20
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan pada dasarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu pemanenan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan pemanenan hasil hutan kayu (HHK). Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/Menhut-II/2007 Tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, “hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan hasil hutan hayati baik berupa nabati atau hewani dan produk turunan fan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan(Anonim, 2007). Pemanfaatan hasil hutan kayu menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.9/Menlhk- II/2015 Tentang Tata Cara Pemberian, PerluasanAreal Kerja dan Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Hutan Tanaman Industri Pada Hutan Produksi, adalah “kegiatan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi pokok dari hutan itu sendiri(Anonim, 2015). Kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran hasil hutan berupa kayu merupakan serangkaian kegiatan untuk memanfaatkan hutan produksi. Sebelum melakukan kegiatan pemanenan, pada umumnya dilaksanakan kegiatan perencanaan yang terpadu untuk meminimalisir terjadinya kerusakan. Meminimalkan kerusakan akibat pemanenan menurut Sist merupakan prasyarat untuk mencapai pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management/SFM) karena dapat mengurangi terjadinya kerusakan tanah dan tegakan yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

  • Upload
    others

  • View
    42

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemanenan Hutan

Pemanenan hutan pada dasarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu

pemanenan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan pemanenan hasil hutan kayu

(HHK). Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/Menhut-II/2007 Tentang

Hasil Hutan Bukan Kayu, “hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan hasil hutan

hayati baik berupa nabati atau hewani dan produk turunan fan budidaya kecuali

kayu yang berasal dari hutan” (Anonim, 2007). Pemanfaatan hasil hutan kayu

menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.9/Menlhk-

II/2015 Tentang Tata Cara Pemberian, PerluasanAreal Kerja dan Perpanjangan Izin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Hutan

Tanaman Industri Pada Hutan Produksi, adalah “kegiatan untuk memanfaatkan

hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi

pokok dari hutan itu sendiri” (Anonim, 2015). Kegiatan pemanenan atau

penebangan, pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran hasil hutan berupa kayu

merupakan serangkaian kegiatan untuk memanfaatkan hutan produksi.

Sebelum melakukan kegiatan pemanenan, pada umumnya dilaksanakan

kegiatan perencanaan yang terpadu untuk meminimalisir terjadinya kerusakan.

Meminimalkan kerusakan akibat pemanenan menurut Sist “merupakan prasyarat

untuk mencapai pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management/SFM)

karena dapat mengurangi terjadinya kerusakan tanah dan tegakan yang dapat

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

7

menjamin regenerasi dan pertumbuhan tegakan komersial” (Sist, 1998 dalam

Muhdi, Elias and Matangaran, 2015). Bentuk tebangan dalam perhutani dibagi

menjadi lima, yaitu tebangan A, tebangan B, tebangan C, tebangan D, dan tebangan

E. Tebangan A merupakan penebangan habis hutan produktif. Tebangan B yaitu

penebangan pada kelas hutan tidak produktif yaitu pada hutan bertumbuh kurang

dan tanah kosong yang bertujuan untuk rehabilitasi. Tebangan C yaitu penebangan

untuk mengubah status hutan menjadi kawasan lain. Tebangan D yaitu penebangan

tak terencana akibat bencana alam, kebakaran, dan lan-lain. Sedangkan tebangan E

adalah penebangan sebagai tindakan silvikultur guna mendapatkan tegakan yang

diharapka pada akhir daur.

Penebangan pohon diawali dengan menentukan arah rebah pohon yang

kemudian diikuti dengan pembuatan takik rebah dan takik balas. Wackerman

menyatakan bahwa “takik rebah dibuat ¼-1/3 diameter batang, dan takik balas

dibuat 2-3 inci diatas takik rebah” (Wackerman, 1949). Arah rebah pohon

diusahakan ke arah luar penyaradan. Selain itu penyaradan merupakan faktor

penting dalam pemanenan. Kegiatan penyaradan biasanya dilakukan dengan

pembukaan lahan yang bertujuan untuk membuka jalan dalam pengangkutan kayu.

2.2 Dampak Pemanenan Terhadap Tanah

Pembukaan lahan menurut Thaib adalah “terbukanya permukaan tanah

akibat hilangnya lapisan seresah pada permukaan tanah dan hilangnya pohon-pohon

akibat penebangan dan roboh, terkikis dan tergusurnya tanah oleh kegiatan

penyaradan dan pembuatan jalan angkutan” (Thaib, 1986 dalam Pamungkas, 2014).

