Upload
dinhtuong
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
TINDAK TUTUR DIREKTIF
GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR
(Dalam Pembelajaran di Kelas XI)
Skripsi
oleh :
NUNING TRI MARDIASTUTI X1206039
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
TINDAK TUTUR DIREKTIF
GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR
(Dalam Pembelajaran di Kelas XI)
Skripsi
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan
Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
oleh :
NUNING TRI MARDIASTUTI NIM X 1206039
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I, Pembimbing II, Drs. H. Purwadi Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. NIP 195401031981031003 NIP 196207281990031002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk
memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari :
Tanggal :
Tim penguji skripsi:
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Dra. Raheni Suhita, M. Hum. ......................
Sekretaris : Sri Hastuti, S. S., M. Pd. ......................
Anggota I : Drs. Purwadi. ......................
Anggota II : Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. ......................
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP 196007271987021001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK Nuning Tri Mardiastuti. X 1206039. TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (Dalam Pembelajaran di Kelas XI). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) penerapan
prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, (2) penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Sumber data yang digunakan adalah peristiwa pembelajaran di kelas, rekaman ujaran yang muncul ketika pembelajaran, dan informan. Objek penelitian adalah Guru di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, khususnya kelas XI ICT 1 dan XI IPS SK 2. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu observasi, transkip, dan wawancara. Validitas data diuji dengan menggunakan triangulasi data dan triangulasi metode, yaitu menggunakan beberapa sumber dan metode untuk mengecek keabsahan data tersebut. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif yang terdiri dari tiga komponen yang saling berinteraksi, yaitu reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan data penelitian dapat disimpulkan: (1) dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-maksim dalam prinsip kerja sama. Seorang penutur tidak harus selalu mematuhi seluruh maksim dalam prinsip kerja sama dalam berkomunikasi. Maksim yang dilanggar dalam prinsip kerja sama adalah maksim kuantitas. Penutur memberikan keterangan lebih banyak daripada yang dibutuhkan dalam komunikasi. Hal ini terjadi karena dalam menyampaikan materi penutur cenderung mengemukakan sesuatu yang akan dipertuturkan secara panjang lebar. Hal ini wajar karena dalam berkomunikasi seorang penutur tidak hanya harus memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip kerja sama saja, tetapi juga harus memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip sopan santun. Maksim yang dipatuhi adalah maksim relevansi. Hal ini wajar mengingat keterangan yang diberikan dalam komunikasi haruslah sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sesungguhnya. (2) dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-maksim dalam prinsip kesantunan. Secara konversasional seorang penutur dimungkinkan untuk tidak selalu mematuhi seluruh maksim dalam prinsip sopan santun. Ada kalanya seorang penutur melanggar salah satu atau lebih maksim dalam prinsip sopan santun. Hal ini terjadi karena dalam bertutur seorang penutur tidak hanya memperhatikan penerapan prinsip kesantunan saja tetapi juga memperhatikan penerapan prinsip kerja sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
“ Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicaralah yang baik-baik,
kalau tidak mampu, maka diamlah saja.”
(HR. Bukhari-Muslim)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini sebagai wujud syukur
dan terima kasihku kepada:
1. Kedua orang tuaku, Bapak Wagimin dan Ibu
Sumarsi atas dukungan, kasih sayang, doa
yang tak akan pernah putus;
2. Kakakku Didik, Wiwik, dan Budi yang
selalu memberiku semangat dan keceriaan;
3. Sahabatku (Fyna, Aileen, Wiwit, Niken,
Anna, Rika) semoga persahabatan kita tak
terpisahkan karena jarak;
4. Temanku curhat Pak Parno, Rumi, Murtini,
dan Narsi yang selalu memberiku semangat;
5. Calon Imamku yang selalu memberiku doa
serta semangat; dan
6. Almamater.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat peneliti selesaikan. Skripsi ini
peneliti tulis dan ajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan.
Banyak hambatan dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan
dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan tersebut dapat teratasi. Untuk itu,
peneliti menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan izin penyusunan skripsi ini;
2. Drs. Suparno, M. Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan
penyusunan skripsi ini;
3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia dan selaku Pembimbing Skripsi II yang telah
memberikan bimbingan, dukungan dan motivasi selama menyusun skripsi
serta izin untuk menyusun skripsi ini;
4. Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa
memantau kegiatan akademik dan memberikan nasihat, saran, dan bimbingan
kepada peneliti selama kuliah;
5. Drs. H. Purwadi, M. Pd. selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan
bimbingan dan arahan dengan sabar kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan lancar;
6. Alim Sukarno, S. Pd. selaku Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian;
7. Wahyu Lestari, S.Pd. dan Ngadimin, S. Pd. selaku guru kelas XI SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar yang telah banyak membantu dan berperan
aktif dalam proses penelitian; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
8. Berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak
dapat peneliti sebutkan satu persatu.
Semoga kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan terbaik dari
Tuhan Yang Maha Esa.
Surakarta,
Peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
Halaman JUDUL ...................................................................................................... i
PENGAJUAN ........................................................................................... ii
PERSETUJUAN ........................................................................................ iii
PENGESAHAN ......................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................ v
MOTTO ..................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ...................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................... viii
DAFTAR ISI .............................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 6
BAB II . LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 8
1. Hakikat Pragmatik ..................................................................... 8
2. Tindak Tutur.............................................................................. 9
3. Tindak Tutur Direktif ................................................................ 13
4. Situasi Tutur .............................................................................. 16
5. Prinsip-prinsip Berkomunikasi ................................................. 17
B. Penelitian yang Relevan .................................................................. 39
C. Kerangka Berpikir ........................................................................... 41
BAB III . METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 43
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ........................................................ 43
C. Sumber Data .................................................................................... 44
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
D. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 44
E. Validitas Data .................................................................................. 45
F. Teknik Analisis Data ....................................................................... 45
G. Prosedur Penelitian.......................................................................... 47
BAB IV . HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian............................................................. 50
B. Hasil penelitian................................................................................ 52
1. Penerapan Prinsip Kesantunan .................................................. 53
2. Penerapan Prinsip Kerja sama................................................ ... 60
C. Pembahasan ..................................................................................... 67
1. Penerapan Prinsip Kesantunan ................................................. 67
2. Penerapan Prinsip Kerja sama............................................... ... 69
BAB V. SIMPULAN , IMPLIKASI , DAN SARAN
A. Simpulan ......................................................................................... 71
B. Implikasi .......................................................................................... 72
C. Saran ................................................................................................ 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Berpikir ................................................................................... 42
2. Model Analisis Interaktif ........................................................................ 47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
LAMPIRAN 1. TRANSKRIP REKAMAN ................................................. 77
LAMPIRAN 2. CATATAN LAPANGAN .................................................... 94
LAMPIRAN 3. INSTRUMEN WAWANCARA ........................................... 104
LAMPIRAN 4. LAPORAN HASIL WAWANCARA ................................... 111
LAMPIRAN 5. FOTO .................................................................................... 121
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT Nuning Tri Mardiastuti. X 1206039. DIRECTIVE SPEECH ACT OF TEACHERS OF SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (In Learning Process in XI Class). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, March 2011.
The objective of research is to describe: (1) the application of politeness principle in directive speech act used by the teachers of SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar and (2) the application of cooperative principle in directive speech act used by the teachers of SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. This research employed a descriptive qualitative method with case study approach. The data source employed was learning event in the class, the recording of speech emerging during learning, and informant. The object of research was teachers of SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, particularly in XI ICT 1 and XI IPS SK 2 classes. Techniques of collecting data used were observation, transcription, and interview. The data validity was tested using data and method triangulation, namely using several sources and methods to validate the data. Technique of analyzing data used was an interactive analysis consisting of three interrelated components: data reduction, data display, and conclusion drawing. Considering the data of research, it can be concluded that: (1) in learning in SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, it can be found the speech act complying with and breaking the maxims in cooperative principle. A speaker should not always comply with all maxims in the cooperative principle in communication. The maxim broken in cooperative principle is maxim of quantity. The speaker gives information more than needed in communication. It occurs because in delivering the material, the speaker tends to explain something to be spoke of in detail. It is reasonable because in communicating, a speaker should not only consider the maxims in cooperative principle, but also those in politeness principles. The maxim complied with is maxim of relevance. It is reasonable recalling the information given in communication should be real and corresponding to the actual fact. (2) In learning in SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, it can be found the speech complying with and breaking the maxims in politeness principle. Conventionally, a speaker is likely not complying with all maxims in politeness principle. Sometimes, a speaker breaks one or more maxims in politeness principle. It is because in speaking, a speaker not only considers the application of politeness principle but also the application of cooperative principle.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat,
manusia tidak pernah terlepas dari pemakaian bahasa. Manusia sebagai makhluk
sosial pada dasarnya selalu menginginkan adanya kontak dengan manusia lain,
sedangkan alat yang paling efektif untuk keperluan itu adalah bahasa, dengan
bahasa seseorang dapat menunjukkan peranan dan keberadaannya dalam
lingkungan. Pemakaian bahasa dapat dijumpai dalam berbagai segi kehidupan.
Kenyataan menunjukkan bahwa pemakaian bahasa dalam suatu segi kehidupan
yang satu berbeda dengan pemakaian bahasa dalam segi kehidupan yang lain.
Termasuk di dalamnya bahasa yang dipakai dalam suatu pembelajaran di lembaga
pendidikan.
Keberhasilan suatu program pembelajaran ditentukan oleh beberapa
komponen dan semua komponen tersebut harus saling berinteraksi. Salah satu
komponen tersebut adalah bahasa. Sejalan dengan pendpat di atas Nababan (1987:
68) berpendapat bahwa alat terutama dalam interaksi belajar mengajar antara
murid, guru, dan pelajaran adalah bahasa, dalam proses belajar mengajar
terjadilah komunikasi timbal balik atau komunikasi dua arah antara guru dan
siswa atau siswa dengan siswa.
Proses belajar mengajar akan berjalan efektif jika guru dan siswa
menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, dalam hal ini guru dituntut
untuk terampil dalam berkomunikasi agar apa yang disampaikan dapat dimengerti
dan dipahami siswa. Pada umumnya masyarakat Indonesia terlebih dahulu
mengenal bahasa daerah sebelum mengenal bahasa Indonesia sehingga bahasa
daerah berfungsi sebagai bahasa pertama yang digunakan sebagai alat komunikasi
sehari-hari dalam suatu etnik tertentu, sedangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
kedua mengalami kontak bahasa dengan bahasa daerah. Salah satu contohnya
adalah tindak tutur guru dalam proses pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar seperti yang penulis teliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Masyarakat pengguna bahasa dalam situasi tertentu dan untuk mencapai
tujuan tertebtu akan selalu berusaha memilih dan menggunakan kaidah-kaidah
tuturan yang sesuai dengan peraturan. Selain itu, masyarakat pengguna bahasa
juga harus memperhatikan tata cara berbahasa yang disesuaikan dengan norma
atau aspek sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat tertentu. Apabila tata
cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma sosial dan budaya, ia akan
mendapat nilai negatif, misalnya dikatakan orang yang tidak santun, sombong,
angkuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya (Muslich, 2006: 2).
Pakar bahasa menyadari perlunya perhatian terhadap dimensi
kemasyarakatan bahasa, termasuk di dalamnya aspek sosial dan budaya. Hal ini
dikarenakan dimensi kemasyarakatan tersebut bukan sekedar memberi makna
terhadap bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya ragam bahasa dan juga
sebagai indikasi situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik, aturan-
aturan, dan modus pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa tidak terpisah dari
interaksi sosial, kebudayaan, dan kepribadian. Interaksi sosial merupakan sarana
pokok bagi masyarakat untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sehari-hari dan
menggunakan makna tersebut sebagai sumber pemahaman terhadap berbagai
kegiatan.
Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat
untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur
merupakan masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau integrasi
simbolis dengan tetap menghormati kemampuan komunikatif penuturnya, tanpa
mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan. Misalnya,
masyarakat Jawa menggunakan bahasa tidak hanya sekedar untuk alat
berkomunikasi, tetapi juga sebagai identitas dan parameter kesantunan dalam
berkomunikasi. Norma kesantunan tampak dari perilaku verbal maupun perilaku
nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi direktif misalnya, terlihat pada
bagaimana penutur mengungkapkan perintah, nasihat, permohonann permintaan,
keharusan atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur. Adapun perilaku
nonverbal tampak dari gerak gerik fisik yang menyertainya. Norma sosiokultural
menghendaki agar manusia bersikap santun dalam berinteraksi dengan sesamanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi
sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status
penutur dan mitra tutur. Keberhasilan menggunakan strategi-strategi ini
menciptakan suasana santun yang memungkinkan interaksi sosial berlangsung
tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur. Tata cara berbahasa, termasuk
santun berbahasa sangat penting diperhatikan oleh para peserta komunikasi
(penutur dan mitra tutur) untuk kelancaran komunikasinya. Misalnya, dalam
masyarakat Jawa, seorang penutur tidak akan menyatakan maksudnya hanya
dengan mengandalkan pikiran (rasionya), tetapi yang lebih penting adalah
perasaanya (angon rasa). Angon rasa tersebut merupakan komunikasi yang
dilakukan dengan menjaga perasaan mitra tutur. Meskipun informasi yang
disampaikan didukung oleh data dan realita, tetapi jika waktu menyampaikannya
tidak tepat, harus ditunda terlebih dahulu. Jika prinsip ini dilanggar, kemungkinan
besar komunikasi dapat gagal mencapai tujuan (Pranowo, 2009: 45). Hal ini tidak
hanya terjadi dalam komunikasi sosial, tetapi juga dalam komunikasi formal
ataupun komunikasi akademik supaya selalu tercipta suasana tutur yang harmonis.
Bahasa dengan segala bentuk pemakaian, konteks, dan situasinya sangat
menarik untuk dijadikan bahan penalitian, termasuk kesantunan berbahasa. Untuk
menjalin hubungan yang “mesra” dan demi “keselamatan” dalam berkomunikasi
perlu dipertimbangkan segi kesantunan berbahasa. Dewasa ini kita sering
mendengar kebanyakan orang menggunakan bahasa yang kurang sopan,
khususnya generasi muda. Bahasa yang digunakannya sering memancing emosi
seseorang sehingga menimbulkan keributan atau perselisihan, termasuk fenomena
berbahasa di kalangan siswa yang menanggalkan nilai-nilai kesantunan berbahasa
sebagai akibat pergeseran nilai di tengah masyarakat yang semakin mengglobal
ini.
Pembelajaran akan mudah dilakukan jika murid-muridnya sejak kecil
sudah terbiasa untuk berbahasa Indonesia atau bahkan menjadi bahasa
pertamanya. Akan tetapi, hal tersebut menjadi sebuah permasalahan tersendiri jika
murid-muridnya belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi sehari-hari. Misalnya anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
meraka belum menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Berkaitan
dengan hal ini, Soemiarti (2003: 37) berpendapat bahwa guru hendaknya peka
terhadap kondisi anak yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia berbeda
yang disebabkan karena datang dari daerah sehingga terhambat sosialisasinya.
Kesantunan berbahasa dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari
konflik antara penutur dengan mitra tutur. Kesantunan berbahasa merupakan hasil
pelaksanaan kaidah yaitu kaidah sosial, dan hasil pemilihan strategi komunikasi.
Kesantunan berbahasa penting di mana pun individu berada. Setiap anggota
masyarakat percaya bahwa kesantunan berbahasa yang diterapkan mencerminkan
budaya suatu masyarakat. Setiap masyarakat selalu ada hierarki sosial yang
dikenakan pada kelompok anggota masyarakat, karena mereka telah menetukan
penilaian tertentu, misalnya, antara guru dan siswa, orang tua dan anak muda,
pemimpin dan yang dipimpin, majikan dan buruh, serta status lainnya. Selain itu
faktor konteks juga menyebabkan kesantunan berbahasa karena pada dasarnya
prinsip kesantunan berbahasa tersebut merupakan kaidah berkomunikasi untuk
menjaga keseimbangan sosial, psikologis, dan keramahan hubungan antara
penutur dan mitra tutur.
Berdasarkan pernyataan di atas kebutuhan akan hadirnya sosiopragmatik
makin terasa. Apalagi, kita sering menghadapi berbagai masalah kebahasaan yang
ternyata tidak cukup diselesaikan hanya dengan pendekatan linguistik, tetapi
memerlukan pula pertimbangan-pertimbangan nonlinguistik, seperti disiplin ilmu
sosiologi dan pragmatik. Masalah demikian timbul karena studi bahasa itu sendiri
cenderung bersifat multidisipliner. Selain itu, juga karena adanya kenyatan-
kenyataan Bahwa (1) bahasa itu selalu berubah sejalan dengan perubahan
masyarakat pemakainya, (2) perubahan bahasa itu terjadi sebagaia akibata adanya
perubahan nilai masyarakat terhadap bahasa yang dipakainya, dan (3) perubahan
nilai tersebut bersumber pada perubahan-perubahan sosial budaya yang dimiliki
oleh masyarakat tersebut. Di dalam masyarakat seseorang tidak lagi dipandang
sebagai anggota kelompok sosial. Oleh sebab itu, bahasa dan pemakaiannya tidak
diamati secara individual, melainkan selalu dihubungkan dengan kegiatan di
masyarakat (Lubis, 1993: 124). Dengan kata lain, bahasa tidak saja dipandang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial, termasuk fenomena
kesantunan berbahasa Indonesia di lingkungan sekolah.
Penelitian kesantunan berbahasa Indonesia ini akan dibatasi bentuk
tuturan direktif dalam pembelajaran di kelas. Tindak tutur direktif tersebut
merupakan salah satu tindak tutur yang sangat penting dan banyak digunakan oleh
sekelompok penutur untuk melaksanakan tugas-tugasnya, seperti halnya di
lingkungan sekolah pada saat kegiatan belajar-mengajar. Tindak tutur direktif
sangat mendominasi dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang menarik
adalah untuk mengungkapkan maksud yang sama, misalnya ‘perintah penutur
kepada mitra tutur’, ternyata dapat dibanggun atau direalisasikan dengan
menggunakan bentuk-bentuk afirmatif, imperatif, bahkan bentuk interogatif.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sangatlah beralasan jika, Leech
(1983: 121) menyatakan bahwa prinsip sopan santun berbahasa tidak boleh
dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekedar ditambahkan saja pada prinsip
kerja sama, tetapi prinsip sopan santun ini merupakan prinsip berkomunikasi
penting yang dapat menyelamatkan prinsip kerja sama dari suatu kesulitan yang
serius. Oleh karena itu diasumsikan bahwa prinsip kerja sama kedudukannya
sangat penting, tetapi pertimbangan prinsip kesantunan tampaknya tidak dapat
dikesampingkan begitu saja, apalagi dalam interaksi belajar-mengajar antara guru
dan siswa ataupun antarsiswa di lingkungan sekolah.
