19
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………...i DAFTAR ISI………………………………………………………………………..ii I. PENDAHULUAN………………………………………………………….1 II. DEFINISI…………………………………………………………………...2 III. EPIDEMIOLOGI…………………………………………………………...2 IV. ETIOLOGI………………………………………………………………….3 V. PATOGENESIS…………………………………………………………….4 VI. DIAGNOSIS………………………………………………………………...7 VII. DIAGNOSIS BANDING……………………………………………………8 VIII. PENATALAKSANAAN……………………………………………………9 IX. PROGNOSIS………………………………………………………………10 X. KESIMPULAN…………………………………………………………….10 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………11 1

Tinea Corporis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tinea Corporis

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………...i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………..ii

I. PENDAHULUAN………………………………………………………….1

II. DEFINISI…………………………………………………………………...2

III. EPIDEMIOLOGI…………………………………………………………...2

IV. ETIOLOGI………………………………………………………………….3

V. PATOGENESIS…………………………………………………………….4

VI. DIAGNOSIS………………………………………………………………...7

VII. DIAGNOSIS BANDING……………………………………………………8

VIII. PENATALAKSANAAN……………………………………………………9

IX. PROGNOSIS………………………………………………………………10

X. KESIMPULAN…………………………………………………………….10

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………11

1

Page 2: Tinea Corporis

TINEA KORPORIS

I. PENDAHULUAN

Dermatomikosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur yang

diklasifikasikan menjadi dermatomikosis profunda dan superfisial. Infeksi jamur

superfisial biasanya menyerang di bagian lapisan stratum korneum, rambut dan kuku,

manakala infeksi jamur profunda menyerang jaringan di bagian bawah kulit, misalnya

traktus intestinalis, traktus respiratorius, traktus urogenitalis, susunan kardiovaskular,

susunan saraf sentral, otot tulang, dan kadang-kadang kulit. Dermatomikosis superfisial

dibedakan menjadi dermatofitosis dan nondermatofitosis. Dermatofitosis adalah penyakit

pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis,

rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Secara umum

dermatofitosis disebabkan oleh golongan jamur dermatofita, yaitu Microsporum,

Trychophyton, dan Epidermophyton. Beberapa penyakit yang tergolong dalam

dermatofitosis antara lain, tinea kapitis, tinea barbe, tinea kruris, tinea pedis, tinea

manum, tinea unguium dan tinea korporis.(1,2,3)

Tinea korporis merupakan infeksi dermatofit superfisial kulit selain kulit kepala,

janggut, wajah, tangan, kaki, dan sela-sela paha yang disebabkan oleh jamur golongan

Microsporum, Trychophyton, dan Epidermophyton. Dermatofitosis ini ditandai oleh satu

atau lebih lesi bulat berbatas tegas disertai eritematosa, kering, bersisik, dan bercak

hipopigmentasi. Penatalaksanaan untuk tinea korporis dapat diberikan obat sistemik

maupun topikal. Obat sistemik diberikan apabila lesi luas atau pengobatan topikal tidak

efektif. Tinea korporis memiliki prognosis yang baik dengan pengobatan yang adekuat

dan kelembaban serta kebersihan dijaga. Lesi tinea korporis yang luas dapat menjadi

tanda dari acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), atau dapat pula terkait dengan

penggunaan kortikosteroid topikal atau calcineurine inhibitor.(1,2)

2

Page 3: Tinea Corporis

II. DEFINISI

Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh yang tidak berambut.

Manifestasi klinik menunjukkan invasi dan proliferasi yang disebabkan oleh fungi pada

stratum korneum. Menurut definisi, termasuk pula lesi pada tungkai dan anggota tubuh,

kecuali pada bagian-bagian tertentu seperti kulit kepala, kaki, dan sela-sela paha.(4)

III. EPIDEMIOLOGI

Trychophyton rubrum adalah spesies jamur yang paling umum di dunia dan

merupakan sumber dari 47% kasus tinea korporis.(5,6,7) Trichophyton tonsurans adalah

dermatofit paling umum yang menyebabkan tinea capitis, dan orang dengan infeksi tinea

kapitis antropofilik lebih cenderung berkembang menjadi tinea korporis. Oleh karena itu,

prevalensi tinea korporis yang disebabkan oleh T.tonsurans meningkat.(8)