Lapisan permukaan tanah yang terbuka dapat menyebabkan terjadi erosi dan

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

8

sedimentasi. Pratiwi and Budi menyatakan bahwa “terjadinya perubahan sifat fisik

dan kimia tanah, dan siklus hidrologi yang telah terganggu menyebabkan tanah

menjadi miskin hara dan jenis tanaman tertentu yang dapat hidup disana” (Pratiwi

and Budi, 2002 dalam Hayuningtyas, 2006). Pendapat yang sama dikemukakan

oleh Elias bahwa “pemanenan kayu dapat menyebabkan penurunan kesuburan

tanah akibat terbukanya permukaan tanah dalam kegiatan penebangan” (Elias, 2012

dalam Setiawan et al., 2014).

Umumnya pada kegiatan pemanenan kayu, pengangkutan log kayu ke TPn dan

TPK menggunakan alat-alat berat. Penggunaan alat berat tersebut menyebabkan

terjadinya kerusakan tanah berupa pemadatan tanah sehingga tingkat porositas pada

tanah menurun. Diazjunior menyatakan bahwa “penggunaan alat berat dalam

pemanenan menyebabkan kerapatan massa tanah meningkat, total ruang pori tanah

berkurang, laju infiltrasi tanah berkurang, permeabilitas tanah berkurang, kapasitas

tampung air tanah berkurang dan struktur tanah berubah” (Diazjunior, 2003 dalam

Matangaran and Suwarna, 2012). Kerusakan tanah dalam kegiatan penyaradan

menyebabkan laju erosi pada tanah tinggi, seperti yang dikemukakan oleh Ruslan bahwa

“jalan sarad yang baru dibuka dan penyaradan telah berlangsung memiliki laju erosi yang

tinggi dibandingkan dengan jalan sarad yang baru dibuka namun penyaradan belum

berlangsung dan jalan sarad yang telah ditinggalkan 2-3 tahun” (Ruslan, 1979 dalam

Ramadhon, 2009).

Kegiatan pemanenan hutan umumnya dapat menurunkan kandungan bahan

organik tanah. Pamoengkas menyatakan bahwa “penurunan kandungan bahan organik

pada tanah dapat memberikan dampak pada kelestarian hutan dalam jangka waktu yang

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

9

panjang, hal tersebut dikarenakan bahan organik tanah memiliki peranan penting bagi

pertumbuhan dan perkembangan pohon melalui pengaruhnya pada sifat fisik, kimia dan

biologi tanah” (Pamoengkas, 2006 dalam Almulqu, Elias and Pamoengkas, 2011).

Penurunan kandungan bahan organik akibat pemanenan dapat mengakibatkan

produktivitas tanah menjadi menurun. Kegiatan pemanenan hutan mengakibatkan

keterbukaan lahan. Lahan terbuka jika tidak dilakukan manajemen yang baik akan

menimbulkan adanya degradasi. Menurut Wasis “perubahan sifat tanah dapat

mengakibatkan berkurangnya umur pemakaian lahan, meningkatnya potensi kekurangan

unsur hara tanah, dan berkurangnya produktivitas tanaman” (Wasis, Setiadi and

Purwanto, 2012). Perubahan sifat tanah tersebut menyebabkan aktivitas mikroba tanah

terganggu. Wasis menyatakan bahwa “jumlah fungi pada hutan pinus lebih tinggi

dibandingkan pada lahan terbuka dengan presentase sebesar 94,18%” (Wasis, Setiadi

and Purwanto, 2012).

2.3 Pemadatan Tanah

Pemadatan tanah adalah meningkatnya kerapatan tanah akibat dari beban atau

tekanan yang diberikan. Menurut Baver et al. pemadatan tanah dikatakan sebagai

“tingkah laku dinamis tanah dimana udara dan air pada pori-pori dikeluarkan dengan

salah satu cara mekanis” (Baver et al., 1987 dalam Kusuma, 1998 dalam Setiawan et al.,

2014). Terjadinya pemadatan tanah disebabkan oleh kegiatan pembalakan secara

mekanis yang dapat merusak struktur tanah. Lumintang and Hidayat menyatakan bahwa

“penggunaan input tenaga mekanis dalam waktu tertentu mengakibatkan produktivitas

tanaman khususnya perakaran menurun” (Lumintang and Hidayat, 1982 dalam Wilson,

2006). Alat-alat berat seperti forwarder dan bulldozer umum digunakan dalam

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

10

pemanenan hutan pada saat penyaradan kayu dari tunggak ke tempat pengumpulan kayu

(TPn). Penggunaan forwarder dalam operasi penyaradan pada area Hutan Tanaman

Industri (HTI) dapat menyebabkan pemadatan tanah hutan yang cukup parah.

