Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
~THE LAST LOVE EVER~
CHAPTER 1
Aku dan Mimpi
“Sesungguhnya Tuhan menganugerahi kepada setiap manusia sesuatu yang dapat mengubah
seseorang dari yang bodoh menjadi pintar, atau dari yang lemah menjadi kuat. Dan
anugerah yang di berikan Tuhan itu disebut dengan CINTA”.
Siang itu adalah siang yang paling kelabu bagiku. Sungguh aku tidak mempercayai
akan pendengaranku sendiri. Aku tertegun dan tubuhku makin lesu. Namun sosok berjaskan
putih yang berdiri di hadapanku pun hanya terdiam dan membisu untuk beberapa saat,
prihatin melihatku.
“ Tidak…. Tidak mungkin!” Ujarku setengah berteriak. Sedangkan sahabatku masih terdiam
tidak percaya disampingku.
“Tidak mungkin dokter! Aku tidak mungkin mengidap penyakit kanker! Tidak… tidak….
Aku masih ingih hidup dokter! Masih banyak hal yang belum kulakukan! Aku masih ingin
hidup dokter!” Teriakku makin keras. Aku tak sanggup menahan emosiku.
“Maafkan saya… saya mengatakan itu berdasarkan hasil diagnosa.” Ucap dokter pelan.
“Tapi… tapi saya tidak mau dokter! Saya mohon! Sembuhkan saya, dokter! Ada orang yang
sangat saya sayangi dan tidak bisa saya tinggalkan! Saya tidak akan meninggal, kan dokter?
Jawab saya, dokter!” Desakku lagi karena masih shock.
“ Berdasarkan hasil diagnosa, penyakit kanker anda sudah di tingkat stadium empat. Tidak
banyak yang bisa kami lakukan untuk benar-benar menyembuhkan anda secara total, karena
sel-sel kankernya sudah hampir menyebar ke seluruh tubuh anda. Kami tim dokter akan
lakukan semaksimal mungkin meski secara empiris tipis harapan. Tetaplah berdoa, semoga
Tuhan memberikan mukjizatnya bagi anda.”
“Tapi ini tidak mungkin, dokter! Selama ini saya tidak merasakan gejala apa-apa! Dokter
pasti salah mendiagnosa! Iya, kan dokter! Beri saya hasil yang benar dan jelas dokter! Saya
masih ingin hidup dokter! Jawab dokter! Jawab!” Desakku makin panik dan liar. Otakku
rasanya mau pecah, dan keringat dingin mengguyur sekujur tubuhku, jantungku berdegup
2
kencang, dan mataku terbelalak ketakutan mendengar ucapan dokter tadi. Aku guncang-
guncangkan tubuh dokter, dan dokter hanya menanggapinya dengan menggeleng. Aku
tertegun, aku menunduk ke arah lantai, kedua tanganku mencengkeram kepala, dan rasanya
otakku mau meledak. Aku pun berteriak sekencang-kencangnya.
“AAAAAAAAAAARGH!” Aku berteriak begitu kencang, teriakan depresi. Lalu aku pun
terbangun dari tidurku. Hah……! Mimpi buruk! Tadi itu hanya mimpi?!
“ Gila…. Huuuuufth…. Ternyata cuma mimpi!” Aku menghela nafas panjang, keringat
dingin ternyata masih mengguyur tubuhku. Mimpi buruk itu terasa begitu nyata dan benar-
benar membuatku tegang. Aku coba atur nafasku dan menenangkan diri. Benakku masih
dipenuhi pertanyaan, “ Kok tadi mimpi kayak gitu sih? Gitu banget mimpinya.” Aku masih
keheranan sebentar. Lalu kutengok jam wekerku.
“ Waduh! Telat nih! Gawat! Hari ini kan ada kelas pagi!” aku segera beranjak dari tempat
tidur menuju kamar mandi. Akhirnya aku mencoba mandi seekspres mungkin agar cepat
berangkat menuju kampus. Sebenarnya ada niatan hati untuk bolos, tapi konsekuensinya aku
harus membuat resume kuliah akhir semester nanti. Jadi, mending masuk aja deh kalau
begitu, better late than never!
***
“ Pagi, Pak.” Sapaku ragu sambil senyum terpaksa. Dosenku menoleh ke arahku dengan
tanpa ekspresi. Wajahnya dingin sekali. Ia memandangku untuk beberapa saat.
“ Darimana saja kamu?” Tanya dosenku dingin. Aku mengangguk salah tingkah, gugup tak
terkira karena dipandang oleh tatapan mata tajamnya.
“Ma… maaf, pak.” Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulurku.
“ Kamu bilang ini pagi? Lihat, sudah jam berapa ini?” Tanya dosen lagi menginterogasiku di
depan teman-teman yang lain.
“Setengah Sembilan, pak.” Jawabku gugup tanpa melihat jam di dinding. Beberapa temanku
tertawa mendengar jawabanku.
“ Haha… kayaknya badannya udah di sini tapi jiwanya masih di alam mimpi, ya?” kata
dosenku bernada menyindir. Teman-temanku kembali tertawa. “ Hey! Lihat jamnya tuh!
3
Sekarang udah jam setengah sebelas! Materi kuliah saya sudah hampir selesai dan kamu baru
datang sekarang. Kamu tidak menghargai saya?” Tanya dosen itu tegas.
“ Maaf, pak. Saya kebablasan. Jam tangan saya ternyata mati.” Jawabku lagi seadanya.
“ Alesan saja kamu ini. Ingat saja konsekuensinya. 3 kali pertemuan tidak hadir di kelas saya,
maka kamu harus buat resume seluruh materi saya dari awal sampai akhir sebanyak 50
lembar!”
“Wow…” aku melongo.
“Kenapa? Terlalu berat 50 lembar? 50 lembar itu sedikit loh! Kecil!” Kata dosenku yang
terkenal sangar itu.
“ Oh, enggak kok pak! Ringan kok, pak! Tenang aja.” Jawabku sok sanggup. Padahal dalam
hati mendengus. “ Halaaaah, males banget gue bikin resume segala!”
***
Di waktu istirahat, sahabatku mendatangiku yang sedang duduk merenung di bangku di
depan kantin kampus.
“Whoy! Telat mulu sih lo! Siapa suruh? Jadinya kena resume, kan! Lagian ngapain sih lo
pake cerita telat segala?” Tanya sahabatku siang itu.
“Gue ketiduran.” Jawabku singkat.
“ Lo mank tidur beneran! Bukan ketiduran! Ah, kebiasaan lo!” Sanggahnya menyindir.
“ Gue mimpi buruk tadi malem, Ber.” Kataku.
“ Mimpi apaan, sih emang? Mimpi sepatu lo kecolongan lagi? hahaha! Itu sih bukan mimpi!
Emang udah takdir! Nasib lo harus kehilangan sepatu terus supaya mensejahterakan para
pedagang sepatu di emperan noh! Hahaha!” gurau sahabatku yang bernama Berry.
“ Ah, sialan lo! Gue serius! Main-main aja lo bawaannya! Gak ngeliat apa gue lagi kalut?”
Kataku sebal.
“ Wes… wes… slow, bro! kalem kalem! Take it easy, bro! jadi lo galau nih ceritanya
sekarang? Gak usah dibawa serius lah! Itu kan cuma mimpi lagi, ngga. Mimpi aja kok
diambil pusing?” kata Berry menghibur. Aku masih terdiam mendengar jawabannya.
4
“ Ngga,,, iya, nggak? Emang lo mimpi apaan sih sampe seserius itu nanggepinnya?” Tanya
Berry semakin penasaran melihatku yang masih termenung. Aku pun mengalihkan
pandanganku ke wajahnya. Berry menatapku heran.
“… Gue ngidap kanker. Hidup gue cuma bentar lagi.” Jawabku dingin. Mendengar
jawabanku wajah Berry malah makin keheranan.
“ Buset dah! Ngeri amat mimpinya. Tapi buktinya kan elo sekarang masih sehat-sehat aja!
Udahlah, bro! Dipikirin amat! Realistis aja deh sekarang. Masih banyak hal-hal
menyenangkan yang bisa lo lakuin sekarang. Ngapain juga lo abisin waktu lo cuma buat
mikirin mimpi yang gak nyata itu? Itu cuma mimpi! Inget, cuma mimpi! Dah, dah, dah! Gak
enak bener suasananya serius begini. Mending kita ngopi aja yuk biar pikiran lo lebih fresh!”
Jelas Berry membujukku.
Aku berpikir sesaat. “ Ya, kalo dipikir-pikir sih, iya juga itu cuma mimpi. Ya udahlah, hayu
ngopi!” kataku menjawab ajakannya “ Gitu donk!” Tanggap Berry senang sambil tersenyum
lebar.
Akhirnya aku masuk ke dalam kantin bersama Berry. Kami memesan dua cangkir kopi susu
kepada ibu kantin. 5 menit kemudian pesanan kami pun sampai di atas meja makan kami.
Asap mengepul dari dalam cangkir kopi menebar aroma wangi kopi yang terhirup hidung,
yah, aromanya saja sudah cukup menenangkan saraf-saraf yang tegang. Berry langsung
mengambil cangkir kopinya dan menyeruputnya perlahan.
“Ajib! Mantap!” Katanya puas setelah meneguk kopi di dalam cangkirnya. Aku hanya
tersenyum mengikuti apa yang dia lakukan. Yah, satu teguk kopi saja sudah cukup melepas
tegang. Aku agak merasa dirilekskan oleh kopi ini. Ide Berry untuk mengajakku ngopi
supaya fresh memang tepat. Kemudian kuteguk lagi kopi dicangkirku, rasanya masih nikmat,
namun tiba-tiba saja seperti ada tegangan listrik yang menyengat kepalaku dalam hitungan
nol koma detik. Dengan reflex kusimpan cangkirku dan ku pegang kepalaku. Satu menit
kemudian badanku terasa kesemutan dan aku mulai lemas. Ada apa ini? Kepalaku semakin
lama malah semakin pusing saja rasanya. Berry mulai panic melihat tingkahku yang seperti
menahan sakit.
“ Kenapa lo, Ngga?” Tanya Berry khawatir.
“ Kepala gue pusing.” Jawabku sambil masih mencoba menahan kepeningan di kepalaku.
5
“ Gara-gara baru ngopi kali lo?” Tanya Berry bingung.
“ Hehe, iya kali ya? Ya udah gue mau ngambil air putih dulu deh.” Jawabku sambil mencoba
beranjak dari tempat dudukku. Belum sempat melangkah, pandanganku tiba-tiba gelap, dan
kosong.
“ Whoy! Ngga! Angga! Loh, kok pingsan?!” Teriakan Berry yang panik sayup-sayup
terdengar oleh telingaku, kemudian suaranya semakin kecil dan menghilang.
