Upload
lamtruc
View
253
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN WAKTU HAJI
(Telaah Interpretasi Masdar Farid Mas’udi terhadap Surat al-Baqarah: 197)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Abdul Hasan Mughni
NIM: 105034001162
Pembimbing:
Dr. Faizah Aly Syibromalisi, MA
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2010 M
55
BAB IV
PENAFSIRAN TERHADAP AYAT HAJI
A. Tafsiran QS. al-Baqarah/2: 197
Seperti telah disinggung pada bab pertama, bila diperhatikan lebih lanjut
perbedaan penafsiran Masdar dibanding para mufasir lainnya lebih tertekan pada
waktu pelaksanaan wuqûf Arafah yang menurut Masdar bisa dilakukan pada bulan
Syawwâl dan Dzû al-Qa‟dah. Wuqûf sendiri masih merupakan salah satu ritual
peribadatan dalam haji, sedangkan waktu pelaksanaan haji itu ialah tiga bulan
sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur‟an yang dijadikan dasar oleh Masdar
tersebut yaitu Q.S. al-Baqarah ayat 197 berikut:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi1, barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak
boleh rafats2, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa3 dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
(Q.S. al-Baqarah/2: 197)
1 Ialah bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah.
2 Rafats artinya mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh
atau bersetubuh. 3 Maksud bekal takwa di sini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara diri dari
perbuatan hina atau meminta-minta selama perjalanan haji.
56
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang asbâb al-nuzûl yang
masih berkaitan dengan ayat di atas, disebutkan dalam hadis yang dikeluarkan
oleh „Abd ibn Hamîd, Bukhâri, Abû Dâwûd, Nasâ‟î, Ibn al-Mundzir, Ibn Hibbân,
dan Baihaqî (dalam sunannya), diriwayatkan dari Ibn „Abbâs, ia berkata: “Pernah
ada sekelompok penduduk Yaman yang berhaji sedangkan mereka tak membawa
bekal, dan mereka hanya berkata: “Kami adalah orang-orang yang tawakkal”.
Kemudian mereka dikenai ketiadaan (bekal), sehingga akhirnya mereka meminta-
minta, maka Allah menurunkan ayat: watazawwadû fa inna khair al-zâdi al-
taqwâ.4
Riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ibn Jarîr dan Ibn Abî Hâtim
menyebutkan, diriwayatkan oleh Ibn „Abbâs, ia berkata: “Ada seleompok manusia
yang keluar dari desanya sedang dalam diri mereka tidak ditemukan bekal,
mereka berkata: “Kami berhaji (menziarahi) Allah sedangkan Ia tak memberi kita
makan!. Maka kemudian Allah bersabda: “Berbekallah kalian dengan apa yang
dapat menutupi wajah-wajahmu dari manusia lain.”5 Dan juga beberapa riwayat
selainnya yang sohih dan hampir semisal. Sedangkan Ibn Abî Hâtim sendiri
menambahkan komentarnya bahwa mengenai riwayat di atas yang lebih sohih
adalah yang diriwayatkan oleh Ibn „Uyainah.6
Ayat di atas kurang lebih menerangkan tentang; waktu kebolehannya
berhaji; hal-hal yang tidak boleh dikerjakan saat telah niat berhaji; ke-Mahatahuan
4 Abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm (Kairo:
Maktabah Aulad al-Syaikh li al-Turats, 1421 H/2000M) cet. 1, j. II, h. 248. Lihat pula: Jalâl al-Dîn
al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma‟tsûr, Tahqîq: Dr. „Abd Allah bin „Abd al-Muhsin
al-Turki (Kairo: Markaz Hijr li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-„Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, 1424
H/2003 M) cet. 1, j. II, h. 390 5 Al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma‟tsûr …, h. 390
6 Ibn Katsîr, Tafsir al-Qur‟an al-„Azim …, h. 247
57
Allah dengan perbuatan baik kita; dan anjuran berbekal dengan takwa, yang mana
korelasi antara ayat 197 dari surat al-Baqarah tersebut dengan ayat sebelumnya
masih menjelaskan perihal haji.
Pada ayat sebelumnya, setelah Allah Swt menyebutkan ketentuan-
ketentuan ibadah haji buat selain penduduk Mekah sedangkan mengenai waktunya
belum disebutkan pada bulan apakah dalam setahun itu untuk menjalankan ibadah
haji, maka pada ayat 197 surat al-Baqarah ini dijelaskan bukan pada tempatnya
tapi menjelaskan bahwa waktu haji itu adalah pada bulan-bulan tertentu.7
Bulan-bulan tersebut yaitu, Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah.
Dari sini dapat diketahui bahwa melaksanakan haji tidaklah seperti umroh, kapan
saja dilaksanakan boleh. Ayat ini menetapkan batas waktu atau ketentuan waktu
haji, yaitu Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Inilah yang dinamakan
mîqât zamanî (waktu) sebagaimana telah difirmankan Allah Swt:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,8 akan
tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu beruntung.” (QS. al-Baqarah/2: 189).
7 Burhân al-Dîn Abû al-Hasan Ibrâhîm Bin ‟Umar Al-Biqâ‟î, Nazm al-Durar fî Tanâsub
al-Âyât wa al-Suwar (Kairo: Dar al-Kutub al-Islâmi, 1389 H/1969 M) j. III, h. 137-138 8 Pada masa Jahiliyyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki
rumah dari belakang bukan dari depan. Hal ini ditanyakan pula oleh para sahabat kepada
Rasulullah Saw Maka diturunkanlah ayat ini.
58
Tiga .(”haji itu beberapa bulan yang ditentukan“) احل ه أه ه ر حل عل مار
bulan tersebut di atas ialah yang disebut dengan mîqât zamâniy (waktu). Tetapi,
para ulama berbeda pendapat tentang bulan Dzû al-Hijjahnya. Dan perbedaan ini,
tentunya akan menarik konsekuensi perbedaan dâm bagi jama‟ah yang di antara
amalan hajinya jatuh setelah hari penyembelihan kurban (al-hadyu) merujuk
firman Allah QS. al-Baqarah/2: 196. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu:9
Pertama, Imam Mâlik berpendapat bahwa bulan haji adalah Syawwâl, Dzû
al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah seluruhnya. Pendapat ini didasarkan pada pendapat
dan riwayat dari „Abdullah bin „Umar, „Abdullah bin Mas‟ûd, „Atâ‟, dan Mujâhid.
Ibn Hazm menguatkan pendapat ini, karena beberapa bulan tidak bisa diartikan
dua setengah bulan.
Kedua, sedangkan jumhur ulama‟ (Abû Hanîfah, Syâfi‟î, dan Ahmad)
berpendapat bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah sampai dengan
tanggal sepuluhnya saja. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari „Abdullah bin
„Abbâs, al-Suda, dan al-Nakhâ‟i. Imam al-Syaukâniy—seorang ulama Syi‟ah
Zaidiyyah yang pendapatnya banyak dipegang oleh ulama-ulama Sunni—berkata,
“Terlihat hikmah perbedaan pendapat ini, yaitu bagi orang yang di antara amalan
hajinya jatuh setelah hari penyembelihan kurban, bagi yang berpendapat bahwa
Dzû al-Hijjah seluruhnya dalam bulan Haji, maka ia tidak terkena dam;
sedangkan bagi yang berpendapat bahwa bulan haji itu hanya 10 Dzû al-Hijjah,
maka lebih dari itu harus dam.
9 Muchtar Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996 M/1416 H) cet. 5, h. 27
59
Ketiga, Imam Mâlik dalam satu riwayat berpendapat bahwa Syawwâl, Dzû
al-Qa‟dah, sampai dengan 13 Dzû al-Hijjah, yaitu hari Tasyrîq (menjemur daging
kurban).
Sedang menurut Muchtar Adam, dalam bukunya Tafsir Ayat-ayat Haji:
Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab, untuk menyatukan pendapat ini, usaha
pertama ialah menyelesaikan haji dan hadyu tanggal 10 Dzû al-Hijjah. Tetapi,
kalau ada hal yang tidak memungkinkan karena kendaraan atau sebab lain, maka
diusahakan selesai tanggal 13 Dzû al-Hijjah. Namun, jika tidak dapat diselesaikan
juga karena situasi dan kondisi tidak mengizinkan maka tingkat terakhir adalah
asal dapat menyelesaikan dalam bulan Dzû al-Hijjah, meskipun sampai tanggal
30.10
Pada kalimat حل حل فحل حل ف ه ه احل ج (“barang siapa yang telah
menetapkan kefarduannya haji bagi dirinya”), yaitu dengan niat, diringi dengan
perbuatan ihram dan talbiyah yang diucapkan dan kedengaran. Talbiyah ini
dijadikan rukun oleh Ibn Habîb dan Abû Hanîfah, serta madzhab Zahiri (literal),
tetapi Imam Syâfi‟i tidak memasukkannya pada rukun, dan berpendapat bahwa
cukup niat pada ihram rukun yang pokok. Dalam talbiyah Rasulullah Saw dan
para jama‟ah pria sampai suaranya parau, sedang wanita asal terdengar oleh
dirinya sendiri.11
10
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 28 11
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 28
60
dalam ayat ini mengandung makna larangan (”jangan rafats“) حل حل حل حل
untuk jima‟ (senggama) karena hal ini dapat merusak haji. Para ulama telah ijmâ‟
(sepakat) bahwa senggama sebelum wuqûf di Arafah merusak haji dan wajib dia
mengqadâ tahun depan, di samping wajib pula al-hadyu (menyembelih hewan).
Ibn „Umar, Tâwus, dan „Atâ serta ulama sahabat dan para tabi‟in
berpendapat bahwa termasuk rafats ialah berkata dengan perkataan yang cabul
atau porno yang mengarah atau membangkitkan nafsu seks. Mereka berpendapat
bahwa membicarakan wanita yang mengarah kepada seks termasuk rafats baik
wanita itu hadir atau pun tidak ada. Termasuk pula rafats, seorang laki-laki
membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan seks, walau dengan istrinya
sendiri. Ibn Mas‟ûd membaca حل ه هلوحل (“jangan berkata-kata yang
cabul/jama‟”).
Fasik berarti segala bentuk .(”dan jangan berbuat fasik“) حل حل ه هلوحل
kemaksiatan. Inilah pendapat Ibn „Abbâs, Hasan Basri, dan Ibn „Umar. Sebagian
ulama berpendapat, fasik ialah berbuat maksiat sewaktu ihram haji seperti
berburu, memotong kuku, mencukur rambut, dan larangan-larangan ihram yang
lain. Ibn Zaid dan Imam Mâlik berkata bahwa fasik ialah menyembelih binatang
untuk persembahan pada berhala, seperti firman Allah:
... ...
61
“... atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah …”
Imam al-Dahhâk berkata bahwa fisqun itu ialah apa yang disebut Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri12
dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman13
dan barangsiapa yang tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zâlim.”
Ibn „Umar dalam satu riwayat berkata bahwa fusûq adalah mencaci maki
sebagaimana dalam hadis nabi:
ه عله ه لور حل ه ماه ه ه ر ه ماه ا
“Cacian seorang muslim itu adalah fusûq, dan membunuhnya
adalah kafir.”14
12
Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena
orang-orang mukmin seperti satu tubuh. 13
Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti
panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan
sebagainya. 14
Muhammad Ibn „Îsâ Abû „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Sahih Sunan al-Tirmidzî.
Pentahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk. (Beirût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabî) j. IV, h. 353
62
Pendapat Ibn „Umar yang kedua ini lebih sempit dari pendapat yang
pertama. Oleh sebab itu, maka pendapat pertama yang lebih kuat dan benar karena
mencakup segala pendapat. Rasulullah Saw bersabda:
حلبه ه احلفهسحل احل ت ه ه حل احل ا حل ححل ج لحل يحل ه ه لحل يفحل ه هقه حلجحلعحل حلفحللمه حلاحلدحل
جحلز ءر إ ه جلحلنجة
“Dan barangsiapa yang haji dan tidak rafats, dan tidak pula fusûq, dia
kembali seperti ketika dilahirkan oleh ibunya, dan haji mabrur itu
balasannya hanyalah surga.”15
د ا احل ه Jidâl artinya .(”dan tidak bertengkar selama haji“) جه
berbantah-bantahan, dan dalam kebiasaan umum berlaku, jidâl itu sering terjadi
antara pihak yang dilayani (pengguna jasa) dan yang melayani (penjual jasa) di
perjalanan, karena sempitnya tempat atau waktu dan lain-lain yang menimbulkan
ketidaksukaan pada hati masing-masing pihak.16
Termasuk perbuatan jidâl
(bertengkar) ialah:17
Mencaci maki sehingga menimbulkan kemarahan (Ibn „Abbâs, Ibn
Mas‟ûd, dan „Atâ‟)
Memberi gelar dengan gelar yang tidak baik (Qatâdah)
Berselisih atau bertengkar (Ibn Zaid dan Mâlik bin Anas)
15
Muhammad Bin Ismâ‟îl Abû „Abdillah al-Bukhârî, al-Jâmi‟ al-Sahîh al-Bukhârî.
Pentahqîq Dr. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987) cet. 3, j. II, h. 553 16
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1417 H/1997
M) h. 104 17
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 29
63
Berselisih pendapat yang mengarah kepada permusuhan pada satu tempat
dan waktu
Membangga-banggakan keturunan masing-masing
dan apa yang kamu kerjakan berupa“) م تفحل ه حلعهل ه خحليه يفحل هعحل ه هلل
kebaikan niscaya Allah mengetahuinya”). Allah akan membalas setiap amal
manusia, sehingga mendorongnya untuk beramal saleh setiap tempat dan zaman,
menghindarkan diri dari segala kecabulan, dosa, dan pertengkaran.
,Ibn „Umar, „Ikrîmah, Mujâhid .(”siapkanlah perbekalan“) حلتفحلزحل جده
Qatâdah, dan Ibn Zaid berkata: “ayat ini turun mengenai serombongan orang Arab
yang pergi haji tanpa persiapan bekal.”
Adapun pelaksanaan haji di Indonesia dengan Ongkos Naik Haji (ONH)
sudah merupakan bekal yang cukup, karena 1750 real dikembalikan kepada
jama‟ah haji untuk living cost sudah cukup, bahkan ada lebihnya. Namun
demikian, untuk sekadar oleh-oleh masih diperlukan tambahan biaya, lebih-lebih
jika kita bermaksud tanazzul (memisahkan) diri di Mina, tidak mabît di Haratul
Lisan, maka dibutuhkan biaya pemondokan dan konsumsi di Mina sesuai dengan
kemampuan.
Ada ulama yang berpendapat bahwa bekal yang paling baik bagi ibadah
haji ialah teman yang saleh. Memilih rombongan dengan pemimpin atau
pembimbing yang saleh-saleh adalah bekal yang utama di samping bekal uang.
64
Ada yang mengartikan persiapan bekal ialah persiapan bekal untuk
kembali haji dengan amal-amal yang saleh. Hakikat bekal ialah untuk makan,
minum, karena hotel dan kendaraan sudah dipersiapkan oleh pemerintah dari
ONH.
Perbekalan yang .(”sebaik-baik bekal ialah takwa“) حلإنج خحليحل از ده ا جقلحلى
harus disiapkan ialah biaya hidup. Tetapi di samping itu, bekal yang sangat
penting ialah takut jangan sampai terjatuh kepada yang dilarang oleh Allah.
Karena tanpa persiapan mental ini, betapa pun bekal harta cukup, tetapi kemudian
dalam haji terjatuh kepada yang dilarang oleh Allah maka akan sia-sialah seluruh
biaya, waktu, dan tenaga yang dikerahkan dalam menunaikan ibadah haji.
Persiapan biaya hidup adalah manifestasi dari takwa karena haji tanpa bekal bisa
terjatuh kepada kebinasaan, minta-minta, dan mengemis.
bertakwalah kepada Ku wahai orang-orang yang“) حل تفجقهلنه يم ه ىل ألحلاه ما
mempunyai akal”). Perintah takwa ini dikhususkan kepada orang yang berakal,
walau takwa tertuju untuk umum. Karena, hanya orang-orang yang berakal yang
menggunakan otaknya, yang dapat melaksanakan perintah dan bangkit
menegakkan setiap perintah Allah serta menjabarkannya dalam kehidupan sehari-
hari. Orang yang berakal itu yang mempunyai lubbun (otak) seperti orang Arab
berkata: ا هتحل تفحلعهب “otakmu yang kamu gunakan untuk berakal (berpikir).”
65
Adapun munâsabah dengan ayat setelahnya yaitu, apabila manusia telah
memahami ayat di atas—menjauhi beberapa perkara dalam berhaji, perintah
berbekal, dan pemberitahuan bahwa sebaik-baiknya bekal ialah takwa—maka
terbentuklah jiwa-jiwa suci. Hal-hal tersebut karena semuanya pada intinya
mendorong agar individu-individu yang melakukan ibadah haji bisa menjadi insan
yang bertakwa dan terhindar dari segala yang menyebabkan siksaan Allah Swt
sehingga dalam akhir ayat di atas disebutkan yâ uli al-albâb.
B. Penafsiran Masdar
1. Latar Belakang Dasar Penafsiran Masdar
Sebagaimana penulis telah kemukakan berbagai rincian permasalah haji
terdahulu dalam bab III, terlebih pada sub bab problematika ibadah haji, memang
menunjukkan berbagai polemik hingga menyebabkan kematian pula. Atas dasar
inilah Masdar banyak mengambil inti dari kaidah-kaidah Usûl dan yang tentunya
ia mengakui sendiri untuk berusaha tidak melenceng jauh dari teks-teks hukum
Islam.
Bagi Masdar, kebijakan dengan mengurangi jumlah kuota merupakan
kebijakan yang akan menimbulkan efek tak terduga. Misalnya, akan ada tindakan
suap-menyuap untuk mendapatkan tiket seperti yang sekarang ini terjadi. Dan
pembatasan kuota itu juga tidak mungkin, karena memang tidak dilarang secara
agama. Persoalan lain, mulai dari proses pemberangkatan saja sudah ada
permainan uang supaya mendapatkan shift. Kemudian pejabat hajinya juga
66
mengomersilkan itu. Ini akan terjadi terus kalau tidak diadakan peninjauan
kembali secara radikal menyangkut tata cara pelaksanaan haji, khususnya soal
waktunya tadi.18
Adapun latar belakang penafsiran Masdar, dalam kutipan wawancaranya
dengan Ulil Absor Abdalla, ia membaginya dalam beberapa poin:
Pertama, adalah karena masyaqqât atau kesulitan yang tingkatannya sudah
di luar kebiasaan yang saat ini dialami para hujjaj. Kesulitan itu dapat dilihat
indikasinya hampir setiap kali melakukan berbagai prosesi haji di tanah suci. Pada
saat jumrah, ada saja yang meninggal karena terinjak-injak, kadang-kadang
sampai puluhan, dan itu terus terjadi dari tahun ke tahun. Lebih lanjut, menurut
Masdar: “… Tentu saja, hal tersebut seharusnya menggugah umat Islam dengan
berbagai pertanyaan, misalnya apakah ibadah haji itu sudah menjadi semacam
arena „pembantaian‟? dan itu bertentangan dengan prinsip Islam sendiri, yaitu
prinsip al-dînu yusrun…”19
Berkaitan dengan permasalahan kesulitan diatas, agaknya Masdar
menganggapnya agar dapat diatasi dan agar tidak menyulitkan para jama‟ah.
Manusia sendiri sebenarnya memang hidup dalam masalah. Endang Saifuddin
Anshari membagi dua kategori atasnya, yaitu Masalah Segera (Immediate
Problems) dan Masalah Asasi (Ultimate Problems). Masalah Segera ialah masalah
praktis sehari-hari, masalah-masalah yang kembali kepada keperluan-keperluan
pribadi yang mendesak dan masalah-masalah seperti administrasi negara,
18
Masdar Farid Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” dalam Abd
Moqsith Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis,
(Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005), h. 156 19
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 152
67
produksi, konsumsi, distribusi, dan lain-lain termasuk juga yang berkaitan dengan
hilangnya nyawa. Sedangkan Masalah Asasi ialah masalah seperti bagi manusia
yang memperhatikan hidup dengan serius dan bersifat pribadi, biasanya manusia
yang mengalami masalah ini sering muncul dalam dirinya pertanyaan-pertanyaan
filosofis seperti, “Apakah aku ini?”, atau “Apakah alam semesta itu?” dan
sebagainya mengenai manusia, alam, dan Tuhan.20
Dari sini dapat dikategorikan bahwa hal-hal yang menimbulkan beberapa
masalah dalam ritual haji merupakan Immediate Problems. Meskipun tiada
manusia yang hidup di atas bumi ini yang dapat mengelakkan diri dari
menghadapi masalah-masalah tersebut, namun masalah termaksud harus
dipecahkan dengan berhasil untuk menjadikan manusia ini suatu yang sukses,
dengan menggunakan beragam cara, efisiensi, serta kesadaran praktis.
Bagi Masdar, sebenarnya ada 2 dimensi yang bisa dinapaktilasi dalam
ritual wuqûf; tempatnya yang spasial dan waktu yang temporal. Sebenarnya, yang
pertama dinapaktilasi adalah tempat, karena tidak mungkin merujuk pada waktu
yang sama. Tempat napaktilas itu pun telah mengalami perluasan karena
membludaknya jamaah haji dan mendapat justifikasi teologis dari fatwa ulama
Arab Saudi.
Saat Nabi Ibrahim melontar batu tidak diketahui titik pastinya. Tapi
kemudian didefinisikan sebagai daerah Mina. Proses napak tilas dalam haji ini
idealnya bisa menjangkau dimensi spasial dan temporal, atau deimensi waktu dan
20
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987) cet.
7, h. 35-36
68
tempat. Tapi dua dimensi itu kacau balau dan berantakan karena konsentrasi
jamaah yang sangat padat dalam proses pelaksanaan haji.21
Misalnya, mabît di Mina menurut fikih adalah bermalam di Mina atau bain
al-jabalain. Tapi beberapa tahun terakhir ini telah mengalami perluasan sampai ke
Muzdalifah. Sementara kekacauan di bidang waktu misalnya, terjadi dalam
perjalanan Arafah-Mina. Diperlukan singgah di Muzdalifah untuk mengambil
kerikil, tapi banyak yang gagal karena ketika tiba di Muzdalifah matahari sudah
terbit. Akhirnya, pelacakan napak tilas dari kedua dimensi tersebut lepas. Di
samping itu, kepadatan yang luar biasa menimbulkan korban jiwa, terutama
orang-orang tua, ibu-ibu dan anak anak. Padahal, sebagaimana kita tahu, Tuhan
itu Maha Pengasih pada hambanya.
Dalam Islam, salah satu pertanda kasih sayang Tuhan adalah ritual shalat.
Orang tak mampu berdiri boleh melaksanakannya dengan duduk dan seterusnya.
Jadi sebetulnya ada banyak dispensasi juga dalam ibadah.
Al-Qur‟an sendiri memang menyatakan agar manusia tidak boleh
mempersulit yang terdapat dalam ajaran agama Islam. Allah Swt telah menjadikan
agama Islam sebagai sebuah ajaran yang sangat cocok dengan umat manusia yang
hidup kapan dan di mana saja sampai tiba saat berdirinya hari Kiamat. Dan, tidak
asing lagi bahwa agama yang memiliki karakter seperti ini tentunya adalah ajaran
21
Masdar Farid Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”, artikel
diakses tanggal 01 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/ironis-haji-menjadi-status-sosial-yang-dilembagakan/
69
yang sederhana dan mudah bagi orang yang menjalankannya serta bagi orang
yang mempelajari sumber dan penjabarannya. Firman Allah Swt:
...
...
“…Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu
Ibrahim. Dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim
dari dahulu,22
dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu
menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia…” (QS. al-Hajj/22: 78)
Adapun hikmah dari ringan dan mudahnya agama Islam adalah agar hati-
hati manusia tidak merasa berat menjalankan perintah yang dibebankan oleh
agama, bahkan semua orang sangat mudah menjalankannya. Sehingga, umat
Islam pun bertambah banyak dan mereka tidak mendapatkan kesulitan dalam
menjalankan berbagai syariat-Nya. Dan, manakala agama Islam memiliki karakter
seperti ini, yakni mudah dan sederhana, dapat menjamin kebaikan hidup di dunia
dan akhirat, cocok untuk setiap waktu dan tempat, maka Allah pun menjadikannya
sebagai agama penutup.23
Dari sinilah, Masdar memunculkan gagasannya agar ritual-ritual dalam
ibadah haji itu tidak terlalu memberatkan para jama‟ah bahkan hingga
22
Maksudnya: Dalam kitab-kitab yang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelum nabi
Muhammad Saw. 23
Syekh „Ali Ahmad al-Jarjawî, Hikmat al-Tasyrî‟ wa Falsafatuhû (Beirut: Dâr al-Fikri,
1997 M/1418 H) cet. 5, h. 299
70
menghilangkan nyawa dan sekaligus pula ajaran-ajaran dalam Islam dapat
dikerjakan dengan mudah pada zaman sekarang ini. Adapun dahulu nabi
melaksanankan haji hanya pada lima hari efektif, berarti karena dulu belum ada
masyaqqah seperti sekarang.
