Upload
dokiet
View
241
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REKONSTRUKSI PEMIKIRAN MULLĀ SADRĀ
DALAM INTEGRASI KEILMUAN
(Membangun Pendidikan Integratif Nondikotomik)
TESIS Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Pengkajian
Islam dalam bidang Pendidikan (MA.Pd)
Oleh :
Ahmad Zamakhsari
NIM : 12.2.00.1.03.01.0008
Pembimbing :
Suparto, M.Ed, Ph.D
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436 H/2014 M
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan seru sekalian alam yang telah
memberikan berbagai macam Ni’mat, Hidayah dan Taufiq-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan Tesis sebagai salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Magister dalam Ilmu Pendidikan Islam dengan judul
“REKONSTRUKSI PEMIKIRAN MULLĀ SADRĀ DALAM
INTEGRASI KEILMUAN (Membangun Pendidikan Integratif
Nondikotomik)” di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidaytullah Jakarta.
Ṣalawat dan ṣalam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarganya dan sahabat-sahabatnya yang senantiasa istiqomah dan
konsisten mengikuti ajarannya, mudah-mudahan kita sebagai umatnya
mendapatkan shafa’at dari beliau di hari kiamat nanti, Āmi>n.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian Tesis ini banyak kendala
yang dihadapi terutama dari segi literatur yang minim, Namun kendala
tersebut dapat diminimalisir sehingga Tesis ini dapat terwujud dengan
baik, tidak dipungkiri selesainya Tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak. Dengan demikian penulis mengucapkan terima
kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya terutama
kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Direktur Sekolah Pascasarjana
(SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Suparto, M.Ed, Ph.D., Dosen Pembimbing terima kasih atas
bimbingan, petunjuk dan arahan-arahan yang telah diberikan,
sehingga penulis dapat merampungkan penulisan tesis ini.
4. Seluruh dosen yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis
selama masa studi, juga kepada seluruh civitas akademika yang
telah banyak membantu dalam pelayanan administrasi.
5. Bapak dan Ibu pegawai/karyawan/i UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Program Pascasarjana dan Pimpinan Perpustakaan yang
telah banyak membantu dan melayani penulis selama dalam proses
studi sampai ke tahap penyelesain tesis ini.
iii
6. Bapak Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al Marhalah
Al ʽUlya Bekasi, yang telah memberikan izin serta bantuan moril,
materil dan spirituil, sehingga penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan.
7. Kedua orangtua-ku, H. Muhammad Khotib dan Hj. Lilis Suryani
yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dari
tingkat dasar sampai ke jenjang S2 ini, dan juga sebagai motivasi
utama dalam menyelesaikan tesis ini serta do’a dan cinta kasihnya
yang tulus kepada ananda dalam menyelesaikan tesis ini.
Sepantasnyalah do’a khusus buat beliau penulis abadikan dalam
karya ini :
”ياين صغرياـام كام ربهمـلدي وارحالورب اغفريل و “
8. Para teman-teman seperjuangan Good luck selalu semoga sukses
mengiringi kalian semua dan para teman-teman yang sudah
membantu dalam membuat dan mengoreksi tesis ini.
Akhirnya hanya kepada Allah-lah, penulis berserah diri dan
meminta semoga amal baik dari seluruh elemen yang membantu proses
penyusunan Tesis ini diberikan balasan berlipat ganda oleh Allah SWT
dan menjadi amal ibadah disisi-Nya, serta senantiasa mendapatkan pahala
yang berlipat ganda, Āmīn.
Dengan segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga
jerih payah penulis ini dapat menjadi langkah awal bagi pengembangan
wawasan intelektual penulis dan tentunya dengan berharap dapat menjadi
sesuatu yang bermanfaat bagi semua pihak yang membaca. Inshā Allah
Jakarta, 10 November 2014
Penulis
Ahmad Zamakhsari
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
yang bertanda tangan dibawah ini, saya :
Nama : Ahmad Zamakhsari
NIM : 12.2.00.1.03.01.0008
Menerangkan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul :
“REKONSTRUKSI PEMIKIRAN MULLĀ SADRĀ DALAM
INTEGRASI KEILMUAN (Membangun Pendidikan Integratif
Nondikotomik)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan
plagiasi dari orang lain, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk
sumbernya sesuai dengan atauran penulisan yang belaku.
Apabila dikemudian hari terbukti plagiasi dari karya orang lain,
saya sanggup menerima sanksi akademik dari instansi yang bersangkutan.
Jakarta, 10 November 2014
Yang membuat Pernyataan
AHMAD ZAMAKHSARI
NIM. 12.2.00.1.03.01.0008
v
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulis tesis atas nama saudara AHMAD
ZAMAKHSARI, NIM. 12.2.00.1.03.01.0008, dengan judul
“Rekonstruksi Pemikiran Mullā Sadrā dalam Integrasi Keilmuan
(Membangun Pendidikan Integratif Nondikotomik)”, memandang
bahwa tesis yang bersangkutan dapat disetujui untuk diajukan ke UJIAN
PROMOSI.
Demikian persetujuan ini diberikan untuk digunakan sebagaimana
mestinya.
Jakarta, 28 Oktober 2014
Pembimbing,
SUPARTO, M.Ed., Ph.D
Tgl.
vi
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN
Tesis yang berjudul : “Rekonstruksi Pemikiran Mullā Sadrā dalam
Integrasi Keilmuan (Membangun Pendidikan Integratif Nondiktomik)”
Oleh: AHMAD ZAMAKHSARI, NIM : 12.2.00.1.03.01.0008 Mahasiswa
Program Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
telah dinyatakan lulus pada UJIAN PENDAHULUAN yang
diselenggarakan pada hari/tanggal : Selasa, 21 Oktober 2014.
Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para penguji,
sehingga disetujui untuk diajukan ke UJIAN PROMOSI.
Jakarta, 28 Oktober 2014
Tim Penguji :
No. Nama Tanda Tangan Tanggal
1 Dr. YUSUF RAHMAN, MA
Ketua Sidang/Merangkap Penguji
2 Prof. Dr. SUWITO, MA
Penguji I
3 Prof. Dr. AMSAL BAKHTIAR, MA
Penguji II
4 SUPARTO, M.Ed, Ph.D
Pembimbing/Merangkap Penguji
vii
ABSTRAK
Tesis ini membuktikan bahwa konsep integrasi ilmu dan agama bersifat
Integratif-Holistik, yaitu eksistensi ilmu umum dan ilmu agama saling
bergantung satu sama lain. Eksistensi (wujūd) yang ada pada pelajaran umum dan
agama dengan segala bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah satu dan
sama, yang membedakan satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya (tashkīk al-
wujūd) yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya.
Kesimpulan tersebut mendukung beberapa pendapat lain, seperti :
Syed Muhammad Naquib al-Attas (1981), Isma’il Raji al-Faruqi (1982)
yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan
meletakkan kembali otoritas wahyu dan intuisi menjadi satu. Amin Abdullah
(2003) dengan konsep jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-
integralistik mengatakan bahwa ilmu yang ada di dunia ini haruslah menjadi satu.
Mulyadhi Kartanegara (2005) yang mengatakan bahwa integrasi ilmu dan upaya-
upaya mengintegralkan ilmu agama dan ilmu umum berpusat pada Tauḥīd yang
ditransformasikan dalam waḥdah al- wujūd.
Di sisi lain kesimpulan tesis ini berbeda dengan peneliti yang lain,
diantaranya :
Pervez Hoodbhoy (1991), Fazlur Rahman (1998), Abdus Salam yang
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bersifat objektif, sehingga perbedaan
antara ilmu pengetahuan modern dan Islam adalah semu, tidak ada yang disebut
ilmu Islami dan semua usaha untuk mengislamkan ilmu akan mengalami
kegagalan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini
menggunakan jenis penelitian Library Research melalui pendekatan Historis,
Sosiologis dan Filosofis. Data primer yang digunakan adalah karya Mullā Sadrā,
yaitu Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfār al-ʽAqliyah al-Arbaʽah. Data-data yang
dihimpun dianalisis dengan metode kualitatif dengan pola fikir deduktif-induktif.
Kata Kunci : Mullā Sadrā, Integrasi, Holistik, Tauḥid dan Pendidikan Integratif
viii
ABSTRACT
This thesis proves that the concept of the integration of science and
religion is a Integrative-Holistic, which means that the existence of general
science and science of religion are interdependent on each other. The existence
(wujūd) which is in general studies and religion with all shapes and characters are
essentially one and the same, a thing to distinguish one from another is just
gradation (tashkīk al-wujūd) which is caused by the difference in essence.
That conclusion supports several other opinions, such as:
Syed Muhammad Naquib al-Attas (1981) and Isma'il Raji al-Faruqi
(1982) which say that science must be cleansed of the stain of secularism by
putting back the authority of revelation and intuition into one. Amin Abdullah
(2003) with the concept of spider web-patterned teoantroposentris integralistic
says that the science which is there in this world must be united each other.
Mulyadhi Kartanegara (2005) who said that the integration of science and
integrating the efforts of religious knowledge and general science are centered on
Tauḥīd which is transformed into Waḥdah al-Wujūd.
On the other hand the conclusions of this thesis differ from other
researchers, such as :
Pervez Hoodbhoy (1991), Fazlur Rahman (1998), Abdus Salam as who
say that science is objective, so that the difference between modern science and
Islam is false, no one calls Islamic sciences and all attempts to islamize science
will experience failures.
This type of research is used in the preparation of this research using this
type of research through the library research which is supported by Historical,
Sociological and Philosophical approaches. The primary data that is used is the
work of Mulla Sadra, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfār al-ʽAqliyah al-Arbaʽah.
The data which are collected are analyzed by using qualitative methods with
deductive-inductive.
Keywords: Mullā Sadrā, integration, Holistic, Tauḥid and Integrative education.
ix
ملخص البحث
طرحت هذه الرسالة أن مفهوم التكامل بني العلوم والدين شمويل تكاميل، وهي وجود
وجود الدروس العامة والدينية مع أن . بعضها عىل بعض العلوم العامة وعلوم الدين مرتابطة
التشكيك نفسها التي متيز أحدمها من اآلخريف مجيع األشكال واألحرف يف احلقيقة واحدة
هذه الرسالة تعزز نتائج البحوث منها : . الفرق يف جوهرها سببيالوجود الذي
نيقوال ان( الذ1891( وإسامعيل راجي الفاروقي )1891) النقيب العطاس حممد سيد
سلطة الوحي واحلدس من أن العلم جيب أن تطهر من وصمة عار للعلامنية بوضع مرة أخرى
"نسيج العنكبوت"مع مفهوم نمط ( 1002آمني عبد اهلل )تصبح واحدة .
teoantroposentris-integralistik . يقول أن العلم هناك يف هذا العامل يصبح واحدة
لعلوم الدينية وتكامل بني االذي يقول أن تكامل جهود العلم (1002) موليادى كارتانيجارا
والعامة تدور عىل التوحيد الذي يتحول يف وحدة الوجود .
: ، منها ىاإلستنتاج األخرهذه الرسالة ختتلف عن
أن العلم ( و عبد السالم هم يقولون 1889) فضل الرمحنو (1881) هودهبوي برويز
يسمى العلوم الذي وال أحد، هو اهلدف، حيث أن الفرق بني العلوم احلديثة واإلسالم كاذبة
.اإلسالمية ومجيع املحاوالت الرامية إىل صبغ العلوم سوف تواجه الفشل
ويستخدم هذا النوع من البحوث يف إعداد هذه الدراسة باستخدام هذا النوع من
املصادر والسوسيولوجية والفلسفية. خيةـالتاريمن خالل اتباع هنج األبحاث املكتبةالبحوث
احلكمة املتعالية يف أسفار "املال صدرا الرئيسية التي تستند إليها البحث يف هذه الدراسة هي كتاب
يف . ويتم حتليل البيانات التي تم مجعها بأسلوب نوعي مع أنامط التفكري "األربعة العقلية
. ستنباطيإلستقرائي واإلا
. والشامل ، والتوحيد ، والرتبـية، التكاملو، املال صدرا :كلامت البحث
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN
Pedoman Transliterasi Arab – Latin yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai barikut :
A. KONSONAN
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s{ = ص
d{ = ض
t{ = ط
z{ = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
B. VOKAL
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah a A
Kasrah i I
Dhammah u U
xi
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Huruf Nama
ي ... Fathah dan ya Ai a dan i
و ... Fathah dan wau Au a dan w
Contoh :
Ḥaul : حول Ḥusain : حسني
C. MADDAH
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah dan Alif a> a dan garis di atas ــــــا
Kasrah dan ya i> i dan garis di atas ــــي
ــو Dhommah dan wau u> u dan garis di atas ــ
D. TA’ MARBUTAH ( ة )
Transliterasi Ta’ marbutah ditulis dengan “h” baik dirangkai dengan kata
sesudahnya maupun tidak. Contoh Mar’ah (مرأة) madrasah (مدرسة) .
Contoh :
al-Madi>nah al-Munawwarah : املدينة املنورة
E. SHADDAH
Shaddah/Tashdi>d ditransliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah itu.
Contoh :
ـنا ل <rabbana : رب nazzala : نـز
xii
F. KATA SANDANG
Kata sandang “ ال “ dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya,
jika diikuti huruf syamsiyah, maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan dan di
tulis “al“ jika diikuti dengan huruf qomariyah. Selanjutnya ال ditulis lengkap baik
menghadapi al-Qamariyah seperti kata al-Qamaru ( القمر ) maupun al-
Syamsiyah seperti kata al-Rajulu ( جل . ( الر
Contoh :
مس al-Qalam : القلم ash-Shams : الش
G. PENGECUALIAN TRANSLITERASI
Pengecualian Transliterasi adalah kata-kata bahasa arab yang telah lazim
digunakan di dalam bahasa indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa
Indonesia, seperti lafaz Allah, asma’> al-husna> dan ibn, kecuali menghadirkannya
dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ............................................ iv
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. v
LEMBAR PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN .................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT ..................................................................................................... viii
ix .......................................................................................... ملخص البحث
PANDUAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................. x
DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Permasalahan .................................................................................... 13
1. Identifikasi Masalah .................................................................. 13
2. Pembatasan Masalah ................................................................. 13
3. Perumusan Masalah .................................................................. 13
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 14
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................................................. 14
E. Metodologi Penelitian ....................................................................... 19
1. Obyek Penelitian ....................................................................... 19
2. Sumber Data .............................................................................. 20
3. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 20
4. Teknik Analisa Data .................................................................. 20
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 21
BAB II INTEGRASI ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM
DALAM LINTAS SEJARAH PENDIDIKAN
A. Integrasi dan Dikotomi Pendidikan .................................................. 23
B. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum ditinjau dari :
1. Tinjauan Normatif Teologis ...................................................... 42
2. Tinjauan Filosofis ...................................................................... 47
C. Tipologi Integrasi Keilmuan ............................................................. 55
D. Integrasi Ilmu Versus Dikotomi Ilmu ................................................ 68
xiv
BAB III REINTEGRASI ILMU DALAM REKONSTRUKSI
HOLISTIK MULLĀ SADRĀ
A. Biografi Mullā Sadrā ........................................................................ 77
1. Riwayat Hidup .......................................................................... 77
2. Karya-karya Ilmiah Mullā Sadrā ............................................... 81
B. Latar Belakang Corak Pemikiran Mullā Sadrā ................................. 87
1. Filsafat Peripatetik (Mashā’ī) ................................................... 87
2. Illuminasionisme (Ishrāqī) ........................................................ 90
3. Gnostik (‘Irfānī) ........................................................................ 92
C. Tauḥid: Prinsip Utama Integrasi Ilmu ............................................... 95
BAB IV HUBUNGAN ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM
DALAM PERSPEKTIF MULLĀ SADRĀ
A. Tinjauan Ontologi (Tataran Obyek Ilmu) ......................................... 100
1. Wahḏat al-Wujūd ....................................................................... 101
2. Tashkīk al-Wujūd ....................................................................... 108
3. Aṣālat al-Wujūd ......................................................................... 110
B. Tinjauan Epistemologi (Tataran Cara Memperoleh
Ilmu) ................................................................................................ 111
C. Tinjauan Aksiologi (Tataran Manfaat Ilmu) ..................................... 126
BAB V INTEGRASI ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM
DALAM KONTEKS PENDIDIKAN NASIONAL;
SEBUAH TAWARAN MEMBANGUN
PENDIDIKAN INTEGRATIF
A. Kerangka Pendidikan Holistik .......................................................... 133
B. Kurikulum Berbasis Integrasi ........................................................... 137
C. Integrasi Materi Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan Materi
Umum .............................................................................................. 142
BAB VI Penutup
A. Kesimpulan ....................................................................................... 151
B. Saran ................................................................................................. 152
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 153
GLOSARIUM .................................................................................................. 162
INDEKS ........................................................................................................... 164
RIWAYAT PENULIS ..................................................................................... 168
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai ajaran yang bersifat universal dan berlaku sepanjang
zaman bukan hanya mengatur urusan akhirat, tetapi juga urusan dunia. Demikian
pula Islam mengatur ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Tuhan dan ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan keduniaan. Islam mengatur keduanya secara integrated. Di
dalam al-Qur’ān dan as-Sunnah sesungguhnya tidak ada istilah ilmu agama dan
ilmu umum, yang ada hanya ilmu itu sendiri dan seluruhnya bersumber dari
Allah SWT. Apa yang disebut sebagai ilmu agama sebenarnya di dalamnya juga
mengatur ajaran tentang bagaimana sesungguhnya hidup yang baik dan beradab
di dunia ini dan apa yang disebut ilmu umum, sebenarnya amat dibutuhkan
dalam rangka berhubungan dengan Tuhan. Namun, jika dilihat dari sifat dan
jenisnya sulit dihindari adanya paradigma ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum, atau paling tidak paradigma tersebut hanya untuk kepentingan teknis
dalam mengklasifikasikan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.1
Hubungan ilmu (sains) dan agama, baik dalam ranah ontologis,
epistemologis maupun aksiologis selalu menyisakan persoalan yang tidak pernah
selesai dibicarakan.2 Ilmu pengetahuan dewasa ini mengalami dikotomisasi
akibat gerakan sekularisasi barat sehingga ada pemisahan antara ilmu umum dan
ilmu agama. Ilmu umum diidentikkan dengan ilmu yang sumber pengambilannya
dari alam semesta, sedangkan ilmu agama yang bersumber dari wahyu, padahal
semua itu berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa karena
wahyu dan alam semesta semuanya adalah ayat-ayat Allah, maka kalau melihat
perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam tidak dijumpai adanya dikotomi
antara ilmu keagamaan dan ilmu non keagamaan.3
1 M. Hasbi Amiruddin dan Usman Husen, Integrasi Ilmu dan Agama (Banda
Aceh: Yayasan PENA, 2007), 35. 2 Berawal dari temuan Copernicus (1473-1543) yang kemudian diperkuat oleh
Galileo Galilei (1564-1642) tentang struktur alam semesta yang heliosentris (matahari
sebagai pusat tata surya) berhadapan dengan gereja yang geosentris (bumi sebagai pusat
tata surya), telah melahirkan ketegangan antara ilmu dan agama. Penerimaan atas
kebenaran ilmu dan agama menjadi satu pilihan yang dilematis. Di Inggris pada tahun
1870 dalam satu kuliah umum Max Muller telah mengejutkan audiensnya ketika ia
mempromosikan apa yang ia sebut sebagai ilmu agama (science of religion). Satu
kombinasi yang pada saat itu dianggap aneh karena pasca Origin of Species-nya Darwin,
kebenaran ilmu dan agama semakin tidak dapat dipertemukan. Yang satu meyakini
bahwa alam semesta terjadi karena diciptakan langsung oleh Tuhan (kreasionisme) dan
yang lain menganggap alam semesta semata-mata merupakan proses alamiah yang sangat
panjang (evolusionisme). Lihat Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion, terj. Ali Noer
Zaman (Yogyakarta: Penerbit Kalam, 2001), 6. 3 Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua
bagian. Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok
yang saling bertentangan. Secara Terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan
2
Islam adalah agama yang memiliki berbagai macam pengetahuan, baik
itu pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Dalam Islam pengetahuan
tidak dibedakan, bahkan Islam menganggap kedua pengetahuan tersebut ibarat
mata uang yang memiliki dua sisi yang berbeda, namun tidak dapat dipisahkan
satu sama lainnya. Dewasa ini, banyak orang yang sudah terbiasa dengan sebutan
Ilmu Agama Islam dan Ilmu Umum. Ilmu Agama Islam yang berbasiskan pada
wahyu, hadith Nabi, penalaran dan fakta sejarah sudah berkembang demikian
pesat, misalnya Ilmu Kalām (Teologi)4, Ilmu fiqh (Uṣūl fiqh)5, Filsafat6,
antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-
dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia
pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality).
Lihat M. Rusydi, ia menulis Artikel, “Wacana Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan Islam
dan Pengaruhnya,” Jurnal: Al-Banjari, Vol.5, No.9 (2006) : 23. 4 Ilmu kalām (Teologi) termasuk ilmu Agama Islam yang paling pertama kali
muncul dalam Islam. Kemunculan ilmu ini ada hubungannya denga peristiwa politik
yang terjadi antara pasukan yang dipimpin Khalīfah Alī bin Abī Ṭalib (Khalīfah IV)
dengan Muʽāwiyah bin Abī Sufyan yang saat itu menjadi penguasa di Damaskus.
Muʽāwiyah yang merasa memiliki pengaruh yang cukup besar di kalangan pengikutnya
mencoba menghimpun kekuatan untuk memberontak melawan Khalīfah Alī bin Abī
Ṭalib. Menghadapi yang demikian itu Alī bin Abī Ṭalib memutuskan untuk menumpas
pemberontakan tersebut dan karenanya terjadilah peperangan disuatu tempat yang
namanya Siffin. Peperangan yang hampir saja dimenangkan oleh pasukan Alī bin Abī
Ṭalib ini terpaksa dihentikan, karena dari pihak Muʽāwiyah menawarkan cara
penyelesaian melalui damai (Arbitrase). Tawaran ini disetujui oleh Alī secara terpaksa,
hingga secara politis pihak Alī bin Abī Ṭalib dikalahkan. Keadaan ini menyebabkan
timbulnya kelompok yang tidak puas dan keluar dari Alī bin Abī Ṭalib. Kelompok ini
selanjutnya disebut Aliran Khawārij, Murjiʽah dan berbagi aliran teologi lainnya. Dalam
upaya saling menyalahkan atas kekalahan politis tersebut, alirannya tersebut
menggunakan terminologi teologi, seperti Imān, kāfir, mushrik dan seterusnya.
Perkembangan munculnya aliran teologi ini juga dipengaruhi oleh pemikiran filsafat
yunani yang terjadi di zaman Abbasiyah. Atas pengaruh aliran filsafat ini munculah
aliran Muʽtazilah, Ashʽariyah, Māturīdiyah dan sebagainya. Lihat Harun Nasution,
Teologi (Ilmu Kalam) (Jakarta: UI Press, 1978), Cet. 1, 45. dan Abuddin Nata, Ilmu
Kalam, Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: Rajawali, 1982), Cet. 1, 15-20. 5 Ilmu Fiqh (Ushul Fiqh) secara harfiah adalah ilmu yang membahas hukum-
hukum shara’ yang diproses melalui dalil-dalil terperinci. Ilmu yang amat “sibuk”
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan manusia dengan alam ini termasuk ilmu yang paling menonjol dan amat besar
pengaruhnya dalam Dunia Islam. Sebagaimana dalam Ilmu Kalām, Ilmu Fiqh (Uṣūl
Fiqh) termasuk Ilmu yang sarat dengan nuansa perbedaan pendapat yang melelahkan.
Lihat Abd. Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), Cet. II, 34. 6 Filsafat Islam adalah istilah yang mengacu kepada pemikiran-pemikiran
filsafat yang ditulis oleh para filosof muslim, seperti al-Kindi, ar-Rāzi, al-Farābi, Ibnu
Maskawaih dan Ibnu Sīna di dunia Islam belahan timur, serta Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail,
al-Ghazāli dan Ibnu Rushdy di belahan Barat. Filsafat Islam mulai muncul bersamaan
dengan munculnya filosof muslim pertama, al-Kindi pada pertengahan abad ke-9 M
(parohan pertama abad ke-3 H). Filsafat Islam mencapai puncaknya di tangan al- Farābi
3
Taṣawuf7, Tafsīr (Ulūm al-Tafsīr)8, Hadith (Ulūm Hadith), Sejarah dan
Peradaban Islam, Pendidikan Islam, Dakwah Islam9 dan lain sebagainya.
Konferensi Pendidikan Islam Sedunia I di Makkah pada 1977
mengklasifikasikan ilmu kepada ilmu naqli (wahyu) dan ilmu ʽaqli (dicari
dengan akal). Ilmu aqli itu kemudian diklasifikasikan lagi kepada sains-sains
alam (natural science) dan sains kemanusiaan (social science and humanities).10
Ilmu
Naqli Aqli
Tabi’i Kemanusiaan
Ekonomi Sosiologi Psikologi Geografi Lain-lain
Jadi, kalau ingin menerapkan nilai Islam dalam sains kemanusian, maka
yang dimaksudkan adalah ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi,
geografi, manajemen, perniagaan, komunikasi dan lain-lain. Di samping itu,
harus sadar bahwa ilmu berkembang setiap hari. Misalnya, dari ilmu sains
kemanusiaan, ada yang bersifat teoritis seperti ekonomi, psikologi, sosiologi dan
dan Ibnu Sīna (abad ke-4 dan ke-5 H). Kedua filosof itu merupakan dua bintang
terkemuka dalam filsafat Islam, sedangkan para filosof muslim lainnya dianggap sebagai
satelit-satelitnya. Lihat Abdul Aziz Dahlan, Teologi, Filsafat, Tasawuf dalam Islam
(Jakarta: Ushul Press, 2012), 108. 7 Taṣawuf menurut bahasa Arab, berarti memakai pakaian dari ṣuf (bulu domba
yang kasar, belum diolah) orang yang memakainya dapat disebut ṣufi atau mutaṣawwif.
Memakai pakaian dari bulu domba yang kasar itu merupakan praktek yang lumrah
dikalangan orang-orang miskin atau di kalangan mereka yang masa lalu (jauh sebelum
datangnya Islam dan juga pada masa setelah datangnya Islam itu di abad ke-7 M). Lihat
Abdul Aziz Dahlan, Teologi, Filsafat, Tasawuf dalam Islam, 169. 8 Tafsīr (Ilmu Tafsīr) adalah ilmu yang membantu orang yang mempelajari
untuk memahami kandungan al- Qur’ān secara benar sesuai dengan ajaran al-Qur’ān itu
sendiri. Di dalam ilmu ini-pun banyak sekali cabang dan alirannya, ada yang bercorak
teologi, falsafi, sufistik, fiqhiyah dan sebagainya. Lihat Abuddin Nata, Suwito, Masykuri
Abdillah, Armai Arief, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005), 2. 9 Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama & Ilmu Umum, 2. 10 Untuk laporan lebih lengkap tentang konferensi ini, lihat Hamid H. Bilgrami
dan S. Ali Ashraf (Eds.), The Concept of Islamic University, terj. Machnun Husein
dengan judul Konsep Universitas Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989)
4
lain-lain, dan ada pula yang bersifat praktikal seperti manajemen, perniagaan,
pendidikan, konseling dan lain-lain.11
Selanjutnya ilmu-ilmu umum yang berbasiskan pada penalaran akal dan
data empirik juga mengalami perkembangan yang lebih pesat lagi dibandingkan
dengan ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut di dalam Islam. Ilmu-ilmu
umum ini secara garis besar dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, ilmu
umum yang bercorak Naturalis dengan alam raya dan fisik sebagai objek
kajiannya, yang termasuk ke dalam ilmu ini antara lain; Fisika, Biologi,
Kedokteran, Astronomi, Geologi, Botani dan sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut
selanjutnya disebut sains. Kedua, ilmu umum yang bercorak Sosiologis dengan
perilaku sosial/manusia sebagai objek kajiannya, yang termasuk ke dalam ilmu
ini antara lain; Antropologi, Sosiologi, Politik, Ekonomi, Pendidikan,
Komunikasi, Psikologi dan sebagainya. Ketiga, ilmu umum yang bercorak
Filosofis Penalaran, yang termasuk kedalam ilmu ini antara lain; Filsafat,
Logika, Seni dan ilmu-ilmu Humaniora lainnya.12
Banyak faktor yang menyebabkan ilmu-ilmu tersebut tidak harmonis
atau dikotomis. Pada inter ilmu agama misalnya, ketidak harmonisan tersebut
banyak disebabkan oleh kepentingan politik kelompok, metode berfikir serta
aliran yang diyakininya, situasi dan kondisi dimana seorang mujtahid berada,
kecerdasan dan latar belakang pendidikan serta hubungan sosial lainnya.
Sedangkan dalam inter ilmu umum perbedaan terjadi antara lain karena
perbedaan metode dan pendekatan yang digunakan, situasi sosial politik,
kecenderungan individual, kecerdasan dan keterbatasan pengetahuan, serta
ideologi yang diyakininya. Adapun terjadinya dikotomi antara ilmu agama Islam
dengan ilmu umum antara lain karena adanya perbedaan pada dataran ontologi,
11 Selanjutnya kita perlu mengemukakan definisi sains yang banyak diterima
oleh pakar pendidikan yang mengatakan: "sains adalah sejumlah konsep dan binaan
hipotesis (hypothetical construct) yang terwujud sebagai hasil dari proses pengamatan
dan eksperimen yang pada gilirannya membawa kepada lebih banyak pengamatan dan
eksperimen". Kalau kita terima definisi ini, maka kita akan sampai pada kesimpulan
bahwa sains mengandung dua unsur utama, yaitu kandungan sains itu dan proses yang
membawa kepada menemukan fakta dan konsep yang membentuk kandungan itu dan
selanjutnya menolong menyusun dan mengatur fakta dan konsep itu dalam tataran yang
saling terkait (interconnected) yang selanjutnya mendorong untuk memperoleh lebih
banyak pengetahuan baru. Lihat Azhar Arsyad, ia menulis Artikel, “Buah Cemara
Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan Ilmu Agama,” Hunafa Jurnal Studia Islamika,
Vol.8, No.1 (2011) : 4. 12 Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan umum bergerak amat cepat dan
luar biasa sebagai akibat dari intensifnya kegiatan penelitian yang didukung oleh etos
ilmiah yang tinggi, dana yang berlimpah serta alat bantu penelitian yang canggih dan
lengkap. Ilmu pengetahuan yang dahulunya dikuasai oleh umat Islam, kini sebagai besar
dikuasai masyarakat Barat dan Eropa. Lihat Poeradisastra, Sumbangan Islam terhadap
Peradaban Eropa dan Barat, (Jakarta: P3M, 1980), Cet. 1, 76.
Muhammad R. Mirza dan Muhammad Iqbal Siddiqi, Muslim Contribution to
Science, (Pakistan: Kazi Publications, 1986), Cet.1, 17-29.
5
epistemologi dan aksiologi kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa ilmu agama Islam bertolak dari wahyu yang
mutlak benar dan dibantu dengan penalaran yang dalam proses penggunaannya
tidak boleh bertentangan dengan wahyu. Sementara itu, ilmu pengetahuan umum
yang ada selama ini berasal dari barat dan berdasar pada pendangan filsafat yang
ateistik, meterialistik, sekularistik, empiristik, rasionalistik, bahkan hedonistik.
Dua hal yang menjadi dasar kedua ilmu ini jelas amat berbeda dan sulit
ditemukan.13
Salah satu upaya untuk mengatasi keadaan tersebut adalah dengan cara
mengintegrasikan intern ilmu agama dan intern ilmu umum, serta integrasi
antara ilmu agama dengan ilmu umum. Upaya ini perlu dilakukan jika tidak
menginginkan keadaan yang lebih membahayakan masa depan umat manusia.
Upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum tersebut mulai
diperkenalkan para ahli yang visioner sejak akhir abad ke-20, yang menimbulkan
pro-kontra. Di satu pihak ada yang setuju tentang Islamisasi ilmu14 tersebut dan
di pihak lain ada yang tidak setuju. Sikap ini mirip dengan sikap yang
ditunjukkan oleh umat Islam ketika merespons pelbagai masalah sosial politik.15
Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu
pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 M sampai abad ke-15 M. Setelah itu, masa
keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 M ini.16
Ketika menjadi kiblat ilmu pengetahuan, pendidikan Islam yang berkembang
adalah pendidikan Islam non-dikotomis yang akhirnya mampu melahirkan
13 Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. 5-6. 14 Islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang sekelompok pemikir hanya
sebagai proses penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria
pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain,
Islam hanya berlaku sebagai kriteria etis di luar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi
dasarnya, bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya mereka
menganggap mustahil muncul ilmu pengetahuan Islami, sebagaimana mustahilnya
pemunculan ilmu pengetahuan Marxistis. Lihat Mulyanto, “Islamisasi Ilmu
Pengetahuan,” dalam Moeflich Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan (Jakarta: LSAF, Iris, Cidesindo, 2000), Cet. 1, 17-18. 15 Paling kurang terdapat tiga kelompok yang berpandangan berbeda-beda dalam
merespons hubungan agama dan politik. Kelompok pertama, mereka yang mengatakan
bahwa agama mengatur segala hal yang berkaitan dengan politik dan kenegaraan,
sebagaimana diperlihatkan oleh Abul A’la al-Maudūdi, Hasan al-Bana dan lain-lain.
Kelompok kedua, mereka yang mengatakan bahwa antara agama dan politik tidak ada
hubungannya sama sekali. Agama mengaur hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan
politik mengatur hubungan manusia dengan manusia, sebagaimana diperlihatkan oleh Ali
Abd. Razak dan lain-lain. Kelompok ketiga, berpendapat bahwa agama memiliki
hubungan yang erat dengan politik dalam hal memberikan prinsip-prinsip etis tentang ke
arah mana politik tersebut dibawa. Lihat Munawir Sadzali, Islam dan Ketatanegaraan
(Jakarta: UI Press, 1996), Cet.1, 34. A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam
(Jakarta: Grafiti, 2000), Cet. 1. 26-26. 16 Syamsul Ma’arif, Revitasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007),
18.
6
intelektual muslim yang memiliki karya sangat besar dan berpengaruh positif
terhadap eksistensi kehidupan manusia. Menurut Harun Nasution,17
cendekiawan-cendekiawan Islam tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan dan
filsafat dari buku yunani, tetapi menambahkan ke dalam hasil-hasil penyelidikan
yang mereka lakukan dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran
mereka dalam ilmu filsafat. Dengan demikian, lahirlah ahli-ahli ilmu
pengetahuan dan filosof-filosof Islam, seperti Ibnu Haytham (w. 1039) pelopor
dibidang optik dengan kamus optiknya (kitāb al-Manaẓir), al-Tūsi (w.1274)
astronom kawakan dari Damaskus yang melakukan penelitian tentang gerakan
planet-planet, membuat model planet (planetarium), al-Farāzi (astronom Islam),
Ibnu Sīna (ahli kedokteran, sehingga dijuluki dengan doctor of doctors
(Avicena), al-Bīruni (ahli filsafat, astronom, geografi, matematika, juga sejarah),
Ibnu Rushdy (filosof dan ahli fiqh, sehingga dijuluki Averous), al-Khawārizmi
(ahli matematika, sehingga dijuluki Algorismus), Ibn al-Haitham (ahli astronomi,
sehingga dijuluki al-Hazen). Sedangkan dalam ilmu agama, terdapat para ulama
yang mengembangkan ilmu hadith (Bukhāri Muslim abad ke-9 M), Ilmu hukum
Islām (Imam Abū Hanīfah, Imām Mālik, Imām Shafi’i dan Ibn Hambal abad ke-
7, ke-9) dan lain-lain.
Sementara itu, pada masa dan pasca al-Ghazāli18 (w. 1111 M) dan Ibnu
Khaldun (w. 1406) mulailah terjadi diskursus dikotomi ilmu yang disebabkan
oleh pendapat al-Ghazāli yang memandang sebagai farḍu ain untuk menuntut
“ilmu agama” dan “farḍu kifāyah” untuk “ilmu-ilmu non agama” yang telah
menimbulkan ketimpangan yang nyata antara kedua klasifikasi ilmu tersebut.19
Bukan itu saja al-Ghazāli pun dalam bukunya “Tahāfut al-falāsifah”
mengeluarkan fatwa-fatwa yang “membabi buta” hingga mengharamkan filsafat
dan mengkafirkan orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Ditangannya,
dunia Islam dipenuhi dengan sisi mistis (taṣawuf). Dalam hal ini, bagi Sayyed
Hossein Nasr serangan al-Ghazāli terhadap filsafat dianggap telah melumpuhkan
filsafat rasionalistik dan menghabisi karier filsafat sebagai disiplin yang berbeda
17 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press,
1979), 71. 18 Al-Ghazāli merupakan tokoh intelektual yang menjadi ikon khazanah
keilmuan dalam Islam. Gelar yang disandangkan kepada al-Ghazāli seperti Hujjat al-
Islām, Zain al-Dīn, Sharaf al-Ummah dan Mujaddid merupakan simbol pengakuan
terhadap kebesaran namanya dan kapasitas keilmuannya sebagai salah seorang
cendekiawan muslim ternama dalam sejarah. Kefenomenalannya tersebut membuat ia
dianggap oleh banyak orang sebagai orang yang mempunyai otoritas keagamaan terbesar
setelah Nabi Muhammad SAW. Bahkan, menurut al-Subki (w. 1370 H), seperti yang
dikutip oleh Azyumardi Azra, yang mengatakan “Seandainya ada lagi Nabi setelah Nabi
Muhammad, maka manusianya adalah al- Ghazāli”. Lihat Azyumardi Azra, Historiografi
Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), 383. 19 Baharuddin, Umiarso, Sri Minarti, Dikotomi Pendidikan Islam; Historisitas
dan Implikasi pada Masyarakat Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), ix.
7
dari gnosis dan teknologi di seluruh wilayah Arab pada dunia Islam.20 Walaupun
sikap al-Ghazāli tersebut akhirnya mendapatkan jawaban dan serangan frontal
dengan evaluasi kritis-akademis dari Ibn Rusdy dalam Tahāfut al-Tahāfut (rancu
dalam kerancuan). Bahkan kalau dikaji secara “nakal”, al-Ghazāli merupakan
orang yang paling bertanggungjawab terhadap ambruknya kecemerlangan
peradaban Islam, sehingga wajar jika orientalis Philip K. Hitti mencapnya
sebagai orang anti intelektual.21
Di sisi lain, jika ditelusuri dari data sejarah, sebenarnya dikotomi
terhadap ilmu tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam itu sendiri, tetapi juga
sudah terjadi sebelumnya, khususnya dikalangan umat Kristen dimasa kegelapan
Eropa (the dark age). Pada masa itu eropa berada dalam kekuasaan otoriter
gereja, terutama setelah raja Roma constantine memeluk agama Kristen. Agama
Kristen resmi menjadi agama negara dan agama yang berkuasa, sehingga lama
kelamaan kekuasaan Paus dan pemuka agama kristen menjadi sedemikian
besarnya, sehingga para raja di barat wajib tunduk kepada mereka, dan pada abad
pertengahan ini manusia dianggap kurang dihargai, sedangkan kebenaran diukur
berdasarkan ukuran dari Gereja (Kristen), bukan ukuran yang dibuat oleh
manusia.
Pada stadium ini kemudian Paus dan pemuka-pemuka agama Kristen
kala itu menetapkan beberapa teori ilmu pengetahuan dan mensucikannya
menjadi teori atau bahkan postulat yang “kebenarannya tidak terbantahkan”.
Dengan otoritas yang dipaksakan melahirkan sikap otoriter dari gereja sendiri
dalam menancapkan kuku-kuku kekuasaannya, sehingga siapa saja yang
menentangnya akan menghadapi pengadilan di mahkamah Gereja (inkuisisi).
Orang-orang yang diadili hingga mencapai 300.000 orang, 32.000 orang
diantaranya mendapatkan punisment dengan ganjaran dibakar hidup-hidup. Dia
antara mereka terdapat dua ahli ilmu pengetahuan yang terkenal, yaitu Giordano
Bruno dan Galileo Galilei. Giordano Bruno dianggap menentang gereja karena
mengatakan bahwa alam ini banyak jumlahnya. Sedangkan Galileo Galilei
mengatakan bahwa bumi berputar di sekitar matahari (Heliocentris). Kedua
temuan ilmiah tersebut mendapat sambutan konfrontatif dari gereja yang
mengindikasikan ototritas pengaruhnya takut terganggu oleh fakta tersebut.22
20 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: SUNNY Press,
1981), 72. Sementara itu, pada karyanya yang lain Seyyed Hossein Nasr menyatakan
bahwa sekalipun al- Ghazāli telah menyerang filsafat, namun pengarang Tahāfut al-
Falāsifah ini dianggap sebagai “filosof” juga. Kerena dia mengerti persoalan filsafat dan
melakukan kritik atasnya secara filosofis. Meskipun membatasi ruang gerak rasionalisme
Muslim, al-Ghazāli telah meratakan jalan bagi penyebar doktrin iluminasionis (ishrāqi)
Suhrawardi (w. 587/1191) dan gnosis (ʽirfani) mazhab Ibnu ‘Arabi (w.638/1240). Lebih
detailnya lihat dalam Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1968), 55. 21 Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmilan Press Ltd., 1974),
432. 22 Syahminan Zaini, Integrasi Ilmu dan Aplikasinya menurut Al-Qur’an (Jakarta:
Kalam Mulia, 1989), 7.
8
Disisi lain, ada ilmuan yang memiliki konsep dalam mengatasi dikotomi
tersebut, ia adalah Mullā Sadrā23 tokoh yang hidup sezaman dengan Galileo
Galilei (1564-1642). Artinya ketika di Barat sedang terjadi kebuntuan
pemahaman tentang ilmu dan agama, Mullā Sadrā telah mempunyai konsep yang
cemerlang untuk menjawab kebuntuan itu. Satu kondisi atmosfir keilmuan yang
sangat kontras, karena di Barat sedang terjadi konfrontasi antara ilmu dan agama.
Sedangkan di dunia Islam hubungan ilmu dan agama justru mengalami
penguatan. Refleksi awal tentang pemikiran Mullā Sadrā dapat dikemukakan
bahwa ia menempatkan ilmu dan agama tidak dalam posisi “konflik”, keduanya
mempunyai tolok ukur kebenaran sendiri tetapi kebenaran yang diperoleh
tidaklah saling bertentangan. Metode yang di gunakan untuk menemukan
kebenaran ilmu dan agama bersifat kooperatif-saling mendukung. Ini terlihat dari
pandangannya yang tidak menolak rasio dan empiris sebagai sarana untuk
memperoleh kebenaran, disamping ia juga menambahkan metode sufistik untuk
mencapai kebenaran hakiki. Mullā Sadrā melakukan sintesis terhadap sumber
pengetahuan yang meliputi iluminasi intelektual (kashf, dhauq atau ishrāq),
penalaran atau pembuktian rasional (‘aql, burhān, atau istiḍlāl) dan agama atau
wahyu (shar’i atau waḥy).24
Mullā Sadrā dengan konsepnya Tauḥīd25 yang dituangkan dalam
Waḥdah al-wujūd dapat dijadikan sebagai basis integrasi ilmu, terutama bagi
status ontologis objek-objek penelitiannya. Menurutnya, segala wujud yang ada
dengan segala bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah satu dan sama,
yang membedakan yang satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya (tashkīk al-
wujūd) yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya. Oleh karena mereka
pada dasarnya satu dan sama, wujud apapun yang kita ketahui yang bersifat
spiritual atau materil tentu mempunyai status ontologis yang sama-sama kuatnya
dan sama-sama riilnya. Oleh karena itu, segala tingkat wujud boleh menjadi
23 Sadr al-Dīn Muhammad Ibnu Ibrāhīm, dikenal sebagai Mullā Sadrā, lahir di
Shīraz (sekarang Iran) pada Tahun 979 H/1572 M dan meninggal dunia pada tahun pada
tahun 1050 H/1641 M. Lihat Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfar al-ʽAqliyah
al-Arbaʽah (Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāts Al’Arabī, 1981), 13. 24 Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mullā Sadrā (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), 5. 25 Konsep tentang Tauḥīd, yang lazimnya diterjemahkan sebagai paham ke-
Esaan Tuhan, memanifestasikan adanya kesatuan dalam ilmu. Kesatuan ilmu bermakna
tidak adanya kompartementalisasi atau bifurkasi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu
umum. Konsep ilmu dalam Islam terkait dan terjalin erat dengan pandangan dunia Islam
(Islamic worldview) yang bermuara pada konsep Tauḥīd. Dengan kata lain, pandangan
Islam tentang Tuhan, kenabian (nubuwwah), alam semesta, manusia, unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci Islam terkait dengan ilmu. Tauḥīd merupakan aspek sentral atau
poros dimana seluruh konsep-konsep Islam berputar mengitarinya. Ibarat tata surya,
Tauḥīd adalah matahari dimana semua planet mengitari dan menyerap energinya. Lihat
M. Hadi Masruri dan Imron Rossidy, keduanya menulis Artikel “Filsafat Sains dalam Al-
Qur’ān: Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama” (UIN Malang: Jurnal, Tth),
5.
9
objek yang valid bagi ilmu karena realitas ontologis mereka telah ditetapkan
(Fixed).26
Dalam kondisi kepanikan spiritual tersebut strategi pendidikan Islam
yang dikembangkan secara umum di seluruh dunia Islam masih cenderung
bersifat dikotomis, sehingga tidak bisa melahirkan umat Islam yang mempunyai
komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam.27 Di samping
itu, upaya integrasi yang dilakukan pada umumnya belum membuahkan hasil.
Hal ini dapat dianalisis dari pendekatan pembaharuan pendidikan Islam yang
telah dilakukan sejauh ini.28 Terjadinya dikotomi menyebabkan pendidikan Islam
belum mampu melahirkan mujtahid-mujtahid besar, pendidikan Islam merupakan
lembaga pendidikan ilmu-ilmu keislaman, efek pembaharuannya baru dirasakan
dalam lapangan reorganisasi dan tidak dalam kandungan ilmu-ilmu Islam seperti
teologi dan filsafat. Pendidikan Islam belum mampu membangun paradigma baru
yang tetap berangkat dari pemahaman al-Qur’ān, sehingga mampu melahirkan
apa yang disebut oleh Fazlur Rahman dengan “Intelektualisme Islam.” Menurut
Rahman untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut adalah
dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama secara organis dan
menyeluruh. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi dan tidak
dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian, di dalam kurikulum maupun silabus
pendidikan Islam harus tercakup baik ilmu-ilmu umum seperti ilmu-ilmu sosial,
ilmu-ilmu alam dan sejarah dunia maupun ilmu-ilmu agama seperti fiqh, kalām,
tafsīr, hadith dan lain sebagainya.29
Persoalan dualisme dikotomi sistem pendidikan itu telah melanda seluruh
negara muslim atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Bahkan menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, dikotomi sistem
pendidikan itu bukan hanya menyangkut perbedaan dalam struktur luarnya saja,
tapi juga perbedaan yang lahir dari pendekatan mereka terhadap tujuan-tujuan
pendidikan.30 Sistem pendidikan kuno dalam Islam didasarkan atas seperangkat
nilai-nilai yang berasal dari al-Qur’ān. Di dalam al-Qur’ān dinyatakan bahwa
tujuan-tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah menciptakan manusia yang
taat kepada Tuhan dan akan selalu berusaha untuk patuh pada perintah-perintah-
Nya sebagaimana yang dituliskan dalam kitab suci. Orang semacam ini akan
berusaha untuk memahami seluruh fenomena di dalam dan di luar khazanah
kekuasaan Tuhan. Di lain pihak sistem modern, yang tidak secara khusus
mengesampingkan Tuhan, berusaha untuk tidak melibatkan-Nya dalam
26 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Arasy Mizan, 2005), 35. 27 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia
(Bandung: Mizan, 1993), 146. 28 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of An Intellectual
Tradition (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1984), 130. 29 Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam, 109. 30 Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Crisis in Muslim Education (Jeddah:
King Abdul Aziz University, 1979), 56.
10
penjelasannya mengenai asal-usul alam raya atau fenomena dengan manusia
selalu berhubungan setiap harinya. Akibatnya, di satu pihak akan menghasilkan
manusia yang dikarunia rasa ketaatan yang sangat besar, sedangkan di lain pihak
akan melahirkan sosok manusia yang beranggapan bahwa tidak ada batasan atau
akhir dari kemungkinan-kemungkinan di dalam dirinya atau dia dapat
membentuk sendiri kehidupan yang dijalaninya tanpa tuntunan Ilahi. Kondisi
yang tidak kondusif ini mengundang para cendikiawan Muslim dari pelbagai
penjuru dunia untuk memecahkan persoalan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan
diadakannya pelbagai pertemuan internasional yang melahirkan beraneka macam
gagasan baru untuk memecahkan dikotomi pendidikan Islam tersebut antara lain
dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu
umum.31
Adanya keseimbangan antara ilmu-ilmu umum (dunia) dengan ilmu-ilmu
agama dalam suatu kurikulum pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung32
pada gilirannya akan melahirkan spesialisasi pada bagian ilmu sesuai periode
perkembangan, sesuai dengan tingkat pendidikan, sesuai dengan spesialisasi
sempit pada tingkat pendidikan tinggi, di masjid-masjid dan rumah-rumah
hikmah (universitas-universitas) kemudian hari sampai sekarang. Menurut
Fazlur Rahman33 bahwa ilmu pengetahuan itu pada prinsipnya adalah satu yaitu
berasal dari Allah SWT. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan di dalam al-
Qur’ān. Menurut al-Qur’ān semua pengetahuan datangnya dari Allah, sebagian
diwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya melalui ayat-ayat Qur’āniyah dan
sebagian lagi melalui ayat-ayat kauniyah yang diperoleh manusia dengan
menggunakan indera, akal dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan
31 Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam, 109. 32 Untuk itu, menurut Hasan Langgulung, Kurikulum Pendidikan dalam Islam
harus meliputi ilmu-ilmu bahasa dan agama, ilmu-ilmu kealaman (natural) dan sebagaian
ilmu-ilmu yang membantu ilmu ini, seperti sejarah, geografi, sastra, sya’ir, nahwu,
balaghah, filsafat dan logika. Lihat Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), 117-118. 33 Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di benua India, di
sebuah daerah yang kini terletak di barat laut Pakistan, ia dikenal sebagai intelektual yang
mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang sejarah Islam baik dalam
bidang pemikiran, perkembangan sosial politik dan kehidupan pada umumnya (termasuk
bidang pendidikan) serta kemampuannya kepada khazanah klasik Islam secara cermat
serta merefleksikan nuansa dan pesan-pesan al-Qur’ān secara akurat. Sungguh pun
Rahman diasuh dalam keluarga yang memegang teguh tradisi Sunni bermazhab Hanafi
dan suasana keluarganya juga kental dengan warna tradisional serta sempat mengenyam
pendidikan di madrasah Deoband, Namun pandangan-pandangannya terlihat sangat
inklusif dan egaliter. Lihat, Nurcholish Madjid, Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika
al-Qur’an dalam Islamika (Jakarta: Mizan, 1993), 23.
11
mempunyai kebenaran yang absolut sedangkan pengetahuan yang diperoleh,
kebenarannya tidak mutlak.34
Menurut hemat penulis, metode integrasi seperti yang ditawarkan oleh
Mullā Sadrā itulah yang pernah diterapkan pada masa keemasan Islam. Pada
masa itu ilmu dipelajari secara utuh dan seimbang antara ilmu-ilmu yang
diperlukan untuk mencapai kesejahteraan di dunia (ilmu-ilmu umum) maupun
ilmu-ilmu untuk mencapai kebahagian di akhirat (ilmu-ilmu agama). Pendekatan
integralistik seperti itu, yang melihat adanya hubungan fungsional antara ilmu-
ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, telah berhasil melahirkan ulama-ulama yang
memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu serta memiliki pengetahuan-
pengetahuan luas dan mendalam pada masa klasik. Ibn Sina misalnya, selain ahli
agama, juga seorang psikolog, ahli dalam bidang kedokteran dan sebagainya.
Demikian pula dengan Ibn Rushdy, ia disamping sebagai ahli hukum Islam, juga
ahli dalam bidang matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu
pengobatan.35
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan filosofis, Maka
yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah melihat integrasi ilmu agama dan
ilmu umum (sains) dalam perspektif ontologis, epistemologis, dan aksiologis
dalam kaitanya dengan pencapaian tujuan pendidikan Islam. Pendekatan filosofis
inilah yang secara netral dan proporsional dapat menjembatani sekaligus
mempertemukan dua domain ini. Dalam mengeksplorasi hubungan ilmu dan
agama ini, penulis menggunakan pandangan-pandangan seorang pemikir Islam
kelahiran Persia, yaitu Mullā Sadrā (1572-1641), sebagai suatu perspektif.
Sayyed Hussein Nasr menilai bahwa Mullā Sadrā secara cemerlang telah
menghidupkan kembali filsafat Islam setelah dianggap mati bersamaan dengan
meninggalnya Ibnu Rushdy. Mullā Sadrā secara harmonis telah merangkum
beragam corak pemikiran yang berkembang di dunia Islam, yaitu Filsafat
Peripatetik (mashsha’i) Islam dari Ibnu Sīna, iluminasionisme (teosofi ishrāqi)
dari Shuhrawardi, ajaran taṣawuf dari Ibnu ‘Arabi, dan teologi Islam (kalām)
termasuk sabda Rasūlullah dan para imam Shi’ah. Karena itu, pemikirannya
34 Dalam kenyataan sejarah, kedua macam pengetahuan ini selalu dimasukan ke
dalam kurikulum pendidikan Islam. Ibn Khaldun menyebutkannya dengan istilah
pengetahuan naqliyah (diwahyukan) dan aqliyah (dipikirkan). Sekarang tatkala
pemikiran telah begitu maju, keterampilan begitu juga, hubungan antara pengetahuan
yang diwahyukan dengan pengetahuan yang diperoleh terganggu, sehingga muncullah
keterpisahan. Keterpisahan ini sebenarnya menimbulkan konflik, baik dalam diri
perorangan maupun dalam masyarakat, Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam
dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1992), 8. 35 Oleh karena itu menurut Abuddin Nata, pendekatan dikotomis dalam sistem
pendidikan harus segera diakhiri. Karena pendekatan ini merupakan warisan sejarah
Islam masa kemunduran dan warisan penjajah belanda. Di samping itu pendekatan
tersebut juga tidak sejalan dengan semangat al-Qur’ān, yang tidak mengenal pemisahan
antara urusan dunia dan akhirat. Kedua urusan tersebut menempati posisi yang sejajar
dalam pandangan al- Qur’ān. Lihat Abuddin Nata, Mencari sosok Pendidikan Islam
untuk abad ke-21, dalam Studi Islamika, no 32, Tahun 1993, 31.
12
dikenal sebagai Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah (hikmah yang tertinggi), seringkali
disebut juga sebagai hikmah yang ketiga setelah Al-Ḥikmah Al-Mashsha’iyyah
dari Ibnu Sīna dan Al-Ḥikmah al-Ishrāqiyyah Shuhrawardi.36
Atas dasar inilah, maka orientasi dan sistem pendidikan di sekolah tidak
perlu terjadi ambivalensi dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum (sains).
Dengan demikian, pendidikan harus mampu mengintegrasikannya secara lebih
terpadu. Perpaduan yang dimaksud bukanlah sekedar proses pencampuran biasa
(atau Islamisasi), tetapi sebagai proses pelarutan. Pemikiran ini kiranya
mengandaikan suatu bentuk perpaduan sejati antara ilmu agama dan sains, yang
dapat mensinergikan keduanya secara fleksibel dan tentu saja link and match.37
Penelitian tentang pemikiran, sebagaimana biasanya tidak dapat
diharapkan hasilnya secara konkret dan aplikatif, seperti pada penelitian empirik,
namun hasilnya masih berbentuk konsep-konsep dan teori-teori. Walaupun
demikian temuan-temuan yang akan dihasilkan ini di samping memperkaya
khazanah pemikiran di Indonesia, juga pada tingkat yang lebih praktis akan dapat
dijadikan pedoman untuk melakukan pembaharuan, khususnya dalam pendidikan
Islam di tanah air. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana pemecahan
problema pendidikan Islam tersebut, maka studi rekonstruksi pemikiran Mullā
Sadrā tentang solusi problema pendidikan Islam modern menjadi sangat penting.
Dari latar belakang masalah ini penulis mencoba mengemukakan bahwa
alasan-alasan penulis dalam memilih judul ini adalah :
1. Untuk membuktikan bahwa pemikiran Mullā Sadrā dalam integrasi ilmu
dan agama dapat diwujudkan dalam pendidikan integratif sehingga dapat
diimplementasikan pada era globalisasi sekarang ini.
2. Untuk memberikan informasi bahwa, Mullā Sadrā selain seorang filosof,
ia juga seorang praktisi pendidikan yang mempunyai wawasam berfikir
luas, ini terbukti ketika ia menentang adanya dikotomi dan
mengupayakan terjadinya integrasi Ilmu dan Agama.
3. Untuk mengetahui bahwa terjadinya kemunduran umat Islam dari zaman
dahulu sampai sekarang disebabkan karena adanya dikotomi/dualisme
keilmuan.
4. Untuk memadukan antara pemikiran tokoh-tokoh pendidik pada zaman
sekarang sesuai dengan apa yang telah dirumuskan oleh Mullā Sadrā
dalam sistem pendidikan integratif yang meliputi misi, visi, tujuan,
kurikulum dan strategi pembelajaran.
5. Penelitian ini sangat berguna dalam menggali kembali konsep-konsep
ilmuan muslim terdahulu yang dituangkan dalam sistem pendidikan yaitu
membangun pendidikan integratif non dikotomik.
36 Dimitri Mahayana & Dedi Djuniardi, Kearifan Puncak (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), xiii. 37 Ibnu Rusydi, ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Agama Integratif-
Transformatif,” Jurnal Pendidikan Islam (JPI), Vol.1, No. 1 (2012) : 111.
13
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Beberapa permasalahan yang terkait dengan penelitian dapat
diidentifikasi antara lain ; (1) Persoalan hubungan antara sains dan agama
muncul pertama kali di Barat pada Abad Pertengahan, ketika terjadi pertentangan
pendapat antara ilmuwan dan agamawan (Gereja) tentang pusat alam semesta.
Ilmuwan berpandangan bahwa pusat alam semesta adalah matahari (heliosentris),
sedangkan agamawan berpandangan bahwa pusat tersebut adalah bumi
(geosentris). Peristiwa itu menandai babak baru berkembangnya wacana
hubungan antara ilmu dan agama secara akademik. Problem epistemologi yang
kemudian berkembang hingga saat ini adalah terkait dengan diterima atau
tidaknya agama sebagai sumber ilmu. Paling tidak ada tiga sikap terkait dengan
hal ini, yaitu a) upaya memisahkan ilmu dan agama yang dilakukan oleh
sekularisme, b). upaya menggantikan agama dengan ilmu yang dilakukan oleh
saintisme, dan c). upaya untuk menyatukan ilmu dan agama yang dilakukan oleh
integralisme
(2) Terjadinya heterogenitas lembaga pendidikan/adanya dikotomi yaitu
terjadi dualisme sistem pendidikan Islam dan pendidikan umum yang
memisahkan kajian-kajian agama dengan ilmu pengetahuan.
2. Pembatasan Masalah
Pembahasan tentang agama (Islam) dan hubungannya dengan ilmu
pengetahuan ini cukup kompleks. Topik ini antara lain meliputi pembahasan
tentang sejarah, pertumbuhan dan karakter dasar Islam (ilmu-ilmu keislaman)
dan ilmu pengetahuan pada umumnya, pola-pola hubungan antara Islam dan ilmu
pengetahuan sepanjang yang diwacanakan/diperbincangkan oleh berbagai
kalangan madhhab maupun yang dipraktekkan dalam tradisi kelimuan. Penelitian
terhadap suatu konsep pemikiran dan tujuan pembelajaran dapat diidentifikasi
sekian banyak masalah, tergantung dari sudut pandang dan sumber yang
dijadikan bahan penelusuran. Penelitian ini dibatasai pada pembahasan mengenai
gagasan Mullā Sadrā yang dianggap masih relevan terhadap isu pendidikan masa
kini dan perlu menjadi solusi dalam pendidikan Islam modern dalam menanggapi
problematika pendidikan kontemporer.
3. Perumusan Masalah
Penelitian ini mengkaji pandangan seorang pemikir Islam kelahiran
Persia sekaligus filosof besar yang telah membangun suatu konstruksi pemikiran
filsafat Islam yang kemudian diaplikasikan dalam sistem pendidikan.
Dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas dapat diketahui
bahwa pada masa modern ini, dunia pendidikan Islam masih dihadapkan kepada
beberapa problem pendidikan. Dengan demikian, maka dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep integrasi keilmuan dalam perspektif Mullā Sadrā ?
2. Bagaimana hubungan ilmu agama dan ilmu umum dalam membangun
pendidikan integratif ?
14
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Untuk membuktikan bahwa pemikiran Mullā Sadrā masih dapat
dijadikan pedoman dalam ranah pendidikan mengenai integrasi ilmu dan
agama.
2. Untuk menilai relevansi pendapat Mullā Sadrā terhadap problema
pendidikan di masa kini yaitu banyak terjadinya dikotomi keilmuan.
3. Untuk mengelaborasi metode, tujuan dan strategi pembelajaran dalam
perspektif Mullā Sadrā, guna membangun pendidikan integratif.
Apabila tujuan utama penelitian tersebut diatas dapat tercapai, secara
teoritis kegunaan dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut :
1. Dapat memberikan kontribusi ilmiah, khususnya dalam rangka
memperkaya khazanah dalam bidang pemikiran pendidikan Islam.
2. Dapat memberikan motivasi dan inspirasi positif bagi para mahasiswa
pada khususnya, untuk melakukan kajian dan penelitian serupa yang
dihubungkan dengan pemikiran pendidikan Islam.
3. Dapat menjadi bahan bacaan bagi siapa saja yang mempunyai minat
untuk mengetahui dan mendalami kajian pemikiran Islam, khususnya
dalam bidang pendidikan.
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Telaah kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang
hubungan penelitian yang diajukan dengan penelitian sejenisnya yang pernah
dilakukan terdahulu, sehingga menghindari adanya keterulangan dalam
pengkajian materi yang akan diteliti. Untuk lebih memudahkan pemahaman
dalam kajian ini, Penulis di dalam mendeskripsikan peneliti-peneliti terdahu
membagi dua bagian; pertama tentang pemikiran-pemikiran Mullā Sadrā dan
kedua tentang dikotomi dan integrasi. Diantara peneliti terdahulu yang dapat
penulis temukan tulisannya adalah sebagai berikut :
a. Peneliti yang menulis pemikiran Mullā Sadrā
Kepustakaan yang berkenaan dengan Mullā Sadrā dan pemikirannya
masih relatif kurang dibandingkan dengan tokoh filosof Muslim lainnya,
khusunya mengenai integrasi ilmu dan agama. Baru sebagian kecil penulis yang
melakukan penelitian dan menganalisis pemikiran-pemikirannya.
Seorang pemikir juga ideolog Revolusi Islam di Iran, Murtadha
Muthahhari menulis tentang Mullā Sadrā yang berjudul Filsafat Hikmah
Pengantar Pemikiran Mullā Sadrā, buku ini hanya sebatas pengenalan
pengantar.
Karya khusus yang membahas tentang filsafat Mullā Sadrā adalah tulisan
Fazlur Rahman yang berjudul Filsafat Mullā Sadrā. Meskipun buku ini lebih
kritis dan analitis terhadap pemikiran Mullā Sadrā, namun interprestasinya terlalu
rasionalistik, tanpa mempertimbangkan latar belakang dan spiritual yang
menumbuhkan unsur mistik dan gnosis yang merupakan sesuatu yang esensial
dalam ajaran-ajaran Sadra. Fazlur Rahman juga memiliki dua tulisan yaitu; “The
15
God-World Relationship in Mullā Sadrā” dalam Goerge F. Hourani, Essay on
Islamic Philosophy and Saince (Albany: State University of New York Press,
1975) dan The Philosophy of Mullā Sadrā (Albany: State University of New
York Press, 1975).
Syaifan Nur mengangkat tokoh Mullā Sadrā dalam tulisannya yang
berjudul Filsafat Wujud Mullā Sadrā, membahas tentang persoalan wujud dalam
perspektif al-Ḥikmah al-muta’āliyah. Murtadha Muthahhari juga membahas
tentang Pengantar Pemikir Sadrā Filsafat Ḥikmaḥ, buku ini banyak
mendeskripsikan tentang filsafat Mullā Sadrā, historisitas kehidupan Mullā
Sadrā, masalah kontradiksi dalam filsafat ḥikmah dan lain sebagainya.
Seyyed Hossein Nasr, seorang sarjana dan intelektual Syi’ah yang
produktif menulis tentang Mullā Sadrā, dalam bentuk buku tersendiri yang dapat
dikatakan yang paling lengkap berkenaan dengan Mullā Sadrā adalah bukunya
yang berjudul Sadr al-Dīn dan Ḥikmah muta’āliyah. Sayyed Hosein Nashr juga
banyak menulis tentang Mullā Sadrā, diantaranya; “Sadr al-Dīn Shirazī (Mullā
Sadrā)” dalam M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy (Wiesbaden: Otto
Harrasoitzs, 1966) judul ini juga telah diedit oleh Mehdi Amin Razavi dengan
judul The Islamic Intellectual Tradition in Persia (New Delhi: Curzon Press,
1996). Islamic Life and Thought (london: Goerge Allen & Unwin, 1981) Sayyed
Hosein Nashr sangat menonjolkan filsuf ini ketika mengkaji perkembangan
filsafat.