***
6
Tentang Penderitaan
Samar-samar kudengar dialog antara Berry dan seseorang. Kemudian terdengar suara Berry
tercekat di tenggorokan. Mendengar pembicaraan mereka yang belum jelas itu aku mulai
membuka mataku perlahan.
“… Ber… Berry…” Panggilku pelan. Namun mereka berdua masih tetap berbincang tidak
mendengar suaraku.
“ Teman anda mengalami kanker paru-paru stadium empat.” Ujar seseeorang yang sepertinya
seorang dokter itu kepada Berry. “Apa?” Berry terdiam mendengar pernyataan itu.
“BERRY!” Panggilku lebih keras. Berry dan seseorang yang diajaknya bicara menoleh ke
arahku. “ Bener itu, Ber? Gue ngidap kanker, Ber!?” Berry menatapku bingung, diam tak
tahu harus mengatakan apa.
“ Kenapa juga lo diem, Ber! Gue dah feeling kalo mimpi gue emang bukan sekedar bunga
mimpi! Gue ngidap kanker, Ber! Hhh… hidup gue Cuma bentar lagi!....” aku menatap tajam
mereka berdua. Nafasku tak teratur, darahku rasanya mendidih, dadaku sesak sekali. Berry
masih terpaku di tempatnya berdiri, menatapku bingung dan prihatin.
“ UHUK… UHUK… UHUK…!” Aku terbatuk keras. Kurasakan sesuatu keluar dari
tenggorokanku. Cairan berwarna merah. Mataku terbelalak. Aku batuk berdarah. Berry
segera menghampiriku setelah itu.
“ Istirahat dulu, Ber. Badan lo masih lemes.” Berry menghampiriku dan mencoba
membujukku untuk tidur kembali. Aku mengabaikan bujukan Beery dan menghampiri dokter
yang masih berdiri di tempatnya berdiri tadi.
“Benarkah saya terkena penyakit kanker, dok?” Tanyaku pada dokter mencoba meyakinkan
pendengaranku tadi.
“ Ya.” Jawab dokter memandangku tegas.
“Berapa lama lagi waktu hidup saya?” Tanyaku lagi.
“ Apaan sih, Ngga!nanya-nanya pertanyaan kayak begitu?” kata Berry dari belakang. Aku tak
menghiraukan perkataan Berry.
7
“ Tolong jawab pertanyaan saya, dokter.” Kataku lagi. Kurasa nafasku makin tak teratur, aku
terengah-engah dan kepalaku mulai pening.
“ Jika dilihat dari hasil diagnosa, berdasarkan tingkat penyebaran sel kankernya kepada
jaringan dan organ tubuh lain. Tingkat system pertahanan tubuh anda mungkin hanya mampu
bertahan untuk beberapa hari saja. Tidak bisa dipastikan. Namun saya kira, anda masih
mampu bertahan hidup hanya dalam waktu tiga minggu saja.” Jelas dokter. Mendengar itu
kakiku lemas. Aku pun terduduk ke lantai, aku tertegun, suaraku tertahan di tenggorokan.
Aku coba cubit kulit tanganku sekeras mungkin. Sakit sekali rasanya. Oh, tidak! Ini memang
bukan lagi mimpi. Ini benar-benar kenyataan. Kurasakan kematian mengelilingi daerah
sekitarku sekarang dan siap untuk menyergapku kapan saja. Aku terbatuk lagi lebih keras.
Dadaku terasa semakin sesak, tanganku mulai berlumur darah yang muncrat dari mulutku.
Berry berlari panik menghampiriku. Kemudian semuanya kembali terasa dingin, gelap dan
hening.
***
Di malam hari, aku terdiam membisu di atas ranjang di kamarku. Berry duduk di sampingku.
“ Lo seharusnya dirawat di rumah sakit. Di sana lo bakal dapet perawatan yang layak dan
sesuai. Ngapain juga sih lo maksa-maksa pulang ke kost-an? Keadaan lo udah
mengkhawatirkan. Lo bikin gue gelisah tau, gak! Gue sih mau jagain lo, tapi gue gak bisa
tiap saat temenin lo juga kayak perawatan di rumah sakit, Ngga. Gue kuatir sama lo, Ngga.”
Kata Berry memelas.
“ Ngapain di rawat di rumah sakit? Toh akhirnya entar gue mati juga tiga minggu lagi.
Dokter aja udah nggak bisa bilang apa-apa dan ngelakuin apa-apa untuk nyembuhin kanker
gue. Terus ngapain lagi gue harus buang-buang duit buat dirawat di rumah sakit? Hasilnya
kan gue mati juga nanti. Buang-buang duit, buang-buang waktu. Gak berguna semuanya!”
Jawabku ketus pada Berry.
“ Ya bukan berarti lo habisin sisa hidup lo buat putus asa sama nyiksa diri juga kali! Kalo
berusaha apa salahnya sih? Yang tahu kematian seseorang itu kan Tuhan bukan dokter,
Ngga!” Sanggah Berry. Aku pun menoleh padanya. Berry masih menatap wajahku yang
pucat lesu dan bermata sayu.
“ Gue punya satu permintaan terakhir.” Kataku pada Berry.
8
“ Gak mesti lo bilang-bilang terakhir! Kenapa sih lo jadi sok tau gini? Whoy! Lo tuh masih
punya harapan, Ngga!” Tanggap Berry ngotot.
“ Lo masih nganggep gue sahabat, kan?” Tanyaku pada Berry.
“ Becanda, lo! Lo pikir gue serendah itu, ninggalin lo dalam keadaan kayak gini? Enggak lah!
Gue masih sahabat elo, apapun alesannya.” Jawab Berry tegas.
“ Kalo gitu lo mau gak bantu gue? Penuhin satu aja permintaan gue. Sebelum gue pergi dari
dunia ini.” Kataku lagi. Berry terdiam menatapku tak menjawab.
“ Sebelum gue kuliah di Jakarta, ada seseorang yang membuat gue kuat dan semangat dalam
menjalani hidup. Bagi gue, dia itu malaikat penyelamat gue. Bukan hanya itu, dia adalah
bidadari gue yang paling cantik. Gue cinta mati sama dia. Gue sayang banget sama dia. Tapi
sayang, ketika gue ungkapkan perasaan gue, dia malah nolak cinta gue. Gue hancur.
Akhirnya gue putusin buat pergi kuliah ke Jakarta, dengan harapan bisa segera lupain dia.
Tapi ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Gue malah makin sayang sama dia, gue makin
gak bisa lupain dia. Semakin gue manghindar semakin wajah dia gak pernah hilang dari
benak gue. Setelah S1 sebenernya gue rencana pengen ngelamar dan nikahin dia. Ck…
haha… tapi ternyata hidup gue cuma tinggal tiga minggu lagi…” Berry mendengarkan
ceritaku dengan seksama.
“ … dan cuma satu keinginan yang gue punya sekarang. Gue harap elo bisa bantu gue…
Dengan kondisi badan yang kayak gini, gue gak bisa lakuin semua ini sendiri. Please,
Berry… bantu gue.” Mohonku pada Berry. Berry menghela nafas setelah mendengar
ceritaku.
“ Dimana malaikat lo itu? Siapa namanya? Biar gue susul orangnya buat nemuin elo.” Kata
Berry.
“ Namanya Selvy. Dia tinggal di sebuah pesantren di Cilegon. Nanti gue kasih lo alamat
lengkapnya. Beneran lo mau bantuin gue?” Tanyaku. Berry mengangguk mantap.
“ Thank you banget, Ber! Lo emang sahabat gue yang paling baik!” kataku agak senang.
“ Terus gue bawa cewek lo itu ke kost-an ini nanti?” Tanya Berry.
“ Jangan, bawa aja ke gedung yang lagi di bangun, yang gak terlalu jauh dari kampus kita. Lo
juga temenin gue nanti.” Kataku.
9
“ Yakin lo kuat kesana buat nemuin dia?” Tanya Berry.
“ Apapun bakal gue lakuin demi bisa ketemu sama dia.” Tegasku.
“ Oke deh kalo gitu.” Tanggap Berry.
“Thank you, Ber!” Kataku sambil tersenyum.
***
10
CHAPTER 3
Malaikatku
Hari demi hari, keadaanku semakin buruk saja. Badanku semakin kurus, dan semakin
banyak obat-obatan yang harus aku minum. Bagaimanapun, Berry tetap memeriksakanku ke
dokter secara rutin. Dan entah karena hidupku memang sudah sebentar lagi, badanku kian
waktu kian melemah saja. Sudah dua minggu aku tidak masuk kuliah dan terbaring di atas
tempat tidur. Berjalan pun sudah agak sulit bagiku jika tidak ada penyangga. Tapi niat hatiku
masih tetap kuat untuk bertemu dengan pujaan hatiku yang masih sangat kusayangi. Aku
takkan menyerah dan tenang sebelum bertemu dengannya. Sebenarnya aku ingin sekali
menemani Berry untuk menjemputnya langsung ke Cilegon. Namun tentu saja, Berry
bersikeras melarangku.
“ Udah, lo istirahat aja di sini! Hemat tenaga lo! Jangan tambah-tambahin kegelisahan dan
kekhawatiran gue! Gue bakal bawa si Selvy sampe ke Jakarta dengan selamat dan aman!
Percaya sama gue!” tegas Berry padaku mencoba meyakinkan. Aku mencoba untuk tetap ikut
namun Berry berskeras menolak. Ia semakin marah ketika aku semakin memaksanya.
Akhirnya aku mengalah, aku biarkan Berry pergi sendirian ke Cilegon dan aku akan
menunggu di Jakarta sampai Selvy dan Berry kembali.
***
Sudah satu jam yang lalu Berry berangkat dari Jakarta menaiki Bus menuju Cilegon. Aku
masih terbaring di atas ranjang tidurku dan menunggu. Termenung, menatap langit-langit
atap. Hanya wajahnya yang cantik yang terus menerus menari-nari di benakku. Jantungku
berdegup begitu kencang menunggu kedatangannya. Ku kenang kembali masa laluku saat
bersamanya dulu. Semuanya terasa begitu indah sebelum aku pergi. Aku pun tenggelam
dalam lamunanku, sampai tiba-tiba telepon genggamku bordering dan mengagetkanku. Ku
tengok layar handphoneku. Ternyata itu Berry.
“ Halo, Ber.” Angkatku.
“ Gue dah mau nyampe, nih beberapa kilometer lagi.” Kata Berry.
“ Oke, ti ati ya.” Jawabku singkat.”
11
“ Ya, sip. Wah… bro, ngantuk banget nih gue di bus.” Kata Berry mencoba memulai topic
lain.
“ Ya udah tidur aja, sih. Minta aj ke kondekturnya buat bangunin lo kalo udah nyampe ke
tempat tujuan lo nanti.”
“ Hm-em. Cuman ada pertanyaan yang bikin gue penasaran dari tadi.” Suara Berry terdengar
heran.