Nabi memang sekali saja berhaji, sebab pada kesempatan sebelumnya
sempat gagal dihadang oleh kafir Quraisy. Bagi Masdar, sejarah ini menimbulkan
satu tafsiran yang mempersempit cakrawala haji itu sendiri. Misalnya, waktu haji
sebenarnya 3 bulan, tapi karena Nabi hanya sekali berhaji pada jam-jam dan
waktu-waktu itu saja, maka disimpulkan bahwa tidak ada keabsahan wuqûf di luar
tanggal 9-13 Dzû al-Hijjah dengan mencontoh apa yang dilakukan Nabi.24
Selanjutnya, bagi Masdar sebenarnya prosesi haji managable dan bisa ada
penggiliran.
Saat ini haji tidak seperti itu. Kondisi di sana sangat penuh sesak, makanya
ada adu kekuatan untuk menyingkirkan orang lain yang bisa mengganggu
kekhusyu‟an ibadah. Ini lebih ironis lagi. Terlebih jika kita cerna melalui
penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Akibatnya, haji
dipahami sekadar ritualisme sebagaimana ibadah-ibadah lain.
Kedua, sebagai latar belakang pemikiran Masdar selanjutnya adalah
kembali pada teks al-Qur‟an. Dalam hal ini, Masdar sampai pada pendapat bahwa
sesungguhnya waktu haji itu tidak sesempit yang dipahami khalayak umum.
Selama ini, haji dinilai banyak umat sebagai sekumpulan prosesi haji, mulai dari
24
Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”.
71
tawâf qudûm sampai tawâf ifâdah yang hanya berlangsung pada 9, 10, 11, dan 12
Dzû al-Hijjah. Atau dilonggarkan sampai tanggal 13 Dzû al-Hijjah selama 5 hari,
padahal dalam al-Qur‟an, terdapat satu ayat yang sangat sarîh, yaitu QS. al-
Baqarah/2: 197 di atas.25
Sebagaimana telah penulis sebutkan pada bab II, karakter pemikiran
Masdar yang bercorakkan ilmu Fikih ini—selain melihat situasi dan kondisi
masyarakat sekarang dan masyarakat pada saat turunnya wahyu—tentu membawa
konsekuensi terhadap penelitian teks, terutama dalam pengambilan dalil-dalilnya
karena bagaimanapun Fikih itu berasal dari kaidah-kaidah Usûl. Dalam hal ini
pun, Masdar mengaku bahwa interpretasinya tersebut kembali kepada teks.
Dalam bahasa Arab, dalil berarti penunjuk bagi segala sesuatu yang
bersifat konkrit maupun abstrak, yang baik maupun yang buruk. Menurut ahli
Usûl, dalil ialah sesuatu yang dipakai sebagai hujjah berdasar perundang-
undangan yang benar atas hukum syara‟ tentang tindakan manusia, baik secara
qat‟iy maupun zanniy.26
Bila dilihat lebih seksama, ilmu Usûl sendiri menurut penulis sebenarnya
merupakan khazanah keilmuan yang dimiliki umat Islam dalam menjelaskan
kaidah yang harus dipergunakan dalam menafsirkan al-Qur‟an atau teks lainnya.
Dalam pada itulah, teks yang pertama kali digunakan Masdar sebagai landasan
berpikirnya yaitu apa yang terdapat pada al-Qur‟an terlebih dahulu sebelum
lainnya yang notabenenya sebagai qat‟iy al-wurûd.
25
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 152. Ayatnya lihat
halaman 55 bab IV. 26
Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh. Penerjemah oleh Masdar Helmy
(Bandung: Gema Risalah Press, 1997) cet. 2, h. 35
72
Lebih lanjut, menurutnya sebenarnya yang aneh adalah pemahaman umat
selama ini, karena mengabaikan teks al-Quran yang begitu sarîh, begitu jelas.
Karena umat lebih tunduk kepada tradisi dan menganggap tradisi itu dogma, maka
berhaji dari tanggal 9-13 Dzû al-Hijjah itu tidak bisa ditinjau lagi. Padahal,
sekarang ini umat Islam dalam keadaan yang semakin luar biasa sulitnya dalam
berhaji. Masdar merasa bahwa ulama harus melakukan refleksi ulang terhadap
pemahaman umat selama ini, karena agama tidak mengajarkan untuk masuk pada
kondisi yang mempersulit diri sendiri. Dan dalam kenyataannya, al-Quran begitu
longgar. Dan ayat al-hajj asyhurun itu tadi dapat mengantisipasi lonjakan jumlah
jamah haji yang sudah jutaan seperti sekarang ini.27
Suatu teks al-Qur‟an sendiri menuntut diamalkan menurut apa yang
tersurat, isyarat, dalalah, dan menurut tuntutan atau kehendak nass. Karena, setiap
pemahaman nass melalui salah satu cara dari keempat metode ini pada dasarnya
merupakan pengertian nass tersebut, dan nass itu merupakan hujjah atas
pengertian itu.28
Bila sekedar memperhatikan ayat tersebut, baik makna yang tersurat
maupun yang lainnya, memang haji itu secara waktunya ialah tiga bulan. Namun
demikian, ritual haji tersebut merentet panjang mulai niat ihrâm hingga tahallul.
Permasalahan inilah yang menurut penulis seharusnya perlu dikaitkan dengan ayat
lain yang masih berkenaan dengannya. Dalam hal inilah kiranya yang merupakan
kekurangan dari interpretasi Masdar dimana ia tidak mengkorelasikannya dengan
QS. al-Hajj/22 ayat 28 berikut,
27
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 155 28
Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, h. 257
73
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya
mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan29
atas rezki
yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.30
Maka
makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk
dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. al-Hajj/22: 28).
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa salah satu manfa‟at haji ialah
menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah dipermaklumkan, menurut imam
Mâlik yaitu hari nahr. Bahkan madzhab Mâliki sendiri tidak membolehkan
penyembelihan pada malam hari karena dalam ayat tersebut disebutkan ayyâm
bukan layâliya. Akan tetapi, menurut Wahbah al-Zuhailî sebenarnya kata yaum itu
mengandung arti malam dan siang. Adapun selain Mâlikî, memakruhkan
penyembelihan malam hari karena dikawatirkan melakukan kesalahan oleh sebab
gelap.31
Adapun berkaitan dengan kalimat „alâ mâ razaqahum min bahîmah al-
an‟âm, berkata Ibn Katsîr yakni dengan menyebut nama Allah di saat-saat
melakukan penyembelihan hewan kurban. Dipilihnya uslub ini, dengan
menyertakan sembelihan sebagai salah satu mata rantai dari manâsik haji seperti
bayar dam bagi orang yang melakukan haji bagi orang yang melakukan haji
tamattu‟ dan qiran, mencerminkan bahwa dzikir kepada Allah dengan tulus dan
29
Hari yang ditentukan ialah hari raya haji dan hari tasyrîq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan
13 Dzû al-Hijjah. 30
Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang termasuk
jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri. 31
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-„Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj
(Beirut: Dâr al-Fikr al-Ma‟âsir, 1411H/1991 M) j. XVII, h. 200
74
bersih dari percikan syirik, itu merupakan tujuan agung dari pensyari‟atan haji itu
sendiri; sedangkan membagi-bagikan rezeki melalui hewan kurban mencerminkan
rasa syukur mereka kepada Allah.32
Dalam hal menyebut nama Allah atas kurban pada hari nahr inilah kiranya
penulis tidak mendapati gagasan dari penafsiran Masdar atau setidaknya
bagaimanakah solusi mengenainya bagi orang yang melakukan wuqûf tidak pada
hari Arafah.
Agaknya, Masdar berhenti dari membahas ayat lainnya—setelah meneliti
pada Q.S. al-Baqarah: 197 saja—karena ia telah mampu „mensejajarkan‟
pengalaman konkretnya dengan wahyu, yang menurutnya wahyu tanpa konteks
tidaklah bisa berbunyi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa, “… wahyu yang
tertulis adalah „wahyu eksplisit‟, sementara konteks yang meliputi turunnya
wahyu—konteks dimana manusia dengan seluruh pengalamannya bergulat dengan
wahyu tersebut—sebagai „wahyu implisit‟. Dalam penggunaan yang lebih
populer, dikenal dua istilah: ayat-ayat qouliyyah dan ayat-ayat kauniyyah.33
2. Pemahaman Terhadap Hadis
Dalam mendukung pengambilan dasar dalil ayat al-Qur‟an di atas, Masdar
menilai pula hadis-hadis yang sering dipandang sebagai dalil bahwa wuqûf Arafah
harus dilakukan pada hari Arafah sebagai penafsiran yang dianggapnya
32
Suma, Tafsir Ahkam 1 …, h. 134 33
Masdar Farid Mas‟udi, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” dalam
Zuhairi Misrawi, ed., Menggugat Tradisi Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2004) cet. 1, h. 85
75
berlebihan. Selain itu, menurut Masdar, hadis-hadis tersebut juga seringkali
dianggap para ulama sebagai pentakhsîs ayat al-Baqarah/2: di atas.
Hadis-hadis tersebut ada sekitar dua matan, yaitu:
i. احل ه عحل حل حلة (“Haji itu adalah wuqûf Arafah”)
Menurut Masdar, hadis tersebut berarti bahwa haji itu intinya wuqûf di
padang Arafah. Sementara soal waktu, tidak masuk dalam kategori hadis itu. Dalil
ini berbicara mengenai aktivitas, inti dari haji adalah wuqûf Arafah, bukan
berbicara soal tempat. Adapun waktu haji sudah diterangkan dalam ayat al-Qur‟an
tadi. Jadi antara ayat dan hadis itu tidak saling menafikan.34
Secara umum, fungsi hadis sendiri dalam hukum Islam salah satunya
adalah berkedudukan sebagai bayân takhsîs. Di dalam al-Qur‟an terdapat ayat-
ayat yang bersifat umum. Dalam keadaan ayat serupa itu datang hadis
memberikan penjelasan tentang kekhususannya, yakni, di samping keumuman
ayat itu ada yang dikhususkan.
Takhsîs dapat dilakukan antara ayat dengan ayat yang lain. Dalam hal ini
para ulama sepakat membolehkannya dengan alasan bahwa nass-nass al-Qur‟an
semuanya adalah qat‟iy al-wurûd. Sedangkan hadis terhadap ayat, selain hadis
mutawâtir, diperselisihkan ulama.35
Namun demikian, menurut Masdar hadis di atas tidak menkhususkan ayat
al-Qur‟an tadi, walaupun hadis bisa memberi penjelasan kepada ayat al-Qur‟an.
34
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153 35
Abuddin Nata, Al-Qur‟an dan Hadits (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) cet. 3,
h. 179
76
Tapi kalau kata asyhurun (beberapa bulan) diberi penjelasan sebagai ayyâmun
(beberapa hari) tentu tidak masuk akal. Kecuali kalau dijelaskan berapa jumlah
bulan dan atau bulan apa saja, maka itu baru masuk akal.36
ii. كحلكل (”Contohlah tata cara hajimu dariku“) خهذه عحلنه حلنم ه
Adapun hadis kedua yang sering dijadikan takhsîs terhadap ayat al-Qur‟an
surat al-Baqarah/2: 197, yaitu hadis tersebut di atas. Selama ini, memang
kebanyakan nass yang dijadikan referensi oleh para ulama maupun pelaksana haji
adalah hadis Nabi yang berbunyi: khudzû „annî manâsikakum. Hadis ini
menunjukkan bagaimana cara pelaksanaan haji. Di situ tidak termasuk soal
waktu.37
Masdar mengakui bahwa kalau hujjah naqli (alasan tekstual), selain ayat
al-Quran surat al-Baqarah/2: 197 di atas, ia belum punya. Paling tidak, hujjahnya
negatif, yaitu ketika nabi mengatakan “khudzû „annî manâsikakum,” itu tidak
melarang bahwa di luar waktu itu haji menjadi tidak sah.38
Yang dimaksud dengan hujjah negatif di sini ialah pengertian balik
(mafhûm mukhalafah). Apabila ada nass yang menunjukkan suatu hukum pada
suatu masalah yang dibatasi dengan suatu batasan, misalnya jika masalah itu
mempunyai sebuah sifat, atau diberi syarat dengan suatu syarat, atau dibatasi
dengan suatu batasan atau bilangan, maka hukum nass atas masalah yang telah
36
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153 37
Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”. 38
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 156
77
jelas batasannya tersebut disebut mantûq al-nass. Sedangkan hukum atas masalah
yang tidak dapat memenuhi batasan tersebut disebut mafhûm mukhâlafah.39
Atas dasar pengertian balik ini, dalam memahami hadis tersebut, Masdar
merujuk pada tata cara haji saja, prosesi, syarat, dan rukunnya. Dan mengenai soal
waktu, ia tetap berpedoman pada ayat al-Qur‟an di atas. Lebih lanjut, ia
menambahkan bahwa ayat tentang waktu dan hadis tentang tempat tadi tidak
dalam posisi saling menafikan. Jadi harus diamalkan dan dipakai kedua-duanya,
bahkan membatalkan ayat dengan hadis tersebut merupakan masalah yang
serius.40
Namun demikian, penulis menganggap bahwa setiap teks ataupun dalil,
baik yang terdapat dalam al-Qur‟an ataupun hadis tidak semuanya mengandung
pengertian balik, bahkan ada beberapa teks yang penulis anggap akan menyalahi
kehendak teks bila digunakan kaidah tersebut.
3. Penawaran Solusi Waktu
Mengenai waktu haji, Masdar menganalogikan pelaksanaannya
sebagaimana waktu untuk solat. Dalam al-Qur‟an ada perintah mendirikan solat,
mengeluarkan zakat, mengerjakan ibadah haji, berjuang di jalan Allah, qisâs, dan
lain sebagainya. Namun teknik operasional dari kewajiban-kewajiban tersebut
tidak dijumpai dalam al-Qur‟an. Teknik tersebut dijelaskan dalam sunah, karena
di antara kedudukan sunah bagi al-Qur‟an juga adalah sebagai bayân tafsîl.
39
Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, h. 265 40
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 154
78
Yang dimaksud dengan bayân tafsîl di sini adalah bahwa sunah itu
menjelaskan atau memperinci keglobalan al-Qur‟an. Karena al-Qur‟an bersifat
mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan
bagaimanapun diperlukan perincian.41
Perbedaan bayân tafsîl dengan bayân
takhsîs sendiri ialah kalau dalam tafsîl, sunah berfungsi menjelaskan,
mentafsîlkan, dan menta‟yinkan (menyatakan) al-Qur‟an, dan kelihatan tiada
pertentangan. Sedangakan pada bayân takhsîs ini di samping sunah sebagai
bayân, juga antara al-Qur‟an dan sunah secara lahiriah nampak ada
pertentangan.42
Salah satu contoh adalah perintah solat sebagaimana disebutkan pada ayat
ataupun ayat ,(dan dirikanlah solat) هف ل اصعلة إنه اصهعلة منحلت ععى
Ulama ahli usul menetapkan .( sesungguhnya solat itu) اؤ هنني ه مبم حلله لتم
bahwa dengan perintah dalam ayat tersebut, solat hukumnya wajib. Sedangkan
mengenai bilangan raka‟aat dan cara mengerjakannya dijelaskan dalam hadis:
صحلعهل حل م حل يفه ه لين صحلعهي
“Solatlah kamu sebagai mana kamu melihat aku mengerjakansolat.”
Dikatakan bahwa solat itu wajib bagi setiap orang mukallaf. Namun,
kapan dan dalam keadaan bagaimanakah kewajiban itu dilaksnakan. Rasul dalam
41
Nata, Al-Qur‟an dan Hadits …, h. 178 42
Nata, Al-Qur‟an dan Hadits …, h. 179
79
hal ini menjelaskan syarat, rukun, serta praktek pelaksanaannya bagi setiap orang
sesuai dengan keadaannya. Cara solat orang yang mukim, tidak bepergian, dan
tidak dalam keadaan sedang perang berbeda dengan orang yang sedang bepergian
atau perang. Demikian pula orang yang keadaan fisiknya tidak memungkinkan
dapat melaksanakan solat dengan cara berdiri, boleh sambil duduk, atau berbaring.
Semua penjelasan masalah ini terdapat dalam petunjuk nabi Saw.43
Menurut Masdar, waktu haji itu terdiri dari waqtu al-jawâz dan waqtu al-
afdaliyyah, sama dengan solat. Waktu haji adalah waktu yang muwassa‟, waktu
yang longgar. Artinya, persediaan waktu untuk pelaksanaannya lebih panjang dari
kebutuhan kita yang sebenarnya. Misalnya, kebutuhan haji hanya lima hari saja,
tapi waktunya lebih panjang dari itu. Solat juga begitu, waktunya paling lama 10
menit, tapi waktu yang tersedia atau diperbolehkan bisa berjam-jam. Berbeda
dengan puasa yang waktunya mudayyaq, agak ketat dan disediakan seperlunya
saja. Puasa Ramadan misalnya, waktunya hanya bulan itu saja, tak boleh kurang
atau lebih.44
Dalam waktu yang muwassa‟ inilah terdapat dua penggal waktu, waqtu al-
jawâz dan waqtu al-afdaliyyah. Waktu jawâz menunjukkan bahwa sepanjang
waktu itu bisa digunakan untuk ibadah. Dalam konteks haji, waktu yang boleh
digunakan untuk menjalankan ibadah haji (waqt al-jawâznya) adalah sepanjang
tiga bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Tapi ada juga waqtu al-
afdaliyyah. Dalam waktu-waktu inilah nabi pernah menjalankan ibadah haji, yakni
tanggal 9-13 Dzû al-Hijjah. Tapi ini bukan berarti di luar tanggal 9-13 kita tidak
43
Nata, Al-Qur‟an dan Hadits …, h. 178 44
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153
80
dapat menjalankan haji. Ibadah haji sah dijalankan sejak tanggal 1 Syawwâl
sampai 13 Dzû al-Hijjah, atau bahkan ada yang mengatakan sampai akhir Dzû al-
Hijjah. Hanya saja, memang ada waqt al-afdaliyyah, atau prime-time,
sebagaimana yang dilakukan selama ini.45
Jadi, bila mengikuti pemahaman Masdar, waktu wuqûf itu bisa dilakukan
pada tanggal berapa saja, asal dalam tiga bulan yang ditentukan karena memang
itu waktu keabsahan haji, dan berarti keabsahan untuk wuqûf, karena inti dari haji
adalah wuqûf Arafah.
Hal yang tidak aneh memang, karena menurut Masdar, bahwa yang
fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam (Fikih) ialah kemaslahatan,
kemaslahatan kemanusiaan universal, atau—dalam ungkapan yang lebih
operasional—keadilan sosial. Tawaran teoritik (ijtihâdî) apa pun dan bagaimana
pun, baik didukung dengan nass atau tidak, yang bisa menjamin kemaslahatan
kemanusiaan, dalam kaca mata Islam adalah sah, dan Islam terikat untuk
mengambilnya dan melestarikannya.46
Adapun solusi yang ditawarkan Masdar mengenai waktu haji tersebut, ia
memperkirakan kalau dalam satu bulan ada empat minggu, satu prosesi haji
diandaikan berlangsung seminggu atau 10 hari, maka sebetulnya selama satu
bulan bisa berlangsung tiga kali shift, atau tiga angkatan haji. Jadi, pada bulan
Syawwâl 3 shift, Dzû al-Qa‟dah 3 shift, dan bulan Dzû al-Hijjah 3 shift. Jadi
dalam tiga bulan itu akan ada 12 shift. Andai saja dalam 1 shift bisa dilakukan
oleh 1 juta orang, maka dalam setahun akan ada 12 juta orang yang berhaji. Dan
45
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 153 46
Mas‟udi, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” ..., h. 61
81
itu akan dilakukan dengan aman, rileks, dan khusuk karena hanya ada 1 juta orang
dalam satu kali angkatan.47
Penawaran-penawaran yang diajukan Masdar di atas memang akan
memudahkan dan membuat khusyû para jama‟ah. Namun demikian, permasalahan
yang muncul kemudian ialah kapankah ditentukan nantinya waktu untuk
berkumpul bersama di padang Arafah bila mengkaitkannya dengan lanjutan hadis
Arafah di atas karena di situ disebutkan malam perkumpulan. Pastinya penentuan
hari tersebut akan menjadikan perselisihan lebih lanjut, apalagi bila
mengkaitkannya pula tentang kapankah diberlakukannya hari nahr bila ritual
ibadah haji dilaksanakan dalam 12 shift.
4. Manfa’at yang Dapat diambil
Dari berbagai pemahaman di atas, penulis memprediksi bila penafsiran
Masdar ini dibenarkan oleh para ulama dan diberlakukannya perubahan ini oleh
pihak Saudi, maka elemen-elemen yang berkecimpung dalam peribadatan haji
semuanya memang merasa untung, baik itu dari jama‟ah yang mulai merasakan
kenyamanan dan tentunya murah untuk biaya ONHnya; panitia pemberangkatan
yang selama ini dipegang pemerintah akan lebih efektif dan meraup untung lebih
banyak meskipun menetapkan tarif ONH lebih murah karena terbantu dengan
jumlah jama‟ah yang lebih banyak dalam tiap tahunnya; berkurangnya jumlah
korban meninggal atau sakit serta semakin tertata rapinya kebersihan dan
kenyamanan jama‟ah; meningkatnya kesempatan berhaji bagi kelas menengah ke
47
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 154
82
bawah; berkurangnya antrian jama‟ah yang harus antri beberapa tahun; dan lain
sebagainya.
Masdar sendiri telah menyatakan bahwa yang paling diuntungkan
sebenarnya—mulai dari perdagangan hingga devisa turis dan transportasi—adalah
pemerintah Saudi, tapi sebetulnya tidak mungkin pemerintah kita menerapkan
kebijakan pelarangan haji kecuali untuk yang pertama kali saja, seperti yang
dihembuskan sekarang-sekarang ini. Sebetulnya kebijakan itu tidak mungkin bisa
ditegakkan, karena secara hukum setiap muslim boleh melakukan haji seberapa
mampunya, meskipun sunah. Dan perlu diingat, kalau tingkat kesejahteraan
masyarakat Islam semakin meningkat, orang akan butuh tourism dan
menjadikannya sebagai pilihan masa depan. Dan bentuk tourism yang terbaik
dilakukan umat Islam itu tourism spiritual.48
Lebih lanjut, menurut Masdar, ajaran-ajaran dan ritual keagamaan seperti
shalat, haji dan lain-lain merupakan sistem simbol untuk mengungkapkan
pemujaan, penghormatan, kepasrahan dan ketundukan kita pada Tuhan. Di
samping itu, ada simbol-simbol yang memberikan dimensi kemanusiaan. Kalau
shalat itu mengungkapkan hubungan manusia dengan Tuhan, puasa antara
manusia dengan diri sendiri (karena di dalamnya ada prinsip kejujuran dan
pengendalian diri), maka haji merefleksikan bagaimana seharusnya manusia
berinteraksi dengan alam semesta.49
48
Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 155-156 49
Mas‟udi, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”.
83
Itu bermakna: pertama, napak tilas asal-usul manusia secara biologis: yaitu
dari Nabi Adam dan Hawa sebagai nenek moyang kita. Kedua, juga
menapaktilasi asal-usul tradisi spiritualitas kita yang punya keterhubungan dengan
Nabi Ibrahim maupun Nabi Adam sendiri. Sebenarnya, seluruh prosesi haji itu
adalah napak tilas dari perjalanan spiritual Nabi Ibrahim. Itu disimpulkan
misalnya, dari ritual sa‟i antara Shafa dan Marwah yang dirujuk dari kisah Siti
Hajar. Ritual ini merefleksikan usaha keras untuk mencari anugerah Allah dengan
bekerja bukan hanya menengadahkan tangan. Kemudian thawaf, wukuf, sampai
melontar jumrah di Mina, itu merupakan pengalaman spiritual dari Nabi Ibrahim.
