Upload
trinhdien
View
248
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
Lerak (Sapindus rarak), Potensi Produksi dan Penyebarannya
Tanaman lerak (Sapindus rarak) merupakan tanaman yang berasal dari Asia
Tenggara dan telah lama dikenal di Pulau Jawa. Buah lerak telah dikenal lama dan
dipakai sebagai bahan pencuci pakaian atau rambut. Walaupun penggunaannya sebagai
bahan pencuci telah terdesak oleh penggunaan detergen dari bahan kimia sintetik,
senyawa aktif dalam buah lerak dapat dimanfaatkan di bidang lain. Tanaman lerak
berbentuk pohon tinggi mencapai ± 42 m dan besar dengan diameter batang ± 1 m
(Gambar 1). Daun bentuknya bundar telur sampai lanset. Perbungaan terdapat di ujung
batang warna putih kekuningan. Bentuk buah bundar seperti kelereng kalau sudah
tua/masak warnanya coklat kehitaman, permukaan buah licin/mengkilat. Bijinya bundar
dan berwarna hitam (Gambar 2). Antara buah dan biji terdapat daging buah berlendir
sedikit dan aromanya wangi (Widowati 2003 ).
Gambar 1. Pohon lerak (Sapindus rarak)
5
a b
Gambar 2. Biji lerak (a) dan hasil ekstrak metanol lerak (b)
Adapun klasifikasi tanaman lerak sebagai berikut (USDA 1985) :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Sapindales
Suku : Sapindaceae
Marga : Sapindus
Jenis : Sapindus rarak
Tanaman lerak paling sesuai pada iklim tropik dengan kelembaban tinggi,
berdrainase baik, subur dan mengandung banyak humus. Lerak tumbuh pada ketinggian
di bawah 1.500 m di atas permukaan laut, dengan pertumbuhan paling baik pada daerah
berbukit dataran rendah dengan ketinggian 0 - 450 m di atas permukaan laut, curah
hujan rata-rata 1.250 mm/tahun. Lerak termasuk dalam kelas Dicotyledone, berakar
tunggang dengan perakaran yang kompak sehingga dapat digunakan sebagai pengendali
erosi dan penahan angin. Tanaman lerak mulai berbuah pada umur 5 – 15 tahun, dan
musim berbuah pada awal musim hujan (November-Januari) yang menghasilkan buah
sebanyak 10000–15000 biji/pohon (Udarno 2009).
6
Setiap satu kg biji lerak diperkirakan berjumlah 350 biji. Biji lerak kering dapat
disimpan selama satu tahun (Lehman 2009). Beberapa daerah penghasil lerak terbesar di
Indonesia adalah Kediri, Banten, dan Madura. Setiap bulan Kediri mampu mengirim tiga
ton (hasil produksi hutan-hutan setempat) ke berbagai industri. Kediri bahkan sanggup
memasok enam ton lagi setiap bulan (Dudung 2009). Lerak atau juga dikenal sebagai
rerek (Jawa Barat) atau lamuran (Palembang) adalah tumbuhan yang dikenal karena
kegunaan bijinya yang dipakai sebagai deterjen tradisional. Tanaman lerak tersebar di
berbagai daerah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tanaman ini
belum dibudidayakan secara luas dan masih terbatas sebagai tanaman sampingan
(Widowati 2003).
Budidaya tanaman lerak dapat dilakukan secara generatif dengan biji. Buah lerak
tersusun dalam tandan dengan jumlah 8 – 12 buah, berbentuk bulat dengan ukuran 2 cm,
berwarna hijau tua dan biji berwarna hitam. Biji yang akan digunakan untuk
perbanyakan harus sudah cukup tua dan sehat. Biji disimpan di tempat teduh dan
dibasahi secara teratur sebelum disemaikan, kemudian biji disemaikan hingga menjadi
benih dan dapat dipindah ke lapangan pada umur 3 bulan (Udarno 2009). Senyawa aktif
pada buah lerak yang sampai saat ini telah diketahui adalah senyawa-senyawa dari
golongan saponin dan sesquiterpene (Wina et al. 2005a). Thalib et al. (1994)
menyatakan bahwa daging buah lerak yang diekstrak dengan heksan dan metanol
mengandung saponin sebesar 14.6%, protein, tanin, fenol dan karbohidrat terlarut.