“ Apa?” Tanyaku.
“ Si Selvy tuh sekarang dah punya pacar belom, sih?” Tanya Berry to the point.
“Ya, dia udah punya cowok.” Jawabku ringan.
“ Lha?! Lo kok kagak bilang dari awal? Terus gimana gue bisa bawa si Selvy kalo ada
cowoknya? Yang ada gue bisa dihajar, Ngga!” Protes Berry agak panik dan kesal.
“ Please, Berry! Gue percaya sama lo! Lo kan cerdik kayak tukang tipu! Lo juga ikut ekskul
kung fu, lo pasti bisa bawa dia ke Jakarta buat gue Berry….!” Mohonku memelas.
“Heh, sembarangan lo ngatain gue tukang tipu!”
“ Maksud gue elo tuh cerdas banyak taktiknya, Ber! Ayolah, gue cuma punya harepan di elo.
Dan elo satu-satunya yang gue percaya!”
“ Heeeeuh, kalo lo gak sakiiit aja udah gue…” TUUUT TUUUT…Tiba-tiba telepon terputus.
Aku memindahkan handphoneku yang menempel di telinga sambil berekspresi agak
kebingungan. Tak lama kemudian satu pesan masuk ke inbox ku.
“ Sorry pulsa gue abis, nih. Lo tunggu aja! Gue bakal usahain buat ketemu sama dia hari ini
juga. Gue cari deh alamat yang lo kasih setelah turun. Tapi gue gak janji banyak sama lo
juga, tugas ini gak mudah, cuy. Masalahnya yang gue bawa ke Jakarta itu bukan sekarung
sayur, yang gue bawa ni sesosok cewek yang juga udah punya cowok demi permintaan gila
dan nekat lo! Semata-mata gue lakuin ini karena kondisi lo. Gue minta lo berdoa aja. Apapun
hasilnya, yang jelas gue di sini berusaha sebaik mungkin.” Kata Berry lewat sms. Aku pun
membalasnya dengan singkat.
12
“ Lo sahabat terbaik yang pernah gue kenal. Makasih, Bro! Maafin gue kalo gue ngerepotin
elo kali ini. good luck!” dan ku pencet tombol send ke nomornya. MESSAGE DELIVERED!
***
Semua itu berawal dari pertemuanku dengannya pertama kali. Saat itu aku masuk ke
pesantren untuk melanjutkan sekolahku. Lalu tiba-tiba aku melihat seorang gadis melintas di
depanku pelan. Ia sempat melihat ke arahku selintas dan mata kami bertemu. Momen itu
hanya berlangsung beberapa detik namun selalu terekam kuat di memoriku. Tak henti-
hentinya rekaman itu diputar kembali di pikiranku. Semuanya diputar dalam gerak slow
motion. Saat pertama kali aku melihatnya, entah mengapa hatiku langsung bergetar dan
seakan hatiku sudah terjerat. Lalu tak henti-hentinya potret wajahnya hadir dibenakku setiap
saat. Tak kenal pagi, siang atau pun malam. Sedang belajar, makan, tidur atau pun di kamar
mandi. Hanya wajah dia yang ku ingat meski ku berusaha sekeras mungkin untuk
menepisnya. Aku sama sekali tak bisa melupakannya. Akhirnya aku menyadari bahwa
sebenarnya aku sudah jatuh cinta padanya pada pandangan yang pertama. Dan aku pun
menyadari bahwa aku sudah terlalu tergila-gila padanya. Aku tersiksa memendam perasaan
ini terus. Aku benar-benar tak bisa menghilangkan wajahnya dari pikiranku. Akhirnya suatu
malam sudah mantap kuputuskan. Pada esok harinya di sekolah, aku akan menyatakan
perasaan ini padanya!
Akhirnya keesokan harinya aku menemuinya di taman sekolah. Saat itu hari begitu
cerah, kutemukan dia sedang duduk di atas bangku di taman kecil sekolah. Dengan mencoba
menyembunyikan rasa gugupku, aku pun menghampirinya dan duduk di sampingnya. ia
masih terdiam setelah aku berada di sampingnya. akhirnya ku beranikan diri untuk
menyapanya.
“ Hey…” sapaku.
“ Hey.” Balasnya sambil tersenyum. Oh, tak ada yang mampu menandingi keindahan
senyumannya saat itu padaku.
“ Eh…. Emm…. Keganggu gak?” Tanyaku.
“Enggak kok.” Jawabnya. Mendengar jawabannya aku sudah merasa senang sekali.
Kemudian aku memandang wajahnya.
13
“ Kamu cantik juga ya ternyata. Wajahmu kamu tuh indah loh, kayaknya dibalik kerudung
kamu juga terurai rambut yang indah.” Ucapku terkesima menatap wajahnya yang bercahaya
siang itu.
“ Alah, gombal kamu, nih.” Tanggapnya singkat. Setelah mendengar jawabannya entah
mengapa aku merasa pesimis. Karena ekspresi wajahnya yang terlihat biasa saja
menanggapiku. Rasa pesimis menggerogotiku.
“ Eh, dibilangin gak percaya kamu ini. Ya udah kalo gitu aku pergi dulu, ya. Dah…” Pamitku
padanya.
“ Oke.” Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya.
Sungguh setelah kejadian itu aku merasa begitu malu dan merasa bahwa aku tidak akan
mungkin bisa mendapatkannya. Namun aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku tak bisa
lagi menahan perasaanku, aku tersiksa dan aku ingin segera mengungkapkannya. Demi
melepaskan semua beban hati ini akhirnya ku tuliskan surat untuknya. Kuungkapkan semua
yang kurasa di atas kertas itu untuknya. Aku sudah tak peduli lagi apa jawaban darinya, apa
yang akan dia katakan. Yang penting dari semuanya adalah dia sudah tahu akan perasaanku
ini yang semakin hari semakin menyiksaku. Dan akhirnya surat itu pun selesai ku tulis. Esok
harinya ku titipkan surat itu lewat teman baiknya.
Satu hari berlalu, namun belum kuterima balasan surat darinya. Aku mulai gelisah. Akhirnya
ku tulis kembali surat untuknya,
Dear my angel,
Maafkan aku, kalau kehadiran suratku yang kedua ini malah mengganggu aktivitasmu. Tapi
aku tak sanggup membendung semua ini. Sungguh, aku tak pernah merasakan perasaan
semacam ini sebelumnya. Tidak pada wanita mana pun. Sampai akhirnya aku bertemu
dengan kamu. Bagaikan malaikat cinta, seketika kamu sudah berhasil mencuri hatiku, kau
curi sebagian jiwaku, dan kau membuat perubahan besar dalam hidupku. Kau selalu hadir di
setiap malamku, bahkan kau selalu hadir dimanapun aku berada. Sejujurnya, aku ingin
sekali kamu dapat hadir di dalam hidupku dan mengisi hatiku dengan namamu.
Ku mohon kepadamu, jawablah suratku ini. Aku tak berharap kau menerima cintaku. Namun
aku membutuhkan balasan darimu. Setidaknya aku bisa tahu apa yang kamu rasakan tentang
14
aku. Karena aku terus menunggu-nunggu balasan darimu sejak kemarin. Jawablah suratku,
karena aku terlalu lemah untuk mengungkapkan semua ini di depanmu.
Keputusanmu akan menjadi hal terindah bagiku, apalagi jika kau memiliki perasaan yag
sama dan mengizinkanku untuk mengisi hatimu, aku pasti akan sangat senang. Namun aku
mengerti bahwa cinta itu hadir tanpa paksaan. Dan aku harap, kau akan menjawab suratku
ini tanpa paksaan dari siapapun.
By : Angga Pratama
Setelah kukirimkan surat kedua padanya, akhirnya ia pun membalas suratku.
Dear Angga Pratama,
Mohon maaf sebelumnya, aku tidak bisa menerimamu hadir di dalam hatiku, karena aku
belum memiliki perasaan apapun yang lebih terhadapmu. Ku harap kamu bisa menerima
keputusanku ini.
Sebenarnya aku hanya ingin menganggapmu sebagai kakakku saja dan tak lebih dari itu.
Sebab, apabila kita menjadi sepasang kekasih, kemudian ada saat-saat kita tidak lagi
bersama, nantinya kita akan saling membenci. Dan aku tidak ingin itu terjadi.
Sekali lagi aku minta maaf, dan terima kasih kamu sudah mau menyayangiku…
By : Selvy Anggraeni
Setelah selesai membaca surat balasan darinya, aku tak kuasa menahan air mata. Aku merasa
kehilangan arah dan tak tahu harus berbuat apa lagi. Malam pun datang begitu cepat, aku
terdiam dan frustasi akibat patah hati. Tiba-tiba malam itu aku membeli sebotol minuman
yang belum pernah kusentuh sebelumnya, dan dengan tanpa pertimbangan aku meminum
habis minuman itu. Aku pun mabuk semalaman tanpa ada sedikit pun rasa penyesalan. Ketika
fajar menjelang, temanku membangunkanku untuk bersiap-siap berangkat sekolah, namun
aku tidak mau.
Setelah seminggu berlalu, aku mencoba untuk melupakannya, tapi semakin aku mencoba,
malah semakin kuat rasa sayangku padanya. Dan waktu berlalu begitu cepat, hingga akhirnya
aku berjanji, jika memang aku tak bisa mendapatkannya kali ini, maka aku akan
15
mendapatkannya suatu saat nanti. Dan harapanku, sebelum aku menutup mata, orang yang
kulihat terakhir kali di sampingku adalah dia.
***
“ Maaf, kamu bener yang namanya Selvy Anggraeni?” Tanya Berry pada seorang gadis di
depannya, mencoba untuk meyakinkan. Gadis itu mengangguk dengan ekspresi heran dan
bingung.
“ Boleh kita bicara sebentar? Mungkin kamu gak tahu aku tapi aku tahu siapa kamu.” Tanya
Berry halus. Gadis itu belum memberikan jawaban dan masih memandang Berry curiga.
“ Aku Berry, sahabatnya Angga Pratama, cowok yang pernah nembak kamu dulu waktu di
pesantren. Aku datang dari Jakarta, dan Angga itu temen satu kampus aku. Ada alasan
mendesak kenapa aku datang kesini nemuin kamu tanpa ditemenin Angga. Kamu harus baca
ini!” kata Berry sambil membuka tasnya dan menyerahkan sebuah berkas ke hadapan gadis
itu. Berkas itu adalah hasil diagnosa dokter atas penyakit Angga. Gadis itu mengambil
berkasnya perlahan dari tangan Berry dengan wajah masih keheranan.
“ … Apa ini?” Tanyanya pelan.
“ Baca aja.” Jawab Berry singkat.
“ Ya udah, gak enak ngobrol di pinggir jalan. Kita obrolin ini di rumahku aja.” Gadis
bernama Selvy ini pun mulai mencairkan suasana.
