Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
TITIPAN
Untuk Pemilu Yang Berintegritas
“Sehimpunan Cerita Pendek Kelingan”
Dewi “Dedew” Rieka, dkk
Bawaslu Kabupaten Semarang
ii
TITIPAN Untuk Pemilu Yang Berintegritas “Sehimpunan Cerita Pendek Kelingan” Penulis Dewi “Dedew” Rieka, dkk Penerbit Bawaslu Kabupaten Semarang Jalan Purnakarya Raya, Gedanganak, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang Telp. (024) 7690143 Email : [email protected] Website : https://semarangkab.bawaslu.go.id Cetakan 1 Editor Kafha Desain & Ilustrasi sampul Muhlasin xiii + 193 halaman, 14,8 x 21,0 cm ISBN 978-623-92365-1-9 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All right reserved
iii
Mata Air Demokrasi (Sajak Pembuka Lukas Jono)
Telah menjadi abu-abu
Ribuan rintik-rintik air mata
Kadang membutuh benih-benih suara yang keluar dari
mercusuar suci.
Tak bening
Seperti medsos
Membubuhi segala makna
Di pikiran orang
Penuh dendangan
Kelak, waktunya tiba muncul dari bilik pemilu penuh
kertas-kertas suara.
Tingkir, 4/12/2016
*) Lukas Jono, penggiat Kelingan
iv
v
Kata Pengantar
Seribu Cara Sosialisasi Pengawasan Pemilu
Terobosan-terobosan dalam menggandeng masyarakat
untuk terlibat dalam pengawasan pemilu harus terus
digalakan. Ada seribu cara untuk melakukan sosialiasi
pengawasan pemilu kepada publik. Tidak hanya menoton,
itu-itu saja. Cara-cara unik dan menarik harus terus
digalakan.
Upaya pencegahan pelanggaran pemilu yang dilakukan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Semarang
tiada hentinya. Upaya itu juga dalam berbagai bentuk. Tak
hanya melalui diskusi, seminar atau ceramah. Tapi juga
melalui pendekatan sastra. Buku yang Anda pegang ini
menjadi buktinya. Selama ini sosialisasi sering kita
temukan melalui cara yang monoton. Orang di undang, di
beri ceramah, kalau perlu ada diskusi/dialog, setelah itu
selesai.
Cara seperti ini boleh-boleh saja dilakukan. Tapi cara ini
cenderung menempatkan publik/masyarakat sekedar
menjadi obyek sosialisasi. Bawaslu Kabupaten Semarang
bergandengan tangan dengan para penulis dari Kelompok
Literasi Ungaran (Kelingan) dari berbagai kelompok usia
dan profesi, untuk bersama-sama melakukan upaya
vi
sosialisasi pengawasan partisipatif. Mereka saling bertukar
ide. Ide-ide itu dituangkan dalam tindakan praktis.
Masyarakat dilibatkan sejak perencanaan kegiatan. Tidak
hanya sekedar diundang untuk mendengarkan ceramah
setelah itu pulang. Lebih dari itu, masyarakat harus
ditempatkan sebagai subyek atau pelaku untuk bersama-
sama melakukan sosialisasi. Kali ini, jalan yang ditempuh
adalah melalui cerita pendek.
Cerpen adalah bentuk prosa naratif yang sifatnya fiktif.
Cerpen merupakan prosa fiksi yang menceritakan suatu
peristiwa dengan melibatkan tokoh. Cerpen cenderung
lebih panjang dibanding dengan karya puisi. Tapi cerpen
cenderung lebih pendek dibanding dengan novel.
Sosialisasi melalui cerpen dilakukan sebagai salah satu
upaya. Kita berharap melalui cerpen ini banyak orang
tersadarkan betapa pentingnya proses dan hasil pemilu.
Jika selama ini pemilu dianggap sesuatu yang serius,
penuh ketegangan hingga sering diliputi tipu muslihat
para politisi. Maka, melalui pendekatan sastra ini, kita
berharap publik bisa tercerahkan. Mendapatkan kesadaran
betapa pentingnya pemilu harus didorong ke arah yang
bersih, berintegritas dan pelaksanaannya harus jujur dan
adil.
vii
Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, karya-karya sastra
sangat banyak mempengaruhi kesadaran masyarakat.
Menariknya, karya sastra seringkali “lolos” dari jeratan
belenggu otoritarianisme penguasa . Di saat pemerintahan
Orde Baru, misalnya, media massa yang menjadi arus
informasi masyarakat, sangat tidak bisa memiliki daya
kritis dan kebebasan. Sebab, media massa yang kritis akan
mendapatkan intimidasi. Surat izin penerbitannya akan
dicabut atau dibredel.
Dalam situasi pemberitaan media massa sangat diatur
maka karya sastra menemukan jalan kelolosan. Sastrawan
Seno Gumira Ajidarma pernah menulis buku berjudul
“Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Ini
menunjukan bahwa penyebaran opini publik tak hanya
melalui media massa. Tapi juga bisa melalui karya sastra.
Dalam situasi tertentu, sastra bisa jadi menjadi jalan
strategis dan taktis dalam rangka membangun kesadaran
publik.
Menariknya, karya sastra seringkali bisa melenggang
meskipun isinya sangat kritis terhadap kekuasaan.
Kenapa bisa begitu? Karena karya sastra, termasuk
cerpen, hanya berbahasa simbolik. Dengan bahasa yang
meliuk-liuk dan sifat rekaan (fiksi) maka karya ini agak
sulit digugat.
viii
Meski bersifat fiksi, tapi cerpen seringkali merefleksikan
realitas sosial. Ia bisa menyindir ketidakadilan. Bisa
menggungat kedzoliman. Mengandung kritikan pedas
terhadap elit penguasa. Tapi, cerpen tidak saja melulu
soal kritik yang serius. Bisa saja cerpen berkisah tentang
kelucuan, keluguan hingga percintaan. Muaranya bisa
menggembirakan juga bisa menyedihkan. Yang pasti,
cerpen bisa menghadirkan kesadaran.
Atas dasar itulah, Bawaslu Kabupaten Semarang bersama
dengan Keluarga Literasi Ungaran (Kelingan) menerbitkan
buku berjudul: “Titipan untuk Pemilu yang berintegritas:
sehimpunan cerita pendek Kelingan”. Bawaslu Kabupaten
Semarang memang mendorong penerbitan buku ini agar
Keluarga Literasi Ungaran (Kelingan) bisa terus menerus
melahirkan karya-karya terbaiknya. Harapannya, publik
bisa tercerahkan dan mendapatkan kesadaran.
Cerpen dalam buku ini mengangkat berbagai tema
tentang pengawasan pemilu/pilkada. Cerita yang
dibangun sangat beragam. Ada realitas di masyarakat.
Cerita berlatar anak sekolahan. Cerita pelaksanaan
pemilu/pilkada. Cerita tentang teknologi dalam pemilu.
Dan masih banyak cerita pendek lainnya.
Tulisan ini berisi gagasan-gagasan yang mencerahkan.
Balutannya melalui cerita pendek yang mudah dibaca.
Narasi yang dibangun melalui bahasa-bahasa puitis.
ix
Dibumbui dengan dialog-dialog antar pemeran dalam
cerpen ini. Pembaca juga bisa mendapatkan istilah-istilah
nyeleneh untuk menyinggung pelaksanaan pemilu/pilkada.
Kata dan kalimat berisi narasi melangit dan membumi.
Yang namanya cerpen pasti ada liukan-liukan kata yang
berbunga-bunga dan sangat puitis. Penulisnya juga dari
berbagai latar: ada “sastrawan asli”, ada cerpenis yang
sehari-hari berprofesi guru. Ada yang memang sehari-hari
bergelut di organisasi masyarakat. Ada pula yang sehari-
hari memang berkecimpung dalam dunia literasi. Mereka,
baik yang usianya sudah menapaki jalan tua maupun yang
masih muda-muda.
Selamat kepada Bawaslu Kabupaten Semarang yang telah
menerbitkan buku cerpen ini. Semoga bermanfaat untuk
publik.
Sukoharjo, Akhir November 2019
M. Rofiuddin, S.H.I, M.I.Kom.
(Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah 2018-2023).
x
xi
Daftar Isi
Mata Air Demokrasi ~ ...................................................... iii Kata Pengantar Muhammad Rofiuddin ~ .................................................. v Rekening Gendut Agustina Dwi Jayanti ~ ..................................................... 1 Dongeng Kong Kalikong Estu Pitarto ~ ................................................................... 11
Warung Makan Mas Topo Kafha ~ ............................................................................. 23
Amanah Di Balik Amplop Kirachusnul ~ ................................................................... 37
Pemiluku Kelabu Musyarofah A.R ~ ............................................................ 51
Bijak Memilih Putu Ayub ~ ...................................................................... 63
“MoccaLatte” Rizky Rahardian ~ ........................................................... 75
Sebuah Pertaruhan Tri Astuti Ari Winarti ~ .................................................. 85 Take and Give, Eh? Wahyu Yoshinoyuki ~ ..................................................... 95
xii
Titipan Winda Oei ~ ..................................................................... 105
Andai Aku Bisa Menutupimu Dari Dunia Rie ~ .................................................................................. 121
Politik Cokelat Tri Astuti Ari Winarti ~ ................................................... 129
Cinta Black Campaign Dewi “Dedew” Rieka ~ .................................................... 137
Black Campaign Akbar Uniek Kaswarganti ~ ........................................................ 149
Suara Kita Sangat Berharga Listiani R ~ ........................................................................ 159
Bahaya Golput Rahmatan ~ ....................................................................... 165 Pak Lukas Jono Keren Kafha~ ............................................................................... 175
Biodata Penulis ................................................................. 187 Sekilas Kelingan ................................................................ 193
1
Rekening Gendut Agustina Dwi Jayanti
“Hai, lagi lihat apa Kamu? Dari tadi asyik sendiri
dengan gadget!”
“Emm…” Yang ditanya hanya asyik scroll layar
gadget dengan mulut mengunyah bakso.
Novi terbiasa dengan kebiasaan teman kuliahnya
satu ini, kebiasan buruk Aldi. Bermain gadget kapan pun
di mana pun bila ada waktu. Seperti saat ini dia asyik
dengan dirinya sendiri, kebisingan di kantin kampus tidak
akan bisa membuyarkan konsentrasinya dari layar gadget.
Tiba-tiba Aldi mendongakkan kepala dan matanya
teralih dari layar beralih menatap tajam Novi yang tepat
berada di depannya. Yang dipandang bersikap masa bodoh,
asyik dengan sepiring nasi rames.
“Nov, Kamu tahu nggak sebentar lagi pemilihan
kepala daerah yang biasa disingkat pilkada itu loh.” Aldi
menunggu respon Novi dengan gemas, tapi yang diajak
bicara malah asyik-asyik saja dengan nasi di piringnya
“Hai, jawab dong!”
2
Terlihat wajah jengkel dari raut Novi. Lagi enak-
enak makan malah dipaksa menjawab sesuatu yang semua
orang juga sudah tahu kalau sebentar lagi akan ada
pilkada. “Iya, lalu?” jawab Novi.
“Kok Kamu keliatan nggak antusias sih?”
“Lha aku harus ngapain? Lagian juga belum tahu
siapa yang akan maju.”
“Bukan masalah siapa yang akan maju. Tapi dengan
adanya pilkada ini rekening kita bisa menggendut.” jelas
Aldi.
“Maksud Kamu?”
Aldi menjawab dengan menaikkan bahu dan
berwajah songong.
****
Sepanjang mata memandang selalu ada spanduk
bahkan baliho yang sudah terpasang berjejeran di
sepanjang jalan. Ada tiga warna dominan. Warna Merah,
Kuning dan Hijau, tepat persis seperti traffic light. Untung
yang ikut kali ini hanya ada 3 kandidat pasangan kalau
lebih, bisa seperti pemilihan daerah. Terlalu banyak yang
3
maju tapi tidak tahu apa prestasi yang sudah ditorehkan
untuk daerahnya masing-masing.
