Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Karya Tulis
TIPOLOGI HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH
OLEH :
DWI ENDAH WIDYASTUTI
NIP 19750314 200003 2 004
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2010
Universitas Sumatera Utara
TIPOLOGI HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH
Oleh : Dwi Endah Widyastuti, S.Hut, M.Si
Staf Pengajar Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian-USU
DEFINISI
Hutan hujan dataran rendah merujuk pada hutan yang berada pada lokasi dengan
ketinggian 0-1200 m di lahan kering (Whitmore, 1998), atau 0-1000 m (Indriyanto, 2006)
dari permukaan laut. Hutan basah dataran rendah selalu hijau adalah yang paling subur
dan kaya akan semua komunitas tumbuhan, tumbuh di semua “kondisi pertumbuhan
terbaik di lahan kering yang ada di mana pun di dunia”. Kondisi ini meliputi iklim yang
selalu basah di mana presipitasi melebihi evaporasi (Monk, Fretes, Lilley, 2000). Hutan
hujan tropis dataran rendah terdapat di iklim dataran rendah basah dimana cekaman air
terjadi sesekali atau tidak ada (Whitmore, 1998). Ini berarti curah hujan total tahunan
minimum adalah 2.000 mm. Meskipun ada perbedaan pendapat tentang distribusi curah
hujan ini, jumlah bulan kering kurang dari dua bulan per tahun dapat diterima. Alternatif
lain adalah paling sedikit harus terjadi dua puluh hari hujan pada empat bulan terkering
dalam setahun, dengan tidak ada bulan yang menerima hujan kurang dari 60 mm. Pada
kondisi seperti ini, kebanyakan tipe tanah, berpengaruh kecil terhadap hutan, karena air di
dalam tanah lebih dari cukup untuk menggantikan kualitas tanah yang buruk. Kekayaan
hutan-hutan basah tropis tidak selalu menunjukkan bahwa tanahnya subur (Monk, Fretes,
Lilley, 2000).
Universitas Sumatera Utara
ZONA HUTAN HUJAN
Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah meliputi pulau Sumatera,
Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Irian, Sulawesi dan beberapa pulau di Maluku
misalnya di pulau Taliabu, Mangole, Mandioli, Sanan dan Obi (Indriyanto, 2006). Hutan
hujan dataran rendah selalu hijau dapat dibagi ke dalam beberapa tipe. Di Nusa Tenggara
dan Maluku, tipe hutan ini mungkin menyimpang dari norma umum kebanyakan
kelompok hutan basah karena keterbatasan berbagai kondisi fisik dan biogeografi yang
ada pada pulau-pulau kecil. Keragaman jenis kehidupan mungkin lebih rendah, dengan
beberapa suku dan marga tertentu sangat dominan. Beberapa tipe mungkin tidak penting;
hutan pinggir sungai jarang terlihat di Nusa Tenggara dan Maluku, karena kelangkaan
sungai-sungai permanen. Di daerah-daerah lebih kering yang mendukung hutan monsun
dan savana, petak-petak hutan basah-hutan galeri-berkembang di jurang-jurang dan di
sepanjang dasar sungai di mana kelembaban tanah setempat menggantikan curah hujan
sebagai faktor penentu pertumbuhan hutan. Sampai sekarang masih belum jelas, apakah
hutan-hutan ini merupakan bekas hutan asli atau merupakan tipe hutan khusus yang
terdapat di lembah-lembah, yang berbeda dari hutan di daerah resapan air. Hutan-hutan
galeri mungkin sebenarnya merupakan tipe hutan yang tidak sesuai lagi dengan kondisi
iklim kering tetapi masih bertahan hidup sebagai hutan karena kondisi lembah yang
lembab.
Hutan basah tropis semi-selalu hijau adalah peralihan antara formasi hutan basah
dataran rendah selalu hijau dengan hutan-hutan monsun yang sebenarnya, yang
mengalami kekurangan air dalam beberapa minggu. Seperti namanya, komposisi jenis di
dalam hutan ini juga mencakup hutan luruh daun. Seperti hutan lainnya, identifikasi
Universitas Sumatera Utara
formasi vegetasi secara pasti sulit dilakukan karena merupakan hasil berbagai interaksi
antara iklim, tipe tanah dan topografi (Monk, Fretes, Lilley, 2000).