Di Amerika Serikat, Trychophyton rubrum, Microsporum canis, dan

Trychophyton mentagrophytes adalah penyebab umum, meskipun dapat disebabkan oleh

dermatofit lainnya. Beberapa lesi kecil yang umumnya disebabkan oleh paparan hewan

peliharaan dengan Microsporum canis. Jamur hewan lainnya, seperti zoofilik granular

T.mentagrophytes terkait tikus bambu di Asia Tenggara dan dapat menyebabkan epidemi

yang luas.(2)

Tinea imbrikata, disebabkan oleh T. concentricum, yang secara klinis tampak plak

eritematosa dengan membentuk lingkaran yang kosentris. Tinea imbrikata hanya terdapat

pada Timur Jauh, Pasifik Selatan, dan Amerika Tengah dan Selatan. Berdasarkan

penelitian Anzawa K. dkk, dilaporkan Trychophyton tonsurans telah diteliti menginfeksi

atlet judo, pegulat, dan atlet sumo pada sebuah epidemi tinea korporis dan tinea kapitis di

Jepang. Penyakit ini terdapat di berbagai daerah tertentu di Indonesia, misalnya

Kalimantan, Sulawesi, Irian Barat, Kepulauan Aru dan Kei, Sulawesi Tengah, juga di

Pulau Jawa.(1,9)

IV. ETIOLOGI

3

Page 4: Tinea Corporis

B

Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan

jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita terbagi dalam 3 genus, yaitu

Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Hingga kini dikenal sekitar 40

spesies atau lebih, sebagian tersebar secara luas dan sebagian terbatas pada wilayah

tertentu. Sekitar 10 spesies menyebabkan infeksi pada manusia. Meskipun semua

dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, spesies yang paling sering adalah T.

rubrum, T. mentagrophytes, M. canis, dan T. tonsurans.(1,9,12)

T. rubrum mempunyai mikrokonidia seperti tetesan air mata di sekitar hifa, dan

makrokonidia berbentuk seperti pensil. T. Mentagrophytes mempunyai mikrokonidia

seperti anggur banyak di sekitar hifa dan makrokonidia berbentuk gada dan ada hifa

spiral, M. Canis mempunyai mikrokonidia berbagai bentuk dan makrokonidia berbentuk

gada , dan T. Tonsurans mempunyai mikrokonidia yang tidak khas, dan makrokonidia

ujungnya lancip seperti kait. (3)

.

Gambar 1.A.Trichophyton rumbrum, B. Trichophyton mentagrophytes, C. Trichophytom

tonsurans, D. Microsporum canis (3)

V. PATOGENESIS

4

A

DC

Page 5: Tinea Corporis

Tinea korporis dapat menular melalui kontak langsung dengan manusia atau

hewan, melalui autoinokulasi dari reservoir seperti T. rubrum. Anak-anak lebih

cenderung terkena zoofilik patogen, khususnya M. canis dari anjing dan kucing. Pakaian

oklusif dan iklim yang lembab dihubungkan dengan frekuensi dan beratnya erupsi.

Pakaian oklusif, frekuensi kontak langsung, dan trauma minor pada pegulat menciptakan

keadaan dimana dermatofita dapat tumbuh. Banyak kasus “tinea korporis gladiatorum”

disebabkan oleh T. Tonsurans. Dermatofit tidak bersifat endopatogen. Penularan

dermatofit ke manusia terjadi melalui tiga sumber, masing-masing memiliki ciri khas

(Tabel 1). Meskipun dermatofit tidak mematikan dan biasanya hanya menyerang lapisan

stratum korneum, namun dapat menyebabkan tingkat morbiditas yang cukup besar.

