33
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Demam Berdarah Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan satu dari sekian banyak penyakit yang menjadi masalah utama kesehatan masyarakat dan endemis hampir di seluruh kota/kabupaten di Indonesia dan penyebarannya semakin meluas mencapai seluruh Provinsi di Indonesia. Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ataupun Aedes albopictus. Namun, peran terbesar dalam menulurkan DBD adalah Aedes aegypti, karena sering di temui berada di dalam dan sekitar rumah, sedangkan Aedes albopictus sering jumpai di kebun, sehingga lebih jarang kontak dengan manusia (DepKes RI, 2010; DepKes RI, 2011). 2.1.1. Perkembangan Penyakit Demam Berdarah Dengue Pada tahun 2015 Provinsi dengan IR (Incidence Rate) atau angka kesakitan DBD tertinggi terjadi di Bali yaitu sebesar 257,75, Kalimantan Timur sebesar 188,46, dan Kalimantan Utara sebesar 112,00 per 100.000 penduduk. Menurut pendataan Departemen Kesehatan pada tahun 2015 terdapat 5 provinsi yang memiliki CFR (Case Fatality Rate) tinggi yaitu Provinsi Maluku (7,69%), Gorontalo (6,06%), Papua Barat (4,55%), Sulawesi Utara (2,33%), dan Bengkulu (1,99%). Data jumlah kematian akibat DBD yang tertinggi terjadi di Jawa Timur sebanyak 283 kematian, diikuti oleh Jawa Tengah (255 kematian) dan Kalimantan Timur (65 kematian) (DepKes RI, 2016). 2.1.2. Penularan Demam Berdarah Dengue Menurut Murdani et al (2017) cit Depertemen Kesehatan RI (2011) terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit DBD yaitu pertumbuhan jumlah penduduk, faktor urbanisasi yang tidak berencana dan terkontrol dengan baik, semakin majunya sistem transportasi sehingga mobilisasi penduduk sangat mudah, sistem pengelolaan limbah dan penyediaan air bersih yang tidak memadai, berkembangnya penyebaran dan kepadatan nyamuk, kurangnya sistem pengendalian nyamuk yang efektif, melemahnya struktur

TINJAUAN PUSTAKA 2.1.eprints.umm.ac.id/43053/3/jiptummpp-gdl-mayadwiwul-51046... · 2019-01-08 · BAB II 7 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Demam Berdarah Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

  • Upload
    others

  • View
    33

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Berdarah

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan satu dari sekian

banyak penyakit yang menjadi masalah utama kesehatan masyarakat dan endemis

hampir di seluruh kota/kabupaten di Indonesia dan penyebarannya semakin

meluas mencapai seluruh Provinsi di Indonesia. Penyakit DBD disebabkan oleh

virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ataupun Aedes

albopictus. Namun, peran terbesar dalam menulurkan DBD adalah Aedes aegypti,

karena sering di temui berada di dalam dan sekitar rumah, sedangkan Aedes

albopictus sering jumpai di kebun, sehingga lebih jarang kontak dengan manusia

(DepKes RI, 2010; DepKes RI, 2011).

2.1.1. Perkembangan Penyakit Demam Berdarah Dengue

Pada tahun 2015 Provinsi dengan IR (Incidence Rate) atau angka kesakitan

DBD tertinggi terjadi di Bali yaitu sebesar 257,75, Kalimantan Timur sebesar

188,46, dan Kalimantan Utara sebesar 112,00 per 100.000 penduduk. Menurut

pendataan Departemen Kesehatan pada tahun 2015 terdapat 5 provinsi yang

memiliki CFR (Case Fatality Rate) tinggi yaitu Provinsi Maluku (7,69%),

Gorontalo (6,06%), Papua Barat (4,55%), Sulawesi Utara (2,33%), dan Bengkulu

(1,99%). Data jumlah kematian akibat DBD yang tertinggi terjadi di Jawa Timur

sebanyak 283 kematian, diikuti oleh Jawa Tengah (255 kematian) dan Kalimantan

Timur (65 kematian) (DepKes RI, 2016).

2.1.2. Penularan Demam Berdarah Dengue

Menurut Murdani et al (2017) cit Depertemen Kesehatan RI (2011)

terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit

DBD yaitu pertumbuhan jumlah penduduk, faktor urbanisasi yang tidak berencana

dan terkontrol dengan baik, semakin majunya sistem transportasi sehingga

mobilisasi penduduk sangat mudah, sistem pengelolaan limbah dan penyediaan air

bersih yang tidak memadai, berkembangnya penyebaran dan kepadatan nyamuk,

kurangnya sistem pengendalian nyamuk yang efektif, melemahnya struktur

8

kesehatan masyarakat strain virus/serotipe virus yang menginfeksi, imunologi,

umur dan genetik juga berpengaruh terhadap penularan penyakit.

2.2. Krakteristik Nyamuk Aedes aegypti

2.2.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti

Menurut Richard dan Davis (1977) yang dikutip oleh Seogijanto (2006),

kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Bangsa : Diptera

Suku : Culicidae

Marga : Aedes

Jenis : Aedes aegypti L.

2.2.2. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti ditandai dengan garis-garis putih keperakan di atas

dasar hitam terutama pada kakinya dan lira (lire-form) yang putih pada

punggungnya, yaitu ada dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan

(Gillot, 2005). Tubuh nyamuk dewasa terdiri dari 3 bagian, yaitu kepala (caput),

dada (thorax) dan perut (abdomen). Kepala nyamuk berbentuk bulat, dengan

probosis berbentuk ramping dan panjang.

Gambar 2.2 Perbedaan Nyamuk Jantan dan Betina

(Sumber : http://mrnyamuk.com )

Gambar 2.1 Nyamuk Aedes aegypti

(Sumber : http://mrcu.ky)

plumos

e

pilos

e

Jantan Betina

9

Nyamuk betina menggunakan probosisnya untuk menghisap darah,

sedangkan pada nyamuk jantan digunakan untuk menghisap nektar maupun sari

bunga, tumbuhan yang mengandung gula. Nyamuk betina dapat menghisap darah

pada mamalia karena mulut nyamuk betina dilengkapi dengan tipe menusuk dan

mengisap (rasping–sucking). Mulut nyamuk betina mempunyai enam stilet yang

terdiri dari mandibula dan maxilla yang digunakan untuk menemukan pembuluh

darah kapiler dengan mekanisme bergerak naik turun menusuk jaringan di bawah

permukaan kulit serta mengeluarkan cairan yang berfungsi sebagai zat

antikoagulan. Nyamuk memiliki sepasang antena berambut pada bagian kepala,

dimana nyamuk jantan memiliki rambut antena lebih berbulu dan lebat (plumose)

dibandingkan dengan antena nyamuk betina yang sedikit berbulu (pilose) (Sembel

DT, 2009).

2.2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

Aedes aegypti mengalami metamorfosis lengkap/metamorfosis sempurna

(holometabola) yaitu siklus hidup berupa telur, larva (beberapa instar), pupa dan

nyamuk dewasa (James MT and Harwood RF, 1969).

Gambar 2 3. Daur Hidup Nyamuk Aedes aegypti

(Sumber : http://cbei.tk)

Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam, berbentuk oval, mengapung

pada permukaan air jernih, atau menempel pada bagian dinding tempat

penampung air. Telur dapat bertahan sampai ± 6 bulan di tempat kering, dan jika

10

tempat tersebut tergenang air atau terjadi peningkatan kelembaban maka telur

akan menetas lebih cepat (DepKes RI, 2007; DepKes RI, 2011). Pada umumnya

telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ±2 hari. Telur yang menetas

kemudian menjadi larva (jentik) dan akan mengalami 4 fase instar (DepKes RI,

2011).

Larva memiliki kepala yang cukup besar serta thorax dan abdomen yang

cukup jelas. Larva biasanya kerap berada di permukaan air untuk mendapatkan

oksigen dari udara serta menyaring mikroorganisme dan partikel - partikel lainnya

dalam air. Larva melakukan pergantian kulit sebanyak empat kali dan berubah

menjadi pupa sesudah tujuh hari. (Harwood RF and James MT, 1979). Pupa

nyamuk berbentuk seperti „koma‟ dan dua atau tiga hari setelahnya perkembangan

pupa sudah sempurna, maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa muda segera

keluar dan terbang (Sembel DT, 2009; DepKes RI, 2011).

Gambar 2 4. Larva Aedes aegypti

(Sumber : Dept. Entomology ICPMR 2002)

Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan (bersifat

antropofilik). Agar telur nyamuk dapat menetas, maka selama proses pematangan

sel telur sangat dibutuhkan darah. Waktu perkembangan telur hingga telur

dikeluarkan, bervariasi antara 3 - 5 hari. Selama proeses pematangan telur,

nyamuk akan mencari tempat yang gelap dan lembab di dalam atau di luar rumah,

serta berdekatan dengan habitat perkembangbiakannya. Satu nyamuk betina

mampu menghasilkan telur sebanyak ±100 butir dalam satu kali pematangan telur

(DepKes RI, 2011).

Nyamuk Aedes aegypti memiliki aktivitas menggigit, dengan 2 puncak

aktifitas mulai pagi antara pukul 09.00 -10.00 dan petang hari pukul 16.00 - 17.00,

11

serta kebiasaannya yang mengisap darah berulang-ulang kali untuk memenuhi

lambungnya sehingga nyamuk betina yang dalam proses pematangan telur sangat

efektif sebagai penular penyakit (vektor) (DepKes RI, 2011).

