54
I. PENDAHULUAN Tanaman teh (Camellia sinensis, L.) sebagai salah satu tanaman budidaya banyak mendapat serangan hama terutama dari golongan tungau. Tungau merupakan kelompok Acari dari phylum Arthropoda, classis Arachnida yang memiliki sebaran luas dan memiliki anggota paling besar (Nurbaya, 2000). Di berbagai perkebunan teh di Indonesia, ada beberapa jenis tungau hama yang sering dijumpai diantaranya adalah Polyphagotarsonemus latus Banks, Acaphylla theae Watt, Calacarus carinatus Green dan Brevipalpus phoenicis Geijskes (Oomen, 1982). Semua jenis tungau hama tanaman teh tinggal pada bagian bawah daun pemeliharaan. Daun yang terdapat pada tanaman teh dibagi menjadi 2 bidang yaitu bidang petik dan bidang pemeliharaan. Bidang petik adalah daun yang terletak di atas yang terdiri atas daun-daun muda, sedangkan bidang pemeliharaan terletak di bawah bidang petik yang terdiri atas daun-daun tua. Berbagai tungau hama sebagaimana dikemukakan oleh Nurbaya (2000), mengisap cairan daun sehingga daun dapat mengalami klorosis bahkan menjadi rontok. Kerugian yang

Tingkat resistensi Amblyseius deleoni terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Fungisida (kocide 77 WP) dan herbisida (roundup) dapat berdampak pada mortalitas tungau predator penting pada tanaman teh, Amblyseius deleoni. Untuk mengurangi mortalitasnya dan meningkatkan kemampuan predasinya, maka tungau ini harus didedah dengan ke dua jenis pestisida tersebut agar meningkat tingkat resistensinya.

Citation preview

Page 1: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

I. PENDAHULUAN

Tanaman teh (Camellia sinensis, L.) sebagai salah satu tanaman budidaya

banyak mendapat serangan hama terutama dari golongan tungau. Tungau merupakan

kelompok Acari dari phylum Arthropoda, classis Arachnida yang memiliki sebaran

luas dan memiliki anggota paling besar (Nurbaya, 2000).

Di berbagai perkebunan teh di Indonesia, ada beberapa jenis tungau hama yang

sering dijumpai diantaranya adalah Polyphagotarsonemus latus Banks, Acaphylla

theae Watt, Calacarus carinatus Green dan Brevipalpus phoenicis Geijskes (Oomen,

1982). Semua jenis tungau hama tanaman teh tinggal pada bagian bawah daun

pemeliharaan. Daun yang terdapat pada tanaman teh dibagi menjadi 2 bidang yaitu

bidang petik dan bidang pemeliharaan. Bidang petik adalah daun yang terletak di

atas yang terdiri atas daun-daun muda, sedangkan bidang pemeliharaan terletak di

bawah bidang petik yang terdiri atas daun-daun tua. Berbagai tungau hama

sebagaimana dikemukakan oleh Nurbaya (2000), mengisap cairan daun sehingga

daun dapat mengalami klorosis bahkan menjadi rontok. Kerugian yang ditimbulkan

meliputi kerusakan areal perkebunan mencapai sekitar 50% dan menurunnya

pertumbuhan pucuk daun teh sampai 30% (Sudoi et al., 1994).

Tingginya tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh serangan tungau hama

tersebut, mendorong penggunaan bahan kimiawi sintetis (pestisida) dan kondisi ini

telah berlangsung cukup lama. Berbagai masalah timbul akibat pemakaian pestisida

diantaranya yaitu selain mencemari produk teh dan lingkungan, tungau hama juga

menjadi resisten dan seringkali mengalami resurjensi sehingga dosis pemakaian

pestisida cenderung terus ditingkatkan.

Salah satu cara untuk mengurangi penggunaan pestisida adalah dengan

memanfaatkan musuh-musuh alami tungau hama (Agnithothrudu, 1996). Salah satu

Page 2: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

musuh alami yang paling sering ditemukan dan diketahui sebagai predator bagi

beberapa jenis tungau hama teh adalah Amblyseius deleoni Muma et Denmark

(Budianto, 2000).

A. deleoni merupakan tungau predator famili Phytoseiidae yang paling

dominan dalam memangsa tungau jingga. Hidup sebagai predator generalis, lebih

menyukai tungau hama Cryophidae daripada Tenuipalpidae (seperti tungau jingga)

dan sangat menggemari polen bunga (Pratiknyo, 1998). Pada keadaan alami tungau

ini umumnya melimpah dan distribusinya relatif sama dibandingkan dengan tungau

parasit tumbuhan (Mc Murty and Walter, 1996).

A. deleoni memiliki kelimpahan yang sangat tinggi pada tanaman teh dan

dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosis dengan 4 stadia perkembangan yaitu

telur, larva, nimfa dan dewasa (Schica, 1987). A. deleoni berdasarkan morfologinya

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: ventral shield membulat, kaki ada 8 buah atau 4

pasang pada tungau dewasa tetapi yang masih larva hanya 3 pasang kaki, tubuhnya

transparan, tipe mulutnya pencucuk dan pengisap, mempunyai setae yang terdiri dari

dua setae yang panjang dan 2 setae pendek di bagian posterior tubuhnya.

Cheliceranya normal, jantan mempunyai sternogenital dan ventrianal shield, betina

mempunyai epyginial dan ventrianal shield. Ventrianal shield di dalamnya terdapat

8 setae dan 3 setae yang lain terletak pada bagian samping dan bawah anus, panjang

tubuh keseluruhan yaitu dari gnatosoma sampai idiosoma mencapai rata-rata 526,36

µm, untuk setae yang terletak di bagian posterior mencapai panjang rata-rata 372,4

µm (Budianto, 2000).

Rosen dan Hufakker (1982) menyatakan bahwa A. deleoni memiliki kriteria

sebagai pengendali hayati tungau hama karena predator ini mudah diperbanyak,

memiliki daya mangsa dan laju reproduksi tinggi serta mampu bertahan pada kondisi

Page 3: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

kelangkaan pakan utamanya. Pemanfaatannya yang aman dan ramah lingkungan

perlu didukung oleh usaha perbanyakan dan pengembangan tungau predator

A. deleoni.

Telah dikemukakan di atas, bahwa pengendalian alamiah tungau hama dapat

dilakukan dengan menggunakan tungau predator. Meskipun demikian, pada

umumnya perkebunan-perkebunan termasuk perkebunan teh, menggunakan pestisida

seperti akarisida, insektisida, fungisida dan herbisida dalam upayanya memperoleh

hasil pengendalian yang lebih cepat.

Pestisida menurut The United States Federal Environmental Pesticide Control

Act adalah semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas atau

mencegah gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma,

virus, bakteri, jasad renik yang terdapat pada manusia dan binatang lainnya (Green,

1979). Beberapa pestisida yang sering digunakan pada perkebunan teh berdasarkan

jasad hidup sasarannya yaitu insektisida (racun serangga), akarisida (racun tungau

dan caplak), herbisida (racun gulma atau tanaman pengganggu) dan fungisida (racun

jamur) (Sudarmo,1992).

Fungisida merupakan bahan kimia yang dapat mengendalikan patogen berupa

jamur. Fungisida dapat dibedakan berdasarkan kandungan bahan aktifnya yaitu

fungisida merkuri, tembaga, karbamat, belerang dan lain-lain. Senyawa tembaga

anorganik memiliki daya larut yang rendah dalam air sehingga dapat digunakan

sebagai pestisida (Sastroutomo, 1992).