Matangaran & Suwarna menyatakan bahwa “berat forwarder yang tinggi ditambah

muatan kayu dalam bak forwarder menyebabkan ground pressure pada permukaan

tanah sangat besar yang dapat menyebabkan pemadatan tanah yang sangat intensif”

(Matangaran and Suwarna, 2012). Menurut Matangaran and Kobayashi “setiap lintasan

alat berat dapat menyebabkan terjadinya pemadatan tanah pada bekas lintasan ban dan

semakin bertambah padat pada lintasan berikutnya” (Matangaran and Kobayashi, 1999

dalam Matangaran and Suwarna, 2012).

Elias menyatakan bahwa “pemanenan kayu berdampak pada tanah yang

menyebabkan penurunan kesuburan tanah akibat pemadatan tanah oleh penggunaan alat-

alat berat dan terbukanya permukaan tanah akibat penebangan, pembuatan jalan sarad,

tempat pengumpulan kayu, jalan angkutan serta penyaradan (Elias, 2012 dalam Setiawan

et al., 2014). Menurut Diazjunior “penggunaan alat berat dalam pemanenan dapat

menyebabkan peningkatan kerapatan masa tanah, berkurangnya total ruang pori tanah,

berkurangnya permeabilitas tanah, berkurangnya laju infiltrasi tanah, berkurangnya

kapasitas tampung air serta berubahnya struktur butir tanah” (Diazjunior, 2003 dalam

Matangaran and Suwarna, 2012). Pemadatan pada tanah mengakibatkan perakaran

tanaman terganggu yang menyebabkan produktivitas panen berkurang. Hill and Curse

menyatakan bahwa “meningkatnya kepadatan tanah dapat menyebabkan pertumbuhan

akar tanaman terganggu terutama pada pertumbuhan semai sampai kedalaman 5 cm”

(Hill and Curse, 1985 dalam Wilson, 2006).

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

11

2.4 Tekstur tanah

Menurut Utoyo tekstur merupakan “besar kecilnya ukuran partikel yang

terkandung dalam massa tanah sehingga menggambarkan tingkat kekasaran

butirannya” (Utoyo, 2007). Tekstur tanah ditentukan oleh perbandingan partikel

kerikil, pasir, debu dan liat. Jenis tanah yang mengandung kerikil dan pasir

memiliki tekstur yang lebih kasar dibandingkan dengan tanah yang mengandung

debu dan liat lebih banyak.

Berdasarkan ukuran pori tanah dibagi menjadi tiga. Menurut Hanafiah

“tanah yang didominasi oleh pasir memiliki pori-pori tanah yang besar (porous),

tanah yang didominasi oleh debu memiliki pori-pori sedang (agak porous),

sedangkan tanah yang didominasi oleh liat memiliki pori-pori tanah yang kecil

(tidak porous)” (Hanafiah, 2007).

Menurut Hanafiah (2007) berdasarkan kelas teksturnya tanah digolongkan

menjadi tiga yaitu:

a. Tanah bertekstur kasar atau berpasir, adalah tanah yang mengandung

minimal 70% pasir atau bertekstur pasir atau pasir berlempung.

b. Tanah bertekstur halus atau tanah berliat, adalah tanah yang mengandung

minimal 37,5% liat atau bertekstur liat, liat berdebu atau liat berpasir (3

macam).

c. Tanah bertekstur sedang atau berlempung, terdiri dari;

1) Tanah bertekstur sedang tetapi agak kasar, meliputi tanah yang bertekstur

lempung berpasir (Sandy Loam) atau lempung berpasir halus.

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

12

2) Tanah bertekstur sedang, meliputi yang bertekstur lempung berpasir sangat

halus, lempung (Loam), lempung berdebu (Silty Loam) atau debu (Silt).

3) Tanah bertekstur sedang tetapi agak halus, meliputi lempung liat (Clay

Loam), lempung liat berpasir (Sandy-clay Loam) atau lempung liat berdebu

(Sandy-silt Loam).

Menurut Kartasapoetra “pembentukan kelas tekstur tanah penting untuk dilihat

dari segi fisik, kesuburan dan pengolahan tanah” (Kartasapoetra, Kartasapoetra and

Sutedjo, 2005). Segi kesuburan tanah penting dalam pertukaran dan penyanggaan ion-

ion hara tanaman dalam tanah. Kandungan liat yang semakin tinggi semakin tinggi pula

kesuburannya. Segi pengolahan tanah, tanah liat berat untuk dikerjakan karena memiliki

sifat sangat lekat dan keras, tanah pasir ringan untuk dikerjakan karena memiliki sifat

yang lepas, sedangkan tanah berlempung sifatnya berada diantara keduanya. Segi fisik

tanah, tektur tanah berperan dalam struktur tanah, tata udara, suhu tanah, dan juga tata

air. Menurut Sutanto “tanah pasiran kaya kandungan mineral primer dan unsur hara,

kecuali tanah pasir yang kaya kuarsa. Tanah lempungan kaya mineral sekunder dan

sifatnya tergantung pada komposisi mineral lempung yang dominan. Sedangkan tanah

debuan memiliki sifat diantara tanah pasiran dan lempungan yang pada umumnya

merupakan tanah yang subur” (Sutanto, 2005).