2.2.4. Pengendalian Vektor

Aedes aegypti merupakan nyamuk yang dapat berperan sebagai vektor

berbagai macam penyakit diantaranya Demam Berdarah Dengue (DBD).

Beberapa spesies Aedes sp. berperan sebagai vektor tetapi Aedes aegypti tetap

merupakan vektor utama. Aedes aegypti dan Aedes albopictus selain

menyebabkan Demam Berdarah dapat membawa virus penyebab penyakit seperti

Chikungunya dan demam kuning (Gandahusada et al., 1998, dan Gubler 2009).

Perubahan iklim (climate change) global menyebabkan kenaikan rata-rata

temperatur, dan perubahan pola musim hujan serta kemarau, sehingga menjadi

penyebab resiko terhadap penularan DBD. Iklim yang tropis juga menyebabkan

suburnya perkembang biakan nyamuk, sehingga dibutuhkan penggendaliannya

(DepKes RI, 2011). Karbon dioksida (CO2) dan asam laktat dalam keringat pada

hewan berdarah panas bertindak sebagai zat yang menarik bagi nyamuk. Persepsi

bau muncul melalui reseptor kemo yang terdapat dalam antena nyamuk (Das et

al., 2003).

Pendekatan umum untuk pengendalian vektor nyamuk dan mengurangi

penularan patogen manusia didasarkan pada langkah-langkah intervensi berbasis

insektisida kimia yang telah berkembang di masyarakat. Hal ini dikarenakan anti

nyamuk kimia (sintetis) yang beredar di pasaran memiliki beberapa keunggulan

yaitu, lebih praktis karena penggunaannya dapat dilakukan dengan beberapa cara

dan dalam bentuk sediaan yang beragam (contohnya dibakar, disemprot, dioles

dan elektrik), lebih murah, serta dijual bebas di pasaran. Namun, penggunaan anti

nyamuk sintetis tanpa pemantauan dapat mengakibatkan terjadinya resisten

sehingga perlu dilakukan pengawasan penggunaan dan dampak agar tetap efektif

dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (DepKes RI, 2008).

Keberhasilan dalam upaya pemberantasan vektor penular penyakit

ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain sarana, prasarana maupun sumber

daya manusia (DepKes RI, 2008). Pengusir nyamuk yang berasal dari ekstrak

tanaman, atau minyak atsiri tanaman dapat menjadi alternatif sebagai salah satu

12

metode dalam mencegah vektor nyamuk yang kompatibel dengan kehidupan

manusia dan lingkungan (Phukerd et al.,2013). Pengendalian vektor bertujuan

untuk menurunkan terjadinya kontak antara nyamuk dengan manusia sehingga

dapat menekan populasi vektor serendah-rendahnya (Erlina, 2015).

Tabel II. 1 Macam-macam metode pengendalian nyamuk (Kalita B. et al., 2013)

Metode Kimia Metode Non-Kimia Metode Biologi

Repelan sintetis:

DEET, Permethrin

Metode fisik :

pengobatan, tanpa

pengobatan, perangkap

nyamuk (kelambu)

Dengan menumbuhkan

beberapa spesies ikan

yang akan memakan jentik

nyamuk di air.

Penolak alami:

minyak neem, minyak serai,

lavender, jeruk nipis, dan

lain-lain.

Metode mekanik:

Penolak nyamuk elektrik,

raket nyamuk, lampu

penarik nyamuk

2.3. Repelan

Penggunaan repelan dan atau pakaian tertutup merupakan pecegahan dini

yang dapat dilakukan oleh setiap individu untuk memproteksi diri terhadap gigitan

nyamuk sehingga mengurangi kontak serta gigitan nyamuk meskipun hanya

sementara (Gul et al., 2013; WHO,2016). Repelan adalah bahan kimia untuk

menghindari gigitan dan gangguan serangga terhadap manusia. Cara memakai

repelan bisa dioleskan pada tubuh atau disemprotkan pada pakaian. Bahan yang

biasanya terdapat pada repelan yaitu DEET (N, N-Diethyl-m-Toluamide) yang

merupakan senyawa kimia tidak berbau, tapi menimbulkan rasa terbakar jika

mengenai mata, jaringan membranous, atau mengenai luka terbuka (Narsy, 2008;

Soedarto, 2011).

Aktivitas dan durasi repelan tergantung pada beberapa faktor, termasuk

jenis penolak (bahan aktif dan formulasi), cara aplikasinya, faktor lingkungan

(suhu, kelembaban, dan angin), daya tarik serangga terhadap mangsa, hilangannya

aktivitas repelan karena terhapus oleh keringat, sensitivitas serangga terhapdap

repelan, dan jumlah gigitan (Siriporn Phasomkusolsil et al., 2011).

Menurut Soedarto (1992) dan WHO (2008) memberikan definisi kriteria

13

repelan yang aman dan baik digunakan adalah sebagai berikut: untuk bahan aktif

yang memiliki aktivitas sebagai penolak nyamuk harus efektif dan dapat

digunakan pada berbagai jenis permukaan, dapat bekerja pada kondisi lingkungan

yang berbeda, ramah lingkungan bila diterapkan kulit manusia atau hewan,

diterima dalam formulasi kosmetika, tidak merusak pakaian, tidak menimbulkan

iritasi pada kulit, tidak menganggu pemakainya, tidak beracun, memiliki bau yang

menyenangkan bagi pemakainya dan orang sekitarnya, daya durasi pengusir yang

tahan lama, biaya yang relatif rendah dan efektif terhadap jenis umum serangga

lainnya, seperti lalat. Repelan secara garis besar dibagi menjadi dua kategori,

repelan alami dan repelan kimia.

2.3.1. Repelan Kimia

Repelan kimia yang umum digunakan yang tersedia adalah dalam bentuk

sediaan semprot, bakar, electric dan losion. Penggunaan dengan cara dibakar dan

disemprotkan memiliki efek yang berbahaya untuk kesehatan karena dapat

terhirup dan masuk dalam saluran pernafasan menuju paru-paru dan dapat masuk

kedalam aliran peredaran darah (Widiawati, 2014).

Anti nyamuk komersial mengandung zat sintetik (kimia) seperti DEET,

DEPA (N, N-dietil phenylacetamide), permethrin, dan komponen aktif

deltametrin, yang dapat diserap tubuh manusia dan menyebabkan ganguan

kesehatan bila digunakan dalam jumlah yang besar atau pengunaan dalam jangka

waktu yang lama (Choochote et al., 2007; Pappayee & Saraswathy, 2015).

Losion repelan merupakan salah satu alternatif insektisida yang tidak

terlalu mengganggu sistem pernafasan dikarenakan aplikasinya langsung pada

kulit manusia. Losion digunakan untuk menghindari gigitan serangga. Pada

umumnya losion yang dijual di pasaran mengandung bahan aktif kimiawi yaitu

DEET, di Indonesia penggunaannya hanya diperbolehkan dalam konsentrasi 15%

(Fajarin & Murrukmihadi, 2015). DEET merupakan amida aromatik yang efektif

untuk digunakan pada produk repelan. Senyawa DEET yang dioleskan pada kulit

terkadang menimbulkan reaksi alergi lokal, iritatif terhadap kulit, berbahaya bila

terkena kulit yang luka dan selaput lendir tubuh, urtikaria serta dermatitis kontak

(Ngurah, 2005). DEET yang diabsorbsi kulit hingga menembus ke sirkulasi darah

dapat mempengaruhi sistem saraf (Bell et al., 2002; Sangeetha, 2015).

14

Pemanfaatan repelan kimia dapat menyebabkan resistensi pada nyamuk

yang terpapar bila digunakan terus menerus. Dengan berbagai masalah yang

muncul akibat penggunaan insektisida sintesis, perlu dicari sediaan anti nyamuk

yang berasal dari bahan alam untuk menggantikan DEET. Oleh karena itu, ada

kebutuhan mendesak untuk mengembangkan formulasi penolak nyamuk baru

menggunakan bahan alami sebagai alternatif bahan sintetik sehingga dapat

mengendalikan nyamuk serta memberikan solusi terkait dampak negatif pada

kesehatan manusia dan lingkungan (Koul et al., 2008; Dhiman et al., 2012; Gul et

al., 2013; Zakaria et al., 2015). Dengan kriteria lebih ramah lingkungan dan

berkelanjutan untuk pengendalian nyamuk, aman, biodegradable, efek non-toksik

pada manusia dan hewan, serta spesifik terhadap vektor (Benner JP,1993; Kumar

et al, 2011; Rabha et al, 2012; Malebo et al., 2013, R V Geetha et al., 2014).

2.3.2. Mekanisme Kerja Repelan

Secara umum, penolak nyamuk akan memanipulasi bau dan rasa dari kulit

dengan melawan reseptor asam laktat pada antena nyamuk, sehingga mencegah

nyamuk untuk mendekati kulit, umumnya dilakukan penambahan beberapa bau

aromatik dominan pada repelan seperti kulit jeruk atau lavender. Prinsip ini juga

diterapkan untuk obat nyamuk dari minyak tembakau, di mana selain memiliki

potensi sebagai pestisida, bio oil tembakau juga memiliki bau yang dominan

sehingga dapat memanipulasi nyamuk dengan menutupi bau CO2 yang dihasilkan

oleh kulit manusia (Qui et al., 1998; Mahdi Jufri et al., 2016).

