Upload
trankiet
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Disiplin Kerja
1. Pengertian
Menurut Hasibuan (2016), kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan
seseorang mentaati semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku. Disiplin
adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan atau tingkah laku perorangan,
kelompok, atau masyarakat, yang berupa ketaatan (obedience) terhadap peraturan
yang ditetapkan pemerintah atau etik, norma, dan kaidah yang berlaku dalam
masyarakat untuk tujuan tertentu. Disiplin dapat pula diartikan sebagai pengendalian
diri agar tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan falsafah suatu
bangsa/Negara (Sulistyanti, 2011). Definisi kerja menurut Supriyadi (2003) adalah
beban, kewajiban, sumber penghasilan, kesenangan, gengsi, aktualisasi diri, dan lain
lain. Pendapat lain dari Brown (dalam Anoraga, 1998) mengatakan bahwa kerja
merupakan penggunaan proses mental dan fisik dalam mencapai beberapa tujuan
yang produktif.
Menurut Hasibuan (2016), kedisiplinan kerja diartikan bilamana karyawan
selalu datang dan pulang tepat pada waktunya, mengerjakan semua pekerjaan dengan
baik, mematuhi semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku.
Pada hakikatnya, pendisiplinan merupakan tindakan yang dilakukan karyawan
15
dengan bersikap tanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukan, menekankan
timbulnya masalah sekecil mungkin, dan mencegah berkembangnya kesalahan yang
mungkin terjadi. Anoraga (2009) mendefinisikan disiplin kerja adalah sikap kejiwaan
seseorang atau kelompok yang senantiasa berkehendak untuk mengikuti atau
mematuhi segala peraturan yang telah ditentukan.
Menurut Rivai (2005), disiplin kerja adalah suatu alat yang digunakan para
manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk
mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran
dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma
sosial yang berlaku. Disiplin kerja dapat didefinisikan sebagai suatu sikap
menghormati, menghargai patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku,
baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak
mengelak menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang
yang diberikan kepadanya (Sastrohadiwiryo, 2002).
Pengertian lain juga mengenai disiplin kerja menurut Sinambela (2012)
menyatakan bahwa disiplin kerja adalah kemampuan kerja seseorang untuk secara
teratur, tekun terus menerus dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan berlaku dan
tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Kemudian menurut Nitisemito (dalam
Darmawan, 2013), disiplin kerja diartikan sebagai suatu sikap, tingkah laku dan
perbuatan yang sesuai peraturan dari organisasi dalam bentuk tertulis maupun tidak.
Berdasarkan perdapat-pendapat tersebut dapat disimpukan bahwa disiplin
kerja adalah bilamana karyawan selalu datang dan pulang tepat pada waktunya,
16
mengerjakan semua pekerjaan dengan baik, mematuhi semua peraturan perusahaan
dan norma-norma sosial yang berlaku. Pada hakikatnya, pendisplinan merupakan
tindakan yang dilakukan karyawan dengan sikap tanggung jawab atas pekerjaan yang
dilakukan, menekankan timbulnya masalah sekecil mungkin, dan mencegah
berkembangnya kesalahan yang mungkin terjadi.
2. Aspek-aspek Disiplin Kerja
Ukuran disiplin kerja bagi karyawan menurut Rivai (2005) memiliki beberapa
aspek yaitu:
a) Kehadiran, hal ini mencakup kedatangan karyawan untuk bekerja, ketepatan
waktu karyawan dating ketempat kerja setiap harinya, dan durasi kerja penuh
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
b) Ketaatan pada peraturan kerja, hal ini mengenai pemahaman karyawan terhadap
peraturan kerja serta mengikuti pedoman kerja yang ditetapkan oleh perusahaan.
c) Ketaatan pada standar kerja, hal ini dapat dilihat melalui besarnya tanggung
jawab karyawan yang diamanahkan kepadanya, dan karyawan yang bekerja
sesuai dengan fungsi serta tugasnya.
d) Tingkat kewaspadaan tinggi, karyawan yang memiliki tingkat kewaspadaan tinggi
akan selalu berhati-hati, penuh perhitungan dan ketelitian dalam bekerja, serta
selalu menggunakan sesuatu secara efektif dan efisien.
17
e) Bekerja etis, yaitu menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dalam bekerja,
kesopanan dan kejujuran karyawan serta saling menghargai antar sesame
karyawan
Indikator disiplin kerja karyawan menurut Dharma (2003) adalah:
a. Kehadiran karyawan setiap hari: karyawan wajib hadir di perusahaannya sebelum
jam kerja, dan pada biasanya digunakan saran kartu kehadiran pada mesin absensi.
b. Ketepatan jam kerja: penetapan hari kerja dan jam kerja diatur atau ditentukan
oleh perusahaan. Karyawan diwajibkan untuk mengikuti aturan jam kerja, tidak
melakukan pelanggaran jam isitirahat dan jadwal kerja lain, keterlambatan masuk
kerja, dan wajib mengikuti aturan jam kerja per hari.
c. Mengenakan pakaian kerja dan tanda pengenal: seluruh karyawan wajib memakai
pakaian yang rapi dan sopan, dan mengenakan tanda pengenal selama
menjalankan tugas kedinasan. Bagi sebagian besar perusahaan biasanya
menyediakan pakaian seragam yang sama untuk semua karyawannya sebagai
bentuk simbol dari kebersamaan dan keakraban di sebuah perusahaan.
d. Ketaatan karyawan terhadap peraturan: adakalanya karyawan secara terang-
terangan menunjukkan ketidakpatuhan, seperti menolak melaksanakan tugas yang
seharusnya dilakukan. Jika tingkah laku karyawan menimbulkan dampak atas
kinerjanya, para pemimpin harus siap melakukan tindakan pendisiplinan.