KARAKTERISTIK
Vegetasi
Hutan dataran rendah ditandai dengan jumlah biomassa yang sangat besar dan
jumlah ini dapat diukur dalam jumlah karbon yang ada. Hutan tropik (termasuk hutan
pegunungan, rawa dan hutan kering meliputi 1.838 juta ha atau 11,5% dari permukaan
bumi, tetapi mengandung 46% dari karbon dalam jaringan di Sumatera akan pasti
mempunyai persentase karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan luas arealnya.
Dari sejumlah biomassa hutan dataran rendah hanya 1-2% terdapat dalam serasah
tumbuhan, kira-kira 40% dalam tanah, tetapi kira-kira 60% dalam tumbuhan. Sebaliknya
di daerah beriklim sedang angka-angka untuk masing-masing bagian hutan adalah 10-
20%, 35% dan hanya 50%.
Hutan dataran rendah ditandai dengan adanya secara nyata, tumbuhan-tumbuhan
pemanjat pohon yang banyak dan lebat, pohon-pohon berbanir besar, dan banyak pohon-
pohon dengan batang yang tinggi bulat dan mempunyai kulit yang halus. Walaupun
beberapa pohon tinggi dari suku Caesalpiniaceae berdaun kecil dan majemuk (seperti
tualang Koompasia excelsa dan kempas Koompasia malaccencis), kebanyakan pohon
besar mempunyai daun-daun dengan ukuran mesofil yang sederhana, dengan panjang
antara 8-24 cm. Daun pohon pada lapisan pohon terendah sering mempunyai ukuran
yang lebih besar, seperti individu-individu muda dan pohon-pohon besar.
Universitas Sumatera Utara
Daun-daun dengan pinggiran licin dan ujung daun runcing umum dijumpai pada
hutan dataran rendah. Persamaan bentuk daun di antara tumbuhan satu suku serta
keanekaragaman yang tinggi dari jenis, seringkali menyebabkan pengenalan tumbuhan
pada hutan dataran rendah agak sulit. Namun sifat pohon yang lain, seperti getah, bentuk
kulit batang, ukuran banir, susunan urat-urat daun dan susunan letak daun pada cabang-
cabang, memungkinkan pengenalan dari sebagian besar contoh-contoh mandul (contoh
tumbuh-tumbuhan tanpa bunga-bunga).
Bentuk ujung daun yang runcing adalah bentuk yang paling umum pada pohon-
pohon muda yang terdapat di bawah lapisan tajuk pohon terbawah. Suatu teori
mengatakan bahwa fungsi ujung daun yang runcing adalah untuk mempermudah
mengalirnya air dari permukaan daun, dengan demikian mencegah atau menghalangi
tumbuhnya epifil. Oleh karena itu maka beralasan bahwa tumbuhan dengan ujung daun
yang runcing umumnya terdapat di tempat-tempat yang kelembaban relatifnya tertinggi
(laju penguapannya terendah) (Anwar J, et.al., 1984)
Di hutan hujan dataran rendah banyak terdapat jenis pohon anggota famili
Dipterocarpaceae terutama anggota genus Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatica,
Dryobalanops dan Cotylelobium. Dengan demikian, hutan hujan dataran rendah disebut
juga hutan Dipterocarps. Bukti pertama adanya Dipterocarpaceae di Borneo ialah
ditemukannya fosil serbuk sari di Sarawak, yang berumur lebih dari 3 juta tahun
(MacKinnon, 2000). Selain itu terdapat jenis pohon dari anggota famili Lauraceae,
Myrtaceae, Myristicaceae dan Ebenaceae, serta pohon-pohon anggota genus Agathis,
Koompasia dan Dyera. Pada ekosistem hutan hujan dataran rendah di Jawa dan Nusa T
enggara terdapat jenis pohon anggota genus Altingia, Bischofia, Castanopsis, Ficus dan
Universitas Sumatera Utara
Gossampinus, serta jenis-jenis pohon dari famili Legumonosae. Adapun ekosistem hutan
hujan dataran rendah di Sulawesi, Maluku dan Irian, merupakan hutan campuran yang
didominasi oleh jenis pohon Palaquium spp., Pometia pinnata, Intsia spp., Diospyros
spp., Koordersiodendron pinnatum, dan Canarium spp. Jenis-jenis tumbuhan merambat
yang banyak dijumpai di hutan hujan dataran rendah adalah anggota famili Apocynaceae,
Araceae dan berbagai jenis rotan (Calamus spp.) (Indriyanto, 2006).
