Upload
ngodiep
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN YURIDIS PERGANTIAN ANTARWAKTU PEJABAT
BADAN PEMERIKSAAN KEUANGAN
(Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Ahmad Holil
NIM: 109048000042
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
ii
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (SI) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika suatu saat terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Januari 2014
Ahmad Holil
109048000042
v
ABSTRAK
AHMAD HOLIL NIM 109048000042, TINJAUAN YURIDIS
PERGANTIAN ANTARWAKTU PEJABAT BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
(Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013). Program Studi Ilmu
Hukum, Konsentrasi Hukum Klembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2014 M. Xi + 85
halaman + 4 halaman daftar pustaka.
Penelitian ini dilakukan untuk mencari dasar ketentuan dikabulkan untuk
seluruhnya dari kasus pada perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013
yang diajukan oleh seorang anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
diangkat sebagai anggota pengganti antarwaktu, dan menjabat kurang dari 5 (lima)
tahun. Bertentangan dengan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006
tentang BPK. Menurut pemohon pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan adanya ketentuan pada pasal tersebut pemohon merasa telah dirugikan hak
konstitusionalnya sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang dilindungi oleh
UUD NRI 1945.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
metode penelitian normatif dengan analisis data kualitatif. Penelitian normatif dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
doktrin (doctrinal approach). Selanjutnya sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain bahan hukum primer yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 13/PUU-XI/2013 dan risalah sidangnya, serta peraturan perundang-undangan,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa Mahkam Konstitusi menyatakan
bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) bertentangan dengan UUD NRI 1945 demikian
dengan Pasal 22 ayat (5) juga dianggap tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan
mengikat menurut keputusan Mahkamah Konstitusi walaupun tidak diajukan
pengujiannya oleh pemohon. Menurut Hakim Mahkamah Konstitusi pokok dari
permohonan pemohon adalah mengenai masa jabatan annggota pengganti antarwaktu
yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikannya, walaupun
proses pemilihan antara anggota BPK pengganti antarwaktu dan bukan adalah sama.
Kata Kunci : Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pengganti antarwaktu, Mahkamah
Konstitusi, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pembimbing : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH.
Daftar Pustaka : Tahun 1977 s.d Tahun 2012
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta
anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan skrispi ini. Sholawat serta salam penulis
sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih teramat jauh dari kata
sempurna. Namun demikian, skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya maksimal
dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal
yang belum dapat penulis hadirkan dalam skripsi ini kerena keterbatasan pengetahuan
dan waktu. Namun patut disyukuri kerena banyak pengalaman didapat dalam
penulisan skripsi ini.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih
yang teramat dalam dan tak terhingga kepada:
1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.A. selaku Dekan fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Terima kasih kepada Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku ketua
program studi ilmu hukum serta Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. selaku
sekretaris program studi Ilmu Hukum atas segala petunjuk dalam penyusunan
skripsi ini.
vii
3. Terima kasih kepada Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH. Yang telah
bersedia menjadi pembimbing penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran
dan ketelitian memberikan masukan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
4. Terima kasih kepada segenap dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Terima kasih kepada Abdurauf, Lc. Selaku dosen pembimbing akademik,
yang telah membimbing dan mengarahkan, baik dalam perkuliahan maupun
dalam hal akademik lainnya.
6. Terima kasih kepada Nur Rohim Yunus, L.L.M yang bersedia meluangkan
waktu dan memberikan masukan serta saran untuk penulis.
7. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua, ayahanda KH.
Nahrawi dan ibunda Hj. Bahriyah, yang selalu berusaha dan berdoa
memberikan yang terbaik untuk penulis, semoga Allah SWT senantiasa
memberikan nikmat iman, islam, dan sehat kepada keduanya.
8. Terima kasih kepada kakak-kakak saya. H. Abdul Kholik, Musyarofah, Abdul
Azis Azzamzami, Siti Humairo, adik penulis Saiful Maki, kakak-kakak ipar
penulis teh Mimi, a’ Ajay, teh Dinar, ka Muiz, sepupu-sepupu penulis Rara,
Ica, Dimi, Diaz, dan Ibas, serta keluarga besar yang selalu memberikan do’a,
semangat, dan dukungan yang tak terhingga untuk kesuksesan penulis.
9. Terima kasih kepada sahabat Ilmu Hukum 2009, terutama Jajang Indra Fadila,
S.H. yang telah bersedia mambantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini,
viii
Roma Rizky Elhadi, Rivianta Putra, serta sahabat-sahabat yang tidak dapat
disebutkan satu persatu oleh penulis.
10. Sahabat-sahabat satu kosan dan teman bermain penulis Dawam Rahmat, Ihsan
Habibi, Gufron Mahfud, Qidsy Cikal, Ilham Sinyo, Iqbal Muharram, serta
sahabat-sahabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta, Desember 2013
Ahmad Holil
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING........................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI................................................. iii
ABSTRAK............................................................................................. iv
KATA PENGANTAR................................................................................. v
DAFTAR ISI.......................................................................................... viii
DATA LAMPIRAN.............................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN.............................................................. 1
A. Latar Belakang.................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusa Masalah.................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan............................................. 9
D. Metode Penelitian ............................................................... 10
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu................................... 14
F. Sistematika Penulisan.......................................................... 16
BAB II PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA DAN HAK
KONSTITUSIONAL....................................................... 18
A. Teori Pengawasan ............................................................ 18
1. Pengertian Pengawasan............................................... 18
2. Urgensi Pengawasan.................................................... 20
B. Sistem Pengawasan Keuangan Negara................................ 22
x
1. Pengertian Dan Urgensi Pengawasan Keuangan
Negara.......................................................................... 22
2. Sejarah Pengawasan..................................................... 23
C. Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-
Undang................................................................................. 30
1. Sejarah Pembentukan MK............................................. 30
2. Kedudukan, Kewenangan Dan Kewajiban MK......... 32
3. Hukum Acara MK......................................................... 35
BAB III PENGGANTIAN ANTARWAKTU ANGGOTA BADAN
PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)............................ 38
A. BPK ................................................................................ 38
1. Sejarah BPK................................................................ 39
2. Dasar hukum, Tugas, Kedudukan Dan Kewenangan
BPK.......................................................................... 43
3. Keanggotaan BPK..................................................... 46
B. Pemberhentian Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan.... 50
C. Penggantian Antarwaktu Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan............................................................................. 52
xi
BAB IV ANALISIS PUTUSAN.......................................................... 56
A. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang
Pengangkatan Pergantian Antarwaktu................................. 56
B. Analisis dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu
Anggota BPK....................................................................... 62
C. Akibat Hukum Puutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-
XI/2013 Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota
BPK..................................................................................... 74
BAB V PENUTUP............................................................................ 78
A. Kesimpulan ........................................................................ 78
B. Saran................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 81
LAMPIRAN
xii
DATA LAMPIRAN
A. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang
Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
B. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai keuangan negara tentu akan langsung berkaitan dengan
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Meskipun
sebenarnya, keuangan negara tidak hanya mengenai APBN saja akan tetapi semua hal
yang dapat dinilai dengan uang, baik berupa barang maupun materi yang dimiliki
serta dikuasai oleh negara. Secara nyata bahwa APBN yang digunakan untuk
keperluan rumah tangga negara ditopang oleh bagian-bagian dari pada keuangan
negara, seperti pajak, laba BUMN/BUMD serta sektor lainnya.
Untuk menjaga efektifitas dan efisiensi dari pengelolaan keuangan negara yang
dilaksanakan oleh pemerintah maupun pihak lainnya, maka perlu dibentuk badan
pemeriksa dari luar pemerintahan. Meskipun dalam internal pelaksanaan pengelolaan
keuangan negara terdapat juga pengawasan tersendiri. Hal ini di Indonesia telah
dibentuk suatu badan yang membidangi pemeriksaan dan pengawasan pada sektor
keuangan negara yang bernama Badan Pemeriksa keuangan (BPK).
BPK diposisikan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk
memeriksa dalam bentuk audit keuangan dari pada lembaga negara ataupun pihak
lain yang melakukan pengelolaan keuangan negara. Hal tersebut ditujukan supaya
tidak terjadi penyimpangan dalam hal pengelolaan keuangan negara oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggungjawab. Aspek keuangan negara dan tanggung jawab
2
pengelolaannya berkaitan erat pula dengan persoalan kewenangan lembaga negara
yang ditentukan dalam undang-undang UUD 1945.1
Keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan
pemerintahan sebuah negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna
mewujudkan tujuan negara. Untuk mewujudkan tujuan itu, pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksaan yang bebas,
mandiri, dan propesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari
KKN.2 Badan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pengawasan keuangan
tersebut haruslah bersifat kebal terhadap pengaruh dari luar, baik dari Eksekutif,
Legislatif maupun Yudikatif.
Kekuasaan eksaminatif menurut UUD 1945, dilakukan oleh Badan
Pemeriksaan Keuangan (BPK). Badan ini diatur dalam pasal 23E, 23F, dan 23G
UUD 1945 pasca-amandemen. Sebelum dilakukan perubahan UUD 1945,
kelembagaan BPK diatur dalam pasal 23 ayat (5) berada dalam Bab VIII tentang hal
keuangan.3
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
1 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer, 2008), h. 808. cetakan kedua.
2Titik Wulandari Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen 1945
(Jakarta: Kencana, 2010), h. 230.
3 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (edisi revisi), (Jakarta : Rajawali Pers, 2012)
h. 153.
3
negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri4
serta dipercaya untuk dapat mewujudkan clean and good governance dengan tugas
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia,
Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan
Negara.
Tujuannya yaitu mewujudkan BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan
negara yang independen dan profesional, mewujudkan BPK sebagai pusat regulator
di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara, dan
mendorong terwujudnya tata kelola yang baik atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara yang independen
mempunyai tugas untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara. Pada hakikatnya,
negara adalah suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya yang demikian, negara
tunduk pada tatanan hukum publik. Negara berusaha memberikan jaminan
kesejahteraan pada rakyat. Karena itu, dengan tugas yang dimiliki oleh lembaga BPK
dalam hal pengelolaan keuangan negara yang diharapkan dapat terciptanya
pemerintahan yang baik.
Dalam hal ini peran BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri
dituntut dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan undang-undang
4 Republik Indonesia, Pasal 23E, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Amandemen Ketiga.
4
yang berlaku untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas. Terkaitan dengan
tugasnya tersebut BPK dapat memeriksa apa saja yang termasuk dalam harta
kekayaan milik negara demi menghindari terjadinya pelanggaran dalam sektor
keuangan negara khususnya korupsi. BPK diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk
memeriksa keuangan negara dan bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan
negara.5
Hal selanjutnya yang dihadapi BPK sebagai sebuah lembaga yang mandiri
adalah kedudukan serta fungsi BPK itu sendiri dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Pemeriksaan keuangan itu sendiri sebenarnya merupakan bagian yang juga
tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah secara umum.
Kontrol atau pengawasan yang dilakukan badan yang berwenang pada sektor
keuangan khususnya BPK haruslah dilakukan secara simultan dan menyeluruh sejak
dari tahap rule making sampai tahap rule enforcing.6
Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berada dalam ranah kekuasaan
legislatif, atau sekurang-kurangnya berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang
dijalankan oleh DPR. Oleh karena itu, laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh
BPK harus dilaporkan kepada DPR untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.7
5 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Demokrasi , (Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 821. Cetakan kedua.
6 Jimly Assihiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2012), h. 138. Cetakan kedua.
7 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Kerjasama Antara
Mahkamah Konstitusi RI dengan Pusat Studi HTN FH UI, 2004), hlm 37.
5
Di era reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan
dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan pada Tahun 2002 yang
memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang
Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang
antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-
satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih
dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.8
Dalam sistem keanggotaan BPK sesuai dengan pasal 22 Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, apabila ada anggota
BPK memundurkan diri atau diberhentikan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud
pada Pasal 18 atau Pasal 19 maka diadakan “pengangkatan pergantian antarwaktu
anggota BPK” sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan oleh presiden.
Dengan adanya Pasal 22 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa keuangan tersebut maka Drs. Bahrullah Akbar, BSc., S.E., MBA. selaku
anggota Badan Pemeriksa Keuangan, sebagai pemohon yang mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1)
huruf a UU MK untuk melakukan pengujian Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang telah merugikan hak konstitusional
pemohon sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
8 diakses dari www.bpk.go.id pada tanggal 16 Oktober 2013.
6
Bahwa dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan
pergantian antarwaktu”, yang menjadi permasalahan adalah sistem pergantian
anggota BPK dimana ketika terjadi proses pergantian antarwaktu, maka untuk
menentukan pengganti anggota BPK yang berhenti dan/atau diberhentikan adalah
dengan menggunakan sistem seleksi, bukan otomatis menjabat bagi anggota yang
sebelumnya mendapat suara terbanyak selanjutnya.
Selain itu, masa jabatan anggota BPK pengganti adalah melanjutkan masa
jabatan anggota BPK yang digantikan olehnya. Apabila melihat putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011 yang menyatakan Pasal
34 undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai bahwa pimpinan Komisi Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang
diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk
menggantikan pimpinan yajng berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan
selama 4 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa
jabatan.
Padahal dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
BPK telah jelas disebutkan bahwa masa jabatan anggota BPK adalah 5 (lima) tahun,
namun untuk anggota BPK pengganti antarwaktu masa jabatannya adalah
melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikannya. Bila masa jabatan
anggota BPK pengganti antarwaktu tidak mencapai 5 tahun, jelas bahwa Pasal 22
ayat 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK bertentangan dengan
7
Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, dan Pasal 22
ayat 4 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah dipaparkan oleh
penulis diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi
dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS PENGANGKATAN PENGGANTIAN
ANTARWAKTU PEJABAT BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013)”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan ha-hal yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah, dan
agar penelitian lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru
serta pelebaran secara meluas, maka dapat disusun pembatasan masalah guna
memudahkan penyusunan skripsi ini maka penulis hanya membahas masalah yang
terdapat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 terhadap
pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK. Dalam hal uji materiil pasal
22 ayat (1) dan ayat (4) tidak sesuai dan/atau bertentangan dengan Pasal 23F ayat
(1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah ketentuan yang
terdapat pada Pasal 5 ayat (1) undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengatur dan menentukan bahwa masa
8
jabatan anggota BPK adalah 5 (lima) tahun. Namun pada prakteknya ada anggota
BPK yang secara resmi diangkat namun tidak untuk menjabat selama 5 tahun.
Rumusan masalah ini penulis rincikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Apa alasan konstitusional pengajuan uji materiil terhadap Pasal 22 ayat
(1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan ?
b. Bagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam
memutuskan perkara Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan
penggantian antarwaktu anggota BPK?
c. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-
XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK
terhadap hak individu sebagai warga negara?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui alasan konstitusional pengajuan uji materiil terhadap
Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
2. Untuk mengetahui landasan hukum pertimbangan Mahkamah Konstitusi
Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu
anggota BPK .
9
3. Untuk mengetahui implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota
BPK.
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat untuk
mengetahui apa saja yang menjadi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota
BPK.
2. Dapat memberikan gambaran umum pertimbangan hakim Mahkamah
Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013
tentang pengangkatan penggantian antarwaktu anggota BPK.
3. Dapat memberikan pengetahuan tentang implikasi putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang pengangkatan penggantian
antarwaktu anggota BPK.
4. Dapat memberikan ruang inspirasi bagi para penulis-penulis selanjutnya
dalam mencari pokok permasalahan baru dalam bidang kelembagaan
negara khususnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
D. Metode penelitian
Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data-data yang
diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Pada dasarnya sesuatu yang
dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya
10
“pengetahuan yang benar”, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat
dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.9
Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai
sebuah bangunan sistem norma.10
Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai
asas-asas,norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian serta doktrin (agama).
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis yang
berbentuk studi deskriptif analisis, yakni dengan cara penulisan yang
menggambarkan permasalahan yang didasarkan pada data-data yang ada, lalu
dianalisa lebih lanjut kemudian diambil kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk
menggambarkan sifat yang timbul karena sesuatu yang tengah berlangsung atau
sudah terjadi pada saat riset dilakukan dengan memeriksa sebab-sebab dari gejala
tertentu.11
9 Bambang Sunggono, Metode Peneitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997),
h..27-28. Cetakan pertama.
10
Fahmi M. Ahmadi. Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Lembaga
PenelitianUIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 31.
11
Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo, 1996), h. 22.
11
Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif yang berusaha mengkombinasikan pendekatan normatif dan empiris.12
Dengan penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif, penelitian yang
mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Adapun jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis data
kualitatif, sehingga metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Penelitian
yuridis normatif yang bersifat kualitatif merupakan penelitian yang mengacu pada
norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Sementara metode penulisan yang digunakan adalah deskriftif analisis yakni
dengan cara penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasari pada
data-data yang ada, lalu dianalisa lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan.
Untuk menunjang penelitian ini maka diperlukan sumber data yang berkaitan
dengan penelitian yang akan dilakukan. Sumber data dapat diperoleh dari bahan
yang tersedia, dengan pengelompokan sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoratif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
12
Moleong J. Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Roda Karya, 2004),
h. 28. Cetakan kedua puluh.
12
adalah terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan an putusan-putusan hakim.13
Bahan hukum primer yang digunakan penulis adalah Putusan
Mahkamah Konstutisi Nomor 13/PUU-XI/2013, UU RI No. 15 Tahun
2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, peraturan BPK RI No. 1 Tahun
2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Peraturan BPK RI
No. 2 Tahun 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksaan Keuangan RI.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah berupa semua bentuk publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,
kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan peneliti semacam
“petunjuk” ke arah mana peneliti melangkah dalam penelitiannya.14
Bahan hukum sekunder yang digunakan oleh penulis disini adalah
buku-buku yang membahas tentang hal-hal yang terkait dengan
pembahasan penulis, antara lain, buku yang berkenaan dengan
pembahasan mengenai Hukum Tata Negara, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, keuangan negara, dan buku-buku hukum
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 141. Cetakan
keempat.
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum......., h. 155.
13
lainnya, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi tentang Hukum Tata Negara,
jurnal ataupun materi-materi mengenai hukum yang berkenaan dengan
proses penelitian ini.
c. Bahan Tersier
Bahan tersier merupakan petunjuk atau penjelasan bermakna
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensilopedia,
artikel, koran, majalah, situs, internet, jurnal, politik, dan pemerintahan
serta makalah yang berkaitan.
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian yang diambil penulis adalah pendekatan perundang-
undangan (Statute Approach) dan pendekatan doktrinal (Doctrinal approach),
karena penelitian yang penulis lakukan menggunakan metode yuridis normatif.
Dalam hal pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani.15
penelitian ini menjadikan peraturan
perundang-undangan sebagai pokok kajian, yaitu peraturan yang berkaitan dengan
kewenangan BPK sebagai lembaga independen dan keanggotaan BPK.
Sementara itu dengan pendekatan doktrinal (doctrinal Approach), bahwa
putusan dan ketentuan yang muncul setelah putusan Nomor 13/PUU-XI/2013
dalam sidang Mahkamah konstitusi yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 22 ayat
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum..............., h. 93.
14
(1) dan ayat (4) mengenai pengangkatan pergantian antarwaktu dan masa jabatan
anggota penggatian antarwaktu.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
dokumentasi. Studi dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum
yang telah disebutkan dalam sumber data yang terdiri dari 3 (tiga) jenis sumber
data.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis normatif kualitatif. Yaitu dengan menganalisis ketentuan dalam
perundang-undangan serta buku-buku terkait secara komprehensip. Adapun
mengenai teknik penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidyatullah Jakarta, Tahun 2012.16
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul yang penulis ajukan perlu kiranya penulis
lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan pertimbangan. Antara lain :
Skripsi dengan judul “Penggantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR dan
Implikasinya Dalam Konsep Perwakilan Rakyat” karya Rida Farida mahasiswa Ilmu
Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Fakultas Syariah Dan Hukum
16
TIM Penyusun FSH, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan
Mutu (PPJM), 2012.
15
angkatan 2008 yang membahasi tentang Pergantian Antarwaktu (PAW) dimana bisa
menjadi pembanding dengan skripsi yang diangkat oleh penulis yang membahas
Pengangkatan Pergantian Antarwaktu anggota BPK namun dengan tinjauan yurudis
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013.
Skripsi berjudul “Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Ketatanegaraan Islam”
yang disusun oleh saudari Rini Wulandari (konsentrasi Siyasah Syari’iyyah program
studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2008). Membahas tentang kewenangan BPK dalam ketatanegaraan Indonesia
dan membandingkannya dengan kewenangan Wilayah Mazhalim dalam pemerintahan
Islam, dan apa yang menjadi persamaan dan pebedaan diantara keduanya. (wilayah
mazhalim dalam ketatanegaraan islam adalah lembaga yang berwenang memeriksa
perkara yang terkait dengan pemeriksaan terhadap harta milik negara).
Buku berjudul “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia” karangan Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.17
pembahasan dalam buku ini adalah mengenai hukum
Keuangan Negara pada salah satu babnya, yaitu: Pengertian tentang keuangan negara
serta peran-peran lembaga negara khususnya BPK, kewenangan BPK dalam
memeriksa keuangan negara, pembahasan lembaga atau badan usaha milik
pemerintah yang berkaitan dengan keuangan negara, dimana didalamnya
berhubungan dengan kewenangan BPK.
17
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Demorasi , (Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 807-888. Cetakan kedua.
16
Selanjutnya buku berjudul “Hukum Tata Negara Indonesia’ karangan Ni’matul
Huda, S.H., M.Hum.18
menyinggung tentang cikal bakal pembentukan BPK dalam
sejarah konstitusional Indonesia, Struktur kelembagaan BPK, dan Perluasan
kewenangan BPK dalam kewenangan, fungsi, dan tugasnya.
Selanjutnya Buku berjudul “Hukum Keuangan Negara” karangan Dr.
Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H.19
membahas tentang pengelolaan keuangan
negara, termasuk pemeriksaan keuangan negara, jenis pemeriksaan keuangan negara,
tanggung jawab pemeriksaan keuangan negara, tanggung jawab pemeriksaaan,
hingga tindak lanjut hasil pemerikasaan keuangan negara apabila ditemui
pelanggaran.
Buku dengan judul “Perkembangan dan Konsolidasi lembaga Negara”
karangan Prof. Jimly Asshiddiqie,S.H. membahas tentang cikal bakal pembentukan
BPK, konsepsi Badan Pemeriksaan Keuangan, fungsi pengawasan terhadap kinerja
pemerintahan, pengertian uang dan keuangan negara itu menurut pasal 23 UUD 1945
yang tidak terbatas pada pengertian APBN.20
F. Sistematika Penulisan
Untuk menyajikan skripsi ini secara sistematis, maka penulis menyusun
sistematika penulisan skripsi ini kedalam lima bab dengan susunan sebagai berikut :
18
Ni’matul Huda, Hukum Tata NegaraIndonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005)
h. 205-209, cetakan pertama.
19
Muhammada Djafar saidi, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2008), h. cetakan pertama.
20
Jimly Assihiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2012), h. 136 -145, cetakan kedua.
17
BAB pertama penulis membahas Pendahuluan yang terdiri dari (a) latar
belakang masalah, (b) pembatasan dan perumusan masalah, (c) tujuan dan manfaat
penelitian, (d) metode penelitian, (e) tinjauan (review) terdahulu, (f) metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB kedua penulis memberikan bahasan tentang Pengawasan Keuangan
Negara (a) Sistem Pengawasan keuangan Negara dan Hak Konstitusional, (b) Badan
Pemeriksa keuangan, (c) Mahkamah Konstitusi.
BAB ketiga penulis membahas tentang Pengangkatan Penggantian Antarwaktu
Anggota BPK. Isinya berupa (a) Sejarah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (b)
Kedudukan Dan Kewenangan BPK (c) Keanggotaan BPK, (d) Pemberhentian
Anggota BPK, (e) Pergantian Antarwaktu Anggota BPK.
BAB keempat ini penulis memberikan tema “Analisis, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 yang terdiri dari dua pembahasan (a) Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Penggantian
Antarwaktu Anggota BPK, dan (b) Analisis Dan Implikasi Putusan Putusan
mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan Penggantian
Antarwaktu Anggota BPK Terhadap Hak Individu sebagai Warga Negara, (c)
Akkibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang
Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota BPK.
BAB kelima penulis memberikan penutup yang berisikan kesimpulan dan
saran, serta pada bagian akhir dilengkapi dengan daftar pustaka.
18
BAB II
PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA DAN HAK KONSTITUSIONAL
A. Teori Pengawasan
1. Pengertian Pengawasan
Pengawasan berasal dari kata “awas”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai Penilikan dan penjagaan, dalam kontek kata “mengawasi”
memiliki arti melihat dan memperhatikan.1 Pengawasan adalah kegiatan yang
dilakukan lembaga tinggi terhadap kinerja lembaga-lembaga yang ada
dibawahnya, tujuannya adalah untuk melakukan kegiatan-kegiatan preventif,
pengkoreksian, dan pelaporan kepada lembaga lainnya.
Sebagai bahan perbandingan diambil beberapa pendapat dari para pengarang
buku yang membahas atau menyinggung mengenai pengawasan, antara lain :
Menurut Prayudi Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan
pekerjaan apa yang di jalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa
yang dikehendaki, direncanakan atau diperhatikan.2 Artinya apa yang telah
direncanakan masih memerlukan sebuah sistem yang akan memandu rencana
tersebut agar tercapai.
Menurut Saiful Anwar, pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur
pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dan
1 Departemen Pendidikan Nasional ,Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 104.
2 Prayudi, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981), h. 80.
19
dijalankan dapat mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-
penyimpangan.3 Dengan kata lain menurut Saiful pengawasan adalah sebuah
tindakan pencegahan yang perlu dilaksanakan agar tidak terjadi hal-hal diluar dari
apa yang telah ditetapkan.
Menurut M. Manullang mengatakan bahwa Pengawasan adalah suatu proses
untuk menetapkan suatu pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan
mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai
dengan rencana semula.4 Pengawasan yang dimaksud Manullang berfungsi
sebagai sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah rencana kerja khususnya
pemerintah.
Dilain pihak menurut Sarwoto yang dikutip oleh Sujamto memberikan
batasan bahwa Pengawasan adalah kegiatan manager atau orang yang mengatur
dan bertanggung jawab dengan mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan
terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki.5
Sama halnya dengan pendapat sebelumnya bahwa pengawasan berfungsi lebih
kepada tindakan preventif yang diambil agar dapat mencapai hasil yang maksimal.
Istilah pengawasan dalam bahasa Inggris disebut controlling, yang oleh Dale
dikatakan bahwa “the modern concept of control provides a historical record of
3 Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, (Medan : Glora
Madani Press, 2004), h.127.
4 M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995), h.18, cetakan
keempat belas.
5 Sujanto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), h.
13, cetakan kedua.
20
what has happened and provides date the enabel the executive to take corrective
steps”,6 maksudnya adalah mengawasi tidak semerta-merta hanya kegiatan
mengawasi dan melaporkan hasil dari mengawasi, namun juga mengandung arti
memperbaiki dan meluruskan sehingga apa yang telah direncanakan dapat dicapai.
2. Urgensi Pengawasan
Pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan- pekerjaan
terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang
dikehendaki.7 Ada beberapa aspek-aspek penting yang perlu diawasi oleh rakyat
dengan legislasi-legislasi rakyat yang ada di pemerintahan. Lembaga pemerintahan
mempunyai kewenangan untuk mengontrol 3 aspek yaitu, kontrol atas
pemerintahan (control of executive), kontrol atas pengeluaran (control of
expenditure), dan kontrol atas pemungutan pajak (control of taxation).8
Dalam arti lain pengawasan merupakan proses dalam memastikan bahwa
segala program sesuai dengan apa yangtelah direncanakan. Pengawasan sangat
diperlukan untuk menjaga agar pelaksanaan kegiatan pemerintah berjalan sesuai
dengan perencanaan dan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
6 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum
(PSH) Fakultas Hukum UII, 2004), h. 185-186, cetakan ketiga.
7 Heidjrachman Ranupandojo, Tanya Jawab Manajemen (Yogyakarta : AMP YKPN, 2000),
h. 109.
8 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta :
Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 162-163, cetakan kedua.
21
Aspek pengawasan berkaitan erat dengan persoalan kewenangan lembaga
negara yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Lembaga-lembaga negara
yang berkaitan dengan persoalan keuangan negara ini misalnya, adalah Badan
Pemeriksa Keuangan. Serta lembaga negara yang mengelola keuangan negara
dalam bentuk APBN ataupun APBD perlu diketahui terlebih dahulu tentang
keuangan negara secara mendasar.
Pandangan dan pemahaman Hans Kelsen mengenai the concept of the state-
organ dalam bukunya General Theory of Law and State, menguraikan bahwa
“Whoever fulfills a fanction determined by the legal order is an organ”.9 Siapa
saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal
order) adalah suatu organ.
Dikatakan pula oleh Hans Kelsen bahwa, “An organ , in this sense, is an
individual fulfilling a specific function”. Kualitas individu itu sebagai organ
negara ditentukan oleh fungsinya. Individu tersebut dapat disebut sebagai organ
negara, karena ia menjalankan fungsi yang menciptakan hukum (law–creating
function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law applying function).10
9 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell& Russell, 1961), h.
192.
10
Ibid, h. 194.
22
B. Sistem Pengawasan Keuangan Negara
1. Pengertian dan Urgensi Pengawasan Keuangan Negara
Pengawasan keuangan negara adalah pengawasan yang dilakukan pada
sektor-sektor pemerintahan yang memakai uang atau anggaran dari negara.
Pengawasan keuangan negara pada dasarnya dilakukan untuk memantau kemana
saja uang negara mengalir dan untuk tujuan apa uang negara tesebut digunakan.
Sistem pengawasan keuangan negara dilakukan oleh lembaga tinggi negara
atau lembaga turunan dari lembaga yang sudah ada. Tujuan diadakannya lembaga–
lembaga negara atau alat-alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan
fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Jadi,
meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang dibentuk berbeda,
secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi
membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan
secara ideologis mewujudakan tujuan negara jangka panjang.
Salah satu tehnik pengawasan yang lazim dilaksanakan adalah pemeriksaan,
yaitu kegiatan untuk menilai apakah hasil pelaksanaan yang sebenarnya telah
sesuai dengan yang seharusnya dan untuk mengidentifikasi penyimpangan atau
hambatan yang ditemukan.11
Pengawasan pada sektor keuangan meliputi segala bentuk anggaran yang
telah direncanakan pada setiap kementrian. Pentingnya sebuah pengawasan adalah
11
Bohari, Pengawasan keuangan negara, (jakarta : rajawali 1992), h. 4, cetakan pertama.
23
untuk menjaga dan mengkawal agar anggaran yang telah disahkan oleh pemerintah
menjadi tepat sasaran dan untuk memantau ada tidaknya pelanggaran yang terjadi
pada setiap APBN dan APBD.
Kegiatan pemeriksaan dan pengawasan mempunyai kedudukan yang
strategis dan menentukan terciptanya transparansi dan akuntabilitas di bidang
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Sampai saat ini usaha
perbaikan hal tersebut masih terus berlanjut dan memberikan hasil yang cukup
baik bila dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi.
2. Sejarah Pengawasan
Sejarah awal mula pengawasan telah lama tersirah pada zaman kuno,
walaupun tidak dijelaskan secara rinci dan tegas. Plato atau dengan nama lain
Aristocles adalah seorang filsuf Yunani klasik yang tidak diketahui waktu dan
tempat kelahirannya secara pasti.12
Plato berpendapat bahwa luas negara itu harus
diukur atau disesuaikan dengan dapat atau tidaknya, mampu atau tidak nyasebuah
negara memelihara kesatuan di dalam negara itu sendiri.13
Artinya peran sebuah
organ pengawasan mutlak sangat diperlukan untuk memandu sebuah negara dalam
hal mencapai cita-citanya.
Teori controlling yang dipupolerkan oleh Plato berhasil dipetakan dan
dirumuskan oleh Hans Kelsen menjadi sebuah norma hukum, dimana keberadaan
12
Pudja Pramana KA, Ilmu Negara, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), h. 37, cetakan pertama.
13
Soehino, Ilmu Negara, (yogyakarta : Liberty, 2004), h. 17, cetakan keenam.
24
sebuah norma sesunggungnya adalah bentuk lain dari pengawasan yang bersifat
preventif. Sistem baru yang kemudian diberlakukan sebagai sebuah sistem hukum,
yakni, menafsirkan tindakan yang menerapkan sistem baru sebagai sebuah
tindakan-tindakan yang sah, dan fakta-fakta material yang melanggarnya sebagai
tindakan tidak sah.14
Plato mengakui kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi oleh negara,
sehingga ia menerima negara dalam bentuknya sebagai second best dengan
menekankan pentingnya hukum yang bersifat membatasi.15
Membatasi yang
memiliki tujuan menutup ruang untuk melakukan pelanggaran dan kesalahan,
adalah pengawasan secara tidak langsung agar sebuah negara dapat
memaksimalkan peran dan fungsinya.
Algemene Rekenkamer adalah sebuah implementasi daripada teori
pengawasan terhadap keuangan negara, yang semula didirikan oleh pemerintah
Belanda hanya untuk melakukan pengurusan dan pembukuan keuangan negara.
Kemudian dengan berlakunya Indische Comptabiliteit Wet (ICW).