2.5 Sifat Biologi Tanah

2.5.1 Bahan Organik Tanah

Bahan organik tanah menurut Hanafiah adalah “kumpulan senyawa-

senyawa oranik yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi yang berupa

humus, senyawa biotik dan abiotik” (Hanafiah, 2007). Bahan organik tanah

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

13

memliki fungsi yang sangat penting dalam memperbaiki sifat biologi, kimia dan

fisika tanah. Sutanto menyatakan bahwa “bahan organik terbentuk dari jasad hidup

tanah yaitu flora dan fauna, perakaran tanaman yang hidup dan mati yang

mengalami dekomposisi dan modifikasi, serta hasil sintesis dari tanaman dan

hewan” (Sutanto, 2005). Menurut Winarso “penambahan bahan organik kedalam

tanah dapat memperbaiki sifat-sifat tanah selain itu juga dapat meningkatkan unsur

hara dalam tanah” (Winarso, 2005).

Dekomposisi bahan organik tergantung dari aktivitas dari mikrobia dan

fauna tanah. Semakin tinggi bahan organik dalam tanah, semakin meningkat pula

aktivitas mikroba tanah. Sutanto menyatakan bahwa “mikroba tanah berperan

dalam proses pembentukan humus dan dapat mempengaruhi sifat fisik tanah”

(Sutanto, 2002). Tanah yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi dapat

ditandai dengan adanya jumlah cacing yang banyak. Zulfadli menyatakan bahwa

“cacing merupakan pemakan bahan organik pada permukaan tanah yang kemudian

dipindahkan ke lapisan tanah yang lebih dalam dalam” (Zulfadli, Muyassir and

Fikrinda, 2012).

2.5.2 Cacing Tanah

Cacing merupakan hewan tanah yang memiliki banyak manfaat bagi

lingkungan maupun manusia. Cacing biasanya hidup pada permukaan tanah

maupun dalam tanah yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi dan

hidup pada tanah yang lembab. Menurut Edwards and Bohlen “cacing merupakan

salah satu hewan tanah yang berperan dalam menjaga struktur tanah dan merombak

bahan organik yang merupakan nutrisi bagi tanaman” (Edwards and Bohlen, 1996).

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

14

Sari and Lestari menambahkan bahwa “aktifitas cacing tanah dapat mengubah

struktur, aliran air, dinamika hara dan pertumbuhan tanaman, dan merupakan

bioindikator bagi tanah sehingga keberadaannya menguntungkan begi ekosistem”

(Sari and Lestari, 2014).

Cacing tanah populasinya sangat dipengaruhi oleh faktor bahan organik,

suhu, pH, kelembaban tanah. Kelembaban sangat diperlukan cacing untuk menjaga

kulit tubunya berfungsi dengan normal. Firmansyah menyatakan bahwa “tanah

yang kelembababannya terlalu tinggi menyebakan warna cacing menjadi pucat dan

akhirnya mati. Sebaliknya tanah yang kelembabannya sangat rendah menyebabkan

cacing masuk dalam tanah dan berhenti makan sehingga pada akhirnya cacing akan

mati” (Firmansyah, Setyawati and Yanti, 2017).

2.5.2.1 Klasifikasi Cacing Tanah

Cacing tanah merupakan hewan yang tidak bertulang belakang

(avertebrata) dan bertubuh lunak. Cacing tanah digolongkan kedalam filum

Annelida yaitu hewan yang tubuhnya tersusun atas beberapa segmen (ruas) yang

berbentuk cincin. Menurut Khairuman and Amri “filum Annelida dibagi menjadi

tiga kelas yaitu; kelas oligochaeta, kelas polychaeta, dan kelas hirudinea”

(Khairuman and Amri, 2009). Kelas oligochaeta, merupakan cacing yang tubuhnya

tersusun atas 115-200 segmen, memiliki panjang tubuh berkisar 0,5 mm sampai 1

m. Cacing filum ini disebut cacing tanah. Menurut Fried and Hademenos “cacing

kelas oligochaeta bersifat hermaprodit, umumnya cacing kelas ini berkopulasi yang

bertujuan untuk menghasilkan fertilisasi ganda” (Fried and Hademenos, 2006).