Struktur
Pepohonan mendominasi hutan basah tropis selalu hijau. Pepohonan tumbuh
subur karena kondisinya optimal untuk pertumbuhan tanaman dan pertumbuhan pucuk-
pucuk baru tidak perlu perlindungan dan kekeringan atau kedinginan. Sebagian besar
pepohonan bersifat hidrofila dengan ciri: mencapai tinggi 30 m atau lebih, dan kaya akan
liana berbatang tebal, epifit berkayu dan perdu..
Ciri indikator hutan basah biasanya memiliki lapisan paku-pakuan epifit (Hyme.),
resam Gleichenia linearis (Glei.), dan kantong semar Nepenthes (Nepe.). Sementara
lumut tidak umum dikenal, liana dan tumbuhan pemanjat cukup banyak, walaupun peran
ekologinya masih kurang dipahami. Rotan, palem pemanjat dapat mencakup dua pertiga
dari seluruh palem di hutan basah dan merupakan tumbuhan terpanjang di dunia; satu
batang rotan dapat mencapai 130 m.
Hutan basah tropis selalu hijau memiliki tiga lapisan tajuk klasik: tajuk jenis
pohon yang menjulang tinggi; lapisan utama bertajuk rapat untuk pohon-pohon yang
tingginya 30-40 m dan tajuk pohon-pohon kecil yang menyukai naungan, dan tumbuhan
penutup tanah di bawahnya.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Lapisan Tajuk Hutan Hujan Dataran Rendah Sumber : http://www.ac-nancy-metz.fr/enseign/anglais/Henry/trees.htm
Beberapa tipe hutan mungkin hanya memiliki dua lapis tajuk. Jenis- jenis pohon
dominan sering sulit diidentifikasi karena keragaman jenis perhektar di dalam hutan
sangat tinggi, akses untuk mencapainya sulit, dan kenyataan bahwa periode tidak
berbunga berlangsung selama lima tahun atau lebih. Ciri khas pohon-pohon di hutan
tropis adalah adanya akar banir yang sangat besar, berbatang lurus, dan memiliki bentuk-
bentuk kauliflori (buah tumbuh pada batang), dan ramiflori (buah tumbuh pada cabang-
cabang pohon). Ketika buah-buah ini pertama kali dilihat oleh pakar botani, mereka
menduganya sebagai hasil serangan jamur. Nangka Artocarpus heterophyllus (Mora) dan
durian Durio zibethinus (Bomb.) adalah contoh dari jenis bersifat kauliflori.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Nangka Artocarpus heterophyllus Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Cauliflory
Hutan basah tropis semi-selalu hijau juga merupakan hutan yang basah yang rapat
dan tinggi. Berbeda dengan hutan basah dataran rendah selalu hijau, hutan ini memiliki
dua lapisan tajuk, pohon-pohonnya kecil, berupa tegakan murni (satu jenis) sehingga
keragaman jenisnya jauh lebih rendah.. Pepohonan yang luruh daunnya dapat mencapai
dua pertiga jenis pohon-pohon yang tinggi. Akar banir masih kurang terlihat, tetapi kulit
kayu mulai menebal dan kauliflori dan ramifori berkurang. Liana juga melimpah, dan
epifit, khususnya paku-pakuan dan anggrek (Monk, Fretes, Lilley, 2000).
Keanekaragaman Tumbuhan
Keanekaragaman jenis pohon di hutan dataran rendah Sumatera sangat tinggi.
Misalnya, di suatu lembah dekat sungai Ranun di Sumatera Utara, angka indeks
keanekaragaman Simpson untuk pohon-pohon dengan diameter 15 cm atau lebih pada
ketinggian dada, adalah 0,96 dan di bukit-bukit sekitarnya adalah 0,93. Di suatu hutan di
bukit-bukit Bangka, yang telah diteliti oleh Tim PUSLIT SDL-USU, indeks
Universitas Sumatera Utara
keanekaragamannya adalah 0,94. Kedua penelitian tersebut menggunakan nama daerah,
yang sering menimbulkan perkiraan yang lebih rendah dalam jumlah jenis yang
sebenarnya. Sebagai perbandingan indeks keanekaragaman hutan di Eropa biasanya
adalah 0,4-0,6 (Anwar J, et.a .,1984). Sementara di dalam satu hektar hutan dataran
rendah di Kalimantan, mungkin tumbuh sebanyak 240 jenis pohon yang berbeda, dan
satu hektar lagi di dekatnya mungkin dapat menambah setengah jumlah jenis tersebut
(MacKinnon, 2000). .