Sebelum berlakunya pasal 23 ayat (5) UUD NRI 1945 maka yang
diberlakukan adalah perundang-undangan pemerintah Hindia-Belanda yang
memiliki sejarah tersendiri, Algemene Rekenkamer Belanda semula didirikan oleh
Gubernur Deandeles pada tahun 1808 dan diberi nama “General Rekenkamer”
14
Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, (Bandung : Nusa Media, 2008), h. 99, cetakan
pertama.
15
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
2011), h. 7, cetakan kedua.
25
yang mengikuti sistem pemerintahan Prancis yang menguasai Belanda pada waktu
itu.16
Sejak tahun 1867 diambil alih dari kodifikasi peraturan keuangan Napoleon
yang berlaku dinegeri belanda maka dilakukanlah Comptabiliteit Wet atau ICW,
dengan berlakunya ICW maka penetapan anggaran belanja negara tidak lagi
ditetapkan oleh raja.17
Dalam hal pengawasan fungsional, pemerintah Republik Indonesia sejak
tahun 1950 sampai dengan 1963 belum memiliki unit organisasi khusus yang
bertugas melakukan pengawasan anggaran negara. Pada periode ini pengawasan
anggaran negara dilakukan oleh Inspektur Keuangan dan Inspektur Thesauri
Jendral yang tugas pokoknya bukan bidang pengawasan. Inspektur Keuangan dan
Inspektur Thesauri Jendral bukan bawahan langsung dari Menteri Keuangan.
Ruang lingkup pengawasan terhadap anggaran dalam periode ini terbatas kepada
kegiatan pemegangan kas, sehingga aktivitas terbatas hanya kepada pemeriksaan
kas.18
Pada tahun 1963 keluar putusan Presiden No. 29 tahun 1969 tentang
Pengawasan Keuangan Negara. Dalam keputusan ini dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan pengawasan keuangan negara ialah pengawasan umum terhadap
16
Bohari, Pengawasan keuangan...................., h. 9.
17
Ibid, h. 10.
18
Ibid, h. 11.
26
pelaksanaan daripada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran
Pembangunan, Anggaran Kredit dan Anggaran Devisa.19
Pada tahun 1975 dengan Keppres No. 40 tahun 1975 ditentukan bahwa
lembaga Inspektorat Jendral harus ada pada setiap Departemen. Inspektorat
Jendral bertanggung jawab kepada menteri yang bersangkutan.20
Sistem pengawasan keuangan negara secara umum dilaksanakan oleh dua
unsur yaitu unsur internal dan unsur eksternal. Unsur internal dilaksanakan oleh
bagian dalam lingkup pemerintahan itu sendiri, sementara unsur eksternal
dilaksanakan oleh legislatif, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).
a. Pengawasan Internal
Pengawasan oleh intern pemerintah atau disebut dengan pengawasan
internal merupakan bagian dari organisasi pemerintah, melaporkan hasil
pemeriksaannya kepada pimpinan pemerintah (tertinggi) di pusat maupun
didaerah, dan tidak melakukan pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan
negara.
Pengawasan internal ini dilakukan oleh pihak yang masih termasuk dalam
fungsi organisasi atau bagian dari organisasi pemerintah. Pelaporan
pengawasan yang dilakukan oleh pengawas interen ini dilaporkan kepada
pimpinan tertinggi yaitu pemerintah baik pusat maupun daerah. Pada dasarnya
19
Ibid, h. 13.
20
Ibid, h. 15.
27
pengawasan intern harus dilakukan oleh pucuk pimpinan sendiri. Setiap
pimpinan unit dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu pucuk
pimpinan mengadakan pengawasan sesuai dengan bidang tugasnya masing-
masing.21
Dalam pengawasan internal pemerintah ini dilakukan oleh tiga lembaga,
sebagai berikut:
a. BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan)
Tugas dan fungsi utama dari BPKP adalah melakukan koordinasi atas
seluruh pengawasan interen pemerintah. Serta menjalankan tugas pada
pengembangan fungsi preventif (pencegahan).
b. Inspektorat Jenderal Departemen/Unit Pengawasan Lembaga
Dalam kedudukannya tugas dari Inspektorat Jenderal Departemen
adalah membantu menteri dalam menyelenggarakan pengawasan
umum atas segala aspek pelaksanaan tugas pokok menteri.
c. Bawasda (Badan Pengawas Daerah) untuk daerah tingkat Provinsi dan
Kabupaten
Tugas dan fungsinya antara lain Melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan urusan pemerintahan, urusan perekonomian, urusan
kesejahteraan sosial, urusan keuangan dan aset, dan Melaksanakan
kegiatan ketatausahaan.
b. Pengawasan Eksternal
Pengawasan eksternal merupakan pengawasan yang berada di luar
organisasi pemerintah, lingkup pekerjaan tidak tergantung pemerintah dan
pemeriksaannya mencakup juga pertanggungjawaban keuangan negara oleh
pemerintah serta hasilnya dapat digunakan sebagai dasar publik (DPR, DPRD,
dan Masyarakat) dalam pengambilan keputusan.
21
Viktor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), h. 20, cetakan kedua.
28
Pengawasan ekstern dilakukan oleh aparat dari luar organisasi itu sendiri,
seperti halnya pengawasan di bidang keuangan oleh BPK sepanjang meliputi
seluruh aparatur negara dan direktorat jenderal pengawasan keuangan negara
terhadap departemen dan instansi pemerintah lain.22
Wirjono Prodjodikoro23
menyamakan pengertian keuangan negara dengan
anggran negara (state budget). Ada dua pengertian yang berbeda dikaitkan
dengan perkataaan keuangan negara, yaitu :
a. Uang negara dalam arti ekonomis, yaitu dana dan kekayaan milik
negara;
b. Uang negara dalam arti teknis, yaitu uang masuk dan keluar
sebagaimana yang tergambar dalam perhitungan APBN (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
Kedua pengertian ini harus dibedakan, dan tidak boleh dicampuradukkan
sehingga menimbulkan kerancuan dalam memahami konsep-konsep yang
terkait dengan pengertian keuangan negara.24
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan Pasal 1 butir 7 juga merumuskan definisi keuangan negara itu dalam
pengertian luas, dengan menyatakan: “keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
22
Ibid., h. 27.
23
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat,
1977), h. 109, cetakan ketiga.
24
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Pasca Reformasi),
(Jakarat: Buana Ilmu Populer, 2007), h. 811, cetakan kedua.
29
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.25
Upaya BPK bersama pemerintah dalam melaksanakan reformasi
keuangan negara telah dilakukan secara serius dan telah berhasil melaksanakan
perbaikan kebijakan dan kerangka hukum. Sistem pengawasan dan pemeriksaan
merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara yang berperan
untuk memastikan bahwa keuangan negara telah dilaksanakan sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai dengan mentaati peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Karena itulah sudah selayaknya keuangan negara yang diakumulasi dari
rakyat harus dikelola dan didistribusikan kembali demi kesejahteraan rakyat.
APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.26
Dengan adanya suatu badan yang bertanggungjawab dalam hal
pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara diharapkan mampu mengawasi
kinerja keuangan sehingga dapat terciptanya sistem keuangan negara yang
transparansi dan akuntabilitas. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai BPK
lebih jauh dalam pembahasan selanjutnya.
25
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan
Keuangan.
26
Republik Indonesia, Pasal 23, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
30
C. Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang
1. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Lembar awal sejarah praktik pengujian undang-undang (judicial riview)
bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat
dipimpin oleh John Marshall dalam kasus Marbury vs Madison (1803). Kendati
saat itu konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk
melakukan jidicial review kepada MA, tetapi dengan manafsirkan sumpah jabatan
yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi, Marshall
menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu undang-undang
bertentangan dengan konstitusi.27
Dalam jangka waktu era reformasi, terjadi beberapa perubahan mendasar
pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD NRI 1945 telah merubah
sistem kelembagaan negara indonesia dari Supremasi MPR kepada Supremasi
Konstitusi. Kedudukan lembaga negara menjadi sejajar dan sederajat di bawah
naungan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Mahkamah Konstitusi ditetapkan oleh MPR dalam perubahan ketiga UUD
1945 sebagai pelaku kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
27
Jurnal Mahkamah Konstitusi, Profil Mahkamah Konstitusi, edisi Oktober 2010, (Jakarta:
MK, 2010), h. 2, cetakan pertama.
31
keadilan. Untuk menjawab kebutuhan dan beberapa persoalan hukum di negeri ini
tercermin dalam kewenangan dan kewajiban yang dimilikinya.28
Kemudian untuk merinci dan menindaklanjuti amanat konstitusi tersebut,
pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya,
akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan
disahkan dalam sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Tanggal 13 Agustus
inilah yang kemudian disepekati para hakim konstitusi menjadi hari lahir
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.29
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai asas
hukum tertinggi dapat ditegakkan dan ditegaskan sebagaimana mestinya. Pada
prinsipnya pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan implementasi dari
amnademen UUD NRI 1945 yang terjadi selama era reformasi berlangsung,
namun disamping itu pembentukan Mahkamah konstitusi juga bertujuan untuk
memberikan pengawasan dan penafsiran terhadap UUD NRI 1945 yang memang
belum ada lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan tersebut.
Secara konstitusional, keberadaan Mahkamah Konstitusi pada era reformasi
diatur di dalam UUD NRI 1945, yakni Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi “kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
28
Ibid, h. 5.
29
Jurnal, Profil Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretaris Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), h. 4, cetakan pertama.
32
berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Atas dasar Pasal tersebut, maka dibuatlah undang-undang organik sebagai
turunan dari UUD RI 1945, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian dibentuklah Mahkamah
Konstitusi, yang merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan tugas dan
wewenang di bidang kekuasaan kehakiman. 30
2. Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga kekuasaan kehakiman selain
Mahkamah Agung yang khusus menangani peradilan ketatanegaraan atau
peradilan politik. Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar31
memutus sengketa antarlembaga negara yang
kewenangannya diatur dalam UUD 194532
memutus sengketa hasil pemilu33
dan
memutus pembubaran partai politik.34
30
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 196, cetakan pertama.
31
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf a, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi.
32
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf b, ibid.
33
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf c, ibid.
34
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf d, ibid.
33
Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat atau dakwaan DPR
bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melanggar hal-hal tertentu di dalam UUD RI
1945 atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.35
Kedudukan MK berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi yaitu, MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka mempunyai peranan penting dalam menegakkan
konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI 1945. Mahkamah konstitusi
berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
Susunan MK berdasarkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang MK yaitu, MK mempunyai 9 orang hakim anggota konstitusi yang
ditetapkan dengan keputusan presiden. Susunan anggota MK terdiri atas seorang
Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 orang
hakim anggota konstitusi.36
Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa
jabatan selama 2 tahun 6 bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan
Wakil Ketua MK. Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih,
di adakan rapat untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK dan rapat dipimpin
35
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (3) huruf e, ibid.
36
Republik Indonesia, Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), ibid.
34
oleh hakim konstitusi yang paling tua usianya di antara para hakim anggota
konstitusi.37
Sejak dikeluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan MK
ditambah satu lagi yakni memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan daerah
(pilkada) yang sebelumnya merupakan kewenangan dari MA. Pengalihan
wewenang peradilan sengketa hasil pilkada ini merupakan konsekuensi dari
ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2006 tentang penyelenggaraan
pemilu yang menempatkan pilkada ke dalam rezim pemilihan umum.38
Dalam melakukan fungsi peradilan di keempat kewenangannya, Mahkamah
Konstitusi adalah satu-satunya lembaga tinggi negara yang diperbolehkan
melakukan penafsiran Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945, bahkan
pengujian materiil tersebut adalah simbol peran Mahkamah Konstitusi dalam
melindungi Hak Asasi Manusia (HAM).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final. Berdasarkan kewenangannya untuk menguji
konstitusionalitas, MK melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi
rumusan suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena
bertentangan dengan UUD 1945.
37
Republik Indonesia, Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4), ibid.
38
Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 273, cetakan pertama.
35
Begitupun terhadap suatu undang-undang, MK dapat membatalkan
keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak didasarkan kepada UUD 1945.
Dengan demikian, undang-undang yang dihasilkan oleh legislatif yaitu DPR dan
Presiden diimbangi dengan adanya pengujian formal dan materiil oleh MK sebagai
cabang lembaga yudisial.39
Sebagaimana diterangkan diatas nampak penggambaran “sosok” MK
sebagai sebuah lembaga yang mempunyai peran sebagai penjaga Konstitusi dasar
Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945. Dengan keberadaan MK ditengah-
tengah lembaga yudikatif yang telah ada diharapkan mampu menjadi pelengkap
dan saling melengkapi diantara lembaga kekuasaan kehakiman yang telah ada
terlebih dahulu.
3. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Penjelasan umum Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah sebagai lembaga
negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam
rangka menjaga konstitusi agar dapat dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab
sesuai dengan kehendak dan cita-cita dari demokrasi itu sendiri.40
39
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi : Memahami Keberadaannya
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), h.31, cetakan
pertama.
40
Abdul Mukti Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), h. 127, cetakan pertama.
36
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang menjalankan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, mengacu kepada undang-undang pokok
kekuasaan kehakiman, hukum acara MK memiliki landasan yang tersirat dalam
asas-asas hukum yang melandasinya. Sebagai sebuah gambaran kewenangan dan
batasan yang harus dipenuhi terhadap pelaksanaannya, asas hukum acara di MK
dipandang sebagai dasar-dasar umum dan petunjuk bagi hukum yag berlaku.41
Hukum acara MK terbagi dalam dua jenis pertama, hukum acara yang
bersifat umum, dan hukum acara yang bersifat khusus. Hukum acara yang bersifat
umum berlaku untuk semua kewenangan MK, sedangkan hukum acara yang
bersifat khusus hanya berlaku untuk masing-masing perkara yang menjadi
kewenangan MK.
Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang
menjalankan fungsi peradilan, maka tata cara dan prosedur pelaksanaannya diatur
lebih lanjut dalam ketentuan hukum acara, yaitu hukum acara Mahkamah
Konstutisi.42
Keberadaan hukum acara sebagai hukum formil mempunyai status
kedudukan penting dan strategis dalam upaya menegakkan hukum materiil di
dalam lembaga peradilan. Sebagai hukum formil, hukum acara di MK berfungsi
untuk menegakkan, mempertahankan, dan menjamin bahwasannya hukum materiil
Mahkamah Konstitusi ditaati dalam lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi.
41
Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2002),
h. 5, cetakan ketiga.
42
Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2006), h. 31.
37
Hukum acara Mahkamah Konstitusi disusun secara sederhana dan tidak
memisahkan secara khusus masing-masing perkara yang menjadi kewenangan MK
karena tidak ada perbedaan prinsip dari masing-masing perkara, kecuali para pihak
yang berperkara. oleh karena itu tidak ada perbedaan secara prinsip, maka
ketentuan yang berbeda cukup dikecualikan, misalnya dalam soal perkara
perselisihan tentang hasil pemilu dan impeachment. Untuk proses beracara di MK
selain digunakan hukum acara yang mengandung sengketa (contentious
procesrecht), juga digunakan acara nonsengketa yang bersifat volunter.43
Beberapa asas hukum acara MK yang penting, diantaranya adalah,44
Asas
Indepedensi/Noninterfentif, Asas Praduga Rechtmatige, Asas Sidang Terbuka
Untuk Umum, Asas Hakim Majelis, Asas Objektivitas, Asas Keaktifan Hakim
Konstitusi (Dominus Litis), Asas Pembuktian Bebas, Asas Putusan Berkekuatan
Hukum Tetap dan Bersifat Final, Asas Putusan Mengikat Secara “Erga Omnes”,
Asas Sosialisasi dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.
43
Fickar Hadjar A., dkk.., Pokok-Pokok Pemikiran dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003), h. 30.
44
Fatkhurohman dkk., Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), h. 93-96.
38
BAB III
PERGANTIAN ANTARWAKTU ANGGOTA
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)
A. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK merupakan salah satu lembaga pengawasan eksternal dan sebagai suatu
lembaga negara yang memiliki posisi sangat tinggi berdasarkan amanat UUD 1945.
Lembaga tinggi negara adalah lembaga yang menjalankan kekuasaan negara yang
bersifat primer dan keberadaan lembaga tersebut ditetapkan secara tegas oleh UUD
NRI 1945. Tugas BPK adalah melakukan pemberantasan KKN, memelihara
transparansi dan akuntabilitas seluruh aspek keungan negara, untuk memeriksa semua
asal-usul dan besarnya penerimaan negara dari manapun sumbernya.
Tugas utama Badan Pengawas Keuangan Negara (BPK) adalah memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta menyerahkan semua hasil
pemeriksaan tersebut kepada lembaga perwakilan untuk mendorong transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan keuangan negara sebagai hal utama dalam demokrasi
ekonomi dan politik yang sesungguhnya.
Sejak amandemen UUD 1945, Undang-Undang Keuangan negara (2003-2004)
dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, menunjukkan bahwa BPK
pun telah melaksanakan praktek-praktek transparansi dan akuntabilitas, upaya ini
39
dimaksudkan untuk membangun sistem pemerintahan yang baik dan bersih, serta
mewujudkan tata kelola/tata pemerintahan yang baik (good governance).1
Pada ayat (1) Proses memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara diadakan oleh satu Badan Pemeriksaan Keuangan yang bebas dan
mandiri, kemudian pada ayat (2) hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya, dan pada ayat (3) hasil
pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lemabaga perwakilan/atau badan sesuai
dengan undang-undang.2
1. Sejarah Badan Pemeriksa Keuangan
Cikal bakal pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berasal dari
Algemene Rekenkamer pada zaman Hindia Belanda.3 Algemene Rekenkamer inilah
yang dulunya menjadi contoh ketika ide BPK diadopsi ke dalam rumusan UUD
1945. Algemene Rekenkamer yang dibentuk sebagai salah satu lembaga
konstitusional yang bersifat independen di Belanda ini dapat melakukan hal-hal
yang menjadi kewenangannya.4
1 Ade Armando, Mengenal Lebih Dekat BPK (Sebuah Panduan Populer), (Jakarta: Biro Humas Dan
Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2010), h. 19.
2 Republik Indonesia, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
3 Kusuma A.B., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badang Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004), h.75, cetakan ketujuh.
4 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer,
2008), cetakan kedua, h. 856.
40
Para perumus UUD 1945 menyadari betul bahwa pemeriksaan, pengelolaan,
dan tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara merupakan kewajiban
yang berat, sehingga perlu dibentuk suatu Badan dan Pemeriksaan Keuangan
Negara yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah.5
Secara historis, sejak berlakunya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945
hingga 10 Desember 1945 BPK belum terbentuk, karena situasi politik yang belum
mengizinkan untuk memikirkan masalah badan tersebut. Setelah pada tanggal 10
Desember 1945 menteri keuangan mendirikan dictum bahwa BPK akan dibentuk
oleh pemerintah pada tanggal 1 Januari 1946 sebagai keharusan dalam UUD 1945,
sehingga mulai dipersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan
BPK. Akhirnya pada tanggal 1 Januari 1947 berdasarkan Penetapan Pemerintah
1946 No. 11/OEM yang dikeluarkan pada tanggal 28 Desember 1946, Presiden RI
menetapkan berdirinya BPK yang berkedudukan sementara di kota Magelang.6
Saat dibentuk BPK hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua
Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Menyebut nama Raden
Soerasno, sama artinya berbicara dengan sejarah awal mula berdirinya BPK tahun
1947. Sebagai ketua BPK pertama, Soerasno lekat dengan dinamika perjuangan
mempertahankan kemerdekaan.7
5 Tititk Wulandari Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen 1945, (Jakarta :
Kencana, 2010), h. 230.
6 Titik Wulandari Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia................., h. 231.
7 Warta BPK, Bulan Edisi 2 – Vol. III Februari 2013, R. Soerasno, Ketua BPK pertama “Ini Bensinmu,
Ini Bensinku”, h. 76.
41
Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan surat
tertanggal 12 April 1947 No. 94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di
Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa
tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan
peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas
Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW
(Indische Comptabiliteswet) dan IAR (Instructie en Verdere Bepalingen Voor de
Algemene Rekenkamer).8
Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat
kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke
Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang yang kala itu beribukota di
Yogyakarta untuk sementara, tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai
pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945. Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang
diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950
terhitung mulai 1 Agustus 1949.9
Dengan kembalinya bentuk Negara menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS
yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan
Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor
8 Titik Wulandari Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
(Jakarta: Kencana, 2010), h.231.
9 Ibid., h. 231.
42
menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan
Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di
Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.10
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg
Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi
MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk
menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat
kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu, maka pada tanggal 12 Oktober
1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti
dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan Gaya Baru.11
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK
RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara.
Sehingga Undang-Undang yang mendasari tugas BPK perlu diubah, dan akhirnya
terealisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan
Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah
mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun
2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal
10 Ibid., h. 232.
11 Ibid., h. 234.
43
di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR
No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan
Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan
negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen
dan profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI
dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya
diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD
1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal
(23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat.12
2. Dasar Hukum, Tugas, Kedudukan dan Kewenangan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK)
Dasar hukum bedirinya BPK sebagai Lembaga Tinggi Negara adalah adanya
amanat dari UUD NRI 1945 Pasal 23E ayat (1), (2) dan (3). Bahwa untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara maka dibentuklah
badan pemeriksa keuangan yang bersifat bebas dan mandiri. Ketentuan lebih lanjut
mengenai BPK diatur dengan undang-undang13
. Sebagai undnag-undang
penunjang BPK adalah sebagai berikut :
12 www.bpk.co.id , diakses pada 23 September 2013.
13
Republik Indonesia, Pasal 23G ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
44
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara14
Untuk memahami konsep BPK secara tepat, maka kita perlu memahami ide-
ide asli yang pada asal mula dirumuskannya Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ketika disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam rangka pemeriksaan keuangan negara, hal pertama yang perlu kita ketahui
adalah apa yang dimaksud dengan pemeriksaan, dan hal kedua adalah apa yang
dimaksud dengan keuangan negara.
Pemeriksaan adalah terjemahan dari kata auditing yang memang lazim
dalam sistem administrasi dan manajemen keuangan modern. Di zaman modern,
tidak ada pengelolaan keuangan yang dapat dibebaskan dari keharusan auditing
sebagai jaminan bahwa pengelolaan keuangan itu memang sesuai dengan norma-
norma dan aturan yang berlaku.15
Uang adalah alat tukar yang bernilai ekonomi dan juga politik. Uang dapat
menjadi sumber kekuatan dan kekuasaan yang riil, yang berarti jika tidak
diimbangi oleh keyakinan akan nilai-nilai moral, etika, dan agama, disamping
14
Diakses dari www.bpk.go.id pada tanggal 15 januari 2014.
15 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), h. 137, cetakan kedua.
45
dapat membawa kebaikan , uang juga dapat menjerumuskan orang kepada prilaku
yang melawan hukum.16
Indepedensi untuk lembaga pemeriksa keuangan sangat penting, karena
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat diintervensi oleh pihak
lain yang mempunyai kepentingan langsung maupun tidak langsung, sehingga
mempengaruhi objektifitas pemeriksaan.17
Secara yuridis pemberian fungsi pemeriksaan BPK untuk memeriksa
pengelolaan keuangan ncgara melalui Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 194518
, justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga
negara. Dalam kedudukannya yang semakin kuat dan kewenangan yang makin
besar itu, fungsi BPK pada pokoknya terdiri atas tiga bidang, yaitu fungsi operatif,
fungsi yustisi, dan fungsi advisiory.19
1. Fungsi operatif berupa pemeriksaan, pengawasan dan penyelidikan atas
penguasaan, pengurusan dan pengelolaan kekayaan.
2. Fungsi yudikatif berupa kewenangan menurut perbendaharaan dan
tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan dan pegawai negeri bukan
bendahara yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan
kewajiban yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan kekayaan
negara.
3. Fungsi advisiory, yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah
mengenai perurusan dan pengelolaan keuangan negara.20
16 Ibid., h. 137.
17 Ibid, h. 138.
18 Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
19 Jimly Assihiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012),
h. 144, cetakan kedua.
20 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta:
Konstitusi Pers, 2006), h. 144, cetakan kedua.
46
Keberadaan BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal
keuangan Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia telah dipertegas dalam
Ketetapan MPR RI, yaitu, TAP MPR No. X/MPR/2001 dan TAP MPR No.
VI/MPR/2002. Jelas sekali bahwa Badan Pemeriksa Keuangan itu mempunyai
kedudukan tidak di atas pemerintah, tetapi juga tidak di bawah pengaruh
pemerintah, melainkan diluar pemerintah dan bersifat otonom atau independen.21
3. Keanggotaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 dicabut dan digantikan
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan, maka ketentuan mengenai kedudukan, tugas, kewajiban, dan
kewenangan BPK mengalami perubahan yang sangat mendasar. Dalam Undang-
Undang baru ini, diatur mengenai kedudukan dan keanggotaan, tugas dan
wewenang, pemilihan dan pemberhentian, hak keuangan/administratif dan
protokoler, tindakan kepolisian, kekebalan dan larangan bagi pemeriksa, kode etik,
kebebasan, kemandirian, dan akuntabilitas, pelaksanaan BPK, anggaran, ketentuan
pidana, ketentuan peralihan dan penutup.22
21 Jimly Assihiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012),
h. 140, cetakan kedua.
22 Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,
2007), h. 852, cetakan kedua.
47
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bebas dan
mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara23
dalam hal menjalankan tugas dan wewenangnya yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas pemerintah. Artinya, bahwa
eksistensi BPK bukan bersifat formalitas semata, tetapi merupakan lembaga yang
diharapkan berfungsi sebagaimana dimaksud oleh UDD NRI 1945.
BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya
diresmikan dengan Keputusan Presiden.24
Badan Pemeriksa Keuangan berbentuk
dewan yang terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua
merangkap anggota dan lima orang anggota. Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh
anggota. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan DPD dan
diresmikan oleh presiden untuk masa jabatan 5 tahun dan setelahnya dapat dipilih
kembali untuk satu masa jabatan.25
Meurut ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan, BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan
mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, dan
memiliki perwakilan di setiap provinsi. pembentukan perwakilan BPK ditetapkan
23 Republik Indonesia, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan.
24 Ade Armando, Mengenal Lebih Dekat BPK : Sebuah Panduan Populer, (Jakarta: Biro Humas Dan
Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia), h. 110.
25 Titik Triwulan Tutik, kontruksi Hukum Tata Negara Indonnesia Pasca-Amandemen 1945, (Jakarta:
Kencana, 2010), h. 235.
48
dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara yang keanggotaannya
diresmikan dengan keputusan Presiden.26
Keanggotaan BPK tersusun atas seorang ketua merangkap anggota, seorang
wakil merangkap anggota, dan tujuh orang anggota. Keputusan presiden
diterbitkan paling lambat diputuskan 30 hari sejak anggota BPK terpilih diajukan
oleh DPR.27
Setiap anggota memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
BPK memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden
tentang akan berakhirnya masa jabatan anggota BPK paling lambat enam bulan
sebelum berakhirnya masa jabatan anggota terebut.28
Untuk dapat dipilih menjadi
anggota BPK, calon harus memeuhi syarat-syarat,29
sebagai berikut:
1. Warga negara Indonesia
2. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3. Berdomisili di Indonesia
4. Memiliki integritas moral dan kejujuran
5. Setia kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
6. Berpendidikan paling rendah S1 atau yang setara
7. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih
8. Sehat jasmani dan rohani
9. Paling rendah berusia 35 tahun
26 Republik Indonesia, Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3), UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan Negara.
27 Republik Indonesia, Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3). Ibid.
28 Republik Indonesia, Pasal 5 ayat (1) dan (2). Ibid.
29 Republik Indonesia, Pasal 13. Ibid.
49
10. Paling singkat telah 2 tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di
lingkungan pengelolaan keuangan
11. Tidak dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap
Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD
yang disampaikan secara tertulis dengan memuat semua nama calon secara
lengkap, dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu paling lama satu bulan
terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan pertimbangan dari pimpinan
DPR. Calon anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk
memperoleh masukan dari masyarakat.
DPR memulai proses pemilihan anggota BPK terhitung sejak tanggal
diterimanya surat pemberitahuan dari BPK dan harus menyelesaikan pemilihan
anggota yang baru paling lama satu bulan sebelum berakhirnya masa anggota yang
lama. Ketentuan mengenai tata cara pemilihan anggota BPK ini diatur dalam
peraturan tata tertib DPR.30
Pimpinan BPK yang terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua
dipilih dari dan oleh anggota BPK. Ketentuan yang lebih rinci mengenai tata cara
pemilihan pimpinan ini dan juga mengenai pembagian tugas dan wewenang ketua,
wakil ketua, dan anggota diatur lebih lanjut dengan peraturan BPK.31
Anggota,
30 Republik Indonesia, Pasal 14 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Ibid.
31 Republik Indonesia, Pasal 15 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Ibid.
50
ketua, dan wakil ketua BPK mengucapkan sumpah atau janji jabatan menurut
agamanya dengan dipandu oleh Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Agung.32
Keanggotaan BPK saat ini terdiri dari 9 orang anggota yang terdiri dari
Ketua dan Wakil ketua yang merangkap anggota dan 5 anggota lainnya disebut
anggota I sampai anggota V yang kesetiap anggota mempunyai bidangnya masing-
masing.
B. Pemberhentian Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, undang-undang memberikan
kebebasan dan kemandirian kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Kebebasan tersebut
meliputi kebebasan untuk menyusun perencanaan dan kebebasan untuk melaksanakan
dan melaporkan hasil pemeriksaan, sedangkan kemandirian mencakup ketersediaan
sumber daya manusia, anggaran, dan sarana pendukung lainnya yang memadai.
Dalam Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2011 tentang Kode Etik Badan
Pemeriksa Keuangan dijelaskan mengenai seputar ketentuan-ketentuan tentang
keanggotaan BPK, pemeriksa BPK dan pelaksana BPK dalm struktur keanggotaan
BPK secara luasnya. Kode Etik bertujuan untuk memberikan pedoman yang wajib
ditaati oleh Anggota BPK, Pemeriksa, dan Pelaksana BPK Lainnya untuk
mewujudkan BPK yang berintegritas, independen, dan profesional demi kepentingan
negara.33
32 Republik Indonesia, Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3), Ibid.
33 Republik Indonesia, Pasal 2, peraturan BPK Nomor 2 tahun 2011.
51
Dalam rangka mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, BPK memerlukan nilai-nilai dasar yang meliputi Integritas,
Independensi, dan Profesionalisme sebagai Kode Etik BPK yang berlaku bagi
Anggota BPK, Pemeriksa, dan Pelaksana BPK Lainnya.
Ketua, Wakil Ketua, dan/atau anggota BPK dapat diberhentikan dengan hormat
atau tidak dengan hormat dari keanggotaan BPK.34
Pemberhentian dengan hormat
dilakukan dengan putusan Presiden atas usulan BPK karena alasan:35
1. Meninggal dunia
2. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri
3. Telah berusia 67 tahun
4. Telah berakhir masa jabatannya, atau
5. Sakit jasmani atau rohani secara terus menerus atau berhalangan tetap
yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Ketua, Wakil Ketua, dan/atau anggota BPK diberhentikan tidak dengan hormat
dari keanggotaan BPK atas usulan BPK ataui DPR karena:36
1. Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yanng diancam
dengan pidana penjara lima tahun atau lebih
2. Melanggar kode etik BPK
3. Tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya selama satu bulan berturut-
turut tanpa alasan yang sah
4. Melanggar sumpah atau janji jabatan
5. Melanggar larangan yang dimaksud pada Pasal 28 Undang-Undang
tentang Badan Pemeriksaan Keuangan, atau
6. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota BPK seperti dimaksud
dalam Pasal 13 huruf a, huruf c, dan huruf e undang-undang tentang BPK.
34 Republik Indonesia, Pasal 17, Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 15 Tahun
2006.
35 Pasal 18, ibid.
36 Pasal 19, ibid.
52
Ketua, Wakil Ketua, dan/atau anggota BPK diberhentikan sementara dari
jabatannya oleh BPK melalui Rapat Pleno jika ditetapkan sebagi tersangka dalam
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Ketua,
Wakil Ketua, dan/atau anggota BPK yang terbukti tidak melakukan tindak pidana
yang dipersangkakan, berhak mendapatkan rehabilitasi dan diangkat kembali menjadi
Ketua, Wakil Ketua, dan/atau anggota BPK. Pemberhentian tidak dengan hormat,
dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di
hadapan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Pemberhentian Ketua, Wakil Ketua,
dan/atau anggota BPK diresmikan dengan keputusan Presiden atas usulan BPK atau
DPR.37
C. Pergantian Antarwaktu Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kedudukan sebagai lembaga
tinggi negara sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh UUD RI 1945. BPK
memiliki indepedensi yang tak terlepas dari pemantauan lembaga Legislatif,
kewenangan Penggantian Antarwaktu atau PAW, yang pada awal mulanya diatur
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang kedudukan Majelis
Permusyawaratan Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
menjelang pemilihan umum pada masa Orde Baru.
Peniadaan Pergantian Antarwaktu adalah sebagai akibat diambilnya langkah
untuk penguatan parlemen pada masa Orde Baru. Namun kemudian hal ini pun
37 Pasal 20 ayat (1), dan (2), serta Pasal 21 ayat (1), dan (2), ibid.
53
menjadi polemik, dimana sejumlah anggota DPR yang berbuat tidak pantas dan
menyalahi undang-undang, misalnya pindah partai politik, melakukan perbuatan
amoral, dan melakukan pelanggaran kode etik tidak mendapat sanksi tegas.
Pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR diasosiasikan sebagai recall.
Secara Etimologis, kata recall berasal dari bahasa inggris dan mengandung beberapa
pengertian. Setidaknya menurut peter Salim (dalam The Contemparary English-
Indonesia)38
, yakni mengingat, memanggil kembali, menarik kembali atau
membatalkan. Penggantian Antarwaktu (PAW) diartikan sebagai proses penarikan
kembali atau penggantian kembali anggota DPR oleh induk organisasinya yang tentu
saja partai politik.39
Kata Recall terdiri dari dua kata yaitu “re” yang artinya kembali, dan “call”
yang artinya panggil atau memanggil. Jika kata ini disatukan maka kata “recall” ini
akan berarti dipanggil atau memanggil kembali. Kata recall ini merupakan suatu
istilah yang ditemukan dalam kamus ilmu politik yang digunakan untuk menerangkan
suatu peristiwa penarikan seoran atau atau beberapa orang wakil yang duduk
dilembaga perwakilan (melalui proses pemilu), oleh rakyat pemilihnya40
. Dalam
38 Di akses dari www.negarahukum.com pada tanggal 27 Oktober 2013.
39 BN. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 417, cetakan
pertama.
40 Haris Munandar, Pembangunan Politik, Situasi Global dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Gramedia,
1994), h. 128.
54
kamus Black Law edisi ke 8, kata recall diartikan “removal of public official from
office by popular.41
Pergantian antarwaktu (PAW) atau recall adalah istilah pinjaman yang belum
ada di Indonesia. Pengertian recall yang kita pahami saat ini di Indonesia berbeda
dengan pengertian recall yang telah ada dipemahaman para pakar di Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat sendiri istilah recall, lengkapnya Recall Election digunakan
untuk menyatakan hak rakyat pemilih (konstituen) untuk melengserkan wakil rakyat
sebelum masa jabatannya berakhir.42
Bila disamakan Pergantian Antarwaktu (PAW) yang berlaku di BPK dan yang
terjadi di parlemen Indonesia adalah pergantian anggota yang mengundurkan diri atau
memanag diberhentikan karena satu hal menurut undang-undang yang berlaku dan
digantikan oleh anggota yang memenuhi syarat. namun di parlemen ataa di tingkat
DPR RI adalah diartikan sebagai proses penarikan kembali anggota lembaga
perwakilan rakyat untuk diberhentikan dan digantikan dengan anggota lainnya
sebelum berakhir masa jabatan anggota yang ditarik tersebut.43
Pergantian Antarwaktu pada awalnya dimulai pada lembaga tinggi negara yaitu
MPR dan DPR RI yang keanggotaannya di dapat melalui proses pemilihan umum,
namun setelah era Orde Baru berakhir dan memasuki era Reformasi pergantian
41
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (USA : Thomson Business, 2004), h. 1295.
42 Ananda B. Kusuma, Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4 Tentang Recall, (Jakarta: MK RI, 2006), h.
156.
43 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 318.
55
antarwaktu diadopsi oleh lembaga-lembaga tinggi negara seperti KPK, BPK dan
lembaga-lembaga negara lainnya.
Pergantian antarwaktu anggota BPK di tuangkan dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan pada Pasal 22, dengan
memperhatikan tata cara dan syarat-syarat seperti dimaksud pada Pasal 13 dan Pasal
14 dan diresmikan oleh keputusan Presiden.44
44 Republik Indonesia, Pasal 22 ayat (1), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
56
BAB IV
ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13/PUU-XI/2013 TENTANG UJI MATERIIL UNDANG-UNDANG
NOMOR 15 TAHUN 2006
A. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang Pengangkatan
Pergantian Antarwaktu
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Untuk dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-
Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.1
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian.
1 Republik Indonesia, Pasal 51 ayat (1), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
57
Tertanggal 8 januari 2013 pemohon yang bernama Drs. Bahrullah Akbar,
BSc., S.E., MBA. yang memiliki status pekerjaan sebagai anggota aktif Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), mengajukan permohonan untuk pengujian Pasal 22
ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan, terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945. Permohonan yang diterima di kepaniteraan MK pada tanggal 8 Januari 2013
berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 35/PAN-MK/2013, dan
telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 22 Januari
2013 dengan Nomor 13/PUU-XI/2013, yang telah diperbaiki dan diterima di
kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Februari 2013.
Kedudukan hukum (legal standing) pemohon adalah sebagai perorangan
warga negara Indonesia berdasarkan kartu tanda penduduk, saat ini status
pemohon adalah sebagai Anggota BPK pengganti berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 62/P Tahun 2011 tanggal 29 Oktober 20112, sehingga pemohon memenuhi
syarat kualifikasi sebagai pemohon yang mempunyai kedudukan hukum (legal
standing) sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, untuk melakukan pengujian terhadap
Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU tentang BPK yang dianggap telah merugikan
hak konstitusional pemohon sebagaimana yang telah dijaminkan oleh UUD RI
1945.
2 Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 4.
58
2. Alasan-Alasan Permohonan
Pemohon memohon kepada MK untuk melakukan pengujian undang-undang
(judicial review) pada Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945. Isi dari Pasal 22 ayat (1) adalah “Apabila
anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau Pasal 19
diadakan pengangkatan pergantian antarwaktu Anggota BPK sesuai dengan
syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14
dan diresmikan oleh presiden”. Dan isi dari ayat (4) adalah “Anggota BPK
pengganti melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantinya”.3
Menurut keterangan dari pemohon bahwa dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1)
sepanjang frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu” dan ayat (4) Undang-
Undang BPK memuat norma hukum yang tidak jelas, bias dan menimbulkan multi
tafsir, karena menurut pemohon frasa tersebut menimbulkan ketidakjelasan dan
perlakuan diskriminatif.
Derivasi norma-norma tata aturan hukum dari norma dasar ditemukan
dengan menunjukkan bahwa norma partikular telah dibuat sesuai dengan norma
dasar.4 namun yang kemudian terjadi adalah pembentukan norma-norma atau
3 Republik Indonesia, Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang BPK Nomor 15 Tahun
2006
4 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konpress,
2012), h. 90, cetakan kedua.
59
undang-undang baru ada saja yang tidak sesuai dengan norma dasar atau Undang-
Undang Dasar.
Ketentuan tentang penuangan Pancasila ke dalam peraturan perundag-
undangan dan instrumen pengaasannya melalui judicial review di Indonesia pada
saat ini sudah cukup diatur dalam berbagai instrumen konstitusi dan hukum.5
Menurut pemohon Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) tersebut bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 23F ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh presiden”. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
yang berbunyi “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28D ayat (3) UUD
1945 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan”. Dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”.
Dengan adanya pemberlakuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan tersebut,
pemohon sebagi pemangku jabatan Anggota BPK pengganti antarwaktu yang
terpilih telah secara nyata merasa dirugikan hak konstitusinya dengan
diberlakukannya Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan pergantian
antarwaktu” dan ayat (4), karena tidak dapat menjabat sebagai Anggota BPK
selama 5 (lima) tahun dan hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK
5 Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 64, cetakan pertama.
60
yang digantikannya, sehingga dengan kata lain masa jabatan pemohon sebagai
Anggota BPK kurang dari 5 (lima) tahun yaitu tidak mencapai 3 (tiga) tahun.
Di samping itu, penggunaan frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu”
bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang BPK yang
menentukan: “Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD”. Penggunaan frasa “pengangkatan” dalam Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang BPK bertentangan dengan tata cara pengisian jabatan Anggota
BPK yakni dengan cara dipilih sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang BPK, juncto Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Penggunaan kalimat
yang berbeda dalam tata cara pengisian jabatan Anggota BPK sebagaimana telah
dikemukakan di atas memiliki ketidakjelasan rumusan.6
Menurut pemohon norma yang terkandung dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-
Undang BPK sepanjang frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu” yang
selanjutmya menentukan masa jabatan Anggota BPK pengganti antarwaktu yang
melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4). Pengaturan mengenai masa jabatan Anggota
BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang BPK yang
berbunyi: “Masa jabatan Anggota BPK selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih
6 Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 18.
61
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”.7 Dengan begitu
ketentuan tertulis dan sudah baku mengenai masa jabatan anggota BPK adalah 5
(lima) tahun, terlepas bahwa ia adalah anggota BPK pengganti atau bukan.
Bahwa dengan adanya pemberlakuan norma Pasal 22 ayat (1) sepanjang
frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu” dan ayat (4) Undang-Undang BPK
pada akhirnya menimbulkan pembedaan dalam pemangkuan masa jabatan
Anggota BPK. Di mana sekarang ini terdapat 8 (delapan) orang Anggota BPK
menjabat selama 5 (lima) tahun, dan 1 (satu) orang Anggota BPK menjabat
dibawah 5 (lima) tahun yakni Pemohon.
Oleh karena itu, norma Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan
pergantian antarwaktu” dan ayat (4) Undang-Undang BPK dianggap telah
merugikan hak konstitusional Pemohon, dan oleh karenanya diajukan pengujian
terhadap norma tersebut agar dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, karena bertentangan dengan UUD 1945.
B. Analisis dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013
Tentang Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota BPK
1. Pokok Permohonan
7 Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 7.
62
Seperti yang telah diuraikan dipembahasan sebelumnya, bahwa yang
menjadi pokok permohonan adalah sepanjang frasa “pengangkatan pergantian
antarwaktu...” pada Pasal 22 ayat (1), menurut pemohon frasa tersebut tidak
memiliki ketetapan dan kepastian hukum yang menimbulkan keambiguan dan
multitafsir. Kemudian pada ayat (4) Pasal 22 tentang masa jabatan anggota BPK
pengganti antarwaktu yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan dari anggota yang
digantikan, menurut pemohon pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1)
dimana dijelaskan dalam pasal tersebut, bahwa masa jabatan anggota BPK adalah
5 (lima) tahun dan selanjutnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Sejak terpilihnya pemohon sebagai anggota pengganti antarwaktu BPK,
terdapat diskriminasi yang jelas dimana 8 (delapan) anggota BPK memangku
jabatan 5 (lima) tahun sedangkan anggota pengganti antarwaktu yaitu pemohon
memangku jabatan kurang dari 5 (lima) tahun, UUD NRI 1945 menjamin bahwa
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.8
Namun dalam keterangan sidang yang dibacakan oleh Hakim Mahkamah
Konstitusi Hamdan Zoelfa bahwa pokok permohonan pemohon secara garis besar
adalah mengenai masa jabatan anggota BPK pengganti antarwaktu yang hanya
melanjutkan sisa masa jabatan angota yang digantikannya.
2. Keterangan Ahli
8 Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
63
Dalam persidangan tertanggal 21 Maret 2013 dengan agenda sidang
mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan saksi/ahli dari pemohon serta
pemerintah. Pemohon mengajukan 3 ahli sebagai berikut :
a. Yusril Ihza Mahendra9
Menurutnya norma-norma tersebut sudah sangat jelas dan tidak
dapat ditafsirkan lagi. akan tetapi yang menjadi persoalan adalah adanya
norma dalam Undang-Undang BPK yang menentukan cara pengisian
jabatan anggota BPK dengan cara lain yakni sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) dengan menggunakan frasa pengangkatan
pergantian antarwaktu. Penggunaan frasa demikian menjadi tidak tepat
karena memiliki ketidakjelasan rumusan yang pada akhirnya berimplikasi
kepada ketidakjelasan tujuan dan adanya ketidakpastian hukum
Menurut Yusril Norma Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK
yang kemudian melahirkan norma turunan yakni ayat (4) pada pasal a quo
yang menentukan bahwa masa jabatan anggota BPK pengganti hanya
melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikannya. Padahal
syarat dan tata cara pengisian jabatan anggota BPK berlaku secara
imperatif sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-
Undang BPK, akan tetapi norma ayat (4) dalam pasal a quo Undang-
Undang BPK mengecualikan lain terhadap masa jabatan anggota BPK
pengganti dengan memegang masa jabatan di bawah 5 tahun.
9 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013, h. 28.
64
Masih menurut pendapat Yusril, bahwa Mahkamah Konstitusi juga
perlu menetapkan masa jabatan Pemohon sebagai Anggota BPK selama 5
tahun, terhitung sejak tanggal Pemohon dilantik sebagai Anggota BPK.
Hal itu didasarkan pada yurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam
Perkara Nomor 5/PUU-IX/ 2011 yang telah mengukuhkan masa jabatan
Busyro Muqoddas sebagai Pimpinan KPK dengan masa jabatan pimpinan
KPK lainnya yakni selama 4 tahun, walaupun Busyro Muqoddas dipilih
oleh DPR tidak bersamaan dengan pimpinan KPK lainnya.
b. Saldi Isra10
Selanjutnya keterangan dari Saldi Isra bahwa Pemohon merupakan
anggota yang terpilih karena salah seorang anggota BPK sebelumnya
berhalangan tetap, sehingga tidak dapat menghabiskan masa jabatan
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, karena
alasan itu, Tengku Muhammad Nurlif telah pula diberhentikan dengan
hormat.
Pemohon tidak serta-merta menggantikan yang bersangkutan
sebagai Anggota BPK karena adanya ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang
Undang Nomor 15 Tahun 2006 yang mengharuskan adanya pemenuhan
syarat-syarat yang diperlukan, dan proses pun diulang dari tahap awal
sebagaimana yang diikuti Pemohon dalam proses sebelumnya. yaitu
mulai dari tahap awal, layaknya calon untuk mengisi posisi anggota BPK
10
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013, h. 30.
65
baru atau bukan pengganti antar waktu. Dalam hal ini calon anggota BPK
pengganti antar waktu dipilih dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Karenanya Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2006 yang menyatakan anggota pengganti hanya melanjutkan sisa masa
jabatan anggota BPK yang digantikan kehilangan basis konstitusionalnya
untuk terus dipertahankan atau inkonstitusional.
c. Dwi Andayani11
Dwi Andayani berpendapat bahwa BPK sebagai lembaga yang
mandiri, kapasitas dari anggotanya adalah sebagai pejabat pembuat
kebijakan, maka pengisian jabatan untuk para anggotanya adalah harus
bersifat elected official, yaitu dengan cara dipilih dan bukannya diangkat
baik untuk pengisian jabatan dari awal sepenuhnya 5 tahun maupun
jabatan sebagai PAW.
Menurutnya Dalam kaitan hal berlakunya kaidah hukum itu, yaitu
dilihat secara sosiologis yang intinya adalah efektivitas kaidah hukum di
dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dikenal 2 teori, yaitu pertama
teori kekuasaan yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaidah hukum
itu dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima atau tidak oleh warga
masyarakat. Kedua, teori pengakuan yang menyatakan bahwa berlakunya
kaidah hukum itu didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh
masyarakat, kaidah hukum itu agar sah berlaku harus memenuhi syarat
11
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013, h. 37.
66
formal maupun syarat materil pembuatannya, serta keabsahan pada waktu
diberlakukan kepada masyarakat, agar memperoleh legitimasi.
Bahwa Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK dapat dikatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pasal 23F yang menyatakan bahwa anggota BPK dipilih,
frasa “dipilih oleh DPR dengan memperhatikan DPD dan diresmikan oleh
Presiden”. Jadi bahwa Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sudah mengatur memerintahkan bahwa untuk
menjadi anggota BPK itu harus melalui mekanisme pemilihan dan bukan
dengan cara pengangkatan (PAW) sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang BPK Pasal 22 ayat (1) tersebut;
Sebagai lembaga negara yang mandiri independen, maka pengisian
jabatan dilakukan secara pemilihan (election), bukan pengangkatan,
sehingga Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Badan Pemeriksa
Keuangan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Demikian juga kalau dilihat dari staat organen
yang ada lainnya dalam struktur organisasi negara Indonesia, cara
pengisian jabatan di dalam lembaga BPK harus diselaraskan pula dengan
cara pengisian jabatan pada lembaga negara atau staat organen yang lain.
3. Pertimbangan Hakim
Menurut pertimbangan majelis hakim Mahkamah konstitusi tentang perkara
Nomor 13/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada tanggal 10 September 2013, bahwa
67
isu utama pengujian konstitusionalitas dalam permohonan Nomor 13/PUU-
XI/201312
ini adalah mengenai masa jabatan anggota BPK pengganti yang hanya
melanjutkan masa jabatan anggota BPK yang digantikannya yang menurut
Pemohon bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Mahkamah konstitusi, isu pengujian konstitusionalitas yang
dimohonkan Pemohon memiliki kesamaan substansi dengan pengujian
konstitusionalitas masa jabatan anggota Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pengganti yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor
5/PUU-IX/2011, bertanggal 20 Juni 2011 dan masa jabatan Hakim Konstitusi
pengganti yang telah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011,
bertanggal 18 Oktober 2011.
Kedua Putusan yang telah diputus diatas tersebut menegaskan bahwa, norma
Undang-Undang yang menentukan bahwa masa jabatan Hakim Konstitusi
pengganti yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Hakim Konstitusi yang
digantikannya maupun masa jabatan anggota Pimpinan KPK pengganti yang
hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota Pimpinan KPK yang digantikannya
adalah norma yang bertentangan dengan konstitusi.
Lembaga-lembaga yang bersifat mandiri dan independen atau biasa dikenal
dengan istilah state auxiliary organs atau state auxiliary institutions yang dalam
bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga
12
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 67.
68
negara yang bersifat sebagai penunjang13
tersebut, pada umumnya dalam
menjalankan fungsi dan kewenangannya tidak dapat dipengaruhi oleh institusi atau
lembaga lainnya. Masa jabatan anggotanya tidak terkait dengan hasil pemilihan
umum. Berbeda dengan Presiden, DPR, DPD, DPRD serta Kepala Daerah yang
merupakan lembaga yang merepresentasikan kekuatan partai politik dan
pejabatnya dipilih melalui pemilihan umum yang diselenggarakan sekali dalam
lima tahun.
Menurut Mahkamah Konstitusi, lembaga yang bersifat mandiri dan
independen tersebut harus dinihilkan dari pengaruh institusi atau lembaga politik
lainnya, sehingga dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya dapat
dilaksanakan secara maksimal. Sejalan dengan latar belakang pemikiran tersebut
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18
Oktober 2011, mengenai masa jabatan Hakim Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi Menimbang bahwa baik syarat maupun mekanisme
pengisian jabatan anggota BPK pengganti maupun Anggota BPK bukan pengganti
adalah sama dan tidak ada perbedaan. Oleh karena syarat dan mekanisme
pengisian jabatan antara Anggota BPK pengganti maupun Anggota BPK bukan
pengganti adalah sama, maka tidak adil jika keduanya melaksanakan masa jabatan
yang berbeda.14
13
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 7-8. 14
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 76.
69
Sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, tanggal 20 Juni 2011 dan Nomor 49/PUU-
IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011, sebagaimana dikutip di atas, dilihat dari asas
keadilan dalam penyelenggaraan negara yaitu keadilan bagi masyarakat dan asas
kemanfaatan maka pengangkatan anggota pengganti yang menduduki masa
jabatan sisa adalah sesuatu yang dirasakan tidak adil dan melanggar asas
kemanfaatan.
Ditinjau dari asas kemanfaatan dan asas kepastian sebagai tujuan hukum,
masa jabatan anggota pengganti yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan
Anggota BPK yang digantikannya adalah bertentangan dengan asas kemanfaatan
karena proses seleksi dan pengisian anggota pengganti yang sama dengan proses
seleksi dan pengisian Anggota BPK yang bukan pengganti memerlukan waktu,
pikiran, dan tenaga serta biaya yang cukup banyak, baik yang harus dikeluarkan
oleh negara maupun yang ditanggung oleh calon anggota.15
Seperti halnya proses seleksi yang dialami oleh Pemohon sebagai Anggota
BPK pengganti, harus melalui proses yang panjang dan rumit, yaitu melalui proses
penjaringan calon, pengumuman di media masa, seleksi terhadap calon Anggota
BPK di DPR dengan pertimbangan DPD, sampai dengan penetapan dan peresmian
oleh Presiden. Dengan adanya proses seleksi yang panjang dan rumit, padahal
15
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 76-77.
70
hanya untuk mengisi dan melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang
digantikan adalah tidak adil.
Proses pengisian penggantian antarwaktu yang dilakukan pada penggantian
Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD maupun Presiden dan Wakil
Presiden tidak bisa disamakan dengan ketentuan penggantian Anggota BPK,
karena BPK adalah lembaga negara mandiri yang anggotanya tidak dipilih melalui
pemilihan umum yang dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali. Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah Konstitusi ketentuan Pasal 22
ayat (1) Undang-Undang BPK sepanjang frasa “penggantian antarwaktu”, harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Selain daripada itu bahwa keberadaan Pasal 22 ayat (4) UU BPK yang
mengatur tentang sisa masa jabatan Anggota BPK pengganti yang melanjutkan
sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya, akan menimbulkan
pertentangan internal (contradictio in terminis) dengan Pasal 5 ayat (1) UU BPK
yang menyatakan, “Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”.
Oleh karena frasa “penggantian antarwaktu” dalam Pasal 22 ayat (1) dan
Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, maka Pasal 22 ayat (5) yang menyatakan, Penggantian Anggota
BPK antarwaktu tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota yang akan
diganti kurang dari 6 (enam) bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud
71
dalam Pasal 5 ayat (1), harus pula dinilai dan dipertimbangkan oleh Mahkamah
Konstitusi walaupun tidak dimohonkan pengujian oleh Pemohon.16
Menurut Mahkamah Konstitusi ketentuan Pasal 22 ayat (5) Undang-Undang
BPK merupakan ketentuan lebih lanjut dari norma yang terkandung dalam Pasal
22 ayat (1) dan ayat (4) UU BPK, sehingga Pasal 22 ayat (5) UU BPK harus pula
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.17
Putusan Mahkamah
Konstitusi berlaku sejak ditetapkan (prospektif), namun demi asas kemanfaatan
yang merupakan asas dan tujuan universal hukum maka untuk kasus-kasus tertentu
putusan Mahkamah dapat diberlakukan surut (retroaktif).
Penghentian ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional itu harus
menjangkau secara retroaktif sejak ditetapkannya penafsiran yang tidak tepat
tersebut, ketika mulai timbul ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional
seperti terlihat dalam perkara a quo. Terkait dengan jabatan Anggota BPK
pengganti, maka putusan ini berlaku bagi Anggota BPK pengganti yang sudah
diangkat dan sekarang menduduki jabatan sebagai Anggota BPK, sehingga berhak
16
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, h. 78.
17
Republik Indonesia, Pasal 47, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
72
menduduki masa jabatan penuh yaitu selama 5 (lima) tahun sejak diresmikan
pengangkatannya sebagai Anggota BPK dengan keputusan Presiden.
4. Analisis Penulis
Dalam pembahasan di atas terdapat anggota BPK yang tidak rela jabatannya
tidak mencapai lima tahun, seperti anggota lainnya dalam posisi sebagai anggota
BPK pengganti antarwaktu. Target dari gugatan tersebut agar Mahkamah
Konstitusi menyatakan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) dianggap bertentangan
dengan UUD 1945. Dalilnya, adalah bahwa hak konstitusional pemohon telah
dilanggar dengan keberadaan pasal tersebut, sehingga pemohon sebagai anggota
BPK tidak bisa menjabat selama 5 tahun sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang BPK.
Berbanding terbalik dengan pendapat Lili Asdjudireja18
tentang pergantian
antarwaktu, bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006 tentang BPK bukan merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusi
warga negara Indonesia sebagaimana dalam Pasal 28 UUD NRI 1945. Tidak ada
kepentingan umum yang dilanggar dalam pasal itu. Walaupun dipaksakan, ada hak
asasi yang dilanggar, tentu hanya bagian dari hasrat penggugat yang ingin
mempertahankan jabatannya. Perlu diingat pula, bahwa dalam melaksanakan hak
konstitusional individu, seperti tertuang dalam UUD NRI 1945 Pasal 28, pada ayat
penutupnya, yaitu Pasal 28J ayat 2, ditegaskan: “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
18
Di akses dari www.tempo.com pada tanggal 27 Oktober 2013.
73
undang-undang”. Hukum bukan pada tempatnya untuk mengakomodasi
kepentingan privat semata, melainkan demi kepentingan umum dan kepentingan
negara.
Dalam putusan MK Nomor 13/PUU-XI/2013 ada penguatan kedudukan
anggota pengganti antarwaktu anggota BPK yang mendapat keadilan hak
konstitusional pribadi pada masa jabatan sebagai anggota BPK.
Dalam kontek Islam dan pemikiran-pemikiran teologi muslim yang sesuai
dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah,19
direkomendasikan adanya penguatan
kedudukan dalam aktifitas pemerintahan. Firman Allah SWT di dalam alquran
surat Al-Imran ayat 41, yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allah-
lah kembali segala urusan” (QS. Al-Imron: ayat 41).
Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya penyamaan masa jabatan anggota
BPK pengganti antarwaktu dan anggota yang bukan pengganti antarwaktu adalah
penguatan kedudukan mereka dalam lembaga BPK. Diharapkan dengan adanya
putusan MK Nomor 13/PUU-XI/2013 anggota pengganti antarwaktu dapat bekerja
19
Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Dan
Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 529, cetakan pertama.
74
secara maksimal di lembaganya dengan cara memberikan kinerja yang seadil-
adilnya tanpa merasa adanya diskriminasi masa jabatan.
Sistem ketatanegaraan di bawah ikatan Piagam Madinah juga menerapkan
kesejahteraan yang mengacu pada dua kepentingan, yaitu kesejahteraan materiil
dan kesejahteraan spiritual. Selain itu juga dikenal sistem pembagian tugas
(kekuasaan) dengan menempatkan orang-orang yang memenuhi syarat.20
Bentuk keindahan dalam Islam adalah adanya penyamaan hak pada setiap
manusia agar dapat hidup berdampingan untuk dapat saling menghormati hak satu
sama lainnya. Hal tersebut tercermin dalam setiap hadist-hadist nabi Muhammad
SAW dimana kebanyakan dari hadist-hadist tersebut terucap setelah adanya
pengaduan dari para umatnya yang mengadu langsung kepada nabi.
C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 Tentang
Pengangkatan Pergantian Antarwaktu Anggota BPK
Putusan hakim lazimnya disebut vonis melahirkan norma hukum baru, yang
sebelumnya tidak ada. Dengan putusan hakim, subjek hukum baik orang maupun
badan hukum yang sebelumnya tidak berhak menjadi memiliki hak, demikian juga
sebaliknya yang tadinya memiliki hak menjadi tidak memiliki hak.21
Dengan adanya putusan Nomor 13/PUU-XI/2013 maka berakibat langsung
terhadap pasal yang diujikan, pasal 22 ayat (1), dan ayat (4) menjadi tidak berlaku
20
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana,
2011), h. 212, cetakan kedua.
21
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi....., h.233.
75
dan semestinya harus dilakukan revisi agar putusan dan masukan yang telah diberikan
oleh Mahkamah konstitusi dapat dimaksimal oleh DPR selaku pemerintah.
Kemudian masa jabatan anggota pengganti yang setelah putusan Mahkamah
Konstitusi menjadi sama yaitu 5 (lima) tahun dan tidak melanjutkan masa jabatan sisa
dari anggota yag digantikannya. Demi merepresentasikan hak yang dijaminkan oleh
UUD NRI 1945 terhadap hak konstitusional seseorang yang merasa dirugikan dengan
adanya UU tertentu dan dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Sepanjang frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu” yang memiliki
keambiguan dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap, karena tidak menjelaskan
tentang tata cara pemilihan anggota pengganti antarwaktu, apakah dilakukan dengan
cara pemilihan seperti yang dilakukan dalam pemilihan anggota pada anggota-
anggota yang bukan diangkat dari pergantian antarwaktu, atau diipilih langsung tanpa
pertimbangan DPR dan pertimbangan DPD.
Keberadaan Pasal 22 ayat (1), ayat (4) dan ayat (5) dianggap tidak memberikan
hak konstitusional bagi anggota pengganti, karena memberikan sikap diskriminasi
bagi anggota pengganti antarwaktu dalam hal masa jabatan, sehingga gambaran yang
ada adalah anggota pengganti antarwaktu tidak memiliki hak yang sama dengan
anggota yang diangkat bukan melalui penggantian antarwaktu.
Dengan putusan Mahkmah Konstitusi bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2),
maka Pasal 22 ayat (5) Undang-Undang BPK yang menyatakan, “Penggantian
Anggota BPK antarwaktu tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota yang
akan diganti kurang dari 6 (enam) bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud
76
dalam Pasal 5 ayat (1)”, harus pula dinilai dan dipertimbangkan oleh Mahkamah
walaupun tidak dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon.
Menurut Mahkamah Konstitusi ketentuan Pasal 22 ayat (5) UU BPK
merupakan ketentuan lebih lanjut dari norma yang terkandung dalam Pasal 22 ayat
(1) dan Pasal 22 ayat (4) UU BPK sehingga Pasal 22 ayat (5) UU BPK harus pula
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat agar didapatnya keadilan hukum.
Demikian pula dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-
XI/2013 berakibat pada proses baku pada calon-calon anggota pengganti antarwaktu
dimana dilakukan kembali proses pemilihan seperti pada anggota yang bukan
pengganti antarwaktu.
Peradilan Konstitusi melalui putusannya juga dapat meminta kepada parlemen
dalam hal ini DPR untuk melakukan perbaikan terhadap undang-undang (legislative
revision) yang dianggap bermasalah,22
artinya bahwa efek langsung dari putusan
Nomor 13/PUU-XI/2013 adalah DPR mempunyai kewajiban yang dibebankan karena
putusan tersebut yaitu merevisi pasal yang telah disengketakan agar adanya kejelasan
hukum dan kekuatan hukum.
22
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi (Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional
Sebagai Mekanisme Pengelesaian Sengketa Normatif), (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), h.268,
cetakan pertama.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, penulis dapat memberikan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Alasan konstitusional pengajuan uji materiil terhadap Pasal 22 ayat (1) dan ayat
(4) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan,Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi
“Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan
oleh presiden”. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum”. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang samadalam pemerintahan”. Dan
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
78
2. Dasar pertimbangan Mahhkamah Konstitusi dalam memutus perkara Nomor
13/PUU-XI/2013 adalah bahwa isu pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan
Pemohon memiliki kesamaan substansi dengan pengujian konstitusionalitas masa
jabatan anggota Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pengganti yang
telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, bertanggal
20 Juni 2011 dan masa jabatan Hakim Konstitusi pengganti yang telah diputus
Mahkamah dalam Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober 2011.
Kedua Putusan tersebut menegaskan, norma Undang-Undang yang menentukan
bahwa masa jabatan.
3. Implikasi putusan Mahkmaah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013 memang lebih
menjamin hak warga negara yang hak konstitusinya telah dijamin oleh Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Berakibat kepada berkurangnya
masa jabatan anggota pengganti antarwaktu namun proses pemilihan anggota
pengganti dilakukan sama dengan anggota yang bukan pengganti. Pada pasal
tersebut tidak disebutkan dan dijelaskan mengenai proses pengangkatan anggota
pengganti antarwaktu.
B. Saran
Dari hasil penelitian ini, penulisi dapat memberikan saran atau masukan yang
antara lain sebagai berikut:
1. Memasukan kurikulum pengetahuan pada sekolah tingkat Tsanawiyah, Aliyyah,
SMP, SMA dan perguruan tinggi, bahwa anggota BPK memiliki masa jabatan 5
tahun.
79
2. Melakukan sosialisasi lewat media-media informasi dan media dakwah seperti
khutbah jum’at, kuliah subuh dan kultum mengenai masa jabatan anggota BPK,
bahwa anggota BPK mempunyai masa jabatan 5 tahun.
3. Diadakan Proses pemilihan yang sederhana dan cepat diharapkan mampu
memberikan pengertian termasuk mengenai masa jabatan anggota pengganti
antarwaktu yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang
digantikannya.
4. perbaikan mekanisme aturan yang diamanatkan Pasal 22 undang-undang Nomor
15 Tahun 2006 tentang BPK yang membatasi masa bakti dalam sistem
pengangkatan antarwaktu merupakan bagian dari pembatasan pelaksanaan
kebebasan, seperti diamanatkan UUD 1945. Apalagi, pejabat yang menerima
jabatan dengan mekanisme antarwaktu itu sudah mengetahui dan menyadari sejak
sebelum diangkat.
80
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Al-Qur’an
Ahmadi, Fahmi M. Jaenal Arifin.Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Lembaga
PenelitianUIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Aripin, Jaenal. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, cet.
I. Jakarta: Kencana, 2008.
Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safa’at.Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.cet.II Jakarta:
Konpress, 2012.
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu Populer, 2008, cetakan kedua.
_______________.Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Demokrasi. Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populer, 2007.
_______________.Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara.Jakarta : Sinar
Grafika, 2012, cetakan kedua.
_______________.Konstiusi dan Konstituslisme Indonesia.Jakarta: Kerjasama antara
Mahkamah Konstitusi RI dengan Pusat Studi HTN FH UI, 2004.
______________. Konstitusi Dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika,
2011.
A.B, Kusuma. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badang Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Anwar, Saiful dan Marzuki Lubis. Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Medan :
Glora Madani Press, 2004.