Beberapa aspek yang dijabarkan di atas, maka peneliti memilih untuk
menggunakan aspek-aspek menurut Rivai (2005), sebagai acuan yang digunakan
untuk mengukur disiplin kerja pada pegawai di Badan Kepegawaian Pendidikan dan
18
Pelatihan (BKPP) Kabupaten X. Rivai (2005), menyebutkan lima aspek yaitu
kehadiran, ketaatan pada peraturan kerja, ketaatan pada standar kerja, dan tingkat
kewaspadaan tinggi, serta bekerja etis. Aspek dalam Rivai (2005) lebih sesuai dengan
kondisi penelitian dan sesuai dengan aturan yang berlaku di tempat penelitian.
3. Faktor yang Mempengaruhi Disiplin Kerja
Pada dasarnya kedisiplinan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut
Hasibuan (2016) yaitu:
a. Tujuan dan Kemampuan
Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup
menantang bagi kemampuan karyawan. Hal ini berarti bahwa tujuan (pekerjaan) yang
dibebankan kepada seseorang karyawan harus sesuai dengan kemampuan karyawan
bersangkutan. Tetapi jika pekerjaan itu di luar kemampuannya atau pekerjaannya itu
jauh dibawah kemampuannya, maka kesungguhan dan kedisiplinan karyawan akan
rendah. Di sini letak pentingnya asas the right man in the right place and the right
man in the right job.
b. Kepemimpinan
Dalam menentukan disiplin kerja karyawan maka pimpinan dijadikan teladan
dan panutan oleh para bawahannya. Pimpinan harus memberi contoh yang baik,
berdisiplin baik, jujur, adil, serta sesuai kata dengan perbuatan. Pimpinan jangan
mengharapkan kedisiplinan bawahannya baik, jika dia sendiri kurang berdisiplin.
Pimpinan harus menyadari bahwa perilakunya akan dicontoh dan diteladani oleh para
19
bawahannya. Hal inilah yang mengharuskan agar pimpinan mempunyai kedisiplinan
yang baik, supaya para bawahan pun berdisiplin baik.
c. Insentif (Tunjangan Dan Kesejahteraan)
Balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut memengaruhi kedisplinan karyawan,
karena akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap
perusahaan/pekerjaannya. Perusahaan harus memberikan balas jasa yang sesuai.
Kedisiplinan karyawan tidak mungkin baik apabila balas jasa yang di terima kurang
memuaskan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuannya beserta keluarganya. Karyawan
sulit untuk berdisiplin baik jika selama kebutuhan-kebutuhan primernya tidak
terpenuhi dengan baik.
d. Keadilan
Keadilan mendorong terwujudnya kedisiplinan karyawan, karena ego dan sifat
manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan sama dengan
manusia lainnya. Apabila keadilan yang dijadikan dasar kebijaksanaan dalam
pemberian balas jasa (pengakuan) atau hukuman, akan merangsang terciptanya
kedisiplinan karyawan yang baik. Pimpinan atau manajer yang cakap dalam
kepemimpinannya selalu bersikap adil terhadap semua bawahannya, karena dia
menyadari bahwa dengan keadilan yang baik akan menciptakan kedisplinan yang
baik pula.
e. Pengawasan Melekat
Pengawasan melekat harus dijadikan suatu tindakan yang nyata dalam
mewujudkan kedisplinan karyawan perusahaan, karena dengan pengawasan ini,
20
berarti atasan harus aktif dan langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah
kerja, dan prestasi bawahan. Hal ini berarti atasan harus selalu ada/hadir di tempat
kerjanya, supaya dia dapat mengawasi dan memberikan petunjuk, jika ada
bawahannya yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan pekerjaannya.Handoko
(2012) menyatakan bahwa pengawasan merupakan proses untuk menjamin bahwa
tujuan-tujuan perusahaan dan manajemen dapat tercapai.Menurut Mc. Farland dalam
Handayaningrat (1996) mengemukakan bahwa pengawasan ialah suatu proses dimana
pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh
bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan yang telah
ditentukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Saydam (2005) yang menjelaskan bahwa
adanya hubungan timbal balik antara disiplin kerja dan pengawasan yang mana
dikatakan disiplin terbentuk dari sikap keryawan dalam menciptakan rasa tanggung
jawab atas tugas yang di hadapi.Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Nurrahman (2014) yaitu pengawasan melekat berkorelasi dengan disiplin kerja
pegawai.
f. Sanksi Hukuman
Sangsi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan.
Karena dengan adanya sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan semakin
takut melanggar peraturan-peraturan perusahaan, sikap dan perilaku yang indisipliner
karyawan akan berkurang. Berat ringannya sangsi hukuman yang akan diterapkan
ikut mempengaruhi baik buruknya kedisiplinan karyawan. Sangsi hukuman harus
21
ditetapkan berdasarkan pertimbangan logis, masuk akal dan diinformasikan secara
jelas kepada semua karyawan.
g. Ketegasan
Pemimpin harus berani tegas bertindak untuk menghukum setiap karyawan
yang indispliner sesuai dengan sanksi hukuman yang telah ditetapkan. Pimpinan yang
berani bertindak tegas menerapkan hukuman bagi karyawan indisipliner akan
disegani dan diakui kepemimpinanya. Tetapi bila seorang pimpinan kurang tegas atau
tidak menghukum karyawan yang indisipliner, maka sulit baginya untuk memelihara
kedisiplinan bawahannya, bahkan sikap indispliner karyawan tersebut akan semakin
meningkat.
h. Hubungan Kemanusiaan
Hubungan kemanusiaan yang harmonis di antara sesama karyawan ikut
menciptakan kedisiplinan yang baik pada suatu perusahaan. Hubungan-hubungan itu
baik bersifat vertikal maupun horizontal yang hendaknya horizontal. Pimpinan atau
manajer harus berusaha menciptakan suasana hubungan kemanusiaan yang serasi
serta mengikat, vertikal maupun horizontal. Jika tercipta human relationship yang
serasi, maka terwujud lingkungan dan suasana kerja yang nyaman. Hal ini akan
memotivasi kedisiplinan yang baik pada perusahaan.