Masalah mengapa keanekaragaman tumbuhan di hutan-hutan tropik sangat tinggi
terutama di hutan dataran rendah, telah menuntut banyak pemikiran. Sebelum penelitian
yang terperinci dari fosil serbuk sari dimulai, dianggap bahwa hutan-hutan tropik telah
mengalami iklim yang stabil selama jutaan tahun, dan ini memberi waktu bagi banyak
jenis untuk melaksanakan evolusi. Telah dibuktikan bahwa pendapat itu salah, karena
seperti diketahui bahwa vegetasi daerah tropik telah mengalami cukup banyak perubahan.
Penulis-penulis lain menduga bahwa pembentukan daerah-daerah hutan yang terpencil,
selama puncak zaman es yang iklimnya lebih dingin dan lebih kering, telah berakibat
tehadap jenis pohon tiap daerah. Bila keadaan iklim membaik dan daerah-daerah hutan
bersatu kembali, beberapa dari jenis yang memiliki hubungan erat, akan berbeda dalam
hal perkembangbiakkan sehingga muncul keanekaragaman yang lebih besar daripada
sebelum hutan terpisah. Hal ini dikenal secara umum sebagai Teori Pemisahan dan
berguna dalam menjelaskan keanekaragaman famili-famili tumbuhan dan hewan tertentu,
seperti yang telah digunakan di Amazon dan Afrika. Namun teori ini kurang memuaskan
untuk Asia Tenggara, dimana pada zaman purba seluruh Semenanjung Malaya,
Sumatera, Kalimantan dan Jawa Barat diduga merupakan satu pemisahan, dan Irian
Universitas Sumatera Utara
merupakan pemisahan kedua. Teori pemisahan tidak menjelaskan setiap penyebaran
mahluk dan jelas dibutuhkan survai yang lebih terperinci mengenai penyebaran jenis.
Akibat yang pasti dari ekosistem yang memiliki keanekaragaman yang tinggi, adalah
jumlah jenis langka yang menjadi lebih besar. Dengan demikian pertanyaan “mengapa
hutan dataran rendah sangat beranekaragam”, dapat diganti dengan pertanyaan “mengapa
sangat banyak dijumpai jenis-jenis langka”.
Gambar 3 . Rafflesia arnoldi, Jenis langka tumbuh di dataran rendah
Sumber : http://www.dephut.go.id/informasi/tamnas/tn2seb.htm
Strategi perkembangbiakan yang dilaksanakan oleh organisme hidup dapat
dijelaskan sebagai ‘seleksi-r’, yaitu menghasilkan keturunan sebanyak mungkin, atau
‘seleksi-k’ yaitu menghasilkan sangat sedikit keturunan, tetapi dengan melakukan
perawatan, perhatian dan materi yang besar, yang menjamin keberhasilan dan ketahanan
hidup bagi keturunannya. Gajah, mawas, lembu dan kelelawar termasuk dalam seleksi-k,
sedangkan tikus, babi, kera, kebanyakan ikan dan serangga termasuk seleksi-r. Bila
Universitas Sumatera Utara
organisme menganut strategi-k, maka hampir pasti bahwa jumlah individu (tumbuh-
tumbuhan dan hewan) relatif sedikit terdapat dalam hutan dataran rendah. Maka sangat
penting diketahui bagaimana keadaan tersebut dapat menguntungan? Pada umumnya
adalah benar, bahwa herbivora yang terdapat di hutan dataran rendah hanya terbatas pada
beberapa jenis tumbuhan. Jenis herbivora ini telah berkembang sejalan dengan
perkembangan dari jenis tumbuhan tersebutdan mampu mengatasi cara-cara yang
bagaimanapun dari perlindungan fisik dan kimia yang dimiliki oleh tumbuhan. Maka
kemungkinan hama untuk mencapai jenis pohon tertentu adalah kecil, bila jarak antar
pohon besar. Oleh karena itu dampak yang diakibatkan herbivora pada jenis pohon yang
berlimpah atau menguasai suatu daerah mengurangi daya bersaing jenis itu, sehingga
jenis yang kurang dipengaruhi herbivora dapat tumbuh terus.