“ Oh, oke.” Tanggap Berry lega.
Ditemani oleh teh hangat dan sepiring pisang goreng di atas meja ruang tamu, Berry
melihat ekspresi wajah Selvy yang terkejut dan terpaku setelah membaca berkas yang ia
berikan tadi. Selvy menutup berkas itu pelan dan menghela nafas panjang. Kemudian ia
arahkan pandangannya pada Berry, dan Berry terlihat siap menanggapi apapun yang
dikatakan Selvy padanya.
“ Angga… mengidap kanker Paru-paru?” Tanya Selvy dengan wajah masih setengah tidak
percaya. Berry mengangguk.
16
“ Sudah berapa lama?” Tanya Selvy lagi.
“ Entahlah. Penyakitnya baru ketahuan dua minggu yang lalu waktu dia kubawa ke rumah
sakit setelah sebelumnya jatuh pingsan di kantin. Setelah dilakukan pemeriksaan, hasilnya ya
sesuai dengan yang tertera di berkas itu.” Jawab Berry.
“ Lalu dimana dia sekarang? Bagaimana kabarnya?” Tanya Selvy kembali.
“ Angga sekarang masih ada di Jakarta, di kost-annya. Dia enggan dirawat di rumah sakit.
Dia juga gak mau orangtuanya tahu soal penyakitnya dia. Semakin hari kondisinya makin
parah, badannya makin melemah, makan juga udah susah. Tapi aku tetap memaksakan untuk
mengecek keaadaan dia ke dokter.” Jelas Berry.
“ Itu konyol! Kenapa dia harus sembunyikan soal itu dari orangtuanya? Kenapa juga dia tidak
mau dirawat di rumah sakit?” sanggah Selvy.
“ Kau tidak tahu. Ia hanya tidak mau membuat orangtuanya khawatir dan sedih. Dirawat di
rumah sakit baginya adalah sia-sia saja.”
“ Apa maksudmu sia-sia? Rumah sakit punya fasilitas yang layak untuk merawat dia dan
mencegah penyebaran penyakitnya! Sia-sia adalah alasan yang tidak logis! Dan kau datang
jauh-jauh kesini menemuiku atas permintaannya dan berharap bahwa aku akan menjadi obat
penyembuh kanker yang diidapnya, begitu? Jangan bodoh! Itu mustahil! Aku bahkan bukan
seorang dokter! Tak ada yang bisa kulakukan untuk menyembuhkannya!” Ujar Selvy
setengah membentak.
“ Memang siapa yang memintamu untuk menyembuhkannya?” Tanya Berry dingin.
“ Lalu untuk apa kamu datang ke rumahku?” Tanya Selvy lagi.
“ Dua minggu lalu dokter bilang bahwa hidup Angga tinggal 3 minggu lagi. Sekarang sudah
lewat dua minggu setelah pemeriksaan Angga pertama kali. Itu artinya, hidup Angga tinggal
satu minggu lagi. Dan keinginan terakhirnya hanyalah ingin bertemu dengan kamu untuk
terakhir kali sebelum dia mati. Dia rindu sama kamu. Dan cuma itu yang dia mau. Karena dia
udah ikhlas jika kematian sebentar lagi bakal menjemputnya. Makanya, dia bilang dirawat di
rumah sakit juga sia-sia, karena dokter saja sudah tak terlalu memberi dia banyak harapan.
Dia cuma pengen liat wajah kamu sekali lagi, Vy. Cuma itu.” Jelas Berry. Selvy terdiam
mendengar penjelasan Berry.
17
“ aku gak tega ngeliat dia semakin hari semakin melemah. Tiap hari aku liat dia batuk-batuk
berdarah. Jalan pun udah terbungkuk-bungkuk bahkan butuh alat penyangga. Tadinya juga
dia maksa mau datang kesini buat nemuin kamu langsung. Tapi aku marahin dia dan suruh
dia tetep stay di Jakarta untuk istirahat sampe aku bawa kamu ketemu sama dia nanti. Aku
gak tega ngeliat sahabatku sendiri kesiksa kayak gitu, Vy. Bukan fisiknya aja yang kesiksa
akibat penyakit. Hatinya juga tersiksa banget karena sampai detik ini dia masih juga sayang
sama kamu dan gak bisa lupain kamu.” Tambah Berry meyakinkan. Selvy memandang Berry
penuh tanda tanya dan dengan air muka yang bimbang. kemudian ia menunduk. Berry terlihat
deg-degan menunggu putusan Selvy, jika Selvy bilang tidak, sia-sia saja dia datang jauh-jauh
dari Jakarta, dan kondisi Angga tentunya akan semakin mengkhawatirkan!
***
18
CHAPTER 4
I’m Sorry Mom
Aku masih tenggelam dalam lamunan. Kini tidak hanya wajah Selvy yang terbayang, setelah
tanpa sengaja pandanganku mengarah ke sebuah binder milik Berry yang tergeletak di atas
meja belajarnya yang tertempel sebuah foto bergambarkan seorang anak memakai toga yang
berfoto bersama ayah dan ibunya [Mungkin itu foto kakaknya Berry yang Berry pasang
sebagai obat rindu atau motivasi untuknya selama kuliah], Sontak wajah ibu dan ayahku
melintas dalam benakku. Aku putar kembali rekaman masa lalu, mengenang kembali
senyuman dan sentuhan hangat ibuku, suaranya yang lembut penuh kasih yang menaruh
harapan beserta doa kebaikan padaku, kemudian wajah ayahku terbayang dengan tatapan
tegas ke arahku, sosok yang menginginkanku menjadi pribadi dewasa dan membanggakan
keluarga dengan belajar di luar kota dan jauh dari orang tua, yang menginginkanku untuk
menjadi anak yang cerdas dan pandai, kemudian suatu hari akan dengan bangga memakai
toga dan berdiri tegap di antara ibu dan ayahku untuk berfoto bersama seperti foto kakaknya
Berry yang aku perhatikan tadi.
Dadaku mulai terasa sesak ketika memory itu semakin membuncah terbayang dan membabi
buta berkeliaran di pikiranku. Tenggorokanku terasa kering, mataku mulai berair dan terasa
panas. Aku mulai terbatuk-batuk dan darah kembali muncrat dari mulutku. aku ambil sehelai
tisu untuk mengelapnya dan bersusah payah mencoba untuk bangun dari ranjangku. Aku
ingin minum, namun tanganku gemetaran, dan ku coba paksakan tanganku untuk meraih
gelas yang ada di atas meja. Kepalaku rasanya pusing sekali, tiba-tiba saja, PRANK!
Tanganku yang gemetar dan aku yang kewalahan karena kehabisan tenaga malah
menyenggol gelasnya sampai jatuh. Aku terkejut, badanku terasa semakin lemas dan nafasku
semakin tersengal-sengal, suara jantungku terdengar hingga ke telinga bahkan peningnya
kepalaku yang rasanya seperti dipukul-pukul palu seakan-akan membunyikan sirine super
berisik di telingaku. Aku coba atur nafasku agar lebih tenang dan menyandarkan tubuhku.
Kanker ini sungguh memutus asakanku. Untuk mengambil gelas pun perjuangannya setengah
mati seperti lomba lari sprint seratus meter. Untuk beberapa menit aku masih belum beranjak
dari ranjangku untuk menenangkan pernapasanku. Setelah cukup tenang dan agak
mengumpulkan sedikit tenaga aku bangun dari tempat tidurku, berjalan terseret seret untuk
19
mengambil gelas baru dan mengisinya melalui dispenser. Kerongkonganku sungguh
membutuhkan air saat itu.
Beberapa tegukan air sudah cukup membasahi kerongkonganku yang terserang dahaga
sebelumnya. Kini aku kembali terbaring di atas kasurku sambil terbayang-bayang akan wajah
ayah dan ibu. Ada gejolak rindu yang mencuat dari hatiku. Akhirnya kugenggam
handphoneku dan ku cari sebuah nomor kontak bertuliskan “My Lovely Mother”. Sempat
terbesit di kepalaku memori buruk soal pertengkaran antara ayah dan ibu sebelum aku pergi
ke Jakarta karena masalah keluarga yang membuatku hampir mengurungkan niatku untuk
menghubungi ibu. Namun karena jika dihitung waktu hidupku tinggal satu minggu (menurut
perhitungan dokter), akhirnya ku pencet tombol “Call”.
“ Hallo, Assalamu’alaikum, Angga.” Terdengar suara lembut dari seberang sana. Jantungku
rasanya mau berhenti, dan entah mengapa tiba-tiba saja ada butiran air yang jatuh dari
kelopak mataku.
“Hallo, Wa’alaikum salam, bu.” Jawabku pelan.
“ Tumben nelepon, Ngga? lagi luang ya? Gak ada tugas kuliah yang harus dikerjain?” Tanya
ibuku halus.
“ Enggak, bu. Angga lagi istirahat aja. Bu, Angga kangen banget sama ibu.” Jawabku sambil
tersenyum haru.
“ Kangen? Lah, tumben amat Angga bilang kangen sama ibu? Baru kali ini.” Kata Ibunya
agak sedikit tertawa renyah.
“ Hehehe, iya. Angga pengen rasanya ibu ada di sini sekarang.” Jawabku lagi.
“ Lho? Eh, kenapa suara kamu kedengerannya lemes sekali? Kamu lagi sakit? Gimana kabar
kamu di sana, Ngga? sehat?” Tanya Ibu yang mulai menangkap keanehan dari suaraku yang
lesu yang terdengar tidak seperti biasanya. Aku terdiam mendengar pertanyaan itu. Bingung
harus menjawab apa. Harus jujur ataukah tidak mengatakan yang sebenarnya?
“ Eh…” gumamku.
“Angga sehat-sehat aja, kan?” Tanya ibu.
20
“ ….. Iya Angga baik-baik aja koq, bu.” jawabku dengan nada senatural mungkin sambil
mencoba untuk tersenyum.
“ Alhamdulillah, syukurlah. Akhir-akhir ini ibu tuh kok aneh kepikiran sama kamu terus.
Pernah mimpiin kamu juga. Jadi rada khawatir kemarin-kemarin tuh. Tapi Alhamdulillah
sekarang mah lega dah denger kamu sehat-sehat aja di sana. Moga sukses ya, nak ya?
Dilancarkan belajarnya di sana…” ujar ibuku. Mendengar itu aku menelan ludah. Kembali
terdiam, mencoba mencari jawaban atas statemen ibuku tadi.
“…. Iya, amiiin.” Kataku sambil agak tersenyum. Hanya itu yang mampu terucap dari
mulutku.
“ Ada masalah gak di sana, Ngga?” Tanya ibuku lagi.
“ Enggak,….. UHUK UHUK UHUK!” Tiba-tiba aku terbatuk keras.