Tidak masalah siapa saja yang maju, toh semua
warga negara Indonesia, mulai berumur 17 tahun sudah
boleh mengajukan diri sebagai calon. Namun, yang
membuat Novi gerah dari tadi adalah adanya pemasangan
spanduk yang ditempelkan di pohon. Pemasangan
spanduk yang tidak sesuai dengan peraturan, asal dipaku
di pohon.
Tiba di rumah, Novi mengecek handphone siapa
tahu ada chat penting. Ternyata hanya dari Aldi “Sudah
lihat spanduk-spanduk di jalan kan? Besok setelah jam
kuliah pertama temui aku di lapangan basket ya. Gak usah
di bales, aku lagi sibuk. See you.”
Wajah Novi tampak sangat kelelahan. Dengan
padatnya jadwal kuliah dan masih ditambah kelakuan Aldi,
Novi perlahan-lahan menutup mata, merasakan punggung
nyaman di atas kasur.
****
Malam hari di lingkungan rumah Novi tak seperti
biasa, di depan jalan sudah terpasang tenda yang cukup
4
panjang. Panjang tenda bisa untuk menampung lebih dari
satu RT, bila berdiri berjajar berimpit-impitan. Tampak
ibu-ibu dan remaja bergotong royong menata tikar dan
sound system yang biasa untuk pengajian.
Ibu Novi melihat Novi hanya berdiri di depan pintu
memperhatian kegiatan warga.
“Kakak, sini loh bantu ibu nyiapin tempat. Jangan
malah bengong di depan pintu!” panggilnya.
Novi segera menghampiri ibu dan tak lupa
menutup pintu. “Bu, ini ada apa sih?”
“Akan ada penyuluhan pilkada.”
“Penyuluhannya itu nanti kita disuruh mengenali
orang-orang yang maju pilkada ya, Bu.”
“Iya to paling, Ibu nggak tahu.”
“Lha terus ngapain coba dikumpulkan kalo nggak
tahu?” Novi mengejar jawaban.
“Daripada Kamu banyak tanya, sana ganti baju dulu,
terus ke sini! Duduk dekat Ibu! Dengarkan penyuluh mau
bilang apa!” Sudah tak tahu harus jawab apa lagi, yang
memang sedari kecil selalu mengejar jawaban yang benar-
benar jawaban.
5
Tampak sudah selesai penataan jalan yang disulap
menjadi tempat layak rapat. Para bapak, ibu-ibu, dan
remaja telah berganti baju. Serasa sedang menunggu
orang penting.
Tak beberapa lama orang yang disebut-sebut akan
memberi penyuluhan pilkada datang. Seorang laki-laki
dan seorang perempuan menggunakan baju tren saat ini.
Bukan seorang paruh baya, mungkin seumuran Novi.
Seperti penyuluhan pada biasanya kenapa harus
menggunakan hak suara dan tidak boleh golput. Dari
penjelasan yang cukup mendayu-dayu dari tadi hanya
menyebutkan satu nama calon. Seperti penggiringan opini.
“Sudah paham ya kenapa tidak boleh golput! Untuk
itu bagi warga sini bila memilih calon ini per rumah akan
mendapat sembako. Juga uang tanda terima kasih tidak
melakukan golput sebesar Rp 50.000.” kata penyuluh laki-
laki.
“Tapi, ada syaratnya. Setiap warga yang sudah
memilih harap memfoto lembar pilih atau nanti
kumpulkan KTP di RT saja. Ngonten geh, Pak RT!” tambah
penyuluh perempuan.
6
Acara yang tadinya senyap tiba-tiba riuh, ada warga
yang tergoda dengan sembako dan tergoda uang.
“Pak, itu uang Rp 50.000 untuk setiap rumah atau
setiap KTP?”
Bapak mata duitan ini memang terkenal kritis kalau
soal uang, satu sen saja akan dicari jika hilang. Ada
guratan senyum kecil di ujung bibir Novi, lantaran
pertanyaan si bapak itu juga yang dia tunggu.
“Setiap KTP dapat Rp 50.000 jadi kalau satu
keluarga ada hak pilih 5 orang, ya dikalikan saja!” jawaban
manis, diakhiri senyuman bisnis. Sempurna.
Novi mengerti sekarang, tujuan diadakan rapat
dadakan yang mengumpulkan semua warga.
****
Seperti waktu yang dijanjikan, pertemuan Novi dan
Aldi di lapangan basket setelah mata kuliah pertama.
Sebelum Novi sempat melangkahkan kaki ke pintu, tiba-
tiba tangannya digeret Aldi menuju ruang BEM. Selalu
begitu bila berjanji, berubah sewaktu-waktu tergantung
mood.
7
BEM merupakan ruangan yang bisa dikatakan
tenang buat negosiasi. Ruangan yang sudah terkenal
sebagai ring tinju untuk para kritis. Orang-orang yang jago
debat. Apalagi Novi ketua BEM.
“Baiklah, apa yang mau Kamu bicarakan? Bila ini
nanti tidak mutu, Kamu harus mentraktir aku bakso
selama seminggu full!” jutek Novi. Tanda dia mulai bosan.
“Huuuu saya takut nyonya.” Aldi menjawab konyol.
“Baiklah aku mau berbisnis denganmu. Tolong jangan sela
dulu apa yang kubilang. Pemilihan sebentar lagi, otomatis
setiap calon akan membutuhkan banyak suara. Dari situ
aku ingin berbisnis denganmu. Saat ini aku sedang
memegang calon nomor 3.”
Aldi berhenti sejenak untuk mengetahui reaksi
Novi.
“Terus!” Novi melipat tangan di depan dada.
“Oke, aku terusin. Kamu kan ketua BEM, otomatis
Kamu punya power besar untuk menggerakkan teman-
teman mahasiswa. 70% mahasiswa asli orang sini.”
8
Novi diam cukup lama, menunggu apa lagi yang
akan Aldi katakan, tapi kelihatan justru Aldi yang
menunggu reaksi Novi.
“Hanya ini? Kamu buang-buang waktuku!”
Saat Novi akan beranjak, “Tunggu dulu!” Telapak
tangan Aldi terulur ke depan, meminta Novi tak pergi.
“Nilai bisnisnya, bila Kamu bisa mengumpulkan 1
suara Kamu bisa mendapatkan Rp 75.000. Jadi kalau
dikalikan jumlah mahasiwa yang menggunakan suaranya,
Kamu bisa bayangkan berapa uang yang akan masuk ke
kita. Belum lagi kalau kita juga masuk ke RT dan
komunitas. Setiap RT dan ketua komunitas akan
mendapatkan fee tersendiri. Tidak akan mempengaruhi
pendapatan kita. Menarik kan? Rekening kita akan sangat
menggendut.”
“Rekening gendut!” Jari-jari lentik Novi mengetuk-
ngetuk meja. “Cukup menarik.”
Seakan angin surga, Aldi merasa telah bisa
mempengaruhi Novi. Ya, sama saja, pikirnya, Novi bisa
tergiur uang.
9
Namun, “Tidak usah bahas uang yang besar dulu.
Ambil contoh, warga menerima uang Rp 50.000 , tapi
nantinya mereka mempertaruhkan 5 tahun pemerintahan
di tangan orang yang tidak jelas trade record. Bila pilihan
salah maka kota ini tidak akan pernah maju, bisa saja
mundur. Susah mencari pekerjaan, angka kemiskinan
meningkat, dan parahnya akan meningkat angka kriminal.
Pernah berpikir sampai situ, Aldi?”
“Hah kenapa Kamu berpikir sejauh itu? Yang
penting rekening kita.” elak Aldi.
“Mau sampai kapan Kamu akan seperti ini? Kamu
tidak berpikir, sebentar lagi lulus. Dan orang-orang yang
tidak tepat sedang menikmati jabatan. Apa Kamu yakin
uang yang dijanjikan turun?”
Enggan berlama-lama mendengarkan argumen Aldi,
Novi beranjak pergi dari ruangan. “Oh ya, coba Kamu cari
nama calon yang Kamu usung. Aku baru saja lihat dunia
maya sedang memperbincangkan dia atas
ketidakbecusannya mengelola perusahaan sampai banyak
pegawai yang belum dibayar selama 3 bulan.” tambahnya,
sebelum benar-benar meninggalkan ruangan.
10
Ting! Suara chat masuk. “Mau rekening gendut?
Kerja yang bener dan coba belajar saham!”
11
Dongeng Kong Kalikong Estu Pitarto
Terik matahari cukup menyengat menembus kulit
tropisku. Siang itu aku kembali berjalan menyusuri jejak
langkah yang sama saat aku berangkat ke sekolah pagi ini.
Jarak rumah dengan sekolahku cukup dekat. Perjalanan
menuju sekolah, cukup dengan berjalan kaki saja. Setiap
hari aku selalu melewati rumah Engkong Kalikong. Rumah
yang berdiri di atas sepetak tanah berukuran 4 x 4 m²
terlihat mungil tetapi cukup rapi. Engkong Kalikong
tinggal sendiri. Nama asli Engkong Kalikong adalah Bijak
Darmawan, Kalikong adalah julukan yang disematkan oleh
masyarakat karena kemampuannya melakukan negosisasi
jika terdapat masalah yang terjadi di desaku. Siang ini aku
menyempatkan mampir ke rumah Engkong Kalikong.
Tampak hadir Ahsan dan Yudha.
“Sudah lama, San, Yud?” sapaku kepada mereka.
“Lumayan, sekitar lima menitan.” jawab Ahsan.
Kami bertiga duduk dibangku kayu jati kuno di teras
rumah Engkong. Tak berapa lama, Engkong keluar sambil
12
membawa sebuah cangkir di tangan kiri dan piring seng
berisi ketela rebus.
“Ayo, ini ketela rebusnya! Jangan dibiarkan merana
karena tak disentuh!” kata Engkong Kalikong.
“Iya, Kong. Aku siap merampok semua ketela
rebusnya.” celetuk Yudha terkekeh-kekeh.
“Hush, nggak ada bahasa yang lebih baik, Yud?
Melahap misalnya.” seruku ketus.
“Sudah, sudah! Tentang rampok merampok,
Engkong punya cerita nih.” seru Engkong. Jika Engkong
Kalikong sudah memberi ultimatum seperti ini, kami
langsung terdiam bersiap menanti cerita seru Engkong.
Pokoknya masalah bercerita, Engkong Kalikong jagonya.
“Baiklah, Engkong akan mulai bercerita….“
“Pada suatu hari....” jawab kami serempak
memotong kata Engkong.
“Hahaha...nggaklah. Engkong tidak akan memulai
cerita dengan kata pada suatu hari. Sudah umum!” jawab
Engkong sambil terkekeh.
“Begini ceritanya. Ada sebuah negara bernama
Gloos. Letak negara Gloos sangat unik. Tidak sembarang
13
manusia dapat menemukan lokasi negara ini baik di peta
maupun teknologi GPS sekali pun. Negara ini dikelilingi
oleh hutan lebat, lebih lebat dari hutan Amazon maupun
belantara Kalimantan. Tak heran jika banyak yang awam
dengan keberadaan negara ini.
Kondisi negara Gloos yang jauh dari peradaban
manusia saat ini, tidak serta merta membuat negara
tersebut terbelakang. Justru sebaliknya, negara ini telah
memiliki peradaban yang sangat tinggi terutama dalam
bidang teknologi. Salah satu teknologi yang tidak ada di
negara belahan mana pun yakni Glasgow, sebuah
kacamata tembus pandang.”
“Wah, tembus pandang, Kong? Bisa melihat isi
dompet Ahsan dong?” selaku.