Bahkan memakai baju ihram merupakan tanda perlucutan segala atribut sosial dan
kita semua sama di hadapan Allah.
Namun demikian, apakah semisal penafsiran Masdar tersebut telah
diberlakukan, maka hal itu tidak bertentangan—atau setidaknya mampu
mewujudkan—dengan manfaat dan hikmah haji yang termaktub dalam QS. Al-
Hajj/22: 28.
Dari beberapa penafsiran ini, terlihat bahwa Masdar begitu konsekuen
dengan pendapatnya bahwa syari‟at itu bertujuan untuk kemaslahatan, lebih
jelasnya, ia pernah menyatakan: “…syari‟at Islam, sebenarnya, tidak memiliki
basis (tujuan) lain kecuali „kemaslahatan manusia…”50
50
Mas‟udi, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” …, h. 55
84
Dalam permasalahan lain, barangkali konklusi ini pulalah yang mendorong
Masdar agar pajak tidak boleh dicobasatukan dengan zakat, seperti yang sempat
diindikasikan oleh Megawati dan ditanggapi dingin oleh Masdar.51
C. Counter Terhadap Penafsiran Masdar
Gagasan Masdar di atas, yang memang masih relatif baru—meski menurut
Masdar betul-betul sudah berpijak pada al-Qur‟an—masih tetap ada keberatan.
Tanggapan dari ulama-ulama lain sesudahnya pun belum banyak karena mungkin
belum diwacanakan secara intens, itupun baru dari ulama-ulama Indonesia, baik
yang mengkritiknya terang-terangan maupun sekedar menyindir. Diantara
tanggapan-tanggapan yang menentangnya tersebut ada yang keras menjurus kasar,
halus dan menusuk, dan ada pula yang cukup ilmiah dan „menengahi‟. Ada yang
apologi subyektif sehingga menilai negatif, ada juga yang berusaha menilai
obyektif dengan mengedepankan kajian argumentatif.
Sosok setelah Masdar yang penulis nilai cukup representatif dan memang
pendapatnya langsung ditujukan sebagai bantahan dalam menelaah pemikiran
Masdar yaitu Jamal Ma‟mur Asmani. Bila dilihat hasil telaahnya, peneliti CePDeS
(Center for Pesantren and Democracy Studies) dan staf pengajar PP Mahasiswa
al-Aqobah Diwek, Jombang ini menawarkan beberapa kelemahan pemikiran
Masdar dalam poin berikut:
51
Lebih jelasnya lihat Masdar Farid Mas‟udi, “Zakat Bukan Money Laundering”, artikel
diakses tanggal 01 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/zakat-bukan-money-laundering/
85
Lafadz “Asyhurun Ma’lûmât” Merupakan Lafaz Makhsûs
Yang dimaksud dengan adanya makhsûs di sini ialah tiga bulan (asyhurun)
di atas menunjukkan makna pada hari Arafah, yaitu 9 Dzû al-Hijjah.
Pengkhususan lafadz asyhurun pada ayat tersebut dikarenakan adanya lafadz
setelahnya, yaitu ma‟lûmât yang berdasarkan tradisi waktu Arafah ialah pada
tanggal 9 Dzû al-Hijjah. Dalam pada itulah berdasar pemahaman Jamal, problem
yang disampaikan Masdar tentang pertautan antara al-hajju asyhurun ma‟lûmât
dengan hadis al-hajju „arafah adalah sebuah misunderstanding, salah
pemahaman. Jamal menyatakan:
Yang satu, al-hajju asyhurun ma‟lûmât menjelaskan tentang mîqât
zamâniy haji, sedangkan yang kedua, al-hajju „arafah, menjelaskan rukun
haji. Lebih lengkapnya begini, Asyhurun adalah bentuk plural dari syahr,
sedangkan ma‟lûmât adalah qoyyid lâzim (batasan tetap) dalam ilmu
Balâghah. Artinya, haji itu pada bulan-bulan yang sudah sangat maklum.
Maklum di sini adalah kebiasaan atau tradisi yang sudah berlaku selama
berabad-abad sebelum turunnya ayat tersebut. Dan sebagaimana diketahui
bersama, tradisi orang Arab adalah pada waktu Syawwâl, Dzû al-Hijjah,
dan Dzû al-Qa‟dah. Oleh sebab itulah, kemujmalan lafadz asyhurun disitu
sudah tidak ada.52
Pengertian mujmal sendiri adalah teks global yang butuh penjelasan atau
dalam bahasa Arabnya mâ kâna muhtajjan ilâ bayânin fa mujmalun.53
Jika
merujuk pada pengertian tersebut, maka tidak hanya waktu haji, seluruh perilaku
haji, termasuk waktu wuqûf di Arafah juga sudah masuk dalam ayat tersebut.
Konsekuensi selanjutnya ialah dikarenakan tradisi wuqûf selama bertahun-tahun
itu berlangsung pada tanggal 9 Arafah, maka asyhurun ma‟lûmât—meski
52
Jamal Ma‟mur Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”, artikel diakses pada
tanggal 11 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/telaah-kritis-pemikiran-masdar/ 53
Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, cet. 2, h. 304
86
memang mempunyai maksud 3 bulan—harus tetap mewajibkan jama‟ah untuk
melaksanakan wuqûf pada waktunya, yaitu tanggal 9 dari bulan ke terakhir yaitu
Dzû al-Hijjah. oleh karena itu, hadis nabi al-hajju „arafah hanya sekedar
menguatkan tradisi yang sudah ada. Jadi, mubayyannya adalah syar‟u man
qablanâ, syariat orang sebelum turunnya ayat.
Imam al-Zamakhsyarî berkomentar mengenai lafadz ma‟lûmât sendiri
adalah ma‟rûfâtun „inda al-nâsi lâ yusykilna „alaihinna, telah dikenal atau
diketahui oleh manusia tanpa kemusykilan suatu apapun.54
Oleh karena itu adanya
syari‟at tidak mungkin datang sebagai penentang terhadap adat, akan tetapi datang
sebagai penetapan atasnya.
Jika demikian adanya, maka permasalahan ini mengharuskan pentingnya
studi sejarah dan kultur lokal arab dalam memahami proses turunnya wahyu
karena syariat inilah yang kemudian diteruskan nabi Muhammad Saw.
Rasulullah Saw telah menerangkan bulan-bulan itu dengan menerangkan
tempat-tempatnya dan nama-namanya. Bulan-bulan itu telah diketahui masyarakat
Arab sejak zaman nabi Ibrahim As. Di dalam bulan-bulan itulah Allah
memfardukan atas Ibrahim As dan keturunannya mengerjakan haji dan Ibrahim
menerangkan cara-cara mengerjakan haji kepada manusia.55
Maka dari itu, jika mengikut tradisi yang telah ada, memang haji itu sudah
dianggap dan terhitung boleh berniat menjalankannya pada awal bulan Syawwâl
dan tetap mengikuti wuqûf pada hari Arafah. Sedangkan bila ada seseorang
54
Abû al-Qâsîm Mahmûd bin ‟Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‟an Haqâ‟iq
Ghawâmid al-Tanzîl wa ‟Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl (Riyâd: Maktabah al-‟Abîkân, 1998
M/1418 H) cet. 1, juz. I, h. 406 55
Hasbi al-Shiddieqy, Pedoman Haji (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) h. 28
87
memulai amalan-amalan haji di luar bulan-bulan itu, maka hajinya tidak sah.56
Adapun orang yang sampai mîqât di luar bulan-bulan haji, seperti bulan Ramadân
dan Sya‟ban, maka dalam hal ini disunahkan berihram umroh dengan
meniatkannya dalam hati dan melafadkan dengan lisannya seraya mengucapkan
talbiyah.57
Syawwâl adalah permulaan bulan-bulan haji. Syawwâl itu adalah pula
bulan Idul Fitri. Kata jamaknya Syawwalât dan Syawâwîl, kadang-kadang
disebutkan al-Syawwâl. Di masa jahiliyyah bulan tersebut dinamakan Baw‟al atau
Waghal.58
Adapun adanya pelaksanaan wuqûf pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah dapat
ditemukan pada berbagai kitab hadis dan tafsir. Dalam hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat Jâbir menceritakan bahwa rasulullah Saw menuju ke
Minâ dalam keadaan ihrâm pada tanggal 8 Dzû al-Hijjah, setelah itu singgah di
Namîrah sebelum akhirnya sampai di padang Arafah pada tanggal kesembilannya,
yang mana pada saat itulah rasul Saw menyampaikan khutbah Arafah.59
Begitu juga dalam beberapa kitab tafsir, banyak di antara pengarangnya
yang mensyaratkan adanya kewajiban wuqûf di Arafah pada hari Arafah (9 Dzû
al-Hijjah) tersebut, seperti M. Quraish Shihab, Muhammad „Ali al-Sabûnî, dan al-
56
Al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‟an Haqâ‟iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‟Uyûn al-Aqâwîl fî
Wujûh al-Ta‟wîl ..., h. 406 57
„Abd al-„Azîz Ibn „Abdullah Ibn Bâz, al-Tahqîq wa al-„Iddah li Katsîrin min Masâ‟il
al-Hajji wa al-„Umrah wa al-Ziyârah „alâ Dau‟i al-Kitâb wa al-Sunnah. Penerjemah Nurul Ulum,
Ibadah Haji, Umroh, dan Ziarah Berdasarkan al-Qur‟an dan al-Sunnah (Bandung: Gema Risalah
Press, 1995) h. 33 58
Al-Shiddieqy, Pedoman Haji …, h. 30 59
Muhammad Nasîr al-Dîn al-Albânî, Hajjatun Nabî Saw. Kamâ Rawâhâ „Anhu Jâbir
Ra. Penerjemah Uthman Mahrus dan Endy Muhammad Astiwara, Haji dan Umroh seperti
Rasulullah (Jakarta: Gema Insani Press, 1994) h. 95
88
Qurtubî. Quraish Shihab menyebutkan berkaitan perbedaan umroh dengan haji.
Lebih jelasnya, pernyataan beliau sebagai berikut:
“Umroh tidak mempunyai waktu tertentu, boleh dilakukan kapan
saja sepanjang tahun. Bahkan dalam setahun, Umroh dapat dilakukaan
beberapa kali. Sementara itu, haji ada waktunya, yakni bulan Syawwâl,
Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Selain itu aktivitas amaliah umroh dan
haji semuanya sama kecuali salah satu diantaranya ialah wuqûf yang harus
dilakukan oleh orang yang berhaji, yakni berada (wuqûf) di padang Arafah
pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah”.60
Dari statemennya tersebut, Quraish Shihab agaknya mencocokkan
pendapatnya dengan adanya kewajiban wuqûf di padang Arafah pada hari Arafah.
Pendapat ini disebutkan juga oleh al-Sâbûnî—bahkan dinilai—sebagai pendapat
jumhur ulama, selanjutnya ia mengatakan bahwa waktu wuqûf dimulai dari
tergelincirnya matahari, pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah, sampai terbit fajar pada
tanggal 10 Dzû al-Hijjah, dan bahwasanya wuqûf di Arafah sudah dapat
dinyatakan sah, apabila orang hadir di padang Arafah untuk sebagian waktu saja
dari jarak waktu tersebut di atas, baik pada waktu siang harinya, maupun pada
malam harinya, dengan ketentuan bahwa orang yang berwuqûf pada siang hari,
maka wajib baginya meneruskan wuqûfnya sampai terbenam matahari, sedang
orang yang memulai wuqûfnya pada malam hari, tiadalah kewajiban sesuatu
atasnya.61
Lebih lanjut mengenai bunyi hadis yang menerangkan wuqûf rasul Saw
secara lengkap ialah sebagai berikut,
60
M. Quraish Shihab, M. Qurais Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut
Anda Ketahui (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 1430 H/2009 M) cet. 5, h. 239 61
M. „Ali al-Sâbûnî, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟an. Penerjemah Saleh
Mahfoed, (Bandung: al-Ma‟arif, 1994) cet. 10, j. I, h. 453
89
فمنه عحل ه بحلكي به ه ثحلنم ه ه خه فحل حلنم عه حلقه به ه إبه هفلحل ماحل نفه حلأنحلم هعر ماحل ححلدجمنه به ه يفحل ه حل ماحل أحل هدهاه حل لاحل هلل احل عحل حل حلةه حل حل ه (ص)عحلطمء عحل ه عحل هد ا حلحه
ده حل حل احلفهعةحل عحل حل حلةحل فحل ه حل هعله ه ا حل ه ه ه ه احلفعحلةه حلهع فحلقحلده حلج ححل ه “…dari Abdurrahman bin Ya‟mar, dia berkata, “Saya melihat rasulullah
Saw. didatangi manusia ditanya soal Haji, rasulullah kemudian menjawab:
“Haji adalah wuquf di Arafah, barang siapa yang menemukan pada malam
Arafah sebelum terbitnya fajar dari malam jam‟in, maka sungguh hajinya
telah sempurna.”62
Râis „Âm Syuriyah PBNU, K.H. MA. Sahal Mahfudz dan K.H. A.
Musthofa Biysri (Rais Syuriyah PBNU) dalam terjemahan kitab Mausû‟at al-
Ijmâ‟ (Ensiklopedi Ijmak) menjelaskan sebagai berikut:
“Waktu wuqûf di Arafah adalah antara saat lingsir matahari di hari Arafah
dan menyingsingnya fajar di malam nahr, menurut pendapat segenap
ulama kecuali Ahmad. Beliau mengatakan, waktu wuqûf adalah antara
menyingsingnya fajar di Hari Arafah dan menyingsingnya lagi di hari
nahr. Ulama juga telah sepakat bahwa wuqûf tidak sebelum duhur pada
hari ke sembilan (9 Dzû al-Hijjah dan tidak hari nahr, bagi mereka yang
tahu bahwa itu hari nahr, dan sesudahnya. Berdasar ini, ulama sepakat
bahwa orang yang berhenti di Arafah pada malam nahr, sekira dari
berhentinya itu sempat solat subuh dengan imam, ia dianggap telah wuqûf.
Barang siapa berhenti di siang hari dan bertolak sebelum tenggelamnya
matahari, dan tidak kembali ke Arafah waktu siangnya, itu telah
mencukupi sebagai wuqûfnya, dan hajinya sah menurut semua ulama,
kecuali Mâlik. Beliau berkata; “Yang mu‟tamâd dalam wuqûf di Arafah
adalah malam hari; kalau tidak mengalami sedikitpun dari malam, maka
tertinggalah haji (haji terlepas darinya).” Ini juga salah satu riwayat dari
Imam Ahmad. Juga telah disepakati bahwa orang yang wuqûf di Arafah
sebelum tergelincir matahari dan bertolak dari sana sebelum tergelincir
matahari, wuqûfnya tidak dianggap. Dan bila tidak kembali dan wuqûf
setelah tergelincir atau wuqûf pada sebagian malamnya, sebelum
menyingsingnya fajar, maka haji terlepas darinya.”63
62
Muhammad Ibn „Îsâ Abû „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî.
Pentahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk. (Beirût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabî) j. IV, Juz III,
hlm. 237 63
Sa‟di Abu Habieb, Kesepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Ensiklopedi Ijma (Jakarta:
Pustaka Firdaus Jakarta, 1987) cet. 1, h. 159-160
90
Jamal Ma‟mur Asmani juga mengutip dari beberapa pendapat dalam kitab-
kitab tafsir bahwasanya ritual wuqûf Arafah—termasuk waktunya—itu telah
dinaskan (mansûs) dalam al-Qur‟an,64
yaitu pada ayat setelahnya,
...
“…Maka apabila kamu Telah bertolak dari „Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy‟arilharam.65
dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu
sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (QS. al-
Baqarah/2: 198)
Kata afadtum sendiri bermakna melimpah,66
sehingga dimaknai “Jika
kamu melimpah, yaitu bertolak ramai-ramai, tidak sendiri-sendiri. Orang Arab
mengatakan حل Jamaah .(tumpah bejana itu apabila penuh) م حل انمءه إإ ه حل حل
keluar dari Arafah setelah Maghrib tanggal 10 Dzû al-Hijjah, seperti air yang
tumpah dari bejana beramai-ramai.
Jamaah ahli qira‟ah membaca ع ما dengan tanwîn kasrah. Al-Nuhhâs
berkata inilah qira‟ah yang paling baik. Tetapi, Sibawaih membaca عحل ماه
dengan kasrah ta tanpa tanwîn (ma‟rifah), sedang al-Akhfasy dan ulama-ulama
64
Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”. 65
Ialah bukit Quzah di Muzdalifah. 66
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 124
91
Kufah membaca عحل حل ماحل menyamakan dengan Talhah dan Fâtimah. Dalam hal
ini qira‟ah pertamalah yang paling baik.67
Nama Arafah sendiri, berkaitan dengannya, ada beberapa pendapat
mengapa dinamakan Arafah:68
Setelah Jibril menuntun Ibrahim haji, mulai dari tawâf kemudian
sa‟i sampai Mina, Muzdalifah, hingga Arafah, maka Jibril
bertanya, ه ع تحل م ي هك , “Apakah anda telah mengetahui
apa yang telah saya perlihatkan?”, Ibrahim menjawab: ن ل ع ته
, “Ya, saya sudah mengerti.” Sejak itulah padang itu dinamakan
Arafah. Ini didahului dengan do‟a nabi Ibrahim:
نم كحل هنم حلنم ه
Dinamakan Arafah karena tempat itu merupakan pusat perkenalan
manusia sedunia. Pada tahun 1411 H/1991M jama‟ah haji yang
resmi terdaftar adalah 2.300.000 orang yang wuqûf di Arafah.
Belum lagi yang tidak terdaftar, masih terdapat lagi puluhan ribu.
Dinamakan Arafah karena di tempat itulah Adam dan Hawa
bertemu dan saling berkenalan, setelah saling mencari sewaktu
67
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 125 68
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 125
92
Adam diturunkan di India dan Hawa di Jeddah. Peristiwa ini terjadi
pada hari Arafah (9 Dzû al-Hijjah).
Dinamakan hari itu hari Arafah karena tempatnya di Arafah (al-
Dahhâk).
Diambil dari kata al-„arfu yang berarti al-tayyîb (bersih). Berbeda
dengan Mina yang ada kotoran dan darah (Jabal Qurban).
Diambil dari kata al-sabru seperti kata:
جه ر عم فر إإ من صمبه خمأه م
Orang yang haji itu sabar terhadap qadâ Allah, khudû‟, dan merendahkan
diri kepada Allah serta sabar dalam berdo‟a, sabar dalam menghadapi bala dan
cobaan-cobaan, sabar dalam menegakkan ibadah.
Ulama sendiri telah ijma‟ bahwa barangsiapa yang wuqûf di Arafah
sebelum tergelincir matahari dan keluar meninggalkannya sebelum tergelincir
maka wuqûfnya tidak dianggap, atau batal. Dan ulama juga telah ijma, bahwa jika
seseorang wuqûf di Arafah sesudah tergelincir matahari (selesai zawâl) pada hari
Arafah dan keluar meninggalkan Arafah sebelum Maghrib maka wuqûfnya
dianggap sah, kecuali imam Mâlik bin Anas, wuqûf harus sampai Maghrib atau
malam. Adapun yang wuqûf di Arafah pada malam hari maka hajinya sah.69
Adapun hujjah jumhur ulama ialah:
Pertama, firman Allah Swt,
69
Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah …, h. 126
93
... إإ حل هل ه عحل ما
Ayat ini tidak menjelaskan siang atau malam, yang terpenting telah
menjalankan wuqûf.
Kedua, hadis „Urwah bin Mudarris, “Barang siapa yang solat Duhur dan
Ashar dijama‟ bersama kami, sedang dia sudah datang di Arafah sebelumnya, baik
malam atau siang, maka dia telah menyempurnakan hajinya.”
Adapun alasan Imam Mâlik ialah hadis panjang dari Jâbir yang
mengemukakan bahwa rasulullah wuqûf di Arafah sampai terbenam matahari.
Sedang perbuatan nabi menunjukkan wajib, lebih-lebih dalam masalah haji
rasulullah Saw telah bersabda, “Ambillah dariku manâsik haji kamu.”
Jumhur ulama berbeda pendapat bagi yang selesai dari Arafah sebelum
Maghrib. Hal perbedaan tersebut tentunya menyebabkan konsekuensi yang
berbeda pula pada perbedaan dam.
Imam „Atâ, Sufyân al-Tsaurî, Imam Syâfi‟î, Ahmad, Abû Tsaur dan Ahl
Ra‟yi mengatakan wajib membayar dam. Sementara itu imam Hasan al-Basrî
berpendapat wajib al-hadyu (kurban). Adapun imam Mâlik berkata bahwa wajib
melaksanakan haji pada tahun berikutnya, dan al-hadyu disembelih tahun depan.
Sama seperti yang hilang waktu mengerjakan haji.
Seluruh Arafah adalah tempat wuqûf yang luasnya sekitar 2x4 km. Saat ini
sudah dihijaukan dengan pohon-pohon yang tingginya sekitar lima meter.
Rasulullah Saw bersabda:
. حل حل ته ه هنم عحل ة هع م حلل ه ر
94
“Aku wuqûf di sini (sekitar 50 meter timur Jabal Rahmah) sedang
Arafah seluruhnya adalah tempat wuqûf.”70
Sebelum rasulullah sampai ke tempat wuqûf, beliau singgah di Namîrah.
Saat ini sudah berdiri masjid yang luasnya sekitar 1 hektar, terkenal dengan
masjid Namîrah.
Disunahkan mandi dan solat sunah dua raka‟at sebelum berangkat ke
tempat wuqûf. Hanya sayang sekali, saat ini sangat sulit untuk solat di sini, karena
penuh sesak dengan pengunjung dan kendaraan yang kadang-kadang tidak lewat
di sini.
Di tempat tersebut rasulullah berkhutbah, khutbah haji. Kemudian adzan
daniqamah dua kali, yaitu Duhur dan Asar (jama‟ taqdîm), tanpa ada solat sunah
yang menyelanginya. Kemudian memperbanyak dzikir dan do‟a sampai matahari
terbenam.
Adanya Masyaqqât Hendak Menunjukkan Ketebalan Takwa
Adapun alasan kedua berkaitan dalam membantah pendapat Masdar adalah
penilaian Jamal tentang adanya masyaqqah. Kalau argumen Masdar karena ada
masyaqqah, masyaqqah sendiri ada batas-batasnya (al-hudud).71
Dan kalau ada
masyaqqah—semisal orang yang haji kalau dipaksa wuqûf akan mati
umpamanya—maka solusinya bukan dengan mengubah jadwal haji, melainkan
dengan banyak cara, diantaranya, melaksanakan wuqûf tidak pada waktu fadilah
70
al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî …j. III, h. 232 71
Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Asybâh wa al-Nadâ‟ir (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga,
t.th) h. 58
95
(malam tanggal 10 Dzû al-Hijjah), namun mencari waktu yang longgar
melaksanakannya, begitu juga dengan pelaksanaan ramy al-jimâr. Yang dibatasi
dalam haji hanya wuqûf, walaupun begitu syara‟ memberi kelonggaran, karena
dalam wuqûf dimanapun sepanjang masih di tanah Arafah, baik siang maupun
malam, walaupun sebentar adalah sah.72
Jika tetap tidak mampu, sakit keras
misalnya, bisa menyuruh orang lain untuk menggantinya (istinâbah) dengan
syarat-syaratnya.
Secara faktual, yang menjadi masyaqqah itu justru bukan pelaksanaan
wuqûf, namun pada sabîl (jalan). Sehingga solusi dari tumpukan manusia bisa
dilakukan dengan pelebaran sabîl (jalan), pengembangan teritorial atau dengan
menggunakan lift, atau aneka ragam teknologi modern sekarang ini, bukan dengan
menghilangkan otentisitas dan orisinalitas pelaksanaan haji sejak nabi Ibrahim
sampai nabi Muhammad Saw dan sekarang ini.73
Tak dipungkiri, beberapa ritual haji Ibrahim as memang sungguh berat.
Ibrahim as sendiri termasuk salah satu dari rasul ulû al-„azmi yang mempunyai
kesabaran lebih dari yang lainnya. Setelah dalam waktu yang lama ia tak
dikaruniai anak, ia diperintahkan untuk beristri dengan wanita budak. Tak lama
berselang, istri yang keduanya diperintahkan Allah agar ditinggal sendirian di
gersangnya padang pasir, bahkan setelah anak kesayangannya tersebut dewasa, ia
dimimpikan oleh Allah agar menyembelihnya. Tak pelak, pantaslah Ibrahim as
diberi julukan khalîlullah.