Cacing kelas ini umumnya hidup di lingkungan yang lembab, karena gas yang

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

15

dipertukarkan oleh permukaan tubuhnya harus dalam keadaan terlarut. Cacing

famili ini diantaranya Lumbricidae, Megascolicidae, Octochaetida, dan

Acanthrodrilidae.

a. Kelas polychaeta, merupakan jenis cacing yang banyak dijumpai di

pantai. Cacing kelas ini bernafas menggunakan insang. Tubuhnya

memiliki jumlah segmen diatas 200 segmen dan setiap segmennya

memiliki kaki. Menurut Fried and Hademenos “cacing kelas polychaeta

merupakan cacing yang memiliki banyak rambut, memiliki jenis

kelamin yang terpisah, dan memiliki sepasang dayung berdaging yang

menjulur keluar dari mesing-masing segmen” (Fried and Hademenos,

2006). Cacing famili ini diantaranya cacing palolo (Eunice viridis) dan

cacing wawo (Lysidice oele).

b. Kelas hirudinea, merupakan cacing bertubuh pipih dan hidup sebagai

predator atau parasit di air laut dan air tawar. Memiliki dua alat

penghisap makanan yang terletak dibagian mulut dan anus.

Makanannya adalah darah hewan atau manusia. Campbell menyatakan

bahwa “kelas hirudinea biasa disebut dengan lintah, memiliki panjang

antara 1-30 cm, sebagian besar hidup di air tawar akan tetapi ada juga

yang hidup di daratan dan bergerak melalui vegetasi yang lembab”

(Campbell, Reece and Mitchell, 2003). Cacing famili ini yang terkenal

adalah lintah (Hidudo medicinalis).

Menurut Anderson and Ingram “berdasarkan peranannya cacing tanah

dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu; epigeik, endogeik, dan aneksik”

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

16

(Anderson and Ingram, 1993 dalam Astuti, 2013). Kelompok epigeik

merupakan kelompok yang hidup dan makan seresah pada permukaan tanah.

Maulida menambahkan bahwa “cacing tipe epigeik memiliki warna tubuh yang

gelap dan memiliki kemampuan untuk menyamarkan tubuhnya” (Maulida,

2015). Sinha menyatakan bahwa “cacing tipe epigeik toleran terhadap

gangguan, memiliki tingkat produksi kokon yang tinggi, serta memiliki tubuh

yang berukuran kecil” (Sinha, Srivastava and Gupta, 2013). Kelompok

endogeik merupakan kelompok yang hidup di dalam tanah yang memakan

bahan organik akar tumbuhan yang mati. Menurut Maulida “cacing endogeik

memiliki morfologi kulit tidak berwarna dan memiliki penyamaran yang

rendah. Sedangkan kelompok aneksik merupakan kelompok yang

memindahkan bahan organik tanah dari permukaan tanah ke dalam tanah

akibat dari aktivitas makan” (Maulida, 2015). Khairuman and Amri

menambahkan bahwa “cacing aneksik memiliki ukuran tubuh besar, senang

membuat lubang terbuka secara permanen di permukaan tanah” (Khairuman

and Amri, 2009).

2.5.2.2 Morfologi Cacing Tanah

Menurut Kastawi “cacing tanah memiliki tubuh bilateral simetris,

panjang, dan tersusun dari beberapa segmen, memiliki alat gerak berupa

rambut-rambut kaku (setae) yang terdapat pada setiap segmennya” (Kastawi,

2005 cit. Yuwafi, 2016). Tubuh cacing tanah dibedakan atas anterior dan

posterior. Menurut Edwards and Lofty “bagian anterior cacing tanah terdapat

mulut dan beberapa segmen yang menebal membentuk klitelum” (Edwards and

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

17

Lofty, 1977). Hegner and Engeman menyatakan bahwa “cacing tanah tidak

memiliki kepala, akan tetapi memiliki mulut yang terletak pada ujung

anteriornya yang disebut dengan protomium” (Hegner and Engeman, 1978).

Bagian belakang mulut terdapat bagian badan yang bersegmen sedikit dan

merupakan pengembangan dari segmen-segmen tubuh cacing yang disebut

dengan klitelum. Klitelum umumnya berwarna sedikit menonjol dibandingkan

dengan warna tubuh lainnya. Maulida menyatakan bahwa “semakin tua umur

cacing tanah maka klitelum akan semakin terlihat dan menebal. Klitelum mulai

terlihat saat cacing berumur 2-3 bulan” (Maulida, 2015). Morfologi cacing

tanah disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2. 1. Morfologi Cacing Tanah

(Sumber: Campbell, Reece and Mitchell, 2003)

Menurut Agustina “cacing tanah tidak mempunyai mata, akan tetapi

pada kulit tubuhnya memiliki sel saraf yang sangat peka terhadap sinar”

(Agustina, 2016). Ciptanto and Paramita menyatakan bahwa “bagian kulit luar

cacing tanah selalu basah oleh lendir yang diproduksinya berfungsi untuk

membantu pernafasan, melicinkan tubuh, dan mempermudah pergerakannya di

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

18

dalam tanah” (Ciptanto and Paramita, 2011 dalam Pamungkasari, 2014).