Sifat jarak yang besar juga menguntungkan, bila pohon-pohon induk
menghasilkan cairan beracun dari akar-akarnya untuk menghambat persaingan terhadap
sumber-sumber terbatas. Cairan tersebut juga dapat meracuni benihnya sendiri, demikian
juga terhadap jenis yang lain. Pada tempat-tempat dimana pohon tersebut banyak
dijumpai maka sedikit ruang untuk benih-benih bagi perkembangan dirinya, akan tetapi
pada tempat dimana pohon-pohon tersebut jarang, akan lebih banyak kesempatan benih-
benih untuk mendapat tempat-tempat yang tidak diracuni pohon-pohon induk.
Mekanisme ini mungkin tidak umum terjadi.
Tekanan herbivora dan cairan yang beracun, dkenal baik di daerah beriklim
sedang maupun di daerah tropik, sehingga tidak beralasan mengapa flora dan fauna
daerah tropik lebih banyak mempunyai jenis yang berjarak besar dibandingkan dengan
daerah beriklim sedang. Namun di daerah beriklim sedang kehidupan benih dikendalikan
Universitas Sumatera Utara
terutama oleh pengaruh iklim yang terlalu panas atau terlalu dingin, atau kandungan air
tanah yang terlalu besar atau terlalu kecil. Pengaruh-pengaruh ini bukan merupakan
keadaan yang menguntungkan ataupun merugikan bagi jenis yang jarang.
Hipotesa Ricklefs menyatakan bahwa keanekaragaman lokal dalam sifat-sifat
tanah dari iklim mikro mungkin merupkan dasar terjadinya kenaikan keanekaragaman
jenis dari daerah beriklim sedang ke daerah tropik. Dia mengatakan bahwa naik turunnya
intensitas dan sudut penyinaran cahaya matahari, curah hujan, suhu dan pembagian hara
antara tanah dan vegetasi adalah lebih besar pada daerah terbuka di hutan tropik daripada
daerah terbuka di daerah beriklim sedang, sebab :
- Biomassa yang besar di daerah tropik mengubah faktor-faktor, seperti banyaknya
sinar, kelembaban, suhu dan keadaan lingkungan yang tetap, menjadi jumlah yang
lebih besar daripada hutan beriklim sedang yang memiliki biomassa yang lebih
kecil.
- Perbandingan unsur hara pada vegetasi dengan unsur hara dalam tanah lebih besar
pada hutan tropik. Maka masuknya zat hara, yang berasal dari pembusukan
vegetasi dari bagian-bagian pohon yang tumbang atau tumbuhan yang terimpit, ke
dalam tanah yang lebih besar di daerah tropik.
- Penguraian yang lebih cepat daun-daun yang gugur dan sisa-sisa bahan organik
lainnya di hutan-hutan tropik akan mempercepat pelepasan hara mineral dan sisa-
sisa organik pohon-pohon yang tumbang dan menaikkan pemasukan zat hara ke
dalam tanah.
- Kandungan humus pada tanah-tanah hutan tropik lebih rendah daripada hutan
beriklim sedang walupun kandungan haranya serupa. Kandungan humus
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi daya untuk mempertahnkan kelembabab tanah, serta stabilitas
sifat tanah yang lain, bila terjadi gangguan fisik yang lebih intensif di petak
terbuka di hutan.
- Curah hujan yang lebih besar di daerah tropik menaikkan pencucian hara-hara
tertentu dari tanah yang terbuka, dan makin ke tengah hutan, pencucian hara
tersebut makin tinggi.
- Di daerah tropik, matahari lebih lama berada di atas kepala, dan siang harinya
lebih panjang dibandingkan daerah beriklim sedang sehingga cahaya matahari
menerpa tanah daerah terbuka hutan tropik lebih langsung daripada di hutan
beriklim sedang.
Perbedaan-perbedaan ini menimbulkan keanekaragaman keadaan lingkungan
yang lebih besar dari keadaan lingkungan untuk perkembangan benih di daerah tropik.
Keanekaragaman ini mengakibatkan terjadinya pembagian sumber-sumber yang ada, dan
timbulnya persaingan antar jenis. Perhitungan kejarangan jenis tumbuhan dipersulit
karena dua hal, yaitu beberapa jenis tumbuhan berumah dua (tidak seperti kebanyakan
tumbuhan yang mempunyai kedua kelamin pada satu batang), dan tumbuhan yang
bersifat endemik terbatas penyebarannya. Maka untuk melestarikan jenis tersebut perlu
dicadangkan areal yang cukup luas. Hal pertama tersebut dipersulit lagi karena
perbandingan kelamin tidak selalu merata sehingga hutan cadangan yang melindungi
hanya satu kelamin dari jenis tertentu tidak begitu berguna bagi jenisnya dalam jangka
waktu yang panjang.