“Tidak seperti itu, Glasgow memiliki kemampuan
melihat dua dunia yakni dunia astral yang dihuni makhluk
halus dan dunia kasat mata dengan manusia sebagai
penghuni utamanya. Teknologi ini ternyata mampu
menyatukan hubungan dua jenis makhluk yang berbeda
ini. Mereka dapat hidup berdampingan dan saling
berinteraksi satu sama lain di berbagai bidang.”
14
“Apa tidak serem, Kong? Melihat makhluk halus?
Hiii...!”
“Eh, sebentar. Apa yang membuat manusia
ketakutan melihat hantu?” tanya Yudha.
“Karena hantu menyeramkan.” jawabku.
“Salah, karena kalian nggak pernah melihat hantu.
Coba kalau kalian terbiasa melihat hantu pasti nggak
bakal takut deh. Hahaha...” celoteh Yudha dilanjutkan
dengan gelak tawa kami semua.
“Bagaimana? Engkong lanjutkan nggak ceritanya?”
tanya Engkong Kalikong.
“Iya, Kong.” jawab kami serempak.
“Masih tentang negara Gloos. Negara ini terdiri dari
beragam golongan dari dua dunia. Yakni dunia astral dan
dunia kasat mata. Dunia astral dihuni oleh golongan Kunti,
Pocong, Genderuwo, tuyul dan para siluman sedangkan
manusia tinggal di dunia kasat mata. Negara ini dipimpin
oleh seorang presiden. Sesuai dengan undang-undang
dasar negara tersebut, presiden dipilih dari calon yang
diajukan oleh tiap wakil golongan dua dunia. Dengan
demikian maka golongan makhluk halus pun dapat
15
menjadi presiden melalui pemungutan suara setiap lima
tahun sekali. Memimpin warga negara Gloos gampang-
gampang susah. Karakter dan sifat masing-masing warga
sudah masuk pada taraf individualisme akut. Teknologi
yang berkembang ternyata mampu mengubah pola
perilaku sosial masyarakat Gloos. Perilaku ini merata dari
anak-anak hingga dewasa. Bagi mereka yang paling
penting dalam hidup adalah bertahan hidup atas
kemampuan diri sendiri. Mereka tak lagi membutuhkan
orang lain, toh dengan sebuah alat canggih kebutuhan
mereka terpenuhi. Anak-anak selalu asyik dengan game
online-nya, para wanita asyik dengan toko online dan
sosialita dunia maya, sedangkan para lelaki bekerja atas
kehendak masing-masing.”
“Kayak Ahsan ya, Kong. Kalau sudah pegang gawai,
dunia serasa milik dia saja. Dipanggil pun tak akan
menengok.” kata Yudha.
“Memang kamu tidak, Yud? Sama saja.” balas
Ahsan.
“Sudah, sudah! Kalau begini terus ceritanya nggak
bakal selesai ini.” kata Engkong.
16
“Baik, Engkong lanjutkan ya. Meskipun demikian
sebuah negara tentu membutuhkan pengelola yakni
pemerintah. Tahun ini merupakan tahun politik.
Pemilihan presiden bakal digelar menjadi pesta warga
negara Gloos. Berbagai golongan bersiap menyediakan
calon pemimpin. Kunti, pocong, genderuwo, tuyul, para
siluman bahkan manusia telah memiliki calonnya masing-
masing.”
“Kong, apakah pemilihannya sama seperti
pemilihan umum di negara kita?” tanyaku kepada
Engkong.
“Hampir sama tetapi ada perbedaan cara
memilihnya. Negara Gloos memiliki teknologi yang sangat
canggih. Oleh karena itu pemungutan suara dilakukan
secara online melalui telepon genggam masing-masing.
Warga tidak perlu beranjak dari tempat tinggalnya. Cukup
melakukan polling dari aplikasi yang telah disediakan oleh
PPDB.”
17
“Apa PPDB itu, Kong?” tanya Ahsan.
“PPDB ialah Panitia Pemilihan Dunia Bersama. Ya,
kalau di negara kita fungsinya mirip KPU. Baik tugasnya
maupun kewenangannya.” jelas Engkong Kalikong.
“Bukan hanya pemilihannya saja, tata cara
kampanye pun dilakukan dengan teknologi. Calon
presiden cukup memiliki channel video di internet. Dari
channel tersebut, mereka dapat menyampaikan program
kerjanya. Video dalam channel tersebut disebarkan
melalui media yang ada di negara Gloos.”
“Wah, keren. Pasti calon presidennya akan bilang
jangan lupa klik tombol subscribe, like, share karena
subscribe itu gratis....tis, enjoyyy!” celetuk Yudha kembali.
“Huuuu...” timpalku bersama Ahsan.
“Kong, kenapa mereka melakukan cara kampanye
dengan video seperti itu, Kong? Nggak seperti di negara
kita yang menghadirkan banyak orang di tengah lapangan.”
tanyaku kepada Engkong.
“Namanya saja negara dengan peradaban teknologi
tinggi, Jul. Mereka tidak mau repot dan sangat efektif
dalam hal pemanfaatan waktu. Pun jika melalui internet,
18
jika terjadi perselisihan paling hanya sebatas kata-kata
komentar bukan adu fisik di lapangan,” terang Engkong
Kalikong.
“Baiklah, lalu siapa kandidat calon presidennya,
Kong?”
“Kandidat calon presiden ada 3 makhluk. Yakni
pocong, tuyul dan manusia. Pocong diusung oleh
golongan kunti dan genderuwo, tuyul diusung oleh para
siluman dan bangsa tuyul sendiri, sementara manusia
diusulkan oleh bangsa manusia. Singkat cerita, ketiganya
mulai melakukan kampanye secara online. Badan
pengawas pemilihan terus memantau perkembangan
jalannya kampanye. Jika terjadi pelanggaran, mereka
tinggal menghapus konten para kandidat maupun
simpatisannya karena Bawas ini memiliki akses penuh
untuk mengendalikan media yang digunakan untuk
kampanye.”
“Wah, seandainya...” celetuk Yudha.
“Seandainya, apa!” kata Ahsan sambil mengepalkan
tangannya kepada Yudha.
19
“Akhirnya siapa yang jadi, Kong?” tanyaku tidak
sabar.
“Setelah dilakukan pemungutan suara melalui
aplikasi, akhirnya diputuskan bahwa tuyullah yang
mendapatkan suara paling banyak.” kata Engkong.
“Lho, tuyul yang berbadan kecil seperti itu kok bisa
memenangkan pemilihan suara, Kong? Bagaimana bisa?”
protes Ahsan.
“Tuyul sangat cerdik. Ia mampu memainkan
strategi berdasarkan jumlah penduduk negara Gloos. Ia
tahu bahwa penduduk yang menduduki populasi tertinggi
di negara itu adalah manusia. Tuyul tahu bahwa
kelemahan manusia ada pada harta. Sesuai dengan
kemampuan tuyul mendapatkan uang pada saat fajar
didukung oleh sifat manusia yang serakah maka strategi
itu berhasil dilakukan. Jika tuyul menawarkan uang
kepada para makhluk astral maka mereka pasti akan
menolak karena kunti, genderuwo, siluman, pocong hanya
doyan kemenyan bukan uang jajan.”
20
“Hahaha...” kami tertawa bersama-sama.
“Jadi, akhirnya tuyul jadi presiden ya, Kong!”
tanyaku.
“Ya, betul. Tuyul ditetapkan oleh PPDB menjadi
presiden tanpa melalui persidangan di MKDB sebab tidak
ada yang menyanggah hasil pemilihan suara berdasarkan
hasil terakhir.”
“MKDB itu...” tanyaku kepada Engkong tetapi
dipotong langsung oleh Ahsan.
“Mahkamah Konstitusi Dunia Bersama! Betul,
Kong?”
“Ya, benar.”
“Tetapi tuyul kan curang, Kong. Ia menggunakan
uang untuk membeli suara dari para manusia. Apakah
tidak ada yang melaporkan?” protesku kepada Engkong.
“Tidak ada. Para manusia saat itu berpikir sangat
praktis. Bagi mereka yang paling penting adalah uang yang
saat ini bisa dirasakan. Masa bodoh dengan siapa pun
yang akan jadi presiden. Toh, mereka tetap hidup dan
mencari makan sendiri!” jawab Engkong.
21
“Bagaimana nasib penduduk setelah tuyul jadi
presiden, Kong?”
“Nah, ini yang menarik. Sejak tuyul menjadi
presiden, banyak rakyat kehilangan uangnya. Hampir
setiap malam uang yang mereka simpan hilang selembar
demi selembar. Rakyat menjadi semakin sengsara dan
menderita. Tahukah kalian siapa yang suka mencuri uang
rakyat itu?”
“Tuyul!” jawab kami serempak.
“Hahaha, kalian memang cerdas. Hanya para
tuyullah yang pandai mencuri uang tanpa ketahuan.
Begitulah jika ada calon pemimpin yang melakukan cara
dengan membeli suara rakyat. Ia pasti akan berpikir untuk
mengembalikan uang yang telah diberikannya dan syukur
bisa menambah jumlah yang ada.”
“Untung ya, Kong. Negara kita tidak ada pemimpin
yang melakukan cara-cara seperti tuyul tadi.” kataku
kepada Engkong.
“Benar. Satu hal yang tak kalah penting adalah kita
sebagai rakyat jangan mau dibeli suaranya oleh para tuyul
itu!”
22
“Tetapi, Kong. Jika ternyata di negara kita ada calon
pemimpin yang melakukan cara seperti tuyul tadi
bagaimana, Kong?” tanya Ahsan.
“Berarti dia...?”
“Tuyul...!” jawab kami serempak.
23
Warung Makan Mas Topo Kafha
Semalam terlalu sedikit tidurku. Bahkan nyaris tak
tidur. Pukul 04.30 baru bisa merebahkan badan di atas
kasur. Tak aneh, pukul 09.00 aku baru bisa membuka
mata, meski masih bergolek di kamar tidur. Itu pun
karena dibangunkan Rahma untuk sarapan pagi. Anak-
anak sudah berangkat sekolah.
“Maafin Ayah ya, Bun! Ayah bangun kesiangan,
sehingga tak sempat mengantar anak-anak ke sekolah,”
ucapku sambil berjalan ke meja makan.
Istriku itu sudah menunggu untuk makan bersama.
Aku mencium aroma khas kopi yang mengundang selera.
Aku lihat nasi putih terhidang dalam mangkuk besar.
Sayuran rebus tanpa kuah di atas piring dan di sebelahnya
satu mangkuk kecil sambal pecel. Beberapa helai daun
kemangi di atas piring kecil. Ada pula tempe mendoan
dan telur dadar kesukaanku. Terakhir, rempeyek yang
masih terbungkus plastik, jelas ini baru saja dibeli.
“Wow kopi rempah!” teriakku sembari menyeruput
sedikit kopi setelah meletakkan pantatku di atas kursi.
24
Duduk menghadap piring kosong dengan sendok di
atasnya, berhadapan dengan istri.
“Tadi Bunda yang antar anak-anak ke sekolah,”
Rahma buka suara.
“Don’t worry, Honey. Besok-besok, tak cuma anak-
anak, Dirimu pun kan kuantar keliling kampung.”
“Kok hanya keliling kampung?”
“Ya wis ke mana?”
“Udah ah! Paling cuma obral janji!”
Istriku mengambilkan nasi putih, sayuran rebus, dan
kemangi ke atas piring. Dia siram dengan sambal pecel,
kemudian ia sodorkan kepadaku. Ia ambil bungkusan
plastik isi rempeyek dan menggunting pucuknya.
“Rempeyek, Yah!” Ia taruh di atas piringku. Hal yang
sama ia lakukan di atas piringnya. Kemudian sama-sama
makan. Sarapan pagi tanpa gaduh anak-anak.
“Bagaimana pecelnya, Yah?”
“Enak! Tidak seperti biasa. Coba resep baru nih?
Rempeyek ini juga gurih.”
“Enaklah. Itu Bunda beli di warung pojok Pasar
Ungaran.”