“ Eh, Angga! Kamu lagi sakit?!” Tanya ibu yang mulai panic mendengar batukku yang
semakin keras dan tak berhenti. Aku pun panik kenapa tiba-tiba saja begini?
“ E… UHUK UHUK… Enggak, bu ini Cuma batuk biasa. UHUK UHUK!” Aku mencoba
beralasan, tapi kurasa suara batukku akan mengacaukan alasan itu.
“ Angga… Angga kamu sakit apa? Itu kenapa batuknya parah begitu?! Angga…” Ibuku
memanggil-manggil lewat telepon. Aku tak sanggup menjawab lagi, dadaku sesak dan
badanku terasa ambruk, kini pandanganku kembali menghitam dan ruang kian sunyi.
“ Angga…!” Ibuku tetap memanggil meski aku sudah tak sadarkan diri.
***
Pelan-pelan mataku yang terpejam mulai terbuka. Sinar lampu menyilaukan pandanganku.
Kok ruangan ini terang sekali? Dimana aku? Belum sempat kuucapkan kata-kata apapun.
Aku masih mencoba menerka dimana aku berada sekarang. Mengapa di sini terang sekali?
Apakah aku sudah meninggal sebelum waktu yang dokter perhitungkan? Rasa kasur yang
kutiduri pun berbeda, lebih empuk. Dan aroma ruangan yang… agak seperti ada aroma-
aroma obat yang berseliweran… ah… jangan-jangan ini…
21
“ Angga, kamu sudah bangun, nak?” suara seorang wanita yang sangat kukenal baru saja
terdengar oleh telingaku. Apa aku sedang bermimpi? Yang benar saja, dimana sih aku
sekarang? Aku yakin tadi itu suara ibu! Akhirnya aku menoleh ke arah suara itu berasal,
“ Ibu…?” Tanyaku masih lemah.
“ Angga, gimana kabarmu?” tiba-tiba kudengar lagi suara lembut yang menyapaku. Yang
membuat bulu kudukku berdiri dan jantungku makin berdebar hebat. Suara itu, suara itu…
sungguh familiar… suara yang sangat aku rindukan selama ini… aku menolehkan kepalaku
ke arah yang lain. Seorang gadis berdiri di samping ranjangku, ia tersenyum manis… manis
sekali. Ah, bahkan aku merasa saat itu sudah sampai di surga dan baru saja bertemu dengan
bidadari. Sungguh aku tak mau bangun jika ini mimpi!
“ S… Sl… Selvy…?” gumamku. Selvy tersenyum memandangku. Aku bingung harus
berkata apa.
“ Aku ada dimana? Bukannnya sebelumnya aku ada di kost-an? Terus kok ibu sama Selvy
bisa ada di sini? Sama aku?” tanyaku bingung dan linglung dengan nada yang masih lesu.
“ kamu ada di rumah sakit, sayang. Kamu udah gak sadarkan diri selama tiga hari. Ibu baru
datang kemarin lusa ke Jakarta. Berry yang pertama kali nemuin kamu terbaring gak sadarkan
diri di kost-an, dia langsung bawa kamu ke rumah sakit.” Jawab ibuku. Aku alihkan
pandanganku ke seluruh ruangan, hanya ada ibu dan Selvy di ruangan ini. Dan beberapa
suster dan dokter yang terlihat berlalu lalang di depan ruangan.
“ Terus Berry dimana sekarang?” tanyaku.
“ Lagi ngurus administrasi sekalian jemput ayah dan adik kamu. Bentar lagi datang ke sini.”
Jawab ibuku.
“ Kenapa jadi Berry yang repot ngurusin administrasi? gak enak malah ngerepotin sahabat
sendiri. Dah ku bilang dari awal aku gak mau masuk rumah sakit!” Dengusku. Ibu terdiam
mendengar kata-kataku.
“ Siapa yang gak khawatir liat kamu gak sadarkan diri selama 3 hari? Kami cuma orang biasa
yang bukan dokter. Mana mungkin kami biarkan kamu gitu aja tergeletak sakit tanpa kami
ketahui sebabnya. Kami gak bisa lakukan apa-apa buat nyembuhin kamu, makanya kami
bawa kamu ke rumah sakit.” Selvy menjelaskan. Aku memandangnya sebentar kemudian
22
berpaling. Tak ada kata-kata apapun yang terucap dari mulutku. dan Selvy terlihat kehabisan
kata-kata.
“ ANGGA! Dah sadar lo?” Suara itu mengejutkanku, suara yang berasal dari mulut pintu.
Aku menoleh ke arah suara itu, sudah kuduga. Itu adalah Berry. Tapi tunggu, Berry tidak
datang sendiri. Ia datang bersama Ayah dan Adik kecilku Anggi. Aku tertegun memandang
mereka. Kemudian Berry, Ayah dan Anggi segera menghampiriku.
“ Haduh, akhirnya lo sadar juga! Gue dah tegamg banget gila!” Ujar Berry.
“ Heh? Gue pikir gue juga udah mati duluan.” Jawabku.
“ Kak Angga! Hiks, Kak Angga kenapa?” Anggi berlari ke arahku dan memelukku,
menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Anggi adalah adik yang paling aku sayang.
Setiap aku pulang ke rumah aku pasti akan mengajaknya main atau membelikan makanan-
makanan kesukaannya. Aku suka sikapnya yang manja padaku. Kini dia masih kelas 4 SD,
dan aku begitu merindukannya. Hampir saja mata ini menangis karena meluapkan rasa rindu
kepada orang-orang yang kucintai yang kini berada di sini bersamaku. Dan semakin ingin
menangis mengingat waktuku tinggal sebentar lagi.
“ Gimana kabar kamu, dek? Lancar gak belajarnya di sekolah? Maaf sekarang kakak belum
bisa ajak kamu jalan-jalan ya, sayang? ” sapaku sambil mengusap kepalanya lembut. Anggi
hanya menangis sambil masih tetap memelukku. Kini pandanganku terarah ke Ayah yang
juga berdiri di sampingku. Aku tatap wajahnya, kini tatapan mata ayah berbeda. Tidak tegas,
tidak tajam, tidak galak seperti saat-saat ia bertengkar dengan ibu atau saat ia selalu
memarahiku karena aku belum kunjung dewasa juga mandiri dan membahagiakan mereka.
Kini pandangannya justru terlihat prihatin, bercampur sedih, sungguh berbeda. Ia mencoba
untuk mengatakan sesuatu padaku, namun seakan-akan ia berpikir keras akan kata-kata yang
hendak ia sampaikan padaku. Kami saling pandang dan terdiam lama. Ia masih menatapku,
akhirnya kata-kata pun keluar dari mulutnya,
“Maafkan, Ayah, Ngga.” Ucap Ayahku, suaranya terdengar berat. Ayahku menghela nafas
panjang. Ada kesedihan yang tersirat di setiap helaan nafasnya. Aku pun tersenyum.
“ Maafin Angga juga, yah. Belum bisa bahagiain Ayah sama ibu sekarang atau mungkin
nanti.” Jawabku sambil menitikkan air mata. “ Terima kasih semuanya sudah mau hadir di
sini bersamaku.” Tambahku sambil tersenyum.
23
CHAPTER 5
My Last Dream
Tiga hari tersisa sebelum aku menutup mata untuk selamanya, aku sudah cukup bahagia bisa
bertemu kembali dengan orang-orang yang kucintai. Meski tak terbayang bagiku bagaimana
dan seberapa berat penderitaan yang akan kuhadapi saat berhadapan dengan ajal nanti. Kini,
aku bersyukur karena aku merasa agak sedikit bugar. Maksudku, sudah lumayan aku bisa
bangkit dari ranjang dan Selvy mengajakku berkeliling di taman rumah sakit di pagi hari.
Aku menduduki kursi roda dan Selvy yang mendorongku sepanjang jalan. Perasaanku saat itu
adalah di antara bahagia dan menderita. Ah, aku bingun bagaimana harus
menggambarkannya. Ku rasa kau pun tahu alasannya. Aku belum bicara banyak sejak
beberapa hari yang lalu. Bahkan kepada Selvy pun begitu.
Di sepanjang lorong rumah sakit Selvy mendorongku dengan santai. Aku pura-pura
menikmati pemandangan orang-orang yang sibuk berseliweran di sekitarku. Bosan melihat
pemandangan monoton itu, aku pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Selvy.
“ Kenapa kamu mau di ajak Berry ke sini, Vy?” Tanyaku membuka pembicaraan tanpa
menoleh ke arah wajahnya.
“ Berry datang baik-baik, menjelaskan kondisi kamu sekarang. Kebetulan aku juga ada
paman di Jakarta, jadi aku bisa izin ke orangtua dengan alasan jenguk teman yang lagi sakit
sekalian silaturahim sama keluarga pamanku di Jakarta. Sekarang aku menginap di sana
selama di sini.” Jawab Selvy halus.
“ Oh, kirain dia nyulik kamu.” Responku santai.
“Nyulik?” Tanya Selvy bingung.
“Hehe, enggak. Rencana awal tadinya sih mau gitu. Tapi baguslah Berry pinter.” Jawabku.
“ Maksud kamu?” Tanya Selvy makin bingung.
“ Enggak, lupain aja. Nggak penting.” Jawabku.
“ Ngga?” Selvy hendak bertanya.
“ hm?” gumamku.
24
“ Kamu percaya gitu aja apa kata dokter?” tanyanya.
“Aku percaya Tuhanlah. Kalo aku percaya ke dokter berarti aku musyrik donk? Hehehe.”
Jawabku sekenanya.
“ Ih, serius!” sanggah Selvy.
“ memang nggak ada yang bisa tahu sih sebenarnya. Memang cuma Tuhan yang tahu soal
kematian. Tapi siapa tahu, kan? Waspada aja.” Jawabku. Selvy merenggut.
“ Jawaban yang putus asa.” Ujar Selvy. Aku tertegun mendengar itu, lalu tersenyum.
“ Aku memang udah lama hidup putus asa. Asal kamu tahu, kamu juga gak lepas dari salah
satu penyebab keputusasaan aku.” Ujarku. Selvy terdiam tidak merespon.
“ tapi aku tidak pasrah juga menerima gitu aja dan menunggu kematian itu menjemput, kan?
Aku tetep berusaha untuk tetap hidup dan bugar sampai aku bisa bertemu dengan kalian. Yah,
maksudku ketemu kamu, ayah, ibu, anggi, juga Berry yang dah berjuang buatku selama ini.”
Tambahku. Selvy masih terdiam. Aku tidak menambah kata-kata apapun lagi, ikut terdiam.
Akhirnya kami berdua sampai di taman. Mentari terasa hangat saat itu. Selvy dan aku
berhenti di samping sebuah bangku kecil.
“ Oke, di sini aja, ya. Biar sekalian berjemur. Sinar matahari pagi kan bagus buat kesehatan.”
