Upload
syahida-sulaiman
View
105
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………...i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..ii
I. PENDAHULUAN………………………………………………………….1
II. DEFINISI…………………………………………………………………...2
III. EPIDEMIOLOGI…………………………………………………………...2
IV. ETIOLOGI………………………………………………………………….3
V. PATOGENESIS…………………………………………………………….4
VI. DIAGNOSIS………………………………………………………………...7
VII. DIAGNOSIS BANDING……………………………………………………8
VIII. PENATALAKSANAAN……………………………………………………9
IX. PROGNOSIS………………………………………………………………10
X. KESIMPULAN…………………………………………………………….10
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………11
1
TINEA KORPORIS
I. PENDAHULUAN
Dermatomikosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur yang
diklasifikasikan menjadi dermatomikosis profunda dan superfisial. Infeksi jamur
superfisial biasanya menyerang di bagian lapisan stratum korneum, rambut dan kuku,
manakala infeksi jamur profunda menyerang jaringan di bagian bawah kulit, misalnya
traktus intestinalis, traktus respiratorius, traktus urogenitalis, susunan kardiovaskular,
susunan saraf sentral, otot tulang, dan kadang-kadang kulit. Dermatomikosis superfisial
dibedakan menjadi dermatofitosis dan nondermatofitosis. Dermatofitosis adalah penyakit
pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis,
rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Secara umum
dermatofitosis disebabkan oleh golongan jamur dermatofita, yaitu Microsporum,
Trychophyton, dan Epidermophyton. Beberapa penyakit yang tergolong dalam
dermatofitosis antara lain, tinea kapitis, tinea barbe, tinea kruris, tinea pedis, tinea
manum, tinea unguium dan tinea korporis.(1,2,3)
Tinea korporis merupakan infeksi dermatofit superfisial kulit selain kulit kepala,
janggut, wajah, tangan, kaki, dan sela-sela paha yang disebabkan oleh jamur golongan
Microsporum, Trychophyton, dan Epidermophyton. Dermatofitosis ini ditandai oleh satu
atau lebih lesi bulat berbatas tegas disertai eritematosa, kering, bersisik, dan bercak
hipopigmentasi. Penatalaksanaan untuk tinea korporis dapat diberikan obat sistemik
maupun topikal. Obat sistemik diberikan apabila lesi luas atau pengobatan topikal tidak
efektif. Tinea korporis memiliki prognosis yang baik dengan pengobatan yang adekuat
dan kelembaban serta kebersihan dijaga. Lesi tinea korporis yang luas dapat menjadi
tanda dari acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), atau dapat pula terkait dengan
penggunaan kortikosteroid topikal atau calcineurine inhibitor.(1,2)
2
II. DEFINISI
Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh yang tidak berambut.