Ekologi Mikroba Rumen dan Interaksinya
Ternak ruminansia mempunyai karakteristik tersendiri dibanding ternak lainnya,
karena kemampuannya mencerna serat dari tanaman untuk dikonversi menjadi daging
dan susu. Ternak ruminansia tidak dengan sendirinya memproduksi enzim-enzim
pencerna serat, tetapi karena dalam rumen ternak ruminansia terdapat bakteri, jamur dan
protozoa. Ternak ruminansia sebagai inang menyediakan habitat yang cocok untuk
pertumbuhan mikroorganisme tersebut, sementara mikroba mensuplai protein, vitamin
dan asam organik rantai pendek untuk ternak (Russell & Rychlik 2001).
7
Ternak ruminansia juga memfermentasi pati dan gula, dan bahan makanan non
serat tersebut dapat meningkatkan laju fermentasi dan produktivitas ternak. Namun
demikian, ketika ternak ruminansia diberi pakan rendah serat, maka mekanisme
homeostatik dari aliran digesta, pembuangan gas dan regulasi pH akan terganggu
sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan ternak. Rumen mengandung berbagai tipe
bakteri (Tabel 1) yang aktif mendegradasi komponen pakan (Russel & Rychlik 2001).
Tabel 1. Karakteristik bakteri dominan pada rumen
Spesies Substrat Produk Fermentasi
Fibrobacter succinogenes CU S,F,A Ruminococcus albus CU, HC A, F, E, H2 Ruminococcus flavefaciens CU, HC S, F, A, H2 Eubacterium ruminantium HC, DX, SU A, F, B, L Ruminobacter amylophilus ST S, F, A, E Streptococcus bovis ST, SU L, A, F, E Succinomonas amylolytica ST S, A, P Prevotella ruminocola, albensis, brevis, dan bryantii
ST, PC, XY, SU S, A, F, P
Butyrivibrio fibrisolvens ST, CU, HC, PC, SU B, F, A, H2 Selenomonas ruminantium ST, DX, SU, L, S L, A, P, B, F, H2 Megasphaera elsdenii L, SU P, A, B, Br, H2 Lachnospira multiparus PC, SU L, A, F, H2 Succinivibrio dextrinosolvens PC, DX, SU S, A, F, L Anaerovibrio lipolytica GL, SU A, S, P Peptostreptococcus anaerobius AA Br, A Clostridium aminophilum AA A, B Clostridium sticklandii AA A, Br, B, P Wollinella succinogenes OA, H2, F S Methanobrevibacter ruminantium H2, CO2, F CH4 Keterangan : CU=cellulose, HC=hemicellulose, DX=dextrins, SU=sugar, ST=starch, PC=pectin; XY=xylans, L=lactate, S=succinate, GL=glycerol, AA=amino acid, OA=organic acids, H2=Hydrogen, F=formate, CO2=carbon dioxide, A=acetate, E=ethanol, B=butyrate, L=lactate, P=propionate, Br=Branched-chain volatile fatty acids, CH4=methane (Russel & Rychlik 2001).
Populasi bakteri dalam rumen sangat tinggi (>1010 sel/gr) dan bakteri tersebut
berperan dominan dalam berbagai jalur fermentasi rumen (Russel & Wilson 1996).
Ekosistem mikroba rumen terdiri atas bakteri (1010–1011 sel/ml, yang merepresentasikan
lebih dari 50 genera), protozoa silia (104–106/ml dari 25 genera), kapang/jamur (103–105
zoospores/ml, merepresentasikan 5 genera) dan bacteriophages (108–109/ml) (Hobson &
8
Stewart 1997). Namun, jumlah sebenarnya lebih besar karena sebagian besar bakteri
tidak dapat dikultur. Karena protozoa lebih besar ukurannya dibanding bakteri, maka
biomassa protozoa hampir setengah dari biomassa total mikroba.