25
“Oalah beli! Ayah kira Bunda yang masak. Namun
serius, enak banget.”
“Bunda hanya masak nasi putih dan air pagi ini.
Habis Ayah juga bangun siang. Kan Bunda kudu antar
anak-anak sekolah. Nah, habis dari sekolah, Bunda
sekalian mampir pasar.”
“Ya, ya, maafin Ayah, bangun kesiangan! Oh iya,
Bunda kenal pemilik warung yang jual pecel ini kan?”
“Kenal! Emang kenapa?”
“Ya, kenapa tidak sejak dulu langganan pecel dari dia?
Kan enak sarapan pagi dengan menu istimewa kayak
begini.”
“Ah, dasar hamba perut! He-he....” Rahma tertawa
meledek. “Ya, Bunda juga baru kenal tadi pagi kok, Yah.
Itu pun semula iseng. Tak sengaja melihat warung kecil
tetapi dikerubuti antrean pembeli.”
“Pemilik warung itu,” sambung Rahma, “pasangan
muda suami-istri. Ya, seumuran kitalah. Beda tipis.
Mereka urban dari Blora. Baru tiga tahun ini mengadu
nasib di kota kecil kita ini. Anak mereka baru satu,
perempuan, dan kini duduk di kelas VI SD Negeri Induk
26
Ungaran. Mereka tinggal di rumah kontrakan dekat pasar,
persisnya di gang sempit belakang Bank Perkreditan,
samping rumah makan padang.”
“Oh ya, Ayah kenal daerah itu. Terus warung pecel
yang mereka tempati sebelah mana?”
“Sabar, Sayangku! Pelan-pelan, nanti keselek dan
nasinya tumpah ke lantai. He-he....” lagi-lagi istriku
meledek. Kemudian ia melanjutkan cerita. “Mereka sewa
kios di pojok timur-utara, ya deretan kios-kios bagian luar
Pasar Ungaran yang memang disewakan untuk warung
makan dan toko kelontong. Mereka buka warung makan
sederhana yang menjajakan: tahu campur, sambal pecel,
dan ketoprak. Menu selingan sayur pepaya muda, oseng-
oseng daun singkong, kacang panjang, oseng tahu tempe,
orak-arik sayur, tempe dan tahu mendoan, serta telur
dadar. Oh ya nama mereka Mas Topo dan Mbak Tini,
Martini lengkapnya. Namun orang-orang pasar kerap
memanggil Mbak Tini. Menu minuman yang mereka
tawarkan hanya teh, jahe, dan kopi.”
“Dan air putih tentu saja.” Aku potong paparan istri
sembari menambah nasi dan menuang sambal pecel ke
27
atas piringku. Aku coba pula telur dadar yang menganggur
belum terjamah. Memang istriku tak doyan telur dadar.
Dan, aku yakin tiga lapis telur dadar itu ia sengaja untuk
aku dan sang sulung. Lantaran si bungsu juga tidak gemar
telur.
“Ya, air putih. Mereka sajikan dalam kendi. Jadi
minum air putihnya gratis.”
“Kok aneh? Hari gini masih ada yang pamer kendi.”
“Itulah yang bikin Bunda penasaran dengan Mas
Topo dan Mbak Tini. Maka Bunda berlama-lama
nongkrong di sana. Bunda jajal tahu campur mereka. Dan,
ini yang tak wajar, saat Bunda minta air putih kemasan,
mereka geleng kepala. Ternyata mereka tak menyediakan
botol air kemasan. Mas Topo mengulurkan gelas dan
minta Bunda tuang air putih dari kendi yang mereka taruh
di tengah meja. Ya, di atas meja itu ada tiga kendi ukuran
sama yang sama-sama berisi penuh air putih.”
Aku tertegun menyimak paparan Rahma. Sesaat aku
pun istirahat mengunyah. Takjub, terlebih riasan Rahma
yang apa adanya pada pagi ini sungguh bikin merak hati.
28
“Lantas Bunda tanya ke Mas Topo, kenapa tidak
sedia botol kemasan yang menurut pendapat Bunda lebih
sehat ketimbang air dalam kendi. Bunda tak menyangka
jawaban Mas Topo, yang mengatakan justru air dalam
kendi itulah yang lebih menyehatkan ketimbang bikinan
pabrik, dan bla bla.... Banyak sekali uraian Mas Topo
tentang pabrik, korporasi modal, dan kedaulatan air. Coba
Ayah bayangkan, betapa malu Bunda tadi pagi yang salah
persepsi dan dikuliahi seorang penjual di warung makan.
Untung, pembeli yang lain sudah tak mengantre. Tinggal
Bunda dan seorang bapak tua bersama anak kecil, entah
cucu atau anaknya, Bunda tak tahu. Dan satu hal lagi yang
sungguh-sungguh menarik, Mas Topo sempat diminta jadi
tim sukses Pak Jono….”
“Lukas Jono!” aku sela uraiannya.
“Tepat! Sang caleg DPR RI dari Partai Padi. Namun,
Mas Topo menolak. Ia takut konsekuensinya. Ia nggak
mau terlibat politik obral uang. Ia tidak mau turut
melestarikan tradisi umbar janji dan memberi uang bagi
pemilih. Bahkan ia tolak tawaran Pak Jono yang mau
membikinkan rumah sederhana untuknya. Konyol kan?
29
Padahal, hari gini ketimbang terus-terusan jadi kontraktor,
ngontrak rumah sana sini, mending bernaung di rumah
sendiri ta! Pikir Bunda, tawaran rumah itu nanti, selain
untuk tempat tinggal, bisa buat melangsungkan usaha
warung makan mereka. Namun, sekali lagi Mas Topo dan
Mbak Tini menolak uluran Pak Jono. Alasan mereka,
hidup cuma sesaat kudu bersih dari praktik money politics.
Gimana tuh, Yah, keren kan!”
Lagi-lagi, pikiranku langsung mengawang tinggi. Aku
tak sanggup menghapus rasa penasaran atas diri Mas Topo
dan istrinya, Mbak Tini. Mereka bak dongeng, yang terus
mengiang di telingaku. Korporasi, kedaulatan air, pemodal,
dan pabrik kerap kudengar dalam diskusi-diskusi bersama
teman-teman seangkatan kuliahku dulu. Namun, berjarak
dari rayahan obral uang di masa kampanye, sungguh
teramat sangat istimewa. Mas Topo, termasuk jenis langka,
lantaran tak sedikit yang kepincut, menjadikan obral uang
sebagai jalan hidup. Apalagi di tengah krisis macam hari
ini. Uang jadi segalanya. Sehingga, lazimlah bahwa seolah
yang berhak duduk di kursi legislatif (juga eksekutif)
adalah orang-orang yang berduit, walau minus
30
kemampuan, dan tanpa integritas. Minim keberpihakan
pada rakyat. Uang sedemikian rupa telah menjelma jadi
senjata ampuh untuk memuluskan seorang kandidat
menduduki kursi sebagai anggota dewan atau kepala
daerah. Hmmm, aku harus ketemu Mas Topo. Ia harus
menjelaskan kenapa begitu getol menolak jadi tim sukses?
Kenapa menolak dibangunkan rumah? Terus soal kendi,
sekadar gaya-gayaan, atau memang bagian dari
perlawanannya terhadap serangan politik uang?
Ah, tiga tahun ia telah mengontrak rumah di
Ungaran. Ia berasal dari Blora, dan sontak tebersit: adakah
hubungan kekerabatan antara Mas Topo dengan
pengarang realis terkenal, Pramoedya? Yang aku tahu,
Pramoedya Ananta Toer sedemikian tegas menolak kuasa
uang. Pramoedya dalam tulisan-tulisannya bertutur
tentang kekuasaan uang yang benar-benar memorat-
maritkan kehidupan masyarakat bawah. Dan, Mas Topo!
Siapa dia? Kenapa pula ia bersama istrinya seakan
meneguhkan diri sebagai pegiat antipolitik-uang? Bahkan
menu makan dan minum yang mereka sajikan, seolah
mencerminkan kedaulatan pangan lokal. Tahu campur,
31
sambal pecel, dan oseng-oseng tak lain merupakan produk
menu lokal yang hanya dijajakan di warung-warung
sederhana, dengan hasil pendapatan yang juga sedikit.
Mereka buka warung sederhana.
“Heran kan?”
“Ya, Bun. Ayah tergoda oleh cerita Bunda. Menurut
pendapat Ayah, Mas Topo dan istrinya itu sedang
melakoni hidup sebagai pejuang antikerakusan. Mereka
rela hidup pas-pasan.”
“Tepatnya bersahaja, Yah. Dan berkarakter. Warung
mereka kecil, tetapi sajian yang mereka hidangkan adalah
menu sehat yang mengingatkan kita agar berani
mengambil jarak dari segala yang berbau kemaruk dan
seabrek ambisi atas sandang, pangan, papan.”
“Baiklah. Bagaimana kalau besok atau nanti sore kita
ajak anak-anak ke warung Mas Topo?”
“Besok saja. Sekalian jalan-jalan pagi. Kan Sabtu,
anak-anak libur. Bagaimana? Oh ya, mau tambah sambal
pecel?” Rahma menyorongkan mangkuk berisi sambal
pecel kepadaku.
32
“Sudah. Perut Ayah sudah tak berkeruyuk lagi.
Baiklah, besok pagi saja kita ke Mas Topo.”
Istriku membereskan piring dan gelas kotor ke
tempat cucian. Kemudian menutup sisa nasi, sayuran,
tempe, dan sambal pecel dengan tutup makanan. Lalu,
kami beranjak ke ruangan depan.
****
Anak-anak bangun pagi. Mereka riang, karena
semalam Rahma memberi tahu pagi ini akan mengajak
jalan-jalan. Mereka sudah mandi dan kini bermain di
halaman rumah, sembari menunggu persiapanku dan istri.
Sengaja Rahma tidak masak hari ini. Bahkan masak air
pun tidak, apalagi nasi dan sayuran. Hari ini kami
berencana sarapan pagi di warung pecel Mas Topo. Tas
kecil berisi uang, ponsel, pensil, dan buku catatan sudah
kuselempang ke pundakku. Ya, hari ini aku bawa buku
catatan. Aku ingin mengorek dan mencatat keterangan
sebanyak mungkin dari lisan Mas Topo. Siapa gerangan
sesungguhnya ia? Apa motivasinya buka warung di tengah
gaya hidup yang serba siap saji ala pabrik modern?
33
“Ayah! Ada asap dari arah timur!” teriak Isa. Anak
sulungku itu lari tergopoh masuk rumah dan lantas
menarik tanganku ke luar rumah.
Benar. Asap hitam disusul api berkobar membubung
tinggi ke udara. Rumah siapa yang terbakar? “Oh tidak!”
jeritku. Asap hitam itu mengepul persis di atas Pasar
Ungaran. Jangan, jangan, ya, lantas aku masuk ke dalam
rumah, cepat-cepat ajak istri ke luar.
“Bun, pasar terbakar!”
“Hah?” Rahma melongo tak percaya. “Terus
bagaimana dengan Mas Topo, Mbak Tini, dan warung
mereka?”
“Ya, Ayah juga belum tahu. Maka Ayah ingin ajak
Bunda ke sana sekarang.”
“Ayah sendiri saja ke sana! Biar cepat.”
“Ayah kan belum tahu persis warung Mas Topo.
Ayah juga belum paham rupa wajah Mas Topo dan Mbak
Tini. Sudah! Bunda harus ikut, sekalian anak-anak kita
ajak!”
****
34
Sepeda butut milik kami membelah Jalan Pattimura.
Jalanan ramai. Orang-orang tumpah ruah naik sepeda
motor dengan tujuan yang sama: Pasar Ungaran. Saking
ramai pengguna jalan, biasanya sepuluh menit tiba di
pasar, kini lebih. Benar saja. Arus di Jalan Gatot Subroto
macet. Bus-bus besar antarprovinsi berhenti.