Penyesuaian mereka untuk host yang berbeda telah berkembang, memungkinkan

kronisitas lebih besar dan meluasnya infeksi.(3,10)

TIPE DERMATOFITA BERDASARKAN CARA TRASMISI

Kategori Cara Transmisi Tanda Khas

Antropofili

k

Manusia ke manusia Inflamasi ringan hingga non-inflamasi,

kronik

Zoofilik Hewan ke manusia Inflamasi berat (bisa terdapat pustul dan

vesikel), akut

Geofilik Tanah ke manusia atau

hewan

Inflamasi sedang

Tabel 1. Tipe dermatofita berdasarkan cara trasmisi.(10)

Infeksi alami terjadi pada saat arthrospora atau hifa mengendap pada permukaan

kulit individu yang rentan. Sumber infeksi biasanya berasal dari lesi aktif pada hewan

atau pada individu lain, meskipun transmisi fomite terjadi, dan infeksi dari tanah jarang

terjadi. Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang

luka, jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya

artrospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada

5

Page 6: Tinea Corporis

stratum korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi

pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan patogen dari tempat

infeksi sehingga patogen akan mecari tempat yang baru di bagian tubuh. Setelah masa

inkubasi, yang berlangsung 1-3 minggu, respon jaringan terhadap infeksi menjadi jelas.

Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa

central healing.(4,11)

Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena stratum

korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita dan untuk

pertumbuhan miselia jamur. Infeksi dermatofita terjadi melalui tiga tahap: adhesi pada

keratinosit, penetrasi, dan perkembangan respon host.(3,11)

1. Adhesi pada keratinosit.

Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia sebagai

elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme ini harus dapat bertahan

dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal,

dan zat yang dihasilkan oleh keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar

sebasea bersifat fungi statik.

2. Penetrasi

Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi pada

stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase, dan enzim

musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini. Trauma dan maserasi juga

memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor yang penting juga pada patogenesis tinea.

Mannan yang terdapat pada dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi

keratinosit. Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam, termasuk

kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan dapat menghambat

pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.

3. Perkembangan Respon Host

6

Page 7: Tinea Corporis

Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun penderita dan

organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel yang mengalami inflamasi

dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur menghasilkan kemotaktik

faktor seperti yang dihasilkan juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi

komplemen melalui jalur alternatif, yang kemudian menghasilkan faktor kemotaktik

berasal dari komplemen.

Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi dermatofita,

seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi dermatofita yang luas juga

menunjukkan titer antibodi yang meningkat namun tidak berperan untuk mengeliminasi

jamur ini. Akan tetapi, reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam

melawan dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon-γ yang

diatur oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan paparan dermatofita

sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan inflamasi yang ringan dan testrikopitin

biasanya menunjukkan hasil yang negatif. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan

skuama ringan, sebagai hasil dari percepatan tumbuhnya keratinosit. Ada yang

mengungkapkan hipothesis bahwa antigen dari dermatofita lalu diproses oleh sel

Langerhans dan dipresentasikan di nodus limfatikus kepada sel limfosit T. Sel limfosit T

berproliferasi klonal dan bermigrasi ke tempat infeksi untuk melawan jamur. Saat itu lesi

kulit menunjukkan reaksi inflamasi dan barier epidermal menjadi permeable untuk

migrasi dan perindahan sel. Sebagai akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi

menjadi sembuh spontan. Dalam hal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang positif dan

penyembuhan terhadap infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih cepat. Selain reaksi

hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga dapat menginduksi reaksi

hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1).(3,11)

VI. DIAGNOSIS

7

Page 8: Tinea Corporis

Diagnosis klinis dari infeksi dermatofit dapat ditegakkan melalui anamnesis,

pemeriksaan fisis, evaluasi mikroskopis atau kultur. Pada anamnesis keluhan yang sering

membuat pasien datang berobat adalah rasa gatal di daerah badan dan terdapat benjolan-

benjolan kecil pada daerah yang merasa gatal. Pada pemeriksaan fisis ditemukan lesi

bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan

vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang

terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-

bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi

dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.(3,10)

Diagnosis relatif mudah dibuat dengan menemukan jamur dibawah mikroskop

pada kerokan kulit. Meskipun evaluasi mikroskopis dapat memberikan bukti infeksi

jamur dalam beberapa menit, evaluasi mikroskopis juga dapat menghasilkan hasil negatif

palsu. Kultur jamur harus dilakukan jika secara klinis infeksi dermatofit dicurigai.(3)

Sampel untuk diagnosis diperoleh dari kerokan (scrapping) dan usapan lesi kulit.