Armando, Ade. Mengenal Lebih Dekat BPK : Sebuah Panduan Populer, Jakarta:
Biro Humas Dan Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia.
81
Azhary, Muhammad Tahir.Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana,
Dan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2012.
Bohari, Pengawasan keuangan negara, jakarta : rajawali 1992.
Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan.Mahkamah Konstitusi : Memahami
Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2006.
Fadjar, Abdul Mukti.Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Cet. I, Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
Fatkhurohman dkk., Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary, USA : Thomson Business, 2004.
Hadjar A, Fickar., dkk.., Pokok-Pokok Pemikiran dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003.
Huda, Ni’matul.Hukum Tata NegaraIndonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2005.
___________.Hukum Tata Negara Indonesia (edisi revisi), Jakarta : Rajawali pers,
2012.
KA Pramana, Pudja. Ilmu Negara, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009.
Kelsen, Hans. Pengantar Teori Hukum, Bandung : Nusa Media, 2008.
Kusuma, Ananda B. Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4 Tentang Recall, Jakarta:
MK RI, 2006.
Lexy, Moleong J. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Roda Karya,
2004.
Manan, Bagir.Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum
(PSH) Fakultas Hukum UII, 2004.
Manullang, M. Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995.
Marbun, BN. Kamus Hukum Indonesi,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006.
82
MD, Mahfud.Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers,
2009.
MD, Mahfud.Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Metrokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2002.
Munandar, Haris. Pembangunan Politik, Situasi Global dan Hak Asasi Manusia,
Jakarta: Gramedia, 1994.
Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Tatanegara di Indonesia, Jakarta: Dian
Rakyat, 1977.
Ranupandojo, Heidjrachman. Tanya Jawab Manajemen, Yogyakarta : AMP YKPN,
2000.
Soehino, Ilmu Negara, yogyakarta : Liberty, 2004.
Saidi, Muhammada Djafar. Hukum Keuangan Negara, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2008.
Sujanto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Jakarta : Ghalia Indonesia,
1986.
Sunggono, Bambang. Metode Peneitian Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1997.
Sutiyoso, Bambang. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Syahuri, Taufiqurrohman. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Jakarta:
Kencana, 2011.
Syahrizal, Ahmad. Peradilan Konstitusi (Suatu Studi Tentang Adjudikasi
Konstitusional Sebagai Mekanisme Pengelesaian Sengketa Normatif),
Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
Tim penyusun FSH, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta : Pusat Peningkatan dan
Jaminan Mutu (PPJM), 2012.
83
Tim Perumus, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi, Jakarta: KRHN, 2004.
Tutik, Titik Wulandari.Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Jakarta: Kencana, 2010.
Viktor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah,Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.
INTERNET:
www.bpk.go.id
www.negarahukum.com
www.tempo.com
JURNAL/ARTIKEL :
Profil Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet. I, Jakarta: Sekretaris Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.
Warta BPK, Bulan Edisi 2 – Vol. III Februari 2013, R. Soerasno, Ketua BPK pertama
“Ini Bensinmu, Ini Bensinku”.
UNDANG-UNDANG:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 2 tahun 2011.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
PUTUSANNomor 13/PUU-XI/2013
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] Nama : Drs. Bahrullah Akbar, BSc., S.E., MBA.
Pekerjaan : Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
Alamat : Jalan Malaka II Gang 8 Nomor 2 RT 005/006, Kelurahan
Malaka Sari, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 3 Desember 2012
memberi kuasa kepada Drs. Arman Remy, MS., S.H., M.H., M.M., Nurlan HN.,S.H., Irlan Superi, S.H., Siti Nur Intihani, S.H., M.H., Damrah Mamang, S.H.,Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum “Law Office Arman – Nurlan &
Associates” beralamat kantor di Perum Pesona Anggrek Harapan Blok A5 Nomor
38 Bekasi, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan
Rakyat;
Memeriksa bukti-bukti surat/tertulis Pemohon;
Mendengar keterangan saksi dan ahli Pemohon;
Membaca kesimpulan Pemohon.
2
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonan bertanggal 8 Januari 2013, yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal
8 Januari 2013 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
35/PAN.MK/2013, dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada
tanggal 22 Januari 2013 dengan Nomor 13/PUU-XI/2013, yang telah diperbaiki
dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Februari 2013, yang
pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
I. KEWENANGAN MAHKAMAH1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi“;
2. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum”;
3. Bahwa Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234 (selanjutnya disebut
UU PPP) yang menyatakan secara hierarkis, kedudukan UUD 1945 adalah
lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan
Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika
terdapat ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan
UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui
mekanisme pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi;
4. Bahwa UU PPP telah meletakkan landasan arah, tujuan dan asas yang
3
jelas, sehingga setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik antara lain asas keadilan, asas kesamaan dalam hukum dan
pemerintahan, asas ketertiban dan kepastian hukum dan/atau asas
keseimbangan, keserasian dan keselarasan (vide Pasal 5 dan Pasal 6);
5. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
UU MK) menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”;
6. Bahwa dengan demikian, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan isi dari
suatu Undang-Undang, baik secara keseluruhan maupun materi muatan
ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang yang bertentangan
dengan UUD 1945 dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga berwenang memberikan
penafsiran terhadap norma-norma hukum yang terkandung dalam muatan
ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang agar berkesesuaian
dengan UUD 1945;
7. Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas,
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan
memutus permohonan pengujian Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU BPK
terhadap Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan
ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON1. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, Pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a). perorangan warga negara Indonesia;
b). kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
4
c). badan hukum publik dan privat;
d). lembaga negara;
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang
diatur dalam UUD 1945;
2. Bahwa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005
tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20
September 2007 telah menentukan bahwa ada 5 (lima) syarat kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, yaitu:
a). adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b). hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
c). kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d). adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
e). adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi;
3. Bahwa Pemohon adalah sebagai Perorangan warga negara Indonesia
berdasarkan kartu tanda penduduk (bukti P-3) saat ini berstatus sebagai
Anggota BPK Pengganti berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 62/P
Tahun 2011 tanggal 29 Oktober 2011 (bukti P-4), sehingga memenuhi
kualifikasi sebagai Pemohon yang mempunyai kedudukan hukum (legal
standing) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf
a UU MK untuk melakukan pengujian Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU
BPK yang telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana
dijamin oleh UUD 1945;
4. Bahwa dalam kaitannya dengan hak dan kewenangan konstitusional
Pemohon untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan
5
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan telah
dirugikan dengan berlakunya Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa
“pengangkatan penggantian antarwaktu” dan ayat (4) UU BPK. Adapun
selengkapnya bunyi Pasal 22 UU BPK adalah sebagai berikut:
(1) Apabila Anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 atau Pasal 19 diadakan pengangkatan penggantian
antarwaktu Anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan
diresmikan dengan Keputusan Presiden.
(2) Pengangkatan Anggota BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak
tanggal pemberhentian Anggota BPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 atau Pasal 19.
(3) Sebelum memangku jabatannya, Anggota BPK yang diangkat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji
yang pengucapannya dipandu oleh Ketua/Wakil Ketua BPK dengan
bunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4).
(4) Anggota BPK pengganti melanjutkan sisa masa jabatan Anggota
BPK yang digantikannya.
(5) Penggantian Anggota BPK antarwaktu tidak dilakukan apabila sisa
masa jabatan anggota yang akan diganti kurang dari 6 (enam) bulan
dari masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
5. Bahwa dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan
penggantian antarwaktu” dan ayat (4) UU BPK memuat norma hukum
yang tidak jelas, bias, dan menimbulkan multi tafsir, karena menimbulkan
ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di
hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif. Padahal dalam membentuk
suatu peraturan perundang-undangan, in casu UU BPK seharusnya
mendasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, yang meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan
rumusan, dan keterbukaan (vide Pasal 5 UU PPP). Adanya pembedaan,
6
perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan
perlakuan diskriminatif terhadap pemangku jabatan Anggota BPK tentunya
akan berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan
BPK secara kelembagaan. BPK sebagai organ atau lembaga negara yang
dibentuk oleh konstitusi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya
mempunyai karakteristik kepemimpinan yang sama dengan organ atau
lembaga yang dibentuk oleh konstitusi lainnya (MPR, DPR, DPD, MA, MK,
dan KY) yakni bersifat kolektif dan kolegial;
6. Bahwa beberapa pasal dalam UUD 1945 menjamin hak konstitusional
Pemohon yang menjadi batu uji dalam permohonan ini adalah sebagai
berikut:
- Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah dan diresmikan oleh Presiden”;
- Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”;
- Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”;
- Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan”;
- Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”;
7. Bahwa pemberlakuan norma yang mengatur tentang pengangkatan
pergantian antarwaktu Anggota BPK dan melanjutkan sisa masa jabatan
Anggota BPK yang digantikannya sebagaimana diatur dalam Pasal 22
ayat (1) dan ayat (4) UU BPK menurut hemat Pemohon tidak sesuai
7
dan/atau bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,
karena melanggar prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis
sebagaimana terkandung dalam konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum
yang adil, prinsip persamaan dan keadilan, prinsip kemanfaatan hukum,
serta prinsip kepentingan umum. Sehingga, Pemohon sebagai
perseorangan warga negara Indonesia yang memangku jabatan Anggota
BPK yang dipilih nyata-nyata telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan
diberlakukannya Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan
penggantian antarwaktu” dan ayat (4), karena tidak dapat menjabat
sebagai Anggota BPK selama 5 (lima) tahun dan hanya melanjutkan sisa
masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya (Tengku Muhammad
Nurlif) sampai dengan tahun 2014. Dengan kata lain masa jabatan
Pemohon sebagai Anggota BPK tidak mencapai 3 (tiga) tahun;
8. Bahwa norma yang terkadung dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK sepanjang
frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” yang kemudian
menentukan masa jabatan Anggota BPK pengganti melanjutkan sisa masa
jabatan Anggota BPK yang digantikannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (4) UU BPK mereduksi pengaturan mengenai masa jabatan
Anggota BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK
yang berbunyi: “Masa jabatan Anggota BPK selama 5 (lima) tahun dan
dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”;
9. Bahwa pemberlakuan norma Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa
“pengangkatan penggantian antarwaktu” dan ayat (4) UU BPK pada
akhirnya menimbulkan pembedaan dalam pemangkuan masa jabatan
Anggota BPK. Di mana sekarang ini terdapat 8 (delapan) orang Anggota
BPK menjabat selama 5 (lima) tahun, dan 1 (satu) orang Anggota BPK
menjabat dibawah 5 (lima) tahun yakni Pemohon. Oleh karena itu, norma
Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu”
dan ayat (4) UU BPK telah merugikan hak konstitusional Pemohon, dan
oleh karenanya diajukan pengujian terhadap norma tersebut agar
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena
bertentangan dengan UUD 1945;
10. Bahwa berdasarkan argumentasi sebagaimana telah diuraikan dalam
8
angka 1 (satu) sampai dengan angka 9 (sembilan) di atas, maka Pemohon
berkesimpulan, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan ini, berdasarkan 5 (lima) alasan, yakni: (a)
Pemohon adalah perorangan warga negara Republik Indonesia; (b)
Sebagai warga negara, Pemohon mempunyai hak konstitusional sebagai
konsekuensi dianutnya paham negara hukum (rechtsstaat) yang normanya
telah diatur dan diberikan oleh UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum dan memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 23F
ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945; (c) Hak konstitusional Pemohon tersebut, nyata-nyata
secara aktual dan spesifik telah dirugikan dengan berlakunya norma Pasal
22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan
ayat (4) UU BPK yang telah memberlakukan secara berbeda mengenai
status Pemohon sebagai Anggota BPK pengganti antarwaktu yang hanya
melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya; (d)
Kerugian konstitusional tersebut nyata-nyata terjadi berdasarkan sebab-
akibat (causal verband), yakni hak-hak konstitusional Pemohon
diperlakukan secara diskriminatif dan tidak adil dengan diberlakukannya
Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu”
dan ayat (4) UU BPK yang dikaitkan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal 27
ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD
1945; (e) Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang diharapkan
akan mengabulkan petitum permohonan ini, maka kerugian konstitusional
Pemohon dimaksud, diharapkan tidak akan atau tidak lagi terjadi, karena
Pemohon dapat menjabat sebagai Anggota BPK selama 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK;
III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN1. Bahwa sesuai tuntutan reformasi yang menghendaki terwujudnya
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) menuju tata pemerintahan yang baik, mengharuskan
adanya perubahan yang signifikan terhadap peraturan perundang-
undangan dan penataan terhadap lembaga-lembaga negara di Negara
9
Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu perubahan yang mendasar
adalah dengan dirubahnya UUD 1945, khususnya perubahan ketiga UUD
1945 pada tahun 2011 mengenai BPK sebagaimana diatur dalam BAB
VIIIA mulai dari Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G yang telah
meletakkan kedudukan yang kuat, bebas dan mandiri terhadap kedudukan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai organ/lembaga negara yang
dibentuk oleh konstitusi (UUD 1945) untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara. Di mana keuangan negara
merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan
tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, memerlukan lembaga
pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan
pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (konsideran
huruf a dan huruf b UU tentang BPK);
2. Bahwa untuk mewujudkan BPK yang bebas dan mandiri sebagaimana
diamanatkan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, pembentuk konstitusi
memberikan atribusi kepada pembuat Undang-Undang untuk mengatur
lebih lanjut mengenai BPK dalam bentuk Undang-Undang sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 23G ayat (2) UUD 1945. Sebagai akibat
perubahan UUD 1945, Undang-Undang organik yang mengatur tentang
BPK juga harus dilakukan perubahan sesuai dengan amanat UUD 1945.
Semula undang-undang organik tentang BPK diatur dengan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1973, kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006. Kedua Undang-Undang organik yang mengatur
tentang BPK terdapat perbedaan yang sangat substansial, terutama
berkenaan dengan kedudukan, tugas dan wewenang, keanggotaan
(pemilihan dan pemberhentian), hak keuangan/administratif dan
protokoler, tindakan kepolisian, kekebalan serta larangan, kode etik,
kebebasan, kemandirian, dan akuntabilitas, pelaksana BPK, anggaran,
serta ketentuan pidana;
3. Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK telah
menegaskan betapa penting dan strategisnya kedudukan dan
10
kewenangan konstitusional BPK yang merupakan penjabaran dari Pasal
23E UUD 1945 yaitu memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN,
Badan Layanan Umum, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara [vide Pasal 6 ayat (1) UU BPK]. Hasil
pemeriksaan BPK tersebut oleh Pasal 23E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan
kewenangannya. Di mana hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh
lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan Undang-Undang;
4. Bahwa demi terwujudnya kehendak sebagaimana dikemukakan di atas,
operasionalisasi pelaksanaan tugas dan kewenangan kelembagaan BPK
dilaksanakan oleh 9 (sembilan) orang anggota dengan susunan Badan
Pemeriksa Keuangan terdiri atas seorang Ketua merangkap Anggota,
seorang Wakil Ketua merangkap Anggota, dan 7 (tujuh) orang Anggota
[vide Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU BPK]. Kesemua pemangku jabatan
Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan [vide Pasal 5 ayat (1)
UU BPK]. Sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri sudah barang
tentu harus diisi oleh Anggota BPK yang profesional, berintegritas, dan
akuntabel. Untuk mewujudkan hal tersebut telah ditentukan syarat-syarat
untuk dipilih sebagai Anggota BPK dan tata cara pemilihan Anggota BPK
yang diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK sebagaimana
diamanatkan Pasal 23F UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 13 dan Pasal 14
UU BPK adalah sebagai berikut:
- Pasal 13 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 berbunyi:
“Untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berdomisili di Indonesia;
d. memiliki integritas moral dan kejujuran;
e. Setia terhadap Negara Kesatuan Republik ndonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
11
Indonesia Tahun 1945;
f. berpendidikan paling rendah S-1 atau setara;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau
lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. paling rendah berusia 35 (tiga puluh lima) tahun;
j. paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai
pejabat dilingkungan pengelola keuangan negara; dan
k. tidak dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap”;
- Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 berbunyi:
(1) anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD;
(2) pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis yang memuat semua nama calon
secara lengkap, dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat
permintaan pertimbangan dari pimpinan DPR;
(3) calon anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk
memperoleh masukan dari masyarakat;
(4) DPR memulai proses pemilihan Anggota BPK terhitung sejak
tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK sebagaimana
dimakdsud dalam Pasal 5 ayat (2) dan harus menyelesaikan
pemilihan Anggota BPK yang baru paling lama 1 (satu) bulan
sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama;
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Anggota BPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata
Tertib DPR;
5. Bahwa Pemohon sebelum memangku jabatan sebagai Anggota BPK
pengganti, Pemohon selama ini bekerja/berkarir di BPK dan Kementerian
Dalam Negeri selama kurang lebih 28 (dua puluh delapan) tahun dengan
rincian sebagai berikut:
12
No Tahun Pekerjaan/Jabatan
1. 1985 – 2004 Auditor dan Widyaiswara di BPK
2. 2004 – 2007 Staf Khusus di Direktorat Jenderal Keuangan
Daerah, Kementerian Dalam Negeri
3. 2007 – 2011 Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan
Kabupaten Lingga (Eselon IIB)
4. 2011 – Sekarang LEKTOR KEPALA di Institut Pemerintahan
Dalam Negeri, Kementerian Dalam Negeri
5. 2011 - Sekarang Anggota BPK
6. Bahwa Pemohon sebelum diresmikan sebagai Anggota BPK pengganti
pada 29 Oktober 2011, pernah beberapa kali mengikuti seleksi Anggota
BPK. Pertama kalinya Pemohon ikut seleksi sebagai peserta pemilihan
Anggota BPK masa jabatan 2004-2009 berdasarkan ketentuan Pasal 7
dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang BPK (buktiP-5). Kemudian pada tahun 2009, Pemohon mengikuti proses seleksi
calon Anggota BPK dengan masa jabatan 5 (lima) tahun berdasarkan
ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang BPK dengan hasil sebagai berikut:
No Nama Calon PerolehanSuara
1. Hasan Bisri 44
2. Hadi Poernomo 43
3. Gunawan Sidauruk* 32
4. Rizal Djalil 32
5. Moermahasi Soerja Djajanegara 30
6. Taufiequrachman Ruki 27
7. Dharma Bhakti* 26
8. Tengku Muhammad Nurlif 22
9. Ali Masykur Musa 20
10. Achmad Sanusi* 14
11. Bahrullah Akbar 13
* Tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 13 huruf j UU
BPK
13
7. Bahwa terdapat 3 (tiga) orang calon anggota BPK terpilih yang memenuhi
syarat berdasarkan Pasal 13 huruf j Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2006 tentang BPK, maka posisi Pemohon yang semula menempati
peringkat ke-11 menjadi peringkat ke-8. Konfigurasi calon Anggota BPK
delapan besar yang memenuhi syarat setelah dipilih oleh DPR
sebagaimana diuraikan di atas adalah sebagai berikut:
No Nama Calon Perolehan Suara
1. Hasan Bisri 44
2. Hadi Poernomo 43
3. Rizal Djalil 32
4. Moermahasi Soerja Djajanegara 30
5. Taufiequrachman Ruki 27
6. Tengku Muhammad Nurlif 22
7. Ali Masykur Musa 20
8. Bahrullah Akbar 13
8. Bahwa pada tahun 2010, salah seorang pemangku jabatan Anggota BPK
Tengku Muhammad Nurlif mengundurkan diri sebagai Anggota BPK, dan
kemudian yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat sebagai
Anggota BPK berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 19/P Tahun 2011
tanggal 6 April 2011. Maka terdapat kekosongan 1 (satu) pemangku
jabatan Anggota BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU
BPK yang menyatakan bahwa Anggota BPK berjumlah 9 (sembilan) orang.
Oleh karena itu BPK melalui suratnya Nomor 42/S/I/04/2011 tertanggal 19
April 2011 yang ditujukan kepada DPR, meminta agar DPR mengadakan
seleksi untuk mencari pengganti Tengku Muhammad Nurlif yang telah
diberhentikan dengan hormat. Dengan mendasarkan pada ketentuan
Pasal 22 ayat (1) UU BPK untuk melengkapi jumlah 9 (sembilan) orang
Anggota BPK, akan tetapi masa jabatan Anggota BPK pengganti tersebut
hanya melanjutkan masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (4) UU BPK;
9. Bahwa selanjutnya DPR membuka pengumuman ke publik untuk
melaksanakan seleksi pengangkatan penggantian antarwaktu 1 (satu)
posisi lowong pemangku jabatan Anggota BPK dan Pemohon kembali
mengikuti proses seleksi calon Anggota BPK pengganti antar waktu
14
tersebut. Proses seleksi terhadap 16 (enam belas) calon Anggota BPK
pengganti dilaksanakan pada tanggal 26 September 201dan 27
September 2011 oleh DPR, pada tanggal 3 Oktober 2011, DPR
mengadakan rapat internal untuk mengambil keputusan dan hasilnya
Pemohon mendapatkan 39 suara dari 47 suara melalui pemungutan suara
di DPR sehingga Pemohon terpilih sebagai Anggota BPK menggantikan
Tengku Muhammad Nurlif sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22
ayat (1) UU BPK, selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden
Nomor 62/P Tahun 2011 tanggal 29 Oktober 2011 yang secara resmi
mengukuhkan Pemohon sebagai Anggota BPK;
10. Bahwa setelah dilantik sebagai Anggota BPK pada tanggal 10 November
2011, Pemohon diberikan tugas dan kewenangan sebagai Anggota VII. Di
mana tugas dan kewenangan Anggota VII (vide Peraturan Badan
Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2010) meliputi pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara bidang kekayaan
negara yang dipisahkan dengan entitas pemeriksaan, yaitu : Kementerian
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Negara dan anak
perusahaan, badan pelaksana pengendalian usaha migas (termasuk
kontraktor production sharing/KPS pertambangan), badan pembina proyek
asahan dan otorita pengembangan proyek asahan serta lembaga terkait di
lingkungan entitas tersebut (bukti P-6);
11. Bahwa sebagai Anggota BPK pengganti yang dipilih dengan istilah
“pengangkatan penggantian antarwaktu” berdasarkan ketentuan Pasal 22
ayat (1) UU BPK, tetapi pada hakikatnya sama dengan proses seleksi dan
pemilihan Anggota BPK yang Pemohon alami pada tahun 2009 untuk
masa jabatan 2009-2014 yang mendasarkan pada syarat dan tata cara
yang sama-sama diatur menurut ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU
BPK. Jika menggunakan pemahaman mengenai mekanisme
“pengangkatan penggantian antarwaktu” untuk mengisi posisi lowong
keanggotaan lembaga legislatif (DPR, DPD, dan DPRD). Calon yang
memperoleh suara terbanyak berikutnya dalam Daftar Calon Tetap (DCT)
pada partai politik/calon perseorangan dari daerah pemilihan yang sama
dan masih memenuhi syarat, maka calon tersebut ditetapkan untuk
mengisi jabatan lowong keanggotaan DPR, DPD, dan DPRD, tanpa
15
mengikuti seleksi kembali melalui pemilihan umum. Berkaitan dengan
Pemohon yang merupakan Anggota BPK pengganti, syarat dan tata cara
untuk ditetapkan sebagai Anggota BPK pengganti sama dengan syarat
dan tata cara pemilihan Anggota BPK yang memiliki masa jabatan 5 (lima)
tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK dengan
mendasarkan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK;
12. Bahwa sebagai Anggota BPK yang dipilih dengan “pengangkatan
penggantian antarwaktu” sebagaimana dipraktikkan dalam pengangkatan
penggantian antarwaktu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Semestinya
cukup menetapkan calon Anggota BPK yang memperoleh suara terbanyak
berikutnya yang masih memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 UU BPK, yakni Pemohon yang memperoleh suara terbanyak ke-
8, dan tidak perlu lagi melakukan pemilihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) UU BPK yang didalamnya menggunakan syarat dan tata
cara sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK;
13. Bahwa Pasal 22 ayat (1) UU BPK yang menentukan mengenai pengisian
jabatan Anggota BPK yang lowong, dan kemudian Pasal 22 ayat (4) UU
BPK menentukan pemangkuan masa jabatan Anggota BPK pengganti
sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UU BPK hanya melanjutkan sisa
masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya. Pemohon yang dipilih
DPR sebagai Anggota BPK menggantikan Tengku Muhammad Nurlif
hanya melanjutkan sisa masa jabatan Tengku Muhammad Nurlif sampai
dengan tahun 2014 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan 6
(enam) Anggota BPK lainnya. Dalam Keputusan Presiden Nomor 62/P
Tahun 2011 tanggal 29 Oktober 2011 tidak secara tegas menetapkan
masa jabatan Pemohon sebagai Anggota BPK sampai tahun berapa?.
(vide Keputusan Presiden Nomor 62/P Tahun 2011);
14. Bahwa Pemohon sejak diresmikan sebagai Anggota BPK melalui
pengangkatan penggantian antarwaktu menurut ketentuan Pasal 22 ayat
(1) tidak mencapai 3 (tiga) tahun berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (4)
UU BPK. Sementara masa jabatan Anggota BPK lainnya yang dipilih
berdasarkan ketentuan Pasal 13 dan 14 UU BPK menjabat selama 5 (lima)
tahun, padahal tidak ada perbedaan yang substansial antara tata cara
“pengangkatan penggantian antarwaktu” dan tata cara “pemilihan”
16
Anggota BPK sama-sama mengacu pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK.
Maka dalam hal ini Pemohon mendapatkan perlakuan yang berbeda
dalam masa jabatan pemangkuan jabatan Anggota BPK. Perlakuan yang
berbeda tersebut bila dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam
suatu negara hukum yang demokratis nyata-nyata jelas bertentangan,
khususnya dengan prinsip kepastian hukum yang adil, prinsip persamaan
dan keadilan, prinsip kemanfaatan hukum, serta prinsip kepentingan
umum;
15. Bahwa konsep penggantian antarwaktu (PAW) hanya dikenal dalam
penggantian jabatan publik dalam cabang kekuasaan legislatif (DPR, DPD,
dan DPRD). Bahwa sumber pengisian jabatan cabang kekuasaan legislatif
tersebut adalah melalui pemilihan umum (Pemilu) secara langsung oleh
rakyat dengan jangka waktu tertentu (fix term). Dalam hal terjadi
kekosongan jabatan anggota legislatif sebelum berakhirnya masa jabatan
pemangku jabatan anggota legislatif tersebut, maka pengisian jabatan
lowong tersebut tidak memungkinkan untuk dipilih secara langsung oleh
rakyat melalui Pemilu. Karena Pemilu sebagaimana di atur dalam Pasal
22E ayat (1) UUD 1945 hanya dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.
Mekanisme yang memungkinkan untuk mengisi jabatan yang kosong
dengan penggantian antarwaktu (PAW). Konsep PAW ini sejalan dengan
kedudukan lembaga legislatif sebagai lembaga politik. Dalam hal
terjadinya kekosongan pemangku jabatan Anggota DPR dan/atau DPRD
sebelum habis masa jabatannya, maka pengisian jabatan lowong tersebut
diiisi melalui mekanisme PAW. Pemangkuan jabatan yang kosong, diisi
atau digantikan oleh calon anggota DPR dan/atau DPRD yang
memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat
perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang
sama. Dalam hal calon anggota DPR dan/atau DPRD yang memperoleh
suara terbanyak urutan berikutnya meninggal dunia, mengundurkan diri,
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR dan/atau
DPRD, anggota DPR dan/atau DPRD digantikan oleh calon anggota DPR
dan/atau DPRD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari
partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama [vide Pasal 217
ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 336 ayat (1) dan ayat (2), juncto Pasal
17
387 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya
disebut UU MD3];
16. Bahwa dalam hal penggantian Anggota DPD yang berhenti sebelum habis
masa jabatannya, digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh
suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara
calon anggota DPD dari provinsi yang sama. Dalam hal calon anggota
DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar
peringkat perolehan suara calon anggota DPD meninggal dunia,
mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon
anggota DPD, anggota DPD pengganti tersebut digantikan oleh calon
anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya [vide
Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2) UU MD3];
17. Bahwa BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara
mempunyai perbedaan yang sangat mendasar dengan lembaga legislatif
(DPR, DPD, dan DPRD) sebagai lembaga politik yang mekanisme
pengisian jabatannya dilakukan secara serempak melalui pemilu yang
dilaksanakan selama 5 (lima) tahun sekali. Oleh karena itu,untuk
memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945, maka menurut Pemohon masa jabatan Anggota BPK
pengganti tidak dimaksudkan untuk memenuhi sisa masa jabatan anggota
yang digantikannya. Pengisian pemangkuan jabatan Anggota BPK
pengganti dimaksudkan untuk memenuhi susunan dan keanggotaan BPK
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 5 ayat
(1) UU BPK. Dengan demikian, masa jabatan Anggota BPK pengganti
diperlakukan sama menurut Pasal 5 ayat (1) UU BPK, sehingga pengisian
pemangku jabatan Anggota BPK dengan istilah apapun tetap sesuai
dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945;
18. Bahwa dalam rumusan Pasal 22 ayat (1) yang menggunakan frasa
“pengangkatan penggantian antarwaktu” yang menjadi dasar
18
pengangkatan Pemohon sebagai Anggota BPK pengganti mengandung
kelemahan sistem kaidah. Di mana norma Pasal 22 ayat (1) mengandung
pertentangan dengan norma Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU BPK sebagai
norma yang bersifat imperatif (keharusan) dalam menentukan komposisi
keanggotaan dan masa jabatan Anggota BPK. Di samping itu,
penggunaan frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” bertentangan
dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU BPK yang menentukan: “Anggota
BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD”.