Kocide 77 WP (Wettable Powder) merupakan salah satu jenis fungisida

protektan yang bersifat racun kontak, berbentuk tepung berwarna biru muda yang

dapat disuspensikan untuk mengendalikan penyakit busuk daun pada tanaman

kentang, penyakit cacar pada daun teh, penyakit karat pada kopi dan busuk buah

Page 4: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

pada kakao. Daya kendalinya lebih besar karena memiliki bahan aktif tembaga

hidroksida 77 %. Tembaga hidroksida merupakan jenis fungisida tembaga generasi

terakhir yang bersifat racun kontak dengan cara kerjanya yang efektif dan efisien

(Tjionger’s, 2001). Fungisida kocide 77 WP ini memiliki beberapa keunggulan

diantaranya : partikelnya sangat kecil sehingga mudah masuk sampai ke pusat

penyakit dengan hanya menggunakan dosis yang rendah, lebih mudah larut dalam

air, tidak mudah mengendap, larutan yang terbentuk menjadi lebih merata, daya rekat

lebih lama lebih baik, tidak mudah tercuci dan tidak mudah menggumpal (Jhony,

2002).

Jenis fungisida tembaga ini umumnya bekerja dengan cara menghambat enzim.

Efek ini biasanya timbul akibat interaksi antara logam dengan gugus -SH pada enzim

tersebut. Suatu enzim dapat juga dihambat oleh logam toksik melalui penggusuran

kofaktor logam yang penting dari enzim. Mekanisme lain dalam mengganggu fungsi

enzim adalah dengan menghambat sintesisnya (Lu, 1995). Fungisida tembaga ini

bersifat akumulatif yang nantinya akan terionisasi dan menghasilkan ion kupri yang

bebas (Osborne, 1997).

Selain kocide 77 WP jenis pestisida lain yang digunakan adalah herbisida.

Herbisida merupakan senyawa kimia yang berfungsi untuk membunuh gulma.

Round up 486 AS (Aquaeous Solution) merupakan salah satu jenis herbisida yang

bersifat sistemik, berspektrum luas, tidak selektif dan dapat mematikan gulma

dengan cara menghambat sintesis protein dan metabolisme asam amino gulma

tersebut (Sukman dan Yakup, 1995). Round up 486 AS memiliki formulasi

berbentuk cair, yang dalam penggunaannya dicampur dengan air dan larutan ini

berwarna kuning keemasan (Wudianto, 1997). Bahan aktif dari herbisida ini adalah

isopropilamina glifosat 486 g/l (setara dengan glifosat 360 g/l). Nivia (2001),

Page 5: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

menyatakan bahwa secara teknik glifosat merupakan asam, tetapi umumnya glifosat

sering digunakan dalam bentuk garam yang dikenal dengan nama garam

isopropylamine. Glifosat memiliki nama kimia N-(phosphometyl) glycine dengan

rumus formula C3H8NO5P. Menurut Moenandir (1990), herbisida berbahan aktif

glifosat merupakan jenis herbisida yang cukup baru dalam pemasaran dan hampir

semua jenis tumbuhan gulma akan peka terhadap herbisida ini.

Herbisida round up 486 AS merupakan salah satu jenis herbisida golongan

organofosfat. Jenis pestisida ini mengandung unsur-unsur karbon dan fosfor. Pada

umumnya senyawa-senyawa organofosfat merupakan senyawa yang paling cepat

dihidrolisis bila tercampur dengan air, dan sedikit meninggalkan residu apabila

disemprotkan (Ekha, 1988). Meskipun herbisida organofosfat termasuk ke dalam

kelompok racun syaraf, namun hasil pengujian terhadap beberapa organisme tidak

menunjuk pada racun syaraf seperti halnya pada insektisida organofosfat (Nivia,

2001). Sebagaimana diketahui bahwa daya racun insektisida organofosfat mampu

menurunkan populasi serangga dengan cepat dan persistensinya di lapang tergolong

sedang. Kebanyakan insektisida organofosfat bekerja dengan cara menghambat

enzim asetilkolinesterase (AcHE) yang berakibat pada terjadinya penumpukan

asetilkolin sehingga menyebabkan kekacauan pada sistem penghantaran impuls ke

sel-sel otot. Keadaan ini menyebabkan pesan-pesan berikutnya tidak dapat

diteruskan, otot kejang, dan berakhir dengan kelumpuhan atau kematian

(Rumondang, 2003). Berbeda dengan insektisida organofosfat, mekanisme kerja

herbisida organofosfat (glifosat) diduga didasarkan pada terganggunya fungsi enzim,

dimana glifosat melakukan inhibisi pada tempat katalitik Mix Function Enzyme

(MFO).

Page 6: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

Penggunaan kocide 77 WP dan round up 486 AS selain bertujuan

mengendalikan berbagai jenis hama tanaman teh, juga dapat berdampak pada

terganggunya keseimbangan hubungan mangsa-pemangsa. Gangguan keseimbangan

tersebut ditunjukkan dengan adanya penurunan jumlah individu pada suatu populasi,

dalam hal ini umumnya populasi tungau predator biasanya lebih rentan terhadap

intervensi pestisida (Chouinard dan Brodeur, 1996). Selain itu, tingkat resistensi

pada tungau predator juga dapat meningkat terutama apabila kocide dan round up

dipergunakan oleh perkebunan teh dalam jangka waktu yang lama. Menurut

Budianto (2000) menyatakan bahwa penggunaan kocide dan round up dalam jangka

waktu yang lama, akan menyebabkan terseleksinya alel-alel yang rentan dan resisten

pada suatu populasi organisme. Organisme yang resisten terhadap berbagai

konsentrasi pesitisida dapat lulus hidup dan berkembang lebih baik, sedangkan

organisme dengan alel yang rentan akan mengalami mortalitas yang besar.

Pada umumnya kemampuan mentoleransi pestisida dan tingkat resurjensi

tungau hama termasuk tungau jingga, sangat tinggi (McMurtry dan Croft, 1997).

Sebaliknya, A. deleoni yang merupakan predator tungau jingga, sangat rentan

terhadap berbagai pestisida yang diaplikasikan (Chouinard dan Brodeur, 1996).

Mortalitas yang besar pada A. deleoni menyebabkan pengendalian hayati alamiahnya

terganggu dan menurun drastis. Akibatnya pada suatu saat tertentu, populasi tungau

jingga akan sangat meningkat, sedangkan populasi tungau predatornya, A. deleoni

sangat rendah.

Untuk mengurangi pemakaian pestisida dan meningkatkan kemampuan predasi

tungau predator dalam kondisi terdedah pestisida, perlu dikembangkan teknologi

yang lebih ramah terhadap agroekosistem (Sivapalan, 1996). Seleksi A. deleoni yang

resisten terhadap berbagai pestisida yang telah lama dipergunakan di perkebunan teh,

Page 7: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

merupakan upaya mengatasi penurunan pengendalian hayati alamiah oleh tungau

predator tersebut. Pengendalian hayati yang efektif akan meningkatkan kualitas

produk teh dikarenakan pemakaian pestisida hanya dilakukan pada saat-saat tertentu

saja.

Resistensi pada dasarnya merupakan suatu fenomena evolusi (Tarumingkeng,

1992). Resistensi adalah kesanggupan dari suatu organisme memakan racun yang

berdosis lebih tinggi dari pada dosis biasa. Resistensi menyebabkan organisme

pengganggu dapat menjadi tahan atau kebal terhadap pestisida yang digunakan.