Bagian yang terinfeksi dibersihkan dengan alkohol 70%. Hasil kerokan kemudian

diletakkan pada gelas objek steril selanjutnya ditambahkan 1-2 tetes KOH 10%. Sediaan

dibiarkan pada temperatur kamar selama 2-5 menit, dilayangkan beberapa kali di atas api

kecil dan dilihat di bawah mikroskop. Adanya hifa menunjukkan infeksi disebabkan oleh

jamur.(10)

Bila pemeriksaan positif (ditandai adanya hifa dan spora pada hasil scrapping)

dilanjutkan dengan kultur jamur. Infeksi positif oleh jamur dikerok dengan skalpel dan

dikultur pada media nutrient agar, diinkubasi 370C selama 24 jam. Media reaksi biokimia

seperti triple sugar iron agar (TSI), sulfur indole motility agar (SIM), dan simon citrate

agar. Dari hasil kultur jamur dijumpai T.Rubrum dan T.Mentagrophy yang merupakan

patogen penyebab tinea korporis.(1,4)

Gambar 2. a.Tinea Korporis tipe annular pada paha. b.Tinea Korporis tipe “ringworm like” pada leher. (3)

8

A B

Page 9: Tinea Corporis

VII. DIAGNOSIS BANDING

Ada beberapa penyakit kulit yang dapat didiagnosis banding dengan tinea

korporis, misalnya dermatitis seboroik, psoriasis, dan pitiriasis rosea. Kelainan kulit pada

dermatitis seboroik selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya dapat terlihat pada

tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit, misalnya

belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya. Kulit kepala berambut juga sering

terkena penyakit ini. Gambaran klinis yang khas dari dermatitis seboroik adalah skuama

yang berminyak dan kekuningan.(10)

Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh

dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald

patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Perbedaannya pada

pitiriasis rosea gatalnya tidak begitu berat seperti pada tinea korporis, skuamanya halus

sedangkan pada tinea korporis kasar.(10)

Psoriasis pada stadium penyembuhan menunjukkan gambaran eritema pada

bagian pinggir sehingga menyerupai tinea. Perbedaannya ialah pada psoriasis terdapat

tanda-tanda khas yakni skuama kasar, transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetes lilin,

dan fenomena auspitz. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi,

yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku, dan punggung.(9,10)

Gambar 3. : a. Psoriasis : papul eritoskuama dan plak pada punggung

b. Pitiriasis Rosea: erupsi papuloskuama di daerah punggung

c. Dermatitis Seboroik: eritoskuama pada daerah wajah.(3)

VIII. PENATALAKSANAAN

9

A B C

Page 10: Tinea Corporis

Untuk menghilangkan factor predisposisi, menganjurkan pasien daerah lesi selalu

kering dan memakai pakaian yang menyerap keringat.(13) Lesi lokal dari tinea korporis,

pengobatan topikal yang dapat digunakan adalah seperti allylamines, imidazoles,

butenafine, atau ciclopirox. Terapi topikal sebaiknya dioleskan sebanyak 2 kali sehari

selama 2 hingga 4 minggu. (3,14)

Terapi sistemik diindikasikan untuk tinea korporis yang infeksinya meluas. Pada

orang dewasa, terapi sistemik yang dapat digunakan adalah flukonazole 150 mg/minggu

selama 4 – 6 minggu, itrakonazole 100 mg/hari selama 15 hari, dan terbinafine 250

mg/hari selama 2 minggu yang mempunyai efek yang sama seperti griseofulvin 500mg/

hari selama 2 – 6 minggu. Obat terapi sistemik yang sesuai pada anak-anak adalah

ultramikrosize griseofulvin 10-20 mg/kg/hari selama 6 minggu, itrakonazole 5 mg/kg/hari

selama 1 minggu dan terbinafine 3-6 mg/kg/hari selama 2 minggu. (3,13,14)

IX. PROGNOSIS

Tinea korporis mempunyai prognosis yang baik dengan pengobatan yang adekuat

serta selalu menjaga kelembaban dan kebersihan kulit.(3) Infeksi dermatofitosis jarang

menimbulkan kematian, akan tetapi dapat memberikan efek yang besar terhadap kualitas

hidup. (15)

X. KESIMPULAN

Tinea korporis terdapat pada semua umur tetapi lebih sering menyerang orang

dewasa. Penyakit ini bisa ditularkan langsung dari manusia atau binatang, melalui

autoinokulasi. Pada anak – anak lebih sering ditularkan melalui patogen zoofilik.