Agar penelitian ini lebih mendalam, peneliti membatasi permasalahan
yang akan dikaji, adapun pembatasan tersebut, yaitu (1) penarapan prinsip
kesantunan dalam berbahasa; dan (2) penerapan prinsip kerja sama dalam
berbahasa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang
digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar?
2. Bagaimanakah penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang
digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini bertujuan untuk
mendiskripsikan:
1. Penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru
SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
2. Penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru
SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoretis
a. Memperluas pengetahuan dan wawasan mengenai tindak tutur, khususnya
penerapan prinsip kesantunan yang digunakan guru dalam pembelajaran di
SMA.
b. Menambah wawasan mengenai tindak tutur para siswa.
c. Menambah kekayaan penelitian di bidang pragmatik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
1) Guru dapat menggunakan bahasa yang komunikatif dalam
pembelajaran sehingga apa yang disampaikan dapat diterima dengan
baik.
2) Guru dapat membiasakan siswa untuk belajar menggunakan tindak
tutur dengan santun.
b. Bagi Orang Tua Murid
1) Dengan mengetahui tuturan anak, orang tua dapat membiasakan
menggunakan tuturan yang baik.
2) Dengan mengetahui arti penting bertutur, maka orang tua dapat
melakukan upaya tertentu agar merangsang anak untuk berbicara
dengan santun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
c. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat memperdalam pengetahuan tentang fenomena
pemakaian tindak tutur direktif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pragmatik
Levinson (1983: 27) mendefinisikan pragmatik adalah penelitian atau
kajian di bidang dieksis atau implikatur, praanggapan, pertuturan atau tindak
bahasa, dan struktur wacana. Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik adalah
bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi
tutur (speech situations). Hal ini berarti bahwa makna dalam pragmatik adalah
makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna yang bersifat triadis
(Wijana, 1996: 2-3). Gunarwan (1994: 83) mendefinisikan pragmatik sebagai
bidang linguistik yang mengkaji maksud ujaran.
Kridalaksana (1984: 159) menjelaskan pengertian pragmatik
(pragmatics), yaitu (1) cabang semiotik yang mempelajari asal-usul, pemakaian
dan akibat lambang dan tanda; (2) ilmu yang menyelidiki peraturan, konteksnya,
dan maknanya. Nababan (1987: 1) memakai istilah pragmatik secara lebih luas
yang mengacu pada ”aturan-aturan pemakaian bahasa, yaitu pemilihan bentuk
bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai
dengan konteks dan keadaan”.
Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik
dan pemakai bentuk-bentuk itu. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik adalah
bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang,
asumsi mereka, maksud atau tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan (sebagai
contoh: permohonan) yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang berbicara.
Kerugian yang besar adalah bahwa semua konsep manusia ini sulit dianalisis
dalam suatu cara konsisten dan objektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
2. Hakikat Tindak Tutur
a. Bentuk Tindak Tutur
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu.
Tindak tutur ini disebut sebagai the acts of saying something. Konsep ini
berkaitan dengan proposisi kalimat, yaitu di dalamnya terdapat subjek atau topik
dan predikat atau comment. Tindak tutur ini berwujud tindak bertutur dengan
fonem, kata, frasa, dan kalimat bahkan sampai dengan wacana sesuai dengan
makna yang dikandung dalam konstruksi fonem, kata, frasa, kalimat, dan wacana
itu. Dalam tindak tutur ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang
dikemukakan oleh penutur. Semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberi tahu
mitra tutur bahwa pada saat penutur bertutur Ada iklan melintang di jalan Gajah
Mada berarti ‘penutur mengetahui ada iklan melintang di jalan Gajah Mada. Oleh
sebab itu tuturan ini di dalam studi pragmatik dianggap kurang menarik sebab
tidak terdapatnya maksud interpersonal.
Tindak tutur ilokusi dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu dan
melakukan sesuatu. Oleh karena itu, tindak tutur ini dinamakan sebagai the acts of
doing something. Untuk menafsirkan tindak tutur ilokusi ini diperlukan
pemahaman terhadap situasi tutur. Jadi, tuturan Ada iklan melintang di jalan
Gajah Mada bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberi tahu terdapatnya
iklan yang melintang di jalan Gajah Mada, namun lebih dari itu bahwa maksud
yang hendak dituju adalah penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan
menurunkan iklan yang melintang di jalan Gajah Mada.
Tuturan perlokusi mempunyai pengaruh (perlocitionary force) terhadap
mitra tutur. Untuk itu, tindak ini dinamakan dengan the act of effecting some one.
Tindak tutur ini dituturkan oleh penutur untuk menumbuhkan pengaruh (effect)
kepada mitra tutur. Jadi, tuturan Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada,
misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh rasa takut kepada mitra
tutur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
b. Jenis Tindak Tutur
Klasifikasi tindak tutur yang dibicarakan di sini adalah klasifikasi
berdasarkan daya ilokusi pada khususnya, karena klasifikasi ini sebagai patokan
dalam mengklasifikasikan berbagai tuturan yang berimplikatur dalam bahasa
Indonesia. Oleh karena itu, peneliti tidak membicarakan klasifikasi tindak tutur
yang lain, seperti tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, tindak
tutur literal dan tindak tutur tidak literal (Wijana, 1996: 32). Maka peneliti
simpulkan bahwa tindak tutur literal adalah tindak tutur harfiah atau sesuai dengan
kenmyataan, dan tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur tidak sesuai dengan
kenyataan.
Secara garis besar kategori-kategori dalam Leech (1993: 164-165)
dikelompokkan menjadi lima yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan
deklarasi.
a. Asertif (assertives): pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran preposisi
yang diungkapkan, misalnya, menyatakan, mengusulkan, membual,
mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan. Dari segi sopan santun
ilokusi cenderung netral, yakni, mereka termasuk kategori bekerja sama
(collaborative). Tetapi ada beberapa perkecualian: misalnya membual
biasanya dianggap tidak sopan, dari segi semantik ilokusi asertif bersifat
proporsional.
b. Direktif (directives): ilokusi ini bertujuan menghasilkan efek berupa tindakan
yang dilakukan oleh penutur, ilokusi misalnya, memesan, memerintah,
memohon, menutut, memberi nasihat. Jenis ilokusi ini sering dapat
dimasukkan ke dalam kategori kompetitif (competitive) karena mencakup
juga kategori ilokusi yang membutuhkan sopan santun negatif. Namun di
pihak lain terdapat juga beberapa ilokusi direktif, seperti mengundang yang
secara intrinsik sopan. Agar istilah direktif tidak dikacaukan dengan ilokusi
langsung dan tidak langsung, digunakan istilah imposif (impositive)
khususnya untuk mengacu pada ilokusi kompetitif dalam kategori direktif.
c. Komisif (Commissives): pada ilokusi ini penutur (sedikit banyak) terikat pada
suatu tindakan di masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkan, berkaul.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Jenis ilokusi ini cenderung berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat
kompetitif, karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada
kepentingan petutur.
d. ekspresif (Ekspressives): fungsi ilokusi ini ialah mengungkapkan atau
mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam
ilokusi, misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat,
memberi maaf, mengencam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan
sebagainya. Sebagaimana juga dengan ilokusi komisif, ilokusi ekspresif
cenderung menyenangkan, karena itu secara intrinsik ilokusi ini sopan,
kecuali tentunya ilokusi-ilokusi ekspresif seperti ‘mengencam’, dan
‘menuduh’.
e. Deklarasi (Deklarations): berhasilnya pelaksanaan ilokusi ini akan
mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas,
misalnya, mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama,
menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat, (pegawai),
dan sebagainya. Searle mengatakan bahwa tindakan-tindakan ini merupakan
kategori tindak ujar yang sangat khusus, karena tindakan-tindakan ini
biasanya dilakukan oleh seseorang yang dalam sebuah kerangka acuan
kelembagaan diberi wewenang untuk melakukannya. (Contoh klasik ialah
hakim yang menjatuhkan hukuman pada pelanggar undang-undang, pendeta
yang membaptis bayi, pejabat yang memberi nama pada sebuah kapal baru,
dan sebagainya). Sebagai suatu tindakan kelembagaan (dan bukan sebagai
tindakan pribadi) tindakan-tindakan tersebut hampir tidak melibatkan faktor
sopan santun.
Lima macam tindak tutur tersebut juga dikemukakan oleh Mey (1994:
163) dan levinson (1983: 240). Keduanya juga mengutip pendapat Searle (1974:
34). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti dapat mengetahui bahwa
pendapat mereka semua sama, yaitu tuturan dapat dibedakan ke dalam lima
macam dilihat dari daya ilokusinya. Tindak tutur tersebut adalah assertives,
directives, commissives, expressives, dan declarations. Asertif adalah tuturan yang
digunakan untuk menunjukkan kebenaran tentang yang dinyatakan, misalnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
menyatakan, menjelaskan, mengadukan, menyarankan, mengeluh, dan membual.
Direktif adalah tuturan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebagai contoh adalah permohonan,
suruhan, permintaan, perintah, nasihat, anjuran, dan ajakan. Komisif menuntut
penutur untuk melakukan sesuatu di masa yang akan datang, misalnya
menawarkan, berjanji. Ekspresif adalah tuturan yang berfungsi mengungkapkan
sikap penutur tentang sesuatu baik yang bersifat positif maupun negatif, yang
bersifat positif misalnya, pujian, pernyataan maaf; dan yang bersifat negatif
misalnya, tuduhan, menyelahkan orang lain. Deklarasi biasanya diungkapkan oleh
orang yang berwenang dalam lembaga sosial, agama, hukum, dan tidak berkaitan
dengan hubungan personal dengan orang lain. Misalnya tuturan yang digunakan
oleh majelis hakim dalam pemberian keputusan kepada terdakwa, atau pejabat
yang meresmikan hasil pembangunan.
Berdasarkan kelima macam tuturan tersebut peneliti akan
mengklasifikasikan tindak tutur ke dalam empat macam, yaitu asertif, direktif,
ekspresif, dan komisif. Deklarasi tidak peneliti bahas karena topik yang peneliti
bahas adalah tentang implikatur tindak tutur. Dengan demikian, tidak mungkin
deklarasi diungkapkan secara tidak jelas dalam suatu tuturan.
c. Strategi Bertutur
Prinsip pemilihan strategi betutur pada garis besarnya menyatakan bahwa
bertutur (berbicara) itu tidak “asbun” asal bunyi saja. Bertutur memerlukan pilihan
strategi, terutama dalam rangka menjaga muka mitra tutur dan atau peserta
interaksi yang lain. Untuk ini, Gunarwan (2005: 4-5) mengingatkan pentingnya
berhati-hati dalam bertutur. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan antara lain: (a)
bagaimana membedakan status atau kekuasaan diantara penutur dan mitra tutur,
(b) bagaimana jarak sosial diantara penutur dan mitra tutur, (c) bagaimana bobot
relatif pengungkapannya di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Strategi betutur langsung dilakukan dengan menggunakan tipe-tipe
kalimat sesuai dengan fungsi tipe kalimat itu. Misalnya, kalimat berita digunakan
untuk mengatakan atau memberitahukan sesuatu. Kalimat tanya digunakan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
menanyakan sesuatu dan seterusnya kalimat perintah digunakan untuk
menyatakan perintah, ajakan, pemintaan atau permohonan.
(1) Anak didik sedang belajar di kelas.
(2) Apakah anak didik sedang belajar di kelas?
(3) Anak didik supaya belajar di kelas!
Berdasarkan strategi bertuturnya, tuturan (1), (2), dan (3) dapat
dinyatakan sebagai tuturan langsung apabila tuturan (1) mengandung ,maksud
‘memberitahukan ada anak didik sedang belajar di kelas,’ tuturan (2)
mengandung maksud ‘menanyakan apakah anak didik sedanng belajar di dalam
kelas,’ dan (3) mengandung maksud ‘memerintahkan agar anak didik belajar di
kelas.’
Sebaliknya, tuturan tidak langsung digunakan dengan cara mengubah
fungsi jenis kalimat, misalnya, untuk menyatakan perintah dapat digunakan
kalimat berita atau untuk menyatakan perintah dapat digunakan kalimat tanya, dll.
Contoh;
(4) Papan tulisnya kelihatan kotor.
(5) Mengapa papan tulisnya kelihatan kotor?
Tuturan (4) dan (5) dapat dinyatakan sebagai tuturan tidak langsung
apabila tuturan (4) mengandung maksud ‘menyuruh mitra tutur untuk menghapus
papan tulis yang memang kotor’ dan tuturan (5) bermaksud ‘penutur menghendaki
papan tulisnya dihapus atau dibersihkan’.
3. Tindak Tutur Direktif
a. Konsep Tindak Tutur Direktif
Austin (1962: 151), Searle (1974: 23), dan Leech (1983: 106)
menempatkan tindak tutur direktif sebagai salah satu aspek makro tindak ilokusi.
Tindak ilokusi merupakan salah satu dari pembagian tentang tindak tutur, dua
yang lainnya adalah tindak ilokusi dan tindak perlokusi. Tindak ilokusi
berhubungan dengan apa yang dilakukan dalam tindak mengatakan sesuatu.
Sementara itu, tindak lokusi hanya berhubungan dengan apa yang dikatakan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
makna yang dikatakan. Lebih lanjut lagi tindak perlokusi berhubunga dengan
pengaruh yang dihasilkan dari apa yang dikatakan.
Searle (1990: 358-364) menyatakan bahwa tindak tutur direktif adalah
bentuk tindak tutur yang merupakan usaha penutur agar mitra tutur melakukan
sesuatu tindakan. Tindak tutur ini digambarkan ke dalam bentuk tindak tutur
memerintah (command), menyuruh (request), meminta (beg), memohon (plead),
mengundang (invite), dan menasehati (advise).
Tindak tutur pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan efek berupa
tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur. Tindak tutur direktif cenderung
dikategorikan sebagai tindak tutur yang mengandung unsur kompetitif dan bersifat
prospektif. Realisasi kompetitif tindak tutur ini adalah adanya permintaan penutur
kepada mitra tutur untuk melakukan tindakan tertentu atau sebaliknya. Larangan
penutur kepada mitra tutur untuk tidak melakukan tindakan tertentu. Sifat
prospektif tindak tutur ini adalah bahwa permintaan penutur kepada mitra tutur
untuk melakukan sesuatu tindakan setelah penutur menuturkan sesuatu untuk
mengandung permintaan. Tindak tutur ini tidak bisa mengandung permintaan
untuk melakukan sesuatu perbuatan sebelum dituturkannya sesuatu yang
mengandung permintaan.
Ilustrasi bentuk dan sifat tindak tutur ini memunculkan problematika baru
yakni seberapa lama jarak waktu yang dibutuhkan oleh mitra tutur untuk
melakukan sesuatu sebagaimana yang diperintahkan penutur. Tuturan (6) berikut
mengandung permintaan agar mitra tutur menurunkan iklan yang melintang di
jalan Gajah Mada secepatnya. Maksud secepatnya ini dapat berarti ‘sekarang
juga’ atau ‘sekarang tetapi beberapa menit kemudian’ atau ‘ segera setelah tuturan
ini’ atau ‘sekarang siang nanti’ atau ‘sekarang pada waktu yang sama dengan
penerbitan periode ini, dll.
(6) Ada iklan melintang di Jalan Gajah Mada.
Berdasarkan konsep teoretis di atas, dapat dirunut bahwa tindak tutur
direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan
oleh mitra tutur. Tindak tutur ditektif mengekspresikan dua hal pokok, yaitu, (a)
proposisi berupa tindakan yang akan dilakukan dan ditujukan kepada mitra tutur,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dan (b) mengekspresikan maksud penutur supaya tuturan yang diekspresikan
dijadikan alasan bagi mitra tutur untuk menindakkan sesuatu yang dimaksudkan
dalam tuturan itu.
Deskripsi realisasi perwujudan tindak tutur direktif sebagaimana di atas
menunjukkan bahwa tindak tutur direktif tidak hanya penutur mununtut mitra
tutur melakukan sesuatu, bertindak dan berkata, tetapi penutur menuntut mitra
tutur melakukannya sesuai dengan rencana penutur. Rencana tindak tutur yang
dimaksud menyangkut apa yang dikatakan, apa yang dimaksudkan, dan apa yang
dilakukan di sini berkaitan dengan tuturan sosial-budaya di antara penutur-mitra
tutur.
b. Bentuk dan Fungsi Tindak Tutur Direktif
Searle (1980: 23) dan Leech (1983: 104-107) mengklasifikasikan ragam
tindak tutur direktif menjadi empat tipe dasar, yaitu: (1) tindak memerintah, (2)
tindak memohon, (3) tindak memberi saran, dan (4) tindak memberi izin.
Pragmatik tindak tutur direktif meliputi maksud perintah, permohonan, pemberian
saran, dan pemberian izin.
Bentuk tindak tutur direktif menurut Searle dan Leech itu berdasarkan
konteksnya dapat memiliki fungsi kompetitif (competitive), bertentangan
(conflictive), menyenangkan (convival), atau bekerjasama (collaborative). Fungsi
kompetitif bersaing dengan tujuan sosial, fungsi konfliktif bertentangan dengan
tujuan sosial. Fungsi menyenangkan bernilai positif dengan tujuan sosial-fungsi
kerjasama berupa pemeliharaan keseimbangan dan keharmonisan perilaku
interaksi dalam konteks sosiobudaya tertentu.
Ragam dan fungsi tindak tutur direktif itu akan bermakna jika
ditempatkan pada kewenangan dan keharusan bertindak antara penutur dan mitra
tutur. Kaitannya dengan tindak tutur direktif dalam peristiwa pembelajaran di
kelas maka tindak tutur direktif mengemban tugas untuk menyediakan modus
penyampaian sehubungan dengan untung-rugi, langsung-tidak langsung, dan
alternatif tindakan yang dapat dimanfaatkan penutur-mitra tutur. Oleh karena itu,
hubungan antara tindak, fungsi, maksud, dan modus tindak direktif dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
komponen tutur merupakan kesatuan integratif. Realisasi perwujudan tindak tutur
direktif berhubungan dengan fungsi dan komponen tutur.