“Ah! Bisa-bisa setengah jam baru sampai pasar, Bun.
Arus macet begini.”
“Ayah, itu apinya sudah tak setinggi tadi!” anak
sulungku menimpali.
Benar, kulihat api tak membubung tinggi. Tinggal
asap yang menghitam. Berarti pemadam kebakaran sudah
berhasil menjinakkan api yang mengganas. Hmmm,
bagaimana dengan Mas Topo? Aku bertanya-tanya
kembali dalam hati, seraya mendremimilkan doa agar
warung Mas Topo tak apa-apa. Mas Topo, Mbak Tini, dan
putri semata wayang mereka selamat dari kobaran api.
Injak pedal kuat-kuat dan jalan berkelak-kelok, aku
terjang kemacetan. Di tengah bising suara klakson serta
sirine pemadam kebakaran, benar dugaanku, setengah jam
baru bisa mendekati pasar. Jarak seratus meter dari pasar,
35
kami berdiri di samping kerumunan orang. Lagi-lagi kami
hanya sanggup menatap sedih, menyaksikan ibu-ibu
pedagang di pasar panik mengangkuti barang-barang.
Sementara pasar sudah ludes. Tinggal menyisakan tembok
hitam tak beratap serta asap menghitam. Mas Topo, istri,
dan putrinya? Entahlah....
Ungaran, 18/11/2019
36
37
Amanah di Balik Amplop Kirachusnul
Kegaduhan terdengar dari beberapa kelas yang
berderet pada suatu kompleks bangunan bertingkat tiga.
SMA Bina Dharma digegerkan oleh pengumuman yang
baru saja disuarakan dari pengeras suara pusat. Beberapa
siswa bahkan tampak sudah mulai memenuhi koridor dan
meninggalkan kelas masing-masing.
“Ta, besok ke Setos yuk! Mumpung dapat libur.”
Nova menyenggol bahu Gita berusaha menarik perhatian
sahabatnya itu di tengah keriuhan kelas XII MIPA 6.
“Duh, nggak bisa deh kayaknya, Nov. Aku kan besok
harus udah di rumah. Ini juga mau langsung cari tiket
buat pulang.” Raut Gita menampilkan sorot penyesalan
karena terpaksa menolak ajakan sahabatnya.
“Yah, sekali aja deh Lo nggak pulang pas libur.”
“Nggak bisa, Nov. Kali ini emang harus pulang, aku
nggak mau melewatkan momen pertamaku.”
Nova memberengut mendengar keteguhan Gita.
Gadis sebayanya itu memang bukan warga asli kota ini.
Sebenarnya mereka berdua sama-sama anak kos yang
38
berasal dari luar kota. Gita dari Semarang. Sudah jadi
kebiasaan Gita pula untuk mudik setiap masa libur tiba.
“Emang kenapa sih harus buru-buru? Besok kan
Jumat, kita ada jatah libur sampai Minggu. Kenapa Lo
nggak balik Sabtu aja?” Nova masih berusaha membujuk
sahabatnya itu.
“Nggak bisa, Nova,” jelas Gita dengan nada sedikit
lelah.
Mendengar ucapan Gita membuat Nova akhirnya
menyerah dan melempar ekspresi kecewanya. Gita jadi
tidak enak hati, tapi mau bagaimana lagi? Dia tidak
mungkin bisa memenuhi permintaan sahabatnya itu kali
ini.
“Aku balik ke sini hari Sabtu siang deh. Malam
Minggu aku temani Kamu ke Setos.”
Nova menarik sudut bibirnya yang sempat turun dan
menggantung. Kedua mata sipitnya berbinar mendengar
keputusan Gita. Sebelum mata itu kembali meredup. “Tapi
malam Minggu besok gue pengin ke tempat lain?”
“Ke mana?”
39
“Gue ada janji sama Devan di Light Garden.” Nova
tampak merona saat mengatakannya. Gita tahu
sahabatnya itu sedang dirayu monyet, eh mengalami cinta
monyet.
“Oh, ya udah kalau gitu aku balik Minggu sore aja.
Biar bisa lebih lama perbaikan gizi pakai masakan nyokap,”
kata Gita sembari menggendong tas punggungnya. Sedari
tadi mereka memang masih di kelas, membereskan
peralatan sekaligus menunggu euforia kawanan manusia
jarang libur yang kelewat bahagia saat mendapat
pengumuman hari libur.
Nova mengikuti Gita menggendong tas
selempangnya. “Jangan gitulah, temanin gue. Masa iya gue
ketemu Devan sendirian. Nanti timbul fitnah gimana? Kan
kami bukan mahram,” ujar Nova kemudian. Gita hanya
memutar bola matanya menanggapi ocehan Nova.
Mereka kemudian melangkah beriringan
meninggalkan ruang kelas. SMA Bina Dharma tetap saja
ramai meski anjuran untuk langsung pulang sudah
digaungkan oleh para guru. Kebanyakan siswa lelaki masih
asyik bermain basket atau futsal, sedangkan beberapa
40
gerombol siswi tampak mengobrol di pinggiran lapangan
yang cukup teduh. Ngakunya jarang dapat libur, giliran
dapat libur malah nognkrong di sekolah. Dasar bocah
sekarang, batin Gita saat melewati lapangan dan berjalan
ke gerbang.
“Jadi Lo mau balik jam berapa?” Nova menyenggol
siku Gita yang berjalan di sampingnya.
“Jam empatan kali ya? Aku mau mandi sama nyuci
baju dulu biar besok balik sini tinggal nyetrika aja.” Gita
menghentikan langkahnya sesaat. “Emang kenapa?”
imbuhnya sambil menghadap Nova.
“Gue antar nanti, mau naik bis apa kereta?”
“Uluuuhh baiknya... Kamu mau nganter pakai apa,
Bambang? Motor aja kita nggak ada.”
Nova menggetok pelan kepala Gita sembari
memberengut kesal. “Kan ada taksi online, Jubaedah! Gue
nggak tega kalau Lo ke terminal atau stasiun sendiri. Pasti
banyak yang mudik juga, gue nggak mau aja sahabat gue
kenapa-kenapa terus nggak jadi nemanin gue ngebucin.”
“Siapa bilang aku mau nemenin Kamu ngebucin?”
Gita mengangkat sebelah alisnya. Gadis berkuncir ekor
41
kuda dengan tahi lalat kecil di pelipis kirinya itu
tersenyum jail, menunjukkan satu lesung pipit di pipi
kanannya.
“Ta...”
Gita hanya tertawa dan mendahului langkah Nova.
Gerbang kos mereka sudah tampak beberapa meter di
depan. Nova yang saat itu mengenakan flat shoes sedikit
kesulitan menyusul langkah Gita. Gadis bertubuh sedikit
tambun itu menyelipkan poninya yang mulai panjang ke
belakang telinga sambil memanggil Gita.
****
Malam sudah menggantikan posisi senja saat Gita
memasuki gerbang desanya. Setelah menempuh tiga jam
perjalanan menggunakan bus dan berjalan kaki dari
pinggir jalan besar hingga ke desanya. Sayup-sayup
terdengar keramaian pemuda desa mempersiapkan tenda
dan beberapa papan penunjuk lokasi.
Masih dengan langkahnya di bawah siraman lampu
jalan, Gita dikagetkan oleh panggilan seorang lelaki.
Seorang pemuda yang cukup mengenalnya. Gita berhenti
42
di mulut gang, menunggu pemuda yang memanggilnya
mendekat.
“Ada apa ya, Mas?” tanya Gita saat pemuda itu
berada di depannya.
“Baru pulang? Kemarin aku tanya Bulik katanya
Kamu nggak pulang.”
“Ya benar, kan Gita pulangnya sekarang, bukan
kemarin, Mas.” Gita terkikik melihat ekspresi cengo
pemuda di depannya. “Emangnya kenapa Mas Anwar nyari
Gita?”
“Nanti saja habis bantuin anak-anak masang tenda,
aku ke rumah ya?”
“Oke. Kalau gitu Gita pulang dulu ya, Mas.” Gita
melangkah memasuki gang meninggalkan Anwar yang
juga segera kembali ke lokasi pemasangan tenda.
****
Sesampainya di rumah, Bapak dan Ibu menyambut
Gita dengan sangat antusias. Terutama Randy, adiknya
yang masih duduk di bangku TK itu langsung minta
gendong.
43
“Mbak biar mandi dulu, Nang. Randy sama Ibu dulu
ya.” Ibu berusaha mengambil alih Randy dari gendongan
Gita yang masih menggendong tasnya. Gita terkekeh saat
adiknya itu menolak uluran tangan ibunya.
“Turun dulu, ya. Mbak mau mandi nih bau asem.”
Gita mencoba menjelaskan pada adiknya. Dengan muka
masam akhirnya Randy mengalah dan turun dari
gendongan Gita.
“Mandi dulu, Nduk. Terus makan malam, jangan
sampai mag-mu kambuh.”
“Nggih, Pak.” Gita pun segera masuk kamar,
meletakkan tas dan meraih handuk merah kesayangannya.
Selesai mandi dan berganti baju, Gita merasa lebih
segar. Rambut sebahunya ia biarkan tergerai dengan sisa
titik air di ujungnya. Ia menikmati santap malam sembari
bercengkerama dengan kedua orangtuanya juga
menikmati ocehan Randy yang menceritakan aksinya di
sekolah tadi.
Masih asyik guyon dengan sang adik, suara ketukan
pintu terdengar dari depan. Gita perlahan bangkit dan
44
membukakan pintu. Sementara Bapak dan Ibu masih
meladeni Randy.
“Siapa, Nduk?” tanya Ibu beberapa saat kemudian.
“Mas Anwar, Bu.”
“Oalah, diajak masuk sini aja, biar main sama Randy
sekalian.”
“Ndak usah, Bu. Anwar cuma sebentar kok.”
Gita kemudian menyilakan Anwar duduk dan
menawarinya minum, tetapi dengan halus Anwar
menolaknya. Anwar duduk di salah satu sudut kursi kayu
ruang tamu itu diikuti Gita di seberangnya. “Ada apa,
Mas?”
“Jadi, gini. Kemarin aku niatnya antar undangan
pemilih buatmu tapi kan Kamu belum pulang, jadi aku
titipin Bulik. Nah, ini aku mau ngasih penjelasan sedikit
buat pemilu besok, Kamu kan pemilih pemula nih, apa
lagi besok pemilu serentak yang cukup ribet,” terang
Anwar langsung ke duduk permasalahan. Perannya
sebagai ketua KPPS juga harus bisa memberi edukasi ke
pemilih-pemilih pemula seperti Gita.
“Oke, Gita dengerin.”
45
Anwar melanjutkan penjelasannya. Ia bahkan
membawa tiga contoh surat suara yang berbeda. Pada
intinya ia menjelaskan bagaimana tata cara memilih yang
baik dan sesuai dengan asas pemilu. Selebihnya Anwar
mewanti-wanti agar tidak termakan issue hoax apa lagi
sampai terlibat dalam politik uang. Anwar memperkirakan
sekitar tengah malam atau justru subuh nanti akan ada
‘serangan amplop’ yang harus Gita hindari.
Gita hanya manggut-manggut mendengar penjelasan
Anwar. Sedikit-banyak ia paham dengan penjelasan Anwar.
Untuk lebih jelasnya nanti Gita berencana tanya ke Bapak
atau Ibu, sekaligus meminta undangan dan kartu
pemilihnya.
Tak lama, Anwar pamit. Gita mengantar pemuda itu
sampai ke depan pintu kemudian menutupnya saat Anwar
mejauh. Namun, baru beberapa langkah Gita
meninggalkan pintu, ketukan kembali terdengar. Ia pun
berbalik dan membukakan pintu. Rupanya Pak Santoso
salah satu tetangganya yang bertamu. Gita kemudian
mempersilakan Pak Ssntoso duduk dan mohon diri untuk
memanggil Bapak.