Manifestasi klinik menunjukkan invasi dan proliferasi yang disebabkan oleh fungi pada
stratum korneum. Menurut definisi, termasuk pula lesi pada tungkai dan anggota tubuh,
kecuali pada bagian-bagian tertentu seperti kulit kepala, kaki, dan sela-sela paha.(4)
III. EPIDEMIOLOGI
Trychophyton rubrum adalah spesies jamur yang paling umum di dunia dan
merupakan sumber dari 47% kasus tinea korporis.(5,6,7) Trichophyton tonsurans adalah
dermatofit paling umum yang menyebabkan tinea capitis, dan orang dengan infeksi tinea
kapitis antropofilik lebih cenderung berkembang menjadi tinea korporis. Oleh karena itu,
prevalensi tinea korporis yang disebabkan oleh T.tonsurans meningkat.(8)
Di Amerika Serikat, Trychophyton rubrum, Microsporum canis, dan
Trychophyton mentagrophytes adalah penyebab umum, meskipun dapat disebabkan oleh
dermatofit lainnya. Beberapa lesi kecil yang umumnya disebabkan oleh paparan hewan
peliharaan dengan Microsporum canis. Jamur hewan lainnya, seperti zoofilik granular
T.mentagrophytes terkait tikus bambu di Asia Tenggara dan dapat menyebabkan epidemi
yang luas.(2)
Tinea imbrikata, disebabkan oleh T. concentricum, yang secara klinis tampak plak
eritematosa dengan membentuk lingkaran yang kosentris. Tinea imbrikata hanya terdapat
pada Timur Jauh, Pasifik Selatan, dan Amerika Tengah dan Selatan. Berdasarkan
penelitian Anzawa K. dkk, dilaporkan Trychophyton tonsurans telah diteliti menginfeksi
atlet judo, pegulat, dan atlet sumo pada sebuah epidemi tinea korporis dan tinea kapitis di
Jepang. Penyakit ini terdapat di berbagai daerah tertentu di Indonesia, misalnya
Kalimantan, Sulawesi, Irian Barat, Kepulauan Aru dan Kei, Sulawesi Tengah, juga di
Pulau Jawa.(1,9)
IV. ETIOLOGI
3
B
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan
jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Hingga kini dikenal sekitar 40
spesies atau lebih, sebagian tersebar secara luas dan sebagian terbatas pada wilayah
tertentu. Sekitar 10 spesies menyebabkan infeksi pada manusia. Meskipun semua
dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, spesies yang paling sering adalah T.
rubrum, T. mentagrophytes, M. canis, dan T. tonsurans.(1,9,12)
T. rubrum mempunyai mikrokonidia seperti tetesan air mata di sekitar hifa, dan
makrokonidia berbentuk seperti pensil. T. Mentagrophytes mempunyai mikrokonidia
seperti anggur banyak di sekitar hifa dan makrokonidia berbentuk gada dan ada hifa
spiral, M. Canis mempunyai mikrokonidia berbagai bentuk dan makrokonidia berbentuk
gada , dan T. Tonsurans mempunyai mikrokonidia yang tidak khas, dan makrokonidia
ujungnya lancip seperti kait. (3)
.
Gambar 1.A.Trichophyton rumbrum, B. Trichophyton mentagrophytes, C. Trichophytom
tonsurans, D. Microsporum canis (3)
V. PATOGENESIS
4
A
DC
Tinea korporis dapat menular melalui kontak langsung dengan manusia atau
hewan, melalui autoinokulasi dari reservoir seperti T. rubrum. Anak-anak lebih
cenderung terkena zoofilik patogen, khususnya M. canis dari anjing dan kucing. Pakaian
oklusif dan iklim yang lembab dihubungkan dengan frekuensi dan beratnya erupsi.
Pakaian oklusif, frekuensi kontak langsung, dan trauma minor pada pegulat menciptakan
keadaan dimana dermatofita dapat tumbuh. Banyak kasus “tinea korporis gladiatorum”
disebabkan oleh T. Tonsurans. Dermatofit tidak bersifat endopatogen. Penularan
dermatofit ke manusia terjadi melalui tiga sumber, masing-masing memiliki ciri khas
(Tabel 1). Meskipun dermatofit tidak mematikan dan biasanya hanya menyerang lapisan
stratum korneum, namun dapat menyebabkan tingkat morbiditas yang cukup besar.
Penyesuaian mereka untuk host yang berbeda telah berkembang, memungkinkan
kronisitas lebih besar dan meluasnya infeksi.(3,10)
TIPE DERMATOFITA BERDASARKAN CARA TRASMISI
Kategori Cara Transmisi Tanda Khas
Antropofili
k
Manusia ke manusia Inflamasi ringan hingga non-inflamasi,
kronik
Zoofilik Hewan ke manusia Inflamasi berat (bisa terdapat pustul dan
vesikel), akut
Geofilik Tanah ke manusia atau
hewan
Inflamasi sedang
Tabel 1. Tipe dermatofita berdasarkan cara trasmisi.(10)
Infeksi alami terjadi pada saat arthrospora atau hifa mengendap pada permukaan
kulit individu yang rentan. Sumber infeksi biasanya berasal dari lesi aktif pada hewan
atau pada individu lain, meskipun transmisi fomite terjadi, dan infeksi dari tanah jarang
terjadi. Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang
luka, jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya
artrospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada
5
stratum korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi
pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan patogen dari tempat
infeksi sehingga patogen akan mecari tempat yang baru di bagian tubuh. Setelah masa
inkubasi, yang berlangsung 1-3 minggu, respon jaringan terhadap infeksi menjadi jelas.
Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa
central healing.(4,11)
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena stratum
korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita dan untuk
pertumbuhan miselia jamur. Infeksi dermatofita terjadi melalui tiga tahap: adhesi pada
keratinosit, penetrasi, dan perkembangan respon host.(3,11)
1. Adhesi pada keratinosit.
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia sebagai
elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme ini harus dapat bertahan
dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal,
dan zat yang dihasilkan oleh keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar
sebasea bersifat fungi statik.
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi pada
stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase, dan enzim
musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini. Trauma dan maserasi juga
memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor yang penting juga pada patogenesis tinea.
Mannan yang terdapat pada dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi
keratinosit. Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam, termasuk
kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan dapat menghambat
pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.
3. Perkembangan Respon Host
6
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun penderita dan
organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel yang mengalami inflamasi
dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur menghasilkan kemotaktik
faktor seperti yang dihasilkan juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi
komplemen melalui jalur alternatif, yang kemudian menghasilkan faktor kemotaktik
berasal dari komplemen.
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi dermatofita,
seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi dermatofita yang luas juga
menunjukkan titer antibodi yang meningkat namun tidak berperan untuk mengeliminasi
jamur ini. Akan tetapi, reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam
melawan dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon-γ yang
diatur oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan paparan dermatofita
sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan inflamasi yang ringan dan testrikopitin
biasanya menunjukkan hasil yang negatif. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan
skuama ringan, sebagai hasil dari percepatan tumbuhnya keratinosit. Ada yang
mengungkapkan hipothesis bahwa antigen dari dermatofita lalu diproses oleh sel
Langerhans dan dipresentasikan di nodus limfatikus kepada sel limfosit T. Sel limfosit T
berproliferasi klonal dan bermigrasi ke tempat infeksi untuk melawan jamur. Saat itu lesi
kulit menunjukkan reaksi inflamasi dan barier epidermal menjadi permeable untuk
migrasi dan perindahan sel. Sebagai akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi
menjadi sembuh spontan. Dalam hal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang positif dan
penyembuhan terhadap infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih cepat. Selain reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga dapat menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1).(3,11)
VI. DIAGNOSIS
7
Diagnosis klinis dari infeksi dermatofit dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisis, evaluasi mikroskopis atau kultur. Pada anamnesis keluhan yang sering
membuat pasien datang berobat adalah rasa gatal di daerah badan dan terdapat benjolan-
benjolan kecil pada daerah yang merasa gatal. Pada pemeriksaan fisis ditemukan lesi
bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-
bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi
dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.(3,10)
Diagnosis relatif mudah dibuat dengan menemukan jamur dibawah mikroskop
pada kerokan kulit. Meskipun evaluasi mikroskopis dapat memberikan bukti infeksi
jamur dalam beberapa menit, evaluasi mikroskopis juga dapat menghasilkan hasil negatif
palsu. Kultur jamur harus dilakukan jika secara klinis infeksi dermatofit dicurigai.(3)
Sampel untuk diagnosis diperoleh dari kerokan (scrapping) dan usapan lesi kulit.