Tindak tutur direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan
prospek mitra tutur dan kehendak penutur terhadap tindakan mitra tutur. Tindak
ini merupakan jenis tindak tutur yang dilakukan oleh penutur untuk membuat
mitra tutur melakukan sesuatu baik berfungsi sebagai pengatur tingkah laku
maupun sebagai pengontrol mitra tutur dalam bertindak. Hubungan antara prospek
dan kehendak penutur dengan pengatur dan pengontrol mitra tutur inilah yang
kemudian menjadi dasar sebuah tindak tutur direktif itu dapat mengemban fungsi
menyenangkan, kerja sama atau kompetitif, bertentangan.
Kekuatan tindak tutur direktif kaitannya dengan fungsinya dapat
dikarakteristikkan menurut (a) situasi mental penutur-mitra tutur yang
dipresuposisi secara pragmatik, konteks latar dan informasi serta penjelas yang
dipahami penutur dan mitra tutur, dan (b) situasi interaksi yang dihasilkan oleh
tindakan dari tuturan direktif tersebut. Realisasi tindak tutur direktif guru dalam
peristiwa pembelajaran didasarkan pada asumsi bahwa (a) setiap penutur memiliki
sesuatu dalam pikirannya sehingga mitra tutur harus membuat inferensi maksud
tindakan yang diharapkan penutur, dan (b) setiap tindak tutur direktif membawa
dampak tertentu. Dampak reaksi tindak tutur ini menurut Ibrahim (1996: 51)
dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) simetris, berarti menunjukkan adanya sifat kerja
sama antara penutur-mitra tutur, (b) asimetris, berarti menunjukkan adanya
kewenangan penutur atas mitra tutur. Sementara itu, Brown dan Levinson (1978:
60) mengidentifikasikan dampak kekuatan tindak tutur direktif berkisar pada dua
aspek, yaitu: nosi muka positif atau nosi muka negatif.
4. Situasi Tutur
Konteks situasi tutur yang dimaksudkan dalam kajian pragmatik adalah
segala sesuatu yang mengiringi direalisasikannya suatu pertuturan. Segala sesuatu
itu bisa berupa latar belakang pengetahuan yang muncul dipahami secara bersama
(background knowledge), baik oleh penutur maupun mitra tutur dan aspek-aspek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
non-kebahasaan lainnya yang mengiringi, menyertai, dan melatarbelakangi
digunakannya suatu pertuturan tertentu.
Konteks situasi tutur dalam kajian pragmatik memegang peran penting.
Konteks situasi tutur inilah yang menjadi pengendali maksud sebuah pertuturan.
Konteks situasi tutur ini pulalah yang menjadi pilar lahirnya bidang kajian
pragmatik. Hal ini seperti dikemukakan oleh Firth (dalam Rohmadi, 2004: 1)
bahwa kajian bahasa tidak akan dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan
konteks situasi. Konteks situasi tutur menurut Leech (1983: 19-20) meliputi:
penutur dan mitra tutur, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan
sebagai bentuk tindakan dan kegiatan, tuturan sebagai produk tindak verbal.
Sementara itu, ahli lain Purwo (1990: 16) lebih banyak menggunakan
sebutan pembicara dan lawan bicara. Sebutan penutur dan lawan tutur lazim
digunakan oleh Wijana (1996: 10), Rahardi (2003: 18). Gunarwan (2004: 1)
menggunakan sebutan penyampai pesan dan lawan peserta pada kesempatan
lainnya menggunakan si penutur dan si petutur dan pada kesempatan yang lainnya
menggunakan O1, O2, dan O3.
Lahirnya bentuk-bentuk tuturan yang digunakan oleh seseorang guru
sangat berkaitan dengan tujuan tutur yang hendak dicapainya. Semakin konkret
tuturan yang digunakan oleh seorang guru akan semakin jelas pulalah tujuan
tuturnya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma bahwa satu bentuk tuturan
dimungkinkan memiliki tujuan dan bermacam-macam. Sebaliknya satu tujuan
tutur dapat diwujudkan dengan bentuk-bentuk tuturan yang berbeda.
5. Prinsip-Prinsip Berkomunikasi
a. Prinsip karjasama
Suatu percakapan, penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan
lancar karena mereka memiliki latar belakang pengetahuan yang sama terhadap
suatu yang dipertuturkan. Di antara mereka terdapat semacam “kesepakatan
bersama” diantaranya berupa kontrak tidak tetulis bahwa ikhwal yang dibicarakan
itu saling berhubungan dan berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak
terdapat pada tiap-tiap kalimat secara lepas; maksudnya, makna keterkaitan itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
tidak terungkap secara harfiah pada kalimat itu sendiri. Ini yang disebut
implikatur percakapan. Oleh karena itu, apabila terjadi suatu komunikasi yang
tidak lancar dimungkinkan kedua orang yang sedang terlibat percakapan tersebut
tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang sama untuk mengetahui
implikatur percakapan. Mari kita perhatikan percakapan berikut;
(7) Nonton film yo dik.
(8) Besok ada ulangan.
Tuturan (8) bukan sekedar merupakan informasi kepada mitra tutur
bahwa ‘Besok ada ulangan’, namun lebih dari itu bahwa penutur menolak ajakan
mitra tuturnya dengan cara mengemukakan alasannya saja, tanpa menolak secara
langsung bahwa dia tidak dapat mengikuti ajakan mitra tuturnya. Namun
demikian, di dalam percakapan sering terjadi adanya penyimpangan-
penyimpangan yang tentu saja ada implikasi-implikasi tertentu yang ingin dicapai
oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan
tadak melaksanakan kerjasama atau tidak kooperatif (Wijana, 1996: 46)
Implikatur diturunkan dari asas umum percakapan (asas kerja sama),
yaitu ‘kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara’ ditambah sejumlah petuah yang
biasanya dipatuhi para penutur. Grice menunjukkan bahwa asas-asas kerjasama
itu sudah tuntas, namun ‘asas sopan santun’ juga perlu diperhatikan (dalam Brown
dan Yule, 1996: 32).
Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja
sama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan
(conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim
kualitas (maxim of quality), maksim relevansi/hubungan (maxim of
relevance/relation), dan maksim pelaksanaan/cara (maxim of manner) (Grice,
1975: 45-47; Yule, 1996: 35-37; Mey, 1994: 65; Leech, 1993: 128,144,154;
Wijana, 1996: 45-53).
Keempat maksim yang mendukung pelaksanaannya prinsip kerjasama
dalam berkomunikasi tersebut dapat disimak berikut.
1) Maksim kuantitas
(9)) Make your contribution as informative as required;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
‘Berilah keterangan sejelas/seinformatif mungkin;’
(10) Do not make your contribution more informative than required;
‘Jangan memberi keterangan yang lebih banyak dari yang diperlukan’
(Mey, 1994: 65)
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan
keterangan/kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh
mitra tuturnya. Misalnya penutur yang bebicara secara wajar tentu akan
memilih (11) dibandingkan dengan (12) berikut ini;
(11) There is a male adult human being in unpright stance using his legs as a
mens of locomotion to propel himself up a series of flat-topped
structures of some six o seven inches high.
(12) There is a man going upstair.
2) Maksim kualitas
(13) Do not say what you believe to be false;
‘Jangan mengatakan sesuatu yang menurut anda sendiri salah’;
(14) Do not say that for which you lack adequate evidence.
‘Jangan mengatakan sesuatu yang tidak ada buktinya’.
(Mey, 1994: 65)
Maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan
hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan
pada bukti-bukti yang memadai. Apabila penutur mengatakan hal yang
bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya, tentu ada alasan-alasan
mengapa hal itu bisa terjadi. Perhatikan wacana berikut ini;
(15) + Ini sate ayam atau kambing?
- Ayam berkepala kambing.
Jawaban (-) jelas melanggar maksim kualitas, karena tidak umum (tidak
mungkin ada ayam yang berkepala kambing). Namun, karena ada tujuan atau
efek tertentu (efek lucu) yang akan diraih, tuturan seperti itu menjadi sah dan
diterima oleh mitra tutur sebagai lelucon.
3) Maksim relevansi/hubungan
(15 )Make your contribution relevant.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
‘Bicaralah yang relevan.’
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan
kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Untuk lebih jelasnya
perhatikan wacana berikut;
(17) What time is it?
‘Jam berapa sekarang?’
(18) Well, the postman’s been already.
‘Tukang pos sudah datang’
(Brown dan Levinson, 1978: 63)
Jawaban (18) di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila dicermati,
hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Dengan memperhatikan
kebiasaan tukang pos mengantarkan surat kepada mereka, penutur (17) dapat
membuat kesimpulan jam berapa ketika itu.
4) Maksim pelaksanaan/cara
Be perspicacious and specifically
(19) Avoid obscurity ’Hindari ketidakjelasan’
(20) Avoid ambiguity ‘Hindari ketaksaan’
(21) Be brief ‘Bicaralah dengan singkat’
(22) Be orderly ‘Bicaralah dengan teratur’
Maksim cara mengharuskan setia peserta percakapan berbicara secara
langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.
Berkaitan dengan prinsip ini (Parker, 1986: 23 dalam Wijana, 1996: 51)
memberi contoh sebagai berikut;
(23) + Let’s stop and get something to eat.
‘Mari kita berhenti dan makan sesuatu.’
- Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S.
‘Baiklah, tetapi bukan M-C-D-O-N-A-L-D-S.
Dalam (23) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara tidak langsung, yakni
dengan mengeja satu per satu kata Mc. Donalds. penyimpangan ini dilakukan
karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu
mengetahui maksudnya. Anak-anak kecil dalam batas umur tertentu memang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
akan sulit atau tidak mampu menangkap makna kata yang dieja hurufnya satu
per satu.
Leech (1993: 80) berpendapat bahwa prinsip kerja sama dibutuhkan
untuk memudahkan penjelasan hubungan antara makna dan daya. Penjelasan
demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah yang timbul di
dalam semantik yang menggunakan pendekatan berdasarkan kebenaran (truth-
based approach). Akan tetapi, prinsip kerja sama itu sendiri tidak mampu
menjelaskan mengapa orang sering menggunakan cara yang tidak langsung di
dalam menyampaikan maksud. Prinsip kerja sama juga tidak dapat menjelaskan
hubungan antara makna dan daya kalimat non-deklaratif. Untuk mengatasi
kelemahan itu, Leech mengajukan prinsip lain di luar prinsip kerjasama, yang
dikenal sebagai prinsip kesantunan.
b. Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia merupakan
sebuah kaidah berkomunikasi untuk menjaga keseimbangan sosial, psikologis,
dan keramahan hubungan antara penutur dan mitra tutur (Harun Joko Prayitno,
2009: 7). Muslich (2006: 1-2) menjelaskan bahwa kesantunan dapat dilihat dari
berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan
sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-
hari. Ketika orang dikatakan santun, dalam diri seseorang tergambar nilai sopan
santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang
itu mengambil bagiab sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun,
masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara
seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu
lama).
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat,
tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja
dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak
santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal.
Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
sedang makan dengan orang banyak disebuah perjamuan, namun hal itu tidak
begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.
Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub,
seperti antara anak dan orang tua, antara orang yang masih muda dan orang yang
lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan
guru, dan sebagainya. Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian
(berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).
Berdasarkan butir terakhir, kesantunan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Namun,
dalam kajian teori ini hanya akan dijelaskan kesantunan berbahasa yang menjadi
topik penelitian.
Kesantunan bahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda
verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-
norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata
cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam
masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam
berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-
norma budaya, ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang
yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya
(Muslich, 2006: 3). Hal tersebut senada dengan pendapat Leech (1983: 139),
yaitu sebagai berikut.
“Politeness is manifested not only in the content of conversation, but also in the way conversation is managed and structured by its participans. For example, conversational behaviour such as speaking at the wrong time (interrupting) or being silent of the wrong time has impolite implications.” Sebagaimana disinggung di depan bahwa kesantunan berbahasa
menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Menurut Leech
(1983: 206-207) kesantunan berbahasa pada hakikatnya harus memperhatikan
empat prinsip sebagai berikut.
Pertama, penerapan prinsip kesopanan atau kesantunan (politeness
principle) dalam berbahasa. Leech (terjemahan, 1983: 206-207) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
mendiskripsikan sejumlah maksim sopan santun yang memiliki kesamaan dengan
prinsip kerja sama (cooperative principle) yang ditemukan oleh Grice. Maksim-
maksim yang dikemukakan oleh Leech tersebut, antara lain (1) maksim kearifan
(tact maxim), yang menekankan pada ‘pengurangan beban untuk orang lain dan
memaksimalkan ekspresi kepercayaan yang memberikan keuntungan untuk orang
lain’, (2) maksim kemurahan hati atau kedermawanan (the generosity maxim),
yang menyatakan bahwa kita harus mengurangi ekspresi yang menguntungkan
diri sendiri dan harus memaksimalkan ekspresi yang dapat menguntungkan orang
lain, (3) maksim pujian atau penerimaan (the approbation maxim), yang menuntut
kita untuk meminimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain dan
memaksimalkan ekspresi persetujuan terhadap orang lain, (4) maksim kerendahan
hati atau kesederhanaan (the modesty maxim), yang menuntut diri kita untuk tidak
membanggakan diri sendiri, (5) maksim kesepakatan atau persetujuan (the
agreement maxim), yang menuntut kita untuk mengurangi ketidaksetujuan antara
diri sendiri dan orang lain; memaksimalkan persetujuan antara diri sendiri dengan
orang lain, dan (6) maksim simpati (sympathy maxim), yang menuntut diri kita
untuk mengurangi rasa antipasti antara diri dengan orang lain dan tingkatkan rasa
simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan orang lain.
Kedua, penghindaran kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat,
kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang
lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada suatu benda yang
menjijikkan, dan kata-kata “kotor” atau “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak
lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan tertentu.
ketiga, penggunaan atau pemakaian eufimisme, yaitu ungkapan penghalus sebagai
salah satu cara untuk menghindari kata-kata tabu. Penggunaan eufimisme ini perlu
diterapkan untuk menghindari kesan negatif dalam bertutur.
Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat
untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak
hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi
berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi
bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa
krama Inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang
tingkat sosial dan tingkat usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang
yang dihormati oleh pembicara. Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal
tingkatan, sebutan kata diri, seperti Engkau, Anda, Saudara, Bapak/Bu
mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita gunakan untuk menyapa
orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang
pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.
(24) “Engkau mau ke mana?”
(25)“Saudara mau ke mana?”
(26)“Anda mau ke mana?”
(27)“Bapak mau ke mana?”
Dalam konteks tersebut, kalimat (24) dan (25) tidak atau kurang sopan
diucapkan oleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (27) yang sepatutnya
diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan, kalimat (26) lazim
diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya,
walaupun lebih pantas menggunakan kalimat (27).
Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat
mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur (Suharsih, 2009). Percakapan
yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat mengakibatkan kekurangsantunan
bagi penutur.
(28) “Saya sudah mengumpulkan kok.”
(29) “Buku yang mana?”
Tuturan di atas dituturkan oleh siswa kepada gurunya. Jelas tuturan
tersebut tidak menunjukkan kesantunan berbahasa. Hal ini dikarenakan tuturan
tersebut tidak menggunakan bentuk sapaan, seperti Pak dan Bu. Seharusnya
kalimat di atas diubah sebagai berikut agar terdengar santun.
(30a) ”Saya sudah mengumpulkan kok, Pak.”
(30b) “Buku yang mana Bu?”
Tujuan utama kesantunan berbahasa, termasuk bahasa Indonesia adalah
memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang sengaja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang
sebenarnya karena segan kepada orang yang lebih tua juga merupakan
ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di sebagian masyarakat
Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan
perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak
bermaksud mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak
tahu apa yang dimaksudkan.
Brown dan Levinson (dalam Gunarwan, 1994: 90) menjelaskan bahwa
prinsip kesantunan berbahasa berkisar atas nosi (face) yang dibagi menjadi dua
jenis ‘muka’, yaitu muka negatif (negative face) dan muka positif (positive face).
Muka nagatif itu mengacu ke citra diri setiap orang yang berkeinginan agar ia
dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau
membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sebaliknya, muka
positif mangacu ke citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang
dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia
yakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang
patut dihargai, dan sebagainya. Selain itu ada dua jenis kesantunan yang menjadi
perhatian saat kita berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive politeness yang
ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan pertemanan.
Di sisi lain negative politeness ditandai oleh penggunaan formalitas bahasa,
mengacu pada perbedaan, dan ketidaklangsungan (Suharsih, 2009).
Kesantunan bahasa, Cruse (dalam Gunarwan 2007: 164) menyarankan
bahwa kita harus menghindari beberapa hal atau bentuk berikut.
(a) memperlakukan petutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur, yakni
dengan menghendaki agar penutur melakukan sesuatu yang menyebabkan ia
mengeluarkan “biaya” (biaya sosial, fisik, psikologis, dan sebagainya);
(b) mengatakan hal-hal yang jelek mengenai diri penutur atau orang atau orang
atau barang yang ada kaitannya dengan penutur;
(c) mengungkapkan rasa senang atas kemalangan penutur;
(d) menyatakan ketidaksetujuan dengan petutur sehingga petutur merasa
namanya jatuh; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
(e) memuji diri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri penutur.
Berdasarkan penjelasan di atas, penutur harus menghindari kelima hal
tersebut apabila ingin dikatakan santun dalam berbahasa. Namun, apabila kelima
hal tersebut tidak dihindari atau justru digunakan, maka si penutur akan dikatakan
tidak santun dalam berbahasa. Berdasarkan kelima hal di atas mengindikasikan
bentuk ketidaksantunan berbahasa.
Pranowo (2009: 37-39) mengemukakan tujuh prinsip yang dapat
mengukur santun tidaknya pemakaian bahasa. Ketujuh prinsip tersebut adalah
sebagai berikut.
(a) kemampuan mengendalikan emosi agar tidak “lepas kontrol” dalam
berbicara. Keadaan emosi tersebut sangat menentukan kesantunan seseorang
dalam melakukan tindak tutur, yaitu sangat menetukan gaya berbicara, tingkat
tutur, dan penggunaan kata-katanya.