(Sastroutomo, 1992). Dengan demikian resistensi pada dasarnya merupakan hasil

dari tekanan seleksi pestisida terhadap suatu kumpulan individu-individu yang

mayoritas tersusun atas individu yang rentan. Tekanan seleksi menggunakan

pestisida ini dapat menyebabkan perubahan gene pool yaitu dari mayoritas kelompok

yang rentan menjadi toleran bahkan resisten (Kartasaputra, 1993).

Mekanisme resistensi pada tungau menurut Natawigena (1985) dapat

disebabkan oleh 4 sifat antara lain: (1) sifat morfologis yaitu adanya perbedaan

dalam tebal tipisnya kutikula; (2) sifat fisiologis yaitu adanya perbedaan kecepatan

dalam menguraikan jenis pestisida pada tungau yang resisten dan tungau yang

rentan. Pada strain yang resisten penguraiannya berlangsung cepat; (3) sifat

biokimia yaitu adanya kemampuan tungau untuk melakukan proses inaktivasi; dan

(4) sifat perilaku yaitu tungau yang gerakannya cepat dan lincah lebih mampu

menghindari racun. Mekanisme resistensi tersebut merupakan suatu cara yang

diperlukan untuk merespon kondisi toksik ketika terpajan dalam kandungan bahan

aktif pestisida yang tinggi.

Kemampuan tungau predator dalam mentolerir pestisida merupakan langkah

utama menuju seleksi tingkat resistensinya. Seleksi resistensi tungau predator pada

Page 8: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

dasarnya merupakan upaya pemilihan sifat-sifat resisten dari individu-individu dalam

populasi (Mochizuki, 1994). Sifat resisten tersebut ditunjukkan oleh kemampuan

lulus hidup dan berkembang, meskipun terdedah dalam bahan beracun.

Kemampuan mentoleransi beberapa spesies Amblyseius terhadap berbagai

jenis pestisida sudah dapat dibuktikan (Mochizuki, 1994; Momen, 1994, 1996;

Thistlewood et al., 1995; Yue dan Tsai, 1996; Shipp dan van Houten, 1997; James,

1997; Zhang dan Sanderson, 1997). Namun, untuk A. deleoni belum diketahui

kemampuan mentoleransinya terhadap dua pestisida sekaligus .

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diajukan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaruh pemberian kocide 77 WP dan round up 486 AS

terhadap generasi induk dan F1 Amblyseius deleoni ?

2. Bagaimana tingkat resistensi tungau predator Amblyseius deleoni generasi induk

dan F1 terhadap beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS ?

Tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukan penelitian adalah untuk :

1. Mengetahui pengaruh pemberian kocide 77 WP dan round up 486 AS terhadap

generasi induk dan F1 Amblyseius deleoni.

2. Mengetahui tingkat resistensi tungau predator Amblyseius deleoni generasi induk

dan F1 terhadap beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS.

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah

mengenai seleksi tungau predator A. deleoni terhadap pemberian kocide 77 WP dan

round up 486 AS.

Page 9: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN

1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian

1.1 Materi Penelitian

1.1.1 Bahan : Tungau predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark

(Gambar 2.1), fungisida kocide 77 WP, herbisida round up 486 AS,

aquades, ranting teh dan polen teh.

1.1.2 Alat : Kantong plastik, nampan, busa, lem "tangle-foot", "black

tile”, tissue tidak berparfum, kapas, kuas kecil dan besar, gelas ukur,

kertas label, gelas penutup, sprayer, mikropipet, termometer,

higrometer, dan mikroskop binokuler.

Gambar 2.1 Tungau Amblyseius deleoni Muma et Denmark dengan setaenya (anak panah) pada perbesaran 400X

1.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian seleksi tungau predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark

terhadap beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS dilakukan di dua

tempat. Pengambilan sampel berupa tungau predator A. deleoni diperoleh dari kebun

Page 10: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

teh milik penduduk di Kecamatan Sumbang, Purwokerto (Gambar 2.2), sedangkan

pengamatan seleksi resistensi tungau predator A. deleoni dilakukan di Laboratorium

Entomologi-Parasitologi, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman,

Purwokerto pada bulan Maret – Agustus 2006.

Gambar 2.2. Lokasi pengambilan sampel teh, Sumbang

2. Metode Penelitian

2.1 Metode dan Rancangan Percobaan

Metode penelitian yang digunakan untuk menyeleksi tungau predator adalah

metode eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL).

Perlakuan dicobakan pada beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486

AS. Konsentrasi kocide dan round up yang didedahkan pada A. deleoni adalah 0

(kontrol); 0,001; 0,01; 0,1; 1; 10 dan 100%. Konsentrasi ini didedahkan pada 10

individu tungau predator hasil perbanyakan di laboratorium. Hasil dari pendedahan

ini berupa tungau predator A. deleoni yang lulus hidup pada konsentrasi tertentu.

Dihitung pula tungau predator yang mati dan tungau predator yang lulus hidup

Page 11: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

dipelihara kembali pada tempat pemeliharaan dan dianggap sebagai tungau induk.

Hasil perbanyakan tungau induk akan menghasilkan tungau anakan F1.

Sebagaimana pada metode untuk tungau induk, maka dilakukan pendedahan

dengan konsentrasi yang sama terhadap tungau generasi F1. Dihitung tungau yang

berhasil lulus hidup dan yang mati. Lama waktu pendedahan untuk setiap tahap

adalah 24 jam kemudian dihitung nilai LC50/24 jam.

2.2 Cara Kerja

1) Pemeliharaan tungau predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark

Metode pemeliharaan predator berdasarkan metode Overmeer et al. (1982)

dalam Klashorst (1992) sebagai berikut : tempat pemeliharaan tungau terdiri dari

nampan berisi air dengan busa didalamnya. Di atas busa, diletakkan “black tile”

yang seukuran dengan busa, dengan bagian tepinya dialasi kertas tissue tidak

berparfum yang tercelup hingga ke air dalam nampan. Pada sepanjang alas kertas

tissue, dibuat tanggul dari lem “tangle-foot” untuk mencegah predator tidak lari dari

wilayah pemeliharaan. Untuk tempat berlindung dan meletakkan telurnya, di bagian

tengah “black tile” diletakkan sedikit kapas yang ditutup dengan cover glass

(Gambar 2.3).

Untuk mendapatkan dan memperbanyak predator A. deleoni, sejumlah daun

teh dari wilayah perkebunan teh yang memperlihatkan gejala serangan tungau hama

dipetik dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Seluruh daun tersebut kemudian

diperiksa di bawah mikroskop binokuler, di laboratorium A. deleoni yang diperoleh,

dipindah ke tempat pemeliharaan. Jenis pakan yang diberikan dalam masa

perbanyakan tungau predator adalah polen teh.

Page 12: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

Gambar 2.3 Tempat rearing A. deleoni

Keterangan : A = nampan berisi air D = black tile

B = tissue E = cover glass dengan kapas

C = busa

2) Menentukan seleksi A. deleoni terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS

Seleksi tungau predator A. deleoni dilakukan pada nampan berisi busa yang

di bagian atasnya ditancapkan ranting teh yang berisi kurang lebih 4 helai daun yang

telah dibersihkan dari semua serangga dan tungau yang ada. Pangkal daun teh

tersebut diberi lem “tangle foot” untuk menghindari agar tungau tidak melarikan diri

pada saat dipindahkan dari tempat pemeliharaan. Kemudian, daun pada ranting teh

tersebut disemprot dengan beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS

yang telah ditentukan, lalu ditunggu sampai kering. Setelah mengering, maka

sebanyak 10 individu tungau predator A. deleoni dipindahkan ke daun tersebut.

