WNA yang
kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan
nasional. Ditegaskan lagi dalam penjelasan Pasal 1, yaitu bahwa pemilikan
tersebut tetap dibatasi pada satu buah rumah. Tujuan dari pembatasan di
atas adalah untuk menjaga agar kesempatan pemilikan tersebut tidak
menyimpang dari tujuannya, yaitu sekedar memberikan dukungan yang
wajar bagi penyelenggaraan usaha orang WNA tersebut di Indonesia. Arti
dari memberikan “manfaat” tidak dijelaskan secara cukup, sehingga
menimbulkan berbagai penafsiran dalam pelaksanaannya. Semestinya
perlu ada penjelasan yang lebih kongkrit tentang adanya batasan-batasan
yang jelas bagi WNA yang melakukan usaha di Indonesia demi adanya
kepastian hukum. WNA yang berada dan menetap di Indonesia pastilah
memiliki kegiatan usaha atau bekerja pada bidang usaha tertentu. Ini sama
saja artinya bahwa setiap WNA yang menetap di Indonesia dapat memiliki
rumah untuk tempat tinggal.
Berkenaan dengan kategori WNA yang dapat mempunyai rumah di
Indonesia, dalam Surat Edaran Menteri Agraria/Kepala BPN No. 110-2871
tentang Pelaksanaan PP No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing, tertanggal 8 Oktober 1996,
dijelaskan bahwa orang asing dari segi kedudukannya di Indonesia dapat
dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu 42:
a. Orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia secara menetap
(penduduk Indonesia), dan
b. Orang asing yang tidak tinggal di Indonesia secara menetap,
Melainkan hanya sewaktu-waktu berada di Indonesia.
Pembedaan itu berkaitan dengan dokumen yang harus ditunjukkan
ketika melakukan perbuatan hukum untuk memperoleh rumah, yakni:
a. Bagi orang asing menetap: Izin Tinggal Tetap, dan
b. Bagi orang asing lainnya: Izin Kunjungan atau Izin Keimigrasian
lainnya berbentuk tanda yang diterakan pada pasport atau
42
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm 12
dokumen keimrigasian lainnya yang dimiliki orang asing yang
bersangkutan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 1 PP No. 41 Tahun 1996, yang
membatasi pemilikan rumah hanya satu buah rumah, ketentuan ini
menutup akses bagi orang asing yang ingin memiliki rumah lebih dari satu
buah untuk tujuan berinvestasi di bidang property.
Adapun kategori rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat
dimiliki oleh WNA adalah :
a. Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah :
Hak Pakai atas tanah negara atau Hak Milik yang dikuasai dengan
perjanjian dengan pemegang hak atas tanah.
b. Satuan Rumah Susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak
Pakai atas tanah Negara.
Dalam penjelasan PP No.41 Tahun 1996 ditegaskan bahwa
pemilikan Hak Pakai atas Tanah Negara untuk orang asing/WNA
dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 42 UUPA, sedangkan untuk
rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas tanah yang dikuasai
berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah, dijelaskan
bahwa Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman,
memungkinkan pembangunan rumah dilakukan oleh bukan pemilik hak
atas tanah berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah dengan
suatu perjanjian tertulis.
Selanjutnya dijelaskan bahwa berdasarkan ketentuan tersebut,
maka sebenarnya penguasaan tanah yang digunakan untuk bangunan
dimungkinkan, karena sifatnya yang berpangkal pada persetujuan dengan
pemegang hak atas tanah, maka perjanjian ini dapat dilakukan di atas
tanah yang dikuasai dengan hak-hak yang diatur oleh UUPA, diantaranya
dapat dibangun di atas tanah Hak Milik dan Hak Guna Bangunan. Dalam
hal ini memberikan ruang lingkup yang cukup luas bagi penguasaan tanah
untuk rumah tinggal bagi orang asing/WNA.
Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996,
dinyatakan Jangka waktu penguasaan tanah oleh orang asing untuk
mendirikan bangunan rumah tinggal dengan pemegang hak atas tanah
adalah paling lama 25 (duapuluh lima) tahun, dan dapat diperbaharui untuk
jangka waktu tidak lebih lama dari 25 (duapuluh lima) tahun, sepanjang
orang asing/WNA tersebut masih berkedudukan di Indonesia.