Mikroba rumen baik bakteri maupun protozoa sangat spesifik untuk bertahan dan
berkembang dalam rumen yang selalu anaerobik. Kenyatannya, keberadaan oksigen
sangat toksik untuk sebagian mikroba rumen. Nilai pH rumen selalu dipertahankan pada
kisaran 5.7-7.3 oleh fosfat dan bikarbonat dari saliva serta bikarbonat dari fermentasi
rumen. Suhu berada pada kisaran 36-410C. Mikroba rumen dapat secara baik
beradaptasi dengan kondisi tersebut dan kebutuhan pertumbuhan spesifiknya
merefleksikan keberadaan dan jenis nutrien yang ada dalam pakan. Populasi mikroba
rumen tetap eksis dalam kondisi yang sangat dinamis. Total populasi dapat berubah
secara dramatis dengan sejumlah faktor seperti frekuensi pemberian pakan dan jenis
pakan. Komponen senyawa sekunder seperti tannin, saponin dan mimosin disintesis
dalam tanaman untuk memproteksi tanaman tersebut dari infeksi predator mikroba dan
serangga (Kamra 2005).
Mempertahankan rumen selalu sehat dan seimbang merupakan kunci agar serat
dapat dicerna pada laju maksimal dan konsumsi pakan juga dapat dimaksimalkan.
Hijauan jarang digunakan sebagai satu-satunya sumber pakan sapi, sehingga sering
diberikan juga konsentrat yang lebih cepat difermentasi dalam rumen. Fermentasi yang
lebih aktif menghasilkan VFA yang lebih banyak dan menurunkan pH. Selain itu,
bakteri rumen dapat bekerja dengan baik apabila pH rumen selalu dipertahankan 6.8.
Jika pH turun dibawah 6 maka pencernaan serat menurun secara dramatis. Hal ini
dikarenakan enzim yang diperlukan untuk memecah serat tidak dapat berfungsi secara
efektif pada pH <6.0. Selain itu, laju pertumbuhan dan aktivitas fibrolitik menurun pada
pH rendah. Bakteri fibrolitik tidak dapat mempertahankan pH dalam selnya ketika pH
rumen rendah. Ketidakmampuan sistem pengaturan pH pada sel tersebut yang
menyebabkan bakteri tidak dapat tumbuh (Russel & Wilson 1996).
Bakteri rumen terdiri dari jenis gram positif dan gram negatif. Spesies bakteri
rumen yang termasuk dalam gram positif antara lain Lactibacillus ruminis, Lactobacillus
vitulinus, Eubacterium ruminantium, Clostridium polysaccarilyticum, Streptococcus
9
bovis dan Butyrivibrio fibrisolvens, sedangkan yang termasuk dalam gram negatif antara
lain Prevotella sp., Ruminobacter amylophilus, Fibrobacter succinogenes, Selenomonas
ruminantium, Succinimonas amylolitica dan Treponema bryantii (Hobson & Stewart
1997).
Saponin
Saponin merupakan glikosida steroid atau triterpenoid yang banyak terdapat
pada tanaman. Diberi nama saponin karena kemampuannya membentuk senyawa stabil
yaitu busa seperti sabun dalam larutan air. Saponin terdiri atas gula yang biasanya
mengandung glukosa, galaktosa, asam glukoronat, xylosa, rhamnosa atau methylpentosa
yang berikatan membentuk glikosida dengan hydrophobic aglycone (sapogenin) yang
membentuk triterpenoid (gambar 3a) atau steroid (Gambar 3b).
Gambar 3. Struktur molekul saponin: a) triterpenoid, b) steroid (Francis et al. 2002)
Aglycone mengandung satu atau lebih rantai karbon (C=C) tidak jenuh. Besarnya
kompleksitas struktur saponin berasal dari variabilitas struktur aglycone, rantai samping
dan posisi pengikatan gula pada aglycone (Francis et al. 2002). Beberapa saponin
diketahui berfungsi sebagai antimikroba, menghambat jamur dan memproteksi tanaman
dari serangan serangga. Saponin pada tanaman merupakan bagian sistem pertahanan
dan dikelompokkan sebagai phytoanticipins atau phytoprotectant. Disebut
phytoanticipins jika saponin diaktivasi oleh enzim tanaman untuk merespon adanya
kerusakan jaringan atau serangan patogen. Sedangkan phytoprotectant merupakan
saponin yang berfungsi sebagai antimikroba atau anti serangga. Selain itu, saponin juga
merupakan sumber monosakarida (Morrissey & Osbourn 1999). Saponin merupakan
deterjen alami atau surfaktan karena mengandung bagian yang bisa larut dalam air yaitu
10
bagian rantai samping karbohidrat maupun bagian larut lemak yaitu inti sel (sapogenin)
(Cheeke & Otero 2005).