Banyaknya tungau yang mati dicatat setelah 24 jam masa pendedahan tersebut

(Gambar 2.4)

BDA

E

C

Page 13: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

Gambar 2.4 Tata letak percobaan uji seleksi A. deleoni terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Pada tahap pertama,

konsentrasi kocide 77 WP yang didedahkan selama 24 jam pada A. deleoni adalah 0

(kontrol); 0,01; 0,1; 1; 10 dan 100%. Konsentrasi ini didedahkan pada populasi

tungau predator hasil perbanyakan di laboratorium. Setiap konsentrasi yang

dicobakan melibatkan 10 individu predator untuk satu kali ulangan, dan diulang

sebanyak empat kali ulangan. Dari tahap pertama akan diperoleh tungau predator

A. deleoni generasi induk yang lulus hidup terhadap kocide 77 WP. Tungau yang

mati dihitung dan yang hidup dipelihara kembali sehingga didapatkan generasi F1.

Pada tahap kedua, generasi F1 A. deleoni yang telah melalui pendedahan pada

tahap pertama didedahkan lagi dengan round up 486 AS. Konsentrasi yang

dicobakan adalah sama dengan konsentrasi kocide 77 WP pada tahap pertama.

Setiap konsentrasi yang dicobakan melibatkan 10 individu predator untuk satu kali

ulangan, yang diulang sebanyak empat kali. Hasil pendedahan tahap kedua akan

Page 14: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

diperoleh generasi F1 A. deleoni yang lulus hidup terhadap kocide 77 WP dan round

up 486 AS. Dihitung tungau yang berhasil lulus hidup dan yang mati. Lama waktu

pendedahan untuk setiap tahap adalah 24 jam. Kriteria seleksi adalah tingkat

resistensi tungau predator (nilai LC50/24 jam)

3. Analisis Data

Data hasil percobaan seleksi terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS

berupa jumlah tungau predator yang mati pada pendedahan pestisida, dianalisis

dengan menggunakan analisis probit dan logit (POLO) sehingga akan diperoleh nilai

LC50/24 jam. Kemudian dibandingkan nilai LC50/24 jam, rasio resistensi dan nilai X2

antara induk dan F1.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis probit logit (POLO) dengan menggunakan Le Ora Software 1987

terhadap tungau predator Amblyseius deleoni yang didedahkan dengan kocide 77 WP

kemudian didedahkan dengan round up 486 AS diperoleh nilai LC50 sebesar 140,78

%/24 jam pada generasi parental dan 10,76 %/24 jam pada generasi F1 (Tabel 3.1)

Tabel 3.1 Tingkat Resistensi Amblyseius deleoni Muma et Denmark terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS selama 24 jam pada setiap generasi

Page 15: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

GenerasiJenis Pestisida LC50/24

Jam (%)RR

Slope ± SE (%)

X2 (df = 22)

PKocide 77 WP

140.77826 1 0.076 ± 0.048 20.7208

F1Kocide 77 WP + Round up 486 AS

10.76258 0,076 0.104 ± 0.048 7.3750

Keterangan :P = Generasi Induk (Parental)F1 = Generasi Pertama

Berdasarkan table 3.1 dapat diketahui bahwa generasi pertama (F1) A. deleoni

lebih rentan dibandingkan generasi induk (parental). Meningkatnya kerentanan

populasi tungau predator selain dapat dilihat dari nilai LC50/24 jam setiap

generasinya, juga dapat dinilai dari tingkat rasio resistensinya. Semakin rentannya

populasi tungau predator A. deleoni mengakibatkan mortalitas generasi F1 juga

lebih besar dibandingkan generasi parental (tabel 3.2).

Tabel 3.2 Mortalitas populasi tungau predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark Data hasil uji toksisitas Kocide 77 WP dan Round up 486 AS terhadap selama 24 jam

Konsentrasi (%)

∑ Organisme (ekor)

Generasi induk yang didedah dengan Kocide 77 WP

Generasi F1 yang didedah dengan Kocide 77 WP +

Round up 486 AS

∑ Mortalitas

Mortalitas total

(%)∑ Mortalitas

Mortalitas total (%)

1 2 3 4 1 2 3 40 (Kontrol) 40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0,001 40 2 3 2 2 20 3 5 3 3 30

0,01 40 3 3 5 3 30 4 3 4 4 40

0,1 40 5 5 5 6 50 4 4 4 5 50

1 40 6 8 6 6 75 4 4 6 4 45

10 40 3 5 3 5 45 3 6 5 3 45

100 40 4 4 4 3 40 6 7 7 7 80

Selain nilai LC50/ 24 jam dan nilai rasio resistensi (RR), pada setiap

generasinya (parental dan F1) diperoleh pula nilai χ2 hitung yang lebih kecil

Page 16: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

dibandingkan nilai χ 2 tabel (Tabel 3.1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

populasi tungau A. deleoni masih terdiri oleh banyak individu-individu yang rentan

dibandingkan yang resisten. Demikian pula apabila dilihat dari nilai slope yakni

antara 0.076 ± 0.048 pada generasi parental dan 0.104 ± 0.048 pada generasi F1 yang

menunjukkan gambaran garis yang mendatar (Gambar 2.5)

Gambar 2.5 Grafik nilai slope antara 0.076 ± 0.048 dan 0.104 ± 0.048

Kemampuan lulus hidup dan berkembang pada pendedahan pestisida

berulang terjadi oleh karena menurunnya kompetisi intraspesies akibat matinya

individu yang rentan (Knulle, 1991). Kematian individu yang rentan, yang menjadi

komponen penyusun utama populasi, akan menyebabkan terjadinya pergeseran

komponen penyusun utama populasi tersebut. Cepat atau lambatnya perubahan

komposisi individu-individu menjadi resisten pestisida, sangat ditentukan oleh

perbedaan tanggap resistensinya terhadap pestisida dan cara kerja pestisida itu

sendiri (James, 1997; Bakker dan Jacas, 1995).

Page 17: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa generasi pertama tungau predator dalam

penelitian ini lebih rentan terhadap round up 486 AS dibandingkan generasi induk

yang sebelumnya juga telah didedahkan dengan kocide 77 WP. Perbedaan tanggap

resistensi ini menunjukkan bahwa meskipun generasi induk yang berhasil lulus hidup

terhadap kocide 77 WP, tetap dapat menghasilkan keturunan (generasi pertama),

namun generasi pertama yang dihasilkan lebih banyak mengalami kematian ketika

didedah dengan jenis pestisida yang berbeda (roundup). Diduga, hal ini berkaitan

dengan perbedaan bahan aktif ke dua jenis pestisida dan “mode of action” nya.