Dalam bentuk artikel tentang Mulla Sadra diantaranya adalah tulisan
Hossein Ziai, tulisan ini mengungkapkan kehidupan dan karya-karya Mullā
Sadrā.
Seyyed Mohsen Miri menulis artikel tentang Mullā Sadrā dengan judul
Mullā Sadrā : Kehidupan dan Pemikirannya, tulisan ini mengungkapkan secara
singkat biografi Mulla Sadra dan pemikirannya tentang manusia sempurna.
Sedangkan Makalah “Transenden Theosophy” yang ditulis oleh A. Khudori
Soleh, dalam makalah ini penulis memaparkan pokok-pokok pemikiran Mullā
Sadrā yang berkaitan dengan Ḥikmah Muta’āliyah sebagai karya terbesar Mullā
Sadrā.
Penelitian berikutnya yang penulis temukan adalah disertasi Syaifan Nur,
yang kemudian dibukukan dengan judul Filsafat Wujud Mullā Sadrā. Penelitian
ini menjelaskan secara rinci dan mendalam tentang teori wujūd dalam bingkai
aliran filsafat yang dibangun oleh Mullā Sadrā. Penulis buku mengemukakan
bahwa filsafat wujūd Mullā Sadrā ditopang oleh prinsip, yaitu prinsipilitas
wujūd, kemanunggalan dan gradasi wujud.
Hasan Bakti Nasution tentang “Hikmat Al-Muta’āliyah Analisa
Terhadap Proses Sintesa Filosofis”, kesimpulan disertasi tersebut bahwa Hikmat
Al-Muta’āliyah merupakan metode filsafat Islam terkini sebagai sintesa dari
aneka wacana intelektual Islam sebelumnya, yaitu ilmu kalam, filsafat
paripatetik, illuminasionisme dan gnostik.38
38 Hasan Bakti Nasution, “Hikmat Al-Muta’āliyah Analisa Terhadap Proses
Sintesa Filosofis” (Disertasi: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001)
16
Berbeda dengan karya-karya tersebut di atas, penelitian ini lebih
mengkhususkan pada kajian tentang konsep dan hakikat integrasi ilmu dan
agama dalam perspektif Mullā Sadrā, yang dihubungkan dengan upaya
membangun pendidikan integratif yang masih sedikit sekali ditemukan pada
penelitian terdahulu.
b. Peneliti yang menulis konsep integrasi
Wan Moh Nor Wan Daud tentang The Educational Philosophy and
Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas.39 Daud mengkaji pemikiran
Naquib al-Attas dalam berbagai hal terkait dengan pendidikan Islam yang
menyangkut tentang metafisika, ilmu pengetahuan dan tujuan pendidikan, serta
gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan baik secara teori maupun praktiknya yang
diimplementasikan dalam perguruan tinggi miliknya yang dikenal dengan
ISTAC.
Sementara Syed Naquib al-Attas dalam Islam dan Sekularisme40,
Ziauddin Sardar dalam Jihad Intelektual: Merumuskan parameter-parameter
Saince Islam41 dan Isma’il Raji al-Faruqi dalam Islamization of Knowledge42
mereka memfokuskan kajiannya pada usaha Islamisasi ilmu. Dalam sistem
pendidikannya, mereka meninggalkan metode asal Barat yang melahirkan
sekularisme yang membahayakan, kemudian menggantikannya dengan konsep
pendidikan baru yang mereka wujudkan dalam reformasi pendidikan Islam dalam
satu wacana Islamisasi pengetahuan. Dalam hal ini al-Faruqi mengusulkan agar
semua disiplin ilmu modern diberikan tujuan-tujuan dan visi baru yang konsisten
dengan Islam. Setiap disiplin harus ditempa kembali sehingga memberikan
relevansi Islam sepanjang ketiga sumbu tauḥīd.
Fazlur Rahman dalam Islamization of Knowledge,43 ia menyatakan
bahwa pengetahuan kontemporer itu mereflesikan etos Barat, namun dengan
tegas ia berpendapat bahwa orang tidak dapat menemukan suatu metodologi atau
memerinci suatu strategi untuk mencapai pengetahuan Islami. Menurutnya, satu-
satunya harapan umat Islam untuk menghasilkan Islamisasi adalah memelihara
pemikiran umat Islam.
Pervez Hoodbhoy dalam Islam and Science: Religion Orthodoxy and The
Batle for Rationality,44 ia tidak setuju adanya usaha Islamisasi ilmu pengetahuan,
39 Wan Moh Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas. An Exposition of The Original Concept of Islamization
(Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998). 40 Syed Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka, 1981). 41 Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan parameter-parameter Saince
Islam, (Terj) AE Priyono (Surabaya: Risalah Gusti, 1998). 42 Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and
Workplan (Herndon : IIIT, 1982). 43 Fazlur Rahman, Islamization of Knowledge: A Response. “American Journal
of Islamic Social Science, (1998). 44 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science; Religion Orthodoxy and The Battle for
Rationality (London an New Jersey: Zed Books ltd, 1991)
17
bahkan menolak adanya sains dalam Islam dengan mengemukakan tiga alasan;
Pertama, semua usaha yang pernah dilakukan untuk menciptakan sains Islam
telah gagal. Kedua, menjelaskan sekumpulan prinsip-prinsp moral dan teologi
betapapun tingginya tidak memungkinkan seseorang menciptakan sains baru dan
permulaan. Ketiga, belum pernah ada dan sampai kini belum ada definisi sains
Islam yang dapat diterima semua kaum muslim.
Azyumardi Azra dalam Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam,45 Ia
mengatakan telah berhasil membuat klasifikasi cendekiawan muslim dalam
merespon terhadap persoalan integrasi ilmu. Menurutnya, bahwa integrasi ilmu
adalah memadukan ilmu umum dengan ilmu agama. Dalam Esei-esei Intelektual
Muslim dan Pendidikan Islam,46 ia menyatakan bahwa integrasi ilmu perlu
dilakukan dalam rangka usaha untuk mencetak biru pendidikan Islam di masa
depan. Secara implementatif integrasi ilmu dilakukan dengan cara
mengintegrasikan ajaran-ajaran, ideologi dan pandangan Islam secara
menyeluruh ke dalam mata pelajaran di sekolah.
Sementara Zainal Abidin Bagir ed. Dalam Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi dan Aksi,47 menegaskan bahwa integrasi yang hanya cenderung
mencocok-cocokan ayat-ayat al-Qur’ān secara dangkal dengan temuan-temuan
ilmiah, menimbulkan kesan adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh
sains. Namun, ia menganggap penting adanya integrasi konstruktif dimana
integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu
tersebut terpisah. Hal ini dilakukan untuk menghindari dampat negatif yang
mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri.
Mulyadhi Kartanegara tentang Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi
Holistik. Tulisan ini banyak mendeskripsikan tentang Tauḥid sebagai basis dari
integrasi ilmu dan juga upaya-upaya mengintegralkan antara ilmu agama dan
ilmu umum.48
Armai Arief tentang Melacak Akar Timbulnya Dikotomi Ilmu dalam
Pendidikan Islam. Dalam penjelajahan intelektual tersebut, Armai Arief
memberikan konklusi bahwa terdapat mainstream yang jelas sepanjang pada
abad klasik dan pertengahan bahwa ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non agama
diberikan tidak pernah dalam satu institusi yang sama, masing-masing ilmu
tersebut tumbuh subur di lahannya sendiri-sendiri. Dengan demikian, kesimpulan
45 Azyumardi Azra, Reintegrasi ilmu-ilmu dalam Islam “Zainal Abidin
Bagir,ed.” Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005). 46 Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 1999). 47 Zainal Abidin Bagir,ed, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi
(Bandung: Mizan, 2005). 48 Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Arasy Mizan, 2005).
18
Armai Arief semenjak dahulu sejak masa pertumbuhannya, pendidikan dalam
dunia Islam telah mempraktekkan dualisme dalam sistem pendidikannya.49
Holmes Rolston dalam Science and Religion,50 ia lebih fokus pada
integrasi ilmu dengan menegaskan bahwa agama mesti diintegrasikan atau
dipadukan dengan wilayah-wilayah kehidupan manusia. Hanya dengan inilah
agama dapat bermakna dan menjadi rahmat bagi pemeluknya, bagi umat manusia
atau bahkan keseluruhan alam semesta. Ketika membicarakan ilmu dan agama,
“Integrasi” tampaknya menjadi kata kunci untuk mengungkapkan sikap yang
dianggap tepat, khususnya dari sudut pandang umat beragama. Rolston,
menambahkan bahwa hidup yang “berorientasi pada makna” merupakan suatu
bentuk agama, sementara ilmu sejak dari “logika Newtonian” memang lebih
merasa nyaman dengan membahas efek-efek dan sebab material.
Taha Jabir al-Alwani dalam Islamic Thought an Approach Reform,51 ia
mengemukakan pentingnya gerakan Islamisasi pengetahuan sebagai salah satu
fondasi penting dari pembaharuan agama Islam dalam rangka membangun
kembali ummah dari suatu bangsa dan mengusahakan terwujudnya masyarakan
Islam kontemporer.
Tulisan-tulisan atau penelitian-penelitian tersebut secara umum
membahas tentang biografis dan uraian yang deskriptif-analisis mengenai hasil
pemikiran Mullā Sadrā dalam filsafat. Penelitian tersebut juga membahas sejarah
dan praktek dikotomi yang sudah lama menjadi akar problematika pendidikan,
sehingga harus ada solusi di dalam mengentaskan problema tesebut, yakni
dengan cara mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum.
Adapun perbedaannya dengan tesis yang diajukan penulis disini adalah,
bahwa salah satu upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum
dengan cara mencari sumber integrasi dan tipologinya. Dalam tesis ini penulis
mengemukakan ilmuan asal persia yang dijadikan objek penelitian yaitu Mullā
Sadrā. Penelitian ini merumuskan sesuatu yang belum tertuang dalam karya
terdahulu yang menitik beratkan pemikiran Mullā Sadrā dalam mengintegrasikan
ilmu pengetahuan. Pemikiran Mullā Sadrā dalam integrasi ilmu masih sedikit
sekali, sehingga penulis ingin meneliti filsuf tersebut guna mendapatkan konsep
yang integral dalam pendidikan. konsep integrasi ilmu dan agama dalam
perspektif Filsafat Mullā Sadrā merupakan filosofis yang dibangun di atas
landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Meskipun demikian, tulisan-
tulisan terdahulu tersebut, bisa menjadi sumber dan bahan rujukan penulis dalam
penelitian tesis ini.
49 Armai Arief, Melacak Akar Timbulnya Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan
Islam, dalam “Jauhar”: Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual, Vol. 3 No. 2. Desember
(2002) : 221. 50 Holmes Rolston, Science and Religion (New York: A. Critical Survey, With
a New Introduction, 2006). 51 Taha Jabir al-Alwani, Islamic Thought an Approach Reform (London-
Washington: The International Institute of Islamic Thought, 2006).
19
E. Metodologi Penelitian
Melihat permasalahan yang ada dan juga mempertimbangkan
pembahasan ini cenderung bersifat teoritis, maka pengumpulan data-data
dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian Library Research52 melalui
pendekatan Historis53, Sosiologis54 dan Filosofis55 yang bersifat deskriptif dengan
menelaah dan membaca buku-buku Mullā Sadrā sendiri sebagai data primer dan
buku-buku atau komentar-komentar terhadap Mullā Sadrā sebagai data sekunder.
Data-data yang dihimpun dianalisis dengan metode kualitatif dengan pola fikir
deduktif dan induktif.
Metode penelitian yang digunakan dengan beberapa pendekatan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Obyek Penelitian
Penelitian tentang pemikiran seorang tokoh, berarti melakukan
penelusuran terhadap data yang berbentuk konsep-konsep yang terformulasi
dalam berbagai tulisan, yakni menelaah karya Mullā Sadrā dan tulisan-tulisan ini
sebagai sumber rujukan, terutama pemikirannya yang berkaitan dengan
pendidikan, serta berupaya melihat penerapan pemikiran pendidikan Mullā Sadrā
tersebut.
Sementara itu, untuk melihat pemikiran karya Mullā Sadrā tentang solusi
problema pendidikan Islam secara konkret dan menyeluruh, maka penulis
mengupayakan pengumpulan semua karya-karya Mullā Sadrā, baik dalam bentuk
buku, artikel maupun makalah, setelah itu dilakukan telaah dan klasifikasi, mana
yang membahas atau yang ada kaitannya dengan tema pendidikan Islam.
52 Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang
dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan
maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu. Lihat M. Iqbal Hasan, Pokok-
pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002),
11. 53 Pendekatan Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas
berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan
pelaku dari peristiwa tersebut. Lihat Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1987), 105. 54 Pendekatan Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam
masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang mneguasai hidupnya itu.
Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh
serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya,
keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap
persekutuan hidup manusia. Lihat Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat
Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1983), Cet. IX, 1. 55 Pendekatan Filosofis adalah pendekatan yang pada intinya berupaya
menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek
formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik
yang bersifat lahiriah. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011), 42.
20
2. Sumber Data
Dari survei kepustakaan tentang karya-karya Mullā Sadrā yang berkaitan
dengan paradigma pemikiran solusi problema pendidikan, khususnya mengenai
integrasi keilmuan dan latar belakangnya, sumber utama yang digunakan adalah :
Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfar al-ʽAqliyah al-Arbaʽah.56 Buku ini ditulis
dalam bahasa Arab dan diedit oleh al-Allamah Thabathaba’i dengan edisi baru.
Penetapan karya ini sebagai rujukan utama atau data primer, didasarkan pada
pertimbangan bahwa buku ini merupakan magnum opus Mullā Sadrā sehingga
semua karya lainnya merujuk kepada buku ini.57 Penulis juga mencantumkan
beberapa informasi tambahan dari buku Sadr al-Dīn Shīrāzī karya Hossein Nasr,
buku filsafat Mullā Sadrā karya Fazlur Rahman, buku Filsafat Wujud Mullā
Sadrā karya Syaifan Nur dan buku Pengantar Pemikir Sadrā Filsafat Hikmah
karya Murtadha Muthahhari.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data-data primer dalam penelitian ini dikumpulkan dari karya Mullā
Sadrā yang membahas tentang integrasi keilmuan dalam dunia pendidikan.
Sedangkan data sekundernya dihimpun dari karya Mullā Sadrā yang membahas
bidang ilmu lainnya dan dari beberapa karya orang lain yang membahas tentang
pendidikan untuk melengkapi penelitian ini. Oleh sebab itu penelitian ini
sepenuhnya merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu suatu aktivitas
yang terfokus kepada data-data dari bahan-bahan tertulis baik data-data tersebut
berada di perpustakaan atau tempat lain.
Setelah ditelusuri dari berbagai literatur yang merupakan data-data
primer dan sekunder tersebut, penulis kemudian berupaya melakukan
kategorisasi dalam pemilahan dari data yang diperoleh kemudian penulis lakukan
interpretasi, diskusi, analisis kritis filosofis dan pengujian akan keabsahannya.
Selanjutnya penulis berusaha mendeskripsikannya secara detail dan argumentatif
dari data-data tersebut seraya berusaha memahami kausalitas pemikiran Mullā
Sadrā dengan merujuk dari beberapa hal yang melatar belakanginya, seperti latar
belakang keluarga, pendidikan aktivitas dan lain sebagainya.
4. Teknik Analisa Data
Sebagai suatu analisis filosofis terhadap pemikiran seorang tokoh dalam
waktu tertentu di masa lalu, tulisan ini sengaja menggunakan pendekatan sejarah
56 Kata Asfār, sebagai bentuk plural dari Safar berarti perjalanan, yaitu
perjalanan rohani manusia, yang disebut Mullā Sadrā dengan Salīk. Empat perjalanan itu
ialah; dari makhlūq menuju al-ḥaqq (min al-khalq ila al-ḥaqq), dari al-ḥaqq menuju al-
ḥaqq dengan al-ḥaqq (min al-ḥaqq ila al-ḥaqq bi al-ḥaqq), dari al-ḥaqq kepada makhlūq
bersama al-ḥaqq (min al-ḥaqq ila al-ḥaqq ma’a al-ḥaqq), dan dari makhlūq menuju
makhlūq dengan al-ḥaqq (min al-khalq ila al-khalq bi al-ḥaqq). Lihat Mullā Sadrā, Al-
Hikmat Al-Muta’āliyah fi’l Asfar Al-‘Aqliyah Al-Arba’ah (Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāts
Al’Arabī, 1981), 14-15. 57 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Sadrā (Albany: State University of
New York Press, 1975), 16-17.
21
(Historical Approach), sebab salah satu jenis penelitian sejarah58 itu adalah
penelitian biografis, yaitu penelitin terhadap kehidupan seseorang dalam
hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat, pengaruh pemikiran dan idenya
serta pembentukan watak tokoh tersebut selama hayatnya.59 Sehingga dimana
pun seorang pemikir berada, ia tidak akan melepaskan diri dari bentukan sejarah
yang mengitarinya.60
Dalam menganalisis data digunakan analisis isi (content analysis)61.
Metode ini digunakan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam
pemikiran-pemikiran Mullā Sadrā. Berdasarkan isi yang terkandung dalam
pemikiran Mullā Sadrā tersebut kemudian dilakukan pengelompokkan dengan
tahapan identifikasi, klasifikasi, kategorisasi, baru dilakukan interpretasi.
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan tesis ini sistematis dan terarah sehingga pada tiap bab-
nya memiliki relevansi yang kuat, maka penulis mengklasifikasikan tulisan ini
kedalam enam Bab, yang terbagi menjadi; Satu bab pendahuluan, Satu bab kajian
teori dan perdebatan akademik, Tiga bab pembahasan dan Satu bab penutup
beserta rinciannya.
Bab I merupakan pendahuluan yang memaparkan landasan umum
penelitian ini, yang terdiri dari; latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penelitian
yang terdahulu yang relevan, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II mengekspresikan tentang integrasi ilmu agama dan ilmu umum
dalam lintas sejarah pendidikan. Pada bab ini dituliskan tentang integrasi dan
dikotomi pendidikan, integrasi ilmu agama dan ilmu umum ditinjau dari
Normatif Teologis, Historis, Filosofis dan diuraikan tentang tipologi integrasi
keilmuan serta dijelaskan tentang adanya perdebatan akademik antara integrasi
ilmu dengan dikotomi ilmu.
Bab III deskripsi wacana reintegrasi ilmu dalam rekonstruksi Holistik
Mullā Sadrā. Pada Bab ini akan dijelaskan tentang biografi mullā sadrā, latar
belakang corak pemikiran mullā sadrā dan Tauḥīd: prinsip utama integrasi ilmu.
58 Ilmu penelitian modern membagi penelitian kepada lima macam, yaitu
penelitian sejarah, penelitian deskripsi, penelitian eksprimental, penelitian grounded
research dan penelitian tindakan. Salah satu ciri yang menonjol dari penelitian sejarah
adalah ia merupakan penyelidikan kritis mengenai pemikiran yang berkembang di zaman
lampau dan menggunakan sumber primer. Lihat Muhammad Nazir, Metode Penelitian
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 56-57. 59 Muhammad Nazir, Metode Penelitian, 62. 60 Mark B. Woodhouse, A Preface to Philosophy (California: Wordworth
Publishing Company, 1984), 3. 61 Analisis isi (content analysis) adalah studi tentang arti verbal. Analisis ini
digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi yang disampaikan dalam bentuk
lambang. Analisis ini dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk, seperti surat
kabar, buku, puisi, lagu, cerita rakyat, lukisan pidato, peraturan, undang-undang, musik,
teater. Lihat M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya, 88.
22
Bab IV difungsikan untuk kelanjutan dari pembahasan pada bab tiga,
yang merupakan penjabaran dari pemikiran mullā sadrā tentang integrasi
keilmuan. Pada bab ini akan diuraikan tentang hubungan ilmu agama dan ilmu
umum dalam perspektif mullā sadrā, yang mengkaji dari sudut; Pertama,
Ontologi (Tataran Obyek Ilmu) yang meliputi Wahḏat al-Wujūd, Aṣālat al-
Wujūd, Tashkīk al-Wujūd. Kedua, Epistemologi (Tataran Cara Memperoleh
Ilmu) dan Ketiga, Aksiologi (Tataran Manfaat Ilmu).
Bab V mengelaborasi hasil pemikiran Mullā Sadrā yang dituangkan
dalam integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam konteks pendidikan nasional:
sebuah tawaran membangun pendidikan integratif. Pada bab ini akan membahas
tentang kerangka pendidikan holistik, Kurikulum berbasis integrasi, integrasi
materi pendidikan agama Islam (PAI) dengan materi pendidikan umum.
Bab VI Penutup. Pada bab ini dikemukakan kesimpulan sebagai jawaban
dari tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini, serta saran-saran yang
relevan, antara lain perlunya membangun komitmen untuk menyelamatkan umat
manusia melalui reintegrasi ilmu agama dan ilmu umum. Tesis ini juga
dilengkapi dengan daftar pustaka sebagai bahan bagi para pembaca untuk
melakukan pengecekan dan pendalaman lebih lanjut. Sedangkan teknik penulisan
tesis ini mengunakan teknik penulisan ilmiah yang ditandai oleh adanya isi yang
didukung oleh sumber rujukan yang otoritatif dan valid serta mengandung
analisis yang objektif, kritis dan inovatif, bahasa yang lurus, datar dan memakai
kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
23
BAB II
INTEGRASI ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM
DALAM LINTAS SEJARAH PENDIDIKAN
Dalam rangka mencari landasan teoritis untuk mengkaji persoalan yang
terkait dengan integrasi keilmuan, Pada bab ini akan dikemukakan perdebatan
teoritis tentang integrasi dan dikotomi keilmuan dalam ranah pendidikan
dikalangan intelektual Muslim dan Barat.62 Pemetaan perdebatan teoritis penting
untuk memudahkan penulis di dalam memposisikan kajian dalam tesis ini.
Dengan demikian, dalam bab ini akan dipaparkan tentang; integrasi dan dikotomi
pendidikan, integrasi ilmu agama dan ilmu umum ditinjau dari normatif teologis
dan filosofis, serta ditutup dengan perdebatan akademik antara integrasi ilmu
versus dikotomi ilmu.
A. Integrasi dan Dikotomi Pendidikan
Dalam Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, kata integrasi
memiliki pengertian penyatuan hingga menjadi kesatuan yg utuh atau bulat.63
Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration” yang berarti kesempurnaan
atau keseluruhan. yaitu proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling
berbeda. Ide pengintegrasian ilmu dikembangkan pertama kali oleh Muhammad
Natsir. Beliau melihat bahwa mereka yang hanya mempelajari ilmu agama dan
yang hanya mempelajari ilmu dunia sama-sama jauh dari agamanya. Sebab di
dalam al-Qur’ān surat Al-Qashash ayat 77,64 Allah memerintahkan kita agar
hidup seimbang. Dengan demikian Integrasi adalah keterpaduan antara nilai-nilai
agama (dalam hal ini Islam), dengan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Sedangkan kata dikotomi diambil dari kata dichotomy yang berarti
adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.65 Secara
leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikotomi mempunyai pengertian
62 Perdebatan Islam dengan Barat yang sekuler dimana Barat yang sekuler hanya
memiliki landasan empiris dan rasional melalui akal dalam menangkap realitas,
sementara epistemolgi Islam tidak hanya memiliki landasan pada kekuatan empiris
(tajribī) dan rasional (burhānī) semata, melainkan juga pada intuisi (ʽirfānī). Barat
sekuler hanya mengakui sumber ilmu pengetahuan itu didapati melaui metode empiris
dan rasional saja, sementara Islam mengakui bahwa sumber ilmu pengetahuan didapati
tidak hanya melaui metode empiris dan rasional saja, melainkan juga melaui intuisi. Lihat
Ruslan dalam Tesis yang berjudul “Integrasi Agama dalam Pelajaran Sains (Studi Kasus
di MAN 4 Model Jakarta)”, (Jakarta: SPS UIN, 2010), 23. 63 Menuk Hardaniwati dkk, Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan Pertama (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2003), 251-252. 64 Surat Al-Qashash : 77. Al-Qur’ān Digital Versi 2.0
نيا ار اآلخرة وال تنس نصيبك من الد وابتغ فيام آتاك اهلل الد
65 John M. Echols dan Hassan Shadily, “dichotomy”, Kamus Inggris-Indonesia
(Jakarta: PT. Gramedia Utama, 1992), 180.
24
sebagai pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan.66 Pius A.
Partanto dan M. Dahlan al-Barry mengartikan dikotomi sebagai pembagian
dalam dua bagian yang saling bertentangan.67 Sedangkan Mujammil Qomar
mengartikan dikotomi sebagai pembagian atas dua konsep yang saling
bertentangan68 dan Jamaladdin Idris seperti yang dikutip oleh Yuldelasharmi
mengartikan dikotomi sebagai pemisah secara teliti dan jelas dari suatu jenis
menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak
dapat dimasukkan ke dalam yang satunya lagi dan sebaliknya.69 Bagi al-Faruqi,
dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.70
Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu
dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik
lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia
pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split
personality).71 Dengan demikian, segala hal yang membagi sesuatu menjadi dua
kelompok yang berbeda, bahkan saling bertentangan antara kelompok tersebut
adalah dikotomi. Berarti, pengertian dikotomi ilmu adalah membedakan,
memisahkan ilmu menjadi dua kelompok atau dua bagian yang saling berbeda
dan bertentangan. Istilah dikotomi dalam tulisan ini adalah sikap atau paham
yang membedakan, memisahkan dan mempertentangkan antara “ilmu-ilmu
agama” dan “ilmu-ilmu non-agama (ilmu umum)”.
Sedangkan, Perkataan “dualisme” adalah gabungan dua perkataan dalam
bahasa latin yaitu “dualis” atau “duo” dan “ismus” atau “isme”. “Duo” memberi
arti kata dua. Sedangkan “ismus” berfungsi membentuk kata nama bagi satu kata
kerja. Dualisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan. Secara terminologi
dualisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling
bertentangan. Oleh karena itu, dualisme ialah keadaan yang menjadi dua, dan ia
adalah satu sistem atau teori yang berdasarkan kepada dua prinsip yang
menyatakan bahwa ada dua substansi.72
66 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001), 264. 67 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya:
Arkola, 1994), 110. 68 Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional
Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2006), 74. 69 Yuldelasharmi, Dikotomi Ilmu Pengetahuan: Akar Timbulnya Dikotomi Ilmu
dalam Peradaban Islam, dalam Samsul Nizar (Edit), Sejarah Pendidikan Islam:
Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Nabi Muhammad sampai Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2009), 230. 70 Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and
Workplan (Herndon : IIIT, 1982), 37. 71 Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di
Indonesia”, Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta
(Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), 104. 72 Asal dualisme ini pada hakikatnya merupakan doktrin filsafat dan metafisika
yang lahir dari alam pikiran para filosof Barat dalam melihat entitas jiwa dan raga
25
Rene Descartes yang dinobatkan sebagai Bapak filsafat modern adalah
orang pertama yang memformulasikan dualisme epistemologi sains modern.
Baginya yang real itu adalah akal sebagai substansi yang berfikir (substance that
think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance)
sehingga kemudian mengarakterisasikan pada penekanan adanya perbedaan
antara subjek dan yang di objek, yakni antara pengamat dan dunia luar (yang
diamati) sebagai realitas yang hanya dapat diketahui melalui observasi dan
penalaran.73
Selain itu, struktur dualisme74 epistemologi Barat modern telah
melepaskan dirinya dari teologi, yang melepaskan fisika dari metafisika.
Immanuel Kant, filosof Jerman berperan penting dalam menghilangkan aspek
metafisika sebagai sumber epistemologi karena menurutnya tidak dapat dicerna
oleh panca indera. Teologi yang ditinggalkan itu kemudian digantikan oleh
antropologi, sehingga kesimpulannya pun menjadi aneh sebagaimana menurut
Feurbach bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia. Hal ini pun
manusia. Asal usul konsep dulaisme terkandung dalam pandangan hidup tentang alam
(world view), serta nilai-nilai yang membentuk budaya dan peradaban Barat.Gagasan
tentang dualisme sebenarnya dapat ditelusuri sejak zaman Plato dan Aristoteles yang
memiliki pandangan berhubungan dengan eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan
dan kebijakan.Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa “kecerdasan” seseorang
merupakan bagian dari pikiran atau jiwa yang tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan
dengan fisik.Jadi dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, fenomena
mental adalah entitas non-fisik dan raga adalah fisik.Oleh karena itu, faham dulaisme ini
melihat fakta secara mendua.Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis
terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain. Dualisme yang
dikenal secara umum sampai hari ini diterapkan oleh René Descartes (1641), yang
berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik. Descartes adalah yang pertama kali
memodifikasi dulaisme dan mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan
membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Baginya yang riil itu adalah
akal sebagai substansi yang berfikir (substance that think) dan materi sebagai substansi
yang menempati ruang(extendedsubstance). Dengan demikian memang secara ideologis
diciptakan adanya dulaisme pendidikan, yaitu sekolah umum yang memperoleh sokongan
pemerintah dan menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional dan
madrasah, pondok pesantren, sekolah yang kurang mendapat perhatian dan menjadi
tanggung jawab Kementerian Agama. M. Hasyim Mustamin Akar Historis Dualisme
Dalam Sistem Pendidikan di Indonesia, http://makalahmajannaii./2012/12/akar-historis-
dualisme-dalam-sistem.html, di unduh pada tanggal, 08 Januari 2014. 73 John Losee, A Historical Introduction to The Philosophy of Science (Oxford
University Press, New York: 2001), 63-68. 74 Pengertian dualisme merupakan pandangan filosofis yang menegaskan
eksistensi dari dua bidang (dunia) yang terpisah, tidak dapat direduksi, unik.Contoh:
adikodrati/kodrati, Allah/Alam semesta, Roh/Materi, Jiiwa/Badan, Dunia yang
kelihatan/Dunia yang tidak kelihhatan, Dunia inderawi/Dunia intelektual, Substansi yang
berpikir/Substansi Material, Realitas aktual/Realitas kemungkinan, Dunia
noumenal/Dunia fenomenal, Kekuatan kebaikan/Kekuatan kejahatan, Alam semesta
dapat dijelaskan dengan kedua bidang (dunia) itu. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat
(Jakarta: Gramedia, 1976), 174.
26
dilanjutkan oleh Nietzche yang menganggap Tuhan merupakan hasil khayalan
dalam jiwa dan pikiran manusia. Oleh karena itu sains di Barat adalah jauh dari
nilai ketuhanan (Godless) atau atheis. Para cendikiawan Barat seperti halnya Karl
Marx, Charles R. Darwin, Auguste Comte, Emil Durkheim, Herbert Spencer,
Sigmund Frued, Friederich Nietzche bukanlah tokoh teolog melainkan sebagai
tokoh atheis. Pada akhirnya epistemologi mereka mereka tidak mengandung
teologi.
Hal ini tentunya sangatlah bertolak belakang dengan tokoh ulama dalam
Islam yang ilmunya justru semakin mendekatkan dirinya dengan Tuhannya.
Dualisme epistemologi Barat modern dengan pendekatan yang dikotomis,
akhirnya berimplikasi pada Godless, confusion, meanigless. Dengan pemaknaan
dikotomi tersebut, maka dikotomi pendidikan adalah dualisme sistem pendidikan
antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan
kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada
dataran pemilahan tetapi masuk wilayah pemisahan. Sistem pendidikan yang
dikotomik pada pendidikan akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan
akan menafikan peradaban Islam yang kaffāh (menyeluruh).75
Istilah lain dari dikotomi ilmu yang lebih menukik pada akar ilmu adalah
pandangan dari A. Malik Fadjar, ia mengistilahkan dikotomi ini dengan hellenis
untuk ilmu umum atau ilmu modern dan semitis untuk ilmu agama.76 Istilah lain
yang diungkapkan oleh Harun Nasution bahwa dikotomi merupakan sikap yang
memisahkan terhadap ilmu ini dengan “dualisme ilmu”. Dalam dualisme, unsur-
unsur yang paling mendasar dari setiap realitas itu cenderung dipertentangkan,
namun tidak saling menafikan antara keduanya, misalnya kejahatan dan
kebaikan, Tuhan dan alam semesta, ruhani dan jasmani, jiwa dan badan dan lain
sebagainya.77 Akan tetapi, jika istilah ilmu itu hanya sekedar membedakan atau
mengklasifikasikan ilmu menjadi “ilmu agama” dan “ilmu non agama”,
sebenarnya tidak menjadi masalah selama tidak berlebihan, apalagi sampai
melakukan diskriminasi terhadap salah satu diantara keduanya.78
75 M. Rusydi, ia menulis Artikel, “Wacana Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan
Islam dan Pengaruhnya,” Jurnal: Al-Banjari, Vol.5, No.9 (2006) : 24. 76 Gagasan Hellenis berasal dari Yunani klasik yang ciri menonjolnya
memberikan porsi yang amat besar terhadap otoritas akal, mengutamakan sikap rasional
serta lebih menyukai ilmu-ilmu sekuler, sedangkan gagasan Semitis mewarnai alam
pikiran kaum agamawan, terutama agama Yahudi dan Nasrani yang mendahului Islam,
dengan ciri memberikan porsi yang amat besar kepada otoritas wahyu, sikap patuh
terhadap dogma serta berorientasi kepada ilmu-ilmu keagamaan. Lihat A. Malik Fadjar,
Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999),
99-100. 77 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution, Edit.: Saiful Muzani (Bandung: Mizan, 1995), 40. 78 Dengan demikian, konseptual-teoritis dalam diskursus ilmu ini ditandai
dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan
bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan akhirat. Terjadinya diskursus dikotomi
Islamic knowledge dan non Islamic knowledge mengakibatkan ilmu-ilmu ʽaqliyah yang
27
Mulyadhi Kartanegara menilai bahwa dikotomi ilmu ke dalam ilmu
agama dan non-agama sebenarnya bukan hal yang baru. Islam telah mempunyai
tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam, tetapi dikotomi tersebut tidak
menimbulkan terlalu banyak problem dalam sistem pendidikan Islam, hingga
sistem pendidikan sekuler barat diperkenalkan ke dunia Islam melalui
imperialisme. Problematikanya adalah ketika paradigma dikotomi ilmu menjadi
bagian dari sudut pandang umat Islam yang mengeliminir salah satu ilmu dengan
mengklasifikasikan antara high education dan low education atau suprioritas
ilmu dan inferior ilmu.79
Konsekuensinya adalah munculnya problematika dalam dunia
pendidikan Islam khususnya pendidikan tinggi Islam yang sebagian besar masih
mengikuti platform keilmuan klasik yang didominasi ʽulamā’ al-shar’i.80
Memasuki periode modern, tradisi itu mengalami kesenjangan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah sangat kuat
mempengaruhi peradaban umat manusia dewasa ini. Implikasinya adalah
kesenjangan itu telah menghadapkan dunia pendidikan tinggi Islam dalam tiga
situasi yang buruk; pertama, dikotomi yang berkepanjangan antara ilmu agama
dan ilmu umum, kedua keterasingan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dari
realitas kemodernan, ketiga menjauhnya kemajuan ilmu pengetahuan dari nilai-
nilai agama.81 Implikasi lain yang bisa muncul dari dikotomi ilmu adalah
timbulnya kesenjangan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Para
pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber Ilahi dalam
bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber non-skriptual
sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran sejati. Di pihak lain,
menjadi pilar bagi sains dan teknologi menjadi pudar, bahkan lenyap dari tradisi
keilmuan dan pendidikan Islam. Pada saat yang sama, ilmu-ilmu ʽaqliyah tadi mengalami
transmisi ke dunia Barat. Akhirnya, umat Islampun menjadi terperangah dengan
supremacy knowledge yang dikuasai Barat dan mengalami ketergantungan kepada
mereka dalam hampir semua aspek kehidupan. Lihat Baharuddin, Umiarso, Sri Minarti,
Dikotomi Pendidikan Islam; Historisitas dan Implikasi pada Masyarakat Islam
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 3-4. 79 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Arasy Mizan, 2005), 19. 80 Sedangkan Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam melihat pendidikan tinggi Islam
sangat menukik, ia mengatakan bahwa sistem pendidikan tinggi modern yang kini
berkembang di seluruh dunia lebih merupakan pabrik doktor yang kemudian menjadi
tukang-tukang tingkat tinggi, bukan melahirkan homo sapiens. Bangsa-bangsa muslim
pun terjebak dan terpasung dalam arus sekuler ini dalam penyelenggaraan pendidikan
tingginya. Kita belum mampu menampilkan corak pendidikan alternatif terhadap arus
besar high learning yang dominan dalam peradaban sekuler sekarang ini. Prinsip
ekonomi yang menjadikan pasar sebagai agama baru masih sedang berada di atas angin.
Manusia modern sangat tunduk kepada agama baru ini. Lihat detailnya dalam Ahmad
Syafi’i Ma’arif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate studi Islam melalui
Paradigma Baru yang lebih Efektif, Makalah Seminar Tahun 1997, 7-8. 81 Husni Rahim, Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Malang: UIN
Malang Press, 2004), 51.
28
ilmuan-ilmua sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui
pengamatan inderawi.82 Kondisi yang demikian, menurut Abdul Munir Mulkhan
adalah akibat dari ketidak jelasan sikap dan kerangka keilmuan praktik
pendidikan tersebut.83
Menurut Ikhrom setidaknya ada empat masalah akibat dikotomi ilmu-
ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu agama, diantaranya :
1. Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; dimana selama
ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan
dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fi al-
dīn yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka.
Sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan memasukkan
kurikulum pendidikan meupun ke dalam lembaga tersebut telah
mengubah citra pesantren dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-
dīn tersebut. Akibatnya telah terjadi pergeseran makna bahwa mata
pelajaran agama hanya menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai
tujuan sistem pendidikan modern yang sekuler.
2. Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran
Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan
dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu
umum. Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep dengan konsep
ajaran Islam sendiri yang bersifat integral, dimana Islam mengajarkan
keharusan adanya keseimbangan antara urusan dunia (umum) dengan
urusan akhirat (agama).
3. Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing
sistem: (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh
mempertahankan kediriannya. Meskipun jalan kompromi semisal
modernisasi telah diusahakan, tetapi karena adanya hegemoni sistem
umum atas sistem agama, maka tetap memunculkan dikotomi sistem dan
keilmuan.
4. Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini
disebabkan karena sistem pendidikan Barat yang pada kenyataannya
kurang menghargai nilai-nilai kultural dan moral telah dijadikan tolok
ukur kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan bangsa.84
Dengan demikian, paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagai pemikir muslim terhadap
ancaman yang sangat dominan terhadap pandangan non muslim, khususnya
pandangan ilmuan Barat, sehingga umat Islam harus menyelamatkan identitas
82 Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Arasy Mizan, 2005), 22-23. 83 Abdul Munir Mulkhan, Membangun Tradisi Ilmu Pesantren, dalam Umiarso
dan Nur Zazin, Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan: Menjawab Problematika
Kontemporer Manajemen Mutu Pesantren (Semarang: RASail, 2010), viii. 84 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam (Jakarta: CRSD PRESS, 2005),
131-132.
29
dan otoritas ajaran agamanya. Integrasi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-
ilmu umum berarti usaha mengislamkan atau melakukan purifikasi (penyucian)
terhadap ilmu pengetahuan produk Barat yang selama ini dikembangkan dan
dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar
diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak “khas Islami”. Pengetahuan dalam
pandangan Islam, Ilmu merupakan salah satu perantara untuk memantapkan dan
menguatkan iman. Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu
pengetahuan. Albert Einstein mengatakan bahwa “Ilmu tanpa Agama buta, dan
Agama tanpa Ilmu lumpuh (science without religion is blind and religion without
science is lame).85
Selanjutnya, sejarah/historisitas dikotomi ilmu pengetahuan lahir dari
konflik intern Eropa yang notabenenya beragama Kristen pada abad pertengahan,
dimana terdapat subordinasi rasio kepada kepercayaan Kristen86, dimana akal
tidak memiliki peran signifikan dalam ajaran keagamaan bahkan akal sendiri
berusaha untuk ditenggelamkan dan harus tunduk pada kesewenang-wenangan
gereja, dimana dalam Bible sendiri banyak memuat hal-hal yang bertentangan
dengan akal dan ilmu pengetahuan yang gilirannya berseberangan dengan para
ilmuan seperti Galileo Galilei (1546-1642) Nicolas Copernicus (1473-1543) dan
lain sebagainya, maka dari gejolak inilah muncul gerakan-gerakan pemisahan
terhadap agama dan ilmu yang berkembang di barat terbentuk atas dasar fakta
empiris dan bersifat rasional-indrawi dengan menganalisa fenomena lahiriah
(ayat kauniyah) saja tanpa menghiraukan sumbernya yakni Allah SWT, maka
dikotomi itu sendiri lahir dari dari proses sekularisasi Barat akibat kekecewaan
ilmuan terhadap hirarki gereja yang mendukung keberadaan akal.87
Terjadinya pemisahan “ilmu agama” dan “ilmu umum” terjadi pada abad
pertengahan, yakni pada saat umat Islam kurang memperdulikan baca dan
meninggalkan IPTEK. Pada masa itu yang berpengaruh di masyarakat Islam
adalah ulama Fiqh. Salah satu contohnya adalah pada abad pertengahan, tepatnya
pada abad ke-11 M di Madrasah Nizamiyyah terjadi penspesifikasian kurikulum
yang hanya menekankan pada supremasi Fiqh an sich. Semua cabang ilmu
agama yang lain diperkenalkan dalam rangka menompang superioritas dan
penjabaran hukum Islam. Fiqh oriented education adalah ciri yang menonjol
pada masa itu sehingga Madrasah Nizamiyyah benar-benar menjadi model
pendidikan yang dikotomi.88 Di sisi lain, selain ulama Fiqh ada juga ulama yang
85 Jujun S. Suriasumatri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1999), 3. 86 Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekuler-Liberal ? (Ponorogo, Center
for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007), 30. 87 AM Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus (Jakarta: PPA Consultants,
2010), 271-272. 88 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Non dikotomik:
Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Gama Media,
2002), 112.
30
berpengaruh yaitu ulama tarekat, dan keduanya menanamkan paham Taqlīd89 dan
membatasi kajian agama hanya dalam bidang yang sampai sekarang masih
dikenal sebagai ilmu agama seperti tafsīr, Fiqh dan Tauḥīd. Ilmu tersebut
mempunyai pendekatan normatif dan tarekat, tarekat hanyut dalam wirid dan
dzikir dalam rangka mensucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah dengan
menjauhkan kehidupan duniawi.
Dalam konteks historis, Azra memberikan contoh sebagai berikut:
Sebelum kehancuran teologi Mu’tazilah pada masa khalifah al-Ma’mun (198-218
H / 813-833 M), mempelajari ilmu-ilmu umum (kajian-kajian nalar empiris) ada
dalam kurikulum madrasah, tetapi dengan adanya pemakruhan atau bahkan lebih
ironis lagi “Pengharaman“ penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-
ilmu umum yang dicurigai itu dihapuskan dari kurikulum madrasah. Mereka
yang berminat mempelajari ilmu-ilmu umum dan yang mempunyai semangat
scientific inquiry (penyelidikan ilmiah) untuk membuktikan kebenaran ayat-ayat
kauniyah, terpaksa harus belajar sendiri-sendiri atau di bawah tanah, karena
dipandang sebagai ilimu-ilmu subversif yang dapat menggugat kemapanan
doktrin sunni, terutama dalam kalām dan fiqh. Adanya madrasah al-Ṭibb
(Sekolah kedokteran) juga tidak dapat mengembangkan ilmu kedokteran dengan
bebas, karena sering digugat fuqahā, misalnya tidak diperkenankan
menggunakan organ-organ mayat sekalipun dibedah untuk diselidiki. Demikian
pula rumah sakit riset di Baqdad dan Kairo, karena dibayangi legalisme fikih
yang kaku akhirnya berkonsentrasi pada ilmu kedokteran teoritis dan perawatan.
Paparan tersebut menunjukan bahwa dalam realitas sejarah pernah terjadi
disharmonisasi hubungan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (sekuler)
yang mendorong terjadinya dikotomi antara ilmu pendidikan agama dan ilmu
pendidikan umum. Lahirnya dualisme pendidikan tersebut mengakibatkan
terjadinya kemunduran umat Islam dari berbagai bidang, seiring dengan
kemajuan Barat (Eropa) yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan
berusaha menguak misteri alam dan menaklukan lautan dan daratan. Salah satu
faktor lainnya yang menyebabkan kemunculan dikotomi ilmu adalah fanatisme
dalam beragama. Sikap fanatisme dalam beragama dalam kehidupan
89 Taqlīd adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang
digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, ataupun mengetahui tentang keshahihan
hujjah Taqlīd itu sendiri. Taqlīd itu hukumnya haram bagi seorang mujtahid dan wajib
bagi orang yang bukan mujtahid sebagaimana yang dikatakan oleh Imam as-Suyūti.
Dengan demikian, Taqlīd itu tidak hanya terbatas pada awwam saja melainkan orang-
orang alim yang sudah mengetahui dalil-pun masih dalam kategori seorang muqallīd.
Selama belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka tetap wajib ber-Taqlīd, sebab
pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan tidak sampai kepada proses,
metode dan seluk beluk dalam menentukkan suatu hukum. Lihat Muhyiddin
Abdusshomad, Fiqih Tradisionalis; Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-
hari (Surabaya: Pustaka Bayan, 2006), 64.
31
bermasyarakat melahirkan sikap eksklusivisme. Gerakan Islam termasuk dalam
kategori gerakan eksklusif tersebut.90
Menurut Harun Nasution dikotomi terjadi berawal dari masa kemunduran
umat Islam di segala bidang. Sejarah mencatat, setelah kejayaan umat Islam
selama hampir 700 tahun (571-1250) di zaman klasik, maka pada zaman
pertengahan (1250-1800) terjadilah kemunduran secara tajam peradaban Islam
termasuk ilmu pengetahuan. Pada zaman pertengahan itu, pemikiran tidak
berkembang lagi baik dalam bidang agama, sains maupun filsafat akibatnya
timbullah konsep Taqlīd. Zaman itu orang hanya mengikuti saja kepada apa yang
sudah ditentukkan pada zaman klasik. Filsafat-pun hilang karena pemikiran
rasional hilang yang berkembang pemikiran tradisonal dan tarekat yang
berorientasi akhirat. Karenanya soal dunia ditinggalkan termasuk sains. Sains
tidak lagi diajarkan di madrasah-madrasah, yang diajarkan di madrasah hanya
ilmu-ilmu agama seperti tafsir, akidah, akhlaq dan bahasa Arab. Hal ini
berkembang selama 600 tahun lamanya. Kondisi ini diperparah oleh penjajahan
yang melanda dunia Islam. Eropa dalam waktu singkat menguasai timur tengah
dan afrika utara. Untungnya, berbagai kondisi buruk yang menimpa umat Islam
itu segera menyadarkan beberapa ulama yang berfikiran maju, mereka
berpendapat kelemahan umat Islam karena tidak menguasai ilmu pengetahuan
(sains). Dalam pemikiran mereka, Eropa dahulunya masih dalam kegelapan
ketika umat Islam maju di segala bidang. Kini berkat ilmu pengetahuan (sains)
mereka mampu menjadi pemimpin. Harun Nasution menunjuk salah satu sebab
kemunduran umat Islam dalam penguasaan ilmu adalah ditinggalkannya
pemikiran rasional. Maka sejak abad 19, kesadaran bahwa umat Islam dapat
menjadi pelopor dan pemimpin peradaban menguat kembali, mereka segera
merintis pendidikan yang berorientasi kapada sainstik. Namun, banyak ulama
tradisional mengharamkan ilmu pengetahuan yang datang dari Barat. Sejak itu,
terjadi pemilahan bahwa mereka yang ingin belajar ilmu pengetahuan agama ke
lembaga pendidikan tradisional, sedangkan bila mereka ingin belajar ilmu
pengetahuan non agama mereka harus ke lambaga pendidikan yang berorientasi
ke Barat. Sejak itu di seluruh dunia muncullah dikotomi intelektual yang hanya
menguasai ilmu umum dan ulama yang menguasai ilmu agama.91
Implikasinya adalah hilangnya budaya berfikir ilmiah-rasionalistik
dikalangan umat Islam yang bercirikhaskan liberal terbuka, inovatif dan
konstruksif. Hilangnya budaya ini terlebih lagi disebabkan oleh serangan al-
Ghazāli terhadap para filosof dan tokoh rasionalis seperti al-Farabi dan Ibnu Sina
yang dikemukakan dalam kitabnya “Tahāfut al-falāsifah”. Kritik al-Ghazāli ini
menyebabkan pengaruh tradisi serta semangat ilmuan rasional menjadi lenyap
90 Taufiq, dalam Artikel; “Peta Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia: Telaah
Dikotomi Pendidikan,” Jurnal Hunafa, Vol.7, No.2 (2010) : 149. 91 Harun Nasution, Republika-Dialog Jum’at “Dikotomi Ilmu, antara Fardhu Ain
dan Fardhu Kifayah (05 Januari 1996)” dalam buku Proses Perubahan IAIN manjadi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Rekaman Media masa (Ciputat: UIN Jakarta Press,
2002), 26.
32
karenanya.92 Al-Ghazāli bisa dikatakan, tidak mencetuskan ide-ide kesatuan ilmu
pengetahuan. Ia memandang sebagai farḍu ʽain untuk menuntut “ilmu agama”
dan farḍu kifāyah untuk “ilmu-ilmu non agama”93 dan ia juga sibuk dengan
usahanya mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan “asas-asas dikotomi
keilmuan”, dimana ia secara sadar memisahkan antara ilmu-ilmu agama
(religius/ukhrāwi/farḍuʽain) dan ilmu-ilmu umum (intelek/duniawi/farḍu
kifāyah) yang telah menimbulkan ketimpangan yang nyata antara kedua
klasifikasi ilmu tersebut bukan hanya itu saja, ia juga mengeluarkan fatwa-fatwa
yang “membabi buta” hingga mengharamkan filsafat dan mengkafirkan orang
yang mempelajari dan mengajarkannya sebagaimana yang ia tulis dalam buku
“Tahāfut al-falāsifah”.94
Ditangannya, dunia Islam dipenuhi dengan sisi mistis (taṣawuf). Dalam
hal ini, bagi Sayyed Hossein Nasr, serangan al-Ghazāli terhadap filsafat dianggap
telah melumpuhkan filsafat rasionalistik dan menghabisi karier filsafat sebagai
disiplin yang berbeda dari gnosis dan teknologi di seluruh wilayah Arab pada
dunia Islam.95 Walaupun sikap al-Ghazāli tersebut akhirnya mendapatkan
jawaban dan serangan frontal dengan evaluasi kritis-akademis dari Ibn Rushdy
dalam Tahāfut al-Tahāfut (rancu dalam kerancuan). Bahkan kalau dikaji secara
“nakal”, al-Ghazāli merupakan orang yang paling bertanggungjawab terhadap
ambruknya kecemerlangan peradaban Islam, sehingga wajar jika orientalis Philip
K. Hitti mencapnya sebagai orang anti intelektual.96
Menurut hemat penulis, pendikotomian ilmu yang dilakukan al-Ghazāli
tidak bersifat differensial (membedakan/memisahkan), ia hanya sekedar
mengklasifikasikan ilmu menurut substansinya, menilai ilmu mana yang lebih
diprioritaskan tidak serta merta memisahkan keilmuan tersebut. Tidak lah benar
jika dikatakan bahwa memudarnya kecenderungan filsafat dalam dunia Islam
atau lebih ekstrem lagi mundurnya peradaban Islam dikarenakan al-Ghazali, yang
92 Ahmad Baiquni, Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1995), 121. 93 Abu Hāmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihyā
‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dar al-Kutub al-Islāmiyyah, tth), 17. 94 Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah, Armai Arief, Integrasi Ilmu Agama
dan Ilmu Umum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), 148. 95 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: SUNNY Press,
1981), 72.
Sementara itu, pada karyanya yang lain Seyyed Hossein Nasr menyatakan
bahwa sekalipun al-Ghazāli telah menyerang filsafat, namun pengarang Tahāfut al-
Falāsifah ini dianggap sebagai “filosof” juga. Kerena dia mengerti persoalan filsafat dan
melakukan kritik atasnya secara filosofis. Meskipun membatasi ruang gerak rasionalisme
Muslim, al-Ghazāli telah meratakan jalan bagi penyebar doktrin iluminasionis (ishrāqi)
Suhrawardi (w. 587/1191) dan gnosis (ʽirfāni) madhhab Ibnu ‘Arabi (w.638/1240). Lebih
detailnya dalam Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard
University Press, 1968), 55. 96 Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmilan Press Ltd., 1974),
432.
33
ada sebagaimana tercatat dalam sejarah setelah masa al-Ghazāli lahirlah
perkembangan positif dengan munculnya perpaduan antara dunia sufi dan
filsafat, seperti lahirnya tokoh-tokoh Fakhruddin al-Razi, Ibnu Khaldun, Mulla
Sādrā dan lain sebagainya. Al-Ghazāli tetap layak disebut sebagai filsuf muslim,
karangan utamanya yang menyerang filsuf lain, yakni Tahāfut al-falāsifah
bukanlah menghancurkan filsafat, melainkan koreksi terhadap tokoh-tokoh yang
dianggap menyeleweng dalam filsafat Islam. ketika ada peninjauan kembali
secara kritis-realistis, setelah meninggalnya al-Ghazāli dunia intelektualisme
Islam masih mampu melahirkan banyak ilmuan, seperti Ibnu Rushdy (w.1198 M)
yang dianggap sebagai Aristotelian sejati dan Ibnu Khaldun (w. 1406 M) yang
dianggap sebagai bapak sosiolog modern bukan saja bagi umat Islam, tapi juga
bagi dunia internasional.97
Sedangkan dalam dunia pendidikan, dualisme sistem pendidikan telah
membelah wajah pendidikan nasional menjadi dua, pertama, pendidikan umum
yang memiliki karakter khas dan berada di bawah naungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua, pendidikan agama yang juga memiliki
karakter khas dan berada di bawah naungan Kementerian Agama.98 Dua wajah
97 Perlu dicatat juga, bahwa al-Ghazāli lebih menjadi “milik” umat Islam secara
keseluruhan dari pada “hanya” terbatas kalangan sufi, bahkan ia lebih dikenal dalam
ranah ke-Islaman populer dari pada dalam dunia sufi itu sendiri, meskipun karya-karya
sufistiknya jauh lebih dominan dibanding karya-karya filosofis ataupun fiqhnya. Menurut
Azyumardi Azra, al-Ghazāli adalah seorang manusia dengan pengetahuan yang amat luar
biasa, yang menyerap keseluruhan kebudayaan keilmuan pada zamannya. Ia terlibat
dalam pengembangan ilmu teologi, filsafat, astronomi, politik, ekonomi, sejarah, hukum,
sastra, musik, etika, sufisme, kimia, ilmu kedokteran dan biologi. Ia juga mengatakan al-
Ghazāli merupakan tokoh intelektual yang menjadi ikon khazanah keilmuan dalam Islam.
Gelar yang disandangkan kepada al-Ghazāli seperti Hujjat al-Islām, Zain al-Dīn, Sharaf
al-Ummah dan Mujaddid merupakan simbol pengakuan terhadap kebesaran namanya dan
kapasitas keilmuannya sebagai salah seorang cendekiawan muslim ternama dalam
sejarah. Kefenomenalannya tersebut membuat ia dianggap oleh banyak orang sebagai
orang yang mempunyai otoritas keagamaan terbesar setelah Nabi Muhammad SAW.
Bahkan, menurut al-Subki (w. 1370 H), seperti yang dikutip oleh Azyumardi Azra, yang
mengatakan “Seandainya ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad, maka manusianya
adalah al-Ghazāli” Lihat Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer; Wacana,
Aktualitas dan Aktor Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 383-384. 98 Usaha untuk memadukan antara kedua sistem tersebut sebenarnya telah lama
didengungkan, dengan jalan memasukkan kurikulum ilmu pengetahuan modern ke dalam
sistem pendidikan tradisional, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum
sekolah-sekolah modern. Dengan demikian diharapkan sistem pendidikan tradisional
akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah ke sistem pendidikan modern. Dan
inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh para pemikir pembahasan pendidikan Islam,
yang berorientasi pada ajaran Islam yang murni, sebagaimana dipelopori oleh al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan lain-lain. Namun demikian, sampai sekarang dualisme sistem
pendidikan ini masih menjadi permasalahan utama di Negara- negara muslim, termasuk
indonesia. Lihat Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1985),
125.
34
pendidikan inilah yang telah mewarnai pendidikan di Indonesia sejak zaman
kalonial hingga saat ini. Dikotomi sistem pendidikan merupakan kesinambungan
sejarah, baik sejarah umat Islam pada khususnya maupun sejarah bangsa
Indonesia pada umumnya. Di samping itu, wacana dikotomi pendidikan juga
menguat kembali akibat gejolak politik nasional yang bermuatan ideologi
tertentu. Dari zaman sebelum kemerdekaan hingga kini telah terjadi perseteruan
politik antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis religious (Islam).
Kedua kelompok yang bersebrangan visi ini saling berebut pengaruh untuk
menaklukkan dan sekaligus menguasai sistem konstitusi Negara. Akibatnya
masing-masing berusaha melegitimasi ideologi tertentu, malah kalau perlu secara
konfrontatif dengan melakukan proses pelembagaan formal.99 Dari proses inilah
lahir dualisme sistem pendidikan, di satu sisi pendidikan Islam berada di bawah
payung Kementerian Agama, di sisi yang lain pendidikan umum berada di bawah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.100
Munculnya dualisme dalam sistem pendidikan di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh kemunduran dunia Islam yang didominasi oleh pola
pengembangan keilmuan agama yang spesifik-parsialistik dan juga pengaruh
penjajahan Barat. Oleh sebab itu, sistem pendidikan di Indonesia di satu sisi
masih mewarisi pola pendidikan Islam (tradisional) dan di satu sisi mewarisi
sistem penjajah (Barat). Karel A. Steenbrink mendapati bahwa asal usul sistem
pendidikan yang dualistik di Indonesia telah bermula sejak zaman kolonial
Belanda hingga berlanjut ke zaman kemerdekaan. Penolakan politik pemerintah
kolonial penjajah untuk menyesuaikan diri dan menggabungkan sistem
pendidikan agama Islam seperti pondok pesantren yang telah ada sebelumnya
menjadi dasar untuk mengembangkan sekolah-sekolah umum menjadi salah satu
sebab wujudnya sekolah-sekolah yang menggunakan sistem pendidikan kolonial.
Steenbrink dalam tulisannya mengutip pernyataan J.A. Van der Chijs, seorang
inspektur pendidikan pribumi pertama yang dilantik dalam kalangan pegawai
pemerintah kolonial Belanda, yang menyatakan bahwa ”Walaupun saya sangat
setuju kalau sekolah pribumi diselingi dengan kebiasaan pribumi, namun saya
tidak menerimanya kerana kebiasaan tersebut terlalu jelek, sehingga tidak dapat
dipakai dalam sekolah pribumi.” Para sarjana kolonial pada masa itu menyatakan
bahwa tradisi didaktik pendidikan pribumi seperti membaca teks arab dan
penggunaan kaedah hafalan tidak dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
suatu sistem pendidikan umum. 101
99 Muarif, Liberalisasi Pendidikan (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2008),
28. 100 Sebagai pembanding baca Noorhaidi Hasan, “Islamizing Formal Education:
Integrated Islamic School and New Trend in Formal Education Institution in Indonesia”
Artikel Online di S. Rajartanam School of International Studies Singapore, Febsari 2011,
4-5. 101 Hasil penelitian Steenbrink 1986 menunjukan bahwa pendidikan kolonial
tersebut sangat berbeda dengan pendidikan Islam Indonesia yang tradisional, bukan saja
dari segi metode, tetapi lebih khusus dari isi dan tujuanya. Pendidikan yang dikelolah
oleh Kolonial Belanda khusunya berpusat pada pengetahuan umum dan keterampilan
35
Maka didirikanlah sejumlah sekolah Kristen di Minahasa Sulawesi dan
Maluku yang sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah dan manajemennya
dilaksanakan oleh para zending Kristen. Sama seperti lembaga pendidikan Islam,
sekolah ini pada awalnya hampir seratus persen memusatkan diri pada
pendidikan agama Kristen, walaupun guru-guru setempat yang mendapatkan
pendidikan dari lembaga tersebut bertujuan untuk mempersiapkan pemimpin-
pemimpin agama bagi masyarakat setempat, namun bagi penjajah kolonial
sekolah ini lebih mudah penggabungannya untuk memasukkan sekolah tersebut
ke dalam sistem sekolah umum berbanding lembaga pendidikan Islam seperti
pesantren. Hal itu antara lain karena disebabkan murid di sekolah umum sudah
terbiasa dengan tulisan Romawi dibandingkan dengan tulisan dan Bahasa Arab.
Faktor lain juga adalah disebabkan oleh adanya hubungan organisasi yang
bersifat kepentingan ideologis antara pemerintah kolonial dan zending
dibandingkan dengan Islam.102
Sebetulnya, Dalam dunia pendidikan Islam benar-benar tidak terjadi
pendikotomian ilmu-ilmu, khususnya oleh ilmuan Islam pada lima abad pertama
Islam (abad ke-7 sampai 11 M). Pendikotomian ilmu agama dan ilmu umum baru
terjadi di kalangan umat Islam pada akhir abad ke-11 menjelang abad ke-12.
Sebagai akibatnya, terjadilah kemunduran peradaban dan intelektualisme
Islam.103 Pada awal abad ke-20 M., pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua
golongan, yaitu (1) Pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah barat yang
sekuler yang tidak mengenal ajaran agama, dan (2) Pendidikan yang diberikan
oleh pondok Pesantren yang hanya mengenal agama saja atau menurut istilah
Wirjosukarto 1985 pada periode tersebut terdapat dua corak pendidikan, yaitu:
Corak lama yang berpusat di Pondok Pesantren dan corak baru dari perguruan
(sekolah-sekolah) yang didrikan oleh Pemerintah Belanda.104 Demikanlah sejak
permulaan abad 20 pendidikan Islam mulai mengembangkan satu model
pendidikan sendiri yang berbeda dan terpisah dari sistem pendidikan Belanda
maupun sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh departemen pendidikan dan
kebudayaan Indonesia. Dari sini nampak, bahwa sistem pendidikan umum di
duniawi yaitu pendidikan umum. Sedangkan lemabaga pendidkan Islam lebih ditekankan
pada pengetahuan dan keterampilan berguna bagi penghayatan agama. Sementara ilmu
dalam studi Islam terkait erat dengan pembagian kelompok ilmu Islam dalam pengertian
ilmu agama yang diperlawankan dengan kelompok non-Islam atau ilmu umum, ini
berimbas pada kemunculan dikotomi kelembagaan dalam pendidikan Islam. Akibatnya,
muncul pula istilah sekolah-sekolah agama dan sekolah-sekolah umum. Dengan kata lain,
sekolah agama berbasis ilmu-ilmu “Agama” dan sekolah umum berbasis ilmu-ilmu
“Umum”. Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES The
Columbia Encyclopedia (1963) NY & London: Colombia University Press, 1986), 3. 102 Suyatno, dalam Artikel; “Dekonstruksi Pendidikan Islam sebagai sub sistem
Pendidikan Nasional,” Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1 No. 1(2012) : 124. 103 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik:
Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, 121. 104 Taufiq, dalam Artikel; “Peta Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia: Telaah
Dikotomi Pendidikan, 151-152.
36
Indonesia, bukanlah muncul akibat penyesuaiannya dengan sistem pendidikan
Islam tradisional. Sebaliknya sistem pendidikan Islam yang pada akhirnya lama
kelamaan akan menyesuaikan diri dan masuk ke dalam sistem pendidikan
umum.105
Kemunculan dikotomi sekolah umum pada satu sisi dan sekolah
madrasah yang merupakan perwakilan sekolah agama pada sisi lain merupakan
wujud kongkrit dikotomi dalam pendidikan Islam. Kondisi ini lebih parah dengan
dikelurakannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama pada tahun
1975 yang mempersamakan kedudukan sekolah umum dengan madrasah yang
statunya masih sebagai sekolah agama. Pengintegrasian ini menimbulkan
kesalapahaman dalam dunia pendidikan. Pendidikan umum yang bersifat umum
disamakan dengan pendidikan agama Islam dalam arti khusus. Akibatnya,
penunggalan dalam pendidikan Islam makin rancu pada penggunaan istilah bagi
semua jenjang, model, dan bidang studi. Menjadi hal yang klasik dan menjadi
perdebatan umum dalam dikotomi ilmu dalam Islam hal ini dapat kita lihat orang
masih membedakan “ilmu-ilmu agama” (al-ʽulūm al-diniyyah atau religious
sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences). Dikotomi yang mulai
muncul dan mapan sejak abad pertengahan sejarah Islam ternyata masih bertahan
di kalangan para pemikir dan praktisi pendidikan di banyak wilayah dunia
muslim termasuk Indonesia baik pada tingkat konsepsi maupun kelembagaan
pendidikan.106
Berbicara lebih jauh tentang pendikotomian ilmu hal ini sangatlah terkait
dengan masalah dikotomi pendidikan (kelembagaan), sehingga berimbas pada
terjadinya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama dalam arti
kelembagaan yang dimana hal ini merupakan warisan dari zaman kolonial
Belanda, karena anak-anak yang bisa masuk sekolah Belanda sebelum
kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan
saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih madrasah atau pondok
pesantren, yang memang sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial Belanda. Karena tekanan politik pemerintah
kolonial, maka sekolah-sekolah agama Islam memisah diri dan terkontak dalam
kubu tersendiri.Sehingga dengan sendirinya mulailah pendidikan terkotak-kotak
(dikotomi) antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Bila kita menoleh
sejarah pendidikan Islam maka menurut Azyumardi Azra, hal ini bermula dari
historical accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum
105 Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), 150-151. 106 Azyurmardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan
Demokratisasi (Jakarta: Buku Kompas, 2002), Cet. I, 101.