Nyamuk dapat menemukan inang (host) melalui 3 cara yaitu visual

(antena), termal (labellum), dan rangsangan penciuman yang berperan paling

utama. Indra penciuman nyamuk terdiri dari antena dan palps rahang atas

(maxillary palps) dimana terdapat suatu struktur yang disebut basiconic sensilla

yang terletak pada permukaan segmen keempat (IV) maxillary palps. Dalam

maxillary palps IV terdapat sensor kimia Olfactory Receptor Neuron (ORN) yang

terdiri dari ORN A, ORN B, dan ORN C sehingga dapat merespon CO2, 1-Octen-

3-ol, dan mendeteksi zat-zat kimia yang berasal dari kulit, tanaman/nektar, serta

tempat bertelur (oviposisi). 1-octen-3-ol merupakan seyawa yang terdapat pada

keringat dan nafas manusia, sehingga dapat dideteksi oleh nyamuk dalam jarak

2,5 meter (Syed Z and Leal WS, 2008; Debboun et al., 2015).

15

Gambar 2.5. Penginderaan kimia pada nyamuk betina Aedes aegypti

(Sumber : Debboun et al., 2015)

Pada bagian ujung proboscis nyamuk terdapat labellum yang memiliki

sesilia berupa sensor kimia Gustatory Receptor Neuron (GRN) yang bertangung

jawab sebagai indra perasa nyamuk sehingga mampu mendeteksi rasa pahit dari

repelan kimia seperti DEET, IR3535, dan Picaridin, serta minyak atsiri yang

memiliki potensial sebagai repelan alami. Rasa pahit yang ditimbulkan akan

menghalangi nyamuk untuk menghisap darah. DEET juga dapat mempengaruhi

daya penciuman serangga dengan mekanisme “olfactory masking agent” yang

menghalangi respon ORN terhadap atraktan seperti asam laktat dan

karbondioksida yang diproduksi host sehingga pendeteksian host (manusia atau

hewan, mamalia pada umumnya) dan peletakan telur juga terganggu (Debboun et

al., 2015).

16

2.3.3. Repelan Alami

Minyak atsiri dari ekstrak tanaman merupakan bahan pokok repelan alami.

Minyak atsiri tanaman telah menerima banyak perhatian sebagai senyawa bioaktif

yang berpotensi melawan serangga dengan menunjukkan spektrum aktivitas yang

luas, toksisitas rendah pada mamalia dan cepat terurai di lingkungan

(Govindarajan, 2011; R V Geetha et al., 2014).

Beberapa penelitian telah melakukan studi terhadap minyak atsiri yang

berbeda dan melaporkan aktivitas formulasi repelan (Dhiman et al., 2012;

Hazarika et al., 2012; Das et al., 2015). Minyak atsiri tanaman yang telah

dilaporkan memiliki aktivitas repelan terhadap nyamuk dewasa, seperti minyak

atsiri dari Citrus aurantifolia, Citrus sinensis, Cinnamomum xeylanicum,

Cymbopogon nardus, Curcuma aromatik, Eucalyptus citriodora, Mentha piperita,

Ocimum basilicum, Syzygium aromaticum, Zingiber officinalis dan Lavandula

angustifolia (Pohlit AM et al., 2011).

2.3.4. Mekanisme Minyak Atsiri sebagai Repelan

Secara singkat mekanisme repelan alami minyak atsiri yaitu kandungan

senyawa kimia tertentu yang berada di dalamnya menimbulkan bau khas yang

akan meresap ke dalam celah atau pori-pori kulit akan menguap keudara karena

suhu panas yang ditimbulkan oleh tubuh serta lingkungan. Minyak atsiri bertindak

pada fasa uap dan umumnya efektif ketika baru saja diterapkan karena biasanya

efeknya akan menghilang dengan cepat dalam waktu singkat karena volatilitasnya

tinggi. Aroma khas yang ditimbulkan minyak atsiri ini akan terdeteksi oleh

reseptor kimia pada antena nyamuk yang kemudian diteruskan ke impuls saraf,

agar dapat direspon oleh otak sehingga nyamuk akan segera mengekspresikan diri

untuk menghindar (Shinta, 2012).

Pengusir nyamuk yang berasal dari minyak atsiri tanaman dapat digunakan

sebagai alternatif dalam mencegah vektor nyamuk karena kompatibel dengan

kehidupan manusia dan lingkungan dengan efeknya yang berlangsung dari

beberapa menit hingga beberapa jam (R V Geetha et al., 2014). Penggunaan

minyak atsiri sebagai repelan langsung kurang efektif karena sifatnya yang mudah

menguap (volatile), sehingga harus sering aplikasi berulang kali untuk

17

mempertahankan potensinya dan hanya dapat memberikan perlindungan dalam

jangka waktu yang pendek (Mahdi Jufri et al., 2016). Agar dapat mempertahankan

potensinya, sehingga dibuat dalam bentuk sediaan yang tepat agar praktis, efektif,

aman, dan dapat memberikan efek yang bertahan lama (Widawati, 2014). Hal ini

dapat dilakukan dengan cara pengembangan formulasi yang akan menjaga bahan

aktif yang digunakan pada permukaan kulit dapat bertahan dalam jangka waktu

yang lama atau dengan penambahan bahan fiksatif, seperti vanili, asam salisilat,

mustard, dan minyak kelapa yang dapat mengikat minyak atsiri agar tidak cepat

menguap (Siriporn Phasomkusolsil et al., 2011). Helmiyetti, Manaf, dan Juliana

(2009) menyimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi yang digunakan daya

repelan akan semakin besar, karena jumlah molekul minyak atsiri yang menguap

akan lebih banyak, sehingga Jumlah molekul minyak atsiri yang terdeteksi antena

nyamuk lebih besar.

2.4. Minyak Atsiri Lavender

Minyak lavender berasal dari destilasi uap bunga Lavandula angustifolia

yang merupakan tumbuhan berbunga yang termasuk kedalam suku Lamiaceae.

Bunga lavender memiliki 25-30 spesies, beberapa diantaranya adalah Lavandula

angustifolia, lavandula lattifolia, lavandula stoechas (Barocelli, 2004). Asal

tumbuhan lavender adalah dari wilayah Mediterania, Afrika Utara, dan India

bagian Barat, namun tumbuhan ini banyak dibudidayakan di luar daerah asalnya

karena produksi minyak atsrinya (Swanepoel, K M & Alberts, W G, 2009).

Lavender memiliki bau yang khas dan lembut sehingga membuat seseorang

menjadi rileks ketika menghirup aromanya (Hutasoit 2002).

Morfologi lavender merupakan tumbuhan menahun, jenis rumput-

rumputan, semak pendek dan semak kecil dengan tinggi 0,3 sampai 1,2 m. Dalam

keadaan alami tumbuhan ini dapat tumbuh baik pada ketinggian 1700 m diatas

permukaan laut (Swanepoel, K M & Alberts, W G, 2009; Kurniawan, 2016).

Lavender memiliki bunga yang berukuran kecil, berwarna unggu kebiruan, bunga

ini tersusun dari beberapa jumlah kuntum berkisar 6-10 kuntum yang berbentuk

spiral. Bunga tumbuh dibagian ujung cabang, bunganya juga memiliki bulu halus

berjumlah banyak dan berwarna ungu keputihan hingga ungu kebiruan. Bunga ini

dapat di perbanyak secara generatif (menggunakan biji) (Kurniawan, 2016).

18

Daun bunga lavender berbentuk bulat oval, memanjang, pertulangan

sejajar, pangakal daun meruncing, memiliki permukaan halus dan lembut

berwarna hijau muda hingga tua. Selain itu, bagian bawah daun bunga lavender

ini memiliki pertulangan daun yang menonjol berwarna keputihan (Kurniawan,

2016). Batang berkayu, berbentuk bulat memanjang dengan diameter 3-4 mm

bahkan lebih, panjang batang mencapai 60 – 80 cm dan tumbuh dengan tegak.

Batang tanaman ini juga memiliki percabangan banyak yang berguna untuk

pertumbuhan daun. Akar tanaman tunggang, berserabut, dengan panjang

mencapai 1-2 m bahkan lebih, berwarna putih kotor hingga kecoklatan.

(Kurniawan, 2016).

2.4.1. Kandungan Kimia

Komposisi kimia minyak atsiri dari lavender dan Lavandin, umunya

diproduksi dengan cara distilasi uap dari bagian bunga hingga batang, dimana

terdapat senyawa terpen didalamnya (misalnya linalool dan linalyl asetat) dan

terpenoid (misalnya 1,8-cineole), yang terutama bertanggung jawab untuk

memberikan aroma khas dan bahan penolak serangga selain itu α-terpineol,

geranyl acetate, dan terpinen-4-ol juga memiliki aktivitas sebagai repelan (Pohlit

AM et al., 2011; Meessen et al., 2015).

Analisis Changmann et al., (2011) menggunakan GC-MS pada minyak

atsiri lavender mendeteksi komposisi kimia yaitu linalool (42,2%), linalyl asetat

(49,4%), terpinen-4-ol (5,0%), dan caryophyllene oxide (3,4%). Analisis GC-MS

Gambar 2 6. Morfologi lengkap tumbuhan lavender (Sumber : Köhler's Medicinal Plants by Franz Eugen Köhler, 1883 - 1914)

19

lainnya menunjukkan bahwa minyak atsiri lavender mengandung 26 konstituen, di

antaranya camphene (0,06%), alpha-pinene (0,22%), p-cymene (0,3%), cineol

(0,51%), limonene (1,06%), borneol (1,21%), geranyl acetate (2,14%), terpinen-

4-ol (4,64%), beta-myrcene (5,33%), linalool (26,12%), linalyl acetate (26,32%),

dan caryophyllene (7,55%) (Mc Lain DE., 2009). Berdasarkan uraian di atas,

dapat disimpulkan bahwa kandungan zat kimia yang utama dari bunga lavender

adalah linalyl asetat dan linalool.

