Upload
bambang-heru
View
1.784
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Fungisida (kocide 77 WP) dan herbisida (roundup) dapat berdampak pada mortalitas tungau predator penting pada tanaman teh, Amblyseius deleoni. Untuk mengurangi mortalitasnya dan meningkatkan kemampuan predasinya, maka tungau ini harus didedah dengan ke dua jenis pestisida tersebut agar meningkat tingkat resistensinya.
Citation preview
I. PENDAHULUAN
Tanaman teh (Camellia sinensis, L.) sebagai salah satu tanaman budidaya
banyak mendapat serangan hama terutama dari golongan tungau. Tungau merupakan
kelompok Acari dari phylum Arthropoda, classis Arachnida yang memiliki sebaran
luas dan memiliki anggota paling besar (Nurbaya, 2000).
Di berbagai perkebunan teh di Indonesia, ada beberapa jenis tungau hama yang
sering dijumpai diantaranya adalah Polyphagotarsonemus latus Banks, Acaphylla
theae Watt, Calacarus carinatus Green dan Brevipalpus phoenicis Geijskes (Oomen,
1982). Semua jenis tungau hama tanaman teh tinggal pada bagian bawah daun
pemeliharaan. Daun yang terdapat pada tanaman teh dibagi menjadi 2 bidang yaitu
bidang petik dan bidang pemeliharaan. Bidang petik adalah daun yang terletak di
atas yang terdiri atas daun-daun muda, sedangkan bidang pemeliharaan terletak di
bawah bidang petik yang terdiri atas daun-daun tua. Berbagai tungau hama
sebagaimana dikemukakan oleh Nurbaya (2000), mengisap cairan daun sehingga
daun dapat mengalami klorosis bahkan menjadi rontok. Kerugian yang ditimbulkan
meliputi kerusakan areal perkebunan mencapai sekitar 50% dan menurunnya
pertumbuhan pucuk daun teh sampai 30% (Sudoi et al., 1994).
Tingginya tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh serangan tungau hama
tersebut, mendorong penggunaan bahan kimiawi sintetis (pestisida) dan kondisi ini
telah berlangsung cukup lama. Berbagai masalah timbul akibat pemakaian pestisida
diantaranya yaitu selain mencemari produk teh dan lingkungan, tungau hama juga
menjadi resisten dan seringkali mengalami resurjensi sehingga dosis pemakaian
pestisida cenderung terus ditingkatkan.
Salah satu cara untuk mengurangi penggunaan pestisida adalah dengan
memanfaatkan musuh-musuh alami tungau hama (Agnithothrudu, 1996). Salah satu
musuh alami yang paling sering ditemukan dan diketahui sebagai predator bagi
beberapa jenis tungau hama teh adalah Amblyseius deleoni Muma et Denmark
(Budianto, 2000).
A. deleoni merupakan tungau predator famili Phytoseiidae yang paling
dominan dalam memangsa tungau jingga. Hidup sebagai predator generalis, lebih
menyukai tungau hama Cryophidae daripada Tenuipalpidae (seperti tungau jingga)
dan sangat menggemari polen bunga (Pratiknyo, 1998). Pada keadaan alami tungau
ini umumnya melimpah dan distribusinya relatif sama dibandingkan dengan tungau
parasit tumbuhan (Mc Murty and Walter, 1996).
A. deleoni memiliki kelimpahan yang sangat tinggi pada tanaman teh dan
dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosis dengan 4 stadia perkembangan yaitu
telur, larva, nimfa dan dewasa (Schica, 1987). A. deleoni berdasarkan morfologinya
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: ventral shield membulat, kaki ada 8 buah atau 4
pasang pada tungau dewasa tetapi yang masih larva hanya 3 pasang kaki, tubuhnya
transparan, tipe mulutnya pencucuk dan pengisap, mempunyai setae yang terdiri dari
dua setae yang panjang dan 2 setae pendek di bagian posterior tubuhnya.
Cheliceranya normal, jantan mempunyai sternogenital dan ventrianal shield, betina
mempunyai epyginial dan ventrianal shield. Ventrianal shield di dalamnya terdapat
8 setae dan 3 setae yang lain terletak pada bagian samping dan bawah anus, panjang
tubuh keseluruhan yaitu dari gnatosoma sampai idiosoma mencapai rata-rata 526,36
µm, untuk setae yang terletak di bagian posterior mencapai panjang rata-rata 372,4
µm (Budianto, 2000).
Rosen dan Hufakker (1982) menyatakan bahwa A. deleoni memiliki kriteria
sebagai pengendali hayati tungau hama karena predator ini mudah diperbanyak,
memiliki daya mangsa dan laju reproduksi tinggi serta mampu bertahan pada kondisi
kelangkaan pakan utamanya. Pemanfaatannya yang aman dan ramah lingkungan
perlu didukung oleh usaha perbanyakan dan pengembangan tungau predator
A. deleoni.
Telah dikemukakan di atas, bahwa pengendalian alamiah tungau hama dapat
dilakukan dengan menggunakan tungau predator. Meskipun demikian, pada
umumnya perkebunan-perkebunan termasuk perkebunan teh, menggunakan pestisida
seperti akarisida, insektisida, fungisida dan herbisida dalam upayanya memperoleh
hasil pengendalian yang lebih cepat.
Pestisida menurut The United States Federal Environmental Pesticide Control
Act adalah semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas atau
mencegah gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma,
virus, bakteri, jasad renik yang terdapat pada manusia dan binatang lainnya (Green,
1979). Beberapa pestisida yang sering digunakan pada perkebunan teh berdasarkan
jasad hidup sasarannya yaitu insektisida (racun serangga), akarisida (racun tungau
dan caplak), herbisida (racun gulma atau tanaman pengganggu) dan fungisida (racun
jamur) (Sudarmo,1992).
Fungisida merupakan bahan kimia yang dapat mengendalikan patogen berupa
jamur. Fungisida dapat dibedakan berdasarkan kandungan bahan aktifnya yaitu
fungisida merkuri, tembaga, karbamat, belerang dan lain-lain. Senyawa tembaga
anorganik memiliki daya larut yang rendah dalam air sehingga dapat digunakan
sebagai pestisida (Sastroutomo, 1992).
Kocide 77 WP (Wettable Powder) merupakan salah satu jenis fungisida
protektan yang bersifat racun kontak, berbentuk tepung berwarna biru muda yang
dapat disuspensikan untuk mengendalikan penyakit busuk daun pada tanaman
kentang, penyakit cacar pada daun teh, penyakit karat pada kopi dan busuk buah
pada kakao. Daya kendalinya lebih besar karena memiliki bahan aktif tembaga
hidroksida 77 %. Tembaga hidroksida merupakan jenis fungisida tembaga generasi
terakhir yang bersifat racun kontak dengan cara kerjanya yang efektif dan efisien
(Tjionger’s, 2001). Fungisida kocide 77 WP ini memiliki beberapa keunggulan
diantaranya : partikelnya sangat kecil sehingga mudah masuk sampai ke pusat
penyakit dengan hanya menggunakan dosis yang rendah, lebih mudah larut dalam
air, tidak mudah mengendap, larutan yang terbentuk menjadi lebih merata, daya rekat
lebih lama lebih baik, tidak mudah tercuci dan tidak mudah menggumpal (Jhony,
2002).