Bagian yang terinfeksi dibersihkan dengan alkohol 70%. Hasil kerokan kemudian
diletakkan pada gelas objek steril selanjutnya ditambahkan 1-2 tetes KOH 10%. Sediaan
dibiarkan pada temperatur kamar selama 2-5 menit, dilayangkan beberapa kali di atas api
kecil dan dilihat di bawah mikroskop. Adanya hifa menunjukkan infeksi disebabkan oleh
jamur.(10)
Bila pemeriksaan positif (ditandai adanya hifa dan spora pada hasil scrapping)
dilanjutkan dengan kultur jamur. Infeksi positif oleh jamur dikerok dengan skalpel dan
dikultur pada media nutrient agar, diinkubasi 370C selama 24 jam. Media reaksi biokimia
seperti triple sugar iron agar (TSI), sulfur indole motility agar (SIM), dan simon citrate
agar. Dari hasil kultur jamur dijumpai T.Rubrum dan T.Mentagrophy yang merupakan
patogen penyebab tinea korporis.(1,4)
Gambar 2. a.Tinea Korporis tipe annular pada paha. b.Tinea Korporis tipe “ringworm like” pada leher. (3)
8
A B
VII. DIAGNOSIS BANDING
Ada beberapa penyakit kulit yang dapat didiagnosis banding dengan tinea
korporis, misalnya dermatitis seboroik, psoriasis, dan pitiriasis rosea. Kelainan kulit pada
dermatitis seboroik selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya dapat terlihat pada
tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit, misalnya
belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya. Kulit kepala berambut juga sering
terkena penyakit ini. Gambaran klinis yang khas dari dermatitis seboroik adalah skuama
yang berminyak dan kekuningan.(10)
Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh
dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald
patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Perbedaannya pada
pitiriasis rosea gatalnya tidak begitu berat seperti pada tinea korporis, skuamanya halus
sedangkan pada tinea korporis kasar.(10)
Psoriasis pada stadium penyembuhan menunjukkan gambaran eritema pada
bagian pinggir sehingga menyerupai tinea. Perbedaannya ialah pada psoriasis terdapat
tanda-tanda khas yakni skuama kasar, transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetes lilin,
dan fenomena auspitz. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi,
yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku, dan punggung.(9,10)
Gambar 3. : a. Psoriasis : papul eritoskuama dan plak pada punggung
b. Pitiriasis Rosea: erupsi papuloskuama di daerah punggung
c. Dermatitis Seboroik: eritoskuama pada daerah wajah.(3)
VIII. PENATALAKSANAAN
9
A B C
Untuk menghilangkan factor predisposisi, menganjurkan pasien daerah lesi selalu
kering dan memakai pakaian yang menyerap keringat.(13) Lesi lokal dari tinea korporis,
pengobatan topikal yang dapat digunakan adalah seperti allylamines, imidazoles,
butenafine, atau ciclopirox. Terapi topikal sebaiknya dioleskan sebanyak 2 kali sehari
selama 2 hingga 4 minggu. (3,14)
Terapi sistemik diindikasikan untuk tinea korporis yang infeksinya meluas. Pada
orang dewasa, terapi sistemik yang dapat digunakan adalah flukonazole 150 mg/minggu
selama 4 – 6 minggu, itrakonazole 100 mg/hari selama 15 hari, dan terbinafine 250
mg/hari selama 2 minggu yang mempunyai efek yang sama seperti griseofulvin 500mg/
hari selama 2 – 6 minggu. Obat terapi sistemik yang sesuai pada anak-anak adalah
ultramikrosize griseofulvin 10-20 mg/kg/hari selama 6 minggu, itrakonazole 5 mg/kg/hari
selama 1 minggu dan terbinafine 3-6 mg/kg/hari selama 2 minggu. (3,13,14)
IX. PROGNOSIS
Tinea korporis mempunyai prognosis yang baik dengan pengobatan yang adekuat
serta selalu menjaga kelembaban dan kebersihan kulit.(3) Infeksi dermatofitosis jarang
menimbulkan kematian, akan tetapi dapat memberikan efek yang besar terhadap kualitas
hidup. (15)
X. KESIMPULAN
Tinea korporis terdapat pada semua umur tetapi lebih sering menyerang orang
dewasa. Penyakit ini bisa ditularkan langsung dari manusia atau binatang, melalui
autoinokulasi. Pada anak – anak lebih sering ditularkan melalui patogen zoofilik.