Gambar 2.7 Struktur kimia dari linalool

(Sumber : http://www.chm.bris.ac.uk)

2.4.2. Manfaat Minyak Atsiri Lavender

Beberapa penelitian menunjukkan minyak atsiri herbal memiliki khasiat

obat yang lebih baik dari pada ekstrak herbalnya. Oleh karena itu, minyak atsiri

dapat juga digunakan sebagai substitusi yang lebih baik dan lebih aman dibanding

zat penolak kimia seperti DEET (Barat, 2012; Shooshtari et al., 2013). Secara

tradisional, minyak atsiri lavender dan lavandin digunakan dalam produk

manufaktur sebagai produk aromaterapi, perawatan pribadi (sabun, sampo,

parfum, kosmetik, dan shower gel), pengolahan makanan, dan pemeliharaan

rumah (deterjen dan pelembut kain). Sejumlah studi telah melaporkan bahwa

minyak atsiri lavender memiliki manfaat dalam berbagai aplikasi medis, yaitu

sebagai aktivitas antibakteri, antijamur, insomnia, antidepressive dan efektif untuk

luka bakar, gigitan serangga, alopecia (rambut rontok), kecemasan, stres dan rasa

sakit pasca operasi (Cavanagh, 2002; Bakkali et al. 2008; Meessen et al., 2015).

Studi yang dilakukan pada Aedes aegypti menunjukkan bahwa minyak

atsiri dari bunga lavender memberikan perlindungan mulai 120 hingga 180 menit

(Amer, 2006). Martha, et al, (2010) menyimpulkan bahwa tanaman lavender ini

cukup ampuh untuk mengusir nyamuk dalam waktu 5 menit, dan melemahkan

20

nyamuk dalam waktu 23 menit. Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Vijay

Veer dan D. Sukumaran (2014) mendapatkan hasil uji toksisitas 23 minyak atsiri

yang diperoleh dari sumber tanaman yang berbeda yang digunakan untuk efek

reppelen terhadap Aedes Aegypti. Pada metode Cage Bioassay untuk melihat

seberapa lama nyamuk hinggap, dengan konsentrat 0,1%, 1%, dan 5% minyak

atsiri dari tanaman lavender menunjukkan efektif hingga 30 menit.

2.5. Minyak Atsiri Jeruk Nipis

Jeruk nipis atau Citrus aurantifolia termasuk kedalam suku Rutaceae.

Minyak atsiri jeruk nipis diperoleh dari bagian kulit buah yang dikupas dan

didestilasi uap. Morfologi jeruk nipis merupakan habitus berupa perdu dengan

tinggi ± 3,5 m. Batang berkayu, berbentuk bundar, berduri, dan berwarna putih

kehijauan. Daun majemuk, berbentuk membundar telur atau melonjong

membundar telur, pangkal membundar atau menumpul dengan ujung tumpul dan

tepi beringgit. Panjang daun 2,5-9 cm, lebar 1,5-5,5 cm. Pertulangan daun

menyirip, dengan panjang tangkai 5-25 mm, bersayap, dan berwarna hijau. Bunga

majemuk atau tunggal, terletak di ketiak daun atau di ujung batang. Diameter

bunga 1,5-2,5 cm. Kelopak bunga

berbentuk mangkok, berbagi empat

sampai lima dengan diameter 0,4-

0,7 cm dan berwarna putih

kekuningan. Benang sari 0,5-0,9

cm, tangkai sari 0,35-0,40 cm,

berwarna kuning (BPOM RI, 2008).

Bakal buah berbentuk bulat

dan berwarna hijau kekuningan.

Tangkai putik berbentuk silindris,

putih kekuningan. Kepala putik

berbentuk bulat, tebal dan berwarna

kuning. Daun mahkota berjumlah

empat sampai lima, berbentuk

membundar telur atau melonjong,

Gambar 2 8. Morfologi jeruk nipis

(Sumber : Köhler's Medicinal Plants by

Franz Eugen Köhler, 1883 - 1914)

21

panjang 0,7-1,25 cm, lebar 0,25-0,5 cm dan berwarna putih (BPOM RI, 2008).

Buah buni, berdiameter 3,5-5 cm, saat masih muda berwarna hijau dan

setelah tua berwarna kuning. Biji berbentuk bulat telur, pipih, putih kehijauan.

Akar tunggang, berbentuk bulat dan berwarna putih kekuningan (BPOM RI,

2008).

2.5.1. Kandungan Kimia

Eugenol, linalool, dan geraniol dikenal sebagai zat penolak serangga

sehingga zat tersebut juga berfungsi sebagai pengusir nyamuk. Kulit buah jeruk

nipis efektif sebagai penolak nyamuk karena mengandung salah satu dari zat

penolak nyamuk (Kardinan, 2003).

Destilasi air dari jeruk nipis yang dianalisis menggunakan GC-MS

menunjukkan komposisi kimia dari minyak atsiri jeruk nipis yaitu d-

dihydrocarvone, d-limonene, α-terpineol. d-limonene (30,13%) dan d-

dihydrocarvone (30,47%) ditemukan menjadi senyawa utama dalam minyak atsiri

jeruk nipis (Patil JR et al., 2009). Karoui dan Marzouk (2013) juga melaporkan

90,25% komposisi dalam ekstrak minyak atsiri kulit C. aurantifolia adalah d-

limonene dan α-terpineol yang merupakan prinsip aktif utama dalam minyak atsiri

kulit buah jeruk yang bertanggung jawab atas aktivitas anti-serangga (Tripathi et

al, 2003;. Karr et al, 1988; Pohlit AM et al., 2011).

Gambar 2.9 Struktur kimia d-limonene

(Sumber : https://cfpub.epa.gov)

2.5.2. Manfaat Minyak Atsiri Jeruk Nipis

Minyak atsiri jeruk nipis memiliki berbagai kegunaan, terutama untuk

bumbu aroma dalam banyak produk makanan (Steuer et al., 2001). Dalam industri

farmasi, minyak atsiri jeruk digunakan sebagai agen penyedap untuk menutupi

rasa tidak menyenangkan obat, selain itu digunakan juga dalam parfum dan

kosmetik (Steuer et al., 2001). Penelitian Soonwera (2015) menunjukkan bahwa

22

semua minyak atsiri dari tanaman Rutaceae memberi perlindungan berarti

terhadap gigitan nyamuk Aedes aegypti. Delapan minyak atsiri yang berasal dari

tanaman jeruk (Citrus aurantifolia, Citrus aurantium, Citrus hystrix, Citrus

maxima, Citrus medica, Citrus retikulat, Citrus sinensis, dan Citrofortunella

microcarpa) dievaluasi untuk aktivitas repelan terhadap nyamuk dewasa betina

Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus, dan membandingkannya dengan losion

repelan komersial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri Citrus

aurantifolia memiliki aktivitas sebagai repelan tertinggi dibandingkan dengan

tanaman jeruk lainnya dan efektif terhadap Aedes aegypti dengan perlindungan

sebesar 98,5% dan Cx. quinquefasciatus dengan perlindungan sebesar 98,3%

(Soonwera, 2015).

Pada penelitian Magdarita et al (2016) menggunakan minyak atsiri kulit

buah jeruk nipis dengan konsentrasi 50%, 25%, 12,5%, 6,25% dan 3,12% yang

disemprotkan pada tiap lengan bawah probandus lalu dimasukkan dalam kandang

nyamuk yang berisi 20 ekor nyamuk Aedes aegypti dewasa dan dihitung jumlah

nyamuk yang hinggap selama 30 detik. Daya proteksi pada konsentrasi terendah

yang tercatat adalah 39,16%, sehingga perlu dilakukakan pengembangan efek

repelan dari minyak atsiri jeruk nipis yang dikominasikan dengan minyak atsiri

lavender agar dapat memberikan efek daya tolak nyamuk yang tinggi.

Nyamuk tidak tertarik pada aroma yang ditimbulkan ekstrak kulit jeruk

dikarenakan bahan aktif yang terdapat dalam ekstrak fitokimia dari kulit jeruk

telah memberikan beberapa efek penghambatan pada sel-sel reseptor asam laktat

oleh masking atau mengubah asam laktat yang biasanya menarik mereka sehingga

membingungkan atau mengganggu nyamuk (Ansari dan Razdam, 1995). Bahan

aktif dalam ekstrak volatil fitokimia jeruk ketika dipakai menguap pada saat

aplikasi di kulit dan dilepaskan dengan CO2, sehingga mengubah tanda CO2 dari

manusia dengan aroma tanaman. Dengan ini nyamuk sekarang memandang CO2

sebagai tanaman dan bukan dari manusia. Dengan demikian, kontak atau respon

nyamuk untuk mengigit dapat dicegah (Jacobson, 1990; Foster dan Duke, 1990).