(b) kemampuan memperlihatkan sikap bersahabat kepada mitra tutur. Hal
tersebut dapat diperlihatkan melalui kemauan seseorang mendengarkan
dengan sungguh-sungguh tentang apa yang disampaikan oleh orang lain.
(c) gunakan kode bahasa yang mudah dipahami oleh mitra tutur. Berbahasa
dikatakan santun apabila kode bahasa yang digunakan oleh penutur mudah
dipahami oleh mitra tutur, misalnya: (1) tuturannya lengkap, (2) tuturannya
logis, (3) sungguh-sungguh verbal, dan (4) menggunakan ragam bahasa
sesuai dengan konteksnya.
(d) kemampuan memilih topik yang disukai oleh mitra tutur dan cocok dengan
situasi. Tuturan dengan topik yang menyenangkan mitra tutur adalah tuturan
yang sopan. Hindarilah topik yang tidak menjadi minat mitra tutur.
(e) kemukakan tujuan pembicaraan dengan jelas, meskipun tidak harus seperti
bahasa proposal. Untuk menjaga kesantunan, tujuan hendaknya diungkapkan
dengan jelas dan tidak berbelit-belit. Apalagi bila tujuan tuturan itu berkenaan
dengan kebutuhan pribadi penutur.
(f) penutur hendaknya memilih bentuk kalimat yang baik dan diucapkan dengan
enak agar mudah dipahami dan diterima oleh mitra tutur dengan enak pula.
Jangan suka menggurui, jangan berbicara terlalu keras, tetapi juga jangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
terlalu lembut, jangan berbicara terlalu cepat, tetapi juga jangan terlalu
lambat.
(g) perhatikan norma tutur lain, seperti gerakan tubuh (gestur) dan urutan tuturan.
Jika ingin menyela, katakana maaf. Hindari keseringan menyela pembicaraan
orang. Mengenai gerakan tubuh (gestur) pada saat berbicara, tunjukkan wajah
berseri dan penuh perhatian terhadap mitra tutur. Tunjukkan sikap badan dan
tangan yang sopan saat berbicara.
Nababan (1987: 67) menunjukkan empat cara mengatur tata cara bertutur
yang juga merupakan prinsip atau dasar bertindak tutur, yaitu faktor waktu dan
keadaan, ragam bahasa, giliran bicara, dan saat harus diam atau tidak bicara.
Berikut ini penjelasan keempat faktor tersebut secara singkat.
(1) Faktor Waktu dan Keadaan
Faktor waktu dan keadaan menentukan apa yang seharusnya dikatakan oleh
seseorang. Misalnya, pada waktu siang hari seseorang dapat bertutur lebih
keras dari pada malam hari. Contoh lain, yaitu pada keadaan kesusahan atau
kesedihan, tidak pantas sekiranya kita membuat humor atau banyolan.
(2) Ragam Bahasa
Pemilihan ragam bahasa hendaknya tepat dan wajar dalam situasi linguistik
tertentu, artinya pemakai bahasa hendaknya memilih ragam bahasa
berdasarkan kepada siapa ia bicara, dalam suasana apa, untuk keperluan apa,
bagaimana tempat dan waktunya, apakah ada kehadiran orang ketiga atau
tidak, dan sebagainya.
(3) Giliran Bicara
Penutur sering tidak mengetahui tata cara giliran bicara. Orang jawa
menyebut ‘nyathek’ bagi orang muda yang tidak mengerti menggunakan
giliran bicara secara tepat atau menyela semaunya sendiri. Hal ini juga
berlaku jika seseorang harus menyela pembicaraan orang lain. Orang yang
lebih muda atau lebih rendah kedudukannya, tuturan bicaranya harus
mengalah dan jika akan menyela pembicaraan harus menunggu diberi
kesempatan oleh orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
(4) Saat Harus Diam atau Tidak Bicara
Apabila seseorang tidak mengetahui secara tepat suatu permasalahan, lebih
baik ia diam atau tidak ikut bicara. Di depan orang yang lebih tua atau lebih
tinggi kedudukannya, sikap lebih banyak diam kiranya lebih baik dari pada
kesan ‘nyinyir’, kecuali jika orang tersebut diberi kesempatan untuk
memberikan pendapatnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa keasantunan berbahasa
atau bertutur tersebut bertalian erat dengan norma tutur. Norma tutur yang
dimaksud adalah aturan-aturan bertutur yang mempengaruhi alternatif-alternatif
pemilihan bentuk tutur Hymes (dalam Suwito 1997: 141). Lebih lanjut Hymes
membedakan norma tutur menjadi dua macam, yaitu (1) norma interaksi (norm of
interaction) dan (2) norma interpretasi (norm of interpretation). Norma interaksi
adalah norma yang bertalian dengan boleh tidaknya sesuatu dilakukan oleh
masing-masing penutur ketika interaksi verbal berlangsung. Norma ini
menyangkut hal-hal yang merupakan etika umum dalam bertutur sehingga
sifatnya relatif objektif. Norma interpretasi merupakan norma yang didasarkan
pada interpretasi sekelompok masyarakat tertentu terhadap suatu aturan, yang
dilatarbelakangi oleh nilai sosiokultural yang berlaku di dalam masyarakat yang
bersangkutan. Hal ini senada dengan pendapat Brown dan Levinson (dalam Aziz
2003: 172) yang menyatakn sebagai berikut.
Before taking a particular action, a speaker must determint seriouseness of face-threatening act. They thus posit three independent and culturally-sensitive variables, with they claims subsume all others that play principal role: (1) the social distance (D) of S and H (a symmetric relation), indicating the degree of familiarity and solidarity shared by the S and H, (2) the relative “power” of S and H (a symmetric relation) indicatingthe degree to which the S can impose will on H, (3) the “absolute ranking (R) of impositions in particular culture” both in term of the expenditure of goods and/or service by the H, the right of the S to perform the act and the degree to which the H welcomes to imposition. Norma interaksi tampak apabila terjadi interaksi verbal langsung
antarpenutur. Untuk dapat mencapai komunikasi seperti itu, kedua belah pihak
harus selalu menjaga apa-apa yang sebaiknya dilakukan, dan apa-apa yang
sebaiknya tidak dilakukan pada waktu mereka saling bertutur. Norma interaksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
member batas-batas apakah yang sebaiknya dilakukan terhadap mitra tutur dan
apa pula yang sebaiknya tidak dilakukan terhadap mitra tutur. Norma ini juga
berlaku pada bahasa Indonesia. Sebagai contohnya, berbicara terus-menerus tanpa
memberi kesempatan kepada mitra tutur untuk ganti bertutur atau sikap acuh tak
acuh dalam menanggapi pembicaraan mitra tuturnya merupakan sikap yang tidak
santun. Demikian juga kebiasaan memotong tuturan orang lain sebelum selesai
berbicara, termasuk pelanggaran norma tutur yang perlu dihindari (Markhamah,
dkk., 2009: 121).
Norma-norma interpretasi berkaitan dengan latar belakang sosial budaya
yang hidup di dalam masyarakat yang bersangkutan. Norma-norma semacam itu
bersifat unik karena didasarkan penafsiran (interpretasi) suatu masyarakat tertentu
terhadap perilaku tutur tertentu dalam proses komunikasi (Suwito, 1997: 144).
Adanya keterkaitan antara bahasa dan masyarakat ini juga diungkapkan oleh
Trudgill (1983: 14), yaitu “…it is clear that both these aspects of linguistic
behavior are reflections of the fact that there is a close interrelationship between
language and society.” Termasuk dalam masyarakat itu adalah pola-pola perilaku
dan budaya yang ada pada masyarakatnya. Misalnya, masyarakat yang menganut
budaya patrilinial, pemakaian bahasanya menunjukkan adanya perbedaan pola,
yaitu pemakaian bahasa perempuan memiliki kecenderungan lebih sopan
dibandingkan dengan bahasa laki-laki. Hal itu sejalan dengan pernyataan Holmes
(1993: 320), yaitu sebagai berikut.
“Women put more emphasis than men on the polite or effective functions of tags, using them as facilitative positive politeness devices. Men, on the other hand, usere more tags for the expression of uncertainly.” Hal tersebut juga disampaikan oleh Ledagard (2004) dalam
penelitiannya yang menyatakan bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki dalam
hal pemakaian bahasa pada dasarnya sudah terbentuk sejak usia kanak-kanak.
Anak-anak perempuan cenderung menampakkan kesantunan berbahasa yang lebih
daripada anak laki-laki ketika sedang bermain dengan kelompoknya.
Berdasarkan penjelasan dari para pakar bahasa di atas, dapat disimpulkan
bahwa prinsip kesantunan berbahasa merupakan sebuah kaidah atau norma
berkomunikasi, baik norma interaksi maupun interpretasi untuk menjaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
keseimbangan sosial, psikologis, dan keramahan hubungan antara penutur dan
mitra tutur. Berbagai kaidah atau norma yang telah dipaparkan di atas sebaiknya
ditaati oleh masyarakat tutur karena berlaku secara umum dan hampir semua
bahasa memilikinya.
Beberapa pakar yang mengkaji kesantunan berbahasa antara lain: Lakoff
(1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Leech (1983). Teori
mereka pada dasarnya beranjak dari pengamatan yang sama, yaitu bahwa di dalam
komunikasi yang sebenarnya, penutur tidak mematuhi Prinsip Kerja Sama Grice,
yang terdiri atas maksim kualitas, kuantitas, relevansi, dan cara (Gunarwan, 2007:
187). Perbedaannya antara lain terletak pada bagaimana pakar-pakar tersebut
melihat wujud kesantunan. Lakoff dan Leech melihat sebagai penerapan kaidah
(kaidah sosial), sedangkan Fraser serta Brown dan Levinson melihatnya sebagai
hasil pemilihan strategi.
Fraser (dalam Gunarwan 2007: 188) mendefinisikan kesantunan, dalam
hal ini kesantunan berbahasa adalah “property associated with neither exeeded
any right nor failed to fulfill any obligation”. Dengan kata lain kesantunan
berbahasa adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini
menurut pendapat si pendengar atau penutur, si penutur tidak melampaui hak-
haknya atau tidak mengingkari untuk memenuhi kewajibannya. Sementara itu,
menurut Lakoff (dalam Gunarwan 2007: 187), sebuah ujaran dikatakan santun
jika ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, ujaran itu memberi pilihan tindakan
kepada lawan bicara, dan lawan bicara itu menjadi lebih senang.
Muslich (2006: 1) menyatakan bahwa kesantunan (politiness), sopan
santun, atau etiket adalah tata cara, adat atau kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan bersama oleh
suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang
disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa ini juga
disebut “tata krama” berbahasa.
Kesantunan berbahasa tidak hanya terungkap dalam isi percakapan, tetapi
juga dalam cara percakapan dikendalikan dan dipola oleh para pemeran sertanya
(Leech, 1993: 219). Tata cara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
komunikasi demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tata cara
berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar-
mengajar bahasa. Menurut Muslich (2006: 3-4) menyatakan bahwa dengan
mengetahui tata cara berbahasa, diharapkan orang lebih bisa memahami pesan
yang disampaikan dalam komunikasi karena tata cara berbahasa bertujuan
mengatur serangkaian hal berikut.
1) apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu;
2) ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu;
3) kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan;
4) bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara;
5) bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara; dan
6) kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.
Banyak orang Indonesia yang tidak pernah belajar kaidah bahasa, tetapi
mereka dapat berbahasa secara baik dan benar. Begitu juga banyak orang
Indonesia yang tidak pernah belajar kesantunan berbahasa tetapi mereka dapat
berbahasa secara santun. Kaidah bahasa yang baik, benar, dan santun dapat
dipelajari secara formal, informal, ataupun nonformal. Karena kaidah bahasa yang
santun belum ada acuan baku, kaidah kesantunan kebanyakan dikuasai secara
informal ataupun nonformal (Pranowo, 2009: 52). Krishen (dalam Pranowo 2009:
52-53) mengemukakan bahwa penguasaan kaidah kesantunan dapat dikuasai
melalui pemerolehan. Berkaitan dengan pemerolehan kesantunan tersebut, dapat
diidentifikasi ciri-cirinya sebagai berikut.
1) dikuasai secara informal (melalui keluarga) maupun nonformal (melalui
lingkungan masyarakat);
2) setiap orang dapat berbahasa secara santun sesuai dengan pranata kesantunan
yang berkembang dalam lingkungannya;
3) tidak mengetahui kaidah kesantunan secara formal, tetapi setiap berbahasa
berusaha santun;
4) belum ada guru yang mengajarkan kesantunan secara formal;
5) belum ada rumusan kaidah kesantunan secara baku; dan
6) tidak ada rumusan tujuan secara pasti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Berkaitan dengan hal di atas, jika masyarakat Indonesia selalu
memerhatikan kesantunan dalam pemakaian bahasa Indonesia, niscaya
kepribadian bangsa pun akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Meskipun
bahasa Indonesia belum memiliki kaidah kesantunan berbahasa secara baku, tetapi
beberapa prinsip umum dari berbagai budaya dan bahasa lain dapat diserap
sebagai dasar untuk mengembangkan kaidah kesantunan berbahasa Indonesia
(Pranowo, 2009: 53). Prinsip umum dalam komunikasi yang dapat dikembangkan
dalam kaidah kesantunan berbahasa, antara lain sebagai berikut.
1) setiap komunikasi harus ada yang dikomunikasikan (pokok masalah);
2) setiap berkomunikasi harus menggunakan cara-cara tertentu agar dapat
diterima oleh mitra tutur dengan baik (cara); dan
3) setiap berkomunikasi harus ada alasan-alasan tertentu mengapa sesuatu harus
dikomunikasikan (alasan).
Menurut Pranowo (2009: 74-75) mencatat beberapa gejala penutur yang
bertutur secara santun, yaitu dengan bentuk sebagai berikut.
1) berbicara secara wajar dengan menggunakan akal sehat;
2) mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan;
3) selalu berprasangka baik kepada mitra tutur;
4) penutur bersifat terbuka dan menyampaikan kritik secara umum;
5) menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas sambil
menyindir; dan
6) mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius.
Adapun gejala penutur yang bertutur secara tidak santun, yaitu dengan
bentuk sebagai berikut.
1) menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau
frasa yang kasar;
2) didorong rasa emosi ketika bertutur;
3) protektif terhadap pendapatnya;
4) sengaja ingin momojokkan mitra tutur dalam bertutur; dan
5) menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Tata cara berbahasa secara santun memang dipengaruhi oleh norma-
norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tata cara
berbahasa orang Inggris berbeda dengan tata cara orang Amerika meskipun
mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tata cara berbahasa orang Jawa
berbeda dengan tata cara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama
berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah
mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah
sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya di
samping mempelajari bahasanya karena tata cara berbahasa yang mengikuti
norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.
Senada dengan pendapat Sumarlan (1995: 3) yang menyatakan bahwa
kesantunan berbahasa bergantung pada sosial budaya, norma, dan aturan suatu
tempat sehingga nilai atau aturan satu budaya dapat berbeda dengan budaya lain.
Sebagaimana orang Jawa yang sangat memerhatikan tuturan yang santun atau
sopan. Misalnya, seorang guru yang bermaksud siswanya untuk mengambil spidol
di kantor, dia dapat memilih salah satu di antara tuturan berikut:
(31) Ambilkan spidol!
(32) Di kelas ini tidak ada spidol.
(33) Bapak memerlukan spidol.
(34) O, ternyata tidak ada spidol.
(35) Di sini tidak ada spidol, ya?
(36) Mengapa tidak ada yang mau mengambil spidol?
Berdasarkan tuturan di atas maksud “menyuruh” agar seseorang
melakukan tindakan, dapat diungkapkan dengan menggunakan kalimat imperatif
seperti tuturan (31), kalimat deklaratif seperti tuturan (33-34), atau kalimat
interogatif seperti tuturan (35-36). Jadi, secara pragmatis, kalimat berita
(deklaratif) dan kalimat tanya (interogatif) di samping berfungsi untuk
memberitahukan atau menanyakan sesuatu juga berfungsi untuk menyuruh
(imperatif dan direktif).
Geertz (dalam Suseno 2001: 38) menyatakan bahwa ada dua kaidah yang
paling menentukan pola pergaulan atau hubungan interaksi dalam masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Jawa. Dua kaidah itu sangat erat hubungannya dengan kesantunan berbahasa.
Kaidah pertama, bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap
sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Suseno menyebut
kaidah ini sebagai prinsip kerukunan. Prinsip kerukunan tersebut dijabarkan
menjadi empat bidal, yaitu kurmat (hormat), andhap-asor (rendah hati), empan-
mapan (sadar akan tempat), dan tepa-slira (tenggang rasa). Kaidah kedua,
menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan
sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Suseno menyebut kaidah kedua ini sebagai prinsip hormat.
Menurut Mulder (dalam Suseno, 2001: 65) menyatakan bahwa keadaan
rukun terdapat di mana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain,
suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Pendapat
Mulder ini diperkut oleh pernyataan Geertz (dalam Suseno, 2001: 65), yaitu
bahwa berlaku rukun tersebut berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan
dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sebagai hubungan-hubungan sosial
tetap kelihatan selaras dan baik, dalam kaitannya dengan prinsip hormat, Geertz
menjelaskan ada tiga perasaan yang harus dimiliki masyarakat Jawa dalam
berkomunikasi dengan tujuan untuk menciptakan situasi-situasi yang menuntut
sikap hormat, yaitu wedi (takut), isin (malu), dan sungkan. Ketiga hal tersebut
merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi
sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip
hormat. Individu merasa terdorong untuk selalu mengambil sikap hormat atau
sopan, sedangkan kelakuan yang kurang hormat menimbulkan rasa tak enak
(Suseno, 2001: 65).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kesantunan
berbahasa itu adalah tata cara atau etiket berbahasa yang ditetapkan dan disepakati
bersama oleh suatu masyarakat tertentu dengan memerhatikan kaidah (kaidah
sosial) dan pemilihan strategi agar komunikasi berjalan lancar dan harmonis.
Kesantunan berbahasa tersebut bergantung pada sosial budaya, norma, dan aturan
di suatu tempat sehingga nilai atau aturan satu budaya dapat berbeda dengan
budaya lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Retorika interpersonal terdapat prinsip kejasama, prinsip kesopanan, serta
prinsip ironi. Prinsip kesopanan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim
kearifan (tact maxim), maksim kedermawanan (generosity maxim), maksim pujian
(approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim
kesepakatan (agreement maxim), dan maksim simpati (sympathy maxim) (Leech,
1993: 132; Mey, 1994: 67; Wijana, 1996: 55).