Bagian bawah setiap segemen tubuh cacing tanah selain terdapat seta juga

terdapat pori-pori yang berhubungan dengan alat ekskresi. Khairuman and

Amri menyatakan bahwa “seta berfungsi sebagai pencekeram atau pelekat

yang kuat bagi cacing tanah” (Khairuman and Amri, 2009).

Cacing tanah bergerak dan masuk dalam lubang menggunakan otot

longitudinal dan otot sirkuler. Campbell menyatakan bahwa “ketika otot

sirkuler suatu segmen berkontraksi, maka otot tersebut akan menipis dan

memanjang. Kontraksi otot longitudinal menyebabkan segmen tersebut

menebal dan memendek” (Campbell, Reece and Mitchell, 2003). Hal tersebut

menjadikan cacing mampu bergerak ke depan seiring dengan kontrakasi yang

terjadi pada otot longitudinal dan sirkular yang bergantian.

Warna tubuh cacing tanah tergantung pada jenis dan ada tidaknya

pigmen yang dimilikinya. Menurut Yuwafi “pigmen yang dimiliki oleh cacing

tanah berasal dari lapisan otot yang berada pada bagian bawah kulit tubuhnya”

(Yuwafi, 2016). Sebagian warna tubuh cacing tanah disebabkan oleh cairan

kulomik kuning atau sel klorogen hijau yang berada di dekat permukaan kulit

cacing tanah. Hanafiah menyatakan bahwa “warna pada bagian dada dan perut

pada umumnya lebih muda dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya kecuali

pada cacing Megascolidae yang memiliki pigmen gelap dan berwarna sama”

(Hanafiah, 2005). Hanafiah menambahkan bahwa “cacing tanah yang tidak

memiliki pigmen ataupun yang berpigmen sedikit jika memiliki kulit

transparan maka cenderung berwarna merah atau merah muda. Sedangkan

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

19

cacing yang memiliki kulit irridescent kulitnya terlihat biru seperti pada

Lumbricus dan Dendrobaena” (Hanafiah, 2005).

Cacing tanah merupakan hewan hermaprodit yang memiliki kelamin

ganda pada tubuhnya. Menurut Maulida “lubang jantan umumnya terletak pada

bagian atas klitelum, dan lubang betina terletak pada bagian bawah klitelum”

(Maulida, 2015). Meskipun cacing tanah berkelamin ganda, cacing tanah tidak

dapat melakukan perkawinan dengan tubuhnya sendiri. Cacing tanah untuk

dapat berkembangbiak umumnya melakukan perkawinan dengan cacing

dewasa lainnya. Khairuman and Amri menambahkan bahwa “ciri-ciri cacing

yang sudah dewasa yaitu berumur diatas 2,5 bulan dan klitelumnya sudah

terbentuk” (Khairuman and Amri, 2009).

2.5.2.3 Ekologi Cacing Tanah

2.5.2.3.1 Kelembaban

Menurut Jayanti “kelembaban sangat berpengaruh pada produktifitas cacing

tanah, hal tersebut dikarenakan tubuh caing tanah mengandung air sebesar

75-90%” (Jayanthi, Widhiastuti and Jumilawaty, 2014). Kelembababan

lingkungan tempat hidup cacing penting untuk mempertahankan cadangan

air yang ada dalam tubuh cacing tersebut. Khairuman and Amri menjelaskan

bahwa “kondisi lingkungan yang kering berkepanjangan memaksa cacing

untuk berimigrasi pada lingkungan yang cocok” (Khairuman and Amri,

2009). Edwards and Lofty menyatakan bahwa “cacing tanah menyukai

lingkungan yang memiliki kelembaban berkisar antara 12,5-17,2%”

(Edwards and Lofty, 1977). Menurut Firmansyah “kelembaban tanah yang

Page 15: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

20

terlalu tinggi menyebabkan cacing berwarna pucat dan mati. Kebalikannya

jika kelembaban tanah yang terlalu rendah menyebabkan cacing masuk ke

dalam tanah dan berhenti makan dan akhirnya mati” (Firmansyah,

Setyawati and Yanti, 2017).