Jenis fungisida tembaga ini umumnya bekerja dengan cara menghambat enzim.
Efek ini biasanya timbul akibat interaksi antara logam dengan gugus -SH pada enzim
tersebut. Suatu enzim dapat juga dihambat oleh logam toksik melalui penggusuran
kofaktor logam yang penting dari enzim. Mekanisme lain dalam mengganggu fungsi
enzim adalah dengan menghambat sintesisnya (Lu, 1995). Fungisida tembaga ini
bersifat akumulatif yang nantinya akan terionisasi dan menghasilkan ion kupri yang
bebas (Osborne, 1997).
Selain kocide 77 WP jenis pestisida lain yang digunakan adalah herbisida.
Herbisida merupakan senyawa kimia yang berfungsi untuk membunuh gulma.
Round up 486 AS (Aquaeous Solution) merupakan salah satu jenis herbisida yang
bersifat sistemik, berspektrum luas, tidak selektif dan dapat mematikan gulma
dengan cara menghambat sintesis protein dan metabolisme asam amino gulma
tersebut (Sukman dan Yakup, 1995). Round up 486 AS memiliki formulasi
berbentuk cair, yang dalam penggunaannya dicampur dengan air dan larutan ini
berwarna kuning keemasan (Wudianto, 1997). Bahan aktif dari herbisida ini adalah
isopropilamina glifosat 486 g/l (setara dengan glifosat 360 g/l). Nivia (2001),
menyatakan bahwa secara teknik glifosat merupakan asam, tetapi umumnya glifosat
sering digunakan dalam bentuk garam yang dikenal dengan nama garam
isopropylamine. Glifosat memiliki nama kimia N-(phosphometyl) glycine dengan
rumus formula C3H8NO5P. Menurut Moenandir (1990), herbisida berbahan aktif
glifosat merupakan jenis herbisida yang cukup baru dalam pemasaran dan hampir
semua jenis tumbuhan gulma akan peka terhadap herbisida ini.
Herbisida round up 486 AS merupakan salah satu jenis herbisida golongan
organofosfat. Jenis pestisida ini mengandung unsur-unsur karbon dan fosfor. Pada
umumnya senyawa-senyawa organofosfat merupakan senyawa yang paling cepat
dihidrolisis bila tercampur dengan air, dan sedikit meninggalkan residu apabila
disemprotkan (Ekha, 1988). Meskipun herbisida organofosfat termasuk ke dalam
kelompok racun syaraf, namun hasil pengujian terhadap beberapa organisme tidak
menunjuk pada racun syaraf seperti halnya pada insektisida organofosfat (Nivia,
2001). Sebagaimana diketahui bahwa daya racun insektisida organofosfat mampu
menurunkan populasi serangga dengan cepat dan persistensinya di lapang tergolong
sedang. Kebanyakan insektisida organofosfat bekerja dengan cara menghambat
enzim asetilkolinesterase (AcHE) yang berakibat pada terjadinya penumpukan
asetilkolin sehingga menyebabkan kekacauan pada sistem penghantaran impuls ke
sel-sel otot. Keadaan ini menyebabkan pesan-pesan berikutnya tidak dapat
diteruskan, otot kejang, dan berakhir dengan kelumpuhan atau kematian
(Rumondang, 2003). Berbeda dengan insektisida organofosfat, mekanisme kerja
herbisida organofosfat (glifosat) diduga didasarkan pada terganggunya fungsi enzim,
dimana glifosat melakukan inhibisi pada tempat katalitik Mix Function Enzyme
(MFO).
Penggunaan kocide 77 WP dan round up 486 AS selain bertujuan
mengendalikan berbagai jenis hama tanaman teh, juga dapat berdampak pada
terganggunya keseimbangan hubungan mangsa-pemangsa. Gangguan keseimbangan
tersebut ditunjukkan dengan adanya penurunan jumlah individu pada suatu populasi,
dalam hal ini umumnya populasi tungau predator biasanya lebih rentan terhadap
intervensi pestisida (Chouinard dan Brodeur, 1996). Selain itu, tingkat resistensi
pada tungau predator juga dapat meningkat terutama apabila kocide dan round up
dipergunakan oleh perkebunan teh dalam jangka waktu yang lama. Menurut
Budianto (2000) menyatakan bahwa penggunaan kocide dan round up dalam jangka
waktu yang lama, akan menyebabkan terseleksinya alel-alel yang rentan dan resisten
pada suatu populasi organisme. Organisme yang resisten terhadap berbagai
konsentrasi pesitisida dapat lulus hidup dan berkembang lebih baik, sedangkan
organisme dengan alel yang rentan akan mengalami mortalitas yang besar.
Pada umumnya kemampuan mentoleransi pestisida dan tingkat resurjensi
tungau hama termasuk tungau jingga, sangat tinggi (McMurtry dan Croft, 1997).
Sebaliknya, A. deleoni yang merupakan predator tungau jingga, sangat rentan
terhadap berbagai pestisida yang diaplikasikan (Chouinard dan Brodeur, 1996).
Mortalitas yang besar pada A. deleoni menyebabkan pengendalian hayati alamiahnya
terganggu dan menurun drastis. Akibatnya pada suatu saat tertentu, populasi tungau
jingga akan sangat meningkat, sedangkan populasi tungau predatornya, A. deleoni
sangat rendah.
Untuk mengurangi pemakaian pestisida dan meningkatkan kemampuan predasi
tungau predator dalam kondisi terdedah pestisida, perlu dikembangkan teknologi
yang lebih ramah terhadap agroekosistem (Sivapalan, 1996). Seleksi A. deleoni yang
resisten terhadap berbagai pestisida yang telah lama dipergunakan di perkebunan teh,
merupakan upaya mengatasi penurunan pengendalian hayati alamiah oleh tungau
predator tersebut. Pengendalian hayati yang efektif akan meningkatkan kualitas
produk teh dikarenakan pemakaian pestisida hanya dilakukan pada saat-saat tertentu
saja.
Resistensi pada dasarnya merupakan suatu fenomena evolusi (Tarumingkeng,
1992). Resistensi adalah kesanggupan dari suatu organisme memakan racun yang
berdosis lebih tinggi dari pada dosis biasa. Resistensi menyebabkan organisme
pengganggu dapat menjadi tahan atau kebal terhadap pestisida yang digunakan.
(Sastroutomo, 1992). Dengan demikian resistensi pada dasarnya merupakan hasil
dari tekanan seleksi pestisida terhadap suatu kumpulan individu-individu yang
mayoritas tersusun atas individu yang rentan. Tekanan seleksi menggunakan
pestisida ini dapat menyebabkan perubahan gene pool yaitu dari mayoritas kelompok
yang rentan menjadi toleran bahkan resisten (Kartasaputra, 1993).