Kocide 77 WP merupakan salah satu jenis fungisida protektan berbentuk

tepung berwarna biru muda yang dapat disuspensikan. Fungisida ini mengandung

bahan aktif tembaga hidroksida (Cu (OH)2) yang merupakan fungisida tembaga

generasi terakhir yang bersifat racun kontak dengan cara kerja yang efektif dan

efisien (Tjionger’s, 2001). Bahan aktifnya yang berupa tembaga (Cu) termasuk ke

dalam golongan logam berat dan bersifat sangat toksik. Timmermans (1983)

menyebutkan bahwa logam berat Cu merupakan logam berat yang paling beracun

disusul Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, dan Zn yang hampir tidak beracun. Keberadaan

logam berat tersebut dapat berdampak pada perubahan komposisi spesies dan

penurunan jumlah atau kematian spesies tersebut. Dengan demikian dapat dipahami

apabila pada konsentrasi kocide yang sangat rendah, telah mempunyai pengaruh

mortalitas yang cukup besar sebagaimana terlihat pada tabel 3.2.

Toksisitas fungisida khususnya kocide 77 WP berkaitan dengan konsentrasi

logam Cu yang masuk ke dalam tubuh hewan uji melebihi konsentrasi yang

dibutuhkan yaitu 40-200 kali lipat. Diduga kematian hewan uji tersebut terjadi

disebabkan senyawa logam berat yang masuk ke dalam tubuh hewan uji telah

melampaui konsentrasi yang dibutuhkan (Fostner dan Wittman, 1983).

Page 18: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

Tembaga (Cu) pada konsentrasi tinggi berada dalam bentuk Cu2+ dan bersifat

toksik. Toksisitas terjadi karena tembaga bertindak sebagai oksidator dan berikatan

dengan molekul asam organik seperti deoksiribonukleat (DNA) dan protein

(Harwood dan Gordon, 1974, dalam Irawati et al., 1997). Ion Cu2+ merupakan trace

element nutrient yang dibutuhkan tubuh tetapi bila ada dalam jumlah yang banyak

akan menyebabkan kerusakan sel tubuh dan terganggunya metabolisme (Silver dan

Misra, 1988).

Masuknya senyawa-senyawa toksik ke dalam tubuh dapat melalui mulut (oral)

maupun kulit (dermal), dan logam tersebut mempunyai afinitas tinggi untuk

berikatan dengan protein terutama pada gugus sulfhidril (-SH) (Foster dan Wittman,

1983). Cano dan Colone (1986) dalam Irawati et al. (1997) menyatakan bahwa di

dalam tubuh, tembaga berikatan dengan protein sel tubuh yang akan menyebabkan

protein terdenaturasi karena mengikat gugus sulfhidril protein sehingga akan

mengubah struktur protein tersebut. Sifat ini akan menimbulkan gejala atau

pengaruh buruk pada kehidupan hewan atau mahluk hidup lainnya dimana tembaga

yang mula-mula dapat larut dalam air akhirnya akan mengendap di dalam tubuh

hewan tersebut dan pada akhirnya terakumulasi.

Setiap mahluk hidup mempunyai tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap

logam berat dan logam berat juga mempunyai tingkat toksisitas yang tidak sama.

Menurut Sernitt dan Laster (1980) dalam Irawati et al. (1997) toksisitas logam

berhubungan dengan afinitasnya terhadap agen pengkhelat sejak logam berinteraksi

dengan sel hidup. Coyne (1999) menambahkan bahwa logam akan menyeleksi

beberapa sel mahluk hidup yang mempunyai mekanisme untuk bertahan pada

kondisi media yang mengandung logam toksik, sebagian logam berat akan

Page 19: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

mempunyai pola yang bebas dalam mempengaruhi mahluk hidup, maka semakin

tinggi konsentrasi semakin sedikit pula yang bertahan hidup

Round up 486 AS dengan bahan aktif isopropilamina glifosat 486 g/l (setara

dengan glifosat 360 g/l) merupakan salah satu jenis herbisida yang bersifat sistemik,

berspektrum luas, tidak selektif dan dapat mematikan gulma dengan cara

menghambat sintesis protein dan metabolisme asam amino gulma tersebut (Sukman

dan Yakup, 1995). Glifosat berpengaruh merugikan pada sejumlah fauna tanah dan

fauna tanaman seperti tungau predator yang bermanfaaat. Glifosat juga mampu

meningkatkan mortalitas pada beberapa tungau tanah dan isopoda, tetapi percobaan

di lapang belum diperoleh bukti yang meyakinkan (Eijsackers, 1985 dalam Jasinski

et al., 2003). Penggunaan glifosat dapat menyebabkan mortalitas pada tungau laba-

laba Tetranychus lintearius (Searle et al., dalam Jasinski et al., 2003). Cox (1995),

menyatakan bahwa glifosat termasuk ke dalam salah satu jenis herbisida yang

memiliki kemungkinan kecil dalam menimbulkan bahaya akut jika digunakan secara

normal. Pada umumnya uji toksisitas terkontrol, melaporkan gejala merugikan

terkena glifosat hanya akan terjadi pada dosis ekstrim yang tinggi

Meskipun herbisida glifosat termasuk ke dalam kelompok racun syaraf,

namun hasil pengujian pada beberapa organisme tidak menunjuk pada kerja racun

syaraf seperti halnya insektisida organofosfat (Nivia, 2001). Hampir seluruh

insektisida organofosfat bekerja mempengaruhi sistem syaraf melalui inhibisi enzim

asetilkolinesterase (AcHE) (Sudarmo, 1990; Sastroutomo, 1992; Tarumingkeng,

1992; Rumondang; 1993 Wudianto, 1994; dan Lu 1995). Berbeda dengan

insektisida organofosfat, mekanisme kerja herbisida secara umum terjadi melalui

gangguan proses anabolisme penting seperti pati, asam lemak atau asam amino

melalui kompetisi dengan senyawa yang normal dalam proses tersebut. Herbisida

Page 20: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan menjadi kosubstrat

yang dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya (Schopfer dan Brennicke, 2005).

Mekanisme kerja glifosat terjadi melalui penghambatan enzim

5-enolpyruvoyl-shikimate-3-phosphate synthase (EPSPS), dalam bentuk asam amino

aromatik, fenilalanin, tirosin dan triptofan. EPSPS merupakan enzim utama yang

terlibat dalam biosintesis asam amino aromatik. EPSPS mengkatalisasi reaksi dari

shikimate 3-phosphate (S3P) dan phosphoenolpyruvate (PEP) menjadi bentuk ESP

dan fosfat. Dengan demikian, glifosat dapat mengganggu sintesis asam amino

aromatik karena berkompetisi dengan fosfoenol piruvat( Hartzler, 1998).

Beberapa organisme memiliki versi enzim 5-enolpyruvoyl-shikimate-3-

phosphate synthetase (EPSPS) yang resisten terhadap inhibisi glifosat (Hartzler,

1998). Inhibisi glifosat bersifat non kompetitif, hal ini terbukti dari rendahnya

konsentrasi glifosat yang dibutuhkan untuk dapat mematikan 50% individu dari

jumlah total populasi tungau setelah tungau terdedah oleh kocide. Dugaan

mekanisme kerja herbisida glifosat pada tungau diawali oleh pemikiran adanya

protein reseptor pada membran sel tungau. Pada konsentrasi glifosat yang kecil,

protein reseptor masih mampu mengikat dan mendetoksifikasinya, tanpa terjadi

perubahan konformasi pada protein reseptor itu sendiri sehingga dikatakan membran

impermeable. Namun, apabila konsentrasi glifosat ditingkatkan maka fungsi protein

reseptor terganggu dan menyebabkan perubahan konformasinya sehingga

permeabilitas membran menjadi lebih besar. Akibat terganggunya permeabilitas

membran, maka pada konsentrasi yang mematikan 50% dari total populasi, glifosat

dapat masuk dan mematikan tungau.