Pengaruh Saponin pada Mikroba Rumen
Saponin diketahui dapat mengurangi sebagian populasi protozoa yang dikenal
dengan defaunasi parsial. Saponin yang berasal dari tanaman maupun saponin murni
berpotensi menekan pertumbuhan protozoa rumen dan dapat dijadikan agen defaunasi
(Wina et al. 2005a; Benchaar et al. 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada indikasi pengaruh toksik dari saponin pada pertumbuhan bakteri atau degradasi
protein secara in vitro (Van Nevel & Demeyer 1990). Steroidal saponin (SAP) dari
ekstrak Yucca schidigera mempunyai pengaruh yang berbeda pada beberapa spesifik
bakteri rumen. Pertumbuhan bakteri Streptococcus bovis, Prevotella bryantii dan
Ruminobacter amylophilus menurun, sedangkan pertumbuhan bakteri Selonomonas
ruminantium meningkat. Kurva pertumbuhan semua bakteri non selulolitik hampir
sama baik yang diberi SAP maupun tidak. Aktivitas pencernaan oleh tiga bakteri
selulolitik utama (Ruminococcus albus, Ruminococcus flavefaciens dan Fibrobacter
succinogenes) dihambat oleh SAP, namun demikian F. succinogenes paling tidak
sensitif terhadap SAP dan lebih efektif pada saat deglikosilasi SAP dibandingkan R.
flavefaciens dan R. albus (Wang et al. 2000).
Muetzel et al. (2003) melaporkan bahwa penambahan daun Sesbania pachyarpa
yang mengandung saponin menunjukkan adanya efek yang positif terutama pada
peningkatan pertumbuhan Ruminococcus sp. Peningkatan proporsi daun S. pachyarpa
dalam ransum memicu penurunan populasi eukarotik yang drastis. Hal ini menunjukkan
bahwa defaunasi mempunyai pengaruh yang positif. Selanjutnya, Ozutsumi et al.
(2006) menyatakan bahwa pada rumen yang mendapat perlakuan defaunasi terjadi
peningkatan jumlah bakteri P. ruminicola, R. albus, dan R. flavefaciens dibandingkan
pada rumen yang tidak mendapat perlakuan defaunasi. Sebaliknya, jumlah bakteri F.
succinogenes lebih rendah pada perlakuan defaunasi.
Goel et al. (2008b) juga melakukan investigasi tentang pengaruh ekstrak
tanaman yang mengandung saponin (daun Carduus, Sesbania dan Knautia serta biji
11
Fenugreek) pada komunitas mikroba rumen. Penambahan saponin menurunkan
protozoa sebesar 10%-39% dan saponin dari Sesbania menurunkan populasi metanogen
sebesar 78%. Populasi kapang rumen menurun 20%-60% dan populasi bakteri
Fibrobacter succinogenes meningkat 21%-45%, sementara Ruminococcus flavefaciens
meningkat 23%-40%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saponin mempunyai
aktivitas anti protozoa. Saponin dari biji Fenugreek berpotensi meningkatkan efisiensi
rumen dan dapat mengubah komposisi mikroba rumen ke arah stimulasi profilerasi
bakteri pendegradasi serat dan menghambat populasi fungi. Karnati et al. (2009)
melaporkan bahwa defaunasi secara selektif menurunkan Ruminococci dan Clostridia
tetapi cenderung meningkatkan beberapa populasi Butyrivibrio. Keberadaan protozoa
mempengaruhi baik populasi bakteri maupun archaea melalui pemangsaan selektif,
kompetisi substrat atau melalui interaksi simbiosis. Sementara itu, Mao et al. (2010)
melaporkan bahwa pemberian saponin dari teh sebesar 3 g/h yang diberikan pada domba
dapat menurunkan protozoa rumen dan menurunkan populasi beberapa bakteri
selulolitik (F. succinogenes dan R. flavefaciens).
Satu masalah utama dalam penggunaan tanaman yang mengandung saponin
adalah adanya adaptasi populasi mikroba dalam rumen terhadap saponin atau tanaman
mengandung saponin (Teferedegne 2000). Odenyo et al. (1997) melaporkan bahwa S.
sesban yang mengandung saponin yang ditambahkan secara langsung ke dalam rumen
domba fistula bersifat toksik pada protozoa, tetapi apabila S.sesban diberikan dalam
pakan akan menurunkan aktivitas antiprotozoa. Hal ini menunjukkan bahwa proses
mengunyah menyebabkan detoksifikasi, yang diduga oleh amilase saliva, atau adanya
partikel berukuran besar yang memproteksi saponin dari degradasi sehingga aktivitas
biologisnya berkurang. Eugene et al. (2004) mengamati pengaruh defaunasi total pada
domba yang diberi pakan campuran konsentrat dan hijauan dengan rasio protein : energi
(P/E) berbeda (80, 100, 120 dan 140) terhadap populasi mikroba rumen. Populasi
bakteri selulolitik utama (R. albus, R. flavefasciens dan F. succinogenes) tidak
dipengaruhi oleh rasio protein/energi pakan dengan jumlah berkisar 3-5% dari total
bakteri. Penelitian lain (Lila et al. 2003; 2005) menunjukkan bahwa pemberian
sarsaponin sampai level 3.2 g/L dapat menurunkan populasi protozoa setelah 6 jam
12
fermentasi in vitro. Selanjutnya, pada uji in vivo dengan sapi jantan menunjukkan
bahwa pemberian sarsaponin sebesar 0.5% dan 1% dari bahan kering pakan juga dapat
menurunkan populasi protozoa. Komposisi protozoa yang diamati adalah Entodinium
sp. Dasytricha sp. dan Isotricha sp.
Pengaruh Saponin pada Fermentasi Rumen dan Produksi Ruminansia
Ahli nutrisi ternak umumnya berpendapat bahwa saponin merupakan komponen
yang harus dihilangkan. Pada ruminansia dan hewan budidaya lainnya, konsumsi
saponin mempunyai pengaruh yang signifikan pada semua fase metabolisme mulai dari
pencernaan pakan sampai ekskresi fesesnya (Cheeke 2000). Penghambatan yang
persisten terhadap protozoa dapat mempunyai aplikasi yang lebih luas. Retensi N dapat
diperbaiki dengan defaunasi, yang telah banyak dilaporkan dalam beberapa penelitian
dimana protozoa dihilangkan baik dengan perlakuan kimia, fisik atau ternak yang
diisolasi sejak lahir sehingga bebas dari protozoa (Eugene et al. 2004).
Pengamatan umum tentang saponin adalah pengaruhnya yang khas adalah
penurunan konsentrasi NH3 dan perubahan proporsi VFA dimana saponin meningkatkan
konsentrasi propionat (Goel et al. 2008a). Lila et al. (2003; 2005) menyatakan bahwa
pemberian saponin dapat menurunkan konsentrasi NH3 serta meningkatkan produksi
VFA total dan proporsi propionat baik secara in vitro maupun in vivo pada sapi.
Suplementasi pakan dengan daun S. sesban yang tinggi kandungan saponinnya, telah
diketahui berpotensi memperbaiki aliran protein dari rumen dengan menekan aksi
protozoa yang ada tetapi bakteri rumen mampu memetabolisme senyawa antiprotozoa
(Newbold et al. 1997). Hu et al.(2005) juga melaporkan adanya penurunan konsentrasi
NH3 sebesar 27% serta peningkatan produksi propionat dengan pemberian saponin dari
teh sebesar 8 mg/200 g pakan pada fermentasi in vitro.
Efek positif saponin lebih terbukti ketika diinjeksi secara langsung melalui
rumen dibanding ditambahkan dalam pakan. Wang et al. (2000) mengamati bahwa
suplementasi dengan ekstrak Yucca dapat menguntungkan untuk ruminansia yang diberi
pakan tinggi konsentrat. Saponin Yucca juga mempunyai efek negatif langsung pada
bakteri selulolitik tetapi tidak berbahaya terhadap bakteri amilolitik. Mekanisme
13
antibakteri dari saponin masih belum jelas. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan
bahwa beberapa efek dari saponin pada domba tergatung jenis kelamin. Bosler et al.
(1997) melaporkan bahwa baik domba jantan maupun betina yang diberi pakan 40 mg
saponin Quilaja yang dicampur dalam ransum basal signifikan meningkatkan ADG
(average daily gain) dibanding kontrol tetapi pertambahan bobot badan pada betina lebih
rendah.
Benchaar et al. (2008) melakukan penelitian menggunakan sapi perah fistula
untuk mengevaluasi pengaruh saponin dari ekstrak Y. schidigera (YSE, 10% saponin, 60
g/ekor/hari) terhadap kecernaan, karakteristik fermentasi rumen, populasi protozoa dan
produksi susu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering sapi yang
diberi YSE lebih rendah dibandingkan kontrol (21.8 vs. 23.2 kg/d). Kecernaan bahan
kering, bahan organik, protein kasar, NDF (neutral detergent fiber), dan ADF (acid
detergent fiber) pada keseluruhan saluran pencernaan tidak dipengaruhi oleh perlakuan.
Suplementasi YSE tidak mempengaruhi degradasi rumen secara in situ. Konsentrasi
total VFA, pH rumen, proporsi molar VFA asetat (65.0), propionat (19.6) dan butirat
(11.2) relatif sama antar perlakuan. Konsentrasi NH3 dan populasi protozoa rumen tidak
berubah dengan penambahan YSE dalam ransum. Produksi susu, lemak susu dan
protein susu tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
suplementasi YSE pada sapi perah mempunyai pengaruh yang terbatas pada kecernaan,
karakteristik fermentasi rumen dan populasi protozoa. Hal ini dapat dikarenakan dosis
yang digunakan kurang untuk mengubah fermentasi mikroba.
Muetzel et al. (2003) melaporkan bahwa penambahan daun Sesbania pachyarpa
yang mengandung saponin dapat memicu fermentasi. Penambahan 40% S .pachyarpa
dapat meningkatkan produksi gas dan konsentrasi rRNA bakteri, namun demikian
produksi VFA hanya berubah sedikit. Abreu et al. (2004) juga melakukan penelitian
tentang penggunaan buah Sapindus saponaria (12% saponin) dan melaporkan bahwa
suplementasi S. saponaria dapat memperbaiki profil VFA dimana proporsi propionat
meningkat dan asetat turun. Hu et al. (2005) melaporkan adanya pengaruh yang sangat
kecil terhadap kecernaan bahan organik dan produksi VFA dengan penambahan saponin
dari teh secara in vitro. Sementara itu, suplementasi saponin teh sebesar 0.4 mg/ml
14
meningkatkan biomasa protein mikroba sebesar 18.4% dan 13.8% serta menurunkan
konsentrasi N-NH3 sebesar 8.3% dan 19.6% pada cairan rumen yang mendapat
perlakuan faunasi dan defaunasi. Selanjutnya, Mao et al. (2010) menyatakan pemberian
saponin dari teh pada domba sebesar 3 g/h dapat menurunkan pH rumen. Konsentrasi
VFA total meningkat, namun proporsi VFA tidak berubah antar perlakuan. Sintesis
protein mikroba juga meningkat dengan perlakuan saponin. Namun demikian,
pemberian saponin dari teh tidak mempengaruhi konsumsi pakan dan pertambahan
bobot badan harian domba.
Pemberian saponin dari Biophytum petersianum Klotzsch sampai dengan 319 ml
(setara dengan 26 mg saponin/kg BB) pada kambing menurunkan konsentrasi amonia
tetapi menurunkan konsentrasi VFA total dan proporsi butirat. Proporsi propionat
meningkat dengan pemberian saponin (Santoso et al. 2007). Namun demikian, kehati-
hatian diperlukan pada ransum yang tinggi serat. Penghambatan sejumlah bakteri yang
terlibat dalam pencernaan serat mempunyai konsekuensi yang serius pada keseluruhan
proses pencernaan. Saponin Lucerne diketahui dapat menyebabkan penurunan efisiensi
sintesis protein mikroba pada domba, karena pertumbuhan bakteri juga ditekan seperti
halnya protozoa (Lu & Jorgensen 1987). Selain itu, manfaat dari sarsaponin nampaknya
tergantung pakan, yaitu dapat meningkatkan kecernaan pada pakan silase sorghum dan
pakan berserat lainnya tetapi menurunkan kecernaan pada pakan sereal dan protein.
Penurunan efisiensi sintesis protein sebesar 36% juga terjadi pada ternak yang
mengkonsumsi ekstrak Y.schidigera (Goetsch & Owens 1985)
Lerak sebagai pakan aditif ternak telah terbukti dapat meningkatkan performa
domba. Hal ini telah dibuktikan dan dilaporkan oleh beberapa peneliti pada percobaan
berbeda di Balai Penelitian Ternak (Thalib et al. 1994; 1996; Wina et al. 2005a,b).
Thalib et al. (1996) mencekokkan ekstrak lerak setiap 3 hari sekali ke dalam rumen
domba yang diberi pakan basal jerami padi dan memperoleh peningkatan bobot hidup
harian sebesar 22%, sedangkan Wina et al. (2005b) melaporkan bahwa pemberian
ekstrak lerak setiap hari menghasilkan pertambahan bobot badan domba sebesar 40%.
15
Pengaruh Saponin pada Sintesis Protein Mikroba
Penekanan populasi protozoa juga diketahui dapat meningkatkan efisiensi
pembentukan protein mikroba karena sifat protozoa yang sering memangsa bakteri
(Firkins 1996). Efisiensi pemanfaatan protein pakan memegang peranan penting pada
nutrisi ternak ruminansia. Sekitar 70%-80% protein didegradasi dalam rumen menjadi
peptida dan asam amino serta diubah lebih lanjut menjadi amonia. Banyaknya protein
yang tersedia untuk ternak ruminansia tergantung pada kombinasi protein mikroba yang
masuk ke usus halus dan protein pakan yang lolos degradasi (Selje et al. 2007).
Saponin dari Y. schidigera diketahui dapat meningkatkan produksi N mikroba
pada domba (Santoso et al. 2004). Hu et al. (2005) juga menyatakan bahwa saponin
dari teh pada taraf 8 mg/200 mg pakan (4% dari pakan) dapat meningkatkan sintesis
protein mikroba sebesar 74% dibanding kontrol secara in vitro selama 24 jam
fermentasi. Santoso et al. (2007) juga melaporkan adanya peningkatan efisiensi, retensi
nitrogen dan sintesis mikroba rumen dengan pemberian saponin dari B. petersianum
Klotzsch sebesar 26 mg pada kambing. Sementara, Fujihara et al. (2003) menyatakan
bahwa defaunasi pada kambing dapat meningkatkan ekskresi derivatif purin sebesar
40%. Efisiensi sintesis protein mikroba berbeda untuk setiap jenis ternak tergantung
pakan yang diberikan. Kisaran efisiensi sintesis protein mikroba sebesar 7.5-24.3 g
untuk ternak yang diberi pakan berbasis hijauan dan 9.1-27.9 g untuk pakan campuran
serta 7.0-23.7 g untuk pakan konsentrat (Karsli & Russel 2001).
Pengaruh Saponin pada Produksi Gas Metan
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan saponin pada pakan
dapat menurunkan produksi metan yang diduga berhubungan dengan penurunan
populasi protozoa dan atau populasi bakteri metanogen. Hasil penelitian Wang et al.
(1998) menunjukkan bahwa penambahan saponin dari Yucca dapat menurunkan
produksi metan sebesar 15%. Hess et al. (2003) juga melaporkan adanya penurunan
produksi metan sebesar 20% dengan pemberian saponin dari S.saponaria tanpa
mempengaruhi populasi bakteri metanogen in vitro maupun in vivo pada domba. Ekstrak
etanol, air dan metanol dari Sapindus mukoroossi juga dapat menurunkan produksi
16
metan berturut-turut sebesar 96, 39.4 dan 20% (Agarwal et al. 2006). Namun demikian
saponin yang diekstrak dari A.concinna tidak mempengaruhi produksi metan pada rasio
konsentrat:hijauan=1:1 walaupun terjadi penurunan jumlah protozoa (Patra et al. 2006).
Goel et al. (2008a) juga melakukan percobaan untuk mengevaluasi tiga bahan
tanaman yaitu daun Carduus, S. sesban dan biji Fenugreek serta ekstraknya yang
mengandung saponin terhadap penekanan produksi metan secara in vitro. Diantara
ketiga bahan tanaman tersebut, daun Carduus berpotensi paling tinggi untuk digunakan
sebagai suplemen pakan pada rasum berbasis hijauan atau konsentrat untuk mengurangi
produksi gas metan dan meningkatkan pemanfaatan nutrien untuk produksi biomasa
mikroba. Gugus aktif pada daun Carduus bukan kelompok tannin atau saponin dan
terlarut dalam ekstraksi dengan air maupun methanol. Sedangkan saponin yang
terkandung dalam Fenugreek dan Sesbania tidak menurunkan produksi metan. Namun
demikian, jika bahan tanaman tersebut digunakan sebagai suplemen pakan terutama
pada ransum berbasis konsentrat, berpotensi meningkatkan produksi biomassa mikroba
dan menurunkan produksi metan per unit substrat yang didegradasi.