Ujar Selvy tersenyum sambil duduk di bangku dan menatap sekeliling. Kalo aku, tentu saja
tetap duduk di kursi roda di samping bangkunya. Selvy masih mengedarkan pandangannya ke
sekitar taman. Sedangkan mataku hanya terfokus pada wajahnya. Aku terpana, wajahnya
yang diterpa sinar mentari pagi begitu bercahaya, dan senyumannya makin memperindah
parasnya. Wajahnya terlihat begitu cerah. Aku tersenyum takjub memandangi wajahnya
tanpa ada kata. Tiba-tiba Selvy menoleh ke arahku.
“ Udaranya seger juga, yah ternyata?” ungkapnya basa basi. Aku hanya mengangguk
tersenyum lalu mengalihkan pandanganku ke lingkungan sekitar. Kami kembali terdiam,
beberapa detik, beberapa menit, kulihat Selvy tidak kelihatan grogi sama sekali. Tapi aku tak
betah dengan suasana saling diam begini.
“ Jadi inget dulu,” Gumamku. Selvy menoleh ke arahku mengisyaratkan bertanya “ingat
apa?” dengan sorot matanya. Aku tersenyum menanggapinya,
25
“ waktu di pesantren dulu, aku nyamperin kamu, kamu lagi duduk di bangku kayak gini. Aku
duduk samping kamu, bilang, kalo kamu cantik banget hari ini. Indah banget buat dipandang.
Hehe, sekarang kayak yang keulang lagi momennya. Kok bisa ya?” Jelasku sambil
cengengesan. Selvy mengalihkan pandangannya dariku, terdiam lagi tanpa kata. Entah apa
yang sedang dia pikirkan. Kini sorot matanya berbeda dengan tadi, terlihat berpikir.
“ Maaf…. Udah bikin kamu repot datang ke sini.” Kataku lagi. “ Maaf, dari dulu sampe
sekarang aku masih aja ganggu kamu, bikin kamu susah. Pulanglah, jika kamu kepengen
pulang. Aku memang terlalu lemah. Aku terlalu terbuai asa buat ketemu sama kamu. Aku
minta maaf, Vy. Maafin aku.” Tambahku lagi sambil mencoba memutar balik kursi rodaku
dengan kedua tanganku. Hendak pergi meninggalkan Selvy.
“ Mau kemana kamu, Ngga?” cegah Selvy langsung berdiri. Aku tak menjawab dan tetap
mendorong kursi rodaku. “ Hey!” Panggil Selvy. Aku tak bergeming.
“ Aku ke sini bukan karena dipaksa Berry, Ngga. aku ke sini karena dorongan dari hati aku
sendiri. Kamu gak perlu minta maaf, gak ada yang mesti dimaafkan. Aku yang minta maaf,
karena pernah menyakiti hati kamu.” Ujar Selvy. Aku berhenti mendorong kursi rodaku.
Selvy masih berdiri di tempatnya. Aku berusaha berbalik.
“ Tadinya niatku, jika sampai bertemu denganmu, aku ingin tetap masih kuat untuk berjalan
kaki. Tapi ternyata sudah tak mampu sama sekali. Niatku aku ingin bertemu dengan kamu di
sebuah gedung kosong, meminta Berry menculikmu dan mengikatmu di sana. Lalu ingin
kuhabiskan sisa waktuku di sampingmu tanpa melepas sedikitpun ikatanmu agar kau tidak
kabur. Aku sudah tak peduli, aku hanya ingin bersamamu untuk yang terakhir kali. Namun
semua itu tidak terjadi, semua rencana jahat itu tidak terjadi. Jika sampai hati aku
mengorbankan Berry ditangkap polisi karena menculikmu dan aku keburu mati tanpa
membuat sebuah pembelaan untuknya di pengadilan, ataupun setidaknya sekedar meminta
maaf sebelum menutup mata, aku akan mati tidak tenang. Dan ku yakin kau akan
membenciku selamanya karena itu, dan mensyukuri kematianku. Haha, tapi tidak… itu tidak
terjadi. Ternyata hatimu tidak sekeras yang kupikirkan, mungkin aku saja yang justru kepala
batu.”
“ Kau memang keras kepala.” Gumam Selvy menatapku dingin.
“ Bagaimana kabar pacar kamu di sana?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
26
“ Gak ada hubungannya.” Jawab Selvy ketus.
“ lho, emang salah kalo aku nanya kabar cowokmu?” Tanyaku sok tak tahu.
“ Udah, deh. Berhenti bicara ngawur! Ngapain ngisi kepala kamu sama bejibun masalah
sekarang? Apa gunanya?” kata Selvy. Aku terdiam mendengar ucapannya. Menatapnya,
Selvy masih menatapku dingin dan agak geram. Hening beberapa saat, lalu,
“Hahahahaha! Kamu cantik banget kalo lagi marah!” Kataku tertawa lepas. Raut wajah Selvy
berubah kebingungan melihat tingkahku. Aku masih tertawa, Selvy masih terdiam. Melihat
ekspresi wajah Selvy yang kebingungan aku jadi tidak tega.
“ Selvy, kalo kamu tulus datang kesini, tanpa paksaan apapun. Mau gak kamu Menuhin
permintaan terakhirku?” Tanyaku padanya dengan sorot mata yang serius.
“ Apa?” Kata Selvy.
“ tetaplah tunjukan wajah bersinar itu di sisa-sisa hari terakhirku ini. Jangan menangis, aku
ingin melihat kecantikan alami kamu. Boleh, ya?” jawabku. Selvy terdiam dengan
permintaan yang kedengaran aneh itu. Kemudian ia mengangguk. Aku pun tersenyum.
Sedikit demi sedikit, ku coba melepas semua beban perasaan ini.
***
27
CHAPTER 6
TWO DAYS LEFT…
Cerdik sekali dirimu, kasih. Kau masih saja mampu menghantui meski kini ku sedang
bertamasya di alam mimpi. Tak bisa ku berhenti mengingat wajahmu barang cuma sekali.
Dan kini malam sudah kembali berganti pagi. Fajar menyingsing dari timur membawa tanda.
Dan bak jam weker ia berkata, “Hoy waktumu tinggal sebentar lagi! Lihat aku sudah
kembali!” apa dayaku kini, sayang? Mustahil lah aku melawan waktu yang terus
membuntutiku.
“ Dokter… dokter!” ibuku dan Selvy panik memanggil dokter. Ayah langsung berlari
menyusul dokter yang sedang lewat di depan ruangan rawat inapku. Sedangkan Berry sedang
keluar mencari makanan untuk keluargaku dan Selvy. Anggi menangis melihatku batuk terus
menerus sambil mencipratkan darah kemana-mana tanpa kendali. Tanganku penuh, selimut
dan tak ketinggalan bajuku. Lalu dengan tergopoh-gopoh dokter dan seorang suster berjalan
menghampiriku. Obat-obatan dan alat suntik mereka siapkan dengan cekatan. Aku pasrah,
terserahlah mereka mau apakan saja tubuhku. Aku sudah kepalang lunglai. Mataku mulai
sayu, wajahku makin memucat, aku makin tidak berdaya. Bahkan rasanya begitu hampa, tak
terasa apa-apa meski dokter dan suster menyentuh dan memegang anggota tubuhku. Selvy
tak lepas terus memandangiku, wajahku yang lunglai. Dengan lesu aku menatap ke arahnya,
Selvy tak berpaling. Ia masih menatapku. Sorot matanya memberi isyarat, “ Angga, kamu
akan baik-baik aja!” sambil sedikit menyinggungkan senyum. Aku berusaha membalas
senyumnya, sampai akhirnya suntikan terakhir membuatku tertidur.
Di alam mimpi, satu-satunya dunia tempatku bisa bergerak bebas dan terlihat bugar-bugar
saja, aku kembali melihat siluet Selvy. Oh, mengapa kau terus menerus mengikutiku? Ia
berdiri di depanku. Wajahnya berduka, matanya berkaca-kaca. Selvy, ada apa denganmu?
Kulihat suasana dalam mimpiku saat itu adalah malam hari. Semuanya gelap, hening, sunyi.
Aku masih terpaku memandangi Selvy yang terdiam di depanku. Menatapnya penuh tanda
tanya. Ia bahkan tak mengucapkan sepatah kata pun. Sesaat kemudian dia menolehkan
kepalanya ke belakang. Aku ikut menoleh ke arah yang sama. Tiba-tiba ada mentari yang
terbit begitu saja. Sedikit demi sedikit mulai menerangi area sekitar kami. Ku menoleh
kembali ke arah Selvy, hendak bertanya, “ Apa maksudnya?” namun Selvy menatapku
28
kosong. Aku makin heran. Lalu tubuhnya sedikit demi sedikit kian menjauh dariku, ia
menjauh ke arah mentari. Aku masih bingung. Termenung sebentar, lalu aku tersadar,
mungkin sudah sebentar lagi waktunya tiba. Oh, Tuhan, mohon ampuni aku…!
Setelah itu aku terbangun dari kondisi tak sadarkan diri, mataku menangkap wajah-wajah
yang harap-harap cemas mengawasiku. Ibuku menatapku dengan mata yang sembab sambil
tersenyum, juga Ayah yang menatapku dengan ekspresi berusaha untuk bersikap tegar, Anggi
yang terlihat masih sesenggukan, Berry yang sudah datang menatapku prihatin, dan Selvy
yang menatapku sama persis seperti di mimpi tadi.
***
29
CHAPTER 7
It’s Time to Say Farewell
Hari terakhir, sesuai perhitungan dokter. Antara percaya dan tidak percaya, sadar dan tidak
sadar, terima dan tidak terima. Pagi itu semua orang terlihat ceria di hadapanku. Pikirku,
semua itu hanya taktik mereka untuk menghiburku atau menghibur diri mereka sendiri. Ah,
terserah. Hanya satu yang ada dibayanganku kini, satu keinginan yang tak mau kutinggalkan
sama sekali. Menulis.
Mataku sibuk mencari-cari Berry, namun aku tak menemukannya di ruanganku. Tiba-tiba
seorang perawat datang membawakan sarapan. Ibuku menyambutnya dengan ramah dan
mengambilkan sarapan itu untukku. Tak lama kemudian ibu menghampiriku, hendak
menyuapiku dengan bubur nasi tawar yang dingin dan encer dilengkapi sayur-sayuran rebus.
Aku tak ada selera.
“ Ayo sayang, kamu harus sarapan.” Bujuk ibuku. Aku menggeleng lesu. Ibu menghela nafas
menurunkan tangannya yang hendak menyuapiku.
“ Gak enak ya makanannya? Ya udah, Angga mau makan apa sekarang? Kalo gak terlalu jadi
pantangan bakal ibu usahakan cari atau bikinin asal kamu makan. Kamu harus makan
Angga.” Kata ibuku. Aku masih menggeleng.