72
al-Ghazâli, al-Wâjiz (Beirut: Darul Fikri, tth) j. I , h. 73 73
Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”.
96
Ritual Haji Merupakan Bentuk Ibadah Vertikal
Alasan ketiga dalam membantah pendapat Masdar ialah bahwa haji itu
merupakan ritual ibadah mahdah, yang ditujukan secara vertikal kepada Allah,
bukan ibadah sosial atau horizontal, seperti mu‟amalah.
Ada sebuah kaidah, al-aslu fi al-„ibadati al-tahrîm illâ mâ dalla al-dalîlu
„alâ ibâhatihî, wa al-aslu fi al-mu‟âmalati al-ibâhati illâ mâ dalla al-dalîlu „ala
tahrîmiha. Asal dari semua ibadah (hubungan vertikal transendental) adalah
haram kecuali kalau ada dalil yang memperbolehkannya, dan asal dari mu‟amalah
(hubungan sosial horizontal) adalah boleh kecuali kalau ada dalil yang
mengharamkannya. Oleh sebab itulah para ulama di berbagai kitab hadis, fikih,
tafsir, tajwid, nahwu, dan lain-lain banyak mengutip berbagai pendapat generasi
sebelumnya pada saat mereka memaknai sebuah teks.
Memang tidak mungkin dalam masalah ibadah kita tidak berlandaskan
teks, murni hasil imaginasi dan kreasi rasio, jadi harus ada landasan teks atau
sumber yang jelas, yang autentik (mu‟tamad „alaihi).
Jamal bahkan menilai Masdar dalam lontaran pemikirannya tidak
mempunyai landasan teks yang autentik, terkesan mengabaikan kitab-kitab kuning
(classical books) yang menjadi rujukan utama NU dan pesantren khususnya.74
Di sini penulis belum hendak menilai tentang siapakah yang keluar sebagai
pemenang, karena proses sejarahlah yang nantinya akan menjawab. Namun, ujian
74
Asmani, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”.
97
yang paling menentukan dari setiap pemikiran, bukanlah dari sudut argumen
formal yang semata-mata bersifat teoritik, melainkan ujian dari sudut materialnya
yang bersifat empirik. Karena suatu pemikiran atau ide boleh cumlaude dari sudut
teoritik, tapi jika kandas dalam pembuktian empirik, dalam arti tidak jelas manfaat
dan kemaslahatannya bagi kehidupan manusia, tidaklah banyak maknanya.
98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah penulis lakukan terhadap ayat-ayat yang masih
menjelaskan tentang ritual haji, penulis mendapati bahwa kesimpulan mengenai
penafsiran salah satu tokoh generasi sekarang, yakni Masdar Farid Mas’udi, yang
didasarkan atas rumusan masalah yang telah penulis buat sebelumnya, yaitu inti
pemikiran Masdar adalah menjadikan haji menjadi tiga kloter, sehingga wuqûf di
Arafah tidak hanya—tidak wajib—dilakukan pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah (hari
Arafah) sebagaimana ketentuan yang berlaku. Hal ini selain sesuai dengan
petunjuk ayat Q.S. al-Baqarah/2: 197, juga untuk menghindari masyaqqah.
Penulis sendiri memang mengakui eksistensi dari adanya dua hal di atas.
Secara kaidah penafsiran, jika dengan mendasarkan hal waktu haji tersebut pada
teori-teori usûl memang dapat diakui kebolehannya. Namun demikian, penulis
menganggap kurang pada penafsiran Masdar ini, terlebih dalam hal penawaran
solusi waktunya yang mana ia tidak memberikan lebih detail berkaitan dengan
waktu untuk menyebut nama Allah (takbîr) pada hari-hari tertentu yang telah
disebutkan dalam QS. al-Hajj/22: 28, demikian juga dengan kapan waktu kita
dapat menyaksikan penyembelihan secara bersama-sama. Hal tersebut penulis
anggap penting karena nantinya dengan adanya perubahan waktu wuqûf akan
menyeret konsekuensi manfaat atau hikmah haji yang telah disebutkan pada ayat
99
lain. Dari sini, terlihat bahwa Masdar seakan kurang memperhatikan munâsabah
antara ayat satu dan yang lainnya yang masih termaktub dalam al-Qur’an.
Adapun perbedaan penafsiran Masdar dengan mufassir sebelumnya, yaitu
lebih tertekan pada hal wuqûf saja. Hal tersebut maklum adanya karena memang
pelaksanaan ritual wuqûf zaman dahulu tidak begitu membludak, hingga
menghilangkan nyawa. Bisa jadi, bila salah seorang mufassir periode klasik ada
yang masih hidup pada zaman sekarang—yang mana tingkat peradaban manusia
sudah sebegitu njelimet dan serba instan—maka telah ada yang menafsirkan
seperti Masdar. Namun demikian, alasan bahwa adanya masyaqqât adalah hendak
menunjukkan ketebalan takwa seseorang bisa dipertimbangkan agar waktu wuqûf
tetap pada hari Arafah, karena memang suatu kaum dari masa satu ke masa
lainnya membawa tingkat kesulitannya masing-masing yang berbeda.
B. Saran
Adapun saran yang penulis ajukan:
1. Adanya penelitian lebih lanjut terhadap tafsir Masdar Farid ini, karena
penelitian dan data yang dipaparkan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu penulis senantiasa mengharap saran dan kritik yang membangun,
agar mendapatkan kesimpulan yang lebih valid.
2. Adanya kajian yang lebih mendalam terhadap mufassir kontemporer yang
merupakan generasi yang dekat dengan dunia kemodernan, karena
generasi mereka adalah generasi yang memiliki cita rasa perubahan sosial,
kemajemukan, serta penemuan-penemuan ilmu pengetahuan baru.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka Tarbiyah,
1985)
Abdalla, Ulil Abshar, Membakar Rumah Tuhan, (Bandung: Rosda Karya, 1999)
Abu Habieb, Sa‟di, Kesepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Ensiklopedi Ijma,
(Jakarta: Pustaka Firdaus Jakarta, 1987) cet. 1, h. 159-160
Adam, Muchtar, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996 M/1416 H) cet. 5
Al-Albânî, Muhammad Nasîr al-Dîn, Hajjatun Nabi Saw. Kamâ Rawâhâ ‘Anhu Jâbir
Ra. Penerjemah Uthman Mahrus dan Endy Muhammad Astiwara, Haji dan
Umroh seperti Rasulullah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994)
Ali, Atabik dan Muhdor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999)
Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987)
cet. 7
Asmani, Jamal Ma‟mur, “Telaaah Kritis Pemikiran Masdar”, artikel diakses pada
tanggal 11 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/telaah-kritis-pemikiran-masdar/
Bashier, Zakaria, Mekah Dalam Kemelut Sejarah. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus,
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994) cet. 1
Al-Biqâ‟î, Burhân al-Dîn Abû al-Hasan Ibrâhîm bin ‟Umar, Nazm al-Durar fî
Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, (Kairo: Dar al-Kutub al-Islâmi, 1389
H/1969 M) j. III
Al-Bukhârî, Muhammad Bin Ismâ‟îl Abû „Abdillah, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Bukhârî.
Pentahqîq Dr. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987) cet. 3,
j. II
Al-Dimasyqî, abû al-Fidâ‟ Ismâ‟îl bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Kairo:
Maktabah Aulâd al-Syaikh li al-Turats, 1421 H/2000M) cet. 1.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren, (2006) j. II
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren DEPAG RI, “KH. Masdar
Farid Mas‟udi”, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2010 dari
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content
&task=view&id=210
Farid, Ishak, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta
1999) cet. 1
Al-Farmawî, ‟Abd al-Hayy, Metode Tafsir Maudhu’iy. Penerjemah Suryan A.
Jamrah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. 2
Al-Ghazâlî, al-Wâjiz, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth) j. I
Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007)
cet. 2
Hurgronje, Christian Snouck, Perayaan Mekkah, (Jakarta: INIS, 1989)
Ibn Bâz, „Abd al-„Azîz ibn „Abdullah, al-Tahqîq wa al-‘Iddah li Katsîrin min Masâ’il
al-Hajji wa al-‘Umrah wa al-Ziyârah ‘alâ Dau’i al-Kitâb wa al-Sunnah.
Penerjemah Nurul Ulum, Ibadah Haji, Umroh, dan Ziarah Berdasarkan al-
Qur’an dan al-Sunnah, (Bandung: Gema Risalah Press, 1995)
Ja‟far, Muhammmad, “‟jalan Lain‟ Berhaji dan Berqurban”, artikel diakses pada
tanggal 03 Maret 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/jalan-lain-berhaji-dan-berqurban/
“Jama‟ah ONH Plus”, Kompas, 31 Januari 2004
Al-Jarjawî, Syekh „Ali Ahmad, Hikmat al-Tasyrî’ wa Falsafatuhû, (Beirut: Dâr al-
Fikri, 1997 M/1418 H) cet. 5
Jawa Pos 18 Januari 2009
Al-Jâzirî, ‟Abd al-Rahmân, Fiqh Madzhab Empat. Penerjemah Moh. Zuhri,
(Semarang: al-Syifa, 1994)
Khallâf, „Abd al-Wahhâb, Ilmu Ushulul Fiqh. Penerjemah Masdar Helmy, (Bandung:
Gema Risalah Press, 1997) cet. 2
Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan,
1987)
Mas‟udi, Masdar Farid, “Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan”,
artikel diakses tanggal 01 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/ironis-haji-menjadi-status-sosial-yang-
dilembagakan/
--------, “Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari‟at” dalam Zuhairi
Misrawi, ed., Menggugat Tradisi Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU,
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004) cet. 1
--------, “Meninjau Ulang Waktu Haji”, Jawa Pos, 18 Januari 2009
--------, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” dalam Abd Moqsith Ghazali,
Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis,
Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005
--------, “Zakat Bukan Money Laundering”, artikel diakses tanggal 01 Februari 2010
dari
http://islamlib.com/id/artikel/zakat-bukan-money-laundering/
Al-Misrî, Ibn Manzûr al-Afriqî, Lisân al-‘Arab, (Libanon: Dâr Sâdir, 1990) j. II
Nata, Abuddin, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) cet.
3
--------, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) cet. 7
Al-Nawâwî, Imam, Sahîh Muslim bi Syarh Imâm al-Nawâwî, (Libanon: Dâr al-Fikr)
j. I
PMII KOMFAKSYAHUM, “Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‟udi”, artikel diakses
tanggal 10 Februari 2010 dari
http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/12/19/sekilas-tentang-
masdar-farid-masudi/
Putuhena, M. Shaleh, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta : LkiS, 2007) cet. 1
Al-Qurtubî, Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Bakr ibn Fakhr, Tafsîr al-Qurtubi,
(Kairo: Dâr Syu‟ba, 1372 H) cet. 2, J. III
Rahardjo, M. Dawam, “Islam dan Modenisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi
Nurcholish Madjid”, dalam Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987)
Ramitha, Vina, “Politik Internasional: Penuhi Kebutuhan Haji”, diakses pada tanggal
05 Mei 2010 dari
http://inilah .com
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1997) cet. 30
Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”, diakses pada
tanggal 05 Mei 2010 dari
http://kliping.depag.go.id/downloads/355ae1c226c49408c1ace338ddb3c3a
5.pdf
Ringkasan Berita Terakhir “Jama‟ah Antre karena Toilet Tak Memadai”, diakses
pada tanggal 05 Mei 2010 dari
http://liputan6.com
Ringkasan Berita Terakhir “Kewajiban Haji Hanya Sekali”, diakses pada tanggal 05
Mei 2010 dari
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=145212&actmenu=39
Ringkasan Berita Terakhir “Naik Haji Tahun Depan Lebih Nyaman”, diakses pada
tanggal 05 Mei 2010 dari
http://www.antaranews.com/berita/1259608664/naik-haji-tahun-depan-
lebih-nyaman
Ringkasan Berita Terakhir “Pengasuh Ponpes Tegalrejo Dirikan Puslat Sepakbola”,
diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://www.tvone.co.id/pengasuh_ponpes_tegalrejo_dirikan_puslat_sepak_
bola.htm
Ringkasan Berita Terakhir “Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib”, diakses
pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://vivanews.com/117423-
santri_di_ponpes_tegalrejo_gelar_salat_goib.htm
Ringkasan Berita Terakhir “Selamatkan Ahli Tahlil”, diakses pada tanggal 10
Februari 2010 dari
http://www.gp-ansor.org/berita/kh-masdar-farid-mas‟udi-ketua-pbnu-
selamatkan-ahli-tahlil.html
Ringkasan Berita Terakhir “Wiranto Mengaku Dirinya Sebagai Guru yang Baik Bagi
SBY”, diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://www.hanura.com
Al-Sâbûnî, M. ‟Alî, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an. Penerjemah Saleh
Mahfoed, (Bandung: al-Ma‟arif, 1994) cet. 10
Al-Shiddieqy, Hasbi, Pedoman Haji, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)
Shihab, M. Quraish, M. Qurais Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut
Anda Ketahui, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 1430 H/2009 M) cet. 5
--------, Membumikan Al-Qur’ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994)
Sitonga, A. Rahman dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1997)
Suma, Muhammad Amin, Tafsir Ahkam 1, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1417
H/1997 M)
Supiana dan M. Karman, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002) cet. 1
Al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn, al-Asybâh wa al-Nadâ’ir, (Semarang: Maktabah Usaha
Keluarga, tth)
--------, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma’tsûr, Tahqîq: Dr. „Abd Allah bin „Abd
al-Muhsin al-Turkiy, (Kairo: Markaz Hijr li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-
„Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, 1424 H/2003 M) cet. 1, j. II
Al-Tabarî, Abû Ja‟far bin Muhammad bin Jarîr, Jâmi’u al-Bayân ‘an Ta’wîli Âyi al-
Qur’ân, di tahqiq oleh: Mahmûd Muhammad Syâkir (Kairo: Maktabah Ibn
Taimiyyah, 1374 H) cet. 2, j. IV
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
IKAPI, 1992)
Al-Tirmidzî, Muhammad Ibn „Îsâ Abû „Îsâ, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî.
Pentahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk. (Beirût: Dâr Ihyâ al-Turâts al-
„Arabî)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990)
Al-Zamakhsyarî, Abû al-Qâsim Mahmûd bin ‟Umar, al-Kasysyâf ’an Haqâ’iq
Ghawâmid al-Tanzîl wa ’Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Riyâd:
Maktabah al-‟Abîkân, 1998 M/1418 H) cet. 1
Al-Zuhailî, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj,
(Beirut: Dâr al-Fikr al-Ma‟âsir, 1411H/1991 M) j. XVII
TINJAUAN WAKTU HAJI
(Telaah Interpretasi Masdar Farid Mas’udi terhadap Surat al-Baqarah: 197)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Abdul Hasan Mughni
NIM: 105034001162
Pembimbing
Dr. Faizah Aly Syibromalisi, MA
NIP: 1955725 200012 2 001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi dengan judul : ”Tinjauan Waktu Haji: Telaah Interpretasi
Masdar Farid Mas’udi terhadap al-Baqarah/2: 197” yang ditulis oleh Abdul
Hasan Mughni, NIM: 105034001162, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah di
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
pada tanggal 14 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Program Strata 1 (S1)
pada jurusan Tafsir Hadis.
Jakarta, 14 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua, Sekretaris,
Dr. M. Suryadinata, MA Muslim, S.Th.I
NIP: 19600908 198903 1 005
Penguji I, Penguji II,
Dr. Yusuf Rahman, MA Drs. Zaenal Arifin Z, MA
NIP: 19670213 199203 1 002
Pembimbing,
Dr. Faizah Aly Syibromalisi, MA
NIP: 1955725 200012 2 001
iv
Kata Pengantar
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Tuhan sekalian alam; Tuhan segala hal;
Tiada kekuatan pun kecuali atas kehendak-Nya; Yang telah memberikan taufiq-Nya
bagi penulis untuk merampungkan skripsi ribet ini; Yang mendorong Kajur seakan
ngerjain penulis dengan menolak proposal hingga harus keempat kalinya; Yang
mendorong mata penulis tertuju untuk membeli buku merah berjudul Ijtihad Islam
Liberal; Yang mempertemukan penulis dengan dosen pembimbing setelah sempat
hampir satu bulan tidak bisa bertemu; Yang selalu ‘menguji’ hambanya dengan
‘masalah-masalah’ sakit, kurang dana, jauhnya jarak, dan sebagainya. Oh, sungguh
tiada sekutu satu pun bagi-Mu.
Engkaulah pencipta akal serta segala hal yang membingungkan dan
meyakinkannya. Engkaulah pencipta manusia dengan segala tafsiran dan ide-ide
kreatifnya. Engkaulah pencipta setan dengan segala pembangkangannya. Engkaulah
pencipta dunia dengan segala tempat dan waktu yang melingkupinya.
Solawat serta salam tetap tersanjungkan pada insan paling agung sepanjang
zaman, Muhammad Saw. Karena ia, dunia ini ada. Berkat dia, nikmat Islam dan
wahyu mampu dirasakan manusia setelahnya. Tak terbayangkan bila harus ada dunia
tanpamu karena tiada seorang pun yang akan mampu menyampai dan memberi
syafa’at tetapnya ajaran ini hingga hari akhir kecuali engkau, tanpamu, tanpa
keluargamu, tanpa sahabatmu, semuanya. Terima kasihku bagimu sekalian.
v
Penulis begitu berterima kasih pula bagi para guru yang telah sudi mendidik
dan mendoakanku. Mbah Muntaha Wonosobo, Abah Ilyas Bogor. Pengajaran kalian
semoga bisa penulis lanjutkan.
Juga pada para dosen dan guru-guru di sekolah formalku, yang selama
bertahun-tahun dengan sabar memberi waktu mereka demi memberikan sejumlah
wacana keislaman, keuniversalan, sosial, dan aqidah. Kepada Bu Faizah yang selalu
berupaya dengan ketulusan hati membimbing dan mewarnai pembentukkan skripsi
ini di sela-sela kesibukannya, Pak Eva yang sempat membuka secuil celah
permasalahan, bagi Pak Yusuf sebagai dosen yang menguji dan memberi tambahan
opini dan bagi para dosen lain, nama kalian tak bisa ku tuliskan satu-satu.
Terima kasih pula bagi kedua orang tua penulis. Meski dulu terkadang rasa
benci menyelimuti penulis, namun semuanya telah aku sesalkan. Kalian mendidikku
dengan pengajaran yang ternyata begitu aku kagumkan. Kerelaan kalianlah kerelaan
Tuhan. Semoga anakmu ini mampu menjadi cita-cita kalian.
Terima kasih dan permintaan maaf penulis sampaikan pula bagi mbahku,
terkhusus Mbah Jidah, yang mana penulis sempat hidup bersamanya, dengan fakta
masa lalu yang kini telah banyak dianggap sebagai dongeng kuno; dengan cerita-
cerita Belandanya; dengan kisah Ratu Hernianya, kisah-kisah perjuangan dulu yang
juga telah membentukku. Maafku untukmu tak bisa melihat senyum merah mu—
senyum ketulusan dari sebuah mulut tua karena nginang—dengan mempersembahkan
vi
wisuda pada semester kelima. Tapi di sisi-Nya ku yakin engkau sedang melirikku.
Kau telah kembali mendahuluiku pada Pemilikmu. Yang Ia juga Pemilikku.
Terima kasih buat para teman-teman TH-A 2005 yang militant dan berdaya
juang tinggi; teman-teman SMA yang dengan sabar mendukungku; teman-teman
SMP yang hingga sekarang pun masih banyak setia denganku.
Sahal! Sudah tak membebanikah kau bagi orang-orang di sekitarmu?; Ubay!
Telah bermanfaatkah ilmu Ushuluddinmu?; Aqib… cepatlah ajukan proposal! Usia
mudamu sudah tak tertutupi lagi oleh wajahmu; Maksal… buruan kejar nilaimu!
Tidak kasihankah kau pada wanita setulus Susi yang senantiasa sabar
membimbingmu?; Omen… gaulilah sekelilingmu! Mereka juga butuh kehangatan
dermamu; Ummu… ah! Aku pun sudah tak tahu mesti bilang apa untuk
memotivasimu; Ratih… tak perlu lah! Jutaan perubahan menghadang di dunia luar;
Hendri! Makasih sudi menemaniku wisuda; Ismail! Salutku padamu yang tak peduli
nilai formal demi estetika keindahan; Aini! Semoga langgeng bersama Ipin, ia teman
baik bagiku juga; Apis! Entah kenapa ku teringat Raju Rastogi dalam 3 Idiots bila
melihatmu. Selamat! Kau telah menjadi juara MTQ nasional sekarang; Riski!
Silahkan nikmati raisonalitasmu hingga kau menganggap penting artinya sebuah
tindakan; Agus! Teruskanlah tindakanmu hingga bisa menikmatkannya pada
kenyataan; Izu! Aku sudah tak bisa berkata-kaa lagi bila berhadapan denganmu; Izi!
Maafkan aku bila punya salah ya!; Mbak Fai! Aku salut padamu; Vina! Pesan
vii
namamu tanpa ‘A’ ya! Teman-teman ku semua yang tak sanggup ku sebut satu per
satu.
Semuanya! Kuharap kalian terima rasa kasihku ini, semoga tulisan ini mampu
menjadi wasilah rasa banggaku pada kalian, yang telah membantuku sedemikian,
sebagai aku, Abdul Hasan Mughni. Sungguh, tak ada salah satu dari kalian, maka tak
ada aku seperti sekarang. Sekali lagi, maaf dan terima kasih pada semuanya, berkat
perantara kalian semua, insya Allah, diri ini masih diliputi cinta-Nya. Segala puji bagi
Tuhan Semesta, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang Merajai hari
pembalasan.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
PENGESAHAN PEMBIMBING .......................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................................... iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................... 8
C. Kajian Pustaka ...................................................................................... 10
D. Tujuan Penelitian .................................................................................. 12
E. Metodologi Penelitian........................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14
BAB II BIOGRAFI SERTA KARAKTER PEMIKIRAN MASDAR FARID
MAS’UDI ................................................................................................. 15
A. Riwayat Hidup Masdar Farid Mas’udi ................................................. 15
B. Karakter Pemikiran ............................................................................... 26
1. Karakteristik Fikih ............................................................................ 26
2. Karakteristik Kemodernan ................................................................ 28
C. Karya-karyanya ..................................................................................... 32
BAB III PERIHAL HAJI DAN PROBLEMATIKANYA .............................. 35
A. Praktek Ritual Haji Pra-Islam dan Sesudah Islam ................................ 35
B. Pengertian dan Tata Cara Haji .............................................................. 41
1. Syarat Haji ........................................................................................ 43
2. Rukun Haji ........................................................................................ 44
3. Denda ................................................................................................ 44
ix
4. Hikmah Haji ..................................................................................... 46
C. Problematika Ritual Haji Zaman Sekarang .......................................... 48
1. Jumlah Jama’ah................................................................................ 48
2. Registrasi di Negeri Masing-masing ................................................ 51
BAB IV PENAFSIRAN TERHADAP AYAT HAJI ........................................ 55
A. Tafsiran QS. al-Baqarah/2: 197 ............................................................ 55
B. Penafsiran Masdar ................................................................................ 65
1. Latar Belakang Dasar Penafsiran ..................................................... 65
2. Pemahaman Terhadap Hadis............................................................ 74
3. Penawaran Solusi Waktu ................................................................. 77
4. Manfaat yang Dapat Diambil ........................................................... 81
C. Counter Terhadap Penafsiran Masdar .................................................. 84
1. Lafadz Asyhurun Ma’lûmât Merupakan Makhsûs ........................... 85
2. Adanya Masyaqqât Menunjukkan Ketebalan Takwa ...................... 94
3. Ritual Haji Merupakan Bentuk Ibadah Vertikal .............................. 96
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 98
A. Kesimpulan ............................................................................................... 98
B. Saran .......................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
q = ق z = ز a = أ
k = ك s = س b = ب
l = ل sy = ش t = ت
m = م s = ص ts = ث
n = ن d = ض j = ج
w = و t = ط h = ح
h = ه z = ظ kh = خ
y = ي ' = ع d = د
gh = غ dz = ذ
f = ف r = ر
2. Vokal Panjang
Vokal (a) panjang = â, contoh: ق لق = Qâla
Vokal (i) panjang = î, contoh: يلق = Qîla
Vokal (u) panjang = û, contoh: ددونق = Dûna
3. Diftong
au = ق و
ai = ق ي
4. Syaddah
Tanda syaddah ditransliterasikan dengan mengulang huruf yang diberi tanda
tasydid. Misalnya madda
5. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, ال.