Mekanisme resistensi pada tungau menurut Natawigena (1985) dapat
disebabkan oleh 4 sifat antara lain: (1) sifat morfologis yaitu adanya perbedaan
dalam tebal tipisnya kutikula; (2) sifat fisiologis yaitu adanya perbedaan kecepatan
dalam menguraikan jenis pestisida pada tungau yang resisten dan tungau yang
rentan. Pada strain yang resisten penguraiannya berlangsung cepat; (3) sifat
biokimia yaitu adanya kemampuan tungau untuk melakukan proses inaktivasi; dan
(4) sifat perilaku yaitu tungau yang gerakannya cepat dan lincah lebih mampu
menghindari racun. Mekanisme resistensi tersebut merupakan suatu cara yang
diperlukan untuk merespon kondisi toksik ketika terpajan dalam kandungan bahan
aktif pestisida yang tinggi.
Kemampuan tungau predator dalam mentolerir pestisida merupakan langkah
utama menuju seleksi tingkat resistensinya. Seleksi resistensi tungau predator pada
dasarnya merupakan upaya pemilihan sifat-sifat resisten dari individu-individu dalam
populasi (Mochizuki, 1994). Sifat resisten tersebut ditunjukkan oleh kemampuan
lulus hidup dan berkembang, meskipun terdedah dalam bahan beracun.
Kemampuan mentoleransi beberapa spesies Amblyseius terhadap berbagai
jenis pestisida sudah dapat dibuktikan (Mochizuki, 1994; Momen, 1994, 1996;
Thistlewood et al., 1995; Yue dan Tsai, 1996; Shipp dan van Houten, 1997; James,
1997; Zhang dan Sanderson, 1997). Namun, untuk A. deleoni belum diketahui
kemampuan mentoleransinya terhadap dua pestisida sekaligus .
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diajukan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh pemberian kocide 77 WP dan round up 486 AS
terhadap generasi induk dan F1 Amblyseius deleoni ?
2. Bagaimana tingkat resistensi tungau predator Amblyseius deleoni generasi induk
dan F1 terhadap beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS ?
Tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukan penelitian adalah untuk :
1. Mengetahui pengaruh pemberian kocide 77 WP dan round up 486 AS terhadap
generasi induk dan F1 Amblyseius deleoni.
2. Mengetahui tingkat resistensi tungau predator Amblyseius deleoni generasi induk
dan F1 terhadap beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS.
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah
mengenai seleksi tungau predator A. deleoni terhadap pemberian kocide 77 WP dan
round up 486 AS.
II. MATERI DAN METODE PENELITIAN
1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian
1.1 Materi Penelitian
1.1.1 Bahan : Tungau predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark
(Gambar 2.1), fungisida kocide 77 WP, herbisida round up 486 AS,
aquades, ranting teh dan polen teh.
1.1.2 Alat : Kantong plastik, nampan, busa, lem "tangle-foot", "black
tile”, tissue tidak berparfum, kapas, kuas kecil dan besar, gelas ukur,
kertas label, gelas penutup, sprayer, mikropipet, termometer,
higrometer, dan mikroskop binokuler.
Gambar 2.1 Tungau Amblyseius deleoni Muma et Denmark dengan setaenya (anak panah) pada perbesaran 400X
1.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian seleksi tungau predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark
terhadap beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS dilakukan di dua
tempat. Pengambilan sampel berupa tungau predator A. deleoni diperoleh dari kebun
teh milik penduduk di Kecamatan Sumbang, Purwokerto (Gambar 2.2), sedangkan
pengamatan seleksi resistensi tungau predator A. deleoni dilakukan di Laboratorium
Entomologi-Parasitologi, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto pada bulan Maret – Agustus 2006.
Gambar 2.2. Lokasi pengambilan sampel teh, Sumbang
2. Metode Penelitian
2.1 Metode dan Rancangan Percobaan
Metode penelitian yang digunakan untuk menyeleksi tungau predator adalah
metode eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL).
Perlakuan dicobakan pada beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486
AS. Konsentrasi kocide dan round up yang didedahkan pada A. deleoni adalah 0
(kontrol); 0,001; 0,01; 0,1; 1; 10 dan 100%. Konsentrasi ini didedahkan pada 10
individu tungau predator hasil perbanyakan di laboratorium. Hasil dari pendedahan
ini berupa tungau predator A. deleoni yang lulus hidup pada konsentrasi tertentu.
Dihitung pula tungau predator yang mati dan tungau predator yang lulus hidup
dipelihara kembali pada tempat pemeliharaan dan dianggap sebagai tungau induk.
Hasil perbanyakan tungau induk akan menghasilkan tungau anakan F1.
Sebagaimana pada metode untuk tungau induk, maka dilakukan pendedahan
dengan konsentrasi yang sama terhadap tungau generasi F1. Dihitung tungau yang
berhasil lulus hidup dan yang mati. Lama waktu pendedahan untuk setiap tahap
adalah 24 jam kemudian dihitung nilai LC50/24 jam.
2.2 Cara Kerja
1) Pemeliharaan tungau predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark
Metode pemeliharaan predator berdasarkan metode Overmeer et al. (1982)
dalam Klashorst (1992) sebagai berikut : tempat pemeliharaan tungau terdiri dari
nampan berisi air dengan busa didalamnya. Di atas busa, diletakkan “black tile”
yang seukuran dengan busa, dengan bagian tepinya dialasi kertas tissue tidak
berparfum yang tercelup hingga ke air dalam nampan. Pada sepanjang alas kertas
tissue, dibuat tanggul dari lem “tangle-foot” untuk mencegah predator tidak lari dari
wilayah pemeliharaan. Untuk tempat berlindung dan meletakkan telurnya, di bagian
tengah “black tile” diletakkan sedikit kapas yang ditutup dengan cover glass
(Gambar 2.3).
Untuk mendapatkan dan memperbanyak predator A. deleoni, sejumlah daun
teh dari wilayah perkebunan teh yang memperlihatkan gejala serangan tungau hama
dipetik dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Seluruh daun tersebut kemudian
diperiksa di bawah mikroskop binokuler, di laboratorium A. deleoni yang diperoleh,
dipindah ke tempat pemeliharaan. Jenis pakan yang diberikan dalam masa
perbanyakan tungau predator adalah polen teh.
Gambar 2.3 Tempat rearing A. deleoni
Keterangan : A = nampan berisi air D = black tile
B = tissue E = cover glass dengan kapas
C = busa
2) Menentukan seleksi A. deleoni terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS
Seleksi tungau predator A. deleoni dilakukan pada nampan berisi busa yang
di bagian atasnya ditancapkan ranting teh yang berisi kurang lebih 4 helai daun yang
telah dibersihkan dari semua serangga dan tungau yang ada. Pangkal daun teh
tersebut diberi lem “tangle foot” untuk menghindari agar tungau tidak melarikan diri
pada saat dipindahkan dari tempat pemeliharaan. Kemudian, daun pada ranting teh
tersebut disemprot dengan beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS
yang telah ditentukan, lalu ditunggu sampai kering. Setelah mengering, maka
sebanyak 10 individu tungau predator A. deleoni dipindahkan ke daun tersebut.