Wijana (1996: 55) mengungkapkan bahwa di dalam mengungkapkan
maksim-maksim dalam prinsip kesopanan memerlukan bentuk ujaran, yang
meliputi: ujaran komisif, yaitu ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau
tawaran, misalnya You must borrow my bicycle, if you like ‘Kamu dapat
meminjam sepeda saya, kalau mau’ (Leech, 1993: 211). Ujaran imposif, yaitu
ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan, misalnya You
must come and have dinner with us ‘Kamu harus datang untuk makan malam di
rumah kami’ (Leech, 1993: 209). Ujaran ekspresif, yaitu ujaran yangdigunakan
untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap suatu pembicaraan,
misalnya What a amarvellous meal you cooked! ‘Masakanmu enak sekali’ (Leech,
1993: 212) dan ujaran asertif, yaitu ujaran yang digunakan untuk menyatakan
kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya George isn’t sometimes late
‘George tidak kadang-kadang terlambat/berarti, George sering atau selalu
terlambat’ (Leech, 1993: 255).
Di dalam percakapan, penutur harus menyusun tuturannya sedemikian
rupa agar mitra tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara santun.
Dalam hal ini, prinsip kesopanan dapat dipakai sebagai tutunan cara bertutur
sopan. Teori kesantunan itu pada dasarnya beranjak dari pengamatan yang sama,
yaitu bahwa di dalam berkomunikasi yang sebenarnya, penutur tidak selalu
mematuhi prinsip kerjasama Grice, yang terdiri atas maksim-maksim kuantitas,
kualitas, hubungan, dan cara perbedaannya antara lain terletak pada bagaimana
pakar-pakar itu melihat wujud kaidah kesantunan (kaidah sosial).
Teori kesantunan berbahasa menurut Leech (1993: 123), ada tiga skala
yang perlu kita pertimbangkan untuk menilai derajat kesantunan sebuah ditrektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Ketiga skala itu, yang kesemuanya terangkum dalam skala pragmatik, adalah
skala untung-rugi (the cost-benefit scale), skala kemanasukaan (the optinality
scale), dan skala ketaklangsungan (the indirectness scale). Skala untung-rugi
memperkirakan keuntungan atau kerugian bagi penutur atau mitra tutur dengan
adanya suatu satuan pragmatis atau implikasi pragmatis. Skala kemanasukaan
mengurutkan ilokusi menurut jumlah pilihan yang diberikan oleh penutur kepada
mitra tutur. Skala ketaklangsungan dipandang dari sudut penutur mengurutkan
ilokusi-ilokusi berdasarkan panjang jarak antara tindak ilokusi dan tujuan ilokusi
dalam analisis cara tujuan. Dia juga mengatakan
“It is assumed that politenes to be an abstract quality, residing in
individual particular expressions, lexical items or morphemes, without
regard to the particular circumstances that govern their use”
Leech (dalam Mey, 1994: 68)
Keenam maksim beserta submaksimnya masing-masing berikut.
1) maksim kearifan, maksim ini digunakan dalam ujatan imposif dan komisif:
a. Minimeze cost to other.
‘Minimalkan kerugian bagi orang lain.’
Contoh: Kalau tidak keberatan datanglah anda ke rumah saya.
b. Maximize benefit to other.
‘Maksimalkan keuntungan bagi orang lain.’
Contoh: Mari saya bawakan tas Anda.
2) maksim kedermawanan, maksim ini digunakan dalam ujaran impositif dan
komisif:
a. Minimize benefit to self.
‘Minimalkan keuntungan bagi diri sendiri.’
Contoh: Saya akan mengundangmu ke rumah untuk makan malam.
b. Maximize cost to self.
‘Maksimalkan kerugian bagi diri sendiri.’
Contoh: Saya dapat meminjamkan mobil saya pada Anda.
3) maksim pujian, maksim ini digunakan dalam ujaran ekspresif dan asertif:
a. Minimize dispraise of other.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
‘Perkecil rasa tidak hormat kepada orang lain.’
Contoh: Permainan Anda sangat bagus.
b. Maximize praise of other.
‘Pujilah orang lain sebanyak mungkin.’
Contoh: Masakan Anda sungguh enak!
4) maksim kerendahan hati, maksim ini digunakan dalam ujaran ekspresif dan
asertif:
a. Minimeze praise of self.
‘Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.’
Contoh: Mereka begitu baik kepada kami.
b. Maximize dispraise of self.
‘Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.’
Contoh: How stupid of me.
‘Alangkah bodohnya saya.’
5) maksim kesepakatan, maksim ini digunakan dalam ujaran asertif:
a. Minimize disagreement between self and other.
‘Usahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi
sesedikit mungkin.’
Contoh: + Bahasa Inggris sukar, ya?
- Ya.
b. Maximize disagreement between self and other.
‘Maksimalkan kecocokan antara diri sendiri dan orang lain.’
Contoh: a. A referendum will statisfy every body.
‘Referendum akan memuaskan setiap orang’
b. Yes, definetely.
‘Ya, tentu saja.’
6) maksim simpati, maksim ini digunakan dalam ujaran asertif:
a. Minimize antipathy between self and other.
‘Kurangi rasa antipati antara diri sendiri dan orang lain sebanyak
mungkin.’
Contoh: + Aku lolos di UMPTN, Jon.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
- Selamat, ya!
b. Maximize sympathy between self and other.
‘Tingkatkan rasa simpati terhadap orang lain setinggi mungkin.’
Contoh: I’m terribly sorry to hear that your cat died.
‘Saya ikut bersedih atas kematian kucing Anda.’
Berkenaan dengan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan, Nababan
(1987: 34) mengemukakan bahwa kedua prinsip yang menghasilkan implikatur itu
dalam pergaulan sosial sama-sama bekerja. Situasi prinsip kesopanan lebih
dominan, terapi dalam situasi lain prinsip kerja sama lebih dominan untuk
menentukan apa yang sewajarnya diucapkan oleh penutur dan mengarahkan
bagaimana seharusnya mitra tutur menafsirkan suatu tuturan yang diucapkan oleh
penutur.
c. Prinsip Ironi
Retorik interpersonal prinsip ironi mengambil tempat di sisi prinsip
kerjasama dan prinsip kesopanan. Prinsip kesopanan juga menjadi parasit bagi
kedua prinsip tersebut dalam arti bahwa kefungsionalan prinsip kerjasama dan
prinsip kesopanan langsung tampak pada peranan mereka dalam mengembangkan
komunikasi interpersonal yang efektif; tetapi prinsip ironi hanya dapat dijelaskan
melalui prinsip-prinsip lain. Leech (1993: 224) menyatakan bahwa prinsip ironi
menempati urutan kedua, yang memungkinkan seseorang untuk bertindak tidak
sopan melalui sikap yang seakan-akan sopan; caranya dengan memberi kesan
melanggar prinsip kerjasama tetapi sebetulnya menantinya. Jadi prinsip ironi dys-
fungsional; yaitu prinsip kesopanan mendorong terwujudnya hubungan yang
ramah dan menghindari konflik dalam hubungan-hubungan sosial, sedangkan
prinsip ironi, dengan memungkinkan kita untuk bertindak tidak sopan, memupuk
penggunaan bahasa yang ‘antisosial’. Orang dikatakan bersikap ironis bila
menggunakan sopan santun yang tidak tulus sebagai pengganti sikap tidak sopan,
dan dengan perilaku ini orang itu bertujuan merugikan dan menyudutkan orang
lain.
Ketidaktulusan dalam sopan santun ini kadang-kadang tampak dengan
jelas, kadang-kadang tidak, dan dapat berupa pelanggaran maksim kuantitas dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
prinsip kerja sama, atau lebih sering lagi dapat berupa pelanggaran maksim
kualitas. Daya ironi sebuah pernyataan sering ditandai oleh pernyataan yang
berlebihan atau pernyataan yang mengecilkan arti, sehingga menjadi lebih sulit
bagi mitra tutur untuk menafsirkan pernyataan tersebut dengan cepat. Daya ironi
sebuah pernyataan sering ditandai oleh pernyataan yang berlebihan atau
pernyataan yang mengecilkan arti, sehingga menjadi lebih sulit bagi mitra tutur
untuk menafsirkan pernyataan tersebut dengan cepat.
Leech (1993: 227) menyatakan bahwa daya ironi sangat beragam; ada
yang menggelikan, ada juga yang memnyinggung perasaan melalui perintah-
perintah yang sarkastik, seperti dalam kalimat Do help yourself, won’t you?
‘Silakan ambil sendiri’ yang dikatakan kepada seseorang yang memang sedang
sibuk melayani dirinya sendiri. Selain mempunyai fungsi negatif, prinsip ironi
mempunyai fungsi positif. Melalui ironi sikap-sikap agresif dapat disalurkan
dalam bentuk-bentuk verbal yang tidak berbahaya daripada dalam serangan-
serangan langsung seperti kritik, penghinaan, ancaman, dan sebagainya.
Penghinaan dengan mudah dapat dibalas dengan penghinaan sehingga
mengakibatkan konflik, sedangkan pernyataan ironis tidak mudah dibalas dengan
ironi.
B. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut.
1. R. Irwan Nurdin (berupa skripsi) yang berjudul Aplikasi Prinsip Kerjasama
dan Prinsip Kesantunan dalam Percakapan Bahasa Inggris Mahasiswa
Program Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UNS (sebuah kajian pragmatik)
pada tahun 2004. R. Irwan Nurdin dalam penelitiannya tersebut
menyimpulkan bahwa percakapan bahasa Inggris yang dilakukan mahasiswa
program pendidikan bahasa Inggris fakultas FKIP UNS cenderung
mematuhinya. Adapun presentase yang mematuhi prinsip kerjasama, yaitu
87.2%, sedangkan yang tidak mematuhi sebesar 21.8%. Demikian juga
dengan prinsip kesantunan berbahasa, menunjukkan kecenderungan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
mematuhinya. Presentase yang mematuhi prinsip kesantunan sebesar 60.5%,
sedangkan yang tidak mematuhi prinsip kesantunan berbahasa sebesar 39.5%.
2. Penelitian tentang ”Tindak Tutur Direktif Pejabat dalam Peristiwa Rapat
Dinas: Kajian Sosiopragmatik Berperspektif Jender di Lingkungan
Pemerintahan Kota Surakarta” oleh Harun Joko Prayitno (2009). Penelitian ini
merupakan penelitian studi kasus tentang tindak tutur direktif dalam peristiwa
rapat dinas di lingkungan kota Surakarta, meliputi kegiatan yang dimulai
membuka sampai menutup rapat. Hasil penelitian secara umum mereka
mengawali rapat dinas dengan tuturan religius, salam kewaktuan, dan salam
ekspresif kemudian dilanjutkan dengan pemakaian tindak tutur direktif. Secara
keseluruhan kesetaraan perempuan dan laki-laki yang menjadi PNS di
lingkungan pemkot Surakarta dapat dinyatakan sejajar.
3. Penelitian tentang ”Tindak Tutur dalam Kampanye Pemilihan Umum
Presiden Republik Indonesia 2004” oleh Djoko Wijono (2007). Penelitian ini
merupakan penalitian studi kasus tentang pemakaian tindak tutur dalam
kampanye pemilu presiden 2004. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
jenis tindak tutur yang dominan dalam kampanye pemilu presiden RI 2004
ialah tindak tutur direktif terdapat 18 subtindak tutur. Dari kedelapan belas
subtindak tutur tersebut yang paling dominan ialah subtindak tutur
’menyuruh’.
Beberapa penelitian tersebut dianggap relevan karena sama-sama
mengkaji tentang tindak tutur. Perbedaannya terletak pada fokus kajian, ada yang
meneliti tindak tutur mahasiswa, tindak tutur pejabat, dan tindak tutur dalam
kampanye pemilu presiden 2004. Penelitian ini memiliki kesamaan sumber data
dengan penelitian nomor satu, yaitu mahasiswa sebagai objek penelitian, yang
membedakan penelitian tersebut adalah fokus kajian. Jika dalam penelitian
tersebut dikaji masalah bagaimana penerapan tindak tutur guru dalam strategi
membuka sampai menutup pelajaran, sedangkan penelitian yang dilakukan
penulis mengkaji masalah yang lebih khusus yaitu tindak tutur direktif yang
dipakai guru SMA dalam pembelajaran di kelas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
C. Kerangka Berpikir
Kesantunan berbahasa merupakan tata cara atau aturan perilaku berbahasa
yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tutur tertentu
dengan mempertahankan kaidah (Kaidah sosial) dan pemilihan strategi agar
kominikasi berjalan lancar dan harmonis. Kesantunan berbahasa tercermin dalam
tata cara berkomunikasi (Penutur dan mitra tutur), dengan mengetahui tata cara
berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam
komunikasi dengan baik, tanpa adanya ketergantungan di antara peserta tutur.
Analisis data yang diamati berdasar masyarakat tutur/peserta tutur tersebut
menghasilkan tuturan bahasa, dalam hal ini masyarakat tutur yang diteliti adalah
guru dan siswa di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. Guru dan siswa SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar tersebut di dalam komunikasi/peristiwa tutur
menghasilkan berbagai bentuk tuturan, dalam hal ini yang diambil adalah tuturan
direktif baik tuturan yang santun maupun yang tidak santun. Analisis ini akan
mencermati fenomena kesantunan berbahasa tuturan direktif yang dilakukan pada
peristiwa tutur di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
Analisis selanjutnya, yaitu mengenai prinsip dan strategi kesantunan
berbahasa tuturan direktif yang digunakan/diterapkan oleh guru dan siswa di SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar berdasarkan penelitian yang dilakukan di
lapangan akan ditemukan prinsip-prinsip dan pemilihan kesantunan berbahasa
oleh guru dan siswa yang kemungkinan berbeda atau tidak ditemukan di
kelompok masyarakat tutur lain.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan kemudian dipaparkan dan
diterangkan atau dibahas secara jelas dengan kajian sosiopragmatik. Hal ini yang
menjadi pemikiran peneliti untuk meneliti bagaimanakah penerapan prinsip
kesantunan dan penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur yang digunakan
dalam pembelajaran di SMA yang dapat dilihat dari aspek direktif agar selain
komunikatif, siswa juga dapat meningkatkan kesantunan dalam bertutur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Secara visual pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir
Masyarakat tutur (guru dan siswa)
Peristiwa Tutur Guru
Penerapan Prinsip Kerja Sama
Penerapan Prinsip Kesantunan
Deklarasi Representatif Direktif Komisif Ekspresif
1. Memerintah 2. Mengajak 3. Menyarankan 4. Menjelaskan 5. Memohon 6. Pernyataan 7. Memuji 8. Menasehati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di sebuah SMA, tepatnya di SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar. Waktu penelitian dilakukan antara bulan Juni-
September 2010, dengan rincian kegiatan seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Rincian Kegiatan dan Waktu Penelitian
No Rincian waktu
Jenis Kegiatan
Juni’01 Juli ‘10 Agust‘10 Sept ‘10
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
1.
2.
3.
4.
5.
Persiapan survey awal
sampai penyusunan
proposal
Pengurusan surat izin
penelitian
Pengumpulan data
Analisis data
Penyusunan laporan
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang
bertujuan untuk menggambarkan atau melukiskan kenyataan yang ada
berdasarkan konsep, kategori, dan tidak berdasarkan angka. Peneliti mencatat data
yang berwujud tindak tutur yang digunakan dalam proses pembelajaran di SMA.
Penulis melakukan penelitian melalui pendekatan studi kasus dengan
menggunakan strategi tunggal terpancang. Tunggal artinya hanya ada satu ruang
lingkup penelitian yang dilakukan oleh penulis, yaitu penelitian yang dilakukan di
SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. Terpancang maksudnya yaitu penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
yang dilakukan ini terpancang pada satu pokok permasalahan, yaitu tentang tindak
tutur direktif yang dipakai guru di SMA tersebut.
C. Sumber Data
Data yang diambil dalam penelitian ini adalah tindak tutur, sedangkan
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga macam, yaitu
transkip, peristiwa, dan informan. Dokumen berupa catatan maupun rekaman
yang disampaikan guru dalam proses pembelajaran di kelas XI ICT 1 dan XI IPS
SK 2. Data yang berupa peristiwa di sini adalah proses pembelajaran yang terjadi
di SMA, sedangkan yang menjadi informan adalah guru yang melakukan proses
pembelajaran di SMA tersebut.
D. Teknik Pengumpulan Data
Ada tiga teknik pengumpulan data yang diterapkan sebagai alat untuk
menjaring data secara lengkap dan akurat sehubungan dengan masalah yang
diteliti.
1. Analisis dokumen, peneliti menganalisis data yang berupa bahasa yang telah
dicatat maupun direkam sehubungan dengan tindak tutur direktif.
2. Observasi, peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap proses
pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, dalam hal ini peneliti
berperan sebagai partisipan pasif, kehadiran peneliti diketahui dan disadari
namun tidak mempengaruhi proses pembelajaran, observasi dilakukan empat
kali.
3. Wawancara, peneliti melakukan wawancara mendalam (in-depth interview)
kepada informan untuk mendapatkan data yang tidak bisa didapatkan melalui
teknik observasi. Informan yang dipilih adalah dua guru yang mengajar di
kelas XI. Peneliti hanya melakukan wawancara kepada guru karena
disesuaikan dengan data yang akan diambil, yaitu berupa tindak tutur direktif.
Dalam hal ini guru berperan secara dominan dalam interaksi pembelajaran
sehingga pihak yang banyak mengeluarkan ujaran adalah guru. Pertanyaan
dalam wawancara yang dilakukan bersifat open-ended atau terbuka. Jadi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak
terstruktur (Sutopo, 2002: 59). Isi wawancara diharapkan diperoleh data
mengenai fenomena kesantunan tuturan direktif dalam pembelajaran di kelas
SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
E. Validitas Data
Untuk menguji validitas data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
teknik triangulasi (sumber/data dan metode).
1. Triangulasi data, yaitu peneliti menggunakan beberapa sumber untuk
mendapatkan dan mengumpulkan data yang sama. Untuk menjaga validitas
data berupa tindak tutur direktif, peneliti menggunakan beberapa sumber,
yaitu dokumen (hasil rekaman maupun catatan ujaran-ujaran yang
disampaikan guru dan siswa dalam pembelajaran), peristiwa (proses
pembelajaran), dan informan (guru di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar).