“ Sedikit aja, Angga. Seperempatnya aja.” Bujuk ibuku lagi. Aku masih menggeleng. Aku
benar-benar tak ada selera. Ibuku menunduk.
“ Tolong Angga, ibu mohon. Jangan buat ibu makin khawatir, Angga! Jangan buat ibu makin
gelisah. Ayo, Angga. Makan sedikit aja, tiga suap deh, ya?” Bujuk ibu dengan raut wajah
yang berubah menjadi sedih. Aku terdiam memandangnya, iba… akhirnya aku mengangguk.
Dan dengan senyuman tulus ,ibu memasukkan cairan beras putih matang yang tawar sendok
demi sendok masuk dan meluncur ke tenggorokanku. Yah, yang penting dia bahagia. Ayah
dan Anggi masih terpaku memandangiku. Tak ada kata yang mereka ucapkan. Apa mereka
tahu akan sisa usiaku ini?
“ Berry sama Selvy mana, bu?” Tanyaku dengan nada yang semakin hari semakin lesu.
30
“ Berry sebentar lagi datang. Lagi di perjalanan. Kalo Selvy kurang tahu deh. Tadi malem dia
mendadak pulang ke rumah pamannya. Mungkin nanti juga datang.” Jawab ibu. Aku diam
mendengar jawaban ibu. Tak terlalu menanggapi.
Benakku bertanya-tanya, “Kemana Selvy? Kok gak kabar-kabari dulu kalau mau pulang?
Ada apa dengannya? Jika aku tidak sempat melihat dia untuk terakhir kali bagaimana? Kira-
kira, jam berapa ya aku harus pergi?” badanku tiba-tiba merinding.
Tak lama kemudian Berry pun datang dengan membawa beberapa kantung keresek makanan
dan senyum lebar. Aku memandangnya sebagai isyarat “Ber, Sini lo! Gue pengen ngomong!”
Berry mengerti maksud pandanganku dan segera menghampiriku.
“ Hey, Bro! pagi! Gimana kabar lo?” Tanya Berry dengan nada riang.
“ hmh, seneng banget lo kliatannya hari ini.” Ujarku.
“ Lah, bukannya tiap hari gue emang kayak begini?” Tanyanya mencoba meyakinkan.
“ Bahagia ya, lo kalo gue mau mati hari ini?” gumamku santai. Berry tertegun, sementara
ayah, ibu dan Anggi sedang menyantap sarapan mereka yang tadi dibawakan Berry. Mereka
tidak terlalu mendengarkan pembicaraan kami.
“ Anjrit lo! Tarik kata-kata lo!” tanggap Berry agak memanas. Aku masih meresponnya
santai.
“ Gak apa-apa kali, Ber. Emang udah waktunya juga gue gak ngerepotin kalian semua lagi.
Gue cuma bisa bilang makasih banget sama lo. Lo udah bener-bener bantu gue, udah rela
ngorbanin waktu lo buat nolongin gue. Gue minta maaf udah nyusahin lo. Tapi lo bisa
tenang, gue bantar lagi juga gak ada. Lo sahabat terbaik gue, Ber.” Tambahku lagi.
“ Hah! Bullshit lo! Lu pikir gue lakuin semua ini demi di bales? Cari-cari perhatian keluarga
lo atau selvy? Atau minta bayaran? Anjrit ya lo ngomong kayak gitu seakan-akan gue tuh
kagak ikhlas nolongin lo! Sialan lo, sakit-sakit masih bikin gua naik darah!” dengus Berry.
Aku cengengesan melihat ekspresi kesalnya.
“ Haha, gue becanda, Ber! Nanggepin serius banget sih, lo! Jenuh tau gak suasana RS Cuma
gini-gini aja tiap hari. Tegang banget sih. Lo. Jangan naik pitam dulu! Haha, gue Cuma
becanda!” tawaku kecil melihat ekspresi Berry yang hidungnya kembang kempis. Berry
masih menahan luapan emosinya.
31
“ Kalo lo kagak sakit dah gue cemplungin lo ke kali ciliwung!” ujar Berry masih kesal. Aku
masih cengengesan.
“ hehey, hehe…Udah-udah… sekarang gue minta tolong. Gue butuh kertas sama pulpen.”
Kataku.
“ Buat?” Tanya Berry.
“ Alah lo gak usah pura-pura gak ngerti! Ayo buruan ambil kertas sama pulpennya, kepala
gue puyeng nih!” Berry menurut mengambil selembar kertas dan juga pulpen dari tasnya.
“ Emang lo bisa nulis sekarang? Kuat lo buat nulis?” Tanya Berry.
“ Jelas kagak, elo aja yang tulisin buat gue. Biar gue yang diktein,oke?” pintaku. Berry
mengangguk beberapa kali tanda setuju.
Akhirnya Berry tuliskanlah semua isi yang ada di kepalaku dalam selembar kertas putih tanpa
intrupsi.
***
Hari itu baru pukul 12 siang, aku masih terbaring lesu tak berdaya di atas kasur dan tidak
melakukan apapun. Tapi kepalaku sakit luar biasa. Selvy masih belum datang, dan aku lupa
menanyakan soal kabar Selvy kepada Berry. Di dalam ruangan hanya ada aku dan Anggi.
Ibu, Ayah dan Berry sedang menunaikan ibadah sholat zhuhur di mushola rumah sakit.
Semakin lama kurasakan kepalaku semakin sakit saja. Lalu ada rasa panas merembet di
sekujur tubuhku. Nafasku sesak, aku panik. Aku berusaha memanggil Anggi yang setengah
mengantuk duduk di samping ranjangku.
“ A…A…a…..” Kataku terbata-bata. Tenggorokanku terasa sesak juga, seakan-akan ada
segumpal kapas yang mengganjal di dalamnya. Kedua telapak tanganku basah berkeringat,
juga dahiku. Kakiku terasa kaku untuk digerakkan. Aku ingin mengerang kesakitan tapi tidak
bisa mengeluarkan suara.
UHUK UHUK UHUK… HHHH….HHH… UHUK UHUK!
Aku terbatuk keras. Batuk paling keras dan paling parah kurasakan daripada batuk di waktu-
waktu sebelumnya. Karena dadaku terasa sakit bukan kepalang. Bahkan tanpa sadar air
mataku keluar. Seiring batuk yang keras, darah muncrat dari mulut dan hidungku. Badanku
32
lemas luar biasa. Anggi panik melihatku dan mulai menangis. Ia bingung harus berkata apa.
Tak ada apa-apa yang bisa kulakukan. Darah dari hidungku mengucur tak berhenti, mataku
sedikit terbelalak menahan sakit di dada, di kepala, dan sekujur tubuh yang kaku. Nafasku
sesak sekali sampai-sampai aku sama sekali sudah tak bisa bicara. Akhirnya Anggi berlari ke
depan pintu sambil menangis histeris berteriak-teriak memanggil dokter.
“DOKTEEEEEER! SUSTEEEEER! TOLOOOOONG! TOLONG KAKAK SAYA!
TOLONG KAKAK SAYA DI DALAM BANYAK KELUAR DARAHNYA! DOKTER!
SUSTER! TOLOONG!” Teriak adikku histeris. Air mata dan ingusnya deras mengucur.
Dokter dan suster yang mendengar teriakan adikku segala masuk ke ruanganku. Melihat
kondisiku dokter panik dan memerintahkan untuk memanggil suster-suster lainnya. Dan saat
itu, hanya kejadian itu yang kuingat.
***
Saat ini pukul 21.00. Dikatakan bahwa aku sudah tak sadarkan diri sejak tadi siang. Ibuku
menangis di pelukan ayahku. Anggi menangis di pelukan Berry. Dan Selvy belum juga
datang. Berdasarkan diagnosa, kondisiku sudah kritis. Sel-sel kankerku sudah menyebar
semua ke seluruh tubuh, mengakibatkan gangguan seluruh fungsi jaringan dan organ juga
kelumpuhan. Badanku yang kurus bak hanya tulang berbalut kulit semenjak sakit dengan
mata sayu yang tertutup, bibir yang memucat, rambut yang semakin tipis dan hampir
memnuatku botak, tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur. Selang-selang infus menancap
di tanganku, ditambah selang oksigen juga uap di hidung, mulut dan wajahku. Mesin
pendeteksi detang jantung berbunyi lemah di samping kasurku. Dokter menunduk dan
sesekali menggeleng di depan orangtuaku. Berry dan ibuku mencoba memohon lagi pada
dokter untuk lakukan yang terbaik, dokter berpikir sejenak dan kembali menggeleng. Ibuku
menangis sesenggukan, Berry terlihat kalut, juga Ayah. Apalagi Anggi. Namun Selvy…
kemana kamu Selvy?
***
Di kediaman pamannya Selvi.
“ Temen Selvy sakit kanker, pak.” Jelas Selvy mencoba meyakinkan.
33
“ Memangnya menjenguk satu hari tidak cukup? Emangnya dia siapa? Saudara kamu? Guru
kamu? Pacar kamu? Sahabat kamu? Bukan, kan!” Bentak bapaknya. “Udah sekarang
pokoknya kamu harus pulang ke Cilegon!”
“ Besok Selvy janji bakal pulang ke Cilegon. Sekarang biar Selvy ijin pamit dulu sama
keluarga dan temennya. Selvy deket sama mereka, pak.” Bujuk Selvy.
“ Gak ada pulang besok! Sekarang! Buang-buang waktu aja! Jangan sok nimbrung sama
orang-orang yang gak kamu kenal! Bolos sekolah satu minggu. Alesan nengok temen sakit di
Jakarta. Katanya Cuma bentar. Bikin orang tua khawatir. Kebangetan!” tambah bapaknya lagi
semakin emosi.
“ Selvy mohon, paaak. Cuma pamit aja. Gak kan makan waktu lama. Setelah itu Selvy pasti
pulang sama bapak! Selvy janji! Please, pak… kasian temen Selvy. Selvy belum sempet
pamit. Kondisinya bener-bener parah, pak. Selvy mohon, pak. Kalo kayak gini terus justru
kita malah buang-buang waktu.” Selvy memohon lagi dengan mata yang berkaca-kaca.
“ Loh, justru kamu yang bikin waktu bapak di sini kebuang gitu aja gara-gara dengerin semua
alasan kamu!” kata Bapaknya bersikeras. Selvy mulai menitikkan air mata. “ Selvy mohon…
sekali ini aja, pak.” Suara Selvy mulai lesu. Paman dan bibi Selvy yang menyaksikan dan
mendengar perdebatan itu terlihat prihatin.
“ bentar aja lah, kang. Rumah sakitnya cuma 20 menitan dari sini kalo gak macet. Si Selvy
gak mungkin bohong dan macem-macem. Dan selama ini juga dia di sini tuh baik-baik aja.