Banyaknya tungau yang mati dicatat setelah 24 jam masa pendedahan tersebut
(Gambar 2.4)
BDA
E
C
Gambar 2.4 Tata letak percobaan uji seleksi A. deleoni terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Pada tahap pertama,
konsentrasi kocide 77 WP yang didedahkan selama 24 jam pada A. deleoni adalah 0
(kontrol); 0,01; 0,1; 1; 10 dan 100%. Konsentrasi ini didedahkan pada populasi
tungau predator hasil perbanyakan di laboratorium. Setiap konsentrasi yang
dicobakan melibatkan 10 individu predator untuk satu kali ulangan, dan diulang
sebanyak empat kali ulangan. Dari tahap pertama akan diperoleh tungau predator
A. deleoni generasi induk yang lulus hidup terhadap kocide 77 WP. Tungau yang
mati dihitung dan yang hidup dipelihara kembali sehingga didapatkan generasi F1.
Pada tahap kedua, generasi F1 A. deleoni yang telah melalui pendedahan pada
tahap pertama didedahkan lagi dengan round up 486 AS. Konsentrasi yang
dicobakan adalah sama dengan konsentrasi kocide 77 WP pada tahap pertama.
Setiap konsentrasi yang dicobakan melibatkan 10 individu predator untuk satu kali
ulangan, yang diulang sebanyak empat kali. Hasil pendedahan tahap kedua akan
diperoleh generasi F1 A. deleoni yang lulus hidup terhadap kocide 77 WP dan round
up 486 AS. Dihitung tungau yang berhasil lulus hidup dan yang mati. Lama waktu
pendedahan untuk setiap tahap adalah 24 jam. Kriteria seleksi adalah tingkat
resistensi tungau predator (nilai LC50/24 jam)
3. Analisis Data
Data hasil percobaan seleksi terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS
berupa jumlah tungau predator yang mati pada pendedahan pestisida, dianalisis
dengan menggunakan analisis probit dan logit (POLO) sehingga akan diperoleh nilai
LC50/24 jam. Kemudian dibandingkan nilai LC50/24 jam, rasio resistensi dan nilai X2
antara induk dan F1.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis probit logit (POLO) dengan menggunakan Le Ora Software 1987
terhadap tungau predator Amblyseius deleoni yang didedahkan dengan kocide 77 WP
kemudian didedahkan dengan round up 486 AS diperoleh nilai LC50 sebesar 140,78
%/24 jam pada generasi parental dan 10,76 %/24 jam pada generasi F1 (Tabel 3.1)
Tabel 3.1 Tingkat Resistensi Amblyseius deleoni Muma et Denmark terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS selama 24 jam pada setiap generasi
GenerasiJenis Pestisida LC50/24
Jam (%)RR
Slope ± SE (%)
X2 (df = 22)
PKocide 77 WP
140.77826 1 0.076 ± 0.048 20.7208
F1Kocide 77 WP + Round up 486 AS
10.76258 0,076 0.104 ± 0.048 7.3750
Keterangan :P = Generasi Induk (Parental)F1 = Generasi Pertama
Berdasarkan table 3.1 dapat diketahui bahwa generasi pertama (F1) A. deleoni
lebih rentan dibandingkan generasi induk (parental). Meningkatnya kerentanan
populasi tungau predator selain dapat dilihat dari nilai LC50/24 jam setiap
generasinya, juga dapat dinilai dari tingkat rasio resistensinya. Semakin rentannya
populasi tungau predator A. deleoni mengakibatkan mortalitas generasi F1 juga
lebih besar dibandingkan generasi parental (tabel 3.2).
Tabel 3.2 Mortalitas populasi tungau predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark Data hasil uji toksisitas Kocide 77 WP dan Round up 486 AS terhadap selama 24 jam
Konsentrasi (%)
∑ Organisme (ekor)
Generasi induk yang didedah dengan Kocide 77 WP
Generasi F1 yang didedah dengan Kocide 77 WP +
Round up 486 AS
∑ Mortalitas
Mortalitas total
(%)∑ Mortalitas
Mortalitas total (%)
1 2 3 4 1 2 3 40 (Kontrol) 40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,001 40 2 3 2 2 20 3 5 3 3 30
0,01 40 3 3 5 3 30 4 3 4 4 40
0,1 40 5 5 5 6 50 4 4 4 5 50
1 40 6 8 6 6 75 4 4 6 4 45
10 40 3 5 3 5 45 3 6 5 3 45
100 40 4 4 4 3 40 6 7 7 7 80
Selain nilai LC50/ 24 jam dan nilai rasio resistensi (RR), pada setiap
generasinya (parental dan F1) diperoleh pula nilai χ2 hitung yang lebih kecil
dibandingkan nilai χ 2 tabel (Tabel 3.1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
populasi tungau A. deleoni masih terdiri oleh banyak individu-individu yang rentan
dibandingkan yang resisten. Demikian pula apabila dilihat dari nilai slope yakni
antara 0.076 ± 0.048 pada generasi parental dan 0.104 ± 0.048 pada generasi F1 yang
menunjukkan gambaran garis yang mendatar (Gambar 2.5)
Gambar 2.5 Grafik nilai slope antara 0.076 ± 0.048 dan 0.104 ± 0.048
Kemampuan lulus hidup dan berkembang pada pendedahan pestisida
berulang terjadi oleh karena menurunnya kompetisi intraspesies akibat matinya
individu yang rentan (Knulle, 1991). Kematian individu yang rentan, yang menjadi
komponen penyusun utama populasi, akan menyebabkan terjadinya pergeseran
komponen penyusun utama populasi tersebut. Cepat atau lambatnya perubahan
komposisi individu-individu menjadi resisten pestisida, sangat ditentukan oleh
perbedaan tanggap resistensinya terhadap pestisida dan cara kerja pestisida itu
sendiri (James, 1997; Bakker dan Jacas, 1995).
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa generasi pertama tungau predator dalam
penelitian ini lebih rentan terhadap round up 486 AS dibandingkan generasi induk
yang sebelumnya juga telah didedahkan dengan kocide 77 WP. Perbedaan tanggap
resistensi ini menunjukkan bahwa meskipun generasi induk yang berhasil lulus hidup
terhadap kocide 77 WP, tetap dapat menghasilkan keturunan (generasi pertama),
namun generasi pertama yang dihasilkan lebih banyak mengalami kematian ketika
didedah dengan jenis pestisida yang berbeda (roundup). Diduga, hal ini berkaitan
dengan perbedaan bahan aktif ke dua jenis pestisida dan “mode of action” nya.
Kocide 77 WP merupakan salah satu jenis fungisida protektan berbentuk
tepung berwarna biru muda yang dapat disuspensikan. Fungisida ini mengandung
bahan aktif tembaga hidroksida (Cu (OH)2) yang merupakan fungisida tembaga
generasi terakhir yang bersifat racun kontak dengan cara kerja yang efektif dan
efisien (Tjionger’s, 2001). Bahan aktifnya yang berupa tembaga (Cu) termasuk ke
dalam golongan logam berat dan bersifat sangat toksik. Timmermans (1983)
menyebutkan bahwa logam berat Cu merupakan logam berat yang paling beracun
disusul Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, dan Zn yang hampir tidak beracun. Keberadaan
logam berat tersebut dapat berdampak pada perubahan komposisi spesies dan
penurunan jumlah atau kematian spesies tersebut. Dengan demikian dapat dipahami
apabila pada konsentrasi kocide yang sangat rendah, telah mempunyai pengaruh
mortalitas yang cukup besar sebagaimana terlihat pada tabel 3.2.