2. Triangulasi metode, yaitu peneliti menggunakan metode yang berbeda untuk
mendapatkan data yang sama. Untuk menjaga validitas data berupa tindak
tutur, peneliti menggunakan metode yang berbeda. Misalnya dalam penelitian
ini penulis mengambil data berupa tindak tutur direktif. Agar tindak tutur
direktif yang diperoleh tersebut valid, maka peneliti menggunakan metode
rekam catat dan observasi sehingga data makin kuat dan saling melengkapi.
Selain menggunakan metode observasi dan analisis dokumen, peneliti juga
menggunakan metode wawancara untuk menjaga validitas makna dari tuturan
yang muncul secara khusus, yaitu dengan bertanya kepada guru di SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
analisis interaktif (interaktive model of analysis). Menurut Miles & Huberman
(dalam Sutopo, 2002: 91) dalam analisis data kualitatif ada tiga komponen utama
yang harus diperhatikan oleh peneliti. Analisis model interaktif ini merupakan
interaksi dari tiga komponen tersebut, yaitu: reduksi data, penyajian data (display
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
data), dan penarikan kesimpulan (verivikasi). Pada saat melakukan tahap
pengumpulan data, peneliti sudah melakukan reduksi dan display data sekaligus
sesuai dengan kemunculan data yang diperlukan. Adapun langkah-langkah
analisis interaktif adalah sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Pada bagian ini peneliti melakukan pengurangan dan penyeleksian data.
Seluruh data yang diperoleh tidak serta merta disajikan semua. Peneliti
memilih data-data mana yang dianggap tepat untuk disajikan dan dianalisis
lebih lanjut. Misalnya untuk memperoleh data berupa tindak tutur, peneliti
merencanakan akan melakukan perekaman selama tiga kali. Melalui beberapa
pertimbangan, peneliti menyeleksi semua data yang diperoleh. Berdasarkan
hasil seleksi, penulis menetapkan dua rekaman yang diangap paling layak
diambil untuk disajikan.
2. Display Data
Pada bagian ini, data yang telah diseleksi kemudian disajikan. Data hasil
seleksi pun tidak serta merta disajikan apa adanya. Data hasil seleksi tersebut
dikelompokkan dan dipilah-pilah sesuai dengan permasalahannya sehingga
mudah untuk dianalisis. Dalam penelitian ini penulis mengelompokkan data
berupa tindak tutur ke dalam lima jenis. Apabila ada kelompok yang masih
dapat dikelompokkan menjadi kelompok yang ruang lingkupnya lebih sempit,
maka penulis mengelompokkannya kembali. Setelah data dikelompokkan
kemudian dianalisis. Pada saat penulis menganalisis data, penulis juga
melakukan konfirmasi kepada informan untuk mendapatkan kelengkapan dan
ketepatan analisis.
3. Penarikan Kesimpulan
Setelah melakukan konfirmasi kepada informan yang bersangkutan, peneliti
dapat mengambil kesimpulan yang tepat tentang pemakaian ujaran dalam
pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Visualisasi proses analisis tersebut sebagai berikut:
G. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan rangkaian tahap demi tahap kegiatan
penelitian dari awal sampai akhir. Tahap penelitian ini dilakukan dengan cara
sebagai berikut.
1. Tahap Persiapan
a. Menentukan masalah penelitian dan mengajukan judul penelitian.
Pada tahap ini peneliti melakukan survey awal untuk mendeteksi masalah-
masalah yang muncul di lokasi penelitian, khususnya terhadap
penggunaan bahasanya. Setelah menemukan hal yang menarik untuk
diteliti, maka peneliti merumuskan berbagai permasalahan yang kemudian
akan dicari judul yang sesuai dengan permasalahan tersebut. Dalam
penelitian ini peneliti mengajukan judul “Tindak Tutur Direktif Guru
SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar (dalam Pembelajaran di Kelas).”
b. Melakukan prapenelitian untuk mendapatkan gambaran tentang objek
penelitian.
Peneliti melakukan prapenelitian ke SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar
dengan mengamati kejadian yang terjadi di lapangan untuk mendapatkan
gambaran tentang objek penelitian, serta untuk menentukan bagaimana
Reduksi Data Display Data
Pengumpulan Data
Penarikan Kesimpulan
Gambar 2. Model Analisis Interaktif (Sutopo, 2002: 96)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
cara untuk mendapatkan data yang diperlukan dan siapa yang akan
menjadi informan.
c. Membuat proposal penelitian.
Judul yang telah diajukan kemudian dikembangkan menjadi sebuah
proposal untuk ijin penelitian selanjutnya. Pada tahap ini peneliti mencari
teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang telah dirumuskan.
Peneliti berkonsultasi kepada pembimbing untuk mendapatkan susunan
proposal yang baik.
d. Mengurus perizinan.
Setelah mendapatkan persetujuan dari kedua pembimbing, selanjutnya
peneliti mencari pengesahan dari Ketua program, Ketua Jurusan, Tim
Skripsi, Pembantu Dekan I dan Pembantu Dekan III. Langkah terakhir
dalam mengurus perizinan adalah mengajukan izin ke SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar.
e. Mempersiapkan perlengkapan penelitian.
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan
untuk mengadakan penelitian. Hal-hal yang perlu disiapkan antara lain
adalah alat tulis, hand record dan kaset rekaman.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pengumpulan data.
Peneliti mengobservasi kegiatan pembelajaran yang terjadi di kelas dengan
cara ikut masuk ke dalam kelas. Pada saat itu peneliti merekam segala
bentuk ujaran yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Selain
dengan cara merekam, peneliti juga mengumpulkan data dengan cara
mencatat, hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi jika ada
ketidakjelasan data yang diperoleh melalui teknik rekam. Selain
melakukan observasi, peneliti juga melakukan wawancara kepada
informan guna mendapatkan data-data lain yang diperlukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
b. Mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang mendukung.
Peneliti mencari dan mengumpulkan bahan pustaka yang mendukung
untuk menjadi teori yang akan digunakan untuk melakukan pendekatan
terhadap permasalahan yang telah dirumuskan.
c. Menganalisis data yang terkumpul.
Pada tahap ini, data yang telah terkumpul tersebut direduksi kamudian
dianalisis berdasarkan pendekatan teori yang telah ditentukan sehingga
dapat ditarik suatu kesimpulan.
3. Tahap Akhir
a. Membuat kesimpulan.
Dari hasil analisis data tersebut dibuat kesimpulan-kesimpulan yang
bermanfaat bagi kepentingan peneliti, SMA, dan bidang keilmuan.
b. Menyusun laporan.
Langkah terakhir peneliti adalah menyusun laporan sesuai dengan
penelitian yang telah dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar yang
beralamat di Jalan Brigjen Slamet Riyadi Karanganyar. Lokasi SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar sangat strategis, yaitu terletak di pinggiran kota
dan jauh dari tempat-tempat hiburan maupun keramaian. Letaknya bersebelahan
dengan SMA Negeri 1 Karanganyar, tepatnya berada di depan MI Karanganyar.
Di sekitar SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar terdapat tempat kost yang mudah
didapat bagi siswa yang berasal dari luar kota dengan biaya yang cukup ringan.
Lokasinya juga mudah dijangkau karena dekat dengan jalur bus dari solo ke
Jatipuro. Selain itu, keadaan lingkungan sekitar SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar cukup bagus. Di depan SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar
terdapat tempat foto kopi dan toko kecil yang menjual peralatan sekolah,
sedangkan di sebelah kiri SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar terdapat SMA
Negeri 1 Karanganyar, warung makan dan tempat kos untuk siswa yang rumahnya
jauh.
SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar fasilitas belajar cukup memadai,
seperti adanya ruang komputer, perputakaan, laboratorium yang terdapat tiga
ruang, yaitu Laboratorium Fisika, Laboratorium Kimia, dan laboratorium bahasa,
serta ruang kelas yang terdapat 20 ruang yang masing-masing ruang kelas
luasnya kurang lebih 63 meter persegi. Kelas X terdapat 8 kelas, kelas XI terdapat
7 kelas, kelas XII terdapat 5 kelas. Lingkungan sekitar SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar sangat nyaman dan teduh karena banyak ditumbuhi pohon-pohon
besar dan tanaman-tanaman dalam pot yang indah. Peneliti sengaja memilih kelas
XI ICT 1 dan IPS SK 2 karena kelas tersebut memungkinkan untuk mengadakan
penelitian, karena letaknya berada di lantai atas yang jauh dari suara keramaian
atau kebisingan di lantai bawah. Di bawah lantai kelas tersebut adalah ruang BK
(Bimbingan Konseling) dan masjid sehingga untuk mengontrol siswa untuk tidak
ramai lebih mudah. Jumlah siswa kelas XI ICT 1 sebanyak 19 siswa, sedangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
jumlah siswa kelas XI IPS SK 2 sebanyak 27 siswa yang semuanya terdiri dari
putra dan putri.
Ruang kelas XI ICT 1 terlihat bersih dan tertata rapi. Pada sisi sebelah kiri
berderet kaca dengan letak pintu terdapat di sebelah kiri, tepatnya di sudut pojok.
Di depan kelas terdapat pagar tembok. Di sebelah kiri kelas terdapat kamar kecil
dan di bawah kelas terdapat kelas X ICT 1, kursi dan meja diatur dalam posisi
menghadap ke barat, terdiri dari 4 baris dan 5 deret meja kursi untuk siswa dengan
satu buah meja kursi untuk guru yang menghadap ke timur yang terdapat 1 unit
komputer untuk guru. Di depan kelas terdapat papan tulis yang memakai
boardmaker (whiteboard) dan di atas papan tulis terdapat sebuah gambar Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan
Boediono. Di tengah-tengah gambar Presiden dan Wakil presiden Republik
Indonesia terdapat patung Garuda Pancasila. Tepat di atas patung Garuda
Pancasila ada sebuah speaker yang berfungsi sebagai alat untuk memberikan
pengumuman atau informasi penting bagi siswa. Di sebelah kiri papan tulis
terdapat daftar regu piket dan daftar pengurus kelas. Di sebalah kanan papan tulis
ada sebuah LCD.
Ruang kelas XI IPS SK 2 terlihat bersih dan tertata rapi. Pada sisi sebelah
kanan dan kiri berderet kaca dengan letak pintu terdapat di sebelah kiri, tepatnya
di sudut pojok. Di depan kelas terdapat pagar tembok. Di sebelah kiri kelas
terdapat ruang kelas XI IPS SK 1 dan di sebelah kanan kelas terdapat ruang kelas
XI IPS 1, kursi dan meja diatur dalam posisi menghadap ke timur, terdiri dari 4
baris dan 7 deret meja kursi untuk siswa dengan satu buah meja kursi untuk guru
yang menghadap ke barat. Di depan kelas terdapat papan tulis yang memakai
boardmaker (whiteboard) dan di atas papan tulis terdapat sebuah gambar Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan
Boediono. Di tengah-tengah gambar Presiden dan Wakil presiden Republik
Indonesia terdapat patung Garuda Pancasila. Tepat di atas patung Garuda
Pancasila ada sebuah speaker yang berfungsi sebagai alat untuk memberikan
pengumuman atau informasi penting bagi siswa. Di sebelah kiri papan tulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
terdapat daftar regu piket dan daftar pengurus kelas. Di sebalah kanan papan tulis
ada sebuah LCD, tetapi untuk sementara belum difungsikan karena baru proses
perbaikan.
Adapun sarana penunjang yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran di
SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar adalah adanya buku-buku yang berkaitan
dengan pembelajaran. Salah satu buku penunjang kegiatan pembelajaran adalah
buku pegangan guru buku paket, LKS, buku-buku lainnya yang dapat ditemukan
di perpustakaan sekolah. Perputakaan yang terdapat di SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar ternyata merupakan sarana yang memadai dalam kegiatan
pembelajaran karena para siswa biasanya mengunjungi perpustakaan setiap
istirahat pelajaran. Terkadang apabila ada tugas dari guru yang harus dikerjakan
dengan mencari referensi di perpustakaan, siswa juga pergi ke perpustakaan.
Mengingat letak perpustakaan yang relatif strategis, yaitu di bawah laboratorium,
di sebelah kiri adalah kamar kecil dan sebelah kanannya adalah ruang BP.
B. Hasil Penelitian
Penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan lancar karena
mereka memiliki latar belakang pengetahuan yang sama terhadap sesuatu yang
sedang dipertuturkan itu. Mereka memiliki kesepakatan bersama terhadap situasi
dan sesuatu yang dipertuturkan. Hal ini dalam pragmatik dikenal sebagai prinsip
kerja sama. Prinsip kerja sama tersebut dijabarkan dalam empat maksim, yaitu
maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim
pelaksanaan/cara.
Prinsip kerja sama itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa
penutur sering menggunakan cara yang tidak langsung di dalam menyampaikan
maksud. Selain itu, prinsip kerja sama juga tidak bisa menjelaskan hubungan
antara makna dan daya maka dibutuhkan prinsip kesantunan. Dalam prinsip
kesantunan terdapat maksim-maksim, yaitu maksim kebijaksanaan, maksim
kemurahan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan,
maksim kesimpatian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Dalam penelitian ini, tuturan-tuturan yang terdapat dalam pembelajaran
di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ada yang mematuhi dan ada yang
melanggar maksim-maksim prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. Hal ini
akan dideskripsikan sebagai berikut.
1. Penerapan Prinsip Kesantunan
Penerapan prinsip kesantunan berbahasa di SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar memiliki kesamaan atau kesesuaian dengan prinsip-prinsip
kesopanan atau kesantunan yang dikembangkan oleh Leech yang terdiri atas
maksim kearifan, maksim kerendahan hati, maksim pujian, maksim kerendahan
hati, maksim keesepakatan, dan maksim simpati. Berikut ini pemaparan maksim-
maksim tersebut yang disesuaikan dengan fakta berbahasa di SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar.
(1) Maksim Kearifan (Tack Maxim)
Maksim kearifan tersebut menekankan pada pengurangan beban untuk
orang lain dan memaksimalkan ekspresi kepercayaan yang memberikan
keuntungan untuk orang lain dalam kegiatan bertutur. Penutur yang berpegang
teguh pada maksim kearifan atau kebijaksanaan ini, akan dapat menghindarkan
diri dari sikap dengki dan iri hati kepada mitra tuturnya. Di bawah ini beberapa
contoh tuturan yang memperlihatkan kepatuhan si penutur terhadap maksim
kearifan.
(1) “Bisa mengikuti wawancara orang lain, bisa kamu sendiri selaku pewawancara.” (G, 36).
Konteks tuturan:
Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya untuk memberikan saran dalam mengerjakan tugas wawancara. Tuturan tersebut dituturkan dengan nada santun.
(2) “Kalau bukunya ketinggalan, nanti bisa gabung dengan temannya.”
(G, 27). Konteks tuturan:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Tuturan dituturkan oleh Ibu guru kepada siswanya di kelas pada saat mengerjakan tugas latihan. Pada waktu itu siswanya ada yang tidak membawa buku.
Kedua contoh tuturan di atas, yaitu tuturan (1) dan (2) menunjukkan
bahwa si penutur selalu memberikan keuntungan pada mitra tuturnya ketika
bertutur. Pada tuturan (1) penutur memberikan pilihan mengenai tugas
wawancara. Pada tuturan (2) penutur menyarankan siswa yang tidak membawa
buku untuk gabung dengan temannya. Dengan berprinsip pada maksim kearifan
atau kebijaksanaan tersebut, penutur telah menghindarkan diri dari sikap dengki
dan iri hati kepada mitra tuturnya. Selain itu, penutur juga mengerti keadaan mitra
tuturnya dengan memberikan bantuan atau respon baik.
(2) Maksim Kerendahan Hati atau Kedermawanan (the generosity maxim)
Maksim kedermawanan ini menyatakan bahwa kita harus mengurangi
ekspresi yang menguntungkan diri sendiri dan harus memaksimalkan ekspresi
yang dapat menguntungkan orang lain. Apabila setiap orang melaksanakan
maksim ini pada saat bertutur, hal-hal yang tidak diinginkan akan terhindar,
seperti kedengkian, iri hati, dan sakit hati antarsesama perbedaan mencolok
dengan maksim kearifan atau kebijaksanaan adalah bahwa maksim
kedermawanan menawarkan suatu perbuatan atau tingkah laku, tetapi penerima
(mitra tutur) dimungkinkan untuk menolak apa yang menjadi tawarannya.
Perhatikan beberapa contoh tuturan yang memperlihatkan maksim kedermawanan
berikut ini.
(3) “Maka pakailah dengan bahasa yang benar.” (G, 44) Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya pada saat salah satu siswa membacakan hasil wawancara dengan bahasa yang kurang tepat.
(4) “Dah itu untuk PR di rumah, kalau pertemuan besok hari sabtu bisa kita bahas bersama-sama.” (G, 28)
Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Ibu guru kepada siswanya ketika siswa
mengerjakan di ruang kelas, tetapi jam pelajaran sudah usai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Contoh data tuturan di atas, yaitu tuturan (3) dan (4) menunjukkan bahwa
si penutur mau merugi kepada mitra tutur. Pada tuturan (3) penutur menyarankan
untuk menggunakan bahasa yang benar. Pada tuturan (4) memberikan tugas
rumah yang seharusnya tuagas sekolah. Berprinsip pada maksim kedermawanan
atau kemurahan hati tersebut, penutur telah member bantuan atau respon baik dan
juga menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti sikap dengki, iri hati, dan
sakit hati antarsesama.
(3) Maksim Pujian atau Penghargaan (the approbation maxim)
Maksim tersebut menuntut kita untuk meminimalkan ekspresi
ketidakyakinan terhadap orang lain dan memaksimalkan ekspresi persetujuan
kepada orang lain. Maksim pujian atau penghargaan ini memiliki kekuatan lebih.
Suatu kegagalan mengikat diri sendiri kepada suatu pendapat yang
menguntungkan justru mengimplikasikan bahwa seseorang tidak melakukan hal
itu. Dengan perkataan lain, bahwa maksim tersebut diperlukan untuk memberikan
dorongan yang tulus kepada orang lain agar tidak patah semangat. Di bawah ini
beberapa contoh tuturan yang memperlihatkan maksim pujian atau penghargaan.
(5) “Pinter…..” (G, 48).
Konteks tuturan:
Tutran dituturkan oleh Ibu guru kepada siswanya pada saat siswa bisa menjawab pertanyaan guru. Tuturan dituturkan dengan nada memuji.