46
Gita memilih berdiam di ruang tengah bersama
Randy saat Bapak dan Ibu menemui Pak Santoso, sampai
kemudian Ibu memanggilnya.
“Dalem, Bu?”
“Duduk sini, Pak Santoso mau matur sesuatu.”
Gita menurut dan duduk di samping Ibu sambil
memangku Randy. Raut wajahnya penuh tanda tanya,
mengingat Pak Santoso sebenarnya cukup tertutup dan
jarang main ke rumah tetangga. Tumben saja malam ini
Pak Santoso mampir dan malah ingin ngobrol dengannya.
“Begini saja, Bapak, Ibu, dan Gita, ini saya ada sedikit
amanah,” ujar Pak Santoso sembari mengeluarkan tiga
lembar amplop putih.
Seketika Gita teringat pesan Anwar beberapa waktu
lalu. Ia melempar pandangan pada Bapak yang kebetulan
sedang memandangnya juga. Tatapan mereka bertemu
kemudian Gita menggeleng kecil. Bapak paham maksud
anaknya itu.
“Maksudnya gimana ya, Pak?” Bapak menanggapi
awalan dari Pak Santoso.
47
“Begini, Pak. Ini ada amanah dari...” Pak Santoso
menghentikan ucapannya sejenak untuk membuka satu
contoh surat suara seperti yang tadi Anwar bawa. Dengan
ujung jari telunjuk Pak Santoso menunjuk satu foto lelaki
berpeci yang cukup semringah. “Pasti Njenengan mpun
paham maksudnya.” Pak Santoso kembali melipat surat
suara tersebut.
“Ngapunten nih, Pak. Tanpa mengurangi rasa hormat
saya dan keluarga, tapi kami sekeluarga tidak suka dengan
hal-hal seperti ini. Biarlah kami menentukan pilihan kami
sendiri. Jika memang pilihan ini tepat, kami yakin ke
depannya kehidupan negara ini jauh lebih baik. Dengan
saya menerima amplop ini, apa bukan berarti saya justru
memilih tanpa nurani? Belum tentu besok ketika dia
terpilih akan ingat dengan saya atau pun Njenengan.”
Bapak menimpali kemudian beranjak dari duduknya. Satu
sikap yang Bapak tujukan untuk mengusir halus Pak
Santoso dan maksud buruknya.
Tanpa berujar apa-apa Pak Santoso berpamitan
dengan muka merah. Entah menahan kesal atau pun malu.
48
“Besok pilih satu calon yang memang Kamu paham
tujuannya dan latar belakangnya ya, Nduk. Sekarang udah
canggih, mau cari tahu latar belakang, visi, misi, bahkan
pendukung calon yang mau Kamu pilih sudah bisa lewat
hape. Jangan sampai malah golput,” pesan Ibu saat Gita
menutup dan mengunci pintu.
“Nggih, Bu. Makanya Gita pulang. Gita ingin suara
Gita turut berarti untuk nasib negeri ini. Walau banyak
teman-teman Gita yang memilih golput dengan alasan
tidak kenal atau tidak tahu dengan siapa dan bagaimana
latar belakang calon yang mau mereka pilih.”
Ibu mengusap kepala Gita lembut. “Justru kalau
golput, surat suaranya bisa disalahgunakan. Bisa
dimanfaatkan sama oknum-oknum yang ingin calonnya
memenangkan pemilu.”
“Iya juga ya, Bu. Gita tadi mau jelasin ini ke Nova kok
lupa.”
“Lho, Nova golput juga?”
“Iya, alasannya karena kehabisan tiket pulang ke
Bogor.”
49
Ibu geleng-geleng kepala mendengarnya. “Padahal
bisa saja dia ajukan diri ke RT kosanmu, Nduk. Jadi salah
satu daftar pemilih tambahan, ndak usah pulang ke
daerah asal.”
Gita manggut-manggut mendengar penuturan
ibunya. Ia mencerna ucapan ibunya dan berniat
mencarinya di laman internet nanti. Sekarang ia sudah
diserang rasa kantuk dan memilih berisitirahat di kamar.
50
51
Pemiluku Kelabu Musyarofah A.R
Asap rokok terus mengepul dari mulutnya.
Matanya nanar, memandang langit yang sedang tidak
bersinar. Wajahnya gundah tak bergairah. Pikirannya
melayang, bersama mentari yang kian menghilang. Kopi
panas dan gorengan yang terhidang tak lagi menarik
perhatian.
“Kena PHk bukannya cari kerja lagi, malah
bengong.” Di depan laki-laki paruh baya itu sudah berdiri
seorang perempuan dengan wajah masam.
“Sabar to Bune, ini juga lagi jalan keluar.” Laki-laki
itu masih tetap menatap langit yang semakin gelap.
“E..ladalah, nggak doyan kopi to?“ Sekonyong-
konyong diminumnya segelas kopi itu sampai tandas,
hanya tinggal ampas.
“La kok dihabiskan to, Bu?”
“Yo ben, kapok !”
Perempuan itu kemudian kembali masuk rumah dengan
tetap memperdengarkan suara merdunya. Laki-laki itu
52
hanya pasrah. Menganggap omelan istrinya seperti
sampah yang membuatnya semakin resah.
****
“Bu, Minggu depan Andi Ulangan Tengan
Semester.”
“Ya belajar to Le, agar nilanya bagus.”
“Maksud Andi bukan itu.”
Dikeluarkannya selembar kertas buram dari tasnya
dengan wajah muram.
“Ini gara-gara bapakmu males, Kamu jadi nunggak
SPP.”
Perempuan itu bergegas mencari suaminya ke halaman,
meninggalkan setumpuk cucian. Tubuhnya yang tidak lagi
langsing, membuat gerak tubuhnya tidak bisa selincah
gangsing.
“Paaak...!” suara baritonnya mulai menggema.
“Ada apa to Bune?“
Pak Harjo yang tengah memberi makan ayam bergegas
menemui istrinya, sebelum wajahnya semakin kelam.
Dengan seksama ia dengarkan ceramah meskipun
sejatinya telinganya sudah memerah.
53
“Sudah Bune?“ Pak Harjo bertanya dengan wajah
tak bersalah.
“Apanya yang sudah?“ volume suara Bu Harjo
semakin meninggi.
“Nesu-nesune. Bapak laper je!”
“No...no...tidak ada sarapan gratis.” tegas dan lugas
Bu Harjo menjawab. Tak dipedulikan wajah memelas
suaminya.
“Nanti kalau magku kumat, gimana?“ Pak Harjo
masih terus berjuang agar mendapatkan sarapan.
“Terserah.”
“Bapak janji, habis makan terus cari kerja.” Pak
Harjo mengalah demi menenangkan perutnya yang
semakin keroncongan.
“Bener?“ Bu Harjo mulai luluh meskipun ada gurat
keraguan di wajahnya.
“Suer Bune. Sama suaminya sendiri kok nggak
percaya!”
“Awas kalau ngapusi!“
Bu Harjo keluar dari dapur dengan membawa sepiring
nasi. Pak Harjo menyambutnya dengan wajah berser-seri.
54
“Monggo, Pak, silakan dinikmati sarapannya.“
Berulang kali Pak Harjo mengerjapkan mata, tak percaya
dengan menu yang terhidang di hadapannya.
“Sayur oblok-oblok maniingi...!” gerutunya dalam
hati.
****
Malam telah larut. Pak harjo yang seharian
meninggalkan rumah telah pulang dengan wajah cerah,
tak lagi carut marut.
“Ini Bune hasil kerja Bapak hari ini.”
Lima lembar uang kertas warna merah ditunjukkan
kepada istrinya dengan wajah penuh kebanggaan. Seketika
mata Bu Harjo yang telah meredup kembali terbuka,
bangkit dari kasur dengan wajah bergairah.
“Bukan dari hasil mencuri atau menipu, kan?“ tanya
Bu Harjo penuh selidik
“Nggaklah Bune, suamimu ini masih waras.”
“Terus, dari mana?“
“Bapak dapat proyek. Kalau sukses, hasilnya bisa
untuk biaya hidup 6 bulan.”
“Proyek opo kuwi?“ Bu Harjo penasaran.
55
“Mau tahu aja, atau tahu banget?“ Pak harjo
bertanya dengan mimik menggoda.
“Iiiih Bapak! Takcubit lho,” ucap Bu Harjo dengan
suara manja.
“Sini Bapak bisikin! Tapi,..ini masih rahasia.”
“Jadi timses caleg, Pakne? Apa Kamu bisa?“
“Husss...jangan keras-keras!” Pak Harjo
menempelkan jari telunjuk di bibir istrinya.
Malam itu mereka tidur dengan bahagia. Terbayang
gunungan rupiah yang akan diterima. Biarlah kena PHK,
asal bisa kaya raya. Yah, tiga bulan ke depan mereka akan
bergelimang harta. Bukan hanya mimpi, tapi benar-benar
nyata.
****
“Bapak-Bapak warga RT 01 RW 15, Seminggu lagi
masa kampanye terbuka akan tiba. Sesuai dengan
kesepakatan, kita menerima caleg siapa yang ingin
sosialisasi di wilayah kita. Namun kita menolak tegas
politik uang.” Pak RT mengakhiri sambutannya.
“Kalau ada warga yang ketahuan bagi-bagi uang
bagaimana, Pak RT?“ tanya salah seorang warga.
56
“Jika terbukti benar, akan kita laporkan kepada
Panwas,” jawab Pak RT dengan tegas.
“Tapi, ni kesempatan kita menambah kekayaan RT
lho, Pak!” sahut warga yang lain.
“Betul, Pak RT. Pemilu kemarin saja RT kita dapat
kursi 100 buah dan lima plong tratak.”
Pak Harjo tak mau ketinggalan, angkat suara juga.
“Lima tahun lalu, setiap orang malah dapat 200.000.
Sayang kalau dilewatkan, Pak RT,“ ucap Pak Harjo lagi.
“Ada lagi yang mau menyampaikan pendapat
Bapak-Bapak?” Pak RT kembali memberi kesempatan
kepada warga untuk menyampaikan aspirasinya.
“Saya sepakat dengan Pak RT. Kita harus pilih caleg
yang bersih dan jujur.” Pak Yadi menguatkan.
“Betul sekali, Pak Yadi. Satu suara kita ini sangat
berharga. Relakah Bapak-Bapak menjualnya hanya demi
uang yang tidak seberapa?“ ucap Pak Rudi sekretaris RT.
“Setelah itu kita ditinggalkan. Mending kita pilih
caleg yang sudah kenal dan terbukti banyak memberikan
kemanfaatan.” Pak Yadi kembali berpendapat
57
“Baik Bapak-Bapak. Saya sepakat dengan pendapat
Pak Yadi dan Pak Rudi. Marilah kita menjadi pemilih yang
cerdas. Memilih caleg bukan karena uangnya, tapi dari
kinerjanya.” Pak RT kembali memberikan himbauan
untuk warganya.
Rapat RT usai. Sebagaian warga masih melanjutkan
obrolan tentang hiruk pikuk kampanye. Pak Harjo
memilih pulang, menyusun strategi agar aksinya nanti
berjalan lancar. Terbayang kembali pundi-pundi harta
yang nanti akan memenuhi kantongnya. Dan itu membuat
semangatnya semakin membara.
****
“Ada apa to, Bune, pulang PKK kok wajahnya
manyun?”
“Sebel sama Bu RT.”
“Ada apa dengan Bu RT?“ tanya Pak Harjo lagi.
“Dia menghimbau warga agar tidak pilih caleg yang
bagi-bagi uang,” Bu Harjo menjawab dengan wajah kesal.
“Ya benar to, Bu, apa yang dilakukan Bu RT,” sahut
Yanti anak sullung Bu Harjo calon pemilih pemula.
“Huss...anak kecil nggak usah ikut-ikutan.”
58
“Yanti bukan anak kecil lagi. Pemilu besok aku
sudah punya hak pilih.”