Transliterasinya dibedakan antara huruf syamsiyah dengan qomariyyah.
xi
a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai
bunyinya, yaitu huruf "L" diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang
langsung mengikuti kata sandang itu. Misalnya al-Syamsu, al-Nûr.
b. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah ditransliterasikan sesuai
dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai bunyinya. Misalnya al-
Badru, al-Wathan.
6. Hamzah
Bila hamzah itu terletak di awal kata maka dilambangkan sesuai harakat yang
disandangkan pada huruf, karena dalam tulisan Arab berupa alif.
7. Pengecualian Transliterasi
Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa
Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, kecuali menghadirkannya
dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan ke-konsisten-an dalam penulisan.
8. Foot note
Ziauddin Ahmad, al-Quran: Divine Book of Eternal Value (Karachi: Royal Book
Company, 1989) h. 100
Dalam pengulangan, cukup menyebutkan seperti berikut :
Ziauddin Ahmad, al-Quran: Divine Book of Eternal Value ..., h. 90
9. Singkatan-singkatan
Swt = Subhânahû wa ta’âlâ
Saw = Sallâ Allah ‘alaihi wa sallam
As = ‘Alaihi al-salâm
xii
Ra = Radiya Allah ‘anhu
H = Tahun Hijriah
M = Tahun Masehi
W = Wafat
tt = Tanpa Tempat
tth = Tanpa Tahun
tp = Tanpa Penerbit
ed = editor
10. Daftar Pustaka
Abdillah, Mujiono, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, (Jakarta:
Paramadina, 2001) cet. 1.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada majalah Tempo awal 1990-an, tertulis pendapat yang cukup aneh dari
seorang tokoh intelektual NU bahwasanya waktu pelaksanaan haji perlu ditinjau
ulang. Menurut Masdar Farid Mas‟udi—begitulah nama lengkap penggagasnya,
selanjutnya penulis singkat dengan Masdar—sekaranglah saatnya diperlukan
solusi yang lebih radikal dari sekedar membatasi kuota dan memperluas tempat-
tempat penampungan jemaah. Hal yang cukup mengagetkan memang, karena
selain pelaksanaannya yang telah berlangsung sekitar 1400 tahunan, haji telah
dianggap muslim sebagai ibadah ritual yang bukan hanya bernilai sosial, tetapi
juga ibadah mahdah kepada Tuhan dan merupakan rukun dalam agama Islam
yang kelima.
Hampir setiap muslim yang berakal di seluruh dunia mungkin tahu, bahwa
yang namanya rukun sendiri merupakan hal yang wajib dipenuhi agar keislaman
seseorang menjadi sempurna. Bisa dikatakan, mana saja muslim yang telah
mampu—baik jiwa raga maupun biaya—sedangkan ia belum juga menjalankan
ibadah haji, maka muslim tersebut akan menanggung dosa selama hajinya tadi tak
terpenuhi. Betapa pentingnya ibadah ini juga, barangkali yang menyebabkan
prosesi pelaksanaannya menjadi sakral serta menuntut muslim agar dilakukan
dengan benar berdasarkan tuntunan nabi Saw, mulai dari syarat, rukun, hal yang
menjadikan batal, hingga tata cara, dan waktu pelaksanaannya.
2
Namun demikian, bagaimanakah jadinya bila muncul suatu pendapat
seperti dari Masdar di atas yang mempertanyakan peninjauan ulang mengenai
waktu pelaksanaannya. Tentu pendapat tadi tidak dengan baik diterima
masyarakat bahkan terkesan adanya penolakan yang hingga saat ini pun belum
ada tindak lanjut dari pihak pemerintah, khususnya di Indonesia—dalam hal ini
DEPAG—yang selain instansi tadi ditunjuk sebagai regulator, ia juga
memposisikan diri sebagai kontroler. Terlepas dari hal tersebut, di sini penulis
berkeinginan untuk menelaah penafsiran Masdar sendiri yang bisa terbilang masih
aneh.
Sebagaimana kita ketahui, al-Qur‟an yang dinilai sebagian pakar sebagai
intan ini1 begitu multitafsir, setiap lafadnya memancarkan berbagai makna, hingga
tak ayal perbedaan dan pertentangan pendapat pun terjadi. Penulis sendiri menilai
hal tersebut sebagai cobaan dan hikmah kehidupan yang seakan Tuhan
menghendakinya, dalam al-Qur‟an disebutkan:
ولو كان من عند غي اهلل لوجدوا فيه اختالفا كثي را
“Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S. al-Nisâ‟/4: 82)
Ayat di atas memang tidak secara langsung menyatakan bahwa al-Qur‟an
itu menyebabkan perbedaan. Namun bila diperhatikan lebih lanjut, ayat tersebut
bagaikan kalimat retoris „seandainya saja al-Qur‟an bukan dari Allah, pastilah
pertentangan yang terjadi akan lebih banyak—baik itu dari segi keotentikan dan
keindahan bahasanya; kebenaran data dan sejarah perbuatan umat masa silam;
1 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994) h. 16
3
kecocokan dan ketepatan prediksinya dengan penemuan di masa sekarang;
ataupun yang selainnya—karena al-Qur‟an sendiri saja, yang kenyataannya benar-
benar dari Tuhan masih juga diperdebatkan, paling tidak dalam upaya
interpretasinya juga pastilah ada perbedaan‟. Hal perbedaan tersebut bagi penulis
merupakan eksistensi yang tak bisa ditolak.
Lebih lanjut penulis berpandangan, dalam memahami—mungkin bisa juga
sekaligus menilai kebenaran—al-Qur‟an, maka upaya tersebut tergantung juga
pada orientasi kita. Jika bertujuan untuk penelitian sejarah, maka kita perlu
menilainya dari tekstualis ayat. Sedangkan bila tujuannya adalah demi menarik
„manfaat‟ untuk kehidupan zaman ini, maka diperlukanlah penafsiran secara
kontekstual dengan menarik kesimpulan nilai-nilai saat turunnya wahyu dan
mengkondisikannya dengan keadaan sekarang.
Adapun perbedaan penafsiran Masdar dengan beberapa mufassir dan
ulama-ulama fiqh sebelumnya lebih tertekan pada waktu pelaksanaannya saja,
khususnya saat berkumpul di Arafah. Masdar menyatakan:
“Dalam al-Qur‟an, sesungguhnya kita menemukan satu ayat yang sangat
sarîh, yaitu ayat “al-hajju asyhurun ma‟lûmât” (haji itu waktunya adalah
beberapa bulan yang diketahui). Jadi tegas sekali di dalam ayat itu
diterangkan bahwa waktu haji itu beberapa bulan, bukan beberapa hari.
Bahwa sekarang ini dipersempit menjadi hanya lima hari (waktu efektif),
memang karena waktu praktek Rasulullah yang berhaji hanya sekali, dan
kebetulan pada hari-hari itu tadi (9-13 Dzû al-Hijjah).”2
Jadi menurut Masdar, waktu pelaksanaan ibadah haji itu beberapa bulan,
yaitu bisa di bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, atapun pada bulan Dzû al-Hijjah.
Hal ini tentunya bila dipraktekkan akan memudahkan para jama‟ah haji yang
2 Masdar Farid Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” dalam Abd
Moqsith Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis
(Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005), h. 152
4
memang kenyataannya mengalami berbagai masyaqqât dalam pelaksanaanya pada
saat sekarang ini, mulai dari penampungan-penampungan yang perlu diperluas,
mudahnya terjadi kebakaran karena padatnya perkemahan—selain juga panasnya
negeri Arab—bahkan kasus yang terbaru adalah pembatalan kuota sejumlah
30.000 jama‟ah haji yang tentunya menjadikan penyesalan tersendiri bagi orang
yang mau menjalankan ibadah ke rumah Allah.
Adapun pelaksanaan yang berlaku dari dahulu hingga sekarang yang
mensyaratkan adanya wuqûf di Arafah pada hari Arafah merupakan adat yang
akhirnya menjadi sakral karena kebetulan rasul pernah mempraktekkannya pada
hari tersebut. Dalam menguatkan argumennya berkaitan dengan hadis Arafah,
lebih lanjut Masdar menambahkan:
“Tapi akhirnya dipahami bahwa haji hanya sah pada hari itu-itu saja.
Lebih-lebih ada hadis yang mengatakan bahwa “al-hajju „arafah”, atau
haji itu adalah wuqûf di Arafah. Nah, hadis ini yang kemudian dipahami
bahwa haji itu intinya bukan hanya wuqûf di tempat bernama Arafah, tapi
juga wuqûf di hari Arafah. Inilah yang sebetulnya menjadi problem. Dan
menurut saya, problem ini harus dipecahkan.”3
Sebenarnya secara keseluruhan, penafsiran Masdar mengenai waktu haji
itu beberapa bulan—kalau dalam bahasa Arabnya asyhur—tidak begitu berbeda
dengan para mufassir sebelumnya. Al-Zamakhsyari (538 H) misalnya menyatakan
bahwa yang dimaksudkan dengan lafad asyhurun ma‟lûmât adalah Syawwâl, Dzû
al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah.4 Pendapat senada juga tertulis dalam beberapa
kitab tafsir sesudahnya, seperti Ibn Katsîr (w. 774 H) yang mengutip dari hadis
3 Mas‟udi, “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang” …, h. 152
4 Abû al-Qâsîm Mahmûd bin ‟Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‟an Haqâ‟iq Ghawâmid
al-Tanzîl wa ‟Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl (Riyâd: Maktabah al-‟Abîkân, 1998 M/1418 H)
cet. 1, juz. I, h. 405
5
riwayat Bukhâri5, al-Suyûti (911 H)
6, dan sebagainya. Lebih-lebih, dalam kitab-
kitab tafsir tersebut tidak banyak—meskipun ada juga beberapa yang mencoba
mengkorelasikannya dengan menganggap hadis Arafah sebagai takhsîs dari surat
al-Baqarah ayat 197 di atas—menafsirkan dengan mengkorelasikannya terhadap
lafad „arafah yang terdapat dalam hadis. Kebanyakan dari mereka justru banyak
memaparkan bahwa apakah kata asyhur tersebut hanya tiga bulan tadi, ataukah
seluruh bulan. Dari sini jugalah sebabnya Masdar mempertanyakan kenyataan
sekarang yang mana kenapa hari pelaksanaan haji hanya lima hari efektif dan
selanjutnya menganggapnya merupakan adat semata.
Mengenai bunyi hadis yang menyebutkan bahwa waktu haji itu tiga bulan
dan dijadikan dasar dalam menjelaskan ayat di atas adalah;
ثنا ور اء، : اا الل ارر ثنا أبو ن عيم، حد ثنا أحد بن حازم بن أيب غرزة، حد حدأواار وذو : اا {اا ج أأ رر مع وماار }عن علد اهلل بن دينار، عن ابن عمر اا
اللعدة وع رر من ذر اا 7
Adapun diantara mufassir yang menyebutkan ketentuan waktu haji seperti
tersebut di atas dan juga mensyaratkan adanya kewajiban wuqûf di Arafah pada
hari Arafah adalah M. Quraish Shihab, Muhammad „Alî al-Sabûni, dan al-
Qurtubi. Quraish Shihab menyebutkan berkaitan perbedaan umroh dengan haji.
Umroh terambil dari akar kata yang sama dengan ma‟mûr. Dari segi bahasa,
5 Abu al-Fida‟ Ismail bin Katsir al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‟an al-„Azim (Kairo:
Maktabah Aulad al-Syaikh li al-Turats, 1421 H/2000M) cet. 1, j. II, h. 239 6 Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma‟tsûr, Tahqîq: Dr. „Abd
Allah bin Abd al-Muhsin al-Turki (Kairo: Markaz Hijr li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-„Arabiyyah
wa al-Islâmiyyah, 1424 H/2003 M) cet. 1, j. II, h. 374 7 Muhammad Bin Ismâ‟îl Abû „Abdillah al-Bukhârî, al-Jâmi‟ al-Sahîh al-Bukhârî.
Pentahqîq Dr. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987) cet. 3, j. II, h. 570
6
umroh berarti „sesuatu yang memakmurkan‟. Menurut istilah hukum Islam,
Umroh adalah berkunjung ke Ka‟bah dengan cara tertentu sesuai dengan
ketentuan yang digariskan oleh agama, yakni memakai pakaian ihram dari tempat
tertentu, bertawâf tujuh kali mengelilingi Ka‟bah, melakukan sa‟i antara bukit
Safâ dan Marwah, serta menggunting atau mencukur rambut (dalam rangka
memakmurkan jiwa). Ini harus dilakukan sesuai dengan urutan itu. Umroh tidak
mempunyai waktu tertentu, boleh dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Bahkan
dalam setahun, Umroh dapat dilakukaan beberapa kali. Sementara itu, haji ada
waktunya, yakni bulan Syawwâl, Dzû al-Qa‟dah, dan Dzû al-Hijjah. Selain
aktivitas yang disebut di atas tentang Umroh, masih ada aktivitas lain yang harus
dilakukan oleh orang yang berhaji, yakni berada (wuqûf) di padang Arafah pada
tanggal 9 Dzû al-Hijjah, melontar jumrah, dan lain-lain.8
Dari statemennya tersebut, Quraish Shihab agaknya mencocokkan
pendapatnya dengan adanya kewajiban wuqûf di padang Arafah pada hari Arafah.
Pendapat ini disebutkan juga oleh al-Sâbûnî sebagai pendapat jumhur ulama,
selanjutnya ia mengatakan bahwa waktu wuqûf dimulai dari tergelincirnya
matahari, pada tanggal 9 Dzû al-Hijjah, sampai terbit fajar pada tanggal 10 Dzû
al-Hijjah, dan bahwasanya wuqûf di Arafah sudah dapat dinyatakan sah, apabila
orang hadir di padang Arafah untuk sebagian waktu saja dari jarak waktu tersebut
di atas, baik pada waktu siang harinya, maupun pada malam harinya, dengan
ketentuan bahwa orang yang berwuqûf pada siang hari, maka wajib baginya
8 M. Quraish Shihab, M. Qurais Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 1430 H/2009 M) cet. 5, h. 239
7
meneruskan wuqûfnya sampai terbenam matahari, sedang orang yang memulai
wuqûfnya pada malam hari, tiadalah kewajiban sesuatu atasnya.9
Bila demikian adanya, berarti meskipun Quraish Shihab, al-Qurtubi, dan
al-Sâbûni membolehkan pelaksanaan haji pada bulan Syawwâl misalnya mulai
dari niat berihrâm, akan membawa konsekuensi tetap harus adanya wuqûf hingga
pada saat bulan Dzû al-Hijjah selama hampir tiga bulan di tanah haram. Hal
wuqûf yang diharuskan adanya pada hari Arafah inilah yang berbeda dengan
pamaknaan Masdar dan dianggapnya sebagai masyaqqah. Karena baginya telah
dinilai sah orang yang sedang berhaji untuk pulang pada bulan Syawwâl, dengan
syarat orang tersebut telah wuqûf di Arafah.
Masdar sendiri banyak menjadikan kaidah-kaidah usûl sebagai dasar
pengambilan pendapatnya. Ia melihat bahwa pelaksanaan haji sekarang ini sudah
mencapai masyaqqât dan selanjutnya mengharuskan adanya kemudahan karena
agama itu dalam hakikat dan tujuannya adalah memudahkan dan memberikan
petunjuk, namun ternyata dalam prakteknya, masyarakat sekarang justru malahan
terlihat terberatkan dalam menjalani ibadah. Namun demikian, Masdar sendiri
tidak langsung menyalahkan mufassir dan ulama-ulama fiqh klasik karena
memang hampir bisa dipastikan bahwa ritual haji pada saat nabi dan ulama-ulama
fiqh masa lalu tidak didapatkan adanya masyaqqât. Bila sudah demikian, apakah
sekarang saatnya.
Dari beberapa latar belakang masalah inilah, ditambah pula untuk
mengetahui pendekatan metode Masdar dalam menafsirkan ayat diatas serta
9 M. „Ali al-Sâbûnî, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟an. Penerjemah Saleh
Mahfoed (Bandung: al-Ma‟arif, 1994), cet. 10, j. I, h. 453
8
mengkorelasikannya dengan ayat-ayat haji lain dan hadis Arafah, penulis
menganggap penting pembahasan ini dengan memberikan judul “TINJAUAN
ULANG WAKTU HAJI (Telaah Interpretasi Masdar Farid Mas’udi
terhadap Surat al-Baqarah: 197)”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
Sebelum menyinggung pembahasan waktu pelaksanaan haji, perlu
diketahui juga bahwa dalam menafsirkan sebuah teks ataupun ayat al-Qur‟an,
pastilah dalam diri penafsirnya terdapat konteks dunianya sendiri—pada proses
pembentukan dasein ini, yang dianut adalah paham existensialisme, ukurannya
adalah experience—yang mana hal tersebut mempengaruhi juga terhadap konklusi
penafsiran, termasuk juga dalam hal ini yaitu kehidupan dari seorang mufassir.
Oleh karena itulah, pada bab-bab selanjutnya nanti, penulis perlu menjelaskan
biografi dan karakter pemikiran Masdar terlebih dahulu, agar dari situ dapat
dengan mudah diketahui pendekatan metode manakah yang ia gunakan dalam
menafsirkan ayat di atas. Begitu juga dengan menyinggung pandangan mufassir-
mufassir lain dan konteks turun ayat beserta hadis yang melingkupinya—diantara
fungsi hadis sendiri merupakan penjelas dan pengkhusus suatu ayat—yang
nantinya dapat diperkirakan kenapa dalam sebuah tafsir terdapat perbedaan-
perbedaan konklusi.
Berkaitan dengan permasalahan haji, dalam al-Qur‟an sebenarnya ada
cukup banyak ayat-ayat yang menjelaskan ritual-ritual haji. Namun tidak semua
ayat tersebut menjelaskan waktu satu per satu ritualnya secara langsung.
9
Penyebutan mengenainya berkisar mengenai tata cara, dam (denda), hal-hal yang
tak diperbolehkan, bacaan-bacaan yang diajarkan, hukum kewajiban haji,
keutamaan rumah Allah, dan lain sebagainya. Penjelasan yang masih bersifat
global tersebut bisa kita dapati pada ayat-ayat, antara lain dalam surat al-
Baqarah/2: 124-129, 158, 196-203, Âlu „Imrân/3: 96-97, al-Taubah/9: 3, dan al-
Hajj/22: 26-34. Adapun mengenai ayat yang menyebutkan waktu prosesinya,
selain yang disebutkan di atas, penulis juga mendapati dua ayat yang dirasa bila
kita mengkorelasikan dengan ayat al-Baqarah/2: 197 tersebut masih berkaitan
dengan proses wuqûf itu sendiri.
Sebagaimana dapat diketahui pada latar belakang masalah, beberapa
mufassir klasik sendiri tidak banyak berbeda pendapatnya dengan Masdar karena
mereka tidak banyak menekankan waktu pelaksanaan satu per satu prosesi haji.
Namun, pendapat-pendapat mereka juga tidak secara langsung mendukung
Masdar, terlebih dalam masalah wuqûf di Arafah. Hal ini bisa jadi disebabkan
karena prosesi haji pada saat itu belum sebegitu membludaknya seperti pada
zaman sekarang.
Adapun permasalahan waktu haji—sebagaimana dapat diketahui pada latar
belakang di atas pula—penulis mengkhususkan pembahasannya yaitu pada ayat
ke-197 dari surat al-Baqarah, karena ayat inilah yang dijadikan dalil dasar oleh
Masdar dalam pengambilan pendapatnya. Selanjutnya, penulis juga merasa perlu
kembali pada ayat tersebut, yang mana memang waktu yang tersirat dari ayat
tersebut seakan terlupakan oleh kebanyakan muslim sekarang ini sekaligus
penulis menambahkan pembahasannya dengan menggunakan kaidah dasar dalam
10
penafsiran, yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, sehingga nantinya
penulis berusaha untuk mengkorelasikannya dengan ayat-ayat lain yang tentunya
masih ada kaitannya dengan waktu haji, yaitu al-Baqarah/2: 203, al-Hajj/22: 28,
dan al-Baqarah/2: 203. Metode tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an ini juga dinilai
oleh beberapa pakar tafsir sebagai kaidah dasar tafsir yang utama dan mesti
didahulukan dari pada kaidah selainnya,10
seperti kaidah syar‟i, atau kaidah
kebahasaan.
Diantara kaidah dasar tafsir yang lain adalah penafsiran al-Qur‟an dengan
hadis nabi.11
Oleh karena itu, nantinya dalam menjelaskan ayat-ayat dari surat al-
Baqarah/2: 197 dan 203, serta al-Hajj/22: 28 akan dihadirkan beberapa hadis yang
meliputinya dan tentunya juga disertai pemahaman Masdar mengenainya.
Dari identifikasi dan pembatasan di atas, kiranya bisa diketahui beberapa
poin perumusannya, yaitu: Bagaimanakah penafsiran dan metode Masdar dalam
memahami ayat? Dan penafsiran Masdar manakah yang berbeda dengan mufassir
sebelumnya dan praktek ritual haji sekarang ini?
C. Kajian Pustaka
Dalam perbendaharaan kumpulan skripsi TH, penulis hanya mendapatkan
tiga buah pembahasan yang mengangkat tema haji. Pertama, berjudul Perintah
Haji dalam al-Qur‟an, ditulis oleh Kustiana Arisanti yang membahas pengaruh
masyarakat pra-Islam terhadap haji dan objek perintah haji dalam ayat-ayat
tersebut. Kedua, judul skripsi Telaah Hadis Pelaksanaan Ibadah Haji Sebelum
10
Supiana dan M. Karman, Ulum al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), cet. 1, h.
283 11
Supiana dan Karman, Ulum al-Qur‟an …, h. 279
11
dan Sesudah Hijrah membahas jumlah pelaksanaan haji nabi ditulis oleh Deden
Muhammad. Sedangkan yang ketiga, baru-baru ini ditulis oleh Sopiyah yang lulus
tahun 2010 menitik beratkan pada takhrîj hadis dengan judul Pelaksanaan Ibadah
Haji Berulang-ulang.
Melihat dari berbagai judul yang diangkat di atas—yang tidak banyak
mengambil tema untuk mengkritisi haji—semakin terlihatlah apa yang telah
penulis kemukakan pada latar belakang masalah betapa haji itu merupakan suatu
yang urgen bagi kebanyakan rata-rata muslim. Bisa jadi hal tersebut dikarenakan
pembahasan mengenainya telah mendekati sempurna dan tanpa celah lagi untuk
diberi ruang ijtihad, atau bisa juga karena ibadah haji begitu sakral yang memang
notabenenya ibadah tersebut merupakan rukun Islam yang terakhir hingga seakan
tabu bila ada orang yang hendak mengkritisinya. Dari segi inilah barangkali yang
membedakan skripsi ini dengan pembahasan-penbahasan yang lain, meskipun
sekedar telaah pemikiran.
Secara khusus, buku-buku atau bentuk tulisan lain yang mengambil tema
waktu haji—dalam hal ini bermukim di Arafah—boleh di dua bulan sebelum
bulan haji tidak banyak penulis ketemukan. Buku-buku yang banyak penulis
dapati adalah berbagai pendapat yang menyarankan betapa pentingnya haji,
hukum-hukum haji dalam fiqih, dan juga cerita-cerita seputar haji, baik itu yang
baik ataupun yang buruk. Namun demikian, ada juga buku-buku yang beredar
meski sedikit jumlahnya yang cukup kritis membahasnya, baik itu dari segi
konstruksi maupun rekonstruksi yang mana biasanya di dalamnya dilakukan
12
pemaknaan ulang atau juga kritik sosial, seperti Haji Pengabdi Setan karya Ali
Mustofa Ya‟kub.
D. Tujuan Penelitian
Kesengajaan penulis mengambil tema dengan memberi judul di atas dalam
studi ini bertujuan antara lain ke dalam poin-poin berikut:
Mampu mengetahui bagaimana penafsiran dari ayat yang sama bisa
menjadi berbeda dalam praktek pengaplikasiannya.