Toksisitas fungisida khususnya kocide 77 WP berkaitan dengan konsentrasi
logam Cu yang masuk ke dalam tubuh hewan uji melebihi konsentrasi yang
dibutuhkan yaitu 40-200 kali lipat. Diduga kematian hewan uji tersebut terjadi
disebabkan senyawa logam berat yang masuk ke dalam tubuh hewan uji telah
melampaui konsentrasi yang dibutuhkan (Fostner dan Wittman, 1983).
Tembaga (Cu) pada konsentrasi tinggi berada dalam bentuk Cu2+ dan bersifat
toksik. Toksisitas terjadi karena tembaga bertindak sebagai oksidator dan berikatan
dengan molekul asam organik seperti deoksiribonukleat (DNA) dan protein
(Harwood dan Gordon, 1974, dalam Irawati et al., 1997). Ion Cu2+ merupakan trace
element nutrient yang dibutuhkan tubuh tetapi bila ada dalam jumlah yang banyak
akan menyebabkan kerusakan sel tubuh dan terganggunya metabolisme (Silver dan
Misra, 1988).
Masuknya senyawa-senyawa toksik ke dalam tubuh dapat melalui mulut (oral)
maupun kulit (dermal), dan logam tersebut mempunyai afinitas tinggi untuk
berikatan dengan protein terutama pada gugus sulfhidril (-SH) (Foster dan Wittman,
1983). Cano dan Colone (1986) dalam Irawati et al. (1997) menyatakan bahwa di
dalam tubuh, tembaga berikatan dengan protein sel tubuh yang akan menyebabkan
protein terdenaturasi karena mengikat gugus sulfhidril protein sehingga akan
mengubah struktur protein tersebut. Sifat ini akan menimbulkan gejala atau
pengaruh buruk pada kehidupan hewan atau mahluk hidup lainnya dimana tembaga
yang mula-mula dapat larut dalam air akhirnya akan mengendap di dalam tubuh
hewan tersebut dan pada akhirnya terakumulasi.
Setiap mahluk hidup mempunyai tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap
logam berat dan logam berat juga mempunyai tingkat toksisitas yang tidak sama.
Menurut Sernitt dan Laster (1980) dalam Irawati et al. (1997) toksisitas logam
berhubungan dengan afinitasnya terhadap agen pengkhelat sejak logam berinteraksi
dengan sel hidup. Coyne (1999) menambahkan bahwa logam akan menyeleksi
beberapa sel mahluk hidup yang mempunyai mekanisme untuk bertahan pada
kondisi media yang mengandung logam toksik, sebagian logam berat akan
mempunyai pola yang bebas dalam mempengaruhi mahluk hidup, maka semakin
tinggi konsentrasi semakin sedikit pula yang bertahan hidup
Round up 486 AS dengan bahan aktif isopropilamina glifosat 486 g/l (setara
dengan glifosat 360 g/l) merupakan salah satu jenis herbisida yang bersifat sistemik,
berspektrum luas, tidak selektif dan dapat mematikan gulma dengan cara
menghambat sintesis protein dan metabolisme asam amino gulma tersebut (Sukman
dan Yakup, 1995). Glifosat berpengaruh merugikan pada sejumlah fauna tanah dan
fauna tanaman seperti tungau predator yang bermanfaaat. Glifosat juga mampu
meningkatkan mortalitas pada beberapa tungau tanah dan isopoda, tetapi percobaan
di lapang belum diperoleh bukti yang meyakinkan (Eijsackers, 1985 dalam Jasinski
et al., 2003). Penggunaan glifosat dapat menyebabkan mortalitas pada tungau laba-
laba Tetranychus lintearius (Searle et al., dalam Jasinski et al., 2003). Cox (1995),
menyatakan bahwa glifosat termasuk ke dalam salah satu jenis herbisida yang
memiliki kemungkinan kecil dalam menimbulkan bahaya akut jika digunakan secara
normal. Pada umumnya uji toksisitas terkontrol, melaporkan gejala merugikan
terkena glifosat hanya akan terjadi pada dosis ekstrim yang tinggi
Meskipun herbisida glifosat termasuk ke dalam kelompok racun syaraf,
namun hasil pengujian pada beberapa organisme tidak menunjuk pada kerja racun
syaraf seperti halnya insektisida organofosfat (Nivia, 2001). Hampir seluruh
insektisida organofosfat bekerja mempengaruhi sistem syaraf melalui inhibisi enzim
asetilkolinesterase (AcHE) (Sudarmo, 1990; Sastroutomo, 1992; Tarumingkeng,
1992; Rumondang; 1993 Wudianto, 1994; dan Lu 1995). Berbeda dengan
insektisida organofosfat, mekanisme kerja herbisida secara umum terjadi melalui
gangguan proses anabolisme penting seperti pati, asam lemak atau asam amino
melalui kompetisi dengan senyawa yang normal dalam proses tersebut. Herbisida
menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan menjadi kosubstrat
yang dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya (Schopfer dan Brennicke, 2005).
Mekanisme kerja glifosat terjadi melalui penghambatan enzim
5-enolpyruvoyl-shikimate-3-phosphate synthase (EPSPS), dalam bentuk asam amino
aromatik, fenilalanin, tirosin dan triptofan. EPSPS merupakan enzim utama yang
terlibat dalam biosintesis asam amino aromatik. EPSPS mengkatalisasi reaksi dari
shikimate 3-phosphate (S3P) dan phosphoenolpyruvate (PEP) menjadi bentuk ESP
dan fosfat. Dengan demikian, glifosat dapat mengganggu sintesis asam amino
aromatik karena berkompetisi dengan fosfoenol piruvat( Hartzler, 1998).
Beberapa organisme memiliki versi enzim 5-enolpyruvoyl-shikimate-3-
phosphate synthetase (EPSPS) yang resisten terhadap inhibisi glifosat (Hartzler,
1998). Inhibisi glifosat bersifat non kompetitif, hal ini terbukti dari rendahnya
konsentrasi glifosat yang dibutuhkan untuk dapat mematikan 50% individu dari
jumlah total populasi tungau setelah tungau terdedah oleh kocide. Dugaan
mekanisme kerja herbisida glifosat pada tungau diawali oleh pemikiran adanya
protein reseptor pada membran sel tungau. Pada konsentrasi glifosat yang kecil,
protein reseptor masih mampu mengikat dan mendetoksifikasinya, tanpa terjadi
perubahan konformasi pada protein reseptor itu sendiri sehingga dikatakan membran
impermeable. Namun, apabila konsentrasi glifosat ditingkatkan maka fungsi protein
reseptor terganggu dan menyebabkan perubahan konformasinya sehingga
permeabilitas membran menjadi lebih besar. Akibat terganggunya permeabilitas
membran, maka pada konsentrasi yang mematikan 50% dari total populasi, glifosat
dapat masuk dan mematikan tungau.
Menurut Untung (1996), resistensi berkembang dalam suatu populasi karena
terdapat sifat pertahanan tubuh, yaitu melalaui keterlibatan mekanisme resistensi.
Tiga mekanisme resistensi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida oleh karena
bekerjanya enzim-enzim tertentu seperti enzim dehidroklorinase (terhadap
DDT), enzim mikrosomaloksidase (terhadap karbamat, OP, piretroid),
glutation transferase (terhadap OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP).