37
(keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio dan logika
mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha.107
Setelah kemerdekaan, dualisme yang diwariskan pemerintah kolonial
Belanda tetap mengakar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pandangan
beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan yang kurang menghargai
sekolah-sekolah Islam mendorong sebagian pemimpin dan pengelola sekolah
tersebut berpegang pada sikap semula : berdiri di kutub yang berbeda dengan
sekolah umum. Oleh karena itu, keikutsertaan Departemen Agama secara historis
dalam menangani sekolah-sekolah agama sangat diperlukan. Sebab kalau tidak
sekolah-sekolah akan berjalan dengan arahnya sendiri-sendiri. Dengan tugas dan
fungsinya dibidang pendidikan, Departemen agama telah mengemban konsep
konvergensi yaitu satu pihak memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum
sekolah agama. Kemudian dengan dikeluarkannya surat keputusan Menteri
Pendidikan, Menteri Agama dan Mendagri tentang peningkatan mutu pendidikan
madrasah juga menjadi usaha untuk menghilangkan dikotomi pendidikan di
Indonesia,walaupun secara kelembagaan berjalan terus. Akan tetapi SKB tiga
menteri ini tidak banyak mengatasi problem dikotomi yang hingga kini tetap
menjadi-jadi.108
Dengan demikian memang secara ideologis diciptakan adanya dualisme
pendidikan, yaitu sekolah umum yang memperoleh sokongan pemerintah dan
menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan
madrasah, pondok pesantren, sekolah yang kurang mendapat perhatian dan
menjadi tanggung Kementerian Agama. Kondisi demikian pada akhirnya
pemerintah terlibat untuk menyelesaikan persoalan ini dengan mengembangkan
beberapa madrasah menjadi madrasah negeri. Alasannya ialah karena situasi dan
kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah. Kalau kekuatan sosio politik pada
awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan
nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam pergumulan politik ideologis
sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah. Kalau para tokoh nasionalis
Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan Islam
(keagamaan) dalam pengelolaan Kementerian Agama merupakan keharusan
sejarah (ḍaruri), maka tidak demikian halnya di waktu sekarang.109
Dari sini dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan nasional Indonesia
dewasa ini menunjukkan adanya kecenderungan, setidaknya untuk
meminimalisir dampak dan implikasi pemikiran dualisme terhadap sistem
107 Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan
Kembali dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. I,
206-208. 108 Pada sekitar pertengahan dekade tahun 1970-an, perhatian pemerintah mulai
ditujukan pada pembinaan madrasah secara lebih sistematis, misalnya, dengan lahirnya
kurikulum 1973 dan SKB 3 Menteri pada 24 Maret 1975 yang mengaskan bahwa
kedudukan madrasah sejajar dengan sekolah formal. Lihat Mahmud Arif, Pendidikan
Islam Transformatif (Yogyakarta: LKIS, 2008), Cet. I, 205. 109 Suyatno, dalam Artikel; “Dekonstruksi Pendidikan Islam sebagai sub sistem
Pendidikan Nasional”, 130.
38
pendidikan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari upaya untuk melalukan integrasi
institusi pendidikan umum dan agama. Segala konsekuensi yang dapat timbul
dari hal tersebut, termasuk mengenai keberlanjutan eksistensi dualisme dalam
pemikiran dan praktek pendidikan Indonesia di tengah-tengah upaya tersebut,
masih menyediakan ruang terbuka bagi perdebatan-perdebatan selanjutnya.
Dikotomi pengetahuan ini muncul bersamaan atau setidak-tidaknya
beriringan dengan masa Renaissance di Barat. Masa Renaissance inilah yang
telah melahirkan sekularisasi (pemisahan urusan dunia dan akhirat) dan dari
sekulerisasi ini lahirlah dikotomi ilmu pengetahuan.110 Lantas, mengapa terjadi
dikotomi ilmu ? Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat dari beberapa
hal.
Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang
bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu,
bahkan anak cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya,
filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh. Epistemologi
merupakan salah satu wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat
ilmu (philosophy of knowledge). Epistemologi membahas tentang apa itu “tahu”,
bagaimana cara mengetahui, untuk apa mengetahui, juga tentang dasar-dasar,
sumber, tujuan dan klasifikasi pengetahuan. dari epistemologi, muncullah
struktur ilmu pengetahuan sampai ke anak cabang.111 Sebagai contoh, ketika
filsafat sebagai induk segala ilmu (mother off all sciences) mengalami
pembidangan dalam struktur ilmu, anggap saja ilmu pendidikan, maka disiplin
ilmu pendidikan pun pecah menjadi cabang ilmu yang makin spesifik: teknolgi
pendidikan, psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan dan seterusnya.
Kemudian, cabang ilmu pendidikan tersebut pecah lagi menjadi anak cabang,
semisal perencanaan pendidikan, perencanaan kurikulum, strategi belajar
mengajr, dan seterusnya. Tak pelak lagi hal ini menyebabkan jarak antar filsafat
sebagai induk menjadi kian jauh dengan anak cabang ilmu.Hal ini menyebabkan
munculnya spesialisasi keilmuan, di mana pelakunya menjadi ahli atau
profesioanl di bidangnya masing-masing.112
Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa
stagnan atau kemunduran sejak Abad Pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang
pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra hal ini
disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini,
dominasi fuqahā dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi
kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong farḍuʽain atau kewajiban
individu, sedangkan ilmu umum termasuk farḍu kifāyah atau kewajiban
110 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional
Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2007), 75.
111 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKIS, 2008),
Cet. I, 205.
112 Abd. Rahman Assegaf, Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) Cet. I, karangan Jasa Ungguh Muliawan, vii-ix.
39
kolektif.113 Akibat faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam
saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) bila dibandingkan dengan umat dan negara lain.
Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang
mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya
problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat
dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam.114 Sehinggga, dalam lembaga
pendidikan Islam tidak terjadi dikotomi ilmu agama dan ilmu umum.
Sebenarnya, asumsi mengenai dikotomik ini, bukanlah monopoli lembaga
pendidikan. Bagaikan sebuah wabah, symptom dikotomi ini menyerang ke
seluruh penjuru kehidupan umat Islam, seperti terjadinya polarisai Sunni-Shi’ah,
bahkan faksi-faksi dalam Sunni sendiri, ekstremitas dan fanatisme mazhab dan
aliran teologi. Adapun dalam pendidikan Islam itu sendiri, masih menghadapi
pola pikir dikotomik, yakni dikotomisme antara urusan duniawi-ukhrawi, akal-
wahyu, iman-ilmu, Allah-manusia-alam dan antara ilmu agama dengan ilmu
umum. Sehinggga mau tidak mau paradigma masyarakat kita sudah terjadi
dikotomi tersebut. Bahkan hal ini diperparah lagi kondisi pendidikan kita yang
dipengaruhi oleh sistem politik, budaya, hukum dan seterusnya yang melanda
umat Islam, sebagai krisis yang dialami pendidikan Islam.
Sedangkan menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua (2) penyebab
pokok terjadinya dikotomi pendidikan dan dunia Islam, sebagai berikut:
1. Imperialisme dan kolonialisme Barat atas dunia Islam
Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang
non-Muslim kepada umat di abad ke-6 dan ke-7 H./ abad ke-12 dan ke13M.,
yakni serbuan tentara Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para
pemimpin Muslim kehilangan akal dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri
sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka mengalami bencana, mereka
mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga identitas
dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk
inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepada sharī’ah. Saat
itu mereka meninggalkan sumber utama kreativitas, yakni “ijtihād”.
Mereka mencanangkan pintu ijtihad tertutup, mereka memperlakukan
sharī’ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur.Mereka
menyatakan bahwa setiap penyimpangan dari sharī’ah adalah inovasi, dan setiap
inovasi tidak disukai dan terkutuk.Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-
sekolah, sharī’ah harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam.
Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia,
113 Azyumardi Azra, Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pndidikan Islam, dalam
Abdul Munir Mulkhan, dkk., Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN
Sunan Kalijaga Yoyakarta dan Pustaka Pelajar, 1998), 87. 114 Abd. Rahman Assegaf, Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif,
x.
40
Balkan, Eropa Tengah dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat
meniadakan tindakan-tindakan konservatif tersebut.115
Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang
ditaklukkan Ottoman di Eropa. Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah
dunia Islam, kecuali Turki karena di sini kekuatan Barat berhasil
diusir.Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik untuk
dijadikan daerah jajahan. Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum
Muslimin sebesar mungkin, dan merekalah yang menyebabkan malaise yang
dialami dunia Islam. Sebagai respon terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang
ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua abad terakhir ini, para pemimpin
muslim di Turki, Mesir dan India mencoba melakukan westernisasi terhadap
umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan secara politik, ekonomi, dan
militer.
2. Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam
Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah
pemimpin.Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk
mewujudkan wawasan Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah
laku.Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat Islam.Setiap Muslim yang sadar
berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan
untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam. Pada waktu yang
bersamaan, seorang faqīh (ahli fiqh adalah imām, mujtahid, qāri, muhaddith,
guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau pengusaha, dan kaum
profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di sekelilingnya
dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan itu. Semua
orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.116 Di kemudian hari,
kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah.Saat keduanya terpisah,
masing-masing kondisinya memburuk. Para pemimpin politik dan pemilik
kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa
berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak memperoleh kearifan mereka.
Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat warga cerdik merasa
asing dan semakin terisolasinya para pemimpin. Untuk mempertahankan posisi
mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin banyak dan
besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari
keterlibatan aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai balasan
mereka dalam mengutuk otoritas politik.
Dalam pengamatan penulis, setelah memahami berbagai literatur ternyata
timbulnya dikotomi tersebut membawa pada kesimpulan bahwa akar munculnya
dikotomi ilmu disebabkan;
115 Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and
Workplan (Hemdon : IIIT, 1982), 40-41. 116 Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and,
40-41.
41
Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang
bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu,
bahkan anak cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya
filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum kian jauh. Proses
Rekontruktivisme tersebut adalah bahwa apa yang dilakukan al-Ghazāli terhadap
filsafat dan apa yang dibantah oleh Ibn Rushdy dan apa yang dipahami masyakat
awam terhadap polemik tersebut sesungguhnya merupakan bagian rekonstruksi
ilmu dan juga apa yang dilakukan oleh Barat dalam merekonstruksi ilmu telah
memperdalam terjal terhadap pemahaman akan dikotomi ilmu pada masyarakat
umumnya.
Kedua, faktor historis perkembangan umat islam ketika mengalami masa
stagnan atau kemunduran sejak Abad pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang
pengaruhnya bahkan masih terasa samapai kini atau meminjam istilah Azra hal
ini disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini,
dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi
kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong farḍu ʽain atau kewajiban
individu, sedangkan ilmu umum termasuk farḍu kifāyah atau kewajiban kolektif.
Akibat faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini
tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila
dibandingkan dengan umat dan Negara lain.
Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang
mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya
problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat
dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
Di saat itulah stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam tampak nyata,
karena tidak padunya berbagai pemikiran dan aksi di dalamnya. Stagnasi
pemikiran di dunia Islam itu terjadi juga karena umat Islam terlena dalam
kelesuan politik dan budaya.117 Mereka cenderung menengok ke belakang ke
romantisme kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan
bahwa rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat
para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para
sarjana Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia
Muslim akan dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa
memberinya arah.118
117 M. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik (Yogyakarta: Ircisod-UMG
Press. 2004), 10-13. 118 Menurut al-Faruqi, sebagai prasyarat untuk menghilangkan dulaisme sistem
pendidikan, yang selanjutnya juga menghilangkan dulaisme kehidupan, demi mencari
solusi dari malise yang dihadapi umat, pengetahuan harus diIslamisasikan, sambil
menghindari perangkap dan kekurangan metodologi tradisional. Islamisasi pengetahuan
itu harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam. Untuk menuang
kembali disiplin-disipilin di bawah kerangka Islam berarti membuat teori, metode,
prinsip, dan tujuan untuk tunduk kepada: keesaan Allah, kesatuan alam semesta, kesatuan
pengetahuan dan kebenaran, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia. Dengan
demikian, tawaran al-Faruqi sebagai solusi problem dikotomi kehidupan umat Islam
42
B. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum ditinjau dari :
1. Tinjauan Normatif Teologis
Tinjauan normatif teologis secara sederhana dapat diartikan sebagai
suatu cara memahami sesuatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini berasal
dari Tuhan sebagaimana terdapat di dalam wahyu yang diturunkan-Nya. Sebagai
sebuah ajaran yang berasal dari Tuhan yang memiliki segala sifat kesempurnaan,
maka dapat diyakini bahwa ajaran tersebut sangat ideal, mutlak benar, absolut,
berlaku sepanjang zaman tidak terbatas. Dengan pentingnya tinjauan normatif
teologis ini, maka ia telah digunakan sebagai salah satu cara untuk melihat
masalah.119
Amin Abdullah120 menawarkan konsep integralisme dan reintegrasi
epistemologi keilmuan untuk dapat memberikan solusi konkret ketegangan-
ketegangan antar sekulerisme ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-
agama yang dipahami secara kaku oleh sebagian kalangan. Untuk memberikan
gambaran yang lebih jelas mengenai konsep tersebut, berikut ini ilustrasi
hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik:
(termasuk dikotomi pendidikan) adalah islamisasi ilmu dalam pendidikan; yakni
pemaduan kedua sistem pendidikan antara Islam klasik dan Barat modern melalui
filterisasi ilmu. Sistem pendidikan Islam yang terdiri dari madrasah-madrasah dasar dan
menengah, juga kuliyah-kuliyah dan jami’ah-jami’ah pada tingkat perguruan tinggi harus
dipadukan dengan sistem sekular dari sekolah-sekolah dan universitas-universitas umum
dengan proses Islamisasi ilmu. Lihat Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge:
General Principles and, 55-59. 119 Dari Survei yang dilakukan para ahli terhadap istilah teologi dihasilkan tiga
kesimpulan. Pertama, teologi mesti berkaitan dengan Tuhan atau transendensi, apakah
dilihat secara mitologis, filosofis atau dogmatif. Kedua, meskipun memiliki banyak
nuansa, doktrin tetap menjadi elemen signifikan dalam memaknai teologi. Ketiga, teologi
sesungguhnya adalah aktivitas yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan
tersebut. Lihat Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta:
LkiS, 1989), cet. 1, 18. 120 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 405.
43
Gambar 1:
Jaring Laba-laba
Dari bagan tersebut Amin Abdullah ingin menunjukkan dua hal.
Pertama, Idealitas yang ingin dicapai dari Teoantroposentris-integralistik, yakni
penyatuan seluruh ilmu yang ada di dunia ini. Kedua, kondisi riil dari aktivitas
keilmuan dari pendidikan agama di Perguruan Tinggi Agama, Khususnya IAIN
dan STAIN. Kenyataannya pendidikan agama hanya terfokus pada lingkaran ke-
1 (al-Qur’ān dan as-Sunnah) dan lingkarang ke-2 (kalām, Falsafah, Taṣawuf,
Hadith, Tārikh, Fiqh, Tafsīr, Lughah) selain itu, pendekatan keilmuannya masih
humaniora klasik. IAIN belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial
humaniora kontemporer seperti tergambar pada lingkaran ke-3 (Antropologi,
Sosiologi, Psikologi, Filsafat dan lain-lain). Akibatnya terdapat jurang yang tidak
terjembatani antara ilmu-ilmu keislaman klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru
yang telah memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora
kontemporer.121
121 Amin Abdullah, Etika Tauhidik sebagai dasar kesatuan epistemologi
keilmuan umum dan agama (dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke arah
Teoantroposentrik-integralistik) dalam Jarot Wahyudi, M. Anas Amin, Mustofa (editor),
Menyatukan kembali imu-ilmu agama dan umum: Upaya mempertemukan Epistemologi
Islam dan Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), 12-13
44
Alur di atas juga menunjukkan bahwa inti keilmuan (hard core) adalah
al-Qur’ān dan as-Sunnah, sedangkan beberapa term yang mengitarinya adalah
kawasan yang disebut sabuk pengaman. Inti adalah sesuatu yang final, tidak
dapat diubah-ubah, sedangkan wilayah yang mengitarinya masih terbuka untuk
terus dilakukan penguatan ataupun pembaruan sesuai dengan perkembangan
pemikiran dan kondisi zaman yang senantiasa menyertainya. Menyimak gambar
di atas, maka dapat dipahami bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan
integralistik begitu luas sekaligus terampil dalam segala sektor perikehidupan,
baik sektor tradisional maupun sektor modern karena dikuasainya salah satu ilmu
dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-
globalisasi. Selain itu, memberikan wawasan pribadi manusia beragama Islam
yang terampil menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem
kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan seterusnya dengan dikuasainya
berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science),
ilmu-ilmu sosial (social science) dan humaniora (humanities) kontemporer. Di
atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan
etika-moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan al-Qur’ān dan as-
Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak
pandangan hidup (weltanschauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam
satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabdikan untuk
kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang
manusia tersebut.122
Sedangkan Azhar Arsyad123 mencoba membuat suatu konsep tentang
integrasi keilmuan dari sudut teologis yang ia sebut dengan “integrasi dan
interkoneksitas sains dan agama”. Integritas dan interkoneksi metaforis akar,
alur, ranting dan buah dan tujuan transendental ilmu pengetahuan yang sifatnya
universal yang bisa terwujud dalam suatu wadah yang namanya universitas atau
sekolah tinggi “ Ilmu Tarbiyah dan keguruan” dan “Ilmu Hukum dan Sharīʽah”
misalnya. sebagaimana kita lihat nanti. Gambaran pohon cemara
mengindikasikan sesuatu yang hidup tidak mati sejuk dipandang karena ia pohon
maka ia makin lama makin tumbuh dan berkembang lalu mengerucut. Makin
lama makin rindang. Pohon ini akan menghasilkan buah, dan buah itulah yang
menjadi nama suatu ilmu yang tentunya akan berbuah lagi dan seterusnya.
Bagian-bagiannya terintegrasi dan berinterkoneksi. Gambaran sel
menggambarkan segi segi interkoneksitas sintetik, sementara cemara
menggambarkan transcendental akhir melalui kerasulan Muhammad menuju
Allah. Dalam ungkapan al-Qur’ān:
نس إال ليعبدون ن واإل وما خلقت ال
122 Suharyanta dan Sutarman, dalam Artikel; “Relevansi Epistemologi Keilmuan
Integratif-Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam,” Jurnal:
Mukaddimah, Vol.18 No. 1 (2012) : 67-68. 123 Azhar Arsyad, dalam Artikel; “Buah Cemara integrasi dan interkoneksitas
sains dan agama,” Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.8 No. 1 (2011) : 11-12.
45
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Al-Dhāriyat : 56).
Hal ini diperkuat lagi oleh pendapat Imam Suprayogo124, Rektor UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang dalam mengintegrasikan ilmu dan Islam
(Agama) mengatakan jika muncul pertanyaan-perntanyaa akademik, yang
pertama dilakukan adalah meninjau kepada al-Qur’ān dan hadith tentang
persoalan tersebut, al-Qur’ān dan hadith bicara apa. Karena al-Qur’ān itu
universal, yang isisnya adalah hal-hal yang pokok (qauliyyah) tidak langsung
bicara teknis, disisi lain bagaimana hasil eksperimen dan observasi penalaran
logis (kauniyyah). Dalam dunia pendidikan Islam al-Qur’ān dan hadith adalah
ayat qauliyyah, sementara ilmu alam, ilmu sosial, humaniora adalah ayat-ayat
kauniyyah. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan atas dasar sumber ayat
qauliyyah dan ayat kauniyyah adalah gambaran sesungguhnya cara berpikir
dunia pendidikan Islam. Hal ini sesungguhnya merupakan model integrasi ilmu
dan Islam (Agama).
124 Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’ān Pergulatan
Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam (Malang: UIN Press, 2004), 51.
46
Gambar 2 :
Pohon Ilmu125
Akar dari pohon ilmu tersebut adalah ilmu-ilmu alat, yakni bahasa Arab,
bahasa Inggris, filsafat, ilmu alam, ilmu sosial. Akar pohon tersebut diharapkan
kuat, artinya bahasa kuat, filsafat kuat, lalu dipakai untuk mengkaji al-Qur’ān
dan hadith, sīrah nabawi, pemikiran Islam dan sebagainya. Sedangkan dahan-
dahannya itu untuk menggambarkan ilmu modern, ilmu ekonomi, ilmu politik,
hukum, peternakan, pertanian, teknologi dan seterusnya.
125 Ilustrasi dari Bapak Imam Suprayogo tentang konsep pohon ilmu “semua
orang tahu, hukum ṣalat jenazah adalah farḍu kifāyah. Dan yang melaksanakan ṣalat
jenazah adalah orang yang sehari-hari ṣalat lima waktu. Karena itu, jika kebetulan ada
orang meninggal, lalu orang-orang melaksanakan ṣalat jenazah. Hal ini bukan berarti
mereka yang ikut ṣalat jenazah terbebas dari ṣalat wajib lima waktu”. Demikianlah yang
dimaksud dengan pohon ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Lihat Saefuddin dkk, On Islamaic Civilization; Menyalakan Kembali Lentera Peradaban
Islam Yang Sempat Padam (Semarang: UNISSULA Press, 2010), 323-324.
47
2. Tinjauan Filosofis
Mengingat pendidikan integratif sangatlah penting dan harapan
kepadanya sangatlah besar, maka yang patut digarisbawahi adalah bahwa
harapan tersebut bukanlah harapan yang utopis. Pendidikan integratif yang
memadukan sains dan nilai-nilai agama memiliki landasan filosofis yang
sangatlah kuat. Bahkan, pendidikan yang integral tersebut juga memiliki
landasan teologisnya dalam agama normative. Dengan begitu, pendidikan yang
integral memiliki dua dasar sekaligus: filosofis dan teologis.126 Dasar filosofis
dapat dilihat dari kenyataan bahwa perjumpaan antara sains dan agama
merupakan keniscyaan yang rasional. Para ilmuan telah banyak menyuarakan
secara filosofis tentang integrasi sains dan agama. Seperti yang dikutip oleh Moh
Dahlan, secara gairs besar, Ian G. Barbour membagi relasi pengetahuan (sains)
dan agama menjadi empat pendekatan:
Pertama, pendekatan konflik, yaitu pendekatan yang saling menafikan
antara agama dan sains. Dengan menggunakan pendekatan ini maka akan
dipahami bahwa sains dan agama merupakan dua hal yang saling bertentangan.
Hubungan ini ditandai dengan adanya dua pandangan yang saling berlawanan
antara ilmu dan agama dalam melihat satu persoalan. Keduanya sama-sama
memiliki argumentasi yang tidak hanya berbeda tapi saling bertentangan bahkan
menafikan satu dengan yang lain. Ian Barbour, seorang fisikawan sekaligus
teolog, mencatat bahwa momentum kuat munculnya konflik antara ilmu dan
agama terjadi pada masa abad pertengahan, manakala otoritas gereja
menjatuhkan hukuman kepada Galileo Galilei pada tahun 1633, Karena
mengajukan teori Copernicus bahwa bumi dan planet-planet berputar
mengelilingi matahari (heliosentris) dan menolak teori Ptolemaeus yang
didukung oleh otoritas ilmiah Aristoteles dan otoritas kitab suci yang menyakini
bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentris). Seseorang tidak dapat
menerima pandangan heliosentris dan geosentris sekaligus atau dengan kata lain
harus memilih salah satu apakah akan menerima kebenaran agama atau
kebenaran ilmu. Jika menerima kebenaran agama akan berimplikasi pada
penolakan objektifitas kebenaran ilmu, dan jika menerima kebenaran ilmu akan
berimplikasi pada pengingkaran kebenaran agama dan dituduh sebagai kafir.127
Galileo melanjutkan pernyataannya bahwa kita harus menerima tafsir harfiah
atas al-kitab jika ada teori ilmiah yang terbukti secara tak terbantahkan.
Pernyataan ini mengandung prasyarat bagi diterimanya kebenaran kitab suci,
yaitu sejauh diterima akal dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Satu pernyataan
yang dianggap melawan otoritas gereja (agama).
Persoalan lain yang menggambarkan hubungan konflik antara ilmu dan
agama adalah masalah teori evolusi Darwin yang muncul pada abad ke-19.
Sejumlah ilmuwan dan agamawan menganggap bahwa teori evolusi Darwin dan
126 Ibnu Rusydi, ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Agama Integratif-
Transformatif,” Jurnal Pendidikan Islam (JPI), Vol.1, No. 1, (2012) : 112. 127 Ian Barbour, Nature, Human Nature and God (Fortress Press: Minneapolis,
2002), 47-50.
48
kebenaran kitab suci tidak dapat di pertemukan. Kaum Literalis Biblikal
memahami bahwa alam semesta di ciptakan Tuhan secara langsung
(kreasionisme), adapun kaum evolusionis berpandangan bahwa alam semesta
terjadi secara alamiah melalui proses yang sangat panjang (evolusionisme).
Dengan menunjukan bukti-bukti empiris kaum evolusionisme tidak menisbahkan
proses yang panjang itu pada Tuhan, namun melalui proses yang alamiah.
Makhluk hidup dapat berkembang menjadi beraneka ragam melalui mekanisme
adaptasi, survival for live dan seleksi alam. Meskipun Darwin tidak mengatakan
manusia berasal dari kera namun baginya manusia bukanlah makhluk yang di
ciptakan khusus kemudian ditempatkan di bumi ini sebagaimana yang di pahami
kreasionisme. Menurutnya, manusia hanyalah proses evolusi tersebut. Pandangan
demikian tentu menggeser pandangan gereja bahwa Tuhanlah yang menciptakan
satu persatu makhluk hidup dan secara khusus menciptakan manusia yang
memiliki posisi lebih tinggi dari makhluk yang lain.
Ada sementara agamawan menyatakan bahwa teori evolusi bertentangan
dengan keyakinan agama, sedangkan ilmuwan ateis mengklaim bahwa berbagai
bukti ilmiah atas teori evolusi tidak sejalan dengan keimanan. Dua kelompok ini
sepakat bahwa seseorang dapat mempercayai Tuhan dan teori evolusi sekaligus.
Dengan demikian maka ilmu dan agama berada dalam posisi bertentangan.
Pandangan konflik demikian masih terjadi hingga saat ini. Dalam Islam sikap ini
terlihat jelas dalam pandangan Harun Yahya yang menolak teori evolusi Darwin,
satu sikap yang mirip dengan apa yang terjadi pada zaman Abad Pertengahan,
yaitu melawankan penyelidikan ilmiah dengan ajaran kitab suci (dalam hal ini al-
Qur’ān). Kalau pada Abad Pertengahan ilmuan ‘menggugat’ kitab suci, Harun
Yahya berangkat dari teks al-Qur’ān ditambah hasil penelitian ilmiahnya
menggugat teori evolusi. Hanya saja pandangan Harun Yahya ini tidak
berimplikasi secara luas pada persoalan ilmu dan agama secara umum
sebagaimana terjadi di Barat. Di kalangan pemikir Islam, pandangan Harun
Yahya ini dinilai terlalu terburu-buru untuk mempertentangkan teori Darwin
dengan al-Qur’ān. Sikap mempertentangkan temuan ilmiah dengan teks kitab
suci memiliki risiko besar terhadap pemandulan kerja ilmiah. Ilmuan mencari
kebenaran melalui pembacaan terhadap alam, adapun agamawan mencari
kebenaran melalui pembacaan terhadap kitab suci.
Ada perbedaan antara kebenaran yang das ding an sich terdapat pada
alam dan kitab suci dengan kebenaran menurut interpretasi manusia. Pembacaan
Darwin atas proses kejadian makhluk hidup dapat ditempatkan pada fragmentasi
dari proses panjang upaya manusia memahami rahasia penciptaan itu. Darwin
berpandangan berdasarkan fakta ilmiah yang ia temukan. Namun, fakta tidaklah
sama dengan realitas karena realitas merupakan misteri yang berada dalam
kenyataan yang sesungguhnya dari terjadinya makhluk hidup itu sendiri. Pada
lain kesempatan barangkali ada tokoh lain yang menemukan fakta baru yang bisa
jadi mendukung teori Darwin atau bahkan menggugurkannya. Demikian pula
pandangan Harun yahya atas teks al-Qur’ān perlu dibedakan antara das ding an
sich yang ada dalam teks dan kebenaran menurut interpretasi Harun Yahya.
Dalam konteks interpretasi, pandangan Harun Yahya tidak dapat dianggap
49
sebagai interpretasi yang paling valid dalam membaca teks yang terkait dengan
proses penciptaan karena ada kesenjangan antara teks dan interpretasi manusia.
Artinya dari sudut yang lain seseorang dapat menginterpretasikan teks dengan
makna yang berbeda. Oleh karena itu, tetap berlangsung tanpa terburu-buru
untuk saling mengintervensi apalagi men-judge satu sama lain. Sikap demikian
barangkali bisa menjadi gambaran independensi yang akan dibahas kemudian.
Pada era sekarang, pandangan konflik dapat pula dilihat dalam
pemikiran kaum skeptis yang memandang bahwa ilmu dan agama memiliki
banyak perbedaan yang mendasar sehingga tidak akan pernah dapat didamaikan.
Agama berawal dari keyakinan dan resisten terhadap perubahan, sedangkan ilmu
berawal dari keraguan dan setiap saat bisa mengalami perubahan. Agama tidak
dapat membuktikan ajaran agamanya dengan tegas sebagaimana ilmu yang
selalu menguji hipotesis dan teorinya melalui pengalaman dan eksperimentasi.128
Para penganut skeptisisme mengatakan bahwa agama dilandasi oleh
asumsi-asumsi apriori sebagai kebenaran yang given, sedangkan ilmu dilandasi
asumsi aposteriori yang tidak mudah begitu saja menerima sesuatu sebagai yang
benar. Agama bersandar pada keimanan yang dogmatis, sedangkan ilmu
bertumpu pada fakta yang diamati. Agama bersifat subjektif dan emosional
sedangkan ilmu objektif dan rasional. Mehdi Golshani menggunakan istilah ilmu
sakral (sacred science) dan ilmu sekuler (secular science). Ilmu sakral adalah
ilmu yang terbingkai dalam pandangan dunia yang teristik pandangan dunia yang
menganggap Tuhan sebagai pencipta dan pemilihara alam semesta, yang tidak
mengurung wujud dalam wilayah meterial, meyakini pada tujuan bagi alam
ciptaan dan mengakui aturan moral. Sedangkan ilmu sekuler mengabaikan
seluruh poin tersebut.129 Schumacher melihat perubahan ilmu dari ilmu untuk
pemahaman (science for understanding) menjadi ilmu untuk menipulasi (science
for manipulation). Dari penguraian tanda-tanda Tuhan di alam kepada eksploitasi
128 Kalau dikalangan ilmuan ada kaum skeptis, dikalangan agamawan ada kaum
literalis. Kaum literalis berpandangan bahwa kebenaran kitab suci harus dipahami secara
harfiah. Mereka memegang teguh hanya ada satu kebenaran, yaitu kitab suci. Apabila ada
ide-ide ilmiah yang tidak sejalan dengan apa yang tertulis dalam al-kitab, maka ilmunya
pasti yang salah dan agama yang benar. Kaum ini tidak memberikan ruang sama sekali
bagi sikap kritis terhadap al-kitab. Pandangan yang lebih ekstrim lagi ditunjukkan oleh
Brya Appleyard yang mengatakan bahwa perkembangan keilmuan modern telah merusak
dan mengikis otoritas tradisi, akibatnya pengalaman modern pun kehilangan makna
tradisionalnya. Keilmuan modern bukanlah jalan pengetahuan yang benar-benar netral
tetapi merupakan kekuatan subversif dan bahkan demonik yang telah membuat
kebudayaan kehilangan substansi spiritualnya. Lihat John F.Haught, Science and
Religion: From Conflict to Conversation, terjemah Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sains
dan Agama: dari Konflik ke Dialog (Mizan: Bandung, 2004), 2-4. 129 Mehdi Golshani, Sacred Science and Secular Science, dalam Zainal Abidin
Bagir (editor), Science and Religion, In a Post-colonial World Interfaith Perspectives
(ATF Press: Australia, 2005), 96.
50
alam.130
Kedua, pendekatan independensi, yaitu pendekatan yang menyatakan
bahwa agama dan sains merupakan dua domain independen yang dapat hidup
bersama selagi menjaga “jarak aman” satu sama lain. Karena itulah, antara
agama dan sains tidak perlu ada konflik, sebab keduanya berada di dua domain
yang berbeda. Di samping itu, pernyataan sains dan pernyataan agama tidak
boleh dipertentangkan, karena kedua pernyataan itu memerankan fungsi
pelayanan yang berbeda dalam kehidupan manusia. Pandangan idependensi
menempatkan ilmu dan agama tidak dalam posisi konflik. Kebenaran ilmu dan
agama sama-sama absah selama berada pada batas ruang lingkup penyelidikan
masing-masing. Ilmu dan agama tidak perlu saling mencampuri satu dengan
yang lain karena memiliki cara pemahaman akan realitas yang benar-benar
terlepas satu sama lain, sehingga tidak ada artinya mempertentangkan
keduanya.131 Menurut pandangan ini upaya peleburan merupakan upaya yang
tidak memuaskan untuk menghindari konflik. Kalangan Kristen Konservatif
berusaha meleburkan ilmu dan agama dengan mengatakan bahwa Kitab Suci
memberikan informasi ’ilmiah’ yang paling dapat di percaya tentang awal mula
alam semesta dan kehidupan yang kehidupan yang tidak mengandung kesalahan.
Mereka menolak teori evolusi Darwin, dan membangun konsep baru tentang
penciptaan yang dinamakan “ilmu penciptaan” (creation science) berdasarkan
atas penafsiran harfiah terhadap kisah-kisah Biblikal. Hal serupa juga di lakukan
oleh penganut konkordisme yang memaksakan agar Kitab Suci bisa disamakan
dengan alur-alur kisah kosmologi modern. Bagi penganut aliran ini, agama harus
dibuat sedemikian rupa sehingga tampak ilmiah kalau agama ingin dihargai
secara intelektual.132
Apabila di kalangan agamawan dan kristen konservatif yang
menganggap satu-satunya kebenaran adalah kitab suci, di kalangan ilmuan ada
saintisme. Faham ini menganggap bahwa ilmu merupakan satu-satunya cara
yang tepat untuk mencapai keseluruhan kebenaran. Saintisme adalah satu
“Kepercayaan” filosofis (tepatnya kepercayaan epistemologis) yang
mengabdikan ilmu sebagai satu-satunya metode yang benar-benar terpercaya
untuk mempertautkan akal budi manusia dengan realitas objektif. Kalau kristen
130 “Ilmu kuno kebijaksanaan, atau ilmu untuk pemahaman secara primer
diarahkan kepada kebaikan puncak, yakni yang Maha Benar, Maha Baik, Maha Indah
dan pengetahuan tentangnya akan mendatangkan kebaikan dan keselamatan. Ilmu baru
terutama diarahkan kepada kekuasaan material, tendensi ini berkembang sedemikian
rupa, sehingga peningkatan kekuasaan politik dan ekonomi telah lazim dianggap sebagai
tujuan pertama dan justifikasi utama bagi pengeluaran pada kerja saintifik. Ilmu kuno
melihat alam sebagai buah karya Tuhan dan ibu manusia, sementara ilmu baru cenderung
melihatnya sebagai musuh untuk ditaklukkan atau buruan untuk dieksploitasi”. Lihat E.F.
Schumacher, A Guide For The Perplexed (Jonatan Cape: London, 1977), 65. 131 John F.Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation,
terjemah Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke Dialog
(Mizan: Bandung, 2004), 7-9. 132 John F.Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation, 10.
51
konservatif peleburannya dengan cara menjadikan agama sebagai ilmu induk
yang memiliki kategori rasional, adapun saintisme peleburannya dengan cara
menjadikan ilmu sebagai “agama” yang mengandung nilai-nilai yang objektif
dan universal.
Karl Barth133 berpandangan bahwa ilmu dan agama memiliki metode dan
pokok persoalan yang berbeda. Ilmu di bangun berdasarkan pengamatan dan
penalaran manusia, sedangkan teologi berdasarkan wahyu Tuhan. Francis Bacon,
demikian pula Newton mengatakan bahwa sikap ilmiah sejati berangkat dari
keberanian berfikir dan mengamati sendiri tanpa bersandar pada otoritas apapun,
sementara sikap dasar agama adalah kepercayaan dan kepasrahan pada otoritas
lain terutama otoritas Tuhan.134 Oleh karenanya ilmu dan agama harus berjalan
sendiri-sendiri tanpa ada campur tangan satu dengan yang lain. Barbour
menambahkan bahwa selain metode dan pokok persoalan, bahasa dan fungsinya
juga berbeda. Bahasa ilmiah berfungsi menjawab bagaimana, yang ditujukan
untuk mendeskripsikan dan mencari jalan keluar atas fenomena riil kemanusiaan,
sedangkan bahasa agama berfungsi untuk menjawab mengapa, yang akan
mendorong seseorang untuk mematuhi prinsip-psinsip moral tertentu. Bahasa
agama lebih banyak diwarnai mitos, metafora dan retorika, sedangkan bahasa
ilmu lebih rasional, faktual dan lugas.135
Gambaran yang sering digunakan untuk menjelaskan tipologi ini adalah
seperti halnya permainan, misalnya; catur dan bisbol. Keduanya memiliki aturan
permainan yang sangat berbeda. Peraturan dalam catur tidak dapat diterapkan
dalam bisbol demikian pula sebaliknya. Tidak ada gunanya untuk mengatakan
yang satu lebih baik dari yang lain. Demikian halnya dengan ilmu dan agama,
tidak ada yang dapat diperbandingkan satu dengan yang lain dan keduanya tidak
dapat ditempatkan pada posisi bersaing atau konflik. Pendukung pendapat ini
menekankan bahwa permainan yang dimainkan ilmu ialah menguji dunia natural,
sedangkan permainan agama ialah mengungkapkan makna melampaui dunia
natural. Ilmu memusatkan perhatian pada bagaimana segala sesuatu terjadi di
alam ini, sedangkan agama pada mengapa sesuatu itu terjadi dan ada (eksis).
Ilmu berurusan dengan sebab-sebab, sedangkan agama berurusan dengan
makna. Ilmu berurusan dengan berbagai masalah yang dapat dipecahkan. Ilmu
berusaha menjawab berbagai persoalan menyangkut cara kerja alam, sedangkan
agama berurusan dengan landasan terakhir dari alam. Ilmu memberi perhatian
pada kebenaran partikular, sedangkan agama tertarik untuk menjelaskan
kebenaran universal.136
133 Karl Barth, Dogmatics in Outland (Harper & Row: New York, 1949), iii. 134 Bambang Sugiharto, Ilmu dan Agama dalam Kurikulum Perguruan Tinggi,
dalam Zainal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi, Afnan Anshori (editor), Integrasi Ilmu dan
Agama: Interpretasi dan Aksi (Mizan: Yogyakarta, 2005), 41. 135 Ian Barbour, Nature, Human Nature and God (Fortress Press: Minneapolis,
2002), 68-69. 136 John F.Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation, 13.
52
Pendekatan independensi ini dinilai cukup aman karena dapat
menghindari konflik dengan cara memisahkan hubungan di antara keduanya.
Pendekatan ini menggambarkan ilmu dan agama sebagaimana jalur kereta yang
ber-rel ganda, masing-masing memiliki jalan yang independen dan otonom.
Ketegangan antara Galileo Galile dengan gereja semestinya tidak perlu terjadi
jika agama tidak masuk kewilayah privasi ilmu, demikian pula ilmu tidak
memaksakan diri dengan rasional-empirisme pada agama. Ilmu dan agama
mempunyai bahasa sendiri karena menjalani fungsi yang berbeda dalam
kehidupan manusia, agama berurusan dengan nilai dan makna tertinggi,
sedangkan ilmu menelusuri cara kerja banda-benda dan berurusan dengan fakta
objektif, agama rentan dengan perubahan karena sifatnya yang deduktif,
sedangkan ilmu setiap saat bisa berubah karena sifatnya yang lebih induktif. Ilmu
dan agama adalah dua domain independen yang dapat hidup bersama sepanjang
mempertahankan “jarak aman” satu sama lain. Ilmu dan agama berada pada
posisi sejajar dan tidak saling mengintervensi satu dengan yang lain.
Pendekatan independensi meskipun merupakan pilihan yang cukup
aman, namun dapat menjadikan realitas kehidupan menjadi terbelah. Penerimaan
kebenaran antara ilmu dan agama menjadi satu pilihan dikotomis yang
membingungkan karena tidak dapat mengambil keduanya sekaligus. Adapun
bagi seseorang yang berusaha menerima keduanya akan mengalami split
personality, berkepribadian ganda, karena menerima dua macam kebenaran yang
saling berseberangan. Menurut Barbour,137 pendekatan ini membantu tetapi
membiarkan segala sesuatu berada pada jalan buntu yang bisa membuat orang
putus asa. Pendekatan dialog memandang bahwa ilmu dan agama tidak dapat
disekat dengan kotak-kotak yang sama sekali terpisah, meskipun pendekatan ini
menyadari bahwa keduanya berbeda secara logis, linguistik, maupun normatif.
Bagaimanapun juga, di Barat, agama telah memberikan banyak inspirasi bagi
perkembangan ilmu, demikian pula penemuan-penemuan ilmiah juga
mempengaruhi teologi. Meskipun keduanya berbeda namun tidak mungkin
benar-benar dipisahkan.
Ketiga, pendekatan dialog, yaitu pendekatan yang berusaha
menunjukkan sisi-sisi kemiripan metode agama dan sains sekaligus sisi-sisi
perbedaannya. Model konseptual dan analogi dapat digunakan untuk
menggambarkan hal-hal yang tidak dapat diamati secara langsung (misalkan
Tuhan). Sebagai alternatifnya, dialog dapat terjadi ketika sains menyentuh
sesuatu di luar wilayah kekuasaannya sendiri. Pendekatan ini digunakan ketika
agama dan sains saling membutuhkan. Apabila tidak saling membutuhkan maka
pendekatan tersebut tidak digunakan.138
Pendekatan ini sangat menghargai relasi dengan cara membangun
interaksi dan dialog. Kalau perlu saling memberikan pengaruh, meskipun tetap
137 Ian Barbour, Religion in an Age of Science (Harper & Row: New York,
1990), 15. 138 Ibnu Rusydi, ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Agama Integratif-
Transformatif,” Jurnal Pendidikan Islam (JPI), Vol.1, No. 1 (2012) : 112.
53
mempertahankan perbedaan-perbedaan yang ada. Pendekatan ini mencegah
terjadinya peleburan, pemisahan secara tegas dan juga konflik. Dialog antara
ilmu dan agama dapat memperkaya keyakinan keagamaan sekaligus
memperdalam pemaknaan akan temuan ilmiah. Ilmu tidak harus membuktikan
keberadaan Tuhan secara ilmiah, namun cukup merasa puas apabila menafsirkan
penemuan ilmiah dalam kerangka makna keagamaan.139 Pendekatan dialog ini
dapat membangun hubungan yang mutualis. Dengan belajar dari ilmu, agama
dapat membangun kesadaran kritis dan lebih terbuka sehingga tidak terlalu over
sensitive terhadap hal-hal yang baru. Kehati-hatian dalam menarik kesimpulan
yang dilakukan oleh ilmu dapat digunakan oleh agama menghadapi
berkembangnya bersifat tafsir terbaru. Melalui temuan-temuan barunya ilmu
dapat merangsang agama untuk selalu mengaktualisasikan diri untuk
menghindari stagnasi. Sebaliknya, ilmu perlu mempertimbangkan perhatian
agama pada masalah harkat kemanusiaan. Dalam dunia manusia, ada realitas
batin yang membentuk makna dan nilai. Ilmu bukanlah satu-satunya jalan
menuju kebenaran, dan ilmu bukan hanya untuk ilmu tetapi ilmu juga untuk
kemanusiaan. Agama dapat membantu memahami batas-batas rasio, yaitu pada
wilayah adikodrati atau supranatural ketika ilmu tidak mampu menyentuhnya.140
Dialog juga dapat menghasilkan pemahaman baru yang berusaha
mempertemukan ilmu dan agama. Sebagai contoh dalam kasus terjadinya alam
semesta yang melahirkan dua kubu ekstrim, yaitu evolusionisme dan
kreasionisme. Dalam konteks pendekatan konflik terlihat dua kubu ini saling
berseteru, saling tidak mengakui kebenaran satu dengan yang lain dengan satu
pernyataan bahwa “seorang tidak dapat menerima evolusionisme dan
kreasionisme sekaligus. Sedangkan dalam konteks pendekatan independensi
mereka terkotak-kotak, menganggap dua kebenaran ini meruapakan dua jalan
yang berbeda tidak dapat dikomunikasikan dan juga tidak berkonflik. Adapun
dalam pendekatan dialog dua kubu ini dapat saling berinteraksi dan
menghasilkan satu rumusan yang bersifat sintesis, sebagaimana dikatakan oleh
Mehdi Golshani dan Teuku Jacob, bahwa “evolusi adalah cara Tuhan
menciptakan alam semesta”.
Evolusi sebagai hasil temuan ilmiah dapat dipahami melalui ajaran
dalam kitab suci bahwa alam semesta tercipta dalam enam masa. Demikian pula
bagi penganut kreasionisme dapat memahami bahwa pernyataan enam masa
dalam kitab suci bisa menjadi indikasi bahwa alam diciptakan Tuhan dalam
kerangka proses. Teori evolusi tidak secara otomatis meruntuhkan pandangan
tentang konsep Tuhan Yang Maha Pencipta (kreasionisme) demikian pula
kreasionisme dapat pula memahami bahwa tidak harus dianggap bertentangan
dengan keimanan apabila seseorang memahami bahwa cara Tuhan menciptakan
alam semesta ini melalui proses yang panjang milyaran tahun (dalam ukuran
139 John F.Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation, 19. 140 Bambang Sugiharto, Ilmu dan Agama dalam Kurikulum Perguruan Tinggi,
dalam Zainal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi, Afnan Anshori (editor), Integrasi Ilmu dan
Agama: Interpretasi dan Aksi (Mizan: Yogyakarta, 2005), 45-46.
54
manusia) atas enam masa (dalam ukuran Tuhan). Hubungan dialogis berusaha
membandingkan metode kedua bidang yang dapat menunjukan kemiripan dan
perbedaan. Dialog dapat terjadi manakala ilmu dan agama menyentuh persoalan
diluar wilayahnya sendiri. Misalnya dengan menanyakan mengapa alam semesta
serba teratur dan dapat dipahami. Dalam banyak hal agama juga memerlukan
metode yang dikembangkan ilmu untuk lebih memantapkan keyakinan
agamanya, atau memahami realitas yang tidak melulu dijawab hanya dengan
keyakinan.
Keempat, pendekatan integrasi, yaitu pendekatan yang berusaha
membangun kemitraan yang lebih sistematis dan ekstensif antara sains dan
agama yang terjadi di kalangan orang-orang yang mencari titik temu di antara
keduanya.141 Ada dua makna dalam tipologi ini. Pertama, bahwa integrasi
mengandung makna implisit ‘reintegrasi’, yaitu menyatukan kembali ilmu dan
agama setelah keduanya terpisah. Kedua, integrasi mengandung makna ‘unity’,
yaitu bahwa ilmu dan agama merupakan kesatuan primordial. Makna yang
pertama populer di Barat karena kenyataan sejarah menunjukan keterpisahan itu.
Adapun makna kedua lebih banyak berkembang di dunia Islam karena secara
ontologis di yakini bahwa kebenaran ilmu dan agama adalah satu, perbedaannya
pada ruang lingkup pembahasan, yang satu pengkajian dimulai dari pembacaan
al-Qur’ān, yang satu dimulai dari pembacaan alam. Kebenaran keduanya saling
mendukung dan tidak saling bertentangan. Kalau pun terjadi pertentangan
dipahami sebagai perbedaan interpretasi manusia dalam memahami al-Qur’ān
ataupun alam, meminjam istilah Immanuel Kant, perbedaan yang terjadi hanya
pada kawasan fenomena tidak pada kawasan noumena. Ilmu dan pengetahuan
manusia lebih banyak bergerak pada kawasan fenomena tersebut. Melalui
pendekatan filsafat, terutama yang dikembangkan oleh Mullā Sadrā seseorang
akan dibawa untuk memahami kawasan noumenal tersebut.
Integrasi tidak dipahami sebagai peleburan. Bagi Ian Barbour dan John
Haught peleburan dapat berimplikasi pada penghilangan identitas yang justru
menghasilkan absurditas pada keduanya. Sebagai ilustrasi dapat ditunjukan
bahwa tidak mungkin melakukan teologisasi ilmu karena akan dapat mengurangi
bobot keilmiahan ilmu. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin melakukan
empirisasi teologi, karena teologi banyak bergerak dalam wilayah emosional,
intuitif dan dogmatis yang tidak mudah dibuktikan secara empiris. Dalam Islam
juga terdapat berbagai varian dalam memandang ilmu terutama keilmuan
modern. Ibrahim Kalin142 mengklasifikasi pandangan dunia Islam terhadap
keilmuan modern ini menjadi tiga kelompok, yaitu pandangan etis/puritan,143
141 Moh Dahlan, “Relasi Sains Modern dan Sains Islam; suatu upaya pencarian
paradigma baru” dalam ejournal.umm.ac.id, diunduh pada 16 Maret 2014. 142 Ibrahim Kalin dalam Ted Peters Muzaffat Iqbal, Syed Nomanul Haq (editor),
Tuhan, Alam, Manusia; Perspektif Sains dan Agama (Mizan: Bandung, 2006), 75. 143 Pandangan etis/puritan terhadap sains, yang merupakan sikap yang paling
umum di dunia Islam, memandang sains modern pada dasarnya netral dan objektif yang
membahas buku alam sebagaimana adanya tanpa komponen filosofis atau idiologis yang
55
epistemologis144 dan ontologis/metafisis145. Sikap yang pertama terlihat jelas
dalam pandangan Ataturk (Bapak Turki Modern) yang dinyatakannya dalam satu
pidato yang dikutip oleh Von Grunebaum pada 27 Oktober 1922. Ia mengatakan
bahwa “Kita harus mengambil sains dan pengetahuan dari mana pun, dan
menanamkannya di benak setiap anggota bangsa. Demi sains dan pengetahuan,
tidak ada pembatasan dan persyaratan. Bagi semua bangsa yang bersikukuh
mempertahankan tradisi dan keyakinan yang berdasar pada bukti logis, kemajuan
pasti sangat sulit, mungkin malah mustahil”.146
C. Tipologi Integrasi Keilmuan
Merumuskan model-model atau tipologi integrasi keilmuan secara
konsepsional memang tidak mudah. Hal ini terjadi karena berbagai ide dan
gagasan integrasi keilmuan muncul secara sporadis baik konteks tempatnya,
waktunya, maupun argumen yang melatarbelakanginya. faktor yang terkait
dengan gagasan ini juga tidak tunggal. Ada beberapa faktor yang terkait
dengannya, yakni (1) sejarah tentang hubungan sains dengan agama147; (2)
kuatnya tekanan dari kelompok ilmuwan yang menolak doktrin "bebas nilai"-
nya sains148; (3) krisis yang diakibatkan oleh sains dan teknologi149; dan (4)
ketertinggalan umat Islam dalam bidang ilmu dan teknologi.
terkait dengannya. Masalah-masalah seperti krisis lingkungan, positivisme, materialisme
dan lain sebagainya yang semua terkait dengan sains modern dalam satu atau lain hal
dapat diatasi dengan menambahkan dimensi etis dalam praktik dan pengajaran sains. 144 Pandangan epistemologis, pada prinsipnya menaruh perhatian pada status
epistemik sains (kealaman modern), klaim kebenaran, metode untuk meraih pengetahuan
yang benar dan fungsinya bagi masyarakat secara umum. Dengan menganggap sains
sebagai suatu konstruksi sosial, mazhab epistemik memberikan penekanan khusus pada
sejarah dan sosiologi sains. 145 Pandangan ontologis/metafisis terhadap sains menandai peralihan yang
menarik dari filsafat ke metafisika sains. Klaimnya yang paling penting terletak pada
tuntutannya untuk menganalisis dasar metafisis dan ontologis dari sains (kealaman)”. 146 Ibrahim Kalin dalam Ted Peters Muzaffat Iqbal, Syed Nomanul Haq (editor),
Tuhan, Alam, Manusia; Perspektif Sains dan Agama, 71 147 Kajian tentang hubungan agama dan sains dalam tradisi akademik Barat telah
berlangsung cukup lama. Tetapi kajian tentang tentang ini mulai serius dilakukan kurang
lebih dalam satu dekade terakhir ini, sebagaimana dikatakan oleh David Klinghoffer:
"Science and religion is a field that you can make a living in today, which you couldn't
do five or 10 years ago. That has a lot to do with the Templeton Foundation, which has
put millions of dollars into the dialogue between religion and science, sponsoring
seminars, conferences, prizes"—not least the $1.1 million Templeton Prize. The latter
has gone in recent years to scientists such as John C. Polkinghorne, Rev. Canon Dr.
Arthur Peacocke and Professor Paul Davies, who argue for the compatibility offaith and
science. Polkinghorne's backlist from Yale University Press includes his 1998 book
Belief in God in an Age of Science. Lihat, David Klinghoffer, Science vs. Religion: A
False Dichotomy, Access Research Network,
http://www.stephenunwin.com/media/Publish- ers%20Weekly.pdf; Desember 2013. 148 Paham "bebas nilai" (values free) dijunjung tinggi oleh para ilmuwan ketika
usaha dalam ilmu pengetahuan mau mencapai obyektivitas maksimal. Bagi mereka,
56
Dari faktor-faktor yang mendorong munculnya gagasan integrasi
keilmuan tersebut, secara umum modal integrasi keilmuan dapat dikelompokkan
ke dalam model-model berikut ini:
1. Model IFIAS
Model integrasi keilmuan IFIAS (International Federation of Institutes
of Advance Study) muncul pertama kali dalam sebuah seminar tentang
“Knowledge and Values”, yang diselenggarakan di Stockholm pada September
1984.150 Model yang dihasilkan dalam seminar itu dirumuskan dalam gambar
sekama berikut ini :
paham "bebas nilai" ini diperlukan untuk menjaga sikap agar tidak mempunyai bias dan
unsur tidak memihak. Namun demikian, paham "bebas nilai" tersebut belakang banyak
disangkal oleh beberapa ilmuwan kontemporer, termasuk di dalamnya para pemikir
Muslim. Kelompok kedua ini mulai menemukan momentumnya ketika objektivitas
ilmiah mulai disangkal, karena upaya ilmiah seringkali dilakukan dalam kerangka tujuan
tertentu. Dengan demikian, upaya ilmiah mengandaikan nilai-nilai tertentu yang
melatarbelakanginya. Pengandaian nilai pun akan berlangsung ketika sampai pada
aplikasi ilmu dan teknologi. Sedangkan pemikiran metafisika diperlukan agar penjelasan
dan dasar logikanya mampu melampaui realitas sehingga terbangun penalaran yang
berdasar pada paham dasar pemikiran yang melatarbelakanginya. Di Indonesia,
pemikiran yang cukup kritis muncul dalam karya Francisco Budi Hardiman, Kritis
Ideologi (Yogyakarta: Kanisius,1996). 149 Salah seorang pemikir postmodernisme yang intens mengkritisi dampak
negatif sains terhadap masyarakat modern adalah Pauline M. Rosenau. Dalam kajiannya
mengenai postmodernisme dan ilmu- ilmu sosial, ia mencatat setidaknya lima alasan
penting terjadinya krisis modernisme. Pertama, modernisme dipandang gagal
mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik
sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern
tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan pe-nyalahgunaan otoritas
keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori
dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan
bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi
manusia. Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya berbagai patologi
sosial. Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan
metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik individu. Lihat Pauline M.
Rosenau, Postmodernism and Social Sciences: Insight, Inroads, and Intrusion (Princeton
University Press: Princeton, 1992), 10. 150 Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam (Bandung: Pustaka Hidayah,1996),
67.
57
Gambar 3:
Model Integrasi IFIAS
Skema di atas kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut :151
Iman kepada Sang Pencipta membuat ilmuwan Muslim lebih sadar akan
segala aktivitasnya. Mereka bertanggungjawab atas perilakunya dengan
menempatkan akal di bawah otoritas Tuhan. Karena itu, dalam Islam, tidak ada
pemisahan antara sarana dan tujuan sains. Keduanya tunduk pada tolok ukur
etika dan nilai keimanan. Ia harus mengikuti prinsip bahwa sebagai ilmuwan
yang harus mempertanggungjawabkan seluruh aktivitasnya pada Tuhan, maka ia
harus menunaikan fungsi sosial sains untuk melayani masyarakat, dan dalam
waktu yang bersamaan melindungi dan meningkatkan institusi etika dan
moralnya. Dengan demikian, pendekatan Islam pada sains dibangun di atas
landasan moral dan etika yang absolut dengan sebuah bangunan yang dinamis
berdiri di atasnya. Akal dan objektivitas dianjurkan dalam rangka menggali ilmu
pengetahuan ilmiah, di samping menempatkan upaya intelektual dalam batas-
batas etika dan nilai-nilai Islam.
Anjuran nilai-nilai Islam abadi seperti khilāfah, ibādah dan adl adalah
aspek subjektif sains Islam. Emosi, penyimpangan, dan prasangka manusia harus
disingkirkan menuju jalan tujuan mulia tersebut melalui penelitian ilmiah.
Objektivitas lembaga sains itu berperan melalui metode dan prosedur penelitian
yang dimanfaatkan guna mendorong formulasi bebas, pengujian dan analisis
151 Huzni Thoyyar, Model-Model Integrasi Ilmu Dan Upaya Membangun
Landasan Keilmuan Islam; Survey Literatur terhadap Pemikiran Islam Kontemporer
(Artikel: Makalah, tth), 15.
Tauḥīd
Khilāfah
Ibādah
Ilmu Pengetahuan
Halāl
‘Adl
Istishlah
Harām
Zhulm
Dhiya
58
hipotesis, modifikasi dan pengujian kembali teori-teori itu jika mungkin. Karena
sains menggambarkan dan rnenjabarkan aspek realitas yang sangat terbatas, ia
dipergunakan untuk mengingatkan kita akan keterbatasan dan kelemahan
kapasitas manusia. Al-Qur’ān juga mengingatkan kita agar sadar pada
keterbatasan kita sebelum terpesona oleh keberhasilan penemuan-penemuan
sains dan hasil-hasil penelitian ilmiah.152
2. Model Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI)
Model yang dikembangkan oleh Akademi Sains Islam Malaysia
(ASASI) muncul pertama kali pada Mei 1977 dan merupakan satu usaha yang
penting dalam kegiatan integrasi keilmuan Islam di Malaysia karena untuk
pertamanya, para ilmuwan Muslim di Malaysia bergabung untuk, antara lain,
menghidupkan tradisi keilmuan yang berdasarkan pada ajaran Kitab suci al-
Qur’ān. Tradisi keilmuan yang dikembangkan melalui model ASAI ini
pandangan bahwa ilmu tidak terpisah dari prinsip-prinsip Islam. Model ASASI
ingin mendukung dan mendorong pelibatan nilai- nilai dan ajaran Islam dalam
kegiatan penelitian ilmiah; menggalakkan kajian keilmuan di kalangan
masyarakat; dan menjadikan al-Qur’ān sebagai sumber inspirasi dan petunjuk
serta rujukan dalam kegiatan-kegiatan keilmuan. ASASI mendukung cita-cita
untuk mengembalikan bahasa Arab, selaku bahasa Alquran, kepada
kedudukannya yang hak dan asli sebagai bahasa ilmu bagi seluruh Dunia Islam,
dan berusaha menyatukan ilmuwan-ilmuwan Muslim ke arah memajukan
152 Dalam Al-Qur’ān Surat Yāsīn : 77-83, Allah SWT Berfirman :
نسان أنا ب لنا مثالا ونس خلقه قال من ييي 77خلقناه من نطفة فإذا هو خصيم مبني )أومل ير اإل ( وض
ة وهو بكل خلق عليم )79العظام وهي رميم ) ل مر ذي أنشأها أو ييها ال ذي جعل لك 78( قل ي م من ( ال
ا فإذا أنتم منه توقدون ) جر األخض نارا لق 90الش اموات واألرض بقادر عىل أن ي ذي خلق الس ( أوليس ال
ق العليم ) ذي بيده 91يقول له كن فيكون ) ( إنام أمره إذا أراد شيئاا أن 91مثلهم بىل وهو الال ( فسبحان ال
وإليه ترجعون )ء (92ملكوت كل ش
Dan Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari
setitik air (mani), Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!. Dan ia membuat
perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang
dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan
dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha
mengetahui tentang segala makhluk. Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari
kayu yang hijau, Maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu". Dan tidaklah Tuhan
yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu?
benar, Dia berkuasa. dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha mengetahui. Sesungguhnya
keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!"
Maka terjadilah ia. Maka Maha suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala
sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Bandung: Diponogoro, 2000), 440.
59
masyarakat Islam dalam bidang sains dan teknologi.153
Pendekatan ASASI berangkat dari menguraikan epistemologi Islam
dengan menggunakan pemikiran keilmuan para ulama klasik semacam al-
Ghazāli yang pada umumnya menggunakan pendekatan fiqh di satu sisi dan
pendekatan para filosof seperti al-Farābi di sisi lain. Model integrasi keilmuan
ASASI berangkat pada pandangan klasik bahwa ilmu diklasifikasikan ke dalam
empat kategori, yaitu ilmu sains Islam yang berdasarkan Keesaan Allah. ASASI
mengembangkan model keilmuan Islam yang memiliki karakteristik
menyeluruh, integral, kesatuan, keharmonisan dan keseimbangan. ASASI
berpendapat bahwa ilmu tidak hanya diperoleh melalui indra persepsi (data
empirik) dan induksi, dan deduksi, akan tetapi juga melalui intuisi, heuristik,
mimpi dan ilham dari Allah.
3. Model Islamic Worldview Model ini berangkat dari pandangan bahwa pandangan dunia Islam
(Islamic worldview) merupakan dasar bagi epistemologi keilmuan Islam secara
menyeluruh dan integral. Dua pemikir Muslim yang secara intens menggagas
dan mengembangkan model ini adalah Alparslan Acikgenc, Guru Besar Filsafat
pada Fatih University, Istanbul Turki. Ia mengembangkan empat pandangan
dunia Islam sebagai kerangka komprehensif keilmuan Islam, yaitu: (1) iman
sebagai dasar struktur dunia (world structure, iman); (2) ilmu sebagai struktur
pengetahuan (knowledge structure, al-'ilm); (3) fikih sebagai struktur nilai (value
structure, al-fiqh); dan (4) kekhalifahan sebagai struktur manusia (human
structure, khalīfah).154
153 Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, ia menulis
Artikel “ Pemelayuan, Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi dalam
Konteks Dasar Sains Negara,” Jurnal, No. 1, (1999) : 15-16. 154 Dalam menjelaskan pandangan dunia Islam yang di dalamnya terdapat
struktur keilmuan Islam ia menyatakan : As it is seen all structures are dominated by a
doctrinal concept around which a network of integrated concepts and notions are
formed. The world structure is the framework from which our conception of the universe
and humankind in it arises. A person having such a mental framework in mind gives
meaning to existence according to this structure. It is, as such, the most fundamental
framework on which all other structures are built. It is clear from the Qur'an that this
structure has three fundamental elements: God, prophethood and the idea of a final
judgment, all of which lead to an understanding of man, religion and knowledge, as such
it constitutes the fundamental metaphysics of Islam. These fundamental concepts are
integrally woven into the Islamic vision of reality and truth, which, as an architectonic
mental unity, acts as the foundation of all human conduct, and as the general framework
out of which follow all other frameworks. Thus comes next the knowledge structure as a
fundamental element of the Islamic worldview. Since the activity at hand is science we
need to examine only the frameworks established thus far. Therefore, I shall not discuss
the value and human structures in this context. Lihat Alparslan Acikgenc, “Holisitic
Approach to Scientific Traditions, Islam & Science,” Journal of Islamic Perspective on
Science, No. 1, Vol 1, Juni (2003) : 102.
60
Pandangan Alparslan Acikgenc tentang pandangan dunia Islam itu,
didasarkan pada epistemologi ilmu pada umumnya, yaitu (1) kerangka yang
paling umum atau pandangan dunia (the most general framework or worldview);
(2) di dalam pandangan dunia itu kerangka pemikiran mendukung keseluruhan
aktivitas epistemologi yang disebut dengan struktur pengetahuan (within the
worldview another mental framework supporting all our epistemological
activities, called ”knowledge structure"); (3) rencana konseptual keilmuan secara
umum (the general scientific conceptual scheme); dan (4) rencana konseptual
keilmuan secara spesifik (the specific scientific conceptual scheme).