“Eeeh...berani sama orang tua. Kamu nanti harus
pilih caleg yang didukung bapakmu.” Bu Harjo mulai
mengintimidasi anaknya.
“Yanti akan memilih sesuai dengan hati nurani.
Yang jelas bukan caleg yang bagi-bagi uang,” kata Yanti
sambil ngeloyor meningkah bapak dan ibunya.
“Dinasihati orang tua malah jawab terus, bisa
kualat Kamu.” Bu Harjo emosi.
“Sudahlah, Bu! Yanti nanti jadi urusan Bapak.”
“Gimana, Bapak sudah mencatat nama-nama
tetangga yang mau mendukung caleg kita to?“
“Pastilah, Bu. Bapak juga sudah melebarkan sayap
ke RT lain.”
“Suamiku ini memang jos gadhos.”
“Mana catatan Ibu? “
“Ini, ada 23 orang yang sudah berhasill kupengaruhi.
Bahkan Yu Nah dan suaminya siap membantu kita.”
“Kamu juga top markotop, Bu.” Pak Harjo memuji
hasil kerja istrinya.
59
“Target 250 suara di TPS kita pasti bisa kita
dapatkan.“ Bu Harjo meyakinkan suaminya dengan penuh
optimis.
Mereka pun menghentikan pembicaraan, ketika
tetangga sebelah rumah datang memberikan undangan
untuk mencoblos pada tanggal 17 April nanti.
****
Minggu, 14 April 2019 puku 22.15 WIB....
Sepasang suami istri itu siap bergerak menjalankan
aksinya. Setumpuk amplop berisi uang dan stiker siap
mereka distribusikan. Keberlimpahan materi membuat
mereka berani. Siap dengan segala resiko yang akan
menghampiri. Mereka tak peduli, kenikmatan harta telah
membutakan mata hati.
“Ayo Pak!” bisik Bu Harjo
“Situasi aman?”
“Yes, aman terkendali. Yu Nah dan suaminya sudah
siap di posnya masing-masing.” Bu Harjo melaporkan
keadaan terkini. Mereka menuju pintu. Pelan, tanpa suara
mereka ke luar dari rumahnya. Tak ingin kedua anaknya,
Andi dan Yanti terbangun.
60
“Lek Harjo, mau ke mana?“ Terdengar suara yang
sudah tidak asing dari arah belakang mereka. Tubuh
gemetar, jantung berdebar, pandangan nanar. Namun tak
sanggup untuk menghindar.
“E...e...ehm...mau nengok simbok, Pak RT,“ jawab
Bu Harjo dengan gagap.
“Kok malam-malam?“
“Njih, Pak. Baru saja dikabari sama Dek Marti.”
Nama adik iparnya yang tidak tahu apa-apa, terpaksa
dibawa-bawa. Berharap Pak RT segera berlalu dari
hadapan mereka.
“Alhamdulillah, Pak RT tidak curiga,” ucap Pak
Harjo lega. Seperti terlepas dari sebongkah batu yang
mengimpit dada.
****
Siang, Rabu Wage, 17 April 2019....
Perhitungan suara hasil Pemilu Legislatif masih
berlangsung. Pak Harjo duduk manis di TPS mengikuti
dengan seksama. Pulpen dan kertas tidak lepas dari
genggamannya. Bu Harjo menanti di rumah dengan wajah
61
gundah dan hati gelisah. Bahkan makan pun tak bergairah.
Serba salah, mau SMS suami tak ada nyali.
Pukul 16.15 WIB Pak Harjo menginjakkan kaki
kembali di rumah. Tergopoh-gopoh Bu Harjo menyambut
kepulangan suaminya.
“Bagaimana hasilnya, Pak? Kok lemes?”
“Lumayan, Bu.” Pak Harjo menjawab lirih seperti
tak berenergi.
“Lumayan bagaimana?“ Bu Harjo Kepo.
“Daripada nggak ada yang milih sama sekali.”
“Pak Alex jadi nggak?“
“Belum tahu Bu. Suaranya banyak yang jeblos.” Pak
Harjo semakin lemes.
****
Lima hari kemudian. Warga RT 01 RW 15
berbondong-bondong menuju Rumah Sakit Bina Kasih
menengok Bu Harjo. Tifusnya kumat.
“Bener nasehatmu, Yan. Nggak usah ikut-ikutan
jadi timses. Malah jadi stress.” Yanti tersenyum sambil
menyuapkan bubur ke mulut Bu Harjo.
62
“Ibu tergoda sama iming-iming Bapakmu. La wong
males kok diikuti yo, Yan. Ibu kok jadi pengen ngguyu
kalau ingat polah tingkahe Ibu kemarin.”
“Nggih, Bu, dapat dosa lagi.”
Azan magrib berkumandang, malam pun menjelang. Tak
henti-hentinya Bu Harjo beristigfar, memohon ampun atas
segala kekhilafan. “Gusti Allah, kula nyuwun pangapunten.
Berilah kepada kami pemimpin yang amanah dan jujur.“
Rona bahagia seakan menjalar ke seluruh raganya.
Ia bersyukur Allah memberi kesempatan untuk bertaubat
kepada-Nya.
63
Bijak Memilih Putu Ayub
“Balik… balik… balik” teriak Nanda. Sambil berlari
dengan ngos-ngosan, Nanda terus berteriak agar berbalik
dari jalan menuju pusat kecamatan.
“Ada apa to?”
“Pokoknya balik dah. Ndak usah tanya-tanya.” ucap
Nanda.
“Lha, napa harus balik?” tanyaku kepo. Sambil ikut
Nanda berlari, kubertanya terus apa yang menjadi alasan
harus berbalik jalan.
Setiba di posko ujung gang Nanda pun berkata “Itu
lho, ada tawuran.”
“Lha, sopo sing tawuran?”
“Anak motor kampung Bengkung dengan anak
motor kampung Langgeng Asri.”
“Langgeng Asri, kampung kita?” tanyaku pada
Nanda.
64
“Ya, mana ada kampung Langgeng Asri selain
kampung kita.” jelas Nanda.
“Masalahe opo to?”
“Itu lho, gara-gara si Ujang yang ngamuk di posko
anak motor kampung Bengkung.”
“Wis, sabar sik. Ayo minum dulu.” Kutawarkan
minum air mineral di posko pada Nanda.
Sembari menenangkan Nanda, tiba-tiba datang si
Komang.
“Ngol… Bongol…, tolong aku.” Dengan pincang si
Komang berlari menuju arah posko. Rupanya dalam
kerusuhan tadi, ia tidak berhasil meloloskan diri.
“Lha kamu kenapa?” tanyaku pada Komang.
“Itu lho aku habis ikut tawuran lawan anak motor
kampung Bengkung. Nah pas tarung rupanya mereka
jumlahnya terus bertambah, belum lagi masyarakat sekitar
ikut lawan kelompok kita.”
“Jadi kamu tadi sama-sama Nanda?”
“Ya, cuman sudah kubilang ke Komang agar tidak
usah ikut tarung.” sahut Nanda.
“Ya, betul.” tegas Komang.
65
“Piye to duduk perkaranya?”
“Gini lho, si Ujang dengar dari si Agus kalau anak
motor kampung Bengkung sudah mendukung caleg
nomor 1 dari Partai Pelangi yang Poskonya di ujung Jalan
Mangga.”
“Trus?” tanyaku kepo.
“Katanya kalau anak geng motor kampung
Bengkung berhasil menangkan caleg tersebut di tiga
kampung, maka mereka akan dapat imbalan Rp 1.000.000
per orang anggota geng motor itu.” jelas Komang.
“Lha kalau cuman begitu kok harus tawuran?”
“Gini masalahnya, caleg itu juga janjikan ke Ujang
kalau mereka juga akan beri uang Rp 800.000 per anggota
kelompok kita kalau berhasil menangkan caleg itu di tiga
kampung.” tambah si Nanda.
“Kan cuman selisih Rp 200.000 kok diributin?”
memang dasar aku orang kepo maka terus kutanya saja.
“Tapi menurut si Agus, anak geng motor kampung
Bengkung mau ambil kawasan kampung Mujur, sementara
kampung Mujur kan masuk kawasan kekuasaan kita. Anak
geng motor kampung Bengkung tahu kan kita yang sudah
66
jadi penguasanya. Lha kok mereka mau menguasainya
juga?” jelas Komang.
“Emang bener kalau anak motor kampung
Bengkung mau ambil kekuasaan kita?”
“Ndak tahu, Ujang bilang A1 menurut Agus.” balas
Nanda.
“Trus menurut kamu Mang?”
“Menurutku sepertinya A1.”
“Emang kalian punya bukti?” tanyaku penasaran.
“Ada kok, itu di WA grup kita kana da foto mereka
lagi bagi bingkisan dan pasang poster di simpang sawah.”
Jelas Nanda. “Kamu tidak baca?” tanya Nanda.
“Belum. Kalian tahu dari mana kalau foto di WA
grup kita itu A1?”
“Dari Ujang” ucap Nanda dan Komang serentak.
Tidak lama, tiba-tiba Ujang datang dengan motor
sport-nya. Dengan wajah lebam, Ujang meringis kesakitan.
Sontak ku berlari dan menolongnya untuk berbaring di
posko. Aku dan Nanda coba membersihkan luka-lukanya.
Sambil membersihkan luka-lukanya, kutanya Ujang “Jang,
ini Kamu korban tawuran juga ya?”
67
“Lha dia sih bukan korbanya, tapi provokator kita.
Dia yang ngajak kita tawuran.” sahut Komang.
“Piye to kok bisa kalian tawuran dengan anak motor
kampung Bengkung?” tanyaku pada Ujang.
“Itu lho, Agus bilang anak motor kampung
Bengkung mau ambil daerah kekuasaan kita.” Ujang
kemudian menjelaskan bagaimana asal mula mengapa ia
menyerang anak motor kampung Bengkung. Dengan
sedikit emosional ia bercerita dan seolah-olah akan
kembali membalas mereka.
Tak lama, Agus datang “Hai, kenapa wajahmu pada
lebam, Mang?”
“Kau penyebabnya, tuh Ujang juga lebih parah?”
balas Komang.
“Kok sampai para gitu?”
“Ujang nyerang anak motor kampung Bengkung.”
sahut Nanda. “Katanya menurut kamu, anak motor
kampung Bengkung mau ambil kekuasaan kita.
Mangkanya si Ujang marah dan nyerang mereka. Soalnya
kalau kita tidak berhasil menangkan caleg nomor 1 itu,
kita tidak dapat Rp 800.000 per orang.”
68
“Kamu dapat berita itu dari mana?” tanyaku pada
Agus.
“Dari Feri, menurut Feri itu berita A1.”
“Lha emang sudah kau cek kebenarannya?” tanyaku
pada Agus.
“Ya, menurut Feri kan A1. Ya udah tidak usah dicek.
Menurut Feri, kalau kita bisa menangkan caleg itu di lebih
dari tiga kampung, malahan kita bisa dapat lebih dari Rp
800.000.”
“Trus sekarang Feri ada di mana?” tanya Nanda.
“Kata tentangganya, si Feri lagi pulang kampung.”
“Inilah, masalahnya kita buat perkara dengan orang
kampung sebelah tanpa tahu kejelasan informasinya.
Harusnya cek dulu ke Feri, baru ambil langkah.” jelasku
pada mereka.
“Yo, wis pulang istirahat sik.”
Kami pun pulang dalam cemas takut anak motor
kampung bengkung tiba-tiba datang untuk menyerang.
****
Keesokan harinya sepulang dari sekolah, kami pun
ngumpul di posko untuk bicarakan kasus dengan anak
69
motor kampung Bengkung. Tiba-tiba Ujang datang
dengan semangatnya. “Ngol, Mang, Gus, aku baru dapat
tawaran dari caleg nomor 5 partai Gagak. Kalau kita
berhasil menangkan dia di enam kampung maka kita akan
dapat Rp 6 juta tiap orang. Ayo siapa mau ikut?”