2. Penurunan kepekaaan tempat sasaran pestisida pada tubuh serangga seperti
asetilkolinesterse (terhadap OP dan karbamat), sistem syaraf (Kdr) seperti
terhadap DDT dan piretroid.
3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumen seperti
yang terjadi pada ketahanan terhadap kebanyakan pestisida.
Flint dan Van den Bosch (1990), menyatakan hanya individu-individu yang
memiliki sifat-sifat pertahanan tersebut yang dapat bertahan hidup, maka sangat
mudah dipahami bahwa generasi berikutnya akan memiliki organisme yang tahan
terhadap pestisida dalam prosentase yang lebih besar. Jika setiap generasi
dihadapkan pada bahan kimia beracun, maka hanya dalam waktu yang cepat akan
terdapat banyak sekali individu yang resisten dalam suatu populasi.
Menurut Georghiou dan Taylor (1976) dalam Georghiou Mellon (1983), ada 3
faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi yaitu faktor genetik, faktor biologi
dan faktor operasional. Faktor genetik terdiri dari frekuensi alel R, jumlah alel R,
dominansi alel R, dan interaksi alel R. Faktor biologi terdiri dari jumlah keturunan
per generasi, siklus hidup satu generasi, monogami/poligami atau partenogenesis,
mobilitas dan migrasi. Faktor operasional terdiri dari bahan kimia pestisida yang
digunakan, lamanya residu, formulasi pestisida, waktu aplikasi dilakukan, stadium
yang dipilih, cara aplikasi, frekuensi aplikasi dan penggunaan pestisida yang
berganti-ganti.
Selain berbagai faktor yang diuraikan sebelumnya, toksisitas suatu pestisida
sangat dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban (table 3.3).
Tabel. 3.3 Pengukuran Temperatur Dan Kelembaban
Faktor Nilai Kisaran
Temperatur (0C) 200C – 320C
Kelembaban (%) 75%- 95%
Lokasi penelitian ini memiliki kisaran temperatur 200 C sampai 320C sedikit lebih
tinggi dari kisaran temperatur di ketinggian wilayah 600-1500 m dpl, sedangkan
pada saat malam hari kisaran temperaturnya dapat mencapai 180C. Kisaran suhu
yang tinggi ini akan mengakibatkan peningkatan kepekaan tungau terhadap pestisida
(Prijono, 1988). Hal tersebut terjadi dikarenakan pada suhu yang tinggi sekresi
kelenjar minyak tungau meningkat sehingga mengakibatkan pestisida akan lebih
mudah menempel pada tubuh tungau. Selain itu kelembaban yang tinggi yaitu
berkisar antara 75%-95% juga meningkatkan konsentrasi air di udara sehingga
menghambat penguapan kelenjar minyak yang disekresikan, hal ini diduga berakibat
pada bertambahnya kepekaan A. deleoni terhadap pestisida.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pendedahan kocide 77 WP dan dilanjutkan dengan roundup 486 AS
menurunkan tingkat resistensi populasi tungau predator Amblyseius deleoni.
B. Saran
Perlu dilakukan pendedahan lebih lanjut menggunakan jenis pestisida yang
sama terhadap generasi-generasi A. deleoni berikutnya sehingga dapat diperoleh
individu yang resisten.
DAFTAR REFERENSI
Agnithothrudu, V. 1996. Potential biocontrol agent and their impact on the tea industry. International Tea Workshop, July 9-11 1996. Beijing, China. 50-54.
Bakker, F. and J.A. Jacas. 1995. Phytoseiid mites : strategies for risk assessment. Exotoxicology and Environmental Safety. 32 : 58-67.
Budianto, B.H. 2000. Biologi Perilaku Predasi Amblyseius deleoni Muma et Denmark Dan Perubahan Daya Tahannya Terhadap Pestisida. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Chouinard, G. and J. Brodeur. 1996. Comparing insecticide - resistant and indigenous strains of The predatory mite Amblyseius fallacis for field effectiveness against Panonychus ulmi, Aculus schlechtendali and Tetranychus urticae in apple orchads, XX International Congress of Entomology, August 25-31 1996. Firenze, Italy.
Cox, C. 1995. Glyphosate, Part 1 : Toxicology. Journal of Pesticides Reform, 15 : 14-19.
Coyne, M.S. 1999. Soil Microbiology An Exploratiory Approach. Delmar Publisher Ltd, Washington.
Ekha, I. 1988. Dilema Pestisida Tragedi Revolusi Hijau. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Flint, M.I dan R. Van den Bosch. 1990. Pengendalian Hama Terpadu diterjemahkan oleh Kartini I. K dan John, P. Kanisius, Yogyakarta.
Fostner , U. and Wittmann, G. T. W. 1983. Metal Pollution In The Aquatic Environment. Springer-Verlag, Berlin
Green, M. B. 1979. Chemical for Crop Protection and Pest Control. Pergamon Press Ltd, England.
Hartzler, B. 1998. Herbicide Site Action. URL : http//www.weeds.iastate.edu/Reference/siteofaction.htm. Diakes 2 September 2006.
Irawati, W., Joetono, dan H. Hartiko. 1997. Profil-Profil mikroorganisme pengikat tembaga setelah penginduksian tembaga. Jurnal Pasca Sarjana, 23 : 13-17.
James, D.G. 1997. Imidacloprid increases egg production in Amblyseius victoriensis (Acari : Phytoseiidae). Experimental & Applied Acarology, 21: 75-82.
Jasinski, J.R, J.B. Esley, C.E Young, J. Kovacs, H. Wilson . 2003. Select nontarget Arthropod Abundance in transgenic and nontransgenic field crops in Ohio. Environmental Entomology, 32 : 407-413.
Jhony, A. 2002. Kocide atasi penyakit Bawang Merah. URL: http://www.tanindo.com/abdi17/hal2501.html . Diakses 19 Agustus 2006.
Kartasaputra, A. G. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Radar Jaya Offset, Jakarta.
Kasumbago, U. 2005. Manajemen Resistensi Pestisida sebagai Penerapan Pengelolaan Hama Terpadu. URL: http:/kasumbogo.staff. ugm. ac. id/detailarticle.php. Diakses 19 Agustus 2006.
Klashorst, V.D.G. 1992. Why have mites become a problem in agriculture?, Applied Acarology Workshop, Institute of Technology Bandung, IUC Life Sciences, Bandung.
Knulle, W. 1991. Life-cycle strategies in unpredictably varying environments : genetics adaptations in a colonizing mite, dalam The Acari Reproduction, development and life-history strategies, Schuster R and P.W Murphy, 51-56. Chapman & Hall.
Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar :Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko Edisi Kedua. UI Press, Jakarta.
McMurtry, J.A.; and B.A. Croft. 1997. Life-styles of phytoseiid mites and their role in biological control, Annual Review of Entomology, 42: 291-321.
Mc Murty and D.E Walter. 1996. Phytoseiid mites and biological control in agricultural acarology at Ohio State, Week I. Ohio State University.