2.5.2.3.2 pH

Tingkat keasaman (pH) tanah sangat berpengaruh pada tingkat populasi

cacing tanah. Handayanto menyatakan bahwa “cacing tanah tumbuh dengan

baik pada pH berkisar antara 6-7.2” (Handayanto, 2009 dalam (Firmansyah,

Setyawati and Yanti, 2017). Hanafiah menyatakan bahwa “cacing pada

umumnya dapat tumbuh dengan baik pada pH netral, L. terrestris, A.

caliginose hidup pada tanah masam pada pH berkisar antara 5.2-5.4,

Megascolex hidup pada tanah masam pada pH berkisar antara 4.7-5.1,

Dendrobaena octaedra dapat hidup pada tanah yang memiliki pH dibawah

4.3, Eisenia foetida menyukai tanah yang memiliki pH berkisar antara 7.0-

8.0” (Hanafiah, 2005).

2.5.2.3.4 Suhu

Cacing tanah sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Menurut Sukami

“cacing tanah pada habitatnya apabila suhu lingkungan hidupnya terlalu

panas, maka cacing tanah akan masuk lebih dalam ke dalam tanah. Suhu

optimum lingkungan cacing tanah yaitu berkisar antar 15-30℃” (Sukami,

2009). Handayanto menambahkan “pada daerah tropik temperatur tanah

yang ideal bagi pertumbuhan cacing tanah dan penetasan kokon yaitu

berkisar antara 15-25℃. Temperatur di atas 25℃ masih cocok untuk

Page 16: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

21

pertumbuhan cacing tanah namun harus seimbang dengan kelembaban

yang mendukung pertumbuhan cacing tanah” (Handayanto, 2009 dalam

Agustina, 2016).

2.5.2.3.5 Vegetasi

Suin menyatakan bahwa “cacing banyak ditemukan pada tanah yang

memiliki vegetasi yang rapat, karena sifat fisik tanah lebih baik dan

banyak ditemukan seresah yang merupakan sumber makanan bagi

cacing tanah” (Suin, 1982 dalam Morario, 2009). Edwards and Lofty

menambahkan bahwa “vegetasi yang beragam mempengaruhi jumlah

masukan bahan organik. Cacing tanah pada umumnya lebih menyukai

seresah herba dan sebaliknya cacing tanah kurang menyukai seresah

tanaman berdaun jarum dan seresah daun yang sudah gugur” (Edwards

and Lofty, 1977).

2.5.2.3.5 Bahan Organik

Bahan organik merupakan sumber energi bagi cacing tanah. Menurut

Jayanti “cacing tanah dapat berkembangbiak dengan baik pada tanah

yang subur, yaitu tanah yang memiliki kandungan bahan organik

tinggi” (Jayanthi, Widhiastuti and Jumilawaty, 2014). Sari and Lestari

menyatakan bahwa “kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah

menyebabkan aktivitas dan populasi cacing tanah meningkat, terutama

pada aktivitas cacing tanah sebagai dekomposisi dan mineralisasi bahan

organik tanah” (Sari and Lestari, 2014). Hanafiah menjelaskan bahwa

“pada tanah yang miskin kandungan bahan organik jumlah cacing yang

Page 17: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

22

dijumpai hanya sedikit. Jika jumlah cacing tanah yang dijumpai sedikit

pada daerah yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi, maka

pelapukan akan terganggu seperti pada hutan dan padang rumput”

(Hanafiah, 2005).

2.5.2.4 Peranan Cacing Tanah

Hanafiah menyatakan bahwa “cacing tanah secara umum berperan

sebagai penyubur dan penyehat tanah, karena cacing tanah memiliki

kemampuan memperbaiki kesuburan tanah, seperti ketersediaan unsur hara

tanah dan dekomposisi bahan organik sehingga dapat meningkatkan

produktivitas pada tanah” (Hanafiah, 2005).

Menurut Schwert “liang cacing tanah dapat meningkatkan infiltrasi dan

aerasi tanah, menurunkan aliran permukaan tanah dan erosi” (Schwert, 1990

dalam Subowo, 2011). Handayanto and Hairiyah menyatakan bahwa “aktivitas

cacing tanah yang meninggalkan liang dapat meningkatkan porositas tanah”

(Handayanto and Hairiyah, 2007 dalam Yuwafi, 2016). Liang tanah yang

dibuat oleh cacing dapat bertahan lama meskipun cacing yang menghuninya

telah mati.

Dwiastuti menyatakan bahwa “cacing tanah bermanfaat terhadap kesuburan

tanah, hal tersebut dikarenakan aktivitas cacing tanah yang membawa bahan organik

ke dalam tanah dapat mengubah bahan organik tersebut menjadi humus” (Dwiastuti,

2016). Hanafiah menjelaskan bahwa “terdapat beberapa spesies cacing yang dapat

mengakumulasi logam-logam berat tertentu pada tanah yang memiliki kadungan

logam berat yang rendah maupun yang tinggi” (Hanafiah, 2005).