2.6. Losion

Xue, Barnard, dan Ali (2003) dalam Kardinan (2007) menyatakan bahwa

cara menghindari nyamuk yang paling baik adalah dengan pemakaian pengusir

23

nyamuk berbentuk losion, krim, atau pakaian tertutup yang dapat melindungi

tubuh dari gigitan nyamuk. Losion merupakan salah satu bentuk sediaan emulsi

yang termasuk dalam kosmetik pelembab yang secara umum dipakai untuk

melembabkan, melembutkan dan menghaluskan kulit karena adanya kandungan

emolien, humektan dan zat pembawa (Afifah dan Mirwan, 2008).

Losion digiolongkan ke dalam dua bentuk sediaan, yaitu sediaan cair dan

sediaan setengah padat baik berupa suspensi atau dispersi. Losion yang paling

banyak dijumpai biasanya terdapat dalam tipe emulsi minyak dalam air, fase

pendispersi atau bagian eksternal adalah air dan fase terdispersi atau bagian

internal adalah minyak. Penggunaan losion dimaksudkan untuk melembapkan

kulit dengan segera, mengurangi dan mencegah kulit menjadi kering (Balsam et

al. 1970). Pada penyimpanannya, losion dapat memungkinkan terjadinya

pemisahan. Agar meningkatkan akseptabilitas dalam formulasi pembuaatan

sediaan losion dapat diberi bahan tambahan berupa zat pengawet, coloris, dan

odoris yang cocok (DepKes RI, 1993). Perbedaan antara losion dan krim secara

karakteristik fisik yaitu terdpat pada viskositasnya, dimana krim memiliki

viskositas lebih tinggi sehingga sukar dituang, sedangkan pada losion memiliki

viskositas yang relatif lebih rendah dari krim sehingga dapat dengan mudah

dituang (Barel, 2002).

Berdasarkan sifat bahan-bahannya losion merupakan sediaan yang

digunakan untuk pemakaian topikal pada kulit sebagai pelindung atau untuk

terapi. Konsistensinya yang cair menyebabkan cepat merata permukaan pada kulit

yang luas, segera kering setelah pemakaian dan meninggalkan lapisan tipis pada

permukaan kulit (Jellink, 1970).

Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuaatan sediaan losion adalah

viskositas losion yang akan dihasilkan, sehingga losion memiliki konsistensi yang

tepat, tidak terlalu kental atapun terlalu cair sehingga mudah di tuang dan

digunakan (Jellink, 1970). Agar terbentuk sediaan losion yang memenuhi kriteria,

mudah dituang dan cepat merata dikulit, mudah dicuci, tidak berbau tengik, dan

stabil dalam penyimpanan, maka perlu diperhitungkan konsentrasi bahan-bahan

penyusunnya yang sesuai. Komposisi losion pada dasarnya terdiri dari 5-10%

humektan, 10-15% fase minyak, dan 75-85% fase air (Balsam et al. 1970).

24

Losion adalah sediaan yang tidak meninggalkan noda pada penggunanya.

Selain itu, losion berbentuk cair, sehingga memfasilitasi bahan aktif dalam losion

yang akan merata diserap melalui kulit memberikan perlindungan bagi

penggunanya. Penambahan agen fiksatif dalam substansi repelan meningkatkan

potensi losion repelan memiliki khasiat yang sama pada losion yang mengandung

DEET (Widawati & Riandi, 2015).

2.6.1. Losion Bentuk Emulsi

Emulsi merupakan campuran yang terdiri dari dua fase cairan dalam sistem

terdispesri, dimana fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan homogen ke

dalam fase cairan yang lain, yang distabilkan dengan zat pengemulsi atau disebut

emulgator. Fase cairan yang terdispersi disebut fase dalam atau internal dan fase

cairan pembawa disebut pendispersi atau fase luar atau external. Jika fase cairan

external adalah air atau larutan air dan fase cairan internlanya berupa minyak atau

larutan zat dalam minyak maka tipe emulsi adalah minyak dalam air (M/A),

begitu pula sebaliknya untuk tipe emulsi air dalam minyak (A/M), fase

terdispersinya adalah air atau larutan air dan fase pendispersinya berupa minyak

atau larutan zat dalam minyak (Ansel, 1989).

Sediaan losion repelan yang diformulasikan dalam bentuk tipe emulsi M/A

(minyak dalam air), lebih memberikan banyak keuntungan dibandingkan dalam

bentuk A/M (air dalam minyak). Keuntungan yang diperoleh dari sediaan M/A

yaitu sediaan yang tidak lengket di kulit, mudah di cuci dengan air sehingga

memberikan efek yang lebih nyaman pada penggunaannya dan penguapan minyak

atsiri sebagai fase terdispersi dapat ditahan oleh adanya air sebagai fase

pendispersinya (Novitasari, 2010).

Berdasarkan teori klasik mekanisme pembentukan emulsi adalah zat aktif

permukaan mampu mengurangi tegangan permukaan dan bertindak sebagai

penghalang bergabungnya tetesan karena zat-zat tersebut diabsorbsi pada

permukaan tetesan-tetesan yang terdispersi. Secara umum mekanisme emulgator

atau zat pengemulsi dalam membentuk dan menstabilkan emulsi dibagi menjadi

tiga cara, yaitu :

a. Mengurangi tegangan antarmuka

25

b. Pembentukan suatu lapisan antarmuka yang kaku sebagai pembatas mekanik

untuk penggabungan.

c. Pembentukan lapisan listrik rangkap sebagai penghalang elektrik untuk

mendekati partikel-partikel (Jellink, 1970; Lachman, 1994).

2.6.2. Bahan-Bahan Pembentuk Losion

Dalam pembuatan sediaan kosmetik losion anti nyamuk, minyak atsiri

tanaman digunakan sebagai komponen bahan aktif, serta ditambahkan bahan-

bahan tambahan lainnya untuk memperoleh sediaan losion yang ideal dan

memenuhi SNI (Dewi, 2012).

Umumnya bahan penyusun dalam formula losion yaitu :

a. Barrier agent (Pelindung)

Chew (2006) cit Kurpiewska & Liwkowicz (2012) Suatu bahan tambahan

yang berfungsi sebagai pelindung kulit dan mengurangi dehidrasi. Barrier

agent dirancang untuk mengurangi dan mencegah penetrasi serta penyerapan

berbagai zat berbahaya ke dalam kulit, mencegah lesi atau efek toksik lainnya

dari paparan dermal. Barrier agent melindungi kulit terhadap zat berbahaya

seperti air, larutan garam, asam, basa (sampai dengan 5% dari konsentrasi),

deterjen, sabun dan lain-lain. Contohnya : bentonit, asam stearate, seng oksida,

dimetikon, dan titanium oksida, (Lachman, 1994; Kurpiewska & Liwkowicz,

2012).

b. Emollient (Pelembut)

Emolien merupakan campuran dari senyawa kimia komplek khusus yang

dirancang untuk meningkatkan hidrasi kulit dan melembabkan kulit tangan.

Dalam Cosmetology emolien dapat diambil dari berbagai sumber bahan baku

alami atau sintetis, yang dapat melembabkan kulit. Emolien bertindak

melembutkan kulit dengan memperlambat hilangnya air dari permukaan kulit

sehingga permukaan kulit menjadi lentur. Contohnya : paraffin, lanolin, stearil

vaselin, dan alkohol. (Lachman, 1994; Kurpiewska & Liwkowicz, 2012).

Minyak kelapa murni (VCO) digunakan sebagai bahan aktif untuk pelembab

kulit topikal serta memiliki kandungan tinggi asam lemak (terutama asam

laurat), memiliki kandungan fenolik yang tinggi dan aktivitas antioksidan

26

dibandingkan dengan minyak kelapa biasa (Marina et al., 2009). VCO

tergabung dalam partikel lipid yang kuat. Partikel lipid padat dapat

meningkatkan penetrasi dan transportasi zat aktif, terutama senyawa lipofilik,

sehingga dapat meningkatkan konsentrasi bahan aktif yang dibawanya pada

kulit (R.H. Müller et al., 2002). Dalam pelembab, VCO dapat bertindak

sebagai emolien dan sebagai agen oklusif jika diterapkan pada konsentrasi

yang tepat (Norhayati Mohamed Noor et al., 2013).

c. Humectant (Pelembab)

Humektan merupakan senyawa yang menarik air dari dermis ke stratum

corneum, dengan menahan atau mengontrol kadar air dan kelembapan dari

lingkungan atau pada sediaan baik yang telah diaplikasikan pada kulit.

Contohnya : propilenglikol, gliserin, dan sorbitol. Gliserin memiliki sifat

higroskopis sehingga yang dapat mestabilkan sediaan karena afinitasnya yang

tinggi memungkinkan untuk menarik dan menahan molekul air dengan cara

mengabsorbsi kelembapan dari lingkungan dan mengurangi penguapan air dari

sediaan (Barel et al., 2009) Kemampuan gliserin dalam mengikat air

menyebabkan peningkatkan ukuran unit molekul sehingga tahanan sediaan

untuk mengalir dan menyebar serta viskositasnya akan meningkat (Martin et

al., 1993).

d. Thickeners dan Film Farmer (Pengental dan Pembentuk Film)

Fase air akan mengental dengan penambahan agen pengental sehingga

memberikan viskositas yang sesuai untuk menjaga komposisi agar dapat

kontak dengan kulit dalam jangka waktu yang lama. Setil alkohol selain

berfungsi sebagai stabilizer dan pengental sehingga sediaan dapat menyebar

dengan pas, memberi efek lebih halus dan daya lekat yang bertahan lama pada

kulit. Contohnya : setil alkohol, vegum, karbopol, tragakan, gliseril

monostearat, dan gum,. Setil alkohol merupakan pengental yang banyak

digunakan karena dapat bertindak sebagai emulsifier dan emolien. Konsentrasi

pengental tergantung pada jenis pengental yang dipilih dan viskositas yang

diinginkan. Konsentrasi setil alkohol, sebagai pengental yang disukai 0,5-10%

(Kaiser et al., 2002).