4. Model Struktur Pengetahuan Islam
Model Struktur Pengetahuan Islam (SPI) banyak dibahas dalam berbagai
tulisan Osman Bakar, Professor of Philosophy of Science pada University of
Malaya. Dalam mengembangkan model ini, Osman Bakar berangkat dari
kenyataan bahwa ilmu secara sistematik telah diorganisasikan dalam berbagai
disiplin akademik. Bagi Osman Bakar, membangun SPI sebagai bagian dari
upaya mengembangkan hubungan yang komprehensif antara ilmu dan agama,
hanya mungkin dilakukan jika umat Islam mengakui kenyataan bahwa
pengetahuan (knowledge) secara sistematik telah diorganisasikan dan dibagi ke
dalam sejumlah disiplin akademik.155
Osman Bakar mengembangkan empat komponen yang ia sebut sebagai
struktur pengetahuan teoretis (the theoretical structure of science). Keempat
struktur pengetahuan itu adalah: (1) komponen pertama berkenaan dengan apa
yang disebut dengan subjek dan objek matter ilmu yang membangun tubuh
pengetahuan dalam bentuk konsep (concepts), fakta (facts, data), teori (theories),
dan hukum atau kaidah ilmu (laws), serta hubungan logis yang ada padanya; (2)
komponen kedua terdiri dari premis-premis dan asumsi-asumsi dasar yang
menjadi dasar epistemologi keilmuan; (3) komponen ketiga berkenaan dengan
155 Osman Bakar ia mengatakan “We now examine the structure of science as a
branch of knowledge and as an intellectual activity. It is only meaningful to speak of the
structure of science if we accept the fact that knowledge has been systematically
organized and divided into numerous academic disciplines and these disciplines
classified in groups according to some well-defined criteria. Just as knowledge grows
through specialization, so the academic disciplines grow in numbers. In Islamic
tradition, there was tremendous intellectual activity focused on the issue of organization
of knowledge into disciplines and their classifications. Muslim intellectual culture was
also a witness to the creation of new scientific disciplines. Muslim philosophers of
science called these disciplines 'sciences' (’ulum) and generally agreed that science
understood in this sense is structurally divided into four basic components. The first
component is a well-defined subject matter or object of study pertaining to which is
established an accumulative body of knowledge in the form of concepts, facts (data),
theories and laws, and the logical relationships that exist among them. This body of
knowledge constitutes the main content of a science. Lihat Osman Bakar,
“Reformulating a Comprehensive Relationship Between Religion and Science: An
Islamic Perspective, Islam & Science,” Journal of Islamic Perspective on Science, No. 1,
Vol, 1, Juni (2003) : 33.
61
metode-metode pengembangan ilmu; dan (4) komponen terakhir berkenaan
dengan tujuan yang ingin dicapai oleh ilmu. Menurutnya untuk membangun
kerangka pengetahuan ke-Islam-an, keempat struktur pengetahuan itu, perlu
diformulasikan dengan menghubungkannya dengan tradisi keilmuan Islam
(Islamic sciences) seperti teologi (theology), metafisika (metaphysics),
kosmologi (cosmology), dan psikologi (psychology).156
5. Model Bucaillisme
Model ini menggunakan nama salah seorang ahlki medis Perancis,
Maurice. Bucaille, yang pernah menggegerkan dunia Islam ketika menulis suatu
buku yang berjudul “La Bible, le Coran et la Science”, yang juga telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.157 Model ini bertujuan mencari
kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat al-Qur’ān. Model ini banyak mendapat
kritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami
perubahan di masa depan. Menganggap al-Qur’ān sesuai dengan sesuatu yang
masih bisa berubah berarti menganggap al-Qur’ān juga bisa berubah.158 Model
ini di kalangan ilmuwan Muslim Malaysia biasa disebut dengan “Model
Remeh”159 karena sama sekali tidak mengindahkan sifat kenisbian dan kefanaan
penemuan dan teori sains Barat dibanding dengan sifat mutlak dan abadi al-
Qur’ān. Penemuan dan teori sains Barat berubah-ubah mengikut perubahan
paradigma, contohnya dari paradigma klasik Newton yang kemudian berubah
156 Osman Bakar, “Reformulating a Comprehensive Relationship Between
Religion and Science: An Islamic Perspective, Islam & Science”, 41. 157 Maurice.Bucaille, Bibel Qur'an dan Sains, diterjemahkan oleh A. Rasyidi
(Bulan Bintang, Jakarta, 1992). 158 Kritik tajam terhadap pendekatan ini di antaranya dikemukakan oleh
Ziauddin Sardar, yang mengatakan bahwa Bucaillisme mengandung pikiran logika yang
keliru. Ziauddin Sardar, op-cit, hal. 20. Kritik Tajam juga dikemukakan oleh Muzaffar
Iqbal, yang menyatakan: He is simply interested in correlating certain scientific “facts”
with the Qur’anic verses. Since the publication of the English translation of his book, La
Bible, le Coran et la Science (1976) as The Bible, the Qur’an and Science (1978),
Bucaille has, however, become the pioneer of an unfortunate trend in modern times and
several studies have been devoted to “prove” the divine origin of the Qur’an on the basis
that the Qur’an contains certain scientific facts which were unknown to humanity at the
time of its revelation. As far as Bucaille is concerned, his work is perfectly
understandable. He grew up in an environment hostile to Islam and his initial knowledge
of Islam came from the ill informed critiques of the French orientalists who declared that
“Mohmet was the author of the Qur ’an ”. He grew up to become a surgeon and retired
as the chief of the Surgical Clinic at the University of Paris. In his late forties, Bucaille
became interested in Islam, he learned Arabic and studied the Qur’an in its original
language. Leif Stenberg, The Islamization of Science: Four Muslim Positions
Developing an Islamic Modernity, Journal of Islamic Studies, Vol. 36, No. 3, 1997, hal.
50 159 Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, ia menulis
Artikel “ Pemelayuan, Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi dalam
Konteks Dasar Sains Negara,” Jurnal, No. 1, (1999) : 8.
62
menjadi paradigma quantum Planck dan kenisbian Einstein. Model ini mendapat
kritik tajam karena, apabila Ayat al-Qur’ān dinyatakan sebagai bukti kebenaran
suatu teori dan teori tersebut mengalami perubahan, maka kewibawaan al-Qur’ān
akan rusak karena membuktikan teori yang salah mengikuti paradigma baru ini.
6. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik
Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik berusaha menggali
warisan filsafat Islam klasik. Salah seorang sarjana yang berpengaruh dalam
gagasan model ini adalah Seyyed Hossein Nasr. Menurut Seyyed Hossein Nasr
pemikir Muslim klasik berusaha memasukkan Tauḥīd ke dalam skema teori
mereka. Prinsip Tauḥīd, yaitu Kesatuan Tuhan dijadikan sebagai prinsip
kesatuan alam tabi'i (ṭabi’ah)160. Para pendukung model ini juga yakin bahwa
alam tabi'i hanyalah merupakan tanda atau ayat bagi adanya wujud dan
kebenaran yang mutlak. Hanya Allah-lah Kebenaran sebenar-benarnya dan alam
tabi'i ini hanyalah merupakan wilayah kebenaran terbawah. Bagi Seyyed
Hossein Nasr, ilmuwan Islam moden hendaklah mengimbangi dua pandangan
tanzih dan tashbih untuk mencapai tujuan integrasi keilmuan ke-Islaman.
7. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Taṣawuf
Pemikir yang terkenal sebagai penggagas integrasi keilmuan Islam yang
dianggap bertitik tolak dari tasawwuf ialah Syed Muhammad Naquib al-Attas,
yang kemudian ia istilahkan dengan konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan
(Islamization of Knowledge). Gagasan ini pertama kali muncul pada saat
konferendi Makkah, di mana pada saat itu, Al-Attas mengimbau dan
menjelaskan gagasan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”161. Identifikasinya yang
meyakinkan dan sistematis mengenai krisis epistemologi umat Islam sekaligus
formulasi jawabannya dalam bentuk Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini yang
secara filosofis berkaitan, benar-benar merupakan prestasi inovatif dalam
pemikiran Islam modern.
Formulasi awal dan sistematis ini merupakan bagian integral dan
konsepsinya mengenai pendidikan dan universitas Islam serta kandungan dan
metode umumnya. Karena kebaruan ide-ide yang dipresentasikan dalam kertas
kerjanya di Makkah, tema-tema gagasan ini diulas kembali dan dijelaskan
panjang lebar pada Konferensi Dunia yang Kedua mengenai Pendidikan Umat
Islam pada 1980 di Islamabad162. Dalam karya-karyanya, dia mencoba
160 Nasr juga menyebutnya dengan istilah "unity of nature", sebagaimana yang
dikatakannya: The spirit of Islam emphasizes, by contrast, the unity of Nature, that unity
that is the aim of the cosmological sciences, and that is adumbrated and prefigured in the
continuous interlacing of arabesques uniting the profusion of plant life with the geometric
crystals of the verses of the Qur’ān, 25. 161 Syed Muhammad al-Naquib al-Attas adalah pendiri Internastional Institut of
Islamic Thought Civilization (ISTAC) di Malaysia. Lihat Syed M. Naquib al-Attas, Islam
and Scularism, Angkatan Muda Belia Islam Malaysia,(Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 43-
44. 162 Syed M. Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, Muslim Youth
(Kuala lumpur: Movement of Malaysia,1980), 155-156.
63
menghubungkan deislamisasi dengan westernisasi, meskipun tidak secara
keseluruhan. Dari situ, dia kemudian menghubungkan program Islamisasi ilmu
pengetahuan masa kini dengan dewesternisasi. Predikat ilmu masa kini sengaja
digunakan sebab ilmu pengetahuan yang diperoleh umat Islam yang berasal dari
kebudayaan dan peradaban pada masa lalu, seperti Yunani dan India, telah
diislamkan. Gagasan awal dan saran-saran yang konkret ini, tak pelak lagi,
mengundang pelbagai reaksi dan salah satunya dari almarhum Isma'il al-Faruqi
dengan agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuannya. 163 Pada tingkat individu dan
pribadi, islamisasi berkenaan dengan pengakuan terhadap Nabi sebagai
pemimpin dan pribadi teladan bagi pria maupun wanita; pada tingkat kolektif,
sosial, dan historis, ia berkaitan dengan perjuangan umat ke arah realisasi
kesempurnaan moralitas dan etika yang telah dicapai pada zaman Nabi. Secara
epistemologis, Islamisasi berkaitan dengan pembebasan akal manusia dari
keraguan (shak), prasangka (ẓann), dan argumentasi kosong (mird) menuju
pencapaian keyakinan (yaqīn) dan kebenaran (ḥaqq) mengenai realitas-realitas
spiritual, penalaran, dan material. Proses pembebasan ini pada mulanya
bergantung pada ilmu pengetahuan, tetapi pada akhirnya selalu dibangun atas
dan dibimbing oleh suatu bentuk ilmu pengetahuan khusus, ma’rifah (ilmu
pengenalan).
Bentuk ilmu pengetahuan khusus ini melibatkan ilmu farḍu ʽain,
sedangkan bentuk pengetahuan ilmiah melibatkan ilmu farḍu kifāyah. Ilmu farḍu
ʽain tidaklah statis dau tidak terbatas pada pengetahuan dasar mengenai pokok-
pokok ajaran Islam yang diajarkan pada tingkar pendidikan rendah dan
menengah. Ilmu farḍu ’ain bersifat dinamis: ia meningkat sesuai dengan
kemampuan spiritual dan intelektual serta tanggung jawab sosial dan profesional
orang yang bersangkutan. Khusus dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan
masa kini, islamisasi berarti: “Pembebasan ilmu pengetahuan dari penafsiran
yang berdasarkan ideologi, makna-makna, dan ungkapan-ungkapan sekuler”.164
Dalam Islam and Secularism, al-Attas menjelaskan bahwa islamisasi ilmu
pengetahuan masa kini melibatkan dua proses yang saling berhubungan:
Pertama, pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang
163 Ciri khas Al-Attas yang tecermin dalam karya-karyanya adalah istilah-istilah
dan ide-ide kunci yang digunakannya jelas dan tidak dibiarkan kabur dan
membingungkan. Oleh karena itu, pengertian umum istilah islamisasi diterangkan
dengan jelas seperti yang terjadi dalam sejarah, yaitu: “.... Pembebasan manusia dari
tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yangbertentangan dengan Islam) dan
dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa .... Juga pembebasan dari
kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri
atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat
dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang sebenarnya, dan berbuat tidak
adil terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak
sekuat proses evolusi dan devolusi ....”. Lihat Syed M. Naquib al-Attas, Islam and
Scularism,127. 164 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib al-Attas (Bandung: Mizan, 2003), Cet. I, 336.
64
membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, dari setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini, khususnya ilmu-
ilmu humaniora. Meskipun demikian, dia menambahkan, ilmu-ilmu alam atau
fisika dan ilmu-ilmu terapan harus juga diislamkan, khususnya dalam lingkup
interpretasi fakta dan formulasi teori.165
Kedua, pemasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke
dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Kedua tugas
yang sangat menantang ini mensyaratkan pemahaman yang mendalam mengenai
bentuk, jiwa, dan sifat-sifat Islam sebagai agama, kebudayaan, dan peradaban,
juga mengenai kebudayaan dan peradaban Barat. Selanjutnya, al-Attas juga
memerincikan dan menjelaskan beberapa konsep dasar Islam yang harus
dimasukkan ke dalam tubuh ilmu apa pun yang dipelajari umat Islam, seperti
konsep dīn, manusia (insān), ilmu (ʽilm dan maʽrifah), keadilan (ʽadl), amal yang
benar ( amal sebagai adab), dan semua istilah dan konsep yang berhubungan
dengan itu semua. Konsep universitas (kulliyyah jamʽiah) dianggap penting
karena berfungsi sebagai implementasi semua konsep itu dan menjadi model
sistem pendidikan untuk tingkat rendah.166
Konsep-konsep tersebut adalah bagian integral dari pandangan dunia
metafisika Islam yang merupakan derivasi darinya, seperti yang dipahami dan
dialami oleh para sufi tingkat tinggi yang secara pribadi dicontohkan oleh al-
Attas dan secara koheren dijelaskannya dalam satu seri risalah. Al-Attas juga
telah menyiapkan sebuah model komprehensif organisasi mata kuliah yang
ditawarkan pada tingkat universitas. Jika disampaikan oleh dosen yang memiliki
otoritas di bidangnya, pengajaran disiplin-disiplin ilmu dalam kategori farḍuʽain,
yang meliputi ilmu-ilmu agama, secara alamiah akan mengislamkan ilmu-ilmu
farḍu kifāyah yang terdiri dari ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis. Dia
secara khusus menyarankan agar disiplin ilmu baru ditambahkan pada kategori
ilmu farḍu kifāyah, yaitu ilmu perbandingan agama, kebudayaan dan peradaban
Barat, ilmu linguistik, dan sejarah Islam. Alasannya, khususnya yang terakhir,
165 Di tempat lain dia menjelaskan: Dalam menilai, kita harus menguji secara
kritis metode-metode ilmu modern; konsep-konsep, teori-teori, dan simbol-simbolnya;
aspek-aspek empiris dan rasional serta aspek-aspek yang bersinggungan dengan nilai dan
etika; interpretasinya mengenai asal-usul; teorinya mengenai ilmu pengetahuan;
pemikirannya mengenai eksistensi dunia nyata, keseragaman alam raya dan rasionalitas
proses-proses alam; teorinya mengenai alam semesta; klasifikasinya mengenai ilmu;
batasan-batasan serta kaitannya antara satu ilmu dan ilmu-ilmu lain serta hubungan
sosialnya. Berdasarkan penafsiran epistemologis dan ontologisnya mengenai konsep
hdqq dan bathil dan konsep-konsep lain yang berkaitan, dia sampai pada suatu observasi
penting bahwa tidak semua fakta khususnya semua yang diciptakan manusia adalah
benar, jika tidak berada pada tempat yang betul dan tepat dan tidak sesuai dengan
pandangan hidup Islam. Lihat Syed M. Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics
of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, ISTAC
(Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), 144. 166 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib al-Attas, 337.
65
hal itu akan menjamin kesinambungan dan keterpaduan tahapan perkembangan
pendidikan dari ilmu-ilmu agama ke ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis
atau sebaliknya.
Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, bagi yang berpikiran dangkal,
mungkin akan menyangka bahwa memisahkan konsep-konsep Barat dan
memasukkan yang islami ini bersifat mekanis dan fisikal, yaitu berada di luar
pikiran dan jiwa, seakan-akan fakultas rasio dalam jiwa manusia adalah muatan
yang bersifat fisik dan elemen-elemen Barat dan Islam menjadi entitas fisikal di
dalamnya. Orang semacam ini gagal memahami apa yang sedang dibahas
sesungguhnya berkaitan dengan konsep-konsep, bukan dengan objek fisika.167
8. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Fiqh
Model ini digagas oleh Ismail Raji al-Faruqi168. Pada tahun 1982 ia
menulis sebuah buku berjudul Islamization of Knowledge: General Principles
and Work Plan diterbitkan oleh International Institute of Islamic Thought,
Washinton. Menjadikan al-Faruqi sebagai penggagas model integrasi keilmuan
berbasis fiqh memang tidak mudah, lebih-lebih karena ia termasuk pemikir
Muslim pertama yang mencetuskan gagasan perlunya Islamisasi Ilmu
Pengetahuan. Masalahnya pemikiran integrasi keilmuan Islam al-Faruqi tidak
berakar pada tradisi sains Islam yang pernah dikembangkan oleh al-Bīruni, Ibnu
Sīna, al-Farābi dan lain, melainkan berangkat dari pemikiran ulama fiqh dalam
167 Pada beberapa tempat, Al-Attas menjelaskan apa yang dia maksudkan
dengan kata-kata "dalam jiwa atau pikiran” (in the soul or mind):” Ketika berbicara
mengenai bentuk-bentuk intelligible yang berada "dalam" pikiran, atau imaji-imaji yang
berada di "dalam" imajinasi kognitif, kita tidak bermaksud bahwa bentuk- bentuk atau
imaji-imaji itu "termuat" di dalamnya. Namun, ia lebih merupakan konstruksi- konstruksi
intelek atau pikiran ketika proses penalaran semua bentuk intelligible itu terjadi sehingga
semuanya "hadir" di dalam akal (intellect), kemudian dianggap sebagai sesuatu yang
berada "di dalam" otak; dan produksi imajinasi kognitif ketika pikiran memproyeksikan
dunia nyata.” Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, para pembaca yang ceroboh mungkin
menganggap islamisasi sebagai suatu proses yang berkaitan dengan objek-objek
eksternal, kemudian mengaitkannya dengan sepeda, kereta api, bahkan bom Islam! Pada
tingkat yang agak lebih canggih, beberapa dari mereka, yang telah terbelenggu oleh
pandangan dualistis, memberikan perhatian yang sedikit sekali pada pengembangan yang
telah dilakukan oleh para cendekiawan dan pernikir Muslim yang mumpuni di segala
bidang. Mereka lebih cenderung memberikan penekanan yang berlebihan pada
pengembangan institusi-institusi, seakan-akan institusi-institusi itu dapat didirikan
dengan baik dan bertahan hidup tanpa partisipasi cendekiawan dan pemikir yang
mumpuni dan kreatif. Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan
Islam Syed M. Naquib al-Attas, 338. 168 Seorang sarjana Palestina-Amerika yang masyhur sebagai ahli Perbandingan
Agama. Ia pernah mengajar di Al-Azhar, Islamic Studies McGill University, juga sebagai
profesor filsafat agama pada Temple Universiaty.
66
menjadikan al-Qur’ān dan as-Sunnah sebagai puncak kebenaran.169 Kaidah fiqh
ialah kaedah penentuan hukum fiqh dalam ibadah yang dirumuskan oleh para
ahli fiqh Islam melalui deduksi al-Qur’ān dan keseluruhan korpus al-Hadith.
Pendekatan ini sama sekali tidak menggunakan warisan sains Islam yang
dipelopori oleh Ibn Sīna, al-Bīruni dan sebagainya. Bagi al-Faruqi, “sains Islam”
seperti itu tidak Islami karena tidak bersumber dari teks al-Qur’ān dan Hadith.
Kelemahan model ini ialah karena kaidah fiqh hanya menentukan status
sains dari segi hukum dan oleh karena itu hanya mampu melakukan Islamisasi
pada level aksiologis. Namun demikian, ketokohan al-Faruqi dan sumbangannya
tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan mendapat respek dari beberapa pemikir
Islam.170 Bagi al-Faruqi, Islamisasi ilmu harus beranjak dari Tauḥīd dan selalu
menekankan adanya kesatuan pengetahuan, yaitu disiplin untuk mencari
objektivitas yang rasional dan pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran;
kesatuan hidup, segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan
penciptaan; dan kesatuan sejarah, segala disiplin akan menerima yang ummatis
atau kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi pada tujuan-
tujuan ummah di dalam sejarah.
9. Model Kelompok Ijmali (Ijmali Group)
Pendekatan Ijmali dipelopori oleh Ziauddin Sardar yang memimpin
sebuah kelompok yang dinamainya Kumpulan Ijmali (Ijmali Group). Menurut
Ziauddin Sardar tujuan sains Islam bukan untuk mencari kebenaran akan tetapi
melakukan penyelidikan sains menurut kehendak masyarakat Muslim
berdasarkan etos Islam yang digali dari al-Qur’ān. Sardar yakin bahwa sains
adalah sarat nilai (value bounded) dan kegiatan sains lazim dijalankan dalam
suasana pemikiran atau paradigma tertentu. Pandangan ini mengikuti konsep
paradigma ilmu Thomas Kuhn. Sardar juga menggunakan konsep ‘adl dan ẓulm
sebagai kriterium untuk menentukan bidang sains yang perlu dikaji dan
dilaksanakan.171 Walaupun Sardar yakin dengan pendekatan Kuhn yang bukan
hanya merujuk kepada sistem nilai saja, tetapi kebenaran sains itu sendiri, namun
ia tidak langsung membicarakan kebenaran teori sains Barat itu sendiri.
Pandangan Sardar ini seakan-akan menerima semua penemuan sains Barat
modern dan hanya prihatin terhadap sistem nilai atau etos yang mendasari sains
tersebut. Dengan menggunakan beberapa istilah dari al-Qur’ān seperti Tauḥīd,
‘ibādah, khilāfah, halāl, harām, taqwa, ‘ilm dan istislah. Hampir senada dengan
169 Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain ia menulis
Artikel “ Pemelayuan, Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi dalam
Konteks Dasar Sains Negara”, 11. 170 I. Kalin, Three Views of Science in the Islamic World (Turki: University of
Istanbul, 2006), 14. 171 Kedua konsep ini merupakan sebagian dari sepuluh konsep yang disepakati
dalam sebuah seminar tentang "Pengetahuan dan Nilai" telah dilaksanakan di bawah
perlindungan International Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS) di
Stockholm pada September 1981. Lihat Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam
(Bandung: Pustaka Hidayah,1996), 33.
67
al-Faruqi, konsep-konsep yang dikemukakan oleh Sardar tidak merujuk pada
tradisi sains Islam klasik. Bagi Sardar sains adalah "is a basic problem-solving
tool of any civilization"172 (perangkat pemecahan masalah utama setiap
peradaban).
Sardar sebagaimana juga Naquib al-Attas memandang perlunya untuk
membangun konsep epistemologi Islam sebagai “pandangan dunia” (world view)
Islam. Sardar memandang bahwa ciri utama epistemologi Islam adalah: (1)
didasarkan atas suatu pedoman mutlak; (2) epistemologi Islam bersifat aktif dan
bukan pasif; (3) memandang objektivitas sebagai masalah umum; (4) sebagian
besar bersifat deduktif; (5) memaduka pengetahuan dengan nilai-nilai Islam; (6)
memandang pengetahuan bersifat inklusif; (7) menyusun pengalaman subyektif;
(8) perpaduan konsep tingkat kesadaran dengan tingkat pengalaman subyektif;
(9) tidak bertentangan dengan pandangan holistik. Dengan demikian
epistemologi sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan
pribadi dan pertumbuhan intelektual.173
172 I. Kalin, Three Views of Science in the Islamic World, 14. 173 Bahkan dalam salah satu tulisannya, Sardar menyusun ukuran-ukuran bagi
sains Islam, yaitu: (1) percaya Pada wahyu; (2) sains adalah saranauntuk mencapai ridla
Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial; (3) banyak
metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid;
(4) komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual
maupun sosial; (5) pemihakan pada kebenaran, yakni, apabila sains merupakan salah satu
bentuk ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya
sebagaimana juga terhadap hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan
konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen
tak bermoral; (6) adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas
sebuah pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada
tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif
pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya; (7)
menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak
meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga pengambil
keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika bukti yang
meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi akibat-akibat
destruktif dari aktivitas seseorang; (8) sintesa, cara yang dominan meningkatkan
kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilai-nilai; (9) holistik, sains adalah sebuah
aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan yang lebih kecil; la adalah
pemahaman interdisipliner dan holistik; (10) universalisme, buah sains adalah bagi
seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau
dijual; sesuatu yang tidak bermoral; (11) orientasi masyarakat, penggalian sains adalah
kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak
dan kewajiban yang meyakini adanya interdependensi antara keduanya; (12) orientasi
nilai, sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau
buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat; (13) loyalitas pada
Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru merupakan cara memahami ayat-ayat
Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaanNya: manusia, hutan dan
lingkungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi bagi usaha ini dan, karenanya, harus
didukung sebagai tindakan umum dan bukanlah usaha golongan tertentu; (14) manajemen
68
10. Model Kelompok Aligargh (Aligargh Group)
Model ini dipelopori oleh Zaki Kirmani yang memimpin Kelompok
Aligargh University, India. Model Kelompok Aligargh menyatakan bahwa sains
Islam berkembang dalam suasana ‘ilm dan tashkir untuk menghasilkan gabungan
ilmu dan etika. Pendek kata, sains Islam adalah sekaligus sains dan etika. Zaki
Kirmani menetapkan model penelitian yang berdasarkan berdasarkan wahyu dan
taqwa. Ia juga mengembangkan struktur sains Islam dengan menggunakan
konsep paradigma Thomas Kuhn. Kirmani kemudian menggagas makro
paradigma mutlak, mikro paradigma mutlak dan paradigma bayangan.174
Hasil survey terhadap literatur kontemporer ditemukan bahwa gagasan
para pemikir Muslim kontemporer tentang upaya untuk memadukan ilmu-ilmu
ke-Islam-an dengan ilmu-ilmu “umum” dapat dikelompokkan ke dalam 10 model
integrasi ilmu, yakni: 1) Model IFIAS (International Federation of Institutes of
Advance Study); 2) Model Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI); 3) Model
Islamic Worldview; 4) Model Struktur Pengetahuan Islam; 5) Model
Bucaillisme; 6) Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik; 7) Model
Integrasi Keilmuan Berbasis Taṣawuf; 8) Model Integrasi Keilmuan Berbasis
Fiqh; 9) Model Kelompok Ijmali (Ijmali Group); 10) Model Kelompok Aligargh
(Aligargh Group).
Kendati begitu banyak model integrasi ilmu ke-Islam-an yang
ditawarkan oleh para pemikir Muslim kontemporer, upaya membangun landasan
pengembangan keilmuan Islam mesti berangkat dari pandangan dasar Islam
tentang ilmu serta berbagai tantangan nyata yang dihadapi oleh umat Islam.
E. Integrasi Ilmu Versus Dikotomi Ilmu
Pencarian konsep tentang ilmu dan agama merupakan salah satu isu
sentral dalam sejarah pendidikan Islam. Gerakan Islamisasi dalam perkembangan
selanjutnya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia seperti politik,175 budaya,
ekonomi dan pendidikan. Konsep Islamisasi176 di bidang pendidikan terfokus
sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya, tidak boleh dibuang-buang dan
digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus
dipaksa oleh nilai etika dan moral; (15) tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada
perbedaan antara tujuan dan sarana sains. Keduanya semestinya diperbolehkan (halal),
yakni, dalam batas-batas etika dan moralitas. Lihat Ziauddin Sardar, Explorations in
Islamic sciences (London-New York: Mansell, 198), 97. 174 Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, 14-15. 175 Dalam diskursus pemikiran politik Islam, paling tidak ada tiga paradigma
pola hubungan agama dan negara, yaitu : Paradigma Integrated, Sekularistik dan
Simbiotik. Lihat Ridwan, Islam Kontekstual; Pertautan Dialektis Teks dengan Konteks
(Yogyakarta: Grafindo Lentera Media, 2009), 203. 176 Kata Islamisasi berasal dari bahasa Inggris “Islamization” yang artinya
pengislaman. Islamisasi bermakna to bring with in Islam. Makna yang lebih luas dari
Islamisasi menurut Armai Arief adalah proses pengislaman, dimana objeknya adalah
orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya. Sementara Abraham
Sulaiman, sebagaimana dikutip Masykuri Abdillah, Islamisasi itu untuk mencari ilmu
69
pada upaya pencarian landasan filosofis bangunan keilmuan Islam yang
melahirkan perdebatan di kalangan Muslim.
Di kalangan cendekiawan muslim terdapat pro dan kontra dalam
menyikapi isue integrasi ilmu/islamisasi ilmu pengetahuan. Masing-masing pihak
memiliki berbagai alasan yang cukup mendasar. Pihak yang pro berargumentasi
bahwa : (1) umat Islam membutuhkan sebuah sistem sains untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka, baik meterial maupun spiritual, sedangkan sistem
sains yang ada kini belum mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Karena ia banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam; (2)
kenyataan membuktikan bahwa sains modern telah menimbulkan ancaman-
ancaman bagi kelangsungan dan kehidupan umat manusia dan lingkungannya;
(3) umat Islam pernah memiliki suatu peradaban islami, yaitu sains bekembang
sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan umat, sehingga untuk menciptakan
kembali sains Islam dalam peradaban yang islami perlu dilakukan islamisasi
sains.177
Sedangkan pihak yang kontra berargumentasi bahwa dilihat dari segi
historis, perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat saat
ini banyak diilhami oleh para ulama Islam yang ditransformasikan terutama pada
“masa keemasan Islam”, sehingga mereka banyak berhutang budi terhadap
ilmuan muslim. Kerena itu, jika hendak meraih kemajuan di bidang iptek, maka
perlu melakukan transformasi besar-besaran dari Barat tanpa ada rasa curiga,
walaupun harus selalu waspada. Iptek adalah netral, ia bergantung kepada
pembawa dan pengembangnya. Karena itulah islamisasi ilmu pengetahuan adalah
tidak begitu penting, tetapi yang lebih penting justru adalah islamisasi subjek
atau pembawa dan pengembang iptek itu sendiri. Jika dicermati dari
argumentasinya, kedua pihak tersebut (pro dan kontra) sebenarnya mempunyai
pretensi yang sama, yaitu sama-sama menginginkan terwujudnya kemajuan
peradaban yang Islami dan masing-masing juga tidak menghendaki terpuruknya
kondisi umat Islam ditengah-tengah akselerasi perkembangan dan kemajuan
iptek. Hanya saja pihak yang pro lebih melihat dimensi ilmu pengetahaun sebagai
objek kajian yang perlu dicarikan landasan filosofisnya yang Islami, sedangkan
pihak yang kontra lebih melihat subjeknya atau pembawan dan pengembang
iptek itu sendiri yang harus Islami.
Kelompok yang menafikan berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
bersifat objektif, sehingga perbedaan antara ilmu pengetahuan modern dan Islam
adalah semu. Bagi mereka ilmu juga bersifat universal, sehingga bisa berlaku
sama di mana saja di Barat maupun di Timur. Di antara para tokoh yang tidak
baru yang berbeda dengan Barat. Lihat Masykuri Abdillah dalam Kusmana, integrasi
keilmuan, 235. 177 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 43.
70
setuju terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan ini adalah Fazlur Rahman,178 Pervez
Hoodbhoy179 dan Muhammad Abdus Salam180.
Pervez Hoodbhoy (1991) adalah seorang fisikawan yang cukup dikenal
di Universitas Quad-i-azam di Pakistan. Dalam bukunya Islam dan Sciense, ia
menyatakan bahwa “tidak ada yang disebut ilmu Islami dan semua upaya untuk
mengislamkan ilmu akan mengalami kegagalan”. Alasannya tentu saja
universalitas dan objektivitas ilmu. Untuk memperkuat argumennya ia
mengemukakan kasus Abdus Salam dan Stevenweinberg, dua fisikawan yang
berbagi hadiah novel tahun 1976 dalam bidang fisika, karena keduanya telah
berhasil menyatukan kekuatan-kekuatan lemah elektro-maagnetik yang ada pada
alam, padahal yang satu bergama Islam dan yang lain terus terang mengaku
ateis.181
Sedangkan bagi kelompok yang membenarkan adanya perbedaan
fundamental antara epistemologi modern dan Islami, berpandangan bahwa ilmu
pengetahuan tidak bisa sama sekali terlepas dari subjektivitas sang ilmuan dan
karena itu ilmu tidak bisa dikatakan objektif, bebas nilai dan universal. Rolston
(1987), seorang profesor filsafat di Colorado State University yang mendapat
gelar di bidang fisika dan metematika, misalnya menyatakan dalam bukunya
178 Fazlur Rahman menyangsikan keberhasilan usaha Islamisi ilmu dengan
menyatakan bahwa pengetahuan kontemporer itu merefleksikan etos Barat. Ia
menegaskan bahwa orang tidak dapat menemukan suatu metodologi atau merinci suatu
strategi untuk mencapai pengetahuan Islami. Menurutnya satu-satunya harapan umat
Islam untuk menghasilkan Islamisasi adalah memelihara pemikiran umat Islam. Lihat
Fazlur Rahman, Islamization of Knowledge: A Respone. “American Journal of Islamic
Social Science”, (1998), 3-11. 179 Menurut Pervez Hoodbhoy, bahwa sains Islam tidak mengarah pada
pembuatan mesin atau instrument sains, sintesis senyawa kimia atau obat-obatan yang
baru, rencana percobaan baru atau penemuan hal-hal yang sampai sekarang belum
diketahui dengan fakta fisik yang dapat diuji. Lihat Pervez Hoodbhoy, Islam and Science;
Religion Orthodoxy and The Battle for Rationality (London an New Jersey: Zed Books
ltd, 1991), 77. 180 Menurut Muhammad Abdus Salam, bahwa mereka (tokoh Islamisasi) telah
melakukan perkerjaan yang merugikan sains di negara-negara Islam, bila mereka
menyeru kepada sains Islami yang dimotivasi secara religious dan bukan secara kultural,
apapun maknanya. Hanya ada satu sains universal, persoalan dan faktanya mendunia.
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa tidak ada yang disebut dengan sains Islam
sebagaimana tidak ada pula sains Hindu, sains Konghucu serta sains Kristen. Lihat
Muhammad Abdus Salam dalam Pervez Hoodbhoy, Islam and Science, ix. Bahkan,
menurut Amin Aziz bahwa yang harus diislamkan adalah orang atau manusianya, bukan
ilmu pengetahuan atau apapun obyek lainnya termasuk negara. Jadi, yang harus
menganut pada prinsip tauḥīd adalah pemeluk atau pencari ilmu itu sendiri bukan
ilmunya. Lihat M. Amin Aziz “Islamisasi ilmu sebagai Isu dalam Ulūm al-Qur’ān, Vol.
III, No. 41192, 3. Baca pula Norlaila, “Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-
Faruqi,” Al-banjar, Vol. 7, No. 1 Januari, (2008) : 42. 181 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan, 44.
71
Science and Religion: A Critical Survey, ia mengatakan bahwa “seorang peneliti
akan terwarnai oleh apa yang mereka teliti atau paling tidak menyumbang skema
konseptual yang menyaring apa yang mereka ketahui”.
Dapat ditegaskan bahwa beberapa ilmuan Barat berpihak pada pemikiran
materialistik atau alam positif, yakni pembahasan seputar alam harus dijauhkan
dari Tuhan. Karena pembahasan seputar alam dianggap semakin otonom dan
alam tercipta dengan sendirinya (self generating), di samping keteguhan mereka
tidak menerima kajian seputar hal-hal yang bersifat spiritual182. Demikian juga
yang terjadi pada umat Islam, yakni: Adanya dikotomi di kalangan ulama Islam
yang tidak begitu memahami atau salah faham terhadap pemikiran Al-Ghazāli,
sehingga mereka memisahkan ilmu-ilmu agama dari sains dan teknologi183.
Berbagai pemikiran para ilmuan Barat yang berusaha memisahkan
hubungan ilmu dan agama sebagai upaya sekularisasi dalam metode ilmiah
sebagai berikut;
1. Pierre Simon de Laplace menyatakan; “I mistrust anything but the direct
result of obsevation and calculation / saya mencurigai atau tidak percaya
apa pun (sebagai sumber ilmu) kecuali hasil langsung observasi dan
kalkulasi)”. Di samping Laplace juga menguatkan statement-nya ketika
Kaisar Napoleon menanyakan “mengapa dalam buku karyamu tidak
disinggung nama Tuhan”. Laplace menjawab; I don’t need that kind of
hypothesis / saya tidak butuh hipotesis seperti itu. Dalam pernyataan ini
Laplace memposisikan Tuhan sebagai hipotesis.184
2. Charles Darwin185 menyatakan; alam telah berkembang secara perlahan
(evolutif) dari satu tingkat wujud ke tingkat lainnya yang lebih tinggi,
dari mineral sampai manusia. Demikian pula dengan munculnya spesies-
182 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam,
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), Cet II, 87. 183 Ashaari Muhammad al-Tamimi, Membangun Sains dan Teknologi Menurut
Kehendak Tuhan (Jakarta: Giliran Timur, 2007), 30. 184 Pierre Simon de Laplace adalah seorang astronom dan filosof Prancis yang
pertama kali merintis teori Big Bang, di samping kepercayaannya secara penuh pada
determinisme mekanis. Laplace menganggap bahwa Tuhan dipandang sebagai hipotesis
yang tidak diperlukan. Baginya determinisme mekanik telah cukup untuk menjelaskan
dengan baik apa yang terjadi di alam raya ini, disamping anggapannya bahwa Tuhan
telah berhenti menjadi pencipta, pemelihara ataupun perusak alam ini. Lihat Mulyadhi
Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam, 87. 185 Darwin merupakan penganut agama Kristen yang taat, namun kemudian
menjadi ateis. Teori seleksi alamiah ini berangsur-angsur mengesampingkan Tuhan
dalam teori-teorinya tentang penciptaan spesies-spesies tersebut. Darwin pun
mengatakan; Dahulu orang boleh percaya kepada Tuhan setelah menyaksikan adanya
keserasian pada alam, namun kini telah ditemukan hukum seleksi alamiah sehingga untuk
mampu bertahan hidup, maka makhluk hidup harus mampu mengubah dan
menciptakannya sendiri dengan kukuh dan ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan
kekuatan-kekuatan diluar dirinya seperti kekuatan Tuhan. Lihat Nora Barlow (ed.), The
Autobiography of Charles Darwin (London: Collins, 1958), 87.
72
spesies pada tumbuhan dan hewan terjadi karena faktor lingkungan.
Keinginan untuk hidup (survive) di tengah-tengah kelangkaan bahan
makanan ini, telah bertanggung jawab atas terjadinya transmutasi di
antara makhluk-makhluk tersebut, yakni makhluk hidup harus mampu
menyesuaikan diri dengan cara mengikuti perubahan bentuk maupun
struktural agar mampu bertahan hidup (the survival of the fittest).
3. Sigmund Freud186 menyatakan agama sebagai ilusi dan agama akan
segera ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena kemungkinan benarnya
sangat tipis, setipis harapan seorang gadis desa yang ingin dipersunting
oleh seorang pangeran. Karena agama dikembangkan oleh manusia pada
tahap primitif atas dasar ketidakberdayaan dalam menghadapi tantangan
alam. Oleh karena itu, sebetulnya Tuhan bukan pencipta manusia,
sebaliknya pikiran manusialah yang menciptakan Tuhan.
4. Emile Durkheim187 berusaha mengembangkan sebuah sistem ilmu dan
pendidikan yang cocok dengan pandangan masyarakatnya yang sekular.
Ilmu pengetahuan telah mengajarkan kepadanya bahwa tidak ada suatu
apapun dibalik hal yang positif, termasuk Tuhan. Durkheim pun
menambahkan “apa yang kita sebut Tuhan, tidak lain sebetulnya muncul
dari pikiran masyarakat, karena pikiran masyarakatlah yang mampu
mengakomodasi segala sifat yang biasanya ditujukan kepada Tuhan”.
5. Siger Van Brabant dan Boethius Decie (tokoh Avveroisme)188
berpendirian bahwa kesimpulan filsafat yang berdasarkan logika murni
186 Sigmund Freud seorang filosof Yahudi Austria yang terkenal dengan nama
bapak psikoanalis. Lihat Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh
Dalam Sejarah (Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 2006), 1-3. 187 Emile Durkheim adalah seorang sosiolog Prancis abad ke-19 dan awal abad
ke-20. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam,
91. 188 Pada abad 13 M, perkembangan gerakan Averroisme ke wilayah Eropa lebih
mengedepankan aspek akal dan menolak faham-faham gereja yang dianggap tidak sesuai
dengan akal. Gerakan Averroisme meyakini pandangan Ibnu Rusyd tentang
keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, namun di sisi lain mengalami
konflik dengan ajaran-ajaran Kristen, ketika berhasil ditemukannya metode-metode
eksperimentasi dan observasi tentang konklusi-konklusi ilmu pengetahuan yang
bertentangan dengan keyakinan agama Kristen. Hanya saja metode logika ilmiah
Aristoteles yang dikembangkan oleh Ibnu Rusyd dalam menunjukkan dan membuktikan
kebenaran selalu bertentangan dengan kepercayaan agama mereka. Dalam konteks
sejarah, pada abad ke-13 tersebut, para pemikir Barat menganut konsep kebenaran ganda
(double truth). Mereka memandang bahwa kebenaran yang dihasilkan oleh pemikiran
filosofis adalah benar, tetapi bertentangan dengan kepercayaan Kristen. Namun mereka
masih meyakini kebenaran Kristen sebagai kebenaran terakhir. Pada abad ke-14, para
pemikir Avveroisme mulai bersikap skeptis terhadap agama. Untuk mengekspresikan
sikap anti agamanya, para pemikir avveroisme ini membuat berbagai karya tulis yang
mengarah pada pemberontakan terhadap ortodoksi Kristen, karena Kristen yang ortodok
sebenarnya tidak sesuai dengan pendirian mereka sebagai orang-orang yang rasional
73
tidak sejalan dengan kepercayaan agama Kristen. Karena dua tokoh
tersebut memandang kebenaran keyakinan agama lebih utama dari pada
kebenaran filosofis. Walaupun keduanya berusaha menemukan titik temu
bahwa kebenaran akal harus ditundukkan demi kepentingan kebenaran
agama dan Frederich Nietszche (1844-1900) dengan terang-terangan
memproklamasikan kematian Tuhan melalui ucapannya yang terkenal
dengan “God is dead”.189
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat, para ilmuan di atas
juga menolak keberadaan agama, karena agama dalam pandangan mereka
membawa kemunduran dan bertentangan dengan semangat rasional mereka.
Tuhan tidak boleh diikutkan dalam pengembangan ilmu, karena materi adalah
segalanya. Sebagaimana ajaran Averroisme yang menyelewengkan pemikiran
murni Ibnu Rushdy tentang qadīm-nya alam yang dikembangkan dalam ilmu
kimia dengan teori “kekekalan massa atau kekekalan materi”, menurut teori ini,
alam semesta tidak pernah diciptakan, tetapi ada selama-lamanya, sejak waktu
yang tidak terhingga yang akan datang.
Dalam Islam konsep integrasi memiliki beberapa varian. Zainuddin190
mengelompokkan pemikir integrasi tersebut dalam tiga kelompok:
sebagaimana Ibnu rusyd. Lihat Muhammad Iqbal, Ibn Rushdy & Averroisme Sebuah
Pemberontakan Terhadap Agama (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), 101-102. 189 Pada abad pertengahan, para pemikir cenderung senang menguji setiap ajaran
filsafat dari segi kesesuaian ataupun pertentangannya dengan ajaran agama dan
interpretasi yang dikembangkan gereja. Jika bertentangan antar keduanya, maka
keimanan (faith) harus diutamakan atas penalaran (reason), karena pengembangan
filsafat harus difungsikan untuk memperkuat keyakinan agama. Lorenzo Valla (1406-
1457) mengembangkan filsafat hedonisme dengan menegaskan bahwa kebaikan yang
tertinggi adalah kesenangan dan kepuasan sensual. Valla menolak segala hal yang berbau
agama (Kristen). Machiavelli (1467-1527) merumuskan filsafat politiknya yang terbebas
dari nilai-nilai moral dan agama. Pada masa Rene Descartes (1596-1650) abad ke-17
yang dianggap sebagai Bapak filsafat Barat modern, pemikiran-pemikiran yang
memisahkan agama dari kehidupan semakin mendapatkan lahan yang subur. Para filosof
Barat menolak ilmu agama Kristen dan buku-buku yang menjadi dasar-dasar agama.
Descartes sendiri menyatakan bahwa moralitas dan agama yang bersifat abstrak dan
terkadang tidak dapat dilogikakan karena tidak memiliki hubungan dengan nalar
(reason). Rosseau (1712-1778) dan Voltaire (1694-1778) bersikap lebih keras lagi. Ia
mengecam gereja dalam segala lapangan dan dogma ajaran Kristen. Menurutnya setiap
orang yang berpikiran waras harus takut terhadap Kristen. Pada abad ke 19, filosof
August Comte (1798-1857) mengembangkan filsafat positivisme yang menyingkirkan
keimanan dan moral, karena dianggap tidak indrawi dan tidak bisa diukur dengan
matematika. Karl Marx (1818-1883) yang dianggap sebagai “nabi” bagi kaum
komunisme, menyerang agama dan menganggapnya sebagai candu yang membius. Lihat
Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averroisme Sebuah Pemberontakan Terhadap Agama,
102. 190 M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Islam (Bayumedia: Malang, 2003),
46.
74
Pertama, kelompok Bucaillian, pengikut Maurice Bucaille seorang ahli
bedah perancis penulis buku The Bible the Qur’ān and Science, kelompok ini
beranggapan bahwa ilmu bersifat universal dan netral dan semuanya dapat
diketemukan dalam al-Qur’ān. Pandangan ini dianggap naif oleh Ziauddin Sardar
karena al-Qur’ān dianggap sebagai ensiklopedi ilmu. Pandangan ini juga
dianggap mengandung bahaya karena sikap seorang Muslim terhadap penemuan-
penemuan baru dalam ilmu hanyalah mencocok-cocokan penemuan ilmiah
dengan ayat-ayat al-Qur’ān. Kebenaran al-Qur’ān adalah mutlak, sementara
kebenaran ilmu adalah relatif. Apabila di kemudian hari suatu penemuan ilmiah
digugurkan oleh penemuan yang lain, akan memunculkan pertanyaan apakah
berarti ayat al-Qur’ānnya juga ikut gugur.
Kedua, kelompok Islamisasi ilmu. Kelompok ini ingin membangun
persemakmuran ilmu di negara-negara Islam. Tokoh terpenting yang tergabung
di sisi adalah Muhammad Naquib al-Attas191 dan Ismail Raji al-Faruqi192. Mereka
191 Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah ilmuan berkewarganegaraan
Malaysia, lahir di Bogor, Jawa Barat Indonesia pada 05 September 1931. Ayahnya
bernama Syed Ali al-Attas. Pada usia 5 tahun ia pindah ke Malaysia dan pada zaman
Jepang pindah lagi ke Indonesia dan belajar Bahasa Arab di pesantren al-Urwah al-
Wusqa di Sukabumi. Pendidikan formal ditempuh di English College di Johor Malaysia,
kemudian ke Royal Militery Academi, Sandhurst Inggris (1955), Kajian Ilmu Sosial di
Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1959). Gelar MA diperoleh di McGill University,
Kanada (1962) di bidang Teologi dan Metafisika. Gelar Ph.D ia peroleh di The School of
Oriental and African Studies, The University of London (1966). Al-Attas menjadi Dekan
Fakultas Sastra di Universitas Malaya (1968-1970), Pendiri Institut Sastra, Universitas
Kebangsaan Malaysia (1970-1973), Pendiri Institus Bahasa, Kesusastraan dan
Kebudayaan Melayu, salah seorang pendiri Universitas Islam Antar Bangsa, malaysia
(1987) serta pendiri pimpinan internasional Institute of Islamic Thought and Civilizations
(ISTAC) 1989 hingga 2002. Al-Attas telah menghasilkan lebih dari 26 judul buku dan 27
artikel ilmah. Berkat karya ilmiahnya itu ia mendapat penghargaan dari The Imperial
Iranian Academy of Philosphy (1975) dari Pakistan atas kajiannya terhadap Iqbal serta
pemegang pertama kursi kehormatan al-Ghazali dalam Studi Pemikiran Islam. Lihat
Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2013),
255. 192 Isma’il Raji al-Faruqi lahir di daerah Jaffa, Palestina pada 1 Januari 1921. Al-
Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres, Libanon sejak 1926 hingga
1936. Pendidikan tinggi ia temmpuh di The American University di Beirut. Gelar sarjana
muda pun ia gapai pada 1941. Lulus sarjana, ia kembali ke tanah kelahirannya menjadi
pegawai di pemerintahan Palestina di bawah mandat Inggris selama empat tahaun,
sebelum akhirnya diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir. Namun, pada 1947,
provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel, hingga ia pun hijrah ke Amerika
Serikat. Di negeri paman sam itu garis hidupnya berubah. Ia dengan tekun menggeluti
dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang filsafat ia raih dari
universitas Indiana, AS pada 1949 dan gelar master keduanya dari Universitas Harvard
dengan judul tesis On Justifying The God: Metaphysic and Epistemology of Value
(Tentang kebenaran kebaikan; Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Sementara gelar
doktornya diraih dari Universitas Indiana.Lihat Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perspektif
Barat dan Islam, 261.
75
mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan
meletakkan kembali otoritas wahyu dan intuisi menjadi satu. Beberapa
pandangan kedua tokoh ini terutama al-Attas sedikit banyak terlihat
keterpengaruhnya dengan tokoh Mullā Sadrā.
Ketiga, kelompok yang diwakili oleh Ziauddin Sardar dan Fazlur
Rahman. Kelompok ini ingin membangun paradigma baru (epistemologi) Islam,
meliputi paradigma pengetahuan dan paradigma perilaku. Paradigma
pengetahauan memusatkan perhatian pada prinsip, konsep dan nilai utama Islam.
Adapaun paradigma perilaku menentukkan batas-batas etis bagi ilmuan. Ilmu
berawal dari al-Qur’ān tidak seperti Bucaille dan al-Faruqi yang berakhir pada al-
Qur’ān.
Tokoh pendidikan lainnya adalah Amin Abdullah, Kuntowijoyo, Zaenal
Abidin Bagir dan Imam Suprayogo. Amin Abdullah menawarkan pendekatan
Interkoneksitas.193 Pendekatan ini merupakan pendekatan yang tidak saling
melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan
integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi.
Suatu perbuatan disebut obyektif bila perbuatan itu dirasakan oleh orang non
Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan
keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap
menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal.194
Menurut Amin Abdullah, sebenarnya pendekatan keilmuan umum dan
Islam dapat dibagi menjadi tiga corak, yaitu; Pertama, pendekatan pararel yaitu
masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa
ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan lainnya. Kedua, pendekatan
linear, yaitu salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada
kemungkinan berat sebelah dan ketiga, pendekatan sirkular, yaitu masing-
masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan
kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil
manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain
serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada
diri sendiri.195
Kuntowijoyo menawarkan model ilmu-ilmu integralistik. Menurutnya,
integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu
Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan
193 Interkoneksitas adalah usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan
yang dihadapi dan dijalani manusia, sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik
keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri
sendiri, maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling
koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan. Lihat Amin Abdullah, Islamic
Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), Cet 1, 219-223. 194 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epitemologi, Metodologi dan Etika
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), 50. 195 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, 213.
76
Tuhan (sekulerisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticism).196
Sedangkan Zaenal Abidin Bagir sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara
mempunyai konsep integrasi konstruktif, yaitu integrasi yang menghasilkan
kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah atau bahkan
integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul
jika keduanya berjalan sendiri-sendiri. Walaupun menurutnya konsep ini
mengandung kelemahan, yaitu adanya kesan penaklukan, seperti teologi
ditaklukkan oleh sains.197
Imam Suprayogo, menawarkan model integrasi dengan menjadikan al-
Qur’ān dan as-Sunnah198 sebagai grand theory pengetahuan, sehingga integrasi
ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah dapat dipakai.199 Sementara Soetandyo
Wingyosoebroto menawarkan tiga model pengintegrasian ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum. Pertama, dengan menyatukan atau mensenyawakan. Menurutnya
apakah ini mungkin, karena akan berkonsekuensi pada pemikiran untuk
menggantikan paradigma epistemologisnya, dari apa yang disebut metode
dualisme ke metode monisme. Kedua, dengan mempersatukan ilmu agama yang
normatif-tekstual yang berkenaan dengan segala fenomena dengan ilmu
pengetahuan yang sainstifik-kontektual yang hanya berkenaan dengan segala
fenomena empirik. Ketiga, menempatkan ilmu agama yang normatif dan ilmu
pengetahuan yang bertradisi sains itu tetap dalam ranah masing-masing yang
otonom, sebagai dua wujud yang ditempatkan dalam suatu garis progresi secara
terpisah, namun dalam hubungan antara keduanya yang fungsional dan
komplementer.200
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa diskursus integrasi
ilmu agama dan ilmu umum masih menjadi perdebatan dikalangan ilmuan
muslim dan barat. Akar perdebatan tersebut diantaranya adalah persoalan
perspektif filosofis yang mendasari bangunan keilmuan, yakni ilmu itu bebas
nilai atau tidak bebas nilai.
196 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, 55. 197 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Arasy Mizan, 2005), 208-223. 198 H. M. Rosyidi menekankan perlunya menjadikan al-Qur’ān dan Sunnah
sebagai pedoman hidup umat Islam. Menurutnya, dengan mengutip pendapat Roger
Garaudy bahwa ajaran Islam diperlukan oleh umat manusia demi kelestarian manusia itu
sendiri. Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-
19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), vii. 199 Imam suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama dalam Pengalaman
UIN Malang. Zainal Abidin Bagir, ed (Malang: UIN Press, 2004), 49. 200 Soetandyo Wignyosoebroto, “Perspektif Filosofis Integrasi Agama dan
Sains” dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam. ed. M. Zainuddin
(Malang: UIN Press, 2004), 47.
77
BAB III
REINTEGRASI ILMU DALAM REKONSTRUKSI
HOLISTIK MULLĀ SADRĀ
Dalam menyelami ilmu dan agama, membedakan dalam dua ranah
pencermatan, maka Pemikiran Mullā Sadrā, sebagai bagian dari fragmentasi
perkembangan pemikiran Islam, secara cerdas dan jernih menempatkan
kedudukan ilmu dan agama pada posisi yang harmonis. Tidak salah tentunya
apabila ada ungkapan bahwa kemajuan pemikiran Islam terjadi manakala agama
secara mutualis menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan ilmu. Agama
bukan penghambat perkembangan ilmu sebagaimana terjadi di Barat tetapi justru
merupakan pendorong sekaligus ruh bagi karakteristik keilmuan Islam. Mullā
Sadrā adalah tokoh yang hidup sezaman dengan Galileo Galilei.201 Artinya ketika
di Barat sedang terjadi kebuntuan pemahaman tentang ilmu dan agama, Mullā
Sadrā telah mempunyai konsep yang cemerlang untuk menjawab kebuntuan itu.
Satu kondisi atmosfir keilmuan yang sangat kontras karena di Barat sedang
terjadi konfrontasi antara ilmu dan agama sedangkan di dunia Islam hubungan
ilmu dan agama justru mengalami penguatan. Pada bab ini akan dipaparkan
berbagai hal yang terkait dengan pemikiran Mullā Sadrā yang meliputi Biografi
Mullā Sadrā, latar belakang corak pemikiran Mullā Sadrā, yang meliputi filsafat
peripatetik, illuminasionisme dan gnostik serta diakhir dengan membahas Tauḥīd
sebagai prinsip utama integrasi ilmu.
A. Biografi Mullā Sadrā
1. Riwayat Hidup
Sadr al-Dīn Sirāzi adalah salah seorang filosof yang paling dihormati
dalam Islam, khususnya di kalangan intelektual Muslim sekarang ini. Nama
lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ibrāhīm al-Qawami al-Sīrazi, yang dikenal
dengan Mullā Sadrā. Gelar kehormatannya Shadr al-Dīn (Ahli Agama),
menunjukkan derajat tingginya di dalam lingkaran teologis tradisional,
sementara sebutannya sebagai “Teladan” atau Otoritas Filosof- filosof Ilahi
(Sadr al-Muta’allihīn) menandakan posisi uniknya di mata generasi-generasi
filosof yang datang setelahnya. Ia lahir di Shiraz, Persia Selatan, pada 979
H/1572 M dari sebuah keluarga yang berada. Ayahnya konon adalah menteri
201 Galileo Galilei adalah salah satu tokoh yang menjadi saksi sekaligus korban
kebiadaban Paus dengan hegemoni gereja ketika itu. Akibat teori Heliocentris (matahari
sebagai pusat tata surya) yang dipromosikannya, ia terpaksa “diseret” ke pengadilan
inguisisi kemudian dipaksa meralat dan mencabut teorinya itu. Jika menolak berarti
memasang diri untuk dihukum. Mengapa ? sebab gereja menganut doktrin Geocentris
(bumi sebagai pusat tata surya). Mungkin, menurut pihak gereja, jika teori Heliocentris
ini diterima berarti secara tidak langsung merendahkan martabat Paus sebagai wakil
Tuhan di muka bumi. Galileo tidak berdaya menghadapi tekanan gereja, secara terpaksa
ia mencabut teorinya itu. Meski orang-orang tahu, Galileo dipihak yang benar. Lihat M.
Ardiansyah, 20 Catatan Kritis Untuk Kaum Liberal (Pustaka Luma al-Misykat: Jakarta,
2013), xiv.
78
dalam istana Shafawiyyah, sekaligus seorang ulama. Shadr al-Dīn, menurut suatu
riwayat telah berhaji ke Makkah sebanyak enam kali dan dalam perjalanan yang
ketujuh pada 1050 H/1640 M ia meninggal dan di kuburkan di Basrah.202
Biografi pribadinya tidak banyak diketahui orang, namun catatan
otobiografis yang tercantum dalam pengantar magnum opusnya, al-Asfār al-
Arbaʽah memberikan banyak informasi kehidupam intelektual dan spiritualnya.
Mullā Sadrā sejak menjadi seorang murid telah menunjukkan ketertarikan dan
mengabdikan sepenuh hati pada teosofi atau teologis filosofis. Ia mempelajari
ḥikmah dari tradisi masa lalu (paripatetisme dan iluminisme) dan dengan
penemuan intelektualnya sendiri ia ingin menyatukan hikmah para guru
pendahulunya. Upaya ini mengundang sejumlah kritik perlawanan kuat dari para
agamawan yang menganut paham tradisional, karena sebagaimana yang
dikatakan oleh Muhammad Ridha al-Muzhaffar, bahwa pandangan ontologis
Sadrā yang tertuang dalam risālah Ṭarh al-Kunain menunjukkan dukungan
Sadrā terhadap ajaran waḥdah al-Wujūd (kesatuan wujud).203
Kebanyakan sejarawan dan komentator atas karya-karyanya membagi
kehidupannya menjadi tiga periode terpisah.204
1. Masa Pendidikan Formal
Masa ini, ia lalui di Sīraz dan Isfahan. Perlu diketahui bahwa selama
berabad-abad, sebelum kemunculan dinasti Safawi, Sīraz telah menjadi pusat
filsafat Islam dan disiplin-disiplin tradisional lainnya. Posisi ini terus berlanjut
sampai abad ke-10/ke-16, meskipun fungsinya tidak lagi sehebat sebelumnya. Di
dalam tradisi pendidikan inilah Mullā Sadrā memperoleh pendidikan awalnya.
Merasa tidak puas dengan apa yang diperolehnya di Sīraz, dia berangkat ke
Isfahan. Ketika itu, Isfahan telah menjadi pusat intelektual yang penting di Persia
202 Hossein Ziai, ”Mullā Sadrā: Kehidupan dan Karyanya”, dalam Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 902. 203 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Sadrā (State University of New
York: Albany Press, 1975), 2. 204 Sedangkan menurut Ridha al-Muzhaffar, ia membagi kehidupan Mullā Sadrā
dalam tiga fase. Fase Pertama, studinya di Isfahan (kira-kira tahun 1587-1610). Selama
periode ini ia mendalami filsafat Peripatetik, Neo-platonisme dan berbagai pandangan
filsuf dan teolog Muslim, seperti Ibnu Sina dan at-Tusi, filsuf Iluminasionis seperti
shuhrawardi dan filsuf mistik Ibnu Arabi. Seluruh tokoh ini mempengaruhi filsafatnya.
Fase Kedua (1610-1625) merupakan pengasingan diri dan Uzlah-nya di desa kecil kahak,
sekitar wilayah Qum selama 15 tahun. Sebagaimana ia katakan bahwa meskipu ia mulai
pengasingannya dari kekecewaan secara total dengan dunia dan kegagalan spekulasi
filosofis, ia menyerahkan kehendaknya kepada Tuhan dan memulai meditasi dan
kontemplasi atas berbagai kesulitan fundamental tentang yang ada melalui sesuatu yang
diistilahkan dengan intuitive invasion from without. Fase Ketiga (1625-1641), Mullā
Sadrā mulai mengajar di Madrasah yang dibangun dan ditunjang oleh bangsawan
Shafawiyyah, Allāhwirdī Khān di Shiraz dan mulai menulis karya-karya filosofisnya dan
religiusnya. Karya terbesar yang merupakan magnum opus-nya adalah Al-Hikmat Al-
Muta’āliyah fi’l Asfar Al-‘Aqliyah Al-Arba’ah (kearifan puncak dalam empat perjalanan
intelektual), sering hanya disebut dengan Asfar. Lihat Arqom Kuswanjono, Integrasi
Ilmu dan Agama (Yogyakarta: Penerbit Lima, 2010), 11-12.
79
dan mungkin di belahan Timur dunia Islam secara keseluruhan.205
Isfahan tidak mengecewakan Sadrā, karena di sini ia menjumpai
beberapa orang murshid yang memberikan pengaruh mendalam terhadap dirinya.
Di sini ia belajar dan mendalami pengetahuan pada tokoh-tokoh terkemuka saat
itu : Bahā al-Dīn al-Amili ( w . 1 6 2 1 M), Mīr Dāmād (w. 1631 M) dan Mīr
Abdul Qāsim Findirishi (w.1641M). Dengan Bahā al-Dīn al-Amili, Sadrā belajar
al-ulūm al-Naqliyyah (transmitted sciences) seperti tafsīr Qur’ān dan Fiqh.
Sedangkan dengan Mīr Dāmād yang memiliki nama lengkap Sayyid Bagir
Muhammad Astarabadi, Sadrā belajar al-ulūm al-Aqliyyah (Intellectual
sciences), yaitu perpaduan antara prinsi-prinsip filsafat Ibnu Sīna dengan doktrin
illuminasi Syuhrawardī. Dan dengan Mīr Abdul Qāsim Findirishi, Sadrā belajar
tentang filsafat Peripatetik dan Asketisme sufi.
Al-Amili adalah seorang saintis, ahli hukum (fiqh), teolog, arsitek dan
pujangga, sedangkan Mīr Dāmād adalah seorang teolog, filosof dan mistikus di
samping pujangga, ia mengajar filsafat Ibn Sīna dengan interpretasi Ishrāqiyyah
(illuminatif). Karya yang merupakan master piecenya, Qabasat (Fire Brands)
menjelaskan tentang pergumulan antara filsafat, teologi dan gnosis. Tokoh inilah
yang mendirikan ajaran yang kemudian dikembangkan Mullā Sadrā, yakni al-
ḥikmah al-mutaʽāliyah (Transcendent Theosophy). Sementara itu al-Findirishi
adalah seorang guru besar bidang filsafat Ibn Sīna yang banyak belajar dan
menulis komentar tentang Hindu dan Yoga206 di bawah bimbingan para murshid
tersebut, Mullā Sadrā dengan cepat menjadi tokoh yang berwibawa dalam bidang
ilmu keislaman dan kemudian mencari peringkat yang melebihi gurunya sendiri.
2. Masa Pelatihan Spiritual
Setelah periode formal studinya, Mullā Sadrā ʽuzlah (mengasingkan diri)
dan menghabiskan beberapa tahun untuk meditasi dan latihan spiritual. Ia
memilih mengasingkan diri di desa kecil, Kahak, tidak jauh dari kota suci Qum.
Periode ini menandai kesibukan Mullā Sadrā yang kian meningkat dengan
kehidupan kontemplatif dan juga merupakan tahun-tahun diletakkannya dasar-
dasar bagi kebnyakan karya utamanya. Periode ini ditandai dengan periode
panjang meditasi dan praktek spiritual yang menyertai dan melengkapi studi
formalnya. Sehingga menyempurnakan program untuk melatih seorang filosof
sejati menurut Suhrawardi. Selama periode inilah tercapai pengetahuan yang
kemudian mengkristal dalam banyak karyanya.207 Pengaruh dari pengasingan itu
adalah karis filsafatnya yang luar biasa. Perubahan besar pemikirannya adalah
dari esensialisme ke eksistensialisme. Pada masa itu juga ia juga telah
menyelesaikan outline Asfarnya.
205 Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mullā Sadrā (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), 44. 206 A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), 8. 207 Hossein Ziai, ”Mullā Sadrā: Kehidupan dan Karyanya”, dalam Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, 904.