Mendorong para muslim agar lebih bersifat kritis dalam membedakan
mana yang budaya dan mana yang merupakan ajaran.
Meningkatkan semangat ijtihad.
Mengetahui makna dan hikmah ibadah haji.
Meningkatkan pengetahuan tentang cara memecahkan solusi pada problem
kemasyarakatan setelah melewati proses ijtihad
E. Metodologi Penelitian
Dalam menjelaskan penelitian ini, penulis menggunakan model metode
penafsiran maudû‟i sebagai metode pembahasannya, yaitu dengan menghimpun
ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki maksud yang sama dan menyusunnya berdasar
kronologi serta sebab turunya ayat-ayat tersebut.12
Sedangkan untuk coraknya,
bercorakkan linguistic dan dalam beberapa hal banyak menggunakan studi fiqhî
sebagai objek kajiannya.
12
Abd Al-Hayy Al-Farmawî, Metode Tafsir Maudhu‟i. Penerjemah Suryan A. Jamrah
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. 2, h. 36
13
Adapun sehubungan landasan operasional penulisan yang menggunakan
buku-buku terkait erat dengan judul yang penulis ambil, maka bisa dibilang
metode yang penulis gunakan dalam membuat karya tulis ini adalah penelitian
kepustakaan (library research) sebagai metode pengumpulan datanya.
Adapun referensi primer yaitu tulisan dari Masdar dan juga kitab-kitab
tafsir mulai dari masa klasik hingga modern, seperti: Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm
karya Ibn Katsîr, al-Durr al-Mantsûr karya al-Suyûtî, Tafsîr al-Munîr karya
Wahbah al-Zuhailî, Safwat al-Tafâsîr karya al-Sâbûnî, dan selainnya yang
membahas tema haji pada ayat di atas. Adapun pendapat-pendapat Masdar,
banyak tertuang dalam buku Ijtihad Islam Liberal dan juga alamat website
islamlib.com. Pada URL tersebut banyak juga termuat tulisan-tulisannya
berbentuk artikel, makalah, ataupun dialog. Dan untuk mengetahui lebih lanjut
pemikirannya—berhubung Masdar masih hidup—penulis juga berusaha langsung
menemuinya ataupun sekedar mengikuti seminar-seminar yang ia datangi.
Sedangkan referensi sekunder berupa buku-buku pendukung untuk
melacak akar metodologi dari pemikiran tokoh, sekaligus sebagai pendukung
penganalisisan penulis dalam mengambil konklusi. Penelitian kepustakaan ini
akan disajikan dengan pendekatan deskriptif-analitis agar perangkat teoritik yang
tersedia dalam referensi sekunder tadi dapat berkorelasi dengan data-data yang
ditemukan dalam referensi primer.
Adapun metode penulisan skripsi ini merujuk pada buku “Pedoman
Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
2005/2006” yang diterbitkan oleh Biro Administrasi Akademik dan
Kemahasiswaan FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2005.
F. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri atas beberapa sub-
bab. Untuk memudahkan pembahasannya digunakan sistematika sebagai berikut:
Pada bab pertama, terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, identifikasi, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian,
kajian pustaka, metodelogi penelitian serta sistematika penulisan.
Bab kedua, agar dapat mengetahui dengan jelas metode penafsiran
Masdar, penulis membahas tentang biografi dari Masdar Farid Mas‟udi, mulai
dari riwayat hidup, latar belakang sosial dan intelektual, corak dan karakter
pemikiran, serta karya-karyanya.
Pada bab ketiga, akan dijelaskan tentang bagaimana praktek ritual haji pra-
Islam dan sesudah Islam datang. Selanjutnya, ditambah dengan pengertian, syarat,
rukun, hal yang membatalkan, dan hikmah haji itu sendiri serta ditutup dengan
pemaparan berbagai problematika ritualnya pada zaman sekarang.
Dalam bab keempat akan dipaparkan sekilas tafsiran surat al-Baqarah ayat
197 dilanjutkan dengan penafsiran Masdar mulai dari latar belakang hingga
manfa‟atnya dan diimbangi dengan beberapa kounter yang dihadapkan terhadap
Masdar.
Terakhir pada bab kelima, penulis memberikan kesimpulan dan saran
kemudian menutupnya dengan daftar pustaka.
15
BAB II
BIOGRAFI SERTA KARAKTER PEMIKIRAN MASDAR MAS’UDI
A. Riwayat Hidup Masdar Farid Mas’udi
1. Pertumbuhan
Sebagai salah satu kandidat Ketua Umum PBNU 2010, tentu bisa dibilang
Masdar adalah seorang yang cukup berpengaruh dalam sosial kemasyarakatan,
serta mumpuni dalam berorganisasi. Kita tahu juga, ormas NU itu sendiri
merupakan ormas Islam terbesar di dunia yang pastinya menempatkan Masdar
pada perkenalannya dengan berbagai tokoh, baik nasional maupun internasional.
Masdar sendiri sebenarnya sudah memiliki garis keturunan kyai yang bila
saja Masdar ingin sekedar memanfaatkan ketenaran, tentu ia sudah
mendapatkannya tanpa harus bertemu dan meminta pada beberapa tokoh besar.
Namun demikian, ia lebih mengutamakan kepakaran keilmuan daripada
mengandalkan segi nasab tersebut, bahkan seperti kedekatannya dengan mbah Ali
Maksum adalah merupakan permintaan mbah Ali sendiri yang menasihatinya
untuk tidak langsung ke IAIN, melainkan untuk mengajar dan menjadi asisten
pribadi mbah Ali terutama dalam tugas-tugas beliau sebagai dosen luar biasa IAIN
(sekarang UIN) Sunan Kalijaga.1
Masdar lahir pada tahun 1954 di dusun Jombor, Cipete, Cilongok,
Purwokerto dari pasangan Hj. Hasanah dan Mas‘udi bin Abdurrahman. Ayahnya
seorang kyai masyarakat melalui kegiatan ta‘lim dari kampung ke kampung.
1 PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖, artikel diakses
tanggal 10 Februari 2010 dari
http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/12/19/sekilas-tentang-masdar-farid-masudi/
16
Sampai dengan kakeknya, kyai Abdurrahman, Jombor dikenal dengan pesantren
salafnya yang telah dirintis oleh moyangnya, Mbah Abdussomad, yang
makamnya sampai sekarang masih selalu diziarahi oleh masyarakat Islam di
daerah Banyumas.2
Kegeniusan pemikiran Masdar sudah terlihat sejak kecil, terbukti ia
menamatkan Sekolah Dasar hanya 5 tahun.3 Setelah itu, ia dikirim ayahnya ke
pesantren salaf di Tegalrejo, Magelang, di bawah asuhan mbah kyai Khudlori
yang selang tiga tahun kemudian, ia pindah pesantren ke Krapyak, Yogyakarta.
Selama tiga tahun di Tegalrejo tersebut, Masdar mampu menamatkan dan
menghafalkan Alfiyyah Ibn ‘Âqil.
Di pesantren Krapyak, Masdar berguru kepada mbah kyai Ali Maksoem,
Râis ‘Âm PBNU tahun 1988-1999. Meskipun dari Tegalrejo baru menyelesaikan
pendidikan setara dengan kelas III Tsanawiyah, di Krapyak Masdar langsung
diterima di kelas III Aliyah. Tahun 1970, selesai Aliyah, Masdar dinasehati oleh
mbah Ali untuk tidak langsung ke IAIN seperti telah disebutkan di atas, akan
tetapi dinasihati untuk menjadi aspri dari mbah Ali. Masdar pernah menyatakan
―Saya sering ditugasi oleh beliau untuk membacakan skripsi calon-calon sarjana
IAIN dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk diujikan‖.4 Sebagai
aspri, tentulah Masdar memperoleh kesempatan langka untuk memanfaatkan
perpustakaan pribadi mbah Ali yang berisi kitab-kitab pilihan baik yang salaf
(klasik) maupun yang kholaf (modern).
2 Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia (Jakarta: Hujjah Press, 2007) cet. 2,
h. 145 3 PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖.
4 PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖.
17
Tahun 1972, sambil tetap tinggal dan mengajar di pesantren Krapyak,
Masdar melanjutkan studi di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
jurusan Tafsir-Hadits. Di masjid Jami‘ IAIN, Masdar sempat menggelar tradisi
baru pengajian kitab kuning dengan mengajar Alfiyyah untuk kalangan
mahasiswa.
Adapun pengalaman organisasi Masdar di kampus yang dikenal sebagai
salah satu pendobrak pemikiran itu antara lain aktif di organisasi PMII—sebuah
organisasi terbesar dan tercatat berkali-kali presiden BEM adalah perwakilan dari
partai tersebut di kampus UIN Sunan Kalijaga—bahkan ketika tahun 1972, ia
dipilih sebagai ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat
Krapyak, Yogyakarta, sampai dengan 1974. Selanjutnya pada tahun 1976 terpilih
sebagai Sekjen Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sampai
dengan 1978.
Sebagai aktivis mahasiswa, Masdar pernah ditahan oleh Penguasa Orde
Baru bersama 9 tokoh aktivis mahasiswa lainnya di markas Pomdam Jawa
Tengah, Semarang selama 5 bulan lebih. Penahanan tanpa peradilan itu dilakukan
karena ia sempat memimpin demo anti korupsi menjelang Sidang Umum MPR
1978. Tahun 1982, setalah hijrah di Jakarta, Masdar dipilih sebagai Ketua I
Pengurus Besar PMII periode 1982 – 1987 mendampingi Muhyidin Arubusman
sebagai Ketua Umum. Selesai kuliah, tahun 1980 Masdar hijrah ke Jakarta dan
bekerja untuk Lembaga Missi Islam NU sambil menjadi wartawan di beberapa
mass media ibu kota. Tahun 1985, sehabis muktamar Situbondo, bersama dengan
18
K. Irfan Zidni, Masdar ditunjuk sebagai asisten Ketua Umum—saat itu Gus
Dur—dan Râis ‘Âm di bidang Pengembangan Pemikiran Keagamaan. Masdar
menamatkan pendidikannya di Fakultas Syari‘ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 1979.5
Berbagai seminar ilmiah telah diikutinya sebagai pembicara mewakili
sudut pandang Islam, baik dalam maupun luar negeri. Antara lain, di Manila dan
Mindanau (Philipina) di Kuala Lumpur (Malaysia), di Singapura, di Kairo
(Mesir), Sidney (Australia), Belanda dan Denmark. Masdar pernah mengadakan
kunjungan di pusat-pusat keagamaan di Amerika selama 5 pekan, tahun 1986.6
Sebagai kordinator program P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren
dan Masyarakat), Masdar sempat menerbitkan Jurnal PESANTREN, yang pertama
dan satu-satunya jurnal ilmiah Islam yang terbit antara tahun 1984–1990. Di lain
pihak, didukung oleh Rabitah Ma‘ahid Islami (RMI) dibawah duet kepemimpinan
(alm) KH. Imran Hamzah dan (alm) KH. Wahid Zaini, Masdar merintis berbagai
kegiatan kajian khazanah keislaman Salaf melalui berbagai halqah.7
Dimulai dari halqah Watucongol tahun 1989 dengan tema ―Memahami
Kitab Kuning secara Kontekstual‖, kegiatan itu terus bergulir di berbagai daerah
dengan keikutsertaan para kyai baik yang sepuh maupun yang muda-muda. Salah
5 Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia …, h. 145
6 PMII KOMFAKSYAHUM, ―Sekilas Tentang Masdar Farid Mas‘udi‖.
7 Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren DEPAG RI, ―KH. Masdar Farid
Mas‘udi‖, artikel diakses pada tanggal 10 Februari 2010 dari
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task= view&id=210
19
satu diantara outputnya yang monumental adalah rumusan Metode Pengambilan
Hukum yang menjadi keputusan Munas NU Lampung 1992.
Saat ini, kegiatan sehari-harinya selain sebagai Ketua Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) juga sebagai Direktur Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, Anggota Dewan Etik ICW (Indonesian
Corruption Wacth), dan Komisi Ombudsman Nasional (KON) serta membina
pesantren al-Bayan, di kampung Cikiwul, Pancoran Mas, Cibadak, Sukabumi.8
Dengan program pendidikan formal utamanya SMA, sudah tiga angkatan
diluluskan dengan prestasi akademik yang unggul sesuai dengan namanya, yakni
rata-rata 95 persen lulusannya diterima di Perguruan Tinggi Negeri terbaik.
2. Latar Belakang Sosial dan Intelektual
Melihat dari berbagai lingkungan yang pernah disinggahi Masdar, tampak
pemikiran-pemikirannya yang menghormati berbagai kebudayaan dan juga
perilaku-perilaku sosial kemasyarakatan. Pesantren Tegalrejo sendiri yang
notabenenya sebagai tempat tujuan perantauan Masdar pertama kali dalam
menuntut ilmu merupakan pesantren salaf yang memegang teguh nilai-nilai
budaya tersebut. Pesantren di Tegalrejo ini setiap tahunnya juga mengadakan
acara haflah yang untuk semakin menambah semaraknya acara tersebut, panitia
mempersilahkan berbagai pagelaran budaya, seperti wayang ataupun selainnya.
Haflah ini sebenarnya ditujukan sebagai bentuk pemberian syahadah bagi para
8 Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia …, h. 145
20
santrinya yang telah menyelesaikan studi atau hafalan kitab tertentu pada tiap
jenjangnya.
Namun dibalik ketradisionalannya, Tegalrejo tetap mampu mencetak
kader-kader santrinya yang diarahkan agar dapat bersaing dalam perkembangan
dunia yang semakin maju. Tercatat tokoh seperti Gus Dur, mantan ketua Tanfidz
dan mantan orang nomor satu di Indonesia ini juga pernah nyantri di pesantren
tersebut selama 2,5 tahun mulai dari 1957-1959 yang saat itu dipimpin oleh ulama
karismatis K.H. Chudlori.9 Kyai Chudlori sendiri masih merupakan guru dari
Masdar yang wafat pada 1977.
Pondok Pesantren (PP) salaf dengan nama Asrama Perguruan Islam (API)
didirikan oleh K.H. Chudlori bin H. Ichsan di desa Krajan, kecamatan Tegalrejo,
kabupaten Magelang pada 1 Oktober 1944 M. Bagi masyarakat, nama desa
Tegalrejo lebih populer disebut sebagai nama PP tersebut daripada nama resminya
―Asrama Perguruan Islam (API)‖. Pada 2001, penghuni PP Tegalrejo tercatat
3.002 santri,10
sedangkan pada tahun ini jumlah total santri sudah sekitar 4000
orang.11
Sebagai bukti lanjut dari partisipasi Pesantren Tegalrejo dalam
menghormati budaya bangsa, kita bisa melihatnya saat peringatan 7 hari wafatnya
Gus Dur. Di kompleks API (Asrama Perguruan Islam) Tegalrejo mengadakan
acara peringatan tersebut yang antara lain dihadiri para santri, komunitas lintas
agama dan golongan seniman, serta budayawan setempat. Sejumlah tokoh
9 Ringkasan Berita Terakhir ―Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib‖, diakses pada
tanggal 15 Februari 2010 dari
http://vivanews.com/117423-santri_di_ponpes_tegalrejo_gelar_salat_goib.htm 10
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren (2006) j. II, h. 23 11
Ringkasan Berita Terakhir ―Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib‖.
21
Magelang yang hadir antara lain Pimpinan Perkumpulan Sinar Kasih Tau
Magelang, Tedy Hartanto Tamsil, pimpinan Kelenteng ―Liong Hok Bio‖ Kota
Magelang, Paul Candra Wesi Aji, Koordinator Badan Kerja Sama Gereja-Gereja
Kristen Kota Magelang, Pendeta Parlaen. Kemudian dua rohaniwati Gereja
Katolik Santo Ignasius kota Magelang, masing-masing Suster Lidwina dan Suster
Verona. Pada kesempatan itu penyair kota Magelang, Es. Wibowo membacakan
puisi Obituari Gus Dur, kolaborasi seniman Teater Fajar Universitas
Muhammadiyah Magelang dan Teater Bias SMK 17 Kota Magelang
mementaskan performa Massa Tanpa Ulang. Sebuah grup musik asal Wonosobo
pimpinan Hadiyanto mementaskan musik kreatif ‗Kiai Langit‘, dan seniman
Magelang, Ardhi Gunawan membacakan geguritan Slaman Slumun Slamet.12
Mayoritas penduduk Tegalrejo merupakan warga Nahdiyyîn dan
simpatisan Partai Kebangkitan Bangsa—sebelum muncul PKNU—yang pekerjaan
sebagian besar penduduknya sebagai petani, pegawai, pedagang, dan buruh. Di
lingkungan pondok Tegalrejo terdapat juga beberapa buah PP, diantaranya PP
Muttalibin diasuh Kyai Muthalib, saudara K.H. Abdurrahman; PP Tarbiyyatun-
Nisa‘ diasuh K.H. Madrik Chudlori; PP API Putri dengan pengsuhnya Kyai
Damanhuri, menantu Kyai Chudlori Ichsan. Tidak jauh dari desa Krajan, di desa
Kuripan terdapat sebuah PP dipimpin oleh K.H. Ichsan. Di lingkungan PP
Tegalrejo sendiri ada dikenal istilah ahl al-bait, yaitu keluarga kyai.13
Ciri khas PP Tegalrejo dikenal dengan sistem salafnya yang mempelajari
ilmu fikih beserta ilmu-ilmu alatnya dan menyelenggarakan program
12
Ringkasan Berita Terakhir ―Santri di Ponpes Tegalrejo Gelar Solat Goib‖. 13
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 24
22
pendidikannya sejak dahulu dengan sistem klasikal. Bentuk pendidikan yang ada
berupa madrasah yang terdiri dari 7 kelas. Kurikulum yang dipakai dari kelas 1
sampai kelas terakhir secara berjenjang mempelajari khusus ilmu agama, baik itu
fiqh, ‗aqîdah, akhlâq, tasawwuf, dan ilmu alat (nahwu dan saraf) yang semuanya
dengan kitab berbahasa Arab.14
Sejak tahun 1993, PP Tegalrejo setiap bulan Ramadhan mengirimkan
santri seniornya ke daerah-daerah yang membutuhkan da‘i dan muballigh. Di
lingkungan PP ini juga diselenggarakan Bahts al-Masâ’il, yakni pembahasan
masalah-masalah aktual. Kegiatan lainnya adalah Jam’iyyah al-Qurrâ’, yaitu
membaca al-Qur‘an secara bersama-sama. Selain itu juga ―khutbah komplek‖,
yaitu latihan berkhotbah/pidato. Kemudian pertemuan setiap hari Senin yang
dihadiri para alumni PP. Pertemuan ini dikenal sebagai acara Seninan. Dan juga
ada istilah pertemuan Selapanan, yaitu pertemuan mutakharrijîn PP yang
diselenggarakan setiap 35 hari.
Untuk pengadaan makanan sehari-hari, para santri secara jam‘iyyah
membayar iuran perbulan sebesar harga beras atau jagung sekitar 10 kg atau
kesepakatan pengurus kamar. Pembayaran syahriyyah ini diberikan kepada seksi
jam‘iyyah kamar, selanjuntya seksi jam‘iyyah membelanjakan serta memasak
nasi. Adapun untuk sayur dan lauknya, para santri membeli sendiri di kantin-
kantin yang tersedia di dalam PP. Sedang untuk makan para ustad dan pegawai,
disediakan kantin oleh PP dengan cara membelinya. Di siniliah terlihat
kesederhanaan Masdar telah terlatih sejak usia senja.
14
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 24
23
Adapun lingkungan yang membentuk pribadi Masdar berikutnya, selain di
PP API Tegalrejo ialah Pondok Pesantren al-Munawwir Bantul. Meski berada di
kabupaten Bantul, PP al-Munawwir lebih dekat dengan kota Yogyakarta, yang
tentunya keberadaan pesantren yang didirikan K.H. Munawwir pada 1911 M15
tersebut menambah khazanah pendidikan kota pelajar.
Nama pesantren itu sendiri diberikan oleh para penerus K.H. Munawwir
setelah beliau wafat demi terkandung maksud sebagai bentuk penghormatan
terhadap pendiri pondok. Namun demikian, pesantren tersebut lebih dikenal
dengan nama kampungnya yaitu Krapyak. Para penerus pondok juga merumuskan
kembali tujuan didirikannya pondok pesantren:16
1) Menyebarkan agama Islam ala ahl al-sunnah wa al-jamâ‘ah
2) Ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia
3) Mengajarkan agama Islam sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah ada
4) Membina warga Negara yang berkepribadian muslim sesuai dengan
ajaran Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut dalam segala segi
kehidupan.
Pesantren al-Munawwir sejak berdirinya hingga sekarang telah mengalami
tiga jaman. Mulai jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan masa
Pemerintah Indonesia. Pesantren yang lahir di tengah kancah perjuangan, menjadi
saksi hidup perjuangan bangsa, hingga seperti sekarang ini. Pasang surutnya
sejarah bangsa telah membuat pesantren ini makin matang, dan menunjukkan
15
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 102 16
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 102
24
kelasnya sebagai pesantren yang sangat diperhitungkan dalam kancah lokal
maupun nasional.
Sejak berdiri, kepemimpinan PP al-Munawwir telah memasuki periode
keempat. Periode pertama, (1911-1942), merupakan periode pendiri. Periode
kedua (1942-1968) di bawah kepemimpinan K.H. A. Afandi. Periode ketiga
(1968-1989). Periode keempat kepemimpinan K.H. Zainal Abidin Munawwir.
Pada periode kedua dan ketiga merupakan periode kepemimpinan menantu
pendiri.17
Masdar sendiri nyantri di pesantren tersebut pada periode ketiga
dibawah kepemimpinan K.H. Ali Maksoem.
Sistem kepemimpinan pesantren sejak berdiri hingga periode ketiga
bertumpu pada figur sentral, seorang kiai, yang mana lebih banyak menerapkan
‗manajemen keluarga‘. Mereka yang terlibat mengasuh pondok terdiri anak dan
keluarga pendiri, baik keturunan langsung atau karena pertalian perkawinan.
Ketika memasuki periode keemmpat, kepemimpinan pondok menjadi
kepemimpinan kolektif yang diambil melalui musyawarah Dewan Pengasuh.18
Pesantren al-Munawwir ini dikenal bercirikan sebagai ponpes al-Qur‘an.
Hal ini karena materi pokok yang diberikan kepada santri-santrinya adalah al-
Qur‘an dengan segala ilmunya. Pendirinya yang dikenal sebagai ulama al-Qur‘an
ternyata menjadi unggulan komperatif pesantren jika dibandingkan dengan
pesantren lainnya.
Jenis pendidikan di Pondok Pesantren al-Munawwir merupakan
pendidikan keagamaan. Pada periode kepemimpinan yang pertama, pendidikan PP
17
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 103 18
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 103
25
al-Munawwir merupakan pendidikan spesialisasi bidang al-Qur‘an, baik dengan
metode bi al-ghaib atau dengan metode bi al-nazar. Pada periode kedua,
pengajian kitab-kitab kuning mulai dikembangkan. Pelopor pengajian kitab
kuning ini adalah K.H. Ali Maksoem. Metode belajar yang digunakan dengan
sistem wetonan, sorogan, dan bandongan.19
Adapun pengembangan pendidikan pesantren ini makin terasa ketika
kepemimpinan Pesantren al-Munawwir dipegang K.H. Ali Maksoem. Pada
periode ini, mulai dirintis sistem pendidikan klasikal, dengan mendirikan Taman
Kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah,
Madrasah Takhasus, dan Madrasah Huffaz. Pada masa kepemimpinan K.H. Zainal
Abidin Munawwir, dimana terdapat pemisahan pengelolaan lembaga pendidikan
sekolah dan lembaga pendidikan luar sekolah, maka madrasah-madrasah tersebut,
kecuali madrasah Huffaz dan Takhasus, diselenggarakan oleh Yayasan Ali
Maksum (1990).20
Sedangkan madrasah yang dikelola Yayasan al-Munawwir
antara lain: Madrasah Salafiyah, Ma‘had Aly, dan Madrasah Takhasus/Hufaz.
Saat ini, santri yang belajar di madrasah dan Ma‘had Aly PP al-Munawwir
berjumlah 1.045 orang. Jumlah santri tersebut diasuh 126 orang kiai dan ustadz.21
Latar belakang pendidikan mereka antara lain Pendidikan Guru Agama 66 orang,
SLTA 25 orang, D1 seorang, D3 dua orang, dan 32 sarjana Strata 1.