Menurut Saydam (2006), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tegak
tidaknya suatu disiplin kerja dalam suatu perusahaan antara lain:
22
a) Besar kecilnya pemberian kompensasi
Kompensasi (balas jasa) mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan, karena
balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap perusahaan
tempat ia bekerja. Semakin besar balas jasa yang diterima karyawan, semakin baik
kedisiplinan karyawan karena dengan balas jasa yang besar akan dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Sebaliknya jika balas jasa yang diterima karyawan kecil, maka
kedisiplinan karyawan akan rendah karena karyawan akan sulit memenuhi kebutuhan
hidupnya.
b) Ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam perusahaan
Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan karyawan,
apabila tingkah laku pimpinan baik maka disiplin karyawan pun akan baik,
sebaliknya jika tingkah laku pimpinan kurang baik maka disiplin karyawan pun akan
kurang baik.
c) Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan
Aturan sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan disiplin karyawan,
karena dengan adanya aturan, karyawan akan mengetahui aturan yang ada pada
perusahaan itu serta sanksi apa yang akan didapat bila melanggar aturan tersebut.
d) Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan
Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan akan mempengaruhi
kedisiplinan karyawan. Pimpinan harus berani dan tegas bertindak untuk menghukum
setiap karyawan yang indisipliner sesuai dengan sanksi hukuman yang telah
ditetapkan. Pimpinan yang berani bertindak tegas menerapkan hukuman bagi
23
karyawan yang indisipliner akan disegani dan diakui kepepimpinannya oleh
bawahannya, dengan demikian pimpinan tersebut akan dapat memelihara kedisiplinan
karyawan.
e) Ada tidaknya pengawasan pimpinan
Pengawasan dari pimpinan sangat diperlukan oleh karyawan dalam
meningkatkan kedisiplinan. Karena dengan pengawasan ini berarti atasan aktif dan
langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja dan prestasi kerja
bawahannya. Hal ini berarti atasan selalu hadir di tempat kerja, supaya atasan dapat
mengawasi dan memberikan petunjuk jika ada bawahannya yang mengalami
kesulitan dalam mengerjakan pekerjaannya dan juga dapat memberikan metode atau
cara yang lebih efektif dalam melakukan pekerjaan sehingga dapat mengurangi
kesalahan dan mendukung kedisiplinan dan moral kerja dari karyawan.
f) Ada tidaknya perhatian kepada pada karyawan.
Perhatian dari pimpinan sangat diperlukan karyawan dalam meningkatkan
atau mewujudkan disiplin kerja, sebab dengan perhatian, karyawan akan merasa
dihargai diri dan hasil kerjanya, dan dengan perhatian akan terwujud hubungan
kerjasama yang baik dan harmonis antara atasan dengan bawahan dalam perusahaan
yang akan mendukung terbinanya kedisiplinan karyawan yang baik.
Berdasarkan kedua faktor di atas, peneliti memilih faktor yang dipaparkan
oleh Hasibuan (2016), yaitu tujuan dan kemampuan, kepemimpinan, balas jasa,
keadilan, pengawasan melekat, sanksi hukuman, dan ketegasan, serta hubungan
kemanusiaan. Hal ini dikarenakan teori dalam Hasibuan, (2016) lebih sesuai dengan
24
variabel yang peneliti gunakan. Kemudian teori dari Hasibuan (2001) telah banyak
dijadikan sebagai acuan penelitian serta munculnya faktor mengenai pengawasan
melekat dalam wawancara kepada subjek.
B. Persepsi Pengawasan Melekat
1. Pengertian
Menurut Robbins (2010), persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses
yang ditempuh individu-individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan
indera agar memberi makna kepada lingkungan. Selanjutnya menurut Slameto (2010)
persepsi yaitu proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak
manusia, melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan
lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera pengelihat,
pendengar, peraba, perasa, dan pencium.
Menurut Rasimin (dalam Yudanto, 1999) persepsi merupakan tanggapan
terhadap suatu objek yang ditangkap melalui panca indera. Mulyana (2005),
mendefinisikan persepsi sebagai proses pemberian arti terhadap suatu kenyataan
melalui alat indera. Individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris
guna memberikan arti bagi lingkungan. Robbins (2002) menjelaskan bahwa
persepsi positif merupakan penilaian individu terhadap suatu objek atau informasi
dengan pandangan yang positif atau sesuai dengan yang diharapkan dari objek
yang dipersepsikan atau dari aturan yang ada. Sedangkan, persepsi negatif
25
merupakan persepsi individu terhadap objek atau informasi tertentu dengan
pandangan yang negatif, berlawanan dengan yang diharapkan dari objek yang
dipersepsikan atau dari aturan yang ada. Penyebab munculnya persepsi negatif
seseorang dapat muncul karena adanya ketidakpuasan individu terhadap objek
yang menjadi sumber persepsinya, adanya ketidaktahuan individu serta tidak
adanya pengalaman inidvidu terhadap objek yang dipersepsikan dan
sebaliknya, penyebab munculnya persepsi positif seseorang karena adanya
kepuasan individu terhadap objek yang menjadi sumber persepsinya, adanya
pengetahuan individu, serta adanya pengalaman individu terhadap objek yang
dipersepsikan.