Page 21: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

Menurut Untung (1996), resistensi berkembang dalam suatu populasi karena

terdapat sifat pertahanan tubuh, yaitu melalaui keterlibatan mekanisme resistensi.

Tiga mekanisme resistensi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida oleh karena

bekerjanya enzim-enzim tertentu seperti enzim dehidroklorinase (terhadap

DDT), enzim mikrosomaloksidase (terhadap karbamat, OP, piretroid),

glutation transferase (terhadap OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP).

2. Penurunan kepekaaan tempat sasaran pestisida pada tubuh serangga seperti

asetilkolinesterse (terhadap OP dan karbamat), sistem syaraf (Kdr) seperti

terhadap DDT dan piretroid.

3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumen seperti

yang terjadi pada ketahanan terhadap kebanyakan pestisida.

Flint dan Van den Bosch (1990), menyatakan hanya individu-individu yang

memiliki sifat-sifat pertahanan tersebut yang dapat bertahan hidup, maka sangat

mudah dipahami bahwa generasi berikutnya akan memiliki organisme yang tahan

terhadap pestisida dalam prosentase yang lebih besar. Jika setiap generasi

dihadapkan pada bahan kimia beracun, maka hanya dalam waktu yang cepat akan

terdapat banyak sekali individu yang resisten dalam suatu populasi.

Menurut Georghiou dan Taylor (1976) dalam Georghiou Mellon (1983), ada 3

faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi yaitu faktor genetik, faktor biologi

dan faktor operasional. Faktor genetik terdiri dari frekuensi alel R, jumlah alel R,

dominansi alel R, dan interaksi alel R. Faktor biologi terdiri dari jumlah keturunan

per generasi, siklus hidup satu generasi, monogami/poligami atau partenogenesis,

mobilitas dan migrasi. Faktor operasional terdiri dari bahan kimia pestisida yang

digunakan, lamanya residu, formulasi pestisida, waktu aplikasi dilakukan, stadium

Page 22: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

yang dipilih, cara aplikasi, frekuensi aplikasi dan penggunaan pestisida yang

berganti-ganti.

Selain berbagai faktor yang diuraikan sebelumnya, toksisitas suatu pestisida

sangat dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban (table 3.3).

Tabel. 3.3 Pengukuran Temperatur Dan Kelembaban

Faktor Nilai Kisaran

Temperatur (0C) 200C – 320C

Kelembaban (%) 75%- 95%

Lokasi penelitian ini memiliki kisaran temperatur 200 C sampai 320C sedikit lebih

tinggi dari kisaran temperatur di ketinggian wilayah 600-1500 m dpl, sedangkan

pada saat malam hari kisaran temperaturnya dapat mencapai 180C. Kisaran suhu

yang tinggi ini akan mengakibatkan peningkatan kepekaan tungau terhadap pestisida

(Prijono, 1988). Hal tersebut terjadi dikarenakan pada suhu yang tinggi sekresi

kelenjar minyak tungau meningkat sehingga mengakibatkan pestisida akan lebih

mudah menempel pada tubuh tungau. Selain itu kelembaban yang tinggi yaitu

berkisar antara 75%-95% juga meningkatkan konsentrasi air di udara sehingga

menghambat penguapan kelenjar minyak yang disekresikan, hal ini diduga berakibat

pada bertambahnya kepekaan A. deleoni terhadap pestisida.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pendedahan kocide 77 WP dan dilanjutkan dengan roundup 486 AS

menurunkan tingkat resistensi populasi tungau predator Amblyseius deleoni.

Page 23: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

B. Saran

Perlu dilakukan pendedahan lebih lanjut menggunakan jenis pestisida yang

sama terhadap generasi-generasi A. deleoni berikutnya sehingga dapat diperoleh

individu yang resisten.

DAFTAR REFERENSI

Agnithothrudu, V. 1996. Potential biocontrol agent and their impact on the tea industry. International Tea Workshop, July 9-11 1996. Beijing, China. 50-54.

Bakker, F. and J.A. Jacas. 1995. Phytoseiid mites : strategies for risk assessment. Exotoxicology and Environmental Safety. 32 : 58-67.

Page 24: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

Budianto, B.H. 2000. Biologi Perilaku Predasi Amblyseius deleoni Muma et Denmark Dan Perubahan Daya Tahannya Terhadap Pestisida. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Chouinard, G. and J. Brodeur. 1996. Comparing insecticide - resistant and indigenous strains of The predatory mite Amblyseius fallacis for field effectiveness against Panonychus ulmi, Aculus schlechtendali and Tetranychus urticae in apple orchads, XX International Congress of Entomology, August 25-31 1996. Firenze, Italy.

Cox, C. 1995. Glyphosate, Part 1 : Toxicology. Journal of Pesticides Reform, 15 : 14-19.

Coyne, M.S. 1999. Soil Microbiology An Exploratiory Approach. Delmar Publisher Ltd, Washington.

Ekha, I. 1988. Dilema Pestisida Tragedi Revolusi Hijau. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Flint, M.I dan R. Van den Bosch. 1990. Pengendalian Hama Terpadu diterjemahkan oleh Kartini I. K dan John, P. Kanisius, Yogyakarta.

Fostner , U. and Wittmann, G. T. W. 1983. Metal Pollution In The Aquatic Environment. Springer-Verlag, Berlin

Green, M. B. 1979. Chemical for Crop Protection and Pest Control. Pergamon Press Ltd, England.

Hartzler, B. 1998. Herbicide Site Action. URL : http//www.weeds.iastate.edu/Reference/siteofaction.htm. Diakes 2 September 2006.

Irawati, W., Joetono, dan H. Hartiko. 1997. Profil-Profil mikroorganisme pengikat tembaga setelah penginduksian tembaga. Jurnal Pasca Sarjana, 23 : 13-17.

James, D.G. 1997. Imidacloprid increases egg production in Amblyseius victoriensis (Acari : Phytoseiidae). Experimental & Applied Acarology, 21: 75-82.

Jasinski, J.R, J.B. Esley, C.E Young, J. Kovacs, H. Wilson . 2003. Select nontarget Arthropod Abundance in transgenic and nontransgenic field crops in Ohio. Environmental Entomology, 32 : 407-413.

Jhony, A. 2002. Kocide atasi penyakit Bawang Merah. URL: http://www.tanindo.com/abdi17/hal2501.html . Diakses 19 Agustus 2006.

Kartasaputra, A. G. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Radar Jaya Offset, Jakarta.

Page 25: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

Kasumbago, U. 2005. Manajemen Resistensi Pestisida sebagai Penerapan Pengelolaan Hama Terpadu. URL: http:/kasumbogo.staff. ugm. ac. id/detailarticle.php. Diakses 19 Agustus 2006.

Klashorst, V.D.G. 1992. Why have mites become a problem in agriculture?, Applied Acarology Workshop, Institute of Technology Bandung, IUC Life Sciences, Bandung.

Knulle, W. 1991. Life-cycle strategies in unpredictably varying environments : genetics adaptations in a colonizing mite, dalam The Acari Reproduction, development and life-history strategies, Schuster R and P.W Murphy, 51-56. Chapman & Hall.

Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar :Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko Edisi Kedua. UI Press, Jakarta.

McMurtry, J.A.; and B.A. Croft. 1997. Life-styles of phytoseiid mites and their role in biological control, Annual Review of Entomology, 42: 291-321.