Rumah yang berdiri sendiri dapat dibangun di atas tanah Hak Pakai
Atas Tanah Negara (HPTN) atau Hak Pakai yang berasal dari tanah hak
milik yang diberikan oleh pemegang Hak Milik dengan Akta PPAT. Hak
Pakai yang diberikan untuk jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun, dapat
diperpanjang dengan 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperbaharui
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam akta
PPAT. Hak Pakai wajib didaftarkan (diterbitkan sertipikatnya) dan bagi HP
atas tanah HM pemberiannya harus dicatat dalam buku tanah dan sertfikat
HM yang bersangkutan. Bila orang asing/WNA tersebut tidak lagi
memenuhi persyaratan, dalam waktu 1 (satu) tahun harus melepaskan Hak
Pakai atas Tanah Negara yang bersangkutan kepada pihak lain yang
memenuhi syarat. Bila kewajiban ini tidak dipenuhi, Hak Pakai akan hapus
dan tanahnya menjadi tanah negara (Pasal 56 PP No. 40 Tahun 1996).
2. Perjanjian Nominee sebagai Alternatif Penguasaan Tanah oleh Warga
Negara Asing
Dalam konsep hukum tanah nasional, kepastian hukum dalam
hubungan antara subyek hak dengan tanahnya ditentukan oleh jenis hak
atas tanah, letak, luas dan batas tanahnya. Dengan demikian, bahwa
aspek yang menentukan adalah hak atas tanahnya, bahwa kemudian di
atas tanah itu didirikan atau berdiri bangunan baik untuk hunian maupun
bukan hunian, hal itu merupakan kewenangan yang timbul dari hubungan
hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanah tersebut.
Sedangkan PP No 41 Tahun 1996 dilandasi pola pikir yang
berbeda, dalam PP tersebut yang diutamakan adalah pemilikan rumah
tempat tinggal oleh WNA. Oleh karena itu, jika PP No. 41 Tahun 1996
disempurnakan, maka sesuai dengan konsep hukum tanah nasional,
seyogyanya ruang lingkup pengaturannya adalah hak atas tanah beserta
bangunan, untuk hunian maupun bukan hunian, baik yang berdiri sendiri
maupun bangunan bertingkat, yang dapat dipunyai oleh WNA maupun
badan hukum asing. Penyempurnaan ini diperlukan dalam upaya
memberikan kesempatan bagi WNA dan badan hukum asing untuk
mempunyai Hak Pakai atas tanah beserta bangunan yang digunakan untuk
hunian maupun bukan hunian sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku43.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dan pemikiran tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa penguasaan tanah oleh orang asing hanya
dapat dilakukan dengan Hak Pakai, dan pemilikan tanah untuk orang asing
43 Ibid, hlm 50-51.
berdasarkan PP 41 Tahun 1996 luasnya terbatas, yaitu hanya untuk satu
bidang tanah saja. Disamping itu adanya ketentuan yang mewajibkan bagi
WNA yang ingin memiliki tanah/bangunan untuk tempat tinggal atau usaha
harus berkedudukan di Indonesia, yaitu dibuktikan dengan memiliki Ijin
Tinggal Sementara (KITAS) atau Ijin Tinggal Tetap.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, apabila ditinjau dari teori-teori
dan doktrin-doktrin hukum, penguasaan tanah secara Hak Milik bagi orang
asing masih dimungkinkan, salah satunya dengan mengadakan perjanjian
dengan pemegang hak atas tanah. Perjanjian nominee merupakan salah
satu alternatif yang dapat digunakan sebagai pengaturan dalam rangka
untuk memberikan kesempatan bagi orang asing yang ingin berinvestasi,
dengan tanpa harus melanggar ketentuan yang ada. Apabila perjanjian
nominee ini ditinjau kembali, secara yuridis kepemilikan tanah Hak Milik
adalah tetap berada di tangan WNI, sedangkan hanya penguasaan fisik
sajalah yang berada di tangan WNA.
Perjanjian nominee yang dibuat oleh para pihak (WNA dan WNI)
adalah sebagai perwujudan adanya kesepakatan kerjasama dalam
pengadaan tanah bagi orang asing untuk menunjang usahanya.
Kedudukan perjanjian nominee dalam jual beli tanah tersebut sangat
penting, karena menjadi perjanjian pokok untuk dapat terealisasinya
maksud dan kehendak WNA dalam berinvestasi. Tanpa adanya perjanjian
nominee ini tidak mungkin terealisasi jual beli atas tanah bagi orang asing
tersebut, disamping itu apabila jual beli itu dilakukan hanya berdasarkan
kepercayaan secara lisan antar para pihak, posisi orang asing tersebut
sangat lemah, hal ini dikarenakan sangat mudah bagi WNI untuk dapat
mengalihkan tanah HM tersebut kepada pihak lain. Walaupun secara
yuridis substansi jual beli secara nominee dilarang menurut ketentuan
perundang-undangan, tetapi sebagai bentuk kesepakatan para pihak tetap
mengikat sebelum dibatalkan oleh Pengadilan yang memiliki kekuatan
hukum tetap.