Tuturan di atas menunjukkan bahwa penutur memberikan pujian atas
ejekan salah satu teman. Pada tuturan (5) memuji siswanya karena bisa menjawab
pertanyaan guru. Dengan berprinsip pada maksim pujian atau penghargaan
tersebut, penutur telah memberi respon baik kepada mitra tuturnya dan juga
memberikan dorongan yang tulus kepada mitra tuturnya agar terus bersemangat.
(4) Maksim Kerendahan Hati atau Kesederhanaan (the modesty maxim)
Maksim kerendahan hati atau kesederhanaan ini dimaksudkan agar
peserta tutur tetap bersikap rendah hati, dengan cara mengurangi pujian terhadap
dirinya sendiri. Maksim ini menuntut diri kita untuk tidak membanggkan diri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
sendiri. Penutur akan akan dikatakan sombong dan congkak apabila di dalam
bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam pandangan
masyarakat kita, kerendahan hati dan kesederhanaan ini banyak digunakan
sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Berikut ini contoh tuturan
yang memperlihatkan kepatuhan terhadap prinsip kerendahan hati atau
kesederhanaan.
(6) “Kalau bukunya ketinggalan, nanti bisa gabung dengan temannya.” (M, 27).
Konteks tuturan:
Tuturan dituturkan oleh Ibu guru kepada siswanya pada saat untuk membuka buku pelajaran. Tuturan dituturkan dengan nada merendah.
Contoh data tuturan di atas menunjukkan bahwa penutur bersikap rendah
hati, dengan cara mempersilakan untuk gabung dengan teman. Pada tuturan (6)
guru mempersilakan siswa yang tidak membawa buku dengan temannya.
Berprinsip pada maksim kerendahan hati atau kesederhanaan ini, penutur telah
berusaha menjaga keharmonisan dan kesantunan dalam bertutur.
(5) Maksim Kesepakatan atau Persetujuan (the agreement maxim)
Maksim kesepakatan tersebut menuntut kita untuk mengurangi
ketidaksetujuan antara diri sendiri dan orang lain, memaksimalkan persetujuan
antara diri sendiri dan orang lain. Ada kecenderungan atau tendensi untuk
membesar-besarkan persetujuan atau kesepakatan denga orang lain dan ada juga
yang memperkecil ketidaksetujuan dengan cara menyatakan penyesalan, memihak
pada kemufakatan, dan sebagainya. Di dalam masyarakat tutur kita, penututur
diharapkan tidak membantah atau memotong pembicaraan secara langsung,
terutama apabila umur, jabatan, dan status penutur berbeda denga mitra tutur. Di
bawah ini contoh tuturan yang memperlihatkan kepatuhan terhadap maksim
kesepakatan atau persetujuan.
(7) G : “Di sini muridnya berapa to?”
M : “Sembilan belas”
G : “Kalau dua-dua berarti sisa satu”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
M : “Yang satu ndobel wae”
G : “Ok ya udah untuk tugasnya ini nanti tetap pribadi, satu orang satu.” (G & M, 52)
Konteks tuturan:
Tuturan dituturkan oleh guru dan siswa pada saat guru memberikan tugas kelompok. Jawaban si mitra tutur dituturkan dengan nada menyetujui pernyataan si penutur.
Kedua tuturan di atas, yaitu data (7) menunjukkan bahwa penutur
berusaha menyepakati mitra tuturnya, misalnya dengan ungkapan “iya”. Dengan
berprinsip pada maksim kesepakatan atau persetujuan tersebut, penutur penutur
telah memberi respon baik kepada mitra tuturnya dan menjaga keharmonisan
hubungan dengan mitra tutur agar komunikasi tetap berjalan lancar.
(6) Maksim Simpati (sympathy maxim)
Maksim simpati ini menuntut diri kita untuk mengurangi rasa antipasti
antara diri dengan orang lain dan tingkatan rasa simpati sebanyak-banyaknya
antara diri dan orang lain. Sikap antipasi atau bersikap sinis terhadap salah
seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan yang tidak santun. Di bawah
ini contoh tuturan yang memperlihatkan kepatuhan terhadap maksim simpati pada
saat bertutur.
(8) G : “Problem punya pacar, dah punya semua?”
M : “Belum.”
G : “Alhamdulilah…kalau belum itu bisa sampai kelas dua belas nanti Amin….” (G & M, 13)
Kontek tuturan:
Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya pada saat membahas tentang wawancara dan guru menyinggung tentang pacaran. Jawaban si mitra tutur dituturkan dengan nada simpatis.
Contoh tuturan data di atas menunjukkan bahwa penutur memberikan
apresiasi positif terhadap apa yang dituturkan mitra tuturnya. Pada contoh di atas
penutur tidak menunjukkan sikap sinis , tetapi justru si penutur memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
tanggapan yang enak didengar atau berkenan bagi mitra tuturnya. Dengan
berprinsip pada maksim simpati ini, penutur telah menjaga keharmonisan dengan
mitra tutur pada saat bertutur.
Selain itu, peristiwa tutur di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar pada
proses pembelajaran di kelas juga ditemukan dua prinsip untuk mengupayakan
komunikasi yang santun, yaitu penghindaran pemakaian kata tabu dengan
penggunaan eufimisme dan penggunaan pilihan kata honorifik sebagai prinsip
hormat dalam bertutur. Berikut penjelasan kedua prinsip kesantunan tersebut.
(7) Prinsip Penghindaran Kata Tabu dengan Penggunaan Eufimisme
Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang
merujuk pada oragan tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk
pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata “kotor” atau “ kasar”
termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-
hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Penutur sering menggunakan eufimisme
atau ungkapan penghalus untuk menghindari bentuk tabu tersebut. Penggunaan
eufimisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif.
Contoh tuturan yang tergolong tabu, tetapi akan menjadi ungkapan yang
santun apabila diubah dengan penggunaan eufimisme, misalnya sebagai berikut.
(9) “Garis besar, kalau pacar itu membangkitkan semangat belajar dan beribadah itu mungkin bagianmu, tapi kalau pacar itu sebaliknya membikin kumat semangat sesuatu itulah setan, iblis dalam tingkatan ilmiah.” (G, 14).
Konteks tuturan:
Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya pada saat menjelaskan problem punnya pacar. Siswa siswa merespon dengan tertawa bersama, karena memang pada saat itu siswa juga memperhatikan penjelasan guru.
Pemakaian ungkapan membikin kumat semangat sudah tepat untuk
menghindari bentuk tabu patah semangat.
(8) Prinsip Hormat dengan Penggunaan Kata Honorifik
Penggunaan pilihan kata honorifik merupakan bentuk ungkapan hormat
untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak
hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa), tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi
bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan
secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa
karma inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang
tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang
dihormati oleh pembicara. Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan,
sebutan kata diri, seperti Engkau, Anda, Saudara, Bapak/Ibu mempunyai efek
kesantunan yang berbeda ketika kita gunakan untuk menyapa orang. Keempat
kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seorang pemuda
menanyakan menanyakan seorang pria yang lebih tua.
(10a) “Engkau mau ke mana?”
(10b) “ Saudara mau ke mana?”
(10c) “Anda mau ke mana?”
(10d) “Bapak mau ke mana?”
Dalam konteks tersebut, kalimat (10a) dan (10b) tidak santun atau kurang
santun diucapkan oleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (10d) yang
sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan. Kalimat
(10c) lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang
disapanya, walaupun lebih pantas penggunaan kalimat (10d). contoh tuturan lain
yang ditemukan dalam peristiwa tutur di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar,
yaitu sebagai berikut.
(11) ” Ayo silahkan jika anda pidato, langkah pertama apa?” (M, 06)
Konteks tuturan:
Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya pada saat guru menjelaskan materi tentang pidato.
Contoh data tuturan di atas, yaitu tuturan (11) penutur menggunakan
bentuk ungkapan hormat pada saat bertutur dengan mitra tuturnya, yaitu dengan
menggunakan benttuk sapaan Bu, Pak, dan Ibu. Pemakaian bentuk-bentuk
honorifik tersebut sudah tepat karena status mitra tutur memang lebih tinggi dari
penutur. Dengan berprinsip pada penggunaan pilihan kata honorifik tersebut,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
penutur telah memberi penghormatan kepada mitra tuturnya agar kelangsungan
komunikasi berjalan dengan lancar.
2. Penerapan Prinsip Kerja Sama
Dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar terdapat
tuturan-tuturan yang mematuhi dan ada yang melanggar maksim-maksim dalam
prinsip kerja sama. Deskripsi lebih lanjut tentang penerapan prinsip kerja sama
dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar dapat dillihat pada
tuturan-tuturan berikut ini.
(12) “Di sini muridnya berapa to?”(G, 52)
(13) “Sembilan belas” (M, 52)
(14) “Kalau dua-dua berarti sisa satu.” (G, 52)
Konteks tuturan:
Tuturan dituturkan oleh Ibu guru kepada siswa pada saat guru memberikan tugas kelompok. Jawaban si mitra tutur dituturkan dengan nada menyetujui si penutur.
Tuturan (12), (13), dan (14) yang merupakan tuturan asertif
mengumumkan, mematuhi maksim kualitas, relevansi dan pelaksanaan, namun
melanggar maksim kuantitas. Dilihat dari maksim kualitas, tuturan tersebut
memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dan mitra tutur, kerena
penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya. Demikian juga, jika dilihat dari
maksim relevansi, tuturan (12), (13), dan (14) memberikan kontribusi yang
relevan tentang sesuatu yang dipertuturkan. Tuturan ini dituturkan oleh penutur
sebelum melanjutkan materi berikutnya. Sebelum membagi kelompok, guru harus
menanyakan jumlah murid di kelas tersebut. Tuturan ini secara langsung, jelas,
tidak kabur, dan tidak taksa sehingga mematuhi maksim pelaksanaan.
Namun demikian, tuturan (12), (13), dan (14) ini melanggar maksim
kuantitas. Hal ini dapat dilihat pada tuturan tersebut bahwa tuturan itu
mengungkapkan jumlah murid di kelas tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
(15) “Kalau tujuan jelas, ya itu tujuannya adalah mencari solusi. Buatlah rangkuman! Ini PR, PS juga boleh. Buatlah rangkuman dari isi wawancara yang kamu lakukan, terserah kamu wawancarai siapa, narasumbernya siapa terserah. Besok pon itu akan saya tanyakan (guru sambil tertawa). Nah di situ ada itu romawi dua tinggal melingkari, nomor tiga juga ada sampaikan hasil rangkuman secara lisan kemudian beri penilaian atau tanggapan, besok hasil rangkuman dari teman-temanmu. Ada masalah? Interview bisa kamu laksanakan, narasumbernya bisa kamu pilih siapa yo cepat! Bapakmu boleh, kakek nenekmu boleh, ketua RT boleh, kadus boleh, mantan pacar yo entuk, pejabat-pejabat juga boleh kamu datang ke kantor. Tapi sebentar, langkah-langkah laporan hasil interview sudah tahu belum?”(G, 56).
Konteks tuturan:
Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya ketika PBM di kelas. Siswa pun mendengarkan tuturan Pak guru dengan antusias.
Pada tuturan (15), yang merupakan tuturan asertif menyatakan, penutur
mematuhi seluruh maksim dalam prinsip kerja sama. Dilihat dari maksim
kuantitas, tuturan tersebut memberikan keterangan secukupnya yang dibutuhkan
oleh mitra tutur. Dilihat dari maksim kualitas, tuturan tersebut memberikan fakta
yang nyata, tidak dibuat-buat. Dilihat dari maksim relevansi, tuturan tersebut
memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang dipertuturkan.
Demikian juga, jika dilihat dari maksim pelaksanaan, tuturan (15) tersebut tidak
memberikan keterangan yang berlebihan.
(16) “Tulis! Langkah-langkah laporan hasil wawancara. satu hari, tanggal terus waktu, waktu itu pukul jangan sampai jam, watch salah. Tiga narasumber, terus isi wawancara atau pokok-pokok isi wawancara, terus di bawah sana tertulis penulis atau pembuat laporan boleh. Berkemas-kemas yang pakai jaket nanti dulu, ya sambil tata-tata diperhatikan PR tadi dikerjakan kemudian LKS yang belum, dilanjutkan. Anak SMA itu jangan seperti anak SD. Pelajaran kali ini saya cukupkan sekian, kebetulan seperti hari kamis ini jam siang terus. Mari kita akhiri dengan berdoa. Yuk ketua disiapkan!” (G, 19).
Konteks tuturan:
Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya ketika memerintah untuk menulis laporan hasil wawancara. Siswa pun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
merespon tuturan guru dengan cara langsung melaksanakan perintah guru.
Pada tuturan (16), yang merupakan tuturan asertif menyampaikan,
penutur menyampaikan fakta yang sebenarnya kepada mitra tutur sehingga
penutur mematuhi maksim kualitas. Pada tuturan tersebut penutur juga
memberikan kontribusi yang relevan kepada mitra tutur. Tuturan tersebut
dituturkan oleh penutur pada waktu pembelajaran di kelas. Oleh karena itu,
penutur mematuhi maksim relevansi.
Selain itu, penutur juga mematuhi maksim pelaksanaan, artinya penutur
menyampaikan keterangan kepada mitra tutur secara jelas dan tidak taksa. Namun
demikian, penutur melanggar maksim kuantitas. Hal ini ditunjukkan dengan
dituturkannya klausa kebetulan seperti hari kamis ini jam siang terus.
(17) “Kelincahan dan kepandaian anda dalam berkomunikasi untuk menentukan bahasa termasuk bagaimana anda mencerna suatu taktik wawancara itu diperlukan keterampilan berbahasa Indonesia terdiri dari keterampilan mendengarkan, keterampilan menyimak, keterampilan berbicara bahkan nanti kalau laporan hasil wawancara itu nanti dinamakan keterampilan menulis.” (G, 32).
Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya ketika memberi masukan mengenai keterampilan berbahasa. Siswa memperhatikan dengan serius.
Seperti halnya yang terjadi pada tuturan (17), pada tuturan (17) ini
penutur juga melangar maksim kuantitas. Pada tuturan tersebut terdapat frasa
kelincahan dan kepandaian sebenarnya, tuturan yang mengandung pengertian
dalam berkomunikasi untuk menentukan bahasa termasuk bagaimana anda
mencerna suatu taktik wawancara itu diperlukan keterampilan berbahasa
Indonesia terdiri dari keterampilan mendengarkan, keterampilan menyimak,
keterampilan berbicara bahkan nanti kalau laporan hasil wawancara itu nanti
dinamakan keterampilan menulis. Tidak perlu dituturkan karena seluruh mitra
tutur adalah siswa yang sudah pasti mengetahui apa yang dimaksud dengan
kelincahan dan kepandaian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Namun demikian, tuturan (17) ini mematuhi maksim kualitas, relevansi
dan pelaksanaan. Pada tuturan tersebut penutur menyampaikan sesuatu yang nyata
dan sesuai fakta yang sebenarnya, relevan dengan topik yang sedang dibicarakan,
dan jelas.
(18) “Pekerjaan itu urusan Tuhan, rejeki itu urusan Allah, tugas kita mencari ilmu, nanti Allahlah yang mengaturnya.” (G, 55)
Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya pada saat PBM di kelas. Siswa pun mendengarkan dengan antusias.
Pada tuturan (18) tersebut penutur melanggar maksim kuantitas karena
penutur menyampaikan yang berlebihan ketika dia ingin menyampaikan pesan
kepada mitra tutur berkaitan dengan kekuasaan Allah. Penutur juga melanggar
maksim kualitas karena penutur menyampaikan keterangan yang tidak nyata.
Tuturan (18) tersebut juga tidak memberikan keterangan yang relevan tentang
sesuatu yang sedang dipertuturkan. Pelaksanaan tuturan tersebut disampaikan
secara tidak langsung, tidak jelas dan berlebih-lebihan sehingga melanggar
maksim pelaksanaan.
(19) “Itu biasanya tidak menyimpang dari permasalahan tapi kalau wawancara terbuka seperti kamu pacaran itu wawancara terbuka. Mau teko ki arep takok nggowo buku pora lha kok nggrambyang teko mbahe akeh-akeh itu namanya melebar atau lari dari pokok permasalahan, tetapi kalau yang tertutup sudah ditentukan nanti yang akan saya tanyakan pak lurah akan menanyakan tentang jumlah penduduk dan itu jumlahnya tinggal menulis, ditulis bisa dicentang bisa tinggal milih. Terus pekerjaan penduduk tinggal memberi lingkaran atau pun tanda silang juga boleh.” (G, 18).
Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya ketika menjelaskan tentang wawancara. Siswa pun memeperhatikan tuturan guru.
Pada tuturan (19) penutur melanggar maksim kuaititas. Bagian tuturan
Mau teko ki arep takok nggowo buku pora lha kok nggrambyang teko mbahe
akeh-akeh itu namanya melebar atau lari dari pokok permasalahan, tetapi kalau
yang tertutup sudah ditentukan nanti yang akan saya tanyakan pak lurah akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
menanyakan tentang jumlah penduduk dan itu jumlahnya tinggal menulis, ditulis
bisa dicentang bisa tinggal milih. Terus pekerjaan penduduk tinggal memberi
lingkaran atau pun tanda silang juga boleh. Mestinya tidak perlu ada karena
bagian tuturan ini memberikan keterangan yang berlebihan. Tanpa bagian tuturan
ini pun tuturan (19) tersebut sudah jelas.
Namun demikian, dengan tuturan tersebut penutur mematuhi maksim
kualitas, relevansi dan pelaksanaan. Pada tuturan tersebut penutur menyampaikan
sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sebenarnya. Oleh karena itu tuturan
tersebut mematuhi maksim kualitas. Isi tuturan itupun relevan dengan sesuatu
yang sedang dipertuturkan sehingga tuturan tersebut mematuhi maksim relevansi.
Selain itu, tuturan (19) tersebut menyatakan sesuatu secara langsung, tidak kabur
dan tidak taksa sehingga mematuhi maksim pelaksanaan.
(20) “Pokok-pokok isi wawancara MUI mengeluarkan fatwa bahwa infotaiment haram. MUI menganggap persoalan yang diatasi itu tidak sesuai dengan bidang jurnalistik. MUI menghimbau sebaiknya para pekerja bidang jurnalistik infotaiment tidak terlalu mengekspose kehidupan selebriti terlalu jauh karena dianggap akan mempengaruhi masyarakat. Rangkuman kesimpulan, MUI menganggap infotaiment haram karena tidak sesuai dengan kenyataan.” (M, 41).