Mc Murty and D.E Walter. 1996. Phytoseiid mites and biological control in agricultural acarology at Ohio State, Week I. Ohio State University.

Mochizuki, M. 1994. Variations in insecticide susceptibility of The predatory mite, Amblyseius-womersleyi Schicha (Acarina, Phytoseiidae) in the tea fields of Japan, Applied Entomology & Zoology, 29: 203-209.

Momen, F.M.; and S.A.A. Amer. 1994. Effect of some foliar extracts on the predatory mite, Amblyseius barkeri (Acarina, Phytoseiidae), Acarologia, 35: 223-228.

Momen, F.M. 1996. Effect of prey density on reproduction, prey consumption and sex ratio of Amblyseius barkeri (Acari, Phytoseiidae) Acarologia, 37: 3-6

Moenandir, J. 1990. Fisiologi Herbisida (Ilmu Gulma : Buku II). Rajawali, Jakarta.

Natawigena, H. 1985. Pestisida dan Kegunaannya. CV. Armico, Bandung.

Nivia, E. 2001. General Characteristics of Round up (Glyphosate). URL : http://www.itass.dk/pestdb.htm. Diakses 4 September 2006.

Nurbaya, S. 2000. Kelimpahan dan Distribusi Tungau Perusak Daun Teh di Perkebunan Teh Tanjung Sari Wonosobo. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto

Oomen, P. A. 1982. Studies on population dynamics of scarlet Mite, Brevipalpus phoenicis, A pest of Tea in Indonesia. Meded Landbouwhogeschool Wagengingen, 82: 1-82.

Osborne, L.S.; L.E. Ehler and J.R. Nechols. 1997. Biological control of the twospotted spider mite in Greenhouse. University of Florida, Central Florida Research and Education Center 2807 Binion Road, Apopka, FL 32703.

Page 26: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

Pracaya. 1983. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta

Pratiknyo, H. 1998. Kerapatan Relatif Tungau Jingga (Brevipalpus phoenicis) dan Predatornya Per Daun Teh (Camellia sinensis). Tesis. Tidak dipblikasikan. ITB, Bandung.

Pratiknyo, H. dan B.H. Budianto. 2000. Pengendalian Hayati Tungau Hama Teh dengan Tungau Predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark. Laporan Hasil Penelitian. UNSOED. Purwokerto.

Prijono, D. 1988. Pengujian Insektisida. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Rosen, D. & C.B. Huffaker. 1982. An Overview of desired attributes of effective biological control agents with particular emphasis on mites. Proceeding of a Confrence held on April 5-7,1982 at The University of California, Biological Control of Pest by Mites. Hoy, M.A., G.L. Cunningham and L. Knutson, Editor, Berkeley.

Rumondang, R. 2003. Status Resistensi Ulat Krop Kubis Crocidolomia pavonana Fubricus (Lepidoptera: Pyralidae) dari Beberapa Daerah di Jawa Barat Terhadap Insektisida Prefenofos dan Emamektin Benzoat. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Sastroutomo, S. 1992. Pestisida : Dasar-Dasar dan Dampak Penggunaannya. Gramedia, Jakarta.

Schicha, E. 1987. Phytoseiidae of A. deleoni and Neighbouring Areas. Indira Publishing House, Michigan.

Schopfer dan Brennicke. 2005. Pfalanzenphysiologie. URL : http://id.wikipedia.org/wiki/Herbisida. Diakses 2 September 2006.

Shipp, J.L. and Y.M. Van Houten. 1997. Influence perature and vapor pressure deficit on survival of the predatory mite, Amblyseius cucumeris (Acari, Phytoseiidae), Enviromental Entomology, 26 , 106-113.

Silver, S & T. Misra. 1988. Plasmid mediated heavy metal resistance. Annual Research Microbiology, 42 : 717-743

Sivapalan, P. 1996. Development of new methods of pest control and their consequences in tea Production. International Tea Workshop, 9-11 July 1996, Beijing, China, 46-49.

Sudarmo, S. 1992. Pestisida Tanaman. Kanisius, Yogyakarta

Sudoi, V.; B.M. Khaemba and F.M.E. Wanjala (1994), Screening of Kenyan tea clones for their resistance to Brevipalpus phoenicis Geijskes (Acari, Tenuipalpidae) Attack, Tea, 15 (2), 105-109.

Page 27: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

Sukman, Y dan Yakup. 1995. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tarumingkeng, R. C. 1992. Insektisida, Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. PAU-IPB, Bogor

Thistlewood, H.M.A.; D.J. Pree and L.A. Crawford. 1995. Selection and genetic analysis of permethrin resistance in Amblyseius fallacis (Garman) (Acari, Phytoseiidae) from Ontario Apple Orchads Experimental & Applied Acarology. 19: 707-721.

Timmermans, W.T. 1983. Removal of lead, cadmium and zinc by waste tea leaves. Journal Environmental Technology. 9 : 1223-1232.

Tjionger’s, M, Ir. 2002. Kocide 77 WP Lipat Gandakan Hasil Kakao. URL: http://www.tanindo.co.id/abdi10/hal1901.htm . Diakses 19 Agustus 2006

Wudianto, R. 1997. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya, Jakarta.

Yue, B.S. and J.H. Tsai. 1996. Development, survivorship and reproduction of Amblyseius largoensis (Acari, Phytoseiidae) on selected plant pollens and temperatures, Enviromental Entomology, 25, 488-494.

Zhang, Z.Q.; and J.P. Sanderson (1997), Patterns, mechanisms and spatial scale of agregation in generalist and specialist predatory mites (Acari, Proceedings of the Symposium on Advances of Acarology in Poland. Siedlce, Boczek, J. and S. Ignatowicz, Experimental & Applied Acarology, 21, 393-404.

Lampiran 1. Hasil analisis probit dan logit (POLO) nilai LC50/24 jam A. deleoni terhadap Kocide 77 WP dan Round Up 486 AS

POLO-PC(C) Copyright LeOra Software 1987

Input file > amalia.dat

input: =LC50 Kocide 77WP terhadap A. deleoniinput: *%

Page 28: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

input: 0 10 0input: 0 10 0input: 0 10 0input: 0 10 0input: 0.001 10 2input: 0.001 10 3input: 0.001 10 2input: 0.001 10 2input: 0.01 10 3input: 0.01 10 5input: 0.01 10 3input: 0.01 10 3input: 0.1 10 5input: 0.1 10 5input: 0.1 10 5input: 0.1 10 6input: 1 10 6input: 1 10 8input: 1 10 6input: 1 10 6input: 10 10 3input: 10 10 5input: 10 10 3input: 10 10 5input: 100 10 4input: 100 10 4input: 100 10 4input: 100 10 3

preparation dose log-dose subjects responses resp/subj% .00000 .000000 40. 0. .000 .00100 -3.000000 10. 2. .200 .00100 -3.000000 10. 3. .300 .00100 -3.000000 10. 2. .200 .00100 -3.000000 10. 2. .200 .01000 -2.000000 10. 3. .300 .01000 -2.000000 10. 5. .500 .01000 -2.000000 10. 3. .300 .01000 -2.000000 10. 3. .300 .10000 -1.000000 10. 5. .500 .10000 -1.000000 10. 5. .500 .10000 -1.000000 10. 5. .500 .10000 -1.000000 10. 6. .600 1.00000 .000000 10. 6. .600 1.00000 .000000 10. 8. .800 1.00000 .000000 10. 6. .600 1.00000 .000000 10. 6. .600 10.00000 1.000000 10. 3. .300 10.00000 1.000000 10. 5. .500 10.00000 1.000000 10. 3. .300

Page 29: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

10.00000 1.000000 10. 5. .500 100.00000 2.000000 10. 4. .400 100.00000 2.000000 10. 4. .400 100.00000 2.000000 10. 4. .400 100.00000 2.000000 10. 3. .300

Number of preparations: 1Number of dose groups: 24Do you want probits [Y] ?Is Natural Response a parameter [Y] ?Do you want the likelihood function to be maximized [Y] ?LD's to calculate [10 50 90] >Do you want to specify starting values of the parameters [N] ?