19
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 104 20
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 104 21
DIRJEN Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren …, h. 105
26
B. Karakter Pemikiran
1. Karakteristik Fikih
Ada beberapa kecenderungan yang menjadi ciri seorang mufassir meneliti
suatu teks tertentu, biasanya karakter tersebut selain muncul dari lingkungan
tumbuh kembangnya peneliti tersebut, juga dari kemampuan analisis mufassir
terhadap suatu teks.
Dari berbagai tulisannya, karya-karya Masdar banyak berkenaan dengan
kajian-kajian fikih, baik itu upayanya yang mengkaji masalah ibadah maupun
mu‘amalah kemasyarakatan. Hal yang maklum kiranya karena ia merupakan
sarjana syari‘ah dan berlatarbelakang pendidikan pesantren yang mengedepankan
kajian kitab kuning dan dalil-dalil teks.
Tak dipungkiri, pada dasarnya seluruh tindakan manusia, ucapan ataupun
perbuatan yang terdapat di dalam ibadah dan mu‘amalah, pidana atau perdata
yang terjadi di dalam akad dan transaksi menurut syari‘ah Islam seluruhnya
mengandung hukum. Hukum-hukum tersebut sebagian dijelaskan di dalam nas-
nas al-Qur‘an dan al-Sunnah. Sebagian yang lain belum terdapat penjelasan,
namun syari‘ah Islam telah menentukan dalil dan isyarat-isyarat tersebut sesuai
kemampuan mujtahid, akan mampu menentukan ketetapan dan penjelasan
terhadap masalah tersebut. Di samping itu istinbât dalil-dalil syari‘ah Islam yang
tidak terdapat nassnya, maka disusun di dalam ilmu Fikih.
Keterlibatan Masdar dalam kajian Fikih ini, tentunya menarik Masdar
dalam hubungan sosial juga karena memang obyek pembahasan ilmu tersebut
27
adalah perbuatan mukallaf.22
Diantara keikutsertaannya dalam organisasi sosial
kemasyarakan terbesar di Indonesia, yaitu NU, bahkan tercatat ia pernah menjabat
sebagai ketua Tanfidz.
Dalam salah satu statemennya, Masdar pernah memberi nasihat terhadap
organisai tersebut sesaat sebelum Muktamar NU 2010 yang mana pernyataannya
merupakan bentuk kepeduliannya terhadap umat bahwa, ―Muktamar 2010
sebaiknya menetapkan bagaimana NU kembali merawat umat.‖ jelas K.H. Masdar
Farid.23
Alasan tersebut tentu menjadi penting lantaran saat itu eksistensi umat NU
yang ahli tahlil, qunut, salawatan dan sebagainya, mendapat ancaman dan serbuan
dari kaum Islam radikal, misalnya karena masjid-masjid NU yang akhir-akhir ini
sudah mulai banyak yang meninggalkan qunut. Selain itu, memberdayakan
ekonomi warga nahdliyin juga merupakan bagian dari khittah.
Berbeda dengan situasi tahun 1984, yang menurut Masdar, NU saat itu
dalam kondisi kritis, karena NU berada pada posisi berhadap-hadapan dengan
pemerintah. Sehingga, lanjut Masdar, pengurus NU di semua tingkatan harus siap
dengan segala bentuk intimidasi, jadi khittah waktu itu diartikan warga NU boleh
memilih Golkar.24
22
Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh. Penerjemah Masdar Helmy (Bandung:
Gema Risalah Press, 1997) cet. 2, h. 23 23
Ringkasan Berita Terakhir ―Selamatkan Ahli Tahlil‖, diakses pada tanggal 10 Februari
2010 dari
http://www.gp-ansor.org/berita/kh-masdar-farid-mas‘udi-ketua-pbnu-selamatkan-ahli-tahlil.html 24
Ringkasan Berita Terakhir ―Selamatkan Ahli Tahli‖.
28
Adapun defisini ilmu Fikih sendiri menurut syara‘ ialah pengetahuan
tentang hukum-hukum syari‘ah Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil
dari dalil-dalil secara detail atau kodifikasi hukum-hukum syari‘ah Islam tentang
perbuatan manusia yang diambil berdasarkan dalil-dalil secara detail.25
Para
ulama‘ ahl al-sunnah wa al-jama’ah menetapkan bahwa dalil-dalil acuan
perbuatan manusia dikembalikan pada empat sumber yang mana yang dijadikan
dalil pokoknya dan sumber dari hukum syari‘ah pertama adalah al-Qur‘an
kemudian al-Sunnah, sekaligus sebagai interpretasi bagi keglobalan al-Qur‘an,
dan sebagai penjelas serta pelengkap al-Qur‘an.
Adapun penelitian Masdar berkaitan dengan dalil teks—yang mana
penelitian tersebut merupakan obyek pembahasan ilmu Usûl—misalnya gaya
interpretasinya mengenai zakat ataupun waktu wuqûf di Arafah yang hendak
penulis teliti pada skripsi ini.
2. Karakteristik Kemodernan
Corak pemikiran Masdar lainnya adalah kemodernan. Pemikiran Masdar
pada wilayah ini dilatarbelakangi oleh keinginannya memperlihatkan bahwa
kajian-kajian keislaman bukan hanya tidak bertentangan dengan isu-isu
modernitas, tetapi juga mengandung nilai-nilai yang mendukung modernisasi itu
sendiri. Masdar ingin memperlihatkan bahwa ajaran Islam, pada dirinya sendiri,
secara inheren dan aslinya adalah agama yang ‗selalu modern‘. Paling tidak upaya
Masdar itu dimaksudkan memberi landasan teologis, terutama bagi golongan
25
Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushulul Fiqh …, h. 22
29
intelektual agar mampu memberikan respon positif terhadap proses modernisasi,
tetapi tetap bertolak dan tetap mengacu kepada iman Islam.26
Percikan pemikiran
Masdar tentang proses modernisasi, tidak lepas dari upayanya mengadopsi nilai-
nilai yang inheren dengan zaman modern, seperti: rasionalisasi, sekularisasi, dan
liberalisasi dengan ajaran Islam.
Sebagaimana Cak Nur, Modernisasi Masdar sendiri ialah Rasionalisasi
bukan Westernisasi, kemudian yang paling penting bahwa, baik westernisasi
maupun westernisme sebagai paham yang membentuk total way of life nya bangsa
Barat, Rasionalisme sebagai paham yang mengakui kemutlakan rasio,
sebagaimana yang dianut orang komunis, atau liberalisme sebagai ajaran sesat
yang memandang ajaran sesat kemerdekaan mutlak atau tak terbatas, bertentangan
dengan ajaran Islam.27
Di sinilah pentingnya berfikir rasional, sehingga akan terjadi apa yang
disebut dengan proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak
aqliyyah, dan upaya menerapkan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu
pengetahuan, sebagai hasil rasio atau pemahaman manusia terhadap hukum-
hukum obyektif yang menguasai alam, ideal, material, sehingga alam bertindak
menurut kepastian tertentu yang harmonis, apalagi semangat tersebut sejalan
dengan ajaran agama Islam.28
26
M. Dawam Rahardjo, ―Islam dan Modenisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi
Nurcholish Madjid‖, dalam Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 1987) h. 27 27
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987)
h. 171-203 28
Madjid, Islam Kemodernan dan keindonesiaan …, h. 172-173
30
Oleh karena itu, modernisasi tidak lain perintah Tuhan yang imperatif dan
mendasar, dan sebagai konsekuensinya modernisasi adalah suatu keharusan bagi
seorang Muslim.
Masdar Farid Mas‘udi sendiri sudah lama terkenal sebagai sosok
lokomotif pembaharu dalam tubuh NU yang dikenal kritis, analitis, progresif, dan
kadang kala mengagetkan. Dua bukunya, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak)
Dalam Islam, dan Reproduksi Wanita adalah salah satu bukti konsistensinya
dalam lapangan pembaharuan pemikiran. Pemikiran Masdar ini pun banyak yang
menular ke bawah.
Ulil Abshar, tokoh muda NU dan lokomotif JIL dalam bukunya Membakar
Rumah Tuhan menceritakan, ketika Lakpesdam NU mengadakan program
pelatihan bagi para kiai muda NU dari seluruh Jawa, ternyata, banyak dari mereka
yang sudah mempunyai pemikiran progresif, semisal K.H. Husein Muhammad
dari Arjawinangun, Cirebon, dan K.H. Moh. Ishom Hadizq (alm) dari Tebuireng
Jombang. Mereka sudah terbiasa dengan pikiran-pikiran Moh. Arkoun dan Fazlur
Rahman. Bedanya, pembaharuan mereka dilakukan secara diam-diam,
menghindari ‗tabrakan‘ para kiai sepuh. Dalam istilah Ulil menirukan Aswab
Mahasin, disebut sebagai ‗pembaharuan tanpa dentuman besar‘ atau silent
modernism, modernisme yang diam-diam, tak gegap gempita.29
Ini juga sejalan
dengan filosofi pesantren, al muhâfadatu ‘ala al-qadîmi al-sâlih wa al-akhdzu bi
29
Ulil Abshar Abdalla, Membakar Rumah Tuhan (Bandung: Rosda Karya, 1999) h. 181
31
al-jadîd al-aslah, mempertahankan yang lama yang masih baik dan mengambil
yang baru yang lebih baik.
Kesederhanaan Masdar tak lepas dari pengaruh kehidupannya di
lingkungan PP Tegalrejo. Ketokohannya yang mendunia karena memang sudah
terbiasa bertemu atau setidaknya melihat tokoh-tokoh yang berkunjung ke
pesantren tersebut, baik itu yang lokal maupun nasional, seperti yang terbaru
adalah kedatangan Jussuf Kalla dan Wiranto yang meminta dukungan dan doa
restu sebagai capres dan cawapres pada pemilihan umum kemarin.30
Adapun dengan pemikiran-pemikiran Masdar yang aktual dan mendobrak
demi kemaslahatan masyarakat bagaikan pendahulu dan para kyainya seperti K.H.
Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), yang tercatat pernah mendirikan Pusat Latihan
(Puslat) Sepak Bola Tegalrejo untuk mengembangkan olah raga yang telah
digemari masyarakat. Puslat sepak bola dengan pelatih mantan pemain sepak bola
nasional, Siswanto itu diresmikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Magelang, Susilo
di Magelang. Alasan Gus Yusuf memilih mendirikan puslat sepak bola karena
cabang olah raga tersebut bisa memberikan ruang positif bagi generasi muda yang
saat ini banyak mendapat tantangan berupa kenakalan remaja.31
Namun demikian, menurut Jamal Ma‘mur Asmani bentuk pembaharuan
para kyai ini sangat berbeda dengan gaya pembaruannya Masdar dan Ulil sendiri.
30
Ringkasan Berita Terakhir ―Wiranto Mengaku Dirinya Sebagai Guru yang Baik Bagi
SBY‖, diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://www.hanura.com 31
Ringkasan Berita Terakhir ―Pengasuh Ponpes Tegalrejo Dirikan Puslat Sepakbola‖,
diakses pada tanggal 15 Februari 2010 dari
http://www.tvone.co.id/pengasuh_ponpes_tegalrejo_dirikan_puslat_sepak_bola.htm
32
Kedua orang ini tidak memakai silent modernism, tapi hard and clear modernism,
modernisme yang jelas dan keras. Artinya, pembaruan keduanya sangat jelas
dengan memakai media cetak dan elektronik, atau dengan statemen kontroversial
di forum-forum ilmiah sehingga menyebabkan iklim intelektualitas utamanya
kalangan Nahdliyin tradisionalis menjadi keras dan panas dibuatnya.32
Contoh terkininya adalah gagasan terbaru Masdar—yang katanya sudah
mulai disosialisasikan mulai tahun 80-an di Majalah Tempo—yang dimuat Jawa
Pos.33
Banyak para kiai, santri dan umat Islam yang pasca pemuatan gagasan itu
menjadi berang. Mereka menilai Masdar sudah kelewat batas. Ada yang apologi
subyektif sehingga menilai negatif, ada juga yang berusaha menilai obyektif
dengan mengedepankan kajian argumentatif.
C. Karya-karyanya
Sedikit jumlahnya dan yang cukup kritis membahasnya. Sebagai salah satu
tokoh yang dianggap senior dalam jajaran Jaringan Islam Liberal, nama Masdar
memang tak sementereng rekan senior lainnya yang duduk di kursi pemerintahan
atau yang banyak menghasilkan buku. Tercatat hanya ada empat buah buku yang
penulis ketahui tentang karya-karyanya. Namun demikian, meskipun bisa dibilang
tak banyak, buku-buku tersebut cukup mendobrak kancah iklim tata negara
bahkan ada juga yang merambah hingga tataran internasional.
32
Jamal Ma‘mur Asmani, ―Telaaah Kritis Pemikiran Masdar‖, artikel diakses pada
tanggal 11 Februari 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/telaah-kritis-pemikiran-masdar/ 33
Masdar Farid Mas‘udi, ―Meninjau Ulang Waktu Haji‖, Jawa Pos, 18 Januari 2009
33
Bukunya Agama dan Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam yang
diterbitkan Januari 1991 merupakan buku paling orisinil dan provokatif di antara
buku-buku yang ditulis orang NU dalam waktu yang lama. Buku lainnya adalah
Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, buku ini sendiri sempat
diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Islam and Women’s
Reproductive Rights dan terbit pada Januari, 2002. Tiga tahun kemudian, pada
tahun 2005, ia menulis Menggagas Ulang Zakat Sebagai Etika Pajak dan Belanja
Negara untuk Rakyat, sebuah buku yang berisikan gagasannya berkaitan
formalisasi zakat demi mempererat korelasi antara Indonesia dan Islam. Yang
terakhir, Korupsi, Hukum, dan Moralitas Agama: Mewacanakan Fikih
Antikorupsi, sebuah karya yang muncul dari keprihatinan mendalam terhadap
lingkungan pemerintahan.
Penggagas kajian kitab fikih kontekstual dan pemred jurnal ―Pesantren‖ ini
juga aktif menulis di berbagai media massa nasional dan sering menjadi
narasumber seminar baik lokal, regional, maupun internasional.34
Dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia ia menjadi kontributor
dalam bentuk wawancara yang diberi judul: Keadilan Dulu Baru Potong Tangan.
Selain itu, artikel-artikel lain yang cukup representatif telah banyak ia
sumbangkan, antara lain: Ironis, Haji Menjadi Status Sosial yang Dilembagakan,
dan Selamatkan Ahli Tahlil.
Dalam buku Ijtihad Islam Liberal ia juga menyumbang pendapat dalam
tulisan berjudul Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang. Artikel terakhir
34
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia …, h. 145
34
inilah—yang juga pernah dimuat di Harian Republika pada tanggal 6 dan 13
Oktober 2000) dengan judul Keharusan Meninjau Kembali Waktu Pelaksanaan
Ibadah Haji dan juga dimuat di Media Indonesia, Islamlib.com, dan Koran Jawa
Pos—yang hendak penulis telaah dimana pendapat tersebut tentu saja menuai
protes dan kecaman berbagai kalangan karena orang menganggapnya janggal dan
aneh.
35
BAB III
PERIHAL HAJI DAN PROBLEMATIKANYA
A. Praktek Ritual Haji Pra-Islam dan Sesudah Islam
Pemandangan gersang, bukit-bukit gundul bahkan tandus, dan lautan
padang pasir di jazirah yang dikenal sebagai Hijaz ini masih dapat disaksikan
oleh jamaah haji dalam perjalanan antara Jedah dan Mekah.
Populasi di wilayah Hijas terdiri dari kaum pengembara dan kaum
pemukim, yang antara keduanya terjadi interaksi yang cukup tinggi. Suku Badui
pengembara menjelajahi daerah gurun pasir yang luas maupun daerah semi-gurun
pasir, dan membentuk jaringan kumpulan antara suku dan keluarga yang
menandai bangsa Arab sebelum munculnya Islam. Sedangkan kaum pemukim
mendiami kota Mekah, Madinah, dan Ta‟if, kota-kota yang berkembang selain
gurun pasir Badui. Kota-kota ini pada kenyataannya adalah tempat kedua jenis
masyarakat ini bercampur dengan bebasnya, guna mengadakan perdagangan,
berhaji, melakukan perkawinan, dan juga kegiatan kebudayaan, khususnya pada
pecan raya terkenal, yang menarik para penyair dari seluruh Arab.1
Dalam kitab al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah, Mahmud Syaltut menyatakan
bahwa haji adalah bentuk penyembahan manusia sejak zaman purba, sebelum
masa Islam. Ia berarti penziarahan ke tempat-tempat tertentu sebagai suatu
penyembahan dan penyucian pada Tuhan yang disembahnya. Begitulah praktek-
praktek dari berbagai bangsa purba seperti orang-orang Mesir kuno, Yunani kuno,
1 Zakaria Bashier, Mekah Dalam Kemelut Sejarah. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994) cet. 1, h. 3-4
36
Jepang kuno, dan sebagainya. Keadaan ini berlangsung terus sampai Allah swt
mengutus Nabi Ibrahim As dan memerintahkannya membangun Ka‟bah di
Mekkah untuk tujuan penyatuan sistem haji manusia, dimana padanya dilakukan
tawâf dan menyebut asma Allah.2
Allah Swt berfirman:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah beserta Ismail (seraya berdoa) “Ya Tuhanku, terimalah daripada
kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang
yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu
kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukanlah kepada
kami cara-cara dan tempat ibadah haji kami. Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah/2:
127-128)
Dari ayat di atas, jelas sekali bahwa Ka‟bah yang telah ditetapkan menjadi
kiblat manusia dibangun oleh Nabi Ibrahim As beserta putranya Nabi Ismail As.
Ketika Ibrahim As memasuki lembah Mekah dengan istrinya, Siti Hajar, bersama
anak mereka, yaitu Ismail As, Mekah masih merupakan tempat yang kosong dan
tandus. Sejarah Mekah sebelum kedatangan Ibrahim As dan keluarganya memang
tidak diketahui dengan jelas. Para sejarawan hanya dapat menegaskan dengan
pasti bahwa Mekah, merupakan tempat persinggahan penting dalam jalur
2 Ishak Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta 1999)
cet. 1, h. 33
37
perdagangan kuno, antara pelabuhan Arab Felix (Samudera Hindia) danpelabuhan
Siria (Laut Tengah) yang sudah berlangsung sejak zaman dahulu.3
Namun ada yang berpendapat bahwa yang pertama kali membangun
Ka‟bah adalah para malaikat, 2000 tahun sebelum Adam diciptakan, sebagai
tempat tawâf-nya para malaikat di bumi.
Pembangunan yang kedua dilakukan oleh Nabi Adam As setelah beliau
disuruh keluar dari surga dan menetap di bumi. Dengan bantuan para malaikat,
Ka‟bah dapat dibangun, lalu Allah memerintahkan untuk tawâf. Setelah nabi
Adam wafat, Ka‟bah dibangun lagi oleh salah seorang putranya yang bernama
Syîst dengan menggunakan tanah dan batu. Ka‟bah yang dibangun oleh Syîst itu
berjalan terus sampai zaman nabi Nuh, dimana bangunan itu runtuh akibat taufan
nabi Nuh. Setelah itu beritanya tidak terkisahkan lagi hingga muncul kisah
Ibrahim dengan putranya Ismail membangun kembali Ka‟bah itu.4
Haji ke Baitullah merupakan salah satu ritus keagamaan bagi pemeluk
agama-agama samâwi. Ia telah dilaksanakan oleh para nabi sebelum nabi
Muhammad. Menurut beberapa sumber, nabi Adam telah melaksanakan ibadah
haji dengan cara tawâf (mengelilingi Ka‟bah) setelah membangun Ka‟bah di
Mekkah. Beberapa nabi lainnya, seperti Nuh, Hud, Saleh, dan Syu‟aib dikabarkan
juga pernah melaksanakan haji ke Baitullah.5
Haji merupakan ibadah pokok bagi para nabi. Tata cara pelaksanaan haji
antara satu nabi dengan nabi lainnya terdapat perbedaan. Hal itu disebabkan oleh
3 Zakaria Bashier, Mekah Dalam Kemelut Sejarah …, h. 25
4 Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam …, h. 35
5 M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2007) cet. 1, h.
21
38
keberagaman kondisi umat manusia dan lingkungan yang ada disekitar nabi yang
satu dengan yang lainnya. Kondisi dan lingkungan secara alamiah (sesuai dengan
sunnatullah), berkembang secara evolusi ke arah kesempurnaan. Agama yang
berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia tentu dapat mengantisipasi
perkembangan zaman melalui penyesuaian syariat suatu agama yang dibawa oleh
seorang nabi. Dengan demikian, syariat agama seorang nabi dapat berbeda dengan
nabi lainnya. Sementara aqidah tidak mengalami perubahan. Menurut Islam,
aqidah pada semua agama samâwi adalah sama, yaitu tauhid, percaya kepada
Tuhan yang Esa.6
Pada masa nabi Adam, pelaksanaan ibadah haji tentu masih sangat
sederhana, berbeda dengan haji yang dilaksanakan oleh nabi Ibrahim yang
mempunyai manâsik (tatacara dan pelaksanaan ibadah haji) yang terurai, terutama
terkait dengan tempat dan kegiatan, karena diantara manâsik tersebut berkaitan
dengan sejarah hidup nabi Ibrahim dan keluarganya.7
Sejak zaman nabi Ibrahim As seluruh bangsa Arab telah menjadikan
Ka‟bah sebagai kiblat dan tempat haji mereka. Ibadah haji yang mereka lakukan
sesuai dengan tuntunan nabi Ibrahim dan perintah Allah Swt. Hanya saja, karena
perjalanan masa yang cukup lama, dari masa nabi Ibrahim As ke masa nabi
Muhammad, manusia telah mengubah sistem ibadah haji nabi Ibrahim As yang
berdasar tauhid. Mereka tidak lagi menyembah Allah, mereka mengubah dan
mencampuradukkan haji dengan syirik. Mereka membuat patung-patung
6 Putuhena, Historiografi Haji Indonesia …, h. 22
7 Salah satu contohnya adalah Sa‟i yang menjadi potret perjuangan Siti Hajar ketika
mencari air untuk putranya, nabi Ismail.
39
sembahan yang kemudian mereka letakkan di Ka‟bah, lalu mereka sembah,
mohon syafâat dan pertolongannya.8
Pada masa itu, musim-musim haji malah dijadikan musim perdagangan,
Makkah dan Madinah dijadikan pusat penyembahan berhala sekaligus pusat
perdagangan. Para penduduk setempat menjadikan Ka‟bah yang menjadi tempat
para peziarah berkunjung, dihiasi dengan seindah-indahnya kemudian diletakkan
berbagai jamuan hidangan yang lezat di daerah sekitar Ka‟bah untuk menghibur
dan menyenangkan para peziarah yang ingin melakukan transaksi perdagangan.
Hilanglah kesan spiritual, dan yang tertinggal adalah sebuah pengalihan nilai
spiritual ke material semata, dari ibadah ke perdagangan. Dari sinilah nabi sebagai
utusan Tuhan merasa terpanggil untuk menyadarkan kembali masyarakat sekitar
untuk kembali kepada Tuhan yang tunggal dan mutlak, yaitu sebuah seruan
monoteisme.9
Dengan demikian, diutusnya nabi Muhammad Saw mengandung arti yang
sangat penting dalam sejarah. Beliau bertugas memperbaiki dan meluruskan
kembali akidah dan ibadah manusia yang telah menyimpang jauh, termasuk
menyempurnakan sistem ibadah haji warisan nabi Ibrahim.10
Rasulullah diberikan
petunjuk-petunjuk tentang pelaksanaan haji seperti yang dilaksanakan nabi
Ibrahim. Mulai dari saat itu, ibadah haji kembali murni, bersih dari syirik-syirik
jahiliyyah. Pelaksanaan kurban yang tadinya dipersembahkan kepada pembesar-
8 Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam …, h. 37
9 Christian Snouck Hurgronje, Perayaan Mekkah (Jakarta: INIS, 1989), h. 7-10
10 Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam …,h. 37
40
pembesar berhala tersebut, dibersihkan oleh Islam untuk semata-mata secara
ikhlas dipersembahkan kepada Allah.11
Oleh karena itu, nabi Muhammad sebagai mujaddid (reformer) mengambil
oper ibadah haji itu, disempurnakan dan dimurnikannya, lalu Allah meresmikan
ibadah haji sebagai syariat nabi Muhammad Saw sekaligus mewajibkannya.