27

e. Emulsifier (Zat Pembentuk Emulsi)

Emulsifier merupakan zat pembentuk dan satbilisator pencampuran antara 2

fase cairan jenis air dalam minyak atau minyak dalam air. Mekanisme

emulsifier yaitu menurunkan tegangan permukaan antara dua fase cairan

sehingga dapat bersatu. Contohnya : asam stearate, BKC, setil alkohol tween,

sapan, dan trietanolamin, (Lachman, 194l).

f. Air

Pembentuk komponen utama dalam losion dengan persentase terbesar adalah

air. Umumnya air berfungsi sebagai bahan pelarut namun, dalam emulsi tipe

air dalam minyak memiliki peran penting serta sangat efektif sebagai emolien

(Wilkinson et al., 1962; Barnett, 1962).

g. Pengawet

Bahan pengawet digunakan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme

dan melindungi body lotion dari kontaminasi sehingga menghasilkan produk

tanpa cacat. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan

bahwa golongan ester paraben (metil, etil, propil dan butyl paraben) sebagai

bahan pengawet yang paling umum dan sering digunakan (Steinberg, 2006).

Nipagin merupakan bahan pengawet yang paling banyak digunakan dalam

produk kosmetik. Keuntungan nipagin adalah bersifat spektrum luas terhadap

bakteri gram positif dan gram negative, jamur, toksisitas rendah, stabil dalam

rentang pH yang luas, mudah terdegradasi oleh lingkungan dan lebih mudah

digunakan dalam berbagai jenis produk (Mandasari, 2016). Kombinasi nipagin

dan nipasol berfungsi untuk memperpanjang umur simpan dari sediaan,

penggunaan kombinasi nipagin dan nipasol tersebut karena dapat

meningkatkan efeknya terhadap bakteri dan jamur (Harmely, 2014).

h. Antioksidan

Antioksidan merupakan preservatif yang banyak digunakan dalam kosmetik

untuk mencegah terjadinya ketengikan dan oksidasi yang dapat mengubah

warna dan bentuk kosmetik (Purwaningsih et al., 2014). Antioksidan yang

banyak di gunakan adalah BHT dan BHA. Penggunaan BHT dapat

meningkatkan stabilitas minyak (Bera et al., 2006). BHA yang bertindak

28

sebagai antioksidan adalah cincin aromatis terkonjugasinya yang dapat

bertindak sebagai stabilisator untuk radikal bebas, sehingga reaksi radikal

bebas selanjutnya dapat dihindari (Madhavi et al., 1996).

2.6.3. Evaluasi Fisik – Kimia Sediaan Losion

Tujuan dilakukannya evalusi adalah untuk mencari formulasi terbaik yang,

serta menghasilkan sediaan yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan, dan

kemudahan dalam penggunaannya. Evaluasi sediaan losion meliputi uji

karakteristik fisik yaitu organoleptis, homogenitas, tipe emulsi, daya sebar, dan

viskositas, uji karakteristik kimia yaitu pengukuran pH sediaan dan uji stabilitas

sediaan serta uji aktifitas repelan (Amelia dan Novira, 2015).

a. Organoleptis

Pengujian organoleptis adalah pengujian yang dilakukan berdasarkan

pengamatan subyektif pada proses pengindraan (Stephanie, 2015). Uji

organoleptis dilakukan dan secara visual terhadap sediaan losion, untuk

mengetahui penampilan fisik losion meliputi warna sediaan, bau dari sediaan dan

konsistensi sediaan losion (Febriana, 2015; Sri Mulyani et al., 2014).

b. Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mngetahui daya homogenitas dari

sediaan losion. Menurut Depkes RI, sebagaimana dikutip oleh Agustin et al.

(2013), krim atau lotion yang baik memiliki susunan yang homogen dan tidak

terlihat adanya bintik-bintik atau butiran (Supartono, 2014).

c. Tipe emulsi

Losion yang dibuat perlu dibuktikan tipe emulsinya, salah satunya dengan

metode pewarnaan. Metode pewarnaan merupakan metode yang cukup mudah

dalam pelaksanaan dan pengamatannya (Sri Mulyani et al., 2014).

Untuk mengetahui tipe emulsi pada suatu sediaan dapat dilakukan dengan

4 cara, yaitu:

1. Metode pengenceran fase

Umunya dilakukan dengan menambahkan air kedalam sediaan. Jika sediaan

dapat di ecerkan dengan air maka sediaan memiliki tipe emulsi minyak dalam

air (Anief, 1999).

29

2. Metode pewarnaan

Jenis emulsi dapat diketahui dengan menambahkan pewarna pada sediaan.

Pewarna yang larut dalam air yaitu metilen blue dan Sudan III yang

merupakan pewarna larut dalam minyak. Pengamatan metode pewarnaan

dapat dilakukan secara visual makroskopik dan miksroskopik. Jika sediaan di

tambahkan sudan III yang tampak adalah bintik-bintik merah yang tidak

menyebar secara merata, maka tipe emulsi dari sediaan adalah minyak dalam

air, begitu pula sebaliknya.

3. Metode konduktivitas listrik

Air merupakan penghantar listrik yang baik karena adanya zat-zat ionic

sehingga bila sediaan dapat menghantarkan aliran listrik maka tipe emulsi

sediaan adalah minyak dalam air (fase luarnya adalah air).

4. Metode fluoresensi

Berdasarkan karakteristik minyak yang dapat berfluoresensi bila diletakan di

bawah sinar UV. Bila sediaan di letakkan di bawah sinar UV menghasilkan

flouresensi seutuhnya maka tipe emulsinya adalah air dalam minyak dan jika

menunjukkan pola titik-titik, maka tipe emulsinya dalam minyak dalam air

(Lachman et al., 1994).

d. Daya sebar

Uji daya sebar dalam losion dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

seberapa mudah sediaan untuk menyebar pada kulit. Pengujian ini berkaitan

dengan daya distribusi bahan aktif dalam sediaan. Sediaan akan lebih disukai

apabila mudah menyebar sehingga penggunaan pada kulit akan semakin mudah

(Mutalikah, 2015). Permukaan penyebaran yang dihasilkan dengan menaiknya

beban ditujukan untuk menggambarkan suatu karakterisitik daya sebar. Dimana

luas permukaan yang dihasilkan berbanding lurus dengan kenaikan beban yang

ditambahkan. Semakin besar beban yang ditambahkan semakin meningkat daya

sebar losion (Sri Rahayu, 2016). Semakin besar luas penyebarannya, semakin

mudah losion menyebar merata diatas permukaan kulit (Febriana 2015).

e. Viskositas

Uji viskositas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tahanan dari

suatu cairan atau sediaan untuk mengalir. Viskositas berkaitan dengan kemudahan

30

pengolesan, semakin kecil viskositas losion semakin mudah losion dioleskan pada

permukaan kulit. Hal ini berhubungan juga dengan luas penyebaran losion, pada

uji daya sebar losion yang memiliki viskositas besar luas penyebarannya akan

semakin kecil (Febriana, 2015). Nilai kisaran viskositas yang disyaratkan oleh

SNI 16-4399-1996 yaitu berada dalam kisaran nilai viskositas 2000-50000 Cp (Sri

Rahayu, 2016).

Viskositas yang cukup tinggi dari suatu sediaan farmasi mempengaruhi

penerimaan pasien karena sediaan yang cukup kental memudahkan penuangan

dari wadah, namun viskositas yang terlalu besar pun akan menyebabkan sediaan

sukar didispersikan kembali dan sulit untuk dituang (Kurniawan, 2016).

f. Nilai pH

Pengukuran derajat keasaman pada sediaan losion repellent bertujuan

untuk menghindari terjadinya iritasi pada kulit pada saat pemakaian (Yuniarsih et

al. 2010). Nilai pH yang rendah atau asam pada sediaan dapat mengiritasi kulit,

dan sebaliknya jika pH sediaan terlalu tinggi akan mengakibatkan kulit menjadi

kering saat penggunaan. Syarat mutu pH standar sediaan losion menurut SNI 16-

4399-1996 yaitu berkisar antara 4,0-8,0.

Uji pH atau derajat keasaman merupakan salah satu parameter penting

untuk menentukan suatu sediaan stabil atau tidak dalam penyimpanan. Menurut

Budiman (2008) pH merupakan hasil dari pengukuran aktivitas hidrogen dalam

lingkungan air, perubahan pH yang cenderung mengarah ke asam kemungkinan

karena adanya reaksi kimia (Febriana, 2015).

2.6.4. Uji Stabilitas Sediaan Losion

Uji stabilitas dilakukan untuk melihat apakah losion stabil dalam

penyimpanan atau tidak (Febriana, 2015). Stabilitas sediaan losion dapat dilihat

dalam penyimpanan selama periode tertentu dan penggunaannya dengan

karakteristik fisik dan kimianya yang sama seperti saat sediaan losion itu di buat

(Djajadisastra, 2004).