Penggunaan frasa “pengangkatan” dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK
bertentangan dengan tata cara pengisian jabatan Anggota BPK yakni
dengan cara dipilih sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU BPK,
juncto Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Penggunaan kalimat yang berbeda
dalam tata cara pengisian jabatan Anggota BPK sebagaimana
dikemukakan di atas memiliki ketidakjelasan rumusan. Oleh karenanya,
frasa “pengangkatan” dalam pasal a quo harus dibatalkan dan
dikembalikan ke frasa “pemilihan” sebagaimana telah ditentukan dalam
Pasal 14 ayat (1) UU BPK, juncto Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Hal ini
sesuai dengan pembahasan di Badan Pekerja MPR mengenai rumusan
Pasal 23F ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dengan pertimbangan agar
keberadaan BPK bebas dari pengaruh pemerintah, maka Anggota BPK
dipilih oleh DPR agar sebagai core dengan DPD memberikan
pertimbangan (Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Latar
Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002 Buku VII Keuangan,
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2008, halaman 296);
19. Bahwa isi norma Pasal 22 ayat (4) UU BPK tidak memiliki kepastian
hukum dan mengandung ambiguitas yang akhirnya berakibat memberi
ketidakpastian masa jabatan Anggota BPK. Hal demikian menurut
Pemohon merugikan hak-hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan
kepastian hukum yang secara khusus dijamin dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Norma ayat (4) pasal a quo mengandung unsur diskriminatif
perlakuan kesempatan yang sama dalam masa jabatan anggota BPK yang
diangkat secara bersamaan dengan anggota BPK yang dianggkat sebagai
anggota pengganti BPK. Dengan demikian ayat (4) Pasal a quo UU BPK
19
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
20. Bahwa norma Pasal 22 ayat (4) UU BPK yang berbunyi: “Anggota BPK
pengganti melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang
digantikannya” menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih
sebagai Anggota BPK, karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan
Anggota BPK yang digantikannya. Apabila ayat (4) Pasal tersebut
diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang
secara tegas dan jelas menyatakan: “Masa jabatan Anggota BPK selama 5
(lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya”. Pengisian jabatan Anggota BPK, baik melalui tata
cara “Pengangkatan Penggantian Antarwaktu” yang mengacu pada Pasal
22 ayat (1) UU BPK maupun dengan tata cara “pemilihan” yang mengacu
pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK tidak mempunyai perbedaan
substansial. Dengan demikian, selain telah terjadinya pertentangan
internal (contradictio in terminis) norma yang mengatur pemangkuan masa
jabatan Anggota BPK menurut UU BPK, juga bertentangan dengan
ketentuan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dan oleh karenanya Pasal 22 ayat (4) UU
BPK harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
21. Bahwa BPK sebagai lembaga negara independen yang dibentuk oleh UUD
1945 diberi tugas dan wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara. Untuk melakukan tugas dan
wewenang tersebut, BPK dituntut bekerja secara profesional, independen,
dan berkesinambungan. Dengan adanya Anggota BPK yang hanya
melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya tidak
akan menjamin kesinambungan kinerja BPK dalam melakukan tugas dan
wewenangnya menurut UUD 1945 serta menimbulkan ketidakadilan bagi
Anggota BPK yang menggantikannya. Selain itu, jabatan Anggota BPK
berbeda dengan jabatan negara yang lainnya karena adanya faktor
konsistensi dan kesinambungan, terkait baik dengan proses maupun hasil
audit yang dihasilkan. Jika dihubungkan dengan penilaian konsistensi dari
audit yang dihasilkan, maka masa jabatan 5 (lima) tahun sebagai Anggota
BPK pun, sebenarnya masih dianggap kurang. Dengan adanya Anggota
20
BPK yang menggantikan yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan
Anggota BPK yang digantikannya, maka masa jabatan Anggota BPK
menjadi kurang dari 5 (lima) tahun;
22. Bahwa yang menjadi pertimbangan untuk masa jabatan Anggota BPK
adalah adanya jaminan konsistensi dan kesinambungan dalam proses dan
hasil audit BPK yang sangat terpengaruh oleh lamanya masa jabatan
Anggota BPK. Oleh sebab itu, akan lebih proporsional dan menjamin
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
apabila masa jabatan Anggota BPK yang menggantikan tetap 5 (lima)
tahun. Dengan demikian, pembatasan dan pembedaan perlakuan hukum
mengenai masa jabatan Anggota BPK tidak beralasan menurut hukum;
23. Bahwa mengenai masa jabatan pengganti pada beberapa lembaga
negara, Mahkamah Konstitusi telah memutusnya dengan menyatakan
norma yang mengatur hal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni
2011 (bukti P-7) mengenai tafsir masa jabatan Pimpinan KPK
Pengganti dengan pertimbangan hukum dan amar putusannya sebagai
berikut:
- Pertimbangan Hukum pada bagian Pendapat Mahkamah halaman
73-76:
[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUKPK, mekanisme pemilihan anggota pengganti Pimpinan KPKyang berhenti dalam masa jabatan dilakukan sama denganmekanisme pemilihan dan pengangkatan anggota pimpinanyang diangkat secara bersamaan pada awal periode. Prosesseleksi ini memakan waktu yang lama dan biaya yang cukuptinggi karena paling tidak melibatkan pembentukan panitiaseleksi, proses pendaftaran yang dilakukan secara terbuka dantransparan dengan melibatkan proses publikasi di media, dansetelah ditetapkan nama calon-calon tesebut, proses seleksidilanjutkan pada pengumuman kepada masyarakat untukmendapatkan tanggapan yang seterusnya diserahkan di DPRuntuk dilakukan seleksi kembali oleh DPR melalui mekanisme fitand proper test. Proses seleksi yang ketat dan panjang tersebutdipandang perlu, mengingat begitu pentingnya jabatanPimpinan KPK, terutama apabila dikaitkan dengan urgensiagenda pemberantasan korupsi di Indonesia;
21
[3.23] Menimbang bahwa proses pemilihan dan seleksi Pimpinan KPKpengganti yang demikian apabila dilihat dari asas keadilandalam pelaksanaan pemerintahan yaitu keadilan bagimasyarakat maka pengangkatan anggota pengganti yangmenduduki masa jabatan sisa hanya satu tahun adalah sesuatuyang dirasakan tidak adil bagi masyarakat, karena negara harusmengeluarkan biaya yang sangat besar serta parapenyelenggara negara yang melakukan proses seleksimenghabiskan waktu yang cukup panjang hanya untuk memilihseorang anggota pengganti yang menduduki sisa masa jabatansatu tahun. Menurut Mahkamah, keadilan masyarakat adalahsumber nilai konstitusi tertinggi yang harus menjadi dasarpenilaian Mahkamah, karena keadilan konstitusi tidak lain darikeadilan bagi constituent yaitu keadilan bagi rakyat yangmembentuk dan menyepakati konstitusi. Keadilan masyarakatini menjadi sangat penting dalam menegakkan prinsip-prinsipkonstitusi untuk menghindari penyelenggaraan negara yangbersifat elitis dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi yangdianut oleh UUD 1945 khususnya demokrasi partisipatoris.Menurut Mahkamah, penafsiran demikian juga, menimbulkanketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai anggotapengganti yang berjuang serta menghabiskan banyak tenaga,waktu, dan biaya untuk lulus seleksi dan terpilih menjadianggota Pimpinan KPK pengganti. Anggota pengganti yangterpilih yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggotayang digantikan mendapat perlakuan yang berbeda dengananggota pimpinan yang terpilih secara bersamaan pada awalperiode yang menjalankan masa jabatan penuh empat tahun,padahal anggota pengganti menjalani segala proses seleksidan syarat-syarat yang sama, sehingga melanggar prinsipperlakuan yang sama terhadap setiap warga negara di hadapanhukum dan pemerintahan [vide Pasal 27 ayat (1), Pasal 28Dayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945];
[3.24] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, jika anggota PimpinanKPK pengganti hanya menduduki masa jabatan sisa darianggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggarprinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahirdan diadakan untuk mencapai kemanfaatan setinggi-tingginya.Proses seleksi seorang Pimpinan KPK pengganti menurutPasal 33 ayat (2) UU KPK hanya menduduki masa jabatansisa, mengeluarkan biaya yang relatif sama besarnya denganproses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal itu, benar-benarmerupakan sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidakwajar. Menurut Mahkamah, sekiranya dimaknai bahwaPimpinan pengganti itu adalah hanya menggantikan danmenyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yangdigantikan maka mekanisme penggantian tersebut tidak harusmelalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biayayang besar seperti dalam seleksi lima anggota pimpinan yangdiangkat secara bersamaan. Pimpinan pengganti, dalam halada pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup
22
diambil dari calon Pimpinan KPK yang ikut dalam seleksisebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya, sepertipenggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD yangmenurut Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun2009 tentang MPR, DPR dan DPRD (Lembaran NegaraRepublilk Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) yangmenyatakan, ”Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktumelanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan”dan Pasal 286 ayat (3) yang menyatakan, ”Masa jabatananggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masajabatan anggota DPD yang digantikannya”. Hal itu, lebihmemenuhi prinsip efisiensi, dan prinsip kewajaran. Oleh karenaberdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK yangmengharuskan pengisian pimpinan pengganti dilakukan melaluiproses seleksi yang sama dengan proses seleksi lima oranganggota KPK yang diangkat secara bersamaan, menurutMahkamah, penggantian Pimpinan KPK pengganti tersebuttidak sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR danDPD. Penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD, tidakmelalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan dalamUndang-Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa darianggota yang digantikannya. UU KPK menegaskan bahwaPimpinan KPK pengganti dilakukan melalui proses seleksi yangbaru dan tidak ditentukan bahwa pimpinan pengganti hanyamelanjutkan sisa masa jabatan pimpinan yang digantikannya.Menurut Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa masa jabatanPimpinan KPK pengganti tidak dapat ditafsirkan sama denganpenggantian antarwaktu bagi anggota DPR dan DPD. Dengandemikian masa jabatan pimpinan KPK yang ditentukan dalamPasal 34 UU KPK tidak dapat ditafsirkan lain, kecuali empattahun, baik bagi pimpinan yang diangkat secara bersamaansejak awal maupun bagi pimpinan pengganti. Mempersempitmakna Pasal 34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagiPimpinan KPK pengganti untuk menjabat selama empat tahunadalah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijaminkonstitusi;
[3.25] Menimbang bahwa selain itu, menurut Mahkamah, KPK adalahlembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenangkhusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang terkaitdengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan serta melakukan supervisi ataspenanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan olehinstitusi negara yang lain. Untuk mencapai maksud dan tujuanpembentukan KPK sebagai lembaga negara yang khususmemberantas korupsi, maka dalam melaksanakan tugas dankewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secaraprofesional, independen, dan berkesinambungan. MenurutMahkamah, KPK tidak akan maksimal melaksanakan tugas danwewenangnya secara profesional dan berkesinambungan tanpakesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin
23
kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinantidak secara bersama-sama mulai dari awal lagi, makapenggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya diganti serentak.Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjaminkepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu diantara Pimpinan KPK diangkat untuk satu periode masa jabatanempat tahun [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945];
- Amar Putusan pada halaman 78:
▪ Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250)bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwaPimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baikpimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinanpengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yangberhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4(empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanyauntuk sekali masa jabatan;
▪ Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250)tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidakdimaknai bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan TindakPidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaanmaupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikanpimpinan yang berhenti dalam masa jabatanya memegangjabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilihkembali hanya untuk sekali masa jabatan;
b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18
Oktober 2011 yang salah satunya membatalkan ketentuan dalam Pasal
26 ayat (5) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:
“Hakim Konstitusi yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) melanjutkan sisa jabatan Hakim Konstitusi yang digantikannya”.
Adapun pertimbangan hukum dan amar putusan perkara tersebut
sebagai berikut:
- Pertimbangan Hukum pada bagian Pokok Permohonan halaman
70-71:
“5. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamahmemberikan pertimbangan sebagai berikut:Bahwa Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011 menyatakan “Hakim konstitusi
24
yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)melanjutkan sisa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.”Norma Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011 menimbulkan ketidakadilan bagiseseorang yang terpilih sebagai hakim konstitusi karena hanyamelanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.Apabila pasal tersebut diterapkan akan bertentangan dengan Pasal22 UU MK (UU 24/2003) yang secara tegas dan jelas menyatakan“Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapatdipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”,sehingga terjadi pertentangan internal (contradictio in terminis).Menurut Mahkamah, penggantian hakim konstitusi tidak samadengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD.Penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD, tidak melalui prosesseleksi yang baru dan sudah ditegaskan dalam Undang-Undanghanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yangdigantikannya. Adapun calon hakim konstitusi melalui proses seleksioleh masing-masing lembaga yang mengajukannya. Dengandemikian, menurut Mahkamah, masa jabatan hakim konstitusi yangditentukan dalam Pasal 22 UU MK tidak dapat ditafsirkan lain kecualilima tahun, baik yang diangkat secara bersamaan maupun bagihakim konstitusi yang menggantikan hakim konstitusi yang berhentisebelum masa jabatannya berakhir. Mempersempit makna Pasal 22UU MK dengan tidak memberlakukannya bagi hakim konstitusipengganti untuk menjabat selama lima tahun adalah melanggarprinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin konstitusi;Bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara independenyang oleh UUD 1945 diberi tugas dan wewenang sebagai salah satupelaku kekuasaan kehakiman. Untuk melakukan tugas danwewenang tersebut, Mahkamah dituntut bekerja secara profesional,independen, dan berkesinambungan. Dengan adanya hakimkonstitusi yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakimkonstitusi yang digantikannya tidak akan menjamin kesinambungankinerja Mahkamah dalam melakukan tugas dan wewenangnya sertamenimbulkan ketidakadilan bagi hakim konstitusi yang mengganti.Selain itu, jabatan hakim konstitusi berbeda dengan jabatan negarayang lainnya karena adanya faktor konsistensi dan kesinambungan,terkait baik dengan proses maupun putusan-putusan yang dihasilkan.Jika dihubungkan dengan penilaian konsistensi dari putusan yangdihasilkan maka masa jabatan lima tahun sebagai hakim konstitusipun, sebenarnya masih dianggap kurang. Dengan adanya hakimyang menggantikan yang hanya melanjutkan sisa masa jabatanhakim konstitusi yang digantikannya maka masa jabatan hakimkonstitusi menjadi kurang dari lima tahun. Dengan demikian, yangmenjadi pertimbangan untuk masa jabatan hakim konstitusi adalahadanya jaminan konsistensi dan kesinambungan dalam proses danputusan-putusan Mahkamah yang sangat terpengaruh oleh lamanyamasa jabatan hakim konstitusi, terkait dengan pendapat hukum dankemandirian hakim. Oleh sebab itu, akan lebih proporsional danmenjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum apabila masa jabatan hakim konstitusi yangmenggantikan tetap lima tahun. Dengan demikian, menurut
25
Mahkamah, dalil para Pemohon a quo beralasan menurut hukum;- Amar Putusan pada halaman 80 :
3. Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h), Pasal 10, Pasal 15 ayat(2) huruf h sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabatnegara”, Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, danhuruf e, ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 50A, Pasal 59ayat (2), dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentangMahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 5226) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
24. Bahwa mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, dan
dikaitkan dengan norma yang mengatur masa jabatan Anggota BPK
pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4) UU BPK, menurut
Pemohon adalah sangat tepat dan bijaksana, jika Yang Mulia Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi bercermin pada putusan tersebut dalam
memutuskan permohonan Pemohon, karena Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut substansinya sama dengan Permohonan yang
Pemohon ajukan yaitu mengenai masa jabatan pengganti pemangku
jabatan pada lembaga-lembaga negara, termasuk didalamnya mengenai
masa jabatan Anggota BPK pengganti yang bertentangan dengan Pasal
27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD
1945;
25. Bahwa meskipun Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 47 UU MK, putusan
MK berlaku sejak ditetapkan (prospektif), namun demi asas kemanfaatan
yang yang merupakan asas dan tujuan universal hukum, maka untuk
kasus-kasus tertentu Mahkamah dapat memberlakukan putusannya
secara surut (retroaktif). Hal ini sudah menjadi yurisprudensi yang tertuang
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUU-
VII/2009 tertanggal 7 Agustus 2009 yang menjadi landasan penetapan
Anggota DPR Periode 2009-2004 terutama berkaitan dengan penetapan
Anggota DPR berdasar penghitungan tahap III yang semula telah
ditetapkan secara salah oleh KPU dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 5/PUU-IX/2011 tertanggal 20 Juni 2011 yang mengukuhkan posisi
Pimpinan KPK Pengganti Busyro Muqoddas tetap menjabat selama 4
(empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali
masa jabatan (vide Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 halaman 76-78);
26
26. Bahwa apabila permohonan Pemohon dikabulkan, maka Pemohon tidak
akan menjabat selama kurang lebih 3 (tiga) tahun, melainkan menjabat
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK yakni selama 5 (lima)
tahun, terhitung sejak diresmikannya Pemohon sebagai Anggota BPK
tanggal 29 Oktober 2011 sampai dengan tahun 2016 dengan berpedoman
pada yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUU-
VII/2009 tertanggal 7 Agustus 2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 5/PUU-IX/2011 tertanggal 20 Juni 2011 yang memberlakukan
putusannya secara surut (retroaktif);
IV. PETITUMBahwa berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, Pemohon dengan ini
memohon agar kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan
memutuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan muatan norma yang terdapat dalam Pasal 22 ayat (1)
sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan Pasal 22
ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
4654) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun1945;
3. Menyatakan muatan norma yang terdapat dalam Pasal 22 ayat (1)
sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan Pasal 22
ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
4654) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana
mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
27
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-8, sebagai berikut:
1 Bukti P-1 Fotokopi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan
2 Bukti P-2 Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
3 Bukti P-3 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon
4 Bukti P-4 Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62/P
Tahun 2011 tanggal 29 Oktober 2011
5 Bukti P-5 Fotokopi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan
6 Bukti P-6 Fotokopi Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1
Tahun 2010 tentang Pembagian Tugas dan Wewenang Ketua,
Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
7 Bukti P-7 Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011
8 Bukti P-8 Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011
Selain itu, Pemohon juga mengajukan seorang saksi yang bernama
Achsanul Qosasi dan tiga orang ahli yaitu Yusril Ihza Mahendra, Saldi Isra, DwiAndayani yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam
persidangan tanggal 21 Maret 2013, yang menerangkan sebagai berikut:
SAKSI PEMOHONAchsanul Qosasi Saksi yang melaksanakan langsung proses pemilihan atau pengangkatan
anggota BPK Bahrullah menggantikan Nurlif;
Pada saat itu dari 17 anggota terpilihlah Bahrullah Akbar. Menurut saksi Pasal
22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang a quo masih beranggapan tidak
bertentangan dengan UUD 1945;
Saksi menjalankan hal tersebut sesuai dengan amanat yang diberikan kepada
Komisi XI dan pada waktu itu memang terlintas sedikit diskusi mengenai masa
jabatan anggota BPK adalah 5 tahun, sehingga saksi beranggapan adalah
bukan domain Komisi XI dan sampai saat ini, saksi berkeyakinan di Komisi XI
28
bahwa Undang-Undang BPK tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945.
AHLI PEMOHON1. Yusril Ihza Mahendra
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 sebagai Undang-Undang organik
yang menyebarkan lebih lanjut pelakasanaan tugas konstitusional dari
Badan Pemeriksa Keuangan mengatur beberapa hal sebagai berikut: yakni
menentukan bahwa anggota Badan Pemeriksa Keuangan berjumlah 9
orang dengan susunan terdiri atas satu orang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 orang anggota;
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang BPK menegaskan lebih lanjut ketentuan
Pasal 23F ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengharuskan
semua pemangku jabatan anggota BPK dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Ada pun
masa jabatan anggota BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang BPK adalah 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali
untuk satu kali masa jabatan;
Norma-norma tersebut menurut pendapat ahli sudah sangat jelas bersifat
imperatif dan tidak dapat ditafsirkan lain, akan tetapi yang menjadi
persoalan adalah adanya norma dalam Undang-Undang BPK yang
menentukan cara pengisian jabatan anggota BPK dengan cara lain yakni
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dengan menggunakan
frasa pengangkatan pergantian antarwaktu. Penggunaan frasa demikian
menjadi tidak tepat karena memiliki ketidakjelasan rumusan yang pada
akhirnya berimplikasi kepada ketidakjelasan tujuan dan adanya
ketidakpastian hukum. Sehingga norma tersebut bila dikaitkan dengan
norma yang mengatur tentang mekanisme pengisian jabatan anggota BPK
dalam Undang-Undang BPK itu sendiri mengalami adanya konflik atau
pertentangan norma sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-
Undang BPK;
Penggunaan frasa pengangkatan pergantian antar waktu juga bertentangan
dengan Pasal 23F ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut pendapat
ahli sebenarnya ketentuan a quo dimaksudkan untuk mengisi dalam hal
terjadinya kekosongan atau kekurangan dari komposisi keanggotaan BPK
29
yang berjumlah 9 orang tadi. Oleh karena itu menurut pendapat ahli, norma
tersebut memang harus ada tetapi dengan tidak mencantumkan frasa
pengangkatan pergantian antarwaktu dan norma Pasal 22 ayat (1) Undang-
Undang BPK seharusnya berbunyi, “Apabila anggota BPK diberhentikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 diadakan pergantian
anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan dengan keputusan
presiden.” Tanpa adanya kata-kata istilah pergantian atau pengangkatan
antarwaktu;
Norma Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK selanjutnya melahirkan
norma turunan yakni ayat (4) pada pasal a quo yang menentukan bahwa
masa jabatan anggota BPK pengganti hanya melanjutkan sisa masa
jabatan anggota BPK yang digantikannya. Pembedaan masa jabatan
anggota BPK senyata-nyatanya menurut pendapat ahli bertentangan
dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) yang menentukan bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Padahal
syarat dan tata cara pengisian jabatan anggota BPK berlaku secara
imperatif sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang
BPK, akan tetapi norma ayat (4) dalam pasal a quo Undang-Undang BPK
mengecualikan lain terhadap masa jabatan anggota BPK pengganti dengan
memegang masa jabatan di bawah 5 tahun karena mendasarkannya pada
ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK;
Kalau konsep pergantian antarwaktu sebagaimana dipraktikan dalam
pengisian jabatan lowong pada lembaga negara yang dipilih secara
langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum kemudian diadopsi dalam
pengisian jabatan kosong atau lowong pada keanggotaan BPK nampaknya
tidak tepat. Hal itu dikarenakan Undang-Undang Dasar 1945 telah
menentukan dengan jelas bahwa pemilihan umum dilaksanakan setiap 5
tahun sekali dengan masa jabatan yang berakhir serempak. Di sisi lain,
pemangkuan jabatan keanggotaan BPK merupakan jabatan profesional dan
sangat berbeda dengan jabatan politik, seperti jabatan lembaga DPR, DPD,
dan Presiden;
30
Sebagai jabatan profesional, diperlukan adanya jaminan konsistensi dan
kesinambungan pelaksanaan tugas dan kewenangan BPK sebagai auditor
keuangan negara. Praktik pemilihan kesembilan Anggota BPK yang ada
sekarang ini, dengan mendasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2006, tidak dilakukan secara serentak dan memegang masa
jabatan selama 5 tahun, kecuali Pemohon yang memegang masa jabatan
kurang dari 5 tahun karena dipilih berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1),
melalui pengangkatan penggantian antarwaktu;
Dengan diberlakukannya norma Pasal 22 ayat (1), adanya frasa
pengangkatan penggantian antarwaktu, dan ayat (4) Undang-Undang BPK,
secara nyata selain bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
juga melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik. Tetapi secara spesifik dan aktual, telah merugikan hak
konstitusional Pemohon yang telah ditetapkan sebagai Anggota BPK
pengganti antar waktu dengan masa jabatan kurang dari 5 tahun. Maka
seyogianyalah, Mahkamah Konstitusi selain menyatakan norma a quo
dalam Undang-Undang BPK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menurut pendapat ahli, perlu juga Mahkamah Konstitusi menetapkan masa
jabatan Pemohon sebagai Anggota BPK selama 5 tahun, terhitung sejak
tanggal Pemohon dilantik sebagai Anggota BPK. Hal itu didasarkan pada
yurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 5/PUU-
IX/2011 yang telah mengukuhkan masa jabatan Busyro Muqoddas sebagai
Pimpinan KPK dengan masa jabatan pimpinan KPK lainnya yakni selama 4
tahun, walaupun Busyro Muqoddas dipilih oleh DPR tidak bersamaan
dengan pimpinan KPK lainnya.
2. Saldi Isra Dalam permohonan ini, Pemohon mengajukan pengujian atas
konstitusionalitas Pasal Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dalam
hal ini, ketentuan Pasal 22 ayat (1) menyatakan, “Apabila Anggota BPK
diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19,
diadakan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota BPK sesuai
31
dengan syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 dan
Pasal 14, dan diresmikan dengan keputusan presiden”;
Pasal 22 ayat (4) yang menyatakan, “Anggota BPK pengganti, melanjutkan
sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikan.” Sebagai norma yang
dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal 27
ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945. Pada intinya, Pemohon mempersoalkan Pasal 22 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, sepanjang frasa pengangkatan
penggantian antar warktu dan Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006 karena dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon
sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, seperti diuraikan dalam
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi;
Pemohon merupakan anggota yang terpilih karena salah seorang anggota
BPK sebelumnya berhalangan tetap, sehingga tidak dapat menghabiskan
masa jabatan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2006, karena alasan itu, Tengku Muhammad Nurlif telah pula diberhentikan
dengan hormat. Sebagaimana diuraikan lebih lanjut dalam permohonan,
sebelum terpilih di DPR sebagai Anggota BPK yang menggantikan TM.
Nurlif, mengikuti beberapa proses seleksi. Ketika proses sebelumnya terpilih
menjadi anggota pengganti, sesuai dengan ketentuan yang ada, Pemohon
berhasil meraih dukungan suara pada nomor urutan 8 dari 7 calon yang
dibutuhkan. Namun, sampai TM. Nurlif berhalangan tetap, Pemohon tidak
serta-merta menggantikan yang bersangkutan sebagai Anggota BPK
karena adanya ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006 yang mengharuskan adanya pemenuhan syarat-syarat yang
diperlukan, dan proses pun diulang dari tahap awal sebagaimana yang
diikuti Pemohon dalam proses sebelumnya. Karena adanya ketentuan itu,
guna mengisi kekosongan kursi Anggota BPK yang ditinggalkan oleh TM.
Nurlif, Pemohon harus bersaing dari awal dengan 16 calon yang lainnya
karena proses keterpilihan Pemohon persis sama dengan 8 anggota yang
lain, ketentuan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa pengangkatan
penggantian antarwaktu dan Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006 dirasakan amat merugikan hak konstitusional Pemohon yang
hanya melanjutkan sisa masa jabatan, yaitu sekitar 2,5 tahun dari yang
32
ditinggalkan Tengku Nurlif. Sementara itu, 8 anggota BPK yang lain, yang
juga dipilih dengan proses yang sama memiliki masa jabatan 5 tahun;
Dalam beberapa Undang-Undang tentang lembaga atau komisi negara
memang dikenal cara atau mekanisme untuk mengisi kekosongan sisa
masa jabatan yang ditinggalkan oleh anggota lembaga negara atau
komisioner komisi negara yang dikenal dengan mekanisme penggantian
antarwaktu, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, secara eksplisit mengatur masalah
penggantian antarwaktu, sama dengan banyak lembaga negara atau
komisi negara yang lain, pada umumnya penggantian antarwaktu terjadi
karena salah seorang atau beberapa orang anggota lembaga negara atau
komisi negara tersebut berhenti dan tidak dapat melanjutkan sisa masa
jabatan;
Penyebab utamanya mereka meninggal dunia, mengundurkan diri, dan
diberhentikan karena adanya kemungkinan tidak dapat melanjutkan sisa
masa jabatan, biasanya Undang-Undang menyediakan bagaimana cara
melakukan penggantian antarwaktu untuk mengisi kekosongan masa
jabatan tersebut, misalnya dalam Pasal 217 Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 dinyatakan ayat (1), “Anggota DPR yang berhenti antarwaktu
sebagaimana dimaksud pada Pasal 214 ayat (1), Pasal 215 ayat (1)
digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak
urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik
yang sama pada daerah pemilihan yang sama”. Lalu, ayat (2)-nya
menyatakan, “Kalau yang peringkat berikutnya tidak memenuhi syarat,
maka akan ditunjuk peringkat berikutnya.” Dalam ayat (3)-nya, ”Masa
jabatan anggota DPR, penggantian antarwaktu melanjutkan sisa masa
jabatan anggota DPR yang digantikannya.”;
Ketentuan yang sama dapat juga ditemui di dalam Pasal 286 Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang mengatur soal bagaimana
penggantian antarwaktu dan masa sisa, masa jabatan anggota DPD karena
penggantian antarwaktu. Selain anggota lembaga negara seperti DPR dan
DPD tersebut, Undang-Undang juga mengatur mekanisme pemberhentian
dan penggantian antarwaktu kekosongan anggota komisi negara, misalnya
komisioner KPU. Terkait dengan hal ini Pasal 27 ayat (5) Undang-Undang
33
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu menyatakan,
“Penggantian antar KPU, anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota
yang berhenti sebagaimana dimaksud pada saat itu dilakukan pada
ketentuan. a. Anggota KPU yang digantikan oleh anggota KPU yang urutan
peringkat berikutnya dari hasil pemilihan yang dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat. Kalau provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan hasil
yang dilakukan oleh KPU pusat ataupun KPU di tingkat provinsi.
Berdasarkan mekanisme penggantian antarwaktu anggota DPR, DPD, KPU
tersebut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 menyediakan proses penggantian secara tegas.
Pertama, penggantinya guna mengisi jabatan yang kosong yang
ditinggalkan itu berasal dari calon nomor urut berikutnya pada proses
pemilihan sebelumnya. Dalam hal ini, bagi anggota DPR dan DPD
pengganti pasal dari calon yang lain, suara terbanyak berikutnya pada
partai politik peraih kursi di daerah pemilihan yang sama atau calon peraih
suara terbanyak berikutnya pada provinsi yang sama bagi anggota DPD.
Begitu pula dengan hubungan komisioner KPU, pengganti berasal dari
calon peringkat berikutnya sesuai dengan hasil fit and proper test di DPR.
Kedua, dalam hal calon yang berada pada peringkat berikutnya tidak lagi
memenuhi syarat atau berhalangan tetap, maka pengganti antarwaktu
adalah peringkat berikutnya lagi. Ketiga, pengganti antarwaktu tidak lagi
mengikuti proses pemilihan atau seleksi sejak dari tahap awal, namun
hanya didasarkan kepada proses yang dilakukan sebelumnya;
Sebagai sebuah lembaga negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
juga memperkenalkan proses untuk kemungkinan dilakukan penggantian
antar waktu anggota BPK. Dalam hal ini Pasal 22 ayat (1) menyatakan,
sebagaimana disebut pada awal ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tersebut terkait dengan
keterpenuhan syarat anggota pengganti tidak merupakan soal yang perlu
diperdebatkan, bagaimana pun sangat masuk akal apabila pengganti yang
mengisi posisi atau jabatan lowong yang ditinggalkan, tetap harus
memenuhi syarat sebagaimana anggota BPK yang lain. Namun, apabila
dibandingkan dengan proses penggantian antarwaktu anggota DPR, DPD,
KPU Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, menganut tata cara dan
34
proses penggantian antarwaktu yang berbeda. Kalau pada penggantian
antar waktu, anggota DPR, DPD, dan anggota KPU pengganti diambil
berdasarkan hasil proses yang dijalani sebelumnya, namun penggantian
antarwaktu bagi anggota BPK, dilakukan dengan proses yang berbeda,
yaitu mulai dari tahap awal, layaknya calon untuk mengisi posisi anggota
BPK baru atau bukan pengganti antar waktu. Dalam hal ini calon BPK
pengganti antar waktu dipilih dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Setelah itu calon anggota BPK pengganti antar waktu diumumkan oleh DPR
kepada publik untuk memperoleh masukan masyarakat, berikutnya DPR
memulai proses pemilihan anggota BPK pengganti antarwaktu terhitung
sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK. Dengan pola
pengisian pengganti antarwaktu yang dilakukan sama seperti proses
anggota BPK baru, penggantian antar waktu BPK dapat dinilai sama
dengan proses penggantian antar waktu pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi dan Hakim Konstitusi;
Terkait dengan hal tersebut, Pasal 32 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang KPK menyatakan dalam hal terjadi kekosongan pimpinan
KPK, Presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR,
prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang
bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 29 dan Pasal 30. Karena ketentuan dalam Pasal 29
dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut calon
pengganti memulai proses yang sama dengan calon baru. Dalam batas-
batas tertentu potensi kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon
sama dengan persoalan posisi pimpinan KPK Muhammad Busyro
Muqoddas yang juga menggantikan kekosongan jabatan yang ditinggalkan
Antasari Azhar. Ketika kasus masa jabatan Busyro dinilai melalui judicial
review, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa posisi Busyro hanya
melanjutkan sisa masa jabatan lowong yang ditinggalkan Antasari adalah
inkonstitusional;
Berdasarkan Putusan Nomor 5/PUU-XI/2011, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa proses pemilihan dan seleksi pimpinan KPK pengganti
yang demikian, sesuai dengan Pasal 29 dan Pasal 30 apabila dilihat dari
asas keadilan dalam melaksanakan pemerintahan, yaitu keadilan bagi
35
masyarakat maka pengangkatan anggota penggantian antar pengganti
yang menduduki masa jabatan adalah sesuatu yang dirasakan tidak adil
oleh masyarakat. Karena pertimbangan itu pula lebih jauh Mahkamah
Konstitusi menambahkan jika anggota pimpinan KPK pengganti hanya
menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya,
hal itu melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan daripada
hukum. Jika hanya dimaksudkan untuk mengisi dan/atau menghabiskan
sisa masa waktu yang ada, Mahkamah Konstitusi selanjutnya menyatakan
sekiranya dimaknai bahwa pimpinan pengganti adalah hanya menggantikan
dan menyelesaikan masa jabatan dari sisa pimpinan yang digantikan, maka
mekanisme penggantian nanti antar waktu tersebut tidak harus melalui
proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar. Seperti
dalam seleksi lima pimpinan yang diangkat secara bersamaan, pimpinan
pengganti dalam hal ada pimpinan yang berhenti pada masa jabatannya
cukup diambil dari calon pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya
yang diambil urutan tertinggi berikutnya. Tidak hanya dalam kasus KPK,
dalam hal ini Busyro Muqoddas, masalah yang sama juga pernah terjadi
dengan Hakim Konstitusi dalam soal ini Pasal 25, Pasal 26 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 menyatakan Hakim Konstitusi yang
menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa
jabatan Hakim Konstitusi yang digantikannya. Dengan menggunakan
argumentasi yang nyaris sebangun dengan kasus KPK, dalam Putusan
Nomor 49/PUU-XI/2009, Mahkamah Konstitusi menyatakan norma Pasal 26
ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 menimbulkan ketidakadilan
bagi seseorang terpilih sebagai Hakim Konstitusi karena hanya melanjutkan
sisa masa jabatan Hakim Konstitusi yang digantikan;
Apabila pasal tersebut diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 22
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang secara tegas menyatakan
masa jabatan Hakim Konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali
hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Merujuk pada fakta empiris
tersebut, fakta yuridis tersebut sangat jelas bahwa frasa penggantian
antarwaktu anggota BPK sebagaimana termaktub dalam Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 kehilangan makna yuridis untuk
terus dipertahankan. Karenanya Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor
36
15 Tahun 2006 yang menyatakan anggota pengganti hanya melanjutkan
sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikan kehilangan basis
konstitusionalnya untuk terus dipertahankan alias inkonstitusional. Paling
tidak ada tiga alasan mendasar untuk sampai pada kesimpulan tersebut,
pertama Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 mengandung contradicsio
interminis pada salah satu sisi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006 menyatakan masa jabatan anggota BPK adalah 5 tahun.
Namun di sisi lain dengan anggota pengganti yang dipersyaratkan untuk
memulai proses seleksi sebagaimana yang dilakukan untuk calon bukan
pengganti, anggota pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan yang
digantikannya. Kedua, mempertahankan cara pandang dalam Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2006 jelas akan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan akan menimbulkan ketidakadilan bagi anggota yang terpilih
melalui jalur pengganti. Tidak hanya bagi anggota bersangkutan
ketidakpastian juga akan merembes pada lembaga negara atau komisi
negara terkait. Ketiga, Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan
terkait dengan proses penggantian antarwaktu yang dilakukan sama dan
sebangun dengan anggota yang bukan pengganti antarwaktu hanya posisi
melanjutkan masa jabatan tersisa adalah pengaturan yang inkonstitusional;
Selain tentang fakta yuridis tersebut, dalam teori ketatanegaraan lembaga
seperti BPK adalah lembaga yang terpisah dari eksekutif dan legislatif,
apabila proses pengisian pimpinan eksekutif tertinggi dan anggota legislatif
terikat dengan jadwal proses pengisian yang bersifat tetap, maka lembaga
seperti BPK dapat saja di desain dengan proses pengisian yang berbeda.