Namun terdapat berbagai versi tentang awal perintah haji dan
pensyariatannya. Dalam hadis disebutkan bahwa haji diperintahkan pada tahun
ke-7 H, dan ini yang mengakibatkan problematika perbedaan teks hadis Rukun
Islam.12
Sedangkan menurut Jumhûr, ibadah haji diwajibkan pada tahun ke-6 H,
yakni ketika turun firman Allah swt yang memerintahkan nabi Muhammad saw
dan umatnya untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah.
...
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah …” (QS. Al-
Baqarah/2: 196)
Akan tetapi Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakr Ibn Fahr al-Qurtubî
berpendapat dalam tafsirnya bahwa haji diwajibkan pada tahun ke-3 Hijriyah.13
Sedangkan menurut Ibn Qayyim, haji diwajibkan pada tahun ke-9 atau ke-10 H
karena kaum muslimin pertama kali melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-9 H
11
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
IKAPI, 1992), h.278 12
Imam al-Nawâwî, Sahîh Muslim bi Syarhi Imâm an-Nawâwi (Libanon: Dar al-Fikr), j.
I, h. 223 13
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakr Ibn Fahr al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî (Kairo:
Dâr Syu‟ba, 1372 H) cet. 2, J. III, h. 139
41
yang dipimpin oleh Abû Bakar al-Siddîq,14
setelah turunnya firman Allah swt
yang terdapat dalam surat Âlu „Imrân/3: 97,
)(
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali
Imran/3: 97).
B. Pengertian dan Tata Cara Haji
Secara etimologi, asal makna haji adalah menyengaja sesuatu.15
Berbeda
dengan ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, haji merupakan ibadah yang berupa
perjalanan jauh, khususnya bagi selain bangsa Arab. Ibn Manzûr menyebut hajji
yang berasal dari kata hajja atau al-Hajj yang berarti secara luhgat (bahasa)
adalah “bermaksud”.16
Menurut Mahmud Yunus kata hajja atau hijjatan secara
etimologi mempunyai arti “ziarah”,17
dalam Kamus Kontemporer berarti menuju
atau berziarah ke Tanah Suci.18
Dan Hasbi al-Siddieqy menjelaskan haji menurut
bahasa ialah menuju ke suatu tempat berulang kali atau menuju kepada sesuatu
yang dibesarkan.19
Adapun secara terminology haji ialah sengaja mengunjungi Ka‟bah
(Rumah Suci) untuk melakukan beberapa amal ibadah, dengan syarat-syarat yang
14
Hasbi al-Siddieqy, Pedoman Haji (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) h. 23 15
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1997) cet. 30, h. 247 16
Ibnu Manzûr al-Afriqî al-Misrî, Lisân al-‘Arab (Libanon: Dar Sodir, 1990) j. II 17
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990) h. 97 18
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999) h. 378 19
Al-Siddieqy, Pedoman Haji …, h.16
42
tertentu.20
Sedangkan dalam pengertian terminologi ulama mazhab empat, haji
diartikan berbeda-beda:
1. Imam Hanafî mendefinisikan haji adalah berkunjung ke Baitullah
(Ka‟bah) untuk mengerjakan ibadah dengan cara, tempat, dan dalam
waktu tertentu. Maksud tertentu ialah tawâf, sa’i, dan wuqûf. Tempat
tertentu ialah Ka‟bah dan Arafah. Waktu tertentu ialah tanggal 10 Dzû
al-Hijjah, dan orang berhaji harus berniat ketika ihrâm.21
2. Menurut Imam Mâlik haji menurut syara‟ ialah wuqûf di padang Arafah
pada malam ke sepuluh dari bulan Dzû al-Hijjah, tawâf di Ka‟bah 7 kali,
sa’i 7 kali, yang semuanya harus dikerjakan menurut cara-cara
tertentu.22
3. Imam Syâfi‟î mengartikan haji secara terminologi adalah sengaja
mengunjungi Ka‟bah untuk melaksanakan manâsik haji.23
4. Dan haji menurut Imam Hanbalî adalah sengaja mengunjungi Mekkah
untuk satu perbuatan tertentu seperti tawâf, dan sa’i, termasuk wuqûf di
Arafah.24
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa haji secara
terminologi fiqh didefinisikan sebagai perjalanan mengunjungi Ka‟bah untuk
melakukan ibadah tertentu, atau bepergian ke Ka‟bah pada bulan-bulan tertentu
20
Rasjid, Fiqh Islam …, h. 247 21
„Abd al-Rahmân al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat. Penerjemah Moh. Zuhri (Semarang:
as-Syifa, 1994) h. 537 22
al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat …, h. 538 23
al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat …, h. 539 24
al-Jâzirî, Fiqh Madzhab Empat …, h. 539
43
untuk melakukan ibadah tawâf, sa’i, wuqûf, dan manâsik-manâsik lain untuk
memenuhi panggilan Allah Swt, serta mengharap keridaan-Nya.25
Syarat Haji
Adapun syarat haji, yaitu:
1. Islam, tidak wajib, tidak sah haji orang kafir.
2. Berakal, tidak wajib atas orang gila dan orang bodoh.
3. Bâligh, sampai umur 15 tahun, atau bâligh dengan tanda-tanda lain. Tidak
wajib haji atas kanak-kanak.
4. Kuasa
Adapun pengertian mampu itu ada dua macam:
1. Mampu mengerjakan haji dengan sendirinya, dengan beberapa syarat
sebagai berikut;
a) Mempunyai bekal yang cukup untuk pergi ke Mekah dan kembalinya,
b) Ada kendaraan yang pantas dengan keadaannya, baik kepunyaan
sendiri ataupun dengan jalan menyewa. Syarat ini bagi orang yang
jauh tempatnya dari Mekah adalah dua marhalah (80.640 km). Orang
yang jarak tempatnya dari Mekah kurang dari itu, sedangkan ia kuat
berjalan kaki, maka ia wajib mengerjakan haji. Adanya kendaraan
tidak menjadi syarat baginya. Bekal dan kendaraan itu sudah lebih
dari utang dan bekal orang-orang yang dalam tanggungannya sewaktu
pergi dan sampai ia kembali.
25
A. Rahman Sitonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997),
h. 209
44
c) Aman perjalanannya,
d) Bagi perempuan, hendaklah ia berjalan bersama-sama dengan
mahramnya, suaminya, atau bersama dengan perempuan yang
dipercayai.
2. Kuasa mengerjakan haji yang bukan dikerjakan oleh yang bersangkutan,
tetapi dengan jalan menggantinya dengan orang lain.
Rukun Haji
1) Ihrâm, berniat mulai mengerjakan haji atau umroh
2) Wuqûf, hadir di padang Arafah
3) Tawâf, berkeliling Ka‟bah
Denda
Dalam haji, istilah denda ini disebut dam.
1) Adapun dam tamattu’ dan qiran. Artinya, orang yang mengerjakan
haji dan umroh dengan cara tamattu’ atau qiran, ia wajib
membayar denda; dendanya wajib diatur sebagai berikut:
a) Menyembelih seekor kambing yang sah untuk korban.
b) Kalau tidak sanggup, wajib puasa sepuluh hari; tiga
hari wajib dikerjakan sewaktu ihram apaling lambat
sampai hari raya haji, tujuh hari lagi wajib dikerjakan
sesudah ia kembali ke negerinya.
45
2) Dam karena mengerjakan salah satu dari beberapa larangan
berikut:
a) Dam karena bersetubuh yang membatalkan haji dan umrah
apabila terjadi sebelum tahallul pertama. Denda itu mula-
mula wajib menyembelih unta, jika tidak maka sapi, atau
tujuh ekor kambing, atau dihitung dari harga unta untuk
membeli makanan. Kalau tidak, hendaklah berpuasa.
b) Dam membunuh buruan (binatang liar). Binatang liar ada
yang mempunyai bandingan dengan binatang yang jinak.
c) Dam karena terkepung (terhambat). Dendanya hendaklah ia
bertahallul dengan menyembelih seekor kambing di tempat
tersebut.
Melontar jumrah dan tawâf (mengitari Kabah tujuh kali) serta sa’i
(berjalan dan lari -lari kecil antara bukit Safâ dan Marwah) wajib hukumnya
dalam ibadah haji, jika tidak dikerjakan, harus membayar dam atau denda berupa
ternak kurban.
Adapun ibadah yang hampir sama dengan haji ialah umroh terambil dari
kata i’timâr yang secara etimologi berarti ziarah, demikian kata Sayyid Sâbiq.
Adapun yang dimaksud dengan umroh di sini ialah mengunjungi Ka‟bah untuk
melakukan tawâf di sekelilingnya, sa’i antara Safâ dan Marwah dan kemudian
mencukur rambut.26
Bedanya di sini, selain dalam umroh tidak ada ritual wuqûf di
26
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam 1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1417 H/1997
M) h. 102
46
padang Arafah juga umroh boleh dilakukan dalam bulan apapun sepanjang tahun.
Berbeda dengan haji yang waktunya hanya tiga bulan dan ada ibadah wuqûf
sebagai rukunnya.
Hikmah Haji
Disebutkan dalam buku Fiqh Islam bahwa guna menguatkan rasa
persatuan dan menanamkan semangat suka bekerja bersama-sama untuk
kepentingan bersama, Islam telah membuat beberapa aturan.27
Di antaranya
adalah dengan menyuruh solat berjama‟ah setiap waktu, menyuruh solat Jum‟at
seminggu sekali, dan sesudah itu disuruh pula solat hari raya dua kali setahun.
Semua itu untuk menguatkan persatuan antara beberapa golongan yang
berdekatan.
Termasuk di antaranya juga adalah ibadah haji. Ibadah ini bisa dikatakan
sebagai sebuah forum permusyawaratan sedunia Islam, karena ibadah ini dihadiri
oleh segala utusan, baik dari barat, timur, selatan, dan utara, dengan tidak
memandang bangsa dan warna kulit. Para jama‟ahnya berpakaian sama,
berkumpul pada satu tempat dan satu waktu, yaitu di padang Arafah dan Mina.
Dalam pertemuan yang amat besar itu, dapatlah mereka berkenalan satu sama lain,
dan bertambah teguhlah persatuan dan perasaan saling memiliki antara mereka.
Sedangkan K.H. Drs. Muchtar Adam, dalam bukunya Tafsir Ayat-ayat
Haji setelah menafsirkan QS. Al-Hajj/22: 28, ia merincikan beberapa manfaat
haji, di antaranya ialah:28
27
Rasjid, Fiqh Islam …, h. 277 28
Muchtar Adam, Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Berbagai Mazhab
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996 M/1416 H) cet. 5, h. 22
47
Melatih diri dengan mempergunakan seluruh kemampuan mengingat
Allah dengan khusyû’ pada hari-hari yang telah ditentukan dengan
memurnikan kepatuhan dan ketundukan hanya kepada-Nya saja.
Menimbulkan rasa perdamaian dan rasa persaudaraan sesame kaum
muslimmin.
Mencoba mengalami dan membayangkan kehidupan di akhirat nanti,
yang pada waktu itu tidak seorang pun dapat memberikan pertolongan
kecuali Allah SWT.
Menghilangkan rasa harga diri yang berlebih-lebihan.
Menghayati kehidupan dan perjuangan nabi Ibrahim beserta putranya
Isma‟il dan Muhammad saw beserta para sahabatnya.
Sebagai Muktamar Islam seluruh dunia.
Adapun hikmah peribadatan haji bila merujuk pada ayat 197 surat al-
Baqarah, maka penulis di sini menambahkannya lebih lanjut yaitu, segala bentuk
dan kebolehan dalam ibadah haji—termasuk dalam hal perniagaan—akan
mendorong para jama‟ahnya agar setelah selesai berhaji nantinya terwujud insan-
insan mutawakkilûn seperti Ibrahim as, dan mampu mengingat bahwa dalam
setiap gerak langkahnya dalam kehidupan duniawi, mereka mampu mengingat
tuhannya, baik saat jual beli, makan, mandi, berwudu, tidur, saat susah, senang,
dan sebagainya semua adalah dari Allah. Ia yang menunjukkan dan Ia pulalah
yang menggerakkan sendi-sendi tingkah manusia.
48
C. Problematika Ritual Haji Zaman Sekarang
1. Jumlah Jama’ah
Sebagai salah satu rukun Islam yang terakhir, tentu ibadah haji merupakan
suatu ibadah yang menarik hati jutaan muslim agar melaksanakannya dengan
tulus ikhlas. Belum lagi begitu kuatnya image positif haji tersebut, yang seringkali
membuat golongan kaya dan terkenal dengan mudahnya mendaftarkan diri agar
bisa pergi ke baitullah berkali-kali semakin menambah membludaknya jumlah
jama‟ah yang berada di Mekah, tak terkecuali juga muslimin dari Indonesia, yang
notabene merupakan negara berpenduduk muslim terbanyak dunia.
Memang setiap muslim hanya berkewajiban satu kali saja menunaikan
ibadah haji selama hidup. Tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit yang
melakukannya lebih dari sekali. Sesuai kesepakatan Organisasi Konferensi Islam
(OKI), setiap negara hanya memperoleh kuota sebesar satu per mil atau
seperseribu dari total populasi penduduknya.29
Setiap tahun, Mekah dibanjiri dua hingga tiga juta calon jama‟ah haji.
Kota suci umat Islam ini pun dituntut untuk terus berkembang demi
mengakomodir ibadah rukun itu. Tak heran, pada tahun 2009, pemerintah Saudi
pun merencakan sebuah ekspansi dan proyek renovasi dan terbilang cukup
ambisius, dengan anggaran yang setara produk domestik bruto (PDB) sebuah
negara kecil, yakni US$125 miliar.30
29
Ringkasan Berita Terakhir “Kewajiban Haji Hanya Sekali”, diakses pada tanggal 05
Mei 2010 dari
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=145212&actmenu=39 30
Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”, diakses pada tanggal
05 Mei 2010 dari
49
Begitu membludaknya orang di Mekah pada musim haji, tentu
memunculkan berbagai permasalahan, dikabarkan setiap adzan Subuh menjelang,
para jamaah haji selalu antre ke toilet. Mulai dari sekedar wudlu hingga
membersihkan diri. Namun untuk sekitar 2.000 jamaah hanya tersedia 10 toilet.
Alhasil jamaah musti antre lama. Bisa dibayangkan berapa waktu yang terbuang
untuk antrian selama itu. Sebagian jamaah pun jadi tak sabar. Ada yang menyikat
gigi di luar toilet, sampai ada yang buang air pun di luar toilet. Belum lagi fasilitas
yang tidak memadai, air toilet menetes terus menerus menjadikan lantai basah,
licin, dan tidak bersih.31
Kondisi ini juga semakin menambah tumpukan sampah
berbau persis di depan pemondokan haji.
Untuk urusan transportasi, banyaknya jumlah jamaah haji juga seringkali
menyebabkan kemacetan. Untuk menempuh jarak 6 kilometer saja dari Mina ke
Masjid al-Haram di Mekah, diperlukan waktu dua sampai tiga jam untuk
menembus kemacetan lalu lintas di jalan akses yang harus dilewati. Namun, mulai
musim 1431 H (2010) ini, angkutan monorel yang menghubungkan kota suci
Mekah dan lokasi peribadatan di Mina, Muzdalifah direncanakan sudah akan
beroperasi. Studi kelayakan juga sedang dilakukan untuk memperluas jaringan
monorel ke stasiun dekat Masjid al-Haram, Mekah yang menghubungkan kedua
kota suci, Mekah dan Madinah, berjarak sekitar 420 kilometer. Proyek bernilai
miliaran Riyal—tahap pertama SR 6,7 miliar atau sekitar Rp. 167,5 triliun—yang
http://kliping.depag.go.id/downloads/355ae1c226c49408c1ace338ddb3c3a5.pdf
31 Ringkasan Berita Terakhir “Jama‟ah Antre karena Toilet Tak Memadai”, diakses pada
tanggal 05 Mei 2010 dari
http://liputan6.com
50
merupakan kerja sama antara Arab Saudi dan China ini dirancang untuk
mengangkut lima juta penumpang.32
Berkaitan dengan megaproyek yang ditargetkan tuntas selama 10 tahun di
atas, nantinya bermula dari ekspansi Masjid al-Haram yang akan diperluas hingga
400 ribu meter persegi. Tahap pertama adalah perluasan al-Massa yang
sebenarnya sudah dua kali lipat ukuran aslinya. Tempat ini akan ditambahkan
lantai lagi untuk mempermudah calon jama‟ah haji ketika melakukan ibadah sa’i
antara Safâ dan Marwah. Kapasitasnya saat ini 100 ribu jama‟ah per jam dan
pemerintah Saudi bermaksud menggandakannya. Megaproyek ini dilanjutkan ke
area sipil, layanan publik, serta infrastruktur. Antara lain beberapa perbaikan di
gua Mina, padang Arafah, dan Muzdalifah.33
Dalam beberapa tahun ke depan diyakini jumlah muslim akan berlipat
ganda. Demikian pula dengan arus informasi dan teknologi yang terus meluas
selama satu dekade terakhir. Megaproyek ini pun sangat penting untuk
mengakomodasi umat muslim yang akan menunaikan ibadah haji dan umroh.34
Namun demikian, pelaksanaan proyek raksasa ini tentu tak mudah
direncanakan mengingat semuanya harus berjalan paralel, dalam artian, hal ini
akan memakan dana yang besar dan butuh kerjasama berbagai pihak. Belum lagi
ditambah topografi Mekah yang berada di atas lembah dan pegunungan tinggi
32
Ringkasan Berita Terakhir “Naik Haji Tahun Depan Lebih Nyaman”, diakses pada
tanggal 05 Mei 2010 dari
http://www.antaranews.com/berita/1259608664/naik-haji-tahun-depan-lebih-nyaman 33
Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”. 34
Vina Ramitha, “Politik Internasional: Penuhi Kebutuhan Haji”, diakses pada tanggal 05
Mei 2010 dari
http://inilah .com
51
serta adanya kritikan masyarakat yang tentunya tak menginginkan pembangunan
tersebut merusak sejarah kota dan membuat segalanya terlihat modern.
Dalam hal ini, Walikota Mekah, Osama al-Bar menegaskan:
“Ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima ini takkan bisa dilakukan
dengan jumlah muslim yang semakin banyak dan mereka harus
berdesakkan di jalanan kecil. Bagian terpenting seperti masjid dan gua-gua
suci takkan kami ubah. Tempat-tempat ini historis, akan kami pertahankan
hingga akhir jaman. Perubahan ini hanya permukaan saja. Seperti moda
transportasi, kenyamanan masyarakat yang akan meningkat, serta
lingkungan yang sangat mendukung bagi pelaksanaan ibadah ini.”35
Dari pernyataan ini, semoga esensi ibadah haji dimana umat Islam
melakukan napak tilas perjuangan nabi Ibrahim as. takkan berubah. Ka‟bah atau
rumah Allah akan tetap menjadi pusat ibadah di negara yang mampu mengeruk
keuntungan hingga miliaran dolar tiap tahunnya karena haji dan umroh itu.
Dari gambaran permasalahan jumlah jama‟ah yang membludak di atas,
banyak pula jama‟ah yang terkena berbagai penyakit saat melakukan ibadah haji,
bahkan tak sedikit di antara mereka yang harus kehilangan nyawa. Kepadatan dan
masyaqqât yang dirasakan oleh pemerintah Saudi ini serupa juga dengan yang
dirasakan Masdar yang melatar belakanginya untuk meninjau waktu haji dalam al-
Qur‟an.
2. Registrasi di Negeri Masing-masing
Bukan hanya merepotkan jama‟ah, pada saat musim haji, registrasi
maupun transportasi juga merepotkan regulator dan kontroler di negeri masing-
masing. Mirisnya, pada beberapa negara, terkadang pihak pemerintahnya ada
35
Ringkasan Berita Terakhir “Ambisi Besar Megaproyek Mekah”.
52
yang mengambil peran ganda tersebut sekaligus mengambil keuntungan finansial
dari berkahnya haji, seperti di Indonesia.
Mengenai jumlah jama‟ah haji di Indonesia sendiri, berdasarkan keputusan
OKI, kuotanya mencapai 200 ribu. Sekitar 20 ribu dari jumlah tersebut mengikuti
program ONH Plus.36
Selain biaya formal, seorang jama‟ah biasanya
mengeluarkan biaya non-formal, semisal untuk biaya tasyakuran sebelum
keberangkatan dan kepulangan jama‟ah. Biaya formal untuk ONH Biasa dan Plus
masing-masing 2500 dollar AS dan 4000 dollar AS. Ini artinya, secara
keseluruhan, rata-rata setiap jama‟ah haji mengeluarkan biaya kurang lebih 23 juta
rupiah ONH Biasa, dan 35 juta rupiah untuk jama‟ah ONH Plus.
Dari keseluruhan jama‟ah haji, dapat dikategorikan secara acak dalam
beberapa bagian: pertama, sekitar 20 persen (ONH plus sekitar 30 persen) dari
mereka melakukan ibadah haji bukan untuk pertama kalinya. Padahal ibadah haji
diwajibkan sekali seumur hidup, itupun bagi mereka yang secara ekonomi
mampu. Artinya, biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan ibadah haji relatif
kecil dibandingkan dengan keseluruhan aset harta yang dimiliki. Ini berarti bahwa
total biaya keseluruhan yang dikeluarkan jemaah haji kategori ini sebesar 578
milyar rupiah.37
Kedua, sekitar 30 persen dari jemaah haji ONH biasa adalah muslimin
yang secara ekonomi termasuk kategori menengah. Biasanya, biaya haji yang
mereka keluarkan didapatkan dari hasil menjual aset keluarga yang sebenarnya
36
“Jama‟ah ONH Plus”, Kompas, 31 Januari 2004, h. 1 37
Muhammmad Ja‟far, “‟jalan Lain‟ Berhaji dan Berqurban”, artikel diakses pada tanggal
03 Maret 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/jalan-lain-berhaji-dan-berqurban/
53
merupakan harta yang relatif masih dibutuhkan untuk menunjang perekonomian
keluarga. Namun, karena motivasi dan sekian banyak tendensi (misalnya, prestise
sosial), mereka mempertimbangkan untuk berhaji. Padahal, selain haji, Islam
menyediakan berbagai bentuk ritual lainnya, yang selain dapat dijalankan tanpa
biaya (gratis), juga tidak kalah efektifnya untuk menempa iman dan takwa jika
diaplikasikan secara serius dan konsisten. Inilah latar belakang mengapa haji
diwajibkan hanya sekali seumur hidup bagi mereka yang mampu.
Ketiga, sekitar 10 persen dari jama‟ah haji kita adalah muslimin yang
secara ekonomi adalah menengah ke bawah. Biasanya biaya yang mereka
gunakan untuk menunaikan ibadah haji didapatkan dari hasil pinjaman atau dari
hasil menjual aset keluarga satu-satunya dan paling berharga. Maka tak jarang
keputusan untuk menunaikan ibadah haji ini memberi pukulan telak pada
perekonomian mereka. Ditinjau dari hukum haji, pelaksanaan haji dalam kondisi
perekonomian keluarga yang demikian, bahkan dapat dikategorikan haram. Sebab
menafkahi keluarga jauh lebih wajib dari ibadah haji. Sehingga jika seorang
muslim yang tidak mampu secara ekonomi memaksakan untuk beribadah haji,
maka itu berarti ia telah meninggalkan sebuah kewajiban demi sesuatu yang tidak
diwajibkan baginya.38
Begitu juga ketika kita melihat masalah tradisi kurban pada Idul Adha.
Jumlah kaum muslimin 85 persen dari total populasi di Indonesia 220 juta jiwa.
Jika 20 persen kaum muslimin secara ekonomi menengah ke atas, dan 5 persen
38
Ja‟far, ““jalan Lain” Berhaji dan Berqurban”.
54
dari jumlah tersebut menjalankan tradisi kurban, maka jumlah hewan yang
dikurbankan setiap tahunnya bisa mencapai sekitar 1.870.000 juta ekor hewan
kurban—termasuk seorang muslim yang berkurban lebih dari satu hewan—. Jika
spesifikasinya sekitar 20 persen (374.000) hewan yang dikurbankan adalah sapi,
dan selebihnya 1.496.000 kambing atau domba, sementara harga seekor kambing
atau domba rata-rata 400 ribu rupiah, dan harga sapi 1,5 juta rupiah, maka total
biaya yang dibutuhkan sebesar 1,1594 trilyun rupiah. Sebuah jumlah yang
tentunya cukup fantastis.