80
Bagi Sadrā latihan rohani adalah satu keperluan asas dan penting bagi
mereka yang bercita-cita untuk mencapai “rahasia Ilahi” dan menghirup udara
suci ilmu hakikat yang dinamakan Hikmat Ilahi atau ilmu Ilahiyat (teosofi).
Dengan sunyi menyendiri semua keperluan jiwa yang ingin bermujahadah akan
dapat dicapai dan pertemuan dengan alam ruhani pada “diri batin yang tentram”
adalah syarat awal bagi penghidupan spiritual yang sebenarnya. Mullā Sadrā
menjalani kehidupan menyendiri ini dalam jangka waktu kira-kira tujuh tahun,
tetapi ada sumber lain yang menyatakan sebelas tahun dan ada pula yang
menyatakan lima belas tahun. Sadra mengabdikan dirinya dengan renungan
kalbu dan latihan ruhani lainnya hingga akhirnya keluar dari persemadian ini
sebagai seorang hukama yang jiwa metafisika (ilahiyah) bukan lagi pemahaman
akal tetapi yang diturunkan sampai ke hati.208
Alasan lain, dari kemunduran Mullā Sadrā dari kehidupan ramai adalah
didorong oleh kekecewaannya terhadap orang-orang sezamannya yang sudah
kehilangan sifat-sifat terpuji, berperilaku tidak beradab, dan kehilangan sifat
intelektual, juga kaum intelektual yang hanya terlihat secara lahiriah saja, namun
senantiasa melakukan kejahatan dan keburukan. Demikian pula para
mutakallimun telah keluar dari logika yang benar dan berada di luar kebenaran.
Sedangkan para fuqaha telah kehilangan rasa penghambaan diri, menyimpang
dari kepercayaan terhadap metafisika, bersifat taqlīd dan menyangkal
keberadaan darwisy. Disamping itu pengunduran dirinya juga didorong oleh rasa
ketidakpuasan terhadap kebenaran-kebenaran filosofis yang bersumber dari
metode rasional, yang menurutnya bersifat dangkal dan tidak dapat mencapai
kebenaran hakiki dan perasaan bersalah karena dia begitu tergantung kepada
kemampuan intelektualnya sendiri, bukan menghambakan diri kepada kehendak
dan kekuasaan Tuhan dengan jiwa yang suci dan ikhlas.
3. Periode ketiga, masa Mengajar dan Menulis
Periode ini berawal dari tawaran yang diberikan Gubernur Sīraz,
Allahwirdi Khan, untuk memimpin madrasah yang baru dibangunnya di kota itu.
Memenuhi panggilan itu, Mullā Sadrā kembali ke kota kelahirannya untuk
mendidik sejumlah murid. Perwatakan dan ilmunya menarik perhatian pelajar
dari jauh dan dekat dan menjadikan Syiraz kembali sebagai sebuah kota pusat
ilmu seperti dulu. Pusat Kajian Khan atau Madrasah Khan menjadi sangat
masyhur hingga ia menarik perhatian pengembara luar. Thomas Herbert,
pengembara abad ke-11 H/17 M yang pernah melawat ke Syiraz semasa hidup
Sadra, menulis bahwa di Syiraz terdapat perguruan yang mengajarkan filsafat,
astrologi, fisika, kimia dan matematika yang menyebabkannya termasyhur di
seluruh Parsi. Dalam karirnya sebagai guru, Mullā Sadrā telah berhasil
melahirkan sejumlah murid terkemuka yang memiliki peranan penting di dalam
aktivitas filosofis di Persia pada periode berikutnya. Ada dua murid yang paling
terkemuka yang perlu disebutkan karena karya-karya mereka masih tetap dikaji
208 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi dan Hikmat Muta’aliyah, Terj.
Baharuddin Ahmad (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992), 23 – 27.
81
hingga kini yaitu Mullā Abdul Razzaq Lahiji (w. 1072 H / 1661 M) dan Mullā
Muhsin Faidh Kasyani (w. 1091 H / 1680 M).209
Disamping bertugas sebagai pendidik di Madrasah Khan yang dilaluinya
selama tiga puluh tahun, di periode ini juga beliau banyak menulis karya-
karyanya. Sepanjang periode ini juga, Mulla Sadra melakukan beberapa kali
perjalanan haji ke kota Makkah yang kesemuanya dilakukan dengan berjalan
kaki. Intensitas kesalehannya tidak hanya semakin meningkat, tetapi bahkan
semakin tercerahkan melalui pandangan spiritual yang dihasilkannya dari
praktek-praktek spiritual selama bertahun-tahun. Sekembalinya dari perjalanan
haji yang ketujuh, Mulla Sadra jatuh sakit dan meninggal dunia di Basrah pada
tahun 1050 H / 1640 M.210
2. Karya-karya Ilmiah Mullā Sadrā
Sebagai pemikir besar, Mullā Sadrā menghasilkan karya-karya besar
dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kendati Mullā Sadrā berkiprah di
kawasan Persia, namun hampir seluruh karyanya ditulis dalam bahasa arab.
Hossein Ziai dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam buku kedua,211 membagi
karya utama Mullā Sadrā dalam dua kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu Naqliyyah
dan ilmu-ilmu ʽAqliyyah. Karya-karya Naqliyyah Sadrā adalah karya yang terkait
dengan fiqih tradisional Islam, Tafsīr al-Qur’ān, Ilmu Hadith dan Teologi. Karya-
karya tersebut antara lain :
1. Sharh Uṣūl al-Kāfī. Karya ini merupakan komentar atas karya Kulainī
yang berjudul Uṣūl al-Kāfī, suatu kumpulan Hadith Shi’ah pertama
tentang berbagai masalah spesifik dalam fiqh dan teologi. Ini merupakan
salah satu karya terbaik Sadrā meskipun tidak lengkap, karena hanya
mengomentari sampai bab XI tentang Kitāb al-Hujjah. edisi
lithografinya dicetak di Teheran pada tahun 1282 H.
2. Mafātih al-Ghaib. Karya ini mengandung doktrin-doktrin irfāni tentang
metafisika, kosmologi dan eskatologi, serta berisi rujukan terhadap al-
Qur’ān dan Hadith. Hossein Ziai mengkategorikan karya ini sebagai
tafsir al-Qur’ān. Edisi lithografinya dicetak di Teheran tanpa keterangan
tahun.
3. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm. Karya ini merupakan hasil penafsiran Mullā
Sadrā atas beberapa surat dan ayat al-Qur’ān, penafsiran yang bersifat
esoterik dan hermeneutik Surat dan ayat tersebut adalah al-Fātihah, al-
Baqarah, sampai ayat 65, dan ayat al-kursi (ayat 256), Surat al-Nūr (ayat
35), al-Sajadah, Yāsin, al-Qāqi’ah, al-hadīd, al-Jumu’ah, al-Tāriq, al-
A’la dan al-Zilzāl. Disertai komentar dari Mullā ‘Alī Nūrī. karya ini
diterbitkan pertama kali tahun 1322 H di Teheran.
4. Asrār al-Āyat wa Anwār al-Bayyināt. Karya dalam bidang tafsir secara
ʽIrfāni mengulas masalah ketuhanan, kenabian, penciptaan dan
209 Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mullā Sadrā, 55. 210 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi dan Hikmat Muta’aliyah, 28. 211 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam (Bandung: Mizan, tth), 909.
82
eskatologi Dicetak pertama kali di Teheran pada tahun 1319 H. disertai
dengan komentar Mullā ‘Alī Nūrī dan edisi kritisnya oleh disunting oleh
Muhammad Khājāwī di Teheran tahun 1402 H.
5. Mutashabihat al-Qur’ān. Karya ini merupakan risalah kecil yang terdiri
atas enam fasal yang menjelaskan berbagai pandangan dari berbagai
aliran tentang ayat-ayat al-Qur’ān yang bersifat Mutashābihat dan
kemudian Mullā Sadrā menjelaskan pandangannya sendiri secara irfāni
Karya ini termasuk dalam edisi S.J. Asytiyāni, Se Resāle (Tiga Risalah),
Risalah yang kedua, Mashad tanpa tahun.
6. Imāmah, risalah pendek tentang teologi Shi’ah. Berbagai tafsir al-Qur’ān
Mullā Sadrā merupakan kelanjutan dari ”teosofi transenden”-nya yang
merupakan hasil perkembangan dari makna batin al-Qur’ān sebagaimana
dipahami olehnya. Sadrā menegaskan keselarasan antara wahyu (al-
wahy) dan intelek/akal (‘Aql).
Mullā Sadrā membedakan penafsir eksoterik yang hanya melihat makna
lahir dari al-Qur’ān dan penafsir esoterik yang hanya melihat makna batin al-
Qur’ān dengan mengabaikan bentuk luar. Sadrā menolak dua tipe penafsir
tersebut, namun menggabungkan keduanya. Akan tetapi jika hanya ada satu
pilihan maka ia lebih memilih sebagai penafsir eksoterik Alasannya paling tidak
tetap menjaga dan memelihara wadah lahiriah wahyu. Metode terbaik adalah
yang membahas makna esoterik tanpa bertentangan dengan pengertian eksoterik
kata-kata al-Qur’ān.212
Adapun karya-karyanya dalam bidang ilmu ʽaqliah antara lain adalah:
1. Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfar al-‘Aqliyah al-Arbaʽah. Karya ini
merupakan masterpiece dari seluruh karyanya yang membahas secara
terperinci keseluruhan subjek filsafat yang telah dibahas oleh berbagai
aliran pemikiran keislaman terdahulu. Edisi lithografinya diterbitkan
pertama kali di Teheran pada tahun 1282 H dalam 4 jilid besar dengan
diberi catatan pinggir oleh Haji Mulia Hadi Sabzawari. Edisi barunya
diterbitkan di Teheran tahun 1378 H/1958 M dan disunting oleh
‘Allamah Tabatabai, yang terdiri atas 9 jilid disertai dengan komentar
Tabatabai sendiri dan para hakim Persia lainnya. Karya ini membahas
tentang empat perjalanan intelektual yang meliputi: Pertama, persoalan
metafisika dan ontologi. Kedua, filsafat kealaman. Ketiga, ilmu
ketuhanan. keempat, psikologi dan eskatologi.
2. Shawāhid al-Rubūbiyyah fi al-Manāhij al-Sulūkiyyah.213 Karya ini dinilai
sebagai ringkasan dari Asfār, istilah yang sering digunakan untuk
menyebut Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfar al-‘Aqliyah al-Arbaʽah.
Buku ini membahas berbagai doktrin gnostik dan filosofis tanpa merajuk
212 Hossein Ziai, ”Mullā Sadrā: Kehidupan dan Karyanya”, dalam Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, 930. 213 Syaifan Nur, Filsafat Hikmah Mullā Sadrā (Yogyakarta: TB. Rausyanfikr,
2012), 70.
83
pada pandangan-pandangan sebelumnya. Corak ʽirfāni-nya lebih tampak
dibanding dengan karya lainnya. Edisi lithografinya diterbitkan pertama
kali di Teheran pada tahun 1286 H disertai dengan komentar dari
Sabzawārī. Komentar ini pun merupakan masterpiece sendiri yang
kemudian diterbitkan bersama- sama dengan teks al-Shawāhid dalam
edisi kritis oleh S.J. Asytiyānī. Edisi baru ini juga berisi pendahuluan
dan pengantar bahasa Inggris dari Seyyed Hossein Nasr yang diterbitkan
di Mashad pada tahun 1386 H/1967M.
3. Al-Mabdaʽ wa al-Maʽād, merupakan karya Mullā Sadrā berkenaan
dengan metafisika, kosmogoni dan eskatologi. Dicetak di Teheran pada
tahun 1314 H, disertai komentar dari Sabzawārī. Pada tahun 1396 H
diterbitkan kembali setelah secara kritis direvisi oleh S.J. Asytiyānī yang
didasarkan atas manuskrip dari ‘Abd Al- Razzaq lāhījī murid dan
menantu Mullā Sadrā.
4. Kitab al-Mashā’ir. Kitab ini banyak dikaji oleh para hakim di Persia
yang muncul belakangan. Karya ini mengandung sinopsis dari
pandangan ontologisnya karena terkumpul di dalamnya fondasi
filosofisnya yang fundamental. Dicetak di Teheran pada tahun 1315 H,
kemudian diterbitkan kembali pada tahun 1383 H dengan edisi kritis oleh
Henry Corbin, yang sekaligus menerjemahkannya ke dalam bahasa
Perancis dan disertai dengan tejemahan ke dalam bahasa Persia oleh
Badi’ Al-Mulk Mirzā “Imād Al-Daulah.
5. Al-Masāil al-Qudsiyyah. Karya ini ditulis pada tahun 1049 H, satu tahun
sebelum Mullā Sadrā meninggal. Karya ini sengaja ditulis untuk
mempermudah para pencari hikmah dalam memahami persoalan
ontologi, yang secara panjang lebar telah ia tulis dalan Al-Ḥikmah al-
Mutaʽāliyah. Karya ini diterbitkan dalam edisi S.J. Asytiyānī, Se Resāle
risalah pertama.
6. Ajwibah al-Masā’il. Karya ini merupakan risalah yang berisi jawaban
atas pertanyaan yang diajukan oleh para murid Mullā Sadrā terkait
dengan persoalan filosofis dan metafisis. Karya ini ditemukan
belakangan dari perpustakaan Mirzā Tahīr Tūnikābūnī. Di terbitkan
dalam edisi S.J. Asytiyānī, Se Resāle, risalah ketiga.
7. Ajwibah Masā’il Shams al-Dīn Muhammad Al-Jilāni. Satu risalah yang
berisi jawaban atas lima pertanyan filosofis dan metafisis yang diajukan
oleh tokoh yang hidup sezaman dengan Mullā Sadrā yaitu Mullā
Shamsā, yang populer disebut Shams Al-Dīn Muhammad Al-Jilanī.
Risalah ini dicetak pada bagian pinggir kitab al-Mabdaʽ wa al-Maʽād,
Teheran 1314 H.
8. Ajwibah al-Masāil al-Nasiriyyah. Karya ini merupakan risalah yang
berisi jawaban Mullā Sadrā atas tiga pertanyaan filosofis dan metafisis
yang tidak terjawab yang diajukan Nasir al-Dīn al-Tūsi kepada Shams
Al- Dīn Abd al-Hamid bin ‘Isa Al-Khosrawshāhī. Dicetak dua kali pada
bagian pinggir dari Sharh al-Hidaya al-Asiriyyah karya Mullā Sadrā di
Teheran, 1313H dan pada bagian pinggir Tahzīb al-Akhlāq karya Ibnu
84
Miskawaih, yang dicetak bersamaan dengan kitab al-Mabdaʽ wa al-
Maʽād, Teheraj 1314H
9. Al-Ḥikmah al-ʽArshiyyah.214 Dua persoalan penting, yaitu ketuhanan dan
eskatologis dibahas dalam karya ini. Karya ini dipandan penting karena
mengandung ringkasan pandangan eskatologisnya dan merupakan
sumber utama kontroversi di kalangan berbagai aliran kalām. Karya ini
mendapat komentar dan kritik dari Shaikh Ahmad Ahsā’ī, pendiri aliran
Shaikhī, dan kritikan tersebut dijawab oleh Mullā Isma’īl Isfahānī.
Dicetak di Teheran pada tahun 1315 H dan pada tahun 1382 H
diterbitkan di Isfahan beserta terjemahan dalam bahasa Persia oleh
Gulam Husain Āhamī. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan oleh James
Winston Morris dan diberi judul The Wisdom of the Throne: An
Introduction to the Philosophy of Mullā Sadrā, diterbitkan oleh
Princeton. New Jersey 1981. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh
Dimitri Mahayana dan Dedi Djuniardi dengan judul Kearifan Puncak,
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
10. Al-Wāridah al-Qalbiyyah fi Ma’rifah al-Rubūbiyyah. Karya ini me-
rupakan kritik Mullā Sadrā terhadap para ulama duniawi yang hidup
sezaman dengannya yang mendukung para penguasa tiran demi tujuan
yang bersifat duniawi. Dicetak pada Rasā’il Mullā Sadrā, Teheran 1302
H, dan diterbitkan secara terpisah, disertai komentar dan terjemahan
lengkap dalam bahasa Persia oleh Ahmad Syafi’īha, Teheran, 1399 H.
11. Al-Mazāhir al-Ilāhiyyah fī Asrār al-Ulūm al-Kamāliyyah. Risalah ini
mengandung berbagai pandangan ringkas Mullā Sadrā tentang 16
persoalan metafisika, meliputi 8 persoalan berkaitan dengan konsep-
konsep fundamental dan 8 lainnya tentang eskatologi. Edisi lithografinya
dicetak pada bagian pinggir kitab al-Mabdaʽ wa al-Maʽād, Teheran 1314
H.
12. Iksīr al-Ārifīn fī ma’rifah Ṭarīq al-Haqq wa al-Yaqīn. Sebuah risa lah
yang berkaitan dengan klasifikasi ilmu dan hakikat manusia. Dicetak
dalam Rasā’il Mullā Sadrā, Teheran 1302 dan edisi Kritis- nya disunting
dengan disertai terjemahan dalam bahasa Jepang oleh Shigeru Kamada,
Tokyo, 1983.
13. Kasr al-Asnām al-Jāhiliyyah fi Dham Al-Mutaṣawwifīm. Dalam risalah
ini Mullā Sadrā mengkritik berbagai ekses negatr dari mereka yang
berperilaku seperti Sufi, namun mengabaikan sharī’ah dan ajaran-
ajarannya. Kata Mutaṣawwifīn tidak mengacu pada pengertian yang
biasa yaitu mereka yang mengikuti jalan sufi, namun menunjuk pada
mereka yang berpura-pura seperti sufi Disunting dalam edisi kritisnya
oleh M.T Danechepazhuh, Teheran, 1381 H.
14. Resāle Se Asl. Karya ini berisi tentang pembelaan dirinya yang bersifat
otobiografis terhadap para ulama eksoterik, juga berisi tentang ilmu jiwa
dari sudut Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah. Karya ini ditulis dalam bahasa
214 Syaifan Nur, Filsafat Hikmah Mullā Sadrā, 74.
85
Persia dan edisi kritisnya disunting dengan disertai pengantar dan catatan
oleh S.H. Nasr, serta diterbitkan bersama dengan Masnawī dan
Rubā’iyyat dari Mullā Sadrā, Teheran. 1380 H.
15. Risālah fī Ittisāf al-Māhiyyah bi al-Wujūd. Risalah yang membahas
hubungan antara wujūd dan māhiyyah. Dicetak pada Rasā’il Mullā
Sadrā, Teheran, 1302 H.
16. Risālah fī al-Tashakhkhus. Risalah ringkas tentang partikularisasi suatu
persoalan filsafat yang sangat sulit. Dicetak pada Rasā’il Mullā Sadrā,
hal. 120-131, Teheran, 1302 H.
17. Risālah fī Surāyan al-Wujūd. Risalah ketika Mullā Sadrā masih
menganut asālat al-mahīyyah daripada asālat al-wujūd, satu risalah yang
ditulis ketika Mullā Sadrā masih muda. Dicetak pada Rasā’il Mullā
Sadrā, hal. 132-148, Teheran, 1302 H.
18. Risālah fī al-Qada' wa al-Qadr. Risalah ini membahas persoalan
predestinasi dan kehendak bebas, serta bagaimana takdir Tuhan bisa
tercakup dalam kejahatan yang terjadi pada manusia. Dicetak pada
Rasā’il Mullā Sadrā, hal. 148-157, Teheran, 1302 H.
19. Risālah fī Ḥudūth al-ʽĀlam. Risalah ini membahas asal-usul kejadian
alam di dalam waktu yang didasarkan atas doktrin Mullā Sadrā tentang
al-harakah al-jauhariyyah. Dicetak pada Rasā’il Mullā Sadrā, hal. 341-
371, Teheran, 1302 H.
20. Risālah fī al-Ḥasyr. Risalah ini membahas persoalan kebangkitan
kembali segala sesuatu termasuk di dalamnya mineral-mineral. Dicetak
pada Rasā’il Mullā Sadrā, hal. 148-157, Teheran, 1302 H.
21. Risālah fī Khalq al-Aʽmāl. Mullā Sadrā mengemukakan pandangan dari
aliran kalām, filsafat dan pandangannya sendiri tentang persoalan
kehendak bebas dan determinasi. Dicetak pada Rasā’il Mullā Sadrā, hal.
371-377, Teheran, 1302 H.
22. Al-Lama’ah al-Mashrīqiyyah fi Funūn Al-Mantiqiyyah. Risalah ringkas
tentang logika dan merupakan sumbangan baru Mullā Sadrā dalam
bidang logika. Dicetak di Teheran, 1347 H disertai terjemahan ke dalam
bahasa Persia dan komentar dari ‘Abd al Husain Musykāt al Dīnī.
23. Risālah fī Al-Taṣawwur wa al-Taṣdīq. Risalah ini membahas dan
menganalisis persoalan logika tentang konsep dan keputusan. Edisi
lithografnya dicetak pada bagian pinggir al-Jauhar al-Nadid karya al
Hillī, Teheran, 1311 H.
24. Al-Tanqiyyah. Risalah tentang logika yang belum diterbitkan naskahnya
ditemukan oleh Mīrza Tāhir Tunikābūmī.
25. Risālah fī Ittihād Al-ʽĀqil wa Al-Maʽqūl. Risalah ini merupakan salah
satu doktrinnya yang terkenal tentang kesatuan subjek yang berpikir dan
objek pemikiran. Menurut penulis al-Zarī'ah, vol I, hal. 81, risalah ini
dicetak di Teheran, namun versi yang sudah dicetak tersebut belum
ditemukan.
26. Tarh Al-Kaunain. Risalah yang ditulis sebelum Al-Ḥikmah al-
Muta’āliyah, naskah risalah ini tidak ditemukan. Sementara ahli
86
mengidentikkan risalah ini dengan Risālah fī al-Hashr, sebagian Yang
lain menyatakan sebagai Risālah fī Sarayān al-Wujūd. Namun ada pula
yang mengatakan bukan keduanya, karena risalah ini berkaitan dengan
pembahasan Waḥdah al-wujūd, yang tidak dibahas oleh kedua risalah
tersebut.
27. Dīwān, satu kumpulan puisi terpilih dari Mullā Sadrā yang dikoleksi oleh
murid dan menantunya yaitu Mullā Muhsin Faid Kumpulan puisi ini
diterbitkan oleh S.H Nasr bersama-sama dengan edisi Resale Se Asl,
Teheran, 1380 H.
28. Dībāche-yi ‘Arsy Al-Taqdis, judul karya ini dengan bahasa Persia namun
sesungguhnya isinya merupakan pengantar berbahasa Arab terhadap
karya gurunya, Mir Dāmād yang berjudul ʽArsy Al-Taqdis.
29. Nāmā-yi Sadrā bi Ustād-i Khud Sayyid Mīr Dāmād (1), surat yang ditulis
Mullā Sadrā untuk Mīr Dāmād, yang oleh S.J. Asytiyānī diterbitkan
secara tidak lengkap dalam karyanya yang berjudu Sharh-i Hāl wa Ārā-i
Falsafi-yi Mullā Sadrā, Mashad, 1381 H, hal 225-228.
30. Nāmā-yi Sadrā bi Ustād-i Khud Sayyid Mīr Dāmād (II), surat ke dua
Mullā Sadrā kepada Mīr Dāmād yang ditulis dalam bahasa Persia
Diterbitkan oleh M.T. Danechepazhuh dalam Rah Nāmā-yi Kitāb, Vol V,
No. 8-9,1341 H, hal. 757-765.
31. Nāmā-yi Sadrā bi Ustād-i Khud Sayyid Mīr Dāmād (III), surat ketiga
yang ditulis dalam bahasa Persia dan Arab, diterbitkan olel M.T.
Danechepazhuh dalam Farhang-i Iran Zamin, Vol 13, No 1 4,1966, hal.
84-95.
32. Nāmā-yi Sadrā bi Ustād-i Khud Sayyid Mīr Dāmād (IV) surat ketiga
yang ditulis dalam bahasa Persia, diterbitkan secara tidak lengkap oleh
M.T. Danechepazhuh dalam Farhang-i Irān Zamīn,Vol 13, No1-4,1966,
hal. 95-98.
33. Sharh al-Hidāyah al-Asīriyyah. Satu komentar Mullā Sadrā terhadap
Hidāyah al-Hikmah karya Asīr al-Dīn al-Abharī. Karya tentang
serangkaian filsafat Peripatetik ini memperoleh perhatian besar di Persia
dan telah ditulis beberapa komentar terhadapnya. Di anak benua Indo-
Pakistan buku ini dijadikan sebagai buku pegangan dalam mengkaji
filsafat Peripatetik sedangkan di India buku ini diajarkan di madrasah-
madrasah tradisional hingga sekarang. Dicetak di Teheran tahun 1313H.
34. Sharh Ilāhiyyāt al-Syifā’ merupakan komentar terhadap bagian ilāhiyyāt
dari Kitāb al-Syifā’ karya Ibnu Sina. Dalam karya ini Mullā Sadrā
menjelaskan berbagai pandangan Ibnu Sina, mengomentari kata-katanya
yang sulit, mengkritiknya dan mengemukakan sebagian pendapatnya
sendiri. Komentar ini juga tidak lengkap karena hanya sampai pada akhir
makalah keenam. Dicetak bersama-sama dengan Kitab Al-Syifā' jilid I,
Teheran 1303 H.
35. Taʽlīqah Sharh Ḥikmah al-Ishrāq. Karya ini merupakan kajian penting
atas ishrāqiyyah dan perbandingannya dengan mashsha-ʽiyyah Meskipun
karya ini merupakan komentar terhadap Sharh Ḥikmah al-Ishrāq yang
87
ditulis oleh Qutb Al-Dīn Al-Syīrāzī, namun pandangannya lebih
didasarkan atas teks Suhrawardi. Dicetak di Teheran, 1315 H.
36. Zād Al-Musāfir. Risalah yang mengandung ringkasan doktrin Mullā
Sadrā tentang eskatologi, yaitu tentang kebangkitan jasmani. Kāzim
Mudīr Shanachi menyunting risalah ini dalam Nashriyya-yi Dānishkada-
yi Ilāhiyyat wa Ma’ārif-i Islām-i Danishgāh-i Mashad, No. 2, 1351, hal.
134-144. Risalah yang sama dengan judul yang berbeda yaitu, Al-Ma'ād
Al-Jasmānī diterbitkan di Teheran pada tahun 1359 disertai komentar
dari S.J.Asytiyānī.215
B. Latar Belakang Corak Pemikiran Mullā Sadrā
1. Filsafat Peripatetik (Mashā’ī)
Istilah filsafat peripatetik berasal dari bahasa Inggris, yaitu “Peripatetic”
yang berarti mengembara atau pengembaraan. Kata ini memiliki makna yang
sama dengan bahasa Arab, yaitu “Mashā’ī” (مشائي), yang berarti berjalan.
Sebutan mengembara atau berjalan diberikan kepada aliran ini, karena ajarannya
disampaikan Aristoteles, sebagai founder (pembangun), sambil berjalan-jalan
disekitar sebuah gedung olahraga di kota Athena yang bernama Peripatos.216
Murid-murid terpentingnya ialah Theopharastos dan andronikos. Kedua murid ini
berperan, kecuali mendengar dan menulis juga menyebarluaskan pemikiran
Aristoteles.217
Filsafat peripatetik Islam merupakan sintesa ajaran-ajaran Islam dengan
Aristoteles dan Neoplatonisme,218 yang dilakukan oleh para filosof Muslim
sebelum Suhrawardi, yaitu Iranshahri,219 Al-Kindi,220 Al-Farābī,221 Abū
215 Banyak yang menulis karya-karya Mullā Sadrā, diantaranya Seyyed Hossein
Nasr, Sadr al-Dīn Shirazi, 40-50; Pendahuluan Shaīkh Muhammad Reza al-Muzaffar
terhadap Mullā Sadrā, al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah, jilid 1, 16-22; Pendahuluan Muhsin
Bidarfar terhadap Mullā Sadrā, Tafsir al-Qur’ān al-Karīm, Jilid 1, 90-110 dan Syaifan
Nur, Filsafat Hikmah Mullā Sadrā, 68-81. 216 M. Said Syaikh, Kamus Filsafat Islam, Terjemahan Machun Husein (Jakarta:
Rajawali, 1991), 154. dan Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: PT Gramedia,
1986), 79. 217 Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: PT Gramedia, 1986), 79.
Istilah “Peripatetik” merujuk pada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafatnya
kepada murid-muridnya. Peripatetik (Masha’un) berarti “Ia yang berjalan memutar atau
berkeliling”. dan ini merujuk pada kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan
mengelilingi murid-muridnya ketika ia mengajarkan filsafat. Dengan demikian istilah
peripatetik merujuk kepada para pengikut setia Aristoteles. Lihat Mulyadi Kartanegara,
Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 26. 218 Seyyed Hossein Nashr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis,
terjemahan Suharsono & Djamaluddin MZ (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet II, 33. 219 Nama ini agak luput dari perhatian, karena data mengenainya tidak ada yang
tersisa, padahal dialah filosof pertama yang memasukkan filsafat ke dunia Islam. Lihat
Sayyed Hossein Nashr, Tiga Pemikir Islam; Ibn Sīna, Suhrawardi, Ibnu Arabi. Terjemah
Ahmad Mujahid (Bandung: Risalah, 1985), 3.
88
Sulaymān al-Sijistāni,222 Ibnu Sīna223 sebagai penyempurna sehingga filsafat
paripatetik Islam menampilkan wujud yang utuh, Ibnu Rushdy224 dan lain-lain.
Upaya sintesa dilakukan pertama kali oleh al-Kindi, sekaligus sebagai
filosof pertama terhadap hubungan agama dan filsafatnya. Menurutnya, tidak
terdapat pertentangan diantara kedua wacana ini, karena sama-sama sebagai
kajian yang membicarakan kebenaran (بحث عن الحق). Sintesa agama-filsafat al-
Kindi ini sangat menentukkan bagi penerimaan filsafat, sebagai titik awal
perkembangan filsafat di dunia Islam. kecuali itu, al-Kindi berperan di dalam
Arabisasi (pembahasa Araban) teks-teks dan term-term filsafat (Yunani) melalui
terjemahan-terjemahannya. Al-Farabi, selain berjasa dalam upaya memadukan
agama dengan filsafat, juga dalam pemaduan di antara Plato dan Aristoteles,
sebagai induk dari Aristotelianisme dan Neoplatonisme. Upaya ini dilakukan
220 Nama lengkapnya ialah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishāq ibn al-Shabbah ibn
Imrān ibn Muhammad ibn al-Asy’as ibn Qais al-Kindi, lahir di kuffah tahun 185 (801)
dan wafat tahun 246 (860). Nama Al-Kindi diambil diambil dari nama qabilahnya
Kindah. Upaya sintesa agama dan filsafat dapat dilihat dari karya-karyanya. Melalui buku
Kitāb al-Kindi ilā al-Mu’tashim fi al-Falsafah al-‘Ulā, dicoba dijelaskan dasar-dasar
agama secara filosofis. Buku ini diwarnai oleh pemikiran Aristoteles dalam bukunya On
Metaphysics. Buku lainnya ialah Risālah al-Hikmiyyah fī Asfār al-Rūhiyyah, sebuah
uraian filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual. Untuk memperkenalkan Aristoteles al-
Kindi menulis buku Kitāb fī Qashd Aristhūthālis fī al-Ma’qulat. 221 Nama lengkapnya ialah Abū Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan
ibn Auzalagh, dikenal dengan nama Abu Naser dalam bahasa Latin. Ia lahir di Wasij,
distrik Farab, Tukistan tahun 257 (870) dan wafat tahun 950 di Damaskus. Ia digelar
sebagai “Aristoteles kedua”, karena kemahirannya menguraikan pemikiran Aristoteles.
Ibnu Sīna berhutang budi pada tokoh ini, karena melalui toko inilah Ibnu Sīna mampu
memahami konsep metafisika Aristoteles melalui buku Al-Farabi, Al-Ghard Aristhy fī
Kitāb ma Ba’da al-Thabī’ah. padahal sebelumnya Ibn Sīna telah membaca buku
Aristoteles sebanyak 40 kali dan bahkan menghafalnya, kecuali dua karya diatas. Karya
penting lainnya ialah Al-Madīnah al-Fāḍilah, sebuah uraian mengenai konsep negara
ideal dalam perspektif Islam. 222 Filosof ini berasal dari Sijistan, Persia. Kurang dikenal tetapi berperan di
dalam mengadakan kesinambungan pengembangan filsafat Islam dari Al-Farābi ke ibn
Sīna yang dibatasi mencapai seratus tahun. Lihat Joel L. Kraemer, Philosophy in the
Renaissance of Islam; Abū Sulayman al-Sijistāni (Leiden: EIJ. Brill, 1986). 223 Nama lengkapnya ialah Abu Ali al-Husein ibn Abdillah ibn al-Hasan ibn Ali
ibn Sīna. Ia lahir tahun 370 (980) di desa Afsyanah, Bukhara, Transoxiana dan wafat
tahun 428 (1037) di Hamadzan. Karena penyakit maag yang disebabkan oleh kelelahan
bekerja. Banyak karya terpandang Ibn Sīna yang terpenting ialah Asy-Syifa (Sanatio),
sebuah buku kedokteran. Buku lainnya ialah Al-Isyārat wa al-Tanbīhāt, berisikan kajian
logika dan filsafat; Al-Manthiq al-Masyriqiyyah, berisikan kajian logika timur dan lain-
lain. 224 Nama lengkapnya ialah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd,
lahir tahun 520 di Cordova, Spanyol. Di Barat ia dikenal dengan nama Averroes.
Kedalaman ilmunya menyebabkan Dante dalam bukunya Devine Commedia,
memberinya gelar “Commentator” (pengulas Aristoteles) dan digelar pula sebagai
“Penyelamat filsafat di Barat”.
89
dengan menulis sebuah buku berjudul Al-Jamʽu bayna Raʽyi al-Hakāmain
Aflaton al-ilāhi wa Aristhū (The book of Accord Between The Ideals of The
Devine Plato and Aristo). Ibnu Sīna, tidak hanya mengadakan sintesa tetapi juga
mengadakan penyelesaian filosofis terhadap problem-problem ketuhanan yang
belum terpecahkan sebelumnya, seperti kajian mengenai wujud (ontologi).225
Filsafat peripatetik disebut juga teolog dialektik, yaitu penyusunan premis-premis
dari kebenaran umum (primary truth) untuk menghasilkan kesimpulan
(silogisme) baru; metode demikian sering dikenal sebagai metode deduktif.226
Puncak dari perjalanan aliran ini ada pada kelahiran kembali Aristotelianisme.
Paripatetik dalam bahasa Arab dikenal dengan nama al-Mashaiʽyyah, yang
berarti orang yang berjalan.227 Ini diambil dari kebiasaan Aristoteles yang selalu
berjalan-jalan dalam mengajar. Tokoh penting aliran paripatetik ini adalah Ibnu
Sīna. Ia mempunyai pandangan yang berbeda dengan kebanyakan filosof Islam
lainnya. Sementara para filosof berpendapat bahwa ide diabstraksikan dari dunia
pengalaman inderawi, Ibnu Sīna tidak, Menurutnya ide abstrak telah mewujud
dalam pikiran. Wahana apapun yang kita miliki untuk memperoleh ide-ide
tersebut berasal dari ide itu sendiri, bukan dari pikiran kita tentang alam.228
Ciri khas (karakteristik) aliran Peripatetik dari sudut metodologis atau
epistemologis bisa dikenali dalam beberapa hal : (1) modus ekspresi atau
penjelasan para filosof peripatetik bersifat sangat diskursif (baḥthi), yaitu
menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal. Prosedur
penalaran yang mereka gunakan adalah apa yang dikenal dalam istilah filsafat
sebagai “silogisme”, yaitu metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang
telah diketahui dengan baik yang mereka sebut premis (mayor dan minor) dan
setelah ditemukan term yang mengantarai dua premis di atas yang biasa disebut
“middle term” atau al-ḥadd al-awṣaṭ. (2) karena sifatnya yang diskursif, maka
filsafat yang mereka kembangkan bersifat tak langsung. Dikatakan tak langsung
karena untuk menangkap objeknya mereka menggunakan simbol, baik berupa
kata-kata atau konsep maupun representasi. Modus pengetahuan seperti ini biasa
disebut ḥuṣuli (perolehan); yakni diperoleh secara tidak langsung melalui
perantara. (3) ciri lain dari filsafat peripatetik dari sudut metodologis ini adalah
penekanan yang sangat kuat pada daya-daya rasio, sehingga kurang
memprioritaskan pengetahuan intuitif.
Ciri khas lain dari aliran Peripatetik ini berkaitan dengan aspek
ontologis. Ini bisa dilihat, misalnya dengan ajaran mereka yang biasa disebut
hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada di dunia ini
terdiri atas dua unsur uatamanya itu materi (hyle/al-hayula) dan bentuk
225 Seyyed Hossein Nashr, Intelektual Islam; 36-37. 226 Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah; Pengantar Pemikiran Sādra
(Bandung: Mizan, 2002), 47. 227 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam sebuah Peta Kronologis (Bandung:
Mizan, 2002), 101. 228 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis
(Bandung: Mizan, 2002), 74-75.
90
(morphis/ṣūrah). Dalam sejarah filsafat, ajaran ini dirumuskan dengan jelas oleh
Aristoteles sebagai hasil reformasi terhadap ajaran gurunya, plato yang
mengatakan bahwa apa yang ada di dunia ini tidak lain dari pada bayang-bayang
dari ide-ide yang ada di dunia atas yang kemudian biasa disebut ide-ide plato
(Platonic Ideals). Ide-ide ini direformulasikan Aristoteles sebagai bentuk dan
bayang-bayangnya sebagai materi. Tetapi yang dimaksud dengan bentuk disini
bukanlah bentuk fisik, melainkan semacam esensi (hakikat) dari sesuatu.
Sedangkan materi adalah bahan yang tidak akan mewujud (muncul dalam bentuk
aktualitas) kecuali setelah bergabung dengan bentuk tadi.229
Ciri terakhir dari aliran Peripatetik adalah ajaran atau teori emanasi.
Persoalan utama yang mendorong munculnya teori emanasi adalah bagaimana,
dari Tuhan Yang Esa muncul alam semesta yang beraneka, padahal ada diktum
filosofis yang telah diterima secara umum yang menyatakan bahwa dari yang
satu hanya akan muncul yang satu juga. Diktum ini yang kemudian
memunculkan ajaran filosofis yang dikenal sebagai “Murajjih” atau alasan yang
memadai (The sufficient reason). Murajjih mutlak diperlukan untuk apapun yang
terjadi dalam sebuah perubahan.
2. Illuminasionisme (Ishrāqī)
Istilah Illuminasionisme230 berasal dari bahasa Inggris, yaitu Illumination
yang berarti pancaran. Dalam bahasa Arab disebut juga Ishrāqi (اإلشراق) yang
mengandung arti pancaran cahaya. Kedua kata dan arti ini pada intinya memiliki
makna yang sama, yaitu cahaya yang memancar dari sumber cahaya, yaitu
Tuhan. Penetapan aliran ini sebagai Illuminasionisme (isrhāqi) didasarkan pada
pendapatnya bahwa yang hakikat dari segala sesuatu ialah cahaya, segala sesuatu
adalah cahaya. Selain cahaya terdapat kesiapan sebagai lawan dari cahaya dan
terdapat penghubung di antara cahaya dan kegelapan yang disebut dengan
barzakh. Aliran ini tampil sebagai reaksi terhadap aliran filsafat peripatetik yang
berkembang di saat kelahiran Ishrāqi dan suhrawardi mengambil peluang ini
untuk mengajukan corak lain di luar filsafat peripatetik.231 Sebagai corak baru,
maka terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua corak ini, khususnya
mengenai alat pembuktian kebenaran. Apabila filsafat peripatetik menggunakan
alat rasio melalui logika, maka corak ishrāqi menggunakan dhauq melalui
pancaran dari Tuhan. Namun demikian, sesuai dengan karakter Ishrāqi yang
229 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), 27-33. 230 Aliran Illuminasionis didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi al-Maqtul (w.
1191). Dikatakan Maqtul, karena ia dijatuhi hukuman mati oleh sultan Shalah al-Din al-
Ayyubi dari Mesir atas pengaduan para ulama Suriah dan tuduhan karena rasa iri mereka
kepadanya bahwa ia telah menyebarkan aliran sesat. Walau meninggal dalam usia yang
relatif muda, yaitu 35 tahun, Namun ia telah menyusun beberapa karya yang signifikan,
seperti Kitāb al-Mash’ari wa al-Mutharahat; al-Talwīhāt dan al-Muqawwamāt. Tetapi
yang paling besar, berpengaruh dan orisinal adalah Ḥikmah al-‘Ishrāq yang telah menjadi
kitab utama di atas filsafat Ishrāqī dibangun. 231 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam sebuah Peta Kronologis, 404.
91
berupaya memadukan filsafat dan tasawuf yang dipertentangkan Imām Ghazālī,
Ishrāqi tidak serta merta menolak filsafat Peripatetik. Prinsip filsafat peripatetik
digunakan sebagai upaya menjelaskan mekanisme kerja Ishrāqi.232 Seperti juga
filsafat peripatetik, corak ini memiliki akar historis dari Yunani, seperti Plato,
Hermes, Empedokles, Pythagoras, Aghatamadaimon, Aselepius dan Aristoteles.
Juga terdapat para juru bicara di Timur, seperti Jamasp, Farashaustra,
Bujurzumhr, Zoroaster dan lain-lain. Di dunia Islam, corak ini telah dirintis oleh
Abu Yazid al-Busthami dan al-Halaj dan kemudian memiliki kematangan setelah
disistimatiskan oleh Suhrawardi.233
Iluminisme yang dipelopori oleh Suhrawardi, seperti halnya filsafat
emanasi memahami adanya hierarkhi wujūd, yaitu bahwa semakin dekat dengan
sumber cahaya, maka intensitas mendapatkan cahaya juga semakin banyak,
sebaliknya semakin jauh dari sumber cahaya, maka semakin sedikit pula
intensitas cahaya yang diterima. Oleh karena itu, manusia harus berusaha
mendekatkan diri kepada Allah agar dapat menangkap cahaya-Nya sebanyak-
banyaknya. Hierarkhi keberadaan manusia banyak ditentukan pada kedekatannya
dengan sumber cahaya itu.234 Apabila taṣawuf (ʽIrfān) mengajukan konsep
tentang keserbatunggalan wujud atau eksistensi (tauḥīd wujūdi), iluminisme
mengindentikan wujud dengan cahaya dan non wujud dengan kegelapan. Namun
diantara keduanya mempunyai pandangan epistemologis yang sama, bahwa
mengetahui sesuatu sama dengan memperoleh pengalaman tentangnya. Dalam
pengantar bukunya yang berjudul Ḥikmah al-Ishrāq (Filsafat Iluminasi),
Suhrawardi mengatakan :”Saya pada awalnya, tidak mendapatkan gagasan lewat
proses berfikir (kogitasi), melainkan lewat sesuatu yang lain. Hanya setelah itu,
saya mencari bukti-bukti tentangnya”. Hanya saja, kalau kaum sufi (mistik)
menghindari bukti-bukti rasional dalam menyampaikan pengalaman mistiknya,
Suhrawardi memberikan landasan rasional bagi penyaksian spiritual.235
Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, filsafat Illuminasi tentu memiliki
beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran yang lain
ditinjau dari sudut metodologis, ontologis dan kosmologis. Aliran ini berbeda
dengan aliran peripatetik (yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai
metode berfikir dan pencarian kebenaran), sedangkan filsafat Illuminasi mencoba
memberikan tempat yang paling penting bagi metode intuitif (ʽIrfānī) sebagai
pendamping dasar bagi penalaran rasional. Di sini Suhrawardi mencoba
mensintesiskan dua pendekatan ini, Burhāni dan ‘Irfānī dalam sebuah sistem
pemikiran yang solid dan holistik. Aspek ontologis aliran Illuminasionis adalah
232 John Walbridge, The Science of Mystic Light; Quthb al-Din Shirazi and The
Illuminationist Tradition In Islamic Philosophy (Cambrigde: Harvard University Press,
1992), 39. 233 Sayyed Hossein Nashr, Three Moslem Sages, 62-63 234 Hossein Ziai, “Mullā Sadrā; Kehidupan dan karyanya” dalam Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam (Bandung Mizan, tth), 451. 235 Haidar Bagir, “Pengalaman Mistik dalam Filsafat Hikmah Mullā Sadrā”,
dalam Basis, No. 03-04, Tahun ke-55, Maret April 2006 (Yogyakarta: Basis, 2006), 5.
92
konsep metafisika cahaya. Suhrawardi adalah filosof muslim yang paling
maksimal memanfaatkan simbolisme cahaya untuk menjelaskan filsafatnya.
Baginya Tuhan adalah cahaya, sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Ketika
dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain, Tuhan adalah cahaya di atas cahaya
(Nūr al-Anwār). Ia adalah sumber dari segala cahaya, dari mana semua cahaya
lainnya berasal atau memancar.
Sesuai dengan pengertian di atas, maka konsep wujud menurut aliran
Illuminasi ialah cahaya, sebagai realitas material yang menembus segala sesuatu
baik fisik maupun non fisik.236 Dikaitkan dengan permasalahan wujud di atas,
maka semuanya cahaya. Cahaya adalah segalanya, Namun apa yang dimaksud
dengan cahaya tidak memiliki definisi yang jelas. Hal ini menurut Suhrawardi,
karena cahaya sudah jelas maka tidak dibutuhkan definisi untuk menjelaskan
sesuatu yang sudah jelas. Bahkan cahaya itulah yang menjadikan segala sesuatu
menjadi jelas.237
3. Gnostik (‘Irfāni)
Kata Gnostik berasal dari bahasa Inggris, yaitu “Gnosis” yang
mengandung arti pengetahuan atau ilmu.238 Kata ini terkait dalam term
gnosiology seabagai; (1) Teori pengetahuan yang mengadakan analisa sejauh
mana sebuah ilmu memiliki kaitan dengan karakter dasarnya. (2) Mengadakan
analisa sejauh mana keshahihan sebuah ilmu yang berbeda dengan ilmu
intelektual dan (3) sebuah studi mengenai dasar-dasar dari sebuah konsep.
Melalui tiga pendekatan di atas, maka gnostik merupakan pengetahuan terdalam
yang dimiliki manusia, sejenis ngilmu dalam tradisi jawa. Karena itu disebut
juga dengan “ilmu sejati”. 239
Dalam literatur bahasa Arab disebut dengan ‘Irfān (عرفان) yang
mengandung arti “Pengenalan” atau pengetahuan yang mendalam tentang
hakekat segala sesuatu, termasuk keagamaan dan ketuhanan secara esoterik
(bathin). Pengetahuan ini dalam tradisi tasawuf disebut dengan maʽrifah. Corak
pemikiran ini pertama kali muncul pada abad 2 dan 3 M, yang dikembangkan
oleh Neo Platonisme. Seiring dengan masukya Neo Platonisme ke dunia Islam,
corak ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan tersebut. 240
Berbeda dengan corak filsafat peripatetik yang memasuki dunia Islam
melului jalur filsafat, maka corak gnosis melalui jalur taṣawuf. Kerena itu,
konsep ma’rifah sangat terkait dengan dua sufi besar, yaitu Zunnun al-Mishri dan
Imām Ghazālī. Menurut Zunnun al-Mishri, ma’rifah ialah pengetahuan terhadap
sesuatu yang diperoleh melalui hati sanubari. Pengenalan Tuhan, menurutnya
236 Ian P. McGreal, Great Thinkers of The Eastern World (New York:
HarperCollins Publication, 1995), 173. 237 Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam sebuah Peta Kronologis, 409-410. 238 Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri; Prinsip-prinsip Epistemologi dalam
Filsafat Islam dari Suhrawardi via Wittgenstein (Bandung: Mizan, 1994), 50-51. 239 Dagober D. Runes, Dictionary of Philosophy, 117. 240 Jamīl Shalibā, Al-Mu’jam al-Falsafi (Beirut: Dar al-Kitāb al-Lubnāni, 1971),
Jilid 2, 72.
93
tidak hanya melalui akal, melainkan melalui hati sanubari manusia. Pengetahuan
ini diraih manusia atas anugerah Tuhan, sesua dengan ungkapan Zunnun al-
Mishri241 :
ب ر ت ف ر ع ا مل ب ر ال و ل و ب ر ب ب ر ت ف ر ع
“Aku mengetahui Tuhanku melalui Tuhanku dan sekiranya tidak karena
Tuhanku, aku tidak akan mengenal Tuhanku”.
Sedangkan Imām Ghazālī memberi pengertian ma’rifah dengan
ungkapan242 :
تب األمور اإلل بوبية والعلم برت ار الر ـهية املحيطة بكل موجودات اإلطالع عىل أس
“Tersingkapnya rahasia-rahasia Ketuhanan dan pengetahuan terhadap
ilmu-ilmu Ketuhanan yang mencakup segala sesuatu”.
Dari definisi Imām Ghazālī ini dapat diketahui bahwa ma’rifah
merupakan rahasia ketuhanan yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu
dan dengan pengetahuan ini, seseorang akan mengetahui rahasia segala alam
semesta. orang yang telah mencapai taraf ma’rifah akan mampu mengetahui
segala sesuatu, kendati belum terjadi.243 Dengan demikian gnosis atau ‘Irfān tidak
bisa disamakan dengan pengetahuan (‘Ilm), karena diantara keduanya terdapat
perbedaan, baik pada alat maupun cara memperoleh melalui pencerahan hati atau
perolehan secara intuitif. Imām Qushayri mengajukan tiga alat yang digunakan
untuk memperoleh ilmu ini, yaitu qalb, ruh dan sirr. Qalb untuk mengetahui sifat-
sifat Tuhan, ruh untuk mencintai Tuhan dan sirr untuk melihat Tuhan.
Konsekuensi logis dari perbedaan alat yang digunakan ialah perbedaan hasil yang
diperoleh. Ilmu bersifat rasionalistik dan empirik, sedangkan gnosis bersifat
eksperimental individual, sesuai dengan pengalaman seseorang yang memperoleh
pencerahan dari Tuhan.244
Dari uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan tentang wacana
yang mempengaruhi pemikiran Mullā Sadrā sebagai berikut :
Pertama, terdapat tiga wacana intelektual dengan karakter varian yang
berkembang sebelum Mullā Sadrā (Pra-Sadrian), yaitu filsafat Peripatetik,
Illuminasionisme dan gnostik. Filsafat peripatetik menekankan pada pendekatan
rasio (rasionalisasi) di dalam merumuskan kebenaran, sehingga menerima
241 Ungkapan ini merupakan gambaran kedekatan manusia dengan Tuhan.
Karena itulah Zunnun al-Mishri mengatakan bahwa ma’rifah yang sempurna ialah ketika
seseorang memiliki ketergantungan kepada Tuhan, tidak kepada selain-Nya. Lihat Abd.
Hakim Mahmud, Zū al-Nūn al-Mishri (Cairo: Dar al-Sya’b, tth), 67. 242 Imām Ghazālī, Ihyā Ulūm al-Dīn (Cairo: Dar al-Kutub al-Islāmiyyah, tth),
Jilid 3, 20-21. 243 William C. Chillick, Ibn al-‘Arabi’s Metaphisics of Imagination; The Sufi
Part of Knowledge (Albany State University of New York Press, 1989), 148. 244 Reynold A. Nicholson, The Myctics of Islam (London: Rautledge and Kegan
Paul Ltd, 1966), 68.
94
kebenaran hanya jika didukung oleh rasio. Sedangkan Illuminasionalisme dan
Gnostik menekankan pada pendekatan intuisi, yaitu ketajaman rohani manusia
yang mampu memperoleh pengetahuan murni (Nūr = Illuminasi dan Ma’rifah =
Gnosis) yang langsung diperoleh dari Tuhan. Karena ilmu ini bersifat perolehan,
maka kebenarannya kadangkala diluar jangkauan rasio atau tidak bisa
dirasionalkan.
Kedua, perbedaan karakteristik wacana diatas berakibat pada perbedaan
cara pandang di dalam mencermati sikap permasalahan, seperti konsep wujud,
pembagian ilmu dan metode memperoleh ilmu. Filsafat Peripatetik memiliki
konsep wujūd yang dualistik, sehingga menetapkan hubungan yang signifikan
(interrelasi) di antara esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujūd), namun pada
akhirnya berkesimpulan bahwa wujudlah yang prinsipal. Illuminasionisme dan
Gnostik melihat wujud secara monistik (satu), yaitu Tuhan. Karena itu selain
Tuhan dipandang hanya ilusi (maya). Pandangan ini berakibat pada kesimpulan
bahwa yang hakikat adalah esensi.
Menyangkut metode perolehan ilmu terjadi perbedaan pandangan di
antara tiga wacana Pra-Sadrian. Filsafat Peripatetik, sesuai dengan dominasi akal,
ilmu diperoleh melaui rasio (rasionalisasi), yaitu aktualisasi akal manusia mulai
dari tingkat rendah maupun tingkat tinggi. Sementara menurut
Illuminasionalisme dan Gnostik, kendati mengakui metode perolehan ilmu
melalui indra dan akal, namun menetapkan bahwa ilmu yang paling sempurna
ialah yang diperoleh melalui kontak spiritual manusia dengan Tuhan, sebagai
sumber dan pemberi cahaya (menurut Illuminasionalisme) dan melalui
pengenalan (ma’rifah) yang hakiki menurut Gnostik.
Mullā Sadrā tidak hanya mengkaji seluruh warisan pemikiran Islam dan
menggabungkannya, tetapi ia juga menghasilkan satu sintesis yang genuine dari
semua arus tersebut. Karena itu sebagaian orang menyebut filsafat Mullā Sadrā
(Al-ḤIkmah al-Mutaʽāliyah) sebagai filsafat Islam sesungguhnya.245 Mullā Sadrā
tidak pernah menamkan aliran pemikirannya Al-ḤIkmah al-Mutaʽāliyah.
Penyebutan Al-ḤIkmah al-Mutaʽāliyah sebagai aliran filsafat diperkenalkan
untuk pertama kalinya oleh ‘Abd al-Razzāk Lāhījī (w. 1072 H/161 M) murid dan
sekaligus menantunya. Adapun tokoh yang sangat bersemangat menjelaskan
alasan penggunaan istilah ini sebagai nama aliran filsafat Mullā Sadrā adalah
Mullā Hādī Sabzawārī (1212-1295 H/1797-1878 M), seorang filosof dan
mistikus terbesar persia pada abad ke-13 H/19 M.246
245 Ibrahim Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsafat (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002), 155. 246 Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, Penerjemah; Ach.
Maimun Syamsuddin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 194.
95
B. Tauḥīd: Prinsip Utama Integrasi Ilmu
Konsep tauhid (tauḥīd) tentu saja diambil dari formula konvensional
Islam “Lā Ilāha Illallāh” yang artinya “tiada tuhan melainkan Allah”. tauḥīd
telah menjadi prinsip paling dasar dari ajaran Islam dan dalam kaitannya dengan
concern kita tentang integrasi ilmu, telah menjadi prinsip yang paling utama dari
prinsip-prinsip epistemologi Islam, sehingga ia juga telah menjadi asas pemersatu
atau dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia. Dalam perkembangannya,
formula “Lā Ilāha Illallāh” telah dipahami dan dirumuskan secara beragam oleh
para teolog, fuqaha, Sufi dan filosof. Para teolog dan fuqaha cenderung
mengambil arti harfiah dari formula tersebut dengan menerjemahkannya sebagai
“tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah”. 247
Konsep tentang Tauḥīd, yang lazim diterjemahkan sebagai paham
keesaan Tuhan, memanifestasikan adanya kesatuan dalam ilmu. Kesatuan ilmu
bermakna tidak adanya kompartementalisasi atau bifurkasi antara ilmu-ilmu
"agama" dengan "ilmu umum". Konsep ilmu dalam Islam terkait dan terjalin erat
dengan pandangan dunia Islam (Islamic worldview), yang bermuara pada konsep
Tauḥīd. Dengan kata lain, pandangan Islam tentang Tuhan, kenabian
(nubuwwah), alam semesta, manusia, unsur-unsur, dan konsep-konsep kunci
Islam terkait dengan ilmu. Tauḥīd merupakan aspek sentral atau poros dimana
seluruh konsep-konsep Islam berputar mengitarinya. Ibarat tata surya, Tauḥīd
adalah matahari dimana semua planet mengitari dan menyerap energinya.
Dalam tradisi intelektual Islam, terdapat kesatuan hierarki ilmu.
Sebarang bentuk fragmentasi tidak dapat ditolerir, karena bertentangan dengan
spirit Tauḥīd. Ilmu Tauḥīd menempati posisi yang paling tinggi dalam klasifikasi
ilmu dan segenap disiplin ilmu yang lain berkait kelindan dengannya. Sementara
ilmu modern kehilangan visi hierarkis (lost the hierarchic vision of knowledge)
dan lacks of unity. Dalam Islam terdapat kesatuan, antara ilmu, iman
(ketauhidan), dan amal. Sebaliknya, konsep ilmu Barat sekuler meniadakan dan
memisahkan iman dari ilmu. Sebagai konsekuensinya, ilmu tersebut melahirkan
saintis tanpa iman. Ilmu pengetahuan tanpa keyakinan terhadap keesaan Tuhan
akan menyesatkan dan dapat melahirkan sikap anti terhadap agama. Atau, ilmu
tanpa hidayah dan hikmah hanya akan membuat para ilmuwan kian jauh dari
keimanan.248
Di sini, kata Ilāh dimengerti sebagai Tuhan yang wajib disembah (al-
Ma’būd) karena manusia adalah hamba-hamba-Nya (ʽābid). Namun, sejalan
dengan pendekatan filosofis di sini akan dibahas tauḥīd dalam perspektif filosofis
karena dalam perspektif inilah integrasi ilmu menemukan ekspresinya yang
paling nyata. Berbeda dengan para teolog dan fuqaha, Para filosof Muslim
mempunyai tafsīr mereka sendiri tentang keesaan Tuhan (tauḥīd) ini. Keesaan
247 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Arasy Mizan, 2005), 32. 248 M. Hadi Masruri dan Imron Rossidy, keduanya menulis Artikel “Filsafat
Sains dalam Al-Qur’ān: Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama,” Jurnal
LKQS (Tth) : 5-6.
96
Tuhan bagi mereka berarti bahwa Tuhan haruslah simple (basīṭ), tidak boleh
tersusun dari apa pun kecuali zat (esensi)-Nya sendiri. Karena itu, Tuhan pada
diri-Nya tidak bisa dikatakan mempunyai sifat, kalau dengan sifat itu diartikan
sebagai sesuatu yang ditambahkan kepada zat-Nya, karena kalau begitu akan
terkesan adanya tarkīb (komposisi) pada diri Tuhan. Ini tentunya juga merupakan
inti pandangan kaum rasionalis Muslim, yang disebut Mu’tazilah, yang memang
merupakan para teolog yang sangat dipengaruhi oleh ide-ide filosofis. Seiring
dengan semangat itu, Ibn Sina (w. 1037), misalnya juga mengatakan bahwa pada
diri Tuhan esensi dan eksistensi adalah sama dan satu, sedangkan pada wujud
yang selainnya, esensi dan eksistensi merupakan dua hal yang berbeda, adapun
alasan yang dikemukakannya adalah bahwa sementara segala sesuatu selain
Tuhan memiliki genusi dan spesies, Tuhan tidak memiliki genus dan spesies
sehingga pada diri-Nya esensi dan eksistensi bersatu.
Mullā Sadrā mempunyai pandangan filosofis, terutama dalam bidang
ontologi dan epistemologi yang memiliki karakter yang kuat pada tipe integrasi
meskipun secara eksplisit ia tidak pernah membahas secara langsung hubungan
sains dan agama. Konsep Tauḥīd Mullā Sadrā yang berimplikasi pada kesatuan
ciptaan, yakni keterhubungan (interrelatedness) bagian-bagian alam, dan
selanjutnya berimplikasi pula pada kesatuan pengetahuan. Tauḥīd bukan saja
menjadi kerangka keimanan (frame of faith) yang menjadi dasar keyakinan umat
Islam kepada Allah, namun juga merupakan kerangka pemikiran (frame of
thought) yang membangun integrasi kebenaran.249 Pandangan Tauḥīd ini
didasarkan atas beberapa fiman Allah dalam al-Qur’ān, yaitu
حيم محن الر وإهلكم إله واحد ال إله إال هو الر
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Baqarah :
163)
اموات واألرض يدعوكم ليغفر لكم من ذنوبكم ر السقالت رسلهم أيف اهلل شك فاط
ونا عام كان يعبد ويؤخ ى قالوا إن أنتم إال بش مثلنا تريدون أن تصد ركم إىل أجل مسم
.آباؤنا فأتونا بسلطان مبني
“Berkata Rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap
Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan
kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu sampai masa yang
ditentukan?" mereka berkata: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti Kami
juga. kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) Kami dari
249 Mustofa, “Tauḥid: Akar Tradisi Intelektual Masyarakat Muslim” dalam
Intelektualisme Islam, Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, editor Lutfi
Mustofa dan Helmi Syaifuddin (UIN malang: LKQS, 2007), 12.
97
apa yang selalu disembah nenek moyang Kami, karena itu datangkanlah kepada
Kami, bukti yang nyata". (QS. Ibrāhīm : 10)
ا لذهب كل إله بام خلق ولعال بعضه ذ اهلل من ولد وما كان معه من إله إذا م عىل بعض ما اخت
كون 81سبحان اهلل عام يصفون ) هادة فتعاىل عام يش (81) ( عامل الغيب والش
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada
Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing
Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari
tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa
yang mereka sifatkan itu, Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang
nampak, Maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan”. (QS.
Al-Mu’minūn : 91-92)
Keesaan Tuhan menurut Mullā Sadrā disebut sebagai ajaran “waḥdah al-
wujūd”.250 Tentu saja konsep waḥdah al-wujūd Mullā Sadrā ini diadopsi dari
konsep sufi, khususnya Ibn ‘Arabi (w. 1240). Tetapi, di antara keduanya terdapat
beberapa perbedaan yang cukup mendasar. Berbeda dengan para teolog yang
mengartikan kata “Ilāh” dalam formula “Lā Ilāha Illallāh” dengan “Tuhan yang
wajib disembah”, para sufi mengartikan kata “Ilāh” sebagai “hakikat” (realitas)
sehingga bagi mereka “Lā Ilāha Illallāh” bisa berarti “tidak ada realitas yang
betul-betul sejati kecuali Allah”. Ibn Arabī mengatakan bahwa alam ini tidak lain
daripada manifestasi-manifestasi (tajalliyāt) Allah, atau lebih tepatnya
manifestasi sifat- sifat, nama-nama, dan afāl Allah. Pada dirinya alam tidak
memiliki realitas, Tuhanlah yang memberi realitas tersebut kepada alam.
Tuhanlah satu-satunya realitas sejati, karena itu mereka sebut Al-ḥaqq (Sang
Kebenaran, Sang Realitas Sejati).
Sejalan dengan itu, para filosof Muslim, khususr Ibn Sīnā juga
mengatakan bahwa pada dirinya alam adalah mumkin al-wujūd artinya wujud-
wujud yang mungkin dan dengan itu dia maksudkan sebagai wujud potens. Jadi,
dalam pandangan tokoh utama peripatetik Muslim ini pada dirinya alam hanyalah
sebuah potensi bukan aktualitas, dan karena itu belum lagi memiliki realitas
seperti yang kita lihat sekarang. Sebagai potensi, alam tidak bisa mewujudkan
dirinya sendiri oleh dirinya. Ia membutuhkan (karena itu Suhrawardī menyebut
alam al-faqīr) wujud lain yang senatiasa aktual, yaitu Tuhan yang mandiri untuk
keberadaannya. Jadi wujud alam bukanlah milik dirinya melainkan diberi Tuhan
atau dipinjamkan Tuhan untuk suatu saat nanti diambil kembali. Dapat
. إن واجب الوجود بسيط احلقيقة غاية البساطة . وكل بسيط احلق 250 يقة كذلك ، فهو كل األشياء
. ال يرج عنه شيئ من األشياء
فواجب الوجود كل األشياء
Wujud yang wajib ada bersifat murni, karena ada murni bersifat wajib ada,
yang mencakup segala sesuatu dan tidak keluar dari-Nya sesuatu apapun/ tidak bisa
dikaitkan dengan materi dan forma. Lihat Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah Al-Mutā’aliyah fi’ al-
Asfār al-‘Aqliyyah al-Arba’ah (Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāth, 1981), Jilid 2, 49.
98
disimpulkan bahwa, baik bagi sufi maupun filosof pemilik sejati wujud adalah
Tuhan, Dia-lah realitas sejati (al-ḥaqq) menurut para sufi dan wajib wujud
menurut para filosof, yang wujud-Nya senantiasa aktual. Sedangkan alam,
apabila dilepaskan kaitannya dengan Tuhan hanya memiliki potensi murni yang
oleh Aristoteles disebut dengan materi awal.251
Penjelasan Mullā Sadrā tentang waḥdah al-wujūd ini, tampaknya telah ia
adopsi dari ajaran Suhrawardī Al-Maqtūl (w.1191) tentang cahaya. Menurutnya,
cahaya pada hakikatnya adalah satu, tetapi ia menjadi berbeda-beda tingkat dan
intensitasnya beda tingkat dan intensitasnya karena adanya barzakh-barzakh
(barāzikh) yang menyela di antaranya. Dengan demikian, semakin jauh sebuah
cahaya dari sumbernya, yaitu Allah, sang Nūr al-Anwār, maka akan semakin
redup sinarnya karena sebagian diserap oleh rangkaian barzakh yang amat
panjang, yang seperti kaca riben dapat merambatkan cahaya itu pada yang di
bawahnya, tetapi sebagian lagi teredam pada dirinya. Semakin jauh, semakin
suram dan ketika mencapai alam materi maka cahaya itu pun telah hampir
kehilangan sinarnya dan ke- gelapanlah yang kemudian mendominasinya.