“Moh… kalau ujung-ujungnya bonyok aku moh…”
balasku.
“Menurutku itu tawaran bagus, bagaimana Gus kita
join dengan Ujang?” ucap Komang.
“Oke kalau itu A1.” balas Agus. “Ayo Ngol, kita join.”
“Tidak ah, malas, takut kejadian kayak kalian
kemarin.”
“Aman kok.” ucap Ujang.
“Piye to, kemarin dukung caleg nomor 1 Partai
Pelangi, sekarang malah dukung caleg nomor 5 Partai
Gagak? Coba seperti aku, pilih dukung caleg nomor 1 dari
partai Bunga Matahari.”
“Ngol, caleg nomor 1 Partai Bunga Matahari itu
ndak bagus. Dia dari suku Dayak, masak orang Dayak mau
mewakili orang-orang kita?” balas Ujang.
70
“Emang, kita milih suku atau milih orang
berdasarkan kinerjanya?” tanyaku pada mereka.
“Ah itu tidak penting, sing penting kita dapat uang.
Mau mereka kinerjanya bagus atau tidak, sing penting kita
dapat amplopnya.” jelas Agus dengan semangat.
“Oke… oke, gini saja kesimpulannya aku, Agus, dan
Komang yang kerjakan.” ucap Ujang. “Bongol tidak ikut.
Kalau gitu jangan ngiri ya kalau tidak dapat bagian. Ayo
kita temui calegnya.” Ujang, Komang, dan Agus pun pergi
mengurus kampanye caleg nomor 5 Partai Gagak itu.
Selama dua bulan mereka terus kampanye dan
ribut dengan anak motor kampung Bengkung maupun
kampung lainnya. Dalam hati aku hanya merenung
jangan-jangan mereka hanya bermain dengan berita
bohong dan politik uang.
****
Satu bulan setelah usai pemilihan umum, Ujang,
Komang, dan Agus kembali ke posko. Sambil kumenonton
pertandingan Liga 1, mereka dengan gembira datang
dengan motor barunya.
“Piye, calegmu menang?” tanyaku pada mereka.
71
“Menang to, ini buktinya kubeli motor paling
keren.” sahut Agus.
“Iya ini juga kubeli motor baru ganti motor butut
yang lalu.” ucap Komang.
Tampak hanya Ujang yang tidak membawa motor
baru. Lantas kutanya, “Jang mana motor barumu?”
“Belum kuambil dari dealer.”
“Kok belum?”
“Lha calegnya belum ngasih aku uang.”
“Trus itu si Agus dan Komang kok sudah dapat
motor?” tanyaku pada mereka.
“Kami kan akan dapat uang dari caleg itu, jadi ku
jual motor lama untuk DP dan nanti kreditnya dari uang
hasil kampanye.” Jelas Agus dengan semangat.
Tidak lama tiba-tiba Feri datang. “Hai, kudengar
kalian berapa bulan ini tawuran terus dengan anak motor
kampung sebelah?”
“Ya, gegara kamu tuh ngasih kabar tidak jelas.”
Ucap Ujang sambil memukul kepala Feri.
“Emang betul berita itu Fer.” Tanyaku pada Feri.
72
“Tidak jelas kok. Aku dapat foto dari caleg nomor 3
Partai Bunga Matahari kok. Tidak pasti bener atau tidak.”
Jelas Feri. “Tapi kalai ini, kalian mau dapat berita bagus
tidak?” ucap Feri.
“Yakin A1?” tanyaku pada Feri.
“Yakin, coba lihat berita di TV Semarang.”
Bergegas ku pindah chanel tayangan dari
pertandingan favoritku ke berita TV Semarang. Sontak
saja kami terkaget karena caleg nomor 1 dari Partai Pelangi
diperkarakan Bawaslu karena politik uang. Tidak lama
kemudian, diberitakan caleg nomor 5 partai Gagak
ditangkap karena OTT Kasus Suap petugas PPS dan kasus
korupsi dana bansos.
“Jang, piye iki? Caleg kita ditangkap?” ucap Agus.
“Iya, piye iki Jang. Motorku baru DP. Kreditnya
piye?” balas Komang.
“Lha buntug semua kalian to? Kok mau diapusi?
Katanya A1 sekarang calegmu bermasalah. Sudah capek-
capek kerja, bonyok karena tawuran akitab berita bohong,
sekarang uang serupiahpun kalian tidak dapat.” ucapku
pada mereka sambil tertawa.
73
“Kalau mereka batal jadi anggota dewan, wah batal
deh aku dapat motor baru dan lamar si Mawar. Duitnya
habis untuk kampanye mereka.” ucap Ujang.
“Memang kalian sudah bonyok, bunting lagi.
Makanya hati-hati dengan berita bohong dan politik uang.
Tidak ada politikus yang tulus jika sudah main politik
uang. Pilih yang kerjanya sudah pasti-pasti saja. Lihat tuh
pilihanku terpilih tanpa harus main uang dan berita
bohong.”
Politik memang penting tetapi ketika ada
kebohongan dan politik uang maka itu menjadi kejam.
Kupikir, di masa mudaku kuharus belajar menjadi bijak
untuk memilih.
74
75
“MoccaLatte” Rizky Rahardian
Abahku dulu pernah berkata bahwa di dunia ini
tidak ada yang namanya manusia bodoh, yang ada
hanyalah manusia yang tak yakin bahwa dirinya bisa. Yah,
setidaknya kata-kata itu merupakan salah satu warisan
yang pernah Abah berikan untukku. Hari ini aku gagal lagi
dalam tes penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Ku-
refresh halaman website itu berkali-kali, tak ada yang
berubah. Kutinggalkan warnet dengan wajah murung, tak
bersemangat. Dalam situasi seperti ini, biasanya aku
punya ritual khusus. Seperti yang sudah-sudah, setiap kali
suasana hatiku tampak buruk, aku selalu pergi ke pantai.
Tempat di mana angin akan meniupkan seluruh masalah
yang ada di kepalaku. Deruan ombak akan merobohkan
batu karang yang terpagar rapi mengunci pintu hati.
Seringai cahaya senja menerpa wajah yang murung dan
kusam, membuatnya bersinar seketika. Dengan ritual ini,
aku tak pernah merasa sedih atau pun bimbang. Bicara
tentang kegagalan aku punya satu cerita,
76
Waktu itu pukul enam pagi, seperti biasanya Mak
selalu saja mengomel. Ada saja hal yang dia omelkan.
“Adek! Ini sudah jam berapa? Kamu belum mandi
juga?”
“Ini, Mak, Mbak Yari masih didalam kamar mandi.”
jawabku kesal.
“Yari, Kamu ngapain saja sih dari tadi di kamar
mandi? Semedi? Mencari wangsit supaya dapat pacar
kayak Oppa Korea?”
“Sebentar, Mak, lima jam lagi.” sahut kakakku.
“Yaelah buruan, adikmu nanti telat. Ini sudah jam
enam lewat lima belas menit. Adikmu hari ini Ujian
Nasional lho!”
“Iya, iya bawel. Sebentar.”
Abah yang sudah kenyang melihat kegaduhan kami
setiap pagi tetap santai menikmati secangkir kopi di teras
rumah sembari membaca koran.
Empat hari ujian telah berlalu, aku mengerjakan
semua soal dengan sangat serius dan teliti. Hingga hari
pengumuman kelulusan pun datang. Kupandangi papan
daftar peserta yang lulus dengan seksama, kudapati
77
namaku di antara duapuluh orang teratas. Aku lulus
dengan nilai yang cukup memuaskan, 36,80. Dengan
bangga kutunjukkan hasil pengumuman itu kepada Abah.
Ia turut senang melihat hasil yang aku dapat. Dengan nilai
segini, aku yakin bisa masuk ke sekolah favorit yang aku
idam-idamkan sejak lama.
Dua hari setelah pengumuman kelulusan, sekolah
itu membuka pendaftaran calon siswa baru dengan jalur
nilai. Beberapa piagam dapat digunakan untuk mendapat
nilai lebih. Pada hari pertama aku mendaftar, aku dan
abah berangkat sangat pagi.
“Silahkan, Pak, letakkan berkas yang diminta di
sini!” ucap seorang petugas.
Abah menaruh berkas kemudian lekas duduk,
menunggu hasil peringkat sementara. Karena kami datang
terlalu pagi, belum banyak murid yang mendaftar. Setelah
pendaftaran hari itu ditutup, Abah mengajakku melihat
peringkat sementara.
“Dek, Alhamdulillah Kamu ada di peringkat enam
puluh lima. Semoga besok tidak
78
merosot lagi ya karena masih ada tiga hari pendaftaran
lagi.”
“Iya, Bah, semoga saja.”
Akhirnya kami pun memutuskan untuk pulang.
Pada hari ke-2 peringkatku semakin merosot dari
peringkat enam puluh lima ke peringkat seratus tiga puluh
dua.
Pada hari ke-3 peringkatku kembali turun ke
peringkat dua ratus empat puluh tiga. Dan di hari ke-4
atau hari akhir pendaftaran peringkatku bertengger di
angka dua ratus sembilan puluh tujuh.
“Dek, Kamu lolos! Selamat ya! Walau di posisi akhir
tapi yang paling terpenting Kamu sudah berusaha
maksimal.”
Aku hanya bisa mengangguk sambil memeluk erat
Abah. Tak lama berselang salah satu petugas
mengumumkan suatu hal. “Untuk peserta dengan nama
Alya Dewi Susanti, Muhammad Gunawan, dan
Muhammad Akan Susetyo telah dinyatakan gugur atau
tidak dapat masuk ke SMA Tarang Karuna.”
79
Seketika itu juga, aku dan Abah tersontak kaget.
Namaku disebutkan di sana. Pertanyaan-pertanyaan asing
mulai muncul. Bagaimana bisa? Kenapa? Bukankah semua
sistem pendaftaran sudah dihentikan dan hasil akhir
sudah diumumkan? Lantas kenapa aku bisa gugur
bersama dua anak lainnya? Perasaanku campur aduk,
marah, sedih, kesal semua menjadi satu.
Belum sempat aku menjawab semua pertanyaan itu,
Abah dengan sigap beranjak dari kursi dan bergegas
menuju Ruang Pelaksana. Wajahnya sangat menunjukkan
bahwa ia sedang marah, tidak terima, sama seperti yang
aku rasakan pada saat itu. Beberapa orangtua yang nama
anaknya dinyatakan gugur juga menyatakan ketidak
terimaan mereka.
“Pak, tidak bisa begitu dong, pendaftaran kan
sudah ditutup sejak sepuluh menit yang lalu, saya juga
tidak melihat ada yang pergi mendaftar di saat-saat
terakhir. Bagaimana bisa anak saya yang sudah dipastikan
lolos tiba-tiba saja gagal?” semprot Abah kesal.
“Benar itu, bagaimana bisa anak saya tersisih begitu
saja? Jangan bersikap kotor seperti itu pak. Jangan-jangan
80
ada anak yang masuk lewat jalur belakang?” lanjut
orangtua lain.
“Begini, Pak, update kebetulan selesai dilakukan
setelah penutupan. Dan dtemukan di sini bahwa anak
Panjengengan semua tidak lolos karena tergeser anak lain.”
jelas petugas.
“Tapi bukannya tadi diberitahukan bahwa itu hasil
final?” balas salah satu orangtua.
“Mohon maaf sebelumnya Bapak-Bapak sekalian.
Begini, setelah kami lakukan rekapitulasi lanjutan,
ternyata ada beberapa anak yang memang memenuhi
syarat untuk masuk.”
Kemudian ada seorang petugas yang datang untuk
mengganti nama siswa yang gugur tadi dengan nama anak
yang baru saja masuk. Saat dilihat, ternyata nilai anak-
anak yang baru masuk itu ada dibawah nilai anak yang
gugur. Sonta