Seperti halnya dengan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang
independen sangat mungkin melakukan proses pengisian anggota BPK
secara berjenjang dan tidak serentak atau satu paket. Sebagaimana pernah
pula ahli kemukakan dalam keterangan ahli pada kasus Busyro Muqoddas.
Pada periode pertama anggota diangkat serentak, namun kemudian bisa di
desain sebagiannya menyelesaikan jabatan lebih awal. Di banyak negara,
pengisian lembaga-lembaga independen diusahakan tidak serentak
bergantinya dan tidak serentak pula diisi kembali demi alasan
kesinambungan. Dengan pola seperti ini, akan ada selalu kesinambungan
karena ketika ada sebagian anggota baru yang masuk, sebagian anggota
37
yang lama masih bertahan atau masih ada. Dalam konteks ini, penggantian
antarwaktu yang terjadi di BPK bisa menjadi pintu masuk untuk
menggunakan pola pergantian secara tidak serentak yang dimulai secara
alamiah;
Dalam praktik ketatanegaraan kita, pola pergantian tidak serentak ini dapat
dikatakan melanjutkan pengalaman yang sudah terbangun di Mahkamah
Konstitusi. Sejauh yang kita ketahui, proses pengisian berjenjang sudah
melembaga di Mahkamah Konstitusi dan sejak perjalanan Hakim Konstitusi
generasi kedua karena pengalaman itu, sampai saat ini hakim konstitusi
tidak lagi diisi secara serentak, begitu pula dengan KPK. Pengalaman
pengisian Busyro Muqoddas akan menjadi titik awal memulai pola
pergantian berjenjang atau tidak serentak. Karena pengalaman tersebut,
kasus yang terjadi pada Pemohon dapat pula dijadikan titik awal adanya
pengisian anggota BPK yang tidak serentak. Caranya, Mahkamah
Konstitusi memutus bahwa Pemohon bukan melanjutkan sisa masa jabatan,
tetapi menjalankan 5 tahun masa jabatan sebagai anggota BPK
sebagaimana anggota BPK yang lain;
Bukankah jalan ke arah ini telah dibangun oleh MahkamahKonstitusi ketika
merumuskan masa jabatan Busyro Muqoddas dan ketika memutus masa
jabatan Hakim Konstitusi karena pergantian dalam masa jabatan atau batas
usia maksimal yang terlewati.
3. Dwi Andayani Terkait dengan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Badan
Pemeriksa Keuangan yang sedang dimohonkan pengujiannya ini, maka Ahli
langsung menyoroti dari kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan yang
mandiri atau bebas dalam struktur organisasi negara Indonesia;
Dalam Pasal 6 Undang-Undang BPK, dinyatakan bahwa BPK mempunyai
tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah. Pemerintah
pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, Badan
Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Umum Milik Daerah, dan
lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang hasilnya
kemudian diserahkan kepada DPR. Untuk menjaga objektivitas
pemeriksaannya tersebut, BPK diberi garansi independensinya dari pengaruh
kekuasaan manapun. Objektivitas pemeriksaan ini merupakan bagian penting
38
dalam rangka optimalisasi pemeriksaan keuangan negara, mengingat BPK
sebagai lembaga yang mandiri tadi atau menurut teori digolongkan sebagai
staat organen. Kalau di Indonesia itu lembaga tinggi negara yang bebas dari
pengaruh lembaga negara manapun, maka ahli berpendapat atau mengutip
pendapat dari sarjana Arthur Maass dalam bukunya Area and Power: A
Theory of Local Government yang menyatakan adanya dua macam
pembagian kekuasaan dalam negara, yaitu secara vertikal dan secara
horizontal. Pembagian kekuasaan negara secara horizontal itu menghasilkan
lembaga-lembaga negara yang dinamakan capital division of power atau
CDP, yaitu staat organen dalam ranah hukum administrasi negara.
Sedangkan pembagian kekuasaan negara secara vertikal menghasilkan
lembaga-lembaga pemerintahan yang disebut areal division of power atau
ADP, biasa disebut regering organen;
Dalam capital division of power, setiap lembaga negara mempunyai
kedudukan hukum yang sederajat, tidak saling membawahkan satu sama
yang lain. Dalam jabatan CDP ini, yaitu termasuk dalam BPK dalam hal ini di
Indonesia, dapat diisi oleh pejabat nonkarir, dapat digolongkan jabatan publik
yang lazimnya pengisian jabatannya dilakukan secara pemilihan elected
bukan adopted. Jadi, ahli berpendapat bahwa Badan Pemeriksa Keuangan
sebagai lembaga yang mandiri, kapasitas dari anggotanya adalah sebagai
pejabat pembuat kebijakan, maka pengisian jabatan untuk para anggotanya
adalah harus bersifat elected official, yaitu dengan cara dipilih dan bukannya
diangkat baik untuk pengisian jabatan dari awal sepenuhnya 5 tahun maupun
jabatan sebagai PAW. Jadi tidak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang BPK yang sedang dimintakan pengujiannya kepada
Mahkamah Konstitusi sekarang ini, yaitu dilakukan dengan cara
pengangkatan, dalam frasa pengangkatan;
Jadi bahwa menurut ahli apabila Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK
dilihat dari teori ilmu hukum, maka ahli berpandangan bahwa ada tiga hal
yang menjadikan kaidah hukum itu dapat dinyatakan berlaku, yaitu:
1. berlakunya kaidah hukum itu secara yuridis.
2. secara sosiologis.
3. berlakunya kaidah hukum itu secara filosofis.
39
Dalam kaitan hal berlakunya kaidah hukum itu, yaitu dilihat secara
sosiologis yang intinya adalah efektivitas kaidah hukum di dalam kehidupan
masyarakat. Dalam hal ini dikenal 2 teori, yaitu pertama teori kekuasaan
yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaidah hukum itu dipaksakan
berlakunya oleh penguasa, diterima atau tidak oleh warga masyarakat.
Namun dalam hal ini, pemilik kekuasaan atau pemerintah jangan hanya
memikirkan kepemilikan akan kewenangannya saja, hendaknya memikirkan
pula keabsahan dari kewenangan yang dimilikinya itu. Artinya, keadilan dan
kepastian hukum yang adil bagi masyarakat pencari keadilan. Kedua, teori
pengakuan yang menyatakan bahwa berlakunya kaidah hukum itu
didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat, kaidah
hukum itu agar sah berlaku harus memenuhi syarat formal maupun syarat
materil pembuatannya, serta keabsahan pada waktu diberlakukan kepada
masyarakat, jadi memperoleh legitimasi;
Menurut ahli mengutip juga pendapat Prof. Sudikno bahwa pembentukan
Undang-Undang dilihat dari kacamata sosiologis, maka masyarakat
membutuhkan tatanan yang teratur dan ajeg dan membutuhkan stabilitas
karena stabilitas menjamin ketertiban tatanan dalam masyarakat dan
menjamin kepastian hukum. Dalam membentuk Undang-Undang,
pembentuk Undang-Undang harus memperhatikan hal tersebut. Sebaliknya,
tidak boleh dilupakan bahwa hukum merupakan perlindungan kepentingan
manusia. Adapun kepentingan manusia itu selalu berkembang, dinamis baik
jenis maupun jumlahnya;
Dengan demikian, hukum harus dinamis pula agar dapat mengikuti
perkembangan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia yang terus
berkembang itu selalu terlindungi. Dalam usahanya untuk melindungi
kepentingan manusia dan masyarakat dalam bentuk peraturan perundang-
undangan dalam memilih kepentingan mana yang harus didahulukan, serta
sanksi yang akan diterapkan dengan mencegah adanya konflik
kepentingan, dan akhirnya dalam merumuskan dalam bentuk peraturan
hukum atau Undang-Undang yang bersifat sederhana, jelas, dan seberapa
dapat berlaku untuk kurung waktu yang lama dan jangan sampai terjadi
konflik dengan Undang-Undang yang telah ada;
40
Dalam hal ini pemerintah harus meninjau ulang Undang-Undang BPK,
khususnya Pasal 22 ayat (1) yang sedang dilakukan judicial review karena
dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bahwa Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang BPK dapat dikatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pasal 23F yang menyatakan bahwa anggota Badan
Pemeriksa Keuangan dipilih, frasa dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
DPD dan diresmikan oleh Presiden. Jadi bahwa Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah mengatur memerintahkan
bahwa untuk menjadi anggota BPK itu harus melalui mekanisme pemilihan
dan bukan dengan cara pengangkatan (PAW) sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang BPK Pasal 22 ayat (1) tersebut;
Sebagai lembaga negara yang mandiri independen, maka pengisian jabatan
dilakukan secara pemilihan (election), bukan pengangkatan, sehingga Pasal
22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan
bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), 28D ayat (1),
28D ayat (3), 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Demikian juga kalau dilihat dari staat organen yang
ada lainnya dalam struktur organisasi negara Indonesia, yaitu cara
pengisian jabatannya juga dalam BPK itu harus diselaraskan pula dengan
cara pengisian jabatan pada lembaga negara atau staat organen lain-
lainnya.
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah
memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 21 Maret 2013 dan telah
menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di persidangan Mahakmah pada
tanggal 9 Juli 2013 pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Pada dasarnya Pemerintah dengan memperhatikan dua Putusan Mahkamah
Konstitusi yang terkait dengan perkara yang hampir mirip, yaitu Putusan
tentang Pengujian Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Putusan tentang Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi itu sendiri,
yang pada intinya bahwa putusan tersebut adalah dalam rangka untuk
memperoleh keadilan dan kesamaan kedudukan yang dilakukan oleh Pemohon
dalam hal untuk pengisian jabatan tertentu;
41
Pemerintah sepenuhnya menghargai dan menghormati Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, oleh karena itu pertanyaannya adalah apakah permohonan
kali ini memiliki kesamaan, memiliki kesepadanan dengan permohonan yang
disampaikan atau permohonan yang diperoleh putusan oleh Mahkamah
Konstitusi itu sendiri;
Pemerintah pada prinsipnya mendukung, menghormati Putusan Mahkamah
Konstitusi terdahulu pada intinya Pemerintah menyatakan bahwa sebetulnya
Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan adalah terkait dengan
masalah tatanan implementasi yang memang sepenuhnya menjadi
kewenangan pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini Presiden bersama
DPR untuk mengaturnya, apakah terhadap anggota BPK itu penggantian
antarwaktunya, apakah mengantikan sisa masa jabatan atau sesuai dengan
jabatan yang diembannya. Oleh karena itu, sekali lagi Pemerintah memberikan
apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Pemohon atas permohonan pengujian
ini. Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada
Mahkamah untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya dan putusan yang
tepat apakah yang dimohonkan oleh Pemohon sama dengan permohonan-
permohonan yang terdahulu.
[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan
Rakyat memberikan keterangan dalam persidangan pada tanggal 21 Maret 2013,
dan telah menyerahkan keterangang tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 3 April 2013, pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut:
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) PemohonTerhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan
a quo, DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan
mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam
ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan
bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
42
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal
51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang dimaksuddengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang
secara eksplisit diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja
yang termasuk “hak konstitusional”.
Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau
suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum
(legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus
menjelaskan dan membuktikan:
a. kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam
“Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang.
Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah
memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul
karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide
Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai
berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap
oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
43
c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam
perkara pengujian Undang-Undang a quo, maka Pemohon tidak memiliki
kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon.
Mengenai kedudukan hukum Pemohon, DPR berpandangan bahwa
Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohon
sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya
dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR menyerahkan
sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia untuk
mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007
2. Pengujian atas UU BPKTerhadap permohonan pengujian Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) UU BPK,
DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
a. Bahwa perubahan Ketiga UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Bab VIII A
mulai dari Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G merupakan salah satu
reformasi atas ketentuan Pasal 23 ayat (5) tentang Badan Pemeriksa
Keuangan, telah memperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK yaitu
sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri. Kedudukan BPK
sebagai lembaga negara pemeriksa keuangan negara perlu dimantapkan
disertai dengan memperkuat peran dan kinerjanya. Kemandirian dan
44
kebebasan dari ketergantungan kepada Pemerintah dalam hal
kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK
agar dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Bahwa guna menjamin peningkatan peran dan kinerja Badan Pemeriksa
Keuangan sebagai lembaga yang bebas dan mandiri serta memiliki
profesionalisme, selain pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden,
juga didukung oleh kemandirian pemeriksaan dan pelaporan.
Sejalan dengan perubahan penyelenggaraan pemerintahan negara di pusat
dan daerah, maka terjadi peningkatan pengelolaan dan tanggung jawab
tentang keuangan Negara. Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu
lembaga negara pemeriksa keuangan negara memiliki perwakilan di setiap
provinsi. Dengan meningkatnya ruang lingkup pekerjaan, maka jumlah
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan ditetapkan menjadi 9 (sembilan)
orang.
c. Terkait dalil Pemohon bahwa Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa“pengangkatan penggantian antarwaktu” UU BPK bertentangandengan Pasal 23F UUD 1945DPR menjelaskan bahwa dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang a quo
harus dibaca secara keseluruhan yakni: “Apabila Anggota BPK
diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau Pasal 19
diadakan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota BPK sesuai
dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dan Pasal 14 dan diresmikan dengan Keputusan Presiden” sehingga
dengan demikian proses pengangkatan pengganti antarwaktu dilaksanakan
sesuai dengan tata cara pemilihan seperti disebutkan dalam Pasal 13 dan
Pasal 14 Undang-Undang a quo dan tidak bertentangan dengan Pasal 23F
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
d. Terkait dalil Pemohon bahwa Pasal 22 ayat (4) UU BPK BertentanganDengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 DPR menjleaskan sebagai berikut:
45
1) Bahwa menurut Pemohon Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang a quo
tidak memiliki kepastian hukum dan mengandung ambiguitas yang
akhirnya berakibat memberi ketidakpastian masa jabatan Anggota BPK.
Norma Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang a quo mengandung unsur
diskriminatif perlakuan kesempatan yang sama dalam masa jabatan
Anggota BPK yang diangkat secara bersamaan dengan Anggota BPK
yang diangkat sebagai Anggota pengganti BPK.
2) Bahwa menurut Pemohon norma Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang
a quo menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai
Anggota BPK, karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota
BPK yang digantikannya dan apabila diterapkan akan bertentangan
dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang a quo yang menyatakan:
“Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”.
3) Bahwa terhadap pendapat Pemohon tersebut DPR berpendapat yang
dimaksud dengan konsep “penggantian antarwaktu” dalam Pasal 22
ayat (1) Undang-Undang a quo adalah penggantian yang didasarkan
adanya pemberhentian dengan hormat ataupun dengan tidak hormat
terhadap Anggota BPK sehingga masa jabatan Anggota BPK yang
terpilih untuk menggantikan sifatnya hanya untuk mengisi kevakuman
jabatan Anggota BPK yang berhenti tersebut. Penggantian antarwaktu
ini diperlukan karena hubungan kerja antara 9 (sembilan) orang
Anggota BPK bersifat kolegial (kemitraan) dan keputusan yang diambil
harus secara bersama-sama (kolektif), sehingga pemilihan Anggota
antarwaktu ini dapat memberi kepastian hukum sampai dengan masa
jabatan Anggota BPK yang baru.
4) Bahwa DPR telah mengeluarkan Keputusan Nomor 17/DPR RI/ I/2011-
2012 tanggal 11 Oktober 2011 yang memberikan persetujuan terhadap
Bahrullah Akbar sebagai Calon Pengganti Antar Waktu Anggota BPK RI
menggantikan Drs. T. Muhammad Nurlif yang telah diberhentikan
dengan hormat sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Presiden
Nomor 19/P Tahun 2011, tanggal 6 April 2011. Keputusan DPR tersebut
menindaklanjuti surat Ketua BPK Nomor 42/S/I/04/2011 tanggal 19 April
2011 perihal Penggantian Antar Waktu Anggota BPK, dan Keputusan
46
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nomor 57/DPD RI/IV/2010-2011
tanggal 15 Agustus 2011 tentang Pertimbangan DPD Dalam Pemilihan
Calon Anggota BPK.
5) Bahwa dalam proses pengangkatan penggantian antarwaktu, DPR telah
melaksanakan proses pemilihan sesuai dengan tata cara pemilihan
Anggota BPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 dan Pasal 14
Undang-Undang a quo yang kemudian diresmikan dengan Keputusan
Presiden Nomor 62/P Tahun 2011, yang menetapkan Drs. Bahrullah
Akbar, Bsc, SE, MBA sebagai Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan.
Bahwa Pemohon telah memperoleh kesempatan dan menjalani proses
yang sama serta sesuai dengan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14
Undang-Undang a quo dan telah terwujud adanya kepastian hukum
(rechtszekerheid) terhadap masa jabatan Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan.
6) Bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang a quo dalam
implementasinya tidak menimbulkan keraguan, kerancuan, kerugian
maupun dalam posisi yang tidak dapat dilaksanakan terhadap proses
dan hasil audit BPK, serta tidak mengandung unsur diskriminatif
sebagaimana tercermin dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang telah memberikan definisi
mengenai diskriminasi sebagai berikut:
“”Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status
sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi. hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya””.
7) Bahwa mengenai masa jabatan pengganti dapat dilihat juga pada
ketentuan Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang menyatakan: ” Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu
47
melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya.”
Bahwa masa jabatan Anggota pengganti BPK yang hanya melanjutkan
sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikan, tidaklah bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal
28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 karena mengisi kevakuman jabatan Anggota BPK yang kosong
sehingga memberikan kepastian hukum.
Demikian keterangan DPR diampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi
Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus,
dan mengadili perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;
2. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian
antarwaktu” dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2)
Undang-UNDANG Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian
antarwaktu” dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
[2.5] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Maret 2013 yang pada
pokoknya tetap pada pendiriannya;
[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa isu hukum utama permohonan Pemohon adalah
mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 22 ayat (1) yang menyatakan,
“Apabila Anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau
Pasal 19 diadakan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota BPK sesuai
48
dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan
Pasal 14 dan diresmikan dengan Keputusan Presiden” sepanjang frasa
“pengangkatan penggantian antarwaktu” dan Pasal 22 ayat (4) yang menyatakan,
“Anggota BPK pengganti melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang
digantikannya“ Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4654,
selanjutnya disebut UU BPK) terhadap Pasal 23F ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal
28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang
menyatakan:
Pasal 23F ayat (1):
“Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh
Presiden”
Pasal 27 ayat (1):
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3):
“(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
“(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan”
Pasal 28I ayat (2):
“Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”.
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;
49
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076),
salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
UUD 1945;
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon mengenai
pengujian materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka Mahkamah
berwenang mengadili permohonan a quo;
Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap
UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
50
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal
20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara
Indonesia yang saat ini berstatus sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) Pengganti berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 62/P Tahun 2011
tanggal 29 Oktober 2011;
Bahwa Pemohon beranggapan telah dirugikan hak konstitusionalnya
untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan dengan berlakunya Pasal 22 ayat (1)
51
sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dan Pasal 22 ayat (4)
UU BPK. Menurut Pemohon, kedua pasal a quo telah merugikan hak-hak
konstitusional Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 23F ayat (1),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,
karena memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, menimbulkan multi tafsir,
menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di
hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif. Dengan berlakunya dua pasal a quo,
Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memangku jabatan
Anggota BPK dirugikan hak konstitusionalnya untuk menduduki masa jabatan
Anggota BPK selama 5 (lima) tahun karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan
Anggota BPK yang digantikannya sampai dengan tahun 2014 yaitu dua setengah
tahun;
Menurut Pemohon norma yang terkandung dalam Pasal 22 ayat (1) UU
BPK sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” yang kemudian
menentukan masa jabatan anggota BPK pengganti hanya melanjutkan sisa masa
jabatan anggota BPK yang digantikannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (4) UU BPK, telah mereduksi ketentuan masa jabatan Anggota BPK yang
menduduki masa jabatan 5 tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU
BPK yang menyatakan bahwa masa jabatan Anggota BPK selama 5 (lima) tahun dan
dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Berlakunya
norma Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu”
dan ayat (4) UU BPK, telah menimbulkan pembedaan masa jabatan pada anggota
BPK. Dengan adanya ketentuan tersebut, sekarang ini terdapat 8 (delapan) orang
anggota BPK menjabat selama 5 (lima) tahun, dan 1 (satu) orang Anggota BPK
menjabat kurang dari 5 (lima) tahun yakni Pemohon. Oleh karena itu, menurut
Pemohon kedua pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon.
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil Pemohon tersebut, menurut
Mahkamah, Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)
sehingga Pemohon dapat mengajukan permohonan a quo;
[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
52
untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;
Pokok Permohonan
[3.10] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya memohon pengujian
konstitusionalitas Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “pengangkatan penggantian
antarwaktu” dan Pasal 22 ayat (4) UU BPK terhadap UUD 1945, dengan alasan-
alasan, pada pokoknya sebagai berikut:
Pemohon adalah Anggota BPK pengganti antarwaktu yang menurut ketentuan
Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (4) UU BPK memiliki masa jabatan kurang
dari 3 (tiga) tahun, sedangkan masa jabatan Anggota BPK lainnya yang dipilih
berdasarkan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK menjabat selama 5
(lima) tahun. Tidak ada perbedaan yang substansial antara tata cara
pengangkatan anggota BPK penggantian antarwaktu dan tata cara pemilihan
Anggota BPK yang bukan penggantian antarwaktu, keduanya sama-sama
mengacu pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK. Hal tersebut telah
menyebabkan Pemohon mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam masa
jabatan sebagai Anggota BPK. Perlakuan yang berbeda tersebut bila dikaitkan
dengan prinsip-prinsip yang ada dalam suatu negara hukum yang demokratis
nyata-nyata jelas bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil,
prinsip persamaan dan keadilan, prinsip kemanfaatan hukum, serta prinsip
kepentingan umum;
Menurut Pemohon, norma Pasal 22 ayat (4) UU BPK menimbulkan
ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai Anggota BPK yang
menggantikan Anggota BPK yang berhenti sebelum berakhir masa jabatannya,
karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikannya.
Apabila Pasal 22 ayat (4) tersebut diterapkan akan bertentangan dengan
ketentuan yang lain dalam UU BPK yaitu Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang secara
tegas dan jelas menyatakan bahwa masa jabatan Anggota BPK selama 5 (lima)
tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya. Padahal menurut Pemohon, pengisian jabatan Anggota BPK, baik
melalui tata cara “pengangkatan penggantian antarwaktu” yang mengacu pada
Pasal 22 ayat (1) UU BPK maupun dengan tata cara “pemilihan” yang mengacu
pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU BPK tidak mempunyai perbedaan substansial.
53
Dengan demikian, selain telah terjadinya pertentangan internal (contradictio in
terminis) norma yang mengatur pemangkuan masa jabatan anggota BPK, juga
bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan
ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
Selain itu, menurut Pemohon rumusan Pasal 22 ayat (1) UU BPK yang
menggunakan frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” yang menjadi
dasar pengangkatan Pemohon sebagai anggota BPK pengganti mengandung
kelemahan sistem kaidah, yaitu norma Pasal 22 ayat (1) mengandung
pertentangan dengan norma Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU BPK sebagai
norma yang bersifat imperatif (keharusan) dalam menentukan komposisi
keanggotaan dan masa jabatan Anggota BPK. Penggunaan frasa
“pengangkatan penggantian antarwaktu” bertentangan dengan ketentuan Pasal
14 ayat (1) UU BPK yang menentukan: “Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD”. Penggunaan frasa “pengangkatan” dalam
Pasal 22 ayat (1) UU BPK bertentangan dengan tata cara pengisian jabatan
anggota BPK yakni dengan cara dipilih sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat
(1) UU BPK, juncto Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, frasa
“pengangkatan” dalam pasal a quo harus dibatalkan dan dikembalikan ke frasa
“pemilihan” sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1) UU BPK
juncto Pasal 23F ayat (1) UUD 1945;
BPK sebagai lembaga negara independen yang dibentuk oleh UUD 1945 diberi
tugas dan wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
tentang keuangan negara. Untuk melakukan tugas dan wewenang tersebut,
BPK dituntut bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan.
Hal yang sama dinyatakan kembali dalam UU BPK yang menegaskan bahwa
BPK memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga
Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD, dan
lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara [vide Pasal 6 ayat
(1) UU BPK]. Hasil pemeriksaan BPK tersebut berdasarkan ketentuan Pasal
23E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD
sesuai dengan kewenangannya dan ditindaklanjuti sesuai kewenangannya.
Dengan adanya anggota BPK yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan
Anggota BPK yang digantikannya tidak akan menjamin kesinambungan kinerja
54
BPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya menurut UUD 1945 serta
menimbulkan ketidakadilan bagi anggota BPK yang menggantikannya. Selain
itu, jabatan anggota BPK berbeda dengan beberapa jabatan negara yang
lainnya karena adanya faktor konsistensi dan kesinambungan, terkait baik
dengan proses maupun hasil audit yang dihasilkan. Jika dihubungkan dengan
penilaian konsistensi dari audit yang dihasilkan, maka masa jabatan 5 (lima)
tahun sebagai anggota BPK pun, sebenarnya masih dianggap kurang. Dengan
adanya anggota BPK yang melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang
digantikannya, maka masa jabatan anggota BPK menjadi kurang dari 5 (lima)
tahun. Oleh sebab itu, akan lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila masa jabatan
Anggota BPK yang menggantikan tetap 5 (lima) tahun.
Apabila permohonan Pemohon dikabulkan, maka Pemohon tidak akan menjabat
selama kurang dari 3 (tiga) tahun, melainkan menjabat sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 ayat (1) UU BPK yakni selama 5 (lima) tahun, terhitung sejak diresmikannya
Pemohon sebagai anggota BPK tanggal 29 Oktober 2011 sampai dengan tahun
2016 dengan berpedoman pada yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Nomor 110-
111-112-113/PUU-VII/2009 tertanggal 7 Agustus 2009 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 tertanggal 20 Juni 2011 yang memberlakukan
putusannya secara surut (retroaktif).
[3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah
mengajukan alat bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-8 serta saksi Achsanul Qosasi dan ahli yaitu Yusril IhzaMahendra, Saldi Isra, Dwi Andayani yang telah didengar keterangannya di
bawah sumpah dalam persidangan tanggal 21 Maret 2013, yang menerangkan
sebagai berikut:
Saksi Achsanul Qosasi Saksi yang melaksanakan langsung proses pemilihan atau pengangkatan
anggota BPK Bahrullah menggantikan Nurlif;
Pada saat itu dari 17 calon anggota terpilihlah Bahrullah Akbar. Saksi masih
beranggapan bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang a quo
masih tidak bertentangan dengan Undang-Undang;
55
Saksi menjalankan hal tersebut sesuai dengan amanat yang diberikan kepada
Komisi XI dan pada waktu ada diskusi mengenai masa jabatan anggota BPK
adalah 5 tahun, sehingga saksi beranggapan hal tersebut adalah bukan domain
Komisi XI. Sampai saat ini, saksi berkeyakinan di Komisi XI bahwa Undang-
Undang BPK tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Ahli Yusril Ihza Mahendra Pasal 4 ayat (1) UU BPK menegaskan lebih lanjut ketentuan Pasal 23F ayat (1)
UUD 1945 yang mengharuskan semua pemangku jabatan anggota BPK dipilih
oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh
Presiden. Ada pun masa jabatan anggota BPK sebagaimana diatur dalam Pasal
5 ayat (1) UU BPK adalah 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk
satu kali masa jabatan;
Norma-norma tersebut menurut pendapat ahli sudah sangat jelas bersifat
imperatif dan tidak dapat ditafsirkan lain, akan tetapi yang menjadi persoalan
adalah adanya norma dalam UU BPK yang menentukan cara pengisian jabatan
anggota BPK dengan cara lain yakni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (1) dengan menggunakan frasa pengangkatan pergantian antarwaktu.
Penggunaan frasa demikian menjadi tidak tepat karena memiliki ketidakjelasan
rumusan yang pada akhirnya berimplikasi kepada ketidakjelasan tujuan dan
adanya ketidakpastian hukum, sehingga norma tersebut bila dikaitkan dengan
norma yang mengatur tentang mekanisme pengisian jabatan anggota BPK
dalam UU BPK itu sendiri mengalami adanya konflik atau pertentangan norma
sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU BPK;
Penggunaan frasa pengangkatan penggantian antar waktu juga bertentangan
dengan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Menurut pendapat ahli sebenarnya
ketentuan a quo dimaksudkan untuk mengisi dalam hal terjadinya kekosongan
atau kekurangan dari komposisi keanggotaan BPK yang berjumlah 9 orang.
Oleh karena itu menurut pendapat ahli, norma tersebut memang harus ada,
tetapi dengan tidak mencantumkan frasa pengangkatan penggantian antarwaktu
dan norma Pasal 22 ayat (1) UU BPK seharusnya berbunyi, “Apabila anggota
BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19
diadakan pergantian anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan dengan
56
keputusan presiden.” Tanpa adanya kata-kata istilah penggantian atau
pengangkatan antarwaktu;
Norma Pasal 22 ayat (1) UU BPK selanjutnya melahirkan norma turunan yakni
ayat (4) pada pasal a quo yang menentukan bahwa masa jabatan anggota BPK
pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang
digantikannya. Pembedaan masa jabatan anggota BPK senyata-nyatanya
menurut pendapat ahli bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28D
ayat (1) yang menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Padahal syarat dan tata cara pengisian jabatan
anggota BPK berlaku secara imperatif sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan
Pasal 14 Undang-Undang BPK, akan tetapi norma ayat (4) dalam pasal UU
BPK mengecualikan lain terhadap masa jabatan anggota BPK pengganti
dengan memegang masa jabatan di bawah 5 tahun karena mendasarkannya
pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU BPK;
Kalau konsep penggantian antarwaktu sebagaimana dipraktikan dalam
pengisian jabatan lowong pada lembaga negara yang dipilih secara langsung
oleh rakyat melalui pemilihan umum kemudian diadopsi dalam pengisian
jabatan kosong atau lowong pada keanggotaan BPK nampaknya tidak tepat.
Hal itu dikarenakan UUD 1945 telah menentukan dengan jelas bahwa pemilihan
umum dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dengan masa jabatan yang berakhir
serempak. Di sisi lain, pemangkuan jabatan keanggotaan BPK merupakan
jabatan profesional dan sangat berbeda dengan jabatan politik, seperti jabatan
lembaga DPR, DPD, dan Presiden;
Sebagai jabatan profesional, diperlukan adanya jaminan konsistensi dan
kesinambungan pelaksanaan tugas dan kewenangan BPK sebagai auditor
keuangan negara. Praktik pemilihan kesembilan Anggota BPK yang ada
sekarang ini, dengan mendasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006, tidak dilakukan secara serentak dan memegang masa jabatan
selama 5 tahun, kecuali Pemohon yang memegang masa jabatan kurang dari 5
tahun karena dipilih berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1), melalui
pengangkatan penggantian antarwaktu;
Dengan diberlakukannya norma Pasal 22 ayat (1), adanya frasa pengangkatan
penggantian antarwaktu, dan ayat (4) UU BPK, secara nyata selain
57
bertentangan dengan UUD Tahun 1945, juga melanggar asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Tetapi secara spesifik
dan aktual, telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang telah ditetapkan
sebagai Anggota BPK pengganti antarwaktu dengan masa jabatan kurang dari 5
tahun;
Menurut pendapat ahli, perlu juga Mahkamah Konstitusi menetapkan masa
jabatan Pemohon sebagai Anggota BPK selama 5 tahun, terhitung sejak tanggal
Pemohon dilantik sebagai Anggota BPK. Hal itu didasarkan pada yurisprudensi
tetap Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 5/PUU-IX/2011 yang telah
mengukuhkan masa jabatan Busyro Muqoddas sebagai Pimpinan KPK dengan
masa jabatan pimpinan KPK lainnya yakni selama 4 tahun, walaupun Busyro
Muqoddas dipilih oleh DPR tidak bersamaan dengan pimpinan KPK lainnya.