Menurut Sutikno (2012), pengawasan merupakan proses pengamatan dari
pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk mengumpulkan data dalam usaha
mengetahui ketercapaian tujuan dan kesulitan apa yang ditemui dalam pelaksanaan
itu. Menurut Mc. Farland (dalam Handayaningrat, 1996) mengemukakan bahwa
pengawasan ialah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil
pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah,
tujuan, atau kebijaksanaan yang telah ditentukan.Siagian (2007) juga menambahkan
bahwa pengawasan diperlukan bukan sebagai cermin ketidakpercayaan manajer pada
bawahannya, melainkan karena manusia memang tidak sempurna dan oleh karenanya
mungkin saja membuat kesalahan.
Menurut Manulang (2010) pengawasan adalah segala usaha dan kegiatan
untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksaan tugas
26
atau kegiatan apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Handoko (2008)
menyatakan bahwa pengawasan merupakan proses untuk menjamin bahwa tujuan-
tujuan perusahaan dan manajemen dapat tercapai. Suhendra (2008) menambahkan
bahwa pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan
organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan
sesuai rencana yang telah ditetapkan.
Pengawasan melekat menurut Hasibuan (2016) yaitu atasan secara aktif dan
langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja dan prestasi kerja
bawahannya. Menurut Nawawi (dalam Nurrahman, 2014), pengawasan melekat
adalah proses pemantauan, pemeriksaan dan evaluasi atasan langsung terhadap
pekerjaan dan hasil kerja bawahannya agar dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan dari ketentuan, ketentuan, peraturan-
peraturan dan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan. Kemudian menurut
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1989 menjelaskan bahwa pengawasan melekat adalah
serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus-menerus,
dilakukan oleh setiap atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau
represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien
sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(dalam Nurrahman, 2014).
Berdasarkan uraian mengenai persepsi pengawasan melekat dapat
disimpulkan bahwa persepsi pengawasan melekat yaitu proses yang ditempuh
karyawan untuk mengorganisasikan, menginterpretasikan mengenai proses
27
pengamatan oleh atasan mengenai pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk
mengetahui kesulitan yang dihadapi dalam pelaksaan pekerjaan agar memudahkan
serta menjamin dalam tercapainya tujuan organisasi.
2. Pengukuran Persepsi Pengawasan Melekat
Sesuai dengan Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014), maka
untuk mengukur variabel pengawasan melekat dapat dilakukan melalui berbagai cara,
yaitu:
1) Sosialisasi pengawasan melekat (WASKAT)
Sosialisasi WASKAT yang bertujuan untuk memberikan pemahaman yang
tepat tentang pengertian dan cara pelaksanaan WASKAT tanpa mengurangi
pemahaman pentingnya pengawasan pimpinan kepada staf karena WASKAT
merupakan sistem pengendalian yang melekat pada seluruh kegiatan organisasi.
Sosialisasi dilakukan secara berjenjang dan bertahap kepada seluruh Pimpinan
dan Pegawai di lingkungan instansi pemerintah.
2) Persiapan dan pelaksanaan unsur pengawasan melekat
Sebelum WASKAT dilaksanakan, Pimpinan Instansi/unit kerja perlu
menyiapkan unsur WASKAT yang meliputi pengorganisasian, personil,
kebijakan, perencanaan, prosedur, pencatatan, pelaporan, supervisi dan review
intern. Yang perlu dilakukan dalam tahap penyiapan dan pelaksanaan WASKAT
ini adalah: (a) melakukan identifikasi secara lengkap dan rinci terhadap
dokumentasi masing-masing unsur WASKAT, (b) memperoleh pemahaman yang
28
cukup terhadap masing-masing unsur WASKAT, (c) membuat catatan resume
untuk menentukan dugaan titik rawan kelemahan yang membutuhkan perbaikan
atau perhatian lebih mendalam.
3) Pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat
Penilaian pegawai mengenai pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat.
Pemantauan merupakan rangkaian tindakan mengikuti pelaksanaan suatu kegiatan
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk mengetahui secara dini
kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap kebijakan maupun program yang
telah ditetapkan. Untuk menjamin keandalan WASKAT, maka perlu adanya
pemantauan WASKAT berkesinambungan yang terjadi pada saat operasi.
Pemantauan tersebut mencakup aktivitas rutin manajemen, aktivitas pengawasan,
perbandingan antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya, rekonsiliasi,
konsolidasi dan tindakan-tindakan personil lainnya yang dapat diambil dalam
menjalankan tugas mereka.
4) Evaluasi pelaksanaan pengawasan melekat
Proses evaluasi pelaksanaan WASKAT dapat menggunakan beragam teknik
evaluasi. Yang perlu diperhatikan oleh evaluator dalam melaksanakan evaluasi
adalah: (a) memahami aktivitas organisasi dan unsur WASKAT yang ada, (b)
mengetahui apakah WASKAT telah berfungsi, (c) mengetahui desain sistem
pengendalian yang berlaku, (d) mengetahui cara kerja sistem tersebut, (e)
mengkomunikasikan pelaksanaan WASKAT terhadap pihak-pihak terkait, (f)
menganalisis desain sistem yang berlaku untuk mengetahui apakah sistem
29
tersebut dapat memberikan keyakinan yang tinggi bagi pencapaian sasaran dan
tujuan organisasi, (g) Menggunakan checklist (instrumen evaluasi) WASKAT
untuk mengetahui apakah pengawasan melekat telah dilaksanakan dengan baik.