Konteks tuturan:
Tuturan dituturkan oleh siswa kepada Pak guru ketika disuruh membacakan hasil wawancara. Siswa pun membaca tugasnya dengan antusias.
Pada tuturan (20) mitra tutur melanggar maksim kuantitas karena dalam
memberikan respon atas pernyataan penutur, mitra tutur mengulang pernyataan
yang dituturkan oleh penutur. Hal ini tidak perlu karena pernyataan pada
hakikatnya membutuhkan respon dan bukan pengulangan pernyataan. Namun
demikian, baik penutur maupun mitra tutur mematuhi maksim kualitas karena
masing-masing tuturannya menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan
fakta yang sebenarnya.
Tetapi, tuturan (20) tersebut mitra tutur melanggar maksim relevansi
karena tidak memberikan kontribusi yang relevan dengan apa yang dituturkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
oleh penutur. Namun demikian, baik penutur maupun mitra tutur mematuhi
maksim pelaksanaan karena dapat dilihat dengan jelas bahwa mereka
menyampaikan sesuatu yang sedang dipertuturkan secara langsung, jelas, tidak
kabur dan tidak taksa.
(21) “Pokok-pokok isi wawancara harga cabai meningkat tiga kali lipat per kilonya. Cara warga mengantisipasi kebutuhan dengan sedikit mengurangi mengkonsumsi cabai.” (M, 40).
Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh siswa kepada Pak guru ketika disuruh membacakan hasil wawancara. Siswa pun membaca tugasnya dengan antusias.
Tuturan (21) di atas melanggar maksim kuantitas karena apabila dilihat
dari pertanyaan yang diajukan oleh penutur, mitra tutur seharusnya hanya
menjawab ya atau tidak. Namun demikian, seperti dapat dilihat pada tuturan di
atas mitra tutur memberikan jawaban yang jauh lebih panjang dan jauh melebihi
yang dibutuhkan oleh penutur.
Jika dilihat dari maksim kualitas, tuturan (21) tersebut memberikan
keterangan yang nyata dan sudah sesuai fakta. Atau dengan kata lain tuturan (21)
di atas memenuhi maksim kualitas. Jika dari dua maksim yang lain, yaitu maksim
relevansi dan maksim pelaksanaan, tuturan (21) di atas telah memberikan
kontribusi tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan dan disampaikan dengan
jelas. Dengan kata lain tuturan (21) di atas mematuhi maksim relevansi dan
maksim pelaksanaan.
(22) “Pengalaman kalian berkunjung ke objek wisata itu ditulis ke dalam bentuk karya ilmiah, tulisan itu bisa dimasukkan ke dalam artikel personal eksperiment contoh yang lain? Karya ilmiah laporan hasil percobaan, laporan pengamatan. Iya… itu berarti mengenai pengalaman pribadi yang dialami penulisnya. Ketika kalian besok ke Bali kalian diminta untuk membuat karya ilmiah. Nah dari karya ilmiah itu nanti sebagai pertanggungjawaban kalian sudah melaksanakan study tour ke Bali, itu bisa dimasukkan ke dalam laporan atau personal eksperiment.” (G, 22).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Konteks tuturan: Tuturan dituturkan guru kepada siswanya dengan nada santai ketika menjelaskan tentang artikel experiment. Siswa pun memperhatikan dengan santai.
Pada tuturan (22) tersebut penutur menyampaikan pertanyaan secara
berlebihan dan tidak langsung pada tujuannya. Demikian pula, mitra tutur
menjawab pertanyaan yang diajukan penutur secara berlebihan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa tuturan (22) tersebut melanggar maksim kuantitas.
Tuturan (22) tersebut tidak memberikan kontribusi yang relevan tentang
sesuatu yang sedang dipertuturkan. Yang diminta penutur adalah pandangan mitra
tutur terhadap telah diterimanya laporan hasil kunjungan. Namun demikian, mitra
tutur memberikan keterangan tentang catatan-catatan yang dihasilkan penutur.
Jadi tuturan (22) melanggar maksim relevansi.
Ide tuturan (22) tersebut tidak bisa dengan mudah ditangkap oleh penutur
memberikan keterangan secara tidak langsung, kabur, dan berlebih-lebihan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (22) tersebut melanggar maksim
pelaksanaan dalam prinsip kerja sama.
(23) “Nah di situ ada itu romawi dua tinggal melingkari, nomor tiga juga ada sampaikan hasil rangkuman secara lisan kemudian beri penilaian atau tanggapan, besok hasil rangkuman dari teman-temanmu.” (G, 54).
Konteks tuturan: Tuturan dituturkan oleh Pak guru kepada siswanya ketika menjelaskan cara mengerjakan tugas di buku LKS. Tuturan dituturkan dengan nada menyuruh.
Pada tuturan (23) melanggar maksim kuantitas karena menyebutkan
romawi dua tinggal melingkari. Yang dimaksud dengan melingkari, mitra tutur
sudah mengetahui bagaimana dalam mengerjakan tugas tersebut. demikian juga,
penutur menyampaikan penjelasan mengenai cara mengerjakan tugas di buku
LKS secara berkepanjangan sehingga dapat dikatakan bahwa penutur melanggar
maksim kuantitas.
jika dilihat dari maksim kualitas, penutur juga melanggar maksim
tersebut, karena yang seharusnya menyampaikan atau menyebutkan melingkari,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
penutur juga menyampaikan penilaian atau tanggapan. hal ini tentu melanggar
maksim kualitas.
lebih lanjut, apabila dicermati masing-masing tuturan pada masing-
masing tindak tutur hamper semuanya mematuhi dan melanggar maksim dalam
prinsip kerja sama. pematuhan dan pelanggaran maksim-maksim tersebut dapat
ditemukan pada tindak tutur asertif, performatif, verdiktif, ekspresif, direktif, dan
komisif.
C. PEMBAHASAN
Penerapan prinsip kesantunan dan prinsip kerja sama dalam pembelajaran
di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar akan dibahas berikut ini satu per satu.
1. Penerapan Prinsip kesantunan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang sudah dikumpulkan,
diidentifikasi, dan diklasifikasi, menunjukkan bahwa bentuk tuturan direktif yang
dituturkan baik siswa maupun guru di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar
ditemukan tuturan yang sudah menerapkan atau mematuhi prinsip kesantunan
berbahasa. Prinsip kesantunan yang dimaksud, yaitu mengacu pada maksim sopan
santun yang dikemukakan Leech (1993).
Maksim-maksim yang dipatuhi oleh penutur di SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar, antara lain (1) maksim kearifan, yang menekankan pada
pengurangan beban untuk orang lain, (2) maksim kemurahan hati atau
kedermawanan, yang menyatakan bahwa kita harus mengurangi ekspresi yang
menguntungkan diri sendiri dan harus memaksimalkan ekspresi yang dapat
menguntungkan orang lain, (3) maksim pujian atau penerimaan, yang menuntut
kita untuk meminimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain dan
memaksimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain, (4) maksim
kerendahan hati atau kesederhanaan, yang menuntut diri kita untuk tidak
membanggakan diri sendiri, (5) maksim kesepakatan atau persetujuan, yang
menuntut kita untuk mengurangi ketidak setujuan antara diri sendiri dengan orang
lain, (6) maksim simpati, yang menuntut diri kita untuk mengurangi rasa antipasti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
antara diri dengan orang lain dan tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya
atara diri dan orang lain. Selain itu, penutur juga menerapkan (7) prinsip
penghindaran kata atau istilah tabu dengan penggunaan eufimisme, serta (8)
prinsip hormat dengan menggunakan pilihan kata honorifik, yang memang sesuai
dengan pranata budaya masyarakat setempat (lingkungan budaya Jawa).
Pematuhan terhadap prinsip-prinsip kesantunan bertutur tersebut terjadi
antara guru dan murid (dalam pembelajaran di kelas). Dalam melakukan setiap
peristiwa tutur, baik dalam posisi sebagai penutur maupun mitra tutur memang
harus memperhatikan betul prinsip-prinsip di atas. Apabila dilanggar, dapat
menimbulkan terjadinya ketidakharmonisan komunikasi, bahkan kegagalan
komunikasi. Oleh karena itu, untuk menciptakan interaksi sosial yang baik dalam
pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, salah satunya dengan
pematuhan terhadap prinsip-prinsip kesantunan berbahasa dalam setiap peristiwa
tutur.
Jika prinsip kerja sama dibutuhkan untuk memudahkan penjelasan
hubungan antara makna dan daya, prinsip kesantunan dibutuhkan untuk menjaga
kesopanan antara penutur dan mitra tutur dalam berkomunikasi. Di dalam
percakapan, penutur harus menyusun tuturannya sedemikian rupa agar mitra
tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara santun. Dalam hal ini,
prinsip kesantunan dapat dipakai sebagai tuturan cara bertutur secara santun
Pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan
tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-maksim dalam prinsip
sopan santun. Jika dibandingkan dengan penerapan prinsip kerja sama, maksim-
maksim dalam sopan santun lebih dipatuhi dari pada dilanggar. Memang tidak
mungkin dalam tuturan yang panjang seorang penutur selalu mematuhi seluruh
maksim dalam prinsip sopan santun. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, secara
konversasional seorang penutur dimungkikan untuk tidak selalu mematuhi seluruh
maksim dalam prinsip sopan santun. Ada kalanya seorang penutur melanggar
salah satu prinsip, prinsip kerja sama atau prinsip sopan santun.
Berdasarkan data yang disediakan dalam penelitian ini mengatakan
bahwa tuturan-tuturan dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Karanganyar dipatuhi atau dilanggar. Tidak ada tuturan yang mematuhi sekaligus
melanggar maksim-maksim dalam prinsip sopan santun. Hal ini dimungkinkan
terjadi karena data yang diperoleh dari pembelajaran di kelas yang berkaitan
dengan penyampaian materi pembelajaran yang disampaikan oleh gutu kepada
murid. Namun demikian, juga ditemukan pematuhan dan pelanggaran maksim-
maksim dalam prinsip sopan santun ini pada tindak tutur asertif, performatif,
verdiktif, ekspresif, direktif, dan komisif.
Tuturan-tuturan yang berkaitan dengan penilaian terhadap tuturan guru
dimungkinkan tuturan-tuturan yang ada mematuhi atau melanggar maksim dalam
prinsip sopan santun. Dalam proses penilaian atas tuturan guru, murid hanya
memiliki dua pilihan, yaitu menerima atau menolak. Jika akan menerima materi
yang disampaikan guru, tentunya penutur yang dalam hal ini adalah guru
mematuhi maksim-maksim dalam prinsip sopan santun. Sebaliknya,
dimungkinkan apabila harus menolak, penutur cenderung melanggar maksim-
maksim dalam prinsip sopan santun. Namun demikian, dimungkinkan juga dalam
proses penilaian seorang penutur menyampaikan kelemahan-kelemahan tersebut
perlu penutur sampaikan sebelum akhirnya menerima atau menolak materi yang
disampaikan. Tidak selalu berarti bahwa jika penutur menyampaikan kelemahan-
kelemahan kemudian akhirnya menolak materi yang disampaikan. Hal ini akan
mempengaruhi dalam penerapan maksim-maksim dalam prinsip kesantunan.
2. Penerapan Prinsip Kerjasama
Komunikasi yang terjadi dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar berjalan lancar. Hal ini menunjukkan bahwa guru SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar telah menerapkan maksim-maksim dalam prinsip
kerja sama dalam berkomunikasi. Antara penutur dan mitra tutur terdapat
semacam kesepakatan bersama tentang ikhwal yang dibicarakan, yaitu saling
berhubungan dan berkaitan antara apa yang disampaikan oleh penutur dan apa
yang diinginkan oleh mitra tutur.
Secara konversasional, dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar ditemukan tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-
maksim dalam prinsip kerja sama. Hal demikian memang dimungkinkan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
komunikasi. Seorang penutur tidak harus selalu mematuhi seluruh maksim dalam
prinsip kerja sama dalam berkomunikasi. Pematuhan dan pelanggaran maksim-
maksim dalam prinsip kerja sama terjadi pada tindak tutur asertif, performatif,
verdiktif, direktif, ekspresif, dan komisif.
Maksim yang dilanggar dalam prinsip kerja sama dalam pembelajaran di
SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar adalah maksim kuantitas. Penutur
memberikan keterangan lebih banyak dari pada yang dibutuhkan dalam
komunikasi. Ha ini terjadi karena dalam menyampaikan materi penutur cenderung
mengemukakan sesuatu yang akan dipertuturkan secara panjang lebar. Hal ini
wajar karena dalam berkomunikasi seorang penutur tidak hanya harus
memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip kerja sama saja, tetapi juga harus
memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip sopan santun. Sedangkan maksim
yang dipatuhi dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar adalah
maksim relevansi. Hal ini wajar mengingat keterangan yang diberikan dalam
komunikasi haruslah sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sesungguhnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kesantunan
bentuk direktif di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar berdasarkan penerapan
prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun bentuk tuturan direktif yang telah
dikemukakan di depan, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.
1. Penerapan prinsip kesantunan bentuk tuturan direktif oleh guru dan siswa
dalam peristiwa tutur di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, antara lain (a)
maksim kearifan, (b) maksim kemurahan hati atau kedermawanan, (c)
maksim pujian atau penghargaan, (d) maksim kerendahan hati atau
kesederhanaan, (e) maksim kesepakatan atau persetujuan, dan (f) maksim
simpati. Selain itu juga prinsip penghindaran pemakaian kata tabu dengan
penggunaan eufimisme dan penggunaan pilihan kata honorifik.
2. Pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan tuturan-
tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-maksim dalam prinsip kerja
sama. Hal demikian memang dimungkinkan dalam komunikasi. Seorang
penutur tidak harus selalu mematuhi seluruh maksim dalam prinsip kerja
sama dalam berkomunikasi. Maksim yang dilanggar dalam prinsip kerja sama
adalah maksim kuantitas. Penutur memberikan keterangan lebih banyak dari
pada yang dibutuhkan dalam komunikasi. Ha ini terjadi karena dalam
menyampaikan materi penutur cenderung mengemukakan sesuatu yang akan
dipertuturkan secara panjang lebar. Hal ini wajar karena dalam
berkomunikasi seorang penutur tidak hanya harus memperhatikan maksim-
maksim dalam prinsip kerja sama saja, tetapi juga harus memperhatikan
maksim-maksim dalam prinsip kesantunan. Sedangkan maksim yang paling
banyak dipatuhi adalah maksim relevansi. Hal ini wajar mengingat
keterangan yang diberikan dalam komunikasi haruslah sesuatu yang nyata
dan sesuai dengan fakta sesungguhnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
B. Implikasi
Berdasarkan simpulan di atas, dapat diajukan beberapa implikasi
penelitian sebagai berikut.
1. Hasil penelitian mengenai kesantunan tuturan direktif di SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar ini dapat juga dijadikan sumbangan modal,
baik bagi guru bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia maupun bidang studi
kewarganegaraan ataupun budi pekerti, khususnya dalam mengajarkan
berbahasa yang santun, agar lebih variatif dalam memberikan contoh-contoh
bentuk kesantunan berbahasa. Selain itu, dapat dimanfaatkan bagi masyarakat
tutur sebagai tambahan acuan untuk mempermudah membina relasi dan
menjalin hubungan kerja sama di dalam membangun komunikasi yang
harmonis dengan mitra tutur sesuai dengan konteksnya.
2. Praktik kebahasaan dalam peristiwa tutur di sekolah merupakan fenomena
yang menarik dalam perkembangan bahasa, dalam hal ini pemakaian bahasa
yang santun. Kajian mengenai kesantunan bentuk tuturan direktif di SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar ini dapat memberi tambahan ilmu bagi
peneliti bahasa Indonesia yang ingin mengembangkan lebih lanjut mengenai
kajian kesantunan bentuk tuturan direktif dengan pendekatan sosiopragmatik.
Selain itu, hasil penelitian ini dapat membantu memperkaya
pengidentifikasian bentuk kesantunan berbahasa.
3. Kajian mengenai kesantunan bentuk tuturan direktif di SMA Muhammadiyah
1 Karanganyar ini dapat dijadikan salah satu alternatif pertimbangan
pemilihan bahan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, mulai
tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi. Pemilihan bahan pengajaran yang
diambilkan dari seleksi aturan-aturan di lingkungan sekolah tersebut
sekaligus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa
yang santun. Kondisi demikian, kiranya perlu dipikirkan kembali karena
fenomena kesantunan berbahasa di dalam peristiwa tutur di sekolah tersebut
mempunyai beberapa sisi positif, yaitu menambah atau meningkatkan
kreativitas berbahasa dan untuk tetap mempertahankan penggunaan bahasa
Indonesia yang santun, baik dalam komunikasi formal maupun nonformal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
4. Kesantunan berbahasa juga merupakan salah satu kajian pendidikan umum,
yang dapat dijadikan jembatan pertama menuju pemaknaan lebih mendasar
pada tujuan, peran, dan fungsi pendidikan umum dengan mengambil nilai-
nilai dari agama dan budaya. Pendidikan umum mengarahkan tujuannya
kepada perwujudan manusia yang berkepribadian. Sosok manusia yang
memiliki kepribadian baik ditampakkan secara nyata melalui bahasa yang
ditampilkannya secara santun.
C. Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi di atas, dapat diberikan beberapa
saran sebagai berikut.
1. Hendaknya diadakan pengajaran kebahasaan yang lebih variatif mengenai
pemakaian bahasa yang santun di semua aspek keterampilan berbahasa, yaitu
membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Hal ini mengingat kesantunan
berbahasa Indonesia cukup penting, salah satunya dalam membentuk
kepribadian generasi muda yang lebih baik.
2. Apabila ingin memelihara kelangsungan bahasa Indonesia agar tetap santun,
alangkah baiknya siswa dan guru, khususnya di SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar tetap mempertahankan menggunakan bentuk-bentuk tuturan
yang santun pada saat bertutur, baik dalam situasi formal maupun nonformal.
3. Mencari penyebab pelanggaran dan pematuhan maksim-maksim dalam
prinsip kerja sama dan sopan santun dalam pembelajaran di SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar.
4. Hasil penelitian ini kiranya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif
contoh bahan ajar yang akan diberikan kepada siswa di sekolah, khususnya
mengenai bentuk kesantunan dalam tuturan direktif.