Ahli Saldi Isra Pemohon merupakan anggota yang terpilih karena salah seorang anggota BPK
sebelumnya berhalangan tetap, sehingga tidak dapat menghabiskan masa
jabatan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006,
karena alasan itu, Tengku Muhammad Nurlif telah pula diberhentikan dengan
hormat. Sebagaimana diuraikan lebih lanjut dalam permohonan, sebelum
terpilih di DPR sebagai Anggota BPK yang menggantikan TM. Nurlif, mengikuti
beberapa proses seleksi. Ketika proses sebelumnya terpilih menjadi anggota
pengganti, sesuai dengan ketentuan yang ada, Pemohon berhasil meraih
dukungan suara pada nomor urutan 8 dari 7 calon yang dibutuhkan. Namun,
sampai TM. Nurlif berhalangan tetap, Pemohon tidak serta-merta menggantikan
yang bersangkutan sebagai Anggota BPK karena adanya ketentuan Pasal 22
ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 yang mengharuskan adanya
pemenuhan syarat-syarat yang diperlukan, dan proses pun diulang dari tahap
awal sebagaimana yang diikuti Pemohon dalam proses sebelumnya. Karena
adanya ketentuan itu, guna mengisi kekosongan kursi Anggota BPK yang
ditinggalkan oleh TM. Nurlif, Pemohon harus bersaing dari awal dengan 16
calon yang lainnya karena proses keterpilihan Pemohon persis sama dengan 8
anggota yang lain, ketentuan Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa pengangkatan
penggantian antarwaktu dan Pasal 22 ayat (4) Undang- Undang Nomor 15
Tahun 2006 dirasakan amat merugikan hak konstitusional Pemohon yang hanya
melanjutkan sisa masa jabatan, yaitu sekitar 2,5 tahun dari yang ditinggalkan
58
Tengku Nurlif. Sementara itu, 8 anggota BPK yang lain, yang juga dipilih dengan
proses yang sama memiliki masa jabatan 5 tahun;
Dalam beberapa Undang-Undang tentang lembaga atau komisi negara memang
dikenal cara atau mekanisme untuk mengisi kekosongan sisa masa jabatan
yang ditinggalkan oleh anggota lembaga negara atau komisioner komisi negara
yang dikenal dengan mekanisme penggantian antarwaktu, misalnya dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD,
secara eksplisit mengatur masalah penggantian antarwaktu, sama dengan
banyak lembaga negara atau komisi negara yang lain, pada umumnya
penggantian antarwaktu terjadi karena salah seorang atau beberapa orang
anggota lembaga negara atau komisi negara tersebut berhenti dan tidak dapat
melanjutkan sisa masa jabatan;
Sebagai sebuah lembaga negara Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 juga
memperkenalkan proses untuk kemungkinan dilakukan penggantian antar waktu
anggota BPK. Dalam hal ini Pasal 22 ayat (1) menyatakan, sebagaimana
disebut pada awal ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2006 tersebut terkait dengan keterpenuhan syarat
anggota pengganti tidak merupakan soal yang perlu diperdebatkan, bagaimana
pun sangat masuk akal apabila pengganti yang mengisi posisi atau jabatan
lowong yang ditinggalkan, tetap harus memenuhi syarat sebagaimana anggota
BPK yang lain. Namun, apabila dibandingkan dengan proses penggantian
antarwaktu anggota DPR, DPD, KPU Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006,
menganut tata cara dan proses penggantian antarwaktu yang berbeda. Kalau
pada penggantian antar waktu, anggota DPR, DPD, dan anggota KPU
pengganti diambil berdasarkan hasil proses yang dijalani sebelumnya, namun
penggantian antarwaktu bagi anggota BPK, dilakukan dengan proses yang
berbeda, yaitu mulai dari tahap awal, layaknya calon untuk mengisi posisi
anggota BPK baru atau bukan pengganti antarwaktu. Dalam hal ini calon BPK
pengganti antar waktu dipilih dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Setelah itu calon anggota BPK pengganti antarwaktu diumumkan oleh DPR
kepada publik untuk memperoleh masukkan masyarakat, berikutnya DPR
memulai proses pemilihan anggota BPK pengganti antarwaktu terhitung sejak
tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK. Dengan pola pengisian
pengganti antarwaktu yang dilakukan sama seperti proses anggota BPK baru,
59
penggantian antarwaktu BPK dapat dinilai sama dengan proses penggantian
antarwaktu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Hakim Konstitusi;
Terkait dengan hal ini Pasal 32 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
KPK menyatakan dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, presiden
mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR, prosedur pengajuan calon
pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30.
Karena ketentuan dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang- Undang Nomor 30
Tahun 2002 tersebut calon pengganti memulai proses yang sama dengan calon
baru. Dalam batas-batas tertentu potensi kerugian konstitusional yang
didalilkan Pemohon sama dengan persoalan posisi pimpinan KPK Muhammad
Busyro Muqoddas yang juga menggantikan kekosongan jabatan yang
ditinggalkan Antasari Azhar. Ketika kasus masa jabatan Busyro dinilai melalui
judicial review, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa posisi Busyro hanya
melanjutkan sisa masa jabatan lowong yang ditinggalkan Antasari Azhar adalah
inkonstitusional.
Berdasarkan Putusan Nomor 5/PUU-XI/2011, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa proses pemilihan dan seleksi pimpinan KPK pengganti yang
demikian, sesuai dengan Pasal 29 dan Pasal 30 apabila dilihat dari asas
keadilan dalam melaksanakan pemerintahan, yaitu keadilan bagi masyarakat
maka pengangkatan anggota pengganti antarwaktu yang menduduki masa
jabatan adalah sesuatu yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat. Karena
pertimbangan itu pula lebih jauh Mahkamah Konstitusi menambahkan jika
anggota pimpinan KPK pengganti hanya menduduki masa jabatan sisa dari
anggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip kemanfaatan
yang menjadi tujuan daripada hukum. Jika hanya dimaksudkan untuk mengisi
dan/atau menghabiskan sisa masa waktu yang ada, Mahkamah Konstitusi
selanjutnya menyatakan sekiranya dimaknai bahwa pimpinan pengganti adalah
hanya menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan dari sisa pimpinan yang
digantikan,maka mekanisme penggantian nanti antarwaktu tersebut tidak harus
melalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar.
Seperti dalam seleksi lima pimpinan yang diangkat secara bersamaan, pimpinan
pengganti dalam hal ada pimpinan yang berhenti pada masa jabatannya cukup
diambil dari calon pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang
60
diambil urutan tertinggi berikutnya. Tidak hanya dalam kasus KPK, dalam hal ini
Busyro Muqoddas, masalah yang sama juga pernah terjadi dengan Hakim
Konstitusi dalam soal ini Pasal 25, Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 menyatakan Hakim Konstitusi yang menggantikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa jabatan Hakim Konstitusi yang
digantikannya. Dengan menggunakan argumentasi yang nyaris sebangun
dengan kasus KPK, dalam Putusan Nomor 49/PUU-XI/2009, Mahkamah
Konstitusi menyatakan norma Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang terpilih sebagai Hakim
Konstitusi karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan Hakim Konstitusi yang
digantikan;
Apabila pasal tersebut diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 22 Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi yang secara tegas menyatakan masa jabatan
Hakim Konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali
masa jabatan berikutnya. Merujuk pada fakta empiris tersebut, fakta yuridis
tersebut sangat jelas bahwa frasa penggantian antarwaktu anggota BPK
sebagaimana termaktub dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006 kehilangan makna yuridis untuk terus dipertahankan. Karenanya
Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 yang menyatakan
anggota pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang
digantikan kehilangan basis konstitusionalnya untuk terus dipertahankan alias
inkonstitusional. Paling tidak ada tiga alasan mendasar untuk sampai pada
kesimpulan tersebut, pertama Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006
mengandung kontradiksio interminis pada salah satu sisi Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 menyatakan masa jabatan anggota
BPK adalah 5 tahun. Namun di sisi lain dengan anggota pengganti yang
dipersyaratkan untuk memulai proses seleksi sebagaimana yang dilakukan
untuk calon bukan pengganti, anggota pengganti hanya melanjutkan sisa masa
jabatan yang digantikannya. Kedua, mempertahankan cara pandang dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 jelas akan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan akan menimbulkan ketidakadilan bagi anggota yang terpilih melalui
jalur pengganti. Tidak hanya bagi anggota bersangkutan ketidakpastian juga
akan merembet pada lembaga negara atau komisi negara terkait. Ketiga,
Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan terkait dengan proses
61
penggantian antarwaktu yang dilakukan sama dan sebangun dengan anggota
yang bukan pengganti antarwaktu hanya posisi melanjutkan masa jabatan
tersisa adalah pengaturan yang inkonstitusional;
Selain tentang fakta yuridis tersebut, dalam teori ketatanegaraan lembaga
seperti BPK adalah lembaga yang terpisah dari eksekutif dan legislatif, apabila
proses pengisian pimpinan eksekutif tertinggi dan anggota legislatif terikat
dengan jadwal proses pengisian yang bersifat tetap, maka lembaga seperti BPK
dapat saja di desain dengan proses pengisian yang berbeda. Seperti halnya
dengan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang independen sangat
mungkin melakukan proses pengisian anggota BPK secara berjenjang dan tidak
serentak atau satu paket. Sebagaimana pernah pula ahli kemukakan dalam
keterangan ahli pada kasus Busyro Muqoddas. Pada periode pertama anggota
diangkat serentak, namun kemudian dapat di desain sebagiannya
menyelesaikan jabatan lebih awal. Di banyak negara, pengisian lembaga-
lembaga independen diusahakan tidak serentak bergantinya dan tidak serentak
pula diisi kembali demi alasan kesinambungan. Dengan pola seperti ini, akan
ada selalu kesinambungan karena ketika ada sebagian anggota baru yang
masuk, sebagian anggota yang lama masih bertahan atau masih ada. Dalam
konteks ini, penggantian antarwaktu yang terjadi di BPK bisa menjadi pintu
masuk untuk menggunakan pola pergantian secara tidak serentak yang dimulai
secara alamiah;
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, pola pergantian tidak serentak ini
dapat dikatakan melanjutkan pengalaman yang sudah terbangun di Mahkamah
Konstitusi. Sejauh yang kita ketahui, proses pengisian berjenjang sudah
melembaga di Mahkamah Konstitusi dan sejak perjalanan hakim konstitusi
generasi kedua karena pengalaman itu, sampai saat ini hakim konstitusi tidak
lagi diisi secara serentak, begitu pula dengan KPK. Pengalaman pengisian
Busyro Muqoddas akan menjadi titik awal memulai pola pergantian berjenjang
atau tidak serentak. Karena pengalaman tersebut, kasus yang terjadi pada
Pemohon dapat pula dijadikan titik awal adanya pengisian anggota BPK yang
tidak serentak. Caranya, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa Pemohon
bukan melanjutkan sisa masa jabatan, tetapi menjalankan 5 tahun masa jabatan
sebagai anggota BPK sebagaimana anggota BPK yang lain;
62
Bukankah jalan ke arah ini telah dibangun oleh Mahkamah Konstitusi ketika
merumuskan masa jabatan Busyro Muqoddas dan ketika memutus masa
jabatan Hakim Konstitusi karena pergantian dalam masa jabatan atau batas
usia maksimal yang terlewati.
Ahli Dwi Andayani Dalam Pasal 6 UU BPK, dinyatakan bahwa BPK mempunyai tugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah. Pemerintah pusat, pemerintah
daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Layanan Umum, Badan Umum Milik Daerah, dan lembaga atau badan
lain yang mengelola keuangan negara yang hasilnya kemudian diserahkan
kepada DPR. Untuk menjaga objektivitas pemeriksaannya tersebut, BPK diberi
garansi independensinya dari pengaruh kekuasaan manapun. Objektivitas
pemeriksaan ini merupakan bagian penting dalam rangka optimalisasi
pemeriksaan keuangan negara, mengingat BPK sebagai lembaga yang mandiri
tadi atau menurut teori digolongkan sebagai staat organen. Kalau di Indonesia
itu lembaga tinggi negara yang bebas dari pengaruh lembaga negara manapun,
maka ahli berpendapat atau mengutip pendapat dari sarjana Arthur Maass
dalam bukunya Area and Power: A Theory of Local Government yang
menyatakan adanya dua macam pembagian kekuasaan dalam negara, yaitu
secara vertikal dan secara horizontal. Pembagian kekuasaan negara secara
horizontal itu menghasilkan lembaga-lembaga negara yang dinamakan capital
division of power atau CDP, yaitu staat organen dalam ranah hukum
administrasi negara. Sedangkan pembagian kekuasaan negara secara vertikal
menghasilkan lembaga-lembaga pemerintahan yang disebut areal division of
power atau ADP, biasa disebut regering organen;
Dalam capital division of power, setiap lembaga negara mempunyai kedudukan
hukum yang sederajat, tidak saling membawahkan satu sama yang lain. Dalam
jabatan CDP ini, yaitu termasuk dalam BPK dalam hal ini di Indonesia, dapat
diisi oleh pejabat nonkarir, dapat digolongkan jabatan publik yang lazimnya
pengisian jabatannya dilakukan secara pemilihan elected bukan adopted. Jadi,
ahli berpendapat bahwa Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga yang
mandiri, kapasitas dari anggotanya adalah sebagai pejabat pembuat kebijakan,
maka pengisian jabatan untuk para anggotanya adalah harus bersifat elected
official, yaitu dengan cara dipilih dan bukannya diangkat baik untuk pengisian
63
jabatan dari awal sepenuhnya 5 tahun maupun jabatan sebagai PAW. Jadi tidak
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK yang sedang dimintakan
pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi sekarang ini, yaitu dilakukan
dengan cara pengangkatan, dalam frasa pengangkatan.
Jadi bahwa menurut ahli apabila Pasal 22 ayat (1) UU BPK dilihat dari teori ilmu
hukum, maka ahli berpandangan bahwa ada tiga hal yang menjadikan kaidah
hukum itu dapat dinyatakan berlaku, yaitu:
1. Berlakunya kaidah hukum itu secara yuridis.
2. Secara sosiologis.
3. Berlakunya kaidah hukum itu secara filosofis.
Dalam kaitan hal berlakunya kaidah hukum itu, yaitu dilihat secara sosiologis
yang intinya adalah efektivitas kaidah hukum di dalam kehidupan masyarakat.
Dalam hal ini dikenal 2 teori, yaitu pertama teori kekuasaan yang pada
pokoknya menyatakan bahwa kaidah hukum itu dipaksakan berlakunya oleh
penguasa, diterima atau tidak oleh warga masyarakat. Namun dalam hal ini,
pemilik kekuasaan atau pemerintah jangan hanya memikirkan kepemilikan akan
kewenangannya saja, hendaknya memikirkan pula keabsahan dari kewenangan
yang dimilikinya itu. Artinya, keadilan dan kepastian hukum yang adil bagi
masyarakat pencari keadilan. Kedua, teori pengakuan yang menyatakan bahwa
berlakunya kaidah hukum itu didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh
masyarakat, kaidah hukum itu agar sah berlaku harus memenuhi syarat formal
maupun syarat materil pembuatannya, serta keabsahan pada waktu
diberlakukan kepada masyarakat, jadi memperoleh legitimasi;
Menurut ahli mengutip juga pendapat Prof. Sudikno bahwa pembentukan
Undang-Undang dilihat dari kacamata sosiologis, maka masyarakat
membutuhkan tatanan yang teratur dan ajeg dan membutuhkan stabilitas
karena stabilitas menjamin ketertiban tatanan dalam masyarakat dan menjamin
kepastian hukum. Dalam membentuk undang-undang, pembentuk Undang-
Undang harus memperhatikan hal ini. Sebaliknya, tidak boleh dilupakan bahwa
hukum merupakan perlindungan kepentingan manusia. Adapun kepentingan
manusia itu selalu berkembang, dinamis baik jenis maupun jumlahnya;
Dengan demikian hukum harus dinamis pula agar dapat mengikuti
perkembangan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia yang terus
berkembang itu selalu terlindungi. Dalam usahanya untuk melindungi
64
kepentingan manusia dan masyarakat dalam bentuk peraturan perundang-
undangan dalam memilih kepentingan mana yang harus didahulukan, serta
sanksi yang akan diterapkan dengan mencegah adanya konflik kepentingan,
dan akhirnya dalam merumuskan dalam bentuk peraturan hukum atau Undang-
Undang yang bersifat sederhana, jelas, dan seberapa dapat berlaku untuk
kurung waktu yang lama dan jangan sampai terjadi konflik dengan Undang-
Undang yang telah ada;
Dalam hal ini pemerintah harus meninjau ulang UU BPK, khususnya Pasal 22
ayat (1) yang sedang dilakukan judicial review karena dianggap bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
Bahwa Pasal 22 ayat (1) UU BPK dapat dikatakan bertentangan dengan UUD
1945. Pasal 23F yang menyatakan bahwa anggota Badan Pemeriksa Keuangan
dipilih, frasa dipilih oleh DPR dengan memperhatikan DPD dan diresmikan oleh
presiden. Jadi bahwa UUD 1945 sudah mengatur memerintahkan bahwa untuk
menjadi anggota BPK itu harus melalui mekanisme pemilihan dan bukan
dengan cara pengangkatan (PAW) sebagaimana diatur dalam UU BPK Pasal 22
ayat (1) tersebut;
Sebagai lembaga negara yang mandiri independen, maka pengisian jabatan
dilakukan secara pemilihan (election), bukan pengangkatan, sehingga Pasal 22
ayat (1) dan ayat (4) UU BPK bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1), Pasal
27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD
1945. Demikian juga kalau dilihat dari staat organen yang ada lainnya dalam
struktur organisasi negara Indonesia, yaitu cara pengisian jabatannya juga
dalam BPK itu harus diselaraskan pula dengan cara pengisian jabatan pada
lembaga negara atau staat organen lain-lainnya.
[3.12] Menimbang terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah telah
memberikan keterangan lisan pada tanggal 21 Maret 2013 dan keterangan tertulis
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 9 Juli 2013, yang
selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
Pada dasarnya Pemerintah dengan memperhatikan dua Putusan Mahkamah
Konstitusi yang terkait dengan perkara yang hampir mirip, yaitu Putusan tentang
Pengujian Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Putusan
tentang Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya
65
adalah dalam rangka untuk memperoleh keadilan dan kesamaan kedudukan hal
untuk pengisian jabatan tertentu. Pemerintah sepenuhnya menghargai dan
menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, oleh karena itu
pertanyaannya adalah apakah permohonan kali ini memiliki kesamaan, memiliki
kesepadanan dengan permohonan yang disampaikan atau permohonan yang
diperoleh putusan oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri;
Pemerintah pada prinsipnya mendukung dan menghormati Putusan Mahkamah
Konstitusi terdahulu. Pemerintah menyatakan bahwa sebetulnya Undang-
Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan adalah terkait dengan masalah
tatanan implementasi yang memang sepenuhnya menjadi kewenangan
pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini Presiden bersama DPR untuk
mengaturnya, apakah terhadap anggota BPK itu penggantian antarwaktunya,
apakah mengantikan sisa masa jabatan atau sesuai dengan jabatan yang
diembannya. Oleh karena itu, sekali lagi Pemerintah memberikan apresiasi yang
setinggi-tingginya kepada Pemohon atas permohonan pengujian ini. Namun
demikian semuanya, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya dan putusan yang
tepat apakah yang dimohonkan oleh Pemohon sama dengan permohonan-
permohonan yang terdahulu.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan
Rakyat menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 21
Maret 2013, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Konsep “penggantian antarwaktu” dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang
a quo adalah penggantian yang didasarkan adanya pemberhentian dengan
hormat ataupun dengan tidak hormat terhadap Anggota BPK sehingga masa
jabatan Anggota BPK yang terpilih untuk menggantikan sifatnya hanya untuk
mengisi kevakuman jabatan Anggota BPK yang berhenti tersebut. Penggantian
antarwaktu ini diperlukan karena hubungan kerja antara 9 (sembilan) orang
Anggota BPK bersifat kolegial (kemitraan) dan keputusan yang diambil harus
secara bersama-sama (kolektif), sehingga pemilihan Anggota antarwaktu ini
dapat memberi kepastian hukum sampai dengan masa jabatan Anggota BPK
yang baru;
DPR telah mengeluarkan Keputusan Nomor 17/DPR RI/I/2011-2012 tanggal 11
Oktober 2011 yang memberikan persetujuan terhadap Bahrullah Akbar sebagai
66
Calon Pengganti Antar Waktu Anggota BPK RI menggantikan Drs. T.
Muhammad Nurlif yang telah diberhentikan dengan hormat sebagaimana
ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 19/P Tahun 2011, tanggal 6
April 2011. Keputusan DPR tersebut menindaklanjuti surat Ketua BPK RI
Nomor 42/S/I/04/2011 tanggal 19 April 2011 perihal Penggantian Antar Waktu
Anggota BPK, dan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nomor 57/DPD
RI/IV/2010-2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Pertimbangan DPD RI
Dalam Pemilihan Calon Anggota BPK RI;
Bahwa dalam proses pengangkatan penggantian antarwaktu, DPR telah
melaksanakan proses pemilihan sesuai dengan tata cara pemilihan Anggota
BPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU a quo yang
kemudian diresmikan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
62/P Tahun 2011, yang menetapkan Drs. Bahrullah Akbar, Bsc, SE, MBA
sebagai Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan. Bahwa Pemohon telah
memperoleh kesempatan dan menjalani proses yang sama serta sesuai dengan
ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang a quo dan telah terwujud
adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) terhadap masa jabatan Anggota
Badan Pemeriksa Keuangan;
Bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang a quo dalam
implementasinya tidak menimbulkan keraguan, kerancuan, kerugian maupun
dalam posisi yang tidak dapat dilaksanakan terhadap proses dan hasil audit
BPK, serta tidak mengandung unsur diskriminatif sebagaimana tercermin dalam
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
telah memberikan definisi mengenai diskriminasi sebagai berikut : “”Diskriminasi
adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun
tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,
ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi. hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya””.
Bahwa mengenai masa jabatan pengganti dapat dilihat juga pada ketentuan
Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
67
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan: ” Masa
jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan
anggota DPR yang digantikannya.” Bahwa masa jabatan Anggota pengganti
BPK yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota BPK yang digantikan,
tidaklah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat
(3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena mengisi kevakuman jabatan
Anggota BPK yang kosong sehingga memberikan kepastian hukum.
Pendapat Mahkamah
[3.14] Menimbang bahwa isu konstitusional dalam permohonan a quo adalah
1. Apakah frasa “pengangkatan penggantian antarwaktu” dalam Pasal 22 ayat (1)
UU BPK bertentangan dengan UUD 1945?
2. Apakah masa jabatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan pengganti dalam
Pasal 22 ayat (4) UU BPK yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota
BPK yang digantikannya bertentangan dengan UUD 1945?
[3.15] Menimbang bahwa dari kedua isu tersebut, isu utama pengujian
konstitusionalitas dalam permohonan ini adalah mengenai masa jabatan anggota
BPK pengganti yang hanya melanjutkan masa jabatan anggota BPK yang
digantikannya yang didalilkan oleh Pemohon bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Mahkamah, isu pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan Pemohon
memiliki kesamaan substansi dengan pengujian konstitusionalitas masa jabatan
anggota Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pengganti yang telah
diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, bertanggal 20 Juni
2011 dan masa jabatan Hakim Konstitusi pengganti yang telah diputus Mahkamah
dalam Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober 2011. Kedua
Putusan tersebut menegaskan, norma Undang-Undang yang menentukan bahwa
masa jabatan Hakim Konstitusi pengganti yang hanya melanjutkan sisa masa
jabatan Hakim Konstitusi yang digantikannya maupun masa jabatan anggota
Pimpinan KPK pengganti yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota
Pimpinan KPK yang digantikannya adalah norma yang bertentangan dengan
konstitusi. Oleh karena adanya kesamaan substansi tersebut, sebelum
mempertimbangkan dan menilai dalil-dalil permohonan Pemohon, Mahkamah
68
terlebih dahulu merujuk dan mengutip kembali beberapa pertimbangan dalam
kedua putusan tersebut, sebagai berikut:
1. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, bertanggal 20
Juni 2011 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4250), Mahkamah menegaskan bahwa masa jabatan anggota
pimpinan KPK pengganti, yang hanya melanjutkan masa jabatan anggota
pimpinan yang digantikannya bertentangan dengan prinsip keadilan dan prinsip
kemanfaatan yang dijamin oleh konstitusi. Dalam putusan tersebut Mahkamah,
antara lain, mempertimbangkan:
“Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK, mekanisme
pemilihan anggota pengganti Pimpinan KPK yang berhenti dalam masa jabatan
dilakukan sama dengan mekanisme pemilihan dan pengangkatan anggota
pimpinan yang diangkat secara bersamaan pada awal periode. Proses seleksi ini
memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup tinggi karena paling tidak
melibatkan pembentukan panitia seleksi, proses pendaftaran yang dilakukan
secara terbuka dan transparan dengan melibatkan proses publikasi di media, dan
setelah ditetapkan nama calon-calon tesebut, proses seleksi dilanjutkan pada
pengumuman kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan yang seterusnya
diserahkan di DPR untuk dilakukan seleksi kembali oleh DPR melalui mekanisme
fit and proper test. Proses seleksi yang ketat dan panjang tersebut dipandang
perlu, mengingat begitu pentingnya jabatan Pimpinan KPK, terutama apabila
dikaitkan dengan urgensi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia”;
“Menimbang bahwa proses pemilihan dan seleksi Pimpinan KPK pengganti
yang demikian apabila dilihat dari asas keadilan dalam pelaksanaan
pemerintahan yaitu keadilan bagi masyarakat maka pengangkatan anggota
pengganti yang menduduki masa jabatan sisa hanya satu tahun adalah sesuatu
yang dirasakan tidak adil bagi masyarakat, karena negara harus mengeluarkan
biaya yang sangat besar serta para penyelenggara negara yang melakukan
proses seleksi menghabiskan waktu yang cukup panjang hanya untuk memilih
seorang anggota pengganti yang menduduki sisa masa jabatan satu tahun.
Menurut Mahkamah, keadilan masyarakat adalah sumber nilai konstitusi
tertinggi yang harus menjadi dasar penilaian Mahkamah, karena keadilan
69
konstitusi tidak lain dari keadilan bagi constituent yaitu keadilan bagi rakyat yang
membentuk dan menyepakati konstitusi. Keadilan masyarakat ini menjadi
sangat penting dalam menegakkan prinsip-prinsip konstitusi untuk menghindari
penyelenggaraan negara yang bersifat elitis dan melanggar prinsip-prinsip
demokrasi yang dianut oleh UUD 1945 khususnya demokrasi partisipatoris.
Menurut Mahkamah, penafsiran demikian juga, menimbulkan ketidakadilan bagi
seseorang yang terpilih sebagai anggota pengganti yang berjuang serta
menghabiskan banyak tenaga, waktu, dan biaya untuk lulus seleksi dan terpilih
menjadi anggota Pimpinan KPK pengganti. Anggota pengganti yang terpilih
yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikan mendapat
perlakuan yang berbeda dengan anggota pimpinan yang terpilih secara
bersamaan pada awal periode yang menjalankan masa jabatan penuh empat
tahun, padahal anggota pengganti menjalani segala proses seleksi dan syarat-
syarat yang sama, sehingga melanggar prinsip perlakuan yang sama terhadap
setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan [vide Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945];
“Menimbang bahwa menurut Mahkamah, jika anggota Pimpinan KPK pengganti
hanya menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya,
hal itu melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahir
dan diadakan untuk mencapai kemanfaatan setinggi-tingginya. Proses seleksi
seorang Pimpinan KPK pengganti menurut Pasal 33 ayat (2) UU KPK hanya
menduduki masa jabatan sisa, mengeluarkan biaya yang relatif sama besarnya
dengan proses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal itu, benar-benar merupakan
sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidak wajar. Menurut Mahkamah,
sekiranya dimaknai bahwa Pimpinan pengganti itu adalah hanya menggantikan
dan menyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yang digantikan maka
mekanisme penggantian tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang panjang
dan rumit dengan biaya yang besar seperti dalam seleksi lima anggota pimpinan
yang diangkat secara bersamaan. Pimpinan pengganti, dalam hal ada pimpinan
yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup diambil dari calon Pimpinan KPK
yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya,
seperti penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD yang menurut
Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR dan
DPRD (Lembaran Negara Republilk Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan
70
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) yang menyatakan, ”Masa
jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan
anggota DPR yang digantikan” dan Pasal 286 ayat (3) yang menyatakan, ”Masa
jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan
anggota DPD yang digantikannya”. Hal itu, lebih memenuhi prinsip efisiensi, dan
prinsip kewajaran. Oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK
yang mengharuskan pengisian pimpinan pengganti dilakukan melalui proses
seleksi yang sama dengan proses seleksi lima orang anggota KPK yang diangkat
secara bersamaan, menurut Mahkamah, penggantian Pimpinan KPK pengganti
tersebut tidak sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD.
Penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang
baru dan sudah ditegaskan dalam Undang-Undang hanya melanjutkan masa
jabatan sisa dari anggota yang digantikannya. UU KPK menegaskan bahwa
Pimpinan KPK pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang baru dan tidak
ditentukan bahwa pimpinan pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan
pimpinan yang digantikannya. Menurut Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa
masa jabatan Pimpinan KPK pengganti tidak dapat ditafsirkan sama dengan
penggantian antarwaktu bagi anggota DPR dan DPD. Dengan demikian masa
jabatan pimpinan KPK yang ditentukan dalam Pasal 34 UU KPK tidak dapat
ditafsirkan lain, kecuali empat tahun, baik bagi pimpinan yang diangkat secara
bersamaan sejak awal maupun bagi pimpinan pengganti. Mempersempit makna
Pasal 34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagi Pimpinan KPK pengganti
untuk menjabat selama empat tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum
yang dijamin konstitusi”;
Pada bagian lain dari putusan tersebut Mahkamah juga mempertimbangkan
sebagai berikut:
“Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK sebagai lembaga
negara yang khusus memberantas korupsi, maka dalam melaksanakan tugas
dan kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara profesional,
independen, dan berkesinambungan. Menurut Mahkamah, KPK tidak akan
maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan
berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin
kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinan tidak secara
bersama-sama mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak
71
selayaknya diganti serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional
dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK
diangkat untuk satu periode masa jabatan empat tahun [vide Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945];”
2. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18
Oktober 2011, mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah juga menegaskan bahwa norma yang
menyatakan bahwa hakim konstitusi pengganti yaitu hakim konstitusi yang
menggantikan hakim konstitusi yang berhenti sebelum berakhir 5 (lima) tahun
masa jabatannya hanya melanjutkan masa jabatan sisa hakim konstitusi yang
digantikannya adalah bertentangan dengan prinsip keadilan dan kepastian
hukum yang dikehendaki oleh konstitusi. Dalam putusan tersebut, antara lain,
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“Bahwa Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011 menyatakan “Hakim konstitusi yang
menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa jabatan
hakim konstitusi yang digantikannya.” Norma Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011
menimbulkan ketidakadilan bagi seseorang yang terpilih sebagai hakim konstitusi
karena hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.
Apabila pasal tersebut diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 22 UU MK (UU
24/2003) yang secara tegas dan jelas menyatakan “Masa jabatan hakim konstitusi
selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya”, sehingga terjadi pertentangan internal (contradictio in terminis).
Menurut Mahkamah, penggantian hakim konstitusi tidak sama dengan penggantian
antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu anggota DPR dan
DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan dalam Undang-
Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang digantikannya.
Adapun calon hakim konstitusi melalui proses seleksi oleh masing-masing lembaga
yang mengajukannya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, masa jabatan hakim
konstitusi yang ditentukan dalam Pasal 22 UU MK tidak dapat ditafsirkan lain
kecuali lima tahun, baik yang diangkat secara bersamaan maupun bagi hakim
konstitusi yang menggantikan hakim konstitusi yang berhenti sebelum masa
jabatannya berakhir. Mempersempit makna Pasal 22 UU MK dengan tidak
72
memberlakukannya bagi hakim konstitusi pengganti untuk menjabat selama lima
tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin konstitusi;
Bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara independen yang oleh UUD
1945 diberi tugas dan wewenang sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman. Untuk melakukan tugas dan wewenang tersebut, Mahkamah dituntut
bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Dengan adanya
hakim konstitusi yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang
digantikannya tidak akan menjamin kesinambungan kinerja Mahkamah dalam
melakukan tugas dan wewenangnya serta menimbulkan ketidakadilan bagi hakim
konstitusi yang mengganti. Selain itu, jabatan hakim konstitusi berbeda dengan
jabatan negara yang lainnya karena adanya faktor konsistensi dan
kesinambungan, terkait baik dengan proses maupun putusan-putusan yang
dihasilkan. Jika dihubungkan dengan penilaian konsistensi dari putusan yang
dihasilkan maka masa jabatan lima tahun sebagai hakim konstitusi pun,
sebenarnya masih dianggap kurang. Dengan adanya hakim yang menggantikan
yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya
maka masa jabatan hakim konstitusi menjadi kurang dari lima tahun. Dengan
demikian, yang menjadi pertimbangan untuk masa jabatan hakim konstitusi adalah
adanya jaminan konsistensi dan kesinambungan dalam proses dan
putusanputusan Mahkamah yang sangat terpengaruh oleh lamanya masa jabatan
hakim konstitusi, terkait dengan pendapat hukum dan kemandirian hakim. Oleh
sebab itu, akan lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila masa jabatan hakim konstitusi
yang menggantikan tetap lima tahun. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil
para Pemohon a quo beralasan menurut hukum”;
Pada bagian lain dari putusan tersebut, Mahkamah juga mempertimbangkan
bahwa:
“Bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara independen yang oleh
UUD 1945 diberi tugas dan wewenang sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman. Untuk melakukan tugas dan wewenang tersebut, Mahkamah
dituntut bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan.
Dengan adanya hakim konstitusi yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan
hakim konstitusi yang digantikannya tidak akan menjamin kesinambungan
kinerja Mahkamah dalam melakukan tugas dan wewenangnya serta
73
menimbulkan ketidakadilan bagi hakim konstitusi yang mengganti. Selain itu,
jabatan hakim konstitusi berbeda dengan jabatan negara yang lainnya karena
adanya faktor konsistensi dan kesinambungan, terkait baik dengan proses
maupun putusan-putusan yang dihasilkan. Jika dihubungkan dengan penilaian
konsistensi dari putusan yang dihasilkan maka masa jabatan lima tahun sebagai
hakim konstitusi pun, sebenarnya masih dianggap kurang. Dengan demikian,
yang menjadi pertimbangan untuk masa jabatan hakim konstitusi adalah adanya
jaminan konsistensi dan kesinambungan dalam proses dan putusan-putusan
Mahkamah yang sangat terpengaruh oleh lamanya masa jabatan hakim
konstitusi, terkait dengan pendapat hukum dan kemandirian hakim.”