5) Tindak lanjut
Tindak lanjut dari hasil evaluasi pelaksanaan WASKAT berupa tindakan
perbaikan dan penyempurnaan sistem dan prosedur operasi, dan pendalaman titik
rawan penyimpangan melalui audit operasional atau investigasi.
Pegawai mempersepsikan pengawasan mempunyai ciri-ciri yang sesuai
dengan teori Siagian (2003) yaitu:
a) Pengawasan bersifat fact finding yang berarti bahwa pelaksanaan fungsi
pengawasan harus menemukan fakta-fakta tentang bagaimana tugas-tugas yang
dijalankan dalam organisasi.
b) Pengawasan bersifat preventive yang berarti bahwa proses pengawasan itu
dijalankan untuk mencegah timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan
penyelewengan-penyelewengan dari rencana yang telah ditentukan.
c) Pengawasan diarahkan kepada masa sekarang yang berarti bahwa pengawasan
hanya dapat ditujukan terhadap kegiatan-kegiatan yang kini sedang dilaksanakan.
d) Pengawasan hanyalah sekedar alat untuk meningkatkan efisiensi. Pengawasan
tidak boleh dipandang sebagai tujuan.
e) Karena pengawasan hanya sekedar alat administrasi dan manajemen maka
pelaksanaan pengawasan itu harus mempermudah tercapainya tujuan.
30
f) Proses pelaksanaan pengawasan harus efisiensi, jangan sampai terjadi
pengawasan malah menghambat usaha peningkatan efisiensi.
g) Pengawasan tidak dimaksudkan untuk menentukan siapa yang salah jika ada
ketidakberesan, akan tetapi untuk menemukan apa yang tidak benar.
h) Pengawasan harus bersifat membimbing agar para pelaksana meningkatkan
kemampuannya untuk melakukan tugas yang ditentukan baginya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti memilih pengukuran pengawasan melekat
yang dipaparkan oleh Nurrahman (2014) yang merujuk pada Kepmen No. 46 tahun
2004 sebagai acuan dalam penelitian ini, yang menyebutkan lima aspek untuk
mengukur pengawasan melekat yaitu Sosialisasi Pengawasan Melekat, Persiapan dan
pelaksanaan unsur pengawasan melekat, Pemantauan pelaksanaan pengawasan
melekat, Evaluasi pelaksanaan pengawasan melekat, dan Tindak lanjut. Pengukuran
persepsi pengawasan melekat meliputi penilain pegawai terhadap kegiatan sosialisasi
pengawasan melekat, persiapan dan pelaksanaan unsur pengawasan melekat,
pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat, evaluasi pelaksanaan pengawasan
melekat, dan tindak lanjut yang dilaksanakan oleh atasan. Penilaian tersebut bisa
positif atau negatif. Apabila muncul penilaian secara positif berarti pegawai
memahami dengan baik mengenai sosialisasi pengawasan melekat, persiapan dan
pelaksanaan unsur pengawasan melekat, pemantauan pelaksanaan pengawasan
melekat, evaluasi pelaksanaan pengawasan melekat, dan tindak lanjut. Kemudian
apabila pegawai menilai secara negatif yang artinya pegawai tidak memahami dengan
baik mengenai sosialisasi pengawasan melekat, persiapan dan pelaksanaan unsur
31
pengawasan melekat, pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat, evaluasi
pelaksanaan pengawasan melekat, dan tindak lanjut. Peneliti menggunakan
pengukuran ini karena banyak dijadikan acuan penelitian serta mudah dipahami.
C. Hubungan Antara Persepsi Pengawasan Melekatdengan Disiplin Kerja
Pada Pegawai di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP)
Kabupaten X
Keberhasilan suatu organisasi tidak akan terlepas dari faktor sumber daya
manusia yang memiliki andil besar dalam menentukan maju atau berkembangnya
suatu organisasi. Kemajuan suatu organisasi ditentukan pula bagaimana kualitas
SDM di dalamnya. Organisasi yang dimaksud tidak terkecuali organisasi
pemerintahan. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sama-sama
memerlukan SDM yang berkualitas dan memiliki kapabilitas dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat dan memajukan daerahnya dengan meningkatkan daya
saing daerah. Oleh karena itu SDM harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi organisasi (Hariandja, 2002).
Berkaitan dengan pengelolaan SDM tidak akan terlepas dari proses
pengawasan dalam mengelola sumber daya manusia tersebut. Hal ini dibutuhkan
untuk mempermudah tercapainya tujuan suatu organisasi. Tidak menutup
kemungkinan para bawahan memiliki persepsi tersendiri mengenai pengawasan yang
dilakukan atasan dalam organisasi. Hal ini juga akan mempengaruhi perilaku pegawai
32
dalam organisasi yang memiliki persepsi positif atau negatif terhadap pengawasan
(Sandi, 2013). Persepsi pengawasan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh
Sutikno (2012) yaitu pengawasan merupakan proses pengamatan dari pelaksanaan
seluruh kegiatan organisasi untuk mengumpulkan data dalam usaha mngetahui
ketercapaian tujuan dan kesulitan apa yang ditemui dalam pelaksanaan tersebut.
Persepsi pengawasan melekat adalah penginterpretasian mengenai proses pengamatan
atasan dari pelaksanaan kegiatan organisasi untuk mengetahui kesulitan yang
dihadapi agar memudahkan dalam mencapai tujuan. Apabila pegawai meyakini
bahwa proses pengamatan tersebut dilakukan untuk mempermudah pegawai dalam
menghadapi pekerjaan maka pegawai memiki persepsi yang positif terhadap
pengawasan. Sebaliknya, jika pegawai meyakini bahwa proses pengamatan yang
dilakukan tidak mempermudah pegawai dalam bekerja maka karyawan memiliki
persepsi yang negatif terhadap pengawasan (Olivia, 2015). Aspek-aspek yang
mengukur persepsi pengawasan melekat menurut Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam
Nurrahman, 2014), yaitu sosialisasi pengawasan melekat, persiapan dan pelaksanaan
unsur pengawasan melekat, pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat, evaluasi
pelaksanaan pengawasan melekat, dan tindak lanjut. Aspek ini akan dibahas satu
persatu dalam kaitannya dengan disiplin kerja.