Pakaian yang terlalu tertutup, lingkungan yang kotor, kontak kulit yang sering dan trauma

minor menciptakan lingkungan yang subur untuk dermatofita. Kelainan ini dapat bersifat

akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.

Gejala subjektif berupa keluhan gatal terutama jika berkeringat. Kelainan yang

dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema,

skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah

tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.

10

Page 11: Tinea Corporis

Diagnosis klinis dari infeksi dermatofit dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan

fisis, evaluasi mikroskopis atau kultur.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Mikosis. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Buku Ilmu Penyakit

Kulit dan Kelamin. 6th edisi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010.

p.89-105.

2. James WD, Berger TG, Elston DM, editors. Dermatophytids: Tinea Corporis (Tinea

Circinata). In: Andrews' Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10th edition.

Pennsylvania: Saunders Elsevier. 2006. p.301-303.

3. Verma S, Heffernan MP. Superficial Fungal Infection: Tinea corporis. In: Wolff K,

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's

11

Page 12: Tinea Corporis

Dermatology In General Medicine. 7th edition. New York; Mc Graw Hill Medical. 2008.

p. 1807-1820.

4. Hay RJ, Ashbee HR. Mycology: Tinea Corporis. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,

Griffits C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. 8th edition. Victoria: Blackwell

Publishing. 2010. p.36.1-36.25.

5. Kelly BP. Superficial Fungal Infection. Pediatrics in Review. 2012;33(4):22-36.

6. Shahindokht BJ, Asghar KA. Epidemiologi survey of dermatophytosis in Tehran, Iran

from 2000 to 2005. IADVL. 2009; 75(2): 142-147.

7. Carod JF, Ratsitorahina M, Raherimandimby H, Vitrat VH, Andrianaja VR, Audonneau

CN. Outbreak of Tinea capitis and korporis in a primary school in Antananarivo,

Madagascar. J Infect Dev Ctries. 2011; 5(10): 732-736.

8. Gwozdz AH, Jendroscheck VB, Brasch J, Kalinowska K, Jagielski T. Tinea capitis and

tinea korporis with a severe inflammatory response due to Trichophyton tonsurans. Acta

Dem Venereol 2011; 91: 708-710.

9. Anzawa K, Mochizuki T, Nishibu A, Ishizaki H, Kamei K, Takahashi Y. Molecular

Epidemiology of Trichophython tonsurans Strains Isolated in Japan Between 2006 and

2010 and Their Susceptibility to Oral Antimycotics. Jpn J. Infect.Dis., 2011; 64: 458-462.

10. Bolognia JL, Lorizzo JL, Rapini PR, editors. Superficial Infections. In: Bolognia

Dermatology. 2nd edition. New York. Mosby Elsevier. 2008.

11. Lakshmipathy DT, Kannabiran K. Review on dermatomycosis: pathogenesis and

treatment. J of Natural Science. 2010; 7(2); 726-731.

12. Mahmouddabadi AZ, Yaghoobi R. Extensive tinea korporis due to Trichophyton rubrum

on the trunk. Jundishapur Journal of Microbiology. 2008; 1(1): 35-37.

12

Page 13: Tinea Corporis

13. Daili EMS, Melandi SL, Wisnu IM, editors. Tinea Korporis. In: Penyakit Kulit Yang

Umum Di Indonesia. Jakarta: PT Medical Multimedia Indonesia. 2005. p.29.

14. Beers MH, Porter RS, Jones TV, Kaplan JL, Berkwits M, editors. Dermatologic Disorder:

Fungal Skin Infection. In: The Merck Manual for Health Care Professionals. 18th edition.

Vol. I. U.S.A: Mecrk Research Laboratories. 2006. p.987-993.

15. Rianyta. Dermatofitpsis e.c Tinea Corporis. CDK 183. 2011; 38(2): 115-6.

13