The probit transformation is to be usedThe parameters are to be estimated by maximizing the likelihood function

Maximum log-likelihood -162.08239

parameter standard error t ratio% -.16386766 .84623400E-01 -1.9364344SLOPE .76269464E-01 .48306408E-01 1.5788685

Variance-Covariance matrix % SLOPE % .7161120E-02 .1057048E-02 SLOPE .1057048E-02 .2333509E-02

Chi-squared goodness of fit test

preparation subjects responses expected deviation probability% 10. 2. 3.473 -1.473 .347279 10. 3. 3.473 -.473 .347279 10. 2. 3.473 -1.473 .347279 10. 2. 3.473 -1.473 .347279 10. 3. 3.758 -.758 .375847 10. 5. 3.758 1.242 .375847 10. 3. 3.758 -.758 .375847 10. 3. 3.758 -.758 .375847 10. 5. 4.051 .949 .405112 10. 5. 4.051 .949 .405112 10. 5. 4.051 .949 .405112 10. 6. 4.051 1.949 .405112 10. 6. 4.349 1.651 .434918 10. 8. 4.349 3.651 .434918 10. 6. 4.349 1.651 .434918 10. 6. 4.349 1.651 .434918 10. 3. 4.651 -1.651 .465098 10. 5. 4.651 .349 .465098

Page 30: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

10. 3. 4.651 -1.651 .465098 10. 5. 4.651 .349 .465098 10. 4. 4.955 -.955 .495481 10. 4. 4.955 -.955 .495481 10. 4. 4.955 -.955 .495481 10. 3. 4.955 -1.955 .495481

chi-square 20.7208 degrees of freedom 22 heterogeneity .94

Index of significance for potency estimation: g(.90)=1.0853 g(.95)=1.5410 g(.99)=2.6616

"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.

Effective Doses dose limits 0.90 0.95 0.99LC10 % .00000LC50 % 140.77826LC90 % .00000

LC50 Kocide 77WP terhadap A. deleoni % subjects 240 controls 40 log(L)=-162.1 slope=.076+-.048 nat.resp.=.000+-.000 heterogeneity=.94 g=1.541

KOCIDE 77 WP DAN ROUNDUP 486 AS

POLO-PC(C) Copyright LeOra Software 1987

Input file > AMEL.DAT

input: =LC50 Kocide77WP dan Roundup 486 AS terhadap A. deleoniinput: *%

Page 31: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

input: 0 10 0input: 0 10 0input: 0 10 0input: 0 10 0input: 0.001 10 3input: 0.001 10 5input: 0.001 10 3input: 0.001 10 3input: 0.01 10 4input: 0.01 10 3input: 0.01 10 4input: 0.01 10 4input: 0.1 10 4input: 0.1 10 4input: 0.1 10 4input: 0.1 10 5input: 1 10 4input: 1 10 4input: 1 10 6input: 1 10 4input: 10 10 3input: 10 10 6input: 10 10 5input: 10 10 3input: 100 10 6input: 100 10 7input: 100 10 7input: 100 10 7

preparation dose log-dose subjects responses resp/subj% .00000 .000000 40. 0. .000 .00100 -3.000000 10. 3. .300 .00100 -3.000000 10. 5. .500 .00100 -3.000000 10. 3. .300 .00100 -3.000000 10. 3. .300 .01000 -2.000000 10. 4. .400 .01000 -2.000000 10. 3. .300 .01000 -2.000000 10. 4. .400 .01000 -2.000000 10. 4. .400 .10000 -1.000000 10. 4. .400 .10000 -1.000000 10. 4. .400 .10000 -1.000000 10. 4. .400 .10000 -1.000000 10. 5. .500 1.00000 .000000 10. 4. .400 1.00000 .000000 10. 4. .400 1.00000 .000000 10. 6. .600 1.00000 .000000 10. 4. .400 10.00000 1.000000 10. 3. .300 10.00000 1.000000 10. 6. .600 10.00000 1.000000 10. 5. .500

Page 32: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

10.00000 1.000000 10. 3. .300 100.00000 2.000000 10. 6. .600 100.00000 2.000000 10. 7. .700 100.00000 2.000000 10. 7. .700 100.00000 2.000000 10. 7. .700

Number of preparations: 1Number of dose groups: 24Do you want probits [Y] ?Is Natural Response a parameter [Y] ?Do you want the likelihood function to be maximized [Y] ?LD's to calculate [10 50 90] >Do you want to specify starting values of the parameters [N] ?

The probit transformation is to be usedThe parameters are to be estimated by maximizing the likelihood function

Maximum log-likelihood -161.38382

parameter standard error t ratio% -.62444152E-01 .85006550E-01 -.73458049SLOPE .13173521 .48300751E-01 2.7273946

Variance-Covariance matrix % SLOPE % .7226113E-02 .1102602E-02 SLOPE .1102602E-02 .2332963E-02

Chi-squared goodness of fit test

preparation subjects responses expected deviation probability% 10. 3. 3.236 -.236 .323602 10. 5. 3.236 1.764 .323602 10. 3. 3.236 -.236 .323602 10. 3. 3.236 -.236 .323602 10. 4. 3.722 .278 .372244 10. 3. 3.722 -.722 .372244 10. 4. 3.722 .278 .372244 10. 4. 3.722 .278 .372244 10. 4. 4.230 -.230 .423018 10. 4. 4.230 -.230 .423018 10. 4. 4.230 -.230 .423018 10. 5. 4.230 .770 .423018 10. 4. 4.751 -.751 .475105 10. 4. 4.751 -.751 .475105 10. 6. 4.751 1.249 .475105

Page 33: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS

10. 4. 4.751 -.751 .475105 10. 3. 5.276 -2.276 .527621 10. 6. 5.276 .724 .527621 10. 5. 5.276 -.276 .527621 10. 3. 5.276 -2.276 .527621 10. 6. 5.797 .203 .579661 10. 7. 5.797 1.203 .579661 10. 7. 5.797 1.203 .579661 10. 7. 5.797 1.203 .579661

chi-square 7.3750 degrees of freedom 22 heterogeneity .34

Index of significance for potency estimation: g(.90)=.57588 g(.95)=.81766 g(.99)=1.4122

"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.

We will use only the probabilities for which g is less than 0.5Effective Concentration concent limits 0.90 0.95 0.99LC10 % .00000 lower upper LC50 % 10.76258 lower . upper LC90 % .00000 lower

upper

LC50 kocide77WP+Roundup 486AS terhadap tungau predator A. deleoni % subjects 240 controls 40 log(L)=-162.1 slope= .104+-.048 nat.resp.=.000+-.000 heterogeneity=.34 g=.818

Stop - Program terminated.

Page 34: Tingkat resistensi Amblyseius deleoni  terhadap  kocide 77 WP dan round up 486 AS