Page 18: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

23

2.5.3 Mikroorganisme Tanah

Tanah dihuni oleh berbagai macam mikroorganisme tanah yang jumlahnya

dapat mencapai jutaan per gram tanah. Mikroorganisme tanah berperan penting

dalam pelapukan unsur hara pada tanah. Besarnya total mikroorganisme tanah dapat

dijadikan parameter kesuburan suatu tanah. Menurut Anas “ketersediaan

mikroorganisme tanah dapat mempengaruhi sifat fisik maupun sifat kimia pada

tanah” (Anas, 1989 dalam Utami, 2009). Soepardi menyatakan bahwa “populasi

mikroorganisme yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan yang cukup

dan ditambahkan dengan ketersediaan air yang cukup, temperatur yang sesuai dan

ekologi lain yang mendukung perkembangan dari mikroorganisme” (Soepardi,

1983 dalam Rahmawati, 2007). Jumlah mikroorganisme berguna dalam

menentukan tempat mikroorganisme dan tempat perakaran, sisa bahan organik

maupun kedalaman profil tanah. Anas menambahkan bahwa “jumlah

mikroorganisme berguna dalam menentukan tempat organisme yang berhubungan

dengan sistem perakaran, sisa bahan organik tanah, dan kedalaman profil tanah”

(Anas, 1989 dalam Purwanto, 2012). Menurut Munir “mikroorganisme tanah

meliputi jamur, bakteri dan aktinomisetes yang merupakan komponen penting

dalam ekosistem tanah, karena memiliki peran utama dalam siklus nutrisi,

mempertahankan struktur tanah, dan mengatur pertumbuhan tanaman melalui

transformasi bahan-bahan kimia yang tersedia dalam tanah” (Munir, 2006 dalam

Febrianto, 2017).

Page 19: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

24

2.5.4 Fungi

Fungi, jasad heterotropik, banyak hidup dan beraktivitas dalam tanah yang

memiliki aerasi yang baik. Fungi berperan penting dalam perubahan susunan tanah.

Fungi tidak memiliki klorofil sehingga sangat bergantung pada karbon dan bahan

organik untuk mendapatkan energi. Fungi berperan penting dalam penguraian

bahan organik tanah. Menurut Waluyo “fungi berperan dalam mendegradasi

molekul-molekul kompleks seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, peptin, dan pati”

(Waluyo, 2013). Fungi dibedakan mejadi tiga yaitu kapang, ragi dan juga jamur.

Soepradi menyatakan bahwa “kapang dan jamur berperan penting dalam pertanian.

Hal tersebut dikarenakan dapat membantu dekomposisi bahan organik pada

keadaan masam” (Soepardi, 1983 dalam Rahmawati, 2007). Fungi memperolah

makan dari proses dekomposisi bahan organik tanah. Wasis menyatakan bahwa

“fungi hidup bersimbiotik pada akar tanaman, dimana fungi dan akar tanaman

saling beruntung. Fungi hidup bersimbiotik dengan membantu akar tanaman dalam

meningkatkan penyerapan unsur hara” (Wasis, Setiadi and Purwanto, 2012).

2.5.5 Bakteri Tanah

Bakteri dalam habitatnya yaitu di dalam tanah membentuk koloni. Menurut

Cahyono “di dalam tanah yang subur mengandung bakteri tidak kurang dari 100

juta bakteri hidup per gram tanah” (Cahyono, 2014). Santosa menyatakan bahwa

“bakteri dapat menghasilkan enzin Phosphatase dan asam-asam organik yang

mampu melarutkan fosfat tanah maupun sumber fosfat” (Santosa et al. 1999 dalam

Utami, 2009). Selain menghasilkan enzim Phrotophase, bakteri mampu mengikat

nitrogen. Menurut Waluyo “bakteri memiliki kemampuan untuk mengikat nitrogen

Page 20: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hutaneprints.umm.ac.id/40921/3/BAB II.pdf · Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem

25

yang ada di udara dan mengubahnya menjadi amoniumnitrat” (Waluyo, 2010).

Soepardi menyatakan bahwa “bakteri tanah berfungsi turut ikut serta dalam

perubahan bahan organik, mengendalikan reaksi enzimatik yaitu nitrifikasi dan

pelarut fosfat. Umumnya jumlah bakteri tanah banyak dijumpai pada lapisan atas

tanah, berkisar antara 3-4 milyar tiap gram tanah kering. Jumlah bakteri dalam tanah

bervariasi dikarenakan perkembangan bakteri dipangaruhi oleh keadaan tanah”.

(Soepardi, 1983 dalam Purwanto, 2012).