Menurut Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014) aspek yang
mengukur pengawasan melekat yaitu sosialisasi pengawasan melekat. Sosialisasi
pengawasan melekat bertujuan untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang
pengertian dan cara pelaksanaan pengawasan melekat tanpa mengurangi pemahaman
33
pentingnya pengawasan pimpinan kepada staf karena pengawasan melekat
merupakan sistem pengendalian yang melekat pada seluruh kegiatan organisasi.
Duncan (dalam Harahap, 2001), mengatakan bahwa pengawasan harus dipahami sifat
dan kegunaannya, sistem pengawasan harus dapat merefleksi sifat-sifat dan
kebutuhan dari kegiatan yang harus diawasi, oleh karena itu harus ada komunikasi
dan penjelasan mengenai setiap kegiatan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Robbins
(2002), bahwa persepsi adalah penilain individu terhadap suatu objek atau informasi
dengan pandangan. Apabila penilain tersesbut bersifat negatif maka akan timbul
pandangan yang negatif. Hal ini terjadi karena adanya ketidakpuasan atau
ketidaktahuan individu terhadap objek atau informasi tersebut. Pegawai yang merasa
tidak puas atau tidak memahami tentang sosialisasi pengawasan melekat akan
mengakibatkan pegawai memiliki persepsi negatif terhadap pengawasan melekat. Jika
hal ini terjadi maka pegawai tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan karena
stress yang dialami pegawai. Menurut Sarwono (1992), penjelasan yang tidak mudah
dipahami akan mengakibatkan stress yang mengakibatkan individu tidak bisa
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Jika stress tersebut berlanjut maka akan
mengakibatkan hal lebih parah seperti keputusasaan, kebosanan, perasaan tidak
berdaya, dan penurunan prestasi sampai titik terendah. Pemimpin yang memberikan
penjelasan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti bawahannya, maka
pegawai akan melaksanakan instruksi dengan mudah (Hamzah, 2015).
Kemudian Robbins (2002), mengatakan persepsi positif merupakan penilaian
individu terhadap suatu objek atau informasi, munculnya persepsi positif karena
34
adanya kepuasan dan juga pengetahuan terhadap objek yang dipersepsikan. Pegawai
yang mendapat pengetahuan mengenai sosialisasi pengawasan melekat makan akan
menumbulkan persepsi positif pada dirinya, hal ini akan menjadikan pegawai
memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya. Sesuai dengan pendapat dari
Hasibuan (2016) pegawai yang senantiasa menjalankan tanggung jawabnya dengan
baik merupakan bagian dari bentuk kedisiplinan. Pegawai yang didisiplin akan
menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan baik, serta mentaati setiap aturan
yang berlaku (Rivai, 2005). Sebaliknya jika pegawai tidak menjalakan tugas dan
setiap kebijakan yang berlaku pada suatu organisasi maka akan mengakibatkan
menurunnya kedisiplinan kerja pada pegawai (Ferianto, 2013).
Menurut Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014) aspek yang
mengukur pengawasan melekat yaitu persiapan dan pelaksanaan unsur pengawasan
melekat. Pimpinan Instansi/unit kerja perlu menyiapkan unsur pengawasan melekat
yang meliputi pengorganisasian, personil, kebijakan, perencanaan, prosedur,
pencatatan, pelaporan, supervisi dan review intern. Menurut Kepmen No. 46 tahun
2004 jika ada suatu kegiatan yang telah disepakati untuk dilaksanakan sesuai dengan
kebijakan pimpinan tetapi kebijakan tersebut tidak tertulis, kegiatan tidak diorganisir
dengan baik, tidak ditetapkan persyaratan personil yang akan melakukan, tidak
dilakukan pencatatan atas aktivitas kegiatan dan tidak dilaporkan pelaksanaannya,
tidak jelas prosedur kerja yang harus diikuti dalam melakukan kegiatan, serta tidak
ada review atas pelaksanaan kegiatan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa hasil
pelaksanaan kegiatan tersebut jauh dari sempurna dan sulit dipertanggungjawabkan.
35
Mengenai persepsi yang dijelaskan oleh Robbins (2002), yaitu persepsi adalah
penilaian individu terhadap suatu objek atau informasi. Apabila muncul persepsi
positif karena adanya kepuasan, pengalaman dan juga pengetahuan terhadap objek
yang dipersepsikan. Pegawai yang memiliki pengetahuan dalam aspek persiapan dan
pelaksanaan pengawasan melekat maka akan memiliki persepsi yang positif.