Universitas Sumatera Utara
Keanekaragaman Hewan
Hutan dataran rendah Sumatera memiliki keanekaragaman hayati yang terkaya di
dunia. Berbagai jenis burung dan mamalia besar hidup di hutan dataran rendah Sumatera.
Untuk jenis burung saja pada hutan dataran rendah Sumatera terdapat 425 dari 626 jenis
burung yang hidup di hutan hujan Sumatera. Jenis-jenis burung tersebut antara lain
adalah rangkong papan (Buceros bucornis),sempidan Sumatera (Lophura inornata),
srigunting Sumatera (Dicrurus sumatranus), dan Bondol tunggir-putih (Lonchura
striata). Selain itu Sumatera juga merupakan habitat bagi jenis-jenis mamalia besar yang
tidak dijumpai di wilayah lain seperti harimau Sumatra (Panthera tigris), gajah (Elephas
maximus), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), beruang madu (Helarctos
malayanus) dan Tapir (Tapirus indicus). Keanekaragaman hayati yang tinggi yang
dimiliki oleh hutan dataran rendah Sumatera, menempatkan hutan Sumatera menjadi
salah satu ekosistem terpenting di dunia. (Widuri, 2008). Sementara Borneo memiliki
lebih dari 200 mamalia darat, lebih dari 500 jenis burung, 166 jenis reptilia, 183 jenis
amfibi dan invertebrata yang tidak terhitung jumlahnya, termasuk puluhan ribu jenis
kumbang (MacKinnon, et.al., 2000).
Jumlah jenis hewan yang besar di hutan dataran rendah, umumnya berkaitan erat
dengan perbedaan struktur dan keanekaragaman habitatnya. Hasil perhitungan pada satu
hektar hutan dataran rendah yang biasa di Panama mendukung lebih dari 41.000 jenis
serangga, dan seperempat dari jumlah ini mungkin terbatas hidupnya pada hanya satu
jenis tumbuhan. Jumlah hewan yang terdapat di Sumatera dan bagian lain di kawasan
Sunda, sesungguhnya adalah besar, akan tetapi tidak sebesar yang terdapat di daerah
tropik yang lain (Anwar J, et.al.,1984). .
Universitas Sumatera Utara
Daur Pertumbuhan Hutan
Hutan hujan tropik yang berbeda-beda,dan juga hutan-hutan di seluruh dunia,
mempunyai banyak persamaan dasar, karena memiliki proses suksesi dunia dan sifat-sifat
ekologik jenis pohon yang sama. Proses hutan tersebut dikenal sebagai daur
pertumbuhan hutan. Daur pertumbuhan ini menggambarkan kejadian-kejadian
bagaimana tumbangnya pohon-pohon tua mempengaruhi pohon yang berdekatan,
sehingga hutan menjadi terbuka yang disebut rumpang. Pada bagian hutan yang terbuka
tersebut, akan tumbuh dengan subur jenis yang toleran terhadap sinar matahari (tidak
toleran terhadap naungan), yang selanjutnya akan menciptakan keadaan yang sesuai
untuk perkecambahan biji-biji jenis pohon lain yang toleran terhadap naungan (bukan
harus berarti tidak toleran terhadap cahaya). Pertumbuhan semai itu selanjutnya akan
mengambil alih tumbuhan pengisi hutan terbuka yang terdahulu. Proses yang
menjadikan hutan dewasa disebut sebagai ‘suksesi sekunder’
Universitas Sumatera Utara
15
DAFTAR PUSTAKA
Anwar J, et.al 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta. MacKinnon K, et.al. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta. Monk KA, Fretes YD, Lilley GR. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku.
Prenhallindo. Jakarta. Whitmore, TC. 1998. An Introduction to Tropical Rain Forests. Oxford University Press
Inc. New York.
Widuri RT. 2008. Hutan Hujan Dataran Rendah Sumatera: Kini dan Masa Datang. www.burung.org/akses 24 maret 2010
Universitas Sumatera Utara