Pamitan mah gak akan lama-lama ngambil waktunya. Masa mau menjenguk temen yang lagi
sakit parah di larang? Emang apa mudharatnya (ruginya)? Toh si selvy juga gak apa-apa.
Percaya aja lah ke si Selvy. Daripada nyampe di rumah dia malah jadi pendiem karena stress
ngerasa bersalah belum sempet pamitan dulu sama keluarga dan temennya yang sakit itu.”
Ujar pamannya membela. Bapaknya pun terdiam sebentar mendengar itu.
“ Ya udah, pamitannya bentar aja! Terus setelah itu langsung pulang!” kata Bapaknya, Selvy
bernafas lega. Saat itu juga mereka berangkat menuju rumah sakit. Di luar dugaan, jalanan
Jakarta saat itu sedang macet sekali.
***
34
Pukul 22.00
Telepon Selvy bordering. Selvy mengangkatnya.
“ Halo,” Sapa Selvy.
“ Halo! Dimana kamu, vy!? Kenapa gak dateng-dateng ke rumah sakit? Si Angga lagi kritis
sekarang! Dari siang dia gak sadarkan diri! Tubuhnya gak merespon obat yang dikasih
dokter!” jelas Berry panic.
“ Apa? Kritis?!” Selvy terkejut. Mendengar itu, paman Selvy yang sedang menyetir juga
bapaknya yang duduk di sampingnya menoleh ke arah Selvy.
“ Iya, kamu kemana aja?! Tadi pagi si Angga masih sempet sadar dan ibunya bilang dia
nanya-nanyain kamu!” Tanya Berry.
“ Maaf, tadi aku disuruh bapakku pulang hari ini juga ke Cilegon. Bapakku nyusul dari
Cilegon ke Jakarta karena khawatir sama aku.” Jawab Selvy.
“ Apa?! Jadi kamu sekarang udah pulang?!” Tanya Berry shock.
“ Enggak, kok. Sekarang aku lagi di perjalanan menuju rumah sakit. Bapakku ngijinin aku
buat pamitan dulu. Tapi ini di jalan sekarang macet banget!” jawab Selvy.
“ pokoknya kamu harus datang ke sini, Vy! Apapun yang terjadi sebelum ke Cilegon kamu
kesini dulu! Aku tunggu!” kata Berry. TUUUT… TUUUT… Telepon pun terputus.
Bulu kuduk Selvy berdiri. Keringat dingin mengucur, Selvy tegang dan khawatir.
***
[Sebelumnya, izinkan aku dulu untuk menyebutkan namaku di sini sebagai kata ganti ketiga
yang dibicarakan. Karena aku tidak punya pilihan disebabkan dalam cerita ini aku sedang
tidak sadarkan diri]
Pukul 23. 15
Selvy buru-buru turun dari mobil dan berjalan menuju ruangan tempat Angga di rawat di
lantai yang kedua. Ayah dan pamannya mengikutinya dari belakang. Ia sudah tak peduli lagi
35
soal ayah dan pamannya yang agak kewalahan karena mencoba mengejar langkah kakinya
yang terlalu cepat. Selvy hanya ingin segera sampai dan menjenguk Angga.
Sesampai di depan ruangan tempat Angga dirawat, nafas Selvy tertahan dan suaranya
tercekatdi tenggorokan. Tangannya gemetaran, keringat dingin membasahi telapak
tangannya. Pelan-pelan dia membuka pintu ruangan.
“ Malam…” Sapa Selvy pada orang-orang yang saling menunduk di ruangan itu. Mendengar
suara Selvy, satu persatu kepala mereka pun terangkat. Mereka yang dimaksud adalah Berry,
Ayah dan Ibunya Angga, dan Anggi. Ayah dan pamanku masih terdiam di belakangku.
“ malam.” Balas ibunya Angga lembut. Selvy tersenyum sebentar, kemudian mengalihkan
pandangannya ke arah Angga. Ia tertegun dan menghampirinya perlahan. Mata Berry
mengikuti gerakannya (Selvy). Selvy tak bisa berkata-kata, hanya terpaku memperhatikan
Angga yang tubuhnya kaku dan tak sadarkan diri. Lalu bulir-bulir air mata jatuh mengaliri
pipinya dengan lembut.
“ Maaf, kemarin aku belum sempet pamit. Maaf juga, sekarang aku datangnya telat, dan maaf
juga kalo kamu masih merasa sakit hati atas keputusan aku dulu. Aku minta maaf…” ujar
Selvy dengan suara bergetar. Lalu Berry menghampiri Selvy.
“ Udah, kamu gak usah nyalahin diri sendiri gitu. Sini ikut aku, bentar. Angga mau nyampein
sesuatu buat kamu.” Kata Berry. Alis mata Selvy terangkat sebelah seakan bertanya-tanya,
“maksudnya?”
“ ikut aku bentar.” Ajak Berry pada Selvy sambil berjalan duluan meninggalkan ruangan.
Selvy pun mengikuti dari belakang. Melewati ayah dan pamannya, ia memberi tanda dengan
jarinya, seakan-akan bilang “ Pak, paman. Tunggu di sini, Selvy pergi bentaar aja.” Bapak
dan pamannya seakan mengerti dan tidak meninggalkan ruangan.
“ Keluarganya Dek Selvy, ya?” Tanya Ibunya Angga ramah. Pamannya Selvy tersenyum
menyambut. “ Iya, bu.” jawab pamannya Selvy. Akhirnya mereka pun berdialog.
***
“ maksudnya Angga mau nyampein sesuatu ke aku apa?” Tanya Selvy masih bingung. Berry
mengeluarkan lipatan kertas dari saku jaketnya dan menyerahkannya pada Selvy tanpa kata.
36
Selvy membuka lipatan kertas itu, dan sudah terduga. Memang kertas itu adalah surat. Surat
dari Angga.
Dear Selvy,
Bertahun-tahun berpisah denganmu adalah tahun-tahun terberat bagiku. Kau tahu
mengapa? Karena bayangan wajahmu tak mau hilang juga dari benakku. Nah, kini…
sebelum aku pergi, biarkanlah aku ungkapkan semuanya agar kau tahu dan agar kau
mengerti. Akan ku keluarkan semua pengakuanku akan perasaanku ini kepadamu.biar aku
bisa tenang setelah ku pergi.
Tentu saja pertama-tama aku ingin meminta maaf kepadamu. Maafkan aku yang sudah
melibatkanmu dalam sakitku ini. Membuatmu diam berhari-hari menemaniku dengan segala
kebingungan atau pun kejenuhan. Maafkan aku yang keras kepala ini yang tak bisa
menghilangkan perasaan cinta dan sayangku padamu. Namun sulit bagiku untuk
menepisnya, malaikatku. Sungguh, meski kini aku merindumu karena belum melihatmu hadir
di hari terakhirku, tapi aku tak segan-segan mengucapkan jutaan terima kasih padamu untuk
semuanya. Beberapa hari yang kulewati bersamamu di sini begitu menenangkan dan
membahagiakanku. Meski yang dapat kulakukan hanyalah memandang keelokan parasmu,
dan mengagumi betapa cantiknya dirimu. Meski tak lebih dari itu, tak ada kata yang mampu
mengungkapkan kebahagiaannya. Terima kasih, Selvy. Terima kasih kau sudah mau
menemaniku dengan keikhlasan hatimu untuk menjengukku ke sini.
Terima kasih dan tulus ku ucapkan padamu bahwa betapa aku masih menyayangimu hingga
saat ini, aku memang bukan siapa siapa bagimu namun kamu pernah mengisi hatiku.
aku begitu hina di matamu namun kamu begitu berarti bagiku
tanpamu aku tak bisa arungi dunia yang begitu kejam
tanpamu pula aku tak bisa bertahan selama 3 tahun di pesantren
tanpamu aku bagaikan langit yang merindukan cahaya
malaikatku, bidadariku , terima kasih kau telah membuat hidupku begitu indah
terima kasih atas segala hal yang pernah kau berikan padaku.
Sejujurnya,
aku kangen tawamu, yang selalu mengejekku di saat aku masih sekolah
aku kangen senyummu yang membuatku terpanah
aku juga kangen marahmu yang selalu membuat aku terdiam
37
aku kangen semuanya.
dan berhentilah menangis, dindaku. Karena aku tak ingin melihatmu menangis, dan
berhentilah marah karena aku hanya ingin melihatmu tersenyum.apakah aku egois?
Mungkin, tapi percayalah, itulah yang terbaik untukmu.
jagalah orang yang kau sayangi kini dan jangan pernah buat dia kecewa, juga pilihlah
orang yang menurutmu baik untukmu… yang mampu membuatmu tersenyum dan bahagia.
aku di sini masih tetap menyayangimu ………….
GOOD BYE MY ANGEL
By: Angga
Selesai membaca surat itu Selvy memandang Berry, Berry hanya menatap Selvy kosong.
Mata Selvy bercucuran air mata. Selvy mulai sesenggukan.
“ Itulah pesan terakhir Angga buat kamu.” Kata Berry. Selvy masih sesenggukan dan belum
menanggapi. Tiba-tiba saja suara jeritan ibu Angga terdengar dari dalam ruangan disusul
dengan langkah kaki para dokter yang terburu-buru. Para dokter masuk ke ruangan. Melihat
itu Berry segera berlari dan ikut masuk dengan ekspresi panik, Selvy pun tak kalah untuk
cepat melihat apa yang terjadi.
Di dalam ruangan, salah satu dokter menggeleng di depan Ayah dan Ibunya Angga,
sementara dokter juga perawat lainnya sedang melepaskan selang-selang infus yang
menempel di tubuh Angga satu persatu. Ibunya Angga menangis histeris, disusul tangisan
Anggi yang meledak. Ayahnya Angga mematung dan melotot tidak percaya. Ayah dan
paman Selvi terkejut dan menatap mereka prihatin. Berry shock bukan main dan tak sanggup
berkata-kata, dan Selvy tak kuasa lagi membendung air matanya yang makin buncah. Tak ada
lagi bunyi detak jantung Angga di mesin pendeteksi detak jantung. Tubuh Angga tak
bergerak, matanya sama sekali tak terbuka. Tubuhnya hanya terbujur kaku di atas tempat
tidurnya tanpa ada sinyal-sinyal kehidupan sama sekali. Dan tangisan pun tumpah malam itu.
Pukul 00. 00, Angga Pratama telah pergi untuk selamanya, melangkah dari kehidupan dunia
materi menuju dunia lain yang lebih sejati.
“ Selamat tinggal semuanya…”
THE END
38
“ Tak ada ungkapan-ungkapan yang indah kala kita tak memiliki seorang kekasih yang hadir
untuk mengisi kosongnya hati,,, dan tak ada yang mampu mengalahkan kekuatan cinta,
karena cinta akan terus berkobar hingga suatu saat ajal menjemput nanti…..”