Penelitian Wulandari (2016) menunjukkan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh
pegawai dalam bekerja secara cepat dan tepat, menguasai metode-metode pekerjaan
yang ada di kantor ditingkatkan dengan pengawasan melekat dengan cara
pimpinan/atasan harus mengawasi secara langsung pegawai dalam mengecek
laporan-laporan yang dikerjakan oleh pegawai. Pegawai yang memiliki persepsi
positif terhadap pengawasan melekat akan memahami kegiatan dan aktifitas dalam
pengawasan melekat dan menciptakan rasa tanggung jawab dalam dirinya. Sikap
tanggung jawab yang diciptakan oleh pegawai mencerminkan sikap disiplin dalam
bekerja, agar tingkat disiplin pegawai dapat tergolong tinggi maka perlu diberikan
pengawasan kerja (Sandi, 2013). Selanjutnya mengenai persepsi negatif menurut
Robbins (2002), yaitu penilain individu terhadap suatu objek atau informasi dengan
pandangan negatif, hal ini terjadi karena adanya ketidakpuasan, pegalaman atau
ketidaktahuan individu terhadap objek atau informasi tersebut. Apabila pegawai tidak
memiliki kepuasan dan pengetahuan maka akan mengakibatkan pegawai memiliki
persepsi negatif terhadap aspek persiapan dan pelaksanaan unsure pengawasan
melekat. Pegawai yang memiliki persepsi negatif akan sulit memahami mengenai
kegiatan dan aktivitas dalam pengawasan melekat, hal ini akan menyulitkan pegawai
36
dalam bekerja yang berdampak pada disiplin kerja pada pegawai akan ikut menurun
(Agustina, dkk, 2013).
Menurut Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014) aspek yang
mengukur pengawasan melekat yaitu pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat.
Pemantauan merupakan rangkaian tindakan mengikuti pelaksanaan suatu kegiatan
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk mengetahui secara dini
kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap kebijakan maupun program yang
telah ditetapkan. Pemantauan yang dijelaskan tersebut termasuk pada upaya preventif
pelaksanaan pengawasan melekat, adapun upaya preventif adalah sebuah usaha yang
dilakukan individu dalam mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan
(Oktavia, 2013). Pelaksanaan upaya preventif mampu mempengaruhi pegawai untuk
mentaati peraturan (Listyawati & Suharsono, 2012). Pegawai akan merasa didukung
oleh atasan jika adanya upaya preventif dalam organisasi (Putra, 2015). Robbins
(2002), mengatakan persepsi merupakan penilaian individu terhadap suatu objek atau
informasi. Apabila munculnya persepsi positif karena adanya kepuasan, pengalaman
dan juga pengetahuan terhadap objek yang dipersepsikan. Pegawai yang memahami
dengan baik mengenai pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat maka akan
timbul persepsi positif dalam diri pegawai serta pegawai akan merasa didukung oleh
atasan. Menurut Lee dan Ashforth (1996), kurangnya perasaan dukungan dari atasan
mampu mengakibatkan pegawai merasa emosional, kebosanan dan sinisme,
kelelahan, merasa tidak dihargai juga curiga dengan alasan yang tidak jelas
(Freudenberger & Rchelson, dalam Feri Farhati & Haryanto FR, 1996). Jika pegawai
37
merasa tidak didukung dan hubungan antara atasan dan bawahan yang terjadi kurang
baik maka akan sulit tercipta kedisiplinan pada pegawai (Hasibuan, 2016).
Mengenai persepsi negatif menurut Robbins (2002), yaitu penilain individu
terhadap suatu objek atau informasi dengan pandangan negatif, hal ini terjadi karena
adanya ketidakpuasan, pegalaman atau ketidaktahuan individu terhadap objek atau
informasi tersebut. Pegawai yang tidak memahami tentang pemantauan pelaksaan
pengawasan melekat maka akan memiliki persepsi negative, hal ini akan
mengakibatkan pegawai merasa tidak didukung. Hasibuan (2016), menjelaskan
dukungan yang diperoleh pegawai dari atasan didasari pada hubungan timbal balik
antara atasan dan bawahan, atasan harus berusaha menciptakan hubungan yang
mengikat kepada semua pegawainya karena akan memotivasi kedisiplinan pada
pegawai.
Aspek keempat mengenai evaluasi pelaksanaan pengawasan melekat merujuk
pada Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014). Pimpinan wajib
melakukan evaluasi terhadap efektivitas pengawasan melekat secara terus menerus
agar unsur pengawasan melekat dapat menjadi alat pengendali dalam mencapai
tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Crawford (2000), menjelaskan bahwa evaluasi
dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai
dalam kegiatan. Menurut Tayibnapis (2008), evaluasi hendaknya memotivasi dan
bersifat mendukung. Berdasarkan hasil penelitian Putra (2015), pegawai merasa
atasan sulit untuk membagi waktu dalam melakukan evaluasi, oleh karena itu
38
pegawai merasa atasan perlu meluangkan waktu dari sekian banyak kegiatan untuk
melakukan evaluasi. Dengan demikian pegawai akan merasa didukung.
Robbins (2002), menjelaskan persepsi merupakan penilaian individu terhadap
suatu objek atau informasi. Apabila muncul persepsi positif karena adanya kepuasan,
pengalaman dan juga pengetahuan terhadap objek yang dipersepsikan. Pegawai yang
memahami dengan baik mengenai evaluasi pengawasan melekat makan akan
memiliki persepsi positif. Pegawai yang memiliki persepsi positif maka akan
memiliki motivasi dalam bekerja dan merasa didukung oleh atasan atas kegiatan
evaluasi tersebut. Selanjutnya mengenai persepsi negative menurut Robbins (2002),
yaitu penilain individu terhadap suatu objek atau informasi dengan pandangan
negatif, hal ini terjadi karena adanya ketidakpuasan, pegalaman atau ketidaktahuan
individu terhadap objek atau informasi tersebut. Pegawai yang tidak memahami
dengan baik mengenai evaluasi pengawasan melekat maka akan menilai secara
negatif terhadap kegiatan tersebut. Pegawai tidak akan mengetahui pentingnya
kegiatan tersebut karena tidak memahami dengan baik kegiatan evaluasi pengawasan
melekat yang dilakukan oleh atasan, hal ini mampu mengakibatkan pegawai merasa
tidak dukungan. Dukungan yang rendah akan menciptakan suasana lingkungan kerja
yang kurang nyaman dan menurunkan motivasi pegawai untuk bersikap disiplin
(Hasibuan, 2016).