Mochizuki, M. 1994. Variations in insecticide susceptibility of The predatory mite, Amblyseius-womersleyi Schicha (Acarina, Phytoseiidae) in the tea fields of Japan, Applied Entomology & Zoology, 29: 203-209.
Momen, F.M.; and S.A.A. Amer. 1994. Effect of some foliar extracts on the predatory mite, Amblyseius barkeri (Acarina, Phytoseiidae), Acarologia, 35: 223-228.
Momen, F.M. 1996. Effect of prey density on reproduction, prey consumption and sex ratio of Amblyseius barkeri (Acari, Phytoseiidae) Acarologia, 37: 3-6
Moenandir, J. 1990. Fisiologi Herbisida (Ilmu Gulma : Buku II). Rajawali, Jakarta.
Natawigena, H. 1985. Pestisida dan Kegunaannya. CV. Armico, Bandung.
Nivia, E. 2001. General Characteristics of Round up (Glyphosate). URL : http://www.itass.dk/pestdb.htm. Diakses 4 September 2006.
Nurbaya, S. 2000. Kelimpahan dan Distribusi Tungau Perusak Daun Teh di Perkebunan Teh Tanjung Sari Wonosobo. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto
Oomen, P. A. 1982. Studies on population dynamics of scarlet Mite, Brevipalpus phoenicis, A pest of Tea in Indonesia. Meded Landbouwhogeschool Wagengingen, 82: 1-82.
Osborne, L.S.; L.E. Ehler and J.R. Nechols. 1997. Biological control of the twospotted spider mite in Greenhouse. University of Florida, Central Florida Research and Education Center 2807 Binion Road, Apopka, FL 32703.
Pracaya. 1983. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta
Pratiknyo, H. 1998. Kerapatan Relatif Tungau Jingga (Brevipalpus phoenicis) dan Predatornya Per Daun Teh (Camellia sinensis). Tesis. Tidak dipblikasikan. ITB, Bandung.
Pratiknyo, H. dan B.H. Budianto. 2000. Pengendalian Hayati Tungau Hama Teh dengan Tungau Predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark. Laporan Hasil Penelitian. UNSOED. Purwokerto.
Prijono, D. 1988. Pengujian Insektisida. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Rosen, D. & C.B. Huffaker. 1982. An Overview of desired attributes of effective biological control agents with particular emphasis on mites. Proceeding of a Confrence held on April 5-7,1982 at The University of California, Biological Control of Pest by Mites. Hoy, M.A., G.L. Cunningham and L. Knutson, Editor, Berkeley.
Rumondang, R. 2003. Status Resistensi Ulat Krop Kubis Crocidolomia pavonana Fubricus (Lepidoptera: Pyralidae) dari Beberapa Daerah di Jawa Barat Terhadap Insektisida Prefenofos dan Emamektin Benzoat. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Sastroutomo, S. 1992. Pestisida : Dasar-Dasar dan Dampak Penggunaannya. Gramedia, Jakarta.
Schicha, E. 1987. Phytoseiidae of A. deleoni and Neighbouring Areas. Indira Publishing House, Michigan.
Schopfer dan Brennicke. 2005. Pfalanzenphysiologie. URL : http://id.wikipedia.org/wiki/Herbisida. Diakses 2 September 2006.
Shipp, J.L. and Y.M. Van Houten. 1997. Influence perature and vapor pressure deficit on survival of the predatory mite, Amblyseius cucumeris (Acari, Phytoseiidae), Enviromental Entomology, 26 , 106-113.
Silver, S & T. Misra. 1988. Plasmid mediated heavy metal resistance. Annual Research Microbiology, 42 : 717-743
Sivapalan, P. 1996. Development of new methods of pest control and their consequences in tea Production. International Tea Workshop, 9-11 July 1996, Beijing, China, 46-49.
Sudarmo, S. 1992. Pestisida Tanaman. Kanisius, Yogyakarta
Sudoi, V.; B.M. Khaemba and F.M.E. Wanjala (1994), Screening of Kenyan tea clones for their resistance to Brevipalpus phoenicis Geijskes (Acari, Tenuipalpidae) Attack, Tea, 15 (2), 105-109.
Sukman, Y dan Yakup. 1995. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tarumingkeng, R. C. 1992. Insektisida, Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. PAU-IPB, Bogor
Thistlewood, H.M.A.; D.J. Pree and L.A. Crawford. 1995. Selection and genetic analysis of permethrin resistance in Amblyseius fallacis (Garman) (Acari, Phytoseiidae) from Ontario Apple Orchads Experimental & Applied Acarology. 19: 707-721.
Timmermans, W.T. 1983. Removal of lead, cadmium and zinc by waste tea leaves. Journal Environmental Technology. 9 : 1223-1232.
Tjionger’s, M, Ir. 2002. Kocide 77 WP Lipat Gandakan Hasil Kakao. URL: http://www.tanindo.co.id/abdi10/hal1901.htm . Diakses 19 Agustus 2006
Wudianto, R. 1997. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya, Jakarta.
Yue, B.S. and J.H. Tsai. 1996. Development, survivorship and reproduction of Amblyseius largoensis (Acari, Phytoseiidae) on selected plant pollens and temperatures, Enviromental Entomology, 25, 488-494.
Zhang, Z.Q.; and J.P. Sanderson (1997), Patterns, mechanisms and spatial scale of agregation in generalist and specialist predatory mites (Acari, Proceedings of the Symposium on Advances of Acarology in Poland. Siedlce, Boczek, J. and S. Ignatowicz, Experimental & Applied Acarology, 21, 393-404.
Lampiran 1. Hasil analisis probit dan logit (POLO) nilai LC50/24 jam A. deleoni terhadap Kocide 77 WP dan Round Up 486 AS
POLO-PC(C) Copyright LeOra Software 1987
Input file > amalia.dat
input: =LC50 Kocide 77WP terhadap A. deleoniinput: *%
input: 0 10 0input: 0 10 0input: 0 10 0input: 0 10 0input: 0.001 10 2input: 0.001 10 3input: 0.001 10 2input: 0.001 10 2input: 0.01 10 3input: 0.01 10 5input: 0.01 10 3input: 0.01 10 3input: 0.1 10 5input: 0.1 10 5input: 0.1 10 5input: 0.1 10 6input: 1 10 6input: 1 10 8input: 1 10 6input: 1 10 6input: 10 10 3input: 10 10 5input: 10 10 3input: 10 10 5input: 100 10 4input: 100 10 4input: 100 10 4input: 100 10 3
preparation dose log-dose subjects responses resp/subj% .00000 .000000 40. 0. .000 .00100 -3.000000 10. 2. .200 .00100 -3.000000 10. 3. .300 .00100 -3.000000 10. 2. .200 .00100 -3.000000 10. 2. .200 .01000 -2.000000 10. 3. .300 .01000 -2.000000 10. 5. .500 .01000 -2.000000 10. 3. .300 .01000 -2.000000 10. 3. .300 .10000 -1.000000 10. 5. .500 .10000 -1.000000 10. 5. .500 .10000 -1.000000 10. 5. .500 .10000 -1.000000 10. 6. .600 1.00000 .000000 10. 6. .600 1.00000 .000000 10. 8. .800 1.00000 .000000 10. 6. .600 1.00000 .000000 10. 6. .600 10.00000 1.000000 10. 3. .300 10.00000 1.000000 10. 5. .500 10.00000 1.000000 10. 3. .300
10.00000 1.000000 10. 5. .500 100.00000 2.000000 10. 4. .400 100.00000 2.000000 10. 4. .400 100.00000 2.000000 10. 4. .400 100.00000 2.000000 10. 3. .300
Number of preparations: 1Number of dose groups: 24Do you want probits [Y] ?Is Natural Response a parameter [Y] ?Do you want the likelihood function to be maximized [Y] ?LD's to calculate [10 50 90] >Do you want to specify starting values of the parameters [N] ?