Stabilitas karakteristik fisik sediaan ditunjukkan terdapat perubahan bau

sediaan, perubahan warna sediaan menjadi lebih pucat, konsistensi sediaan

berubah, perubahan bentuk kristal sehinnga sediaan menjadi tidak stabil, serta

31

rusaknya emulgator yang meyebabkan terjadi pemisahan fase (minyak dan air),

pengendapan suspensi atau caking. Stabilitas karakteristik kimia sediaan ditandai

dengan penurunan konsentrasi bahan utama atau zat aktif yang diakibatkan oleh

reaksi atau interaksi antara zat kimia bahan penyusun losion, eksipien mengalami

kerusakan struktur kimia karena hidrolisis dan reaksi sejenis, serta terjadi

pembentukan senyawa lain (Djajadisastra, 2004).

Uji stabilitas emulsi merupakan uji dipercepat sehingga dapat memberikan

informasi atau gambaran suatu produk yang diinginkan dalam waktu singkat.

Adapun caranya adalah perancangan penyimpanan produk pada kondisi yang

dapat mempercepat terjadinya perubahan dari kondisi lingkungan normal menjadi

ekstrim (Laverius, 2011). Menurut Djajadisastra (2004) pengujian stabilitas

kelayakan suatu produk antara lain:

Elevated temperature merupakan uji indikator stabilitas yang perlu dilakukan

akibat dari selama proses pendistribusian baik impor ataupun ekspor dengan

iklim dari berbagai negara yang berbeda-beda atau selama penyimpanan

sediaan yang tidak dapat diprediksi akan di letakkan pada suatu tempat dengan

suhu dan kelembapannya yang tinggi. Namun, penyimpanan suhu tinggi dapat

memberikan manfaat yaitu suatu sediaan yang stabil pada penyimpanan suhu

tinggi (70-80° C) tidak terjadi perubahan kimiawi namun tidak harus

perubahan secara fisik dengan demikian dapat dipastikan akan sangat stabil

pada suhu normal (Cannell, 1985).

Elevated humidities merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui

kelayakan kemasan produk yang dilakukan dengan cara mengukur sifat wadah

sebagai penghalang atau pelindung produk. Pengujian ini dilakukan untuk

mempercepat gambaran untuk mengetahui perubahan pada produk selama

proses penyimpanan dari kondisi normal menjadi kondisi lingkungan ekstrim.

Sutau dikatakan memberikan perlindungan tidak memadai apabila selama

proses pendistribusian atau penyimpanan terpengaruh oleh paparan

kelembaban atmosfer, terjadi perubahan dengan pemaparan suhu tinggi,

masuknya air uap sehingga terjadi kelembaban tinggi, kehilangan air atau

konstituen lainnya yang mudah menguap (Cannell, 1985).

Cycling test termasuk freeze-thaw test merupakan uji yang dilakukan untuk

32

mengetahui ada atau tidak kristal yang dapat terbentuk akibat siklus perubahan

suhu dan kelembapan secara berkala. Pengujian stabilitas emulsi yang paling

umum dan banyak digunakan adalah cycling test (Puig et al., 2010).

Pemaparan terhadap cahaya merupakan pengujian produk bila berada dalam

keadaan di pasar. Salah satu faktor yang menyebabkan perubahan produk

adalah cahaya, seihingga produk yang berada dipasaran harus selalu diuji oleh

paparan terhadap cahaya (Cannell, 1985).

Tes mekanis yaitu Shaking test dan Centrifugal test meruapakan uji yang

dilakukan untuk mengatahui nilai stabilitas emulsi mengalami kerusakan

(pecahnya emulsi) sehingga terjadi pemisahan antar fase minyak dan air

(Cannell, 1985).

2.7. Monografi Bahan Tambahan

1. VCO (Virgin Coconut Oils)

Salah satu bahan penting pembentuk emulsi untuk sediaan emulsi kosmetik

perawatan tubuh adalah fase minyak. Menurut Hasibuan (2011), VCO merupakan

pelembab kulit alami karena mampu mencegah kerusakan jaringan dan

memberikan perlindungan terhadap kulit tersebut. Susunan molekular dari VCO

memberikan tekstur lembut dan halus pada kulit. Oleh karena itu, minyak kelapa

dapat menjadi losion (Fife, 2009).

Minyak kelapa murni yang dalam bahasa inggrisnya yaitu Virgin Coconut

Oils (VCO) bila digunakan secara topikal, dapat berfungsi sebagai pelindung

pada kulit dari radikal bebas, melembabkan kulit, memperbaiki sel kulit yang

terbakar, dan mencegah infeksi (Silalahi dan Chemayanti, 2015). VCO

mengandung senyawa-senyawa berkhasiat tinggi yang dapa digunakan sebagai

antioksidan atau agent anti penuaan dini sehingga vitalitas tubuh tetap tejaga yaitu

tokoferol dan betakaroten (Setiaji dan Prayugo, 2006). Selain itu pada sediaan

repelan topikal menurut penelitian yang dilakukan oleh Siriporn Phasomkusolsil

et al. (2011) didapatkan hasil bahwa minyak kelapa dapat berfungsi sebagai zat

fiksatif karena adanya kandungan asam lemak jenuh dan emulsifier yang dapat

mengikat wangi repelan sehingga minyak atsiri yang terkandung tidak mudah

menguap (Maia and Moore, 2011).

33

Dalam pengolahan VCO tidak diperkenankan untuk menggunakan suhu

tinggi karena dapat merusak kandungan senyawa-senyawa yang penting seperti

vitamin E dan serta enzim-enzim, sehingga cukup dilakukan pemanasan dalam

suhu rendah untuk mempertahankan senyawa-senyawa penting tersebut.

Umumnya, karakteristik fisik VCO yaitu berwarna bening, berbau harum khas

minyak kelapa, mengandung rendah kadar air, rendah kadar asam lemak bebas,

dan daya simpannya lebih lama, bisa lebih dari 12 bulan (Rindengan dan

Novarianto, 2004; Syah, 2005; SNI, 2008; Nurani,2013).

Pemerian VCO yaitu tidak berwarna, berbau sedikit asam dan caramel serta

kristal berbentuk seperti jarum. Pada suhu 20⁰ C berat jenis VCO adalah 0,883,

tidak menguap pada suhu 21⁰ C, titik lebur 20-25⁰ C serta titik didih 225⁰ C.VCO

tidak larut dalam air, larut dalam alkohol (1:1), pH VCO tidak terukur, karena

tidak larut dalam air namun VCO termasuk senyawa bersifat asam sehingga dapat

dipastikan nilai pH berada di bawah 7 (Darmoyuwono, 2006).

2. Setil Alkohol (Rowe et al., 2009)

Sinonim n-heksadesil alkohol, 1-heksadekanol, palmitil alkohol, ethol dan

lain-lain. Rumus molekul C16H34O (BM 242,4) dengan titik lebur 45–52⁰C.

Pemerian berwarna putih, serpihan granul licin, dan tidak berbau. Kelatutan setil

alkohol dalam air tidak larut, namun larut dalam etanol dan eter, serta

kelarutannya akan bertambah seiring naiknya suhu. Dalam farmasetik dan

kosmetik setil alkohol dikompoisikan dalam bentuk sediaan losion, salep, emulsi,

krim, sediaan supositoria, dan sediaan padat lepas lambat. Setil alkohol yang

diformulasikan dalam sediaan krim dan salep digunakan sebagai penambah

kekentalan dengan jalan menyerap air sehingga meningkatkan tekstur sediaan,

bahan pengemulsi, dan pelembut (emollient). Dalam emulsi minyak dalam air,

setil alkohol dilaporkan meningkatkan stabilitas dengan cara menggabungkan zat

pengemulsi yang larut dalam air. Rentang penggunaan sebagai emollient 2-5%.

Gambar 2. 10 Struktur Kimia Setil Alkohol (Rowe et al., 2009).

34

3. Asam Stearat (Rowe et al., 2009)

Sinonim Acidum stearicum, Acid cetylacetic Edenor; Emersol dan lain-

lain. Rumus kimia C18H36O2 (berat molekul 284,47) dengan titik lebur 69–70˚C.

Pemerian kristal padat berwarna putih atau putih sedikit kekuningan, sedikit

mengkilap, sedikit berbau, dan berasa lemak. Asam stearat larut dalam benzena,

kloroform, karbon tetraklorida, eter, larut alam etanol (95%), propilen glikol,

heksana, dan praktis tidak larut dalam air.

Asam stearat dalam formulasi sediaan topikal, digunakan sebagai

pengemulsi dan agent pelarut. Dalam pembentukan krim asam stearat digunakan

sebagai emulgator dengan cara mencampurnya atau menetralkannya dengan alkali

atau trietanolamin, asam sterat sebanyak 5-15 kali dari berat cairan, akan

membentuk basis krim. Rentang penggunaan sebagai emulsifier 1-20%.

Gambar 2 11. Struktur Kimia Asam Stearat (Rowe et al., 2009).

4. Triethanolamine (Rowe et al., 2009)

Sinonim TEA, Tealan, triethylolamine, trolaminum. Rumus kimia

C6H15NO3 (berat molekul 149,19) dengan pH 10,5 dan titik lebur 20 – 21˚C.

Pemerian jernih, tidak berwarna hingga kuning pucat, cairan kental,bau lemah

mirip amoniak. TEA dapat terlarut air, alkohol, larut dalam gliserin.

Triethanolamine yang banyak digunakan dalam formulasi farmasi sediaan topikal,

khususnya dalam pembentukan emulsi. Kegunaan lain sebagai buffer, humektan,

dan polimer.

Gambar 2 12. Struktur Kimia Triethanolamine (Rowe et al., 2009).