Adapun kekuatan mengikat perjanjian nominee ini terletak pada
komitmen di antara para pihak di dalam perjanjian tersebut, yaitu selama
tidak ada pengingkaran oleh para pihak terhadap apa yang telah disepakati
dan dinyatakan di dalamnya. Walaupun demikian dengan adanya struktur
perjanjian nominee yang didalamnya ada perjanjian sewa menyewa maka
kepentingan WNA dalam penguasaan atas tanahnya tetap terlindungi. Jadi
perjanjian nominee ini dibuat menjadi sarana dalam berinvestasi bagi orang
asing untuk menjaga komitmen para pihak dalam rangka untuk
kelangsungan usahanya. Dengan adanya perlindungan hukum tersebut,
maka dapat memberikan kepastian hukum dalam penguasaan tanah untuk
investor, yaitu adanya kesempatan untuk menggunakan bidang tanah
yang dikuasainya, selama diperlukan untuk memperoleh manfaat yang
wajar dari investasinya (Boedi Harsono (2008: LXVII). Atas dasar itulah,
apabila terjadi sengketa antar pihak, maka dapat dijadikan pertimbangan
untuk memberikan perlindungan hukum bagi WNA yang telah
menanamkan modalnya dalam berinvestasi di Bali khususnya dan
Indonesia pada umumnya. Dalam hal ini perlindungan hukum terhadap hak
atas tanah yang bersangkutan, yaitu perlindungan terhadap hubungan
hukumnya serta perlindungan terhadap pelaksanaan kewenangan haknya.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Penguasaan Hak atas Tanah oleh Warga Negara Asing dalam
melakukan investasi di Bali, telah diberikan suatu bentuk penguasaan
yaitu Hak Pakai yang mana kiranya sudah cukup untuk melakukan
investasi di Indonesia. Pemilikan rumah dan penguasaan tanah dengan
cara perolehan hak atas tanah untuk orang asing dapat dilakukan
dengan membeli atau membangun rumah di atas tanah Hak Pakai atas
Tanah Negara atau Hak Pakai Atas Tanah Milik atas dasar Perjanjian
tertulis dengan pemilik tanah yang bersangkutan. Tujuan penguasaan
Hak atas Tanah oleh WNA, adalah untuk mengambil manfaat ekonomis
yang timbul dari penguasaan atas tanah tersebut.
2. Kedudukan Hukum Warga Negara Asing dalam kegiatan investasi di
Bali adalah Hak Penguasaan atas Tanah untuk WNA yaitu Hak Pakai,
merupakan suatu bentuk kepastian hukum didalam melakukan investasi
di Bali khususnya. Hak-hak penguasaan atas Tanah oleh WNA selain
Hak Pakai, tidak mempunyai kepastian hukum tetap, dikarenakan oleh
adanya indikasi suatu bentuk penyelundupan hukum yang sering terjadi.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Hak Pakai
di atas Tanah Negara untuk WNA diberikan dalam jangka waktu 25 (dua
puluh lima) tahun, dapat diperpanjang selama 20 (dua puluh) tahun, dan
diperbaharui untuk jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun. Hak Pakai di
atas tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang dan diperbaharui atas
usul pemegang Hak Pengelolaan, sedangkan Hak Pakai yang terjadi di
atas tanah Hak Milik tidak dapat diperpanjang, tetapi dapat diperbaharui
atas kesepakatan antara pemegang Hak Milik dan pemegang Hak
Pakai.
B. Saran
1. Keberadaan Warga Negara Asing di Indonesia dalam rangka investasi
terhadap penguasaan atas tanah di Bali khususnya, hendaknya untuk
tetap mengacu kepada segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang mana menyangkut dengan Hak Penguasaan atas Tanah
yang dapat dimiliki oleh WNA yaitu Hak Pakai.
2. Dengan adanya suatu bentuk kepastian hukum terhadap investasi oleh
WNA di Indonesia, di dalam hal penguasaan atas tanah, diharapkan
tidak terjadi lagi suatu bentuk penyelundupan hukum oleh WNA.
Sehingga ke depannya, dalam rangka investasi oleh WNA, dapat
terciptanya perjanjian yang baik dan WNA yang berinvestasi di
Indonesia juga memiliki suatu kedudukan hukum yang kuat jika
dibandingkan dengan melakukan suatu bentuk penyelundupan hukum
dengan mengatasnamakan WNI sebagai pemilik yuridis dari suatu
bidang tanah.