Dengan mengganti “cahaya” dengan “wujūd”, Mullā Sadrā dapat dengan relatif
mudah mengatakan bahwa wujud seperti halnya “cahaya” dalam filsafat
Suhrawardi adalah satu dan sama dan hanya berbeda dalam derajat dan inten-
sitasnya oleh barzakh-barzakh pada hakikatnya adalah satu dan sama. Mereka
berbeda hanya dalam gradasi disebabkan oleh modus tindakan esensi yang
berbeda-beda. Wujūd tentu telah menimbulkan rangkaian wujud-wujud yang
berbeda derajatnya, dari Tuhan, Sang Wujūd Murni, yang tentu saja bersifat
immateriil (mujarad) melalui entitas-entitas immateriil lainnya yang lebih rendah
(para malaikat) ke benda-benda langit (heavenly bodies) yang merupakan
campuran antara benda-benda materi dan entitas-entitas immateriil (jiwa dan
akal-akal dalam pengertian Avicenna) sampai ke benda-benda materiil seperti
yang kita lihat di dunia fisik. Konsep kesatuan wujud telah mengintegrasikan
berbagai wujūd yang berbeda-beda ini ke dalam kesatuannya yang kukuh dan
memberi segala tingkat wujūd ini status ontologis mereka solid. Sehingga mereka
tidak bisa dipisahkan dengan kategori riil dan tidak riil nyata atau ilusi.252
Dengan demikian konsep “waḥdah al-wujūd” Mullā Sadrā dapat
dijadikan sebagai basis integrasi ilmu, terutama bagi status ontologis objek-objek
penelitiannya. Menurutnya, segala wujud yang ada dengan segala bentuk dan
karakternya pada hakikatnya adalah satu dan sama yang membedakan satu
dengan yang lainnya hanyalah gradasinya (tashkīk al-wujūd) yang disebabkan
oleh perbedaan dalam esensinya. Oleh karena itu, mereka pada dasarnya satu dan
sama, wujud apapun yang kita ketahui yang bersifat spiritual atau yang materil
tetntu mempunyai status ontologis yang sama-sama kuatnya dan sama-sama
riilnya. Segala tingkat wujud boleh menjadi objek yang valid bagi ilmu, karena
251 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, 34-35. 252 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, 36.
Lihat Juga Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam
(Lentera Hati: Jakarta, 2006), 72-73.
99
realitas ontologis mereka telah ditetapkan (fixed). Konsep tentang pemikiran
Mullā Sadrā akan merasa dapat dipahami secara jelas pada bab selanjutnya yaitu
di bab IV.
100
BAB IV
HUBUNGAN ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM
DALAM PERSPEKTIF MULLĀ SADRĀ
Apakah hubungan ilmu dan agama berada pada posisi konflik,
independensi, dialog atau integrasi masih menjadi perdebatan hingga saat ini.
Banyak kalangan mengambil sikap aman pada posisi independensi. Mereka
berpendapat bahwa ilmu dan agama memang dua hal yang berbeda, baik
metodologi, ukuran kebenaran dan tujuan yang hendak dicapai, sehingga
menempatkan keduanya pada posisi saling tidak mencampuri urusan satu dengan
yang lain menjadi pilihan yang terbaik. Pilihan dialog sekali-kali diambil
manakala ada persoalan yang membutuhkan jawaban segera atau sementara
ketika ilmu belum menemukan jawabannya. Di tengah kebimbangan untuk
memahami pada posisi mana sesungguhnya ilmu dan agama berada, Mullā Sadrā
mempunyai pandangan filosofis, terutama dalam bidang ontologi dan
epistemologi, yang menunjukkan karakter yang kuat pada tipe integrasi meskipun
secara eksplisit ia tidak pernah membahas secara langsung hubungan antara ilmu
dan agama.253
A. Tinjauan Ontologi
Ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang membicarakan masalah
“Yang ada”, baik bersifat fisik maupun non-fisik. Ontologi lebih banyak
berbicara tetang hakikat “Yang ada” sehingga sering kali disamakan dengan
metafisika, yaitu ilmu yang membicarakan tentang realitas, kualitas,
kesempurnaan, yang ada, yang oleh Aristoteles disebut Filsafat Pertama.254
Konsep “Ada” dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu mustahil ada (mustaḥīl al-
Wujūd),255 mungkin ada (jawāz al-Wujūd)256 dan wajib ada (wājib al-Wujūd)257.
253 Secara umum terdapat tiga kajian penting filsafat, yaitu ontologi,
epistemologi dan axiologi. Ontologi membicarakan keadaan sesuatu (metafisik),
Epistemologi membicarakan sumber dan cara memperoleh sesuatu dan Axiologi
membicarakan kegunaan dari sesuatu. Dalam filsafat Barat ketiga sudut pandang ini
harus senantiasa dijadikan tolok ukur mengenai sesuatu. Misalnya A adalah titik-titik,
bersumber dari titik-titik, diperoleh dengan cara titik-titik dan gunanya untuk titik-titik.
Dengan cara ini keberadaan A akan diketahui secara utuh. Uraian yang relatif memadai
terhadap ketiga bidang tersebut dapat dilihat pada; Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Umum (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 30. 254 Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 19. 255 Yang dimaksudkan dengan mustahil ada adalah sesuatu yang keberadaannya
bersifat mustahil, yang tidak ada dalam realitas kongkret, misalnya kuda terbang. Tidak
ada realitas kongkret makhluk ini kecuali hanya dalam cerita fiksi atau khayalan semata. 256 Adapun “Mungkin ada” adalah sesuatu yang keberadaannya bersifat
mungkin, yaitu mungkin ada mungkin tidak ada. Keberadaan yang bersifat mungkin ini
sangat tergantung pada sesuatu yang menjadi penyebab keberadaannya. Misalnya ‘Kursi’
akan ada apabila terdapat kayu atau besi yang meminjam pandangan Aristoteles menjadi
sebab bahannya (kausa materialis), terdapat sebab bentuk (kausa formalis), terdapat
101
Pandangan ontologi Mullā Sadrā dapat diketahui dari filsafatnya tentang wujud.
Dalam khasanah pemikiran Islam di antara tema-tema metafisika yang paling
banyak melahirkan kontroversi filosofis adalah problema wujūd ini. Mullā Hadi
Sabzawari (w.1289) mengatakan bahwa sulitnya untuk memahami konsep ini
atau bahkan tak mungkin untuk didefinisikan karena terlalu jelasnya konsep ini.
Ia memahami Wujūd dalam dua pengertian, yaitu konsep Wujūd (mafhūm
Wujūd), yaitu sesuatu yang sangat jelas dan bahkan aksiomatis dan realitas
Wujūd (haqīqah Wujūd), yaitu sesuatu yang sangat sulit untuk dipahami.258
Konsep Wujūd (mafhūm Wujūd) digambarkan seperti pemahaman atas
pernyataan “ada seekor kuda” atau “kuda itu ada”. Setiap orang dengan segera
akan memahami pernyataan tersebut tanpa melalui refleksi yang mendalam,
karena terjadi secara natural dan spontan. Seseorang tidak perlu belajar untuk
dapat memahami pernyataan tersebut.259 Akan tetapi tidaklah mudah untuk
memahami realitas Wujūd (haqīqah Wujūd) karena sedemikian jelasnya konsep
ini. Analoginya bahwa Wujūd sedemikian terangnya sehingga tak mungkin bisa
dilihat. Sabzawari mengatakan : its (Wujūd ’s) notion is one of the best-known
things, but its deepest reality is in the extremity of hiddenness.260
Konsep Mullā Sadrā terdiri atas tiga prinsip yang fundamental, yaitu:
Waḥdah al-Wujūd , Tashkīk al-Wujūd dan Aṣālah al-Wujūd .
1. Waḥdah al-Wujūd (Kesatuan Wujud)
Pandangan Waḥdah al-Wujūd ini diadopsi Mullā Sadrā dari konsep
mistisisme yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Waḥdah al-Wujūd adalah pilar
utama pemikiran Ibnu Arabi sehingga banyak pemikir selalu mengasosiasikan
Waḥdah al-Wujūd dengan tokoh ini.261 Berdasarkan penelitian WC. Chittick Ibnu
Arabi tidak pernah menamakan ajarannya Waḥdah al-Wujūd .262 Orang pertama
subjek manusia yang merealisasikan bahan dan bentuk itu menjadi sebuah kursi (kausa
efisien) serta ada tujuan mengapa kursi itu diciptakan yaitu sebagai tempat untuk duduk
(kausa finalis) 257 Sedangkan ‘wajib ada’ adalah keberadaan sesuatu yang sifatnya wajib. Ia ada
tidak kerena disebabkan oleh sesuatu yang lain, namun justru menjadi penyebab atas
keberadaan segala sesuatu. Inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai Kausa Prima
yang dalam bahasa agama disebut Tuhan. 258 Mehdi Mohaghegh dan Toshihiko Izutsu, The Metaphysics of Sabzavari
(Iran: University Press, 1983), 33. 259 Megawati Moris, Mullā Sadrā’s Doctrine of The Primary of Existence
(ISTAC: IIUM, 2003), 44. 260 Mehdi Mohaghegh dan Toshihiko Izutsu, The Metaphysics of Sabzavari, 33. 261 Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2000), 183. 262 Dalam konsep hubungan antara Allah dan manusia menurut Ibnu Arabi
adalah hubungan antara khāliq dan makhlūq. Manusia sempurna tidak akan mengklaim
bahwa dirinya memiliki bau ketuhanan dan tidak akan mengatakan seperti “Aku adalah
al-Ḥaqq”, melainkan mengaku sebagai hamba sejati yang mendekatkan diri kepada
penciptanya dengan penuh kerendahan diri. Hamba adalah hamba, Tuhan adalah Tuhan.
Pemberian predikat kehambaan kepada hamba berarti pemberian predikat ketuhanan pada
102
yang menggunakan istilah ini adalah Sadr al-Dīn al-Qunawi (w. 673/1274).
Hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai satu istilah teknis yang
mempunyai makna khusus. Tokoh yang paling besar peranannya dalam
mempopulerkan istilah Waḥdah al-Wujūd adalah Taqi al-Dīn Ibnu Taimiyyah (w.
728/1328) yang pandangannya mengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para
pengikutnya.263 Ibnu Arabi menyatakan bahwa seluruh produk pemikirannya
bukan berasal dari sekedar pengkajian dan analisis logika, melainkan dari
penyingkapan sufistik sebagai imbalan ketaatannya kepada Rasulullah. Ia
sebagaimana ahli kashf yang lain berpegang teguh pada ilham dan anugerah ilahi.
Ilmu diperoleh melalui ilham atau pemberian langsung dari Allah yang
memenuhi jiwa manusia berupa pikiran-pikiran yang masuk (al-khawātir).
Rahasia kegaiban Allah ini hanya diberikan kepada yang Allah kehendaki.
Khawātir pada awalnya muncul dalam hati ketika mengkonsentrasikan diri
kepada Allah dengan hati yang ikhlas, penuh keimanan dan penghambaan
kepada-Nya. Ini merupakan penyingkapan (kashf) pertama yang datang tiba-tiba
kepada manusia. Ibnu Arabi menyebutnya ilmu yang dilemparkan (‘ilm adh-
dharbah) atau ilmu yang dihunjamkan (‘ilm ar-Ramyah).264
Tuhan. Menurutnya kehinaan akan memberikan ke-khushu’an. Ke-khusu’an memberikan
ilmu dan memancar sinar kebenaran. Lihat A.J. Arberry, Revelation and Reason in Islam
(London: George Allen & Unwin Ltd, 1956), 106. 263 Ibnu Arabi berpendapat bahwa rasio memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan
bawah dan kekuatan atas. Kekuatan bawah berhubungan dengan panca indera dan
pikiran. Kekuatan ini tidak dapat mencapai zat dan sifat Allah. Adapun kekuatan atas
merupakan akal murni, pemberian dari al-ḥaqq karena ma’rifat kepada-Nya.
Penyingkapan (kashf) menurut Ibnu Arabi adalah satu-satunya cara untuk mencapai
ma’rifat hakiki. Tasawuf Ibnu Arabi berpijak pada pola filosofis, termasuk di dalamnya
cita rasa spiritual (dzauq) dan penyingkapan (Kashf). Tasawufnya pada awalnya berporos
pada penggunaan daya nalar (tafkir) dan argumentasi (istidlāl) yang kemudian disertai
dengan penyingkapan spiritual (kashf) dan penyaksian (mushāhadah). Lihat Ibrahim
Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsafat (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 142. 264 Tujuan sufisme secara umum adalah penyatuan dengan Tuhan yang
merupakan hasil dari cinta yang ditanam dalam diri manusia. Penyatuan itu dipahami
dengan istilah-istilah penyucian (purification) hati secara bertahap dan pencapaian
berbagai kebijaksanaan spiritual yang akhirnya mengantarkan pada keadaan pelenyapan
(fana) dan keabadian (baqa’) dalam Tuhan. Demikian pula dalam membaca al-Qur’ān
tidak sekedar menggunakan suara dan kata-kata, tetapi dengan menggunakan hati
sehingga al-Ḥaqq turun ke dalam hatinya dan mengajaknya berbicara ketika ia merenung
dalam kesendiriannya. “Hatiku telah memberitakan kepadaku tentang Tuhan tanpa
perantara. Lihat Ibrahim Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsafat, 155.
Ibnu Arabi dalam bukunya Risālah al-Ahādiyah (Risalah tentang kesatuan)
yang dikutip oleh Seyyed Hosein Nasr, mengatakan : “Dia adalah dia, bersama-Nya tak
ada sesudah dan sebelum, tak ada di atas dan di bawah, tidak ada jauh atau dekat, tidak
ada kesatuan dan keterpecahan, tidak ada bagaimana, mengapa dan dimana, tidak ada
waktu atau tempat. Dia adalah dia sekarang dan dia dahulu. Ia adalah yang satu tanpa
kesatuan, tunggal tanpa ketunggalan. Ia tidak terdiri dari nama dan yang dinamai, kerena
103
Dalam pemaknaan yang varian, Waḥdah al-Wujūd menjadi bagian
integral dari diskursus aneka wacana intelektual Islam, yaitu ilmu kalam,
Tasawuf, filsafat Peripatetik, Illuminasionisme dan terutama Gnostik (‘Irfāni).
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti eratnya kaitan Tuhan dengan
alam seperti di gambarkan al-Qur’ān bahwa manusia sebagai bagian kecil
(minor) alam berasal dan akan kembali kepada Tuhan. Karena itu, membicarakan
Waḥdah al-Wujūd menurut Mullā Sadrā haruslah terlebih dahulu menguraikan
beberapa pandangan sebelumnya, sehingga pandangannya dapat dirumuskan
secara proporsional.265
Secara umum dalam pembahasan tentang Waḥdah al-Wujūd terdapat
empat tipologi hubungan antara Wujūd dan maūjud dilihat dalam ketunggalan
dan kejamakannya, yaitu 1). Ketunggalan Wujūd dan maujūd, 2). Kejamakan
Wujūd dan maujūd, 3). Ketunggalan Wujūd dan kejamakan maujūd, 4).
Kejamakan Wujūd dan ketunggalan maujūd. Di antara keempat tipologi ini,
Mullā Sadrā dapat dikategorikan berada pada tipe pertama dan ketiga. Tipe
pertama banyak dianut kaum sufi yang beranggapan bahwa pada dasarnya antara
Wujūd dan maujūd merupakan satu kesatuan. Adapaun tipe ketiga
menggambarkan bahwa Wujūd adalah satu dan dari yang satu itu berkembanglah
beraneka maujūd. Tipe yang ketiga ini dapat dilihat dalam konsep Mullā Sadrā266
tentang tingkatan Wujūd yang uraiannya sebagai berikut :
a) Wujūd Murni, yaitu Wujūd yang tidak tergantung kepada-Nya selain
diri-Nya dan tidak terbatasi oleh apapun. Wujūd ini tidak memiliki nama,
sifat dan tidak dapat ditangkap oleh indera maupun rasio, karena setiap
yang memiliki nama dan sifat tentu merupakan satu konsep yang terdapat
dalam pikiran dan pemahaman. Demikian pula segala sesuatu yang
ditangkap oleh indera dan rasio tentu terkait dengan sesuatu yang
tergantung dengan sesuatu yang lain. Ia tidak dapat dideterminasi oleh
apapun. Wujūd murni keberadaannya mendahuli segala sesuatu, ia ada
pada diri-Nya sendiri, tanpa perubahan dan pergerakan. Ia merupakan
Wujūd mutlak dan mutlak Wujūd -Nya. Dia adalah yang pertama, bukan
berarti bahwa ada yang kedua setelah-Nya, karena kesatuan Tuhan
bukanlah bersifat bilangan karena bilangan merupakan karakteristik alam
materi.
b) Wujūd yang keberadaannya tergantung kepada selain dirinya, ia dibatasi
oleh sifat-sifat yang dilekatkan pada dirinya. Contohnya adalah akal,
jiwa, benda langit, unsur pembentuk manusia, hewan, tumbuhan, batu-
batuan dan lain-lain.
nama-Nya adalah dia dan yang dinamai adalah dia ...” Lihat Sayyed Hossein Nashr, Tiga
Madzhab Utama Filsafat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 183. 265 Sayyed Hossein Nashr, Islamic Life and Thought (London: Goerge Allen &
Unwin, 1981), 174-175. 266 Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī al-Asfār al-ʽAqliyyah al-Arbaʽah
(Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāth, 1981), 327-329.
104
c) Wujūd Absolut dalam penyebarannya, yaitu Wujūd yang menyebar ke
seluruh hal yang bersifat ‘mungkin’ dan keseluruhan kuiditas (māhiyah).
Mullā Sadrā melihat bahwa realitas wujud meskipun satu, ia memiliki
intensitas yang membentang dari wujud yang wajib (واجب الوجود) yang sifat
wujudnya adalah niscaya (necessary), ke maujūd yang bersifat mungkin( ممكن
Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu berbeda dengan .(الوجود
sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada lain adalah
matahari itu sendiri. Wujud yang wajib berbeda dengan wujud yang mungkin,
namun dalam masa yang sama entitas-entitas itu tiada lain adalah realitas wujud
yang wajib juga.
Hal ini dapat dijelaskan pula dengan adanya dua jenis keniscayaan
esensial. Pertama, keniscayaan esensial abadi. Kedua, keniscayaan esensial
sementara. Keniscayaan esensial mempertautkan eksistensi dan esensi.
Perbedaannya, dalam keniscayaan esensial abadi subjek tidak memerlukan
asumsi atau syarat. Adapun dalam keniscayaan esensial sementara seubjek
memerlukan asumsi dan syarat. Contohnya : esensi manusia adalah hewan
rasional, maknanya bahwa eksistensi manusia terkait langsung dengan
keberadaan esensi kehewanan dan rasionalitasnya. Rasionalitas menjadi prasyarat
bagi eksistensi manusia. Dalam keniscayaan esensial abadi dapat dicontohkan de-
ngan pernyataan Allah Yang Maha Agung. Ke-Agung-an bukanlah merupakan
prasyarat untuk eksistensi Allah, namun keduanya merupakan kesatuan Wujud
yang bersifat abadi. Inilah salah satu sumbangan Mullā Sadrā yang membedakan
antara “niscaya ada dengan selainnya” (necessary by something else) dengan
“niscaya ada dengan sendirinya” (necessary by itself).267
Wujūdiyyah menerangkan dua perkara yang cukup fundamental.
Pertama, disebut dengan istilah maujūd murakkab (composite existence), yaitu
keberadaan entitas yang bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu
yang termasuk dalam kategori ini wujudnya pasti akan terbatas. Kedua, maujūd
267 Dalam konsep kausalitasnya, Mullā Sadrā berpandangan bahwa kesebaban
('illiyyah) dan keakibatan (ma’luliyyah) sepenuhnva bertumpu pada eksistensi.
Keberadaan maujud identik dengan ketergantungan, keterhubungan, keterkaitan dan
kebutuhan dengan sebab. Istilah yang ia gunakan adalah ‘keserbamungkinan yang
membutuhkan’(al-imkān al-faqrī).Teori waḥdah al-wujūd menekankan pada kesatuan
wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujūd. Tuhan berwujud,
manusia berwujud, alam semesta berwujud. Apakah wujud setiap satu dari mereka
sifatnya berdiri sendiri (self-subsistence) atau justru subsist by other. Lalu kalau
pilihannya adalah yang kedua, memunculkan pertanyaan: apa beda antara wujud Tuhan
dengan wujud selainnya? Lalu bagaimana mungkin bisa dibayangkan bahwa wujud itu
satu, sementara di dunia realitas ditemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri?
Bukankah keberadaan entitas si Ahmad berbeda dengan keberadaan entitas si Amir?
Apalagi dibandingkan dengan entitas hewan, nabati, dan sebagainya. Lantas di mana
letak ke- tunggalannya? Untuk menjawab persoalan itu terdapat pembahasan tentang
kemajemukan dan ketunggalan. Lihat Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah Al-Mutā’aliyah fi’ al-
Asfār al-‘Aqliyyah al-Arba’ah, Jilid 3, 135.
105
basīt (the simple existentence), yaitu sesuatu yang jenis wujudnya tak pernah
bergantung pada unsur apapun. Karenanya ia tidak pernah terbatas. Wujud basit
ini hanya milik Allah SWT saja yang wujudnya merupakan maujūd-Nya itu
sendiri.268 Tuhan dalam konteks di atas mustahil dapat dikenal dengan indera
lahiriah. Ia tak bisa diserupakan dengan apapun, tak dapat dilihat oleh mata, tak
dapat diliputi oleh pikiran, tak bisa dikhayalkan dan digambarkan dalam bentuk
apapun karena kalau bisa diserupakan dan diliputi oleh akal dan pikiran, maka
berarti Wujūd-Nya terbatas. Bagaimanapun, sesuatu yang terbatas mustahil
meliputi yang tak terbatas karena yang terpancar dari sesuatu yang terbatas
adalah keterbatasan itu sendiri, sedangkan Tuhan adalah sesuatu yang tak terba-
tas. Oleh karena itu, pengenalan hakikat Tuhan merupakan hal yang mustahil.
Dalam hal ini, Mullā Sadrā mengatakan: “Para filsuf muta’allihin mengenal
Tuhan dan bersaksi atas keberadaan-Nya tapi tak mengenal hakikat-Nya, karena
kekuatan intensitas pancaran dan cahaya-Nya serta kelemahan substansi wujud
kita yang menghalangi penyaksian hakikat Tuhan, sebagaimana kekuatan
intensitas pancaran dan cahaya matahari yang menyebabkan mata kita tak
mampu menyaksikan secara langsung wujud matahari. Kita tak sanggup me-
nyaksikan hakikat Tuhan karena ter-hijab-i oleh intensitas pancaran dan cahaya-
Nya. Kita memiliki pengetahuan dan ilmu tentang-Nya tapi bukan bermakna
“meliputi” dan "mencakupi” realitas wujud-Nya”. 269
Simplifikasi jenis Wujūd Allah ini kemudian melahirkan sebuah formula
yang dalam filsafat Sadrā disebut dengan istilah basitul haqīqah kullu shaiʽ
(Wujūd yang sederhana pasti mencakup secara inheren segala eksistensi yang
berada di tingkat bawahnya). Karenanya, mengikut formula ini, wujud manusia
dan segala sesuatu yang ada yang murakkab adalah bagian inheren dari wujud
Allah yang basīt. Prinsip waḥdah al-Wujūd dalam filsafat Sadrā ini yang melihat
kesatuan wujud terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai "sesuatu",
mulai dari wājib al-Wujūd sampai ke mumkin al-Wujūd (contingent beings)
yang beraneka ragam dan bervariasi. Prinsip ini pada akhirnya melahirkan
prinsip lain yang dikenal dengan istilah tashkīk al-Wujūd atau graditas wujud.
Wujūd Tuhan, karena tak memiliki kuiditas, tidak termasuk dalam aksiden atau
substansi yang keduanya merupakan kategori kuiditas. Selain Tuhan, kesatuan
dalam Wujūd-Wujūd abstrak (non materi) tak termasuk dalam kategori bilangan,
karena Wujūd mereka bersifat substansial. Wujūd Tuhan tak terbatas, karena itu
tak terbayangkan adanya sesuatu yang kedua setelah-Nya. Wujūd Tuhan yang
sedemikian tak berhingga itu tak menyisakan lagi kemungkinan hadirnya Wujūd
selain-Nya, karena kalau ada yang kedua setelah-Nya berarti bahwa Wujūd
Tuhan terbatas. 270
268 Megawati Moris, Mullā Sadrā’s Doctrine of The Primary of Existence
(ISTAC: IIUM, 2003), 62. 269 Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī al-Asfār al-ʽAqliyyah al-Arbaʽah,
115. 270 Mullā Sadrā, Al-Masā’il al-Qudsiyyah; Mutashābihāt al-Qur’ān (Resāle:
Masyhad University Press, tth), 5.
106
Konsep Waḥdah al-Wujūd menampakkan sosoknya yang utuh melalui
sistimatisasi Ibn ‘Arabi, sehingga istilah Waḥdah al-Wujūd dijadikan sebagai
sebuah teori wujud yang identik dengan tokoh ini.271 Pada intinya Waḥdah al-
Wujūd meruapakan pandangan bahwa wujud yang ada adalah satu yaitu Tuhan,
sedangkan alam semesta hanyalah bayangan (Mir’ah, manifestation) atau
gambaran (Ṣurah)272 dari Tuhan (There is only one Being and all existence is
nothing, but the manifestation).273 Dengan kata lain, Ibn ‘Arabi mengatakan :
“Wujud yang hakiki hanyalah Allah, sedangkan Wujūd makhluk hanyalah
bayangan-bayangan dari yang mempunyai bayangan dan gambaran dalam kaca
dari yang mengaca. Maka Khalq adalah bayangan, sedangkan al-Ḥaq adalah
Yanga Maha Suci dan makhluk adalah tiruan. Ketidak hakikatan alam dipandang
sebagai bayangan dan yang benar-benar wujud hanyalah Tuhan. Ibn ‘Arabi
dengan singkatnya, ia mengatakan :
ام هو اهلل ه خيال يف خيال والوجود احلق إن فالوجود كل
Segala Wujūd adalah ilusi, karena wujud yang sebenarnya hanyalah
Allah.274
Kehakikatan Tuhan dan ketidak hakikatan (ilusi) alam menyebabkan
para ahli menyebut pemikiran Ibn ‘Arabi dengan minisme eksistensi (Waḥdah al-
Wujūd ),275 monisme absolut,276 yang dalam istilah modern disebut panteisme,
monisme atau monisme panteistik. Konsep Waḥdah al-Wujūd di atas,
bagaimanapun terdapat keterkaitan yang signifikan, namun berbeda dengan ajuan
Mullā Sadrā. Untuk itu harus dibuat klasifikasi sebagai dasar pijakan untuk
menentukan corak Waḥdah al-Wujūd Mullā Sadrā. Paling tidak ada empat
kriteria yang dijadikan sebagai titik tolak, yaitu :
1. kesatuan dalam esensi dan eksistensi
2. keanekaragaman esensi dan eksistensi
3. kesatuan esensi dan keanekaragaman eksistensi, dan
4. keanekaragaman esensi dan kesatuan eksistensi277
271 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi; Waḥdah al-wujūd dalam Perdebatan
(Jakarta: Paramadina), 35. 272 Sesuai dengan maksud Hadith Qudsi yang berbunyi : “Sesungguhnya Allah
menciptakan Adam sesuai dengan Ṣurah-Nya”. Ibn ‘Arabi, Fushūsh al-Hikam wa al-
Ta’liqat ‘Alaih, Jilid 2, 29 dan 90. 273 William C. Chittick, Ibn al-‘Abi’s Metaphisics of Imagination; The Sufi
Parth of Knowledge (Albany: State University of New York Press, 1989), 79. 274 Ibn ‘Arabi, Fushūsh, Jilid 1, 104. 275 Mulyadhi Kartanegara, Trilogi Metafisis; Tuhan, Alam, Manusia (Bandung:
Mizan, 2000), 48. 276 A.E. Afifi, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995),
29. 277 Sayyed Hossein Nashr, Islamic Life and Thought, 175.
107
Dari empat kriteria di atas, Mullā Sadrā mengambil kemungkinan ketiga,
yaitu kesatuan esensi dalam keanekaragaman eksistensi. Segala Wujūd pada
prinsipnya sama, namun ia tampil dalam intensitas yang berbeda, sesuai dengan
konsep cahaya Suhrawardi. Mullā Sadrā menyempurnakan konsep cahaya
dengan merubahnya menjadi Wujūd, yaitu terdapat tingkatan wujud dari
sempurna tidak sempurna, awal-akhir, tersembunyi-nyata dan sebagainya. Mullā
Sadrā mengatakan :
ق أنه و يكن بني الوجود إختالف بذواتا إال بام ذكرناه من الكامل وما جيب أن يق إن مل
، ل كن يلزمها بحسب كل مرتب من املرار والظهور والفاء م والتأخ تب والنقص والتقد
179ت خاصة إمكانيةأوصاف معينة ونعو
Jelaslah bahwa kendati semua wujud sama dan hanya dibedakan oleh
tingkatan kesempurnaan, kekurangan, yang mendahului, yang mengakhiri, nyata
dan tersembunyi, namun setiap tingkat wujud memiliki karakter eksklusif yang
membedakannya dari yang lain.
Berbeda dengan teologi yang memandang Tuhan dalam arti hakikat dan
selain Tuhan tidak hakikat; berbeda dengan tasawuf (al-bustami dan al-Halaj)
yang menetapkan hubungan manusia dengan Tuhan secara “Komplemen”;
berbeda dengan sufi yang menetapkan hubungan dalam arti mutlak dan tidak
mutlak, berbeda dengan hubungan filsafat peripatetik yang melihat hubungan
sebagai limpahan dan sumber limpahan, berbeda dengan Suhrawardi yang
melihat keterkaitan dalam bentuk cahaya, dan berbeda dengan Ibn ‘Arabi yang
melihat hubungan secara eksistensial, sehingga disebut monisme eksistensial
(Waḥdah al-Wujūd),279 menurut Mullā Sadrā, hubungan Tuhan dengan alam
bersifat “Hirarkhis” (monisme hirarkis), menurut pandangan ini, terdapat adanya
hubungan dalam bentuk kesatuan wujud (Waḥdah al-Wujūd) seperti dipahami
dari ungkapan berikut ini :280
ة غاية البساطة . وكل بسيط احلقيقة كذلك ، فهو كل إن واجب الوجود بسيط احلقيق
. رج عنه شيئ من األشياء ال ي
. فواجب الوجود كل األشياء
األشياء
Wujūd yang wajib ada bersifat murni, karena ada murni bersifat wajib
ada, yang mencakup segala sesuatu dan tidak keluar dari-Nya sesuatu apapun/
tidak bisa dikaitkan dengan materi dan forma.
278 Sayyed Hossein Nashr, Sadr al-Dīn Shirazi & Hikmah Muta’āliyah,
diterjemahkan oleh Baharuddin Ahmad (Kuala Lumpur: Dewasa Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia, 1992), 98-99. 279 Mulyadhi Kartanegara, Trilogi Metafisis; Tuhan, Alam, Manusia, 48. 280 Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī al-Asfār al-ʽAqliyyah al-Arbaʽah,
Jilid 2, 49.
108
Melalui kutipan ini Mullā Sadrā mengajukan teori baru tentang Tuhan
sebagai “Yang hakekat-Nya sederhana meliputi segala sesuatu Wujūd” (al-Basīṭ
Ḥaqiqah Kull al-Ashyā’) dan menganggapnya sebagai orang pertama yang
memformulasikannya di dunia Islam. Basīṭ yang dimaksudkannya ialah seperti
makna mutlak yang diajukan kaum sufi, sebagai sesuatu yang tidak menrima
sifat-sifat afirmatif dan negatif. Tuhan hanya memiliki sifat positif dan hanya
non-wujudlah sebagai negasi-Nya.281 Berbeda dengan Waḥdah al-Wujūd Ibn
‘Arabi, masing-masing (tingkatan) Wujūd memiliki karakter eksklusif yang
membedakannya satu sama lain Inilah kata kunci, sehingga Waḥdah al-Wujūd
Mullā Sadrā berbeda dengan konsep Waḥdah al-Wujūd lainnya. Karena itu,
seperti juga Ibn Sina, Mullā Sadrā mengadakan pemisahan kajian Ketuhanan,
sebagai wujud hakiki, dan di luar katuhanan (alam semesta) sebagai Wujūd yang
mungkin dan tidak mungkin.282
Mullā Sadrā mengajukan pembagian yang varian. Menurutnya, Wujūd
dapat dibagi kepada dua kelompok, yaitu (1) Wujūd tidak terikat (self subsistent
being, al-Wujūd al-nafs) dan (2) Wujūd terikat (connective being, al-Wujūd al-
irtibāṭī). Wujūd pertama ialah Wujūd yang ada dengan sendirinya, tanpa terkait
dengar faktor di luar diri-Nya. Sebagai hakikat mumi, hakikat-Nya tidak terkait
dengan esensi atau eksistensi, karena Dia adalah Wujūd yang terlepas dari semua
gambaran. Sedangkan Wujūd kedua sebaliknya, keberadaannya sangat terkait
dengan faktor di luarnya. Wujūd ini terbagi kepada (a) jawhar; yaitu sesuatu yang
menjadi kualitas bagi yang lain dan (b) ʽaradh, yaitu sesuatu yang menjadi
kualitas bagi yang lain. Sama secara prinsip dengan klasifikasi Aristoteles, Mullā
Sadrā juga sepakat bahwa realitas selain Tuhan dapat dibagi kepada mineral,
tumbuhan, hewan dan manusia. Namun Mullā Sadrā tidak sepakat dengan prinsip
klasifikasi absolut, karena menurutnya, klasifikasi di atas bersifat dinamis dan
progressif, sesuai dengan konsep tashkīk, seperti akan diuraikan berikutnya.
Klasifikasi ini identik dengan ajuan Ibn Sina yang membagi Wujūd kepada wajib
(necessary), mungkin (possible) dan mumtaniʽ (imposible). Baik Wujūd yang
wajib maupun yang mungkin masing-masing terbagi kepada: oleh dirinya (bi
nafsihī) dan oleh di luar dirinya (bi ghairihī). Wajib Wujūd karena diri-Nya sama
dengan wujud Irtibāṭī al-Nafsī dalam teori Mullā Sadrā. Sedangkan wajib ada
karena diluar dirinya sama dengan Irtibāṭī bil Ghairihi.
2. Tashkīk al-Wujūd (Gradasi Wujud)
Tashkīk mengandung arti menjadi “lebih atau kurang” atau menjadi
“bertambah atau berkurang”. Dari pengertian ini, keadaan berbagai hal yang ada
mengandung ciri-ciri lebih dulu atau lebih kemudian, lebih sempurna atau tidak
lebih sempurna, lebih kuat atau lebih lemah. Prinsip ini menyatakan bahwa
meskipun Wujūd merupakan suatu realitas tunggal yang pada dasarnya adalah
sama dan serupa pada seluruh yang ada, karena seluruh yang ada adalah
281 Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī al-Asfār al-ʽAqliyyah al-Arbaʽah,
Jilid 1, 110-115. 282 Ibn Sīna, al-Syifa’ al-Ilahiyyah (Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah lī Syu’un al-
Mathabi’ al-‘Amiriyyah, 1388/1960), 37.
109
penampakan-penampakan diri dari realitas tunggal tersebut, namun ia juga
menjadi prinsip pembeda.283
Ada dua proposisi yang mendukung prinsip tashkīk al-Wujūd. Pertama,
bahwa Wujūd merupakan sifat umum yang secara equivokal284 menyifati seluruh
yang ada285 (prinsip persamaan). Kedua, bahwa secara univokal realitas hanya
menjadi Wujūd semata (prinsip pembedaan), karakter Wujūd yang demikianlah
yang memungkinkan terjadinya gerakan evolusioner. Mullā Sadrā berpendapat
bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi
sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Sadrā tidak menyimpulkan
sebagai waḥdat al-Wujūd, tetapi mengajukan tashkīk al-Wujūd sebagai solusinya,
yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadrā,
dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak
terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub Tiada Mutlak
sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya.
Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mullā Sadrā yang disebut “Ḥikmah al-
Muta’āliyah”. Menurut Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa
besar antara teologi, filsafat dan mistik. 286
Dalam perspektif al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah, Wujūd merupakan suatu
realitas tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi.
Gagasan ini berlawanan dengan filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa
Wujūd-Wujūd di alam secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak
memiliki unsur kesamaan yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan
kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang
kesatuan Wujūd yang individual (waḥdah al-shakhsh al-Wujūd ). Mereka
menolak secara mutlak ide kejamakan Wujūd. Gradasi Wujūd dalam filsafat
Mullā Sadrā ditopang oleh dua unsur, yakni kesatuan Wujūd dan kejamakan
Wujūd. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh
satu unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak
dan bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi
Wujūd.
283 Alparslan Acikgenc, Being and Existence in Sadrā and Heidegger (Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1993), 130. 284 Istilah “univokal” dan “equivokal” adalah istilah yang digunakan dalam
tradisi klasik logika Aristoteles. Menurut Aristoteles yang universal dapat dibedakan atas
dua tipe, yaitu yang dapat diterapkan secara univokal dan yang dapat diterapkan kepada
seluruh manusia, sedangkan contoh equivokal adalah kata “jiwa” yang dapat diterapkan
pada jiwa-jiwa yang ada di bumi, langit maupun manusia. Lihat Fazlur Rahmn, Filsafat
Mullā Sadrā penerj: Munir A. Muin (Bandung: Pustaka, 2000), 45. 285 Lihat Mullā Sadrā, Ḥikmah al-Muta’āliyah, Jilid 1, 35
شكيل ال محل التواطؤ .أن مفهوم الوجود مشرتك حممول عىل ما حتته محل الت
286 Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī al-Asfār al-ʽAqliyyah al-Arbaʽah,
Jilid 3, 433.
110
3. Aṣālat al-Wujūd
Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang
sama, memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi
sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang
secara resmi di sebut dengan Aṣālat al-Wujūd. Pendiri mazhab filsafat ini adalah
Shadr al-Dien Syirazi (Mullā Sadrā) yang menyebut metodologi pemikirannya
metafilsafat (al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah)287
Maksud (Aṣālat al-Wujūd ) dalam filsafat Mullā Sadrā adalah bahwa
setiap wujud kontingen (mumkin al-Wujūd) terjadi atas dua modus (pola
perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-
benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas
(esensi) tidak lebih dari “penampakan” (apperiance) belaka.288 Para filosof
muslim sebelum Mullā Sadrā telah membahas persoalan ini. Menurut Ibnu Sina,
eksistensi mendahului esensi. Eksistensi bersifat primer dan merupakan satu-
satunya hakikat atau realitas yang dimiliki Tuhan, sedangkan esensi dan sifat-
sifatnya bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi ini,
keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan dengan itu, menurut
Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi. Eksistensi adalah realitas yang
sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan. Sedangkan esensi tidak
lain adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuannya289
Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi lebih fundamental dari esistensi, sebab
eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia yang merupakan realitas
sesungguhnya adalah esensi yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-
bentuk cahaya dari maha cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan
benda-benda yang beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau
kebenderangannya.
Mullā Sadrā pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas, tetapi
kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi
tentang prioritas eksistensi terhadap esensi, namun menolak Ibnu Arabi tentang
waḥdat al-wujūd , ketunggalan wujūd. Bagi Sadrā benda-benda disekitar kita,
semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama
seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut
tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampun menangkap
esensi atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi
dengan eksistensi. Bagi Sadrā, eksistensi adalah realitas objektif di luar pikiran,
sedang esensi adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada
dalam pikiran. Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa
287 Mehdi ha’iri yazdi, Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam
Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung : Mizan, 1994), 51. 288 Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Mullā Sadrā
(Bandung: Mizan, 2002), 80. 289 Husain Nashr, Tiga Pemikir Islam (Bandung: Risalah, 1986), 22-25.
111
dianggap sebagai cerminan hakikat Wujūd, karena transformasinya ke dalam
konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan290
Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya
terhadap wujud, Mullā Sadrā telah mempersatukan secara sempurna kedua aspek
kehidupan spiritual yaitu pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif
secara langsung. Bagi mereka yang sudah terpadu dalam dirinya antara
pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung, seperti
halnya Mullā Sadrā, bisa merasakan bahwa sesungguhnya kenikmatan dan
kebahagiaan yang bersifat spiritual pada dasarnya adalah juga kenikmatan dan
kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa sesungguhnya
kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman mistis adalah kebenaran yang
bersifat intelektual dan pengalaman mistis sebenarnya adalah pengalaman yang
bersifat kognitif. Pengalaman yang bersifat intuitif sama sekali tidak
bertentangan dengan penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk penalaran
yang lebih tinggi, lebih positif dan konstruktif, dibandingkan dengan penalaran
formal.291
Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan
atau dialami secara sekaligus jika seseorang mampu memberikan pembuktian-
pembuktian yang bersifat rasional terhadap pengalaman-pengalaman spiritual
dan mistisnya. Semakin luas argumen-argumen rasional yang diberikan, maka
kualitas spiritualpun akan semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai
pengalaman spiritual, sesungguhnya akan menjadi semakin tinggi kualitasnya
jika intelek mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua
itu hanya bisa dialami melalui keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya
manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu ketika pikiran telah
terintegrasi ke dalam keseluruhan diri manusia, yang terpusat pada kalbu.
B. Tinjauan Epistemologi Setiap pandangan epistemologi pasti didasari oleh suatu pemahaman
ontologi tertentu. Seseorang yang menyakini bahwa hakekat segala sesuatu
adalah materi (materialisme), maka bangunan epistemologinya pun akan
bercorak materialisme. Paham ini akan mengarahkan setiap penyelidikannya
pada apa yang dianggapnya sebagai kenyataan hakiki, yaitu materi. Paham ini
dapat dilihat misalnya pada empirisisme, rasionalisme dan positivisme. Demikian
pula bagi seseorang yang secara ontologis menyakini bahwa kenyataan hakiki
adalah non-materi, mereka juga akan mengarahkan penyelidikannya pada non-
materi, paham ini dapat dilihat misalnya pada intuisionisme. Contoh yang
sederhana dapat dikemukakan bahwa apabila seseorang ilmuan tidak
mempercayai adanya jin atau malaikat, maka ia tidak akan mungkin
mengembangkan penyelidikan atau menciptaka suatu disiplin ilmu untuk
290 Fazlur Rahman, Filsafat Sadra, terj. Munir Muin (Bandung: Pustaka, 2000),
3. 291 Syaifan Nur, Filsafat…. 181-182.
112
mengkaji jin dan malaikat. Namun kalau ia mempercayainya, tidak mustahil ia
akan berusaha sebagai disiplin ilmu.292
Inilah misalnya yang terjadi pada pemikir Barat seperti Laplace, Darwin,
Freud, Durkheim, Marx dan para pemikir naturalis atau materialis lain. Oleh
karena mereka tidak mempercayai status ontologis entitas metafisik, maka
mereka membatasi kajian keilmuannya hanya pada bidang-bidang fisik-empiris
saja. Bahkan bagi empirisme logis, metafisika, etika dan estetika tidak dapat
dikategorikan sebagai ilmu karena tidak menjelaskan apa-apa kecuali hanya
pandangan subyektif tentang hal-hal transenden, hal-hal yang baik dah hal-hal
yang indah. Tidak ada keberadaan yang dapat diterima secara objektif kecuali
hanya ungkapan-ungkapan yang muncul dari perasaan yang bersifat psikologis.
Berbeda halnya dengan pemikir yang mempercayai keberadaan entitas
yang metafisik, mereka pun akan membangun kerangka epistemologinya dengan
memasukkan unsur-unsur metodis yang akan mengungkap realitas yang non
fisik-empiris, sebagaimana dilakukan oleh para pemikir Islam seperti Al-Farābi,
Ibnu Sīna, Ibu Rushdy, Mullā Sadrā dan lain-lain. Mullā Sadrā sendiri
memahami bahwa semua Wujūd, dari Wujūd Tuhan hingga Wujūd benda-benda
materi, pada hakikatnya adalah satu. Mereka hanya berbeda dalam gradasinya,
maka keseluruhan Wujūd, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, seara
integrated bahan kajian dalam bangunan keilmuan Islam. Pandangan
epistemologi Mullā Sadrā melampaui pandangan empirisisme, rasionalisme
maupun kritisisme yang lahir dan berkembang di Barat. Empirisisme
baranggapan bahwa kebenaran yang dapat dipercaya adalah yang diperoleh
melalui pencerapan indera, rasionalisme melalui rasio dan kritisisme melalui
indera dan rasio sekaligus. Namun menurut Immanuel Kant sebagai penggagas
kritisisme, kedua saran ini hanya mampu memahami kebenara pada tingkat
fenomena saja, dan tidak mampu menembus pemahaman yang noumena yang
menurutnya berada pada ruang ‘iman’.
Mullā Sadrā juga melampaui pandangan para pemikir Islam lainnnya
karena keberhasilannya memadukan empat aliran besar pemikir Islam, yaitu
Filsafat Peripatetik (Mashā’ī) Islam dari Ibnu Sīna, iluminasionis (teosofi
Ishrāqī) dari Syuhrawardi, ajaran tasawuf dari Ibnu ‘Arabi, dan teologi Islam
(kālam). Keempat aliran tersebut tidak begitu saja digabungkan secara eklektik,
namun ia juga mengajukan kritik atas aliran-aliran tersebut serta
mengembangkan menjadi filsafat utuh yang dikenal sebagai Al-Ḥikmah al-
Muta’āliyah. Dikatakan melampaui pemkiran epistemologi Barat karena melalui
Al-Ḥikmah al-Muta’āliyah ini manusia dapat menembus pemahaman noumena,
yang oleh Immanuel Kant dianggap mustahil. Konsep mengetahui yang dipahami
oleh Sadrā adalah hadirnya Wujūd (yang dalam konteks ini dapat diidentikan
dengan noumena) ke dalam diri manusia. Kerja pengetahuan bukan hanya kerja
pikir dan indera saja tetapi juga kerja intuisi. Intuisi bukanlah sesuatu yang diuar
rasio tetapi merupakan rasio pada tingkatan yang lebih tinggi yang dengannya
292 Mulyadi Kartenegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung dan UIN Jakarta Press: Arasy Mizan, 2005), 209.
113
manusia dapat mengalami pengalaman mistis. Melalui Sadrā, sebagaimana
diyakini oleh Ibnu Arabi dan Suhrawardi, bahwa seorang. Mistikus yang tidak
memiiki kemampuan berpikir konseptual adalah mistikus yang tidak sempurna.
Demikian pula sebaliknya seorang filsuf yang mengalami Realitas secara
langsung juga bukan filsuf yang sempurna.293
Agar lebih utuh memahami epistemologi Mullā Sadrā maka perlu
dijelaskan tiga hal pokok yang menjadi kerangka bagi bangun epistemologinya,
yaitu: 1) ilmu huḍūrī, 2) konsep tentang persepsi, dan 3) kesatuan antara yang
mengetahui dan yang diketahui.
1. Ilmu huḍūrī
Mullā Sadrā sebagaimana para pemikir Islam yang lain membagi
pengetaahuan menjadi dua. Pertama,pengetahuan berdasarkan korespondensi
atau representasi, disebut juga pengetahuan capaian (al-‘ilm al-huṣuli atau al-
ma’rifah al-huṣuliyah atau acquired knowledge); dan kedua pengetahuan
presensial (al-‘ilm al-huḍūrī atau al-ma’rifah al-huḍūrīyah atau knowledge by
presence).294 Epistemologi Barat modern hanya mengenal pengetahuan huṣuli,
yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui indera dan akal, sebagai kerja yang
murni dilakukan manusia. Mereka tidak mengakui pengetahuan presensial
(huḍūrī) sebagai pengetahuan yang secara intuitif didapatkan langsung dari
pemilik kebenaran. Pemahaman Sadrā tentang ilmu huḍūrī ini didasarkan atas
dua ayat dalam Al-Quran, yaitu :
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-
orang yang benar. (Q.S Al Baqarah: 31).
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia menge-tahui apa yang di daratan
dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan ti-dak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi,
293 Toshihiko Izutsu, The Concept abd Reality of Existence (Tokyo: The Keo
Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), 62. 294 Haidar Bagir, “Pengalaman Mistik dalam Filsafat Ḥikmah Mullā Sadrā”,
dalam Basis, No 03-04 Tahun ke-55,Maret-April 2006 (Yogyakarta: Basis, 2006), 8.
114
dan tidak se-suatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab
yang nyata (Lauh Al-Mahfudz). (Q.S. Al An’ām : 59).
Pengetahuan huṣuli diperoleh melalui konsep-konsep dalam pikiran
tentang ‘yang diketahui’, sedangkan pengetahuan huḍūrī mengimplikasikan
kehadiran ‘realitas yang diketahui’ dalam akal/intelek secara langsung tanpa
perantara. Pengetahuan ini bersifat intuitif, iluminatif dan melampaui alam rasio,
tetapi bukan berarti tanpa bobot intelektual. Mullā Sadrā mengistilahkan dengan
signifikansi wahyu sebagai sumber asasi bagi pengetahuan.295 Pengetahuan
huḍūrī selalu dikualifikasi oleh ungkapan persis pada saat pengalaman langsung
akan penginderaan dan perasaan kita. Dapat diungkapkan dengaan bahasa lain
“realitas nyeri pada saat yang sama adalah pengetahuan saya tentangnya.”
Pengetahuan dalam hal ini tidak beroperasi pada dataran konseptualisasi,
melainkan tatanan ada (Wujūd ).296
Mullā Sadrā menyangkal teori-teori yang menganggap pengetahuan
sebagai proses abstraksi, maupun sebagai hubungan relasional antara subyek
yang mengetahui dan objek yang diketahui. Menurutnya, realitas pengetahuan
sepenunya merupakan kehadiran objek sebagaimana ia diketahui oleh subjek.
Pengetahuan huṣuli atau capaian mengasumsikan bahwa yang masuk ke dalam
diri subjek adalah objek dalam aspek quiditas (whatness)nya atau esensinya
semata, sedangkan pengetahuan presensial atau huḍūrī mengasumsikan bahwa
yang masuk ke dalam diri subjek adalah objek dalam aspek eksistensi
(Wujūd/ada)-nya. Teori abstaksi adalah teori yag dikembangkan oleh Ibnu Sina.
Teori ini mengatakan bahwa setiap persepsi, baik yang bersifat inderawi,
imajinatif, estimatif maupun aqliyah, semuanya terjadi karena proses abstraksi
dari bentuk-bentuk materi. Proses persepsi adalah bertingkat-tingkat. Pertama,
semua organ indera eksternal melakukan abstraksi terhadap bentuk-bentuk
materi, selanjutnya, kemampuan imajinasi melakukan abstraksi tahap kedua
sehingga bentuk-bentuk tersebut memasuki tingkat tanpa materi dan ketiadaan
materi. Setelah itu kemampuan estimasi melakukan abstraksi ketiga, yaitu
memberikan makna bentuk tersebut yang tidak lagi bersifat inderawi tetapi sudah
menjadi pemahaman. Pemahaman pada tahap ini masih merupakan makna
partikular dan bukan universal. Makna inilah yang selanjutnya diabstraksikan
lagi oleh kekuatan akal menjadi bentuk universal yang akan tetap ada di dalam
kehadiran akal terebut.297
Pada awalnya Mullā Sadrā adalah pendukung teori ini. Namun,
kemudian ia mengkritiknya dan mengungkapkan pandangannya sendiri. Menurut
Sadrā , persepsi tentang dunia fisik eksternal, misalnya, penglihatan tidak muncul
melalui pemancaran cahaya visual dari mata, tidak pula disebabkan oleh kesan
295 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan,
2003), 913. 296 Haidar Bagir, “Pengalaman Mistik dalam Filsafat Ḥikmah Mullā Sadrā”,
dalam Basis, No 03-04 Tahun ke-55,Maret-April 2006 (Yogyakarta: Basis, 2006), 9. 297 Mustamin Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan Persepsi dalam Pemikiran
Mullā Sadrā (Makasar: Safinah, 2003), 79.
115
dari bayang-bayang benda yang tampak pada membran kristalin mata. Menurut
Sadrā apa yang ada dalam objek fisik bukanlah jenis benda yang dapat
dihubungkan secara hakiki dengan persepsi. Ia tidak dapat hadir langsung dalam
persepsi dan berada dalam kesadaran. Dalam pandangan iluminatifnya, Sadrā
berpendapat bahawa perbuatan melihat (bersifat kejiwaan) tidak dapat
beradadalam posisi yang sama dengan objek (bersifat material). Penglihatan
terjadi setelah terpenuhinya kondisi tertentu dengan ijin Allah, muncul dari jiwa
bentuk-bentuk yang bergelantungan (arketipe) yang mengada melewati jiwa,
hadir dalam jiwa, dan muncul di dunia jiwa, tidak dalam dunia material.
Kebanyakan pandangan mengatakan bahwa persepsi terkait dengan ‘bentuk’ dari
benda-benda material. Sedangkan Sadrā memahaminya sebagai relasi iluminatif
antara jiwa dan bentuk yang dipersepsi. Konsep inilah yang kemudian disebut
dengan kesatuan antara yang mengetahui dan diketahui.298
Menurut Sadrā pengetauan adalah wujūd, yakni status wujūd dan status
pengetahuan adalah sama. Agar pengetahuan menjadi mungkin, wujūd objek
material eksternal harus mengalamit ransformasi, suatu perubahan aktual. Dalam
persepsi yang terjadi bukan abstraksi bentuk dalam materi, Namun transformasi
objek persepsi yang hadir dalam jiwa yang mengetahui. Oleh karena apa yang
diketahui bukan abstraksi atau ciptaan pikiran, maka sesuatu yang diketahui
merupakan sesuatu yang riil dalam totalitasnya ,tanpa pengurangan atau
tambahan. 299 Mullā Sadrā sebagai penduduk kesatuan wujūd (Waḥdah al-
Wujūd) yang memahami wujūd sebagai realitas tunggal dengan tingkatan-
tingkatan yang berbeda (Gradasi Wujūd, Tashkīk al-Wujūd) dan setiap tingkatan
merupakan sebuah manifestasi yang disebut haḍrah (hadirat, kehadiran) sebuah
realitas ilahi, maka ia berpandangan bahwa memahami sesuatu berarti hadirnya
eksistensi sesuatu itu ke dalam hadirat jiwa. Namun, bagaimana halnya dengan
adanya berbagai eksistensi yang terpisah satu dengan yang lain. Mullā Sadrā
mengatakan bahwa pada tingkat pengetahuan huḍūrī, perbedaan diantara
eksistensi-eksistensi akan hilang dan semuanya menyatu dalam cahaya
pengetahuan dan semuanya muncul dari ketiadaan kepada kehadiran. Dalam
pengetahuan huṣuli hubungan antara subjek dengan objek jelas terpisah sehingga
ada konsep dualisme di dalamnya. Sementara pada pengetahuan huḍūrī dualisme
itu hilang. Yang ada adalah kesatuan antar subjek penahu dan objek yang
diketahui.
Ciri utama pengetahuan huḍūrī adalah sulit dideskripsikan karena
sepenuhnya bersifat personal. Pengetahuan huḍūrī adalah pengetahuan yang
tidak mengenal benar dan salah, akan tetapi ketika pengetahuan itu
dikomunikasikan maka akan menjadi pengetahuan yang koresponden yang akan
298 Mullā Sadrā, Kearifan Puncak, diterjemahkan dari Hikmah Al-Arsyiah,
penerjemah: Dimitri Mahayana & Dedi Djuniardi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
184. 299 Mullā Sadrā, Manifestasi- Manifestasi Ilahi: Sebuah Risalah Teosofi Islam,
terjemahkan dari Al-Mazhāhir Al- Ilāhiyyah fī Asrār Al-Ulūm Al-Kamāliyyah,
penerjemah: Irwan Kurniawan (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), 181.
116
tunduk pada evaluasi benar dan salah. Sebagaimana planet dan benda-benda
langit yang tidak dapat salah, sedangkan teori-teori astronomi mungkin dapat
salah. Ada kebenaran di dalam halnya dan ada kebenaran interpretatif. Hairi
Yazdi300 memberikan penjelasan tentang pengetahuan huḍūrī ini dengan
membedakan antara pengalaman mistik (level pertama) yang tidak
terdeskripsikan dengan bahasa mistik (level kedua) dan meta-mistisisme filosofis
(level ketiga). Pengalaman mistik adalah pengetahuan yang tidak dapat
terdeskripsikan, tidak dapat dievaluasi benar dan salahnya karena sifatnya yang
personal. Sedang pada level bahasa mistik, para mistikus mempresentasikan atau
mengkonseptualisasikan pengalamannya, oleh karenanya tidak bebas dari
kategori benar dan salah. ʽIrfan yang dikembangkan Ibnu Arabi berada pada
level ini. Adapun meta-mistisisme filosofis merupakan penyelidikan (ilmiah)
tentang ʽirfan. Contoh pemikir pada level ini adalah al-Ghazāli. Sedang
iluminisme Suhrawardi dan Mullā Sadrā dapat dikatakan menempati level kedua
dan ketiga sekaligus. Pada level ketiga juga merupakan pengetahuan
representasional yang tidak bebas dari kesalahan.
Untuk mendapatkan pengalaman mistik ini, Mullā Sadrā menganggap
bahwa pengetahuan diri sebagai asal muasal segala kebijaksanaan, sebagaimana
sabda Nabi : “Orang yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya”. Tabir
yang menutup pengenalan diri adalah dosa-dosa yang ditimbulkan oleh
kecenderungan nafsu badani dan duniawi yang tidak terkendali, sehingga satu-
satunya jalan untuk mendapatkan pengetahuan sejati adalah dengan penyucian
jiwa dari segala dosa dan ketergantungan pada sesuatu yang bersifat duniawi.301
2. Persepsi
Dalam terminologi Barat istilah persepsi hanya merujuk pada sensasi
fisik saja, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pencerapan indera. Akan
tetapi bagi Sadrā, sensasi bukan hanya meliputi fisik namun juga non fisik.
Persepsi adalah sebutan bagi perbuatan yang dilakukan oleh jiwa untuk
mengetahui apapun objek yang diketahuinya, baik fisik maupun non fisik. Ia
membagi persepsi meliputi empat tingkat,302 yaitu persepsi indera (al-ḥiss),
imajinal (al-khayāl), intuisi indera (wahm), inteleksi (ta’aqqul). Namun karena
persepsi imajinal dan intuisi indera merupakan perantara antara persepsi indera
dengan inteleksi, Sadrā meringkasnya menjadi tiga, yaitu persepsi indera,
imajinal dan inteleksi.
300 Mahdi Haidir Yazid, The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy:
Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 159. 301 Haidar Bagir, “Pengalaman Mistik dalam Filsafat Ḥikmah Mullā Sadrā”,
dalam Basis, No 03-04 Tahun ke-55,Maret-April 2006 (Yogyakarta: Basis, 2006), 11. 302 Mustamin Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan Persepsi dalam Pemikiran
Mullā Sadrā (Makasar: Safinah, 2003), 22-24.
117
a. Persepsi indera (al-ḥiss)
Persepsi indera dapat dipahami di dalam tiga kondisi yang ditentukan
oleh sifat-sifatnya. Pertama, materi harus hadir pada instrumen persepsi, yang
mempersepsi menemukan bentuk tersebut di dalam Wujūd-Wujūd material.
Kehadiran materi mutlak diperlukan agar jiwa dapat memahami bentuk
materinya. Kedua, bentuk materi tersebut terselubung oleh kualitas-kualitas dan
sifat-sifat yang bisa dipahami, ketiga, sesuatu yang dipersepsi secara inderawi
bersifat partikular dan tidak universal. Muthahhari303 mengistilahkannya dengan
epistemologi dangkal (sath-in).
Indera ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain adalah : pertama,
indera hanya mengetahui objek secara partikular, tidak holistik. Ketika melihat
orang yang sedang berbicara, mata hanya menangkap sisi visual berupa bentuk,
warna dan gerak objek dilihat, sedang telinga hanya mendengar suaranya.
Keduanya bekerja secara parsial, artinya ketika telinga ditutup rapat-rapat, mata
masih bisa menangkap warna, bentuk dan gerak tersebut. Demikian pula
meskipun mata terpejam telinga tetap bisa mendengar suara orang yang berbicara
tersebut, artinya kedua indera ini berjalan sendiri-sendiri dan ada hubungan
secara langsung dan tidak dapat menghubungkan atas apa yang dilihat dan apa
yang didengar.
Kedua, indera dalam dirinya sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk
memahami sesuatu. Hal ini terjadi pada kasua orang yang melamun, mata
melihat suatu objek tetapi apa yang dilihat tidak memberikan informasi apapun.
Demikian pula pada orang yang sedang konsentrasi melihat acara televisi seakan-
akan tidak mendengar kegaduhan yang terjadi di belakangnya padahal suatu itu
tidak mungkin tidak ia dengar. Semua suara masuk ke telinga, namun telinga,
dalam dirinya sendiri, tidak bisa memilahkan apa yang seharusnya didengar dan
apa yang seharusnya diabaikan.
Ketiga, indera mencerap sesuatu di balik apa yang dicerap. Dalam kasus
perampokan misalnya, indera mampu mengamati pelaku, korban dan tempat
kejadian, namun tidak mungkin melakukan refleksi untuk memahami apa hakikat
dari kejahatan. Indera juga mencerap objek apa adanya, misalnya ketika melihat
batang kayu tersebut akan terlihat bengkok, padahal dalam kenyataan nya tentu
tidak.
Keempat, indera hanya mengetahui apa yang diamati saat ini dan di sini.
Ia tidak dapat mengasosiasikan apa yang dilihat saat ini sama dengan apa yang
dilihat pada saat yang lalu atau pada saat kemudian. Ketika seseorang bertemu
dengan teman lamanya yang sudah tidak bertemu selama sepuluh tahu, yang
secara fisik sudah mengalami perubahan, manakalah ia masih mengenal bahwa
orang itu adalah teman lamanya adalah bukan kerja indera, karena indera hanya
menangkap apa yang saat itu diamati.
Kelima, indera manusia dalam banyak hal memiliki kemampuan lebih
rendah dibanding dengan hewan. Mata manusia tidak mampu menandingi mata
303 Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Penghantar Pemikiran Sadrā
(Bandung: Mizan, 2002), 130.
118
elang yang dapat melihat objek dalam jarak yang sangat jauh. Daya cium
manusia tidak mampu menandingi daya cium anjing, demikian pula indera lahir
yang lain.304
Atas dasar ini semua, dapat dikatakan bahwa mengandalkan indera
sebagai satu-satunya kebenaran, sebagaimana diyakini kaum empiris, dapat
menghasilkan kesimpulan yang salah. Namun demikian, indera bukanlah sesuatu
yang tidak penting. Indera adalah alat yang pertama untuk mendapatkan
informasi. Tanpa idera tidak akan mungkin memulai kerjanya. Bagaimana
mungkin seseorang memiliki konsep tentang warna kalau sejak lahir sudah buta.
Keindahan musik tentu tidak dapat dipahami oleh orang yang tuli. Akan tetapi
seluruh kelemahan indera sebagaimana disampaikan di atas akan dilengkapi oleh
akal sehingga manusia dapat mengatasi kelemahan inderanya. Bahkan melalui
alat yang diciptakannya dapat melebihi kemampuan yang dimiliki binatang.
Dalam pembahasan tentang indera, Mullā Sadrā tidak berhenti pada
pengertian indera dalam arti lahir. Sebagaimana Ibnu Sina, Sadrā memahami
indera meliputi dua macam, yaitu indera lahir dan indera batin. Indera lahir
adalah kelima pacaindera yang secara lahiriah mencerap objek-objek material
yang berfungsi manakala manusia dalam kondisi sadar, tidak sakit, tidak tidur
dan tidak mati. Adapun indera batin adalah tidak pernah berhenti beraktivitas
meskipun secara fisik manusia dalam keadaan tidur, sakit maupun mati. Indera
lahir merupakan akar persepsi eksternal, namun, dalam aspek teologis, dapat juga
menjadi penutup (hijab) bagi ketajaman indera batin.305
Pandangan Sadrā ini sangat jelas menunjukkan kekuatan sisi spiritualitas
(rohani) manusia di samping sisi materialitas (jasmani) nya. Dan itulah yang
menjadi kelebihan manusia dibanding makhluk yang lain. Kekuatan indera
(dalam arti yang fisik) sangat dibatasi oleh ruang, waktu dan kondisi. Ketika
mata sedang tidak sehat, maka ia tidak akan mampu memahami objek dengan
baik. Berbeda dengan indera (dalam arti kejiwaan) yang mampu menembus
ruang dan waktu, bahkan ketika secara fisik indera tersebut sedang mengalami
sakit, inilah yang dimaksud sebagai indera batin. Fenomena demikian banyak
dialami oleh kaum sufi yang setelah melakukan penyucian jiwa, maka jiwanya
menjadi jernih sehingga mampu menangkap kebenaran yang tersembunyi, yang
tidak ditangkap oleh orang lain.
Indera lahir dikatakan dapat menutup ketajaman indera batin, karena
keterpukauan indera lahir terhadap hal-hal yang bersifat duniawi, menjadikan
indera batinnya tumpul sehingga tidak mampu menangkap pesa Iilahi yang lebih
bersifat batiniah. Terlebih lagi apabila indera batin selalu digunakan untuk
mencerap hal-hal yang dilarang oleh agama, maka menjadikan indera batinnya
tertutup untuk menangkap pancaran sinar ilahi.
304 Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Penghantar Pemikiran Sadrā, 131. 305 Mullā Sadrā, Kearifan Puncak, diterjemahkan dari Hikmah Al-Arsyiah,
penerjemah: Dimitri Mahayana & Dedi Djuniardi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
183.
119
b. Imajinal (al-khayāl)
Nasr dan Leaman306 menerjemahkan al-khayāl dengan imajinal bukan
imajiner karena istilah yang terakhir ini bermakna peyoratif. Pada tingkat ini
sebagaimana persepsi indera yang mempersepsi hal-hal yang bersifat material,
namun perbedaannya pada tingkatan ini tidak mensyaratkan kehadiran objek bagi
indera.
Mullā Sadrā menambahkan pandangan Suhrawardi bahwa tingkat
imajinal ini tidak hanya berhubungan denga realitas mikrokosmik manusia
(khayāl al-muttaṣil), namun juga realitas makrokosmik (khayāl al-munfaṣil).
Realitas yang terakhir ini memiliki cakupan yang lebih luas daripada dunia fisik.
Realitas ini mempunyai realitas yang tidak terkait dengan materi, paling tidak
bukan materi dari dunia fisik. Istilah yang digunakan adalah al-mutsul al-
mu’alaqah (bentuk-bentuk yang menggantung). Bentuk-bentuk dalam realitas ini
memiliki warna, bentuk, bau sebagaiana bentuk-bentuk di dunia ini, namun
berada di atas dunia fisik, suatu dunia yang dapat dialami di kehidupan ini dan
dunia yang dimasuki oleh manusia pada saat kematian. Ini adalah dunia tempat
manusia mempuyai raga-raga halus (subtil) atau imajinal (al-jism al-khayāli).
Mullā Sadrā mendefinisikan persepsi imajinal sebagai sebuah kekuatan
batin yang bukan akal, yang bukan indera eksternal. Ia memiliki alam lain yang
bukan alam akal yang hakiki, juga bukan alam materi dari sifat dan gerak (yang
berlaku pada tubuh fisik). Persepsi imajinal adalah kekuatan jiwa yang
menggabungkan antara benda-benda inderawi yang memiliki materi, ukuran dan
bentuk dengan objek-objek yang tidak mempunyai ukuran atau bentuk. Persepsi
imajinal merupakan imajinal kognitif atau pemahaman akal dengan ukuran,
bentuk dan eksistensi yang material. Mullā Sadrā kemudian memberikan
beberapa keterangan tentang imaterialitas eksistensi sebagai berikut :307
1) Bentuk-bentuk yang disaksikan seseorang dalam mimpi dan segala
sesuatu yang disaksikan secara mental atau jika seseorang
membayangkan sesuatu, maka semua bentuk tersebut adalah sesuatu
yang eksistensial. Namun demikian, bentuk-bentuk yang mewujud
tersebut muasalnya adalah jiwa, ruang yang di dalamnya bentuk-bentuk
tersebut ada dengan keberadaa yang berbeda dengan bentuk-bentuk fisik.
2) Jika bentuk-bentuk imajinal berada di dalam bagian otak atau organ
indera tertentu, maka bentuk-bentuk tersebut akan mengambil tempat
tertentu yang tidak bisa lagi ditempati oleh bentuk yang lain. Namun
keyataannya, seseorang dapat mengingat sekian banyak pekerjaan,
namun kota, nomor telefon dan lain-lain, padahal bentuk-bentuk dari
objek tersebut tetap tinggal di dalam memori dan imajinasi orang
tersebut. Oleh karena itu, bentuk-bentuk imajinal itu tidak menempati
306 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan,
2003), 924. 307 Mustamin Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan Persepsi dalam Pemikiran
Mullā Sadrā (Makasar: Safinah, 2003), 76-77.
120
ruang di dalam pneuma otak, tetapi bentuk-bentuk tersebut mewujud
karena jiwa di dalam kekuatan imajinalnya pasti bukan bersifat material.
3) Jika kemampuan imajinal adalah tubuh material, maka kemampuan
imajinal tersebut pasti memiliki eksistensi materi pula. Dengan demikian,
jika seseorang membayangkan suatu eksistensi dan imajinasi
teraktualisasi di dalam eksistensi itu, maka imajinasi ini akan
memerlukan integrasi kedua eksistensi dalam materi yang sama, suatu
keadaan yag tidak mungkin.
4) Jika kemampuan imajinal adalah tubuh material, maka kemampuan ini
akan memiliki sifat seperti bagian-bagian, tubuh material, yakni lapuk
dan usang.
Kemampuan imajinal adalah suatu subtansi yang terpisah dan
independen dari materi tubuh fisik, yang berdiri sendiri melalui esensi sumberya,
yakni akal. Hubungan dengan otak bukanlah berarti bahwa hubungan fakultas
imajinal inheren di dalamnya, namun ia lahir dari jiwa. Ia tidak memerlukan
materi untuk menggantungkan maujudnya. Ia hanya memerlukan subjek aktif
yang membentuknya, seperti halnya bentuk-bentuk artistik yang mewujud dalam
jiwa seniman atau karya cipta yang mewujud dalam jiwa penciptanya. 308 Jiwa
tidak memiliki pengetahuan atau ide bawaan ketika ia diciptakan sebagaiamana
dipahami oleh Plato. Pengetahuan bukanlah pengumpulan ulang ide-ide yang
dianggap sudah ada sebelumnya, tetapi jiwa justru menciptakan pengetahuan.309
c. Inteleksi (ta’aqqul)
Inteleksi merupakan tingkat persepsi yang tertinggi, berkaitan dengan
kuiditas dan bukan yang lain. Objek pemahaman inteleksi terlepas dari Wujūd
material, kualitas maupun sifatnya, karena inteleksi itu hanya memahami objek-
objek universal. Pembedaan ketiga tingkat tersebut didasarkan atas derajat
keterlepasannya (tajarud) dengan materi. Persepsi indera adalah persepsi yang
paling rendah dan inteleksi merupakan persepsi yang paling tinggi. Istilah
tajarud ini sebenarnya dinisbatkan kepada Allah sebagai Wujūd Wajib yang tidak
memiliki keterikatan dengan apapun kecuali diri-Nya sendiri. Dalam pengertian
persepsi, inteleksi merupakan kemampuan manusia untuk memahami hakikat
segala sesuatu tanpa adanya kekaburan yang disebabkan oleh imajinasi dan
persepsi indera.
Tujuan ajaran Mullā Sadrā tentang intelek ini adalah untuk menunjukkan
bahwa pikiran manusia pada dasarnya menyatu dengan Akal Aktif atau Intelek
Universal. Pegetahuan baginya merupakan gerak substansif untuk mencapai
tingkat Wujūd yang baru yaitu bersatu dengan Aktif tersebut. Kata kunci yang
308 Mustamin Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan Persepsi dalam Pemikiran
Mullā Sadrā (Makasar: Safinah, 2003), 78. 309 Mullā Sadrā, Manifestasi- Manifestasi Ilahi: Sebuah Risalah Teosofi Islam,
terjemahkan dari Al-Mazhāhir Al- Ilāhiyyah fī Asrār Al-Ulūm Al-Kamāliyyah,
penerjemah: Irwan Kurniawan (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), 236.
121
berkaitan dengan ajaran intelek ini adalah “Keserdehanaan”, artinya Wujūd pada
tingkat yang lebih rendah merupakan bagian yang terpisah dan saling eksklusif,
sedangkan Wujūd pada tingkat yang lebih tinggi saling inklusif dan menyatu.310
Ketiga persepsi ini, secara epistemologis, sangat terkait dengan
pandangan ontologisnya, yang bisa digambarkan sebagai berikut :
Gambar 4 :
Tinjauan Epistemologis
Mullā Sadrā membuat hubungan yang paralel antara ontologi dan
epistemologi, sehingga antara keduanya memiliki kesejajaran dan merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dunia Inteleksi hanya dapat dipahami
menggunakan persepsi Inteleksi, dunia imajinal dengan persepsi imajinal dan
dunia indera dengan persepsi indera. Persepsi indera adalah tingkatan persepsi
yang terendah karena untuk mengamati realitas Wujūd yang terendah pula, yaitu
dunia indera. Demikian pula persepsi imajinal dan inteleksi yang digunakan
untuk memahami dunia yang lebih tinggi, yaitu dunia imajinal dan inteleksi.
Banyak kalangan memandang bahwa pandangan Plato tentang ide dan
Plotinos tentang emanasi, yang oleh Suhrawardi dikembangkan dalam konsep
ilumianasi, banyak mempengaruhi pemikiran Mullā Sadrā ini. Sebagaimana
Plato yang memahami dunia material sebagai dunia yang tidak nyata, konsep
gradasi Wujūd-nya Sadrā juga menempatkan dunia fisik (material) sebagai
Wujūd yang paling rendah, Wujūd yang paling tinggi bersifat metafisik dan
puncaknya pada Wujūd Tuhan. Untuk menggambarkan mengapa dunia indera
(fisik) lebih rendah dari dunia imajinal (dunia ide) dapat dicontohkan dengan
beradaan komputer. Komputer (dalam arti fisik) tidak akan terwujūd sebelum ada
orang yang memikirkannya, membuat konsep, teori dan rumus-rumus yang
memungkinkan komputer tersebut ada. Konsep, teori dan rumus-rumus adalah
sesuatu yag berada dalam dunia ide. Hal ini terjadi pula pada semua benda-benda
fisik yang sebelumnya ada ‘ide’ terlebih dahulu sebelum mewujūd dalam realitas
fisikya. Demikian pula keberadaan alam semesta didahului oleh ide Tuhan
tentangnya. Artiya ide mendahului keberadaan fisik atau dengan kata lain dunia
fisik merupakan imitasi dari dunia ide.
310 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Sadrā (Albany: State University of
New York Press, 1975), 232.
PERSEPSI IMAJINAL
PERSEPSI INDERA
DUNIA INTELEKSI PERSEPSI INTELEKSI
DUNIA IMAJINAL
DUNIA INDERA
122
Bagan di atas dapat dikatakan sebagai integrasi onto-epistemologi ilmu
dan agama. Yang terjadi bukan hanya integrasi antara ilmu dan agama, namun
juga integrasi antara epistemologi dan ontologi, Mullā Sadrā menyatukan
ontologi dan epistemologi sekaligus. Untuk memperkuat kenyakinan adanya
Tuhan ia menggunakan metode mistik dan metode ini pula yang digunakan untuk
membuka tabir kebenaran ilmu. Pandangan ini didasarkan atas keyakinannya
bahwa setiap eksistensi (Wujūd) tidak dicampur dengan ketiadaan (adam), bagi-
Nya tidak ada yang ghaib. Zat-Nya adalah pengetahuan(ʽilm), yang mengetahui
(ʽalim) dan yang diketahui (maʽlūm). Wujūd dan cahaya (nūr) adalah satu.311
Beberapa ayat yang mendukung pandangan ini adalah :
“ Allah adalah cahaya langit dan bumi” (Q.S. An-Nūr : 35)
“ Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui ( apa yang
kalian Tampakkan dan rahasiakan) (Q.S. al Mulk : 14)
“ Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu walaupun sebesar atom
dibumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih
besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam kitab yang nyata [ al-lauh al-
mahfuzh] (Q.S. Yunūs : 61).
Pengetahuan-Nya tentang segala sesuatu merupakan Realitas yang
Tuggal. Tetapi pada saat Pengetahuan-Nya tersebut tersebut Tunggal, ia juga
merupakan pengetahuan tentang tiap hari. Pengetahuan Uniter-Nya adalah
Realitas Pengetahuan yang tidak tercampur dengan kebodohan, sehingga Ia
adalah pengetahuan segala sesuatu dari semua segi. Dan hal yang sama dapat
dikatakan tentang seluruh sifat-sifat KesempurnaaNya (yakni, Kehidupan,
Kekuatan, Kehendak dan lain-lain yang juga Tunggal dengan Zat dan Wujūd -
Nya.312 Pandangan ini didasarkan pada Al-Quran yang berbunyi :
“ Ia tidak meninggalkan apapun yang kecil atau besar, namun ia
mencatat semuanya” (Q.S. Al-Kahfi : 49).
311 Mullā Sadrā, On the Hermeneutic of the Light Verse of the Qur’ān,
penerjemah: Latimah-Parvin Peerwani ( London: ICAS, 2004), 69. 312 Mullā Sadrā, Kearifan Puncak, 127.
123
Menurut Mullā Sadrā pengetahuan-Nya sesungguhnya kembali kepada
wahyu-Nya sebagaimana Wujūd-Nya Yang Maha Suci seperti itu pula
pengetahuan-Nya. Pengetahuan-Nya bukanlah sesuatu yang terpisah dengan
Wujūd -Nya, seperti halnya sifat-sifat-Nya adalah identik dengan zat-Nya. ‘Ilm
seringkali dijadikan atribut bagi sesuatu yang diketahui esensinya (ma’lūm bi
adz-dhāt) yang merupakan bentuk yang hadir pada yang mengenal (mudrik).
Pada prinsipnya antara ilm, ma’lum bil adz-dhāt dan mudrik merupakan satu
kesatuan. Mullā Sadrā 313 mengutip pandangan Ibnu Sina dalam at-Ta’liqāt yang
mengatakan: “ Bila engkau berkata: Aku memikirkan sesuatu, ini berarti
pengaruh darinya ada di dalam esensimu. Dengan demikian pengaruh ini
memiliki eksistensi, dan esensimu memiliki eksistensi pengaruh itu”.
3. Kesatuan yang mengetahui dan yang diketahui
Mullā Sadrā314 mengatakan bahwa yang ditangkap oleh indera bukanlah
sifat benda materialnya (sensible), namun kualitas khusus yang bersifat kejiwaan
dalam benda tersebut. Indera sesungguhnya adalah kekuatan jiwa, dengan
demikian antara yang mempersepsi dan yang dipersepsi berada dalam satu modus
keberadaan. Konsep inilah yang dikenal sebagai ‘kesatuan antara yang
mengetahui dan yang diketahui’. Doktrin metafisika Sadrā lainnya yang terkait
dengan pengetahuan adalah kesatuan intelek dengan intelijible (iṭṭihād al āqil wa
al-ma’qūl). Pada saaat tindakan inteleksi berlangsung maka terjadilah kesatuan
antara bentuk intelijible (maʽqūl), pemilik intelek (‘āqil) dan intelek (aql).
Kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui pada akhirnya
mempunya implikasi kesatuan pengetahuan dengan Wujūd . Dengan demikian
pandangan ini mengandung konsep bahwa ada hubungan yang disignifikan
antara memahami pengetahuan dengan tingkat kesempurnaan manusia.315
Ketika pengetahuan manusia masih rendah. Namun apabila pengetahuan
manusia ada pada tingkat yang tinggi terutama pada pengetahuan ketuhanan,
dikarenakan objek yang diketahui menyatu dengan subjek yang megetahui, maka
eksistensi manusia menjadi tinggi karena semakin dekat dengan eksistensi
Tuhan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW bahwa: Allah akan
mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat.
Eksistensi manusia akan menjadi ketinggian keimanan agamanya dan ketinggian
ilmunya. Dalam kaitannya dengan hal-hal yang kontingen (mungkin) Mullā
Sadrā berpandangan bahwa pengetahuan-Nya terhadap hal-hal yang kontingen
(mungkin) bukanlah atas bentuk-bentuk yang tertulis dalam Hakikat-Nya, tidak
pula atas hal-hal yang kontingen sama dengan esensi hal-hal kontingen itu. Ini
tidak mungkin karena pengetahuan-Nya kekal, sedangkan hal-hal yang kontingen
muncul dalam waktu. Sadrā menolak pandangan Asy’ariyah yang mengatakan
bahwa pengetahuan-Nya kekal, namun hanya berelasi dengan hal-hal kontingen
pada saat hal kontingen itu bermula dalam waktu. Ia juga menolak pandangan
313 Mullā Sadrā, On the Hermeneutic of the Light Verse of the Qur’ān, 71. 314 Mulla Sadra, Kearifan Puncak, 182. 315 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, 922.
124
Plato bahwa pengetahuan-Nya mengandung esensi-esensi dan bentuk-bentuk
yang ada secara terpisah dari materi. Ia juga tidak bisa menerima pandangan
Prophyry yang mengatakan tentang “ penyatuan”Nya dengan intelligible.
Penyatukan yag dipahami sebagai penggabungan dua entitas yang pada mulanya
terpisah. Ia juga menolak dengan keras pandangan sementara pemikir bahwa
bentuk-bentuk yang material sebagai suatu bentuk pengetahuan yang hadir pada-
Nya. Dalam pandangan Sadrā Wujūd -Wujūd material itu terhalang dari dan oleh
dirinya sendiri. Kehadirannya sama dengan ketidakhadirannya, koherensinya
sama dengan keterpisahannya, ketunggalannya sama dengan kejamakannya.
Bagaimana mungkin sesuatu yang kontingen hadir pada Yang Wajibul Wujūd .316
Mulla Sadrā 317 membagi ilmu menjadi tiga tingkatan, yaitu al‘ināyah,
al-qalam dan al-lau, qadha dan qadar. Pertama, al-‘ināyah, yakni ilmu tentang
segala sesuatu yang merupakan Zat-Nya. Inilah sederhana (al-‘aql al-basīṭ) atau
pengetahuan sederhana (‘ilm basīṭ) yang meliputi segala sesuatu. Esensi segala
sesuatu muncul dari-Nya, bukan berada di dalam-Nya.
Dan di sisi-Nya ada kunci-kunci kegaiban yang tidak ada yang
mengetahui kecuali Dia (Q.S.6: 59).
Kedua, al-qalam dan al-lauḥ. Al-qalam adalah maujud, bersifat akal
yang menengahi anatara Allah dan ciptaan-Nya. Di dalamnya terdapat semua
bentuk atau forma segala sesuatu yang bersifat konseptual. Al-Qalam bersifat
banyak, tidak sederhana. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān:
Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami Khasanahkan
(Q.S.15: 21).
Dan kepunyaan Allah pembendaharaan langit dan bumi (Q.S.63: 7).
Qalam merupakan akal-akal aktif yang bertugas membentuk hakikat-
hakikat dalam lembaran (lauḥ) jiwa dan lembaran hati. Lauḥ adalah subtansi
bersifat jiwa dan malaikat ruhaniyah yang menerima ilmu-ilmu dari qalam dan
mendengar kalam Allah darinya. Dengan Qalam dilimpahkan formal-formal
pada jiwa-jiwa universal dan jiwa-jiwa langit, sebagaimana firman Allah Bacalah
dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan (manusia) dengan
perantara qalam (Q.S. 96: 3-4).
Ketiga, qadha dan qadar. Qadha adalah eksistensi semua maujud dengan
hakikat universalnya dan bentuk konseptualnya di alam akal (al’ālam al-‘aqlī).
316 Mulla Sadra, Kearifan Puncak, 139. 317 Mulla Sadra, On the Hermeneutic of the Light Verse of the Quran,
penerjemah: Latimah-Parvin Peerwani (London: ICAS, 2004), 73.
125
Adapun qadar terdiri atas dua macam, yaitu qadar ‘ilmī dan qadar khāriji. Qadar
‘ilmī adalah teguhnya formal semua maujud di alam jiwa (al-‘ālam an-nafsī)
dalam bentuk persial sesuai dengan apa yang ada di dalam materi eksternalnya
yang bersadar pada sebab-sebab (‘illat) nya. Adapun qadar khārijī (eksternal)
merupakan eksistensi maujud di dalam materi-materi eksternalnya yang terpisah
satu per satu, terikat dengan waktu dan zamanya. Dan Kami tidak
menurunkannya melainkan dengan ukuran (qadar) yang tertentu. (Q.S.15: 21).
Qadar ‘ilmī ditunjukkan dengan firman-nya . sesungguhnya Kami menciptakan
segala sesuatu menurut ukuran tertetu (Q.S.54: 49), dan Allah menghapuskan
dan menetapkan apa saja yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya terdapat Umm Al-
Khiṭāb (Q.S.13: 39).
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah bagaimana konsep integrasi
epistemologis antara ilmu dan agama. Integrasi epistemologis ilmu dan agama,
dalam perspektif filsafat Mulla Sadrā, sesungguhnya merupakan penyatuan
seluruh sumber ilmu yang diperoleh, baik melalui sarana yang sudah melekat
dalam diri manusia, meliputi indera, akal dan intuisi, maupun yag diperoleh
melalui wahyu. Keseluruhan sumber ilmu ini secara simultan bergerak bersama-
sama dalam mencari dan mencapai kebenaran. Seluruh proses epistemologis pun
harus diimbangi dengan upaya pendekata diri kepada Allah, dengan cara
mengosongkan jiwa dari ketergatungan duniawi, diganti dengan ketergantungan
kepada Allah. Melalui pembersihan ini jiwa menjadi bersih sehingga nūr
(cahaya) Kebenaran akan mudah masuk, menyinari dan mengisi relung jiwa,
sehingga dalam berdiri, duduk dan berbaringnya selalu mengingat Allah. Ketika
seluruh hidupnya diisi dengan Allah, maka Allah akan menjadi pendengarannya,
penglihatannya, tangan dan kakinya, sebagaimana yang dinayataka dalam Hadith
riwayat Bukhāri: “... maka apabila Aku telah kasih padanya, Akulah yang
menjadi pendengarannya dan penglihatannya, dan sebagai tangan yang
digunakannya dan kaki yang dijalankannya.318
Dalam konsep Islam, ilmu tidak hanya dicari tetapi juga diminta dari
Sang Pemilik Ilmu, “rabbi zidni ‘ilman”, ya Rabbi berilah kami ilmu. Padangan
ini bertolak belakang dengan pandangan kaum rasionalis yang berpandangan
hanya meninggalkan Tuhan ilmu dapat berkembang. Kebenaran ilmu diibaratkan
sebagaimana cahaya, semakin jauh dari sumber cahaya maka akan semakin
sedikit mendapatkan sinar cahaya tersebut, demikian pula semakin dekat dengan
sumber cahaya, maka akan semaki banyak mendapatkan pancaran cahaya
tersebut. Tuhan adalah cahaya ilmu sehingga apabila menginginkan curahan ilmu
manusia harus mendekat pada Sumber Cahaya tersebut. Konsep inilah yang
menjadi dasar epistemologis bahwa ilmu tidak dapat lepas dari agama, karena
untuk mendapatkan ilmu seseorag harus meingkatkan kualitas kedekatannya
kepada Tuhan.
Pandangan ontologis yang integratif-interdependentif antara ilmu dan
agama secara epistemologis akan menghasilkan konsep hubungan ilmu dan
318 Imam Abu Zakaria Yahya An-Nawawy, Riyadhus Sholihin, terjemahan Salim
Bahreisj, (Bandung: PT. Al Ma’arif 1986), h.120
126
agama yang integratif-komplementer. Dalam pandangan Mullā Sadrā, sumber
ilmu tidak hanya rasio dan empiris, namun juga intuisi dan wahyu. Keempat
sumber ilmu tersebut saling melengkapi satu sama lain. Di masukkannya intuisi
dan wahyu sebagai sumber ilmu memberikan konsekuensi yang sangat besar bagi
diterimanya kebenaran metafisik, yaitu agama.
C. Tinjauan Aksiologi
Aksiologis adalah salah satu cabang filsafat yang membahas masalah
nilai, sehingga aksiologi diartikan sebagai filsafat nilai. Beberapa persoalan yang
dibahas antara lain adalah: apa sesungguhya nilai itu, apakah nilai bersifat
objektif atau subjektif, apakah fakta mendahului nilai ataukah nilai mendahului
fakta. Sebagai cabang filsafat, aksiologi memiliki ranting yaitu logika yang
mebicarakan nilai kebenaran, dalam arti kebenaran rasional; etika yang
membicarakan nilai kebaikan; dan estetika yang membicaraka nilai keindahan.
Dalam persoalan nilai sebenarnya ada satu nilai lagi yaitu nilai keilahian yang
secara khusus dibicarakan dalam teologi, namun teologi bukanlah ranting dari
aksiologi karena merupakan cabang ilmu tersendiri. Oleh karena aksiologi
berbicara tentang berbagai hal tentang nilai, maka ada sementara pendapat yang
mengatakan bahwa filsafat tidak lain adalah aksiologi itu sendiri.319
Dalam perkembangan pemikir Barat terdapat tiga pemahaman tentang
aksiologi, yaitu pemahaman material, esensial dan psikologis.320 Nilai memiliki
sifat polaris dan hierarkhis. Polarisasi nilai menggambarkan bahwa dalam
319 Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler (Yogyakarta: Kanisius,
2004), 46. 320 Pemahaman material ditandai dengan munculnya pemikiran orang-orang
lonia pada abad ke-6 SM yang mempertanyakan tentang hakikat realitas. Jawaban yang
mereka kemukakan adalah subtansi yang bersifat material seperti air, udara dan apeiron.
Pada pemahaman ini dunia lahiriah merupakan tema penyelidikan filsafati yang pertama
dan nilai direduksi menjadi objek benda-benda. Nilai tidak dapat berdiri sendiri karena
butuh pengemban nilai yang pada umumnya adalah subtansi yang berbadan. Keindahan,
misalnya, tidak memiliki makna apa-apa apabila tidak dilekatkan kepada sesuatu seperti
baju, alam, manusia, lukisan da lain-lain. Oleh karena nilai tidak ada dalam dirinya
sendiri dan kebenarannya bergantug kepada benda-benda fisik maka nilai merupakan
eksistensi yang bersifat ‘parasitis’. Para pemikir seperti Pitagoras, Socrates dan Plato
tidak puas dengan jawaban itu dan tidak ingin berhenti pada perenungan atas dunia fisik.
Mereka melanjutkannya kepada objek-objek ideal seperti bilangan, konsep dan
hubungan. Inilah yang dimaksudkan sebagai pemahaman psikologis. Nilai identik dengan
sesuatu yang menyenangkan, diinginkan dan merupakan sasaran perhatian kita, sehingga
nilai direduksi pula dalam kondisi psikologis atau pengalaman pribadi semata. Untuk
menghindari berbagai reduksi atas nilai ini, maka perlu dilakukan ‘reduksi baik’ untuk
memisahkan nilai dengan objek material, esensi maupun pengalaman psikologis.
Keindahan memiliki konsepnya sendiri tanpa harus dilekatkan pada benda-benda
material, esensi, maupun kondisi psikologis. Dengan kata lain, nilai bukan benda-benda
material, bukan objek ideal, bukan pula sesuatu yang menyenangkan atau yang
diharapkan. Lihat Risier Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, terjemahan dari what is
Value?, Penerjemahan: Cuk Ananta Wijaya (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001), 5-7.
127
penilaian tedapat dua kutub yang saling berlawanan, misal benar-salah, baik-
buruk, indah-jelek, salah-buruk, jelek bukan sesuatu yang tidak bernilai, akan
tetapi memiliki nilai yang bersifat negatif. Adapun hierarkhi nilai menunjukkan
bahwa terdapat gradasi nilai, yaitu amat buruk, buruk, cukup baik, baik dan baik
sekali.
Wacana lain yang dibahas tentang aksiologi adalah tentang
subjektivitisme dan objektivisme nilai, dengan pertanyaan dasar tentang apakah
suatu objek itu bernilai setelah ada penilaian dari subjek penilaian ataukah di
dalam objek tersebut secara inheren sudah bernilai. Subjektivisme beranggapan
bahwa subjek yang menentukan nilai, tidak ada nilai sebelum penilaian, dengan
kata lain penilaian mendahului nilai. Sebagai contoh: jurang tidak dapat
dikatakan mengerikan atau menyenangkan sebelum subjek melakukan penilaian.
Sebaliknya objektivisme beranggapan bahwa ada atau tidak adanya subjek.
Penilai, nilai sudah melekat di dalam objeknya, dengan kata lain nilai
mendahului penilaian. Sebagai contoh : alam semesta ini sudah melekat di
dalamnya nilai-nilai, sebelum manusia ada. 321
Jalan tengah bagi dua pandangan tersebut adalah bahwa di dalam suatu
objek sudah ada nilai (bersifat potensial). Nilai yang ada dalam objek tersebut
belum ‘aktual’ sebelum ada subjek yang menilai. Dengan demikian nilai
merupakan relasi antara objek yang dinilai dan subjek penilai.322 Persoalan
keilmuan yang terkait dengan problem aksiologis adalah tentang apakah ilmu
bebas nilai atau tidak. Pandangan yang bebas nilai menganggap bahwa ilmu
netral terhadap semua pandangan agama dan ideologi. Ilmu memiliki metodologi
universal yang khas terdiri atas observasi, eksperimentasi dan kerja teoritis.
Pandangan bahwa ilmu tidak bebas nilai mengatakan bahwa kerja
keilmuan sangat sarat dengan praduga-praduga filsofis dan keagamaan.
Metafisika memainkan peran penting pada segenap tahapan aktivitas keilmuan,
meskipun bisa saja semua itu berlangsung tanpa disadari. Mehdi Golshani323
321 Nilai adalah nilai, kemudian, apa sesungguhnya nilai itu. Nilai secara
sederhana dapat diartikan sebagai ‘kualitas’. Kualitas ini dapat melekat pada sesuatu
(pengemban nilai). Sebagai contoh ‘patung batu itu indah’. ‘Patung batu’ adalah
pengemban nilai sedangkan ‘indah’ merupakan kualitas (nilai) yang melekat pada patung.
Namun sesungguhnya, nilai tidaklah memberi atau menambah realitas atau subtansi,
karena batu sepenuhnya sudah ada sebelum dipahat menjadi patung yang indah. Kualitas
dasar yang tanpa itu objek tidak dapat menjadi ada disebut dengan ‘kualitas primer’,
seperti bentuk, luas dan berat. Ada pula yang disebut dengan ‘kualitas sekunder’, yaitu
kualitas yang dapat ditangkap oleh panca indera, seperti warna, rasa, bau dan sebagainya.
Selain itu ada pula kualitas tersier yaitu kualitas yang tidak dapat dicerap indera, misal
anggun, ceria dan lain-lain. Lihat Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler
(Yogyakarta: Kanisius, 2004), 46. 322 Risier Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, 32. 323 Mehdi Golshani, “ Sacred Science and Secular Science”, dalam Zainal
Abidin Bagir, Science and Religion in a Post-colonial World, Interfaith Perspective
(Australia: ATF Press 2005), 89.
128
menunjukkan beberapa bukti bahwa aktivitas keilmuan ternyata melibatkan
pertimbangan-pertimbangan nilai, yaitu:
a. Beberapa aturan etis seperti kejujuran, imparsialitas dan integritas
berfungsi sebagai mekanisme mengontrol kualitas ilmu.
b. Pertimbangan-pertimbangan nilai dapat berdampak pada riset seseorang
ilmuan atau pilihannya atas sekumpulan teori. Misalnya, Einstein dan
Heisenbreg begitu menekankan pada simplisitas teori-teori fisika,
sedangkan Dirac menekankan pada keindahan teori-teori fisika.
Perhitungan pragmatis juga dipakai oleh sebagian orang dalam memilih
sekumpulan teori.
c. Pertimbangan-pertimbangan nilai mempengaruhi keputusan ilmuwan
dalam menentukan aplikasi ilmu dan teknologi. Selanjutnya aplikasi-
aplikasi tersebut mempengaruhi penilaian ilmuwan selanjutnya.
Mullā Sadrā dalam karya-karyanya tidak banyak membahas masalah
aksiologi, namun pandangan ontologi dan epistemologinya cukup memberikan
bahan bagi peneliti untuk melakukan refleksi bagaimana pandangan
aksiologinya. Berangkat dari padangannya tentang gradasi Wujūd, maka secara
aksiologis ilmu dan agama juga bersifat gradatif, namun tidak hanya gradatif
dalam konteks penilaian manusia (amat buruk, buruk, cukup baik dan baik
sekali), akan tetapi berada dalam kerangka gradasi Wujūd yang dapat
digambarkan dalam bagan sebagai berikut324:
Gambar 5 :
Tinjauan Aksiologis
Nilai indera adalah nilai yang paling rendah dan bersifat relatif karena
terkait dengan realitas kebendaan yang sangat mudah mengalami perubahan.
Subjektivitas penilai sangat memegang peranan di dalam menentukan penilaian,
sehingga setiap kali terjadi perubahan pada benda, maka penilaian subjek akan
mengalami perubahan kembali. Dengan demikian nilai indera tidak dapat
dijadikan sebagai tolok ukur utama dalam melakukan penilaian karena tingginya
324 Muhammad Irshadnia, ia menulis artikel, “Pengaruh Prinsip Filsafat
Terhadap Nilai Teks Agama,” Yogyakarta: Mullā Sadrā Jurnal Filsafat Islam dan
Mistisisme, Vol. 1, No. 4 (2011) : 41.
NILAI IMAJINAL
NILAI INDERA
DUNIA INTELEKSI NILAI INTELEKSI
DUNIA IMAJINAL
DUNIA INDERA
129
tingkat subjektivitas. Pemikiran aksiologis yang dapat digunakan sebagai analogi
pada level ini adalah empirisisme logis. Paham ini dipelopori oleh Ludwig
Wittgenstein melalui karyanya Tractatus Logico-philosophicus dan kemudian
dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Wiener Kreis) yang diorganisasikan atas
dasar sebuah seminar yang dipimpin oleh Moritz Schlick. Paham ini hanya mau
menerima proposisi yang bersifat empiris dan menganggap bahwa proposisi
metafisis sama sekali tidak bermakna. Proposisi ini dianggap tidak menegaskan
sesuatu, sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah.325 Pernyataan
‘pemandangan itu indah’ merupakan pengungkapan kondisi emosioal yang sama
sekali tidak memiliki isi teoretis atau kognitif. Menurut paham ini hanya nilai
kebenaran logis yang dapat diterima, sedagkan nilai keindahan, kebaikan dan
kelahian karena tidak dapat menunjukkan ukuran-ukuran objektifnya, maka
merupakan proposisi yang tidak bernilai.
Adapun nilai imajinal merupakan nilai yang berada di atas fisik kebedaan
yang menjadi esensi dari realitas nilai indera. Nilai imajinal berupa arketip-
arketip yang hanya dapat ditangkap oleh akal. Nilai ini memiliki sifat yang lebih
tetap dibanding dengan nilai indera. Konsep keadilan akan tetap ada meskipun
realitas masyarakatnya chaos, pada tingkatan ini nilai tidak tergantung kepada
pengemban nilai, dapat dianalogikan meskipun ‘patung batu’ secara fisik sudah
hancur, akan tetapi nilai keindahan dari patung tersebut tidak ikut hancur. Nilai
imajinal bersifat otonom, dapat berdiri sendiri, bahkan justru menjadi sumber
bagi nilai indera, artinya nilai keindahan yang imajinal dapat divisualisasikan
dalam beragam bentuk keindahan yang inderawi.
Nilai Inteleksi adalah nilai yang tertinggi karena paralel dengan Dunia
Inteleksi dan Persepsi Inteleksi. Nilai Inteleksi menyatu dengan Wujūd Tuhan
dan Pengetahuan Tuhan, oleh karenanya bersifat Absolut. Keberadaan nilai
kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian yang dipahami manusia secara
iluminatif berasal dari Nilai kebenaran (al-Ḥaq), kebaikan (al-Birr) keindahan
(al-Mushawwir) dan keilahian yang berasal dari Tuhan. Penjelasan ini sekaligus
menjawab pertanyaan apakah nilai itu objektif atau subjektif. Secara iluminatif
dapat di pahami bahwa nilai bersifat objektif dan berasal dari Tuhan. Namun
ketika nilai tersebut dipahai manusia, yaitu pada tingkat nilai indera, maka
interpretasi manusia akan nilai menjadi beragam, oleh karenanya bersifat
subjektif. Terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi terhadap penilaian, yaitu objek
yang dinilai, nilai dan subjek penilai. Objek yang dinilai dapat bersifat material
(seperti keadilan, demokasi, moralitas dan lain-lain). Nilai adalah sesuatu yang
berdiri sendiri, semacam arketipe-arketipe atau kategori-kategori, yang secara
apriori ada di dalam pikiran manusia, sedangkan subjek penilai adalah manusia
yang memiliki kesadaran, yaitu kemampuan untuk menilai. Lukisan di dalam
diriya sudah memiliki potensi untuk dinilai, namun subjek memiliki peran yang
325 Risier Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, 69.
130
sangat besar untuk menentukan polarisasi nilai (baik atau buruk) atau hierarki
nilai (buruk sekali, agak buruk, buruk, baik, agak baik, baik sekali).326
Berangkat dari prinsip dasar bahwa hubungan ilmu dan agama secara
ontologis bersifat integratif-komplementer, maka secara aksiologis ilmu dan
agama dapat dikatakan memiliki hubungan yang integratif-kualifikatif. Artinya
nilai-nilai (kebenaran, kebaikan keindahan dan keilahian) secara simultan terkait
satu sama lain dijadikan pertimbangan untuk menentukan kualitas nilai.
Berbicara tentang ilmu tidak hanya berbicara masalah nilai kebenaran (logis)
saja, namun juga nilai-nilai yang lain. Dengan perkataan lain, yang benar harus
juga yang baik, yang indah dan yang ilahiyah. Pandangan bahwa ilmu harus
bebas nilai di satu sisi sisi telah mengakselerasi secara cepat perkebangan ilmu,
amun di sisi yang lain telah menghasilkan dampak negatif yang sangat besar.
Berbagai problem keilmuan terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah
menghasilkan beragam krisis kemanusiaan dan lingkungan, oleh karena
diabaikannya berbagai nilai di luar nilai kebenaran.
Pandangan demikian ini sangat sesuai dengan konsep manusia yang
multidimensional, yang mengenal dan mengembangkan keseluruhan nilai
kemanusiaan, yaitu nilai kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian. Dalam
kenyataannya manusia tidak dapat bebas dari keempat nilai tersebut. Ilmu
meskipun di dalam dirinya (internal) menuntut objektivitas, namun secara
eksternal tidak hanya terkait dengan nilai kebenaran. Ia juga harus memberikan
maṣlahat (mafaat) bagi manusia dan alam semesta (nilai kebaikan), perlu juga
mengindahkan aspek estetika, dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah
keagamaan (nilai keilahian). Secara ontologis, epistemologis dan aksiologis,
hubungan integrasi yang holistik antara ilmu dan agama dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 6 :
Tinjauan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Ontologi Epistemologi Aksiologi
Konsep integrasi holistik ilmu dan agama selain bersifat gradatif
(meliputi tingkat Inteleksi, Imajinal dan Indera), merupakan kesatuan pula antara
Dunia Inteleksi (ontologi), Persepsi Inteleksi (epistemologi) dan Nilai Inteleksi
326 Syaifan Nur, ia menulis artikel, “Filsafat Himah Mullā Sadrā,” Yogyakarta:
Mullā Sadrā Jurnal Filsafat Islam dan Mistisisme, Vol. 1, No. 4 (2011) : 199.
Dunia Inteleksi
Dunia Imajinal
Dunia Indera
Persepsi Inteleksi
Nilai Inteleksi
Persepsi Imajinal
Nilai Imajinal
Persepsi Indera
Nilai Indera
131
(aksiologi). Secara lebih sederhana bagan tersebut dapat digabarkan sebagai
berikut :
Gambar 7 : Integrasi Holistik
Bagan di atas memberikan gambaran tentang dua hal, pertama, integrasi
ilmu dan agama, kedua, integrasi antara ontologi, epistemologi dan aksiologi.327
Integrasi antara ilmu dan agama. Ilmu dan agama bukan sesuatu yang
terpisah dan bukan pula sesuatu yang berada di atas yang lain. Pandangan bahwa
agama lebih tinggi dari ilmu adalah pengaruh dari konsep tentang dikotomi ilmu
dan agama. Ilmu dianggap sebagai ciptaan manusia yang memiliki kebenaran
relatif yang oleh karenanya memiliki posisi yang lebih rendah di banding agama
sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki kebenaran absolut. Dalam konteks gradasi
Wujūd Sadrā, ilmu dapat bersifat absolut, demikian pula sebaliknya agama dapat
bersifat relatif, tergantung keduanya berada pada tingkat gradasi yang mana.
Dalam tingkat dunia Inteleksi ilmu bersifat absolut, karena kebenarannya
menyatu dengan kebenaran Tuhan, demikian pula dalam tingkat dunia indera
agama bersifat relatif, karena agama dipahami sejauh yang mampu dikonsepsikan
oleh manusia. Kesatuan ilmu dan agama berada pada tingkat dunia Inteleksi yang
merupakan kebenaran Absolut. Pada tingkatan ini ilmu dan agama berada dalam
kesatuan eksistensial, karena keduanya berada di dalam dan menjadi bagian dari
Tuhan.
327 M. Said Marsaoly, ia menulis artikel, “Pengetahuan dan Spiritualitas
Berbasis Agama Sebuah Tinjauan Epistemologi,” Yogyakarta: Mullā Sadrā Jurnal
Filsafat Islam dan Mistisisme, Vol. 1, No. 4 (2011) : 33.
ONTOLOGI
EPISTEMOLOGI
AGAMA
ILMU
AKSIOLOGI
132
Integrasi antara ontologi, epistemologi dan aksiologi328 Dalam Islam
dikenal konsep iman, ilmu dan amal. Konsep ini sebenarnya merupakan konsep
teologis bahwa keimanan harus didasarkan atas ilmu dan diejawantahkan dalam
amal perbuatan. Dalam bahasa lain sering di ungkapkan bahwa keimanan harus
membuahkan ilmu yang amaliyah dan amal yang ilmiah. Konsep ini secara
filosofis dapat memberikan gambaran tentang hubungan yang integratif antara
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi berbicara masalah ada (Wujūd),
dalam Islam Wujūd tertinggi adalah Allah. Kenyakinan ontologis yang demikian
itulah yang disebut dengan iman. Keyakinan bahwa Wujūd tertinggi adalah Allah
akan memberikan corak keilmuan Islam religius, yang tidak memisahkan antara
ilmu dan agama (aspek epistemologis). Kenyakinan ontologis dan epistemologis
demikian juga akan mewarnai pandangan aksiologis bahwa ilmu tidak bebas
nilai.
Dengan demikian, pada hakikatnya dalam konteks kesatuan Wujūd ,
tidak ada dikotomi antara ilmu Tuhan dan ilmu ciptaan manusia, karena dikotomi
itu akan mengandaikan bahwa ada ilmu ciptaan manusia yang seakan-akan
berada di luar ilmu Tuhan. Adanya pembedaan ilmu naqliyah (berasal dari
wahyu) dan aqliyah (berasal dari akal) tidak menunjukkan bahwa ilmu naqliyah
adalah ilmu Tuhan sedangkan aqliyah adalah ilmu manusia. Namun konsep
naqliyah dan aqliyah adalah konsep epistemologis cara bagaimana manusia
menemukan kebenaran. Adapun ilmunya sendiri yang berupa ayat qauliyah dan
ayat kauniyah, keduanya merupakan ilmu Allah. Manusia tidak memiliki ilmu
tetapi menguasai ilmu (karena Allah berkuasa untuk mencabut ilmu yang
dikuasai manusia). Demikia pula, tepat untuk dikatakan bahwa manusia bukan
pencipta ilmu namun penemu ilmu.
Jelaslah kiranya bahwa konsep integrasi ilmu dan agama sesungguhnya
berpusat pada Tuhan (tauḥid), karena darinya semua berasal dan kepadanya
semua aka kembali, inna lillāhi wa inna ilaihi rāji’un (segala sesuatu berasal dari
Allah dan kepada-Nya semua akan kembali).
328 M. Said Marsaoly, ia menulis artikel, “Pengetahuan dan Spiritualitas
Berbasis Agama Sebuah Tinjauan Epistemologi,” Mullā Sadrā Jurnal Filsafat Islam dan
Mistisisme, Vol. 1, No. 4 (2011) : 38.
133
BAB V
INTEGRASI ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM DALAM KONTEKS
PENDIDIKAN NASIONAL: SEBUAH TAWARAN MEMBANGUN
PENDIDIKAN INTEGRATIF
Sebagai agama yang memiliki dua sumber ilmu, yaitu ayat-ayat
Tanziliah dan ayat-ayat Kauniyah, maka Islam mengenal dua jenis ilmu, yaitu
ilmu agama dan ilmu umum. Dua macam ilmu ini tumbuh dan berkembang
sejalan dengan sejarah perjalanan umat Islam. Pemisahan dua jenis ilmu sangat
jelas dari sejarah perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Hal ini mendorong
lahirnya upaya menciptakan sistem pendidikan Islam yang tidak dikotomistik.
Sistem pendidikan Islam yang tidak dikotomi memang sulit diterapkan, karena
dua hal : Pertama, Sumber ilmu yang menjadi dasar terselenggaranya pendidikan
Islam memang dua yakni. Pertama, al-Qur’ān yang di dalamnya terdapat ayat-
ayat Tanziliah adalah sumber ilmu agama. kedua, alam dan masyarakat yang di
dalamnya terdapat ayat-ayat Kauniyah sebagai sumber ilmu umum. Kedua,
Sistem Pendidikan Islam di Indonesia adalah sistem “multi atap”, artinya
pendidikan agama di bawah naungan Depag dan pendidikan umum di bawah
Depdiknas. Sedangkan di negara-negara Islam lainnya hanya menganut sistem
“satu atap”.329 Oleh karena itu, Pada bab ini penulis akan menjelaskan titik temu
antara ilmu agama dan ilmu umum dalam mewujudkan pendidikan integratif.
A. Kerangka Pendidikan Holistik
Visi pendidikan Islam telah membuat perbedaan tegas antara
mengajarkan “hal-hal tentang Islam” (informatif) dan “bagaimana menjadi
Muslim sejati” (transformatif). Tujuan dari pendidikan Islam bukanlah untuk
memberi informasi tentang Islam kepada anak didik saja, tetapi lebih
menekankan bagaimana menjadi seorang muslim dan memberi mereka inspirasi
sehingga ilmu tersebut bisa ditransformasikan dalam kehidupan mereka. Adanya
perubahan paradigma dari pendidikan yang berorientasi pada informasi ke
pendidikan yang berorientasi pada transformasi adalah esensial untuk dilakukan
jika kita benar-benar berharap membangun paradigma baru pendidikan bagi
pembangunan masyarakat muslim ideal.330
329 Abd. Rahim Yunus, Mereka Bicara Pendidikan Islam; Sebuah Bunga
Rampai (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), 331. 330 Jika kita menginginkan posisi yang penting dalam percaturan dunia saat ini,
maka reformasi pendidikan mesti dilakukan. Reformasi akan membutuhkan pemikiran
ulang dalam penstrukturan ulang elemen-elemen kunci dari sebuah lembaga pendidikan
seperti kerangka konseptual, isi, struktur dan proses pendidikan. Perlu dicatat juga di sini
bahwa usaha reformasi serupa juga sekarang lagi dilakukan oleh dunia pendidikan Barat.
Tuntutan untuk menerapkan pendidikan yang holistik, pengajaran terpadu, pembelajaran
kooperatif, pendidikan karakter, pembelajaran penemuan (discovery learning), dan
penilaian otentik sangat banyak ditemukan dalam literatur pendidikan. Adapun konsep
pendidikan Islam merupakan usaha untuk melakukan reformasi yang sesuai dengan
tuntutan- tuntutan tersebut (dari model industri ke model humanis), yakni lebih natural,
134
Reformasi yang menyeluruh amatlah dibutuhkan dalam sistem
pendidikan di dunia Muslim. Adapun pendekatan ini berdasarkan pada empat
komponen inti; Pertama, kerangka konseptual terpadu tentang pendidikan yang
berdasarkan prinsip Tauḥīd dan pendidikan holistik. Kedua, tinjauan ulang
terhadap tujuan pendidikan dan komponennya bagi pengembangan karakter
(character development). Ketiga, merekonstruksi kurikulum atau gagasan-
gagasan besar (powerful ideas) yang mempunyai kekuatan untuk
mentransformasikan kepribadian. Keempat, penetapan ulang pengalaman
mengajar dan belajar ke arah proses pembelajaran penemuan/pencarian
(discovery learning).
Dalam tabel di bawah ini, penulis mengidentifikasi berdasarkan
komponen-komponen pendidikan yang seharusnya ada dalam sistem pendidikan
untuk dapat terwujudnya pendidikan holistik.331
Gambar 8 :
Komponen Pendidikan Holistik
Komponen Senyatanya Seharusnya
Visi
Pendidikan dianggap
sebagai disiplin yang
terpisah; partikularistik,
masih memakai paradigma
mekanistik (model
perusahaan)
Pendidikan dipandang
secara holistik dan
menyeluruh berparadigma
rekonstruktif.
Isi
Pembelajaran bersifat
tradisional; sekadar
informatif, tidak relevan
dengan kehidupan riil siswa
fokus pada instruksi/
pengajaran textbook.
Pembelajaran bersifat
modern, transformatif,
realistik, kurikulum
berbasis kehidupan riil
Struktur
Struktur tidak koheren atau
disusun oleh disiplin
akademik yang rigid.
Gagasan bersifat poweful
(powerful ideas); mampu
memberi inspirasi dan
transformasi, mampu
membangun kepribadian,
otentik dan efektif. Lihat M. Zainuddin, ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Islam
Holistik,” Jurnal Ulumuna, Vol. XV, No. 1 (2011) : 83. 331 M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulūl
Albāb (Malang: UIN Press, 2007), 97.
135
Metode Didaktik (ceramah dan
kuliah); guru sebagai pusat,
satu model untuk semua
siswa, tidak menarik dan
tidak inspiratif.
Discovery learning;
terpusat pada siswa,
pengajaran bervariasi, gaya
pembelajaran yang variatif,
guru sebagai penunjuk
(guide), modellling dan
mentoring, model
pembelajaran
terpadu/integrated learning
model (ILM)
Program Terfokus pada masa lampau
‘tentang Islam’ sebagai
agama, ritual-ceremonial.
Life mastery; terpusat pada
hal-hal kekinian ‘tentang
menjadi Muslim; Islam
sebagai gaya hidup; Islam
untuk pemahaman atau
penguasaan hidup/Is/am for
Life Mastery (ILM)
Tujuan Perolehan informasi ansich,
pengetahuan dan
keterampilan hanya untuk
perolehan pekerjaan
Beyond schooling;
bagaimana belajar (how to
learn), pembelajaran
seumur hidup,
pengembangan manusia
seutuhnya
Penilaian Tes formal berdasarkan
buku, benar atau salah,
lulus atau tidak lulus, tes
standar.
Authentic assessment; tugas
otentik, berhubungan
dengan dunia riil, penilaian
bersifat multi intelligensi
Wilayah pertama yang perlu direformasi adalah visi atau kerangka
konseptual pendidikan secara menyeluruh. Pendidikan bermula dari prinsip
Tauḥīd (keutuhan dan keterpusatan pada Tuhan). Hal inilah yang menjadi dasar
pijakan dalam pandangan dunia pendidikan. Prinsip Tauḥīd mencakup konsep
filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan koheren terhadap pemahaman
kita terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Tauḥīd mengajarkan kita untuk
menghimpun pandangan yang holistik, terpadu dan komprehensif terhadap
pendidikan.332 Pendidikan modern (baik Islam maupun Barat) secara umum
berdasarkan pandangan pendidikan yang tidak koheren dan parsial. Akibatnya,
siswa dan guru jarang sekali punya pandangan yang sama tentang proses
pendidikan secara menyeluruh. Kebanyakan siswa meninggalkan sekolah sekitar
332 M. Zainuddin, ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Islam Holistik,”
Jurnal Ulumuna, Vol. XV, No. 1 (2011) : 85.
136
umur 13-17 tahun tanpa mempunyai tujuan hidup yang jelas, bahkan yang
mereka pikirkan hanya mendapatkan kerja. Lebih dari itu, prinsip Tauḥīd
menuntut para pendidik mempunyai pandangan yang menyeluruh dan tujuan
sejati terhadap pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, konsep
Tauḥīd harus menjadi landasan tentang bagaimana kita mendidik anak, termasuk
apa yang diajarkan (isi), bagaimana kita mengorganisir apa yang harus diajarkan
(struktur), dan bagaimana kita mengajarkannya (proses). Akhirnya, Tauḥīd
haruslah membentuk fondasi pemikiran, metodologi dan praktik pendidikan kita.
Konsep pendidikan Islam mestilah dirancang sebagai pendidikan yang
benar-benar holistik dan terpadu. Holistik dalam hal visi, isi, struktur, dan proses
dan terpadu dalam pendekatannya baik terhadap kurikulum (baik bagaimana dan
apa yang harus diajarkan), pengetahuan yang menyatupadukan dengan praktik,
aplikasi dan pelayanan. Konsep ini menegaskan bahwa aspek-aspek integratif
secara signifikan akan meningkatkan kekuatan, relevansi dan keefektifan
pengalaman belajar dan mengajar. Konsep ini mengadvokasikan pendekatan
holistik dalam pendidikan.
Gambar 9 : Aspek Holistik Pendidikan
Aspek Holistik Contoh
Tujuan Pembelajaran seumur hidup,
bersifat komprehensif, menjadikan
anak didik sebagai khairu ummah.
Pandangan
Terhadap Anak
Pemahaman anak secara utuh;
pikiran, tubuh, jiwa, multi
intelegensi, dan juga gaya belajar.
Apa yang harus di
ajarkan
Gagasan yang poweful dan
pertanyaan-pertanyaan brillian
terhadap dunia secara utuh
(multikultural).
Bagaimana
mengorganisir Kurikulum terpadu; pembelajaran
integrated.
Bagaimana
mengajarkannya
Sesuai dengan kemampuan anak
didik, pengajaran yang bervariasi,
pemanfaatan lingkungan.
Adapun prinsip Tauḥīd (holistik, terpadu, terpusat pada Tuhan) adalah
prinsip dasar dari pendekatan tarbiyah. Selain itu, terdapat sejumlah prinsip
lainnya yang mendukung terbentuknya kerangka teoritis dari pendekatan
tersebut. Beberapa prinsip itu berasal dari adanya perenungan terhadap proses
137
pertumbuhan dan perkembangan alam.333 Prinsip Tauḥīd yang dituangkan
melalui konsep Waḥdah al-Wujūd Mullā Sadrā sangat berguna untuk
mengafirmasi status ontologis objek-objek ilmu yang dalam tradisi ilmiah barat
hanya dibatasi pada objek-objek fisis atau empiris dengan alasan bahwa hanya
objek-objek fisiklah yang status ontologisnya tidak bisa diragukan karena bisa
ditngakap oleh indera, sedangkan objek-objek lainnya yang nonfisik diragukan
satatus ontologisnya karena tidak bisa ditangkap oleh indera. Dengan demikian,
epistemologi Islam telah mencoba mengintegrasikan seluruh sumber ilmu yang
bisa dimiliki manusia dalam satu kesatuan yang utuh dan holistik.334
B. Kurikulum Berbasis Integrasi Kurikulum dan pembelajaran merupakan dua hal yang tidak dipisahkan
walaupun keduanya mempunyai kedudukan dan fungsi yang berbeda. Suatu
rencana atau program kurikulum tidak akan bermakna manakala tidak
diimplementasikan dalam pembelajaran. Sebaliknya tanpa kurikulum yang jelas
maka sejatinya pembelajaran tidak akan berlangsung secara efektif. Hal ini sesuai
yang dikemukakan oleh Saylor, Alexander dan Lewis, “Without a curriculum or
plan, there can be no efektive instruction and without instruction the curriculum
has little meaning”. Landasan pokok penyusunan kurikulum islami harus
memuat prinsip: a) Mengandung nilai kesatuan dasar bagi persamaan nilai Islam
pada setiap waktu dan tempat. b) mengandung nilai kesatuan kepentingan dalam
mengembangkan misi ajaran Islam. c) mengandung materi yang bermuatan
pengembangan spiritual, intelektual dan jasmaniah.335
Bertolak dari rumusan UU Sistem Pendidikan Nasional RI No. 20 tahun
2003 pasal 339, yang mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan Indonesia
mengarahkan warganya kepada kehidupan yang beragama. Maka sebagai salah
satu bentuk realisasi dari UU Sisdiknas tersebut, Integrasi adalah alternatif yang
harus di pilih untuk menjadikan pendidikan lebih bersifat menyeluruh (integral-
holistik). Gagasan integrasi (nilai-nilai islami/agama dan umum) ini bukanlah
sebuah wacana untuk meraih simpatik akademik, melainkan sebuah kebutuhan
mendesak yang harus dijalankan sebagai pedoman pendidikan yang ada,
mengingat pendidikan selama ini dipengaruhi oleh dualisme yang kental antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum/sekuler yang menyebabkan dikotomi
ilmu, sebagaimana dipaparkan di atas. Bukti nyata dari kebutuhan adanya
333 M. Zainuddin, ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Islam Holistik,”
Jurnal Ulumuna, Vol. XV, No. 1 (2011) : 86. 334 Prinsip waḥdah al-wujūd dalam filsafat Sadrā ini yang melihat kesatuan
wujud terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai "sesuatu", mulai dari wājib
al-wujūd sampai ke mumkin al-wujūd (contingent beings) yang beraneka ragam dan
bervariasi. Prinsip ini pada akhirnya melahirkan prinsip lain yang dikenal dengan istilah
tashkīk al-wujūd atau graditas wujud. Lihat Mullā Sadrā, Al-Masā’il al-Qudsiyyah;
Mutashābihāt al-Qur’ān (Resāle: Masyhad University Press, tth), 5. 335 Saylor, J. Galen, Alexander, William M. dan Lewis Arthur J., Curriculum
Planning For Better Teaching and Learning (New York: Holt-Rinchart and Winston,
1981), 10.
138
panduan dan model integrasi ilmu ini ditunjukan dengan diselenggarakannya
berbagai seminar nasional berkenaan dengan reintegrasi ilmu, sampai pada
kebijakan dari pemerintah, seperti kebijakan integrasi madrasah ke dalam sistem
pendidikan nasional dalam UUSPN No. 2 tahun 1989, madrasah mengalami
perubahan “sekolah agama” menjadi “sekolah umum bercirikan khas islam”.
Pengintegrasian madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional menemukan titik
puncaknya pada awal 2000, setelah Presiden RI ke-4 K.H. Abdurrahman Wahid
yang mengubah struktur kementrian pendidikan dari “Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan menjadi “Departemen Pendidikan Nasional”. Berdasarkan Hal
itu Abdurrahman Wahid menggulirkan ide “pendidikan satu atap” sistem
pendidikan nasional dan memiliki status serta hak yang sama. Inilah yang
diharapkan dan mengakhiri dikotomi “pendidikan umum” dan “pendidikan
Islam”.336
Proses pendidikan dalam kegiatan pembelajaran atau kegiatan dalam
kelas akan berjalan dengan lancer, kondusif dan interaktif apabila dilandasi
dengan kurikulum yang baik dan benar. Pendidikan bisa dijalankan dengan baik
ketika kurikulum dapat menjadi penyangga utama dalam kegiatan pembejaran,
sehingga akan mendapatkan hasil yang optimal. Dengan kurikulum yang
mengandung banyak unsur konstruktif, maka akan dapat membuka mindset
peserta didik yang progresif dan membangun kesadaran kritis terhadap realita
sosial.337 Kurikulum merupakan rencana tertulis yang berisi tentang gagasan-
gagasan dan ide-ide yang telah dirumuskan oleh pengemban kurikulum.
Kurikulum itulah yang selanjutnya menjadi pedoman guru dalam melaksanakan
proses pembelajaran di dalam kelas. Dengan demikian sistem kurikulum yang
digunakan atau sistem pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru pada dasarnya
merupakan implementasi dari kurikulum.338 Secara garis besar pada bagian ini
akan dibahas mengenai landasan penyusunan kurikulum, desain kurikulum yang
berorientasi pada materi pelajaran, alasan mengapa menggunakan kurikulum
integrasi dan pengembangan kurikulum di sekolah. Hal ini dikaitkan dengan
aspek-aspek pembelajaran yang akan dicapai.
Banyak hal yang dibicarakan, termasuk tentang konsep pendidikan Islam
yang integratif. Paling tidak dapat menarik sebuah benang merah tentang hal itu.
Pertama, integratif dimaksud adalah memadukan ilmu agama dan umum dalam
kurikulum yang dilaksanakan di sekolah. Model ini persis sama dengan yang
diterapkan Departemen Agama dulu, sekarang dan mungkin sampai esok di
semua sekolah dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs) dan
336 Ali M dan Luluk Y. R., PAradigma Pendidikan Universal di Era Modern
dan Post-Modern; Mencarai “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita (Jakarta:
Media Press, 2004), 267-274. 337 Moh Yamin, Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan (Jogjakarta: Diva
Press, 2009), 13-14. 338 Wina Sanjaya, kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan praktek
Pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2008), 16-17.
139
Aliyah (MA). Kedua, integratif yang kami tangkap adalah model yang
dipopulerkan pada masa BJ Habibie berkuasa. Yaitu memadukan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (imtek) dan Imtak (Iman dan Takwa). Realisasinya,
memberikan nilai Agama Islam berdasarkan al-Qur’ān dan Hadith pada setiap
ilmu atau mata pelajaan yang diberikan kepada peserta didik.
Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan bahwa penerapan
Kurikulum 2013 merupakan momentum untuk mengintegrasikan ilmu agama dan
ilmu lainnya. “Kini sudah saatnya para tenaga pendidik atau pun guru
mengerahkan perhatian untuk mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu
lainnya,” katanya saat memberi pembekalan dan sekaligus mengukuhkan
pengawas dan kelompok kerja (Pokjawas) Pendidikan Agama dan Madrasah
Provinsi Jawa Barat di Bogor.339
339 Dalam kesempatan itu, tampak hadir Kanwil Kemenag Jabar Saeroji, para
anggota DPR seperti Ratih Sanggarwati, Reni Marlinawati, Wardatul Asriyah, tokoh
pemuda Joko Purwanto dan pemerhati perempuan Dia Anita Prihapsari. "Pendidikan
jangan dipandang terkotak-kotak agar ke depan tidak ada lagi dikotomi antara ilmu
agama dan ilmu pengetahuan lain, tetapi saling melengkapi. Para guru agama sudah
saatnya dapat mengimplementasikannya dengan rencana penerapan Kurikulum 2013,"
katanya. Menurut dia, ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang. "Ilmu agama
yang dipelajari pun harus didukung dengan ilmu lainnya sehingga satu sama lain saling
melengkapi dan akan bermakna bagi kehidupan dan peradaban manusia ke depan,"
katanya. Selama ini, di berbagai lembaga pendidikan Islam banyak diajari ilmu seperti
fikih, hadits, tasawuf dan lainnya. Ilmu keagamaan itu tak akan berkembang dan akan
makin sulit dipahami anak-anak ke depan jika saja tak ditunjang dengan ilmu lainnya
untuk memahami alam semesta ciptaaan Allah. "Bukankah esensi ilmu adalah semata
ciptakan Allah semata," kata Suryadharma Ali di hadapan sekitar 2000 para tenaga
pengajar.
Menteri Agama juga menjelaskan tentang kemajuan yang dicapai para anak
didik dari lembaga pendidikan Islam. Sekarang ini, anak-anak lulusan madrasah dan
kuliah di perguruan tinggi negeri justru menduduki peringkat terbaik. "Saya baru ketemu
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), tadi siang. Banyak anak-anak asal madrasah,
prestasinya luar biasa. Lulus dengan angka terbaik," cerita Suryadharma Ali di atas
podium, dan menambahkan; "Selain itu, hafal Al Quran pula." Kualitas pendidikan
Pada kesempatan itu, Menag juga mengingatkan tentang delapan standar nasional
pendidikan sebagai acuan standar mutu. Standar itu dimaksudkan untuk menjamin mutu
pendidikan nasional. Kedelapan standar adalah standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar sarana prasarana, standar pendidikan dan tenaga
kependidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian. "Saya
berpendapat, dari delapan standar nasional pendidikan tersebut, standar pendidikan dan
tenaga kependidikan merupakan prioritas nomor wahid untuk dipenuhi," katanya. Lebih
baik siswa belajar di tepi danau dengan diajar guru kompeten dan profesional ketimbang siswa belajar di dalam ruang ber-AC, punya ruang kelas baik dan mewah, tapi
diajar guru lemah dan tidak profesional. "Jadi, sarana baik dan mewah tidak akan
membawa dampak tanpa kehadiran guru profesional," katanya. Namun ia mengingatkan,
Kementerian Agama yang juga sebagai pengelola anggaran terbesar dalam bidang
pendidikan Islam harus memperhatikan sarana dan prasarana sekolah. Jika ada bangunan
140
Cerminan kurikulum Islami harus memuat prinsip: a). Mengandung nilai
kesatuan dasar bagi persamaan nilai Islam pada setiap waktu dan tempat; b).
mengandung nilai kesatuan kepentingan dalam mengembangkan misi ajaran
Islam; c). mengandung materi yang bermuatan pengembangan spiritual,
intelektual dan jasmaniah. Hal di atas mengisyaratkan bahwa implementasi
kurikulum pendidikan Islami mendapatkan porsi yang strategis dalam
melengkapi kurikulum pendidikan umum artinya proses pembelajaran antara
pendidikan umum dan agama menjadi poros utama dalam menciptakan sumber
daya manusia yang berwawasan imtak dan iptek, sehingga nilai tambah yang
didapatkan siswa dengan diterapkannya pembelajaran yang berwawasan Islami,
mengarahkan siswa pada moral, akhlak dan prilaku yang lebih baik, dapat
menumbuhkan minat dan kesadaran siswa yang menghasilkan kecerdasan secara
integrated (kecerdasan komplit) antara kecerdasan Intelektual (IQ), kecerdasan
Emosional (EQ), kecerdasan Spritiual (SQ), dan berpusat (bersumber) pada
kecerdasan Religi (RQ).340
Kurikulum pendidikan Islam disekolah dijabarkan dalam tiga komponen
utama, yakni: (1) Pembentukan Shakhsiyyah Islāmiyyah (Kepribadian Islam), (2)
Thaqofah Islam dan (3) Ilmu Kehidupan (Iptek dan Keahlian).
rusak, kepala kantor agama setempat harus bertanggung jawab, termasuk Pemda setempat
harus memberi dukungan. Para guru pun harus memiliki tanggung jawab besar. Jika ada
bangunan sekolah rusak, selekasnya melapor untuk segera diperbaiki agar tidak
mengganggu kegiatan belajar mengajar, pinta Suryadharma Ali. "Jangan sampai anak
terus menerus bersekolah sepatu ditenteng menyeberang sungai dengan jembatan rusak
dan membahayakan. Lihat
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/12/30/mymfwf-kurikulum-2013-.
diakses pada tanggal 19 Agustus 2014 340 Ali M dan Luluk Y. R., PAradigma Pendidikan Universal di Era Modern
dan Post-Modern; Mencarai “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita (Jakarta:
Media Press, 2004), 267-274.