Ketika TEA dicampur dalam proporsi molar yang sama dengan asam

lemak, contohnya asam oleat atau asam stearat, TEA akan membentuk sabun

anionic dengan pH berkisar 8, sehingga dapat digunakan sebagai agen pengemulsi

35

untuk menghasilkan krim yang halus, dan emulsi minyak dalam air yang stabil.

Konsentrasi untuk menghasilkan emulsifikasi adalah 2-4% dari TEA dan 2-5 kali

dari asam lemak.

5. Nipasol (Rowe et al., 2009)

Sinonim Propylparaben, Propagin, dan Sorbitol P. Rumus kimia C10H12O3

(berat molekul 180,20). Pemerian kristal putih, tidak berbau, tidak berasa. Nipasol

larut dalam aseton, eter, 1,1 bagian etanol, 5,6 bagian etanol (50%), 250

bagian gliserin, 3330 bagian mineral oil, 70 bagian minyak kacang, 3,9 bagian

propilenglikol, 110 bagian propilenglikol (50%), 4350 bagian air (15⁰C), 2500

bagian air, 225 bagian air (80⁰ C).

Propylparaben merupakan pengawet yang banyak digunakan sebagai

antimikroba pada produk kosmetik, makanan, serta pada formulasi sediaan

farmasi. Pengunaannya secara tunggal atau dikombinasikan dengan golongan

ester paraben, atau dengan agen antimikroba lainnya. Nipasol adalah salah satu

pengawet yang paling sering digunakan dalam kosmetik. Paraben memiliki

rentang pH dan spektrum yang luas dari aktivitas antimikroba. Rentang 0,01–

0,6% (sebagai pengawet sediaan topikal).

Gambar 2.13 Struktur Kimia Nipasol (Rowe et al., 2009).

6. Nipagin (Rowe et al., 2009)

Sinonim Methylparaben, Methylis parahydroxybenzoas, dan Sorbol M.

Rumus kimia C8H8O3 (berat molekul 152,15). Pemerian serbuk kristal putih atau

hampir tidak berwarna, memiliki rasa yang sedikit membakar, dan tidak berbau

atau hampir tidak berbau. Nipagin pada suhu 25⁰ C larut dalam 2 bagian etanol, 3

bagian etanol (95%), 6 bagian etanol (50%), 200 bagian etanol (10%), 10 bagian

eter, 60 bagian gliserin, 2 bagian metanol, praktis tidak larut dalam minyak

mineral, larut dalam 200 bagian minyak kacang, 5 bagian propilan glikol, 400

bagian air (25⁰C) dan 30 bagian air (80⁰C).

36

Metil paraben meruapakan pengawet yang banyak digunakan sebagai

antimikroba pada produk kosmetik, makanan, serta formulasi sediaan farmasi.

Dapat digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan golongan paraben

lainnya atau antimikroba lainnya. Dalam kosmetik, methylparaben adalah

pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Paraben memiliki rentang

pH dan spektrum yang luas dari aktivitas antimikroba, meskipun penggunaannya

yang lebih efektif terhadap ragi dan jamur. Rentang 0,02–0,3% (sebagai pengawet

sediaan topikal).

Gambar 2.14 Struktur Kimia Nipagin (Rowe et al., 2009).

7. Gliserin (Rowe et al., 2009)

Sinonim glycerol, glycerine, glycerolum, Pricerine, glycerol. Rumus kimia

C3H8O3 (berat molekul 92.09) dengan titik lebur 17,8˚C. Pemerian tidak berwarna

dan berbau, cairan kental, higroskopis, berasa manis kira-kira 0,6 kali semanis

sukrosa. Kelarutan agak larut dalam aseton, larut dalam etanol 95% 1:500 dengan

eter, 1:11 dengan etil asetat, larut dalam air, larut dalam metanol, praktis tidak

larut dalam benzen, klorofom, dan minyak.

Gambar 2.15 Struktur Kimia Gliserin (Rowe et al., 2009).

Gliserin digunakan dalam berbagai formulasi farmasi termasuk oral, otic,

ophthalmic, topikal, dan parenteral. Pada formulasi sediaan farmasi topikal dan

kosmetik, gliserin digunakan terutama untuk humektan dan emollient. Dalam

sediaan krim dan emulsi, gliserin umunya digunakan sebagai pelarut atau

cosolvent. Rentang penggunaan sebagai humektan dengan konsentrasi ≤30%,

preservative < 20% & emollient ≤ 30%. Gliserin bersifat higroskopis dan tidak

37

stabil pada suhu lembab. Penyimpanannya harus dalam wadah tertutup rapat, di

tempat yang sejuk dan kering.

8. BHA (Rowe et al., 2009).

Sinonim Butylated Hydroxyanisole; tert-butyl-4-methoxyphenol; Nipanox

BHA, Tenox BHA. Rumus kimia C11H16O2 (BM 180,25) dengan titik lebur 47˚C.

Pemerian berwarna putih atau hampir putih, dapat berupa bubuk kristal atau lilin

berwarna putih kekuningan yang solid dengan karakteristik bau aromatik yang

samar. Kelarutan praktis tidak larut air, larut dalam metanol, bebas larut dalam ≥

50% etanol encer, propilen glikol, kloroform, eter, heksan, minyak biji kapas,

minyak kacang, minyak kedelai, gliseril monooleat, dan solusio dari alkali

hidroksida.

BHA merupakan antioksidan banyak digunakan dalam formulasi produk

kosmetik, makanan, serta obat-obatan. BHA berfungsi untuk menunda atau

mencegah ketengikan akibat dari oksidatif lemak dan minyak. Penggunaan BHA

antioksidan sering dikombinasi dengan BHT. Rentang penggunaan dalam minyak

dan lemak 0,02%, dalam formulasi topikal 0,005-0,02%. Paparan cahaya

menyebabkan perubahan warna dan menghilangkan aktivitasnya.

Penyimpanannya harus dalam wadah tertutup rapat yang terlindung dari cahaya,

dan di tempat yang kering dan sejuk.

Gambar 2.16 Struktur Kimia BHA (Rowe et al., 2009).

9. BHT (Rowe et al., 2009).

Sinonim agidol; butylhydroxytoluenum; dalpac; dibutylated

hydroxytoluene; Nipanox BHT; Tenox BHT. Rumus Kimia C15H24O (BM 220.35)

dengan titik lebur 70˚C. Pemerian kristal padat atau bubuk putih atau kuning

pucat, bau samar karakteristik fenolik. BHT praktis tidak larut dalam air, propilen

glikol, gliserin, solusio hidroksida alkali, dan larut asam mineral encer. Mudah

38

larut dalam benzena, etanol (95%), eter, aseton, metanol, Toluen, fixed oil, dan

minyak mineral. Lebih larut dari BHA dalam minyak makanan dan lemak.

Butylated hydroxytoluene (BHT) merupakan antioksidan yang banyak

digunakan pada produk kosmetik, makanan, serta obat-obatan. Antioksidan

digunakan untuk memperlambat atau mencegah ketengikan akibat dari lemak dan

minyak yang teroksidatif serta mencegah hilangnya zat bermanfaat seperti vitamin

yang terlarut dalam minyak. Rentang penggunaan dalam minyak atsiri dan

flavoring agents 0,02-0,5%, dalam lemak dan minyak 0,02 & formulasi topikal

0,0075-0,1%. Paparan cahaya, kelembaban, dan panas merupakan penyebab

perubahan warna dan penurunan aktivitas. Penyimpanannya harus dalam wadah

tertutup rapat, terlindung dari sinar matahari ataupun cahaya, serta di tempat yang

kering dan sejuk.

Gambar 2.17 Struktur Kimia BHT (Rowe et al., 2009).

10. Na-EDTA (Rowe et al., 2009).

Sinonim dinatrii edetas, disodium EDTA, disodium. Rumus kimia

C10H18N2Na2O10 (berat molekul 372,2) dengan pH 4,3 – 4,7 (1% b/v dalam

aquadest bebas CO2). Pemerian kristal atau bubuk putih, tidak berbau, dan rasa

sedikit asam. Praktis tidak larut dalam kloroform dan eter; sedikit larut dalam

etanol (95%); larut 1 bagian dalam 11 bagian air. Na-EDTA digunakan sebagai

chelating agent di berbagai sediaan farmasi, termasuk obat kumur, tetes mata

persiapan, dan persiapan topikal, biasanya pada konsentrasi antara 0,005 dan 0,1%

b/v. Na-EDTA berfungsi sebagai asam lemah, menggusur karbon dioksida dari

karbonat dan bereaksi dengan logam untuk membentuk hidrogen. Rentang

penggunaan dalam minyak atsiri dan flavoring agents 0,02-0,5%, dalam lemak

dan minyak 0,02 & formulasi topikal 0,0075-0,1%. Na-EDTA bersifat

higroskopis dan tidak stabil pada suhu lembab. Harus disimpan dalam wadah

39

tertutup rapat, di tempat yang sejuk dan kering. Inkompatibiltas oksidator kuat,

basa kuat, ion logam, dan logam campuran

Gambar 2.18 Struktur Kimia Na-EDTA (Rowe et al., 2009).

11. Aquadest (Ansel, 1989).

Aquadest diperoleh dengan cara penyulingan sehingga air yang dihasilkan

tidak mengandung pengotor. Aquades merupakan air murni yang umumnya

digunakan dalam sediaan-sediaan farmasi, kecuali dalam sediaan parenteral,

karena untuk keamannya aquadest harus disterilkan terlebih dahulu (Ansel, 1989).