DAFTAR BACAAN
Abdul kadir, Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
---------------, 2003, Hukum Perjanjian di Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Abdurrasyid, H.Proyatna, 1996, Penyelesaian Sengketa Komersial (Nasional Dan
Internasional) di luar Pengadilan, Makalah Herlien Budiono, 2006, Asas
Keseimbagan bagi perjanjian Indonesia, Cetakan pertama, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Achmad Ali, 2002, Menyimak Tabir Hukum, Gunung Agung, Jakarta.
---------------, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence),
Volume I Pemahaman Awal, Edisi Pertama Cetakan ke-3, Kencana,
Jakarta.
Alvi Syahrin, 2009, Beberapa Masalah Hukum, PT. Softmedia, Medan
Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia, Taruna Grafika, Jakarta
---------------, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi
dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Penerbit Djambatan, Jakarta
Diana Trantri C, 2006, Hukum Kontrak, Mandar Maju, Yogyakarta
Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan bagi Perjanjian Indonesia, Cetakan
Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung
---------------, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,
Citra Aditya Bakti, Bandung
---------------, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung
Kusumahadi, 2001, Asas-asas Hukum Perdata, Yayasan Badan Penerbit Gadjah
Mada, Yogyakarta
Lawrence M Friedman, 1975, The Legal System, A Social Science Perspective,
Rusell Sage Foundation, New York
Lumban Tobing, G.H.S., 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta
Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi Dan
Implementasi, Penerbit Kompas, Jakarta
---------------, 2007, “Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta
Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing”, Kompas,
Jakarta
Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya
Dengan Perjanjian Baku (Standar), Alumni, Bandung
---------------, 2001, Perikatan pada Umumnya, dalam buku berjudul Kompilasi
Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung
Marni Emmy Mustafa, 2007, Prinsip-Prinsip Beracara Dalam Penegakan Hukum
Paten di Indonesia Dikatikan Dengan TRiPs-WTO, PT. Alumni, Bandung
Meliala, A. Qiram Syamsuddin, 2001, Hukum Perjanjian, Liberty, Bandung
Patrik, Purwahid, 1994, Dasar – Dasar Hukum Perikatan, Mandar maju,
Semarang
Oemar Seno Adji, 1966, Prasarana dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium
UI Jakarta
Oloan Sitorus & H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep
Dasar dan Implementasinya, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia,
Yogyakarta
Parlindungan, AP, 1994, Bunga Rampai “ Hukum Agraria Serta Landreform”
Bagian II, Mandar Maju, Bandung.
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Metode penelitian Hukum, PT Fajar Interpratama,
Jakarta
Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya
Post, 31 Januari 2001, Hal 3
Poerwosutedjo, H. M. N, 1992, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan,
Kepailitan dan Penundaan pembayaran, Cet. III, Djambatan, Jakarta
Prodjodikoro, Wirdjono, 2004, Azas-azas Hukum Perjanjian, CV Mandar Maju,
Bandung
Salim HS, H, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak di luar KUHPerdata, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Setiawan, R., 2007, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung
Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 1985, penelitian hukum normative suatu
tinjauan singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Solly Lubis, M, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung
Subekti, R, 1987, Hukum Jaminan Dalam Sistem Hukum Nasional, BPHN
Binacipta, Bandung
---------------, 1992, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung
---------------, 2002, Hukum Perjanjian , PT Intermasa, Jakarta
Subekti dan Tjitrosudibio, 2009 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya
Paramita, Jakarta
Sudiarto, H. dan Zaeni Asyhadie, 2004, Mengenal Arbitrase, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Sugiyono, 2003, Metode Penelitian Administrasi, ALFABETA, Bandung
Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta
Sunggono, Bambang, 1996, metode penelitian hukum, Raja Grafinda Persada,
Jakarta
Sumardika, I Nyoman, 2007, Tesis Universitas Gadjah Mada, Penguasaan
Tanah Oleh Warga Negara Asing Di Kabupaten Badung.
Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, Sinar Grafika,
Jakarta
Ter Haar, 1981, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng.
Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV
Burgerlijk Wetboek, diindonesiakan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cetakan
ke Empatpuluh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran
Negara Tahun 1985 Nomor 75)
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3474)
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Nomor 42 Tahun 1996)
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 63) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 (Lembaran Negara Tahun 2007
Nomor 67 ) tentang Penanaman Modal Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal atau Hunian oleh Warga Negara Asing yang Berkedudukan di
Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah