Upload
rc-ria-chairul
View
155
Download
34
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mekanisme gagal napas
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal napas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam pertukaran
gas O dan CO serta masih menjadi masalah dalam penatalaksanaan medis.
Secara praktis, gagal napas didefinisikan sebagai PaO2 < 55 mmHg atau
PaCO2 > 45 mmHg. Gagal napas masih merupakan penyebab angka
kesakitan dan kematian yang tinggi di instalasi perawatan intensif walaupun
kemajuan teknik diagnosis dan terapi intervensi telah berkembang pesat.(1)
Beberapa penelitian mengenai gagal napas akut yang mendapatkan perawatan
di ICU, di beberapa negara di benua Eropa menunjukan angka kejadian 77,6
per 100.000 di Swedia, Denmark dan Islandia serta 88,6 per 100.000 di
Jerman, dimana tingkat mortalitas mencapai 40%. Prevalensi umum kejadian
gagal napas sampai saat ini masih belum diketahui. (2)
Gagal napas akut dapat digolongkan menjadi dua yaitu gagal napas
akut hipoksemia (gagal napas tipe I) dan gagal napas akut hiperkapnia (gagal
napas tipe II). Gagal napas tipe I dihubungkan dengan defek primer pada
oksigenasi sedangkan gagal napas tipe II dihubungkan dengan defek primer
ventilasi. Penyebab gagal napas tipe I secara umum dapat disebabkan oleh
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, edema paru, fibrosis
paru, asma, pneumotoraks, bronkiektasis, ARDS dan emboli paru. Penyebab
gagal napas tipe II diantaranya adalah PPOK, asma berat, edema paru. dan
ARDS.(1)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Gagal napas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi mengalami
kegagalan dalam fungsi pertukaran gas (oksigenasi dan eliminasi karbon
dioksida) dalam darah (arteri pulmonalis). Gagal napas lebih merupakan suatu
sindrom daripada penyakit oleh karena banyak penyakit yang dapat
menyebabkan pasien jatuh dalam kondisi gagal napas. Gagal napas dapat
merupakan suatu proses akut ataupun kronis. (3)
2. Klasifikasi
Gagal napas ditandai dengan ketidakadekuatan oksigenasi darah dan
eliminasi karbondioksida. Adekuat mengandung arti terpenuhinya kebutuhan
oksigen jaringan dan kemampuan untuk mengeluarkan karbondioksida. Oleh
karena belum ada teknik tertentu untuk mengukur parameter ini, maka kita
hanya dapat bergantung dari hasil analisa gas darah. (3)
Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi hiperkapnik atau
hipoksemik. Gagal napas hiperkapnik ditandai dengan tekanan
karbondioksida arteri (PCO2) lebih besar dari 45 mmHg. Sedangkan gagal
napas hipoksemik ditandai dengan tekanan oksigen arteri kurang dari 55
mmHg ketika fraksi oksigen inspirasi saat itu (FiO2) adalah 0.6 atau lebih.
Pada banyak kasus, gagal napas hipoksemik dan hiperkapnik terjadi
bersamaan. Penyakit yang pada awalnya menyebabkan hipoksemia dapat
diperburuk dengan adanya kegagalan pompa respiratorik dan hiperkapnia.
Sebaliknya penyakit yang menyebabkan kegagalan pompa respiratorik sering
diperburuk dengan adanya hipoksemia sekunder karena proses di parenkim
paru (pneumonia atau atelektasis) ataupun penyakit vaskular (emboli paru). (3)
2
Tabel 1. Perbedaan Gagal Napas Akut dan Kronik(3)
Secara umum, gagal napas hiperkapnik akut ditandai dengan PaCO2 > 45
mmHg dan disertai asidemia (pH < 7.30). Efek fisiologis dari peningkatan PaCO2
yang mendadak tergantung dari tinggi rendahnya serum anion bikarbonat. Pada
pasien dengan gagal napas hiperkapnik kronik, misal oleh karena PPOK,
peningkatan PaCO2 dalam jangka waktu lama menyebabkan renal melakukan
kompensasi dan peningkatan konsentrasi bikarbonat serum. (3)
Perbedaan antara gagal napas hipoksemik akut dan kronik tidak hanya
dibuat berdasarkan analisa gas darah saja. Adanya penanda hipoksemia kronik
(seperti polisitemia dan kor pulmonale) memberikan petunjuk adanya penyakit
kronik tertentu, sedangkan perubahan status mental yang mendadak menunjukkan
adanya proses akut. Sangat penting untuk diingat bahwa walaupun definisi gagal
napas hipoksemik didasarkan pada pengukuran PaO2, ancaman utama dari arterial
hipoksemia adalah oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, dimana hal ini
merefleksikan delivery oxygen jaringan. Delivery oxygen jaringan ditentukan oleh
cardiac output dan oxygen content. Oxygen content tergantung dari konsentrasi
hemoglobin dan saturasi oksigen. Oleh karena itu, faktor-faktor yang menurunkan
3
cardiac output atau konsentrasi hemoglobin, atau yang menghambat disosiasi
oksigen dari hemoglobin pada level jaringan, dapat menyebabkan hipoksia
jaringan walaupun secara teknis tidak menyebabkan gagal napas.(3)
3. Patofisiologi
Gagal napas dapat muncul dari abnormalitas komponen efektor sistem
respirasi - sistem saraf pusat, sistem saraf perifer, muskulus respiratorik dan
dinding dada, jalan napas, ataupun alveoli. Sistem saraf pusat dan perifer,
muskulus respiratorik dan dinding dada, serta jalan napas merujuk kepada pompa
respiratorik. Hiperkapnea adalah tanda utama dari kegagalan pompa respiratorik.
Sedangkan hipoksemia utamanya disebabkan oleh gangguan di alveoli yang
mengakibatkan gagal napas. (3)
4. Diagnosis
Diagnosis gagal napas diperoleh dari gejala klinis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan AGD. Pasien gagal napas
menunjukkan gejala sesuai dengan penyakit dasar. Sesak napas merupakan gejala
klinis yang pertama kali muncul sebelum terjadi retensi CO2. Sesak napas
memberat pada posisi supine menunjukkan disfungsi diafragma. Gejala klinis lain
meliputi penggunaan otot bantu napas, kelainan pergerakan torakoabdominal.
Hipoksia serebral menyebabkan perubahan mental. Hiperkapnia menyebabkan
efek pada SSP. Peningkatan CO2 menimbulkan gejala letargi, stupor, dan koma.
kelelahan otot pernapasan akibat pelepasan katekolamin.(4)
Analisis gas darah merupakan pemeriksaan utama untuk menegakkan
diagnosis gagal napas tipe I. Pemeriksaan AGD perlu diulang untuk monitoring
perjalanan penyakit dan terapi. Fungsi otot napas dapat dinilai dengan
pemeriksaan PImax dan PEmax (maximum expiratory pressure). (4)
5. Penatalaksanaan
4
Kelainan AGD pada gagal napas tipe II merupakan akibat dari
ketidakseimbangan antara beratnya penyakit dengan derajat kompensasi sistem
kardiopulmonari. Hasil AGD normal bukan berarti tidak ada kelainan tetapi
menunjukkan sistem homeostatis mampu melakukan kompensasi.
Penatalaksanaan gagal napas meliputi terapi medikamentosa penyakit primer,
perbaikan aliran O2 ke jaringan melalui tatalaksana jalan napas, ventilasi, dan
oksigenasi. Penatalaksanaan gagal napas tipe II akut meliputi tatalaksana
medikamentosa dan bantuan ventilasi. (5)
6. Medikamentosa
Tujuan penatalaksanaan gagal napas tipe II adalah memperbaiki saluran
napas, paru, dan fungsi otot pernapasan. Pasien PPOK dan asma dengan
pemberian bronkodilator seperti agonis beta 2 adrenergik, antikolinergik, teofilin
dan antiinflamasi seperti kortikosteroid dapat memperbaiki gagal napas.
Bronkodilator dan antiinflamasi menurunkan resistensi jalan napas, FRC, VD/VT ,
gradien tekanan parsial O2 alveolar-arterial, dan kerja pernapasan. Inhibitor
kolinesterase diberikan pada pasien miastenia gravis. Inhibitor kolinesterase
memperbaiki kekuatan otot inspirasi, kapasitas vital, dan atelektasis yang
menyebabkan hiperkapnia. (5)
Progestasional telah digunakan beberapa tahun untuk terapi idiopathic
hypoventilation syndrome. Medroksiprogesteron asetat diberikan oral 20 mg tiga
kali sehari untuk menambah respons ventilasi sentral terhadap hipoksemia dan
hiperkapnia serta memperbaiki kenaikan AGD saat istirahat.
Medroksiprogesteron secara umum ditoleransi baik oleh pasien perempuan tetapi
menimbulkan efeksamping feminisasi pada laki-laki. Onset medroksiprogesteron
lambat dan respons dapat dilihat selama beberapa minggu. Teofilin menghasilkan
perbaikan fungsi kontraktilitas diafragma dan menurunkan PaCO2. (5)
Suplementasi O2 selalu diberikan pada pasien gagal napas tipe II kronik.
Suplementasi O2 berlebihan meningkatkan PaCO2 pada pasien dengan gangguan
kontrol ventilasi dimana respons ventilasi terhadap CO2 tumpul, tetapi respons
5
terhadap O2 baik. Memperbaiki hipoksemia merupakan prioritas pada pasien
gagal napas tipe II. Hipoksemia dapat menyebabkan kematian dengan cepat
sedangkan hiperkapnia lebih lambat. (5)
Gagal napas tipe II menyebabkan kelelahan otot pernapasan. Prinsip
tatalaksana kelelahan otot pernapasan dijelaskan pada tabel 2.
Tabel 2. Prinsip terapi kelelahan otot pernapasan(5)
Penurunan irama inspirasi pada tekanan trasdiafragmatik (Pdi)
Memperbaiki mekanika pernapasan (menurunkan resistensi jalan napas, komplians toraks, dan volume statik paru)
Memperbaiki pengatur pernapasan/ventilatory drive (memperbaiki hipoksemia, hiperkapnia, asidosis metabolik, demam, kongasti/inflamasi paru, ARDS)
Peningkatan Pdimax
Koreksi hiperinflasi
Koreksi atropi otot disebabkan oleh defisiensi kalori protein
Koreksi elektrolit dan kelainan gas darah (hipoksemia, hiperkapnia, hipopospatemia, hipikalemi, hipokalsemi, hipomagnesemi)
Memastikan aliran darah ke otot dan ketersediaan substrat
Koreksi cardiac output rendah (syok kardiogenik, syok hipovolemik)
Koreksi hipoksemia, hipoglikemia)
Bantuan ventilasi
Bantuan ventilasi pasien gagal napas tipe II meliputi penggunaan alat bantu
ventilasi baik alat bantu ventilasi non invasif maupun invasif. Alat bantu ventilasi
diberikan pada pasien gagal napas tipe II yang tidak mengalami perbaikan bahkan
perburukan setelah mendapat terapi medikamentosa. (5)
6
Noninvasive Ventilation/NIV
Noninvasive ventilation adalah alat bantu ventilasi sepanjang saluran napas atas
dengan menggunakan masker atau alat sejenisnya. Teknik NIV berbeda dari teknik
invasif.
Penggunaan NIV pertama kali untuk tatalaksana hipoventilasi pasien kelainan
neuromuskular pada malam hari. Penggunaan NIV kemudian diterima secara luas
menjadi metode standar tatalaksana gagal napas tipe II yang disebabkan kelainan
dinding dada, neuromuskular, dan kerusakan pusat pengaturan pernapasan.
Noninvasive ventilation juga digunakan untuk tatalaksana gagal napas akut dengan
kelainan paru Syarat pasien, indikasi, dan kontraindikasi penggunaan NIV dijelaskan
pada table 3. (6)
Tabel 3. Syarat pasien untuk menggunakan NIV(6)
tidak didapatkan kontraindikasi penggunaan NIV
pasien dengan pernapasan spontan
kolaborasi pasien
pasien dengan kesadaran baik untuk ekspetorasi dan batuk
pasien gagal napas akut yang tidak respons dengan terapi konvensional awal, takipneu dengan frekuensi napas > 24 kali/menit, saturasi O2 < 90% setelah pemberian FiO2 > 0.5, penggunaan otot bantu pernapasan dan tidak sinkron torakoabdominal
PaCO2 > 45 mmHg, pH < 7.35 dan PaO2/FiO2 < 200
Penggunaan non invasive positive pressure ventilation (NPPV) merupakan
langkah menyelamatkan pasien dengan penggunaan otot bantu pernapasan.
Noninvasive positive pressure ventilation merupakan alat yang menyediakan
kebutuhan O2 tanpa meningkatkan PaCO2 dan secara cepat sekitar 1-4 jam dapat
memperbaiki hiperkapnia. Noninvasive positive pressure ventilation menurunkan
kebutuhan penggunaan intubasi jalan napas dan membantu menghindari komplikasi
7
penggunaan ventilasi mekanik seperti trauma saluran napas atas, infeksi nosokomial,
dan prolonged intubation. Penggunaan NPPV secara signifikan meningkatkan angka
bertahan hidup. (6)
Tabel 4. Indikasi NIV(6)
PPOK eksaserbasi Edema paru akut Asma akut sedang Weaning dari ventilasi mekanik konvensional Pneumonia Bronkiolitis akut Post-operasi paralisis frenikus Acute interstitial lung disease Alveolar hypoventilation sekunder karena keterlibatan SSP (Guillain Barre
syndrome, Arnold Chiari syndrome, Ondine syndrome, hydrocephalus, tumor SSP, myelomeningocele, syringomyelia, spinal muscular atrophy, poliomyelitis, amyotrophic lateral sclerosis, myasthenia gravis, muscular dystrophies, myopathies, acute spinal cord injury)
Kiposkoliosis Malformasi rongga toraks Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) PIC syndrome Fibrosis paru Post-operasi dada Terapi paliatif pasien dengan indikasi OTI
Keterangan : OTI : orotracheal intubation
Pasien PPOK eksaserbasi berat atau gagal terapi medikamentosa menyebabkan
perburukan seperti sesak napas, retensi CO2, dan timbul kelelahan otot pernapasan
sehingga membutuhkan bantuan ventilasi. Noninvasive positive pressure ventilation
diberikan pada pasien PPOK eksaserbasi karena efektif membantu ventilasi pada
pasien tersebut. Noninvasive positive pressure ventilation menurunkan kerja
pernapasan dan mencegah progresifitas kelelahan otot pernapasan sementara terapi
medikamentosa tetap diberikan.
8
Tabel 5. Kontraindikasi NIV(6)
Henti jantung/napas Gagal organ (a) hemodinamik berat atau elektrik tidak stabil, (b) ensepalopati
berat (skor GCS < 10) dan (c) perdarahan gastrointestinal akut) Sindrom koroner akut (angina tidak stabil atau infark miokard) Pasien tidak kooperatif Kesadaran menurun. Paralisis bulbar berat Risiko tinggi aspirasi (vomitus, ileus) membutuhkan perlindungan jalan
napas Kelainan anatomisk nasofaring, trauma wajah atau pembedahan, pembedahan
jalan napas atas sebelumnya Pembedahan gastrointestinal atas merupakan kontraindikasi relatif) Stenosis campuran jalan napas atas Tidak mampu membersihkan sekret
Keterangan : GCS : glasgow coma scale
Pasien dengan gangguan kontrol pernapasan mengalami kenaikan PaCO2 15-
30 mmHg dengan hipoksemia dan asidosis respiratorik berat. Pasien dengan
gangguan kontrol pernapasan membutuhkan ventilasi mekanik selama tidur.
Noninvasive positive pressure ventilation merupakan langkah efektif memperbaiki
peningkatan gas darah selama tidur. Penggunaan NIV tidak semua mengalami
keberhasilan, kegagalan dilaporkan 7-50% pada pasien PPOK dengan gagal napas.
a. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik merupakan alat bantu ventilasi yang efektif untuk
tatalaksana gagal napas. Ventilasi mekanik membantu pertukaran gas dan kerja
ventilasi selama dibutuhkan, membantu pasien untuk bertahan hidup dan lebih
nyaman sementara proses akut dari kelainan paru yang mendasari diterapi atau
mengalami perbaikan. Pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan penggunaan
NIV perlu dipertimbangkan penggunaan ventilasi mekanik. (7)
9
Ventilasi mekanik dapat menjadi alat untuk menyelamatkan pasien
hipoksemi akut berat atau perburukan asidosis respiratorik yang tidak perbaikan
dengan penanganan konservatif. Target terapi oksigenasi pasien dengan ventilasi
mekanik yaitu PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 89%, dengan anggapan lebih dari
target tersebut O2 tidak akan lebih mudah mencapai jaringan . (7) Indikasi
penggunaan ventilasi mekanik dijelaskan pada tabel 6.
Tabel 6. Indikasi pemakaian ventilasi mekanik
Apneu atau impending respiratory arrestPPOK eksaserbasi akut dengan sesak napas, takipnea, dan asidosis respiratorik akut, ditambah salah satu dibawah ini : Acute cardiovascular instability Penurunan status mental (GCS < 8) atau tidak kooperatif persisten Tidak mampu melindungi saluran napas bawah Sekret kental dan banyak Kelainan bentuk muka atau perlindungan efektif saluran napas dengan NPPV Asidosis respiratorik progresif atau perburukan meskipun telah mendapatkan
terapi intensif, meliputi NPPV. Ventilasi mekanik dipertimbangkan bila PaO2
< 45 mmHg meskipun telah memperoleh FiO2 yang dapat ditoleransi atau pH < 7.20
Insufisiensi ventilasi akut pada penyakit neuromuskular, timbul adanya Asidosis respiratorik akut Penurunan progresif kapasitas vital dibawah 10-15 ml/kg Penurunan progresif maximum inspiratory pressure di bawah 20-30 cm H2OGagal napas hipoksemi dengan takipnea, distress napas, dan ipoksemi menetap meskipun telah mendapatkan terapi FiO2 tinggi melalui sistem alirang tinggi, atau disertai dengan : Acute cardiovascular instabillity Penurunan status mental atau tidak kooperatif menetap Tidak mampu melindungi saluran napas bawahMembutuhkan intubasi endotrakeal untuk mempertahankan atau melindungi saluran napas bawah atau managemen sekret, terutama pada pasien dengan tube endotracheal dengan diameter dalam ≤ 8 mm
Gagal napas tipe II kronik dengan PaCO2 > 46 mmHg berhubungan dengan
asidosis respiratorik tetapi mendapat kompensasi dari metabolic. Mekanisme
kompensasi adaptif atau disfungsi otot pernapasan merupakan mekanisme penting
10
terbentuknya hiperkapnia kronik stabil. (7) Terapi gagal napas II kronik dijelaskan pada
tabel 7.
Tabel 7. tatalaksana gagal napas tipe II kronik
Tatalaksana penyakit dasar
LTOT
Rehabilitasi
Ventilasi mekanik di rumah (invasif atau noninvasif)
Pasien emfisema terseleksi, pembedahan untuk mengurangi volume paru
Transplantasi paru
Noninvasive positive pressure ventilation merupakan alat efektif untuk
tatalaksana pasien dengan hiperkapnia kronik akibat kelainan kemosensitivitas atau
kelainan mekanika pernapasan. Pasien hiperkapnia kronik dengan gangguan kontrol
pernapasan pada saat tidur akan mengalami kenaikan PaCO2 (15-30 mmHg) dengan
hipoksemia dan asidosis respiratorik berat. Pasien tersebut membutuhkan ventilasi
mekanik biasanya dengan NPPV dengan atau tanpa O2 selama periode tidur.
Noninvasive positive pressure ventilation terutama saat malam hari sangat membantu
untuk menurunkan PaCO2 arterial dan meningkatkan PO2 pada pasien hiperkapnia
kronik. Perbaikan tekanan gas dicapai dengan nocturnal mechanical ventilation
mungkin terbawa ke periode bangun, dengan mencegah peningkatan bikarbonat
serum atau menekan hipoksia pada fungsi SSP. (6)
BAB III
KESIMPULAN
11
Gagal napas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi mengalami
kegagalan dalam fungsi pertukaran gas (oksigenasi dan eliminasi karbon dioksida)
dalam darah (arteri pulmonalis). Gagal napas lebih merupakan suatu sindrom
daripada penyakit oleh karena banyak penyakit yang dapat menyebabkan pasien jatuh
dalam kondisi gagal napas. Gagal napas dapat merupakan suatu proses akut ataupun
kronis.
Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi hiperkapnik atau hipoksemik.
Gagal napas hiperkapnik ditandai dengan tekanan karbondioksida arteri (PCO2) lebih
besar dari 45 mmHg. Sedangkan gagal napas hipoksemik ditandai dengan tekanan
oksigen arteri kurang dari 55 mmHg ketika fraksi oksigen inspirasi saat itu (FiO2)
adalah 0.6 atau lebih.
Diagnosis gagal napas diperoleh dari gejala klinis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan AGD. Analisis gas darah merupakan
pemeriksaan utama untuk menegakkan diagnosis gagal napas tipe I. Pemeriksaan
AGD perlu diulang untuk monitoring perjalanan penyakit dan terapi.
Kelainan AGD pada gagal napas tipe II merupakan akibat dari
ketidakseimbangan antara beratnya penyakit dengan derajat kompensasi sistem
kardiopulmonari. Hasil AGD normal bukan berarti tidak ada kelainan tetapi
menunjukkan sistem homeostatis mampu melakukan kompensasi. Penatalaksanaan
gagal napas meliputi terapi medikamentosa penyakit primer, perbaikan aliran O2 ke
jaringan melalui tatalaksana jalan napas, ventilasi, dan oksigenasi. Penatalaksanaan
gagal napas tipe II akut meliputi tatalaksana medikamentosa dan bantuan ventilasi
DAFTAR PUSTAKA
12
1. Deliana A, Agung W, Prasenohadi, Menaldi R. 2013. Indikasi Perawatan Pasien dengan Masalah Respirasi di Instalasi Perawatan Intensif. J Respiro Indo. 33(4):264-270
2. Evans Timothy, Leaver Susannah. 2008. Acute Respiratory Distress Syndrome. British Medical Journal. Volume 335.
3. Grippi MA. Acute Respiratory Failure. In : Fishman's Pulmonary Diseases and Disorders, 4th ed. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc., 2008.
4. Kumar P. Respiratory failure. Indian J. Aenesth. 2003;47(5):360-6.5. Kelsen S, Marchetti N. Pump failure: the pathogenesis of hypercapnic respiratory
failure in patients with lung and chest wall disease. In: Fishman J, Elias J, Grippi M, editors. Fishman's pulmonary diseases and disorders. 4th ed. USA: The McGraw-Hill Companies Inc; 2008. p. 2591-612.
6. Baptista F, Moral G, Pozo F. 2009. Management of acute respiratory failure with noninvasive ventilation in the emergency department. Emergencias. 21:189-202.
13