Hu et al. ( 2005) juga telah melakukan kajian tentang pengaruh saponin dari teh
dengan taraf 0, 2, 4, 6 dan 8 mg dalam 200 mg campuran substrat (jagung:rumput=1:1)
terhadap emisi metan secara in vitro dan menunjukkan bahwa pemberian saponin dari
teh signifikan menurunkan konsentrasi metan berturut-turut sebesar 13, 22, 25 dan 26%.
Selanjutnya, pemberian saponin dari teh secara in vivo pada domba muda sebesar 3 g/h
dapat menurunkan produksi metan sebesar 27.7% dibanding kontrol (Mao et al. 2010).
Nilai penghambatan produksi metan oleh saponin dari teh ini lebih besar dibandingkan
penelitian Yuan et al. (2007) yang memberikan saponin teh sebesar 5 g/h pada domba
dewasa dan dapat menurunkan produksi metan sebesar 8.5%. Perbedaan ini diduga
disebabkan oleh perbedaan akitivitas mikroorganisme antara domba muda dan dewasa.
Pemberian sarsaponin sebesar 3.2 g/L pada substrat hay dan konsentrat juga
dapat menurunkan konsentrasi metan in vitro sebesar 44% (Lila et al. 2003). Sementara,
pada pemberian sarsaponin 1% BK pakan secara in vivo pada sapi juga dapat
menurunkan metan sebsar 27% (Lila et al. 2005).
17
Pengaruh Saponin pada Metabolisme Kolesterol
Beberapa studi menunjukkan bahwa saponin dari berbagai sumber yang berbeda
menurunkan level kolesterol serum baik pada hewan maupun manusia. Campuran misel
yang besar terbentuk oleh interaksi saponin dengan garam empedu yang dapat
meningkatkan ekresinya ketika mengkonsumsi bahan pangan tinggi saponin seperti
kedelai, lucerne dan chickpea. Hal ini mempercepat metabolisme kolesterol dalam hati
yang menyebabkan levelnya di dalam serum turun. Ekstrak etanol dari biji Fenugreek
dapat menghambat absorpsi taurocholate dan deoxycholate secara in vitro dan
tergantung dosis pada usus yang dibalik (Stark & Madar 1993). Penurunan absoprsi
kolesterol usus halus dipengaruhi oleh beberapa saponin, namun demikian nampaknya
tanpa melibatkan resirkulasi garam empedu enterohepatic.
Saponin juga menurunkan sedikit LDL-kolesterol secara selektif dalam serum
tikus dan manusia. Morehouse et al. (1999) menyatakan bahwa mekanisme aktivitas
saponin dalam menurunkan kolesterol saat di usus halus tetapi tidak melibatkan
stoikiomimetri yang komplek dengan kolesterol. Saponin sintetik (seperti tiqueside dan
pamaqueside) lebih berpotensi dibanding saponin alami dalam mencegah
hiperkolesterolemia dan secara in vivo menunjukkan bahwa potensi pamaquecide 10 kali
lipat dibanding tiqueside. Peneliti lain menunjukkan mekanisme aksi dari saponin
dengan menunda absorpsi lemak di usus halus dengan menghambat aktivitas lipase
pankreas (Han et al. 2000). Saponin dari ekstrak daun teh mempunyai aktivitas
antihiperkolesterolemia sebesar 72% dan penambahan 0.5% saponin teh pada pakan
tikus tinggi kolesterol dapat menghambat peningkatan level kolesterol serum. Saponin
dari teh juga merangsang penurunan kolesterol dan trigliserida di hati dan
meningkatkan ekskresi kolesterol di feses. Hal ini mengindikasikan bahwa saponin
dapat menghambat penyerapan kolesterol di usus halus (Matsui et al. 2009). Harwood
et al. (1993) melaporkan adanya penurunan absorbsi kolesterol di usus halus sebesar
86% dengan pemberian saponin sintetis (tiqueside) 150mg/kg/hari pada hamster tanpa
ada perubahan absorpsi empedu maupun aktivitas cholesterol 7α-hydroxylase. Hal ini
mengindikasikan bahwa tiqueside menghambat absorpsi kolesterol tanpa mengganggu
re-sirkulasi asam empedu enterohepatic.