The probit transformation is to be usedThe parameters are to be estimated by maximizing the likelihood function
Maximum log-likelihood -162.08239
parameter standard error t ratio% -.16386766 .84623400E-01 -1.9364344SLOPE .76269464E-01 .48306408E-01 1.5788685
Variance-Covariance matrix % SLOPE % .7161120E-02 .1057048E-02 SLOPE .1057048E-02 .2333509E-02
Chi-squared goodness of fit test
preparation subjects responses expected deviation probability% 10. 2. 3.473 -1.473 .347279 10. 3. 3.473 -.473 .347279 10. 2. 3.473 -1.473 .347279 10. 2. 3.473 -1.473 .347279 10. 3. 3.758 -.758 .375847 10. 5. 3.758 1.242 .375847 10. 3. 3.758 -.758 .375847 10. 3. 3.758 -.758 .375847 10. 5. 4.051 .949 .405112 10. 5. 4.051 .949 .405112 10. 5. 4.051 .949 .405112 10. 6. 4.051 1.949 .405112 10. 6. 4.349 1.651 .434918 10. 8. 4.349 3.651 .434918 10. 6. 4.349 1.651 .434918 10. 6. 4.349 1.651 .434918 10. 3. 4.651 -1.651 .465098 10. 5. 4.651 .349 .465098
10. 3. 4.651 -1.651 .465098 10. 5. 4.651 .349 .465098 10. 4. 4.955 -.955 .495481 10. 4. 4.955 -.955 .495481 10. 4. 4.955 -.955 .495481 10. 3. 4.955 -1.955 .495481
chi-square 20.7208 degrees of freedom 22 heterogeneity .94
Index of significance for potency estimation: g(.90)=1.0853 g(.95)=1.5410 g(.99)=2.6616
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.
Effective Doses dose limits 0.90 0.95 0.99LC10 % .00000LC50 % 140.77826LC90 % .00000
LC50 Kocide 77WP terhadap A. deleoni % subjects 240 controls 40 log(L)=-162.1 slope=.076+-.048 nat.resp.=.000+-.000 heterogeneity=.94 g=1.541
KOCIDE 77 WP DAN ROUNDUP 486 AS
POLO-PC(C) Copyright LeOra Software 1987
Input file > AMEL.DAT
input: =LC50 Kocide77WP dan Roundup 486 AS terhadap A. deleoniinput: *%
input: 0 10 0input: 0 10 0input: 0 10 0input: 0 10 0input: 0.001 10 3input: 0.001 10 5input: 0.001 10 3input: 0.001 10 3input: 0.01 10 4input: 0.01 10 3input: 0.01 10 4input: 0.01 10 4input: 0.1 10 4input: 0.1 10 4input: 0.1 10 4input: 0.1 10 5input: 1 10 4input: 1 10 4input: 1 10 6input: 1 10 4input: 10 10 3input: 10 10 6input: 10 10 5input: 10 10 3input: 100 10 6input: 100 10 7input: 100 10 7input: 100 10 7
preparation dose log-dose subjects responses resp/subj% .00000 .000000 40. 0. .000 .00100 -3.000000 10. 3. .300 .00100 -3.000000 10. 5. .500 .00100 -3.000000 10. 3. .300 .00100 -3.000000 10. 3. .300 .01000 -2.000000 10. 4. .400 .01000 -2.000000 10. 3. .300 .01000 -2.000000 10. 4. .400 .01000 -2.000000 10. 4. .400 .10000 -1.000000 10. 4. .400 .10000 -1.000000 10. 4. .400 .10000 -1.000000 10. 4. .400 .10000 -1.000000 10. 5. .500 1.00000 .000000 10. 4. .400 1.00000 .000000 10. 4. .400 1.00000 .000000 10. 6. .600 1.00000 .000000 10. 4. .400 10.00000 1.000000 10. 3. .300 10.00000 1.000000 10. 6. .600 10.00000 1.000000 10. 5. .500
10.00000 1.000000 10. 3. .300 100.00000 2.000000 10. 6. .600 100.00000 2.000000 10. 7. .700 100.00000 2.000000 10. 7. .700 100.00000 2.000000 10. 7. .700
Number of preparations: 1Number of dose groups: 24Do you want probits [Y] ?Is Natural Response a parameter [Y] ?Do you want the likelihood function to be maximized [Y] ?LD's to calculate [10 50 90] >Do you want to specify starting values of the parameters [N] ?
The probit transformation is to be usedThe parameters are to be estimated by maximizing the likelihood function
Maximum log-likelihood -161.38382
parameter standard error t ratio% -.62444152E-01 .85006550E-01 -.73458049SLOPE .13173521 .48300751E-01 2.7273946
Variance-Covariance matrix % SLOPE % .7226113E-02 .1102602E-02 SLOPE .1102602E-02 .2332963E-02
Chi-squared goodness of fit test
preparation subjects responses expected deviation probability% 10. 3. 3.236 -.236 .323602 10. 5. 3.236 1.764 .323602 10. 3. 3.236 -.236 .323602 10. 3. 3.236 -.236 .323602 10. 4. 3.722 .278 .372244 10. 3. 3.722 -.722 .372244 10. 4. 3.722 .278 .372244 10. 4. 3.722 .278 .372244 10. 4. 4.230 -.230 .423018 10. 4. 4.230 -.230 .423018 10. 4. 4.230 -.230 .423018 10. 5. 4.230 .770 .423018 10. 4. 4.751 -.751 .475105 10. 4. 4.751 -.751 .475105 10. 6. 4.751 1.249 .475105
10. 4. 4.751 -.751 .475105 10. 3. 5.276 -2.276 .527621 10. 6. 5.276 .724 .527621 10. 5. 5.276 -.276 .527621 10. 3. 5.276 -2.276 .527621 10. 6. 5.797 .203 .579661 10. 7. 5.797 1.203 .579661 10. 7. 5.797 1.203 .579661 10. 7. 5.797 1.203 .579661
chi-square 7.3750 degrees of freedom 22 heterogeneity .34
Index of significance for potency estimation: g(.90)=.57588 g(.95)=.81766 g(.99)=1.4122
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.
We will use only the probabilities for which g is less than 0.5Effective Concentration concent limits 0.90 0.95 0.99LC10 % .00000 lower upper LC50 % 10.76258 lower . upper LC90 % .00000 lower
upper
LC50 kocide77WP+Roundup 486AS terhadap tungau predator A. deleoni % subjects 240 controls 40 log(L)=-162.1 slope= .104+-.048 nat.resp.=.000+-.000 heterogeneity=.34 g=.818
Stop - Program terminated.