[3.16] Menimbang bahwa Badan Pemeriksa Keuangan, berdasarkan ketentuan
Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 adalah salah satu organ negara yang dibentuk oleh
konstitusi sebagai badan yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara. Hasil pemeriksaan keuangan negara yang
dilakukan oleh BPK diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditindaklanjuti oleh
masing-masing lembaga perwakilan dan/atau oleh badan sesuai dengan Undang-
Undang [vide Pasal 23E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945]. Anggota BPK dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden [vide Pasal 23F ayat (1) UUD
1945].
Berdasarkan ketentuan tersebut, kedudukan BPK sangat strategis dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara yaitu untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. BPK adalah lembaga negara yang bebas dan
mandiri seperti halnya kedudukan Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi
yang oleh UUD 1945 disebut sebagai kekuasaan yang merdeka, yaitu tidak
terafiliasi atau tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga negara yang lain atau pun
kekuatan partai politik dan perseorangan manapun;
[3.17] Menimbang bahwa dalam UUD 1945 terdapat lembaga lainnya yang
disebut bersifat mandiri, seperti Komisi Yudisial. Demikian pula dalam tingkat
Undang-Undang dikenal beberapa lembaga yang disebut bersifat mandiri dan
independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi
74
Manusia, Ombudsman, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaga-lembaga yang bersifat mandiri dan
independen tersebut, pada umumnya dalam menjalankan fungsi dan
kewenangannya tidak dapat dipengaruhi oleh institusi atau lembaga lainnya. Masa
jabatan anggotanya tidak terkait dengan hasil pemilihan umum. Berbeda dengan
Presiden, DPR, DPD, DPRD serta Kepala Daerah yang merupakan lembaga yang
merepresentasikan kekuatan partai politik dan pejabatnya dipilih melalui pemilihan
umum yang diselenggarakan sekali dalam lima tahun. Menurut Mahkamah,
lembaga yang bersifat mandiri dan independen tersebut harus dinihilkan dari
pengaruh institusi atau lembaga politik lainnya, sehingga dalam menjalankan
fungsi dan kewenangannya dapat dilaksanakan secara maksimal. Sejalan dengan
latar belakang pemikiran tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober 2011, mengenai masa jabatan Hakim
Konstitusi, Mahkamah telah mempertimbangkan, antara lain:
“Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara independen yang oleh UUD 1945
diberi tugas dan wewenang sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.
Untuk melakukan tugas dan wewenang tersebut, Mahkamah dituntut bekerja
secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Dengan adanya hakim
konstitusi yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang
digantikannya tidak akan menjamin kesinambungan kinerja Mahkamah dalam
melakukan tugas dan wewenangnya serta menimbulkan ketidakadilan bagi hakim
konstitusi yang mengganti. Selain itu, jabatan hakim konstitusi berbeda dengan
jabatan negara yang lainnya karena adanya faktor konsistensi dan
kesinambungan, terkait baik dengan proses maupun putusan-putusan yang
dihasilkan”.
Demikian juga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011,
bertanggal 20 Juni 2011, mengenai masa jabatan anggota Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi, Mahkamah telah mempertimbangkan, antara lain:
“Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK sebagai lembaga negara
yang khusus memberantas korupsi, maka dalam melaksanakan tugas dan
kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara profesional,
independen, dan berkesinambungan. Menurut Mahkamah, KPK tidak akan
maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan
berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin
75
kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinan tidak secara bersama-
sama mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya
diganti serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjamin
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila
terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK diangkat untuk satu
periode masa jabatan empat tahun”.
Menurut Mahkamah, demikian juga halnya dengan BPK, sebagai lembaga
negara yang mandiri yang dibentuk konstitusi, haruslah mendapatkan jaminan
konstitusional dalam menjalankan tugas dan kewenangannya secara efektif,
independen dan berkesinambungan. Anggota BPK tidak harus berhenti secara
bersamaan dalam satu waktu, karena hal itu tidak menjamin efektivitas dan
kesinambungan pelaksanaan tugas dan wewenang BPK secara baik. Dengan
demikian jika seorang Anggota BPK yang berhenti sebelum berakhir periode
jabatannya 5 (lima) tahun harus diganti oleh Anggota BPK yang menduduki masa
jabatan untuk 5 (lima) tahun pula, dan tidak hanya melanjutkan masa jabatan
anggota yang digantikannya. Seperti halnya Hakim Konstitusi pada Mahkamah
Konstitusi dan Pimpinan KPK yang tidak mengenal penggantian anggota antar
waktu, sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah pada putusan
tersebut di atas. Dengan ketentuan seperti itu, pada akhirnya BPK dapat bekerja
secara berkesinambungan dengan penggantian anggota secara bergilir;
[3.18] Menimbang bahwa baik syarat maupun mekanisme pengisian jabatan
anggota BPK pengganti maupun Anggota BPK bukan pengganti adalah sama dan
tidak ada perbedaan. Dalam Pasal 22 ayat (1) UU BPK, calon Anggota BPK
pengganti harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 13 dan
Pasal 14 UU BPK. Pasal 13 UU BPK menyatakan, “Untuk dapat dipilih sebagai
Anggota BPK, calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. warga
negara Indonesia; b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c.
berdomisili di Indonesia; d. memiliki integritas moral dan kejujuran; e. setia
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; f. berpendidikan
paling rendah S 1 atau yang setara; g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun
76
atau lebih; h. sehat jasmani dan rohani; i. paling rendah berusia 35 (tiga puluh
lima) tahun; j. paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai
pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara; dan k. tidak sedang dinyatakan
pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap”.
Pasal 14 UU BPK menyatakan, “(1) Anggota BPK dipilih oleh DPR
dengan memperhatikan pertimbangan DPD; (2) Pertimbangan DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis yang memuat semua nama
calon secara lengkap, dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan
pertimbangan dari Pimpinan DPR; (3) Calon Anggota BPK diumumkan oleh DPR
kepada publik untuk memperoleh masukan dari masyarakat; (4) DPR memulai
proses pemilihan Anggota BPK terhitung sejak tanggal diterimanya surat
pemberitahuan dari BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan harus
menyelesaikan pemilihan anggota BPK yang baru, paling lama 1 (satu) bulan
sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama; (5) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pemilihan anggota BPK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.”
Menurut Mahkamah oleh karena syarat dan mekanisme pengisian
jabatan antara Anggota BPK pengganti maupun Anggota BPK bukan pengganti
adalah sama, maka tidak adil jika keduanya melaksanakan masa jabatan yang
berbeda. Sebagaimana pendapat Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor
5/PUU-IX/2011, tanggal 20 Juni 2011 dan Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18
Oktober 2011, sebagaimana dikutip di atas, dilihat dari asas keadilan dalam
penyelenggaraan negara yaitu keadilan bagi masyarakat dan asas kemanfaatan
maka pengangkatan anggota pengganti yang menduduki masa jabatan sisa
adalah sesuatu yang dirasakan tidak adil dan melanggar asas kemanfaatan.
Anggota pengganti yang terpilih yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan
anggota yang digantikan mendapat perlakuan yang berbeda dengan anggota yang
terpilih secara bersamaan pada awal periode yang menjalankan masa jabatan
secara penuh, padahal anggota pengganti menjalani segala proses seleksi dan
syarat-syarat yang sama, sehingga melanggar prinsip perlakuan yang sama
terhadap setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan. Ditinjau dari
asas kemanfaatan dan asas kepastian sebagai tujuan hukum, masa jabatan
77
anggota pengganti yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang
digantikannya adalah bertentangan dengan asas kemanfaatan karena proses
seleksi dan pengisian anggota pengganti yang sama dengan proses seleksi dan
pengisian Anggota BPK yang bukan pengganti memerlukan waktu, pikiran, dan
tenaga serta biaya yang cukup banyak, baik yang harus dikeluarkan oleh negara
maupun yang ditanggung oleh calon anggota. Seperti halnya proses seleksi yang
dialami oleh Pemohon sebagai Anggota BPK pengganti, harus melalui proses
yang panjang dan rumit, yaitu melalui proses penjaringan calon, pengumuman di
media masa, seleksi terhadap calon Anggota BPK di DPR dengan pertimbangan
DPD, sampai dengan penetapan dan peresmian oleh Presiden. Dengan adanya
proses seleksi yang panjang dan rumit, padahal hanya untuk mengisi dan
melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikan adalah tidak adil.
Proses pengisian penggantian antarwaktu yang dilakukan pada penggantian
Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD maupun Presiden dan Wakil
Presiden tidak bisa disamakan dengan ketentuan penggantian Anggota BPK,
karena BPK adalah lembaga negara mandiri yang anggotanya tidak dipilih melalui
pemilihan umum yang dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah
ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU BPK sepanjang frasa “penggantian antarwaktu”,
harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;
[3.19] Menimbang bahwa selain itu, menurut Mahkamah, keberadaan Pasal 22
ayat (4) UU BPK yang mengatur tentang sisa masa jabatan Anggota BPK
pengganti yang melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya,
akan menimbulkan pertentangan internal (contradictio in terminis) dengan Pasal 5
ayat (1) UU BPK yang menyatakan, “Anggota BPK memegang jabatan selama 5
(lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan”. Pertentangan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang
justru bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjamin perlindungan atas
hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam kehidupan bernegara.
Oleh karena itu untuk memberi jaminan kepastian hukum yang adil, ketentuan
Pasal 22 ayat (4) UU BPK adalah bertentangan UUD 1945 dan karenanya tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga masa jabatan anggota BPK baik
anggota yang diangkat secara bersamaan maupun anggota pengganti yang dipilih
78
untuk menggantikan anggota yang berhenti dalam masa jabatannya mengemban
jabatan selama satu masa jabatan penuh yaitu 5 (lima) tahun;
[3.20] Menimbang bahwa oleh karena frasa “penggantian antarwaktu” dalam
Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (4) UU BPK dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka
Pasal 22 ayat (5) UU BPK yang menyatakan, “Penggantian Anggota BPK
antarwaktu tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota yang akan diganti
kurang dari 6 (enam) bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1)”, harus pula dinilai dan dipertimbangkan oleh Mahkamah
walaupun tidak dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Menurut Mahkamah
ketentuan Pasal 22 ayat (5) UU BPK merupakan ketentuan lebih lanjut dari norma
yang terkandung dalam Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (4) UU BPK sehingga
Pasal 22 ayat (5) UU BPK harus pula dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
[3.21] Menimbang bahwa meskipun menurut Pasal 47 UU MK, putusan
Mahkamah berlaku sejak ditetapkan (prospektif), namun demi asas kemanfaatan
yang merupakan asas dan tujuan universal hukum maka untuk kasus-kasus
tertentu putusan Mahkamah dapat diberlakukan surut (retroaktif) sebagaimana
yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009,
tanggal 7 Agustus 2009 yang menjadi landasan penetapan anggota-anggota DPR
periode 2009-2014 terutama berkaitan dengan penetapan anggota DPR berdasar
perhitungan Tahap III yang semula telah ditetapkan secara tidak tepat oleh KPU
dan Putusan Mahkamah Nomor 5/PUU-IX/2011, tanggal 20 Juni 2011 yang
menjadi landasan penetapan pimpinan pengganti KPK. Alasan yang mendasari
penetapan retroaktif secara khusus tersebut, antara lain adalah ”telah” dan ”terus”
berlangsungnya satu penerapan isi Undang-Undang berdasar penafsiran yang
tidak tepat sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerugian
konstitusional dan karenanya harus dihentikan. Penghentian ketidakpastian hukum
dan kerugian konstitusional itu harus menjangkau secara retroaktif sejak
ditetapkannya penafsiran yang tidak tepat tersebut, saat mana mulai timbul
ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional seperti terlihat dalam perkara
a quo. Oleh karena itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum sebagai akibat
dari putusan ini, terkait dengan jabatan Anggota BPK pengganti, maka putusan ini
79
berlaku bagi Anggota BPK pengganti yang sudah diangkat dan sekarang
menduduki jabatan sebagai Anggota BPK, sehingga berhak menduduki masa
jabatan penuh yaitu selama 5 (lima) tahun sejak diresmikan pengangkatannya
sebagai Anggota BPK dengan keputusan Presiden;
[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang
diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan
menurut hukum;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.3] Permohonan Pemohon beralasan menurut hukum;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
1.1. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
80
Indonesia Nomor 4654) sepanjang frasa “penggantian antarwaktu”
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
1.2. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4654) sepanjang frasa “penggantian antarwaktu” tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3. Menyatakan Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 22 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4654) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.4. Menyatakan Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 22 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4654) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi yaitu M. Akil Mochtar, selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad
Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, dan Arief Hidayat, masing-
masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal delapan, bulan Juli, tahundua ribu tiga belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi
terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal sepuluh, bulan September,tahun dua ribu tiga belas, selesai diucapkan pukul 14.23 WIB, oleh sembilan
Hakim Konstitusi, yaitu M. Akil Mochtar, selaku Ketua merangkap Anggota,
Hamdan Zoelva, Harjono, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman,
Maria Farida Indrati, Arief Hidayat, dan Patrialis Akbar, masing-masing sebagai
81
Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai Panitera Pengganti,
dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
M. Akil Mochtar
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
tdHamdan Zoelva
ttd.
Harjono
ttd.
Muhammad Alim
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
ttd.
Arief Hidayat
ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
Patrialis Akbar
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Hani Adhani
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 15 TAHUN 2006
TENTANG
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa untuk tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud pada huruf a, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;
a. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan, baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 1
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIAdan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga
negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Dewan Perwakilan Rakyat, yang selanjutnya disingkat DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Dewan Perwakilan Daerah, yang selanjutnya disingkat DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
8. Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
9. Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 2
pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
10. Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK.
11. Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban Pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
12. Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama negara/daerah, menerima, menyimpan, dan membayar/menyerahkan, uang atau surat berharga atau barang-barang negara/daerah.
13. Standar Pemeriksaan adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa.
14. Hasil Pemeriksaan adalah hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan Standar Pemeriksaan,yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai keputusan BPK.
15. Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
16. Ganti Kerugian adalah sejumlah uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang harus dikembalikan kepada negara/daerah oleh seseorang atau badan yang telah melakukan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
17. Peraturan BPK adalah aturan hukum yang dikeluarkan oleh BPK yang mengikat secara umum dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
BAB IIKEDUDUKAN DAN KEANGGOTAAN
Bagian KesatuKedudukan
Pasal 2
BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 3
Pasal 3
(1) BPK berkedudukan di Ibukota negara.
(2) BPK memiliki perwakilan di setiap provinsi.
(3) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan BPK dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.
Bagian KeduaKeanggotaan
Pasal 4
(1) BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden.
(2) Susunan BPK terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota.
(3) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak anggota BPK terpilih diajukan oleh DPR.
Pasal 5
(1) Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(2) BPK memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya masa jabatan anggota BPK paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.
BAB IIITUGAS DAN WEWENANG
Bagian KesatuTugas
Pasal 6
(1) BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
(2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
(3) Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 4
(4) Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.
(5) Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK.
Pasal 7
(1) BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.
(2) DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan Peraturan Tata Tertib masing-masing lembaga perwakilan.
(3) Penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPRD dilakukan oleh Anggota BPK atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Tata cara penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD diatur bersama oleh BPK dengan masing-masing lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya.
(5) Hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum.
Pasal 8
(1) Untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BPK menyerahkan pula hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota kepada BPK.
(3) Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.
(4) Laporan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 5
(5) BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan hasilnya diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemerintah.
Bagian Kedua
Wewenang
Pasal 9
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang:a. menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan
pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan;
b. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara;
c. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara;
d. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK;
e. menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
f. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
g. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK;
h. membina jabatan fungsional Pemeriksa;
i. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan
j. memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah.
(2) Dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang diminta oleh BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dipergunakan untuk pemeriksaan.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 6
Pasal 10
(1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
(2) Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
(3) Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang
memantau: a. penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh
Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
b. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
c. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 11
BPK dapat memberikan: a. pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah,
Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya;
b. pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau
c. keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan Peraturan BPK.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 7
BAB IVPEMILIHAN DAN PEMBERHENTIAN
Bagian KesatuPemilihan Anggota
Pasal 13
Untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. warga negara Indonesia;b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;c. berdomisili di Indonesia; d. memiliki integritas moral dan kejujuran;e. setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f. berpendidikan paling rendah S1 atau yang setara;g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;i. paling rendah berusia 35 (tiga puluh lima) tahun;j. paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di
lingkungan pengelola keuangan negara; dank. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 14
(1) Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD .
(2) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis yang memuat semua nama calon secara lengkap, dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan pertimbangan dari Pimpinan DPR.
(3) Calon anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk memperoleh masukan dari masyarakat.
(4) DPR memulai proses pemilihan anggota BPK terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota BPK yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan anggota BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 8
Bagian KeduaPemilihan Pimpinan
Pasal 15
(1) Pimpinan BPK terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua.
(2) Ketua dan Wakil Ketua BPK dipilih dari dan oleh Anggota BPK dalam sidang Anggota BPK dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diresmikannya keanggotaan BPK oleh Presiden.
(3) Sidang Anggota BPK untuk pemilihan pimpinan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh Anggota BPK tertua.
(4) Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dan apabila mufakat tidak dicapai, pemilihan dilakukan dengan cara pemungutan suara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua serta pembagian tugas dan wewenang Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK diatur dengan peraturan BPK.
Pasal 16
(1) Anggota BPK sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
(2) Ketua dan Wakil Ketua BPK terpilih wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
(3) Apabila Ketua Mahkamah Agung berhalangan, sumpah atau janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipandu oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung.
(4) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berbunyi sebagai berikut:”Demi Allah Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk menjadi Anggota (Ketua/Wakil Ketua) BPK langsung atau tidak langsung dengan rupa atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun juga.Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima langsung ataupun tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya akan memenuhi kewajiban Anggota (Ketua/Wakil Ketua) BPK dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lain yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban tersebut.Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya akan setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 9
Bagian KetigaPemberhentian
Pasal 17
Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat dari keanggotaan BPK.
Pasal 18
Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dengan keputusan Presiden atas usul BPK karena :a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua atau
Wakil Ketua BPK; c. telah berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun; d. telah berakhir masa jabatannya; atau e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus atau berhalangan tetap yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Pasal 19
Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK diberhentikan tidak dengan hormat dari keanggotaannya atas usul BPK atau DPR karena:
a. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. melanggar kode etik BPK; c. tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya selama 1 (satu) bulan berturut-
turut tanpa alasan yang sah; d. melanggar sumpah atau janji jabatan; e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; atau f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota BPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf a, huruf c, dan huruf e.
Pasal 20
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK diberhentikan sementara dari jabatannya oleh BPK melalui Rapat Pleno apabila ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK yang terbukti tidak melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berhak mendapatkan rehabilitasi dan diangkat kembali menjadi Ketua, Wakil Ketua, atau Anggota BPK.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 10
Pasal 21(1) Pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK.
(2) Pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diresmikan dengan Keputusan Presiden atas usul BPK atau DPR.
Pasal 22(1) Apabila Anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
atau Pasal 19 diadakan pengangkatan penggantian antarwaktu Anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan dengan Keputusan Presiden.
(2) Pengangkatan Anggota BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberhentian Anggota BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau Pasal 19.
(3) Sebelum memangku jabatannya, Anggota BPK yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh Ketua/Wakil Ketua BPK dengan bunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4).
(4) Anggota BPK pengganti melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya.
(5) Penggantian Anggota BPK antarwaktu tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota yang akan diganti kurang dari 6 (enam) bulan dari masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
BAB VHAK KEUANGAN/ADMINISTRATIF DAN PROTOKOLER, TINDAKAN
KEPOLISIAN, KEKEBALAN, SERTA LARANGAN
Bagian KesatuHak Keuangan/Administratif dan Protokoler
Pasal 23
Hak keuangan/administratif dan kedudukan protokoler Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian KeduaTindakan Kepolisian
Pasal 24
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 11
Tindakan kepolisian terhadap Anggota BPK guna pemeriksaan suatu perkara dilakukan dengan perintah Jaksa Agung setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis Presiden.
Pasal 25
(1) Anggota BPK dapat dikenakan tindakan kepolisian tanpa menunggu perintah Jaksa Agung atau persetujuan tertulis Presiden, apabila :
a. tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana; ataub. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati.
(1) Tindakan kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam harus dilaporkan kepada Jaksa Agung yang berkewajiban untuk memberitahukan penahanan tersebut kepada Presiden, DPR, dan BPK.
Bagian KetigaKekebalan
Pasal 26
(1) Anggota BPK tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena menjalankan tugas, kewajiban, dan wewenangnya menurut undang-undang ini.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, anggota BPK, Pemeriksa, dan pihak lain yang bekerja untuk dan atas nama BPK diberikan perlindungan hukum dan jaminan keamanan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 27
Dalam hal terjadi gugatan pihak lain dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, BPK berhak atas bantuan hukum dengan biaya negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian KeempatLaranganPasal 28
Anggota BPK dilarang :a. memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung
unsur pidana kepada instansi yang berwenang;b. mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi, atau dokumen lainnya
yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas yang melampaui batas kewenangannya kecuali untuk kepentingan penyidikan yang terkait dengan dugaan adanya tindak pidana;
c. secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemilik seluruh, sebagian, atau penjamin badan usaha yang melakukan usaha dengan tujuan untuk mendapatkan laba atau keuntungan atas beban keuangan negara;
d. merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain, dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara, swasta nasional/asing; dan/atau
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 12
e. menjadi anggota partai politik.
BAB VIKODE ETIK, KEBEBASAN, KEMANDIRIAN, DAN AKUNTABILITAS
Bagian KesatuKode Etik
Pasal 29
(1) BPK wajib menyusun kode etik yang berisi norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap anggota BPK dan Pemeriksa selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat mekanisme penegakan kode etik dan jenis sanksi.
Pasal 30
(1) Untuk menegakkan kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dibentuk Majelis Kehormatan Kode Etik BPK yang keanggotaannya terdiri dari Anggota BPK serta unsur profesi dan akademisi.
(2) Majelis Kehormatan Kode Etik dibentuk paling lambat 6 (enam) bulan sejak undang-undang ini berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas, wewenang, dan tata cara persidangan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK diatur dengan Peraturan BPK.
Bagian KeduaKebebasan dan Kemandirian
Pasal 31
(1) BPK dan/atau Pemeriksa menjalankan tugas pemeriksaan secara bebas dan mandiri.
(2) BPK berkewajiban menyusun standar pemeriksaan keuangan negara.
(3) Dalam rangka menjaga kebebasan dan kemandirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK dan/atau Pemeriksa berkewajiban: a. menjalankan pemeriksaan sesuai dengan Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara;b. mematuhi kode etik pemeriksa; danc. melaksanakan sistem pengendalian mutu.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 13
(4) Standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:a. Pemeriksa tidak mempunyai hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah,
atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan jajaran pimpinan objek pemeriksaan;
b. Pemeriksa tidak mempunyai kepentingan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan objek pemeriksaan;
c. Pemeriksa tidak pernah bekerja atau memberikan jasa kepada objek pemeriksaan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir;
d. Pemeriksa tidak mempunyai hubungan kerja sama dengan objek pemeriksaan; dan
e. Pemeriksa tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan objek pemeriksaan, seperti memberikan asistensi, jasa konsultansi, pengembangan sistem, menyusun dan/atau mereview laporan keuangan objek pemeriksaan.
Bagian KetigaAkuntabilitas
Pasal 32
(1) Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan tahunan BPK dilakukan oleh akuntan publik.
(2) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh DPR atas usul BPK dan Menteri Keuangan, yang masing-masing mengusulkan 3 (tiga) nama akuntan publik.
(3) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam 2 (dua) tahun terakhir tidak melakukan tugas untuk dan atas nama BPK atau memberikan jasa kepada BPK.
(4) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada DPR dengan salinan kepada Pemerintah untuk penyusunan laporan keuangan Pemerintah Pusat.
Pasal 33
(1) Untuk menjamin mutu pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara oleh BPK sesuai dengan standar, sistem pengendalian mutu BPK ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan sedunia .
(2) Badan pemeriksa keuangan negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh BPK setelah mendapat pertimbangan DPR.
BAB VIIPELAKSANA BPK
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 14
Pasal 34
(1) BPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Pelaksana BPK, yang terdiri atas Sekretariat Jenderal, unit pelaksana tugas pemeriksaan, unit pelaksana tugas penunjang, perwakilan, Pemeriksa, dan pejabat lain yang ditetapkan oleh BPK sesuai dengan kebutuhan.
(2) Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jabatan fungsional.
(3) Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK menggunakan Pemeriksa yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil atau yang bukan Pegawai Negeri Sipil .
(4) Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Pelaksana BPK serta jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan Pemerintah.
BAB VIIIANGGARAN
Pasal 35
(1) Anggaran BPK dibebankan pada bagian anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh BPK kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
(3) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan pada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang APBN.
BAB IX KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
(1) Anggota BPK yang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Anggota BPK yang mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi dan/ atau dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas BPK dengan melampaui batas wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 15
BAB XKETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK yang ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan tetap melaksanakan tugas dan wewenangnya sampai dengan masa jabatannya berakhir.
(2) Untuk memenuhi kekurangan jumlah keanggotaan BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dilakukan pemilihan Anggota BPK paling lambat dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Pembentukan Perwakilan BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XIKETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3010) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 39
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 40
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakartapada tanggal 30 Oktober 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 16
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakartapada tanggal 30 Oktober 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 85
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RIKepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,
ttd
M. Sapta Murti, SH, MA, MKn
PENJELASANATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 15 TAHUN 2006
TENTANG
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 17
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang mendasar diantaranya Pasal 23 ayat (5) mengenai kedudukan dan tugas Badan Pemeriksa Keuangan.
Para Pembentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyadari bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah tentang keuangan negara merupakan kewajiban yang berat, sehingga perlu dibentuk suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah.
Tuntutan reformasi telah menghendaki terwujudnya penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menuju tata pemerintahan yang baik, mengharuskan perubahan peraturan perundang-undangan dan kelembagaan negara.
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan salah satu reformasi atas ketentuan Pasal 23 ayat (5) tentang Badan Pemeriksa Keuangan telah memperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK yaitu sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri. Kedudukan BPK sebagai lembaga negara pemeriksa keuangan negara perlu dimantapkan disertai dengan memperkuat peran dan kinerjanya. Kemandirian dan kebebasan dari ketergantungan kepada Pemerintah dalam hal kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penyelenggaraan pemerintahan negara di pusat dan di daerah telah mengalami perubahan antara lain penyelenggaraan otonomi daerah yang disertai penyerahan sebagian besar urusan Pemerintah Pusat kepada Daerah. Selain itu sebagai pelaksanaan Pasal 23C, Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditetapkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang menggantikan sebagian besar ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perbendaharaan Indonesia (Indische Comptabiliteitswet/ICW Stbl. 1925 No. 448) dan Instructie en Verdere Bepalingen voor de Algemene Rekenkamer (IAR Stbl. 1933 No. 320).
Berdasarkan perubahan-perubahan konstitusi, penyelenggaraan pemerintahan di pusat dan daerah, peraturan perundang-undangan dan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan tidak memadai lagi, sehingga perlu dicabut.1. Pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 diharapkan mampu
mengakomodasikan dan mendukung perubahan-perubahan meliputi kedudukan, tugas, kewajiban, dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dan menggantikan ketentuan-ketentuan dalam Indische Comptabiliteitswet (ICW), Instructie en verdere bepalingen voor de
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 18
Algemene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Untuk menjamin mutu pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara, sistem pengendalian mutu BPK ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi badan pemeriksa keuangan sedunia yang ditunjuk oleh BPK atas pertimbangan DPR.
3. Guna menjamin peningkatan peran dan kinerja Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga yang bebas dan mandiri serta memiliki profesionalisme, selain pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden, juga didukung oleh kemandirian pemeriksaan dan pelaporan.
4. Sejalan dengan perubahan penyelenggaraan pemerintahan negara di pusat dan daerah, maka terjadi peningkatan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu lembaga negara pemeriksa keuangan negara memiliki perwakilan di setiap provinsi.Dengan meningkatnya ruang lingkup pekerjaan, maka jumlah Anggota Badan Pemeriksa Keuangan ditetapkan menjadi 9 (sembilan) orang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas
Pasal 2Cukup jelas.
Pasal 3Cukup jelas
Pasal 4Cukup Jelas
Pasal 5 Cukup jelas.
Pasal 6Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”keuangan negara” meliputi semua unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur tentang keuangan negara.Yang dimaksud dengan ”lembaga atau badan lain” antara lain: badan hukum milik negara, yayasan yang mendapat fasilitas negara, komisi-komisi yang dibentuk dengan undang-undang, dan badan swasta yang menerima dan/atau mengelola uang negara.
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 19
Ayat (4)Penyampaian laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini diperlukan agar BPK dapat melakukan evaluasi pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik. Hasil pemeriksaan akuntan publik dan evaluasi tersebut selanjutnya disampaikan oleh BPK kepada lembaga perwakilan, sehingga dapat ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya.
Ayat (5) Pembahasan diperlukan untuk mengkonfirmasi dan mengklarifikasi
temuan pemeriksaan BPK dengan objek yang diperiksa. Hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan digunakan oleh pemerintah untuk melakukan koreksi dan penyesuaian yang diperlukan sehingga laporan keuangan yang telah diperiksa (audited financial statement) memuat koreksi itu sebelum disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.
Ayat (6)
Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan BPK berkaitan dengan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, mempunyai kekuatan hukum yang mengikat pihak-pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang BPK.
Pasal 7Ayat (1)
Hasil pemeriksaan BPK meliputi hasil pemeriksaan atas laporan keuangan, hasil pemeriksaan kinerja, hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu dan ikhtisar pemeriksaan semester.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 8Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)Cukup jelas.
Ayat (4)Cukup jelas.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 20
Ayat (5) Hasil pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan dimuat dalam
ikhtisar hasil pemeriksaan semester.
Pasal 9 Ayat (1)
Huruf aKewenangan dimaksud merupakan perwujudan lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Huruf bPermintaan keterangan dan/atau dokumen dimaksud meliputi semua bidang yang berkaitan dengan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas
Huruf fKode etik memuat pedoman tentang sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pemeriksa keuangan negara guna menjaga mutu pemeriksaan, citra, dan martabat BPK.Kode etik ini berlaku bagi Anggota BPK, pemeriksa keuangan negara, dan pihak lain yang bekerja untuk dan atas nama BPK.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas.
Huruf iYang dimaksud dengan ”Standar Akuntansi Pemerintahan” adalah pedoman dan ukuran tentang pencatatan dan pelaporan berkaitan dengan transaksi keuangan yang disusun oleh suatu komite yang berwenang menurut undang-undang.
Huruf j Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 10Ayat (1)
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 21
Yang dimaksud ”pengelola” termasuk pegawai perusahaan negara/daerah dan lembaga atau badan lain.Yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah” adalah perusahaan negara/daerah yang sebagian besar atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara/daerah.
Ayat (2)Cukup jelas.
Ayat (3)Huruf a
Yang dimaksud dengan ”pejabat lain” adalah pejabat negara dan pejabat penyelenggara pemerintahan yang tidak berstatus sebagai pejabat negara.
Huruf bCukup jelas.
Huruf cPenyelesaian ganti kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum pihak ketiga dilaksanakan melalui proses peradilan.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 11 Huruf a
Pendapat yang diberikan BPK termasuk perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, pinjaman, privatisasi, likuidasi, merger, akuisisi, penyertaan modal pemerintah, penjaminan pemerintah, dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf cCukup jelas.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Ayat (1)
Dalam memilih anggota BPK, DPR mempertimbangkan kesesuaian dan keseimbangan antara keahlian dan komposisi pembidangan tugas BPK.
Ayat (2)Cukup Jelas.
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 22
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”diumumkan” adalah diumumkan pada media massa nasional dalam tenggang waktu yang cukup untuk menerima masukan dari masyarakat.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5)Cukup jelas.
Pasal 15Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2) Cukup Jelas
Ayat (3)Yang dimaksud dengan ”tertua” adalah ditentukan berdasarkan usia.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 16Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas
Pasal 19Huruf b
Untuk pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Anggota BPK segera diproses dan dilaporkan ke DPR dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan.
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”Majelis Kehormatan Kode Etik BPK”
adalah Majelis Kehormatan Kode Etik BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1).
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 23
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24Yang dimaksud dengan “tindakan kepolisian” adalah pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana, meminta keterangan tentang tindak pidana, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup Jelas
Pasal 33 Cukup Jelas
Pasal 34 Ayat (1)
Guna mendukung prinsip bebas dan mandiri serta efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenangnya, maka organisasi dan tata kerja Pelaksana BPK serta jabatan fungsional ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan Pemerintah.
Ayat (2)
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 24
Jabatan fungsional pemeriksa terdiri atas beberapa jenjang jabatan dan kepangkatan yang memiliki batas usia pensiun yang berbeda.
Ayat (3) Rekruitmen Pemeriksa diatur oleh BPK.
Ayat (4)Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)Guna mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada BPK perlu disediakan anggaran yang mencukupi sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 36 Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 4654
DHendianto;Biro Hukum BPK-RI;11/3/2006 25