Aspek terakhir membahas mengenai tindak lanjut, sesuai dengan Kepmen No.
46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014), adalah hasil evaluasi pelaksanaan
pengawasan melekat berupa tindakan perbaikan dan penyempurnaan sistem dan
39
prosedur operasi, dan pendalaman titik rawan penyimpangan melalui audit
operasional atau investigasi. Menurut Hasibuan (2016), masalah harus dipecahkan
untuk menjaga jangan sampai timbul masalah lain yang lebih besar dan lebih luas
keputusan
merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam usaha
memecahkan permasalahan yang sedang dihadapai kemudian menetapkan berbagai
Berdasarkan hasil penelitian Diada (2013), pegawai merasa pemimpin yang
mengambil keputusan harus memilih keputusan yang sesuai dengan permasalahan
sehingga dapat menyelesaikan masalah serta mempertimbangkan kemampuan
pegawai yang akan menjalankan keputusan itu. Jika pemimpin tidak memperhatikan
hal ini maka mampu menimbulkan konflik dalam diri pegawai karena pegawai
menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk
melaksanakannya atau melakukan pekerjaan lebih dari kemampuannya (Handoko,
2012). Konflik yang terjadi dalam diri pegawai dikarenakan perbedaan cara pandang
serta pemahaman pegawai, mengakibatkan menurunnya sikap disiplin kerja pada
pegawai (Rahma, 2012).
Mengenai persepsi menurut Robbins (2002), yaitu penilain individu terhadap
suatu objek atau informasi. Kemudian apabila muncul persepsi negatif pada pegawai,
hal ini terjadi karena adanya ketidakpuasan, pegalaman atau ketidaktahuan individu
terhadap objek atau informasi tersebut. Jika pegawai tidak memahami dengan baik
mengenai tindak lanjut yang dilakukan oleh atasan maka pegawai memiliki persepsi
40
negatif. Persepsi negatif pada pegawai akan mengakibatkan pegawai merasa
pemimpin tidak mampu dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam organissi
yang akan mengakibatkan terjadinya konflik di dalam diri pegawai karena pegawai
menghadapi ketidakpastian dalam pekerjaannya dan tidak sesuai dengan harapan
pergawai. Konflik ini akan mengakibatkan menurunnya sikap disiplin kerja.
Selanjutnya Robbins (2002), mengatakan persepsi positif merupakan penilaian
individu terhadap suatu objek atau informasi, munculnya persepsi positif karena
adanya kepuasan, pengalaman dan juga pengetahuan terhadap objek yang
dipersepsikan. Pegawai yang memahami dengan baik mengenai tindak lanjut yang
dilakukan oleh atasan maka akan memiliki persepsi yang positif terhadap kegiatan
tindak lanjut. Jika pegawai memiliki persepsi positif maka pegawai akan merasa puas
dengan tindakan yang dilakukan atasan mengenai tindakan perbaikan dan
penyempurnaan system dan prosedur operasi, serta pendalaman titik rawan melalui
investigasi. Hal ini sesuai dengan harapan pegawai maka akan memudahkan pegawai
menjadi disiplin.
Dari uraian di atas dapat dikatakan persepsi pengawasan melekat terkait
dengan disiplin kerja pada pegawai. Menyadari akan pentingnya disiplin kerja
pegawai dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai penunjang suksesnya
suatu organisasi dalam mencapai tujuan, maka peran pengawasan atasan sangat
mempengaruhi disiplin kerja (Agustina, dkk, 2013). Robbins (2002), seorang
pegawai yang memiliki persepsi positif terhadap pengawasan melekat maka akan
memiliki pandangan yang positif terhadap pengawasan melekat, pegawai merasa puas
41
dengan adanya pengawasan melekat dan memahami pentingnya pengawasan melekat.
Adanya perasaan puas dan pemahaman tersebut akan meningkatkan disiplin kerja
pada pegawai karena pegawai akan bekerja dengan baik sesuai dengan prosedur dan
instruksi dari atasan.
Sebaliknya menurunnya disiplin pegawai yang memiliki persepsi negatif
terhadap pengawasan melekat. Faktor yang menyebabkan penyimpangan menurut
Vitak et al (2011), yaitu persepsi dan sikap. Robbins (2002), mengatakan persepsi
negatif dikarenakan oleh kurangnya pemahaman individu serta tidak adanya
pengalaman individu terhadap objek yang dipersepsikan. Tidak adanya pengalama
yang dimiliki pegawai mampu memunculkan perilaku menyimpang yang menurut
Emmel (2003) perilaku menyimpang pada pegawai berhubungan dengan performa
kerja maupun masalah hubungan/perilaku. Masalah performa kerja meliputi:
kehadiran yang buruk dan absensi, hasil kerja yang buruk atau ceroboh, dan
kegagalan untuk mengikuti aturan, seperti kesehatan dan keselamatan kerja. Masalah
hubungan kerja adalah tentang penolakan untuk taat pada perintah yang logis dan
perilaku yang merusak. Perilaku tersebut tergolong pada sikap tidak disiplin dalam
bekerja (Rivai, 2005).
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam
penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi pengawasan melekat dan
42
disiplin kerjapada pegawai di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP)
Kabupaten X. Semakin positif persepsi pengawasan melekat maka akan semakin
tinggi disiplin kerja pada pegawai di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan
(BKPP) Kabupaten X, sebaliknya semakin negatif persepsi pengawasan melekat
maka akan semakin rendah pula disiplin kerja pada pegawai di Badan Kepegawaian
Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten X.