141
Jenjang
Pendidikan TK SD SMP SMU PT
Komponen
Materi
Shakhsiyyah
Islāmiyyah
Pembentukan Dan
Kematangan Dasar-dasar
Thaqofah
Islam
5
4
3
2
1
Ilmu
Kehidupan
5
4
3
2
1
Gambar 10 : Tabel Struktur dan performa Komponen Kurikulum
Sebagaiman yang tercermin dalam tabel diatas, selain muatan penunjang
proses pembentukan Shakhsiyyah Islāmiyyah yang secara terus menerus
diberikan pada tingkat TK-SD dan SMP-SMU-PT, muatan Thaqofah Islam dan
Ilmu kehidupan (Iptek dan Keahlian) diberikan secara bertingkat sesuai dengan
daya serap dan tingkat kemampuan peserta didik berdasarkan jenjang
pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), susunan
struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, berpadu dan
merata bagi semua peserta didik yang mengikutinya. yang termasuk dalam materi
dasar ini antara lain: pengenalan al-Qur’ān dari segi harfiah dan bacaan; prinsip-
prinsip agama; mambaca; menulis dan menghitung; prinsip bahasa Arab; menulis
halus; sirah Rasul dan Khulafaur Rasyidin serta berlatih berenang dan
menunggang kuda.341
341 Muhammad Ismail Yusanto, “Menggagas Pendidikan Integratif dan
Optimalisasi Negara dalam Penyelenggaraan Pendidikan Menuju Generasi Shaleh-
Muslih”. Makalah disampaika dalam Seminar Nasional Pendidikan “Reposisi Peran
Pendidikan Menuju Negara Mandiri, Berharga Diri”, 8-9.
142
C. Integrasi Materi Pendidikan Agama Islam dengan Materi Umum
Berdasarkan tinjauan kritis terhadap kurikulum pendidikan agama Islam
di sekolah yang fragmented atau terpisah-pisah, maka diperlukan inovasi-inovasi
pembelajaran dengan menggunakan berbagai pendekatan atau strategi
diantaranya adalah dengan pendekatan terpadu atau integrated. Menurut
Depdiknas, kurikulum terpadu atau pembelajaran terpadu sebagai suatu proses
mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: holistik, bermakna, otentik dan aktif.342
Pembelajaran terpadu merupakan salah satu strategi pembelajaran yang bertujuan
untuk menciptakan atau membuat proses pembelajaran secara relevan dan
bermakna bagi peserta didik dengan pendekatan inquiry yaitu melibatkan peserta
didik mulai dari merencanakan, mengeksplorasi dan brain storming dari peserta
didik.
Bentuk implementasi pembelajaran terpadu materi-materi yang ada dapat
dipadukan dengan melalui intra atau antar bidang studi. Namun dalam
pembahasan ini lebih menekan pada katagori pembelajaran terpadu intra bidang
studi dalam arti memandukan kompentensi-kopentesi dasar pada kelas yang
sama dari aspek-aspek mata pelajaran PAI tanpa melupakan keterkaitan antar
bidang studi yang lainnya. Namun demikian kadang-kadang batas-batas antara
suatu aspek PAI (al-Qur’ān/hadith, keimanan, akhlaq, fiqh dan tārikh) dengan
aspek yang lainnya sangat samar bahkan ada yang tidak tampak sekat yang
membatasi sehingga dapat dipadukan materi-materi tersebut untuk menghindari
tumpang tindih atau penggulangan yang dapat membosankan peserta didik. 343
Dalam hal ini peserta didik terdorong untuk saling bekerjasama secara kelompok
berdasarkan pengalaman mereka masing-masing. Berbicara pembelajaran maka
berbicara tentang segala hal yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran
peserta didik baik di dalam maupun di luar kelas. Diawali denagan tahap
persiapan, pelaksanaan dan kegiatan evaluasi pembelajaran untuk mengukur
keberhasilan dan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Integrasi Materi Pembelajaran PAI
Untuk menjadikan pembelajaran PAI yang terpilah-pilah menjadi
integrated maka guru dapat melakukan model-model pengembangan yang sesuai
dengan sistem pendidikan yaitu salah satunya dengan pembelajaran terpadu.
342 Holistik dimaksudkan bahwa pembelajaran dengan mengkaji dari berbagai
bidang kajian tidak dari sudut pandang yang terkotak-kotak. Bermakna berarti
pembelajaran yang dilakukan mempunyai makna bagi peserta didik karena konsep-
konsep yang dipelajari tidak terlepasb dari kehidupan mereka. Otentik, peserta didik
dapat memahami secara langsung prinsip-prinsip dan konsep-konsep melalui kegiatan
pembelajaran. Sedangkan aktif artinya pembelajaran terpadu menekankan keaktifan
peserta didik dalam proses pembelajaran baik secara fisik, emosi, mental, maupun
intelektual secara optimal. Lihat Trianto, Model Pembelajaran Terpadu: Konsep,
Strategi, dan Implementasinya dalam KTSP (Jakarta: Bumi Aksara), 62-63. 343 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan (Jakarta: raja grafindo persada, 2006), 174-175.
143
Dalam konteks kurikulum PAI yang terbentuk board fiel344 tentunya dalam
melakukan pembelajaran terpadu tidak terlepas dari kurikulum yang telah ada.
Bentuk kurikulum PAI sangat memberikan kebebasan kepada guru melakukan
inovasi-inovasi pembelajaran khususnya pembelajaran terpadu dengan
mengkaitkan antara materi yang satu dengan yang lainnya. Sehingga integrated
dan holistik. Pembelajaran terpadu dapat diterapkan pada pembelajaran PAI
dengan cara melakukan pengorganisasian materi-materi yang terkait dalam
kurikulum. Ada banyak model sekuen345 yang dapat digunakan dalam melakukan
pengorganisasian materi dalam pembelajaran terpadu sebagaimana yang telah
ditemukan oleh forgaty.346 Dari kesekian konsep pembelajaran forgaty ada
beberapa model yang dinilai penulis cocok untuk di terapkan pada pembelajaran
PAI tentunya dalam berbagai pertimbangan. Model-model pembelajaran yang
cocok untuk diaplikasikan kedalam pelajaran PAI menurut penulis antara lain :
Model connected, sequenced dan integrated.
1. Model Connected (Tehubung)
Model connected merupakan model pelajaran terpadu yang
menghubungkan atau mengkaitkan antara topik atau konsep atau skill yang satu
dengan yang lainnya. Penghubungan ini hanya dapat dilakukan dalam satu
bidang studi/mata pelajaran dan tidak untuk dihubungkan dengan mata pelajaran
lain.347 Dengan demikian maka penghubungan topik atau konsep dalam model
344 Jenis kurikulum yang menyatukan beberapa mata pelajaran yang berdekatan
atau berhubungan menjadi satu bidang studi dengan menghilangkan batas-batas masing-
masing, seperti pelajaran al-Qur’an Hadith, Fiqh, Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam
menjadi pendidikan Agama Islam. Walaupun jenis kurikulum ini berbentuk board field,
tetapi berpangkal pada separated subject curriculum, yakni subjek-subjek pelajaran pada
masing-masing mata pelajaran disajikan dengan secara terpisah. Lihat Nana Sayodih
Sukmadinata, Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum (Jakarta: PPLTK, 1988),
127. Bandingkan dengan S. Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), 194-195. 345 Sekuen merupakan pengorganisasian materi dalam bentuk pengaturan urutan
materi-materi yang terkait dalam sebuah kurikulum terpadu. Lihat Syaefuddin Sabda,
Desain Pengembangan dan Implementasi Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtak
(Jakarta: Quantum Teaching, 2006), 77. 346 Forganty mengemukakan 10 model kurikulum terpadu, yaitu : 1) fragmented
; pemisahan antara berbagai bidang studi, 2) connected ; hubungan antara topik yang satu
dengan sama yang lain, 3) nested ; mata pelajaran yang terpisah, 4) sequenced ;
pengirtergrasian yang bersifat terbatas, 5) shared ; menghubungan materi yang ada pada
dua mata pelajaran, 6) webbed ;penggabungan berbagai mata pelajaran dengan
menggunakan tema, 7) threaded ; jenis kurikulum tersembunyi, 8) integrated ; terpadu
antara mata pelajaran, 9) immersed ; memilih atau menyaring berbagai topik mata
pelajaran dan 10) networked ; jaringan yang melibatkan berbagai pihak ahli pada masing-
masing bidang. Lihat Lihat Robin forgaty, The Mindful School; How to Integrate The
Curricula (IIIionis: IRI/Skylight Publishing Inc., 1991), 5-99. 347 Lihat Robin forgaty, The Mindful School; How to Integrate The Curricula,
34.
144
pembelajaran connected terjadi pada satu disiplin keilmuan atau mata pelajaran.
Dalam kurikulum PAI tahun 2006 di SMA penghubungan dapat dilakukan antara
kompetensi yang satu dan kompetensi yang lain. Ketika guru PAI menjelaskan
tentang standar kompetensi al-Qur’ān kelas X semester satu yaitu memahami
ayat-ayat al-Qur’ān tentang manusia dengan tugasnya sebagi khalifah di muka
bumi, maka dapat di kaitkan dengan konsep keimanan, fiqh, akhlak dan tārīkh.
Atau ketika guru PAI menjelaskan tentang keimanan dapat dikaitkan dengan al-
Qur’ān fiqh, ahklak dan tārīkh. Pengintegrasian ide-ide yang di pelajari tersebut
dalam satu semester dengan semester berikutnya menjadi satu kesatuan yang
utuh. Jika diilustrasikan dalam gambar dilihat pada skema di bawah ini :
Gambar 10 :
Pembelajaran Model Connected
Aspek al-Qur’ān/Hadith
Implementasi dari gambar tersebut di atas memberikan kejelasan,
misalnya, Ketika guru PAI menjelaskan Q.S. al-Baqarah : 30
Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ini.
Indikator atau kompetensi yang ingin dicapai tidak hanya sebatas pada
penguasaan peserta didik dalam membaca dengan fasih, melafalkan arti,
mengidentifikasi tajwid, menyimpulkan isi kandungan ayat dan menunjukan
perilaku yang mencerminkan isi kandungan surat al-baqarah : 30 tetapi lebih luas
dari itu khususnya dalam penafsiran atau isi kandungan ayat.
Ayat tersebut dapat dihubungkan dengan aspek keimanan dengan
menjelaskan sifat-sifat Allah, seperti sifat-sifat Allah al-khāliq (maha pencipta)
al-mālik (maha menguasai), penjelasan tersebut sekaligus dapat dikaitkan dengan
aspek akhlak dengan kompetensi yang dicapai lebih menekankan kepada setiap
Aspek
Keimanan
Aspek
Akhlak
Aspek
Fiqh
Aspek
Tārīkh
145
muslim agar menyadari akan tugas dan kedudukannya sebagai seorang makhluk
yang berkewajiban untuk menyambah kepada sang khaliq dengan cara istiqomah
dan berpengharapan (rājaʽ) segala apa yang diinginkan dengan melalui ibadah
diantaranya berdo’a dan berikhtiar. Bagaimana seorang muslim menyembah
kepada Allah maka dapat dikaitkan dengan aspek fiqh baik yang dengan
berkaitkan dengan ibādah makhḍah maupun ghairu makhḍah. Di samping itu
juga dapat dikaitkan dengan sejerah umat-umat dahulu sebelum umat Nabi
Muhammad SAW yang mendapatkan azab dari Allah, karena mereka
mengingkari akan kekuasaan Allah yang ada di seluruh alam semesta dalam cara
menentang ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi dan rasul.
2. Model Sequenced (Berurutan)
Model sequenced merupakan model pembelajaran yang mencoba untuk
melakukan pemanduan melalui urutan topik dan konsep pada masing-masing
materi pelajaran yang di hubungkan berdasarkan kesamaan ide tau konsep
tersebut kemudian disajikan dengan secara pararel atau berbarengan dengan
waktu yang bersamaan. Maurer sebagai dikutip oleh Saefudin Sabda dengan
istilah the correlated event sequence model.348 Saat guru PAI mangajarkan suatu
aspek tertentu, maka ia menyusun urutan topik dan aspek tertentu yang kemudian
dimasukan pada pada topik-topik dan aspek lain yang terkandung dalam mata
pelajaran PAI kedalam urutan penyampaian pembelajaran, karena adanya
relevansi antara topic-topik tersebut. Artinya bahwa satu aspek mata pelajaran
membawa serta aspek-aspek lain dan sebaliknya.349 Misalnya ketika guru PAI
mengajarkan Q.S al-Baqarah : 148 yang menyangkut masalah kompetisi dalam
kebaikan dimulai dari aspek al-Qur’ān, kemudian memasukan aspek keimanan,
akhlak, fiqh dan tārīkh kebudayaan Islam. Model sequenced dapat dilihat pada
gambar dibawah ini :
Gambar 11 :
Pembelajaran Model Sequenced
348 Saefudin Sabda, Desain Pengembangan dan Implementasi Model Kurikulum
Terpadu Iptek dan Imtak, 80. 349 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 178.
Aspek
Keimanan
Aspek
Akhlak
Aspek
Fiqh Aspek
Tarikh
Q.S. al-Baqarah :
148 Tentang
Kompetensi
dalam Kebaikan
146
Pada pembahasan PAI aspek al-Qur’ān Q.S al-Baqarah : 148 (tentang
kompetisi dalam kebaikan)
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya, maka berlomba-lombalah kamu dalam (membuat kebaikan).
Maka kompetensi yang akan dicapai oleh peserta didik adalah dimulai
dari aspek membaca dengan fasih, mengidentifikasi tajwid, menjelaskan isi
kandungan, kemudian mengamalkan isinya. Dalam kaitannya dengan isi
kandunagan ayat atau pengamalan isi ayat, maka guru PAI daapat memasukan
secara topik-topik yang lain relavan.
Aspek lain yang pararel dan dapat dimasukan dalam pembahasan, yaitu
aspek keimanan dengan mengembangkan topik tentang iman kepada rasul-rasul
Allah, yaitu meneladani sifat-sifat rasul yang empat yaitu: Sidiq, amanah,
tabligh, fatonah dalam perilaku sehari-hari disertai dengan penjelasan fungsi
iman kepada rasul-rasul Allah. Kemudian aspek akhlak dapat mengembangkan
tentang topik kebiasaan berperilaku terpuji seperti husnu ẓan, membiasakan
bertaubat kepada Allah setiap melakukan perbuatan dosa dan lain sebagainya.
Sebagai implementasi dari bentuk-bentuk ibadah yang menjadikan seorang
muslim itu beriman kepada rasul-rasul Allah dan membiasakan berkompetisi
dalam kebaikan dengan melalui aspek fiqh dengan mengembangkan pentingnya
pengamalan ibadah (zakāt, infāq dan ṣadaqah) sebagai pendekati diri kepada
Allah dan antar sesama manusia. Aspek lain adalah tarikh mengembangkan topik
tentang perilaku para sahabat Rasulullah yang mempunyai komitmen tinggi
dalam memperjuangkan agama Islam masa-masa awal, tidak hanya sebatas
perjuangan dengan harta bahkan nyawapun mereka siap berkorban demi
kejayaan Islam.
3. Model Integrated
Makna integrasi dalam model pembelajaran intergrated berarti
berpaduan, kordinasi, kebulatan dan keutuhan. Model pembelajaran integrasi
meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran dan menyajikan bahan
pelajaran dalam bentuk unit dan keseluruhan yang saling tumpang tindih sebagai
titik-tolak kajianya.350 Dengan demikian, terlihat jelas bahwa semua mata
pelajaran/bidang studi telah terpadu sebagai satu kesatuan yang bulat atau utuh.
Model ini merupakan salah satu model pembelajaran terpadu yang menggunakan
350 Untuk menentukan pokok-pokok manakah yang dapat dijadikan unit yang
akan dipelajari oleh peserta didik dapat menggunakan pertanyan-pertanyan sebagai
berikut : (1) Apakah pokok itu dibangkitkan oleh minat, kebutuhan dan pengalaman
peserta didik dalam kelas ? (2) Apakah bahan pelajaran itu sesuai dengan taraf dengan
kematangan peserta didik ? (3) Cukupkah kesempatan dalam pelajaran ini untuk
merangsang peserta didik berpikir dan berbuat banyak mungkin ? (4) Apakah sarana dan
prasarana tersedia untuk melaksanakan unit?. Lihat S. Nasution, Asas-asas kurikulum,
Cet. VIII (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 207-208.
147
pendekatan antar bidang studi.351 Sekuen materi dalam model ini didesain dengan
mencari konsep-konsep, skills dan attitudes tertentu yang operlaping di berbagai
mata pelajaran/bidang studi, kemudian dibahas pada suatu masing-masing mata
pelajaran/bidang studi yang terkait.352 Pada model ini tema dan tema yang
berkaitan dan tumpang tindih merupakan hal terakhir yang ingin dicari dan
dipilih oleh guru dalam tahap perencanaan program.
Jika ditinjau dari sifat materi yang dipadukan, maka ada dua macam
bentuk pembelajaran terpadu, yaitu pembelajaran terpadu intra bidang studi dan
pembelajaran terpadu antar bidang studi. Dalam arti yang dipadukan adalah
kompetensi dasar. Kompetensi dasar ada pada kelas yang sama dari berbagai
aspek mata pelajaran PAI dengan memilih tema yang dapat mempersatukan
kompetensi dasar tersebut untuk setiap kelas dan semester atau memadukan
materi-materi dalam satu bidang studi PAI.
Sedangkan pengintegrasian materi antar bidang studi, yaitu mengkaji
sesuatu tema ditinjau dari berbagai aspek yang tidak hanya pada aspek-aspek
yang terdapat pada mata pelajaran PAI, tetapi mata pelajaran-mata pelajaran
yang lainnya. Dalam konteks pengembangan ilmu dan teori biasa disebut dengan
multidisiplin. 353 Karena melibatkan banyak disiplin keilmuan atau mata
pelajaran/bidang studi, maka dapat dilakukan dengan team teaching. Tean
teaching dimaksud sebagai saran sharing atau bertukar pikiran dengan mengenai
informasi atau konsep antar guru-guru mata pelajaran/bidang studi yang terkait,
sehingga pembahasan yang disampaikan menjadi holistik. Implikasi dilapangan
pelajaran terpadu ini di sajikan atau diajarkan dengan cara team; satu topik
pembelajaran dilakukan oleh lebih dari seorang guru (team teaching).354 Tema-
tema yang berkaitan tumpang tindih merupakan hal yang terakhir yang ingin
dicari dan dipilih oleh guru dalam tahap perencanaaan program. Konsep-konsep,
ketrampilan dan sikap di ajarkan dalam satu semester dari beberapa mata
pelajaran/bidang studi selanjutnya dipilih beberapah konsep, ketrampilan dan
sikap yang memiliki keterhubungan yang erat dan tumpang tindih diantara
berbagai bidang studi.355
351 Trianto, Model Pembelajaran Terpadu; Konsep, Strategi dan impletasinya
dalam KTSP, 43. 352 Robin forgaty , the mindful school: how to curricula, 76. Bandingkan
Saefudin sabda, Desain Pengembangan dan Implementasi Model Kurikulum Terpadu
Iptek dan Imtak, 83. 353 Multidisiplin adalah cara kerjanya seorang ahli suatu disiplin ilmu yang
berupaya membangun disiplin ilmunya dengan berkonsulasi pada ahli disipli lain. Lihat
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,
181. 354 Trianto, Model Pembelajaran Terpadu; Konsep, Strategi dan impletasinya
dalam KTSP, 117. 355 Ketrampilan-ketrampilan belajar menurut forgaty meliputi ketrampilan
berpikir (Thinking skil), ketrampilan sosial (Social skil) dan ketrampilan mengorganisir
(Organizing skil). Lihat Robin forgaty, The Mindful School; How to Integrate The
Curricula, 77.
148
Dalam tesis ini lebih menekankan pada pemanduan antara aspek-aspek
yang ada pada kurikulum 2013, yaitu; aspek al-Qur’ān, aqidah, ahklak, fiqh dan
tārīkh kebudayaan Islam. Terdapat tema-tema atau ide-ide konseptual yang dapat
dipandukan atau ditinjau melalui kajian dari berbagai mata pelajaran/bidang studi
lainya, sehingga menjadi unit356 yang dapat dikaji dalam sebagai mata pelajaran
masing-masing aspek mata pelajaran PAI memiliki karakterisiknya sendiri-
sendiri. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan contoh model integrated dengan
tema haji diilustrasikan melalui gambar berikut ;
Gambar 12 :
Pembelajaran Model Intregated 1
Dalam gambar tersebut diatas terlihat jelas bahwa ketika guru PAI
menjelaskan tentang haji, maka tidak hanya berorientasi pada tinjauan fiqih
semata, karena persoalan haji menyangkut juga masalah-masalah aspek PAI yang
lainnya. Dalam arti, ketika menerangkan haji maka guru PAI tidak hanya
menjelaskan tentang pengertian haji, syarat-syarat, rukun, wajib dan sunah-sunah
haji dan sebagianya, tetapi juga pada pembahasan tersebut tidak akan lepas pada
kajian aspek al-Qur’ān, keimanan, ahklak dan tārīkh.
Disamping itu untuk lebih memperkaya kajian tema-tema mata pelajaran
PAI dapat dilakukan dengan mengunakan sudut pandang di luar aspek-aspek
356 Ada beberapa cirri PAI sebagai pembelajaran antara lain : a) unit merupakan
suatu keseluruhan yang bulat dan yang menyatukan adalah problem yang terkandung
dalam pokok yang akan di selidiki, b) unit menerobos batas-batas mata pelajaran, c) unit
didasarkan atas kebutuhan atau kehidupan peserta didik, d) unit didasarkan pada
pendapat-pendapat modern mengenai cara belajar, e) unit menggunakan berpikir ilmiyah
menurut Dewey, dan f) unit direncanakan bersama oleh guru dan peserta didik. Lihat
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,
181-182.
Qur’ān
Hadith
Aqīdah
HAJI
Akhlak
Tārīkh
Fiqh
149
yang ada pada pelajaran PAI. Sebagaimana ketika membahas tentang materi
zakat, maka guru PAI tidak hanya membahas materi tersebut dari sudut pandang
aspek-aspek yang ada pada mata pelajaran PAI, tetapi juga dapat ditinjau dari
sudut lain, seperti zakat dari sudut sosial, ekonomi dan politik. Bagaimanapun
zakat mempunyai dampak terhadap sosial kemasyarakatan, ekonomi dan politik.
Untuk lebih memperjelas dapat diilustrasikan dalam gambar berikut ini :
Gambar 13 :
Pembelajaran Model Integrated 2
Gambar di atas terlihat jelas bahwa pembahasan zakat dapat dikaji
melalui sudut pandang al-Qur’ān/Hadith, Aqidah, Akhlak, Fiqh, Tarikh, Sosial,
Ekonomi dan Politik. Dari model pembelajaran terpadu atau integrated
hakikatnya dapat menjadikan Pendidikan Agama Islam yang terpilah-pilah dapat
terintegrasi menjadi sebuah pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang holistik.
Dengan model integrated semua aspek mata pelajaran PAI dapat terintegrasi dan
lebih bermakna diperkaya dengan sudut pandang di luar aspek-aspek mata
pelajaran PAI. Pada sisi normatifnya Menurut Kuntowijoyo zakat bertujuan
mengasihi fakir miskin serta membersihkan jiwa dan harta. Pada tingkat empirik
objektif, nilai ajaran zakat dapat menjadi alasan untuk menyusun konsep teoritik
Qur’ān
Hadith
Aqīdah
ZAKAT
Sosial
Politik
Akhlak
Tārīkh
Ekonomi
Fiqh
150
tentang ekonomi Islam. Dalam tataran ini Islam mengakui kelas-kelas sosial,
Fuquhā, masākīn, ḍu’afā, mustaḍāfīn, agniyā dan sebagainya.357
Dengan demikian, untuk membangun pendidikan integratif diperlukan
Konsep pendidikan Islam yang dirancang sebagai pendidikan yang benar-benar
holistik dan terpadu. Holistik dalam hal visi, isi, struktur dan proses. Terpadu
dalam pendekatannya baik terhadap kurikulum (bagaimana dan apa yang harus
diajarkan), pengetahuan yang menyatupadukan dengan praktik, aplikasi dan
pelayanan. Hal tersebut bisa terealisasi dengan mengadopsi pemikiran Mullā
Sadrā tentang Waḥdah al-Wujūd358 yang tertuang dalam prinsip Tauḥīd.
Pendidikan holistik inilah mencakup konsep filosofis maupun metodologis yang
terstruktur dan koheren kepada pemahaman terhadap dunia dan seluruh aspek
kehidupan. Ilmu-ilmu agama yang berbasis pada wahyu (al-Qur’ān dan al-
Ḥadith) sebagai ayat-ayat qauliyyah dan ilmu-ilmu umum berbasis pada akal,
penalaran terhadap fenomena alam sebagai ayat-ayat kauniyyah. Seluruh metode
yang diterapkan dalam ilmu umum dan agama (panca indera, rasio, intuisi dan
wahyu) secara sinergis diterapkan dalam menemukan kebenaran.
Dengan demikian segala Wujūd 359 yang ada pada pelajaran umum dan
agama dengan segala bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah satu dan
sama, yang membedakan yang satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya
(tashkīk al-Wujūd) yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya.
357 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan,
1991), 329. 358 Penjelasan Mullā Sadrā tentang waḥdah al-wujūd yang kemudian menjadi
basis integraasi ilmu agama dan ilmu umum ini, tampaknya telah ia adopsi dari ajaran
Suhrawardī Al-Maqtūl (w.1191) tentang cahaya. Menurutnya, cahaya pada hakikatnya
adalah satu, tetapi ia menjadi berbeda-beda tingkat dan intensitasnya beda tingkat dan
intensitasnya karena adanya barzakh- barzakh (barāzikh) yang menyela di antaranya.
Oleh karena itu diantara pelajaran umum dan agama pada esensinya adalah satu yang
membedakan hanyalah tingkatannya saja, sehingga tidak dikenal dengan adanya dikotomi
ilmu pengetahuan. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi
Holistik (Bandung: Arasy Mizan, 2005), 36.
. إن واجب الوجود بسيط احلقيقة 359 غاية البساطة . وكل بسيط احلقيقة كذلك ، فهو كل األشياء
. ال يرج عنه شيئ من األشياء
فواجب الوجود كل األشياء
Wujud yang wajib ada bersifat murni, karena ada murni bersifat wajib ada,
yang mencakup segala sesuatu dan tidak keluar dari-Nya sesuatu apapun/ tidak bisa
dikaitkan dengan materi dan forma. Lihat Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah Al-Mutā’aliyah fi’ al-
Asfār al-‘Aqliyyah al-Arba’ah (Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāth, 1981), Jilid 2, 49.
151
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana yang telah disebutkan dalam
bab-bab sebelumnya, maka penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyimpulkan bahwa
integrasi ilmu dan agama adalah integrasi yang bersifat integratif-holistik yaitu,
eksistensi ilmu umum dan ilmu agama saling bergantung satu sama lain.
Eksistensi (wujūd) yang ada pada pelajaran umum dan agama dengan segala
bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah satu dan sama, yang
membedakan satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya (tashkīk al-wujūd) yang
disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya. Adapun konsep integrasi ilmu dan
agama dalam perspektif Mullā Sadrā memiliki landasan ontologis, epistemologis
dan aksiologis.
a) Secara ontologis, Konsep Mullā Sadrā terdiri atas tiga prinsip yang
fundamental, yaitu Waḥdah al-Wujūd, Tashkīk al-Wujūd dan Aṣālah al-
Wujūd. Ketiga prinsip tersebut tertuang dalam Konsep Tauḥīd yang
berimplikasi pada kesatuan ciptaan, yakni keterhubungan
(interrelatedness) bagian-bagian alam, dan selanjutnya berimplikasi pula
pada kesatuan pengetahuan. Tauḥīd bukan saja menjadi kerangka
keimanan (frame of faith) yang menjadi dasar keyakinan umat Islam
kepada Allah, namun juga merupakan kerangka pemikiran (frame of
thought) yang membangun integrasi kebenaran.
b) Secara epistemologis, penyatuan seluruh sumber ilmu yang diperoleh, baik
melalui sarana yang sudah melekat dalam diri manusia, meliputi indera,
akal dan intuisi, maupun yag diperoleh melalui wahyu. Keseluruhan
sumber ilmu ini secara simultan bergerak bersama-sama dalam mencari
dan mencapai kebenaran. Dengan kata lain, filsafat Mullā Sadrā
memunculkan kembali pentingnya pandangan metafisika dan epistemologi
Rasional-Intuitif sebagai usaha mengembalikan kodrat manusia dalam
mencapai pengetahuan sejati.
c) Secara aksiologis, seluruh nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan, dan
keilahian) saling mengkualifikasi satu dengan yang lain. Nilai kebenaran,
yang sering kali menjadi tolok-ukur utama ilmu, merupakan kebenaran
yang baik, yang indah dan yang ilahiah sekaligus. Justifikasi ilmu tidak
hanya benar-salah (nilai kebenaran) saja, namun juga termasuk didalamnya
baik-buruk (nilai kebaikan), indah-jelek (nilai keindahan) dan sakral-
profan, halal-haram (nilai keilahian). Ilmu tidak bebas nilai, ilmu tidak
hanya untuk ilmu, tetapi ilmu harus disinari oleh-terutama-nilai tertinggi,
yaitu nilai keilahian (ketuhanan). Implikasi atas saling mengkualifkasinya
152
keseluruhan nilai dalam ilmu akan mengarahkan perkembangan ilmu
menjadi ilmu yang bermoral.
Kedua, Dengan mengadopsi pemikiran Mullā Sadrā tentang integrasi
keilmuan yang tertuang dalam prinsip Tauḥid, maka untuk membangun
pendidikan integratif diperlukan Konsep pendidikan Islam yang dirancang
sebagai pendidikan yang benar-benar holistik dan terpadu. Holistik dalam hal
visi, isi, struktur dan proses. Terpadu dalam pendekatannya baik terhadap
kurikulum (bagaimana dan apa yang harus diajarkan), pengetahuan yang
menyatupadukan dengan praktik, aplikasi dan pelayanan. Pendidikan holistik
inilah mencakup konsep filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan
koheren kepada pemahaman terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Ilmu-
ilmu agama yang berbasis pada wahyu (al-Qur’ān dan al-Ḥadith) sebagai ayat-
ayat qauliyyah dan ilmu-ilmu umum berbasis pada akal, penalaran terhadap
fenomena alam sebagai ayat-ayat kauniyyah. Seluruh metode yang diterapkan
dalam ilmu umum dan agama (panca indera, rasio, intuisi dan wahyu) secara
sinergis diterapkan dalam menemukan kebenaran.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka beberapa
saran perlu dikemukakan dalam tesis ini, diantaranya sebagai berikut ; Pertama,
Penelitian tentang integrasi ilmu dan agama sangatlah penting dan merupakan
sebuah keniscayaan, agar dapat diimplementasian dalam dunia pendidikan. Oleh
karena itu, pendidikan haruslah berorientasi kepada sebuah kurikulum yang dapat
mensinergikan materi umum dan agama. Kedua, Penelitian tentang tokoh
sangatlah penting, guna merekonstruksi pemikirannya dan dapat diaplikasikan
untuk waktu dan tempat yang kiranya relevan untuk diterapkan. Namun,
Penelitian tentang pemikiran, sebagaimana biasanya tidak dapat diharapkan
hasilnya secara konkret dan aplikatif, seperti pada penelitian empirik. Walaupun
demikian temuan-temuan yang akan dihasilkan ini di samping memperkaya
khazanah pemikiran di Indonesia, juga pada tingkat yang lebih praktis akan dapat
dijadikan pedoman untuk melakukan pembaharuan, khususnya dalam pendidikan
Islam di tanah air. Ketiga, Untuk segenap civitas akademisi, agar dapat
mengadakan penelitian lebih lanjut, karena hasil penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan khususnya mengenai integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam
perspektif Mullā Sadrā dalam pendidikan, semoga hasil penelitian ini dapat
menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.
153
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: LkiS,
1989.
-------- Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Abdullah, Taufik. Sejarah dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Abdusshomad, Muhyiddin. Fiqih Tradisionalis; Jawaban Pelbagai Persoalan
Keagamaan Sehari-hari. Surabaya: Pustaka Bayan, 2006.
Acikgenc, Alparslan. Being and Existence in Sadrā and Heidegger. Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization,
1993.
Afifi, A.E. Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995.
Aisyah, S. dkk. Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Universitas Terbuka, 2006.
Al-Attas, Syed M. Naquib. The Concept of Education in Islam, Muslim Youth.
Kuala lumpur: Movement of Malaysia,1980.
-------- Islam and Scularism, Angkatan Muda Belia Islam Malaysia. Kuala
Lumpur: ABIM, 1978.
-------- Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the
Fundamental Element of the Worldview of Islam, ISTAC. Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization,
1995.
Al-Alwani, Taha Jabir. Islamic Thought an Approach Reform. London-
Washington: The International Institute of Islamic Thought, 2006.
-------- Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD PRESS, 2005.
Al-Faruqi, Isma’il Raji. Islamization of Knowledge: General Principles and
Workplan. Hemdon : HIT, 1982.
Ali, Muhammad. Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2008. Cet. V.
Al-Mandary, Mustamin. Menuju Kesempurnaan Persepsi dalam Pemikiran
Mullā Sadrā. Makasar: Safinah, 2003.
Arberry, A.J., Revelation and Reason in Islam. London: George Allen & Unwin
Ltd, 1956.
Ardiansyah, M. 20 Catatan Kritis Untuk Kaum Liberal. Pustaka Luma al-
Misykat. Jakarta, 2013.
Arief, Armai. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD PRESS. 2005.
Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif . Yogyakarta: LKIS, 2008.
Assegaf, Abd. Rahman. Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Azra, Azyumardi. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan
Aktor Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
-------- Paradigma Baru Pendidikan Nasional: rekonstruksi dan Demokratisasi
(Jakarta: Buku Kompas, 2002.
154
-------- Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pndidikan Islam, dalam Abdul Munir
Mulkhan, dkk., Religiusitas Iptek. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN
Sunan Kalijaga Yoyakarta dan Pustaka Pelajar, 1998.
-------- Reintegrasi ilmu-ilmu dalam Islam “Zainal Abidin Bagir,ed.” Integrasi
Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan, 2005.
-------- Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu dan Pemikiran, 1999.
Baharuddin, Umiarso, Minarti, Sri. Dikotomi Pendidikan Islam; Historisitas dan
Implikasi pada Masyarakat Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 1976.
-------- Metafisika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Baiquni, Ahmad. Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1995.
Barbour, Ian. Nature, Human Nature and God. Fortress Press: Minneapolis,
2002.
Barlow, Nora (ed.), The Autobiography of Charles Darwin. London: Collins.
1958.
Barth, Karl. Dogmatics in Outland. Harper & Row: New York, 1949.
Bucaille, Maurice. Bibel Qur'an dan Sains, diterjemahkan oleh A. Rasyidi.
Jakarta: Bulan Bintang,1992.
Butt, Nasim. Sains dan Masyarakat Islam. Bandung: Pustaka Hidayah,1996.
Chillick, William C. Ibn al-‘Arabi’s Metaphisics of Imagination; The Sufi Part of
Knowledge. Albany State University of New York Press, 1989.
Dahlan, Abdul Aziz. Teologi, Filsafat, Tasawuf dalam Islam. Jakarta: Ushul
Press, 2012.
Echols, John M dan Shadily, Hassan. “dichotomy”, Kamus Inggris-Indonesia.
Jakarta: PT. Gramedia Utama, 1992.
Fadjar, A. Malik. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Yayasan Pendidikan
Islam Fajar Dunia, 1999.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan,
2002.
Forgaty, Robin. The Mindful School; How to Integrate The Curricula. IIIionis:
IRI/Skylight Publishing Inc., 1991.
Frondizi, Risier. Pengantar Filsafat Nilai, terjemahan dari what is Value?,
Penerjemahan: Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001.
Glatthon, Allan A. Curriculum Leadhership. Illinois: Scott Foresman and
Company, 1987.
Golshani, Mehdi. Sacred Science and Secular Science, dalam Zainal Abidin
Bagir (editor), Science and Religion, In a Post-colonial World Interfaith
Perspectives. ATF Press: Australia, 2005.
H. Hart, Michael. Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah.
Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya. 2006.
Hamalik, Oemar. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2008. Cet II.
155
Hardaniwati, Menuk dkk. Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan Pertama. Jakarta:
Pusat Bahasa, 2003.
Hardiman, Budi. Kritis Ideologi. Yogyakarta: Kanisius,1996.
Hartoko, Dick. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: PT Gramedia, 1986.
Hasan, M. Iqbal. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Haught, John F. Science and Religion: From Conflict to Conversation, terjemah
Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke
Dialog. Mizan: Bandung, 2004.
Hilal, Ibrahim. Tasawuf antara Agama dan Filsafat. Bandung: Pustaka Hidayah,
2002.
Hitti, Philip K,. History of The Arab. London: Macmilan Press Ltd., 1974.
Husain, Syed Sajjad dan Ashraf, Syed Ali. Crisis in Muslim Education. Jeddah:
King Abdul Aziz University, 1979.
Husaini, Adian. Mengapa Barat Menjadi Sekuler-Liberal ?. Ponorogo, Center
for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007.
-------- Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani, 2013.
Hoodbhoy, Pervez. Islam and Science; Religion Orthodoxy and The Battle for
Rationality. London an New Jersey: Zed Books ltd, 1991.
Hossein, Ziai, ”Mullā Sadrā: Kehidupan dan Karyanya”, dalam Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.
Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd & Averroisme Sebuah Pemberontakan Terhadap
Agama. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Izutsu, Toshihiko. The Concept abd Reality of Existence. Tokyo: The Keo
Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971.
Jumali, M. dkk., Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2008. Cet III.
Kalin, I. Three Views of Science in the Islamic World. Turki: University of
Istanbul, 2006.
Kalin, Ibrahim dalam Ted Peters Muzaffat Iqbal, Syed Nomanul Haq (editor),
Tuhan, Alam, Manusia; Perspektif Sains dan Agama. Mizan: Bandung,
2006.
Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam.
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005.
-------- Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy Mizan,
2005.
-------- Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Lentera
Hati, 2006.
-------- Trilogi Metafisis; Tuhan, Alam, Manusia. Bandung: Mizan, 2000.
Khalaf, Abd. Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1978. Cet. II.
Kraemer, Joel L. Philosophy in the Renaissance of Islam; Abū Sulayman al-
Sijistāni. Leiden: EIJ. Brill, 1986.
Kuswanjono, Arqom. Integrasi Ilmu dan Agama. Yogyakarta: Penerbit Lima,
2010.
156
Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna,
1992.
Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis.
Bandung: Mizan, 2002.
Losee, John. A Historical Introduction to The Philosophy of Science. Oxford
University Press, New York. 2001.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate studi
Islam melalui Paradigma Baru yang lebih Efektif, Makalah Seminar
Tahun 1997.
-------- Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1993.
Ma’arif, Syamsul. Revitasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Madjid, Nurcholish. Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika al-Qur’an dalam
Islamika. Jakarta: Mizan, 1993.
Mahayana, Dimitri & Djuniardi, Dedi. Kearifan Puncak. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Mas’ud, Abdurrahman. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik:
Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Gama Media, 2002.
Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah.
Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 2006.
Moris, Megawati. Mullā Sadrā’s Doctrine of The Primary of Existence. ISTAC:
IIUM, 2003.
Muarif, Liberalisasi Pendidikan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2008.
Muhaimin, nuansa baru pendidikan islam: mengurai benang kusut dunia
pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo persada, 2006.
-------- Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam. Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999.
-------- Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Muhammad al-Tamimi, Ashaari. Membangun Sains dan Teknologi Menurut
Kehendak Tuhan. Jakarta: Giliran Timur, 2007.
Muliawan, Ungguh. Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan
Kembali dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
Mulkhan, Abdul Munir. Membangun Tradisi Ilmu Pesantren, dalam Umiarso dan
Nur Zazin, Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan: Menjawab
Problematika Kontemporer Manajemen Mutu Pesantren. Semarang:
RASail, 2010.
Mulyanto, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan,” dalam Moeflich Hasbullah, Gagasan
dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LSAF, Iris,
Cidesindo, 2000, Cet. 1.
157
Mustofa, “Tauḥid: Akar Tradisi Intelektual Masyarakat Muslim” dalam
Intelektualisme Islam, Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama,
editor Lutfi Mustofa dan Helmi Syaifuddin. UIN malang: LKQS, 2007.
Muthahhari, Murtadha. Filsafat Hikmah; Pengantar Pemikiran Sadrā. Bandung:
Mizan, 2002.
Nasr, Seyyed Hossein, Islamic Life and Thought. Albany: SUNNY Press, 1981.
-------- Three Muslim Sages. Cambridge: Harvard University Press, 1968.
-------- Sadr al-Din Shirazi dan Ḥikmat Muta’āliyah, Terj. Baharuddin Ahmad.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992.
-------- Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis, terjemahan Suharsono &
Djamaluddin MZ. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
-------- Tiga Pemikir Islam; Ibn Sīna, Suhrawardi, Ibnu Arabi. Terjemah Ahmad
Mujahid. Bandung: Risalah, 1985.
Nasr, Seyyed Hossein dan Leaman, Oliver. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.
Bandung: Mizan, tth.
Nasution .S. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Cet. VIII.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press,
1979.
-------- Teologi (Ilmu Kalam). Jakarta: UI Press, 1978, Cet. 1.
-------- Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Edit.:
Saiful Muzani. Bandung: Mizan, 1995.
-------- Republika-Dialog Jum’at “Dikotomi Ilmu, antara Fardhu Ain dan Fardhu
Kifayah (05 Januari 1996)” dalam buku Proses Perubahan IAIN manjadi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Rekaman Media masa. Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2002.
Nasution, Hasan Bakti. “Hikmat Al-Muta’āliyah Analisa Terhadap Proses
Sintesa Filosofis”. Disertasi: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.
Nata, Abbudin. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005.
-------- Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Jakarta: Rajawali, 1982.
-------- Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Nata, Abuddin Suwito., Abdillah, Masykuri., Arief, Armai. Integrasi Ilmu
Agama dan Ilmu Umum.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Nicholson, Reynold A. The Myctics of Islam. London: Rautledge and Kegan Paul
Ltd, 1966.
Noer, Kautsar Azhari. Ibn al-‘Arabi; Waḥdah al-wujūd dalam Perdebatan.
Jakarta: Paramadina.
Nur, Syaifan. Filsafat Wujud Mullā Sadrā. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Nur, Syaifan. Filsafat Wujud Mullā Sadrā. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Nurdin, Syafrudin. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Ciputat:
Quantum Teaching, 2005. Cet. III.
Pals, Daniel L. Seven Theories Of Religion, terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta:
Penerbit Kalam, 2001.
158
Partanto, Pius A dan al-Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Arkola, 1994.
Poeradisastra, Sumbangan Islam terhadap Peradaban Eropa dan Barat. Jakarta:
P3M, 1980.
Qomar, Mujammil. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional
Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, 2006.
R. Mirza, Muhammad dan Siddiqi, Muhammad Iqbal. Muslim Contribution to
Science. Pakistan: Kazi Publications, 1986.
Rahim, Husni. Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam. Malang: UIN
Malang Press, 2004.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of An Intellectual
Tradition. Chicago & London: The University of Chicago Press, 1984.
-------- The Philosophy of Mullā Sadrā. State University of New York Press:
Albany, 1975.
Ridwan, Islam Kontekstual; Pertautan Dialektis Teks dengan Konteks.
Yogyakarta: Grafindo Lentera Media. 2009.
Rolston, Holmes Science and Religion. New York: A. Critical Survey, With a
New Introduction, 2006.
Rosada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2007. Cet.III.
Rosenau, Pauline M. Postmodernism and Social Sciences: Insight, Inroads, and
Intrusion. Princeton University Press: Princeton, 1992.
S. Suriasumatri, Jujun. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1999.
Sadrā, Mullā. Al-Hikmat Al-Muta’āliyah fi’l Asfar Al-‘Aqliyah Al-Arba’ah.
Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāts Al’Arabī, 1981.
-------- Al-Masā’il al-Qudsiyyah; Mutashābihāt al-Qur’ān. Resāle: Masyhad
University Press, tth.
--------Kearifan Puncak, diterjemahkan dari Hikmah Al-Arsyiah, penerjemah:
Dimitri Mahayana & Dedi Djuniardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
-------- Manifestasi- Manifestasi Ilahi: Sebuah Risalah Teosofi Islam,
terjemahkan dari Al-Mazhāhir Al- Ilāhiyyah fī Asrār Al-Ulūm Al-
Kamāliyyah, penerjemah: Irwan Kurniawan. Bandung: Pustaka Hidayah,
2004.
Mullā Sadrā, On the Hermeneutic of the Light Verse of the Qur’ān, penerjemah:
Latimah-Parvin Peerwani. London: ICAS, 2004.
Sadzali, Munawir. Islam dan Ketatanegaraan. Jakarta: UI Press, 1996.
Shalibā, Jamīl. Al-Mu’jam al-Falsafi. Beirut: Dar al-Kitāb al-Lubnāni, 1971.
Syaikh, M. Said. Kamus Filsafat Islam, Terjemahan Machun Husein. Jakarta:
Rajawali, 1991.
Schumacher, E.F. A Guide For The Perplexed. Jonatan Cape: London, 1977.
Saefuddin, AM. Islamisasi Sains dan Kampus. Jakarta: PPA Consultants, 2010.
Sardar, Ziauddin. Explorations in Islamic sciences. London-New York: Mansell,
1998.
159
-------- Jihad Intelektual: Merumuskan parameter-parameter Saince Islam, (Terj)
AE Priyono. Surabaya: Risalah Gusti, 1998.
Shadily, Hassan. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara,
1983.
Shofan, M. Pendidikan Berparadigma Profetik. Yogyakarta: Ircisod-UMG
Press. 2004.
Siregar, Rivay. Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2000.
Soleh, A. Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Steenbrink, Karel A,. Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES The
Columbia Encyclopedia (1963) NY & London: Colombia University
Press, 1986.
-------- Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan
Bintang, 1984.
Sugiharto, Bambang. Ilmu dan Agama dalam Kurikulum Perguruan Tinggi,
dalam Zainal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi, Afnan Anshori (editor),
Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Mizan: Yogyakarta,
2005.
Sukmadinata, Nana Sayodih. Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997.
Sukmadinata, Nana Sayodih. Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum.
Jakarta: PPLTK, 1988.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Umum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya. 1992.
Thoib, Ismail. Wacana Baru Pendidikan; Meretas Filsafat Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Genta Press, 2008.
Thoyyar, Huzni. Model-Model Integrasi Ilmu Dan Upaya Membangun Landasan
Keilmuan Islam; Survey Literatur terhadap Pemikiran Islam
Kontemporer. Artikel: Makalah, tth.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 2001.
Trianto, Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasinya
dalam KTSP. Jakarta: Bumi Aksara.
Usa, Muslih. Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta :
Tiara Wacana, 1991.
Wahana, Paulus. Nilai Etika Aksiologis Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius,
2004.
Wan Daud, Wan Mohd Nor. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib al-Attas. Bandung: Mizan, 2003. Cet. I.
Woodhouse, Mark B,. A Preface to Philosophy. California: Wordworth
Publishing Company, 1984.
Yamin, Moh. Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan. Jogjakarta: Diva Press,
2009.
160
Yazid, Mahdi Haidir. The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy:
Knowledge by Presence. Albany: State University of New York Press,
1992), 159.
Yulaelawati, Kurikulum dan pembelajaran: Filosofi, Teori dan Aplikasi.
Bandung Raya, 2004.
Yuldelasharmi, Dikotomi Ilmu Pengetahuan: Akar Timbulnya Dikotomi Ilmu
dalam Peradaban Islam, dalam Samsul Nizar (Edit), Sejarah Pendidikan
Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Nabi Muhammad
sampai Indonesia. Jakarta: Kencana, 2009.
Zaini, Syahminan. Integrasi Ilmu dan Aplikasinya menurut Al-Qur’an. Jakarta:
Kalam Mulia, 1989.
Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif Islam. Bayumedia: Malang, 2003.
Ziai, Hossein. ”Mullā Sadrā: Kehidupan dan Karyanya”, dalam Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan,
2003.
Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1985.
B. Jurnal dan Internet
Acikgenc, Alparslan. Artikel “Holisitic Approach to Scientific Traditions, Islam
& Science”. Journal of Islamic Perspective on Science, Juni (2003), No.
1, Vol 1.
Arief, Armai. “Melacak Akar Timbulnya Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan
Islam”, dalam Jauhar: Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual, Vol. 3 No. 2.
Desember 2002. Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
(2002).
Arsyad, Azhar. Artikel “Buah Cemara Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan
Ilmu Agama”. Makasar: Hunafa Jurnal Studia Islamika, (2011). Vol.8,
No. 1.
Aziz , M. Amin “Islamisasi ilmu sebagai Isu dalam Ulūm al-Qur’ān, Vol. III,
No. 41192, 3. Baca pula Norlaila, “Pemikiran Pendidikan Islam Ismail
Raji al-Faruqi,” Al-banjar, Vol. 7, No. 1 Januari, (2008) : 42.
Bakar, Osman. Artikel “Reformulating a Comprehensive Relationship Between
Religion and Science: An Islamic Perspective, Islam & Science”.
Journal of Islamic Perspective on Science, Juni (2003), No. 1, Vol, 1.
Dahlan, Moh. “Relasi Sains Modern dan Sains Islam; suatu upaya pencarian
paradigma baru” dalam ejournal.umm.ac.id, diunduh pada 16 Maret
(2014).
Hadi Masruri, M. dan Imron Rossidy. Artikel “Filsafat Sains dalam Al-Qur’ān:
Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama”. UIN Malang:
Jurnal, Tth.
Mustofa, “Tauḥid: Akar Tradisi Intelektual Masyarakat Muslim” dalam
Intelektualisme Islam, Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama,
161
editor Lutfi Mustofa dan Helmi Syaifuddin (UIN malang: LKQS, (2007),
12.
Nur, Syaifan. “Filsafat Mullā Sadrā”. Yogyakarta: Mullā Sadrā Jurnal Filsafat
Islam dan Mistisisme, 2011. Vol. 1, No. 4 .
Rahman, Fazlur. Islamization of Knowledge: A Response. “American Journal of
Islamic Social Science, (1998).
Rusydi, Ibnu. Artikel “Paradigma Pendidikan Agama Integratif-Transformatif”.
Jurnal Pendidikan Islam (JPI): Yogyakarta, (2012). Vol.1, No. 1.
Rusydi, M. Artikel “Wacana Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan Islam dan
Pengaruhnya”. Jurnal: Al Banjari, (2006).
Sanjaya, Wina. kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan praktek Pengembangan
kurikulum tingkat satuan pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2008.
Saylor, Dkk. Curriculum Planning For Better Teaching and Learning. New
York: Holt-Rinchart and Winston, 1981.
Suharyanta dan Sutarman. Artikel “Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-
Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam”. Jurnal:
Mukaddimah, (2012), Vol. 18 No. 1.
Suyatno, Artikel “Dekonstruksi Pendidikan Islam sebagai sub sistem Pendidikan
Nasional”. Yogyakarta: Jurnal Pendidikan Islam, 2012, Vol. 1 No. 1.
Taufiq. Artikel “Peta Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia: Telaah Dikotomi
Pendidikan Jurnal Hunafa: STAIN Datokarama Palu, (2010), Vol.7, No.
2.
Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, ia menulis Artikel “
Pemelayuan, Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi
dalam Konteks Dasar Sains Negara”. Jurnal: Kesturi, (1999), No. 1.
Zainuddin, M., ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Islam Holistik,” Jurnal
Ulumuna, Vol. XV, No. 1 (2011) : 85.
article.cgi?aid=00004595&channel=university%20ave&start=0&end=9&chapter
=1&page= 1; Desember 2013
David Klinghoffer, Science vs. Religion: A False Dichotomy, Access Research
Network, http://www.stephenunwin.com/media/Publish-
ers%20Weekly.pdf; Desember 2013.
Ibrahim A. Ragab, Islamic Perspectives on Theory-Building In the Social
Sciences, http://www. ibrahimragab.com/ebooks-15
Muhammad Gill, What is Islamization of Knowledge?,
http://www.chowk.com/show
http://www.makalahkuliah.com/2013/01/konsep-pendidikan-islam-
integratif.html. diakses pada tanggal 19 Agustus 2014.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/12/30/mymfwf-kurikulum-
2013-. diakses pada tanggal 19 Agustus 2014
Integrated Curriculum Guide,
http:/www.archework.org/project/tesp/ic_guide_p5.html.diakses pada tanggal 17
Agustus 2014.
162
‘Irfan : Mistisisme Islam, memiliki konsep tentang
kesebatunggalan wujud (tauḥid wujūdi).
al-‘Ilm al-ḥuḍūri : Pengetahuan presensial atau al-ma’rifah al-
ḥuḍuriyyah (knowledge by presence).
al-‘Ilm al-ḥuṣūli : Pengetahuan korespondesi atau representasi,
disebut juga pengetahuan capaian atau al-
ma’rifah al-ḥuṣūliyah (acquired knowledge).
al-Ḥikmah al-muta’āliyah : Hikmah yang tertinggi, dikenal sebagai nama
dari filsafat Mullā Sadrā.
al-Iḍāfah al-‘ishrāqiyyah : Keterhubungan iluminatif.
al-Imkān al-faqri : keserbamungkinan yang membutuhkan.
al-ḥarakah al-jauhariyyah : Gerak substansial.
Ḥarakah : Secara harfiah berarti gerak, istilah ini
digunakan untuk menunjukkan perubahan
bertahap seiring dengan perputaran waktu,
dibedakan dengan kaun wa fasād secara harfiah
berarti kejadian dan kehancuran, istilah ini
digunakan untuk menunjukkan perubahan
seketika.
Aṣālah al-māhiyah : Pandangan bahwa māhiyah (kuiditas) adalah
realitas yang mendasar.
Aṣalah al-wujūd : Pandangan bahwa wujūd adalah realitas yang
mendasar.
Isti’dād : Kesiapan
Māhiyah : Kuiditas, hakikat yang sesungguhnya atau ciri
esensial sesuatu, berasal dari bahasa latin quid,
yaitu apa.
Maqūlah : Himpunan umum kuiditas.
Maujūd baṣīṭ : The simple existent, yaitu sesuatu yang jenis
wujudnya tak pernah bergantung pada unsur
163
apapun. Kebalikannya adalah maujūd murakkab
(composite existence), yaitu keberadaan entitas
yang bergantung pada unsur-unsur pokoknya.
Segala sesuatu yang termasuk dalam kategori ini
wujudnya pasti akan terbatas.
Tashkīk al-wujūd : Graditas wujūd.
wahḍah al-wujūd : Kesatuan wujūd.
wajib al-wujūd : Wujud yang wajib yang sifat wujudnya adalah
niscaya (necessary), dibedakan dengan mumkin
al-wujūd, wujud yang bersifat mungkin
(contingent beings) keberadaannya tergantung
dari wujud lain.
164
Indeks
‘
‘Irfānī, 98
A
agama, 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 23,
24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33,
34, 35, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43,
44, 45, 46, 47, 48, 51, 52, 53, 54,
55, 56, 57, 58, 60, 64, 69, 70, 73,
76, 77, 78, 80, 81, 82, 94, 95,
102, 103, 107, 108, 127, 130,
133, 134, 136, 137, 138, 139,
140, 141, 144, 147, 148, 149,
151, 156, 159, 160, 162
aksiologis, 1, 12, 71, 136, 137, 138,
139, 141, 161
al-Attas, 17, 18, 67, 68, 69, 70, 71,
79
al-Bīruni, 6, 70
al-Farabi, 35
al-Farāzi, 6
al-Ghazāli, 3, 6, 7, 35, 36, 45, 63,
124
Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah, 8, 13,
22, 88, 89, 90, 110, 112, 115, 117
Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfar
al-ʽAqliyah al-Arbaʽah, 8, 22
Amin Abdullah, 46, 47, 48, 80, 81
Aristoteles, 27, 51, 77, 93, 94, 95,
96, 97, 105, 107, 108, 116
Aṣālat al-Wujūd, 24, 117, 118
Azhar Arsyad, 4, 48
Azyumardi Azra, 7, 18, 19, 36, 40,
42
C
Charles R. Darwin, 28
D
dikotomi, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14,
15, 20, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31,
32, 33, 34, 35, 37, 38, 39, 40, 41,
42, 43, 44, 45, 76, 140, 141, 142,
147, 148, 159
dualisme, 10, 13, 14, 19, 26, 27, 28,
29, 34, 37, 40, 41, 81, 124, 147
E
eksistensi, 6, 27, 28, 41, 68, 98, 101,
103, 111, 113, 114, 116, 117,
118, 122, 123, 127, 128, 130,
131, 132, 133, 135, 160
epistemologi, 5, 14, 20, 28, 42, 46,
47, 63, 64, 65, 67, 71, 75, 80,
101, 103, 107, 119, 120, 121,
125, 129, 130, 139, 140, 146, 161
F
farḍu ’ain, 68
farḍu kifāyah, 7, 35, 42, 45, 50, 68,
69
Fazlur Rahman, 9, 10, 11, 16, 18,
22, 74, 80, 83, 118, 129
filsafat peripatetik, 83, 93, 96, 97,
99, 115, 117
165
Frederich Nietszche, 78
G
Galileo Galilei, 1, 8, 32, 51, 82
geosentris, 1, 14, 51
Giordano Bruno, 8
gnostik, 17, 83, 88, 99, 100
H
Harun Nasution, 2, 6, 29, 34, 35
heliosentris, 1, 14, 51
Holistik, 9, 19, 24, 30, 31, 81, 102,
105, 119, 139, 142, 143, 144,
145, 146, 151, 159, 160, 161
Holmes Rolston, 19
Hossein Ziai, 17, 83, 85, 87, 88, 98
huḍūrī, 121, 122, 123, 124
I
Ibn ‘Arabi, 104, 113, 114, 115
Ibnu Haytham, 6
Ibnu Rushdy, 3, 6, 12, 36, 78, 94
Ibnu Sīna, 3, 6, 12, 70, 84, 94, 95,
120
illuminasionisme, 17, 83
ilmu agama, 1, 5, 10, 12, 13, 24, 27,
29, 30, 32, 34, 35, 38, 40, 43, 47,
69, 78, 81, 142, 147, 148, 160,
162
ilmu umum, 1, 4, 5, 9, 10, 11, 12,
13, 15, 18, 19, 20, 23, 24, 25, 27,
29, 30, 31, 32, 33, 35, 38, 39, 40,
42, 43, 44, 45, 81, 82, 102, 142,
147, 159, 160, 162
Imam Suprayogo, 49, 50, 80, 81
integrasi, 5, 9, 12, 13, 15, 16, 17, 18,
19, 20, 22, 23, 24, 25, 31, 41, 48,
49, 51, 58, 59, 61, 63, 67, 70, 73,
78, 81, 82, 83, 101, 102, 103,
105, 107, 128, 130, 133, 139,
140, 141, 146, 148, 156, 160,
161, 162
integrasi keilmuan, 15, 22, 24, 25,
48, 59, 61, 63, 67, 70, 73, 161
ishrāqi, 7, 12, 35, 97
Ismail Raji al-Faruqi, 70, 75, 79
K
Karel A. Steenbrink, 38, 81
kauniyah, 11, 32, 33, 141
Kuntowijoyo, 80, 81, 159
kurikulum, 10, 11, 14, 31, 32, 33,
37, 41, 42, 143, 145, 146, 147,
148, 149, 151, 152, 153, 156,
157, 159, 161, 162
Kurikulum 2013, 148
kurikulum pendidikan, 11, 31, 149,
151
M
Mīr Dāmād, 84, 92
Muhammad Natsir, 26
Mullā Abdul Razzaq Lahiji, 86
Mullā Hadi Sabzawari, 108
Mullā Muhsin Faidh Kasyani, 86
Mullā Sadrā, 8, 9, 12, 13, 14, 15, 16,
17, 20, 21, 22, 23, 24, 58, 80, 82,
83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91,
92, 93, 98, 100, 101, 103, 104,
105, 107, 108, 109, 110, 111,
112, 113, 114, 115, 116, 117,
166
118, 120, 121, 122, 123, 124,
125, 126, 127, 128, 129, 130,
131,132, 134, 137, 138, 140, 146,
159, 160, 161, 162
Mulyadhi Kartanegara, 9, 19, 29, 30,
76, 77, 81, 102, 105, 114, 115,
159
N
Naquib al-Attas, 17, 67
Nicolas Copernicus, 32
O
ontologis, 1, 9, 12, 27, 58, 59, 83,
96, 98, 105, 119, 134, 138, 139,
141, 146, 161
P
Pendidikan, 2, 3, 4, 6, 7, 10, 11, 12,
13, 19, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 33,
34, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 45,
48, 49, 51, 57, 67, 68, 69, 70, 74,
75, 79, 82, 84, 114, 142, 143,
144, 145, 146, 147, 148, 149,
150, 151, 152, 155, 157, 159,
160, 162
pendidikan integratif, 13, 14, 15, 17,
24, 51, 142, 159, 161
Pendidikan Islam, 2, 3, 6, 7, 10, 11,
12, 13, 19, 26, 27, 29, 30, 31, 33,
34, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 48, 49,
51, 57, 68, 69, 70, 74, 75, 82,
142, 143, 144, 146, 152, 155, 157
Pervez Hoodbhoy, 18, 74, 75
Q
qauliyyah, 49, 81, 160, 162
R
reintegrasi, 24, 46, 58, 147
rekonstruksi, 13, 24, 45
S
Sadr al-Dīn Shirazī, 16
Sadra, 16, 17, 85, 86, 118, 131, 132
Sadrā, 8, 12, 16, 17, 20, 21, 22, 23,
82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90,
91, 92, 93, 101, 103, 104, 105,
106, 110, 112, 114, 115, 116,
117, 118, 119, 120, 121, 123,
124, 125, 126, 128, 130, 131,
132, 133, 138, 140, 146
Sayyed Hossein Nasr, 7, 35
Sigmund Frued, 28
Suhrawardi, 7, 35, 85, 93, 94, 96,
97, 98, 99, 105, 114, 115, 117,
118, 120, 124, 127, 130
Syed Ali Ashraf, 10
Syed Sajjad Husain, 10
T
Tahāfut al-falāsifah, 7, 35, 36
Tahāfut al-Tahāfut, 7, 36
Tanziliah, 141
tashkīk al-wujūd, 9, 106, 146, 161
Tauḥīd, 9, 24, 33, 66, 71, 83, 101,
102, 103, 143, 144, 145, 159, 161
tipologi integrasi, 24
167
W
Waḥdah al-Wujūd, 108, 109, 110,
113, 114, 115, 123, 146, 159, 161
wujūd, 9, 17, 91, 92, 97, 100, 104,
105, 108, 112, 113, 118, 123,
146, 159, 160
Z
Zaenal Abidin Bagir, 80, 81
Zainuddin, 78, 82, 142, 143, 144,
146
Ziauddin Sardar, 18, 66, 71, 72, 79,
80
Zunnun al-Mishri, 99
168
Ahmad Zamakhsari, lahir di Bekasi pada tanggal 31
Juli 1989. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD
Islam As-Syafi’iyah 04 pada tahun 2001, kemudian
MTs As-Syafi’iyah 05 pada tahun 2004, selanjutnya
MA Annida Al-Islamy Bekasi pada tahun 2007,
kemudian melanjutkan Pendidikan Strata 1 di STIT
(Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah) Al Marhalah Al
ʽUlya Bekasi
pada tahun 2011 dengan konsentrasi Pendidikan Agama Islam (PAI)
dengan Judul Skripsi “Konsep Pendidikan Islam dalam Surat al-‘Alaq
Ayat 1-5 (Studi Tafsir al-Misbāh)”. Pada tahun 2012, Penulis melanjutkan
studi program Magister (S2) pada Program Studi Pengkajian Islam
Konsentrasi Pendidikan Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Aktivitas Penulis sehari-hari adalah Guru di Mutiara
Indonesia International School dan Dosen di STIT Al Marhalah Al ʽUlya
bekasi sampai sekarang.
Tesis ini merupakan hasil penelitian di Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada bidang Pendidikan Islam (Islamic
Studies) guna memperoleh gelar MA di bidang Pendidikan. Selain aktif
mengajar penulis juga aktif menulis sekaligus menjadi editor pada buletin
dan jurnal yang diterbitkan oleh STIT Al Marhalah Al ʽUlya Bekasi dan
buku-buku bahasa Arab pedoman tingkat SMP/MTs serta beberapa jurnal
ilmiah.