Pakaian yang terlalu tertutup, lingkungan yang kotor, kontak kulit yang sering dan trauma
minor menciptakan lingkungan yang subur untuk dermatofita. Kelainan ini dapat bersifat
akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.
Gejala subjektif berupa keluhan gatal terutama jika berkeringat. Kelainan yang
dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema,
skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah
tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
10
Diagnosis klinis dari infeksi dermatofit dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisis, evaluasi mikroskopis atau kultur.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budimulja U. Mikosis. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Buku Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 6th edisi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010.
p.89-105.
2. James WD, Berger TG, Elston DM, editors. Dermatophytids: Tinea Corporis (Tinea
Circinata). In: Andrews' Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10th edition.
Pennsylvania: Saunders Elsevier. 2006. p.301-303.
3. Verma S, Heffernan MP. Superficial Fungal Infection: Tinea corporis. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's
11
Dermatology In General Medicine. 7th edition. New York; Mc Graw Hill Medical. 2008.
p. 1807-1820.
4. Hay RJ, Ashbee HR. Mycology: Tinea Corporis. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffits C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. 8th edition. Victoria: Blackwell
Publishing. 2010. p.36.1-36.25.
5. Kelly BP. Superficial Fungal Infection. Pediatrics in Review. 2012;33(4):22-36.
6. Shahindokht BJ, Asghar KA. Epidemiologi survey of dermatophytosis in Tehran, Iran
from 2000 to 2005. IADVL. 2009; 75(2): 142-147.
7. Carod JF, Ratsitorahina M, Raherimandimby H, Vitrat VH, Andrianaja VR, Audonneau
CN. Outbreak of Tinea capitis and korporis in a primary school in Antananarivo,
Madagascar. J Infect Dev Ctries. 2011; 5(10): 732-736.
8. Gwozdz AH, Jendroscheck VB, Brasch J, Kalinowska K, Jagielski T. Tinea capitis and
tinea korporis with a severe inflammatory response due to Trichophyton tonsurans. Acta
Dem Venereol 2011; 91: 708-710.
9. Anzawa K, Mochizuki T, Nishibu A, Ishizaki H, Kamei K, Takahashi Y. Molecular
Epidemiology of Trichophython tonsurans Strains Isolated in Japan Between 2006 and
2010 and Their Susceptibility to Oral Antimycotics. Jpn J. Infect.Dis., 2011; 64: 458-462.
10. Bolognia JL, Lorizzo JL, Rapini PR, editors. Superficial Infections. In: Bolognia
Dermatology. 2nd edition. New York. Mosby Elsevier. 2008.
11. Lakshmipathy DT, Kannabiran K. Review on dermatomycosis: pathogenesis and
treatment. J of Natural Science. 2010; 7(2); 726-731.
12. Mahmouddabadi AZ, Yaghoobi R. Extensive tinea korporis due to Trichophyton rubrum
on the trunk. Jundishapur Journal of Microbiology. 2008; 1(1): 35-37.
12
13. Daili EMS, Melandi SL, Wisnu IM, editors. Tinea Korporis. In: Penyakit Kulit Yang
Umum Di Indonesia. Jakarta: PT Medical Multimedia Indonesia. 2005. p.29.
14. Beers MH, Porter RS, Jones TV, Kaplan JL, Berkwits M, editors. Dermatologic Disorder:
Fungal Skin Infection. In: The Merck Manual for Health Care Professionals. 18th edition.
Vol. I. U.S.A: Mecrk Research Laboratories. 2006. p.987-993.
15. Rianyta. Dermatofitpsis e.c Tinea Corporis. CDK 183. 2011; 38(2): 115-6.
13